ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR (KURS) DI INDONESIA PERIODE 1984-2013 Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonometrika II Dosen Pembimbing : Drs. Agus Tri Basuki, SE, M.Si Disusun oleh : KUMALA LATIFAH SARI 20130430306 FAKULTAS EKONOMI EKONOMI KEUANGAN DAN PERBANKAN ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
47
Embed
ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI · PDF fileEKONOMI KEUANGAN DAN PERBANKAN ISLAM ... Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Suku Bunga ... mengumumkan suatu kurs tertentu atas nama
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI
TUKAR (KURS) DI INDONESIA PERIODE 1984-2013
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonometrika II
Dosen Pembimbing : Drs. Agus Tri Basuki, SE, M.Si
Disusun oleh :
KUMALA LATIFAH SARI
20130430306
FAKULTAS EKONOMI
EKONOMI KEUANGAN DAN PERBANKAN ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kehadirat Allah SWT terucap atas atas segala karunia-Nya yang telah
diberikan sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “ Analisis Faktor –
Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Suku Bunga (KURS) di Indonesia Tahun 1983-2013”.
Penelitian ini berisi tentang analisis faktor – faktor apa saja yang dapat
memepengaruhi nilai tukar (KURS) di Indonesia. Berbagai temuan akan dijelaskan dalam
analisis. Saya menyadari bahwa masih jauh dari kesempurnaan sehingga memerlukan
beberapa perbaikan berupa kritik dan saran. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dalam bentuk dukurngan moril, semangat,
serta membantu dalam menyelesaikan penelitian ini.
Yogyakarta, 7 Januari 2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perbedaan nilai tukar mata uang suatu negara (kurs) pada prinsipnya
ditentukan oleh besarnya permintaan dan penawaran mata uang tersebut (Levi,
1996:129). Kurs merupakansalah satu harga yang lebih penting dalam perekonomian
terbuka, karena ditentukan oleh adanya kseimbangan antara permintaan dan
penawaran yang terjadi di pasar, mengingat yang besar bagi neraca transaksi berjalan
maupun bagi variabelvariabel makro ekonomi lainnya. Kurs dapat dijadikan alat
untuk mengukur kondisi perekonomian suatu negara. Pertumbuhan nilai mata uang
yang stabil menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki kondisi ekonomi yang
relatif baik atau stabil (Salvator, 1997:10).
Ketidakstabilan nilai tukar ini mempengaruhi arus modal atau investasi dan
pedagangan Internasional. Indonesia sebagai negara yang banyak mengimpor bahan
baku industri mengalami dampak dan ketidakstabilan kurs ini, yang dapat dilihat dari
rnelonjaknya biaya produksi sehingga menyebabkan harga barangbarang milik
Indonesia mengalami peningkatan. Dengan melemahnya rupiah menyebabkan
perekonomian Indonesia menjadi goyah dan dilanda krisis ekonomi dan kepercayaan
terhadap mata uang dalam negeri.
Sistem devisa bebas dan ditambah dengan penerapan sistem floating exchange
rate di Indonesia sejak tahun 1997, menyebabkan pergerakan nilai tukar di pasar
menjadi sangat rentan oleh pengaruh faktor-faktor ekonomi maupun non ekonomi.
Sebagai contoh pertumbuhan nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS pada era
sebelum krisis melanda Indonesia dan kawasan Asia lainya masih relatif stabil. Jika
dibandingkan dengan masa sebelum krisis, semenjak krisis ini terjadi lonjakan kurs
dolar AS berada diantara Rp6.700 - Rp9.530 sedangkan periode 1981- 1996 di bawah
Rp2.500 (Bank Indonesia, 2000).
Melalui mekanisme transmisi, inflasi serta suku bunga domestik bisa turun ke
tingkat yang rendah. Sebaliknya, dengan menguatnya dolar AS belakangan, nilai
Rupiah merosot dan berpotensi mendongkrak inflasi. Pergerakan nilai tukar yang
fluktuatif ini mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memegang uang, selain
faktor-faktor yang lain seperti tingkat suku bunga dan inflasi. Kondisi ini didukung
oleb laju inflasi yang meningkat tajam dan menurunnya kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan nasional. Tingkat suku bunga yang tinggi, akan menyerap jumlah
uang yang beredar di masyarakat. Sebaliknya jika tingkat suku bunga terlalu rendah
maka jumlah uang yang beredar di masyarakat akan bertambah karena orang lebih
suka memutarkan uang pada sektor-sektor produktif dari pada menabung. Dalam hal
ini tingkat suku bunga merupakan instrumen konvensional untuk mengendalikan
inflasi (Khalawaty, 200:144).
1.2 Identifikasi Masalah
1. Fator makro ekonomi (inflasi, tingkat suku bunga, dan ekspor) dapat berpengaruh
atas pergerakan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS.
2. Faktor penentuan fluktuasi nilai tikar rupiah merupakan sesuatu yang komplek
1.3 Batasan Masalah
Mengingat begitu banyaknya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai
tukar (kurs), maka dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan hanya dalam
hal menganalisis seberapa besar pengaruh pengaruh dari inflasi, tingkat suku bunga,
dan ekspor terhadap nilai tukar rupiah.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada permasalahan yang diuraikan pada latar belakang masalah
diatas maka penulis tertarik mengangkat judul “ Analisis Faktor – Faktor yang
Mempengaruhi Nilai Tukar (KURS) di Indonesia tahun 1984-2013” dengan
menggunakan Inflasi, Tingkat Suku Bunga, dan Ekspor sebagai indikatornya.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya maka
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Seberapa besar pengaruh Tingkat Suku Bunga terhadap KURS di Indonesia ?
