ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP KARANG Acropora spp., Hydnopora rigida, DAN Pocillopora verrucosa YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU KELAPA, KEPULAUAN SERIBU SUDONO ISWARA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
77
Embed
ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN … · ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP KARANG Acropora spp., Hydnopora rigida, ... Usaha Komisi Kesenian Persekutuan Mahasiswa
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP KARANG Acropora spp., Hydnopora rigida, DAN Pocillopora verrucosa YANG DITRANSPLANTASIKAN DI
PULAU KELAPA, KEPULAUAN SERIBU
SUDONO ISWARA
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
Analisis Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Karang Acropora
spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa yang
Ditransplantasikan di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2009
Sudono Iswara
C24051236
RINGKASAN
Sudono Iswara. C24051236. Analisis Laju Pertumbuhan dan Kelangsugan Hidup Karang Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa yang Ditransplantasikan di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu. Dibawah bimbingan Ario Damar dan Beginer Subhan.
Penelitian mengenai transplantasi karang ini berlokasi di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta, selama enam bulan pengamatan, dimulai dari Maret 2009 hingga September 2009. Karang yang diteliti adalah karang jenis Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa. Fragmen karang dilekatkan dengan menggunakan semen kemudian diletakkan pada modul yang terbuat dari beton di kedalaman 2-5 meter. Pengamatan terhadap pertumbuhan karang dan parameter kualitas perairan dengan bantuan SCUBA dilakukan setiap dua bulan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui laju pertumbuhan karang serta parameter yang mempengaruhi transplantasi karang sehingga bisa diketahui tingkat keberhasilan dari metode transplantasi karang terhadap jenis yang ditanam.
Secara umum kondisi perairan masih berada dalam kondisi cukup baik untuk pertumbuhan karang. Kisaran suhu 28-29° C, salinitas 30-32‰, kecerahan 100%, kecepatan arus 0,08-0,30 m/s, kekeruhan 1,1-1,7 NTU, nitrat 0,005-0,024 mg/l, ammonia 0,046-0,197 mg/l, ortophosphat 0,008-0,023 mg/l, dan sedimentasi 2,7123-5,8146 mg/cm2/hari.
Kegiatan transplantasi karang di lokasi ini dapat dikatakan berhasil karena tingkat kelangsungan hidup dari ketiga karang tersebut berada di atas 50%. Selama enam bulan pengamatan karang jenis Acropora spp. memilliki tingkat kelangsungan hidup sebesar 78,44%, karang jenis Hydnopora rigida sebesar 74,19%, dan karang jenis Pocillopora verrucosa sebesar 61,11%. Kematian karang terbesar diakibatkan oleh meningkatnya kelimpahan makroalga yang diakibatkan oleh meningkatnya kesuburan perairan selama enam bulan pengamatan.
Selama enam bulan pengamatan, pertumbuhan absolut ukuran panjang dan tinggi karang jenis Acropora spp. masing-masing mencapai 59 mm dan 42 mm. Laju pertumbuhan panjang dan tinggi rata-rata karang jenis Acropora spp. masing-masing mencapai 19 mm/2 bulan dan 14 mm/2 bulan.
Fragmen transplantasi karang jenis Hydnopora rigida selama enam bulan mencapai 60 mm untuk pertumbuhan panjang dan 38 mm untuk pertumbuhan tinggi. Laju pertumbuhan panjang dan tinggi rata-rata karang jenis ini adalah sebesar 17mm/2 bulan untuk laju pertumbuhan panjang rata-rata dan 11 mm/2 bulan untuk laju pertumbuhan tinggi rata-rata.
Pocillopora verrucosa selama enam bulan mencapai pertumbuhan ukuran panjang dan tinggi masing-masing sebesar 41 mm dan 31 mm. Fragmen jenis Pocillopora verrucosa memiliki laju pertumbuhan panjang rata-rata sebesar 14 mm/2 bulan dan laju pertumbuhan tinggi rata-rata sebesar 10 mm/2 bulan.
ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP KARANG Acropora spp., Hydnopora rigida, DAN Pocillopora verrucosa YANG DITRANSPLANTASIKAN DI
PULAU KELAPA, KEPULAUAN SERIBU
SUDONO ISWARA C24051236
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul : Analisis Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Karang Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa yang Ditransplantasikan di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP 19660728 199103 1 002
Tanggal Lulus : 21 Desember 2009
vi
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah Bapa di Surga yang oleh karena kasih, berkat,
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini
berjudul Analisis Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Karang
Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa yang
Ditransplantasikan di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu; disusun berdasar
pada hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret 2009 hingga
September 2009, dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih juga saya ucapkan sedalam-dalamnya kepada Dr. Ir. Ario
Damar, M.Si selaku dosen pembimbing pertama dan Beginer Subhan, S.Pi.,
M.Si. selaku pembimbing kedua serta Dr. Ir. Yunizar Ernawati, M.S. selaku
Komisi Pendidikan S1 yang telah banyak membantu dalam pemberian
bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna namun
penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai
pihak. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Bogor, Desember 2009
Penulis
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. dan Beginer Subhan, S.Pi., M.Si., masing-masing
selaku ketua dan anggota komisi pembimbing skripsi yang telah banyak
membantu memberi arahan dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. sebagai koordinator utama program transplantasi
terumbu karang di Kepulauan Seribu PKSPL-IPB yang telah mengizinkan
penulis memperoleh kesempatan dan dana dalam penelitian ini.
3. (Alm.) Dr. Ir. Unggul Aktani, M.Sc. dan Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. selaku
pembimbing akademis selama penulis menempuh pendidikan di Manajemen
Sumberdaya Perairan.
4. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. sebagai dosen penguji tamu dan Dr. Ir.
Yunizar Ernawati, M.S. sebagai Komisi Pendidikan S1 MSP atas arahan dan
masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
5. PKSPL-IPB, CNOOC, dan Kementerian Lingkungan Hidup atas bantuan dana,
tenaga, dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini.
6. Keluargaku terkasih, Papah, Mamah di surga, Ema di surga, Ci Fitri, Dewi di
surga, Anthony, dan Yudith atas doa, cinta kasih, dukungan dan segalanya.
7. Dr. Ir. Budhi Hascaryo, M.Si., Ir. Wazir Mawardi, M.Si., Bang Iman, Tim
PKSPL-IPB lainnya, dan warga Kepulauan Seribu yang banyak membantu di
lapangan, serta Bu Anna dan Kak Budi untuk bantuannya di Laboratorium
Produktivitas Lingkungan Perairan.
8. Segenap staff Tata Usaha MSP, terutama Mba Widar atas kesabaran dan
arahannya.
9. Tim Karang (Agus, Moro, Tia, Dhila, Adil, Ketuk) dan Lamun (Andra, Nota,
Wira, Ikhsan, Mirza) atas kekompakan, kerjasama, kebersamaan, dan suka
duka selama ini.
10. MSP’42 atas segalanya. I’m lucky being part of you guys. Keep solid. Terima
kasih untuk segalanya, suka duka, kebersamaan, dukungan, dan semangat
kalian. Biar kisah kita terus berlanjut hingga selamanya.
11. Fisheries Diving Club FPIK IPB atas pendidikan selam reguler dan
bantuannya selama ini.
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang, 29 Juli 1987 dari
pasangan Iswar Deni, S.E. M.B.A. dan (Alm.) Yanlian
Lianawati. Penulis merupakan anak pertama dari 4
bersaudara. Pendidikan formal penulis ditempuh di SD
Harapan Bangsa, Kota Modern, Tangerang (1999), SMP
Harapan Bangsa, Kota Modern, Tangerang (2002), SMA
Harapan Bangsa, Kota Modern, Tangerang (2005). Penulis
kemudian melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor pada tahun
2005 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Setahun
kemudian penulis diterima di mayor Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan untuk aktif
berorganisasi sebagai anggota Komisi I Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (2007/2008); Koordinator Persekutuan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (2007/2008);anggota Divisi Dana dan
Usaha Komisi Kesenian Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (2007/2008); dan
anggota Divisi Sosial dan Lingkungan Himpunan Manajemen Sumberdaya
Perairan (2007/2008); serta beberapa kepanitiaan lainnya. Selain itu penulis
juga mengikuti beberapa seminar dan pelatihan baik dalam lingkup kampus
maupun luar kampus.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi
yang berjudul “Analisis Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Karang Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa
yang Ditransplantasikan di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu”. Penulis
dinyatakan lulus pada ujian skripsi tanggal 21 Desember 2009.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................... xiii
1. PENDAHULUAN ...................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ............................................................. 2 1.3. Tujuan ............................................................................ 3
2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 4 2.1. Terumbu Karang .............................................................. 4 2.2. Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang .................. 5 2.2.1. Cahaya dan kedalaman ......................................... 5 2.2.2. Suhu ................................................................... 6 2.2.3. Salinitas .............................................................. 6 2.2.4. Sedimen .............................................................. 7 2.2.5. Sirkulasi arus dan gelombang ................................. 8 2.2.6. Nutrien (nitrat, amonia, ortophosphat) ..................... 9 2.3. Cara Makan dan Sistem Reproduksi .................................... 9 2.4. Pertumbuhan dan Bentuk Koloni Karang .............................. 11 2.5. Transplantasi Karang ......................................................... 16 2.5.1. Pengertian dan pemanfaatan transplantasi karang .................................................................. 16 2.5.2. Metode transplantasi karang .................................. 17 2.6. Karang yang Diamati ......................................................... 18 2.6.1. Acropora spp. ........................................................ 18 2.6.2. Hydnopora rigida ................................................... 19 2.6.3. Pocillopora verrucosa ............................................. 20 2.7. Penelitian Transplantasi Karang di Indonesia ......................... 21
3. METODE PENELITIAN ............................................................ 25 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................. 25 3.2. Alat dan Bahan ................................................................. 26 3.2.1. Fragmen karang .................................................... 26 3.2.2. Alat ...................................................................... 27 3.2.3. Bahan .................................................................. 29 3.3. Rancangan dan Konstruksi Penelitian .................................. 29 3.4. Jenis Data dan Informasi yang Diperlukan ........................... 30 3.4.1. Pengambilan dan penempatan sampel fragmen karang ................................................................. 30 3.4.2. Pengukuran pertumbuhan karang ............................ 31 3.5. Metode Analisis Data ......................................................... 31 3.5.1. Pengukuran pertumbuhan panjang dan tinggi ........... 31 3.5.2. Tingkat kelangsungan hidup .................................... 32
x
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 33 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Kelapa ..................... 33 4.2. Tingkat Kelangsungan Hidup (survival rate/SR) Karang Hasil Transplantasi ............................................................ 38 4.3. Pertumbuhan Mutlak dan Laju Pertumbuhan Terumbu Karang ............................................................................ 43 4.3.1. Pertumbuhan mutlak .............................................. 43 4.3.2. Laju pertumbuhan ................................................. 46 5. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 50
3. Reproduksi aseksual pada hewan karang A. Pertunasan ekstratentakular, B. Pertunasan intratentakular (Suwignyo et al. 2005) ................................................................................... 11
4. Siklus karbon (Goreau et al. 1979) ............................................. 12
5. Bentuk-bentuk pertumbuhan karang berdasarkan responnya terhadap tekanan lingkungan (Supriharyono 2007) ...................... 13
12. Peta lokasi penelitian ............................................................... 25
13. Konstruksi modul karang dan penempelan fragmen karang pada modul transplantasi (PKSPL-IPB 2009, komunikasi pribadi) .................................................................................. 29
14. Fragmen karang transplantasi (PKSPL-IPB 2009, komunikasi pribadi) .................................................................................. 30
15. Kondisi modul transplantasi karang (Dok. PKSPL-IPB 2008) .......... 30
16. Metode pengukuran contoh fragmen karang ............................... 31
17. Modul transplantasi serta penghitungan panjang dan tinggi terumbu karang (Dok. PKSPL-IPB 2008) .................................... 31
18. Tingkat kelangsungan hidup ..................................................... 38
19. Pertumbuhan mutlak fragmen jenis Acropora spp. (n0=280, nt=186), Hydnopora rigida (n0=280, nt=186), dan Pocillopora verrucosa(n0=280, nt=186) selama enam bulan (Maret 2009- September 2009) ..................................................................... 44
20. Laju pertumbuhan rata-rata panjang (Y ± SE) ............................ 47
21. Laju pertumbuhan rata-rata tinggi (Y ± SE) ................................ 47
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Tingkat kelangsungan hidup terumbu karang jenis Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa yang ditransplantasikan .................................................................... 59
2. Jumlah dan persentase karang mati terhadap penyebab kematian terumbu karang per pengamatan ................................. 59
3. Persentase jumlah terumbu karang yang mati terhadap penyebab kematian selama enam bulan ...................................... 59
4. Proses persiapan dan pembuatan modul transplantasi .................. 60
5. Alat-alat yang digunakan ........................................................... 61
Gemuk pada pangkal dan agak melebar pada bagian atas
√
Percabangan menimbulkan kesan teratur √
Bintil tersebar merata dengan ukuran tidak seragam √
Warna kuning atau coklat muda √
3.2.2. Alat
Alat yang digunakan untuk penelitian ini meliputi alat yang digunakan
dalam proses penempatan contoh, pengamatan dan pengambilan data
pertumbuhan karang serta pengamatan parameter lingkungan.
