Top Banner
ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar Oleh ARFANDI AHMAD PERMANA 105430014615 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2019
107

ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Nov 06, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH

KONSTITUSI DALAM SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN

INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh

ARFANDI AHMAD PERMANA 105430014615

PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2019

Page 2: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …
Page 3: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …
Page 4: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …
Page 5: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …
Page 6: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

MOTTO

“Keadilan jadi barang sukar, ketika hukum hanya

tegak pada yang bayar”

Page 7: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

ABSTRAK

Arfandi Ahmad Permana. 2019. Analisis Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Skripsi. Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I Dr. A. Rahim, SH., M.Hum., Pembimbing II Auliah Andika Rukman, SH, MH.

Masalah utama dalam penelitian ini adalah peneliti ingin mengungkap analisis hukum UU No 8 Tahun 2011 Pasal 10 ayat 1 tentang putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat dan hambatan yang dihadapi terkait implementasi putusan Mahkamah Konstitusi di lapangan. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hukum sehingga putusan hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan bersifat final dan mengikat serta hambatan yang dihadapi Mahkamah konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Teknik pengambilan sampel yaitu Purposive Sampling. Tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan dokumentasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dikatakan bersifat final dan mengikat karena mengingat kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir. Di samping itu, tafsir terhadap setiap perkara yang diadili Mahkamah Konstitusi hanya boleh dilakukan sekali atau satu kali. Berangkat dari persoalan itulah sehingga sudah sewajarnya putusan Mahkamah Konstitusi harus bersifat final dan berlaku secara mengikat. Adapun hambatan yang dihadapi Mahkamah Konstitusi hingga saat ini terkait masalah implementasi putusan Mahkamah Konstitusi yang terkadang tidak dijalankan sepenuhnya oleh lembaga negara yang terkena adressat putusan baik lembaga negara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Kata Kunci: Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi dan Hambatan yang Dihadapi Mahkamah Konstitusi

Page 8: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

ABSTRACT

Arfandi Ahmad Permana. 2019. Analysis of the Position and Authority of the Constitutional Court in the Indonesian Constitutional Law System. Thesis. Pancasila and Citizenship Education Study Program Faculty of Teacher Training and Education, University of Muhammadiyah Makassar. Supervisor I Dr. A. Rahim, SH., M.Hum., Supervisor II Auliah Andika Rukman, SH, MH.

Law No. 8 of 2011 Article 10 paragraph 1 concerning the final and binding and related decisions of the Constitutional Court relating to the implementation of the Constitutional Court's decisions on the ground. This type of research is a qualitative research that aims to study the legal considerations of the Constitutional Court judge's decision that prove final and binding and hinder the constitutional court in carrying out its duties and authorities. The sampling technique is purposive sampling. Data collection techniques used were interviews and documentation.

The results of this study show the fact that the decision of the Constitutional Court is final and binding on the decision of the first and last Constitutional Court. In addition, the interpretation of each case tried by the Constitutional Court can only be done once or once. Decisions of the Constitutional Court must be final and binding. Decisions of the Constitutional Court issued in connection with decisions of the Constitutional Court issued by state institutions that support adressat decisions of both state legislative, executive and judicial bodies.

Keywords: Nature of Decision of the Constitutional Court and Obstacles Faced by the Constitutional Court

Page 9: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb...

Tiada kata lain yang lebih baik dan indah diucapkan selain puji dan syukur

kehadirat Allah SWT atas segala limpahan dan hidayah-Nya. Tuhan Yang Maha

Pemurah yang kepada-Nya segala munajat dan berserah diri. Tak lupa pula

penulis panjatkan salam dan shalawat selalu kepada Sang Revolusioner Islam,

Nabi Muhammad SAW. Semoga tercurah kasih dan sayang kepada beliau beserta

keluarga, sahabat-sahabat dan pengikutnya.

Tulisan ini cukup menghabiskan kurun waktu dalam sejarah panjang

perjalanan hidup penulis baik suka dan duka yang turut serta mewarnai kehidupan

penulis selama menempuh studi pada Program Stui Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Melalui kesempatan

ini perkenankanlah penulis menghaturkan sebuah sembah sujud dan rasa terima

kasih yang tak terhingga kepada “Nenek saya tercinta Olling serta Ayahanda

tercinta Ir.Mustahir Pabubung dan Ibunda tercinta Kasmiati Kaseng,S.Pd”

yang telah mengasuh dan mendidik dengan penuh kasih sayang dan kesabaran,

segala bantuan dan dorongan yang diberikan baik secara materil maupun moril

serta doa restu yang tulus hingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

Namun keberhasilan dalam menyelesaikan penulisan Skripsi ini tidak terlepas dari

Page 10: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

semua pihak yang senantiasa ikhlas telah membantu memberikan bimbingan,

dukungan, dorongan yang tak pernah henti.Harapan dari penulis agar kiranya

skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan andil guna pengembangan lebih

lanjut. Atas petunjuk - Nya, skripsi ini dapat selesai, oleh karena itu dengan segala

hormat penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Abdul Rahman Rahim, SE, MM. selaku Rektor

Universitas Muhammadiyah Makassar.

2. Bapak Erwin Akib, S.Pd., M.Pd.,P.hD. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

3. Dr. Muhajir, M.Pd. Ketua Program Studi Pendidikan Pancasila Dan

kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Muhammadiyah Makassar.

4. Bapak Dr. A. Rahim, SH., M.Hum. selaku Pembimbing I yang selama ini

telah membimbing dan mengarahkan penulis sehingga terselesaikannya

skripsi ini.

5. Bapak Auliah Andika Rukman, SH., MH. selaku Pembimbing II yang

selama ini telah banyak memberikan ide, bimbingan dan pengarahan kepada

penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen pada Program Studi Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan FKIP Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah

memberikan ilmunya kepada penulis.

7. Teruntuk kepada sahabat saya Yektie Nurprayoga LM,Taufik Hidayat Nur

dan Yudistira Rahmadani terima kasih dengan atas kerelaan hatinya

Page 11: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

memberikan semangat, bantuan, motivasi,dedikasi dan bimbingannya dalam

penyusunan skripsi ini.

8. Terima kasih pula saya sampaikan kepada teman-teman seperjuangan saya

selama menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar yaitu

Kelas A,B,C dan D Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Angkatan

2015.Terkhusus kepada Barmas team dan teman-teman sekelas saya yang

selalu menjaga solidaritas dan memberikan banyak motivasi dan bantuan

dalam penyusunan skripsi ini.

9. Terima kasih pula kepada teman-teman organisasi terkhusus HIMA PRODI

PPKn dan BEM FKIP Unismuh Makassar yang telah membentuk saya dan

memberikan pengalaman tak terlupakan selama menjadi Mahasiswa

Dalam penyusunan Skripsi ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin

untuk mencapai kesempurnaan. Namun penulis menyadari dalam penyusunan

Skripsi ini masih banyak kekurangan, semua itu dikarenakan karena keterbatasan

dan kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis akan menerima dengan

kerendahan hati atas segala kritik dan saran dari berbagai pihak demi

kesempurnaan Skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga Skripsi ini memiliki

guna dan manfaat bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb...

Makassar, 15 Agustus 2019

Penulis

ARFANDI AHMAD PERMANA DAFTAR ISI

Page 12: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iii SURAT PERNYATAAN ............................................................................... iv SURAT PERJANJIAN .................................................................................. v MOTTO .......................................................................................................... vi ABSTRAK ...................................................................................................... vii KATA PENGANTAR .................................................................................... viii DAFTAR ISI .................................................................................................. xi DAFTAR TABEL........................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................. 1 1. Rumusan Masalah ................................................................... 4 2. Tujuan Penelitian .................................................................... 5 3. Manfaat Penelitian .................................................................. 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Kedudukan Mahkamah Konstitusi .... 6 1. Pengertian Analisis .................................................................. 6 2. Pengertian Kedudukan ............................................................ 8 3. Kedudukan Mahkamah Konstitusi .......................................... 9

B. Tinjauan Umum Mengenai Wewenang Mahkamah Konstitusi .... 13 1. Pengertian Wewenang .............................................................. 13 2. Sumber Kewenangan ............................................................... 14 3. Wewenang Mahkamah Konstitusi ........................................... 18 4. Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi ................................. 25 5. Analisa Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung ........... 31 6. Sumber Hukum Tata Negara Indonesia ................................... 43

C. Kerangka Pikir ............................................................................... 51 BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ............................................................................... 52 B. Lokasi Penelitian ............................................................................. 52 C. Informan Penelitian ........................................................................ 53 D. Fokus Penelitian.......... .................................................................... .54 E. Instrumen Penelitian ........................................................................ .54

F.Teknik Pengumpul Data................................. .................................. .55 G.Teknik Analisis Data ....................................................................... .57

Page 13: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

H. Teknik Keabsahan Data ................................................................... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian .................................................................................. 62 1.1. Analisis Hukum UU No 8 Tahun 2011 Pasal 10 Ayat 1 Tentang

Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Final ............... 62 1.2.Hambatan yang Dihadapi Terkait Implementasi Putusan

Mahkamah Konstitusi di Lapangan ....................................... 65 A. Pembahasan ........................................................................................ 66

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 79 B. Saran .................................................................................................. 83

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 91 LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

Page 14: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

No. Uraian Hal

1. Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir 54

2. Gambar 3.1 Contoh Gambar Purposive Sampling 56

Page 15: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai anak kandung reformasi telah

memberikan harapan baru untuk menjawab kompleksitas perkembangan

ketatanegaraan Indonesia. Keberadaannya merupakan usaha

melembagakan supremasi konstitusi. Hingga saat ini, MK menjadi satu-

satunya lembaga negara yang mempunyai kewenangan konstitusional

untuk menafsirkan dan mengawal kemurnian konstitusi. Karena itu, MK

disebut sebagai the sole interpreter of constitution dan the guardian of the

constitution. Layaknya institusi peradilan pada umumnya, MK

juga mengeluarkan produk hukum berupa putusan. Perbedaan yang sangat

mendasar antara putusan yang dikeluarkan oleh MK dengan institusi

peradilan lainnya yaitu mengenai upaya hukum lanjutan atas putusannya.

Jika putusan yang dikeluarkan oleh institusi peradilan lainnya (Mahkamah

Agung dan peradilan di bawahnya) dapat dilakukan upaya hukum lanjutan,

baik berupa banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, putusan MK

tidak mengadopsi mekanisme tersebut.

Dikatakan di dalam konstitusi bahwa MK

merupakan peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final. Dipertegas kembali di dalam Pasal 10 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24

1

Page 16: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa makna sifat final

putusan MK juga mencakup di dalamnya kekuatan mengikat. Artinya,

putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan

dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Di

Indonesia, perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 memberikan

warna baru dalam sistem ketatanegaraan. Salah satu perubahan mendasar

dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah perubahan Pasal 1 ayat (2)

yang berbunyi:

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar”. Ketentuan ini membawa implikasi bahwa kedaulatan rakyat tidak

lagi dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi

dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar. Selain hal tersebut

perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan suatu lembaga

negara yang berfungsi sebagai pengawal dan penafsir konstitusi, yakni

dengan hadirnya Mahkamah Konstitusi.

Secara konseptual, gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi

adalah untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan. Mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

final dalam hal menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

1945, dan kewenangan lain yang dimilikinya.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan

sangat penting dalam melindungi dan mengemban suara rakyat. Dengan

Page 17: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

putusan-putusannya, Mahkamah Konstitusi merupakan jawaban konkrit

atas segenap permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap

perundang-undangan yang dinilai warga bertentangan dengan konstitusi.

Melalui putusannya pula, Mahkamah Konstitusi hadir sebagai

lembaga negara yang memiliki kewenangan yang super power yang

seakan akan sulit untuk dikontrol dan tidak jarang pula Mahkamah

Konstitusi keluar atau menabrak rambu-rambu pembatas kewenangannya.

Hal ini tentunya menuai perdebatan dan petanyaan di tengah-tengah publik

soal kontrol kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan final dan mengikat

yang harus dihormati. Namun, terkadang ada hambatan atau kendala yang

dihadapi Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan atau eksekusi

putusannya di lapangan. Kemudian, hakim Mahkamah Konstitusi tidaklah

selalu sempurna. Sudah pasti ada sejumlah hal yang membuat seorang

hakim Mahkamah Konstitusi menjadi kurang teliti dalam mengambil

keputusan. Selain itu, tidak ada jaminan seratus persen hakim Mahkamah

Konstitusi selalu bersih dan kuat menghadapi godaan suap.

Keadaan itu juga diperkuat dengan gencarnya

pemberitaan di media tentang praktik suap terhadap hakim konstitusi yang

diduga mampu mempengaruhi putusannya dan menurunkan kewibawaan

peradilan di Mahkamah Konstitusi, olehnya itu pengawasan terhadap

kinerja para hakim konstitusi perlu dioptimalkan.

Dengan hadirnya Mahkamah Konstitusi dalam

Page 18: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

sistem hukum ketatanegaraan Indonesia yang melengkapi lembaga-

lembaga negara yang ada maka diharapkan lembaga negara pembentuk

Undang-Undang (DPR) bersama Pemerintah (Presiden) tidak dapat

seenaknya membuat dan mengesahkan Undang-Undang sesuai kehendak

mereka sendiri karena dengan hadirnya Mahkamah Konstitusi yang salah

satu kewenangannya adalah melakukan uji materi (judicial review)

Undang-Undang terhadap UUD 1945. Maka

masyarakat, organisasi atau lembaga-lembaga negara terkait dapat

mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi apabila

ada Undang-Undang yang berlaku yang muatan materinya dianggap

bertentangan dengan UUD 1945 serta merasa hak konstitusionalnya tidak

terpenuhi.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas, maka peneliti

tertarik untuk merumuskan masalah sebagai berikut:

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Analisis Hukum UU No 8 Tahun 2011 Pasal 10 ayat 1

tentang Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Final dan

Mengikat?

2. Apa Hambatan yang Dihadapi Terkait Implementasi Putusan

Mahkamah Konstitusi di Lapangan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Page 19: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

1. Untuk mengetahui analisis hukum UU No 8 Tahun 2011 Pasal 10 ayat

1 tentang putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan

mengikat.

2. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi terkait implementasi

putusan Mahkamah Konstitusi di lapangan.

D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini meliputi:

1. Manfaat Teoritis

Sebagai bahan kajian dalam memahami mengenai kedudukan dan

wewenang Mahkamah Konstitusi dalam sistem hukum ketatanegaraan

Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

mengenai kedudukan dan wewenang Mahkamah Konstitusi dalam

sistem hukum ketatanegaraan Indonesia.

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat mengembangkan referensi

mengenai kedudukan dan wewenang Mahkamah Konstitusi dalam

sistem hukum ketatanegaraan Indonesia dan menjadi bagian utama

dalam proses penyelesaian studi pendidikan S1 penulis.

BAB II

Page 20: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Kedudukan Mahkamah Konstitusi

1. Pengertian Analisis

Menurut Komaruddin (2001:53) Pengertian analisis adalah

kegiatan berpikir untuk menguraikan suatu keseluruhan menjadi

komponen sehinga dapat mengenal tanda-tanda komponen, hubungannya

satu sama lain dan fungsi masing-masing dalam satu keseluruhan yang

terpadu.

