Analisis Kepastian Hukum Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara Masuk Bursa (Studi pada PT ABC (Persero) Tbk) Lisa Fransiska 1 dan Iman Santoso 2 1 Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2 Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia [email protected], [email protected]Abstrak Perlakuan yang berbeda dalam penggunaan dasar penghitungan angsuran antara WP BUMN dan WP masuk bursa serta ketidakjelasan penggunaan tarif angsuran berpotensi menimbulkan permasalahan kepastian hukum bagi PT ABC (Persero) Tbk sebagai WP BUMN masuk bursa. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menganalisis kepastian hukum perlakuan PPh Pasal 25 bagi PT ABC serta untuk menganalisis implikasi permasalahan kepastian hukum perlakuan PPh Pasal 25 bagi PT ABC. Pendekatan yang digunakan yakni kuantitatif-deskriptif dengan teknik analisis data melalui wawancara mendalam dan studi literatur. Mengacu pada konsep kepastian hukum, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan PPh Pasal 25 bagi PT ABC belum memenuhi kepastian hukum. Implikasi permasalahan tersebut bagi PT ABC, di antaranya terjadinya lebih bayar PPh Badan tahun pajak 2013; terganggunya cash flow perusahaan; sulitnya memprediksi cash flow perusahaan, serta ancaman sanksi Pasal 14 UU KUP. Analysis of the Legal Certainty of Article 25 Income Tax Treatment for the Go Public- State Owned Enterprises Taxpayer (Study to PT ABC (Persero) Tbk) Abstract Different treatment for installment tax base between SOE Taxpayers and Go Public Taxpayers also the uncertain treatment for installment tax rate potentially raise the legal certainty issue of Article 25 Income Tax treatment for PT ABC (Persero) Tbk as a Go Public-SOE Taxpayer. Therefore, the purposes of this research are to analyse the legal certainty aspect of Article 25 Income Tax treatment for PT ABC as well as to analyse the implications of legal certainty issue of Article 25 Income Tax treatment for PT ABC. This research is conducted by a quantitative approach with in-dept interview and literature study as data collection techniques. According to the legal certainty concept, the results of this research show that the Article 25 Income Tax treatment for PT ABC as a go public-SOE Taxpayer has not yet reflected the legal certainty aspect. This issue leads to several implications to PT ABC such as the over-payment of Corporate Income Tax in 2013 fiscal year; disruption to corporate’s cash flow; difficulty to predict corporate’s cash flow; and threat to administrative penalty. Keywords: Go Public-State Owned Enterprise; legal certainty; tax base; tax rate; taxpayer. Pendahuluan Kepastian hukum merupakan aspek yang harus tercakup dalam setiap kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan perpajakan. Hal ini ditujukan agar kebijakan perpajakan dapat turut mendukung jalannya kegiatan usaha setiap Wajib Pajak, terutama apabila Wajib Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
20
Embed
Analisis Kepastian Hukum Perlakuan Pajak Penghasilan …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Analisis Kepastian Hukum Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara Masuk Bursa
(Studi pada PT ABC (Persero) Tbk)
Lisa Fransiska1 dan Iman Santoso2
1 Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2 Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Perlakuan yang berbeda dalam penggunaan dasar penghitungan angsuran antara WP BUMN dan WP masuk bursa serta ketidakjelasan penggunaan tarif angsuran berpotensi menimbulkan permasalahan kepastian hukum bagi PT ABC (Persero) Tbk sebagai WP BUMN masuk bursa. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menganalisis kepastian hukum perlakuan PPh Pasal 25 bagi PT ABC serta untuk menganalisis implikasi permasalahan kepastian hukum perlakuan PPh Pasal 25 bagi PT ABC. Pendekatan yang digunakan yakni kuantitatif-deskriptif dengan teknik analisis data melalui wawancara mendalam dan studi literatur. Mengacu pada konsep kepastian hukum, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan PPh Pasal 25 bagi PT ABC belum memenuhi kepastian hukum. Implikasi permasalahan tersebut bagi PT ABC, di antaranya terjadinya lebih bayar PPh Badan tahun pajak 2013; terganggunya cash flow perusahaan; sulitnya memprediksi cash flow perusahaan, serta ancaman sanksi Pasal 14 UU KUP. Analysis of the Legal Certainty of Article 25 Income Tax Treatment for the Go Public-