Tabel 4. Alat yang digunakan dalam proses penempatan contoh, pengamatan dan pengambilan data pertumbuhan karang.
No. Alat dan Bahan Keterangan
1. Peralatan selam SCUBA Peralatan penyelaman
2. Penggaris / Kaliper Pengukuran dimensi karang
3. Kamera bawah air Keperluan dokumentasi
4. Sabak dan kertas neotop Pencatatan hasil pengamatan
5. Personal Computer Pengolahan data hasil pengamatan
6. Pensil Menulis data hasil pengamatan
Tabel 5. Parameter lingkungan perairan yang diukur dan alat yang digunakan.
No Parameter Satuan Alat yang digunakan Metode
1. Suhu °C Termometer air raksa In situ
2. Salinitas ‰ Hand refraktometer Ex situ
3. Kecerahan % Secchi Disc In situ
4. Turbiditas NTU Turbidimeter Ex situ
5. Kecepatan arus m/s Floating droudge dan stopwatch In situ
6. Kedalaman m Depth gauge In situ
7. Nutrien (Ammonia, Ortophosphat, Nitrat)
mg / l Spektrofotometri Ex situ
8. Laju sedimentasi mg / cm2 / hari Sediment trap, kertas saring Millipore, vacuum pump
Ex situ
28
Parameter fisika dan kimia perairan yang diukur adalah suhu, salinitas,
kecerahan, kekeruhan, kecepatan arus, kedalaman, nutrien, dan laju
sedimentasi. Pengambilan data parameter fisika dan kimia secara in situ dan ex
situ setiap dua bulan bersamaan dengan pengambilan data pertumbuhan
karang.
Pengukuran parameter secara langsung (in situ) dilakukan untuk
mengukur parameter suhu perairan, kecepatan arus, kedalaman perairan, serta
kecerahan perairan. Pengukuran parameter suhu dengan menggunakan
termometer air raksa, kecepatan arus diukur dengan menggunakan floating
droudge dan stop watch, dan parameter kecerahan diukur dengan
menggunakan secchi disc.
Pengukuran kecerahan perairan dengan cara merata-ratakan kedalaman
saat keping secchi pertama kali menghilang saat diturunkan (d1) dan
kedalaman saat pertama kali keping secchi terlihat saat keping secchi dinaikkan
(d2) kemudian dibagi dengan kedalaman perairan dan dikalikan 100 persen.
Pengukuran kedalaman lokasi transplantasi karang dengan melihat depth gauge
yang terdapat pada peralatan SCUBA.
Pengukuran parameter secara tidak langsung (ex situ) dilakukan untuk
pengukuran parameter salinitas, laju sedimentasi, turbiditas (kekeruhan), serta
nutrien (ammonia, ortophosphat, nitrat). Pengambilan contoh air dilakukan
menggunakan botol contoh pada kedalaman 2-5 meter yang kemudian disimpan
di dalam cool box yang diberi es batu untuk mengawetkan contoh air, kemudian
dilakukan analisis di Laboratorium Produktivitas Lingkungan Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Institut Pertanian Bogor. Pengukuran
salinitas dilakukan dengan menggunakan hand refraktometer.
Kekeruhan/turbiditas diukur dengan menggunakan turbidimeter, kemudian
nutrien (ammonia, ortophosphat, nitrat) diukur melalui proses spektrofotometri.
Pengukuran laju sedimentasi dilakukan dengan menyaring partikel-pertikel
tersuspensi yang terdapat di dalam sediment trap dengan menggunakan kertas
saring millipore dan dibantu dengan menggunakan vacuum pump, kemudian di
oven pada 105 oC untuk mendapatkan berat kering partikel tersuspensi yang
terdapat di dalam sediment trap.
29
3.2.3. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Bahan yang digunakan dalam penelitian transplantasi karang.
No. Bahan Keterangan
1. Modul beton (80 cm x 40 cm x 35 cm) Rak tempat contoh fragmen karang
2. Semen Penempel contoh fragmen karang pada modul beton
3. Fragmen karang Hewan percobaan 4. Resin, katalis, pewarna dan talk Penomoran modul karang 5. Tali nylon Pengikat nomor ke modul beton
3.3. Rancangan dan Konstruksi Penelitian
Modul transplantasi berupa rak beton terbuat dari rangka besi yang diberi
campuran semen dan pasir, lalu dicetak dengan menggunakan cetakan yang
terbuat dari tripleks dengan dimensi panjang 60 cm, lebar 40 cm, dan tinggi 35
cm. Rak beton tersebut lalu di jemur selama 2-3 hari sampai kering dan siap
digunakan sebagai substrat hidup karang. Modul tersebut sengaja dibuat lebih
tinggi dari substrat alami untuk mengurangi pengaruh sedimentasi yang cukup
tinggi di perairan tersebut terhadap terumbu karang yang ditransplantasikan.
Karena sedimentasi sering menyebabkan kematian dan menghambat
pertumbuhan karang (Yap & Gomez 1985; Nagelkerken et al. 2000; in Soong &
Chen 2003), menjaga fragmen di atas dasar dapat mengurangi kemungkinan
mereka tertutupi oleh sedimen (Soong & Chen 2003). Setiap modul
transplantasi memiliki enam lubang sebagai dudukan fragmen karang yang akan
ditransplantasikan nantinya (Gambar 13. A).
Gambar 13. Konstruksi modul karang dan penempelan fragmen karang pada
modul transplantasi (PKSPL-IPB 2009, komunikasi pribadi).
30
Fragmen karang yang sudah diperoleh kemudian dipindahkan ke lokasi
penelitian secara hati-hati dan sebisa mungkin dibawa di dalam air untuk
mencegah stress pada karang. Fragmen karang diletakkan tepat pada lubang
yang terdapat pada modul (Gambar 13. B). Proses penempelan tersebut
dilakukan dengan menyemen fragmen karang di dalam air hingga menempel
pada modul. Hal ini penting agar fragmen karang tersebut menempel kuat pada
modul dan tidak mudah lepas akibat hempasan gelombang, arus, maupun
predator.
Gambar 14. Fragmen karang transplantasi (PKSPL-IPB 2009, komunikasi
pribadi).
3.4. Jenis Data dan Informasi yang Diperlukan
3.4.1. Pengambilan dan penempatan sampel fragmen karang
Lokasi penelitian berada di satu tempat yakni Pulau Kelapa dengan
kedalaman 2-5 meter. Jumlah modul berupa rak beton yang digunakan
mencapai 400 buah dengan enam individu karang di tiap modul. Jarak antara
modul satu dengan modul lain adalah 1 meter (Gambar 15).
Gambar 15. Kondisi modul transplantasi karang. (Dok. PKSPL-IPB 2008)
31
3.4.2. Pengukuran pertumbuhan karang
Pengukuran pertumbuhan karang meliputi panjang terpanjang koloni dan
tinggi tertinggi koloni (Gambar 16.). Pengukuran pertumbuhan karang
menggunakan jangka sorong (caliper) dan/atau penggaris dengan bantuan
SCUBA (Gambar 17).
Gambar 16. Metode pengukuran contoh fragmen karang.
