Top Banner
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka mewujudkan pelayanan publik kepada masyarakat maka seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia setiap tahunnya harus merencanakan, menyusun dan melaksanakan seluruh kegiatan dan pendanaan yang sudah terangkum dalam rencana keuangan tahunan berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD yang disahkan dan diundangkan dengan Peraturan Daerah sebelumnya harus disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). APBD menunjukkan alokasi belanja untuk melaksanakan program/kegiatan dan sumber-sumber pendapatan, serta pembiayaan yang digunakan untuk mendanainya. Program/kegiatan dimaksud dilaksanakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pendapatan, serta pembangunan di berbagai sektor. Pencapaian tujuan tersebut diharapkan dapat dilakukan melalui peningkatan potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah ditambah dengan dana transfer dari pemerintah Pusat yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan layanan publik dalam jumlah yang mencukupi dan juga berkualitas. Dengan belanja yang berkualitas diharapkan APBD dapat menjadi injeksi bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, sebagaimana selalu terjadi dalam pengelolaan keuangan publik, selalu terjadi kendala penganggaran (budget constraint), yang mana banyaknya kebutuhan selalu dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah. Oleh karena itu, prioritas belanja dan perencanaan yang baik dapat menjadi kunci untuk menyiasati kendala penganggaran. Terkait dengan hal tersebut, secara nasional kiranya DJPK – KEMENKEU RI 1
83

Analisis pendapatan 2012

Jul 31, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan pelayanan publik kepada masyarakat maka seluruh

Pemerintah Daerah di Indonesia setiap tahunnya harus merencanakan, menyusun dan

melaksanakan seluruh kegiatan dan pendanaan yang sudah terangkum dalam rencana

keuangan tahunan berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD yang

disahkan dan diundangkan dengan Peraturan Daerah sebelumnya harus disetujui oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

APBD menunjukkan alokasi belanja untuk melaksanakan program/kegiatan dan sumber-

sumber pendapatan, serta pembiayaan yang digunakan untuk mendanainya. Program/kegiatan

dimaksud dilaksanakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan

pendapatan, serta pembangunan di berbagai sektor. Pencapaian tujuan tersebut diharapkan

dapat dilakukan melalui peningkatan potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah ditambah

dengan dana transfer dari pemerintah Pusat yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan

layanan publik dalam jumlah yang mencukupi dan juga berkualitas. Dengan belanja yang

berkualitas diharapkan APBD dapat menjadi injeksi bagi peningkatan ekonomi dan

kesejahteraan masyarakat.

Namun demikian, sebagaimana selalu terjadi dalam pengelolaan keuangan publik,

selalu terjadi kendala penganggaran (budget constraint), yang mana banyaknya kebutuhan

selalu dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah. Oleh karena itu,

prioritas belanja dan perencanaan yang baik dapat menjadi kunci untuk menyiasati kendala

penganggaran. Terkait dengan hal tersebut, secara nasional kiranya perlu dilakukan analisis

tentang kesehatan keuangan APBD yang mampu memberikan informasi yang berguna dalam

memotret kondisi keuangan APBD baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan.

Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang analisis rasio keuangan

APBD 2011. Berdasarkan rasio keuangan APBD tersebut maka dapat disimpulkan tentang

kualitas dan tingkat kesehatan APBD. Analisis ini didasarkan pada data sekunder berupa data

ringkasan APBD 2011 sebanyak 522 daerah. Alat analisis utamanya adalah rasio keuangan

yang dilakukan secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per provinsi, kabupaten

dan kota dan berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa

Tenggara-Maluku-Papua).

DJPK – KEMENKEU RI 1

Page 2: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

B. Gambaran Umum APBD 2011

Berdasarkan data APBD yang telah dikumpulkan oleh Direktorat EPIKD yang terdiri dari

33 Provinsi 398 Kabupaten dan 92 Kota, maka bisa kita lakukan analisis untuk mengetahui

kondisi keuangan daerah yang tercermin dari beberapa komponen dalam APBD Tahun

Anggaran 2011. Data yang dianalisis menggunakan data APBD yang telah dikonsolidasikan

untuk menghilangkan penghitungan ganda atas beberapa reciprocal account.

Grafik 1.1Komposisi Pendapatan Daerah

19,0%

68,0%

13,0%

PAD

Dana Perimbangan

Lain-lain pend yang sah

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Komposisi Pendapatan Daerah pada APBD TA 2011 secara nasional dapat dibagi

dalam 3 (tiga) bagian utama yaitu PAD, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang

sah. Grafik 1.1, menunjukkan dana perimbangan merupakan komposisi yang paling

mendominasi yaitu sebesar 68,0% atau Rp327,361 triliun dalam komposisi pendapatan daerah,

sedangkan PAD hanya sebesar 19,0% atau sebesar Rp90,393 triliun dan Lain-lain Pendapatan

yang sah sebesar 13,0% atau sebesar Rp61,343 triliun.

Grafik 1.2Komposisi Belanja Daerah

45%20%

22%13%

Belanja PegawaiBelanja Barang dan jasaBelanja ModalLain-lain

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

DJPK – KEMENKEU RI 2

Page 3: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Belanja daerah secara nasional pada TA 2011 mencapai Rp514,467 triliun. Belanja

pegawai porsinya masih dominan yaitu mencapai 45,0% atau sebesar Rp229,077 triliun.

Belanja Modal mencapai Rp113,622 triliun atau sebesar 22,0%. Belanja Barang dan Jasa

mencapai Rp104,193 triliun atau 20,0%.

Tabel 1.1Pembiayaan Daerah (Juta Rupiah)

Pembiayaan 36.090.622

Penerimaan Pembiayaan 44.497.235

Pengeluaran Pembiayaan 8.406.574

Defisit pada APBD secara nasional yang mencapai Rp35,369 triliun menyebabkan

seluruh daerah menganggarkan pembiayaan untuk menutup defisit tersebut. Total pembiayaan

daerah secara nasional mencapai Rp36,090 triliun dengan penerimaan pembiayaan (SiLPA,

Pinjaman dll) mencapai Rp44,497 triliun serta pengeluaran pembiayaan dianggarkan sebesar

Rp8,406 triliun.

Trend APBD (2007 – 2011)

Berdasarkan data Realisasi APBD tahun 2007 – 2009 dan APBD 2010 hingga 2011

yang telah dikonsolidasikan maka kita bisa mendapatkan gambaran sebagai berikut:

Grafik 1.3Trend APBD (dalam juta rupiah)

2007 2008 2009 2010 2011

Pendap-atan

310172527299683

363211229248045

379861688000000

386338279000000

459856559396033

Belanja 304034249112255

353739060516203

390076837000000

426857241000000

495225962622416

Surplus/Defisit

6138278187428.61

9472168731841.69

-10215149000

000

-40518962000

000

-35369403226

383

Pembi-ayaan

55152245712825.2

59184073995015.6

63882945000000

40818162909564.9

36118671810435.9

-50,000

50,000

150,000

250,000

350,000

450,000

Milia

r Rup

iah

Sumber: Realisasi APBD 2007 – 2009 dan APBD 2010 - 2011 (Diolah)

DJPK – KEMENKEU RI 3

Page 4: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Dari grafik tersebut di atas dapat kita ketahui secara nasional bahwa setiap tahun sejak

2007 hingga 2011 terjadi peningkatan pendapatan daerah rata-rata sebesar 11,4% dan yang

tertinggi peningkatannya adalah pada tahun 2011 sebesar 18%, dimana pendapatan daerah

pada tahun 2011 sebesar Rp479,098 triliun dan pada tahun 2010 hanya sebesar Rp386,338

triliun.

Secara nasional trend belanja daerah mengalami rata-rata peningkatan dari tahun 2007

hingga 2011 sebesar 11,8%. Pada tahun 2011 belanja daerah dianggarkan sebesar Rp514,467

triliun atau meningkat 17% dari tahun 2010 yang hanya dianggarkan sebesar Rp426,857 triliun.

Trend defisit yang dianggarkan daerah cenderung fluktuatif, tapi sejak tahun 2009 terus

mengalami penurunan. Rata-rata defisit yang dianggarkan dari tahun 2007 hingga 2009 hanya

sebesar -0,4%. Defisit daerah secara nasional yang tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu

sebesar sebesar Rp40,518 triliun atau 3,6%. Sedangkan pada tahun 2011 defisit daerah secara

nasional adalah sebesar Rp35,369 triliun atau sebesar 1,1%.

Pembiayaan daerah netto juga menunjukkan trend yang fluktuatif selaras dengan trend

defisit daerah. Walau rata-rata trend pembiayaan daerah netto dari tahun 2007 hingga 2011

sebesar 0,2%, dan cenderung mengalami penurunan cukup besar pada tahun 2010 dan 2011.

Pembiayaan daerah netto pada tahun 2011 sebesar Rp36,090 triliun bila dibandingkan dengan

tahun 2010 yang menganggarkan pembiayaan netto sebesar Rp40,818 triliun.

Grafik 1.4Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2007 – 2011

2007 2008 2009 2010 2011

PAD 16.82 17.83 17.79 18.6 19.66

DAPER 78.62 76.02 74.4 75.65 71.18

Lain2 Pend yg Sah 4.57 6.16 7.82 5.75 9.16

5

15

25

35

45

55

65

75

Mili

ar R

upia

h

Sumber: Realisasi APBD 2007 – 2009 dan APBD 2010 - 2011 (Diolah)

DJPK – KEMENKEU RI 4

Page 5: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Secara nasional ketergantungan seluruh pemerintah daerah terhadap dana

perimbangan masih tinggi. Hal ini terlihat pada porsi PAD walaupun mengalami peningkatan

setiap tahunnya tetapi pada tahun 2011 anggarannya hanya sebesar 18,9%. Sedangkan trend

dana perimbangan setiap tahun mengalami penurunan hingga mencapai 68,3% pada tahun

2011. Trend kontribusi lain-lain pendapatan yang sah sangat fluktuatif, tetapi pada tahun 2011

menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebesar 12,8%.

Grafik 1.5Trend Belanja Daerah TA 2007 – 2011

2007 2008 2009 2010 2011

B_Pegawai 39.91 41.98 43.11 46.52 46.25

B_Barang&Jasa 18.9 18.82 19.32 19.21 21.04

B_Modal 29.98 27.67 26.28 22.53 22.92

B_Lain-lain 11.2 11.53 11.28 11.74 9.78

2.57.5

12.517.522.527.532.537.542.547.5

Milia

r Rup

iah

Sumber: Realisasi APBD 2007 – 2009 dan APBD 2010 - 2011 (Diolah)

Bila dicermati komposisi belanja daerah secara nasional dari tahun 2007 hingga 2011

maka dapat diketahui bahwa porsi belanja pegawai tetap dominan bila dibandingkan dengan

jenis belanja daerah mengalami peningkatan yang cukup tajam pada tahun 2010 yaitu sebesar

46,5% tetapi pada tahun 2011 turun sedikit menjadi 44,5%.

Besarnya belanja barang dan jasa juga meningkat menjadi 20,3% pada tahun 2011.

Sedangkan porsi belanja modal terus mengalami penurunan, yang cukup tajam terjadi pada

tahun 2010 hanya sebesar 22,5%, tetapi pada tahun 2011 porsinya menjadi 22,1%. Sedangkan

belanja lainnya cenderung turun hingga hanya dianggarkan sebesar 13,1% pada tahun 2011.

1. Pendapatan Daerah

Komposisi APBD Tahun Anggaran 2011 pada kabupaten, kota, dan provinsi secara

aggregat menunjukkan fakta sebagai berikut:

DJPK – KEMENKEU RI 5

Page 6: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Grafik 1.6Rasio Pendapatan Daerah Per Wilayah

PAD /Tot Daper/Tot Transf/ Tot

NT Maluku Papua 6.31 76.87 92.37

Sulawesi 12.47 80.21 86.71

Sumatera 14.35 75.33 83.98

Kalimantan 14.68 80.86 83.62

Jawa Bali 32.94 59.24 65.61

05152535455565758595

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Terlihat dari grafik tersebut beberapa rasio yang terkait dengan pendapatan daerah.

Rasio PAD dibandingkan total pendapatan daerah yang tertinggi adalah di wilayah Jawa dan

Bali yaitu sebesar 32,9% sedangkan yang terendah di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, Papua

yang hanya sebesar 6,3%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian seluruh daerah

yang berada di wilayah Jawa dan Bali relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.

Fakta tersebut juga ditunjukkan dengan rendahnya rasio dana perimbangan dan transfer

ke daerah dibandingkan total pendapatan. Berdasarkan dua rasio tersebut Jawa dan Bali hanya

memiliki ketergantungan terhadap dana perimbangan dan transfer ke daerah masing-masing

sebesar 59,2% dan 65,6%. Wilayah yang memiliki tingkat ketergantungan terhadap dana

perimbangan adalah di wilayah Kalimantan dimana rasio dana perimbangan terhadap total

pendapatannya mencapai angka sekitar 80,9% persen. Sedangkan untuk rasio transfer ke

daerah terhadap total pendapatan maka wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masih

yang tertinggi hingga mencapai 92,3%. Besarnya rasio tersebut ditengarai berasal dari rasio

otonomi khusus dan dana penyesuaian yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan

wilayah lainnya.

DJPK – KEMENKEU RI 6

Page 7: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

2. Belanja Daerah

Grafik 1.7Rasio Belanja Daerah Per Wilayah

PAD /Tot Daper/Tot Transf/ Tot00

10

20

30

40

50

60

50.6

00

18.2

50

22.0

20

52.5

10

22.2

40

18.0

60

45.5

30

24.1

80

21.0

70

38.3

90

26.6

20

21.4

70

37.5

20

32.2

80

21.1

20

Jawa Bali Sulawesi SumateraNT Maluku Papua Kalimantan

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Bila dilihat besaran belanja daerah yang dianggarkan pada APBD TA 2011 antar

wilayah maka dapat diketahui bahwa belanja pegawai tetap merupakan porsi terbesar yang

harus dibelanjakan oleh daerah, selanjutnya baru diikuti oleh belanja modal serta belanja

barang dan jasa.

Belanja pegawai di wilayah Sulawesi mencapai 52,5% sedangkan wilayah Kalimantan

belanja pegawainya hanya sekitar 37,5%. Fakta tersebut juga didukung oleh rasio pegawai

terhadap jumlah total penduduk yang mencapai 1,38 di wilayah Sulawesi. Tetapi rasio pegawai

di wilayah Kalimantan (1,26) bukanlah yang terendah karena rasio pegawai per total penduduk

di wilayah Jawa hanya mencapai 0,6.

