1 PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha yang baru berdiri (start up) atau pada tahap awal operasinya (early stage) umumnya masih berada dalam skala usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Merupakan suatu fenomena yang telah diketahui secara luas bahwa UMKM memiliki kendala dalam mengakses sumber pendanaan/keuangan (Mason dan Kwok 2010; Hughes 2009; Bruns dan Fletcher 2008; North, Baldock, dan Ekanem 2010; Guijarro, Garcia, dan Van-Auken 2009; Mason dan Harrison 2004). Menurut Oakey (2007), ada dua momen/fase penting dalam siklus hidup suatu usaha saat sumber dana/keuangan sangat diperlukan. Kebutuhan modal/dana paling signifikan tersebut terjadi pada fase start up dan fase ekspansi. Sumber pendanaan bagi suatu usaha dapat berasal dari internal maupun eksternal. Dari internal, sumber dana dapat berasal dari sumber daya keuangan mereka sendiri, yakni modal setor dari pendiri/pemilik usaha serta dari hasil usaha/laba ditahan. Jika perusahaan telah beroperasi selama beberapa waktu dan berhasil menciptakan keuntungan, maka laba yang dihasilkan tersebut dapat digunakan untuk mendukung ekspansi usaha. Dari eksternal, dana bisa diperoleh paling tidak dari 3 (tiga) sumber, yakni perbankan, modal ventura, dan pemerintah. Bank komersial merupakan sumber utama pembiayaan, karena dapat memenuhi hingga delapan puluh persen (80%) dari kebutuhan yang bersumber dari eksternal (Bruns dan Fletcher 2008). Namun demikian, dengan segala karakteristiknya, memperoleh pembiayaan eksternal dari bank tidak mudah bagi UMKM dan start up. Selain sulit mentoleransi risiko yang melekat, bank juga tidak dapat membiayai inovasi/usaha yang masih baru, usaha yang ingin memperluas produk mereka, membangun fasilitas baru, atau upaya pengembangan pasar di luar wilayah usaha mereka (Bruns dan Fletcher 2008). Selain itu, bank juga meminta jaminan yang harus melebihi nilai pinjaman awal dengan dua sampai tiga kali. Bagi UMKM, jika mereka menghadapi masalah keuangan atau operasional, bank justru akan menghentikan bantuan (Avnimelech dan Teubal 2008). Pada saat baru berdiri (seed) atau tahap awal operasinya (early stage), suatu usaha umumnya dibiayai dengan dana sendiri, dari keluarga ataupun teman, yang disebut Friends, Family and Fools (FFF). Di negara maju, bagi usaha baru tertentu terkadang ikut dibantu pembiayaannya oleh pihak luar yang disebut Angel Investors. Pada tahap-tahap tersebut, suatu usaha memiliki tingkat risiko dan mortalitas yang sangat tinggi, sehingga untuk tahap seed sering disebut sebagai “Valley of Death” (Cumming dan Johan 2009). Pada tahap tersebut, suatu usaha tidak mungkin dapat dibiayai oleh dana perbankan. Menurut Bennett dan Cuevas (1996); Dusuki (2008), merupakan suatu tantangan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan dan rendahnya perekonomian masyarakat dimana lembaga perbankan yang diharapkan membantu pada dasarnya tidak didisain untuk masyarakat level bawah. Produk dan jasa dari lembaga keuangan tersebut sulit mendukung perkembangan UMKM dan usaha baru, meningkatkan pendapatan mereka, ataupun memperbaiki kehidupan ekonomi mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
15
Embed
Analisis industri dan struktural modal perusahaan modal ...repository.sb.ipb.ac.id/3567/5/8DM-05-Buchari-Pendahuluan.pdf · 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha yang baru berdiri
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha yang baru berdiri (start up) atau pada tahap awal operasinya (early
stage) umumnya masih berada dalam skala usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM). Merupakan suatu fenomena yang telah diketahui secara luas bahwa
UMKM memiliki kendala dalam mengakses sumber pendanaan/keuangan (Mason
dan Kwok 2010; Hughes 2009; Bruns dan Fletcher 2008; North, Baldock, dan
Ekanem 2010; Guijarro, Garcia, dan Van-Auken 2009; Mason dan Harrison
2004). Menurut Oakey (2007), ada dua momen/fase penting dalam siklus hidup
suatu usaha saat sumber dana/keuangan sangat diperlukan. Kebutuhan modal/dana
paling signifikan tersebut terjadi pada fase start up dan fase ekspansi.