Gambar 17. Modul transplantasi serta penghitungan panjang dan tinggi terumbu karang (Dok. PKSPL-IPB 2008)
3.5. Metode Analisis Data
3.5.1. Pengukuran pertumbuhan panjang dan tinggi
Pengukuran pertumbuhan panjang dan tinggi karang dilakukan setiap
dua bulan sekali dengan menggunakan jangka sorong (caliper) dan/atau
penggaris di dalam air. Untuk menghitung pencapaian pertumbuhan karang
yang ditransplantasikan dari data hasil pengukuran dilakukan dengan
menggunakan rumus:
32
휷 = 푳풕 − 푳풐
Keterangan: β = Pertambahan panjang/tinggi fragmen karang yang ditransplantasikan Lt = Rata-rata panjang/tinggi fragmen karang yang ditransplantasikan Lo = Rata-rata panjang/ tinggi fragmen karang pada bulan ke-0
Untuk laju pertumbuhan karang yang ditransplantasikan, rumus yang
digunakan adalah sebagai berikut (Sadarun 1999):
휶 =푳풊 ퟏ − 푳풊풕풊 ퟏ − 풕풊
Keterangan: 훼 = Pertambahan panjang/tinggi fragmen karang yang ditransplantasikan Lt+1 = Rata-rata panjang/tinggi fragmen pada waktu ke-i+1 Lt = Rata-rata panjang/ tinggi fragmen pada waktu ke-i ti+1 = Waktu ke-i+1 ti = Waktu ke-i 3.5.2. Tingkat kelangsungan hidup
Untuk menghitung tingkat kelangsungan hidup pada karang yang ditransplantasi menggunakan formula sebagai berikut:
푺푹 =푵풕
푵ퟎ× ퟏퟎퟎ%
Keterangan: SR = Tingkat Kelangsungan Hidup Nt = Jumlah individu pada akhir penelitian N0 = Jumlah individu pada awal penelitian
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Kelapa
Pola pertumbuhan terumbu karang sangat dipengaruhi oleh karakteristik
lingkungan perairan sekitarnya. Parameter lingkungan yang berbeda akan
memiliki dampak yang berbeda pada pola pertumbuhan tiap jenis karang, baik
dari segi morfologi dan fisiologi karang itu sendiri. Tiap parameter lingkungan
memiliki peranan yang berbeda pada tiap karang dalam pertumbuhannya.
Tabel 7. Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Kelapa bulan Maret 2009 sampai September 2009
Parameter Satuan Maret 2009
Mei 2009
Juli 2009
September 2009
Baku Mutu yang
diperbolehkan
Salinitas ‰ 31 31 30 32 *Alami, 33-34(1)
Suhu ⁰C 29,3 28,7 28,3 28,7 *Alami, 28-30(2)
Kekeruhan NTU 1,5 1,1 1,1 1,7 *5
Kecepatan Arus m/s 0,13 0,10 0,30 0,08 -
Kecerahan
Kedalaman m 5 5 5 5 -
Persentase % 100 100 100 100 -
Nutrien
Nitrat mg/l 0,024 0,005 0,008 0,005 *0,008
Orthophosphat mg/l 0,008 0,017 0,023 0,011 *0,015
Ammonia mg/l 0,148 0,197 0,056 0,046 *0,300
Sedimentasi mg/cm2/hari
2,7123 4,3168 5,8146 -
* MENKLH 2008 Keterangan : Untuk terumbu karang; (1) Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5‰ salinitas rata-
rata musiman; (2) Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2⁰C dari suhu alami.
Berdasarkan parameter yang diamati pada perairan Pulau Kelapa (Tabel
7), beberapa parameter telah memenuhi kadar baku mutu yang ditetapkan oleh
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku
Mutu Air Laut untuk biota laut. Parameter tersebut adalah salinitas, temperatur,
kekeruhan, dan kecerahan. Sedangkan kandungan nitrat dan ortophosphat
pada lokasi tersebut sempat melebihi baku mutu kualitas air.
Kondisi suhu perairan yang berada pada kisaran 28,3-29,3°C (Tabel 5)
pada lokasi transplantasi tersebut berada pada kisaran suhu yang baik untuk
pertumbuhan terumbu karang, yakni pada kisaran 25-29°C dengan batas
34
maksimum suhu sekitar 36°C. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim,
lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara,
penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air (Effendi 2003).
Menurut Wells (1954) in Supriharyono (2007) suhu yang baik untuk
pertumbuhan karang adalah berkisar antara 25-29 °C. Sedangkan batas
minimum dan maksimum suhu berkisar antara 16-17 °C dan sekitar 36 °C
(Kinsman 1964 in Supriharyono 2007). Supriharyono (2007) menyatakan
bahwa suhu yang mematikan binatang karang bukan suhu yang ekstrim, yaitu
suhu minimum atau maksimum saja, namun lebih karena perbedaan perubahan
suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient level). Menurut Coles & Jokiel
(1978) dan Neudecker (1981) in Supriharyono (2007) perubahan suhu secara
mendadak sekitar 4-6 °C di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi
pertumbuhan karang bahkan mematikannya, sehingga kondisi suhu perairan di
lokasi transplantasi masih tergolong baik untuk pertumbuhan karang.
Kondisi salinitas di Pulau Kelapa dari bulan Maret 2009 hingga September
2009 berkisar pada nilai 30‰-32‰. Dengan kisaran tersebut nilai salinitas
tersebut masih berada dalam kisaran yang baik untuk pertumbuhan terumbu
karang secara baik yakni 30‰ sampai 35‰ (Dahuri 1996). Daya tahan
terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama. Daya tahan terhadap faktor-
faktor pembatas tersebutlah yang menyebabkan laju pertumbuhan tiap jenis
karang tidaklah sama satu sama lain.
Kecerahan perairan Kepulauan Seribu berkisar antara 3-8 meter,
sedangkan kekeruhannya bekisar 0,5-1,1 NTU (Dinas Perikanan DKI Jakarta &
FPIK-IPB 1997 in Mihardja & Pranowo 2001). Kecerahan di lokasi tersebut
adalah 100% dikarenakan lokasi transplantasi karang berkisar hingga 5 m di
bawah permukaan laut maka tingkat. Pada daerah bercahaya, fotosintesis oleh
zooxanthellae bagaimanapun juga harus membuat laju kalsifikasi oleh karang
yang lebih tinggi (Pearse & Muscatine 1971). Pada karang hermatifik, hasil
fotosintesis dialirkan dari zooxanthellae ke jaringan karang dan lalu dipakai
untuk berbagai kebutuhan nutrien: senyawa ini digunakan oleh karang untuk
metabolisme dasar (respirasi) karang, untuk sintesis sel-sel baru dan sintesis
produk ekstraseluler, seperti mukus dan acuan skeletal organik (Muscatine et al.
1984 in Rinkevich 1989). Translokasi bukan hanya dapat menyediakan total
karbon harian untuk respirasi, tetapi juga sebagian kebutuhan karbon untuk
kebutuhan metabolisme lainnya seperti bertumbuh (Rinkevich 1989).
Berdasarkan hasil pengamatan pada bulan Maret 2009, Mei 2009, Juli
2009, dan September 2009 didapatkan kekeruhan berada pada nilai 1,5 NTU,
35
1,1 NTU, 1,1 NTU, dan 1,7 NTU. Rendahnya tingkat kekeruhan di perairan
tersebut pada bulan Mei 2009 hingga Juli 2009 diakibatkan oleh faktor arus
yang terjadi pada bulan Mei 2009 dan Juli 2009 sehingga sedimentasi dan
material lainnya yang terdapat di perairan tersebut dapat lebih cepat melewati
lokasi transplantasi. Sedangkan meningkatnya tingkat kekeruhan pada bulan
September 2009 yang dipengaruhi oleh Musim Timur diakibatkan oleh
melambatnya kecepatan arus perairan tersebut dibandingkan pengamatan
bulan-bulan sebelumnya.
Dahuri (2003) menyatakan titik kompensasi bagi karang pada kedalaman
dengan intensitas cahaya sekitar 15%-20% dari intensitas permukaan yang
menyebabkan pertumbuhan karang sangat berkurang. Hal ini disebabkan oleh
karena laju produksi primer sama dengan respirasi karang. Kecerahan perairan
Kepulauan Seribu sendiri berkisar antara 3-8 meter sementara lokasi
transplantasi berkisar antara 2-5 meter, maka kecerahan di lokasi tersebut
adalah 100%. Kondisi tersebut sangat sesuai untuk pertumbuhan karang
mengingat jauh berada di atas titik kompensasi bagi karang untuk dapat terus
bertumbuh.
Parameter arus merupakan faktor fisik penting lainnya di perairan. Dalam
kaitannya dengan pertumbuhan terumbu karang faktor arus dapat berdampak
baik dan buruk. Baik apabila arus tersebut membawa bahan-bahan organik
yang diperlukan oleh karang dan zooxanthellae untuk pertumbuhannya, dan
buruk apabila arus ternyata menyebabkan sedimentasi di perairan dan
menutupi permukaan karang sehingga mengakibatkan lambatnya pertumbuhan
terumbu karang, atau bahkan menyebabkan kematian karang.
Kecepatan arus permukaan di Kepulauan Seribu berkisar antara 0,05-0,12
m/s (Dinas Perikanan DKI Jakarta & FPIK-IPB 1997 in Mihardja & Pranowo
2001). Sedangkan jika dirata-ratakan antara arus permukaan dan arus
dibawah permukaan maka kecepatannya adalah 0,43 m/s (Mihardja & Pranowo
2001). Berdasarkan pengamatan didapatkan kisaran kecepatan arus di perairan
lokasi transplantasi adalah sebesar 0,08 m/s sampai 0,3 m/s, yakni 0,13 m/s
pada bulan Maret 2009, 0,1 m/s pada bulan Mei 2009, 0,3 m/s pada bulan Juli
2009, dan 0,08 m/s pada bulan September 2009 (Tabel 7.).
Dibandingkan dengan pengamatan pada bulan-bulan lainnya, tingkat
kecepatan arus pada bulan Juli 2009 di lokasi transplantasi tersebut merupakan
yang terbesar. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi kecepatan
arus di suatu lokasi perairan, di antaranya adalah angin, musim, dan pengaruh
arus bawah. Lokasi transplantasi di Pulau Kelapa sendiri termasuk yang
36
bertubir dan menurut warga sekitar merupakan daerah ruaya dari ikan kakap
sehingga memungkinkan adanya pengaruh arus bawah menyebabkan arus
permukaan ikut menguat, selain dikarenakan faktor angin yang juga cukup kuat
pada pengamatan di bulan Juli 2009 tersebut.
Faktor sedimentasi juga merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan
terumbu karang. Pada perairan Pulau Kelapa didapat kisaran sedimentasi yang
terjadi berkisar antara 2,7123-5,8146 mg/cm2/hari. Meningkatnya laju
sedimentasi terjadi akibat adanya pengadukan substrat yang diakibatkan oleh
faktor adanya arus perairan yang lebih kuat dan membawa sedimen dari
perairan sekitar lokasi transplantasi di bulan Juli 2009 dibandingkan pada bulan
Mei 2009 (Tabel 7.).
