Page 1
ANALISIS IMPLEMENTASI FASILITAS KEMUDAHAN IMPOR TUJUAN EKSPOR (KITE)
STUDI KASUS PT XYZ
Hanum Suroyah, Ali Purwito
Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) terkait dengan fenomena penurunan penerima fasilitas KITE dan perubahan menjadi pengusaha Kawasan Berikat (KB). Perusahaan yang diteliti adalah PT XYZ yang berdiri sejak tahun 1998 sebagai penerima fasilitas KITE dan sejak tahun 2012 berubah menjadi pengusaha Kawasan Berikat. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif. Hasil dari penelitian ini bahwa pada PMK 253/PMK.04/2012 dan PMK 254/PMK.04/2012 tidak lagi memberikan pembebasan pada PPN dan PPnBM serta sanksi yang memberatkan perusahaan sebesar 100% hingga 500% untuk realisasi ekspor yang tidak sesuai dengan pengajuan, selain itu fasilitas Kawasan Berikat memberikan manfaat-manfaat bagi PT XYZ seperti adanya penangguhan Bea Masuk, Cukai, serta PPN dan PPnBM sehingga mempengaruhi arus kas perusahaan dan hasil barang yang telah diproduksi dapat dijual di dalam Daerah Pabean sebanyak-banyaknya 25% dari realisasi ekspor/penyerahan ke Kawasan Berikat dari tahun sebelumnya. Kata Kunci: Fasilitas KITE, Kawasan Berikat
Abstract
This study aims to analyze the implementation of the Facility for Export Purpose (KITE) associated with the phenomenon of a decrease in the receiving facility and the changes become bonded entrepreneurs (KB). Companies studied were the XYZ Ltd. was founded in 1998 as a recipient of KITE facilities and since 2012 turn into bonded entrepreneurs. The approach used in this study is descriptive qualitative approach. The results of this study that the PMK 254/PMK.04/2012 and 253/PMK.04/2012 no longer give exemption on VAT and luxury sales as well as sanctions that incriminate the company by 100% to 500% for export realization that does not comply with the filing, bonded facility additionally provide benefits for XYZ Ltd. as the suspension of import duty, excise, VAT and luxury sales and thus affect the company's cash flow and results that have been produced goods can be sold in the customs area as much as 25% of the export realization / delivery to bonded zones from the previous year. Keyword: KITE Facility, Bonded Zone
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014
Page 2
1. Pendahuluan
Perdagangan luar negeri merupakan salah satu aspek penting dalam
perekonomian setiap negara. Peranan perdagangan luar negeri dalam proses
pembangunan ekonomi, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah dapat
meningkatkan pendapatan, membuka kesempatan kerja, meningkatkan penghasilan
devisa, mentransfer modal dan teknologi dari luar negeri, dan dapat mengembangkan
industri baru didalam negeri atau usaha industrialisasi (Muchtar, 2001:36) Disamping itu,
perdagangan luar negeri juga menyebabkan terjadinya perubahan dari beberapa variabel
dalam sektor ekonomi yang akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi Negara tersebut
(Masrizal, 2004:15)
Salah satu aspek dasar pembentukan Undang-undang nomor 10 tahun 1995
tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 17 tahun
2006, adalah pemberian insentif terhadap perdagangan dan sektor industri. Pemberian
insentif tersebut diharapkan akan memberikan manfaat pertumbuhan perekonomian
nasional. Bentuk fasilitas Kepabeanan yang diberikan oleh Undang-undang Kepabeanan
secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Fasilitas yang terkait dengan
pelayanan, dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih
murah. Fasilitas pelayanan kepabeanan juga ditujukan untuk memperlancar arus barang,
orang, maupun dokumen dalam sistem atau tata laksana kepabeanan di bidang impor.
Fasilitas kedua adalah fasilitas yang terkait dengan fiskal kepabeanan berupa pembebasan
Bea Masuk, keringanan Bea Masuk, pengembalian Bea Masuk, dan penangguhan Bea
Masuk. Fokus utama pemberian insentif fiskal ini adalah untuk kepentingan sektor
industri dan perdagangan, kepentingan publik, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan juga perlakuan yang lazim dalam tata pergaulan internasional.
Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) merupakan salah satu upaya dari
Pemerintah untuk memberikan insentif perpajakan dan kemudahan bagi eksportir.
