ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN PUPUK KOMPOS (Kasus pada Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) SKRIPSI WIWIN WIDIYANI H34060046 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
178
Embed
ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN PUPUK KOMPOS … · usaha untuk melakukan pengembangan usaha dengan cara meningkatkan ... rencana pengembangan usaha ini akan membuat kondisi usaha
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN PUPUK KOMPOS (Kasus pada Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari,
Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
SKRIPSI
WIWIN WIDIYANI H34060046
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN
WIWIN WIDIYANI. H34060046. 2010. Analisis Kelayakan Pengusahaan Pupuk Kompos (Kasus pada Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi Dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan RITA NURMALINA).
Pembangunan pertanian di Indonesia memiliki peranan penting dalam pembangunan ekonomi. Beberapa hal yang mendasari pentingnya pertanian di Indonesia yaitu potensi keanekaragaman sumber daya alam, pemenuhan kebutuhan pangan, penyedia bahan mentah untuk industri, sektor riil pendapatan nasional, dan basis pertumbuhan di perdesaan. Sebuah proyek pada masa orde baru diadakan untuk mendorong pembangunan pertanian yaitu gerakan revolusi hijau.
Adanya gerakan revolusi hijau tidak hanya berhasil membuat Indonesia mencapai swasembada beras tetapi juga menimbulkan dampak negatif dalam jangka panjang. Krisis lingkungan yang terjadi akibat gerakan revolusi hijau sejak tahun 1970-an mulai kini dirasa sangat merugikan masyarakat khususnya petani. Revolusi hijau yang menginstruksikan pemakaian pupuk anorganik secara intensif mengakibatkan kandungan organik tanah (humus) menurun drastis sehingga tingkat kesuburan lahan pertanian menurun secara perlahan. Departemen Pertanian mencetuskan suatu sistem pertanian organik (organik farming) dengan tema “Go Organic 2010” yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan bahan berbasis anorganik untuk disubstitusikan dengan bahan berbasis organik. Salah satu bentuk aktivitas nyata yang turut mendukung program tersebut yaitu dengan menambahkan pupuk organik/kompos ke lahan-lahan sawah.
Diketahui pada tahun 2008 terdapat selisih yang cukup besar antara kebutuhan dan ketersediaan pupuk organik di Indonesia bila dibandingkan dengan jenis pupuk lainnya yaitu sebesar 16.655.000 ton. Besarnya kebutuhan pupuk organik menunjukkan adanya peluang pengusahaan pupuk kompos sebagai usaha yang berpotensi untuk mengembangkan sistem pertanian organik. Salah satu daerah yang turut berupaya mewujudkan pengembangan pertanian organik yaitu Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Sebagian besar petani di Desa Ciburuy telah melakukan kegiatan pembuatan pupuk kompos tetapi hanya digunakan untuk kebutuhannya sendiri dan belum dikomersilkan. Keterbatasan modal dan pengetahuan yang dimiliki membuat para petani belum termotivasi untuk menjadikannya sebagai sebuah usaha, disamping risiko kerugian yang mungkin timbul dari suatu usaha. Satu-satunya usaha pengomposan yang terdapat di Desa Ciburuy dilaksanakan oleh Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari yang bermitra dengan Lembaga Pertanian Sehat (LPS).
Saat ini, kondisi yang terjadi memperlihatkan kegiatan pengusahaan belum berkembang secara signifikan walaupun umur usaha telah berjalan selama ± 4 tahun. Adanya potensi pasar yang belum terpenuhi juga mendorong unit usaha untuk melakukan pengembangan usaha dengan cara meningkatkan kapasitas produksinya. Rencana peningkatan kapasitas produksi ini tentunya
iii
memerlukan biaya investasi tambahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis kelayakan pada kondisi usaha saat ini untuk mengetahui apakah usaha menguntungkan atau tidak agar tidak terjadi kerugian yang terlalu lama dan analisis kelayakan pada rencana pengembangan usaha untuk mengetahui apakah rencana pengembangan usaha ini akan membuat kondisi usaha jauh lebih baik untuk dijalankan atau tidak.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah 1) Menganalisis kelayakan pengusahaan pupuk kompos ditinjau dari aspek non finansial, 2) Menganalisis tingkat kelayakan finansial pengusahaan pupuk kompos pada kondisi saat ini dan pengembangan usaha dan 3) Menganilisis tingkat sensitivitas pengusahaan pupuk kompos terhadap kenaikan harga bahan baku, penurunan jumlah produksi dan harga jual pupuk kompos yang dapat mempengaruhi usaha dengan menggunakan metode switching value.
Berdasarkan hasil analisis aspek-aspek non finansial, yaitu 1) Aspek pasar, 2) Aspek teknis, 3) Aspek manajemen dan hukum, 4) Aspek sosial, ekonomi dan budaya, dan 5) Aspek lingkungan, pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung Kiwari layak untuk dijalankan. Analisis aspek-aspek finansial menggunakan dua skenario. Skenario I merupakan kondisi pengusahaan pupuk kompos pada saat ini, dimana usaha telah berproduksi secara optimal karena besarnya permintaan yang diajukan oleh LPS melebihi kapasitas produksi sebesar 12 ton per bulan. Hasil perhitungan kriteria investasi menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah Rp 67.911.262,34; Net B/C 3,52; IRR 56,82 persen, dan payback period selama 2,84 atau 2 tahun 10 bulan 2 hari. Skenario II merupakan kondisi pengusahaan pupuk kompos pada rencana pengembangan usaha berupa peningkatan kapasitas produksi tiap bulannya menjadi 21 ton per bulan. Berdasarkan analisis kriteria investasi, diperoleh nilai NPV sebesar Rp 138,322,490.83; Net B/C 5.91; IRR 96.77 persen, dan payback period 1.69 atau 1 tahun 8 bulan 8 hari.
Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa kedua skenario usaha layak untuk dijalankan berdasarkan kriteria investasi. Skenario usaha II memiliki tingkat kelayakan yang lebih tinggi daripada skenario usaha I karena adanya pengembangan usaha dapat memberikan tingkat perolehan manfaat yang lebih besar berupa tambahan keuntungan secara finansial. Berdasarkan perbandingan hasil analisis switching value diperoleh bahwa usaha pada kondisi pengembangan usaha (skenario II) memiliki tingkat kepekaan yang lebih rendah atau batas maksimal yang lebih tinggi terhadap kemungkinan perubahan biaya dan manfaat yang terjadi. Dengan demikian, kondisi pada pengembangan usaha menjadi skenario yang paling menguntungkan untuk diusahakan.
Rekomendasi saran yang dapat dipertimbangkan dalam penelitian ini yaitu unit usaha sebaiknya melakukan pengembangan usaha dengan peningkatan kapasitas produksi sebesar 21 ton melalui perluasan lahan pengomposan, membuka jalur pemasaran lainnya, mempertahankan kualitas produk, dan melakukan perbaikan pengelolaan administrasi. Bagi LPS dan Pemerintah, sebaiknya terus mendukung pengusahaan pupuk kompos dengan cara menjalin hubungan kemitraan yang baik diantara keduanya dan melaksanakan pembinaan untuk berbagi informasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pertanian ramah lingkungan.
ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN PUPUK KOMPOS (Kasus pada Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari,
Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
WIWIN WIDIYANI H34060046
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul Skripsi : Analisis Kelayakan Pengusahaan Pupuk Kompos (Kasus pada Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Nama : Wiwin Widiyani
NIM : H34060046
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS NIP. 19550713 198703 2 001
Mengetahui Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis
Kelayakan Pengusahaan Pupuk Kompos (Kasus pada Unit Usaha Koperasi
Kelompok Tani Lisung Kiwari, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2010
Wiwin Widiyani
H34060046
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 05 Juli 1988. Penulis adalah
anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Sumpeno Riyadi dan Ibu
Siti Rasimah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 08 Pagi
Jakarta pada tahun 2000 dan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 123
Jakarta yang lulus pada tahun 2003. Penulis juga telah menamatkan pendidikan
lanjutan menengah atas di SMU Negeri 72 Jakarta pada tahun 2006.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2006. Setelah melewati Tingkat
Persiapan Bersama, pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan, penulis tercatat sebagai anggota Himpunan
Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA) Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Penulis juga berkesempatan menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Ekonomi Umum
Program Tingkat Persiapan Bersama (TPB) pada tahun 2009 dan 2010 yang di
bawahi oleh Departemen Ilmu Ekonomi. Selain itu penulis juga aktif dalam
berbagai kegiatan kepanitiaan baik di lingkungan Departemen, Fakultas maupun
Institut.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,
hidayah serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Analisis Kelayakan Pengusahaan Pupuk Kompos (Kasus pada Unit
Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, Kecamatan Cigombong,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat)”.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak termasuk
penulis dan juga usaha tempat penulis melakukan penelitian. Penulis juga
mengharapkan masukan dan kritik yang bersifat membangun untuk
penyempurnaan pada skripsi ini.
Bogor, Juni 2010
Wiwin Widiyani
ix
UCAPAN TERIMAKASIH
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
berkah, rahmat dan anugerah-Nya serta jalan dan kemudahan yang Engkau
tunjukkan kepada penulis. Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini
juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak atas bimbingan dan doanya. Dalam
kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran kepada penulis selama
penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji utama yang telah meluangkan
waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
3. Yanti Nuraini, SP, MAgribuss selaku dosen penguji komisi pendidikan atas
segala kritik dan saran yang telah diberikan demi perbaikan skripsi ini.
4. Kedua orangtua tercinta. Terima kasih atas segalanya, tanpa kalian aku takkan
bisa seperti ini. Semoga karya ini dapat menjadi bukti kasih sayangku teruntuk
kalian.
5. Ir. Harmini, MSi selaku dosen pembiming akademik selama masa perkuliahan
di Departemen Agribisnis atas dukungan dan bimbingan akademik penulis.
6. Dosen-dosen dan Staf Departemen Agribisnis. Terimakasih atas semua ilmu
pengetahuan dan bantuan yang kalian berikan kepada penulis dan teman-
teman.
7. Bapak H.A. Zakaria selaku Ketua Gapoktan Silih Asih, Bapak Harry Kuswara
selaku Ketua Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, para petani dan
masyarakat sekitar Desa Ciburuy di Kecamatan Cigombong. Terima kasih atas
waktu, kesempatan, informasi, pelajaran, dan dukungan yang diberikan selama
penelitian.
8. Bapak H. Samsudin, Bapak Khoirul Anam, Ibu Santi, dan seluruh pihak
Lembaga Pertanian Sehat serta Instansi-instansi terkait atas waktu, informasi,
dan kesempatan yang diberikan dalam penyusunan skripsi ini.
9. Kakak ku, Fitri Yuliani yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang serta
dukungan dan doa. Adik-adik ku Mahendra Ilham Prayogo dan Maharani
Syaputri atas segala keceriaan, penghiburan, serta semangat.
x
10. Mayasari selaku pembahas seminar, terima kasih atas masukan dan dukungan
baik saat perkuliahan maupun saat penyelesaian skripsi.
11. Sahabat-sahabat seperjuangan, Evine, Anne, Dilla, Emil, dan Dea. Terima
kasih atas segala kebersamaan dan rasa persahabatan yang telah kalian berikan
selama ini. Semoga perjuangan dalam kebersamaan kita akan selalu ada.
12. Teman-teman satu bimbingan skripsi, Selly, Khusnul, dan Ade untuk
masukan, semangat, dukungan dan doa dalam menyusun skripsi ini.
13. Teman-teman satu lokasi penelitian, Ribut, Agista, dan Lulus serta Tim
gladikarya Desa Sukaresmi, Bayu, Elva, Gladys, dan Puspi. Terima kasih atas
kerjasama, dukungan, dan kebersamaan kalian hingga menjadi pengalaman
yang berharga dan tak terlupakan bagi penulis.
14. Sahabat-sahabat dan teman-teman AGB 43,42,44 atas semangat,
kebersamaan, dan kekompakkan selama ini. Menjadi bagian dari orang-orang
cerdas dan kritis seperti kalian semua merupakan suatu motivasi bagi penulis
untuk terus berjuang ke arah yang lebih baik lagi. Dina, Firdy, Yani sebagai
teman satu pembimbing akademik. Anyez, Bale, Dida, Haris, Izil, Jiban,
Nanang, Okla, Rendi, Yuli atas kecerian, kebersamaan, kepedulian, doa dan
dukungan dalam menyusun skripsi. AGB Growing The Future !
15. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas
bantuannya.
