ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH
(Studi Kasus Kota Bandar Lampung)
ENDANG WAHYUNI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Permasalahan Tata Ruang dengan Kinerja Perkembangan Wilayah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor , Oktober 2006
Endang Wahyuni
Nrp A 253050064
ABSTRAK
ENDANG WAHYUNI. Analisis Keterkaitan Permasalahan Tata Ruang dengan Kinerja Perkembangan Wilayah (Studi Kasus Kota Bandar Lampung). Dibimbing oleh H.R. Sunsun Saefulhakim dan Yayat Supriatna.
Berbagai permasalahan penataan ruang di Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung yang disusun tahun 2004 belum memiliki kontribusi positif terhadap penyelesaian permasalahan tata ruang. Hal ini kemungkinan disebabkan karena terjadi inkonsistensi dalam penataan ruang. Penelitian ini mencoba untuk melihat konsistensi penataan ruang serta kaitannya dengan kinerja perkembangan wilayah.
Metode yang digunakan untuk melihat konsistensi penyusunan RTRW dengan pedoman adalah analisis tabel pembandingan dilanjutkan dengan analisis logika verbal. Untuk mengetahui apakah penyusunan RTRW sudah memperhatikan kesinergian dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context) dilakukan map overlay dilanjutkan dengan analisis logika verbal. Untuk mengetahui kinerja perkembangan wilayah dilakukan Principal Components Analysis (PCA) dilanjutkan dengan analisis Spatial Durbin Model. Metode ini merupakan pengembangan dari model regresi sederhana yang telah mengakomodasikan fenomena -fenomena autokorelasi spasial, baik dalam variabel tujuan maupun dalam variabel penjelasnya. Selanjutnya untuk mengetahui keterkaitan konsistensi, permasalahan tata ruang dan kinerja perkembangan wilayah digunakan analisis logika verbal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyusunan RTRW di Kota Bandar Lampung, sekitar 79% telah mengacu kepada pedoman yang berlaku. Dokumen tersebut mendapat legalitas hukum melalui Perda No 4 Tahun 2004. Berbagai permasalahan penataan ruang menunjukkan inkonsistensi yang relatif besar dalam pelaksanaan dan pengendalian. Faktor eksternal relatif tetap. Menurut pedoman, dengan kondisi tersebut RTRW tidak perlu direvisi, tetapi perlu meningkatkan sosialisasi kepada seluruh stakeholder, melengkapi aspek-aspek yang belum diatur ke dalam rencana sektoral serta menjadikannya sebagai pedoman pembangunan.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa inkonsistensi dalam penataan ruang menyebabkan berbagai permasalahan yang berakibat pada menurunnya kinerja perkembangan wilayah. Demikian juga penataan ruang yang tidak memperhatikan konstelasi dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context) menyebabkan kinerja perkembangan yang buruk. Kondisi ini berlaku secara umum, sehingga konsistensi dalam penataan ruang menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka optimalisasi pencapaian tujuan penataan ruang.
Model empirik perkembangan wilayah menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh signifikan (nyata) dan elastis adalah variabel yang terkait dengan aspek lingkungan sekitar, baik berbatasan langsung maupun dalam radius tertentu. Sedangkan faktor pendorong perkembangan wilayah adalah ketersediaan prasarana dasar (jalan kota/lokal, air bersih dan telepon) dan kondisi fisik wilayah dengan karakteristik landai da n air tanah produktifitas sedang. Kondisi ini berimplikasi pada mekanisme penganggaran bahwa untuk meningkatkan kinerja perkembangan wilayah harus memperhatikan faktor-faktor pendorong tersebut dan yang lebih utama adalah upaya peningkatan kerjasama dan koordinasi dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Co operation ).
ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH
(Studi Kasus Kota Bandar Lampung)
ENDANG WAHYUNI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2006
Judul Tesis : Analisis Keter kaitan Permasalahan Tata Ruang dengan
Kiner ja Perkembangan Wilayah (Studi Kasus Kota Bandar Lampung)
Nama : Endang Wahyuni NIM : A 253050064
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr Ketua
Ir. Yayat Supriatna, MURP Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 29 September 2006 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya atas ridho-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2006 ini adalah penataan ruang, dengan judul Analisis Keterkaitan Permasalahan Tata Ruang dengan Kinerja Perkembangan Wilayah (studi kasus Kota Bandar Lampung).
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr dan Ir. Yayat Supriatna, MURP selaku komisi pembimbing.
2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, beserta segenap staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Perencanaan Wilayah.
3. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi.
4. KOMJEN Sjacroedin ZP selaku Gubernur Lampung dan Dr. Ir. Harris Hasyim, MA selaku Kepala Bappeda Provinsi Lampung, atas ijin, nasehat, dukungan dan segala bentuk perhatian yang selalu diberikan.
5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.
6. Sahabat-sahabat PWL, baik kelas khusus maupun reguler angkatan 2005 atas segala dukungan dan kerjasamanya.
7. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
Akhirnya, terima kasih yang setinggi-tingginya atas dukungan, doa dan pengertian dari suami, anak-anak dan orang tua tercinta. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2006
Endang Wahyuni
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 17 Juni 1975 sebagai anak pertama dari pasangan Sadiman dan Supriati. Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Xaverius Pringsewu (Lampung) dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikannya pada Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Penulis menamatkan pendidikan pada Januari Tahun 1998.
Tahun 1999, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil dan ditempatkan pada Bappeda Provinsi Lampung Bidang Fisik dan Prasarana Wilayah sampai saat ini. Pada tahun 2005, penulis memperoleh beasiswa program 13 bulan dari Pusat Pembinaan Pendidikan dan Latihan Perencanaan, Bappenas untuk melanjutkan pendidikan S2 di IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. Saat ini penulis telah menikah dengan Ahmad Su’udi, ST, MT dan dikaruniai satu bidadari cantik bernama An-N isaa Ahmad dan satu jagoan manja yang bernama Deva Ahmad.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………….
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….
viii
ix
x
PENDAHULUAN
Latar Belakang ………………………………….………………..…...... 1
Perumusan Masalah ………………….…..….......................................... 3
Tujuan Penelitian ……………………………………………………...... 9
TINJAUAN PUSTAKA
Kota ………………………………….…………………………..…...... 10
Penataan Ruang …..………………….…..…........................................... 11
Penataan Ruang Wilayah Kota …………………………....................... 12
Manajemen Kota di Negara Berkembang ..……………………….……. 17
Ketimpangan Pembangunan ……………...……………………………. 18
Analisa Spasial …………………………....……………………………. 19
Sistem Informasi Geografis ……………….……………………………. 20
KERANGKA BERFIKIR
METODE PENELITIAN
Ruang Lingkup …………………………………………………………. 27
Pengumpulan Data ….……………….……………………………........ 36
Analisis Proses Penyusunan RTRWK Bandar Lampung ….................... 37
Analisis Konsistensi RTRW dalam Inter-Regional Context ….............. 38
Analisis Kinerja Perkembangan Wilayah …............……….................... 39
Principal Components Analysis ..…..........................………................... 43
Spatial Durbin Model ................…..........................……….................... 44
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Keadaan Umum Kota Bandar Lampung …..………………………........ 47
Penataan Ruang Kota Bandar Lampung …………………..................... 49
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsistensi Penyusunan Tata Ruang dengan Pedoman yang Berlaku .... 52
Konsistensi proses penyusunan dengan pedoman …………………... 52
Konsistensi inter-regional context ………………………....………... 53
Konsistensi proses pertumbuhan ekonomi ................….…..………… 57
Konsistensi rencana penanganan lingkungan kota …......….………… 58
Konsistensi dalam Pemanfaatan Ruang ……….…………...................... 61
Konsistensi dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang ….......….............. 64
Analisis Perkembangan Wilayah ……………………………………….. 72
Indeks komposit perkembangan wilayah ………….…………..……... 72
Indeks komposit prasarana dasar kota ………………………..……... 75
Indeks komposit fisik wilayah ………………………………..……... 76
Model perkembangan w ilayah ……….…………………………........ 78
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan …. ……………………………………….………………... 84
Saran ……….... ……………………………………….………………... 86
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
1 Keterangan nomor dan nama desa .............................................……..... 35
2 Rancangan tabel analisis proses penyusunan RTRW ................……..... 32
3 Variabel infrastruktur dasar kota.............................................................. 40
4 Variabel fisik wilayah .............................................................................. 40
5 Variabel perkembangan wilayah ............................................................. 41
6 Rancangan tabel PCA …....................................................…..……….... 43
7 Rancangan contiguity matrix W terhadap ketetanggaan .....………….... 46
8 Jumlah dan kepadatan penduduk perkelurahan di Kota Bandar
Lampung .………….................................................................................
48
9 Matriks analisis proses perencanaan tata ruang Kota Bandar
Lampung..................................................................................................
52
10 Kriteria peninjauan kembali (Keputusan Menteri Kimpraswil
No 327/KPTS/M/2002) ….......................................................................
69
DAFTAR GAMBAR
1 Sudut Kota Tanjung Karang Bandar Lampung ................….....………. 5
2 Sudut Kota Telukbetung Bandar Lampung ................………….…..…. 6
3 Eksploitasi Gunung Kunyit ..........................................................…..…. 7
4 Konversi Gunung Camang-1 ............................................................…... 7
5 RTRW dalam sistem perencanaan pembangunan ....…..…........…......... 15
6 Kerangka berfikir ……………………………………….……..……...... 25
7 Perbandingan proses penataan ruang ……..………..……...…..……….. 26
8 Peta jaringan jalan Kota Bandar Lampung ………….........…...……….. 31
9 Peta hidrologi bagian wilayah Kota Bandar Lampung …………..…….. 32
10 Peta geologi bagian wilayah Kota Bandar Lampung …………..……… 33
11 Peta kelas lereng bagian wilayah Kota Bandar Lampung …………..… 34
12 Peta administrasi Kota Bandar Lampung …………..……..…..……….. 36
13 Kerangka proses tujuan pertama ..............................…..………………. 37
14 Kerangka proses tujuan kedua ............................................……………. 38
15 Kerangka proses tujuan ketiga ............................................……………. 39
16 Bagan alir tujuan ketiga ......................................................……………. 40
17 Peta kesesuaian rencana TGT Kota Bandar Lampung dengan
Kabupaten Lampung Selatan ..................................................................
55
18 Kawasan kumuh di Telukbetung ............................................................. 58
19 Lingkup pengendalian pemanfaatan ruang .............................................. 66
20 Struktur kelembagaan BKPRD................................................................ 67
21 Plot of eigenvalues perkembangan wilayah ............................................ 73
22 Scutter plot perkembangan wilayah ......................................................... 73
23 Peta pola spasial perkembangan wilayah ................................................ 74
24 Peta Pola spasial prasarana dasar ............................................................. 76
25 Peta P ola spasial fisik wilayah ................................................................ 77
DAFTAR LAMPIRAN
Tabel Lampiran 1 Data perkembangan wilayah ........................................ 91
Tabel Lampiran 2 Hasil PCA perkembangan wilayah …………………... 96
Tabel Lampiran 3 Data prasarana dasar kota ……………………………. 100
Tabel Lampiran 4 Keterangan kelompok pelanggan PDAM ……………. 102
Tabel Lampiran 5 Data fisik wilayah ……………………………………. 103
Tabel Lampiran 6 Keterangan geologi bagian wilayah Kota Bandar
Lampung .......................................................................
106
Tabel Lampiran 7 Regresi perkembangan wilayah ……………………… 109
Tabel Lampiran 8 Matriks analisis proses perencanaan tata ruang
Kota Bandar Lampung ………………………………..
111
Tabel Lampiran 9 Model-model perkembangan wilayah ……………...... 120
Tabel Lampiran 10 Matriks hubungan konsistensi penataan ruang dengan
kinerja perkembangan wilayah ………………………
121
Tabel Lampiran 11 Matriks pengendalian pemanfaatan ruang 122
Gambar Lampiran 1 Diagram penyusunan RTRW Kota ………………….. 123
Teks Lampiran 1 Keterangan score perkembangan wilayah …………… 124
Teks Lampiran 2 Keterangan score prasarana dasar ……………………. 127
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan daerah seyogyanya dilakukan melalui penataan ruang secara
lebih terpadu dan terarah, agar sumberdaya yang terbatas dapat dimanfaatkan
secara efektif dan efisien. Salah satu upaya untuk mencapai hal tersebut adalah
melalui keterpaduan dan keserasian pembangunan dalam matra ruang yang tertata
secara baik. Untuk itu dibutuhkan penataan ruang, baik dalam proses perencanaan,
pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang sebagai satu kesatuan
sistem yang tidak terpisahkan, dan dilaksanakan secara terpadu, sinergi serta
berkelanjutan.
Perencanaan tata ruang merupakan proses penyusunan rencana tata ruang
wilayah yang mencakup wilayah administratif/pemerintahan (seperti provinsi,
kabupaten dan kota) dan atau wilayah fungsional/kawasan (seperti Daerah Aliran
Sungai (DAS), kawasan lindung, kawasan perkotaan, dan kawasan perdesaan)
yang tercermin dalam Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang melalui
penatagunaan tanah, sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang tercermin dalam
dokumen pengendalian pemanfaatan ruang yang mengatur mekanisme
pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang berdasarkan mekanisme
perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, pemberian kompensasi, mekanisme
pelaporan, mekanisme pemantauan, mekanisme evaluasi dan mekanisme
pengenaan sanksi.
Penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah kota yang
memenuhi kebutuhan pembangunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan,
efisien dalam pola alokasi investasi yang bersinergi dan dapat dijadikan acuan
dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan
masyarakat. Menurut Rustiadi et al. (2004) , penataan ruang memiliki tiga urgensi,
yaitu (a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan
efisiensi); (b) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan,
keberimbangan, dan keadilan) , dan (c) keberlanjutan (prinsip sustainability ).
2
Tujuan lain dari penataan ruang adalah untuk mengatur hubungan antara
berbagai kegiatan dengan fungsi ruang guna tercapainya pemanfaatan ruang yang
berkualitas. Dengan kata lain penataan ruang diharapkan dapat mengefisienkan
pembangunan dan meminimalisasi konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang.
Perencanaan tata ruang kawasan perkotaan secara sederhana dapat diartikan
sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang perkotaan serta
pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk
mengakomodasikan kegiatan sosial ekonomi yang diinginka n (Budiharjo, 1997) .
Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak di ujung Tenggara Pulau
Sumatera dan merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera dari arah Jawa. Kondisi
ini menjadikan ibukota Provinsi Lampung tersebut memiliki peran yang sangat
strategis, baik dalam skala nasional, regional maupun provinsi. Secara nasional
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) Kota Bandar Lampung ditetapkan
sebagai Pusat Kegiatan Nasional dan salah satu dari tiga kawasan andalan yang
ada di Provinsi Lampung. Dalam skala provinsi, selain berfungsi sebagai pusat
pemerintahan Provinsi Lampung, K ota Bandar Lampung ditetapkan sebagai Pusat
Pelayanan Primer bagi wilayah-wilayah sekitarnya di wilayah Provinsi Lampung.
Dengan peran-peran tersebut diharapkan kota ini dapat memberikan pelayanan
yang optimal, baik bagi penghuni setempat maupun bagi kawasan-kawasan
disekitarnya. Kondisi tersebut dimungkinkan dengan adanya dokumen Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung yang pertama kali disusun
pada tahun 1994 dan disusun kembali pada tahun 2003 serta mendapat legalitas
hukum melalui Perda No 4 Tahun 2004. Pada kenyataannya, selama kurun waktu
tersebut sampai saat ini telah terjadi berbagai permasalahan dalam penataan ruang.
Dengan kata lain RTRW yang ada kurang mampu memberikan kontribusi
penyelesaian terhadap berbagai permasalahan kota, antara lain berupa kemiskinan
penduduk kota, kemacetan, konversi lahan, kesemrawutan, kekumuhan, dan
keterbatasan open space.
Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan bahwa tujuan penataan ruang
di Kota Bandar Lampung belum tercapai secara optimal. Kondisi ini kemungkinan
disebabkan karena terjadi inkonsistensi dalam penataan ruang, baik dalam aspek
3
perencanaan, aspek pemanfatan maupun dalam aspek pengendalian pemanfaatan
ruang. Konsistensi dalam aspek perencanaan dapat dilihat pada proses teknis
penyusunan RTRW dikaitkan dengan pedoman/ketentuan yang berlaku.
Konsistensi dalam pemanfaatan ruang terlihat dari kesesuaian antara
aktivitas penggunaan ruang dengan RTRW. Sementara perkembangan wilayah
dipengaruhi adanya kekuatan untuk perubahan (forces of changes) yang
diidentifikasi diakibatkan oleh perbedaan karakteristik fisik wilayah dan
konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota. Infrastruktur dasar kota merupakan urat
nadi kehidupan suatu wilayah/kota dan keberadaannya sangat diperlukan untuk
memacu pertumbuhan wilayah dan mendorong pertumbuhan wilayah secara
optimal, sehingga sangat berperan dalam menentukan kinerja perkembangan suatu
wilayah. Sebagai ilustrasi adalah suatu kawasan terisolasi, dengan adanya
kebijakan pemerintah membangun infrastruktur dasar (air bersih, jalan, listrik dan
telepon), maka dengan sendirinya di kawasan tersebut akan tumbuh dan
berkembang berbagai aktivitas, baik permukiman maupun aktivitas komersial
yang dapat dibangun oleh swasta maupun masyarakat.
Perumusan Masalah
Penataan ruang merupakan kerangka yang menentukan peluang dan batasan
dalam pembangunan, sehingga pelaksanaan kegiatan pemba ngunan seharusnya
mengacu pada rencana tata ruang, yang di dalamnya memuat strategi optimasi
untuk mencapai tujuan dan mem perhatikan kendala -kendala dalam mewujudkan
tujuan-tujuan tersebut. Dengan demikian rencana tata ruang dimaksud dapat
dijadikan sebagai acuan dan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.
Dalam perjalanannya, sebagaimana kota pada umumnya, Bandar Lampung
menghadapi berbagai permasalahan penataan ruang. Permasalahan tersebut antara
lain meliputi:
Kemiskinan
Berbagai permasalahan dan ketimpangan dalam pembangunan disebabkan
karena tingginya laju pertumbuhan penduduk di perkotaan yang tidak diimbangi
dengan penyediaan lapangan kerja. Kondisi ini menyebabkan peningkatan jumlah
4
pengangguran dan diperburuk lagi dengan situasi perekonomian nasional yang
sedang terpuruk, banyak hal yang pada waktu situasi normal tidak terasa menjadi
beban, saat ini dirasakan sebagai beban yang sangat berat. Jika dibanding sebelum
krisis pertengahan Juli 1997, jumlah pengangguran saat ini mengalami
peningkatan yang cukup tajam, tingkat pendapatan masyarakat mengalami
penurunan dan sektor riil belum sepenuhnya berjalan normal. Kemiskinan
merupakan sumber berbagai permasalahan di Kota Bandar Lampung.
Konversi lahan
Berdasarkan data pemberian ijin pengambilan air tanah bagi industri yang
dikeluarkan Dinas Pertambangan Tahun 2004 dan 2005, menunjukkan banyaknya
kasus konversi lahan dari rencana peruntukan sebagaimana ditetapkan dalam
RTRW Kota Bandar Lampung. Konversi lahan terjadi baik dari aktivitas non
industri (permukiman, komersial dan jasa) menjadi industri maupun sebaliknya.
Kondisi tersebut menunjukkan terjadinya inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang.
Penurunan kualitas sarana prasarana dasar permukiman
Peningkatan jumlah penduduk di kawasan perkotaan berimplikasi terhadap
peningkatan jumlah perumahan dan permukiman yang menuntut pemenuhan
kebutuhan sarana prasarana dasar permukiman. Permasalahan yang sering terjadi
di samping keterbatasan pendanaan untuk pengadaan sarana prasarana dasar
permukiman tersebut adalah sarana penunjang yang sudah tersedia seringkali
belum dimanfaatkan sepenuhnya dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam
pemeliharaan sarana prasarana yang sudah dibangun (Marquez dan Maheepala ,
1996). Kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas
sarana prasarana dasar permukiman di perkotaan.
Kriminalitas
Peningkatan kejadian kriminalitas di Kota Bandar Lampung disebabkan
antara lain: (1) peningkatan jumlah penggangguran akibat keterbatasan lapangan
kerja dan tuntutan akan tenaga kerja yang terampil dan profesional; (2) tuntutan
hidup yang semakin mempersulit keadaan masyarakat miskin kota; (3) gaya hidup
5
masyarakat perkotaan yang cenderung ‘egoisme’, sehingga ‘tingkat kepedulian’
dan ‘empati’ masyarakat terhadap sesama semakin menurun.
Keadaan lingkungan fisik perkotaan (urban setting ) yang kurang memadai (kesemrawutan tata ruang)
Permasalahan pertanahan di Kota Bandar Lampung yang semakin rawan
disebabkan karena keterbatasan lahan, sementara tuntutan pemenuhan kebutuhan
lahan semakin meningkat secara cepat. Hal ini menyebabkan semakin tingginya
nilai lahan. Akibatnya kawasan-kawasan terbuka atau kawasan konservasi
dikonversi untuk aktivitas yang secara ekonomi jauh lebih menguntungkan, yaitu
aktivitas komersial dan jasa. Dalam penggunaan ruang, kawasan-kawasan ini
berorientasi pada maksimalisasi keuntungan finansial dan kurang memperhatikan
aspek sosial, seperti pembangunan lahan parkir bagi konsumennya, sehingga di
kawasan tersebut sangat rentan dengan berbagai permasalahan. Salah satu contoh
adalah masalah kemacetan lalu lintas di pusat perbelanjaan Bambu Kuning Plaza.
Gambar 1 Sudut kota Tanjung Karang - Bandar Lampung
Di pihak lain, harga lahan yang tidak terjangkau masyakat kelas bawah
merangsang golongan ini untuk menempati kawasan-kawasan ilegal (squater
6
area) seperti sempadan sungai, sempadan jalan, sempadan rel kereta api dan
kawasan ilegal lainnya sebagai tempat tinggal. Bahkan muncul kecenderungan
hadirnya kawasan-kawasan kumuh (slum area) di berbagai sudut pusat kota.
Gambar 2 Sudut kota Telukbetung - Bandar Lampung
Keterbatasan open space
Orientasi pembangunan untuk mengejar maksimalisasi keuntungan ekonomi
menyebabkan pembangunan yang dilaksanakan cenderung mengutamakan
pembangunan fisik dan kurang memperhatikan aspek lingkungan. Kondisi ini
menyebabkan bangunan-bangunan tumbuh dan berkembang tanpa kendali, padat
tanpa arah yang jelas serta mengindikasikan kurangnya aspek perencanaan,
sehingga kota menjadi semakin tidak bersahabat dengan lingkungan (Budiharjo,
1995). Keberadaan ruang terbuka ’open space’, khususnya ruang terbuka hijau
proporsinya semakin menurun terhadap luas wilayah karena pembangunan lebih
diprioritaskan untuk aktivitas ekonomi. Menurut Patmore, dari berbagai studi
diketahui bahwa penyediaan ruang terbuka hijau dapat menurunkan laju
kenakalan remaja dan diyakini pula dapat mengurangi ketegangan akibat sistem
industri serta bermanfaat bagi kestabilan mental dan kejiwaan masyarakat kota
(Wahyuni, 1998).
7
Gambar 3 Eksploitasi Gunung Kunyit
Eksploitasi gunung atau bukit saat ini marak terjadi di Kota Bandar
Lampung seperti terlihat pada Gunung Kunyit dan Gunung Camang yang terletak
di pusat kota. Kedua bukit hijau tersebut saat ini kondisinya semakin gundul
akibat aktivitas penambangan batu kapur di Gunung Kunyit oleh swasta dan
masyarakat lokal serta pengerukan tanah di Gunung Camang yang dilakukan oleh
swasta.
Gambar 4 Konversi Gunung Camang
8
Tanah hasil pengerukan di Gunung Camang selanjutnya digunakan untuk
reklamasi pantai di sepanjang tepi jalan Yos Sudarso Telukbetung yang masih
berlangsung sampai saat ini, sementara gunung yang telah dikepras tersebut
dikonversi untuk pembangunan perumahan. Kondisi ini menyebabkan pusat kota
yang semula masih cukup asri dengan adanya beberapa kawasan hijau, dalam
perkembangannya akan menjadi kawasan gersang akibat padatnya kawasan
terbangun
Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan bahwa penataan ruang yang
ada belum mampu menjawab berbagai permasalahan yang terjadi. Kondisi
tersebut kemungkinan disebabkan karena adanya inkonsistensi, baik dalam proses
perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang.
Dari beberapa uraian diatas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan
dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung sudah mengacu
pada pedoman dan ketentuan teknis yang berlaku?
Pedoman pokok penyusunan RTRW: Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun
1992 tentang Penataan Ruang; Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun
1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN); Keputusan
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kepmenkimpraswil) Nomor
327/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang;
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2001 tentang Penataan Ruang
Wilayah Provinsi Lampung.
2. Apakah proses penyusunan rencana tata ruang selain berbasis wilayah
administratif juga memperhatikan aspek kawasan fungsional dalam konteks
keterkaitan dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context)?
Konsep regional planning, yaitu merencanakan wilayah dengan
memperhatikan konstelasi wilayah tersebut dengan wilayah sekitarnya, serta
memiliki basis dimensi spasial yang jelas. Dengan konsep ini walaupun kedua
wilayah tidak memenuhi skala ekonomi (economic of scale), tetapi dengan
bekerjasama (silaturahmi) antar wilayah dapat memenuhi skala ekonomi
tersebut.
9
3. Bagaimana hubungan antara konsistensi penataan ruang, konfigurasi ruang
infrastruktur dasar kota dan kondisi/karakteristik fisik wilayah terhadap
kinerja perkembangan wilayah?
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis konsistensi penyusunan Rencana Tata R uang Wilayah (RTRW)
Kota Bandar Lampung dikaitkan dengan pedoman dan ketentuan yang
berlaku.
2. Menganalisis konsistensi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar
Lampung ditinjau dari aspek keserasian tata ruang dengan wilayah sekitarnya
(konsistensi perencanaan Inter-Regional Context).
3. Menganalisis implikasi konsistensi penataan ruang terhadap kinerja
perkembangan wilayah serta faktor -faktor pendorong perkembangan wilayah.
10
TINJAUAN PUSTAKA
Kota
What is a city but its people. Itulah kata bijak William Shakespeare
mengenai gambaran sebuah kota. Sebuah kota sudah tentu merupakan gambaran
orang-orang yang berdomisili di dalamnya. Bagaimana orang-orang yang tinggal
didalamnya, maka itulah sebenarnya wajah kota. Kota adalah kumpulan orang-
orang yang berdomisili dalam jangka waktu lama maupun sementara. Sebuah kota
tidak akan nyaman jika orang-orangnya tidak menciptakan kenyamanan bagi
lingkungannya. Kota yang baik dan berkesan adalah kota-kota dimana
masyarakatnya memberikan kenyamanan terhadap eksistensi lingkungannya. Jadi
dengan membicarakan kenyamanan berarti sebuah kota adalah kumpulan nilai-
nilai yang dianut masyarakatnya (Budiharjo, 1997) .
Fungsi kota sebagai pusat pelaya nan (service center) membawa konsekuensi
areal kota akan dipenuhi oleh kegiatan-kegiatan komersial dan sosial, selain
kawasan perumahan dan permukiman. Pembangunan ruang kota bertujuan untuk:
(1) Memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat berusaha dan tempa t tinggal,
baik dalam kualitas maupun kuantitas; (2) Memenuhi kebutuhan akan suasana
kehidupan yang memberikan rasa aman, damai, tenteram dan sejahtera.
(Budiharjo, 1997).
Berkenaan dengan hal tersebut pembangunan kota harus ditujukan untuk
lebih meningkatkan produktif itas yang selanjutnya akan dapat mendorong sektor
perekonomian. Namun dalam pengembangannya, tentu perlu diperhatikan
ketersediaan sumberdaya, sehingga perlu dicermati efisiensi pemanfaatan
sumberdaya maupun efisiensi pelayanan prasarana dan sarana kota. Pembangunan
perkotaan dilaksanakan dengan mengacu pada pengembangan investasi yang
berwawasan lingkungan, sehingga tidak membawa dampak negatif terhadap
lingkungan dan tidak merusak kekayaan budaya daerah. Selain itu juga
diharapkan untuk selalu mengarah kepada terciptanya keadilan yang tercermin
pada pemerataan kemudahan dalam memperoleh penghidupan perkotaan, baik
dari segi prasarana dan sarana maupun dari lapangan pekerjaan.
11
Penataan Ruang
Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri tidak terbatas. Bila
pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terjadi inefisiensi
dalam pemanfaatan ruang dan penurunan kualitas ruang serta dapat mendorong
kearah adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta kelestarian
lingkungan hidup. Oleh karena itu diperlukan penataan ruang untuk mengatur
pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi,
kualitas ruang dan estetika lingkungan. Oleh karena pengelolaan subsistem yang
satu akan berpengaruh pada subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan, pengaturan ruang menuntut
dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Seiring
dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan pembangunan, baik ditingkat pus at
maupun tingkat daerah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan. Dengan demikian pemanfaatan ruang tidak bertentangan dengan
rencana tata ruang yang sudah ditetapkan (Sastrowihardjo et al. , 2001).
Dalam konteks pembangunan wilayah, perencanaan penataan ruang
dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi atau upaya pemerintah untuk
menuju keterpaduan pembangunan melalui kegiatan perencanaan, pemanfaatan
dan pengendalian pemanfaatan ruang guna menstimulasi sekaligus mengendalikan
pertumbuhan dan perkembangan pemanfaatan ruang suatu wilayah. Hal ini
dipandang strategis mengingat bahwa kondisi aktual pemanfaatan ruang di suatu
wilayah pada dasarnya merupakan gambaran hasil akhir dari interaksi antara
aktivitas kehidupan manusia dengan alam lingkungannya, baik direncanakan
maupun tidak direncanakan. Jika tidak direncanakan, maka sejalan dengan
pertumbuhan pembangunan, laju pertumbuhan penduduk, serta aktivitas
masyarakat yang semakin dinamis, pemanfaatan sumberdaya akan cenderung
mengikuti suatu mekanisme yang secara alamiah akan mengejar maksimalisasi
ekonomi, namun eksploitatif dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada.
Mekanisme tersebut menciptakan iklim kompetisi yang pada akhirnya akan
menggeser aktivitas yang intensitas pemanfaatan ruangnya lebih rendah dengan
aktivitas lain yang lebih produktif. Meskipun mekanisme alamiah tersebut dapat
saja menciptakan efisiensi secara ekonomi, namun belum tentu sejalan dengan
12
pencapaian tujuan dari pembangunan. Belum lagi jika harus dikaitkan dengan
masalah polarisasi kemampuan yang berkembang di masyarakat dalam menikmati
pemerataan manfaat pembangunan (Sastrowihardjo et al., 2001).
Penataan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
Menurut UU 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang didefinisikan
sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai
satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan
kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan wilayah
didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur yang terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan
aspek administratif dan atau aspek fungsional. Lebih lanjut pengertian wilayah
terbagi menjadi dua, yaitu wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif disebut wilayah pemerintahan dan wilayah yang
batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional disebut kawasan.
Dengan demikian penyusunan RTRW harus memperhatikan aspek administratif
dan kawasan fungsional.
Kawasan terbagi menjadi dua, yaitu kawasan lindung dan kawasan
budidaya. Kawasan lindung meliputi hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan
resapan air, sempadan pantai, sempadan kawasan sekitar waduk/danau, sungai,
sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan
lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman
wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dan kawasan rawan
bencana. Kawasan budidaya adalah kawasan hutan produksi, kawasan pertanian,
kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan pariwisata,
kawasan tempat pertahanan keamanan.
Kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah kabupaten/kota (kecuali
kawasan tertentu), koordinasi penyusunan rencana tata ruang diselenggarakan
oleh gubernur. Selanjutnya bagian dari masing-masing kawasan dipadukan dan
menjadi dasar dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. Selain berdasarkan
kawasan fungsional, sesuai dengan amanat Pasal 19, 20 dan 21, maka penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota mengacu pada rencana tata ruang
13
yang lebih tinggi, dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan
Provinsi (UU 24 Tahun 1992).
Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang
dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang merupakan kebijakan
dinamis yang mengakomodasikan aspek kehidupan pada suatu kawasan, dimana
setiap keputusan merupakan hasil kesepakatan berbagai pihak sebagai bentuk
kesinergian kepentingan. Menurut UU tersebut, penataan ruang disusun
berasaskan: (a) Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu,
berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. (b)
keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.
Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan ruang dalam wujud struktur
dan pola pemanfaatan ruang. Adapun yang dimaksud struktur pemanfaatan ruang
adalah susunan unsur-unsur pembentuk lingkungan secara hierarkis dan saling
berhubungan satu dengan lainnya, sedangkan yang dimaksud dengan pola
pemanfaatan ruang adalah tata guna tanah, air, udara, dan sumberdaya alam
lainnya dalam wujud penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, air, udara
dan sumberdaya alam lainnya. Rencana tata ruang merupakan produk kebijakan
koordinatif dari berbagai pihak yang berkepentingan, baik pemerintah maupun
masyarakat, sehingga penyusunannya harus bertolak pada data, informasi, ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang
berlaku (Sastrowihardjo et al., 2001).
RTRW kabupaten/kota menurut UU 24 Tahun 1992 merupakan pedoman
yang digunakan untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan
perkembangan antar sektor secara komprehensif, terpadu dan berkelanjutan, serta
menjadi pedoman dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan.
