3 PENDAHULUAN Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari kinerja Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangannya secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab. Pengelolaan keuangan daerah tersebut dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah (PP 58 tahun 2005, pasal 4). Tolok ukur kinerja anggaran belanja dalam suatu organisasi termasuk Pemerintah Daerah adalah value for money yakni efisiensi, efektivitas dan ekonomis (Bastian :335). Efisien berarti penggunaan dana masyarakat (public money) tersebut menghasilkan output yang maksimal, efektivitas berarti penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target atau tujuan untuk kepentingan publik, dan ekonomis berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada tingkat harga yang paling murah ( Mardiasmo : 182) . Salah satu cara untuk mengukur kinerja Pemerintah Daerah dalam pengelolaan keuangannya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Dengan analisis rasio keuangan, pemerintah daerah dapat menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas- tugasnya, mengukur efektivitas dan efisiensi kemampuan dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daearah (PAD), kinerja keuangan juga mengukur aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya apakah lebih dominan pada belanja rutin ataukah belanja pembangunan, serta dalam pertumbuhan bagaimana pandapatan dan pengeluaran Pemerintah Daerah dalam rangka mempertahankan maupun meningkatkan kinerja yang telah dicapainya, serta kebutuhan fiskal untuk mendukung pelayanan publik
59
Embed
ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KOTA SALATIGA …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
3
PENDAHULUAN
Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari kinerja Pemerintah Daerah dalam
mengelola keuangannya secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien,
ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab. Pengelolaan keuangan daerah
tersebut dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD
yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah (PP 58 tahun 2005, pasal 4). Tolok
ukur kinerja anggaran belanja dalam suatu organisasi termasuk Pemerintah Daerah adalah
value for money yakni efisiensi, efektivitas dan ekonomis (Bastian :335). Efisien berarti
penggunaan dana masyarakat (public money) tersebut menghasilkan output yang
maksimal, efektivitas berarti penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target
atau tujuan untuk kepentingan publik, dan ekonomis berkaitan dengan pemilihan dan
penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada tingkat harga yang
paling murah ( Mardiasmo : 182) .
Salah satu cara untuk mengukur kinerja Pemerintah Daerah dalam pengelolaan
keuangannya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Dengan analisis rasio keuangan, pemerintah daerah
dapat menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-
tugasnya, mengukur efektivitas dan efisiensi kemampuan dalam merealisasikan
Pendapatan Asli Daearah (PAD), kinerja keuangan juga mengukur aktivitas pemerintah
daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya apakah lebih dominan pada belanja
rutin ataukah belanja pembangunan, serta dalam pertumbuhan bagaimana pandapatan dan
pengeluaran Pemerintah Daerah dalam rangka mempertahankan maupun meningkatkan
kinerja yang telah dicapainya, serta kebutuhan fiskal untuk mendukung pelayanan publik
4
bagi masyarakat di wilayah kerjanya, Kapasitas fiskal yang merupakan ukuran apakah
daerah mampu untuk membiayai sendiri kebutuhan fiskalnya dan upaya fiskal untuk
mengetahui bagaimana pengaruh laju pertumbuhan domestik dengan PAD nya.
Adanya analisis rasio keuangan maka diharapkan kualitas dari laporan keuangan
yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dapat meningkat. Sehingga
masyarakat umum dapt melihat kondisi keungan daerah
Dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas
Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Salatiga tahun 2009,
disebutkan visi Kota Salatiga adalah “Terwujudnya kemampuan keuangan daerah yang
mandiri, efisien, dan efektif serta pengelolaan aset daerah yang berdaya guna dan berhasil
guna dalam penyelenggaraan pemerintahan”. Lakip menunjukan pertumbuhan ekonomi
Kota Salatiga secara agregat cukup dinamis dimana dalam 5 tahun terakhir mencapai 4 %,
akan tetapi kemampuan keuangan Kota Salatiga dilihat dari DOF (Derajad Otonomi
Fiskal) selama 7 tahun terakhir hanya mencapai 20,49 % termasuk kategori rendah sekali.
Untuk itu penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi kinerja
keuangan pemerintah berdasarkan rasio keuangan melalui APBD. Adapun rumus persoalan
penelitian adalah bagaiman kinerja keuangan pemerintah Kota Salatiga pada periode 2005–
2010.