Bisa diartikan bahwa jumlah pegawai di wilayah Jawa sangat rendah karena total

penduduk di sana sangat banyak sehingga rasio belanja pegawai terhadap total belanja juga

besar yaitu sekitar 50,6%. Ironisnya berbagai pengeluaran kegiatan yang terangkum dalam

akun belanja modal di wilayah Jawa sangat kecil yaitu hanya sekitar 18,3%. Hal ini bisa berarti

bahwa di satu sisi kebutuhan infrastruktur di Jawa dan Bali relatif rendah sehingga setiap

daerah di wilayah tersebut tidak perlu menganggarkan terlalu banyak belanja modal atau

memang karena APBD di semua daerah di Jawa dan Bali sudah terlalu berat untuk

memberikan pelayanan publik yang tercermin dari besarnya jumlah pegawai dan rasio belanja

pegawai per total belanjanya.

DJPK – KEMENKEU RI 7

Page 8: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Wilayah Kalimantan menunjukkan geliat pembangunan infrastruktur yang paling

signifikan tercermin dari rasio belanja modalnya yang mencapai sekitar 32,3% dan belanja

barang dan jasanya juga relatif tinggi yaitu sekitar 21,1%.

3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah

Grafik 1.8 Pembiayaan Per Wilayah

Kalimantan

NT Maluku Papua

Sumatera

Jawa Bali

Sulawesi

-12.50 -7.50 -2.50 2.50 7.50 12.50Kalimantan NT Maluku Papua Sumatera Jawa Bali Sulawesi

Pinj /pend 1 0.26 0.5 0.34 1.63

SiLPA /Bel 12.4 4.8 8.36 8.57 3.78

Defisit/Pend -12.19 -3.43 -7.35 -8.28 -3.42

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Besarnya defisit APBD TA 2011 yang paling tinggi terjadi di wilayah Kalimantan yang

mencapai -12,2%. Sedangkan untuk menutup defisit tersebut seluruh daerah di wilayah

Kalimantan mengandalkan SiLPA yang bisa langsung digunakan untuk mendanai kebutuhan

belanja yang belum tersedia dananya, rasio SiLPA terhadap total belanja daerah adalah

sebesar 12,4%. Tetapi untuk mengantisipasi tidak tercapainya pendapatan daerah yang

dianggarkan maka seluruh daerah di wilayah Kalimantan berencana mengajukan pinjaman

yang rasionya mencapai 1,0% dari total pendapatan.

Wilayah Sulawesi menganggarkan defisit sebesar -3,4% dengan rasio SiLPA sebesar

3,8%. Rasio pinjaman terhadap total pendapatan Sulawesi sebesar 1,6% menunjukkan adanya

bahwa dalam melakukan proyeksi pendapatan daerah-daerah di Sulawesi tidak terlalu yakin

akan tingkat ketercapaian pendapatan yang berasal dari PAD maupun dana transfer ke daerah.

Besarnya ketergantungan atas dana transfer ke daerah serta risiko fiskal yang harus

ditanggung oleh APBN menyebabkan seluruh daerah sebaiknya juga harus mulai melakukan

perhitungan risiko fiskal yang harus ditanggung. Porsi belanja pegawai yang tinggi

DJPK – KEMENKEU RI 8

Page 9: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

menyebabkan berkurangnya alternatif efisiensi belanja daerah. Sehingga daerah harus mulai

lebih inovatif dan kreatif untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya dengan ekstensifikasi

dan intensifikasi pajak daerah dan retribusi daerah agar alternatif pendanaan untuk menutup

defisit tidak semata tergantung pada SiLPA dan pinjaman daerah.

DJPK – KEMENKEU RI 9

Page 10: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

BAB II

ANALISIS PENDAPATAN DAERAH

A. Rasio Pajak (Tax Ratio)

Perbandingan pajak terhadap pendapatan suatu perekonomian (economy), selanjutnya

dalam analisis ini disebut rasio pajak (tax ratio), merupakan perbandingan antara jumlah

penerimaan pajak dengan pendapatan suatu perekonomian. Dalam konteks keuangan negara,

rasio pajak merupakan perbandingan antara pajak suatu negara dengan Pendapatan Domestik

Bruto (PDB), sedangkan di tingkat daerah rasio pajak merupakan rasio antara pajak daerah

wilayah perekonomian daerah tersebut dengan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).

Angka rasio pajak suatu daerah dipengaruhi oleh PDRB.

PDRB dapat dilihat dari tiga sisi: produksi, pengeluaran, serta pendapatan. Di sisi

produksi, PDRB mengindikasikan kegiatan ekonomi suatu daerah yang secara umum dapat

digambarkan melalui kemampuan daerah tersebut menghasilkan barang dan jasa yang

diperlukan bagi kebutuhan hidup masyarakat pada periode tertentu. Dari sisi pengeluaran,

PDRB menggambarkan keseluruhan pengeluaran yang dilakukan oleh sektor-sektor ekonomi

yang ada di suatu wilayah pada periode tertentu yaitu sektor rumah tangga (berupa konsumsi

rumah tangga), sektor swasta (pembentukan barang modal/investasi), sektor pemerintah

(konsumsi pemerintah di luar pembayaran non jasa /transfer non payment), serta sektor luar

negeri (ekspor dan impor). Sementara itu, di sisi pendapatan, PDRB menggambarkan jumlah

pendapatan yang diterima penduduk wilayah tersebut pada suatu periode berupa gaji dan

sejenisnya, sewa modal, bunga dan sejenisnya, serta laba yang dihasilkan oleh pengusaha.

Dari sisi mana pun PDRB diukur akan dihasilkan angka yang sama (setelah dilakukan

penyesuaian dan koreksi).

Terkait dengan rasio pajak, PDRB menggambarkan jumlah pendapatan potensial yang

dapat dikenai pajak. PDRB juga menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat yang jika

berkembang dengan baik merupakan potensi yang baik bagi pengenaan pajak di wilayah

tersebut. Oleh karena itu, mengetahui angka-angka rasio pajak di berbagai wilayah di Indonesia

akan membantu kita dalam menganalisis secara sederhana hubungan antara pajak daerah

wilayah tersebut dengan PDRB-nya, mengetahui jenis-jenis pajak apa saja yang potensial serta

sektor ekonomi yang terkait, dan menilai kondisi suatu daerah dengan membandingkannya

dengan daerah lain.

DJPK – KEMENKEU RI 10

Page 11: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 2.1 menunjukkan rasio pajak Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota pada 33

Provinsi seluruh Indonesia. Dari grafik dapat dilihat bahwa Provinsi yang mempunyai rasio

pajak tertinggi adalah provinsi Bali yaitu sebesar 8,8%. Tingginya rasio pajak ini karena pajak

daerah Provinsi Bali sangat tinggi. Pajak daerah ini berasal dari kontribusi utama dari pajak

yang disumbangkan oleh sektor industri pariwisata. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio

pajak paling rendah adalah Provinsi Papua Barat, yaitu sebesar 1,2%. Hal ini dapat

mengindikasikan bahwa pajak daerah Provinsi Papua Barat sangat rendah.

Grafik 2.1Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Papbar

Papua

Riau

Sulteng

Sulbar

Kaltim

NTT

Aceh

Jateng

Sultra

Kalbar

Jabar

Kepri

Sumsel

Jatim

Lampung

Sumbar

Kalteng

Malut

Sulut

Babel

Jambi

Sumut

DKI

NTB

Banten

Sulsel

DIY

Bengkulu

Kalsel

Gorontalo

Maluku

Bali

.000

.500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500

2.89

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Terkait dengan perekonomian daerah, daerah yang memiliki rasio pajak yang tinggi akan

memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi

yang dicerminkan oleh berkembangnya sektor-sektor produksi penyumbang pertumbuhan

ekonomi di daerah tersebut telah berperan secara optimal dalam memberikan kontribusi yang

signifikan terhadap pajak daerah. Selain itu, peran pemerintah daerah dalam menetapkan

kebijakan yang menunjang tercapainya peningkatan pajak daerah juga sangat menentukan.

Sebagai contoh adalah Provinsi Bali. Selain mempunyai potensi pajak daerah dari sektor

pariwisata sangat tinggi, provinsi ini juga didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah daerah

untuk memaksimalkan potensi tersebut. Kondisi berbeda ditunjukkan oleh Provinsi Papua

Barat yang merupakan provinsi hasil pemekaran Provinsi Papua. Potensi Sumber Daya Alam

yang melimpah, seperti pemandangan alam yang sangat indah yang dapat dikembangkan pada

DJPK – KEMENKEU RI 11

Page 12: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

sektor pariwisata (contoh: pemandangan bawah laut di Raja Ampat), air bawah tanah, dan

bahan galian golongan C yang dapat menjadi sumber penerimaan pajak daerah belum bisa

dioptimalkan untuk menunjang pendapatan pajak Daerah. Kekayaan alam lain seperti hasil

hutan, hasil tambang selain bahan galian golongan C dan minyak bumi merupakan sumber

pendapatan nasional yang selanjutnya dikembalikan ke provinsi tersebut berupa pendapatan

bagi hasil yang tidak dimasukkan dalam analisis ini.

Dari data rasio pajak 33 provinsi, diperoleh gambaran bahwa rata-rata rasio pajak

(daerah) secara nasional adalah sebesar 3,1%, serta terdapat 13 provinsi yang memiliki rasio

pajak diatas rata-rata nasional yaitu:

Tabel 2.1Provinsi yang memiliki Rasio Pajak

diatas rata-rata Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota (%)

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi

Grafik 2.2 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten dan kota untuk

masing-masing wilayah provinsi. Rasio pajak pemkab dan pemkot se-Provinsi Bali

menunjukkan angka yang paling tinggi, yaitu sebesar 4,9%. Penyebab tingginya rasio tersebut

adalah tingginya pajak daerah pemkab dan pemkot se-provinsi tersebut yang berasal dari

sektor pariwisata. Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat pada pemerintah kabupaten

dan kota se-Provinsi Riau, yaitu sebesar 0,3%. Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh

rendahnya potensi penerimaan pajak daera. Potensi penerimaan pajak yang tinggi di Riau

adalah dari sektor pertambangan yang merupakan sumber penerimaan Negara yang

selanjutnya akan menjadi sumber pendapatan bagi hasil sumber daya alam (DBH SDA) yang

dalam rasio ini tidak dihitung.

DJPK – KEMENKEU RI 12

No Nama Daerah Rasio No Nama Daerah Rasio

1 Provinsi Bali 8,8 8 Provinsi Banten 3,8

2 Provinsi Maluku 5,2 9 Provinsi Nusa Tenggara Barat 3,6

3 Provinsi Gorontalo 4,6 10 Provinsi DKI Jakarta 3,5

4 Provinsi Bengkulu 4,4 11 Provinsi Sumatera Utara 3,3

5 Provinsi DI Yogyakarta 4,1 12 Provinsi Jambi 3,3

6 Provinsi Kalimantan Selatan 3,9 13 Provinsi Bangka Belitung 3,3

7 Provinsi Sulawesi Selatan 3,9

Page 13: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Grafik 2.2Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)

Riau

Papbar

Sulbar

Kaltim

Lampung

Sumsel

Kalteng

Sulteng

Papua

Sumbar

Aceh

Jateng

NTT

Jambi

Kalsel

Kalbar

Babel

Bengkulu

Sultra

Jabar

Sulut

Jatim

Sulsel

Malut

Sumut

NTB

Gorontalo

Banten

DIY

Maluku

Kepri

Bali

.000

.100

.200

.300

.400

.500

.600

.700

0.610000000000001

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

*) Tidak termasuk DKI Jakarta

3. Pemerintah Provinsi

Sebagaimana terlihat pada Grafik 2.3, untuk seluruh pemerintah provinsi, rasio pajak

tertinggi dicapai oleh Pemerintah Provinsi Maluku, yaitu sebesar 4%. Tingginya angka tersebut

disebabkan angka pembaginya, yaitu PDRB-nya rendah. Sementara itu, rasio pajak terendah

dari ke-33 pemprov di Indonesia adalah Pemerintah Provinsi Papua (0,9%). Rendahnya rasio

tersebut disebabkan karena penerimaan pajak daerah yang sangat rendah.

Grafik 2.3Rasio Pajak Pemerintah Provinsi

DJPK – KEMENKEU RI 13

Page 14: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Pa

pu

a

Pa

pb

ar

Ke

pri

Ria

u

Su

lten

g

Su

lba

r

NT

T

Jati

m

Su

ltra

Ace

h

Jab

ar

Jate

ng

Ka

ltim

Ka

lba

r

Ma

lut

Su

mse

l

Su

mb

ar

Lam

pu

ng

Su

lut

Su

mu

t

Ka

lten

g

Ba

nte

n

Ba

be

l

NT

B

Jam

bi

DIY

Su

lsel

DK

I

Go

ron

talo

Be

ng

kulu

Ka

lsel

Ba

li

Ma

luku

.000

.500

1.000

1.500

2.000

2.500

2.28

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah

Grafik 2.4Rasio Pajak per Wilayah*)

Kalimantan NT Maluku Papua

Sumatera Jawa Bali Sulawesi.000

.500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500

3.070

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

Grafik 2.4 menunjukkan bahwa berdasarkan pada pembagian 5 wilayah yang terdiri atas

Nusa Tenggara-Maluku-Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Jawa-Bali, rasio pajak untuk

wilayah Jawa-Bali merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya. Bali

yang menempati peringkat pertama berdasarkan agregat pemerintah kabupaten dan kota se-

provinsi, setelah digabungkan dengan seluruh daerah di Pulau Jawa tetap berada pada

peringkat 1 berdasarkan pembagian wilayah ini.

B. Tax per Kapita

DJPK – KEMENKEU RI 14

Page 15: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Tax per kapita adalah perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan

suatu daerah dengan jumlah penduduknya. Tax per kapita menunjukkan kontribusi setiap

penduduk pada Pendapatan suatu daerah (PAD).