Penatagunaan tanah merupakan bagian dari penataan ruang yang meliputi
pengaturan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dengan mengacu
pada RTRW, maka langkah-langkah dalam penatagunaan tanah meliputi kegiatan-
kegiatan penyerasian penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai
dengan RTRW yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Sastrowihardjo et al.,
2001). Oleh karena itu, kebijakan yang harus dirumuskan adalah bagaimana
14
mewujudkan penggunaan tanah yang pada saat ini tidak sesuai dengan rencana
tata ruang menjadi sesuai dan serasi dengan rencana tata ruang.
Terkait dengan perencanaan, penyusunan RTRW diharapkan dapat
mengakomodasikan berbagai perubahan dan perkembangan di wilayah
perencanaan. RTRW kabupaten/kota disusun berdasarkan perkiraan
kecenderungan dan arahan perkembangannya untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan di masa depan sesuai dengan jangka waktu perencanaannya. Tujuan
dari perencanaan tata ruang wilayah adalah mewujudkan ruang wilayah yang
memenuhi kebutuhan pembangunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan,
efisien dalam alokasi investasi, bersinergi dan dapat dijadikan acuan dalam
penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Sasaran dari perencanaan tata ruang wilayah (Perda Nomor 5 Tahun 2001
tentang RTRW Provinsi Lampung) adalah:
a. Terkendalinya pembangunan di wilayah, baik yang dilakukan oleh pemerintah
maupun oleh masyarakat;
b. Terciptanya keserasian antara kawasan lindung dan kawasan budidaya;
c. Tersusunnya rencana dan keterpaduan program-program pembangunan di
wilayah;
d. Terdorongnya minat investasi masyarakat dan dunia usaha di wilayah;
e. Terkoordinasinya pembangunan antar wilayah dan antar sektor pembangunan.
Fungsi dari rencana tata ruang wilayah (Perda Nomor 5 Tahun 2001 tentang
RTRW Provinsi Lampung) adalah:
§ Sebagai matra keruangan dari pembangunan daerah;
§ Sebagai dasar kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di daerah;
§ Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkembangan antar wilayah
dan antar kawasan serta keserasian antar sektor ;
§ Sebagai alat untuk mengalokasikan investasi yang dilakukan pemerintah,
masyarakat dan swasta;
§ Sebagai pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan;
§ Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang dan pemberian izin lokasi.
Gambar 5 menunjukkan bahwa RTRW kabupaten/kota disusun dengan
memperhatikan RTRW provinsi. Selanjutnya RTRW kabupaten/kota dan Rencana
15
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) kabupaten/kota menjadi dasar dalam
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kabupaten/kota.
Selain itu RTRW kabupaten/kota perlu dirinci dalam rencana yag lebih detail,
yaitu Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Teknik Ruang (RTR).
Keterangan:
= Produk yang saat ini belum tersedia, tetapi dimungkinkan tersedia
Sumber: RTRW Provinsi Lampung tahun 2000
Gambar 5 RTRW dalam sistem perencanaan pembangunan
Pemanfaatan ruang adalah rangkaian program kegiatan pelaksanaan
pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang telah
ditetapkan dalam rencana tata ruang. Dengan kata lain pemanfaatan ruang
RPJP NASIONAL
RPJP PROVINSI
RPJP KAB/KOT
RTRW NASIONAL
RTRW KWS TERTENTU NASIONAL
RTRW PROVINSI
RPJM PROVINSI
RTRW KWS TERTENTU PROVINSI
RTRW KAB/KOTA
RTRW KWS TERTENTU KAB/KOTA
RDTR KAWASAN
RENCANA TEKNIK RUANG (RTR)
RPJM KAB/KOTA
16
merupakan usaha memanifestasikan rencana tata ruang ke dalam bentuk program-
program pemanfaatan ruang oleh sektor-sektor pembangunan yang secara teknis
didasarkan pada pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara
dan tata guna sumberdaya alam lainnya, misalnya hutan, perkebunan dan
pertambangan. Di dalam pemanfaatan ruang tersebut, batas-batas fisik tanah
diatur dan dimanfaatkan secara jelas oleh penatagunaan tanah. Dari usaha
pemanfaatan ruang ini diharapkan dapat tercapai keseimbangan lingkungan serta
mencerminkan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Tujuan pemanfaatan ruang adalah pemanfaatan ruang secara berdaya guna
dan berhasil guna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan
keamanan secara berkelanjutan melalui upaya-upaya pemanfaatan sumberdaya
alam didalamnya secara berdaya guna dan berhasil guna, keseimbangan antar
wilayah dan antar sektor, pencegahan kerusakan fungsi dan tatanan serta
peningkatan kualitas lingkungan hidup (PP 47 Tahun 1997).
Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap melalui penyiapan
program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan
ruang yang akan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik secara sendiri-
sendiri maupun bersama-sama, sesuai dengan rencana tata ruang ya ng telah
ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan agar pemanfaatan ruang
sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui kegiatan
pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang.
Untuk menjamin penataan ruang dapat terlaksana dan mampu
mengakomodasi kepentingan stakeholder, diperlukan peranserta aktif masyarakat
dalam penataan ruang, baik dalam proses perencanaan, pemanfaatan maupun
pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini sesuai dengan amanat UU 24 Tahun
1992 dan ditindaklanjuti dengan PP 69 Tahun 1996 serta diperjelas dengan
Permendagri No 9 Tahun 1998 tentang Bentuk dan Tata Cara Peranserta
Masyarakat dalam Penataan Ruang. Perencanaan partisipatif dalam penataan
ruang merupakan suatu proses pengambilan keputusan yang sistematis dengan
menggunakan berbagai informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber dan
melibatkan berbagai stakeholder dalam proses perencanaan tata ruang serta
keseluruhan proses manajemen dalam suatu siklus manajemen.
17
Menurut PP 47 Tahun 1997 tentang RTRWN, kawasan andalan
didefinisikan sebagai bagian dari kawasan budidaya yang diarahkan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di
sekitarnya. Pusat Kegiatan Nasional (PKN) didefinisikan sebagai kota yang
mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan internasional,
pusat ekonomi perkotaan (jasa & industri) nasional dan simpul transportasi yang
melayani nasional dan atau beberapa provinsi. Pusat Kegiatan Wilayah/Regional
(PKW/PKR) adalah kota sebagai pusat aktivitas ekonomi perkotaan (jasa dan
industri) regional dan simpul transportasi yang melayani provinsi dan beberapa
Kabupaten di sekitarnya.
Manajemen Kota di Negara Berkembang
Kemurnian konsep manajemen kota adalah mengkompilasi berbagai isu
perkotaan dalam kaitannya dengan masalah kelembagaan, untuk dapat
menghasilkan suatu strategi yang tepat dan tanggap terhadap struktur pelaksanaan
yang terintegrasi dalam suatu manajemen kota. Pengujian proses manajemen kota
harus dilihat sebagai provision infrastruktur. Hal ini tidak akan hanya mendukung
perkembangan ekonomi, tetapi juga distribusi spasial dari pertumbuhan kota
(McGill, 1998).
Arti sebenarnya dari manajemen kota adalah:
• Perencanaan untuk menyediaka n dan memelihara infrastruktur serta pelayanan
kota.
• Memberikan keyakinan bahwa pemerintah kota dalam keadaan baik secara
organisasional maupun finansial.
Substansi esensi dari manajemen kota adalah:
• Pengembangan lokasi yang efisien
• Tersedianya air bersih
• Sanitasi yang baik
• Jalanan yang terpelihara
• Penertiban/minimalisasi permukiman ilegal
• Pelayanan kesehatan dasar dan pendidikan.
18
Keluaran-keluaran tersebut harus dapat dirasakan dampaknya oleh
masyarakat, misalnya berkurangnya kemiskinan dan tercapainya kondisi
lingkungan yang semakin baik. Hal inilah yang saat ini menjadi fokus dari
program manajemen kota (McGill,1998).
Ketimpangan Pembangunan
Menurut Anwar (2005), beberapa hal yang menyebabkan terjadinya
disparitas antar wilayah adalah: 1) perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya
alam (resource endowment); 2) perbedaan demografi; 3) perbedaan kemampuan
sumberdaya manusia (human capital); 4) perbedaan potensi lokasi; 5) perbedaan
dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6)
perbedaan dari aspek potensi pasar. Faktor-faktor di atas menyebabkan perbedaan
karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1) wilayah maju; 2)
wilayah sedang berkembang; 3) wilayah belum berkembang; dan 4) wilayah tidak
berkembang.
Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya
dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan
penduduk, industri, pemerintahan, dan sekaligus pasar yang potensial. Ciri lain
adalah tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia
yang tinggi serta struktur ekonomi yang secara relatif didominasi oleh sektor
industri, jasa dan komersil. Wilayah yang sedang berkembang dicirikan oleh
pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayah penyangga dari
wilayah maju, ka rena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap
wilayah maju. Wilayah belum berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan
yang masih rendah, baik secara absolut maupun secara relatif, namun memiliki
potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini
masih didiami oleh tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah dengan
tingkat pendidikan yang juga relatif rendah. Wilayah yang tidak berkembang
dicirikan oleh dua hal, yaitu: 1) wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi
baik potensi sumberdaya alam maupun potensi lokasi sehingga secara alamiah
sulit berkembang dan mengalami pertumbuhan; b) wilayah tersebut sebenarnya
memiliki potensi, baik sumberdaya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya
19
tetapi tidak dapat berkembang karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung
dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Wilayah ini dicirikan oleh tingkat
kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah,
tingkat pendapatan yang rendah, tida k memiliki infrastruktur yang lengkap, dan
tingkat aksesibilitas yang rendah (Anwar, 2005).
Indikator lain dalam perkembangan wilayah adalah tingkat interaksi antara
satu wilayah dengan wilayah lainnya. Wilayah yang lebih berkembang pada
dasarnya mempunya i tingkat interaksi yang lebih tinggi dibanding daerah lain
yang belum berkembang. Interaksi ini sendiri terjadi karena adanya faktor
aksesibilitas daerah itu ke daerah lain. Kemudahan akses ini menjadi faktor yang
cukup penting dalam mendukung perkembanga n suatu wilayah. Wilayah dengan
akses yang lebih baik akan menyebabkan tingkat interaksi yang tinggi dengan
wilayah lain sehingga menjadi lebih cepat berkembang. Faktor lain yang
mendorong perkembangan wilayah adalah lokasinya, terutama terhadap pusat
ekonomi atau pemerintahan. Lokasi yang berdekatan dengan pusat umumnya akan
lebih terpacu perkembangannya, dan umumnya akan sangat terpegaruh oleh pusat
dibanding wilayah-wilayah yang relatif lebih jauh dan akan lebih berkembang
menjadi hinterland yang menyangga wilayah pusat (Anwar, 2005).
Analisa Spasial
Berbeda dengan ahli geografi yang memandang spasial sebagai segala hal
yang menyangkut lokasi atau tempat dan menekankan pada bagaimana
mendeskripsikan fenomena spasial yang dikaji tanpa harus mendalami
permasalahan sosial ekonomi yang ada di dalamnya, analisis spasial lebih terfokus
pada kegiatan investigasi pola -pola dan berbagai atribut atau gambaran di dalam
studi kewilayahan dan dengan menggunakan permodelan berbagai keterkaitan
untuk meningkatkan pema haman dan prediksi atau peramalan. Lebih lanjut,
Haining (Rustiadi et al., 2004) mendefinisikan analisa pasial sebagai sekumpulan
teknik-teknik untuk pengaturan spasial dari kejadian-kejadian tersebut. Kejadian
geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis
atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilai-
nilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi, baik
20
berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi-lokasi geografis obyek-obyek dimana
atribut-atribut melekat di dalamnya.
Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis,
tujuan analisis spasial adalah :
1. Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruangan geografis (termasuk
deskripsi pola) secara cermat da n akurat.
2. Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau
obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang
menentukan distribusi kejadian yang terobservasi.
3. Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadian-
kejadian di dalam ruang geografis.
Para perencana dapa t menggunakan sebuah model sebagai alat untuk
mempermudah melakukan analisis spasial. Dengan pendekatan sebuah model
akan mempermudah penggambaran dalam menganalisis suatu obyek serta
kejadian untuk tujuan diskripsi, penjelasan, peramalan dan untuk keperluan
perencanaan. Model spasial adalah model yang digunakan untuk mengolah data
spasial dan data atribut/variabel. Menurut Wegener, terdapat tiga kategori model
spasial, yaitu model skala, model konseptual dan model matematik. Model skala
adalah model yang merepresentasikan kondisi fisik yang sebenarnya, seperti data
ketinggian. Model konseptual adalah model yang menggunakan pola -pola aliran
dari komponen-komponen sistem yang diteliti dan menggambarkan hubungan
antar kedua komponen tersebut. Model matematik digunakan dalam model
konseptual yang merepresentasikan beberapa komponen dan interaksinya dengan
hubungan matematik (Wegener, 2001).
Sistem Informasi Geografis
Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan
komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-
informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan
menganalisis obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis
merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Menurut
Aronoff, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan
21
dalam menganalisis data yang bereferensi geografis, yaitu masukan, keluaran,
manajemen data (penyimpanan da n pemanggilan data) serta analisis dan
manipulasi data (Prahasta , 2005).
SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi,
posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu
dengan SIG pengguna dapat membawa, meleta kkan dan menggunakan data yang
menjadi miliknya sendiri kedalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur
permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik
secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query
atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan
kebutuhan pengguna (Prahasta, 2005).
Teknologi SIG akan mempermudah para perencana dalam mengakses data,
menampilkan informasi-informasi geografis terkait dengan substansi perencanaan
dan meningkatkan keahlian para perencana serta masyarakat dalam menggunakan
sistem informasi spasial melalui komputer. SIG dapat membantu para perencana
dan pengambil keputusan dalam memecahkan masalah-masalah spasial yang
sangat kompleks. Salah satu contoh aplikasi SIG adalah dalam Sistem Pendukung
Keputusan (DSS). Dalam sistem ini SIG digunakan untuk mengevaluasi skenario
pertumbuhan/perkembangan kota. DSS akan mengevaluasi pelaksanaan Tata
Guna Tanah (TGT) dan infrastruktur serta memberikan alternatif solusi terbaik
untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi (Marquez, 1996).
Salah satu metode dalam SIG adalah teknik tumpang tindih (overlay). Jika
pengolahan data dilakukan secara manual, pengguna harus bekerja dengan
beberapa peta analog dan beberapa informasi atribut yang diperlukan. Selanjutnya
pengguna dapat menganalisis kedua data (peta dan data atribut) untuk kemudian
memplotkan hasil akhirnya kedalam peta. Untuk tumpang tindih (overlay) peta
juga dapat dilakukan hal yang sama. Beberapa kelemahan dari proses tersebut
adalah selain membutuhkan waktu yang relatif lama, tingkat ketelitian dan
akurasinya sangat bergantung pada kemampuan dan ketelitian penggunanya
dalam melakukan proses olah data tersebut. Dengan teknologi SIG, pengguna
memerlukan data spasial dan atribut dalam bentuk digital, sehingga prosesnya
dapat dilakukan dengan cepat dengan tingkat ketelitian cukup baik dan prosesnya
22
dapat diulang kapan saja, oleh siapa saja, dan hasilnya dapat disajikan dalam
berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna.
23
KERANGKA BERFIKIR
Menurut UU 24 Tahun 1992, penataan ruang didefinisikan sebagai
rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Tujuan dari pe nataan ruang wilayah adalah terwujudnya
pemanfaatan ruang yang berkualitas, berdaya guna dan berhasilguna untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan melalui upaya -upaya
optimalisasi dan efisiensi dalam penggunaan ruang, kenyamanan bagi
penghuninya, peningkatan produktifitas kota, sehingga mampu mendorong sektor
perekonomian wilayah dengan tetap memperhatikan aspek kesinergian,
keberkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Sebagai salah satu kota dengan peran strategis Pusat Kegiatan Nasional
(PKN), perkembangan fisik ruang Kota Bandar Lampung relatif lebih cepat
dibandingkan wilayah di sekitarnya . Dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang
relatif tinggi, yaitu mencapai angka 1,57% pertahun (Provinsi 1,02% pertahun)
berdampak pada peningkatan kebutuhan dan konflik dalam penggunaan lahan
untuk berbagai aktivitas kota, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran
penggunaan ruang-ruang kota. Permasalahan yang sering terjadi adalah
ketersediaan lahan/ruang kota yang semakin terbatas untuk menampung aktivitas
dan fasilitas perkotaan. Akibat selanjutnya dari permasalahan tersebut adalah
semakin meningkatnya permasalahan kemacetan, berkembang kawasan-kawasan
kumuh, kesemrawutan tata ruang, konversi lahan dan keterbatasan open space
akibat menjamurnya bangunan-bangunan komersil dan sebagainya merupakan
sebagian dari permasalahan fisik keruangan Kota Bandar Lampung. Berbagai
permasalahan tersebut menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam penggunaan
ruang kota. Sebagai salah satu contoh adalah akibat kemacetan akan terjadi
inefisiensi bagi pengguna jalan dari sisi waktu, biaya (kendaraan menjadi cepat
rusak), psikologis, penurunan kualitas lingkungan akibat polusi bahan bakar dan
sebagainya, yang pada akhirnya akan menimbulkan berbagai kerugian, baik
kerugian finansial maupun non finansial. Jika permasalahan tersebut tidak segera
dicarikan alternatif solusi terbaik, maka kota akan semakin tidak efisien dalam
24
memberikan pelayanan kepada penghuninya, serta akan terjadi penurunan kualitas
lingkungan. Kota bukan lagi menjadi hunian yang nyaman dan akan semakin
tidak bersahabat dengan lingkungan.
Dalam jangka panjang inefisiensi ini akan dapat menurunkan kinerja
perkembangan wilayah. Penurunan kinerja yang terjadi secara terus menerus akan
mengarah pada kehancuran dan kematian wilayah tersebut. Kemungkinan
penurunan kinerja perkembangan wilayah akan diperparah dengan permasalahan
kesenjangan/disparitas wilayah yang semakin mengemuka di Kota Bandar
Lampung. Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan bahwa tujuan penataan
ruang di Kota Bandar Lampung belum tercapai secara optimal atau dengan kata
lain penataan ruang belum berjalan secara optimal. Kemungkinan penyebab
maupun akar permasalahan dari kondisi tersebut dapat berasal dari sisi
perencanaan, pemanfaatan maupun dari sisi pengendalian. Dalam penelitian ini
kajian akan difokuskan pada sisi perencanaan, khususnya terkait dengan substansi
dokumen perencanaan
Kajian penelitian difokuskan pada tiga tujuan, yaitu pertama, mengetahui
konsistensi penyusunan rencana tata ruang Kota Bandar Lampung, dikaitkan
dengan pedoman penyusunan dan ketentuan yang berlaku. Analisis yang
digunakan untuk tujuan ini adalah analisis pembandingan tabel dilanjutkan dengan
analisis logika verbal. Dari analisis ini akan diperoleh informasi apakah
penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung sudah sesuai/mengacu pa da
ketentuan/pedoman yang berlaku.
Kedua, mengetahui konsistensi rencana tata ruang Kota Bandar Lampung
ditinjau dari aspek keserasian tata ruang dengan wilayah sekitarnya (Inter-
Regional Context). Analisis yang digunakan adalah map overlay yang dilanjutkan
dengan analisis logika verbal. Dari analisis ini akan diperoleh informasi apakah
perencanaan ruang Kota Bandar Lampung sudah memperhatikan aspek kawasan
fungsional dan kesinergian dengan ruang sekitarnya (konsistensi perencanaan
Inter-Regional context).
Ketiga, mengetahui keterkaitan antara konsistensi penataan ruang dengan
kinerja perkembangan wilayah, serta kaitan antara kinerja perkembangan wilayah
dengan konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota dan kondisi fisik wilayah.
25
Gambar 6 Kerangka berfikir
Penataan Ruang Kota Bandar Lampung
Kajian Dokumen RTRW • Analisis Konsistensi
Pemanfaatan Ruang • Analisis Perkemb.
Wilayah (Infrastr. Dasar Kota & Fisik Wilayah)
Analisis Kesesuaian Penyusunan dengan
Pedoman
Kesimpulan Penataan Ruang
• Kesesuaian dengan Pedoman • Konsistensi Perencanaan Inter-Regional Context • Konsistensi Pemanfaatan Ruang & Implikasi Terhadap
Kinerja Perkembangan Wilayah
Pengendalian
Tata Guna Tanah (TGT) Aktual
Pemanfaatan
Permasalahan (Kekumuhan, Kesemrawutan, Konversi
Lahan & Keterbatasan Openspace)
Berbagai Permasalahan Inefisiensi
Penataan Ruang Belum Optimal
Perencanaan
Dokumen RTRW
Analisis Konsistensi dgn Wilayah sekitar (Inter-
Regional Context)
26
Peranan infrastruktur dasar kota dalam penataan ruang adalah untuk
memacu pertumbuhan wilayah dan mendorong pertumbuhan wilayah secara
optimal. Analisis yang digunakan adalah map overlay, analisis logika verbal, PCA
dan Spa tial Durbin Model.
Dari analisis pertama dan kedua yang dilakukan, dapat disimpulkan apakah
dokumen RTRW Kota Bandar Lampung sudah cukup representatif untuk menjadi
sebuah dokumen perencanaan. Jika belum konsisten/sesuai, maka akan disusun
rekomendasi sebagai bahan masukan jika Pemda akan melakukan revisi RTRW.
Sedangkan jika sudah cukup representatif, maka jika terjadi penyimpangan dalam
pemanfaatan ruang atau berbagai permasalahan dalam penataan ruang,
kemungkinan hal tersebut bukan lagi disebabkan oleh kesalahan dokumen
perencanaan, melainkan kemungkinan dari aspek pengendalian penataan
ruangnya. Untuk mengetahui hal tersebut, diperlukan penelitian lanjutan oleh
pihak lain.
Vs
Gambar 7 Perbandingan proses penataan ruang
Konsistensi Inkonsistensi
Ruang yang teratur, bersinergi, efisien &
berkualitas
Konflik penggunaan ruang, kesemrawutan
& inefisiensi
Penurunan Kualitas Ruang
Kelumpuhan/ Kematian wilayah
Percepatan Perkembangan
Wilayah
27
METODE PENELITIAN
Ruang Lingkup
Dalam penelitian ini ada dua aspek yang ruang lingkupnya perlu
dispesifikasikan, yaitu ruang lingkup materi dan ruang lingkup wilayah.
Ruang lingkup materi
Menurut UU 24 Tahun 1992, penataan ruang terdiri dari proses perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Mengingat adanya berbagai
keterbatasan, terutama keterbatasan data dan waktu, maka dalam penelitian ini
kajian difokuskan pada aspek perencanaan, khususnya proses teknis penyusunan
RTRW. Adapun data yang digunakan dalam penelitian, seluruhnya bersumber
dari data skunder. Kajian penelitian difokuskan pada tiga analisis dengan masing-
masing batasan studi sebagai berikut:
Pertama, analisis konsistensi proses penyusunan RTRW Kota Bandar
Lampung dikaitkan dengan pedoman penyusunan dan ketentuan yang berlaku,
yang meliputi: UU 24 Tahun 1992; PP 47 Tahun 1997; Kepmen Kimpraswil No
327/KPTS/M/2002; Perda 5 Tahun 2001. Adapun pedoman teknis penyusunan
yang digunakan adalah Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002. Menurut
kepmen tersebut, proses teknis penyusunan RTRW Kota meliputi:
1. Penentuan arah pengembangan
Ø Tinjauan terhadap batas wilayah perencanaan
Ø Tinjauan terhadap aspek ekonomi, sosial, budaya, daya dukung dan daya
tampung lingkungan serta fungsi pertahanan keamanan.
Ø Tinjauan terhadap faktor -faktor determinan, yaitu UU 24/1992, RTRWN,
RTRWP, Propeda Provinsi, Propeda Kota dan Rencana Sektoral.
2. Identifikasi potensi dan masalah pembangunan
Ø Perkembangan sosial kependudukan
Ø Prospek pertumbuhan ekonomi
Ø Daya dukung fisik dan lingkungan
Ø Daya dukung prasarana dan fasilitas perkotaan
28
3. Perumusan RTRW Kota Bandar Lampung
Ø Perumusan visi, misi dan tujuan pembangunan kota
Ø Perkiraan kebutuhan pengembangan
Ø Perumusan RTRW
4. Penetapan RTRW
Ø Penetapan Perda
Ø Penambahan substansi dalam Perda (pedoman perijinan, pedoman
pengawasan dan pedoman penertiban)
Kedua, analisis konsistensi penyusunan rencana tata ruang Kota Bandar
Lampung dengan wilayah sekitarnya untuk melihat keserasian dan kesinergian
pemanfaatan ruang. Analisis yang digunakan adalah map overlay antara peta
rencana pemanfaatan ruang Kota Bandar Lampung dengan peta rencana
pemanfaatan ruang Kabupaten Lampung Selatan.
Ketiga, analisis keterkaitan antara konsistensi penataan ruang dengan kinerja
perkembangan wilayah di kota Bandar Lampung, serta keterkaitan antara
perkembangan wilayah dengan konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota dan
kondisi/karakteristik fisik wilayah. Untuk mengidentifikasi kondisi fisik wilayah
dilakukan overlay antara peta administrasi Kota Bandar Lampung dengan peta
hidrologi, kemiringan tanah dan peta geologi.
Variabel-variabel yang digunakan dalam analisis ketiga meliputi:
a. Variable -variabel ukuran perkembangan wilayah
Pembangunan dan pengembangan berasal dari akar kata yang sama dalam
bahasa inggris, yaitu development dan sering digunakan dalam hal yang sama atau
saling dipertukarkan penggunaannya. Ada sebagian orang yang berpendapat
bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari nol atau tidak
membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, tetapi melakukan sesuatu yang
sebenarnya sudah ada hanya kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas
(menekankan pada proses meningkatkan dan memperluas). Sebagai contoh dalam
hal pengembangan masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat yang
dikembangkan sebenarnya sudah memiliki kapasitas, namun perlu ditingkatkan
29
kapasitasnya (Rustiadi et al., 2004). Dalam penelitian ini, makna pembangunan
diasumsikan sama dengan perkembangan.
UNDP mendefinisikan pembangunan sebagai proses untuk memperluas
pilihan-pilihan bagi penduduk dengan tujuan akhir adalah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Parameter kesejahteraan masyarakat diukur dari Inde ks
Pembangunan Manusia (Human Development Index) dengan variabel tingkat
pendidikan, angka harapan hidup dan daya beli.
Paradigma pembangunan manusia mencakup 2 sisi (Rustiadi et al., 2004),
yaitu:
• Formasi kapabilitas manusia (perbaikan taraf kesehatan, pendidikan &
keterampilan)
• Pemanfaatan kapabilitas untuk kegiatan yang bersifat produktif, cultural,
social dan politik.
Kedua aspek tersebut diperlukan secara berimbang.
Indikator kinerja pembangunan wilayah dari aspek tujuan pembangunan
(Rustiadi et al., 2004) meliputi:
• Growth (pertumbuhan, produktifitas & efisiensi) = tujuan ekonomi
• Equity (pemerataan, kea dilan dan keberimbangan) = tujuan sosial
• Sustainability (keberlanjutan) = lingkungan
Mengingat variabel-variabel tersebut sulit diperoleh sampai unit desa (unit
analisis terkecil dalam penelitian ini), maka dilakukan berbagai pendekatan-
pendekatan untuk mengukur kinerja perkembangan wilayah dengan tetap
memperhatikan aspek ekonomi, sosial, budaya , dan lingkungan. Dari berbagai
pendekatan tersebut, maka yang digunakan sebagai indikator perkembangan
wilayah dalam penelitian ini meliputi:
• Fisik Ruang
Ø Luas wilayah (Ha)
Ø Luas kawasan budidaya (Ha)
Ø Luas kawasan terbangun (Ha)
• Ekonomi
Ø Jumlah keluarga (KK)
Ø Jumlah keluarga miskin (KK)
30
Ø Jumlah penerimaan daerah (APD) (rupiah)
Ø Jumlah pengeluaran daerah (rupiah)
Ø Jumlah industri (unit)
Ø Jumlah pasar (unit)
Ø Jumlah mini market/super market (unit)
Ø Jumlah warung/toko (unit)
Ø Jumlah restoran (unit)
Ø Jumlah bank (unit)
Ø Jumlah KUD (unit)
Ø Jumlah hotel (unit)
• Sosial
Ø Jumlah penduduk (jiwa)
Ø Jumlah keluarga penerima kartu sehat (KK)
Ø Jumlah korban kriminalitas meninggal (jiwa)
Ø Jumlah korba n kriminal luka -luka (jiwa)
Ø Jumlah sarana pendidikan (TK, SD, SLTP, SLTA dan PT/Akademi)(unit)
Ø Jumlah sarana kesehatan (RS, puskesmas, poliklinik, praktek dokter,
praktek bidan) (unit)
Ø Jumlah sarana ibadah (masjid, langgar/surau, gereja, pura, vihara) (unit)
• Budaya
Ø Jumlah sarana hiburan (bioskop, diskotik, alun-alun, tempat penyewaan
VCD, dan rumah bilyard). (unit)
• Trasportasi
Ø Jumlah pelabuhan (unit)
Ø Jumlah stasiun kereta api (unit)
Ø Jumlah terminal (unit)
b. Variabel-variabel infrastruktur dasar kota
Peranan infrastruktur dasar kota dalam penataan ruang adalah untuk
mendorong pertumbuhan wilayah secara optimal. Semakin tinggi ketersediaan
infrastruktur dasar kota merupakan indikasi semakin baiknya perkembangan suatu
31
wilayah. Variabel infrastruktur dasar kota yang digunakan dalam penelitian ini
adalah infrastruktur esensial dalam percepatan perkembangan wilayah:
• Panjang jalan (nasional, provinsi, kabupaten, dan lokal) (hektometer)
• Jumlah pelanggan listrik (KK)
• Jumlah pelanggan air bersih (KK)
• Jumlah pelanggan telepon (KK)
Gambar 8 Peta jaringan jalan Kota Bandar Lampung
c. Variabel fisik wilayah
Variabel fisik wilayah yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Hidrologi
Menurut Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451
K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penentuan Debit Pengambilan
Air Bawah Tanah, air bawah tanah didefinisikan sebagai semua air yang
terdapat dalam lapisan mengandung air di bawah permukaan tanah, termasuk
mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah. Akuifer atau
lapisan pembawa air didefinisikan sebagai lapisan batuan jenuh air dibawah
permukanan tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air dalam jumlah
cukup dan ekonomis . Karakteristik akuifer adalah sifat dasar dari hidraulik
suatu akuifer, diantaranya nilai keterusan, nilai kelu lusan, nilai koefisien
32
simpanan. Produktifitas akuifer didefinisikan sebagai kemampuan akuifer
menghasilkan air bawah tanah dalam jumlah tertentu.
Klasifikasi produktifitas air bawah tanah menurut Kepmen tersebut adalah
sebagai ber ikut:
Ø Air tanah langka atau akuifug atau lapisan kebal air adalah suatu lapisan
kedap air yang tidak mampu mengandung dan meneruskan air.
Ø Akuifer produktif atau akuitar atau lapisan lambat air adalah suatu lapisan
sedikit lulus air yang tidak mampu melepaskan air dalam arah mendatar,
tetapi melepaskan air cukup berarti ke arah vertikal.
Ø Akuifer dengan produktifitas rendah atau akuiklud atau lapisan kedap air
adalah suatu lapisan jenuh air yang mengandung air tetapi tidak mampu
melepaskannya dalam jumlah berarti.
Gambar 9 Peta hidrologi bagian wilayah Kota Bandar Lampung
Ø Akuifer dengan produktifitas sedang atau akuifer bocor adalah akuifer
yang dibatasi di bagian atasnya oleh lapisan lambat air dan di bagian
bawahnya oleh lapisan kedap air; muka air bawah tanah pada akuifer ini
disebut muka pisometrik yang mempunyai tekanan lebih besar dari
tekanan udara luar.
Ø Akuifer dengan produktifitas sedang dan menyebar luas atau akuifer
tertekan atau akuifer artois adalah akuifer yang dibatasi di bagian atas dan
33
bawahnya oleh lapisan kedap air; muka air bawah tanah pada akuifer ini
disebut muka pisometrik yang mempunyai tekanan lebih besar dari
tekanan udara luar.
Ø Akuifer dengan produktifitas tinggi adalah akuifer yang dibatasi di bagian
atasnya oleh muka air bertekanan sama dengan tekanan udara luar (1
atmosfer) dan di bagian bawahnya oleh lapisan kedap air; muka air bawah
tanah pada akuifer ini disebut muka air preatik.
2. Geologi
Keterangan geologi secara lebih rinci terdapat dalam Tabel Lampiran 6.
Ø Aluvium (Ha)
Ø Batuan granit tak terpisahkan (Ha)
Ø Endapan gunung api muda (Ha)
Ø Formasi campang (Ha)
Ø Formasi lampung (Ha)
Ø Formasi tarahan (Ha)
Ø Sekis way galih (Ha)
Gambar 10 Peta geologi bagian wilayah Kota Bandar Lampung
3. Kelerangan
Ø 0 – 2 %
Ø 2% – 20 %
34
Ø 20% – 40 %
Ø > 40 %
Gambar 11 Peta kelas lereng bagian wilayah Kota Bandar Lampung
Ruang lingkup wilayah
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah administratif Kota Bandar Lampung,
mencakup seluruh kecamatan yang ada, yaitu 13 kecamatan dan 98
desa/kelurahan. Unit analisis terkecil yang digunakan dalam penelitian ini adalah
desa/kelurahan. Secara geografis Kota Bandar Lampung berada pada posisi
50°20’ - 50°30’ LS dan 105°28’ - 105°37’ BT dengan luas wilayah daratan
19.220 Ha.
Batas-batas administratif Kota Bandar Lampung a dalah:
• Sebelah utara : Kecamatan Natar (Kabupaten Lampung Selatan).
