Page 1
ANALISIS HUKUM ISLAM
TERHADAP PEMANFAATAN SAWAH GADAI
(Persepsi Ulama Salem Terhadap Praktek Gadai Sawah
Di Ds. Banjaran, Salem, Brebes)
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S-1)
Dalam Ilmu Syari’ah
Disusun Oleh:
KUROH
NIM. 082311058
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
Page 2
ii
Drs. H. Nur Khoirin M.Ag. Jl. Tugu Lapangan Tambakaji Ngaliyan Semarang
Nur Hidayah S, S.H., M.H.,
Jl. Merdeka Utara 1/ B.9, Ngaliyan, Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lam : 4 (empat) eks
Hal : Naskah Skripsi
A.n. Sdri. KUROH
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka
bersama ini saya kirimkan naskah saudari:
Nama : KUROH
NIM : 082311058
Jurusan : Hukum Ekonomi Islam (Muamalah)
Judul Skripsi : PERSEPSI ULAMA BREBES TENTANG
PEMANFAATAN SAWAH GADAI (Studi Kasus
Terhadap Praktek Gadai Sawah Di Banjaran, Kec.
Salem, Brebes)
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan.
Demikian atas perhatiannya, harap maklum adanya dan kami ucapkan
terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Semarang, Juni 2012
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Nur Khoirin M.Ag Nur Hidayati S, S.H., M.H.,
NIP.19630801 199203 1 001 NIP.19670320 199303 2 001
Page 3
iii
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARI’AH
Jl. Prof. Dr. Hamka KM 02 Ngaliyan Telp. (024) 7601291 Semarang
PENGESAHAN
Nama : KUROH
NIM : 082311058
Jurusan : MUAMALAH
Judul Skripsi : ANALISIS HUKUM ISLAM SALEM TERHADAP
PEMANFAATAN SAWAH GADAI (Persepsi Ulama Salem
Terhadap Praktek Gadai Sawah Di Ds. Banjaran, Salem,
Brebes)
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang, dinyatakan lulus pada tanggal:
27 Juni 2012
Dan dapat diterima sebagai pelengkap ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana
Strata Satu (S1) dalam Ilmu Syari’ah.
Semarang, 03 Juli 2012
Mengetahui
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Dr. H. Imam Yahya, M.Ag. Nur Hidayati Setyani, S.H., M.H.
NIP. 19700410 199503 1 001 NIP.19670320 199303 2 001
Penguji I Penguji II
H. Tolkah, M.A. Afif Noor, S.Ag., S.H., M.H.,
NIP. 19690507 199603 1 001 NIP. 19760615 200501 1 005 Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag Nur Hidayati Setyani, S.H., M.H., NIP.19630801 199203 1 001 NIP.19670320 199303 2 001
Page 4
iv
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, dengan ini
Penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang
telah pernah ditulis oleh pihak lain atau telah diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak juga berisi tentang pemikiran-
pemikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, Juni 2012
Deklarator,
KUROH
NIM: 082311058
Page 5
v
M O T T O
Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah;
dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya DIA akan memberi petunjuk
kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
(Ath- Thagaabun/ 64: 11)
Page 6
vi
ABSTRAK
Gadai merupakan suatu sarana saling tolong-menolong bagi umat muslim
yang didasari prinsip ta’aawun, karena dalam pelaksanaannya tidak mensyaratkan
adanya imbalan jasa. Praktek gadai sudah sangat dikenal dan lazim dilaksanakan
sebagai salah satu akad dalam aktivitas ekonomi. Akad gadai ini merupakan solusi
yang biasanya diambil oleh masyarakat ketika mengalami kesulitan dalam
pendanaan secara tidak terduga. Pelaksanaan akadnya ialah ketika seorang rahin
(pemberi gadai) meminjam sejumlah dana dari murtahin (penerima gadai),
kemudian rahin menyerahkan suatu jaminan yang berupa harta benda miliknya
yang memiliki nilai. Jaminan dalam akad gadai digunakan sebagai bentuk
kepercayaan antara rahin dan murtahin.
Adapun perumusan masalah dari skripsi ini ialah: (a). Bagaimanakah
Praktek Gadai sawah di Banjaran, Kec. Salem, Brebes? (b). Bagaimanakah
persepsi Ulama Brebes tentang pemanfaatan sawah gadai oleh Murtahin yang
dilaksanakan di Banjaran, Kec. Salem, Brebes?
Tujuan dari penulisan skripsi ini ialah: untuk mengetahui bagaimana
pelaksanaan praktek gadai sawah yang dilaksanakan di Banjaran, Kec. Salem,
Brebes. Serta Untuk mengetahui bagaimanakah persepsi ulama Brebes terhadap
praktek pemanfaatan sawah gadai oleh murtahin yang dilaksanakan di Banjaran,
Kec. Salem, Brebes.
Jenis penelitian ini dilihat dari objeknya termasuk penelitian lapangan atau
field research yang dilakukan di ds. Banjaran, kec. Salem, kab. Brebes. Untuk
mendapatkan data yang valid, penulis menggunakan beberapa metode
pengumpulan data yaitu dokumentasi dan wawancara. Sumber data dalam
penelitian ini ada dua yaitu sumber data primer (secara langsung) hasil dari
wawancara (interview) dengan para ulama serta para rahin dan murtahin,
sementara sumber data sekunder (tidak langsung) berupa dokumen-dokumen,
buku, catatan dan sebagainya. Berkenaan dengan penganalisaan data-data yang
telah terkumpul, dalam hal ini Penulis menggunakan metode deskriptif analisis
dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Dari hasil penelitian mengenai praktek gadai sawah tersebut menunjukkan
bahwa pelaksanaan praktek gadai sawah yang dilaksanakan di ds. Banjaran, kec.
Salem, kab. Brebes tersebut sudah memenuhi rukun dan syarat akad gadai sesuai
yang dijelaskan dalam hukum Islam. Serta sesuai dengan dasar hukum yang
dijadikan sebagai dasar hukum akad gadai baik dari segi hukum Islam maupun
dari segi hukum normatif. Mengenai persepsi para ulama Brebes tentang
pemanfaatan sawah gadai tersebut terdapat dua kelompok, yakni kelompok yang
memiliki persepsi bahwa pemanfaatan sawah gadai oleh mrtahin yang
dilaksanakan di ds. Banjaran tersebut diperbolehkan dan tidak termasuk kedalam
kegiatan yang eksploratif. Kelompok lainnya ialah kelompok yang memiliki
persepsi bahwa pemanfaatan sawah gadai oleh murtahin di ds. Banjaran tersebut
tidak diperbolehkan meskipun hasil yang diperoleh hanya sedikit saja, namun
kegiatan pinjam-meminjam yang mensyaratkan adanya pengambilan manfaat
dapat dikategorikan sebagai riba.
Page 7
vii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
Ayah dan Bunda tercinta (Bpk Abidin dan Ibu Kesih).
“Yang selalu menjaga, mendoakan, dan mendukung serta selalu mencurahkan
kasih sayang, perhatian dan memberikan motivasi kepada Penulis dalam
segala hal. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi Beliau”.
Sisters (Fenty Fumiaty, Ika Nur Handayani, & Lady Nahdiyatul. U)
“Yang senantiasa memberikan dukungan, & doa, memberikan senyuman saat
Penulis sedih, membangunkan saat Penulis terjatuh dan memotivasi disaat
Penulis rapuh.
Terima kasih Sist.”
“Sahabat-Sahabatku”
(Kos Anggur, ‘Akhi & Ukhti di MUB ’08, Sisters & Brothers di posko
Indongarep 54) Makasih buat semangat yang senantiasa kalian berikan
padaku.
“Special For My ‘AMOR’ ”
“Terima Kasih untuk kasih dan cintamu, untuk perhatian dan semangat
darimu, untuk cahaya yang Kau nyalakan di perjalanan hidupku.”
Page 8
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah
SWT yang telah menurunkan syariat Islam sebagai tuntunan bagi hamba-Nya,
agar kita dapat hidup sejahtera lahir dan batin, dunia dan akhirat. Sholawat dan
salam mudah-mudahan tetap dilimpahkan kepada junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW, pembawa risalah dan suri teladan dalam menjalankan syariat
Islam.
Berkat limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya serta usaha yang
sungguh-sungguh, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“Persepsi Ulama Brebes Terhadap Pemanfaatan Sawah Gadai (Studi Kasus
Terhadap Praktek Gadai Sawah di Ds. Banjaran, kec. Salem, kab. Brebes)”.
Skripsi ini disusun guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Strata 1 (S1) di Fakultas Syariah IAIN Walisongo. Dalam penulisan skripsi ini
tentu Penulis tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga dalam hal ini
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada yang Terhormat:
1. Bapak Prof. DR. H. Muhibbin, MA., selaku pengemban Rektor IAIN
Walisongo Semarang
2. Bapak DR. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
3. Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan, atas didikan, dukungan serta
bantuannya pada Penulis.
4. Bapak Drs. H. Nur Khoirin M.Ag, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing Penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini secara sabar dan akomodatif.
5. Ibu Nur Hidayati S., SH.,MH selaku Dosen Pembimbing II, telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya di sela-sel kesibukannya untuk
memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
Page 9
ix
6. Segenap bapak dan ibu dosen di lingkungan Fakultas Syari’ah yang telah
memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis selama duduk dibangku
kuliah di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
7. Segenap karyawan dan karyawati di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi
ini.
8. Bapak / Ibu pegawai Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Perpustakaan Institut
IAIN Walisongo Semarang, yang telah memberikan izin dan layanan
kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi
9. Para pegawai di kantor kelurahan, para alim Ulama dan masyarakat desa
Banjaran, kec. Salem, kab. Brebes, atas kerjasamanya dan yang telah
memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan oleh Penulis.
10. Bapak dan Ibu tercinta, beserta segenap keluarga, atas segala do’a, dukungan,
perhatian, arahan, dan kasih sayangnya, sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
11. Sahabat-sahabatku semua yang selalu memberi do’a, dukungan, dan semangat
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. “Semoga Allah membalas semua amal
kebaikan mereka dengan balasan yang lebih dari mereka berikan pada
Penulis” amin.
Penulis juga menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa penulisan
skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang
membangun sangat Penulis harapkan. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Amin Ya Rabbal A’lamin.
Semarang, Juni 2012
Penulis
KUROH
NIM. 082311058
Page 10
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... ii
PENGESAHAN ............................................................................................... iii
DEKLARASI .................................................................................................. iv
MOTTO ........................................................................................................... v
ABSTRAK ...................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 8
D. Telaah Pustaka ......................................................................... 9
E. Metode Penelitian..................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan............................................................... 17
BAB II KETENTUAN UMUM MENGENAI GADAI (AR- RAHN)
A. Definisi Gadai ........................................................................... 19
B. Dasar Hukum Gadai (Ar- Rahn) ............................................... 27
1. Dalil Al- Qur’an ................................................................... 27
2. Hadits ................................................................................... 28
3. Pendapat Ulama ................................................................... 29
4. Fatwa Dewan Syari’ah- Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI) .................................................................................... 30
C. Rukun Dan Syarat Gadai .......................................................... 32
1. Rukun Gadai ........................................................................ 32
2. Syarat Gadai ......................................................................... 33
Page 11
xi
3. Hak Dan Kewajiban Pemberi (Rahin) dan Penerima
Gadai (Murtahin) ................................................................. 37
4. Berakhirnya Akad Gadai ..................................................... 39
D. Ketentuan Khusus Akad Gadai ................................................ 40
1. Tambahan Pada Barang Gadai (al- Marhun) ....................... 40
2. Pengambilan Manfaat Atas Barang Gadai (al- Marhun) ..... 43
BAB III PERSEPSI ULAMA TERHADAP PRAKTEK PELAKSANAAN
PENGAMBILAN MANFAAT ATAS MARHUN
OLEH MURTAHIN DI DS. BANJARAN, SALEM. BREBES
A. Profil Desa Banjaran ................................................................. 54
1. Kondisi Geografis ................................................................ 54
2. Kondisi Demografi .............................................................. 55
a. Kependudukan ................................................................ 55
b. Kondisi Sosial, Budaya, Keagamaan dan Ekonomi ........ 56
B. Pelaksanaan Praktek Pemanfaatan Barang Gadai Sawah
di desa Banjaran, Kec. Salem, Kab. Brebes ............................. 63
1. Praktek Gadai Sawah di Desa Banjaran, Kec. Salem,
Kab. Brebes ......................................................................... 63
2. Pendapat Para Pihak Terhadap Pemanfaatan Sawah Gadai. 68
C. Pendapat Ulama Terhadap Pemanfaatan Sawah Gadai ............ 70
BAB IV ANALISIS PERSEPSI ULAMA TERHADAP PEMANFAATAN
SAWAH GADAI YANG DILAKSANAKAN DI DS. BANJARAN,
KEC. SALEM. BREBES
A. Analisis Pelaksanaan Praktek Gadai Sawah di ds. Banjaran,
Salem, Brebes Berdasarkan Syarat dan Rukun Gadai ............. 76
B. Analisis Terhadap Persepsi Ulama Mengenai Praktek
Pemanfaatan Sawah Gadai oleh Murtahin yang dilaksanakan
di Ds. Banjaran. Salem. Brebes ............................................... 81
Page 12
xii
1. Analisis Terhadap Persepsi Ulama yang Membolehkan
Pemanfaatan Marhun oleh Murtahin dalam Pelaksanaan
Gadai Sawah di Ds. Banjaran, Salem, Brebes ..................... 81
2. Analisis Terhadap Pesepsi Ulama yang Membolehkan
Pemanfaatan Marhun oleh Murtahin dalam Pelaksanaan
Gadai Sawah di Ds. Banjaran, Salem, Brebes ..................... 84
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 88
B. Saran-Saran .............................................................................. 90
C. Penutup ..................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Page 13
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah suatu sistem dan jalan hidup yang utuh dan terpadu
(a comprehensive way of life). Ia memberikan panduan yang dinamis dan
lugas terhadap aspek kehidupan,1 yakni melalui al-Qur‟an dan as-Sunnah
Rasulullah SAW. Al-Qur‟an dan as-Sunnah sebagai penuntunan, mempunyai
daya jangkau dan daya atur yang universal, meliputi segenap aspek dalam
persoalan kehidupan umat manusia, baik pada masa lampau (setelah al-
Qur‟an diturunkan), masa kini, maupun masa yang akan datang. Hal itu dapat
terlihat dari segi teksnya yang selalu tepat untuk diimplikasikan dalam
kehidupan aktual, misalnya dalam bidang muamalah duniawiyah,2 yaitu
bidang yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat mengenai
kebendaan dan hak-hak serta penyelesaian persengketaan-persengketaan yang
mungkin terjadi dalam pelaksanaan muama
lah tersebut, dalam hal ini salah satunya yang berkaitan dengan
pelaksanaan praktek gadai.3
1 Muh. Syafi‟i Antonio, “Bank Syari‟ah „Dari Teori ke Praktek‟ ”, Jakarta: Gema Insani,
Cet. 1, 2001, bag. Pengantar. 2 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi. K. Lubis, “Hukum Perjanjian Dalam Islam”,
Jakarta: Sinar Grafika. 3 Gemala Dewi, dkk., “Hukum Perikatan Islam di Indonesia”, Jakarta: Kencana, Cet. 1,
2005, hlm. 5.
Page 14
2
Pembahasan tentang gadai ini kembali muncul ke permukaan dalam
beberapa tahun terakhir ini seiring dengan makin seringnya masyarakat
melaksanakan praktek gadai tersebut dalam menyelesaikan permasalahan
yang dihadapinya. Salah satu alasan yang melatar belakangi dilaksanakannya
gadai oleh masyarakat ialah karena proses gadai yang tidak memakan waktu
yang berlebihan. Selain itu, seseorang dapat menyelesaikan masalah yang
dihadapinya dengan segera dengan menggunakan barang berharga yang
dimilikinya sebagai jaminan tanpa harus takut kehilangan barang tersebut,
karena pada akhirnya saat ia mengembalikan pinjaman yang diambilnya,
maka ia dapat langsung mengambil kembali barang yang dijaminkannya
tersebut. Sehingga ia dapat memperoleh yang diinginkannya tanpa harus
mengorbankan apa yang dimilikinya. Sehingga kemudian banyak literatur-
literatur mengenai akad gadai tersebut.
Syafi‟i Antonio dalam karyanya menerangkan bahwa Gadai yang
dalam fikih dikenal dengan akad ar-Rahn diartikan sebagai “suatu akad
dimana menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya”.4 Maksudnya bahwa dalam hal ini si peminjam
(rahin) harus menyediakan harta benda yang dimilikinya, yang benda tersebut
kemudian akan dijadikan jaminan untuk piutang yang diambilnya dari si
pemberi pinjaman (murtahin).
Disampaikan pula oleh Hasbi as-Shiddieqy sebagai berikut:
4 Muh. Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah ‟Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia
Institute, 1999, hlm. 182.
Page 15
3
Artinya: “Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara‟ sebagai
jaminan atas utang selama ada dua kemungkinan, untuk
mengembalikan atau mengambil sebagian benda itu”.5
Penjelasan lain tentang gadai ini dikemukakan pula oleh Dr. H. Hendi
Suhendi dalam bukunya, bahwa rahn merupakan:
Artinya: “Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang
mungkin diperoleh bayaran yang sempurna darinya”.6
Berkenaan dengan akad gadai ini diberikan penjelasan dalam firman
Allah SWT. Qs. Al- Baqarah: 283.7
Artinya: “Jika (hendak bermuamalah tidak secara tunai) engkau dalam
perjalanan sedangkan engkau idak menemukan seorang Penulis,
maka hendaklah ada barang jaminan. Jika kamu sekalian saling
mempercayai, maka hendaklah orang yang dipercayai tersebut
selalu menjaga kepercayaan tersebut. (Al- Baqarah: 283)”.
5 Hasbi as-Shiddieqy, “Pengantar Fiqh Muamalah”, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm.
86-87. 6 Hendi Suhendi, M “Fiqh Muamalah”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hlm.
105. 7 Departemen Aganma RI, „Abdul „Aziz „Abdur Ra‟uf dan Al- Hafiz (edit), “Mushaf Al-
Qur‟an Terjemah Edisi Tahun 2002”, Jakarta: Al- Huda, 2005.
Page 16
4
Kemudian telah dicontohkan pula oleh Rasulullah SAW, yang
dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari
Aisyah r.a.:
Artinya: “Dan dari Aisyah r.a, bahwasanya Nabi saw, mengambil makanan
dari seorang Yahudi yang harganya akan dibayarkan dalam satu
jangka waktu tertentu, sedang Nabi saw, Sebagai jaminan Nabi
menggadaikan baju besi beliau.” (HR. Bukhary; Muslim; al-
Muntafaqa II: 350).8
Seperti yang telah diketahui bahwasanya pada umumnya aspek hukum
keperdataan Islam (fiqh mu‟amalah) dalam hal transaksi mempersyaratkan
rukun dan syarat dan syarat syah, hal inipun berlaku dalam akad gadai.
Demikian yang termasuk ke dalam rukun gadai ialah:
1. Aqid (orang yang berakad)
Aqid ialah merupakan pihak yang melaksanakan akad tersebut
yang meliputi dua arah. Dalam akad gadai ini terdapat dua aqid yang
saling berkaitan, yakni;
a. Rahin yang merupakan pihak menggadaikan barangnya (barang gadai)
dan;
b. Murtahin yang merupakan pihak yang berpiutang dan menerima
barang gadai.