Bogor, Juni 2010
Wiwin Widiyani
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................... xvi
I PENDAHULUAN ................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ........................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................... 7 1.3 Tujuan ......................................................................... 11 1.4 Manfaat ...................................................................... 12 1.5 Ruang Lingkup ........................................................... 12
II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 13 2.1 Limbah Organik ......................................................... 13 2.1.1 Pengelolaan Limbah Organik ............................. 13 2.2 Pemupukan ................................................................. 14 2.2.1 Jenis Pupuk ....................................................... 15 2.2.1.1 Pupuk Anorganik ................................... 15 2.2.1.2 Pupuk Organik ....................................... 16 2.3 Kompos ...................................................................... 18 2.3.1 Bokashi ............................................................... 20 2.4 Pengolahan Limbah Organik Untuk Kompos ............ 21 2.4.1 Proses Pengomposan ......................................... 22 2.4.2 Laju Pengomposan ............................................ 23 2.4.3 Metode Pengomposan ....................................... 25 2.5 Pengusahaan Pupuk Kompos ..................................... 26 2.5.1 Perencanaan Pengusahaan Pupuk Kompos ........ 27 2.6 Tinjauan Studi Terdahulu ............................................. 28
IV METODE PENELITIAN .................................................... 45 4.1 Lokasi dan Waktu ...................................................... 45 4.2 Data dan Instrumentasi ............................................... 45 4.3 Metode Pengumpulan Data ........................................ 46 4.4 Metode dan Analisis Data .......................................... 46 4.5 Analisis Kelayakan Usaha............................................ 46 4.6 Analisis Nilai Pengganti (Switching Value) ................ 51 4.7 Asumsi Dasar yang Digunakan ................................... 52
xii
V GAMBARAN UMUM ......................................................... 55 5.1 Gambaran Umum Desa Ciburuy ................................ 55 5.1.1 Kondisi Fisik Desa Ciburuy ............................... 55 5.1.2 Potensi Pertanian ................................................ 55 5.2 Gambaran Umum Usaha ............................................. 56 5.2.1 Sejarah dan Perkembangan Usaha ..................... 56 5.2.2 Pengadaan Input ................................................. 59 5.2.3 Proses Produksi .................................................. 59 5.2.4 Pemasaran .......................................................... 66
VI HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................. 68 6.1 Analisis Aspek-Aspek Non Finansial ......................... 68 6.1.1 Aspek Pasar ........................................................ 68 6.1.2 Aspek Teknis ...................................................... 77 6.1.3 Aspek Manajemen dan Hukum .......................... 88 6.1.4 Aspek Sosial, Ekonomi, dan Budaya ................. 91 6.1.5 Aspek Lingkungan ............................................. 93 6.2 Analisis Aspek Finansial ............................................. 94 6.2.1 Analisis Kelayalan Finansial Skenario I ............ 94 6.2.1.1 Inflow ..................................................... 94 6.2.1.2 Outflow ................................................... 97 6.2.1.3 Analisis Laba Rugi Usaha ...................... 111 6.2.1.4 Analisis Kelayakan Finansial ................. 112 6.2.1.5 Analisis Switching Value ....................... 114 6.2.2 Analisis Kelayakan Finansial Skenario II .......... 116 6.2.2.1 Inflow ..................................................... 117 6.2.2.2 Outflow ................................................... 119 6.2.2.3 Analisis Laba Rugi Usaha ...................... 130 6.2.2.4 Analisis Kelayakan Finansial ................. 131 6.2.2.5 Analisis Switching Value ....................... 132 6.2.3 Perbandingan Laba Rugi .................................... 134 6.2.4 Perbandingan Hasil Kelayakan Finansial ........... 135 6.2.5 Perbandingan Hasil Analisis Switching Value ... 136
Sumber : CV Saung Wira 2008, diacu dalam Khaddafy 2009
Berdasarkan Tabel 3, pada tahun 2008 dimana tren tanaman hias sedang
booming total permintaan pupuk organik di Kota dan Kabupaten Bogor saja
mencapai 266.400 kg per tahun. Dengan kapasitas produksi sebesar 12 ton per
bulan setara dengan 12.000 kg per bulan apabila hanya di pasarkan di Kota dan
Kabupaten Bogor pun belum mampu memenuhi permintaan yang mencapai
22.200 kg per bulan atau baru mampu memenuhi 54,05 persen pasar potensial.
Hal tersebut menunjukkan adanya permintaan pupuk organik yang cukup besar
ketika tren tanaman hias sedang bagus. Sedangkan ketika tren tanaman hias mulai
lesu seperti saat ini, permintaan sarana produksi pertanian mengalami penurunan
termasuk pupuk kompos yang turun menjadi 40 persen dari kondisi saat booming
atau hanya sebesar 5,6 ton per bulan.
Namun kondisi tersebut tidak membuat LPS mengurangi jumlah
pesanannya kepada unit usaha. Sejak tahun 2009, terjadi permintaan pada pasar
internal secara periodik sesuai dengan musim tanamnya, seperti petani padi
organik binaan LPS yang terdapat di Karawang (cluster Jati Sari dan Pedes).
Permintaan pupuk kompos oleh petani tersebut yang digunakan sebagai campuran
10
saat penyemaian benih terjadi setiap tiga bulan sekali dan rata-rata mencapai 10
ton per cluster per musim tanam (tiga bulan). Ruang lingkup cluster petani binaan
yang membutuhkan pupuk kompos ini sebanyak lima cluster mencakup cluster
Brebes, Cianjur (dua cluster), dan Karawang (cluster Jati Sari dan Pedes). Total
permintaan potensial pada petani organik mencapai 50 ton per tiga bulan.
Besarnya permintaan pupuk kompos pada pasar internal dan pasar
eksternal mendorong LPS untuk terus melakukan pemesanan kepada unit usaha
KKT Lisung Kiwari. Saat ini, jumlah pesanan dari LPS mencapai 22,27 ton per
bulan. Namun pengusahaan pupuk kompos ini belum mampu memenuhi jumlah
pesanan yang ada dikarenakan kapasitas produksinya masih terbatas. Dengan
kapasitas produksi rata-rata sebesar 12 ton per bulan, unit usaha baru mampu
memenuhi 53,88 persen atau separuh dari jumlah pesanan tersebut. Hal ini
memperlihatkan kegiatan pengusahaan belum berkembang secara signifikan
walaupun umur usaha telah berjalan selama ± 4 tahun. Oleh karena itu, perlu
dilakukan analisis kelayakannya pada kondisi usaha tersebut untuk mengetahui
apakah usaha menguntungkan atau tidak agar tidak terjadi kerugian yang terlalu
lama. Mengingat, analisis kelayakan usaha hingga saat ini belum pernah
dilakukan karena keterbatasan pengetahuan dari pengelola unit usaha KKT Lisung
Kiwari.
Adanya potensi pasar dari LPS yang belum terpenuhi juga mendorong unit
usaha untuk melakukan pengembangan usaha dengan cara meningkatkan
kapasitas produksinya. Rencana peningkatan kapasitas produksi ini tentunya
memerlukan biaya investasi tambahan. Kondisi tersebut dapat menjadi sebuah
pertimbangan apakah rencana pengembangan usaha ini akan membuat kondisi
usaha jauh lebih baik untuk dijalankan dan dapat mendatangkan keuntungan atau
tidak dibanding kondisi usaha saat ini sehingga perlu dianalisis kelayakannya.
Selain itu, kemungkinan terjadinya keadaan yang berubah-ubah pada
kegiatan usaha pupuk kompos turut mempengaruhi tingkat keuntungan yang akan
diperoleh. Faktor yang dapat menyebabkan perubahan kondisi usaha
pengomposan ini yaitu faktor harga bahan baku, jumlah produksi, dan harga
output. Berdasarkan pengalaman usaha selama ini, perubahan kondisi usaha yang
pernah terjadi hanya sebatas pada faktor harga bahan baku berupa kotoran sapi.
11
Variabel tersebut dapat berubah akibat pengaruh faktor cuaca. Bila musim hujan,
harga kotoran sapi cenderung lebih mahal dari harga normal karena kandungan
kadar air pada kotoran sapi menjadi lebih tinggi sehingga memerlukan perlakuan
yang lebih. Sedangkan pada faktor jumlah produksi dan harga output, variabel-
variabel tersebut tidak mengalami perubahan karena kapasitas produksi yang
terbatas dan penetapan harga jual dalam sistem kemitraan dengan LPS. Namun
demikian, tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan pada kedua faktor
lainnya tersebut yang mungkin dihadapi unit usaha akibat pasokan bahan baku
yang berkurang dan penurunan kualitas pupuk kandang. Oleh karena itu, perlu
dilakukan analisis sensitivitas dari usaha pupuk kompos ini apabila terjadi
perubahan dalam dasar perhitungan biaya dan manfaat.
Berdasarkan pemaparan diatas maka masalah yang dapat dirumuskan
dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung Kiwari di Desa Ciburuy
layak untuk dijalankan bila ditinjau dari aspek non finansial?
2. Bagaimana tingkat kelayakan finansial dari pengusahaan pupuk kompos yang
sedang berjalan saat ini dan pengembangan usaha?
3. Bagaimanakah tingkat sensitivitas pengusahaan pupuk kompos pada kondisi
saat ini dan rencana pengembangan usaha terhadap kenaikan harga bahan
baku, penurunan jumlah produksi dan harga jual pupuk kompos yang dapat
mempengaruhi usaha dengan menggunakan metode switching value?
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, tujuan
penelitian ini adalah :
1. Menganalisis kelayakan pengusahaan pupuk kompos ditinjau dari aspek non
finansial.
2. Menganalisis tingkat kelayakan finansial pengusahaan pupuk kompos KKT
Lisung Kiwari pada kondisi saat ini dan rencana pengembangan usaha.
3. Menganilisis tingkat sensitivitas pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung
Kiwari pada kondisi saat ini dan rencana pengembangan usaha terhadap
kenaikan harga bahan baku, penurunan jumlah produksi dan harga jual pupuk
12
kompos yang dapat mempengaruhi usaha dengan menggunakan metode
switching value.
1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Penulis dalam mengidentifikasi, menganalisis, serta menemukan alternatif
solusi sebagai bentuk aplikasi ilmu yang diperoleh pada masa perkuliahan.
2. Koperasi dan LPS sebagai informasi tambahan mengenai kelayakan dari usaha
yang sedang dijalankannya dan pada saat pengembangan usaha.
3. Pemerintah Kabupaten Bogor sebagai referensi untuk mengembangkan
kegiatan industri pupuk kompos di Kabupaten Bogor.
4. Masyarakat sebagai referensi tambahan ketika ingin mendirikan sebuah usaha
pengomposan atau memperbaiki usaha yang telah dijalankan.
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian hanya difokuskan pada analisis kelayakan pengusahaan pupuk
kompos oleh unit usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari dalam
memanfaatkan berbagai limbah pertanian dari sisa hasil panen padi bebas
pestisida seperti jerami, arang sekam, dedak halus serta campuran kotoran sapi
yang diperoleh dengan membeli dari luar desa. Unit usaha Koperasi Kelompok
Tani (KKT) Lisung Kiwari merupakan wadah petani mitra binaan Lembaga
Pertanian Sehat (LPS) di bawah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan
Dompet Dhuafa Republika di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten
Bogor. Dalam kaitan dengan analisis usaha, Lembaga Pertanian Sehat (LPS) yang
menjalin mitra dengan para petani berperan sebagai lembaga saluran pemasaran
dan distribusi produk yang dihasilkan petani binaan disamping mengembangkan
produk pertanian ramah lingkungan yang mudah diaplikasikan oleh petani,
pemberdayaan petani dalam membangun komunitas petani, pelatihan dan
pembinaan dalam memproduksi hasil pertanian yang berbasis ramah lingkungan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Organik
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik
industri maupun domestik (rumah tangga) yang lebih dikenal sebagai sampah
dimana kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki
lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi,
limbah terdiri dari bahan kimia senyawa organik dan senyawa anorganik. Dengan
konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif
terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan
penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh
limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah. Beberapa karakteristik
limbah yaitu : (1) berukuran mikro; (2) dinamis; (3) berdampak luas
(penyebarannya); (4) berdampak jangka panjang (antar generasi).
Menurut Hadiwijoto (1983), limbah organik merupakan limbah yang
terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam
atau dihasilkan dari kegitan pertanian, perikanan dan lainnya. Limbah organik ini
dapat diuraikan dalam proses alami. Limbah yang dihasilkan dari rumah tangga
sebagian besar merupakan bahan organik.
2.1.1 Pengelolaan Limbah Organik
Menurut Hadisuwito (2007), terdapat beberapa alternatif pengelolaan
limbah organik yaitu :
1. Penumpukan
Pada metode ini sebenarnya sampah tidak dimusnahkan secara langsung,
tetapi dibiarkan membusuk menjadi bahan organik. Metode penumpukan bersifat
murah dan sederhana, tetapi sangat berisiko karena bisa menimbulkan penyakit
dan menyebabkan pencemaran.
2. Pembakaran
Metode ini memang yang paling sering dilakukan masyarakat. Namun,
cara ini sebaiknya dilakukan hanya untuk sampah yang dapat terbakar habis.
Selain itu, lokasi pembakaran berada di tempat yang jauh dari pemukiman.
14
Mengingat, sampah yang dibakar ternyata dapat menghasilkan dioksin, yaitu
ratusan jenis senyawa kimia berbahaya seperti CDD (chlorinated dibenzo-p-
dioxin), CDF (chlorinated dibenzo furan), dan PCB (poly chlorinated biphenyl).
3. Sanitary Landfill
Metode ini khusus diberlakukan untuk tempat pembuangan akhir ketika
lahan yang disediakan telah penuh terisi sampah. Caranya yaitu dengan membuat
cekungan baru untuk mengubur sampah yang diatasnya ditutupi tanah.