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Tax per kapita secara aggregate yang dapat dilihat pada Grafik 2.5 menunjukkan bahwa

Prov. DKI Jakarta merupakan daerah yang memiliki tax per kapita tertinggi, yaitu sebesar

Rp5.201.223 yang berarti setiap penduduk yang ada di Prov. DKI Jakarta memiliki kontribusi

sebesar Rp5.201.223 dalam membentuk penerimaan daerah berupa Pajak Daerah. Pada grafik

ini juga dapat dilihat ketimpangan tax per kapita yg sangat signifikan antara Prov. DKI Jakarta

dengan provinsi yang lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kegiatan perekonomian di

DKI Jakarta sangat besar sehingga menimbulkan basis pajak yang sagat besar. Provinsi lain

yang memiliki tax perkapita tertinggi adalah Prov. Kalimantan Timur sebesar Rp1.058.038 dan

Prov. Bali sebesar Rp632.155.

Grafik 2.5Rasio Tax per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Su

law

esi

Te

ng

ah

Nu

sa T

en

gg

ara

Tim

ur

Ma

luku

Uta

ra

Su

law

esi

Ba

rat

Su

law

esi

Te

ng

ga

ra

Pa

pu

a

Go

ron

talo

Nu

sa T

en

gg

ara

Ba

rat

Jaw

a T

en

ga

h

Ma

luku

Pa

pu

a B

ara

t

Lam

pu

ng

Ka

lim

an

tan

Ba

rat

Ace

h

Jaw

a B

ara

t

Jam

bi

Be

ng

kulu

Su

law

esi

Uta

ra

Su

ma

tera

Se

lata

n

Su

ma

tera

Ba

rat

Jaw

a T

imu

r

DI

Yo

gya

kart

a

Ka

lim

an

tan

Te

ng

ah

Su

law

esi

Se

lata

n

Ria

u

Ba

nte

n

Ba

ng

ka B

eli

tun

g

Su

ma

tera

Uta

ra

Ka

lim

an

tan

Se

lata

n

Ke

pu

lau

an

Ria

u

Ba

li

Ka

lim

an

tan

Tim

ur

DK

I Ja

kart

a -

1,000,000

2,000,000

3,000,000

4,000,000

5,000,000

6,000,000

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi

Tax perkapita pada kabupaten kota yang ada di setiap Provinsi, dapat dilihat pada

Grafik 2.6. Pada grafik tersebut Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan, dapat dilihat bahwa

ketimpangan tax perkapita pada daerah kabupaten dan kota dalam setiap provinsi juga terjadi

tetapi tidak sebesar ketimpangan yang terjadi pada daerah agregat provinsi, kabupaten dan

kota. Tiga daerah yang memiliki tax per kapita yang tertinggi adalah Bali (Rp348.952),

Kepulauan Riau (Rp335.478) dan Kalimantan Timur (Rp180.515). Daerah Kabupaten kota

DJPK – KEMENKEU RI 15

Page 16: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

memiliki tax perkapita yang rendah hal ini dapat disebabkan oleh karena basis pajak dan

potensi pajak yang rendah diwilayah kabupaten kota.

Grafik 2.6Rasio Tax per Kapita Pemerintah Kabupaten dan kota se-Provinsi *)

Sulaw

esi Tengah

Sulaw

esi Bara

t

Malu

ku U

tara

Bengkulu

Jam

bi

Sulaw

esi Tenggara

Sumate

ra S

elata

n

Papua Bara

t

Kalimanta

n Bara

t

PapuaRia

u

Sulaw

esi Uta

ra

Sulaw

esi Sela

tan

DI Yogya

karta

Banten

Kepulauan R

iau -

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

350,000

400,000

Sumber: APBD 2011 (Diolah)*) Tidak termasuk DKI Jakarta

3. Pemerintah Provinsi

Tax per kapita pada seluruh pemerintah provinsi dapat dilihat bahwa Pemprov. DKI

Jakarta merupakan daerah yang memiliki tax per kapita terbesar dengan jumlah sama dengan

tax per kapita pada aggregat provinsi, kabupaten dan kota. Sedangkan sebaran berdasarkan

pemerintah provinsi terdapat perbedaan dimana 3 Provinsi terbesar yaitu DKI Jakarta

(Rp5.201.223), Kalimantan Timur (Rp877.523) dan Kalimantan Selatan (Rp331.597)

Grafik 2.7Rasio Tax per Kapita Pemerintah Provinsi

DJPK – KEMENKEU RI 16

Page 17: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Sula

wes

i Ten

gah

Nus

a Te

ngga

ra T

imur

Mal

uku

Uta

ra

Sula

wes

i Bar

at

Papu

a

Sula

wes

i Ten

ggar

a

Nus

a Te

ngga

ra B

arat

Papu

a B

arat

Jaw

a Te

ngah

Gor

onta

lo

Mal

uku

Lam

pung

Kalim

anta

n B

arat

Jaw

a B

arat

Ace

h

Sula

wes

i Uta

ra

Jam

bi

Jaw

a Ti

mur

Ben

gkul

u

DI Y

ogya

kart

a

Sum

ater

a Se

lata

n

Sum

ater

a B

arat

Ban

ten

Sula

wes

i Sel

atan

Kalim

anta

n Te

ngah

Ria

u

Sum

ater

a U

tara

Ban

gka

Bel

itun

g

Kepu

laua

n R

iau

Bal

i

Kalim

anta

n Se

lata

n

Kalim

anta

n Ti

mur

DKI

Jak

arta

-

1,000,000

2,000,000

3,000,000

4,000,000

5,000,000

6,000,000

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah

Tax per kapita per wilayah dibagi menjadi 5 wilayah yang terdiri atas Nusa Tenggara-

Maluku-Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Jawa-Bali. Dapat dilihat pada grafik dibawah

ini ketimpangan tax perkapita terlihat lebih berimbang. Secara wilayah tax per kapita terbesar

ada di wilayah Jawa Bali, hal ini dapat disebabkan oleh karena tingkat perekonomian di wilayah

tersebut lebih besar dibadingkan daerah yang lainnya.

Grafik 2.8Rasio Tax per Kapita Per Wilayah*)

Nusa Tenggara, Maluku, Papua

Sulawesi Sumatera Kalimantan Jawa Bali -

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

350,000

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

C. Ruang Fiskal (Fiscal Space)

Mengacu kepada laporan Fiscal Policy for Growth and Development (World Bank, 2006)

dinyatakan bahwa ruang fiskal (fiscal space) tersedia, jika pemerintah dapat meningkatkan

pengeluarannya tanpa mengancam solvabilitas fiskal (fiscal solvency). Stephen S. Heller (IMF

Policy Discussion Paper, 2005) mengemukakan bahwa ruang fiskal dapat didefinisikan sebagai

DJPK – KEMENKEU RI 17

Page 18: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

ketersediaan ruang yang cukup pada anggaran pemerintah untuk menyediakan sumber daya

tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan tanpa mengancam kesinambungan posisi

keuangan pemerintah. Ruang fiskal diperoleh dari pendapatan umum setelah dikurang

pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) serta belanja yang sifatnya

mengikat seperti belanja pegawai dan belanja bunga.

Ruang fiskal bisa juga muncul dari peningkatan pendapatan di berbagai sektor dan

penurunan kewajiban pembayaran utang. Selain itu, efektivitas penggunaan anggaran di suatu

daerah juga menunjang terciptanya ruang fiskal yang cukup memberi ruang dalam

pembangunan suatu daerah. Dalam hal ini, perencanaan dan penganggaran yang dituangkan

dalam APBD suatu daerah memegang peranan sangat penting. Pemerintah daerah diharapkan

memiliki terobosan untuk memanfaatkan ruang fiskal yang ada guna memacu pertumbuhan

ekonomi.

Stimulus berupa kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif

sangatlah diharapkan. Sektor riil seperti perdagangan dan perkembangan usaha kecil dan

menengah yang selama ini masih belum optimal, harus diberi dukungan kebijakan dari

pemerintah. Terkait dengan iklim investasi di suatu daerah, setidaknya ada dua hal yang perlu

diperhatikan. Yang pertama adalah kelompok kebijakan pemerintah yang memengaruhi biaya

seperti pajak, beban regulasi dan pungli, korupsi, infrastruktur, biaya operasi, dan investasi

perusahaan, dan yang kedua, kelompok yang mempengaruhi risiko yang terdiri dari stabilitas

makroekonomi, prediktibilitas kebijakan, hak properti, kepastian kontrak, dan hak untuk

mentransfer keuntungan.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 2.9Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

DJPK – KEMENKEU RI 18

Page 19: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Bali

DIY

Jate

ngSu

mba

rN

TBLa

mpu

ngJa

timSu

lsel

Jaba

rSu

lut

Sulte

ngG

oron

talo

Beng

kulu

NTT

Sultr

aSu

mut

Kals

elJa

mbi

Sulb

arM

aluk

uBa

nten

Kalb

arKa

lteng

Babe

lAc

ehSu

mse

lM

alut

Riau DK

IKe

pri

Kalti

mPa

pua

Papb

ar

.000

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

55.23

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Ruang fiskal per provinsi menunjukkan persentase ruang fiskal seluruh pemda pada suatu

provinsi. Caranya adalah dengan mengurangi pendapatan dengan pendapatan hibah dan

belanja wajib yang berasal dari akumulasi APBD 2011 seluruh pemda di suatu provinsi dan

dibagi dengan total pendapatannya. Dari perhitungan tersebut, sebagaimana digambarkan

pada Grafik 2.9, terlihat besaran 33 ruang fiskal per Provinsi tahun 2011. Dari keseluruhan

provinsi yang ada di Indonesia, Provinsi Papua Barat mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu

mencapai 76,70%. Hal ini dapat disebabkan oleh besarnya penerimaan Provinsi Papua Barat

yang terutama diperoleh dari dana transfer. Oleh karena itu, Provinsi Papua Barat mempunyai

ruang yang cukup luas dalam memenuhi kebutuhan daerahnya untuk mencapai pertumbuhan

ekonomi yang cukup tinggi. Sebaliknya, Provinsi Bali merupakan daerah yang memiliki ruang

fiskal terendah yaitu sebesar 38,07%. Dengan demikian, Provinsi Bali harus pandai memilih

belanja yang tepat dalam memanfaatkan ruang fiskal yang ada untuk mendorong pertumbuhan

ekonomi.

Dari keseluruhan ruang fiskal provinsi di seluruh Indonesia, rata-rata nasionalnya adalah

sebesar 55,23% yang mana terdapat 14 provinsi yang berada diatas rata-rata nasional yang

dari urutan terbesar adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2Provinsi yang memiliki Ruang Fiskal

diatas rata-rata Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota (%)Provinsi Papua Barat 76.70 Provinsi Sumatera Selatan 62.59

Provinsi Papua 74.72 Provinsi Aceh 60.67

DJPK – KEMENKEU RI 19

Page 20: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Provinsi Kalimantan Timur 72.97 Provinsi Bangka Belitung 59.76

Provinsi Kepulauan Riau 67.75 Provinsi Kalimantan Tengah 59.65

Provinsi DKI Jakarta 65.03 Provinsi Kalimantan Barat 58.01

Provinsi Riau 64.62 Provinsi Banten 56.55

Provinsi Maluku Utara 62.76 Provinsi Maluku 56.36

2. Pemerintah Kabupaten/ Kota Se-Provinsi

Grafik 2.10Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)

Bal

iD

IYJa

teng

Sum

bar

NTB

Jati

mLa

mpu

ngA

ceh

Suls

elJa

bar

Gor

onta

loSu

mut

Sult

eng

Sulu

tB

engk

ulu

Sulb

arKa

lsel

Sult

raN

TTJa

mbi

Ban

ten

Mal

uku

Bab

elKa

lbar

Kalt

eng

Sum

sel

Ria

uM

alut

Kepr

iPa

pbar

Papu

aKa

ltim

.000

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

50.13

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

*) Tidak termasuk DKI JakartaRuang fiskal seluruh pemkab dan pemkot pada suatu provinsi dapat digambarkan pada

grafik 2.10. Dari hasil analisis ini, ruang fiskal tertinggi untuk kabupaten dan kota terdapat di

Provinsi Kalimantan Timur yaitu sebesar 70,93%. Tingginya angka ini dapat disebabkan oleh

pendapatan yang tidak dibatasi penggunaanya yang didominasi oleh sektor pertambangan dan

migas serta sektor kehutanan. Ada pun ruang fiskal terendah terdapat pada kabupaten dan

kota yang berada di Provinsi Bali, yaitu sebesar 34,32%. Rendahnya angka ini disebabkan

tingginya pendapatan yang bersifat earmarked serta belanja wajib, khususnya belanja pegawai.

3. Pemerintah Provinsi

Ruang lingkup analisis ini adalah ruang fiskal pada masing-masing pemrov.

Sebagaimana berdasarkan aggregate provinsi, kabupaten dan kota , Pemda Provinsi Papua

Barat juga memiliki ruang fiskal yang tertinggi yaitu sebesar 93,7% hal ini dapat disebabkan

dana transfer yang besar yang dialokasikan oleh pemerintah pusat, sedangkan Pemprov NTT

DJPK – KEMENKEU RI 20

Page 21: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

mempunyai ruang fiskal yang terendah yaitu sebesar 64,4%. Hal ini dapat disebabkan karena

pendapatan daerah yang rendah, disisi lain pendapatan DAU sebagian besar digunakan untuk

belanja pegawai. Gambaran selengkapnya tentang ruang fiskal masing-masing Pemerintah

provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Grafik 2.11.

Grafik 2.11Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi

NTT

Bali

DKI

Beng

kulu

Sulu

tG

oron

talo

DIY

Mal

uku

Sultr

aSu

lteng

NTB

Sum

bar

Lam

pung

Jam

biM

alut

Kalb

arKa

lsel

Suls

elBa

bel

Jaba

rJa

teng

Kalte

ngSu

lbar

Riau

Sum

sel

Jatim

Sum

utAc

ehKa

ltim

Kepr

iBa

nten

Papu

aPa

pbar

.000

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

70.000

80.000

90.000

77.48

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah

Untuk menghitung ruang fiskal berdasarkan pada pembagian 5 wilayah, maka wilayah

Indonesia dibagi menjadi 5 yang terdiri atas Nusa Tenggara-Maluku-Papua, Sulawesi,

Kalimantan, Sumatera, serta Jawa-Bali. Selanjutnya, seluruh pendapatan dikurangi pendapatan

hibah yang sudah ditentukan penggunaannya serta belanja wajib dari APBD seluruh pemda

satu wilayah dan kemudian dibagi total pendapatan dimaksud. Dari penghitungan tersebut,

secara berurutan dari ruang fiskal yang paling besar adalah Nusa Tenggara-Maluku- Papua,

Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, serta Jawa-Bali sebagaimana ditunjukkan oleh Grafik 2.12.

