1 ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH MELALUI PENGELOLAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (Studi pada Pemerintah Kota Salatiga) Debora Pratiti Dewi Priyo Hari Adi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Abstract This research is aimed to analyze the financial performance by managing the local finance of the government of Salatiga in 2011 to 2015. The financial performance can be measured by using analysis of independence ratio, activity ratio, effectivity dan efficiency ratio, and growth ratio. This research uses financial report that consist of realization of the local finance. The result showed that the financial performance of the local government as seen from the independence ratio is low but increased annually. Then the activity ratio showed that the government put more funds on routine spending than development spending. The effectivity ratio tends to be effective, but the efficiency ratio is not efficient. The growth rasio showed positive trend except the development spending growth. Keywords : Financial Performance of Local Government, APBD, Independence Ratio, Activity Ratio, Effectivity and Efficiency Ratio, Growth Ratio. 1. Pendahuluan Penerapan otonomi daerah di beberapa kota di Indonesia memberikan wewenang kepada daerah yang bersangkutan untuk mengelola daerahnya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Peralihan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ini diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peralihan wewenang tersebut selalu diikuti dengan penyerahan segala urusan keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah masing-masing (Dien, Tinangon dan Walandouw 2015). Anggaran digunakan oleh pemerintah sebagai instrument perencanaan untuk mengatur program kerja atau rencana kerja selama dan target yang harus
34
Embed
ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH MELALUI ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH MELALUI
PENGELOLAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
(Studi pada Pemerintah Kota Salatiga)
Debora Pratiti Dewi
Priyo Hari Adi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Abstract
This research is aimed to analyze the financial performance by managing the local finance of
the government of Salatiga in 2011 to 2015. The financial performance can be measured by
using analysis of independence ratio, activity ratio, effectivity dan efficiency ratio, and growth
ratio. This research uses financial report that consist of realization of the local finance. The
result showed that the financial performance of the local government as seen from the
independence ratio is low but increased annually. Then the activity ratio showed that the
government put more funds on routine spending than development spending. The effectivity
ratio tends to be effective, but the efficiency ratio is not efficient. The growth rasio showed
positive trend except the development spending growth.
Keywords : Financial Performance of Local Government, APBD, Independence Ratio, Activity Ratio,
Effectivity and Efficiency Ratio, Growth Ratio.
1. Pendahuluan
Penerapan otonomi daerah di beberapa kota di Indonesia memberikan wewenang
kepada daerah yang bersangkutan untuk mengelola daerahnya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Peralihan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
ini diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peralihan
wewenang tersebut selalu diikuti dengan penyerahan segala urusan keuangan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah masing-masing (Dien,
Tinangon dan Walandouw 2015). Anggaran digunakan oleh pemerintah sebagai instrument
perencanaan untuk mengatur program kerja atau rencana kerja selama dan target yang harus
2
dicapai selama periode tertentu. Selain itu, anggaran juga dimanfaatkan sebagai alat
pengendalian dalam proses pelaksanaannya (Sumenge 2013). Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang
ditetapkan dengan peraturan daerah. Undang-undang No.17 Tahun 2003 Pasal 17 tentang
Keuangan Negara menjelaskan bahwa APBD disusun sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah masing-masing.
Tingkat keberhasilan suatu pemerintahan dapat dilihat dari kinerjanya. Kinerja
diartikan sebagai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mewujudkan sasaran,
tujuan, visi dan misi dari pemerintah. Kinerja dari pemerintah daerah akan menunjukkan
seberapa baik pelaksanaan otonomi daerah, sehingga hal tersebut penting untuk diukur
(Saputra, Suwendra dan Yudiatmaja 2016). Pengukuran kinerja keuangan bermanfaat untuk
melihat akuntabilitas pemerintah daerah tersebut yang disajikan dalam bentuk laporan
keuangan. Melalui laporan keuangan yang disajikan maka akan menunjukkan posisi keuangan,
realisasi anggaran, dan kinerja keuangan pemerintah (Sijabat, Saleh dan Wachid 2014).
Melalui laporan keuangan tersebut dapat dilakukan analisis rasio keuangan daerah untuk
menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah,
mengukur aktivitas atau keserasian dalam membelanjakan pendapatan daerahnya, menilai
efektivitas dan efisiensi realisasi anggaran, serta pertumbuhan pendapatan dan belanja daerah
(Hanik dan Karyanti 2014).
