Top Banner

of 39

Analisis Kemampuan Siswa -Final

Oct 16, 2015

Download

Documents

Analisis Kemampuan Siswa
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Cronbach (1984), tes merupakan suatu prosedur yang sistematis untuk mengamati atau mendeskripsikan satu atau lebih karakteristik seseorang dengan menggunakan standar numerik atau sistem kategori. Menurut Sujiono (1996), tes adalah alat prosedur yang dipergunakan dalam rangka pengukuran dan penilaian. Menurut Anastasi dan Turabian (1997), tes diartikan sebagai alat pengukur yang mempunyai standar objektif sehingga dapat dipergunakan secara meluas, serta dapat digunakan untuk mengukur dan membandingkan keadaan psikis atau tingkah laku individu. Jadi, tes merupakan alat ukur yang banyak dipergunakan dalam dunia pendidikan untuk mengukur pengetahuan atau penguasaan objek ukur terhadap seperangkat konten dan materi tertentu.

Tes memiliki berbagai fungsi dalam dunia pendidikan, antara lain berfungsi sebagai pengukur prestasi belajar siswa, sebagai motivator dalam pembelajaran, sebagai upaya perbaikan kualitas pembelajaran, dan sebagai penentu keberhasilan pembelajaran. Hasil ukur dalam tes ini digambarkan oleh skor tes. Pada hakikatnya, penskoran ini adalah suatu proses pengubahan jawaban instrumen menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari suatu jawaban terhadap jawaban instrumen sehingga penskoran merupakan kuantifikasi terhadap jawaban instrumen. Dengan memberi skor, dapat diperoleh deskripsi tentang seberapa nilai atau harga suatu variabel untuk masing-masing unit analisis dalam penelitian. Selanjutnya, dapat dilakukan analisis kuantitatif dalam kaitannya dengan variabel lain dalam penelitian. Skor memiliki perbedaan arti dengan nilai. Skor adalah angka yang diterima siswa sebagai hasil tes yang telah dilakukan, sedangkan nilai adalah skor akhir yang diterima siswa berdasarkan skor mentah yang diacu pada kriteria standar tertentu untuk menentukan kelulusan siswa tersebut. Kemampuan siswa adalah daya upaya yang dapat dilakukan oleh siswa. Kemampuan tersebut terdiri atas kemampuan kognitif, kemampuan afektif, dan kemampuan psikomotorik. Sekor diperoleh dari hasil ukur kemampuan tersebut. Misalnya, pada skala 0-100, terdapat sekor responden 85. Apa arti sekor 85 ini ? Cara pemberian arti yang paling umum adalah membanding-kan sekor ini dengan suatu acuan.

Setelah dibandingkan dengan suatu acuan, sekor ini dapat diberi nilai baru pada acuan tersebut. Nilai baru ini dikenal sebagai tara (equivalent). Ada beberapa jenis acuan yang dapat digunakan untuk menentukan tara pada sekor hasil ukur. Ada acuan intuitif, ada acuan ipsatif, ada acuan norma, dan ada acuan kriteria. Semua acuan ini akan dibahas, namun pada makalah ini lebih difokuskan pada acuan norma dan acuan kriteria sebagai acuan dalam penilaian kemampuan siswa.1.2 Perumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang masalah yang dinyatakan di atas, maka rumusan masalah dapat dinyatakan sebagai berikut.1. Apa arti dan makna kemampuan siswa secara dalam ? 2. Acuan apa saja yang dapat digunakan dalam penilaian kemampuan siswa

dan bagaimana cara menginterpretasikannya ? 3. Bagaimana cara menganalisis hasil penilaian kemampuan siswa ?1.3 Tujuan PenulisanPenulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kami sebagai penulis makalah serta bagi para pembaca. Secara terperinci tujuan-tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu

1. Memahami arti dan makna kemampuan siswa secara dalam.

2. Mendeskripsikan acuan yang dapat digunakan dalam penilaian

kemampuan siswa dan cara menginterpretasikannya.

3. Mengkaji cara menganalisis hasil penilaian kemampuan siswa.1.4 Metode Penulisan

Untuk mendapatkan informasi dibutuhkan, kami menggunakan metode referensi studi pustaka yang berkaitan dengan materi yang akan dibahas.1.5 Sistematika Penulisan

Pada makalah ini, kami akan menjelaskan hasil studi pustaka. Dimulai dari bab pendahuluan sebagaimana yang telah dibahas, di dalamnya menguraikan beberapa pokok mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan yang terakhir tentang sistematika penulisan. Hasil studi pustaka disajikan setelah bab pendahuluan, sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan satu dan yang lainnya. Pembahasan penting yang dibahas meliputi domain kemampuan siswa, definisi dan tujuan ana-lisis kemampuan siswa, perbedaan antara skor dan nilai, mongolah nilai, acuan penilaian, acuan norma, acuan kriteria, dan standar batas penguasaan.BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Domain Kemampuan Siswa

Kemampuan adalah potensi dalam diri untuk berbuat sesuatu. Beberapa atribut mental yang termasuk dalam definisi kemampuan, meliputi bakat, inteligensi, dan penyesuaian diri. Bloom dan rekan-rekannya mengembang-kan taksonomi atau sistem klasifikasi untuk mendeskripsikan domain ke-mampuan siswa. Domain tersebut terdiri atas kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. a. Domain Kognitif

Domain kognitif memfokuskan pada aspek ingatan dan penalaran. Enam tingkatan domain kognitif yang disebutkan dalam taksonomi pemikir-an ini (Bloom, Engelhart, Frost, Hill, dan Krathwohl, 1956), yaitu :1. Knowledge (pengetahuan) : Mengingat atau mengenali sesuatu tanpa harus memahami, menggunakan, atau mengubahnya.Contohnya, dalam materi tentang segitiga, siswa yang memiliki tingkatan kognitif pengetahuan sudah mengenal segitiga.2. Comprehension (pemahaman) : Memahami materi yang sedang di-komunikasikan tanpa harus menghubungkannya dengan hal lain.Contohnya, apabila siswa memiliki tingkatan kognitif pemahaman, maka dalam materi tentang segitiga, siswa sudah memahami bahwa segitiga adalah salah satu bidang datar dalam ilmu matematika.

3. Application (aplikasi atau penerapan) : Menggunakan sebuah konsep umum untuk menyelesaikan masalah tertentu.Contohnya, apabila siswa memiliki tingkatan kognitif aplikasi, maka dalam materi tentang segitiga, siswa dapat mengaplikasikan dalam menghitung luas segitiga dengan rumus L = 1/2 x alas x tinggi.4. Analysis (analisis) : Membagi sesuatu menjadi bagian-bagian.Contohnya, apabila siswa memiliki tingkatan kognitif analisis, maka dalam materi tentang segitiga, siswa dapat menganalisis mengapa luas segitiga memiliki rumus L = 1/2 x alas x tinggi. Setelah dianalisis, dapat dimengerti bahwa segitiga adalah 1/2 dari bangun persegi panjang. Oleh karena itu, untuk menghitung luas segitiga, alas x tinggi harus dibagi dua. 5. Synthesis (sintesis) : Menciptakan sesuatu yang baru dengan meng-kombinasikan berbagai macam ide.Contohnya, apabila siswa memiliki tingkatan kognitif sintesis, maka dalam materi tentang segitiga, siswa dapat mensintesis segitiga ke dalam berbagai bentuk, yaitu segitiga siku-siku, segitiga sama kaki, dan segitiga sama sisi. 6. Evaluation (evaluasi) : Mengukur nilai materi atau metode bila diterapkan dalam situasi tertentu.Contohnya, apabila siswa memiliki tingkatan kognitif evaluasi, maka dalam materi tentang segitiga, siswa dapat mengambil keputusan tentang benar atau tidaknya kriteria segitiga siku-siku yang memiliki sudut 900, segitiga sama kaki yang memiliki dua sudut sama, dan segitiga sama sisi yang memiliki tiga sudut sama.

