perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS GEN 16S rRNA PADA BAKTERI PENGHASIL ENZIM FITASE TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna memperoleh gelar Magister Sains Program Studi Biosains Oleh Rita Wulandari S 900809016 PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
78
Embed
ANALISIS GEN 16S rRNA PADA BAKTERI PENGHASIL ENZIM …/Analisis... · 15. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah Semua pihak yang tidak bisa penulis
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
ANALISIS GEN 16S rRNA PADA BAKTERI PENGHASIL ENZIM FITASE
TESIS
Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan
Guna memperoleh gelar Magister Sains Program Studi Biosains
Oleh
Rita Wulandari S 900809016
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
ANALISIS GEN 16S rRNA PADA BAKTERI PENGHASIL ENZIM FITASE
TESIS
Oleh
Rita Wulandari
S 900809016
Telah disetujui oleh pembimbing
Komisi
Pembimbing
Nama
Tanda tangan
Tanggal
Pembimbing I Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M.Si ……………… ………..………
Pembimbing II Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D ……………… ………………..
Mengetahui Ketua Program Studi Biosains
Program Pasca Sarjana
Dr. Sugiyarto, M.Si NIP. 19670430199203 1 002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
ANALISIS GEN 16S rRNA PADA BAKTERI PENGHASIL ENZIM FITASE
TESIS
Oleh
Rita Wulandari S900809016
Telah dipertahankan di depan penguji
Dinyatakan telah memenuhi syarat
Pada tanggal..........................2011
Telah disetujui oleh tim penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Prof. Dr Sugiyarto, M.Si NIP. 19670430 199203 1 002
..................2011
Sekertaris Dr. Edwi Mahajoeno, M.Si NIP.19601025 199702 1 001
..................2011
Anggota Penguji
Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M.Si NIP.19660415 199103 1 002
Prof. Drs. Suranto, MSc., PhD NIP.19570820 198503 1 004
..................2011 ..................2011
Mengesahkan
Direktur Program Pasca Sarjana
Prof. Drs. Suranto, MSc., PhD
NIP.19570820 198503 1 004
Ketua Program Studi Biosain
Prof. Dr. Sugiyarto, M.Si
NIP. 19670430 199203 1 002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI TESIS
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa :
1. Tesis yang berjudul : “Analisis gen 16s rRNA pada bakteri penghasil
enzim fitase” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan tidak terdapat
karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar
akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah
ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka. Apabila
ternyata di dalam naskah Tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsure-unsur
jiplakan, maka saya bersedia Tesis beserta gelar MAGISTER saya
dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (UU No.20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).
2. Tesis ini merupakan hak milik Prodi BIosains PPs-UNS. Publikasi sebagian
atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seijin
Ketua Prodi Biosains PPS-UNS dan minimal satu kali publikasi menyertakan
tim pembimbing sebagai author. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya
satu semester (6 bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakukan
publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Prodi Biosains PPS-
UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh
Prodi Biosains PPS-UNS dan atau media yang ditunjuk. Apabila saya
melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia
mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.
Surakarta, 20 Desember 2011
Mahasiswa,
Rita Wulandari S900809016
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ANALISIS GEN 16s rRNA PADA BAKTERI PENGHASIL ENZIM FITASE
Rita Wulandari, Sajidan, Suranto Program Studi Magister Biosains, Program Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrak
Fitase merupakan enzim yang mampu melepaskan ikatan fosfat pada fitat, menghasilkan myo-inositol dan fosfat inorganik. Fitase mempunyai peran penting dalam ketersediaan nutrisi pada bahan pangan. Bakteri merupakan salah satu sumber penghasil fitase yang potensial sehingga perlu dilakukan penggalian galur bakteri penghasil fitase dari lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengukur aktivitas fitase pada bakteri dari abu vulkanik Gunung Merapi, (2) Mengidentifikasi bakteri penghasil fitase berdasarkan gen 16S rRNA, (3) Mengkarakterisasi ekstrak fitase yang diperoleh dari bakteri penghasil fitase pada abu vulkanik Gunung Merapi.
Bakteri diisolasi dari Abu vulkanik gunung Merapi dalam media LB (Luria Bertani) dan media LB (Luria Bertani) + Na fitat 0,4%. Aktivitas fitase diukur dengan metode spektrofotometri. Sebanyak 3 isolat bakteri dengan aktivitas fitase tertinggi diidentikasi dengan marka gen 16s rRNA menggunakan primer universal. Karakterisasi ekstrak kasar fitase meliputi pH optimum, suhu optimum dan efektor logam.
Hasil penelitian diperoleh 3 isolat dengan aktivitas fitase terbesar, yaitu isolat RW Sm A, RW Sm C, dan RW Sl 5 masing-masing dengan aktivitas fitase sebesar 0,1071 U/mL, 0,1020 U/mL dan, 0,0874 U/mL. Berdasarkan analisis gen 16s rRNA ketiga isolat diketahui sebagai Bacilllus cereus RW Sm A, Bacillus aryabhattai RW Sm C dan Bacillus cereus RW Sl 5. Ekstrak kasar fitase dari ketiga isolat masing-masing mempunyai suhu optimum berturut turut; 40 oC, 60 oC, 50 oC. pH optimum ketiga isolat berkisar antara 5-6. Aktivitas fitase isolat dihambat oleh penambahan ion Fe3+, dan Zn2+, tetapi meningkat dengan penambahan ion Ca2+.
Kata kunci : Fitase, asam fitat, 16s rRNA, Bakteri, Bacillus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
16s rRNA GENE ANALYSIS ON PHYTASE-PRODUCING BACTERIA
Rita Wulandari, Sajidan and Suranto Biosience Program, School of Graduates
Sebelas Maret University of Surakarta
Abstract
Phytases is an enzyme that catalyzes the releasing of phosphomonoester bonds in phytate, thereby producing lower forms of myo-inositol phosphates and inorganic phosphate. Phytase has important role in animal and human nutrition availability. Bacteria is one of potential source of phytase,so more excavation for phytase-producing strains of bacteria from the environment is needed. The purposes of this study are (1) Analyzing the phytase activity bacteria from volcanic ash of Merapi mountain, (2) Identifying of phytase producing bacteria based on 16S rRNA gene, (3) Characterizing of extracted phytase from bacteria on volcanic ash of Merapi Mountain.
Bacteria were isolated from volcanic ash of Merapi Mountain in LB (Luria Bertani) medium and LB (Luria Bertani) + 0.4% Na phytate. Phytase activity measure by spectrophotometric methods. Three isolates of bacteria with the highest activity was identified with 16s rRNA gene markers using universal primer. Crude phytase extract characterization including optimum pH, optimum temperature and mineral efector.
The results should that for three isolates with the largest phytase activity, ie isolates RW Sm A, RW Sm C and RW Sl 5 with phytase activity 0.1071 U / mL, 0.1020 U / mL and, 0.0874 U / mL. Based on 16s rRNA gene analysis of three isolates known as Bacilllus cereus RW Sm A, Bacillus aryabhattai RW Sm C and Bacillus cereus RW Sl 5. Three isolated of crude phytase extractions have an optimum temperature 40 °C, 60 °C, 50 °C respectively, range of the optimum pH between 5-6. Phytase activity was inhibited by the addition of Fe3+ ions, and Zn2+, but increased with the addition of Ca2 + ion.
Gambar 10.Defosforilasi asam fitat oleh 3-fitase Saccaromices cerevisae.. 17
Gambar 11. Kerangka Penelitian 26
Gambar 12. Isolasi Bakteri medium cair dan padat 36
Gambar 13. Warna kuning pada reaksi vanadomolibdofosforik 38
Gambar 14. Aktivitas fitase 16 isolat bakteri 39
Gambar 15. Koloni Bakteri 40
Gambar 16. Diagram pewarnaan gram bakteri 41
Gambar 17. Perbandingan dinding sel Bakteri gram positif dan gram
Negatif 42
Gambar 18. Perbandingan fase pertumbuhan bakteri 43
Gambar 19. Elektroforesis DNA 45
Gambar 20. Elektroforegram hasil amplifikasi gen 16s rRNA 48
Gambar 21. Perbandingan urutan basa DNA 49
Gambar 22. Pohon filogenetik 52
Gambar 23. Kurva aktifitas fitase pada berbagai suhu inkubasi 54
Gambar.24a. Kurva aktivitas fitase pada berbagai pH 55
Gambar.24b. Kurva aktivitas fitase pada berbagai waktu inkubasi 56
Gambar.25. Kurva aktivitas relatif fitase pada penambahan ion mineral 58
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A. Pengukuran Aktifitas Fitase 69
Lampiran B. Pengenceran Primer 81
Lampiran C. Hasil Sekuensing isolat Bakteri 82
Lampiran D. Fasta Format sekuen DNA 83
Lampiran E. Hasil Alignment sekuen DNA 85
Lampiran F. Surat Pernyataan Kerjasama 88
Lampiran G. Jadwal kegiatan Penelitian 89
Lampiran H. Dokumentasi Penelitian 90
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sumber pangan makhluk hidup di alam berasal dari tumbuhan. Bahan
pangan yang berasal dari tumbuhan mengandung fosfat sebanyak 30% fosfat
bebas dan sisanya 70% terdapat dalam bentuk Fitat (Kembhavi, 2005). Asam
fitat adalah bentuk utama simpanan fosfat pada tanaman, merupakan sumber
inositol dan fosfat dalam biji tumbuhan. Asam fitat terutama terdapat pada
tanaman dari golongan serealia, biji-bijian dan polong-polongan, antara lain pada
tanaman jagung, gandum, kedelai, kacang tanah, padi dan biji bunga matahari
(Chu et al., 2000).
