ANALISIS DAYA SAING KELAPA SAWIT (CPO) INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL SKRIPSI Oleh: FAUZAN DJAKI WAKID JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIAJA MALANG 2017
ANALISIS DAYA SAING KELAPA SAWIT (CPO) INDONESIA DI
PASAR INTERNASIONAL
SKRIPSI
Oleh:
FAUZAN DJAKI WAKID
JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIAJA
MALANG
2017
ANALISIS DAYA SAING KELAPA SAWIT (CPO) INDONESIA DI
PASAR INTERNASIONAL
Oleh:
FAUZAN DJAKI WAKID
105040101111166
MINAT EKONOMI PERTANIAN
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana
Pertanian Strata Satu (S-1)
JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
MALANG
2017
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Analisis Daya Saing Ekspor Kelapa Sawit (CPO) Indonesia
Di Pasar Internasional
Nama Mahasiswa : Fauzan Djaki Wakid
NIM : 105040101111166
Program Studi : Agribisnis
Menyetujui : Dosen Pembimbing
Pembimbing Utama, Pembimbing Kedua,
Dr. Rosihan Asmara, SE., MP Nur Baladina, SP., MP
NIP. 197102162002121004 NIP. 198202142008012012
Mengetahui,
a.n. Dekan
Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Mangku Purnomo, SP., M.Si., Ph.d
NIP. 197704202005011001
Tanggal lulus : .........................................
LEMBAR PERSETUJUAN
Mengesahkan
MAJELIS PENGUJI
Tanggal Lulus: ...................................................
Penguji II
Neza Fadia Rayesa, S.TP.,M.Sc
NIK. 2016098812042001
Penguji I
Ir. Heru Santoso Hadi S, SU.
NIK. 2016099004192001
Penguji III
Nur Baladina, SP., MP
NIP. 198202142008012012
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam skripsi ini
merupakan hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan komisi pembimbing.
Dalam skripsi ini tidak terdapat karya pernah diajukan untuk memperoleh gelar di
perguruan tinggi manapun dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali
yang secara tertulis dengan jelas ditujukan rujukan dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Malang, Agustus 2017
Fauzan Djaki Wakid
NIM. 105040101111166
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 3 Juni 1992 dan diberi nama
Fauzan Djaki Wakid yang merupakan putra pertama dari tiga bersaudara keluarga
Bapak Djaki Wakid dan Nikmah Sagran. Penulis menempuh pendidikan formal di
SD Al-Hikmah Surabaya pada tahun 1998 hingga tahun 2004. Penulis kemudian
melanjutkan pendidikan di SMP Al-Hikmah Surabaya mulai tahun 2004 hingga
pertengahan tahun 2007, kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah
atas di SMAN 18 Surabaya pada tahun 2007 hingga tahun 2010. Setelah
menyelesaikan jenjang pendidikan menengah atas, pada tahun 2010 pula penulis
memasuki jenjang perguruan tinggi. Masuk melalui jalus prestasi akademik,
penulis terdaftar sebagai mahasiswa Strata-1 Program Studi Agribisnis, Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.
ABSTRAK
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh
penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan
bersama. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor
utama untuk meningkatkan pendapatan dan sumber devisa negara. Salah satu
akibat dari perdagangan internasional adalah timbulnya persaingan antar negara.
Masing-masing negara yang terlibat dalam perdangan internasional memunculkan
daya saing dibandingkan negara kompetitornya, tidak terkecuali Indonesia. Salah
satu produk yang dipasarkan oleh Indonesia di pasar internasional adalah kelapa
sawit. Tingkat daya saing kelapa sawit diukur berdasarkan keunggulan komparatif
dan kompetitifnya, untuk mengukur tingkat daya saing ini digunakan 3 alat
analisis. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Revealead
Comparative Advantage (RCA), analisis pangsa pasar (market share) dan Indeks
Spesialisasi Perdagangan (ISP). Setelah dilakukan analisis diperoleh nilai rata-rata
masing-masing sebesar 45,08, 44,26 dan 0,997. Berdasrkan hasil perhitungan
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tingkat daya saing kelapa sawit Indonesia
berada di posisi pertama atau dapat dikatakan memiliki daya saing tertinggi
dibandingkan dengan negara lain.
Kata Kunci : Perdagangan internasional, ekspor, daya saing, kelapa sawit (CPO)
ABSTRACT
International trade is a trade made by a resident of a country with a
resident of another country on a mutual agreement. In many countries,
international trade is one of the major factors for increasing revenues and
sources of foreign exchange. One result of international trade is the emergence of
competition between countries. Each country involved in international trade
raises its competitiveness compared to its competitor countries, including
Indonesia. One of the products marketed by Indonesia in the international market
is oil palm. The level of competitiveness of oil palm is measured by its
comparative and competitive advantages, to measure the level of competitiveness
is used 3 analytical tools. Analyzer used in this research is Revealead
Comparative Advantage (RCA), market share analysis (market share) and Index
of Trade Specialization (ISP). After the analysis, the mean values were 45.08,
44.26 and 0.997, respectively. Based on these calculations, it can be concluded
that the level of Indonesia's palm oil competitiveness is in the first position or can
be said to have the highest competitiveness compared with other countries.
Key Words : International trade, exports, competitiveness, palm oil (CPO)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapka kepada Allah SWT yang atas segala rahmat
dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis
Daya Saing Kelapa Sawit (CPO) Indonesia di Pasar Internasional.”
Topik ini dipilih karena minyak sawit (CPO) sebagai komoditi ekspor
unggulan Indonesia yang diikuti dengan permintaan dunia yang tinggi atas
komoditi tersebut. Maka dari itu diperlukan strategi agar Indonesia dapat tetap
mengokohkan posisinya sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia.
Disamping itu skripsi ini juga sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertania pada Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini diantaranya :
1. Bapak Dr. Rosihan Asmara, SE., MP dan Ibu Nur Baladina, SP., MP
selaku dosen pembimbing skripsi yang karena bantuan keduanya skripsi
ini dapat terselesaikan
2. Bapak Ir. Heru Santoso Hadi S, SU. dan Ibu Neza Fadia Rayesa,
S.TP.,M.Sc selaku dosen penguji ujian skripsi yang karena bimbingan
keduanya penulis dapat menyelesaikan ujian skripsi
3. Kedua orang tua yang selalu memotivasi penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan tepat waktu
4. Teman-teman Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya yang selalu solid
membantu satu sama lain
5. Semua pihak yang terlibat dalam kelancaran pembuatan skripsi ini.
Malang, 17 Juli 2017
Fauzan Djaki W
Penulis
DAFTAR ISI
Teks Halaman
RINGKASAN .................................................................................................. i
SUMMARY ..................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................. 6
1.4 Kegunaan Penelitian............................................................................ 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Telaah Penelitian Terdahulu................................................................ 8
2.2 Tinjauan Perdagangan Internasional .................................................. 10
2.2.1 Definisi Perdagangan Internasional ............................................... 10
2.2.2 Teori Perdagangan Internasional .................................................. 12
2.2.2.1. Teori Klasik .......................................................................... 13
2.2.2.2 Teori Modern ......................................................................... 17
2.3 Konsep Daya Saing ............................................................................ 18
2.4 Tinjauan Tentang Kelapa Sawit ......................................................... 20
2.4.1 Pemanfaatan Kelapa Sawit .......................................................... 21
2.4.2 Perkembangan Luas Area, Produksi, Ekspor dan Impor Kelapa
Kelapa Sawit Indonesia ........................................................... 22
2.4.3 Kebijakan Pemerintah Mengenai Ekspor Kelapa Sawit ............ 26
2.4.4 Nilai DOBI pada CPO ................................................................ 27
2.4.5 Industri Kelapa Sawit Yang Berkelanjutan ................................ 27
III. KERANGKA KONSEP PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis .............................................................. 29
3.2 Hipotesis ............................................................................................ 32
3.3 Batasan Masalah ................................................................................ 32
3.4 Definisi Operasional .......................................................................... 33
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Metode Penentuan Lokasi ................................................................. 34
4.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data ............................................... 34
4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................. 34
4.3.1 Analisis Pangsar Pasar ................................................................ 35
4.3.2 Revealed Comparative Advantage (RCA) .................................. 36
4.3.3. Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) ....................................... 37
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Potensi Pengembangan Kelapa Sawit Indonesia ............................... 40
5.1.1 Luas Area, Produksi dan Produktivitas
Kelapa Sawit Indonesia .............................................................. 41
5.1.2 Kuantitas, Harga dan Nilai Ekspor Kelapa
Sawit Indonesia .......................................................................... 42
5.1.3 Kuantitas, Harga dan Nilai Impor Kelapa Sawit
Indonesia .................................................................................... 44
5.2 Daya Saing Berdasarkan Keunggulan Komparatif ............................ 45
5.2.1 Daya saing kelapa sawit Indonesia Berdasarkan
Keunggulan Komparatif (Analisis RCA) ................................... 45
5.2.2 Perbandingan RCA Kelapa sawit Indonesia
dengan Malaysia, Belanda, Papua Nugini dan Thailand ........... 47
5.3 Daya Saing Kelapa Sawit Berdasarkan Keunggulan Kompetitif ....... 52
5.3.1 Analisis Pangsa Pasar (Market Share) Kelapa
Sawit Indonesia ........................................................................... 52
5.3.2 Perbandingan Jumlah Pangsa Pasar (Market Share)
Kelapa Sawit Indonesia Terhadap Negara Malaysia, Belanda,
Papua Nugini dan Thailand ......................................................... 53
5.4 Daya Saing Berdasarkan Penawaran Dan Permintaan Domestik ..... 57
5.4.1 Analisis ISP Komoditas Kelapa sawit Indonesia ....................... 58
5.4.2 Perbandingan ISP Kelapa sawit Indonesia, Malaysia,
Belanda, Papua Nugini dan Thailand ......................................... 60
V. PENUTUP
6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 63
6.2 Saran .................................................................................................. 64
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 65
LAMPIRAN ..................................................................................................... 67
DAFTAR TABEL
No Teks Halaman
1. Nilai ekspor komoditas perkebuan 2012 dan 2013 (000 US$) ................. 3
2. Ekspor Kelapa Sawit Dunia Tahun 2008-2013 ........................................... 4
3. Luas Area Kelapa Sawit Indonesia Menurut Penguasaan
Tahun 2010-2015 (ha) ............................................................................... 23
4. Produksi Minyak Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan
Tahun 2010-2015 (ton) .............................................................................. 24
5. Perkembangan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2010-2015 ........................ 25
6. Perkembangan Impor CPO Indonesia Tahun 2010-2015 .......................... 26
7. Produktivitas Minyak Kelapa Sawit Indonesia Menurut
Pengusahaan Tahun 2010-2015 (ton/Ha) .................................................. 42
8. Perkembangan Nilai, Volume dan Harga Ekspor Kelapa Sawit
Indonesia Tahun 2008-2013 ..................................................................... 43
9. Perkembangan Nilai, Volume dan Harga Impor Kelapa Sawit
Indonesia Tahun 2008-2013 ...................................................................... 45
10. Nilai RCA Kelapa sawit Indonesia, Malaysia, Belanda, Papua
Nugini dan Thailand Tahun 2003-2013 .................................................... 48
11. Nilai Pangsa Pasar Indonesia, Malaysia, Belanda, Papua
Nugini dan Thailand Periode 2008-2013 ................................................. 54
12. Nilai ISP Indonesia, Malaysia, Belanda, Papua Nugini dan
Thailand Tahun 2008-2013 ....................................................................... 61
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Kurva Proses Terjadinya Perdagangan Internasional ............................... 12
2. Kerangka Operasional Pemikiran ............................................................. 32
3. Perkembangan Nilai Indeks RCA Kelapa Sawit Indonesia
Tahun 2008-2013 ................................................................................... 46
4. Perkembangan Nilai RCA Negara Produsen Kelapa sawit
Tahun 2008-2013 ..................................................................................... 50
5. Hasil Perhitungan Pangsa Pasar Kelapa Sawit Indonesia
Tahun 2008-2013 ...................................................................................... 53
6. Perkembangan Nilai Pangsa Pasar Negara Produsen Kelapa sawit .......... 56
7. Nilai Rata-rata Kontribusi Negara-Negara Produsen Kelapa Sawit
Terhadap Total Ekspor Kelapa Sawit Dunia Tahun 2008-2013 .............. 57
8. Perkembangan Nilai ISP Kelapa sawit Indonesia Tahun 2008-2013 ...... 59
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perekonomian dunia telah memasuki era globalisasi yang ditandai dengan
terbentuknya GATT (General Agreement on Tarrif and Trade), NAFTA (North
America Free Trade Area), AFTA (Asia Pasific Free Trade Area), ACFTA
(ASEAN-China Free Trade Area), dan kesepakatan regional lainnya yang
bertujuan menciptakan perdagangan internasional dan regional bebas. Dampak
globalisasi perdagangan dapat meningkatkan ekspor atau pangsa pasar dunia.
Namun, globalisasi perdagangan juga dapat mengurangi pangsa pasar jika suatu
negara tidak siap menghadapi globalisasi perdagangan sebagai akibat dari
persaingan dengan negara produsen lain. Persaingan yang terjadi antar negara
produsen suatu produk menuntut negara produsen tersebut untuk meningkatkan
keunggulan atau daya bersaing dari produknya, agar tetap bertahan dalam
perdagangan dunia.
Iklim perdagangan Indonesia akan semakin ketat dalam hal persaingan
dengan berlakunya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) pada tahun 2016.
Persatuan dagang tersebut membuat arus bebas antara anggota MEA berupa
barang, jasa, tenaga kerja dan modal. Pada tahun 2016 konsentrasi persaingan
hanya pada tenaga kerja, padahal MEA juga akan berdampak pada barang
produksi dalam negeri. Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar dalam
meningkatkan ekonomi, potensi tersebut dapat dicapai dengan syarat daya saing
produknya lebih tinggi dari anggota MEA yang lain sehingga dapat memasarkan
produk lebih luas. Hal sebaliknya juga dapat berlaku jika daya saing produknya
rendah maka akan menjadi pasar yang potensial bagi produk anggota MEA yang
lain.
Mengingat hal tersebut, Indonesia harus terus dapat meningkatkan daya
saing nasionalnya untuk tahun-tahun yang akan datang. Salah satu komponen
ekonomi yang penting untuk meningkatkan daya saing nasional untuk
menghadapi perdagangan internasional adalah kegiatan ekspor impor, karena
menurut Tambunan, (2004) kegiatan ekspor impor merupakan salah satu faktor
penentu daya saing produk suatu negara. Kegiatan ekspor impor juga berdampak
2
nyata bagi perekonomian nasional Indonesia karena kegiatan ekspor impor dapat
menyumbang pendapatan nasional negara atau produk domestik bruto (PDB).
Semakin tinggi rasio PDB suatu negara menandakan semakin mengglobal
perekonomian negara tersebut.
Pertanian Indonesia masih memiliki peran cukup dominan dalam rangka
menyumbang pendapatan negara. Menurut statistik makro pertanian 2013 Kinerja
perekonomian Indonesia pada tahun 2012 kontribusi sektor pertanian terhadap
total PDB Indonesia sebesar 14,44% Salah satu sub sektor di sektor pertanian
adalah sub sektor perkebunan. Sub sektor ini semakin penting dalam
meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional, mengingat sub sektor
perkebunan menjadi urutan kedua setelah tanaman bahan makanan (Food Crop)
dalam menyumbang PDB negara dari sektor non-migas (Pusdatin, 2014).
Keunggulan komparatif sub sektor perkebunan dibandingkan dengan sub
sektor lain dalam sektor non migas lainnya disebabkan ketersediaan lahan
yang belum dimanfaatkan secara optimal, berada di kawasan dengan iklim yang
menunjang dan ketersediaan tenaga kerja, sehingga dapat digunakan untuk
meningkatkan kompetitf. Kondisi tersebut merupakan hal yang dapat
memperkuat daya saing harga produk perkebunan Indonesia di pasaran dunia.
Salah satu tanaman perkebunan bagi masyarakat Indonesia adalah kelapa
sawit. Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak
masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Kelapa sawit
merupakan salah satu produk perkebunan yang memiliki nilai tinggi dan
industrinya termasuk padat karya. Salah satu alternatif hasil produk olahan utama
kelapa sawit adalah minyak mentah kelapa sawit atau yang lebih dikenal dengan
nama Crude Palm Oil (CPO). Industri perkebunan dan pengolahan sawit adalah
industri kunci bagi perekonomian Indonesia, ekspor minyak kelapa sawit adalah
penghasil devisa yang penting dan industri. Komoditas kelapa sawit dalam
perkembangannya secara ekonomi dapat bersaing dengan komoditas perkebunan
lain dan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Nilai ekspor komoditas
perkebunan kelapa sawit Indonesia menempati peringkat pertama diantara
komoditas perkebunan lainnya. Secara lengkap hasil perkebunan kelapa sawit
3
Indonesia dan komoditas lainnya pada tahun 2012 dan 2013 dapat dilihat pada
tabel 1.
