Page 1
ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK
PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL TAPIOKA
DI JAWA BARAT
Studi Kasus Desa Pasir Jambu Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Bogor
NORA ASFIA
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2013
Page 3
1
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pendapatan,
Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Nora Asfia
NIM H34090060
Page 4
2
ABSTRAK
NORA ASFIA. Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek
Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat. Dibimbing oleh
RACHMAT PAMBUDY.
Salah satu sektor industri yang bertahan dan cukup banyak dikembangkan di
Jawa Barat adalah agroindustri seperti industri kecil (IK) pengolahan tapioka,
namun monopolisasi harga industri derivatif, inkontinyuitas bahan baku, dan
kurangnya induksi teknologi mengakibatkan penurunan pendapatan para pengrajin
tapioka. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat profitabilitas dan
nilai tambah yang diberikan dari industri kecil tapioka, serta mengetahui prospek
pengembangannya dilihat dari adanya ketersediaan input dan peluang pasar. Alat
analisis yang digunakan yaitu R/C ratio, analisis titik impas, dan analisis nilai
tambah dengan menggunakan Metode Hayami. Hasil analisis menunjukkan bahwa
rataan rendemen bahan baku menjadi tapioka yaitu sebesar 21.67% dan ampas
sebesar 6.04% sehingga industri kecil tapioka masih memberikan keuntungan
kepada pengarjin tapioka dengan R/C rasio lebih dari 1. Nilai tambah yang
diberikan oleh industri kecil tapioka yaitu 17.09%. Untuk meningkatkan daya
saingnya, industri kecil tapioka perlu untuk meningkatkan kualitas tapioka hasil
produksi dan memantau kualitas produksi secara konsisten.
Kata Kunci : tapioka, nilai tambah, pendapatan, industri kecil
ABSTRACT
NORA ASFIA. Income Analysis, Added Value and Developing Prospect of
Small-sized Tapioca Industry in West Java. Supervised by RACHMAT
PAMBUDY.
Industry sector which is still surviving and pretty much developed in West
Java is tapioca small-sized industry, but derivative industry prices
monopolization, incontinuity of raw materials, and also less technology
inductions are potensially decrease the revenue of business owner. The purpose of
this study are to gain knowledge on the income and value added given by the
tapioca industry, and to examine the prospect of developing tapioca industry from
the input side and market opportunity. The analyses are separated into income
analysis with R/C Ratio, break even point analysis, value added analysis with
Hayami Method, and statistical descriptive analysis. From the study it can be
conclude that the average business owners produced 100 kg of raw materials
which then will produce 21.67 kg raw tapioca and 6.04 kg waste. Average R/C
ratio of business owner and production factor owner is more than 1 that means
this small-sized tapioca industry still gave them daily income, whereas added
value ratio from the processing is just 17.09%. This tapioca processing needs
more management which can increase their competitivness by upgrading raw
tapioca quality and controlling raw materials continuity
Key words : tapioca, income, value added, small-sized industry
Page 5
3
ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK
PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL TAPIOKA
DI JAWA BARAT
Studi Kasus Desa Pasir Jambu Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Bogor
NORA ASFIA
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2013
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
Page 7
Judul Skripsi: Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat
Nama : Nora Asfia NIM : H34090060
Disetujui oleh
Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS. Pembimbing
Diketahui oleh
Tanggal Lulus: 2 0 A G 2013
Page 8
1
Judul Skripsi : Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan
Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat
Nama : Nora Asfia
NIM : H34090060
Disetujui oleh
Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS.
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS.
Ketua Departemen Agribisnis
Tanggal Lulus:
Page 9
2
PRAKATA
Syukur dan puji kepada Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan
kemudahan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini yaitu pendapatan dengan judul Analisis Pendapatan,
Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat.
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan April 2013 sampai Juni 2013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Rachmat Pambudy, MS
selaku dosen pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada seluruh pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu yang telah memberikan waktu
luangnya serta informasi untuk pengumpulan data, Bu Nunung selaku Ketua
KWT Kenanga Desa Kenanga yang telah menerima dan membantu penulis dalam
melaksanakan pengumpulan data, Bu Khumairah dan suami sebagai Pengurus
Gapoktan Karya Bersama yang telah memberikan perizinan serta informasi
mengenai industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu.
Terima kasih kepada Ahmad Zaki Rahman dan Irva Mavrudah atas
kekompakan dan semangatnya sebagai teman satu bimbingan, Cynthia
Mawarnita, Emilia Huda, Novita Dewi, Tedi Aditia, Rina Fauzah, Puji Mustika,
dan lainnya sebagai sahabat setia di HIPMA dan Agribisnis 46, dan Jauhar
Samudera Nayantakaningtyas S.E atas segala semangat dan dukungannya sebagai
pengingat target penulis. Ungkapan terima kasih tak terhingga terutama penulis
sampaikan kepada kedua orang tua Hisyam Abdullah Seff dan Tutik Sulistiani
serta seluruh keluarga atas perhatian, doa, dan dukungan yang tiada hentinya
dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
Nora Asfia
Page 10
i
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR ii
DAFTAR LAMPIRAN ii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
Ruang Lingkup Penelitian 5
TINJAUAN PUSTAKA 6
Usahatani Ubi Kayu 6
Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14
Struktur Biaya, Pendapatan, dan Nilai Tambah Industri Kecil Tapioka 15
KERANGKA PEMIKIRAN 17
Kerangka Pemikiran Teoritis 17
Kerangka Pemikiran Operasional 21
METODOLOGI PENELITIAN 22
Lokasi dan Waktu Penelitian 22
Metode Pengumpulan Data 23
Jenis dan Sumber Data 23
Metode Analisis dan Pengolahan Data 23
GAMBARAN UMUM 27
Kondisi Umum Wilayah Penelitian 27
Karakteristik Industri Kecil Tapioka 28
HASIL DAN PEMBAHASAN 35
Analisis Pendapatan 35
Analisis Nilai Tambah 39
Analisis Titik Impas 42
Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka 44
KESIMPULAN DAN SARAN 51
DAFTAR PUSTAKA 52
LAMPIRAN 54
Page 11
ii
DAFTAR TABEL
1 Populasi dan jarak tanam optimal ubi kayu 8 2 Kegunaan ubi kayu dalam berbagai industri 9 3 Kandungan unsur gizi pada ubi kayu dan tepung tapioka/100 g bahan 11 4 Tahapan perhitungan nilai tambah Metode Hayami 26 5 Spesifikasi kelompok tani Karya Bersama Desa Pasir Jambu 27 6 Potensi hasil dan sifat-sifat penting beberapa varietas ubi kayu 32 7 Fasilitas dan peralatan produksi tapioka 32 8 Perbedaan tekonologi pengolahan tapioka 33 9 Arus penerimaan pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu selama satu
tahun produksi 36 10 Arus pengeluaran pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu selama satu
tahun produksi 37 11 Perbandingan pendapatan usaha pemilik faktor produksi dan pengrajin
penggarap industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu 39 12 Perhitungan nilai tambah industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu 41 13 Perhitungan titik impas industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu 43 14 Perkembangan ekspor tepung dan pati Indonesia tahun 2010 – 2011 47
DAFTAR GAMBAR
1 Penurunan luas panen ubi kayu di Jawa Barat tahun 2008 – 2012 3 2 Skema pembuatan tapioka pada industri skala kecil 13 3 Analisis BEP secara grafis 20 4 Kerangka pemikiran operasional 22 5 Layout produksi rumah penggilingan industri kecil tapioka 30 6 Pencucian bahan baku ubi kayu 34 7 Pemarutan dan pemerasan bahan baku 34
8 Pengeringan tapioka dengan sinar matahari 35 9 Produksi ubi kayu di Indonesia 45
10 Perkembangan harga ubi kayu di tingkat nasional 46 11 Sebaran industri penghasil dan pengguna 48
DAFTAR LAMPIRAN
1 Struktur PDRB Jawa Barat menurut sektor tahun 2012 54 2 Industri pengguna tepung tapioka di Indonesia tahun 2011 54 3 Tabel produksi ubi kayu di Jawa Barat 55 4 Penggunaan tepung tapioka menurut lokasi 56
5 Karaktersitik responden pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu 57 6 Penyusutan alat dan mesin industri kecil tapioka 58 7 Daftar industri pengguna tepung tapioka di Jawa Barat 59
Page 12
iii
8 Pohon industri ubi kayu 61 9 Perkembangan haga rata-rata mingguan ubi kayu di beberapa kota di
Indonesia 61 10 Arus pengeluaran usaha pengrajin penggarap 64 11 Arus pengeluaran usaha pemilik faktor produksi 65
Page 14
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industri kecil menengah merupakan pelaku ekonomi kerakyatan yang
seyogyanya mendapatkan prioritas untuk berperan aktif dalam perekonomian
nasional. Dengan kekuatan ekonomi rakyat yang merupakan pelaku ekonomi
terbesar di masyarakat, diharapkan struktur perekonomian Indonesia akan lebih
mampu dalam menghadapi permasalahan-permasalahan ekonomi, baik persoalan
yang tumbuh di dalam negeri maupun akibat dari pengaruh perekonomian global.
Kemenkop (2012) menyebutkan bahwa jumlah usaha kecil menegah secara
nasional mencapai 6 764 661 orang dan sekitar 70% di antaranya berada di Pulau
Jawa dan Bali. Secara lebih spesifik, 20 % industri kecil dan menegah (IKM)
Indonesia berada di Jawa Barat1. Dominasi Jawa Barat dalam keberadaan IKM
menunujukkan potensi perekonomian yang besar.
Keberadaan usaha kecil dan menengah di Jawa Barat lebih didominasi
sektor pertanian yang mencapai 48.32% dengan penyerapan tenaga kerja terbesar
berada di pedesaan, namun kontribusinya terhadap struktur perekonomian Jawa
Barat termasuk sektor dominan ketiga setelah sektor industri pengolahan dan
perdagangan. Hal ini secara umum dapat terjadi karena lemahnya kelembagaan
petani yang menyebabkan minimnya akses terhadap berbagai aspek pertanian,
seperti penyediaan input, penyuluhan, permodalan, dan teknologi yang secara
tidak langsung mempengaruhi pendapatan petani. Keadaan yang sebaliknya justru
terjadi di industri pengolahan. Meski jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor
tersebut tidak sebanyak yang bekerja di sektor pertanian, sektor industri
pengolahan mampu memberikan kontribusi terbesar sebanyak 35.79% pada
PDRB Jawa Barat (BPS, 2012). Data mengenai kontribusi sektor industri terhadap
PDRB Jawa Barat dapat dilihat pada Lampiran 1.
Salah satu sektor industri yang bertahan dan cukup banyak dikembangkan di
Jawa Barat adalah agroindustri seperti industri kecil (IK) pengolahan tapioka
Industri tapioka merupakan salah satu jenis industri agro (Agro-based-industri)
berbahan baku ubi kayu yang banyak tersebar di Indonesia baik skala kecil, skala
menengah, maupun skala besar. Tapioka merupakan salah satu hasil agroindustri
yang potensial untuk dikembangkan, karena ketersediaan bahan baku ubi kayu di
Jawa Barat yang cukup melimpah. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu
produsen ubi kayu di Indonesia dengan total luas panen pada tahun 2012 seluas 100
159 ha, tingkat produktivitas rata-rata sebesar 21.27 ton/ha dan total produksi sebesar
21 311 230 ton (BPS, 2012). Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) sendiri
merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang memiliki peranan penting
dalam sistem ekonomi daerah.
Pengembangan industri kecil terutama yang mengolah hasil-hasil pertanian
lokal sebagai industri yang tahan terhadap dampak krisis ekonomi serta sifatnya yang
padat karya menjadi salah satu alternatif yang sangat diperhitungkan dalam
membangun kembali sendi perkenomian Indonesia saat ini. Di samping menciptakan
1 Heri Ruslan. 2013. 20 persen Industri Kecil dan Menengah Berada di Jabar. dalam
http://www.republika.com [diakses pada 26 Maret 2013]
Page 15
2
nilai tambah bagi produk pertanian, adanya industri kecil tapioka juga menyediakan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat pedesaan. Purba (2002) menyebutkan bahwa
selama ini industri rumah tangga mampu memenuhi sebagian kebutuhan konsumsi
maupun produksi masyarakat. Sektor ini juga mampu menciptakan lapangan kerja
dan menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat desa, sehingga masyarakat
tidak perlu berduyun-duyun pergi ke kota untuk mencari pekerjaan.
Perubahan gaya hidup masyarakat yang mengakibatkan perubahan selera
dan berkembangnya teknologi akan memacu munculnya beraneka bentuk pangan
baru yang membuat ubi kayu tidak lagi dikonsumsi dalam bentuk aslinya,
melainkan sebagai pangan olahan lain. Salah satu upayanya yaitu mengolah ubi
kayu menjadi tepung tapioka sebagai bahan baku pangan olahan dari ubi kayu.
Hal ini menjadi landasan mengapa industri tapioka menjadi sangat potensial di
masa yang akan datang.
Industri kecil tapioka berkembang karena didukung selain tersedianya bahan
baku, juga sarana dan prasarana produksi seperti mesin giling, tempat
pengeringan, dan tempat pencucian. Selain itu, pekerja sebagai pengolah ubi kayu
menjadi tepung tapioka (pengrajin tapioka) merupakan pekerjaan yang sudah
turun temurun (Rochaeni et al. 2007). Industri tapioka yang termasuk dalam
industri pati ubi kayu mampu berkontribusi sebesar Rp1.21 miliar dalam Nilai
Tambah Bruto nasional (Kemenperin 2012). Hal ini membuktikan bahwa industri
pengolahan tapioka dalam berbagai skala usaha memiliki prospek lebih baik dan
potensial karena permintaannya terus ada dan dimanfaatkan sebagai bahan baku
oleh berbagai industri seperti antara lain industri kembang gula, pengalengan
buah, pengolahan es krim, minuman, dan industri peragian.
Industri pengolahan tepung tapioka tersebar di beberapa daerah sentra
produksi ubi kayu di Jawa Barat, salah satunya adalah di Kabupaten Bogor.
Industri pengolahan tapioka di Kabupaten Bogor terdiri atas pengolah tapioka dan
pabrik penggilingan tapioka kasar untuk diproses menjadi tepung tapioka halus
yang siap dipasarkan. Sebagian besar produsen tepung tapioka di Kabupaten
Bogor merupakan industri tapioka rakyat di pedesaan dengan skala kecil yang
merupakan salah satu motor penggerak perekonomian di daerah tersebut. Melihat
potensialnya tapioka di masa mendatang dan ketersediaan bahan baku ubi kayu di
Jawa Barat, penelitian mengenai kajian finansial usaha dan prospek
pengembangan industri kecil tapioka penting untuk dilakukan.
Perumusan Masalah
Deshaliman (2003) menyatakan bahwa tantangan yang dihadapi dalam
pengembangan umbi-umbian adalah produk-produknya yang hingga saat ini
cenderung konvensional, dengan kemampuan dan nilai gizi yang kurang menarik.
Hal ini menyebabkan relatif rendahnya ketertarikan masyarakat untuk
memanfaatkannya sebagai sumber karbohidrat substitutsi terhadap beras. Untuk
meningkatkan nilai tambah dari produk umbi-umbian ini agar bisa sejajar dengan
pangan lain, perlu adanya sentuhan teknologi, sehingga menarik untuk disajikan,
serta enak dan ekonomis untuk dikonsumsi.
Produktivitas ubi kayu di Jawa Barat cukup baik, namun masih lebih rendah
dibandingkan di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Sukandar 2000). Apalagi
permintaan ubi kayu sebagai makanan pokok atau sampingan terus mengalami
Page 16
3
penurunan mengingat semakin naiknya tingkat kesejahteraan masyarkat yang
diikuti dengan pemilihan selera yang semakin baik. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan permintaan akan ubi kayu, maka ubi kayu harus diolah terlebih
dahulu ke dalam berbagai bentuk produk olahan yang sesuai dengan kebutuhan
konsumen. Jawa Barat sendiri merupakan salah satu sentra produksi tepung
tapioka di Indonesia dan Bogor adalah salah satu sumber produsen tapioka di
Jawa Barat.
Jawa Barat terus mengalami penurunan luas panen ubi kayu. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 1. Pada tahun 2008, luas panen ubi kayu di Jawa Barat yaitu
109 354 ha, diiringi dengan sedikit peningkatan pada tahun 2009 menjadi 110
827 ha, dan terus menurun hingga pada tahun 2012 menjadi 100 159 ha. Kondisi
yang berbeda terjadi di produktivitas, walaupun luas panen dan produksi
mengalami penuruanan. Adanya peningkatan produktivitas mengindikasikan
bahwa telah adanya adopsi teknologi budidaya di tingkat petani ubi kayu (Darwis
et al. 2009).
Gambar 1 Penurunan luas panen ubi kayu di Jawa Barat tahun 2008 – 2012 Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat 2012
Salah satu industri tapioka yang berada di Jawa Barat yaitu Kabupaten
Bogor. Produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor menurun dari 198 597 ton pada
tahun 2008 menjadi 154 455 ton pada tahun 2009. Luas panen dan produktivitas
ubi kayu di Kabupaten Bogor juga mengalami penurunan. Luas panen ubi kayu di
Kabupaten Bogor pada tahun 2008 adalah 10 073 hektar menurun menjadi 7 680
hektar pada tahun 2011. Produktivitas ubi kayu di Kabupaten Bogor menurun dari
20.55 ton per hektar pada tahun 2009 menjadi 20.11 ton per hektar pada tahun
2011 (BPS Kabupaten Bogor 2012). Penurunan produksi, luas panen, dan
produktivitas merupakan ancaman bagi industri kecil tapioka di Kabupaten Bogor.
Salah satu sentra industri kecil tapioka di daerah Bogor yaitu Desa Pasir
Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Pengrajin/pengusaha tapioka
yang sekaligus petani ubi kayu tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani Karya
Bersama yang terdiri dari 9 kelompok tani dan 1 kelompok wanita tani. Selain itu
94,000
96,000
98,000
100,000
102,000
104,000
106,000
108,000
110,000
112,000
2008 2009 2010 2011 2012
Luas
Pan
en (
ha)
Page 17
4
terdapat pula Koperasi Wanita Tani Karya Bersama yang bekerja sama dengan
Gapoktan Karya Bersama untuk membantu masalah permodalan petani. Teknik
produksi di Desa Pasir Jambu masih bersifat tradisional, yaitu teknik produksi
yang masih belum mengandalkan mesin pengolah tepung tapioka. Padahal,
sebagian besar daerah di Kabupaten Bogor yang juga memproduksi tepung
tapioka telah menginduksi peralatan dan mesin ke arah teknologi yang lebih
canggih. Adanya ketertinggalan dalam aplikasi teknologi ini berpotensi
menurunkan penerimaan para pengrajin tapioka.
Di samping itu, masalah yang timbul dari aktivitas industri kecil tapioka ini
yaitu meningkatnya alih fungsi lahan penanaman ubi kayu untuk dijadikan
bangunan perumahan oleh pengembang setempat. Kecamatan Sukaraja yang
merupakan salah satu daerah sentra produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor terus
mengalami penurunan luas panen yang cukup drastis. Luas panen ubi kayu di
Kecamatan Sukaraja pada tahun 2008 adalah sebesar 2 452 hektar menurun
menjadi 612 hektar pada tahun 2011 (BPS Kabupaten Bogor 2012). Sehingga
industri kecil tapioka di daerah Sukaraja yang dulu menghasilkan bahan baku ubi
kayu sendiri, sekarang terpaksa untuk mendatangkan bahan baku dari daerah lain,
seperti Ciomas, Leuwiliang, Labuan, Sukabumi, dan Lampung. Perubahan
perolehan input berpotensi menimbulkan ketidakpastian kontinyuitas bahan baku
dan meningkatkan biaya produksi, karena pengrajin tapioka harus membeli bahan
baku yang harganya relatif lebih mahal dibandingkan dengan biaya yang
dikeluarkan untuk menghasilkan bahan baku sendiri.
Selain itu, masih terdapat kendala berupa tidak adanya kekuatan tawar
dalam menentukan harga tepung tapioka kasar kepada pabrik pengepul karena
minimnya akses petani terhadap informasi pasar. Monopolisasi pengepul tapioka
kasar mengakibatkan minimnya pemasaran dan semakin menurunnya pendapatan
industri kecil. Ketergantungan para pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu
terhadap pengepul disebabkan oleh tidak adanya modal untuk menginvestasikan
mesin penggiling tapioka halus.
Lemahnya akses permodalan, monopolisasi harga pabrik pengepul,
inkontinyuitas bahan baku industri, serta minimnya induksi teknologi dapat
berpotensi menurunkan penerimaan para pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu.
Sehingga perlu dikaji mengenai apakah kegiatan produksi industri kecil tapioka
dalam memberikan keuntungan masih relevan dengan keadaan perekonomian saat
ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis pendapatan usaha, nilai tambah, dan
titik impas untuk mengetahui seberapa besar tingkat profitabilitas dari industri
kecil tapioka tersebut dan perlu dilakukan kajian mengenai bagaimana prospek
pengembangan industri kecil tapioka untuk mengetahui seberapa prospektif
industri tersebut sesuai dengan hasil kajian tingkat profitabilitas yang ada.
Berdasarkan masalah tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat pendapatan usaha dan titik impas yang dihasilkan oleh
industri kecil tapioka di Desa Pasir Jambu?
2. Berapa nilai tambah yang diperoleh dari industri kecil tapioka?
3. Bagaimana prospek pengembangan usaha industri kecil tapioka di Jawa Barat
dilihat dari ketersediaan sisi input dan peluang pasar yang ada?
Page 18
5
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk
1. Menganalisis tingkat pendapatan usaha dan titik impas industri kecil tapioka di
Desa Pasir Jambu Kabupaten Bogor
2. Menganalisis besarnya nilai tambah yang diperoleh industri kecil tapioka
beserta kontribusinya terhadap pendapatan usaha.
3. Menganalisis prospek pengembangan usaha industri kecil tapioka di Jawa
Barat dilihat dari sisi input dan peluang pasar yang ada.
Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :
1. Petani sebagai informasi terutama mengenai pendapatan beserta prospek
pengembangan industri kecil tapioka.
2. Pemerintah dan dinas terkait untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dalam perencanaan pengembangan industri Tapioka di daerah Bogor.