State Owned Enterprises Taxpayer (Study to PT ABC (Persero) Tbk)
Abstract
Different treatment for installment tax base between SOE Taxpayers and Go Public Taxpayers also the uncertain treatment for installment tax rate potentially raise the legal certainty issue of Article 25 Income Tax treatment for PT ABC (Persero) Tbk as a Go Public-SOE Taxpayer. Therefore, the purposes of this research are to analyse the legal certainty aspect of Article 25 Income Tax treatment for PT ABC as well as to analyse the implications of legal certainty issue of Article 25 Income Tax treatment for PT ABC. This research is conducted by a quantitative approach with in-dept interview and literature study as data collection techniques. According to the legal certainty concept, the results of this research show that the Article 25 Income Tax treatment for PT ABC as a go public-SOE Taxpayer has not yet reflected the legal certainty aspect. This issue leads to several implications to PT ABC such as the over-payment of Corporate Income Tax in 2013 fiscal year; disruption to corporate’s cash flow; difficulty to predict corporate’s cash flow; and threat to administrative penalty. Keywords: Go Public-State Owned Enterprise; legal certainty; tax base; tax rate; taxpayer. Pendahuluan
Kepastian hukum merupakan aspek yang harus tercakup dalam setiap kebijakan
pemerintah, termasuk kebijakan perpajakan. Hal ini ditujukan agar kebijakan perpajakan
dapat turut mendukung jalannya kegiatan usaha setiap Wajib Pajak, terutama apabila Wajib
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
Pajak tersebut menyumbang penerimaan pajak yang cukup signifikan bagi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), seperti WP BUMN masuk bursa.
Kontribusi penerimaan pajak yang berasal dari WP BUMN masuk bursa dapat
dikatakan cukup signifikan dibandingkan dengan penerimaan pajak yang berasal dari WP
BUMN pada umumnya. Hal ini dibuktikan dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1 Penerimaan Pajak BUMN di KPP WP Besar 3 dan KPP WP Besar 4 Tahun 2011-2013
(Kementerian BUMN). Selain melakukan wawancara mendalam, peneliti juga melakukan
studi literatur sebagai sumber data sekunder dalam penelitian. Oleh karena itu, data yang
dikumpulkan peneliti berbentuk kata, kalimat, pernyataan, gambar, dan sebagainya.
Pembahasan
1. Kepastian Hukum Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi PT ABC (Persero)
Tbk sebagai BUMN Masuk Bursa
Kepastian hukum merupakan aspek yang sangat penting dalam pemungutan pajak.
Dalam penelitian ini, peneliti fokus pada aspek kepastian hukum dalam PMK Nomor
255/PMK.03/2008 (selanjutnya disebut PMK 255) dalam mengatur perlakuan PPh Pasal 25
bagi BUMN masuk bursa, yakni PT ABC (Persero) Tbk.
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
Terdapat penafsiran yang berbeda dalam PMK 255 mengenai BUMN masuk bursa
sebagai subjek PPh Pasal 25. Sebagai konsekuensinya, terjadi pula perbedaan penafsiran
mengenai penggunaan dasar penghitungan dan tarif angsuran dalam menghitung PPh Pasal 25
bagi BUMN masuk bursa. Sementara itu, unsur objek pajak dan unsur prosedur pemenuhan
kewajiban pajak tidak diatur dalam PMK ini sehingga tidak akan dibahas oleh peneliti.
a. Kepastian Hukum Subjek Pajak
PMK 255 mengatur secara terpisah perlakuan PPh Pasal 25 bagi subjek pajak BUMN
dan subjek pajak badan masuk bursa. Perbedaan ini dapat dilihat dari ringkasan Pasal 4 dan
Pasal 5 PMK 255 berikut.
- Penghitungan PPh Pasal 25 bagi WP BUMN dan WP BUMD dengan nama dan
dalam bentuk apapun, kecuali WP bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi
berdasarkan Pasal 4 ayat (1) PMK 255:
- Penghitungan PPh Pasal 25 bagi WP Masuk Bursa dan WP lainnya yang
diwajibkan membuat laporan keuangan berkala berdasarkan Pasal 5 PMK 255
Ringkasan di atas menimbulkan pertanyaan, “Bagaimana seharusnya perlakuan bagi
WP BUMN yang telah masuk bursa? Apakah harus mengikuti ketentuan Pasal 4 atau Pasal
5?” Pengaturan secara tumpang tindih tersebut tentunya mencerminkan adanya dualisme
perlakuan PPh Pasal 25 bagi BUMN masuk bursa.