Sebuah revisi taksonomi ini menambahkan bahwa proses-proses di atas dapat mendasarkan diri pada empat jenis pengetahuan, yaitu faktual, kon-septual, prosedural, dan metakognitif.

b. Domain Afektif

Tujuan pembelajaran ranah afektif memfokuskan pada aspek si-kap dan perasaan. Lima tingkatan dasar yang disebutkan dalam taksonomi affective domain (ranah afektif) Bloom, yaitu :

1. Receiving (menerima) : Menyadari atau memperhatikan sesuatu di lingkungan. Contohnya, siswa yang berada pada tingkatan ini akan bersedia untuk mendengarkan penjelasan guru dalam mata pelajaran tertentu, tapi tidak berjanji untuk menyukai mata pelajaran tersebut.2. Responding (merespons) : Memperhatikan perilaku baru sebagai hasil pengalaman. Contohnya, siswa menganggukkan kepala tanda mengerti hal yang diajarkan gurunya dalam suatu mata pelajaran.3. Valuing (menghargai) : Menunjukkan keterlibatan atau komitmen yang jelas. Contohnya, pada titik ini, siswa lebih memilih untuk fokus mengikuti mata pelajaran tertentu daripada membaca komik.4. Organization (organisasi) : Mengintergrasikan nilai baru ke dalam peringkat nilai seseorang secara umum, memberinya peringkat tertentu di antara prioritas-prioritas orang itu secara umum. Contohnya, pada tingkatan ini, siswa akan mulai membuat komit-men jangka panjang untuk tetap konsisten mendalami konsep suatu mata pelajaran tertentu .5. Characterization by value (karakterisasi berdasarkan nilai) : Ber-tindak dengan cara yang konsisten dengan nilai baru itu. Contohnya, pada tingkatan tertinggi afeksi ini, siswa memiliki komitmen yang sungguh-sungguh untuk mencintai mata pelajaran tertentu dan mendemonstrasikannya secara terbuka dan konsisten.c. Domain psikomotorik

Domain psikomotorik memfokuskan pada aspek koordinasi dan kemampuan fisik. Domain psikomotorik terdiri atas intellectual skill (pe-ngetahuan keterampilan) dan motoric skill (keterampilan motorik se-sungguhnya). Pengetahuan keterampilan hanyalah memahami tentang pengetahuan keterampilan suatu bidang, sedangkan keterampilan motorik sesungguhnya dapat mengakomodasi dan mendayagunakan sesuatu dengan baik dan terampil. Dalam pembahasan ini, hanya dikaji motoric skill (keterampilan motorik sesungguhnya). Tujuh tingkatan dasar yang disebutkan dalam taksonomi domain psikomotorik Bloom, yaitu :

1. Perseption (persepsi)

Contohnya, dalam tingkatan ini, siswa memiliki persepsi yang baik untuk memiliki niat melakukan keterampilan sesuatu hal.

2. Ready (kesiapan)

Contohnya, dalam tingkatan ini, siswa menyiapkan instrumen yang berkaitan dengan keterampilan yang ia akan lakukan.

3. Guidance respons (gerakan terbimbing)

Contohnya, dalam tingkatan ini, siswa mampu melakukan sesuatu setelah dicontohkan atau diarahkan oleh orang lain.

4. Mechanical response (gerakan biasa)

Contohnya, dalam tingkatan ini, siswa mampu melakukan sesuatu tanpa bimbingan oleh orang lain meskipun dalam taraf sederhana.

5. Complex response (gerakan kompleks)

Contohnya, dalam tingkatan ini, siswa mampu melakukan suatu hal yang rumit dengan sendiri tanpa bantuan orang lain.

6. Adjustment (penyesuaian pola gerak)

Contohnya, dalam tingkatan ini, siswa mampu terampil melakukan suatu hal dengan penyesuaian pola gerak yang ia ciptakan sendiri.

7. Creativity (kreativitas)

Contohnya, dalam tingkatan ini, siswa mampu refleks melakukan suatu hal dan mengkreasikannya menjadi suatu karya cipta sendiri.2.2 Definisi dan Tujuan Analisis Kemampuan Siswa

Analisis kemampuan siswa adalah suatu tindakan yang harus dijalankan oleh guru dalam menjalankan tugas keprofesionalitasnya untuk menggali dan mengkaji seberapa luas dan dalam tingkat kemampuan siswa-siswa dalam materi tertentu, baik dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Jadi, tujuan mendasar dari analisis kemampuan siswa adalah mengeksplora-si kadar penguasaan siswa-siswa untuk selanjutnya ditelaah secara berkelan-jutan dan dilakukan upaya untuk mengoptimalisasi kemampuan tersebut. 2.3 Perbedaan antara Skor dan Nilai

Skor adalah hasil mentah (raw data) dari aktivitas menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang dijawab betul oleh siswa pada pengukuran kemampuan kogitif atau hasil mentah yang diperoleh siswa dari instrumen non tes untuk pengukuran afektif dan psikomotorik, sedangkan nilai adalah angka ubahan dari skor dengan menggunakan acuan tertentu, biasanya acuan normal atau acuan standar kriteria. Pengubahan skor menjadi nilai dapat dilakukan untuk skor tunggal, misalnya sesudah menerima skor ulangan harian atau untuk skor gabungan (komposit) dari beberapa ulangan untuk memperoleh nilai akhir rapor.

Seorang siswa yang memperoleh skor 40 bagi tes yang menghendaki skor maksimum 40, mempunyai arti bahwa siswa tersebut sudah menguasai 100% dari tujuan instruksional khusus yang dirancangkan oleh guru. Akan tetapi, jika skor 40 tersebut diperoleh dari pengerjaan soal tes yang meng-hendaki skor maksimum 100, maka skor 40 tersebut mencerminkan 40% penguasaan saja. Dengan demikian, angka 40 yang diperoleh dari seorang siswa belum berbicara apa-apa sebelum diketahui berapa skor maksimum yang diharapkan jika siswa tersebut dapat mengerjakannya secara sempurna. Angka 40 ini disebut sebagai skor mentah. Atas dasar itulah, maka sebagai suatu prestasi belajar, guru diwajibkan untuk meng-ubah skor mentah menjadi skor berstandar 100.

Contoh:

Skor maksimum yang diharapkan 40

A memperoleh skor 24

Berarti A hanya menguasai: x 100% = 60 % dari tujuan instruksional khusus yang diinginkan. Jadi A memperoleh nilai 60 sehingga tampak perbedaannya, 24 adalah skor dan 60 adalah nilai.1. MenskorNama lain dari menskor adalah memberi angka. Dalam hal pekerjaan menskor atau memberi angka, dapat digunakan 3 macam alat bantu, yaitu

1) Pembantu menentukan jawaban yang benar disebut kunci jawaban.

2) Pembantu menyeleksi jawaban yang benar dan yang salah disebut kunci skoring.

3) Pembantu menentukan angka disebut pedoman penilaian.

Kunci Jawaban dan kunci pemberian skor (skoring) untuk macam-macam bentuk tes adalah sebagai berikut.1. Tes bentuk betul-salah

Karena dalam hal ini testee (tercoba) hanya diminta untuk melingkari huruf B dan S saja, maka kunci jawaban yang disediakan hanya berbentuk urutan nomor dan jawaban benar (B) atau salah (S). Dalam menentukan angka (skor) untuk tes B-S ini dapat digunakan 2 cara seperti:

Tanpa hukuman atau tanpa denda (tanpa pinalti) Apabila banyak angka yang diperoleh siswa sebanyak jawaban yang cocok dengan kunci. Jika dalam 10 soal siswa menjawab betul sebanyak 6 soal, maka skor siswa tersebut adalah 6.

Dengan hukuman atau dengan denda (dengan pinalti) Karena diragukan adanya unsur tebakan, maka digunakan dua macam rumus. Sebagai contoh :

Banyaknya soal = 10 buah

Betul

= 8 buah

Salah

= 2 buahRumus 1: S = R + WS = Score R = Right W = Wrong Jadi, skornya adalah 8 2 = 6

Rumus 2:

S = T -2W

T = jumlah total soal

Jadi, skornya adalah 10 2 (2) = 6b. Tes bentuk pilihan ganda (multiple choice) Kunci jawaban untuk pilihan ganda dapat diberikan seperti berikut:

1. a b c d

2. a b c d

3. a b c d

4. a b c d

5. a b c d

Dalam menentukan angka untuk tes bentuk pilihan ganda dikenal 2 macam cara, yakni tanpa hukuman dan dengan hukuman. Tanpa hukuman apabila banyaknya angka dihitung dari banyaknya jawaban yang cocok dengan kunci jawaban. Dengan hukuman menggunakan rumus:

S = R - S = ScoreR = RightW = Wrongn = banyaknya pilihan jawaban

Contoh:

Banyak soal: 10 buah

Banyak betul: 8 buah

Salah

: 2 buah

Banyak pilihan: 3 buah

Maka skornya adalah:

S = 8 -

= 8 1 = 72. Tes bentuk jawaban singkat (short answer test)

Melihat namanya, maka jawaban untuk tes tersebut tidak boleh berbentuk kalimat-kalimat panjang, tetapi harus sesingkat mungkin dan mengandung satu pengertian. Dengan persyaratan inilah maka bentuk tes ini dapat digolongkan ke dalam bentuk tes objektif. Tes bentuk isian, dianggap setaraf dengan tes jawab singkat. Kunci jawaban sesuai dengan nomornya.

Contoh:

1) Berat jenis

2) Mengembun

3) Populasi

4) Energi

Untuk pemberian skor, sebaiknya tiap soal diberi angka 2 (dua) karena walaupun usaha yang dikeluarkan siswa sedikit, tetapi lebih sulit dari pada bentuk tes betul-salah. Dapat juga pemberian angka disamakan dengan angka pada tes bentuk betul-salah atau pilihan ganda jika memang jawaban yang diharapkan ringan atau mudah. Tetapi sebaliknya, jika jawabannya bervariasi, misalnya lengkap sekali, lengkap dan kurang lengkap, maka angkanya dapat dibuat bervariasi pula misalnya 2; 1,5; dan 1.a. Tes menjodohkan (matching)

Pada dasarnya tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda, dimana jawaban-jawaban dijadikan satu, demikian pula pertanyaan-pertanyaannya. Dengan demikian, maka pilihan jawabannya dibuat sedemikian rupa sehingga jawaban yang satu tidak diperlukan bagi pertanyaan lain. Kunci jawaban tes bentuk menjodohkan dapat berbentuk deretan nomor yang diikuti oleh huruf-huruf yang terdapat di depan alternatif jawaban.