Besarnya ruang fiskal pada wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua, yaitu sebesar 65,04%,

disebabkan oleh pendapatan transfer yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian

besar daerah di wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua mempunyai ruang fiskal yang cukup

melakukan belanja pemerintah (government spending) untuk pembangunan di daerahnya.

Kebutuhan dasar daerah untuk belanja pegawai/gaji PNSD telah terpenuhi dan masih tersisa

DJPK – KEMENKEU RI 21

Page 22: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

cukup memadai untuk mendanai pembangunan di daerah. Ruang Fiskal yang tinggi sangat

menunjang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula dengan semakin

meningkatnya percepatan pembangunan di daerah yang bersangkutan. Sementara itu, wilayah

yang memiliki ruang fiskal terendah adalah Jawa Bali yaitu sebesar 49,50%. Hal ini disebabkan

oleh sumber pendapatan dari dana tranfer pusat relatif kecil dibandingkan dengan 4 wilayah

yang lainnya.

Grafik 2.12 Ruang Fiskal Per Wilayah*)

Jawa Bali Sulawesi Sumatera Kalimantan NT Maluku Papua.000

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

70.000

50 50

57

64 65

056

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)*) Tidak termasuk DKI Jakarta

D. Rasio Kemandirian Daerah

Rasio kemandirian ditunjukkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan serta rasio

transfer ke daerah (termasuk di dalamnya dana perimbangan) terhadap total pendapatan. Dua

rasio yang mewakili tersebut, meskipun menunjukkan kemandirian daerah, namun memiliki

makna yang berbeda atas angka-angkanya. Rasio PAD terhadap totalnya memiliki makna

yang berkebalikan dengan rasio transfer terhadap total pendapatan. Semakin besar angka

rasio PAD maka kemandirian daerah semakin besar. Sebaliknya, makin besar angka rasio

transfer, maka akan semakin kecil tingkat kemandirian daerah dalam mendanai belanja daerah.

Oleh karena itu, daerah yang memiliki tingkat kemandirian yang baik adalah daerah yang

memiliki rasio PAD yang tinggi sekaligus rasio transfer yang rendah.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Ruang lingkup analisis ini adalah rasio kemandirian daerah seluruh pemda di suatu

provinsi. Penghitungannya dilakukan dengan menjumlahkan PAD seluruh pemda pada satu

DJPK – KEMENKEU RI 22

Page 23: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

provinsi kemudian membaginya dengan total pendapatan untuk wilayah yang sama. Hal yang

sama juga berlaku untuk rasio transfer. Dari perhitungan tersebut diperoleh potret rasio PAD

dan Transfer terhadap pendapatan seluruh pemda yang dikelompokkan per provinsi

sebagaimana yang ditunjukkan pada Grafik 2.13. Dari grafik tersebut juga terlihat bahwa DKI

Jakarta memiliki rasio PAD yang paling tinggi, yaitu sebesar 61,4%, sekaligus rasio transfer

terendah yaitu sebesar 36,3%. Sebaliknya, Provinsi Papua Barat memiliki rasio PAD terendah

serta rasio transfer tertinggi yang masing-masing menunjukkan angka 3,5% dan 95,8%. Hal ini

menunjukkan bahwa, DKI Jaya memiliki kemandirian daerah yang paling baik dibandingkan

provinsi-provinsi yang lain, dan sebaliknya, Provinsi Papua Barat menunjukkan tingkat

kemandirian yang paling rendah. Tingginya tingkat kemandirian di Provinsi DKI tersebut

disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD khususnya dari pajak daerah dan retribusi

daerah, sedangkan rendahnya tingkat kemandirian di Provinsi Papua Barat disebabkan oleh

rendahnya pajak daerah dan retribusi daerah di wilayah tersebut. Tingkat kemandirian daerah

seluruh provinsi di Indonesia ditunjukkan oleh Grafik 2.13 berikut ini.

Grafik 2.13Rasio Kemandirian Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

DJPK – KEMENKEU RI 23

Page 24: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

AcehSum

utSum

barRiauJam

biSum

selBengkuluLam

pungDKIJabarJatengDIYJatimKalbarKaltengKalselKaltimSulutSultengSulselSultraBaliN

TBN

TTM

alukuPapuaM

alutBantenBabelG

orontaloKepriPapbarSulbar

.000

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

70.000

80.000

90.000

20

79

PAD /Pend Transf/ Pend Series3 Series4

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi

Grafik 2.14Rasio Kemandirian Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)

Aceh

Sumut

Sumbar

Riau

Jambi

Sumsel

Bengkulu

Lampung

JabarJatengD

IYJati

mKalbarKaltengKalselKalti

mSulutSultengSulselSultraB

aliN

TBN

TTM

alukuPapuaM

alutB

antenB

abelG

orontaloKepriPapbarSulbar

.000

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

70.000

80.000

90.000

09

85

PAD /Pend Transf/ Pend Series3 Series4

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

*) Tidak termasuk DKI Jakarta Pada Grafik 2.14 nampak bahwa rasio kemandirian tertinggi terdapat pada seluruh

pemkab dan pemkot di Provinsi Bali yaitu sebesar 26,1 % sedangkan yang terendah adalah di

DJPK – KEMENKEU RI 24

Page 25: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

pemkab dan pemkot di Provinsi Papua Barat sebesar 2,6%. Sedangkan rasio dana transfer

terhadap total pendapatan tertinggi adalah pemkab dan pemkot di Provinsi Sulawesi Barat

sebesar 95,1% dan terendah di pemkab dan pemkot di Provinsi Bali yaitu 63,5%.

3. Pemerintah Provinsi

PAD tertinggi dicapai oleh Pemprov Jawa timur sebesar 76,9 % dan terendah dimiliki oleh

pemda provinsi papua barat 2,9%. Sebaliknya, transfer tertinggi terhadap total pendapatan

adalah provinsi papua barat sebesar 97,5 % dan terendah adalah provinsi Jawa Timur sebesar

22,9%. Data tersebut ditunjukkan pada grafik 2.15.

Grafik 2.15Rasio Kemandirian Pemerintah Provinsi

AcehSum

utSum

barRiauJam

biSum

selBengkuluLam

pungDKIJabarJatengDIYJatimKalbarKaltengKalselKaltimSulutSultengSulselSultraBaliN

TBN

TTM

alukuPapuaM

alutBantenBabelG

orontaloKepriPapbarSulbar

48.400

48.600

48.800

49.000

49.200

49.400

49.600

49.800

50.000

50.20050

49

PAD /Pend Transf/ Pend Avg PAD/pend Avg Transf/pend

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah

Analisis rasio kemandirian daerah yang terbagi menjadi lima wilayah yaitu Sumatera,

Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta Papua-Maluku-Nusatenggara.dimaksudkan untuk

menunjukkan seberapa besar kemandirian daerah pada lima kelompok wilayah yang berbeda.

Berikut analisis terkait rasio kemandirian daerah untuk ke-5 wilayah dimaksud sebagaimana

nampak pada Grafik 2.16.

Grafik 2.16Rasio Kemandirian Per Wilayah*)

DJPK – KEMENKEU RI 25

Page 26: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Kalimantan NT Maluku Papua

Sumatera Jawa Bali Sulawesi.000

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

70.000

80.000

90.000

19

80

PAD /Pend Transf/ Pend Series3 Series4

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)*) Tidak termasuk DKI Jakarta

Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan

Berdasarkan pembagian 5 wilayah, Ratio PAD terhadap total pendapatan wilayah Jawa-

Bali mempunyai rasio yang paling tinggi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya yaitu sebesar

32,9%. Hal ini membuktikan bahwa ketergantungan daerah-daerah di wilayah Jawa-Bali

terhadap Dana Perimbangan dan Dana Transfer lainnya relatif tidak terlalu tinggi. Daerah-

daerah di Jawa-Bali relatif lebih mampu menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah

untuk menutup belanjanya. Hal ini berbeda dengan wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua

yang mana rationya sangat rendah yaitu sebesar 6,3%. Namun demikian, secara umum ke-5

wilayah tersebut masih memiliki rasio PAD terhadap total pendapatan di bawah 50% yang

artinya masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap Pusat atau memiliki rasio

kemandirian daerah yang rendah.

Rasio Transfer terhadap Total Pendapatan

Makna rasio transfer terhadap total pendapatan adalah sama dengan makna rasio dana

perimbangan, yaitu bahwa semakin besar rasio transfer maka semakin rendah kemandirian

daerah. Sebaliknya, semakin rendah angkanya akan semakin tinggi tingkat kemandirian

daerah atau semakin rendah tingkat ketergantungan daerah terhadap dana pusat.

Berdasarkan rasio ini, sebagaimana ditunjukkan Grafik 2.16, wilayah Jawa-Bali memiliki angka

yang paling rendah yaitu 65,6%, sama dengan rasio dana perimbangan. Dengan demikian,

berdasarkan kedua rasio tersebut, wilayah Jawa-Bali memiliki tingkat kemandirian yang paling

tinggi atau tingkat ketergantungan dengan dana pusat yang paling rendah.

DJPK – KEMENKEU RI 26

Page 27: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Perbedaan terjadi antara wilayah yang memiliki rasio dana perimbangan per total pendapatan

dengan rasio transfer ke daerah per total pendapatan. Rasio dana perimbangan tertinggi

terdapat di wilayah Sulawesi, sedangkan rasio transfer tertinggi adalah wilayah Nusa Tenggara-

Maluku-Papua (92,4%). Dalam hal ini, daerah yang memiliki rasio kemandirian daerah terendah

adalah Nusa Tenggara-Maluku-Papua dan bukan Sulawesi. Perbedaan utamanya adalah

komponen dana transfer dari pusat selain dana perimbangan yang diterima wilayah Nusa

Tenggara-Maluku-Papua lebih besar dibandingkan Sulawesi. Mengingat dana otonomi khusus

yang diterima Papua dan Papua Barat relatif signifikan serta adanya dana penyesuaian lain

yang juga diterima oleh seluruh pemda di wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua menunjukkan

adanya kesenjangan infrastuktur di wilayah tersebut dengan wilayah-wilayah lain di negara ini.

DJPK – KEMENKEU RI 27

Page 28: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

BAB III

ANALISIS BELANJA DAERAH

A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah

Rasio ini memperlihatkan rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah. Semakin

tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk belanja

pegawai dan begitu sebaliknya semakin kecil angka rasio belanja pegawai maka semakin kecil

pula proporsi APBD yang dialokasikan untuk belanja pegawai APBD. Belanja pegawai yang

dihitung dalam rasio ini melipui belanja pegawai langsung dan belanja pegawai tidak langsung.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio belanja pegawai terhadap

total belanja daerah adalah 46,2%. Rasio belanja pegawai agregat provinsi, kabupaten, dan

kota untuk setiap provinsi menunjukkan bahwa 13 provinsi rasionya lebih rendah dari rata-rata

nasional, sedangkan 20 provinsi yang lain memiliki rasio belanja pegawai yang lebih diatas

rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai paling kecil adalah Prov. Papua

Barat, yaitu sebesar 26,8%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar

adalah Prov. DI. Yogyakarta dengan rasio sebesar 61.0%.

Selain itu, Grafik 3.1 menunjukkan bahwa terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio

belanja pegawai lebih dari 50,0%. Hal ini berarti bahwa pada daerah-daerah tersebut, belanja

daerahnya masih didominasi oleh belanja pegawai. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian,

karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-

nya untuk jenis-jenis belanja selain belanja pegawainya.. Hal ini akan menyebabkan

keterbatasan program dan kegiatan daerah di luar belanja pegawai yang bisa didanai,

khususnya yang mendukung pertumbuhan ekonomi.

DJPK – KEMENKEU RI 28

Page 29: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Grafik 3.1Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah

Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

PapbarKalti

mPapuaD

KIKepriR

iauM

alutSum

selKaltengA

cehB

abelKalbarB

antenM

alukuKalselJam

biSulbarN

TTSultraJabarSum

utJati

mB

engkuluG

orontaloSulutSultengLam

pungSulselN

TBSum

barB

aliJatengD

IY

.000

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

45.000

50.000

46

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi

Grafik 3.2 memperlihatkan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-

provinsi terhadap total belanjanya. Dari grafik tersebut terlihat bahwa semua rasio belanja

pegawai pemkab dan pemkot se-provinsi di atas 30,0%, dengan rata-rata sebesar 51,1%.

Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi mengalokasikan lebih

dari setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Dari angka rata-

rata tersebut, sebanyak 14 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih rendah dan 18

provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih besar. Pemerintah kabupaten dan kota se-

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki rasio belanja pegawai terbesar yaitu

sebesar 66,9%, sedangkan yang memiliki rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah

terkecil adalah pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Kalimantan Timur dengan rasio

sebesar 31,9%.

DJPK – KEMENKEU RI 29

Page 30: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Grafik 3.2Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah

Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

Kaltim

PapuaPapbarKepriR

iauM

alutKaltengSum

selKalbarM

alukuB

abelKalselN

TTJam

biB

antenSultraJabarSulbarSulutB

engkuluSum

utSultengG

orontaloJati

mLam

pungSulselSum

barA

cehN

TBB

aliJatengD

IY

.000

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

51

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)*) Tidak termasuk DKI Jakarta

3. Pemerintah Provinsi

Rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di Indonesia memiliki persentase rata-rata

sebesar 24,7%. Sebanyak 13 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih rendah

dibandingkan rata-rata rasio tersebut dan sedangkan 20 provinsi lainnya di atas rata-rata.

Grafik 3.3 memperlihatkan bahwa pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai

terbesar adalah Pemprov Nusa Tenggara Timur dengan rasio sebesar 38,2%, sedangkan

pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terkecil adalah Pemprov Papua Barat

yang sebesar 9,1%. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rasio belanja pegawai pemerintah

provinsi relatif lebih rendah daripada rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-

provinsi.