• Sebelah selatan : Teluk Lampung.
• Sebelah timur : Kecamatan Tanjung Bintang (Kab. Lampung Selatan)
• Sebelah barat : Kecamatan Gedung Tataan dan Padang Cermin
(Kabupaten Lampung Selatan).
35
Tabel 1 Keterangan nomor urut dan nama desa/kelurahan
Kecamatan Nomor Ds/Kel Nama Desa/Kel
Kecamatan
Nomor Ds/Kel Nama Desa/Kel
Telukbetung Brt 1 Sukamaju 50 Enggal 2 Keteguhan 51 Pelita 3 Kota Karang 52 Palapa 4 Perwata 53 Kaliawi 5 Bakung 54 Kelapa Tiga 6 Kuripan 55 Tanjung Karang 7 Negri Olok Gading 56 Gunung Sari 8 Sukajaya 57 Pasir Gintung Telukbetung Sel 9 Gedung Pakuon 58 Penengahan 10 Talang Tj Karang Barat 59 Susunan Baru 11 Pesawahan 60 Sukadana Ham 12 Telukbetung 61 Suka Jawa 13 Kangkung 62 Gedung Air 14 Bumi Waras 63 Segala Mider 15 Pecohraya 64 Gunung Terang 16 Sukaraja Kemiling 65 Sumber Agung 17 Geruntang 66 Kedaung 18 Ketapang 67 Pinang Jaya 19 Way Lunik 68 Beringin Raya Panjang 20 Srengsem 69 Sumber Rejo 21 Panjang Selatan 70 Kemiling Permai 22 Panjang Utara 71 Langkapura 23 Pidada Kedaton 72 Sukamenanti 24 Way Laga 73 Sidodadi 25 Way Gubak 74 Surabaya 26 Karang Maritim 75 Per Way Halim Tj Karang Timur 27 Rawa Laut 76 Kedaton 28 Kota Baru 77 Labuan Ratu 29 Tanjung Agung 78 Kampung Baru 30 Kebon Jeruk 79 Sepang Jaya 31 Sawah Lama Rajabasa 80 Rajabasa Raya 32 Sawah Brebes 81 Gedung Meneng 33 Jaga Baya I 82 Rajabasa 34 Kedamaian 83 Rajabasa Jaya 35 Tanjung Raya Tanjung Seneng 84 Labuhan Dalam 36 Tanjung Gading 85 Tanjung Seneng 37 Campang Raya 86 Way Kandis Telukbetung Utr 38 Kupang Kota 87 Per Way Kandis 39 Gunung Mas Sukarame 88 Sukarame 40 Kupang Teba 89 W Halim Permai 41 Kupang Raya 90 Gunung Sulah 42 Pahoman 91 Way Dadi 43 Sumur Batu 92 Harapan Jaya 44 Gulak Galik Sukabumi 93 Jagabaya II 45 Pengajaran 94 Jagabaya III 46 Sumur Putri 95 Tanjung Baru 47 Batu Putu 96 Kalibalok Kencn Tj Karang Pusat 48 Durian Payung 97 Sukabumi Indah 49 Gotong Royong 98 Sukabumi Sumber : Bappeda Kota Bandar Lampung tahun 2003
36
Gambar 12 Peta administrasi Kota Bandar Lampung
Pengumpulan Data
Seluruh data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data
sekunder. Sumber data untuk masing-masing tujuan adalah sebagai berikut:
• Konsistensi penyusunan RTRW dengan pedoman yang berlaku. Seluruh
pedoman penyusunan RTRW diperoleh di Bappeda Provinsi Lampung.
Dokumen RTRW Kota Bandar Lampung beserta Perda No 4/2004 tentang
RTRW Kota Bandar Lampung diperoleh dari Bappeda Kota Bandar Lampung.
• Konsistensi RTRW Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek keserasian
dengan ruang wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context). Peta rencana
pemanfaatan ruang Kota Bandar Lampung diperoleh dari Bappeda Kota
Bandar Lampung, sedangkan peta rencana pemanfaatan ruang Kabupaten
Lampung Selatan diperoleh dari Bappeda Kabupaten Lampung Selatan.
• Implikasi konsistensi penataan ruang terhadap kinerja perkembangan wilayah
serta faktor -faktor pendorong perkembangan wilayah (prasarana dasar kota
dan kondisi fisik wilayah). Data perkembangan wilayah diperoleh dari
PODES 2005, sedangkan data prasarana dasar kota diperoleh dari PDAM Way
Rilau dan PODES 2005. Data kondisi fisik wilayah berupa peta kemiringan
tanah dan peta hidrologi diperoleh dari Bappeda Kota Bandar Lampung,
sedangkan peta geologi diperoleh dari P3G Bandung.
37
Analisis Proses Penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung
Untuk mengetahui kesesuaian antara proses penyusunan RTRW Kota
Bandar Lampung dengan pedoman penyusunan dan ketentuan yang berlaku
dilakukan analisis pembandingan tabel proses penyusunan dengan pedoman. Dari
hasil analisis tersebut akan diketahui konsistensi proses penyusunan RTRW Kota
Bandar Lampung. Jika konsisten, maka akan dilakukan analisis logika verbal
untuk menghasilkan suatu kesimpulan. Jika hasil analisis menunjukkan
inkonsisten, maka akan dilakukan analisis logika verbal untuk menghasilkan suatu
saran dan rekomendasi untuk mencari solusi terbaik.
Ya Tidak
Gambar 13 Kerangka proses tujuan pertama
Pengumpulan Dokumen RTRW Kota Bandar Lampung &
Pedoman Penyusunan RTRWK
Analisis Logika Verbal
Analisis Logika Verbal
Saran/Rekomendasi Kesimpulan
Teknis Penyusunan RTRW
Dokumen RTRW Kota
Bandar Lampung
Analisis Pembandingan
Pedoman Penyusunan
• UU 24/1992 • PP 47/1997 • KEPMEN
KIMPRASWIL 327/2002
• PERDA 5/2001
Sesuai Pedoman?
38
Tabel 2 Rancangan tabel analisis proses penyusunan RTRW
No Aspek Ketentuan Pelaksanaan Keterangan Prosentase
1
2
3
4
Analisis Konsistensi RTRW dalam Inter-Regional Context
Untuk mengetahui konsistensi rencana pemanfaatan ruang Kota Bandar
Lampung dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context) dilakukan dengan
menggunakan metode tumpang tindih (map overlay) antara peta rencana
pemanfaatan ruang Kota Bandar Lampung dengan peta rencana pemanfaatan
ruang Kabupaten Lampung Selatan. Alat kontrol yang digunakan dalam melihat
konsistensi tersebut adalah peta rencana pemanfaatan ruang Provins i Lampung.
Ya Tidak
Gambar 14 Kerangka proses tujuan kedua
Dari hasil Map Overlay tersebut akan terlihat kesinergian rencana tata ruang
Kota Bandar Lampung dengan ruang sekitarnya serta teridentifikasi apakah
penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung sudah memperhatikan aspek kawasan
Kesimpulan
Konsisten?
Saran/Rekomendasi
Peta Rencana TGT Kab Lamsel
Peta Rencana TGT Kota BDL
Data Peta
Peta Rencana TGT Prov Lampung
Overlay Peta
Analisis Logika Verbal
39
fungsional. Analisis regional antara Kota Bandar Lampung dengan wilayah
sekitarnya dilakukan dengan menggunakan analisis logika verbal.
Analisis Kinerja Perkembangan Wilayah
Untuk mengetahui implikasi konsistensi penataan ruang terhadap kinerja
perkembangan wilayah dilakukan dengan analisis logika verbal.
Gambar 15 Kerangka proses tujuan ketiga
Lebih lanjut kinerja perkembangan wilayah akan dipengaruhi oleh adanya
dorongan/kekuatan untuk perubahan (forces of change) yang diidentifikasi
disebabkan karena aspek kondisi fisik wilayah (hasil overlay) dan konfigurasi
ruang infrastruktur dasar kota (McGill, 1998).
Spatial Durbin Model
Peta Kemiringan
Faktor-Faktor Dominan yang Mempengaruhi Kinerja Perkembangan Wilayah
Overlay Peta
Variabel2 Indikator Perkembangan Wil
PCA
Konfigurasi Ruang Prasarana Dasar Kota
Karakteristik Fisik Tiap Unit Ruang
Indeks Komposit Perkembangan Wilayah
Data Peta
Data Prasarana Dasar Kota
Data Perkembangan Wilayah
Indeks Komposit Prasarana Dasar & Kondisi Fisik Wilayah
PCA
Peta Geologi
Peta Hidrologi
40
Gambar 16 Bagan alir tujuan ketiga
Tabel 3 Variabel infrastruktur dasar kota
ASPEK VARIABEL INDIKATOR UNIT SATUAN
∑ rumah tangga Infrastruktur dasar kota ↑
∑ pelanggan listrik ∑PL/ ∑RT ↑ KK
∑ pelanggan telepon ∑PT/∑RT ↑ KK
∑ pelanggan PDAM ∑PPDAM/∑RT ↑ KK
panjang jalan rasio panjang /luas wilayah ↑ Hk/Ha
rasio panjang /∑ penduduk Hk/Jiwa
Tabel 4 Variabel fisik wilayah
ASPEK VARIABEL INDIKATOR UNIT SATUAN
hidrologi air tanah langka (x) luas (x) /luas wilayah Ha
akuifer produktif (x) luas (x) /luas wilayah Ha
akuifer produktifitas rendah (x) luas (x) /luas wilayah Ha
akuifer produktifitas sedang (x) luas (x) /luas wilayah Ha akuifer produktif sedang &
menyebar luas(x) luas (x) /luas wilayah Ha
akuifer produktif tinggi (x) luas (x) /luas wilayah Ha
Geologi aluvium (x) luas (x) /luas wilayah Ha
batuan granit tak terpisahkan (x) luas (x) /luas wilayah Ha
endapan gunung api muda (x) luas (x) /luas wilayah Ha formasi campang (x) luas (x) /luas wilayah Ha
formasi lampung (x) luas (x) /luas wilayah Ha
formasi tarahan (x) luas (x) /luas wilayah Ha
sekis way galih (x) luas (x) /luas wilayah Ha
kelerengan 0 – 2% (x) luas (x) /luas wilayah Ha 2% – 20% (x) luas (x) /luas wilayah Ha
20% – 40% (x) luas (x) /luas wilayah Ha
> 40% (x) luas (x) /luas wilayah Ha
Kinerja Perkembangan
Wilayah
X1 X2
Y1
Y2
Karakteristik Fisik Wilayah
Konfigurasi Ruang Prasarana
Dasar Kota
Konsistensi Penataan Ruang
41
Tabel 5 Variabel perkembangan wilayah
INDIKATOR ASPEK VARIABEL Aktual Standar
UNIT SATUAN
fisik ruang ↑ luas wilayah luas kawasan budidaya ↑ rasio luas budidaya/luas
wilayah ↑ 0,7 Hektar
luas kawasan terbangun ↑ rasio terbangun/budidaya ↑ 0,6 Hektar
ekonomi ↑ ∑ keluarga miskin ↓ rasio ∑ keluarga miskin/RT ↓ KK ∑ penerimaan daerah ↑ Rupiah ∑ pengeluarn daerah ↑
rasio (penerimaan total-pengeluaran rutin)/penerimaan total ↑
∑ industri ↑ rasio ∑ industri desa/ ∑ industri total ↑ Unit ∑ warung/toko ↑ ∑ wartok/1.000 pdd 1/250 Unit/Jiwa
∑ mini/ supermarket ↑ ∑ minimarket/1.000 pdd 1/30.000 Unit/Jiwa
∑ pasar ↑ ∑ pasar/1.000 pdd 1/120.000 Unit/Jiwa ∑ restauran ↑ ∑ restaurant/1.000 pdd 1/30.000 Unit/Jiwa ∑ bank ↑ ∑ bank/1.000 pdd 1/480.000 Unit/Jiwa
∑ KUD ↑ ∑ KUD/1.000 pdd 1/120.000 Unit/Jiwa
∑ hotel ↑ ∑ hotel/1.000 pdd 1/480.000 Unit/Jiwa
sosial ↑ ∑ korban kriminalitas ↓ ∑ korban per desa/∑ krban total ↓ Jiwa
∑ TK ↑ ∑ TK/1.000 pdd 1/1.000 Unit/Jiwa ∑ SD ↑ ∑ SD/1.000 pdd 1/1.600 Unit/Jiwa ∑ SLTP ↑ ∑ SLTP/1.000 pdd 1/4.800 Unit/Jiwa
∑ SLTA ↑ ∑ SLTA/1.000 pdd 1/4.800 Unit/Jiwa
∑ Akademi/PT ↑ ∑ Ak/PT/1.000 pdd 1/1.000.000 Unit/Jiwa ∑ KK penerima K sehat ↑ rasio ∑ KK penerima kartu sehat/∑KK ↑ KK
∑ rumah sakit ↑ ∑ RS/1.000 pdd 1/240.000 Unit/Jiwa
∑ puskesmas ↑ ∑ puskes/1.000 pdd 1/120.000 Unit/Jiwa
∑ poliklinik ↑ ∑ polik/1.000 pdd 1/30.000 Unit/Jiwa
∑ praktek dokter ↑ ∑ praktek dokter/1.000 pdd 1/5000 Unit/Jiwa
∑ praktek bidan ↑ ∑ praktek bidan/1.000 pdd 1/3.000 Unit/Jiwa
∑ masjid ↑ ∑ masjid/1.000 pdd 1/1.750 Unit/Jiwa
∑ langgar/surau ↑ ∑ surau/1.000 pdd 1/300 Unit/Jiwa
∑ gereja ↑ ∑ gereja/1.000 pdd 1/1.750 Unit/Jiwa
∑ pura ↑ ∑ pura/1.000 pdd 1/1.750 Unit/Jiwa
∑ vihara ↑ ∑ vihara/1.000 pdd 1/1.750 Unit/Jiwa
budaya ↑ ∑ bioskop ↑ ∑ bioskop/1.000 pdd 1/30.000 Unit/Jiwa
∑ diskotik ↑ ∑ diskotik/1.000 pdd 1/30.000 Unit/Jiwa ∑ alun-alun ↑ ∑ alun2/1.000 pdd 1/2.500 Unit/Jiwa
∑ tempat sewa VCD ↑ ∑ tempat sewa /1.000 pdd 1/30.000 Unit/Jiwa
∑ rumah bilyard ↑ ∑ rmh bilyard/ 1.000 pdd 1/30.000 Unit/Jiwa
transportasi ↑ ∑ pelabuhan ↑ 1/1.000.000 Unit/Jiwa
∑ stasiun KA ↑ 1/1.000.000 Unit/Jiwa
∑ terminal ↑ 1/1.000.000 Unit/Jiwa
Keterangan : Variabel ↑ menyebabkan aspek ↑ (kinerja perkembangan wilayah ↑)
Sumber: Kepmen PU No 378/KPTS/1987
42
Dari indikator -indikator tersebut, selanjutnya dapat dihitung score dengan
pendekatan sebagai berikut:
XbXbXi
Yi−
= Yi ≥ -1
Yi : Score relatif terhadap standar
Xi : Rasio aktual (per 1000 penduduk)
Xb : Rasio menurut standar
Untuk mengetahui hubungan antara kinerja perkembangan wilayah dengan
konfigurasi spasial prasarana dasar kota dan kondisi fisik wilayah digunakan
metode regresi.
Asumsi regresi standar antara lain:
• Antar sampel harus independent (saling bebas)
• Antar variabel penjelas harus independent (saling bebas)
Mengingat data yang digunakan adalah data hasil survey (tanpa memberi
perlakuan), maka dalam data tersebut sangat potensial terjadi multicollinearity,
sehingga struktur data yang dihasilkan akan menjadi bias. Untuk menghindari
terjadinya hal tersebut, maka dilakukan Principal Components Analysis (PCA).
Mengingat variabel yang akan diukur memiliki dimensi lokasi, maka berlaku
hukum geografi dan ilmu wilayah (teori lokasi), bahwa ada keterkaitan antar
wilayah (spasial) yang mempengaruhi pola hubungan antara kedua variabel.
Dengan menggunakan ilustrasi dalam proses pemupukan, bahwa regresi
sederhana hanya sahih digunakan dalam penelitian percobaan laboratorium
dimana perlakuan pemupukan antara tanaman di suatu pot hasilnya akan berbeda
dengan perlakuan pemupukan di pot lain. Hal ini karena kejadian dalam suatu pot
hanya dipengaruhi oleh perlakuan dalam pot tersebut dan tidak saling berpengaruh
terhadap kejadian di pot lain. Kondisi berbeda akan ditemukan di lapangan, yaitu
jika di suatu areal sawah dilakukan pemupukan, maka tanaman pada sawah yang
memiliki aliran air sama dan terletak dibawahnya akan menjadi subur karena
adanya pengaruh/faktor aliran antar lokasi. Dengan kata lain kejadian di suatu
tempat tidak hanya dipengaruhi oleh peristiwa di tempat tersebut, tetapi juga
dipengaruhi oleh kejadian di tempat lain. Untuk kasus seperti ini, regresi
43
sederhana menjadi kurang sahih untuk digunakan, sehingga regresi yang dapat
digunakan adalah Spatial Durbin Model.
Principal Components Analysis (PCA)
Teknik analisis ini mentransformasikan secara linier satu set peubah ke
dalam peubah baru yang lebih sederhana dengan ukuran lebih kecil representatif
dan ortogonal (tidak saling berkorelasi) (Saefulhakim, 2005). Format data untuk
PCA dapat disusun membentuk matriks yang berukuran n x p, dengan n : unit
sample (jumlah desa) dan p ; jumlah peubah (kolom). Analisis komponen utama
ini dilakukan sampai diperoleh nilai PC Score terbaik, yaitu: PC Score g\dengan
nilai akar ciri (eigenvalues) diatas 65%; jumlah faktor-faktor baru yang diperoleh
pada tabel factor loading dibawah lima; dan kore lasi antar variabel-variabel asal
dengan faktor -faktor baru pada factor loading dapat diinterpretasikan secara logis.
Tabel 6 Rancangan tabel PCA
Desa
Variabel Perkembangan Desa
Infrastruktur Dasar Kota
Variabel Karakteristik Fisik Wilayah
Persamaan umum PCA adalah:
Yk = ak 1X1 + ak2X2 + ak3X3 + … + akpXp
Adapun maksud dari analisis komponen utama ini adalah untuk
mengelompokkan variabel-variabel menjadi beberapa kelompok. Ada dua tujuan
dasar dari PC, yaitu:
• Ortogonalisasi Variabel: mentransformasikan suatu struktur data dengan
variabel-variabel yang saling berkorelasi menjadi struktur data baru dengan
variabel-variabel baru (yang disebut sebagai Komponen Utama atau Faktor)
yang tidak saling berkorelasi.
• Penyederha naan Variabel: banyaknya variabel baru yang dihasilkan, jauh
lebih sedikit dari pada variabel asalnya, tapi total kandungan informasinya
(total ragamnya) relatif tidak berubah (Saefulhakim, 2005).
44
Hasil PCA antara lain:
Ø Akar ciri (eigen value) merupakan suatu nilai yang menunjukkan keragaman
dari peubah komponen utama dihasilkan dari analisis, semakin besar nilai
eigen value, maka semakin besar pula keragaman data awal yang mampu
dijelaskan oleh data baru.
Ø Proporsi dan komulatif akar ciri, nilai pembobot (eigen vector) merupakan
parameter yang menggambarkan hubungan setiap peubah dengan komponen
utama ke -i.
Ø Component score adalah nilai yang menggambarkan besarnya titik-titik data
baru dari hasil komponen utama dan digunakan setelah PCA.
Ø PC loading menggambarkan besarnya korelasi antar variable pertama dengan
komponen ke-i. PC scores ini yang digunakan jika terjadi analisis lanjutan
setelah PCA. Factor Loadings (Lα) adalah sama dengan Factor Score
Coefficients (Cα) kali Eigenvalue Faktor atau Komponen Utamanya (λα).
Dari proses olah kinerja perkembangan wilayah dengan PCA, dihasilkan
indeks komposit yang meliputi:
• Indeks komposit untuk kinerja pembangunan wilayah
• Indeks komposit untuk prasarana dasar kota
• Indeks komposit untuk kondisi fisik wilayah
Hasil analisis PCA digunakan untuk menduga parameter model hubungan
antara kinerja perkembangan wilayah dengan konfigurasi ruang prasarana dasar
kota dan kondisi fisik wilayah. Teknik yang digunakan untuk menganalisis tujuan
tersebut adalah analisis Spatial Durbin Model (LeSage, 1999).
Spatial Durbin Model
Prinsip dasar Spatial Durbin Model hampir sama dengan regresi berbobot
(weighted regression), dengan variabel yang menjadi pembobot adalah faktor
lokasi. Kedekatan dan keterkaitan antar lokasi ini menyebabkan munculnya
fenomena ‘autokorelasi spasial’. Spatial Durbin Model merupakan pengembangan
dari model regresi sederhana yang telah mengakomodasikan fenomena-fenomena
autokorelasi spasial, baik dalam variabel tujuan maupun dalam variabel
penjelasnya. Misalnya untuk mengetahui tingkat perkembangan di suatu wilayah
45
selain dipengaruhi variabel bebas (hasil olah PCA) juga dipengaruhi oleh variabel
lain, yaitu hubungan spasial. Data yang digunakan untuk variabel bebas (x)
berasal dari komponen utama hasil pengolahan PCA. Representasi faktor lokasi
pada Spatial Durbin Model dalam bentuk matriks kedekatan yang disebut dengan
contiquity matrix (LeSage, 1999) .
Perhitungan contiguity matrix untuk mengetahui hubungan perkembangan
wilayah dengan konfigurasi ruang prasarana dasar kota dan karakteristik fisik
wilayah dalam penelitian ini didasarkan pada 2 (dua) aspek, yaitu:
• Ketetanggaan (batas wilayah)
Jika kedua wilayah berdekatan/bertetanggaan, maka keterkaitan antar kedua
wilayah tersebut relatif tinggi. Untuk suatu fasilit as tertentu, kedua wilayah
dapat memanfaatkan secara bersama-sama, misalnya penggunaan SLTP.
Dengan kata lain bahwa aktivitas /peristiwa di suatu tempat akan dipengaruhi
oleh kejadian di tempat lain.
• Kebalikan jarak (centroid)
Semakin besar nilai jarak antara kedua wilayah, maka semakin kecil
keterkaitan antar wilayah (berbanding terbalik), sehingga interaksi antar
wilayah relatif berkurang. Untuk karakteristik fisik wilayah, wilayah yang
bertetanggaan akan memiliki karakteristik fisik alamiah hampir sama yang
dimungkinkan karena adanya kemiripan prose alamiah.
Pendekatan rumus kinerja perkembangan wilayah:
Y2 = α + (Σ kρ4kWk)Y2 + βX1 + (Σ kρ1kWk)X1 + γX2 + (Σ kρ 2kWk)X2 + µX3 +
(Σ kρ 3kWk)X3 + ε
Y2 : Variabel kinerja perkembangan wilayah
α : Parameter konstanta regresi
ρ 4 : Parameter koefisien kontiguitas spasial kinerja perkembangan wilayah
W1 : Matriks kontiguitas antar wilayah desa/kelurahan berdasarkan
ketetanggaan batas administrasi
• Jika kedua wilayah berbatasan langsung, maka diberi angka 1;
• Jika ke dua wilayah tidak berbatasan langsung atau wilayah tersebut
berbatasan dengan dirinya sendiri, maka diberi angka 0.
46
W2 : Matriks kontiguitas antar wilayah desa/kelurahan berdasarkan
kebalikan jarak antar centroid wilayah administratif
β : Parameter koefisien infrastruktur dasar kota
ρ 1 : Parameter koefisien kontiguitas spasial infrastruktur dasar kota
k : Variabel sampel (desa/kelurahan)
X1 : Variabel infrastruktur dasar kota
γ : Parameter koefisien karakteristik fisik wilayah
ρ 2 : Parameter koefisien kontiguitas spasial karakteristik fisik
X2 : Variabel karakteristik fisik wilayah
µ : Parameter koefisien konsistensi pemanfaatan ruang
ρ 3 : Parameter koefisien kontiguitas spasial konsistensi pemanfaatan ruang
X3 : Variabel konsistensi pemanfaatan ruang
Tabel 7 Rancangan Contiguity Matrix W terhadap ketetanggaan
Wil A Wil B Wil C Wil D Wil E Wil F
Wil A 0 1 1 0 0 0
Wil B 0
Wil C 0
Wil D 0
Wil E 0
Wil F 0
47
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Keadaan Umum Kota Bandar Lampung
Secara administratif Kota Bandar Lampung dibentuk pada tanggal 17 Juni
1983 sebagai bagian dari wilayah kota dalam pembentukan Keresidenan Provinsi
Lampung yang ditetapkan berdasarkan PP No 3 Tahun 1964. Semula kota ini
terdiri dari 4 kecamatan 30 kelurahan, namun dalam perkembangannya telah
terjadi beberapa kali pemekaran wilayah. Terakhir dengan ditetapkannya Perda
Kota Bandar Lampung No 4 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Penghapusan dan
Penggabungan Kecamatan dan Kelurahan, Kota Bandar Lampung ditetapkan
terdiri dari 13 Kecamatan dengan 98 kelurahan.
Kota Bandar Lampung mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam
lima tahun terakhir. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari fungsi Kota Bandar
Lampung dalam konteks pertumbuhan wilayah Provinsi Lampung sebagai pusat
pemerintahan provinsi, pusat perdagangan regional, pusat pelayanan transportasi
regional, pusat pendidikan dan kebudayaan regional, pusat industri maritim dan
pengolah bahan baku pertanian, serta pusat penyediaan energi dan telekomunikasi.
Jumlah penduduk pada tahun 2005 tercatat sebanyak 788.337 jiwa yang
terdiri dari laki-laki berjumlah 393.061 jiwa dan perempuan berjumlah 395.276
jiwa. Tingkat kepadatan rata-rata di Kota Bandar Lampung adalah 42 jiwa/ha
dengan distribusi yang sangat sangat bervariasi dari yang relatif rendah yaitu
Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling (2 jiwa per ha) sampai yang relatif
tinggi, yaitu Kelurahan Kelapa Tiga Kecamatan Tanjung Karang Pusat (553 jiwa
per ha). Wilayah dengan kepadatan tinggi didominasi oleh wilayah yang berlokasi
di pusat kota , sedangkan wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk rendah
didominasi oleh wilayah yang berlokasi di pinggiran kota.
Tabel 8 menunjukkan bahwa jumlah penduduk dan tingkat kepadatan
penduduk di Kota Bandar Lampung tidak merata dan sangat bervariasi, bukan
hanya antar kecamatan, tetapi juga antar kelurahan yang terdapat dalam
kecamatan yang sama. Kondisi ini berpotensi menimbulkan terjadinya
ketimpangan dalam percepatan pembangunan antar wilayah.
48
Tabel 8 Jumlah dan kepadatan penduduk perkelurahan di Kota Bandar Lampung
Kecamatan Kelurahan Σ Penduduk (Jiwa) Luas wilayah (Ha) Kepadatan (Jw/Ha)
Sukamaju 4,249 639 7 Keteguhan 8,483 364 24 Kota Karang 14,301 56 256 Perwata 3,842 23 168 Bakung 5,706 107 54 Kuripan 4,636 34 137 Negri Olok Gading 4,359 109 40
Telukberung Barat Sukajaya 4,236 627 7
Gedung Pakuon 4,181 36 117 Talang 7,913 46 173 Pesawahan 11,242 63 179 Telukbetung 4,643 19 245 Kangkung 12,079 30 403 Bumi Waras 17,239 73 237 Pecohraya 5,116 83 62 Sukaraja 10,209 79 130 Geruntang 6,797 110 62 Ketapang 4,370 124 36
Telukbetung Selatan Way Lunik 9,370 150 63
Srengsem 7,571 456 17 Panjang Selatan 11,998 106 114 Panjang Utara 12,679 112 114 Pidada 10,878 318 35 Way Laga 6,503 433 16 Way Gubak 3,023 546 6
Panjang Karang Maritim 8,781 105 84
Rawa Laut 5,298 51 104 Kota Baru 11,647 103 114 Tanjung Agung 7,021 22 320 Kebon Jeruk 5,424 23 236 Sawah Lama 5,815 12 485 Sawah Brebes 7,334 30 245 Jaga Baya I 2,783 17 164 Kedamaian 14,375 128 113 Tanjung Raya 5,772 54 107 Tanjung Gading 2,924 105 28
Tanjung Karang T imur Campang Raya 8,695 960 10
Kupang Kota 10,410 44 237 Gunung Mas 3,709 104 36 Kupang Teba 11,158 66 170 Kupang Raya 3,424 17 202 Pahoman 4,835 76 64 Sumur Batu 7,882 78 102 Gulak Galik 7,082 72 99 Pengajaran 5,747 116 50 Sumur Putri 4,597 92 50
Telukbetung Utara Batu Putu 4,108 93 45
Durian Payung 9,480 98 97 Gotong Royong 5,467 38 144 Enggal 5,282 64 83 Pelita 5,537 23 241 Palapa 4,317 30 144 Kaliawi 13,373 42 319 Kelapa Tiga 11,606 21 553 T anjung Karang 3,814 28 137 Gunung Sari 2,888 21 138 Pasir Gintung 5,055 30 169
Tanjung Karang Pusat Penengahan 6,382 40 160
49
Tabel 8 Lanjutan
Kecamatan Kelurahan Σ Penduduk (Jiwa) Luas wilayah (Ha) Kepadatan (Jw/Ha)
Susunan Baru 2,804 338 9 Sukadana Ham 2,388 954 3 Suka Jawa 14,385 82 176 Gedung Air 10,647 131 82 Segala Mider 14,436 225 65
Tanjung Karang Barat Gunung Terang 7,178 201 36
Sumber Agung 3,027 498 7 Kedaung 1,035 577 2 Pinang Jaya 3,050 195 16 Beringin Raya 13,020 711 19 Sumber Rejo 12,767 703 19 Kemiling Permai 11,403 713 16
Kemiling Langkapura 8,715 228 39
Sukamenanti 6,369 38 168 Sidodadi 11,230 86 131 Surabaya 10,339 84 124 Perumnas Way Halim 12,018 92 131 Kedaton 13,242 497 27 Labuan Ratu 17,388 312 56 Kampung Baru 7,630 155 50
Kedaton Sepang Jaya 11,829 138 86
Rajabasa Raya 6,078 227 27 Gedung Meneng 8,587 328 27 Rajabasa 16,883 319 53
Rajabasa Rajabasa Jaya 4,578 319 15
Labuhan Dalam 6,131 227 28 Tanjung Seneng 11,287 312 37 Way Kandis 5,481 307 18
Tanjung Seneng Perumnas Way Kandis 5,970 319 19
Sukarame 17,851 403 45 Way Halim Permai 8,052 120 68 Gunung Sulah 9,271 97 96 Way Dadi 15,696 348 46
Sukarame Harapan Jaya 7,924 376 22
Jagabaya II 13,599 104 131 Jagabaya III 8,281 103 81 Tanjung Baru 5,681 140 41 Kalibalok Kencana 7,220 125 58 Sukabumi Indah 7,203 271 27
Sukabumi
Sukabumi 10,019 271 37
Sumber : PODES 2005
Penataan Ruang Kota Bandar Lampung
RTRW Kota Bandar Lampung
Sesuai amanat UU 24 Tahun 1992, pada tahun 1994 Pemeritah Kota Bandar
Lampung menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar
Lampung dan disusun kembali pada tahun 2003 serta mendapat legalitas hukum
melalui Perda Nomor 4 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Bandar Lampung Tahun 2005-2015.
50
Dengan posisi yang sangat strategis membawa konsekuensi kota ini
memiliki peranan yang sangat strategis , baik dalam skala nasional sebagaimana
diamanatkan dalam PP 47 Tahun 1997 tentang RTRWN maupun dalam skala
provinsi sebagaimana tertuang dalam Perda Nomor 5 Tahun 2001 tentang
Penataan Ruang Wilayah Provinsi Lampung, yaitu peran sebagai salah satu Pusat
Kegiatan Nasional (PKN) dan Kawasan Andalan Nasional.
Dalam perannya sebagai PKN membawa konsekuensi bahwa Kota Bandar
Lampung dituntut untuk mampu memberikan pelayanan transportasi yang
memadai dan mampu berperan sebagai transhipment point berbagai moda
angkutan lintas regional, nasional dan internasional. Hal ini didukung oleh
berbagai rencana pengembangan dalam sistem transportasi regional. Rencana
pembangunan jembatan Selat Sunda yang menghubungkan Pulau Jawa dengan
Pulau Sumatera akan memperlancar aliran pergerakan penumpang dan barang.
Pelabuhan Panjang dilengkapi dengan sistem angkutan antar moda yang memiliki
akses terhadap seluruh wilayah di Provinsi Lampung dan Sumatera Bagian
Selatan. Gugusan jaringan kereta api Trans Sumatera menjadi salah satu alternatif
sarana pergerakan antar moda. Adanya rencana pembangunan jalan tol ke arah
palembang akan turut mendukung kelancaran aksesibilitas tersebut.