Contoh:

1. f 3. e 5. d2. c 4. a 6. bTes menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda yang lebih kompleks, maka angka yang diberikan sebagai imbalan juga harus lebih banyak, minimal angka untuk tiap nomor adalah 2 (dua).b. Tes bentuk Uraian

Sebelum menyusun sebuah tes uraian, sebaiknya kita tentukan terlebih dahulu pokok-pokok jawaban yang kita kehendaki. Dengan demikian, maka akan mempermudah kita dalam pekerjaan mengoreksi tes itu.

Tidak ada jawaban yang pasti terhadap tes bentuk uraian ini. Jawaban yang kita peroleh akan sangat beraneka ragam dari siswa yang satu ke siswa yang lain. Langkah-langkah untuk mempermudah dalam mengoreksi dan memberi angka tes bentuk uraian adalah sebagai berikut.1) Membaca jawaban dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban. Dengan membaca seluruh jawaban, kita dapat memperoleh gambaran lengkap tidaknya jawaban yang diberikan siswa secara keseluruhan.

2) Menentukan angka untuk soal pertama tersebut, misalnya jika jawaban-nya lengkap diberi angka 5, kurang sedikit diberi angka 4, begitu seterusnya sampai kepada jawaban yang paling minim. c. Kunci jawaban dan kunci pemberian skor untuk tugas

Kunci jawaban untuk memeriksa tugas merupakan pokok-pokok yang harus termuat di dalam pekerjaan siswa. Hal ini menyangkut kriteria tentang isi tugas. Namun sebagai kelengkapan dalam pemberian skor, digunakan suatu tolak ukur tertentu, yaitu sebagai berikut.1) Ketepatan waktu penyerahan tugas

2) Bentuk fisik pengerjaan tugas yang menandakan keseriusan mahasiswa dalam mengerjakan tugas.3) Sistematika yang menunjukkan alur keruntutan pikiran.

4) Kelengkapan isi menyangkut ketuntasan penyelesaian dan kepadatan isi.

5) Mutu hasil tugas, yaitu kesesuaian hasil dengan garis-garis yang sudah ditentukan oleh dosen.

Dalam pemberian skor, perlu dipikirkan peranan masing-masing aspek kriteria tersebut, misalnya:

A1 ketepatan waktu diberi bobot 2

A2 bentuk fisik diberi bobot 1

A3 sistematika, diberi bobot 3

A4 kelengkapan isi diberi bobot 3

A5 Mutu hasil, diberi bobot 3

2.4 Mengolah Nilai

Beberapa skala penilaian adalah sebagai berikut:

a. Skala Bebas

Skala bebas adalah skala yang tidak tetap, ada kalanya skor tertinggi 20, lain kali 25, dan lain kali lagi 50. Ini semua tergantung dari banyak dan bentuk soal. Jadi angka tertinggi tidak selalu sama.b. Skala 1- 10Dalam skala 1-10, guru jarang memberikan angka pecahan, misalnya 5,5. Angka 5,5 tersebut dibulatkan menjadi 6. Padahal angka 6,4 pun akan dibulatkan menjadi 6. Dengan demikian, maka rentangan angka 5,5 sampai dengan 6,4 akan keluar di rapor dalam satu wajah yaitu angka 6.

c. Skala 1-100

Dengan menggunakan skala 1-100, maka bilangan bulat yang ada masih menunjukkan penilaian yang agak kasar. Ada sebenarnya hasil prestasi yang berada diantara kedua angka bulat itu. Untuk itulah maka, dengan menggunakan skala 1-100, dimungkinkan melakukan penilaian yang lebih halus karena terdapat 100 bilangan bulat. Nilai 5,5 dan 6,4 dalam skala 1-10 yang biasanya dibulatkan menjadi 6, dalam skala 1-100 dapat dituliskan dengan 55 atau 64.

d. Skala Huruf

Selain menggunakan angka, pemberian nilai juga dapat dilakukan dengan huruf A, B, C, D dan E. Sebenarnya sebutan skala di atas ini ada yang mempersoalkan, jarak antara A dan B tidak dapat digambarkan sama dengan jarak antara B dan C atau antara C dan D. Dalam menggunakan angka dapat dibuktikan dengan garis bilangan bahwa jarak antara 1 dan 2 sama dengan jarak antara 2 dan 3. Demikian pula jarak antara 3 dan 4, serta 4 dan 5. Akan tetapi justru alasan inilah lalu timbul pikiran untuk menggunakan huruf sebagai alat penilaian. Untuk menggambarkan kelemahan dalam menggunakan angka adalah dengan angka dapat ditafsirkan sebagai nilai perbandingan. Siswa A yang memperoleh angka 8 dalam sejarah tidak berarti memiliki kecakapan sebanyak 2 kali lipat kecakapan siswa B yang memperoleh angka 4 dalam rapor. Jadi sebenarnya, menggunakan angka hanya merupakan simbol yang menunnjukkan urutan tingkatan. Siswa A yang memperoleh angka 8 memiliki prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa B yang memperoleh angka 4.Huruf terdapat dalam urutan abjad. Penggunaan huruf dalam penilaian akan terasa lebih tepat digunakan karena tidak ditafsirkan sebagai arti perbandingan. Huruf tidak menunjukkan kuantitas, tetapi dapat digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan kualitas. Oleh karena itu, dalam mengambil jumlah atau rata-rata akan dijumpai kesulitan. Padahal dalam pengisian rapor, kita tidak dapat terlepas dari pekerjaan mengambil rata-rata.Ada satu cara yang digunakan untuk mengambil rata-rata dari huruf, yaitu dengan mentransfer huruf tersebut menjadi nilai angka dahulu. Satu nilai huruf itu mewakili satu rentangan nilai angka.

Angka 100Angka 10IP HurufKeterangan

80 1008,0 10,08,1 10ABaik sekali

66 796,6 7,96,6 8,0BBaik

56 655,6 6,55,6 6,5CCukup

40 554,0 5,54,1 5,5DKurang

30 393,0 3,90 4,0EGagal

2.5 Acuan Penilaian

Dalam melakukan penilaian, ada beberapa acuan yang digunakan untuk interpretasi hasil, yaitu acuan intuitif, acuan ipsatif, acuan sempurna, dan acuan kriteria. 2.5.1 Acuan Intuitif

Acuan intuitif menggunakan pakar yang berpengalaman. Pakar itu menggunakan kepakarannya dan pengalamannya untuk secara intuitif mem-beri arti kepada sekor. Hasilnya adalah tara intuitif dalam bentuk, misalnya A sampai E atau 4 sampai 0. Cara ini sangat subjektif sehingga hasilnya bisa berbeda-beda dari pakar satu ke pakar lainnya. Untuk mengatasinya, dapat digunakan lebih dari satu pakar dan taranya direratakan. 2.5.2 Acuan Ipsatif Ipse adalah diri sendiri sehingga acuan ipsatif adalah acuan terhadap diri responden bersangkutan. Caranya adalah mencari hasil masa lalu dari responden bersangkutan, serta membandingkan hasil sekarang dengan hasil masa lalu itu. Misalnya, sekor responden adalah 85.

Pada masa lalu, responden bersangkutan memiliki sekor 70 sehingga tara ipsatif adalah +15, tetapi bila pada masa lalu, responden memiliki sekor 95, maka tara ipsatif-nya adalah -10.

2.5.3 Acuan Sempurna

Acuan sempurna memiliki kriteria sempurna. Jarak di antara sekor responden dengan kriteria sempurna menentukan tara sempurna. Tara sempurna dapat menggunakan, misalnya A samapai E atau 4 sampai 0. Misalnya, kriteria sempurna adalah 100, sedangkan sekor responden adalah 85. Jarak di antara 85 dan 100 ini, misalnya A atau 4.2.5.4 Acuan Norma

Acuan norma memerlukan suatu kelompok pembanding yang dinama-kan kelompok norma. Kedudukan sekor responden pada sekor kelompok norma itu menghasilkan tara. Tara pada acuan norma yang banyak diguna-kan adalah tara peringkat persentil, tara nilai baku, dan khusus untuk bidang pendidikan, tara tingkat kelas, dan tara umur.

2.5.5 Acuan Kriteria

Acuan kriteria memerlukan deskripsi tentang kriteria, misalnya kriteria penguasaan akan bongkar-pasang mesin. Acuan kriteria juga memerlukan standar ketuntasan penguasaan dengan hasil telah menguasai atau belum menguasai. Acuan kriteria memerlukan alat ukur khusus yang memenuhi kriteria yang digunakan. Dengan alat ukur ini, diperoleh hasil ukur yang diacu ke standar. Acuan ke standar ini menghasilkan ketuntasan penguasa-an, sudah menguasai atau belum menguasai. 2.6 Acuan norma Hasil penilaian acuan norma dapat digambarkan menurut kurva distribu-si normal, seperti gambar di bawah ini.

