8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
1/61
Draft Laporan Akhir
ANALISIS MANAJEMEN RANTAI PASOKPRODUK PERIKANAN DI KABUPATEN ROTE NDAO
(STUDI KASUS NELAYAN MOU BOX 1974)
KEMENTERIAN/LEMBAGA:
BALITBANG KEMENTERIAN PERTAHANAN
Peneliti:
1.Peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenetrian Pertahanan Republik Indonesia;
2.Peneliti pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Rote Ndao, NTT
3.Mahasiswi Pasca Sarjana pada Facuty of Environmental Science pada University of Western Australia
1.Petrus Sembiring, Tarya Adiwijaya dan Dimaz Rezamudra
2.Jermi Haning dan
3.Maria Bria
INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA
KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI
2012
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
2/61
Page | 2
INTISARI
Manajemen rantai pasok secara teoritik dilihat sebagai pendekatan filosofis untuk
menciptakan manajemen dengan fokus pada permintaan dan pasokan. Pengelolaan
rantai pasok mendorong aliran produk dan informasi/pengetahuan yang menjembatani
terciptanya hubungan ketergantungan antara para pelaku sepanjang rantai produksi,
distribusi, pengolahan, pemasaran hingga konsumsi.
Sebagai daerah kepulauan, Kabupaten Rote Ndao memiliki potensi kelautan dan
perikanan yang besar, dapat dlihat dari kontribusi sektor perikanan terhadap Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Rote Ndao yang mencapai 13 %. Namun
demikian ternyata kualitas kehidupan para nelayan masih sangat memprihantinkan,
sebagian besar masuk dalam kategori penduduk miskin. Sebanyak 67,38% dari total
115.332 penduduknya hidup sebagai petani/nelayan subsistem, dengan pendapatan
kurang dari Rp.15.000 per hari.
Salah satu penyebabnya adalah belum terlembaganya manajemen rantai pasok
produk perikanan berupa sirip hiu dan teripang yang bernilai tinggi yang diproduksi
oleh nelayan tradisional di Kabupaten Rote Ndao dari area MoU Box 1974 di wilayah
Australia. Kenyataan yang dijumpai dan dihadapi oleh nelayan tradisional sangatmemprihatinkan. Permasalahan yang dihadapi tidak saja sebatas rantai pasok seperti
hubungan patron-client antara pekerja dan pemodal, pembagian beban dan hasil yang
kurang adil tetapi juga persoalan kebijakan akses yang diwarnai oleh berbagai
kebijakan yang sangat merugikan nelayan dan dalam hal penegakan hukum.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
3/61
Page | 3
DAFTAR ISI
HalamanINTISARI ........................................................................................................... 2DAFTAR ISI ................................................................................................... ... 3
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 41.1 Latar belakang.... ...................................................................... 41.2 Pokok permasalahan.................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 72.1 Pengertian Manajemen Rantai Pasok........................................ 72.2 Kerangka analisis....................................................................... 9
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT 113.1 Tujuan ...................................................................................... 113.2 Manfaat .................................................................................... 11
BAB IV METODOLOGI ................................................................................... 124.1 Langkah penelitian... .................................................................. 124.2 Metode Penelitian....................................................................... 12
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 145.1 Pemetaan Potensi Perikanan..................................................... 145.2 Pemetaan rantai pasok............................................................... 18
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 5724. Kesimpulan ........................................................................... ..... 5725. Saran ......................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 60
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
4/61
Page | 4
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Rote Ndao yang terletak di sebelah barat daya Pulau Timor
merupakan salah satu kabupaten yang memiliki kekayaan maritim yang sangat besar
namun belum dikelola secara optimal. Dengan jumlah pulau sebanyak 102, total luas
daratan 1.280,10 km2, luas lautan mencapai 2.376 km2 dan panjang pantai mencapai
330 km, jumlah penduduk mencapai 120.861 jiwa (2011) dan sekitar 6.438 Kepala
Keluarga yang hidup dari usaha perikanan dan kelautan.
Data statistik memperlihatkan bahwa potensi perikanan mencapai 17.875
ton/tahun, dimana potensi perikanan tangkap mencapai 14.300 ton/tahun. Selain itu
para nelayan juga memiliki akses ke Australian Fishery Zone (AFZ) yang masuk dalam
wilayah MOU Box 1974 yang secara turun-temurun telah menjadi area favorit nelayan
Indonesia pergi mencari dan menangkap ikan. Area MOU Box 1974 ini kaya akan ikan
Hiu, Teripang dan Lola yang merupakan makanan favorit dan bergengsi kaum
bangsawan dan orang kaya di daratan China.
Namun demikian produksi perikanan per tahun baru mencapai 30 persen yang
terdiri dari ikan Demersal sebanyak 40 persen dan ikan Pelagis sebanyak 60 persen.
Sehingga kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) Kabupaten Rote Ndao cukup signifikan dan cenderung meningkat pada angka
sekitar 13 %. Sebagian besar kualitas kehidupan nelayan masih sangat
memprihantinkan, masuk dalam kategori penduduk miskin. Secara keseluruhan,
sebanyak 67,38% dari total 115.332 penduduknya hidup sebagai petani/nelayan
subsisten, dengan pendapatan kurang dari Rp.15.000 per hari. Efek domino yang
timbul adalah : busung lapar yang tercatat mencapai 10 anak setiap tahun, angka
kematian bayi mencapai 7,5 /1000 kelahiran hidup dan angka kematian ibu sekitar
421/100.000 kelahiran hidup.
Salah satu jawaban terhadap kondisi paradoksial ini dijumpai dalam penelitian
terhadap kehidupan ekonomi sosial yang dilakukan oleh Therik (2008) di Desa Papela
(Pusat nelayan di sebelah timur Rote) dan Carnegie (2008) di Desa Oelua (Pusat
nelayan di sebelah barat Rote) yang berargumentasi bahwa permasalahan kemiskinan
yang dihadapi oleh para nelayan di kedua kantong nelayan ini bukan hanya terletak
pada produksi/produktifitas perikanan yang rendah tetapi masih terdapat banyak
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
5/61
Page | 5
faktor lainnya seperti faktor hubungan patron-klien yang merugikan bahkan cenderung
eksploitatif yang mempengaruhi negosiasi biaya dan pembagian keuntungan di antara
pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pasok ikan. Sementara itu Fox & Sen (1999),
Stacey (1999; 2001) dan Balint (2005) cenderung menyalahkan pemerintah Australia
atas kebijakan pengelolaan perikanan di area MOU Box 1974 yang tidak hanya
membatasi pemanfaatan teknologi perikanan tetapi juga semakin memarginalkan
nelayan tradisional.
Menyadari permasalahan di atas, pemerintah daerah baik pemerintah Provinsi
NTT maupun pemerintah Kabupaten Rote Ndao telah menempuh beberapa kebijakan
untuk meringankan beban usaha para nelayan. Dengan reformasi anggaran,
pemerintah provinsi memberi hibah anggaran sebesar Rp.250 juta per desa melalui
program Desa Mandiri Anggur Merah sedangkan pemerintah kabupaten
mengalokasikan anggaran sebesar Rp.65 juta per desa melalui program Lakamola
Anan Sio untuk membantu masyarakat desa melaksanakan usaha ekonomi produktif
di sektor pertanian dan perikanan. Lebih khusus pemerintah kabupaten Rote Ndao
telah mencoba membangun komunikasi dengan pemerintah Australia untuk
mencarikan solusi yang lebih tepat dalam memberdayakan nelayan kecil Rote guna
menghindari praktek penangkapan ikan khususnya sirip hiu dan teripang yang tidak
berkelanjutan di area MOU Box 1974. Namun demikian, dari studi awal yang telah
dilakukan, diketahui bahwa pendekatan yang diadopsi oleh pemerintah belum
dilaksanakan secara komprehensif dan masih menyisahkan isu lainnya seperti isu
kelembagaan yang memungkinkan para nelayan kecil memiliki hubungan yang saling
menguntungkan dengan berbagai pihak yang terlibat dalam rantai pasok kegiatan
perekonomian di sektor perikanan dan isu pasca panen lainnya yang juga ikut
mempengaruhi produksi dan produktifitas nelayan. Sehingga studi lanjutan ini melihat
manajemen rantai pasok sirip hiu dan teripang, dua produk perikanan yang
dikumpulkan dari AFZ khususnya area MOU Box 1974 yang telah dilakukan secara
turun-temurun oleh nenek moyang nelayan Rote. Studi ini tidak melihat menejem
rantai pasok perikanan secara menyeluruh, hal ini bukan disebabkan oleh
keterbatasan waktu dan dana tetapi lebih pada upaya untuk memahami permasalahan
nelayan tradisional di Kabupaten Rote Ndao.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
6/61
Page | 6
1. 2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah pada pendahuluan di atas, maka
permasalahan yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1.2.1 Bagaimana biaya dan keuntungan dinegosiasikan diantara berbagai pelaku
yang berbeda-beda peran dan kontribusi ini mempengaruhi hubungan para
pelaku dalam rantai pasok?
1.2.2 Bagaimana faktor-faktor produksi mempengaruhi rantai pasok sirip hiu dan
teripang di Kabupaten Rote Ndao?
1.2.3 Bagaimana kebijakan pemerintah daerah kabupaten Rote Ndao dalam
memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan pengumpulan teripang
dan sirip hiu di area MOU Box 1974?
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
7/61
Page | 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Manajemen Rantai Pasok
Pemahaman tentang pengelolaan Rantai Pasok dalam agribisnis dan
agroindustri didefiniskan sebagai hubungan kerjasama antara produsen di lahan,
pengolah serta wholesale (pasar induk) atau pedagang ritel dalam memberikan
jaminan serta untuk meminimalkan biaya produksi (Brown, 2003). Manajemen rantai
pasok secara teoritik dapat dinyatakan sebagai pendekatan filosofi secara mendasar
untuk penciptaan manajemen rantai nilai (value chain management) dalam
membangun nilai yang difokuskan pada permintaan konsumen. Inti dari manajemen
rantai pasok adalah aliran produk dan informasi yang diharapkan dapat menjembatani
permintaan konsumen dan hubungan antara pelaku di dalam sistem pemasaran.
Hubungan rantai pasok diharapkan tercipta secara alamiah dan hasilnya bermanfaat
bagi pembeli dan penjual. Dengan demikian, aspek-aspek sosial seperti kepercayaan
(trust), transfer informasi, dan kemampuan belajar akan mempengaruhi kinerja,
pengembangan dan keberhasilan rantai nilai (Champion dan Fearne, 2001).
Namun demikian, sampai sekarang belum banyak lembaga yang melakukanintervensi menyeluruh pada semua rantai pasok. Kebanyakan lembaga memulai
dengan intervensi yang menitiberatkan peningkatan produksi dan perbaikan kualitas
produksi. Sebagian lembaga telah memulai melakukan intervensi untuk meningkatkan
nilai tambah secara ekonomi dengan pasca panen dan pemasaran. Sejauh yang
diketahui, belum banyak hal menggembirakan dari semua usaha-usaha tersebut.
Perbaikan dalam praktek budidaya dan peningkatan kualitas tidak diikuti dengan
peningkatan akses terhadap pasar untuk mendapatkan harga dan margin keuntungan
yang lebih baik. Pemasaran bersama yang digagas oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) mengalami pasang surut dari segi keberlanjutan bisnis dan
kebanyakan belum mandiri secara finansial.