Dalam perannya sebagai kawasan andalan, Kota Bandar Lampung dituntut
untuk mampu menjadi stimulan perkembangan wilayah-wilayah disekitarnya,
artinya kebijakan-kebijakan pembangunan diarahkan untuk mewujudkan
kesinergian pembangunan dan mampu mendistribusikan hasil-hasil pembangunan
kepada kawasan-kawasan sekitarnya (spreed effect), bukan menghisap potensi
sekitarnya (backwash effect) yang hanya akan menimbulkan berbagai
permasalahan ketimpangan pembangunan
Selain mempertegas dua peran nasional tersebut, dalam RTRW Provinsi
Lampung disebutkan peran Kota Bandar Lampung sebagai pusat pelayanan
primer bagi kawasan-kawasan disekitarnya. Prioritas pengembangan/penanganan
Kota Bandar Lampung berdasarkan kebijakan Provinsi Lampung adalah sebagai
pusat pemerintahan, jasa, perdagangan, pariwisata, pendidikan, pelayanan,
pelabuhan dan industri.
51
Strategi pengembangan kawasan andalan Kota Bandar Lampung yang
ditetapkan Pemerintah Provinsi Lampung (Dokumen Rencana Kawasan Andalan
Kota Bandar Lampung dan Sekitarnya) dalam keterkaitan dengan perannya
sebagai pusat pelayanan primer adalah:
1. Berorientasi pada kegiatan jasa, perdagangan, perbankan, pariwisata,
pendidikan, riset dan industri yang ramah lingkungan.
2. Pengembangan pelabuhan panjang dan Pelud Radin Inten II.
3. Keterpaduan pengembangan Kota Bandar Lampung dan kota satelit.
4. Pengembangan Bandar Lampung Waterfront City yang berfungsi sebagai
pusat pemerintahan, pariwisata dan jasa.
5. Pengembangan prasarana ekonomi yang selaras dengan prasarana pemenuhan
kebutuhan pokok warga kota.
6. Orientasi sebagai pusat pelayanan regional yang dipersiapkan menghadapi
tantangan globalisasi.
Visi Kota Bandar Lampung Tahun 2020 adalah ‘Kota Berbudaya, Nyaman
dan Berkelanjutan (BERNYALA)’. Berbudaya adalah suatu kondisi dan sikap
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai agama, moral/etika, hukum dan budaya
yang didukung oleh imtaq (iman dan taqwa) serta iptek (ilmu pengetahuan dan
teknologi). Nyaman adalah sutau kondisi dimana masyarakat merasa aman, tertib
dan sejahtera. Berkelanjutan adalah suatu kondisi yang menjamin kontinyuitas
pengelolaan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam secara
bertanggungjawab.
52
HASIL PEMBAHASAN
Konsistensi Penyusunan Tata Ruang dengan Pedoman yang Berlaku
Konsistensi proses penyusunan dengan pedoman
Menurut Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002, terdapat empat
tahapan yang harus dilakukan dalam proses teknis penyusunan RTRW Kota , yaitu
penentuan arah pengembangan, identifikasi potensi dan masalah pembangunan,
perumusan RTRW Kota Bandar Lampung dan penetapan RTRW Kota Bandar
Lampung. Dengan menggunakan prosentase perhitungan tingkat konsistensi
antara teknis penyusunan RTRW dengan pedoman tersebut serta dengan
menggunakan kriteria sesuai (lebih dari sama dengan 75%), kurang sesuai (50% -
74%) dan tidak sesuai (kurang dari 50%) diketahui bahwa terdapat
ketidaksempurnaan dalam penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung, khususnya
pada tiga tahap pertama. Analisis pembandingan tabel dapat dilihat dalam tabel 8.
Tabel 9 Matriks analisis proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung
NO ASPEK/ KOMPONEN
PENJELASAN KOMPONEN
EKSISTING RENCANA
KETERANGAN NILAI (%)
Penentuan arah pengembangan
Batas perencanaan, tinjauan SOSEKBUD HANKAN & daya dukung lingkungan
Sesuai Ada sebagian ketentuan dalam pedoman yang tidak dijadikan rujukan dalam penyusunan RTRW.
78
Identifikasi potensi dan masalah pembangunan
Mengidentifikasi berbagai potensi dan masalah pembangunan dalam wilayah perencanaan
Kurang Sesuai
Syarat paripurna sebuah kajian tidak didasarkan seluruh syarat item dalam pedoman
53
Perumusan RTRW Kota Bandar Lampung
Merupakan pengejawantahan dari tujuan pengembangan serta perkiraan kebutuhan pengembangan
Sesuai Ada sebagian ketentuan dalam pedoman yang tidak dijadikan rujukan dalam penyusunan RTRW.
84
Penetapan RTRW Kota Bandar Lampung
Untuk mengoperasionalkan RTRW, dokumen RTRW ditetapkan dalam bentuk Perda
Sesuai RTRW Kota Bandar Lampung mendapat legalitas hukum melalui Perda 4/2004 tentang RTRW Kota Bandar Lampung 2005-2015
100
Prosentase Total 79
53
Analisis proses penyusunan secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel Lampiran 8.
Gambar Lampiran 1 menunjukkan substansi yang belum diakomodir dalam
penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung dan menyebabkan berbagai
permasalahan penataan ruang.
Walaupun terdapat ketidaksempurnaan dalam proses penyusunan RTRW,
secara keseluruhan proses teknis penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung 79%
sudah mengacu pada pedoman teknis yang berlaku. Kendati tidak 100%, angka
79% dapat dikatakan sudah cukup memenuhi kriteria. Dalam kurun waktu
berjalan, kontribusi 21% ketidaksempurnaan penyusunan tersebut ternyata
menimbulkan permasalahan yang cukup besar dan menjadi kendala dalam upaya
percepatan perkembangan Kota Bandar Lampung. Sebagai contoh adanya
ketidaksempurnaan dalam mengidentifikasi potensi perkembangan sosial
kependudukan yang hanya didasarkan pada satu item (tingkat pertumbuhan
penduduk) dari empat item yang ditetapkan (ukuran keluarga, budaya dan
pergerakan penduduk) menyebabkan rencana yang dihasilkan hanya didasarkan
aspek tertentu saja dan tidak mengkaji semua aspek yang notabene sangat
mempengaruhi kehidupan kota. Sementara rencana tata ruang adalah dokumen
publik yang komprehensif dan mengatur semua aspek kehidupan yang
menggunakan ruang. Kondisi tersebut menyebabkan rencana tata ruang yang
dihasilkan menjadi tidak aspirasi/sesuai dengan perubahan dan kebutuhan kota.
Konsistensi inter-regional context
Dalam UU 24 Tahun 1992 pasal 1 dan 7 serta Kepmen Kimpraswil
327/KPTS/M/2002 diamanatkan bahwa penyusunan RTRW didasarkan pada
aspek administratif dan kawasan fungsional serta keserasian dengan wilayah
sekitarnya. Satu-satunya wilayah administratif yang berbatasan langsung dengan
Kota Bandar Lampung adalah Kabupaten Lampung Selatan. Dari hasil overlay
antara peta RTRW Kota Bandar Lampung dengan RTRW Kabupaten Lampung
Selatan dengan kontrol RTRW Provinsi Lampung, menunjukkan bahwa terdapat
wilayah kosong dan wilayah yang tumpang tindih (overlap) diantara Peta RTRW
Kota Bandar Lampung dengan RTRW Lampung Selatan. Kondisi tersebut
54
menunjukkan bahwa sistem informasi spasial belum memadai, mengingat
sebenarnya wilayah-wilayah tersebut secara aktual tidak dijumpai di lapangan.
Adapun lokasi ruang yang tidak bertuan tersebut berada disekitar kelurahan
sebagai berikut:
• Pada Kelurahan Rajabasa Jaya, berdasarkan RTRW Provinsi ditetapkan untuk
penggunaan lahan pertanian lahan kering.
• Kelurahan Harapan Jaya & Sukarame, berdasarkan RTRW Provinsi ditetapkan
untuk penggunaan lahan pertanian lahan kering.
• Kelurahan Campang Raya yang ditetapkan sebagai kawasan pengembangan
pertanian lahan kering.
Sedangkan kawasan overlap adalah:
• Sumber Agung, berdasarkan RTRW Kota Bandar Lampung ditetapkan
sebagai kawasan lindung, berdasarkan RTRW Kabupaten Lampung Selatan
ditetapkan sebagai kawasan palawija, sedangkan berdasarkan RTRW Provinsi
ditetapkan sebagai kawasan lindung. Semestinya pada saat penyusunan
RTRW Kota Bandar Lampung melibatkan Pemda Kabupaten Lampung
Selatan untuk mengecek kebenaran batas wilayah serta mencapai kesinergian
dalam alokasi pemanfaatan ruang. Kondisi yang terjadi saat ini akan
mengancam keberadaan hutan di wilayah overlap tersebut, karena baik di
wilayah yang tepat overlap maupun diwilayah-wilayah sekitarnya ditetapkan
sebagai kawasan budidaya palawija. Kecenderungan yang selama ini sering
terjadi adalah aktivitas budidaya merambah ke kawasan hutan, sehingga
kadang keberadaan hutan semakin terkonversi.
• Kemiling Permai dan Rajabasa Raya, berdasarkan RTRW Kota Bandar
Lampung ditetapkan sebagai kawasan perumahan, kebun campuran dan
kawasan pendidikan. Menurut RTRW Kabupaten Lampung Selatan ditetapkan
sebagai hutan produksi. Sedangkan berdasarkan RTRW Provinsi Lampung
ditetapkan sebagai hutan lindung dan kawasan perkotaan.
• Rajabasa Raya, menurut RTRW Kota Bandar Lampung ditetapkan sebagai
kawasan permukiman dan kebun campuran. Berdasarkan RTRW Kabupaten
55
Lampung Selatan ditetapkan sebagai lahan kering dan hutan produksi tetap.
Sedangkan berdasarkan RTRW Provinsi ditetapkan sebagai kawasan
perkotaan.
• Kelurahan Harapan Jaya, berdasarkan RTRW Kota Bandar Lampung
ditetapkan sebagai kebun campuran dan permukiman. Berdasarkan RTRW
Kabupaten Lampung Selatan ditetapkan sebagai kawasan lahan kering.
Sedangkan berdasarkan RTRW Provinsi Lampung ditetapkan sebagai
kawasan lahan kering dan perkotaan.
Gambar 17 Peta kesesuaian rencana TGT Kota Bandar Lampung dengan
Kabupaten Lampung Selatan
Keberadaan lahan kosong (tidak be rtuan) dan lahan overlap (menjadi bagian
dua wilayah administratif) merupakan keadaan yang tidak dapat diabaikan. Untuk
itu perlu segera dilakukan upaya koordinasi antara dua wilayah yang berbatasan,
yaitu Kota Bandar Lampung dengan Kabupaten Lampung Selatan untuk
membahas kepastian batas wilayah dan membuat sistem pemetaan yang sesuai
antara batas wilayah aktual dengan pemetaannya. Jika hal tersebut tidak
dilakukan, maka akan menjadi kendala dalam optimasi kinerja penataan ruang,
terutama dalam proses pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Keberadaan wilayah-wilayah tersebut juga berpotensi menimbulkan konflik,
56
seperti konflik tata batas yang terjadi antara Kabupaten Lampung Timur dengan
Kota Metro.
Koordinasi dan kerjasama dengan wilayah sekitarnya dalam pelaksanaan
pembangunan merupakan salah satu amanat UU 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Adapun tujuan dari kerjasama antar daerah adalah untuk
mewujudkan efektifitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pembangunan.
Tanpa kerjasama dan koordinasi antar daerah, wilayah-wilayah perbatasan akan
mengalami kinerja perkembangan yang semakin tertinggal dari wilayah lainnya di
pusat kota. Ketertinggalan salah satu wilayah menurut Hukum Minimum Lybie
justru akan menjadi kendala dalam perkembangan wilayah secara keseluruhan.
Dalam jangka panjang ketertinggalan satu wilayah ini akan mengancam eksistensi
wilayah dengan kinerja perkembangan baik. Untuk itu sebenarnya keberimbangan
pembangunan sangat penting untuk dilaksanakan, sehingga pencapaian kinerja
pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat lebih
optimal (Saefulhakim, 2006). Keberimbangan dapat dicapai melalui kerjasama,
koordinasi dan memperhatikan kesinergian ruang kawasan sekitarnya (Inter-
Regional Context).
Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa kinerja perkembangan wilayah-
wilayah yang terletak di perbatasan relatif lebih tertinggal daripada kawasan
lainnya. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa proses penyusunan RTRW Kota
Bandar Lampung tidak didasarkan pada kesinergian dengan ruang sekitarnya.
Kurangnya koordinasi dan kerjasama antar wilayah menyebabkan munculnya
berbagai permasalahan tersebut. Selain itu proses penyusunan RTRW tidak
memperhatikan rencana tata ruang pada hierarki yang lebih tinggi, yaitu RTRW
Provinsi. Kondisi ini terlihat dari wilayah yang menurut RTRW Provinsi
diperuntukkan sebagai fungsi lindung, pada RTRW Kota Bandar Lampung
diperuntukkan untuk kawasan pengembangan terbatas. Keadaan ini merupakan
indikasi inkonsistensi dalam penataan ruang dan melanggar amanat UU 24 Tahun
1992. Lebih lanjut sampai saat ini belum ada Rencana Tata Ruang (RTR)
Kawasan Fungsional antara Kota Bandar Lampung dengan Kabupaten Lampung
57
Selatan, sehingga penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung hanya didasarkan
pada aspek administratif internal Kota Bandar Lampung.
Konsistensi prospek pertumbuhan ekonomi
Dalam identifikasi dan masalah pembangunan aspek prospek pertumbuhan
ekonomi dari empat syarat yang harus ditinjau berdasarkan Kepmen Kimpraswil
Nomor 327/KPTS/M/2002 yaitu faktor ketenagakerjaan, PDRB dalam lima tahun
terakhir, kegiatan usaha/produksi persektor pembangunan serta perkembangan
penggunaan tanah & produktifitasnya, penyusunan RTRW hanya memenuhi 3
syarat, sedangkan 1 syarat tidak terpenuhi adalah perkembangan penggunaan
lahan dan produktifitasnya. Inkonsistensi ini menyebabkan perencanaan yang
dihasilkan tidak mampu mengakomodasi perkembangan ekonomi di wilayah
perencanaan. Kondisi ini berdampak pada terjadinya kemiskinan di kawasan kota.
Berdasarkan data PODES telah terja di peningkatan jumlah masyarakat miskin
(prasejahtera dan sejahtera 1) dari 54.446 (34,87%) pada tahun 2002 meningkat
menjadi 80.919 (48,58%) pada tahun 2005. Indikator keluarga prasejahtera yang
digunakan dalam PODES adalah keluarga yang belum memenuhi salah satu atau
lebih syarat, yaitu: (1) dapat makan dua kali sehari atau lebih; (2) mempunyai
pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan; (3) lantai rumah bukan tanah;
dan (4) bila anaknya sakit dibawa berobat ke sarana/petugas kesehatan.
Sedangkan indikator Keluarga Sejahtera Tahap I adalah keluarga yang sudah
memenuhi syarat, yaitu: (1) dapat makan dua kali sehari atau lebih; (2) sudah
mempunyai pakaian yang berbeda untuk keperluan yang berbeda; (3) lantai rumah
bukan terbuat dari tanah; (4) sudah sadar membawa anaknya yang sakit ke
sarana/petugas kesehatan.
Dari besarnya angka kemiskinan masyarakat kota serta dengan melihat
indikator diatas menunjukkan kondisi yang sangat kontras jika dikaitkan dengan
peran strategis Kota Bandar Lampung. Peningkatan jumlah masyarakat miskin ini
disebabkan karena pertumbuhan penduduk di perkotaan relatif cepat dan tidak
diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja. Kondisi ini menyebabkan
peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan di kota yang merupakan
sumber berbaga i permasalahan di Kota Bandar Lampung.
58
Konsistensi rencana penanganan lingkungan kota
Sesuai Pedoman Penyusunan sebagaimana tertuang dalam Kepmen
Kimpraswil No 327KPTS/M/2002, rencana penanganan lingkungan kota
mencakup aspek rencana pengembangan lingkungan yang dikonversi,
diremajakan dan diresettlement. Ketentuan ini terkait dengan upaya penanganan
kawasan kumuh (slum area) dan kawasan ilegal (squater area) di pusat kota.
Namun hal ini tidak terakomodasi atau diatur dalam RTRW Kota Bandar
Lampung. Sementa ra di Kota Bandar Lampung, khususnya Kawasan Teluk
Betung merupakan pusat kota lama (kota tua) sebelum pusat kota berpindah ke
Tanjung Karang, sehingga kawasan ini memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi
tentang terbentuknya Provinsi Lampung. Kendati sampai saat ini kawasan tersebut
masih digunakan untuk berbagai aktivitas, khususnya perekonomian, namun kota
yang memiliki nilai sejarah pembentukan Provinsi Lampung tersebut kondisi
fisiknya sangat kumuh dan tidak teratur.
Gambar 18 Kawasan kumuh di Telukbetung
Inkonsistensi dalam aspek tersebut berimplikasi pada tidak adanya upaya
penanganan maupun pedoman untuk pemanfaatan ruang kawasan kumuh
59
perkotaan. Dipihak lain permasalahan pertanahan di Kota Bandar Lampung
semakin rawan akibat keterbatasan lahan ditambah semakin meningkatkan angka
kemiskinan di kota, sementara tuntutan pemenuhan kebutuhan lahan semakin
meningkat secara cepat. Kondisi ini menyebabkan kawasan-kawasan kumuh di
pusat kota lama tersebut semakin bertambah kumuh dan terjadi penurunan
kualitas penggunaan ruang yang berdampak pada keadaan lingkungan fisik
perkotaan (urban setting) yang kurang memadai.
Berdasarkan data PODES menunjukkan adanya peningkatan jumlah
bangunan kumuh dari 1.423 pada tahun 2002 meningkat drastis menjadi 6.632
unit pada tahun 2005. Adapun permukiman kumuh menurut PODES adalah
lingkungan hunian dengan indikator: (1) banyaknya rumah yang tidak layak huni,
(2) banyaknya saluran pembuangan limbah yang macet; (3) penduduk/bangunan
sangat padat; (4) banyaknya penduduk yang membuang air besar tidak di jamban;
(5) biasanya berada di areal marginal (seperti di tepi sungai, pinggir rel kereta
api). Rumah tidak layak huni adalah rumah yang dibuat dari bahan bekas/sampah
(seperti potongan triplek, lembaran plastik sisa, dan sebagainya) yang menurut
parameter kesehatan tidak cocok untuk bertempat tinggal, termasuk rumah gubuk.
Kawasan-kawasan kumuh di Kota Bandar Lampung antara lain berlokasi di
Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Teluk Betung Barat serta kawasan kumuh di
belakang Terminal Sukaraja yang merupakan kompleks kota lama. Harga lahan
yang tidak terjangkau masyakat kelas bawah merangsang golongan ini untuk
menempati kawasan-kawasan ilegal seperti sempadan sungai, sempadan jalan,
sempadan rel kereta api dan kawasan tegangan listrik untuk tempat tinggal.
Walaupun data PODES menunjukkan penurunan jumlah kawasan ilegal dari
1.743 unit bangunan pada tahun 2003 turun menjadi 1.708 pada tahun 2005,
namun permasalahan ini berdampak pada urban setting yang kurang memadai dan
sangat mengganggu citra Kota Bandar Lampung sebagai kota dengan slogan
TAPIS BERSERI. Selain dampak fisik keruangan, permasalahan tersebut
berdampak pada terganggunya kinerja pemerintah karena masyarakat yang
menempati kawasan-kawasan ilegal tersebut pada akhirnya mengklaim tanah
tersebut sebagai miliknya dan menuntut penerbitan sertifikat. Contoh kasus seperti
yang terjadi pada tanggal 17 Juni dan 14 Agustus 2006 lalu, ratusan masyarakat
60
pesisir Teluk Lampung berunjuk rasa kepada Pemda Kota Bandar Lampung,
menuntut tanah tempat tinggalnya segera disertifikatkan (Republika, 2006).
Dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin kota dan bangunan kumuh,
kedepan wilayah ini akan terus mengalami kemunduran. Dari hasil analisis
perkembangan wilayah, ternyata kawasan yang pe rnah menjadi pusat kota ini
hanya masuk dalam kategori perkembangan sedang. Jika tidak segera dilakukan
antisipasi untuk penanganannya, dikhawatirkan kawasan ini akan terus mengalami
kemunduran/degradasi, kelumpuhan atau bahkan kematian, sehingga menjadi kota
mati. Untuk menghindari hal tersebut, perlu segera dicarikan upaya solutif dengan
mengacu pada Pedoman Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002 antara lain
melalui revitalisasi.
Menurut pedoman penyusunan tersebut, terdapat substansi pengelolaan
kawasan kota yang didalamnya mengatur pengembangan kawasan baru, kawasan
yang dikonversi, diremajakan dan ditata kembali (resettlement). Kegiatan-
kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui upaya revitalisasi, yaitu upaya untuk
mendaur ulang (recycle) lahan kota yang ada dengan tujuan untuk memberikan
vitalitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan
kembali vitalitas (revitalisasi) yang pada awalnya pernah ada, namun telah
memudar. Dengan kata lain revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali
suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, tetapi kemudian
mengalami kemunduran/degradasi. Adapun tujuan revitalisasi adalah memberikan
kehidupan kota yang produktif yang akan mampu memberikan kontribusi positif
pada kehidupan sosial budaya, terutama kehidupan ekonomi kota (Danisworo,
URDI Vol 13). Proses revitalisasi suatu kawasan mencakup perbaikan aspek fisik
dan aspek ekonomi. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang
dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka
panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik ruang kota,
namun tidak untuk jangka panjang, sehingga tetap diperlukan perbaikan dan
peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk pada
aspek sosial budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal
tersebut mutlak diperlukan karena pemanfaatan ruang yang produktif dan optimal
merupakan prasyarat terbentuknya sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang
61
langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota. Mekanisme tersebut
tidak dilakukan dalam RTRW Kota Bandar Lampung.
Konsistensi dalam Pemanfaatan Ruang
Berdasarkan kajian konsistensi proses teknis penyusunan RTRW
menunjukkan bahwa proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung masih
konsisten dengan pedoman yang berlaku. Namun kondisi di lapangan
menunjukkan bahwa terjadi berbagai permasalahan dalam penataan ruang.
Selanjutnya kemungkinan inkonsistensi dalam penataan ruang ada pada tahap
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Berbagai permasalahan inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang terjadi di
Kota Bandar Lampung. Inkonsistensi tersebut antara lain adalah:
Konversi lahan
Permasalahan konversi lahan terkait dengan inkonsistensi dalam
pengklasifikasian legenda peta yang digunakan dalam RTRW Kota Bandar
Lampung. Menurut UU 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Pasal 22
disebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota merupakan
Penjabaran dari Rencana Tata Ruang Provinsi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
produk RTRW Kota harus mengacu pada RTRW Provinsi, termasuk dalam
pengklasifikasian peta rencana pemanfatan ruang minimal harus mengacu pada
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, atau merinci dan mengembangkan
sistem klasifikasi pemanfaatan ruang dengan tetap mengacu pada
peristilahan/klasifikasi pemanfaatan ruang dalam RTRW Provinsi Lampung. Dari
sistem klasifikasi yang digunakan dalam peta Rencana Pemanfaatan Ruang Kota
Bandar Lampung terlihat bahwa telah terjadi inkonsistensi dalam
pengklasifikasian jenis penggunaan lahan yang tidak mengacu pada RTRW
Provinsi Lampung.
Kondisi tersebut selain menunjukkan inkonsistensi dalam penataan ruang,
baik terhadap UU 24 Tahun 1992 maupun terhadap Perda No 5/2001, juga
menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam pemanfaatan ruang. Kondisi ini
disebabkan karena adanya perbedaan interpretasi para stakeholders akibat
62
perbedaan pengklasifikasian peta dalam RTRW Provinsi dengan RTRW Kota
Bandar Lampung. Dengan menggunakan pendekatan data Pemberian Ijin
Pengambilan A ir Tanah Untuk Industri yang dikeluarkan Dinas Pertambangan
Kota Bandar Lampung Tahun 2004 dan 2005 (masing-masing berlaku dua tahun),
menunjukkan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam pemanfaatan ruang dari
rencana yang telah ditetapkan. Penyimpangan dari peruntukan lahan non industri
terkonversi menjadi industri antara lain terjadi di kelurahan-kelurahan sebagai
berikut:
• Campang Raya, kawasan yang dialokasikan untuk pengembangan terbatas
pada kenyataannya digunakan untuk industri.
• Bagian dari Kawasan Srengsem yang dialokasikan sebagai kawasan lindung,
pada kenyataannya digunakan untuk aktivitas industri, yaitu PT. Tambang
Batubara Bukit Asam dan Tanjung Enim Lestari P&P (Pabrik PULP).
• Kupang Kota, kawasan yang dialokasikan untuk permukiman pada
kenyataannya diberikan ijin/rekomendasi mengambil air tanah untuk industri,
yaitu PT Tirta Investama dan PT Prabu Tirta Jaya Lestari.
• Garuntang, kawasan yang dialokasikan untuk permukiman, pada
kenyataannya digunakan untuk industri pabrik karet, yaitu PT Garuntang.
• Kelurahan Sukaraja, kawasan yang dialokasikan untuk permukiman, pada
kenyataannya diijinkan beroperasi industri PT Vista Grain, sebuah industri
yang bergerak dibidang pabrik pakan.
• Kelurahan Rajabasa Raya, kawasan yang dialokasikan untuk permukiman,
pada kenyataannya digunakan untuk industri PT Way Kandis (pabrik karet).
• Kelurahan Kedamaian terdapat PT Golden Sari, sebuah industri yang bergerak
dibidang industri kimia (zat pemanis) berlokasi pada lahan campuran.
Inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang tersebut telah menimbulkan
berbagai permasalahan dalam pemanfaatan ruang. Antara lain adalah terciptanya
lingkungan perkotaan yang tidak nyaman akibat pencemaran industri-industri
yang berada tidak pada peruntukannya, khususnya di lingkungan permukiman.
Kondisi ini cukup meresahkan warga dan menjadikan kota sebagai tempat hunian
yang tidak nyaman bagi warganya. Beberapa kejadian yang cukup menjadi issue
63
hangat dan pemberitaan di beberapa media adalah terjadinya pencemaran sungai
Dadap di Kedamaian oleh PT Golden Sari. Pencemaran ini sudah berlangsung
cukup lama, yaitu sejak tahun 2000 dan sangat meresahkan serta merugikan
masyarakat sekitarnya (Trans Sumatera Post, 2 Agustus 2004).
Inkonsistensi lainnya adalah konversi kawasan lindung menjadi kawasan
budidaya. Menurut ketentuan dalam Lampiran V Perda 4/2004 tentang RTRW
Kota Bandar Lampung disebutkan bahwa kawasan perbukitan di pusat kota
seperti Gunung Kunyit dan Gunung Camang ditetapkan sebagai kawasan hutan
kota dan resapan air dengan rekomendasi penghentian penambangan. Pada
kenyataannya kawasan yang merupakan salah satu paru-paru kota, kondisinya saat
ini semakin gundul akibat aktivitas penambangan batu kapur di Gunung Kunyit
oleh swasta dan masyarakat lokal serta pengerukan tanah di Gunung Camang
yang dilakukan oleh swasta. Tanah hasil pengerukan di Gunung Camang
selanjutnya digunakan untuk reklamasi pantai di sepanjang tepi jalan Yos Sudarso
Telukbetung yang masih berlangsung sampai saat ini, sementara gunung yang
telah dikepras tersebut dikonversi untuk pembangunan perumahan. Kondisi ini
menyebabkan pusat kota yang semula masih cukup asri dengan adanya beberapa
kawasan hijau, perkembangan ke depan akan menjadi kawasan gersang akibat
padatnya kawasan terbangun. Selain itu berkurangnya kawasan-kawasan resapan
air akan berdampak pada musibah musiman, yaitu kekeringan dimusim kemarau
dan akan terjadi banjir pada musim hujan. Selain itu hilangnya ruang-ruang hijau
kota menyebabkan kota semakin tidak bersahabat, polusi udara dan potensial
meningkatkan ’penyakit psikologis’. Menurut Wakil Walikota Bandar Lampung,
maraknya aktivitas pengeprasan bukit disebabkan lemahnya aspek pengendalian
dan kinerja pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut (Lampost, 2006).
Sementara jika dicermati lahan-lahan kosong yang belum termanfaatkan dan
berpotensi untuk pengembangan di Kota Bandar Lampung masih cukup tersedia,
sehingga Pemerintah Kota Bandar Lampung tidak perlu mengambil kebijakan
reklamasi ataupun pengeprasan bukit. Salah satu contoh adalah Kelurahan Sumur
Putri yang dalam RTRW dialokasikan untuk permukiman dan kebun campuran,
prosentase lahan terbangun baru mencapai sekitar 14%.
64
Masalah keterbatasan lahan juga dapat dilakukan dengan intensifikasi dalam
penggunaan lahan, yaitu mengubah paradigma/orientasi pelaksanaan
pembangunan dari horisontal kearah vertikal, sehingga penggunaan ruang dapat
semakin optimal dan efisien. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada dasarnya
reklamasi pantai belum diperlukan di Kota Bandar Lampung. Jika aktivitas
reklamasi dipaksakan untuk tetap dilakukan, maka yang terjadi adalah kerusakan
lingkungan di kawasan sekitarnya. Selain itu terjadi protes keras dari berbagai
elemen masyarakat terhadap tindakan reklamasi yang terus berlangsung sampai
saat ini. Berbagai pihak merasa aktivitas reklamasi akan lebih banyak memberikan
kerugian daripada manfaatnya bagi masyarakat (Tempo Interaktif, 2004).
Konsistensi dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang mengindikasikan inkonsistensi
dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang. Menurut Kepmen Kimpraswil No
327/KPTS/M/2002 pengendalian pemanfaatan ruang wilayah diselenggarakan
melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang
berdasarkan mekanisme perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, pemberian
kompensasi, mekanisme pelaporan, mekanisme pemantauan, mekanisme evaluasi
dan mekanisme pengenaan sanksi.
Adapun tujuan dari pengendalian pemanfaatan ruang (Supriatna, 2006) adalah:
Ø Menjamin tercapainya konsistensi pemanfaatan ruang yang telah diteta pkan
fungsinya.
Ø Memastikan pemanfaatan ruang sudah sesuai denagn rencana tata ruang yang
telah ditetapkan.
Ø Prasyarat pengendalian dapat berjalan efektif dan efisien, sehingga produk
perencanaan kawasannya dapat disusun dengan baik, berkualitas, informatif
dan akurat terhadap praktek-praktek pemanfaatan ruang di daerah.
Sifat pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan dalam bentuk arahan
kebijakan (Supriatna, 2006) antara lain untuk:
1. Mengarahkan pembangunan
Ø Membuat ketentuan yang bersifat preventif dalam bentuk pengendalian
pemanfaatan ruang dengan kebijakan pengendalian pembangunan fisik,
65
pengendalian dalam perijinan, pengawasan rencana lahan/lokasi, kebijakan
insentif dan disinsentif.
Ø Membuat ketentuan yang bersifat kuratif (pemulihan) dalam bentuk
penegakan aturan atau hukum yang mengatur pembangunan perkotaan
atau kawasan, disertai pemberian sanksi atau denda jika terjadi
penyimpangan.
2. Mendorong pembangunan
Ø Membuat ketentuan yang bersifat kuratif, yaitu dengan menjadikan
rencana tata ruang kota sebagai pedoman bagi setiap pelaku pembangunan
untuk melaksanakan rencana kegiatannya. Selain itu untuk mendorong
terjadinya proses pertumbuhan kawasan atau pengembangan kota perlu
diberikan adanya kebijakan insentif disinsentif terhadap setiap pelaku
dalam mengembangkan investasinya atau disediakannya pengembangan
infrastruktur oleh pemerintah kota untuk merangsang terjadinya kegiatan
pembangunan.
Tingkat konsistensi dalam pengendalian pemanfaatan ruang belum dapat
diukur karena sampai saat ini Pemerintah Kota Bandar Lampung belum meyusun
dokumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kota. Tetapi inkonsistensi dalam
pengendalian pemanfaatan ruang dapat diduga disebabkan karena:
Ø Pemberian ijin (IMB, SITU, ijin prinsip, ijin lokasi & IPB) tidak sesuai
dengan RTRW.
Ø Sistem informasi spasial belum memadai. Dalam peta RTRW relatif sulit
untuk memperoleh informasi batas-batas koordinat setiap peruntukan lahan,
didukung keterbatasan jumlah benchmark menyebabkan tingkat kesulitan
yang tinggi untuk mengetahui, memantau serta mengevaluasi kesesuaian
ketepatan lokasi di lapangan dengan peta rencana. Hal ini menunjukkan
pentingnya sistem informasi geografis dalam penataan ruang, terutama untuk
monitoring dan evaluasi pemanfaatan ruang (Wegener, 2001).
Ø Kurangnya sosialisasi RTRW menyebabkan masyarakat sering tidak
mengetahui peruntukan lahan sesuai RTRW. Kondisi ini menyebabkan
masyarakat tidak sadar jika terjadi penyimpangan penggunaan lahan di
66
wilayah sekitarnya. Hal ini berimplikasi pada lemahnya mekanisme pelaporan
terhadap penyimpangan RTRW.