Gambar 2.1 Ilustrasi Kurva Distribusi Normal

Distribusi normal adalah tipe distribusi khusus yang sangat berguna ketika menginterpretasikan skor ujian. Distribusi normal yang digambarkan sebagai kurva normal (Gausian) atau kurva bentuk lonceng adalah sebuah distribusi yang mengkarakterisasikan banyak variabel yang terjadi di alam. Pada kurva distribusi normal kita juga dapat melihat suatu skor ujian yang luas condong tertimbun sekitar tengah distribusi. Kurva distribusi normal merupakan kurva distribusi berbentuk simetris, unimodal, di mana skor rata-rata = median = modus. Kurva distribusi normal berbentuk simetris karena jika kita membagi distribusi menjadi dua bagian, maka akan terbagi menjadi dua bagian yang sama sehingga karakteristik paling berguna dari distribusi normal adalah proporsi yang dapat diprediksi terjadi pada skor yang spesifik dalam distribusi. Dengan acuan norma, hasil tes seseorang dibandingkan dengan kelompoknya sehingga dapat diketahui posisi seseorang. Acuan ini biasanya digunakan pada tes untuk seleksi karena sesuai dengan tujuannya tes seleksi adalah untuk membedakan kemampuan seseorang dan untuk mengetahui hasil belajar seseorang.

Tujuan penggunaan tes acuan norma biasanya lebih umum dan komprehensif dan meliputi suatu bidang isi dan tugas belajar yang besar. Pada pendekatan acuan norma, standar kinerja yang digunakan bersifat relatif, artinya tingkat kinerja seorang siswa ditetapkan berdasarkan pada posisi relatif dalam kelompoknya. Artinya, seorang yang memperoleh nilai di atas rata-rata kelompoknya maka siswa tersebut memperoleh skor yang tinggi, begitu juga sebaliknya. Salah satu keuntungan dari standar relatif ini adalah penempatan skor (kinerja) siswa dilakukan tanpa memandang kesulitan suatu tes secara teliti. Kekurangan dari penggunaan standar relatif:

Dianggap tidak adil

Membuat persaingan yang tidak sehat diantara siswa

Contoh A acuan norma dalam menentukan nilai siswa.

Dalam kelas matematika, peserta tes terdiri dari 9 orang dengan skor mentah 50, 45, 45, 40, 40, 40, 35, 35, dan 30. Jika menggunakan pendekatan penilaian acuan normal (PAN), maka peserta tes yang mendapat skor tertinggi (50) akan mendapat nilai tertinggi, misalnya 10, sedangkan mereka yang mendapat skor di bawahnya akan mendapat nilai secara proporsional, yaitu 9, 9, 8, 8, 8, 7, 7, 6.

Skor 50 dikonversi menjadi nilai 10 sebagai nilai tertinggi yang di-capai peserta tes, yang diperoleh dengan cara: x 10 = 50. Penentuan nilai dengan skor di atas dapat juga dihitung terlebih dahulu persentase jawaban benar, lalu yang memperoleh persentase tertinggi diberikan nilai tertinggi.

Acuan norma memerlukan kelompok norma. Kelompok norma boleh lebih dari satu sehingga diperoleh tara untuk setiap kelompok norma. Tara pada kelompok norma dapat saja berbeda-beda. 2.6.1 Data Kelompok Norma

Untuk dapat menentukan tara pada acuan norma diperlukan informasi dari setiap kelompok norma. Semua sekor pada kelompok norma perlu diketahui sehingga dapat dipakai sebagai acuan pada sekor responden. Semua sekor ini adalah populasi data kelompok norma.

Ada kalanya populasi data kelompok norma tidak dapat diperoleh. Tanpa populasi data ini, tara tidak dapat ditentukan. Untuk mengatasi tiadanya populasi data kelompok norma, sering digunakan sampel data kelompok norma. Cara penarikan sampel supaya memenuhi ketentuan yang ditentukan oleh teknik pensampelan. Diharapkan bahwa tara pada populasi kelompok norma akan sama dengan tara pada sampel kelompok norma sehingga sampel kelompok norma dapat digunakan untuk menggantikan kedudukan populasi kelompok norma.2.6.2 Kedudukan dan Ukuran Kelompok Norma

Kedudukan kelompok norma diartikan sebagai seberapa luasnya ke-lompok norma itu dikenal orang. Kelompok norma hasil ujian TOEFL, misalnya, dikenal hampir di seluruh dunia. Kelompok norma Ujian Nasional di Indonesia, dikenal di seluruh Indonesia.

Karena tara pada acuan norma terkait dengan kelompok norma, maka tara itu akan dikenal banyak orang sekiranya kelompok normanya juga dikenal oleh orang banyak. Tara pada acuan norma yang berasal dari kelom-pok norma yang tidak dikenal luas, tidak akan ada artinya bagi masyarakat luas yang membacanya. Itulah sebabnya, kelompok norma yang dipilih

adalah kelompok norma yang dikenal luas, seperti Sea Games pada olahraga atau Olimpiade. Ada beberapa macam ukuran kelompok norma. Berapa besar pun ukurannya, diharapkan bahwa ukuran itu tidak terlalu kecil. Sela-in kegunaannya sangat kecil, ukuran kelompok norma yang kecil juga tidak dikenal orang sehingga taranya tidak memiliki arti bagi banyak orang. 2.6.3 Transformasi Linier Skor Mentah Menjadi Skor Standar

2.6.3.1 z-scores

z-scores adalah format skor standar paling sederhana dan mengindikasikan seberapa jauh skor mentah di atas atau di bawah rata-rata distribusi dalam unit standar deviasi. Persamaan untuk menentukan z-scores

z-scores (Xi X)

SDx di mana Xi = Skor mentah setiap individual i

X = Rata-rata skor mentah

SDx = Standar deviasi skor mentah

z-scores memiliki skor rata-rata 0 dan standar deviasi 1. Semua skor di atas rata-rata akan menjadi positif dan semua skor di bawah rata-rata akan menjadi negatif. Contohnya, z-scores 1,6 artinya 1,6 standar deviasi di atas skor rata-rata dan z-scores -1,6 artinya 1,6 standar deviasi di bawah skor rata-rata. Sedikit tes yang mempublikasikan laporan z-scores. Meskipun demikian, peneliti biasa menggunakan z-scores karena skor rata-rata 0 dan standar deviasi 1 membuat formula statistika lebih mudah untuk dikalkulasi.2.6.3.2 T-scores

T-scores memiliki skor rata-rata 50 dan standar deviasi 10. Dibandingkan dengan z-scores, T-scores memiliki kelebihan, yaitu semua memiliki skor positif dan tanpa desimal. Contohnya, skor 66 adalah 1,6 standar deviasi di atas skor rata-rata dan skor 34 adalah 1,6 standar deviasi di bawah skor rata-rata. Persamaan untuk menentukan T-scores :

T-scores = 50 + 10 . (Xi X)

SDx

di mana Xi = Skor mentah setiap individu yang mengambil ujian i

X = Rata-rata skor mentah

SDx = Standar deviasi skor mentah

2.6.3.3 Wechsler IQ

Ukuran kecerdasan Wechsler menggunakan suatu format skor standar dengan rata-rata 100 dan standar deviasi 15. Seperti T-scores, format Wechsler IQ meninggalkan skor desimal dan negatif. Contohnya, skor 124 adalah 1,6 standar deviasi di atas rata-rata dan skor 76 adalah 1,6 standar deviasi di bawah rata-rata.

2.6.3.4 Stanford-Binet IQ

Ukuran kecerdasan Stanford-Binet sampai kini digunakan suatu format skor standar dengan rata-rata 100 dan standar deviasi 16. Ini mirip dengan format yang diambil dari ukuran Wechsler, tetapi standar deviasi ini 16, bukan 15. Dengan ukuran Stanford-Binet, skor 126 adalah 1,6 standar deviasi di atas rata-rata dan nilai 74 adalah 1,6 standar deviasi di bawah rata-rata. Baik Wechsler IQ, maupun Stanford-Binet IQ, persamaan umum untuk menentukan rasio IQ, yaitu MA / CA x 100, di mana MA (Mental Age) dan CA (Chronological Age).

2.6.3.5 CEEB Scores (SAT/GRE) Format ini dikembangkan oleh College Entrance Examination Board dan digunakan dengan tes Scholastic Assesment Test (SAT) dan the Graduate Record Examination (GRE). Skor CEBB memiliki rata-rata 500 dan standar deviasi 100. Dengan format ini, skor 660 adalah 1,6 standar deviasi di atas rata-rata dan skor 340 adalah 1,6 standar deviasi di bawah rata-rata.

Secara jelas, format penentuan skor standar sangatlah penting. Misalkan, suatu skor standar 70. Jika ini adalah T-score, skor 70 merepresentasikan suatu skor 2 standar deviasi di atas rata-rata. Jika ini adalah Wechsler IQ, skor 70 merepresentasikan suatu skor 2 standar deviasi di bawah rata-rata. Hubungan di antara perbedaan format skor baku dapat disimpulkan seperti tabel di bawah ini.

Tabel 2.1 Hubungan di antara Perbedaan Format Skor BakuPersamaan untuk mengkonversi di antara beberapa skor baku di atas, yaitu

Skor baku = (Xi X)

SDMisalkan, kita akan mengkonversi skor baku z-scores 1,6 menjadi skor T-scores, IQ Wechsler, dan CEEB, maka caranya :

a. Konversi z-scores menjadi T-scores (rata-rata 50 dan standar deviasi 10)

1,6 = Xi - 50 Xi = skor dalam T-scores = 66

10

b. Konversi z-scores menjadi IQ Wechsler

(rata-rata 100 dan standar deviasi 15)

1,6 = Xi 100 Xi = skor dalam IQ Wechsler = 124

15

c. Konversi z-scores menjadi CEEB (rata-rata 500 dan standar deviasi 100)

1,6 = Xi -500 Xi = skor dalam CEEB = 660

100

2.6.4 Transformasi Non-linier Skor Mentah Menjadi Skor Standar

2.6.4.1 Staine Scores (Standard Nine) Staine scores membagi distribusi menjadi 9 bagian. Staine scores memiliki skor rata-rata 5 dan standar deviasi 2. Karena staine scores hanya menggunakan 9 skor untuk merepresentasikan keseluruhan jangkauan, maka staine scores tidak tepat dalam menunjukkan format skor.

