ANALISIS PEMILIHAN PEMIMPIN NON MUSLIM DI INDONESIA DARI SEGI FIQIH KEBHINEKAAN TESIS Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Guna memperoleh Gelar Magister Hukum Islam Program Studi Hukum Islam Oleh. Muhammad Taufik Akbar, S.HI 1011.5035 PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI TAHUN 2019
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS PEMILIHAN PEMIMPIN NON MUSLIM
DI INDONESIA
DARI SEGI FIQIH KEBHINEKAAN
TESIS
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
Guna memperoleh Gelar Magister Hukum Islam
Program Studi Hukum Islam
Oleh.
Muhammad Taufik Akbar, S.HI
1011.5035
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BUKITTINGGI
TAHUN 2019
ABSTRAK Muhammad Taufik Akbar, 2019. Analisis Pemilihan Pemimpin Non Muslim
di Indonesia dari Segi Fiqih Kebinekaan. Tesis Pacasarcanan Institut Agama
Islam Negeri Bukittinggi
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemilihan pemimpin non muslim
diperbolehkan dalam pandangan fiqih kebinekaan sedangkan hal ini bertentangan
dengan beberapa pandangan organisasi Islam atau tokoh ulama yang populer
dikalangan masyakat indonesia tentang larangan memilih pemimpin non Muslim.
Tujuan dari penelitian ini mengetahui bagaimana presfektif fiqih kebinekaan tetang
pemilihan pemimpin non muslim dan bagaimana metode istimbat hukum dari fiqih
kebinekaan serta menganalisis apakah fiqih kebinekaan merupakan salah satu
bentuk respon siyasah syariah.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Studi kepustakaan (Library
Research). Jenis data yaitu data primer dimana data yang diperoleh dari buku Fiqih
Kebinekaan dan data sekunder yaitu pendapat-pendapat, buku-buku dan fatwa yang
dikeluarkan oleh organisasi Islam di Indonesia. Teknik analisis data yang
digunakan adalah analisis deduktif dan induktif yaitu dengan pemaparan dari umum
ke khusus dan dari khusus ke umum terkait analisis tentang pemilihan
kepemimpinan non muslim.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa persfektif fiqih
kebinekaan tentang pemilihan pemimpin non muslim adalah boleh dalam hal tidak
ada lagi pemimpin muslim yang akan dipilih. Untuk metode istimbat hukum dari
fiqih kebinekaan ini tetap berpijak pada alquraan dan hadist berdasarkan latar
belakang keilmuan yang dimiliki oleh para penulis di buku tersebut dengan corak
bacaan kitab suci yang lebih bercorak tarikhiyyah maqashidiyyah, bacaan yang
kontekstual-progresif. Fiqih kebinekaan bisa dikategorikan sebagai bentuk respon
siyasah syariah di Indonesia karena berisikan hasil ijtihad dalam menjawab
persoalan bernegara dengan corak fiqih ala Indonesia. Berdasarkan hasil analisis
tersebut dapat disimpulkan bahwa pemilihan pemimpin non muslin di Indonesia
dari segi fiqih kebinekaan diperbolehkan karena pendangan ini masih berpijak
kepada alquraan dan hadist yang merupakan bentuk respon terhadap persoalan
siyasah sar’iyah di indonesia.
Kata kunci: analisis, pemilihan pemimpin non muslim, fiqih kebinekaan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT .................................................................................................. i
ABSTRAK .................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 10
C. Maksud dan Tujuan Penelitian ........................................................... 10
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 11
E. Metode Pelitian .................................................................................. 11
F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 13
G. Defenisi operasional .......................................................................... 15
H. Kajian terdahulu ................................................................................. 16
BAB II. KONSEP PEMIMPIN
A. Politik ................................................................................................. 15
1. Islam dan Politik .......................................................................... 15
2. Islam dan Demokrasi .................................................................. 19
B. Kepemimpinan .................................................................................. 24
1. Kepemimpinan Islam .................................................................. 24
Data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data sekunder dan
data primer. Data sekunder, yaitu data yang sudah dalam bentuk jadi15,
yang bisa dijadikan sebagai data pendukung. Data primer (sumber pokok)
yaitu peraturan peraturan, perundang-undangan, keputusan keputusan
pengadilan, teori-teori hukum, pendapat-pendapat para sarjana hukum16.
Adapun data primer yang dibutuhkan adalah buku fiqih kebinekaan
yang diterbitkan oleh Maarif Institut. Data sekunder dalam penelitian ini
adalah buku-buku yang terkait dengan pemilihan pemimpin non muslim,
fatwa yang dikeluarkan oleh organisasi islam di Indonesia serta pendapat-
pendapat dan ringkasan yang telah memberikan ulasan dan analisis
terhadap objek penelitian. Sumber sekunder ini memberikan informasi,
penjelasan dan tambahan bagi objek penelitian untuk mencapai
kesempurnaan penelitian ini.
2. Metode pengumpulan data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode
book survey/studi kepustakaan (library research). Study kepustakaan
adalah teknik yang digunakan dalam keseluruhan proses penelitian sejak
awal hingga sampai akhir penelitian dengan cara memanfaatkan berbagai
macam pustaka yang relevan dengan fenomena sosial yang tengah
dicermati17, study kepustakaan ini untuk mendapatkan landasan pemikiran
15 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hokum (Jakarta: Granit, 2004), hlm 57 16 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hokum (Jakarta: Granit, 2004), hlm 92 17 M. Hariwijaya, Pedoman Penuilisan Ilmiah (Yogyakarta: Oryza 2008) hlm 63
pada penulisan tesis ini. Penelitian dilakukan dengan mengkaji pandangan
tentang pemilihan pemimpin non muslim dari segi fiqih kebinekaan
3. Analisis data
Setelah data terkumpul, dilakukan penganalisaan dengan
menggunakan analisis deduktif dan induktif terhadap pemilihan pemimpin
non muslim. Deduksi merupakan cara menarik kesimpulan dari yang
umum ke yang khusus dengan cara menerapkan suatu norma hokum bagi
penyelesaian suatu perkara dengan menerapkan suatu hokum in-abstraco
dalam memecahkan suatu masalah hokum in-concerto. Adapun induksi
adalah proses berfikir untuk memperoleh kesimpulan yang beranjak dari
yang khusus ke yang umum dengan cara membuat suatu generalisasi dari
berbagai kasus yang ada.
F. Sistematika Penulisan
Dari penelitian yang akan penulis lakukan, maka akan disusun sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini diperkuat tentang hal-hal yang berkenaan dengan metodologi
penelitian. Cakupannya meliputi: latar belakang penelitian, rumusan
masalah, maksud dan tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode
penelitian, sistematika penulisan.
BAB II KONSEP PEMIMPIN
Pada bab ini dimuat tinjauan pustaka yang berkenaan tentang kerangka
konsep pemimpin secara umum
BAB III FIQIH KEBINEKAAN
Pada bab ini dimuat objek penelitian yang berkenaan tentang Fikih
Kebhinekaan
BAB IV PEMBAHASAN
Pada bab ini dimuat hasil analisis terkait dengan pembahasan masalah yang
akan diungkap dalam tesis ini, yaitu analisis pemilihan pemimpin non
muslim dari presfektif fiqih kebinekaan
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab terakhir ini memuat kesimpulan dari apa yang telah dielaborasi
pada bab sebelumnya, juga berisi tentang saran-saran yang layak
dipertimbangkan.
G. Defenisi Operasional
1. Analisis adalah penguraian dan peneleahan secara menyeluruh dan
mendalam. Analisis yang dimaksud untuk menghasilkan kesimpulan
terhadap pandangan fiqih kebhinekaan terhadap pemilihan pemimpin non
muslim di indonesia.
2. Pemimpin adalah orang yang mengemban tugas dan tanggung jawab untuk
memimpin dan bisa mempengaruhi orang yang dipimpinnya.
3. Pemimpin Non muslim adalah seorang pemimpin yang menganut agama
selain agama Islam
4. Fiqih kebhinekaan adalah sebuah judul buku yang memuat tulisan dari
buah fikir para tokoh cendikiawan muslim kontenporer di Indonesia yang
berasal dari latar belakang yang terlibat dalam halaqah fiqih kebhinekaan.
H. Kajian Terdahulu
Agar lebih mudah dan memperjelas kerangka teoritis yang telah
dikemukakan untuk itu disampaikan beberapa penelitian terdahulu yang
relevan dengan penelitian ini adalah:
1. Jurnal yang dipublikasikan oleh Sippah Chotban tahun 2018 yang
berjudul Hukum memilih pemimpin non muslim. Dalam jurnal ini
penulis menyimpulkan bahwa pemimpin harus adil, amanah
bermusyawarah dan menegakkan amr almaruf wa nahy mungkar.
Hukum memilih pemimpin non muslim diisyaratkan dalam Al-Quran
salah satunya dalam Q.S al-Maidah/5:51. Selanjutnya beberap ulama
mengatakan haram memilih pemimpin non muslim. Ada beberapa
ulama yang memberikan kelonggaran/moderat dengan memebrikan
syarat ketika dalam keadaaan darurat maka dibolehkan. MUI
memebrikan fatwanya bahawa memilih pemimpin non muslim adalah
hukumnya haram. Namun keterlibatan kaum kafir dzimmi dalam
pemerintahan dibolehkan pada posisi yang strategis seperti pemimpin
maupun majelis syura.
2. Jurnal yang dipublikasikan oleh Hasse J tahun 2018 yang berjudul
respons publik muda islam tentang kepemimpinan non muslim di
Indonesia. Tulisan ini membahas respon publik muda Islam mengenai
kepemimpinan non muslim di Indonesia. Sistem demokrasi memebrikan
peluang yang sama kepada semua orang untuk menjadi pemimpin dalam
berbagai level pemerintahan. Namun, perdebatan mengenai pemimpin
non-Muslim masih sering terjadi khususnya di kontenporer ini.
Bagaimana kecendrungan publik muda islam merespon hal tersebut,
marupakan salah satu inti yang didiskusikan dalam tulisan ini. Melalui
wawancara dan quisioner serta studi pustaka. Studi ini menemukan tiga
kecenderungan publik muda Islam mengenai kepemimpinan non-
Muslim. Pertama, kecendrungan kelompok yang secara tegas menolak
kepemimpinan bagi non muslim. Penjelasan nash, realitas sosial
Muslim, dan sejarah kepemimpinan nasional menjadi dasar pemikiran
kelompok ini. Kedua, kecendrungan kelompok yang menerima dengan
dasar alasan adalah konteks sosial dan kepentingan politik sehingga
siapapun memiliki peluang dan kesempatan menjadi pemimpin di
tengah mayoritas muslim. Ketiga, kelompok yang cendrung menerima
dengan syarat-syarat tertentu, seperti memiliki kemampuan, komitmen
menegakkan nilai-nilai Islam, dan tidak terjadi diskriminatif.
3. Tesis oleh Jaka Ghianovan tahun 2017 yang berjudul memilih pemimpin
non muslim dalam alquran (studi tafsir alazhar karya Buya Hamka dan
tafsir al-mishbah karya Muhammad Quraish Shihab) penelitian ini
membahas kepemimpinan non-Muslim diwilayah dengan mayoritas
muslim masih menjadi kontroversi. Eksistensi non-muslim dalam
memimpin suatu negara atau wilayah yang berpenduduk mayoritas
muslim terjadi di banyak negara seperti lebanon, nigeria, dan senegal.
Selain itu hal ini terjadi pula di indonesia dengan adanya pengangkatan
basuki tjahaya purnama yang beragama kristen sebagai gubernur DKI
Jakarta pada 2014 serta kasus pengangkatan lurah lenteng agung yakni
Susan jasmine Zulkifli yang juga beragama kristen serta yulius suharta
yang notabene beragama katholik diangkat menjadi camat pajangan,
kabupaten gunung kidul pada 30 Desember 2016. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa pertama, hamka dengan tegas melarang
pemimpin nonmuslim, sedangkan quraish shihab tidak dengan tegas
melarang memilih pemimpin non muslim selama tidak mengadakan
permusuhan terhadap kaum muslim. Kedua, persamaan antara hamka
dan M. Quraish shihab yakni melarang memilih non muslim jika
terdapat indikasi permusuhan, sedangkan perbedaannya adalah hamka
berpedoman kepada bunyi teks dan m. Quraish shihab berpedoman
kepada konteks.
BAB II
KONSEP PEMIMPIN
A. Politik
1. Islam dan Politik
Pada perkembangan dinamika pemikiran politik Islam setidaknya
terdapat tiga paradigma tentang hubungan Islam dan negara. Pertama,
paradigma integralistik. Dalam perspektif ini agama dan negara menyatu
(integrated). Wilayah agama meliputi politik atau negara. Negara
merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karenanya menurut
paradigma ini, kepala negara memegang kekuasaan agama dan politik.
Pemerintahannya diselenggarakan atas “kedaulatan Tuhan”, karena
menurut pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan
berada di “tangan Tuhan”. Paradigma ini dianut oleh kelompok Syi’ah.
Hanya saja dalam term politik Syi’ah, untuk menyebut negara (al-daulah)
diganti dengan imamah (kepemimpinan).18
Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan
dan mempunyai fungsi menyelenggarakan “kedaulatan Tuhan”, negara
dalam perspektif Syi’ah bersifat teokratis. Sementara sebagian Sunni
konservatif juga mempunyai pandangan yang sama mengenai integrasi
agama dan negara ini. Paradigma integralistik ini yang kemudian
melahirkan paham negara-agama, di mana kehidupan kenegaraan diatur
18 Abu al-A’la al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, terj Muhammad al-Baqir, (Bandung:
Mizan, 1990), hlm. 272.
dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan, sehingga melahirkan
konsep Islam din wa dawlah.19
Kedua, Paradigma simbiotik, yakni mengasumsikan bahwa agama
dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu suatu hubungan yang
bersifat timbal balik dan saling membutuhkan. Dalam konteks ini, agama
memerlukan negara, karena dengan negara, agama dapat berkembang.
Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama, negara
dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.
Tampaknya, al-Mawardi, seorang teoritikus politik Islam terkemuka, bisa
disebut sebagai salah satu tokoh pendukung paradigma ini. Sebab dalam
karyanya yang fenomenal, al-Ahkam al-aSulthaniyyah, ia mengatakan:
“Kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi
keNabian dalam memelihara agama dan mengatur dunia”.20
Ketiga, paradigma sekularistik. Paradigma ini menolak kedua
paradigma di atas. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan
pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas
agama. Konsep al-dunya-al-akhirah, al-din-aldaulah, umur al-dunya-
umur al-akhirah dikotomikan secara diametral. Tokoh paradigma
sekularistik, salah satunya, adalah ‘Ali ‘Abd al-Raziq, seorang
cendikiawan muslim Mesir. Dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Ahkam,
19 Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-
Halabi wa Auladih, 1979), hlm. 5. 20 Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah,... hlm. 5.
ia menyatakan bahwa Islam hanya sebuah agama dan tidak ada kaitannya
dengan urusan negara.21
Ketiga katagori ini mengikuti pola yang dibuat oleh Din
Syamsudin, Sedangkan Masykuri Abdillah membaginya kepada
kelompok konservatif, modernis dan sekuler. Sementara Bahtiar Effendi
mengelompokkannya kedalam dua spektrum pemikiran: formal-idealistik
dan substansial-realistik.22
Dalam katagori yang lain diajukan oleh Abdurrahman Wahid.
Menurutnya dalam konteks negara Indonesia pada garis besarnya ada tiga
macam responsi dalam hubungan antar Islam dan negara, yaitu responsi
integratif, fakultatif, dan konfrontatif.23 Islam sebagai agama dan negara
(al-Islam Din wa Daulah) adalah salah satu tema diskursus kontroversial
yang memiliki banyak dimensi. Wacana tentang Islam sebagai agama dan
negara erat kaitannya dengan Islam adalah agama dan dunia (al-Islam Din
wa Dunya). Perdebatan ini terjadi dalam suasana ketika dunia Islam telah
terpecah-pecah atas negara bangsa. Statemen Islam adalah “agama dan
dunia”, dan “Islam adalah agama dan negara” sangat popular di dunia
Islam, terutama pada abad ke-20. Penggunaanya merujuk kepada
pengertian, bahwa agama tidak hanya mencakup masalah kepercayaan,
21 Muhuammad Harfin Zuhdi, Konsep Kepemimpinan Dalam Presfektif Islam,
AKADEMIKA, Vol. 19, No. 01, Januari -Juni 2014 hlm 38 22 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Pres, 1993), hm. 1-3 23 Abdurrahman Wahid, “Mencari Format Hubungan Agama dan Negara”, Kompas, 5
November 1998.
tetapi juga meliputi pandangan hidup dan perilaku dalam berbagai aspek
kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Beberapa contoh pengungkapan yang cukup mewakili dapat
disebutkan di sini. Hasan al-Banna (1906-1949), pendiri gerakan Ikhwan
Muslimin di Mesir, mengatakan bahwa ajaran dan hukum Islam mencakup
soal keduniaan dan akhirat. Islam adalah akidah dan ibadah, tanah air dan
kewarganegaraan, agama dan negara, semangat dan aksi, kitab suci dan
pedang. Begitu juga pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad al-
Ghazali (1917-1996), seorang pemikir Muslim dari Mesir, mengatakan
bahwa Islam bukan hanya akidah, melainkan akidah dan syariah; bukan
ibadah saja, melainkan ibadah dan muamalah; bukan hanya keyakinan
individu saja, melainkan sistem sosial dan keyakinan individual. Seorang
cendiawan muslim kontemporer Aljazair yang menetap di Prancis,
Mohammed Arkoun (l. 1928), mengartikan din, dunya, dan daulah sebagai
“agama, masyarakat, dan negara”. Islam sebagai din wa dunya, dan Islam
sebagai din wa daulah, dan masalah yang terkait dengan trilogi din, dunya,
dan daulah, merupakan tema diskursus pemikiran politik Islam abad ke-
20.24
Selanjutnya berkaitan dengan konteks hubungan Islam dan negara
dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk dan
pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Di
24 Taufik Abdullah dan Johan Hendrik Meuleman, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Dinamika Masa Kini, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), jilid 6, hm. 46.
antara ayat-ayat tersebut mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi
dan tentang prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam kehidupan
bermasyarakat, seperti prinsip musyawarah atau konsultasi (Q.S. Ali
Imran/3:159; asy-Syura/42:38;), ketaatan kepada pemimpin (Q.S. an-
(Q.S. al-Hujarat/49:13) dan kebebasan beragama (Q.S. al-Baqarah/2:256,
Yunus/10:99, Ali Imran/3:64, al-Mumtahanah/60:8-9).
Agama sebagaimana dinyatakan banyak kalangan, dapat dipandang
sebagai instrumen Ilahiah untuk memahami dunia.25 Islam, dibandingkan
dengan agama lain, sebenarnya merupakan agama yang paling mudah
untuk menerima premis semacam ini. Alasan utamanya terletak pada ciri
Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya yang “hadir di mana-mana”
(omnipresent). Statement ini sebagai sebuah pandangan yang mengakui
bahwa “di mana-mana” kehadiran Islam selalu memberikan “panduan
moral yang benar bagi tindakan manusia”.26
2. Islam dan demokrasi
Di tengah proses demokrasi global, banyak kalangan ahli
demokrasi di antaranya Larry Diamond, Juan J.Linze, Seymour Martin
Lipset, menyimpulkan bahwa dunia Islam tidak mempunyai prospek untuk
menjadi demokratis serta tidak mempunyai pengalaman demokrasi yang
cukup handal. Hal senada juga dikemukakan oleh Samuel P. Hountinton
25 Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Traditionalist World,
(Berkeley and Los Angeles: University of California press, 1991), hlm 146. 26 Fazlur Rahman, Islam, (Jakarta: Pustaka, 2000), hlm. 241.
yang meragukan Islam dapat berjalan dengan prinsip-prinsip demokrasi
yang secara struktural lahir di barat. Karena alasan ini lah dunia Islam tidak
menjadi bagian dari proeses gelombang demokrasi dunia.
Setidaknya terdapat tiga pandangan tentang Islam dan demokrasi:
pertama, Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda.
Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi karena Islam
merupakan sistem politik yang mandiri (self-sufficient). Dalam bahasa
politik muslim, Islam sebagai agama yang kaffah (sempurna) tidak saja
mengatur persoalan keimanan (aqidah) dan ibadah, melainkan mengatur
segala aspek kehidupan umat manusia termasuk aspek kehidupan
bernegara. Pandangan ini didukung oleh kalangan pemikir muslim seperti
Sayyid Qutb dan ThabaThobai. Hubungan Islam dan demokrasi bersifat
saling menguntungkan secara eksklusif (mutually exclusive). Bagi
penganut demokrasi sebagai satu-satunya sistem terbaik saat ini, Islam
dipandang sebagai sisem politik alternatif terhadap demokrasi.