2. Seberapa besar pengaruh tingkat Inflasi terhadap KURS di Indonesia ?
3. Seberapa besar pengaruh Ekspor terhadap KURS di Indonesia ?
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah maka tujuan yang akan dicapai
dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui seberapa besar pengaruh tingkat Inflasi terhadap KURS di Indonesia
2. Mengetahui seberapa besar pengaruh tingkat Suku Bunga terhadap KURS di
Indonesia
3. Mengetahui seberapa besar pengaruh Ekspor terhadap KURS di Indonesia
1.6 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, antara lain:
1. Bagi instansi terkait, dapat memberikan informasi yang lebih banyak terutama
mengenai hal-hal yang berkaitan denagan KURS di Indonesia.
2. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya yang ada kaitannya dibidang
yang sama dimasa yang akan datang.
3. Bagi pemerintah dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam hal membuat
kebijakan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Teori digunakan untuk menjelaskan observasi yang sudah ada. Teori
menjelaskan keterkaitan antar sesuatu femomena yang akan diteliti. Eksistensi suatu
teori ekonomi sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam menjelaskan fenomena
perekonomian yang aktual. Karena itu, analisis teoritis dan pembuktian empiris
menjadi dua hal yang akan selalu dilakukan secara bersama-sama dalam setiap bidang
ilmu, termasuk ilmu ekonomi.
Bab ini akan menyajikan penelaahan menenai teori tentang KURS,Inflasi,
Tingkat Suku Bunga, dan Ekspor. Untuk mendapatkan justifikasi dan pembuktian
empiris mengenai bentuk keterkaitan antara besarnya Tingkat Suku Bunga, Inflasi,
dan Ekspor dengan KURS di Indonesia, selanjutnya dilakukan tinjauan berbagai studi
empiris sebelumnya yang relevan.
2.1.1 KURS
2.1.1.1 Definisi Kurs
Menurut Fabozzi dan Franco (1996:724) an exchange rate is defined as
theamount of one currency that can be exchange per unit of another currency,
or the price of one currency in items of another currency. Sedangkan menurut
Adiningsih, dkk (1998:155), nilai tukar rupiah adalah harga rupiah terhadap
mata uang negara lain. Jadi, nilai tukar rupiah merupakan nilai dari satu mata
rupiah yang ditranslasikan ke dalam mata uang negara lain. Misalnya nilai
tukar rupiah terhadap Dolar AS, nilai tukar rupiah terhadap Yen, dan lain
sebagainya. Kurs inilah sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi
aktivitas di pasar saham maupun pasar uang karena investor cenderung akan
berhati-hati untuk melakukan investasi. Menurunnya kurs Rupiah terhadap
mata uang asing khususnya Dolar AS memiliki pengaruh negatif terhadap
ekonomi dan pasar modal (Sitinjak dan Kurniasari, 2003).
Kurs (Exchange Rate) adalah pertukaran antara dua mata uang yang
berbeda, yaitu merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata
uang tersebut. Perbandingan nilai inilah sering disebut dengan kurs (exchange
rate). Nilai tukar biasanya berubah-ubah, perubahan kurs dapat berupa
depresiasi dan apresiasi. Depresiasi mata uang rupiah terhadap dolar AS
artinya suatu penurunan harga dollarAS terhadap rupiah. Depresiasi mata uang
negara membuat harga barang-barang domestik menjadi lebih murah bagi
fihak luar negeri. Sedang apresiasi rupiah terhadap dollar AS adalah kenaikan
rupiah terhadap dollar AS. Apresiasi mata uang suatu negara membuat harga
barangbarang domestik menjadi lebih mahal bagi fihak luar negeri (Sukirno,
1981:297).
Kurs rupiah terhadap dollar AS memainkan peranan sentrel dalam
perdagangan internasional, karena kurs rupiah terhadap dollar AS
memungkinkan kita untuk membandingkan harga semua barang dan jasa yang
dihasilkan berbagai negara. Kurs valuta asing dapat diklasifikasikan kedalam
kurs jual dan kurs beli. Selisih dari penjualan dan pembelian merupakan
pendapatan bagi pedagang valuta asing. Sedang bila ditinjau dari waktu yang
dibutuhkan dalam menyerahkan valuta asing setelah transaksi kurs dapat
diklasifikasikan dalam kurs spot dan kurs berjalan (forwardexchange).
2.1.1.2 Penentuan Nilai Kurs
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar, yaitu
(Madura, 1993):
1. Faktor Fundamental
Faktor fundamental berkaitan dengan indikator-
indikator ekonomi seperti inflasi, suku bunga, perbedaan relatif
pendapatan antar-negara, ekspektasi pasar dan intervensi Bank
Sentral.
2. Faktor Teknis
Faktor teknis berkaitan dengan kondisi penawaran dan
permintaan devisa pada saat-saat tertentu. Apabila ada
kelebihan permintaan, sementara penawaran tetap, maka harga
valas akan naik dan sebaliknya.
3. Sentimen Pasar
Sentimen pasar lebih banyak disebabkan oleh rumor
atau berita-berita politik yang bersifat insidentil, yang dapat
mendorong harga valas naik atau turun secara tajam dalam
jangka pendek. Apabila rumor atau berita-berita sudah berlalu,
maka nilai tukar akan kembali normal.