Dari data kecepatan arus dapat dilihat bahwa kecepatan arus pada bulan
Juli 2009 meningkat dibandingkan kecepatan arus pada bulan Mei 2009, dimana
laju sedimentasi dipengaruhi oleh kecepatan arus perairan. Laju sedimentasi di
bulan September 2009 kembali meningkat diakibatkan oleh adanya pengaruh
Musim Timur. Arus yang melambat dibandingkan bulan Juli 2009 menyebabkan
sedimentasi yang dibawa besertanya mengendap ke dasar perairan.
Keluar masuknya nutrien dan besarnya laju sedimentasi yang terjadi
dalam suatu perairan turut dipengaruhi oleh kecepatan arus dan sirkulasi
gelombang yang terdapat di perairan tersebut. Gelombang yang cukup kuat
akan menghalangi pengendapan sedimen pada koloni karang. Beban
sedimentasi yang berkisar 2,7123-5,8146 mg/cm2/hari tersebut masih
tergolong kecil hingga dapat memberikan dampak dalam penurunan regenerasi,
kelimpahan, dan keragaman spesies. Selain itu, sedimen yang kaya akan unsur
hara akan menyebabkan peningkatan kesuburan di perairan sekitar terumbu
karang dan mempercepat laju pertumbuhan makroalga (Rachmawati 2001).
Meski sedimentasi yang terjadi masih tergolong kecil untuk mempengaruhi
pertumbuhan terumbu karang, terus meningkatnya nilai sedimentasi hingga
bulan September 2009 akan mempengaruhi struktur komunitas biota lainnya
dalam ekosistem terumbu karang. Lohrer et al. (2004) in Mottaqui-Tabar
(2007) menyatakan sedikitnya tiga milimeter material limpasan dari darat cukup
untuk secara signifikan mempengaruhi struktur komunitas makrobenthos yang
kemudian menyebakan menurunnya jumlah individu, taksa, dan kepadatan di
hampir seluruh spesies terumbu karang. Suspensi sedimen juga mengurangi
visibilitas bahkan untuk ikan yang terutama bergantung pada identifikasi visual
mangsa mereka, penyumbatan insang, dan memiliki konsekuensi yang
37
signifikan terhadap tingkah laku dan fisiologi ikan (Dulvey et al. 1995 in
Mottaqui-Tabar 2007).
Selama pengamatan berlangsung didapatkan kandungan ammonia sebesar
0,148 mg/l pada bulan Maret 2009, 0,197 mg/l pada bulan Mei 2009, dan 0,056
mg/l pada bulan Juli 2009, serta 0,046 m/l pada bulan September 2009 (Tabel
7.). Menurunnya kandungan ammonia pada bulan Juli 2009 diakibatkan oleh
hilangnya ammonia ke atmosfer seiring dengan meningkatnya kecepatan angin
pada bulan Juli 2009 dibandingkan dengan bulan Maret 2009 dan Mei 2009 yang
memiliki kecepatan arus terendah dibandingkan pada pengamatan di bulan
lainnya, sementara menurunnya kadar ammonia pada pengamatan bulan
September 2009 diakibatkan oleh meningkatnya suhu perairan di lokasi
tersebut dibandingkan pada pengamatan suhu di bulan Juli 2009.
Berdasarkan pengamatan pada bulan Maret 2009, Mei 2009, Juli 2009,
dan September 2009 didapatkan kandungan nitrat sebesar 0,024 mg/l, 0,005
mg/l, 0,008 mg/l, dan 0,005 mg/l. Pengamatan lain mengenai nutrien
dilakukan pula terhadap kadar ortophosphat di perairan tersebut. Kandungan
nitrat pada bulan Maret 2009 sempat berada di atas nilai baku yang ditetapkan
oleh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang
Baku Mutu Air Laut untuk biota laut.
Didapatkan pula kadar ortophosphat yang terkandung pada bulan Maret
2009, Mei 2009, Juli 2009, dan September 2009 di perairan tersebut adalah
0,008 mg/l, 0,017 mg/l, 0,023 mg/l, dan 0,011 mg/l (Tabel 7). Apabila
dibandingkan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51
Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk biota laut, kandungan nitrat pada
bulan Maret 2009, serta ortophosphat pada bulan Mei 2009 dan Juli 2009, telah
melebihi baku mutu sehingga dapat memacu pertumbuhan alga di lokasi
tersebut. Meski demikian nilai ortophosphat tersebut kembali menurun hingga
di bawah nilai baku mutu pada bulan September 2009 setelah sebelumnya
meningkat pada bulan Mei 2009 dan tertinggi pada bulan Juli 2009. Hal yang
sama juga terjadi untuk nilai nitrat yang kembali menurun pada pengamatan
berikutnya.
Kebanyakan nutrien yang dibutuhkan oleh terumbu karang dapat
didapatkan dari daur ulang materi biologis di sekitarnya, bahkan menurut Rahav
et al. (1989) dan Atkinson et al. (1994) in Hoegh-Guldberg dan Williamson
(1999), nitrogen daur ulang mewakili komponen yang signifikan dari kandungan
nitrogen dari dinoflagellata simbiotik dalam terumbu karang, hingga 90-98%
dari nitrogen berasal dari sumber internal. Meski mendaur ulang, nitrogen baru
38
juga harus diperoleh dari lingkungan untuk pertumbuhan asosiasi simbiotik
seperti terumbu karang dan dinoflagellata (Hoegh-Guldberg & Williamson 1999).
Meningkatnya tingkat nutrien akibat masukan dari darat dapat
menimbulkan keberadaan makroalga di sekitar terumbu karang atau dekat
pantai. Pada pengamatan di lapang telah terjadi pertumbuhan makroalga. Alga
yang pertama kali ditemukan pada kebanyakan area terbuka terumbu karang
seringkali berupa alga hijau berfilamen yang bertumbuh cepat dan alga biru
kehijauan yang berbentuk “algal turf” yang kemudian diikuti perkembangan
suksesi oleh berbagai alga lainnya (McClanahan 1997). Hal ini diduga terjadi
karena kandungan nitrat dan ortophosphat di lokasi transplantasi sempat
melebihi kadar baku mutu yang tercantum dalam Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk biota
laut.
4.2. Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate/SR) Karang Hasil Transplantasi
Pada ketiga jenis karang yang ditransplantasikan di perairan Pulau Kelapa
selama enam bulan pengamatan menunjukan nilai yang berbeda satu sama
lainnya. Meski ketiga jenis karang tersebut ditransplantasikan bersamaan,
karena adanya perbedaan sifat hidup masing-masing jenis karang sehingga
dapat juga memicu tingkat tekanan yang berbeda pada masing-masing karang
terhadap lingkungan mereka yang baru. Tingkat tekanan inilah yang kemudian
mempengaruhi metabolisme karang tersebut untuk dapat beradaptasi.
Gambar 18. Tingkat kelangsungan hidup Acropora spp., Hydnopora rigida, dan
Pocillopora verrucosa.
0102030405060
708090
100
Acropora Hydnopora rigida Pocillopora verrucosa
SR
(%
)
Terumbu Karang yang Ditransplantasikan
Maret 2009 Mei 2009 Juli 2009 September 2009
39
Tingkat kelangsungan hidup paling besar hingga akhir pengamatan pada
bulan September 2009 dimiliki oleh karang Acropora spp. dengan kelangsungan
hidup sebesar 78,44%, diikuti Hydnopora rigida dengan tingkat kelangsungan
hidup sebesar 74,19%, sedangkan tingkat kelangsungan hidup terendah dimiliki
oleh karang jenis Pocillopora verrucosa sebesar 61,11% (Gambar 18.).
Dari pengamatan per dua bulan, tingkat kelangsungan hidup Acropora
spp. merupakan yang paling tinggi hingga akhir pengamatan. Kelangsungan
hidup Acropora spp. adalah sebesar 92,38% pada bulan Mei 2009, 84,60% pada
bulan Juli 2009, dan 78,44% pada akhir pengamatan di bulan September 2009.
Hydnopora rigida memiliki tingkat kelangsungan hidup tertinggi kedua
selama pengamatan. Kelangsungan hidup Hydnopora rigida mencapai 96,77%
pada pengamatan di bulan Mei 2009, 77,42% pada bulan Juli 2009, dan 74,19%
pada pengamatan di bulan September 2009.
Tingkat kelangsungan hidup Pocillopora verrucosa adalah yang paling
rendah dibandingkan karang lainnya pada akhir pengamatan. Kelangsungan
hidup Pocillopora verrucosa adalah sebesar 77,78% pada bulan Mei 2009,
62,96% pada bulan Juli 2009, dan 61,11% pada akhir pengamatan di bulan
September 2009. Kematian Pocillopora verrucosa, dibandingkan dengan dua
jenis karang lainnya merupakan yang terbesar terbesar bagi Pocillopora
verrucosa pada tiap pengamatan. Namun kematian terbesar karang ini terjadi
pada bulan Mei 2009. Kematian yang terjadi di bulan ini bahkan merupakan
kematian terbesar dibandingkan karang lainnya pada seluruh pengamatan.
Kondisi perairan yang berbeda dengan kondisi habitat asal fragmen turut
memacu tekanan lingkungan pada karang yang ditransplantasikan. Tekanan
lingkungan adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh faktor
eksternal maupun internal yang dipengaruhi oleh kondisi fisiologis dan aktivitas
yang berpengaruh terhadap struktur dan proses-proses dalam populasi,
komunitas, dan ekosistem terumbu karang akan mengalami tekanan lingkungan
akan mengalami perubahan-perubahan dalam metabolisme, pertumbuhan,
respon tingkah laku terhadap lingkungan dan biologi reproduksinya (Arafat
2005).
Keberadaan makroalga yang tumbuh di sekitar fragmen dan modul juga
mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup karang. Selain itu, dari pengamatan
didapat bahwa kematian terbesar selama enam bulan pengamatan berupa death
coral with algae (DCA) (Lampiran 2 dan 3). Sedimentasi dan eutrofikasi
(penambahan nutrien) diduga menjadi penyebab utama dari degradasi terumbu
karang di seluruh dunia (Ginsburg 1993 in McClanahan & Obura 1997).