Ø RTRW tidak dibreakdown kedalam rencana yang lebih detail, sehingga aspek
pengawasan dan pemantauan menjadi sulit dilakukan.
Ø Lemahnya koordinasi antar institusi maupun kinerja BKPRD (Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah).
Gambar 19 Lingkup pengendalian pemanfaatan ruang
Kelembagaan penataan ruang diatur dalam Kepmendagri No 147 Tahun
2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang selanjutnya
disebut Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). BKPRD
mengadakan pertemuan minimal 3 bulan sekali untuk membahas issue-issue
penataan ruang didaerah serta rekomendasi alternatif kebijakan penataan ruang.
Hasil pertemuan tersebut dilaporkan kepada kepala daerah untuk digunakan
sebagai dasar pengambilan kebijakan. Selanjutnya kepala daerah melaporkan hasil
pertemuan tersebut kepada pejabat diatasnya, yaitu bupati/walikota kepada
gubenur dan gubernur kepada menteri dalam negeri.
Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Laporan Perubahan
Pemanfaatan Ruang
Evaluasi Rencana
Pemanfaatan Ruang
Pemantauan Penyimpangan
Pemanfaatan Ruang
Sanksi Administratif
Sanksi Pidana
Sanksi Perdata
Pengawasan Pemanfaatan Ruang
(BKPRD)
RTRW
Pemanfaatan
Penertiban Pemanfaatan Ruang (Bawasda, Biro Hukum, Tim Penyelidik Polri & Kejaksaan)
Meknisme Perijinan (BKPRD)
67
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD)
1. Keanggotaan:
Penanggungjawab : kepala daerah
Ketua : wakil kepala daerah
Ketua harian : sekretaris daerah
Sekretaris : kepala bappeda
Wakil sekretaris : kepala dinas yang mengurus tata ruang
Anggota : dinas/instansi terkait, sesuai kebutuhan daerah
Gambar 20 Struktur kelembagaan BKPRD
2. Tugas
Ø Merumuskan berbagai kebijakan penyelenggaraan penataan ruang dengan
memperhatikan penataan ruang pada hierarki diatas maupun dibawahnya.
Ø Mengkoordinasikan penyusunan rencana tata ruang.
Ø Mengkoordinasikan penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan sesuai
dengan kewenangannya.
Ø Mengintegrasikan dan memaduserasikan rencana tata ruang dengan
rencana tata ruang pada hierarki diatas maupun dibawahnya, rencana tata
ruang kawasan tertentu dan rencana tata ruang kawasan sekitarnya.
Ø Memaduserasikan rencana pembangunan jangka menengah dan tahunan
yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dengan
rencana tata ruang
Ø Melaksanakan kegiatan pengawasan yang meliputi pelaporan, evaluasi dan
pemantauan penyelengga raan pemanfaatan ruang.
Ø Memberikan rekomendasi penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Ø Memberikan rekomendasi perijinan tata ruang.
BKPRD
Sekretariat Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang
Kelompok Kerja Pengendalian Pemanfaatan
Ruang
68
Ø Mengoptimalkan peranserta masyarakat dalam perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Ø Mengembangkan informasi penataan ruang untuk kepentingan
penggunaan lahan di jajaran pemerintah, masyarakat dan swasta.
Ø Menyosialisasikan dan menyebarluaskan informasi penataan ruang.
Ø Mengkoordinasikan penanganan dan penyelesaian masalah atau konflik
yang timbul dalam penyelenggaraan penataan ruang yang menjadi
kewenangannya dan memberikan pengarahan serta saran pemecahannya.
Ø Memberikan rekomendasi guna memecahkan masalah atau konflik
pemanfaatan ruang yang menjadi kewenangannya.
Ø Melaksanakan fasilitasi, supervisi dan koordinasi dengan dinas/instansi di
wilayahnya, hierarki dibawahnya, masyarakat dan dunia usaha berkaitan
dengan penyelenggaraan penataan ruang.
Ø Memadukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang dengan ruang hierarki dibawahnya maupun dengan
wilayah sekitarnya.
Ø Melakukan evaluasi tahunan atas kinerja penataan ruang
Ø Menjabarkan petunjuk kepala daerah berkenaan dengan pelaksanaan
fungsi dan kewajiban koordinasi penyelenggaraan penataan ruang
Ø Menyampaikan laporan pelaksanaan tugas BKPRD secara berkala kepada
kepala daerah.
Permasalahan inkonsistensi, baik dalam tahap perencanaan, pemanfaatan
maupun pengendalian pemanfaatan ruang ini pada akhirnya menimbulkan
berbagai permasalahan inefisiensi yang berdampak pada penurunan kinerja
perkembangan wilayah. Permasalahan inkonsistensi dalam penataan ruang tidak
hanya terjadi di Kota Bandar Lampung. Hal yang sama juga terjadi di beberapa
kota besar di Indonesia, salah satunya adalah Kota Bandung. Bandung yang tempo
dulu adalah diskripsi penuh romantisme yang memanja dan mempesonakan
penghuninya, sehingga dikenal dengan sebutan ’Paris van Java’, saat ini berubah
menjadi sebuah kota yang merepresentasikan ketidaktertiban, ketidaknya manan,
serta setumpuk persoalan yang makin lama makin besar tentang tidak jelasnya
arah pembangunan kota yang sudah berusia nyaris 2 abad sejak resmi didirikan.
69
Menurut Zulkaidi, berbagai permasalahan di Kota Bandung disebabkan karena
terjadinya inkonsistensi dalam penataan ruang dan kurangnya responsivitas
kebijakan RTRW dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat. Pendapat
senada diungkapkan Prabatmodjo bahwa permasalahan di Kota Bandung
disebabkan karena belum adanya konsistensi dalam kebijakan penataan ruang di
Kota Bandung (Pikiran Rakyat, 2004).
Untuk mengatasi permasalahan penataan ruang dan mengantisipasi dampak
lanjut dari inkonsistensi penataan ruang diatas, maka dapat dilakukan upaya
perbaikan/penyempurnaan penataan ruang. Upaya yang dilakukan dapat mengacu
pada Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002.
Tabel 10 Kriteria peninjauan kembali
RTR Simpangan Faktor Eksternal
Tipologi Sah Tidak
Sah Kecil Besar Tetap Berubah
I ¥ ¥ ¥
II ¥ ¥ ¥
III ¥ ¥ ¥
IV ¥ ¥ ¥
V ¥ ¥ ¥
VI ¥ ¥ ¥
VII ¥ ¥ ¥
VIII ¥ ¥ ¥
Sumber : Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002
Dari kriteria dalam tabel 10 dan dengan melihat kondisi penataan ruang Kota
Bandar Lampung dapat disimpulkan bahwa Penataan Ruang Kota Bandar
Lampung mengacu pada kriteria ke IV dengan ciri:
1. RTRW sah
Proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung 79% sudah mengacu
pada pedoman yang berlaku. RTRW Kota Bandar Lampung mendapat legalitas
hukum melalui Perda Nomor 4 Tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandar
Lampung, sehingga dapat dikatakan sah.
70
2. Simpangan besar
Simpangan yang terjadi selama kurun waktu dari sejak disusun (2003) dan
ditetapkan (2004) sampai tahun 2005 menunjukkan bahwa simpangan yang terjadi
antara rencana dengan kondisi aktual rela tif besar atau tidak sesuai dengan
ketentuan dalam RTR, walaupun kondisi RTR sendiri telah memenuhi prosedur
dan ketentuan penyusunannya.
3. Faktor eksternal relatif tetap
Faktor eksternal yang harus diperhatikan dalam penyusunan/peninjauan
kembali RTRW adalah:
• Adanya perubahan dan atau penyempurnaan peraturan dan/rujukan sistem
penataan ruang.
• Adanya perubahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang dan/atau sektoral
kawasan perkotaan yang berdampak pada pengalokasian kegiatan
pembangunan yang memerlukan ruang berskala besar.
• Adanya ratifikasi kebijaksanaan global yang mengubah paradigma sistem
pembangunan dan pemerintahan serta paradigma perencanaan tata ruang.
• Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat dan
seringkali radikal dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam meminimalkan
kerusakan lingkungan.
• Adanya bencana alam yang cukup besar, sehingga mengubah struktur dan pola
pemanfaatan ruang dan memerlukan relokasi kegiatan budidaya maupun
lindung yang ada demi pembangunan pasca bencana.
Menurut Kepmen tersebut, untuk kriteria ini tidak perlu dilakukan
pemutakhiran RTRW karena rencana masih sah dan tidak terjadi perubahan
eksternal, namun karena permasalahannya adalah terjadinya simpangan pada
pemanfaatan dan pengendalian, maka aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah:
1. Penyusunan aturan atau rencana sektoral untuk menambahkan atau
menyempurnakan aspek-aspek yang belum dibahas dalam RTRW, misalnya
Pedoman atau Rencana Revitalisasi Kota Lama.
71
2. RTRW Kota Bandar Lampung perlu didetailkan dalam rencana yang lebih
rinci, seperti Rencana Detail Tata Ruang Kota (RTRWK) dan Rencana
Teknik Ruang Kota (RTRK). Hal yang perlu diperhatikan dalam pendetailan
rencana tata ruang adalah efisiensi dalam pemanfaatan ruang dengan
mengubah paradigma pembangunan dari horisontal kearah vertikal.
3. Penyempurnaan/peningkatan pe manfaatan RTR sebagai acuan
pembangunan, baik dalam penyusunan rencana pembangunan lima tahunan
(RPJM) maupun dalam rencana pembangunan tahunan, khususnya dalam
mekanisme penganggaran.
4. Peningkatan diseminasi rencana tata ruang kepada seluruh stakeholder, baik
pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat luas, sehingga RTRW dapat
menjadi dokumen yang memiliki kekuatan untuk mengikat secara eksternal
(pedoman bagi masyarakat dalam pemanfaatan ruang kota) dan internal
(pengendali bagi setiap kebijakan program pembangunan).
5. Peningkatan pemanfaatan RTRW sebagai dokumen acuan dalam forum
Rapat Koordinasi Pembangunan.
6. Penyempurnaan kegiatan pemantauan dan pelaporan secara kontinyu
terhadap program pembangunan dan implementasi ruang. Untuk itu,
perkuatan kelembagaan BKPRD dan koordinasi antar dinas/instansi perlu
terus ditingkatkan demi terwujudnya konsistensi dan kesinergian penataan
ruang.
7. Penyempurnaan kegiatan evaluasi terhadap pelaksanaan program
implementasi ruang dan perizinan. Hal yang perlu diperhatikan adalah
memperbaiki sistim informasi spasial. Dengan menggunakan sistem ini,
mekanisme perijinan akan lebih mudah mengacu pada rencana tata ruang
yang telah ditetapkan. Demikian juga dalam proses evaluasi, akan lebih
mudah melihat penyimpangan-penyimpangan dari rencana tata ruang yang
telah ditetapkan.
72
Analisis Perkembangan Wilayah
Analisis PCA perkembangan wilayah
Dengan menggunakan kriteria [Factor Loading] > 0,65, hasil PCA dari 38
variabel perkembangan wilayah, terdapat 8 variabel yang memiliki pengaruh
nyata terhadap pembentukan variabel baru. Kedelapan variabel tersebut dapat
dirumuskan dalam tiga indeks komposit, yaitu:
1. Indeks perkembangan aktivitas ekonomi & transportasi wilayah (F1PW)
Pengaruh terbesar dalam indeks ini adalah aktivitas ekonomi dan transportasi,
dengan penciri utama variabel warung, restoran, bank, hotel dan stasiun.
Semua variabel berkorelasi positif, artinya peningkatan pada satu variabel
akan menyebabkan peningkatan pada variabel lainnya. Hal ini cukup logis
mengingat keberadaan restoran akan memicu tumbuhnya warung disekitarnya.
2. Indeks perkembangan fisik ruang wilayah (F2PW)
Penciri utama indeks ini adalah variabel kawasan terbangun, yaitu rasio luas
kawasan terbangun terhadap luas kawasan budidaya.
3. Indeks perkembangan aktivitas pendidikan wilayah (F3PW)
Penciri utama indeks ini adalah keberadaan fasilitas pendidikan, yaitu variabel
SLTP dan SLTA. Semua variabel berkorelasi positif, artinya jika jumlah
fasilitas SLTP pada suatu wilayah bertambah, maka dalam wilayah tersebut
juga akan dibangun fasilitas SLTA.
Dari 38 variabel perkembangan wilayah, yang paling nyata variasi
spasialnya hanya dipengaruhi oleh aspek ekonomi, fisik ruang, pendidikan dan
transportasi. Aspek budaya tidak berpengaruh secara nyata. Variasi spasial dari
aspek fisik keruangan yang paling berpengaruh adalah luasan kawasan terbangun.
Variasi spasial dari aspek ekonomi yang paling berpengaruh adalah keberadaan
warung, restoran, bank & hotel. Variasi spasial dari aspek sosial yang paling
berpengaruh adalah keberadaan sarana pendidikan, yaitu SLTP dan SLTA. Variasi
spasial dari aspek transportasi yang paling berpengaruh adalah keberadaan
stasiun.
73
Gambar 21 Plot of eigenvalues perkembangan wilayah
Dari plot eigenvalues dapat diketahui bahwa terdapat empat faktor yang memiliki
slope curam. Kecuraman tersebut menunjukkan semakin besar keragaman data
awal yang mampu dijelaskan oleh data baru.
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95
Desa/Kelurahan
Kin
erja
Per
kem
bang
an W
ilaya
h (H
asil
PC
A)
Gambar 22 Scutter plot perkembangan wilayah
Gambar 22 menunjukkan variasi kinerja perkembangan wilayah dari 98
kelurahan yang ada di Kota Bandar Lampung. Gambar tersebut menunjukkan
Plot of Eigenvalues
Number of Eigenvalues0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
Val
ue
TB
Barat
TB
Selata
n
Panjan
g
TK
Timu
r
TB
Utar
a
T K
Pusa
t
T K
Bara
t
Kemilin
g
Kedato
n
Sukabum
i
Sukaram
e
T
Senen
g
R
Bas
a
74
disparitas yang cukup mencolok antar kelurahan, walaupun kelurahan tersebut
berada dalam satu kecamatan.
Gambar 23 Peta pola spasial perkembangan wilayah
Gambar 23 menunjukkan kinerja perkembangan wilayah yang dihasilkan
dari analisis PCA dengan menggunakan kriteria indeks perkembangan wilayah
baik (faktor score = 0,5), indeks perkembangan wilayah sedang (faktor score 0,25
- 0,5), dan indeks perkembanga n wilayah kurang ( faktor score = 0,25). Dalam
gambar tersebut wilayah-wilayah dengan kinerja perkembang pesat adalah
Kelurahan-kelurahan Pesawahan, Rawa Laut, Palapa, Tanjung Karang dan
Gedung Meneng. Hal tersebut dapat dipahami mengingat wilayah Gedung
Meneng dan sekitarnya merupakan pusat pendidikan bagi Provinsi Lampung.
Pada wilayah ini terdapat berbagai fasilitas pendidikan mulai dari TK sampai
Perguruan Tinggi, baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) serta beberapa Perguruan
Tinggi Swasta (PTS). Keberadaan fasilitas ini merangsang tumbuhnya berbagai
aktivitas lain yang berkontribusi terhadap percepatan perkembangan wilayah.
Percepatan kinerja perkembangan keempat kelurahan lainnya dapat dipahami
mengingat kelurahan tersebut berlokasi di pusat kota yang merupakan pusat
berbagai aktivitas.
Untuk wilayah-wilayah dengan kinerja perkembangan kurang didominasi
oleh wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lampung Selatan,
75
yaitu Kelurahan-kelurahan Sukamaju, Keteguhan, Batuputu, Kedaung, Pinang
Jaya, Rajabasa Raya, Way Laga dan Srengsem. Sebenarnya wilayah-wilayah
tersebut cukup potensial untuk berkembang, seperti Kelurahan Rajabasa Raya,
selain kemudahan askesibilitas ke berbagai tujuan, lokasinya yang berdekatan
dengan Bandara Raden Inten, kawasan ini juga berdekatan dengan pusat
pendidikan di Provinsi Lampung (negeri dan berbagai perguruan tinggi swasta).
Permasalahan yang terjadi adalah kurangnya koordinasi dan kerjasama untuk
mensinergikan atau sebagai upaya percepatan perkembangan wilayah. Tanpa
koordinasi, wilayah perbatasan akan menjadi wilayah ‘konflik’ atau ‘terabaikan’
yang jauh dari sentuhan pembangunan. Dengan menerapkan konsep regional
planning, yaitu merencanakan wilayah dengan memperhatikan konstelasi wilayah
tersebut dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context) serta memiliki basis
spasial yang jelas. Dengan konsep ini, walaupun kedua wilayah tidak memenuhi
skala ekonomi (economic of scale), tetapi dengan bekerjasama (silaturahmi),
wilayah tersebut dapat memenuhi skala ekonomi tersebut.
Prasarana Dasar Kota
Dengan menggunakan kriteria [Factor Loading] > 0,65, hasil PCA dari 15
variabel indikator prasarana dasar wilayah, terdapat 7 variabel yang memiliki
pengaruh nyata terhadap variabel baru. Ketujuh variabel tersebut dapat
dirumuskan dalam dua indeks komposit, yaitu:
1. Indeks perkembangan prasarana dasar wilayah (F1PD)
Penciri utama indeks ini adalah variabel rasio jalan kota terhadap luas wilayah
yang merupakan indikator aksesibilitas wilayah, rasio jalan lokal terhadap
jumlah penduduk, tingginya layanan PDAM pada kelompok pertama dan
ketiga serta banyaknya jumlah pelanggan telepon.
2. Indeks perkembangan jalan nasional wilayah (F2PD)
Penciri utama indeks ini adalah jalan nasional, baik rasio terhadap luas
wilayah maupun terhadap jumlah penduduk. Kedua variabel berkorelasi
positif, artinya penurunan pada satu variabel akan menyebabkan penurunan
pada variabe l lainnya.
76
Dari 15 variabel prasarana dasar, yang paling nyata variasi spasialnya
dipengaruhi oleh prasarana jalan, air bersih dan telepon. Aspek listrik tidak
berpengaruh secara nyata. Variasi spasial dari prasarana jalan yang paling
berpengaruh adalah keberadaan prasarana jalan nasional, kota dan lokal. Variasi
spasial dari prasarana PDAM yang paling berpengaruh adalah jumlah pelanggan
air bersih yang berasal dari kelompok I dan III.
Gambar 24 menunjukkan ketersediaan prasarana dasar yang dihasilkan dari
analisis PCA dengan menggunakan kriteria indeks prasarana dasar baik (faktor
score = 0,5), indeks prasarana dasar sedang (faktor score 0,25 - 0,5), dan indeks
prasarana dasar kurang ( faktor score = 0,25). Jika dikaitkan dengan kinerja
perkembangan wilayah menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang memiliki
kinerja perkembangan baik ternyata memiliki prasarana dasar kota yang baik pula.
Walaupun tidak semua wilayah dengan prasarana baik memiliki kinerja
perkembangan wilayah yang baik pula. Secara spasial, ketersediaan prasarana
dasar terakumulasi di pusat kota.
Gambar 24 Peta pola spasial prasarana dasar
Fisik wilayah
Dengan menggunakan kriteria [Factor Loading] > 0,65, hasil PCA dari 17
variabel kondisi fisik wilayah, terdapat 12 variabel yang memiliki pengaruh nyata
77
terhadap variabel baru. Keduabelas variabel tersebut dapat dirumuskan dalam tiga
indeks komposit, yaitu:
1. Indeks keterjalan & kelangkaan air tanah (F1FW)
Penciri utama indeks ini adalah kondisi hidrologi air tanah langka, formasi
geologi alluvium dan formasi campang dengan kelerengan lebih dari 40%.
Semua variabel penciri berkorelasi positif, artinya secara umum di wilayah
penelitian jika semakin besar wilayah dengan kondisi hidrologi air tanah
langka, akan semakin besar pula formasi alluvium dan formasi campang serta
semakin besar pula wilayah dengan kelerengan lebih dari 40%.
2. Indeks kelandaian & persebaran air tanah produktifitas sedang (F2FW)
Penciri utama indeks ini adalah kondisi hidrologi akuifer produktifitas sedang
dan menyebar luas, formasi endapan gunung api muda dan formasi lampung
serta kelerengan 0-2% dan 2-20%.
3. Indeks air tanah produktifitas rendah (F3FW)
Penciri utama indeks ini adalah kondisi hidrologi akuifer denga n produktifitas
rendah, dengan formasi batuan granit tak terpisahkan dan formasi tarahan.
Ketiga variabel penciri tersebut berkorelasi positif.
Gambar 25 Peta pola spasial fisik wilayah
78
Untuk 3 variabel fisik wilayah lainnya merupakan variabel yang tidak nyata
(relative homogen, tidak ada keragaman) disetiap wilayah penelitian. Jikapun
terdapat variasi, hal tersebut lebih disebabkan faktor galat/eror. Gambar 25
menunjukkan karakteristik fisik wilayah yang dihasilkan dari analisis PCA
dengan menggunakan kriteria indeks karakteristik fisik wilayah baik (faktor score
= 0,5), indeks karakteristik fisik wilayah sedang (faktor score 0,25 - 0,5), dan
indeks karakteristik fisik wilayah kurang ( faktor score = 0,25).
Model Perkembangan Wilayah
Indeks komposit yang dihasilkan dari olah PCA tersebut selanjutnya
digunakan sebagai variabel dalam analisis Spatial Durbin Model, yang
menghasilkan 3 model matematis untuk mengukur kinerja perkembangan suatu
wilayah, yaitu:
Model Perkembangan Aktivitas Ekonomi Wilayah
Ln[F1PW] = -3,877 - 10,399 W2Ln[F1PW] + 5,526 W2Ln[F1PD] - 3,259 W2Ln[F3FW] + 1,678 W1Ln[F1PW] + 1,312 W2Ln[F2FW] + 0,536 W1Ln[F3FW] + 0,449 Ln[F1FW]
Urutan penting faktor penentu perkembangan aktivitas ekonomi di suatu wilayah.
a. Variabel nyata dan elastis
1. W2Ln[F1PW] adalah perkembangan aktivitas ekonomi dalam radius
tertentu dengan tingkat kepastian 100% dan elastisitas 10,399%, artinya
jika perkembangan aktivitas ekonomi dalam radius tertentu meningkat 1%
akan menyebabkan peningkatan perkembangan aktivitas ekonomi di
wilayah tersebut sebesar 10,399%. Koefisien bernilai negatif, artinya
perkembangan aktivitas ekonomi dalam radius tertentu menjadi faktor
penghambat dalam perkembangan aktivitas ekonomi suatu wilayah.
Dengan kata lain jika perkembangan aktivitas ekonomi dalam radius
tertentu lebih baik dari wilayah tersebut, maka aktivitas ekonomi akan
bergeser ke wilayah dalam radius tertentu.
2. W2Ln[F1PD] adalah ketersediaan prasarana dasar jalan, air bersih dan
telepon dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 99,4% dengan
79
elastisitas 5,526%. Koefisien bernilai positif, artinya peningkatan
ketersediaan prasarana dasar akan menyebabkan peningkatan
perkembangan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut. Hal ini cukup logis
karena kelengkapan prasarana dasar di wilayah sekitar akan
mempengaruhi percepatan perkembangan suatu wilayah.
3. W2Ln[F3FW] adalah ketersediaan air tanah produktifitas rendah dalam
radius tertentu dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 3,259% dan
koefisien bernilai negatif.
4. W1Ln[F1PW] adalah perkembangan aktivitas ekonomi di wilayah tetangga
dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 1,678% dan koefisien positif.
Hal ini dapat dimengerti karena perkembangan aktivitas ekonomi di suatu
wilayah akan dapat ‘merangsang’ kawasan-kawasan disekitarnya untuk
turut berkembang.
5. W2Ln[F2FW] adalah kelandaian dan ketersediaan air tanah produktifitas
sedang di wilayah dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 97,7%,
elastisitas 1,312% dengan koefisien positif.
b. Variabel nyata dan tidak elastis
1. W1Ln[F3FW] adalah karakteristik kondisi air tanah produktifitas rendah
pada wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 98,6% dan koefisien
bernilai positif.
2. Ln[F1FW] adalah kondisi fisik wilayah dengan karakteristik terjal dan
kelangkaan air tanah dengan tingkat kepastian 97,7% dan koefisien positif.
Namun pengaruh fisik wilayah ini bersifat tidak elastis, artinya
peningkatan faktor fisik wilayah 1% hanya akan mempengaruhi
peningkatan perkembangan aktivitas ekonomi 0,449%.
c) Variabel tidak nyata dan tidak elas tis
Ø Faktor fisik ruang, perkembangan aktivitas pendidikan dan ketersediaan
prasarana dasar perkotaan tidak berpengaruh secara nyata dalam
peningkatan kinerja perkembangan aktivitas ekonomi suatu wilayah.
Ø Faktor-faktor lain yang menentukan perkembangan aktivitas ekonomi
dalam suatu wilayah masih cukup banyak, tetapi 54% masih dapat
diterangkan oleh model ini.
80
Model Perkembangan Fisik Ruang Wilayah (Land Use) Ln[F2PW] = 8,915 - 7,012 W2Ln[F2PW] + 3,449 W2Ln[F1PD] - 1,671 W2Ln[F2FW] +
1,53 W1Ln[F2PW] - 0,858 W1Ln[F1PD ] + 0,457 W1Ln[F1PW] + 0,365 Ln[F1PD ] - 0,264 Ln [F3FW] - 0,253 Ln[F1FW] + 0,175 Ln[F2FW]
Urutan penting faktor penentu perkembangan fisik ruang disuatu wilayah
a. Variabel nyata dan elastis
1. W2Ln[F2PW] adalah perkembangan fisik ruang terbangun dalam radius
tertentu dengan tingkat kepastian 99,8%, elastisitas 7,012 dan koefisien
bernilai negatif.
2. W2Ln[F1PD] adalah perkembangan prasarana dasar (jalan, air bersih dan
telepon) dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 93,6%, elastisitas
3,449% da n koefisien bernilai positif.
3. W2Ln[F2FW] adalah kelandaian dan ketersediaan air tanah produktifitas
sedang dan menyebar luas dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian
99,1%, elastisitas 1,671 dan koefisien bernilai negatif.
4. W1Ln[F2PW] adalah perkembangan fisik ruang terbangun di wilayah
tetangga dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 1,53% dan koefisien
bernilai positif.
b. Variabel nyata dan tidak elastis
1. W1Ln[F1PD ] adalah perkembangan prasarana dasar (jalan, telepon dan air
bersih) wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 94,2% dan koefisien
bernilai negatif.
2. W1Ln[F1PW] adalah perkembangan aktivitas ekonomi wilayah tetangga
dengan tingkat kepastian 97,3% dan koefisien bernilai positif. Hal ini
cukup logis mengingat perkembangan aktivitas ekonomi akan memicu
perkembangan fisik ruang, tetapi keduanya tidak dapat berada dalam satu
lokasi secara bersama.
3. Ln[F1PD] adalah ketersediaan prasarana dasar wilayah (jalan, air bersih dan
telepon) dengan tingkat kepastian 99,8% dan koefisien positif. Artinya
ketersediaan prasarana dasar merupakan pemicu peningkatan ruang
terbangun dalam suatu wilayah. Hal senada diungkapkan McGill bahwa
pengujian proses manajemen kota harus dilihat sebagai provision
81
infrastructur, karena keberadaan infrastruktur tidak hanya mendukung
perkembangan wilayah, tetapi juga distribusi spasial dari perkembangan
kota (McGill, 1998).
4. Ln[F3FW] adalah kondisi fisik dengan karakter air tanah produktifitas
rendah dengan tingkat kepastian 96,7% dan koefisien negatif. Artinya
kawasan dengan karakteristik tersebut menjadi penghambat pelaksanaan
fisik ruang terbangun.
5. Ln[F1FW] adalah kawasan dengan karakter terjal dan kelangkaan air tanah
dengan tingkat kepastian 98,9% dan koefisien bernilai negatif.
6. Ln[F2FW] adalah kondisi fisik wilayah dengan karakteristik landai dan
persebaran air tanah produktifitas sedang dengan tingkat kepastian 95,1%
dan koefisien positif. Hal ini cukup logis mengingat pembangunan fisik
ruang akan lebih mudah dan murah serta memiliki resiko yang lebih kecil
jika di bangun pada wilayah dengan topografi yang relatif landai dan
ketersediaan airnya mudah.
c. Variabel tidak nyata dan tidak elastis
1. Faktor-faktor yang tidak disebutkan diatas mempunyai pengaruh yang
tidak nyata terhadap perkembangan fisik ruang di suatu wilayah.
2. Faktor-faktor lain yang menentukan perkembangan fisik ruang dalam
suatu wilayah cukup banyak, tetapi 54% masih dapat diterangkan oleh
model ini.
Model Perkembangan Aktivitas Pendidikan Wilayah
Ln[F3PW] = 22,291 - 8,34 W2Ln[F3PW] - 4,884 W2Ln[F1PD] - 2,802 W2Ln[F3FW] + 2,801 W2Ln[F1FW] + 1,343 W1Ln[F3PW] - 0,208 Ln[F2PD] + 0,142 Ln[F2FW]
Urutan penting faktor penentu perkembangan fisik ruang di suatu wilayah
a. Variabel nyata dan elastis
1. W2Ln[F3PW] adalah perkembangan aktivitas pendidikan dalam satu radius
dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 8,34% dan koefisien bernilai
negatif.
82
2. W2Ln[F1PD ] adalah ketersediaan prasarana jalan, air bersih dan telepon
dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 99,6%, elastisitas 4,884%
dan koefisien negatif.
3. W2Ln[F3FW] adalah kondisi wilayah dengan karakteristik air tanah
produktifitas rendah di wilayah dalam radius tertentu dengan tingkat
kepastian 100%, elastisitas 2,802% dan koefisien bernilai negatif.
4. W2Ln[F1FW] adalah kondisi wilayah dengan karakteristik terjal dan
kelangkaan air tanah di wilayah dalam radius tertentu dengan tingkat
kepastian 96,9%, elastisitas 2,801% dan koefisien bernilai positif.
5. W1Ln[F3PW] adalah perkembangan aktivitas pendidikan di wilayah
tetangga dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 1,343% dan koefisien
bernilai positif.
b. Variabel nyata dan tidak elastis
1. Ln[F2PD ] adalah keberadaan jalan nasional dengan tingkat kepastian 96,5%
dan koefisien bernilai negatif, artinya bahwa keberadaan jalan nasional
menjadi penghambat dalam perkembangan aktivitas pendidikan di suatu
wilayah.
2. Ln[F2FW] adalah kondisi wilayah dengan karakteristik landai dan
persebaran air tanah produktifitas sedang dengan tingkat kepastian 98,2%
dan koefisien positif.
c. Variabel tidak nyata dan tidak elastis
1. Faktor-faktor selain tersebut diatas tidak memiliki pengaruh nyata
terhadap perkembangan pendidikan di suatu wilayah.
2. Faktor-faktor lain yang menentukan perkembangan aktivitas pendidikan
dalam suatu wilayah cukup banyak, tetapi 35% dapat diterangkan oleh
model ini.
Gambaran rinci mengenai model perkembangan wilayah dapat dilihat dalam
Tabel Lampiran 9.
Hasil analisis PCA perkembangan wilayah menunjukkan bahwa wilayah
dengan kinerja perkembang baik adalah Kelurahan-kelurahan Gedung Meneng
(pusat pendidikan), Pesawahan, Rawa Laut, Palapa dan Tanjung Karang (pusat
83
kota). Wilayah-wilayah tersebut berada di pusat Kota Bandar Lampung dan
merupakan wilayah yang relatif tidak memiliki permasalahan tata ruang. Wilayah-
wilayah dengan kinerja perkembangan sedang memiliki permasalahan yang cukup
kompleks, terutama untuk kawasan yang berada di pusat kota. Wilayah dengan
kinerja perkembangan rendah didominasi oleh wilayah yang berbatasan langsung
dengan Kabupaten Lampung Selatan, yaitu Kelurahan-kelurahan Sukamaju,
Keteguhan, Pinang Jaya, Rajabas a Raya, Way Laga dan Srengsem. Pada wilayah-
wilayah tersebut terjadi inkonsistensi dalam penataan ruang, khususnya terkait
dengan Inter-Regional Context, kondisi fasilitas dan prasarana dibawah standar
yang ditetapkan serta issue wilayah pinggiran tersebut tidak diakomodir dalam
penyusunan RTRW (Gambar Lampiran 1). Lemahnya aspek pengendalian
ditunjukkan dalam Tabel Lampiran 11.
Dari ketiga model empirik perkembangan wilayah menunjukkan bahwa
variabel-variabel yang berpengaruh signifikan (nyata) dan elastis terhadap
variabel tujuan (kinerja perkembangan wilayah) didominasi oleh variabel yang
terkait dengan kondisi sekitarnya, baik ketetanggaan (W1) maupun jarak sentroid
(W2). Kondisi ini menunjukkan bahwa konsep kerjasama dan koordinasi dengan
wilayah sekitarnya (Inter-Regional Cooperation) menjadi faktor yang sangat
penting untuk diperhatikan (Inferensi generalism) dalam setiap kegiatan
pembangunan dalam rangka optimasi pencapaian tujuan pembangunan dan
peningkatan kinerja perkembangan wilayah. Temuan tersebut juga
mengindikasikan pentingnya Inter-Regional Cooperation dalam skala yang lebih
luas, misalnya antar Kabupaten/Kota, khususnya Kota Bandar Lampung terkait
dengan perannya sebagai PKN, Kawasan Andalan serta pusat pelaya nan primer
bagi wilayah di sekitarnya. Pentingnya kerjasama merupakan salah satu amanat
UU Nomor 32 Tahun 2004 yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan Pemerintahan. Menurut ketentuan tersebut, kerjasama
yang bersifat lintas kabupaten/kota merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi
dengan melibatkan seluruh kabupaten yang bersangkutan. Untuk membuktikan
pentingnya kerjasama antar kabupaten maupun antar provinsi secara empirik
diperlukan penelitian lebih lanjut.