2.1.1.3 Sistem Kurs Mata Uang
Menurut Kuncoro (2001: 26-31), ada beberapa sistem kurs mata uang
yang berlaku di perekonomian internasional, yaitu:
1) Sistem kurs mengambang (floating exchange rate), sistem kurs ini
ditentukan oleh mekanisme pasar dengan atau tanpa upaya stabilisasi
oleh otoritas moneter. Di dalam sistem kurs mengambang dikenal dua
macam kurs mengambang, yaitu :
a. Mengambang bebas (murni) dimana kurs mata uang ditentukan
sepenuhnya oleh mekanisme pasar tanpa ada campur tangan
pemerintah. Sistem ini sering disebut clean floating exchange
rate, di dalam sistem ini cadangan devisa tidak diperlukan
karena otoritas moneter tidak berupaya untuk menetapkan atau
memanipulasi kurs.
b. Mengambang terkendali (managed or dirty floating exchange
rate) dimana otoritas moneter berperan aktif dalam
menstabilkan kurs pada tingkat tertentu. Oleh karena itu,
cadangan devisa biasanya dibutuhkan karena otoritas moneter
perlu membeli atau menjual valas untuk mempengaruhi
pergerakan kurs.
2) Sistem kurs tertambat (peged exchange rate). Dalam sistem ini, suatu
Negara mengkaitkan nilai mata uangnya dengan suatu mata uang
negara lain atau sekelompok mata uang, yang biasanya merupakan
mata uang negara partner dagang yang utama “Menambatkan“ ke suatu
mata uang berarti nilai mata uang tersebut bergerak mengikuti mata
uang yang menjadi tambatannya. Jadi sebenarnya mata uang yang
ditambatkan tidak mengalami fluktuasi tetapi hanya berfluktuasi
terhadap mata uang lain mengikuti mata uang yang menjadi
tambatannya.
3) Sistem kurs tertambat merangkak (crawling pegs). Dalam sistem ini,
suatu negara melakukan sedikit perubahan dalam nilai mata uangnya
secara periodic dengan tujuan untuk bergerak menuju nilai tertentu
pada rentang waktu tertentu. Keuntungan utama sistem ini adalah suatu
negara dapat mengatur penyesuaian kursnya dalam periode yang lebih
lama dibanding sistem kurs tertambat. Oleh karena itu, sistem ini dapat
menghindari kejutan-kejutan terhadap perekonomian akibat revaluasi
atau devaluasi yang tiba-tiba dan tajam.
4) Sistem sekeranjang mata uang (basket of currencies). Banyak negara
terutama negara sedang berkembang menetapkan nilai mata uangnya
berdasarkan sekeranjang mata uang. Keuntungan dari sistem ini adalah
menawarkan stabilitas mata uang suatu negara karena pergerakan mata
uang disebar dalam sekeranjang mata uang. Seleksi mata uang yang
dimasukkan dalam “keranjang“ umumnya ditentukan oleh peranannya
dalam membiayai perdagangan negara tertentu. Mata uang yang
berlainan diberi bobot yang berbeda tergantung peran relatifnya
terhadap negara tersebut. Jadi sekeranjang mata uang bagi suatu negara
dapat terdiri dari beberapa mata uang yang berbeda dengan bobot yang
berbeda.
5) Sistem kurs tetap (fixed exchange rate). Dalam sistem ini, suatu Negara
mengumumkan suatu kurs tertentu atas nama uangnya dan menjaga
kurs ini dengan menyetujui untuk menjual atau membeli valas dalam
jumlah tidak terbatas pada kurs tersebut. Kurs biasanya tetap atau
diperbolehkan berfluktuasi dalam batas yang sangat sempit.
2.1.1.4 Sejarah Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia
Sejak tahun 1970, negara Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar,
yaitu:
1. Sistem kurs tetap (1970- 1978) Sesuai dengan Undang-Undang
No.32 Tahun 1964, Indonesia menganut sistem nilai tukar tetap kurs
resmi Rp. 250/US$, sementara kurs uang lainnya dihitung berdasarkan
nilai tukar rupiah terhadap US$. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar
pada tingkat yang ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi
aktif di pasar valuta asing.
2. Sistem mengambang terkendali (1978-Juli 1997) Pada masa ini,
nilai tukar rupiah didasarkan pada sistem sekeranjang mata uang
(basket of currencies). Kebijakan ini diterapkan bersama dengan
dilakukannya devaluasi rupiah pada tahun 1978. Dengan sistem ini,
pemerintah menetapkan kurs indikasi (pembatas) dan membiarkan kurs
bergerak di pasar dengan spread tertentu. Pemerintah hanya melakukan
intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau bawah dari
spread.
3. Sistem kurs mengambang (14 Agustus 1997-sekarang) Sejak
pertengahan Juli 1997, nilai tukar rupiah terhadap US$ semakin
melemah. Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka
mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang maka pemerintah
memutuskan untukmenghapus rentang intervensi (sistem nilai tukar
mengambang terkendali) dan mulai menganut sistem nilai tukar
mengambang bebas (free floating exchange rate) pada tanggal 14
Agustus 1997. Penghapusan rentang intervensi ini juga dimaksudkan
untuk mengurangi kegiatan intervensi pemerintah terhadap rupiah dan
memantapkan pelaksanaan kebijakan moneter dalam negeri.
2.1.2 Inflasi
2.1.2.1 Definisi Inflasi
Pengertian umum inflasi adalah proses kenaikan harga barang-barang
secara umum yang berlangsung terus menerus, bukan hanya satu barang dan
bukan dalam waktu yang bersamaan. Kenaikan harga dari satu atau dua barang
tidak dapat disebut inflasi Kamerschen menyatakan : inflation represent a
persstent rise in the average level of prices which is not match by a
proportionate increase in the level of the quality of good and services
consumed. Jadi inflasi menggambarkan kenaikan tingkat harga rata-rata yang
tidak diimbangi dengan kenaikan yang proporsional dari kualitas barang dan
jasa yang dikonsumsi (Sukendar, 2000).