Menurut Harahap (2004:189) bahwa pengertian analisis adalah

memecahkan atau menguraikan sesuatu unit menjadi berbagai unit

terkecil.

Menurut Kasiram (2006: 274) Analisis adalah penguraian suatu

pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta

hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan

pemahaman arti keseluruhan.

Menurut Liker (1987:126) Analisa adalah waktu untuk

mengumpulkan bukti, waktu untuk berulangkali bertanya "mengapa?" dan

untuk menemukan sumber suatu masalah, yaitu akarnya.

Menurut Fatta (1984:254) Analisa merupakan tahap awal dalam

pengembangan sistem dan merupakan tahap fundamental yang sangat

menentukan kualitas sistem informasi yang dikembangkan.

6

Page 21: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Menurut Umar (1974:130) Analisa merupakan suatu proses kerja

dari rentetan tahapan pekerjaan sebelum riset didokumentasikan melalui

tahapan penulisan laporan.

Menurut Rahayu (2000:234) Analisa adalah suatu cara membagi-

bagi suatu subjek ke dalam komponen-komponen; berarti melepaskan,

menanggalkan, menguraikan sesuatu yang terikat padu.

Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1996:779)

menyatakan bahwa analisis diartikan sebagai penyelidikan terhadap suatu

peristiwa (karangan, atau perbuatan) untuk mengetahui keadaan yang

sebenarnya (sebab musabab, duduk perkaranya).

Menurut Kamus Akuntansi (2000:48) pengertian analisis adalah

melakukan evaluasi terhadap kondisi dari pos-pos atau ayat-ayat yang

berkaitan dengan akuntansi dan alasan yang memungkinkan tentang

perbedaan yang muncul.

Pengertian Analisis menurut KBBI meliputi: Penyelidikan terhadap

suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan lainnya) untuk mengetahui

keadaan yang sebenarnya (sebab musabab, duduk perkara, dan

sebagainya), aktivitas penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan

penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk

memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan,

Pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya dan

penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya.

Page 22: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Berdasarkan pendapat ahli di atas, peneliti menarik suatu

kesimpulan bahwasanya analisis ada suatu tindakan yang dilakukan

seseorang atau sekelompok orang dalam rangka menegetahui kejadian

yang sebenarnya.

2. Pengertian Kedudukan

Kedudukan berarti status, baik untuk sesorang, tempat, maupun

benda. Kamus Besar Bahasa Indonesia kedudukan sering dibedakan antara

pengertian kedudukan (status) dan kedudukan sosial (sosial status).

Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu

kelompok sosial, sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang

dalam lingkungan pergaulannya, serta hak dan kewajiban. Kedua istilah

tersebut memiliki arti yang sama serta digambarkan dengan kedudukan

(status) saja.

Kedudukan juga dapat diartikan sebagai posisi jabatan seseorang

dalam memiliki sebuah kekuasaan. Dimana orang yang memiliki

kekuasaan dapat mempengaruhi kedudukan atau statusnya di tempat

tingglnya tersebut.

Pada umumnya, kedudukan pada masyarkat memiliki tiga macam,

yaitu sebagai berikut:

a. Ascribed status, kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa

memperhatikan perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan

tersebut diperoleh karena kelahiran, misalnya kedudukan anak seorang

bangsawan adalah bangsawan. Umumnya ascribed status dijumpai

Page 23: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

pada masyarakat dengan sistem lapisan yang tertutup, seperti

masyarakat feodal, atau masyarakat tempat sistem lapisan bergantung

pada perbedaan rasial.

b. Achieved status, kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha

yang disengaja. Misalnya, setiap orang dapat menjadi seorang guru

asalkan memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut

bergantung pada yang bersangkutan bisa atau tidak bisa menjalaninya.

Apabila yang bersangkutan tidak dapat memenuhi persyaratan

tersebut, ia tidak akan mendapatkan kedudukan yang diinginkan

c. Assigned status, kedudukan yang diberikan pada seseorang.

Kedudukan ini mempunyai hubungan yang erat dengan achieved

status. Suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang

lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa yang telah

memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan

masyarakat”(Puspa,2008:284).

Menurut peneliti kedudukan dapat diartikan sebagai posisi

jabatan seseorang dalam memiliki sebuah kekuasaan. Dimana orang

yang memiliki kekuasaan dapat mempengaruhi kedudukan atau

statusnya di tempat tingglnya tersebut.

3. Kedudukan Mahkamah Konstitusi

Kedudukan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24 huruf c

ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi:

Mahkamah Konstitusi berwenang pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

Page 24: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

terhadap Undang-Undang Dasar,memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum

Kedudukan Mahkamah Konstitusi lebih lamjut dijabarkan dalam

UU No 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU No 8 Tahun

2011 Tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 1 ayat 1 yung berbunyi:

“Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, dengan terbentuknya

Mahkamah Konstitusi, bidang kajian hukum tata negara mendapatkan

lahan praktik yang sangat efektif dan berarti. Jika hukum tata negara

dilihat secara luas mencakup bidang hukum administrasi negara, maka

sebenarnya lahan praktik peradilan tata negara itu mencakup peradilan tata

negara di Mahkamah Konstitusi dan peradilan tata usaha negara di

Mahkamah Agung serta badan-badan peradilan tata usaha negara yang ada

di bawahnya. Namun, apabila peradilan tata negara itu kita persempit

maknanya, dengan tidak mencakup peradilan tata usaha negara yang

dilembagakan secara tersendiri di dalam lingkungan Mahkamah Agung,

maka peradilan tata negara dimaksud dapat kita kaitkan dengan fungsi

Mahkamah Konstitusi dan fungsi tertentu dari Mahkamah

Agung”(Jimly,2006:332).

Oleh sebab itu, peradilan tata negara itu sendiri dapat kita bedakan

dalam tiga pengertian, yaitu:

Page 25: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

(i) peradilan tata negara dalam arti yang paling luas di mana

mencakup peradilan tata negara (constitusional adjudication) yang

dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan peradilan tata usaha negara

(administrative adjudication) yang dilakukan oleh Mahkamah Agung serta

badan-badan peradilan tata usaha negara;

(ii) peradilan tata negara dalam arti yang lebih sempit tetapi masih

tetap luas adalah peradilan tata negara (constitusional adjudication) yang

dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi ditambah peradilan pengujian

peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang dilakukan

oleh Mahkamah Agung menurut Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Pengujian peraturan perundang-undangan itu juga termasuk

lingkup peradilan tata negara dalam arti luas;

(iii) peradilan tata negara dalam arti yang paling sempit, yaitu

peradilan yang dilakukan di dan oleh Mahkamah Konstitusi menurut

ketentuan Pasal 7B ayat (4) UUD 1945”(Jimly,2006:333).

Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain dapat

dilihat sebagai upaya penataan hubungan kelembagaan negara dan

institusi-institusi demokrasi berdasarkan prinsip supremasi hukum.

Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi dengan

kewenangannya tersebut, hubungan kelembagaan negara dan institusi

demokrasi lebih didasarkan pada hubungan yang bersifat politik.

Akibatnya, sebuah lembaga dapat mendominasi atau mengkooptasi

lembaga lain, atau terjadi pertentangan antara lembaga atau institusi yang

Page 26: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

melahirkan krisis konstitusional. Hal ini menimbulkan ketiadaan kepastian

hukum dan kontraproduktif terhadap pengembangan budaya demokrasi.

Pengaturan kehidupan politik kenegaraan secara umum juga telah

berkembang sebagai bentuk “the constitutionalization of democratic

politics”. Hal ini semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum,

kepastian hukum, dan perkembangan demokrasi itu sendiri, berdasarkan

konsep negara hukum yang demokratis”(democratische

reshtsstaat)”(Jimly,2015:293).

Dengan demikian, maksud pembentukan Mahkamah Konstitusi di

Indonesia yang paling pokok adalah menjaga agar tidak ada UU yang

bertentangan dengan UUD dan kalau itu ada, maka MK dapat

membatalkannya. Itulah sebabnya, sering dikatakan bahwa MK

merupakan pengawal konstitusi dan penafsir tunggal (yang mengikat) atas

konstitusi.

Tujuan pembentukan MK untuk mengawal konstitusi terutama

untuk menjaga agar tidak UU yang melanggar UUD, tampaknya benar dan

cukup berhasil. Ini terbukti dari kenyataan bahwa sejak dibentuk pada

tahun 2003 sampai sekarang MK sudah menerima permintaan dan

melakukan pengujian terhadap hamper 100 UU yang banyak di antara

putusan-putusannya dianggap sebagai putusan yang

terbaik”(Mahfud,2010:99).

Page 27: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

B. Tinjauan Umum Mengenai Wewenang Mahkamah Konstitusi

1. Pengertian Wewenang

Menurut kamus besar bahasa indonesia, kata wewenang disamakan

dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk

bertindak,kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan

tanggung jawab kepada orang/badan lain”(Kamal,2010:35).

Menurut H.D Stout wewenang adalah pengertian yang berasal dari

hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh

aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan

wewenang-wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam

hubungan hukum publik”(Ridwan,2013:71).

Menurut Bagir Manan wewenang dalam bahasa hukum tidak sama

dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat

dan tidak berbuat. Wewenang sekaligus berarti hak dan

kewajiban”(Nurmayani,2009:26).

Kewenangan adalah merupakan hak menggunakan wewenang yang

dimiliki seorang pejabat atau institusi menurut ketentuan yang berlaku,

dengan demikian kewenangan juga menyangkut kompetensi tindakan

hukum yang dapat dilakukan menurut kaedah-kaedah formal, jadi

kewenangan merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh pejabat atau

institusi. Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam kajian

Page 28: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

hukum tata negara dan hkum administrasi negara. Begitu pentingnya

kedudukan kewenangan ini, sehingga F.A.M. Stroink dan J.G.Steenbeek

menyebut sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum

administrasi negara”(Ridwan,2013:99).

Berdasarkan definisi kewenangan menurut para ahli diatas, peneliti

berkesimpulan bahwa kewenangan merupakan suatu hak yang dimiliki

oleh seorang pejabat atau institusi yang beritindak menjalankan

kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Sumber Kewenangan

Indroharto, mengemukakan bahwa wewenang diperoleh secara

atribusi, delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai

berikut: wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian

wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang

pemerintah yang baru. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu

wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah

memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan

atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh

adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu

pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan

atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain”(Indroharto,1993:68).

Philipus M. Hadjon, mengatakan bahwa setiap tindakan

pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah.

Page 29: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi,

dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian

kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan

delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.

Kemudian Philipus M Hadjon pada dasarnya membuat perbedaan antara

delegasi dan mandate. Dalam hal delegasi mengenai prosedur

pelimpahannya berasal dari suatu organ pemerintahan kepada organ

pemerintahan yang lainnya dengan peraturan perundang-undangan,

dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih ke delegataris.

Pemberi delegasi tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali

setelah ada pencabutan dengan berpegang dengan asas “contrarius actus”

Artinya, setiap perubahan, pencabutan suatu peraturan pelaksanaan

perundang-undangan, dilakukan oleh pejabat yang menetapkan peraturan

dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan yang setaraf atau yang lebih

tinggi. Dalam

hal mandat, prosedur pelimpahan dalam rangka hubungan atasan bawahan

yang bersifat rutin. Adapun tanggungjawab dan tanggung gugat tetap pada

pemberi mandat. Setiap saat pemberi mandat dapat menggunakan sendiri

wewenang yang dilimpahkan itu”(Ridwan,2013:108-109).

Bagir Manan,

menyatakan dalam Hukum Tata Negara, kekuasaan menggambarkan hak

untuk berbuat atau tidak berbuat. Wewenang mengandung arti hak dan

kewajiban. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan

Page 30: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan

tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak

melakukan tindakan tertentu Dalam hukum administrasi negara wewenang

pemerintahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan

diperoleh melalui cara-cara yaitu atribusi, delegasi dan

mandat”(Bagir,2000:2).

Atribusi terjadinya pemberian wewenang pemerintahan yang baru

oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Atribusi

kewenangan dalam peraturan perundang-undangan adalah pemberian

kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang pada

puncaknya diberikan oleh UUD 1945 atau UU kepada suatu lembaga

negara atau pemerintah. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan

dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap diperlukan. Disini

dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru”(Ridwan,2013:104).

Legislator yang kompeten untuk

memberikan atribusi wewenang pemerintahan dibedakan: Original

legislator, dalam hal ini di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk

Undang-Undang Dasar dan DPR bersama Pemerintah sebagai yang

melahirkan suatu undang-undang. Dalam kaitannya dengan kepentingan

daerah,oleh konstitusi diatur dengan melibatkan DPD. Di tingkat daerah

yaitu DPRD dan pemerintah daerah yang menghasilkan Peraturan Daerah.

dalam Pasal 22 ayat (1), UUD 1945 memberikan kewenangan kepada

Presiden untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti UU jika

Page 31: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

terjadi kepentingan yang memaksa. Delegated legislator, dalam hal ini

seperti presiden yang berdasarkan suatu undang-undang mengeluarkan

peraturan pemerintah, yaitu diciptakan wewenang-wewenang

pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha negara

tertentu”(Ridwan,2013:104).

Pada delegasi, terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah

ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh

wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata

usaha negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya

suatu atribusi wewenang”(Ridwan,2013:104-105).

Misal, dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 Tentang

Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara Pasal 93 (1) Pejabat

struktural eselon I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul

Menteri yang bersangkutan (2) Pejabat struktural eselon II ke bawah

diangkat dan diberhentikan oleh Menteri yang bersangkutan. (3) Pejabat

struktural eselon III ke bawah dapat diangkat dan diberhentikan oleh

Pejabat yang diberi pelimpahan wewenang oleh Menteri yang

bersangkutan”(Ridwan,2013:105).

Pengertian mandat dalam asas-asas Hukum Administrasi Negara,

berbeda dengan pengertian mandataris dalam konstruksi mandataris

menurut penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan. Dalam Hukum

Administrasi Negara mandat diartikan sebagai perintah untuk

melaksanakan atasan, kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan

Page 32: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

oleh pemberi mandat, dan tidak terjadi peralihan tanggung jawab.

Berdasarkan uraian tersebut, apabila wewenang yang diperoleh organ

pemerintahan secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan

perundang-undangan, yaitu dari redaksi pasal-pasal tertentu dalam

peraturan perundang-undangan” (Ridwan,2013:109).

Penerima dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas

wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern

pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada

penerima wewenang (atributaris)”(Ridwan,2013:109).

3. Wewenang Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 pasal 24 C yang

berbunyi:

“(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwaklian Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar, (3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden, (4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi, (5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara, (6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum

Page 33: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang” Pada mulanya di Indonesia hanya satu lembaga negara yang

dikenal sebuah mahkamah, yaitu Mahkamah Agung (MA) dan lembaga

kehakiman di bawahnya, yang merupakan lembaga tinggi negara yang

memiliki kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945 (demikian pasal 24

ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen). Tetapi setelah perubahan ketiga

UUD 1945 yang menghasilkan rumusan pasal 24 C yang terdiri atas 6

(enam) ayat, sebagai penjabaran dari pasal 24 ayat (2) selain MA dan

badan peradilan yang berada dibawahnya kekuasaan kehakiman juga

dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi”(Soimin,dkk,2012:62).