Tabel 1. Nilai ekspor komoditas perkebunan 2012 dan 2013 (000 US$)
Komoditas 2012 2013
Kelapa sawit 19.560.136 17.677.288
Karet 7.861.378 6.906.952
Kopi 1.249.519 1.174.038
Kakao 1.053.447 1.151.485
Kelapa 1,192.334 762.413
Lada 423.477 346.976
Tembakau 159.564 199.589
Teh 156.741 157.498
Pinang 125.600 165.849
Jambu mete 89.208 89.208
Kapas 41.588 45.617
Cengkeh 24.767 25.399
Sumber: Pusdatin 2014
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor unggulan Indonesia dan
kontribusinya terhadap ekspor non migas nasional cukup besar. Dalam lima tahun
terakhir rata-rata share per tahun adalah 2-3 persen dan setiap tahun cenderung
terus mengalami peningkatan. Salah satu komoditas ekspor nomor satu Indonesia
yang termasuk subsektor perkebunan ialah kelapa sawit. Perkembangan ekspor
negara pengekspor kelapa sawit dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Ekspor Kelapa Sawit Dunia Tahun 2008-2013 (ton) Negara 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Indonesia 14.290.686 16.829.207 16.291.857 16.336.750 18.845.021 20.577.977
Malaysia 14.142.447 13.924.410 14.732.721 15.783.756 15.608.661 15.224.722
Belanda 1.500.513 1.310.774 1.168.049 1.288.157 1.342.220 1.566.968
Papua Nugini 446.000 470.000 485.700 571.900 525.000 564.235
Thailand 360.342 113.842 121.328 381.847 292.830 549.213
Sumber: FAO, 2017
Kegiatan perdagangan kelapa sawit Indonesia saat ini terfokus pada CPO
untuk pasar ekspor. Berdasarkan data perdagangan FAO (2017), dalam enam
tahun terakhir yaitu tahun 2008-2013, posisi Indonesia sebagai negara eksportir
kelapa sawit menempati urutan ke pertama dunia diikuti oleh Malaysia Belanda,
Papua Nugini dan Thailand. Pertumbuhan ekspor kelapa sawit Indonesia sendiri
cenderung stabil mengalami peningkatan tiap tahunnya, tercatat hanya pada tahun
4
2010 total ekspor kelapa sawit Indonesia mengalami penurunan menjadi
16.291.857 ton dari periode sebelumnya tahun 2009 yang mencapai 16.829.207
ton.
Dapat dilihat bahwa prospek pertumbuhan industri kelapa sawit sangat
cerah mengingat permintaannya yang terus meningkat. Hal ini akibat dari
pertambahan alami seperti kenaikan jumlah penduduk yang otomatis akan
meningkatkan permintaan minyak goreng serta hasil olahan kelapa sawit lainnya,
berkembangnya industri hilir, dan yang cukup mempengaruhi kenaikan
permintaan CPO dunia secara signifikan yaitu pengembangan energi alternatif
pengganti minyak bumi.
1.2 Rumusan Masalah
Jika komoditas suatu negara berdaya saing yang tinggi, maka secara
langsung akan meningkatkan nilai ekspornya sehingga akan dapat meningkatkan
pendapatan riil masyarakat dalam jangka panjang. Seiring dengan semakin
berkembangnya industri hilir dan energi alternatif (bio diesel) akan membuat
permintaan CPO selalu meningkat. Indonesia sebagai produsen dan pengekspor
terbesar di dunia harus melakukan sesuatu untuk mempertahankan posisi tersebut
mengingat persaingan yang ketat antara Indonesia dan Malaysia khususnya.
Namun dalam mencapai hal tersebut Indonesia menghadapi berbagai
kendala dalam pengembangan kelapa sawit. Pertama, Indonesia memiliki area
kebun kelapa sawit terluas di dunia namun produktivitasnya rendah, produktivitas
rata-rata nasional perkebunan kelapa sawit Indonesia masih sekitar 3 ton
CPO/ha/tahun, lebih kecil bila dibandingkan produktivitas yang dicapai
perkebunan kelapa sawit Malaysia, yaitu antara 5-6 CPO/ha/tahun. Kedua,
minyak kelapa sawit Malaysia lebih kompetitif daripada Indonesia karena mutu
yang lebih baik, apabila keadaan ini terus berlanjut, maka hal ini tidak menutup
kemungkinan pasar yang telah dikuasai Indonesia selama ini akan direbut oleh
Malaysia.
Ketiga, penerapan deregulasi pemasaran minyak kelapa sawit yang
ditetapkan oleh pemerintah berupa pajak ekspor yang bertujuan untuk membatasi
ekspor guna mengendalikan harga jual minyak dalam negeri yang selalu berubah-
5
ubah, akibatnya volume ekspor kelapa sawit tidak stabil dan malah membuat
harga minyak dalam negeri juga menjadi tidak stabil. Pajak ekspor yang tinggi
yang membuat ekspor kelapa sawit tidak maksimal dan keuntungan petani
berkurang, karena ekspor menurun, maka pendapatan negara dari ekspor pun ikut
turun. Dari luar negeri (pengimpor) juga mengeluarkan kebijakan yang
menghambat ekspor Indonesia, seperti tingginya bea masuk ekspor dan
standarisasi. Keempat, isu-isu lingkungan yang menyebutkan bahwa usaha
pembukaan lahan kelapa sawit telah menimbulkan kerusakan alam. Praktik-
praktik tidak ramah lingkungan seperti pembukaan lahan dengan pembakaran
hutan, dengan alasan utama meminimalkan resiko terserang hama dan
mengurangi biaya awal pembukaan lahan, telah menimbulkan citra buruk bagi
industri kelapa sawit di Indonesia.
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimana tingkat daya saing ekspor minyak sawit Indonesia di perdagangan
internasional jika dilihat keunggulan komparatifnya?
2. Seberapa besar pangsa pasar kelapa sawit Indonesia dibandingkan dengan
negara-negara pengekspor lainnya
3. Apakah peran yang dimiliki Indonesia dalam perdangangan kelapa sawit
internasional berdasarkan konsep spesalisasi perdagangan di pasar
internasional?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Menganalisis tingkat daya saing ekspor minyak kelapa sawit Indonesia di
perdagangan Internasional dilihat keunggulan komparatifnya
2. Mengetahui pangsa pasar kelapa sawit Indonesia dibandingkan dengan
negara-negara pengekspor lainnya
3. Mengetahui peran yang dimiliki Indonesia dalam perdagangan kelapa sawit
internasional berdasarkan spesialisasi perdagangan di pasar internasional
6
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Bagi pemerintah dapat dijadikan sebagai bahan informasi dalam pengambilan
keputusan kebijakan untuk mendukung komoditi kelapa sawit Indonesia di
pasar internasional.
2. Bagi pelaku bisnis kelapa sawit, penelitian ini dapat dijadikan sumber
informasi untuk mengembangkan komoditi kelapa sawit Indonesia yang
memiliki kuantitas serta kualitas yang berdaya saing.
3. Bagi masyarakat akademik, penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan untuk
meneliti lebih lanjut mengenai kondisi perdagangan kelapa sawit di
Indonesia.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Telaah Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan mengenai perdagangan
internasional sebagian besar membahas masalah prospek perdagangan dilihat dari
elastisitas permintaan ekspor dan impor. Penelitian tersebut diantaranya dilakukan
olehMuslim (2006) Meryana (2007), Anggit (2012) dan Febriyanthi (2014).
Penelitian-penelitian tersebut berfokus mengenai daya saing ekspor indonesia di
pasar internasional menggunakan berbagai metode analisis seperti Indeks
Spesialisasi Perdagangan (ISP), Revealed Comparatif Advantage (RCA),
Acceleration Ratio (AR) dan Trade Specialization Index (TSI).
Muslim (2006) melakukan penelitian yang merupakan bagian dari hasil
penelitian Malian, dkk (2005). Penelitian Muslim bertujuan untuk mengetahui
daya saing produk ekspor berbasis kelapa dengan mengukur tingkat keunggulan
komparatif dari produk-produk di pasar dunia, sebagai awal untuk
mengidentifikasi produk ekspor berbasis kelapa digunakan pohon industri kelapa.
Metode analisis yang digunakan adalah Revealed Comparatif Advantage (RCA),
Acceleration Ratio (AR) dan Trade Specialization Index (TSI). Berdasarkan
analisis RCA bahwa Indonesia memiliki nilai RCA disetiap pasar tujuan ekspor,
dengan nilai RCA>1 yang artinya Indonesia terspesialisasi pada produk
agroindustri kelapa tersebut. Sedangkan nilai AR Indonesia memiliki daya saing
dan dapat merebut pasar kelapa (AR>1), sedangkan hasil dari analisis TSI
Indonesia memberikan nilai positif yang berarti terjadi spesialisasi ekspor.
Meryana (2007) melakukan penelitian tentang daya saing ekspor kopi
robusta Indonesia di pasar internasional menggunakan analisi Revealed
Comparative Advantage (RCA). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa : (1)
struktur kopi internasional menunjuk ke arah pasar persaingan dengan bentuk
oligopolis, kondisi tersebut ditunjukkan dengan rata-rata Herfindahl Index (HI)
sebesar 0,2 dari tahun 1996 hingga 2006. Sedangkan pasar oligopoli ditunjukkan
dengan nilai CR4 sebesar 75%, (2) industri kopi robusta Indonesia memiliki
keunggulan komparatif ditunjukkan dengan nilai RCA lebih dari 1 pada tahun
2006 yaitu sebesar 9,7. Walaupun demikian, daya saingnya masih rendah jika
8
dibandingkan dengan negara Pantai Gading dan Uganda yang merukpakan
produsen dan eksportir kopi robusta utama di dunia, (3) industri kopi robusta
mempunyai keunggulan kompetitif, hal ini dapat dilihat dari kondisi faktor
sumber daya yang keseluruhan mendukung.
Penelitian yang dilakukan Anggit (2012) tentang daya saing CPO Indonesia
di pasar internasional menganalisis tentang posisi daya saing CPO Indonesia di
pangsa pasar dunia (alat analisis RCA) dan untuk mengetahui spesalisasi
perdagangangan CPO Indonesia (alat analisis ISP). Berdasarkan nilai rata-rata
RCA rentan tahun 2001 sampai dengan 2010 yang nilainya (0,85) yang berarti
Indonesia memiliki keunggulan komperatif rendah (RCA < 1). Nilai ISP dari CPO
Indonesia menunjukkan spesalisasi dagang CPO Indonesia yang nilainya 0,95
mendekati satu berarti posisi Indonesia pada tahap pematangan. Nilai rata-rata
RCA rendah menurut peneliti disebabkan karena adanya kebijakan pemerintah
tentang bea keluar CPO yang berdampak negatif pada daya saing.
Febriyanthi (2014) melakukan penelitian tentang daya saing teh Indonesia
di pasar internasional dengan menggunakan metode RCA. Hasil penelitian
tersebut adalah sebagai berikut : (1) struktur pasar yang dihadapi Indonesia terdiri
dari pasar persaingan oligopoli dan monopoli, (2) komoditi teh Indonesia
memiliki daya saing yang kuat berdasarkan analisis keunggulan komparatifnya.
Namun , walaupun memiliki daya saing yang kuat, beberapa tahun belakangan
pangsa pasar teh Indonesia untuk HS 090220 dan HS 099240 di pasar dunia
cenderung menurun, (3) diliha dari keunggulan kompetitif, walaupun kondisi fisik
Indonesia mendukung peningkatan daya saing komoditi teh tetapi daya saingnya
menurun kareng berbagai faktor dan kendala yang dihadapi industri budidaya teh
nasional di dalam negeri
9
2.2. Tinjauan Perdagangan Internasional
2.2.1. Definisi Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional menurut Boediono (2001) adalah suatu proses
pertukaran barang (perdagangan) yang timbul antar negara untuk mendapatkan
manfaat atau keuntungan dari pertukaran barang tersebut. Selanjutnya Sukirno
(2006) menjelaskan bahwa ada beberapa keuntungan dari perdagangan
Internasional tersebut, yaitu: (a) Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi
di dalam negeri, karena tidak semua negara mampu memproduksi barang yang
dibutuhkannya. (b) Memperoleh keuntungan dari spesialisasi, karena meskipun
suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama dengan yang diproduksi
negara lain, tetapi ada kalanya lebih baik negara tersebut mengimpor barang
tersebut dari luar negeri. Hal ini karena melakukan impor lebih dianggap efisien
daripada memproduksi di dalam negeri dengan mempertimbangkan faktor-faktor
produksi. (c) Memperluas pasar industri-industri dalam negeri. (d) Menggunakan
teknologi modern dan meningkatkan produktivitas, karena perdagangan
Internasional memungkinkan suatu negara untuk mengimpor mesin-mesin atau
alat-alat yang lebih modern untuk melaksanakan teknik produksi dan cara
produksi yang baik.
Halwani (2005) menyebutkan bahwa perdagangan internasional dapat
terjadi karena setiap negara dengan negara mitra dagangnya mempunyai beberapa
perbedaan, misalnya perbedaan kandungan sumber daya alam, iklim, penduduk,
sumber daya manusia, spesifikasi tenaga kerja, konfigurasi geografis, teknologi,
tingkat harga, struktur ekonomi, sosial dan politik, dan lain sebagainya.
Perbedaantersebut berkaitan dengan perbedaan dalam tingkat kapasitas produksi
secara kuantitas,kualitas, dan jenis produksinya. Dari perbedaan tersebut, maka
atas dasar kebutuhan yang saling menguntungkan terjadilah perdagangan
internasional. Perdagangan internasional dapat meningkatkan output dunia karena
memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang keunggulan
komparatifnya ia kuasai. Suatu negara memiliki keunggulan komparatif
(comparative advantange) dalam memproduksi suatu barang apabila biaya
pengorbanannya dalam memproduksi barang tersebut (dalam satuan barang lain)
lebih rendah daripada negara-negara lainnya. Perdagangan antara dua Negara
10
akan menguntungkan kedua belah pihak jika masing-masing Negara
memproduksi dan mengekspor produk yang keunggulan komparatifnya ia kuasai
(Krugman dan Obstfeld, 2004).
Perdagangan internasional dianggap sebagai suatu akibat dari adanya
interaksi antara permintaan dan penawaran yang bersaing. Permintaan (demand)
dan penawaran (supply) akan tampak dalam bentuk yang sudah dikenal serta
merupakan suatu interaksi dari kemungkinan produksi dan preferensi konsumen.
Suatu negara akan mengekspor komoditas yang dihasilkan lebih murah dan
mengimpor komoditas yang dihasilkan lebih mahal dalam penggunaan sumber
daya (Lindert dan Kindleberger, 1995). Perdagangan internasional semacam itu
akan mendorong peningkatan konsumsi dan keuntungan. Sebaliknya kebijakan
pembatasan perdagangan oleh pemerintah justru memberikan kerugian yang lebih
besar bagi masyarakat dalam negeri dibandingkan manfaat yang diperoleh
(Nopirin, 1997).
Volume ekspor suatu komoditi dari negara tertentu ke negara lain
merupakan selisih antara penawaran domestik dan permintaan domestik yang
disebut sebagai negara tersebut merupakan permintaan impor bagi negara lain
atau merupakan kelebihan permintaan (excess demand). Selain dipengaruhi oleh
permintaan dan penawaran domestik, ekspor juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
pasar dunia seperti harga komoditas itu sendiri, jumlah komoditas itu sendiri dan
komoditas substitusinya di pasar internasional serta hal-hal yang dapat
mempengaruhi harga baik secara langsung maupun tidak langsung (Salvatore,
1997).
Pada gambar 1 dijelaskan bahwa pada panel A, Px/Py (jumlah komoditi Y
yang harus dikorbankan oleh suatu negara untuk memproduksi satu unit tambahan
X) lebih besar dari P1 yang berarti bahwa negara 1 nengalami kelebihan
penawaran CPO, sehingga kurva penawaran ekspornya mengalami kenaikan
(panel B). di lain pihak pada panel C, karena Px/Py lebih rendah dari P3 maka
negara 2 mengalami kelebihan permintaan untuk CPO dan ini mengakibatkan
permintaan impor CPO negara 2 juga mengalami peningkatan (panel B). Pada
panel B juga menunjukkan bahwa hanya pada tingkat harga P2 maka jumlah
impor CPO yang diminta oleh negara 2 akan sama persis dengan jumlah ekspor
11
yang ditawarkan oleh negara 1. Dengan demikian P2 merupakan Px/Py atau harga
relatif ekuilibrium setelah berlangsungnya perdagangan antara kedua negara
tersebut. Harga yang pada negara 1 awalnya P1 kemudian akan mengalami
peningkatan menjadi P2, sedangkan pada negara 2 yang harga awalnya P3
kemudian akan turun menjadi P2.