4. Pengomposan
Metode ini merupakan langkah sederhana yang tidak menimbulkan efek
samping bagi lingkungan, tetapi memberi nilai tambah bagi sampah, khususnya
sampah organik. Pengelolaan sampah dengan cara pengomposan atau
mengubahnya menjadi pupuk merupakan alternatif terbaik. Namun demikian,
menurut data Kementrian Lingkungan Hidup, sampah organik yang dikomposkan
baru berkisar 1-6% sedangkan sisanya lebih banyak dibakar, ditimbun, atau
dibuang ke sungai dan ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
2.2 Pemupukan
Pupuk dapat dikatakan sebagai bahan-bahan yang diberikan pada tanah
agar dapat menambah unsur-unsur atau zat makanan yang diperlukan tanah baik
secara langsung atau tidak langsung. Dengan demikian, pemupukan pada
umumnya bertujuan untuk memelihara atau memperbaiki kesuburan tanah,
dimana secara langsung atau tidak langsung akan dapat menyumbangkan bahan
makanan kepada tanaman yang tumbuh di tanah tersebut.
Pemupukan adalah tindakan yang mempengaruhi hubungan tanah dengan
tumbuh-tumbuhan. Tanah dan tumbuh-tumbuhan merupakan dwi tunggal yang
tak bisa dipisahkan. Seperti halnya tumbuh-tumbuhan, tanah juga harus dipandang
sebagai perantara yang hidup bukan sebagai suatu medium atau bahan perantara
yang pasif. Hal itu karena pada hakekatnya yang langsung dipupuk bukan
tanamannya melainkan tanahnya.
Dalam pemupukan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan
mengenai jenis zat apa yang dibutuhkan oleh tanah agar dapat mencapai hasil
tanaman yang maksimal. Selain itu, jumlah dan perbandingan zat serta pengaruh
15
apa yang ditimbulkannya terhadap bagian-bagian dan sifat-sifat tanah serta tanam-
tanaman.
Pupuk juga mempunyai pengaruh yang tidak langsung terhadap
produktivitas tanah dan tanaman. Pupuk organik dapat membebaskan kation-
kation dari ikatan-ikatan adsorbsif menjadi ion-ion bebas yang tersedia bagi
tanaman. Ini disebabkan oleh adanya asam arang yang tinggi yang ada di
dalamya, berkat peruraian pupuk tersebut. Pemupukan dengan pupuk kandang,
kompos, dan pupuk hijau juga mengakibatkan tanah-tanah yang ringan
strukturnya menjadi lebih baik, daya mengikat air menjadi lebih tinggi, sedangkan
tanah-tanah yang berat menjadi lebih ringan. Pengaruh garam Calcium juga
sangat penting terhadap struktur tanah sebab ion-ion Calcium dapat
mengumpulkan kolloid-kolloid tanah, sehingga struktur tanah menjadi beremah.
Tetapi ion-ion Natrium mempunyai pengaruh sebaliknya, yaitu memperbesar
dispersitas kolloid tanah. Jadi bila dilakukan pemupukan dengan Natrium terus-
menerus, struktur tanah akan menjadi lebih berat. Kolloid tanah menjadi lebih
plastis dan tanah yang berat menjadi lebih berat lagi. Jadi pengaruh garam-garam
Natrium terhadap struktur tanah berakibat tidak baik (Murbandono 1993).
2.2.1 Jenis Pupuk
Beragam jenis dan bentuk pupuk yang dibedakan berdasarkan atas: (1)
terjadinya yaitu pupuk alam dan pupuk buatan; (2) susunan kimiawinya yaitu
pupuk tunggal, pupuk majemuk, pupuk Ca dan Mg; (3) susunan kimiawinya yang
berkenaan dengan perubahan-perubahan di dalam tanah yaitu pupuk organik dan
pupuk anorganik (Murbandono 1993).
2.2.1.1 Pupuk Anorganik
Pupuk anorganik adalah pupuk yang berasal dari bahan mineral yang telah
diubah melalui proses produksi, sehingga menjadi senyawa kimia yang mudah
diserap tanaman. Pupuk anorganik juga bisa diproduksi dengan pengolahan pabrik
(Hadisuwito 2007).
16
Sutedjo (1994) menjelaskan bahwa pupuk anorganik sangat dikenal dan
disukai di daerah tropik, terutama negara dengan penduduk yang melakukan
usaha di bidang pertanian. Hal ini disebabkan oleh :
1. Pupuk anorganik sangat praktis dalam penggunaannya, artinya pemakaian
dapat disesuaikan dengan perhitungan hasil penyelidikan defisiensi unsur hara
yang tersedia dalam kandungan tanah.
2. Penyedia pupuk anorganik bagi para pemakainya dapat meringankan ongkos-
ongkos angkutan, mudah didapat, dapat disimpan lama.
2.2.1.2 Pupuk Organik
Marsono dan Sigit (2002) menjelaskan bahwa pupuk organik sering juga
disebut sebagai pupuk alam, sebab sebagian besar pupuk ini berasal dari alam.
Kotoran hewan, sisa tanaman, limbah rumah tangga, dan batu-batuan merupakan
bahan dasar pupuk organik. Beberapa jenis pupuk organik masih ada yang benar-
benar alami tanpa sentuhan teknologi, tetapi tidak sedikit pula pupuk organik yang
telah diproses dengan teknologi modern sehingga muncul dalam bentuk, rupa, dan
warna yang jauh berbeda dengan bahan dasarnya. Beberapa produsen pupuk
organik ada juga yang menambahkan komponen atau bahan lain ke dalam
produknya kemudian dikemas dan diproduksi secara komersial. Dengan kemasan
yang menarik, pupuk organik dapat sejajar dengan pupuk anorganik.
Pupuk organik dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan cara
pembentukannya, yaitu pupuk organik alami dan pupuk organik buatan. Pupuk
organik alami merupakan pupuk organik yang bahan-bahannya langsung diambil
dari alam dan benar-benar alami, seperti dari sisa hewan, tumbuhan, serta tanah,
tanpa penambahan unsur hara lain untuk melengkapi atau meningkatkan
kandungan unsur haranya. Kandungan unsur hara pupuk ini tergantung pada jenis
bahan, kondisi pemeliharaan, proses pembuatan, dan cara penyimpanannya. Jenis
pupuk organik alami ada enam macam, yaitu:
1. Pupuk kandang
Pupuk kandang berasal dari hasil pembusukan kotoran hewan, baik itu
berbentuk padat (berupa feses atau kotoran) maupun cair (berupa air seni atau
17
kencing), sehingga warna rupa, tekstur, bau, dan kadar airnya tidak lagi seperti
asli.
2. Pupuk Kompos
Kompos adalah sampah organik yang telah mengalami proses pelapukan
atau dekomposisi akibat adanya interaksi mikroorganikme yang bekerja di
dalamnya. Bahan-bahan organik yang biasa dipakai bisa berupa dedaunan,
rumput, jerami, sisa ranting atau dahan pohon, kotoran hewan, kembang yang
telah gugur, air kencing hewan, kotoran hewan, dan sampah daur ulang.
3. Humus
Humus mirip dengan kompos, tetapi proses pelapukan bahan organiknya
terjadi secara alami. Bahan dasar humus umumnya berupa sisa-sisa tanaman yang
telah melapuk di kawasan hutan. Seperti halnya pupuk kandang dan kompos,
kandungan unsur hara dalam humus cukup baik. Humus mengandung unsur hara
makro N, P, dan K, juga mengandung unsur-unsur hara mikro.
4. Pupuk Hijau
Pupuk hijau adalah pupuk yang berasal dari tanaman atau bagian tanaman
tertentu yang dibenamkan di dalam tanah dalam kondisi segar. Tujuannya untuk
menambah bahan organik tanah dan unsur hara tanah, terutama nitrogen.
Tanaman yang digunakan adalah jenis yang mempunyai kemampuan mengikat
nitrogen bebas di udara dan mengubahnya menjadi bentuk yang dapat diserap
tanaman. Tanaman yang mempunyai kemampuan seperti ini yaitu tanaman dari
keluarga kacang-kacangan atau polong-polongan (Leguminoseae).
5. Kascing
Kascing adalah pupuk organik yang melibatkan cacing tanah dalam proses
penguraian atau dekomposisi bahan organik. Walaupun sebagian besar penguraian
dilakukan oleh jasad renik, kehadiran cacing justru membantu memperlancar
proses dekomposisi. Proses pengomposan dengan melibatkan cacing tanah
tersebut dikenal dengan istilah vermi-composting. Sementara hasil akhirnya
disebut kascing (bekas cacing).
6. Pupuk Guano
Pupuk guano adalah pupuk yang berasal dari kotoran unggas liar,
termasuk kelelawar. Sedangkan pupuk dari kotoran ayam, itik, atau merpati
18
peliharaan tidak termasuk di dalamnya. Karena itu, pupuk ini dikenal pula sebagai
pupuk burung. Pupuk guano merupakan hasil pelapukan batuan dan kotoran
burung yang ada di dalam goa-goa alam. Jenis pupuk ini tergolong langka,
sehingga sulit ditemukan di pasaran.
Sedangkan pupuk organik buatan adalah pupuk organik yang dibuat
dengan sentuhan teknologi untuk memenuhi kebutuhan pupuk tanaman yang
bersifat alami atau nonkimia, berkualitas baik dengan bentuk, ukuran, dan
kemasan yang praktis, mudah didapat, didistribusikan dan diaplikasikan, serta
dengan kandungan unsur hara yang lengkap dan teratur. Kandungan haranya juga
tidak lagi bergantung pada bahan baku organik yang digunakan melainkan sudah
disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Pupuk organik buatan ini terdiri dari
dua bentuk, yaitu padat dan cair.
Marsono dan Sigit (2002) menjelaskan bahwa sifat pupuk organik
memiliki kelebihan yang tidak dapat ditandingi oleh jenis pupuk lain, yaitu
mampu memperbaiki struktur tanah menjadi lebih baik sehinggga pertumbuhan
akar tanaman lebih baik pula. Saat pupuk dimasukkan ke dalam tanah, bahan
organik pada pupuk dirombak oleh mikroorganikme pengurai menjadi senyawa
anorganik yang mengisi ruang pori tanah sehingga tanah menjadi gembur. Pupuk
organik sangat berperan dalam mengatasi masalah kekurangan air di musim
kering karena bahan organik mampu menyerap air dua kali dari bobotnya.
2.3 Kompos
Kompos berasal dari bahasa Latin componere dan dalam bahasa Inggris
disebut compost, artinya mengumpulkan, menaruh semua bahan di suatu tempat,
menumpuk semua bahan menjadi satu campuran bahan. Kompos adalah hasil
akhir peruraian atau penghancuran oleh mikro dan makroorganisme pada bahan
campuran yang berasal dari tanaman (daun, cabang/ranting, batang, buah, dan
lain-lain), kotoran ternak, dan kotoran manusia (tinja, urine) yang siap digunakan
untuk pemupukan (Winangun 2005).
Menurut Murbandono (1993), kompos ialah bahan organik yang telah
menjadi lapuk, seperti daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak
padi, batang jagung, sulur, carang-carang serta kotoran hewan. Di lingkungan
19
alam terbuka, kompos bisa terjadi dengan sendirinya. Lewat proses alami, rumput,
daun-daunan dan kotoran hewan serta sampah lainnya lama-kelamaan membusuk
karena kerjasama antara mikroorganik dengan cuaca. Proses tersebut juga bisa
dipercepat oleh perlakuan manusia hingga menghasilkan kompos yang berkualitas
baik dalam waktu tidak terlalu lama. Contoh standar kualitas kompos tercantum
dalam Tabel 4.
Tabel 4. Standar Kualitas Unsur Makro Kompos Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004)
Kandungan Baku Bahan Organik (%) 27-58 Kadar Air (%) <50 Total N (%) >0,40 Karbon (%) 9,80-32,00 Imbangan C/N 10-20 P (%) >0,10 K (%) >0,20 pH 6,80-7,49
Sumber : Murbandono (1993)
Aminah et al. (2003) mengemukakan mengenai keunggulan-keunggulan
kompos yang tidak dapat digantikan oleh pupuk anorganik, yaitu :
a. Mengurangi kepekatan dan kepadatan tanah sehingga memudahkan
perkembangan akar dan kemampuannya dalam penyerapan hara.
b. Meningkatkan kemampuan tanah dalam mengikat air sehingga tanah dapat
menyimpan air lebih lama dan mencegah terjadinya kekeringan pada tanah.
c. Menahan erosi tanah sehingga mengurangi pencucian hara.
d. Menciptakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan jasad penghuni tanah
seperti cacing dan mikroba tanah yang sangat berguna bagi kesuburan tanah.
Menurut Sutanto (2002), karakterisasi kompos yang telah selesai
mengalami proses dekomposisi sebagai berikut :
1. Berwarna coklat tua hingga hitam mirip dengan warna tanah
2. Tidak larut dalam air, meski sebagian kompos dapat membentuk suspensi
3. Nisbah C/N berkisar 10–20, tergantung dari komposisi bahan baku dan derajat
humifikasinya
4. Berefek baik jika diaplikasikan pada tanah
20
5. Suhunya kurang lebih sama dengan suhu lingkungan
6. Tidak berbau
Bahan baku pengomposan adalah semua material organik yang
mengandung karbon dan nitrogen. Pada Tabel 5 disajikan bahan-bahan yang
umum dijadikan bahan baku pengomposan.