Asam fitat dapat menjadi sebuah komponen antinutrisi karena
kemampuannya mengikat protein dan ion mineral seperti kalsium, besi, seng,
magnesium, mangan dan copper (Chu et al, 2000). Ikatan yang kuat akan
menurunkan kelarutan, daya cerna dan penyerapan protein serta mineral (Ca,
Fe, Zn dan Mg). Komplek asam fitat bersama dengan protein enzim pencernaan
menyebabkan penurunan aktivitas enzim pencernaan.
Hidrolisis asam fitat akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan nilai
nutrisi pada tanaman pangan. Enzim yang mengkatalis perubahan asam fitat
menjadi inositol dan fosfat inorganik adalah fitase. Ternak monogastrik seperti
babi, unggas, dan ikan tidak mampu mendegradasi asam fitat karena alat
pencernaannya sedikit menghasilkan enzim fitase. Sehingga pada hewan
monogastrik asam fitat tidak terhidrolisis dan menyebabkan ketersediaan unsur
fosfor sangat rendah dan zat makanan lain tidak dapat dimanfaatkan secara
maksimal oleh ternak. Fosfor yang tidak dicerna akan dikeluarkan melalui feces
sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran tanah, air sungai, dan danau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
karena eutrofikasi yaitu terjadinya penyuburan perairan berlebihan yang akan
menyuburkan alga beracun dan menganggu ekosistem perairan.
Fitase atau mio-inositol heksakisfosfat fosfohidrolase adalah enzim yang
mengkatalis reaksi ikatan fosfodiester pada asam fitat (mio-inositol
heksakisfosfat), menghasilkan fosfat anorganik dan ester ester fosfat dari mio-
inositol yang lebih rendah. Fitase dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan,
mikroorganisme (bakteri, jamur, yaest) dan jaringan tubuh ternak. Fitase dapat
juga dihasilkan dari proses cloning gen Phy A dari fungi Aspergillus ficum (Ullah,
1998a), cloning gen Phy K dari bakteri Klebsiella sp. Strain ASR1 (Sajidan et al.,
2004)
Penambahan fitase pada pakan ternak dapat meningkatkan ketersediaan
fosfat, kalsium dan protein pada ternak. Beberapa penelitian tentang
penggunaan fitase dalam bentuk probiotik pada ternak telah dilakukan dengan
penggunaan bakteri penghasil fitase sebagai campuran wheat pollard pakan
ternak unggas. Diketahui campuran probiotik tersebut dapat meningkatkan
retensi protein dan mineral sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ayam
(Sajidan et al., 2004). Selain dimanfaatkan dalam industri pakan ternak, industri
pangan pada umumnya juga telah banyak memanfaatkan enzim fitase.
Pembuatan tepung, susu kedelai, sereal bebas fitat, pembuatan roti dan produksi
isolat protein dari tanaman menggunakan fitase dalam prosesnya.
Indonesia sebagai negara tropis mempunyai potensi keanekaragaman
bakteri yang tinggi. Karakteristik wilayah Indonesia yang mempunyai banyak
area vulkanik menambah potensi diversitas bakteri. Aktifitas bakteri fitase telah
berhasil diidentifikasi pada beberapa daerah dengan karakteristik yang berbeda,
antara lain; pada suhu tinggi dari sumber air panas di Sumatera Barat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
(Guzmanizar et al., 2009), pada ekosistem sawah, pada ladang gandum
(Shobirin, 2009), lapisan rizhosfer tanah vulkanik (Jorsquera et al., 2009).
Bakteri sebagai salah satu penghasil enzim yang potensial menjadi faktor
penting dalam produksi enzim. Oleh karena itu diperlukan usaha penggalian
galur galur bakteri penghasil fitase dari lingkungan. Pada penelitian ini dilakukan
screening mikroorganisme yang mampu menghasilkan fitase dari abu vulkanik
Gunung Merapi. Abu vulkanik yang menutup tanah dan lahan pertanian akibat
letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 November 2010 mempunyai potensi
untuk diperoleh isolat bakteri baru sebagai penghasil enzim yang mempunyai
rentang suhu dan pH lebih lebar. Suriadikarta dkk (2010) menyebutkan adanya
kandungan fosfat pada abu vulkanik mulai dari rendah sampai tinggi. Sementara
pH abu vulkanik berkisar antara 4 – netral. Lapisan tanah vulkanik mempunyai
kandungan fosfat yang tinggi, tetapi fosfat yang tersedia sangat rendah, pada
lapisan tersebut dapat ditemukan adanya bakteri fosfat (Jorsquera., et al 2008).
Isolat bakteri yang mampu menghasilkan fitase dengan aktifitas terbesar akan
diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi dan analisis gen 16s rRNA. Ekstrak
kasar fitase dari bakteri terpilih dikarakterisasi meliputi suhu optimum, pH
optimum, kestabilan termal dan kestabilan pH. Karakterisasi ekstrak kasar enzim
dilakukan dengan harapan akan diperoleh bakteri penghasil fitase yang dapat
dimanfaatkan dalam industri pangan dengan optimal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
B. RUMUSAN MASALAH
Penelitian ini mempunyai rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana aktivitas fitase pada bakteri yang berasal dari abu vulkanik
Gunung Merapi?
2. Bagaimana identitas bakteri penghasil fitase tersebut berdasarkan
metode 16S rRNA?
3. Bagaimana karakteristik ekstrak fitase yang diperoleh dari bakteri
penghasil fitase tersebut?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Mengukur aktivitas fitase pada bakteri yang berasal dari abu vulkanik
Gunung Merapi
2. Mengidentifikasi bakteri penghasil fitase berdasarkan gen 16S rRNA
3. Mengkarakterisasi ekstrak fitase yang diperoleh dari bakteri penghasil
fitase pada abu vulkanik Gunung Merapi
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini antara lain:
1. Menambah keanekaragaman bakteri penghasil fitase yang berasal dari
karakteristik area yang berbeda
2. Memberi sumbangan pengetahuan terhadap biodiversitas
mikroorganisme lokal Indonesia
3. Merupakan referensi untuk pemanfaatan enzim fitase selanjutnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Ribosomal RNA
Gen rRNA mempunyai area konservatif didalam sel. Urutan basa rDNA
pada beberapa organisme sangat mirip. Gen rRNA biasa digunakan untuk
determinasi taxonomi, untuk mengetahui hubungan evolusi (filogenetik) dan
mengestimasi keberagaman bakteri. Ribosom organisme prokariotik merupakan
organ sel berukuran 70S dan terdiri dari 2 subunit besar dan kecil berukuran 30S
dan 50S, dimana huruf S menyatakan konstanta Svedberg, yaitu satuan
koefisien sentrifugasi (Tabel 1). Subunit 30S mengandung rRNA berukuran 16S
dan protein sebanyak 21 buah, sedangkan subunit 50S mengandung rRNA
berukuran 5S dan 23S, serta protein sebanyak 34 buah (Madigan dan Martinko,
2006).
Tabel 1. Ribosomal RNA
Nama Ukuran Lokasi
5s 120 Sub Unit Besar Ribosom
16s 1500 Sub Unit Kecil Ribosom
23s 2900 Sub Unit Besar Ribosom (Stephanie, 2007)
1.2 Gen 16S rRNA Gen 16S rRNA terletak pada DNA kromosom organisme
prokariotik yang mengkode komponen ribosom 16S rRNA yang dapat
digunakan sebagai daerah sidik jari antar spesies. Penggunaan 16s rRNA
untuk klasifikasi mikroorganisme dilakukan pertamakali oleh Carl woese,
yang mengelompokkan mikroorganisme menjadi 3 sistem utama; Archaea,
Bacteria, Eucarya (Stephanie, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Gen 16S rDNA digunakan untuk mempelajari identitas
organisme prokariotik dan dapat digunakan untuk mengukur perubahan
evolusi dan keterkaitan filogenetiknya (Madigan dan Martinko, 2006). Selain
16S terdapat komponen nukleotida lain yang menyusun ribosom yaitu 5S
dan 23S, namun karena ukuran 5S yang terlalu kecil dan 23S yang terlalu
besar maka dipilih 16S sebagai alat penanda sidik jari.
16S rDNA mempunyai beberapa kelebihan sebagai area sidik
jari, yaitu antara lain; gen 16S rDNA berukuran cukup besar untuk dapat
digunakan sebagai pembeda antar spesies, 16S rDNA mempunyai fungsi
konstan dalam sel, terdistribusi secara universal pada seluruh organism
prokariotik dan memiliki beberapa daerah lestari yang dapat digunakan
sebagai pembeda antar spesies. Daerah lestari pada 16S rDNA adalah
daerah yang diapit oleh dua daerah universal yang merupakan daerah yang
sama pada seluruh organism prokaroitik. Sehingga melalui daerah tersebut
dapat dirancanag sepasang primer untuk mengamplifikasi gen 16S rDNA
yang berasal dari berbagai spesies (Madigan dan Martinko, 2006).