Masalah besar yang sangat jelas terlihat adalah tidak adanya sinergi dan
keterpaduan dalam kerja di lapangan dalam rangka pembangunan pertanian yang
berkelanjutan dan peningkatan kesejateraan nelayan kecil. Sehingga dengan
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
8/61
Page | 8
pendekatan menyeluruh terhadap semua rantai (chain approach), diharapkan peta
permasalahan produksi perikanan dapat dipahami secara komprehensif dan
memungkinkan dilakukan intervensi yang lebih sistematis.
Gambar 2.1 Kerangka Rantai Pasok (Tata Niaga) Produk Perikanan
Gambar di atas merupakan skema sederhana dari rantai (tata niaga) ikan yang
terdiri dari beberapa pelaku yang terbatas. Situasi ini tentu lebih kompleks, dimana
pelaku bisa lebih banyak dan lebih panjang. Setiap pelaku dalam rantai ini memiliki
peran dan pengaruh yang berbeda baik setiap rantai/pelaku maupun dalam
hubungannya dengan pelaku/rantai lain. Peran dan pengaruh ini menentukan besaran
nilai tambah (value added) yang dinikmati oleh masing-masing pelaku.
Selain pelaku di tiap rantai, peran sistem pendukung/institusi eksternal juga
memegang peran penting dalam mempengaruhi rantai (tataniaga ikan), seperti
kebijakan pemerintah, perbankan, koperasi, lembaga keuangan, aturan perdagangan
global (WTO), dan sebagainya. Interaksi para pihak dan intitusi eksternal inilah yang
mempengaruhi kinerja rantai pasok yang berimplikasi pada besaran porsi nilai tambah
yang diterima oleh para pelaku, khususnya nelayan.
PASOK (Barang, Jasa dll)
Sistim pendukung:
1. Kebijakan pemerintah
2. Lembaga keuangan
3. Pedagang internasional
PERMINTAAN (Kredit, Informasi, Teknologi, Pasar, Dll)
Nelayan Pemilik
perahu
Pengepul/
pedagang
kecill
Pengecer/
pedagang
sedang
Pedagang
besarKonsumen
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
9/61
Page | 9
Uraian di atas sejalan dengan rincian manfaat rantai pasok yang disampaikan
oleh Champion dan Fearne (2001) yang dengan rinci mencoba membandingkan
manfaat pendekatan berbasis rantai pasok dengan pendekatan konvensional (Tabel
1). Manfaat pengelolaan rantai pasok ini dipakai sebagai kerangka analisis dalam
penelitian ini untuk menilai seperti apa pengelolaan sirip hiu dan teripang di Rote
Ndao, antara pendekatan konvensional dan rantai pasok.
Tabel 2.1 Perbandingan Pendekatan Konvensional vs Pendekatan Rantai Pasok
No
Faktor Pendekatan
Konvesional
Pendekatan Rantai Pasok
1 Pertukaran informasi Sedikit atau tidak ada Ekstensif
2 Fokus utama Biaya/harga Nilai/mutu komoditas3 Orientasi Komoditas Diferensiasi produk
4 Hubungan kekuatan Dorongan pasokan Tarikan permintaan5 Struktur organisasi Independen Interdependen6 Filosofi Keuntungan pribadi Optimasi rantai7 Titik kontak interorganisasi Sedikit Banyak8 Model operasi Taktis Strategis9 Komunikasi antar pemangku kepentingan Formal dan lambat Informal dan cepat10 Kepercayaan antara para pemangku bisnis Jangka pendek Jangka panjang
11
Difusi pengetahuan/pengalaman antar pemangku
bisnis
Rendah Tinggi
12 Pemangku bisnis di dalam sistem Banyak Sedikit13 Model organisasi Mekanistik Organik14 Visi organisasi nilai antar pemangku bisnis Berbeda, divergen Hampir setipe, konvergen (fokus)
2.2 Kerangka Analisis.
Berdasarkan Gambar 2.1. di atas, dalam esensinya terdapat empat komponen
besar yang perlu dibina dalam mengelola rantai pasok:
2.1.1 Produksi untuk menangani pembelian, manajemen operasi dan operasi
pergudangan. Pihak-pihak yang terlibat adalah petani produsen komoditas
sebagai bahan baku atau produk pangan bagi konsumen.
2.1.2 Perdagangan untuk menangani pembelian, pencarian pemasok andalan dan
distribusi bahan pangan. Pihak-pihak yang terlibat adalah pedagang ritel,
pedagang pasar induk, serta distributor.
2.1.3 Kelembagaan jasa untuk menangani pembelian, operasi dan manajemen
sistem rantai pasok. Pihak-pihak yang terlibat adalah beragam institusi jasa
termasuk bank, lembaga pembiayaan, rumah sakit, lembaga pendidikan,
lembaga penyedia jasa asuransi dll.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
10/61
Page | 10
2.1.4 Transportasi untuk menangani manajemen sistem pasok dan manajemen
lalulintas. Pihak-pihak yang terlibat adalah perusahaan jasa angkutan darat, laut
maupun udara yang memiliki kompetensi dan pengalaman terkait.
Analisis pengelolaan rantai pasok dilakukan pada ke-empat komponen di atas
untuk dapat menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dan untuk
dapat mengetahui sejauhmana pengelolaan rantai pasok di Kabupaten Rote Ndao
masuk kategori yang dibuat oleh Champion dan Fearne (2001) pada tabel 2.1. di atas.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
11/61
Page | 11
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT
3.1 Tujuan.
Tujuan dari penelitian ini adalah:
3.2.1 Untuk memahami bagaimana biaya dan keuntungan dinegosiasikan
diantara berbagai pelaku yang berbeda-beda peran dan kontribusinya
terhadap hubungan para pelaku.
3.2.2 Untuk memahami faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi
perikanan khususnya sirip hiu dan teripang di pulau Rote Ndao.
3.2.3 Untuk memahami implementasi kebijakan pemerintah kabupaten Rote
Ndao dalam memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan
pengumpulan teripang dan sirip hiu di area MOU Box 1974
3.2. Manfaat.
Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah :
3.2.1 Secara akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran terhadap masalah manajemen rantai pasok produk perikanan yang ada di
Kabupaten Rote Ndao.
3.2.2 Secara praktis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi
masyarakat khususnya nelayan serta aparat pemerintah Kabupaten Rote Ndao.
3.2.3 Dari penelitian yang dihasilkan berupa sebuah Konsep Model Pemberdayaan
Pengelolaan Rantai Pasok Produk Perikanan ( Sirip Hiu dan Teripang) di Kabupaten
Rote Ndao NTT yang dapat dipakai pimpinan (Bupati) Rote Ndao dalam pengambilan
kebijakan untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan di Kabupaten
Rote Ndao.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
12/61
Page | 12
BAB IV METODOLOGI
4.1 Langkah Penelitian
4.1.1 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama 8 (delapan) bulan yaitu mulai bulan Februari
sampai dengan bulan September 2012.
4.1.2 Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Kabupaten Rote Ndao NTT pada tiga Desa yaitu
Desa Landu, Desa Oelua dan Desa Londalusi (kampung nelayan Papela). Ketiga desa
ini adalah pusat pemukiman nelayan yang menangkap dan menjual sirip hiu dan
teripang dari MOU Box 1974 secara turun-temurun. Selain itu secara etnografis ketiga
desa ini dihuni oleh nelayan dengan latar belakang etnis yang dianggap mewakili etnis
nelayan yang ada di pulau Rote yaitu nelayan asli etnis Rote dan nelayan pendatang
etnis Bajo. Desa Landu yang merupakan pulau terpisah sekaligus terluar dan
terselatan dari pulau Rote dihuni oleh penduduk asli Rote yang bermatapencaharian
sebagai nelayan. Sedangkan Desa Londalusi terletak disebelah timur pulau Rote lebih
banyak dihuni oleh nelayan etnis Bajo. Selanjutnya Desa Oelua dihuni oleh nelayankedua etnis baik Rote maupun Bajo yang telah hidup bersama dan bekerjasama
menangkap dan menjual teripang dan sirip hiu dari MOU Box 1974.
4.2 Metode Penelitian
Penelitian studi kasus ini memakai gabungan pendekatan kualitatif dan
kuantitatif yang menekankan pada analisis diskriptif eksploratif. Gabungan dari kedua
pendekatan ini merupakan bagian dari triangulasi baik dalam hal sumber teori, teknik
pengumpulan data, sumber data dan analisis.
Pengumpulan data dilakukan melalui teknik wawancara mendalam dengan para
narasumber dan melalui proses pengamatan untuk waktu yang lama. Ada beberapa
narasumber yang diwawancarai diantaranya para nelayan, pengepul, pemerintah desa
dan pemerintah kabupaten yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Pertanyaan-
pertanyaan dalam wawancara ini bersifat terbuka sehingga lebih fleksibel dan
membuka ruang bagi tema-tema atau isu-isu baru yang muncul dalam proses
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
13/61
Page | 13
wawancara yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Meskipun riset ini bersifat induktif
empirik, pertanyaan-pertanyaan terutama dalam wawancara awal yang dibuat
diinspirasi dari konsep-konsep (teori) yang dipakai, disamping literatur-literatur
terdahulu. Pertanyaan-pertanyaan pada wawancara selanjutnya akan dikembangkan
dari temuan terdahulu (wawancara terdahulu disamping inspirasi teoritik dan literatur).
Disamping itu penelitian ini juga menggunakan data sekunder berupa laporan
penelitian menyangkut industri perikanan baik yang dikeluarkan lembaga resmi
pemerintah dan organisasi internasional maupun yang dikeluarkan lembaga penelitian
ekonomi non pemerintah. Data-data sekunder ini juga diperkaya dari sumber-
sumber lain, seperti artikel, jurnal, buku-buku dan berita.
Dalam penelitian ini proses analisis data banyak dituntun oleh kerangka teoritik
yang digunakan tetapi tidak bersifat membatasi. Untuk data numerik, proses analisis
data menggunakan metode statistik dengan formula tertentu yang sesuai dengan
tujuan dan bentuk data. Hasil penelitian diagregasi untuk diinterpretasikan
berdasarkan kerangka numerik yang dipakai. Sementara untuk data non numerik
proses analisis data melibatkan tiga prosedur utama, yakni pertama redaksi dan
refunary mendalam untuk menentukan data mana yang perlu diteliti lebih lanjut dan
mana yang perlu dibuang. Kedua, kategorisasi data berdasarkan variabel dan konsep
yang diturunkan dari teori yang dipakai. Ketiga, interpretasi data berdasarkan alur
logika teoritik yang dipakai dalam penelitian. Dalam proses interpretasi ini, penilaian
dari peneliti sangat dimungkinkan. Penilaian ini mempengaruhi proses narasi dalam
laporan penelitian.
Kepekaan teoritis dan subjective assesment peneliti menjadi faktor yang sangat
menentukan dalam proses analisis data. Secara umum dalam penelitian ini teori
menjadi panduan dalam mencari data dan interpretasi data-data tersebut. Oleh
karenanya dalam penelitian ini data atau fakta yang ditelusuri disesuaikan dengan
indikator-indikator yang dioperasionalkan dari konsep-konsep yang ada dalam teori
yang dipakai. Selanjutnya berdasarkan konsep dan katagori tematik tersebut data-data
yang telah diperoleh ini di coding dan dianalisis. Hasil analisis ini digeneralisasi untuk
memperoleh gambaran dan penjelasan umum (inference) terhadap fenomena yang
diteliti.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
14/61
Page | 14
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pemetaan Potensi Perikanan.
