Analisis Integrasi Vertikal serta Pengaruhnya terhadap Kinerja Perusahaan pada Industri Pengolahan Kakao Indonesia Milson Febriyadi dan Andi Fahmi Lubis Ekonomi Industri, Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ABSTRAK Penelitian ini menguji faktor-faktor yang mempengaruhi derajat integrasi vertikal perusahaan pada industri pengolahan kakao Indonesia serta menilai pengaruh derajat integrasi vertikal tersebut terhadap kinerja perusahaan. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis regresi Least Square untuk data panel enam puluh dua perusahaan selama tahun 2002-2006. Hasil menunjukkan bahwa integrasi vertikal didorong oleh faktor biaya-biaya transaksi, fluktuasi permintaan, dan faktor-faktor lain. Integrasi vertikal secara umum juga terbukti memberi dampak efisiensi pada struktur biaya. Kata kunci: Biaya transaksi; Efisiensi biaya; Industri pengolahan kakao Indonesia; Integrasi vertikal. ABSTRACT This study examines factors determining degree of vertical integration for firms in Indonesia cocoa manufacturing industries and estimates its impacts on firms’ performance. Using Least Square regression method for panel data from sixty two firms during 2002-2006, the empirical results of this study indicate that degree of vertical integration induced by transaction costs, demand fluctuation, and other factors. Vertical integration also generally impacts efficiency on cost structure. Keywords: Costs efficiency; Indonesia cocoa manufacturing industries; Transaction costs; Vertical Integration, 1. Pendahuluan Proses industrialisasi tidak dapat melepaskan diri dari aktivitas pertanian (Ruky, 2007). Salah satu industri yang membasiskan diri pada produk pertanian adalah kakao. Dari tahun 2000-2001 hingga tahun 2009-2010 Indonesia masih secara konsisten menempati peringkat ketiga sebagai produsen biji kakao dunia (International Cocoa Organization, 2011). Pusat Data dan Informasi Kementerian Perindustrian Republik Indonesia (2007) menilai bahwa Indonesia sebenarnya berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dimana pengembangan usaha maupun investasi baru dapat dilakukan pada usaha agribisnis hilir yang memproduksi hasil olahan biji kakao. Meskipun demikian, serapan untuk usaha agribisnis hilir yang memproduksi hasil olahan biji kakao rupanya masih rendah sebagai akibat ekspor yang dilakukan masih berupa biji kakao mentah. Analisis integrasi..., Milson Febriyadi, FE UI, 2013
13
Embed
Analisis Integrasi Vertikal serta Pengaruhnya terhadap ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Analisis Integrasi Vertikal serta Pengaruhnya terhadap Kinerja
Perusahaan pada Industri Pengolahan Kakao Indonesia Milson Febriyadi dan Andi Fahmi Lubis
Ekonomi Industri, Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
ABSTRAK
Penelitian ini menguji faktor-faktor yang mempengaruhi derajat integrasi vertikal perusahaan
pada industri pengolahan kakao Indonesia serta menilai pengaruh derajat integrasi vertikal
tersebut terhadap kinerja perusahaan. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis
regresi Least Square untuk data panel enam puluh dua perusahaan selama tahun 2002-2006.
Hasil menunjukkan bahwa integrasi vertikal didorong oleh faktor biaya-biaya transaksi,
fluktuasi permintaan, dan faktor-faktor lain. Integrasi vertikal secara umum juga terbukti
memberi dampak efisiensi pada struktur biaya.
Kata kunci:
Biaya transaksi; Efisiensi biaya; Industri pengolahan kakao Indonesia; Integrasi vertikal.
ABSTRACT
This study examines factors determining degree of vertical integration for firms in Indonesia
cocoa manufacturing industries and estimates its impacts on firms’ performance. Using Least
Square regression method for panel data from sixty two firms during 2002-2006, the
empirical results of this study indicate that degree of vertical integration induced by
transaction costs, demand fluctuation, and other factors. Vertical integration also generally
impacts efficiency on cost structure.
Keywords: Costs efficiency; Indonesia cocoa manufacturing industries; Transaction costs;
Vertical Integration,
1. Pendahuluan
Proses industrialisasi tidak dapat melepaskan diri dari aktivitas pertanian (Ruky,
2007). Salah satu industri yang membasiskan diri pada produk pertanian adalah kakao. Dari
tahun 2000-2001 hingga tahun 2009-2010 Indonesia masih secara konsisten menempati
peringkat ketiga sebagai produsen biji kakao dunia (International Cocoa Organization, 2011).