3. Peneliti lain, sebagai bahan pembanding dan diharapkan dapat bermanfaat
terutama peneliti-peneliti lain yang akan melakukan penelitian lanjutan yang
berkaitan dengan industri kecil tapioka.
4. Peneliti sendiri, untuk menambah pengetahuan mengenai industri kecil tapioka
di Bogor khususnya mengenai aspek nilai tambah dan sebagai penerapan teori
di bangku kuliah.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam lingkup regional, yaitu Desa Pasir Jambu
yang terletak di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Komoditi yang akan diteliti adalah tepung tapioka. Peneliti memfokuskan
penelitian pada analisis pendapatan, analisis titik impas, dan analisis nilai tambah
yang ada di industri kecil tapioka. Informan dalam penelitian ini adalah warga
Desa Pasir Jambu yang masih aktif bekerja sebagai pengrajin tapioka dan dipilih
secara sengaja.
Page 19
6
TINJAUAN PUSTAKA
Usahatani Ubi Kayu
Karakteristik Ubi Kayu
Sebagian besar masyarakat Indonesia pasti sudah mengetahui ubi kayu,
namun sedikit yang mengetahui bahwa Manihot esculenta sebetulnya bukan
merupakan tanaman asli Indonesia. Ubi kayu pertama kali dibudidayakan di tanah
air oleh budak-budak asal Afrika yang bekerja pada utusan-utusan Belanda pada
tahun 1835. Umbi hasil panen hanya diolah dengan cara dikukus, dibakar, dan
digoreng. Sejak saat itu, ubi kayu lebih populer sebagai pangan pokok pengganti
nasi. Karena membudidayakan ubi kayu lebih mudah dibandingkan padi, ubi kayu
semakin digemari masyarakat dengan melakukan perluasan penanaman. Pada
jangka tahun 1919 sampai tahun 1941, 98% produksi dunia berasal dari Pulau
Jawa. Olahan ubi kayu semakin beragam dengan semakin bermunculannya
industri penepungan ubi kayu agar lebih tahan lama dan dapat diolah menjadi
berbagai produk.
Ubi kayu merupakan tanaman yang mudah dikenali karena memiliki ciri
khas, yaitu batangnya berbuku-buku (setiap buku batang terdapat mata tunas),
daunnya menjari, dan umbi berasal dari pembesaran sekunder akar adventif. Umbi
kayu umumnya mengandung 10 – 490 miligram HCN per kilogram umbi basah
tergantung varietasnya. Senyawa HCN (Asam Sianida) berbahaya jika dikonsumsi
lebih dari 1 miligram HCN per kilogram bobot tubuh per hari atau lebih dari 50
miligram per kilogram bobot umbi. Kadar HCN yang lebih dari 100 miligram per
kilogram bobot umbi hanya diperkenankan untuk industri, seperti tepung tapioka.
Persyaratan Iklim
Ubi kayu termasuk tanaman tropis tetapi dapat pula beradaptasi dan tumbuh
dengan baik di daerah sub tropis. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik dan
memberikan hasil yang tinggi selama persyaratan iklim sesuai untuk mendukung
pertumbuhan, terutama pada daerah berhawa panas dan banyak turun hujan. Iklim
yang cocok untuk tanaman ubi kayu antara lain dengan jumlah curah hujan antara
750 - 1.500 mm/tahun, ketinggian tempat antara 100 – 800 m dpl, dan suhu
lingkungan antara 25°- 28°C. Semakin tinggi tempat penanaman, maka semakin
lambat pertumbuhannya dan hasilnya akan semakin berkurang.
Ubi kayu menghendaki tanah yang gembur untuk pertumbuhan dan
produksi khususnya pada pembentukan umbi, sehingga didapatkan produktivitas
yang optimal. Derajat kemasaman (pH) tanah yang sesuai untuk budidaya ubi kayu
berkisar antara 4,5 – 8,0 dengan pH ideal 5,8. Umumnya tanah di Indonesia ber-pH
rendah (asam), yaitu berkisar 4,0 – 5,5, sehingga seringkali dikatakan cukup netral
bagi suburnya tanaman ubi kayu. Selain itu, tanaman menjadi kerdil karena
pertumbuhan bunga yang kurang sempurna. Sinar matahari yang dibutuhkan bagi
tanaman ubi kayu sekitar 10 jam/hari, terutama untuk kesuburan daun dan
perkembangan umbinya.
Penggunaan Varietas Unggul
Varietas unggul merupakan salah satu komponen utama dalam berbagai
program pembangunan pertanian tanaman pangan, baik dalam usaha peningkatan
Page 20
7
produktivitas, produksi, peningkatan kualitas hasil maupun penanggulangan
berbagai kendala seperti serangan hama penyakit serta cekaman lingkungan.
Penggunaan varietas unggul sebaiknya berdasarkan kesesuaian lahan. Hingga
tahun 2011 Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
(Balitkabi) telah merilis 10 varietas unggul ubi kayu, beberapa di antaranya yaitu
Adira 1, Adira 2, Adira 4, Malang 6, dan UJ3. Pada umumnya, varietas yang
dikembangkan untuk konsumsi langsung berbeda dengan untuk industri. Sebagai
contoh untuk dikonsumsi langsung, rasa tidak pahit dan enak, warna umbi
kuning/putih, kandungan serat rendah dan kadar HCN rendah.
Varietas-varietas ubi kayu yang mempunyai karakteristik di atas lebih
banyak dijumpai pada varietas lokal dan sedikit varietas unggul nasional. Rataan
produktivitas ubi kayu secara nasional selama dasawarsa terakhir masih rendah,
yaitu sekitar 40% dari potensi genetis dengan pengelolaan optimal, padahal
potensi hasil tiap varietas bersifat spesifik lokasi. Oleh karena itu, varietas unggul
seperti Adira-4, Malang-6, UJ-3, dan UJ-5 wilayah berkembangnya berbeda.
Peningkatan produksi dapat direalisasikan melalui penggunaan varietas unggul
dan pengelolaan optimal. Dengan demikian, pengembangan industri pada
berbagai tipe agroekologi, ketersediaan bakunya berpotensi dapat dijamin.
Pengolahan Tanah
Ubi kayu membutuhkan tanah gembur dan kaya akan humus, agar umbinya
dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Pengolahan paling baik dilakukan
pada saat menjelang musim hujan, karena pada saat ini struktur tanah tetap
terpelihara, mudah dicangkul, dan tetap gembur. Tanah diolah sedalam 25 – 30
cm dan sebaiknya dibuat guludan/bedengan untuk menjaga agar tidak banyak
mengandung air. Untuk tanah miring sebaiknya dibuat teras, agar erosi bisa di
atasi dan struktur tanah tetap terjaga dan menerapkan kaidah konservasi lahan dan
air atau pengolahan tanah secara bijaksana.
Penanaman
Usahatani lahan kering sangat tergantung dari pola curah hujan, pada
tanaman ubi kayu sebagian besar diusahakan di lahan kering. Secara umum waktu
tanam ubi kayu yang dianjurkan sebagai berikut :
i) Pada daerah yang beriklim basah sepanjang tahun (bulan basah lebih dari 4
bulan) dapat ditanam sepanjang tahun
ii) Pada daerah yang bulan keringnya lebih dari 4 bulan berturut-turut dapat
ditanam pada bulan-bulan basah (musim hujan)
iii) waktu tanam disesuaikan dengan ketersediaan air, selama masa pertumbuhan
4-5 bulan memerlukan air yang cukup
iv) Di tanah tegalan penanaman dilakukan pada awal musim hujan (Oktober-
November) atau akhir musim hujan
v) Di sawah tadah hujan, penanaman dilakukan pada akhir musim hujan (Maret-
April) setelah penanaman padi.
Penggunaan populasi jarak tanaman dan jarak tanam yang tepat dapat
memberikan hasil yang maksimal, oleh karenanya pemilihan populasi dan jarak
tanam pada usahatani ubi kayu sedapat mungkin didasarkan pada sistem tanam
monokultur, tingkat kesuburan tanah, dan kemiringan lahan. Sebagai pedoman,
Page 21
8
populasi dan jarak tanam optimal dalam budidaya ubi kayu disajikan pada tabel 1
berikut.
Tabel 1 Populasi dan jarak tanam optimal ubi kayu
Populasi (Jumlah / ha) Jarak Tanam (cm)
Monokultur Tumpangsari
10 000 100 x 100, 125 x 80 200 x 50
8 000 125 x 100 250 x 50
12 500 100 x 80 200 x 40
Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman ubi kayu cukup penting, apabila ingin mendapatkan
produktivitas optimal. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, perlu dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut :
a. Penyulaman tanaman dilakukan 2-3 minggu setalah tanam
b. Pemberian pupuk pada tanaman ubi kayu mutlak harus diberikan termasuk
pupuk organik ke dalam tanah untuk memperbaiki sifat fisik dan ketersediaan
unsur hara.
c. Setelah 2 minggu setelah tanam, maka stek yang tidak tumbuh atau stek yang
pertumbuhannya kurang baik harus segera dicabut dan diganti dengan stek
yang lain
d. Penyiangan dilakukan pada umur 1-1.5 bulan dan penyiangan kedua tanaman
berumur 3-4 bulan sambil dibumbun
e. Tunas yang tumbuh lebih dari dua buah pada setiap stek agar dibuang pada saat
penyiangan pertama
f. Pengairan dilakukan jika tanaman menunjukkan gejala kekeringan
Panen dan Pascapanen
Hasil yang diharapkan dalam pengembangan ubi kayu sebagai bahan baku
industri tapioka adalah ubi berkadar pati tinggi untuk meningkatkan efisiensi
industri. Oleh karena itu, kriteria yang harus dipenuhi dalam penentuan umur
panen adalah kadar pati optimal. Kadar pati optimal dicapai pada umur yang
bervariasi dan secara umum dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu umur:
(a) tujuh bulan (genjah), (b) sembilan bulan (sedang), dan (c) 10 bulan (dalam).
Kualitas pati tidak berubah walaupun panennya ditunda, sedangkan bobot ubi
meningkat sejalan dengan umur. Dengan demikian umur panen dapat disesuaikan
dengan kebutuhan industri tanpa mengkhawatirkan adanya penurunan kualitas
pati. Kondisi umur panen yang fleksibel tersebut memberikan gambaran adanya
potensi untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri, sehingga potensial
dikembangkan.
Ubi kayu akan rusak atau busuk dalam 2 – 5 hari sesudah panen apabila
tidak mendapat perlakuan pasca panen yang memadai, sehingga perlu segera
diolah secepat mungkin. Proses kerusakan yang cepat ini menyebabkan masalah
dalam pemasaran maupun penggunaan/pemanfaatan ubi kayu serta menghasilkan
susut lebih dari 25%. Susut yang terjadi pada ubi kayu dapat disebabkan oleh
faktor fisik, fisiologis, hama penyakit, atau kombinasi dari faktor – faktor tersebut.
Page 22
9
Susut fisik dapat terjadi akibat kerusakan mekanis selama pemanenan dan
penanganan, dan akibat perubahan suhu.
Tabel 2 Kegunaan ubi kayu dalam berbagai industria
Bagian
Tanaman
Bentuk
Produk
Penggunaan
pada
Industri
Lanjutan
Keterangan
Umbi Umbi Segar Berbagai
produk pangan
Pangan tradisional dan aneka
produk pangan olahan
Cassava
Chips/Pellets
Pakan ternak Sebagai bagian ransum pakan ternak
Alkohol Digunakan untuk memproduksi
alkohol pada industri minuman
beralkohol dan desinfektan
Gasohol Digunakan untuk memproduksi
etanol dan dicampur dengan bahan
bakar sebagai sumber energi
terbarukan
Cassava starch
(Tepung
Tapioka)
Makanan dan
Minuman
Dalam bentuk asli atau modifikasi
seperti mie instan, sagu, saus bumbu
dan minuman
Bahan pemanis Glukosa dan fruktosa sebagai bahan
pemanis industri minuman
Industri tekstil Membuat kain menjadi cemerlang
dan awet pada produksi benang
Industri kertas Dicampurkan dengan kertas agar
bubur kertas liat dan kental
Industri lem Untuk memproduksi lem dan
produk campuran lem
Industri kayu
lapis/tripleks
Digunakan dalam bentuk lem dari
tapioka (starch) agar tripleks
berkualitas, tebal, dan awet
Industri obat Digunakan sebagai bahan
pelunak/pencair kapsul dan pil
Monosodium
glutamate
Untuk memproduksi MSG sebagai
bumbu makanan
Bio-
Degradable
Material
Products
Starch diubah ke dalam bentuk
produk sebagai bahan bio
degradable dalam plastik
Daun Pakan Sebagai bahan baku pakan yang
dapat meningkatkan protein dan
warna telur
Batang Bahan bakar Sebagai sumber bahan bakar
(briket) di wilayah perdesaan aSumber : Suwarto (2005)
Page 23
10
Susut fisiologis terutama disebabkan oleh air, enzim, dan respirasi. Faktor
hama-penyakit mencakup mikro-organisme (jamur, bakteri, dan virus) serta
serangga, hama, dan lainnya. Susut jumlah lebih mudah diidentifikasi dan
dihitung, akan tetapi susut mutu lebih sulit ditetapkan dan kemungkinan
menghasilkan produk yang tidak dapat digunakan sebagai konsumsi manusia lagi
(Barret dan Damardjati, 1985).
Ubi kayu adalah tanaman dengan banyak kegunaan, terutama bagian umbi
yang merupakan komponen hasil terpenting. Umbi ubi kayu dalam berbagai
bentuk tidak hanya dapat dikonsumsi sebagai bahan pangan, tetapi dapat
digunakan juga sebagai bahan baku agroindustri, pakan ternak, dan lain-lain. Pada
Tabel 2 disampaikan bagian tanaman ubi kayu dan kegunaannya yang dapat
digunakan sebagai bahan sosialisasi. Selain itu, umbi ubi kayu dapat juga dibakar
menjadi arang yang dapat digunakan sebagai sumber energi tanpa asap.
Keragaan Industri Tapioka di Indonesia
Industri Kecil dan Menengah
Simanjuntak (2010) mengatakan bahwa IKM adalah industri yang
memiliki jumlah tenaga kerja yang terbatas2, bukan hanya dalam kuantitas
melainkan juga dalam kualitasnya. Berdasarkan penggolongannya, maka IKM
dapat digolongkan berdasarkan IKM modern dan IKM tradisional. IKM modern
menggunakan teknologi proses madia dan dilibatkan dalam proses produksi
industri besar. Sedangkan IKM tradisional menggunakan teknologi yang
sederhana dan pemasarannya sangat terbatas. Pembagian IKM juga dapat
dilakukan berdasarkan beberapa kriteria lainnya, misalkan dengan
menggolongkannya berdasarkan modal yang dimilikinya.
Definisi yang didapat sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008
tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) :
a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha dengan aset maksimal 50 juta
rupiah dan omzet maksimal 300 juta rupiah.
b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah
atau usaha besar yang memenuhi kriteria. Kriteria Usaha Kecil yaitu memiliki
asset antara 50 juta rupiah sampai 500 juta rupiah dan menghasilkan omzet 300
juta rupiah sampai dengan 2,5 Milliar rupiah.
c. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha
besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan
sebagaimana diatur dalam undang-undang. Kriteria Usaha Menengah yaitu
2 Menurut BPS, Industri kecil adalah industri yang memiliki jumlah tenaga kerja antara 5 – 19 orang dan
industri menengah adalah industri yang memiliki tenaga kerja antara 20 – 100 orang.
Page 24
11
memiliki asset antara 500 juta rupiah sampai 10 Milliar rupiah dan
menghasilkan omzet 2,5 Milliar sampai 50 Milliar rupiah.
Gambaran Umum Tapioka
Ubi kayu merupakan bahan baku berbagai produk industri seperti industri
makanan, farmasi, tekstil dan lain-lain. Industri makanan dari ubi kayu cukup
beragam mulai dari makanan tradisional seperti getuk, timus, keripik, gemblong,
dan berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih lanjut. Dalam
industri makanan, pengolahan ubi kayu, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu
hasil fermentasi ubi kayu (tape/peuyem), ubi kayu yang dikeringkan (gaplek) dan
tepung singkong atau tepung tapioka.
“Pati” (bahasa Inggris starch) adalah penyusun (utama) tepung. Tepung bisa
jadi tidak murni hanya mengandung pati, karena tercampur dengan protein,
pengawet, dan sebagainya. Tepung beras mengandung pati beras, protein, vitamin,
dan lain-lain bahan yang terkandung pada butir beras. Kata „tepung‟ lebih
berkaitan dengan komoditas ekonomis. Pati digunakan sebagai bahan yang
digunakan untuk memekatkan makanan cair seperti sup dan sebagainya. Dalam
industri, pati dipakai sebagai komponen perekat, campuran kertas dan tekstil, dan
pada industri kosmetik.
Penggunaan tapioka pertama kali diduga berasal dari Amerika Selatan. Kata
tapioka berasal dari bahasa Brasil, tipi’oka, yang berarti makanan dari singkong.
Tapioka baru dikenal di kalangan ibu rumah tangga Indonesia pada tahun 1980-
an, ketika pemerintah mulai menggalakkan program penganekaragaman pangan.
Tapioka sering diolah menjadi sirop glukosa dan dekstrin yang sangat diperlukan
sebagai bahan baku oleh berbagai industri, antara lain industri kembang gula,
pengalengan buah, pengolahan es krim, minuman, dan industri peragian.
Tabel 3 Kandungan unsur gizi pada ubi kayu dan tepung tapioka/100 g bahana
Kandungan Unsur Gizi Singkong Putih Singkong Kuning Tepung Tapioka
Kalori (kal) 146.00 157.00 362.00
Protein (g) 1.20 0.80 0.50
Lemak (g) 0.30 0.30 0.30
Karbohidrat (g) 34.70 37.90 86.90
Kalsium (mg) 33.00 33.00 0.00
Fosfor (mg) 40.00 40.00 0.00
Zat Besi (mg) 0.70 0.70 0.00
Vitamin A (SI) 0.00 385.00 0.00
Vitamin B1 (mg) 0.06 0.06 0.00
Vitamin C (mg) 30.00 30.00 0.00
Air (g) 62.50 60.00 12.00 aSumber : Direktorat Gizi RI
Selain itu, tapioka juga digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi,
dan bahan pengikat dalam industri pangan, seperti dalam pembuatan puding, sup,
makanan bayi, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain sebagainya.
Page 25
12
Pada industri pangan dan industri tekstil, tapioka banyak digunakan sebagai bahan
baku pewarna putih alami. Pada Tabel 3 disajikan data mengenai kandungan gizi
tepung tapioka. Karena kandungan gizinya yang tidak berbeda jauh dibandingkan
tepung terigu, tapioka sedang giat digalakkan sebagai bahan pengganti tepung
terigu pada pembuatan kue yang tidak memerlukan pengembangan, seperti pada
pembuatan kue kering.
Gambaran Umum Industri Kecil Tapioka
Industri tapioka di Indonesia terbagi menjadi industri berkapasitas kecil,
menengah dan besar yang beroperasi secara nasional. Industri tapioka skala kecil
adalah industri yang menggunakan teknologi proses dan peralatan tradisional
dengan kemampuan produksi sekitar 5 ton bahan baku per hari. Industri tapioka
skala menengah adalah industri yang menggunakan teknologi proses dan peralatan
yang lebih sederhana dibandingkan industri skala besar serta mempunyai
kemampuan produksi 20 – 200 ton bahan baku per hari. Industri tapioka skala
besar adalah industri yang menggunakan teknologi proses produksi mekanis
penuh dan mempunyai kemampuan produksi di atas 200 ton bahan baku per hari.
Dilihat dari proses pengolahan, industri tapioka digolongkan dalam dua
kelompok. Kelompok pertama industri kecil menggunakan mesin-mesin
sederhana dengan kapasitas produksi rendah, modal kecil dan lebih banyak
menggunakan tenaga kerja, dan kelompok kedua merupakan industri besar yang
menggunakan mesin-mesin dengan kapasitas produksi besar, modal kuat dan
tenaga kerja sedikit. Industri tapioka skala kecil pada penelitian ini merupakan
industri yang menggunakan teknologi tradisional, yaitu industri pengolahan
tapioka yang menggunakan peralatan produksi teknologi mekanik yang sederhana
dan masih mengandalkan sinar matahari dalam tahap pengeringannya.
Tahapan proses produksi industri tapioka skala kecil adalah tahap proses
pengupasan bahan baku, pencucian bahan baku, pemarutan ubi kayu, proses
ekstraksi bubur ubi kayu, proses pengendapan dalam bak pengendapan, proses
penjemuran menggunakan panas matahari, proses penggilingan tapioka kasar dan
pengayakan hingga diperoleh tapioka halus. Skema proses produksi tepung
tapioka pada industri kecil dapat dilihat pada Gambar 2.
Proses Pembuatan Tapioka
Pada industri tepung tapioka, teknologi yang digunakan dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
Tradisional, yaitu industri pengolahan tapioka yang masih mengandalkan sinar
matahari dan produksinya sangat tergantung pada musim.
Semi Modern yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin
pengering (oven) dalam melakukan proses pengeringan.
Full Otomate yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin dari
proses awal sampai produk jadi. Industri tapioka yang menggunakan peralatan
full otomate ini memiliki efisiensi tinggi, karena proses produksi memerlukan
tenaga kerja yang sedikit, waktu lebih pendek dan menghasilkan tapioka
berkualitas.
Pada proses produksi tapioka, selain menghasilkan tepung, pengolahan
tapioka juga menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. limbah
padat seperti kulit ubi kayu dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak dan pupuk,
Page 26
13
sedangkan onggok (ampas) dapat digunakan sebagai sebagai bahan baku pada
industri pembuatan saus, campuran kerupuk, obat nyamuk dan pakan ternak.