Dualisme perlakuan PPh Pasal 25 bagi WP BUMN masuk bursa menimbulkan
keragu-raguan mengenai perlakuan PPh Pasal 25 bagi WP tersebut, apakah mengikuti
ketentuan sebagai BUMN atau mengikuti ketentuan sebagai perusahaan masuk bursa. Hal ini
berpengaruh terhadap berubah-ubahnya perlakuan PPh Pasal 25 bagi salah satu WP BUMN
masuk bursa yakni PT ABC. Pada tahun 2010, PT ABC mendapat penegasan bahwa PT ABC
harus tunduk pada aturan sebagai WP BUMN. Namun, berdasarkan penegasan pada tahun
2013, PT ABC tidak lagi tunduk pada aturan sebagai BUMN, melainkan harus tunduk pada
aturan sebagai WP masuk bursa.
Adanya dualisme ini terbukti dari pengakuan pihak KPP Wajib Pajak Besar 3 sebagai
KPP yang mengadministrasikan Wajib Pajak BUMN masuk bursa, termasuk PT ABC.
Berikut kutipan wawancara dengan pihak KPP Wajib Pajak Besar 3.
“Tentang pengertian BUMN itu sendiri, kalau bank jelas… BUMN ketika Tbk itu di sini orang yang masih agak kabur, masih bisa interpretasinya berbeda karena di sini kan disebutnya Wajib Pajak yang masuk bursa, tidak disebutkan “baik yang BUMN maupun yang non BUMN” (Wawancara Mendalam dengan Bapak Joga Saksono,
[(tarif umum x laba-rugi fiskal berdasarkan RKAP) – kredit pajak] / 12.
[(tarif umum x laba-rugi fiskal berdasarkan lapkeu berkala terakhir) – kredit pajak] / 12.
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi I KPP Wajib Pajak Besar 3 pada 4 April 2014) Di tengah keragu-raguan mengenai cakupan subjek pajak dalam Pasal 4 dan Pasal 5
PMK 255, penafsiran yang tepat dari kedua pasal tersebut sangat diperlukan agar tercipta
kepastian hukum. Berikut penafsiran terhadap cakupan subjek pajak di kedua pasal tersebut.
Penafsiran Cakupan Subjek Pasal 4 PMK 255
Pasal 4 PMK 255 mengatur mengenai PPh Pasal 25 bagi subjek pajak BUMN dan
BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali Wajib Pajak bank dan Sewa Guna
Usaha dengan hak opsi. Tercakupnya BUMN masuk bursa dalam Pasal 4 PMK 255 didukung
oleh adanya penyebutan kata “dengan nama dan dalam bentuk apapun” dalam pasal tersebut.
Kata “dengan nama dan dalam bentuk apapun” dalam Pasal 4 PMK 255 dapat diartikan
bahwa pasal ini tidak membedakan nama dan bentuk BUMN.
Mengacu pada UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, terdapat dua bentuk BUMN,
yakni Perum dan Persero. BUMN Persero itu sendiri dapat berbentuk Persero Terbuka
(BUMN yang telah masuk bursa) dan Persero Tertutup. Dengan kata lain, BUMN masuk
bursa juga tercakup dalam pasal ini. Oleh karena itu, selama suatu badan usaha masuk dalam
pengertian BUMN berdasarkan UU BUMN (kecuali yang bergerak di bidang perbankan dan
SGUHO), badan usaha tersebut tunduk pada Pasal ini.
Penafsiran Cakupan Subjek Pasal 5 PMK 255
Pasal 5 PMK 255 mengatur mengenai penghitungan angsuran PPh Pasal 25 bagi WP
masuk bursa dan WP lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan
keuangan berkala. Dalam Pasal 5, tidak ada petunjuk secara jelas apakah WP masuk bursa
yang berbentuk BUMN juga tercakup dalam pasal ini. Pasal 4 pun tidak memberi
pengecualian bagi WP BUMN yang masuk bursa.
