1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian termasuk di dalamnya peternakan memiliki peranan yang sangat strategis dalam kehidupan kita. Bahkan Henry Kissinger, mantan Menteri Luar Negerti Amerika Serikat pada tahun 1970 pernah mengemukakan “Control oil and you control nations, control food and you control the people” (dengan mengontrol minyak anda akan mengontrol negara, dengan mengontrol pangan anda akan mengontrol rakyat) ”. Industri perunggasan yang bergerak dalam skala nasional merupakan andalan subsektor peternakan yang mempunyai peran besar dalam perekonomian negara. Salah satu komoditas unggulan peternakan saat ini adalah ayam broiler. Ayam broiler salah satu unggas yang menghasilkan daging dan telur dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan ayam lainnya. Selain itu, ayam broiler juga relatif lebih murah (Suharno 2002). Sebelum tahun 1970-an produksi daging di Indonesia masih didominasi oleh daging sapi sebanyak 70%, sedangkan daging unggas saat itu kurang dari 15% dari total konsumsi daging ayam kampung (lokal) dan itik. Pada tahun 1975-an, ayam broiler mulai dikembangkan dengan mengimpor bibit ayam modern dari luar negeri, dan mengalami peningkatan. Produksi broiler di Indonesia terus meningkat dengan berkembangnya genetik ayam yang mampu meningkatkan produktivitas dan makin meningkatnya pendapatan per kapita penduduk Indonesia (Tangendjaja 2014). Populasi ayam ras (pedaging dan petelur) tahun 2015 di Indonesia, diperkirakan 1.65 milyar ekor, meningkat 3.71% atau meningkat 59.04 juta ekor dibandingkan tahun 2014. Populasi ayam ras dan buras relatif besar terdapat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Produksi ayam ras tahun 2015 diperkirakan sebesar 1.63 juta ton, meningkat sebanyak 82.72 juta ton (5.36%) dibandingkan tahun 2014. Adapun perkiraan kenaikan produksi daging ayam ras pedaging yang relatif besar terdapat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah (Pusdatin 2015) Prediksi permintaan daging ayam untuk konsumsi rumah tangga pada tahun 2015 diperkirakan sebesar 4.50 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2016-2019, proyeksi permintaan daging ayam untuk konsumsi cenderung meningkat rata-rata 1.56% per/kapita/tahun atau sebesar 4.69 kg/kapita/tahun. Peningkatan populasi ayam ras pedaging dari tahun ke tahun pada kurun waktu 2011 sampai dengan 2015, mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 8.83 % per tahun (Pusdatin 2015). Keadaan yang mempengaruhi fluktuatif populasi ayam ras pedaging, diperkirakan salah satu penyebabnya imbas penerapan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, hal ini mengakibatkan terdesaknya peternakan rakyat karena industri besar membuka usaha budidaya dan memasarkan produk dan menguasai mata rantai budidaya, mulai bibit, obat, pemotongan, hingga produk akhir. Budidaya yang dilakukan industri besar membuat biaya produksi ayam lebih rendah karena sistem produksi terintegrasi dari hulu hingga hilir, akibatnya harga jual ayam pun turun dan kondisi itu membuat peternak rakyat kurang bergairah (Pusdatin 2015). Populasi
10
Embed
Analisis model bisnis rumah potong unggas (rpu) pt ...repository.sb.ipb.ac.id/3104/4/E51-05-Jumino-Pendahuluan.pdf · rumah tangga pertanian di pedesaan dan perkotaan, sekitar 23.98%
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertanian termasuk di dalamnya peternakan memiliki peranan yang sangat
strategis dalam kehidupan kita. Bahkan Henry Kissinger, mantan Menteri Luar
Negerti Amerika Serikat pada tahun 1970 pernah mengemukakan “Control oil
and you control nations, control food and you control the people” (dengan
mengontrol minyak anda akan mengontrol negara, dengan mengontrol pangan
anda akan mengontrol rakyat) ”.
Industri perunggasan yang bergerak dalam skala nasional merupakan
andalan subsektor peternakan yang mempunyai peran besar dalam perekonomian
negara. Salah satu komoditas unggulan peternakan saat ini adalah ayam broiler.
Ayam broiler salah satu unggas yang menghasilkan daging dan telur dalam waktu
yang relatif singkat dibandingkan ayam lainnya. Selain itu, ayam broiler juga
relatif lebih murah (Suharno 2002).