2. Ma‟qud ‟alaih (Barang yang diakadkan).
8 T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, “Koleksi Hadis-Hadis Hukum 7”, Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putera, Cet. 3, Ed. 2, 2001, hlm. 130
Page 17
5
Ma‟qud ‟alaih meliputi dua hal yakni;
a. Marhun merupakan barang yang digadaikan dan;
b. Marhun bihi merupakan utang yang karenanya diadakan akad rahn. 9
3. Shigat al-‟Aqd (Ijab dan kabul)
Merupakan ungkapan para pihak yang melakukan akad.
a. Ijab adalah pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
b. Qabul merupakan pernyataan menerima dari pihak kedua atas
penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama.10
Berkenaan dengan barang gadai (marhun) bahwa dalam hal ini semua
barang yang boleh diperjual-belikan, boleh digadai sebagai tanggungan
hutang. Dan barang-barang yang tidak boleh diperjual-belikan tidak boleh
digadaikan, sebab gadai (hakikatnya) menjual nilai dari barang itu.11
Sementara bekenaan dengan status marhun tersebut tetap menjadi hak dari
pemberi gadai (Rahin), sehingga baik dalam hal yang berkaitan dengan
keuntungan maupun kerugian atas barang gadai tersebut menjadi hak dan
kewajiban pemberi gadai (rahin). Seperti dijelaskan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Syafi‟i dan Daruquthni dari Abu Hurairah r.a.:
9 Zainuddin Ali, “Hukum Gadai Syari‟ah”, Jakarta: Sinar Grafika, Edi. 1, Cet. 1, 2008,
hlm. 20. 10
Gemala Dewi, op. cit. hlm. 63. 11
Moh. Rifa‟i, Terjemah Kifayatul Ahyar, CV. Thoha Putra, Semarang, 1978, hlm. 196.
Page 18
6
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW,: Gadaian itu tidak menutup
akan yang punyanya dari manfaat barang itu, faidahnya kepunyaan
dia dan dia wajib mempertanggungjawabkan segala resikonya”.
(HR. as- Syafi‟I dan ad- Daruquthni).12
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa dalam masyarakat
praktek gadai juga sudah sangat dikenal dan lazim dilaksanakan sebagai salah
satu akad dalam aktivitas ekonomi atau yang dalam Islam dikenal dengan
aktivitas bermuamalah. Akad gadai ini biasanya dilakukan ketika seseorang
itu sangat membutuhkan sejumlah dana, sementara dirinya hanya memiliki
suatu benda/ harta (bukan uang) yang jika menunggu dijual dahulu akan
membutuhkan waktu lama. Atau karena orang tersebut memang
menginginkan untuk tetap memiliki barang tersebut, dikarenakan itu adalah
barang berharga yang sangat berarti untuk dirinya. Maka solusi yang diambil
ialah dengan cara menggadaikan barang tersebut sehingga dia tetap
memperoleh dana, juga barangnya tetap dapat dimilikinya kembali saat dia
sudah dapat mengembalikan uang bayaran gadai tersebut.
Salah satu praktek gadai yang Penulis temukan ialah praktek gadai
yang dilaksanakan oleh masyarakat di Banjaran, Kec. Salem, Brebes.
Masyarakat biasanya menggunakan sawah mereka sebagai barang jaminan
(marhun) atas akad gadai yang mereka lakukan.
Proses gadai tersebut digambarkan dimana Rahin menggadaikan
sawahnya dengan teknis Rahin menyerahkan sawahnya kepada Murtahin,
kemudian Rahin akan memperoleh sejumlah uang yang telah disepakati
12
Chuzaimah T. Yanggo dan A. Hafiz Anshory, A.Z, “Problematika Hukum Islam
Kontemporer III”, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. 3, 2004, hlm. 94.
Page 19
7
dalam akad tersebut, selain itu ditentukan pula berapa lama waktu akad gadai
akan berlangsung. Selama akad gadai tersebut berlangsung, lahan sawah
berada dalam penguasaan Murtahin serta ia pulalah yang yang berhak dalam
hal penggunaan lahan sawah tersebut kaitannya dengan pengambilan
manfaatnya, semua kebijakan/ keputusan (dalam hal perawatan, pengolahan
dan pemanfaatan) atas lahan tersebut diserahkan kepadanya. Sementara Rahin
tidak mempunyai hak untuk memanfaatkan sawah tersebut, bahkan ia tidak
dapat sekedar mengambil sebagian kecil manfaat dari lahan sawah tersebut
sampai ia dapat mengembalikan uang yang dipinjamnya dulu dari Murtahin.
Sehingga lahan sawah tersebut dikuasai oleh Murtahin, ditanami sesuai
kehendaknya asal itu membawa keuntungan baginya.
Dalam peristiwa tersebut tentu menarik untuk dikaji ulang, mengingat
hal tersebut berbeda dengan yang apa dijelaskan dalam literatur-literatur yang
membahas tentang akad gadai. Hal ini seperti yang telah tersirat dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Syafi‟i dan Daruquthni bahwa mengenai
barang gadai tersebut menjadi hak dari pihak yang memberikan gadai tadi,
sehingga baginya pula segala keuntungan dan kerugian yang mungkin akan
ditanggung.
Sehubungan dengan adanya praktek gadai yang terjadi di Banjaran,
Kec. Salem, Brebes tersebut, Penulis tertarik untuk membahasnya mengenai
bagaimana kajian hukum Islam berkenaan dengan praktek gadai yang terjadi
di desa Banjaran, Kec. Salem, Kab. Brebes tersebut. Untuk membahas
permasalahan tersebut Penulis mengambil sebuah judul yaitu: “ANALISIS
Page 20
8
HUKUM ISLAM TERHADAP PEMANFAATAN SAWAH GADAI
(Persepsi Ulama Salem Terhadap Praktek Gadai Sawah Di Ds. Banjaran,
Salem, Brebes).
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari penjelasan di atas, ada beberapa permasalahan yang
ingin penulis bahas dalam skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimanakah praktek gadai sawah di Banjaran, Kec. Salem, Brebes?
2. Bagaimanakah persepsi ulama Salem tentang pemanfaatan sawah gadai
oleh Murtahin yang dilaksanakan di Ds. Banjaran, Kec. Salem, Brebes?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan praktek gadai sawah yang
dilaksanakan di Banjaran, Kec. Salem, Brebes.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah persepsi ulama Salem terhadap praktek
pemanfaatan sawah gadai oleh murtahin yang dilaksanakan di Banjaran,
Kec. Salem, Brebes.
Manfaat Penelitian ini adalah:
1. Dapat mengetahui bagaimana praktek pemanfaatan sawah gadai oleh
murtahin dalam pelaksanaan gadai sawah yang dilaksanakan di desa
Banjaran, Salem, Brebes.
2. Dapat mengetahui bagaimanakah persepsi Ulama Salem tentang
pemanfaatan sawah gadai yang dilaksanakan di Banjaran, Kec. Salem,
Brebes.
Page 21
9
3. Dapat mengetahui bagaimana hukum Islam mengkaji proses pemanfaatan
lahan sawah dalam akad gadai yang dilaksanakan di Banjaran, Kec. Salem,
Brebes.
4. Bagi IAIN Walisongo, diharapkan skripsi ini dapat menjadi tambahan
informasi dan referensi belajar khususnya bagi mahasiswa-mahasiswi
fakultas Syari‟ah jurusan Hukum Ekonomi Islam atau Muamalah.
D. Telaah Pustaka
Terkait penelitian Penulis ini, Penulis menemukan beberapa sumber
yang terkait dengan penelitian Penulis. Diantaranya:
1. Karya ilmiah berupa skripsi yang ditulis oleh Muhamad Jamroni
(042311028) yang merupakan mahasiswa S1 IAIN Walisongo Semarang,
Fakultas Syari‟ah. Dalam karyanya yang berjudul “Analisis Hukum Islam
Terhadap Praktek Gadai Sawah (Studi Kasus gadai Di Desa Penyalahan
Kecamatan Jatinegara Kabupaten Tegal)”. Dalam skripsi tersebut
mengkaji tentang permasalahan yang berkaitan dengan bagaimanakah
praktek gadai sawah yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penyalahan
Kecamatan Jatinegara Kabupaten Tegal, serta bagaimana tinjauan Hukum
Islam terhadap praktek gadai tersebut. Dari skripsi tersebut kemudian
diketahui bahwa praktek gadai yang dilaksanakan oleh masyarakat di desa
Penyalahan, Kec. Jatinegara, Tegal tersebut sudah memenuhi syarat dan
rukun gadai, hanya saja perlu dilakukan pembenahan terhadap hal yang
berkaitan dengan pengelolaan dan pembagian hasil barang jaminan.
Sementara dari segi pandangan Hukum Islam, praktek gadai di desa
Page 22
10
Penyalahan tersebut dipandang tidak sesuai dengan konsep ta‟awun. Hal
ini dikarenakan segala keuntungan terhadap pengelolaan barang jaminan
diambil sepenuhnya oleh Penerima Gadai.
2. Penelitian Nur Rif'ati (2103141) yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Praktek Gadai Sepeda Motor (Studi Kasus Di Desa
Karangmulyo Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal)”. Dalam
penelitian tersebut bermaksud untuk membahas bagaimana tinjauan
hukum Islam terhadap praktek gadai sepeda motor, dimana barang tersebut
berupa barang hutangan, adanya unsur tambahan serta pemanfaatan
dengan cara menyewakan barang gadai tersebut. Kemudian dari penelitian
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa praktek gadai yang dilaksanakan
di desa Karangmulyo, kec. Pegandon, Tegal tersebut tidak sesuai dengan
Hukum Islam, ini dilihat dari segi ma‟qud alaih yang berupa hutang.
Padahal dalam syarat gadai dijelaskan bahwa ma‟qud alaih tidak boleh ada
tanggungan dengan pihak lain, yakni harus berupa milik sempurna. Dari
akad gadai yang tersebut ini juga diketahui bahwa akad gadai tersebut
terkontaminasi oleh praktek riba, dimana murtahn selain mengambil
manfaat dari ma‟qud alaih juga meminta bunga dari pokok pinjaman yan
diambil oleh rahin. Selain itu dijelaskan juga bahwa dalam praktek gadai
tersebut ditemukan adanya unsur gharar, ini digambarkan dengan kegiatan
murtahin yang menyewakan ma‟qud alaih yang dalam hal ini merupakan
bentuk penipuan dan kecurangan terhadap rahin.
Page 23
11
3. Penelitian oleh Nur Asiah (2101171) yang berjudul “Pemanfaatan
Barang Gadai Oleh Pemberi Gadai (Rahin) Dalam Perspektif Hukum
Islam Dan KUH-Perdata”. Dalam penelitian ini memfokuskan pada
bagaimana pemanfaatan barang gadai oleh rahin ditinjau dari Hukum
Islam serta Pasal 1150 KUH Perdata. Dari penelitian ini dijelaskan bahwa
baik ditinjau dari Hukum Islam maupun KUH Perdata bahwa praktek
pemanfaatan barang gadai tidak diperbolehkan. Namun, dalam Hukum
Islam dijelaskan bahwa pemegang gadai diperbolehkan mengambil
manfaat atas barang jaminan yang berupa binatang ternak yang
memerlukan perawatan atasnya. Dalam hal ini pemegang gadai
diperkenankan mengambil manfaat sebesar biaya perawatan dan
pemeliharaan binatang tersebut.
4. Penelitian Siti Zainab (2103142), yang berjudul “Analisis Pendapat Imam
Malik Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Yang Menggadaikan
Dengan Penerima Gadai Terhadap Barang Yang Rusak”. Dalam penelitian
tersebut memfokuskan pada beberapa permasalahan yakni: bagaimana
pandangan Imam Malik tentang penyelesaian perselisihan antara yang
menggadaikan dengan penerima gadai. Serta metode istinbat hukum yang
bagaimana yang digunakan Imam Malik dalam rangka penyelesaian
perselisihan antara yang menggadaikan dengan penerima gadai tersebut.
Kemudian dari penelitian tersebut dijelaskan bahwa langkah yang
dilaksanakan dalam rangka penyelesaian perselisihan antara yang
menggadaikan dengan pemegang gadai ialah dengan menerima pengakuan
Page 24
12
dan keterangan dari pemegang gadai, hal ini seperti dijelaskan dalam
kitabnya al-Muwatta‟.
E. Metode Penelitian
Dalam skripsi ini penulis menggunakan beberapa tipe metode
penelitian agar didapat data-data yang akurat, yaitu:
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian
Lapangan (Field Research) yang juga disebut dengan penelitian kasus
(Case Study) dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar
belakang keadaan dan posisi saat ini, serta interaksi lingkungan unit sosial
tertentu yang bersifat apa adanya (given). Penelitian kasus ini merupakan
studi mendalam mengenai unit sosial tertentu, yang hasil penelitian itu
memberi gambaran luas dan mendalam mengenai unit sosial tertentu.13
Penelitian ini pada umumnya bertujuan untuk mempelajari secara
mendalam terhadap suatu individu, kelompok, institusi, atau masyarakat
tertentu, tentang latar belakang, keadaan/ kondisi, faktor-faktor, atau
interaksi-interaksi (sosial) yang terjadi di dalamnya.14
Dalam hal ini
penulis mencoba mengamati langsung mengenai praktek gadai yang
dilakukan oleh rahin dan murtahin yang berada di Banjaran, Kec. Salem,
Brebes. Diharapkan dengan dilakukannya penelitian lapangan ini penulis
13
Sudarwan Danim, “Menjadi Peneliti Kualitatif „Ancangan metodologi, presentasi dan
publikasi hasil penelitian untuk mahasiswa dan peneliti pemula bidang ilmu-ilmu social,
pendidikan, dan humaniora‟ ”, Bandung: CV. Pustaka Setia, Cet. I, 2002, hlm. 54. 14
Bambang Sunggono, “Metodologi Penelitian Hukum „Suatu Pengantar”, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, Cet. 2, 1998, hlm. 36.
Page 25
13
akan memperoleh data yang akurat mengenai proses dilakukannya akad
gadai di Banjaran tersebut.
2. Sumber Data
Data yang Penulis gunakan dalam penelitian skripsi ini berasal dari
dua sumber, yakni:
a. Sumber Primer
Yakni sumber yang langsung memberikan data kepada
pengumpul.15
Data ini diperoleh secara langsung dari masyarakat baik
yang melalui wawancara, observasi dan alat lainnya. Data ini masih
mentah dan perlu adanya analisa lebih lanjut atasnya.16
Dalam hal ini sumber data primer penulis ialah berupa data
langsung yang diperoleh dari hasil pengamatan dan penelitian penulis
berkenaan dengan dengan praktek gadai sawah yang dilaksanakan oleh
rahin dan murtahin di Banjaran, Kec. Salem, Brebes. Selain itu juga
berasal dari persepsi/ pendapat ulama yang berada di sekitar Ds.
Banjaran, Salem, Brebes.
b. Sumber Sekunder
Data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data, misalnya melalui dokumen.17
Dalam hal ini menggunakan literatur-literatur berupa buku-buku
khususnya yang membahas tentang penelitian ini.
15
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif Dan R&D, Bandung: Alfabeta,
2009, hlm. 225 16
Joko Subagyo. “Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek”, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, Cet. I, 1991, hlm. 87. 17
Sugiyono. op. cit., hlm. 230
Page 26
14
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendukung penulisan skripsi ini, ada beberapa metode yang
Penulis gunakan dalam mengumpulkan data, yakni:
a. Observasi
Ialah suatu pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis
mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian
dilakukan pencatatan.18
Yakni cara pengumpulan data dengan
menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk
keperluan tersebut.19
Dalam hal ini Penulis melakukan observasi dengan cara
mengamati praktek akad gadai yang dilakukan oleh rahin dan murtahin
di ds. Banjaran, Kec. Salem, Brebes. Observasi yang dimaksud ialah
berkaitan dengan bagaimana masyarakat ds. Banjaran melaksanakan
praktek gadai tersebut. Bagaimana murtahin memanfaatkan sawah yang
dijadikan jaminan gadai oleh rahin, sehingga rahin tidak memiliki hak
apapun atas sawahnya tersebut sampai ia mampu mengembalikan
pinjaman yang ia ambil dari murtahin. Praktek gadai yang penulis amati
dalam hal ini terdapat 2 praktek gadai, ini dimaksudkan untuk
membandingkan di antara keduanya.
b. Interview/ Wawancara.
Wawancara merupakan sebuah percakapan antara dua orang atau
lebih, yang pertanyaannya diajukan oleh peneliti kepada subjek atau
18
P. Joko Subagyo, op. cit. hlm. 63. 19
Moh. Nazir, “Metode Penelitian”, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988, hlm. 212
Page 27
15
sekelompok subjek peneliti untuk dijawab.20
Yakni merupakan suatu
metode pengumpul data yang untuk mendapatkan informasi secara
langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para
responden. Wawancara sendiri bermakna berhadapan langsung antara
interviewer(s) dengan responden, dan kegiatannya dilakukan secara
lisan.21
Dalam hal ini Penulis melakukan interview langsung dengan
pihak-pihak yang terkait dalam akad gadai sawah tersebut. Responden
dalam penelitian ialah ulama,22
sebagai pihak yang berkompeten untuk
menjelaskan tentang kajian hukum Islam berkenaan dengan akad gadai
(baik secara teoritis, maupun berkaitan dengan pelaksanaan gadai
sawah di ds. Banjaran). Penelitian ini melibatkan 6 orang yang
mewakili ulama. Ulama yang dimaksud penulis diantaranya mewakili
pihak pemilik tempat pendidikan agama (pondok pesantren), pihak
yang mewakili penceramah/ guru yang biasanya menyampaikan pesan/
pengajaran agama, yang mewakili organisasi keagamaan (dalam hal ini
penulis mengambil sampel dari organisasi NU dan Muhammadiyah).
20
Sudarwan Denim, op. cit., hlm. 130 21
Joko Subagyo, op. cit. hlm. 39. 22
Kata ulama merupakan bentuk jamak dari kata „alim. (Ibnu Mandhur, Lisan al-arab,
Juz I, Beirut : Dar al-Lisan al-Arab, tth., hlm. 273). Namun dalam perkembangannya kata “ulama”
ini telah mengalami penyempitan makna yakni kata “ulama” tersebut dimaknai sebagai bentuk
tunggal. Seorang alim digambarkan sebagai seorang yang berilmu, sementara seorang ulama
ditujukan kepada seorang yang memiliki pengetahuan agama, terutama dalam bidang fikih atau
hukum Islam. Meskipun sebenarnya untuk sebutan seorang ahli fikih itu sendiri lebih tepat disebut
sebagai faqih atau jamaknya fuqaha. Sehingga dapat dikatakan bahwa ulama merupakan seorang
yang ahli atau memiliki pengetahuan baik ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan ke-
alaman, yang dengan pengetahuannya tersebut menjadikannya memiliki rasa taqwa, takut dan
tunduk kepada Allah SWT (Tim Penyusun Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam,
Jilid VI, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, hlm. 1841).
Page 28
16
Penelitian ini juga tentu saja melibatkan rahin dan murtahin sebagai
pihak pelaksana praktek gadai sawah tersebut. Wawancara dengan
pihak rahin dan murtahin disini berkaitan dengan perihal bagaimana
proses pelaksanaan gadai sawah tersebut, kemudian bagaimana
pendapat mereka terhadap praktek pelaksanaan gadai sawah di ds.
Banjaran, serta bagaimana pendapat mereka tentang pemanfaatan
sawah gadai terseut. Penelitian ini melibatkan 7 orang responden yang
berasal dari pihak rahin. serta dari pihak murtahin sebanyak 7 orang
pula.