Tabel 5. Sumber-sumber Kompos dari Bahan Organik Asal Bahan
1. Pertanian • Limbah dan residu tanaman • Limbah dan residu ternak
• Pupuk Hijau
• Tanaman air
• Penambat nitrogen
Jerami dan sekam padi, gulma, batang dan tongkol jagung, semua bagian vegetatif tanaman, batang pisang dan sabut kelapa. Kotoran padat, limbah ternak cair, limbah pakan ternak, tepung tulang, cairan biogas. Gliriside, terrano, mukuna, turi, lamtoro, centrosema, albisia. Azola, ganggang biru, rumput laut, enceng gondok, gulma air. Mikroorganisme, Mikoriza, Rhizobium biogas.
2. Industri • Limbah padat • Limbah Cair
Serbuk gergaji kayu, blotong, kertas, ampas tebu, limbah kelapa sawit, limbah pengalengan makanan dan pemotongan hewan. Alkohol, limbah pengolahan kertas, bumbu masak (MSG), limbah pengolahan minyak kelapa sawit (POME)
3. Limbah rumah tangga • Sampah
Tinja, urin, sampah rumah tangga dan sampah kota
Sumber : Sutanto (2002)
2.3.1 Bokashi
Bokashi adalah pupuk kompos yang dihasilkan dari proses fermentasi atau
peragian bahan organik dengan teknologi EM4 (Effective Microorganikms 4).
Keunggulan penggunaan teknologi EM4 adalah pupuk organik (kompos) dapat
dihasilkan dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan cara
21
konvensional. EM4 juga dapat menekan pertumbuhan patogen tanah,
mempercepat fermentasi limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan
unsur hara pada tanaman, meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang
menguntungkan, serta mengurangi kebutuhan pupuk dan pestisida kimia
(Djuarnani et.al. 2006)
Cairan EM4 mengandung Azotobacter sp., Lactobacillus sp., ragi, bakteri
fotosintetik dan jamur pengurai selulosa. Bahan untuk pembuatan bokashi dapat
diperoleh dengan mudah di sekitar lahan pertanian, seperti jerami, rumput,
tanaman kacangan, sekam, pupuk kandang atau serbuk gergajian. Namun bahan
yang paling baik digunakan sebagai bahan pembuatan bokashi adalah dedak
karena mengandung zat gizi yang sangat baik untuk mikroorganisme.
Pada prinsipnya, peranan bokashi hampir sama dengan pupuk kompos
lainnya, namun bokashi EM4 pengaruhnya dipercepat dengan adanya
penambahan Effective Microorganikms 4 (EM4). Keuntungan penggunaan
bokashi adalah meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman meskipun
bahan organiknya belum terurai seperti pada kompos. Bila bokashi dimasukan ke
dalam tanah, bahan organiknya dapat digunakan sebagai substrat oleh
mikroorganisme efektif untuk berkembangbiak dalam tanah, sekaligus sebagai
tambahan persediaan unsur bagi tanaman (Sutanto 2002).
2.4 Pengolahan Limbah Organik Untuk Kompos
Salah satu unsur pembentuk tanah adalah bahan organik. Sebelum
mengalami proses perubahan, bahan organik yang terbentuk dari sisa tanaman dan
hewan tidak berguna bagi tanaman karena unsur hara terikat dalam bentuk yang
tidak dapat diserap oleh tanaman. Oleh sebab itu, perlu dikomposkan terlebih
dahulu agar unsur hara makanan bebas menjadi bentuk yang larut dan dapat
diserap tanaman melalui proses perubahan dan peruraian bahan organik. Bahan
organik yang akan digunakan sebagai pupuk, sebaiknya mempunyai perbandingan
C/N yang mendekati C/N tanah sebesar 10-12. Sisa-sisa tanaman yang masih
segar pada umumnya memiliki C/N tinggi sehingga belum bisa langsung
digunakan sebagai kompos. Bahan-bahan yang mempunyai C/N sama atau
mendekati C/N tanah tentu dapat langsung digunakan. Tetapi sebelum digunakan
22
sebagai pupuk, sebaiknya dikomposkan terlebih dahulu agar C/N-nya menjadi
lebih rendah dan mandekati C/N tanah (Murbandono 1993).
2.4.1 Proses Pengomposan
Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian
secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan
organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan
mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses
ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup,
pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.
Teknologi pengomposan sampah sangat beragam, baik secara aerobik
maupun anaerobik, dengan atau tanpa aktivator pengomposan. Aktivator
pengomposan yang sudah banyak beredar antara lain PROMI (Promoting
Microbes), OrgaDec, SuperDec, ActiComp, BioPos, EM4, Green Phoskko
Organic Decomposer dan SUPERFARM (Effective Microorganikm) atau
menggunakan cacing guna mendapatkan kompos (vermicompost). Setiap
aktivator memiliki keunggulan sendiri-sendiri5).
Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap,
yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen
dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh
mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat.
Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan
meningkat hingga di atas 50o - 70o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu
tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu
mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada kondisi ini terjadi
dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di
dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik
menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka
suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi
pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus.
5) Isroi. 2008. Kompos. http://id.wikipedia.org/wiki/Kompos [Diakses 15 Desember 2009]
Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa
bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume/bobot awal bahan.
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen)
atau anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah
proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi
bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen
yang disebut proses anaerobik. Pengomposan secara anaerobik memanfaatkan
mikroorganikme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan
organik. Namun, proses ini tidak diinginkan, karena selama proses pengomposan
akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses anaerobik akan menghasilkan
senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam
asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S (Sutanto 2002).
2.4.2 Laju Pengomposan
Aminah et al. (2003), terdapat beberapa faktor penting yang
mempengaruhi laju dalam pembuatan kompos adalah :
1. C/N ratio dalam bahan
Setiap bahan organik mengandung unsur C (Karbon) dan N (Nitrogen)
dalam komposisi yang berbeda antara bahan satu dengan lainnya yang dinyatakan
dengan C/N Ratio. Nilai C/N ratio tersebut berpengaruh terhadap proses
pengomposan. Apabila nilai C/N ratio suatu bahan semakin tinggi maka semakin
lambat bahan tersebut untuk diubah menjadi kompos, sebaliknya nilai C/N ratio-
nya semakin rendah maka akan mempercepat laju pengomposan.
Idealnya bahan-bahan yang akan dikomposkan bernilai C/N ratio 30:1.
Pada nilai tersebut diperlukan waktu sekitar 1 bulan untuk mengubah bahan
menjadi kompos. Namun demikian, di alam tidaklah mudah memperoleh bahan
yang memiliki C/N ratio 30:1. Untuk memperoleh bahan-bahan dengan C/N ratio
mendekati angka tersebut, disarankan mencampur beberapa bahan. Kandungan
nilai C/N ratio pada beberapa bahan organik dapat dilihat pada Tabel 6.
24
Tabel 6. Kandungan Nilai C/N Ratio Beberapa Bahan Organik Untuk Kompos Bahan C/N Ratio
Sisa Makanan 15:1
Bubuk Gergaji, Kayu, Kertas 400:1
Jerami 80:1
Dedaunan 50:1
Sisa-sisa Buah-buahan 35:1
Pupuk Kandang Kering 20:1
Bonggol Jangung 60:1 Sumber : Michel et al. 1999, diacu dalam Aminah 2003
2. Ukuran bahan yang dikompos
Ukuran bahan yang dikompos juga berpengaruh terhadap laju
pengomposan. Ukuran bahan organik yang semakin kecil menjadikan proses
pengomposan akan berlangsung lebih cepat sebab semakin kecil ukuran bahan
maka semakin luas pula permukaan yang dapat dirombak oleh mikroba pengurai.
3. Aerasi
Aerasi merupakan faktor yang juga mempercepat proses pengomposan.
Proses pengomposan dapat berlangsung dalam suasana aerob dan anaerob. Dalam
aktivitasnya merombak bahan organik pada suasana aerob, mikroba aerobik
memerlukan oksigen, sedangkan mikroba anaerobik tidak memerlukan oksigen.
Proses pengomposan yang berlangsung secara anaerob, menimbulkan bau busuk
akibat terlepasnya gas amonia dan membutuhkan waktu yang lama. Untuk
memberikan cukup aerasi dalam pengomposan dapat dilakukan dengan cara
menyediakan celah-celah kosong di bagian bawah tumpukan bahan untuk
memudahkan sirkulasi udara.
4. Kelembaban
Keadaan lingkungan yang lembab sangat diperlukan dalam aktivitas
mikroba pengurai sehingga pengaturan kelembaban perlu dilakukan dalam
pembuatan kompos. Kelembaban optimal yang disarankan adalah 40-60%. Bahan
yang kering akan menghambat proses dekomposisi sedangkan bahan yang terlau
basah akan menghambat aerasi yang pada akhirnya juga akan menghambat proses
penguraian oleh mikroba.
25
5. Suhu
Tinggi rendahnya suhu tergantung dari bahan-bahan yang dikompos.
Bahan dengan C/N ratio tinggi akan sulit mencapai suhu tinggi, sebaliknya bahan
dengan C/N ratio rendah akan dengan cepat mencapai suhu tinggi. Semakin tinggi
suhu yang bisa dicapai akan semakin cepat pula proses pengomposan.
Pengomposan akan berlangsung efisien jika dapat mencapai suhu sekurang-
kurangnya 600C.
2.4.3 Metode Pengomposan
Aminah et al. (2003), terdapat beberapa metode pengomposan yang telah
dikembangkan dan dipraktekkan di Indonesia, antara lain :
a. Metode Indore
Metode ini dibedakan menjadi dua, yakni (1) Indore heap method (bahan
dikompos di atas tanah) dan (2) Indore pit method (bahan dipendam di dalam
tanah). Metode Indore sesuai diterapkan di daerah yang bercurah hujan tinggi.
Lama proses pengomposan lebih kurang 3 bulan. Pada Indore heap method,
bahan-bahan kompos ditimbun secara berlapis-lapis setebal 10-25 cm dan bagian
atasnya ditutupi kotoran ternak yang tipis untuk mengaktifkan proses, kemudian
disiram dengan campuran pupuk kandang dan abu. Pada Indore pit method,
dilakukan penggalian tanah pada tempat yang relatif tinggi dan mempunyai
pengaturan yang baik, bahan dasar kompos yang mudah terdekomposisi disebar
secara merata di dalam lubang galian dan bahan disusun berlapis-lapis serta
dilakukan pembasahan secukupnya. Pembalikan dilakukan pada hari ke 15, 30,
dan 60.
b. Metode Barkeley
Metode ini ditujukan untuk bahan kompos yang berselulosa tinggi (C/N
ratio tinggi) seperti jerami, alang-alang, dll yang dikombinasikan dengan bahan
kompos yang C/N ratio-nya rendah. Bahan kompos ditimbun secara berlapis-lapis
dengan lapisan paling bawah adalah bahan kompos yang C/N ratio-nya paling
rendah diikuti oleh bahan yang C/N ratio-nya tinggi, begitu seterusnya sampai
mencapai ketinggian yang diinginkan. Pembalikan dilakukan pada hari ke tujuh
dan sepuluh. Dalam tiga minggu kompos telah masak dan siap diaplikasikan.
26
c. Metode Jepang
Pada metode Jepang pengomposan juga dilakukan penumpukan seperti
halnya pada metode pit, namun sebagai pengganti lubang galian digunakan bak
penampung yang terbuat dari kawat, atau bambu, atau kayu yang disusun secara
bertingkat. Bagian dasar bak dilapisi bahan kedap air guna menghindarkan
terjadinya pencucian unsur hara ke dalam tanah dibawahnya. Keunggulan metode
Jepang adalah bak yang diletakkan di atas permukaan tanah akan memudahkan
pengadukan, sedangkan dasar yang kedap air dapat mengurangi kehilangan unsur
N selama pengomposan.
2.5 Pengusahaan Pupuk Kompos
Di Indonesia, produktifitas lahan sawah kita, rata-rata hanya 4 ton Gabah
Kering Panen (GKP) per hektar per musim tanam. Sementara petani Thailand
sudah bisa mencapai rata-rata 6 ton GKP per hektar per musim tanam. Rahasianya
ada di kualitas benih dan pemupukan. Untuk mencapai hasil rata-rata 6 ton GKP,
diperlukan aplikasi pemupukan organik minimal 3 ton per hektar per musim
tanam. Untuk kondisi tanah sawah di Jawa yang telah terlanjur rusak karena
keracunan nitrogen akibat pemupukan urea dosis tinggi, diperlukan aplikasi
kompos minimal 5 ton per hektar per musim tanam. Baru pada musim-musim
tanam berikutnya, dosis kompos itu pelan-pelan diturunkan hingga menjadi 3 ton
per hektar per musim tanam.
Perhitungan secara sederhananya, untuk menghasilkan satu satuan volume
produk panen, diperlukan pupuk organik separo dari angka hasil panen tersebut.