2.6.4.2 Percentile Rank (Peringkat Persentil) Salah satu cara yang mudah dimengerti untuk menginterpretasikan suatu skor ujian adalah peringkat persentil. Peringkat persentil merefleksi-kan persentase suatu skor terhadap skor lain dalam suatu distribusi. Pering-kat persentil skor menunjukkan kedudukan relatif skor tersebut tanpa mem-pedulikan skor rata-rata dari standar deviasi kelompok.

Skor yang mempunyai peringkat persentil = 70 menunjukkan bahwa skor itu berada di atas 70 % skor lainnya dan hanya terdapat 30 % skor yang lebih tinggi. Jadi, peringkat persentil merupakan peringkat kedudukan skor.

2.6.4.2.1 Tara Peringkat Persentil Salah satu tara pada acuan norma adalah Tara Peringkat Persentil (TPP). Tara ini menggunakan ukuran persentase antara 0 % sampai 100 %.2.6.4.2.1.1 Peringkat Persentil (PP) pada Kelompok Norma

Peringkat persentil merupakan salah satu bentuk transformasi sekor nonlinier. Peringkat persentil adalah letak sekor itu di dalam kelom-pok sekor responden yang menyatakan bahwa sekor itu lebih tinggi dari se-kian persen sekor responden lainnya. Di dalam penggunaannya, transfor-masi persentil yang banyak digunakan adalah PP semi-inklusif. Sebagai langkah pertama, sekor di dalam populasi kelompok norma atau sampel kelompok norma disusun ke dalam peringkat semi-inklusif. Contoh ini me-nunjukkan kelompok norma yang disusun ke dalam peringkat semi-inklusif.

A (Sekor)Frekuensi% Proporsi % ProporsiPP

220442

3408128

470142619

590184435

6130267057

7100209080

8501010095

Total500100

Tabel 2.2 Contoh Peringkat Persentil pada Suatu Kelompok Norma

Sekor responden 6, misalnya, memiliki TPP yang sama dengan PP pada sekor 6 di kelompok norma sehingga TPP6 = 57. Jadi, responden yang memiliki sekor 6 lebih tinggi dari 57 % sekor responden lain.2.7 Acuan Kriteria Berbeda dengan acuan norma, pada acuan kriteria, hasil pengukuran tidak diacu ke kelompok norma, melainkan diacu ke kriteria penguasaan akan sesuatu. Dari acuan itu dapat ditentukan penguasaan responden akan sesuatu itu. Biasanya pengukuran dilakukan melalui ujian yang disesuaikan dengan kriteria penguasaan. Ketentuan tentang penguasaan responden akan sesuatu dilakukan melalui standar penguasaan. Jadi, tara acuan kriteria terdiri atas belum menguasai dan sudah menguasai (tuntas). Acuan kriteria berasumsi bahwa hampir semua orang bisa belajar apa saja, namun waktunya yang berbeda. Konsekuensi acuan ini adalah adanya program remedial. Penafsiran skor hasil tes selalu dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan lebih dahulu. Hasil tes ini dinilai lulus atau tidak. Lulus berarti bisa melakukan, tidak lulus berarti tidak bisa melakukan. Acuan ini banyak digunakan untuk bidang sains dan teknologi serta mata kuliah praktik. Tujuan penggunaan acuan kriteria untuk menyeleksi (secara pasti) status individual mengenai domain perilaku yang ditetapkan atau dirumuskan dengan baik. Hal itu dimaksudkan untuk mendapat gambaran yang jelas tentang kinerja peserta tes, tanpa memperhatikan bagaimana kinerja tersebut dibandingkan dengan kinerja yang lain.

Dalam pendekatan dengan acuan kriteria, penentuan tingkatan didasarkan pada skor-skor yang telah ditetapkan sebelumnya dalam bentuk presentase. Untuk mendapatkan nilai A atau B, seorang siswa harus mendapatkan skor tertentu sesuai dengan batas yang ditentukan tanpa terpengaruh oleh kinerja (skor) yang diperoleh siswa lain dalam kelasnya. Salah satu kelemahan dalam menggunakan standar absolut adalah skor siswa bergantung pada tingkat kesulitan tes yang mereka terima. Artinya, apabila tes yang diterima siswa mudah maka para siswa akan mendapat nilai A atau B, dan sebaliknya apabila tes tersebut terlalu sulit untuk diselesaikan maka, kemungkinan untuk mendapatkan nilai A atau B akan sangat kecil.

Dalam menginterpretasi skor mentah menjadi nilai dengan mengguna-kan pendekatan acuan kriteria, maka terlebih dahulu ditentukan kriteria kelulusan dengan batas-batas nilai kelulusan. Umumnya kriteria nilai yang digunakan dalam bentuk rentang skor berikut:

Rentang SkorNilai

80 s.d 100A

70 s.d 79B

60 s.d 69C

45 s.d 59D

< 45E

Contoh B di bawah ini, mempunyai data yang sama dengan contoh A, jika digunakan penilaian acuan kriteria, maka langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan kriteria, misalnya sebagai berikut:

Rentang SkorNilai

90 s.d 10010

80 s.d 899

70 s.d 798

60 s.d 697

50 s.d 596

40 s.d 495

30 s.d 394

20 s.d 293

10 s.d 192

0 s.d 91

Setelah kriteria ditetapkan, langkah berikutnya adalah mengkonversi skor mentah ke nilai. Untuk skor : 50 dikonversi menjadi nilai 6

45 dikonversi menjadi nilai 5

40 dikonversi menjadi nilai 5

35 dikonversi menjadi nilai 4

30 dikonversi menjadi nilai 4

Skor Mentah Nilai Pendekatan

Norma Kriteria

50106

45 95

40 85

35 74

30 64

Tabel 2.3 Skor Mentah, Nilai Pendekatan Normal, dan KriteriaMencermati tabel di atas, tampak bahwa terjadi perbedaan yang berarti antara informasi yang disajikan oleh kedua pendekatan yang digunakan. Untuk skor 50, seorang siswa akan mendapatkan nilai 10 jika menggunakan pendekatan acuan penilaian norma, tetapi akan memperoleh nilai 6 jika menggunakan pendekatan acuan penilaian kriteria. 2.7.1 Standar Batas Penguasaan

Tara acuan kriteria memerlukan standar batas penguasaan sebagai ru-jukan. Standar batas ini perlu ditetapkan dan bahkan perlu disusun terlebih dahulu. Ada berbagai metode yang dapat digunakan untuk menyusun stan-dar batas penguasaan, yaitu metode penilaian secara profesional, Metode Nedelsky, Metode Angoff, Metode Kelompok Kontras, atau Metode Book-mark. Di sini, sebagai dasar penentuan standar adalah taraf sukar butir ujian dan tingkat penguasaan responden. Butir yang relatif sukar bagi responden memiliki standar berbeda dari butir yang relatif mudah bagi responden.

2.7.1.1 Metode Penilaian Secara Profesional Metode ini menggunakan pakar berpengalaman untuk menentukan penguasaan responden. Setelah melihat alat ukur, maka berdasarkan pe-ngalaman mereka, secara intuisi, ditetapkan batas nilai penguasaan. Di atas batas nilai penguasaan itu, responden dinyatakan sudah menguasai dan di bawah batas nilai itu, responden dinyatakan belum menguasai. Kelemahan dari metode ini adalah penentuan batas penguasaan dilakukan secara sangat subjektif. Oleh karena itu, biasanya digunakan beberapa orang pakar, misal-nya tiga orang pakar untuk menentukan batas. Rerata dari keputusan pakar dijadikan batas penguasaan.

2.7.1.2 Metode Nedelsky

Metode ini dikemukakan oleh L. Nedelsky pada tahun 1954. Meto-de ini berlaku untuk jawaban pilihan ganda dengan satu jawaban betul. Dasar metode ini adalah peluang menjawab betul. Tanpa memandang pe-nguasaan responden, peluang untuk menjawab betul adalah satu dari ba-nyaknya pilihan ganda. Misalkan, ada n pilihan, maka peluang untuk me-milih jawaban betul adalah 1 dari n.

Menurut Nedelsky, kalau tingkat penguasaan pada responden ikut diperhatikan, maka mungkin saja peluang untuk menjawab betul menjadi berkurang. Mungkin ada butir yang dapat dijawab betul oleh responden dengan penguasaan minimum. Jika pilihan itu tidak dihitung, maka peluang untuk memilih jawaban betul akan berkurang, misalnya menjadi 1 dari n-1 atau dari n-2. Misalnya, pertanyaan tentang tentang geografi berikut.