5.1.1 Potensi Perikanan
Kabupaten Rote Ndao sebagai kabupaten kepulauan sekaligus perbatasan,
memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar. Secara geografis, luas
perairan mencapai 2.376 KM2 (32.675 Ha untuk budidaya laut, 32.000 Ha untuk
budidaya rumput laut, 12.937 Ha untuk budidaya pantai, 127 Ha untuk budidaya
perairan dan 30 Ha untuk budidaya mutiara), garis pantai sepanjang 330 KM. Potensi
perikanan lestari sebesar17.875 ton/tahun sedangkan potensi perikanan tangkap yang
dimanfaatkan baru mencapai 6,9% dari total potensi perikanan tangkap yang
diperbolehkan sebesar 14.300 ton/tahun.
Data statistik memperlihatkan bahwa terdapat 58 desa dari total 89 desa di
kabupaten Rote Ndao, dengan jumlah nelayan mencapai 6.438 KK/23.384 dan jumlah
pembudidaya rumput laut sebanyak 9.501 KK/33.609 Jiwa. Sehingga terlihat bahwa
produksi masih sangat rendah dimana produksi ikan sebesar 29,46 kg/jiwa/tahun dan
produksi rumput laut sebesar 28,15 kg/jiwa/tahun. Rendahnya produktifitas ikan dan
rumput laut ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor budaya, metodepenangkapan, dukungan kebijakan publik dan pemasaran.
Secara kultural, masyarakat Rote lebih merupakan masyarakat daratan yang
hidup dari usaha pertanian dan budidaya lontar untuk menghasilkan gula yang
merupakan bahan makanan pokok (Fox 1977). Aktifitas yang berhubungan dengan
laut hanya sebatas pengambilan produk perikanan dan kelautan saat pasang surut,
tidak ada catatan sejarah tentang penangkapan ikan pada laut bebas. Aktifitas
perikanan mulai berkembang seiring dengan kedatangan nelayan etnis Bajo, Bugis,
dan Buton yang selain mencari ikan, juga melayani transportasi barang dan jasa antar
pulau. Hal ini terlihat dari penyebaran pusat-pusat produksi ikan yang hanya berkaitan
dengan penyebaran komunitas nelayan etnis non-Rote seperti Pepela, Oelua, Batutua
dan Oeseli. Komunitas nelayan asli Rote yang cukup produktif dijumpai pada pulau-
pulau kecil yang tidak memiliki potensi pertanian dan lontar yang cukup signifikan.
Termasuk di dalamnya adalah masyarakat di pulau Landu, Nusa Manuk, pulau Ndao,
pulau Nuse dan pulau Usu.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
15/61
Page | 15
Rendahnya produksi perikanan dan non perikanan ikut dipengaruhi oleh metode
penangkapan yang destruktif, merusak ekosistim laut yang mendukung produksi
perikanan. Maraknya penggunaan pukat harimau dan bahan kimia beracun seperti
sianida untuk menangkap masih terus berlangsung di banyak area laut. Hasil kajian
Tim Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu (2012), demikian juga hasil studi awal
yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (2012)
memperlihatkan tingkat kerusakan ekosistim laut yang cukup parah di berbagai
wilayah laut di kabupaten Rote Ndao. Hal ini diperburuk oleh pencemaran laut Timor
pada tahun 2009 yang membawa dampak luas dan besar di seluruh perairan
kabupaten Rote Ndao. Produksi ikan yang besar pada tahun 2007 dan 2008 masing-
masing sebanyak 3.170 ton dan 3.500 ton kemudian menurun drastis menjadi 2.731
ton pada tahun 2009 dan 990 ton pada tahun 2010. Demikian juga dengan produksi
rumput laut kering yang pada tahun 2009 sebanyak 6.127 ton dan tahun 2010
sebanyak 7.334 ton menurun drastis menjadi 1.512 ton pada tahun 2009 dan 946 ton
pada tahun 2010.
Kerusakan ekosistim khususnya ekosistim pesisir ini kurang didukung dengan
pengembangan perikanan tangkap untuk memaksimal hasil tangkapan pada laut lepas
yang kaya dengan sumberdaya ikan baik karena ekosistim yang masih baik maupun
yang masuk dalam jalur migrasi ikan. Data yang terkumpul memperlihatkan rasio
kepemilikan alat tangkap dan kualitas sumber daya manusia yang masih sangat
rendah khususnya pursue seine sebanyak 100 unit dengan rincian 60 unit dimiliki oleh
nelayan Rote dan 40 unit milik nelayan dari daerah lain. Dimana baru sekitar 112 awak
yang terlatih untuk 14 kapal sehingga rerata hasil tangkapan semua kapal ini
sebanyak 600 kg/kapal/hari, atau sebanyak 30% dari kapasitas tangkap yang
sejatinya.
5.1.2 Potensi Sirip Hiu dan Teripang
Sejarah penangkapan sirip hiu dan pengumpulan teripang oleh nelayan tidak
didasari oleh besarnya potensi kedua produk ini di kabupaten Rote Ndao, tetapi lebih
pada kedekatan geografis pulau Rote dengan perairan laut di sebelah utara Australia
yang dikenal dengan pulau Pasir yang memiliki potensi hiu dan teripang yang besar.
Beberapa catatan sejarah memperlihatkan bahwa nelayan-nelayan Bajo dari Sulawesi
yang mencari sirip hiu dan teripang sejak masa penjajahan Belanda selalu mampir di
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
16/61
Page | 16
Kupang dan Rote dalam perjalanan ke dan pulang dari pulau Pasir (Stacey 1999).
Seiring dengan meningkatnya harga sirip hiu dan teripang pada akhir tahun 1980-an
hingga tahun 1990-an nelayan-nelayan ini tidak saja mampir tetapi mulai berpindah ke
Rote guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas penangkapan sirip hiu dan
pengumpulan teripang.
Namun secara turun-temurun hingga sekarang masyarakat Rote
mengkonsumsi teripang yang dimakan mentah hanya dengan direndam dalam cuka
untuk beberapa jam sebelum di konsumsi dengan minum gula lontar. Konsumsi
teripang ini sangat luas, hampir oleh semua lapisan masyarakat sebelum teripang
menjadi produk perikanan yang memiliki nilai jual tinggi. Potensi teripang hampir bisa
dijumpai di seluruh perairan Rote walaupun dalam jumlah yang semakin terbatas.
Potensi teripang yang besar masih bisa dijumpai di beberpa titik di perairan sebelah
utara pulau Rote. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Rote Ndao tahun 2012 yang
dikumpulkan dari kapal-kapal luar yang mengumpulkan teripang memperlihatkan
bahwa potensi teripang masih sangat besar, namun hanya bisa dijumpai pada
perairan dengan kedalaman yang besar sehingga diperlukan ketrampilan menyelam
dan peralatan yang modern dan mahal. Sedangkan potensi teripang di sebelah
selatan seperti di sekitar pulau Landu semakin langkah. Pada tahun 2012, rerata
jumlah teripang kering yang berhasil di kumpulkan oleh seorang nelayan Desa Landu
tidak melebihi 1 kg per bulan yang dapat dijual maksimal tidak lebih dari Rp.150.000.
Potensi hiu sepanjang perairan selatan Rote cukup besar. Secara turun-
temurun nelayan Rote menangkap hiu untuk di konsumsi, namun tidak dimanfaatkan
sirip hiu seperti halnya konsumen Tionghoa. Stacey dkk (2008) dalam menggali
kearifan ekologi lokal yang bermanfaat bagi pelestarian hiu di Indonesia bagian timur
termasuk Nusa Tenggara Timur dan Rote memperkuat pengetahuan lokal masyarakat
tentang potensi hiu yang cukup besar di perairan sekitar pulau Ndana, batu Heliana
dan pulau Landu. Namun seperti halnya dengan teripang, tidak tersedia data
kuantitatif volume penangkapan sirip hiu dan teripang yang dikonsumsi oleh
masyarakat Rote.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
17/61
Page | 17
Gambar 5.1 Peta Jalur Migrasi Hiu di Pulau Rote
Berdasarkan data pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah retribusi yang
dikenakan terhadap sirip hiu dan teripang yang dikumpulkan mulai dari tahun 2008
sampai dengan tahun 2011 cenderung fluktuatif, dengan rata-rata sekitar Rp.770.125
untuk teripang dan Rp.1.958.625 untuk Srip Hiu. Jumlah pendapatan ini diperkirakan
hanya sekitar 15% dari volume hasil tangkap yang diperoleh. Diperkirakan rerata
volume hasil tangkap per tahun dapat mencapai 5.134 kg untuk teripang dan 5.223 kg
untuk sirip hiu. Dengan demikian rerata total pendapatan kotor yang diperoleh setiap
tahun dapat mencapai Rp.550 juta untuk teripang dan Rp.3,5 milyar untuk sirip hiu.
Tabel 5.1 Rincian pendapatan dari Retribusi Teripang dan Sirip Hiu (Rp.)
Jenis produk 2008 2009 2010 2011
Teripang 1.091.500 108.000 1.091.000 790.000
Sirip hiu 2.852.500 77.000 2.390.000 2.515.000
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Rote Ndao, 2012
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
18/61
Page | 18
5.2 Pemetaan Rantai Pasok.
5.2.1 Pemetaan Pelaku
Pelaku yang menjadi responden dalam penelitian ini mencakup Pemilik perahu;
Juragan (Kapten perahu) dan Anak buah perahu. Secara geografis para pelaku yang
menjadi responden di pilih dari 3 desa (dari total 49 desa pesisir) yang merupakan
sumber utama asal nelayan MOU Box 1974. Nelayan di tiga lokasi ini memiliki
keterkaitan yang erat namun memiliki karakteristik yang berbeda satu dari yang
lainnya baik dalam hal keragaman tingkat ekonomi dan sosial, livelihood, dan jenis
tangkapan hasil laut.
Pilihan lokasi ini telah dikonfirmasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda) Rote Ndao dan Dinas Kelautan dan Perikanan Rote Ndao. Dari
masing-masing desa ini dilakukan wawancara terhadap 5 orang pemilik kapal, 5 orang
juragan perahu dan 5 orang anak buah perahu sehingga jumlah keseluruhan
responden adalah sebanyak 45 orang. Wawancara lanjutan juga dilakukan dengan
Kepala Desa Landu dan Kepala Desa Oelua yang adalah juga pemilik kapal, juga
dengan 2 pengusaha/pemodal utama di Landu dan 1 pengusaha/pemodal di Pepela.
Gambar 5.2 Peta Lokasi Penelitian
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
19/61
Page | 19
5.2.1.1 Desa Landu
Desa ini terletak di Pulau Landu Kecamatan Rote Barat Daya, merupakan pulau
terselatan Indonesia. Awalnya merupakan bagian dari Desa Oebou di Kecamatan
Rote Barat Daya, kemudian sejak tahun 2011 dipisahkan dari desa induk dan
ditetapkan menjadi desa mandiri. Penduduk desa Landu sebanyak 771 jiwa, mayoritas
penduduk asli Rote yang beragama Kristen, dengan rincian: 178 Kepala Keluarga (KK)
penduduk asli, 4 KK keturunan Ndao yang beragama Kristen, 1 (KK) keturunan
Dawan beragama Kristen dan 4 KK keturunan Bajo yang beragama Muslim. Hampir
semua penduduk desa pulau ini bermatapencaharian sebagai nelayan, termasuk 5 KK
tenaga pengajar di Sekolah Dasar Landu yang juga memiliki usaha yang berbasis
perikanan, termasuk sebagai pemilik perahu yang menangkap hiu di area MoU Box
1974.