40
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa makroalga dapat
melebihi pertumbuhan karang, dan kompetisi diantara keduanya biasanya
dimenangkan oleh alga (Chadwick 1988; Hughes 1989; in Tanner 1995). Energi
yang dipakai karang dapat meningkat untuk memperbaiki kerusakan yang
diakibatkan oleh alga, seperti jaringan yang luka (Coyer et al. 1993 in Tanner
1995), atau dari pengeluaran energi secara aktif bersaing dengan alga, dan
mencegah pertumbuhan alga menutupi karang (de Ruyter van Steveninck et al.
1988 in Tanner 1995).
Biomassa makroalga yang besar dapat menutupi karang sehingga memiliki
efek seperti halnya penutupan karang oleh partikel sedimen yang besar
(Rachmawati 2001). Untuk membersihkan diri dari sedimentasi, karang akan
mengeluarkan mukus secara terus menerus. Akibatnya karang tersebut harus
mengeluarkan energi untuk membersihkan diri. Apabila kecepatan sedimentasi
lebih tinggi daripada kemampuan karang membersihkan diri akhirnya karang
akan mati (LIPI 2008).
Selain karena alga, kematian juga terjadi akibat patahnya fragmen karang
yang ditransplantasikan pada fragmen karang Acropora spp. Karang dengan life
form branching seperti Acropora memiliki struktur yang berongga sehingga
mudah patah apabila menghadapi gelombang yang kuat.
Pada pengamatan selama enam bulan tersebut juga ditemukan bahwa
terdapat empat buah fragmen yang terlepas atau hilang dari modul. Kejadian
tersebut diduga diakibatkan oleh metode penempelan fragmen yang kurang
baik pada substrat sehingga ketika terjadi gelombang di lokasi tersebut,
fragmen tersebut terlepas dari substrat yang terbuat dari beton tersebut.
Menurut Harriot & Fisk (1988) secara umum transplantasi karang
dinyatakan sukses dari sudut pandang biologis, dengan tingkat ketahanan hidup
pada kasus berkisar antara 50-100%. Berdasarkan pengamatan, ketiga jenis
karang tersebut sesuai untuk ditransplantasikan di perairan tersebut. Apabila
dilihat dari tingkat kelangsungan hidupnya, meskipun karang jenis Pocillopora
merupakan jenis oportunis yang mampu bertahan pada zona yang selalu
bergejolak, nyatanya memiliki tingkat kelangsungan hidup yang terendah
dibandingkan karang lainnya. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa karang
jenis Pocillopora verrucosa belum bisa beradaptasi dengan baik untuk hidup
pada lingkungan di perairan tersebut. Indikasi yang sama juga terlihat pada
karang jenis Acropora spp. dan Hydnopora rigida yang masih terus mengalami
kematian tiap pengamatannya.
41
Pengamatan lain (Yudhasakti PK, 23 November 2009, komunikasi pribadi)
pada lokasi dan waktu bersamaan dilakukan penelitian terhadap Montipora spp.,
Porites spp., dan Stylophora pistillata. Pada akhir pengamatan di bulan
September 2009, karang jenis Montipora spp. memiliki tingkat kelangsungan
hidup sebesar 53,33%, 76,12% untuk Porites spp., dan 63,41% untuk
Stylophora pistillata. Dibandingkan dengan pengamatan tersebut, didapatkan
tingkat kelangsungan hidup tertinggi dicapai oleh Acropora spp. dan yang
terendah dicapai oleh Montipora spp.
Faktor lain adalah adanya keberadaan ikan predator yang merupakan ikan
indikator kondisi terumbu karang. Hourigan et al. (1988) menyatakan ikan
kepe-kepe sangat mungkin untuk menjadi indikator lingkungan terumbu karang
karena hubungannya sangat erat dengan substrat karang hidup. Menurut
Crosby and Reese (1996), Chaetodontidae pemangsa karang merupakan
indikator yang ideal karena ikan ini memangsa karang secara langsung. Lebih
lanjut, ikan kepe-kepe menujukkan tingkat kesukaan pada spesies karang
tertentu sehingga akan sangat sensitif apabila terjadi perubahan suatu sistem
terumbu karang. Selain itu, karena ikan kepe-kepe sangat teritorial maka akan
sangat mudah memantaunya secara periodik. Namun, tidak semua jenis
Chaetodontidae dapat dijadikan biota indikator. Misalnya yang bersifat
planktivor tidak sensitif terhadap perubahan terumbu karang, atau omnivor
memakan invertebrata selain karang dan alga sehingga sangat susah untuk
mendeteksi kebiasaan makananya yang selalu berubah dan oportunis (Reese
1995).
Pada pengamatan terhadap ikan karang ditemukan adanya suksesi ikan
pemangsa karang berupa spesies Chaetodon octofasciatus pada lokasi
transplantasi di Pulau Kelapa ini (Utami TS, 25 Oktober 2009, komunikasi
pribadi). Menurut Bawole et al. (1999) kehadiran yang dominan dari Chaetodon
octofaciatus mengidikasikan bahwa terumbu karang sudah mengalami
perubahan. Melalui pengamatan, terlihat bahwa populasi Chaetodon
octofaciatus pada bulan Maret 2009 terdapat 12 individu/100 m2 untuk
pengamatan pada Stasiun I dan 5 individu/100 m2 untuk pengamatan pada
Stasiun II. Pengamatan pada bulan Mei 2009 menunjukkan terjadinya
penurunan kelimpahan Chaetodon octofaciatus menjadi 7 individu/ 100 m2 pada
Stasiun I dan meningkat menjadi 7 individu/ 100 m2 pada Stasiun II. Turunnya
kelimpahan ikan ini pada kedua stasiun terjadi pada pengamatan di bulan Juli
2009 menjadi 4 individu/100 m2 untuk Stasiun I dan 6 individu/100 m2 untuk
Stasiun II. Kelimpahan Chaetodon octofaciatus pada pengamatan di bulan
42
September 2009 tetap 4 individu/100 m2 untuk pengamatan baik pada Stasiun I
dan kembali menurun menjadi 4 individu/100 m2 untuk Stasiun II (Utami TS, 25
Oktober 2009, komunikasi pribadi). Adrim et al. (1991) menyatakan bahwa di
Kepulauan Seribu, ikan yang memiliki nama lokal ikan strip delapan ini memiliki
kelimpahan yang cukup tinggi dibandingkan dengan jenis lain dari famili
Chaetodontidae.
Menurut Madduppa (2006), Chaetodon octofaciatus merupakan pemakan
karang sejati (obligate coralivor). Penelitian yang dilakukannya di Pulau
Petondan Timur, Kepulauan Seribu, menunjukkan bahwa jenis karang Acropora
dan Pocillopora merupakan pilihan utama pemangsaan Chaetodon octofaciatus
dengan Indeks Pilihan (E) lebih besar dari 0,5. Pengamatan terhadap tingkat
pemangasaan tersebut juga menunjukkan ikan ini sangat menyukai karang
Acropora, yang artinya Chaetodon octofaciatus kemungkinan besar dapat
dijadikan indikator bagi area terumbu karang yang kaya akan keberadaan
karang Acropora. Hal ini ditunjukkan dari hubungan antara kepadatan karang
Acropora dan pemangsaannya memberikan nilai koefisien determinasi sebesar
0,98 artinya hubungannya sangat kuat. Semakin padat karang Acropora maka
makin tinggi pula pemangsaan yang dilakukan oleh Chaetodon octofaciatus.
Banyak penelitian yang dilakukan terhadap ikan karang jenis ini, termasuk
Madduppa (2006) menyatakan adanya hubungan positif antara kelimpahan
Chaetodon octofaciatus dengan persentase karang hidup. Perbandingan yang
kontras, Roberts & Ormond (1987) menunjukkan bukti yang bertentangan pada
penelitiannya dimana kelimpahan obligate corallivores memiliki korelasi yang
rendah terhadap tutupan karang.
Salah satu faktor yang diduga menyebabkan kelimpahan ikan ini terus
menurun adalah pengaruh sedimentasi di perairan ini. Melalui pengamatan
terhadap faktor fisika diketahui bahwa nilai sedimentasi terus meningkat tiap
pengamatannya. Sedimentasi yang terjadi dapat mempengaruhi ikan dalam
mengenali mangsa, penyumbatan insang, bahkan dalam perilaku dan fisologi
ikan tersebut (Dulvey et al. 1995 in Mottaqui-Tabar 2007).
Ghaffar et al. (2005) menduga bahwa terdegredasinya kualitas dari polip
terumbu karang yang mengalami tekanan, akan menghasilkan menurunnya
kelimpahan dan keberagaman dari berbagai spesies dan secara konsekuen,
akan meningkatkan luasan wilayah, pola pemangsaan, tingkat pemangsaan dan
menghadapi permasalahan ketika pasangannya mencoba mencukupi asupan
nutrisi mereka dengan memperluas wilayahnya untuk mencakup lebih banyak
koloni terumbu karang.
43
Berkurangnya ketersediaan makanan pilihan utamanya, terlebih Acropora
spp. dengan bentuk pertumbuhan bercabang yang juga sebagai tempat yang
aman bagi Chaetodon octofaciatus untuk hidup, menyebabkan terjadinya
migrasi atau perluasan wilayah ke luar lokasi transplantasi sehingga
kelimpahannya di lokasi transplantasi terus berkurang selama pengamatan
berlangsung.
4.3. Pertumbuhan Mutlak dan Laju Pertumbuhan Terumbu Karang
4.3.1. Pertumbuhan mutlak
Dimensi pertumbuhan yang diukur adalah panjang dan tinggi fragmen
karang yang di transplantasikan. Pertumbuhan yang terjadi baik panjang dan
tinggi akan berbeda-beda tergantung pada jenis karang, bentuk koloni dan
percabangannya, ukuran fragmen awal, kondisi lingkungan perairan dan sifat
pertumbuhan dari masing-masing spesies. Pengaruh dari berbagai faktor
tersebut akan memberikan respon yang berbeda terhadap tingkah laku
pertumbuhan koloni. Adanya perbedaan pertumbuhan pada karang
menyebabkan terjadinya bentuk morfologi yang berbeda-beda. Suatu jenis
karang dari genus yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan yang
berbeda-beda. Satu jenis yang sama tetapi menempati area yang berbeda akan
mempunyai bentuk morfologi yang berbeda pula (Veron 1986 in Pratama 2005).
Selama enam bulan pengamatan, Acropora spp. memiliki pertumbuhan
mutlak sebesar 59 mm untuk panjang dan 42 mm untuk tinggi (Gambar 19.).