Ibukota Mongolia adalah... (A) Ulanbator (C) Tashkent

(B) Urunqi (D) LondonPada butir tentang nama ibukota Mongolia, semula terdapat 4 pilihan ja-waban. Namun, orang dengan pengetahuan geografi minimum juga me-ngetahui bahwa London tidak mungkin menjadi ibukota Mongolia sehingga sebenarnya tinggal 3 pilihan jawaban. Peluang menjawab betul dari 1 di antara 4 menjadi 1 di antara 3. Berikut ini adalah contoh penggunaannya.ButirPilihanProbabilitasPilihanProbabilitas

1431/3

2431/3

3421/2

4411

5431/3

6411

742

8411

Total322165

Tabel 2.4 Contoh Peluang Menjawab Betul pada 8 Butir

Sebelumnya, dengan 4 pilihan jawaban, untuk 8 butir, batas penguasaannya adalah 2. Setelah dikurangi oleh pakar, maka untuk 8 butir yang sama, batas penguasaannya adalah 5. Jadi, nilai di atas 5 sudah di atas terkaan dianggap sudah menguasai. Untuk mengurangi faktor subjektif pakar dalam mengu-rangi pilihan jawaban, maka digunakan lebih dari satu pakar, misalnya tiga pakar. Hasil dari pakar itu direratakan untuk dijadikan batas penguasaan. 2.7.1.3 Metode Angoff

Metode Angoff dalam penentuan standar batas penguasaan telah dipakai secara luas. Metode ini menggunakan pakar yang mempelajari butir ujian serta menggunakan kelompok responden tertentu yang sudah diketahui penguasaannya, sepert contoh di bawah ini.

ButirTaksiran

180 %

240 %

310 %

460 %

580 %

6100 %

7100 %

850 %

950 %

1070 %

Rerata64 %

Tabel 2.5 Contoh Standar Batas Penguasaan

Menurut Pakar pada Metode Angoff

Dengan kepakaran dan pengalamannya, secara intuisi, pakar menentukan persentase responden dengan penguasaan minimum. Dari persentase ini, ditentukan nilai batas penguasaan, yaitu 64 %.2.7.1.4 Metode Kelompok Kontras

Pada metode kelompok kontras digunakan dua kelompok kontras. Satu kelompok adalah responden yang diambil dari mereka yang sudah menguasai dan kelompok lainnya adalah responden yang belum menguasai.

Gambar 2.2 Contoh Nilai Kelompok KontrasDari contoh gambar di atas, didapat nilai perpotongan antara kelompok yang sudah menguasai dan belum menguasai adalah 13. Maka, nilai 13 inilah sebagai nilai batas penguasaan. Di atas nilai itu, responden sudah menguasai dan di bawah nilai itu, responden belum menguasai.

2.7.1.5 Metode Bookmark Pada metode bookmark, butir pada ujian diurut dari mudah ke yang sukar dan disusun berurutan, seperti halaman buku. Kemudian para pakar berunding untuk seperti menyelipkan tanda pada halaman buku, menentu-kan nilai batas penguasaan sebagai standar batas penguasaan. Dalam pelak-sanaan, penentuan ini dapat dilakukan beberapa kali dan oleh beberapa kelompok sampai terjadi kesepakatan di antara mereka tentang nilai batas penguasaan. Ada juga yang menggunakan teori responsi butir untuk menen-tukan taraf sukar butir. Setelah diurutkan dari yang mudah ke sukar, nilai batas ditentukan pada taraf sukar butir dengan probabilitas jawaban betul sebesar 0,67.

2.8 Acuan Norma, Acuan Kriteria atau Keduanya ?

Sangatlah mungkin sebuah tes menggunakan acuan norma dan acuan kriteria sekaligus. Acuan norma dapat diaplikasikan pada jenis tes yang memiliki jangkauan materi lebih luas dibandingkan dengan acuan kriteria. Acuan norma dapat diterapkan pada Tes Performansi Maksimal (Maksimum Performance Test, seperti tes bakat dan prestasi) dan Tes Performansi Tipikal (typical response, seperti tes minat, sikap dan tingkah laku), namun acuan kriteria secara khusus hanya dapat diterapkan pada Tes Performansi Maksimal. Karena skor yang menggunakan acuan kriteria menggambarkan kemampuan peserta tes pada materi tertentu, maka tidak logis jika meng-gunakan acuan kriteria untuk mengukur kepribadian.

Mengingat acuan kriteria memiliki fokus pada pendefinisian kemampu-an, acuan kriteria kebanyakan digunakan pada tes prestasi belajar atau tes lain yang didesain untuk menilai penguasaan atau kemampuan siswa. Konstruksi, seperti sikap dan intelegensi biasanya lebih luas dan lebih tepat bila menggunakan acuan norma. Bahkan, pengujian prestasi sering diguna-kan kerangka acuan norma dibandingkan dengan acuan kriteria karena dapat mencakup pengetahuan dan materi yang lebih luas.

Walaupun pembahasan sejauh ini lebih menekankan kepada perbedaan antara kerangka acuan norma dan acuan kriteria, keduanya tidak saling asing. Tes dapat dikembangkan dengan menggunakan acuan norma dan kri-teria karena keduanya memiliki karakteristik tersendiri dan memberikan in-formasi yang bermanfaat. Acuan Norma memberikan informasi penting ten-tang bagaimana kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya, sedangkan acuan kriteria memberikan informasi penting tentang seberapa besar tingkat seorang siswa menguasai pengetahuan atau materi tertentu. Karakteristik acuan norma dan acuan kriteria dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Acuan NormaAcuan Kriteria

Membandingkan kemampuan seseorang dengan kemampuan dalam kelompok, bersifat relatifMembandingkan kemampuan seseorang dengan sesuatu tingkatan atau kriteria khusus, bersifat mutlak

Agar interpretasinya bermanfaat, diperlukan suatu acuan kelompok yang relevanAgar interpretasinya bermanfaat, diperlukan definisi pengetahuan atau materi secara hati-hati

Biasanya menguji cakupan pengetahuan atau materi lebih luasBiasanya menguji cakupan materi yang lebih terbatas dan sempit

Memuat lebih sedikit jumlah butir untuk mengukur setiap tujuan tesMemuat lebih banyak butir untuk mengukur setiap tujuan tes

Butir soal dipilih dengan tingkat kesulitan menengah. Butir soal dengan tingkat kesulitan mudah dan sulit biasanya dihilangkanButir soal dipilih dapat mencakup seluruh materi yang ada. Tingkat kesulitan butir soal disesuaikan dengan tingkat kesulitan materi

Contoh: Peringkat persentil. Pering-kat persentil 80 menunjukkan bahwa dalam kelompoknya, ada 80% peser-ta tes lainnya yang memiliki kemam-puan kurang atau sama dengan kemampuan peserta tes tersebutContoh: Persentase skor jawaban benar (percent corrent). Persentase skor jawaban benar 80 menunjukkan bahwa peserta tes berhasil menjawab secara benar 80% dari butir tes yang diujikan

Tabel 2.6 Karakteristik Acuan Norma dan Acuan Kriteria

(Dikutip dari Reynolds, et al. dalam Kusaeri,suprananto. 2012:48)2.9. Perhitungan Penilaian dengan Acuan Kriteria dan Acuan Norma Untuk menjelaskan bagaimana proses penilaian yang dilakukan dengan acuan norma dan kriteria, berikut ini diberikan sebuah contoh. Sebanyak 20 orang siswa mengikuti tes hasil belajar berbentuk objektif sebanyak 100 bu-tir. Dari pengukuran (testing), diperoleh hasil sebagai berikut.

SiswaSkor

160

287

373

476

571

667

784

865

963

1086

1194

1285

1385

1478

1579

1691

1792

1882

1983

2075

Penilaian yang dilakukan menggunakan acuan kriteria dengan skala 0 s.d 100 dan batas minimal ketuntasan belajar adalah 60, maka perhitungan nilai dan pengambilan keputusan dapat dilakukan sebagai berikut. SiswaSkorNilaiBatas LulusKeputusan

1606060Lulus

2878760Lulus

3737360Lulus

4767660Lulus

5717160Lulus

6676760Lulus

7848460Lulus

8656560Lulus

9636360Lulus

10868660Lulus

11949460Lulus

12858560Lulus

13858560Lulus

14787860Lulus

15797960Lulus

16919160Lulus

17929260Lulus

18828260Lulus

19838360Lulus

20757560Lulus

Hasilnya akan berbeda apabila penilaian menggunakan acuan norma. Misal-kan skala yang digunakan adalah 0-4 atau A-E, acuan yang digunakan ada-lah acuan norma dan siswa dinyatakan lulus bila memperoleh nilai minimal 2 atau C, maka perhitungan nilai dan pengambilan keputusan dapat dila-kukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Menyajikan tabel