Maka dapat disimpulkan bahwa dengan adanya perdagangan maka kedua
negara masing-masing akan diuntungkan, negara 1 mendapat keuntungan karena
dapat menjual kelebihan produksinya tersebut dengan harga yang lebih tinggi,
sedangkan negara 2 mendapat keuntungan karena dapat memenuhi kebutuhan
domestiknya dengan membeli CPO dari negara 1 dengan harga yang murah
Px/Py Px/Py Px/Py
Sx
P3 Sx A’’ P3 A’
E* S
B’ E’
P2 B E B* D P1 A* Dx
A
Dx
0 X 0 X 0 X
Gambar 1. Kurva Proses Terjadinya Perdagangan Internasional
2.2.2 Teori Perdagangan Internasional
Teori perdagangan internasional merupakan teori-teori yang menganalisis
dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional dan keuntungan yang didapat
dari adanya perdagangan tersebut (Salvatore, 1997). Pendorong terjadinya
hubungan perdagangan di antara dua negara adalah karena adanya perbedaan
harga relative komoditi yang berlaku di masing-masing negara (keunggulan
komparatif).Penyebab perbedaan tersebut adalah karena adanya perbedaan
Pasar di Negara 1
Untuk komoditi X
Hubungan
Perdagangan
Internasional dalam
komoditi X
Pasar di Negara 2
Untuk komoditi X
12
karunia sumber daya anter negara atau variasi kelimpahan (abundance) relatif
atas faktor-faktor produksi dan teknologi produksi yang mempengaruhi intensitas
relatif penggunaan faktor-faktor produksi tersebut dalam menghasilkan berbagai
macam barang.
Sebelum adanya perdagangan, harga-harga relatif dari berbagai komoditi
di masing-masing negara merupakan refleksi dari keunggulan komparatif yang
dimilikinya. Setelah adanya perdagangan, harga-harga relatif tersebut kemudia
akan saling menyesuaikan sehingga terbentuk suatu harga keseimbangan.
Misalkan suatu negara (negara 1) mengekspor suatu komoditi (misal CPO) ke
negara lain (negara 2). Harga CPO rendah pada negara 1 sebelum adanya
perdagangan, ini dikarenakan adanya kelebihan penawaran (excess supply) di
negara tersebut akibat produksi yang melebihi konsumsi domestik.Kebalikannya
pada negara 2, harga CPO lebih tinggi karena kelebihan permintaan (excess
demand) akibat konsumsi domestic yang melebihi kapasitas produksi. Maka dari
itu negara 1 kemudian menjual kelebihan produkstinya tersebut ke negara 2 yang
kekurangan suplai.
Teori perdagangan internasional dalam Tambunan (2001) digolongkan
menjadi teori klasik dan teori modern. Teori Keunggulan Absolut dari Adam
Smith, Teori Biaya Relatif atau keunggulan komparatif dari J.S Mill, dan Teori
Biaya Relatif dari David Ricardo merupakan kelompok teori klasik. Sedangkan
yang termasuk teori modern adalah Teori Faktor Proporsi dari Hecksker dan
Ohlin.
2.2.2.1. Teori Klasik
1. Teori Biaya Relatif atau Keunggulan Absolut
Ekonomi klasik resmi berdiri ketika Adam Smith mengeluarkan bukunya
yang berjudul An Inquiry into Nature and Causes of the Wealth of Nations, yang
biasa disingkat dengan Wealth of Nations. Dalam bukunya, Adam Smith ingin
menjelaskan bagaimana meningkatkan kekayaan/kemakmuran suatu Negara dan
bagaimana kekayaan tersebut didistribusikan. Dalam hal ini, kekayaan suatu
Negara akan bertambah searah dengan peningkatan keterampilan dan efisiensi
para tenaga kerja, yang sejalan dengan persentase penduduk yang terlibat dalam
13
proses produksi. Kesejahteraan ekonomi setiap individu tergantung pada
perbandingan antara produksi total dengan jumlah penduduk.
Adam Smith juga menganjurkan adanya spesialisasi kerja dan penggunaan
mesin-mesin sebagai sarana utama untuk peningkatan produksi. Ia juga
memperkenalkan konsep invisible hand-nya di mana setiap orang yang melakukan
kegiatan di dalam perekonomian dituntun oleh sebuah tangan yang tidak terlihat.
Sehingga dengan mengejar kepentingannya sendiri seringkali justru lebih efektif
memajukan kepentingan masyarakat terlebih dahulu. Menurut Adam Smith,
perdagangan antara dua Negara didasarkan pada keunggulan absolut. Jika suatu
Negara menghendaki adanya persaingan, perdagangan bebas dan spesialisasi di
dalam negeri, maka hal yang sama juga dikehendaki dalam hubungan antar
bangsa. Sebuah Negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolut
terhadap) Negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang
efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) Negara lain dalam
memproduksi komoditi lainnya, maka kedua Negara tersebut dapat memperoleh
keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam
memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut, dan menukarkannya
dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut. Melalui proses ini, sumber
daya di kedua Negara dapat digunakan dalam cara yang paling efisien. Output
kedua komoditi yang diproduksi pun akan meningkat. Peningkatan dalam output
ini akan mengukur keuntungan dari spesialisasi produksi untuk kedua Negara
yang melakukan perdagangan.
Keunggulan absolut tersebut dapat diilustrasikan, jika Negara A dapat
memproduksi kentang untuk 8 unit per tenaga kerja sedangkan Negara B untuk
komoditi yang sama hanya dapat memproduksi 4 unit per tenaga kerja. Sedangkan
untuk komoditi lain misalnya gandum, Negara A hanya dapat memproduksi 6 unit
per tenaga kerja sedangkan untuk Negara B dapat memproduksi 12 unit per tenaga
kerja, maka dapat disimpulkan bahwa Negara A mempunyai keunggulan absolut
dalam produksi kentang dibandingkan dengan Negara B, sedangkan Negara B
dapat dikatakan mempunyai keunggulan absolut dalam produksi gandum
dibandingkan Negara A. Perdagangan internasional yang saling menguntungkan
antara kedua Negara tersebut jika Negara A mengekspor kentang dan mengimpor
14
gandum dari Negara B, dan sebaliknya Negara B mengekspor gandum dan
mengimpor kentang dari Negara A.
2. Konsep Keunggulan Komparatif
Hukum keunggulan komparatif dijelaskan pertama kali dalam buku yang
diterbitkan oleh David Ricardo yang berujudul Principles of Political Economy
and Taxation pada tahun 1817. Menurut hukum keunggulan komparatif tersebut,
meskipun sebuah negara memiliki kerugian absolut terhadap negara lain dalam
memproduksi suatu komoditi, namun perdagangan yang mengutungkan kedua
belah pihak masih dapat berlangsung. Hal ini dapat terjadi jika salah satu negara
melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang
memiliki kerugian absolut (memiliki keunggulan komparatif) lebih kecil dan
mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolute lebih besar (memiliki
kerugian komparatif).
Model Ricardian ini mengasumsikan bahwa tenaga kerja merupakan satu
satunya faktor produksi. Teori nilai kerja ini menyatakan bahwa nilai atau harga
dari suatu komoditas sama dengan atau dapat diperoleh dari jumlah waktu tenaga
kerja yang dipakai memproduksi komoditas. Hal ini secara tidak langsung
menyatakan (1) faktor produksi yang digunakan hanyalah tenaga kerja untuk
memproduksi barang, dan (2) tenaga kerja homogen. Teori ini disebut juga
sebagai teori keunggulan komparatif berdasarkan keberlimpahan faktor (factor
endowment theory of comparatife advantage) yang mengansumsikan bahwa tiap
Negara memiliki kesamaan fungsi produksi, sehingga faktor produksi yang sama
menghasilkan keluaran yang sama namun dibedakan oleh harga-harga relatif
faktor produksi tiap Negara.
Hukum komparatif David Ricardo tersebut berlaku dengan beberapa
asumsi, yaitu (1) hanya terdapat dua negara dan dua komoditi, (2) perdagangan
bersifat bebas, (3) terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara
namun tidak ada mobilitas antara dua negara, (4) biaya produksi konstan, (5)
tidak terdapat biaya transportasi, (6) tidak ada perubahan tekonologi, dan (7)
menggunakan teori nilai tenaga kerja. Asumsi satu hingga enam dapat diterima,
namun asumsi tujuh tidak dapat berlaku dan seharusnya tidak digunakan untuk
menjelaskan keunggulan komparatif (Salvatore, 1997).
15
Berbeda dengan teori keunggulan absolut yang mengutamakankeunggulan
absolut dalam produksi tertentu yang dimiliki oleh suatu Negara dibandingkan
dengan Negara lain, teori ini berpendapat bahwa perdagangan internasional dapat
terjadi walaupun satu Negara tidak mempunyai keunggulan absolut, asalkan harga
komparatif di kedua Negara berbeda. Ricardo berpendapat sebaiknya semua
Negara lebih baik berspesialisasi dalam komoditi-komoditi di mana ia
mempunyai keunggulan komparatif dan mengimpor saja komoditi-komoditi
lainnya.
Penjelasan mengenai terbentuknya keunggulan komparatif David Ricardo
kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Heckscher dan Ohlin dalam teorema H-O.
Teorema ini menekankan bahwa perbedaan tarif faktor pemberian alam
(endowment) dan harga-harga faktor produksi antar negara sebagai determinann
perdagangan yang paling penting. Teori H-O beranggapan suatu negara akan
melakukan spesialisasi dan mengekspor komoditi yang secara relatif mempunyai
faktor produksi yang berlimpah dan murah di negara tersebut, serta mengimpor
komoditi yang faktor produksinya relatif langka dan mahal.
3. Konsep Keunggulan Kompetitif
Daya saing suatu negara dalam keunggulan kompetitif, dipengaruhi oleh
faktor kebetulan (penemuan baru, meningkatnya harga, perubahan kurs, dan
konflik keamanan antar negara) dan tindakan-tindakan atau kebijakan pemerintah.
Semakin tinggi tingkat persaingan perusahaan di suatu negara maka semakin
tinggi tingkat daya saing internasional negara bersangkutan. Lebih lanjut Porter
menjelaskan, semakin kaya atau banyak sumber daya alam suatu negara, semakin
besar permintaan domestik serta semakin banyak industri pendukung atau
pelengkap di suatu negara, maka semakin kuat daya saing negara tersebut di
tingkat internasional (Halwani, 2005).
Sedangkan menurut Sutawi (2002) keunggulan kompetitif merupakan
ukuran aktual, yaitu mengukur daya saing pada kondisi pasar yang berlaku tanpa
mempermasalahkan ada tidaknya distorsi pasar. Salah satu indikator keunggulan
kompetitif yang paling sederhana adalah rasio harga produk produksi dalam
negeri dengan harga produk yang sama di luar negeri. Suatu produk yang
memiliki keunggulan komparatif bisa terjadi tidak memiliki keunggulan
16
kompetitif apabila ada hambatan hambatan yang bersifat disinsentif. Sebaliknya
suatu produk yang tidak memiliki keunggulan komparatif kemungkinan memiliki
keunggulan kompetitif apabila pemerintah memberikan proteksi terhadap produk
yang bersangkutan. Proteksi perdagangan mencakup semua insentif perdagangan
baik itu kuota, tarif, maupun subsidi. Semua bentuk proteksi perdagangan ini
dapat menimbulkan distorsi pasar yaitu mencegah terjadinya pasar persaingan
bebas.
2.2.2.2 Teori Modern
Salah satu contoh terori modern adalah Teori Hecksher-Ohlin, teori
Hecksher-Ohlin pertama kali digagas pada tahun 1920an oleh dua ekonom
Swedia, Eli Hecksher dan muridnya Bertil Ohlin. Dalam Salvatore (1992), teori
ini mengajukan suatu premis bahwa suatu Negara akan mengekspor barang yang
memiliki faktor produksi yang berlimpah secara intensif. Suatu negara dikatakan
memiliki faktor produksi berlimpah untuk tenaga kerja misalnya jika rasio dari
tenaga kerja terhadap faktor lainnya lebih besar dibandingkan rasio Negara lain
mitranya. Sedangkan suatu barang disebut bersifat padat tenaga kerja merupakan
bagian terbesar dari nilai barang tersebut dibandingkan biaya faktor produksi
lainnya.
Teori Heckscher-Ohlin (H-O) menjelaskan beberapa pola perdagangan
dengan baik, negara-negara cenderung untuk mengekspor barang-barang yang
menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah secara intensif. Menurut
Heckscher-Ohlin, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain
disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan
dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi. Basis dari keunggulan
komparatif adalah:
1. Faktor endowment, yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi di dalam suatu
negara.
2. Faktor intensity, yaitu teknologi yang digunakan di dalam proses produksi,
apakah labor intensity atau capital intensity.
17
Teori modern Heckescher-Ohlin atau teori H-O menggunakan dua kurva
pertama adalah kurva isocost yaitu kurva yang menggambarkan total biaya
produksi yang sama. Dan kurva isoquant yaitu kurva yang menggambarkan total
kuantitas produk yang sama. Menurut teori ekonomi mikro kurva isocost akan
bersinggungan dengan kurva isoquant pada suatu titik optimal. Jadi dengan biaya
tertentu akan diperoleh produk yang maksimal atau dengan biaya minimal akan
diperoleh sejumlah produk tertentu. Analisis hipotesis H-O dikatakan berikut:
a. Harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau
proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara.
b. Comparative Advantage dari suatu jenis produk yang dimiliki masing-masing
negara akan ditentukan oleh struktur dan proporsi faktor produksi yang
dimilikinya.
c. Masing-masing negara akan cenderung melakukan spesialisasi produksi dan
mengekspor barang tertentu karena negara tersebut memiliki faktor produksi
yang relatif banyak dan murah untuk memproduksinya.
d. Sebaliknya masing-masing negara akan mengimpor barang-barang tertentu
karena negara tersebut memilki faktor produksi yang relatif sedikit dan mahal
untuk memproduksinya.
Kelemahan dari teori H-O yaitu jika jumlah atau proporsi faktor produksi
yang dimiliki masing-masing negara relatif sama maka harga barang yang sejenis
akan sama pula sehingga perdagangan internasional tidak akan terjadi.
2.3 Konsep Daya Saing
Porter (1990) menyebutkan bahwa “istilah daya saing sama dengan
competitiveness atau competitive. Sedangkan istilah keunggulan bersaing sama
dengan competitive advantage”. Dan hal ini pun saling berhubungan dan terikat
antara faktor yang satu dengan yang lain. World Economic Forum (WEF)
mendefinisikan daya saing nasional sebagai “kemampuan perekonomian nasional
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan”. Fokusnya
kemudian adalah pada kebijakan-kebijakan yang tepat. Institusi-institusi yang
sesuai dengan karakteristik ekonomi lain yang mendukung terwujudnya
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan (Tambunan, 2003).
18
Sedangkan menurutInstitute of Management and Development (IMD)
dalam Hady, 2004 mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu negara
dalam menciptakan nilai tambahan dalam rangka menambahkan kekayaan
nasional dengan cara mengelola asset dan proses, daya tarik dan agresivitas,
globalilsasi dan proksimitas, serta dengan mengintegrasikan hubungan-hubungan
tersebut kedalam suatu model ekonomi dan sosial. Tingkat daya saing suatu
negara di kancah perdagangan internasional, pada dasarnya ditentukan oleh dua
faktor, yaitu: faktor keunggulan komparatif (comparative advantage) dan faktor
keunggulan kompetitif (competitive advantage) (Apridar, 2009)
Faktor keunggulan komparatif dapat dianggap sebagai faktor yang bersifat
alamiah dan faktor keunggulan kompetitif dianggap sebagai faktor yang bersifat
acquired atau dapat dikembangkan/diciptakan. Tingkat daya saing suatu negara
sesungguhnya juga dipengaruhi oleh apa yang disebut Sustainable Competitive
Advantage (SCA) atau keunggulan daya saing berkelanjutan. Ini terutama dalam
kerangka menghadapi tingkat persaingan global yang sedemikian lama menjadi
sedemikian ketat/keras atau Hyper Competitive (Budiman, 2004).
Analisis Hyper Competitive (persaingan yang super ketat) berasal dari
D’Aveni merupakan analisis menunjukkan bahwa pada akhirnya setiap negara
akan dipaksa memikirkan atau menemukan suatu stratesgi yang tepat, agar
negara/perusahaan tersebut dapat tetap bertahan pada kondisi persaingan global
yang sangat sulit. Strategi yang tepat adalah strategi SCA atau strategi yang
berintikan upaya perencanaan dan kegiatan operasional yang terpadu, yang
mengkaitkan 5 lingkungan eksternal dan internal demi pencapaian tujuan jangka
pendek maupun jangka panjang, dengan disertai keberhasilan dalam
mempertahankan/meningkatkan sustainable real income secara efektif dan efisien
(Budiman, 2004).