(Purwito, 2008) Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 580/KMK.04/2003 jo
Peraturan Menteri Keuangan No. 15/PMK.011/2011 yang mulai berlaku tanggal 24
Januari 2011 disebutkan bahwa KITE adalah pemberian pembebasan dan/atau
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014
Page 3
pengembalian Bea Masuk (BM) dan/atau cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut
atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain
yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor.
Adanya Peraturan Menteri Keuangan nomor 253/PMK.04/2011 yang berlaku
mulai tanggal 1 April 2012 tentang Pengembalian Bea Masuk yang telah dibayar atas
impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan
tujuan ekspor serta Peraturan Menteri Keuangan nomor 254/PMK.04/2011 yang berlaku
mulai tanggal 1 April 2012 tentang Pembebasan Bea Masuk atas impor barang dan bahan
untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan ekspor, hal tersebut
membuat beberapa perubahan dalam kebijakan tersebut. Perbedaan yang tampak jelas
adalah mengenai PPN yang tidak dibebaskan dalam peraturan terbaru tersebut. Hal ini
memicu penurunan jumlah perusahaan penerima fasilitas KITE. Terkait dengan peraturan
baru tersebut, terdapat beberapa perusahaan yang mulai beralih ke fasilitas Kawasan
Berikat (KB). Barang impor/bahan baku yang dimasukkan ke Kawasan Berikat (KB)
untuk diolah diberikan penangguhan Bea Masuk dan tidak dipungut Pajak Dalam Rangka
Impor (PDRI). Sedangkan barang impor/bahan baku yang akan diproses/diolah oleh
pengusaha penerima fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) diberikan
pembebasan Bea Masuk dan PPN/PPnBM tidak dipungut atau jika Bea Masuknya sudah
dibayarakan diberikan restitusi atau pengembalian Bea Masuk.
Dari data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Bea Cukai Jakarta, pada tahun
2012 hingga bulan Oktober untuk wilayah Jakarta terdapat dua perusahaan yang beralih
dari fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) ke fasilitas Kawasan Berikat
(KB), yaitu PT XYZ yang bergerak di bidang industri garmen dan PT ABC yang
bergerak di bidang manufaktur alat musik. Hal ini menarik untuk dianalisis mengenai
implementasi fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE). Atas dasar perumusan
masalah diatas, pembatasan pertanyaan penelitian ini adalah:
“Bagaimana implementasi setelah terjadinya perubahan fasilitas Kemudahan Impor
Tujuan Ekspor (KITE) pada PT XYZ?”
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014
Page 4
2. Tinjauan Teoritis
2.1 Kebijakan Publik
Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam
kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang
mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya.
Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang
dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai
tugas menjatuhkan sanksi. (Dwidjowijoto, 2004, p. 23) Proses pembuatan kebijakan
publik berlangsung dalam suatu lingkungan sosial politik dan kelembagaan dengan unsur
yang komplek, subjek, dan objek yang berbeda-beda, latar belakang yang bervariasi, dan
dengan kepentingan serta motif-motif majemuk. Hal ini menurut (Mutopadidjaja, 2002)
bisa terjadi karena proses pembuatan kebijakan publik bukanlah semata-mata kegiatan
teknis-teknokratis, tetapi juga kegiatan sosiopolitis yang dinamis, dan berlangsung dalam
sistem kelembagaan yang kompleks. (p. 95)
Implementasi dipandang sebagai proses interaksi antara suatu perangkat tujuan
dan tindakan yang mampu untuk mencapai tujuan kebijakan. Dimana didalam
implementasi kebijakan aktor, organisasi, prosedur, dan teknik dipakai secara bersamaan
dan stimultan. (Nugroho, 2004, p. 63) Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan
waktu tertentu. (Sunggono, 1994, p. 85) Proses implementasi kebijakan publik baru
dapat dimulai apabila tujuan-tujuan kebijakan publik telah ditetapkan, program-program
teah dibuat, dan dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut.
Dalam mengkaji implementasi kebijakan publik, Edward III memulai dengan
mengajukan dua pertanyaan, yakni (i) faktor apa yang mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan? dan (ii) faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi
kebijakan? George C. Edward III berusahan menjawab kedua pertanyaan tersebut dengan
mengkaji empat faktor variabel dari kebajikan yaitu (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3)
disposisi, dan (4) struktur birokrasi.