Sebaliknya, bagi pandangan Islam sebagai sistem yang lengkap (kaffah),
Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda karena itu demokrasi
sebagai konsep Barat tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam masyarakat
muslim, Islam tidak bisa dipadukan dengan demokrasi. 27
27A.Ubaidillah dan Abdul Rozak dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education)
Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah,
2008) hlm 55-56
Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi jika demokrasi
didefenisikan secara prosedural seperti dipahami dan dipraktikkan di
negara-negara barat. Kelompok kedua ini menyetujui adanya prinsip-
prinsip demokrasi dalam Islam. Bagi kelompok ini Islam merupakan
sistem politk demokratis. Kalau demokrasi didefenisikan secara substantif,
yakni kedaulatan di tangan rakyat dan negara merupakan terjemahan dari
kedaulatan ini. Dengan demikian, dalam pandangan kelompok ini
demokrasi adalah konsep yang sejalan dengan Islam setelah diadakan
penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri. Di antara
tokoh dari kelompok ini adalah Al-Maududi dan Moh. Natsir. 28
Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan
mendukung sistem politik demokrasi seperti yang dipraktekkan negara-
negara maju. Islam di dalam dirinya demokrasi tidak hanya karena prinsip
syura (Musyawarah), tetapi juga karena adanya konsep ijtihad dan ijma
(konsensus). Seperti yang dinyatakan oleh pakar ilmu politik R. William
Liddle dan Saiful Muja di Indonesia pandangan yang ketiga tampaknya
yang lebih dominan karena demokrasi sudah menjadi bagian integral
sistem pemerintahan Indonesia dan negara-negara muslim lainnya. 29
Penerimaan negara-negara muslim (dunia Islam) terhadap
demokrasi sebagaimana yang dikemukan oleh kelompok yang ketiga ini,
tidak berarti bahwa demokrasi dapat tumbuh dan berkembang di negara
28A.Ubaidillah dan Abdul Rozak dkk, Pendidikan Kewargaan..., hlm 55 29A.Ubaidillah dan Abdul Rozak dkk, Pendidikan Kewargaan ..., hlm 55
muslim secara otomatis. Bahkan yang terjadi adalah kebalikannya dimana
negara-negara muslim justru merupakan negara yang tertinggal dalam
berdemokrasi, sementara kehadiran rezim otoriter disejumlah negara
muslim pada umumnya menjadi kecenderungan yang dominan.
Terdapat beberapa argumen teoritis yang bisa menjelaskan
lambannya pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di dunia Islam.
Pertama, pemahaman doktrinal menghambat praktek demokrasi. Teori ini
dikembangkan oleh Ellie Khudourie bahwa gagasan demokrasi masih
cukup asing dalam tradisi pemikiran. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan
kaum muslim yang cenderung memahami demokrasi sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan Islam. Untuk mengatasi hal ini perlu dikembangkan
upaya liberalisasi pemahaman keagamaan dalam mencari konsesus dan
sintetesis antara pemahaman doktrin Islam dengan teori-teori modern
deperti demokrasi dan kebebasan.30
Kedua, persoalan kultur. Demokrasi sebenarnya telah dicoba di
negara-negara muslim sejak paruh pertama abad 20, tetapi gagal.
Tampaknya dia tidak akan sukses pada masa-masa mendatang, karena
warisan kultural masyarakat muslim sudah terbiasa dengan otokrasi dan
ketaatan obsolut kepada pemimpin, baik pemimpin agama maupun
penguasa. Teori ini dikembangkan oleh Bernard Lewis. Karena itu langkah
yang sangat diperlukan adalah penjelasan kultural kenapa demokrasi
30 A.Ubaidillah dan Abdul Rozak dkk, Pendidikan Kewargaan ..., hlm 56
tumbuh subur di Eropa, sementara di kawasan dunia Islam malah
otoritarianisme yang tumbuh dan berkembang.31
Menurut sebagian ahli, persoalan kultur politik (political culture)
di tenggarai sebagai yang paling bertanggung jawab atas tidak
berkembangnya demokrasi di negara-negara muslim termasuk di
Indonesia. Tuduhan ini tidaklah tanpa alasan, karena jika dikaitkan secara
diktrinal pada dasarnya hampir tidak dijumpai hambatan teologis
dikalangan umat Islam yang memperhadapkan demokrasi vis a vis Islam.
Oleh karena itu, fokus perdebatannya tidak lagi pada apakah Islam
compatible dengan demokrasi, melainkan bagaimana keduanya saling
memperkuat (muatually reinforcing)32
Ketiga, lambatnya pertumbuhan demokrasi di dunia Islam tidak ada
hubungan dengan teologi maupun kultur, melainkan lebih terkait dengan
sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk membangun demokrasi
diperlukan kesungguhan, kesabaran, dan diatas segalanya adalah waktu.
Jhon Esposito dan O. Voll adalah diantara tokoh yang optimis terhadap
masa depan demokrasi di dunia Islam, sekali pun Islam tidak memiliki
tradisi kuat dalam berdemokrasi.33
Dalam kontek Indonesia, tampaknya kesabaran dan kesungguhan
yang diharapkan kedua pakar Islam tersebut semestinya dihayati oleh umat
Islam, khususnya kalangan pemimpin mereka. Kesungguhan dan
31 A.Ubaidillah dan Abdul Rozak dkk, Pendidikan Kewargaan ..., hlm 56 32 A.Ubaidillah dan Abdul Rozak dkk, Pendidikan Kewargaan ..., hlm 56 33 A.Ubaidillah dan Abdul Rozak dkk, Pendidikan Kewargaan ..., hlm 56
kesabaran dari kalangan pemimpin muslim Indonesia untuk membangun
demokrasi di negeri ini dapat di uji melalui kesungguhan mereka untuk
tidak menggunakan otoritas keagamaan yang mereka miliki untuk
kepentingan sesaat yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan urusan
agama. Sementara kesabaran mereka selayaknya di aktualisasikan dengan
cara bersabar untuk menjadi figur teladan bagi pengikutnya dalam
bersikap dan bertindak demokrasi.
B. Kepemimpinan
1. Kepemimpinan Islam
Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan dua elemen yang saling
berkaitan. Artinya, kepemimpinan (style of the leader) merupakan
cerminan dari karakter atau perilaku pemimpinnya (leader behavior).
Perpaduan atau sintesis antara “leader behavior dengan leader style”
merupakan kunci keberhasilan pengelolaan suatu institusi atau dalam skala
yang lebih luas adalah pengelolaan daerah, dan bahkan negara. Dengan
demikian, maka dapat dirumuskan bahwa kepemimpinan merupakan
kemampuan seseorang untuk meyakinkan orang lain agar orang lain
dengan sukarela mau diajak untuk melaksanakan kehendaknya atau
gagasannya. Jika dicari persamaan kata kepemimpinan dalam bahasa arab
ternyata banyak istilah yang ditemui dalam al-quran yang berkaitan
dengan kepemimpinan diantaranya yaitu :
Istilah pertama, Khalifah. Kata Khalifah disebut sebanyak 127 kali
dalam alQur’an, yang maknanya berkisar diantara kata kerja:
menggantikan, meninggalkan atau kata benda pengganti atau pewaris,
tetapi ada juga yang artinya telah “menyimpang” seperti berselisih,
menyalahi janji, atau beraneka ragam.34 Sedangkan dari perkataan khalf
yang artinya suksesi, pergantian atau generasi penerus, wakil, pengganti,
penguasa “yang terulang sebanyak 22 kali dalam Al-Qur’an” lahir kata
khilafah. Kata ini menurut keterangan Ensiklopedi Islam, adalah istilah
yang muncul dalam sejarah pemerintahan Islam sebagai institusi politik
Islam, yang bersinonim dengan kata imamah yang berarti
kepemimpinan.35
Istilah kedua, Imam. Dalam al-Qur’an, kata imam terulang
sebanyak 7 kali dan kata aimmah terulang 5 kali. Kata imam dalam Al-
Qur’an mempunyai beberapa arti yaitu, nabi, pedoman, kitab/buku/teks,
jalan lurus, dan pemimpin. Konsep imam dari beberapa ayat (QS. al-
Furqan:74, al-Anbiya: 73, al-Baqarah: 124, dan al-Qashash: 4)
menunjukkan suami sebagai pemimpin rumah tangga dan juga nabi
Ibrahim sebagai pemimpin umatnya. Konsep imam di sini, mempunyai
syarat memerintahkan kepada kebajikan sekaligus melaksanakannya. Dan
juga aspek menolong yang lemah sebagaimana yang diajarkan Allah, juga
dianjurkan.36
34 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, (Cet. II; Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 349. 35 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an:,... hlm. 357. 36 Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Cet.
I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 197-199.
Istilah Ketiga, Ulu al-Amri. Istilah Ulu al-Amri oleh ahli Al-Qur’an,
Nazwar Syamsu, diterjemahkan sebagai functionaries, orang yang
mengemban tugas, atau diserahi menjalankan fungsi tertentu dalam suatu
organisasi.37 Hal yang menarik memahami konsep uli al-Amri ini adalah
keragaman pengertian yang terkandung dalam kata amr. Istilah yang
mempunyai akar kata yang sama dengan amr yang berinduk kepada kata
a-m-r, dalam Al-Qur’an berulang sebanyak 257 kali. Sedang kata amr
sendiri disebut sebanyak 176 kali dengan berbagai arti, menurut konteks
ayatnya.38 Kata amr bisa diterjemahkan dengan perintah (sebagai perintah
Tuhan), urusan (manusia atau Tuhan), perkara, sesuatu, keputusan (oleh
Tuhan atau manusia), kepastian (yang ditentukan oleh Tuhan), bahkan
juga bisa diartikan sebagaia tugas, misi, kewajiban dan kepemimpinan.39
Sulthan, akar kata ini adalah sin-lam-tha` dengan makna pokok
yakni “kekuataan dan paksaan” kata sulthan dalam al-Qur`an
dipergunakan sebagai kekuasaan, kekutaan memaksa, alasan, bukti dan
ilmu pengetahuan.40 Penggunaan kata sultan untuk makna pemimpin
tersebut berkonotasi sosiologis, karena ia berkenaan kemampuan untuk
mengatasi orang lain. Sehingga jelaslah bahwa kata tersebut lebih relevan
dengan konsep kemampuan dari pada konsep kewenangan (otoritas).41
37 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an:,... hlm. 466. 38 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an:,... hlm. 466 39 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an:,... hlm. 466 40 Muhammad Ibrahim Ismail, Mu`jam al-Alfazh wa al-A`lam al-Qur`aniyat (al-Qahirat:
Dar alFikr al-Arabi, t.th), hm. 274. 41 Abdul Muin Salim, Fiqh SIyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur`an (Cet.
III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 159-160
Sedangkan, kata mulk. Mengandung makna pokok “keabsahan dan
kemampuan” sehingga konsep kepemimpinan dalam makna kata ini
dengan sifat umum dan berdimensi pemilikan. Bertolak dari defenisi diatas
bahwa kata malik tidak hanya bermakna kekuasaan tetapi juga bermakna
kepemilikan. Sehingga jika dikaitkan dengan kekuasaan politik,
berimplikasi sebagai pemimpin sebagai pemberian Tuhan kepadanya.42
Sehingga kata mulk ini sekiranya tidak relevan dipergunakan dalam
konteks kepemimpinan politik.
Di samping itu al Quran juga menyebutkan kata qawwamah sebagai
makna pemimpin, kata tersebut menunjukkan rasa tanggung jawab penuh
laki-laki terhadap wanita. Hal inilah yang menjadikan laki-laki didaulat
menjadi pemimpin bagi wanita. Qawwamah memiliki makna selalu
bekerja sehingga mengisyaratkan bahwa di dalam perkerjaan tersebut
terdapat kesusahan.43
2. Konsep Kepemimpinan Ideal
Secara historis, konsep kepemimpinan ideal dalam Islam
dicontohkan secara langsung oleh Nabi Muhamad SAW dengan model
prophetic leadership. Diskursus tentang model kepemimpinan ini tidak
bisa lepas dari pembicaraan tentang para nabi dan rasul. Sebab mereka
adalah contoh pemimpin yang paling utama di antara banyak contoh
kepemimpinan dalam sejarah umat manusia. Mereka adalah pribadi
pribadi pilihan yang sekaligus juga pemimpin-pemimpin pilihan
sepanjang zaman. Mereka juga adalah sumber utama yang menginspirasi
lahirnya konsep prophetic leadership dalam kajian-kajian tentang konsep
kepemimpinan.
Para rasul adalah manusia pilihan untuk memimpin umat manusia
menuju jalan kebenaran. Kepemimpinan mereka bersifat spiritualistik,
karena lekat dengan nilai-nilai ilahiah. Dengan demikian maka para rasul
ini mendasarkan kepemimpinan dirinya pada kebenaran yang berasal dari
Allah dalam membimbing, melayani, mencerahkan, dan melakukan
perubahan. Kepemimpinan para rasul ini merupakan manifestasi dari
hakikat manusia sebagai khalifah fil ardhi. Sebagai khalifah, manusia
adalah wakil Tuhan yang diberi amanah untuk memimpin dan memelihara
bumi-Nya dan segala isinya dari kerusakan. Makna khalifah dalam diri
manusia sebagai pemimpin diimplementasikan dalam karakter-karakter
kepemimpinan yang senantiasa berpegang pada nurani.
Apabila dicermati kisah sirah kehidupan Rasulullah, maka akan
ditemukan berbagai macam contoh i’tibar dan hikmah sebagai inspirasi
bagi manusia.. Dalam konteks kepemimpinan terlihat bagaimana Rasullah
membangun kepercayaan dan kehormatan dari kaumnya. Sebelum
menjadi nabi Rasullullah sudah medapat gelar al-amin yang artinya bisa
dipercaya. Sebuah gelar yang menununjukkan kredibilitas beliau di mata
kaumnya. Kemudian terlihat bagaimana model dan style kepemimpinan
beliau ketika menyelesaikan kasus pengembalian Hajar Aswad ke dalam
ka’bah. Semua kabilah suku Arab merasa puas terhadap cara Rasulullah
melakukan negosiasi dan kompromi dalam menyelesaikan silang sengketa
dengan mengakomodir aspirasi semua pihak secara cerdas dengan
pendekatan win-win solution. Jhon L. Esposito dalam Ensiklopedi
Oxford44, secara eksplisit menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah
seorang Nabi dan Rasul Allah yang telah membangkitkan salah satu
peradaban besar di dunia.
Michael Hart, seorang penulis non muslim dengan sangat objektif
menempatkan nama Muhammad SAW di urutan pertama tokoh paling
berpengaruh sepanjang sejarah dunia. Secara eksplisit ia
menyatakan:“Muhamad adalah satu satunya pemimpin dunia yang sukses
sebagai personal, negarawan sekaligus pemimpin spiritual yang agung.
Hal itu yang membuat pilihan pertama sangat layak jatuh kepadanya” ‘’Ia
satu-satunya orang yang berhasil meraih kesuksesan luar biasa, baik dalam
hal agama maupun duniawi.’’ 45
Muhammad SAW tak hanya dikenal sebagai pemimpin umat Islam,
beliau juga dikenal sebagai seorang negarawan teragung, hakim teradil,
pedagang terjujur, pemimpin militer terhebat dan pejuang kemanusiaan
tergigih. Nabi Muhammad SAW terbukti telah mampu memimpin sebuah
bangsa yang awalnya terbelakang dan terpecah belah, menjadi bangsa
yang maju yang bahkan sanggup mengalahkan bangsa-bangsa lain di dunia
44 Jhon L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001) 45 Michael H. Hart The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History. first
published in 1978, reprinted with minor revisions 1992. ISBN 978-0-8065-1068-2.
pada masa itu. Afzalur Rahman dalam Ensiklopedi Muhammad Sebagai
Negarawan,46 mengungkapkan bahwa dalam tempo kurang lebih satu
dekade, Muhammad SAW berhasil meraih berbagai prestasi yang tak
mampu disamai pemimpin negara mana pun. Bahkan dalam analisis
Montgomery Watt, inisiatif Nabi Muhammad SAW yang berusaha
mempersatukan penduduk Madinah menjadi satu umat merupakan politik
tipe baru. Ia menulis “…the people of Madinah were now regardas
constituting a political unit a new type, an ummah or community”47
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa Nabi Muhammad
adalah super leader dengan model kepemimpinan prophetic leadership.
Nabi Muhammad seorang pemimpin negara yang luar biasa spektakuler
yang bisa membangun sebuah tatanegara yang adil. Nabi Muhammad juga
seorang pemimpin agama yang mengagumkan.
Rasulullah SAW bisa menggabungkan dua kepemimpinan dalam
satu tubuh. Pemimpin agama dan pemimpin dunia. Teladan kepemimpinan
sejati memang sesungguhnya terdapat pada diri Rasulullah SAW karena
beliau adalah pemimpin yang holistic, accepted, dan proven. Holistic
karena Nabi Muhammad adalah pemimpin yang mampu mengembangkan
prophetic leadership dalam berbagai bidang termasuk di antaranya: self
development, bisnis, dan entrepeneurship, kehidupan rumah tangga yang
harmonis, tatanan masyarakat yang akur, sistem politik yang bermartabat,
46 Fazlur Rahman, Ensiklopedi Muhammad Sebagai Negarawan Agung, (Bandung:
Mizan, 2012). 47 W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1968), hlm. 94.
sistem pendidikan yang bermoral dan mencerahkan, sistem hukum yang
berkeadilan, dan strategi pertahanan yang jitu serta memastikan keamanan
dan perlindungan warga negara.
Dalam waktu relatif singkat, sekitar 23 tahun risalahnya telah
menembus batas-batas teritorial kewilayahan dan logika akal manusia.
Pengikut ajarannya pun semakin bertambah banyak. Dalam waktu sekejap
sejarah mencatat bahwa ajaran Islam yang dibawanya telah meluas dari
jazirah kecil tak ternama menjadi sepertiga dunia yang makmur dan
digdaya. Bagaimana Rasulullah menjadi dapat menjadi pemimpin yang
demikian hebatnya? Jawabannya hanya satu, karena Rasulullah memimpin
dengan kekuatan spiritualitasnya, bukan karena posisi, jabatan, atau
sesuatu yang dibeli dengan uang dan kekuasaan. Yang ditaklukan oleh
Rasulullah bukan posisi atau jabatan tetapi hati para pengikutnya. Dalam
teori kepemimpinan modern, model pemimpin seperti ini dimanakan level
5th leader.48 Level 5th leader adalah level pemimpin yang telah melewati
level-level sebelumnya. Pada tahap ini seorang menjadi pemimpin karena
kekuatan personalnya dan visi serta cita-citanya. Bandingkan dengan
orang yang memimpin dengan mengandalkan posisi dan jabatannya atau
ia menjadi pemimpin karena “membeli” kepemimpinan itu dengan harga
yang mahal. Mungkin hal inilah yang menyebabkan para sahabat begitu
menghormati Rasulullah. Bahkan musuh Rasulullah gentar dengan berkata
48 http://taufiqsuryo.wordpress.com/2009/02/21/prophetic-leader diakses 12 April 2014.
bahwa tidak ada pemimpin yang diperlakukan oleh orang yang
dipimpinnya sebagaimana Rasullullah diperlakukan oleh para sahabatnya.
Kepemimpinannya accepted karena diakui lebih dari 1,3 milyar
manusia. Kepemimpinannya proven karena sudah terbukti sejak lebih 15
abad yang lalu hingga hari ini masih relevan untuk diterapkan. Muhammad
SAW adalah manusia yang luar biasa, namun bukan tidak mungkin untuk
diteladani dan diikuti jejak-jejak kesuksesannya yang multidimensi,
karena ada satu adagium yang menyatakan bahwa kepemimpinan yang
baik dapat memberikan inspirasi bagi peradaban manusia. Demikianlah
cetak biru kepemimpinan dalam Islam dengan model prophetic leadership
yang digagas dan dikembangkan oleh Nabi Muhammad SAW; yang bukan
hanya berorientasi untuk memenangkan posisinya sebagai pemimpin,
tetapi juga memenangkan hati para pengikutnya dengan berbasis pada visi
kemaslahatan, sesuai dengan kaidah: Tasharruf al-Imam ‘ala al-Ra’iyah
Manutun bi al-Mashlahah. Singkatnya, model prophetic leadership ala
Nabi Muhammad SAW adalah contoh terbaik yang bisa dijadikan sebagai
role model yang inspiratif sebagaimana firman Allah SWT:
”Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(Q.S
:33; Al- Ahzab :21)
3. Prinsip Kepemimpinan Islam
Al-Qur’an menyebutkan prinsip-prinsip kepemimpinan antara lain,
amanah, adil, syura (musyawarah), dan amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an al-
munkar. Dalam Kamus Kontemporer (al-‘Ashr), amanah diartikan dengan
kejujuran, kepercayaan (hal dapat dipercaya).49 Amanah ini merupakan
salah satu sifat wajib bagi Rasul. Ada sebuah ungkapan “kekuasan adalah
amanah, karena itu harus dilaksanakan dengan penuh amanah”. Ungkapan
ini menurut Said Agil Husin Al-Munawwar, menyiratkan dua hal.