Porter (1990) menyatakan bahwa daya saing identik dengan produktivitas,
yakni tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan.
Peningkatan produktivitas ini dapat disebabkan oleh peningkatan jumlah input
fisik modal maupun tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang digunakan, dan
peningkatan teknologi. Pendefinisian daya saing juga dikemukakan oleh World
Economic Forum (2013) yang mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan
19
suatu Negara untuk menghasilkan barang dan jasa yang berskala internasional
melalui mekanisme perdagangan yang adil dan bebas, sekaligus menjaga dan
meningkatkan pendapatan riil masyarakat dalam jangka panjang sehingga dapat
mencapai pertumbuhan PDB perkapita yang tinggi secara terus menerus.Dalam
Febriyanthi (2009) daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk
memproduksi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada
harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut
menguntungkan. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur daya saing
suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dari
pengusahaan komoditi tersebut.
Daya saing suatu negara merupakan konsep komparatif dari kemampuan
dan kinerja dari sebuah negara untuk menjual dan menawarkan barang dan/atau
jasa di sebuah pasar permintaan. Daya saing dibatasi oleh keterbatasan dan
peluang dalam kompetisi global, disaat kinerja efektif pemerintah dihambat oleh
permasalahan biaya dan sector privat yang menghadapi rintangan untuk bersaing
dalam pasar domestik dan internasional. Dalam sebuah Global Competitiveness
Report 2016-2017, peringkat daya saing Indonesia berada pada urutan 41 dari 138
negara. Peringkat pertama diduduki oleh Swiss dan posisi terakhir duduki oleh
negara Yaman.
2.4 Tinjauan Tentang Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman keras (tahunan)
berasal dari Afrika yang bisa tumbuh dan berbuah hingga ketinggian tempat 500
meter di atas permukaan laut. Kelapa sawit mulai menghasilkan pada umur 3
tahun dengan usia produktif hingga 25 – 30 tahun dan tingginya dapat mencapai
24 meter. (Pahan 2011). Tetapi untuk perkebunan, umur ekonomis kelapa sawit
adalah 25 –35 tahun, dengan tinggi pohon berkisar antara 10 - 11 m.2 Bagian
tanaman kelapa sawit yang bernilai ekonomis tinggi adalah buahnya yang
tersusun dalam sebuah tandan, biasa disebut dengan TBS (tandan buah segar).
Buah sawit dibagian sabut (daging buah) menghasilkan minyak sawit kasar
(Crude Palm Oil atau CPO) sebanyak 20-24 persen. Sementara itu, bagian inti
20
kelapa sawit menghasilkan minyak inti sawit (Palm Kernel Oil atau PKO)
sebanyak 3-4 persen (Sunarko 2008).
2.4.1 Pemanfaatan Kelapa Sawit
Minyak sawit dan minyak inti sawit umumnya digunakan untuk pangan
dan nonpangan. Dalam produksi pangan, minyak sawit dan minyak inti sawit
digunakan sebagai bahan untuk membuat minyak goreng, lemak pangan,
margarin, lemak khusus (substitusi cacao butter), kue, biskuit, dan es krim. Dalam
produksi nonpangan, minyak sawit dan minyak inti sawit digunakan sebagai
bahan untuk membuat sabun, detergen, surfakat, pelunak (plasticizer), pelapis
(surface coating), pelunas, sabun metalik, bahan bakar mesin diesel, dan
kosmetika (Sunarko 2008). Hingga saat ini terdapat sekitar 23 jenis produk
turunan CPO yang telah diproduksi di Indonesia. Dengan pengolahan CPO ini
menjadi berbagai produk turunan, maka akan memberikan nilai tambah lebih
besar lagi bagi negara karena harga relatif mahal dan stabil. Penggunaan CPO
untuk industri hilirnya di Indonesia saat ini masih relatif rendah yaitu baru sekitar
35% dari total produksi (Kementerian Perindustrian 2012).
Dari segi pemanfaatannya, kelapa sawit dapat diolah menjadi berbagai
produk, mulai dari daging buah, biji, tandan kosong dan batangnya dapat
dimanfaatkan.Komoditas minyak sawit memiliki berbagai kegunaan baik untuk
industri pangan maupun non pangan. Namun demikian, perkembangan
diversifikasi produk kelapa sawit dominan kearah pengembangan produk pangan
(sekitar 90 persen) dan sisanya produk-produk non pangan berupa produk sabun
dan oleokimia (sekitar 10 persen).Dalam hal pangan, sebagian besar minyak sawit
digunakan untuk pembuatan minyak goreng, dan sebagian untuk pembuatan
margarin (Hariyadi, 2003).
Kelapa sawit yang dikenal saat ini memiliki berbagai macam manfaat dan
keuntungan bagi masyarakat, beberapa manfaat kelapa sawit yaitu (Dewan
Minyak Sawit Indonesia 2010):
1. Pendapatan petani sawit dengan kepemilikan lahan 2 ha adalah antara 2-4
juta/bulan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder
21
2. Kelapa sawit mengandung berbagai nutrisi yang berguna di dalam tubuh,
diantaranya adalah a-karoten, b-karoten, vitamin E, likopen, lutein, sterol,
asam lemak tidak jenuh, ubiquinone-10
3. Kelapa sawit dapat menjadi suplementasi RPO untuk ibu hamil dan menyusui,
potensi untuk mengatasi defisiensi vitamin A, dan merupakan bahan baku
produk turunan seperti minyak makan dan margarine
4. Minyak sawit merupakan sumber alami vitamin E yang merupakan
antioksidan, yang berfungsi sebagai penangkal radikal bebas, sehingga
mencegah penuaan dini dan kanker
5. Minyak sawit tidak mengandung kolestrol. 6. Minyak sawit mentah
merupakan minyak nabati dengan kandungan karetonoid (pro-vitamin A)
yang sangat tinggi
6. Minyak sawit dapat mengurangi risiko jantung koroner
7. Minyak sawit mengandung asam lemak jenuh yang baik untuk kesehatan
2.4.2 Perkembangan Luas Area, Produksi, Ekspor dan Impor Kelapa Sawit
Indonesia
Pada tahun 1916 luas area kelapa sawit Indonesia tercatat hanya 1.272
ha.Luas area kelapa sawit terus bertambah sehingga pada tahun 1940 luas
perkebunan kelapa sawit Indonesia telah mencapai 109.600 ha. Sejak tahun 1967,
luas area kelapa sawit tumbuh dengan cepat terutama pada akhir tahun 70-an
sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengembangkan tanaman perkebunan
sebagai komoditi ekspor.
Perkebunan kelapa sawit menurut penguasaha dibagi menjadi tiga yaitu,
Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan
Perkebunan Rakyat (PR). Dari data Direktorat Jenderal Perkebunan,
menunjukkan bahwa Perkebunan Rakyat baru ada sejak 1979, lalu sampai dengan
tahun 1983 perkebunan kelapa sawit didominasi oleh PBN, kemudian digantikan
oleh PBS hingga saat ini. Menurut pendistribusian lahannya, Riau memiliki lahan
yang paling luas kemudian diikuti oleh Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan
Jambi.
Menurut status pengusahaannya, sebagian besar perkebunan kelapa sawit
pada tahun 2014 diusahakan oleh perkebunan besar swasta yaitu sebesar 5,60 juta
22
hektar (52,10 %), sementara perkebunan rakyat mengusahakan 4,42 juta hektar
(41,12 %) dan perkebunan besar negara hanya sebesar 0,73 juta hektar (6,78 %).
Pada tahun 2015 perkebunan kelapa sawit yang diusahakan oleh perkebunan
besar swasta diperkiraan sebesar 5,98 juta hektar (52,88 %), sementara
perkebunan rakyat mengusahakan 4,58 juta hektar (40,49 %) dan perkebunan
besar negara hanya mengusahakan 0,75 juta hektar. Luas areal perkebunan kelapa
sawit di Indonesia selama enam tahun terakhir cenderung menunjukkan
peningkatan, naik sekitar 2,77 sampai dengan. 11,33 persen per tahun. Pada tahun
2010 lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia tercatat seluas 8,55 juta hektar,
meningkat menjadi 10,75 juta hektar pada tahun 2014 atau terjadi peningkatan
25,80 persen. Pada tahun 2015 diperkirakan luas areal perkebunan kelapa sawit
meningkat sebesar 5,07 persen dari tahun 2014 menjadi 11,30 juta hektar
Tabel 3. Luas Area Kelapa Sawit Indonesia Menurut Penguasaan Tahun 2010-
2015 (ha)
Tahun Rakyat Negara Swasta Total
2010 3.387.258 658.492 4.503.078 8.546.826
2011 3.782.480 692.065 4.657.751 9.102.296
2012 4.137.621 734.077 5.261.624 10.133.322
2013 4.356.087 727.767 5.381.186 10.465.020
2014 4.422.365 729.022 5.603.414 10.754.801
2015* 4.575.101 750.160 5.975.109 11.300.370
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2016
Keterangan : *) angka sementara
Demikian halnya dengan luas areal kelapa sawit, perkembangan produksi
minyak sawit (CPO) dari tahun 2010 sampai dengan 2015 meningkat sekitar 5,39
sampai dengan 8,42 persen per tahun. Pada tahun 2010 produksi minyak sawit
(CPO) sebesar 22,50 juta ton, meningkat menjadi 29,28 juta ton pada tahun 2014
atau terjadi peningkatan 30,14 persen. Tahun 2015 diperkirakan produksi minyak
sawit (CPO) akan meningkat menjadi 31,28 juta ton atau sebesar 6,85 persen.
Produksi minyak sawit (CPO) terbesar pada tahun 2014 berasal dari Provinsi Riau
sebesar 6,99 juta ton atau sekitar 23,89 persen dari total produksi Indonesia. Pada
tahun 2015 Provinsi Riau diperkirakan tetap menjadi produsen CPO terbesar
Indonesia dengan produksi sekitar 23,44 persen dari total produksi Indonesia.
Berdasarkan status pengusahaannya, pada tahun 2014 sebesar 57,53 persen dari
23
produksi minyak sawit (CPO) atau 16,84 juta ton minyak sawit (CPO) berasal
dari perkebunan besar swasta, 34,86 persen atau 10,20 juta ton dari perkebunan
rakyat dan 7,61 persen atau 2,23 juta ton berasal dari perkebunan besar negara.
Pada tahun 2015 diperkiraan sebesar 18,33 juta ton CPO (58,59 %) berasal dari
perkebunan swasta, 10,67 juta ton (34,10 %) dari perkebunan rakyat dan 2,29 juta
ton (7,31 %) berasal dari perkebunan besar Negara.
Sejalan dengan perkembangan areal yang telah mencapai 11.3 juta ha pada
tahun 2015 sehingga Indonesia memiliki area kebun kelapa sawit terluas di dunia.
Produksi CPO indonesia tercatat terus mengalami penigkatan setiap tahunnya.
Produksi minyak kelapa sawit tercatat mengalami perkembangan pesat pada
periode 1995-2004, dimana terjadi pertumbuhan sebesar 2.7 kali dari 4,2 juta ton
pada 1995 menjadi 11,4 juta ton pada 2004 (PPKS, 2006).
Tabel 4. Produksi Minyak Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2010-
2015 (ton)
Tahun Rakyat Negara Swasta Total
2010 8.458.709 1.921.660 12.116.488 22.496.857
2011 8.797.925 2.154.218 13.043.830 23.995.973
2012 9.197.729 2.133.007 14.684.783 26.015.519
2013 10.010.728 2.144.651 15.626.625 27.782.004
2014 10.205.395 2.229.336 16.843.458 29.278.189
2015* 10.668.425 2.287.077 18.328.804 31.284.306
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2016
Keterangan : *) angka sementara
Ekspor minyak sawit Indonesia terdiri dari minyak sawit mentah (CPO)
dan minyak sawit olahan. Total ekspor minyak kelapa sawit enam tahun terakhir
cenderung mengalami peningkatan berkisar antara 0,08 sampai dengan 16,06
persen per tahun. Pada tahun 2010 total volume ekspor mencapai 17,86 juta ton
dengan total nilai sebesar US$ 15,20 milyar, meningkat menjadi 28,29 juta ton
pada tahun 2015 dengan total nilai sebesar US$ 16,95 Total ekspor CPO
Indonesia pada tahun 2015 mencapai 26.467.564 ton atau meningkat sebesar 13
persen dari tahun 2014, yang mencapai 22.892.224 ton.Produksi minyak kelapa
sawit Indonesia sebagian besar diekspor ke mancanegara dan sisanya dipasarkan
di dalam negeri. Ekspor minyak kelapa sawit Indonesia menjangkau lima benua
yaitu Asia, Afrika, Australia, Amerika, dan Eropa dengan pangsa utama di Asia.
Pada tahun 2015, lima besar negara pengimpor CPO Indonesia adalah India,
24
Belanda, Malaysia, Singapura, dan Spanyol. Volume ekspor ke India mencapai
3,82 juta ton atau 49,06 persen dari total volume ekspor CPO Indonesia dengan
nilai US$ 2,11 milyar. Peringkat kedua adalah Belanda, dengan volume ekspor
sebesar 1,04 juta ton atau 13,41 persen dari total volume CPO Indonesia dengan
nilai US$ 0,60 milyar. Peringkat ketiga adalah Malaysia, dengan volume ekspor
sebesar 0,62 juta ton atau 7,98 persen dari total volume ekspor CPO Indonesia
dengan nilai US$ 347,0 juta. Peringkat keempat adalah Singapura dengan volume
ekspor 0,60 juta ton atau sekitar 7,76 persen dari total volume ekspor CPO
Indonesia dengan nilai US$ 332,9 juta. Peringkat kelima adalah Spanyol dengan
volume ekspor 0,58 juta ton atau 7,46 persen dari total volume ekspor CPO
dengan nilai US$ 338,5 juta (Badan Pusat Statistik, 2017).
Tabel 5. Perkembangan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2010-2015
Tahun Berat Bersih (Ton) Nilai FOB (000 US$)
2010 16.291.856 13.468.966
2011 16.436.202 17.261.248
2012 18.845.020 17.602.168
2013 20.577.976 15.838.850
2014 22.892.224 17.464.754
2015 26.467.564 15.385.275
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2016
Negara pengimpor CPO terbesar di dunia adalah India. Pada tahun 2015
dengan volum impor 10.920.000 CPO sebesar atau sebesar 42 persen dari total
ekspor CPO indonesia. Tetapi adanya kebijakan India tentang standar minimal
betakaroten minyak sawit 500 ppm dan tarif bea masuk yang tinggi, menjadikan
ekspor minyak sawit Indonesia tidak maksimal.Indonesia meskipun sebagai
produsen dan pengekspor CPO terbesar di dunia namun masih tetap melakukan
impor. Hal ini dikarenakan CPO yang diimpor dari luar negeri memiliki kualitas
yang lebih baik dibandingkan dari kualitas produksi dalam negeri. Total volume
impor minyak kelapa sawit selama enam tahun terakhir sangat berfluktuasi. Total
volume impor minyak kelapa sawit pada tahun 2010 tercatat sebesar 48,08 ribu
ton dengan nilai US$ 40,01 juta. Pada tahun 2011 dan 2012 impor kelapa sawit
berturut-turut mengalami penurunan sebesar 48,61 persen dan 94,92 persen.
Sementara tahun 2013 terjadi peningkatan impor minyak kelapa sawit yang sangat
25
drastis sebesar 5145,78 persen dan tahun 2014 mengalami penurunan kembali
sebesar 99,55 persen dari tahun 2013. Pada tahun 2015 impor minyak kelapa
sawit tercatat sebesar 7,53 ribu ton dengan nilai US$ 4,66 juta atau terjadi
kenaikan 2436,12 persen dari tahun 2014 (Badan Pusat Stastistik, 2016).
Tabel 6. Perkembangan Impor CPO Indonesia Tahun 2010-2015
Tahun Berat Bersih (Ton) Nilai FOB (000 US$)
2010 48.081 33.235
2011 23.559 19.285
2012 2.405 1992
2013 67.521 58.553
2014 750 212
2015 8.201 6.723
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2016
2.4.3 Kebijakan Pemerintah Mengenai Ekspor Kelapa Sawit
Kebijakan tarif ekspor dilakukan pemerintah untuk membatasi ekspor
sehingga pasokan minyak sawit dalam negeri terpenuhi untuk menjaga kestabilan
harga minyak goreng yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.
Peraturan ini telah diberlakukan sejak tahun 1978 dan selalu berubah ubah seiring
berjalannya waktu. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.