4. Metode Analisis Data
Proses analisis data secara keseluruhan melibatkan usaha
memaknai data yang berupa teks atau gambar. Analisis data merupakan
proses berkelanjutan yang membutuhkan refleksi terus-menerus terhadap
data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitis, dan menulis secara
singkat sepanjang penelitian. Analisis data melibatkan pengumpulan data
yang terbuka yang didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan umum, dan
analisis informasi dari para partisifan.23
Dalam penelitian ini metode
analisis yang digunakan adalah deskriptif, yaitu metode penelitian untuk
membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian,24
Penelitian deskriptif
disini bertujuan untuk membuat pencanderaan secara sistematis, faktual
dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah
23
John. W. Creswell, “Research Design „Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed”,
diterjemahkan oleh Achmad Fawaid dari “Research Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approache”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2002, hlm. 274-275. 24
Moh Nazir, hal. 64
Page 29
17
tertentu.25
Dan atau bertujuan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan
yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa
sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.26
Situasi atau kejadian yang
dimaksud dalam skripsi ini ialah praktek gadai yang dilakukan oleh
masyarakat desa Banjaran.
F. Sistematika Penelitian
Untuk memberi kemudahan dalam memahami skripsi ini, maka
Penulis menguraikan susunan penulisan secara sistematis, yakni sebagai
berikut :
BAB I : PENDAHULUAN.
Dalam bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, telaah pustaka, metode peneltian, sistematika
penelitian.
BAB II : Ketentuan Umum Mengenai Gadai (Ar-Rahn)
Pembahasan umum mengenai pandangan Islam mengenai praktek
akad gadai (ar-Rahn). Yakni berkaitan dengan definisi gadai (ar-
Rahn), dasar hukum, rukun dan syarat, serta ketentuan khusus
gadai berkaitan dengan tambahan pada barang gadai serta
pengambilan manfaat atas barang gadai.
25
Sumadi Suryabrata, “Metodologi Penelitian”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet.
9, 1995, hlm. 18. 26
Consuelo. G. Sevilla, dkk. , “Pengantar Metode Penelitian”, diterjemahkan oleh
Alimuddin Tuwu dari “An Introduction to Research Methods”, Jakarta: UI-Press, Cet. 1, 1993,
hlm. 71.
Page 30
18
BAB III : Persepsi Ulama Salem Terhadap Praktek Pelaksanaan
Pengambilan Manfaat atas Marhun oleh Murtahin di Ds.
Banjaran, Salem. Brebes
Berisi tentang deskripsi profil ds. Banjaran dan kondisi sosial
kemasyarakatan di Ds. Banjaran, kec. Salem, kab. Brebes.
Dilanjutkan tentang penjelasan berkaitan dengan pelaksanaan
praktek gadai sawah yang dilaksanakan di desa tersebut serta
penjelasan dalam kaitannya dengan pendapat para ulama Salem
dan para pihak yang terkait dengan pelaksanaan praktek gadai
tersebut, terutama dalam kaitannya dengan pemanfaatan sawah
gadai oleh murtahin.
BAB IV : Analisis Terhadap Persepsi Ulama Terhadap Pemanfaatan
Sawah Gadai yang dilaksanakan di Ds. Banjaran, Kec. Salem,
Brebes.
Analisis penulis terhadap pelaksanaan praktek gadai yang
dilakukan oleh masyarakat di desa Banjaran, Kec. Salem, Kab.
Brebes. Serta analisis berkaitan dengan persepsi Ulama Salem
terhadap pelaksanaan pemanfaatan sawah gadai dalam praktek
gadai tersebut.
BAB V : PENUTUP
Berisi kesimpulan, saran dan juga kritik penulis.
Page 31
19
BAB II
KETENTUAN UMUM MENGENAI GADAI (AR- RAHN)
A. Definisi Gadai
Gadai merupakan suatu sarana saling tolong-menolong bagi umat
muslim, tanpa adanya imbalan jasa.27
Sehingga kemudian akad gadai ini
dikategorikan kedalam akad yang bersifat derma (tabarru), hal ini disebabkan
karena apa yang diberikan rahin kepada murtahin tidak ditukar dengan
sesuatu. Sementara yang diberikan oleh murtahin kepada rahin adalah utang,
bukan penukar dari barang yang digadaikan (marhun). Selain itu, rahn juga
digolongkan kepada akad yang bersifat ainiyah, yakni akad yang sempurna
setelah menyerahkan barang yang diakadkan. Sehingga kemudian dijelaskan
bahwa semua akad yang bersifat derma dikatakan sempura setelah memegang
(al-qabdu), sempurna tabarru‟, kecuali setelah pemegangan).28
Selain itu,
gadai ini juga termasuk ke dalam jenis akad musamma.29
27
Nasrun Haroen, “Fiqh Muamalah”, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. 2, 2007, hlm.
251. 28
Rahmat Syafe‟i, “Fiqh Muamalah”, Bandung: CV. Pustaka Setia, Cet. 10, 2001. hlm.
160 29
Akad (al „aqd – al „uqud) secara bahasa diartikan sebagai al- rabath yakni menghimpun
atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satu pada yang lainnya hingga
keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu. [Hukum Perikatan Islam di Indonesia
oleh Gemala Dewi et al, op. cit., hlm. 45].
Dalam terminologi hukum Islam, akad diartikan sebagai pertalian antara ijab dan qabul
yang dibenarkan oleh syara‟ (bahwasanya setiap akad tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
syari‟at Islam) yang menimbulkan akibat hukum bagi objeknya. Pengertian akad yang tersebut
merupakan satu perbuatan atau tindakan hukum, maksudnya ialah bahwa dengan dilakukannya
akad tersebut maka akan menimbulkan hak dan kewajiban yang mengikat pihak-pihak yang terkait
baik secara langsung maupun secara tidak langsung dengan akad tersebut. Akad ini kemudian
mengalami pengelompokkan berdasarkan kategori tertentu. Salah satu pengelompokan yang
dimaksudkan adalah berdasarkan segi penamaan yang dinyatakan oleh syara‟, yang dibedakan
menjadi akad musamma dan ghoiru musamma. Akad musamma merupakan sejumlah akad yang
disebutkan oleh syara‟ dengan terminologi tertentu beserta akibat hukumnya, diantara jenis akad
19
Page 32
20
Secara etimologi gadai atau yang dalam bahasa arab disebut dengan
rahn berasal dari kata rahana-rahnan.30
Yang dalam hal ini rahn berarti
( / tetap dan lama), yakni tetap atau berarti ( /
pengekangan dan keharusan)31
Akar kata rahn itu sendiri berasal dari al-Qur‟an surat al- Mudatstsir:
38, sebagai berikut:
Artinya: “tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya”.32
Ayat tersebut menegaskan bahwa setiap pribadi tergadai di sisi Allah
SWT. Ia pun harus menebusnya dengan amal-amal perbuatan yang baik.
Setiap pribadi tersebut seakan-akan berhutang pada Allah SWT, maka ia
harus membayar utang tersebut sebagai cara pembebasan diri atas utang
tersebut kepada Allah SWT.33
Sementara itu, gadai menurut istilah merupakan akad utang di mana
terdapat suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan
dalam utang piutang, barang itu boleh dijual apabila utang tak dapat dibayar,
musamma ialah akad gadai (rahn). Akad ghoiru musamma adalah akad yang mana syara‟ tidak
menyebutkan dengan terminologi tertentu dan tidak pula menerangkan akibat hukum yang
ditimbulkannya, berkembang berdasarkan kebutuhan manusia dan perkembangan kemaslahatan,
diantara akad ghoiru musamma ialah akad „istishna‟.(Tentang akad baca lebih lanjut dalam
bukunya Ghufron. A, Mas‟adi, “Fiqh Muamalah Kontekstual”, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
Ed. 1, Cet. 1, 2002, hlm. 75-77, dan 106. 30
Ahmad Wardi Muslich, “Fiqh Muamalat”, Jakarta: AMZAH, Cet. I, 2010, hlm 286 31
Rahmat Syafe‟i, op. cit. hlm. 159 32
Departemen Negara RI, “Al- Qur‟an dan Terjemahnya al- Jumánstul „Alí”, Bandung:
CV. Penerbit Jumanatul „Ali-Art, 2005, hlm. 577. 33
M. Quraish Shihab, “Tafsir al- Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur‟an”,
Jakarta: Lentera Hati, vol. 14, cet. 4, 2006, hlm. 606
Page 33
21
hanya saja penjualan itu hendaknya dilaksanakan dengan keadilan (dengan
harga yang berlaku di waktu itu).34
Para Imam Madzhab mengartikan kata gadai (rahn) sebagai berikut:
Hanafiah sebagaimana dikutip oleh Sayid Syabiq mendefinisikan gadai
(rahn) sebagai:
Artinya: “Sesungguhnya rahn (gadai) adalah menjadikan benda yang
memiliki nilai harta dalam pandangan syara‟ sebagai jaminan
untuk utang, dengan ketentuan dimungkinkan untuk mengambil
semua utang, atau mengambil sebagiannya dari benda (jaminan)
tersebut”.
Syafi‟iyah sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili menjelaskan
bahwasanya gadai (rahn) merupakan:35
Artinya: “gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan untuk utang,
dimana utang tersebut bisa dilunasi (dibayar) dari benda (jaminan)
tersebut ketika pelunasannya mengalami kesulitan”.
Sementara itu Hanabilah mendefinisikan gadai (rahn) sebagai:
Artinya: “Gadai adalah harta yang dijadikan sebagai jaminan untuk utang
yang bisa dilunasi dari harganya, apabila terjadi kesulitan dalam
pengembaliannya dari orang yang berutang”.
34
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Bandung: PT.Sinar Baru Algensindo, 1994, hlm. 309 35
Ahmad Wardi Muslich, op. cit. hlm. 286-287.
Page 34
22
Madzhab Malikiyah mendefinisikan gadai (rahn) sebagai;
Artinya: “rahn adalah sesuatu yang bernilai harta yang diambil dari
pemiliknya sebagai jaminan untuk utang yang tetap (mengikat)
atau menjadi tetap”.
Berdasarkan pada pengertian gadai (rahn) menurut Imam madzhab
tersebut Dr. H. Ahmad Wardi Muslich menarik suatu intisari bahwasanya
gadai (rahn) adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas utang,
dengan ketentuan bahwa apabila terjadi kesulitan dalam pembayarannya
maka utang tersebut dapat dibayar dari hasil penjualan barang yang dijadikan
jaminan tersebut.36
Disampaikan pula oleh Hasbi as-Shiddieqy sebagai berikut:37
Artinya:“Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara‟ sebagai
jaminan atas utang selama ada dua kemungkinan, untuk
mengembalikan atau mengambil sebagian benda itu”.
Syafi‟i Antonio dalam karyanya menjelaskan bahwa Gadai merupakan
“suatu akad dimana menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya”.38
Sementara itu, Sayid Sabiq
dalam kitabnya menjelaskan bahwasanya yang dimaksud dengan gadai ialah
menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut syara‟ sebagai
36
Ibid. hlm. 287-288 37
Hasbi as-Shiddieqy, op. cit.,, hlm. 86-87. 38
Muh. Syafi‟i Antonio, op. cit., hlm.182.
Page 35
23
jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang
atau bisa mengambil sebagian (manfaat) barang itu.39
Pendapat lain dikemukakan oleh Al-Imam Abu Zakaria Al-Anshari,
menurut beliau bahwasanya ta‟rif (definisi) ar-rahn ialah menjadikan benda
yang bersifat harta (harta benda) sebagai kepercayaan dari suatu utang yang
dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bila utang tidak dibayar.40
Syekh
Zainuddin Bin Abdul Azis Al-Malibari menjelaskan bahwasanya gadai
merupakan suatu kegiatan menjaminkan barang yang dapat dijual sebagai
jaminan utang, jika penanggung tidak mampu membayar utangnya karena
kesulitan. Oleh karena itu tidak boleh menggadaikan barang wakaf atau
ummu al-walad (budak perempuan yang punya anak di tuannya).41
Ditinjau dari segi perikatan, perjanjian gadai ini merupakan perjanjian
dua pihak (bersegi dua; pemberi dan penerima/ pemegang gadai), namun
demikian dalam praktiknya perjanjian ini sering juga melibatkan tiga pihak
yakni debitur, pemberi gadai serta pemegang gadai/ kreditur.42
Susilo dalam bukunya Pegadaian Syari‟ah, menjelaskan bahwa gadai
ialah suatu hak yang diperoleh oleh seorang yang mempunyai piutang atas
suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang
39
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 12, Jakarta: Pustaka Percetakan Offset, 1998, hlm.139 40
Chuzaimah T. Yanggo dan A. Hafiz Anshory, A.Z, op. cit., hlm. 445 41
Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani, Terjemah Fathul Mu‟in, Jilid
I,Bandung: Sinar Baru Algesindo, Cet I, 1994, hlm. 838. 42
Penerima/ pemegang gadai (kreditur) merupakan orang yang berpiutang, Pemberi
gadai merupakan orang yang menyerahkan benda yang dijadikan obyek perjanjian gadai, debitur
merupakan orang yang berutang (Lihat Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi. K. Lubis, “Hukum
Perjanjian Dalam Islam”, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 2, 1996, hlm. 139
Page 36
24
yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain
atas nama orang yang mempunyai utang.43
Sementara itu pengertian gadai menurut KUH Perdata (Burgerlijk
Wetbook) yang diuraikan dalam Pasal 1150 disebutkan sebagai:
“Suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang di
serahkan oleh seorang berpiutangatas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang
lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si
berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan
kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan,
biaya-biaya mana harus didahulukan”.44
Dengan demikian bahwa menurut KUH Perdata, Gadai merupakan hak
kebendaan yang bersifat sebagai jaminan atas suatu hutang, dengan obyeknya
berupa benda bergerak.45
Berkenaan dengan hutang yang menggunakan
jaminan tersebut, dalam KUH Perdata selain gadai dibahas pula jenis lainnya,
yakni hipotek, yang selanjutnya tentang hipotek ini dijelaskan dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah yang
disahkan pada tanggal 9 april 1996. Demikian berdasarkan KUH Perdata
dijelaskan bahwa:
43
Muhamad Sholihul Hadi, Pegadaian Syari‟ah, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003,
hlm.16. 44
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata‟ Dengan
Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan”, Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, Cet. 27, 1995, hlm. 297. 45
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “Hukum Perdata; Hukum Benda”, Yogyakarta:
Liberty, 1974, hlm. 96
Page 37
25
“Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak,
untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu
perikatan.”46
Persamaan antara hipotik dan gadai tersebut merupakan hak kebendaan
maka juga mempunyai sifat-sifat dari hak kebendaan yaitu: selalu mengikuti
bendanya (droit de suite) yang terjadi lebih dahulu didahulukan dalam
pemenuhannya (droit de preference asas prioriteit) dapat dipindahkan dan
lain-lain. Selain itu baik hipotik maupun gadai mempunyai kedudukan
preferensi yaitu didahulukan dalam pemenuhannya melebihi kreditur-kreditur
lainnya (pasal 1133 KUH Perdata). 47
Persamaan lainnya dijelaskan ialah
bahwa baik hipotik maupun pand bersifat accessoir, yakni diadakan sebagai
akibat dari suatu perjanjian pokok, yakni perjanjian pinjam uang (utang-
piutang).48
Namun, dalam bahasannya selain keduanya memiliki persamaan,
terdapat pula perbedaannya. Perbedaan yang terdapat antara gadai
(pandrecht) dan hipotek (hypotheek) diantaranya sebagai berikut:
1. Dalam pandrecht harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas barang
yang dijadikan jaminan, sementara dalam hypotheek tidak.
2. Pandrecht hapus, jika barang yang dijadikan jaminan berpindah ke tangan
orang lain, tetapi dalam hypotheek tetap terletak sebagai beban di atas
benda yang dijadikan jaminanan meskipun benda ini dipindahkan kepada
orang lain.
46
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit, hlm. 300 47
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, loc. Cit. 48
Subekti, op. cit, hlm. 83
Page 38
26
3. Bahwa meskipun undang-undang tidak melarangnya, dalam kehidupan
sehari-hari hampir tidak pernah terjadi adanya lebih dari satu pandrecht
atas satu barang jaminan. Sementara dalam hypotheek merupakan suatu
hal yang biasa terdapat beberapa hypotheek yang bersama-sama yang
dibebankan di atas satu barang jaminan, misalnya hypotheek atas rumah. 49
Prof. Subekti, SH di dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Perdata”
mengatakan, di dalam hukum Romawi semacam hak gadai itu disebut
“Fiducia” yaitu suatu pemindahan hak milik sebagai suatu perjanjian bahwa
benda tersebut akan dikembalikan apabila si berutang sudah membayar utang
atau pinjamannya.50
Jadi dalam hal ini jaminan berupa surat-surat berharga
yang saat ini banyak berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan beberapa definisi tentang gadai (rahn) tersebut dapat
disimpulkan bahwa gadai merupakan kegiatan menjaminkan suatu barang/
benda yang memiliki nilai (harta benda) atas pinjaman yang diambil (oleh
rahin), yang hak penguasaannya berpindah kepada pihak yang memberikan
pinjaman (murtahin) sampai pinjaman yang diambil tersebut dikembalikan,
dan seandainya sampai masa yang ditentukan si peminjam (rahin) tidak
mampu untuk mengembalikan pinjaman yang diambilnya maka si pemberi
pinjaman (murtahin) berhak melakukan penjualan atas barang jaminan
(tentunya dengan kesepakatan bersama rahin), hasil penjualan tersebut
digunakan untuk mengganti pinjaman, seandainya masih terdapat kelebihan
maka diserahkan kepada si Peminjam (rahin), namun seandainya hasil
49
Ibid, hlm. 83 50
Ibid, hlm. 78
Page 39
27
penjualan tersebut kurang dari jumlah pinjaman maka kekurangan tersebut
ditanggungkan kepada si Peminjam (rahin).
Berkaitan dengan bahasan gadai dalam KUH Perdata dengan rahn
dalam Hukum Islam tersebut terdapat satu perbedaan yang signifikan, yakni
bahwa dalam hal objek gadai dalam KUH Perdata hanya meliputi benda
bergerak saja51
. Sementara objek rahn selain meliputi benda bergerak,
mencakup pula benda tidak bergerak.
B. Dasar Hukum Gadai (Ar-Rahn)
1. Dalil al-Qur‟an
Berkenaan dengan pinjam-meminjam dengan menyertakan
jaminan ini didasarkan pada firman Allah SWT, Qs. Al-Baqarah: 283:
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
51
Mengenai benda bergerak tersebut dibedakan menjadi:
a. Benda bergerak yang berwujud.
b. Benda bergerak yang tak berwujud, yaitu yang berupa pelbagai hak untuk
mendapatkan pembayaran uang, yaitu yang berwujud surat-surat piutang aan toonder (kepada si
pembawa), aan order (atas tunjuk), op naam (atas nama). (Baca dalam bukunya Sri Soedewi
Masjchoen Sofwam, op. cit, hlm. 98.
Page 40
28
berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (Qs. Al-Baqarah: 283)52
Ayat tersebut menjelaskan tentang kebolehan memberikan barang
tanggungan (marhun) sebagai jaminan atas pinjaman (menggadai).
Jaminan yang dimaksudkan bukan berupa tulisan atau saksi, melainkan
amanah dan kepercayaan timbal balik. Hutang diterima oleh pengutang,
dan jaminan diterima oleh pemberi hutang. Mengenai amanah tersebut
dimaksudkan sebagai bentuk kepercayaan dari si Pemberi kepada si
Penerima (pihak yang dititipi), bahwa apa yang dititipkannya tersebut akan
dipelihara dengan baik, serta pada saat waktunya untuk dikembalikan
dapat kembali secara utuh tanpa ada keberatan dari pihak yang dititipi.
Demikian pula si penitip tidak akan meminta melebihi dengan apa yang
telah disepakati kedua belah pihak.53
2. Hadits
Berkenaan dengan akad gadai ini dijelaskan pula dalam hadits dari
Aisyah r.a.:
Artinya: “Dan dari Aisyah r.a, bahwa sesungguhnya Nabi saw, pernah
membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo,sedang
Nabi saw, menggadaikan sebuah baju besi kepada Yahudi itu.”