Pertama, apabila manusia berkuasa di muka bumi, menjadi khalifah, maka
kekuasaan yang diperoleh sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari
Allah SWT (delegation of authority) karena Allah sebagai sumber segala
kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan yang dimiliki hanyalah sekedar
amanah dari Allah yang bersifat relatif, yang kelak harus
dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Kedua, karena kekuasaan itu
pada dasarnya amanah, maka pelaksanaannya pun memerlukan amanah.
Amanah dalam hal ini adalah sikap penuh pertanggungjawaban, jujur dan
memegang teguh prinsip. Amanah dalam arti ini sebagai prinsip atau
nilai.50Mengenai Amanah ini Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
49 Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu
amat zalim dan amat bodoh”. (Q.S. Al-Ahzab: 72)
Menurut Hamka, sebagaimana dikutip Dawam, bahwa ayat tersebut
bermaksud menggambarkan secara majaz atau dengan ungkapan, betapa
berat amanah itu, sehingga gunung-gunung, bumi dan langitpun tidak
bersedia memikulnya. Dalam tafsir ini dikatakan bahwa hanya manusia
yang mampu mengemban amanah, karena manusia diberi kemampuan itu
oleh Allah, walaupun mereka ternyata kemudian berbuat dzalim, terhadap
dirinya sendiri, maupun orang lain serta bertindak bodoh, dengan
mengkhianati amanah itu.51
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S. Al-Nisa’: 58)
Dua ayat di atas jelas menunjukkan perintah Allah mengenai harus
dilaksanakannya sebuah amanah. Manusia dalam melaksanakan amanah
yang dikaitkan dengan tugas kepemimpinannya memerlukan dukungan
dari ilmu pengetahuan dan hidayah dari Allah. Hal ini dapat dilihat firman
Allah “Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu”, pengajarannya bisa lewat hidayah yang merupakan anugerah
51 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an,... hlm. 195.
dari Allah, juga bisa melalui ilmu pengetahuan. Dalam Al-Qur’an, istilah
Amanah juga diungkapkan dengan kata Risalah
“Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: “Hai kaumku
sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat
Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu
tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat”. (Q.S. Al-
A’raf: 79)
Dalam ayat di atas, kata risalah yang dimaknai amanat. Maksudnya
disini Allah telah memberikan amanat kepada nabi Shaleh untuk
menyampaikan ajaran Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umatnya dan
Nabi di sini juga berfungsi sebagai pemimpin bagi umatnya.52
Prinsip kedua adalah Adil. Kata ini merupakan serapan dari bahsa
arab ‘adl. Dalam Al-Qur’an, istilah adil menggunakan tiga term yaitu ‘adl,
qisth dan haqq. Dari akar kata ‘a-d-l sebagai kata benda, kata ini disebut
sebanyak 14 kali dalam Al-Qur’an. Sedangkan kata qisth berasal dari akar
kata q-s-th, diulang sebanyak 15 kali sebagai kata benda. Sedangkan kata
haqq dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 251 kali.53 Adapun ayat-ayat
yang berbicara mengenai keadilan antara lain
Katakanlah: “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan”. Dan
(katakanlah): “Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang
52 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an,... hlm. 196. 53 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an,... hlm. 369.
dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu
kepadaNya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada
permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)”.
(Q.S. Al-A’raf: 29)
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menyuruh orang
menjalankan keadilan. Secara konkret, yang disebut keadilan (qisth) itu
adalah: (a) mengkonsentrasikan perhatian dalam shalat kepada Allah dan
(b) mengikhlaskan ketaatan kepadaNya.54 Dari uraian tersebut dapat
ditarik kepada aspek kepemimpinan, yaitu seorang pemimpin harus benar-
benar ikhlas dalam menjalankan tugasnya dan juga orientasinya semata-
mata karena Allah. Sehingga ketika dua hal tersebut sudah tertanam, maka
akan melahirkan perilaku yang baik
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S. Al-Nisa’: 58)
Ayat di atas juga telah disinggung pada pembahasan amanah,
karena ayat tersebut mengajarkan manusia tentang dasar-dasar
pemerintahan yang baik dan benar yaitu menjalankan amanah dan
menetapkan suatu hukum dengan adil.
54 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an,... hlm. 370
Prinsip ketiga adalah syura. Istilah ini berasal dari kata syawara,
yang secara etimologis berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah.55
Pararel dengan definisi ini, kata syura dalam bahasa Indonesia menjadi
“musyawarah” mengandung makna segala sesuatu yang dapat diambil
atau dikeluarkan dari yang lain untuk memperoleh kebaikan. Hal ini
semakna dengan pengertian lebah yang mengeluarkan madu yang berguna
bagi manusia.56 Dengan demikian, keputusan yang diambil berdasarkan
musyawarah merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi kepentingan
manusia.
Para intelektual Islam telah sepakat bahwa salah satu prinsip ajaran
Islam tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah prinsip
musyawarah (syura). Prinsip ini sebagaimana terdapat dalam surat al-
Syura: 38, dan surat Ali Imran: 159. Nabi Muhammad SAW telah
mempraktikan prinsip ini bersama sahabatnya setiap mengambil
keputusan yang bersifat publik, meski nabi sendiri seorang yang ma’shum
yang senantiasa berada dalam kontrol Allah SWT. Bahkan tidak jarang
nabi mengambil keputusan atas dasar suara terbanyak. Misalnya, ketika
nabi memutuskan tentang posisi kaum muslimin dalam perang Uhud untuk
melakukan tindakan ofensif dalam menghadapi serbuan kaum
musyrikin.57
55 Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: dar al-Shadir, 1968), Jilid IV, hlm. 434. 56 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 469. 57 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an,... hlm. 375
Dalam al-Qur’an ada dua ayat yang secara spesifik menerangkan
tentang musyawarah. Yang pertama berasal dari kata kerja syawara-
yusyawiru yang merujuk pada surat Ali Imran ayat 159; dan yang kedua
berasal dari kata syura yang merujuk pada surat Asy-Syura ayat 38.
Adapun ayat-ayat tersebut di atas yaitu:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya”. (Q.S. Ali Imran: 159)
Dari kata “wa syawir hum” yang terdapat pada ayat ini mengandung
konotasi “saling” atau “berinteraksi”, antara yang di atas dan yang
dibawah.58 Dari pemahaman tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
pemimpin yang baik adalah yang mengakomodir pendapat bawahannya
artinya tidak otoriter.
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
58 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an,... hlm. 443.
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka”. (Q.S. Al-Syura: 38)
Jika pada ayat sebelumya menunjukkan adanya interaksi, maka
pada ayat ini yakni istilah syura terkandung konotasi “berasal dari pihak
tertentu”. Dari sini juga dapat ditarik pemahaman bahwa tidak selamanya
pemimpin harus mendengarkan bawahannya, artinya pemimpin harus bisa
memilih situasi dan kondisi kapan dia harus mendengarkan bawahannya
dan kapan pula dia harus memutuskan secara mandiri. Jadi pemimpin yang
baik adalah pemimpin yang situasional. Sementara itu, Abdullah Yusuf
Ali, ahli tafsir kontemporer, ketika menafsiri suarat al-Syura:38
menyatakan bahwa:
“Musyawarah” inilah kata-kata kunci dalam surat ini dan
menunjukkan secara ideal apa yang harus ditempuh seseorang baik dalam
berbagai urusannya, sehingga di satu pihak kiranya ia tidak menjadi terlalu
egoistis dan di pihak lain kiranya tidak mudah meninggalkan tanggung
jawab yang dibebankan atas dirinya sebagai pribadi yang
perkembangannya akan diperhatikan dalam pandangan Tuhan. prinsip ini
sepenuhnya dilaksanakan oleh Nabi dalam kehidupan beliau baik pribadi
maupun umum dan sepenuhnya diikuti oleh para penguasa Islam pada
masa awal”59
Prinsip keempat, amr ma’ruf nahi munkar yaitu “suruhan untuk
berbuat baik serta mencegah dari perbuatan jahat.” Istilah itu diperlakukan
59 Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran, Text, Translation and Comentary, (Lahore:
Shaikh Muhammad Ashraf, 1938), hlm. 1257.
dalam satu kesatuan istilah dan satu kesatuan arti pula, seolah-olah
keduanya tidak dapat dipisahkan.60 Sedangkan kata ma’ruf dengan segala
derivasinya, terulang sebanyak 71 kali, dan terbanyak didapati dalam surah
al-Baqarah sebanyak 20 kali. Tidak dapat dipungkiri, bahwa antara yang
ma’ruf serta munkar selalu berdampingan. Di mana ada orang berlaku
ma’ruf, di sana juga ada yang berlaku munkar. Itu juga kiranya pada
sembilan tempat istilah amar ma’ruf dalam al-Qur’an, selalu diikuti oleh
nahi munkar, kecuali pada ayat 199 surah al-A‘râf. Didahulukannya kata
amar ma’ruf kemudian nahi munkar bermakna filosofis, bahwa dalam
segala hal kita dituntut untuk berlaku ma’ruf terlebih dahulu. Dengan
perbuatan ma’ruf ini, diharapkan akan mendatangkan keinsafan dan
kesalehan di kalangan masyarakat, sehingga hal-hal yang munkar dapat
diminimalisir atau bahkan ditiadakan. Kalau demikian adanya, maka
sebenarnya dengan berlaku amar ma’ruf secara tidak langsung kita telah
mencegah hal yang munkar.
Semakin banyak hal ma’ruf yang terealisasi maka secara langsung
akan meminimalisir adanya kemunkaran. Itu juga kiranya dinyatakan
dalam hadis Nabi dari Abû Sa‘îd al-Khudriy dinyatakan, bahwa setiap
orang diperintah (berkewajiban) mencegah hal yang munkar sesuai dengan
kemampuannya.61 Adapun ayat-ayat al-Qur’an berkaitan dengan hal
tersebut antara lain
60 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an,... hlm. 619. 61 Muslim ibn al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairiy al-Naisaburiy, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, t.th.), jilid I, hlm. 69.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Ali Imran:
104)
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. Al-Taubah: 71)
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di
muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar;
dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”. (Q.S. Al-Hajj: 41)
Ketiga ayat tersebut secara eksplisit menunjukkan perintah amr
ma’ruf dan nahy munkar. Ma’ruf diartikan sebagai segala perbuatan yang
mendekatkan diri kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan
yang menjauhkan dari pada-Nya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
prinsip kepemimpinan amr ma’ruf dan nahi munkar sangat ditekankan
oleh Allah karena dari prinsip ini akan melahirkan hal-hal yang akan
membawa kebaikan pada suatu kepemimpinan.
4. Pandangan Ulama Terhadap Dalil-Dalil Tentang Kepemimpinan
Menurut Mujar Ibnu Syarif ke dua belas ayat dibawah meskipun
memiliki redaksi yang berbeda satu sama lain, namun mengacu kepada
satu inti persoalan yang sama. Yang pada intinya umat islam dilarang
untuk memilih non-muslim menjadi pemimpin baik secara eksplisit
maupun secara implisit, terutama dipilih sebagai pemimpin negara atau
pemimpin pemerintah.62 Dan ayat-ayat ini dijadikan sebagai dalil bagi
ulama yang melarang memilih pemimpin non-muslim.
Terkait boleh atau tidaknya umat Islam untuk memilih pemimpin
dari kalangan non muslim ternyata pandangan para ulama dapat dibagi
menjadi tiga kelompok antara pendapat yang melarang dan membolehkan
a. Pendapat ulama yang melarang
Dalil dalil tentang terkait larangan memilik pemimpin nonmuslim
62 Mujar Ibnu Syarif , Presiden Non-Muslim Dinegara Muslim: Tinjauan dari Prespektif
Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan) hlm.
80
Artinya : Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada
Allah kembali (mu).
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian
mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka
Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil Jadi
pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah ejekan
dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab
sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan
bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang
beriman.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku
dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada
mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal
Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang
kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu
beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika kamu benar-benar keluar untuk
berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat
demikian). kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita
Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. aku lebih
mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.
dan Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka
Sesungguhnya Dia telah tersesat dari jalan yang lurus.
Artinya : kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau
saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang
yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan
mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-
Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun
merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan
Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan
yang beruntung.
Artinya : (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi
pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu
kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut
berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat
keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut
memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka
Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah
sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah
kamu Mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?
Artinya : Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi
sebagian yang lain. jika kamu (hai Para muslimin) tidak melaksanakan
apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di
muka bumi dan kerusakan yang besar.
Artinya : dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Artinya : bagaimana bisa (ada Perjanjian dari sisi Allah dan RasulNya dengan
orang-orang musyrikin), Padahal jika mereka memperoleh kemenangan
terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan
terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. mereka
menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang Fasik (tidak menepati
perjanjian).
Artinya : orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada
Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya.
Itulah kemenangan yang besar.
Artinya : dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka,
hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu
Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta
mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah,
melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka
agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Dari ayat-ayat diatas kesimpulan yang dapat ditarik dari terjemahan
teks ayah bahwa Larangan Allah kepada orang yang beriman untuk
mengambil orang non muslim sebagai wali (teman dekat, pelindung,
penolong dan pemimpin). Dan ini adalah peringatan allah agar terhindar
dari siksa nya. Larangan tersebut menjadi lebih khusus kepada orang
yahudi dan nasrani. Karena memilih mereka berarti menjadi golongan
mereka. Larangan tersebut adalah petunjuk agar tidak membuat
kerusakan untuk diri dan lingkungan karna hanya orang-orang yang
berniat merusak yang mau melanggar larangan tersebut. Kebenaran
Allah telah sampai kepada mereka namun mereka memungkirinya dan
memperolok-olok keyakinan orang-orang yang beriman. Tidak boleh
memberikan bocoran rahasia kepada non-muslim dengan menimbang
rasa iba dan kasih sayang. Karna jelas perbedaan antara orang beriman
dengan orang non-muslim dan tidak akan ada kasih sayang yang hakiki
diantara keduanya. Akan adanya kekacauan jika mereka orang kafir
dipilih sebagai pemimpin. Rasa aman dan bahagia dengan menjadikan
non-muslim sebagai wali adalah suatu anggapan semu. Efek yang akan
dirasakan adalah kegelisahan hudup didunia dan akhirat atas kekacauan
yang diberikan non-muslim sebagai balasan dari karakter mereka yang
tidak sesuai antar perkataan dan berbuatan. Merasa cukuplah dengan
menjadikan Allah dan orang-orang beriman sebagai wali dan hanya
dalam rangka bersiasat untuk menjaga diri dari hal yang ditakuti terhadap
orang non-muslim menjadi alasan dibolehkan memilih mereka.
1) Al-Jassas menyatakan bahwa dari ayat diatas dan ayat-ayat lain
yang isinya senada dengannya dan ada petunjuk bahwa dalam hal
apapun orang kafir tak boleh berkuasa atas (umat) Islam.63 Atas
dasar keyakinan serupa itu, al-Jassas tidak hanya tak membolehkan
umat Islam mengangkat non-Muslim sebagai kepala negara, tapi
juga tak boleh melibatkan non-Muslim dalam segala urusan umat
Islam, sekalipun ada pertalian darah dengannya.64
Dari pendapat yang dikemukakan oleh al-Jassas sikap
kehati-hatian seorang mukmin sangat penting untuk diperhatikan
dalam hal memilih pemimpin bahkan urusan prifat merupakan
perkara yang tidak boleh dilimpahkan atau mengikut sertakan non-
muslim dalam mengurusnya walaupun memiliki hubungan
kekeluargaan yang dekat. Dari pendapat yang demikian perlu
untuk memasang rasa kecuriaan yang tinggi kepada non-muslim
dalam hal kepemimpinan dan pengelolaan urusan prifasi seorang
mukmin.
2) Ibnu ‘Arabi menyatakan, ayat-ayat tersebut berisi ketentuan umum
bahwa seorang Mu’min tidak boleh mengambil orang kafir sebagai
pemimpinnya, sekutunya untuk melawan musuh, menyerahkannya
suatu amanat, dan atau menjadikannya sebagai teman
kepercayaan.65
63Abu Bakar Ahmad Ibn Ali ar-Razi al-Jassas, Ahkam al - Qur’an (Cet. II; Kairo:
Maktabah wa Mathba’ah Abd ar-Rahman Muhammad, t.t), hlm. 290. 64Abu Bakar Ahmad Ibn Ali ar-Razi al-Jassas, Ahkam al - Qur’an,... hlm 290. 65 Abu Bakr Muhammad ibn Abdillah Ibn Arabi, Ahkam al-Qur’an (Cet. II; Beirut: Dar
alKutub al-‘Ilmiyyah, 1988), hlm. 138-139.
Pandangan Ibnu Arabi hampir sama dengan pandangan yang
dikemukakan oleh Al-Jassas, bahwa ayat tentang pelarangan
tersebut merupakan ketentuan umum bagi umat muslim dalam hal
pemilihan pemimpin. Namun penambahan yang diberikan oleh
ibnu arabi bahwa dalam hal berkompromi dengan non-muslim
untuk melawan musuh yang sama juga tidak diperbolehkan.
3) Ibn Katsir menyatakan ayat-ayat tersebut merupakan larangan
Allah kepada hamba-Nya yang beriman, berteman akrab dengan
orang-orang kafir dan atau menjadikannya sebagai pemimpinnya,
dengan meninggalkan orang-orang yang beriman. Sebab jelas hal
ini merupakan perwujudan cinta kasih umat Islam terhadap non-
Muslim. Siapa saja di antara umat Islam yang membangkang
terhadap Allah dengan mengasihi musuh-musuh-Nya dan
memusuhi para kekasih-Nya, tegas Ibnu Katsir, akan mendapatkan
siksa-Nya.66 Kecuali bila di beberapa negara dan dalam beberapa
kesempatan tertentu seorang (Muslim) takut terhadap kejahatan
orang-orang Kafir, maka ia diberi dispensasi untuk ber-taqiyyah di
hadapan mereka secara zahirnya saja, tidak dalam batin dan
niatnya. Ibnu Katsir mendukung pendapatnya dengan firman Allah
menegaskan bahwa mengangkat orang-orang kafir sebagai
pemimpin umat Islam justru lebih berbahaya daripada kekafiran
kaum kafir dan kemusyrikan kaum musyrik. Kaum kafir itu lanjut
Thabathaba’i, adalah musuh umat Islam, dan bila musuh itu telah
diambil sebagai teman, maka kala itu ia telah berubah menjadi
musuh dalam selimut yang jauh lebih sulit untuk dihadapi
ketimbang musuh yang nyata-nyata berada di luar lingkungan umat
70 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf ’an Haqa’iq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-
Ta’wil (Cet. II; Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh,
1392 H/1972 M), hlm. 422.
Islam. Hal ini, tegas Thabathaba’i, tidak boleh terjadi, sebab bila
tidak, maka umat Islam akan mengalami kehancuran.71
Perumpaan memilih seorang non-muslim menjadi pemimpin
seperti musuh dalam selimut atau menggunting dalam lipatan yang
merupakan perbuatan yang lebih berbahaya dari pada menjadi
kafir. Merujuk kepada pendapat-pendapat tokoh sebelumnya karna
sifat kecintaan dan kasih sayang kepada non-muslim akan bisa
berimbas kepada perbutan memberikan bocoran rahasia kepada
kaum kafir yang akan berdampak buruk untuk siasat startegi kaum
muslim.
6) Prof. Hamka Dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan, wajib bagi kita
mengambil pemimpin dari orang muslim. Allah memberi
peringatan dengan tegas bahwa memilih orang kafir menjadi
pemimpin adalah perangai kelakuan orang munafik. Pada ayat ini
ditegaskan kepada orang-orang beriman agar tidak mengambil
orang kafir sebagai pemimpin. Ini dikarenakan mereka tidak
percaya kepada Tuhan, dan keingkaran mereka kepada Tuhan dan
peraturan-peraturan Tuhan akan menyebabkan rencana
kepemimpinan mereka tidak tentu arah.72
Buya hamka melihat bahwa larangan tersebut lebih kepada
pemahaman terhdap sifat kafir yang merupakan perbuatan tidak
71 Mujar Ibn Syarif, “Memilih Presiden Non Muslim di Negara Muslim dalam Perspektif
Hukum Islam”, dalam Jurnal Konstitusi PPK Fakultas Syariah IAIN Antasari, Vol II nomer 1
Tahun 2009, hlm. 98. 72 Hamka. Tafsir Al-Azhar juz II (Singapura: Pustaka Nasional, 1999), hlm. 412.
mengakui kebenaran Allah sebgai tuhan tentu tindakan mereka
akan menolak aturan dan larangan Allah yang akan mengakibatkan
kekacauan. Tindakan memilih pemimpin kafir adalah perilaku
munafik.