Sebelum tahun 1970-an produksi daging di Indonesia masih didominasi oleh
daging sapi sebanyak 70%, sedangkan daging unggas saat itu kurang dari 15%
dari total konsumsi daging ayam kampung (lokal) dan itik. Pada tahun 1975-an,
ayam broiler mulai dikembangkan dengan mengimpor bibit ayam modern dari
luar negeri, dan mengalami peningkatan. Produksi broiler di Indonesia terus
meningkat dengan berkembangnya genetik ayam yang mampu meningkatkan
produktivitas dan makin meningkatnya pendapatan per kapita penduduk Indonesia
(Tangendjaja 2014).
Populasi ayam ras (pedaging dan petelur) tahun 2015 di Indonesia,
diperkirakan 1.65 milyar ekor, meningkat 3.71% atau meningkat 59.04 juta ekor
dibandingkan tahun 2014. Populasi ayam ras dan buras relatif besar terdapat di
Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Produksi ayam ras tahun 2015
diperkirakan sebesar 1.63 juta ton, meningkat sebanyak 82.72 juta ton (5.36%)
dibandingkan tahun 2014. Adapun perkiraan kenaikan produksi daging ayam ras
pedaging yang relatif besar terdapat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa
Tengah (Pusdatin 2015)
Prediksi permintaan daging ayam untuk konsumsi rumah tangga pada
tahun 2015 diperkirakan sebesar 4.50 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2016-2019,
proyeksi permintaan daging ayam untuk konsumsi cenderung meningkat rata-rata
1.56% per/kapita/tahun atau sebesar 4.69 kg/kapita/tahun. Peningkatan populasi
ayam ras pedaging dari tahun ke tahun pada kurun waktu 2011 sampai dengan
2015, mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 8.83 % per
tahun (Pusdatin 2015). Keadaan yang mempengaruhi fluktuatif populasi ayam ras
pedaging, diperkirakan salah satu penyebabnya imbas penerapan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, hal ini
mengakibatkan terdesaknya peternakan rakyat karena industri besar membuka
usaha budidaya dan memasarkan produk dan menguasai mata rantai budidaya,
mulai bibit, obat, pemotongan, hingga produk akhir. Budidaya yang dilakukan
industri besar membuat biaya produksi ayam lebih rendah karena sistem produksi
terintegrasi dari hulu hingga hilir, akibatnya harga jual ayam pun turun dan
kondisi itu membuat peternak rakyat kurang bergairah (Pusdatin 2015). Populasi
2
di Pulau jawa tahun 2015 mempunyai peranan sebesar 69.35% terhadap populasi
nasional (Pusdatin 2015).
Gambar 1 Populasi Ayam Ras Pedaging di Indonesia, Tahun 1984–2015
(Pusdatin 2015)
Peningkatan tersebut terjadi karena harga daging ayam yang terjangkau dan
mudah untuk ditemukan, ditambah dengan ketersediaan RPU yang memudahkan
konsumen untuk mengkonsumsi daging ayam tersebut untuk memenuhi
kebutuhan protein hewani masyarakat (Singgih dan Karina 2008). Peningkatan
konsumsi ayam menandakan besarnya permintaan. Permintaan yang besar
memunculkan persaingan antar pelaku usaha. Persaingan usaha menyebabkan
inovasi baru mampu meningkatkan penjualan. Inovasi yang telah dilakukan
adalah dalam hal peningkatan kualitas, baik kualitas produk dan pelayanan
(Galantino 2015).
Subsektor peternakan mempunyai peran sangat penting dalam
perekonomian Indonesia baik dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)
dan penyerapan tenaga kerja maupun penyiapan bahan baku industri. Kontribusi
PDB subsektor peternakan terhadap sektor pertanian pada tahun 2014 sebesar
11.84%, sedangkan kontribusi terhadap besaran PDB nasional mencapai 1.58%.
(Daryanto 2017)
Dalam penyerapan tenaga kerja subsektor peternakan juga mempunyai
peranan yang strategis. Menurut hasil sensus pertanian 2013, dari 54.07 juta
rumah tangga pertanian di pedesaan dan perkotaan, sekitar 23.98% (12.97 juta)
merupakan rumah tangga usaha peternakan (Daryanto 2017).
Produksi daging ayam saat ini telah mencapai swasembada. Konsumsi
ayam dan telur menempati 9.6% dari total pengeluaran makan rumah tangga
indonesia. Selain itu daging ras merupakan komoditas yang memberikan
sumbangan garis kemiskinan nomor empat terbesar bagi penduduk miskin
perkotaan (share 3.2%) dan nomor tujuh terbesar bagi penduduk miskin pedesaan
(share 1.79%). Naiknya daging ayam dan telur dengan demikian akan menaikkan
garis kemiskinan dan meningkatkan kemiskinan (Daryanto 2017).