Jagung hibrida yang hasilnya 8 ton jagung pipilan kering misalnya, memerlukan
pupuk kompos sebanyak 4 ton per hektar per musim tanam. Jadi kalau produksi
gabah nasional kita sekitar 50 juta ton dan jagungnya 10 juta ton per tahun, maka
total jumlah kompos atau pupuk organik lain yang diperlukan untuk padi dan
jagung tersebut akan mencapai 30 juta ton per tahun. Penggunaan pupuk organik
ini akan bisa menurunkan kebutuhan pupuk anorganik tanpa memperkecil hasil
panen. Selain itu, kompos juga dapat meningkatkan volume produksi sekitar 20%
dari hasil optimal sebelum pupuk organik digunakan. Kalau nilai kompos untuk
jagung dan padi tadi Rp 100.000,- per ton, maka omset dari industri kompos untuk
27
padi dan jagung saja, akan mencapai Rp 3 trilyun per tahun. Pupuk anorganik
yang bisa dihemat sekitar 2.000.000 ton. Dengan harga pupuk anorganik Rp
1.000.000,- per ton, maka penghematan pupuk anorganik akan mencapai Rp 2
trilyun per tahun. Sementara peningkatan hasil panen akan mencapai 20% dari 60
juta ton = 12 juta ton. Dengan harga Rp 1.000.000,- per ton maka nilai
peningkatan hasil panen padi dan jagung akan mencapai Rp 12 trilyun per tahun.
Angka tersebut baru mengacu pada asumsi aplikasi kompos untuk padi
dan jagung. Belum memperhitungkan komoditas-komoditas lain seperti singkong,
kedelai, kacang tanah dan produk hortikultura, terutama sayuran dan buah-
buahan. Jadi tampak betapa strategisnya industri kompos bagi sebuah negara
agraris seperti Indonesia6).
2.5.1 Perencanaan Pengusahaan Pupuk Kompos
Pupuk tanaman bisa menjadi peluang bisnis yang menjanjikan, karena
berkaitan erat dengan produktivitas tanaman dan berpengaruh terhadap hasil
panennya. Kondisi negara Indonesia sebagai negara tropis, mendukung proses
pembuatan pupuk tanaman khususnya pupuk organik dari bahan sisa tanaman
maupun kotoran ternak hewan. Beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan
dalam merencanakan pendirian sebuah usaha pengolahan pupuk kompos7), yakni:
1. Lokasi Produksi
Jika ingin memulai usaha produksi sebaiknya mencari lokasi yang dekat
dengan lokasi bahan baku dan lokasi pasar, karena untuk mengurangi biaya
transportasi, baik dalam pembelian bahan baku maupun penjualan produk.
Misalnya dekat dengan peternakan hewan, seperti daerah sepanjang Pantura,
seluruh Pulau Jawa, areal peternakan di Jawa Timur, Tapanuli, Aceh, Bengkulu,
NTT, Irian Jaya yang memilki babi, hingga Sulawesi Selatan. Daerah penghasil
pupuk alami saat ini yakni Bandung, Wonosobo, Brastagi, dan Sulawesi Selatan.
6) [FKA] Forum Kerjasama Agribisnis. 2008. Membangun Industri Kompos Komersial. http://foragri.blogsome.com/membangun-industri-kompos-komersial/. [Diakses 19 Desember 2009]
7) [KADINJATENG] Kamar Dagang dan Industri Provinsi Jawa Tengah. 2009. Tabloid Peluang Usaha-Usaha Pupuk Kompos dan Bahan Pendukung Tanaman. Tabloid Peluang Usaha. http://www.kadinjateng.com/12 [Diakses 19 Desember 2009]
Pelaku usaha sebaiknya selalu meng-update teknologi baru pembuatan
pupuk. Misalnya, untuk di kota produksi kompos lebih ditempat tertutup ataupun
menggunakan zat peredam bau berupa bahan karbon seperti penggembur Green
Phoskko (bulking agent) yang cara kerjanya menyerap bakteri pathogen penyebab
bau yang berasal dari limbah tersebut.
3. Sertifikasi Produk
Salah satu penyebab lemahnya pupuk kompos di Indonesia karena masih
banyak yang belum tersertifikasi dan melalui uji laboratorium. Hal tersebut terjadi
karena mahalnya biaya untuk melakukan semua itu. Biaya yang dibutuhkan bisa
mencapai puluhan juta rupiah sehingga banyak sekali pupuk kompos yang
kualitasnya jelek. Akibat tingginya biaya tersebut banyak kompos yang telah
terkemas baik, namun menyebabkan tanaman hangus terbakar, mati ataupun
kurang produktif.
Untuk mendapatkan sertifikasi kelayakan bisa diajukan ke Departemen
Pertanian, sedangkan untuk pengujian produk bisa dilakukan di berbagai lab
kimia, misalnya laboratorium kimia di berbagai universitas. Untuk uji
keefektifannya bisa di Balai Pertanian daerah setempat dan kelayakan jual dibuat
di Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
4. Persaingan Usaha
Persaingan usaha pupuk anorganik sintetik tidak terlalu ketat, karena
pupuk anorganik di Indonesia masih dipegang oleh industri besar bahkan ada
yang masih impor. Sedangkan untuk pupuk kompos persaingan cukup ketat,
namun hal tersebut justru membawa kebaikan, yakni banyak produsen berlomba-
lomba membuat pupuk kompos lebih cepat siap pakai, misalnya dahulu bisa
memakan waktu 1-2 bulan, sekarang banyak yang membuat pupuk komposter
dengan alat mesin Rotary Kiln hanya dalam 5-10 hari.
2.6 Tinjauan Studi Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Gustoro (2006) mengenai sistem
penunjang keputusan pendirian industri kompos di TPA Galuga, Bogor. Penelitian
ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menunjang keputusan
29
investasi meliputi prakiraan jumlah timbunan sampah dan penilaian kelayakan
finansial industri pengolahan kompos. Sistem penunjang keputusan untuk
pendirian industri kompos dirancang dengan menggunakan bahasa pemrograman
Visual Basic 6.0 yang disebut SPKKompos. Paket program SPKKompos terdiri
dari dua model yaitu model prakiraan dan model kelayakan finansial industri.
Model prakiraan digunakan untuk melihat prakiraan timbulan pasar sebagai bahan
pembuat kompos dengan cara memprakirakan jumlah penduduk pada masa yang
akan datang dengan metode prakiraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
diperoleh model prakiraan yang tepat untuk memprakirakan jumlah penduduk di
Kota Bogor dengan menggunakan metode tren linier yaitu persamaan y = 611047
+ 21409x. Hasil prakiraan jumlah penduduk kemudian dilakukan analisis dengan
tetapan-tetapan profil sampah Kota Bogor sehingga didapat volume timbulan
sampah pasar Kota Bogor untuk periode 10 tahun yang akan datang dari tahun
2006-2015. Sedangkan model kelayakan finansial industri digunakan untuk
mengetahui kelayakan suatu usaha dari aspek finansial. Hasil analisa industri
kompos dengan pengadaan sampah pasar 30 ton per hari tidak layak dijalankan.
Untuk pengadaan sampah pasar 60 ton per hari dan 120 ton per hari dengan umur
proyek 10 tahun layak untuk dikembangkan. Hal ini ditunjukkan dengan
perolehan nilai NPV sebesar Rp 1.425.694.004,- dan Rp 4.951.641.556,- dengan
nilai IRR sebesar 33,25 % dan 47,59 %. Untuk nilai B/C ratio diperoleh 1,86 dan
2,68 sedangkan payback period 5,52 tahun dan 3,16 tahun.
Khaddafy (2009) melakukan penelitian tentang analisis kelayakan usaha
pupuk organik di CV Saung Wira, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Penelitian ini menganalisis kelayakan rencana pengembangan usaha pupuk
organik dari segi non finansial dan finansial serta tingkat kepekaan terhadap
penurunan harga penjualan dan kenaikan biaya variabel. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rencana pengembangan usaha pupuk organik dilihat dari
kriteria pasar dan pemasaran layak untuk diusahakan karena perusahaan mampu
bersaing dan menyerap pasar dengan cara promosi yang dilakukan serta kualitas
dan kemasan pupuk organik sudah sesuai dengan keinginan konsumen. Dengan
demikian persentase penjualan menjadi meningkat, aspek pasar rencana
pengembangan usaha pupuk organik layak untuk diusahakan. Berdasarkan hasil
30
analisa aspek teknis dan teknologi, dapat dinilai bahwa lokasi dan kondisi
geografis memenuhi syarat pembuatan pupuk organik serta teknologi yang
digunakan mempercepat proses produksi sehingga waktu yang digunakan lebih
efisien. Analisis aspek manajemen yang mencakup analisis struktur organikasi
dan deskripsi pekerjaan sesuai dengan kualifikasi perusahaan sehingga rencana
pengembangan usaha ini layak untuk diusahakan. Dilihat dari aspek sosial,
perusahaan dapat mengurangi dampak pencemaran lingkungan karena sebagian
bahan baku terdiri dari sampah-sampah organik yang dihasilkan rumah tangga.
Perusahaan juga memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Dari
analisis kelayakan finansial skenario I, yaitu dengan menggunakan modal sendiri
merupakan skenario yang paling menguntungkan untuk diusahakan. Hasil
switching value menunjukkan bahwa skenario II merupakan skenario yang paling
rentan terhadap perubahan baik dari segi penurunan penjualan maupun kenaikan
biaya variabel.
Siregar (2009) meneliti tentang analisis kelayakan pengusahaan sapi perah
dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan pupuk kompos di UPP
Darul Fallah dan Fakultas Peternakan IPB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kelayakan pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan
biogas dan pupuk kompos di UPP Darul Fallah dan Fakultas Peternakan IPB bila
ditinjau dari aspek-aspek non finansial yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek
manajemen, aspek SDM, dan aspek lingkungan hidup dapat disimpulkan layak
untuk diusahakan. Sedangkan hasil analisis finansial usaha peternakan UPP Darul
Fallah memperoleh NPV>0 yaitu sebesar Rp 202.456.789,33 yang artinya bahwa
usaha ini layak untuk dijalankan. Pada usaha ini diperoleh Net B/C>0 yaitu
sebesar 1,74 yang mengindikasikan bahwa pengusahaan sapi perah dan
pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan pupuk kompos layak untuk
dijalankan dimana setiap Rp 1,00 yang dikeluarkan selama umur proyek
menghasilkan 1,74 satuan manfaat bersih. IRR yang diperoleh sebesar 26,13
persen, artinya usaha ini layak dan menguntungkan karena IRR lebih besar dari
nilai diskon faktor (8,75 %) dengan periode pengembalian investasi selama lima
tahun sepuluh bulan tujuh belas hari. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya
dapat dilihat pada Tabel 7.
31
Tabel 7. Studi Terdahulu yang Berkaitan dengan Penelitian
Nama Tahun Judul Beda Penelitian Terdahulu
Metode Analisis
Gustoro 2006 Sistem Penunjang Keputusan Pendirian Industri Kompos di TPA Galuga, Bogor.
Dalam penelitian ini output utamanya yang dibahas yaitu kompos limbah pertanian tanpa memperkirakan model prakiraan. Sedangkan peneliti terdahulu, output berupa kompos limbah pasar dengan memperkirakan model prakiraan volume sampah.
Visual Basic 6.0, tren linier, NPV, IRR, NET B/C Ratio, PP
Khaddafy 2009 Analisis Kelayakan Usaha Pupuk Organik di CV Saung Wira, Kabupaten Bogor.
Dalam penelitian ini output utamanya yang dibahas yaitu kompos limbah pertanian. Sedangkan peneliti terdahulu, output berupa pupuk organik yang berbahan sampah organik rumah tangga.
NPV, IRR, NET B/C, Payback Period, Analisis Switching Value
Siregar 2009 Analisis Kelayakan Pengusahaan Sapi Perah dan Pemanfaatan Limbah Untuk Menghasilkan Biogas dan Pupuk Kompos di UPP Darul Fallah dan Fakultas Peternakan IPB.
Dalam penelitian ini objek yang dikaji hanya sebatas pengusahaan pupuk komposnya saja oleh unit usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari yang merupakan sampel dari masyarakat suatu desa.
NPV, IRR, NET B/C, Payback Period
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Analisis Kelayakan Proyek
Gittinger (1986) mendefinisikan proyek merupakan suatu kegiatan yang
mengeluarkan uang atau biaya-biaya dengan harapan akan memperoleh hasil dan
yang secara logika merupakan wadah untuk melakukan kegiatan-kegiatan
perencanaan, pembiayaan, dan pelaksanaan dalam satu unit. Menurut Kadariah,
dkk. (1999) proyek merupakan suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan
sumber-sumber untuk mendapatkan kemanfaatan (benefit) atau suatu aktivitas
yang mengeluarkan uang dengan harapan untuk mendapatkan hasil (returns)
diwaktu yang akan datang, dan dapat direncanakan, dibiayai dan dilaksanakan
sebagai satu unit. Aktivitas suatu proyek selalu ditujukan untuk mencapai suatu
tujuan (objective) dan mempunyai suatu titik tolak (starting point) dan suatu titik
akhir (ending point).