13/PMK.010/2017, besar Pungutan Pajak (PE) yang berlaku mulai bulan Juli
2017 adalah 20 persen. HPE ditetapkan setiap bukang Oleh Menteri Perdagangan.
Berdasarkan harga rata-rata internasional. HPE yang berlaku dari tanggal 1 Juli
2017-31 Juli 2017 adalah sebesar US$ 723.37 /MT. Sedangkan besar PE
ditetapkan sebagai berikut :
PE = Tarif PE(%) x HPE x Jumlah satuan barang x Nilai Kurs
Keterangan
PE = Pungutan Pajak
HPE = Harga Patokan Ekspor
26
2.4.4 Nilai DOBI pada CPO
Nilai DOBI (Deotoriation of Bleachability Index) atau indeks daya
pemucatan, merupakan rasio dari kandungan karoten dan produk oksidasi
sekunder pada CPO.Nilai DOBI yang rendah mengindikasikan meningkatnya
kandungan produk oksidasi sekunder (produk oksidasi dari karotenoid yang dapat
terjadi dari efek rantai asam lemak teroksidasi) Nilai DOBI yang rendah
berkorelasi dengan daya pemucatan yang rendah pula karena produk-produk
karotenoid teroksidasi sulit dipucatkan dengan tanah pemucat dan di deodorisasi.
Batas bawah nilai DOBI yang dapat diterima sebagai indikasi CPO baik adalah
2,3 (PPKS,2006).
2.4.5 Industri Kelapa Sawit Yang Berkelanjutan
Menurut PPKS (2006) pertanian yang berkelanjutan adalah pertanian yang
produktif, kompetitif, dan efisien serta pada saat yang sama dapat melindungi dan
memperbaiki kondisi lingkungan alam dan masyarakat lokal. Dari definisi
tersebut, maka ada tiga prinsip utama yang setidaknya harus dipenuhi oleh suatu
industri kelapa sawit yang berkelanjutan yaitu :
1. Melindungi dan memperbaiki lingkungan alam (Enviromentally sound)
Pengembangan kelapa sawit yang berorientasi pada lingkungan, serta
mampu menjaga dan melesatarikan lingkungan sekitar pada keseleruhan proses
produksi. Contohnya pada pabrik pengolahan CPO, limbah hasil pengolahan
dapat diminimalkan atau diolah kembali
2. Baik secara ekonomi (Economically viable)
pembangunan ekonomi yang dinamis, terus hidup dan secara ekonomi
menguntungkan dan dapat dipertanggung jawabkan. Contohnya pada tingkat
penggarap kebun mampu menghasilkan keuntungan dalam tingkat produksi yang
cukup dan stabil, pada tingkat resiko yang bisa ditolerir/diterima.
3. Diterima secara social (Socially Accepted)
Pembangunan yang secara sosial politis dapat diterima serta peka terhadap
aspek-aspek budaya, pembangunan industri kelapa sawit yang berkelanjutan jika
dilakukan dengan benar akan dapat meredam isu-isu yang mengatakan
pengembangan kelapa sawit menyebabkan kerusakan lingkungan. Kerusakan
27
lingkungan tersebut meliputi penurunan kualitas udara, air dan tanah sampai ke
tingkat isu pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate
change).
Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) merupakan sala satu prakarsa
untuk mewujudkan industri kelapa sawit yang berkelanjutan tersebut. Asosiasi
tersbut beranggkotakan produsen, profesor, pedagang, perbankan, hingga lembaga
swadaya masyarakat yang bergerak di bidang linkungan dan sosial. Mereka
berupaya merumuskan konsep kebun/industri kelapa sawit ramah lingkungan
(berkelanjutan) itu dengan suatu ketentuan yang dikenal dengan konsep minyak
sawit lestari.
28
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Globalisasi dalam perdagangan merupakan hal yang mutlak diterima oleh
Indonesia. Globalisasi perdagangan dapat meningkatkan ekspor atau pangsa pasar
dunia. Namun, globalisasi perdagangan juga dapat mengurangi pangsa pasar jika
suatu negara tidak siap menghadapi globalisasi perdagangan sebagai akibat dari
persaingan dengan negara produsen lain. Perdagangan Internasional merupakan
syarat mutlak guna menjalin hubungan multinasional. Untuk menghadapi hal
tersebut Indonesia harus mempunyai produk unggulan sehingga Indonesia tidak
hanya sebagai target pasar produk negara lain.
Berdasarkan model ricardian dalam Salvatore (1997) negara yang ikut
serta dalam perdagangan internasional hendaknya memproduksi produk dengan
biaya input paling rendah sehingga dapat menghasilkan produk dengan harga
rendah. apabila negara dapat menghasilkan produk dengan biaya produksi relatif
rendah dari negara lain, produk tersebut tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan
domestik tetapi juga menyumbang pendapatan negara melalui perdagangan
Internasional (ekspor), karena produk dengan harga yang relatif rendah
mempunyai keunggulan kompetitif untuk memperoleh pasar lebih banyak.
Daya saing kelapa sawit internasional berangkat adanya kemampuan untuk
menghasilkan potensi untuk menguasai perdagangan kelapa sawit internsional
disertai dengan tantangan yang perlu diatasi untuk meraih potensi tersebut.
Informasi daya saing dapat menjadikan wacana apakah kelapa sawit memang
sesuai untuk menghadapi persaingan gobal di perdagangan internasional.. Untuk
mencapai hal tersebut untuk mengetahui daya saing kelapa sawit Indonesia di
pasar internasional dilihat dari dua sisi yaitu keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif.
Untuk mengetahui keunggulan komparatif digunakan Revealed
Comparative Advantage (RCA) untuk menjelaskan kekuatan daya saing
komoditas kelapa sawit Indonesia terhadap produk sejenis dari negara lain (dunia)
berdasarkan keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif dalam RCA berarti
mencerminan keunggulan ekspor kelapa sawit relatif atas kegiatan ekspor yang
29
dilakukan suatu negara dibandingkan dengan perdagangan kelapa sawit dunia atas
perdagangan total dunia. Tujuan RCA digunakan dalam penelitian ini adalah
untuk mengukur keunggulan komparatif sehingga kita dapat melihat dan
membandingkan daya saing CPO Indonesia diantara produsen CPO lainnya di
dunia
Langkah berikutnya ialah pengukuran keunggulan kompetitif dengan
menggunakan alat Analisis Daya Saing (Market Share). Analisis daya saing
menunjukkan rasio pangsa ekspor suatu negara di pasar dunia untuk suatu
komoditas kelapa sawit (CPO) pada periode tertentu dengan rasio pangsa ekspor
komoditi tersebut dengan ekspor komoditas total negara lain di dunia. Pengukuran
mengunakan analisis pangsa pasar ini bertujuan untuk melihat jumlah pasar yang
dikuasai Indonesia dalam perdagangan kelapa sawit (CPO) internasional,
kemudian akan digolongkan sesuai jumlah masing-masing pasar yang dikuasai
tiap negara. Suatu komoditas dikatakan menghadapi trend daya saing yang kuat
apabila nilai pangsa pasar yang dimiliki komoditas tersebut lebih besar atau
dominan dibandingkan negara-negara pengekspor lainnya. Indeks tersebut
merupakan pencerminan keunggulan kompetitif suatu negara dilihat dari
pengembangan komuditas tertentu untuk jangka waktu yang telah ditentukan.
Alat analisis Indeks Spesalisasi Perdagangan (ISP) digunakan akan
menghasilkan nilai dari perbandingan nilai ekspor dan nilai Impor suatu negara
untuk komoditas kelapa sawit. Indeks ini dapat digunakan untuk mengetahui
apakah produk kelapa sawit yang dimiliki Indonesia cenderung menjadi negara
eksportir atau importir Indeks spesalisasi perdagangan digunakan untuk
melengkapi RCA yang menyampingkan permintaan dan penawaran domestik
dalam penentuan keunggulan komparatif. Hasil dari indeks spesalisasi
perdagangan juga akan menghasilkan kesimpulan peran dominan pada pasar
komoditas kelapa sawit internasional sebagai eksportir atau importir. Ketiga
langkah tersebut diatas yaitu mengetahui keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif dapat memberikan informasi perkembangan posisi perdagangan kelapa
sawit Indonesia di pasar Internasional. Setelah mengetahui posisi kelapa sawit
Indonesia di pasar Internasional dapat dijadikan pertimbangan bahwa kelapa sawit
penting atau tidak untuk dijadikan komuditas ekspor. Informasi daya saing kelapa
30
sawit internasional juga dapat sebagai patokan yang mengarah pada kebijakan
tentang perbaikan kelapa sawit Indonesia.
Untuk mempermudah penyelesaian dan pemahaman, secara sistematik
kerangka pemikiran penelitian ini sebagai berikut :
Gambar 2. Kerangka Operasional Pemikiran
Produksi CPO
Indonesia
Kebutuhan luar
negeri
Kebutuahn dalam
negeri
Peluang
Produsen terbesar di
dunia
Meningkatnya
permintaan dunia
Penghasil devisa yang
cukup besar
Potensi lahan yang luas
Jumlah tenaga kerja
yang banyak
Kendala
Kualitas yang masih
tertinggal oleh
negara lain
Regulasi pemerintah
yang tidak
mendukung
Adanya hambatan
perdagangan dari
negara lain
Isu lingkungan
Ekspor
Posisi daya
saing
Analisis
Pangsa
Pasar
Analisis Keunggulan
Komparatif (RCA)
Indeks Spesialisasi
Perdagangan(1SP)
Pengembangan Daya
Saing Ekspor CPO
Indonesia di Pasar
Internasional
31
3.2 Hipotesis
Berdasarkan data yang sementara dipeoleh, penelitian-penelitian
terdahulu, dan hasil kerangka pemikiran mengenai analisi daya saing kelapa sawit
Indonesia di pasar internasional, maka diperoleh hipotesis sebagai berikut:
1. Indonesia diduga memiliki pangsa pasar yang terbesar dibandingkan dengan
negara-negara pengekspor lainnya
2. Posisi daya saing ekspor minyak kelapa sawit Indonesia di perdagangan
Internasional dilihat dari keunggulan komparatif diduga berada di peringkat
teratas
3. Indonesia diduga memiliki indeks spesialisasi perdagangan kelapa sawit
(CPO) yang positif sehingga Indonesia berpeluang menjadi negara eksportir
di pasar internasional.
3.3 Batasan Masalah
Mengacu pada latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian,
maka batasan masalah penelitian adalah menganalisis bagaimana daya saing
ekspor CPO Indonesia dilihat dari pangsa pasar dan keunggulan komparatifnya
dibandingkan dengan 5 negara pengekspor CPO terbesar dunia seperti Malaysia,
Belanda, Papua Nugini, dan Thailand. Penentuan tahun analisis periode tahun
2008 hingga 2013 didasarkan pada pertimbangan bahwa selama jangka waktu 5
tahun dapat menunjukkan perkembangan daya saing dalam perdagangan
internasional
Penelitian ini tidak meneliti pemasaran CPO di dalam negeri, tetapi
pemasarannya di luar negeri yaitu ekspor. Adapun bentuk dari komoditi minyak
kelapa sawit yang diteliti adalah jenis Crude Palm Oil ( CPO) dengan kode HS
15111000. Kemudian kendala yang menghambat CPO Indonesia dalam produksi
dan pemasaran ekspornya hanya dibahas secara umum.
32
3.4 Definisi Operasional
Beberapa definisi operasional dan pengukuran variabel dari penelitian ini
adalah :
1. Nilai ekspor merupakan nilai dari volume ekspor kelapa sawit yang
dihasilkan oleh suatu negara dalam satuan Dolar Amerika (US$).
2. Nilai total ekspor merupakan nilai keseluruhan ekspor yang dihasilkan oleh
suatu negara dalam satuan Dolar Amerika (US$).
3. Nilai ekspor dunia merupakan nilai dari volume ekspor kelapa sawit yang
dihasilkan oleh dunia dalam satuan Dolar Amerika (US$).
4. Nilai total ekspor dunia merupakan nilai keseluruhan volume ekspor kelapa
sawit yang dihasilkan dunia dalam satuan Dolar Amerika (US$).
5. Nilai Impor merupakan nilai dari volume Impor kelapa sawit yang dihasilkan
oleh suatu negara dalam satuan Dolar Amerika (US$).
6. Nilai Impor dunia merupakan nilai keseluruhan volume impor kelapa sawit
yang dihasilkan dunia dalam satuan Dolar Amerika (US$).
33
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Metode Penentuan Lokasi
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive pada tingkal
nasional dan internasional. Adapun yang menjadi objek penelitian yaitu daya
saing kelapa sawit, spesialisasi perdagangan kelapa sawit Indonesia di pasar
internasional pada tahun 2008-2013. Negara pembanding dalam penelitian daya
saing kelapa sawit Indonesia di pasar internasional adalah Malaysia, Belanda,
Papua Nugini, dan Thailand.
4.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang berupa data berdasarkan waktu (time series). Data yang diambil merupakan
data yang terkait dengan kebutuhan analisis daya saing (nilai ekspor, volume
ekspor, dan nilai impor) dari negara produsen kelapa sawit dunia yaitu Indonesia,
Malaysia, Belanda, Papua Nugini, dan Thailand. Kelima negara dengan sengaja
dipilih dilihat dari peringkat negara eksportir kelapa sawit terbesar dan pesaing
terdekat berdasarkan UN Comtrade dengan kode HS15111000, serta informasi
yang berkaintan dengan pasar kelapa sawit secara internasional, dalam kisaran
waktu 5 tahun yaitu tahun 2008 sampai dengan tahun 2013.
Sumber-sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Direktorat
Jenderal Perkebunan, Food and Agricultural Organization (FAO), United Nations
Commodity Trade Statictics Database (UN Comtrade), serta informasi-informasi
lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang diperoleh dari buku-buku literatur,
dan media elektronik (internet). Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni
hingga Juli 2017.
4.3 Metode Analisis Data
Pengolahan data dilakukan secara kuantitatif. Analisis kuantitatif
dilakukan dengan menggunakan Analisis Pangsa Pasar (Market Share), Revealed
Comparative Advantage (RCA) dan Indeks Spesialisasi Harga (ISP). Pengolahan
data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007
34
4.3.1 Analisis Pangsa Pasar
Pangsa pasar (Market Share) dapat diartikan sebagai bagian pasar yang
dikuasai oleh suatu perusahaan, atau prosentasi penjualan suatu perusahaan
terhadap total penjualan para pesaing terbesarnya pada waktu dan tempat tertentu
(William J.S, 1984). Jika suatu perusahaan dengan produk tertentu mempunyai
pangsa pasar 35%, maka dapat diartikan bahwa jika penjualan total produk-
produk sejenis dalam periode tertentu adalah sebesar 1000 unit, maka perusahaan
tersebut melalui produknya akan memperoleh penjualan sebesar 350 unit.
Besarnya pangsa pasar setiap saat akan berubah sesuai dengan perubahan selera
konsumen, atau berpindahnya minat konsumen dari suatu produk ke produk lain
(Charles W. Lamb, 2001).
Menurut Jaya (2001) pasar didefinisikan sebagai salah satu kelompok
penjual dan pembeli yang mempertukarkan barang yang dapat
disubstitusikan.Barang atau produk tersebut dalam kenyataannya dijual di daerah
yang terpisah secara geografis dan pasar dalam hal ini membatasi daerah
penjualannya dalam satu zona penjualan. Batas-batas dalam zona penjualan itulah
yang disebut pangsa pasar.Menurut Jaya (2001), untuk menghitung pangsa pasar
maka harus diketahui terlebih dahulu besarnya nilai ekspor CPO tiap negara
pengekspor CPO dan total nilai ekspor CPO di seluruh negara produsen CPO di
pasar internasional. Perhitungan pangsa pasar tersebut adalah sebagai berikut:
𝐒𝐢𝐣 = 𝐗𝐢𝐣/𝐓𝐗𝐣
dimana:
Sij = Pangsa pasar kelapa sawit Indonesia di pasar internasional
j = produk kelapa sawit
Xij = Nilai ekspor kelapa sawit negara i di pasar internasional
TXj = Total nilai ekspor kelapa sawit di pasar internasional
i = Negara 1,2,3,4,5
1 = Negara Indonesia
2 = Negara Malaysia
3 = Negara Belanda
35
4 = Negara Papua Nugini
5 = Negara Thailand
4.3.2 Revealed Comparative Advantage (RCA)
Menurut Tambunan (2003), tingkat daya saing komoditi ekspor suatu
negara dapat dianalisis dengan berbagai macam metode atau diukur dengan
sejumlah indicator, salah satunya adalah Revealed Comparative Advantage
(RCA). Tujuan RCA digunakan dalam penelitian ini adalah untuk mengukur
keunggulan komparatif sehingga kita dapat melihat dan membandingkan daya
saing CPO Indonesia diantara produsen CPO lainnya di dunia. Jika pangsa ekspor
dari CPO Indonesia dalam total ekspor Indonesia lebih besar dibangdingkan
pangsa ekspor dari CPO dalam total ekspor CPO dunia, maka Indonesia dapat
dikatakan memiliki keunggulan komparatif dalam produksi dan ekspor CPO.