52
Departemen Aganma RI, „Abdul „Aziz „Abdur Ra‟uf dan Al- Hafiz (edit), “Mushaf Al-
Qur‟an Terjemah Edisi Tahun 2002”, Jakarta: Al- Huda, 2005, hlm. 110 53
M. Quraish Shihab, “Tafsir al- Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur‟an”,
Jakarta: Lentera Hati, vol. 2, cet. 5, 2005, hlm. 610-611.
Page 41
29
Artinya: “Dari Anas, ia berkata, Nabi saw, pernah sebuah menggadaikan
sebuah baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah dan Nabi
mengambil gandum dari si Yahudi itu untuk keluarganya.” (HR.
Bukhori, Nasai, dan Ibnu Majah).
Artinya: “Dan dalam satu lafal (dikatakan): Nabi saw, wafat sedang baju
besinya masih tergadai pada seorang Yahudi dengan tiga puluh
sha‟ gandum”. (HR. Bukhari dan Muslim).54
Dari riwayat tersebut diketahui bahwa Nabi SAW membeli
makanan sebanyak 30 gantang dari seorang Yahudi yang bernama Abu
Syahmi, sedang pembayarannya diangguhkan, akan dibayar kemudian,
dan sebagai agunan Nabi menyerahkan baju besinya.55
Dan secara jelas
dapat kita ketahui bahwasanya kita dibolehkan melakukan perjanjian
(muamalah) meski dengan seorang kafir (non-muslim) sekalipun.56
3. Pendapat Ulama
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-Rahn dibolehkan
dalam syariat Islam dengan berdasarkan pada ketentuan al-Qur‟an dan
sunnah Rasul. Para ulama fiqh menyepakati bahwasanya rahn boleh
54
Mu‟ammal Hamidy, Terjemah Nailul Authar Jilid IV, Surabaya: Bina Ilmu, hlm. 1785-
1786. 55
T. M. Hasbi as-Shiddieqy, “Mutiara Hadits 5”, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
Cet. 1, Ed. 2, 2003, hlm. 82. Serupa dalam bukunya M. Ali Hasan, hlm. 255. 56
T. M. Hasbi as-Shiddieqy, “Koleksi Hadis-Hadis Hukum 7”, Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, Cet. 3, Ed. 2, 2001, hlm. 131.
Page 42
30
dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaan hadir di tempat, asal
barang yang dijaminkan tersebut dapat dipegang/ dikuasai (al-qabdh)
secara hukum oleh pemberi piutang (murtahin). Dalam hal ini, karena
seperti yang kita ketahui bahwasanya tidak semua barang dapat dipegang/
dikuasai secara langsung, dalam keadaan tersebut maka paling tidak ada
semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status al-
marhun (menjadi agunan hutang). Misalnya, untuk barang jaminan
berupa sebidang tanah maka yang dikuasai surat jaminan atas tanah (al-
qabdh) tersebut.57
Pendapat berbeda disampaikan oleh kelompok yang berpegang
pada makna zahir dari surat al-Baqarah ayat 283, kelompok tersebut ialah
Imam Mujahid, Dhahhak, dan Zahiriyah, menurutnya gadai (rahn) hanya
dibolehkan bagi orang yang sedang dalam perjalanan.58
4. Fatwa Dewan Syari‟ah-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
Yang menjadi rujukan akad rahn ialah fatwa yang dikeluarkan oleh
Dewan Syari‟ah MUI yakni fatwa Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang
RAHN yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Rabi‟ul Akhir 1423 H/
26 Juni 2002 M. Bahwasanya:59
a. Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang
dalam bentuk Rahn dibolehkan.
57
Nasroen Harun, op. cit. Hlm. 253 58
Ahmad Wardich Muslich, op. cit. hlm. 289 59
DSN-MUI, “Himpunan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional”, Ciputat: CV. Gaung Persada,
cet. 4, Ed. 4, 2006, hlm. 153-154
Page 43
31
b. Bahwa murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan
Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan
barang) dilunasi.
c. Bahwa marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada
prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali
seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan
pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan
perawatannya.
d. Bahwa pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi
kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin,
sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi
kewajiban Rahin.
e. Bahwa besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
f. Bahwa apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin
untuk segera melunasi utangnya.
g. Bahwa apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka
Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
h. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan
i. Bahwa kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan
kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
Page 44
32
j. Bahwa jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari‟ah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.60
Berdasarkan pada keterangan tersebut dapatlah disimpulkan
bahwasanya:
a. Hukum akad rahn itu sendiri ialah jaiz (boleh).
b. Akad rahn boleh dilaksanakan dalam keadaan bermukim maupun
dalam keadaan sedang melakukan perjalanan.
c. Boleh dilaksanakan dengan orang muslim, dan juga orang non-muslim.
C. Rukun dan Syarat Gadai 61
1. Rukun Gadai
Diantara yang termasuk kedalam rukun gadai ialah sebagai
berikut:62
a. Sighat (Ijab dan Qabul), yakni pernyataan kalimat akad, yang lazimnya
dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul.63
b. Orang Yang Berakad (al „Aqidain)
Orang yang berakad yang dimaksud dalam hal ini ialah pihak
yang terlibat/ yang melaksanakan akad gadai. Yakni:
60
DSN-MUI, Ibid, hlm. 154 61
Rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu
perbuatan atau lembaga yang mentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut, serta ada atau
tidaknya sesuatu itu. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan
hokum syar‟I dan ia berada diluar hukum itu sendiri, ketiadaan syarat tersebut menyebabkan
hukum tidak ada pula. (Baca Gemala Dewi, op. cit., hlm. 50) 62
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi. K. Lubis, op. cit. hlm. 254. 63
Ghufron. A. Mas‟adi, op. cit. hlm. 78
Page 45
33
1) Rahin, yaitu orang yang memberikan gadai.
2) Murtahin, yaitu orang yang menerima gadai.
c. Ma‟qud „Alaih (Barang yang diakadkan)
Berkenaan dengan ma‟qud „alaih ini terdiri dari 2(hal),64
yakni:
1) Marhun/ Rahn (Barang yang digadaikan), yaitu harta yang
digadaikan untuk menjamin hutang.65
Yakni yang dipegang oleh
murtahin (penerima gadai), atau wakilnya.66
2) Marhun Bihi (dain), yaitu utang yang karenanya akad rahn
dilakukan. Utang dalam hal ini diartikan sebagai kewajiban bagi
pihak yang berhutang terhadap orang yang memberikan hutang.67
Sementara itu, menurut Hanafiyah bahwasa rukun gadai hanya
terdiri dari ijab dan qabul, rukun yang lainnya hanya turunan dari
adanya ijab dan Qabul.68
Akan tetapi, menurut mereka pula bahwa
untuk menyempurnakan dan demi mengikatnya akad gadai ini,
diperlukan al-qabdh yakni penguasaan barang oleh pemberi utang.69
2. Syarat Gadai
a. Orang yang berakad (Aqid)
Syarat bagi aqid dalam pelaksanaan akad gadai ialah aqid harus
memiliki kecakapan (ahliyah).70
Dijelaskan kemudian bahwa aqid tidak
64
Zainuddin Ali, op. cit., hlm. 20 65
Ahmad Wardi Muslich, op. cit. hlm. 290 66
Zainuddin Ali, op. cit. hlm. 22 67
Ibid, hlm. 20-22 68
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Cet. 1., 2008, hlm, 263 69
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi. K. Lubis, loc. cit. 70
Ahmad Wardi Muslich, loc. cit.
Page 46
34
berstatus dalam pengampuan (mahjur „alaih). Aqid harus merupakan
seorang ahli tasharuf yakni mampu membelanjakan harta dan mampu
memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.71
Dijelaskan oleh Malik, bahwa seorang Washi (orang yang
dipesan untuk mengurusi wasiat) boleh menggadaikan untuk
kepentingan orang yang berada dalam kekuasaannya manakala tindakan
tersebut untuk melunasi utang dan memang perlu. Sementara menurut
Syafi‟i dibolehkannya washi untuk menggadaikan dikarenakan adanya
kepentingan yang jelas. Selain itu menurut Malik, budak mukatab
(budak yang berupaya memerdekakan dirinya dengan cara mencicil)
dan orang yang diberi izin dibolehkan pula untuk menggadaikan.72
Sahnun dan Syafi‟i memiliki pendapat yang sama bahwa jika
seseorang menerima gadai karena harta yang diutangkan, maka itu tidak
dibolehkan. Sedangkan bagi muflis (orang yang bangkrut, pailit), baik
Syafi‟i maupun Malik sepakat bahwa baginya tidak boleh
menggadaikan. Hal ini bertentangan dengan Abu Hanifah yang
membolehkannya.73
b. Ma‟qud „Alaih (Barang yang diakadkan)
Menurut Imam Syafi‟i bahwa syarat sah gadai adalah harus ada
jaminan yang berkriteria jelas dalam serah terima. Bahwa orang yang
71
H. Hendi Suhendi, “Fiqh Muamalah”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hlm.
107. 72
Ibnu Rusyd, “Analisa Fiqih Para Mujtahid”, diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said
dan Achmad Zaidun dari “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid”, Jakarta: Pustaka Amani,
Cet. II, 2002, hlm. 92 73
Ibnu Rusyd, Ibid, hlm, 92
Page 47
35
menggadaikan wajib menyerahkan barang jaminan kepada yang
menerima gadai.74
1) Marhun/ Rahn
Berkenaan dengan syarat yang melekat pada marhun/ rahn
ini para ulama menyepakati bahwasanya yang menjadi syarat yang
harus melekat pada barang gadai merupakan syarat yang berlaku
pada barang yang dapat diperjual-belikan.75
Berikut beberapa syarat yang harus melekat pada jaminan/
agunan, yakni:
a) Agunan itu harus bernilai dan dapat dimanfaatkan sesuai
dengan ketentuan syariat Islam.
b) Agunan itu harus dapat dijual dan nilainya seimbang dengan
besarnya utang yang diambil.
c) Agunan itu harus jelas dan tertentu (dapat ditentukan secara
spesifik).
d) Agunan harus merupakan milik sah debitur (rahin).
e) Agunan tidak terikat dengan hak orang lain (bukan merupakan
milik orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya). Karena
apabila debitur (rahin) menghendaki barang milik orang lain
untuk dapat dijadikan agunan, maka kemudian akad yang
dilaksanakanpun harus ditempuh dengan prinsip kafalah bukan
rahn.
74
M. Shalikul Hadi, op.cit., hlm.53 75
Zainuddin Ali, op. cit. hlm 22
Page 48
36
f) Agunan itu harus dapat diserahkan kepada orang lain, baik
materinya maupun dari segi manfaatnya.
2) Marhun Bih
Ketentuan yang berkaitan dengan marhun bihi ini ialah
bahwasanya harus merupakan barang yang dapat dimanfaatkan,
sehingga apabila marhun bihi ini tidak dapat dimanfaatkan, maka
dianggap tidak sah. Selain itu, marhun bihi haruslah merupakan
barang yang dapat dihitung jumlahnya.76
Marhun bihi juga harus
lazim pada waktu akad, jelas serta diketahui oleh rahin dan
murtahin.77
c. Ijab dan Qabul
Ijab dan Qabul adalah sighat aqdi atas perkataan yang
menunjukkan kehendak kedua belah pihak, seperti kata “Saya gadaikan
ini kepada saudara untuk utangku yang sekian kepada engkau”, yang
menerima gadai menjawab “Saya terima runggukan ini”.
Sighatul aqdi memerlukan tiga ketentuan (urusan) pokok, yaitu:
1) Harus terang pengertiannya
2) Harus bersesuaikan antara ijab dan qabul
3) Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang
bersangkutan.78
Namun demikian sighat dapat pula dilakukan dengan
menggunakan isyarat bagi pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini seperti
76
Ibid. hlm 22-23. 77
Rahmat Syafe‟i, op. cit. hlm. 164 78
Hasbi Ash-Shidieqy, op. cit., hlm. 29.
Page 49
37
dijelaskan TM. Hasby ash- Shiediqi dalam karyannya bahwas Isyarat
bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah (sama dengan ucapan
penjelasan dengan lidah).79
Selanjutnya bahwa dalam pelaksanaannya, shighat yang terdapat
dalam akad gadai tidak boleh digantungkan (mu‟allaq) dengan syarat
tertentu yang bertentangan dengan substansi akad gadai (rahn), serta
shighat ini tidak boleh digantungkan dengan waktu di masa
mendatang.80
3. Hak Dan Kewajiban Pemberi (Rahin) dan Penerima Gadai (Murtahin)
Para pihak (pemberi dan penerima gadai) masing-masing
mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sedangkan hak dan
kewajiban adalah sebagai berikut:
a. Hak dan kewajiban pemberi gadai (rahin)
1) Hak pemberi gadai
a) Mendapatkan kembali barang miliknya setelah pemberi gadai
melunasi utangnya.
b) Menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya barang
gadai apabila hal itu disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
c) Mendapatkan sisa dari penjualan barangnya setelah dikurangi
biaya pelunasan utang dan biaya lainnya.
d) Meminta kembali barangnya apabila penerima gadai telah jelas
menyalah-gunakan barangnya.
79
Ibid. hlm. 31 80
Dimyauddin Djuwaini, op.cit., hlm. 263.
Page 50
38
2) Kewajiban pemberi gadai.
a) Melunasi utang yang telah diterimanya dari penerima gadai
dalam tenggang waktu yang telah ditentukan.
b) Merelakan penjualan atas barang gadai miliknya, apabila dalam
jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat
melunasi utangnya kepada pemegang gadai.81
b. Hak dan kewajiban penerima gadai (murtahin)
1) Hak penerima gadai (murtahin)82
a) Menjual barang yang digadaikan, apabila pemberi gadai pada
saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibanya sebagai
orang yang berhutang.
b) Mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk
menjaga keselamatan barang jaminan.
c) Selama utangnya belum dilunasi, maka penerima gadai berhak
untuk menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi
gadai.83
2) Kewajiban penerima gadai (Murtahin)
a) Bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya harga barang
yang digadaikan jika itu semua atas kelalaianya.
b) Tidak dibolehkan menggunakan barang yang di gadaikan untuk
kepentingan pribadi.
81
Muhammad Sholikul Hadi, Ibid, hlm. 23-24 82
Sri Soedewi Masjchoen Sofwam, op. cit. hlm. 101-102 83
Ibid., hlm. 102
Page 51
39
c) Memberitahu kepada pemberi gadai sebelum di adakan
pelelangan barang gadai.
Dalam perjanjian gadai, baik pemberi gadai ataupun penerima
gadai tidak akan lepas dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Hak
penerima gadai adalah menahan barang yang digadaikan, sehingga orang
yang menggadaikan barang dapat melunasi barangnya. Sedangkan hak
menahan barang gadai adalah bersifat menyeluruh, artinya jika seseorang
menggadaikan barangnya dengan jumlah tertentu, kemudian ia melunasi
sebagiannya, maka keseluruhan barang gadai masih berada di tangan
penerima gadai, sehingga rahin menerima hak sepenuhnya atau melunasi
seluruh utang yang ditanggungnya.84
4. Berakhirnya Akad Gadai
Beberapa hal yang bias mengakibatkan berakhirnya akad gadai
yaitu:
a. Rahin (yang menggadaikan barang) telah melunasi semua
kewajibannya kepada murtahin (yang menerima gadai).
b. Rukun dan syarat gadai tidak terpenuhi. 85
c. Borg diserahkan kepada pemiliknya.
d. Dipaksa menjual borg.
e. Pembebasan utang.
84
Ibnu Rusyd, op. cit. hlm. 311 85
M. Sholikhul Hadi, op. cit. hlm. 53
Page 52
40
Pembebasan utang dalam bentuk apa saja dapat menyebabkan
berakhirnya gadai, meskipun pembebasan tersebut berupa pemindahan
utang kepada orang lain.
f. Pembatalan rahn dari pihak murtahin.
g. Rahin meninggal.
Begitu juga apabila murtahin meninggal sebelum mengembalikan borg
pada rahin.
h. Borg rusak.
i. Tasharruf dan borg.
Rahn dinyatakan berakhir apabila borg di-tasharruf-kan ke dalam
bentuk lain, seperti: hibah, sedekah, dan lainnya atas izin pemiliknya.86
j. Baik penggadai dan penerima gadai atau salah satunya ingkar dari
ketentuan syara‟ dan akad yang telah disepakati oleh keduanya.87
D. Ketentuan Khusus Akad Gadai
1. Tambahan Pada Barang Gadai (al-Marhun)
Tambahan pada barang gadai yang dimaksudkan dalam hal ini
dicontohkan seperti: buah dari pohon yang digadaikan, hasil bumi, atau
upah dan kerja budak (gallah) dan anak. Berkenaan dengan tambahan
tersebut, terdapat silang pendapat di antara Fuqaha.
Sebagian fuqaha berpendapat bahwa tambahan yang terpisah dari
barang gadai sama sekali tidak termasuk dalam barang gadai. Sementara
86
Rachmat Syafe‟i, op. cit. hlm. 178-179. 87
M. Sholikhul Hadi, loc. cit.
Page 53
41
sebagian fuqaha yang lainnya berpendapat bahwa seluruh tambahan masuk
barang gadai.
Berkenaan dengan tambahan pada barang gadai ini, Malik
mengadakan pengklasifikasian menjadi:
a. Jika tambahan yang dimasudkan memiliki bentuk dan rupa seperti
barang gadainya, maka termasuk kedalam barang gadai tersebut.
misalnya: anak dari budak perempuan.88
b. Jika tambahan tersebut tidak mengikuti bentuk dan rupa dari barang
gadainya, maka tambahan tersebut tidak termasuk kedalam barang
gadai, baik secara konkret keluar darinya, misalnya: buah kurma dari
pohon kurma, maupun yang secara tidak konkret keluar darinya,
misalnya: hasil penyewaan rumah atau penghasilan budak.
Berkenaan dengan penghasilan dan tambahan atas barang gadai,
para fuqaha menyandarkan pendapatnya pada sabda Rasulullah SAW,:
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, bersabda
Rasulullah SAW,: Barang jaminan itu dapat ditunggangi dan
diperah.”
Menurut mereka, segi pengambilan dalil dari hadits tersebut adalah
bahwa yang dikehendaki oleh kata-kata mahlub wa markub (diambil air
susunya dan ditunggangi) bukan berarti orang yang menggadaikan itu
88
Ibnu Rusyd, op. cit. hlm. 201.
Page 54
42
menunggang dan mengambil air susunya, karena barang tersebut tidak
berada dalam kekuasaannya. Dan itu juga berlawanan dengan status
barang tersebut sebagai barang gadai. Karena barang gadai itu harus
dipegang dan dikuasai oleh penerima gadai.
Namun demikian, mereka juga tidak membenarkan jika yang
dimaksudkan “yang mengambil air susu dan menunggangi” adalah
penerima gadai. Karena pengertian dari hadits tersebut yakni bahwa upah
tunggangan -hasil penyewaan barang gadai- itu untuk pemiliknya (orang
yang menggadaikan) dan pembiayaannya juga atas tanggungannya. Dalam
hal ini, mereka menguatkannya dengan sabda Rasulullah SAW.:89
Artinya: “Barang gadai adalah dari orang yang menggadaikannya, baginya
keuntungannya dan atasnya kerugiannya” (H.R. Malik).
Mereka menambahkan, bahwa karena tambahan tersebut
merupakan kelebihan dari yang diterimanya sebagai gadai, tidak
seharusnya tambahan tersebut untuknya kecuali dengan tambahan syarat.
Sementara itu, menurut Abu Hanifah bahwa cabang itu mengikuti
pokoknya, sehingga demikian pula kedudukan hukumnya mengikuti
pokoknya. Karena itu, hukum anak juga mngikuti ibunya dalam masalah
tabdir (janji pemerdekaan setelah tuannya meninggal) dan kitabah
(penebusan seorang budak atas kemerdekaan dirinya dengan cara
mencicil).