TINJAUAN LITERATUR
Pengukuran Kinerja Pemerintah
Secara umum kinerja merupakan gambaran pencapaian pelaksanaan suatu
kegiatan/ program/ kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi
5
organisasi (Indra Bastian:274). Namun menurut PP No. 8 tahun 2006, kinerja adalah
keluaran / hasil dari kegiatan/program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan
penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur. Dengan demikian kinerja
mencerminkan hasil / prestasi kerja yang dapat dicapai oleh seorang , unit kerja, dan atau
suatu organisasi pada periode tertentu sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya
dalam upaya mencapai tujuan secara legal serta sesuai moral dan etika.
Adapun pengukuran kinerja merupakan suatu aktivitas penilaian pencapaian
target- target tertentu yang diderivasi dari tujuan strategi organisasi (Lohman,2003).
Pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan menggunakan sistem penilaian (rating) yang
relevan. Rating tersebut harus mudah digunakan sesuai dengan yang akan diukur, dan
mencerminkan hal-hal yang memang menentukan kinerja (Werther dan Davis,1996:346).
Dalam SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah), pengukuran
kinerja digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan
kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka
mewujudkan visi,dan misi instansi pemerintah. Pengukuran dilakukan melalui penilaian
yang sistematik bukan hanya pada input, tetapi juga pada output, dan benefit serta impact
(dampak) yang ditimbulkan. Dengan demikian pengukuran kinerja merupakan dasar yang
reasonable untuk pengambilan keputusan dan melalui pengukuran kinerja akan dapat
dilihat seberapa jauh kinerja yang telah dicapai dalam satu periode tertentu dibandingkan
yang telah direncanakan dan dapat juga untuk mengukur kecenderungan dari tahun ke
tahun.
6
Evaluasi Kinerja
Evaluasi kinerja merupakan suatu proses umpan balik atas kinerja masa lalu yang
berguna untuk, meningkatkan kinerja di masa mendatang (LAN,2008:140). Evaluasi
kinerja sangat penting untuk menilai akuntabilitas suatu organisasi dan pimpinan dalam
menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik.
Evaluasi kinerja dapat dibagi menjadi dua yaitu evaluasi formatif, dimana
evaluasi dilakukan sebelum program berjalan atau sedang dalam pelaksanaan, serta
evaluasi sumatif, dimana evaluasi dilakukan untuk beberapa periode/tahun, sehingga
memerlukan pengumpulan data time series untuk beberapa tahun yang dievaluasi (LAN,
2008 : 141)
Pengukuran kinerja sektor publik, dilakukan untuk memenuhi tiga maksud,
pertama untuk memperbaiki kinerja pemerintah, ukuran kinerja dimaksudkan untuk
membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja, sehingga pada
akhirnya akan meningkatkan efektivitas dalam memberi pelayanan publik; kedua untuk
mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan; ketiga untuk mewujudkan
pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan (Mardiasmo,2004
: 121).
Evaluasi kinerja Pemerintah Daerah berfungsi untuk :
a. Mengetahui tingkat keberhasilan dan kegagalan kinerja suatu organisasi.
b. Memberikan masukan untuk mengatasi permasalahan yang ada.
7
Melalui evaluasi kinerja dapat diketahui bagaimana pencapaian hasil, kemajuan
dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan misi dapat dinilai dan dipelajari guna
perbaikan pelaksanaan program/kegiatan di masa yang akan datang.
Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah dalam Era Otonomi Daerah
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sesuai UU No. 32 th
2004 tentang Pemerintahan Daerah, berdasarkan asas money follows function, juga dikuti
dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan yang sebelumnya masih dipegang oleh
Pemerintah Pusat, maka timbul hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang
sehingga perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan daerah. Keuangan
daerah harus dilaksanakan dengan pembukuan yang terang, rapi dan pengurusan keuangan
daerah harus dilaksanakan secara sehat termasuk sistem administrasinya. Dengan demikian
diharapkan daerah menyusun dan menetapkan APBD nya sendiri (Azhari, 1995:39-40).
Dalam pasal 4 pada PP. 58 tahun 2005 tersebut dinyatakan bahwa pengelolaan
keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem terintegrasi yang diwujudkan dalam
APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah.
Masalah keuangan daerah berhubungan dengan ekonomi daerah, terutama
menyangkut tentang pengelolaan keuangan suatu daerah, tentang bagaimana sumber
penerimaan digali dan didistribusikan oleh Pemerintah Daerah (Devas,1995:179).