Sumber pendanaan bagi suatu usaha dapat berasal dari internal maupun
eksternal. Dari internal, sumber dana dapat berasal dari sumber daya keuangan
mereka sendiri, yakni modal setor dari pendiri/pemilik usaha serta dari hasil
usaha/laba ditahan. Jika perusahaan telah beroperasi selama beberapa waktu dan
berhasil menciptakan keuntungan, maka laba yang dihasilkan tersebut dapat
digunakan untuk mendukung ekspansi usaha. Dari eksternal, dana bisa diperoleh
paling tidak dari 3 (tiga) sumber, yakni perbankan, modal ventura, dan
pemerintah. Bank komersial merupakan sumber utama pembiayaan, karena dapat
memenuhi hingga delapan puluh persen (80%) dari kebutuhan yang bersumber
dari eksternal (Bruns dan Fletcher 2008).
Namun demikian, dengan segala karakteristiknya, memperoleh pembiayaan
eksternal dari bank tidak mudah bagi UMKM dan start up. Selain sulit
mentoleransi risiko yang melekat, bank juga tidak dapat membiayai inovasi/usaha
yang masih baru, usaha yang ingin memperluas produk mereka, membangun
fasilitas baru, atau upaya pengembangan pasar di luar wilayah usaha mereka
(Bruns dan Fletcher 2008). Selain itu, bank juga meminta jaminan yang harus
melebihi nilai pinjaman awal dengan dua sampai tiga kali. Bagi UMKM, jika
mereka menghadapi masalah keuangan atau operasional, bank justru akan
menghentikan bantuan (Avnimelech dan Teubal 2008).
Pada saat baru berdiri (seed) atau tahap awal operasinya (early stage), suatu
usaha umumnya dibiayai dengan dana sendiri, dari keluarga ataupun teman, yang
disebut Friends, Family and Fools (FFF). Di negara maju, bagi usaha baru
tertentu terkadang ikut dibantu pembiayaannya oleh pihak luar yang disebut Angel
Investors. Pada tahap-tahap tersebut, suatu usaha memiliki tingkat risiko dan
mortalitas yang sangat tinggi, sehingga untuk tahap seed sering disebut sebagai
“Valley of Death” (Cumming dan Johan 2009). Pada tahap tersebut, suatu usaha
tidak mungkin dapat dibiayai oleh dana perbankan.
Menurut Bennett dan Cuevas (1996); Dusuki (2008), merupakan suatu
tantangan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan dan rendahnya
perekonomian masyarakat dimana lembaga perbankan yang diharapkan
membantu pada dasarnya tidak didisain untuk masyarakat level bawah. Produk
dan jasa dari lembaga keuangan tersebut sulit mendukung perkembangan UMKM
dan usaha baru, meningkatkan pendapatan mereka, ataupun memperbaiki
kehidupan ekonomi mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
2
mengandalkan sumber pembiayaan dari bank saja tidak akan cukup untuk
membiayai dan mendukung pertumbuhan usaha pemula (start up) dan UMKM.
Sulitnya UMKM dalam mengakses sumber permodalan/pembiayaan dari
perbankan juga terjadi di Indonesia. Menurut data Kementerian Negara Koperasi
dan UKM (KUKM) (2014), koperasi dan UMKM jumlahnya mencapai lebih dari
99% pelaku ekonomi di Indonesia, sehingga posisinya sangat vital dan nyata
dalam mempercepat dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Jumlah
UMKM sekitar 53 juta unit/pelaku usaha dan berkontribusi terhadap penyerapan
tenaga kerja lebih dari 97% atau sekitar 107 juta orang. Hal ini di satu sisi
merupakan aset nasional bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi, namun di sisi
lain masalah permodalan merupakan masalah klasik bagi koperasi dan UMKM,
dimana dari jumlah unit/pelaku usaha tersebut hanya kurang lebih 18% yang
masuk kategori bankable (lihat Gambar 1).