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014
Page 5
2.2 Insentif Pajak
Menurut Richard Bird yang dikutip (Mansury, 2000) fasilitas (insentif) pajak
adalah kebijakan yang memberikan keringanan atau kemudahan kepada wajib pajak
dalam memenuhi hak dan kewajiban dibidang perpajakan. Kebijakan tersebut diatur
untuk memenuhi tuntutan agar pajak tidak menjadi hambatan (distorsi) bagi investasi
yang dibutuhkan dalam rangka pertumbuhan ekonomi. (p. 84) Secara garis besar, insentif
pajak dapat didefinisikan sebagai fasilitas perpajakan yang mendorong minat investor
melakukan investasi pada sektor tertentu ataupun wilayah tertentu dan pada umumnya
disertai dengan persyaratan tertentu. Insentif pajak merupakan instrumen untuk
meningkatkan investasi di wilayah atau sektorusaha tertentu dan kinerja pertumbuhan
ekonomi.
2.3 Kawasan Berikat
Menurut (Sukardji, 2002, p. 78) Kawasan Berikat adalah suatu bangunan,
tempat/kawasan dengan batas tertentu yang digunakan untuk pengolahan, rancang
bangun, perekayasaan, penyortiran, pengepakan, pergudangan/penimbunan barang dan
bahan hasil impor atau dari Daerah Pabean Indonesia lainnya, yang hasil utamanya untuk
diekspor. Sejalan dengan pendapat tersebut diatas adalah (Syarif, 2003, p. 48) yang
menjelaskan bahwa Kawasan Berikat merupakan tempat atau kawasan tertentu Yang
digunakan untuk menimbun, mengolah, memamerkan, dan/atau menyediakan barang
untuk dijual dengan mendapatkan penangguhan bea masuk. Namun kritik utama
Kawasan Berikat menurutnya adalah Kawasan Berikat hanya akan menarik investasi
jangka pendek, investor bebas pergi setelah melihat insentif pajak tidak kompetitif dan
Negara lain lebih menguntungkan hal ini disebabkan kebanyakan investasi langsung
jangka pendek tidak didasarkan pada ekonomi domestik.
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014
Page 6
3. Metode Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif.
3.1 Jenis Penelitian
3.1.1 Jenis Penelitian Berdasarkan Tujuan Penelitian
Berdasarkan tujuannya, jenis penelitian yang akan digunakan peneliti adalah
penelitian deskriptif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan situasi atau
kejadian-kejadian tertentu.
3.1.2 Jenis Penelitian Berdasarkan Manfaat Penelitian
Berdasarkan manfaat penelitian, jenis penelitian yang digunakan penulis dalam
penelitian ini adalah penelitian murni karena memiliki orientasi akademis dan ilmu
pengetahuan.
3.1.3 Jenis Penelitian Berdasarkan Dimensi Waktu
Berdasarkan dimensi waktu, jenis penelitian yang digunakan penulis dalam
penelitian ini termasuk ke dalam cross sectional research.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini bersifat primer dan sekunder.
Data dikatakan primer apabila didapatkan dari sumber langsung, sedangkan data
sekunder adalah data yang harus diolah terlebih dahulu. Dalam rangka mendapatkan data-
data tersebut maka metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
berupa studi kepustakaan dan studi lapangan. Metode pengumpulan data ini digunakan
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014
Page 7
dalam rangka mendapatkan jawaban yang lebih komprehensif atas permasalahan yang
diajukan dalam penelitian ini. Penjelasan kedua metode pengumpulan data tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pengumpulan
literatur berupa buku, artikel, maupun peraturan terkait.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi wawancara mendalam
dengan narasumber dan juga studi atas dokumen-dokumen yang ditemukan
dilapangan.
c. Informan
Dalam proses penelitian ini, wawancara dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait
dalam menjawab permasalahan yang diteliti, yaitu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
Kanwil DJBC, Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai, serta pelaksana kebijakan.
3.3 Penentuan Site Penelitian
Dalam penelitian ini dipilih site penelitian yang dapat mendukung penelitian dan
juga memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang diangkat yaitu Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Jakarta, Kantor Pelayanan Pajak Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean A Jakarta, Pusat
Pendidikan dan Latihan Bea dan Cukai, dan PT XYZ sebagai pengguna fasilitas KITE
yang beralih ke Pengusaha Kawasan Berikat. Peniliti memilih site penelitian tersebut
karena mempunyai keterkaitan dengan analisis implementasi fasilitas Kemudahan Impor
Tujuan Ekspor (KITE). Pertimbangan dan penentuan site penelitian ini berguna agar
dapat membantu dalam pengumpulan data dan memperoleh informasi yang lengkap dan
akurat dalam menunjang penelitian ini.