84
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Berdasarkan analisis RTRW Kota Bandar Lampung, dapat disimpulkan
beberapa temuan sebagai berikut:
Ø Dari aspek proses penyusunan, RTRW Kota Bandar Lampung relatif telah
sesuai dan mengacu pada pedoman yang berlaku (79%).
Ø Dari aspek legalitas, RTRW Kota Bandar Lampung telah sah dan
mendapat legalitas hukum melalui Perda 4 Tahun 2004 tentang RTRW
Kota Bandar Lampung.
Ø Dari aspek pemanfaatan ruang telah terjadi penyimpangan yang relatif
besar terhadap rencana yang telah ditetapka n.
Ø Faktor eksternal (tidak terjadi perubahan kebijakan penataan ruang
maupun bencana yang menyebabkan perubahan struktur tata ruang) relatif
tetap.
2. Dalam proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung ditemukan hal-hal
sebagai berikut:
Ø Penyusunan RTRW belum memperhatikan keserasian dan koordinasi
dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context), yaitu Kabupaten
Lampung Selatan, RTR kawasan fungsional maupun RTR pada hierarki
yang lebih tinggi, yaitu RTRW Provinsi Lampung.
Ø Dari analisis model perkembangan wilayah menunjukkan bahwa aspek
ketetanggaan sangat menentukan kinerja perkembangan suatu wilayah,
karena aspek ketetanggaan (berbatasan langsung maupun dalam radius
tertentu) sangat mendominasi dan berpengaruh dalam setiap model
perkembangan wilayah.
3. Dari analisis permodelan perkembangan wilayah, ditemukan hal-hal berikut:
Ø Terdapat tiga model matematis perkembangan wilayah, yaitu model
perkembangan aktivitas ekonomi dan transportasi, model perkembangan
85
fisik ruang wilayah dan model perkembangan aktivitas pendidikan
wilayah.
Ø Variabel yang nyata dan elastis untuk setiap model perkembangan wilayah
seluruhnya terkait dengan aspek wilayah sekitar, baik ketetanggaan
maupun jarak centroid . Dalam penelitian ini dengan menggunakan unit
analisis kelurahan sudah menunjukkan pentingnya kerjasama untuk
meningkatkan perkembangan wilayah. Oleh sebab itu kerjasama perlu
dikembangkan dalam skala yang lebih luas (kabupaten/kota), khususnya
Kota Bandar Lampung, mengingat kota tersebut memiliki peran yang
sanga t strategis skala nasional, regional maupun provinsi.
4. Studi menunjukkan bahwa terdapat konsistensi dalam penataan ruang di Kota
Bandar Lampung, tetapi terjadi inkonsistensi dalam pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Inkonsistensi tersebut menyebabkan
berbagai permasalahan keruangan yang berakibat menurunnya kinerja
perkembangan wilayah. Dari hasil studi perkembangan wilayah, terdapat
faktor pendorong perkembangan wilayah, yaitu:
a) Ketersediaan prasarana dasar (jalan kota/lokal, air bersih dan telepon).
Konsekuensi logis dari kesimpulan tersebut terkait dengan mekanisme
anggaran, bahwa ketiga aspek tersebut dapat dijadikan skala prioritas
dalam percepatan pembangunan suatu kawasan dengan skenario
dipercepat. Sebaliknya untuk kawasan dengan skenario diperlambat
pembangunannya, maka ketiga sektor tersebut dapat digunakan sebagai
alat untuk mengendalikan pesatnya perkembangan wilayah.
b) Kondisi fisik wilayah yang baik, yaitu dengan karakteristik landai dan air
tanah produktifitas sedang. Hal ini cukup logis karena perkembangan
wilayah memerlukan berbagai kemudahan termasuk kemudahan sistem
pergerakan dan kemudahan ketersediaan air.
Sedangkan faktor penghambat perkembangan wilayah adalah ketersediaan
jalan nasional di tingkat lokal (kelurahan). Oleh karena itu dalam jangka
panjang ke depan perlu diupayakan supaya pembangunan jalan nasional
diarahkan di pinggiran kota (ring road).
86
Saran
1. Berdasarkan Kepmen Kimpraswil Nomor 327/KPTS/M/2002, maka butir
temuan kesimpulan pertama merekomendasikan bahwa Pemerintah Kota
Bandar Lampung perlu segera mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
Ø Meningkatkan sosialisasi RTRW kepada seluruh stakeholder, baik
pemerintah, swasta maupun masyarakat.
Ø Menyusun dokumen pendamping RTRW untuk melengkapi aspek-aspek
yang belum diatur secara jelas serta menyusun dokumen Pengendalian
Pemanfaatan Ruang Kota Bandar Lampung.
Ø RTRW perlu didetailkan dalam rencana yang lebih rinci, yaitu RDTR dan
RTR dengan tetap memperhatikan efisiensi dalam pemanfataan ruang.
Ø RTRW harus menjadi dokumen yang memiliki kekuatan untuk mengikat
secara eksternal (pedoman bagi masyarakat dalam pemanfaatan ruang
kota) dan internal (pengendali bagi setiap kebijakan program
pembangunan).
2. Dari butir temuan 2 dan 3 memberikan konsekuensi pentingnya kerjasama
antar daerah. Artinya untuk mencapai efektifitas dan efisiensi dalam
pelaksanaan pembangunan serta peningkatan kinerja perkembangan wilayah
diperlukan kerjasama dan koordinasi dengan wilayah sekitarnya, baik yang
bertetangga maupun yang berada dalam satu radius tertentu (jarak centroid ).
Implikasi dari hal tersebut adalah:
Ø Dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembangunan perlu memperhatikan
keterkaitan dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context).
Ø Pemerintah Provinsi Lampung perlu segera menyusun dan menetapkan
Rencana Tata Ruang (RTR) kawasan fungsional yang bersifat lintas
kabupaten/kota, khususnya antara Kota Bandar Lampung de ngan
Kabupaten Lampung Selatan.
Ø Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui model empirik
pentingnya kerjasama dalam wilayah yang lebih luas (Kota Bandar
Lampung dengan kabupaten disekitarnya, atau Provinsi Lampung dengan
provinsi di sekitarnya).
87
Ø Perlu dilakukan pengkajian efektifitas cakupan kawasan kerjasama serta
bidang-bidang yang perlu dikerjasamakan, khususnya dalam satu radius
untuk menghasilkan model optimasi perkembangan wilayah.
3. Penataan ruang memiliki implikasi terhadap perkembangan wilayah, sehingga
konsistensi dalam penataan ruang, baik dalam aspek perencanaan,
pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang menjadi sangat penting
untuk diperhatikan. Salah satu upayanya adalah mengembangkan dan
mensosialisasikan penggunaan sistem informasi spasial, baik dalam aspek
perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1992. Undang-undang Penataan Ruang. Jakarta.
. 2002. Pedoman Penyusunan Penataan Ruang Daerah. Jakarta. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.
Anwar, E. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Bogor. P4WPress.
Aronoff, S. 1989. Geografic Information System: Management Perspective. Ottawa, Canada. WDL Publications.
Budiharjo, Eko. 1997. Tata Ruang Perkotaan . Bandung. PT Alumni.
Budiharjo, Eko. 1995. Pendekatan Sistem dalam Tata Ruang dan Pembangunan Daerah untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional. Yogyakarta. Gajahmada University Press.
Danisworo, M. Revitalisasi Kawasan Kota . Jakarta. Info URDI Vol 13.
LeSage, James P (1999). The Theory and Practice of Spatial Econometrics. http://www.econ.utoledo.edu.
Marquez LO and Maheepala S. 1996. An Object-Oriented Approach to the Integrated Planning of Urban Development and Utility Services. Environ. and Urban Systems Vol. 20 No 4/5:pp.303-312.
McGill, R. 1998. Urban Management in Developing Countries. Cities Vol 13 No 6:pp.405-471.
Prahasta, E. 2005. Sistem Informasi Geografis: Tutorial ArcView . Bandung. Informatika Bandung.
Rustiadi, E dan Saefulhakim, S. & Panuju, D.R. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor.
Saefulhakim, S. 2006. Arah dan Isyu Strategis Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Dalam Perspektif Ekonomi Wilayah: Bogor. Fakultas Pertanian IPB.
Saefulhakim, S. 2005. Principal Components Analysis (PCA) dan Factor Analysis (FA): Bogor. Fakultas Pertanian IPB.
Sastrowihardjo, M dan Napitupulu, H. 2001. Kebijakan Pertanahan dan Pembangunan . Jakarta. Pusdiklat BPN.
Supriatna, Y. 2006. Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang ‘Konsepsi dan Pengukuran Kinerja’. Jakarta. Bappenas.
Wahyuni, E. 1998. Kajian Analisis Penghijauan Kota dalam Penanganan Degradasi Lingkungan. Semarang. UNDIP.
Wegener, M. 2001. New Spatial Plannin g Models. JAG Vol 3 issue 3.
Media Massa
Lampung Post, 8 Agustus 2006. Bapedalda Harus Bertindak Tegas.
Pikiran Rakyat, 24 Desember 2004. Menanti Konsistensi Penataan Ruang Kota .
Republika, 27 Juli 2006. Ratusan Warga Pesisir Teluk Lampung Demo .
Trans Sumatera Post, 2 Agustus 2004. BLH Bandar Lampung Teliti Sampel Limbah PT Golden Sari.
Tempo Interaktif, 6 Juni 2004. Buntut Proyek Reklamasi, Walikota Lampung Digugat.
KOTA
Identifikasi Permasalahan Pembangunan Kota
1. Perkembangan sosial kependudukan* • Tingkat pertumbuhan penduduk • Ukuran keluarga* • Budaya/aktivitas sosial penduduk* • Pola pergerakan penduduk*
2. Prospek pertumbuhan ekonomi* • Ketenagakerjaan • PDRB • Kegiatan usaha • Perkembangan penggunaan tanah &
produktivitasnya* 3. Daya dukung fisik dan lingkungan*
• Kondisi tata guna tanah • Kondisi bentang alam kawasan • Letak geografis • Sumberdaya air • Kondisi lingkungan (topografi & pola
drainase) • Sensitivitas terhadap lingkungan,
bencana alam & kegempaan • Status & nilai tanah • Ijin lokasi
4. Daya dukung prasarana & fasilitas kota* • Jenis infrastruktur perkotaan • Jangkauan pelayanan • Jumlah penduduk yang terlayani • Kapasitas pelayanan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRW ) 1. Pengelolaan kawasan lindung 2. Pengelolaan kawasan budidaya* 3. Pengelolaan kawasan perkotaan & kawasan tertentu* 4. Rencana Pengelolaan TGT, TGA, TGU dan SDA lainnya* 5. Pengembangan sistem kegiatan pemban gunan & pusat -pusat pelayanan
permukiman perkotaan * 6. Pentahapan & prioritas pengembangan untuk perwujudan struktur
pemanfaatan ruang kota*
Penetapan RTRW Kota Bandar Lampung(Perda) Ø Penetapan substansi rencana Ø Pedoman perijinan pemanfaatan ruang Ø Pedoman pemberian kompensasi, serta pemberian insentive &
pengenaan disinsentive. Ø Pedoman pengawasan (pelaporan, pemantauan & evaluasi) &
penertiban (termasuk pengenaan sanksi) pemanfaatan ruang.
Analisis Teknis 1. Tinjauan terhadap batas wilayah perencanaan 2. Kebijakan pembangunan 3. Sektoral & perekonomian 4. Kependudukan 5. Daya dukung fisik & lingkungan 6. Daya dukung prasarana & fasilitas kota
Dokumen:
• UU 24/92 • PP 47/97 ttg RTRWN • Perda 5/2001 ttg RTRWP Dokumen Pembangunan:
• Propeda/Renstra Provinsi Lampung • Propeda/Renstra Kota Bandar Lampung • Rencana sektoral
Evaluasi kinerja RTRW Kota Bandar Lampung 1994-2004
Rumusan kondisi yang akan datang
1. Perkiraan kebutuhan & peluang pengembangan Kota Bandar Lampung
Ø Perkiraan kebutuhan pengembangan kependudukan. Ø Perkiraan kebutuhan pengembangan ekonomi perkotaan* Ø Perkiraan kebutuhan fasilitas sosial & ekonomi perkotaan Ø Perkiraan kebutuhan pengembangan lahan perkotaan (ekstensifikasi,
intensifikasi & perkiraan ketersediaan lahan bagi pengembangan) Ø Perkiraan kebutuhan sarana & prasarana kota
2. Perkiraan hubungan fungsional kawasan kota
DIAGRAM PENYUSUNAN RTRW KOTA (Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002)
Formulasi Visi, Misi & Tujuan Pembangunan Kota
INPUT TEKNIS
* Permasalahan dalam penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung
Gambar Lampiran 1 Diagram Penyusunan RTRW Kota
Tabel Lampiran 2 Hasil PCA Perkembangan Wilayah
Eigenvalues (Perkembangan Wilayah.sta)
Extraction: Principal components
Eigenvalue % Total Cumulative Cumulative
variance Eigenvalue %
1 3.74 9.83 3.74 9.83
2 3.33 8.76 7.06 18.59
3 3.03 7.98 10.10 26.57
4 2.16 5.70 12.26 32.27
Plot of Eigenvalues
Number of Eigenvalues0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
Val
ue
Communalities (Perkembangan Wilayah.sta) Factor Loadings (Varimax normalized) (Perkembangan Wilayah.sta)
Extraction: Principal components Extraction: Principal components
Rotation: Varimax normalized (Marked loadings are > .700000)
From 1 From 2 From 3 From 4 Multiple Factor Factor Factor Factor
Factor Factors Factors Factors R-Square 1 2 3 4
St Kabud 0.00 0.09 0.09 0.09 0.16 St Kabud 0.02 0.30 0.05 0.02
St Terbangun 0.03 0.57 0.57 0.63 0.63 St Terbangun 0.17 0.73 -0.08 0.24
St Kel Miskin 0.03 0.21 0.22 0.42 0.51 St Kel Miskin -0.18 -0.42 -0.10 0.45
St Penerimaan 0.00 0.00 0.00 0.28 0.41 St Penerimaan 0.03 0.00 -0.05 0.52
St Industri 0.00 0.18 0.18 0.18 0.41 St Industri 0.03 -0.42 0.04 -0.03
St Pasar 0.03 0.04 0.04 0.09 0.56 St Pasar 0.17 0.11 0.02 0.23
St Supermarket 0.27 0.29 0.49 0.57 0.69 St Supermarket 0.52 0.10 0.45 0.29
St Warung 0.42 0.54 0.55 0.56 0.65 St Warung 0.65 -0.34 -0.10 0.10
St Restoran 0.52 0.58 0.58 0.58 0.73 St Restoran 0.72 0.24 -0.03 0.02
St Bank 0.71 0.71 0.72 0.73 0.81 St Bank 0.84 0.01 -0.11 0.11
St KUD 0.00 0.00 0.00 0.09 0.37 St KUD -0.03 -0.01 0.03 -0.30
St Hotel 0.45 0.45 0.46 0.55 0.75 St Hotel 0.67 0.08 0.08 -0.30
St Penerima KS 0.01 0.41 0.42 0.43 0.53 St Penerima KS -0.11 -0.63 0.03 -0.10
St KKM 0.00 0.00 0.03 0.04 0.17 St KKM 0.01 0.03 -0.18 0.07
St KKL 0.00 0.01 0.01 0.04 0.24 St KKL -0.06 -0.06 -0.03 0.19
St TK 0.00 0.28 0.43 0.53 0.66 St TK 0.04 0.53 0.39 -0.31
St SD 0.01 0.01 0.38 0.38 0.48 St SD -0.10 -0.03 0.60 -0.09
St SLTP 0.01 0.04 0.57 0.57 0.69 St SLTP -0.08 0.18 0.73 -0.02
St SLTA 0.00 0.09 0.62 0.62 0.76 St SLTA 0.06 0.29 0.73 -0.01
St PT 0.00 0.04 0.05 0.05 0.47 St PT 0.04 0.21 0.09 0.04
St RS 0.01 0.11 0.11 0.12 0.32 St RS -0.12 0.31 0.03 -0.10
St Puskes 0.01 0.09 0.09 0.15 0.41 St Puskes -0.10 0.28 -0.01 -0.24
St Poli 0.11 0.22 0.24 0.45 0.59 St Poli 0.33 -0.34 0.11 -0.47
St DokPrak 0.08 0.20 0.35 0.40 0.61 St DokPrak 0.29 0.34 0.39 0.23
St BidPrak 0.01 0.15 0.15 0.25 0.35 St BidPrak -0.09 0.37 0.08 -0.32
St Masjid 0.07 0.23 0.44 0.66 0.68 St Masjid 0.27 -0.39 0.46 -0.47
St Surau 0.04 0.25 0.35 0.38 0.50 St Surau 0.19 -0.46 0.32 0.17
St Gereja 0.00 0.15 0.18 0.19 0.36 St Gereja 0.06 0.38 -0.19 -0.11
St Pure 0.01 0.01 0.01 0.04 0.25 St Pure -0.07 -0.05 -0.08 0.16
St Vihara 0.00 0.09 0.10 0.13 0.50 St Vihara 0.05 0.30 -0.04 0.20
St Bioskop 0.02 0.03 0.10 0.18 0.47 St Bioskop 0.13 0.13 -0.25 0.28
St Diskotik 0.02 0.03 0.03 0.08 0.67 St Diskotik 0.13 0.11 0.01 -0.24
St Alun² 0.02 0.07 0.29 0.29 0.50 St Alun² -0.14 -0.22 0.47 -0.06
St Penyewaan VCD 0.01 0.04 0.05 0.44 0.57 St Penyewaan VCD 0.09 0.16 0.11 0.63
St Rmh Bilyard 0.14 0.14 0.14 0.27 0.61 St Rmh Bilyard 0.37 -0.06 0.07 0.35
St Pelabuhan 0.01 0.02 0.02 0.08 0.42 St Pelabuhan 0.12 0.08 -0.03 0.24
St Stasiun 0.56 0.57 0.60 0.62 0.81 St Stasiun 0.75 -0.10 -0.17 -0.14
St Terminal 0.01 0.04 0.08 0.08 0.44 St Terminal -0.11 0.18 -0.19 0.04
Expl.Var 3.64 3.33 2.77 2.52
Prp.Totl 0.10 0.09 0.07 0.07
Bobot 0.30 0.27 0.23 0.21
Factor Score Coefficients (Perkembangan Wilayah.sta)
Rotation: Varimax normalized
Extraction: Principal components
Factor Factor Factor Factor
1 2 3 4
St Kabud 0.00 0.09 0.01 0.00
St Terbangun 0.04 0.22 -0.04 0.07
St Kel Miskin -0.05 -0.14 0.00 0.19
St Penerimaan 0.00 -0.01 0.01 0.21
St Industri 0.01 -0.13 0.02 0.00
St Pasar 0.04 0.03 0.02 0.09
St Supermarket 0.13 0.01 0.17 0.13
St Warung 0.18 -0.11 -0.04 0.03
St Restoran 0.20 0.07 -0.03 -0.01
St Bank 0.23 0.00 -0.05 0.02
St KUD 0.00 0.00 -0.01 -0.12
St Hotel 0.19 0.03 -0.01 -0.13
St Penerima KS -0.03 -0.19 0.02 -0.02
St KKM 0.00 0.01 -0.06 0.02
St KKL -0.02 -0.02 0.00 0.08
St TK 0.01 0.16 0.11 -0.12
St SD -0.04 -0.02 0.22 0.00
St SLTP -0.04 0.04 0.27 0.03
St SLTA 0.00 0.07 0.26 0.03
St PT 0.01 0.06 0.03 0.01
St RS -0.03 0.10 0.00 -0.05
St Puskes -0.02 0.09 -0.02 -0.10
St Poli 0.10 -0.10 0.01 -0.18
St DokPrak 0.06 0.09 0.14 0.10
St BidPrak -0.02 0.12 0.00 -0.13
St Masjid 0.08 -0.12 0.15 -0.16
St Surau 0.04 -0.15 0.13 0.10
St Gereja 0.02 0.12 -0.09 -0.06
St Pure -0.02 -0.02 -0.02 0.06
St Vihara 0.01 0.09 -0.01 0.07
St Bioskop 0.04 0.04 -0.08 0.09
St Diskotik 0.04 0.04 -0.01 -0.10
St Alun² -0.05 -0.07 0.18 0.01
St Penyewaan VCD 0.01 0.03 0.07 0.26
St Rmh Bilyard 0.09 -0.03 0.04 0.14
St Pelabuhan 0.03 0.02 0.00 0.09
St Stasiun 0.22 -0.03 -0.09 -0.08
St Terminal -0.03 0.06 -0.07 0.00
Factor Scores (Perkembangan Wilayah.sta)
Rotation: Varimax normalized
Extraction: Principal components
Factor Factor Factor Factor
1 2 3 4 IKE1 IKE2 IKE3 IKE4 IKET
0.84 -3.26 0.40 -0.51 0.20 0.00 0.28 0.34 0.19
-0.51 -1.26 -0.77 0.42 0.03 0.38 0.13 0.52 0.25
-0.40 -0.91 -0.58 0.28 0.05 0.45 0.15 0.49 0.27
-0.55 -0.71 -1.15 0.73 0.03 0.49 0.08 0.58 0.28
-0.69 -0.84 -0.29 -0.30 0.01 0.47 0.19 0.38 0.25
-0.46 -0.48 -0.14 0.39 0.04 0.53 0.21 0.51 0.31
-0.24 -1.72 -0.58 0.13 0.07 0.30 0.15 0.46 0.23
-0.25 -1.48 -0.57 0.14 0.06 0.34 0.16 0.46 0.24
-0.37 0.19 0.08 1.73 0.05 0.66 0.24 0.77 0.41
-0.70 0.57 -0.47 0.33 0.01 0.74 0.17 0.50 0.34
0.83 1.38 0.05 2.36 0.19 0.89 0.24 0.89 0.54
1.11 0.03 -0.90 2.42 0.23 0.63 0.11 0.90 0.45
0.06 0.30 -1.72 0.68 0.10 0.69 0.01 0.57 0.33
-0.22 -0.09 -0.71 0.71 0.07 0.61 0.14 0.57 0.33
-0.56 -0.17 0.24 0.54 0.03 0.59 0.26 0.54 0.34
-0.25 1.15 -0.96 0.83 0.06 0.85 0.10 0.59 0.40
-0.56 -0.59 -0.34 1.84 0.03 0.51 0.19 0.79 0.35
-0.79 -0.49 1.07 0.47 0.00 0.53 0.37 0.53 0.34
-0.71 -0.52 -0.74 1.53 0.01 0.53 0.13 0.73 0.33
-0.56 -0.99 -0.68 -0.47 0.03 0.44 0.14 0.34 0.23
-0.63 0.85 -1.23 -0.03 0.02 0.79 0.07 0.43 0.32
0.58 0.12 -0.50 1.17 0.16 0.65 0.16 0.66 0.40
0.58 -0.17 -0.16 0.47 0.16 0.59 0.21 0.53 0.37
-0.73 -1.47 0.50 -0.07 0.01 0.34 0.30 0.42 0.25
-0.54 -2.80 0.18 0.24 0.03 0.09 0.25 0.48 0.19
-0.71 -1.16 0.80 0.15 0.01 0.40 0.33 0.46 0.28
0.54 1.39 5.90 0.06 0.16 0.89 1.00 0.45 0.61
-0.16 0.81 0.67 0.54 0.08 0.78 0.32 0.54 0.42
-0.07 0.20 0.35 0.99 0.09 0.67 0.28 0.63 0.40
-0.43 0.06 -0.12 1.21 0.04 0.64 0.21 0.67 0.37
-0.17 0.15 0.95 0.91 0.07 0.66 0.35 0.61 0.41
-0.57 0.10 -0.01 0.59 0.03 0.65 0.23 0.55 0.35
-0.03 -0.80 1.08 2.48 0.09 0.47 0.37 0.91 0.43
-0.52 0.46 -0.77 0.03 0.03 0.72 0.13 0.44 0.32
1.15 0.59 0.21 -1.16 0.23 0.74 0.26 0.21 0.37
1.39 0.16 0.76 -2.26 0.26 0.66 0.33 0.00 0.33
-0.22 -0.44 -0.33 -0.69 0.07 0.54 0.19 0.30 0.27
-0.05 0.52 0.72 0.68 0.09 0.73 0.32 0.57 0.41
0.33 1.94 -1.29 -1.00 0.13 1.00 0.06 0.24 0.38
-0.26 0.44 -0.62 -0.06 0.06 0.71 0.15 0.42 0.33
0.21 1.53 -1.12 -1.78 0.12 0.92 0.08 0.09 0.32
0.59 1.37 -0.41 -1.26 0.17 0.89 0.18 0.19 0.37
0.35 0.77 0.08 -1.29 0.14 0.78 0.24 0.19 0.34
-0.13 1.23 0.96 -0.56 0.08 0.86 0.35 0.33 0.41
0.11 0.91 -0.52 -1.86 0.11 0.80 0.16 0.08 0.30
-0.50 -1.91 0.63 -1.13 0.03 0.26 0.31 0.22 0.20
-0.65 -2.15 1.92 -0.67 0.02 0.21 0.48 0.31 0.23
0.23 1.01 0.11 0.49 0.12 0.82 0.24 0.53 0.42
0.33 0.54 0.92 -0.30 0.13 0.73 0.35 0.38 0.40
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
1
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90
Desa/Kelurahan
Kin
erja
Per
kem
ban
gan
Wila
yah
(H
asil
PC
A)
1.11 0.07 3.19 0.33 0.23 0.64 0.65 0.50 0.49
0.74 0.14 0.74 0.11 0.18 0.65 0.33 0.46 0.40
0.78 1.39 1.45 0.55 0.19 0.90 0.42 0.54 0.51
-0.22 0.94 -1.11 -0.22 0.07 0.81 0.09 0.39 0.34
1.57 0.48 -1.76 1.10 0.28 0.72 0.00 0.65 0.41
3.13 -1.22 1.09 2.93 0.47 0.39 0.37 1.00 0.54
7.58 -1.01 -1.53 -1.52 1.00 0.43 0.03 0.14 0.45
1.13 0.22 0.40 -0.58 0.23 0.67 0.28 0.32 0.38
-0.49 0.41 0.22 0.01 0.04 0.71 0.26 0.44 0.35
-0.51 1.28 0.38 -1.07 0.03 0.87 0.28 0.23 0.36
-0.18 -2.91 -0.48 -0.16 0.07 0.07 0.17 0.40 0.16
0.24 0.99 -0.08 0.35 0.12 0.82 0.22 0.50 0.41
-0.14 0.61 0.17 0.27 0.08 0.74 0.25 0.49 0.38
-0.56 0.40 -0.11 0.05 0.03 0.70 0.22 0.44 0.34
0.25 0.65 0.15 -1.29 0.12 0.75 0.25 0.19 0.34
-0.44 0.14 1.28 -1.01 0.04 0.65 0.40 0.24 0.33
0.28 -2.81 -0.05 -2.16 0.13 0.09 0.22 0.02 0.12
-0.70 -0.62 1.21 -1.68 0.01 0.51 0.39 0.11 0.25
-0.55 0.55 -0.61 -0.34 0.03 0.73 0.15 0.37 0.32
-0.34 0.30 -0.10 0.02 0.05 0.69 0.22 0.44 0.34
-0.21 0.20 0.15 -0.84 0.07 0.67 0.25 0.27 0.31
-0.56 -0.30 -0.43 0.47 0.03 0.57 0.17 0.53 0.31
-0.76 0.63 -0.08 0.06 0.00 0.75 0.22 0.45 0.35
-0.34 0.20 -0.44 0.59 0.05 0.67 0.17 0.55 0.35
-0.31 0.38 -0.18 0.80 0.06 0.70 0.21 0.59 0.38
-0.67 0.26 -0.56 -0.14 0.01 0.68 0.16 0.41 0.31
-0.70 0.53 -0.40 0.44 0.01 0.73 0.18 0.52 0.35
-0.33 0.17 -0.80 -0.34 0.05 0.66 0.13 0.37 0.30
-0.58 -0.38 0.06 -0.08 0.02 0.55 0.24 0.42 0.30
-0.40 0.10 -0.87 -0.14 0.05 0.65 0.12 0.41 0.30
-0.34 -1.07 -0.51 -1.16 0.05 0.42 0.16 0.21 0.21
0.77 1.27 1.17 1.03 0.19 0.87 0.38 0.63 0.51
-0.29 0.37 -0.86 -0.41 0.06 0.70 0.12 0.36 0.31
-0.30 -0.95 0.95 -1.07 0.06 0.44 0.35 0.23 0.27
-0.52 0.09 0.68 -0.73 0.03 0.64 0.32 0.29 0.32
-0.27 0.27 0.08 -0.55 0.06 0.68 0.24 0.33 0.33
-0.73 0.61 0.44 -1.81 0.01 0.74 0.29 0.09 0.29
-0.46 0.65 -0.42 -1.42 0.04 0.75 0.17 0.16 0.29
-0.07 0.23 -0.83 -0.12 0.09 0.67 0.12 0.41 0.32
-0.42 0.45 -0.22 -0.06 0.04 0.71 0.20 0.42 0.34
-0.30 0.13 -0.17 -0.71 0.06 0.65 0.21 0.30 0.30
-0.26 0.11 -0.58 -0.41 0.06 0.65 0.15 0.36 0.30
-0.30 0.65 0.36 -0.80 0.06 0.75 0.28 0.28 0.34
-0.40 0.06 -1.04 0.35 0.05 0.64 0.09 0.50 0.31
0.66 0.75 -0.22 0.79 0.17 0.77 0.20 0.59 0.43
0.29 -0.52 0.25 1.14 0.13 0.53 0.26 0.66 0.38
0.23 -0.22 -0.15 0.36 0.12 0.58 0.21 0.50 0.35
0.29 0.24 -0.86 -0.64 0.13 0.67 0.12 0.31 0.31
-0.44 0.69 0.14 -0.44 0.04 0.76 0.25 0.35 0.35
-0.79 -3.26 -1.76 -2.26
7.58 1.94 5.90 2.93
0.00 0.00 0.00 0.00
1 1 1 1
0.84 0.40 0.84 -0.51
-0.51 -0.77 -0.51 0.42
-0.40 -0.58 -0.40 0.28
-0.55 -1.15 -0.55 0.73
-0.69 -0.29 -0.69 -0.30
-0.46 -0.14 -0.46 0.39
-0.24 -0.58 -0.24 0.13
-0.25 -0.57 -0.25 0.14
-0.37 0.08 -0.37 1.73
-0.70 -0.47 -0.70 0.33
0.83 0.05 0.83 2.36
1.11 -0.90 1.11 2.42
0.06 -1.72 0.06 0.68
-0.22 -0.71 -0.22 0.71
-0.56 0.24 -0.56 0.54
-0.25 -0.96 -0.25 0.83
-0.56 -0.34 -0.56 1.84
-0.79 1.07 -0.79 0.47
-0.71 -0.74 -0.71 1.53
-0.56 -0.68 -0.56 -0.47
-0.63 -1.23 -0.63 -0.03
0.58 -0.50 0.58 1.17
0.58 -0.16 0.58 0.47
-0.73 0.50 -0.73 -0.07
-0.54 0.18 -0.54 0.24
-0.71 0.80 -0.71 0.15
0.54 5.90 0.54 0.06
-0.16 0.67 -0.16 0.54
-0.07 0.35 -0.07 0.99
-0.43 -0.12 -0.43 1.21
-0.17 0.95 -0.17 0.91
-0.57 -0.01 -0.57 0.59
-0.03 1.08 -0.03 2.48
-0.52 -0.77 -0.52 0.03
1.15 0.21 1.15 -1.16
1.39 0.76 1.39 -2.26
-0.22 -0.33 -0.22 -0.69
-0.05 0.72 -0.05 0.68
0.33 -1.29 0.33 -1.00
-0.26 -0.62 -0.26 -0.06
0.21 -1.12 0.21 -1.78
0.59 -0.41 0.59 -1.26
0.35 0.08 0.35 -1.29
-0.13 0.96 -0.13 -0.56
0.11 -0.52 0.11 -1.86
-0.50 0.63 -0.50 -1.13
-0.65 1.92 -0.65 -0.67
0.23 0.11 0.23 0.49
0.33 0.92 0.33 -0.30
1.11 3.19 1.11 0.33
0.74 0.74 0.74 0.11
0.78 1.45 0.78 0.55
-0.22 -1.11 -0.22 -0.22
1.57 -1.76 1.57 1.10
3.13 1.09 3.13 2.93
7.58 -1.53 7.58 -1.52
1.13 0.40 1.13 -0.58
-0.49 0.22 -0.49 0.01
-0.51 0.38 -0.51 -1.07
-0.18 -0.48 -0.18 -0.16
0.24 -0.08 0.24 0.35