Definisi lain menyebutkan bahwa studi kelayakan usaha merupakan suatu
kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan atau usaha
atau bisnis yang akan dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidak
usaha tersebut dijalankan (Kasmir 2003). Husnan dan Suwarsono (2000)
mengemukakan kriteria keberhasilan suatu proyek dapat dilihat dari manfaat
investasi yang terdiri dari :
1. Manfaat ekonomis proyek terhadap proyek itu sendiri (sering juga disebut
sebagai manfaat finansial) yang berarti apakah proyek itu dipandang cukup
menguntungkan apabila dibandingkan dengan risiko proyek tersebut.
2. Manfaat proyek bagi negara tempat proyek itu dilaksanakan (disebut juga
manfaat ekonomi nasional) yang menunjukkan manfaat proyek tersebut bagi
ekonomi makro suatu negara.
3. Manfaat sosial proyek tersebut bagi masyarakat di sekitar proyek.
Menurut Gittinger (1986), dalam menganalisa suatu proyek yang efektif
harus mempertimbangkan aspek-aspek yang saling berkaitan secara bersama-sama
dalam menentukan bagaimana keuntungan yang diperoleh dari suatu penanaman
investasi tertentu dan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut pada setiap tahap
dalam perencanaan proyek dan siklus pelaksanaannya. Aspek-aspek tersebut
antara lain :
1. Aspek Pasar
Aspek pasar merupakan aspek penting yang terlebih dahulu harus
dianalisis sebelum memutuskan untuk memulai atau mengembangkan suatu
usaha. Kelayakan aspek pasar akan sangat berkaitan dengan besarnya penerimaan
yang akan diperoleh dalam usaha, karena aspek ini akan menentukan besarnya
penekanan biaya pemasaran dan peningkatan nilai jual output yang dapat
diupayakan.
Analisis aspek pasar pada studi kelayakan mencakup permintaan,
penawaran, harga, program pemasaran, dan prakiraan penjualan yang bisa dicapai
perusahaan (Nurmalina et al. 2009). Permintaan dikaji secara total ataupun
diperinci menurut daerah, jenis konsumen, perusahaan, dan proyeksi permintaan.
Hal-hal yang dikaji dalam penawaran meliputi penawaran dalam negeri maupun
luar negeri, bagaimana perkembangannya di masa lalu dan bagaimana perkiraan
di masa yang akan datang. Kajian aspek harga meliputi perbandingan dengan
produk saingan yang sekelas dan apakah ada kecenderungan perubahan harga atau
tidak. Program pemasaran mencakup strategi pemasaran yang akan dipergunakan
bauran pemasaran (marketing mix) serta market share yang bisa dikuasai
perusahaan atau dapat diserap oleh bisnis dari keseluruhan pasar potensial yang
merupakan keseluruhan jumlah produk yang mungkin dapat dijual dalam pasar
tertentu.
2. Aspek Teknis
Aspek teknis merupakan suatu aspek yang berkenaan dengan proses
pembangunan proyek secara teknis dan pengoperasiannya setelah proyek tersebut
selesai dibangun. Aspek teknis berhubungan dengan input proyek (penyediaan)
dan output (produksi) berupa barang-barang nyata dan jasa-jasa. Aspek teknis
mengkaji beberapa hal yaitu lokasi bisnis, luas produksi untuk mencapai kondisi
yang ekonomis, proses produksi, layout, dan pemilihan jenis teknologi
33
34
(Nurmalina et al. 2009). Analisis aspek teknis akan menguji hubungan-hubungan
teknis yang mungkin dalam suatu proyek yang diusulkan. Hubungan-hubungan
tersebut seperti potensi bagi pembangunan, ketersediaan air, salinitas air, suhu
udara dan pengadaan input produksi yang sangat menentukan keberhasilan usaha
terutama keberhasilan proses produksi. Aspek-aspek lain dari analisis proyek
hanya akan dapat berjalan bila analisis secara teknis dapat dilakukan.
3. Aspek Manajemen dan Hukum
Analisis aspek manajemen memfokuskan pada kondisi internal
perusahaan. Aspek-aspek manajemen yang dilihat pada studi kelayakan terdiri
dari manajemen pada masa pembangunan yaitu pelaksanaan proyek, jadwal
penyelesaian proyek dan pelaksana studi masing-masing aspek, dan manajemen
pada saat operasi yaitu bagaimana bentuk organisasi/badan usaha yang dipilih,
bagaimana struktur organisasi, bagaimana deskripsi masing-masing jabatan,
berapa banyak jumlah tenaga kerja yang digunakan, dan menentukan anggota
direksi dan tenaga inti (Nurmalina et al. 2009). Evaluasi aspek manajemen
diantaranya meliputi jumlah dan persyaratan tenaga manajemen, anggaran balas
jasa karyawan yang diperlukan, berapa macam tugas operasi proyek yang
memerlukan keahlian khusus. Analisis pada aspek ini adalah analisis mengenai
ketepatan dalam penetapan institusi atau lembaga proyek dan analisis tentang
posisi kerja yang harus diisi dengan pekerja yang ahli.
Dalam aspek hukum memerlukan beberapa hal yang harus dipenuhi dalam
proyek atau usaha seperti bentuk badan usaha yang digunakan, jaminan-jaminan
yang dapat diberikan apabila hendak menjamin dana, akta, sertifikat dan izin yang
diperlukan dalam menjalankan usaha. Di samping hal tersebut aspek hukum dari
suatu kegiatan bisnis diperlukan dalam hal mempermudah dan memperlancar
kegiatan bisnis pada saat menjalin jaringan kerjasama (networking) dengan pihak
lain.
4. Aspek Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Aspek sosial merupakan aspek yang mempertimbangkan keadaan sosial
yang ada di lingkungan sekitar atau sesuatu yang erat kaitannya dengan
keberlangsungan perusahaan. Pertimbangan-pertimbangan sosial lainnya juga
harus dipikirkan secara cermat agar dapat menentukan apakah suatu proyek yang
35
diusulkan tanggap (responsive) terhadap keadaan sosial tersebut. Aspek sosial
harus mempertimbangkan secara teliti pengaruh negatif dan positif dari
keberadaan proyek yang diusahakan atau didirikan di daerah tersebut (Umar
2005). Dari segi ekonomi suatu usaha dapat memberikan peluang peningkatan
pendapatan masyarakat luas. Adanya bisnis secara sosial, ekonomi, dan budaya
diharapkan lebih banyak memberikan manfaat dibandingkan kerugiannya. Suatu
bisnis tidak akan ditolak masyarakat sekitar bila secara sosial budaya diterima dan
secara ekonomi memberikan kesejahteraan.
5. Aspek Lingkungan
Analisis terhadap aspek lingkungan merupakan suatu analisis yang
berkenaan dengan implikasi lingkungan yang lebih luas dari investasi yang
diusulkan, dimana pertimbangan-pertimbangan lingkungan tersebut harus
dipikirkan secara cermat. Pertimbangan tentang sistem alami dan kualitas
lingkungan dalam analisis suatu bisnis justru akan menunjang kelangsungan suatu
usaha itu sendiri, sebab tidak ada usaha yang akan bertahan lama apabila tidak
bersahabat dengan lingkungan (Hufschmidt et al. 1987). Misal, bagaimana
dampak limbah usaha terhadap lingkungan sekitar.
6. Aspek finansial
Aspek finansial berkaitan dengan pengaruh secara finansial terhadap
proyek yang sedang dilaksanakan. Hal ini menggambarkan keuntungan atau
manfaat yang diterima perusahaan secara internal dari adanya proyek tersebut.
Aspek-aspek finansial dari persiapan dan analisis proyek menerangkan pengaruh-
pengaruh finansial dari suatu proyek yang diusulkan terhadap para peserta yang
tergabung di dalamnya. Analisis finansial meninjau proyek dari sudut peserta
proyek (pelaku proyek) secara individu.
3.1.2 Teori Biaya dan Manfaat
Biaya dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mengurangi suatu
tujuan, dan suatu manfaat adalah segala sesuatu yang membantu tujuan (Gittinger
1986). Biaya dapat juga didefinisikan sebagai pengeluaran atau korbanan yang
dapat menimbulkan pengurangan terhadap manfaat yang diterima. Biaya-biaya
yang digunakan dalam analisis proyek agribisnis adalah biaya-biaya langsung
36
seperti biaya investasi, biaya operasional, dan biaya lain-lain. Biaya investasi
adalah biaya yang dikeluarkan pada saat proyek mulai dilakukan, sedangkan biaya
operasional adalah biaya yang dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan pada saat
proyek berjalan. Biaya operasional dibagi menjadi biaya tetap dan biaya variabel.
Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak tergantung dari besarnya output
yang dihasilkan. Biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah selama
proses produksi. Biaya yang diperlukan suatu proyek dapat dikategorikan sebagai
berikut :
1. Biaya modal merupakan dana untuk investasi yang penggunaannya bersifat
jangka panjang, seperti : tanah, bangunan, pabrik, mesin.
2. Biaya operasional atau modal kerja merupakan kebutuhan dana yang
diperlukan pada saat proyek mulai dilaksanakan, seperti : biaya bahan baku,
biaya tenaga kerja.
3. Biaya lainnya yaitu pajak, bunga dan pinjaman.
Sedangkan menurut Kadariah (1999), manfaat dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu :
1. Manfaat langsung (direct benefit) yang diperoleh dari adanya kenaikan nilai
output, fisik, dan atau dari penurunan biaya.
2. Manfaat tidak langsung (indirect benefit) yang disebabkan adanya proyek
tersebut dan biasanya dirasakan oleh orang tertentu dan masyarakat berupa
adanya efek multiplier, skala ekonomi yang lebih besar dan adanya dynamic
secondary effect, misalnya perubahan dalam produktivitas tenaga kerja yang
disebabkan oleh keahlian.
3. Manfaat yang tidak dapat dilihat dan sulit dinilai dengan uang (intangible
effect), misalnya perbaikan lingkungan hidup, perbaikan distribusi
Kriteria yang biasa digunakan sebagai dasar persetujuan atau penolakan
suatu proyek adalah perbandingan antara jumlah nilai yang diterima sebagai
manfaat dari investasi tersebut dengan manfaat-manfaat dalam situasi tanpa
proyek. Nilai perbedaannya adalah berupa tambahan manfaat bersih yang akan
muncul dari investasi dengan adanya proyek (Gittinger 1986).
37
3.1.3 Analisis Kelayakan Investasi
Analisis kelayakan investasi diukur berdasarkan ukuran kriteria-kriteria
investasi. Kirteria investasi digunakan untuk mengukur manfaat yang diperoleh
dan biaya yang dikeluarkan dari suatu proyek. Dalam mengukur kemanfaatan
proyek dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan perhitungan
berdiskonto dan tidak berdiskonto. Perbedaannya terletak pada konsep Time Value
of Money (nilai waktu uang) yang diterapkan pada perhitungan berdiskonto.
Perhitungan diskonto merupakan suatu teknik yang dapat “menurunkan” manfaat
yang diperoleh pada masa yang akan datang dan arus biaya menjadi nilai pada
masa sekarang, sedangkan perhitungan tidak berdiskonto memiliki kelemahan
umum, yaitu ukuran-ukuran tersebut belum mempertimbangkan secara lengkap
mengenai lamanya arus manfaat yang diterima (Gittinger 1986).
Konsep nilai waktu uang (time value of mone) menyatakan bahwa nilai
sekarang (present value) adalah lebih baik daripada nilai yang sama pada masa
yang akan datang (future value). Ada dua faktor yang menyebabkan hal ini terjadi,
yaitu time preference (sejumlah sumber yang tersedia untuk dinikmati pada saat
ini lebih disenangi daripada jumlah yang sama namun tersedia di masa yang akan
datang) dan produktivitas atau efisiensi modal (modal yang dimiliki saat sekarang
memiliki peluang untuk mendapatkan keuntungan di masa datang melalui
kegiatan yang produktif) yang berlaku baik secara perorangan maupun bagi
masyarakat secara keseluruhan (Kadariah 1999).
Kadariah, et.al (1999) mengungkapkan bahwa kedua unsur tersebut
berhubungan timbal balik di dalam pasar modal untuk menentukan tingkat harga
modal yaitu tingkat suku bunga, sehingga dengan tingkat suku bunga dapat
dimungkinkan untuk membandingkan arus biaya dan manfaat yang
penyebarannya dalam waktu yang tidak merata. Untuk tujuan itu, tingkat suku
bunga ditentukan melalui proses “discounting”.
3.1.4 Analisis Finansial
Aspek finansial merupakan proyeksi anggaran dan pengeluaran bruto pada
masa yang akan datang setiap tahunnya. Analisis finansial juga merupakan suatu
analisis yang membandingkan antara biaya dan manfaat untuk menentukan
38
apakah suatu proyek akan menguntungkan selama umur proyek (Husnan dan
Suwarsono 2000). Analisis finansial terdiri dari:
1. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) suatu proyek menunjukkan manfaat bersih yang
diterima proyek selama umur proyek pada tingkat suku bunga tertentu. Net
Present Value (NPV) merupakan nilai sekarang dari selisih antara manfaat
(benefit) dengan biaya (cost) pada tingkat suku bunga tertentu. NPV juga dapat
diartikan sebagai nilai sekarang dari arus kas yang ditimbulkan oleh investasi.