Analisis rasio keuangan dapat digunakan untuk menilai kinerja keuangan pemerintah
daerah atas pengelolaan APBD pada periode tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya dan
sudah selesai direalisasikan. Terdapat beberapa jenis rasio yang dapat diterapkan untuk menilai
kinerja keuangan dan perlu disesuaikan dengan data yang akan diteliti lebih lanjut. Misalnya
rasio kemandirian keuangan daerah yang digunakan untuk menilai kemampuan daerah dalam
menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi dibandingkan penerimaan dari
bantuan pemerintah pusat maupun pinjaman. Selain itu, terdapat rasio aktivitas untuk menilai
pengalokasian belanja rutin dan belanja pembangunan, rasio efektivitas pendapatan dan
efisiensi belanja, serta rasio pertumbuhan untuk melihat adanya pertumbuhan secara positif
ataupun negatif dari kinerja anggaran pada beberapa periode anggaran (Mahmudi 2010).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Boedi (2012) tentang kinerja keuangan
Pemda Kabupaten Banjar menyatakan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah tersebut jika
dinilai dengan rasio keuangan cenderung masih bergantung kepada pemerintah pusat.
3
Pertumbuhan pendapatan dan belanja daerah cenderung menurun setiap tahunnya, walaupun
tingkat efektivitas PAD sudah tergolong tinggi. Penelitian lain mengatakan bahwa perolehan
PAD dapat mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah secara signifikan, sehingga
setiap komponen PAD dapat mempengaruhi kinerja keuangan suatu daerah (Wenny 2012).
Menurut Macmud, Kawung dan Rompas (2014), kinerja keuangan daerah yang masih belum
stabil dan belum begitu baik jika dilihat dari beberapa rasio keuangan menunjukkan trend
positif dan trend negatif. Hal tersebut dipengaruhi oleh kemampuan daerah dalam mengelola
sumber daya dan pendapatan daerah yang diterima.
Kota Salatiga merupakan salah satu kota yang terletak di wilayah Provinsi Jawa Tengah
dan melaksanakan otonomi daerah dengan mengelola segala kepentingan dan urusan
pemerintahannya sendiri. Perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan serta pemanfaatan
sumber daya dikelola sendiri oleh pemerintah Kota Salatiga, sehingga pengelolaan APBD
sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah daerah dan harus dilaksanakan sesuai peraturan
perundang-undangan. Dalam Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) Kota Salatiga tahun
anggaran 2016, realisasi pendapatan dan belanja daerah cenderung meningkat setiap tahunnya,
walaupun secara keseluruhan belum mencapai target yang telah ditetapkan. Penelitian yang
dilakukan oleh Wardhani (2012) menunjukkan bahwa kinerja keuangan Kota Salatiga pada
tahun 2005-2010 dikatakan belum baik jika dinilai dengan rasio keuangan, karena dari
beberapa rasio keuangan yang digunakan, hanya rasio efektivitas dan rasio upaya fiskal yang
sudah menunjukkan kriteria yang baik. Penilaian kinerja keuangan tersebut dilakukan dengan
menggunakan analisis rasio keuangan dengan membandingkan hasil pencapaian tujuan dari
beberapa periode anggaran sehingga dapat diketahui kecenderungan yang terjadi.
Gambar 1 Perkembangan Realisasi APBD Kota Salatiga Tahun 2010-2015
Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka Tahun 2011-2016
41
2 47
8 56
2 60
3 72
7
75
0
41
8
44
8 55
1
52
9
64
5
67
3
0
100
200
300
400
500
600
700
800
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Pendapatan
Belanja
(dalam miliar rupiah)
4
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa realisasi APBD Kota Salatiga cenderung
meningkat setiap tahunnya. Terdapat penurunan tingkat belanja pada tahun 2013, tetapi
pendapatan dan belanja pada tahun yang lain terus meningkat. Peningkatan maupun penurunan
pendapatan dan belanja daerah tersebut sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen
didalamnya. Peningkatan realisasi APBD dari tahun ke tahun disebabkan oleh peningkatan
kemampuan pemerintah dalam merealisasikan anggaran. Selain itu, rancangan anggaran
pendapatan dan belanja cenderung dibuat melebihi tahun-tahun sebelumnya untuk
menunjukkan kinerja pemerintahan yang lebih baik dengan target pencapaian yang lebih tinggi.