Keterlibatan nelayan Landu secara langsung dalam bisnis penangkapan hiu di
perairan Australia termasuk belum lama yaitu sekitar tahun 2005. Jauh sebelumnya
yaitu sejak tahun 1985 nelayan Landu hanya bekerja sebagai anak buah perahu pada
pemilik perahu di Pepela. Setiap tahun sebelum tiba di lokasi penangkapan hiu, para
nelayan Pepela mampir di pulau Landu untuk mengambil air minum dan juga
berlindung dari badai untuk sementara waktu. Para nelayan Pepela juga berbagi
informasi tentang bisnis sirip hiu dan teripang. Sehingga selain bekerja sebagai anak
buah perahu, sebagian terlibat dalam pengumpulan teripang di sekitar perairan Landu.
Seiring dengan meningkatannya pengetahuan nelayan Landu tentang bisnis
sirip hiu dan teripang, maka sejak tahun 1985 para nelayan Landu mulai pergi berlayar
menangkap sirip hiu tanpa melibatkan nelayan Pepela. Jumlah perahu dari pulau
Landu yang dipakai berlayar mencapai 23 unit, dengan memperkerjakan sebanyak 23
juragan dan 161 anak buah perahu, semuanya merupakan penduduk asli Landu.
Namun seiring dengan perubahan kebijakan pemerintah Australia di area MoU
Box 1974, motivasi nelayan Landu untuk menangkap hiu mengalami kemunduran
hingga berhenti total pada tahun 2007. Jumlah perahu Landu yang ditahan dan
dibakar pemerintah Australia sejak tahun 2005 hingga tahun 2007 mencapai 18 unit.
Pelanggaran utama yang menjadi alasan penangkapan dan pembakaran perahu-
perahu ini adalah pelanggaran jenis perahu yang diijinkan. Semua perahu yang
ditahan adalah perahu motor, bukan perahu layar sesuai dengan amanat MoU Box
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
20/61
Page | 20
1974. Kemunduran serupa juga dialami oleh nelayan pengumpul teripang, seiring
dengan semakin menurunnya potensi teripang di perairan Landu. Pada masa jayanya
hingga tahun 2003, jumlah teripang kering dari perairan Landu yang dapat
diantarpulaukan mencapai 1 ton per bulan, namun kemudian mengalami penurunan
hingga hanya mencapai sekitar 50 Kg per bulan pada tahun 2012.
Dampak dari kemunduran kegiatan perikanan ini terlihat dari meningkatnya
jumlah penduduk yang telah keluar mencari pekerjaan di daerah lain. Hingga tahun
2012, jumlah penduduk yang telah keluar sebanyak 176 jiwa, menyebar hampir di
seluruh Indonesia, namun sebagian besar masih bekerja pada subsektor kelautan dan
perikanan.
5.2.1.2 Desa Oelua
Desa Oelua terletak di sebelah timur laut Kecamatan Rote Barat Laut dengan
lokasi pelabuhan yang tertutup rapat oleh hutan bakau yang lebat dan luas sehingga
pantainya sangat terlindung dari amukan angin barat selama musim hujan. Penduduk
desa ini sangat beragam, baik dari aspek etnis, agama, maupun kondisi sosial dan
ekonomi. Secara umum, kehidupan ekonomi desa ini jauh lebih baik dan beragam dari
pada kondisi ekonomi nelayan di desa Landu (Carnegie 2008).
Dari jumlah penduduk 2.706 jiwa, 35,66% adalah etnis Bugis, Buton dan Bajo
yang beragama Muslim, 62,68% adalah penduduk lokal beragama Kristen dan1,66%
berasal dari daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Menariknya, Kepala Desa Oelua
adalah etnis pendatang yang beragama Muslim yang dipilih secara demokrasi oleh
penduduk Oelua.
Mayoritas penduduk beragama Muslim adalah nelayan dan pedagang sembilan
bahan pokok kebutuhan hidup sehari-hari termasuk penyedia jasa transportasi bahan
bakar minyak dari Kupang ke Sabu dan Rote. Mayoritas penduduk pendatang berdiam
di pinggir pantai di dusun Oelaba dan menguasai lebih dari 50% kegiatan
perekonomian di Oelua. Sedangkan penduduk asli lebih fokus pada kegiatan pertanian
dan pengolahan dan perdagangan gula merah antar pulau yang menciptakan
ketergantungan dengan para pemilik perahu penduduk pendatang.
Hingga tahun 2012 jumlah perahu yang layak untuk melakukan pelayaran ke
area MoU box 1974 sebanyak 12 unit, 21 unit lainnya dalam kondisi tidak layak
berlayar, 5 unit mengangkut bahan bakar minyak dan sembilan bahan pokok
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
21/61
Page | 21
kebutuhan masyarakat dari Kupang ke Sabu dan dari 2 unit dari Kupang ke Rote.
Pengangkutan bahan bakar minyak dan sembilan bahan pokok di mulai pada tahun
2009 seiring dengan semakin sulitnya para pemilik perahu untuk memperoleh juragan
dan anak buah perahu untuk belayar dan mengumpul teripang di area MoU Box 1974.
5.2.1.3 Desa Londalusi
Desa Londalusi terletak di Kecamatan Rote Timur di sebelah timur laut ujung
pulau Rote dengan kampung nelayan utama bernama Pepela. Kampung Pepela
terletak disebelah selatan teluk yang cukup terlindungi dari arah barat. Teluk Pepela
dipisah dari daerah sekitarnya oleh pantai berpasir dan hutan manggrove, dan
terumbuh karang dapat dijumpai di tengah-tengah. Lokasinya yang uniknya sangat
cocok menjadi tempat perlindungan bagi perahu kecil dari angin barat dan timur yang
kadang sangat keras.
Jumlah penduduk Londalusi mencapai 4.002 jiwa, dengan rincian penduduk
yang beragama Muslim sebanyak 46,43%, Kristen Protestan sebanyak 51,67% dan
Kristen Katolik sebanyak 1,9%. Penduduk asli beragama Kristen Prostetan,
sedangkan kaum imigran dari pulau lain umumnya adalah etnis Bajo, Buton dan Bugis
yang beragama Muslim dan Kristen Katolik. Kegiatan ekonomi penduduk Pepela
berbasis pada penangkapan ikan di laut Timor dan perdagangan yang berhubungan
dengan produk perikanan.
Di dusun Pepela sendiri terdapat perkampungan kumuh nelayan yang sedikit
terpisah ke arah timur yaitu Tanjung Pasir, yang dihuni oleh 420 jiwa atau 128 kepala
keluarga di 84 rumah. Di kampung ini terdapat 11 perahu yang melakukan pelayaran
ke area MoU Box 1974 setiap tahun dan pada bulan Juni 2012, 8 unit perahu sedang
berlayar ke/berada di area MoU Box 1974.
Tabel 5.2.1 Lokasi dan Jumlah Penduduk
Desa Penduduk RT RTM Perahu
Layar
Awak Perahu
Layar
Landu 771 187 126 - -
Oelua 2.706 605 502 27 215
Londalusi 4.002 981 523 43 209
Rote 120.861 30.046 13.366 98 535
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
22/61
Page | 22
5.2.2 Pemetaan Proses
Suatu peta rantai nilai yang komprehensif dan mencakup keseluruhan hal tidak
akan pernah ada (ACIAR 2012). Proses yang diidentifikasi dalam rantai nilai teripang
dan sirip hiu minimal terdiri dari 8 (delapan) tahapan. Empat tahapan awal yaitu
penyediaan input, penangkapan, pengolahan awal dan pengumpulan dilakukan oleh
para nelayan dan pemilik perahu di Rote, sedangkan tahapan pengolahan lanjutan,
pengiriman, pemasaran dan pengolahan akhir dilakukan di Kupang, Makasar,
Surabaya dan negara tujuan.
5.2.2.1 Penyediaan input, penangkapan, pengolahan awal dan pengepulan.
Kedua produk yang menjadi objek penelitian, yaitu sirip hiu dan teripang,
membutuhkan input yang berbeda-beda. Input yang paling utama adalah perahu,
tenaga kerja dan kebutuhan makanan dan minuman selama pelayaran. Perbedaan
keduanya adalah pada penangkapan, dimana teripang tidak membutuhkan alat
tangkap seperti halnya sirip hiu. Pengumpulan teripang dilakukan dengan tangan,
namun untuk itu dibutuhkan perlengkapan penyelaman seperti kaca mata dan lampu
penerang khusus untuk penyelaman di malam hari.
Proses selanjutnya teripang harus segera di olah sehingga dibutuhkan input
tambahan berupa alat dan kayu bakar untuk di rebus. Proses ini dilakukan terhadap
sirip hiu namun tidak dilakukan oleh nelayan tetapi dilakukan oleh pemilik rumah
makan yang menyajikan makanan. Kebutuhan input untuk pengepulan hanya berupa
neraca atau alat timbang dan karung untuk mengisi sirip hiu dan teripang yang dalam
penelitian ini tidak diperhitungkan oleh karena neraca yang dipakai telah dipakai untuk
jangka waktu yang lama dan tidak membutuhkan biaya operasional dan pemeliharaan,
sedangkan input berupa karung telah diperhitungkan ke dalam harga produk yang
menjadi tanggungan penjual.
Biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan input ini bervariasi,
tergantung pada lokasi keberangkatan. Nelayan yang berasal Oelua dan Pepela
menempuh jarak pelayaran yang lebih panjang sehingga kebutuhan bahan makanan
lebih banyak dari pada nelayan Landu. Namun demikian kebutuhan bahan makanan
ini masih juga dipengaruhi oleh jenis produk yang hendak ditangkap. Nelayan Oelua
yang mengumpulkan teripang, membutuhkan lebih banyak waktu, bisa mencapai 2
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
23/61
Page | 23
bulan, sedangkan nelayan Pepela dan Landu yang menangkap hiu hanya
membutuhkan waktu 7 – 21 hari.
Tabel 5.2.2 Perbandingan Kebutuhan Input Sirip Hiu dan Teripang
Cash Non-Cash Cash Non-Cash
1 Perahu 30.000.000 - 30.000.000 - Rp
2 Alat tangkap 7.000.000 2.000.000 - Rp
3 Waktu - 7 - 60 Hari
4 Kayu bakar - - 500.000 - Rp
Sirip Hiu TeripangNo Kebutuhan Satuan
5.2.2.2 Pengolahan Lanjutan, Pengiriman, Pemasaran dan Pengolahan Akhir.
Penelitian ini masih sebatas pada tahap pertama rantai pasok, sehingga
kebutuhan input untuk tahap yang kedua tidak dilakukan pengumpulan data primer.
Keterbatasan yang dijumpai sebagai alasan pembatasan fokus penelitian ini adalah
pada ketersediaan waktu dan biaya, dan kesulitan untuk menggali informasi harga dan
biaya pada pelaku selanjutnya setelah para nelayan.
Namun demikian, beberapa data sekunder telah dipakai dalam analisis
beberapa isu seperti harga pembelian, standar kualitas produk dan proses
pengolahan lanjutan. Informasi berharga lain seperti jaringan dan identitas pelaku
yang lebih dekat kepada konsumen masih merupakan rahasia dagang yang sulit sekali
untuk diperoleh. Sehingga pelaku yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
sebatas pelaku lokal yang berdomisili dan merupakan penduduk di Rote Ndao.