3
Peternak ayam ras pedaging terbagi menjadi tiga pola usaha, yaitu pola
mandiri, kemitraan tertulis dan kemitraan lisan. pola mandiri pada prinsipnya
adalah peternak menyediakan modal sendiri dan bebas menentukan waktu
pemasaran. Peternak pola kemitraan terbagi menjadi dua yaitu pola tertulis dan
pola lisan. Pola tertulis pada prinsipnya adalah antara kedua belah pihak baik
peternak maupun inti membuat kesepakatan atau perjanjian tertulis yang bersifat
mengikat sebagai dasar atau landasan hubungan kemitraan. Pola kemitraan lisan
memiliki prinsip saling percaya dan kesepakatan antara kedua belah pihak
dilakukan secara lisan (Herawati et al. 2016)
Kebutuhan masyarakat terhadap daging ayam di Indonesia sangat besar.
Walaupun secara per kapita masih kecil, namun secara nasional, volume
kebutuhan daging ayam sangat tinggi. Konsumsi daging ayam di Indonesia masih
sangat rendah jika di bandingkan dengan negara Asia lainnya, sebagaimana yang
tertera dalam Gambar 2.
Gambar 2 Konsumsi per kapita daging ayam di Indonesia (Sandianto A, et al.
2013
Berdasarkan Undang Undang nomor 41 tahun 2014 junto UU nomor 18
tahun 2009, tentang peternakan dan kesehatan hewan, bahwa daging ayam yang
dijual harus memenuhi kriteria ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal). Aman
berarti daging ayam tersebut tidak berbahaya saat di konsumsi oleh manusia,
Sehat berarti mengandung nilai nutrisi yang dibutuhkan oleh manusia, utuh
artinya daging ayam tersebut tidak tercampur dengan material produk yang lain
serta Halal yang berarti daging ayam tersebut disembelih dengan menggunakan
syariat Islam. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner Pasal 2 Ayat (3)
menyatakan bahwa pemotongan hewan potong harus dilaksanakan di rumah
pemotongan hewan atau tempat pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh
pejabat yang berwenang (Kementan 1983). Sebagai bahan dasar protein hewani
yang mudah rusak (perishable food) daging ayam layaknya dijual dengan
menggunakan rantai dingin (cold chain) karena dengan menggunakan rantai
dingin maka pertumbuhan bakteri pembusuk yang menyebabkan rusaknya daging
4
ayam dapat ditekan. Suhu yang diharapkan adalah di bawah 4o C, dimana pada
suhu ini bakteri pembusuk akan tidak dapat berkembang biak (dorman).
Di Indonesia, daging ayam sebagian besar dijual di pasar tradisional.
Berdasarkan data, hampir 80-85% daging ayam dijual di pasar tradisional,
sedangkan 15-20% dijual di pasar modern. Di pasar tradisional daging ayam yang
dijual umumnya tidak menggunakan rantai dingin. Bahkan di pasar tertentu, ayam
dipotong di pasar. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan konsep ASUH
yang dicanangkan pemerintah. Beberapa faktor yang mempengaruhi pola
penjualan daging ayam tersebut diantaranya 1) pola rantai suplai daging ayam 2)
keinginan konsumen 3) penerapan peraturan yang tidak tegas dan 4) infrastruktur
di pasar yang tidak mendukung untuk melakukan penjualan daging ayam secara
baik.
Pola penjualan ini tentunya menjadi permasalahan, karena dalam
menegakkan aturan tentang daging ayam ASUH masih terbentur dengan pola-pola
lama yang telah berjalan bertahun-tahun di pasar tradisional. Pengubahan pola
berjualan ini tentunya tidak mudah, karena antara pedagang pengecer dan
konsumen saling membutuhkan terkait produk dan tata cara penjualannya.
Berbagai cara sudah ditempuh oleh pemerintah misalnya pemerintah DKI
mengeluarkan Perda nomor 4 tahun 2007 tentang pelarangan ayam hidup dilarang
masuk Jakarta, dan berbagai peraturan lainnya, namun belum berhasil mengubah
pola tata niaga daging ayam di pasar tradisional.