Menurut Harjono antara MA dan MK, keduanya merupakan

lembaga tinggi negara yang terpisah tetapi memiliki hubungan yang

bersifat horizontal-fungsional. Artinya, kedua lembaga tersebut tidak

saling mensubordinasikan, tetapi masing-masing mempunyai kompetensi

secara mandiri. Akan tetapi walaupun keduanya memiliki kompetensi dan

kewenangan yang berbeda, masing-masing tetap dalam fungsi besarnya,

yaitu sebagai lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan kehakiman

atau judicial power”(Soimin,dkk,2012:62).

Sebagai lembaga kekuasaan kehakiman, MK mempunyai

kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

sengketa pelaksanaan kaidah konstitusi sesuai bidang yang telah

ditentukan oleh UUD 1945. MK menyelenggarakan fungsi peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

Page 34: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia yang

demokratis. Untuk itu, putusan MK bersifat final dan mempunyai

kekuatan hukum tetap, serta mengikat untuk dilaksanakan oleh siapapun,

termasuk oleh pejabat tinggi negara”(Soimin,dkk,2012:62-63).

UUD 1945 hasil amandemen ketiga menetapkan bahwa MK

merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang mempunyai kedudukan

setara dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, seperti MPR, DPR,

Presiden, dan MA. Sebagaimana ketentuan pasal 24 ayat (1) ,Mahkamah

Konstitusi merupakan salah satu lembaga yudikatif selain MA yang

melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Sebagai lembaga tinggi negara yang mempunyai kedudukan setara dengan

lembaga tinggi negara lainnya, keberadaan MK semakin menegaskan

bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia telah mengadopsi prinsip

pemisahan kekuasaan (separation of power) dan check and balances

sebagai pengganti sistem supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya”

(Soimin,dkk,2012:63).

MK seperti yang dikonstruksi dalam UUD 1945 mempunyai 4

(empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 24C dan Pasal 7B. Keempat kewenangan itu adalah mengadili

pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (1)

menguju Undang-Undang (UU) terhadap UUD, (2) memutuskan sengketa

antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (3)

Page 35: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

memutuskan pembubaran partai politik, dan (4) memutuskan sengketa

hasil pemilihan umum. Adapun kewajibannya adalah memeriksa

,mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau

Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan

terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil

Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil

Presiden”(Soimin,dkk,2012:63-64).

Dicantumkannnya 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban

MK dalam UUD 1945 paling tidak telah memenuhi kebutuhan mendasar

akan terwujudnya demokrasi konstitusional (constitusional democracy).

Menurut Dennis C Muller, sistem politik dan ketatanegaraan yang

menganut doktrin demokrasi konstitusional memerlukan adanya: (1)

mekanisme memtuskan sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antar

lembaga-lembaga negara yang mempunyai kedudukan dan sederajat, yang

kewenangannya diberikan UUD 1945, (2) pelembagaan peran hukum dan

hakim yang dapat mengontrol proses dan produk kebijakan politik yang

mendasarkan pada prinsip “the rule of majority”, (3) juga mekanisme

untuk memutuskan berbagai persengketaan yang tidak dapat diselesaikan

melalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa hasil Pemilu, dan

tuntutan pembubaran partai politik” (Soimin,dkk,2012:64).

Kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada

MK sebagai lembaga yudikatif, mencerminkan semakin kuatnya prinsip

Page 36: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

negara hukum (rechstaat) dalam UUD 1945 setelah amandemen. Hal ini

juga ditegaskan secara fundamental dalam Pasal 1 ayat (2) yang

menyatakan bahwa: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan

dilaksanakan menurut UUD 1945”. Dengan penegasan pasal tersebut,

semakin nyata bahwa Indonesia yang menganut asas demokrasi dalam

sistem ketatanegaraannya yang menyandarkan kepada konstitusi, yaitu

UUD 1945. Melalui dua modus fungsi ideal MK, yaitu sebagai pengawal

konstitusi dan penafsir konstitusi, terwujudnya konstitusionalisme

demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lembaran

sejarah baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia”

(Soimin,dkk,2012:64-65).

Mengenai kewajiban MK yang menyangkut kewajiban untuk

memutuskan pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden

dan/atau Wakil Presiden, pada awalnya memang senpat menimbulkan

kontroversi, karena secara institusional MK terseret pada keputusan-

keputusan yang bersifat politis. Karena dalam hal tersebut putusan MK

memiliki implikasi politis yang sangat kuat, misalnya dalam hal

pemberhentian Presiden. Apalagi putusan itu bersifat final dan punya

kekeuatan hukum tetap. Maka seharusnya memiliki implikasi maupun

konsekuensi atas putusan tersebut. Apabila terjadi proses hukum

berkenaan dengan masalah kasus impeachment atas kekuasaan Presiden.

Oleh sebab itu, kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam

Page 37: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

keterlibatan politis di dalam tubuh MK mungkin terjadi”

(Soimin,dkk,2012:65).

Dengan begitu porsi kekuasaan kehakiman di atas, sekilas secara

struktur ketatanegaraan menempatkan MK berada di atas kedua lembaga

tersebut (Presiden dan DPR). Namun hal tersebut dibantah oleh Ketua

MK, Jimly Asshiddiqie. Putusan MK terhadap tuduhan DPR kepada

Presiden, dalam konteks bersalah atau tidak bersalah. Sejauh yang menjadi

kewenangan MK, putusannya bersifat final, dan tidak bisa dibatalkan oleh

lembaga manapun. Dari putusan itulah MPR dapat mengambil kebijakan

politik meng impeachment atau tidaknya terhadap Presiden dan/atau Wakil

Presiden. MK berwenang hanya memutuskan bersalah (guilty) atau tidak

bersalah (not guilty), yang memutuskan menjatuhkan hukuman adalah

MPR. Jadi,pada prinsipnya memang peran MK sangat menentukan sebab

dalam hukum berlaku “geen straf sonder schuld”, tidak ada hukuman

tanpa kesalahan. Jika Mahkamah Konstitusi memutuskan Presiden tidak

bersalah, MPR tidak bisa memberhentikan Presiden”(Soimin,dkk,2012:65-

66).

Posisi MK dalam sengketa di atas tidak dalam posisi yang terlibat

di dalam konflik tersebut. Melainkan sebagai lembaga negara yang

sederajat, dengan kewajiban memberikan penilaian dalam putusannya

apakah tuduhan DPR terhadap presiden dan/atau Wakil Presiden, benar

atau salah, dan/atau apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi

memenuhi syarat-syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Page 38: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Berdasarkan perspektif ini, MK harus dilihat pada proporsi kewenangan

dan kewajibannya, bukan pada perspektif conflicting, karena hal itu bisa

menyeret fungsi MK kepada perseteruan politik”(Soimin,dkk,2012:66).

Dari segi hirarki peraturan perundang-undangan, di antara lembaga

negara lainnya yang memiliki kewenangan membuat undang-undang,

putusan MK berada lebih tinggi di atas putusan lembaga negara lainnya.

Jelas itu karena putusan MK yang bersifat pertama dan final, tidak dapat

dianulir oleh lembaga negara manapun, termasuk MPR yang selama ini

sebagai lembaga negara tertinggi. Putusan konstitusional MK, tidak ada

lagi yang lebih tinggi yang bisa membanding, atau final. Untuk itu,

berkali-kali, dalam berbagai kesempatan Jimly Asshiddiqie sebagai ketua

MK, melarang para hakim konstitusi untuk mengomentari putusan yang

telah mendapatkan kekuatan hukum tetap dari MK. Hal ini untuk

menghindari pembiasan dari dissenting opinion para hakim konstitusi,

yang juga dicantumkan dalam putusan MK”(Soimin,dkk,2012:66).

Hal itu menunjukkan bahwa posisi politik MK merupakan

penggambaran yang bersifat antitesis atau prinsip negara hukum dan

demokrasi yang ingin diwujudkan seperti niat dalam UUD 1945 ketika

dirumuskan oleh founding fathers, karena dalam demokrasi perwakilan

(representative democracy) yang membuat suatu UU dan

mengesahkannya ialah DPR sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 20

ayat (1) UUD 1945. Di mana dalam pengesahan suatu RUU harus berdasar

Page 39: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

suara terbanyak atas materi yang diundangkan pada suatu

RUU”(Soimin,dkk,2012:66-67).

Maka dalam penggambaran demokrasi perwakilan MK yaitu

melalui penafsiran dan interpretasi terhadap materi UUD 1945 seakan

mereduksi peran DPR sebagai wakil rakyat. Sehingga MK adalah

mekanisme alat kontrol yang dibentuk untuk maksud mengawal dan

menjaga agar UUD 1945 sebagai hukum tertinggi benar-benar dijalankan

atau ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan

Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme yang bercirikan

dengan prinsip negara hukum dan demokrasi”(Soimin,dkk,2012:67).

a. Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi

Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusionalitas

yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah fungsi peradilan untuk

menegakkan hukum dan keadilan. Fungsi Mahkamah Konstitusi dapat

ditelusuri dari latar belakang pembentukannya yaitu untuk menegakkan

supremasi konstitusi”(Pasal 7B ayat 3 UUD 1945).

Di dalam penjelasan umum undang-undang No 8 Tahun 2011

tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa tugas dan fungsinya

adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusional

tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara

tanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.

Selain itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi juga dimaksudkan sebagai

Page 40: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan”(Pasal 7B ayat 3 UUD

1945).

Fungsi tersebut dijalankan melalui wewenang yang dimiliki yaitu

memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu berdasarkan

pertimbangan konstitusional. Berdasarkan latar belakang ini setidaknya

terdapat lima fungsi yang melekat keberadaan Mahkamah Konstitusi dan

dilaksanakan melalui wewenangnya yaitu sebagai pengawal konstitusi,

penafsir final konstitusi, pelindung hakasasi manusia, pelindung hak

konstitusional warga negara, dan pelindung demokrasi”(Pasal 7B ayat 3

UUD 1945).

Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi

telah ditentukan dalam Pasal 24 C UUD 1945 pada ayat (1) dan (2), yaitu:

1.) Melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945,Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review. (Pasal 7B ayat 3 UUD 1945 amandemen ke 4). Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Melalui kewenangan judicial review, Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi. Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 9 Tahun 2011 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60 sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara. 2.) Sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga

Page 41: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

negara tersebut. Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and balances, yang berarti sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing timbul kemungkinan terjadinya perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini, akan menjadi wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai ini telah diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 8 Tahun 2011. 3.) Pembubaran Partai Politik, kewenangan ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak pada otoritarianisme dan arogansi, tidak demokratis, dan berujung pada pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun. Mekanisme yang ketat dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat demokrasi, partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatannya bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 UU Nomor 8 Tahun 2011 telah mengatur tentang kewenangan ini. 4.) Perselisihan hasil Pemilu, perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi:

a. Terpilihnya anggota DPD b. Penetapan pasangan calon yang masuk pada

putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden

c. Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79

5.) Pendapat DPR mengenai dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden,kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD, tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini hanya DPR yang dapat

Page 42: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

mengajukan ke Mahkamah Konstitusi, namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.

Seperti ditentukan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang sudah

diubah, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh dua badan atau dua

mahkamah; yang satu bernama Mahkamah Agung, dan yang lain bernama

Mahkamah Konstitusi. Kedua mahkamah tersebut mempunyai kedudukan

sederajat, tetapi dengan fungsi dan peran yang berbeda. Dalam

membicarakan kedudukan, fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi ini kita

akan melihatnya dari perspektif konstitusi. Artinya, apa yang dikatakan

oleh undang-undang dasar tentang Mahkamah Konstitusi ?. Seperti kita

ketahui, pengaturan mengenai Mahkamah Konstitusi tercantum dalam Bab

IX. Judul Bab IX adalah tentang “kekuasaan kehakiman”. Bab IX tersebut

terdiri atas empat pasal, yaitu Pasal 24, Pasal 24-A, Pasal 24-B dan Pasal

24-C”(Soemantri,2014:283).

Pasal 24 mengatur kekuasaan kehakiman secara umum, sedangkan

Pasal 42-A mengatur Mahkamah Agung, Pasal 24-B mengatur Komisi

Yudisial dan Pasal 24-C mengatur Mahkamah Konstitusi. Selain dalam

Pasal 24-C ketentuan tentang Mahkamah Konstitusi juga terdapat dalam

Pasal 7-B”(Soemantri,2014:283).

Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia berpijak pada 4 (empat) pilar fundamental,

yakni: pertama, sebagai paham konstitusionalitas yang pada hakekatnya

Page 43: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

ingin menciptakan terselenggaranya pembatasan kekuasaan secara

berimbang oleh penyelenggara negara agar tidak sewenang-wenang;

kedua, sebagai instrumen check and balance sehingga tercipta saling

kontrol. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945, check and balances yang

perlu dikedepankan adalah sistem kontrol yudisial. Oleh karena itu

kehadiran MK sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman sangat

dibutuhkan untuk mewujudkan pelaksanaan check and balances agar tidak

terjadi overlapping dalam pelaksanaan kekuasaan oleh penyelenggara

negara yang diamanatkan oleh UUD 1945 dan

perubahannya”(Sirajuddin,2015:163).

Ketiga, menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih sehingga

paar penyelenggara negara harus memiliki kepekaan terhadap kepentingan

rakyat dengan mentaati asas-asas penyelengaraan negara yang baik dan

bersih; keempat, perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) karena

kekuasaan yang tidak tersentuh oleh mekanisme kontrol sangat potensial

melakukan tindakan sewenang-wenang, oleh karena itu kehadiran MK

diharapkan melakukan pengawasan secara mandiri dan obyektif terhadap

para penyelenggara negara agar tetap berpijak pada perlindungan dan

penghormatan terhadap HAM dan prinsip-prinsip

demokrasi”(Sirajuddin,2015:163-164).

Keberadaan Mahkamah Konstitusi tersebut berperan dalam

penyelengaraan kekuasaan kehakiman, khususnya di bidang pengujuan

konstitusional, bahkan diidealkan sebagai pengawal konstitusi (the

Page 44: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

guardian of the constitution). Hal ini sesuai dengan setumpuk kewenangan

dan kewajiban yang harus diembannya dalam melaksanakan fungsi

peradilan”(Iriyanto,2007:133).

Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, Mahkamah Konstitusi

memiliki arti penting dan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan

dewasa ini, karena segala ketentuan atau kebijakan yang dibuat

penyelenggara negara dapat dinilai konstitusional oleh Mahkamah

Konstitusi. Dengan demikian, setiap penyelenggara pemerintahan selalu

terbangaun oleh dan berlandaskan pada prinsip-prinsip dan ketentuan

konstitusi” (Iriyanto,2007:133).

Di samping itu, Mahkamah Konstitusi berperan mengawasi,

mengontrol, dan mengimbangi prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi yang

seringkali hanya mengandalkan kekuatan politik, dapat dikendalikan dan

diimbangi sesuai dengan prinsip demokrasi dan konstitusionalisme atau

negara hukum. Adanya Mahkamah Konstitusi juga memberi harapan baru

bagi para pencari keadilan di tengah masyarakat yang sedang mengalami

krisis kepercayaan kepada institusi peradilan”(Iriyanto,2007:133).

Pelembagaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia pada prinsipnya merespons tuntutan dinamika yang berkembang

dalam masyarakat yang menghendaki terwujudnya peradilan ini untuk

menguji undang-undang secara objektif, tekstual dan kontekstual

bertentangan dengan UUD 1945” (Iriyanto,2007:134).