7) Sayyid Qutb tergolong paling keras menolak presiden non-Muslim
lebih dari itu ia bahkan berpendapat, sekedar menolong dan atau
mengadakan perjanjian persahabatan dengan non-Muslim saja,
utamanya dengan kaum Yahudi dan Nasrani, umat Muslim tidak
diperbolehkan melakukannya. Memilih pemimpin non Muslim
berarti memberikan kepercayaan dan loyalitas, hal ini berbeda
dengan toleransi (muamalah bi al-Hasan). Sayyid Qutub menolak
dengan tegas paham yang bernuansa sekuler atheistik yang
mendukung kerjasama dan saling menolong dengan ahli kitab.73
Pendapat diatas membedakan antara loyalitas dan toleransi
dalam konteks memilih pemimpin merupakan aturan syariat yang
harus dijalani maka memilih pemimpin tergolong kepada loyalias
keiman bukan toleransi. Maka memilih pemimpin dari golongan
non-muslim telah merusak loyalitas keiman orang tersebut sebagai
seorang muslim.
b. Pendapat ulama yang membolehkan
73 Abu Tholib Khalik, “Pemimpin Non Muslim dalam Persfektif Ibnu Taimiyah”dalam
Jurna Analisis PPKFakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Vol XIV nomor 1 Tahun
2014, hlm. 67.
1) Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa sistem merupakan hal penting,
tetapi yang terpenting adalah seseorang yang menduduki jabatan
kekuasaan harus memenuhi persyaratan, pertama memperoleh
dukungan mayoritas umat dalam Islam ditentukan dengan
konsultasi dan bai’at. Kedua memenangkan dukungan dari
kalangan Ahl asy-Syaukah (kelompok yang berpengaruh dan
menyatakan kesetiaan kepada imam) atau unsur pemegang
kekuasaan dalam masyarakat dan ketiga, memiliki syarat kekuatan
pribadi dan dapat dipercaya74 dengan sikap yang jujur, amanah,
adil, maka seorang pemimpin akan mampu memberikan
kemaslahatan bersama kepada rakyatnya. Atas dasar alasan
semacam itu, maka sangat wajar jika kemudian Ibnu Taimiyah
mengeluarkan statement yang sangat “berani”, yakni “lebih baik
dipimpin oleh pemimpin kafir yang adil, daripada dipimpin oleh
pemimpin muslim yang dzalim”. Sebab, orang yang dapat diangkat
menjadi pemimpin adalah orang yang memiliki kekuatan dan
integritas,75 dalam konteks kepemimpinan Ibnu Taimiyah
memandang manusia sebagai individu yang merdeka terlepas dari
agama, idiologi, asal negara dan ikatan-ikatan tradisional lainnya.76
74 Ahmad Sukardja, Fikih Siyasah, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. (Cet. ke-
4. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hml. 211. 75 Ibn Taimiyah,. As-Siyasah asy-Syar‘iyyah fi Islah ar-Ra‘i wa ar-Ra‘iyyah. (Beirut:
Dar alKutub al-Ilmiyah, tt), hlm. 22-23. 76 Abu Tholib Khalik, “Pemimpin Non Muslim dalam Persfektif Ibnu Taimiyah”dalam
Jurna Analisis PPKFakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Vol XIV nomor 1 Tahun
2014, hlm. 73.
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Berdasarkan ayat diatas Ibnu Taimiyah berpendapat doktrin
kekhalifahan di tangan orang Quraisy dianggap tidak relevan dan
tidak urgen lagi untuk diyakini dan diterapkan bagi masyarakat
kosmopolitan dan heterogen seperti di tempat ia hidup. Dalam
masyarakat yang heteroen, baginya, semua elemen masyarakat
pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk
memimpin atau dipimpin, tanpa ada diskriminasi atau
pengkultusan berlebihan terhadap suatu golongan tertentu. Slogan
sentral yang dikumandangkan Ibn Taimiyyah adalah kembali
kepada Al-Qur’an dan Hadits, dengan membuang jauh-jauh
perbuatan syirik, khurafat, bid’ah, pengkultusan seseorang dan
lain-lain. Realitas sosial masyarakat seperti itulah yang kemudian
mendorong Ibnu Taimiyyah untuk tidak mengakui kehujjahan
hadits bahwa pemimpin harus berasal dari bangsa Quraisy, karena
dalam hadits tersebut ada unsur yang menyeru kepada
pengkultusan suatu bangsa atau golongan. Padahal, menurutnya,
Al-Quran secara tegas memuliakan manusia bukan karena
keturunan dan kebangsaan, namun atas dasar ketaqwaan.77
Ibnu taimiyah termasuk ulama yang kontrofesi dalam hal
pemilihan pemimpin yang pendapatnya selalu dijadikan landasan
dalam diskursus tentang kepemimpinan. Dari pendapat ibnu
taimiyah diatas menerangkan Adanya pemahaman dasar dalam
bernegara bahwa sistem adalah hal yang penting namun
melampaui itu aktor yang mengendalikan sistem jauh lebih
penting. Tujuan adanya kepemimpinan adalah untuk kemaslahatan
maka sifat yang dimiliki oleh pengendali sistem haruslah amanah,
jujur dan adil, Sifat tersebutlah yang menjadi syarat utama untuk
wujudnya kemaslahatan. Sifat-sifat tersebut bisa lahir dari manusia
manapun tampa melihat latar belakang agama, ras, budaya dan lain
sebgainya karna manusia adalah individu yang merdeka. Ibnu
Taimiyah tergolong orang yang mendorong untuk dihapuskannya
sikap pengkultusan terhadap individu dalam kehidupan yang serba
heterogen dimana berbagai mazbah berkembang yang berpengaruh
terhadap stabilitas politik. maka Ibnu Taimiyah mendorong
kehujjahan Qurais sebagai syarat pemimpin tidak bisa diterima
namun lebih kepada ketaqwaan. Ibnu taimiyah dengan corak
77 Abu Tholib Khalik, “Pemimpin Non Muslim dalam Persfektif Ibnu Taimiyah”dalam
Jurna Analisis PPKFakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Vol XIV nomor 1 Tahun
2014, hlm. 73.
pemikirannya yang lebih kepada menggali pesan dan nilai-nilai Al-
Quran sebagai landasan dalam menegakkan syariat.
2) Menurut Mahmoud Thoha, non muslim memiliki persamaan hak
dan status sebagaimana yang dimiliki oleh umat Islam. Termasuk
menjadi pemimpin.78 Menurutnya pandangan fiqih klasik yang
mendeskreditkan non muslim didasarkan kepada ayat-ayat
madaniyyah yang memandang sarat dengan aura diskriminatif,
bukan didasarkan kepada ayat-ayat makiyah yang menekankan
martabat dan inheren pada seluruh umat manusia. Untuk
menghilangkan diskriminatif terhadap non muslim, kata Thaha,
ayat-ayat madaniyyah yang dimasa klasik digunakan sebagai
argumentasi teologis untuk mendiskriminasikan non muslim harus
segera dicabut.79 sebaliknya ayat-ayat makiyah yang dulu dicabut
digunakan kembali sebagai basis hukum Islam moderen. Sejalan
dengan itu Thaha menawarkan sebuah konsep naskh baru yang
berbeda dengan konsep naskh lama. Teori naskh lama menganggap
bahwa ayat-ayat madaniah menghapus ayat-ayat makiyah, kata
Thaha harus dibalik, yakni bahwa ayat makaiyah yang justru
menghapus ayat madaniyyah.80
78 Carolyne fluehr, melawan ekstrimisme islam: kasus Muhammad sa’id al-ashmawi, terj.
Hery Haryanto Azumi, (Depok: Desantra, 2002), cet 2 hlm 14 79 Abdullahi Ahmad Al-Naim, Dekonstruksi Syariah, terj. Suaedy dan Amiruddin Arrany
(Yogyakarta: LKIS, 1994) hlm 48-88 80 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Muslim Dinegara Muslim, (Jakarta: Pusat Sinar Harapan,
2006) hlm.141
Metode pendekatan yang dipakai oleh Muhammad Thaha
lebih kepada pendekatan kontekstual dengan menyimpulkan
bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan pelarangan memilih
pemimpin non-muslim bersifar temporal yang dan tidak lagi
relevan dengan masa di eramodren sekarang. Oleh karna itu
Muhuammad Thaha menyarankna konsep nasakh dan mansukh
dari ayat madaniyah menghapus ayat makiyah perlu untuk dibalik
menjadi ayat makiyah menasakh ayat madaniyah. Karna untuk era
moderan sekarang ini ayat madaniyah lebih sesuai dengan konteks
kekinian.
3) Mengomentari pandang fiqih klasik yang melarang pemimpin non
muslim Ahmad An-Naim juga menyatakan, semua umat Islam
generasi awal sudah benar ketika menafsirkan alquran dan hadits
dengan menerima diskriminasi berdasarkan agama dalam konteks
historis ketika itu, argumentasinya karena sejak masa-masa
pembentukan syariah belum ada konsepsi hak-hak azazi manusia
internasional di dunia ini. Sejak abad ke 7 hingga abad ke 20, kata
An-Naim adalah suatu hal yang normal diseluruh dunia untuk
menentukan status dan hak-hak seseorang berdasarkan agama.81
Akan tetapi, ini tidak dimaksud untuk menyatakan bahwa untuk
saat ini hal tersebut masih bisa dibenarkan.
81Abdullahi Ahmad Al-Naim, Dekonstruksi Syariah, terj,... hlm. 282
Mengingat pendapat yang menolak non muslim dibenarkan oleh
konteks historis yang ada di masa lalu, maka selesailah sudah
pembenaran itu sekarang, sebab konteks yang ada sekarang ini
sudah berbeda sama sekali dengan konteks historis yang ada di
masa lalu. Setelah dikenal konsepsi hak-hak asasi universal, kata
An-Naim diskriminasi atas dasar agama itu melanggar penegakan
HAM. Kaum absolutis yang hidup di masa kontemporer, seperti
Al-Maududi, Javid Iqbal dan Hasan Tubari, yang masih saja
menolak pemimpin non muslim, adalah disebabkan karena mereka
memandang aturan syariat yang melarang umat Islam memilih
pemimpin non muslim bersifat permanen. Padahal sesungguhnya
hal tersebut bersifat temporer (sementara).82
Pemikiran politik Islam klasik yang menolak peminpin non
muslim, kata an-Naim, sekalipun dijabarkan dari sumber-sumber
wahyu fundamental Islam, al-quran dan sunnah, sesungguhnya
bukanlah wahyu, tetapi tidak lebih dari sekedar produk penafsiran
manusia atas sumber-sumber tersebut. Karena produk itu lahir
sesuai dengan kondisi historisnya sendiri yang berbeda dengan
kondisi saat ini. Maka dari itu diskriminasi berdasarkan agama
sebagaimana lazimnya berlaku dimasa klasik, secara moral tertolak
dan secar politik sudah tidak dapat diterima lagi.83
82Abdullahi Ahmad Al-Naim, Dekonstruksi Syariah, terj,... hlm. 220 83 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Muslim Dinegara Muslim, (Jakarta: Pusat Sinar Harapan,
2006) hlm.146
Tidak berbeda dengan Muhammad Thoha bahwa An-Naim
dalam melihat permasalah kepemimpinan juga menekankna
kepada masalah konteks kekinian. An-Naim menyatakan bahwa
suatu yang normal dalam menentukan status dan hak berdasarkan
kepada agama pada sebelum abad ke20an. Hasil ijtihad ulama
klasik sudah benar berdasarkan konteks historisnya. Namun dari
ini dengan konteks yang berbeda dimana telah adanya konsep
HAM universal An-Naim memandang bahwa ulama yang tidak
menerima pemimpin dari kalangan non muslim karna ulama
tersebut menilai larangan tersebut bersifat permanen yang
ditentang oleh An-Naim bahwa larangan tersebut bersifat
temporal. Pemikiran islam klasik yang bersumber pada Al-Quran
dan Hadits menutut An-Naim bukanlah sebuah wahyu melainkan
prodak penafsiran manusia atas sumber tersebut.
4) Muhammad Sa’id Al-Ashmawi juga membolehkan non muslim
menjadi pemimpin bahkan di negara mayoritas muslim sekalipu.
Argumentasinya karena ayat-ayat al-quran yang melarang umat
Islam memilih pemimpin non muslim bersifat temporer. Ayat-ayat
tersebut hanya berlaku pada masa nabi Muhammad SAW di
Madinah yang pada saat itu sedang berperang dengan orang-orang
kafir. Karena kondisi seperti di masa nabi tidak ada lagi pada masa
sekarang, maka larangan itu tidak berlaku lagi.84
Muhammad Sa’id juga melihat teks ayat tentang pelarangan
memilih pemimpin dari non-muslim berdasarkan konteks ayat
dimana ayat tersebut diturunkan pada masa Nabi Muhammad
sedang dalam keadaan berperang dalam meneegakkan sariat islam.
Maka situasi sekarang yang tidak lagi sama maka hukum
berdasarkan ayat tersebut harus dicabut.
c. Pendapat ulama antara memolehkan dan melarang
Al-Maududi menyatakan bahwa semua jabatan pemerintah-an
terbuka bagi kaum dzimmi, kecuali sedikit jabatan kunci semisal
kepala negara dan majelis permusyawaratan. Kaum Muslim tidak
dibenarkan merampas hak-hak mereka selama tidak bertentangan
dengan perintah syariat Islam. Dengan kata lain hanya orang Islamlah
yang mempunyai hak untuk menduduki jabatan kepala negara dan
majelis syura, karena jabatan tersebut akan menjadi penentu lahirnya
kebijakan-kebijakan kunci dalam tatanan pemerintahan.85 Namun
untuk posisi dan kedudukan lainnya, semisal badan administrasi
negara, maka kaum minoritas non-Muslim berhak mendudukinya
sesuai prosedur dan aturan dalam negara Islam tersebut.86
84Muhammad Sa’id Al-Ashmawi, Jihad Melawan Islam Ekstrim, terj. Hery Haryanto
Azumi, (Depok: Desantra, 2002), cet 1 hlm 181 85 Abu al-A’la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam. Terj. Bambang Iriana
Djaja Atmadja (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 321. 86Rasyid Al-Ghanusyi, Huquq al-Muwatanah : Huquq Ghair al-Muslim fi al-Mujtama’
al Islami (Virginia: Ma’had al-Alam li al-Fikr al-Islami, 1993), hlm. 73.
Al-Maududi mencoba menentukan titik tengah antara pendapat
yang berbeda namun tidak menyetarakan posisi muslim dan non-
muslim dalam status kepemimpinan dengan menjelaskan sistem
pemerintahan yang terbagi seperti legislatif dan eksekutif. Posisi inti
tetap harus dikuasi oleh umat muslim namun karna posisi tersebut
yang akan membuat aturan dan sistem yang akan diberlakukan dalam
suatu negara sedangkan dalam posisi lain non-muslim memiliki hak
untuk menjabatnya.
Seperti kisah Khalifah Umar Bin Khatab mengangkat non
muslim asal Romawi dalam menagani masalah administrasi dikasus
lain umar Memerintahkan memecat sekretarisnya Abu Musa yang juga
non muslim karena Umar melihat dia tidak bisa dipercaya dan tidak
sepenuhnya bisa menerima dengan tulus saran saran dari orang lain”.87
Dalam kasus tersebut substansi yang bisa diambil bahwa posis yang
berikan adalah pengelola administrasi namun staus kepercayaan yang
bisa dilihat dari nonmuslim tersebut menjadi sebab bisa atau tidaknya
non-muslim dijadikan bagian dalam pemerintahan.
5. Fatwa tentang Memilih Pemimpin Non Muslim
Di Indonesia ada dua organisasi besar yang lahir semenjak awal
perjuangan berdirinya negara Indonesia yaitu Nahdatul Ulama (NU) dan
87 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Muslim Dinegara Muslim, (Jakarta: Pusat Sinar Harapan,
2006) hlm.146
Muhammadiyah. Kedua organisasi ini semenjak awal berdirinya negara
Indonesia sangat memberikan pengaruh terhadap masyarakat Indonesia
yang beragama Islam dalam menjalankan dan memberikan pedoman untuk
menjalakan syariat Islam dalam bernegra.
Terkait dengan memilih pemimpin non-Muslim NU melalui
Bahtsul Masa`il mengeluarkan fatwa pada Muktamar NU XXX yang
dilaksanakan di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur pada tanggal 21-27
November 1999 tentang Hukum Memilih Pejabat dari Kalangan Non-
Muslim adalah:
1. Pertanyaan: Bagaimana hukum orang Islam menguasakan urusan
kenegaraan kepada orang non Islam?
2. Jawaban: Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan
kepada orang non-Islam, kecuali dalam keadaan dharurat, yaitu:
a) Dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri oleh
orang Islam secara langsung atau tidak langsung karena factor
kemampuan,
b) Dalam bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan
untuk menangani, tetapi terdapat indikasi kuat bahwa yang
bersangkutan khianat,
c) Sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non-Islam itu
nyata membawa manfaat.88
88 Salah Mahfud, Solusi Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes NU
bahwa motif dan kepentingan yang paling mendasar dipertahankan adalah
isu identitas, yang tidak semata dapat ditegakkan melalui pemenuhan hak
semata tetapi harus didasarkan pada penghormatan terhadap keberadaannya
(recognition of identity) yang legitimate. Penghormatan terhadap identitas,
termasuk perbedaan unsur pembentuknya, merupakan landasan bagi
pemenuhan hak-hak lainnya dan bukan sebaliknya. Dalam banyak kasus
pemenuhan hak dasar seperti makan dan tempat tinggal dan bekerja tidak
126 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan,... hlm 308
cukup menghentikan perjuangan suatu kelompok terhadap ketidakadilan.
Penghormatan terhadap identitas menyangkut partisipasi pengambilan
keputusan pada kepentingan umum, termasuk hak kepemimpinan.127
Alasan para penolak Lurah Susan, Ahok dan pembunuh Hariri dan JFK
pada umumnya dipicu oleh keengganan kelompok mayoritas mengakui
kesetaraan identitas dari pemimpin berbeda keyakinan, suku dan kelas
sosialnya. Keengganan tersebut memiliki legitimasi yang beragam, dari
aspek yang sifatnya profan seperti ras, etnisitas dan kelas sosial sampai
masalah akhirat yang berbasis keyakinan. Keengganan yang membentuk
eksklusivitas yang masih menjadi fenomena global meski sistem demokrasi
membuka akses dan partisipasi seimbang pada setiap orang. Mekanisme
pemilihan tertutup (voting) dalam sistem demokrasi belum dapat
menghindarkan manusia dari perangkap eksklusivitas sehingga masih
menciptakan tirani mayoritas.128
Sebagai negara dengan umat Islam terbesar di dunia, masalah
kepemimpinan dan agama akan terus terjadi jika tidak ada ‘margin of
negotiation’ antara keduanya. Terlebih jika Islam dihadapkan dengan
berbagai perkembangan isu kontemporer seperti demokrasi, HAM dan
entitas universal yang semakin mengarah pada prinsip kesetaraan dan
keadilan yang inklusif dan non-diskriminatif. Pembelaan terhadap Lurah
Susan dan Ahok dari kalangan Muslim yang jumlahnya lebih besar dari yang
127 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan,... hlm 309 128 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan,... hlm 309
menentangnya menunjukkan kecenderungan yang menarik. Dalam konteks
yang lebih luas, rendahnya dukungan umat Islam terhadap partai Islam
menjelang Pemilu 2014 melalui survei independen tidak kalah mengejutkan.