Harga ayam hidup merupakan faktor utama dalam penentuan harga daging
ayam di pasar tradisional. Menurut (USAID 2013) bahwa biaya produksi broiler
di Indonesia masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara lain. Biaya
produksi di Indonesia dan kesempatan untuk meningkatkan produksi daging ayam
tergantung pada permintaan domestik, karena Indonesia masih belum mampu
mengeksport daging ayam dalam jumlah besar. Berdasarkan Sandianto (2013),
resiko flukatif harga DOC juga akan mempengaruhi harga rata-rata penjualan
ayam hidup. Untuk menekan fluktuatif harga ayam hidup maka pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
61/Permentan/Pk.230/12/2016 tentang Penyediaan, Peredaran, Dan Pengawasan
Ayam Ras. Dalam peraturan tersebut diatur pada Pasal 12 ayat (1) yaitu pelaku
usaha integrasi, pelaku usaha mandiri, koperasi, dan peternak yang memproduksi
ayam ras potong (livebird) dengan kapasitas produksi paling rendah 300.000 (tiga
ratus ribu) ekor per minggu harus mempunyai Rumah Potong Hewan Unggas
(RPHU) yang memiliki fasilitas rantai dingin (Kementan 2016).
Indonesia merupakan negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi
yang cukup baik dan memiliki masyarakat kelas menengah yang besar. Kondisi
ini merupakan potensi pertumbuhan konsumsi daging ayam yang tinggi. Saat ini
konsumsi per kapita daging ayam di Indonesia masih rendah dibandingkan
negara-negara di asia tenggara. Konsumsi daging ayam di Indonesia saat ini
adalah 9 kg/kapita per tahun, Malaysia 33 kg/kapita/tahun, Singapura 46 kg per
kapita per tahun dan Thailand 24 kg/kapita/tahun.
Berdasarkan Sandianto (2013) pertumbuhan Gross Domestic Product
memiliki korelatif positif terhadap konsumsi daging ayam per kapita. Jika saat ini
Indonesia memiliki GDP US$ 3500 konsumsi per kapita nya 9 kg/kapita per tahun,
maka jika diproyeksi GDP naik menjadi US$ 8000 maka konsumsi bisa naik
menjadi 20 kg/kapita per tahun. Angka ini menjadi suatu angka yang besar bagi
5
pertumbuhan industri perunggasan Indonesia. Namun yang sangat menjadi
tantangan adalah bagaimana produk ini didistribusikan dan dijual kepada
konsumen? Apakah dijual di pasar tradisional atau pasar modern. Perbandingan
konsumsi daging ayam terhadap GDP di beberapa negara serta pertumbuhan
konsumsi daging ayam di Indonesia disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Gambar 3 Perbandingan Konsumsi daging ayam terhadap GDP di beberapa
negara (Sandianto et al. 2013)
Gambar 4 Pertumbuhan Konsumsi daging ayam terhadap GDP di Indonesia
(Sandianto et al. 2013)
Ayam broiler juga dapat memberikan nilai tambah bagi aktivitas
perdagangan dan pemasaran. Usaha peternakan ayam broiler di Indonesia tersedia
dalam industri RPU. RPU memiliki peran penting yaitu :
1. Sebagai penyedia atau penjual produk daging ayam yang ASUH.
2. Sebagai stabilisator harga ayam hidup jika terjadi gejolak harga ayam hidup
6
3. Sebagai industri pascapanen produk yang mampu memproduksi, menyimpan
dan mendistribusikan daging ayam dengan cold chain (rantai dingin) sehingga
produk yang dihasilkan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama.
4. Sebagai suatu industri yang dapat mendistribusikan produk daging ayam ke
seluruh wilayah Indonesia. Saat ini produksi ayam nasional terkonsentrasi pada
wilayah Indonesia bagian barat (Jawa, Sumatera) sedangkan Indonesia bagian
timur belum merata.
5. Sebagai industri yang berperan dalam pengendalian wabah penyakit Avian
Influenza dengan melakukan konsep biosekuriti secara benar.
Salah satu permasalahan dalam industri perunggasan nasional saat ini adalah
wabah penyakit Avian Influenza, atau lebih dikenal dengan nama flu burung.
Menurut Daryanto (2007), wabah penyakit flu burung dapat ditanggulangi yaitu
dengan melakukan restrukturisasi industri perunggasan. Restrukturisasi terhadap
industri perunggasan harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya wabah
penyakit. Restrukturisasi industri perunggasan dapat dilakukan antara lain dengan
integrasi pola vertikal (keterkaitan hulu-hilir). Restrukturisasi dilakukan dengan
membenahi sistem pemeliharaan dan penempatan lokasi peternakan, pemetaan
Rumah Potong Unggas (RPU) dan pemetaan lokasi pasar.