Sumber: Kementerian Negara KUKM (2014) - diolah
Gambar 1 UMKM di Indonesia dan bankabilitas
Data lain menunjukkan bahwa di daerah tertentu, baru 68% UMKM yang
tersentuh pembiayaan perbankan, sedangkan sisanya terabaikan karena dianggap
tidak bankable sehingga harus mencari sumber lainnya. Akibatnya, berkali-kali
muncul wacana dan desakan dari berbagai pihak terutama pelaku usaha seperti
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) tentang perlunya pendirian bank atau
lembaga keuangan non-bank khusus bagi UMKM (Kompas 2015;
medanbisnisdaily.com 2015; okezone.com 2008; kompas.com 2008). Dengan
berbagai desakan tersebut, berarti masih terdapat gap yang cukup besar antara
potensi dan jumlah UMKM/usaha pemula di Indonesia di satu sisi, dengan
ketersediaan pembiayaan dan dukungan lembaga keuangan di sisi lainnya.
Menurut data OJK (2014), penyebaran pembiayaan UMKM di Indonesia
masih terpusat di pulau Jawa yakni 57.2%, di Sumatera 21%, sedangkan di
Indonesia bagian timur dan tengah (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali,
Maluku, dan Papua) secara total hanya sebesar 22.1%. Dengan porsi jumlah
3
UMKM di atas 99% dari total unit usaha di Indonesia dan mampu menyerap lebih
dari 97% tenaga kerja, maka diperlukan lembaga keuangan yang mampu berperan
dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan bagi UMKM tersebut. Penyebaran
UMKM berdasarkan wilayah di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber: OJK (2014)
Gambar 2 Penyebaran UMKM di Indonesia
Dengan karakteristik usaha dan berbagai kelemahan yang dimiliki, sulitnya
UMKM dalam mengakses sumber pembiayaan adalah menyangkut masalah
keterjangkauan, khususnya dengan perbankan. Kementerian Negara Koperasi dan
UKM (KUKM) (2014) menyebutkan bahwa 99.9% dari total pelaku usaha di
Indonesia adalah usaha mikro dan kecil (UMK), dimana mereka hanya mampu
mengakses pembiayaan dari perbankan dengan porsi sebesar 9.27%. Adapun
usaha menengah dan besar berjumlah 0.1% namun mampu menyerap pembiayaan
bank dengan porsi sebesar 90.73%. Komposisi pelaku usaha dan sumber
pembiayaan dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber: Kementerian Negara KUKM (2014) - diolah
Gambar 3 Komposisi pelaku usaha dan sumber pembiayaan
4
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa diperlukan
lembaga keuangan dan sumber pembiayaan lainnya selain bank yang dapat
memenuhi kebutuhan pembiayaan/permodalan bagi usaha pemula (start up) dan
UMKM dengan segala karakteristik mereka, terutama dengan kondisi yang belum
bankable.
Menurut Oakey (2007), modal ventura berpotensi menjadi alternatif utama
sumber pembiayaan bagi sektor produktif khususnya usaha di tahap early stage
seperti UMKM dan usaha pemula (start up). Pembiayaan yang berasal dari modal
ventura berfokus pada penyediaan modal untuk usaha yang memiliki prospek
pertumbuhan di atas rata-rata, memiliki potensi penciptaan nilai yang tinggi (value
creation), dinilai feasible walaupun belum bankable.