Dalam menghitung NPV perlu ditentukan tingkat suku bunga yang relevan.
Kriteria investasi berdasarkan NPV yaitu:
• NPV > 0, artinya suatu proyek sudah dinyatakan menguntungkan dan dapat
dilaksanakan.
• NPV < 0, artinya proyek tersebut tidak menghasilkan nilai biaya yang
dipergunakan. Dengan kata lain, proyek tersebut merugikan dan sebaliknya
tidak dilaksanakan.
• NPV = 0, artinya proyek tersebut mampu mengembalikan persis sebesar
modal sosial Opportunities Cost faktor produksi normal. Dengan kata lain,
proyek tersebut tidak untung dan tidak rugi.
2. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Rasio)
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Rasio) menyatakan besarnya
pengembalian terhadap setiap satu satuan biaya yang telah dikeluarkan selama
umur proyek. Net B/C merupakan angka perbandingan antara present value dari
net benefit yang positif dengan present value yang negatif. Kriteria investasi
berdasarkan Net B/C adalah:
• Net B/C > 1, maka NPV > 0, proyek menguntungkan
• Net B/C < 1, maka NPV < 0, proyek merugikan
• Net B/C = 1, maka NPV = 0, proyek tidak untung dan tidak rugi
3. Internal Rate Return (IRR)
Internal Rate Return (IRR) adalah tingkat bunga yang menyamakan
present value kas keluar yang diharapkan dengan present value aliran kas masuk
yang diharapkan, atau didefinisikan juga sebagai tingkat bunga yang
menyebabkan Net Present Value (NPV) sama dengan nol. Gittinger (1986)
39
menyebutkan bahwa IRR adalah tingkat rata-rata keuntungan internal tahunan
bagi perusahaan yang melakukan investasi dan dinyatakan dalam satuan persen.
Tingkat IRR mencerminkan tingkat suku bunga maksimal yang dapat dibayar oleh
proyek untuk sumberdaya yang digunakan. Suatu investasi dianggap layak apabila
nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku dan sebaliknya jika
nilai IRR lebih kecil dari tingkat suku bunga yang berlaku, maka proyek tidak
layak untuk dilaksanakan.
4. Payback Period (PP)
Payback Period (PP) merupakan suatu periode yang diperlukan untuk
menutup kembali pengeluaran investasi yang didanai dengan aliran kas. Payback
Period (PP) atau tingkat pengembalian investasi juga merupakan salah satu
metode dalam menilai kelayakan suatu usaha yang digunakan untuk mengukur
periode jangka waktu pengembalian modal. Semakin cepat modal itu dapat
kembali, semakin baik suatu proyek untuk diusahakan karena modal yang kembali
dapat dipakai untuk membiayai kegiatan lain (Husnan dan Suwarsono 2000).
5. Analisis Laba Rugi Usaha
Perhitungan rugi laba usaha mengkaji mengenai penerimaan dan
pengeluaran suatu perusahaan selama periode akuntansi. Menurut Gittinger
(1986), laporan rugi laba juga merupakan suatu laporan yang menunjukkan hasil-
hasil operasi perusahaan selama waktu tersebut. Laporan rugi laba ini atau usaha
yang dijalankan mendapatkan keuntungan ataukah mendapatkan kerugian selama
waktu proyek. Laba ialah apa saja yang tersisa setelah dikurangkannya
pengeluaran-pengeluaran yang timbul di dalam memproduksi barang atau jasa
atau dari penerimaan yang diperoleh dengan menjual barang atau jasa tersebut.
3.1.5 Analisis Sensitivitas
Suatu proyek pada dasarnya menghadapi ketidakpastian karena
dipengaruhi perubahan-perubahan, baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi
pengeluaran. Perubahan-perubahan tersebut akhirnya akan mempengaruhi tingkat
kelayakan suatu proyek sehingga perlu dilakukan analisis sensitivitas. Analisis
sensitivitas dilakukan untuk meneliti kembali analisis kelayakan proyek yang
telah dilakukan (Gittinger 1986). Analisis sensitivitas dilakukan dengan
40
mengubah suatu unsur atau mengkombinasikan perubahan beberapa unsur dan
menentukan pengaruh dari perubahan pada hasil semula.
Proyek pada sektor pertanian dapat berubah-ubah akibat dari empat
permasalahan utama, yaitu perubahan harga jual produk, keterlambatan
pelaksanaan proyek, kenaikan biaya, dan perubahan volume produksi.
Permasalahan ini timbul karena banyak faktor yang tidak terkendali. Setiap
kemungkinan perubahan atau kesalahan dalam dasar perhitungan sebaiknya
dipertimbangkan dalam analisis sensitivitas (Gittinger 1986).
Suatu variasi dari analisis sensitivitas adalah analisis nilai pengganti
(switching value). Analisis switching value ini merupakan cara perhitungan untuk
mengukur perubahan maksimum dari peningkatan harga input atau perubahan
maksimum dari penurunan harga output dan jumlah produksi yang masih dapat
ditoleransi. Analisis ini menunjukkan sampai berapa persen perubahan yang
terjadi pada variabel (yang diduga bisa menyebabkan perubahan) sampai
menghasilkan nilai NPV sama dengan nol, nilai Net B/C sama dengan satu, dan
nilai IRR sama dengan tingkat suku bunga yang berlaku sehingga proyek
dikatakan masih tetap layak untuk dijalankan.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Program revolusi hijau yang diadakan sejak tahun 1970-an mulai kini
dirasa sangat merugikan lingkungan. Perubahan yang terjadi tidak hanya
meningkatkan produktifitas pertanian, tetapi menimbulkan dampak negatif yang
lebih besar dalam jangka panjang. Revolusi hijau yang menginstruksikan
pemakaian pupuk anorganik secara intensif menyebabkan sebagian besar petani
Indonesia masih memiliki ketergantungan bahwa pupuk adalah urea (urea
minded). Akibatnya tanah menjadi jenuh dan kandungan organik tanah (humus)
menurun drastis sehingga seiring waktu tingkat kesuburan tanah pertanian
Indonesia berubah menjadi lahan kritis. Lahan pertanian yang telah masuk dalam
kondisi kritis mencapai 66 persen dari total 7 juta hektar lahan pertanian yang ada
di Indonesia8).
8) Sakina, NN. op.cit. Hal 2
41
Selain itu, material sisa hasil pertanian yang tidak termakan manusia telah
membentuk kumpulan sampah organik dan kemudian menjadi masalah bagi
lingkungan bila tidak ada tindakan pengelolaan. Dilain pihak, adanya kebijakan
ekonomi oleh Menteri Perdagangan Marie Pangestu yang mengizinkan ekspor
pupuk lebih besar ke luar negeri telah mendorong terjadinya peningkatan harga
pupuk setiap kali musim tanam. Akibatnya, pasokan pupuk kepada petani menjadi
berkurang sehingga harga pupuk meningkat lebih dari 40 persen9).
Departemen Pertanian mencetuskan sistem pertanian organik (organic
farming) yang bertemakan “Go Organic 2010” sebagai alternatif solusi dari
masalah tersebut. Konsep pertanian organik ini bertujuan untuk mengurangi
penggunaan bahan-bahan yang berbasis anorganik untuk disubstitusikan dengan
bahan yang berbasis organik. Salah satunya yaitu dengan menambahkan pupuk
organik/kompos ke lahan-lahan sawah.
Pada tahun 2008 terdapat selisih yang cukup besar antara kebutuhan dan
ketersediaan pupuk organik di Indonesia bila dibandingkan dengan jenis pupuk
lainnya yaitu sebesar 16.655.000 ton. Berdasarkan hasil survey tim PT Petrokimia
Organik pada tahun 2009 Propinsi Jawa Barat menempati urutan kelima terbesar
dalam selisih jumlah permintaan potensial terhadap serapan permintaan pupuk
organik yaitu sebesar 72.136 ton pupuk organik. Sedangkan permintaan potensial
pupuk organik di Kota dan Kabupaten Bogor pada tahun 2008 mencapai 22.200
kg per bulan. Besarnya kebutuhan terhadap pupuk organik menunjukkan adanya
potensi pengembangan industri pupuk di wilayah Kabupaten Bogor melalui usaha
penyediaan pupuk organik. Hal ini turut didukung oleh Dinas Pertanian
Kabupaten Bogor bersama pihak LPS-DD (Lembaga Pertanian Sehat-Dompet
Dhuafa) melalui pelaksanaan Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) Bogor
yang diikuti oleh Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari di Desa Ciburuy
dengan mengusahakan pembuatan pupuk kompos untuk memanfaatkan limbah-
limbah pertanian.
Pengusahaan pupuk kompos yang dijalankan oleh unit usaha KKT Lisung
Kiwari ini merupakan satu-satunya usaha pengomposan yang terdapat di Desa
9) [MDR] Media Data Riset PT. op.cit. Hal 3
42
Ciburuy. Perkembangan usaha pengomposan itu sendiri terbilang cukup fluktuatif
selama dua tahun awal produksinya karena ketidakpastian pesanan yang diterima
dari LPS. Namun sejak tahun 2008 hingga saat ini permintaan LPS kepada unit
usaha KKT Lisung Kiwari cenderung meningkat. Hal ini dikarenakan pada tahun
2008 tren tanaman hias sedang booming dan sejak tahun 2009 terjadi perluasan
permintaan pada pasar petani organik. Secara keseluruhan, jumlah pesanan dari
LPS mencapai 22,27 ton per bulan.
Pengusahaan pupuk kompos yang dijalankan unit usaha KKT Lisung
Kiwari belum mampu memenuhi jumlah pesanan yang ada dikarenakan kapasitas
produksinya masih terbatas. Dengan kapasitas produksi rata-rata sebesar 12 ton
per bulan, unit usaha baru mampu memenuhi 53,88 persen atau separuh dari pasar
potensial yang ada. Kondisi tersebut mendorong unit usaha untuk meningkatkan
jumlah produksinya. Oleh karena itu, analisis kelayakan terhadap usaha
pengolahan pupuk kompos menjadi penting untuk dilakukan agar dapat menilai
apakah usaha pengolahan pupuk kompos yang sedang berjalan saat ini dan
pengembangan usaha layak untuk dipertahankan dan dikembangkan atau tidak.
Kriteria kelayakan ditinjau dari aspek non finansial dan aspek finansial.
Aspek non finansial meliputi aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan
hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta aspek lingkungan. Variabel-
variabel aspek pasar meliputi permintaan, penawaran, harga jual produk,
pemasaran, serta perkiraan penjualan. Analisis terhadap aspek teknis meliputi
lokasi bisnis, luas produksi, proses produksi, layout, dan pemilihan jenis
teknologi. Analisis aspek manajemen dan hukum meliputi manajemen sumber
daya manusia, bentuk organisasi, dan struktur organisasi usaha. Analisis terhadap
aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta lingkungan mengkaji pengaruh negatif
dan positif dari pengusahaan pupuk kompos terhadap lingkungan dan masyarakat
sekitar dilihat dari sisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan.
Sedangkan aspek finansial terdiri dari analisis finansial dan analisis
sensitivitas. Pengukuran analisis finansial menggunakan kriteria kelayakan
investasi NPV, IRR, Net B/C Rasio, dan Payback Period. Analisis finansial
menerapkan dua skenario perhitungan. Penentuan skenario usaha didasarkan atas
potensi pasar LPS yang belum terpenuhi. Analisis kelayakan finansial skenario I
43
didasarkan pada kondisi usaha yang dijalankan saat ini dengan kapasitas produksi
sebesar 12 ton per bulan. Analisis kelayakan finansial skenario II mengacu pada
kondisi pengembangan usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi menjadi 21
ton per bulan dengan memperluas petakan pengomposan ukuran 87,5 m2 untuk
memenuhi seluruh permintaan dari LPS pada kedua segmen pasar tersebut.
Pada pengukuran analisis sensitivitas menggunakan metode nilai
pengganti (switching value) untuk melihat batas kelayakan dari unit usaha jika
terjadi perubahan pada faktor harga bahan baku akibat pengaruh cuaca, pada
faktor jumlah produksi akibat pasokan bahan baku yang berkurang, dan faktor
harga jual pupuk kompos akibat peningkatan kadar air pada pupuk kandang yang
digunakan. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan
rekomendasi mengenai pelaksanaan dan pengembangan usaha pupuk kompos
selanjutnya. Kerangka pemikiran operasional pengusahaan pupuk kompos ini
dapat dilihat pada Gambar 1.