Sedangkan keberhasilan perkembangan daerah terefleksikan oleh besar kecilnya
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai pembangunan daerah. Potensi dana
pembangunan yang paling besar dan lestari adalah bersumber dari masyarakat sendiri yang
dihimpun dari pajak dan retribusi daerah (Basri, 2003:94).
8
Oleh karena itu, peningkatan peran atau porsi PAD terhadap APBD tanpa
membebani masyarakat dan investor merupakan salah satu indikasi keberhasilan
Pemerintah Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah, yang lebih penting adalah
bagaimana Pemerintah Daerah mengelola keuangan daerah secara efisien dan efektif
(Saragih, 2003:133).
APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan Peraturan
Daerah. Struktur APBD menurut PP. 58 tahun 2005 pasal 20 terdiri dari pendapatan
daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah.
Pendapatan daerah, meliputi penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum
Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu
tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah
Belanja daerah, meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah,
yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu
tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah
Pembiayaan daerah, meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan
atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun dengan pendekatan
kinerja dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling lambat 1 (satu) bulan setelah
APBN ditetapkan, demikian juga halnya dengan perubahan APBD ditetapkan dengan
Peraturan Daerah selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran.
9
Sedangkan perhitungan APBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya
tahun anggaran yang bersangkutan. APBD yang disusun dengan pendekatan kinerja
tersebut memuat hal-hal sebagai berikut (Nirzawan,2001:81):
1. Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja.
2. Standar pelayanan yang diharapkan dan diperkirakan biaya satuan komponen
kegiatan yang bersangkutan.
3. Bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi umum,
belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/pembangunan.
Analisis Rasio Keuangan
Analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan
laporan keuangan yang tersedia (Abdul Halim, 231). Pemerintah Daerah sebagai pihak
yang diberikan tugas menjalankan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat
wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerah sebagai dasar
penilaian kinerja keuangannya. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja keuangan
Pemerintah Daerah adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD
yang telah ditetapkan dan dilaksanakan (Halim, 2002:126).
Sedangkan analisis rasio keuangan adalah suatu cara untuk membuat
perbandingan data keuangan, sebagai dasar untuk mengetahui kinerja keuangan suatu
lembaga (Samryn, 324).
Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis,
efektif, efisien, dan akuntabel, analisis rasio keuangan terhadap pendapatan belanja daerah
10
perlu dilaksanakan meskipun terdapat perbedaan kaidah pengakuntansiannya dengan
laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta (Mardiasmo, 2002: 169).
Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan cara membandingkan hasil
yang dicapai dari satu periode dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui
bagaimana kecenderungan yang terjadi .
Beberapa rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur akuntabilitas
Pemerintah Daerah (Halim, 2002:128), yaitu rasio kemandirian keuangan , rasio efektivitas
dan efisiensi keuangan daerah, rasio kemampuan rutin, rasio keserasian, rasio
pertumbuhan. Adapun menurut Sularmi (2006) rasio keuangan dapat diukur melalui rasio
kebutuhan fiskal, Rasio Kapasitas fiskal dan Rasio upaya fiskal.
a) Rasio Kemandirian
Kemandirian daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang
diperlukan daerah (Abdul Halim : 232)
Rasio kemandirian keuangan daerah menunjukkan tingkat kemampuan suatu
daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang
diperlukan daerah. Rasio kemandirian ditunjukkan oleh besarnya pendapatan asli daerah
dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain(pihak ekstern)
antara lain : Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil bukan Pajak sumber daya Alam, Dana Alokasi
Umum dan Alokasi Khusus, Dana Darurat dan pinjaman (Widodo, 2001 : 262). Rumus
yang digunakan untuk menghitung rasio kemandiriaan adalah sebagai berikut
11
Berhubungan dengan hal ini, Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Halim
(2001:168) mengemukakan mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
dalam pelaksanaan otonomi daerah, terutama pelaksanaan Undang-undang tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu sebagai berikut :
1. Pola hubungan instruktif, yaitu peranan Pemerintah Pusat lebih dominan daripada
kemandirian Pemerintah Daerah (daerah tidak mampu melaksanakan otonomi
daerah secara finansial).
2. Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan Pemerintah Pusat sudah mulai
berkurang dan lebih banyak pada pemberian konsultasi karena daerah dianggap
sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah.