Upaya untuk menemukan jawaban dari dualisme ini telah dilakukan dengan
menggunakan prinsip lex specialis derogaat lex generalis. Namun, prinsip ini tidak dapat
mengarahkan pada simpulan bahwa Pasal 5 merupakan aturan khusus dari Pasal 4 atau
sebaliknya dalam mengatur BUMN masuk bursa. Hal ini didasarkan pada alasan tidak
adanya main rule (aturan utama) dan exception (pengecualian) yang jelas dari kedua pasal
tersebut yang dapat mengarahkan interpretasi mengenai cakupan subjek pajak dalam Pasal 4
dan Pasal 5 PMK 255.
Kasus ini berbeda dengan kasus perlakuan bagi WP BUMN yang bergerak di bidang
usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi. Dalam hal ini, WP bank dan SGUHO telah
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
jelas dikecualikan dalam Pasal 4 PMK 255. Pengecualian ini dapat digunakan untuk
mengarahkan perlakuan bagi WP tersebut untuk tunduk pada Pasal 3 PMK 255.
Kebingungan dalam menentukan cakupan subjek pajak dalam Pasal 4 dan Pasal 5
PMK 255 disebabkan karena penafsiran hanya dilakukan secara gramatikal sebagaimana telah
dipaparkan di atas. Menurut pendapat Henry Hutagaol, akademisi hukum UI, penafsiran
gramatikal terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia hanya akan
menimbulkan kerancuan. Alasannya, Undang-Undang perpajakan di Indonesia banyak
memberikan ruang kepada eksekutif untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang belum diatur di
dalam undang-undang (misalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri
Keuangan, dan sebagainya). Oleh karena itu, diperlukan penafsiran secara holistik, yakni
memaknai peraturan dengan cara mengaitkannya dengan peraturan perundang-undangan yang
terkait. Dalam kasus ini, perlu dilakukan pula penafsiran terhadap UU BUMN, UU Perseroan
Terbatas, UU Pasar Modal dalam kaitannya dengan BUMN masuk bursa (Wawancara
mendalam dengan Henry D. Hutagaol, Akademisi Hukum UI, pada 6 Juni 2014).
Ketidakmampuan penafsiran secara gramatikal untuk mengarahkan pada kepastian
hukum subjek BUMN masuk bursa dalam hal perlakuan PPh pasal 25 dibuktikan dengan
adanya interpretasi yang berbeda di antara berbagai pihak. Padahal, suatu peraturan tidak
boleh menyebabkan munculnya interpretasi yang berbeda agar mencerminkan kepastian
hukum.
b. Kepastian Hukum Dasar Penghitungan Angsuran
Ringkasan Pasal 4 dan Pasal 5 PMK 255 pada poin bahasan sebelumnya menunjukkan
bahwa PMK 255 memberikan pembedaan yang jelas dalam hal dasar penghitungan angsuran
PPh Pasal 25 yang digunakan oleh WP BUMN dan WP masuk bursa. Sementara itu, teknis
penghitungan angsuran yang digunakan pada dasarnya adalah sama.
Dasar penghitungan angsuran dalam Pasal 4 dan Pasal 5 PMK 255 memang jelas
berbeda. Namun, yang menjadi akar permasalahan adalah cakupan subjek pajak dalam Pasal 4
dan Pasal 5 PMK 255 yang tidak secara terang mengatur perlakuan bagi subjek pajak BUMN
masuk bursa. Hal inilah yang kemudian memicu perbedaan pendapat antara WP dengan
fiskus mengenai dasar penghitungan apa yang harus digunakan oleh BUMN masuk bursa
dalam menghitung angsuran PPh Pasal 25.
Dalam konteks PT ABC, dispute mengenai penggunaan dasar penghitungan angsuran
PPh Pasal 25 bukan suatu hal yang baru saja terjadi. Pada tahun 2010, PT ABC pernah
mendapat penegasan yang intinya menyatakan bahwa PT ABC harus menghitung PPh Pasal
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
25 menggunakan dasar berupa RKAP. Namun, pada tahun 2013, PPh Pasal 25 PT ABC
dihitung oleh KPP menggunakan dasar berupa laporan keuangan berkala.
Perubahan perlakuan PPh Pasal 25 bagi WP BUMN masuk bursa dapat dengan mudah
terjadi karena besaran angsuran PPh Pasal 25 tidak ditentukan sendiri oleh Wajib Pajak,
melainkan oleh KPP melalui surat yang disampaikan kepada WP selama tahun pajak berjalan.