5.2.3 Pemetaan Alur Produk.
Sepanjang tahap pertama proses rantai pasok, produk yang dihasilkan masih
berupa bahan mentah yang belum banyak mengalami pengolahan dengan sentuhanteknologi. Produk yang dihasilkan pasca penangkapan hiu masih berupa sirip hiu yang
dipotong dengan menggunakan pisau dan tangan lalu dikeringkan dengan sinar
matahari. Demikian juga dengan pengolahan teripang berupa penggaraman dan
pembersihan secara tradisional menggunakan tangan dan pengeringan dengan
bantuan alam yaitu matahari.
Kenyataan ini bukan disebabkan oleh ketiadaan teknologi pengolahan, tetapi
lebih disebabkan oleh pola hubungan dan pembiayaan pelayaran yang mempengaruhi
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
24/61
Page | 24
kekuatan tawar-menawar antara para pelaku dengan pemodal pasca penangkapan.
Para pemodal memiliki kekuatan untuk menekan para pelaku untuk secepatnya
mengembalikan modal pinjaman yang telah mereka peroleh dan untuk menghindari
beban bunga tambahan yang dapat dikenakan, dipihak lain para pelaku yang telah
meninggalkan keluarga untuk waktu yang lama dibebani oleh tanggungjawab untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.
5.2.4 Pemetaan Pengetahuan dan Alur Informasi.
Hal-hal yang tak kasat mata yang terkait dengan rantai nilai, seperti misalnya
informasi dan pengetahuan, pada umumnya lebih sulit ditangkap dalam suatu peta
visual namun memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kualitas produk
dan posisi tawar-menawar produsen.
Penelitian ini menemukan bahwa ternyata informasi berharga yang
mempengaruhi produksi dan kualitas produksi tidak dimiliki oleh semua pelaku
sepanjang rantai pasok. Informasi harga sirip hiu dan teripang ditentukan sepihak oleh
pedagang perantara dari luar Rote, bahkan khusus harga sirip hiu yang berlaku saat
ini sama dengan harga tahun 2010.
Hal serupa juga berlaku dalam hal informasi dan fasilitas kredit untuk
mengadakan kebutuhan input pelayaran. Pinjaman kredit yang tersedia hanya
diperoleh dari pemodal yang setiap saat dapat diakses oleh para pelaku tanpa
prosedur yang panjang dan tidak harus menyediakan jaminan aset pribadi. Disisi lain
akses terhadap kredit yang disiapkan oleh pemerintah dan lembaga pengkreditan tidak
tersedia setiap waktu, dan harus melalui proses seleksi dan penilaian kelayakan yang
rumit dan panjang.
5.2.5 Pemetaan Volume Produk, Jumlah Pelaku dan Lapangan Kerja.
Informasi yang berhubungan dengan volume produksi jauh lebih sulit diperoleh
dari pada informasi yang terkait dengan pelaku dan ketersedian lapangan kerja.
Informasi volume produk sangat bermanfaat dalam memperkirakan permintaan pasar,
harga, potensi produk yang masih dapat digali dan nilai produk yang seharusnya dapat
dimaksimalkan. Informasi produk juga memberi indikasi informasi jumlah pelaku dan
jumlah lapangan kerja yang terserap.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
25/61
Page | 25
Data yang berhasil dikumpulkan hanya sebatas data pendapatan pemerintah
daerah yang bersumber dari retribusi yang dikenakan terhadap produk sirip hiu dan
teripang yang diantarpulaukan keluar Rote. Tidak ada data yang jelas dan spesifik per
lokasi, namun menurut Dinas Kelautan dan Perikanan, bahwa sumber retribusi sirip
hiu hanya berasal dari Pepela, sedangkan sumber retribusi teripang umunya berasal
dari Oelua yang mencapai 60% sedangkan selebihnya berasal dari desa Netenaen.
Tabel 5.2.5 Perkembangan Produksi Teripang Dan Sirip Hiu
Jenis Produk Satuan
2004 2008 2009 2010 2011
Teripang Kg 33.300 728 720 7.273 5.266
Sirip Hiu Kg 1.915 1.902 51 1.593 1.677
Sedangkan untuk informasi jumlah pelaku dan jumlah lapangan kerja diperoleh
dari jumlah pelayaran yang dilakukan oleh setiap perahu. Hampir semua perahu, baik
yang menangkap hiu maupun mengumpulkan teripang diawaki oleh minimal 7 orang
yang terdiri dari 1 juragan dan 6 anak buah perahu. Setiap tahun rata-rata terdapat 5
perahu dari Oelua yang berlayar mengumpulkan teripang dengan jumlah rerata nilai
penjualan produk mencapai Rp. 20 juta, sedangkan jumlah perahu dari Pepela yang
berlayar ke area MOU Box 1974 dapat mencapai 43 unit, dimana rata-rata 1 unit
perahu dapat melakukan pelayaran sebanyak 2 kali per tahun dengan jumlah nilai
penjualan produk dapat mencapai Rp.30 juta per pelayaran.
Peluang peningkatan produksi ke MOU Box 1974 tetap terbuka jika masalah
keterbatasan tenaga kerja dapat diatasi. Penurunan minat generasi muda yang terlihat
dari kesulitan para pemilik perahu untuk memperkerjakan juragan dan anak buah
perahu, meningkatnya peluang lapangan kerja di sektor lain dan di daerah lain yang
mendorong meningkatnya urbanisasi disertai dengan persyaratan khususnya yang
harus dimiliki seperti kemampuan menyelam yang tinggi dan kemampuan untuk hidup
terisolasi dan terputus komunikasi dengan keluarga untuk jangka waktu yang lama
merupakan beberapa fakta yang memperngaruhi persediaan tenaga kerja.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
26/61
Page | 26
Secara umum jumlah tenaga kerja yang tersedia semakin terbatas dan langka.
Dalam hal kualitatif, lebih dari 80% tenaga kerja lokal pada tahap produksi telah
berusia antara 40 hingga 50 tahun khususnya di Oelua. Sementara itu secara
kuantitatif, lebih dari 80% tenaga kerja di Oelua didatangkan dari Alor setiap tahun
dengan beban biaya tambahan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
memperkerjakan tenaga kerja lokal. Permasalahan ketersedian tenaga kerja tidak
dihadapi oleh di Pepela. Dari total 43 unit perahu layar di Pepela yang dapat berlayar
ke area MoU Box 1974, 33 unit perahu ini dikemudikan sendiri oleh pemilik dengan
rerata usia antara 30 tahun sampai dengan 40 tahun, sedangkan usia anak buah
perahu masih relatif muda, rerata usia mereka antara 20 tahun hingga 30 tahun dan
merupakan penduduk asli Pepela.
Ketersediaan tenaga kerja sangat mempengaruhi produksi. Tenaga kerja yang
berasal dari Alor jauh lebih produktif dari tenaga kerja lokal. Hal ini membuat
keuntungan yang diperoleh dengan memperkerjakan tenaga kerja asal Alor lebih
besar, namun perbedaan lokasi pemberangkatan dimana para tenaga kerja harus
datang ke Rote dan menunggu hingga kondisi laut mendukung pelayaran, maka
keuntungan lebih yang diperoleh tenaga kerja dari Alor harus dialokasikan untuk biaya
hidup selama menunggu dan termasuk biaya transportasi dari dan ke Alor.
Permasalahan kelangkaan tenaga kerja ini, merupakan wilayah privat pemilik kapal.
Tidak ada kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah untuk memasok tenaga
kerja yang termasuk langkah dan sangat membutuhkan kerampilan dan resiliensi yang
tinggi ini.
5.2.6 Pemetaan Hubungan dan Keterkaitan Antar Pelaku.
Kepercayaan dan keterhubungan memiliki kaitan yang amat erat dalam suatu
rantai nilai. Organisasi yang tidak memiliki keterhubungan tidak punya alasan untuk
saling “percaya”, sekalipun mereka bukannya “tidak percaya” pada pihak lainnya.
Sebaliknya, kepercayaan mungkin tidak penting bila terdapat mekanisme penegakan
yang memastikan terjadinya kepatuhan atas peraturan yang memayungi hubungan
(misalnya, kontrak dan regulasi hukum lainnya). Akan tetapi, bila tidak terdapat
mekanisme penegakan yang efektif, hubungan yang terjalin tanpa adanya
kepercayaan akan selalu merupakah hubungan yang lemah.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
27/61
Page | 27
Keterkaitan, yang didefinisikan sebagai hubungan sosial antara dua pihak, dapat
berperan dalam rantai nilai tertentu, misalnya usaha keluarga yang melibatkan
beberapa anggota keluarga atau kelompok keluarga yang masing-masing memiliki
tugas spesifik atau spesialisasi dalam rantai nilai (biasanya dengan tingkat
kepercayaan yang tinggi), sedangkan keterhubungan merupakan norma yang lebih
umum di kebanyakan rantai nilai (dengan berbagai derajat kepercayaan antara para
pelaku). Mulai dari sini alat ini akan berfokus pada keterhubungan dan kepercayaan.
Analisis keterhubungan mencakup tidak hanya sekedar melakukan identifikasi
atas organisasi dan pelaku mana saja yang terhubung satu sama lain, namun juga
mengidentifikasi alasanalasan terjadinya hubungan ini dan apakah keterhubungan
tersebut bermanfaat atau tidak.
Para pelaku dalam rantai nilai memiliki hubungan antara satu sama lain karena
mereka bertujuan memperoleh manfaat dari hubungan tersebut. Suatu identifikasi
adanya manfaat (atau kurangnya manfaat) juga memerlukan identifikasi hambatan
dalam meningkatkan keterhubungan dan kepercayaan di antara para partisipan rantai
nilai.
Keterhubungan dalam suatu rantai nilai kebanyakan merupakan hubungan
usaha, dan hubungan ini bisa berupa hubungan formal namun seringkali justru bersifat
informal. Hubungan informal mengacu pada ranah modal sosial (l ihat Gambar 10 pada
Alat 3), dan kepercayaan dapat memainkan peran inti dalam hubungan semacam ini.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa dalam komunitas tradisional yang dinamis,
derajat modal social dalam kegiatan usaha banyak memiliki keterhubungan yang
didasarkan pada kepercayaan.
Umunya pemilik perahu diLandu dan Oelua tidak ikut berlayar bersama dengan
juragan/anak buah kapal ke MOU Box 1974. Kadangkala beberapa pemilik perahu
turut serta berlayar dengan perahu di saat-saat pertama kali mereka memperkerjakan
juragan baru, namun disaat jumlah perahu bertambah, para pemilik perahu yang
sudah tua harus belajar mempercayai juragan yang masih muda. Untuk memastikan
keselamatan perahu dan awak kapal, biasanya juragan perahu adalah saudara atau
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
28/61
Page | 28
kenalan dekat pemilik perahu yang telah terbukti pengalamannya. Sementara itu
untuk urusan yang berhubungan dengan anak buah kapal, pemilik perahu
mempercayakan sepenuhnya kepada juragan kapal.