Ubi Kayu
Penjemuran
Pengupasan
Pencucian
Penggilingan
Pengayakan
Tepung Tapioka Kasar
Pemarutan
Ekstraksi /
Penyaringan
Pengendapan
Sisa kulit
Limbah Cair Air
Air Ampas
Tepung Tapioka Halus
Limbah Cair
Gambar 2 Skema pembuatan tapioka pada industri skala kecil Sumber : Supriati (2009)
Page 27
14
Limbah cair dapat dimanfaatkan untuk pengairan sawah dan ladang, selain
itu limbah cair pengolahan tapioka dapat diolah menjadi minuman nata de
cassava3. Peluang pasar untuk tapioka cukup potensial baik pasar dalam negeri
maupun luar negeri. Permintaan dalam negeri terutama berasal dari wilayah Pulau
Jawa seperti Bogor, Tasikmalaya, Indramayu. Sementara permintaan pasar luar
negeri berasal dari beberapa negara ASEAN dan Eropa.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas
Tepung tapioka sebagai produk awetan singkong merupakan komoditas
ekspor andalan sejak perang dunia II. Namun, kemudian semakin merosot karena
kualitas yang tidak memenuhi persyaratan yang berlaku. Beberapa hal yang
merupakan dasar penentuan kualitas tepung tapioka adalah tingkat (derajat)
keputihan, tingkat kehalusan (mesh), kadar air tersisa, dan kandungan pati
(rendemen) dari bahan baku ubi kayu.
a. Tingkat Keputihan
Tingkat keputihan tapioka dipengaruhi oleh penentuan/pemilihan bahan
baku, proses pembuatan, kualitas air yang digunakan selama proses pembuatan,
tingkat kebersihan proses produksi, volume pencucian tepung basah (sebaiknya
4-6 kali), pengemasan dan penyimpanan (paling baik di tempat kedap udara
dan air), terbebas dari bau tak sedap, dan penggunaan bahan pemutih (Barium
Sulfat konsentrasi 2%)
b. Tingkat Kehalusan (Mesh)
Tepung tapioka yang dibuat secara manual biasanya agak kasar karena
menggunakan ayakan dengan ukuran yang kurang sesuai (80 mesh). Tingkat
kehalusan tepung ditentukan oleh ukuran ayakan dengan satuan ukuran mesh.
Industri kecil biasanya menggunakan ayakan dari kain sifon.
c. Kadar Air Tersisa
Kadar air yang tersisa umumnya berkisar anatara 12 – 15%. Pengeringan
dengan sinar marahari menghasilkan tepung tapioka dengan tingkat kekeringan
rendah daripada pengeringan dengan mesin (oven atau blower). Setelah
pengeringan, kadar air tepung tapioka dapat berubah karena menyerap air dari
udara, tercemar air, maupun embun. Kadar air di atas 15% menyebabkan
tepung tapioka menjadi lembap sehingga cepat rusak (menjadi asam, ditumbuhi
jamur, menggumpal, dan lain-lain).
d. Rendemen Tepung Tapioka
Pada proses pembuatan tepung tapioka dapat dicapai rendemen 25%,
artinya setiap 100 kg ubi kayu dapat dihasilkan tepung tapioka sebanyak 25 kg.
Beberapa hal yang mempengaruhi pencapaian rendemen tersebut adalah umur
kurang dari 9 bulan; mesin/alat parut kurang baik sehingga parutan kurang
halus, proses pemerasan kurang sempurna sehingga tidak seluruh bagian
tepung terekstraksi, dalam proses pemisahan tepung tapioka dengan airnya
banyak tepung yang terbuang, kualitas bahan baku ubi kayu kurang baik atau
banyak bagian yang rusak dan terbuang, dan terlalu lama menunggu waktu
3 Proses Pengolahan Nata De Cassava. 2011. kabar-agro.blogspot.com. [diakses pada 26 Maret
2013]
Page 28
15
pemarutan sehingga singkong yang sudah dikupas menjadi rusak dan berwarna
kecoklatan dengan noda biru, hijau, dan hitam yang dapat meyebabkan warna
tepung tapioka menajdi tidak putih.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Simpan
Daya simpan produk tepung tapioka dipengaruhi oleh kadar air dan
pengemasan. Kadar air tepung tapioka yang diharapkan adalah 8% karena dalam
kondisi ini tepung tapioka lebih tahan lama dalam penyimpanan. Kadar air tepung
tapioka selama penyimpanan sangat berkaitan dengan pengemasan. Pada
umumnya, tepung tapioka hanya dikemas dalam karung goni berlubang-lubang
kecil yang dapat ditembus dengan mudah oleh mikroba, air, debu, dan kotoran,
serta mudah terpengaruh oleh kelembapan udara sekitarnya. Bahan pengemas
yang digunakan sebaiknya kedap air dan kedap udara seperti kantung plastik dan
tertutup rapat.
Struktur Biaya, Pendapatan, dan Nilai Tambah Industri Kecil Tapioka
Persoalan pokok yang menghambat perkembangan industri berbasis ubi
kayu adalah kesenjangan nilai tambah antara hulu dengan hilir. Petani tidak
mendapatkan insentif yang memadai dari usahatani ubi kayu. Di sisi lain, pasar
dalam negeri masih diisi oleh produk hilir dari luar negeri. Penyelesaian filosofis
adalah bagaimana menekan biaya produksi di hulu dan membentuk nilai tambah
di hilir (Bantacut, 2010). Dengan demikian, petani akan mendapatkan keuntungan
ganda dari penghematan biaya dan “pengembalian” dari nilai tambah.
Purba (2002) menganalisis mengenai pendapatan dan nilai tambah pada
industri kecil tapioka di Desa Ciparigi Kabupaten Bogor. Rendemen tapioka yang
dihasilkan sebesar 22% dan 5% untuk ampas. Penerimaan dari tapioka rata-rata
Rp57 948 000/tahun dan Rp3 733 200/ tahun dari ampas. Sehingga total
penerimaan rata-rata Rp61 681 200/ tahun. R/C pengeluaran total sebesar 1.096,
sedangkan R/C pengeluaran tunai yaitu sebesar 1.26. Industri kecil tapioka
mencapai impas setelah memproduksi 91.64 ton tapioka atau memperoleh
penerimaan sebesar Rp13 718 537. Industri tapioka mampu memberikan nilai
tambah sebesar Rp98 753 per kg ubi kayu, sedangkan rasio nilai tambah yaitu
sebesar 24.15%. Proporsi terbesar dari nilai tambah adalah untuk pendapatan
tenaga kerja. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu analisis pendapatan dihitung
tidak berdasarkan biaya tunai dan biaya diperhitungkan, melainkan biaya tetap
dan biaya variabel.
Pohan (2011) melakukan penelitian mengenai pendapatan usahatani,
pemasaran, dan nilai tambah terhadap ubi kayu di Desa Cikeas, Kabupaten Bogor.
Pendapatan atas biaya tunai pada petani pemilik di Desa Cikeas MT 2009/2010
adalah sebesar Rp 12.932.506 per hektar dan pendapatan atas biaya total adalah
Rp 6.301.356 per hektar, sedangkan pendapatan atas biaya tunai pada petani
penggarap adalah sebesar Rp3.786.722 per hektar dan pendapatan atas biaya total
adalah Rp 1.572.095 per hektar. Nilai R-C rasio atas biaya tunai untuk petani
pemilik adalah 3,81 dan R-C rasio atas biaya total adalah 1,56, sedangkan untuk
petani penggarap R-C rasio atas biaya tunai adalah 1,45 dan R-C rasio atas biaya
total adalah 1,15. Hal tersebut menunjukkan usahatani yang dilakukan oleh petani
Page 29
16
pemilik dan penggarap sama-sama menguntungkan dan efisien. Rata-rata nilai
tambah ubi kayu per proses produksi tapioka adalah sebesar Rp359,- per kilogram
bahan baku ubi kayu. Proporsi terbesar dari nilai tambah sebesar 54.25% berasal
dari keuntungan produksi.
Sukandar (2000) menganalisis mengenai nilai tambah industri pengolahan
ubi kayu dengan membandingkan dua metode analisis. Kajian nilai tambah
dilakukan terhadap tiga produk utama olahan ubi kayu di Kabupaten Bondowoso,
yaitu tape, dodol, dan suwar-suwir. Berdasarkan perbandingan analisis nilai
tambah metode M. Dawam Rahardjo dengan metode Hayami didapatkan hasil
bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada hasil nilai tambah dengan
menggunakan kedua metode tersebut. Secara keseluruhan industri pengolahan ubi
kayu di Kecamatan Bondowoso mampu memberikan keuntungan bagi pengusaha.
Adanya tren peningkatan rata-rata nilai tambah menunjukkan nilai yang
cenderung meningkat yang akan berimplikasi pada kemampuan pengusaha untuk
menciptakan iklim usaha yang positif.
Larasati (1986) melakukan penelitian mengenai analisis finansial industri
tapioka di Desa Bojong, Kabupaten Sukabumi. Hasil identifikasi biaya dan
analisis harga pokok menunjukkan bahwa komponen biaya terbesar pembentuk
harga pokok tapioka halus dan tapioka kasar adalah biaya bahan baku, kemudian
diikuti oleh biaya overhead dan upah tenaga kerja langsung. Dari hasil
penghitungan ternyata dari harga pokok yang ditentukan, perusahaan
mendapatkan laba rata-rata sebesar 9.22% untuk tapioka kasar dan 11.94% untuk
tapioka halus. Pada saat penelitian dilakukan, tingkat produksi perusahaan 3 kali
lipat di atas break-evennya, sehingga meskipun perusahaan bekerja di bawah
kapasitas normal dan penggunaan bahan bakunya belum efisien, perusahaan
masih tetap mendapatkan keuntungan.
Rochaeni et al. (2007) mengkaji mengenai prospek pengembangan industri
kecil tapioka di Sukaraja Kabupaten Bogor. Dalam kajian pembahasan dilakukan
pembagian skala menjadi tiga, yaitu skala tinggi (5000 kg ubi kayu/hari), skala
sedang (2500 kg ubi kayu/hari), dan skala rendah (300 kg ubi kayu/hari). Skala
tinggi memproduksi 240 000 kg tapioka per tahun dan produk sampingan 66 667
kg per tahun. Skala menengah menghasilkan tapioka 126 000 kg tapioka per tahun
dan ampas 33 333 kg per tahun, sedangkan skala rendah memproduksi 15 840 kg
tapioka per tahun dan ampas 4 000 kg per tahun. R/C ratio industri tapioka skala
tinggi, menengah, dan kecil secara berturut-turut adalah 1.24 , 1.28 , dan 1.07.
Berdasarkan matriks analisis SWOT, industri kecil tapioka saat ini memiliki
tingkat penjualan dan distribusi yang belum kuat. Selain itu, analisis nilai
profitabilitas menunjukkan bahwa industri kecil tapioka tidak memiliki tingkat
pengembalian modal yang baik.
Analisis pendapatan yang dilakukan terhadap industri pengolahan ubi kayu
menghasilkan nilai R/C ratio lebih dari 1 yang berarti usaha pengolahan masih
mendatangkan penerimaan yang positif bagi pelaku usahanya. Selain itu,
rendemen yang dapat dihasilkan oleh industri pengolahan tapioka dari hasil
penelitian sebelumnya masih di atas 20% sehingga industri pengolahan masih
mampu memproduksi tepung tapioka dengan cukup optimal. Analisis nilai tambah
dari industri-industri pengolahan ubi kayu sangat berbeda, baik jumlah rasio nilai
tambah maupun persentase kontribusi margin. Hal tersebut tergantung pada
seberapa besar nilai output yang didapatkan, harga bahan baku, dan keadaan
Page 30
17
input-input lain yang ikut mendukung produksi, sehingga pada penelitian ini
diharapkan keadaan positif yang serupa.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Biaya
Hafsah (2003) mengungkapkan bahwa biaya produksi adalah semua
pengeluaran yang digunakan di dalam mengorganisasikan dan melaksanakan
proses produksi (termasuk di dalamnya modal, input-input, dan jasa-jasa yang
digunakan dalam produksi). Klasifikasi biaya usaha menurut Soekartawi yaitu
biaya tetap, biaya tidak tetap, biaya tunai, dan biaya tidak tunai (biaya
diperhitungkan).
Biaya tetap tidak akan berubah pada tingkat di mana dalam jangka pendek
produksi berubah tetapi akan berubah dalam jangka panjang sebagaimana
jumlah dari biaya tetap berubah. Sepanjang tidak dibutuhkan suatu input tetap
dalam jangka panjang, biaya tetap hanya akan berharga untuk jangka pendek
dan bernilai nol dalam jangka panjang.
Biaya Tidak Tetap (variable cost) yaitu biaya yang besar kecilnya dipengaruhi
oleh produksi yang diperoleh. Biaya tidak tetap berubah-ubah sesuai dengan
kebutuhan ouput. Contoh biaya tidak tetap yaitu biaya untuk sarana produksi
maupun untuk pembelian bahan baku.
Biaya Tunai didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk
pembelian barang dan jasa bagi keperluan usaha. Contoh biaya tunai dari biaya
tetap dapat berupa pajak tanah dan pajak air. Biaya tunai yang sifatnya variabel
antara lain berupa biaya untuk pemakaian input, sewa mesin, dan tenaga kerja
luar keluarga atau tenaga kerja upahan.
Biaya Tidak Tunai (diperhitungkan) didefinisikan sebagai nilai barang dan jasa
yang dibayar dengan benda atau berdasarkan kredit. Biaya diperhitungkan yang
termasuk biaya tetap antara lain sewa lahan, penyusutan alat-alat pertanian,
bunga kredit, dan lain-lain, sedangkan yang diperhitungkan dari biaya variabel
antara lain biaya untuk tenaga kerja, biaya pengupasan dan pengolahan tepung
dari keluarga.
Konsep Pendapatan
Pendapatan adalah selisih dari biaya yang dikeluarkan dengan penerimaan
suatu usaha. Konsep pendapatan ini sama dengan konsep laba menurut Lipsey
yakni selisih antara nilai penjualan perusahaan dengan biaya yang dikeluarkan
perusahaan untuk memproduksi barang yang dijual tersebut. Analisis pendapatan
mempunyai kegunaan bagi pemilik faktor produksi. Ada dua tujuan utama dari
analisa pendapatan, yakni menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha
dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan.
Jadi analisis pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur apakah kegiatan
usahanya pada saat ini berhasil atau tidak.
Page 31
18
Suatu kegiatan usaha dikatakan berhasil apabila situasi pendapatannya
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: cukup untuk membayar semua
pembelian sarana produksi (termasuk biaya angkutan dan administrasi yang
mungkin melekat pada pembelian tersebut), cukup untuk membayar bunga modal
yang ditanamkan (termasuk pembayaran sewa tanah dan dana depresiasi modal),
dan cukup untuk membayar upah tenaga kerja yang dibayar atau bentuk-bentuk
upah lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah.
Menurut Soekartawi (2002), terdapat beberapa ukuran pendapatan usaha,
antara lain sebagai berikut :
Pendapatan kotor usaha didefinisikan sebagai nilai produk total usaha dalam
jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual atau ukuran
hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usaha. Jangka waktu
pembukuan umumnya setahun dan mencakup semua produk yang dijual,
dikonsumsi rumah tangga pengusaha, digunakan dalam usaha, digunakan untuk
pembayaran, dan disimpan atau ada di gudang pada akhir tahun. Untuk
menghindari penghitungan ganda, maka semua produk yang dihasilkan
sebelum tahun pembukuan tetapi dijual atau digunakan pada saat pembukuan,
tidak dimasukkan ke dalam pendapatan kotor. Istilah lain dari pendapatan kotor
ialah nilai produksi (value of production) atau penerimaan kotor usaha (gross
return). Dalam menghitung pendapatan kotor, semua komponen produk yang
tidak dijual harus dinilai berdasarkan harga pasar.
Pengeluaran total usaha adalah didefinisikan sebagai nilai semua masukan
yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam produksi tetapi tidak termasuk
tenaga kerja keluarga. Seharusnya pengeluaran yang dihitung dalam tahun
pembukuan adalah yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk dalam tahun
pembukuan tersebut. Apabila data tersedia, maka cara yang dapat dilakukan
ialah memisahkan pengeluaran total usaha menjadi pengeluaran tetap dan
pengeluaran tidak tetap.
Apabila dalam suatu usaha digunakan mesin-mesin atau peralatan, harus
dihitung penyusutan yang dianggap sebagai pengeluaran tidak tunai.
Penyusutan merupakan nilai inventaris yang disebabkan oleh pemakaian
selama tahun pembukuan.
Pendapatan bersih usaha adalah selisih antara pendapatan kotor usaha dnegan
pengeluaran total usaha. Pendapatan bersih (net income) mengukur imbalan
yang diperoleh keluarga pengusaha dari penggunaan faktor-faktor produksi
kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang
diinvestasikan. Oleh sebab itu, pendapatan bersih usaha merupakan ukuran
keuntungan usaha yang dapat digunakan untuk membandingkan penampilan
beberapa usaha. Oleh karena bunga modal tidak dihitung sebagai pengeluaran,
maka pembandingan tidak dikacaukan oleh perbedaan hutang.
Penghasilan bersih usaha (net earnings) adalah pendapatan bersih dikurangi
bunga yang dibayarkan atas modal pinjaman. Ukuran ini menggambarkan
penghasilan yang diperoleh dari usaha untuk keperluan keluarga dan
merupakan imbalan terhadap semua sumberdaya milik keluarga yang dipakai
dalam usaha.
Page 32
19
Analisis Rasio Penerimaan - Biaya (R/C)
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan yang
mungkin dihasilkan dari setiap satu rupiah yang dikeluakan. Analisis ini juga
digunakan untuk melihat kelayakan suatu usaha. Bila R/C lebih besar dari 1, maka
usaha tersebut layak untuk dijalankan. Total penerimaan merupakan jumlah
keseluruhan dari penerimaan baik yang berasal dari penjualan maupun
penerimaan diperhitungkan, sedangkan total biaya adalah keseluruhan biaya yang
dikeluarkan dalam jangka waktu tertentu yang digunakan dalam proses produksi.
Konsep Nilai Tambah
Nilai tambah merupakan pertambahan nilai suatu komoditas karena
mengalami proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan dalam suatu proses
produksi. Menurut Hayami, et. al. (1987) definisi dari nilai tambah adalah
pertambahan nilai suatu komoditas karena adanya input fungsional yang
diberlakukan pada komoditi yang bersangkutan. Input fungsional tersebut berupa
proses pengubahan bentuk (form utility), pemindahan tempat (place utility),
maupun proses penyimpanan (time utility). Nilai tambah menggambarkan imbalan
bagi tenaga kerja, modal dan manajemen.
Konsep nilai tambah adalah suatu pengembangan nilai yang terjadi karena
adanya input yang diperlakukan pada suatu komoditas. Input yang menyebabkan
terjadinya nilai tambah dari suatu komoditas dapat dilihat dari adanya perubahan
perubahan pada komoditas tersebut, yaitu perubahan bentuk, tempat dan waktu.
Analisis Nilai Tambah Metode Hayami
Menurut Hayami et. al. (1987) menyatakan bahwa nilai tambah adalah
selisih antara komoditas yang mendapat perlakuan pada tahap tertentu dengan
nilai korbanan yang digunakan selama proses berlangsung. Sumber-sumber dari
nilai tambah tersebut adalah pemanfaatan faktor-faktor seperti tenaga kerja,
modal, sumberdaya manusia, dan manajemen. Pada kegiatan subsistem
pengolahan alat analisis yang sering digunakan adalah alat analisis nilai tambah.
Alat analisis ini dikemukakan oleh Hayami. Kelebihan dari alat analisis ini adalah
sebagai berikut :
1. Lebih tepat digunakan untuk proses pengolahan produk-produk pertanian
2. Dapat diketahui produktivitas produksinya (rendemen dan efisiensi tenaga
kerjanya)
3. Dapat diketahui balas jasa bagi pemilik-pemilik faktor produksi
4. Dapat dimodifikasi untuk nilai tambah selain subsistem pengolahan
Besaran nilai tambah yang dihasilkan dapat ditaksir besarnya balas jasa
yang diterima pemilik faktor produksi yang digunakan dalam proses perlakuan
tersebut. Dalam analisis nilai tambah, terdapat tiga komponen pendukung, yaitu
faktor konversi yang menunjukkan banyak output yang dihasilkan dari satu-satuan
input, faktor koefisien tenaga kerja yang menunjukkan banyaknya tenaga kerja
langsung yang diperlukan untuk mengolah satu-satuan input, dan nilai produk
yang menunjukkan nilai output yang dihasilkan dari satu-satuan input.
Analisis Titik Impas (Break Even Point)
BEP adalah cara untuk mengetahui volume penjualan minimum agar suatu
usaha tidak menderita rugi tetapi belum memperoleh laba atau laba = 0 (Mulyadi,
Page 33
20
1997). Tujuan ditetapkannya BEP adalah untuk mengetahui berapa jumlah produk
minimal yang harus diproduksi agar bisnis tidak rugi dan mengetahui berapa
harga terendah yang harus ditetapkan agar usaha tidak rugi. Analisis ini
merupakan peralatan yang berguna untuk menjelaskan hubungan antara biaya,
penghasilan, dan volume penjualan atau produksi, sehingga banyak digunakan
dalam penganalisaan masalah masalah ekonomi manajerial. Analisa break-even
menunjukkan berapa besar laba perusahaan yang akan diperoleh atau rugi yang
akan diderita pada berbagai tingkat volume yang berbeda-beda di atas dan di
bawah titik impas. Jika angka impas dihubungkan dengan angka pendapatan
penjualan yang dianggarkan atau pendapatan penjualan tertentu, akan diperoleh
informasi berupa volume penjualan yang dianggarkan atau pendapatan penjualan
tertentu boleh turun agar perusahaan tidak menderita rugi (Mulyadi 1997).
Menurut Riyanto (1997), dalam mebgadakan analisa break evem digunakan
asumsi-asumsi dasar sebagai berikut :
1. Biaya di dalam perusahaan dibagi dalam golongan biaya variabel dan golongan
biaya tetap.
2. Besarnya biaya variabel secara totalitas berubah-ubah secara proporsionil
volume produksi atau penjualan. Ini berarti bahwa biaya variabel per unitnya
adalah tetap sama.
3. Besarnya biaya tetap secara totalitas tidak berubah meskipun ada perubahan
volume produksi atau penjualan. Ini berarti bahwa biaya tetap per unitnya
berubah-ubah karena adanya perubahan volume kegiatan.
4. Harga jual per unit tidak berubah selama periode yang dianalisis.
5. Perusahaan hanya memproduksi satu macam produk. Apabila diproduksi lebih
dari satu macam produk atau “sales mix”-nya adalah tetap konstan.