89
Ibnu Rusyd, ibid, hlm. 201-202
Page 55
43
Lain halnya dengan Malik yang beralasan bahwa hukum anak
sama dengan hukum ibunya dalam jual-beli, yakni anak itu mengikuti
ibunya. Namun, dalam hal ini beliau membedakan antara buah-buahan
dengan anak berdasarkan sunnah yang membedakan. Karenanya buah-
buahan itu tidak mengikuti penjualan pohonnya kecuali dengan syarat.
Sementara bagi anak budak perempuan mengikuti ibunya tanpa syarat.90
2. Pengambilan Manfaat Atas Barang Gadai (al- Marhun)
Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa barang yang dijadikan
jaminan gadai tidak boleh dibiarkan untuk sama sekali tidak diambil
manfaatnya, karena ini termasuk kedalam tindakan menyia-nyiakan harta
benda yang dilarang oleh Rasulullah SAW. 91
Hal ini seperti dijelaskan
dalam hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Muslim, seperti
berikut:
Artinya: “dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah saw, bersabda:
„sesungguhnya Allah Ta‟ala menyukai tiga macam perbuatan,
dan membenci tiga macam perbuatan bagi kalian. Allah suka
jika kalian menyembah-NYA dan tidak menyekutukan-NYA
dengan sesuatu apapun, serta bilamana kalian selalu berpegang
teguh pada tali (agama) Allah dan tidak bercerai-berai. Allah
90
Ibnu Rusyd, Ibid, hlm. 202-203. 91
Nasroen Harun, op. cit., hlm. 256
Page 56
44
membenci apabila kalian banyak bicara, banyak bertanya, dan
menyia-nyiakan harta”.92
Namun demikian, berkenaan dengan pemanfaatan atas barang
jaminan gadai tersebut dijelaskan bahwasanya pada dasarnya tidak boleh
terlalu lama memanfaatkannya, sebab akan menyebabkan barang jaminan
tersebut rusak atau hilang.93
Masalah yang kemudian timbul ialah
berkenaan dengan siapakah yang sesungguhnya mempunyai hak untuk
mengambil manfaat dari barang jaminan tersebut?
Seperti ditemukan bahwa dalam masyarakat kita ada cara gadai
dimana barang yang dijadikan jaminan langsung dimanfaatkan oleh
pegadai (orang yang memberi piutang). Peristiwa tersebut terutama
banyak terjadi dalam masyarakat di desa-desa, misalnya dalam praktek
gadai yang menggunakan sawah dan kebun sebagai barang jaminannya
dan langsung dikelola oleh penerima gadai sehingga secara otomatis
hasilnya pun dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh penerima gadai
tersebut.
Namun ditemukan cara lain pula, dimana sawah dan atau kebun
yang dijadikan jaminan tersebut diolah oleh pemilik sawah atau kebun
(pemberi gadai/ penggadai), akan tetapi hasil yang diperoleh dibagi antara
pemberi dan penerima gadai. Hal ini disebabkan karena barang jaminan
92
Al- Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an- Nawawi, “Riyadhus Shalihin”,
diterjemahkan oleh Achmad Sunarto, Jakarta: Pustaka Amani, cet. IV, 1999, hlm. 582. 93
Rachmat Syafe‟i, op. cit. hlm 172.
Page 57
45
tersebut dianggap sebagai milik penerima gadai sampai piutang yang
diambil oleh pemberi gadai dikembalikan.94
Berkenaan dengan pemanfaatan marhun dalam hal ini berikut
pendapat dari Imam Madzhab:
a. Madzhab Syafi‟iyah95
Mengenai pemanfaatan barang jaminan gadai (marhun) para
ulama syafi‟iyah menyampaikan bahwa “orang yang menggadaikan
adalah orang yang mempunyai hak atas manfaat barang yang
digadaikan, meskipun barang yang digadaikan itu ada dibawah
kekuasaan penerima gadai. Kekuasaan atas barang yang digadaikan
tidak hilang kecuali mengambil manfaat atas barang gadaian itu.”
Pendapat tersebut dilatar belakangi oleh hadits Rasulullah SAW,
sebagai berikut:
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW,: Gadaian itu tidak
menutup akan yang punyanya dari manfaat barang itu,
faidahnya kepunyaan dia dan dia wajib mempertanggung
jawabkan segala resikonya”. (HR. as-Syafi‟i dan ad-
Daruquthni).96
Dilanjutkan dengan hadits Rasulullah yang berbunyi:
94
Hasan. M. Ali, op. cit. hlm. 256 95
Chuzaimah T. Yanggo dan A. Hafiz Anshory, A.Z, op. cit. hlm. 84 96
Ibid., hlm. 94
Page 58
46
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, bersabda
Rasulullah SAW,: Barng jaminan itu dapat ditunggangi dan
diperah.”
Hadits tersebut kemudian dikomentari oleh Imam asy-Syafi‟i:
“dan ini tidak boleh menunggangi dan memeras (barang jaminan itu),
kecuali bagi pemiliknya, yaitu yang menggadaikan bukan yang
menerima gadai”.97
Berdasarkan hadits dan keterangan tersebut dapat disimpulkan
bahwa orang yang dapat menunggangi dan memerah barang jaminan
adalah pihak yang menggadaikan, ini karena dia yang memiliki barang
tersebut. Sehingga dia pula yang bertanggung jawab atas segala resiko
yang menimpa barang tersebut, serta baginya pula manfaat yang
dihasilkan.98
Sehingga dalam hal ini ketika pemberi gadai ingin
memanfaatkan barang jaminan, ia tidak perlu meminta izin dahulu pada
penerima gadai. Hal ini karena barang jaminan tersebut merupakan
miliknya, dan bagi seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk
memanfaatkan hak miliknya.Namun demikian pemanfaatan barang
jaminan tersebut tidak boleh merusak barang itu, baik dari segi kualitas
maupun kuantitasnya.Apabila terjadi kerusakan atas barang jaminan
97
Chuzaimah T. Yanggo dan A. Hafiz Anshory, A.Z, Ibid, hlm. 84-85 98
Ibid, hlm. 86
Page 59
47
tersebut saat dimanfaatkan pemiliknya tersebut, maka pemilik tersebut
pula yang bertanggung jawab atasnya.99
b. Madzhab Malikiyah
Para ulama Malikiyah menjelaskan bahwa: “hasil dari barang
gadaian dan segala sesuatu yang dihasilkan daripadanya, adalah
termasuk hal-hal yang menggadaikan. Hasil gadaian itu adalah bagi
yang menggadaikan bagi yang menggadaikan selama si penerima gadai
tidak mensyaratkan”.100
Menurut ulama malikiyah ada beberapa hal yang menjadi syarat
kebolehan penerima gadai mensyaratkan pengambilan hasil dari barang
gadai olehnya, yakni:
1) Utang terjadi disebabkan karena jual-beli, bukan karena
mengutangkan. Misalnya: seseorang menjual suatu barang kepada
orang lain dengan harga yang ditangguhkan (tidak dibayar kontan),
kemudian ia meminta gadai dengan suatu barang sesuai dengan
utangnya.
2) Pihak penerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat dari barang
gadai adalah untuknya.
3) Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan itu telah
ditentukan, apabila tidak ditentukan dan tidak diketahui batas
waktunya, maka menjadi tidak sah.
99
Nasroen Haroen, op. cit. hlm. 258-259 100
Chuzaimah T. Yanggo dan A. Hafiz Anshory, A.Z, op. cit, hlm. 87
Page 60
48
Jika syarat tersebut telah jelas ada, maka sah bagi penerima
gadai mengambil manfaat dari barang yang digadaikan. Hal ini berbeda
apabila gadai tersebut dilatarbelakangi sebab mengutangkan, maka
keberadaan syarat tersebut diatas tidak berarti apa-apa. Sehingga
pemanfaatan marhun oleh murtahin tidak diperbolehkan meskipun
terdapat izin dari rahin, terdapat penentuan mengenai batas waktu.
Ketidakbolehan ini disebabkan karena keadaan demikian termasuk ke
dalam mengutangkan yang mengambil manfaat, dan ini merupakan
salah satu dari macam riba101
. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah
SAW.:102
Artinya: “dari Ali‟ r.a., ia berkata: Rasulullah saw, telah bersabda;
setiap mengutangkan yang menarik manfaat adalah termasuk
riba”, (HR. Harits bin Abi Usamah).
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut
ulama malikiyah yang dapat memanfaatkan marhun ialah rahin, akan
tetapi murtahinpun dapat memanfaatkan marhun dengan berdasarkan
syarat-syarat yang telah ditentukan.
c. Madzhab Hanabilah
101
Ibid, hlm. 88 102
Ibid, hlm. 89
Page 61
49
Ulama Hanbaliyah,103
dalam masalah pemanfaatan marhun oleh
murtahin ini mendasarkan pendapatnya pada barang yang dijadikan
jaminan. Jika barang yang dijadikan jaminan gadai tersebut berupa
hewan yang dapat ditunggangi dan diperah susunya, maka penerima
gadai diperbolehkan untuk menunggangi dan memerah susu hewan
tersebut, dengan ketentuan atas seizin rahin, dan bukan disebabkan atas
alasan mengutangkan. Sementara untuk barang selain dari hewan yang
dapat ditunggangi dan diperah susunya tersebut, tidak dapat di-qiyas-
kan atasnya ketentuan yang berlaku bagi hewan tadi.
Berkenaan dengan barang jaminan gadai yang tidak bisa
ditunggangi dan diperah, dalam hal ini terbagi menjadi dua ketentuan:
1) Apabila barang yang digadaikan tersebut berupa hewan, seperti
amat atau abid, maka boleh menjadikannya sebagai khadam.
2) Apabila bukan, seperti: rumah, kebun, sawah, dan sebagainya, maka
tidak boleh mengambil manfaatnya.
Kebolehan pengambilan manfaat atas barang jaminan yang
dapat ditunggangi dan diperah didasarkan pada hadits Rasulullah saw,
melalui Abi Hurairah, r.a., yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
103
Ibid, hlm. 92
Page 62
50
Artinya: “dari Abu Hurairah, r.a., ia berkata: bersabda Rasulullah SAW,
gadaian dikendarai oleh sebab nafkahnya apabila ia
digadaikan dan susu diminum dengan nafkahnya apabila
digadaikan dan atas orang yang mengendarai dan meminum
susunya wajib nafkahnya”. (H.R. Bukhari). 104
Sementara ketidakbolehan pengambilan manfaat atas barang
jaminan selain dari barang jaminan yang dapat ditunggangi dan diperah
didasarkan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Syafi‟I dan Daruquthni
yang berbunyi:
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW,: Gadaian itu tidak
menutup akan yang punyanya dari manfaat barang itu,
faidahnya kepunyaan dia dan dia wajib
mempertanggungjawabkan segala resikonya”. (HR. as-
Syafi‟I dan ad- Daruquthni).105
Dijelaskan dalam hadits Nabi SAW, lain yang melalui Ibnu
Umar sebagai berikut:
104
Ibid, hlm. 93 105
Ibid, hlm. 94
Page 63
51
Artinya: “dari Ibnu Umar, ia berkata, bersabda Rasulullah saw, hewan
seseorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya”.106
(H.R. Bukhari)
Selain itu, mengenai barang jaminan gadai ini tidak semua
barang dapat dijadikan sebagai barang jaminan gadai. Ada beberapa
kriteria barang yang dapat dijadikan sebagai barang jaminan gadai,
diantaranya ialah:107
1) Barang yang dapat dijual, bahwa barang tersebut harus ada pada
saat akad dan dimungkinkan untuk diserahkan.
2) Barang yang digadaikan harus dikuasai oleh rahin baik sebagai
pemilik atau wali, atau washiy.
3) Barang yang digadaikan harus berupa mal (harta). Dalam hal ini
lebih spesifiknya harus berupa mal mutaqawwim, yakni yang boleh
diambil manfaatnya menurut syara‟, sehingga memungkinkan dapat
digunakan untuk melunasi utangnya.
4) Barang yang digadaikan harus diketahui (jelas).
5) Barang yang digadaikan harus kosong, yakni terlepas dari hak
rahin. Sehingga tidak sah menggadaikan pohon kurma yang ada
buahnya tanpa disertakan buah kurmanya.
6) Barang yang digadaikan harus sekaligus bersama-sama dengan
pokoknya. Sehingga tidak sah menggadaikan buah-buahan saja
tanpa disertai pohonnya.
106
Ibid, hlm. 94 107
Ahmad Wardic Muslich, op. cit. hlm 292-293
Page 64
52
7) Barang yang digadaikan harus terpisah dari hak milik orang lain
dan bukan merupakan milik bersama108
.
d. Madzhab Hanafiah109
Ulama-ulama hanafiyah berpendapat bahwa tidak ada bedanya
antara pemanfaatan barang jaminan gadai yang mengakibatkan
berkurang atau tidaknya harga dari barang jaminan tersebut, apabila
yang menerima gadai (Rahin) memberikan izin, maka sah mengambil
manfaat atas barang jaminan tersebut oleh si pemberi gadai. Hal ini
dikarenakan yang berhak mengambil manfaat atas barang jaminan gadai
tersebut ialah pihak penerima gadai, ketentuan tersebut didasarkan pada
hadits Nabi saw, yang berbunyi:
Artinya: “Dari Abu Shalih dari Abi Hurairah, sesungguhnya Nabi saw,
bersabda: barang jaminan utang bias ditunggangi dan diperah,
dan atas menunggangi dan memerah susunya wajib
menafkahi”. (HR. Bukhari).
Pihak yang memiliki kewajiban untuk menafkahi barang
jaminan gadai ialah Penerima gadai. Hal ini disebabkan karena barang
tersebut ditangan dan kekuasaan Penerima gadai, maka selanjutnya
baginya pula hak atas pemanfaatan barang jaminan tersebut.Selain itu,
pemanfaatan ini tidak hanya berlaku bagi barang jaminan yang berupa
108
Ibid, hlm. 293. 109
Chuzaimah T. Yanggo dan A. Hafiz Anshory, A.Z, op. cit., hlm. 95
Page 65
53
binatang yang dapat diperah susunya dan ditunggangi, namun barang-
barang selain binatangpun dapat di-qiyas-kan kepadanya.
Alasan lain yang menjadi dasar bagi ulama Hanafiyah ialah
bahwa sesuai dengan fungsinya barang gadaian sebagai jaminan dan
kepercayaan bagi pihak yang meminjamkan uang, maka barang
jaminan tersebut dikuasai oleh penerima gadai, hal ini disebabkan
karena apabila barang jaminan tersebut masih dipegang oleh Pemberi
gadai, maka barang jaminan tersebut keluar dari tangan penerima gadai,
sehingga barang jaminan tersebut tidak memiliki arti apa-apa. Selain
itu, apabila barang jaminan itu dibiarkan tanpa adanya pemanfaatan
oleh yang menguasainya ini berarti menghilangkan manfaat dari barang
tersebut, sedangkan barang jaminan tersebut memerlukan biaya untuk
pemeliharaannya.
Kemudian jika setiap saat pemberi gadai harus datang kepada
penerima gadai untuk memelihara dan mengambil manfaat dari barang
jaminan, ini akan membawa kemadlorotan bagi kedua belah pihak,
terutama bagi pihak pemberi gadai. Namun juga akan mendatangkan
kemadlorotan apabila setiap saat penerima gadai harus melakukan
pemeliharaan atas barang jaminan, namun Ia harus memberikan
hasilnya pada pemberi gadai.
Berdasarkan hal tersebut, maka sepakatlah ulama Hanafiyah
bahwa yang berhak mengambil manfaat dari barang jaminan ialah
Page 66
54
penerima gadai, karena barang jaminan tersebut ada dibawah kekuasaan
tangannya.110
110
Ibid, hlm. 95-96
Page 67
55
BAB III
PERSEPSI ULAMA TERHADAP PRAKTEK PELAKSANAAN
PENGAMBILAN MANFAAT ATAS MARHUN OLEH MURTAHIN
DI DESA BANJARAN, SALEM, BREBES
A. Profil Desa Banjaran
1. Kondisi Geografis
Desa Banjaran berada dibawah pemerintahan kecamatan Salem
yang merupakan bagian dari kabupaten Brebes.Wilayahnya merupakan
daerah perbatasan antara kabupaten Brebes dan kabupaten Cilacap. Secara
geografis Ds. Banjaran terletak didaerah dataran tinggi, dengan batas
wilayahnya meliputi; di bagian utara berbatasan dengan lahan pesawahan
milik penduduk, di bagian timur berbatasan dengan ds.Balong, di bagian
barat berbatasan dengan Ds.Ujung Barang yang merupakan bagian dari
kec.Majenang, kab.Cilacap, sementara di bagian selatan di batasi oleh
lahan perkebunan pinus milik pemerintah.
Luas wilayah desa Banjaran per Tahun 2011 ialah 790,09
ha,dengan rincian:
1) Luas tanah sawah: 172,80 ha
2) Luas tanah kering (tegal/ ladang dan pemukiman): 378,29 ha
3) Luas tanah basah (rawa dan pasang surut): 0 ha
4) Luas tanah perkebunan (kebun rakyat, swasta, negara): 326, 29 ha
54
Page 68
56
5) Luas tanah fasilitas umum (kas desa, lapangan, perkantoran
pemerintah, lainnya): 9,90 ha
6) Tanah hutan (lindung, produktif, konversi): 239,00 ha.111
2. Kondisi Demografi
a. Kependudukan
Desa Banjaran terdiri dari 1.738 kepala keluarga dengan
penduduk yang berjumlah 6.458 jiwa, dengan perincian sebagai
berikut:
1) Berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan
Jumlah 3.175 3.283
Tabel. 1 Klasifikasi menurut jenis kelamin112
Tabel tersebut menunjukan bahwa berdasarkan data
kependudukan per tahun 2011 dapat kita ketahui jumlah penduduk
laki-laki cenderung lebih sedikit dibandingkan jumlah penduduk
perempuan.
2) Berdasarkan tingkat pendidikan (umur 10 tahun ke atas)
Belum
pernah
SD/ MI Tamat PT/
Akademi Tidak
Tamat
Tamat SLTP/MTs SLTA/MA
685 2.543 2.021 365 176 94
111
Data Potensi Desa up date Tahun 2011 112
Data potensi Desa up date tahun 2011
Page 69
57
Tabel. 2 Jenis Pendidikan Penduduk Desa Banjaran Pada Tahun
2011113
Berdasarkan tabel tersebut, dapat kita ketahui bahwa
masyarakat ds. Banjaran sangat mengedepankan masa depan
generasi penerusnya, yakni dengan memperhatikan tingkat
pendidikan mereka.
b. Kondisi Sosial, Budaya, Keagamaan dan Ekonomi
1) Keadaan Sosial
Berkaitan dengan segi kehidupan sosial masyarakat ds.
Banjaran dapat dilihat dari beberapa aspek. Diantaranya dilihat
dari aspek pendidikan, bahwa dalam hal ini masyarakat sangat
memperhatikan pendidikan untuk masa depan anak-anaknya. Hal
ini tercermin dari banyaknya jumlah penduduk usia sekolah yang
berhasil menyelesaikan pendidikan sampai taraf SLTA dan bahkan
kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi.