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014
Page 8
3.4 Batasan Penelitian
Batasan penelitian dalam penulisan penelitian ini antara lain :
1. Penelitian akan difokuskan pada implementasi fasilitas KITE dan perusahaan
yang beralih dari penerima fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) ke
Pengusaha Kawasan Berikat
2. Wilayah penelitian adalah PT XYZ, sebuah perusahaan bergerak dalam bidang
garmen yang berorientasi ekspor
3. Fasilitas Pajak yang akan diteliti adalah Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan
Ekspor (KITE) dan fasilitas Kawasan Berikat (KB) dengan data yang dibutuhkan
oleh peneliti dalam melakukan penelitian.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Implementasi Fasilitas Kebijakan Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan
Ekspor (KITE)
Setelah sebuah kebijakan dalam hal ini yaitu PMK No. 253/PMK.04/2011 dan
No. 254/PMK.04/2011 ditetapkan, langkah selanjutnya tentu saja mengimplementasikan
kebijakan yang merupakan kegiatan kompleks dengan begitu banyak faktor yang
mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan
publik (Edward III, 1980) dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu komunikasi, sumber
daya, disposisi, dan struktur birokrasi.
4.1.1 Komunikasi
Terkait dengan komunikasi atas kebijakan PMK No. 253/PMK.04/2011 dan No.
254/PMK.04/2011 yang ditetapkan tanggal 28 Desember 2011 dan berlaku pada tanggal
1 April 2012, Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai antara tanggal
setelah ditetapkannya peraturan tersebut sampai berlakunya peraturan telah membentuk
tim yang langsung datang ke kantong-kantong kantor wilayah yang banyak terdapat
perusahaan penerima fasilitas KITE, yaitu Jakarta, Jawa Barat (Bandung), Banten, Jawa
Tengah (Semarang), Jawa Timur (Surabaya), dan Sumatera Utara. Kantor wilayah
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014
Page 9
dengan jumlah penerima fasilitas KITE sedikit atau kurang dari lima penerima fasilitas,
perusahaan tersebut dipanggil ke pusat / Jakarta atau kantor wilayah terdekat untuk hadir
dalam sosialisasi peraturan-peraturan terbaru dalam hal ini adalah PMK No.
253/PMK.04/2011 dan No. 254/PMK.04/2011
Dari sisi legalitas, apabila suatu peraturan sudah diundangkan dan diberitahukan
di berita Negara secara de jure atau menurut hukum, maka dianggap seluruh masyarakat
harus mengetahuinya. Bagi perusahaan yang tidak dapat hadir, maka dapat mengunduh
peraturan tersebut di situs resmi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Kendala yang
dihadapi adalah kurang proaktifnya kantor-kantor wilayah dalam mencari perusahaan-
perusahaan yang tidak hadir, tetapi kembali pada uraian pekerjaan masing-masing unit
yang tidak hanya menangani masalah KITE. Dalam hal ini, menurut hemat penulis
Pemerintah dalam hal ini pihak Direktorat Bea dan Cukai serta kantor wilayah sudah
cukup aktif dalam upaya sosialisasi peraturan-peraturan baru.
Dalam suatu transmisi komunikasi terdapat hambatan umum yang biasa terjadi,
yaitu adanya pertentangan atau resistensi dari kelompok implementor terhadap kebijakan.
Pertentangan ini mengakibatkan distorsi dan hambatan dalam komunikasi. Dalam
mengelola komunikasi yang baik perlu dibangun dan dikembangkan saluran-saluran
komunikasi yang efektif. Semakin baik pengembangan saluran-saluran komunikasi yang
dibangun, maka semakin tinggi probabilitas perintah tersebut disampaikan dengan benar.
Pada PMK No. 253/PMK.04/2011 dan No. 254/PMK.04/2011 resistensi yang
muncul adalah mengenai tidak adanya pembebasan dan pengembalian PPN dan PPnBM.
Sebelum dikeluarkannya PMK ini sudah diantisipasi dan dibahas di Biro Hukum
Kementerian, Badan Kebijakan Fiskal, DJBC, Dirjen Pajak, dan unit Eselon I lainnya,
secara legal saat itu memutuskan hanya Bea Masuk saja yang diberikan pembebasan dan
pengembalian berdasarkan pasal 26 huruf (k) dan pasal 27 huruf (b) Undang-undang
nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan.