Hal ini berlaku khususnya jika juragan kapal berasal dari Alor dimana anak buah
perahu terkenal dengan kemampuan menyelam yang tinggi. Jika juragan adalah
bukan saudara pemilik perahu, maka biasanya anak buah kapal adalah juga kenalan
dekat juragan perahu dan/atau pemilik perahu. Khusus untukk perahu di Pulau Landu,
pada awalnya yatu sekitar tahun 2003 juragan perahu berasal dari Papela, sedangkan
anak buah kapal adalah penduduk asli Pulau Landu. Hal ini terjadi demikian karena
para juragan kapal asli Landu belum memiliki pengalaman berlayar ke MOU Box 1974.
Selanjutnya mulai sejak tahun 2005 juragan perahu direkrut dari anak buah perahu asli
Landu yang telah memiliki pengalaman melakukan pelayaran ke MOU Box 1974.
Titik penting lainnya dalam hubungan para pihak yang ada sehubungan dengan
penimbangan dan penentuan harga jual per satuan berat tertentu. Di Oelua dan
Papela penimbangan berat dan kesepakatan harga dilakukan bersama ketiga pihak
dihadapan pihak pembeli yang datang mengumpul hasil di kedua desa ini sehingga
peluang kesalahan penimbangan yang dapat menimbulkan konflik, kecurigaan dan
ketidakpercayaan dapat dicegah. Namun hal ini tidak terjadi di Landu, dimana hanya
pemilik kapal yang melakukan penimbangan dan transaksi dengan pembeli yang
berkedudukan di Kupang.
Hampir semua pemilik perahu mengakui bahwa kedekatan hubungan antara
juragan dan anak buah kapal ikut mempengaruhi tingkat kepercayaan, solidaritas
bahkan disiplin dan motivasi kerja, walaupun tidak selamanya variabel-variabel ini ikut
berdampak terhadap tingkat produktifitas. Produktifitas juga dipengaruhi oleh
kemampuan dan ketrampilan menyelam, sistim dan transparansi dalam pembagian
beban (input dan eksekusi) dan keuntungan (nilai jual hasil tangkapan).
5.2.7 Pemetaan Layanan Yang Digunakan Dalam Rantai.
Pemetaan terhadap jenis layanan yang merupakan prioritas utama yang paling
dibutuhkan berbeda-beda antar pelaku. Para juragan yang memikul tanggungjawab
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
29/61
Page | 29
utama mulai dari pengadaan anak buah perahu, hingga pengumpulan hasil dan
pengolahan awal membutuhkan lebih banyak layanan dibandingkan dengan pemilik
perahu dan anak buah perahu. Pada ketiga desa diketahui kalau para juragan melihat
pinjaman yang tidak mengikat dan tidak terlalu tingginya adalah prioritas mereka diikuti
dengan kebutuhan akan informasi harga dan pembeli yang terkini. Kesulitan
memperoleh anak buah perahu yang dapat diandalkan untuk mengumpulkan hasil
lebih banyak disuarakan oleh juragan dan juga pemilik perahu di Oelua.
Sedangkan kebutuhan yang berhubungan dengan jaminan kepastian
sehubungan dengan ketiadaan garis batas di laut yang memberi kepastian batas area
MOU Box 1974 diangkat oleh ketiga pihak dari ketiga desa. Penggunaan alat bantu
GPS (Geographic Positioning System) dapat membantu, namun sering terjadi selisih
pendapat dengan petugas Australia dengan hasil akhir para nelayan harus mengalah
dan menjadi korban kepada keputusan sepihak yang diambil oleh para petugas.
Informasi abu-abu semacam ini perlu dibuat jelas dan apabila dirasa terjadi
pelanggaran, maka pemerintah Indonesia wajib mengetahui pada kesempatan
pertama sehingga tidak menimbulkan kesimpangpiuran bagi keluarga yang ditinggal.
Kebutuhan akan fasilitasi pembelian produk oleh pemerintah disuarakan hampir
oleh semua pihak di ketiga desa. Para nelayan merasa pemerintah perlu ikut
memfasilitas pembelian hasil tangkapan para nelayan sehingga taksiran kualitas dan
harga tidak dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang oleh pengumpul
dan/atau pemilik modal.
Dalam prakteknya pengadaan GPS dilihat sebagai bagian tidak terpisahkan dari
kapal/perahu sehingga biaya pengadaannya ditanggung seutuhnya oleh pemilik kapal.
GPS sangat mempengaruhi produksi, membantu nelayan untuk berlayar mengikuti
pergerakan ikan tanpa kuatir melanggar garis batas yang telah ditetapkan sehingga
kepemilikan GPS menjadi salah satu faktor pertimbangan juragan dan anak buah
perahu dalam memilih kapal/perahu yang akan mereka pakai dan dalam mengambil
keputusan sehubungan dengan waktu pelayaran.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
30/61
Page | 30
5.2.8 Pemetaan Tata Kelola: Koordinasi, Regulasi dan Kendali
Analisis tata kelola dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi dan memahami
berbagai aturan yang mendukung rantai pasok, serta sistem koordinasi, regulasi, dan
kendali yang berjalan saat terbentuknya nilai dalam suatu rantai (Gereffi, G., J.
Humphrey, et al. 2003).
Tata kelola rantai pasok sirip hiu dan teripang mengacu pada aturan-aturan
“resmi” yang terkait dengan keluaran serta berbagai syarat penting untuk berkompetisi
dalam perniagaan yang mempengaruhi struktur produksi (Tabel 5.2.8). Dalam
prakteknya ternyata tata kelola yang terbangun tidak berdasarkan aturan-aturan resmi
yang dipahami dan menjadi pengetahuan publik. Kebutuhan akan sirip hiu dan
teripang memperlihatkan peningkatan dari tahun ke tahun, namun bisnis ini masih
belum di atur secara resmi. Pada level pemerintah daerah, telah dikeluarkan
Keputusan Bupati Rote Ndao Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan peraturan
daerah kabupaten Rote Ndao Nomor 34 2004 tentang Retribusi pelaksanaan izin
pengumpulan dan pengeluaran hasil kelautan dan perikanan, namun tatakelola
kegiatan pengumpulan, pengeluaran dan harga beli diserahkan kepada mekanisme
pasar. Tidak ada aturan hukum yang memberi perlindungan kepada nelayan, demikian
juga tidak ada mekanisme dan informasi pasar yang difasilitasi oleh pemerintah.
Sejatinya dengan adanya peningkatan permintaan di satu sisi dan penurunan
potensi di pihak lain, kompetisi semakin kuat sehingga posisi pelaku pada level
produksi semakin kuat, namun ternyata posisi tawar-menawar produsen masih lemah.
Hubungan kerja antara juragan dan anak buah perahu dengan pemilik perahu bersifat
informal, tidak ada kontrak tertulis yang menjelaskan hak para pekerja dan kewajiban
pemilik perahu. Hal serupa juga ditemui dalam hubungan Hubungan kerja antara
juragan dan anak buah perahu dengan pemilik perahu bersifat informal, tidak ada
kontrak tertulis yang menjelaskan hak para pekerja dan kewajiban pemilik perahu.
Dalam hal upah, sebagai contoh, tidak ada kepastian jumlah minimal yang akan
diperoleh juragan dan anak buah perahu, demikian pula bila terjadi kecelakaan kerja
yang dapat menyebabkan cacat fisik bahkan kehilangan nyawa. Hal serupa juga
ditemui dalam hubungan antara para pemilik perahu dengan pemodal yang sekaligus
berperan sebagai pembeli/pedagang.
Persyaratan sederhana seperti kualitas produk, ukuran, warna tesktur
ditetapkan oleh pemodal/pembeli, namun karena posisi tawar-menawar juragan dan
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
31/61
Page | 31
anak buah perahu yang lemah dalam menentukan grade produk yang dijual sehingga
insentif untuk memproses produk guna meningkatkan nilai jualnya hampir tidak ada.
Hal ini diperburuk oleh asimetri informasi yang berhubungan dengan pembeli alternatif
dan ketiadaan upaya untuk mengorganisir para pemasok membuat para pelaku pada
level produksi tidak memiliki pilihan lain selain segera menjual produk yang termasuk
kategori mudah rusak.
Tabel 5.2.8a Peraturan dan Standar yang Mempengaruhi Rantai Pasok
Jenis Contoh Pemberlakuan dan Sanksi Praktek
Standar resmi
“legal”
Larangan penggunaan bahan
pengawet berbahaya
Larangan atas produk yang tidak
memenuhi syarat yang ditetapkan pasar
tujuan
Tidak ada
Standarsukarela
Persyaratan produksi untuksertifikasi dan pelabelan organik
Tidak diperolehnya sertifikasi ataupelabelan nilai-tambah
Tidak ada
Persyaratan
atau Norma
Komersil
("Aturan
dagang")
Persyaratan produk yang kasat
mata seperti misalnya volume,
ukuran, warna, komposisi, atau
tingkat kesegaran, yang dapat
dibukukan maupun yang tidak
Penolakan produk di tempat yang
dilakukan oleh pembeli pada saat
pengiriman atau pengumpulan, atau
pengurangan harga bagi penjual
(downgrading)
Ada
Salah satu regulasi lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Rote Ndao
adalah Keputusan Bupati Rote Ndao nomor 119 tahun 2004 tentang pelaksanaan
peraturan daerah kabupaten Rote Ndao nomor 34 tahun 2004 tentang retribusi izin
pengumpulan dan pengeluaran hasil kelautan dan perikanan, yang menetapkan
jumlah retribusi yang harus dibayarkan oleh pengepul/pembeli teripang dan sirip hiu
(Tabel 5.2.8b). Namun pelaksanaanya secara teknis dalam taksasi volume dan jenis
dan transaksi keuangan tidak dilakukan pemisahan sebagaimana mestinya, para
pembeli lebih cenderung melakukan penyeragaman yang mempermudah taksasi
namun dapat merugikan nelayan dan pemerintah daerah.
Tabel 5.2.8b Retribusi Teripang dan Sirip Hiu
No Jenis Teripang Biaya (Rp.) No Jenis Sirip Biaya (Rp.)
1 Teripang nenas 5.000 1 Sirip hiu tiger (super) 25.000
2 Teripang susu/koroh 5.000 2 Sirip hiu tiger (non super) 10.000
3 Teripang batu 1.000 3 Sirip hiu putih (super) 20.000
4 Teripang kunyit 1.000 4 Sirip hiu putih (non super) 15.000
5 Teripang ketimun 1.000 5 Sirip hiu bingkung (super) 10.000
6 Teripang cera 500 6 Sirip hiu bingkung (non super) 7.500
7 Teripang polos 2.500
8 Teripang bintik 2.500
2.500 7 Sirip hiu kepel
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
32/61
Page | 32
Dari hasil wawancara maupun pengamatan hampir semua pemilik
kapal/perahu, juragan dan anak buah perahu tidak menganggap keberadaan pungutan
hasil laut sebagai beban tambahan bagi usaha perikanan yang mereka geluti.
Permasalahan muncul disaat para nelayan berusaha untuk memperoleh pelayanan
perijinan pelayaran yang seringkali harus membuat para nelayan menunggu untuk
waktu yang lama. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata kualitas pelayan publik
telah mengalami perubahan dan perbaikan yang signifikan, kebanyakan nelayan telah
memperoleh pelayanan yang jauh lebih baik, lebih mudah dan terjangkau.