Page 45: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Lahirnya MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia akibat

adanya perubahan UUD 1945. MK menjadi lembaga pemegang kekuasaan

kehakiman Indonesia bersama dengan Mahkamah Agung (MA).

Kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 dan ketentuan konstitusional

mengenai MK ditetapkan pada Pasal 24C UUD 1945. Penjabaran

ketentuan konstitusional tersebut kemudian diatur dalam undang-undang

organik dimana pemerintah bersama DPR menyetujui bersama Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi (UU MK)”(Ahmad,2011:5).

MK sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman telah

memperoleh jaminan konstitusional akan independensi kelembagaannya.

Pengaturan prinsip independensi MK dalam konstitusi itu diturunkan

dalam ketentuan yang lebih teknis lagi dalam UU MK” (Ahmad,2011:8).

b. Analisa Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung

Mengenai keberadaan kekuasaan kehakiman dapat dijelaskan sebagai

berikut :

Sebelum dilakukan perubahan keempat UUD 1945, kekuasaan

kehakiman diatur dalam BAB IX yang terdiri dari pasal 24 dan 25 UUD

1945. Berdasarkan pasal 24, kekuasaan kehakiman (rechterlijke macht,

judicial power), hanya dilakukan oleh sebuah MA, dengan badan-badan

peradilan yang ada dibawahnya. Pasal 24 berbunyi :

“1.) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang, 2.) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang”

Page 46: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Jadi semula berdasarkan UUD 1945, sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 24 ayat (1), kekuasaan kehakiman hanya dipegang dan

dilaksanakan oleh MA saja. Pasal 24 ayat (1) yang lama, tidak mengenal

kekuasaan kehakiman yang lain diluar MA. Bertitik tolak dari ketentuan

Paal 24 UUD 1945 teersebut, dilahirkan UU No. 14 tahun 1970 tentang

kekuasaan kehakiman sebagai pelaksanaan pembentukan badan-badan

peradilan. Memang mendahului UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuasaan

kehakiman pada masa orde lama (era Presiden Soekarno). Akan tetapi, UU

ini dianggap tidak merupakan pelaksanaan murni Pasal 24 UUD 1945,

karena memuat ketentuan yang bertentangan dengan prinsip kekuasaaan

kehakiman yang merdeka yang digariskan Pasal 24 ayat (1), sebab

memberi kewenangan bagi Presiden untuk mencampuri pelaksanaan

peradilan”(Harahap,2007:11-17).

Pasal 10 UU No. 14 tahun 1970, kekuasaan kehakiman yang

diberikan kepada MA, pelaksanaanya dilakukan oleh pengadilan yang

terdiri dari beberapa lingkungan:

1. Peradilan Umum;

2. Peradilan Agama;

3. Peradilan Militer;

4. Peradilan Tata Usaha Negara.

Pasal 10 UU No. 14 tahun 1970, Tempat kedudukannya

ditempatkan pada Pasal 10 ayat (2) yang berbunyi:

“Mahkamah Agung adalah peradilan tertinggi”

Page 47: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Dalam kedudukan yang demikian, MA bertindak sebagai peradilan

kasasi terhadap putusan-putusan yang dijatuhkan terakhir oleh pengadilan-

pengadilan yang lain. Serta juga melakukan pengawasan tertinggi atas

perbuatan pengadilan lain”(Harahap,2007:11-17).

Mengenai kedudukan MA terhadap semua lingkungan peradilan

yang disebut pada Pasal 10 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970, dipertegas

kemudian pada Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1985, yang berbunyi:

“Mahkamah Agung adalah Peradilan Negara tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain”

Berdasarkan ketentuan ini MA sebagai pelaksana kekuasaan

kehakiman:

a. Merupakan Pengadilan Negara tertinggi (Highest State Court)

b. Kedudukannnya sebagai Pengadilan Negara tertinggi meliputi semua

lingkungan peradilan yang disebut pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun

1970.

2. Sesudah perubahan ketiga UUD 1945, pelaksanaan kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh dua buah mahkamah.

Pada perubahan ketiga (amandemen ketiga) UUD 1945, BAB IX

yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman, mengalami perombakan dan

perluasan. Kalau semula BAB IX hanya memuat Pasal 24 dan Pasal 25

(hanya dua Pasal saja), sekarang terdiri dari Pasal 24, Pasal 24A, Pasal

24B, Pasal 24C, dan Pasal 25 (terdiri dari lima pasal dan beberapa

ayat)”(Harahap,2007:11-17).

Page 48: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Mengenai pelaksanaan kekuasaan kehakiman diatur pada Pasal 24

ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi:

“kekuaaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan-badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”

Apa yang dirumuskan Pasal 24 ayat (2) diatas, dipertegas ulang

kembali pada Pasal 2 dan pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 sebagai langkah

penyesuaian terhadap perubahan tersebut. Dengan demikian bertitik tolak

pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 2 dan Pasal 10 UU No. 4 Tahun

2004, pelaksanaan kekuasaan kehakiman setelah era reformasi, dapat

dijelaskan sebagai berikut.

a. Mahkamah Agung (MA)

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004,

masih tetap mempertahankan MA sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang ada

dibawahnya”(Harahap,2007:11-17).

Baik Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 2 jo Pasal 10 UU

No. 4 2004, tetap mengikuti pola dan sistem MA yang digariskan Pasal 10

ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 yakni dalam menyelenggarakan kekuasaan

kehakiman, pelaksanaanya dilakukan oleh MA beserta badan lingkungan

peradilan yang ada dibawahnya. Pola dan sistem MA dengan lingkungan

peradilan yang sudah ada sebelumnya tidak mengalami

perubahan”(Harahap,2007:11-17).

Page 49: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Keberadaan MA bukan lagi satu-satunya penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman, ditegaskan juga pada Pasal 1 UU No. 14 Tahun

1985, sebagaimana diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 (UU MA) yang

berbunyi:

“Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Jadi menurut Pasal 1 UU MA ini pun: MA bukan lagi satu-satunya

pelaku dan penyelenggara kekuasaan kehakiman,akan tetapi, MA hanya

salah satu dari pelaku dan penyelenggara kekuasaan kehakiman menurut

UUD 1945”(Harahap,2007:11-17).

b. Mahkamah Konstitusi (MK)

Pelaku dan pelaksana kekuasaan kehakiman, selain dari MA adalah

MK. Keberadaan MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman,

selain ditegaskan pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, juga disebut Pasal 2

UU No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi:

“penyelelenggara kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”

Seperti yang pernah disinggung, rumusan Pasal 2 UU No. 4 Tahun

2004 tersebut, persis sama dengan Pasal 24 ayat 2 UUD 1945. Bertitik

tolak dari ketentuan Pasal-Pasal di atas, keberadaan dan kedudukan MK

sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman ditegaskan dalam pasal 1

Page 50: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

angka 1 UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK)

yang berbunyi:

“Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Selanjutnya Pasal 2 UU MK memperjelas lagi apa yang disebut

Pasal 1 angka 1 diatas sebagai berikut:

1. MK merupakan salah satu lembaga Negara;

2. Fungsinya melakukan kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;

3. Dalam melaksanakan penyelenggaraan peradilan, MK sebagai

kekuasaan kehakiman adalah merdeka;

4. Menurut Pasal 3 UU MK, MK sebagai salah satu pelaku dan

penyelenggara kekuasaan kehakiman, berkedudukan di ibu kota Negara

Republik Indonesia

Salah satu perbedaan antara MA dan MK sebagai pelaksana

kekuasaan kehakiman: Pada MA terdapat dibawahnya badan peradilan

dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara,

sebaliknya pada MK dibawahnya tidak terdapat badan peradilan lain,

karena keberadaannya oleh UUD 1945 maupun UU No. 4 Tahun 2004

adalah berdiri sendiri, sehingga MK dalam melaksanakan penyelenggaraan

peradilan adalah berdiri sendiri serta manunggal”(Harahap,2007:11-17).

Memang demikian, baik Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 maupun

Pasal 10 ayat (1) UU MK telah mendesain MK sebagai:

Page 51: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

“Penyelenggara peradilan yang berdiri sendiri, oleh karena itu, tidak perlu dibawahnya dilettakan badan peradilan lain, sehubungan dengan itu, kewenangan peradilan yang diberikan konstitusi kepada MK adalah bersifat tingkat pertama dan terakhir (first and last instance), dengan demikian putusan yang dijatuhkan MK langsung final (final judgement) atau res judicata, oleh karena itu terhadapnya ditutup segala bentuk upaya hukum apapun”

Desain itu pula yang digariskan pasal 10 ayat (1) UU MK,

yurisdiksi MK telah ditentukan secara limitatif atau enumeratif dalam

batas bidang hukum maupun peristiwa tertentu”(Harahap,2007:11-17).

Perlu dijelaskan, meskipun MA dan MK sama-sama pelaku

penyelenggara kekuasaan kehakiman, antara keduanya tidak terdapat

kaitan hubungan dalam bentuk apapun. Baik MA maupun MK, masing-

masing berdiri sendiri. Antara yang satu dengan yang lain terpisah dalam

segala hal. Bukan hanya terpisah dan berbeda dari segi yuridiksi saja.

Antara yang satu dengan yang lain, tidak saling subordinasi, susunan

organisasinya juga terpisah dan berdiri sendiri”(Harahap,2007:11-17).

Kedudukan dan susunan organisasi MA diatur dalam UU No. 14

Tahun 1985, sebagaimana diubah dengan UU No. 5 tahun 2004 (UU MA),

adapun kedudukan dan susunan organisasi MK diatur dalam UU No. 8

Tahun 2011 (UU MK) ”(Harahap,2007:11-17).

MA bersama MK berkedudukan sebagai lembaga kekuasaan

kehakiman (yudicial power) yang merdeka dan mandiri dengan tugas

menyelenggarakan peradilan dengan tujuan menegakkan hukum dan

keadilan. Di mana untuk melihat pencapaian tujuan dari kedua lembaga

kehakiman tersebut (MA dan MK) adalah bagaimana kedua lembaga itu

bekerja berdasarkan kekuasaan dan kewenangannya untuk terpenuhinya

Page 52: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

penegakan hukum dan keadilan. Sebab sebagai negara hukum bangsa

Indonesia harus dapat menegakkan hukum dan keadilan yang menjadi

karakter di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip negara

hukum dan demokrasi yang berlandaskan pada paham konstitusional

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan

bahwa: “negara Indonesia adalah negara hukum”(Soimin,dkk,2012:74 -

75).

Prinsip ini dilandasi dari paham pembagian kekuasaan negara

(separation of power) yang terbagi menjadi lembaga eksekutif, legislatif,

dan yudikatif. Hal ini sangat diperlukan di dalam negara yang menganut

supremasi hukum dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Yang

berarti segala tindakan lembaga tinggi negara didasarkan pada UUD 1945

dan peraturan perundang-undangan di bawahnya yang berlaku. Dengan

demikian, MK bersama MA melakukan pembatasan dan pencegahan

penyalagunaan kekuasaan (abouse of power), penegakan hukum dan

konstitusi, serta keadilan hukum. Selain itu, melakukan proses kontrol

terhadap penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara agar tidak

terjadi penyimpangan dari aspirasi rakyat oleh lembaga eksekutif maupun

legislatif yang ditegaskan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945

disebutkan,bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut UUD 1945”(Soimin,dkk,2012:75).

Ketentuan ini menunjukkan pada kedaulatan ada di tangan rakyat

dan dijalankan menurut UUD 1945. Sehingga dalam pembagian ketiga

Page 53: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

lembaga tinggi negara berdasarkan konsep trias politica dalam

menjalankan kekuasaan dan kewenangannya itu bersumberkan pada

ketentuan normatif yang ada pada UUD 1945. Di mana dari ke tiga

lembaga negara yang terbagi pada badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif

itu dengan komposisi yang sesuai pada kompetensi dari masing-masing

ketiga lembaga tinggi negara tersebut. Yaitu kekuasaan dan kewenangan

badan legislatif berdasarkan pada konsepsi trias politica untuk

menjalankan fungsi legislasi dan anggaran” (Soimin,dkk,2012:75).

Fungsi-fungi tersebut dijalankan oleh lembaga legislatif untuk

melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif. Di mana kekuasaan dan

kewenangan badan eksekutif ialah untuk menjalankan peraturan-peraturan

pemerintahan yang dijadikan sumber hukum yang harus dilaksanakan oleh

pemerintah. Sedangkan kekuasaan dan kewenangan pada badan yudikatif

ialah untuk melaksanakan pengawasan terhadap semua peraturan hukum

yang berlaku tersebut, apakah sudah dilaksanakan atau sebaliknya oleh

badan eksekutif dalam menjalankan pemerintahan negara”

(Soimin,dkk,2012:75 - 76).

Bunyi Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan

kehakiman dibagi ke dalam dua lembaga negara,yaitu: Pertama, MA yang

peradilan di bawahnya terdiri dari lingkungan peradilan umum, peradilan

agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara dan Kedua, MK

yang secara normatif dari kedua lembaga tinggi negara yang berbeda pada

Page 54: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

kekuasaan kehakiman (yudicial of power), dijalankan oleh MA bersama

MK dengan kompeten yang berbeda, namun demikian, bunyi Pasal 24 ayat

(2) tersebut memungkinkan timbulnya penafsiran hukum yang berbeda-

beda dari para ahli hukum tata negara dengan melihat ketentuan normatif

teks Pasal tersebut, karena memungkinkan dari teks Pasal tersebut para

hakim agung atau para hakim konstitusi akan melihat dari sudut pandang

yang berbeda berdasarkan kepentingan masing-masing lembaga

kehakiman. Dimana ketentuan teks pasal tesebut memungkinkan

timbulnya penafsiran bahwa MA kedudukannya lebih tinggi daripada MK.

Dengan alasan bahwa ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945

menyebutkan ketentuan tugas, wewenang, dan kewajibannya itu

disebutkan pertama kali baru kemudian MK, sehingga pengaturan yang

demikian itu timbul penafsiran bahwa MK subordinasi dari

MA”(Soimin,dkk,2012:76).

Sebaliknya dari hakim konstitusi juga memungkinkan timbulnya

penafsiran yang berbeda dari hakim agung terhadap konsepsi teks Pasal 24

ayat (2) UUD 1945, yaitu bahwa kedudukan MK lebih tinggi daripada MA

dengan alasan bahwa kompetensi yang diberikan oleh UUD 1945 baik

tugas, wewenang, dan kewajiban MK lebih tinggi daripada kekuasaan dan

kewenangannya yang diberikan UUD 1945 kepada MA. Sehinga

pengaturan yang demikian itu timbul penafsiran dari MK bahwa MA

subordinasi dari MK meskipun dengan kewenangan yang berbeda dan

tidak dapat saling mengintervensi dari masing-masing kedua lembaga

Page 55: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

tersebut. Demikian pula dalam sistem peradilan yang diselenggarakan dari

kedua lembaga kehakiman (yudicial of power) tersebut juga berbeda”

(Soimin,dkk,2012:75 - 76). Dimana MA dalam hal mengadili

pelanggaran ketentuan UU dalam lapangan hukum perdata, pidana, dan

TUN sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dengan sistem bercabang dari

wilayah lingkungan Peradilan Tunggi dan Peradilan Negeri yang terbagi

pada lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha

negara, dan peradilan militer, sedangkan MK sistem peradilannya bersifat

mandiri dan tidak bercabang. Dari pembagian wilayah hukum dalam

peradilan,sehingga hanya ada di pusat saja” (Soimin,dkk,2012:77).