Rumus matematis indeks Reveealed Comparative Advance (RCA) adalah
sebagai berikut :
Indeks 𝐑𝐂𝐀𝐢𝐉= 𝐗𝐢𝐣/𝐗𝐢𝐭
𝐖𝐣/𝐖𝐭
dimana :
𝑋𝑖𝑗 = Nilai ekspor komoditas j dari negara i
j = Produk kelapa sawit
t = Total keseluruhan dunia
𝑋𝑖𝑡 = Nilai ekspor total (produk j dan lainnya) negara i
𝑊𝑗 = Nilai ekspor komoditas j di dunia
𝑊𝑡 = Nilai total ekspor dunia
i = Negara 1,2,3,4,5
1 = Negara Indonesia
2 = Negara Malaysia
3 = Negara Belanda
4 = Negara Papua Nugini
5 = Negara Thailand
Nilai indeks RCA lebih besar dari satu maka berarti negara tersebut
memiliki keunggulan komparatif yang kuat dibandingkan rata-rata dunia.
36
Sebaliknya jika lebih kecil dari satu berarti keunggulan komparatifnya rendah
dibandingkan rata-rata dunia. Semakin besar nilai RCA maka semakin kuat daya
saing yang dimiliki negara tersebut. Hipotesis pertama yang menyatakan bahwa
Indonesia untuk komoditas kelapa sawit memiliki daya saing secara komparatif.
Posisi daya saing dibuktikan melalui hasil perhitungan Revealed Comparative
Advantage (RCA) yang menunjukkan tingkat daya saing. Adapun cara pengujian
hipotesis pertama yang ditunjukkan oleh persamaan berikut ini.
H0 = RCA < 1 menunjukkan secara komparatif daya saing rendah
H1 = RCA ≥ 1 menunjukkan secara komparatif daya saing kuat
Namun metode RCA ini memiliki kelemahan yaitu karena salah satu
pembandingnya adalah pangsa pasar dunia dari komoditi yang diteliti dari negara
yang bersangkutan. Pangsa pasar dunia yang besar belum tentu menjamin apakah
komoditi di negara tersebut mempunyai daya saing yang tinggi (Tambunan 2003).
4.3.3. Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)
Indeks ini dapat digunakan untuk mengetahui apakah untuk suatu jenis
produk, Indonesia cenderung menjadi negara eksportir atau importir. Nilai indeks
ini adalah antara -1 dan +1. Jika nilainya positif (diantara 0 sampai dengan 1),
maka komoditi produk kelapa sawit dikatakan mempunyai daya saing yang kuat
atau Indonesia cenderung sebagai pengekspor dari produk kelapa sawit tersebut
(suplai domestik > permintaan domestik). Sebaliknya daya saing rendah atau
cenderung sebagi pengimpor (suplai domestik < permintaan domestik) jika
nilainya negatif (dibawah 0 sampai dengan -1). Perubahan atau pergeseran
keunggulan komparatif untuk setiap produk mana yang sedang berkembang dan
mana yang mulai atau telah menurun. Secara matematis ISP dijelaskan sebagai
berikut
ISP = 𝑿𝒂𝒊−𝑴𝒂𝒊
𝑿𝒂𝒊+𝑴𝒂𝒊
Keterangan:
ISP = Indek Spesialisasi Perdagangan Negara
a = Produk kelapa sawit
Xai = Nilai ekspor produk a dari negara i (US$)
37
Mai = Nilai impor produk a ke negara i (US$)
i = Negara 1, 2, 3, 4, 5
1 = Negara Indonesia
2 = Negara Malaysia
3 = Negara Belanda
4 = Negara Papua Nugini
5 = Negara Thailand
Pengujian hipotesis kedua yang menyatakan Indonesia memiliki indeks
spesialisasi perdagangan kelapa sawit yang positif sehingga Indonesia berpeluang
menjadi negara eksportir kelapa sawit di pasar internasional. Nilai spesialisasi
perdagangan dibuktikan melalui hasil perhitungan Indeks Spesialisasi
perdagangan (ISP) yang menunjukkan kecenderungan suatu negara sebagai
eksportir atau importer terhadap komoditas kelapa sawit. Adapun cara pengujian
hipotesis kedua ditunjukkan melalui persamaan berikut ini.
H0 = ISP < 0 menunjukkan kecenderungan sebagai negara importir
H1 = ISP > 0 menunjukkan kecenderungan sebagai negara eksportir
Nilai positif (nilai 0 sampai dengan 1) dari indeks ISP dalam
perhitungannya akan menafsirkan bahwa komuditi terkait mempunyai daya saing
kuat dengan kecenderungan negara produsen sebagai pengekspor dari komuditi
terkait (suplai domestik > permintaan). Nilai negatif (dibawah 0 sampai dengan -
1) mempunyai arti tidak mempunyai daya saing yang kuat (suplay domestik <
permintaan domestik ) berarti juga negara lebih cenderung menjadi pengimpor
daripada pengekspor komuditi terkait.
Nilai indeks ISP juga dapat digunakan untuk mengukur daya saing produk
atau industri bersangkutan. Prinsipnya adalah, apabila suatu negara mempunyai
daya saing yang lebih baik dari pada negara lain untuk jenis komoditas yang
sama, maka suatu negara tersebut cenderung menjadi pengimpor jika daya saing
yang diiliki atas suatu komoditas rendah.
Kementerian Perdagangan (2013) menjelaskan bahwa indeks ISP dapat
digunakan untuk mengidentifikasi tingkat pertumbuhan suatu komoditi dalam
perdagangan yang terbagi ke dalam 5 tahap sebagai berikut :
1. Tahap Pengenalan
38
Ketika suatu industri disuatu Negara A mengekspor produk-produk baru
(forerunner) dan industri pendatang belakangan (latercomer) di Negara B
impor produk-produk tersebut. Dalam tahap ini, nilai indeks ISP dari ini
adalah -1,00 sampai -0,50.
2. Tahap Subtitusi Impor
Nilai indeks ISP naik antara – 0,51 sampai 0,00. Pada tahap ini, industri di
Negara B menunjukkan daya saing yang sangat rendah, dikarenakan tingkat
produksinya tidak cukup tinggi untuk mencapai skala ekonominya. Industri
tersebut mengekspor produk-produk dengan kualitas yang kurang bagus dan
produksi dalam negeri masih lebih kecil daripada permintaan dalam negeri.
Dengan kata lain, untuk komoditi tersebut, pada tahap ini Negara B lebih
banyak mengimpor daripada mengekspor
3. Tahap Pertumbuhan
Nilai indeks ISP naik antara 0,01 sampai 0,80, dan industri di Negara B
melakukan produksi dalam skala besar dan mulai meningkatkan ekspornya.
Di pasar domestik, penawaran untuk komoditi tersebut lebih besar daripada
permintaan.
4. Tahap Kematangan
Nilai indeks berada pada kisaran 0,81 sampai 1,00. Pada tahap ini produk
yang bersangkutan sudah pada tahap standardisasi menyangkut teknologi
yang dikandungnya. Pada tahap ini Negara B merupakan Negara net exporter.
5. Tahap kembali mengimpor
Nilai indeks ISP kembali menurun antara 1,00 sampai 0,00. Pada tahap ini
industri di Negara B kalah bersaing di pasar domestiknya dengan industri dari
Negara A, dan produksi dalam negeri lebih sedikit dari permintaan dalam
negeri.
39
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Potensi Pengembangan Kelapa Sawit Indonesia
Industri kelapa sawit memiliki prospek yang baik karena memiliki daya
saing sebagai industri minyak nabati. Sawit adalah salah satu sumber yang paling
kompetitif di dunia untuk biofuels, dan aplikasi teknis dan yang paling penting
adalah sebagai sumber makanan. Pengembangan produk kelapa sawit diperoleh
dari produk utama, yaitu minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit, dan produk
sampingan yang berasal dari limbah. Beberapa produk yang dihasilkan dari
pengembangan minyak sawit diantaranya adalah minyak goreng, produk-produk
oleokimia, seperti fatty acid, fatty alkohol, glycerine, metalic soap, stearic acid,
methyl ester, dan stearin. Perkembangan industri oleokimia dasar merangsang
pertumbuhan industri barang konsumen seperti deterjen, sabun dan kosmetika.
Kebijakan utama pemerintah Indonesia dalam mengembangkan kelapa
sawit adalah mengembangkan industri hilir. Kebijakan ini dilakukan dengan
mengembangkan klaster industri di Zona Ekonomi Khusus (ZEK) yang diatur
dengan UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), yang
saat ini difokuskan di KEK Sei Mangke-Sumut, Maloy-Kaltim, dan Dumai-Riau.
Kebijakan tersebut mengatur pengenaan tarif yang lebih rendah pada produk hasil
olahan dari kelapa sawit, CPO dan turunannya. Hal itu bertujuan untuk
meningkatkan nilai tambah serta daya saing industri hilir sawit di dalam negeri.
Berdasarkan hal tersebut, penerimaan bea keluar atas CPO dan turunannya
diperkirakan mengalami penurunan.
Untuk meningkatkan perkembangan di industri hilir sektor kelapa sawit,
pajak ekspor untuk produk minyak sawit yang telah disuling telah dipotong dalam
beberapa tahun belakangan ini. Sementara itu, pajak ekspor minyak sawit mentah
(CPO) berada di antara 0%-22,5% tergantung pada harga minyak sawit
internasional. Indonesia memiliki 'mekanisme otomatis' sehingga ketika harga
CPO acuan pemerintah (berdasarkan harga CPO lokal dan internasional) jatuh di
bawah US$ 750, pajak ekspor dipotong menjadi 0%. Ini terjadi di antara Oktober
2014 dan Mei 2016 waktu harga acuan ini jatuh di bawah US$ 750 per ton nya.
40
5.1.1 Luas Area, Produksi dan Produktivitas Kelapa Sawit Indonesia
Berdasarkan status pengusahaan, lahan perkebunan kelapa sawit dibagi
menjadi tiga, yakni perkebunan rakyat, perkebunan swasta, dan perkebunan
negara. Lahan paling besar digarap oleh perusahaan swasta, perkebunan rakyat
sekitar dan sisanya dimiliki oleh perusahaan negara. Penyebaran areal yang
berpotensi untuk pengembangan kelapa sawit umumnya terdapat di provinsi Riau,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Irian Jaya, Sumatera
Utara, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.
Berdasarkan data pada tabel 4, menurut status pengusahaannya, sebagian
besar perkebunan kelapa sawit pada tahun 2014 diusahakan oleh perkebunan
besar swasta yaitu sebesar 5,60 juta hektar (52,10 %), sementara perkebunan
rakyat mengusahakan 4,42 juta hektar (41,12 %) dan perkebunan besar negara
hanya sebesar 0,73 juta hektar (6,78 %). Pada tahun 2015 perkebunan kelapa
sawit yang diusahakan oleh perkebunan besar swasta diperkiraan sebesar 5,98
juta hektar (52,88 %), sementara perkebunan rakyat mengusahakan 4,58 juta
hektar (40,49 %) dan perkebunan besar negara hanya mengusahakan 0,75 juta
hektar. Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama enam tahun
terakhir cenderung menunjukkan peningkatan, naik sekitar 2,77 sampai dengan.
11,33 persen per tahun.
Demikian halnya dengan produksi kelapa sawit, pada tabel 4
perkembangan produksi minyak sawit (CPO) dari tahun 2010 sampai dengan
2015 meningkat sekitar 5,39 sampai dengan 8,42 persen per tahun. Pada tahun
2010 produksi minyak sawit (CPO) sebesar 22,50 juta ton, meningkat menjadi
29,28 juta ton pada tahun 2014 atau terjadi peningkatan 30,14 persen. Tahun 2015
diperkirakan produksi minyak sawit (CPO) akan meningkat menjadi 31,28 juta
ton atau sebesar 6,85 persen.
41
Tabel 7. Produktivitas Minyak Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan
Tahun 2010-2015 (ton/Ha)
Tahun Rakyat Negara Swasta
2010 2.5 2,92 2,69
2011 2,33 3,11 2,80
2012 2,22 2,91 2,79
2013 2,3 2,95 2,9
2014 2,31 3,06 3,01
2015* 2,33 3,05 3,07
Rata-Rata 2,33 3 2,88
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2017 (Diolah)
Keterangan : *) angka sementara
Meskipun mengalami peningkatan luas area dan produksi, dari segi
produktivitas kelapa sawit Indonesia cenderung tidak banyak mengalami
peningkatan. Berdasarkan data pada tabel 7, produktivitas kelapa sawit Indonesia
pada tahun 2010-2015 berada di kisaran 2,22 hingga 3,11 ton per hektarnya.
Berdasarkan status pengusahaannya, pada tahun 2010-2015 rata-rata produktivitas
CPO tertinngi dicapai oleh perkebunan besar negara dengan nilai sebesar 3
ton/ha, meskipun dengan luas lahan dan tingkat produksi yang berada di bawah
perkebunan besar swasta dan perkebunan besar rakyat dari segi produktivitas
perkebunan besar negar lebih umggul. Sementara perkebunan besar swasta dan
perkebunan besar rakyat hanya mencapai tingkat produktivitas sebesar 2,88 dan
2,33 ton kelapa sawit per hektarnya.
5.1.2 Nilai, Volume dan Harga Ekspor Kelapa Sawit Indonesia
Produksi minyak sawit dunia didominasi oleh Indonesia dan Malaysia.
Kedua negara ini secara total menghasilkan sekitar 85-90% dari total produksi
minyak sawit dunia. Indonesia sendiri adalah produsen dan eksportir minyak
sawit yang terbesar di dunia. Dalam jangka panjang, permintaan dunia akan
minyak sawit menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan sejalan dengan
jumlah populasi dunia yang bertumbuh dan karenanya meningkatkan konsumsi
produk-produk dengan bahan baku minyak sawit seperti produk makanan dan
kosmetik. Sementara itu, pemerintah di berbagai negara juga sedang mendukung
penerapan biofuel dan biodiesel sebagai alternatif bahan bakar minyak Hanya
42
beberapa industri di Indonesia yang menunjukkan perkembangan secepat industri
minyak kelapa sawit selama 20 tahun terakhir. Pertumbuhan ini tampak dalam
jumlah produksi dan ekspor dari Indonesia dan juga dari pertumbuhan luas area
perkebunan sawit. Didorong oleh permintaan global yang terus meningkat dan
keuntungan yang juga naik, budidaya kelapa sawit telah ditingkatkan secara
signifikan baik oleh petani kecil maupun para pengusaha besar di Indonesia
(dengan imbas negatif pada lingkungan hidup dan penurunan jumlah produksi
hasil-hasil pertanian lain karena banyak petani beralih ke budidaya kelapa sawit)
Mayoritas hasil produksi minyak kelapa sawit Indonesia diekspor. Negara-
negara tujuan ekspor yang paling penting adalah China, India, Pakistan, Malaysia,
dan Belanda. Walaupun angkanya sangat tidak signifikan, Indonesia juga
mengimpor minyak sawit. Memang mayoritas dari minyak sawit yang diproduksi
di Indonesia diekspor, namun karena populasi Indonesia terus bertumbuh (disertai
kelas menengah yang berkembang pesat) dan dukungan pemerintah untuk
program biodiesel, permintaan minyak sawit domestik di Indonesia juga terus
berkembang. Meningkatnya permintaan minyak sawit dalam negeri sebenarnya
bisa berarti bahwa pengiriman minyak sawit mentah dari Indonesia akan
terhambat di tahun-tahun mendatang jika pemerintah Indonesia tidak
meningkatkan intensitas produksinya.
Tabel 8. Perkembangan Nilai, Volume dan Harga Ekspor Kelapa Sawit Indonesia
Tahun 2008-2013
Tahun
Kelapa Sawit Indonesia
Nilai Ekspor
(000 US$)
Volume Ekspor
(Ton)
Harga Ekspor
(US$/Ton)
2008 12.375.570 14.290.686 866
2009 10.367.622 16.829.207 616
2010 13.468.967 16.291.857 827
2011 17.261.248 16.336.750 1.057
2012 17.602.169 18.845.021 934
2013 15.838.851 20.577.977 770
Rata-Rata 14.485.738 17.195.250 845
Sumber : FAO, 2017 (Diolah)
Seiring dengan peningkatan luas lahan dan produksi, pertumbuhan ekspor
kelapa sawit di Indonesia selama periode 2008-2013 terus mengalami peningkatan
tiap tahunnya, khususnya dari sisi volume. Pada Tabel 8, tahun 2008 volume
43
ekspor kelapa sawit Indonesia sebesar 14.290.686 ton hingga tahun 2013
mencapai 20.577.977 ton dengan rata-rata tingkat pertumbuhan ekspor tiap
tahunnya adalah 8%.