Analisis titik impas secara grafis adalah sebagai berikut :
Gambar 3 Analisis BEP secara grafis Sumber : Mulyadi (1997)
Page 34
21
Pada Gambar 3, titik impas terjadi pada perpotongan antara Total Revenue
(TR) dan Total Cost (TC) yang ditunjukkan oleh titik output Y. Apabila tingkat
penjualan lebih kecil dari Y maka perusahaan akan mengalami kerugian, yang
berarti hasil penjualan tidak dapat menutupi biaya total yang telah dikeluarkan.
Perusahaan akan mendapat keuntungan jika penjualan lebih besar dari Y, artinya
hasil penjualan lebih besar dari biaya total yang telah dikeluarkan.
Kerangka Pemikiran Operasional
Industri kecil tapioka memiliki potensi yang cukup baik untuk
dikembangkan sebagai salah satu penyokong perekonomian di Kabupaten Bogor
Jawa Barat. Selain itu, adanya perubahan selera masyarkat membuat permintaan
tapioka sebagai salah satu bahan baku industri makanan meningkat baik secara
nasional maupun internasional. Hal ini jelas merupakan salah satu peluang pasar
yang harus dapat dipenuhi oleh produsen tapioka di Indonesia, khususnya di
daerah Kabupaten Bogor.
Desa Pasir Jambu adalah salah satu wilayah produksi tapioka dari beberapa
sentra produksi di Bogor. Keadaan iklim maupun ketersediaan bahan baku dan
sumberdaya produksi mempertahankan Desa Pasir Jambu sebagai desa yang
sebagian besar mata pencahariannya adalah sebagai pengrajin tapioka bahkan
sejak tahun 1980-an. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya usaha, banyak
permasalahan yang terjadi di industri kecil tapioka tersebut, yaitu minimnya
induksi teknologi, keterbatasan informasi dan akses pasar, inkontinyuitas bahan
baku, serta sumber daya lahan yang semakin sempit. Adanya kendala ini secara
tidak langsung berpotensi menurunkan penerimaan petani, sehingga pendapatan
yang diterima berkurang dari tahun-tahun sebelumnya.
Selain itu Jawa Barat terus mengalami peningkatan produktivitas ubi kayu,
namun luas panen ubi kayu terus menurun. Adanya peningkatan produktivitas
mengindikasikan bahwa telah adanya adopsi teknologi budidaya di tingkat petani
ubi kayu. Oleh karena itu penting untuk dikaji mengenai seberapa besar tingkat
profitabilitas para pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu dan seberapa besar nilai
tambah yang diberikan oleh industri kecil tapioka sesuai dengan kendala yang
ada sekarang serta menganalisis bagaimana prospek pengembangan usaha industri
kecil tapioka Jawa Barat di masa mendatang.
Analisis dilakukan dengan menggunakan dua macam analisis, yaitu analisis
kualitatif untuk membahas mengenai keragaan industri kecil tapioka Desa Pasir
Jambu dan statistik deskriptif untuk membahas prospek pengembangan industri
kecil tapioka. Analisis kuantitatif dilakukan untuk menghitung analisis
pendapatan, penerimaan, dan pengeluaran usaha, analisis titik impas, dan analisis
nilai tambah. Dari kesemua hasil analisis akan disajikan ulasan mengenai prospek
pengembangan usaha yang sesuai dengan peluang pasar, sehingga didapatkan
saran dan rekomendasi bagi para pengrajin industri kecil tapioka, penyuluh
pertanian, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah setempat. Kerangka
pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.
Page 35
22
Gambar 4 Kerangka pemikiran operasional
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2013
hingga Juni 2013. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) dengan
pertimbangan bahwa Kecamatan Sukaraja merupakan salah satu daerah sentra
produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor dan Desa Pasir Jambu adalah salah satu
daerah penghasil tepung tapioka di Kecamatan Sukaraja.
Adanya potensi dan peluang usaha yang baik
industri kecil tapioka di Jawa Barat
Kendala industri kecil tapioka saat ini yaitu
minimnya induksi teknologi, keterbatasan
informasi dan akses pasar, inkontinyuitas bahan
baku yang berpotensi mengurangi penerimaan
dan nilai tambah pengrajin tapioka
Keragaan industri kecil tapioka
Desa Pasir Jambu
Desa Pasir Jambu sebagai salah
satu tempat produksi tapioka di
Kab. Bogor
Analisis Pendapatan Usaha
Analisis Titik Impas
Analisis Nilai Tambah
Prospek pengembangan usaha
sesuai dengan peluang pasar
dan ketersediaan input
Saran dan rekomendasi
Page 36
23
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan wawancara langsung,
wawancara terstruktur, dan observasi. Teknik mengumpulkan data tersebut
digunakan untuk mengumpulkan data primer. Sedangkan untuk data sekunder,
teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi literatur dan sumber
internet. Dari keseluruhan kelompok tani yang ada di Desa Pasir Jambu,
wawancara hanya dilakukan pada 4 kelompok tani yaitu Kelompok Tani Matahari
Terbit 1, Matahari Terbit 2, Matahari Terbit 3, dan Kelompok Wanita Tani Karya
Bersama. Kelompok tani ini dipilih secara sengaja karena seluruh anggota
merupakan pelaku industri kecil tapioka dan sebagian merupakan petani yang
menanam komoditi ubi kayu. Penentuan petani responden dilakukan dengan
mengambil sampel dari petani yang masih aktif melakukan kegiatan pengolahan
tapioka hingga saat penelitian dilakukan. Jumlah responden yaitu 6 orang pemilik
faktor produksi dan 11 orang pengrajin tapioka penggarap. Selain itu, peneliti juga
mengambil data dari informan yang merupakan pihak eksternal dari industri kecil
tapioka tersebut, seperti aparatur pemerintah setempat, penyuluh pertanian,
asosiasi pengusaha tapioka, dan lembaga pemasaran tapioka.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder, baik data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer
diperoleh melalui pengamatan langsung (observasi), wawancara langsung dan
pengisian kuisioner yang diajukan kepada responden. Data sekunder didapatkan
melalui literatur-literatur yang relevan seperti buku, jurnal penelitian. website,
Badan Pusat Statistika Kota Bogor, perpustakaan, dan instansi yang bersedia
membantu untuk ketersediaan data.
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam
penelitian. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
pengamatan langsung (observasi) dan metode wawancara terstruktur melalui
daftar pertanyaan yang diisi langsung oleh peneliti sesuai dengan hasil wawancara
yang diperoleh dari responden. Pengamatan langsung dilakukan dengan
mengamati aktivitas pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka yang dilakukan
oleh petani setempat di Desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten
Bogor. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada data kuantitatif dalam bentuk
tabulasi dengan bantuan aplikasi Microsoft Excel 2007. Analisis data dalam
penelitian ini dibagi atas analisis kuantitatif berupa analisis penerimaan usaha,
pengeluaran usaha, pendapatan usaha, analisis titik impas, dan analisis nilai
tambah, sedangkan analisis kualitatif berupa statistik deskriptif mengenai prospek
pengembangan industri kecil tapioka.
Page 37
24
Analisis Pendapatan
Pendapatan industri kecil tapioka dianalisis dengan menggunakan
pendekatan arus pengeluaran dan arus penerimaan. Arus penerimaan terdiri dari
penerimaan dari produk yang dijual dan penerimaan dari produk yang dikonsumsi
sendiri, namun tetap diperhitungkan. Arus pengeluaran terdiri dari pengeluaran
tunai dan pengeluaran yang diperhitungkan.
Struktur Penerimaan Usaha
Penerimaan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan
harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut:
TR = Y. Py ………………………………...(1)
yaitu:
TR = Total penerimaan
Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani
Py = Harga Y (Harga Output)
Struktur Biaya Usaha
Biaya biasanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu Biaya Tetap (fixed
cost) dan Biaya Tidak Tetap. Biaya Tetap (fixed cost) yaitu biaya yang
penggunaanya tidak habis dalam satu masa produksi. Besarnya biaya tetap
tidak tergantung pada jumlah output yang diproduksi dan tetap harus
dikeluarkan walaupun tidak ada produksi. Komponen biaya tetap antara lain
seperti sewa tanah, pajak, peralatan, dan iuran irigasi. Cara menghitung biaya
tetap adalah :
FC = XiPxi …………………………………(2)
Dimana,
FC = fixed cost (biaya tetap)
Xi = Jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap
Pxi = Harga input
n = Macam input
Biaya Tidak Tetap (variable cost) yaitu biaya yang besar kecilnya
dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Contohnya biaya untuk sarana
produksi. Rumus (2) juga dapat digunakan untuk menghitung biaya variabel.
Karena total biaya (TC) merupakan penjumlahan dari biaya tetap (FC) dan
biaya tidak tetap (VC), yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
TC = FC + VC …………………………….(3)
Dimana,
TC = Total biaya
FC = Biaya tetap
VC = Biaya variabel
Selain itu, terdapat cara untuk menghitung biaya penyusutan yaitu :
Straight Line, yaitu pembagian nilai awal setelah dikurangi nilai akhir oleh
waktu pemakaian (expected life). Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa
nilai benda yang digunakan dalam usaha akan menyusut dalam besaran yang
sama setiap tahunnya atau selalu sama sepanjang tahun. Metode ini dianggap
sebagai metode yang termudah, secara matematis penyusutan dirumuskan
sebagai:
D = -
…………………………….(4)
Page 38
25
Dimana,
D = Penyusutan (Rp)
HAw = Nilai awal barang (Rp)
HAk = Nilai akhir barang (Rp), diasumsikan bernilai nol
Wp = waktu pakai (tahun)
Pendapatan Usaha
Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Jadi :
Pd = TR – TC ……………………………...(5)
Dimana,
Pd = Pendapatan usaha
TR = Total penerimaan
TC = Total biaya
Analisis R/C Ratio
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan yang
mungkin dihasilkan dari setiap satu rupiah yang dikeluakan. Analisis ini juga
digunakan untuk melihat kelayakan suatu usaha. Bila R/C lebih besar dari 1, maka
usaha tersebut layak untuk dijalankan. Total penerimaan merupakan jumlah
keseluruhan dari penerimaan baik yang berasal dari penjualan maupun
penerimaan diperhitungkan, sedangkan total biaya adalah keseluruhan biaya yang
dikeluarkan dalam jangka waktu tertentu yang digunakan dalam proses produksi.
R/C rasio =
Analisis Titik Impas (Break Even Point)
BEP adalah cara untuk mengetahui volume penjualan minimum agar suatu
usaha tidak menderita rugi tetapi belum memperoleh laba atau laba = 0 (Mulyadi
1997). Tujuan ditetapkannya BEP adalah untuk mengetahui berapa jumlah produk
minimal yang harus diproduksi agar bisnis tidak rugi dan mengetahui berapa
harga terendah yang harus ditetapkan agar usaha tidak rugi.
BEP (Unit) = Total Biaya Tetap / (harga jual per unit – biaya variabel per unit)
BEP (Rp) = Total Biaya Tetap / (1- Total Biaya Variabel/Total Penjualan)
Dalam menentukan harga yang dipakai untuk perhitungan BEP, maka perlu
dibuat harga konversi, karena ada dua jenis output dengan tingkat harga yang
berbeda.
Jumlah tepung tapioka per kuintal bahan baku = A kg
Harga tepung tapioka per kg = Rp B
Jumlah onggok per kuintal bahan baku = C kg
Harga onggok per kg = Rp D
Maka harga konversi yaitu =
Page 39
26
Analisis Nilai Tambah
Analisis nilai tambah dipandang sebagai usaha untuk melaksanakan prinsip-
prinsip distribusi dan berfungsi sebagai salah satu indikator dalam keberhasilan
suatu kegiatan produksi. Dalam menganalisis nilai tambah yang diperoleh dari
industri kecil tapioka ini digunakan metode Hayami seperti yang disajikan pada
tabel 4. Metode ini digunakan karena metode ini dapat digunakan dalam
menganalisis nilai tambah pada sub sistem pengolahan atau produksi sekunder.
Tabel 4 Tahapan perhitungan nilai tambah Metode Hayamia
Komponen Perhitungan
Output, Input, dan Harga Jumlah
A. Output (Ku/Th)
Tapioka Kasar
Onggok
B. Input (Ku/Th)
C. Tenaga Kerja (HOK/Th)
D. Faktor Konversi A/B
Tapioka Kasar
Onggok
E. Koefisien Tenaga Kerja C/B
F. Harga Produk (Rp/Ku)
Tapioka Kasar
Onggok
G. Upah Tenaga Kerja (Rp/HOK)
Penerimaan dan Keuntungan
H. Harga Bahan Baku (Rp/Ku)
I. Harga Input Lain (Rp/Ku)
J. Nilai Output (Rp/Ku) DxF
Tapioka Kasar
Onggok
K. Nilai Tambah (Rp/Ku) J-H-I
L. Rasio Nilai Tambah K/J
M. Pendapatan TK (Rp/Ku) ExG
N. Pangsa TK M/K
O. Keuntungan (Rp/Ku) K-M
P. Tingkat Keuntungan O/J
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
Q. Margin (Rp/Ku) J-H
R. Pendapatan TK M/Q
S. Sumbangan Input Lain I/Q
T. Keuntungan O/Q aSumber : Hayami et al. 1993
Page 40
27
Distribusi nilai tambah berhubungan dengan teknologi yang diterapkan
dalam proses pengolahan, kualitas tenaga kerja berupa keahlian dan keterampilan,
serta kualitas bahan baku. Apabila penerapan teknologi cenderung padat karya
maka proporsi bagian tenaga kerja yang diberikan lebih besar daripada proporsi
bagian keuntungan bagi perusahaan, sedangkan apabila diterapkan teknologi padat
modal maka besarnya proporsi bagian manajemen lebih besar daripada proporsi
bagian tenaga kerja.
GAMBARAN UMUM
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Kondisi Umum Desa Pasir Jambu
Desa Pasir Jambu merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan
Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Luas wilayah desa ini 215 Ha yang
terdiri dari 60 Ha tanah sawah dan ladang. Wilayah Desa Pasir Jambu sebelah
utara dibatasi oleh Kelurahan Karadenan, Kecamatan Cibinong; sebelah timur
dibatasi oleh Desa Cimandala Kecamatan Sukaraja dan Kelurahan Ciparigi
Kotamadya Bogor; sebelah selatan dibatasi oleh Kelurahan Ciparigi dan
Kelurahan Kedunghalang; dan sebelah barat desa ini dibatasi oleh Sungai
Ciliwung, Desa Cilebut Timur Kecamatan Sukaraja. Ketinggian tanah dari
permukaan laut yaitu 750 m dengan suhu udara rata-rata 20-32°C.
Tabel 5 Spesifikasi kelompok tani Karya Bersama Desa Pasir Jambu
Jumlah penduduk desa ini sebanyak 12 540 jiwa dengan jumlah penduduk
laki-laki sebesar 6 330 jiwa dan perempuan 6 120 jiwa. Dari banyak jumlah
penduduk tersebut, sebagian besar masih bekerja sebagai pegawai swasta.
Meskipun begitu, Desa Pasir Jambu tergolong cukup baik dalam pengelolaan
pertaniannya dilihat dari banyaknya petani yang bergabung dalam Gabungan
Kelompok Tani Bidang Jumlah Orang
Karya Bersama Lele Dumbo dan Kambing 35
Barokah Tanaman pangan dan perkebunan 25
Darussalam Tanaman Hias
Matahari Terbit I
Matahari Terbit II
Matahari Terbit III
Matahari Terbit IV
Matahari Mandiri
Industri kecil tapioka 53
KWT Karya Bersama Budidaya ikan dan hortikultura 10
KWT Kenanga Tanaman Hias
KWT Mawar I dan II Pembuatan kue bagi rumah tangga
olahan dari tapioka
Page 41
28
Kelompok Tani Karya Bersama. Adanya hasil pertanian secara kontinyu direspon
oleh sebagian penduduk Desa Pasir Jambu dengan mendirikan industri-industri
kecil pengolahan hasil pertanian sebanyak 7 industri skala menegah ke atas, 14
industri kecil, dan 9 industri skala rumah (home industry). Sebagian besar industri
tersebut bergerak dalam pengolahan tepung tapioka.
Desa Pasir Jambu memiliki sebuah gabungan kelompok tani yang terdiri
dari 11 kelompok tani. Gapoktan tersebut yaitu Gapoktan Karya Bersama yang
telah memiliki LKM-A (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis) dan sebuah
Koperasi Wanita Tani Kenanga yang secara bersamaan disahkan pada tahun 2009.
Dari Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa di Gapoktan Karya Bersama terdapat
berbagai macam bidang yang diusahakan, yaitu antara lain perikanan berupa
budidaya lele dumbo, peternakan kambing, budidaya tanaman pangan seperti
padi, jagung, dan ubi kayu, budidaya tanaman hias, industri kecil tapioka, dan
pengolahan ampas tapioka. Jumlah keseluruhan dari anggota Gapoktan Karya
Bersama yaitu 123 anggota.
Karakteristik Industri Kecil Tapioka
Sejarah dan Perkembangan
Industri kecil tapioka banyak tersebar di berbagai kecamatan di Kabupaten
Bogor, khususnya daerah yang memiliki curah hujan rendah dan hari hujan yang
sedikit. Salah satu daerah industri kecil tapioka yaitu Desa Pasir Jambu
Kecamatan Sukaraja. Menurut keterangan pengrajin tapioka setempat, industri
kecil tapioka sudah ada pada tahun 1980-an, di mana nenek moyang sudah
mengenal teknik pembuatan aci kasar tersebut. Hal ini disebabkan cuaca setempat
yang mendukung budidaya ubi kayu secara optimal sehingga tersedia bahan baku
yang melimpah untuk diproduksi.
Selain itu pemakaian tapioka yang semakin meningkat di masyarakat
membuat pengrajin tapioka mulai memproduksi dalam jumlah besar. Dalam
melakukan produksi, pada umumnya pengrajin mengikutsertakan anggota
keluarga yang lainnya seperti istri dan anak untuk dapat mempercepat waktu kerja
dan mempermudah pekerjaan. Oleh karena itu, pekerjaan sebagai pengrajin
tapioka dapat disebut sebagai pekerjaan yang dilakukan secara turun temurun
hingga sekarang.
Pada saat itu permintaan pasar akan tepung tapioka cukup besar seiring
dengan pertumbuhan perekonomian nasional dengan Program Repelita yang
dicanangkan oleh Pemerintah, bahkan permintaan pasar dunia akan tepung
tapioka yang sebagian besar untuk bahan baku industri makanan itu juga
meningkat pesat. Dengan adanya kondisi seperti itu, industri kecil tapioka tumbuh
dengan pesat di Jawa Barat, terutama di Kabupaten Bogor. Saat ini bahkan telah
menjalar di desa-desa sekitar Desa Pasir Jambu, yaitu Desa Cikeas, Desa Tanah
Sewa, dan lain-lain.
Karaktersitik dan Profil Pengrajin Tapioka
Jumlah responden yang diwawancara yaitu sebanyak 17 orang yang secara
keseluruhan merupakan pengrajin aci yang masih aktif berproduksi hingga
sekarang. Profil pengrajin tapioka secara lebih lengkap disajikan pada Lampiran
5. Seluruh responden berjenis kelamin laki-laki dengan rentang usia 26 hingga 80
Page 42
29
tahun, dengan persentase terbesar yaitu usia 50 tahun ke atas sebanyak 47%.
Responden yang berusia 20 tahun sampai 30 tahun memiliki persentase paling
sedikit yaitu hanya sebesar 12% saja karena peneliti sulit menemukan responden
lain yang berusia setara.
Latar belakang pendidikan responden terdiri SD atau tidak tamat SD, SMP
dan SMA. Sebanyak 82.3% responden tidak tamat mengenyam bangku SD,
sedangkan sisanya sebanyak 17% sudah tamat SMP dan SMA. Responden yang
tidak tamat SD merupakan responden yang berusia lebih dari 50 tahun.
Responden yang mampu menamatkan SMP dan SMA merupakan respoden yang
rata-rata berusia 30 tahun. Adanya pekerjaan sebagai pengrajin aci secara turun
temurun mempengaruhi latar belakang pendidikan responden yang sudah terbiasa
melakukan pekerjaan ini sejak usia remaja. Banyaknya jumlah jam kerja dalam
satu hari produksi menjadi pertimbangan untuk tidak melanjutkan pendidikan.
Selain itu, pengalaman bekerja sebagai pengrajin tapioka juga memiliki
rentang waktu yang terpaut cukup jauh dari ke 17 responden tersebut, yaitu antara
5 sampai dengan 40 tahun. Sebanyak 52.94% responden telah memiliki
pengalaman memproduksi tapioka selama 11 sampai dengan 40 tahun, sedangkan
sisanya yaitu sebesar 47.05% memiliki pengalaman bekerja selama 5 sampai
dengan 10 tahun. Responden yang telah memiliki pengalaman bekerja lebih lama
memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah dan usia yang lebih matang,
sedangkan sebagian responden yang memiliki pengalaman bekerja lebih sedikit
memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi dan usia yang lebih muda.
Hal ini disebabkan adanya perbedaan kehidupan sosial ekonomi antar responden.
Dari semua responden, hanya 6 responden yang memiliki investasi berupa
aset produksi dalam melakukan pekerjaannya sebagai pengrajin tapioka. Investasi
ini berupa mesin giling dan lahan jemur. Aset berupa mesin giling berarti sudah
termasuk mesin diesel yanmar, bak penampung, dan rumah penggilingan,
sedangkan aset lahan jemur sudah termasuk gubug/saung bambu, lahan tempat
penjemuran, dan plampang (bambu untuk penjemuran). Terdapat 4 mesin giling
dan 6 lahan jemur dari keseluruhan responden dengan luasan yang berbeda-beda.
Sebagian responden yang memiliki aset tersebut merupakan responden yang
memiliki tingkat pendidikan SMP, SMA, dan tidak menamatkan SD. Sebagian
besar responden mendapatkan aset tersebut dari adanya warisan / hibah dari
kerabat dekat.
Seluruh responden melibatkan tenaga kerja keluarga dalam memproduksi
tapioka, sedangkan yang melibatkan tenaga kerja luar keluarga hanya 35.29%
responden. Pengrajin tapioka biasanya melibatkan istri dan anak sebagai pengupas
dan penjemur dalam proses produksi. Hal ini dilakukan karena pengrajin lebih
memilih untuk tidak membayar kuli kupas dan kuli jemur untuk menghemat biaya
pengeluaran. Responden yang memiliki tenaga kerja luar keluarga ternyata
merupakan responden yang juga memiliki aset berupa mesin giling dan lahan
jemur.