3. Pola hubungan partisipatif, yaitu pola dimana peranan Pemerintah Pusat semakin
berkurang mengingat tingkat kemandirian daerah otonom bersangkutan mendekati
mampu melaksanakan urusan otonomi. Peran pemberian konsultasi beralih ke
peran partisipasi Pemerintah Pusat.
4. Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan Pemerintah Pusat sudah tidak ada
lagi karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan
urusan otonomi daerah. Pemerintah Pusat siap dan
dengan keyakinan penuh mendelegasikan otonomi keuangan kepada Pemerintah
Daerah.
12
Pola hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah serta tingkat kemandirian dan
kemampuan keuangan daerah dapat disajikan dalam matriks seperti pada Tabel I berikut
ini
TABEL 1
Pola Hubungan Tingkat Kemandirian, dan Kemampuan Keuangan Daerah
Kemampuan
Keuangan
Rasio
Kemandirian (%)
Pola
Hubunggan
Rendah Sekali 0 – 25 Instruktif
Rendah > 25 – 50 Konsultatif
Sedang > 50 – 75 Partisipatif
Tinggi > 75 – 100 Delegatif
Sumber = Anita Wulandari (2001 : 21 )
Pada penelitian sebelumnya oleh Widodo (2001), melakukan penelitian tentang
analisis rasio keuangan APBD kabupaten Boyolali. Hasilnya menunjukkan bahwa
kemandirian pemerintah daerah Boyolali dalam memenui kebutuhan dana untuk
pemyelenggaraan tugas-tugas pemerintah, pembangunan dan pelayanan social
kemasyarakatan masih relatif rendahdan cenderung turun.
Sedang penelitian oleh Tri Suprapto (2006) menganai Analisis Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman Dalam Masa Otonomi Daerah Tahun 2000 – 2004.
Hasilnya Bahwa Kemandirian Juga masih rendah sekali dan dalam kategori instruktif. Tapi
dalam setiap tahunya mengalami peningkatan dikarenakan PAD kabupaten sleman setiap
tahunnya mengalamai peningkatan yang cukup besar
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana
eksternal, semakin tinggi rasio kemandirian berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap
pihak eksternal semakin rendah dan sebaliknya rasio ini juga menggambarkan tingkat
13
partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio ini berarti
semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang
merupakan komponen dari PAD.
b) Rasio Efektivitas dan Efisiensi PAD
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam
merealisasikan PAD yang direncanakan dibanding dengan target yang ditetapkan
berdasarkan potensi riil daerah ( Abdul Halim : 234). Adapun rumus untuk Rasio
Efektivitas adalh sebagai berikut
Pada penelitian yang dilakukan oleh Nanis H (2008) mengenai penilaian kinerja
bagian Keuangan Pemkab Probolinggo menggunakan analisis rasio keuangan , dimana
hasilnya adalah penurunan effektivitas kinerja. Untuk penellitan yang pada kabupaten
Sleman oleh Tri Suprapto(2006) mengatakan bahwa dari effektifitasnya cenderung
effektif.
Kemampuan daerah dikatakan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 1 atau
100%, dan semakin tinggi rasio yang dicapai menunjukkan kemampuan yang semakin
efektif dan mengambarkan kemampuan daerah semakin baik.
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang
diterima (Abdul Halim : 234). Adapun rumus rasio efisiensi adalah sebagai berikut
14
Pada penelitian sebelum nya oleh Tri suprapto (2006), mendapatkan hasil bahwa
effisiensi kabupaten sleman semakin baik dari tahun ketahun. Alopun setiap tahun nya
mengalami peningkatan biaya pada pemungutan tetapi itu tidak berpengaruh pada tingkat
effisiensinya karena realisasi pendapatannya juga meningkat.
Kinerja Pemerintah Daerah dalam mengelola anggaran dikatakan efisien, apabila
rasio yang dicapai kurang dari satu atau kurang dari 100%, semakin kecil rasionya
semakin efisien .