Selanjutnya dilihat dari aspek kesadaran umum. Yakni
dalam hal ini tercermin pada kesadaran masyarakat dalam
membangun dan memelihara fasilitas umum. Di desa Banjaran
terdapat beberapa fasilitas umum seperti tempat peribadatan,
sekolah, lapangan olahraga dan sebagainya. Seperti dijelaskan
sebagai berikut:
113
Monografi Desa Tahun 2011
Page 70
58
No Jenis sarana Jumlah
1 Masjid 4
2 Musholla 42
3 Pondok Pesantren 2
4 PAUD 1
5 Taman Kanak-kanak 3
6 Sekolah Dasar 5
8 Madrasah Ibtidaiyyah 1
9 Balai Desa 1
10 Lapangan Olah Raga 1
Total 61
Tabel.3 Banyaknya Sarana Umum di Desa Banjaran Tahun 2011114
Berdasarkan tabel tersebut dapat kita ketahui bahwa baik
pemerintah maupun masyarakat ds.Banjaran sangat memperhatikan
kepentingan umum, sehingga memaksimalkan pembangunan
sarana umum, demi terciptanya kondusivitas kehidupan
bermasyarakat.
Sementara itu untuk menjaga kestabilan sosial ini, terdapat
beberapa upaya yang dilaksanakan terutama oleh pemerintah desa
Banjaran, diantaranya yaitu:
a) Peningkatan kesadaran sosial
b) Perbaikan pelayanan sosial
114
Monografi Desa, serta wawancara dengan Ka. Ur Umum Bpk. Sefudin yang
dilaksanakan pada tanggal 12 Maret 2012
Page 71
59
c) Bantuan sosial bagi anak-anakyatim piatu dan fakir-miskin.115
2) Keadaan Budaya
Masyarakat Desa Banjaran sebagai masyarakat yang ber-
etnis Sundamemiliki budaya yang sebagian besar dipengaruhi oleh
ajaran Islam, budaya tersebut dipertahankan oleh masyarakat Desa
Banjaran sejak dahulu sampai sekarang. Adapun budaya tersebut
adalah:
a) Berzanji, kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat dengan cara
membaca kitab Al-Berzanji, biasanya dilakukan beberapa kali
dalam seminggunya sebelum diadakannya pengajian rutin ibu-
ibu.
b) Yasinan, budaya ini dilaksanakan seminggu sekali oleh
masyarakat dengan membaca Surat Yasin pada malam Jum‟at.
Dan telah menjadi salah satu program kegiatan rutin
RISMA.116
c) Rebana, kegiatan kesenian ini dilakukan untuk memeriahkan
acara khusus, misalnya pada peringatan hari-hari besar Agama
Islam.
d) Tahlil, kegiatan tahlil merupakan kegiatan membaca kalimat
toyyibah yang dilaksanakan pada saat masyarakat Desa
Banjaran mempunyai hajat, kematian. Bacaan tahlil tersebut
115
Wawancara dengan P. Sefudin (Ka. Ur Umum) pada tanggal 12 Maret 2012 116
Wawancara dengan P. Solihin (Sekretaris RISMA) pada tanggal 15 April 2012
Page 72
60
dilakukan oleh bapak-bapak ataupun ibu-ibu di rumah
penduduk yang mempunyai hajat tersebut.117
Begitupun dalam hal pelaksanaan upacara adat yang ada di
Desa Banjaran ini dipengaruhi pula oleh nilai-nilai Islam, seperti
halnyapada selamatan upacara pernikahan, upacara kelahiran dan
kematian, upacara sedekah desa, serta beberapa upacara adat
lainnya.
Selain budaya tersebut, masyarakat Desa Banjaran juga
berusaha melestarikan budaya bangsa agar bisa mencerminkan
nilai-nilai luhur bangsa yang berdasarkan Pancasila.Dengan
melakukanpembinaan kepada generasi muda, agar mereka tidak
melupakan nilai-nilai tradisi yang telah turun-temurun dilakukan.
3) Kondisi Keagamaan
Kegiatan keagamaan di desa Banjaran diwujudkan dalam
bentuk ibadah, pengajian, peringatan hari besar Islam, sillaturahmi,
pengumpulan zakat, sadaqah, infaq dan sebagainya, baik
diselenggarakan di masjid, mushola secara terorganisir maupun di
rumah penduduk.
Kondisi masyarakat Banjaran yang beragama Islam,
membuat kegiatan di Desa tersebutkuat dengan nuansa Islam. Hal
tersebut terlihat dari seringnya dilaksanakan aktifitas-aktifitas
seperti pengajian rutin, peringatan hari besar Islam dan yang
117
Pengamatan Penulis.serta wawancara dengan P. Nasihin (Ketua BKM desa Banjaran)
pada tanggal 16 April 2012.
Page 73
61
lainnya, juga tampak dari bangunan-bangunan tempat ibadah yang
terdapat di setiap RW dan terdapat dua masjid raya. Ada beberapa
langkah-langkah yang dapat diambil dalam rangka menjaga dan
melestarikan kehidupan beragama di desa Banjaran, diantaranya
seperti:
a) Mengadakan pengajian rutin setiap Ibu-Ibu yang dilaksanakan
di Mushola-Mushola di sekitar desa Banjaran secara
bergantian.
b) Anak-anak disekolahkan di pondok pesantren.
c) Memberdayakan pemuda dan pemudi desa dengan
mengikutsertakan mereka dalam penyelenggaraan organisasi,
diantaranya dengan di bentuknya organisasi RISMA.
d) Memberdayakan alumni pondok pesantren.118
4) Keadaan Ekonomi
Masyarakat Desa Banjaran sebagian besar bermata
pencaharian sebagai Petani, dengan 3 kali musim tanam-panen
setiap tahunnya. Dengan deskripsi jenis areal tanah sebagai
berikut:
No Jenis areal tanah Luas dalam (Ha)
1 Sawah irigasi 127,70 Ha
2 Sawah tadah hujan 45,10 Ha
118
Wawancara dengan P. Nasihin (Ketua BKM desa Banjaran) pada tanggal 16 April
2012.
Page 74
62
3 Tanah tegal/ lading 326,29 Ha
4 Pemukiman 52,00 Ha
5 Tanah kas desa 67 Ha
Total 772.240 Ha
Tabel.4 Jenis Areal Tanah Desa Banjaran Tahun 2011119
Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa sebagian
besar lahan persawahan di ds.Banjaran tersebut mengandalkan
sumber air irigasi.Sehingga baik musim kemarau maupun musim
penghujan masyarakat tetap dapat mengolah lahan persawahannya.
Sementara itu, untuk menggambarkan keadaan sosial
ekonomi masyarakat Desa Banjaran secara lebih jelas data
ditunjukkan seperti dalam tabel berikut ini yang mendiskripsikan
tentang mata pencaharian penduduk Desa Banjaran:
No Jenis mata pencaharian Jumlah
1 Petani 1.720
2 Buruh tani 908
3 Nelayan -
4 Buruh Bangunan 175
5 Buruh Industri 147
6 Pengusaha 130
7 Pedagang 375
8 Pegawai negeri/ TNI/ POLRI 84
119
Monografi Desa Banjaran
Page 75
63
9 Pensiunan 38
10 Supir/ Angkutan 136
11 Peternak 42
Total 3755
Tabel.5 Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Penyalahan Pada
Tahun 2008.120
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa kondisi
ekonomi masyarakat ds.Banjaran sebagian besar di topang dari
hasil-hasil pertanian. Meskipun demikian terdapat pula sumber-
sumber lainnya seperti bekerja sebagai: pegawai negeri, pedagang/
wirausahawan, buruh (tani/ rumah tangga/ pabrik), pengrajin,
peternak, tukang kayu, tukang batu, penjahit, kontraktor, karyawan
swasta, supir dan sebagainya.
Ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk menjaga
kestabilan tingkat perekonomian di desa Banjaran, diantaranya:
a) Bidang pertanian
(1) Mengaktifkan kelompok-kelompok tani.
(2) Meningkatkan produksi pangan dengan meningkatkan
penyuluhan-penyuluhan terhadap kelompok tani agar
memahami carapenanaman pangan yang baik dan bermutu.
120
Monografi Desa Banjaran
Page 76
64
(3) Memperbaharui saluran irigasi yang sudah tidak berfungsi
agar bisa difungsikan kembali dan bisa dimanfaatkan oleh
para petani pengguna saluran irigasi tersebut.
b) Bidang industri
(1) Mengadakan penyuluhan-penyuluhan terhadap kelompok
industri kecil dan industri rumah tangga untuk
meningkatkan hasil yang berkualitas dan berkuantitas.
(2) Memanfaatkan industri rumah tangga seperti: pembuatan
sale pisang, telur asin serta beberapa industri rumah tangga
lainnya.121
B. Pelaksanaan Praktek Pemanfaatan Barang Gadai Sawah di desa
Banjaran, Kec. Salem, Kab. Brebes
1. Praktek Gadai Sawah di Desa Banjaran, Kec. Salem, Kab. Brebes
Gadai dalam pandangan masyarakat ds. Banjaran digambarkan
dengan suatu kegiatan utang-piutang dengan menjaminkan harta benda/
barang berharga, yang dalam masyarakat ds. Banjaran tersebut
menjadikan lahan persawahan sebagai jaminannya. Barang jaminan
tersebut kemudian diserahkan kepada pihak penerima gadai (murtahin),
dan dikuasai serta dimanfaatkan olehnya sampai pemberi gadai (rahin)
dapat mengembalikan utang yang diambilnya.
Alasan utama yang melatarbelakangi dilaksanakannya akad gadai
sawah di desa Banjaran ialah karena Rahin mengalami kesulitan dalam
121
Wawancara dengan P. Sefudin (Ka. Ur Umum Ds. Banjaran) pada tanggal 12 Maret
2012.
Page 77
65
menyelesaikan masalahnya, hal ini seperti dijelaskan oleh P. Sefudin.
Beliau menambahkan karena apabila mengambil pendanaan di lembaga
keuangan harus melewati prosedur yang lama, sedangkan biasanya
kebutuhan yang harus dipenuhi tersebut sifatnya tak terduga. Sehingga
langkah yang mereka anggap paling bijak yang dapat diambil dalam
rangka penyelesaian masalah mereka tersebut ialah dengan cara mereka
mengambil pinjaman dari sesama masyarakat, dan menjaminkan sawah
yang dimilikinya.122
Berkaitan dengan alasan ini salah satunya di
sampaikan oleh P. Burhanudin, bahwa saat beliau akan memulai
usahanya, beliau kemudian menggadaikan lahan sawah yang dimilikinya
untuk dijadikan jaminan utang yang diambilnya yang kemudian akan
dijadikan sebagai modal usahanya tersebut. Beliau berpendapat
menggadaikan lahan sawah yang dimilikinya merupakan cara yang efisien
untuk beliau mendapatkan modal. Hal berbeda jika kemudian ia
mengambil pendanaan dari lembaga keuangan (Bank), tentu akan
melewati prosedur yang rumit dan memerlukan waktu yang lama. Selain
itu, pendanaan melalui lembaga keuangan akan membawa masalah
lainnya, yakni beliau harus melakukan pengangsuran disaat usaha beliau
saja masih belum stabil.
Pak. Burhanudin menjelaskan pula bahwa jika dilihat dari sisi
alasan murtahin melakukan praktek gadai, terdapat dua jenis praktek
122
Wawancara dengan P. Sefudin (Ka. Ur. Umum) pada tanggal 12 Maret 2012.
Page 78
66
gadai sawah di desa Banjaran.123
Pertama, gadai sawah karena alasan
sosial, yakni murtahin melaksanakan akad gadai karena ia bermaksud
untuk membantu rahin, dalam hal ini murtahin tidak melihat letak dan
luas sawah yang dijadikan jaminan. Ini seperti dijelaskan oleh Ibu Aam,
bahwa ia mengambil gadai dari seorang tetangganya saai tetangganya
tersebut akan melakukan syukuran keluarga dan untuk syukuran tersebut
ia memerlukan biaya yang besar dalam waktu yang cepat. Sehingga
dengan alasan saling membantu Bu Aam memberikan pinjaman, dan
sebagai bentuk penghargaan atas kepercayaan dari tetangganya tersebut
kemudian ia menerima dan mengolah lahan sawah yang ditipkan
kepadanya sebagai jaminan pinjaman yang ia berikan tersebut.
Selanjutnya ialah gadai sawah karena alasan komersial, yakni murtahin
mengambil gadai tersebut karena ia bermaksud untuk mengambil
keuntungan dan manfaat atas sawah yang dijadikan jaminan tersebut,
dalam hal ini murtahin akan melihat letak dan luas sawah yang dijadikan
jaminan tersebut, serta menjadikannya sebagai pertimbangan berapa besar
ia akan memberikan pinjaman pada rahin. Maksudnya ialah semakin
besar pinjaman yang diambil, maka penguasaan murtahin atas sawah
gadai tersebut semakin lama juga. Ini seperti dijelaskan oleh Ny. Elis,
menurutnya daripada uang yang dimilikinya didiamkan saja dan tidak
123
Wawancara dengan P. Burhanudin (Bag. Humas BKM) pada tanggal 12 April 2012.
Page 79
67
memberikan hasil, ia kemudian mengambil gadai yang ditawarkan
kepadanya.124
Selanjutnya berkenaan dengan pelaksanaan praktek gadai sawah
tersebut dijelaskan oleh P. Burhanudin bahwa pelaksanaan praktek gadai
diawali dengan proses dimana pihak pemberi gadai terlebih dahulu
memberitahu besarnya uang yang akan dipinjam dan menawarkan barang
yang akan di jadikan barang jaminan (berupa sawah) kepada si penerima
gadai. Kemudian si penerima gadai menaksir luas lahan (sawah) dengan
sejumlah uang. P. Burhanudin menjelaskan bahwa seperti beliau pernah
juga melaksanakan akad gadai saat beliau akan memulai usahanya dengan
menggadaikan sawahnya seluas 70 bata,125
dan beliau dapat mengambil
utang sebesar Rp. 3,5 juta dari P. Wahyudin yang dalam hal ini bertindak
sebagai penerima gadai. Sebelumnya terjadi tawar-menawar antara P.
Burhanudin dan P. Wahyudin.Setelah terjadi kesepakatan antara kedua
belah pihak, kemudian P. Burhanudin menerima sejumlah uang yang
dipinjam dari si Penerima gadai yakni P. Wahyudin.Begitu pula P.
Wahyudin, menerima barang jaminannya. Penyerahan utang dan barang
jaminan ini tentu saja melalui proses ijab-qabul antara P. Burhanudin dan
P. Wahyudin. Ijab disini diucapkan oleh P. Burhanudin yang berbunyi:
“Saya gadaikan lahan sawah ini yang sejumlah 70 bata tersebut dan saya
terima pinjaman ini yang sejumlah Rp 3.500.000, kemudian silahkan anda
manfaatkan sampai Saya dapat mengembalikan pinjaman yang Anda
124
Wawancara dengan Ny. Elis (Ibu rumah tangga)/ Murtahin. 125
1 bata = 14 m2.
Page 80
68
berikan.” Yang kemudian dijawab oleh P. Wahyudin selaku murtahin,
yang dalam hal ini disebut dengan qabul yang berbunyi, “Saya serahkan
uang Rp. 3.500.000, dan Saya terima lahan sawah tersebut.” Kemudian
setelah ijab-qabul ini, menurut Beliau maka secara otomatis hak
kepemilikan dan hak penguasaan atas sawahnya yang dijadikan jaminan
tersebut berpindah pada P. Wahyudin, sehingga segala hak dan kewajiban
(Pengolahan, perawatan. Dan pemanfaatan) yang melekat pada sawah
tersebut berada ditangan P. Wahyudin.126
Sementara itu berkaitan dengan praktek gadai sawah ini, menurut
pengamatan Penulis, serta adanya keterangan dari masyarakat, dapat
dijelaskan bahwa terdapat beberapa permasalahan/ kendala dalam
pelaksanaan akad gadai tersebut, di antaranya:
a. Pembagian hasil dari pemanfaatan barang jaminan
Masalah ini muncul karena hasil dari pengelolaan sawah
sebagai barang jaminan tidak dibagi rata. Bahkan si rahin terkadang
tidak diberi sedikitpun dari hasil keuntungan pengelolaan sawah oleh
si murtahin. Hal tersebut muncul, karena menurut si murtahin bahwa
si rahin tidak memiliki hak atas sawah yang dijadikan jaminan.
Sehingga pemanfaatan sawah sepenuhya hak si murtahn dan hasil dari
pengelolaanpun sepenuhnya milik si murtahin.
b. Berlarut-larutnya gadai
126
Wawancara dengan P. Burhanudin (Bag. Humas BKM) pada tanggal 16 April 2012.
Page 81
69
Hal ini muncul ketika batas waktu yang diberikan si murtahin
kepada si penggdai jatuh tempo. Kemudian si rahin tidak mampu
mengembalikan hutangnya sesuai batas waktu yang di berikan si
murtahin. Kemudian pihak murtahin menahan barang jaminan sampai
si rahin melunasi hutangnya.Sehingga sering mengakibatkan gadai
tersebut berlangsung sampai bertahun-tahun. Hal inilah yang sering
menimbulkan konflik antara kedua belah pihak.127
Kebanyakan dalam pelaksanaan akad gadai timbul
permasalahan yang sama di kemudian hari. Hal ini salah satunya
dilatarbelakangi oleh minimnya pengetahuan masyarakat pelaku gadai
mengenai bagaimana pelaksanaan gadai yang benar.
2. Pendapat Para Pihak Terhadap Pemanfaatan Sawah Gadai
Adanya pemanfaatan sawah yang dijadikan jaminan gadai di desa
Banjaran menimbulkan reaksi yang berbeda dari para pihak yang
bersangkutan. Pemanfaatan sawah gadai seperti yang dilaksanakan oleh
masyarakat desa Banjaran tersebut, sebenarnya merupakan kendala, ini
seperti dijelaskan oleh Ibu Kustiah salah seorang rahin. Baginya
pemanfaatan sawah gadai secara penuh oleh murtahin membuatnya
mengalami kesulitan dalam hal ekonomi. Jangankan untuk
mengembalikan pinjaman yang diambilnya, untuk memenuhi kebutuhan
127
Wawancara dengan Murtahin dan Rahin pada 9-13 Maret dan 15-16 April 2012
Page 82
70
sehari-hari keluarganyapun menjadi sulit, karena ia kehilangan akses
untuk memanfaatkan sawah miliknya tersebut.128
Pendapat berbeda disampaikan oleh P. Burhanudin yang
merupakan rahin juga. Menurutnya, pemanfaatan atas sawah gadai
tersebut tidak menjadikan keberatan baginya sebagai pemilik sawah.Ia
berpendapat bahwa pelaksanakan praktek gadai tersebut membawa
manfaat bagi kedua belah pihak (murtahin dan rahin). Bagi rahin, ia
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mudah tanpa harus
kehilangan harta yang sudah dimiliki sebelumnya, meskipun dalam
jangka waktu tertentu sawah yang dimilikinya berada dalam penguasaan
murtahin namun ia dapat memilikinya kembali ketika ia mengembalikan
pinjamannya. Bagi murtahin, selain ia dapat menolong rahin, ia juga
tertolong oleh rahin dimana ia dapat mengambil manfaat dari sawah yang
di jadikan jaminan tersebut, sehingga ia mendapatkan tambahan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Selain adanya manfaat tersebut.129
Menurut P. Burhanudin pula bahwa yang membuatnya tidak
keberatan dengan pemanfaatan sawah gadai tersebut ialah bahwa di jaman
sekarang ini tidak akan mudah untuk meminta bantuan finansial jika
bermodalkan kepercayaan saja. Hal ini sesuai dengan pendapat P. Yana
(murtahin), bahwa pemanfaatan sawah gadai yang dilaksanakan di desa
Banjaran tersebut tidak berlebihan. Menurutnya meskipun murtahin
mendapatkan manfaat dari sawah gadai tersebut, namun manfaat yang
128
Wawancara dengan Ibu Kusti‟ah (Rahin, Ibu Rumah Tangga). Pada tanggal 13 Maret
2012. 129
Wawancara dengan P. Burhanudin (Bag. Humas BKM) pada tanggal 16 April 2012
Page 83
71
diperoleh tersebut tidak seberapa jika dibandingkan dengan modal yang
harus dikeluarkan untuk mengolah sawah tersebut.130
P. Sefudin memperkuat pendapat yang disampaikan oleh P.
Burhanudin dan P. Yana, menurut beliau bahwa pelaksanaan gadai yang
dilaksanakan di desa Banjaran tersebut biasanya dilaksanakan secara tiba-
tiba untuk menyelesaikan kebutuhan rahin yang sifatnya tak terduga.