-0.14 0.17 -0.14 0.27
-0.56 -0.11 -0.56 0.05
0.25 0.15 0.25 -1.29
-0.44 1.28 -0.44 -1.01
0.28 -0.05 0.28 -2.16
-0.70 1.21 -0.70 -1.68
-0.55 -0.61 -0.55 -0.34
-0.34 -0.10 -0.34 0.02
-0.21 0.15 -0.21 -0.84
-0.56 -0.43 -0.56 0.47
-0.76 -0.08 -0.76 0.06
-0.34 -0.44 -0.34 0.59
-0.31 -0.18 -0.31 0.80
-0.67 -0.56 -0.67 -0.14
-0.70 -0.40 -0.70 0.44
-0.33 -0.80 -0.33 -0.34
-0.58 0.06 -0.58 -0.08
-0.40 -0.87 -0.40 -0.14
-0.34 -0.51 -0.34 -1.16
0.77 1.17 0.77 1.03
-0.29 -0.86 -0.29 -0.41
-0.30 0.95 -0.30 -1.07
-0.52 0.68 -0.52 -0.73
-0.27 0.08 -0.27 -0.55
-0.73 0.44 -0.73 -1.81
-0.46 -0.42 -0.46 -1.42
-0.07 -0.83 -0.07 -0.12
-0.42 -0.22 -0.42 -0.06
-0.30 -0.17 -0.30 -0.71
-0.26 -0.58 -0.26 -0.41
-0.30 0.36 -0.30 -0.80
-0.40 -1.04 -0.40 0.35
0.66 -0.22 0.66 0.79
0.29 0.25 0.29 1.14
0.23 -0.15 0.23 0.36
0.29 -0.86 0.29 -0.64
-0.44 0.14 -0.44 -0.44
-0.80
-0.60
-0.40
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
0
F2
-0.80
F3
-0.40
F4
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89 93 97
Series1
95
Factor Factor Factor
-0.40
F3
2 3 4
0.30 0.05 0.02 0.02 0.05 0.02 0.02 0.30 0.02
0.73 -0.08 0.24 0.17 -0.08 0.17 0.24 0.73 0.24
-0.42 -0.10 0.45 -0.18 -0.10 -0.18 0.45 -0.42 0.45
0.00 -0.05 0.52 0.03 -0.05 0.03 0.52 0.00 0.52
-0.42 0.04 -0.03 0.03 0.04 0.03 -0.03 -0.42 -0.03
0.11 0.02 0.23 0.17 0.02 0.17 0.23 0.11 0.23
0.10 0.45 0.29 0.52 0.45 0.52 0.29 0.10 0.29
-0.34 -0.10 0.10 0.65 -0.10 0.65 0.10 -0.34 0.10
0.24 -0.03 0.02 0.72 -0.03 0.72 0.02 0.24 0.02
0.01 -0.11 0.11 0.84 -0.11 0.84 0.11 0.01 0.11
-0.01 0.03 -0.30 -0.03 0.03 -0.03 -0.30 -0.01 -0.30
0.08 0.08 -0.30 0.67 0.08 0.67 -0.30 0.08 -0.30
-0.63 0.03 -0.10 -0.11 0.03 -0.11 -0.10 -0.63 -0.10
0.03 -0.18 0.07 0.01 -0.18 0.01 0.07 0.03 0.07
-0.06 -0.03 0.19 -0.06 -0.03 -0.06 0.19 -0.06 0.19
0.53 0.39 -0.31 0.04 0.39 0.04 -0.31 0.53 -0.31
-0.03 0.60 -0.09 -0.10 0.60 -0.10 -0.09 -0.03 -0.09
0.18 0.73 -0.02 -0.08 0.73 -0.08 -0.02 0.18 -0.02
0.29 0.73 -0.01 0.06 0.73 0.06 -0.01 0.29 -0.01
0.21 0.09 0.04 0.04 0.09 0.04 0.04 0.21 0.04
0.31 0.03 -0.10 -0.12 0.03 -0.12 -0.10 0.31 -0.10
0.28 -0.01 -0.24 -0.10 -0.01 -0.10 -0.24 0.28 -0.24
-0.34 0.11 -0.47 0.33 0.11 0.33 -0.47 -0.34 -0.47
0.34 0.39 0.23 0.29 0.39 0.29 0.23 0.34 0.23
0.37 0.08 -0.32 -0.09 0.08 -0.09 -0.32 0.37 -0.32
-0.39 0.46 -0.47 0.27 0.46 0.27 -0.47 -0.39 -0.47
-0.46 0.32 0.17 0.19 0.32 0.19 0.17 -0.46 0.17
0.38 -0.19 -0.11 0.06 -0.19 0.06 -0.11 0.38 -0.11
-0.05 -0.08 0.16 -0.07 -0.08 -0.07 0.16 -0.05 0.16
0.30 -0.04 0.20 0.05 -0.04 0.05 0.20 0.30 0.20
0.13 -0.25 0.28 0.13 -0.25 0.13 0.28 0.13 0.28
0.11 0.01 -0.24 0.13 0.01 0.13 -0.24 0.11 -0.24
-0.22 0.47 -0.06 -0.14 0.47 -0.14 -0.06 -0.22 -0.06
0.16 0.11 0.63 0.09 0.11 0.09 0.63 0.16 0.63
-0.06 0.07 0.35 0.37 0.07 0.37 0.35 -0.06 0.35
0.08 -0.03 0.24 0.12 -0.03 0.12 0.24 0.08 0.24
-0.10 -0.17 -0.14 0.75 -0.17 0.75 -0.14 -0.10 -0.14
0.18 -0.19 0.04 -0.11 -0.19 -0.11 0.04 0.18 0.04
-0.40
F3
-0.40
F4
-0.80
F4
0.70Scatter Plot Cattel & Varimax
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
1 5
Scatter Plot Cattel & Varimax
-4.00
-3.00
-2.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
-2.00 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00
F1
F2 Series1
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
1 5
Scatter Plot Cattel & Varimax
-4.00
-3.00
-2.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
-2.00 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00
F1
F2 Series1
Scatter Plot Cattel & Varimax
-3.00
-2.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
-4.00 -3.00 -2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00 3.00
F2
F3 Series1
Scatter Plot Cattel & Varimax
-3.00
-2.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
-4.00 -2.00 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00
F3
F4 Series1
Scatter Plot Cattel & Varimax
Scatter Plot Cattel & Varimax
-3.00
-2.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
-2.00 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00
F1
F3 Series1
-3.00
-2.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
-2.00 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00
F1
F3 Series1
Scatter Plot Cattel & Varimax
-3.00
-2.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
-2.00 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00
F1
F4 Series1
Scatter Plot Cattel & Varimax
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
F2
F4 Series1
F1 & F2 Cattel & Varimax Loading
-0.80
-0.60
-0.40
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
0 5 10 15 20 25 30 35 40
F1
Series1
F2 & F3 Cattel & Varimax Loading
-0.40
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
-0.80 -0.60 -0.40 -0.20 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00
F2
Series1
F3 & F4 Cattel & Varimax Loading
-0.60
-0.40
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
-0.40 -0.20 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80
F3
Series1
F1 & F3 Cattel & Varimax Loading
-0.40
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
-0.40 -0.20 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00
F1
Series1
F1 & F3 Cattel & Varimax Loading
-0.40
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
-0.40 -0.20 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00
F1
Series1
F1 & F4 Cattel & Varimax Loading
-0.60
-0.40
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
-0.40 -0.20 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00
F1
Series1
F2 & F4 Cattel & Varimax Loading
-0.60
-0.40
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
-0.80 -0.60 -0.40 -0.20 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00
F2
Series1
0.70
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89 93 97
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89 93 97
Tabel Lampiran 3 Data prasarana dasar kota
Nas Prov Kota Lkl I II III IV V
Telukbetung Barat Sukamaju 639 4,249 1170 0 3,037 241 1,876 2 76 251 3 0 812 28
Keteguhan 364 8,483 1183 0 619 2,505 381 7 18 81 0 0 984 74
Kota Karang 56 14,301 2921 0 550 1,438 0 9 87 594 7 0 2650 429
Perwata 23 3,842 963 0 0 636 62 5 97 251 16 0 802 65
Bakung 107 5,706 1214 0 0 1,036 1,678 4 38 144 0 0 871 70
Kuripan 34 4,636 976 0 0 21 879 4 127 152 2 0 907 492
Negri Olok Gading 109 4,359 1045 0 0 2,015 3,356 0 7 17 1 0 920 78
Sukajaya 627 4,236 1206 0 0 5,552 1,721 0 0 0 0 0 620 12
Telukbetung Selatan Gedung Pakuon 36 4,181 927 0 398 577 86 2 14 41 3 0 862 139
Talang 46 7,913 1756 455 393 705 125 0 76 211 10 0 1422 719
Pesawahan 63 11,242 2495 1,061 291 1,951 0 15 206 455 363 0 2271 1622
Telukbetung 19 4,643 933 692 0 1,241 21 5 23 299 179 0 858 662
Kangkung 30 12,079 2333 391 0 752 0 20 20 492 264 0 1563 1423
Bumi Waras 73 17,239 2995 822 192 1,876 407 15 66 428 154 0 2456 1198
Pecohraya 83 5,116 1016 0 525 1,640 26 3 22 316 20 0 925 498
Sukaraja 79 10,209 2161 739 1,030 1,015 79 9 21 210 39 0 1794 1124
Geruntang 110 6,797 1496 530 16 555 644 2 25 295 24 0 1126 374
Ketapang 124 4,370 983 1,635 0 1,781 22 1 2 21 1 0 798 98
Way Lunik 150 9,370 1982 3,545 40 584 672 8 11 75 12 0 1764 694
Panjang Srengsem 456 7,571 1849 830 0 0 2,017 0 0 0 0 0 1387 109
Panjang Selatan 106 11,998 2554 1,003 0 1,842 447 4 29 238 14 0 2005 224
Panjang Utara 112 12,679 2761 1,376 0 2,452 0 6 58 280 49 1 2174 748
Pidada 318 10,878 2303 1,833 0 672 929 2 27 110 9 0 1979 432
Way Laga 433 6,503 1570 0 1,024 1,911 1,975 0 0 0 0 0 920 85
Way Gubak 546 3,023 624 0 885 3,498 500 0 0 0 0 0 136 10
Karang Maritim 105 8,781 1868 1,653 0 0 367 0 0 0 0 0 877 86
Tanjung Karang TimurRawa Laut 51 5,298 924 225 472 3,560 82 3 41 466 32 0 924 238
Kota Baru 103 11,647 2351 0 1,078 3,556 1,036 5 70 715 43 0 2351 896
Tanjung Agung 22 7,021 1200 0 337 1,258 0 6 14 320 27 0 800 800
Kebon Jeruk 23 5,424 1123 0 0 492 0 9 13 314 17 0 1123 360
Sawah Lama 12 5,815 1146 0 0 876 0 8 13 246 21 0 1139 762
Sawah Brebes 30 7,334 1403 0 0 1,549 0 8 7 343 6 0 1386 799
Jaga Baya I 17 2,783 500 0 0 524 0 5 28 591 81 0 500 506
Kedamaian 128 14,375 2762 872 209 4,584 872 3 28 473 31 0 2562 435
Tanjung Raya 54 5,772 1240 0 980 1,688 58 0 4 221 6 0 1118 900
Tanjung Gading 105 2,924 616 0 448 1,141 0 0 11 146 6 0 458 248
Campang Raya 960 8,695 1583 0 3,830 2,698 1,319 0 0 0 0 0 1485 80
Telukbetung Utara Kupang Kota 44 10,410 2035 190 0 1,683 198 2 197 747 31 0 2035 1221
Gunung Mas 104 3,709 678 1,127 0 501 358 3 12 124 3 0 678 271
Kupang Teba 66 11,158 2134 143 0 1,126 27 0 25 298 54 0 2134 927
Kupang Raya 17 3,424 710 24 0 1,176 0 0 4 60 5 0 710 284
Pahoman 76 4,835 819 0 1,117 3,455 286 0 68 533 73 0 819 512
Sumur Batu 78 7,882 1631 502 0 2,865 0 2 54 587 30 0 1631 1224
Gulak Galik 72 7,082 1492 576 0 1,317 165 2 94 363 17 0 1477 210
Pengajaran 116 5,747 1185 1,405 0 2,639 394 1 32 188 5 0 1161 948
Sumur Putri 92 4,597 773 0 0 2,501 259 3 54 293 12 0 618 96
Batu Putu 93 4,108 820 0 0 1,544 389 0 0 0 0 0 164 0
Tanjung Karang PusatDurian Payung 98 9,480 1722 202 0 2,724 202 3 72 435 56 0 1692 703
Gotong Royong 38 5,467 1237 387 249 1,684 120 1 64 422 36 0 1212 489
Enggal 64 5,282 1141 9 330 3,404 28 2 22 327 51 0 1141 1047
Pelita 23 5,537 1009 382 115 864 0 10 12 353 31 0 951 1132
Kecamatan KelurahanLuas Wil (Ha)
Σ Pddk (Jiwa)
Pel Telp (KK)
Σ RTPanjang Jalan (hm) Pelanggan PDAM (KK) Pel
List (KK)
Tabel Lampiran 3 Lanjutan
Nas Prov Kota Lkl I II III IV V
Palapa 30 4,317 807 261 111 1,525 39 1 8 272 111 0 798 536
Kaliawi 42 13,373 2774 280 0 810 0 9 67 558 69 0 2472 225
Kelapa Tiga 21 11,606 2245 340 0 1,004 0 2 46 493 101 0 2133 783
Tanjung Karang 28 3,814 766 279 0 1,132 0 2 15 375 287 0 752 324
Gunung Sari 21 2,888 620 130 0 389 148 3 7 47 389 0 620 344
Pasir Gintung 30 5,055 1119 529 0 576 139 11 22 240 89 0 1054 838
Penengahan 40 6,382 1330 229 0 1,390 183 5 105 360 5 0 1265 704
Tanjung Karang BaratSusunan Baru 338 2,804 606 0 0 6,596 130 0 2 44 1 0 484 20
Sukadana Ham 954 2,388 518 0 0 4,839 1,200 0 2 8 0 0 466 78
Suka Jawa 82 14,385 3411 682 0 1,852 101 10 149 1035 28 0 2750 2500
Gedung Air 131 10,647 2161 673 0 3,486 336 12 118 603 23 0 2100 1050
Segala Mider 225 14,436 3020 569 0 3,763 1,838 7 136 620 28 0 740 275
Gunung Terang 201 7,178 1395 0 0 4,134 660 0 4 258 2 0 1255 1046
Kemiling Sumber Agung 498 3,027 760 0 0 4,486 2,266 0 0 0 0 0 608 0
Kedaung 577 1,035 237 0 0 3,339 845 0 0 0 0 0 80 0
Pinang Jaya 195 3,050 682 134 0 2,772 0 0 1 3 0 0 205 0
Beringin Raya 711 13,020 2886 0 0 7,033 4,676 4 31 1508 24 0 2600 300
Sumber Rejo 703 12,767 2544 2,136 0 8,381 1,456 4 73 369 29 0 2000 1500
Kemiling Permai 713 11,403 4343 414 0 4,411 1,831 0 902 390 6 0 3560 0
Langkapura 228 8,715 1505 1,061 0 3,955 714 1 64 254 16 0 700 600
Kedaton Sukamenanti 38 6,369 1408 0 0 1,562 164 2 59 212 2 0 1056 142
Sidodadi 86 11,230 2319 882 0 3,543 167 0 68 511 16 0 1250 600
Surabaya 84 10,339 2519 0 0 3,167 10 3 28 410 16 0 1879 430
Perumnas Way Halim 92 12,018 2628 1,406 0 4,815 68 1 1839 643 22 0 2323 250
Kedaton 497 13,242 2530 1,485 0 9,140 2,856 1 21 121 2 0 1352 68
Labuan Ratu 312 17,388 4357 1,832 0 4,113 1,653 0 18 304 3 0 4357 320
Kampung Baru 155 7,630 2416 898 0 2,767 953 0 5 5 0 0 1526 1358
Sepang Jaya 138 11,829 2345 587 0 1,983 267 0 0 6 0 0 2336 319
Rajabasa Rajabasa Raya 227 6,078 1353 1,310 0 2,554 1,098 0 0 0 0 0 880 70
Gedung Meneng 328 8,587 1311 1,431 0 3,240 2,952 0 3 111 10 0 1311 1143
Rajabasa 319 16,883 2934 1,111 0 2,621 2,066 0 0 0 0 0 2673 528
Rajabasa Jaya 319 4,578 809 155 0 3,044 1,011 0 0 0 0 0 631 9
Tanjung Seneng Labuhan Dalam 227 6,131 1356 489 0 3,008 862 0 0 0 0 0 1095 403
Tanjung Seneng 312 11,287 2956 10 0 3,046 2,697 0 0 0 0 0 2453 1600
Way Kandis 307 5,481 1045 0 0 2,546 2,435 0 0 0 0 0 815 40
Perumnas Way Kandis319 5,970 1213 0 0 5,893 131 0 257 323 7 0 995 401
Sukarame Sukarame 403 17,851 3741 350 0 7,313 1,219 0 0 0 0 0 3216 3000
Way Halim Permai 120 8,052 1828 0 0 5,030 1,267 2 10 849 108 0 1370 400
Gunung Sulah 97 9,271 1834 0 0 3,141 653 2 31 152 0 0 1834 475
Way Dadi 348 15,696 3173 651 0 5,916 3,128 0 1 384 0 0 3075 317
Harapan Jaya 376 7,924 1747 0 0 4,677 13,538 0 0 0 0 0 850 200
Sukabumi Jagabaya II 104 13,599 2859 0 8 2,854 1,642 1 13 131 28 0 2133 2149
Jagabaya III 103 8,281 2036 0 207 1,854 2,223 0 0 347 16 0 1907 1215
Tanjung Baru 140 5,681 1375 0 1,171 694 177 0 1 159 60 0 1250 750
Kalibalok Kencana 125 7,220 1535 892 756 1,840 1,849 0 0 0 0 0 1436 1200
Sukabumi Indah 271 7,203 1563 189 1,483 2,241 2,588 0 0 0 0 0 1432 750
Sukabumi 271 10,019 2148 0 1,566 1,855 969 0 0 0 0 0 1988 2050
Sumber : PODES 2005
Pel Telp (KK)
Σ RTPanjang Jalan (hm) Pelanggan PDAM (KK) Pel
List (KK)
Kecamatan KelurahanLuas Wil (Ha)
Σ Pddk (Jiwa)
Tabel Lampiran 5 Data fisik wilayah
KECAMATAN KELURAHAN Luas A B C D E F a b c d e f g 0-2 2-2O 20-40 >40
Telukbetung Barat Sukamaju 639 0 416 0 223 0 0 0 0 0 0 219 420 0 223 17 325 74
Keteguhan 364 0 230 0 102 32 0 0 0 0 0 80 284 0 152 0 193 19
Kota Karang 56 0 0 0 56 0 0 0 0 0 0 56 0 0 56 0 0 0
Perwata 23 0 0 0 20 3 0 0 0 0 0 23 0 0 21 2 0 0
Bakung 107 0 23 0 11 74 0 0 0 0 0 15 92 0 9 39 58 0
Kuripan 34 0 29 0 0 5 0 0 0 23 0 0 11 0 5 6 16 7
Negri Olok Gading 109 0 0 0 0 109 0 0 0 26 0 12 71 0 18 88 3 0
Sukajaya 627 0 2 0 0 625 0 0 0 620 0 0 7 0 0 559 68 0
Telukbetung Selatan Gedung Pakuon 36 0 0 0 0 36 0 0 0 20 0 4 13 0 6 30 0 0
Talang 46 0 0 0 0 46 0 0 0 21 0 6 18 0 14 32 0 0
Pesawahan 63 0 0 0 41 22 0 0 0 0 0 55 8 0 63 0 0 0
Telukbetung 19 0 0 0 2 17 0 0 0 0 0 19 0 0 19 0 0 0
Kangkung 30 0 0 0 29 1 0 0 0 0 0 30 0 0 30 0 0 0
Bumi Waras 73 0 0 0 33 40 0 0 0 11 0 62 0 0 66 7 0 0
Pecohraya 83 0 0 0 0 83 0 0 0 81 0 2 0 0 9 74 0 0
Sukaraja 79 0 0 0 56 23 0 0 0 0 0 79 0 0 55 24 0 0
Geruntang 110 0 0 11 53 46 0 0 0 12 0 41 57 0 34 71 5 0
Ketapang 124 0 0 86 22 16 0 0 0 0 0 5 119 0 37 87 0 0
Way Lunik 150 0 0 88 62 0 0 0 0 0 0 3 147 0 136 14 0 0
Panjang Srengsem 456 456 0 0 0 0 0 154 0 0 114 0 152 35 123 0 228 104
Panjang Selatan 106 87 0 0 19 0 0 17 0 0 0 9 25 55 50 0 30 27
Panjang Utara 112 22 0 0 90 0 0 0 0 0 0 18 49 45 94 0 18 0
Pidada 318 154 0 143 21 0 0 0 0 0 0 0 318 0 81 58 179 0
Way Laga 433 2 0 431 0 0 0 0 0 0 0 0 433 0 24 338 71 0
Way Gubak 546 0 0 545 0 1 0 0 16 0 0 0 530 0 119 181 125 120
Karang Maritim 105 105 0 0 0 0 0 52 0 0 0 0 53 0 53 0 8 44
Tanjung Karang Timur Rawa Laut 51 0 0 0 0 43 8 0 0 51 0 0 0 0 12 39 0 0
Kota Baru 103 0 0 0 0 4 99 0 0 103 0 0 0 0 42 50 11 0
Tanjung Agung 22 0 0 0 0 0 22 0 0 22 0 0 0 0 22 0 0 0
Kebon Jeruk 23 0 0 0 0 2 21 0 0 23 0 0 0 0 19 0 4 0
Sawah Lama 12 0 0 0 0 1 11 0 0 12 0 0 0 0 12 0 0 0
Sawah Brebes 30 0 0 0 0 0 30 0 0 30 0 0 0 0 30 0 0 0
Jaga Baya I 17 0 0 0 0 0 17 0 0 17 0 0 0 0 17 0 0 0
Kedamaian 128 0 0 0 0 66 62 0 0 124 0 0 4 0 43 80 4 0
Tanjung Raya 54 0 0 0 0 0 54 0 0 54 0 0 0 0 30 23 1 0
Tanjung Gading 105 0 0 0 0 32 73 0 0 101 0 0 4 0 20 53 32 0
Campang Raya 960 0 12 901 0 47 0 0 35 84 0 102 527 213 139 568 83 170
Telukbetung Utara Kupang Kota 44 0 0 0 0 44 0 0 0 37 0 0 7 0 1 43 0 0
Gunung Mas 104 0 0 0 0 104 0 0 0 86 0 18 0 0 27 77 0 0
Kupang Teba 66 0 0 0 0 66 0 0 0 66 0 0 0 0 0 66 0 0
Kupang Raya 17 0 0 0 0 17 0 0 0 16 0 1 0 0 4 13 0 0
Pahoman 76 0 0 0 0 68 8 0 0 76 0 0 0 0 30 46 0 0
Sumur Batu 78 0 0 0 0 78 0 0 0 78 0 0 0 0 0 78 0 0
Gulak Galik 72 0 0 0 0 72 0 0 0 72 0 0 0 0 0 72 0 0
Pengajaran 116 0 0 0 0 116 0 0 0 116 0 0 0 0 0 116 0 0
Sumur Putri 92 0 1 0 0 91 0 0 0 92 0 0 0 0 0 67 25 0
Batu Putu 93 0 54 0 0 39 0 0 0 93 0 0 0 0 2 72 19 0
Tanjung Karang Pusat Durian Payung 98 0 4 0 0 94 0 0 0 98 0 0 0 0 26 67 5 0
Gotong Royong 38 0 0 0 0 38 0 0 0 38 0 0 0 0 29 9 0 0
Enggal 64 0 0 0 0 64 0 0 0 64 0 0 0 0 61 3 0 0
Pelita 23 0 0 0 0 23 0 0 0 23 0 0 0 0 23 0 0 0
Tabel Lampiran 5 Lanjutan
KECAMATAN KELURAHAN Luas A B C D E F a b c d e f g 0-2 2-2O 20-40 >40
Palapa 30 0 0 0 0 30 0 0 0 30 0 0 0 0 29 1 0 0
Kaliawi 42 0 0 0 0 42 0 0 0 42 0 0 0 0 12 17 13 0
Kelapa Tiga 21 0 0 0 0 21 0 0 0 21 0 0 0 0 9 11 1 0
Tanjung Karang 28 0 0 0 0 28 0 0 0 28 0 0 0 0 28 0 0 0
Gunung Sari 21 0 0 0 0 12 9 0 0 21 0 0 0 0 21 0 0 0
Pasir Gintung 30 0 0 0 0 16 14 0 0 30 0 0 0 0 19 11 0 0
Penengahan 40 0 0 0 0 0 40 0 0 40 0 0 0 0 20 20 0 0
Tanjung Karang Barat Susunan Baru 338 0 0 0 0 338 0 0 0 338 0 0 0 0 0 338 0 0
Sukadana Ham 954 0 621 0 0 333 0 0 0 954 0 0 0 0 0 762 76 116
Suka Jawa 82 0 0 0 0 81 1 0 0 82 0 0 0 0 2 70 10 0
Gedung Air 131 0 0 0 0 87 44 0 0 131 0 0 0 0 0 124 7 0
Segala Mider 255 0 11 0 0 62 181 0 0 204 0 51 0 0 53 194 8 0
Gunung Terang 201 0 15 0 0 1 185 0 0 162 0 39 0 0 109 92 0 0
Kemiling Sumber Agung 498 0 453 0 0 45 0 0 0 498 0 0 0 0 0 343 142 13
Kedaung 577 0 573 0 0 4 0 0 0 577 0 0 0 0 0 383 84 111
Pinang Jaya 195 0 14 0 0 181 0 0 0 195 0 0 0 0 0 162 33 0
Beringin Raya 711 0 321 0 0 390 0 0 0 711 0 0 0 0 0 600 107 4
Sumber Rejo 703 0 0 0 0 703 0 0 0 703 0 0 0 0 0 703 0 0
Kemiling Permai 713 0 0 0 0 437 276 0 0 713 0 0 0 0 0 713 0 0
Langkapura 228 0 0 0 0 140 88 0 0 228 0 0 0 0 0 228 0 0
Kedaton Sukamenanti 38 0 1 0 0 0 37 0 0 22 0 16 0 0 0 38 0 0
Sidodadi 86 0 21 0 0 0 65 0 0 34 0 52 0 0 51 26 9 0
Surabaya 84 0 33 0 0 0 51 0 0 27 0 57 0 0 82 2 0 0
Perumnas Way Halim 92 0 92 0 0 0 0 0 0 0 0 92 0 0 92 0 0 0
Kedaton 497 0 497 0 0 0 0 0 0 0 0 497 0 0 296 201 0 0
Labuan Ratu 312 0 312 0 0 0 0 0 0 0 0 312 0 0 191 121 0 0
Kampung Baru 155 0 155 0 0 0 0 0 0 0 0 155 0 0 11 144 0 0
Sepang Jaya 138 0 138 0 0 0 0 0 0 0 0 138 0 0 82 56 0 0
Rajabasa Rajabasa Raya 227 0 212 0 0 0 15 0 0 34 0 193 0 0 0 227 0 0
Gedung Meneng 328 0 260 0 0 0 68 0 0 27 0 301 0 0 76 252 0 0
Rajabasa 319 0 0 0 0 0 319 0 0 316 0 3 0 0 0 319 0 0
Rajabasa Jaya 319 0 319 0 0 0 0 0 0 0 0 319 0 0 84 235 0 0
Tanjung Seneng Labuhan Dalam 227 0 227 0 0 0 0 0 0 0 0 227 0 0 165 62 0 0
Tanjung Seneng 312 0 312 0 0 0 0 0 0 0 0 312 0 0 312 0 0 0
Way Kandis 307 0 307 0 0 0 0 0 0 0 0 307 0 0 307 0 0 0
Perumnas Way Kandis319 0 319 0 0 0 0 0 0 0 0 319 0 0 319 0 0 0
Sukarame Sukarame 403 0 337 66 0 0 0 0 0 0 0 403 0 0 383 20 0 0
Way Halim Permai 120 0 120 0 0 0 0 0 0 0 0 120 0 0 120 0 0 0
Gunung Sulah 97 0 51 0 0 1 45 0 0 5 0 92 0 0 93 0 4 0
Way Dadi 348 0 348 0 0 0 0 0 0 0 0 348 0 0 348 0 0 0
Harapan Jaya 376 0 376 0 0 0 0 0 0 0 0 376 0 0 376 0 0 0
Sukabumi Jagabaya II 104 0 0 0 0 0 104 0 0 104 0 0 0 0 104 0 0 0
Jagabaya III 103 0 20 0 0 15 68 0 0 45 0 58 0 0 87 16 0 0
Tanjung Baru 140 0 0 0 0 60 80 0 0 138 0 2 0 0 140 0 0 0
Kalibalok Kencana 125 0 50 0 0 75 0 0 0 42 0 83 0 0 73 52 0 0
Sukabumi Indah 221 0 205 16 0 0 0 0 0 9 0 212 0 0 87 134 0 0
Sukabumi 271 0 18 253 0 0 0 0 0 0 0 194 0 77 54 208 9 0
Sumber : PODES 2005
Tabel Lampiran 6 Keterangan geologi bagian wilayah Kota Bandar Lampung
Satuan Umur Litologi Tebal Keterangan
Aluvium Holosen Bongkah, Kerikil, Pasir, Lanau, Lumpur dan Lempung - Batuan Granit Tak Terpisahkan
Endapan Gunung Api Muda
Plistosen & Holosen
Lava andesit-basal, breksi dan tuf. Lava, kelabu kehitaman, afanitik dan porfiritik dgn fenokris plagioklas & augit dalam massadasar (komponen penyusun yang dominan) kaca gunung api &/felspar mikrolit. Terdapat sedikit olivine didalam basal. Breksi, kelabu kehitaman, terpilah buruk, kepingan menyudut batuan gunung api berukuran kerakal sampai bongkahan. Tuf, tuf batuan & tuf kacuk. Tuf batuan: kelabu kekuningan, kecoklatan, terutama terdiri dari lava, kaca gunung api dan bahan karbonan dalam massadasar tufan. Tuf kacuk: putih kusam sampai kelabu, terpilah buruk, kepingan lava menyudut membundar tanggung, oksida besi dan bahan karbonan dalam massadasar tuf pasiran.
Mencapai beberapa ratus
meter
Busur Gunung Api benua menghasilkan kerucut-kerucut yang mencolok dan kegiatan solfatara.
Formasi Campang
Paleosen-Oligosen Awal
Perselingan batu lempung, serpih, kalkarenit, tuf dan breksi. Batu lempung, kelabu kehitaman, padat dan berlapis baik ebal 5-10 cm, perlapisan sejajar dan menggelombang. Serpih, hitam-kelabu kecoklatan, padat dan berlapis baik 5-10 cm, perlapisan internal. Kalkarenit, kelabu kecoklatan, berlapis baik dan terkekarkan, memperlihatkan struktur perlapisan menggelombang internal dan bersusun. Kalsilutit, kelabu kehitaman, berlapis baik tabal 2-15 cm, perlapisan sejajar. Tuf, kehijauan-putih kemerahan, berbutir halus, padat dan setempat terkersikan (terkelupas/tersilikonkan, banyak kuarsa/masam).
1000-1500 m Diendapkan dilingkungan turbidit (kekeruhan) di laut, ditepi pantai sampai daerah keg iatan gunung api. Terlipat kuat dengan sumbu barat laut-tenggara, kemiringan berkisar 250-700. Ditafsirkan diendapkan bersamaan waktu dengan formasi tarahan dan termasuk satuan gunung api efusiva. Nama ini diusulkan oleh Andi Mangga drr (1988).
Tabel Lampiran 6 Lanjutan
Satuan Umur Litologi Tebal Keterangan
Breksi, kelabu kehitaman, polimik, terpilah buruk, berbutir kasar -ukuran bongkah terdiri dari batu gamping, sekis (batuan metamorfik) & van silika, menyudut-menyudut tanggung, karbonat mengisi kekar-kekar. Breksi, hitam kehijauan, polimik kepingan-kepingan sekis menyudut-menyudut tanggung, rijang merah & hijau & batu camping di dalam massadasar pasiran, setempat terkersikan. Kepingan berukuran kerakal sampai bongkahan. Satuan ini berubah menjadi: Konglomerat, kelabu kehitaman, polimik, terpilah buruk, kepingan rijang merah dan hijau dengan basal berukuran kerakal-bongkah, membundar-membundar tanggung. Batu pasir, kelabu kehijauan, padat, terpilah buruk, batir-butir rijang merah, basal dan lain-lain, memperlihatkan struktur perlapisan bersusun. Batu lanau, kelabu kehijauan, padat.
Formasi Lampung
Plio-Plistosen
Tuf riolit-dasit & vulkanoklastika tufan. Tuf berbatu apung, kelabu kekuningan sampai putih kelabu, berbutir sedang-kasar, terpilah buruk, terutama terdiri dari batuapung & keratan batuan. Tuf, putih sampai putih kecoklatan, riolitan, setempat gunung api, nisbi keras terkekarkan. Batupasir tufan; putih kusam kekuningan, berbutir halus-sedang, terpilah buruk, membundar tanggung, sebagian berbatu apung, agak lunak. Sering memperlihatkan struktur silang-siur, umumnya bersusunan dasit
200 m Diendapkan dilingkungan terestrial-fluviar, air payau. Nama lama tuf Lampung (Bemmelen, 1949). Menindih tak selaras satuan-satuan yang lebih tuan dan ditindih tak selaras oleh endapan kuarter, menjemari dengan formasi kasal, dari lajur busur-belakang dan setempat dengan formasi terbanggi.