Penelitian Wardhani (2012) menunjukkan bahwa kinerja keuangan Pemerintah Kota
Salatiga pada periode 2005-2010 masih belum baik, sehingga melalui penelitian ini akan
melihat bagaimana kinerja keuangan pemerintah daerah Kota Salatiga dilihat dari sisi
kemandirian keuangan daerah, aktivitas atau keserasian alokasi belanja daerah, efektivitas dan
efisiensi penggunaan APBD, serta pertumbuhan pendapatan dan belanja daerah pada periode
2011-2015.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan kinerja keuangan
pemerintah daerah Kota Salatiga melalui analisis rasio keuangan. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mahasiswa maupun masyarakat secara umum
tentang kinerja keuangan khususnya pada pemerintah daerah Kota Salatiga. Selain itu, dapat
digunakan sebagai referensi bagi pemerintah daerah Kota Salatiga dalam hal pelaksanaan
anggaran supaya dapat berjalan dengan efektif dan efisien, bermanfaat dalam proses
pengambilan keputusan, serta meningkatkan akuntabilitas pelaporan pemerintah dan
efektivitas pengelolaan sumber daya.
2. Tinjauan Pustaka
2.1. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah seperti yang diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, merupakan penyelenggaraan urusan pemerintah oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam UUD Tahun 1945. Sedangkan laporan keuangan yang harus
dibuat oleh pemerintah daerah setidaknya terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA),
Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) yang dilampiri
5
dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya. Bentuk dan isi laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD harus disusun dan disajikan sesuai dengan standar
akuntansi pemerintah yang dibuat oleh komite standar yang independen dan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah dengan persetujuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta
disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 bulan setelah berakhirnya tahun anggaran
yang bersangkutan.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah, Laporan Realisasi Anggaran mengungkapkan kegiatan keuangan pemerintah
pusat/daerah yang menunjukkan ketaatan terhadap APBN/APBD. Laporan tersebut
menyajikan ikhtisar sumber, alokasi, dan pemakaian sumber daya keuangan yang dikelola oleh
pemerintah pusat/daerah, yang menggambarkan perbandingan antara anggaran dan
realisasinya dalam satu periode pelaporan. Laporan realisasi anggaran mencakup beberapa pos
yaitu pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit, penerimaan pembiayaan, pengeluaran
pembiayaan, pembiayaan neto, dan sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran (SiLPA/SiKPA).
Laporan Realisasi Anggaran dapat digunakan untuk menilai kondisi keuangan,
mengevaluasi efektivitas dan efisiensi penggunaan dana maupun sumber daya sehingga dapat
terlihat ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan. Tetapi dalam menghasilkan
laporan keuangan sektor publik yang relevan dan dapat diandalkan terkadang terdapat beberapa
kendala yang harus dihadapi seperti objektivitas, konsistensi, daya banding, tepat waktu,
ekonomis dalam penyajian laporan dan materialistik (Santoso dan Pambelum 2008). Undang-
undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjelaskan bahwa Laporan Realisasi
Anggaran selain menyajikan realisasi anggaran pendapatan dan belanja, juga menjelaskan
prestasi kerja satuan kerja perangkat daerah.
2.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan
DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD mempunyai fungsi otorisasi,
perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi anggaran pemerintah daerah.
Penyusunan rancangan APBD berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang
bersangkutan. Anggaran dibuat dengan memperkirakan defisit maupun surplus yang mungkin
akan diperoleh pada periode mendatang, sehingga penetapan sumber-sumber pembiayaan
6
untuk menutup defisit maupun penggunaan surplus dapat diketahui dan dijalankan sesuai
dengan Peraturan Daerah tentang APBD. Penyusunan APBD ini harus disesuaikan dengan
kebutuhan penyelenggaraan dan kemampuan pendapatan daerah masing-masing. Jumlah
alokasi dana yang dimanfaatkan harus disesuaikan dengan anggaran yang sudah disusun
sebelumnya. Anggaran yang akan dilaksanakan pada tahun mendatang mengacu pada anggaran
dan realisasi dari tahun sebelumnya, sehingga dapat digunakan sebagai tolak ukur pembuatan
anggaran pada periode berikutnya (Fahrianta dan Carolina 2012).