2.1.2.2 Teori – Teori Inflasi
a. Teori Kuantitas
Inti dari teori kuantitas adalah, pertama, bahwa inflasi itu hanya bias
terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun
uang giral. Bila terjadi kegagalan panen misalnya, yang menyebabkan harga beras
naik, tetapi apabila jumlah uang beredar tidak ditambah, maka kenaikan harga
beras akan berhenti dengan sendirinya. Inti yang kedua adalah laju inflasi
ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan psikologi atau harapan
masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di masa yang akan datang.
b. Teori Keynes
Proses inflasi menurut Keynes adalah proses perebutan pendapatan di
antara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian yang lebih besar
daripada yang dapat disediakan oleh masyarakat. Kelompok-kelompok sosial ini
misalnya orang-orang pemerintah sendiri, pihak swasta atau bias juga serikat
buruh yang berusaha mendapatkan kenaikan gaji atau upah, hal ini akan
berdampak terhadap permintaan barang dan jasa yang pada akibatnya akan
menaikkan harga.
c. Teori Strukturalis.
Teori ini biasa disebut juga dengan teori inflasi jangka panjang, karena
karena menyoroti sebab-sebab inflasi yang berasal dari kekakuan struktur
ekonomi, khususnya penawaran bahan makanan dan barang-barang ekspor.
Karena sebab-sebab struktural ini, pertambahan produksi barang lebih lambat
dibandingkan peningkatan kebutuhan masyarakat. Akibatnya penawaran (supply)
barang kurang dari yang dibutuhkan masyarakat, sehingga harga barang dan jasa
meningkat.
2.1.2.3 Indikator Inflasi
Ada beberapa indikator yang dapat menggambarkan terjadinya inflasi,
antara lain Indeks Biaya Hidup (cost of living), Indeks Harga Konsumen
(consumer price index), Indeks Implisit Produk Domestik Brutto (GDP
Deflator) atau Indeks Harga Perdagangan Besar (whole sale prices index).
Masing-masing pengukuran tersebut memiliki kelemahan dan kelebihannya
Jika pengukuran dimaksudkan untuk menetapkan upah buruh riil maka lebih
tepat digunakan Indeks Biaya Hidup (IBH) atau Indeks Harga Konsumen.
Sementara itu GDP deflator yang cakupannya lebih luas dibandingkan dengan
indek yang lain lebih mencerminkan perkembangan tingkat harga umum.
2.1.2.4 Jenis-jenis Inflasi
Dalam teori ekonomi inflasi dapat dibedakan menjadi dua jenis inflasi
(Boediono, dalam setiyawan :2006).
1. Demand Pull Inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh terlalu
kuatnya peningatan permintaan agregat dari masyarakat terhadap
komoditi-komoditi hasil produksi dipasar barang.
2. Cosh Push Inflation, yaitu inflasi yang disebabkan karena
meningkatnya harga-harga barang produksi dipasar faktor produksi
sehingga menaikkan harga komoditi dipasar komoditi.
2.1.3 Suku Bunga
2.1.3.1 Suku Bunga
Menurut Wardane (2003) dalam Prawoto dan Avonti (2004), suku
bunga adalah pembayaran yang dilakukan untuk penggunaan uang. Suku
bunga adalah jumlah bunga yang harus dibayar per unit waktu. Dengan kata
lain, masyarakat harus membayar peluang untuk meminjam uang. Menurut
Samuelson dan Nordhaus (1995:197) dalam Wardane, suku bunga adalah
biaya untuk meminjam uang, diukur dalam Dolar per tahun untuk setiap Dolar
yang dipinjam.
Menurut Keynes, dalam Wardane (2003), tingkat bunga ditentukan
oleh permintaan dan penawaran akan uang (ditentukan dalam pasar uang).
Perubahan tingkat suku bunga selanjutnya akan mempengaruhi keinginan
untuk mengadakan investasi, misalnya pada surat berharga, dimana harga
dapat naik atau turun tergantung pada tingkat bunga (bila tingkat bunga naik
maka surat berharga turun dan sebaliknya), sehingga ada kemungkinan
pemegang surat berharga akan menderita capital loss atau gain.
Suku bunga dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Suku bunga nominal adalah suku bunga dalam nilai uang. Suku bunga
ini merupakan nilai yang dapat dibaca secara umum. Suku bunga ini
menunjukkan sejumlah rupiah untuk setiap satu rupiah yang diinvestasikan.
2. Suku bunga riil adalah suku bunga yang telah mengalami koreksi
akibat inflasi dan didefinisikan sebagai suku bunga nominal dikurangi laju
inflasi. Dalam Kamus Akuntansi (1996:69), disebutkan bahwa Interest (bunga,
kepentingan, hak) merupakan: [1] beban atas penggunaan uang dalam suatu
periode, dan [2] suatu pemilikan atau bagian kenyataan dalam suatu
perusahaan, usaha dagang, atau sumber daya.
2.1.3 Ekspor
2.1.3.1 Pengertian Ekspor
Ekspor dalam suatu negara sering dianggap sebagai variabel eksogen.
Eksogenitas ekspor dalam hal ini diartikan bahwa volume ekspor suatu negara
bukan dipengaruhi oleh variabel-variabel domestik perekonomian negara tersebut,
melainkan dipengaruhi oleh variabel ekonomi negara pengimpor.