44
Pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung Kiwari
• Potensi pasar organik • Besarnya potensi
pertanian wilayah Kabupaten Bogor
• Dukungan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bogor dengan LPS-DD
• Ketergantungan pupuk anorganik • Penurunan tingkat kesuburan tanah pertanian • Masalah limbah organik • Kenaikan harga pupuk anorganik
Pupuk organik
Gagasan Departemen
Pertanian “Go Organic 2010”
• Satu-satunya usaha di Desa Ciburuy • Besarnya permintaan pada sasaran pasar • Kapasitas produksi terbatas
Kelayakan non finansial: • Aspek pasar • Aspek teknis • Aspek manajemen dan hukum • Aspek sosial, ekonomi, dan budaya • Aspek lingkungan
6.2.4 Perbandingan Hasil Kelayakan Finansial Cashflow
Hasil analisis finansial kedua skenario usaha menunjukkan bahwa
pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung Kiwari secara finansial layak untuk
dijalankan. Rincian perbandingan hasil kelayakan finansial kedua skenario usaha
dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Perbandingan Hasil Kelayakan Finansial Kriteria Skenario I Skenario II
NPV 67,911,262.34 138,322,490.83
Net B/C 3.52 5.91
IRR 56.82% 96.77%
PP 2 tahun 10 bulan 2 hari 1 tahun 8 bulan 8 hari
Berdasarkan Tabel 27, skenario usaha II memiliki tingkat kelayakan yang
paling tinggi dibandingkan dengan skenario usaha I. Nilai NPV skenario II lebih
besar dari skenario I. Demikian juga dengan nilai Net B/C dan IRR, skenario II
menghasilkan Net B/C dan IRR yang lebih besar daripada skenario I. Dilihat dari
masa pengembalian biaya investasinya (payback periode), skenario II relatif lebih
cepat dibanding skenario I. Hal ini dikarenakan pada skenario II, kondisi usaha
melakukan peningkatan kapasitas produksi menjadi 21 ton per bulan untuk
menyerap semua permintaan yang terjadi dari LPS. Walaupun rencana
peningkatan kapasitas produksi pada skenario II membuat unit usaha berproduksi
136
dibawah kapasitas optimalnya akibat pesanan hanya sebanyak 18,27 ton per bulan
serta menambah pengeluaran biaya investasi, namun jumlah penerimaan
penjualan yang diperolehnya menghasilkan nilai yang lebih besar daripada
pengeluaran itu semua. Sedangkan pada skenario I, unit usaha telah berproduksi
sesuai kapasitas optimalnya sebanyak 12 ton per bulan akan tetapi besarnya
jumlah tersebut belum mampu memenuhi seluruh permintaan yang terjadi dari
LPS. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa skenario usaha II lebih
menguntungkan daripada skenario usaha I karena adanya pengembangan usaha
dapat memberikan tingkat perolehan manfaat yang lebih besar berupa tambahan
keuntungan secara finansial.
6.2.5 Perbandingan Hasil Analisis Switching Value
Analisis switching value yang dilakukan pada kedua skenario usaha
bertujuan untuk mengetahui batas maksimal kenaikan harga bahan baku kotoran
sapi serta batas maksimal penurunan jumlah produksi dan harga jual, agar masih
berada pada batas kelayakan usaha atau mencapai titik impasnya. Perbandingan
hasil switching value pada kedua skenario usaha tersebut dapat dilihat pada Tabel
28.
Tabel 28. Perbandingan Hasil Analisis Switching Value Kondisi Usaha Kenaikan Harga
K.Sapi (%) Penurunan Produksi
P.Kompos Penurunan Harga Jual
P.Kompos Skenario I 41.44% 16.40% 16.51%Skenario II 48.63% 21.94% 22.09%
Berdasarkan Tabel 28, kondisi usaha pada skenario II memiliki tingkat
kepekaan yang lebih rendah atau batas maksimal yang lebih tinggi terhadap
perubahan ketiga variabel yang dianalisis sensitivitas perubahannya dibandingkan
dengan skenario I. Pada skenario II, persentase batas kenaikan harga beli kotoran
sapi yang masih memberikan keuntungan sebesar 48,63 persen dan pada skenario
I sebesar 41,44 persen. Batas maksimal perubahan penurunan produksi pupuk
kompos pada skenario II yang masih memberikan keuntungan adalah sebesar
21,94 persen dan pada skenario I hanya sebesar 16,40 persen. Pada variabel harga
jual, skenario II memiliki batas maksimal perubahan penurunan harga jual yang
137
masih memberikan keuntungan adalah sebesar 22,09 persen dan skenario I hanya
sebesar 16,51 persen.
Jika dilihat pada masing-masing skenario, baik skenario I maupun
skenario II sama-sama menghadapi tingkat kepekaan yang paling tinggi pada
variabel penurunan produksi pupuk kompos. Hal ini menunjukkan kedua skenario
usaha lebih sensitif dalam menghadapi perubahan variabel tersebut. Sedangkan
jika dilihat perbandingannya diantara kedua skenario usaha, kondisi usaha pada
skenario I lebih sensitif dalam menghadapi perubahan ketiga variabel dibanding
skenario II. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa skenario II merupakan
skenario yang paling menguntungkan untuk diusahakan dengan tingkat
sensitivitas paling rendah terhadap kemungkinan perubahan biaya dan manfaat
melalui rencana pengembangan usaha yang meningkatkan kapasitas produksinya.
VII. PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang
dapat diambil adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil analisis terhadap aspek-aspek non finansial, secara umum
pengusahaan pupuk kompos pada kondisi saat ini layak untuk dijalankan.
Dilihat dari aspek pasar, peluang pasar pupuk kompos masih terbuka karena
permintaan yang tinggi dan melebihi kapasitas produksi. Dilihat dari aspek
teknis, kegiatan pengusahaan pupuk kompos ini secara teknis pelaksanaannya
telah sesuai standar pengoperasian usaha pupuk kompos baik dalam proses
produksi maupun penggunaan teknologi yang ramah lingkungan. Dilihat dari
aspek manajemen dan hukum, kegiatan pengusahaan pupuk kompos telah
memiliki pembagian tugas yang jelas dan memiliki izin resmi serta kegiatan
usaha tergolong sederhana sehingga tidak memerlukan struktur organisasi
yang kompleks. Dilihat dari aspek sosial, ekonomi, dan budidaya, usaha
pupuk kompos ini mampu mewujudkan kemandirian petani terhadap
aksesibilitas pupuk, membuka kesempatan kerja di berbagai bidang,
meningkatkan perekonomian desa, dan mengubah sistem budidaya pertanian
yang mengarah ke pertanian organik. Dilihat dari aspek lingkungan, kegiatan
usaha ini mampu mengurangi jumlah limbah dan sebagai wujud dari bentuk
konservasi keanekaragaman hayati dengan memunculkan kembali varietas-
varietas lokal.
2. Hasil analisis aspek finansial menunjukkan bahwa kedua skenario usaha layak
untuk dijalankan berdasarkan kriteria investasi. Skenario usaha II memiliki
tingkat kelayakan yang lebih tinggi daripada skenario usaha I karena adanya
pengembangan usaha dapat memberikan tingkat perolehan manfaat yang lebih
besar berupa tambahan keuntungan secara finansial. Begitupun dengan hasil
analisis laba rugi yang menunjukkan nilai positif setiap tahunnya, dimana total
laba bersih yang diperoleh selama umur usaha pada skenario II jauh lebih
besar dari skenario I sehingga rencana peningkatan kapasitas produksi pada
139
skenario II akan membuat kondisi usaha jauh lebih baik dari kondisi usaha
saat ini.
3. Usaha pada kondisi pengembangan usaha (skenario II) memiliki tingkat
kepekaan yang lebih rendah atau batas maksimal yang lebih tinggi terhadap
kemungkinan perubahan biaya dan manfaat dibandingkan dengan kondisi
usaha saat ini (skenario I). Dengan demikian, kondisi pada pengembangan
usaha menjadi skenario yang paling menguntungkan untuk diusahakan.
7.2 Saran
1. Unit usaha sebaiknya melakukan pengembangan usaha dengan peningkatan
kapasitas produksi sebesar 21 ton per bulan agar dapat menyerap seluruh
permintaan dari LPS yang mencapai 18,27 ton per bulan.
2. Apabila rencana pengembangan usaha telah dilakukan, unit usaha sebaiknya
membuka jalur pemasaran yang lainnya sehingga dapat berproduksi pada
kapasitas optimal tanpa adanya sisa produk yang tidak terjual kepada LPS.
3. Unit usaha sebaiknya dapat terus menjaga sistem kemitraan yang terjalin
dengan LPS untuk menghindari risiko kerugian akibat penurunan pesanan
dimana unit usaha menghadapi tingkat sensitivitas paling tinggi pada variabel
penurunan jumlah produksi dan harga jual dengan cara mempertahankan
kualitas produk yang telah ada melalui pelaksanaan proses produksi yang
sesuai dengan standar pengoperasian usaha pupuk kompos dan kerjasama
yang baik dengan pemasok bahan baku.
4. Unit usaha sebaiknya melakukan perbaikan dalam pengelolaan atau
pencatatan administrasi dengan membuat laporan keuangan setiap bulannya
untuk dapat memisahkan antara pengeluran bersama koperasi dengan unit
usaha itu sendiri.
5. Untuk penelitian lanjutan dapat dilakukan analisis kelayakan pengusahaan
pupuk kompos tidak hanya sebatas pupuk komposnya saja tetapi sampai
dengan pupuk kompos kemasan yang terjadi di tingkat distributor. Dengan
demikian dapat dibandingkan pengelolaan usaha dalam kondisi mana yang
paling menguntungkan bagi pelaku usaha.
DAFTAR PUSTAKA
Aminah S, Soedarsono GB, Sastro Y. 2003. Teknologi Pengomposan. Jakarta: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Djuarnani N, Kristian, Setiawan BS. 2006. Cara Cepat Membuat Kompos. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka.
Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Slamet Sutomo dan Komet Mangiri. penerjemah Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Gustoro I. 2006. Sistem penunjang keputusan pendirian industri kompos studi kasus: TPA Galuga, Bogor [Skripsi]. Departemen Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Hadisuwito S. 2007. Membuat Pupuk Kompos Cair. Jakarta: Agromedia Pustaka Cetakan I, hal 4-6.
Hadiwiyoto S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Jakarta: Yayasan Idayu.
Hartatik W, Setyorini D, Agus F. 2008. Pupuk organik dan pupuk hayati pada sistem pertanian organik. Di dalam Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. Prosiding jilid II; Bogor, 7-8 Nov 2008. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. hlm 161-170.
Husnan S, Muhammad S. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Ibrahim J. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta.
IFOAM (International Federation Organic Movement). 2002. Organic Agriculture Worldwide. Statistic and Future Prospects. The World Organic Trade Fair Nurnberg, BIO-FACH.
Indrasti NS. 2003. The Perspective of Solid Waste Management and Landfill Technology in Indonesia. Makalah. Abdichtung, Stillegung Und Nachsorge Von deponien 15 : 99, Nurnberg, Jerman.
Kadariah, Karlina L, Gray C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Khaddafy M. 2009. Analisis kelayakan usaha pupuk organik di CV Saung Wira Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat [Skripsi]. Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Murbandono L. 1993. Membuat Kompos. Jakarta: Penebar Swadaya, hal 3-13.
141
Nurmalina R, Sarianti T, Karyadi A. 2009. Studi Kelayakan Bisnis. Bogor : Departemen Agribisnis.
Oesman MR. 2007. Tuntunan, strategi dan kebijakan pengelolaan lingkungan pertanian di era globalisasi. Di dalam Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. Prosiding jilid I; Bogor, 7-8 Nov 2007. Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. hlm 39-43.
Pirngadi K. 2008. Peran Bahan Organik dalam Peningkatan Produksi Padi Berkelanjutan Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Salikin KA. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius.
Samsudin, Manuwoto S. 2008. Panduan Pembuatan Kompos. Bogor: Pusat Kajian Buah Tropika LPPM IPB.
Siregar Y. 2009. Analisis kelayakan pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan pupuk kompos studi kasus: UPP Darul Fallah dan Fakultas Peternakan, IPB [Skripsi]. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi Dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
Suherman. 2005. Formulasi Pupuk Kompos Organik Berbasis Kompos Untuk Berbagai Tanaman [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta: Kanisius.
Umar H. 2005. Studi Kelayakan Bisnis. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Winangun YW. 2005. Membangun Karakter Petani Organik Sukses dalam Era Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.
Zaini Z. 2008. Memacu Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Melalui Inovasi Teknologi Budidaya Spesifik Lokasi dalam Era Revolusi Hijau Lestari. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Harga Pokok Produksi Pupuk Kompos per kg(untuk kapasitas Produksi 1 ton dalam 1 petakan)
No Uraian Satuan Volume Harga Satuan (Rp) Nilai (Rp) 1 Jerami kg 40 375.00 15,000.00 2 Sekam bakar kg 100 180.00 18,000.00 3 Dedak kg 25 750.00 18,750.00 4 Dolomit kg 3 500.00 1,500.00 5 Kotoran sapi kg 1,050 100.00 105,000.00 6 EM4 ml 450 20.00 9,000.00 7 Molase ml 450 10.00 4,500.00 8 Upah tenaga kerja: a. Pengolahan HOK 2 30,000.00 60,000.00 b. Pengayakan HOK 1 30,000.00 30,000.00
Total 261,750.00 Biaya produksi per kg 261.75
143
Lampiran 2. Cashflow Skenario Usaha I (Kapasitas Produksi 12 ton/bulan)