Meskipun volume ekspor kelapa sawit Indonesia pada tahun 2008-2013
terus meningkat namun nilai ekspor kelapa Indonesia cenderung berfluktuatif
dengan tren meningkat dengan rata-rata peningkatan tiap tahunnya sebesar 6,8%.
Penurunan paling drastis terjadi pada tahun 2009 pada sisi nilai ekspor kelapa
sawit sebesar 16% dengan nilai ekspor sebesar US$ 10.367.622.000 dari tahun
sebelumnya yaitu sebesar US$ 12.375.570.000. Nilai ekspor tertinggi dicapai
pada tahun 2012 yaitu sebesar US$ 17.602.169.000.
Harga ekspor kelapa sawit Indonesia juga mengalami fluktuasi, hal ini
diperngaruhi oleh berbagai faktor seperti kualitas minyak sawit, bea ekspor, naik
turunnya permintaan kelapa sawit dunia dan fluktuasi nilai dolar Amerika. Rata-
rata harga kelapa sawit yang diekspor adalah US$ 845 per tonnya. Harga ekspor
tertinggi terjadi pada tahun 2011 dengan nilai US$ 1.057, total nilai ekspor pada
periode tersebut sebesar US$ 17.261.248.000 dan volume ekspor sebesar
16.336.750 ton. Harga ekspor kelapa sawit terrendah terjadi pada tahun 2009
sebesar US$ 616/ton.
5.1.3 Nilai, Volume dan Harga Impor Kelapa Sawit Indonesia
Meskipun terjadi peningkatan pada luas lahan dan produksi, namun
Indonesia tetap mengimpor kelapa sawit. Pertumbuhan impor kelapa sawit di
Indonesia selama periode 2008-2013 sangat berfluktuatif, namun menunjukkan
tren peningkatan dari tahun ke tahunnya. Pada Tabel 9, tahun 2008 volume impor
kelapa sawit Indonesia sebesar 8.822 ton hingga tahun 2013 mencapai 65.561 ton.
Seiring dengan volume, nilai impor kelapa sawit Indonesia pada tahun 2008-2013
juga mengalami tren peningkatan. Pada tahun 2008 nilai impor kelapa sawit
Indonesia sebesar US$ 5.014.000 hingga tahun 2013 mencapai nilai US$
46.979.000. Pada tahun 2012 nilai dan volume impor mengalami penurunan
sebesar 97% dari periode sebelumnya. Nilai dan volume impor yang awalnya
pada tahun 2011 sebesar US$ 24.933.000 dan 23.344 ton turun menjadi US$
831.000 dan ton 616 ton. Pada tahun selanjutnya yaitu tahun 2013 terjadi lonjakan
44
yang sangat tinggi, nilai impor meningkat hingga 50 kali lipat (5553%) dan
volume impor meningkat hingga 100 kali lipat (10643%) menjadi US$
46.979.000 dan 65.561 ton.
Tabel 9. Perkembangan Nilai, Volume dan Harga Impor Kelapa Sawit Indonesia
Tahun 2008-2013
Tahun
Kelapa Sawit Indonesia
Nilai Impor
(000 US$)
Volume Impor
(Ton)
Harga Impor
(US$/Ton)
2008 5.014 8.822 568
2009 13.127 21.138 621
2010 37.801 46.720 809
2011 24.993 23.344 1.071
2012 831 616 1.349
2013 46.979 65.561 717
Rata-Rata 21.457 27.700 856
Sumber : FAO, 2017 (Diolah)
Harga kelapa sawit yang diimpor Indonesia cenderung mengalami
peningkatan tiap tahunnya. Rata-rata harga impor kelapa sawit adalah US$ 856
per tonnya. Harga impor tertinggi terjadi pada tahun 2012 dengan nilai US$
1.349, pada tahun tersebut nilai dan volume total impor tercatat berada pada titik
terrendah sebesar US$ 831.000 dan volume impor sebesar 616 ton. Harga ekspor
kelapa sawit terrendah terjadi pada tahun 2008 sebesar US$ 568/ton. Detail lain
mengenai volume, nilai dan impor kelapa sawit Indonesia bisa terdapat di tabel 9.
5.2 Daya Saing Berdasarkan Keunggulan Komparatif
5.2.1 Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia Berdasarkan Keunggulan
Komparatif (Analisis RCA)
Suatu produk dapat dikatagorikan mempunyai daya saing jika produsen
mampu memproduksi produk dengan input yang efisien, sehingga produk tersebut
dapat meraup pasar sebanyak-banyaknya, dengan kata lain penguasaan pasar
dapat dijadikan acuan suatu produk mempunyai daya saing kuat atau lemah.
Pengukuran daya saing berdasarkan pangsa pasar terdapat pada analisis RCA.
Konsep analisis RCA membandingkan tentang pangsa nilai ekspor komoditas
terkait terhadapap total ekspor negara produsen dengan pangsa nilai ekspor
komoditas terkait dalam perdagangan dunia.
45
Tingkat daya saing kelapa sawit Indonesia berdasarkan indeks RCA
memiliki daya saing tinggi atau diatas rata-rata dunia dengan nilai positif atau
RCA ≥ 1 di pasar Internasional. Hasil analisis RCA membuktikan Kelapa sawit
Indonesia selama Periode 2008-2013 menunjukkan rata-rata indeks RCA sebesar
45,08. Nilai tersebut menunjukkan komoditas kelapa sawit Indonesia memiliki
daya saing tinggi di pasar Internasional. Laju perkembangan RCA pertahun
kelapa sawit Indonesia rata-rata meningkat setiap tahunnya sebesar 0,066 per
tahun.
Indeks RCA kelapa sawit Indonesia nilai tertinggi terdapat pada tahun
2013 dengan nilai 48,37. Indeks RCA kelapa sawit Indonesia terendah dalam
periode 2008-2013 terjadi pada tahun 2011 yaitu 38,32. Hal ini disebabkan karena
tingginya total ekspor Indonesia pada periode tersebut yaitu sebesar
203.496.620.000 US$ Berdasarkan Gambar 3 tersebut laju perkembangan indeks
RCA kelapa sawit Indonesia mengalami fluktuatif pada rentan waktu 2008-2013.
Pada periode tahun 2008-2011 nilai indeks RCA kelapa sawit Indonesia
mengalami penurunan, nilai RCA kelapa sawit menurun pada tahun 2008 sebesar
48,08 menjadi 47,71 pada tahun 2009, indeks RCA kelapa sawit kembali menurun
pada tahun 2010 yaitu sebesar 43,58 sampai menyentuh nilai indeks RCA 38,32
pada tahun 2011.Pada tahun 2012-2013 Indeks RCA kelapa sawit Indonesia
mengalami kenaikan kembali menjadi 44,44 dan menyentuh angka tertinggi 48,37
pada tahun 2013.
Sumber: FAO, 2017 (Diolah)
Gambar 3. Perkembangan Nilai Indeks RCA Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2008-
2013
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Nil
ai R
CA
Tahun
Perkembangan RCA Indonesia
46
Penyebab fluktuatifnya nlai indeks RCA kelapa sawit Indonesia adalah
nilai ekspor total yang cenderung naik. Kenaikan rata-rata nilai ekspor total
Indonesia dalam periode 2008-2013 yakni 7.6 % pertahun. Perubahan yang tidak
signifikan tersebut menjadikan nilai RCA cenderung menjadi negatif dikarenakan
peningkatan ekspor total Indonesia masih lebih tinggi dari peningkatan ekspor
kelapa sawit yang rata-rata pertahun dalam 2008-2013 bernilai 6.8%. Daya saing
suatu negara juga mempertimbangkan nilai ekspor total negara bersangkutan
(Sayogo, 2006 dalam firmansyah, 2008). Peningkatan nilai ekspor total dapat
menurunkan daya saing suatu negara jika tidak diimbangi dengan peningkatan
nilai ekspor komoditas tertentudari negara bersangkutan, dan berlaku sebaliknya,
peningkatan nilai ekspor komoditas dengan pertumbuhan nilai ekspor total suatu
negara yang kecil akan meningkatkan daya saing komoditas tersebut.
5.2.2 Perbandingan RCA Kelapa sawit Indonesia dengan Malaysia, Belanda
Papua Nugini dan Thailand
Posisi daya saing kelapa sawit negara penghasil kelapa sawit dunia dilihat
dari nilai RCA (Revealed Comparative Advantage) selama kurun waktu tertentu.
Konsep RCA yang didasarkan pada kondisi bahwa keuntungan komparatif suatu
negara akan tercapai apabila negara tersebut melakukan perdagangan dengan
negara lain, sehingga keunggulan komparatif diukur dengan cara membandingkan
bagian relatif (market share) dari ekspor suatu negara dan menunjukkan
perubahan bagian relatif sepanjang waktu (Anindita, 2008).
Berdasasrkan perhitungan RCA, hasil perhitungan RCA kelapa sawit dari
kelima negara tersebut, semua negara eksportir mempunyai nilai RCA lebih dari
satu,.Menurut Tambunan (2004) apabila nilai RCA lebih besar dari satu, maka
negara tersebut memiliki keunggulan komparatif untuk komoditas tertentu.
Sebaliknya jika nilai RCA lebih kecil dari satu berarti negara tersebut tidak
memiliki keunggulan komparatif.
47
Tabel 10. Nilai RCA Kelapa sawit Indonesia, Malaysia, Belanda, Papua Nugini
dan Thailand Tahun 2003-2013
Sumber : FAO, 2017 (Diolah)
Papua Nugini mempunyai nilai RCA rata-rata tertinggi kedua setelah
Indonesia pada tahun 2008-2013 yaitu 44,02. Hal tersebut diartikan peranan relatif
nilai ekspor kelapa sawit Papua Nugnini dalam nilai total ekspor vietnam 44,02
dari peranan relatif nilai ekspor dunia dalam nilai ekpor total dunia. Nilai rata-rata
RCA Papua Nugini dalam periode enam tahun memiliki nilai yang tidak jauh
berbeda dari nilai rata-rata RCA kelapa sawit Indonesia. Akan tetapi dilihat dari
laju perkembangan RCA dalam 6 tahun terakhir, nilai RCA kelapa sawit Papua
Nugini mengungguli Indonesia dengan pertambahan rata-rata nilai RCA sebesar
5,04 per tahun. Hal ini disebabkan oleh terjadi lonjakan angka Nilai RCA Papua
Nugini pada tahun 2013 yang sebelumnya hanya 40,89 pada tahun 2012 menjadi
63,54 pada periode setelahnya. Kondisi ini terjadi karena pada tahun tersebut
kontribusi ekspor kelapa sawit Papua Nugini mencapai US$ 456.777.000 dari
total nilai ekspor Papua Nugini sebesar US$ 4.007.308.000 yang merupakan
pencapaian tertinggi untuk periode 2008-2013 dalam kontribusi ekspor Papua
Nugini.
Malaysia mempunyai nilai RCA rata-rata ketiga setelah Indonesia dan
Papua Nugini yaitu sebesar 32,48. Nilai tersebut berarti peranan relatif nilai
ekspor kelapa sawit Malaysia dalam nilai total ekspor 32,48 dari peranan relatif
nilai ekspor dunia dalam nilai ekpor total dunia. Selama periode 2008-2013 kelapa
sawit Malaysia mencapai posisi tertinggi pada tahun 2011, Kondisi ini terjadi
karena pada tahun tersebut kontribusi ekspor kelapa sawit Malaysia mencapai
US$17.452.177.000 dari nilai total ekspor Malaysia sebesar US$226.992.681.000
Tahun
Nilai RCA
Indonesia Malaysia Belanda Papua
Nugini Thailand
2008 48,04 34,18 1,57 38,36 1,06
2009 47,71 31,57 1,45 46,25 0,31
2010 43,58 31,84 1,2 42,22 0,3
2011 38,32 14,73 1,47 32,86 0,79
2012 44,44 32,52 1,42 40,89 0,64
2013 48,37 30,05 1,62 63,54 1,06
Rata-Rata 45,08 32,48 1,46 44,02 0,69
48
yang merupakan pencapaian tertinggi untuk periode 2008-2013 dalam kontribusi
nilai ekspor Malaysia. Laju perkembangan RCA pertahun kelapa sawit
Malaysiarata-rata menurun setiap tahunnya sebesar 0,82 per tahun.
Pada urutan keempat kelapa sawit Belanda yang memiliki rata-rata RCA
1,46. Nilai sebesar 1,46 tersebut berarti peranan relatif nilai ekspor kelapa sawit
dalam ekspor Belanda lebih besar 1,46 dari peranan relatif nilai ekspor kelapa
sawit dunia dalam nilai ekspor dunia. Selama periode 2008-2013 nilai RCA
kelapa sawit Belanda mencapai posisi tertinggi pada tahun 2013 yaitu sebesar
1,62. Kondisi ini terjadi karena pada tahun tersebut kontribusi ekspor kelapa sawit
Belanda bernilai sebesar US$1.657.294.000 dari nilai total ekspor Belanda sebesar
US$571.246.854.000 yang merupakan pencapaian tertinggi untuk periode 2008-
2013 dalam kontribusi nilai ekspor. Dilihat dari laju perkembangan RCA, Belanda
mengalami peningkatan sebesar 0,008 pertahun.
Thailand ada pada urutan kelima, nilai rata-rata RCA kelapa sawit
Thailand sebesar 0,69. Nilai tersebut berarti peranan relatif nilai ekspor kelapa
sawit dalam nilai ekspor total Thailand lebih besar 0,69 dari peranan relatif nilai
ekspor kelapa sawit dalam nilai ekspor total dunia. Selama periode 2008-2013
kelapa sawit Thailand mencapai posisi tertinggi pada tahun 2008 dan 2013.
Kondisi ini terjadi karena pada tahun tersebut kontribusi ekspor kelapa sawit
Thailand pada tahun 2008 bernilai sebesar US$ 350.898.000 dari nilai total ekspor
Thailand sebesar US$ 175.907.915.000 dan kontribusi ekspor kelapa sawit
Thailand pada tahun 2013 bernilai US$ 433.744.000 dari total nilai eskpor
Thailand sebesar US$ 228.527.440.000 yang merupakan pencapaian tertinggi
untuk periode 2008-2013 dalam kontribusi nilai ekspor. Dilihat dari rata-rata laju
pertumbuhan RCA, kelapa sawit Thailand cenderung stabil setiap tahunya dalam
kurun waktu enam tahun terakhir. Tercatat laju RCA hanya mengalami sedikit
penurunan yaitu sebesar 0,0006.
Hasil perhitungan nilai RCA Indonesia rata-rata dalam enam tahun periode
2008-2013 sebesar 45,08. Jika dibandingkan nilai rata-rata RCA Indonesia
menempati posisi pertama jika dibandingkan dengan Malaysia, Belanda, Papua
Nugini dan Thailand yang rata-rata nilai RCA dalam periode 2008-2013 yaitu
masing-masing sebesar 32,48, 1,46, 44,02 dan 0,69. Hal tersebut disebabkan oleh
49
besarnya perbandingan nilai ekspor kelapa sawit dan total ekspor negara
Malaysia, Belanda, Papua Nugini dan Thailand lebih rendah daripada
perbandingan nilai rata-rata nilai ekspor kelapa sawit dan total ekspor Indonesia.
Kondisi laju pertumbuhan nilai RCA negara ekspor kelapa sawit dunia,
Indonesia menempati posisi kedua setelah Papua Nugini sebesar 0,066 poin
pertahun. Laju pertumbuhan rata-rata tiap tahun RCA yang mengalami kenaikan
adalah Papua Nugini sebesar 5,04 pertahun, Indonesia sebesar 0,066 pertahun dan
Belanda sebesar 0,008 pertahun. Laju pertumbuhan nilai RCA Thailand sendiri
selama periode 2008-2013 cenderung sama, hanya mengalami sedikit penurunan
sebesar 0,0006. Sedangkan untuk Malaysia laju pertumbuhan nilai RCA nya
menurun sebesar 0,8 pertahun. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 4
laju perkembangan nilai RCA negara eksportir kelapa sawit.
Sumber: FAO, 2017 (Diolah)
Gambar 4. Perkembangan Nilai RCA Negara Produsen Kelapa sawit Tahun 2008
2013
Gambar 4 menunjukkan laju perkembangan nilai RCA negara produsen
kelapa sawit.Papua Nugini merupakan negara yang memiliki nilai RCA tertinggi,
tercatat pada tahun 2013 nilai RCA Papua Nugini mencapai 63,54 namun masih
dibawah Indonesia dalam hal nilai RCA rata-rata dalam kurun waktu 2008-2013.