5.2.9 Pemetaan nelayan
5.2.9.1 Karakter rumah tangga dan perumahan nelayan
Karakter rumah tangga dan kondisi perumahan nelayan pada ketiga lokasi
penelitian sangat beragam. Khusus juragan dan anak buah perahu dapat dikatakan
bahwa umumnya nelayan Pepela berasal dari pemukiman di Tanjung Pasir dengan
rata-rata usia anak buah perahu dibawah 30 tahun sedangkan rata-rata usia juragan di
atas 45 tahun, nelayan Oelua juga termasuk masih muda antara 20- 30 tahun, namun
sebagian besar berasal dari Alor, nelayan asli baik sebagai juragan maupun anak
buah perahu umumnya berusia di atas 45 tahun. Hal serupa juga dijumpai pada anak
buah perahu nelayan Landu yang cenderung masih muda, dan belum membentuk
rumah tangga sendiri.
Dari 15 anak buah perahu yang diwawancara, hanya 26,6% yang pergi berlayar
ke Mou Box 1974 pada tahun 2011, sebagian besar lainnya memilih melakukan
pekerjaan lain. Secara psikologis, anak buah perahu yang masih muda cenderung
memiliki rasa tanggungjawab yang kurang, hal ini terlihat dari struktur pengeluaran
yang lebih banyak dipakai untuk memenuhi kebutuhan sendiri seperti untuk membeli
rokok, dan handphone. Selama mereka melakukan pelayaran ke dan dari MoU Box
1974 dan selama melakukan penangkapan dan pengumpulan sirip hiu dan teripang
pengeluaran untuk rokok dapat mencapai 35% dari pendapatan bersih yang mereka
peroleh pasca transaksi keuangan di darat. Pengeluaran besar berikutnya adalah
makan dan minum yang dapat mencapai 20% pendapatan, sehingga penghasilan
bersih hanya sekitar 45%, namun karena kebanyakan anak buah perahu telah terikat
hutang dengan pemodal, maka penghasilan yang dapat dibawa pulang tidak lebih dari
20%. Pengeluaran yang cenderung destruktif dan konsumtif ini dipengaruhi oleh
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
33/61
Page | 33
tingkat pendidikan nelayan, baik juragan dan anak buah perahu yang kurang dari 50%
hanya menamatkan pendidikan dasar setingkat Sekolah Dasar (6 Tahun).
Cerminan tingkat pendidikan dan pendapatan dapat dilihat dari kondisi fisik
perumahan nelayan baik juragan maupun anak buah perahu dimana lebih dari 90%
termasuk kategori rumah tidak layak huni khususnya di Pepela. Kondisi perumahan
yang sedikit lebih baik dijumpai di Landu, sekitar 40% termasuk rumah layah huni,
sedangkan perumahan nelyan di Oelua adalah yang terbaik. Namun demikian seperti
halnya komunitas nelayan dan penduduk Rote pada umunya, lebih dari separuh
perumahan penduduk masuk katergori rumah tidak layak huni. Perbedaan kondisi
perumahan ini dapat dijelaskan seara kultural, berdasarkan etnis penduduk pada
ketiga lokasi dimana lebih dari 90% penduduk Pepela terutama Tanjung Pasir berasal
dari etnis Bajo, lebih dari 97,86% penduduk Landu berasal dari etnis Rote dan kurang
dari 10% penduduk Oelua berasal dari etnis Bajo. Secara kultural, nelayan etnis bajo
lebih memilih untuk hidup dilaut, diantara pulau-pulau dan berpindah kemana ikan
berpindah (Stacey 1999). Sebaliknya penduduk Rote lebih memiliki identitas geografis
darat yang sangat kuat, sehingga nelayan Rote tidak dicatat dalam sejarah dalam hal
penangkapan ikan di laut lepas (Fox 1998). Inilah alasan kepemilikan aset tetap
seperti rumah dan tanah di daratan tidak merupakan prioritas investasi nelayan etnis
Bajo, sebaliknya aset tetap dapat dipandang sebagai penghambat mobilitas
mereka.Ukuran yang lebih tepat untuk mengukur kepemilikan aset etnis Bajo adalah
pada kapal/perahu dan alat tangkap yang dimiliki, termasuk di dalamnya status Haji
khususnya bagi etnis muslim Bajo.
5.2.9.2 Tenaga Kerja
Penggunaan tenaga kerja mengalami dinamika seiring dengan penguasaan
pengetahuan pelayaran, jenis tangkapan, dan jenis alat tangkap. Pada awalnya
tenaga kerja khususnya yang berperan sebagai Juragan di Pulau Landu adalah anak
buah perahu dari Pepela yang telah memiliki pengalaman berlayar ke MOU Box 1974.
Peluang ketiadaan pengalaman nelayan Landu dimanfaatkan oleh anak buah perahu
dari Pepela, dari anak buah perahu dengan hak dan kewajiban yang kurang kemudian
menjadi juragan yang diapresiasi lebih. Kondisi ini bertahan selama dua tahun yaitu
mulai sejak tahun 2003 hingga tahun 2004. Selanjutnya semenjak tahun 2004 hingga
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
34/61
Page | 34
tahun 2007 anak buah perahu asal Landu yang telah memahami kondisi dan jalur
pelayaran dapat mengisi jabatan sebagai juragan.
Kondisi serupa juga terjadi di Oelua dimana terdapat ketergantungan terhadap
tenaga kerja dari luar khususnya dari Alor semakin tinggi. Adalah nelayan Oelua yang
secara turun-temurun memperkerjakan tenaga kerja lokal sebagai anak buah perahu
dan juragan. Namun kondisi ini mulai berangsur-angsur bergeser semenjak 16 tahun
lalu seiring dengan semakin langkahnya teripang pada area yang dangkal yang dapat
dikumpulkan tanpa membutuhkan banyak kerja keras khususnya kemampuan
menyelam yang tinggi. Seiring dengan perubahan tingkat pendidikan generasi muda di
Oelua dan terbukanya peluang kerja di sektor lain di tempat lain yang lebih baik,
jumlah tenaga kerja lokal yang mampu dan mau berlayar ke area MOU Box 1974
semakin berkurang. Inilah yang mendorong pemilik perahu untuk beralih mencari
tenaga kerja dari Pulau Alor. Tenaga kerja asal Alor terkenal dengan kemampuan
menyelam yang sangat tinggi. Abraham, seorang anak buah perahu yang bekerja
untuk Kepala Desa Oelua, menuturkan bahwa di usianya yang ke 49 ia masih memiliki
kemampuan untuk menyelam hingga kedalaman 30-40 depa. Kemampuan ini hampir
tidak dapat disamai oleh penyelam asal Oelua.
Namun karena keterbatasan tenaga kerja asal Alor, maka pelayaran ke MOU
Box 1974 tergantung dari kesedian dan kemampuan pemilik kapal untuk membayar di
muka termasuk membayar biaya transportasi dan akomodasi tenaga kerja dari Alor ke
Rote. Hingga akhir Juni 2012, baru 4 perahu dari total 10 perahu yang layak berlayar
yang sedang mempersiapkan diri untuk pergi berlayar dengan rincian 3 perahu
memperkerjakan tenaga kerja asal Alor dan 1 perahu yang memakai tenaga kerja
lokal. 6 perahu lainnya belum jelas waktu pelayaran bahkan kemungkinan besar
mereka tidak akan berlayar. Alasan inilah yang terjadi dengan pemilik perahu yang
juga Kepala Desa Oelua dimana selama tahun 2010 dan 2011 perahunya tidak
berlyar. Ia baru bisa memberangkatkan perahunya setelah ia berhasil memperkerjakan
anak buah perahu dan juragan asal Alor pada tahun 2012 ini. Jika kondisi ini tidak
mengalami perubahan, maka sangat mungkin bagi 6 perahu tersebut di atas untuk
menyusul 21 perahu lainnya yang tidak lagi berlayar ke MOU Box 1974 karena
kesulitan tenaga kerja.
Kesulitan yang di alami oleh para pemilik perahu di Oelua tidak terjadi di
Pepela. Selain sebagai pusat pemukiman nelayan asal Bajo, target tangkapan nelayan
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
35/61
Page | 35
Pepela adalah sirip hiu, bukan teripang sebagaimana halnya nelayan Oelua.
Perbedaan ini ikut mempengaruhi jumlah tenaga kerja yang layak untuk diperkerjakan.
Penangkapan hiu dengan menggunakan longlines membutukn sedikit tenaga dan
kemampuan menyelam yang tidak harus tinggi seperti halnya dengan pengumpulan
teripang. Perbedaan target ini juga mempengaruhi waktu pelayaran pergi dan pulang,
dan waktu menangkap/mengumpulkan hasil di MOU Box 1974. Rerata waktu yang
dibutuhkan untuk berlayar dan menangkap hiu hanya selama 21 hari, sementara itu
waktu yang dibutuhkan untuk berlayar dan mengumpulkan teripang dapat mencapai
56 hari. Hal lainnya berhubungan dengan kuatnya hubungan patron-client di Pepela
yang selain menyediakan solusi berupa bantuan finansial bagi nelayan disaat mereka
membutuhkan, juga sekaligus bersifat mengikat dan memaksa para nelayan untuk
pergi berlayar guna melunasi hutang pinjaman yang diberikan oleh pemilik modal. Di
Pepela terdapat 5 bos pemilik modal sekaligus sebagai pedagang sirip hiu dan pemilik
perahu yang ikut berperan besar terhadap penangkapan hiu. Hal ini yang
menyebabkan perbedaan dinamika pelayaran ke area MOU Box 1974 antara nelayan
Pepela dan nelayan Oelua.
5.2.9.3 Biaya Pelayaran dan Pengaturan Kredit
Untuk memenuhi biaya perjalanan baik berupa bahan bakar, bahan makanan,
alat tangkap dan biaya lainnya, para nelayan yaitu juragan dan anak buah
memperoleh pinjaman dari pihak lain baik itu dari pemilik kapal maupun dari pihak lain
pemodal yang nantinya akan membeli kembali hasil tangkapan yang akan dibawa
pulang. Tergantungan pada pinjaman dalam masyarakat perikanan terkait erat dengan
produktifitas perikanan sehingga Alexander (1982:58) mengatakan bahwa “puncaknya
sangat tajam dan lembahnya sangat dalam” yang artinya pendapatan para nelayan
yang berada di bawah lembah sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan besar
seperti pendidikan, ritual siklus hidup, pesta keagamaan, peralatan tangkap dan
pemeliharaan perahu. Sehingga para nelayan berhadap pada kredit untuk memenuhi
semua kebutuhan tersebut. Selain itu bahwa cara lain untuk memperoleh kredit dari
bank sangatlah tidak mudah bagi mereka karena aset mereka tidak cocok menjadi
jaminan, atau juga karena domisili mereka yang tidak memberi kepastian.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
36/61
Page | 36
Di Landu terdapat dua bos besar yang memberi pinjaman kepada para nelayan
di 18 perahu. Pinjaman yang diberikan mencapai Rp.5 juta untuk sekali perjalanan dan
bebas dari bunga. Sebagian besar pinjaman ini dipakai untuk membeli bahan bakar
mesin perahu, sedangkan biaya lainnya jauh lebih sedikit karena waktu perjalan dan
pengumpulan hasil disana yang relatif singkat yaitu 6 hari perjalanan pergi pulang dan
dua hari mengumpul hasil. Kewajiban para nelayan dan pemilik perahu adalah menjual
hasil (sirip hiu) kepada pemodal dengan besaran harga yang ditentukan sendiri oleh
pemodal. Selanjutnya pemodal yang akan menjual hasil tangkapan ke pembeli di
Kupang, sehingga harga hasil tangkapan hanya diketahui oleh pemodal sendiri.