Struktur APBD terdiri dari 3 hal, seperti yang sudah diatur dalam Permendagri No. 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yaitu Pendapatan Daerah,
Belanja Daerah dan Pembiayaan Daerah. Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang
melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana dan merupakan hak daerah
dalam satu tahun anggaran sehingga tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan
daerah dikelompokkan atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain
pendapatan yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Sedangkan dana perimbangan biasanya terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum dan
dana alokasi khusus. Lain-lain pendapatan yang sah terdiri dari hibah, dana darurat, dana bagi
hasil pajak, dana penyesuaian dan dana otonomi khusus, serta bantuan keuangan dari provinsi
atau pemerintah daerah lainnya.
Belanja daerah merupakan dana yang dipergunakan dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota. Belanja daerah
meliputi seluruh pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana,
merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh
pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah digunakan untuk mendanai pelaksanaan
urusan pemerintahan yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan
ketentuan perundang-undangan. Belanja menurut kelompok belanja dibedakan menjadi 2 yaitu
belanja tidak langsung dan belanja langsung, dimana pengeluaran belanja terkait langsung atau
tidak langsung dengan pelaksanaan program pemerintah. Indikator kualitas belanja daerah
dapat dilihat dari besaran belanja langsung yang seharusnya lebih besar dari belanja tidak
langsung. Hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan pendapatan yang diterima untuk
keperluan belanja langsung daripada belanja tidak langsung. Tetapi realitasnya kecenderungan
7
realisasi belanja tidak langsung selalu lebih besar daripada belanja langsung (Fahlevi dan
Ananta 2015). Sedangkan pembiayaan daerah meliputi semua transaksi keuangan untuk
menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus. Pembiayaan daerah ini terdiri dari
penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
2.3. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Kinerja merupakan gambaran pencapaian suatu target atau tujuan melalui
pelaksanaannya. Indikator kinerja dapat dilihat dari ukuran kuantitatif dan kualitatif sehingga
nantinya akan menggambarkan tingkat pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya
jika dilihat dari indikator masukan (input), keluaran (output), hasil, manfaat, dan dampak
(Saputra, Suwendra dan Yudiatmaja 2016). Kinerja keuangan diartikan sebagai tingkat
pencapaian di bidang keuangan yang menunjukkan hasil kerja atau capaian kerja pemerintah
daerah. Pencapaian tersebut dapat dilihat dari pengelolaan pendapatan dan belanja daerah
menggunakan sistem keuangan yang ditetapkan berdasarkan kebijakan atau ketentuan
perundang-undangan pada satu periode tertentu (Kundalini 2014).
Penelitian Saputra, Suwendra dan Yudiatmaja (2016) mengenai kinerja keuangan
pemerintah daerah Kabupaten Jembrana yang menggunakan analisis rasio keuangan,
menunjukkan bahwa rasio kemandirian keuangan cenderung rendah. Pertumbuhan pendapatan
daerah tersebut dikategorikan positif, karena pemerintah daerah mampu mempertahankan
bahkan meningkatkan pencapaian dari tahun sebelumnya. Rasio keserasian belanja
menunjukkan bahwa pemerintah lebih banyak menggunakan anggaran belanjanya untuk
keperluan belanja operasional. Tingkat efektivitas dan efisiensi penggunaan angaran daerah
tersebut dinilai sudah baik. Sedangkan penelitian Hanik dan Karyanti (2014) terhadap kinerja
keuangan daerah Kabupaten Semarang dinilai sudah cukup baik. Tingkat kemandirian daerah
memang masih rendah tetapi terus meningkat setiap tahunnya. Efektivitas dan efisiensi
penggunaan anggaran sudah dilaksanakan dengan baik. Rasio aktivitas menunjukkan bahwa
proporsi belanja rutin lebih banyak daripada belanja pembangunan. Sedangkan rasio
pertumbuhan menunjukkan bahwa pemerintah daerah mampu mempertahankan kinerjanya
dalam mengelola keuangan daerah.