Haikal (2010) menyebutkan bahwa persoalan yang dihadapi UMKM lebih
pada persoalan struktural pendirian dan pengoperasian badan usaha. Hal ini
berbeda dengan persoalan usaha besar yang lebih merupakan persoalan skala
usaha. Sektor UMKM dan start up adalah sektor yang umumnya labor/skill
intensive, bukan capital intensive, sehingga kebutuhan modal di awal belum perlu
dalam skala yang besar. Selanjutnya menurut Dewi (1992); Dipta (2008),
mengembangkan dan membesarkan UMKM penting untuk menjadi prioritas
pemerintah Indonesia, yakni dengan membenahi dan memperluas akses ke sumber
pendanaan. Terkait dengan hal itu, modal ventura diharapkan dapat membantu
mengingat keterbatasan UMKM dalam mengakses sumber pendanaan dari
perbankan. Selain pendanaan, modal ventura dapat membantu UMKM dalam hal
struktural, manajemen dan operasional, karena modal ventura memberikan
permodalan sekaligus bimbingan manajemen sehingga perusahaan pasangan
usaha (PPU) mampu berkembang dengan mengatasi permasalahan-permasalahan
yang ada. Sebagai usaha baru, UMKM umumnya memiliki permasalahan dalam
mengelola perusahaan dan lemah di bidang manajemen karena mereka tidak
memiliki tenaga-tenaga ahli di bidang manajemen.
Sebagai salah satu negara dengan penduduk terbesar di dunia setelah China,
India, dan Amerika Serikat, Indonesia masih mengalami masalah tingginya
tingkat kemiskinan. Menurut BPS (2013), prosentase penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan sekitar 17.75% (tahun 2006) dan 11.47% (tahun 2013).
Oleh karena itu, peran lembaga keuangan seperti perusahaan modal ventura
(PMV) sangat penting untuk memberikan porsi pembiayaan yang lebih besar
kepada UMKM dan usaha pemula (start up) sehingga terjadi penyerapan tenaga
kerja secara lebih signifikan. PMV yang sejak awal pendiriannya di Indonesia
dimaksudkan untuk membantu pemberdayaan UMKM melalui pendampingan
manajemen selain bantuan finansial, dinilai sangat vital untuk ikut membantu
mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan tersebut.
Tidak seperti perbankan, belum ada definisi baku dan ketat baik pada
textbook ataupun praktek mengenai modal ventura. Akan tetapi, pada dasarnya
modal ventura menyediakan kewirausahaan dengan model ekuitas, hutang, atau
dalam bentuk pembiayaan hibrida, yang biasanya bersamaan dengan keterlibatan
langsung di manajemen (Zott 1998; Poetra 2012).
Umaya (2013); Muliya dan Imaniyati (2008), menyebutkan bahwa modal
ventura adalah sebuah investasi dengan penyertaan modal atau dalam bentuk
pembiayaan lainnya ke dalam suatu perusahaan sebagai pasangan usaha (investee
company) dalam jangka waktu tertentu, dinilai memiliki prospek cerah, dan dapat
5
dilakukan tanpa agunan (collateral). Pada umumnya investasi dilakukan dalam
bentuk penyertaan modal langsung secara tunai yang ditukar dengan sejumlah
saham pada perusahaan tersebut. Investasi modal ventura memiliki risiko tinggi,
antara lain karena langsung membangun dari awal perusahaan yang belum jelas
bagaimana masa depannya, belum memiliki standar sebagai perusahaan terbuka,
ataupun memiliki riwayat operasional yang dapat menjadi acuan. Sebagai
kompensasi, investasi modal ventura di PPU diharapkan mampu memberikan
imbal bagi hasil yang tinggi (high risk - high return). Selain itu, perusahaan modal
ventura (PMV) juga memiliki hak suara dalam menentukan manajemen dan arah
kebijakan perusahaan sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya, seperti
pemasaran, keuangan, operasional, dan pengawasan.
PMV sering berinvestasi pada perusahaan yang relatif masih baru namun
memiliki kapasitas pertumbuhan yang tinggi. Di negara maju, PMV melakukan
investasi di perusahaan-perusahaan teknologi tinggi, sebagaimana investasi yang
pernah sukses dilakukan pada perusahaan seperti Google dan YouTube. Selain itu,
beberapa perusahaan terkenal di Amerika Serikat, Eropa, Australia dan Asia yang
di tahap awalnya didukung oleh modal ventura, antara lain adalah Apple, Wang