Bahkan dua organisasi besar arus utama Nahdhatul Ulama dan
Muhammadiyah telah menyatakan bahwa NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) adalah final. Artinya, gagasan negara Islam atau Khilafah
Islamiyah akan menjadi propaganda ideologis kelompok Islam periferal dan
jauh dari kenyataan. Daerah-daerah yang memberlakukan Perda Syariah
juga nampak tidak memiliki agenda memisahkan diri dari NKRI.129
Dengan demikian, masalah kepemimpinan non-Islam menjadi niscaya
di Indonesia dalam konteks di atas dan pada masa-masa mendatang. Hal
yang perlu dilakukan, terutama para pemegang otoritas seperti
Muhammadiyah dan NU, adalah memberikan pedoman-pedoman yang
bersifat permanen melalui kajian yang komprehensif sehingga tidak
menimbulkan keraguan dan kegaduhan. Ada tiga rujukan yang perlu
diketengahkan dalam merespons masalah ini:
a. Landasan Normatif
Sumber utama persoalan kepemimpinan dalam Islam dapat dilihat
pada Surat al-Nisa [4]: 59, Athî’ullah wa athî’û al-rasûl wa uli al-amri
minkum. Secara umum dipahami oleh kelompok Islam bahwa
kepemimpinan berdasarkan pada surat ini berakar pada konsep
129 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan,... hlm 310
‘kepatuhan’ atau ketaatan yang linier dari Allah, Rasul dan para
pemimpin darimu (uli al-amri minkum). Minkum atau “darimu” lazim
dipahami sebagai dari golonganmu atau dari kelompokmu. Kata Allah
dan rasul memberi penguatan (ta’kîd) pada kelompok berdasarkan
keyakinan. Secara harfiah Al-Quran banyak menjelaskan tentang
kepemimpinan dalam kata ‘wali’, misalnya, dalam Surat Ali Imran ayat
28 yang menegaskan ketidakbolehan dengan kata ‘lâ’ yang dapat
diartikan dengan “janganlah orang-orang mukmin mengambil orang
kafir menjadi wali”. Yang menarik dari ayat ini adalah adanya
pengecualian bahwa mengambil pemimpin kafir dibolehkan sebagai
strategi memelihara diri dari yang ditakutinya.130
b. Pemikiran Para Ulama
Rujukan utama pemikiran kepemimpinan dalam Islam adalah
karya para ulama abad pertengahan seperti Ibn Khaldun, al-Mawardi, Ibn
Taimiyah dan ulama-ulama pada masanya. Para ulama masa selanjutnya
cenderung bersifat memperkaya pendapat yang ada dengan berbagai
penjelasan-penjelasan yang relevan dengan zamannya. Secara umum
para ulama menegaskan bahwa Islam adalah syarat utama
kepemimpinan. Ibn Khaldun menyebut Islam secara implisit bahwa
kepemimpinan harus dari unsur Quraisy yang tidak lain adalah suku
Rasulullah yang, tentu saja, Muslim dan beretnis Arab. Sementara
Pendapat Ibn Taimiyah dipandang sangat kontroversial karena
130 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan,... hlm 310
tekanannya pada sifat adil dari seorang pemimpin yang dapat
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, kepemimpinan
non-Muslim dapat diterima selama ia dapat berlaku adil. Ia menegaskan
bahwa Allah membela suatu negara yang adil meski dipimpin oleh orang
kafir dan Allah tidak membela suatu negara tirani dan despotik meski
dipimpin oleh seorang Mukmin dan Muslim. Pendapatnya didasarkan
pada Surat al-Hadid ayat 25, al-Maidah ayat 42 dan al-Nisa ayat 58.131
Meski tidak secara eksplisit seperti Ibn Taimiyah, tekanan pada
masalah kemaslahatan di atas masalah agama juga ditegaskan oleh
Muhammad Abduh. Ia dapat menerima pemerintahan kolonial Eropa
demi membebaskan Mesir dari Kesultanan Turki Utsmani (Ottoman
empire) yang dirasakan otoriter dan tidak memberi kesejahteraan rakyat.
Meski Abduh memberi catatan bahwa pemerintahan Prancis dan Inggris
disebut temporal namun secara konseptual memberi justifikasi
kepemimpinan non-Muslim selama membawa kebaikan pada umat
Islam. Pandangan tentang kebolehan kepemimpinan non-Muslim secara
eksplisit tersirat dalam pandangan politiknya yang sangat nasionalis. Ia
mengakui persamaan hak dan perlakuan yang sama di hadapan hukum
bagi warga Mesir yang memiliki perbedaan keyakinan, termasuk di
dalamnya orang Eropa yang tinggal di Mesir selama mereka menaati
hukum Mesir dan membayar pajak.132
131 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan,... hlm 311 132 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan,... hlm 311
Dari sedikit pemikir kontemporer yang mengindikasikan
keniscayaan kepemimpinan non-Muslim adalah Abdullahi an-Naim
ketika membahas Islam dan Hak-hak Asasi Manusia. Aspek-aspek
restriktif dalam khazanah Islam perlu ditinjau kembali jika dihadapkan
pada prinsip universal HAM. Proses yang ditawarkan oleh an-Naim
adalah memberlakukan kembali konsep nâsikh wa mansûkh dari ayat-
ayat yang khusus Madaniyah menuju ayat-ayat Makkiyah yang bersifat
umum. Dedikasinya terhadap reformasi Islam ini telah memberinya
‘ruang’ negosiasi antara HAM Universal dan Islam.133
c. Fakta Kontekstual
Persoalan kepemimpinan yang dikaitkan dengan identitas kolektif
jamak terjadi, setidaknya secara simbolis, mesti tidak selalu berbanding
lurus secara substantif terhadap efektivitas dan kemanfaatan masyarakat.
Bahkan dalam sistem demokrasi yang idealnya nir-diskriminasi,
elektabilitas seorang pemimpin masih ditentukan oleh suara kelompok
mayoritas yang pada umumnya sama latar belakang etnis atau
keyakinannya, termasuk di negaranegara Barat. Maknanya, pada ranah
ideal, diskriminasi atau penolakan kepemimpinan berbasis apa pun dapat
dihapuskan tetapi pada ranah praksis ‘preferensi primordial’ agama dan
etnisitas tidak terhindarkan dan sering dipahami sebagai konsekuensi
logis dari prosedur demokrasi.134
133 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan,... hlm 311-312 134 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan,... hlm 312
Kasus asasinasi JFK dan terpilihnya Barack Obama yang berkulit
hitam menjadi bagian menarik ‘democratic exercise’ Amerika Serikat
dalam dua abad kemerdekaannya. Amerika Serikat membutuhkan
setengah abad sejak terbunuhnya JFK untuk menerima presiden dari
kelompok minoritas. Eloknya, Presiden Barack Obama terpilih dalam
dua periode jabatan. Di Indonesia, dua lurah perempuan yang telah
disebutkan di atas juga fenomenal meski dalam lingkup yang lebih kecil.
Hajjah Halijah Marding terpilih menjadi kepala desa melalui pemilihan
terbuka dalam lingkungan Kristen. Terpilihnya Obama dan Halijah
sebagai minoritas pada dua periode kepemimpinan dan dicintai
rakyatnya patut direnungkan. Bagaimana seseorang dari kelompok
minoritas mampu ‘mengambil hati’ kelompok mayoritas? Sebaliknya,
terbunuhnya JFK, penolakan terhadap Lurah Susan dan Gubernur Ahok
menjadi sisi lain dari persoalan ini. Menilik fenomena Kepala Desa
Halijah, apakah dapat disimpulkan bahwa komunitas Kristen lebih
terbuka terhadap perbedaan? Atau setidaknya, tradisi Kristen lebih
dahulu menyelesaikan persoalan ini ketimbang komunitas Islam? Jika
demikian, perlu dilakukan analisis mendasar terhadap kedua aspek yang
dibahas sebelumnya.135
Pertama, umat Islam perlu menyadari adanya pergeseran konsep
teritorial dan peta politik dari eksklusivitas politik menuju pada
inklusivitas politik. Pada abad awal dan pertengahan, peta politik dan
135 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan,... hlm 312
kekuasaan teritorial umumnya dibentuk berdasarkan agama dan etnisitas
seperti di Cina, Eropa, India dan Islam. Ibn Khaldun mendokumentasikan
kecenderungan tersebut, termasuk syarat kepemimpinan adalah suku
Quraisy yang Muslim. Pada masa itu, tidak terbayang kepemimpinan
umat Islam di tangan non-Muslim dan, sebaliknya pula, tidak masuk akal
bagi umat Kristen dipimpin oleh seorang non-Kristen. Eksklusivitas
politis ini berimbas pada perebutan kekuasaan teritorial yang dimaknai
sebagai perluasan pengaruh agama ketimbang etnis sehingga muncul
istilah ‘Perang Salib’ (Crusade) dan “Perang Sabil” (jihâd fi sabîlillah).
Memasuki abad modern, geo-politik bergeser secara revolutif
menjadi inklusif dengan munculnya konsep republik dan demokrasi,
terutama pasca-revolusi Amerika Serikat (1775-1783) dan revolusi
Perancis (17871799). Keduanya mengukuhkan konsep negara republik
yang demokratis berbasis pluralisme dan multikulturalisme. Amerika
Serikat menunjukkan perkembangan yang lebih positif terhadap
pluralisme dan multikulturalisme jika dibandingkan dengan Prancis yang
sampai saat ini masih mencari bentuk. Dalam masyarakat Muslim,
keruntuhan Kekhalifahan Turki Utsmani menggeser geo-politis secara
substantif, terlebih pasca penjajahan Barat. Banyak negara-negara
dengan penduduk Muslim mayoritas, termasuk Indonesia, Mesir, Al-
Jazair, Nigeria, Pakistan, Bangladesh dan sejenisnya memproklamasikan
diri sebagai negara republik dengan sistem demokrasi yang beragam
pada tingkat implementasinya. Indonesia sebagai negara Muslim terbesar
di dunia tidak memproklamasikan negara Islam tetapi negara republik
yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, umat
Muslim membutuhkan suatu kerangka berpikir yang progresif dan
inklusif dalam menghadapi keniscayaan demokrasi yang multi-kultural
dan pluralistik.
Pilihan di atas membawa konsekuensi signifikan terhadap konsep
kepemimpinan dalam arus utama pemikiran Islam. Konstitusi Indonesia
yang memberi akses dan partisipasi sama bagi seluruh warga negara
Indonesia menjadi tantangan tersendiri. Pada kenyataannya, selama lebih
dari setengah abad merdeka dan berdaulat sebagai negara, Indonesia
hanya memiliki presiden yang beragama Islam dan berdarah Jawa.
Presiden Habibie pun yang didakwa sebagai non-Jawa—meski memiliki
darah Jawa yang mengalir dari ibundanya—hanya berkuasa ‘seumur
jagung’. Menurut orang Jawa karena ia tidak memiliki ‘pulung’
kepemimpinan yang merupakan justifikasi primordial. Di dalam era
global dan kompleksitas persoalan pada saat ini, konsep imâmah di atas
yang selama ini menjadi arus utama perlu diimbangi dengan pemikiran
alternatif dari Ibn Taymiyah, Muhammad Abduh dan pemikir
kontemporer Abdullahi an-Naim. Pergeseran geo-politik ini dapat
ditambahkan sebagai ‘Illat (ratio legis/alasan hukum) yang lebih
permanen ketimbang argumen bahwa kepemimpinan non-Muslim
diperbolehkan jika ‘tidak memusuhi’ umat Islam.
Kedua, pergeseran geo-politik modern berimplikasi pada konsep
pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dan bahkan
kekuasaan keagamaan. Sejatinya, masalah pemisahan kepemimpinan
dalam politik Islam telah terjadi sejak pasca kepemimpinan Khulafa
Rasyidin yang berakhir pada kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pada masa
kepemimpinan Khulafa Rasyidin, kepala negara merangkap sebagai
pemimpin agama sehingga syarat keIslaman menjadi sentral. Pasca
Khulafa Rasyidin, kepemimpinan terbagi dua antara kepemimpinan
agama berada pada kewenangan qâdhî (‘ulamâ) dan kekuasaan politis
berada dalam kepemimpinan Sultan (umarâ). Dualisme kepemimpinan
ini saling melengkapi meski dalam banyak kasus saling bersitegang
seperti kisah masyhur Imam Ahmad bin Hambal yang pernah masuk
penjara karena menentang sultan. Dalam konteks ini, agama sebagai
syarat kepemimpinan hanya bersifat simbolis sebagai ‘penanda’ identitas
kolektif tanpa muatan peran-peran substantif keagamaan yang dilakukan
oleh Khulafa Rasyidin.
Para imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal pernah berperan sebagai pemimpin
agama ketika mereka menjadi qâdhî besar pada masanya. Pada konteks
inilah pendapat Ibn Taymiyah yang menekankan keadilan menjadi
relevan karena ia hidup pada masa kekhalifahan Abbasiyah sekitar abad
13 M di mana kepemimpinan terpisah antara kekuasaan politik dan
otoritas agama. Ia sendiri merupakan korban ketegangan kekuasaan
tersebut dan wafat di penjara.
Pemisahan kepemimpinan ini juga meluas ke Nusantara ketika
kerajaankerajaan Islam berdiri. Meski sultan merupakan pemimpin
tertinggi agama seperti Sultan Yogyakarta yang bergelar Ingkang
Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati ing Ngalaga
Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah, tetapi ia tidak memiliki
kompetensi hukum agama sehingga diserahkan pada para penghulu
dalam “Mahkamah al-Kaburoh” di Masjid Besar Kauman. Pasca
kemerdekaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi
pilihan sadar bangsa Indonesia dalam mengatasi kemajemukan agama,
etnisitas dan budaya. Konstitusi menjamin persamaan hak dan perlakuan
di muka hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintahan
dilaksanakan dengan kerangka trias politika dengan tiga kewenangan
terpisah: legislatif, eksekutif dan yudikatif .
Pembagian kekuasaan dimaksudkan guna memperoleh
keseimbangan dan menghindari kesewenangan. Kepemimpinan politik
terpisahkan dengan kepemimpinan agama yang bersifat kultural dan sipil
yang direpresentasikan oleh para pemimpin agama dan organisasi
keagamaan seperti MUI, Muhammadiyah dan NU. Keberadaan
Kementerian Agama merupakan pelaksana teknis kebijakan negara pada
urusan keagamaan.
Pada saat ini masyarakat cenderung berpikir substantif ketimbang
simbolis sehingga dualisme kepemimpinan itu dapat diterima realistis
bahwa kepemimpinan politik diarahkan untuk mendistribusi keadilan
dan kesejahteraan siapa pun dan apa pun latar belakangnya. Sedangkan
pada masalah agama, mereka lebih kritis, seiring meningkatnya
pendidikan, sehingga otoritas agama tidak lagi bersifat tunggal. Terlebih
lagi, privatisasi dan domestifikasi agama nampak semakin menggejala
sehingga ikatan kolektivitas terhadap figur karismatik semakin
memudar. Jamak ditemui bahwa masyarakat dapat menentukan pilihan
sendiri pada masalah agama di tengah kontestasi otoritas keagamaan dari
kelompok agama besar seperti Muhammadiyah dan NU.
Akhirul kalam, fanatisme keagamaan terhadap kepemimpinan publik
dapat dihindari karena sifatnya yang profan dan tidak secara kumulatif
terkait dengan persoalan keyakinan agama. Kesamaan keyakinan antara
pemimpin dan umat yang dipimpin merupakan suatu idealisme yang dapat
diterima. Namun demikian, dalam konteks kemajemukan di alam demokrasi,
perbedaan keyakinan menjadi niscaya selama keadilan, kemakmuran dan
jaminan perlindungan terhadap pelaksanaan ibadah dan aktivitas keagamaan
terpenuhi. Kesetaraan pendidikan dan keterbukaan informasi keagamaan
telah mendewasakan umat Islam dalam melaksanakan kewajiban agama
tanpa tergantung sepenuhnya pada pemimpin. Kalaupun kepemimpinan
agama masih diperlukan, keberadaan organisasi keagamaan seperti
Muhammadiyah dan NU dapat menjadi rujukan.
C. Fiqih Kepemimpinan Non Muslim
Dalam konteks kepemimpinan sangat jarang ditemukan kesepahaman yang
mutlak terkait masalah siapa yang layak dan baik untuk dijadikan atau dipilih
sebagai seorang pemimpin. Diantaranya banyak fenomena yang terjadi di
berbagai daerah pada belahan dunia yang menolak kepemimpinan beda
keyakinan. Mulai dari tingkat terendah seperti Rukun tetangga (RT) sampai taraf
paling tinggi seperti negara. Bahkan fenomena tersebut juga dapat terjadi di
tempat kerja, ranah ekonomi bahkan ranah politik.
Kriteria pemimpin dalam fikih siyasah menurut ulama
1. Al mawardi menyebutkan syarat seorang pemimpin adalah :136
a. Meiliki sikap adil dengan segala persyaratannya
b. Memiliki ilmu pengetahan yang dapat mengantarkan pada ijtihad
c. Memiliki pendengaran, penglihatan dan lisan yang sehat
d. Memiliki anggota tubuh yang utuh
e. Memiliki deposit wawasan yang mencukupi untuk mengelola
kehidupan rakyat dan kepentingan umum
f. Memiliki keberanian untuk melindungi rakyatnya dan melawan
musuh
g. Berasal dari keturunan qurais
136 Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Baghdadi al-Mawardi, al-
Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilaayaat ad-Diiniyah, (Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt),
hlm. 6.
2. Juwaini menyampaikan syarat seorang pemimpin adalah :137
a. Seorang muslim
b. Berjenis kelamin laki-laki
c. Seorang yang merdeka
d. Berasal dari keturunan quraisy
e. Mampu berijtihad secara mandiri sehingga ia dapat melahirkan
simpulan secara mandiri
f. Berintegritas moral yang tinggi
g. Memiliki dukungan militer yang nyata sehingga mampu menjamin
keamanan negara
h. Mempunyai keahlian mengelola negara masa pertengahan Islam
3. Abdurrahman ibn muhammad ibn khaldun menuliskan lima syarat
kepala negara yaitu:
a. Memiliki pengetahuan yang luas
b. Seorang yang adil
c. Mampu melaksanakan tugas sebgai kepala negara
d. Sehat fisik dan memiliki panca indara yang lengkap
e. Berasal dari keturunan qurais
4. Ibnu taimiyah138
a. Orang yang kuat yaitu orang yang memiliki keberanian dan
pengalaman menghadapi musuh dalam berbagai peperangan.
137 Abdul Malik ibn Yusuf al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi at-Tiyas azhulm, (Iskandaria:
Dar ad-Dakwah, tt.), hlm. 43. 138 Ibn Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, (Saudi Arabia: Dar al-ifta wal irsyad, 1977),
hlm 253
Seseorang dikatakan kuat manakala ia memiliki kekuatan ilmu
pengetahuan tentang keadilan dan cara melaksanakan hukum Allah.
b. Orang yang amanah (takut kepad allah)
Di tempat lain ibn taimiyah menegaskan bahwa keadilan merupakan
syarat terprnting bagi seorang pemimpin, ibnu taimiyah menyatakan
“sesungguhnya Allah menyokong negara yang adil meskipun kafir
(pemimpinnya) dan tidak mendukung negara yang despotik
meskipun muslim (pemimpinnya). Dunia itu tidak dapat tegak
dengan memadukan antara kekufuran dan keadilan dan dunia tidak
dapat tegak dengan modal kezhaliman dan keIslaman”
5. Muhammad abduh139
Menjawab pernyataan tentang ayat-ayat yang dikutip oleh para
ulama yang menolak menjadikan non-mislim sebagi pemimpin sama
sekali tidak dapat ditolak kebenarannya. Yang tidak disebutkan kata
abduh bahwa mereka yang dilarang tersebut adalah merek ayang
memusuhi umat Islam. Ketika entitas non muslim itu tidak memusuhi
umat Islam dalam suatu entitas negara sebagai warga negara maka
mereka dapat dipilih sebagai kepala negara. Dengan landasannya kepada
surat al-mumtahanan ayat 7,8 dan 9
139 Muhammad Abduh, al-A’mal al-Kamilah, (Beirut: al-Muassah, al-Arabiyah lid-
Dirasah wan-Nasyr, 1972), hlm 107-108
Selanjutnya Abduh menutup uraiannya dengan menegaskan bahwa
larangan mengangkat pemimpin non-Muslim itu merupakan larangan
yang ber-‘illat. Yaitu manakala mereka (non-muslim) itu orang-orang
yang berperilaku buruk terhadap umat Islam. Manakala perilaku buruk
itu tidak ada, maka larangan tersebut tidak lagi berlaku. Dengan
demikian larangan tersebut sama sekali bukan berkaitan dengan
perbedaan agama.
Jika ditanyakan, siapa yang mesti dipilih antara pemimpin Muslim
yang tidak mampu memimpin dengan pemimpin non-Muslim yang
mampu memimpin? Jawaban yang diharapkan tentu saja jawaban yang
melampaui pertanyaannya itu. Yaitu pemimpin Muslim yang mampu
memimpin. Namun demikian, jika suatu saat terjadi maka jawaban yang
realistis adalah pemimpin non-Muslim yang mampu memimpin.140
Karena itu pula tulisan ini dapat ditutup dengan penegasan.
Memilih pemimpin non-Muslim di tengah masyarakat Muslim
hukumnya diperbolehkan. Itu dirujukkan pada dua hal. Pertama,
masalah kepemimpinan dalam hukum Islam merupakan persoalan yang
bukan absolut (almutaghayyirât). Kedua, larangan memilih pemimpin
non-Muslim dikaitkan dengan sebab yang menyertainya. Yaitu
manakala mereka (non-Muslim) melakukan penistaan kepada umat
Islam. Dalam suatu masyarakat majemuk di mana antara umat Islam dan
140 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan,... hlm 325
non-Muslim bersatu dalam suatu entitas negara-bangsa maka antara
keduanya bisa merajut hubungan harmonis yang saling memerlukan.141
Fikih Kebhinekaan adalah sebuah rumusan fikih yang berpijak pada
fenomena keragaman di masyarakat. Tujuannya adalah untuk
memberikan panduan filosofis, teoretis-metodologis, dan praksis di
kalangan umat Islam Indonesia dalam mendorong hubungan sosial yang
harmonis, menghilangkan diskriminasi, memperkuat demokratisasi, dan
memberikan landasan normatif-religius bagi negara dalam memenuhi
hak-hak warga masyarakat secara berkeadilan.142
Tiga isu utama yang dikaji dalam halaqah Kebhinekaan ini
mencakup: Konsep ummah yang lebih terbuka dan egaliter, hubungan
mayoritasminoritas dan kepemimpinan dalam masyarakat majemuk.143
Pertama, merumuskan konsep ummah (citizenship) yang lebih
terbuka dan egaliter. Sehingga ummah adalah sebuah entitas yang
menyantuni dan mengayomi semua, yang masing-masing memiliki
kewajiban dan hak yang sama.