Pusat Data dan Informasi Kementerian Perindustrian Republik Indonesia (2007) menilai
bahwa Indonesia sebenarnya berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dimana
pengembangan usaha maupun investasi baru dapat dilakukan pada usaha agribisnis hilir yang
memproduksi hasil olahan biji kakao. Meskipun demikian, serapan untuk usaha agribisnis
hilir yang memproduksi hasil olahan biji kakao rupanya masih rendah sebagai akibat ekspor
yang dilakukan masih berupa biji kakao mentah.
Analisis integrasi..., Milson Febriyadi, FE UI, 2013
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2009) menerbitkan hasil studi atas kajian
industri dan perdagangan kakao di Sulawesi tahun 2001-2006 dan menyimpulkan bahwa
agroindustri kakao yang karakteristik seharusnya terintegrasi antara pertanian dengan pabrik
pengolahan pada prakteknya dilakukan secara terpisah. Akibat dari kondisi tersebut, pertanian
berkembang secara tidak efisien kerena dikembangkan melalui mekanisme tradisional. Selain
itu, pabrik pengolahan cenderung tidak berkembang secara optimal karena tidak adanya
kepastian pasokan.
Matsubayashi (2007) menilai dengan terintegrasi secara vertikal dengan perusahaan
pemasok, perusahaan akan dapat bersaing secara lebih kompetitif. Aulia (2005) memandang
bahwa sisi positif dari integrasi vertikal adalah dapat menciptakan efisiensi internal sehingga
produk perusahaan dapat lebih kompetitif dan memiliki harga yang lebih murah. Namun
demikian, Mpoyi dan Bullington (2004) berpendapat bahwa meskipun teori-teori ekonomi
telah secara luas digunakan untuk menjelaskan strategi integrasi vertikal, belum jelas apakah
strategi integrasi vertikal yang digunakan memang telah menurunkan biaya-biaya dan
membuat perusahaan menjadi lebih efisien. Lebih dari itu, D’Aveni dan Ravenscraft (1994)
juga menilai bahwa meskipun teori yang sedang atau telah berkembang memberikan kesan
bahwa strategi integrasi vertikal mungkin berasosiasi dengan keuntungan dari segi biaya,
pembuktian secara empiris yang mendukung teori tersebut masih lemah.
Studi ini tidak hanya akan berupaya mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi derajat integrasi vertikal pada industri pengolahan kakao Indonesia, yang
terbagi ke dalam dua subsektor yakni industri bubuk coklat dan industri makanan dari coklat
dan kembang gula, tetapi juga menguji secara empiris bagaimana hubungan antara derajat
integrasi vertikal tersebut terhadap kinerja sebuah perusahaan dalam lingkungan industri
pengolahan kakao Indonesia.
2. Tinjauan Teoritis
Sebuah perusahaan yang turut serta berpartisipasi di dalam lebih dari satu tahapan
produksi atau distribusi barang atau jasa dikatakan telah terintegrasi secara vertikal (Carlton
dan Perloff, 2005). Sementara itu, Davies et al. (1995) melihat esensi dari integrasi vertikal
sebagai pilihan keputusan yang dibuat oleh perusahaan untuk mengorganisasikan transaksi
secara internal (dalam lingkup perusahaan) atau secara eksternal (mekanisme pasar).
Perusahaan akan terintegrasi secara vertikal hanya jika manfaat-manfaat yang diterimanya
mampu melebihi biaya-biaya tersebut (Carlton dan Perloff, 2005).
Analisis integrasi..., Milson Febriyadi, FE UI, 2013
Tiga biaya mungkin ditanggung dari integrasi vertikal. Pertama, biaya penyediaan
faktor produksi. Kedua, kesulitan dan biaya pengelolaan perusahaan tersebut.. Ketiga,
perusahaan mungkin akan menghadapi biaya hukum (legal fee) saat menyusun kesepakatan
merger dengan perusahaan lain (Carlton dan Perloff, 2005). Sementara itu, enam keuntungan
dalam integrasi vertikal adalah menurunkan biaya-biaya transaksi, menjamin pasokan,
memperbaiki kegagalan pasar, menghindari kebijakan pemerintah, memperoleh kekuatan
pasar, serta menghindari kekuatan pasar.