DJPK – KEMENKEU RI 30

Page 31: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Grafik 3.3Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi

PapbarB

antenA

cehKalti

mPapuaSum

utKepriSum

selJabarR

iauJati

mB

abelJatengKaltengSulselKalselKalbarSulbarB

aliM

alutLam

pungN

TBSultraJam

biSum

barD

IYSultengD

KIG

orontaloM

alukuSulutB

engkuluN

TT

.000

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

25

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah

Grafik 3.4 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja

daerahnya. Terlihat bahwa wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu

sebesar 52,5% sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah dengan angka

sebesar 37,5%. Selain wilayah Sulawesi, wilayah Jawa-Bali juga memiliki angka rasio di atas

50,0%, yaitu tepatnya 50,6%, sedangkan wilayah lainnya di bawah angka tersebut. Dengan

demikian, Jawa-Bali dan Sulawesi mengalokasikan lebih dari setengah belanja daerahnya

untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja daerah yang dapat

digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai.

Grafik 3.4Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*)

Kalimantan NT Maluku Papua

Sumatera Jawa Bali Sulawesi.000

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

45.000

50.000

45.770

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)*) Tidak termasuk DKI Jakarta

DJPK – KEMENKEU RI 31

Page 32: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

B. Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Total Belanja Daerah

Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah mencerminkan

porsi belanja daerah terhadap pembayaran gaji pegawai PNSD. Semakin besar rasionya maka

semakin besar belanja daerah yang dibelanjakan untuk membayar gaji pegawai daerah dan

sebaliknya, semakin kecil angka rasionya maka semakin kecil belanja daerah yang

dipergunakan untuk membayar gaji pegawai daerah.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Secara Agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata pengeluaran daerah untuk

membayar gaji pegawai daerah adalah 41,0%. Dari 33 provinsi di Indonesia yang memiliki

angka rasio dibawah angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota ada 13 provinsi dan

selebihnya angka rasionya melebihi angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Ini

menandakan bahwa sebagian besar daerah di Indonesia anggaran belanja daerahnya banyak

yang terkuras untuk membayar gaji pegawai daerah. Sama halnya dengan rasio belanja

pegawai terhadap total belanja daerah, maka rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap

total belanja daerah yang terkecil juga terdapat pada Prov. Papua Barat dengan nilai sebesar

22,2%, sedangkan daerah yang memiliki rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total

belanja daerah terbesar adalah Prov. Jawa Tengah, yaitu sebesar 55,1%.

Grafik 3.5 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Total Belanja

Agregat Provinsi, Kabupaten dan KotaPapbarKalti

mPapuaKepriD

KIR

iauM

alutB

abelA

cehSum

selKaltengB

antenKalbarKalselM

alukuJam

biSulbarN

TTJabarSum

utSultraB

engkuluJati

mG

orontaloSulutSultengSulselLam

pungSum

barN

TBB

aliD

IYJateng

.000

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

45.000

41

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

DJPK – KEMENKEU RI 32

Page 33: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi

Rasio belanja pegawai tidak langsung pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi

terhadap belanja daerahnya memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja pegawai

tidak langsung adalah 46,0% dari belanja daerah. Sebanyak 15 provinsi memiliki rasio belanja

pegawai tidak langsung yang lebih kecil dari rata-rata dan 17 provinsi memiliki rasio yang lebih

besar dari rata-rata. Dari Grafik 3.6 terlihat bahwa pemerintah kabupaten dan kota di Prov. DI

Yogyakarta memiliki rasio belanja pegawai tidak langsung yang tertinggi yaitu 60,7%,

sedangkan pemerintah kabupaten dan kota di Prov. Kalimantan Timur memiliki rasio terendah

dengan angka sebesar 24,2%. Grafik tersebut juga memperlihatkan sebanyak 25 provinsi

memiliki rasio di atas 40,0%, dan sisanya sebanyak 7 provinsi di bawah angka tersebut. Kondisi

ini perlu mendapatkan perhatian karena itu berarti mayoritas daerah membelanjakan lebih dari

40,0% untuk belanja pegawai tidak langsung dan sisanya baru dibagi oleh bermacam jenis

belanja lainnya.

Grafik 3.6Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Belanja Daerah

Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

Kaltim

Papua

Kepri

Papbar

Riau

Malut

Babel

Kalteng

Sumsel

Kalbar

Maluku

Kalsel

Jambi

Banten

NTT

Jabar

Sultra

Bengkulu

Sulut

Sumut

Sulbar

Gorontalo

Sulsel

Sulteng

Jatim

Aceh

Lampung

Sumbar

NTB

Bali

Jateng

DIY

.000

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

45.000

50.000

46

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

*) Tidak termasuk DKI Jakarta

3. Pemerintah Provinsi

Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap belanja daerah pemerintah provinsi

memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung adalah 20,2%

belanja daerah. Berdasarkan angka rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung tersebut,

sebanyak 15 provinsi memiliki rasio yang lebih kecil dari angka tersebut, dan 18 provinsi

memiliki rasio yang lebih besar. Selanjutnya, Grafik 3.7 memperlihatkan bahwa Pemprov

DJPK – KEMENKEU RI 33

Page 34: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Sulawesi Utara memiliki rasio tertinggi sebesar 32,4%, sedangkan yang terendah, adalah

Pemprov Papua Barat, memiliki rasio sebesar 6,0%.

Grafik 3.7 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi

PapbarB

antenKalti

mKepriA

cehPapuaSum

utJati

mSum

selR

iauJabarSulbarB

abelKaltengJatengSulselKalselKalbarLam

pungM

alutJam

biB

aliSum

barSultraN

TBD

IYSultengG

orontaloM

alukuD

KIB

engkuluN

TTSulut

.000

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

20

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah

Grafik 3.8 memperlihatkan rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja

daerah per wilayah di Indonesia. Sebagaimana rasio belanja pegawai terhadap total belanja,

wilayah Sulawesi masih memiliki rasio tertinggi (46,2%) diikuti oleh Jawa-Bali (43,6%),

sedangkan wilayah yang memiliki rasio belanja tidak langsung terendah adalah Kalimantan

(30,0%).

Grafik 3.8 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *)

Kalimantan NT Maluku Papua

Sumatera Jawa Bali Sulawesi.000

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

45.000

50.000

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

DJPK – KEMENKEU RI 34

Page 35: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

C. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah

Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi belanja daerah

yang dibelanjakan untuk belanja modal. Belanja Modal sendiri ditambah belanja barang dan

jasa, merupakan belanja pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan

ekonomi suatu daerah selain dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar negeri. Oleh karena

itu, semakin tinggi angka rasionya, semakin baik pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya, semakin rendah angkanya, semakin buruk pengaruhnya terhadap pertumbuhan

ekonomi.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 3.9 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja secara agregat

provinsi, kabupaten dan kota. Persentase rasio seluruh provinsi masih di bawah 40,0% dan

rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota sebesar 22,9%. Dari jumlah tersebut, sebanyak

19 provinsi masih memiliki rasio dibawah rata-rata, sedangkan 14 provinsi berada di atas rata-

rata. Selain itu, Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Prov. DI. Yogyakarta dengan

angka sebesar 11,1% sedangkan rasio tertinggi terdapat pada Provinsi Kalimantan Timur, yaitu

sebesar 38,0%. Kondisi di atas menunjukkan sebagian besar provinsi di Indonesia masih

menganggarkan belanja modal dengan proporsi yang kecil, yaitu dibawah 24,0%. Itu berarti

bahwa sebagian daerah masih belum memberikan perhatian yang cukup untuk mendorong

pertumbuhan ekonominya.

Grafik 3.9Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah

Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

DIY

Bali

JatengJabarJati

mA

cehSum

bar

SulselLam

pungSultengB

engkuluN

TBN

TTB

anten

KepriSulbarSum

utG

orontaloSulutKalbar

Maluku

SultraPapbarKalselJam

biSum

selD

KI

Babel

PapuaKaltengR

iauM

alutKalti

m

.000

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

23

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

DJPK – KEMENKEU RI 35

Page 36: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi

Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan oleh grafik 3.10

memperlihatkan bahwa secara rata-rata nasional rasio belanja modal terhadap belanja daerah

adalah 22,5%. Sebanyak 16 provinsi memiliki rasio belanja modal lebih besar dari rata-rata,

sedangkan 16 provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap belanja pegawai yang lebih kecil

dari rata-rata. Pemerintah kabupaten dan kota di Prov. Kalimantan Timur memiliki rasio belanja

modal yang terbesar yaitu sebesar 38,0%, sedangkan pemerintah kabupaten dan kota di

Prov.DI Yogyakarta memiliki rasio terkecil yaitu 11,00%.

Grafik 3.10Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

DIY

Bali

Jateng

Aceh

Jabar

Jatim

Lampung

Sumbar

Sulsel

NTB

Sumut

Bengkulu

Sulbar

Sulteng

Banten

NTT

Babel

Sultra

Sulut

Kepri

Gorontalo

Kalbar

Kalsel

Maluku

Jambi

Sumsel

Riau

Kalteng

Papbar

Papua

Malut

Kaltim

.000

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

22

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

3. Pemerintah Provinsi

Profil rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja daerahnya dapat

dilihat pada Grafik 3.11. Grafik tersebut memperlihatkan kisaran rasio antara 7,1% hingga

39.8% dengan rasio tertinggi terdapat di Pemprov. Aceh dan terendah di Pemprov. Jawa

Tengah. Rata-rata rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap belanja daerah adalah

20,7% dengan 19 pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal lebih kecil dari rata-rata,

dan 14 provinsi lebih besar dari rata-rata.

DJPK – KEMENKEU RI 36

Page 37: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Grafik 3.11Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi

Jateng

Jabar

Jatim

DIY

Bali

Sulsel

Sulteng

NTT

Kepri

Papbar

Gorontalo

Sulut

Papua

Banten

Kalbar

Bengkulu

Aceh

Maluku

Sumbar

Lampung

NTB

Kalteng

Kalsel

Sulbar

Kaltim

Jambi

Sumut

DKI

Sumsel

Sultra

Riau

Malut

Babel

.000

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

21

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah

Grafik 3.12 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di 5 wilayah

yaitu Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Papua. Grafik

tersebut memperlihatkan rata-rata rasio 5 wilayah sebesar 23,51%. Dari grafik dapat dilihat

bahwa belanja modal di 3 wilayah (Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Papua) lebih

besar dibandingkan dengan rata-rata rasio. Sedangkan untuk wilayah Jawa Bali dan Sulawesi

memiliki rasio lebih besar daripada rasio rata-rata. Belanja modal yang tertinggi terdapat di

wilayah Kalimantan yaitu 32,3% dan yang terkecil terdapat di wilayah Jawa Bali yaitu 18,3%.

Grafik 3.12 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*)

Kalimantan NT Maluku Papua

Sumatera Jawa Bali Sulawesi.000

5.000

10.000

15.000

20.000

25.00023.510

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

DJPK – KEMENKEU RI 37

Page 38: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

D. Rasio Belanja Daerah Terhadap Jumlah Penduduk

Rasio belanja daerah terhadap jumlah penduduk (belanja daerah perkapita)

menunjukkan seberapa besar belanja yang digunakan untuk menyejahterakan per penduduk di

suatu daerah. Semakin besar nilainya, semakin besar besar belanja yang dikeluarkan untuk

menyejahterakan satu orang penduduk wilayah tersebut sehingga semakin besar kemungkinan

tercapainya. Sebaliknya, semakin kecil angka rasionya, semakin kecil dana yang disediakan

pemda untuk menyejahterakan penduduknya. Namun demikian, rasio ini sebaiknya juga dirinci

lagi menjadi per jenis belanja per kapita sehingga akan lebih memperlihatkan kontribusi dari

setiap jenis belanja sebagai faktor pendorong pertumbuhan ekonomi.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Terkait rasio ini, berdasarkan grafik 3.13, terlihat bahwa daerah-daerah di wilayah timur

Indonesia memiliki rasio yang relatif tinggi, sedangkan daerah-daerah di Pulau Jawa memiliki

rasio yang terendah. Hal ini disebabkan oleh karena daerah-daerah di wilayah timur Indonesia

jumlah penduduknya masih sedikit sedangkan belanja yang dialokasikan adalah tinggi.

Sebaliknya provinsi yang berada di pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang besar dengan

alokasi belanja yang tidak berbeda jauh dengan wilayah Indonesia Timur.

Berdasarkan data agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata belanja daerah

perkapita adalah 2,1 juta rupiah. Artinya, rata-rata pemda di Indonesia membelanjakan

sebanyak Rp2,1 juta per penduduknya. Dari jumlah itu, sebanyak 10 Provinsi memiliki rasio

belanja daerah perkapita di atas jumlah tersebut, dan 23 provinsi memiliki rasio belanja daerah

perkapita dibawahnya. Provinsi yang mempunyai rasio belanja daerah perkapita tertinggi

adalah Prov. Papua Barat, yaitu sebesar Rp12,9 juta sedangkan yang memiliki rasio terendah

adalah Prov. Jawa Barat dengan nilai sebesar Rp1,0 juta.

Grafik 3.13 Rasio Belanja Daerah per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Jab

ar

Ba

nte

n

Jate

ng

Jati

m

DIY

Lam

pu

ng

NT

B

Su

mu

t

Su

lsel

Su

mse

l

NT

T

Ka

lba

r

Ba

li

Su

mb

ar

Su

lten

g

Jam

bi

Su

lba

r

Ka

lsel

Go

ron

talo

Su

ltra

Be

ng

kulu

Su

lut

Ba

be

l

Ria

u

Ma

luku

Ka

lten

g

Ace

h

Ma

lut

Ke

pri

Ka

ltim

Pa

pu

a

DK

I

Pa

pb

ar

.000

500000.000

1000000.000

1500000.000

2000000.000

2500000.000

2,072,255

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

DJPK – KEMENKEU RI 38

Page 39: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi

Grafik 3.14 yang menunjukkan rasio belanja daerah terhadap jumlah penduduk (belanja

daerah perkapita) memperlihatkan bahwa kabupaten dan kota di wilayah timur Indonesia

memiliki rasio tertinggi, sedangkan kabupaten dan kota di Pulau Jawa memiliki rasio yang

terendah. Hal ini disebabkan oleh karena kabupaten dan kota di wilayah timur Indonesia jumlah

penduduknya masih sedikit sedangkan pendapatan daerah baik dari PAD maupun dana

perimbangan sangat tinggi. Sebaliknya kabupaten dan kota yang berada di pulau Jawa memiliki

jumlah penduduk yang besar dan pendapatan daerah yang terbatas. Rata-rata belanja daerah

kabupaten dan kota se-provinsi perkapita adalah Rp1,6 juta. Sebanyak 12 Provinsi memiliki

rasio belanja daerah perkapita di atas rata-rata, dan 21 provinsi memiliki rasio dibawah rata-rata

tersebut. Kabupaten dan kota yang mempunyai rasio belanja daerah perkapita tertinggi berada

di Prov. Papua Barat dengan Rp8,3 juta. Sedangkan kabupaten dan kota yang memiliki rasio

belanja perkapita terendah adalah Prov. Jawa Barat yaitu sebesar Rp0,9 juta.