Terkait dengan resistensi tersebut, Dirjen Bea dan Cukai mengembalikan hal ini
ke Dirjen Pajak, apakah mereka memiliki fasilitas tertentu untuk mendukung kebijakan
pembebasan dan pengembalian BM. Fasilitas yang dapat mendukung kebijakan ini
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014
Page 10
adalah fasilitas WP Patuh yang diatur pada PMK nomor 74/PMK.03/2012 tentang tata
cara penetapan dan pencabutan penetapan wajib pajak dengan kriteria tertentu dalam
rangka pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dan fasilitas PKP
beresiko rendah yang diatur pada PMK nomor 71/PMK.03/2010 tentang Pengusaha Kena
Pajak beresiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
Terkait dengan resistensi yang terjadi pada transmisi komunikasi atas PMK No.
253/PMK.04/2011 dan No. 254/PMK.04/2011 menurut hemat penulis dapat disimpulkan
bahwa dalam kejelasan sebuah informasi biasanya ada kecenderungan untuk menolak
tujuan-tujuan informasi oleh implementor atas dasar kepentingan sendiri dengan cara
menginterpretasikan informasi berdasarkan pemahaman sendiri-sendiri. Cara untuk
mengantisipasi hal tersebut adalah dengan membuat prosedur melalui pernyataan yang
jelas mengenai persyaratan, menghilangkan pilihan adanya multi interpretasi,
melaksanakan prosedur dengan hati-hati, serta penyampaian alternatif pendukung atas
kebijakan tersebut secara jelas dan terperinci agar tidak terjadi miskomunikasi dan multi
tafsir oleh implementor.
4.1.2 Sumber Daya
Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai.
Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya adalah
disebabkan oleh pegawai yang tidak cukup memadai atau tidak kompeten dibidangnya.
Penambahan jumlah pegawai tidak cukup menyelesaikan persoalan sumber daya, tetapi
perlu adanya kecukupan pegawai yang memiliki keahlian dan kemampuan dalam
mengimplementasikan kebijakan.
Informasi mempunyai dua bentuk, yaitu mengenai cara pelaksanaan dan
kepatuhan para pelaksana terhadap peraturan (compliance). Sedangkan wewenang atau
otoritas dalam implementasi kebijakan umumnya harus bersifat formal agar perintah
dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan kebijakan. Sumber daya lainnya adalah fasilitas
atau sarana dan prasarana yang merupakan faktor penting dalam mengimplementasikan
kebijakan.
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014
Page 11
Terkait dengan sumber daya pada fasilitas KITE, lini pelayanan KITE di Kanwil
untuk wilayah yang memiliki jumlah pengguna fasilitas KITE cukup tinggi seperti
Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur 1 bisa dikatakan harus dan
dipaksakan memadai. Sistem pertanggung jawaban realisasi ekspor dan proses penerbitan
NIPER sudah menggunakan komputerisasi yang mempermudah dalam proses pelayanan
fasilitas KITE, namun pada kenyataannya dilapangan para pengusaha banyak
menemukan hambatan mengenai tenaga ahli yang cenderung dan selalu diandalkan yang
kebanyakan adalah tenaga ahli atau pegawai junior, sedangkan pegawai senior belum
banyak beradaptasi dengan sistem yang digunakan saat ini. Hal ini menyebabkan proses
pelayanan menjadi lambat dan apabila pegawai yang diandalkan tersebut tidak ada
dikantor dalam artian sedang melakukan tugas diluar kantor, kegiatan operasional
menjadi terhambat. Hal ini sangat mengganggu kinerja di lini pelayanan KITE.
Menurut hemat penulis, dalam hal ini perlu diadakan rolling atau pemutaran
pegawai dari divisi satu ke divisi lain, hal ini juga perlu didukung dengan training atau
pelatihan kepada pegawai yang dianggap cukup lambat dalam mempelajari ilmu baru,
serta harus dilakukan mapping atau pemetaan dalam perputaran pegawai tersebut untuk
menghindari berkumpulnya para pegawai yang memiliki kinerja rendah sehingga akan
mempengaruhi lingkungan atau pegawai lain yang memiliki kinerja tinggi. Hal ini
diperlukan keberanian dan dukungan dari bagian kepegawaian demi meningkatkan
kinerja pelayanan fasilitas KITE khususnya dan fasilitas lainnya.