Datafi

60-694

70-796

80-897

90-1003

Jumlah20

2. Menghitung rata-rata

DataXififiXi

60-6964,54258

70-7974,56447

80-8984,57591,5

90-10094,53283,5

Jumlah201580

3. Menghitung Standar DeviasiDataXiXfi(Xi X)2fi(Xi X)2

60-6964,5794210,25841

70-7974,579620,25121,50

80-8984,579730,25211,75

90-10094,5793240,25720,75

Jumlah201895

4. Menentukan Rentang Nilai

Karena ada 6 standar deviasi dalam kurva normal dan 5 rentang nilai

(A-E atau 0-4) yang dicapai, maka pembagian standar deviasi =

6 / 5 = 1,2

5. Menghitung Nilai dan Membuat Keputusan

SiswaSkorAngkaHuruf Keputusan

1600ETidak lulus

2873BLulus

3731DTidak lulus

4762CLulus

5711DTidak lulus

6671DTidak lulus

7842CLulus

8651DTidak lulus

9631DTidak lulus

10863BLulus

11943BLulus

12853BLulus

13853BLulus

14782CLulus

15792CLulus

16913BLulus

17923BLulus

18822CLulus

19832CLulus

20752CLulus

Berdasarkan kedua sistem penilaian di atas (kriteria dan norma), dapat dilihat bahwa acuan yang berbeda dapat menghasilkan keputusan penilaian yang berbeda. Pada penilaian dengan acuan kriteria, semua siswa dinyata-kan lulus dengan karena seluruh siswa mencapai batas minimal ketuntasan. Sebaliknya, pada penilaian dengan acuan norma terdapat enam siswa yang dinyatakan tidak lulus karena berada pada keadaan yang jauh di bawah rata-rata kelompoknya. Dari pembahasan ini, secara garis besar dapat diuraikan bahwa hasil pengukuran berupa skor belum mempunyai arti untuk dapat digunakan dalam membuat keputusan. Skor hanya bermakna dan dapat digunakan untuk membuat keputusan setelah diubah menjadi nilai melalui proses penilaian. Dalam mengubah skor menjadi nilai, proses penilaian mengguna-kan acuan tertentu. Oleh karena itu, pemberian makna pada nilai dalam mengambil keputusan harus mempertimbangkan acuan yang dapat diguna-kan untuk mengubah skor menjadi nilai. 2.10 Pendekatan Pembelajaran Contextual Teaching and Learning

Sebagai Alternatif Pendekatan Eksplorasi Kemampuan Siswa

Kemampuan siswa-siswa beragam dan tidak dapat disamaratakan anta-ra satu dengan yang lainnya. Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) ini hadir sebagai alternatif pendekatan pembelajaran untuk meng-eksplorasi lebih dalam tentang keunggulan masing-masing siswa sehingga dapat menunjang guru untuk bersikap adil dalam menilai seluruh kom-petensi siswa. Pendekatan pembelajaran CTL ini melibatkan tujuh kom-ponenutama dari pembelajaran produktif, yaitu konstruktivisme (construc-tivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), refleksi (reflection) dan pe-nilaian autentik (authentic assessment) (Depdiknas,2003).

1. Konstruktivisme (Constructivism) Setiap individu dapat membuat struktur kognitif atau mental berdasar-kan pengalaman mereka maka setiap individu dapat membentuk konsep atau ide baru, ini dikatakan sebagai konstruktivisme (Ateec, 2000). Fungsi guru disini membantu membentuk konsep tersebut melalui metode penemuan (self-discovery), inquiri dan lain sebagainya, siswa berpartisipasi secara aktif dalam membentuk ide baru. Menurut Piaget pendekatan konstruk-tivisme mengandung empat kegiatan inti, yaitu :

1) Mengandung pengalaman nyata (Experience);

2) Adanya interaksi sosial (Social interaction);

3) Terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (Sense making);

4) Lebih memperhatikan pengetahuan awal (Prior Knowledge).

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.

Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Berdasarkan pada per-nyataan tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses meng-konstruksi bukan menerima pengetahuan (Depdiknas, 2003).

2. Bertanya (Questioning) Bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran kontekstual. Kegiatan bertanya digunakan oleh guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa, sedangkan bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasisinquiry.Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan ber-tanya berguna untuk :

1) Menggali informasi, baik administratif maupun akademis.2) Mengecek pengetahuan awal siswa dan pemahaman siswa.3) Membangkitkan respon pada siswa.4) Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa.5) Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru.6) Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa.7) Menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

3. Menemukan (Inquiry) MenemukanmerupakanintidaripembelajaranCTL. Pengetahuan dan ke-terampilan yang diperoleh siswa bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri (Depdiknas, 2003). Menemukan atau inquiri dapat diartikan juga sebagai proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum, proses inquiry dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu :

1) Merumuskan masalah.2) Mengajukan hipotesis.3) Mengumpulkan data.4) Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan.5) Membuat kesimpulan.

Melalui proses berpikir yang sistematis, diharapkan siswa memiliki sikap ilmiah, rasional, dan logis untuk pembentukan kreativitas siswa.

4. Masyarakat belajar (Learning Community) Konsep Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran di-peroleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar itu diperoleh dari sharing antarsiswa, antarkelompok, dan antar yang sudah tahu dengan yang belum tahu tentang suatu materi. Setiap elemen masyarakat dapat juga berperan disini dengan berbagi pengalaman (Depdiknas,2003).5. Pemodelan (Modeling) Pemodelan dalam pembelajaran CTL merupakan sebuah keterampilan atau pengetahuan tertentu dan menggunakan model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuau. Dalam arti guru memberi model tentang bagaimana cara belajar. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukanlah satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Menurut Bandura dan Walters, tingkah laku siswa baru dikuasai atau dipelajari mula-mula dengan mengamati dan meniru suatu model. Model yang dapat diamati atau ditiru siswa digolongkan menjadi :

1. Kehidupan nyata (real life), misalnya orang tua, guru, atau orang lain.2. Simbolik (symbolic), model yang dipresentasikan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk gambar.3. Representasi (representation), model yang dipresentasikan dengan menggunakan alat-alat audiovisual, misalnya televisi dan radio.

6. Refleksi (Reflection) Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur penge-tahuan yang baru. Struktur pengetahun yang baru ini merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya (Depdiknas, 2003). Pada kegiatan pembelajaran, refleksi dilakukan oleh seorang guru pada akhir pembelajar-an. Guru menyisakan waktu sejenak agar siswa dapat melakukan refleksi yang realisasinya dapat berupa :1. Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehpada pembelajaran yang baru saja dilakukan.2. Catatan atau jurnal di buku siswa.3. Kesan dan saran mengenai pembelajaran yang telah dilakukan.

7. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment) Penilaian autentik merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa agar guru dapat memastikan apakah siswa telah mengalami proses belajar yang benar. Pe-nilaian autentik menekankan pada proses pembelajaran sehingga data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.

Karakteristik authentic assessment menurut Depdiknas (2003) di antara-nya dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar berlangsung, bisa di-gunakan untuk formatif maupun sumatif. Pengukuran tentang keterampilan dan sikap dalam belajar bukan mengingat fakta, berkesinambungan, ter-integrasi, dan dapat digunakan sebagai feedback. Authentic assessment biasanya berupa kegiatan yang dilaporkan, PR, kuis, karya siswa, prestasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, dan karya tulis.2.11 Individual Differences dan Implikasi Analisis Kemampuan Siswa Individual differences (perbedaan individu) adalah perbedaan atribut yang yang ditunjukkan oleh setiap individu, dalam hal ini siswa, baik se-belum, selama, atau setelah proses pembelajaran. Perbedaan atribut ini da-pat meliputi perbedaan kemampuan, keberhasilan, atau kepribadian. Dalam pembahasan ini, khusus akan dipaparkan perbedaan individu yang ditinjau dari perbedaan kemampuan. Berdasarkan karakteristik kemampuan, ke-mampuan dibedakan menurut tingkatannya, yaitu kemampuan rendah di ba-wah rata-rata, kemampuan rata-rata, dan kemampuan tinggi di atas rata-rata, seperti gambar kurva kemampuan dalam distribusi normal di bawah ini.

Gambar 2.3 Kurva Kemampuan dalam Distribusi Normal

Setiap guru yang berperan sebagai pendidik perlu melakukan pendekat-an pola pembelajaran yang berbeda pada masing-masing siswa sesuai karak-teristik kemampuannya. Siswa berkemampuan rata-rata dikualifikasikan da-pat mengikuti kegiatan pembelajaran sesuai alokasi terjadwal, akan tetapi siswa berkemampuan di bawah rata-rata perlu diberikan treatment khusus, seperti remedial teaching (program perbaikan pembelajaran) agar kemam-puannya dapat mendekati atau di atas rata-rata, sedangkan siswa ber-kemampuan di atas rata-rata hanya perlu enrichment program (program pe-ngayaan) saja karena telah memiliki dasar kemampuan yang bagus. Apabila kegiatan pembelajarannya disamakan dengan siswa berkemampuan rata-rata, maka siswa ini akan menunjukkan gejala perilaku psikologi yang me-nyimpang dalam pendidikan, seperti nakal atau merasa paling tahu. Transfer ilmu yang dilakukan guru terhadap siswa-siswanya diibaratkan seperti air dalam teko yang dituangkan ke dalam gelas. Masing-masing siswa memiliki kapasitas kemampuan yang berbeda dalam proses penyerapan ilmu selama proses pembelajaran. Hal ini tergambarkan melalui ilustrasi berikut.