Pemerintah perlu melakukan promosi kembali kepada pemelihara ternak
yang baik seperti pemeliharaan kandang, vaksinasi dan penempatan unggas di
kandang yang jaraknya cukup jauh dari pemukiman. Menurut Mack et al. (2005)
peternakan unggas skala kecil menjadi suatu hal yang penting untuk berkontribusi
terhadap mengatasi kemiskinan pada daerah pedesaan. Untuk itu dibutuhkan
kebijakan dan investasi untuk membangun peternakan skala kecil di pedesaan
sehingga mampu mencapai keuntungan ekonomis. Penataan RPU penting
dilakukan agar pemotongan unggas dapat dilakukan dengan higienis dan tidak
menyebarkan penyakit. Namun, penataan RPU dan pasar unggas harus tetap
dilakukan dengan memperhitungkan aspek ekonomis dari kedua tempat tersebut
supaya tidak merugikan pedagang dan pemilik rumah potong unggas.
Ketakutan konsumen terhadap produk ayam beku menyebabkan konsumen
lebih cenderung membeli ayam di pasar tradisional. Pedagang pasar tradisional
menjual daging ayam yang umumnya tidak menggunakan rantai dingin. Hal ini
sangat bertentangan dengan konsep ASUH yang dicanangkan pemerintah.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pola penjualan ayam tersebut diantaranya
adalah pola rantai suplai daging ayam, keinginan konsumen, penerapan peraturan
yang tidak tegas, dan infrastruktur di pasar yang tidak mendukung untuk
melakukan penjualan daging ayam secara baik. Pola penjualan ini menjadi
permasalahan, karena dalam menegakkan aturan terkait daging ayam ASUH
masih terbentur dengan kebiasaan-kebiasaan konsumen yang belum terbiasa
dengan ayam beku (frozen). Usaha konsumen untuk memperoleh daging yang
Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) akan berhasil bila seluruh rangkaian
penyediaan dan penanganan daging tersebut mengikuti standar dari pemerintah
melalui peraturan SNI No. 01.6366.2000, sertifikasi halal Lembaga Pengkajian
Pangan, obat-obatan dan Kosmetika-Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI),
Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan dan Undang undang nomor 8
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Usaha tersebut dimulai dari kondisi
ternak dan petugas (sebelum pemotongan, saat pemotongan dan setelah
7
pemotongan) sampai pada tatacara penjualan dan tatacara konsumen dalam
menangani daging tersebut (Afiati 2009)
Untuk menanggulangi penyebaran wabah flu burung di Jakarta, pada tahun
2007, pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 4
Tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas yang
mengatur mengatur mengenai peredaran unggas di DKI Jakarta dan dijelaskan
pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta tentang petunjuk pelaksanaan peraturan
daerah nomor 4 tahun 2007 pengendalian pemeliharaan dan peredaran unggas
nomor 146 tahun 2007. Dalam Perda tersebut Pemerintah Daerah DKI Jakarta
menertibkan pemeliharaan dan distribusi ayam hidup di Jakarta. Penertiban ayam
hidup di Jakarta dilakukan dengan cara memberikan sertifikasi terhadap setiap
ayam hidup non pangan yang berada di DKI Jakarta. Sementara pengurangan
peredaran ayam pangan hidup dilakukan dengan cara merelokasi Tempat
Penampungan Ayam (TPnA) dan Tempat Pemotongan Ayam (TPA) ke lima titik
Rumah Potong Unggas (RPU) sebagaimana yang sudah ditetapkan. Adanya
kebijakan tersebut maka jalur distribusi dan perdagangan ayam pangan di DKI
Jakarta akan mengalami perubahan yang signifikan. Peternak dari daerah
penghasil wajib memasukkan ayam hidupnya hanya ke 5 RPU (RPU Petukangan
Utara, RPU Pulogadung, RPU Rawa Kepiting, RPU Dharmajaya Cakung dan
RPU Kartika Eka Dharma untuk kemudian dipotong. Selanjutnya, ayam potong
(karkas) tersebut dipasarkan di DKI Jakarta melalui rantai dingin. semua usaha
penampungan (100%) dan sebagian besar usaha pemotongan (93,8%) merupakan
mata pencaharian utama. Sebanyak 67,48% (TPnU) dan 65,95% (TPU) sudah
berusaha lebih dari 10 tahun. Namun demikian usaha tersebut merupakan usaha
individu yang tidak berbadan hukum dan tidak memiliki izin usaha yang legal.