4.1.3 Disposisi
Adanya ketentuan-ketentuan yang semakin ketat yang dijabarkan pada penjelasan
sebelumnya, berlakunya PMK No. 253/PMK.04/2011 dan No. 254/PMK.04/2011 tentu
mempunyai pengaruh pada perusahaan pengguna fasilitas KITE. Fasilitas KITE
sebenarnya sangat membantu pengusaha dalam menjalankan usahanya, karena selain
mereka dapat meningkatkan nilai produksinya, juga dapat mengatur keuangan perusahaan
dengan sebaik mungkin. Namun, dalam perkembangannya, banyak perusahaan pengguna
fasilitas KITE yang beralih menggunakan bentuk fasilitas lain yang dinilai lebih
menguntungkan salah satunya adalah fasilitas Kawasan Berikat (KB).
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014
Page 12
Pada dasarnya, setiap situasi pilihan dapat menghasilkan rekomendasi yang
disukai oleh semua pihak, sebab hal itu akan membuahkan hasil yang diinginkan. Namun
sebagian besar situasi pilihan melibatkan banyak pelaku kebijakan, ketidak-pastian, dan
konsekuensi-konsekuensi yang berubah sepanjang waktu. Adanya perusahaan-
perusahaan yang beralih merupakan bukti konkrit bahwa perusahaan akan mencari
fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan serta mempertimbangkan efisiensi
waktu dalam kaitannya dengan revenue yang akan diperoleh.
Fasilitas Kawasan Berikat merupakan fasilitas yang “mewah” bagi perusahaan
industri/manufaktur yang berorientasi ekspor karena mendapatkan fasilitas kepabeanan
dan perpajakan. Fasilitas yang diberikan pada Kawasan Berikat, yaitu berupa
penangguhan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN, PPnBM, dan PPh 22 Impor atas impor
barang modal atau peralatan dan peralatan perkantoran yang dipakai oleh Pengusaha
Kawasan Berikat (PKB) termasuk impor barang dan/atau bahan untuk diolah di Kawasan
Berikat.
Fasilitas yang diberikan oleh Kawasan Berikat cukup menggiurkan para
pengusaha khususnya pengusaha yang berorientasi ekspor pengguna fasilitas KITE.
Banyak keuntungan yang dapat diperoleh para pengusaha dengan realisasi ekspor jika
menggunakan fasilitas KB, meskipun syarat yang harus dipenuhi juga berat, seperti
lokasi.
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014
Page 13
Tabel 4.1
Perbandingan Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dan Fasilitas Kawasan
Berikat (KB)
Failitas Kemudahan Impor Tujuan
Ekspor (KITE)
Fasilitas Kawasan Berikat (KB)
1. Lokasi industri tidak diatur
secara khusus
2. Barang/bahan baku ditimbun
diluar Kawasan Pabean (tidak
diawasi langsung pihak pabean)
3. Pemasukan ke pabrik dengan
BC 2.0 dilampiri SK
Pembebasan BM*)
4. Mempertaruhkan jaminan BM*)
5. Barang modal dan peralatan
kantor tidak termasuk dalam
fasilitas KITE
6. Hasil produksi 100% harus
diekspor*), kecuali barang
reject./rusak.
*) Fasilitas KITE dengan NIPER
pengembalian tidak perlu melampirkan
SK Pembebasan dan jaminan, dan hasil
produksi tidak harus diekspor, karena
sudah dilunasi BM dan PDRInya.
1. Lokasi KB harus berada di
Kawasan industri, kecuali dalam
hal khusus
2. Barang/bahan baku ditimbun di
Kawasan Pabean (diawasi
langsung pihak pabean)
3. Pemasukan ke KB dengan BC
2.3 tanpa SK Penangguahan
BM/PDRI
4. Tidak perlu mempertaruhkan
jaminan
5. Fasilitas diberikan juga atas
impor barang modal dan
peralatan kantor
6. Hasil produksi boleh dijual ke
TLDDP sebanyak-banyaknya
25% dari realisasi
ekspor/penyerahan ke KB lain
tahun sebelumnya.
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014
Page 14
4.1.4 Struktur Birokrasi
Standard Operational Procedures (SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan
internal akan kepastian waktu, sumber daya, serta kebutuhan penyeragaman dalam
organisasi kerja yang kompleks dan luas. (Winarno, 2004, p. 76). Para pelaksana dapat
mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan
tindakan-tindakan kompleks para pejabat sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas
dalam implementasi kebijakan.