Pengukuran kinerja keuangan pada pemerintah daerah dapat dilihat dari laporan
pertanggunjawaban atas penggunaan APBD. Tujuan dilakukannya pengukuran kinerja
keuangan adalah untuk membantu memperbaiki kinerja keuangan pemerintah, pengalokasian
sumber daya yang maksimal, pengambilan keputusan, sebagai wujud pertanggungjawaban
8
publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan (Mardiasmo 2004). Salah satu cara untuk
mengukur kinerja keuangan adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap
anggaran pendapatan dan belanja daerah. Analisis tersebut terdiri dari beberapa rasio yaitu
rasio kemandirian keuangan daerah, aktivitas, efektivitas dan efisiensi, serta pertumbuhan
pendapatan dan belanja.
a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan akan menggambarkan kemampuan pemerintah daerah
untuk memenuhi keperluan daerahnya sendiri dengan memaksimalkan PAD sebagai
sumber utama penerimaan daerah. Pengukuran rasio kemandirian ini dilakukan dengan
membandingkan antara perolehan PAD dengan pendapatan yang diperoleh dari
bantuan pemerintah pusat atau provinsi serta pinjaman yang diperoleh dari pihak lain.
Semakin tinggi presentase rasio kemandirian yang dihasilkan, maka menunjukkan
bahwa tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat
dan pihak eksternal lain untuk membiayai keperluan daerahnya semakin rendah,
demikian pula sebaliknya (Mahmudi 2010).
Setelah diketahui rasio kemandirian keuangan daerah, kemudian
diklasifikasikan menurut pola hubungannya. Menurut Hersey dan Blanchard dalam
Halim (2008) terdapat empat pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam
melaksanakan otonomi daerahnya, yaitu pola instruktif, pola konsultatif, pola
partisipatif, dan pola delegatif. Pola instruktif menunjukkan peran pemerintah pusat
lebih dominan dalam mendukung pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri. Sehingga dapat dikatakan tingkat kemandirian keuangan daerah masih rendah
dan kemampuan keuangan daerah untuk memenuhi kebutuhannya tergolong sangat
rendah. Pola konsultatif menunjukkan bahwa campur tangan pemerintah pusat terhadap
pemerintah daerah sudah mulai berkurang, karena pemerintah daerah dianggap sudah
lebih mampu untuk melaksanakan otonomi daerah. Tetapi walaupun demikian,
kemampuan keuangan daerah pada pola ini masih tergolong rendah.
Pola partisipatif menunjukkan peran pemerintah pusat dalam membantu
pemerintah daerah sudah semakin berkurang, karena tingkat kemandirian keuangan
daerah yang bersangkutan sudah cukup tinggi dan kemampuan keuangan daerah sudah
dianggap cukup untuk memenuhi keperluan daerahnya sendiri. Sedangkan pola
delegatif menunjukkan pemerintah pusat sudah tidak campur tangan dalam urusan
pemerintah daerah, karena pemerintah daerah dinilai sudah mandiri dalam
9
melaksanakan urusan otonomi daerah. Kemampuan keuangan daerah pada pola ini
dinilai sudah tinggi dalam mengelola dan memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri.
b. Rasio Aktivitas
Pengukuran rasio aktivitas atau keserasian bertujuan untuk mengetahui
bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dana yang ada untuk memenuhi
kebutuhan belanja operasi (belanja rutin) dan belanja modal (belanja pembangunan).
Rasio ini dapat diukur dengan membandingkan antara total belanja rutin atau belanja
pembangunan dengan total APBD yang sudah ditetapkan. Semakin tinggi presentase
dana yang dialokasikan untuk belanja rutin, maka akan semakin kecil presentase dana
untuk belanja pembangunannya, begitupula sebaliknya (Sijabat, Saleh dan Wachid
2014).