Mekanisme ini berbeda dengan mekanisme yang diterapkan terhadap WP pada umumnya, di
mana WP diberikan kepercayaan untuk menentukan sendiri besarnya PPh Pasal 25
berdasarkan sistem self-assessment.
Berlawanan dengan hal tersebut, pada praktiknya, perlakuan PPh Pasal 25 bagi PT
ABC justru mencerminkan penerapan official assessment system karena besaran angsuran
ditetapkan oleh KPP. Sistem official assessment pada umumnya tercermin dari
dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh fiskus. Namun, dalam hal angsuran PPh
Pasal 25 bagi PT ABC, KPP tidak menetapkan PPh Pasal 25 dalam suatu SKP, melainkan
dalam suatu surat hal: Pemberitahuan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2013.
Sebagai bukti adanya perubahan perlakuan PPh Pasal 25 selama tahun pajak 2013, PT
ABC telah menerima beberapa surat dari KPP Wajib Pajak Besar 3 hal Pemberitahuan
Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2013 selama kurun waktu tersebut. Surat
pertama disampaikan oleh KPP tertanggal 13 Februari 2013 yang berisi penghitungan
angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak Januari-Februari 2013 menurut KPP dengan
menggunakan dasar berupa RKAP sebagai berikut.
Tarif x DPP = 20% x USD 886.062.051 = USD 177.212.410
Dikurangi PPh 23 yang dipotong pihak lain = USD 759.100
Dasar penghitungan besarnya angsuran PPh = USD 176.453.310
Angsuran PPh Pasal 25 sebesar USD 22.743.535 perbulan ini berlaku mulai masa pajak Maret
2013 hingga Juni 2013.
Di sinilah mulai terlihat jelas dispute mengenai dasar penghitungan angsuran antara
WP dengan pihak KPP. Mengacu pada filosofi PPh Pasal 25 ayat (7) bahwa angsuran harus
mendekati besaran PPh Badan yang terutang di akhir tahun, pihak KPP WP Besar 3
menganggap laporan keuangan berkala lebih tepat digunakan oleh PT ABC sebagai dasar
penghitungan angsuran PPh Pasal 25 dibandingkan dengan RKAP. Hal ini didasarkan pada
alasan bahwa pihak KPP WP Besar 3 menyangsikan bahwa PT ABC dapat mencapai target
dalam RKAP. Selain itu, berlawanan dengan sifat RKAP yang merupakan perkiraan
penghasilan selama tahun berjalan, menurut pihak KPP, laporan keuangan berkala lebih
bersifat riil karena didasarkan pada kondisi yang dicapai pada waktu yang bersangkutan.
Pemikiran pihak KPP tersebut dapat dikatakan hanya didasarkan pada common sense
karena tidak ada bukti konkret bahwa laporan keuangan berkala lebih mendekati keadaan
yang sebenarnya di akhir tahun dibandingkan dengan RKAP. Bankan, tidak ada data, bukti
pendukung, bahkan hasil riset yang menyatakan demikian.
Berlawanaan dengan pemikiran pihak KPP, PT ABC tetap menganggap bahwa dasar
penghitungan angsuran yang paling tepat digunakan olehnya adalah RKAP. Alasannya, bisnis
gas yang dijalankan oleh PT ABC merupakan bisnis yang relatif mudah diprediksi karena
mencakup volume gas yang terbatas dengan harga yang stabil serta kontrak yang berjangka
waktu panjang, yakni minimal dua tahun. Penambahan pasokan atau kenaikan tarif gas tidak
akan terjadi secara tiba-tiba di tahun berjalan tanpa ada perencanaan dalam RKAP. Oleh
karena itu, RKAP telah cukup memberikan gambaran kegiatan PT ABC selama tahun
berjalan. Hal ini didukung pula dengan tidak adanya campur tangan pihak Kementerian
BUMN sebagai pemegang saham terhadap RKAP PT ABC sehingga penyusunan RKAP
menjadi lebih realistis, sesuai dengan kemampuan pencapaian target PT ABC.