c) Rasio Kemampuan Rutin
Indeks kemampuan rutin dapat dilihat melalui proporsi antara Pendapatan Asli
Daerah dengan pengeluaran rutin tanpa transfer dari pemerintah pusat. Adapun mengitung
rasio kemampuan rutin adalah sebagai berikut
Sedangkan dalam menilai indeks kemampuan rutin dengan menggunakan skala
menurut wulandari (2001 : 15 ) sebagaimana yang terlihat dalam tabel II
Tabel 2
Skala Kemampuan Keuangan Daerah
% Kemampuan keuangan daerah
00,00 – 20,00
20,01 – 40,00
40,01 – 60,00
60,00 – 80,00
80,00 – 100,00
Sangat kurang
Kurang
Cukup
Baik
Sangat baik
Sumber : anita wulandari (2001 :22)
15
Penelitian sebelimnya yang dilakukan oleh Sri wahyuni (2008) mengenai Analisis
Kemampuan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Sragen Dalam Mendukung
Pelaksanaan Otonomi Daerah dimana hasil dari analisis rasio kemampuan rutin amasih
sangat kurang begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Suyoko (2008) mengenai
Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Mendukung Pelaksanaan Autonomi
Daerah Pada Kabupaten Karanganyar dimana hasil utujk kemampuan rutin masih dalam
skala interval sanagat kurang berarti PAD mempunyai kemampuan yang sanagad kecil
dalam membiayai pengeluaran rutin
d) Rasio Keserasian
Rasio keserasian menunjukkan bagaimana Pemerintah Daerah memprioritaskan
alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal (Halim : 235).
Adapun rumus rasio keserasian adalah sebagai berikut
Pada penelitian sebelumnya Sedang kan penelitian oleh suyoko (2008) sebagian
dana yang dimiliki pemerintah daerah masih diprioritaskan untuk kebutuhan belanja rutin
sehingga rasio pembangunan terhadap APBD relatif kecil. Ini dibuktikan dari rasio belanja
rutinyang selalu lebih besar dibandingkan dengan rasio belanja pembangunan. Hasil
penelitian oleh Sri Wahyuni (2008) masih sama yaitu pada rasio keserasian menunjukan
bahwa pengeluaran rutin lebih besar daripada belanja pembangunan.
16
Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin/belanja
aparatur daerah artinya persentase belanja pembangunan/belanja pelayanan publik yang
digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung
semakin kecil. Walaupun belum ada patokan yang pasti untuk belanja pembangunan.
Sehingga pemerintah masih berfokus pada belanja rutin.
e) Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan mengukur seberapa besar kemampuan Pemerintah Daerah
dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari periode ke
periode berikutnya, baik dilihat dari sumber pendapatan maupun pengeluaran (Halim :
241). Adapun rumus dari rasio pertumbuhan adalah sebagai berikut
r = Pertumbuhan
Pn = TPD/ PAD / Belanja rutin/ Belanja pembangunan yang dihitung pada tahun ke-n
Po = TPD/ PAD / Belanja rutin/ Belanja pembangunan Data yang dihitung pada tahun ke-o
Pertumbuhan APBD dilihat dari berbagai komponen penyusun APBD yang terdiri
dari pendapatan asli daerah, total pendapatan, belanja rutin dan belanja pembangunan
(Widodo, 2000: 270)
Rasio pertumbuhan berfungsi untuk mengevaluasi potensi-potensi daerah yang
perlu mendapatkan perhatian. Semakin tinggi nilai PAD, Total Pendapatan Daerah (TPD)
dan belanja pembangunan yang diikuti oleh semakin rendahnya belanja rutin, maka
pertumbuhannya adalah positif. Artinya bahwa daerah yang bersangkutan telah mampu
mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhannya dari periode yang satu ke periode
17
berikutnya. Jika semakin tinggi nilai PAD, TPD, dan belanja rutin yang diikuti oleh
semakin rendahnya belanja pembangunan, maka pertumbuhannya adalah negatif. Artinya
bahwa belum mampu meningkatkan pertumbuhan daerahnya.
f) Kebutuhan fiskal
Menurut UU No 33 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1, “Kebutuhan fiskal Daerah
merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum.
(Undang–Undang Otonomi Daerah 2004: 236 dalam Haryati 2006). Maka rumus dari rasio
pertumbuhan fiskal adalah sebagai berikut
Keterangan
PPP = Jumlah Pengeluaran Rutin dan Pembangunan per kapita masing – masing daerah
Rata – rata kebutuhan Fiskal Standar se – Jawa Tengah adalah :
Semakin tinggi Indeks Pelayanan Publik Perkapita (IPPP), maka kebutuhan fiskal
suatu daerah semakin besar. IPPP dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar
jumlah pengeluaran atau kebutuhan fiskal daerah dan untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan penduduk untuk memenuhinya. Apabila jumlah pengeluaran per kapita suatu
daerah lebih besar dibandingkan dengan standar kebutuhan fiskal, berarti kebutuhan
18
fiskalnya besar. Apabila pemerintah mampu mencukupi sebesar kebutuhan fiskal daerah
tersebut berarti pemerintah daerah sudah dianggap mampu.