Selain itu dapat pula dilihat pada putusan dan eksekusi di dalam

lingkungan kekuasaan dan kewenagan dari masing-masing lembaga

kehakiman, diaman MA sifat putusannya itu mengikat tetapi bisa

dilakukan peninjauan kembali (PK) kalau ada novum atau bukti baru, dan

putusannya yang sudah ditentukan oleh MA itu eksekusinya dilakukan

oleh jaksa penuntut umum dari lembaga kejaksaan agung, sedangkan kalau

di MK putusan yang diambil oleh sembilan hakim konstitusi dalam amar

putusannya itu bersifat pertama dan terakhir atau

final”(Soimin,dkk,2012:77 - 78).

Artinya, tidak ada lagi upaya hukum yang dilakukan oleh para pihak baik

pemohon atau penggugat untuk melakukan upaya hukum dari putusan

hakim konstitusi. Sehingga eksekusi dari putusan hakim konstitusi yang di

putuskan dalam persidangan peradilan konstitusi secara otomatis dimuat

Page 56: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

dalam lembaran negara. Hanya saja dalam putusan persidangan peradilan

konstitusi harus memberikan amar putusan di dalam putusan peradilan

konstitusi”(Soimin,dkk,2012:77 - 78).

Namun demikian, yang ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945

secara tegas membagi lembaga yudikatif (yudicial institution) ke dalam

dua lembaga yaitu: (i) Mahkamah Agung dan (ii) Mahkamah Konstitusi

dengan kekuasaan dan kewenangan yang berbeda dimana MA merupakan

lembaga kekuasaan kehakiman (yudicial of power) yang berfungsi sebagai

lembaga pengadilan untuk melakukan penegakan hukum dan keadilan

yang membawahi peradilan di bawahnya dari lingkungan peradilan umum,

peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer dalam

konteks melakukan pengawasan terhadap pelanggaran dari ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama dalam lapangan

hukum perdata dan hukum pidana” (Soimin,dkk,2012:78).

Sedangkan MK merupakan lembaga

kehakiman (judicial of power) yang berfungsi sebagai lembaga peradilan

di bidang lapangan sengketa hukum tata negara. Artinya, kompetensi yang

dimiliki oleh lembaga MK dalam menjalankan sistem peradilannya hanya

dalam lingkungan permasalahan ketatanegaraan berdasarkan ketentuan

UUD 1945”(Soimin,dkk,2012:78).

c. Sumber Hukum Tata Negara Indonesia

1. Sumber Materiil dan Formal

Page 57: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Pandangan hidup bangsa Indonesia yang terangkum dalam

perumusan sila-sila pancasila yang dijadikan falsafah hidup bernegara

berdasarkan UUD 1945. Sebagai pandangan hidup bangsa dan falsafah

bernegara, Pancasila itu merupakan sumber hukum dalam arti materiil

yang tidak saja menjiwai, tetapi bahkan harus dilaksanakan dan tercermin

oleh dan dalam setiap peraturan hukum Indonesia. Oleh karena itu, hukum

Indonesia haruslah berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusian

yang adil dan beradab, merupakan faktor pemersatu bangsa, bersifat

kerakyatan, dan menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pancasila merupakan alat penguji untuk setiap peraturan hukum yang

berlaku, apakah bertentangan atau tidak dengan nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya. Dengan demikian, bahwa setiap peraturan hukum

yang bertentangan dengan Pancasila tidak boleh berlaku.

Dalam bentuk

formalnya, nilai-nilai Pancasila itu tercantum dan dalam perumusan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun

disamping itu, sumber hukum formal itu tidak hanya terbatas kepada yang

tertulis saja. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanyalah salah

satu bentuk yang tertulis dari norma dasar atau hukum dasar yang bersifat

tertinggi itu. Di samping, hukum dasar yang tertulis dalam naskah UUD

1945, ada pula hukum dasar atau konstitusi yang sufatnya tidak tertulis.

Sumber hukum formal Hukum Tata Negara Indonesia itu dapat dilihat

pertama-tama pada Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar

Page 58: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

1945 sebagai sumber hukum, selain merupakan hukum dasar tertulis yang

mengatur masalah kenegaraan, juga merupakan landasan hukum bagi

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan-peraturan lainnya.

Misalnya, Pasal 19 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa “Susunan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diatur dalam undang-undang”.

Penunjukan diatur dengan undang-undang dalam ayat ini menyebabkan

Undang-Undang Dasar 1945 menjadi sumber hukum bagi pembentukan

undang-undang yang akan mengatur tentang susunan Dewan Perwakilan

Rakyat itu. Dengan demikian, dari ketentuan UUD 1945 itu mengalir

peraturan-peraturan pelaksanaan yang merupakan sumber hukum formil

pula sesuai dengan tingkatan hierarkisnya bagi peraturan-peraturan di

bawahnya masing-masing”(Jimly,2009:159-160).

2. Peraturan Dasar dan Norma Dasar

Seperti dikemukakan oleh O.Hood Phillips, Paul Jackson dan

Patricia Leopold dalam “The constitusional law of a state is the law

relating to the constitution of that state”, maka penting sekali untuk

memahami hukum, negara, dan konstitusi secara bersamaan. Hukum

sendiri diakui tidak mudah untuk didefenisikan.H.L.A Hart sendiri

menyatakan bahwa mengenai apa itu hukum merupakan pertanyaan yang

senantiasa diajukan di sepanjang sejarah umat manusia. Menurutnya “it is

a persistent question”yang selalu diajukan dari waktu ke waktu.

Namun demikian, di lapangan hukum tata negara, kita memusatkan

perhatian hanya kepada hukum dalam konteks kenegaraan, yaitu hukum

Page 59: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

tata negara (state law), hukum kota (municipal law), hukum desa (village

law), dan sebagainya. Dalam perspektif hukum tata negara, hukum negara

(the law of a state) kita lihat sebagai hukum yang terdiri atas pedoman

perilaku (rules of conduct) yang ditetapkan oleh lembaga negara yang

bertindak sebagai legislator atau regulator dan yang ditegakkan oleh

lembaga pengadilan yang dibentuk oleh negara (duly constituted courts of

the state). Akan tetapi, di pihak lain juga berfungsi sebagai pedoman bagi

organ-organ negara dalam arti yang seluas-luasnya untuk menjalankan

tugas dan kewenangannya.

Pada pokoknya hukum konstitusi itu mendahului keberadaan

organisasi negara, seperti apa yang dikatakan oleh Thomas Paine bahwa

konstitusi lebih dulu ada daripada adanya pemerintahan karena

pemerintahan justru dibentuk berdasarkan ketentuan konstitusi. Oleh

karena itu, menurut Thomas Paine:

“A constitution is not the act of a government,but of a people constituting a government and a government without a constitution is power without right”

Konstitusi bukanah peraturan yang dibuat oleh pemerintahan, tetapi

merupakan peraturan yang dibuat oleh rakyat untuk mengatur

pemerintahan, dan pemerintahan itu sendiri tanpa konstitusi sama dengan

kekuasaan tanpa kewenangan.

Konstitusi adalah hukum dasar, norma dasar, dan

sekaligus paling tinggi kedudukannya dalam sistem bernegara. Namun

sebagai hukum, konstitusi itu sendiri tidak selalu bersifat tertulis

Page 60: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

(geschreven constitutie atau written constitution). Konstitusi yang bersifat

tertulis biasa disebut undang-undang dasar sebaagi konstitusi dalam arti

sempit, sedangkan yang tidak tertulis merupakan konstitusi dalam arti

yang luas. Menurut Hans Kelsen,

grund norm atau norma dasar itulah yang disebut konstitusi. Grund norm

itu dijabarkan lebih lanjut menjadi abstract norms yang selanjutnya

dioperasionalkan dengan general norms yang untuk seterusnya

dilaksanakan dengan keputusan-keputusan yang berisi concrete and

individual norms. Bagi Hans Kelsen peraturan perundang-undangan berisi

general and abstract norms yang tertuang dalam bentuk formal, sedangkan

grund norms tercakup dalam rumusan pengertian konstitusi dalam arti

materiil. Konstitusi dalam arti materiil inilah yang disebut Kelsen dengan

the first constitution yang mendahului the (second) constitution atau

konstitusi dalam bentuknya yang formal tersebut.

Sementara itu, Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen,

menyebut grund norms itu dengan istilah staats fundamental norms yang

juga dibedakannya dari konstitusi. Tidak semua nilai-nilai yang terdapat

dalam konstitusi merupakan staats fundamental norms. Nilai-nilai yang

termasuk staats fundamental norms menurutnya hanya spirit nilai-nilai

yang terkandung di dalam konstitusi itu, sedangkan norma-norma yang

tertulis di dalam pasal-pasal undang-undang dasar termasuk kategori

abstract norms. Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan sistem konstitusi

Page 61: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Republik Indonesia, dapat dibedakan antara Pembukaan UUD 1945

dengan Pasal-Pasal UUD 1945.

Bahkan, Padmo Wahyono dan hamid S.Attamimi menyejajarkan

pengertian staats fundamental norm itu dengan kedudukan Pancasila

sebagai dasar negara, sedangkan Pasal-Pasal UUD 1945 didudukkan

sebagai abstract norms. Oleh karena itu, dalam hierarki peraturan

perundang-undangan menurut Padmo Wahyono dan Hamid S.Attamimi,

Pancasila itu harus ditempatkan di luar dan di atas UUD 1945.

Pandangan yang demikian, sampai sekarang terus

dianut oleh murid-murid Padmo Wahyono dan Hamid S.Attamimi, seperti

tercermin, misalnya, dalam pandangan Maria Farida Indrati mengenai hal

tersebut. Pokok pikiran yang melandasi pandangan demikian tidak lain

adalah stuffenbau theorie menurut versi Hans Nawiasky tersebut di atas,

yang sangat berbeda dengan stuffenbau theorie menurut versi Hans

Kelsen. Bagi Kelsen, grund norm itulah konstitusi, sedangkan peraturan

perundang-undangan berisi general and abstract norms sehingga Pancasila

dan Pembukaan UUD 1945 tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang

terpisah dari Pasal-Pasal UUD 1945 itu sendiri.

Keduanya tercakup dalam pengertian UUD 1945 sebagai konstitusi

yang tertulis yang berisi grund norm. Tentu saja di samping UUD 1945

sebagai konstitusi tertulis, ada pula konstitusi yang tidak tertulis yang

hidup dalam kesadaran hukum dan praktik penyelenggaraan negara yang

diidealkan sebagai bagian dari pengertian konstitusi dalam arti luas

Page 62: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

sehingga juga merupakan norma-norma dasar atau grund norms yang

mengikat sebagai bagian dari konstitusi”(Jimly,2009:160-163).

3. Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang berisi

norma-norma hukum yang mengikat untuk umum, baik yang ditetapkan

oleh legislator maupun oleh regulator atau lembaga-lembaga pelaksana

undang-undang yang mendapatkan kewenangan delegasi dari undang-

undang untuk menetapkan peraturan-peraturan tertentu menurut peraturan

yang berlaku. Produk legislatif atau produk

legislator yang dimaksud di sini adalah peraturan yang berbentuk undang-

undang, dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan

pembahasannya dilakukan bersama-sama dengan Presiden/Pemerintah

untuk mendapatkan persetujuan bersama akan disahkan oleh Presiden dan

diundangkan sebagaimana mestinya atas perintah Presiden. Untuk undang-

undang tertentu, pembahasan bersama dilakukan dengan melibatkan pula

peranan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Selain peraturan yang berbentuk undang-undang, ada pula peraturan yang

disusun dan ditetapkan oleh lembaga eksekutif pelaksana undang-undang.

Setiap lembaga pelaksana undang-undang yang diberi kewenangan

regulasi oleh undang-undang dalam rangka menjalankan undang-undang

yang bersangkutan. Di samping itu, pemerintah karena fungsinya diberi

kewenangan pula untuk menetapkan suatu peraturan tertentu, di samping

undang-undang itu sendiri dapat pula menentukan adanya lembaga

Page 63: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

regulasi yang bersifat tertentu pula. Semua produk hukum tertulis yang

berisi norma yang bersifat mengatur (regeling) itu dalam ilmu hukum kita

namakan peraturan perundang-undangan.

Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bentuk-bentuk dan

tata urut peraturan perundang-undangan dimaksud adalah: (i) Undang-

Undang Dasar dan perubahan Undang-Undang Dasar; (ii) Undang-Undang

dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (iii) Peraturan

Pemerintah; (iv) Peraturan Presiden; dan (v) Peraturan Daerah. Namun, di

samping bentuk-bentuk yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 itu, masih ada bentuk peraturan lainnya yang sampai sekarang

masih berlaku atau masih terus dibuat dalam praktik.

Misalnya, banyak ketetapan-

ketetapan MPR/S yang masih ada dan sampai sekarang masih

diberlakukan berdasarkan Ketetapan (TAP) MPR No.I/MPR/2003,

meskipun MPR sendiri dewasa ini tidak lagi mempunyai kewenangan

menetapkan ketetapan yang bersifat mengatur (regeling)”

(Jimly,2009:164).

Selain itu dalam praktik, kita juga dapat menjumpai banyak sekali

bentuk-bentuk peraturan lainnya, seperti Peraturan Menteri, Peraturan

Bank Indonesia (PBI), Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), Peraturan

atau Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan lain-lain

sebagainya. Keputusan-keputusan para pejabat yang bersifat regeling atau

Page 64: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

yang mengandung regulasi juga masih banyak yang dituangkan dalam

bentuk keputusan-keputusan yang ditetapkan untuk maksud mengikat

untuk umum. Misalnya, keputusan-keputusan Komisi Pemilihan

Umum (KPU), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK), serta termasuk Keputusan-Keputusan

Menteri, seperti Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri

Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Agama, Menteri Pendidikan

Nasional, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Tenaga Kerja

dan sebagainya. Demikian pula Keputusan-Keputusan Direktur Jenderal,

seperti Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Direktur

Jenderal Pendidikan Dasar, dan lain sebagainya”(Jimly,2009:163-165).

C. Kerangka Pikir

Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi

UUD 1945

UU No 24 Tahun 2003 Jo UU No 8 Tahun 2011 Tentang

Mahkamah Konstitusi

Page 65: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Gambar 2.1.Skema Kerangka Pikir

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif

deskriptif. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data tidak dipandu

oleh teori, tetapi dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan pada saat

dilapangan. Oleh karena itu, analisis data yang dilakukan bersifat induktif

berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan kemudian dapat

dikonstruksikan menjadi hipotesis dan teori. Pendekatan kualitatif tidak

mengandalakan bukti berdasarkan logika sistematis, prinsip angka atau

Hambatan yang Dihadapi MK dalam Menjalankan Tugas & Wewenangnya

Pertimbangan Hukum Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Sehingga Dikatakan Bersifat Final dan Mengikat

Terlaksananya Tugas Pokok & Fungsi Pokok MK Sesuai

UUD 1945

Page 66: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

metode statistik pembicaraan yang sebenarnya, isyarat dan tindakan sosial

lainnya adalah bahan mental untuk analisis kualitatif.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini, secara geografis terletak di Kelurahan Gambir,

Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta. Lokasi ini dipilih karena lokasi penelitian merupakan tempat

Mahkamah Konstitusi berada dan untuk mempermudah mendapatkan

informasi mengenai Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi

dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan. Penelitian ini dilaksanakan mulai

dari tanggal 17-31 Juli 2019.

C. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah hakim konstitusi dan mantan

hakim konstitusi. Proses Pengumpulan data digunakan Teknik Purposive

Sampling. Purposive Sampling merupakan teknik pengambilan informan

sumber data dengan pertimbangan tertentu, misalnya orang tersebut

dianggap terkait dengan apa yang kita teliti, atau mungkin orang tersebut

memiliki peran penting sehingga akan memudahkan mencari informasi

yang diteliti.

Di bawah ini merupakan contoh gambar Purposive Sampling.

52

Page 67: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Gambar 3.1

Menentukan informan dapat dilakukan dengan cara melalui

keterangan orang yang berwenang atau orang yang terkait langsung

dengan penelitian seperti hakim konstitusi ataupun mantan hakim

konstitusi. Melalui wawancara pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti.

Berdasarkan pendapat diatas, jelaslah bahwa tujuannya adalah agar

peneliti dapat memperoleh informasi yang akurat dan benar-benar

memenuhi persyaratan karena informan tersebut mengetahui secara

lengkap tentang keadaan lapangan atau lokasi penelitian tersebut.

Penetuan sampel dalam penelitian kualitatif tidak didasarkan

perhitungan stastitik. Sampel yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan

informasi yang maksimum, bukan untuk digeneralisasikan.

D. Fokus Penelitian

Adapun sebagai fokus penelitian dalam penelitian ini adalah

Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum

Ketatanegaraan Indonesia.

E. Instrumen Penelitian

Page 68: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Instrumen yang digunakan dalam memperoleh data penelitian ialah

berupa lembar observasi, panduan wawancara, serta catatan dokumentasi

sebagai pendukung dalam penelitian ini.

1. Lembar Observasi

Berisi catatan-catatan yang diperoleh penelitian pada saat

melakukan pengamatan langsung di lapangan. Adapun yang peneliti

observasi dalam penelitian ini adalah Mahkamah Konstitusi

2. Pedoman Wawancara

Merupakan seperangkat daftar pertanyaan yang sudah disiapkan

oleh peneliti sesuai dengan rumusan masalah dan pertanyaan peneliti yang

akan dijawab melalui proses wawancara. Adapun yang diwawancarai

peneliti dalam penelitian ini adalah hakim Konstitusi dan mantan hakim

Konstitusi

3. Catatan Dokumentasi

Dokumentasi adalah data pendukung yang dikumpulkan sebagai

penguatan data observasi dan wawancara yang berupa gambar,grafik, data

angka, sesuai dengan kebutuhan penelitian.

F. Teknik Pengumpulan Data

Pada tahap pengumpulan data peneliti menggunakan teknik

pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan data primer (data

yang diperoleh langsung dari sumbernya) dan data sekunder (data yang

diperoleh tidak langsung dari sumbernya) dengan melalui wawancara,

observasi, dan dokumentasi.

Page 69: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

1. Observasi

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan

pengamatan langsung ke locus dan obyek penelitian tepatnya di

Mahkamah Konstitusi. Ada beberapa alasan mengapa dalam penelitian

kualitatif, pengamatan yang dimanfaatkan sebesar-besarnya seperti yang

dikemukakan oleh Guba dan Lincoln (dalam Moleong, 2005:174-175)

yaitu:

a. Teknik pengambilan ini didasarkan atas pengamatan secara

langsung

b. Teknik pengamatan juga memungkinkan melihat dan mengamati

sendiri kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana

yang terjadi pada keadaan yang sebenarnya.

c. Pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam

situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proposisional maupun

pengetahuan yang langsung diperoleh dari data.

Observasi merupakan bagian dari teknik pengumpulan data di

mana mahasiwa menjadi objek dalam penelitian dan dalam penelitian

tersebut akan dicapai apa menjadi pokok permasalahan yakni mengetahui

apa penyebab terjadinya degradasi fungsi pendidikan serta memahami

bentuk degradasi fungsi dari pendidikan kontemporer.

2. Wawancara

Teknik pengumpulan data primer dari para pihak yang dijadikan

informan penelitian. Teknik wawancara dilakukan dengan mempersiapkan

Page 70: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

terlebih dahulu Pedoman Wawancara. Pedoman wawancara tersebut berisi

pokok-pokok pertanyaan terbuka untuk diajukan kepada para informan

penelitian. Secara garis besar ada dua macam pedoman wawancara, yaitu:

a. Pedoman wawancara tidak terstruktur, yaitu pedoman wawancara

yang hanya memuat garis besar yang akan ditanyakan. Dalam hal ini

perlu adanya kreativitas pewawancara sangat diperlukan, bahkan

pedoman wawancara model ini sangat tergantung pada

pewawancara.

b. Pedoman pewawancara terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang

disusun secara terperinci sehingga menyerupai chek-list.

Pewawancara hanya tinggal memberi tanda v (check).

Dalam pelaksanaan penelitian dilapangan, wawancara biasanya

dilaksanakan dalam bentuk ”semi structured”. Dimana interviwer

menanyakan serentetan pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian satu

persatu diperdalam dalam menggali keterangan lebih lanjut. Dengan

model wawancara seperti ini, maka semua variabel yang ingin digali

dalam penelitian akan dapat diperoleh secara lengkap dan mendalam.

3. Dokumentasi

Data dalam penelitian kualitatif kebanyakan diperoleh dari sumber

manusia atau human resources, melalui observasi dan wawancara. Bentuk-

bentuk dokumen tersebut diatas, bentuk lainnya adalah foto dan bahan

statistik. Dengan menggunakan foto akan dapat mengungkap suatu situasi

pada detik tertentu sehingga dapat memberikan informasi deskriptif yang

Page 71: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

berlaku saat itu. Foto dibuat dengan maksud tertentu, misalnya untuk

melukiskan kegembiraan atau kesedihan, kemeriahan, semangat dan

situasi psikologis lainya. Foto juga dapat menggambarkan situasi sosial

seperti kemiskinan daerah kumuh, adat istiadat, penderitaan dan berbagai

fenomena sosial lainnya.

G. Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis deskriptif

kualitatif.

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan salah satu dari teknik analisis data

kualitatif. Reduksi data adalah bentuk analisis yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan

mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat

diambil. Reduksi tidak perlu diartikan sebagai kuantifikasi data.

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak,

sehingga perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan

sebelumnya, semakin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah data yang

diperoleh akan semakin banyak, kompleks, dan rumit. Untuk itu perlu

segera dilakukan analisis data melalui reduksi data.

Dalam mereduksi data, setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan

yang akan dicapai. Tujuan utama dari penelitian kualitatif adalah pada

temuan. Oleh karena itu, apabila peneliti dalam melakukan penelitian

menemukan segala sesuatu yang dipandang asing, tidak dikenal, belum

Page 72: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

memiliki pola, justru itulah yang harus dijadikan perhatian peneliti dalam

melakukan reduksi data.

Reduksi data merupakan proses berpikir sensitif yang memerlukan

kecerdasan, keleluasaan, dan kedalaman wawasan yang tinggi. Bagi

peneliti yang masih baru, dalam melakukan reduksi data dapat

mendiskusikan dengan teman atau orang lain yang dipandang cukup

menguasai permasalahan yang diteliti. Melalui diskusi itu, wawasan

peneliti akan berkembang, sehingga dapat mereduksi data-data yang

memiliki nilai temuan dan pengembangan teori yang signifikan.

2. Penyajian Data

Penyajian data merupakan salah satu dari teknik analisis data

kualitatif. Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi

disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan

kesimpulan. Bentuk penyajian data kualitatif berupa teks naratif

(berbentuk catatan lapangan), matriks, grafik, jaringan dan bagan.

Dengan adanya penyajian data, maka akan memudahkan untuk

memahami apa yang terjadi, dan merencanakan kerja selanjutnya

berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Selanjutnya oleh Miles dan

Huberman disarankan agar dalam melakukan display data, selain dengan

teks yang naratif, juga dapat berupa grafik, matrik, network (jaringan

kerja), dan chart.

3. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi

Page 73: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Penarikan kesimpulan merupakan salah satu dari teknik analisis

data kualitatif. Penarikan kesimpulan adalah hasil analisis yang dapat

digunakan untuk mengambil tindakan.

Langkah ketiga dalam analisis data dalam penelitian kualitatif

menurut Miles dan Huberman adalah penarikan kesimpulan dan

verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara,

dan akan mengalami perubahan apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang

kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.

Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal

didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali

ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan

merupakan kesimpulan yang kredibel.

Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin

dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi

mungkin juga tidak. Mengapa bisa demikian? Karena seperti telah

dikemukakan di atas bahwa masalah dan rumusan masalah dalam

penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah

peneliti berada di lapangan.

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru

yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau

gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau

bahkan gelap, sehingga setelah diteliti menjadi jelas. Kesimpulan ini dapat

berupa hubungan kausal atau interaktif, maupun hipotesis atau teori.

Page 74: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

H. Teknik Keabsahan Data

Sugiyono (2012:369-371), dalam penelitian ini, teknik keabsahan

data yang digunakan adalah trianingulasi (peer debriefing). Triangulasi

dalam pemeriksaan keabsahan data diartikan sebagai pengecekan data dari

berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Dengan

demikian, terdapat tringulasi teknik dan tringulasi waktu. Teknik

keabsahan data dalam penelitian ini, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Triangulasi sumber, untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara

mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.

2. Triangulasi teknik, untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara

mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.

3. Triangulasi waktu, untuk menguji kredibilitas data dapat dilakukan dengan

cara melakuakan pengecekan dengan wawancara, obsevasi atau teknik lain

dalam waktu atau situasi yang berbeda.

Page 75: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

1. Analisis Hukum UU No 8 Tahun 2011 Pasal 10 ayat 1 tentang

Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.

Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan di Mahkamah

Konstitusi, Kelurahan Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat

dimulai sejak tanggal 17 Juli sampai dengan 31 Juli 2019. Dalam

penelitian ini seperti yang dijelaskan pada bagian metode penelitian yang

mencakup kegiatan observasi, wawancara dan dokumentasi, berikut ini

peneliti akan memaparkan secara jelas.

Peneliti dalam penelitian ini mengambil subjek beberapa orang

diantaranya hakim konstitusi dan mantan hakim konstitusi. Penentuan

subjek dalam penelitian kualitatif, peneliti memilih orang tertentu yang

Page 76: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

dipertimbangkan akan memberikan data yang diperlukan dan selanjutnya

berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari subjek. Sebelum itu

peneliti dapat menetapkan informan lainnya yang dipertimbangkan akan

memberikan data lebih lengkap. Peneliti melakukan observasi dan

wawancara pada hakim konstitusi dan mantan hakim konstitusi yang

dapat memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat

memang sangat diperlukan dalam menjalankan tugas pokok dan

wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga

peradilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus berbagai

perkara ketatanegaraan pada tingkat pertama dan terakhir sepanjang

masih dalam ranah kewenangannya.

Hal ini diperkuat keterangan informan WA sebagai salah satu

hakim Konstitusi yang menyatakan:

“Karena di Undang-Undang itu disebut sebagai pengadilan pertama dan terakhir, bukan soal kekeliruan tapi itulah Undang-Undang mengatakan begitu”(Hasil wawancara 19 Juli 2019). Selanjutnya informan MFI selaku mantan hakim Konstitusi, menyatakan: “Iya betul tapi kita memang dikatakan oleh konstitusi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tidak bisa diupayakan hukum lagi, jadi final dan mengikat. Kemudian maka kita bisa melihat bahwa putusan MK itu kan sembilan hakim semuanya tetapi karena MK tidak mengadili pendapat maka kita bisa melihat bahwa mungkin orang mengatakan itu keliru,itu pertama dalam konstitusi tapi kami anggap itu tidak bertentangan”(Hasil Wawancara 25 Juli 2019).

Hasil wawancara yang diutarakan oleh informan diatas yaitu

mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang dikatakan final dan

mengikat diatur dalam Undang-Undang sebagai pengadilan pertama dan

62

Page 77: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

terakhir dan lebih lanjut beliau mengatakan bukan soal kekeliruan tapi

itulah Undang-Undang mengatakan begitu terkait putusan Mahkamah

Konstitusi yang bersifat final dan mengikat yang tidak dapat dilakukan

upaya hukum setelahnya yang tidak ada jaminan sembilan orang hakim

konstitusi terlepas dari kekeliruan dalam memeriksa, mengadili dan

memutus suatu perkara yang mereka tangani.

Selanjutnya hasil wawancara yang diutarakan oleh informan MFI

dikatakan oleh Konstitusi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat

final dan tidak bisa diupayakan hukum lagi, jadi final dan mengikat lebih

lanjut beliau mengatakan kita bisa melihat bahwa putusan MK itu kan

sembilan hakim semuanya tetapi karena MK tidak mengadili pendapat

maka kita bisa melihat bahwa mungkin orang mengatakan itu keliru, itu

pertama dalam konstitusi tapi kami anggap itu tidak bertentangan terkait

putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat yang

tidak dapat dilakukan upaya hukum setelahnya yang tidak ada jaminan

sembilan orang hakim konstitusi terlepas dari kekeliruan dalam

memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang mereka tangani.

Dari hasil wawancara kedua informan di

atas, peneliti menemukan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi

dikatakan bersifat final dan mengikat karena kedudukan Mahkamah

Konstitusi sebagai peradilan pertama dan terakhir disamping itu,

Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan orang hakim konstitusi yang

Page 78: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

kesemuanya adalah satu kesatuan dalam menangani setiap perkara yang

berdampak luas bagi kelangsungan penegakan hukum dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.

2. Hambatan yang Dihadapi Terkait Implementasi Putusan Mahkamah

Konstitusi di Lapangan.