Grafik 3.14 Rasio Belanja Daerah Per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

JabarB

antenJatengJati

mD

IYLam

pungN

TBSum

utSum

selSulselB

aliKalbarN

TTSulbarSum

barSultengJam

biG

orontaloKalselB

engkuluSultraB

abelA

cehSulutR

iauM

alukuKaltengKepriM

alutPapuaKalti

mPapbar

.000

200000.000

400000.000

600000.000

800000.000

1000000.000

1200000.000

1400000.000

1600000.000

1800000.000

1,613,372

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

3. Pemerintah Provinsi

Rasio belanja daerah terhadap jumlah penduduk (belanja daerah perkapita) ditunjukkan

pada grafik 3.15. Dari grafik tersebut terlihat bahwa secara rata-rata belanja daerah pemerintah

provinsi perkapita adalah Rp0,5 juta. Sebanyak 26 pemprov. memiliki rasio belanja daerah

perkapita di atas rata-rata, dan hanya 7 pemprov. yang memiliki rasio belanja daerah perkapita

dibawah rata-rata. Pemerintah Provinsi yang mempunyai rasio belanja daerah perkapita

tertinggi adalah di Pemprov. DKI Jakarta yaitu sebesar Rp10,6 juta, sedangkan pemerintah

DJPK – KEMENKEU RI 39

Page 40: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

provinsi yang memiliki rasio belanja perkapita terendah adalah Pemprov. Jawa Tengah dengan

rasio sebesar Rp0,2 juta.

Grafik 3.15Rasio Belanja Daerah per Kapita Pemerintah Provinsi

JatengJabarN

TTJati

mLam

pungB

antenSum

utN

TBSulselKalbarSum

barD

IYSultengSum

selJam

biSulutSulbarSultraB

aliG

orontaloB

engkuluM

alutKalselM

alukuKaltengR

iauB

abelKepriPapuaA

cehKalti

mPapbarD

KI

.000

100000.000

200000.000

300000.000

400000.000

500000.000

600000.000

534,805

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah

Grafik 3.16 menunjukkan rasio belanja daerah per kapita per wilayah. Terlihat bahwa

belanja daerah perkapita tertinggi adalah di wilayah Kalimantan yaitu Rp4,4 juta diikuti oleh

wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua dengan rasio belanja perkapita Rp4,2 juta. Sementara

itu, rasio belanja daerah perkapita yang terkecil berada di wilayah Jawa-Bali yaitu sebesar

Rp1,1 juta.

Grafik 3.16 Rasio Belanja Daerah per Kapita per Wilayah*)

Kalimantan NT Maluku Papua

Sumatera Jawa Bali Sulawesi.000

500000.000

1000000.000

1500000.000

2000000.000

2500000.000

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

DJPK – KEMENKEU RI 40

Page 41: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

E. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk

Rasio belanja modal per kapita menunjukkan seberapa besar belanja yang dialokasikan

pemerintah untuk pembangunan infrastruktur daerah per penduduk. Rasio belanja modal per

kapita memiliki hubungan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi karena belanja modal

merupakan salah satu jenis belanja pemerintah yang menjadi pendorong pertumbuhan

ekonomi. Rasio ini bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan

perekonomian penduduknya dari pembangunan infrastruktur yang dikeluarkan.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 3.17 yang menunjukkan rasio belanja modal per kapita seluruh provinsi (agregat

provinsi, kabupaten dan kota) memperlihatkan bahwa rata-rata rasio belanja modal per kapita

adalah Rp0,5 juta. Hanya 10 provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita lebih besar

dari rata-rata nasional, dan 23 provinsi memiliki rasio belanja modal perkapita lebih rendah dari

rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio belanja modal

perkapita tertinggi adalah Prov. Papua Barat yaitu sebesar Rp3,4 juta, sedangkan yang

terendah adalah Prov. Jawa Tengah sebesar Rp0,2 juta.

Grafik 3.17Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Jab

ar

Jate

ng

DIY

Jati

m

Ba

nte

n

Ba

li

Lam

pu

ng

NT

B

Su

lsel

Su

mu

t

Su

mb

ar

NT

T

Su

lten

g

Ka

lba

r

Su

mse

l

Su

lba

r

Be

ng

kulu

Jam

bi

Go

ron

talo

Su

lut

Ace

h

Su

ltra

Ka

lsel

Ba

be

l

Ma

luku

Ke

pri

Ria

u

Ka

lten

g

Ma

lut

Pa

pu

a

DK

I

Ka

ltim

Pa

pb

ar

.000

50000.000

100000.000

150000.000

200000.000

250000.000

300000.000

350000.000

400000.000

450000.000

500000.000473,505

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi

Rasio belanja modal perkapita pemkab dan pemkot se-Provinsi mencerminkan besaran

belanja modal yang dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota di

setiap provinsi. Dari data APBD terlihat bahwa provinsi-provinsi yang menganggarkan APBD

untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata adalah provinsi yang memiliki potensi

DJPK – KEMENKEU RI 41

Page 42: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

SDA yang besar dan atau memperoleh dana perimbangan yang besar dari pusat terutama DBH

SDA dan dana Otonomi Khusus.

Grafik 3.18 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah kabupaten dan

kota se-provinsi. Secara nasional rata-rata rasio belanja modal kabupaten dan kota se-provinsi

adalah Rp0,4 juta. Pemkab dan Pemkot Se-Provinsi yang memiliki rasio belanja modal

perkapita lebih tinggi dari rata-rata sebanyak 23 provinsi, sedang yang dibawah rata-rata

sebanyak 9 provinsi. Pemkab dan Pemkot se-Prov. Papua Barat memiliki rasio belanja modal

perkapita tertinggi yaitu sebesar Rp2,6 juta sedangkan yang terendah adalah Pemkab dan

Pemkot se-Prov. DI Yogyakarta dengan rasio Rp0,1 juta.

Grafik 3.18 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

DIY

JabarJatengJati

mB

antenB

aliLam

pungN

TBSum

utSulselSum

barA

cehSulbarSum

selN

TTSultengKalbarB

engkuluJam

biG

orontaloB

abelSultraKalselSulutM

alukuR

iauKepriKaltengM

alutPapuaKalti

mPapbar

.000

50000.000

100000.000

150000.000

200000.000

250000.000

300000.000

350000.000

400000.000

362,788

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

3. Pemerintah Provinsi

Rasio Belanja Modal per kapita pemerintah provinsi ditunjukkan pada Grafik 3.19. Rasio

belanja modal per kapita pemerintah provinsi memiliki rata-rata nasional sebesar Rp0,1 juta.

Sebagian besar pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap jumlah penduduk di

bawah rata-rata nasional yaitu 25 provinsi dan hanya 8 provinsi yang memiliki rasio di atas rata-

rata nasional. Pemerintah Provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita tertinggi adalah

Pemprov. DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp3,06 juta sedangkan yang terendah adalah

Pemprov.Jawa Tengah Rp0,01 juta.

DJPK – KEMENKEU RI 42

Page 43: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Grafik 3.19 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi

JatengJabarJati

mN

TTD

IYSulselB

antenB

aliSultengLam

pungKalbarN

TBSum

barSulutSum

utG

orontaloB

engkuluJam

biSum

selM

alukuSulbarKalselSultraKaltengKepriR

iauM

alutPapuaB

abelA

cehKalti

mPapbarD

KI

.000

20000.000

40000.000

60000.000

80000.000

100000.000

120000.000

110,717

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah

Rasio belanja modal perkapita per wilayah yang ditunjukkan pada grafik 3.20

memperlihatkan bahwa belanja modal perkapita tertinggi adalah di wilayah Kalimantan sebesar

Rp1,4 juta. Hal ini menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi di wilayah Kalimantan lebih tinggi

di bandingkan dengan daerah lain. Selanjutnya rasio belanja modal perkapita terendah adalah

di wilayah Jawa yang hanya Rp0,2 juta.

Grafik 3.20Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah *)

Kalimantan NT Maluku Papua

Sumatera Jawa Bali Sulawesi.000

50000.000

100000.000

150000.000

200000.000

250000.000

300000.000

350000.000

400000.000

450000.000

500000.000

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

DJPK – KEMENKEU RI 43

Page 44: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

BAB IV

ANALISIS DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH

A. Defisit

Keseimbangan umum atau Surplus/Defisit APBD adalah selisih Lebih/kurang antara

pendapatan daerah dan belanja daerah dalam tahun anggaran yang sama. Dari 491 Kab/Kota

dan 33 Provinsi pada tahun 2011 sebanyak 438 daerah menganggarkan defisit dalam APBD-

nya, sedangkan yang menganggarkan surplus sebanyak 80 daerah dan sisanya sebanyak 6

daerah mempunyai anggaran pendapatan dan belanja yang bernilai sama (berimbang).

Besaran defisit menunjukkan tingkat belanja yang tidak dapat dipenuhi oleh pendapatan

daerah, atau dengan kata lain belanja lebih besar dari pendapatan. Berikut disajikan rasio

defisit terhadap Pendapatan, dimana semakin besar rasio tersebut berarti semakin besar pula

dana diluar pendapatan daerah (Pembiayaan) yang diperlukan guna mendanai belanja.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 4.1Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumsel

PapbarSultengPapuaLam

pungM

alukuB

engkuluSulbarSulselN

TBSultraSulutKalbarSum

utG

orontaloM

alutJatengKaltengA

cehD

KIJam

biD

IYN

TTJati

mKalselSum

barJabarB

abelB

antenB

aliR

iauKalti

mKepri

-8.000

-7.000

-6.000

-5.000

-4.000

-3.000

-2.000

-1.000

.000

-7.61

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Rata-rata rasio defisit secara nasional(agregat kab/kota dengan Provinsi) adalah 7,6%

dengan kontribusi SiLPA untuk menutup defisi tersebut sekitar 91,3% sedangkan kontribusi

penerimaan pinjaman dan obligasi daerah 5,9%. Kepulauan Riau merupakan daerah dengan

DJPK – KEMENKEU RI 44

Page 45: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

rasio defisit terbesar dimana faktor utama penyebab hal tersebut berasal dari kab/kota. Rasio

Wilayah Papua Barat dan Sumatera Selatan bernilai negatif walaupun rasio agregat kab/kota

yang bernilai surplus, hal tersebut dikarenakan defisit pemerintah provinsi wilayah tersebut lebih

besar dibanding dengan surplus agregat kab/kota.

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi

Rasio Suplus/defisit dengan total Pendapatan Pemkab dan pemkot dalam satu provinsi

dapat dilihat dalam grafik 4.2 berikut. Rasio tersebut menunjukkan nilai total surplus/defisit

seluruh pemkab dan pemkot dalam satu provinsi dibagi dengan total pendapatannya.

Grafik 4.2Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

PapbarSum

selSultengLam

pungSulselSum

utJabarB

antenJati

mA

cehSultraJatengD

IYKalbarSulbarN

TBSulutB

engkuluPapuaB

aliR

iauJam

biSum

barM

alukuB

abelKaltengKalselKepriKalti

mG

orontaloN

TTM

alut

-1.400

-1.200

-1.000

-.800

-.600

-.400

-.200

.000

-1.2

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)*) Tidak termasuk DKI Jakarta

Pemerintah Kabupaten dan Kota di wilayah Papua Barat dan Sumatera Selatan

mempunyai rasio yang benilai positif (surplus). Nilai tersebut menunjukkan total pendapatan

APBD Papua Barat dan Sumsel lebih besar dibanding dengan pendapatan di wilayah tersebut.

Namun tidak berarti semua daerah di Papua Barat dan Sumsel menganggarkan Surplus.

Dalam grafik 4.2 terlihat bahwa pemkab dan Pemkot se-provinsi yang mempunyai nilai

rasio diatas 10,0% yaitu di Kepulauan Riau, Kalimantan Timur dan Riau. Semakin besar rasio

tersebut mengindikasikan semakin besar pula rasio pembiayaan yang dibutuhkan guna

menutupi kekurangan pendanaan, dimana sebagian besar penerimaan pembiayaan didominasi

oleh SiLPA dan Penerimaan Pinjaman.

DJPK – KEMENKEU RI 45

Page 46: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Grafik 4.3Pemerintah Kab/Kota se-Provinsi

berdasarkan Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan (%) *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah)*) Tidak termasuk DKI Jakarta

Rentang penyebaran kab/Kota dan daerah-daerah ekstrem per provinsi disajikan dalam

grafik 4.3. Dalam grafik tersebut Jatim mempunyai dua daerah ekstrem yang berbeda dari rata-

rata daerah-daerah di provinsi Jatim, yaitu kab. Lumajang yang mempunyai rasio surplus dan

kota Surabaya yang mempunyai rasio Defisit terbesar di Jatim. Pemerintah kab/kota yang

mempunyai rasio defisit diatas rata-rata nasional antara lain kab/kota di Provinsi Papua Barat,

Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.

3. Pemerintah Provinsi

Sama halnya dengan pemerintah kab/Kota, sebagian besar pemerintah provinsi juga

menganggarkan defisit dalam APBD-nya. Pemerintah provinsi yang menganggarkan surplus

hanya Pemprov. Papua, namun pembiayaan APBDnya bernilai negatif.

DJPK – KEMENKEU RI 46

Page 47: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Grafik 4.4Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi

PapuaLam

pungKaltengJatengB

engkuluSum

utSulselR

iauSum

selJati

mSulutM

alutSum

barN

TBSulbarKalbarSultengKalselD

KIJabarM

alukuJam

biKepriB

antenKalti

mN

TTD

IYB

abelG

orontaloB

aliPapbarSultraA

ceh

-.450

-.400

-.350

-.300

-.250

-.200

-.150

-.100

-.050

.000

-0.4

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Aceh merupakan pemerintah provinsi yang mempunyai rasio pinjaman paling besar

yaitu sebesar 22,3%. Dari 31 pemerintah provinsi yang menganggarkan defisit, 28 pemerintah

provinsi menutup defisit tersebut dengan menggunakan SiLPA, sedangkan tiga pemerintah

provinsi lainnya menutupnya dengan SiLPA ditambah dengan penerimaan Pinjaman.