Kedua, fikih yang berkaitan dengan soal kemanusiaan dan
kemasyarakatan. Dalam konteks ini, fikih perlu mengakomodasi
kelompokkelompok terpinggirkan, variasi pemahaman dan praktik
keagamaan di dalam Muhammadiyah dan internal Islam itu sendiri, dan
141 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan,... hlm 325 142 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan,... hlm 326 143 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan,... hlm 327
berbagai isu sensitif terkait dengan kelompok-kelompok minoritas
keagamaan yang sering dituduh sesat, kafir, dan murtad. Pada intinya,
bagaimana menciptakan fikih yang dapat memberi manfaat secara luas
tanpa sekat-sekat diskriminatif, misalnya orientasi primordial, fanatisme
keagamaan, dan mayoritasminoritas.
Ketiga, kepemimpinan dalam masyarakat majemuk. Dalam konsep
keumatan yang inklusif, setiap individu berhak dipilih menjadi
pemimpin atau memilih pemimpin. Kesetaraan hak ini tidak dapat
dibatasi oleh perbedaan identitas dan latar belakang (gender, strata
sosial, keagamaan, dan etnis). Islam mengakui kehadiran seorang
pemimpin yang berasal dari kalangan minoritas. Oleh karenanya, sangat
terbuka kemungkinan memilih pemimpin non-Muslim di tengah
masyarakat Muslim sepanjang tidak mengancam kebebasan beragama.
Ibn Tamiyah pun pernah berfatwa bahwa kepemimpinan non-muslim
yang adil lebih baik daripada kepemimpinan Muslim yang zalim
(Majmu’at al-Fatawa li Ibn Taimiyah). Dalam suatu masyarakat
majemuk dimana antara Muslim dan non-Muslim bersatu dalam suatu
entitas negara maka keduanya bisa merajut hubungan harmonis yang
saling memerlukan.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Presfektif Fiqih Kebhinekaan tentang Pemilihan Pemimpin Non
Muslim
Dalam konteks kebersamaan pemimpin merupakan salah satu unsur
terpenting karna kepemimpinan seorang pemimpin akan memainkan peran
sebagai pengelola agar terbentuknya suatu sistem yang baik dalam
kebersamaan tersebut. Maka bagaimana bentuk dan keadaan suatu
kelompok tergantung kepada kebijakan yang akan dilakukan oleh seorang
pemimpin.
Negara dapat dikatakan sebagai kumpulan kelompok yang bersama-
sama dalam suatu wilayah. Maka negara juga membutuhkan adanya
pemimpin. Menentukan seorang pemimpin pada setiap negara ditentukan
dengan sistem yang dipakai oleh masing-masing negara tersebut seperti
sistem monarki atau dengan sitem demokrasi. Negara dengan sistem
monarki untuk menentukan pemimpinnya hanya dengan warisan dari raja
kepada putra mahkota. Maka dalam sistem monarki bisa dikatakan
perdebatan tentang pemimpin negara pada lingkup masyarakat tidak begitu
memberikan pengaruh, sedangkan negara dengan sitem demokrasi dimana
pemimpin suatu negara ditentukan dengan cara pemilihan secara langsung
atau secara parlementer akan menimbulkan perdebatan hangat di tengah-
tengah masyarakat.
Konteks kepemimpinan tidak hanya pada lingkup tertinggi seperti
negara. Kepemimpinan juga merupakan hal yang penting pada setiap
tingkatan, golongan dan lain sebagainya. Dalam ajaran Islam konsep
berjamaah sangat menjadi anjuran dalam setiap tindakan. Maka tentu
disetiap bentuk jamaah diperlukan bahkan diharuskan untuk menentukan
siapa yang akan dipercayakan untuk menjadi pemimpinnya, agar
berjamaah bisa terorganisir. Karna kebaikan yang tidak terorganiris akan
dihancurkan oleh keburukan yang terorganiris.
Dalam kelompok yang homogen tentu tingkat perdebatan tentang
seorang pemimpin yang akan dipilih relatif rendah, dikarnakan adanya
kesamaan dan kesepahaman yang utuh. Kemungkinan perdebatan yang
terjadi hanya pada permasalaha siapa yang terbaik. Pada masyarakat yang
heterogen tentu ruang perdebatan akan semakin luas dalam menentukan
seorang pemimpin. Karna adanya perbedaan nilai, paham bahkan
kepentingan pada masing-masing kelompok yang majemuk tersebut.
Dalam kehidupan sosial dibutuhkan pemahaman tentang
keberagaman, dalam ajaran Islam pada dasarnya Allah telah menciptakan
umat manusia sangat heterogen, dalam bentuk bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, takdir tersebut bukanlah untuk dijadikan sebagai
perdebatan yang dekonstrutif melainkan untuk merekonstruksi peradaban
manusia menjadi lebih baik dengan cara saling mengenal.
Masyarakat sosial yang heterogen sangat berpotensi terjadinya
gesekan antar masing-masing kelompok. Maka sangat di butuhkan adanya
solusi cerdas untuk bisa keluar dari tantangan konflik. Maka perlu adanya
penanaman nilai dan ide yang bisa dijadikan sebagai dogma oleh masing-
masing individu untuk mempertahankan keutuhan bersama.
Indonesia adalah suatu negara demokrasi yang menginvestasikan
masyarakat yang beraneka ragam dalam kepercayaan, budaya, suku, ras,
bahasa dan lain sebagainya. Tentu saja kemajemukan yang dimiliki oleh
Indonesia sebagai suatu negara sangat berpotensi untuk melahirkan
gesekan kepentingan kelompok yang berujung konflik. Namun sejak
perjungan kemerdekaan hingga hari ini negara Indonesia bisa dikatakan
dapat bersatu dengan nilai yang telah ditanankan dalam bernegara yaitu
Bhineka Tunggal Ika.
Syafi’i ma’arif mengemukakan bahwa sebagai kaum muslim, umat
mayoritas di negeri ini, kita dituntut untuk membuktikan kualitas keimanan
kita terhadap Al-Quran, terutama terhadap ayat pada surat al-hujurat ayat
13 dan surat al-hajj ayat 40. Dengan lebih mampu menerima dan
menghargai perbedaan dan kebhinekaan yang terhampar di bumi ini,
khususnya di bumi Indonesia tercinta ini.144
Untuk menghargai perbedaan yang merupakan sunnatulaah yang
ada dalam suatu negara. Maka dengan bentuk negara yang menganut sistem
demokrasi, sering dikatakan sebagai solusi untuk dapat mengakomodir
beragam kepentingan dan kebutuhan dari perbedaan anggota kelompok
yang ada dalam negara tersebut.
144 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan, (Bandung: PT mizan pustaka, 2015), hlm 27
Dalam kaitan Islam dan politik dapat ditemukan tiga paradigma
tentang hubungan Islam dan negara. Peretama paradigma integralistik
dengan makna bahwa antara agama dan negara menyatu dimana kepala
negara memegang kekuasaan agama dan politik. Dalam paradigma ini
menyatakan bahwa kedaulatan berasal dan berada di tangan tuhan. Kedua
paradigma simbiotik yang mengasumsikan bahwa antara agama dan negara
saling memiliki hubungan timbal balik dan saling membutuhkan. Ketiga
pandangan sekularistik, dalam pandangan ini adanya pemisahan antara
agama dan negara.
Dari tiga paradigma diatas Indonesia lebih condong kepada
paradigma yang kedua. Dimana antara agama dan politik saling memiliki
hubungan tibal balik. Dimana untuk mengembangkan dan merawat agama
dibutuhkan andil negara, dengan adanya mentri agama di Indonesia
persoalan keagamaan dapat di fasilitasi baik dalam persoalan ibadah
maupun mu’amalah. Sementra untuk membagun negara nilai-nilai spiritual
yang diajarkan dalam beragama sangat dibutuhkan untuk membentuk etika
dan moral masyarakat menjadi lebih baik untuk utuhnya persatuan dalam
bernegara.
Semenetara dalam kaitan antara Islam dan demokrasi juga terdapat
tiga pandangan Pertama Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik
yang berbeda. Karena Islam merupakan sistem politik yang mandiri, karena
Islam merupakan agama yang kaffah yang mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia termasuk dalam bernegara. Kedua Islam berbeda
dengan demokrasi jika diartikan secara prosedural tetapi Islam merupakan
sistem politik demokratif jika diartikan secara subtantif dimana kedaulatan
berada ditangan rakyat dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan.
Ketiga Islam adalah sistim nilai yang membenarkna dan mendukung sitem
politik demokrasi. Karna dalam demokrasi tidak hanya prinsip syura
(musyawarah) tetapi juga ada konsep ijtihad dan ijma’ (konsensus).
Untuk demokrasi di Indonesia lebih condong kepada pandangan
yang ketiga, namun dalam praktek bernegara tentu persoalan demokrasi
tidak semudah membangun harapan. Terbukti dengan masih banyaknya
persoalan kenegaraan yang belum tuntas dengan dalih demokrasi yang
tidak sehat dan kurang mapan. Jika ditaraik persoalan dari belum mapannya
demokrasi di Indonesia dapat di temukan tiga alasan yaitu :
1. Pemahaman demokrasi yang belum tumbuh dengan baik pada
setiap unsur dalam bernegara. sepereti masyarakat, pemerintah,
penegak hukum dan lain sebagainya.
2. Cultur asal yang belum bisa diselaraskan dengan demokrasi
3. Untuk membentuk negara demokrasi yang maju tentu
membutuhkan waktu untuk proses terbentuknya demokrasi yang
baik.
Hal yang sangat sering menjadi perdebatan dalam politk dan sistem
domokrasi biasanya sering terpaku ketika momentum pemilihan pemimpin.
Kalimat pemimpin dalam bahasa Indonesia jika dicari persamaannya dalam
bahasa arab yang terkandung didalam al-quran ternyata ditemukan
beberapa kata yang berbeda-beda seperti Khalifah, imam, ulil amri, sulthan,
muluk dan lain sebagainya.
Khalifah adalah istilah yang muncul dalam sejarah pemerintahan
Islam sebagai institusi politik Islam, yang bersinonim dengan kata imamah
yang berarti kepemimpinan.145
Imam Konsep imam di sini, mempunyai syarat memerintahkan
kepada kebajikan sekaligus melaksanakannya. Dan juga aspek menolong
yang lemah sebagaimana yang diajarkan Allah, juga dianjurkan
Ulil amri diterjemahkan sebagai functionaries, orang yang
mengemban tugas, atau diserahi menjalankan fungsi tertentu dalam suatu
organisasi.146
Sulthan Penggunaan kata sultan untuk makna pemimpin tersebut
berkonotasi sosiologis, karena ia berkenaan kemampuan untuk mengatasi
orang lain. Sehingga jelaslah bahwa kata tersebut lebih relevan dengan
konsep kemampuan dari pada konsep kewenangan (otoritas).147
Mulk Mengandung makna pokok “keabsahan dan kemampuan”
sehingga konsep kepemimpinan dalam makna kata ini dengan sifat umum
dan berdimensi pemilikan. Bertolak dari defenisi diatas bahwa kata malik
tidak hanya bermakna kekuasaan tetapi juga bermakna kepemilikan.
145 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci,
h. 357. 146 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci,
h. 466. 147 Abdul Muin Salim, Fiqh SIyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur`an (Cet. III;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 159-160
Sehingga jika dikaitkan dengan kekuasaan politik, berimplikasi sebagai
pemimpin sebagai pemberian Tuhan kepadanya.148
Jika dipadukan masing-masing arti dari kalimat tersebut maka dapat
diartikan bahwa pemimpin adalah orang yang mengemban tugas dengan
kemampuan mempengaruhi orang lain sebagai suri tauladan pada institusi
politik Islam
Persoalan tentang pemimpin ternyata menjadi perhatian penting
setelah wafatnnya Rasulullah. Fakta sejarah menyatakan bahwa sebelum
nabi di kuburkan hal yang menjadi perdebatan ditengah-tengah sahabat
adalah persoalan kepemimpinan, hingga Abu Bakar terpilih sebagai
pemimpin yang dibai’at.
Setelah Rasulullah saw wafat, Abu Bakar ra memimpin umat Islam
di Madinah. Setelah meninggal dunia, Umar bin Khaththab ra memimpin
Madinah didasarkan pada wasiat Abu Bakar yang surat wasiatnya ditulis
oleh Utsman bin Affan ra. Ketika Umar akan meninggal dunia segera
membentuk dewan formatur yang diketuai oleh Abdurrahman bin Auf ra
yang memilih Utsman sebagai khalifah ketiga. Setelah Utsman wafat, kaum
Muslim Madinah memilih Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah secara
langsung di Masjid Nabawi.149
Persoalan kepemimpinan berlanjut hingga akhir masa Khalifah Al-
Rasyidin. Dimana adanya perebutan kekuasaan antara Ali bin Abi Thalib
148 Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur`an, h. 160-162 149 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press,
1993) hlm 21-32.
dengan Muawiyah yang deselesaikan dengan peristiwa tahkim/arbitrase
yang berdampak kepada terpecahnya umat Islam kepada beberapa
kelompok politik yang berlanjut menjadi kelompok teoligis.
Dalam pemikiran fiqih terkait persoalan pemimpin juga ditemukan
pandangan yang dikemukakan oleh para ulama seperti: Al Jass, Ibnu Arabi,
Ibnu Katsir, Wahbah Az-Zuhaili, Az Zamakhsyari, Thabathaba’i, Prof.
Hamka, Abu Thalib Khalik, Ibnu Taimiyah, Mahmoud Thoha, Ahmad An-
Naim, Muhammad Sa’id Al-Ashmawi, Al-Maududi dan ulama lainnya.
Dari pemikiran tentang pemimpin yang dikemukakan oleh masing-masing
kotoh ulama diatas ternyata tidak keseluruhan dari pendapat yang
dikemukakan memiliki persamaan ijtihad.
Terkait pemimpin non muslim ulama diatas dapat diklasifikasikan
kepada tiga kelompok pemikiran yaitu pertama pendapat yang menolak,
kedua pendapat yang membolehkan dan ketiga pendapat melarang dan
membolehkan dengan pengecualian. Dari kalsifikasi pendapat ulama diatas
jika disimpulkan alasannya yaitu:
Pertama pendapat yang menolak dengan berpijak kepada dalil
bahwa orang kafir/non muslim adalah musuh Allah, musuh rasulullah dan
musuh agama dimana ketika ada umat Islam memilih non muslim sebagai
pemimpin maka sama saja dengan perbuatan memberikan kepercayaan dan
loyalitas kepadanya, hal tersebut merupakan perbuatan seorang munafik
orang yang ingkar dengan peraturah tuhan, serta menjadi musuhh dalam
selimut yang sangat merugikan kekuatan umat Islam.
Kedua, pendapat yang membolehkan dengan alasan yang
dikemukakan bahwa persoalan pemimpin lebih diutamakan kepada kriteria
pribadi seseorang tampa batasan agama. Dalil-dalil yang digunakan terkait
pelarangan tersebut adalah bersifat temporal, dimana alasan pelarangan
sangant erat kaitannya dengan kondisi dan situasi zaman pada saat itu.
Maka disaaat sekarang yang konteks zamannya telah berbeda maka
pendapat tersebut tidak lagi relevan untuk konteks kekian.
Ketiga, pendapat yang melarang dan membolehkan dengan
persyartan. Menurut ibnu katsir larangan memilih pemimpin non muslim
erat kaitannya dengan kepercayaan yang merupakan perwujudan dari cinta
kasih. Memberikan kepercayaan kepada non muslim berarti mengasihi
mereka yang merupakan larangan dari Allah. Sementara al-maududi terkait
kepemimpinan inti seperti presiden dan majlis syura tidak boleh selain
umat Islam. selain jabatan tersebut non muslim berhak mendudukinya
sesuai prosedur dan aturan yang berlaku dalam negar Islam tersebut.
Dari kesimpulan tentang pendapat para ulama diatas ternyata
pembahasan tentang pemimpin telah menajdi kajian sejak masa kalasik
hingga masa sekarang ini. Pada konteks kekinian nampaknya perdebatan
tidak beranjak antara pelarangan dan pembolehan non muslim dianggkat
sebagai pemimpin bagi umat Islam dengan pengutan dalil yang konteksnya
lebih kekinian. Kondisi Indonesia yang total penduduknya mayoritas
beragama Islam, maka untuk melahirkan kemaslahatan sangat dibutuhkan
adanya padangan fiqih dalam merespon realitas tersebut.
Dalam konteks keIndonesiaan ada dua organisasi Islam yang bersar
dan berpengaruh yaitu muhammadiyah dan nahdatul ulama, dalam hal
pemilihan pemimpin muslim kedua organisasi ini telah mengeluarkan
fatwanya masing-masing sebagai pedoman bagi umat Islam di Indonesia.
Muhammadiyah dengan fatwa yang dikeluarkan melalui majlis
tarjih pada Jum’at, 12 Zulkaidah 1430 H / 30 Oktober 2009 seputar
Memilih Partai Politik dan Calon Legislatif butir 3 memberikan syarat
bahwa calon pemimpin yang harus dipilih adalah Islam. dalam ranah
bernegara anjuran kepada umat Islam untuk memilih pemimpin dengan
syarat “Islam” menurut muhammadiyah bukanlah sikap yang memicu
perpecahan dan melanggar undang-undang negara Indonesia, bahkan justru
memperkuat memperkuat negara. Yang memecah belah itu apabila ada
umat Islam yang menuntut untuk dibuatkan Undang-undang konstitusi
yang melarang warga negara memilih pemimpin non-Muslim.
Sedangkan Nahdatul Ulama (NU) melalui melalui Bahtsul Masa`il
mengeluarkan fatwa pada Muktamar NU XXX yang dilaksanakan di
Lirboyo, Kediri, Jawa Timur pada tanggal 21-27 November 1999 tentang
Hukum Memilih Pejabat dari Kalangan Non-Muslim adalah tidak boleh
menguasakan urusan kepada non Islam kecuali dalam keadaan darurat.
Dimana hal darurat yang dimaksud terbagi kepada tiga poin, pertama faktor
kemampuan dimana orang Islam secara langsung atau tidak langsung tidak
bisa menanganinya. Kedua ada yang mampu tapi berindikasi kuat akan
khianat, ketiga sepanjang nyata memberikan manfaat.
Disisi lain hasil bahtsul masail dari badan otonom NU yaitu GP
anshor membolehkan untuk mengangkat pemimpin dari non muslim.
Karena dianggap dalam bingkai negara kesatuan repoplik Indonesia setiap
warga negara bebasa menentukan pilihan politiknya teampa melihat latar
belakang agama yang dianutnya. dengan melihat bahwa konteks hari ini
dalam bernegar di Indonesia tidak ada pemakaian istilah kafir dzimmi
terhadap suatu kelompok.
Ternyata dua organisasi Islam diatas terkait satu permasalahan yang
sama memiliki pandangan yang berbeda. Walaupun fatwa bersifat tidak
begitu mengikat, tetap saja akan bisa berdampak negatif bagi pemahaman
yang fanatik terhadap dua organisasi tersebut. maka kajian fiqih perlu untuk
semakin dikembangkan untuk melahirkan kemaslahatan di negara
Indonesia yang memiliki penduduk mayoritas umat Islam.
Salah satu pandangan mutakhir tentang pemililihan pemimpin di
Indoneisa dapat di temukan pada buku fiqih kebhinekaan yang menyatakan
bahwa memilih pemimpin non muslim ditengah-tengah masyarakat
muslim hukumnya adalah boleh dengan pertimbangan dan analisis yang
dipaparkan dalam buku tersebut.
Wawan Gunawan Abdul Wahid menulis tentang fikih
kepemimpinan non-muslim dalam buku fiqih kebhinekaan menyebutkan
hukum memilih pemimpin non-Muslim di tengah masyarakat Muslim
hukumnya diperbolehkan. Itu dirujukkan pada dua hal. Pertama, masalah
kepemimpinan dalam hukum Islam merupakan persoalan yang bukan
absolut (almutaghayyirat). Kedua, larangan memilih pemimpin non-
Muslim dikaitkan dengan sebab yang menyertainya. Yaitu manakala
mereka (non-Muslim) melakukan penistaan kepada umat Islam. Dalam
suatu masyarakat majemuk dimana antara umat Islam dan non-Muslim
bersatu dalam suatu entitas negara-bangsa maka antara keduanya bisa
merajut hubungan harmonis yang saling memerlukan.150
Pada pembukaan buku fikih kebhinekaan Fajar Risqa Ulhaq sebagai
direktur maarif institut mengulas tentang pemikiran hasbi ash shiddiqy
yang pernah menggagas fiqih Indonesia. Pemahaman fiqih yang dinamis,
utamanya dalam ranah sosial-kemasyarakatan dan politik. Pentingnya
untuk mempertimbangkan kecocokan dan kebutuhan masyarakat Indonesia
agar produk fiqih tidak teracabut dari konteksnya. Hukum Islam harus
mampu untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang belum terjawab
sehingga tanggap terhadap perubahan sosial politik. Buku fiqih
kebhinekaan dalam konteks kepemimpinan masyarakat majemuk
menempatkan minorotas punya hak yang sama dengan mayoritas.