Berikut keterangan dari MFI sebagai salah satu mantan hakim

konstitusi menyatakan bahwa:

“Sebetulnya hambatan tidak ada yah ,tapi diawal memang karena orang

tidak tahu, orang belum tahu apa Mahkamah Konstitusi itu, apa saja yang boleh diuji disana maka orang tidak tahu karena orang juga tahunya kalau seperti ke Mahkamah Agung jadi ada kasus konkret kemudian dia mengajukan ke Mahkamah Konstitusi sedangkan orang kan tidak semua orang itu bisa melihat undang-undang yang berlaku iya kan. Jadi kalau mereka tidak tahu undang undang yang berlaku yah bagaimana dia akan mengajukan pengujian. Berbeda dengan kasus-kasus konkret, kasus konkret kan orang membunuh yah jelas orang mengetahui itu kejahatan tapi kalau untuk Mahkamah Konstitusi memang tidak jadi dan juga melihat suatu undang undang bertentangan dengan undang undang dasar itu juga sangat sulit kadang-kadang iya kan karena pembentuk undang-undang pasti juga sudah merumuskan bagaimana sehingga rumusan-rumusan dalam Pasal-Pasal itu tidak bertentangan dengan konstitusi tapi orang bisa melihat bahwa dengan rumusan seperti ini, ini melanggar Pasal-Pasal dalam undang-undang dasar maka itu kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi”

Menurut beliau sebetulnya tidak ada hambatan yang dihadapi

Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya hanya

saja terkadang orang belum tahu Mahkamah Konstitusi itu seperti apa,

apa-apa saja yang boleh diuji disana. Orang selama ini tahunya kalau ada

Page 79: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

kasus konkret itu dibawa ke Mahkamah Agung sedangkan tidak semua

orang bisa melihat undang-undang yang berlaku, jadi bagaimana mereka

akan mengajukan pengujian kalau mereka tidak tahu undang-undang yang

berlaku. Lebih lanjut beliau menerangkan berbeda dengan

kasus-kasus konkret, dalam kasus konkret orang membunuh yah jelas

orang mengetahui itu kejahatan tapi kalau di Mahkamah Konstitusi tidak

mengadili kasus seperti itu dan juga untuk melihat suatu undang-undang

bertentangan dengan undang-undang itu juga terkadang sulit karena

pembentuk undang-undang pasti sudah merumuskan bagaimana sehingga

rumusan-rumusan dalam Pasal-Pasal itu tidak bertentangan dengan

Konstitusi tapi orang bisa melihat apabila ada rumusan-rumusan dalam

suatu undang-undang yang berlaku yang dianggap bertentangan dengan

Pasal-Pasal dalam undang-undang dasar maka itu dapat diajukan ke

Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan keterangan dari informan di atas, peneliti menemukan bahwa

terkadang setiap orang yang berperkara di Mahkamah Konstitusi tidak

dapat membedakan mana perkara yang dapat diajukan ke Mahkamah

Konstitusi dan mana perkara yang dapat diajukan ke Mahkamah Agung.

B. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan, pada sub

pembahasan ini akan menguraikan dua hal pokok yang menjadi fokus

dalam penelitian ini yaitu analisis hukum UU No 8 tahun 2011 Pasal 10

ayat 1 tentang putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan

Page 80: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

mengikat dan hambatan yang dihadapi Mahkamah Konstitusi dalam

menjalankan putusannya di lapangan. Kedua hal pokok tersebut diuraikan

sebagai berikut:

1. Analisis Hukum UU No 8 tahun 2011 Pasal 10 ayat 1 tentang Putusan

Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Final dan Mengikat

Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat

memang sangat diperlukan dalam menjalankan tugas pokok dan

wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan

yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus berbagai perkara

ketatanegaraan pada tingkat pertama dan terakhir sepanjang masih dalam

ranah kewenangannya.

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu institusi peradilan, sudah

barang tentu meletakkan putusan sebagai mahkotanya. Putusan Mahkamah

Konstitusi mutlak bersifat final dan mengikat karena Mahkamah

Konstitusi dalam menjatuhkan setiap putusan menjadikan Konstitusi

sebagai batu ujinya atau dasar pengujiannya dalam artian tidak ada lagi

upaya hukum yang dapat ditempuh setelahnya mengingat kedudukan

putusan Mahkamah Konstitusi dilekatkan pada hakikat kedudukan

Konstitusi sebagai hukum tertinggi sehingga tidak ada hukum lain yang

kedudukannya lebih tinggi dari pada itu. Di samping itu,

jelaslah bahwa putusan MK dikatakan harus dan sudah selayaknya bersifat

final dan mengikat karena posisi MK sendiri telah diatur dalam Konstitusi

Page 81: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

dan Undang-Undang sebagai pengadilan pertama dan terakhir dimana jika

merujuk pada ketentuan tersebut maka sudah selayaknya pula putusan

yang dikeluarkan MK itu tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun

pasca pengucapannya.

Maka dapat dipahami bahwa penafsiran terhadap setiap perkara yang

diadili Mahkamah Konstitusi hanya dilakukan satu kali karena apabila

tafsir dilakukan berkali-kali dikhawatirkan dapat menimbulkan

ketidakpastian hukum yang tentunya akan berdampak negatif dalam proses

penegakan hukum di Indonesia, maka dari itu sudah selayaknya pula

putusan yang dijatuhkan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan

berlaku secara mengikat.

Terkait pendapat informan MFI yang menyebut MK

terdiri dari sembilan orang hakim dalam menangani setiap perkara, jadi

dianggap tidak bertentangan, maka dapat dipahami bahwa apa yang

dikatakan informan ada benarnya juga mengingat MK terdiri atas sembilan

orang hakim Konstitusi yang kesemuanya merupakan satu kesatuan dalam

memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.

Jadi dengan melihat komposisi hakim

Konstitusi sebanyak itu kecil kemungkinan kekeliruan dilakukan para

hakim Konstitusi dalam menjatuhkan putusan, berbeda halnya dengan

jumlah hakim di peradilan umum, pada tingkat peradilan umum yang

biasanya hanya terdiri atas satu hakim, tiga hakim, dan paling banyak lima

hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara itupun setelah

Page 82: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

putusan dijatuhkan di tingkat peradilan pertama masih dimungkinkan

melakukan upaya hukum setelahnya baik upaya hukum tingkat banding,

tingkat kasasi, atau bahkan sampai pada upaya hukum Peninjaun Kembali

(PK) apabila dianggap putusan hakim tersebut keliru. Jika

dibandingkan dengan jumlah hakim Konstitusi bisa kita lihat bahwa jelas

tidak sebanding dengan jumlah hakim di tingkat peradilan umum. Maka

dapat dikatakan bahwa putusan yang dijatuhkan MK harus bersifat final

dan mengikat karena mengingat posisi MK sebagai peradilan tingkat

pertama dan terakhir dalam artian MK tidak membawahi atau menaungi

peradilan sebelum perkara itu diadili MK, berbeda halnya dengan MA,

diamana sebelum perkara diadili MA terlebih dahulu perkara itu harus

diadli dan diselesaikan di tingkat peradilan yang dibawahi MA.

Tidak ada perdebatan secara detail

mengenai sifat putusan Mahkamah Konstitusi dalam proses perumusan

amendemen ketiga UUD 1945. Dapat dikatakan bahwa seluruh pihak yang

terlibat, sejak awal hingga akhir pembahasan telah menyepakati ketentuan

tersebut. Karenanya, rumusan akhir yang disepakati yaitu bahwa putusan

Mahkamah Konstitusi merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir

yang bersifat final. Amanat UUD 1945

tersebut kemudian diderivasi ke dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 10 ayat (1) menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final”

Page 83: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Dijelaskan makna final pada undang-undang ini, yaitu putusan

Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak

diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Ketentuan

lebih lanjut untuk memperjelas mengenai kekuatan hukum putusan

Mahkamah Konstitusi dapat dilihat pada Pasal 47 yang menyatakan:

“Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak

selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum” Ketentuan mengenai sifat putusan Mahkamah Konstitusi sebagai

bentuk derivasi dari UUD 1945 juga dapat ditemui pada Pasal 29 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

(UU Nomor 48 Tahun 2009), yang menyatakan bahwa:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final” Merujuk pada landasan yuridis di atas, peneliti tidak menemukan

kata mengikat sebagai sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang

seharusnya dipadukan dengan sifat final. Baik menurut UUD 1945, UU

Nomor 24 Tahun 2003, maupun UU Nomor 48 Tahun 2009, hanya

menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final.

Pada perkembangannya, kata mengikat kemudian muncul pada

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang

merubah penjelasan Pasal 10 ayat (1) sehingga berbunyi “Putusan

Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi

Page 84: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak

ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan

Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan

hukum mengikat (final and binding)”.

Berangkat dari beberapa penjelasan

di atas, peneliti berpendapat bahwa klausul mengikat memang penting

untuk disebutkan secara eksplisit, termasuk di dalam UUD 1945 sebagai

hukum tertinggi, dengan beberapa alasan. Pertama, putusan Mahkamah

Konstitusi menduduki peranan yang sangat signifikan. Bagaimanapun

upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga

kemurnian konstitusi guna melindungi hak konstitusional warga negara,

dengan cara menafsirkannya, jika tidak diikuti kekuatan mengikat tentu

hanya akan menjadi macan kertas dengan kekuatan simbolik yang hanya

menghiasi berita negara.

Menegaskan di dalam konstitusi bahwa putusan Mahkamah

Konstitusi juga mengikat, di samping bersifat final, akan menjadikan sifat

putusan tersebut lebih kokoh. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa

konstitusi merupakan produk hukum yang tidak dapat diubah atau diganti

dengan mudah. Kedua, tanpa menafikan bahwa makna final juga sudah

mengandung arti mengikat secara implisit, namun demi kepastian hukum,

kata mengikat juga penting untuk dicantumkan. Mengutip yang dikatakan

oleh Satjipto Rahardjo bahwa kepastian hukum tidak turun dari langit.

Kepastian hukum tidak jatuh bersamaan lahirnya undang-undang beserta

Page 85: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Pasal-Pasal dan prosedurnya. Kepastian hukum membutuhkan pengerahan

tenaga dan kekuatan.

Ketentuan sifat final dan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi

ini juga diperkuat dengan adanya Putusan Nomor 129/PUU-VII/2009 dan

Putusan Nomor 36/PUU-IX/2011. Putusan Nomor 129/PUU-VII/2009

menguji Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004. Putusan tersebut

menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan para

pemohon tidak dapat diterima. Demikian pula pada Putusan Nomor

36/PUU-IX/2011 yang juga menguji Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi karena

dinilai bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Salah satu dalil

pemohon, bahwa dengan adanya ketentuan Pasal tersebut maka pemohon

tidak dapat mengajukan upaya hukum dalam bentuk apapun terhadap

putusan Mahkamah Konstitusi. Pada akhirnya, amar putusan Mahkamah

Konstitusi juga menyatakan bahwa permohonan pemohon tidak dapat

diterima.

Adanya putusan MK tersebut semakin menguatkan ketentuan final

dan mengikat putusannya. Berkaitan dengan ini, Maruarar Siahaan

berpendapat bahwa penyempurnaan hukum acara MK, termasuk dalam hal

ini adalah putusan sebagai muara akhir dari proses beracara, adalah

melalui peraturan MK maupun dengan yurisprudensi konstitusi. Hal ini

juga mendasari dengan praktek di negara-negara lain seperti Korea.

Pembuat undang-undang di Korea bahkan sangat menyadari kekurangan

Page 86: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

hukum acara yang diatur di dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi

Korea tersebut. Oleh karena itu, adanya putusan MK sebagaimana

dijelaskan di atas yang memutuskan persoalan sifat final dan mengikat

putusannya, telah menunjukkan secara tegas, bahwa produk hukum yang

dikeluarkan oleh MK jelas tidak dapat ditawar kembali sifat final dan

mengikatnya.

Beberapa penjelasan di atas menunjukkan bahwa sejak awal

wacana dibentuknya MK di Indonesia hingga saat ini, sifat putusan dari

institusi ini adalah final dan mengikat. Putusan final berarti bahwa putusan

MK merupakan upaya yang pertama (the first resort) sekaligus upaya

terakhir (the last resort) bagi para pencari keadilan. Ukuran untuk

menentukan apakah putusan peradilan bersifat final atau tidak, dapat

dilihat dari ada atau tidaknya badan atau institusi yang berwenang secara

hukum untuk melakukan peninjauan ulang (review) terhadap putusan

pengadilan tersebut, serta ada atau tidaknya prosedur atau mekanisme

dalam hukum acara tentang siapa dan bagaimana cara peninjauan ulang

tersebut dilakukan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa putusan

Mahkamah Konstitusi dikatakan bersifat final dan mengikat karena

kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan pertama dan terakhir

dan menjadikan Konstitusi sebagai batu ujinya atau dasar pengujiannya

dalam setiap putusannya sehingga tidak ada lagi upaya hukum lanjutan

yang dapat ditempuh semua pihak setelahnya, kemudian tafsir terhadap

Page 87: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

setiap perkara yang diadili di Mahkamah Konstitusi hanya boleh dilakukan

sekali karena apabila tafsir dilakukan berkali-kali dikhawatirkan dapat

menimbulkan ketidakpastian hukum yang tentunya akan berdampak

negatif dalam proses penegakan hukum di Indonesia.

Sehingga sudah sepantasnya putusan

Mahkamah Konstitusi bersifat final dan berlaku secara mengikat.

Disamping itu, Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan orang hakim

Konstitusi yang kesemuanya adalah satu kesatuan dalam menangani setiap

perkara sehingga kecil kemungkinan terjadi kekeliruan yang hakim

Konstitusi lakukan dalam menjatuhkan putusan jika ditinjau dari segi

jumlahnya dibandingkan dengan jumlah hakim yang ada pada peradilan

umum kalaupun ada hakim Konstitusi yang berbeda pendapat (dissenting

opinion) dari hakim lainnya itupun bisa dihitung dan tidak terlalu

berpengaruh besar dalam proses perumusan putusan.

2. Hambatan yang Dihadapi Terkait Implementasi Putusan Mahkamah

Konstitusi di Lapangan

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga tinggi negara

yang berada dalam naungan kekuasaan yudikatif dalam implementasi

putusannya di lapangan tentu tidak terlepas dari hambatan atau kendala

yang dihadapi, berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk

menelusuri lebih mendalam persoalan tersebut.

Berdasarkan pendapat informan MFI sebagai

salah satu mantan hakim Konstitusi, peneliti dapat memahami bahwa

Page 88: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

terkadang setiap orang tidak dapat membedakan mana perkara yang dapat

diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan mana perkara yang dapat diajukan

ke Mahkamah Agung, hal ini mengakibatkan terjadinya penumpukan

perkara di Mahkamah Konstitusi yang berakibat pada semakin padatnya

jadwal persidangan di Mahkamah Konstitusi karena harus menerima dan

menangani setiap perkara yang diajukan meskipun terkadang setiap

perkara yang diajukan bukan ranah kewenagannya, sehingga tidak jarang

setiap perkara yang diadili Mahkamah Konstitusi hanya sampai di tahap

sidang panel saja (tahapan sidang pendahuluan pemeriksaan perkara).

Di samping itu, Berdasarkan hasil kajian dan analisis yang

dilakukan peneliti terhadap eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi di

lapangan, terkadang putusan Mahkamah Konstitusi tidak sepenuhnya

dilaksanakan oleh lembaga negara yang terkena adressat putusan baik

lembaga negara legislatif (DPR/DPD), eksekutif (Pemerintah) dan

yudikatif (MA). Putusan MK yang

tidak dilaksanakan oleh MA misalnya adalah Putusan Nomor 34/PUU-

XI/2013 yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Akibat hukum

dari putusan tersebut yaitu bahwa Peninjauan Kembali (PK) dapat

diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya lebih dari sekali selama masih

memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 268 ayat (2)

KUHAP. Putusan MK ini kemudian dianulir oleh MA melalui Surat

Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 07 Tahun 2014 tentang

Page 89: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana.

Substansi dari SEMA tersebut adalah untuk menegaskan bahwa PK hanya

dapat dilakukan 1 (satu) kali.

Putusan MK yang tidak dilaksanakan oleh cabang

kekuasaan eksekutif secara konsekuen yaitu Putusan Nomor 5/PUU-

X/2012 tentang pengujian Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Persoalan implementasi

putusan MK pada konteks ini yaitu pemerintah melalui Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan masih menempuh kebijakan masa transisi

untuk menghapus kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan/atau

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Padahal hakikatnya,

Putusan MK tidak mengenal masa transisi untuk dilaksanakan, namun

mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan, yang artinya sejak

saat itu pula harus dipatuhi dan diimplementasikan.