Pengaruh life form untuk Acropora spp. tidak dapat dijabarkan dikarenakan
genus Acropora memiliki beberapa life form khusus yang tidak diamati secara
spesifik. Bentuk life form Acropora yang ditransplantasikan di Pulau Kelapa
didominasi oleh Acropora dengan life form Acropora branching.
Pada karang Acropora dengan life form Acropora branching, Yarmanti
(2002) melakukan penelitian terhadap Acropora formosa pada kedalaman 3
meter dan 10 meter selama empat bulan. Pada kedalaman 3 meter didapatkan
panjang (ukuran fragmen karang dari substrat sampai puncak) Acropora
formosa mencapai 45,5 mm dan 75,2 mm untuk lebarnya. Pada kedalaman 10
meter didapatkan pertambahan panjang (ukuran fragmen karang dari substrat
sampai puncak) mencapai 30,5 mm dan 46,0 mm untuk lebarnya. Hal tersebut
mengindikasikan karang Acropora formosa bertumbuh lebih baik pada perairan
yang dangkal. Hasil penelitian ini juga memiliki pola pertumbuhan yang sama
seperti karang jenis Acropora spp. yang ditransplantasikan di Pulau Kelapa,
dimana pertumbuhan panjang (Yarmanti (2002) menganggapnya sebagai lebar)
44
lebih besar daripada pertumbuhan tinggi (Yarmanti (2002) menganggapnya
sebagai panjang). Nilai pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan Acropora
spp. yang ditransplantasikan di Pulau Kelapa diduga diakibatkan oleh aktivitas
pembersihan fragmen karang sehingga pertumbuhan karang menjadi lebih baik.
Gambar 19. Pertumbuhan mutlak fragmen jenis Acropora spp. (n0=280,
nt=186), Hydnopora rigida (n0=15, nt=12), dan Pocillopora verrucosa (n0=46, nt=24) selama enam bulan (Maret 2009-September 2009).
Hydnopora rigida memiliki tingkat pertumbuhan mutlak karang sebesar 60
mm untuk panjang dan 38 mm untuk tinggi (Gambar 19). Hydnopora rigida
merupakan karang yang bertipe bentuk pertumbuhan bercabang menyerupai
ranting pohon. Karang ini memiliki cabang dengan ukuran cabang lebih panjang
dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang dimilikinya.
Hasil penelitian di Pulau Kelapa ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.
Penelitian terhadap Hydnopora rigida oleh Alhusna (2003) pada kedalaman 3
meter menyatakan bahwa selama 154 hari penelitian pertumbuhan panjang
(ukuran fragmen karang dari substrat sampai puncak) karang ini mencapai 25,4
mm dan 24,3 mm untuk lebar I (antar cabang), serta 20,3 mm untuk lebar II
(tiap cabang). Sementara Prawidya (2003) mengungkapkan pertumbuhan
absolut yang dicapai oleh karang jenis Hydnopora rigida yang ditransplantasikan
di kedalaman 5 meter selama lima bulan penelitiannya adalah sebesar 35,89
mm untuk pertumbuhan panjangnya dan 48,00 mm untuk pertumbuhan
tingginya. Pertumbuhan tinggi yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan
panjang pada transplantasi di Pulau Kelapa diduga terjadi karena posisi modul
yang mengikuti kontur dasar laut serta kecepatan arus dan turbulensi
0
10
20
30
40
50
60
Acropora Hydnopora rigida Pocillopora verrucosa
Pert
um
bu
han
(mm
)
Terumbu Karang yang Ditransplantasikan
Panjang Tinggi
45
mengakibatkan pertumbuhan secara horizontal lebih dominan dibandingkan
pertumbuhan secara vertikal.
Pocillopora verrucosa cenderung memiliki life form coral submassive
dimana koloni ini juga ditandai dengan pertumbuhan koloni lebih dominan ke
arah horisontal daripada vertikal namun dengan bentuk tampak seperti tombol
yang menempel, seperti tiang-tiang kecil, kancing, atau irisan-irisan, bentuk
kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil. Hal tersebut terlihat
dari tingkat pencapaian panjang mencapai 41 mm sedangkan pencapaian tinggi
hanya mencapai 31 mm (Gambar 19).
Hasil penelitian lainnya terhadap Pocillopora verrucosa di Pulau Karya
menunjukkan hasil yang sama dalam pola pertumbuhan namun lebih kecil
apabila dibandingkan dengan pengamatan di Pulau Kelapa. Lebih besarnya
ukuran Pocillopora verrucosa dikarenakan waktu transplantasi yang lebih lama
dibandingkan pengamatan yang dilakukan pada Pulau Karya. Pengamatan
dilakukan terhadap karang jenis ini di lokasi transplantasi Pulau Karya pada
kedalaman yang sama. Pada pengamatan selama tiga bulan yang dilakukan
Wibowo (2009), pencapaian pertumbuhan karang jenis Pocillopora verrucosa
mencapai 9,15 mm untuk pertumbuhan panjang dan 8,49 mm untuk
pertumbuhan tinggi.
Kecepatan arus dan turbulensi memiliki pengaruh terhadap morfologi
ekosistem terumbu karang. Hal ini terlihat dari pertumbuhan karang jenis
Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa. Hydnopora rigida
dan sebagian besar spesies dari genus Acropora yang ditransplantasikan
memiliki life form coral branching dimana seharusnya pertumbuhan secara
vertikal lebih dominan dibandingkan pertumbuhan secara horizontal, namun
pada pengamatan di lapang di dapat hasil bahwa pertumbuhan karang tersebut
lebih dominan secara horizontal daripada pertumbuhan secara vertikal.
Sementara untuk Pocillopora verrucosa yang memiliki life form sub massive,
pertumbuhan panjang akan lebih dominan daripada pertumbuhan tinggi.
Hasil yang berbeda didapatkan pada pengamatan terhadap karang jenis
Montipora spp., Porites spp., dan Stylophora pistillata di lokasi dan waktu yang
sama. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan life form di antara karang-
karang tersebut. Pertumbuhan mutlak panjang rata-rata karang jenis Montipora
adalah 62 mm dan 24 mm untuk pertumbuhan mutlak rata-rata tinggi. Karang
jenis Porites mengalami pertumbuhan mutlak rata-rata sebesar 26 mm untuk
pertumbuhan panjang dan 27 mm untuk pertumbuhan tinggi. Stylophora
46
pistillata memiliki nilai pertumbuhan mutlak sebesar 41 mm untuk panjang dan
37 mm untuk tinggi (Yudhasakti PK, 23 November 2009, komunikasi pribadi).
4.3.2. Laju pertumbuhan
Karang dengan life form berbeda akan memiliki laju pertumbuhan (Linear
extension) yang berbeda pula. Karang branching dengan polipnya yang kecil,
memiliki struktur rangka yang berongga sehingga mudah patah. Untuk
pertumbuhan karang jenis ini umumnya cenderung vertikal. Karang dengan
polip besar seperti karang masif dimana strukturnya lebih padat dan kuat,
memiliki pertumbuhan yang cenderung horisontal tetapi tingkat pertambahan
volumenya lebih besar dari karang branching (Pratama 2005).
Acropora spp. pada bulan Maret 2009-Mei 2009 memiliki laju pertumbuhan
panjang sebesar 19 mm/2 bulan dan 15 mm/2 bulan untuk tinggi. Pada
pengamatan di bulan Mei 2009-Juli 2009 dibandingkan dengan laju
pertumbuhan di bulan Maret 2009-Mei 2009 didapat hasil terjadi penurunan laju
pertumbuhan karang baik untuk panjang dan tinggi. Untuk laju pertumbuhan
panjang karang didapat laju sebesar 17 mm/2 bulan dan untuk laju
pertumbuhan tinggi karang didapat laju pertumbuhan sebesar 12 mm/2 bulan.
Laju tersebut kemudian kembali meningkat pada pengamatan di bulan Juli
2009-September 2009 yakni menjadi 20 mm/2 bulan untuk panjang dan 13
mm/2 bulan untuk tinggi. Berdasarkan pengamatan selama enam bulan
tersebut didapat rata-rata pertumbuhan yang terjadi adalah sebesar 19 mm/2
bulan untuk panjang dan 14 mm/2 bulan untuk tinggi (Gambar 20. dan Gambar
21.).
Penelitian lain yang lebih spesifik mengenai Acropora telah umum
dilakukan, diantaranya oleh Yarmanti (2002). Salah satu jenis karang Acropora
yang sering dijadikan bahan penelitian adalah Acropora formosa. Yarmanti
(2002) melakukan perlakuan terhadap kedalaman, yakni pada kedalaman 3
meter dan 10 meter. Pada kedalaman 3 meter didapatkan laju pertambahan
lebar rata-rata mencapai 18,8 mm/bulan dan laju pertambahan tinggi rata-rata
11,4 mm/bulan. Pada kedalaman 10 meter didapatkan pertambahan lebar rata-
rata sebesar 11,5 mm/bulan dan 7,60 mm/bulan untuk pertambahan tinggi
rata-ratanya.
47
Gambar 20. Laju pertumbuhan rata-rata panjang (Y ± SE).
Gambar 21. Laju pertumbuhan rata-rata tinggi (Y ± SE).
Laju pertumbuhan karang jenis Hydnopora rigida selama enam bulan,
sejak Maret 2009 hingga September 2009, rata-rata mencapai 17 mm/2 bulan
untuk tingkat pencapaian panjang dan 11 mm/2 bulan untuk tingkat pencapaian
tinggi (Gambar 20. dan Gambar 21.). Penelitian Alhusna (2003) terhadap
Hydnopora rigida mendapatkan laju pertumbuhan panjang rata-rata adalah
sebesar 5,4 mm/bulan, 6,1 mm/bulan untuk laju pertambahan lebar I rata-rata,
dan 5,1 mm/bulan untuk laju pertumbuhan lebar II. Sementara Prawidya
(2003) mengungkapkan laju pertumbuhan rata-rata yang terjadi adalah sebesar
0
5
10
15
20
25
30
35
Maret 2009-Mei 2009 Mei 2009-Juli 2009 Juli 2009-September 2009
Pert
um
bu
han
(mm
/2
bu
lan
)
Waktu Pengamatan
Acropora Hydnopora rigida Pocillopora verrucosa
0
5
10
15
20
25
30
35
Maret 2009-Mei 2009 Mei 2009-Juli 2009 Juli 2009-September 2009
Pert
um
bu
han
m
m/
2 b
ula
n)
Waktu Pengamatan
Acropora Hydnopora rigida Pocillopora verrucosa
48
7,19 mm/bulan untuk laju pertumbuhan tinggi rata-rata dan 9,60 mm/bulan
untuk laju pertambahan lebar rata-rata.