Belanja operasi merupakan belanja yang masa manfaatnya habis digunakan
dalam satu tahun anggaran dan sifatnya jangka pendek. Belanja operasi terdiri dari
belanja pegawai, belanja barang dan jasa, subsidi, hibah, bantuan sosial dan keuangan,
serta keperluan untuk membayar cicilan pinjaman dan bunga. Sedangkan belanja modal
yang dilakukan pemerintah saat ini akan memberikan manfaat jangka menengah dan
jangka panjang. Belanja modal digunakan lebih banyak untuk kepentingan
pembangunan daerah, seperti pembangunan sarana prasarana yang membantu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik (Mahmudi 2010).
c. Rasio Efektivitas dan Efisiensi
Standar pengelolaan keuangan daerah yang efektif melalui Permendagri No. 13
Tahun 2006 Pasal 4 Ayat 4 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dapat
dinilai berdasarkan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu
dengan cara membandingkan keluaran dengan hasilnya. Perbandingan yang semakin
dekat antara target dengan output yang dihasilkan maka akan menunjukkan semakin
efektif perencanaan tersebut. Suatu organisasi ataupun program dinilai efektif apabila
output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan (Suoth, Tinangon dan
Rondonuwu 2016). Berkaitan dengan realisasi APBD, efektivitas perolehan pendapatan
daerah dapat dilihat dengan membandingkan antara realisasi anggaran pendapatan
dengan target anggaran pendapatan.
Sedangkan efisiensi pengelolaan keuangan daerah berdasarkan Permendagri
No. 13 Tahun 2006 Pasal 4 Ayat 5 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah,
dapat dilihat berdasarkan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan
tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. Suatu
10
kegiatan atau program dikatakan efisien apabila dalam proses menghasilkan output
tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan dana yang serendah-
rendahnya (spending well). Indikator efisiensi menggambarkan hubungan antara
masukan sumber daya oleh suatu unit organisasi seperti staf, upah, dan biaya
administratif, dengan keluaran atau output yang dihasilkan (Sumenge 2013).
Efisiensi dalam realisasi APBD dapat dilihat dari berapa banyak sumber daya
maupun biaya yang digunakan untuk menghasilkan suatu keluaran atau output.
Semakin rendah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan output yang sama, maka
kegiatan atau program tersebut akan semakin efisien. Efisiensi harus dibandingkan
dengan angka acuan tertentu, seperti efisiensi pada periode sebelumnya ataupun
efisiensi dari organisasi sektor publik lainnya (Julita 2011).
d. Rasio Pertumbuhan Pendapatan dan Belanja
Analisis pertumbuhan pendapatan dan belanja dilakukan untuk mengetahui
perkembangan kinerja keuangan pemerintah daerah dalam mempertahankan ataupun
meningkatkan keberhasilan pencapaian suatu tujuan. Sehingga nantinya pemerintah
dapat memanfaatkan informasi yang ada untuk mengevaluasi potensi-potensi mana
yang memerlukan perhatian lebih dan meningkatkan bagian lain yang sudah
dilaksanakan dengan baik agar lebih optimal (Hanik dan Karyanti 2014). Pengukuran
rasio pertumbuhan ini dapat dilakukan dengan membandingkan antara jumlah PAD
tahun yang bersangkutan dengan PAD tahun sebelumnya. Hal yang sama juga dapat
dilakukan untuk menghitung tingkat pertumbuhan total pendapatan daerah, belanja
rutin, dan belanja pembangunan.
3. Metode Penelitian
3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa Laporan
Realisasi Anggaran (LRA). Data-data tersebut diperoleh langsung dari kantor Badan Keuangan
Daerah (BKD) Pemerintah Kota Salatiga dan mengakses website resmi Pemkot Salatiga
maupun Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Salatiga. Penelitian ini akan menggunakan data
berupa Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Salatiga dalam kurun waktu 5 tahun,
dimulai dari tahun 2011 sampai tahun 2015. Selain menggunakan LRA untuk melakukan
perhitungan rasio keuangan, penelitian ini juga memanfaatkan CaLK, Rencana Strategis SKPD
dan Salatiga Dalam Angka sebagai informasi pelengkap.
11
3.2. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
dokumentasi atau studi pustaka dengan cara mengumpulkan data-data yang sudah ada berupa
Anggaran dan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kota Salatiga,
serta berbagai jurnal penelitian maupun publikasi laporan kinerja pemerintah yang berkaitan
dengan penelitian ini.
Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif. Pengukuran kinerja dapat
dilakukan dengan menggunakan analisis rasio keuangan yang terdiri dari rasio kemandirian
keuangan daerah, rasio aktivitas, rasio efektivitas dan efisiensi, serta rasio pertumbuhan