Menurut Mankiw (2000:67) ekspor adalah berbagai barang yang diproduksi
didalam negeri dan dijual ke luar negeri. Ekspor mengakibatkan masuknya aliran
valuta asing dari luar negeri kedalam negeri. Dengan demikian penawaran dollar
dimasyarakat akan meningkat dan mengakibatkan kurs rupiah menguat.
Penurunan nilai tukar mata uang akan mengakibatkan berbagai komoditas ekspor
menjadi lebih murah bagi para importir atau pihak asing sehingga barang ekspor
akan dapat lebih kompetitif dipasaran internasional karena harga-harga dapat
bersaing. Dengan demikian, hubungan antara ekspor dengan nilai tukar rupiah
adalah positif.
2.2 Studi Empiris
Peneliti Judul Variabel Hasil
Triyono Analisis Perubahan
Kurs terhadap dollar
Amerika
Kurs, Inflasi, Impor,
tingkat suku bunga,
Inflasi tidak
mempunyai
pengaruh yang
signifikan terhadap
kurs, Hasil analisis
jangka pendek
variabel JUB
mempunyai
pengaruh yang
signifikan terhadap
kurs, Hasil analisis
jangka pendek
variabel SBI
tidak berpengaruh
secara signifikan
terhadap
kurs, dari
perhitungan jangka
panjang variabel
impor berpengaruh
signifikan terhadap
kurs.
Yeniwati Analisis Perubahan
Kurs terhadap dollar
Amerika
Kurs, Inflasi, tingkat
suku bunga
Hubungan antara
inflasi dengan nilai
tukar
adalah negative,
hubungan antara
tingkat suku bunga
dengan kurs adalah
positif.
2.3 Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini, dilakukan terhadap 3 variabel makroekonomi yang
diduga berpengaruh terhadap Nilai Tukar Rupiah. Adapun variabel makroekonomi
yang diprediksikan berpengaruh terhadap Nilai Tukar Rupiah adalah Inflasi, Tingkat
Suku Bunga, dan Ekspor. Berdasarkan uraian di atas, hubungan masing-masing
variabel independen (variabel makroekonomi) terhadap nilai tukar rupiah dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Hubungan Inflasi dengan Kurs
Nilai tukar dibedakan menjadi dua yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar
riil. Nilai tukar nominal menunjukkan harga relatif mata uang dan dua negara,
sedangkan nilai tukar riil menunjukkan tingkat ukuran (rate) suatu barang dapat
diperdagangkan antar negara. Jika nilai tukar riil tinggi berarti harga produk luar
negeri relatif murah dan harga produk domestik mahal. Persentase perubahan nilai
tukar nominal sama dengan persentase perubahan nilai tukar riil ditambah perbedaan
inflasi antara inflasi luar negeri dengan inflasi domestik (persentase perubahan harga
inflasi). Jika suatu negara luar negeri lebih tinggi inflasinya dibandingkan domestik
(Indonesia) maka Rupiah akan ditukarkan dengan lebih banyak valas. Jika inflasi
meningkat untuk membeli valuta asing yang sama jumlahnya harus ditukar dengan
Rupiah yang makin banyak atau depresiasi Rupiah (Herlambang, dkk, 2001 : 282)
b. Hubungan Suku Bunga dengan Kurs
Kebijakan yang dapat digunakan untuk mencapai sasaran stabilitas harga atau
pertumbuhan ekonomi adalah kebijakan moneter dengan menggunakan instrumen
moneter (suku bunga atau agregat moneter). Salah satu jalur yang digunakan adalah
jalur nilai tukar, berpendapat bahwa pengetatan moneter yang mendorong peningkatan
suku bunga akan mengakibatkan apresiasi nilai tukar karena adanya pemasukan
modal dan luar negeri (Arifin, 1998: 4).
c. Hubugan Ekspor dengan Kurs
Transaksi ekspor merupakan transaksi penjualan barang dan jasa dari
Indonesia ke luar negeri yang berakibat pada adanya pembayaran dari pembeli di luar
negeri. Hal ini berarti akan terdapat uang masuk ke Indonesia dalam mata uang asing.
Pada saat eksporti menerima pembayaran tersebut maka langkah selanjutnya yang
dilakukan oleh eksportir adalah menukarkan uang asing yang diperolehnya menjadi
rupiah agar dapat digunakan lagi menjadi modal membeli bahan baku, dan lain-lain.
Pada saat nilai tukar rupiah melemah maka jumlah rupiah yang akan diterima
eksportir menjadi lebih banyak dibandingkan menggunakan nilai tukar sebelumnya.
Secara makro dapat dikatakan bahwa kegiatan ekspor akan menjadi lebih menarik dan
menguntungkan bagi perekonomian karena akan menambah jumlah transaksi
ekonomi di dalam negeri dan menambah minat dunia usaha untuk meningkatkan
ekspor ke luar negeri. Jadi dapat disimpulkan bahwa melemahnya nilai tukar rupiah
dapat meningkatkan ekspor dan perekonomian dalam negeri. Namun sebaliknya, jika
nilai tukar rupiah menguat maka akan menurunkan ekspor dan perekonomian dalam
negeri.
2.4 Hipotesis
Menurut Hasan (200) Hipotesis adalah suatu pernyataan yang masih lemah
kebenarannya danperlu dibuktikan atau dugaan yang sifatnya masih sementara.