Nilai laju pertumbuhan panjang tertinggi karang jenis Hydnopora rigida
terjadi pada bulan Mei 2009 hingga Juli 2009 sebesar 24 mm/2 bulan dan nilai
terendah terjadi pada bulan Juli 2009 hingga September 2009 sebesar 11 mm/2
bulan. Laju pertambahan tertinggi dan terendah juga terjadi pada bulan Mei
2009 hingga Juli 2009 dan Juli 2009 hingga September 2009 sebesar 14 mm/2
bulan untuk tertinggi dan 7 mm/2 bulan untuk terendah (Gambar 20. dan
Gambar 21.). Meningkatnya nilai laju pertumbuhan panjang dan tinggi pada
bulan Mei 2009 hingga Juli 2009 dianggap dapat menunjukan parameter
lingkungan pada saat itu sangat mendukung pertumbuhan fragmen karang
tersebut, diduga pula kemampuan adaptasi dari fragmen karang terhadap
lingkungannya saat tersebut telah meningkat.
Laju pertumbuhan panjang lebih besar dibandingkan dengan laju
pertumbuhan tinggi karang Pocillopora verrucosa dalam kurun waktu
pengamatan selama enam bulan, sejak Maret 2009 hingga September 2009.
Laju pertumbuhan rata-rata mencapai 14 mm/2 bulan untuk tingkat pencapaian
panjang dan 10 mm/2 bulan untuk tingkat pencapaian tinggi (Gambar 20. dan
Gambar 21.). Laju pertumbuhan rata-rata karang Pocillopora verrucosa pada
kedalaman yang sama di Pulau Karya dalam kurun waktu tiga bulan
pengamatan adalah sebesar 4,94 mm/bulan untuk panjang karang dan 3,70
mm/bulan untuk tinggi karang (Wibowo 2009).
Pola yang terjadi pada laju pertumbuhan Pocillopora verrucosa adalah
terus menurun baik untuk nilai panjang maupun tingginya. Laju pertumbuhan
panjang dan tinggi tertinggi terjadi pada bulan Maret 2009 hingga Mei 2009
yakni 16 mm/2 bulan untuk panjang dan 13 mm/2 bulan untuk tinggi. Sejak
bulan Mei 2009 hingga Juli 2009 dan Juli 2009 hingga September 2009, nilai
laju pertumbuhan baik untuk panjang dan tingginya terus mengalami
perlambatan hingga nilai laju pertumbuhan terendah pada bulan Juli 2009
hingga September 2009 yakni 11 mm/2 bulan untuk panjang dan 6 mm/2 bulan
untuk tinggi (Gambar 20 dan Gambar 21).
Kondisi seperti ini diduga terjadi karena belum mampunya fragmen karang
jenis ini untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi,
mengingat perbedaan kualitas habitat antara habitat asalnya dan habitat lokasi
transplantasi. Persaingan dengan makroalga yang melimpah di lokasi tersebut
juga turut mempengaruhi kemampuan karang untuk bertumbuh secara
maksimal dikarenakan energi yang dimiliki oleh karang sebagian besar
49
digunakan untuk membersihkan diri. Mc cook 2001 in Jompa & Mc cook 2003
menyatakan saat alga mendominasi ruang maka karang yang tumbuh akan
sedikit, tetapi sebaliknya saat karang yang mendominasi ruang maka alga yang
tumbuh akan sedikit.
Harrison & Ward (2001) juga menyatakan meningkatnya konsentrasi
nutrien nitrogen dan phosphor dapat menyebabkan tekanan pada terumbu
karang, menyebabkan perubahan kalsifikasi karang dan laju pertumbuhan, dan
mengurangi kalsifikasi terumbu karang. Selain faktor tersebut, kematian
karang yang sangat besar juga mempengaruhi nilai laju pertumbuhan rata-rata
dari karang ini.
Dari pengamatan terhadap ketiga jenis karang tersebut, berdasarkan
bentuk pertumbuhannya, Acropora yang didominasi life form Acropora
branching memiliki laju pertambahan panjang sebesar 19 mm/2 bulan, lebih
besar dibandingkan Hydnopora rigida yang memiliki life form coral branching
dengan laju pertambahan panjang sebesar 17 mm/2 bulan. Sementara untuk
bentuk pertumbuhan sub-massive, laju pertambahan rata-rata panjang
Pocillopora verrucosa hanya mencapai 14 mm/2 bulan. Dibandingkan di antara
ketiganya Acropora spp. merupakan karang yang memiliki laju pertumbuhan
panjang terbesar dibandingkan kedua jenis karang lainnya.
Serupa dengan laju pertambahan panjang, laju pertambahan tinggi rata-
rata terbesar diraih oleh Acropora spp. dengan 14 mm/2 bulan, lebih besar
dibandingkan laju pertumbuhan tinggi rata-rata Hydnopora rigida yang hanya
sebesar 11 mm/2 bulan dan Pocillopora verrucosa dengan pertambahan tinggi
rata-rata terkecil dibandingkan dua karang jenis lainnya yakni hanya sebesar 10
mm/2 bulan.
Pengamatan terhadap karang jenis Montipora spp., Porites spp., dan
Stylophora pistillata juga dilakukan pada lokasi dan waktu yang sama dan
menunjukan pola yang berbeda dengan penelitian ini, bergantung kepada life
form masing-masing karang tersebut. Berdasarkan pengamatan tersebut,
karang jenis Montipora memiliki laju pertumbuhan rata-rata sebesar 13 mm/2
bulan untuk panjang dan 7 mm/2 bulan untuk tinggi. Karang jenis Porites
mengalami laju pertumbuhan rata-rata sebesar 9 mm/2 bulan untuk panjang
dan 8 mm/2 bulan untuk tinggi. Pengamatannya terhadap Stylophora pistillata
menunjukkan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 13 mm/2 bulan untuk
panjang dan 10 mm/2 bulan (Yudhasakti PK, 23 November 2009, komunikasi
pribadi).
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Tingkat kelangsungan hidup (survival rate) tiap jenis karang berbeda tiap
jenisnya. Dari ketiga jenis karang yang ditransplantasikan, tingkat
kelangsungan hidup pada akhir pengamatan paling besar dimiliki oleh Acropora
spp. dengan 79,42% sedangkan tingkat kelangsungan hidup terendah dimiliki
oleh karang jenis Pocillopora verrucosa sebesar 61,11%. Hydnopora rigida
memiliki tingkat kelangsungan hidup sebesar 74,19%. Berdasarkan kondisi
tersebut dapat disimpulkan pula bahwa perairan tersebut cukup baik untuk
transplantasi ketiga jenis karang tersebut yang ditandai dengan kelangsungan
hidup seluruhnya berada di atas kisaran 50%. Kematian terbesar selama enam
bulan diakibatkan makroalga.
Karang jenis Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa,
ketiga karang tersebut mengalami pertumbuhan yang positif. Tingkat
pencapaian pertumbuhan Acropora spp. selama enam bulan mencapai 59 mm
untuk panjang dan 42 mm untuk tinggi dengan laju pertumbuhan sebesar 19
mm/2 bulan untuk panjang dan 14 mm/2 bulan untuk tinggi. Lalu, tingkat
pencapaian pertumbuhan Hydnopora rigida mencapai 60 mm untuk panjang dan
38 mm untuk tinggi dengan laju pertumbuhan sebesar 17 mm/2 bulan dan 11
mm/2 bulan untuk tinggi. Tingkat pencapaian Pocillopora verrucosa mencapai
41 mm untuk panjang dan 31 mm untuk tinggi dengan laju pertumbuhan
mencapai 14 mm/2 bulan untuk panjang dan 10 mm/2 bulan untuk tinggi.
5.2. Saran
Ada beberapa hal yang harus lebih diperhatikan apabila dilakukan
penelitian lainnya di bidang transplantasi karang ke depannya agar lebih
optimal. Beberapa hal tersebut adalah :
1. Perlu dilakukan penelitian untuk penentuan waktu terbaik melakukan
kegiatan transplantasi untuk mengurangi lepasnya fragmen dari substrat
akibat pengaruh alami, misalnya karena arus perairan yang kuat.
2. Perlu adanya pengambilan data lingkungan yang lebih mewakili, sehingga
pengaruh parameter lingkungan terhadap sifat fisiologi hewan karang, dan
sifat morfologi koloni karang, dan pertumbuhan karang dapat diamati lebih
spesifik.
3. Pertumbuhan fragmen transplan lebih baik dibandingkan dengan karang
alami (tanpa adanya perlakuan).
51
4. Melihat pengaruh pertumbuhan makroalgae di sekitar lokasi transplantasi
dan pemangsaan ikan karang terhadap pertumbuhan beberapa model
koloni.
5. Melihat pengaruh kegiatan transplantasi itu sendiri terhadap ekosistem
terumbu karang sekitarnya.
6. Perlu dilakukan pengamatan yang lebih lama untuk mengetahui
kecenderungan pola pertumbuhan untuk waktu yang lebih lama.
DAFTAR PUSTAKA
Adrim M, Hutomo M, dan Suharti SR. 1991. Chaetodontoid fish community structure and its relation to reef degradation at the Seribu Islands reefs, Indonesia, p. 163-174. In: Proceeding of the regional symposium on living resources in coastal areas.
Alhusna IS. 2003. Studi laju pertumbuhan induk koloni dan fragmen transplan
pada transplantasi karang spesies Acropora formosa dan Hydnopora rigida di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Pertanian dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55 hlm.
Arafat D. 2005. Tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan karang
(Hydnopora rigida dan Lobophyllia hemprichii) hasil fragmentasi buatan pada bak terkontrol [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 78 hlm.
Aziz A.M. 2002. Tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan dan rasio
pertumbuhan jenis karang batu dan karang api yang ditransplantasikan di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 80 hlm.
Barnes RSK & Hughes RN. 1999. An introduction to marine ecology 3rd Ed.
Blackwell Publishing. 117-141 p. Bawole R, Eidman M, Bengen DG, & Suharsono. 1999. Distribusi spasial ikan
Chaetodontidae dan peranannya sebagai indikator kondisi terumbu karang di perairan Teluk Ambon. Jurnal ilmu-ilmu perairan dan perikanan Indonesia, VI (1) : 1-13.