Seluruh TPnU dan TPU yang disampel tidak memiliki sistem penangan limbah
padat maupun cair (Nugroho et al. 2014).
Industri penampungan dan pemotongan ayam di DKI Jakarta termasuk
dalam kategori pasar persaingan sempurna, yang dibuktikan dengan banyaknya
jumlah penampung dan pemotong di pasar bersangkutan. Selain itu, pangsa pasar
dari masing-masing pelaku usaha yang relatif kecil dan terbagi rata menunjukkan
tidak adanya pengkonsentrasian pasar pada industri tersebut. Meskipun demikian
kinerja perdagangan ayam di DKI Jakarta belum menunjukan hasil yang optimal,
terbukti dengan tingginya harga ayam di tingkat konsumen. Penyebabnya diduga
karena panjangnya rantai distribusi perdagangan ayam di DKI Jakarta, sehingga
terbentuk margin distribusi di setiap level dan harga yang terbentuk di tingkat
konsumen menjadi tidak efisien. Dengan adanya restrukturisasi perdagangan
ayam sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah No 4 Tahun 2007
tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas maka akan terjadi
perubahan struktur industri penampungan dan pemotongan ayam serta pola
distribusi ayam di DKI Jakarta (KPPU 2010).
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan sehingga
program relokasi terhambat, yaitu (1) adanya kekhawatiran dari pelaku usaha
terkait kelangsungan usahanya di masa depan setelah mengikuti relokasi, (2)
pengalaman buruk pelaku usaha yang sudah mencoba ikut dalam program relokasi,
dan (3) belum optimalnya peran pemerintah sebagai penentu kebijakan dan aturan
untuk memfasilitasi implementasi relokasi di tingkat lapangan agar berjalan
dengan baik tanpa menimbulkan goncangan khususnya kenaikan harga jual yang
8
tinggi (Nugroho et al. 2014). Berdasarkan Vangerven (2016) pemotong ayam
hidup bersama dalam satu kawasan dan membentuk komunitas. Hubungan yang
terbentuk sangat erat karena memeiliki kesamaan mata pencaharian dan
kepentingan.
Perumusan Masalah
Pertumbuhan penduduk Indonesia yang terus meningkat, kemajuan
teknologi dan industri, serta perkembangan kebutuhan hidup masyarakat akan
sumber pangan hewani yang murah dan mudah didapat menjadi faktor pendorong
berkembangnya industri RPU di Indonesia. Tantangan dan persaingan di industri
perunggasan khususnya industri RPU yang sangat dinamis, membutuhkan strategi
yang tepat.
PT Matahari Abadi Panganindo (RPU MAPAN) merupakan salah satu RPU
yang ada di Jakarta yang terletak di lokasi yang diizinkan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta. RPU MAPAN memproduksi ayam potong dengan menggunakan
rantai dingin dan memenuhi standar ASUH. Keberadaan bisnis RPU MAPAN
juga berkontribusi dalam peningkatan perekonomian masyarakat karena mampu
menciptakan lapangan kerja, sehingga RPU MAPAN perlu mendapat dukungan
untuk mengembangkan kapasitas bisnisnya lebih lanjut.
Terdapat empat manfaat apabila kita memiliki model bisnis, yaitu model
bisnis memudahkan para perencana dan pengambil keputusan di perusahaan
melihat hubungan antara komponen-komponen dalam bisnisnya, sehingga dapat
dihasilkan nilai bagi konsumen dan nilai bagi perusahaan, model bisnis dapat
dipakai untuk membantu menguji konsistensi hubungan antar komponennya, dan
model bisnis dapat digunakan untuk membantu menguji pasar dan asumsi yang
digunakan ketika mengembangkan bisnis (Prihastho dan Elvira 2016).
Model bisnis dapat dipakai untuk menunjukkan seberapa radikal suatu
perubahan dilakukan dan konsekuensinya pengembangan bisnis dapat lebih
terarah dengan adanya model bisnis. Menurut Osterwalder dan Pigneur (2015),
model bisnis merupakan dasar pemikiran tentang bagaimana sebuah organisasi
menciptakan, memberikan dan menangkap nilai. Hal tersebut dapat dijelaskannya
melalui sembilan elemen yang menggambarkan cara berfikir sebuah perusahaan
dalam menghasilkan keuntungan. Sembilan elemen yang dimaksud adalah value