Air 30 mL Air 50 mL Air 80 mL

Gelas ke- 1 Gelas ke-2 Gelas ke-3

Gambar 2.4 Ilustrasi Kapasitas Kemampuan Berbeda

pada Siswa-siswaSemua gelas di atas memiliki kapasitas penampungan 100 mL air. Gelas ke-1 yang berisi air 30 mL diibaratkan seperti kelompok berkemampuan rendah di bawah rata-rata. Apabila gelas ini diberikan air 50 mL, maka air yang ditampung semakin banyak dan mencapai 80 mL air (di atas rata-rata meskipun tidak mencapai batas maksimum penampungan air). Oleh karena itu, agar sempurna, perlu tambahan air yang diberikan (dalam hal ini siswa berkemampuan di bawah rata-rata perlu tambahan remedial teaching untuk menyempurnakan kapasitas kemampuannya). Gelas ke-2 yang berisi air 50 mL diibaratkan seperti kelompok ber-kemampuan rata-rata. Apabila gelas ini diberikan air 50 mL, maka air yang ditampung penuh dan mencapai 100 mL (kapasitas maksimum). Jadi, kadar jadwal pembelajaran yang dialokasi-kan untuk siswa berkemampuan rata-rata sudah tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ideal, sedangkan gelas ke-3 yang berisi air 80 mL apabila diberikan air 50 mL, maka air yang ditampung akan berkelebihan dan meluap keluar gelas. Hal ini diibaratkan seperti siswa berkemampuan di atas rata-rata yang diberikan jadwal atau materi pembelajaran yang sama dengan siswa berkemampuan rata-rata, maka siswa ini akan meluapkan perasaannya melalui tindakan-tindakan yang menyimpang, seperti nakal atau merasa paling tahu dan sikap-sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai, seperti malas belajar. Seharusnya, siswa berkemampuan di atas rata-rata hanya perlu diberikan program pengayaan saja untuk meningkatkan kemampuannya yang sudah bagus. Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan pembelajaran ini perlu menjadi fokus perhatian bagi guru sebagai pendidik untuk dapat menyesuaikan kegiatan pembelajaran sesuai dengan karakteris-tik kemampuan dan kebutuhan siswa agar tujuan pembelajaran dapat terlaksana dan dicapai dengan hasil terbaik.

Dengan memantau perkembangan kemampuan siswa, guru dapat memetakan siswa berdasarkan kemampuannya. Siswa yang unggul atau berkemampuan tinggi tidak lagi diberikan materi dari dasar, tetapi disajikan materi pelajaran yang bersifat eksploratif untuk menggali dan mengasah kemampuan yang sudah dimilikinya. Siswa berkemampuan sedang atau rata-rata dapat mengikuti jadwal pembelajaran yang dialokasikan, sedang-kan siswa yang kurang atau di bawah rata-rata hendaknya disajikan materi dari dasar dan diberikan waktu tambahan remedial teaching yang berguna untuk memperkuat dan menajamkan materi pembelajaran. Semua ini dilakukan dengan satu tujuan, yaitu kegiatan pembelajaran berhasil mem-bentuk siswa berkemampuan optimum sesuai dengan kapasitas awal ke-mampuannya masing-masing.

Guru sebagai seorang pendidik perlu memberikan layanan pendidik-an yang berbeda pada masing-masing siswa sesuai tingkat kelompok kemampuannya agar semua potensi siswa dapat tumbuh dan berkembang secara optimum. Guru dapat mengidentifikasi tingkatan kemampuan siswanya melalui pre-test yang diberikan sebelum pelajaran dimulai. Dari hasil pre-test inilah guru mendapat gambaran tentang tingkat kapasitas kemampuan awal masing-masing siswanya.

Setelah diketahui gambarannya, mulailah guru mengelompokkan siswa yang berkemampuan rendah di bawah rata-rata, berkemampuan sedang rata-rata, dan berkemampuan tinggi di atas rata-rata. Masing-masing kelompok ini diberikan perlakuan (teratment) yang berbeda, di mana ke-lompok berkemampuan rendah di bawah rata-rata diperlakukan sesuai alo-kasi terjadwal dengan tambahan remedial teaching yang diimbangi dengan tugas terstruktur untuk memaksimalkan potensi kelompok siswa tersebut. Kelompok berkemampuan sedang rata-rata cukup dapat diperlakukan sesuai alokasi terjadwal, sedangkan kelompok berkemampuan tinggi di atas rata-rata pada proses pembelajaran hanya diberikan enrichment program, yaitu akselerasi belajar atau sesuai alokasi terjadwal, namun dapat dikembangkan potensinya menjadi tutor sebaya di dalam kelas.

Setelah proses pembelajaran selesai, guru melakukan pengukuran kembali untuk menguji kemampuan siswa setelah proses pembelajaran. Agar tercapai pemerataan hasil belajar optimum, sebaiknya kelompok ber-kemampuan tinggi diberikan tambahan jumlah butir soal ujian dalam waktu yang sama dengan kelompok lainnya atau diberikan jumlah butir soal ujian yang sama, namun memiliki taraf kesukaran yang lebih tinggi sehingga diharapkan, baik potensi kelompok berkemampuan rendah di bawah rata-rata, sedang rata-rata, dan tinggi dapat berkembang secara optimum. Layanan pendidikan berbeda yang direalisasikan dalam program-program pembelajaran yang diberikan merupakan suatu stimulasi agar hasil belajar suatu bidang disiplin ilmu dapat tercapai secara optimum menuju kemajuan hasil pendidikan ke arah lebih positif sehingga prinsip pendidikan yang berbeda untuk individu yang berbeda ini dapat diterapkan di mana saja, kapan saja, dan untuk siapa saja. Akan tetapi, yang perlu menjadi perhatian guru adalah bahwa setiap individu memiliki kadar potensi yang berbeda sehingga memiliki kekuatan potensi kemampuan dalam bidang tertentu dan kelemahan dalam bidang lainnya. Teori Howard Gardner tentang multiple intelligences mengatakan bahwa ada delapan macam kemampuan manusia. Seorang individu dapat memiliki kekuatan atau kelemahan di salah satu bidang atau beberapa bidang, seperti tabel berikut.Inteligensi (kecerdasan)Komponen-komponen Inti

Logical-mathematical (logis-matematis)Kemampuan untuk melihat pola-pola logis atau numerik

Linguistic (linguistik)Kemampuan untuk memaknai kata-kata dan fungsi bahasa

Musical (musikal)Kemampuan mengapresiasi bentuk-bentuk ekspresi musikal

Spatial (spasial)Kemampuan untuk memersepsi du-nia visual-spasial secara akurat

Bodily-kinesthetic (jasmani-kinestetik)Kemampuan mengontrol gerak-gerik tubuh dan objek

InterpersonalKemampuan merespons dengan tepat suasana perasaan orang lain

IntrapersonalKemampuan untuk mengakses pe-rasaan-perasaan pribadi

NaturalistKemampuan untuk mengenali alam dan makhluk hidup sekitarnya

Karena setiap individu memiliki tingkat kemampuan masing-masing sesuai potensi inteligensinya, maka setiap individu dapat unggul dalam bidang tertentu dan lemah dalam bidang lainnya. Jadi, guru sebagai pendidik harus bersikap bijak dan tepat dalam mengelompokkan dan memberikan layanan pendidikan pada siswa-siswanya agar optimum di setiap hasil belajarnya. KESIMPULAN

1. Berdasarkan Taksonomi Bloom, kemampuan siswa terdiri atas kemam-puan kogintif, afektif, dan psikomotorik.

2. Skor adalah hasil menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang dijawab betul oleh siswa, sedangkan nilai adalah angka ubahan dari skor dengan menggunakan acuan : acuan normal atau acuan standar. Cara memberikan skor bergantung dari jenis tes : objektif atau subjektif

3. Acuan penilaian : nilai acuan kriteria atau nilai acuan norma

4. Dengan norm-referenced score interpretation, skor standar sering diubah menjadi tipe skor lain yang diturunkan.

5. Skor standar yang dapat ditransformasikan secara linier dari skor standar, yaitu z-scores, T-scores, Wechsler IQ, Stanford-Binet IQ, dan CEEB scores (SAT/GRE)6. Skor standar yang dapat ditransformasikan secara non-linier dari skor standar, yaitu staine scores dan percentile rank (peringkat persentil)

7. Acuan Norma memberikan informasi penting tentang bagaimana ke-dudukan seorang siswa dalam kelompoknya, sedangkan acuan kriteria memberikan informasi penting tentang seberapa besar tingkat seorang siswa menguasai pengetahuan atau materi tertentu.8. Guru sebagai pendidik harus bersikap bijak dan tepat dalam menge-lompokkan dan memberikan layanan pendidikan pada siswa-siswa yang berbeda kemampuannya agar optimum di setiap hasil belajarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual.Jakarta:Depdiknas

Djaali.2008.Pengukuran dalam Pendidikan.Jakarta:Gramedia

Widiasarana Indonesia

Purwanto.2008.Evaluasi Hasil Belajar.Yogyakarta:Pustaka Belajar

Arikunto,Suharsimi.2009.Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta:

Bumi Aksara

Reynolds, Cecil R.2009.Measurement and Assessment Second Edition.Singapura:Pearson EducationWolfolk,Anita.Educational Psychology (penerjemah Helly Prajitno Soetjip-to dan Sri Mulyantini Soetjipto) edisi kesepuluh pertama.Yogyakarta: Pustaka Belajar,2009

Santun Naga,Dali.2012.Teori Sekor pada Pengukuran Mental.Jakarta:

PT Nagarani Citrayasa

Kusaeri dan Suprananto.2012.Pengukuran dan Penilaian Pendidikan.Yogyakarta:Graha Ilmu

Analisis Kemampuan SiswaPage 31