Cahyadi B. 2001. Laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup
transplantasi karang Porites nigrescens dan Montipora digitata di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 88 hlm.
Companies, Inc. New York. United States of America. p. 297-322. [Coremap] Coral Reef Rehabilitation and Management Program. 2006. Modul
transplantasi karang sederhana pada Pelatihan Ekologi Terumbu Karang 22-24 Agustus 2006. Modul. Yayasan Lanra Link Makssar. Makassar. 7 p.
[Coremap]. 2007. Katalog jenis karang Sulawesi Selatan. Coremap II dan
Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanudin. Makassar. Crosby MP & Reese ES. 1996. A manual for monitoring coral reefs with
indicator species : Butterflyfishes as indicator of change on Indo Pacific
53
reefs. Office of Ocean and Coastal Resource Management, National Oceanic and Atmospheric. Silver Spring. MD. 45 p.
Dahuri R, Rais J, Ginting SP, & Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. P.T. Pradnya Paramita. Jakarta. xxiv + 305 p.
Dahuri R. 2003. Paradigma baru pembangunan indonesia berbasis kelautan.
orasi ilmiah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. ix + 233 p. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Pengenalan jenis-jenis
karang di kawasan konservasi laut. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan. 51 p.
Edwards AJ & Gomez ED. 2008. Konsep dan panduan restorasi terumbu :
membuat pilihan bijak di antara ketidakpastian. [Terjemahan dari Reef restoration concepts and guidelines : making sensible management choices in the face of uncertainty]. Yusri, Estradivari S, Wijoyo NS, & Idris (penerjemah). Yayasan TERANGI. Jakarta. 38 p.
Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan
lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm. Elahi R & Edmunds PJ. 2007. Tissue age affects calcification in the scleretinian
coral Madracis mirabilis. Biol. Bull. 212:20-28. English S, Wilkinson C, & Baker V. 1994. Survey manual for tropical marine
resources. Australian Institute Marine Science. Estradivari, Syahrir M, Susilo N, Yusri S, & Timotius S. 2007. Terumbu karang
Jakarta : Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2004-2005). Yayasan TERANGI. Jakarta. ix + 87 p.
Ghaffar MA, Ng MY, Adziz KAA, & Arshad A. 2005. Linking the feeding regime
of Chaetodon octofasciatus to the coral health in Redang Island, Malaysia. Coral marine science 30(1):276-282.
Goreau TF, Goreau NI, & Goreau TJ. 1979. Corals and coral reefs. Scientific
American, Inc. 124-136 p. Harriot VJ & Fisk DA. 1988. Coral transplantation as reef management option,
p. 375-379. In: Proc. 6th. Intl Coral Reef Symp. 2. Haris A. 2001. Laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup
fragmentasi buatan karang lunak di Pulau Pari Kepulauan Seribu, Jakarta [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 87 hlm.
Harrison PL & Ward S. 2001. Elevated levels of nitrogen and phosphorus
reduce fertilisation success of gametes from sleretinian reef coral. Marine Biology. 139:1057-1058.
Herdiana Y. 2001. Respon pertumbuhan serta keberhasilan transplantasi koral
terhadap ukuran fragmen dan posisi penanaman pada dua spesies
54
karang Acropora micropthalma dan Acropora intermedia di perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor. 87 hlm.
Hoegh-Guldberg O & Williamson J. 1999. Avaiability of two forms of dissolved
nitrogen to the Pocillopora damicornis and its symbiotic zooxanthellae. Marine Biology. 133:561-570.
Hourigan TF, Tricas TC, & Reese ES. 1988. Coral reef fishes as indicators of
environmental stress in coral reefs, p. 107-135. In: Soule DF & Kleppel GS (Editor). Marine organisms as indicators. Springer Verlag. New York.
Ikawati Y, Hanggarawati PS, Parlan H, Handini H, & Siswodihardjo B. 2001.
Terumbu karang di Indonesia. Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta.
Johan O. 2000. Tingkat keberhasilan transplantasi karang batu di Pulau Pari,
Kepulauan Seribu, Jakarta [tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 89 hlm.
Johan O. 2003. Sistematika dan teknik identifikasi karang. 8 p. In: Training
Course: Karakteristik Biologi Karang 7-12 Juli 2003. PSK-UI, Yayasan TERANGI, dan IOI-Indonesia.
Jompa J & Mc cook LJ. 2003. Contrasting effects of turf algae on corals:
massive Porites spp. are unaffected by mixed-species turfs, but killed by the red alga Anotrichium tenue. Marine Ecology Progress Series. 258:79–86.
Kaleka D. 2004. Transplantasi karang batu marga Acropora Pada substrat
buatan di perairan Tablolong Kabupaten Kupang. Makalah. [27 Oktober 2009]
karang hias yang diperdagangkan. AKKII. Jakarta. iv + 42 p. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2008. Bercocok tanam karang
dengan transplantasi. LIPI Press, Jakarta. Madduppa HH. 2006. Kajian ekobiologi ikan kepe-kepe (Chaetodon
octofaciatus, Bloch 1787) dalam mendeteksi kondisi terumbu karang di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu, Jakarta [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 100 hlm.
McClanahan TR. 1997. Primary succession of coral-reef algae: Differing
patterns on fished versus unfished reefs. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 218:77-102.
McClanahan TR & Obura D. 1997. Sedimentation effects on shallow coral
communities in Kenya. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 209:103-122. [MENKLH] Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2008. Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 (Lampiran 3) Tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta
55
Mihardja DK & Pranowo WS. 2001. Kondisi perairan Kepulauan Seribu : Laporan pelengkap dalam rangka penyusunan laporan akhir penyusunan tata ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu. Bappeda Propinsi DKI Jakarta Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian – ITB. Laporan Akhir. Pusat Penelitian Kelautan (PPK) Bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kepariwisataan (P2PAR) Institut Teknologi Bandung. Bandung. 34 hlm.
Noor A. 2003. Analisis kebijakan pengembangan marikultur di Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 222 hlm.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan.
Gramedia Pustaka Tama. Jakarta. 480 hlm. Pearse VB & Muscatine L. 1971. Role of symbiotic algae (zooxanthellae) in
coral calcification. Biol. Bull. 141:350-363. Pratama J. 2005. Tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan karang
Pocillopora, Seriatopora, dan Heliopora dalam transplantasi karang di Pulau Pari, Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Pertanian dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 81 hlm.
Prawidya R. 2003. Tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan dan rasio
pertumbuhan beberapa jenis karang batu (stony coral) yang ditransplantasikan di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Pertanian dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49 hlm.
Rachmawati R. 2001. Terumbu buatan (Artificial Reef). Pusat Riset Teknologi
Kelautan Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 50 p.
Reese ES. 1995. The use of indicator species to detect change on coral reefs :
butterflyfishes of the family Chaetodontidae as indicators for Indo-Pacific coral reefs, p. 19-23. In: Coral Reef Symposium on Monitoring methods. Annapolis. Maryland.
Rinkevich B. 1989. The contribution of photosynthetic products to coral
reproduction. Marine Biology. 101:259-263. Roberts CM & Ormond RFG. 1987. Habitat complexity and coral reef fish
diversity and abundance on Red Sea fringing reefs. Mar. Ecol. Prog. Ser. 41:1-8.
Sabater MG & Yap HT. 2002. Growth and survival of coral transplants with
and without electrochemical deposition of CaCO3. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 272:131-146.
Sadarun 1999. Transplantasi karang batu di Kepulauan Seribu Teluk Jakarta
[tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 67 hlm.
Soedharma D & Subhan B. 2007. Transplantasi karang saat ini dan
tantangannya di masa depan pada Prosiding Musyawarah Nasional
56
Terumbu Karang I. Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang. Coremap II. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Soedharma D & Arafat D. 2007. Perkembangan transplantasi karang di
Indonesia, p. 5-14. In: Soedharma D, Rahardjo MF, Susilawati SE, dan Arafat D (eds.) Prosiding seminar transplantasi karang : Membuka wawasan masyarakat mengenai transplantasi karang untuk menumbuhkan kepedulian terhadap ekosistem terumbu karang. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB – Fisheries Diving Club IPB. Bogor.
Soong K & Chen TA. 2003. Coral transplantation: Regeneration and Growth of
Acropora fragments in a nursery. Restoration Ecology. 11(1):1-10. Subhan B. 2002. Tingkat ketahanan hidup dan laju pertumbuhan karang jenis
Euphyllia sp (Dana 1846), Plerogyra sinosa (Dana 1846) dan Cynarina lacrymalis (Edwards and Haime 1848) yang ditransplantasikan di perairan Pulau Pari, Jakarta [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suharsono. 2008. Jenis-jenis karang di Indonesia. LIPI Press. Jakarta. iv +
372 p. Supit B. 2000. Laju Pertumbuhan Karang Batu Pocillopora damicornis di
Pantai Selatan Pulau Bunaken dan Pantai Malalayang Dua Teluk Manadov[skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Universitas Sam Ratulangi. [terhubung berkala]. http://www.digilib.stiekesatuan.ac.id [27 Oktober 2009].
Djambatan. Jakarta. x + 129 p. Suwignyo S, Bambang W, Yusli W, & Majariana K. 2005. Avertebrata Air.
Penebar Swadaya. Jakarta. 55-59p. Syahrir, M. 2003. Studi pertumbuhan dan kelangsungan hidup karang
Scleretenia, Coenohecalia, dan Stolonifera yang ditransplantasikan di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 72 hlm.
Tabar AM. 2007. Impact of terrigenous sediment on coral reef fish in
Southeast Sulawesi [Master Dissertation]. Department of Marine Ecology. University of Gothenburg. 12 hlm.
Tanner JE. 1995. Competition between scleretinian corals and macroalgae :
An experimental investigation of coral growth, survival and reproduction. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 190:151-168.
Veron JEN. 2000. Corals of the world vol. 2. Australia Institute of Marine
Science. viii + 429 p. Wibowo AS. 2009. Analisis kecepatan pertumbuhan dan tingkat keberhasilan
transplantasi karang Stylophora pistillata dan Pocillopora verrucosa di perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu. 69 hlm.
57
Wood R. 1999. Reef evolution. Oxford University Press, Inc. New York. xi +
414 p. Yarmanti KD. 2002. Studi laju pertumbuhan dan tingkat ketahanan hidup
karang batu spesies Acropora nobilis dan Acropora formosa pada dua kedalaman yang berbeda di Pulau Pari, Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 65 hlm.
59
Lampiran 1. Tingkat kelangsungan hidup terumbu karang jenis Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa yang ditransplantasikan