g) Kapasitas fiskal
Menurut UU No 33 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 3, “ Kapasitas fiskal Daerah
merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan dana bagi hasil.“ Ibid: 236
(Haryati 2006). Sehingga rumusnya sebagai berikut
1. Analisis Kapasitas Fiskal
Keterangan :
PDRB = Produk Domestik Regional Bruto
Semakin tinggi rata-rata kapasitas fiskal (FC) suatu daerah maka kemampuan daerah
dalam mendanai kebutuhannya semakin memadai guna membiayai pembangunan daerah.
Apabila jumlah PAD yang diserahkan kepada pemerintah daerah lebih besar dari
jumlah kebutuhan fiskal daerah tersebut berarti potensi untuk mendapatkan PAD didaerah
tersebut cukup bagus tanpa ada subsidi dari pemerintah pusat. Apabila pendapatan
(kapasitas fiskal) lebih besar dari pengeluaran atau kebutuhan fiskal sama dengan surplus,
dapat dikatakan bahwa daerah tersebut sudah mampu membiayai kebutuhan fiskal
daerahnya dan apabila pendapatan atau kapasitas fiskal kurang dari pengeluaran atau
kebutuhan fiskal, sama dengan defisit, dapat dikatakan daerah tersebut belum mampu
19
membiayai sendiri kebutuhan fiskalnya dan masih harus ditutup dengan subsidi dari
pemerintah pusat.
h) Upaya fiskal
Analisis Upaya fiskal merupakan analisis yang bertujuan untuk mengetahui
tingkat pendapatan asli daerah dengan laju pertumbuhan produk Domestik Bruto (Haryati
:2006). Oleh karena itu rumus dari Upaya fiskal adalah sebagai berikut
Keterangan
Upaya fiskal dihitung dengan mencari koefisien elastisitas PAD terhadap PDRB.
Semakin elastis PAD, maka stuktur PAD didaerah akan semakin baik. Untuk mengetahui
tingkat PAD dengan laju pertumbuhan produk domestik regional bruto dengan kriteria
penilaian yaitu apabila PDRB naik 1% maka akan berpengaruh pada PAD.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif komparatif atas
data timeseries. Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder, data sekunder
dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Pemerintah Kota Salatiga
tahun 2005-2010.
20
2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) penduduk Kota Salatiga dan provinsi Jawa
tengah tahun anggaran 2005-2010 .
3. Data Jumlah Penduduk Kota Salatiga dan Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 - 2010
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan analisis rasio kemudian
dibandingkan dari tahun ke tahun sehingga akan dapat dievaluasi kinerja Pemerintah Kota
Salatiga untuk periode 2005 sampai tahun 2010
1. Analisis Rasio Kemandirian
2. Analisis Rasio Efektivitas dan Efisiensi
3. Analisis rasio kemampuan rutin
21
4. Analisis Rasio Keserasian
5. Analisis Rasio Pertumbuhan
r = Pertumbuhan
Pn = TPD/ PAD / Belanja rutin/ Belanja pembangunan yang dihitung pada tahun ke-n
Po = TPD/ PAD / Belanja rutin/ Belanja pembangunan Data yang dihitung pada tahun
ke-o
Membandingkan PAD, Total Pendapatan, Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan
dari periode ke periode berikutnya yaitu tahun 2005/2006, tahun 2006/2007, tahun
2007/2008, tahun 2008/2009 dan tahun 2009/2010
6. Analisis Kebutuhan Fiskal
Keterangan
PPP = Jumlah Pengeluaran Rutin dan Pembangunan per kapita masing – masing
daerah
22
Rata – rata kebutuhan Fiskal Standar se – Jawa Tengah adalah :
7. Analisis Kapasitas Fiskal
Keterangan :
PDRB = Produk Domestik Regional Bruto
8. Analisis Upaya Fiskal
Keterangan
Perubahan
23
PENGOLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN
Profil kinerja Keuangan Kota Salatiga
Tabel 3 A
Profil Kinerja Keuangan
Kota Salatiga Tahun 2005 – 2010
Ket
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-
rata
Pajak
daerah 5.818.339.630 6.514.964.208 7.065.860.976 7.995.573.127 9.201.402.994 9.206.459.923