Setelah ditentukan hipotesis maka diadakan pengujian tentang kebenarannya dengan
menggunakan data empiris dari hasil penelitian. Berdasarkan kerangka pemikiran di
atas, maka penulis membuat suatu hipotesis dalam penelitian ini adalah:
a. Diduga inflasi mempunyai pengaruh positif terhadap perubahan nilai tukar.
b. Diduga tingkat suku bunga mempunyai pengaruh positif terhadap perubahan
nilai tukar.
c. Diduga ekspor mempunyai pengaruh yang positif terhadap perubahan nilai
tukar.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder yang merupakan
data time series dalam bentuk tahunan data dengan periode tahun 1983-2013. Data ini
diperoleh dari buku tahunan Badan Pusat statistik (BPS) dan Bank Indonesia. Dimana
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data mengenai Kurs, Inflasi, Tingkat
Suku Bunga dan Ekspor.
3.2 Metode Pengumpulan Data
1. Data Sekuder
Penelitian yang dilakukan bersifat kuantitaif yaitu untuk meneliti hubungan
antara inflasi, tingkat suku bunga, dan ekspor terhadap nilai tukar. Pengumpulan data
untuk penelitian ini didapat dengan cara mendatangi lembaga-lembaga pemerintah
dan lembaga-lembaga lainnya yang dianggap dapat memberikan informasi atau data
yang dibutuhkan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder
time series dengan kurun waktu 1983 - 2013. Sumber data berasal dari instansi yang
terkait dengan kurs, tingkat suku bunga dan ekspor yaitu BPS dan Bank Indonesia.
2. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan
menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis,
gambar maupun elektronik. Pencarian data-data yang relevan dari sumber-sumber
yang sudah ada sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini. Data ini
diperoleh dari Bank Indonesia (BI) dan BPS.
3.3 Metode Analisis
3.3.1 VAR (Vector Auto Regression)
Vector Autoregression atau VAR merupakan salah satu metode time series
yang sering digunakan dalam penelitian, terutama dalam bidang ekonomi.
Menurut Gujarati (2004) ada beberapa keuntungan menggunakan VAR
dibandingkan metode lainnya:
1. Lebih sederhana karena tidak perlu memisahkan variabel bebas dan
terikat.
2. Estimasi sederhana karena menggunakan metode OLS (Ordinary Least
Square) biasa.
3. Hasil estimasinya lebih baik dibandingkan metode lain yang lebih
rumit.
Alasan dipilihnya metode VAR adalah dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Metode regresi linier yang menyatakan bahwa variabel pertumbuhan
diregresikan atas variabel ekspor atau variabel impor telah banyak
dikritik dan merupakan metode yang sangat lemah sehingga hasil
penggunaannya dapat menyesatkan. Dua kritik utama terhadap metode
regresi linier adalah : Pertama, meregresikan variabel pendapatan
nasional tahun berjalan atas ekspor tahun berjalan merupakan sebagian
pendapatan nasional tahun berjalan yang bermakna bahwa kita
meregresikan suatu variabel atas dirinya sendiri. Kedua, metode regresi
linier tidak mendeteksi kausalitas antara variabel-variabel yang
digunakan secara dinamis. Dapat terjadi kumulatif ekspor yang tidak
mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi ( Halwani,
2002).
2. Data yang digunakan merupakan data time series yang
menggambarkan fluktuasi ekonomi.
3. Dampak kebijakan moneter terhadap perkembangan isektor riil melalui
suatu mekanisme yang pada umumnya tidak berdampak se etika,
biasanya membutuhkan tenggang waktu tertentu (lag). Ketiga persoaln
ini dapat dijawab oleh model VAR sebagai salah satu bentuk model
makro-ekonometrika yang paling sering digunakan untuk melihat
permasalahan fluktuasi ekonomi.
Di samping itu, Analisis VAR memiliki beberapa keunggulan antara lain: (1)
Metode ini sederhana, kita tidak perlu khawatir untuk membedakan mana
variabel endogen, mana variabel eksogen; (2) Estimasinya sederhana, dimana
metode OLS biasa dapat diaplikasikan pada tiap-tiap persamaan secara terpisah;
(3) Hasil perkiraan (forecast) yang diperoleh dengan menggunakan metode ini
dalam banyak kasus lebih bagus dibandingkan dengan hasil yang didapat dengan
menggunakan model persamaan simultan yang kompleks sekalipun. Selain itu,
VAR juga merupakan alat analisis yang sangat berguna, baik dalam memahami
adanya hubungan timbal balik antara variabel-variabel ekonomi, maupun di
dalam pembentukan model ekonomi berstruktur (Enders, 2004).
Model ekonometrika yang dibangun berdasarkan hubungan antar variabel
yang mengacu pada model dan digunakan untuk melihat hubungan kausalitas
antar variabel. Model umum, VAR dengan lag 1:
Kelebihan dari model VAR adalah:
1. Model VAR adalah model yang sederhana dan tidak erlu membedakan mana
variabel yang endogen dan eksogen. Semua variabel pada model VAR dapat
dianggap sebagai variabel endogen.
2. Cara estimasi model VAR sangat mudah yaitu dengan menggunakan OLS
pada setiap persamaan secara terpisah.
3. Peramalan menggunakan model VAR pada beberpa hal lebih baik dibanding
menggunakan model dengan persamaan simulatan yang lebih kompleks.
Kelemahan model VAR adalah:
1. Model VAR lebih bersifat a teoritik karena tidak memanfaatkan informasi
atau teori terdahulu dan sering disebut sebagai model yang tidak struktural.
2. Model VAR kurang cocok untuk analisis kebijakan.
3. Pemilihan banyaknya lag yang digunakan dalam persamaan juga dapat
menimbulkan permasalahan.