Sub variabel kedua dalam struktur birokrasi adalah fragmentasi. Edward III dalam
(Winarno, 2004, p. 77) menyatakan bahwa fragmentasi merupakan penyebaran tanggung
jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan
koordinasi.
Terkait dengan SOP fasilitas KITE dalam rangka penyelarasan ketentuan
mengenai bentuk, waktu, dan tata cara mempertaruhkan jaminan, Dirjen Bea dan Cukai
mengeluarkan peraturan nomor PER-9/BC/2011 tentang perubahan keempat atas
keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor KEP-205/BC/2003 tentang petunjuk
pelaksanaan tata laksana kemudahan impor tujuan ekspor dan pengawasannya.
5. Simpulan dan Saran
5.1 Simpulan
Sebelum adanya penerbitan PMK No. 253/PMK.04/2011 dan No.
254/PMK.04/2011 PT XYZ sebagai pengusaha industri garmen yang berorientasi ekspor
merupakan penerima fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, namun sejak penerbitan
kebijakan tersebut yang mengalami perubahan atas tidak adanya pembebasan atas PPN,
hal ini memberatkan PT XYZ khususnya dalam hal cash flow perusahaan, selain itu
adanya denda sebesar 100%-500% apabila realisasi ekspor tidak sesuai dengan
pengajuan juga menjadi pertimbangan atas perubahan tersebut. Fasilitas Kawasan Berikat
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014
Page 15
menjadi alternatif pilihan bagi PT XYZ karena memberikan banyak manfaat bagi
perusahaan terutama penangguhan PPN.
5.2 Saran
Setelah adanya perubahan kebijakan fasilitas KITE, dalam memaksimalkan tujuan
fasilitas kepabeanan khususnya fasilitas Kemudahan Imopr Tujuan Ekspor (KITE), maka
saran dalam penelitian ini yaitu sebaiknya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai
trade fasilitator memaksimalkan insentif yang diberikan pada fasilitas KITE demi
meningkatkan serta mengembangkan industri dalam negeri khususnya perusahaan yang
berorientasi ekspor sehingga meningkatkan sumber devisa Negara.
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014
Page 16
DAFTAR REFERENSI
Dwidjowijoto, R. N. 2004. Kebijakan Publik: Formulasi, implementasi, dan evaluasi. Jakarta: Elex Media Komputindo - Kelompok Gramedia.
Edward III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington DC: Congresional Quarterly Press.
Mansury. 2000. Kebijakan Perpajakan. Jakarta: Yayasan pengembangan dan penyebaran pengetahuan perpajakan.
Masrizal. 2004. Ekspor, Dana Luar Negeri dan Pertumbuhan Ekonomi : Kasus Indonesia. Padang: Universitas Andalas.
Muchtar, R. 2001. Perdagangan Luar negeri Indonesia. Padang: Universitas Andalas.
Mustopadidjaja, A.R. 2002. Manajemen Proses Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan evaluasi Kinerja. Jakarta: LAN (Lembaga Administrasi Negara).
Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Purwito, A. M. 2008. Kepabeanan dan Cukai (Pajak Lalu Lintas Barang) Teori dan Aplikasi. Jakarta: Kajian Hukum Fiskal FHUI.
Sukardji, Untung. 2002. Pajak Pertambahan Nilai, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sunggono, Bambang. 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Jakarta: Sinar Grafika.
Syarif, H.M. 2003. Perdagangan Luar Negeri. Yogyakarta: BPFE
Peraturan
Kementerian Keuangan. PMK Nomor: 254/PMK.04/2011 Tentang Pembebasan Bea
Masuk Atas Impor Barang dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau Dipasang Pada
Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor
Kementerian Keuangan. PMK Nomor: 253/PMK.04/2011 Tentang Pengembalian Bea
Masuk Yang Telah Dibayar Atas Impor Barang dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit,
Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014
Page 17
Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. PER Nomor: PER-
9/BC/2011 Tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Direktur Jenderal Bea
dan Cukai Nomor KEP-205/BC/2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata
Laksana Kemudahan Impor Tjuan Ekspor dan Pengawasannya
Kementerian Keuangan. PMK Nomor: 120/PMK.04/2012 Tentang Perubahan Ketiga
Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 Tentang Kawasan
Berikat
Analisis implementasi..., Hanum Suroyah, FISIP UI, 2014