1.3 Analisis gen 16s rRNA
Analisis gen penyandi 16S rRNA telah menjadi prosedur baku
untuk menentukan hubungan filogenetik dan menganalisis suatu ekosistem.
16S rRNA dapat digunakan sebagai penanda molekuler karena molekul ini
bersifat ubikuitus dengan fungsi yang identik pada seluruh organisme.
Molekul ini juga dapat berubah sesuai jarak evolusinya, sehingga dapat
digunakan sebagai kronometer evolusi yang baik. Molekul 16S rRNA
memiliki beberapa daerah yang memiliki urutan basa yang relatif konservatif
dan beberapa daerah urutan basanya variatif. Analisis gen penyandi 16S
rRNA praktis untuk definisi spesies, karena molekul ini bersifat ubikuitus,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
sehingga dapat dirancang suatu primer yang universal untuk seluruh
kelompok.
Indentifikasi bakteri dengan 16s rRNA dilakukan berdasarkan
perbandingan urutan basa yang konservatif. Jika urutan basa memiliki
persamaan yang tinggi maka strain dapat dimasukkan dalam satu spesies
yang sama. Sebaliknya jika derajat kesamaan urutan basa gen penyandi
16S rRNA kurang dari 97% dapat dianggap sebagai spesies baru. Data
urutan basa dari berbagai spesies mikrobia telah dikumpulkan dalam sebuah
database yang dapat diakses. Kumpulan data spesies tersebut memuat data
klasifikasi, diagnose labolatorium dan urutan basa suatu spesies. Melalui
data tersebut dapat dilakukan analisis berdasarkan persamaan urutan basa
menggunakan jarak matrik. Metode yang sering digunakan adalah Multiple
sequence Alignment (MSA), sebuah metode yang akan mengelompokkan
suatu strain berdasarkan derajat kesamaan urutan basa antar spesies (Helal
et al., 2011).
2. Asam Fitat
Asam fitat adalah bentuk simpanan fosfor dalam biji-bijian. Merupakan
garam mio-inositol asam heksafosfat, mampu membentuk kompleks dengan
bermacam-macam kation atau protein dan mempengaruhi derajat kelarutan
komponen tersebut (Piliang, 1997).
2.1 Struktur Asam fitat
Asam fitat atau disebut sebagai Myo-inositol (1,2,3,4,5,6)
hexakisfosfate (C6H18O24P6 dan IP6). Inositol fosfat terdiri dari cincin
inositol dan sebuah kelompok fosfat (Gambar 1). Prefik Myo-
menunjukkan adanya bentuk hidroksil pada cincin inositol (Posternak,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
1965 cit. Bohn et al., 2008). Asam fitat dalam bentuk fosforilase cincin
mio-inositol merupakan struktur yang kuat (Johnson, 1969). Satu molekul
fosfat mengandung dua belas proton dengan letak terpisah. Enam proton
merupakan asam sangat kuat dengan nilai pKa 5.7, 6.8 dan 7.6 dan
sisanya asam sangat lemah dengan pKa lebih besar dari 10 (Costelo et
al., 1976). Asam fitat adalah mio-inositol, mengikat fosfor pada enam
hidroksil group. Fitat membentuk garam asam fitat dengan kalsium dan
magnesium (Irving, 1980). Pada pH netral atau pH umum dalam
makanan, asam fitat memiliki sifat negatif, dimana dalam keadaan ini
sangat aktif membentuk ikatan dengan kation atau protein. Kation akan
berikatan dengan satu atau lebih fosfat group dari molekul asam fitat,
akan tetapi interaksi antara protein dengan asam fitat tergantung pada pH
(Weaver and Kannan, 2002).
Gambar 1. Struktur Asam Fitat (Graf, 1983)
2.2 Sumber Asam Fitat
Kandungan asam fitat sangat banyak terdapat dalam tumbuhan,
sel mikroorganisme dan ternak. Biji-bijian tumbuhan mengandung 60 –
90% fosfor terikat fitat dalam bentuk garam asam fitat. Asam Fitat
terdapat pada tanaman pangan seperti; jagung, gandum, kedelai, kacang
tanah, padi dan juga terkandung dalam biji bunga matahari. Asam fitat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
berperan dalam proses dormansi tanaman dan perkecambahan biji
sebagai sumber ATP, berperan pada fungsi biologis penyimpanan fosfor
dan kation yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bibit tanaman. (Chu et
al., 2000). Kebanyakan tanaman yang mengandung asam fitat
merupakan sumber pangan pada ternak maupun manusia (Tabel 2).
Barriento et al., (1994) menyatakan bahwa asam fitat dalam sereal bukan
merupakan bentuk distribusi dalam biji, akan tetapi merupakan
penghubung dalam komponen morfologi spesifik dalam biji. Dalam biji-
bijian dikotil, biji-bijian yang mengandung minyak dan biji-bijian legume
seperti pir, fitat tersebar didalam seluruh biji termasuk di dalam sub
selluler, dan membentuk ikatan dengan protein. Dalam tanaman komplek
fitat bersama dengan kation (K+ dan Mg2+) membentuk phityn. Phytin
tersimpan dalam protein bodi sebagai Kristal globoid. Pada padi, Kristal
globoid mengandung 67% asam fitat, 19% K, 11% Mg dan 1% Ca
(Ogawa et al., 1975 cit. Maenz et al., 2000).
Tabel 2. Bahan pangan dan kandungan Asam fitat
Tanaman Struktur % Asam fitat Wijen Biji kering 4.71 Labu Embrio 4.08 Canola Biji kering 2.50 Bunga matahari Embrio 2.10 Mustard Biji kering 2.00 Kacang mete Embrio 1.97 Kacang-kacangan Embrio 1.80 Kacang tanah Biji 1.70 Tomat Biji 1.66 Kedelai Biji kering 1.55 Almond Embrio kering 1.42 Terung Biji 1.42 Kapri Biji kering 1.41 Pistachio Embrio 1.38 Semangka Biji 1.36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Lanjutan
Tanaman Struktur % Asam Fitat Kiwi Buah segar 1.34 Kacang panjang Biji kering 1.11 Mentimun Biji tua 1.07 Sorghum Biji kering 1.06 Coklat Biji kering 1.04 Barley Biji kering 1.02 Oat Biji kering 1.02 Gandum Biji kering 1.02 Kacang polong Biji kering 1.00 (Lott et al., 2002 cit. Afinah et al., 2010)
2.3 Ketersediaan nutrisi dan dampak lingkungan
Pada tumbuhan, asam fitat berperan dalam proses dormansi
dan perkecambahan biji tanaman (Chu et al., 2000). Asam fitat juga
merupakan antioksidan dan agen anti kanker (Raboy et al., 2002). Namun
demikian, pada hewan dan manusia, asam fitat dapat menjadi komponen
antinutrisi. Asam Fitat sangat potensial mengikat protein, asam amino dan
multivalent kation atau mineral pada makanan. Ikatan tersebut
merupakan komplek yang tidak larut sehingga sulit dihidrolisis dalam
pencernakan, sukar di serap dan mempengaruhi ketersediaan nutrisi.
Asam fitat juga mengikat serat sehingga mempengaruhi kecernaan dan
kelarutannya. Asam fitat berikatan dengan mineral penting seperti
kalsium, magnesium, cuper, besi (Fe2+, Fe3+), seng, cobalt dan mangan
(Gambar 2).
Potensi asam fitat mengikat ion mineral penting mengurangi
ketersediaan mineral dalam makanan yang mengandung asam fitat.
Ikatan asam fitat dengan divalent kation (Zn2+, Ca2+, Mg2+) membentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
komplek garam mineral-fitat penta-, hexa- yang tidak larut (Weaver and
kannan, 2002).
Gambar 2. Ikatan asam fitat dengan Fe2+ dan protein (Weaver and kannan,
2002).
Tanaman membutuhkan fosfat inorganik dan mempunyai
timbunan asam fitat terutama dalam biji. Asam fitat tersebut harus
dihidrolisis menjadi fosfat inorganik dalam tanah untuk kembali memenuhi
kebutuhan fosfat inorganik tanaman. Adanya fosfat inorganik pada
lingkungan terutama pada perairan menyebabkan terjadinya eutrofikasi,
yaitu pertumbuhan alga atau tanaman air secara berlebihan menutup
permukaan perairan, sehingga menurunkan kadar oksigen perairan dan
keseimbangan lingkungan perairan terganggu.
Pencernaan pada hewan monogastrik tidak dapat menghidrolisis
asam fitat. Asam fitat yang tidak tercerna dengan baik akan disekresikan
melalui kotoran ternak. Kotoran ternak tersebut dapat dihidrolisis oleh
mikrobia tanah dan air, sehingga ikatan fosfat pada asam fitat terlepas ke
lingkungan, mencemari sungai, danau (perairan). Menyebabkan blooming
alga, menurunkan kadar oksigen perairan, dan kematian hewan air (Shin
et al., 2001).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
3. Enzim Fitase 3.1. Enzim
Enzim merupakan katalis yang dapat mengubah laju reaksi tanpa ikut
bereaksi. Enzim bersifat khas dan bekerja secara spesifik sehingga aktifitasnya
dapat diatur. Dalam sitem biologis kecepatan kerja enzim dapat dipengaruhi oleh
kehadiran molekul lain yang dapat berperan sebagai pemicu (aktifator) atau
penghambat (inhibitor), keduanya disebut sebagai efektor (Gambar 3) (Suhara,
2000).