4. Semua variabel dalam VAR harus stasioner. Jika tidak stasioner, maka harus
ditransfomasikan terlebih dahulu.
5. Interpretasi koefisien yang didapat berdasarkan model VAR tidak mudah.
Pola pemodelan VAR:
Apakah data stationer pada Level?
Jika Data stationer pada level, maka model VAR dapat dilakukan.
Jika Data stationer pada First Difference, maka pemodelan VAR
dilakukan dengan menggunakan data First Difference, atau dapat
menggunakan model VECM jika terdapat kointegrasi.
3.3.2 Tahapan Uji VAR
Langkah 1 :
Salah satu prosedur yang harus dilakukan dalam estimasi model ekonomi
dengan data runtut waktu adalah menguji apakah data runtut waktu tersebut
stasioner atau tidak. Data stasioner merupakan data runtut waktu yang tidak
mengandung akar-akar unit (unit roots), sebaliknya data yang tidak stasioner
jika mean, variance dan covariance data tersebut konstan sepanjang waktu
(Thomas, 1997:374).
Jika dari hasil uji stasioneritas berdasarkan uji Dickey–Fuller diperoleh data
yang belum stasioner pada data level atau integrasi derajat nol, I(0), maka syarat
stasionaritas model ekonomi runtut waktu dapat diperoleh dengan cara
differencing data, yaitu mengurangi data tersebut dengan data periode
sebelumnya. Dengan demikian melalui differencing pertama (first difference)
diperoleh data selisih atau delta-nya (Δ). Prosedur uji Dickey–Fuller kemudian
diaplikasikan untuk menguji stasionaritas data yang telah di-differencing. Jika
dari hasil uji ternyata data runtut waktu belum stasioner, maka dilakukan
differencing kedua (second differencing). Prosedur uji Dickey–Fuller selanjutnya
diaplikasikan untuk menguji stasionaritas data second differencing tersebut.
Setelah mengetahui bahwa data tidak stasioner pada tingkat level, maka
langkah selanjutnya adalah melakukan uji akar unit pada tingkat 1st Difference.
Dan dari hasil uji akar unit maka seluruh variabel lolos uji akar unit pada tingkat
1st Difference atau stasioner pada 1st Difference.
Langkah 2:
Penentuan panjag lag
Penentuan panjang lag Estimasi dengan VAR mensyaratkan data dalam
kondisi stasioner. Oleh karena data variabel sudah stasioner pada pada tingkat
1st Difference maka estimasi diharapkan akan menghasilkan keluaran model
yang valid. Dengan demikian kesimpulan penelitian akan mempunyai tingkat
validitas yang tinggi pula.
Estimasi model VAR dimulai dengan menentukan berapa panjang lag yang
tepat dalam model VAR. Penentuan panjangnya lag optimal merupakan hal
penting dalam pemodelan VAR. Jika lag optimal yang dimasukan terlalu
pendek maka dikhawatirkan tidak dapat menjelaskan kedinamisan model
secara menyeluruh. Namun, lag optimal yang terlalu panjang akan
menghasilkan estimasi yang tidak efisien karena berkurangnya degree of
freedom (terutama model dengan sampel kecil). Oleh karena itu perlu
mengetahui lag optimal sebelum melakukan estimasi VAR.
Langkah 3 :
Uji kointegrasi
Berdasarkan panjang lag diatas, kami melakukan uji kointegrasi untuk
mengetahui apakah akan terjadi keseimbangan dalam jangka panjang, yaitu
terdapat kesamaan pergerakan dan stabilitas hubungan diantara variabel-
variabel di dalam penelitian ini atau tidak. Dalam penelitian ini, uji kointegrasi
dilakukan dengan menggunakan metode Johansen’s Cointegration Test.
Berikut ini disajikan tabel hasil uji kointegrasi dengan metode Johansen’s
Cointegration Test.
Langkah 4 :
Uji Kausalitas Granger (Granger’s Causality Test)
Uji kausalitas dilakukan untuk mengetahui apakah suatu variabel endogen
dapat diperlakukan sebagai variabel eksogen. Hal ini bermula dari
ketidaktahuan keterpengaruhan antar variabel. Jika ada dua variabel y dan z,
maka apakah y menyebabkan z atau z menyebabkan y atau berlaku keduanya
atau tidak adamhubungan keduanya. Variabel y menyebabkan variabel z
artinya berapa banyak nilai z pada periode sekarang dapat dijelaskan oleh nilai
z pada periode sebelumnya dan nilai y pada periode sebelumnya. Uji
kausalitas dapat dilakukan dengan berbagai metode diantaranya metode
Granger’s Causality dan Error Correction Model Causality. Pada penelitian ini,
digunakan metode Granger’s Causality. Granger’s Causality digunakan untuk
menguji adanya hubungan kausalitas antara dua variabel. Kekuatan prediksi
(predictive power) dari informasi sebelumnya dapat menunjukkan adanya
hubungan kausalitas antara y dan z dalam jangka waktu lama.
Langkah 5 :
Lakukan regresi dengan model VAR
Fungsi Impulse Response VAR
Fungsi Impulse Response VAR Estimasi terhadap fungsi impulse response
dilakukan untuk memeriksa respon kejutan (shock) variabel inovasi terhadap
variabel-variabel lainnya. Estimasi menggunakan asumsi masing-masing
variabel inovasi tidak berkorelasi satu sama lain sehingga penelurusan
pengaruh suatu kejutan dapat bersifat langsung. Gambar impulse response
akan menunjukkan respon suatu variabel akibat kejutan variabel lainnya
sampai dengan beberapa periode setelah terjadi shock. Jika gambar impulse
response menunjukkan pergerakan yang semakin mendekati titik
keseimbangan (convergence) atau kembali ke keseimbangan sebelumnya
bermakna respon suatu variabel akibat suatu kejutan makin lama akan
menghilang sehingga kejutan tersebut tidak meninggalkan pengaruh permanen
terhadap variabel tersebut.