4. Per Wilayah

Rasio defisit per wilayah dapat dilihat dalam Grafik 4.5 grafik tersebut menunjukkan

bahwa Kalimantan merupakan wilayah yang mempunyai rasio defisit terhadap pendapatan

paling besar (-12,2%). Dan yang terendah adalah wilayah Sulawesi (-3,4%). Semakin besar

nilai minus rasio berarti semakin besar belanja yang tidak dapat ditutup dari pendapatan

daerah, sehingga daerah harus mencari penerimaan lain yang berasal dari pembiayaan.

Grafik 4.5Rasio Defisit/Pendapatan Per Wilayah*)

Sulawesi NT Maluku Papua

Sumatera Jawa Bali Kalimantan-8.000

-7.000

-6.000

-5.000

-4.000

-3.000

-2.000

-1.000

.000

%

DJPK – KEMENKEU RI 47

Page 48: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

Grafik 4.6Penyebaran Rasio Defisit/Pendapatan per wilayah *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

Jika dilihat dari penyebaran kabupaten, kota dan provinsi per wilayah dapat dilihat dalam

grafik 4.6. Dalam grafik tersebut dapat dilihat daerah-daerah yang mempunyai nilai rasio

ekstrim (outlier), wilayah Jawa - Bali mempunyai satu daerah yang jauh diatas rata-rata atau

bernilai surplus dan dua daerah ekstrim (defisit). Untuk wilayah Kalimantan terdapat enam

daerah yang mempunyai rasio defisit cukup besar dibanding daerah lain dalam wilayah

tersebut.

5. Daerah dengan Defisit yang belum ter-cover oleh pembiayaan

Dalam APBD kabupaten, kota dan provinsi terdapat beberapa daerah yang besaran

defisit yang dianggarkan tidak bisa ditutup dengan pembiayaan, sehingga defisit ditambah

pembiayaan masih bernilai minus. Karena sumber lain penerimaan selain pendapatan adalah

berasal dari pembiayaan maka hal tersebut mengundang tanya “Dari mana Pemda

memperoleh dana untuk menutup defisit”. Beberapa daerah tersebut dapat dilihat dalam

tabel 4.1.

Tabel 4.1Daerah dengan Defisit Belum Ter-cover oleh Pembiayaan

NO

Nama DaerahSurplus/Defisit

(Rp)

Pembiayaan

(Rp)

Surplus/Defisit + Pembiayaan

1 Kota Gorontalo -29,779,841,647 6,362,331,500 -23,417,510,147

2 Kab. Halmahera Utara 18,710,229,713 -42,000,000,000 -23,289,770,287

DJPK – KEMENKEU RI 48

Page 49: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

3 Kab. Lebong -22,068,387,866 4,495,391,448 -17,572,996,419

4 Kab. Jayawijaya -11,607,748,671 -5,000,000,000 -16,607,748,671

5 Kab. Mamuju Utara -19,187,064,000 3,527,204,478 -15,659,859,522

6 Kab. Nduga -49,332,739,152 35,926,104,078 13,406,635,074

7 Prov. Sulawesi Barat -16,023,664,312 6,000,000,000 -10,023,664,312

8 Kab. Fakfak -9,719,307,106 0 -9,719,307,106

9 Kab. Sinjai 7,634,516,950 -17,044,126,360 -9,409,609,410

10 Kab. Halmahera Tengah -93,199,089,250 85,247,299,000 -7,951,790,250

11 Kab. Labuhanbatu Selatan -69,197,140,449 64,297,140,449 -4,900,000,000

11 Kab. Malang -193,012,992,133 189,088,504,533 -3,924,487,600

12 Kab. Seram Bagian Barat 53,501,000,000 -56,500,000,000 -2,999,000,000

13 Kab. Lanny Jaya -65,145,607,759 62,863,895,376 -2,281,712,383

14 Kota Ambon 22,414,241,834 -24,561,122,126 -2,146,880,292

15 Kab. Lingga -152,325,010,000 150,325,000,000 -2,000,010,000

16 Kab. Ngada -55,866,826,000 53,866,826,000 -2,000,000,000

17 Prov. Jawa Barat -1,464,301,200,000 1,462,301,200,000 -2,000,000,000

18 Kota Ternate -22,543,844,264 21,285,104,264 -1,258,740,000

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Dalam tabel diatas dapat dilihat bahwa Kota Gorontalo merupakan daerah dengan nilai

Defisit APBD yang tidak ter-cover oleh pembiayaan terbesar yaitu sebesar 23,4 miliar rupiah

dan terendah adalah Kota Ternate sebesar 1,3 miliar rupiah.

B. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disingkat SiLPA adalah selisih lebih

realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Dengan

demikian dalam APBD 2011 SiLPA yang dimasukkan adalah sisa realisasi APBD di tahun

2010. Berikut disajikan Rasio SiLPA terhadap belanja, rasio tersebut menunjukkan persentase

dana yang penggunaannya tertunda atau tidak terserap pada tahun sebelumnya:

DJPK – KEMENKEU RI 49

Page 50: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 4.7Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Su

lba

r

Pa

pb

ar

Lam

pu

ng

Su

lten

g

Su

ltra

Su

mse

l

Pa

pu

a

Su

lsel

Be

ng

ku

lu

NT

B

Su

lut

Go

ron

talo

Ka

lba

r

Jate

ng

Ma

lut

Ma

luku

Su

mu

t

Ace

h

Ka

lten

g

Jam

bi

NT

T

DIY

DK

I

Su

mb

ar

Jati

m

Jab

ar

Ba

nte

n

Ba

be

l

Ba

li

Ka

lsel

Ria

u

Ka

ltim

Ke

pri

.000

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

9.000

8.210

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

SiLPA adalah sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya. Rasio SiLPA terhadap

pendapatan selain menggambarkan besaran belanja yang tertunda pelaksanaannya pada

tahun sebelumnya juga menggambarkan jumlah realisasi pendapatan tahun anggaran

sebelumnya lebih besar dari proyeksinya. Rata-rata rasio SiLPA terhadap belanja daerah

secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah 8,2% dengan rasio tertingginya adalah

Kepulauan Riau. Sebanyak 12 provinsi mempunyai rasio diatas rata-rata dan 21 provinsi di

bawah rata-rata.

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi

Grafik 4.8Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi *)

Pa

pb

ar

Su

lba

r

Su

lten

g

Su

mse

l

Lam

pu

ng

Su

lsel

Su

ltra

Pa

pu

a

NT

B

Ka

lba

r

Be

ng

kulu

Ace

h

Go

ron

talo

Su

lut

Su

mu

t

Jate

ng

DIY

Ma

lut

Ma

luku

NT

T

Ba

nte

n

Jam

bi

Ka

lten

g

Jab

ar

Su

mb

ar

Jati

m

Ba

li

Ba

be

l

Ka

lsel

Ka

ltim

Ria

u

Ke

pri

.000

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

9.000

7.760

%

DJPK – KEMENKEU RI 50

Page 51: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

Pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Kepulauan Riau, Riau dan Kalimantan Timur

merupakan daerah-daerah yang terlihat beda dibanding pemkab dan pemkot di provinsi lain,

karena pemkab dan Pemkot di ketiga provinsi tersebut mempunyai rasio SiLPA terhadap

belanja diatas 15,0% dan diatas rata-rata yang sebesar 7,8%. Sedangkan Kab/kota di Papua

barat mempunyai rasio paing rendah (1,2%)

3. Pemerintah Provinsi

Grafik 4.9Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi

Pa

pu

a

Su

lba

r

Lam

pu

ng

Be

ng

ku

lu

Su

ltra

Ma

luku

Ma

lut

Su

lut

Su

lsel

Su

mse

l

Pa

pb

ar

Go

ron

talo

Jate

ng

Ka

lten

g

Su

lten

g

Ria

u

NT

B

Jam

bi

Ka

lsel

Jati

m

Ka

lba

r

Su

mu

t

DK

I

Ba

be

l

Su

mb

ar

Ace

h

DIY

Ke

pri

NT

T

Ka

ltim

Ba

li

Jab

ar

Ba

nte

n

.000

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

9.000

8.390

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Terdapat perbedaan pada urutan rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah pada

Pemerintah Provinsi dengan pemkab dan Pemkot se-provinsi. Dalam rasio SiLPA terhadap

belanja daerah pemprov.Aceh merupakan provinsi yang mempunyai urutan tertinggi (18,3%),

urutan kedua adalah Prov. Banten(16,4%), sedangkan provinsi yang mempunyai rasio terendah

adalah papua sebesar 0% atau Prov. Papua tidak mempunyai SiLPA. Hal ini menjadi sangat

menarik untuk dikaji lebih lanjut mengapa pemerintah kabupaten kota se-provinsi Papua bisa

tidak memiliki SiLPA, karena mengingat pada tahun 2010 terdapat beberapa jenis dana transfer

ke daerah yang relatif lambat masuk dalam kas daerah dan diperkirakan tidak bisa terserap

pada akhir tahun tersebut.

4. Per Wilayah

Rasio SiLPA terhadap belanja daerah tertinggi ada di wilayah Kalimantan(11,8%), rata-

rata nasional untuk rasio ini adalah sebesar 8,3%, semakin besar rasio menunjukkan semakin

besar dana idle yang tidak dapat dimanfaatkan pada tahun 2010. sedangkan rasio terendah

SiLPA terhadap belanja terjadi di wilayah Sulawesi. Untuk wilayah lain dapat dilihat dalam

grafik dibawah ini.

DJPK – KEMENKEU RI 51

Page 52: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Grafik 4.10Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah *)

Kalimantan NT Maluku Papua

Sumatera Jawa Bali Sulawesi.000

.100

.200

.300

.400

.500

.600

.700%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

*) Tidak termasuk DKI Jakarta

C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman

Penerimaan pinjaman daerah digunakan untuk menganggarkan semua transaksi yang

mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang dari pihak lain (termasuk obligasi) sehingga

daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Oleh karena itu pinjaman yang

dianggarkan dalam APBD dibatasi oleh peraturan Menteri Keuangan tiap tahunnya. Berikut

rasio pinjaman terhadap pendapatan daerah dilihat dari pembagian lima wilayah, pemerintah

kabupaten dan kota se-provinsi, serta pemerintah provinsi.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 4.11Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Ria

u

Be

ng

kulu

DK

I

Su

lut

Ma

luku

Ba

nte

n

Ba

be

l

Ka

lten

g

DIY

NT

T

Ba

li

Pa

pu

a

NT

B

Ka

lsel

Su

mse

l

Pa

pb

ar

Jati

m

Lam

pu

ng

Su

lten

g

Jab

ar

Go

ron

talo

Jam

bi

Su

mu

t

Su

mb

ar

Ke

pri

Jate

ng

Ace

h

Ka

lba

r

Ka

ltim

Su

lsel

Ma

lut

Su

ltra

Su

lba

r

.000

.100

.200

.300

.400

.500

.600001

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

DJPK – KEMENKEU RI 52

Page 53: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Rasio pinjaman terhadap pendapatan APBD secara adalah 0,6%. Nilai tersebut masih

jauh lebih kecil dibanding batas pinjaman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.

149/PMK.07/Tahun 2010, yaitu 3,5% total pendapatan. Terlihat bahwa dua provinsi melampaui

batas yang ditentukan yaitu provinsi Sulawesi Barat dan Sulawesi Utara yaitu 4,2% dan 4,0%.

Dari kedua provinsi tersebut, seluruh pemda di Provinsi Sulawesi Barat belum ada yang

mengajukan persetujuan pelampauan batas maksimal defisit kepada Menteri Keuangan.

Dari grafik diatas dapat dilihat berdasarkan 33 wilayah provinsi terdapat enam provinsi yang

tidak menganggarkan penerimaan pinjaman dalam APBD-nya.

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi

Grafik 4.12Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

Riau

Bengkulu

Sulut

Sultra

Maluku

Banten

Babel

Kalteng

NTT

DIY

Bali

Papua

NTB

Kalsel

Sumsel

Jatim

Lampung

Sulteng

Jabar

Papbar

Gorontalo

Jambi

Sumut

Sumbar

Jateng

Kepri

Kalbar

Sulsel

Kaltim

Aceh

Malut

Sulbar

.000

.100

.200

.300

.400

.500

.600

.700

001

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)*) Tidak termasuk DKI Jakarta

Rasio pinjaman terhadap pendapatan daerah pemkab dan pemkot se-Provinsi Sulawesi

Barat adalah yang tertinggi (5,3%). Penyumbang tertinggi adalah Kab. Mamasa yang

mempunyai rasio pinjaman 24%. Pemkab dan pemkot se-Provinsi Sultra, Bengkulu, Sulut,

Maluku, Banten, Bangka Belitung dan Riau tidak menganggarkan pinjaman dalam APBD-nya.

Rasio pinjaman terhadap pendapatan APBD secara Nasional adalah 0,6%, bila dibandingkan

dengan angka rasio tersebut maka terdapat 10 provinsi yang pemkab dan pemkotnya

mempunyai rasio lebih tinggi.

DJPK – KEMENKEU RI 53

Page 54: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

3. Pemerintah Provinsi

Terdapat tiga pemerintah provinsi yang menganggarkan pinjaman, hal tersebut dapat

dilihat dalam grafik 4.13. Tiga pemerintah provinsi tersebut adalah Sulawesi Barat, Maluku

Utara dan Aceh. Rasio terekstrem adalah Sulawesi Barat yang mempunyai rasio sebesar

23,0% jauh lebih tinggi dari ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebesar 4,5%.