Sehingga menurutnya mengenai pemanfaatan sawah gadai oleh murtahin
bukan termasuk kedalam akad qard yang mensyaratkan manfaat.
Pemanfaatan sawah gadai tersebut lebih dimaksudkan sebagai bentuk rasa
terima kasih dari pihak rahin.131
C. Persepsi Ulama Salem Terhadap Pemanfaatan Sawah Gadai
Berkenaan dengan pelaksanaan praktek pemanfaatan barang jaminan
gadai oleh murtahin dalam praktek gadai yang dilaksanakan oleh masyarakat
di desa Banjaran, kec.Salem, kab.Brebes tersebut menimbulkan pro dan
kontra diantara para ulama. Sebagian dari ulama Salem tidak merasa
keberatan dengan adanya pemanfaatan sawah gadai, sementara yang sebagian
lagi merasa keberatan dengan praktek pemanfaatan sawah gadai tersebut.
Pendapat yang bersifat pro diantaranya disampaikan oleh:
1. KH. Holid Nawawi, yang merupakan seorang tokoh agama terkemuka di
ds. Banjaran, beliau merupakan pemilik pondok pesantren. Selain itu
merupakan kepala KUA kec. Salem, dan juga ketua Majelis Perwakilan
130
Wawancara dengan P. Yana (Murtahin, PNS) pada tanggal 11 Maret 2012 131
Wawancara dengan P. Sefudin (Ka. Ur Kesra desa Banjaran) pada tanggal 12 Maret
2012
Page 84
72
Cabang NU kec. Salem.Menurut beliau bahwa segala akad yang dilakukan
akan dikembalikan lagi pada aqid-nya, selama diantara para aqid saling
rela , maka akad yang dilaksanakan sah. Demikian pula
berkenaan dengan pelaksanaan akad gadai yang dilaksanakan di desa
Banjaran, beliau berpendapat bahwa akad gadai tersebut sah. Sedangkan
mengenai pemanfaatan sawah oleh si murtahin, menurut beliau selama itu
berdasarkan kesepakatan bersama, maka tidak menjadi suatu masalah.132
2. Kyai. Burhanuddin, merupakan tokoh agama. Beliau juga merupakan
seorang guru di sekolah keagamaan, yang juga merangkap sebagai kabag.
Humas BKM Mesjid Raya at-Taqwa ds. Banjaran. Menurut bahwa
pelaksanaan gadai sawah di desa Banjaran diperbolehkan baik menurut
hukum Islam, maupun berdasarkan pada hukum normatif. Berkenaan
dengan pemanfaatan sawah gadai, beliau menjelaskan bahwa hal tersebut
tidak termasuk kedalam kategori ekploratif. Menurut beliau, dalam
pelaksanaan akad gadai tersebut tidak hanya murtahin yang memperoleh
manfaat dari pengolahan sawah gadai itu, tapi rahin juga mendapat
manfaat yakni dengan pinjaman yang diperolehnya dari murtahin, maka ia
dapat segera memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa harus melalui proses
legal formal.Sehingga dalam pelaksanaan akad gadai tersebut terjadi
simbiosis mutualisme antara rahin dan murtahin.133
132
Wawancara dengan Kyai Holid Nawawi (Ketua KUA Kec.Salem merangkap sebagai
Ketua MPC NU Kec.Salem) pada tanggal. Pada tanggal 11 Maret 2012 133
Wawancara dengan P. Burhanudin (ulama di desa Banjaran dan merupakan bagian
humas Badan Kesejahteraan Mesjid di desa Banjaran). Pada tanggal 16 April 2012
Page 85
73
3. P. Nasihin, yang merupakan tokoh agama, selain itu juga merupakan ketua
Badan Kesejahteraan Mesjid Raya ds. Banjaran. Menurut beliau mengenai
pelaksanaan gadai sawah tersebut diperbolehkan dan tidak melanggar
ketentuan hukum. Mengenai pemanfaatan sawah gadai oleh murtahin
tersebut bukan bentuk aniaya, sehingga tidak dapat dikategorikan ke dalam
macam riba. Pemanfaatan sawah gadai tersebut merupakan bentuk rasa
terima kasih dan rasa kepercayaan dari rahin. Bagaimanapun pada zaman
sekarang tidak mudah mencari bantuan finansial jika hanya bermodal
kepercayaan saja. Bahkan seandainya melibatkan lembaga keuangan harus
melalui prosedur yang panjang, dan keadaan tersebut hanya akan membuat
rahin semakin kesulitan.134
Pendapat ulama yang tidak menyetujui praktek pelaksanaan
pemanfaatan barang jaminan (sawah gadai), diantaranya disampaikan oleh:
1. Bpk. Kyai H. Karso. Beliau merupakan pemuka agama terkenal di kec.
Salem, merupakan pemilik yayasan pendidikan islami, juga wirausahawan
ternama. Selain itu beliau merupakan ex. Ketua Majelis Pimpinan Cabang
Muhammadiyah untuk kec. Salem.
Beliau tidak setuju dengan adanya praktek gadai dengan
mensyaratkan pemanfaatan barang jaminan oleh murtahin, seperti yang
dilaksanakan di ds. Banjaran tersebut, dan tentu saja ini tidak
diperbolehkan menurut ketentuan hukum. Beliau berpendapat bahwa
134
Wawancara dengan P. Nasihin (Ulama di desa Banjaran dan merupakan Ketua Badan
Kesejahteraan Mesjid desa Banjaran) Pada tanggal 16 April 2012
Page 86
74
pemanfaatan sawah gadai yang dilaksanakan di ds.Banjaran tersebut dapat
dikategorikan kedalam utang-piutang (Qard) dengan mensyaratkan adanya
manfaat, dan beliau tidak setuju dengan pelaksanaannya. Beliau
mendasarkan pendapatnya tersebut pada hadits Rasulullah SAW, sebagai
berikut:
Artinya: “tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka ia semacam
dari beberapa macam riba”. (HR. Baihaqi).
Menurut Beliau bagaimana mungkin seorang yang sudah jelas
sedang membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, justru
harta yang telah dimilikinyapun dikuasai dan dimanfaatkan oleh orang
lain. Mungkin dalam jangka pendek masalah terselesaikan dengan adanya
utang yang diambil tersebut, namun dalam jangka panjang rahin justru
akan mengalami permasalahan yang baru dimana rahin akan kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya sementara ia juga harus
mengembalikan pinjaman yang diambilnya.135
2. P. Kyai Khoerul Bassyar, merupakan aktifis keagamaan terkemuka. Saat
ini beliau menjabat sebagai ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyyah
untuk kec. Salem.
Menurut beliau bahwa akad gadai sawah dengan mensyaratkan
pemanfaatan sawahnya sebagai barang jaminan tersebut tidak dibenarkan
dalam hukum Islam. Menurut beliau akan lebih baik apabila akadnya
135
Wawancara dengan P. Kyai Karso (Tokoh ulama di desa Bentar, Kec.Salem, dan
merupakan Mantan Ketua PC Muhammadiyah kec. Salem) Pada tanggal 12 Maret 2012
Page 87
75
tersebut diubah dimana pinjaman dilaksanakan dengan batas waktu yang
telah disepakati, kemudian jika telah sampai pada batas waktu yang telah
ditentukan rahin tidak mampu mengembalikan pinjaman tersebut barulah
rahin memberikan kuasa kepada murtahin untuk mengolah dan
mengambil manfaat dari sawah yang dimilikinya selama kurun waktu
tertentu. Dengan catatan bahwa lamanya penguasaan tersebut harus
disesuaikan dengan besarnya pinjaman, dengan cara mengukur jumlah
hasil panen yang mungkin dapat diperoleh dari sawah tersebut jika
dibandingkan dengan jumlah hasil panen yang biasanya dapat diperoleh
setiap musimnya.136
3. P. Kyai Anto Fatulloh. Beliau merupakan pemilik pondok pesantren di ds.
Banjaran. Selain itu beliau juga merupakan pimpinan dari suatu kelompok
keagamaan di sekitar kec. Salem. Beliau merupakan penceramah ternama
untuk wilayah kec. Salem.
Beliau setuju bahwa mensyaratkan adanya pengambilan manfaat
dari pinjaman yang diambil tidak diperbolehkan. Namun, berkenaan
dengan pemanfaatan sawah sebagai jaminan atas pinjaman yang diambil
seperti yang dilaksanakan di desa Banjaran tersebut menurut beliau bukan
merupakan bentuk akad gadai.Menurut beliau bahwa akad gadai yang
dimaksudkan ialah apabila barang yang dijaminkan berupa harta benda
bergerak.Sementara yang dilaksanakan di ds.Banjaran ialah dengan
136
Wawancara dengan P. Kyai Khoerul Bassyar (ulama di desa Talaga, kec. Salem dan
merupakan Ketua PC Muhammadiyyah), pada tanggal 12 Maret 2012
Page 88
76
menggunakan barang jaminan berupa barang tidak bergerak yakni lahan
sawah.
Berkenaan dengan pelaksanaan akad gadai dengan menambahkan
pemanfaatan atas sawah yang dijadikan jaminan oleh murtahin seperti
yang dilaksanakan oleh masyarakat desa Banjaran tersebut P. Kyai Anto
memberikan satu solusi yang dapat diambil yakni dengan mengubah akad,
salah satunya dengan mengubahnya menjadi akad sewa.137
137
Wawancara dengan P. Kyai Anto Fatulloh (ulama di desa Banjaran), pendapat ini
serupa dengan pendapat yang disampaikan oleh P. Rusdi dan P. Amir Hasyim yang masing-
masing merupakn ketua serta Pembina organisasi RISMA desa Banjaran. Pada tanggal 12 Maret
2012.
Page 89
77
BAB IV
ANALISIS PERSEPSI ULAMA SALEM TERHADAP PEMANFAATAN
SAWAH GADAI YANG DILAKSANAKAN DI DS. BANJARAN,
KEC. SALEM. BREBES
A. Analisis Pelaksanaan Praktek Gadai Sawah di ds. Banjaran, Salem,
Brebes Berdasarkan Syarat dan Rukun Gadai
Secara terminologis dijelaskan bahwa gadai (rahn) adalah
menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas utang, dengan ketentuan
bahwa apabila terjadi kesulitan dalam pembayarannya maka utang tersebut
dapat dibayar dari hasil penjualan barang yang dijadikan jaminan tersebut.138
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa secara prinsipil, gadai merupakan salah
satu sarana tolong-menolong diantara sesama manusia dengan tanpa
mengharapkan adanya imbalan jasa.139
Akad gadai dalam hal ini
dilaksanakan dengan akad pokok pinjam-meminjam dengan disertai barang
jaminan yang berfungsi sebagai penjamin atas utang yang diambil, dan
bukan untuk mengambil manfaat/ keuntungan dari barang jaminan
tersebut.140
Berdasarkan pada konsep tersebut, baik secara terminologis maupun
secara prinsipil dapat penulis fahami bahwa dalam hal pelaksanaan gadai
sawah di ds. Banjaran, kec. Salem, kab. Brebes tersebut telah terjadi
138
Ahmad Wardi Muslich, op. cit., hlm. 287-288 139
Nasrun Haroen, op. cit., hlm. 251. 140
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi.K. Lubis, op. cit., hlm 143
76
Page 90
78
kekeliruan penafsiran, yakni dalam hal pemanfaatan marhun yang
dilaksanakan oleh murtahin (Pemberi utang).
Dilihat dari segi rukun akad, jumhur ulama sepakat bahwa rukun
suatu akad itu diantaranya diwujudkan dengan adanya141
:
1. Shigat lafal ijab (pernyataan menyerahkan barang (sawah) sebagai
agunan yang dalam hal ini dilakukan oleh pemilik sawah/ rahin) dan
qabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang
agunan/ sawah itu, yang dalam hal ini dilakukan oleh pemilik uang/
murtahin).
2. Aqidain (yakni rahin dan murtahin).
3. Mahallul „aqd, yakni obyek akad, merupakan sesuatu yang hendak
diakadkan. Mahallul „aqd dalam akad gadai/ rahn ini terdiri atas:
a. (Al-marhun), yakni harta yang dijadikan agunan, dalam hal ini yakni
berupa sawah.
b. (Al-Marhun bih), dalam hal ini utang yang diberikan oleh murtahin
kepada rahin.
Kemudian berkaitan dengan syarat gadai diantaranya yaitu:
1. Orang yang berakad (Aqidain).
Syarat bagi aqid dalam pelaksanaan akad gadai ialah aqid harus
memiliki kecakapan (ahliyah),142
maksudnya ialah orang yang cakap
untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan
141
Ghufron. A. Mas‟adi, op. cit., hlm. 78. 142
Ahmad Wardi Muslich, op. cit. hlm. 290
Page 91
79
syari‟at Islam, yaitu berakal dan baligh.143
Selain itu, aqid tidak berstatus
dalam pengampuan (mahjur „alaih).144
Bahwa dalam hal praktek gadai
sawah tersebut dilaksanakan oleh rahin dan murtahin yang memiliki
kecakapan baik dari segi fisik maupun dari segi mental. Serta lahan
sawah yang digunakan sebagai jaminan merupakan lahan milik rahin
sendiri.
2. Ma‟qud „Alaih (Barang yang diakadkan).
Menurut Imam Syafi‟i bahwa syarat sah gadai adalah harus ada
jaminan yang berkriteria jelas dalam serah terima. Bahwa orang yang
menggadaikan wajib menyerahkan barang jaminan kepada yang
menerima gadai.145
Berkenaan dengan syarat yang melekat pada marhun/
rahn, para ulama menyepakati bahwasanya yang menjadi syarat yang
harus melekat pada barang gadai merupakan syarat yang berlaku pada
barang yang dapat diperjual-belikan, dalam praktek gadai sawah tersebut
marhun yang dimaksudkan ialah berupa sawah. Sementara itu yang
berkaitan dengan marhun bihi ini harus merupakan barang yang dapat
dimanfaatkan, apabila marhun bihi ini tidak dapat dimanfaatkan, maka
dianggap tidak sah.Selain itu, marhun bihi haruslah merupakan barang
yang dapat dihitung jumlahnya,146
dalam praktek gadai tersebut marhun
bihi-nya berupa uang.
143
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi. K. Lubis, op. cit. hlm. 142 144
H. Hendi Suhendi, op. cit. hlm. 107. 145
Muhamad Sholihul Hadi, op. cit., hlm.53 146
Zainuddin Ali, op. cit., hlm 22.
Page 92
80
Berkenaan dengan ma‟qud „alaih tersebut, baik marhun (sawah)
maupun marhun bih langsung ada saat akad dilaksanakan.Yakni
penyerahan uang dari murtahin secara langsung, dan penyerahan sawah
secara lisan oleh rahin.
3. Shighat (Ijab dan Qabul).
Berkenaan dengan shighat dalam pelaksanaan praktek gadai
sawah tersebut sudah memenuhi kriteria Sighatul aqdi, yakni telah
memenuhi tiga ketentuan (urusan) pokoknya, yaitu:
a. Harus terang pengertiannya
b. Harus bersesuaikan antara ijab dan qabul
c. Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang
bersangkutan.147
Shighat yang dimaksudkan dalam pelaksanaan gadai sawah
tersebut ialah berupa ucapan si penggadai yang berbunyi: “saya gadaikan
sawah di wilayah A dengan luas sekian”, yang kemudian dijawab
dengan ucapan dari Si penerima gadai yang berbunyi: “saya terima gadai
sawahnya”.148
Shighat inipun dilaksanakan oleh rahin dan murtahin
dalam pelaksanaan praktek gadai sawah di ds. Banjaran.
Akan tetapi, kerancuan justru timbul dalam kesepakatan yang
terjadi diantara rahin dan murtahin, dimana ketika shighat keduanya
menyepakati adanya ketentuan yang menyatakan bahwa selama rahin
147
Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
Cet. 1, 1997, hlm. 29. 148
Wawancara dengan P. Burhanudin (Bag.Humas BKM) pada tanggal 16 April 2012,
Bab III hlm. 11.
Page 93
81
belum dapat mengembalikan pinjaman yang diambilnya, maka selama
itu pula hak kepemilikan dan hak penguasaan atas lahan sawah yang
dijaminkan berpndah ke tangan murtahin. Hal ini bertentangan dengan
syarat shighat akad yang menyatakan bahwa shighat yang terdapat dalam
akad gadai tidak boleh digantungkan (mu‟allaq) dengan syarat tertentu
yang bertentangan dengan substansi akad gadai (rahn).149
Sementara itu
secara substansial dapat kita ketahui bahwa akad gadai ini merupakan
suatu kegiatan menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas utang,
dengan ketentuan bahwa apabila terjadi kesulitan dalam pembayarannya
maka utang tersebut dapat dibayar dari hasil penjualan barang yang
dijadikan jaminan tersebut. 150
Sehingga jelas kemudian kita ketahui
bahwa fungsi harta benda (dalam hal ini sawah), hanyalah sebagai
penjamin saja, bukan obyek yang dapat diambil pemanfaatan atasnya
oleh murtahin, Karena dalam hal ini hak murtahin hanya mempunyai
hak untuk menahan marhun (lahan sawah), sementara hak kepemilikan
atas marhun dan manfaatnya tetap berada di tangan rahin. 151
Selain itu, pensyaratan pemanfaatan lahan sawah yang dilakukan
oleh murtahin juga bertentangan dengan fungsi gadai yang merupakan
sarana tolong-menolong antara sesama umat muslim (Khususnya),
umumnya bagi manusia, dengan tanpa adanya imbalan jasa.152
149
Dimyauddin Djuwaini, op. cit., hlm. 263. 150
Ibid. hlm. 287-288 151
Fatwa DSN-MUI, op. cit. hlm. 154 152
Nasroen Haroen, op. cit. hlm. 251.
Page 94
82
Berdasarkan penjelasan di atas dapat penulis analisa bahwa
praktek gadai sawah yang dilaksanakan di ds. Banjaran, Kec. Salem,
Kab. Brebes tersebut tidak sah karena ada salah satu bagian dari rukun
gadai tu sendiri yang mengalami kerusakan, dalam hal ini yakni sighat
akad.
B. Analisis Terhadap Persepsi Ulama Mengenai Praktek Pemanfaatan
Sawah Gadai oleh Murtahin yang dilaksanakan di Ds. Banjaran.
Salem. Brebes
Berkenaan dengan penelitian yang telah Penulis lakukan mengenai
persepsi ulama Brebes tentang praktek pemanfaatan sawah gadai yang
dilakukan oleh murtahin dalam pelaksanaan gadai sawah di ds.Banjaran.
Salem. Brebes tersebut, Penulis dapat menganalisanya sebagai berikut:
1. Analisis Terhadap Persepsi Ulama yang Membolehkan Pemanfaatan
Marhun oleh Murtahin dalam Pelaksanaan Gadai Sawah di Ds. Banjaran,
Salem, Brebes.