Melihat perbedaan pendapat di atas, nampaknya belum ada arah yang jelas mengenai
kecocokan dasar penghitungan angsuran bagi BUMN masuk bursa berdasarkan penafsiran
secara filosofis. Di tengah ketidakjelasan tersebut, terbit surat penegasan dari Direktorat PP II
DJP di akhir tahun 2013. Berdasarkan surat penegasan tersebut, WP BUMN masuk bursa
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
harus menggunakan dasar penghitungan angsuran berupa laba rugi fiskal berdasarkan laporan
keuangan berkala semesteran yang disampaikan ke OJK.
Di balik penafsiran secara filosofis yang terkesan subjektif, surat penegasan yang
dikeluarkan oleh pihak Direktorat PP II didasarkan pada beberapa peraturan sebagai dasar
hukum. Hal ini menunjukkan bahwa pihak Direktorat PP II berusaha untuk melakukan
penafsiran secara holistik.
Di antara berbagai peraturan sebagai dasar hukum, salah satu dasar hukum yang
menjadi alasan utama DJP yaitu ketentuan Pasal 31 PP Nomor 12 Tahun 1998 yang
menyatakan bahwa terhadap PERSERO Terbuka berlaku ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal. Ketentuan ini dianggap berpengaruh terhadap kewajiban
PPh Pasal 25 BUMN masuk bursa. Argumentasi lain yakni Pasal 4 PMK 255 menyebutkan
bahwa RKAP yang digunakan sebagai dasar penghitungan angsuran adalah RKAP yang
disahkan oleh RUPS. Sementara itu, RKAP yang disusun oleh BUMN masuk bursa tidak
disahkan oleh RUPS, melainkan disahkan oleh Komisaris. Oleh karena itu, BUMN masuk
bursa dianggap tidak relevan dengan Pasal 4 PMK 255.
Nyatanya, penafsiran secara holistik yang dilakukan oleh pihak yang berbeda dengan
sudut pandang yang berbeda tidak menjamin akan menghasilkan simpulan yang sama.
Perbedaan pendapat terlihat jelas dalam interpretasi Pasal 31 PP Nomor 12 Tahun 1998 yang
menyebutkan bahwa Persero Terbuka harus tunduk pada peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal. Peraturan ini dianggap hanya merupakan justifikasi untuk mengarahkan
BUMN masuk bursa untuk menggunakan laporan keuangan berkala. Kewajiban BUMN
masuk bursa untuk tunduk pada peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal
tentunya tidak menggugurkan kewajiban BUMN masuk bursa untuk tetap tunduk pada
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BUMN selama kedua peraturan
tersebut tidak saling bertentangan.
Terkait dengan alasan bahwa BUMN masuk bursa tidak relevan dengan Pasal 4 PMK
255 karena RKAPnya disahkan oleh Komisaris, pelimpahan wewenang untuk mengesahkan
RKAP BUMN masuk bursa dari RUPS ke Komisaris diartikan bahwa pada hakikatnya
Komisaris adalah kepanjangan tangan dari RUPS dalam hal pengesahan RKAP. Hal ini
sejalan dengan praktik yang dijalankan oleh PT ABC bahwa berdasarkan anggaran dasar
perusahaan, Komisaris dipersamakan dengan RUPS. Berdasarkan uraian tersebut, PT ABC
menyimpulkan bahwa pada hakikatnya, tetaplah RUPS yang mengesahkan RKAP.
Surat penegasan yang diterbitkan Direktorat PP II DJP pada akhir tahun 2013 ini tidak
dapat menjamin terwujudnya kepastian hukum. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan.
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
Pertama, perintah dalam surat penegasan ini sama sekali berbeda dengan perintah dalam surat
penegasan yang diterbitkan pada tahun 2010. Pada tahun 2010, surat penegasan menyatakan
bahwa angsuran PT ABC menggunakan dasar berupa RKAP, namun pada tahun 2013, surat
penegasan menyatakan bahwa angsuran PT ABC menggunakan dasar berupa laporan
keuangan berkala. Kedua, surat penegasan tidak tercakup dalam hirarki tata urutan
perundang-undangan, melainkan hanya merupakan jawaban atas suatu pertanyaan. Sementara
itu, demi kepastian hukum, tentunya Wajib Pajak hanya wajib untuk mengikuti ketentuan
yang tercakup dalam tata urutan perundang-undangan menurut UU Nomor 12 Tahun 2011.