Gambar 3. Struktur aktif enzim (Suhara, 2000).
3.1.1 Aktifitas Enzim
Enzim merupakan protein yang berperan penting dalam
aktivitas biologis. Enzim sebagai katalisator reaksi mempunyai sifat
yang khas. Enzim dapat kehilangan aktivitasnya karena panas, asam
atau basa kuat, pelarut organik, dan keadaan lain yang menyebabkan
protein terdenaturasi (Girindra, 1989:91).
Selanjutnya diungkapkan oleh Suharsono (1990:124), bahwa
enzim yang aktif merupakan enzim yang mampu melakukan aktivitas
katalitiknya. Aktivitas enzim didefinisikan sebagai suatu jumlah yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
dapat menyebabkan perubahan atau transformasi substrat sebanyak 1
mikromol per menit pada suhu dan lingkungan yang optimal selama
pengukuran aktivitas berlangsung. Satu unit aktivitas enzim (1U)
merupakan perubahan substrat 1µmol/menit.
Enzim bersifat khas dan aktif pada kondisi optimum tertentu,
sehingga aktivitasnya dipengaruhi oleh hal-hal berikut:
a. Konsentrasi Enzim
Enzim dengan derajat kemurnian yang tinggi dalam batas-batas
tertentu, menunjukkan hubungan linier antara jumlah enzim dan taraf
aktivitasnya (Gambar 4).
Gambar 4. Pengaruh konsentrasi enzim pada laju aktivitas enzim
b. Konsentrasi Substrat
Konsentrasi substrat pada taraf tertentu dapat mempengaruhi laju
aktivitas enzim dan selanjutnya laju aktivitas tidak tergantung pada
konsentrasi substrat yang ada (Gambar 5).
Gambar 5. Pengaruh konsentrasi substrat pada aktivitas enzim
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
c. pH
Aktivitas maksimum dicapai pada pH tertentu saja (Gambar 6).
Gambar 6. Pengaruh pH pada Aktivitas enzim
d. Suhu
Aktivitas suhu akan meningkat pada kenaikan suhu sampai batas
tertentu dan pada kenaikan suhu selanjutnya, aktivitas enzim
berkurang (Gambar 7).
Gambar 7. Pengaruh Suhu pada aktivitas enzim
Aplikasi enzim dalam industri pakan ternak telah banyak
dilakukan dan efektifitas penggunaan enzim tersebut dipengaruhi oleh
aktifitas enzim. Enzim yang ditambahkan dalam pakan ternak
berpengaruh terhadap kecernaan pakan sehingga berdampak pada
pencernaan ternak.
Beberapa keuntungan penambahan enzim pada pakan ternak
antara lain;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
a. Mendegradasi antinutrisi dalam makanan yang mengganggu
proses pencernakan
b. Meningkatkan ketersediaan nutrisi dari suatu bahan pakan yang
tidak dapat terdegradasi oleh enzim pencernakan hewan ternak
c. Sebagai suplemen terhadap aktifitas pencernakan pada hewan
dalam masa pertumbuhan dan pada hewan dalam masa
penyembuhan
d. Membantu efektifitas penyerapan nutrisi sehingga mengurangi
dampak polusi kotoran ternak (Boyce et al., 2004).
3.2. Fitase
Fitase atau myo-inositol heksaisfosfat hidrolase merupakan enzim
fosfatase yang mampu mengkatalis hidrolisis pelepasan fosfat pada fitat.
Hidrolisis asam fitat sangat bermanfaat untuk meningkatkan nilai nutrisi pada
beberapa tanaman pangan (Gambar 8) (Shin et al., 2001).
Fitase adalah enzim yang dapat memutuskan ikatan phospat pada fitat,
yaitu suatu bentuk timbunan fosfat organik yang ada di alam (Jorquera et al.,
2008). Fitase aktif asal mikroba banyak ditemukan pada spesies fungi dan
aspergillus. Shieh dan Ware (1968), menyatakan bahwa hasil penyaringan pada
isolat tanah terdapat lebih dari dua ribu (2000) mikroorganisme yang mampu
menghasilkan enzim fitase. Dari isolat tersebut kebanyakan memproduksi fitase
intraselluler, sedangkan 30 isolat adalah fitase ekstraselluler.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
(Lei et al., 2003)
3.2.1 Klasifikasi Fitase
“The Enzym Nomenclature of The International Union of Biochemistry”
menggolongkan fitase ke dalam dua tipe yaitu 6–fitase (EC 3.1.3.26) dan 3–fitase
(EC 3.1.3.8). Pengelompokan tersebut didasarkan pada posisi gugus fosfat
pertama yang dihidrolisis oleh enzim. Enzim 6-fitase memulai reaksi hidrolisis
fitat dari gugus fosfat posisi L-6 atau D-4, menghasilkan produk awal L-inositol
(1,2,3,4,5)P5. Enzim 3-fitase memulai hidrolisis fitat pada gugus fosfat posisi D-3,
menghasilkan produk awal D-inositol (1,2,4,5,6)P5 (Gambar 9). Enzim 6–fitase
biasanya terdapat pada tumbuhan dan 3–fitase dijumpai pada fungi (Dvorakova,
1998).
Hidrolisis asam fitat terjadi secara berurutan mulai dari ester fosfor mio-
inositol yang lebih rendah (gambar 9), kemudian menurun sesuai dengan nomor
asam fosfat (IP5 – IP1). Enzim dalam bentuk tunggal tidak mampu melakukan
Gambar 8. Fitat dihidrolisis oleh Fitase menjadi inositol, fosfat dan ion mineral Fitat mengikat element besi (Fe) dan seng (Zn) diantara group fosfat pada satu molekul fitat maupun antar molekul fitat. Fitase memulai hidrolisis fitat dari karbon no 1, 3 atau 6 pada cincin inositol, sehingga fosfat terlepas dari ikatan dan melepaskan kalsium (Ca), besi (Fe), seng (Zn) ataupun mineral lain yang terikat sebelumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
defosfolirase asam fitat secara penuh. Kombinasi fitase dan fosfatase non
spesifik akan meningkatkan aktivitas defosforilasi asam fitat (Maenz, 2001).
Degradasi fitat dalam saluran pencernaan unggas berhubungan dengan
aksi fitase dari satu atau tiga sumber enzim. Fitase dalam saluran pencernaan
berasal dari :1). Fitase usus yang terdapat dalam saluran pencernaan, 2) fitase
purple acid phosphatase (PAP) dan -propeller phytase (BPP) (Tabel 3).
a. Histidine Acid Phophatase (HAP)
Merupakan kelompok enzim yang banyak digunakan dan dipelajari.
Enzim kelompok ini terdapat pada hewan, tumbuhan maupun mikro
organisme. Enzim ini tetap mempunyai aktivitas dalam kondisi asam.
Salah satu prokariotik yang menghasilkan HAPhy (Histidine Acid
Phophatase) adalah Escherichia coli, dari kelompok kapang antara
lain Aspergillus niger PhyA and PhyB. Aktivitas katalitik enzim terjadi
melalui 2 tahap reaksi yang menghidrolisis asam fitat menjadi
monoester fosfat. HAPhy (Histidine Acid Phophatase) banyak
digunakan dalam hidrolisis asam fitat dalam sereal dan biji-bijian
untuk pakan ternak.
b. Cysteine Phytase (CPhy)
Merupakan kelompok fitase yang ditemukan pada bakteri anaerob
dalam rumen yaitu Selomonas ruminantium (Chu et.al., 2004).
Mempunyai suhu optimum 50-55 0C dan pH optimum antara 4-5.
CPhy (Cysteine Phytase) mengkatalis reaksi defosforilasi asam fitat
menjadi myo-inositol monophosphat, aktivitas katalitiknya dihambat
oleh Fe2+
, Fe3+
, Hg2+
, dan Zn2+
.
c. Purple Acid Phosphatase (PAP)
PAP (Purple Acid Phosphatase) merupakan kelompok fitase yang
terdapat pada Burkholderia cepacia, dan pada kedelai (Glycine max L.
Merr) GmPhy (Lim et al., 2007). GmPhy (Glycine max Phytase)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
ditemukan pada perkecambahan biji kedelai. GmPhy (Glycine max
phytase) mempunyai aktivitas spesifik terhadap asam fitat yang lebih
rendah dibanding aktivitas fitase dari kapang. Rendahnya aktivitas
spesifik fitase GmPhy (Glycine max Phytase) menguntungkan bagi biji
tanaman selama proses perkecambahan, dimana defosforilasi terjadi
dengan lambat dan seimbang selama perkecambahan biji. Dalam
tahap perkecambahan biji asam fitat mempunyai peran penting
sebagai sumber fosfat (Mullaney and Ullah, 2003).
d. β-Propeller Phytase (BPP)
Fitase kelompok β-Propeller Phytase (BPP) mempunyai 2 situs
pelekatan, yaitu situs untuk hidrolisis substrat dan situs untuk
mengikat substrat yang akan dihidrolisis. β-Propeller Phytase (BPP)
memutuskan ikatan 3-fosfat pada asam fitat menghasilkan inositol
3fosfat, aktivitas katalitik meningkat dengan adanya Ca (kalsium).