Intinya, tenaga kerja pada industri tapioka tidak memerlukan keahlian
khusus. Jumlah tenaga kerja ditentukan oleh kapasitas produksi dan teknologi
yang digunakan. Besarnya penyerapan tenaga kerja pada industri pengolahan
tapioka ditentukan oleh volume produksi. Semakin tinggi volume produksi
semakin besar jumlah tenaga kerja yang diserap. Tenaga kerja yang dibutuhkan
Page 43
30
meliputi seluruh proses produksi dari pengupasan sampai pada pengeringan
produk.
Tata Letak dan Fasilitas Bangunan
Lokasi pengolahan tapioka dipilih wilayah yang memiliki sumber air dan
akses yang baik terhadap panas matahari. Panas matahari merupakan faktor
produksi yang penting bagi industri pengolahan tapioka, dengan demikian, lokasi
usaha yang memiliki akses yang baik terhadap panas matahari akan mendukung
keberhasilan usaha pengolahan tapioka, karena umumnya para pengrajin tapioka
belum mampu menyediakan teknologi pengeringan tapioka. Ketersediaan air juga
sangat penting, terutama untuk pencucian dan penyaringan tepung.
Industri kecil tapioka yang berada di Desa Pasir Jambu masih tergolong
tradisional karena tidak menggunakan peralatan khusus dalam proses produksi
dan lebih banyak menggunakan tenaga manusia dibandingkan tenaga mesin.
Dalam kajian ini, bangunan, fasilitas, dan alat yang diamati hanya dibatasi pada
industri kecil tapioka kasar di Desa Pasir Jambu. Bangunan industri kecil tapioka
hanya berupa bangunan sederhana dengan dinding setengah badan yang terbuat
dari batako, sedangkan bagian atap hanya berbahan bilik bambu dan genteng
tanah yang ringan. Tata letak bangunan industri kecil tapioka secara lebih detail
dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.
Gambar 5 Layout produksi rumah penggilingan industri kecil tapioka
Industri kecil tapioka terdiri dari beberapa faktor produksi utama. Faktor
produksi yang paling penting dalam industri kecil tapioka yaitu proses
penggilingan ubi kayu menggunakan mesin. Mesin penggilingan diletakkan pada
rumah penggilingan yang terdiri dari mesin Yanmar atau tenaga penggerak listrik
dari PLN sebesar 82.5 KVA, bak pencucian, dan bak pengendapan. Faktor
produksi penting lainnya yaitu lahan penjemuran untuk proses pengurangan kadar
bak pengendapan
tempat pengupasan
bahan baku
bak penampungan
air bersih
bahan
baku
siap giling ubi kayu giling,
siap diendapkan
mesin penggilingan
Page 44
31
air dari tepung tapioka. Lahan penjemuran terdiri dari plampang (bambu), tampir,
dan saung/gubug sebagai ruang penyimpanan tepung yang telah kering.
Permodalan dan Pembiayan Usaha
Salah satu kendala yang dihadapi oleh para pengrajin tapioka di Desa Pasir
Jambu adalah mengenai akses terhadap permodalan. Para pengrajin mengakui
sulitnya mendapatkan permodalan dari lembaga keuangan untuk meningkatkan
produksi tapioka mereka. Hal ini disebabkan kurangnya agunan yang dimiliki oleh
tiap individu. Para pengrajin tapioka membentuk kelompok tani bukan karena
suatu alasan tertentu melainkan untuk mempermudah mendapatkan bantuan dari
pemerintah. Salah satu bantuan yang pernah didapatkan oleh Kelompok Tani
Karya Bersama yaitu adanya program PUAP pada tahun 2009 dengan menerima
dana sebesar Rp50 000 000 dari pemerintah. Selain memberikan bantuan dalam
bentuk modal, program tersebut juga membantu dalam perbaikan saluran irigasi
dari mata air ke rumah-rumah penggilingan sehingga mempermudah para
pengrajin tapioka untuk melakukan proses pemerasan.
Pengadaan Bahan Baku
Pengrajin tapioka tidak memiliki spesifikasi khusus dalam menentukan
bahan baku. Hampir semua jenis ubi kayu dapat digunakan karena semakin
sulitnya mendapatkan bahan baku yang kontinyu. Jenis-jenis ubi kayu yang
digunakan antara lain ; Mentega, Manggu, Prelek, Pengkang, Thailand, dan
Cicurug. Jenis ubi kayu yang paling sering digunakan sebagai bahan baku yaitu
singkong Manggu karena ubi kayu yang berasal dari Sukabumi ini memiliki
produktivitas yang tinggi. Umbi singkong Manggu dipanen pada 8-10 bulan
pascatanam, sehingga memiliki kandungan pati yang cukup banyak. Selain itu
kadar patinya cukup tinggi, yaitu 27%-35%.
Tempat perolehan bahan baku ubi kayu berasal dari berbagai daerah.
Daerah-daerah yang melakukan pengiriman bahan baku kepada pengrajin tapioka
Desa Pasir Jambu antara lain Sukabumi (Cikidang, Jampang Surade), Bogor
(Petaunan, Jasinga, Cilebut, Karadenan, Gunung Sindur), dan daerah Lampung.
Selain melakukan pembelian bahan baku, sebagian pengrajin juga melakukan
budidaya ubi kayu sebagai bahan cadangan apabila sama sekali bahan baku yang
tersedia untuk diproduksi. Salah satu pengrajin tersebut yaitu Pak Bobby yang
memiliki lahan ±9 hektar dengan produktivitas yang tergolong rendah hanya
sebesar 10 ton/hektar.
Tingkat produktivitas ubi kayu selain dipengaruhi oleh sistem budidaya,
juga dipengaruhi oleh jenis/varietas tanaman tersebut (Rukmana, 1997). Potensi
hasil dan sifat penting beberapa varietas ubi kayu disajikan dalam Tabel 6 berikut.
Varietas ubi kayu Mentega adalah varietas yang cukup mudah didapatkan, meski
kandungan pati varietas ini hanya rata-rata 26%. Hal ini akan berpengaruh
terhadap hasil produksi tapioka.
Dalam pemenuhan bahan baku, sebagian pengrajin tapioka mengandalkan
pengiriman secara kolektif oleh salah satu pengrajin tapioka yang memiliki
kemudahan akses informasi terhadap penyedia bahan baku. Salah satunya yaitu
Pak Andi yang setiap harinya mendatangkan bahan baku yang berasal dari luar
desa. Biasanya bahan baku didatangkan pada sore hari setelah dipanen pada hari
itu juga untuk menjaga kualitas tepung tapioka. Selain itu, sebagian pengrajin
Page 45
32
tapioka mencari sendiri bahan baku ubi kayu untuk diolah tanpa mengandalkan
bantuan dari informan tersebut. Hal ini disebabkan perbedaan harga yang lebih
murah jika melakukan pembelian secara langsung kepada petani ubi kayu.
Tabel 6 Potensi hasil dan sifat-sifat penting beberapa varietas ubi kayu
Varietas Produksi
(ton/Ha)
Kandungan Pati
(%) HCN (mg) Rasa
Valenca*
Bogor*
SPP*
Muara*
Mentega
Aldira-1
Aldira-2
Malang-1
Malang-2
20
40
20-25
40
20
20-35
20-35
36.5
31.5
-
30.9
27.0
26.9
26.0
45.2
40.8
32-36
32-36
39
100
150
100
32
27.5
123.7
-
-
Enak (manis)
Pahit
Amat pahit
Pahit
Enak (manis)
Enak (manis)
Pahit
Enak (manis)
Enak (manis) Sumber : Rukmana, 1997.
Keterangan: -) tidak ada data, *) varietas lama
Proses Produksi Tapioka
Proses produksi tapioka dilakukan selama 2 hari setiap kali produksi untuk
mengolah ubi kayu hingga benar-benar menjadi tepung tapioka siap kirim ke
pabrik pengepul. Untuk memproduksi tapioka, dengan kapasitas 7 kuintal ubi
kayu per hari dibutuhkan fasilitas dan peralatan produksi sebagaimana disajikan
pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7 Fasilitas dan peralatan produksi tapioka
Nama Alat Satuan Jumlah (Unit) Umur Pakai (Tahun)
Mesin Giling/Generator buah 1 5
Bambu Jemuran (Plampang) buah 250 1
Tampah buah 300 1
Keranjang buah 5 0.5
Ayakan buah 2 0.25
Saringan buah 2 0.25
Gayoran buah 2 0.5
Saung / Gubuk buah 1 2
Plastik buah 25 0.33
Pisau buah 3 0.5
Bak Penampung buah 4 10
Page 46
33
Dari tabel diatas dapat dilihat dengan jelas fasilitas dan peralatan produksi
yang digunakan. Masing-masing peralatan memiliki fungsi yang bebeda. Mesin
giling merupakan mesin yang menjadi pusat dari seluruh proses produksi. Selain
itu, alat-alat yang digunakan dalam proses awal yaitu pisau, ayakan, saringan,
gayoran, dan bak penampung, sedangkan alat seperti tampah, plampang,
saung/gubug, plastik, dan rak digunakan dalam proses pengeringan saja.
Pengolahan tapioka memiliki beberapa tingkatan teknologi. Tingkatan
teknologi tersebut adalah tradisional atau mekanik sederhana, semi modern, dan
full otomate. Perbedaan teknologi pengolahan tapioka dapat dilihat pada tabel 8
berikut ini
Tabel 8 Perbedaan tekonologi pengolahan tapioka
Proses Tradisional Semi Modern Full Otomate
Pengupasan Manual Manual Mesin
Pencucian Manual Manual Mesin
Pemarutan Mesin Mesin Mesin
Pemerasan Manual Mesin Mesin
Pengendapan Manual Manual Mesin
Pengeringan Sinar Matahari Oven Mesin Sumber: Supriati (2009)
Untuk pembuatan tapioka pada industri kecil menggunakan teknologi
mekanik sederhana atau tradisional. Pada teknologi ini, sebagian proses produksi
menggunakan mesin penggerak untuk melakukan pemarutan, sedangkan
pengeringan masih mengandalkan bantuan sinar matahari. Proses semi modern
sudah dapat dijumpai di beberapa industri kecil tapioka lainnya di daerah
Kabupaten Bogor, sedangkan teknologi full otomate hanya terdapat di industri
tapioka skala besar saja. Berikut ini proses produksi tepung tapioka di Desa Pasir
Jambu.
1. Pengupasan
Pengupasan dilakukan dengan cara manual dengan menggunakan pisau
yang bertujuan untuk memisahkan daging singkong dari kulitnya. Selama
pengupasan, sortasi juga dilakukan untuk memilih singkong berkualitas tinggi
dari singkong lainnya. Singkong yang kualitasnya rendah tidak diproses
menjadi tapioka dan dijadikan pakan ternak kambing.
2. Pencucian
Pencucian dilakukan dengan dua alternatif cara, yang pertama yaitu
menggunakan alat pencuci singkong berupa kincir berputar dengan dialiri air
yang cukup deras atau dengan cara manual yaitu dengan meremas singkong di
dalam bak yang berisi air mengalir, yang bertujuan memisahkan kotoran pada
singkong.
Page 47
34
Gambar 6 Pencucian bahan baku ubi kayu
3. Pemarutan
Proses pemarutan pada industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu dengan
menggunakan tenaga mesin pengiling. Meskipun begitu, pada industri kecil
dengan teknologi yang masih tradisional, parut yang digunakan ada 2 macam
yaitu :
a. Parut manual, dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan tenaga
manusia sepenuhnya.
b. Parut semi mekanis, digerakkan dengan generator dengan menggunakan
tenaga listrik dan bahan bakar solar.
4. Pemerasan/Ekstraksi
Pemerasan dilakukan dengan 2 cara yaitu:
a. Pemerasan bubur singkong yang dilakukan dengan cara manual
menggunakan kain saring, kemudian diremas dengan menambahkan air di
mana cairan yang diperoleh adalah pati yang ditampung di dalam ember.
b. Pemerasan bubur singkong dengan saringan goyang (gayoran). Bubur
singkong diletakkan di atas saringan yang digerakkan dengan mesin. Pada
saat saringan tersebut bergoyang, kemudian ditambahkan air melalui pipa
berlubang. Pati yang dihasilkan ditampung dalam bak pengendapan.
Gambar 7 Pemarutan dan pemerasan bahan baku
Page 48
35
Gam Gamgambar Pme rawns
5. Pengendapan
Hasil ekstraksi diendapkan dalam bak pengendapan selama
semalam. Air di bagian atas endapan dialirkan dan dibuang, sedangkan
endapan diambil dan dikeringkan.
6. Pengeringan
Sistem pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan
cara menjemur tapioka dalam tampah atau tampir yang diletakkan di atas
rak-rak bambu selama 6 jam saja (tergantung dari cuaca) antara jam 6 pagi
sampai dengan jam 12 siang. Tepung tapioka yang dihasilkan sebaiknya
mengandung kadar air 8% - 15%.
Gambar 8 Pengeringan tapioka dengan sinar matahari
Untuk menghasilkan tepung tapioka yang berkualitas, dibutuhkan singkong
yang memiliki kadar tepung tinggi yaitu singkong yang dipanen setelah berusia
lebih dari 7 bulan. Produksi optimal tepung tapioka ditentukan oleh kualitas bahan
baku. Namun sulitnya akses terhadap bahan baku membuat pengrajin tapioka
menggunakan bahan baku yang berasal dari ubi kayu berbagai jenis, baik yang
dipanen muda ataupun yang mengandung kadar pati rendah. Sehingga akan
mempengaruhi hasil akhir dari pengolahan itu sendiri.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Pendapatan
Penerimaan Usaha
Sumber penerimaan pengrajin tapioka berasal dari hasil produksi berupa
tepung tapioka kasar (aci) dan onggok (ampas). Penerimaan usaha sangat
tergantung kepada harga yang diberikan oleh pengepul karena harga yang
diberikan cukup fluktuatif berdasarkan pertimbangan pengepul. Pada umumnya,
Page 49
36
harga rata-rata tapioka kasar yang diberikan oleh pengepul berkisar antara Rp530
000 – Rp570 000/kw, sedangkan harga rata-rata onggok kering yaitu Rp150
000/kw. Penerimaan selain tergantung kepada harga jual yang diberikan oleh
pabrik pengepul, juga dipengaruhi oleh kadar pati yang terkandung di dalam
bahan baku. Rata-rata kadar pati dari ubi kayu yang dijadikan bahan baku oleh
pengrajin tapioka yaitu 21.67%/kw, sedangkan rendemen ampas biasanya
mencapai 6.04%/kw.
Berdasarkan Tabel 9, dapat dilihat bahwa pemilik faktor produksi dan
penggarap memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam memperoleh
penerimaan yang disebabkan perbedaan jumlah bahan baku yang diproduksi.
Pemilik faktor produksi rata-rata memproduksi tepung tapioka kasar 300% lebih
banyak daripada pengrajin penggarap yaitu sebanyak 745.45 kw/tahun, sedangkan
penggarap rata-rata sebanyak 231.67 kw/tahun. Jadi rata-rata pengrajin
memproduksi tapioka kasar sebesar 488.56 kw/tahun dengan rata-rata penerimaan
sebesar Rp268 708 000/tahun.
Tabel 9 Arus penerimaan pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu selama satu tahun
produksi
Arus Penerimaan Pemilik Penggarap Rata-rata
Produksi Kotor (Kw)
Tapioka Kasar 745.45 231.67 488.56
Onggok 207.78 64.36 136.07
Penerimaan
Tapioka Kasar Rp409 996 400 Rp 127 419 600 Rp 268 708 000
Onggok Rp31 166 400 Rp 9 653 891 Rp 20 410 145
Total Penerimaan Rp 441 162 800 Rp 137 073 491 Rp 289 118 145
Selain itu, penerimaan pengrajin juga didapatkan dari penjualan
onggok/ampas kepada pengepul yang sama. Dalam satu tahun, rata-rata pengrajin
tapioka mampu memproduksi onggok kering sebanyak 136.07 kw dengan jumlah
penerimaan sebesar Rp20 410 145/tahun. Rata-rata total penerimaan dari hasil
produksi tepung tapioka kasar dan onggok kering untuk setiap pengrajin yaitu
sebesar Rp289 118 145/tahun.
Pengeluaran Usaha
Pengeluaran usaha digolongkan menjadi dua, yaitu biaya tetap dan biaya
variabel. Biaya tetap produksi adalah biaya yang dikeluarkan selama industri kecil
tapioka berjalan yang besarnya tidak terpengaruh oleh volume produksi yang
berlangsung, mulai dari pengupasan ubi kayu sampai menjadi tapioka kasar.
Biaya tetap terdiri atas biaya sewa lahan dan total biaya penyusutan. Biaya
variabel adalah biaya yang dibayarkan oleh pengrajin tapioka yang jumlahnya
secara proporsional berubah sesuai dengan aktivitas produksi. Biaya variabel ini
terdiri dari biaya pembelian bahan baku, biaya tenaga kerja dalam keluarga, biaya
tenaga kerja luar keluarga, biaya solar, biaya listrik, biaya pemeliharaan, biaya
sewa penggilingan, dan biaya pemasaran.
Page 50
37
Komponen biaya pengeluaran dari seluruh responden pengrajin tapioka
dapat dilihat pada Tabel 10. Pada tabel tersebut disajikan rataan komponen biaya
dari kedua jenis pengrajin tapioka, namun sebenarnya pemilik faktor produksi dan
pengrajin penggarap memiliki susunan pengeluaran yang berbeda. Pemilik faktor
produksi memiliki komponen biaya yang lebih banyak dibandingkan pengrajin
penggarap disebabkan adanya perbedaan dalam status kepemilikan faktor
produksi. Arus pengeluaran usaha secara lebih lengkap dapat diliat pada Lampiran
9 dan Lampiran 10.
Biaya tetap terdiri dari biaya sewa lahan dan biaya penyusutan. Biaya sewa
lahan bagi pengrajin penggarap dibayarkan dalam bentuk 2 kg tepung tapioka
kasar setiap produksi atau menyewa lahan seharga Rp2 000 000/tahun kepada
pemilik lahan. Dalam penghitungan biaya pengeluaran, pemilik faktor produksi
yang memiliki lahan jemur tetap dikenakan biaya sewa lahan diperhitungkan
dengan jumlah biaya yang sama.
Tabel 10 Arus pengeluaran pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu selama satu tahun
produksi
Arus Pengeluaran Rata-rata %
Biaya Tetap
Biaya Sewa Lahan diperhitungkan Rp 2 213 636 0.79
Total Biaya Penyusutan Rp 7 171 970 2.55
Biaya Tetap Total Rp 9 385 606
Biaya Variabel
Biaya Bahan Baku Rp 217 940 145 77.41
Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga Rp 13 865 455 4.92
Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga Rp 27 960 000 9.93
Biaya Solar Rp 5 280 000 1.88
Biaya listrik Rp 200 000 0.07
Biaya Pemeliharaan Rp 400 000 0.14
Biaya Sewa Penggilingan Rp 1 624 006 0.58
Biaya Pemasaran Rp 4 885 600 1.74
Total Biaya Variabel Rp 272 155 206
Biaya Total Rp 281 540 812 100
Biaya penyusutan dihitung berdasarkan inventarisasi mesin dan alat apa saja
yang digunakan dalam proses produksi. Penghitungan dilakukan dengan metode
penyusutan garis lurus dengan nilai sisa yang ditentukan berdasarkan informasi
yang didapatkan dari responden pengrajin tapioka. Pemilik faktor produksi dan
pengrajin penggarap memiliki komponen biaya penyusutan yang berbeda.
Pengrajin penggarap yang berstatus menyewa penggilingan tidak dikenai biaya
penyusutan mesin penggilingan dan rumah penggilingan karena tidak memiliki
secara langsung faktor produksi tersebut. Komponen biaya penyusutan secara
lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6.
Page 51
38
Dalam Tabel 8, terdapat beberapa komponen biaya yang hanya terdapat
pada arus pengeluaran pemilik faktor produksi saja. Biaya variabel yang terdapat
pada komponen biaya semua pengrajin tapioka yaitu biaya bahan baku, biaya
sewa penggilingan, dan biaya pemasaran. Biaya bahan baku dihitung berdasarkan
rata-rata kebutuhan bahan baku pengrajin selama setahun dikali harga bahan baku
sehingga jumlah biaya sebesar Rp217 940 145.
Biaya tenaga kerja diperhitungkan merupakan biaya yang dihitung dari
seberapa banyak jumlah anggota keluarga yang ikut dalam proses produksi
tapioka. Sebagian besar pengrajin tapioka melibatkan keluarganya untuk
menghemat pengeluaran biaya upah tenaga kerja. Upah yang diberikan pada
umumnya Rp24 000/hari untuk kuli peras dan Rp10 000/hari untuk kuli jemur.
Para pengrajin tapioka yang sebagian besar laki-laki mengikutsertakan istri
sebagai pengganti kuli jemur dan anak laki-laki untuk membantu dalam proses
penggilingan. Sehingga rata-rata total biaya tenaga kerja diperhitungkan yakni
cukup besar, yaitu Rp13 865 455/tahun.
Penghitungan biaya tenaga kerja sama seperti penghitungan biaya tenaga
kerja keluarga karena jumlah upah yang setara. Hanya saja, pengrajin penggarap
tidak memiliki tenaga kerja diluar keluarga karena jumlah produksi yang tidak
cukup banyak dan modal yang kurang memadai. Biaya solar, biaya listrik, dan
biaya pemeliharaan merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pemilik faktor
produksi mesin. Pengrajin penggarap tidak dikenakan biaya ini karena ketiga
komponen tersebut sudah termasuk ke dalam biaya sewa penggilingan. Biaya
sewa penggilingan dibayarkan dalam bentuk bahan baku sebanyak 7 kg ubi kayu
per produksi.
Biaya pemasaran merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pengiriman hasil
produksi kepada pabrik pengepul. Seperti yang telah dijabarkan pada Bab
Gambaran Umum, bahwa pengiriman dilakukan dengan sistem kolektif oleh salah
satu pengrajin yang memiliki transportasi untuk mendistribusikan. Setiap kali
pengiriman, pengrajin dikenakan biaya sebesar Rp10 000 untuk setiap satu
kwintal tepung tapioka kasar. Biaya pemasaran rata-rata secara akumulatif dalam
waktu satu tahun yaitu Rp4 885 600.