Pembahasan tersebut berangkat dari perspektif Islam dengan
mempertimbangkan konteks kekinian dalam kerangka negara bangsa.151
Fajar Risqa Ulhaq menambahkan Dari sudut pandang diskurusus
keagamaan, kehadiran buku fiqih kebhinekaan memiliki makna penting
bagi proses pendewasaan demokratisasi politk. Kajian fiqih klasik
150 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan, (Bandung: PT mizan pustaka, 2015), hlm 325 151 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan, (Bandung: PT mizan pustaka, 2015), hlm 8
mainstream menjadikan agama sebagai basis legitimasi hak-hak politik.
Orang yang berbeda agama tidak berhak mendapat pengakuan dan
perlakuan politik yang sama. Buku fiqih kebhinekaan juga menjadi
antitesis dari ancaman gejala intoleransi dan sekterianisme yang menguat
beberapa tahun terakhir ini. Kekerasan dan konflik sektarianisme di timur
tengah yang belum terlihat surut harus menjadi cermin bagi Indonesia agar
tidak terjerumus ke lubang yang sama. Singkat kata fiqih kebhinekaan
merupakan upaya ijtihadi Islam berkemajuan dalam kerangka
keIndonesian dan kemanusian.152
Lukman Hakim saifudin selaku mentri agama RI dalam sambutan
pada buku fiqih kebhinekaan menyungkapkan bahwa fiqih kebhinekaan
merupakan solusi penyelesaian atas masalah kontemporer yang
mengemuka dengan dengan merujuk kepada sumber hukum utama, yaitu
al-quran dan hadits. Beliau juga menyebutkan bahwa Halaqah Fikih
Kebhinekaan ini sangat signifikan dalam rangka reaktualisasi nilai-nilai
kebhinekaan di era kontemporer. Dengan tantangan yang makin kompleks,
baik akibat tingginya dinamika internal maupun akibat ekses negatif faktor-
faktor eksternal, saat ini kita membutuhkan konsep kepemimpinan dan
kemasyarakatan yang responsif dengan fakta kebhinekaan yang makin
tajam. Bagaimana agar tidak terjadi disorientasi baru paham kebhinekaan
yang akan menggugat keberlangsungan negara-bangsa Indonesia. Justru
seharusnya kekuatan keragaman ini dapat membentuk konfigurasi
152 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan, (Bandung: PT mizan pustaka, 2015), hlm 9
kebangsaan yang lebih mempesona bagi pemantapan posisi Indonesia, bagi
rakyatnya sendiri maupun dalam percaturan dunia internasional.153 Hal
yang terpenting dalam kajian ini adalah untuk melahirkan kemaslahatan
umat untuk menjaga keutuhan NKRI dengan nilai falsafah Bhineka
Tunggal Ika unity in diversity.
Pada bagian penutup buku fikih kebhinekaan menyimpulkan bahwa
dalam halaqah fikih kebhinekaan ada Tiga isu utama yang dikaji, yaitu
pertama konsep ummah yang lebih terbuka dan egaliter; kedua, hubungan
mayoritasminoritas; ketiga, kepemimpinan dalam masyarakat majemuk.
Pada bagian ketiga tentang kepemimpinan dalam masyarakat
majemuk menyimpulkan bahwa konsep keumatan yang inklusif, setiap
individu berhak dipilih menjadi pemimpin atau memilih pemimpin.
Kesetaraan hak ini tidak dapat dibatasi oleh perbedaan identitas dan latar
belakang (gender, strata sosial, keagamaan, dan etnis). Islam mengakui
kehadiran seorang pemimpin yang berasal dari kalangan minoritas. Oleh
karenanya, sangat terbuka kemungkinan memilih pemimpin non-Muslim
di tengah masyarakat Muslim sepanjang tidak mengancam kebebasan
beragama. Ibn Tamiyah pun pernah berfatwa bahwa kepemimpinan non-
muslim yang adil lebih baik dari pada kepemimpinan Muslim yang zalim
(Majmu’at al-Fatawa li Ibn Taimiyah). Dalam suatu masyarakat majemuk
dimana antara Muslim dan non-Muslim bersatu dalam suatu entitas negara
153 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan, (Bandung: PT mizan pustaka, 2015), hlm 15
maka keduanya bisa merajut hubungan harmonis yang saling
memerlukan.154
Kesimpulan tersebut mempertegas pandangan yang dikemukaan
oleh Wawan Gunawan Abdul Wahid tentang kebolehan umat Islam untuk
memilih pemimpin dari kalangan non-muslim. Dengan alasan yaitu:
1. Persoalan kepemimpinan dalam Islam bukanlah hal yang absolut
2. Pelarangan bagi umat Islam memilih non-muslim sebagai pemimpin
dikarnakan adanya sebab
3. Konsep keumatan yang inklusif dengan adanya kesetaraan antar
masing-masing individu yang bersatu dalam entitas negara.
Dengan menjadikan pijakan dalil kepada QS al-mumtahanah ayat
7,8 dan 9 dan pendapat yang dikemukakan oleh ibnu taimiyah dan
muhammad abduh yang lebih mengutamakan sikap adil sebagai syarat
utama seorang pemimpin.
Jika disandingkan pemahaman diatas dengan pemaham yang
menyatakan bahwa umat Islam tidak boleh untuk memilih pemimpin dari
golongan non-muslim dengan berdasarkan kepada surat al-maidah ayat 51.
Dari ayat tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa adanya larangan
bagi umat Islam untuk tidak memilih pemimpin dari non-muslim.
Al-maududi menegaskan bahwa pengaplikasian dari ayat tersebut
bukanlah sara atau diskriminasi terhadap non-muslim yang tidak
154 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan, (Bandung: PT mizan pustaka, 2015), hlm 328
mendapatkan restu ditengah mayoritas muslim sebagai pemimpin. Hak
politik bagi muslim dan non muslim sama didepan hukum, hanya saja
untuk pemegang kekuasaan lebih diutamakan kepada seorang muslim
karena hukum Islam hanya diyakini oleh umat Islam sedangkan kaum non-
mislim hanya ikut mengaplikasikannya.155
Pernyataan almaududi di atas hampir senada dengan pernyataan
tegas yang dikeluarkan oleh Yunahar Ilyas menegaskan bahwa larangan
Islam memilih pemimpin non-muslim itu tidak melanggar konstitusi
negara diIndonesia karena larangan itu hanya berlaku untuk umat Islam
saja. Hal itu disampaikan saat menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut
Umum (JPU) terkait sikap Muhammadiyah terkait larangan Islam memilih
pemimpin non-Muslim berdasarkan konstitusi dalam sidang penistaan
agama."Begitu pemahaman dari Muhammadiyah, memilih berdasarkan
agama tidak melanggar konstitusi dan memecah belah, tapi secara
langsung akan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia,"156
Tampaknya dua pemahaman yang berbeda diatas akan selalu
menjadi perdebatan yang panjang disetiap kontestasi pemilihan pemimpin
di wilayah yang heterogen. Perdebatan tersebut tentu saja akan
memberikan dampak positif dan negatif terhadap penilaian dari sikap yang
dipilih dari pemahaman tersebut. Walaupun kedua paham tersebut dapat
155 Abu al-A’la al-Maududi, The Islamic Law and Costitution, (Lahore: Islamic Publications, 1960),
hlm. 39 156
mengemukakan fakta dari realitas yang terjadi pada setiap daerah yang
heterogen.
Perdebatan antara pendapat diatas tidak jarang memunculkan
hujatan seperti sekularisme kepada kelompok yang dipandang plurar dari
kelompok yang berbeda pemahaman. Hal tersebut sangat perpeluang
muncul ketika mengompromikan antara pandangan teologis dan sikap
sosial dimana keduanya sangat saling berketerkaitan.
Kepemimpinan dan memilih pemimpin adalah persoalan politik.
Dalam politik Islam terdapat tiga paradigma tentang hubungan Islam dan
negara. Pertama paradigma integralisitk dimana agama dan negara
menyatu, kedua paradigma simbolik dimana antara agama dan negara
saling membutuhkan, ketiga paradigma sekularistik dima paradigma ini
menolak kedua paradigma diatas.
Pertama, Dalam konteks paradigma integralistik sangat cocok untuk
wilayah yang monogen. Seperti wilayah Islam di arab saudi atau fatikan di
wilayah krisen dan israel diwilayah yahudi, agama dan negara merupakan
satu keutuhan. Dari segi kebenaran dalam berkepercayaan dan dari segi
dakwah agama antara agama dan negara tidak bisa dipisahkan. Kedaua,
dalam konteks paradigma simbolik sangat cocok untuk pada wilayah yang
menganut sistem demokrasi. Karna antara agama dan negara atau
sebaliknya saling membutuhkan. Ketiga, dalam konteks paradigma
sekularistik antara agama dan negara tidak bisa untuk disatukan dengan
menjadikan agama sebagai alasan buruk yang dapat merusak sistem suatu
negara.
Jika dilihat pandangan yang dikemukakan dalam buku fiqih
kebhinekaan tentang kebolehan untuk memilihan pemimpin non muslim di
wilayah mayoritas umat Islam maka dapat digolongkan kepada negara yang
menganut paradigma simbolik. Syamsul Anwar selaku Ketua Majelis
Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada buku fiqih
kebhinekaan juga memeberikan sambutan yang memaparkan adanya
Menteri Agama di sebuah negara seperti Indonesia itu harus dilihat sebagai
sebuah praksis Islam yang mengakomodasi realitas kebhinekaan itu
sendiri. Kalau di negara lain, seperti Perancis, tidak mungkin ada Menteri
Agama. Agama tidak bisa berhadapan dengan publik, apalagi dengan
negara. Agama adalah urusan individu. Tetapi di negara kita, agama itu
merupakan bagian dari kehidupan masyarakat kita. Oleh karena itu, negara
merasa berkepentingan untuk mengurusnya secara tersendiri dengan
menyelenggarakan sebuah lembaga yang disebut sebagai Kementerian
Agama.157
Hamim ilyas dalam buku fiqih kebhinekaan menuliskan tentang
rekonstruksi ilmu fiqih dengan berlandaskan kepada surat at-taubah ayat
122 yang menganjurkan agar adanya sebahagian umat mempelajari al-din
sehingga menjadi ahli. Dengan membagi pengertian al-din kepada dua arti
yaitu pertama al-din berarti sistem kepercayaan dan sistem peribadatan
157 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan, (Bandung: PT mizan pustaka, 2015), hlm 12
dengan merujuk kepada surat alkafirun. Kedua al-din berarti al-mi’nah
(peradaban).158
Walaupun pernyataan yang dikemukakan oleh wawan gunawan
abdul wahid tentang kebolehan untuk memilih pemimpin non muslim
ditengah mayoritas umat Islam adalah boleh. Pernyataan tersebut didahului
dengan pertanyaan, siapa yang mesti dipilih antara pemimpin Muslim yang
tidak mampu memimpin dengan pemimpin non-Muslim yang mampu
memimpin? Jawaban yang diharapkan tentu saja jawaban yang melampaui
pertanyaannya itu. Yaitu pemimpin Muslim yang mampu memimpin.
Namun demikian, jika suatu saat terjadi maka jawaban yang realistis adalah
pemimpin non-Muslim yang mampu memimpin.159
Maka harapan yang utamanya adalah kepemimpinan tetap berada
pada umat Islam. Hanya saja jika dalam wilayah yang mayoritas adalah
umat Islam, walaupun seluruh umat Islam diwilayah tersebut bodoh,
setidaknya masih ada beberapa orang bodoh terbaik yang masih layak
untuk dijadikan pemimpin. Karana kesempatan untuk menjadikan negara
sebagai media dakwah Islamiyah walaupun tidak maksimal masih bisa
dimanfaatkan.
Pemimpin yang pada dasarnya memiliki peran untuk mempengaruhi
orang lain untuk mau mengerjakan apa yang dikehendakinya maka sangat
rentan jika kepemimpinan umat Islam di serahkan kepada kaum non-
158 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan, (Bandung: PT mizan pustaka, 2015), hlm 84-91 159 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan, (Bandung: PT mizan pustaka, 2015), hlm 325
muslim. Hal yang terpenting untuk di kembangakan ditengah umat muslim
adalah untuk memperbaiki moralitas dan pemahaman agama yang masif
pada tataran akar rumput terutama kaum muda, agar bisa keluar dari
kebodohan untuk kemajuan dalam beragama dan bernegara sehingga akan
melahirkan calon-calon pemimpin yang lebih layak untuk masanya.
Sebagai penutup penulis mengajak untuk kembali melihat kepada
sejarah perjuangan umat Islam yang dalam mempertahankan aqidah tauhid
kepada Allah SWT. Sebelum umat Islam hijrah ke madinah ketika dalam
masa kritis sibawah tekanan kaum qurais, nabi pernah mengambil
keputusan untuk berhijrah kebeberapa daerah dalam rangka
menyelamatkan diri dan aqidah dari tekanan yang diberikan oleh kaum
qurais di mekah. Diantaranya hijrah ke daerah thaif yang langsung di
pimpin oleh rasulullah, dengan harapan akan mendapatkan perlindungan
diri dan aqidah bagi umat Islam. namun perlakuan yang tidak adil bahkan
membahayakan yang didapat pada daerah tersebut.
Thaif, kota al-lata adalah kota perdagangan seperti mekkah, dan
meskipun tidak seramai mekkah, kota itu terletak di daerah yang lebih
subur. Ketika Muhammad kota yang dikelilingi tembok diatas bukit itu, dia
harus berjalan melewati kebuin-kebun yang indah, kebun buah-buahan dan
kebun jagung. Beberapa anggota keluarga abdi syams dan hasyim,
keluarganya sendiri, memiliki vila-vila musim panas disana. Muhammad
tentu memiliki hubungan dikota itu. Namun memasuki kota melalui jalan
umum merupakan resikokarena keluarga tsaqif, yang menjaga kuil kuno
itu, tentu telah tersinggung dengan sikap Muhammad mengutuk kultus al-
lata. Dia mengunjungi tiga bersaudara tsaqif dan meminta mereka
menerima agamanya serta memberinya perlindungan. Namun
permintaannya ditolak dengan penuh penghinaan. Bahkan tiga bersaudara
itu begitu marahnya akan kelancangan muhammad mengajukan
permintaan semacam itu, sehingga mereka menyuruh budak-budak mereka
mengejar muhammad.160
Sedangkan pilihan kembali untuk hijrah dengan motifasi yang sama
ke daerah habasyah. Walaupun tidak di sertai oleh rasulullah, harapan
terjaminnya keselamatan diri dan keamanan dalam menjalankan ibadah
adalah tujuan oleh umat Islam yang didapatkan dari raja habasyah yang
beragama nasrani.
Permintaan kepada negus, pemimpin abyssinia kristen, untuk
membawa mereka. Meskipun suku qurais merupakan musuh di mekkah
sejak tahun gajah, negus setuju. Tahun 616 M. Sekitar 83 orang muslim
meninggalkan makkah dengan keluarga-keluarga mereka.161 Menuju
tempat hijtah yaitu abyssinia atau habsy.
Mengetahui pergerakan hijrah tersebut. Suku qurais mengirim dua
utusan ke negus segara setelah kaum muslim tiba disana dan meminta agar
mereka dikirim kembali. Para utusan mengatakan kepada negus bahwa
kaum muslim telah mengutuk keimanan orang-orang mekah dan
160 Karen Armsrong, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis. Terj Sirikit Syah (Surabaya :
Risalah Gusti, 2014) hlm 185 161 Karen Armsrong, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis. Terj Sirikit Syah (Surabaya :
Risalah Gusti, 2014) hlm 160
mengacaukan masyarakat. Oleh karena itu mereka dianggap sangat
berbahaya dan tidak dapat dipercaya. 162
Namun negus memanggil emingran muslim dan menanyakan
pembelaan mereka. Kaum muslim yang diwakili oleh ja’far menjelaskan
bahwa muhammad adalah nabi tuhan yang benar, yang mengkonfirmasikan
wahyunya kepada yesus. Untuk membuktikan ini, dian memulai mengutip
catatan al-quran tentang konsep keperawanan kristus dalam kandungan
maryam. Ketika ja’far selesai membacakan ayat al-quran. Negus menangis
dengan keras sehingga janggutnya menjadi basah, dan air mata bercucuran
dipipi para uskup dan penasihatnya.163
Para utusan qurais tetap berusaha membuat persoalan dengan
menunjukkan pada negus bahwa al-quran tidak menerima ke ilahian
kristus, tetapi ia tetap menolak mendeportasi orang muslim dan
mengirimkan utusan qurais kembali ke mekkah. Orang-orang kristen
abyssinia sangat marah dan kecewa dengan dukungan negus pada orang-
orang yang jelas bid’ah. Dan ia harus mengambil jalan kesepakatan yang
kabur untuk membenarkan tindakan ini. Namun kaum muslim dapat
mempraktikkan agama mereka dengan bebas sepanjang mereka memilih
untuk tinggal di abyssinia.164
162 Karen Armsrong, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis. Terj Sirikit Syah (Surabaya :
Risalah Gusti, 2014) hlm 161 163Karen Armsrong, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis. Terj Sirikit Syah (Surabaya :
Risalah Gusti, 2014) hlm 161-162 164 Karen Armsrong, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis. Terj Sirikit Syah (Surabaya :
Risalah Gusti, 2014) hlm 162
Selain pengalaman hijrah diatas diawal mula peradaban Islam yang
belum memiliki kekuatan yang kuat secara politik dan kemandirian
kekuasaan. Bertahannya Islam tidak lepas dari peran pemimpin qurais yang
melindungi kaum muslim seperti paman nabi abdul muthalib yang sangat
berjasa namun diyakini diakhir ajalnya tidak sempat mengucapkan kalimat
syahadat. Dilanjutkan dengan pengalaman hijrah diatas ternyata Islam
mendapatkan perlindungan dari seorang raja yang kristen yang memiliki
kepribadian yang adil seperti raja negus di abyssinia.
Hal ini menggambarkan bahwa dengan berlindung kepada allah
bukan berarti muhammad dapaat mengabaikan perlunya perlindungan
kepada manusia. Al-quran menjelaskan bahwa kaum muslim diharapkan
untuk menggunakan segala kemanpuannya untuk menjaga diri sendiri, dan
tidak dengan malas menyerahkan seluruhnya kepada Allah.165 Tentu dalam
konsep kemandirian segala hal yang bisa diciptakan sendiri itu lebih baik.
Mengaharapkan perlindungan orang lain dapat diartikan memberikan
kepercayaan kepada pemimpin, sebagai suatu individu atau kelompok yang
memiliki keterbatasan sehingga tidak bisa melepasakan ketergantungan
kepada indiviu atau kelompok lain maka perlu adanya kemaslahatan
bersama untuk menciptakan keharmonisan.
165 Karen Armsrong, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis. Terj Sirikit Syah (Surabaya :
Risalah Gusti, 2014) hlm 178
B. Analisis Metode Istimbat Hukum dari Fiqih Kebhinekaan
Metode dalam kamus besar bahasa Indonesia memberikan arti yaitu,
cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud atau cara
kerja bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna
mencapai tujuan yang ditentukan.166 Yang dimaksud dengan metode adalah
metode ijtihad ulama dalam khazanah ilmiyah upaya perkembangan fikih
kontemporer yang akan disajikan berdasar analisis/penelitian dalam
pembahasan tesis ini.
Dunia Muslim di mana pun berada, lebih-lebih Indonesia yang
bercorak pluralistik-multikulturalistik, merindukan dan menginginkan
corak dan jenis bacaan terhadap kitab suci yang lebih kondusif dengan
konteks budaya dan sosial setempat. Yang lebih cocok dan kondusif dengan
situasi keIndonesiaan kontemporer yang inklusif, toleran terhadap berbagai
perbedaan interpretasi keagamaan secara umum dan perbedaan interpretasi
keagamaan Islam secara khusus dan tidak memonopoli kebenaran (truth
claim) yang mana pun. Jenis bacaan kitab suci yang ramah terhadap
berbagai perbedaan dan tidak marah terhadap perbedaan. Salah satu
jawabannya adalah dengan cara melipat gandakan, memproduksi dan
mereproduksi, mendiseminasikan corak bacaan kitab suci yang lebih
bercorak tarikhiyyah maqashidiyyah, bacaan yang kontekstual-progresif.