Di Oelua terdapat sekitar 10 pemilik perahu yang masih aktif ke MOU Box 1974
yang juga bertindak selaku pemodal pelayaran, namun kadang-kadang pembeli dari
Kupang langsung membiayai biaya pelayaran. Pinjaman yang diberikan dapat
mencapai Rp.8 juta yang sebagian besar dipakai untuk ransom, kayu bakar,
kebutuhan makanan/minuman, dan merokok. Pinjaman dikembalikan bersama dengan
10% bunga setelah hasil tangkapan (teripang) dibeli oleh pembeli dari
Kupang/Surabaya/Makasar yang datang ke Desa Oelua untuk membeli sendiri dengan
harga yang diketahui bersama oleh juragan/anak buah kapal dan pemilik kapal.
Di Desa Papela terdapat 2 bos yang membiayai hampir semua biaya pelayaran
43 perahu yang melakukan pelayaran ke area MoU Box 1974. Kedua bos ini adalah
juga pembeli yang memberi pinjaman tanpa syarat bahkan jauh sebelum para nelayan
melakukan pelayaran. Setiap saat para nelayan baik juragan maupun anak buah
perahu mengalami kesulitan keuangan dan membutuhkan pinjaman yang cepat, maka
kedua bos ini adalah tempat pelarian yang cepat memberi bantuan. Pinjaman yang
diberikan bervariasi, dapat mencapai Rp. 1,5 juta kemudian diberikan hingga dapat
mencapai Rp.2,5 juta per orang saat para nelayan memutuskan untuk melakukan
pelayaran. Tidak ada bunga yang dikenakan terhadap pinjaman yang diberikan,
namun disinilah letak posisi tawar-menawar pemodal saat dilakukan taksasi volume,
kualitas dan harga hasil tangkapan nelayan, pemodal adalah juga pembeli hasil
tangakapan nelayan.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
37/61
Page | 37
Tabel 5.2.9 Perbandingan Jenis Produk, Sumber Pinjaman dan Penentuan Kualitasdan Harga.
Lokasi Produk Sumber Pinjaman Besar
Pinjaman
Bunga
(%)
Penentuan
Kualitas &
Harga
Landu Sirip hiu Pemodal 8.000.000 0 Pemodal
Oelua Teripang Pemilik kapal 5.000.000 10 Bersama
Papela Sirip hiu Pemodal 0 Pemodal
5.2.10 Karakter Perahu dan Alat Tangkap.
5.2.10.1 Kondisi Perahu
Sesuai dengan Amanat MOU 1974 perahu yang digunakan oleh para nelayan
adalah perahu tradisional, yang tidak mengikuti perkembangan teknologi yaitu perahu
kayu yang digerakan dengan tenaga angin. Perahu yang dimaksud adalah perahu
layar, bukan perahu yang digerakan oleh mesin motor. Pembatasan ini sejalan dengan
definisi tradisional yang dianut dalam MOU Box 1974 yang secara garis besar
mengatakan bahwa akses dan penangkapan produk perikanan di MOU Box 1974
diberikan kepada semua nelayan yang secara turun-temurun konsisten dalam
menggunakan perahu kayu yang digerakan oleh angin.
Namun karena berbagai alasan seperti faktor cuaca dan demi efektifitas dan
efisiensi biaya dan waktu perjalanan ke dan pulang dari Mou Box 1974, sehingga
sampai dengan tahun 2012, masih terdapat beberapa nelayan yang mencoba untuk
memakai perahu bermotor. Secara umum, jumlah perahu yang menyimpang dari
kesepakatan ini terus mengalami penurunan sebagai akibat dari semakin gesitnya
aparat pemerintah Australia menempuh kebijakan tangkap, tahan dan bakar.
Dari ketiga lokasi penelitian, diketahui bahwa biaya pembangunan perahu
tradisional yang menggunakan layar jauh lebih rendah dari pada biaya yang
dibutuhkan untuk dapat memiliki perahu motor. Rerata harga perahu layar pada tahun
2012 dapat mencapai Rp. 50 juta, sedangkan perahu motor dapat mencapai Rp.60
juta. Perbedaan biaya yang paling utama terdapat pada penggunaan mesin motor
yang pada umumnya berkekuatan 26 PK. Seorang pemilik perahu di Landu - perahu
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
38/61
Page | 38
motornya dibakar oleh pemerintah Australia pada tahun 1996 – membeli perahunya
sebesar Rp.95 juta dengan kekuatan mesin sebesar 52 PK.
Tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memiliki perahu motor, ikut
mempengaruhi kepemilikan dan pemilik perahu di ketiga lokasi penelitian. Di Landu
jumlah kepemilikan perahu hampir merata, terdapat 2 pemilik modal yang memiliki 6
perahu sedangkan selebihinya hanya memiliki 1 perahu. Kondisi serupa juga ditemui
di Oelua dimana jumlah rerata kepemilikan perahu cukup merata yaitu 1 perahu per
orang, sedangkan seorang pemiliki modal yang saat ini telah berubah fungsi menjadi
transportasi barang dan jasa memiliki 3 perahu. Kondisi sosial ekonomi kedua lokasi
ini berbeda jauh dari kondisi kepemilikan perahu di Pepela, dimana lebih dari separuh
perahu dimiliki oleh 2 pemodal besar.
Jumlah perahu motor di Landu telah mengalami penurunan yang cukup drastis
dari 23 unit pada tahun 2005 menjadi 5 unit pada tahun 2012. Pengurangan ini adalah
sebagai akibat langsung dari kebijakan penahanan dan pembakarann perahu oleh
aparat pemerintah Australia yang mencapai 37 unit antara tahun 2004 dan 2006. Di
Oelua jumlah perahu yang masih bisa berlayar ke area MOU Box 1974 sebanyak 12
unit, atau mengalami pengurangan sebanyak 27 unit secara berangsur-angsur
semenjak tahun 2005 yang disebabkan oleh ketiadaan tenaga kerja (21 unit) dan
perubahan peruntukan yaitu menjadi pengangkut bahan bakar minyak dan sembilan
bahan pokok kebutuhan rumah tangga, dan 48 unit yang dibakar oleh pemerintah
Australia. Keadaan serupa juga dialami oleh pemilik perahu di Pepela. Jumlah perahu
yang dimiliki oleh nelayan Pepela yang berlayar ke MOU Box 1974 mengalami
penurunan yang cukup drastis menjadi 43 unit pada tahun 2012, dimana 170 unit
dibakar oleh pemerintah Australia antara tahun 2005 hingga tahun 2012 sebanyak 250
unit, selebihnya rusak karena usia dan karena dijual ke daerah lain. Sehingga secara
keseluruhan, jumlah perahu yang telah ditahan dan dibakar oleh pemerintah Australia
dari ketiga lokasi antara tahun 2005 dan 2012 sebanyak 250 unit.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
39/61
Page | 39
Gambar 5.2.10.1 Perahu Tradisional yang Digunakan Nelayan
5.2.10.2 Alat tangkap
Penggunaan alat tangkap hanya berlaku bagi nelayan Landu dan Pepela yang
menangkap hiu, sedangkan untuk nelayan Oelua yang hanya mencari teripang,
mereka melakukan pengumpulan teripang dengan menggunakan tangan kosong.
Penggunaan alat tangkap hiu telah mengalami perkembangan dan perubahan
sebagai respon terhadap potensi hiu dan perubahan kebijakan area penangkapan
dengan karakteristik fisik perairan yang berbeda. Secara turun-temurun para nelayan
menangkap hiu dengan menggunakan tali pancing yang dipegang oleh tangan dan
bubu namun sejak pemberlakukan amendemen tahun 1989 terhadap MOU Box 1974
peralatan tangkap yang dipakai mengalami penyesuaian.
Sekitar tahun 1991 setelah sistim penjualan sirip hiu langsung dilakukan
dengan pembeli yang berbasis di Papela, nelayan Pepela beralih memakai alat
tangkap yang dikenal dengan istilah longline (Gambar 5.4). Hal ini dilakukan setelah
mereka mengetahui dari seorang nelayan Bajo yang sukses menggunakan longlines.
Cerita ini mendorong mereka meninggalkan alat tangkap yang lama. Faktor
pendorong lainnya yang menyebabkan para nelayan Pepela tertarik untuk belajar
teknik penangkapan yang baru ini adalah karena semakin berkurangnya sumberdaya
sedentary sebagai akibat dari kelebihan eksploitasi di area MOU Box 1974, dan
tingginya harga sirip hiu. Proses pembelajaran ini berlangsung antara tahun 1991 dan
1993.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
40/61
Page | 40
Adopsi longlines juga adalah bagian dari respon terhadap amendement MOU
Box 1974 pada tahun 1989. Dengan adanya amendemen, maka para nelayan
kehilangan akses akan sebagian besar area hiu sepanjang air dangkat berwarna putih
di Sahul Shelf yang berada di luar area MOU Box 1974 tetapi masih merupakan
bagian dari perairan Australia. Para nelayan terpaksa harus mencari di perairan yang
dalam di area MOU Box 1974 dan di bagian utara. Penggunaan longlines
dimungkinkan dengan adanya kredit untuk membiaya peralatan yang baru. Namun
demikian hal ini justru menimbulkan beban finansial dan hubungan yang semakin tidak
berimbang antara para nelayan dan para pemodal.
Gambar 5.2.10.2 Longlines untuk Menangkap Hiu.
Dari hasil wawancara dengan beberapa nelayan di Tanjung, Pepela diketahui
bahwa biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan satu set longline dapat mencapai Rp.
7 juta. Biaya ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik perahu. Adapula kesepakatan
bahwa apabila dalam pemanfaatannya saat para nelayan menangkap hiu di MOU Box1974, terjadi kerusakan melebih 10%, maka biaya pergantian ditanggung bersama
antara pemlik perahu, juragan dan anak buah perahu. Sehingga terlihat jelas bahwa
ketersediaan jenis dan jumlah alat tangkap sangat mempengaruhi motivasi para
nelayan dan produktifitas penangkapan secara keseluruhan.
8/18/2019 Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk Perikanan di Rote
41/61
Page | 41
5.2.11 Pemetaan Produk Tangkapan
5.2.11.1 Pemetaan Kualitas
Ukuran fisik dan jenis adalah hal pertama yang menentukan harga jual sirip hiu
maupun teripang. Namun seiring dengan perubahan kebijakan di area MoU box 1974,
maka kualitas tangkapan berdasarkan karakter jenis dan ukuran yang memiliki nilai
jual tinggi semakin berkurang. Untuk memaksimalkan efektifitas pelayaran, maka
penangkapan dilakukan siang dan malam hari, saat air laut pasang dan surut bahkan
kadang di dalam dan di luar area MoU Box 1974.
Pengumpulan teripang umunya dilakukan selama air pasang surut khususnya
bagi anak buah perahu yang secara fisik lemah, namun jumlah teripang di area ini
semakin berkurang, dan termasuk kategori teripang dengan nilai jual rendah dan
ukuran yang kecil. Teripang yang dikumpulkan saat pasang surut seperti teripang
coklat, cerak, koro batu, bintik dan loreng; sedangkan teripang yang hanya bisa
dikumpulkan dengan cara menyelam adalah yang memiliki ukuran fisik besar dan nilai
jual tinggi, seperti teripang koro batu, koro susu, nanas, duyung dan bintik polos.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rote
Ndao (2012), diketahui bahwa hampir 80% jumlah teripang yang dikumpulkan di area
MoU Box 1974 maupun di perairan sekitar Rote termasuk kategori teripang bintik,
sedangkan s