Formasi Tarahan Paleosen-Oligosen Awal
Tuf dan breksi dikuasai oleh sisipan tufit. Tuf, ungu dan hijau muda, nisbi pejal tetapi terkekarkan & khas tarabak (bekas gesekan) mengandung struktur ”mata ikan”.
- Diendapkan dilingkungan benua (?), mungkin busur gunung api, magmatisma ada kaitannya dengan penunjaman, secara regional dapat dikorelasikan dengan formasi kikim.
Tabel Lampiran 6 Lanjutan
Satuan Umur Litologi Tebal Keterangan
Breksi, kelabu kekuningan kecoklatan, keras terpilah buruk, terdidi dari kepingan lava andesit menyudut, batu lempung dan batu lanau.Setempat terkersikan. Tufit, putih, berbutir sangat halus, padat dan berlapis baik tebal 5-20 cm.
Ditafsirkan sebagai sisa busur gunungapi paleogen yang tersingkap. Keberadannya seringkalis disebutkan sebagai bukti penunjaman di sepanjang Parit Sunda yang terus berlangsung. Nama formasi ini diusulkan oleh Andi Mangga drr (1988).
Sekis Way Galih (Kompleks Gunung Kasih)
Paleozoikum Runtuhan sedimen-malihan & batuan beku-malih. Sekis terdiri dari dua jenis: sekis kuarsa-mika grafit & sekis amfibol. Semua ditafsirkan sebagai sedimen malih & kemudian sebagai batuan gunung api malih. Warna tergantung pada minerologinya, sekis mika dikuasai oleh biotit serisit dengan pengubah grafit. Sekis basa, hijau sampai hijau kehitaman, dikuasai oleh amfibol & klorit. Kesekisan pemalihan, menembus kuat, tanpa sejarah pencenanggaan sekunder yang jelas. Kesekisan berarah 1300 tetapi setempat berubah menjadi 700-800, miring curam kearah timurlaut-barat daya atau utara.
Tidak diketahui (>100 m)
Satuan yang termalihkan secara regional. Dianggap sebagai bagian dari inti batuan malih sumatera. Metarmorfisma berkadar rendah sampai menengah fasies sekis hijau, mungkin meningkat ke fasies epidot-amfibolit. Runtuhan ini ditemukan disentuhan tektonik, sungkup (?) dengan formasi menanga yang berumur kapur & jelas sekali diterobos oleh pluton sulan. Pluton berkaitan dengan penunjaman, berupa granitoid busur gunung api atau tepi benua. Hasil penyelidikan geokimia batuan pluton memastikan adanya penempatan busur gunung api. Hasil penyelidikan geokimia & geokronologi menunjukkan adanya tepi benua yang ada hubungannya dengan penunjaman lajur granitoid berumur kapur akhir diseluruh Sumatera bagian selatan. Busur plutonik ini terpusat disepanjang zona sistem sesar Sumatera.
Catatan : Lembar Tanjung karang hampir seluruhnya (80%) terletak didalam lajur busur magma, disudut timur laut meluas ke lajur busur-belakang.
Sumber : Pusat Penelitian dan Pemetaan Geologi (P3G) Bandung
Tabel Lampiran 7 Regresi perkembangan wilayah
Perkembangan aktivitas ekonomi
Regression Summary for Dependent Variable: Ln-F1PW (Olahan.sta)
R= .73169120 R²= .53537202 Adjusted R²= .46977748
F(12,85)=8.1618 p<.00000 Std.Error of estimate: .27438
Koefisien Std.Err. t(85) Tingkat of B Kesalahan
Intercept -3.877 2.369 -1.637 0.105W1-F1PW 1.678 0.277 6.068 0.000W1-F1PD -0.111 0.391 -0.284 0.777Ln-F2PW -0.113 0.095 -1.192 0.237W2-F1PW -10.399 1.948 -5.337 0.000W2-F1PD 5.526 1.967 2.809 0.006W2-F3FW -3.259 0.869 -3.751 0.000W2-F2FW 1.312 0.569 2.307 0.023W1-F3FW 0.536 0.213 2.518 0.014Ln-F1FW 0.449 0.194 2.314 0.023Ln-F1PD 0.15 0.12 1.27 0.21Ln-F2FW -0.11 0.08 -1.28 0.21W1-F1FW -0.27 0.22 -1.22 0.23
Regression Summary for Dependent Variable: Ln-F2PW (Olahan.sta)
R= .73223547 R²= .53616878 Adjusted R²= .46438538
F(13,84)=7.4693 p<.00000 Std.Error of estimate: .27539
Koefisien Std.Err. t(85) Tingkat
of B Kesalahan
Intercept 8.915 3.795 2.349 0.021
W1-F2PW 1.530 0.340 4.497 0.000
Ln-F1PD 0.365 0.114 3.196 0.002
Ln-F1PW -0.137 0.092 -1.495 0.139
Ln-F2PD 0.124 0.081 1.528 0.130
W1-F1PW 0.457 0.203 2.247 0.027
W2-F2PW -7.012 2.248 -3.119 0.002
W1-F1PD -0.858 0.447 -1.919 0.058
Ln-F1FW -0.253 0.098 -2.589 0.011
Ln-F3FW -0.264 0.122 -2.165 0.033
W2-F2FW -1.671 0.620 -2.693 0.009
Ln-F2FW 0.175 0.088 1.995 0.049
W2-F1PD 3.449 1.837 1.878 0.064
W2-F3FW 0.702 0.585 1.199 0.234
Yi = -3,877 + 1,678 W1F1PW -10,399 W2F1PW + 5,526 W2F1PD + 0,449 LnF1FW + 1,312 W2F2FW + 0,536 W1F3FW - 3,259 W2F3FW
Yi = 8,915 + 0,457 W1F1PW + 1,530 W1F2PW - 7,012 W2F2PW + 0,365 LnF1PD - 0,858 W1F1PD + 3,449 W2F1PD - 0,253 LnF1FW + 0,175 LnF2FW - 1,671 W2F2FW - 0,264 LnF3FW
Perkembangan fisik ruang
Tabel Lampiran 7 Lanjutan
Perkembangan aktivitas pendidikan
Regression Summary for Dependent Variable: Ln-F3PW (Olahan.sta)
R= .61011786 R²= .37224380 Adjusted R²= .28361939
F(12,85)=4.2002 p<.00004 Std.Error of estimate: .29524
Koefisien Std.Err. t(85) Tingkat
of B Kesalahan
Intercept 22.291 5.353 4.164 0.000
W1-F3PW 1.343 0.302 4.447 0.000
Ln-F2PD -0.208 0.097 -2.144 0.035
W2-F3PW -8.340 1.923 -4.338 0.000
W2-F3FW -2.802 0.622 -4.508 0.000
W2-F2PW -0.972 1.392 -0.698 0.487
W2-F1PD -4.884 1.659 -2.944 0.004
Ln-F2FW 0.142 0.059 2.405 0.018
W1-F1PD 0.555 0.403 1.379 0.172
W2-F2PD -1.809 1.145 -1.581 0.118
W2-F1FW 2.801 1.280 2.188 0.031
Ln-F1FW -0.272 0.176 -1.549 0.125
Ln-F1PD -0.141 0.121 -1.160 0.249
Yi = 22,291 + 1,343 W1F3PW - 8,34 W2F3PW - 4,884 W2F1PD - 0,208 LnF2PD + 2,801 W2F1FW + 0,142 LnF2FW - 2,802 W2F3FW
Tabel Lampiran 8 Matriks analisis proses pe nyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) Kota Bandar Lampung Dasar Pedoman : Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor 327/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan NO ASPEK/KOMPONEN PENJEL ASAN KOMPONEN EKSISTING
RENCANA KETERANGAN PENILAIAN
(%) SUBSTANSI
PERDA
1 Penentuan arah pengembangan 78
Tinjauan terhadap batas wilayah perencanaan
Wilayah perencanaan adalah batas administrative daerah kota.
Sesuai Batas administrative Kota Bandar Lampung 100 Diatur dlm Pasal 1
Tinjauan terhadap aspek: a. Ekonomi b. Sosial c. Budaya d. Daya dukung dan daya
tampung lingkungan e. Fungsi pertahanan keamanan
Kurang sesuai Syarat paripurna sebuah kajian hanya didasarkan pada 3 item (ekonomi, sosial, daya dukung & daya tampung lingkungan) dari syarat 5 item dalam pedoman.
60
Tinjauan terhadap faktor-faktor determinan: a. UU 24/92 b. RTRWN c. RTRWP d. Propeda Provinsi e. Propeda Kota f. Rencana Sektoral
UU 24/92 Ø Penataan ruang berdasarkan aspek
administrative dan kawasan fungsional (inter regional context)
RTRWN (PP47/97): Ø Peran PKN Ø Kawasan andalan nasional. RTRWP (Perda 5/01): Ø Kawasan Perkotaan Ø Pusat Pelayanan Primer bagi
wilayah sekitarnya Berdasarkan Renstra Prov Lampung Berdasarkan Renstra Kota Bandar Lampung Berdasarkan Rencana Sektoral
Kurang sesuai
Kurang sesuai
Kurang sesuai
Sesuai Sesuai
Sesuai
Penyusunan rencana tidak memperhatikan keserasian dengan wilayah sekitarnya (RTRW Lampung Selatan) (hanya 1 dari 2 syarat pedoman) Rencana berdasarkan PKN dan tidak kawasan andalan (1 dari 2 syarat pedoman). Kebijakan keruangan RTRWP diadop dalam RTRWK, tetapi rencana RTRWK tidak mengacu pada RTRWP dalam alokasi penggunaan ruang Renstra Provinsi & kota, rencana sektoral menjadi aspek tinjauan dalam penyusuna n RTRW Kota Bandar Lampung.
75 50 50 50 100 100 100
Hanya ttg PKN
Tidak mjd dasar Perda
2 Identifikasi potensi dan masalah pembangunan
53
Perkembangan sosial kependudukan
• Σ & Tingkat pertumbuhan pddk • Ukuran keluarga • Budaya/aktivitas sosial penduduk
Tidak sesuai Memenuhi 1 item (tingkat pertumbuhan penduduk) dari 4 syarat item yang ditetapkan.
25
Tabel Lampiran 8 Lanjutan
NO ASPEK/KOMPONEN PENJELASAN KOMPONEN EKSISTING RENCANA
KETERANGAN PENILAIAN (%)
SUBSTANSI PERDA
(tradisi)
• Pola pergerakan penduduk
Prospek pertumbuhan ekonomi • Ketenagakerjaan • PDRB • Kegiatan usaha • Perkembangan penggunaan tanah
dan produktivitasnya
Sesuai Memenuhi 3 item (ketenagakerjaan, PDRB, kegiatan usaha) dari 4 syarat item yang ditetapkan.
75
Daya dukung fisik & lingkungan • Kondisi tata guna tanah • Kondisi bentang alam kawasan • Letak geografis • Sumberdaya air • Kondisi lingkungan yang
tergambarkan dari kondisi topografi dan pola drainase
• Sensitivitas kawasan terhadap lingkungan, bencana alam dan kegempaan.
• Status dan nilai tanah • Ijin lokasi.
Sesuai Memenuhi 7 item dari 8 syarat item yang ditetapkan (kealfaan pada status dan nilai tanah).
85
Daya dukung prasarana dan fasilitas perkotaan
• Jenis infrastruktur perkotaan • Jangkauan pelayanan. • Jumlah penduduk yang terlayani • Kapasitas pelayanan
Tidak sesuai
Syarat paripurna sebuah kajian hanya didasarkan pada 1 item (jenis infrastruktur) dari 4 syarat item yang ditetapkan.
25 Diatur
3 Perumusan RTRW Kota Bandar Lampung
84
Perumusan visi, misi dan tujuan pembangunan kota
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan
Sesuai ‘Kota Berbudaya, Nyaman dan Berkelanjutan (BERNYALA)’
100
Perkiraan kebutuhan pengembangan (dirinci sampai unit pelayanan/ tingkat kel urahan).
• Perkiraan kebutuhan pengembangan kependudukan (jumlah, distribusi & kepadatan).
• Perkiraan kebutuhan pengembangan ekonomi perkotaan (regional, kota & lokal).
• Perkiraan kebutuhan fasilitas sosial dan ekonomi perkotaan
Sesuai
Kurang sesuai
Sesuai
- Klasifikasi proyeksi tidak dirinci sampai unit pelayanan.
90 100 50 100
Diatur
Diatur
Diatur
Tabel Lampiran 8 Lanjutan
NO ASPEK/KOMPONEN PENJELASAN KOMPONEN EKSISTING RENCANA
KETERANGAN PENILAIAN (%)
SUBSTANSI PERDA
(pendidikan (SD s/d PT),
kesehatan (RSU kelas A-D, puskesmas pembantu), rekreasi/olahraga (kota-lokal).
• Perkiraan kebutuhan pengembangan lahan perkotaan (kebutuhan ekstensifikasi, intensifikasi & perkiraan ketersediaan lahan untuk pengembangan).
• Perkiraan kebutuhan prasarana dan sarana perkotaan (transportasi, telepon, listrik, gas, air bersih, drainase, limbah & sampah).
Sesuai
Sesuai
100
100
Diatur
Perumusan RTRW 63 Pengelolaan kawasan lindung Kawasan lindung
• Kawasan res apan air & kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan dibawahnya.
• Sempadan pantai, sungai, sekitar danau & waduk, sekitar mata air, & kawasan terbuka hijau kota termasuk jalur hijau.
• Cagar alam/pelestarian alam & suaka margasatwa.
• Taman hutan raya & taman wisata alam lainnya.
• Kawasan cagar budaya. • Kawasan rawan letusan gunung
berapi, rawan gempa, rawan tanah longsor, rawan gelombang pasang & rawan banjir.
Memenuhi semua syarat pedoman 100 Diatur dalam pasal 27 & Lampiran II
Perumahan & Permukiman (kepadatan & ketinggian bangunan).
Sesuai
Memenuhi syarat pedoman.
78 100
Diatur (Lampiran I & III)
Pengelolaan kawasan budidaya (ukuran, fungsi serta karakter suatu kegiatan dalam wujud kepadatan dan ketinggian bangunan dan Perdagangan, jasa penginapan atau
perhotelan Tidak sesuai Pengelolaan kawasan perdagangan berdasarkan ukuran
& karakter kegiatan 33
Tabel Lampiran 8 Lanjutan
NO ASPEK/KOMPONEN PENJELASAN KOMPONEN EKSISTING RENCANA
KETERANGAN PENILAIAN (%)
SUBSTANSI PERDA
Industri tanpa pencemaran Sesuai Digambarkan secara spasial dalam peta pemanfaatan
ruang 100
Pendidikan, kesehatan, peribadatan, rekreasi dan atau olahraga serta fasilitas sosial lainnya
Sesuai Digambarkan secara spasial dalam peta pemanfaatan ruang
100
Perkantoran pemerintahan & niaga Sesuai 100 Terminal angkutan jalan raya, stasiun,
pelabuhan & bandara Kurang sesuai Dari 3 sistem perangkutan di Bandar Lampung (jalan,
KA & laut), hanya digambarkan terminal & stasiun. 66
Pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan
Sesuai Dalam peta pemanfaatan ruang diklasifikasikan sebagai lahan campuran.
100
Taman pemakaman umum dan taman makam pahlawan.
Sesuai TPU sudah ditentukan lokasi dan ukurannya dan terpetakan secara spasial
100
distribusi pusat-pusat pelayanan perkotaan skala regional sampai lokal sampai akhir tahun rencana)
Tempat pembuangan sampah akhir. Tidak sesuai Lokasi TPA dan luasan belum ditentukan. 0 Pengelolaan kawasan perkotaan &
kawasan tertentu 50
Pengelolaan kawasan perkotaan (intensitas penanganan)
Rencana penanganan lingkungan Kota
0
Rencana pengembangan lingkungan/kawasan baru, yang dikonversi,diremajakan & resettlement.
Tidak sesuai Tidak diatur dalam RTRW 0
Kawasan yang dikembangkan dengan metode konsolidasi tanah perkotaan, guided land development, dll.
Tidak sesuai Tidak diatur dalam RTRW 0
Rencana jaringan pergerakan & atau utilitas kawasan yang akan diperbaiki.
Tidak sesuai Tidak diatur dalam RTRW 0
Rencana jaringan pergerakan & atau utilitas kawasan yang akan diperbaharui.
Tidak sesuai Tidak diatur dalam RTRW 0
Arahan kepdatan bangunan Dirinci untuk setiap kawasan peruntukan
Sesuai 100
Arahan ketinggian bangunan Dirinci sampai unit lingkungan/kawasan
Kurang sesuai Diatur dalam RTRW, tetapi tidak dirinci sampai unit lingkungan
50
Pengelolaan kawasan tertentu Disesuaikan dengan kebutuhan pengelolaan kawasan tertentu dengan
- Tidak ada kawasan tertentu di Kota Bandar Lampung -
Tabel Lampiran 8 Lanjutan
NO ASPEK/KOMPONEN PENJELASAN KOMPONEN EKSISTING RENCANA
KETERANGAN PENILAIAN (%)
SUBSTANSI PERDA
tetap menjamin keserasiannya dengan
pengelolaan kawasan perkotaan lainnya.
Rencana Pengelolaan TGT, TGA, TGU dan SDA lainnya
Pengaturan penguasaan, penggunaan & pemanfaatan TGT perkotaan serta bentuk penanganannya (kawasan yang dipercepat atau dibatasi perkembangannya)
Tidak sesuai Pengaturan penguasaan, penggunaan & pemanfaatan tanah perkotaan tidak secara tegas diatur dalam RTRW.
0 0
Pengaturan penguasaan, penggunaan & pemanfaatan TGA bagi pemenuhan kebutuhan kegiatan kawasan-kawasan fungsional di wilayah kota sampai dengan zonasi pengelolaan & pemanfaatan sumberdaya air perkotaan.
Tidak sesuai Pengaturan penguasaan, penggunaan & pemanfaatan tata guna air perkotaan tidak secara tegas diatur dalam RTRW.
0
Pengaturan penguasaan, penggunaan & pemanfaatan TGU sampai dengan penetapan zonasi pengelolaan & pemanfaatan ruang udara.
Tidak sesuai Pengaturan penguasaan, penggunaan & pemanfaatan tata guna udara tidak secara tegas diatur dalam RTRW.
0
Pengelolaan tata guna sumber daya alam lainnya (hayati & non hayati)
Tidak sesuai Mekanisme pengelolaan sumberdaya hayati & non hayati tidak diatur dalam RTRW.
0
Pengembangan sistem kegiatan pemba ngunan & sistem pusat -pusat pelayanan permukiman perkotaan
Pengembangan & distribusi penduduk (jumlah, kepadatan dan distribusi penduduk).
Sesuai
68 100
Rencana sistem pusat pelayanan perkotaan (sebaran pusat -pusat pelayanan perkotaan (fungsi primer dan skunder)(perdagangan, pendidikan, pelayanan kesehatan, rekreasi dan olahraga)
Sesuai 100
Rencana sistem jaringan transportasi, meliputi: • Jalan raya (arteri primer, arteri
skunder, kolektor skunder, terminal & trayek angkutan)
Kurang sesuai
1 syarat (trayek angkutan) dari 5 syarat tidak dipenuhi.
43 80
Tabel Lampiran 8 Lanjutan
NO ASPEK/KOMPONEN PENJELASAN KOMPONEN EKSISTING RENCANA
KETERANGAN PENILAIAN (%)
SUBSTANSI PERDA
Rencana sistem jaringan transportasi,
meliputi: • Jalan raya (arteri primer, arteri
skunder, kolektor skunder, terminal & trayek angkutan)
• Angkutan kereta api (jaringan jalan & stasiun)
• Angkutan laut (pelabuhan laut, jalur pelayaran)
• Angkutan sungai, danau dan penyeberangan (pelabuhan sungai, danau & penyeberangan serta jalur pelayaran sungai)
• Angkutan udara (bandara dan jalur aman terbang).
Kurang sesuai
Kurang sesuai
Tidak sesuai - -
1 syarat (trayek angkutan) dari 5 syarat tidak dipenuhi. Hanya tergambar dalam peta & tidak ada penjelasan/kajian ilmiah. Tidak ada penjelasan dalam RTRW. Tidak terdapat angkutan sungai dan bandara di Kota Bandar Lampung.
43 80 50 0
Rencana sistem jaringan utilitas, meliputi:
Jaringan telepon (stasiun telepon otomat, saluran primer, rumah kabel sampai saluran skunder).
Tidak sesuai
Memenuhi 1 (stasiun telepon) dari 4 syarat dalam pedoman.
28 25
Tidak diatur secara jelas
Jaringan listrik (bangunan pembangkit, gardu induk ekstra tinggi, gardu induk, saluran udara tegangan ekstra tinggi, saluran udara tegangan tinggi & jaringan transmisi menengah)
Tidak sesuai Tidak dibahas dalam RTRW
0 Tidak diatur secara jelas
Sistem jaringan gas (pabrik gas dan saluran jaringan gas)
Tidak sesuai Tidak dibahas dalam RTRW
0 Tidak diatur secara jelas
Sistem penyediaan air bersih (bangunan pengambil air baku, saluran/pipa transmisi air baku, instalasi produksi, pipa transmisi air bersih utama, pipa transmisi air bersih skunder, bak penampung, pipa distribusi utama & pipa distribusi skunder).
Tidak sesuai Tidak ada pembahasan (diskriptif/spasial) tentang air bersih, kecuali tempat pengambilan air baku (1 dari 8 syarat pedoman)
12 Tidak diatur secara jelas
Tabel Lampiran 8 Lanjutan
NO ASPEK/KOMPONEN PENJELASAN KOMPONEN EKSISTING RENCANA
KETERANGAN PENILAIAN (%)
SUBSTANSI PERDA
Sistem pembuangan air hujan (saluran
primer, skunder & waduk penampungan)
Sesuai Rencana sistem drainase sudah tergambar dalam peta RTRW.
100 Tidak diatur secara jelas
Saluran pembuangan air limbah (saluran primer, skunder, bangunan pengolah & waduk penampung)
Tidak sesuai Memenuhi 1 (bangunan pengolah) dari 4 syarat pedoman.
25 Tidak diatur secara jelas
Sistem persampahan (tempat pembuangan akhir, bangunan pengolahansampah & penampungan sementara).
Tidak sesuai Memenuhi 1 (penampungan sementara) dari 3 syarat pedoman.
33 Tidak diatur secara jelas
Pentahapan & prioritas pengembangan untuk perwujudan struktur pemanfaatan ruang kota
Kawasan prioritas pengembangan (contoh: kawasan yang memiliki nilai strategis terhadap perkembangan wilayah, kawasan terbelakang, kawasan kritis/rawan bencana, kawasan perbatasan antar negara ataupun kawasan lindung)
Sesuai
Dibahas dalam RTRW
83 100
Diatur dalam pasal
12
Pentahapan terkait dengan siapa, melakukan apa, dimana, mengapa, kapan dan bagaimana melaksanakannya, yang tertuang dalam matriks indikasi program.
Kurang sesuai Terdapat 2 ( pelaksana & mengapa dilaksanakan) dari 6 syarat tidak terpenuhi.
65
4 Penetapan RTRW Kota Bandar Lampung
Untuk mengoperasionalkan RTRW, dokumen RTRW ditetapkan dalam bentuk Perda.
Sesuai
RTRW Kota Bandar Lampung mendapat legalitas hukum melalui Perda 4/2004 tentang RTRW Kota Bandar Lampung 2005-2015.
100 100
Penambahan sustansi dalam Perda Pedoman perijinan pemanfaatan ruang (pedoman pemberian ijin lokasi).
Sesuai 100
Pedoman pemberian kompensasi, serta pemberian insentive dan pengenaan disinsentive.
Sesuai 100
Pedoman pengawasan (pelaporan, pemantauan & evaluasi) & penertiban (termasuk pengenaan sanksi) pemanfaatan ruang.
Sesuai 100
Keterangan Tabel Lampiran 8 RTRW Kota Bandar Lampung hanya mengacu 79% dari substansi Pedoman Penyusunan RTRW.
• Penentuan arah pengembangan hanya mengacu 78% dari substansi pedoman. • Identifikasi potensi dan masalah pembangunan mengacu 53% dari substansi pedoman. • Perumusan RTRW Kota Bandar Lampung mengacu 84% dari substansi pedoman. • Penetapan RTRW mengacu 100% dari substansi pedoman.
Tabel Lampiran 9 Model-model perkembangan wilayah
NO JENIS MODEL FAKTOR BERPENGARUH SIFAT W2Ln[F1PW] Perkembangan aktifitas ekonomi dalam radius tertentu Nyata, elastis & negatif W2Ln[F1PD] ketersediaan pra sarana dasar jalan, air bersih dan telepon dalam radius
tertentu Nyata, elastis & positif
W2Ln[F3FW] Ketersediaan air tanah produktifitas rendah dalam radius tertentu Nyata, elastis & negatif W1Ln[F1PW] Perkembangan aktifitas ekonomi di wilayah tetan gga Nyata, elastis & positif W2Ln[F2FW] Kelandaian dan ketersediaan air tanah produktifitas sedang di wilayah
dalam radius tertentu Nyata, elastis & positif
W1Ln[F3FW] Karakteristik kondisi air tanah produktifitas rendah pada wilayah tetangga
Nyata & positif
1 Perkembangan Aktivitas Ekonomi (Ln[F1PW])
Ln[F1FW]
Kondisi fisik wilayah dengan karakteristik terjal dan kelangkaan air tanah Nyata & positif
W2Ln[F2PW] Perkembangan fisik ruang terbangun dalam radius tertentu Nyata, elastis & negatif W2Ln[F1PD] Perkembangan prasarana dasar (jalan, air bersih dan telepon) dalam
radius tertentu Nyata, elastis & positif
W2Ln[F2FW] Kelandaian dan ketersediaan air tanah produktifitas sedang dan menyebar luas dalam radius tertentu
Nyata, elastis & negatif
W1Ln[F2PW] Perkembangan fisik ruang terbangun di wilayah tetangga Nyata, elastis & positif W1Ln[F1PD] Perkembangan prasarana dasar (jalan, telepon dan air bersih) wilayah
tetangga Nyata & negatif
W1Ln[F1PW] Perkembangan aktifitas ekonomi wilayah tetangga Nyata & positif Ln[F1PD] Prasarana dasar wilayah (jalan, air bersih dan telepon) Nyata & positif Ln[F3FW] Kondisi air tanah produktifitas rendah Nyata & negatif Ln[F1FW] Kondisi fisik terjal dan kelangkaan air tanah Nyata & negatif
2 Perkembangan Fisik Ruang Wilayah (Ln[F2PW])
Ln[F2FW] Kondisi fisik landai dan air tanah produktifitas sedang
Nyata & positif
W2Ln[F3PW] Perkembangan aktifitas pendidikan dalam radius tertentu Nyata, elastis & negatif W2Ln[F1PD] Ketersediaan prasarana jalan, air bersih dan telepon dalam radius tertentu Nyata, elastis & negatif W2Ln[F3FW] Kondisi wilayah dengan karakteristik air tanah produktifitas rendah di
wilayah dalam radius tertentu Nyata, elastis & negatif
W2Ln[F1FW] Kondisi wilayah dengan karakteristik terjal dan kelangkaan air tanah di wilayah dalam radius tertentu
Nyata, elastis & positif
W1Ln[F3PW] Perkembangan aktifitas pendidikan wilayah tetangga Nyata, elastis & positif Ln[F2PD] Keberadaan jalan nasional Nyata & negatif
3 Perkembangan Aktivitas Pendidikan (Ln[F3PW])
Ln[F2FW] Kondisi wilayah dengan karakteristik landai dan persebaran air tanah produktifitas sedang
Nyata & positif
Tabel Lampiran 10 Matriks hubungan konsistensi penataan ruang dengan kinerja perkembangan wilayah
NO KATEGORI PERKEMBANGAN
WILAYAH
KELURAHAN PERMASALAHAN TATA RUANG
1
BAIK
Pesawahan; Gedung Meneng; Rawa Laut; Palapa; Tanjung Karang
-
2 SEDANG Kota Karang; Perwata; Kuripan; Gedung Pakuon; Talang; Telukbetung; Kangkung; Bumi Waras; Pecohraya; Sukaraja; Geruntang; Ketapang; Way Lunik; Panjang Selatan; Panjang Utara; Pidada; Karang Maritim; Kota Baru; Tanjung Agung; Kebon Jeruk; Sawah Lama; Sawah Brebes; Jaga Baya I; Kedamaian; Tanjung Raya; Tanjung Gading; Campang Raya; Kupang Kota; Gunung Mas; Kupang Teba; Kupang Raya; Pahoman; Sumur Batu; Gulak Galik; Pengajaran; Durian Payung; Gotong Royong; Enggal; Pelita; Kaliawi; Kelapa Tiga; Gunung Sari; Pasir Gintung; Penengahan; Susunan Baru; Suka Jawa; Gedung Air; Segala Mider; Gunung Terang; Sumber Agung; Beringin Raya; Sumber Rejo; Kemiling Permai; Langkapura; Sukamenanti; Sidodadi; Surabaya; Perumnas Way Halim; Kedaton; Labuan Ratu; Kampung Baru; Sepang Jaya; Rajabasa; Rajabasa Jaya; Labuhan Dalam; Tanjung Seneng; Way Kandis; Perumnas Way Kandis; Perumnas Way Kandis; Sukarame; Way Halim Permai; Gunung Sulah; Way Dadi; Harapan Jaya; Jagabaya II; Jagabaya III; Tanjung Baru; Kalibalok Kencana; Sukabumi Indah; Sukabumi.
1. Konversi penggunaan lahan dari peruntukan dalam RTRW (lemahnya aspek pengendalian) karena permasalahan dalam mekanisme perijinan,khususnya lemahnya sistem informasi spasial.
2. Dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang menyebabkan terjadinya ’penyimpangan legal’.
3. RTRW tidak mengatur pengelolaan kawasan, terutama yang mengalami degradasi.
4. Kawasan pusat kota (kumuh, macet & urban sprawl)
3 KURANG Sukamaju; Keteguhan; Pinang Jaya; Bakung; Negri Olok Gading; Sukajaya; Sumur Putri; Batu Putu; Batu Putu; Sukadana Ham; Kedaung; Rajabasa Raya; Way Laga; Way Gubak; Srengsem.
1. Inkonsistensi batas wilayah dengan Lampung Selatan 2. Penyusunan TR tidak melibatkan Lampung Selatan, sehingga
pembangunan ’daerah perbatasan’ tidak sinergis. 3. Ketersediaan fasilitas dan prasarana dasar dibawah standar
Kepmen PU 378/KPTS/1987. 4. RTRW tidak mengatur skenario pengembangan kawasan
tersebut. Sumber : Hasil analisis
Tabel Lampiran 11 Matriks pengendalian pemanfaatan ruang
NO KOMPONEN MEKANISME KETERANGAN PERMASALAHAN 1 Pengawasan Perijinan IMB, SITU, Ijin Prinsip, Ijin
Lokasi & IPB Ø Pemberian ijin tidak sesuai RTRW. Ø Mekanisme & instrumen perijinan tidak jelas. Ø Sistem informasi spasial belum memadai (tidak jelas batas -batas koordinat
setiap peruntukan lahan), didukung minimnya jumlah benchmark, sehingga sulit untuk mengetahui kesesuaian ketepatan lokasi di lapangan dengan peta.
Ø RTRW tidak dibreakdown dalam rencana yang lebih detail, sehingga semakin sulit melihat konsistensi RTRW (makro) dengan eksisting wilayah yang akan dikeluarkan ijinnya.
Ø Kurangnya sosialisasi RTRW, sehingga masyarakat sering tidak mengetahui jika ijin yang dimiliki tidak sesuai dengan peruntukannya.
Ø Kurangnya koordinasi antar instansi yang berwenang dalam penerbitan ijin (lemahnya kinerja kelembagaan BKPRD).
Ø Masyarakat cenderung ’malas’ mengurus perijinan karena birokrasi terlalu panjang dengan biaya tinggi dan mekanisme yang tidak pasti .
Mekanisme pemberian insentif dan disinsentif
Belum diatur dan belum berjalan
Mekanisme pemberian kompensasi
Belum diatur dan belum berjalan
Mekanisme pelaporan Tertulis atau lisan dari seluruh stakeholder
Ø Belum adanya mekanisme pelaporan yang kelas, khususnya oleh stakeholder Ø Kurangnya sosialisasi RTRW, sehingga masyarakat sering tidak mengetahui
telah terjadi inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang Ø Laporan dari masyarakat biasanya hanya ditampung & tidak ditindaklanjuti.
Pemantauan Konsistensi antara rencana dengan pemanfaatan
Ø Sistem informasi spasial belum memadai , sehingga pemantauan konsistensi penataan ruang menjadi sulit dilaksanakan.
Ø Setiap unit pemantau tidak menjalankan fungsi dan perannya dengan baik. Ø Kurangnya koordinasi dalam kelembagaan BKPRD.
Evaluasi Ø Kelemahan sistem informasi spasial didukung RTRW tidak di breakdown dalam rencana yang lebih detail meyebabkan semakin sulit melihat penyimpangan di lapangan.
Ø Kelembagaan BKPRD tidak berjalan optimal dan tidak melaksanakan amanat Kepmendagri No 147 Tahun 2004.
2 Penertiban Administratif Perdata Pidana
Ø Lemahnya kelembagaan penertiban Ø Lemahnya supremasi hukum, khususnya terhadap penyimpangan-
penyimpangan legal.