Mengenai pendapat ulama Brebes yang membolehkan
pelaksanaan gadai sawah yang dilaksanakan di ds. Banjaran, kec. Salem,
kab. Brebes tersebut yakni pendapat yang disampaikan oleh:
a. Bpk. Kyai Holid Nawawi, menurut beliau bahwa segala akad yang
dilakukan akan dikembalikan lagi pada aqid-nya, selama diantara para
aqid sama-sama saling rela , maka akad yang dilaksanakan
sah. Demikian pula berkenaan dengan pelaksanaan akad gadai yang
dilaksanakan di desa Banjaran, beliau berpendapat bahwa akad gadai
Page 95
83
tersebut sah. Sedangkan mengenai pemanfaatan sawah oleh si
murtahin, menurut beliau selama itu berdasarkan kesepakatan
bersama, maka tidak menjadi suatu masalah.153
b. P. Burhanuddin, menurutnya pemanfaatan sawah gadai di desa
Banjaran tidak termasuk kedalam kategori ekploratif. Menurut beliau,
dalam pelaksanaan akad gadai tersebut tidak hanya murtahin yang
memperoleh manfaat dari pengolahan sawah gadai itu, tapi rahin juga
mendapat manfaat yakni dengan pinjaman yang diperolehnya dari
murtahin, maka ia dapat segera memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa
harus melalui proses legal formal. Sehingga dalam pelaksanaan akad
gadai tersebut terjadi simbiosis mutualisme antara rahin dan
murtahin.154
c. P. Nasihin, menurut beliau mengenai pemanfaatan sawah gadai oleh
murtahin tersebut bukan bentuk aniaya, melainkan sebagai bentuk
rasa terima kasih dan rasa kepercayaan dari rahin. Bagaimanapun
pada zaman sekarang tidak mudah mencari bantuan finansial jika
hanya bermodal kepercayaan saja. Bahkan seandainya melibatkan
lembaga keuangan harus melalui prosedur yang panjang, dan keadaan
tersebut hanya akan membuat rahin semakin kesulitan.155
153
Wawancara dengan Kyai Holid Nawawi (Ketua KUA Kec. Salem merangkap sebagai
Ketua MPC NU Kec. Salem) pada tanggal. Pada tanggal 11 maret 2012 154
Wawancara dengan P. Burhanudin (ulama di desa Banjaran dan merupakan bagian
humas Badan Kesejahteraan Mesjid di desa Banjaran). Pada tanggal 16 April 2012 155
Wawancara dengan P. Nasihin (Ulama di desa Banjaran dan merupakan Ketua Badan
Kesejahteraan Mesjid desa Banjaran) Pada tanggal 16 April 2012
Page 96
84
Berkenaan dengan pendapat ulama tersebut, menurut analisa
Penulis dalam hal kelonggaran yang disampaikan oleh para ulama
tesebut didasarkan pada firman Allah SWT, Q.S. An-Nissa ayat 29,
sebagai berikut:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs.
An- Nissa/ 4: 29).156
Bahwa jika telah ada kesuka relaan diantara kedua belah pihak
maka akad perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak dianggap
sah. Demikian menurut ulama Salem tersebut bahwa kesepakatan yang
terjadi diantara rahin dan murtahin dapat dikatakan sebagai bentuk
kesuka relaan diantara para pihak.
Pendapat para ulama Salem yang memperbolehkan pelaksanaan
praktek gadai sawah ini juga sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,
sebagai berikut:
156
Departemen Agama RI, op. cit. hlm 84.
Page 97
85
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, bersabda
Rasulullah SAW,: Barang jaminan itu dapat ditunggangi dan
diperah.”157
Berkaitan dengan pemanfaatan tersebut dengan ketentuan bahwa
selain murtahin memanfaatkan marhun, ia juga berkewajiban atas segala
nafkah yang mengikat pada marhun tersebut, seperti biaya perawatan dan
pengolahan marhun, serta menjaga agar marhun tidak berkurang baik
secara kuantitas maupun secara kualitas. Dalam hal ini sesuai dengan
hadits Rasulullah SAW, sebagai berikut:
Artinya: “dari Abu Hurairah, r.a., ia berkata: bersabda Rasulullah SAW,
gadaian dikendarai oleh sebab nafkahnya apabila ia digadaikan
dan susu diminum dengan nafkahnya apabila digadaikan dan
atas orang yang mengendarai dan meminum susunya wajib
nafkahnya”. (H.R. Bukhari) 158
2. Analisis Terhadap Pesepsi Ulama yang Tidak Memperbolehkan
Pemanfaatan Marhun oleh Murtahin dalam Pelaksanaan Gadai Sawah di
Ds. Banjaran, Salem, Brebes.
Mengenai pendapat ulama Brebes yang membolehkan
pelaksanaan gadai sawah yang dilaksanakan di ds. Banjaran, Salem.
Brebes seperti yang disampaikan oleh:
157
Chuzaimah. T. Yanggo, op. cit. hlm. 88. 158
Ibid, hlm. 93
Page 98
86
a. Bpk. Kyai H. Karso, menurut beliau bahwa pemanfaatan sawah gadai
yang dilaksanakan di desa Banjaran tersebut dapat dikategorikan
kedalam akad pinjam meminjam dengan mensyaratkan adanya
manfaat, dan beliau tidak setuju dengan pelaksanaanya. Beliau
mendasarkan pendapatnya tersebut pada hadits Rasulullah SAW,
sebagai berikut:
Artinya: “tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka ia
semacam dari beberapa macam riba”. (HR. Baihaqi)
Beliau tidak setuju dengan adanya praktek gadai dengan
adanya pemanfaatan barang jaminan oleh murtahin, seperti yang
dilaksanakan di desa Banjaran tersebut. Menurut beliau bagaimana
mungkin seorang yang sudah jelas sedang membutuhkan dana untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, justru harta yang telah
dimilikinyapun malah dikuasai dan dimanfaatkan oleh orang lain.
Mungkin dalam jangka pendek masalah terselesaikan dengan adanya
pinjaman yang diambil tersebut, namun dalam jangka panjang rahin
justru akan mengalami permasalahan yang baru dimana rahin akan
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya sementara ia
juga harus mengembalikan pinjaman yang diambilnya.159
b. P. Kyai Khoerul Bassyar, menurutnya akan lebih baik apabila akadnya
tersebut diubah dimana pinjaman dilaksanakan dengan batas waktu
159
Wawancara dengan P. Kyai Karso (Tokoh ulama di desa Bentar, Kec.Salem, dan
merupakan Mantan Ketua PC Muhammadiyah kec. Salem) Pada tanggal 12 Maret 2012
Page 99
87
yang telah disepakati, kemudian apabila sampai batas waktu yang
telah ditentukan rahin tidak mampu mengembalikan pinjaman
tersebut barulah rahin memberikan kuasa kepada murtahin untuk
mengolah dan mengambil manfaat dari sawah yang dimilikinya.
Dengan catatan bahwa lamanya penguasaan tersebut harus
disesuaikan dengan besarnya pinjaman, dengan cara mengukur jumlah
hasil panen yang mungkin dapat diperoleh dari sawah tersebut jika
dibandingkan dengan jumlah hasil panen yang biasanya dapat
diperoleh setiap musimnya.160
c. P. Kyai Anto Fatulloh, beliau setuju bahwa mensyaratkan adanya
pengambilan manfaat dari pinjaman yang diambil tidak
diperbolehkan. Namun, beliau menambahkan bahwa berkenaan
dengan pemanfaatan sawah sebagai jaminan atas pinjaman yang
diambil seperti yang dilaksanakan di desa Banjaran tersebut bukan
merupakan bentuk akad gadai. Menurut beliau bahwa akad gadai yang
dimaksudkan ialah apabila barang yang dijaminkan berupa harta
benda bergerak.
Berkenaan dengan pendapat para ulama Salem yang tidak
memperbolehkan pelaksanaan praktek gadai seperti yang dilaksanakan
oleh masyarakat ds. Banjaran tersebut, dalam hal ini mendasarkan
pendapatnya pada hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa
dalam bentuk apapun, hal yang menuju ke dalam suatu keadaan yang
160
Wawancara dengan P. Kyai Khoerul Bassyar (Ulama di desa Talaga, kec. Salem dan
merupakan Ketua PC Muhammadiyyah), pada tanggal 12 Maret 2012
Page 100
88
menunjukan tindakan riba, ini tidak boleh ditoleransi. Hadits tersebut
sebagai berikut::
Artinya: “dari Ali‟ r.a., ia berkata: Rasulullah saw, telah bersabda; setiap
mengutangkan yang menarik manfaat adalah termasuk riba”,
(HR. Harits bin Abi Usamah).161
Selain itu, pemanfaatan atas marhun oleh murtahin ini juga
bertentangan dengan hak rahin sebagai pemilik dari lahan sawah
tersebut. Ini seperti dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW:
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW,: Gadaian itu tidak
menutup akan yang punyanya dari manfaat barang itu,
faidahnya kepunyaan dia dan dia wajib
mempertanggungjawabkan segala resikonya”. (HR. as- Syafi‟I
dan ad- Daruquthni).162
161
Chuzaimah T. Yanggo, op. cit. hlm. 89. 162
Ibid, hlm. 94
Page 101
89
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan pembahasan-pembahasan dalam skripsi
yang berjudul “PERSEPSI ULAMA BREBES TENTANG PEMANFAATAN
SAWAH GADAI (Studi Kasus Terhadap Praktek Gadai Sawah Di Banjaran,
Kec. Salem, Brebes)” tersebut di atas dapat penulis ambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Berdasarkan penjelasan yang telah Penulis deskripsikan dapat diketahui
bahwa pelaksanaan praktek gadai yang dilaksanakan oleh masyarakat di
ds. Banjaran, Salem, Brebes tersebut jika dilihat dari segi rukun dan syarat
akad maka akad tersebut tidak sah.
Ketidaksahan disebabkan adanya kecacatan dalam sighat antara
Rahin dan murtahin, yakni dalam sighat yang mereka laksanakan terdapat
ketentuan yang menyatakan bahwa dalam praktek gadai sawah tersebut
terdapat persyaratan yang berkaitan dengan pemanfaatan marhun (lahan
sawah), yang secara keseluruhan berpindah ke tangan murtahin. Dan
syarat tersebut merusak shighat akad, dimana dijelaskan bahwa dalam
shighat akad tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu di masa
mendatang, serta tidak boleh bertentangan dengan substansi akad gadai itu
sendiri.
88
Page 102
90
2. Persepsi Ulama Brebes tentang pemanfaatan sawah gadai oleh Murtahin
yang dilaksanakan di Banjaran, Kecamatan. Salem, Kabupaten. Brebes.
Mengenai pendapat para ulama Brebes berkenaan dengan pelaksanaan
gadai sawah yang dilakukan oleh masyarakat di desa Banjaran, Kec.
Salem, Kab. Brebes tersebut terdapat dua pendapat yang berbeda, yakni:
a. Pendapat ulama yang membolehkan pemanfaatan marhun oleh
murtahin dalam pelaksanaan gadai sawah di Ds. Banjaran, Salem,
Brebes dengan alasan bahwa kebolehan pemanfaatan barang jaminan
oleh penerima gadai ini sesuai dengan fungsinya barang gadaian
sebagai jaminan dan kepercayaan bagi pihak yang meminjamkan uang,
maka barang jaminan tersebut dikuasai oleh penerima gadai, hal ini
disebabkan karena apabila barang jaminan tersebut masih dipegang
oleh Pemberi gadai, maka barang jaminan tersebut keluar dari tangan
penerima gadai, sehingga barang jaminan tersebut tidak memiliki arti
apa-apa. Sehingga untuk menjaga kemadlorotan yang mungkin terjadi
di antara pemberi dan penerima gadai, maka dibolehkan bagi penerima
gadai memanfaatkan barang jaminan sehingga barang jaminan tersebut
senantiasa terpelihara. Selain itu, pemanfaatan yang dimaksud tersebut
merupakan suatu bentuk rasa saling tolong-menolong pula, dimana
rahin dapat tertolong kebutuhannya, dan murtahin juga dapat tertolong
karena dapat memenuhi kebutuhannya dari hasil pemanfaatan tersebut.
b. Persepsi Ulama yang Tidak Membolehkan Pemanfaatan Marhun oleh
Murtahin dalam Pelaksanaan Gadai Sawah di Ds. Banjaran, Salem,
Page 103
91
Brebes, beralasan bahwa praktek pemanfaatan barang jaminan (sawah)
tersebut dapat dikategorikan kedalam akad qard yang mensyaratkan
tambahan tertentu, dan ini tidak diperbolehkan oleh agama dan dapat
dikategorikan ke dalam macam riba. Selain itu juga pemanfaatan
barang jaminan oleh murtahin ini keluar dari ketentuan bahwa yang
berhak memanfaatkan suatu barang ialah pemiliknya. Sementara
murtahin bukan pemiliknya, sehingga yang berhak mengambil manfaat
atas barang jaminan gadai ialah pemberi gadai, hal ini tetap berlaku
meskipun barang tersebut pada dasarnya berada di bawah kekuasaan
penerima gadai. Ketentuan ini dikarenakan meskipun kedudukan
barang tersebut sebagai jaminan atau kepercayaan atas penerima gadai,
namun kepemilikan atasnya tetap melekat pada pemiliknya yakni
pemberi gadai. Selain itu, adanya pemanfaatan barang jaminan oleh
penerima gadai menyebabkan turunnya kualitas barang jaminan, dan
hal ini tidak dibenarkan tanpa adanya izin dari pemberi gadai.
B. Saran-Saran
Dengan adanya beberapa uraian di atas, maka penulis memberikan
saran-saran untuk menjadi bahan pertimbangan yakni sebagai berikut:
1. Bagi para ulama, diharapkan untuk senantiasa memberikan pengarahan
tentang bagaimana melaksanakan praktek gadai sawah dalam hal ini yang
sesuai dengan hukum Islam.
2. Mengenai pelaksanaan gadai sawah tersebut, antara Pemberi Gadai dan
Penerima Gadai harus ada kejelasan mengenai waktu pengembalian
Page 104
92
hutang dan barang jaminan, sehingga pelaksanaan gadai tidak berlarut
lama.
3. Bahwa dalam pelaksanaan praktek gadai jangan sampai mengabaikan
prinsip ta‟awwun, yang merupakan dasar dilaksanakannya praktek gadai.
4. Bahwa untuk meminimalisir masalah dalam praktek gadai tersebut lebih
baik menjadikan tanda kepemilikannya (sertifikat) sebagai barang
jaminan dan bukan manfaat yang melekat pada barang jaminan tersebut.
5. Solusi lainnya ialah dengan mengubah akad yang digunakan, di antaranya
mengubahnya menjadi akad sewa-menyewa,
C. Penutup
Seiring dengan karunia dan limpahan rahmat yang diberikan kepada
segenap makhluk, maka tiada puji dan puja yang patut dipersembahkan
melainkan hanya kepada Allah SWT. Dengan hidayah-Nya pula tulisan
sederhana ini dapat diangkat dalam skripsi yang tidak luput dari kekurangan
dan kekeliruan. Menyadari akan hal itu, bukan suatu kepura-puraan bila
penulis mengharap kritik dan saran untuk menuju kesempurnaan tulisan ini.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada
para pihak yang senantiasa membantu penulis dalam menyusun tulisan ini.
Semoga tulisan sederhana ini dapat diterima untuk memperoleh, memenuhi
dan melengkapi syarat-syarat Sarjana Strata 1. Akhirnya penulis berharap
semoga tulisan ini dapat menambah khazanah keilmuan, bermanfaat sebagai
tambahan ilmu dan wawasan bagi para pembacanya. Amiin.
Page 105
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Hukum Gadai Syari’ah, Jakarta, Sinar Grafika, 2008.
An-Nawawi, Al- Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf, Riyadhus Shalihin,
diterjemahkan oleh Achmad Sunarto, Jakarta, Pustaka Amani, 1999.
Antonio, Muh. Syafi‟i, Bank Syari’ah ’Suatu Pengenalan Umum’, Jakarta: Tazkia
Institute, 1999.
_____________, Bank Syari’ah ‘Dari Teori ke Praktek’, Jakarta, Gema Insani,
2001.
As-Shiddieqy, Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta, Bulan Bintang, 1984/
1997.
_____________, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 7, Semarang, PT. Pustaka Rizki
Putra, 2001.
_____________, Mutiara Hadits 5, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2003.
Creswell, John. W., Research Design ‘Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan
Mixed, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002.
Danim, Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif Rancangan Metodologi, Presentasi
Dan Publikasi Hasil Penelitian Untuk Mahasiswa Dan Peneliti Pemula
Bidang Ilmu-Ilmu Sosial, Pendidikan, Dan Humaniora’, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2002.
Departemen Aganma RI, „Abdul „Aziz „Abdur Ra‟uf dan Al- Hafiz (ed), Mushaf
Al- Qur’an Terjemah Edisi Tahun 2002, Jakarta, Al- Huda, 2005.
Departemen Aganma RI, „Abdul „Aziz „Abdur Ra‟ufdan Al- Hafiz (edit),
“Mushaf Al- Qur’an Terjemah Edisi Tahun 2002”, Jakarta, Al- Huda,
2005.
Departemen Negara RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya al- Jumánstul ‘Alí,
Bandung: CV. Penerbit Jumanatul „Ali-Art, 2005.
Dewi, Gemala, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana,
2005.
Djuwaini, Dimyauddin, Fiqih Muamalah, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008
DSN-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Ciputat, CV. Gaung
Persada, 2006
Page 106
Hadi, Muhamad Sholihul, Pegadaian Syari’ah, Jakarta, Salemba Diniyah, 2003.
Hadi, Muhamad Sholihul, Pegadaian Syari’ah, Jakarta, Salemba Diniyah, 2003.
Hamidy, Mu‟ammal, Terjemah Nailul Authar Jilid IV, Surabaya, BinaIlmu.
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007.
Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003
Mandhur, Ibnu, Lisan al-arab, Beirut, Dar al-Lisan al-Arab.
Mas‟adi, Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2002.
Mundayat, Arif, Membangun Budaya Kerakyatan Kepemimpinan Gus Dur,
Yogyakarta, Titian Illahi Press, 1997.
Muslich, Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat, Jakarta: AMZAH, 2010.
Nazir, Moh., Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988.
Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis, “Hukum Perjanjian Dalam
Islam”, Jakarta, Sinar Grafika, 1996.
Pasaribu, Chairuman, Suhrawardi. K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,
Jakarta, Sinar Grafika.
Raharjo, M. Dawam, Intelektual, IntelegensiadanPrilakuPolitikBangsa, Bandung
:Mizan, 1993.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta, at- Tahiriyah, 1954.
Rasyid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung, PT. Sinar Baru Algensindo, 1994.
Rifa‟i, Moh.,Terjemah Kifayatul Ahyar, Semarang, CV. Thoha Putra, 1978.
Rusyd, Ibnu, Analisa Fiqih Para Mujtahid, diterjemahkan oleh Imam Ghazali
Said dan Achmad Zaidun dari Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid, Jakarta, Pustaka Amani, 2002.
Sabiq, Sayid, Fiqih Sunnah 12, Jakarta, Pustaka Percetakan Offset, 1998.
_____________, Fiqih Sunnah, diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin, dkk., dari
judul asli, Fiqhus Sunnah, Jakarta, Pena Pundi Aksara, 2006
Sevilla, Consuelo. G., dkk., Pengantar Metode Penelitian, Jakarta, UI-Press,
1993.
Page 107
Shihab, M. Quraish, Tafsiral- Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perdata; Hukum Benda, Yogyakarta,
Liberty, 1974.
Subekti, R., R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata’ Dengan
Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang
Perkawinan”, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 1995.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif Dan R&D, Bandung,
Alfabeta, 2009.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum ‘Suatu Pengantar’, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1998
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995.
Syafe‟i, Rachmat, Fiqih Muamalah, Bandung, Pustaka Setia, 2001.
Tim Penyusun Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta,
Ikhtiar Baru Van Hoeve.
Yanggo, Chuzaimah T., A. Hafiz Anshory, Al- Fanani, Zainudin bin Abdul Aziz
Al-Malibari, Terjemah Fathul Mu’in, Bandung, Sinar Baru Algesindo,
1994.
Yanggo, Chuzaimah T.dan A. Hafiz Anshory, A.Z, “Problematika Hukum Islam
Kontemporer III”, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.