Ketiga, terbitnya surat penegasan tidak diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan.
WP dapat menolak untuk mengikuti surat penegasan yang dikeluarkan Direktorat PP II karena
tidak ada perintah, baik dari UU PPh maupun dari PMK 255, bahwa peraturan lebih lanjut
akan diatur dalam suatu surat penegasan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penafsiran secara filosofis dan
holistik sebagaimana telah disampaikan di atas belum mampu menunjukkan arah mengenai
dasar penghitungan apa yang lebih tepat digunakan oleh PT ABC. Berbagai pihak sepakat
bahwa Pasal 25 ayat (7) berawal dari filosofi agar penghitungan PPh Pasal 25 lebih mendekati
kewajaran perhitungan besarnya angsuran. Namun, penentuan dasar penghitungan angsuran
yang dianggap lebih mendekati kewajaran itulah yang masih menimbulkan perdebatan. Hal
yang sama juga terjadi pada penafsiran secara holistik. Berbagai pihak memiliki pandangan
yang berbeda terhadap dasar hukum yang diacu oleh surat penegasan. Oleh karena itu, perlu
adanya pembuktian dengan membandingkan antara RKAP dan laporan keuangan berkala
untuk mengetahui manakah di antara keduanya yang menghasilkan penghitungan yang lebih
mendekati PPh Badan terutang di akhir tahun. Berikut Tabel 2 yang menunjukkan
perbandingan besaran angsuran PPh Pasal 25 menurut KPP dan WP. Tabel 2 Perbandingan Besaran Angsuran PPh Pasal 25 menurut KPP dan WP
Masa Pajak Angsuran PPh Pasal 25 (USD)
Versi KPP Versi WP Januari 14.704.443 14.704.443 Februari 14.704.443 14.704.443 Maret 22.743.535 14.704.443 April 22.743.535 14.704.443 Mei 22.743.535 14.704.443 Juni 22.743.535 14.704.443 Juli 16.299.683 14.704.443 Agustus 16.299.683 14.704.443 September 16.299.683 14.704.443 Oktober 16.299.683 14.704.443 November 16.299.683 14.704.443 Desember 16.299.683 14.704.443
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
Total 218.181.124 176.453.316 Sumber: data olahan peneliti, 2014.
Tabel 2 menunjukkan penghitungan PPh Pasal 25 PT ABC selama tahun pajak 2013.
Kolom “Versi KPP” berisi data pembayaran PPh Pasal 25 oleh PT ABC berdasarkan
penghitungan yang ditetapkan oleh KPP (lihat rinciannya pada Tabel 3). Pembayaran yang
ditetapkan oleh KPP dihitung dengan menggunaan dasar penghitungan berupa RKAP untuk
masa pajak Januari-Februari 2013 dan laporan keuangan berkala untuk masa pajak Maret-
Desember 2013. Kolom “Versi WP” berisi data penghitungan PPh Pasal 25 apabila secara
konsisten menggunakan dasar penghitungan angsuran berupa RKAP. Berdasarkan data di
atas, didapatkan selisih yang cukup signifikan, yakni USD 41.727.812.
Pada awal tahun 2014, diketahui bahwa PPh Badan PT ABC tahun pajak 2013 yang
terutang yaitu sekitar USD188.000.000. Berdasarkan kenyataan ini, dapat disimpulkan bahwa
dalam kasus tahun pajak 2013, laporan keuangan berkala pada praktiknya tidak sesuai dengan
Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. (2012). Pengantar Ilmu Pajak. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
_______________________________________. (2011). Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di Indonesia. Jakarta: Visimedia.
Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan. (2005). Perpajakan, Teori dan Aplikasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Peraturan
_______________. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tanggal 19 Juni 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
_______________. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tanggal 23 September 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
______________. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 Tanggal 17 Januari 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero).
______________. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2013 Tanggal 21 November 2013 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka.
_______________. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 Tanggal 31 Desember 2008 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, dan Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala, termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.
Wawancara Mendalam
Wawancara Mendalam dengan Bapak Emung Indriastanto, Kepala Dinas Perpajakan Divisi Akuntansi PT ABC (Persero) Tbk pada tanggal 26 Februari 2014, 14 Maret 2014, dan 8 April 2014 di Kantor Pusat PT ABC (Persero) Tbk. Jakarta Barat.
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014