Adanya ikatan fitat dengan Ca (kalsium) akan membentuk
penghubung yang mendekatkan fitase dengan substrat (Shin et al.,
2001). BPP (β-Propeller Phytase) dapat digunakan sebagai tambahan
pada pakan ternak dan bermanfaat pada pertumbuhan tanaman yang
hidup pada kondisi fosfat terbatas. BPP (β-Propeller Phytase)
terdapat pada Bacillus subtilis 168PhyA, Shewanella oneidensis
PhyS, ; Xanthomonas oryzae PhyA (Lim et al., 2007).
3.2.2 Aktivitas fitase
Kebanyakan aktivitas fitase diketahui melalui warna fitat atau fosfat
inorganik yang terbentuk dari reagent setelah terjadi reaksi enzim-substrat.
Metode untuk mengetahui kuantitas fitat meliputi tahap yang kompleks;
beberapa tahap ekstraksi, presipitasi dengan FeCl3, sentrifugasi dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
pencucian (Thomson, 1982 dalam Lim et al., 2007). Beberapa metode
analisis HPLC atau infrared spektrocopy merupakan teknik lain yang
digunakan (Chen, 2003). Metode yang paling mudah digunakan untuk
mengetahui aktivitas fitase adalah dengan cara menentukan fosfat inorganik
yang dilepaskan setelah terjadi reaksi enzim-substrat. Penentuan tersebut
didasarkan pada terbentuknya komplek warna antara fosfat inorganik dengan
ammonium molybdate vanadat (Sajidan, 2000).
Tabel 3. 4 kelompok Fitase
Kelompok Enzim Struktur Khas Mekanisme Katalitik Contoh
Histidine Acid Phophatase
N-terminal RHGXRXP C-terminal HD motif konsensus
N-terminal H membentuk intermediet phosphohistidin, C-terminal bertindak sebagai donor proton/ sebagai tempat spesifik untuk substrat bermuatan positif
A. Niger,
P. lycii,
E. coli,
Zea mays β Propeller Phytase Molekul yang
berbentuk 6 bilah baling baling
Mekanisme katalitik terdiri dari 2 situs yaitu situs pelekatan dan situs pemecahan. Situs pelekatan mengikat grup phosphat sementara situs yang lain memecah ikatan phosphat pada grup phosphat yang berdampingan. Adanya situs ganda tersebut menguntungkan IP6, IP5 atau IP4 sebagai substrat
Bacillus sp, X. oryzae
Cysteine Phosphatase
Struktur P loop terdiri dari motif konsensus HCXXGXXR(T/S)
Protein tirosin phosphat memecah grup phosphat
S. ruminantium
Purple Acid Phosphat
Motif konsensus: DXG/GDXXY /GNH(E,D) /VXXH/GHXH
Metalloenzim, terdapat pada tanaman
Glycine max, M. truncatula
(Lei et al., 2007)
3.2.3 Sumber Fitase
Fitase terdapat di dalam tumbuh-tumbuhan mikroorganisme dan
jaringan tubuh ternak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
a. Fitase Mikrobia
Mikroorganisme penghasil fitase berasal dari bakteri misalnya
spesies pseudomonas (Irving dan Cosgrove, 1971), yeast seperti
Saccharomyces cereviceae, dan spesies aspergillus seperti
Aspergillus niger dan Aspergillus ficuum. Dvorakova (1998)
mendaftarkan 29 spesies fungi, bakteri dan yeast yang memproduksi
enzim fitase aktif. Dari 29 spesies yang terdaftar 21 memproduksi
fitase ekstraselluler dengan aktivitas paling tinggi (Volfova. et al.,
1994). Nielsen et al., (1997) menyatakan bahwa hidrolisis fitat pada
induk sapi perah dan anak terjadi di dalam saluran pencernaan.
Keadaan ini memungkinkan fitase asal mikroba akan aktif dalam
saluran pencernaan monogastrik dengan kondisi tertentu, walaupun di
dalam unggas kelihatannya hidrolisis fitat kurang penting. Selanjutnya
dinyatakan bahwa fitase asal mikroba aktif di dalam saluran
pencernaan. Mereka mengadakan penelitian dengan memberikan
penambahan alkali Esceria coli cellular, akibat perlakuan tersebut
terjadi difisiensi fosfor di dalam usus halus, selanjutnya
menambahkan campuran tepung jagung dan kacang kedelei pada
ransum dan terjadi perbaikan pada pertumbuhan dan kalsifikasi
unggas, respon ini mambuktikan akan adanya fitase atau enzim yang
serupa asal bakteri.
Enzim fitase ekstraselluler yang berasal dari mikroba stabil
pada suhu tinggi. Peningkatan suhu pada medium pereaksi dari suhu
ruang menjadi 58oC, terjadi peningkatan hidrolisis fitat oleh fitase asal
Aspergillus ficuum (Ullah et al.,1991). Peningkatan suhu dari suhu
medium secara sinergis terjadi penurunan aktifitas enzim dan tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
terdeteksi pada suhu 68oC (Ullah dan Dischinger, 1995). Suhu
optimum perlu diperhatikan untuk menjaga stabilitas enzim terutama
pada saat proses pembuatan ransum. Enzim fitase asal Asphergilus
fumigatus aktif pada kisaran pH yang luas dan suhu ekstrim 100oC
selama 20 menit atau 90oC selama 120 menit (Pasamontes et al.,
1997). Fitase Aspergillus fumigatus memiliki potensi untuk
dikembangkan secara komersial sebab pada lingkungan tersebut
akan mampu mempertahankan aktivitasnya dalam proses pelleting.
Enzim fitase yang diproduksi secara komersial adalah hasil
encoding gen pada Aspergillus niger. Produksi enzim berasal dari
Aspergillus niger var. vacuum perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
terhadap aktivitasnya. Enzim fitase komersial asal Aspergillus niger
itu sudah digunakan sebagai pakan aditif pada hewan monogastrik di
Eropa (Wodzinski dan Ullah, 1996)
Secara umum fitase aktif pada suhu 45℃ sampai 60℃ dan
stabil pada pH tertentu. Sementara Asphergilus fumigates dapat stabil
sampai suhu 100℃ , selama 20 menit dengan hanya kehilangan 10%
aktivitas enzim (Pasamontes et al., 1997). Fitase dari mikroba yang
berasal dari fungi, umumnya mempunyai pH optimum berkisar antara
4.5-6.0, dan aktivitas enzimnya menurun pada pH kurang dari 3.0
atau pada pH yang lebih tinggi dari 7.5. Fitase dari
Enterobacter,mempunyai pH optimum 7,5.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
b. Fitase Tanaman
Beberapa Fitase yang ditemukan pada tanaman merupakan
jenis Histidin Acid phytase (HAP). Umumnya bahan pangan yang
mengandung fitat juga mempunyai kandungan enzim fitase (Tabel 4).
Tabel 4. Fitase Tanaman
Sumber Fitase pH Temp (0C) Km (mmol/L) M (kD) Reference
Labu 4.8 48 67 Goel and Sharma, 1979
Biji canola 4.5 - 5 50 0.36; 0.25 70 Kim and Eskin, 1987
ditambahkan substrat 125 µL dan diinkubasi selama 60 menit pada berbagai
suhu yang telah ditentukan tersebut. Setelah itu ditambahkan 400 µL larutan
STOP, kemudian diukur absorbansi larutan pada ʎ = 415 nm.
Stabilitas termal enzim diketahui dengan memanaskan enzim pada
suhu optimum selama rentang waktu tertentu dan diukur aktivitasnya sampai
enzim tidak memperlihatkan aktivitas yang signifikan. Pada pengukuran
stabilitas pH dilakukan dengan cara melarutkan enzim dalam larutan buffer
dengan berbagai pH. Masing masing campuran diinkubasi pada suhu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
optimum selama 1 jam kemudian diukur aktifitas fitase pada tiap-tiap pH
tersebut.
5.3. Efektor Logam
Kedalam setiap larutan enzim-substrat ditambahkan 10 µL FeCl3,
MgCl2, CaCl2, dan ZnCl2 dengan konsentrasi 10-3 dan 10-4 M. Kemudian
diinkubasi pada pH dan suhu optimum selama 60 menit.
E. ANALISIS DATA
Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis meliputi;
1. Data Pengukuran aktivitas Fitase
Nilai absorbansi yang diperoleh pada pengukuran ekstrak kasar Fitase
dianalisis jumlah kandungan fosfat anorganik (PO43-) yang terbentuk Unit/ml
dengan menggunakan persamaan regresi linier dari kurva standar P
(KH2PO4). Kurva standar fosfat dibuat dengan mengukur nilai absorbansi
larutan KH2PO4 pada berbagai konsentrasi.
Larutan KH2PO4 untuk membuat kurva standar fosfat dibuat dengan
cara melarutkan 0,38334 g KH2PO4 dalam 100 mL aquades. Kemudian
larutan tersebut diencerkan 100 kali sehingga setiap larutan mengandung
0,03834 mg KH2PO4. Seri standar dibuat dengan mengambil 0.025, 0.5,
0.075, 1, 2, 3, 4 larutan standar ditambah 6.25 mL molibdo-vanadat, dan
diencerkan sampai 25 mL. Larutan tersebut diukur absorbansinya pada ʎ =
415 nm. Nilai absorbansi larutan pada berbagai konsentrasi tersebut dihitung
korelasinya dan dibuat persamaan regresi.