Variance decomposition
Variance decomposition mendekomposisi variasi satu variabel endogen
kedalam komponen kejutan variabel-variabel endogen yang lain dalam sistem
VAR. Dekomposisi varian ini menjelaskan proporsi pergerakan suatu series
akibat kejutan variabel itu sendiri dibandingkan dengan kejutan variabel lain.
Jika kejutan εzt tidak mampu menjelaskan forecast error variance variabel yt
maka dapat dikatakan bahwa variabel yt adalah eksogen (Enders, 2004: 280).
Kondisi ini variabel yt akan independen terhadap kejutan εzt dan variabel zt.
Sebaliknya, jika kejutan εzt mampu menjelaskan forecast error variance
variabel yt berarti variabel yt merupakan variabel endogen.
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Obyek Penelitian
1. Kurs Kurs dari tahun 1984-2013 disajikan dalam tabel berikut :
Tabel 4.1
TAHUN KURS TAHUN KURS TAHUN KURS
1984 1074,25 1994 2200,00 2004 9290,00
1985 1125,25 1995 2308,00 2005 9830,00
1986 1641,00 1996 2383,00 2006 9020,00
1987 1650,00 1997 4650,00 2007 9419,00
1988 1729,00 1998 8528,00 2008 10950,00
1989 1795,48 1999 7100,00 2009 9400,00
1990 1901,00 2000 9595,00 2010 8991,00
1991 1992,00 2001 10400,00 2011 9068,00
1992 2062,00 2002 8940,00 2012 9670,00
1993 2110,00 2003 8465,00 2013 12189,00
2. Inflasi
Tabel 4.2
TAHUN INFLASI TAHUN INFLASI TAHUN INFLASI
1984 8,76 1994 9,24 2004 6,4
1985 4,31 1995 8,64 2005 17,11
1986 8,83 1996 6,47 2006 6,6
1987 8,9 1997 11,05 2007 6,59
1988 5,47 1998 77,63 2008 11,06
1989 5,97 1999 2,01 2009 2,78
1990 9,53 2000 9,35 2010 6,79
1991 9,52 2001 12,55 2011 3,79
1992 4,94 2002 10,03 2012 4,3
1993 9,77 2003 5,06 2013 8,38
3. Tingkat Suku Bunga
Tabel 4.3
TAHUN SUKU
BUNGA
TAHUN SUKU
BUNGA
TAHUN SUKU
BUNGA
1984 18,5 1994 11,75 2004 7,43
1985 14 1995 13,5 2005 12,75
1986 14 1996 12,75 2006 9,75
1987 13,77 1997 20 2007 8
1988 15,5 1998 38,44 2008 10,83
1989 14,5 1999 12,51 2009 6,46
1990 18,75 2000 14,53 2010 6,5
1991 18,5 2001 17,62 2011 6
1992 13,5 2002 10,02 2012 5,75
1993 8,25 2003 8,31 2013 5,75
4. Ekspor
Tabel 4.4
TAHUN EKSPOR TAHUN EKSPOR TAHUN EKSPOR
1984 21887,80 1994 40053,40 2004 71584,60
1985 18586,70 1995 45418,00 2005 85660,00
1986 14805,00 1996 49814,80 2006 100789,00
1987 17135,60 1997 53443,60 2007 114100,90
1988 19218,50 1998 48847,60 2008 137020,40
1989 22158,90 1999 48665,40 2009 116510,00
1990 25675,30 2000 62124,00 2010 157779,10
1991 29142,40 2001 56320,90 2011 203496,60
1992 33967,00 2002 57158,80 2012 190020,30
1993 36823,00 2003 61058,20 2013 182551,80
4.2 Analisis dan Pembahasan
1. Uji stasioner
Uji stasioner variabel Kurs pada Uji Root First Different
Tabel 4.5 hasil uji root first different variabel kurs
Uji stasioner variabel Inflasi pada Uji Root First Different
Tabel 4.6 hasil uji root first different variabel inflasi
Null Hypothesis: D(INFLASI) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=7)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.565958 0.0000
Test critical values: 1% level -3.699871
5% level -2.976263
10% level -2.627420
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(KURS) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=7)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.106479 0.0003
Test critical values: 1% level -3.689194
5% level -2.971853
10% level -2.625121
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Uji Stasioner variabel Suku Bunga pada Uji Root First Different
Tabel 4.7 hasil uji root first different variabel suku bunga
Null Hypothesis: D(INTEREST) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=7)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.045050 0.0000
Test critical values: 1% level -3.699871
5% level -2.976263
10% level -2.627420
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Uji stasioner variabel Ekspor pada Uji Root First Different
Tabel 4.8 hasil uji root first different variabel ekspor
Null Hypothesis: D(EKSPOR) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=7)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.723055 0.0008
Test critical values: 1% level -3.699871
5% level -2.976263
10% level -2.627420
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Interpretasi :
Dari hasil uji stasioner diatas terlihat bahwa masing-masing variabel lolos uji
sakar unit pada tingkat first different atau stasioner pada tingkat first different, hal ini
terlihat dari probabilitas masing- masing variabel yang kurang dari 0,05.