Dari semua komponen biaya pengeluaran industri tapioka, yang memiliki
persentase terbesar terhadap biaya total yaitu biaya bahan baku sebesar 77.41%.
Selain itu, biaya tenaga kerja baik luar keluarga maupun keluarga juga
menyumbang persentase cukup besar, yakni 15.9%. Hal ini mengindikasikan
bahwa fluktuasi harga dan jumlah bahan baku memiliki peran penting dalam
menentukan pengeluaran dan pendapatan usaha. Secara keseluruhan, total biaya
rata-rata dari setiap pengrajin tapioka selama satu tahun produksi yaitu sebesar
Rp281 540 812.
Pendapatan Usaha
Analisis pendapatan usaha dilakukan untuk mengetahui tingkat profitabilitas
usaha industri kecil tapioka. Jumlah pendapatan didapatkan dengan mengurangi
total penerimaan usaha dengan total biaya. Setelah itu, tingkat profitabilitas dilihat
dari hasil penghitungan Revenue per Cost (R/C) ratio. R/C ratio merupakan rasio
antara total penerimaan dengan total biaya.
Pada Tabel 11 disajikan data mengenai perbandingan pendapatan usaha
antara pemilik faktor produksi dan pengrajin penggarap. Total penerimaan dari
Page 52
39
pemilik faktor produksi yaitu sebesar Rp441 162 800, sedangkan penerimaan
pengrajin penggarap yaitu Rp137 073 491. Total biaya merupakan akumulasi dari
biaya tetap dan biaya variabel industri kecil tapioka. Total biaya pemilik faktor
produksi sebesar Rp 399 451 602 dan total biaya penggarap yaitu sebesar Rp129
790 021. Setelah dilakukan perhitungan pendapatan, didapatkan bahwa besar
pendapatan pemilik faktor produksi yaitu sebesar Rp41 711 198 per tahun,
sedangkan untuk petani penggarap yaitu hanya sebesar Rp7 283 470 per tahun.
Tabel 11 Perbandingan pendapatan usaha pemilik faktor produksi dan pengrajin
penggarap industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu
Meski total biaya pemilik lebih besar 300% dibandingkan dengan pengrajin
penggarap, namun total penerimaan dan pendapatannya jauh lebih besar. Pada
tabel 11, R/C ratio kedua jenis pengrajin sebenarnya tidak terlalu berbeda jauh.
Pemilik faktor produksi memiliki nilai R/C ratio sebesar 1.10 yaitu pengorbanan
tiap satu rupiah dari pengeluaran total dapat memberikan kontribusi Rp1.10 . Nilai
R/C ratio dari analisis pendapatan pengrajin penggarap yaitu sebesar 1.06 yang
artinya tiap satu rupiah pengeluaran total dapat memberikan kontribusi Rp1.06.
Analisis Nilai Tambah
Industri kecil tapioka merupakan salah satu industri yang mampu
memberikan value added bagi salah satu hasil pertanian yaitu ubi kayu. Analisis
nilai tambah dilakukan untuk mengetahui seberapa besar nilai tambah yang
mampu diberikan dari hasil produksi tapioka tersebut. Analisis yang dilakukan
meliputi analisis output, input, dan harga, analisis penerimaan dan keuntungan,
dan analisis balas jasa faktor produksi dalam jangka waktu satu tahun produksi
dengan menggunakan skala kuintal (100 kg). Skala ini digunakan karena sebagian
besar pengrajin tapioka lebih sering menggunakan skala kuintal dalam
penghitungan bahan baku maupun hasil produksi.
Output, Input, dan Harga
Output yang didapatkan dari hasil industri kecil tapioka yaitu berupa tepung
tapioka kasar dan onggok (ampas kering). Output industri selama satu tahun
menghasilkan 488.56 kuintal tepung tapioka kasar dan 136.07 kuintal onggok.
Penghitungan output telah dilakukan pada analisis penerimaan usaha berupa hasil
Komponen Pemilik Penggarap
A Total Penerimaan Rp 441 162 800 Rp 137 073 491
Biaya Tetap Rp 9 838 636 Rp 8 932 576
Biaya Variabel Rp 389 612 966 Rp 272 155 206
B Total Biaya Rp 399 451 602 Rp 129 790 021
C Pendapatan A-B Rp 41 711 198 Rp 7 283 470
R/C Ratio 1.10 1.06
Page 53
40
penghitungan total output produksi dikali dengan jumlah hari aktif produksi
selama 8 bulan (240 hari).
Input merupakan bahan baku ubi kayu yang digunakan dalam proses
produksi. Pada umumnya ubi kayu yang dijadikan bahan baku adalah ubi kayu
yang masih berkulit karena harga beli yang lebih rendah dibandingkan ubi kayu
yang telah dikupas. Jumlah input yang digunakan dalam satu tahun produksi yaitu
2254.55 kuintal. Pembagian tenaga kerja di industri kecil tapioka yaitu meliputi
tenaga kerja untuk pengupasan, pencucian, penggilingan, pengayakan,
pengangkatan pati, penjemuran, dan pengepakan.
Proses produksi tersebut dilakukan selama 12 jam kerja dalam waktu 2 hari.
Pada 6 jam kerja hari pertama dilakukan proses pengupasan, pencucian,
penggilingan dan pengayakan, sedangkan pada 6 jam kerja pada hari berikutnya
dilakukan proses pengangkatan pati, penjemuran, dan pengepakan. Jika 1 HOK
adalah 8 jam kerja, maka HOK yang dibutuhkan dalam satu kali produksi adalah
1.5 HOK. Jadi jumlah HOK dalam waktu satu tahun produksi yaitu 360 HOK.
Koefisien tenaga kerja adalah banyaknya tenaga kerja (HOK/tahun) dibagai oleh
bahan baku (ku/tahun). Dari penghitungan diperoleh koefisien tenaga kerja
sebesar 0.16, yang artinya untuk setiap satu kuintal bahan baku ubi kayu yang
diproduksi sampai menghasilkan tepung tapioka kasar dan onggok kering,
dibutuhkan 0.16 HOK
Faktor konversi didapatkan melalui pembagian jumlah output dengan
jumlah input. Jika produk yang dihasilkan dua macam, maka nilai faktor
konversinya juga dua. Dalam kajian ini, faktor konversi dibedakan menjadi dua,
yaitu faktor konversi untuk produk utama adalah jumlah produk utama dibagi
dengan input yang digunakan dan faktor konversi untuk produk sampingan adalah
jumlah produk sampingan dibagi dengan input yang dihasilkan.
Faktor konversi tapioka kasar yaitu 21.67%, yang artinya setiap 1 kuintal
ubi kayu yang digunakan, maka akan menghasilkan 21.67 kg tepung tapioka
kasar. Faktor konversi onggok yaitu 6.04%, yang artinya setiap 1 kuintal ubi kayu
yang digunakan, maka akan menghasilkan 6.04 kg onggok kering. Input yang
digunakan dan output yang dihasilkan memang memiliki selisih yang cukup besar
karena sisa input terbuang sebagai limbah berupa getah singkong yang pada
umumnya diproduksi kembali oleh masyarakat sekitar untuk kebutuhan pangan,
pakan, bahkan sebagai biogas. Rincian perhitungan nilai tambah industri kecil
tapioka dapat dilihat pada Tabel 12.
Penerimaan dan Keuntungan
Harga bahan baku ubi kayu sebenarnya tergantung pada kesepakatan yang
dilakukan antara pihak penjual dan pengrajin tapioka. Pengrajin tapioka di Desa
Pasir Jambu sudah mahir dalam menilai apakah ubi kayu yang akan dijadikan
bahan baku memiliki tingkat pati (faktor konversi) yang tinggi atau tidak. Harga
ubi kayu tidak pernah tetap, namun secara rata-rata berada pasa kisaran harga
Rp966.67/kg atau Rp96 667/kuintal. Harga input lain didapatkan dari
penjumlahan semua biaya kecuali biaya bahan baku dan tenaga kerja, dibagi
dengan jumlah bahan baku yang digunakan selama satu tahun. Biaya input lain
terdiri dari biaya sewa lahan, biaya penyusutan, biaya solar, biaya listrik, biaya
pemeliharaan, biaya sewa penggilingan, dan biaya pemasaran.
Page 54
41
Nilai output didapatkan dari hasil perkalian harga produk dengan faktor konversi.
Nilai tepung tapioka kasar yaitu Rp119 185/kuintal yang berarti setiap 1 kuintal
produksi ubi kayu, maka akan menghasilkan sebesar Rp119 185 dari hasil
penjualan tepung tapioka. Nilai onggok kering yaitu Rp9 053/kuintal yang berarti
setiap 1 kuintal produksi ubi kayu, maka akan menghasilkan sebesar Rp90 053
dari hasil penjualan onggok kering. Nilai output sama dengan penerimaan kotor
perusahaan untuk setiap 1 kuintal input yang digunakan.
Tabel 12 Perhitungan nilai tambah industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu
Komponen Perhitungan
Output, Input, dan Harga Jumlah
A. Output (Ku/Th)
Tapioka Kasar 488.56
Onggok 136.07
B. Input (Ku/Th) 2254.55
C. Tenaga Kerja (HOK/Th) 360
D. Faktor Konversi A/B
Tapioka Kasar 21.67%
Onggok 6.04%
E. Koefisien Tenaga Kerja C/B 0.160
F. Harga Produk (Rp/Ku)
Tapioka Kasar Rp 550 000
Onggok Rp 150 000
G. Upah Tenaga Kerja (Rp/HOK) Rp 24 000
Penerimaan dan Keuntungan
H. Harga Bahan Baku (Rp/Ku) Rp 96 667
I. Harga Input Lain (Rp/Ku) Rp 9 658
J. Nilai Output (Rp/Ku) DxF
Tapioka Kasar Rp 119 185
Onggok Rp 9 053
K. Nilai Tambah (Rp/Ku) J-H-I Rp 21 913
L. Rasio Nilai Tambah K/J 17.09%
M. Pendapatan TK (Rp/Ku) ExG Rp 3 832
N. Pangsa TK M/K 17.49%
O. Keuntungan (Rp/Ku) K-M Rp 18,080
P. Tingkat Keuntungan O/J 14.10%
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
Q. Margin (Rp/Ku) J-H Rp 31 571
R. Pendapatan TK M/Q 12.14%
S. Sumbangan Input Lain I/Q 30.59%
T. Keuntungan O/Q 57.27%
Page 55
42
Nilai tambah yang dihasilkan dari proses produksi pada industri kecil
tapioka yaitu sebesar Rp21 913/kuintal input. Nilai tambah didapatkan dari
pengurangan nilai produk dengan harga bahan baku dan harga input lain. Jadi nilai
tambah bukan merupakan nilai tambah bersih karena belum menyertakan imbalan
bagi tenaga kerja sebesar Rp3 832. Rasio nilai tambah merupakan rasio antara
nilai tambah dengan nilai output. Dalam kajian ini, kontribusi nilai tambah
terhadap nilai output sebesar 17.09%, sedangkan kontribusi tenaga kerja terhadap
nilai output yaitu sebesar 17.49%. Keuntungan yang didapatkan oleh pengrajin
tapioka berdasarkan hasil analisis nilai tambah yaitu sebesar Rp18 080/kuintal
bahan baku atau sebesar 14.10% dari nilai output. Hasil keuntungan juga dapat
diartikan sebagai nilai tambah bersih karena sudah memperhitungkan pendapatan
tenaga kerja
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
Berdasarkan analisis nilai tambah, margin didapatkan dari selisih antara
nilai output tapioka kasar dan onggok (Rp128 238) dengan harga bahan baku
(Rp96 667), sehingga total margin yaitu sebesar Rp31 571. Besarnya margin ini
kemudian didistribusikan kepada pendapatan tenaga kerja, sumbangan input lain,
dan keuntungan usaha. Balas jasa terbanyak yang diperoleh perusahaan berasal
dari keuntungan, yaitu sebesar 57.27% yang artinya keuntungan menyumbang
Rp57.27 setiap Rp100 margin perusahaan. Adapun balas jasa terbesar kedua
setelah keuntungan yaitu sumbangan input lain sebesar 30.59% atau sebesar Rp9
657. Hal ini berarti input lain cukup banyak berkontribusi dalam pembentukan
margin. Input lain terdiri dari peralatan pengolahan, mesin penggilingan, solar,
listrik, dan tempat penjemuran. Dengan kata lain, input lain menyumbang
Rp30.59 dalam setiap Rp100 margin. Selain itu, balas jasa pendapatan tenaga
kerja yaitu sebesar 12.14% atau Rp3 832.71 dari total margin.
Besarnya nilai tambah ditentukan oleh besarnya nilai output, harga bahan
baku, dan harga input lain. Proporsi tenaga kerja dan keuntungan terhadap nilai
tambah dapat menunjukkan apakah usaha tersebut padat modal atau padat karya.
Berdasarkan hasil penghitungan balas jasa pemilik faktor produksi, industri kecil
tapioka merupakan industri yang padat karya yang sudah mampu berorientasi
pada pencapaian tingkat keuntungan tertentu, hal ini dapat dilihat dari proporsi
keuntungan yang lebih besar dibandingkan proporsi pendapatan tenaga kerja dan
sumbangan input lain dalam pembentukan margin usaha.
Analisis Titik Impas
Analisis titik impas merupakan suatu cara untuk mengetahui berapa volume
produksi atau penjualan agar industri kecil tidak mengalami kerugian atau pada
saat posisi usaha tidak sedang memperoleh laba. Nilai titik impaas (break event
point) ada dalam dua bentuk, yaitu dalam rupiah dan dalam jumlah unit produksi.
BEP dalam rupiah adalah biaya tetap total dibagi dengan satu dikurangi biaya
variabel per total penjualan. Dengan kata lain, BEP dalam rupiah merupakan hasil
pembagian biaya tetap total dengan rasio kontribusi. Rasio kontibusi (P/V ratio)
merupakan rasio antara margin kontribusi dengan penerimaan penjualan. BEP
dalam jumlah unit produksi adalah biaya tetap usaha dibagi dengan tingkat harga
Page 56
43
dikurangi biaya variabel per unit. Dalam menentukan harga yang dipakai untuk
perhitungan BEP, maka perlu dibuat harga konversi sebesar Rp592 413/kuintal,
karena ada dua jenis output dengan tingkat harga yang berbeda.
Tabel 13 Perhitungan titik impas industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu
Berdasarkan Tabel 13, nilai titik impas industri kecil tapioka yaitu sebesar
Rp 159 969 265. Semakin rendah titik impas maka semakin cepat perusahaan
memperoleh laba. Kondisi ini juga dapat tercapai pada saat industri kecil tapioka
telah menghasilkan output tepung tapioka kasar dan onggok sebanyak 270.03
kuintal per tahun. Hal ini berarti pengrajin tapioka harus memproduksi sedikitnya
1.13 kuintal tepung tapioka dan onggok tiap harinya untuk dapat memperoleh
keuntungan.
Melihat data tersebut, maka industri kecil tapioka sudah mampu melebihi
keadaan titik impas, sehingga mampu mendapatkan keuntungan. Adapun
keuntungan industri kecil tapioka dapat dilihat dari profit margin yang besarnya
rata-rata 3% dari nilai penjualan. Nilai titik impas baik dalam bentuk satuan
rupiah maupun kuantitas dapat mengalami fluktuasi tergantung kepada jumlah
nilai penjualan dan besarnya biaya tetap total. Kenaikan biaya tetap total dapat
terjadi apabila adanya penambahan investasi pada industri kecil tersebut. Semakin
meningkat jumlah biaya tetap total, maka nilai titik impas semakin tinggi.
Sebaliknya, semakin meningkat nilai penjualan, maka nilai titik impas akan
semakin rendah sehingga industri kecil tapioka akan semakin mudah memperoleh
laba.
Pendapatan dan R/C rasio memiliki hubungan positif satu sama lain, artinya
semakin besar pendapatan usaha industri kecil tapioka, maka nilai R/C rasio juga
akan semakin besar. Begitu pula dengan titik impas dan nilai tambah berhubungan
secara positif yang mengakibatkan semakin besar nilai tambah, maka titik impas
juga akan semakin cepat dicapai. Hal ini disebabkan karena faktor utama penentu
titik impas dan nilai tambah adalah sama yaitu harga output.
Komponen Perhitungan Jumlah
A. Penerimaan Penjualan Rp 289 118 145
B. Biaya Variabel Total Rp 272 155 206
C. Margin Kontribusi (A-B) Rp 16 962 940
D. Biaya Tetap Total Rp 9 385 606
E. Laba/Rugi (C-D) Rp 7 577 334
F. Rasio Kontribusi (C/A) 0.06
G. Profit Margin (E/A) 3%
Impas (Rp) (D/F) Rp 159 969 265
Impas (Kw) 270.03
Impas Kw Tapioka/Hari 1.13
Page 57
44
Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka
Dalam pengembangan sektor industri banyak dihadapi kendala, diantaranya
yaitu keterbatasan di bidang infrastruktur, sumber daya alam, maupun ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sementara itu, sektor industri sendiri juga
menghadapi permasalahan seperti produktivitas dan efisiensi terutama akibat dari
belum kuatnya struktur industri maupun lemahnya keterkaitan sektor industri
dengan sektor perekonomian lainnya. Pemerintah telah mencanangkan Master
Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang
pada dasarnya adalah peningkatan nilai tambah, konektivitas dan peningkatan
SDM dan Iptek. Dalam MP3EI tersebut, sebagian besar tertuju pada
pembangunan sektor industri.
Sebagai negara agraris, Indonesia menghasilkan produk-produk pertanian
yang potensial untuk digunakan sebagai bahan baku industri yaitu industri agro.
Oleh karena itu, kelompok industri agro menjadi prioritas yang dikembangkan
untuk mendukung akselerasi industrialisasi Tahun 2012–20144. Industri
pengolahan tapioka, baik dalam berbagai skala usaha turut andil dalam pencapaian
tujuan akselerasi tersebut. Dalam pengembangannya, dibutuhkan berbagai faktor
utama dan penunjang untuk menjaga kestabilan produksi dan harga supaya dapat
memenuhi permintaan yang ada. Beberapa faktor untuk mencapai pengembangan
optimal industri kecil tapioka di daerah Jawa Barat yaitu adanya ketersediaan
input dan faktor produksi, adanya peluang pasar yang terus meningkat, serta
adanya faktor penunjang sistem produksi.
Ketersediaan Bahan Baku
Menurut Austin (1981), pengadaan bahan baku merupakan salah satu
lingkungan internal yang harus ditempuh oleh pengelola agroindustri. Pengadaan
bahan baku yang berasal dari sektor pertanian akan sangat menunjang kegiatan
berikutnya dalam industri, yaitu pengolahan, apabila tersedia pada saat yang
diperlukan sesuai dengan kuantitas dan kualitasnya. Bahan baku sangat erat
kaitannya dengan mutu produk yang dihasilkan, sehingga ketersediaan bahan
baku harus terjamin sehingga tetap ada kontinyuitas usaha
Untuk mesuplai kebutuhan industri olahan yang semakin tumbuh dan
berkembang perlu diiringi dengan penyediaan bahan baku yang
berkesinambungan. Hal ini penting artinya agar industri olahan dapat berproduksi
sesuai kapasitasnya dan menghindari industri yang telah tumbuh tersebut agar
tidak menjadi idle yang pada akhirnya tidak berfungsi. Penyediaan bahan baku
berkaitan dengan produksi ubi kayu dalam negeri maupun ekspor-impor ubi kayu
bagi perusahaan yang membutuhkan ketika tidak ada produksi dalam negeri.
Pada Gambar 9, dapat dilihat bahwa adanya tren peningkatan produksi ubi
kayu di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh produktivitas dalam negeri yang
semakin membaik. Total keseluruhan hasil produksi ubi kayu di Indonesia pada
tahun 2012 adalah 2.4 juta ton dengan produktivitas rata-rata sebesar 25.83
ton/hektar. Adanya tren peningkatan produksi bahan baku tapioka ini merupakan
salah satu jaminan kontinyuitas bahan baku bagi industri tapioka, sehingga
4 Siaran Pers Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perindustrian Februari 2012. [diakses tanggal
20 Mei 2013]
Page 58
45
industri pengolahan tapioka terutama skala kecil mampu bertumbuh dengan baik
karena UKM merupakan salah satu penopang kekuatan ekonomi di Indonesia.
Secara lebih spesifik, pada Lampiran 3 disajikan data mengenai luas panen
dan produksi ubi kayu di Jawa Barat. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa
produksi ubi kayu menyebar secara merata di hampir semua wilayah Jawa Barat.
Total produksi ubi kayu di Jawa Barat pada tahun 2012 yaitu 2 058 784 ton
dengan luas total lahan sebesar 103 244 hektar. Produktivitas di provinsi Jawa
Barat masih tergolong rendah, yaitu rata-rata 16.1 ton/hektar, padahal
produktivitas ubi kayu rata-rata secara nasional yaitu sebesar 21.36 ton/hektar.
Permasalahan ketersediaan ubi kayu secara regional merupakan suatu
permasalahan sistem yang cukup kompleks dengan melibatkan berbagai
komponen dan variabel yang saling berinteraksi dan terintegrasi. Secara disengaja
atau tidak, sistem pengembangan ubi kayu tersebut akan berusaha mencapai
tujuan tertentu, seperti pemenuhan bahan baku bagi industri, pemenuhan
kebutuhan/penyediaan pangan, keperluan ekspor, dan lain-lain (Somantri dan
Machfud 2006).
Terkait dengan peranan ubi kayu sebagai penyedia pangan, pakan dan
bahan bakar maka yang diharapkan kedepannya adalah peningkatan produksi ubi
kayu. Namun berdasarkan perhitungan proyeksi penawaran pada penelitian ini,
produksi ubi kayu mengalami penurunan pada tahun 2025 mendatang. Hasil ini
seperti memberikan warning bagi pemerintah untuk mendorong peningkatan
produksi ubi kayu agar kebutuhan di masa yang akan datang dapat terpenuhi
(Puteri 2009)
Prospek pengembangan ubi kayu sebagai agribisnis berbasis ubi kayu masih
terbuka luas sejalan dengan semakin berkembangnya industri pengolahan berbasis
ubi kayu, salah satunya yaitu industri kecil tapioka. Dengan adanya kondisi
produktivitas yang masih rendah ini hendaknya dilakukan upaya untuk
meningkatkan produksi ubi kayu dan minimal mempertahankan luas produksi ubi
kayu di Jawa Barat. Sesuai dengan iklim dan cuaca yang terdapat di Jawa Barat,
terdapat beberapa daerah sentra penghasil ubi kayu. Curah hujan paling sedikit
21
21
22
22
23
23
24
24
25
2008 2009 2010 2011 2012
(Ju
ta T
on
)
(Tahun)
23.9224.0423.92
22.04
21.76
Gambar 9 Produksi ubi kayu di Indonesia Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat 2012
Page 59
46
terdapat pada bulan Juli, Agustus, September, dan Oktober yang merupakan
waktu panen ubi kayu. Musim panen yang mempengaruhi peningkatan jumlah
supply ubi kayu membuat harga ubi kayu menurun drastis.