2. Analisis gen 16s rRNA
Data urutan nukleotida dari hasil sekuensing gen 16s rRNA diolah
dengan program Bioedit untuk menggabungkan nukleotida menjadi satu untai
utuh. Kemudian dilakukan analisis BLAST yaitu, penjajaran urutan DNA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
sampel dengan urutan DNA data genbank. Analisis BLAST dilakukan secara
online di http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/blast. Melalui analisis BLAST akan
diperoleh data homologi dari isolat bakteri terhadap data urutan nukleotida
spesies-spesies dalam genebank. Data urutan nukleotida spesies spesies
yang memiliki homologi dengan isolat dikumpulkan dalam satu file dengan
format fasta. Data-data urutan nukleotida tersebut kemudian dianalisis
Multiple sequence Alignment dengan program ClustalW2 secara online di
http://www.ebi.ac.uk/tool/msa/clustalW. Setelah kumpulan data urutan
nukleotida disejajarkan, dilanjutkan dengan analisis filogenetik dengan
menggunakan program ClustalW2. Dari analisis filogenetik diperoleh jarak
matrik berdasarkan urutan DNA isolat dengan DNA spesies spesies yang
telah dikumpulkan dari data homologi sebelumnya. Matrik jarak tersebut
digunakan untuk mengkonstruksi pohon filogenetik dengan program treeview
yang diunduh dari http://darwin.zoology.gla.ac.uk.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Isolasi Kultur Bakteri Fitase
Fitase merupakan kelompok enzim yang mampu membebaskan fosfat
dari fitat, yaitu bentuk penimbunan fosfat organik di alam. Enzim fitase dapat
ditemukan pada beberapa organisme, salah satunya adalah bakteri (Jorquera
et al., 2008). Bakteri fitase diisolasi dari abu vulkanik gunung Merapi Jawa
Tengah yang berada diatas tanah, diambil dari 2 lokasi yaitu Selo Boyolali
dan Cangkringan Sleman Yogyakarta. Lapisan tanah paling atas dan lapisan
tanah yang berdekatan dengan akar tanaman merupakan tempat tumbuh
berbagai spesies bakteri, antara lain bakteri fosfat (Rengel, 2008).
Lokasi Selo Boyolali dan Cangkringan Sleman merupakan daerah yang
ikut terkena dampak letusan gunung Merapi pada tanggal 26 November
2010. Pada jarak 2,92 km dari puncak merapi di daerah Selo, abu menutupi
lahan mencapai ketebalan 2-3 cm. pH abu dan tanah yang tertutup abu
berkisar 5,4-netral. Sementara di daerah Cangkringan ketebalan abu yang
menutupi tanah mencapai ketebalan 10-29 cm dengan kisaran pH 5,5-netral.
Kandungan P (fosfat) pada abu vulkanik berkisar antara rendah sampai tinggi
(8-232 ppm P2O5). Abu vulkanik mempengaruhi mikroorganisme tanah, pada
ketebalan Abu sampai 5 cm, total bakteri abu vulkanik mencapai 7,2 x 107 –
1,4 x 109 , terdiri dari Azotobacter spp (0 - 3,1 x 105), Azospirillum spp (0 - 1,1
x 106), bakteri pelarut P (0 – 6,0 x 104) (Suriadikarta dkk., 2010).
Kultivasi bakteri dilakukan pada medium LB (Luria Bertany) padat
maupun cair (Gambar 12). Kultivasi pada media padat dilakukan dengan
teknik pengenceran untuk memisahkan bakteri menjadi koloni koloni tunggal.
Masing-masing isolat yang diperoleh dibedakan berdasarkan penampakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
bentuk fisik koloni yang tumbuh sehingga belum dapat dipastikan apakah
isolat-isolat yang diperoleh merupakan spesies yang berbeda atau sama.
Isolat yang tampak berbeda diambil sehingga mewakili seleksi untuk
mendapatkan bakteri yang memiliki aktivitas fitase.
Semua koloni tunggal yang telah diperoleh selanjutnya ditumbuhkan
pada medium LB (Luria bertani) yang mengandung 0,4% Na-fitat dalam 100
mM Na-asetat pH 5 (Nuhriawangsa dkk., 2004). Koloni bakteri yang tumbuh
pada medium yang mengandung Na-fitat dan membentuk zona bening
merupakan bakteri fitase. Fitat yang terdapat pada medium akan
terdegradasi menjadi fosfat anorganik. Sehingga kebutuhan fosfat anorganik
yang tidak terdapat pada medium terpenuhi karena kerja enzimatis. Dari 20
strain yang dapat diisolasi hanya 16 strain bakteri dapat tumbuh pada
medium dengan Na-Fitat namun tidak semua isolat bakteri membentuk zona
bening. Park (2001) mengungkapkan bahwa tidak semua bakteri fitase
membentuk zona bening pada medium skrining. Isolat-isolat yang tidak dapat
tumbuh atau tidak membentuk zona bening dalam medium skrining memiliki
2 kemungkinan, yaitu isolat tersebut bukan merupakan bakteri fitase, tidak
memiliki gen fitase atau isolat tersebut bisa jadi termasuk bakteri fitase
dengan gen fitase yang tidak berhasil diekspresikan. Induksi fitase tergantung
pada 2 hal, yaitu ketersediaan Na-Fitat dan tidak adanya fosfat anorganik
dalam media (Kusumadjaja., 2009).
Gambar 12. Isolat bakteri dalam (a) medium cair Luria bertany,
(b) medium Luria Bertany padat
a a b b
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
B. Seleksi Bakteri Fitase
Dalam berbagai usaha menemukan sumber-sumber enzim baru
ataupun usaha peningkatan sifat-sifat enzim sesuai dengan kebutuhan,
terdapat berbagai metode skrining yang digunakan sehingga diperoleh sifat
spesifik yang diharapkan. Suatu sistem seleksi atau skrining yang efisien
diperlukan untuk mengidentifikasi spesies-spesies dengan aktifitas fitase.
Pengukuran aktivitas fitase pada penelitian ini menggunakan metode Sajidan
(2000) yaitu dengan menentukan kadar fosfat melalui spektrofotometri.
Aktifitas fitase diartikan sebagai jumlah enzim yang mengkatalis reaksi yang
menghasilkan 1,0 µmol fosfat anorganik per menit pada kondisi optimum.
Penentuan konsentrasi fosfat anorganik dilakukan dengan persamaan regresi
dari kurva standar fosfat.
Aktivitas fitase ditentukan dengan mengukur kadar fosfat yang
dihasilkan selama proses enzimatik berlangsung. Filtrat kultur cair bakteri
yang mengandung ekstrak kasar enzim direaksikan dengan Na-Fitat,
diinkubasi selama 1 jam. Kemudian ditambahkan komplek asam
vanadomolibdofosforik sebagai larutan stop. Senyawa fosfat anorganik dalam
filtrat akan bereaksi dengan reagen ammonium molibdat membentuk
kompleks asam molibdofosforik, selanjutnya bersama ammonium vanadat
membentuk komplek asam vanadomolibdofosforik yang berwarna kuning
(Kusumadjaja, 2009). Vanadat merupakan senyawa yang menghambat
aktivitas fosforilasi enzim fitase dengan cara membentuk komplek bangun
trigonal bipiramid (Kerovuo et al., 2000). Warna kuning yang terbentuk diukur
nilai absorbansinya pada panjang gelombang 415 nm. Digunakan kontrol
yaitu filtrat kultur bakteri tanpa substrat, untuk membedakan warna kuning
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
yang terbentuk karena adanya asam komplek vanadomolibdofosforik
(Gambar 13).
Gambar 13. Perbandingan Warna kuning dari Reaksi vanadomolibdofosforik yang terbentuk dari ikatan fosfat dengan vanadat-molibdat antara (a) control; enzim Fitase tanpa Fitat, tidak menghasilkan fosfat anorganik, (b) sampel; enzim fitase dengan Fitat, menghasilkan Fosfat anorganik ditunjukkan dengan warna yang lebih terang.
Nilai absorbansi (lampiran 1) yang terbaca pada spektrofotometer
dikonversikan dalam aktivitas fitase U/mL dengan persamaan linier yang
diperoleh dari kurva standar KH2PO4 pada beberapa tingkat konsentrasi yang
berbeda (Lampiran 1). Aktivitas fitase dinyatakan dalam unit/mL, yaitu jumlah
enzim yang diperlukan untuk melepaskan 1 mikromol fosfat anorganik
permenit pada kondisi pengukuran. Dari aktivitas fitase 16 isolat bakteri
(Gambar 14) dipilih 3 isolat bakteri dengan aktivitas fitase tertinggi, yaitu RW
Sm A, RW Sm C, RW Sl 5, masing masing berturut-turut memiliki aktivitas
sebesar; 0,1071 U/mL, 0,1020 U/mL, 0,0874 U/mL.
Umumnya aktivitas fitase dari bakteri masih jauh lebih rendah
dibandingkan dengan fitase yang dihasilkan oleh kapang, Candida
diddensiae mempunyai aktifitas sebesar 676,02 U/mL (Makhode, 2006).