Tidak hanya terbatas dan terjebak pada jenis bacaan bercorak tekstual
166 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Ed. II (Cet. I;
Jakarta: BalaiPustaka, 1991), hlm. 652.
(taqlidiyyah thaifiyyah). Sebagai kerja panjang sejarah dan budaya, kerja
intelektual ini memerlukan napas panjang, kerja berkesinambungan, tanpa
kenal lelah dan penuh optimisme. Tanpa semangat itu, kita akan kehilangan
segala-galanya. Tulisan ini diakhiri dengan pesan mulia dan himbauan
Nabi Muhammad, “Jika saja hari kiamat datang besok pagi, tetaplah tanam
pohon kurma sekarang”. Betapa optimismenya Nabi! Tidak mudah
memang mendiseminasikan cara baca kitab suci yang bercorak
tarikhiyyah-‘ilmiyyah-maqashidiyyah. Tugas generasi ilmuwan sekarang
memang perlu fokus di situ untuk menyemai fikih keIndonesiaan,
kemodernan dan kebhinekaan dan tetap berdialog secara santun dengan
jenis bacaan kitab suci yang bercorak tekstual-taqlidiyyah tha’ifiyyah.167
Dari pemahaman yang disampaikan oleh M amin abdullah bahwa
dalam perbedaan kondisi diera kontemporer hampir disetiap wilayah
muslim dunia bersifat pluralistik-multikultural. Oleh karna itu perlu adanya
lompatan pemahaman tentang maqasid al-syar’iyah. Lompatan
pemahaman dari kekhususan lima unsur pokok mejadi pemahaman yang
mebih umum dan bersifat universal.
Syamsul anwar dengan banyak mengutip pandangan Auda
menjelaskan bahwa Maqashid al-Syari’ah adalah tujuan dan makna yang
terpatrikan dalam berbagai ketentuan syariah guna mewujudkan maslahat
bagi manusia. Jadi, tujuan hukum itu dapat dinyatakan sebagai
pencerminan kehendak ilahi. Penemuan dan penafsiran hukum karenanya
167 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan, (Bandung: PT mizan pustaka, 2015), hlm 70
tidak lain dari upaya menangkap maksud ilahi dalam berbagai konteks
kehidupan manusia. Oleh karena itu, di satu sisi, ijtihad hukum harus
diarahkan kepada perwujudan maslahat sebagai tujuan hukum, dan pada
sisi lain, ketentuan hukum yang karena perubahan waktu dan zaman tidak
lagi selaras dengan tujuan syariah, maka dengan beberapa syarat dapat
dilakukan perubahan.
Ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk suatu hukum dapat
berubah, yaitu:
1. Adanya tuntutan kemaslahatan untuk berubah, yang berarti bahwa
apabila tidak ada tuntutan dan keperluan untuk berubah, maka
hukum tidak dapat diubah
2. Hukum itu tidak mengenai pokok ibadah mahdah, melainkan di
luar ibadah mahdah, yang berarti ketentuan-ketentuan ibadah
mahdah tidak dapat diubah karena pada dasarnya hukum ibadah
itu bersifat tidak tegas makna
3. Hukum itu tidak bersifat qath’i; apabila hukum itu qath’i, maka
tidak dapat diubah seperti ketentuan larangan makan riba, makan
harta sesama dengan jalan batil, larangan membunuh, larangan
berzina, wajibnya puasa Ramadan, wajibnya salat lima waktu, dan
sebagainya
4. Perubahan baru dari hukum itu harus berlandaskan kepada suatu
dalil syar’i juga, sehingga perubahan hukum itu sesungguhnya
tidak lain adalah perpindahan dari suatu dalil kepada dalil yang
lain168
Mentri agama RI menyampaikan bahwa istilah fikih kebhinekaan
berkonotasi sebagai fikih ala Indonesia. Fikih ini mengadaptasi kearifan
lokal, sistem kultural dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Indonesia dari
berbagai suku, agama dan ras. Jangkauannya pun luas, dari Sabang sampai
Merauke. Misi utamanya adalah upaya merentangkan ide pokok tentang
tali persatuan dan kesatuan bangsa bagi seluruh komponen bangsa yang
besar ini. Oleh karena itu, merumuskan fikih kebhinekaan ini akan menjadi
pekerjaan rumah yang besar dan mulia169
Terkait metode istimbat hukum beliau juga menambahkn bahwa Fikih
Kebhinekaan seperti itu bisa dibangun di atas dasar konsep mashlahah, atau
biasa disebut dengan al-mashlahatu al-mursalah. Konsep ini dahulu
digunakan oleh Imam al-Syatibi untuk merumuskan konsep maqashid al-
syari’ah yang menjadi landasan dalam penetapan hukum Islam. Menurut
beliau, tujuan pemberlakuan syari’ah adalah mewujudkan dan memelihara
lima unsur pokok, dalam disiplin ilmu ushul fikih disebut dengan agama,
jiwa, keturunan, akal dan harta. Jadi, mashlahah merupakan basis atau
dasar ijtihad bagi masyarakat modern.
Walaupun dalam lima unsur pokok tersebut tidak disinggung fikih
kebhinekaan sebagai bagian dari maqashid al-syar’iah, namun terdapat
168 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan, (Bandung: PT mizan pustaka, 2015), hlm 83 169 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan, (Bandung: PT mizan pustaka, 2015), hlm 17
beberapa penjelasan al-quran maupun hadits yang menerangkan
pentinggnya memelihara kebhinekaan. Karena itu, hifzh al-ummah dapat
dijadikan sebagai variabel bagi terlaksananya al-kulliyyat al-khamsah
tersebut. Meski diperdebatkan, apakah hifzh al-ummah bisa dimasukkan
dalam maqasid syariah sehingga menjadi al-kulliyyat al-sittah atau tidak,
tetapi satu hal pasti bahwa al-kulliyyat al-khamsah itu tidak akan mungkin
terlaksana dengan baik apabila hifzh al-ummah (misalnya dalam bentuk
perlindungan umat beragama) diabaikan, dan juga bisa ditegaskan bahwa
mashlahah itu ditegakkan di atas kepentingan umum.170
Dalam pandangan yang dikemukakan pada buku fiqih kebhinekaan
tentu hasil pernyataan yang dikeluarkan berdasarkan kepada hasil analisi
yang panjang dan mendalam. Diantaranya dengan cara mengambil
beberapa fakta yang dijadikan sebagai contoh dan mengemukakan
pendapat ulama yang sealur dalam ide dan gagasan. Kemudian
mengeluarkan pernyataan tentang suatu hukum dari permasalahan.
Seperti kasus pemilihan pemimpun non-nonmuslim ditengah
masyarakat yang mayoritas muslim. Dengan mengemukakan teori-teori
fikih tentang kemaslahatan dan mengemukakan fakta dimana adanya lurah
yang terpilih diwilayah muslim adalah dari non-muslim dan terpilihnya
lurah dengan agama Islam diwilayah yang mayoritas kristen, atau kisah J.F
170 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan, (Bandung: PT mizan pustaka, 2015), hlm 17-18
kenedi diamerika dalam konflik antara faksum sesama umat kristen dan
lain sebagainya.
Kemudian diperkuat dengan gagasan dan pernyataan yang telah
dikemukakan oleh ulama yang telah mengeluarkan hasil ijtihat tentang
kebolehan untuk memilih pemimpin dari non-muslim bagi umat Islam.
Manum sayangnya menurut penulis Dari data-data yang didapatkan pada
buku fiqih kebhinekaan ternyata tidak ditemukan adanya komparasi antara
pendapat ulama yang tidak membolehkan untuk memilih pemimpin non-
muslim.
Selain metode maslahah dan maqasid al-sya’iyah yang dikemukakan
diatas berdasarkan keterangan yang penulis dapatkan dari buya syafi’i
tentang metode istimbat hukum yang dipakai dalam buku fiqih
kebhinekaan berdasarkan latar belakang keilmuan yang dimiliki oleh
masing-masing penulis.171 Pandangan ini juga disampaikan oleh sah
seorang peserta dalam halaqah fiqih kebhinekaan yaitu dr. Afifi abbas
bahwa metode istimbat hukum pada fiqih kebhinekaan tidak terlepas dari
latar belakang pendidikan masing-masing penulis pada buku tersebut.172
C. Fiqih Kebhinekaan sebagai Bentuk Respon Siyasah Syar’iyah
Indonesia semenjak jatuhnya rezim orde lama mengaungkan negara
reformasi dengan sistem demokrasi. Namun dalam perjalannya sistem
171 Wawancara singkat dengan buya syafi’i maarif di dalam lif hotel royal denai menuju loby utama
pada 172 Diskusi dengan dr afifi abbas di ruang dosen iain bukittinggi pada
demokrasi di Indonesia masih dikatakan belum mumpuni untuk mengelola
Indonesia sebagai negara yang maju. Ada beberapa alasan yang
menyebabkan lambannya pertumbuhan demokrasi diwilayah Islam.
Dalam konteks ini Indonesia bukan dikategorikan sebagai wilayah
Islam secara sistem kenegaraan akan tetapi dilihat dari jumlah penduduk
yang mayoritas adalah beragama Islam. Pertama karna faktor doktrinal
keagamaan yang menghambat jalannya demokrasi, kedua faktor kultural
dinama masyarakat muslim diwarisi budaya fanatisme yang tinggi kepada
pemimpin agama dan negara, ketiga untuk bisa berjalannya demokrasi
dengan baik dibutuhkan waktu yang panjang.
Pandangan ajaran-ajaran Islam tentang konsep “perbedaan” memang
dapat bersifat multi-interpretatif. Artinya, pemahaman kaum Muslimin
dalam masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik memiliki nuansa yang
berbeda-beda, apalagi teks-teks yang menjadi rujukan mereka banyak
ragamnya dan juga bersifat multi-interpretatif. Oleh karena itu, pembacaan
yang dimunculkan terhadap teks-teks keIslaman yang terdapat dalam fikih
kebhinekaan juga kental dengan pembacaan kontekstual yang diiringi
semangat untuk mengedepankan sikap adil dan sesuai dengan karakter
Islam yang terbuka. Perlu ditekankan pula bahwa buku Fikih Kebhinekaan
bukanlah semata-mata pandangan teologis, meski tidak bisa diingkari
bahwa perbedaan rumusan fikih dalam banyak hal juga dikarenakan adanya
perbedaan pada pemahaman terhadap aspek-aspek teologis. Namun
demikian, perbedaan persepsi atau pandangan di kalangan kaum Muslim di
Indonesia terhadap buku Fikih Kebhinekaan adalah hal yang lumrah dan
dapat dipahami. Karena tujuan dari buku ini juga adalah memberikan
gagasan alternatif dalam memahami kebhinekaan, khususnya di
Indonesia.173
Kaum Muslim saat ini juga telah mengambil banyak pelajaran dari
sejarah masa silam bahwa menyikapi kebhinekaan dengan cara yang salah
dapat menyebabkan sebuah malapetaka. Tidak sedikit konflik antar-
bangsa, kelompok etnik maupun agama yang terjadi dan menyebabkan
korban kemanusiaan. Karena itulah, buku Fikih Kebhinekaan ini
diharapkan dapat memperluas pandangan masyarakat Muslim Indonesia
tentang—dan semangat dalam mendorong—cita-cita sosial Islam dalam
mewujudkan masyarakat yang damai, harmonis, berkeadilan dan saling
mencintai.174
Dalam sistem berdemokrasi dengan potensi masyarakat yang
heterogen seperti di Indonesia pendapat yang dikemukkan dalam buku fiqih
kebhinekaan tentang kebolehan untuk memilih pemimpin non-muslim bagi
umat Islam bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk respon terhadap
perkembangan demokrasi. Hanya saja pernyatakan kebolehan tersebut
cukup dijadikan sebagai ungkapan wacana yang diapungkan di wilayah
yang heterogen ini, tidak dalam bentuk praktik di tengah masyarakat
muslim.
173 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan, (Bandung: PT mizan pustaka, 2015), hlm 38 174 Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebhinekaan, (Bandung: PT mizan pustaka, 2015), hlm 45
Artinya secara konstitusi dan regulasi yang berlaku di Indonesia dalam
kontestasi penentuan pemimpin mari sama-sama menggunakan hak dan
menjalankan kewajiban sebagai warga negara. Pernyataan tersebut bisa
dijadikan sebagai salah satu bentuk siasat untuk memenagkan kontestasi
penentuan pemimpin.
Dalam pemahaman bahwa fiqih merupak hasil ijtihad seorang ulama
dalam menjawab persoalan yang terjadi di tengah-tengah umat. Maka fiqih
kebhinekaan sebagai bentuk fiqih ala Indonesia yang mencoba menjawab
persoalan pemimpin non muslim dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk
respon terhadap persoalan umat di indoneisia. Hal yang menarik dari
kebiasaan kaum muslim di Indonesia yang beragama secara tradisional
yang lebih mengedepankan ketaatan terhadap kelompok yang dikenal
dengan sikap fanakik.
Sebagaimana diterangan diatas bahwa di Indonesia ada dua organisasi
Islam yang besar dan telah mengakar dalam sejarah perjalanan Islam di
Indonesia yaitu nahdatul ulama dan mauhammadiyah. Keduanya dapat
dikatakan telah memberikan kontribusi yang sangat luar biasa dalam
membentuk pola prilaku,sikap dan fikir umat Islam sebagai warga negara
Indonesia. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa disisi-sisi tertentu adanya
pergesekan pendapan dan pandangan dari dua organisasi ini yang kemudian
menjadi semakin meruncing dengan pola masyarakat yang tradisional dan
fanakit terhadap golongan. Tentu saja hal ini akan menjadi ancaman
terhadap keharmonisan internal umat Islam secara umum di indoneisa.
Maka pandangan dan gerakan yang laukan oleh ma’arif institut dapat
dikatakan sebagai respon terhadap dinamika yang kerkembangan pada
kalangan umat Islam indoneisa yang masih banyak bercorak tradisional dan
fanatik terhadap golongan. Dengan mengakomodis secara semua kalangan
untuk tujuan yang progresif dalam merespon persoalan umat dengan ala
keIndonesiaan.
Terkait pemilihan pemimpin-non muslim, didaerah Indonesia yang
sangat heterogen dan beranekaraganm coraknya tentu hal yang sangant di
inginkan adalah keuntungan bagi umat Islam secara positif. Namun pada
tenpat dan kondisi tertentu dinama kemandirian umat Islam di daerah
tersebut belum mapan tentu perlu adanya pandangan secara fiqih sebagai
acuan. Kedepan agar tawaran yang direkomendasikan dalam fiqih
kebhinekaan agar semakin mandirinya Islam di Indonesia agar tidak
terpaku dalam konteks wacana, pelu adanya perbuatan dan pergerakan
untuk mendorong kaum muda sebagai cikal penerus generasi. Untuk
dipersiapkan kematangan moral dan etos yang baik kedepannya. Terutama
diera milenial sekarang dimana Indonesia sedang dihadapkan dengan
persoalan bonus demografi.
Kondisi Indonesia yang sedang menghadapi bonus demografi ini tentu
harus disiasati dan ditanggapi dengan baik agar kaum muda islalm bisa
lebih terarah dalam membentuk kapasitas dirinya sebagai penentu tonggak
estafet.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Fiqih Kebhinekaan hadir sebagai fiqih ala Indonesia yang bercorak
akomodatif, responsif dan progresif. Dalam hal pemimpin non muslim
dibolehkan dalam wacana jika tidak ada pilihan lain. Kebolehean tersebut
dengan alasan yang dikemukakan bahwa persoalan kepemimpinan dalam
islam bukan perkara yang absolut. Dalam entitas berbangsa dan bernegara
maka persoalan pemimpin tidak dilihat kepada latar belakang agamanya.
2. Metode istimbat hukum fiqih kebhinekaan terkait pemilihan pemimpin non
muslim berdasarkan kepada landasan QS al-hujurat ayat 13 dan al-
mumtahanah ayat 7,8 dan 9 yang digali maknanya secara mendalam
berdasarkan keilmuan yang dimiliki oleh penulis pada buku fiqih
kebhinekaan dan merujuk kepada pandangan ulama klasikseperti ibnu
taimiyah dan muhammad abduh dengan lebih memperkaya hujjah atau
alasan dengan cara pembacaan kitab suci yang bercorak Tarikhiyah
Maqasidiyyah untuk melahirkan Maqasid Asy-Syar’iyah demi
kemaslahatan umat.
3. Pandangan yang dikemukakan dalam fiqih kebhinekaan dapat dikatakan
sebagai respon terhadap dinamika yang berkembangan pada kalangan umat
Islam indoneisa yang masih banyak bercorak tradisional dan fanatik
terhadap golongan. Dengan mengakomodir pandangan semua kalangan
untuk tujuan yang progresif dalam merespon persoalan umat dengan ala
keindonesiaan. Karena persoalan kepemimpinan termasuk persoalan politik
(siyasah) sedangkan politik merupakan hasil ijtihad dari tokoh ulama. Maka
pandangan terasebut merupakan salah satu bentuk respon terhadap siyasah
syar’iah untuk mengantisipasi mudharat.
B. Saran
Berdasarkan hasil temuan yang telah diuraikan pada kesimpulan di atas
berikut ini diaujukan beberapa saran yaitu:
1. Diasarankan untuk masyarakat indonesia yang berkultur homogen dan
majemuk dalam kebudayaan dengan prinsip kebhinekaan sebagai falsah
negara. Harus menyadari bahwa kemajemukan merupakan sunnah Allah
yang harus tetap dijaga keharmonisan antar umat demi keutuhan bangsa
dan negara.
2. Disarankan dalam menyikapi pemilihan pemimpin yang non muslim
adalah pilihan akhir yang dijadikan alternatif dengan menekankan
prinsip keadilan yang dimiliki oleh calon pemimpin yang non muslim.
Untuk keluar dari persoalan yang tidak diinginkan diatas maka umat
islam harus membina kaum muda agar memiliki persiapan yang banyak
dan layak sebagai pemimpin masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
A.Ubaaidillah dan Abdul Rozak dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education)
Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2008)
Abd Wafi Has, Ijtihad Sebagai Alat Pencegah Masalah Umat, Episteme Vol.8 no.
1, juni 2013 hlm 92
Abd. Jalil Isa, Ijtihad al-.Rasul, h. 180.
Abdul Malik ibn Yusuf al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi at-Tiyas azhulm,
(Iskandaria: Dar ad-Dakwah, tt.)
Abdul Muin Salim, Fiqh SIyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur`an
(Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran, Text, Translation and Comentary, (Lahore:
Shaikh Muhammad Ashraf, 1938)
Abdullahi Ahmad Al-Naim, Dekonstruksi Syariah, terj. Suaedy dan Amiruddin
Arrany (Yogyakarta: LKIS, 1994)
Abdurrahman Wahid, “Mencari Format Hubungan Agama dan Negara”, Kompas,
5 November 1998
Abu al-A’la al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, terj Muhammad al-Baqir,
(Bandung: Mizan, 1990)
Abu al-A’la al-Maududi, The Islamic Law and Costitution, (Lahore: Islamic
Publications, 1960),
Abu al-A’la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam. Terj. Bambang Iriana
Djaja Atmadja (Jakarta: Bumi Aksara, 2005),
Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-
Halabi wa Auladih, 1979)
Abu Bakar Ahmad Ibn Ali ar-Razi al-Jassas, Ahkam al - Qur’an (Cet. II; Kairo:
Maktabah wa Mathba’ah Abd ar-Rahman Muhammad, t.t)
Abu Bakr Muhammad ibn Abdillah Ibn Arabi, Ahkam al-Qur’an (Cet. II; Beirut:
Dar alKutub al-‘Ilmiyyah, 1988)
Abu Tholib Khalik, “Pemimpin Non Muslim dalam Persfektif Ibnu
Taimiyah”dalam Jurna Analisis PPKFakultas Ushuluddin IAIN Raden
Intan Lampung, Vol XIV nomor 1 Tahun 2014
Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Baghdadi al-Mawardi, al-
Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilaayaat ad-Diiniyah, (Libanon: Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah, tt)
Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam Di Indonesia Gagasan Sentral
Nurchilish Madjid Dan Abdurrahman Wahid cet I (Jakarta : PT Rineka
Cipta)
Ahmad Nahrawi Abd. Salam, al-Imam al-Syafi’i fi Mazahibi al-Qadim wa al-
Jadid, terj Jakarta Islamic Center (Jakarta; Hikmah, 2008),
Ahmad Sukardja, Fikih Siyasah, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. (Cet.
ke-4. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002)
Ahmad Syafi’i Maarif dkk, Fiqih Kebinekaan, (Bandung: PT Mizan Pustaka,2015)
Ali Hasballah, Ushul at-Tasyr’i al-Islami (Cet. IV; Mesir: Dar al-Maarif,1970)
Al-Jurjani Syarief Ali Muhammad, Al-Ta’rifat (Jeddah: al-Haramain, t.t.), hlm. 10