Grafik 4.13Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi

Ace

h

Su

mu

t

Su

mb

ar

Ria

u

Jam

bi

Su

mse

l

Be

ng

ku

lu

La

mp

un

g

DK

I

Jab

ar

DIY

Ka

lba

r

Ka

lten

g

Ka

lse

l

Ka

ltim

Su

lut

Su

lten

g

Su

lse

l

Ba

li

NT

B

NT

T

Ma

luku

Pa

pu

a

Ma

lut

Ba

nte

n

Ba

be

l

Go

ron

talo

Ke

pri

Pa

pb

ar

Su

lba

r

Jati

m

Jate

ng

Su

ltra

.000

.050

.100

.150

.200

.250

.300

.350000

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah

Sulawesi merupakan wilayah yang mempunyai rasio pinjaman tertinggi dibanding

daerah lainnya, yaitu 1,6 % dibanding pendapatan. Sedangkan yang terendah adalah wilayah

Nusa Tenggara-Maluku-Papua (0,3%).Jika dilihat penyebaran per daerah dalam rasio pinjaman

terbesar berada di wilayah Kalimantan (Penajam Paser Utara). Rasio tertinggi lainnya berada di

wilayah Sulawesi, yaitu provinsi Sulawesi Utara dan Kab.Mamasa yang mempunyai rasio diatas

20,0%. Rasio perwilayah dan penyebarannya dapat dilihat dalam grafik 4.14 dan 4.15 berikut :

Grafik 4.14Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah *)

NT Maluku Papua

Jawa Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi.000

.100

.200

.300

.400

.500

.600

.700

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)*) Tidak termasuk DKI Jakarta

DJPK – KEMENKEU RI 54

Page 55: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Grafik 4.15Penyebaran Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

5. Daerah yang Melampaui Batas Maksimal Defisit yang Dibiayai Pinjaman

Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 149/PMK.07/2010 bahwa maksimum defisit

yang dibiayai oleh pinjaman adalah sebesar 4,5% dari total pendapatan dan bagi yang

melampaui batas yang ditentukan harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan c.q.

Dirjen Perimbangan Keuangan. Daerah yang melampau batas tersebut dapat dilihat dalam

tabel dibawah ini.

Tabel 4.2. Daerah dengan % Pinjaman diatas ketentuan di PMK No. 149/PMK.07/2010

No Daerah Total Pendapatan (Juta Rupiah)

Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah

(Juta Rupiah)% Pinjaman

1 Kab. Penajam Paser Utara 947,704 324,645 34.262 Kab. Mamasa 397,357 95,216 23.963 Prov. Sulawesi Tenggara 1,220,581 280,000 22.944 Kab. Samosir 394,227 60,000 15.225 Kab. Kepulauan Sula 527,793 73,284 13.896 Kab. Simeulue 373,865 47,898 12.817 Kab. Barru 481,975 47,383 9.838 Kab. Jeneponto 533,862 50,561 9.479 Kota Palopo 472,300 44,121 9.34

10 Kota Langsa 411,013 32,980 8.0211 Kab. Sambas 768,406 51,510 6.7012 Kota Semarang 1,713,581 103,416 6.0413 Kota Pare-Pare 530,065 31,903 6.0214 Kab. Agam 655,528 35,761 5.4615 Kab. Maros 583,510 30,000 5.14

Lanjutan Tabel 4.2

DJPK – KEMENKEU RI 55

Page 56: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

16 Kab. Sidenreng Rappang 677,852 34,817 5.1417 Kota Bogor 964,699 49,262 5.1118 Kab. Tapanuli Selatan 599,384 30,000 5.0119 Kab. Tanjung Jabung Timur 602,510 30,000 4.9820 Kota Sawahlunto 371,261 17,500 4.7121 Kab. Biak Numfor 574,134 26,936 4.69

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Terdapat 20 daerah yang melampaui batas yang ditentukan, daerah yang mempunyai

persentase tertinggi adalah Kab. Penajam Paser Utara (34,3%). Dari 20 daerah tersebut baru

daerah yang mengajukan pelampauan defisit yang dibiayai oleh pinjaman ke Menteri Keuangan

c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan.

Jika dilihat secara nasional jumlah pinjaman APBD adalah 2,65 triliun rupiah atau setara

dengan 0,04% dibanding dengan perkiraan PDB tahun 2011. Persentase pinjaman tersebut

masih dibawah batas pinjaman APBD secara Nasional yang ditetapkan oleh PMK No.

149/PMK.07/2010, yaitu 0,3% dari PDB sehingga secara nasional pinjaman APBD 2011 masih

dapat disetujui.

6. Daerah yang Menganggarkan Pinjaman dengan APBD Surplus

Sebagian besar APBD dianggarkan defisit, dimana defisit tersebut dapat ditutup dengan

penerimaan pembiayaan. Namun terdapat daerah yang menganggarkan pinjaman walaupun

surplus/defisit ditambah pembiayaan masih bernilai positif. Beberapa daerah tersebut dapat

dilihat dalam tabel dibawah ini.

Tabel 4.3. Daerah yang Menganggarkan Pinjaman dengan APBD Surplus

No Daerah SURPLUS/ (DEFISIT)

Pembiayaan Netto

Penerimaan Pinjaman Daerah

dan Obligasi Daerah

Surplus/Defisit + Pembiyaan Netto (SiLPA

th Berkenaan)

1 Kab. Aceh Utara (116,369) 336,369 41,600 220,0002 Kota Dumai 5,137 19,345 778 24,4823 Kab. Nias (58,553) 72,689 3,970 14,1354 Kab. Sijunjung (80,376) 87,214 1,900 6,837

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Kab. Aceh Utara merupakan daerah yang mengganggarkan SiLPA tahun berkenaan

paling besar yaitu 220 miliar rupiah, dimana SiLPA tersebut lebih besar dari pinjaman yang

dianggarkan yaitu sebesar 41,6 miliar Rupiah. Hal tersebut menunjukkan dengan tidak

menganggarkan pinjaman di APBD, daerah masih mempunyai kelebihan dana yang dapat

digunakan dalam belanja daerah. Kejadian tersebut juga terjadi di Kab. Nias dan Kab.

DJPK – KEMENKEU RI 56

Page 57: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Sijunjung, sedangkan untuk daerah lainnya pinjaman yang dilakukan lebih besar dibanding

dengan kebutuhan, sehingga terdapat sisa dana di akhir tahun berkenaan atau dapat dikatakan

terjadi ketidakefisiensian dana APBD. Sisa dana tersebut sekiranya dapat juga dianggarkan

dalam belanja melihat dana tersebut masih cukup besar.

D. Rasio Keseimbangan Primer

Dalam Format APBD yang berstruktur I-Account, pendapatan dan belanja dipisah

dengan pembiayaan dan ditunjukkan adanya surplus/defisit pendapatan atas belanja,

Keseimbangan Primer (Primary Balance) atau Surplus/Defisit Primer merupakan selisih

pendapatan daerah dengan belanja daerah setelah belanja dikurangi dengan belanja bunga.

Penghitungan tersebut berbeda dibandingkan saat digunakan APBD berbentuk T-Account

dimana Surplus/Defisit Primer diperoleh dari selisih seluruh penerimaan daerah terhadap

pengeluaran daerah setelah pengeluaran daerah dikurangi pembayaran pokok pinjaman dan

belanja bunga. Sejak pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara beserta

turunannya, Indonesia menggunakan konsep Keseimbangan Primer yang pertama.

Keseimbangan Primer menunjukkan kemampuan belanja daerah dalam rangka menjalankan

program dan kegiatannya setelah dihilangkan belanja yang tidak terkait seperti belanja bunga.

Keseimbangan primer dapat berupa defisit primer jika bernilai negatif atau surplus primer jika

bernilai positif. Nilai tersebut selain dipengaruhi oleh besarnya pendapatan dan belanja, juga

dipengaruhi oleh besarnya bunga. Semakin besar bunga, semakin besar perbedaan nilainya

dengan keseimbangan umum (pendapatan dikurangi belanja).

Keseimbangan primer juga mampu menunjukkan kondisi likuiditas pemda dalam

melaksanakan program dan kegiatannya, yaitu dengan menggunakan rasio keseimbangan

primer terhadap PDRB yang merupakanjumlah keseimbangan primer dibagi dengan PDRB.

Semakin besar rasio surplus keseimbangan primer, maka semakin likuid APBD dalam

membayar kewajiban jangka pendeknya. Sebaliknya, semakin rendah rasio surplus primer

semakin rendah kemampuannya. Bahkan, jika rasio menunjukkan rasio negatif (defisit primer),

itu berarti keuangan pemda dalam kondisi ilikuid, atau pemda bukan hanya tidak memiliki

kemampuan yang cukup untuk melunasi kewajiban jangka pendeknya, namun bahkan untuk

membelanjai program kegiatan pokoknya. Hal ini mengakibatkan semakin besar belanja yang

harus dibiayai dari penerimaan pembiayaan, terutama utang. Jika hal ini terjadi dalam jangka

panjang, dikhawatirkan daerah tersebut akan mengalami kondisi yang biasa disebut jebakan

utang (debt trap), sebagaimana pernah disampaikan oleh Irving Fisher tahun 1933 dengan

konsepnya yang terkenal, Fisher Paradox.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

DJPK – KEMENKEU RI 57

Page 58: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Grafik 4.16Rasio Primary Balance Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumsel

DKI

Lampung

SultengPapbarSum

utSulselJatengJati

mJabarPapuaKalbarB

antenSulutSulbarN

TBD

IYB

engkuluSultraR

iauSum

barKaltengJam

biM

alukuKalselA

cehKepriB

aliB

abelKalti

mG

orontaloN

TTM

alut

-1.800

-1.600

-1.400

-1.200

-1.000

-.800

-.600

-.400

-.200

.000

-1.6

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi

Primary Balance pemkab dan Pemkot setiap provinsi dapat dilihat dalam grafik 3.13.

Pemkab dan Pemkot se-Provinsi Papua Barat dan Sumatera Selatan primary balance-nya

bernilai positif. Nilai tersebut bernilai positif karena kedua wilayah tersebut menganggarkan

surplus pada APBD-nya.

Grafik 4.17Rasio Primary Balance Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

PapbarSum

selSultengLam

pungSulselSum

utJabarB

antenJati

mA

cehSultraJatengD

IYKalbarSulbarN

TBSulutB

engkuluPapuaB

aliR

iauJam

biSum

barM

alukuB

abelKaltengKalselKepriKalti

mG

orontaloN

TTM

alut

-1.400

-1.200

-1.000

-.800

-.600

-.400

-.200

.000

-1.2

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)*) Tidak termasuk DKI Jakarta

DJPK – KEMENKEU RI 58

Page 59: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Primary Balance yang paling rendah terdapat pada pemkab dan pemkot se-provinsi

Maluku Utara (9,5%). Nusa Tenggara Timur (6,7%), Gorontalo (5,0%), sedangkan wilyah

lainnya dibawah 5,0%.

3. Pemerintah Provinsi

Grafik 4.18Rasio Primary Balance Pemerintah Provinsi

Pa

pu

a

Lam

pu

ng

Ka

lten

g

Jate

ng

Be

ng

kulu

Su

mu

t

Su

lsel

Ria

u

Su

mse

l

Jati

m

Su

lut

Ma

lut

Su

mb

ar

NT

B

Su

lba

r

Ka

lba

r

Su

lten

g

Ka

lsel

DK

I

Jab

ar

Ma

luku

Jam

bi

Ke

pri

Ba

nte

n

Ka

ltim

NT

T

DIY

Ba

be

l

Go

ron

talo

Ba

li

Pa

pb

ar

Su

ltra

Ace

h

-.450

-.400

-.350

-.300

-.250

-.200

-.150

-.100

-.050

.000

-0.4

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Pemerintah Provinsi Papua mempunyai Primary Balance yang bernilai positif,

sedangkan provinsi lainnya bernilai negatif. Namun untuk provinsi lain yang bernilai negatif

APBD masih dapat seimbang jika dimasukkan SiLPA yang berasal dari APBD tahun

sebelumnya atau dengan kata lain APBD tersebut masih dapat mendanai belanja dari

penerimaan sendiri.

4. Per Wilayah

Grafik 4.19Rasio Primary Balance Per wilayah *)

Jawa Bali Sulawesi Sumatera NT Maluku Papua

Kalimantan-1.800

-1.600

-1.400

-1.200

-1.000

-.800

-.600

-.400

-.200

.000

%

Sumber: APBD 2011 (Diolah)*) tidak termasuk DKI Jakarta

DJPK – KEMENKEU RI 59

Page 60: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

Primary Balance APBD per wilayah dapat dilihat dalam grafik 4.19. Primary Balance

yang bernilai negatif menunjukkan bahwa APBD tidak Liquid atau APBD tidak dapat membayar

Bunga Pinjaman dari penerimaan sendiri. Namun, hal tersebut belum termasuk penerimaan

pembiayaan yang berasal dari SiLPA karena sebagian besar defisit APBD ditutup dengan

menggunakan SiLPA. Kalimantan adalah wilayah yang mempunyai Primary Balance yang

paling kecil (3,51%) menunjukkan dibanding wilayah lain Kalimantan merupakan daerah

dengan APBD tidak likuid.

DJPK – KEMENKEU RI 60

Page 61: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149 Tahun 2010 tentang Batas

Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Batas

Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah.

_______________ , Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.

_______________ , Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah.

_______________ , Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah.

_______________ , Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

_______________ , Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

_______________ , Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

_______________ , Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Heller, Stephen. S., “Policy Discussion Paper”, IMF, 2005.

DJPK – KEMENKEU RI 61

Page 62: Analisis pendapatan 2012

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyusunan buku “Deskripsi dan Analisis APBD 2011” tidak akan terselesaikan tanpa

kontribusi dari seluruh pihak yang berperan sehingga apresiasi yang setinggi-tingginya

dimanifestasikan dalam ucapan terima kasih berikut ini:

Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan – DR.

Marwanto Harjowiryono – dan Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan

Daerah – Drs. Yusrizal Ilyas, MPA – yang telah memberikan arahan dan bimbingan

hingga diselesaikannya penyusunan buku ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Subdirektorat Data Keuangan Daerah

Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah yang telah

menyediakan data Ringkasan APBD 2011 melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah.

Selanjutnya terima kasih kepada tim dari Subdirektorat Evaluasi Dana Desentralisasi

dan Perekonomian Daerah (Putut Hari Satyaka, SE, MPP; Krisnandar, SE; Nasrullah,

SE; Aris Sudjatmiko, S.Sos, MM; Wahyu Widjayanto, SE, MM; Arif Zainuddin Fansyuri,

Ak, ME; Dhani Kurniawan, SE; Nanag Garendra Timur, S.Si; Mauliate H. Silitonga, SE;

Dastam Wijaya, SIP; Shinta Theresia; Femmy Ferdiansyah, SH; Rizki Anggunani S.Si;

dan Virgin Marthalia yang telah melakukan pengolahan data dan sekaligus menyusun

buku, melakukan editing hingga melakukan setting layout pencetakan buku ini. Terima

kasih atas kerja kerasnya.

DJPK – KEMENKEU RI 62