Aktifitas fitase ketiga isolate juga masih lebih rendah dibandingkan dengan
Bacillus cereus ASUIA260 sebesar 1,160 U/mL (Sobirin et al., 2009), namun
lebih tinggi dibanding Bacillus subtilis AP-17 sebesar 0,0296 U/mL
(Kusumadjaja, 2009).
a b a b b
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Gambar 14. Aktivitas fitase dari 16 isolat bakteri (RW Sm merupakan isolat dari
sampel abu yang diambil di daerah Sleman Yogyakarta , RW Sl merupakan
isolat dari sampel abu yang diambil dari daerah Selo Boyolali)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
C. Karakteristik Bakteri Fitase
C.1. Morfologi Sel
Identifikasi mikroorganisme dilakukan dengan mengamati ciri-ciri
morfologi, meliputi; bentuk, ukuran dan reaksi pewarnaan. Identifikasi
mikroorganisme yang didasarkan pada morfologi tidak mampu memberikan
informasi filogenetik suatu mikroorganisme namun pengamatan morfologi sel
tetap diperlukan sebagai tahap awal identifikasi Iebih lanjut.
Isolat bakteri terpilih; RW Sm A, RW Sm C dan RW Sl 5 diidentifikasi
berdasarkan bentuk koloni dan pewarnaan gram. Isolate RW Sm A memiliki
karakteristik koloni berwarna putih, agak mukoid, tepi tidak rata (Gambar
15a). Pewarnaan gram terhadap isolate RW sm A, menunjukkan bakteri
bentuk batang, gram positif. Isolat RW Sl 5 memiliki koloni berwarna putih,
berbentuk bulat kecil, tepi rata, tidak tembus cahaya (Gambar 15b). Hasil
pewarnaan gram menunjukkan isolate RW Sl 5 merupakan bakteri gram
positif, bentuk batang. Isolat RW Sm C memiliki koloni berwarna putih, tepi
rata (Gambar 15c), merupakan bakteri gram positif berbentuk batang.
Gambar 15. Koloni 3 isolat Bakteri yang mempunyai aktivitas fitase tertinggi,
masing-masing (a) isolat RW Sm A, (b) isolat RW Sl 5, (c) Isolat RW Sm C
Pada pewarnaan bakteri, Kristal violet akan membentuk senyawa
komplek dengan lugol memberi warna ungu. Pada beberapa jenis bakteri, zat
warna tersebut dengan mudah dilepaskan dengan pencucian menggunakan
larutan alkohol 95%, sementara pada jenis bakteri yang lain, zat warna
a b c
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
tersebut dapat tetap melekat setelah dicuci dengan alkohol 95%. Bakteri
yang zat warnanya tidak terlepas setelah pencucian dengan alkohol 95%
akan berwarna ungu dan tidak terwarnai oleh pewarna safranin merupakan
bakteri gram positif. Bakteri yang tidak terwarnai oleh Kristal violet setelah
pencucian dengan alkohol 95%, kemudian terwarnai oleh safranin sehingga
berwarna merah, merupakan bakteri gram negatif (Gambar 16) (Mark, 2000).
Gambar 16. Diagram pewarnaan Gram pada Bakteri (Mark, 2000).
Pada pewarnaan gram terjadi perbedaan kemampuan terhapusnya zat
warna tertentu ketika proses berlangsung. Hal tersebut disebabkan oleh
perbedaan struktur dinding sel bakteri, antara bakteri gram positif dan gram
negative (Gambar 17). Bakteri gram positif mempunyai lapisan peptidoglikan
yang lebih tebal dibanding pada bakteri gram negatif sehingga warna dari
Kristal violet melekat kuat pada bakteri gram positif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Gambar 17. Perbandingan Dinding sel bakteri gram positif dan gram
negative, pada bakteri gram positif terdapat lapisan peptidoglikan yang
lebih tebal
C.2. Fisiologi Bakteri dan Ekspresi Fitase
Pengamatan fisiologi bakteri dilakukan terhadap 3 isolat bakteri dengan
aktivitas fitase tertinggi; RW Sm A, RW Sm C, RW Sl 5, meliputi kurva
pertumbuhan bakteri (Gambar 18). Dari seleksi terhadap isolat bakteri ketiga
isolat terpilih mempunyai aktivitas fitase tertinggi, dimana pembentukan
enzim pada suatu mikroorganisme sangat tergantung pada kondisi optimum
ketika sebuah sifat diekspresikan (Qiagen, 2003 cit. Sajidan, 2010).
Selanjutnya perlu diketahui fase optimum produksi enzim pada masing-
masing isolat bakteri.
Kurva pertumbuhan dibuat untuk mengamati pola pertumbuhan bakteri.
Pola keberlangsungan hidup bakteri dapat diamati sehingga diketahui fase
optimum aktivitas fitase tertinggi pada masing-masing isolat tersebut. Pola
pertumbuhan bakteri meliputi 4 fase, yaitu :
Lapisan Peptidoglikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
a. Fase Adaptasi (Lag phase)
Merupakan fase adaptasi bakteri terhadap lingkungan pertumbuhan.
Individu bakteri tumbuh menjadi dewasa tetapi tidak diikuti dengan
pembelahan sel.
b. Fase Eksponensial (Exponential phase atau Logaritmik phase)
Merupakan fase terjadinya penggandaan jumlah bakteri. Jumlah
bakteri baru yang terbentuk per satuan waktu sebanding dengan
populasi.
c. Fase Stasioner (Stationery phase)
Laju pertumbuhan bakteri melambat oleh beberapa factor antara lain;
ketersediaan nutrisi, akumulasi metabolisme, ketersediaan ruang
d. Fase Kematian (Dead Phase)
Merupakan fase yang ditandai dengan menurunnya populasi bakteri
(Dwidjoseputro, 2008).
Gambar 18. Perbandingan fase pertumbuhan Bakteri antara isolate RW Sm A,
RW Sm C, RW Sl 5, ketiga isolate mencapai fase eksponensial pada 16 jam
inkubasi dengan Aktifitas tertinggi dicapai pada puncak fase eksponensial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Pada umumnya enzim diproduksi selama pertumbuhan bakteri dan
akan mencapai aktivitas tertinggi pada akhir fase eksponensial atau fase log
(Haros et al., 2005). Kurva pertumbuhan (Gambar 18) memperlihatkan
aktivitas ketiga isolate bakteri mencapai aktivitas tertinggi pada akhir fase log
yaitu pada 16 jam inkubasi. Pada akhir fase log terjadi peningkatan jumlah
sel dan setiap sel aktif menggandakan diri. Aktivitas fitase mulai menurun
ketika memasuki fase stasioner. Pada fase stasioner tidak lagi terjadi
penggandaan sel-sel bakteri.
D. Identifikasi Bakteri
Setelah mendapatkan informasi sifat morfologi bakteri, selanjutnya
dilakukan identifikasi dengan marka gen 16s rRNA. Gen 16s rRNA terdapat
pada sub unit ribosom 30s. Gen 16s rRNA ditemukan pada semua
prokariotik, memiliki jumlah nukleotida yang cukup banyak, terdapat basa-
basa yang bersifat lestari sehingga dapat disusun sebuah primer universal
untuk mengamplifikasi gen 16s rRNA suatu organisme.
Analisis gen 16s rRNA untuk identifikasi bakteri membutuhkan jumlah
gen yang cukup dengan cara mengamplifikasi fragmen gen 16s rRNA
menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). DNA kromosom
terlebih dahulu diekstraksi dari isolat RW Sm A, RW Sm C dan RW Sl 5.
Profil DNA kromosom yang telah diisolasi dianalisis dengan elektroforesis
agarosa 1%. Elektroforegram hasil elektroforesis DNA kromosom ketiga
isolat (Gambar 19) menunjukkan adanya 1 pita tunggal. Kuantitas DNA
(Dioksiribo Nukleotida) diukur dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 260 dan 280. Kuantitas DNA merupakan perbandingan hasil
absorbansi yang terbaca pada kedua panjang gelombang tersebut. Kuantitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
1 2 3
DNA sebesar 1,7 menunjukkan kuantitas yang cukup, DNA kromosom
berhasil diisolasi dengan baik.
Ekstraksi DNA untuk mendapatkan DNA dari isolat bakteri,
menggunakan langkah kerja sesuai dengan protokol dari promega. Proses
ekstraksi DNA diawali dengan proses lisis dinding bakteri, melarutkan DNA,
mengendapkan DNA dan RNA. Setelah itu RNA dihilangkan dengan RNAse.
Protein didetanasi dengan protein presipitasion. DNA yang telah diperoleh
diendapkan dalam bentuk benang-benang dengan isopropanol. DNA yang
telah ter-ekstrak kemudian di elektroforesis dalam gel agarosa 1%.
Prinsip dasar teknik elektroforesis adalah pemisahan molekul DNA oleh
medan listrik. Molekul DNA dipisahkan berdasarkan laju perpindahannya oleh
gaya gerak listrik di dalam matriks gel. Sampel molekul DNA ditempatkan
dalam sumur (well) pada gel yang ditempatkan didalam larutan penyangga
(TBE), kemudian dialirkan medan listrik. Molekul DNA akan bergerak di
dalam matriks gel kearah elektroda positif, karena adanya muatan negatif
pada rangka gula-fosfat.