Putusan yang tidak dilaksanakan oleh cabang kekuasaan legislatif

misalnya adalah Putusan Nomor 011/PUU-III/2005 yang menyatakan

bahwa penjelasan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan

Nasional (UU Sisdiknas) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pada putusan tersebut MK berpendapat bahwa pada hakikatnya

pelaksanaan konstitusi tidak boleh ditunda-tunda, termasuk ketentuan

anggaran minimal 20 persen dari APBN untuk pendidikan telah

dinyatakan secara expres verbis, sehingga tidak boleh direduksi oleh

peraturan perundang-undangan di bawahnya. Namun, pada undang-undang

Page 90: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

yang lain yaitu Undang-Undang tentang APBN Tahun 2005 panitia

anggaran DPR hanya mengalokasikan anggaran sebesar 36 Triliun atau

setara dengan 8,1 persen dari total anggaran yang ada.

Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa putusan MK mempunyai

ketegasan hanya pada tataran normatif saja. Putusan MK hanya tampak

populis serta progresif di permukaan, namun justru tidak jarang

putusannya “gagal” melimpahkan keadilan dan kepastian hukum karena

berhenti pada putusan normatif yang tidak sepenuhnya diimplementasikan

secara konsekuen oleh lembaga yang terkena adressat putusan. Hal ini

terutama berkaitan erat dengan putusan yang berada dalam ranah judicial

review atau pengujian undang-undang. Sebaliknya, implementasi putusan

MK sangat tergantung pada cabang kekuasaan lain baik legislatif,

eksekutif maupun cabang kekuasaan kehakiman berupa MA.

Keadaan tersebut tentu telah sangat

jelas menunjukkan bahwa keberadaan MK hingga saat ini belum

mempunyai daya tawar yang kuat sebagai satu-satunya lembaga tinggi

negara yang mempunyai otoritas mengawal sekaligus menafsirkan

konstitusi. Terlebih keberadaan MK memang tidak mempunyai ranah dan

wewenang untuk ikut andil dalam proses implementasi putusannya sendiri.

Tidak salah apabila dikatakan bahwa MK merupakan cabang kekuasaan

dalam struktur ketatanegaraan yang paling lemah di antara cabang-cabang

kekuasaan negara lainnya (the least dangerous power, with no purse nor

sword). Apabila

Page 91: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

keadaan tersebut terus dibiarkan, perkembangan dan kedudukan MK

dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia hanya akan menjadi formalitas

belaka, di samping juga tingkat kepercayaan publik terhadap MK akan

menurun. Pada gilirannya, MK kehilangan marwah sebagai lembaga

penafsir dan pengawal konstitusi sebagaimana original intent dibentuknya

MK. Konsekuensi logis dari hal tersebut, MK akan ditinggalkan oleh para

pencari keadilan.

Pada aspek kepastian hukum, persoalan sebagaimana dijelaskan di atas

tentu menjadi permasalahan yang sangat fundamental. MK sebagai

pengawal konstitusi dan bentuk dari pelembagaan menuju supremasi

konstitusi tentu akan jauh dari cita-citanya. Dapat dikatakan bahwa

diimplementasikannya putusan MK secara konsekuen merupakan indikator

utama tegaknya supremasi konstitusi. Pada ruang lingkup yang lebih luas,

hal tersebut merupakan cerminan atas tegaknya negara hukum. Putusan

MK hanya menjadi macan kertas, tidak implementatif dan dapat

mencederai pemahkotaan supremasi hukum.

Page 92: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan meneganai kedudukan

dan wewenang Mahkamah Konstitusi dalam sistem hukum ketatanegaraan

Indonesia. Maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa:

1. Putusan Mahkamah Konstitusi mutlak bersifat final dan mengikat

karena Mahkamah Konstitusi dalam menjatuhkan setiap putusan

menjadikan Konstitusi sebagai batu ujinya atau dasar pengujiannya

dalam artian tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh

setelahnya mengingat kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi

dilekatkan pada hakikat kedudukan Konstitusi sebagai hukum

tertinggi sehingga tidak ada hukum lain yang kedudukannya lebih

tinggi dari pada itu.

Di samping itu, jelaslah bahwa putusan MK

dikatakan harus dan sudah selayaknya bersifat final dan mengikat

karena posisi MK sendiri telah diatur dalam Konstitusi dan

Undang-Undang sebagai pengadilan pertama dan terakhir dimana

jika merujuk pada ketentuan tersebut maka sudah selayaknya pula

79

Page 93: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

putusan yang dikeluarkan MK itu tidak dapat dilakukan upaya

hukum apapun pasca pengucapannya. Maka

dapat dipahami bahwa penafsiran terhadap setiap perkara yang

diadili Mahkamah Konstitusi hanya dilakukan satu kali karena

apabila tafsir dilakukan berkali-kali dikhawatirkan dapat

menimbulkan ketidakpastian hukum yang tentunya akan

berdampak negatif dalam proses penegakan hukum di Indonesia,

maka dari itu sudah selayaknya pula putusan yang dijatuhkan

Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan berlaku secara

mengikat.

2. Hambatan yang dihadapi Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan

putusannya di lapangan adalah terkadang setiap lembaga negara

yang terkena adressat putusan tidak menjalankan sepenuhnya

putusan Mahkamah Konstitusi hal ini tentunya pasti akan

berdampak negatif pada proses penegakan supremasi hukum di

Indonesia.

Page 94: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan mengenai kedudukan dan wewenang

Mahkamah Konstitusi dalam sistem hukum ketatanegaraan Indonesia di

atas, maka peneliti mengemukakan saran sebagai berikut:

1. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat,

hendaknya lembaga negara pembentuk undang-undang dalam hal

ini Presiden dan DPR RI kembali melakukan revisi terhadap

undang-undang yang menyangkut kedudukan dan wewenang yang

dimiliki Mahkamah Konstitusi, terutama melakukan revisi terhadap

rumusan Pasal yang menyangkut sifat putusan Mahkamah

Konstitusi karena tidak ada yang bisa menjamin kesembilan hakim

konstitusi terlepas dari yang namanya kekeliruan dalam

menjatuhkan putusan.

2. Menurut penulis ada tiga persoalan yang hingga saat ini dialami

oleh Mahkamah Konstitusi antara lain: pertama sosialisasi terhadap

tugas dan fungsi pokok yang dimilki Mahkamah Konstitusi sangat

perlu dimasifkan lagi pergerakannya. Dengan demikian, melalui

sosialisasi yang diadakan pihak Mahkamah Konstitusi tersebut

Page 95: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

masyarakat dapat membedakan mana perkara yang dapat diajukan

ke Mahkamah Konstitusi dan mana perkara yang dapat diajukan ke

Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya, kedua

rekrutmen terhadap para calon hakim Konstitusi perlu diperketatat

lagi terutama dari segi moral dan akhlaknya di samping persyaratan

dari segi keilmuan dan yang ketiga perlu dibentuknya lembaga

khusus yang khusus menangani seleksi atau uji kepatutan dan

kelayakan (fiit and proper test) calon hakim konstitusi atau

kewenangan Komisi Yudisial (KY) diperluas dengan menambah

kewenangannya untuk melakukan seleksi atau uji kepatutan dan

kelayakan (fiit and proper test) calon hakim Konstitusi sehingga

anggapan-anggapan sebagian masyarakat bahwa hakim Konstitusi

terkadang di tunggangi kepentingan polilik bisa dihilangkan.

Karena memang selama ini proses seleksi calon hakim Konstitusi

dilakukan oleh lembaga negara pengusul calon hakim Konstitusi

masing-masing sehingga terkadang muncul anggapan hakim

“titipan”.

Page 96: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Asshiddiqie, Jimly, (2006), Hukum Tata Negara. Denpasar, Raja Grafindo Persada.

Ashiddiqie, Jimly, (2009), Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika.

Ashiddiqie, Jimly, (2012), Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Ashiddiqie, Jimly, (2015), Konstitusi Bernegara, Jakarta, Setara Press.

Baso Ence, Iriyanto, (2007), Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Makassar, PT. Alumni.

Fadlil Sumadi, Ahmad, (2011), Bunga Rampai Mahkamah Konstitusi dan Demokrasi, Jakarta, Konstitusi Press.

Harahap, Yahya, 2007, Kekuasaan Mdahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan kembali Perkara Perdata, Jakarta, Sinar Grafika.

Hidjaz, Kamal, (2010), Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Makassar.Pustaka Refleksi.

Indroharto, (1993), Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, Pustaka Harapan.

Mahfud MD, Moh, (2010), Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Manan, Bagir, (2000), Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Bandung, Fakultas Hukum UNPAD.

Martiah, (2013), Mahkamah Konstitusi: Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature, Cetakan Pertama, Jakarta: Konstitusi Press.

Nurmayani, (2009), Hukum Administrasi Daerah, Bandar Lampung, Universitas Lampung.

Puspa Yan Pramadya, (2008), Kamus Hukum, Semarang, Sinar Grafika.

Page 97: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Ridwan, (2013), Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Soimin, dkk, (2012), Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta, UII Pres Yogyakarta.

Soemantri, Sri (2014), Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

Siahaan, Maruarar, (2005), Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta, Konstitusi Press.

Sutiyoso, Bambang, (2006), Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetakan Pertama, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Sirajuddin, dkk, (2015), Dasar-Dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Malang, Setara Press.

Sugiyono, (2012), Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung, CV Alfabeta.

Thaib, Dahlan, (2006), Ketatanegaraan Indonesia Perspektif Konstitusional, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (2010), Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Cetakan Pertama, Sekretariat Jenderal Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, (2010), Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia: Buku VI, Kekuasaan Kehakiman, Jakarta, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

B. Jurnal

Bisariyadi.2015.”Yudisialisasi Politik dan Sikap Menahan Diri: Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Undang – Undang”Jurnal Konstitusi,Volume 12,Nomor 3,September,hal.473-502.

Laksono, Fajar, dkk, “Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

92/PUU-X/2012 Terkait Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang-Undang” Jurnal Konstitusi Volume 12, Nomor 3, September 2015.

Moh.Mahfud MD.2009.”Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi”.Jurnal Hukum.Nomor 4.Volume 16.Oktober.hal.441-462.

Mahfud MD, Moh, “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Pengembangan Hukum

dan Demokrasi di Indonesia” dalam Mariyadi Faqih, “Nilai-Nilai Filosofi

Page 98: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat”, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni 2010.

Soeroso,Fajar Laksono.2014.”Aspek Keadilan Dalam Sifat Final Putusan

Mahkamah Konstitusi”.Jurnal Konstitusi.Volume 11.Nomor 1.Maret.hal.64-84

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Bekerjasama Dengan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas.Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif), Universitas Andalas, Padang.2010.

Syahrizal, Ahmad, “Problem Implementasi Putusan MK” Jurnal Konstitusi, Volume 4, Nomor 1, Maret 2007.

Siahaan, Maruarar, “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum

Konstitusi”, Jurnal Hukum Nomor 3, Volume 16, Juli 2009.

Utomo Nurrahman Aji, 2015, ”Dinamika Hubungan Antara Pengujian Undang-Undang dengan Pembentukan Undang-Undang”.Jurnal Konstitusi.Volume 12.Nomor 4.Desember.hal.825-848.

Zubaidy Anang. Konstitusinal Bersyarat (Conditionally Constitusional) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”Tesis Pada Program Magister Ilmu Hukum.Universitas Islam Indonesia.Yogyakarta.2012.

C. Internet

Fitria Esfandiari, dkk. ”Positive Legislature Mahkamah Konstitusi di Indonesia”dalam

http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/703/690,diakses pada tanggal 13 Agustus 2019.

Anonim, “APBN 2006, Pemerintah dan DPR Abaikan Putusan MK” dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/hal3876/apnb-2006-pemerintah-

dan-dpr-abaikan-putusan-mk, diakses pada tanggal 13 Agustus 2019.

Moh. Mahfud MD.” Menabrak Rambu-Rambu Demi Keadilan Substantit”http;//www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=websi

te.BeritaInternalLengkap&id=4719,diakses pada tanggal 13 Agustus 2019.

D. Peraturan Perundang – Undangan

Pasal 24 huruf C Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 7 huruf B Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

Page 99: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

Pasal 1 Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Pasal 10 Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Pasal 47 Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Pasal 1 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi

Pasal 10 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi

Pasal 47 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi

Pasal 29 Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Page 100: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

LAMPIRAN

Page 101: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …
Page 102: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …
Page 103: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …
Page 104: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

LEMBAR WAWANCARA

1. Mengapa putusan hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan bersifat final dan

mengikat ? 2. Apa hambatan atau kendala yang dihadapai Mahkamah Konstitusi dalam

menjalankan tugas dan wewenang yang dimilikinya ?

Page 105: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

PEDOMAN OBSERVASI

Tanggal Observasi : 17-31 Juli 2019

Tempat : Kelurahan Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta

Pusat

NO ASPEK YANG DIAMATI HASIL PENGAMATAN

1.

Lokasi Observasi Kelurahan Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat

2.

Analisis Hukum UU No 8 Tahun 2011 Pasal 10 ayat 1 tentang putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat

Putusan Mahkamah Konstitusi mutlak bersifat final dan mengikat karena Mahkamah Konstitusi dalam menjatuhkan setiap putusan menjadikan Konstitusi sebagai batu ujinya atau dasar pengujiannya dalam artian tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh setelahnya mengingat kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi dilekatkan pada hakikat kedudukan Konstitusi sebagai hukum tertinggi sehingga tidak ada hukum lain yang kedudukannya lebih tinggi dari pada itu.

3.

Hambatan atau kendala yang dihadapi Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan putusannya di lapangan

Hambatan yang dihadapi Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan putusannya di lapangan adalah terkadang setiap lembaga negara yang terkena adressat putusan tidak menjalankan sepenuhnya putusan Mahkamah Konstitusi hal ini tentunya pasti akan berdampak negatif pada proses penegakan supremasi hukum di Indonesia

Page 106: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

DATA INFORMAN

1. Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA

Pekerjaan: Hakim Konstitusi

2. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH., MH

Pekerjaan: Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan Universitas

Indonesia/Mantan Hakim Konstitusi

Page 107: ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH …

RIWAYAT HIDUP

ARFANDI AHMAD PERMANA Lahir di Makassar 17

Februari 1995. Penulis adalah anak pertama dari 5 bersaudara

buah hati pasangan Mustahir dan Kasmiati Kaseng. Penulis

mengawali pendidikan di SDN 157 Cakke pada tahun 2003 dan

tamat pada tahun 2009, kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Anggeraja

pada tahun 2009 dan tamat pada tahun 2012. Kemudian pada tahun yang sama

penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Anggeraja (sekarang SMAN 1

Enrekang) dan tamat pada tahun 2015. Kemudian pada tahun 2015 penulis

melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Swasta, tepatnya di Universitas

Muhammadiyah Makassar (Unismuh Makassar), dan menjadi mahasiswa pada

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Pancasila

Dan Kewarganegaraan, pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Konstitusi HIMA

Prodi PPKn periode 2017-2018, dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Bidang

Sumber Daya Mahasiswa BEM FKIP Unismuh Makassar periode 2018-2019, dan

selesai pada tahun 2019.