Harga jual ubi kayu sangat mempengaruhi penerimaan industri kecil
tapioka. Kestabilan harga ubi kayu sangat tergantung pada jumlah suplai yang ada
di pasar yang dipengaruhi oleh musim panen ubi kayu. Berdasarkan pada Gambar
10, perkembangan harga rata-rata ubi kayu di tingkat nasional selama tahun 2010
– Februari 2013 terus mengalami peningkatan. rata-rata peningkatan harga ubi
kayu pada tahun 2010 sebesar 1.43%, tahun 2011 sebesar 1.87%, dan tahun 2012
sebesar 0.91%. Peningkatan harga tertinggi pada periode tersebut terjadi pada
bulan November tahun 2011 hingga mencapai 13.46%. Pada bulan Februari 2013
kembali terjadi tendensi peningkatan pada kisaran harga Rp4 488/kg.
Provinsi Jawa Barat memiliki harga ubi kayu yang cukup stabil apabila
dibandingkan dengan provinsi yang lainnya. Berdasarkan pemantauan harga
eceran yang dilakukan oleh Ditjen PPHP Kementerian Pertanian, tercatat harga
rata-rata ubi kayu selama bulan Februari 2013 di daerah Bandung, Jawa Barat
berkisar antara Rp1 715/kg, selain itu perkembangan harga rata-rata ubi kayu
mingguan mulai dari Februari 2010 hingga Februari 2013 di provinsi Jawa Barat
masih cenderung stabil. Data tersebut dapat dilihat pada Lampiran 9. Hal ini
disebabkan oleh masih tingginya tingkat produksi di daerah Jawa Barat dan
adanya kontinyuitas produksi meski tidak sedang berada dalam masa panen.
Hafsah (2003) menyebutkan bahwa untuk menjaga harga agar tetap stabil
maka diperlukan beberapa hal, yaitu :
petani produsen mengorganisir diri dalam wadah kelompok ekonomi dan
koperasi
mengatur pola tanam agar waktu panen tersebar
membentuk masyarakat ubi kayu dan lembaga penyanggah ubi kayu
melaksanakan kemitraan antara pengolahan dan produsen ubi kayu
meningkatkan produktivitas usahatani
meningkatkan dan menjaga kualitas produksi
Gambar 10. Perkembangan harga ubi kayu di tingkat nasional
2010 – Februari 2013 Sumber : Kementan (2013)
Page 60
47
kebijaksanaan makro yang mendukung peningkatan produksi, produktivitas,
dan mengatur tataniaga ekspor maupun impor.
Potensi dan Peluang Pasar
Setiap usaha pasti mengandalkan pasar sebagai sistem utama untuk
memonitor berbagai peluang dan mengembangkan sasaran serta perencanaan
usaha. Meski salah satu kendala utama industri kecil atau UKM adalah
pemasaran, namun sebagai pelaku usaha harus terus dapat mengantisipasi adanya
perubahan selera pasar. Industri kecil tapioka merupakan salah satu UKM yang
sebagian besar tidak terlalu mempermasalahkan manajemen pemasaran, karena
adanya pembeli tetap (pabrik pengepul) yang siap menerima hasil produksi para
pengrajin tapioka.
Tapioka telah masuk sebagai bahan baku paling penting di industri, baik
secara nasional maupun internasional. Peranannya tidak hanya berhenti sebagai
bahan utama pada industri makanan dan minuman, namun juga sebagai bahan
pelengkap pada berbagai macam industri non makanan dan minuman. Di negara
maju, tapioka paling banyak diserap oleh industri HSF (High Fructose Syrup) dan
asam sitrat, yang muaranya ke industri berbagai minuman sintetis. Misalnya
minuman berupa serbuk padat dengan rasa jeruk.
Menurut data BPS, Indonesia telah mengalami kenaikan ekspor tepung
tapioka pada tahun 2010 hingga tahun 2011. Pada tabel 14 dapat dilihat bahwa
terjadi peningkatan kuantitas ekspor pati (tapioka) lebih dari 300%. Selain itu,
nilai ekspor juga meningkat tiap satuan kg, dari yang sebelumnya sebesar Rp5
297/ kg menjadi Rp5 337/kg. Hal ini merupakan salah satu prospek cerah tapioka
Indonesia dalam kancah perdagangan internasional, sehingga tidak menutup
kemungkinan adanya perluasan ekspor tapioka dari Indonesia ke negara-negara
konsumen utama.
Tabel 14 Perkembangan ekspor tepung dan pati Indonesia tahun 2010 – 2011a
aSumber : BPS (2012)
Di Indonesia, tapioka paling banyak diserap oleh industri bakso dan
berbagai kerupuk. Pempek, meskipun berbahan baku tepung tapioka, namun daya
serapnya masih rendah dibanding dengan bakso. Selama ini, ada pergeseran pola
makan bangsa Indonesia dari makan nasi ke makan roti, mi dan bakso. Karenanya,
kebutuhan tepung tapioka dalam negeri pun makin tahun juga makin besar.
Deskripsi 2010 2011
Nilai (US$) Berat (kg) Nilai (US$) Berat (kg)
Irisan ubi kayu kering 31,745,792 143,775,233 27,020,254 98,769,908
Irisan ubi kayu segar 16,369 51,165 239,925 350,169
Bentuk Lain 891,122 1,390,872 2,207,321 6,411,146
Tepung 1,651,905 3,943,707 4,111,779 6,805,306
Pati 12,778,524 23,398,745 49,530,223 90,008,484
Ampas pati 450,024 1,709,340 480,010 978,795
Page 61
48
Semakin meningkatnya value ladder pada kalangan menengah ke atas5 akibat
adanya peningkatan daya beli dan selera, membuat permintaan tapioka semakin
meningkat pada industri makanan dan minuman yang terus bermunculan. Daftar
perusahaan di Indonesia yang menggunakan tapioka sebagai bahan baku dapat
dilihat pada Lampiran 7.
Di sisi lain, kebutuhan tepung tapioka di Jawa Barat diperkirakan cukup
tinggi karena terdapat banyak industri makanan skala rumah tangga dengan
sebagian besar konsumen merupakan kalangan menengah ke bawah yang
memerlukan bahan baku berupa tepung tapioka baik sebagai bahan pokok atau
bahan campuran. Pohon industri tapioka secara lebih lengkap dapat dilihat pada
Lampiran 8. Industri tepung tapioka, bisa dilakukan oleh perusahaan raksasa
dengan kebun seluas ribuan hektar yang biasanya sudah merupakan usaha
berskala multinasional. Industri ini bisa pula dilakukan dengan skala rumah
tangga seperti yang dilakukan di Kab. Bogor, Jawa Barat. Industri pati singkong
skala rumah tangga di Kab. Bogor, bisa bertahan selama puluhan tahun karena
pasar aci singkong cukup baik. Terutama pasar lokal untuk bahan kerupuk dan
bakso.
Gambar 11 merupakan sebaran industri penghasil dan pengguna tepung
tapioka di beberapa daerah di Indonesia. Jawa Barat merupakan provinsi dengan
jumlah industri pengguna tepung tapioka terbanyak di Indonesia, yaitu sejumlah
145 industri, namun hanya memiliki 50 industri penghasil tepung tapioka saja.
Selain itu Jawa Timur juga memiliki industri pengguna yang cukup banyak yaitu
139 industri dengan jumlah industri penghasil hanya 39 industri. Yang
5 Menurut survey yang dilakukan Susenas tahun 2009, konsumsi ubi kayu menurun pada tahun
2009 dari 0.55% menjadi 0.49% pada tahun 2010. Hal yang sebaliknya terjadi pada konsumsi
makanan dan minuman jadi yang persentasenya naik dari tahun 2009 sebesar 12.36% menjadi
12.79%.
0
6
7
3
0
11
34
50
27
11
0
0
19
70
32
30
24
35
145
105
139
23
22
19
0 50 100 150
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Lampung
Bangka Belitung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Banten
Kalimantan Selatan
Gorontalo
Jumlah Pabrik
Pro
vin
si
Industri Pengguna
Industri Penghasil
Gambar 11 Sebaran industri penghasil dan pengguna tepung tapioka
di Indonesia Sumber : Kemenperin (2012)
Page 62
49
mengejutkan bahwa ada 4 provinsi yang tidak memiliki industri penghasil tepung
tapioka namun memiliki industri pengguna yang cukup banyak, provinsi terebut
yaitu Gorontalo, Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, dan Nangroe Aceh
Darussalam. Hal ini merupakan peluang pasar yang cukup besar bagi produsen
tapioka di Indonesia, khususnya di daerah Kabupaten Bogor yang sudah sejak
lama merupakan tempat industri kecil tapioka berada.
Kendala dan Kelemahan
Suwarto (2005) menyebutkan bahwa sebagian besar pengrajin tapioka
dalam industri kecil memiliki posisi tawar yang lemah. Mereka diperlakukan
hanya sebagai pemasok bahan baku industri besar. Sistem pemasaran dengan
harga yang sangat tergantung kepada industri besar seperti ini tentu saja
merugikan para pengrajin. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh rendahnya tingkat
pendidikan dan minimnya akses terhadap modal, sehingga para pengrajin tapioka
hanya bisa menerima monopolisasi harga dari pabrik pengepul. Pabrik pengepul
pada umumnya berupa industri derivatif yang hanya melakukan beberapa kali
proses pengolahan tapioka kasar sebelum dilakukan pengemasan dan pemberian
merek tertentu. Sehingga margin yang didapatkan biasanya jauh lebih besar
dibandingkan dengan nilai tambah yang didapatkan oleh para pengrajin itu
sendiri.
Bantacut (2010) menyebutkan bahwa permasalahan di pihak petani dan
industri kecil tapioka ditentukan oleh keuntungan berbanding (comparative
advantages) dari ubi kayu terhadap tanaman lainnya. Bagi industri, permasalahan
yang sama dapat terjadi yakni tersedianya bahan baku substitusi yang memberikan
keuntungan yang lebih baik. Akibatnya, terjadi senjang pemisah yang lebar antara
keinginan petani sebagai produsen dan industri sebagai konsumen. Mereka tidak
mungkin dipertemukan pada satu titik keseimbangan, karena pada titik itu
keduanya mengalami kerugian ekonomi. Teknologi harus dikembangkan untuk
menekan biaya produksi kedua belah pihak sehingga ruang singgung mereka
semakin luas. Selain itu, industri tapioka skala kecil di kota Bogor secara
keseluruhan masih belum efisien. Hal ini terlihat dari efisiensi yang berbeda antara
industri yang satu dengan yang lain dan masih ada industri yang belum efisien.
Secara lebih spesifik, terdapat beberapa kelemahan industri kecil tapioka,
salah satunya yaitu produksi industri kecil tapioka belum optimal hingga saat ini.
Pemanfaatan kapasitas produksi terpasang belum bisa dilakukan dengan baik,
karena penggunaan mesin penggiling belum optimal (tidak aktif), sehingga
industri sering tidak dapat memenuhi permintaan pasar. Faktor modal juga
mempengaruhi proses produksi tapioka. Seluruh kegiatan produksi yang
dilakukan sarat dengan biaya, maka sudah dipastikan untuk memproduksi tepung
dengan jumlah yang banyak diperlukan modal yang tidak sedikit. Kurangnya
modal bagi industri kecil tapioka dapat berdampak pada terbatasnya kemampuan
industri kecil tapioka untuk meningkatkan kapasitas produksi (Rochaeni et al.
2007)
Biaya produksi yang tinggi juga merupakan salah satu kelemahan industri
kecil tapioka. Volume produksi yang sedikit pada kapasitas yang besar
meyebabkan biaya per satuan produk menjadi tinggi. Faktor lain yang memicu
semakin tingginya biaya produksi adalah karena naiknya harga bahan baku dan
biaya tenaga kerja. Selain itu, belum ada kegiatan pemasaran yang cukup optimal.
Page 63
50
Promosi masih belum dioptimalkan untuk meraih pangsa pasar yang masih luas
meski secara mutu produk tapioka kasar yang dihasilkan sudah cukup baik. Usaha
untuk menghasilkan produk yang semula tepung kasar menjadi tepung halus
merupakan suatu terobosan yang harus diikuti dengan pemasaran yang memadai.
Selama ini industri kecil tapioka yang ada di wilayah Bogor masih tergolong
tradisional dan semi teknis. Industri kecil tapioka tidak menggunakan teknologi
yang maju dalam proses produksinya, hal ini disebabkan industri kecil tapioka ini
termasuk usaha padat karya dan tenaga kerja di wilayah Sukaraja cukup banyak
dan berpotensi untuk menjalankan produksi dengan profesional. Berkaitan dengan
hal tersebut, kemampuan manajerial yang dimiliki oleh pengusaha industri kecil
tapioka khususnya di Desa Pasir jambu dikatakan sangat minim. Keputusan-
keputusan manajerial ditentukan oleh satu orang, yaitu pemilik faktor produksi.
Kendala yang dapat terjadi dalam pengembangan industri kecil tapioka yaitu
salah satunya kontinyuitas bahan baku. Berkurangnya lahan pertanian setiap
tahunnya dan kecenderungan berkurangnya minat masyarakat di wilayah Bogor
untuk membudidayakan ubi kayu menjadi sebuah ancaman kontinyuitas bahan
baku industri kecil tapioka. Disamping menghadapi persaingan dengan industri
kecil lainnya, industri ini juga harus bersaing dengan pesaing besar yang berasal
dari daerah lain yang lebih maju dalam teknologi maupun pangsa pasar. Salah satu
pesaing yang perlu menjadi perhatian adalah industri tepung tapioka yang berada
di wilayah Lampung.
Prospek Pengembangan
Petani dan industri kecil tapioka termasuk UMKM, yang memiliki peran
penting dalam pembangunan pereknomian nasional. Tentu mesti diikuti perbaikan
harga singkong di tingkat petani yang selama ini sangat fluktuatif. Akses
informasi pasar baik domestik atau internasional secara lebih cepat perlu
diberikan melalui kemajuaan teknologi informasi dan komunikasi. Kelembagaan
petani dan industri kecil tapioka penting diciptakan dan diberdayakan melalui
penyuluhan bterpadu, sehingga posisi tawar terhadap pelaku bisnis lain lebih kuat.
Pengembangan industri kecil tapioka di Jawa Barat cukup difokuskan pada
produk tapioka yang sesuai dengan pasar lokal, yaitu kualitas sedang melalui
pengembangan unsur-unsur penunjang untuk menciptakan kepastian usaha bagi
pengrajin tapioka skala rumah tangga. Dengan menghidupkan dan
mengembangkan secara horizontal pengrajin tapioka yang telah ada dengan
tingkat kapasitas olah sesuai dengan titik impas produksi yaitu ± 100 kg/hari ,
sehingga dapat memberikan manfaat berupa :
a. Sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru
Program pengembangan agroindustri di wilayah pedesaan memiliki
landasan yang kuat berupa basis bahan baku dan tenaga kerja murah, sehingga
ketahanannya terhadap krisis akibat perubahan lingkungan global dapat
diandalkan. Industri kecil tapioka telah dijalankan oleh sebagian masyarakat
Kabupaten Bogor dalam skala rumahtangga, sehingga telah menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat dan memiliki kontribusi terhadap pendapatan
sebagian rumah tangga di pedesaan. Untuk meningkatkan
produktivitas/rendemen tapioka yang dihasilkan, maka upaya pengembangan
budidaya ubi kayu yang memiliki rendemen tinggi perlu mendapat prioritas.
Page 64
51
b. Membuka peluang usaha, menciptakan lapangan kerja dan sumber pendapatan
Menghidupkan dan mengembangkan secara horizontal industri kecil
tapioka yang telah ada membuka peluang usaha bagi masyarakat di pedesaan
dan mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam membangun daerahnya.
Berkembangnya industri kecil tapioka akan menciptakan lapangan kerja dan
sumber pendapatan bagi masyarakat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa
a. Rendemen satu kuintal bahan baku tapioka kasar, secara rata-rata
menghasilkan 21.67% tapioka kasar dan 6.04% onggok (ampas kering),
dengan rata-rata produksi tapioka per orang yaitu 48.87 ton/tahun dan
ampas kering 13.60 ton/tahun
b. Penerimaan pemilik faktor produksi atas tepung tapioka yaitu sebesar
Rp409 996 400 dan ampas kering yaitu sebesar Rp31 166 400, sehingga
total pendapatan per tahun per orang yaitu Rp41 711 198 dengan R/C ratio
rata-rata yaitu sebesar 1.10
c. Penerimaan pengrajin penggarap atas tepung tapioka yaitu sebesar Rp127
419 600 dan dari ampas kering yaitu sebesar Rp9 653 891, sehingga total
pendapatan per tahun per orang yaitu Rp7 283 470 dengan R/C ratio rata-
rata yaitu sebesar 1.06
d. Titik Impas dari pengolahan tapioka yaitu Rp159 969 265 per tahun atau
sebanyak 270.03 kuintal tapioka dan onggok / pengrajin
2. Nilai tambah yang diperoleh dari adanya kegiatan industri kecil tapioka yaitu
Rp21 913/kuintal bahan baku dengan rasio nilai tambah dari pengolahan yaitu
17.09%. Balas jasa terbanyak didapatkan dari keuntungan yaitu sebesar
57.27%, selanjutnya diikuti oleh sumbangan input lain sebesar 30.59%, dan
pendapatan tenaga kerja sebesar 12.14%.
3. Potensi dan prospek pasar tepung tapioka bagi industri kecil di masa depan
akan sangat cerah, mengingat semakin berkembangnya industri-industri olahan
makanan di daerah Jawa Barat dan di Indonesia, serta tidak menutup
kemungkinan adanya perluasan ekspor dari komoditi tepung tapioka.
Saran
1. Industri kecil tapioka di Desa Pasir Jambu memiliki potensi dan prospek yang
besar untuk dikembangkan, maka dalam rangka pengembangan skala
usahanya, diperlukan pembinaan manajemen dan kelembagaan, peningkatan
efisiensi usaha, khususnya bagi pengrajin yang memiliki koefisien tenaga kerja
yang lebih dari 0.16.
Page 65
52
2. Mendorong pengembangan agroindustri berbasis ubi kayu agar pemilik modal
menanamkan investasinya dalam industri tapioka. Langkah ini akan lebih
efektif jika didukung dengan penerapan teknologi yang lebih canggih sehingga
dapat menghasilkan produk dengan mutu dan rendemen yang tinggi.
3. Perlunya pembenahan manajemen usaha dan peningkatan skala usaha sehingga
pengrajin tapioka lebih dapat mengingkatkan nilai tambah dan pendapatan
yang diterima, disamping membangun sistem kelembagaan untuk
pengembangan rantai pasokan industri kecil tapioka antara penyedia bahan
baku dan perusahaan pengguna tepung tapioka.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2012. Kondisi Umum dan Potensi Desa Pasir Jambu Kecamatan
Sukaraja Kabupaten Bogor Tahun.
[Anonim]. 2009. Profil Gapoktan PUAP Karya Bersama Desa Pasir Jambu
Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor
Austin, James E. 1981. Agroindustrial Project Analysis. The John Hopkins press.
London.
Bantacut, T. 2010. Penelitian dan Pengembangan Untuk Industri Berbasis
Cassava. Jurnal Teknik Industri Pertanian. Vol. 19(3), 191-202
Barret, D. M dan Damardjati, D. S. 1985. Peningkatan Mutu Hasil Ubi Kayu di
Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi.
BPS. Kabupaten Bogor dalam Angka 2012. BPS Kabupaten Bogor.
BPS. Buku Saku Statistik Jawa Barat 2012. BPS Provinsi Jawa Barat.
Darwis V, Muslim C, Askin A. 2009. Usahatani dan Pemasaran Ubi Kayu serta
Teknologi Pengolahan Tapioka di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah.
Bogor: PSEKP
Deshaliman. 2003. Memperkuat Ketahanan Pangan dengan Umbi-umbian. Pusat
Pengembangan Ketersediaan Pangan, Badan Bimas Ketahanan Pangan.
Jakarta : Kementan
[Kemenkop] Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. 2012. Sandingan
Data UMKM 2006-2010. Jakarta: Kemenkop
[Kemenperin] Kementerian Perindustrian. 2012. Indeks Nilai Tambah Bruto
Nasional 2012. Jakarta: Kemenperin
[Kemenperin] Kementerian Perindustrian. 2012. Sistem Informasi Grafis Industri
Tepung Indonesia 2012. Jakarta : Kemenperin
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2013. Buletin Analisis Perkembangan Harga
Komoditas Pertanian Maret 2013. Jakarta : Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian Kementerian Pertanian.
Hafsah, M. J. 2003. Bisnis Ubi Kayu Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Hayami Y, Kawagoe T, Morooka Y, Siregar M. 1987. Agricultural Marketing and
Processing in Upland Java A Perspective From A Sunda Village. Bogor :
CGPRT Centre.
Page 66
53
Larasati, N. 1986. Analisis Finansial Industri Tapioka (Studi Kasus Perusahaan
Tapioka di Desa Bojong, Kabupaten Sukabumi. [Skripsi]. Bogor : Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Mulyadi. 1997. Akuntansi Manajemen : Konsep, Manfaat, dan Rekayasa.
Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.
Pohan RR. 2011. Analisis Pendapatan Usahatani, Pemasaran dan Nilai Tambah
Ubi Kayu [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi. Institut Pertanian Bogor
Purba R. 2002. Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah pada Industri Kecil
Tapioka (Kasus Industri Kecil tapioka di Desa Ciparigi Bogor Utara, Bogor)
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Puteri, A.G. 2009. Analisis Respon dan Proyeksi Penawaran Ubi Kayu di
Indonesia. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut
Pertanian Bogor.