Gambar 19. A. Elektroforesis DNA, B. Elektroforegram agarosa 1%. (1,
2 & 3) Hasil isolasi DNA kromosom Isolat RW Sm A, RW
Sm C, dan RW Sl 5 (dilihat dengan bantuan sinar UV)
A B
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Gen 16s rRNA berukuran 710 pb pada isolat RW Sm A, RW Sm C, dan
RW Sl 5 berhasil diamplifikasi dengan primer universal; forward Bact F1 (5'-
GAGAGTTTGATCCTGGCCAG-3’), primer reverse Uni B1
(5‘CTGTTTGCTCCCCACGCTTTC-3‘) (gambar 20).
Lisdiyanti (1997) menjelaskan bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pemilihan primer adalah :
a. Panjang urutan basa primer yang optimal adalah 18-20 basa dan tidak
terdapat duplikasi antara kedua primer untuk mendeteksi gen target.
b. Spesifitas urutan basa harus tinggi untuk menghindari bergabungnya primer
pada daerah yang tidak diiinginkan, terutama pada daerah terminal 3’.
c. Persentase kandungan basa G + C kedua primer antara 40-60%.
d. Nilai Tm (melting temperature) kedua primer antara 55-800C.
e. Konsentrasi optimal dari primer antara 0,1-0,5 µM. Konsentrasi yang tinggi
akan mengakibatkan kesalahan menempel sehingga mensintesis produk
yang tidak diiinginkan.
Nilai Tm dari kedua primer adalah sebagai berikut :
Forward Primer; Tm = 2 (A + T) + 4 (G + C)
= 2 (4 + 5) + 4 (7 + 4)
= 18 + 44
= 62 0C
Reverse Primer; Tm = 2 (A + T) + 4 (G + C)
= 2 (1 + 8) + 4 (3 + 8)
= 18 + 44
= 62 0C
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Kedua primer mempunyai Tm (melting temperature) 62 0C sehingga diperoleh
suhu annealing 62 0C dan presentase kandungan basa G dan C kedua primer
55%. Kandungan basa G dan C yang rendah menyebabkan nilai Tm (melting
temperature) rendah.
Reaksi PCR (Polymerase Chain Reaction) dalam penelitian
menggunakan master mix gotaq green (Promega). Program PCR (Polymerase
Chain Reaction) yang digunakan berdasarkan optimasi alat PCR (Polymerase
Chain Reaction) yang akan digunakan. Komposisi larutan dalam 1 mikrotubr
reaksi PCR (Polymerase Chain Reaction) terdiri dari; 2 µL DNA, 2 µL Primer
Forward, 2 µL Primer reverse, 12,5 µL gotaq green master mix PCR (Promega)
dan 6,5 µL dH2O filter. Reaksi PCR (Polymerase Chain Reaction) dimulai pada
kondisi Pra PCR (predenaturasi) pada suhu 94oC selama 2 menit, 30 siklus
meliputi denaturasi pada suhu 94oC selama 1 menit, annealing (penempelan)
pada suhu 50oC selama 45 detik, pemanjangan 72oC selama 1,5 menit,
dilanjutkan pasca PCR 72oC selama 5 menit, pendinginan pada suhu 4oC selama
1 menit.
Dalam satu siklus PCR (Polymerase Chain Reaction) mempunyai tiga
tahap yaitu:
a. Pemisahan (Denaturation).
Tahap pertama dalam proses penggandaan adalah pemisahan utas ganda
menjadi utas tunggal dengan temperatur tinggi, yaitu 90-95oC selama 30 detik
hingga 1,5 menit.
b. Penempelan primer (Renaturation/Annealing).
Tahap penempelan primer terjadi pada suhu yang lebih dingin dibanding
dengan tahap denaturasi, yaitu antara 55-70oC. Pada suhu tersebut primer
akan menempel pada komplemen DNA target yang spesifik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
1500
500 700
1000 ±710 bp
1 2 3 4
c. Sintesa (Synthesis/Ekstension).
Pada tahap sintesa atau ekstensi, temperatur dinaikkan menjadi 72oC, suhu
ini merupakan kondisi optimum untuk proses katalisa taq DNA polimerase.
Enzim polimerase mulai bekerja dengan cara menyusun pasangan untai DNA
baru dengan nukelotida-nukleotida dari dNTPs yang telah tersedia dalam
larutan. Sintesa DNA dimulai dari ujung 3’-hidroksi pada tiap primer.
Produk PCR yang berukuran 710 pb tersebut kemudian disekuensing
(1st base Singapura). Setiap urutan DNA yang diperoleh dari masing-masing
primer untuk masing-masing isolat disejajarkan dengan program bioedit
sehingga diperoleh satu urutan DNA utuh. Berdasarkan analisis penyusunan
gen, diperoleh 317 pasang basa untuk isolat RW Sm A, 351 pasang basa
untuk isolat RW Sm C dan 353 pasang basa untuk isolat RW Sl 5 (Lampiran
C).
Gambar 20. Elektroforegram hasil amplifikasi gen 16s rRNA
isolat RW Sm A (2), RW Sm C (3),RW Sl 5 (4)
marker DNA 1kb (1) (dilihat dengan sinar UV).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Urutan DNA yang telah berhasil disekuensing kemudian dianalisis
dengan program BLASTn. Data sekuen DNA isolat RW Sm A, RW Sm C, RW
Sl 5 dibandingkan dengan data sekuen DNA yang tersedia di genebank.
Identifikasi ditentukan dari kemiripan urutan nukleotida penyusun gen 16s
rRNA. Hasil analisis BLASTn terhadap gen 16s rRNA yang mempunyai
homologi urutan yang kurang dari 98% menunjukkan bahwa spesies yang
dibandingkan merupakan spesies berbeda, homologi antara 93–95%
menunjukkan bahwa spesies yang dibandingkan berada pada genus yang
berbeda dan homologi antara 89–93% menunjukkan spesies yang
dibandingkan berada pada famili yang berbeda. Analisis BLASTn pada
isolate RW Sm A, RW Sm C, RW Sl 5 menunjukkan homologi 99%, sehingga
ketiga isolat tersebut merupakan kelompok Bacillus (Tabel 5, tabel 6 dan
tabel 7). Perbandingan urutan DNA ketiga isolat RW Sm A, RW Sm C dan
RW Sl 5 dengan DNA bakteri dari gen bank, Bacillus cereus acc no.
EU621383.1 dan Bacillus aryabattai acc no. JF939025.1) (gambar 21).
Tabel 5. Hasil Homologi urutan nukleotida isolat RW Sm A
No Deskripsi Total Nilai %
kemiripan
1 Bacillus sp. 3 599 99%
2 Bacillus cereus strain AIMST PV6.0 599 99%
3 Bacillus sp. Clone RS2 599 99%
4 Bacillus cereus strain CM100B 1165 99%
5 Bacillus cereus strain 6 599 99%
6 Bacillus cereus 599 99%
7 Bacillus sp. Cp-h45 599 99%
8 Bacillus subtilis strain AIMST 1.Dl.3 597 99%
9 Bacillus subtilis strain AIMST 1.All.14 597 99%
10 Bacillus cereus strain AIMST Saf2 597 99%
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Tabel 6. Hasil Homologi urutan nukleotida isolat RW Sm C
dan iii. RW Sl 5) dengan data gen bank Bacillus aryabattai no.akses JF939025.1 dan Bacillus cereus no.akses EU621383.1 (Keterangan : Tanda titik (.) menunjukkan adanya kesamaan basa DNA antar spesies)
,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
0,01
Konstruksi pohon filogenetik didasarkan pada data urutan gen 16s
rRNA yang memiliki kemiripan dengan isolat RW Sm A, RW Sm C dan RW Sl
5 yang telah diketahui melalui analisis homologi. Analisis filogenetik dilakukan
dengan menggunakan program ClustalW2. Urutan DNA dari spesies spesies
yang memiliki homologi dengan isolat bakteri terpilih dikumpulkan pada satu
file format fasta (Lampiran D) untuk disejajarkan dengan program Multiple
sequence Alignment dari software ClustalW2 (Lampiran E). Analisis MSA
(Multiple sequence Alignment) dilakukan dengan bootstrap 1000
pengulangan. Diperoleh nilai jarak matrik berdasarkan perbedaan urutan
nukleotida tiap spesies. Nilai tersebut digunakan untuk mengkonstruksi
pohon filogenetik.
Isolat RW Sm A dan isolat RW Sl 5 memiliki hubungan kekerabatan
terdekat dengan Bacillus cereus. Isolat RW Sm C berkerabat dekat dengan
Bacillus aryabhattai (Gambar 22).
Gambar 22. Pohon filogenetik Bacillus cereus RW Sm A, Bacillus aryabhattai
RW Sm C, Bacillus sp RW Sl 5 dengan beberapa spesies Bacillus
dengan kelompok luar dari Pantoea agglomerans menggunakan
ClustalW2 (Skala yang terlihat merupakan nilai subtitusi yang
diharapkan 1 dari 100 sekuen).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Ketiga isolat yang diisolasi dari abu vulkanik gunung Merapi, seluruhnya
merupakan mikroorganisme dari genus Bacillus. Mikroorganisme dari genus
Bacillus memiliki kemampuan membentuk endospora, sehingga
memungkinkan genus ini dapat hidup pada kondisi lingkungan yang kurang
mendukung dan memilki rentang temperatur yang lebar. Bacillus merupakan
salah satu kelompok bakteri yang diketahui memiliki aktivitas fitase, Bacillus
Subtilis AP-17 memiliki aktivitas fitase 0.0296 U/mL (Kusumadjaja, 2009),