Kesulitan dalam mengukur tingkat integrasi vertikal sudah diketahui dengan baik
(Caves dan Bradburd, 1988 p.265; Hay dan Morris, 1991, p.345 dalam Bhuyan, 2005).
Harrigan (1984) dalam Mpoyi dan Bullington (2004) menilai bahwa satu alasan mengapa
terdapatnya ketiadaan ukuran integrasi vertikal yang dapat diterima secara umum adalah
karena integrasi vertikal merupakan konsep yang multidimensi sehingga Martin (1986) dalam
Mpoyi dan Bullington (2004) menilai bahwa tidak ada satu metode pengukuran tunggal yang
dapat merangkum konsep tersebut tanpa kehilangan informasi yang signifikan.
Davies dan Morris (1995) menganggap bahwa pendekatan untuk mengukur integrasi
vertikal yang paling luas digunakan adalah dengan rasio nilai tambah terhadap penjualan
(VAS) yang pertama kali dicetuskan oleh Adelman (1955).
Analisis mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat integrasi vertikal
telah dimulai Stigler pada tahun 1951 (Aulia, 2005). Dalam penelitian tersebut, terungkap
bahwa tingkat integrasi vertikal dipengaruhi oleh rasio konsentrasi, pertumbuhan permintaan
dan ukuran rata-rata perusahaan Sementara itu, Aulia (2005) menguji hipotesis Stigler dan
terungkap bahwa konsentrasi industri dan pertumbuhan permintaan telah sesuai dengan
hipotesis Stigler sedangkan ukuran rata-rata perusahaan berhubungan negatif dengan tingkat
integrasi vertikal. Bhuyan (2005) mengungkapkan variabel-variabel seperti fluktuasi
permintaan dan ukuran rata-rata perusahaan yang diukur berdasarkan rata-rata penjualan
sebuah perusahaan dapat menjelaskan evaluasi empiris atas faktor-faktor yang dapat
menentukan integrasi vertikal di dalam industri pengolahan makanan Amerika Serikat,
sedangkan variabel konsentrasi pasar rupanya tidak dapat menjelaskan hubungan tingkat
integrasi vertikal dengan jelas.
Hubungan antara integrasi vertikal dengan struktur biaya dan kinerja perusahaan diuji
D’aveni dan Ravenscraft (1994). Hasil pengujian mengungkapkan bahwa integrasi vertikal
menghasilkan penghematan pada pengeluaran umum dan administratif, pengeluaran lain-lain,
iklan, dan research & development (R&D) tapi telah meningkatkan biaya-biaya produksi
sehingga hanya bermanfaat secara marginal pada profitabilitas. Skinner (1974) dalam Mpoyi
Analisis integrasi..., Milson Febriyadi, FE UI, 2013
dan Bullington (2004) menilai bahwa tingkat integrasi vertikal yang menurun memang dapat
menurunkan biaya-biaya produksi karena semakin sedikitnya jumlah modal fisik yang
dikombinasikan dalam satu organisasi yang menjadikan biaya produksi akan menurun karena
perusahaan akan menghadapi lebih sedikit tugas-tugas selama proses pengolahan dan
kebijakan pengolahan yang tidak konsisten.
Fetz dan Filippini (2010) juga mengungkapkan bahwa integrasi vertikal yang terjadi
antara produksi dan distribusi listrik pada perusahaan listrik di Swiss menghasilkan
penghematan karena dapat menurunkan biaya-biaya transaksi, meningkatkan koordinasi yang
lebih baik dalam hal investasi yang saling bergantung dan spesifik, serta menurunkan risiko
keuangan.
3. Metode Penelitian
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber
dari Statistik Industri Besar dan Sedang Badan Pusat Statistik RI. Namun demikian, terdapat
data kualitatif yang bersumber dari Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO), Kementerian
Perindustrian RI, dan Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Data dalam penelitian ini
merupakan data panel dari perusahaan-perusahaan yang berada pada subsektor ISIC 31191
dan 31192 yang secara konsisten dapat bertahan dalam beroperasi selama lima tahun
pengamatan (2002-2006). Metode pengolahan data adalah dengan analisis regresi Least
Square.
Penelitian ini mereplikasi penelitian Bhuyan (2005) dengan mempertimbangkan
berbagai penelitian yang telah dibangun sebelumnya terkait topik integrasi vertikal di
Indonesia. Model penelitian untuk menguji faktor-faktor yang menjelaskan derajat integrasi
vertikal pada industri pengolahan kakao Indonesia adalah sebagai berikut.