Riyanto, B. 1997. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi ke-4. Yogyakarta :
BPFE.
Rochaeni, Soewarno S, dan Zakaria FR. 2007. Kajian Propsek Pengembangan
Industri Kecil Tapioka di Sukaraja Kabupaten Bogor. J MPI 2 (2 September
2007).
Rukmana, R. 1997. Ubi Kayu Budi Daya dan PascaPanen. Yogyakarta : Kanisius
Simanjuntak, Parulian. 2010. Pemberdayaan UKM dengan Menggunakan
Pendekatan Model Ekonomi di Sumatera Utara. VISI (2010) 18 (1) 77 – 87
Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta : Universitas Indonesia.
Somantri, A.S dan Machfud. 2006. Analisis Sistem Dinamik Untuk Kebijakan
Penyediaan Ubi Kayu (Studi Kasus di Kabupaten Bogor). Buletin Teknologi
Pascapanen Pertanian. Vol 2. Bogor : Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Supriati, M. Lies. 2009. Tepung Tapioka : Pembuatan dan Pemanfaatannya.
Yogyakarta : Kanisius
Sukandar, N.W. 2000. Analisis Nilai Tambah dan Prospek Pengembangan
Industri Pengolahan Ubi Kayu (Perbandingan Metode M. Dawam Rahardjo
dan Hayami) [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) . Pengeluaran untuk Konsumsi
Penduduk Indonesia 2010.
Survei Industri Mikro dan Kecil (VMIK 10). Profil Industri Mikro dan Kecil
2010. BPS.
Suwarto. 2005. Menjadikan Ubi Kayu Sebagai Sumber Ketahanan Pangan dan
Energi di Indonesia. Bogor : Prosiding Simposium dan Seminar Bersama
PERAGI – PERHORTI – PERIPI – HIGI.
Trubus Cipta Usaha. 2013. My Potential Business : Cara Jitu Jadi Raja Singkong.
Jakarta : Trubus Swadaya
Page 67
54
Lampiran 1 Struktur PDRB Jawa Barat menurut sektor tahun 2012a
aSumber : BPS Jawa Barat 2012
Lampiran 2 Industri pengguna tepung tapioka di Indonesia tahun 2011a
Jenis Industri Volume Penggunaan
(MT)
Industri Bumbu Masak Dan Penyedap Masakan 5.59
Industri Glukosa Dan Sejenisnya 7200.00
Industri Kerupuk, Keripik, Peyek Dan Sejenisnya 24503.48
Industri Konsentrat Makanan Hewan 399.40
Industri Kue Basah 308.16
Industri Makanan Dan Masakan Olahan 13.25
Industri Makanan Dari Kedele Dan Kacang-
Kacangan
31102.50
Industri Makaroni, Mie Dan Produk Sejenisnya 8531.10
Industri Pengolahan Es Krim 3.53
Industri Produk Roti Dan Kue 4792.14
Industri Ransum Makanan Hewan 1157.53
Total 78016.68 aSumber : Kemenperin 2012
Kelompok Sektor/Sektor 2010 2011 2012
I Primer 14.61 13.99 13.38
1. Pertanian 12.60 11.98 11.52
2. Pertambangan dan Penggalian 2.01 2.02 1.86
II Sekunder 44.33 43.70 42.59
3. Industri Pengolahan 37.80 37.16 35.79
4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 2.76 2.55 2.51
5. Bangunan 3.76 3.99 4.29
III Tersier 41.06 42.30 44.04
6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 22.38 22.58 23.90
7. Pengangkutan dan Komunikasi 7.08 7.70 7.79
8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa
Perusahaan 2.74 2.84 2.95
9. Jasa-jasa 8.85 9.17 9.40
PDRB Jawa Barat 100.00 100.00 100.00
Page 68
55
Lampiran 3 Tabel produksi ubi kayu di Jawa Barata
Kabupaten Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)
Bogor 7718 167295 21.68
Sukabumi 10268 167636 16.33
Cianjur 7592 141101 18.59
Bandung 57232 7566 0.13
G a r u t 23006 534217 23.22
Tasikmalaya 14673 309514 21.09
Ciamis 4841 90141 18.62
Kuningan 2338 40468 17.31
Cirebon 141 2229 15.81
Majalengka 1169 20930 17.90
Sumedang 10516 179753 17.09
Indramayu 142 1834 12.92
Subang 1493 27341 18.31
Purwakarta 5404 112687 20.85
Karawang 278 5024 18.07
Bekasi 200 2968 14.84
Bandung Barat 4169 78097 18.73
Kota
Bogor 377 5690 15.09
Sukabumi 45 672 14.93
Bandung 52 564 10.85
Cirebon 22 313 14.23
Bekasi 66 815 12.35
Depok 305 4277 14.02
Cimahi 51 768 15.06
Tasikmalaya 488 6905 14.15
Banjar 324 5330 16.45
Jawa Barat 103244 2058784 16.10 aSumber : Buku Saku Jawa Barat 2012
Page 69
56
Lampiran 4 Penggunaan tepung tapioka menurut lokasi
industri pengguna Tahun 2011a
Provinsi Volume Penggunaan
(MT)
Banten 1,159.20
DI Yogyakarta 390.00
DKI Jakarta 2,403.00
Jawa Barat 7,860.51
Jawa Tengah 49,849.65
Jawa Timur 10,960.03
Kalimantan Selatan 16.80
Kepulauan Bangka Belitung 308.20
Lampung 3,342.34
Nanggroe Aceh Darussalam 7.15
Nusa Tenggara Barat 218.15
Sulawesi Selatan 0.10
Sumatera Barat 20.16
Sumatera Selatan 112.65
Sumatera Utara 1,368.74
Total 78,016.68 aSumber : Kemenperin 2012
Page 70
57
NO Nama Usia
(Tahun) Pendidikan
Pekerjaan
Utama Pekerjaan Sampingan
Jumlah
Anggota
Keluarga
Pengalaman
Berproduksi
(Tahun)
Sumber Daya /
Aset yang
Dimiliki
TK Luar
Keluarga
TK
Keluarga
1 Nunung 36 SMP Pengrajin Tapioka
5 5
Mesin Giling
dan Lahan
Jemur 4 2
2 Suhadi 71 SD Pengrajin Tapioka Peternak Kambing 6 9
1
3 Ncep 65 SD Pengrajin Tapioka Peternak Kambing 5 10
2
4 Gugun 28 SD Pengrajin Tapioka Kuli Bangunan 3 5
1
5 Adji 50 SD Pengrajin Tapioka Peternak Kambing 3 20
2
6 Syahroni 32 SMP Pengrajin Tapioka Kuli Bangunan 4 10
2
7 Khomarudin 32 SD Pengrajin Tapioka
Petani Singkong,
Peternak Kambing 6 5
2
8 Andi 42 SD Pengrajin Tapioka
5 25
Mesin Giling
dan Lahan
Jemur 6 1
9 Ramdhoni 26 SD Pengrajin Tapioka Kuli Bangunan 4 11
1
10 Ndang 49 SD Pengrajin Tapioka
Kuli Bangunan, Peternak
Kambing 3 25
2
11 Ming 62 SD Pengrajin Tapioka
Produsen Opak Ampas
dan Opak Gelang 6 40 Lahan Jemur 1 3
12 Ani 52 SD Pengrajin Tapioka Warung Kelontong 3 30 Lahan Jemur 1 1
13 Bobi 35 SMA Pengrajin Tapioka
Petani Singkong,
Peternak Ayam dan
Kambing 5 10
Mesin Giling
dan Lahan
Jemur 8 2
14 Tedi 36 SD Pengrajin Tapioka Kuli Bangunan 5 5
3
15 Nurdi 50 SD Pengrajin Tapioka Kuli Bangunan 7 30
1
16 Unin 80 SD Pengrajin Tapioka
6 40
Mesin Giling
dan Lahan
Jemur 6
1
17 Rusdi 55 SD Pengrajin Tapioka Peternak Kambing 11 20
2
Lampiran 5 Karaktersitik responden pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu
57
Page 71
58
Nama Alat Harga Satuan (Rp) Jumlah (Unit) Nilai (Rp) Umur Pakai (Tahun) Biaya Penyusutan Per Tahun (Rp) Nilai Sisa (Rp)
Mesin Giling Rp 2,500,000 1 Rp 2,500,000 5 Rp 500,000
Bambu Jemuran (Plampang) Rp 10,000 250 Rp 2,500,000 1 Rp 2,500,000
Tampah Rp 5,000 300 Rp 1,500,000 1 Rp 1,500,000
Keranjang Rp 25,000 5 Rp 125,000 0.5 Rp 250,000
Ayakan Rp 35,000 2 Rp 70,000 0.25 Rp 280,000
Saringan Rp 20,000 2 Rp 40,000 0.25 Rp 160,000
Gayoran Rp 25,000 2 Rp 50,000 0.5 Rp 100,000
Saung / Gubuk Rp 3,000,000 1 Rp 3,000,000 2 Rp 1,125,000 Rp 750,000
Plastik Rp 7,000 25 Rp 175,000 0.33 Rp 530,303
Pisau Rp 10,000 3 Rp 30,000 0.5 Rp 60,000
Rumah Penggilingan Rp 20,000,000 1 Rp20,000,000 10 Rp 1,500,000 Rp 5,000,000
Total Biaya Penyusutan Rp 8,505,303
Lampiran 6 Penyusutan alat dan mesin industri kecil tapioka
58
Page 72
59
Nama Perusahaan Alamat Perusahaan Kabupaten/Kota
PT. RADIANCE JL KH ASHARI NO 50-50A Kodya Jakarta Barat
KWETIAW GEDUNG PANJANG JL SEPAT BLOK E2 NO 14 A Kodya Jakarta Utara
SUKA ASIH JL H KOMANG BAWAH NO.16 CILANDAK Kodya Jakarta Selatan
PT. SENTRAFOOD INDONUSA DESA ANGGITA KLARI KARAWANG TIMUR Kabupaten Karawang
SARI IKAN JL RAWA SARI 3 RT 04/05 CIPAYUNG DEPOK Kota Depok
KERUPUK IKAN SARI JL. TANAH BARU GG. DAMAI I NO.37 PANCORAN MAS Kota Depok
KUE NOVA GG. PONDOK PUTRI NURUL HUDA PRINGSEWU SELATAN, KEC.PRINGSEWU Kabupaten Pringsewu
KUE SEMANIS MADU JL. KH DEWANTORO 68 PRINGSEWU Kabupaten Pringsewu
IKM Sumiyah Kp. Panguseupan Ds. Carita Kec. Carita Kabupaten Pandeglang
Tanjung Sari Jl Rotan IX RT. 4/7 Kel. Rorotan Kec. Cilincing Kodya Jakarta Utara
Pabrik Kerupuk Sinar Jl. Kampung Kelapa Dua Rt.04 Rw.09 No.148 Kota Depok
SUM Jl. Kramat Asem Kamp. Vitara Rt.03 / XIV Pancoran Mas Depok Kota Depok
UD. Anugerah Jl Galunggung No. 89 Rt 03 / 02 Klatakan Tanggul Kabupaten Jember
Asli Jl. Citeureup No. 44 Rt. 01 Rw. 03 Kel. Citeureup Kec. Cimahi Kota Cimahi
PD. Sari Sedap Jl. Madesa 1 No.71 Kelurahan Kopo Kecamatan Bojong Loa Kaler Kota Bandung
Hurip Jl. Babakan Radio,GG. Madsuhi No.33 Kel. Sukaraja Kec. Cicendo Kabupaten Bandung
Sari Udang Kp. Kelapa Dua Gg. Inpres No.64 Rt. 001 / 011 Kel. Tugu Kec. Cimanggis Kota Depok
Dua Putra Kp. Arman Rt. 08 / 08 No. 125 Kel. Tugu Kec. Cimanggis Kota Depok
Kerupuk Suharto Gedangan , Karangnangka Kabupaten Klaten
A99N JL. NAROGONG K II GG. RAWA MAYAR, RT.02 / 10 KEC. BANTAR GEBANG Kota Bekasi
DANI JAYA JL. ABDUL WAHAB GG. RAALIH NO. 1 RT 03/03 Kota Depok
PK. Sumber Jaya Jl. Raya Narogong KM. 12.5 Cikiwul, Bantar Gebang Kabupaten Bekasi
MANDIRI JL H MANSYUR RT 03/03 Kota Tangerang Selatan
PD. Harum Sari Dusun Cikalapa Desa Pamakolan Rt 03/02 Kabupaten Ciamis
SRI TANJUNG JL PERINDUSTRIAN RT 18/06 DESA KENANGA Kabupaten Indramayu
Lampiran 7 Daftar industri pengguna tepung tapioka di Jawa Barata
59
Page 73
60
PADI KAPAS DS KENANGA BLOK DUKU RT 25/06 KEC. SINDANG Kabupaten Indramayu
DUA MAWAR DESA KENANGA BLOK DUKU KEC SINDANG Kabupaten Indramayu
DUA GAJAH JL PERINDUSTRIAN RT 14/04 Kabupaten Indramayu
UDM JL RAYA KALIJAYA NO.69 KEC RENGASDENGKLOK Kabupaten Karawang
GAPURA KIKI JL SEIMULANG NO. 71 RENGASDENGKLOK UTARA Kabupaten Karawang
GUCI EMAS JL PERINDUSTRIAN RT 17/06 KEC.SINDANG Kabupaten Indramayu
RUBY JL TENTARA PELAJAR NO 63 Kota Cirebon
DUA EMPAT DESA BATTEMBAT KEC. TENGAH TANI RT 04/04 Kabupaten Cirebon
CV. Wisesan Jaya Makmur Jalan Yos Sudarso no. 1 Jurimudi Baru Kota Tangerang
PD. Fajar Kampung Tonggan Desa Junti Kecamatan Jawilan Kabupaten Serang
Sikumpay Jl Ciampea Kp Gedong Rt 03/01 No. 45 Desa Ciampea Kec Ciampea Kabupaten Bogor aSumber : Kemenperin (2012)
60
Page 74
61
Lampiran 8 Pohon industri ubi kayu Sumber : Trubus (2012)
Lampiran 9 Perkembangan haga rata-rata mingguan ubi kayu di
beberapa kota di Indonesiaa
aSumber : Kementan (2013)
Page 75
62
Proses pengupasan ubi kayu
Proses pencucian dan pembersihan bahan baku
Proses penggilingan ubi kayu
Page 76
63
Proses penyaringan pati dengan menggunakan tenaga manual dan
tenaga mesin pengayak
Proses pengendapan pati
Proses pengangkatan pati dan
persiapan penjemuran
Saung/gubug dan
peralatan penjemuran
Areal lahan penjemuran tepung
tapioka kasar dan onggok
Page 77
64
Arus Pengeluaran 9 10 14 15 17 RATA-RATA
Biaya Tetap
Biaya Sewa Lahan Rp 2,610,000 Rp 2,610,000 Rp 600,000 Rp 2,610,000 Rp 20,510,250 Rp 4,054,568
Total Biaya Penyusutan Rp 6,505,303 Rp 6,505,303 Rp 6,505,303 Rp 6,505,303 Rp 6,505,303 Rp 6,505,303
Biaya Tetap Total Rp 9,115,303 Rp 9,115,303 Rp 7,105,303 Rp 9,115,303 Rp 9,115,303 Rp 8,932,576
Biaya Variabel
Tenaga Kerja diperhitungkan Rp 5,760,000 Rp 8,160,000 Rp 13,920,000 Rp 5,760,000 Rp 8,364,000 Rp 7,611,273
Biaya Bahan Baku Rp116,000,400 Rp 116,000,400 Rp 116,000,400 Rp 92,800,320 Rp 118,900,410 Rp 103,609,448
Biaya Sewa Penggilingan Rp 8,120,028 Rp 8,120,028 Rp 8,120,028 Rp 6,496,022 Rp 8,323,029 Rp 7,252,661
Biaya Pemasaran Rp 2,665,410 Rp 2,665,410 Rp 1,950,300 Rp 2,132,328 Rp 2,665,410 Rp 2,352,180
Total Biaya Variabel Rp 125,984,806 Rp 136,544,806 Rp 159,104,806 Rp 102,264,646 Rp 136,544,806 Rp 120,857,446
Biaya Total Rp 135,100,109 Rp 145,660,109 Rp 166,210,109 Rp 111,379,949 Rp 145,660,109 Rp 129,790,021
Arus Pengeluaran 2 3 4 5 6 7
Biaya Tetap
Biaya Sewa Lahan Rp 2,610,000 Rp 2,610,000 Rp 2,610,000 Rp 2,610,000 Rp 2,610,000 Rp 2,610,000
Total Biaya Penyusutan Rp 6,505,303 Rp 6,505,303 Rp 6,505,303 Rp 6,505,303 Rp 6,505,303 Rp 6,505,303
Biaya Tetap Total Rp 9,115,303 Rp 9,115,303 Rp 9,115,303 Rp 9,115,303 Rp 9,115,303 Rp 9,115,303
Biaya Variabel
Tenaga Kerja diperhitungkan Rp 5,760,000 Rp 8,160,000 Rp 5,760,000 Rp 5,760,000 Rp 8,160,000 Rp 8,160,000
Biaya Bahan Baku Rp 92,800,320 Rp 116,000,400 Rp 92,800,320 Rp 92,800,320 Rp 92,800,320 Rp 92,800,320
Biaya Sewa Penggilingan Rp 6,496,022 Rp 8,120,028 Rp 6,496,022 Rp 6,496,022 Rp 6,496,022 Rp 6,496,022
Biaya Pemasaran Rp 2,132,328 Rp 2,665,410 Rp 2,132,328 Rp 2,132,328 Rp 2,132,328 Rp 2,600,400
Total Biaya Variabel Rp 102,264,646 Rp 136,544,806 Rp 102,264,646 Rp 102,264,646 Rp 112,824,646 Rp 112,824,646
Biaya Total Rp 111,379,949 Rp 145,660,109 Rp 111,379,949 Rp 111,379,949 Rp 121,939,949 Rp 121,939,949
Lampiran 10 Arus pengeluaran usaha pengrajin penggarap industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu 64
Page 78
65
Lampiran 11 Arus pengeluaran usaha pemilik faktor produksi industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu
Arus Pengeluaran 1 8 11 12 13 16 RATA-RATA
Biaya Tetap
Biaya Sewa Lahan
diperhitungkan Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 Rp 2,000,000
Total Biaya Penyusutan Rp 8,505,303 Rp 8,505,303 Rp 8,505,303 Rp 8,505,303 Rp 8,505,303 Rp 8,505,303 Rp 8,505,303
Biaya Tetap Total Rp 10,505,303 Rp 10,505,303 Rp 8,505,303 Rp 8,505,303 Rp 10,505,303 Rp 10,505,303 Rp 9,838,636
Biaya Variabel
Biaya Bahan Baku Rp 348,001,200 Rp 464,001,600 Rp 116,000,400 Rp 92,800,320 Rp 464,001,600 Rp 301,601,040 Rp 297,734,360
Tenaga Kerja diperhitungkan Rp 8,364,000 Rp 5,904,000 Rp 14,268,000 Rp 8,364,000 Rp 10,200,000 Rp 5,904,000 Rp 8,834,000
Biaya Upah Rp23,040,000 Rp50,400,000 Rp 5,760,000 Rp 6,000,000 Rp 48,000,000 Rp34,560,000 Rp 27,960,000
Biaya Solar Rp 5,280,000 Rp 5,280,000
Rp 5,280,000 Rp 5,280,000
Biaya listrik Rp 200,000 Rp 200,000 - - Rp 200,000 Rp 200,000
Biaya Pemeliharaan Rp 400,000 Rp 400,000 - - Rp 400,000 Rp 400,000
Biaya Sewa Penggilingan
Rp 8,120,028 Rp 6,496,022
Rp 14,616,050
Biaya Pemasaran Rp 7,801,200 Rp 10,401,600 Rp 2,600,400 Rp 2,080,320 Rp 10,401,600 Rp 6,761,040 Rp 6,674,360
Total Biaya Variabel Rp 401,042,400 Rp536,443,200 Rp269,065,606 Rp213,705,286
Rp544,603,200 Rp 354,562,080 Rp 389,612,966
Biaya Total Rp 411,547,703 Rp546,948,503 Rp277,570,909 Rp222,210,589
Rp555,108,503 Rp 365,067,383 Rp 399,451,602
64
Page 80
67
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang, pada 1 Juli 1991 dari ayah Hisyam Abdullah
Seff dan Tutik Sulistiani. Penulis merupakan putri ke-2 dari 4 bersaudara. Penulis
mengenyam bangku pendidikan di SMP Negeri 1 Singosari dan melanjutkan ke
SMA Negeri 1 Lawang, Malang. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 3
Bogor dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Insitut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di
Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen angkatan 46.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa kegiatan dan
organisasi kampus yaitu di HIPMA (Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat
Agribisnis) pernah menjabat sebagai Ketua Divisi Biro Hubungan Eksternal pada
tahun 2011 – 2012 dan sebagai sekretaris Divisi Biro Hubungan Eksternal pada
tahhun 2010 – 2011. Selain itu penulis juga menjabat sebagai Staff Bidang
Keprofesian POPMASEPI (Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Peminat
Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia) pada tahun 2010 – 2012. Penulis sering
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kepanitiaan kampus, beberapa diantaranya
yaitu sebagai Ketua Panitia dalam Seminar Pembiayaan Agribisnis Nasional
(AFFECTION 2011) yang diselenggarakan oleh HIPMA, sebagai Sekretaris
Utama dalam The 4th
Esspresso 2010 dan Agrination 2011, sebagai Ketua Divisi
Konsumsi pada One Day No Rice 2011 dan The 9th
Economics Contest, dan
lainnya.
Penulis pernah mendapatkan Juara 1 dalam Lomba Diversifikasi Pangan
Lokal tahun 2012 dan Juara 1 dalam Lomba Film Dokumenter Pertanian Nasional
tahun 2012. Penulis juga telah mengikuti berbagai workshop dan pelatihan baik
yang diselenggarakan dalam maupun luar kampus seperti Workshop IT Today
IPB tahun 2009, Agribusiness Management, Leadership, and Entrepreneurship
Training (AGRIMEET) 2011 dan 2012 di Universitas Muhammadiyah Sukabumi
dan Universitas Islam Negeri Syarifhidayatullah Jakarta, dan lainnya. Selain itu,
penulis menerima beasiswa PPA IPB pada tingkat kuliah ketiga hingga keempat.