Dibandingkan dengan negara produsen lainnya, posisi Indonesia tergolong
memiliki daya saing yang sangat tinggi. Perkembangan nilai RCA Indonesia
menempati posisi pertama dunia dibandingkan negara-negara eksportir lainnya.
0
10
20
30
40
50
60
70
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Nila
i RC
A
Tahun
Indonesia
Malaysia
Belanda
Papua Nugini
Thailand
50
Negara Malaysia meskipun memiliki jumlah produksi dan ekspor kelapa sawit
tertinggi kedua setelah Indonesia, nilai RCA nya masih berada di bawah Papua
Nugini yang hanya menempati posisi keempat dalam hal ekspor kelapa sawit
setelah Belanda.
Kondisi daya saing rata-rata Indonesia atau posisi Indonesia terhadap
negara eksportir kelapa sawit memang terlampau tidak jauh selama tahun 2008-
2013. Indonesia mempunyai rata-rata nilai RCA Indonesia sebesar 45,08 (RCA ≥
1) yang berarti komoditas kelapa sawit Indonesia memiliki keunggulan
komparatif untuk dapat bersaing di pasar internasional, hasil ini diperoleh karena
tingginya kenaikan ekspor kelapa sawit Indonesia yang diikuti juga dengan
kenaikan ekspor total. Kenaikan rata-rata nilai ekspor total Indonesia dalam
periode 2008-2013 yakni 7.6 % pertahun dan kenaikan eskpor rata-rata kelapa
sawit Indonesia tiap tahunnya yang mengalami peningkatan 6.8% pertahun selama
periode 2008-2013. Dalam penelitian ini, negara pembanding yang digunakan
untuk menganalisa daya saing Indonesia di pasar inernasional diambil dari 5 besar
eksportir kelapa sawit terbesar dunia, namun tercatat tidak semua dari 5 besar
negara pengekspor kelapa sawit tersebut memiliki Nilai RCA ≥ 1. Dalam periode
2008-2013, Thailand hanya mampu mencapai nilai RCA 0,69 (RCA ≤1) yang
berarti komoditas kelapa sawit Thailand tidak memiliki keunggulan komparatif
untuk dapat bersaing di pasar internasional meskipun berada di posisi 5 besar
eksportir terbesar dunia, hal ini dikarenakan rendahnya kontribusi ekspor kelapa
sawit Thailand terhadap total ekspor Thailand secara keseluruhan, dibandingkan
dengan negara-negara pengekspor lain yang kontribusi ekspor kelapa sawit nya
lebih tinggi. Diperlukan implikasi kebijakan yang sesuai untuk meningkatkan dan
menjaga stabilitas nilai ekspor kelapa sawit pada tahun-tahun berikutnya,
sehingga kelapa sawit Indonesia dapat mempertahankan posisi daya saing yang
tinggi di pasar internasional.
51
5.3. Daya Saing Kelapa Sawit Berdasarkan Keunggulan Kompetitif
5.3.1. Analisis Pangsa Pasar (Market Share) Kelapa Sawit Indonesia
Analisis pangsa pasardalam penelitian ini digunakan untuk melihat trend
kemampuan daya saing yang dihadapi suatu negara terhadap komoditas kelapa
sawit. Dengan kata lain apakah suatu produk yang dimaksud memiliki keunggulan
kompetitif untuk bersaing dengan negara lain yang merupakan negara pesaingnya.
Strategi pemasaran bisa digolongkan atas dasar pangsa pasar yang
diperoleh suatu perusahaan, maka terbagi atas 4 kelompok, yaitu :
1. Market Leader, disebut pimpinan pasar apabila pangsa pasar yang dikuasai
berada pada kisaran 40% atau lebih.
2. Market Chalengger, disebut penantang pasar apabila pangsa pasar yang
dikuasai berada pada kisaran 21%-39%
3. Market Follower, disebut pengikut pasar apabila pangsa pasar yang dikuasai
berada pada kisaran 11%-20%.
4. Market Nicher, disebut juga penggarap relung pasar apabila pangsa pasar
yang dikuasai berada pada kisaran 10% atau kurang.
Analisis ini juga dapat dilihat sebagai rasio pertumbuhan suatu negara
untuk komoditas kelapa sawit terhadap rata-rata pertumbuhan komoditas tersebut
pada pasar dunia. Berdasarkan paparan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
untuk dapat bersaing dan bertahan di jajaran pasar internasional, maka suatu
produk hendaknya memiliki pangsa pasar yang lebih dominan dibanding negara-
negara pesaingnya
Selama periode penelitian, nilai pangsa pasar (market share) kelapa sawit
Indonesia hampir tidak mengalami perubahan, perkembangan nilai market share
kelapa sawit Indonesia selalu berada di kisaran zona Market Leader (40% atau
lebih) tiap tahunnya. Tercatat perkembangan nilai pangsa pasar Indonesia dari
tahun 2008-2013 41%, 44%, 45%, 43%, 46% dan 47%. Nilai market share kelapa
sawit Indonesia mencapai angka tertinggi yaitu 47% pada tahun 2013, jumlah
pangsa pasar tertinggi terjadi pada tahun tersebut disebabkan nilai ekspor kelapa
sawit dunia mengalami penurunan 8,3% sebesar US$ 4.602.993.000 dibandingkan
dengan penurunan total ekspor kelapa sawit Indonesia periode 2013 yang hanya
52
sebesar US$ 1.763.318.000, sedangkan nilai terendah dialami Indonesia pada
tahun 2008 yakni 41%.
Sumber: FAO, 2017 (Diolah)
Gambar 5. Hasil Perhitungan Pangsa Pasar Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2008-
2013
Stabil dan tingginya tingkat pangsa pasar yang dikuasai dalam
perdagangan kelapa sawit Indonesia disebabkan karena posisinya sebagai
eksportir terbesar dunia, Rata-rata jumlah ekspor kelapa sawit Indonesia pada
tahun 2008-2013 sebesar US$ 14.485.737.000. Jumlah pasar yang dikuasai selalu
bernilai lebih dari 40% pada tahun 2008 sampai 2013 hal ini dikarenakan oleh
tingginya nilai ekspor kelapa sawit Indonesia yang berbanding lurus dengan
tingginya nilai total ekspor kelapa sawit dunia. Jika dilihat nilai rata-rata pangsa
pasar dalam kurun waktu 2008-2013, Indonesia memiliki nilai rata-rata share
sebesar 44%. Dapat dikatakan rata-rata dalam enam tahun periode penelitian,
kemampuan daya saing kelapa sawit Indonesia di pasar Internasional megalami
trend kemampuan daya saing yang tinggi karena selama periode tersebut berada
dalam kelompok Market Leader atau pemimpin pasar (menguasai 40% atau lebih
pangsa pasar).
5.3.2. Perbandingan Jumlah Pangsa Pasar (Market Share) Kelapa Sawit
Indonesia Terhadap Negara Malaysia, Belanda, Papua Nugini dan
Thailand
Dalam perdagangan kelapa sawit Indonesia di pasar Internasional,
Indonesia bersaing dengan negara-negara lainnya seperti Malaysia, Belanda,
0
20
40
60
80
100
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Nila
i Sh
are
Tahun
Perkembangan Pangsa Pasar Indonesia
53
Papua Nugini dan Thailand. Tabel 8 merupakan nilai pangsa pasar dari negara-
negara pesaing Indonesia dalam mengekspor kelapa sawit di pasar Internasional,
yaitu Malaysia, Belanda, Papua Nugini dan Thailand. Berdasarkan perhitungan
yang dilakukan terhadap komoditi kelapa sawit negara tersebut, diperoleh bahwa
pada periode 2008-2013, nilai pangsa pasar rata-rata negara Indonesia, Malaysia,
Belanda, Papua Nugini dan Thailand sebesar 44,26%, 40,48%, 4,6%, 1,12% dan
0,89%. Negara Indonesia dan Malaysia mengusai sebagian besar pangsa pasar
kelapa sawit dunia dan berperan sebagai pemimpin pasar (Market Leader).
Sedangkan negara Belanda, Papua Nugini dan Thailand berada di kategori Market
Nicherdengan penguasaan pasar yang kurang dari 10%.
Tabel 11. Nilai Pangsa Pasar Indonesia, Malaysia, Belanda, Papua Nugini dan
Thailand Periode 2008-2013
Sumber: FAO, 2017 (Diolah).
Berdasarkan Tabel 11 dalam kurun waktu tahun 2008-2013, rata-rata nilai
pangsa pasar Malaysia mempunyai nilai yang tertinggi kedua setelah Indonesia
dari negara lainnya yaitu sebesar 40,48, yang berarti Malaysia memiliki tingkat
penguasaan pasarkelapa sawit yang besar di pasar Internasional. Dilihat dari segi
nilai ekspor kelapa sawit Malaysia memang berada di bawah Indonesia selaku
eksportir terbesar. Peningkatan nilai pangsa pasar ekspor kelapa sawit Malaysia
tertinggi terdapat pada tahun 2008 yaitu 42% dari total ekspor kelapa sawit dunia.
Hal ini disebabkan oleh nilai ekspor US$ 12.768.620.000 di tahun 2008.
Penurunan nilai ekspor kelapa sawit Malaysia terjadi tiga kali yaitu pada tahun
2009 sebesar 2,46%, tahun 2012 sebanyak 2,9% dan tahun 2013 sebanyak 3,73%.
Nilai rata-rata penguasaan pangsa pasar kelapa sawit Malaysia menunjukkan
Tahun
Nilai Pangsa Pasar
Indonesia Malaysia Belanda Papua
Nugini Thailand
2008 40,77 42,06 5,32 0,96 1,16
2009 44,35 39,6 5,01 1,3 0,38
2010 45,03 41,46 3,88 1,14 0,38
2011 42,62 43,09 4,25 0,99 0,8
2012 45,89 40,19 4,26 1 0,8
2013 46,92 36,46 4,91 1,35 1,26
Rata-Rata 44,26 40,48 4,6 1,12 0,89
54
Malaysia berperan sebagai tersebut pemimpin pasar dalam ekspor kelapa sawit
dunia
Nilai rata-rata pangsa pasar tertinggi setelah Malaysia ialah Belanda. Rata-
rata nialai pangsa pasar kelapa sawit Belanda dalam kurun waktu sepuluh tahun
yakni 2008-2013 yakni 4,6, yang berarti Belanda rata-rata mengalami trend daya
saing kelapa sawit yang lemah. Belanda merupakan negara eksportir terbesar
kelapa sawit untuk negara eropa. Pada periode 2008-2013 kelapa sawit
mengalami pertumbuhan nilai ekspor fluktiatif dan sempat mengalami trend daya
saing menurun. Trend penurunan nilai ekspor atau nilai pangsa pasar terjadi pada
tahun 2009 sebesar 0,31% dan pada tahun 2010 sebesar 1,13%. Pada tahun yang
lain mengalami trend positif atau nilai pangsa pasar yang meningkat. Nilai rata-
rata penguasaan pangsa pasar kelapa sawit Belanda menunjukkan Belanda
berperan sebagai tersebut Market Nicher atau penggarap relung pasar dalam
ekspor kelapa sawit dunia (nilai pangsa pasar sebesar 10% atau kurang)
Papua Nugini merupakan negara ekspor kelapa sawit dengan nilai pangsa
pasar rata-rata setelah Belanda yaitu 1,13. Hal tersebut berarti rata-rata ekspor
Papua Nugini mengalami trend daya saing yang lemah. Ekspor kelapa sawit
Papua Nugini tahun 2013 sebesar US$ 456.777.000 mengakibatkan nilai
penguasaan pangsa pasar mencapai titik tertinggi pada periode tersebut sebesar
1,35% dari total pasar kelapa sawit dunia. Nilai rata-rata penguasaan pangsa
pasar kelapa sawit Papua Nugini menunjukkan Papua Nugini berperan sebagai
tersebut Market Nicher atau penggarap relung pasar dalam ekspor kelapa sawit
dunia (nilai pangsa pasar sebesar 10% atau kurang)
Thailand merupakan negara ekspor kelapa sawit dengan rata-rata nilai
pangsa pasar ke-5 dan terakhir dengan nilai yang tidak mencapai 1% satu yaitu
0,89. Dapat dikatakan bahwa dari segi penguasaan pasar, kelapa sawit Thailand
pada periode 2008-2013 mengalami trend daya saing yang lemah. Ekspor kelapa
sawit Thailand tahun 2013 sebesar US$ 433.744.000 mengakibatkan nilai
penguasaan pangsa pasar mencapai titik tertinggi pada periode tersebut sebesar
1,28% dari total pasar kelapa sawit dunia. Nilai rata-rata penguasaan pangsa
pasar kelapa sawit Thailand menunjukkan Thailand berperan sebagai tersebut
55
Market Nicher atau penggarap relung pasar dalam ekspor kelapa sawit dunia (nilai
pangsa pasar sebesar 10% atau kurang).
Hasil perhitungan nilai pangsa pasar Indonesia rata-rata dalam enam tahun
periode 2008-2013 sebesar 44,26%. Jika dibandingkan nilai rata-rata penguasaan
pangsa pasar kelapa sawit Indonesia menempati posisi pertama jika dibandingkan
dengan Malaysia, Belanda, Papua Nugini dan Thailand yang rata-rata nilai market
share dalam periode 2008-2013 yaitu masing-masing sebesar 44,26%, 40,48%,
4,6%, 1,12% dan 0,89%. Hal tersebut disebabkan oleh besar perbandingan nilai
ekspor kelapa sawit negara-negara tersebut dengan nilai total ekspor dunia lebih
rendah daripada perbandingan nilai rata-rata nilai ekspor kelapa sawit Indonesia
dan total ekspor dunia. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 6 dan 7 laju
perkembangan nilai pangsa pasar negara eksportir kelapa sawit
Sumber: FAO, 2017 (Diolah)
Gambar 6. Perkembangan Nilai Pangsa Pasar Negara Produsen Kelapa sawit
Tahun 2008-2013
Gambar 6 dan 7 menunjukkan laju perkembangan nilai RCA negara
produsen kelapa sawit.Pada tahun 2013 Indonesia mencatatkan nilai share
tertinggi pada tahun 2013 sebesar 46,92%, angka tersebut merupakan angka
penguasaan pangsa pasar tertinggi yang pernah dicapai oleh negara-negara
pengeskpor kelapa sawit dunia pada tahun 2008-2013. Dibandingkan dengan
negara produsen lainnya, posisi Indonesia tergolong memiliki daya saing yang
sangat tinggi.Perkembangan nilai penguasaan pangsa pasar Indonesia menempati
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Nila
i Pa
ngs
a P
asa
r
Tahun
Indonesia
Malaysia
Belanda
Papua Nugini
Thailand
56
posisi pertama dunia dibandingkan negara-negara eksportir lainnya diikuti oleh
Negara Malaysia.
Sumber: FAO, 2017 (Diolah)
Gambar 7. Nilai Rata-rata Kontribusi Negara-Negara Produsen Kelapa Sawit
Terhadap Total Ekspor Kelapa Sawit Dunia Tahun 2008-2013
Dalam penelitian ini, negara pembading yang digunakan untuk
menganalisa daya saing Indonesia di pasar inernasional diambil dari 5 besar
eksportir kelapa sawit terbesar dunia, namun bagaimanapun tercatat tidak semua
dari 5 besar negara pengekspor kelapa sawit tersebut menguasai pangsa pasar
kelapa sawit dunia. Dalam periode 2008-2013 Papua Nugini, Belanda dan
Thailand hanya mampu mencapai nilai pangsa pasar sebesar 4,6% 1,12% dan
0,89% (Share≤ 10%) yang berarti komoditas kelapa sawit Papua Nugini, Belanda
dan Thailand hanya bersaing sebagai Market Nicher atau penggarap relung pasar
untuk bersaing di pasar internasional meskipun statusnya berada di posisi 5 besar
eksportir terbesar dunia.Kondisi penguasaan rata-rata Indonesia atau posisi
Indonesia terhadap negara eksportir kelapa sawitsendiri memang terlampau tidak
jauh selama tahun 2008-2013 dibandingkan oleh negara yang menempati posisi
kedua yaitu Malaysia. Indonesia dan Malaysia mempunyai rata-rata nilai pangsa
pasar sebesar 44,26% dan40,28% yang berarti komoditas kelap sawit kedua
negara tersebut menguasai mayoritas pangsa pasar untuk dapat bersaing di pasar
internasional.
44.26
40.48
4.61.12
0.89
8.65
Penguasaan Pangsa Pasar Sawit Dunia
Indonesia
Malaysia
Belanda
Papua Nugini
Thailand
Lainnya
57
5.4. Daya Saing Berdasarkan Penawaran Dan Permintaan Domestik
Indeks Spesalisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk menganalisis
posisi atau tahapan perkembangan suatu produk. Nilai ISP akan menggambarkan
apakah untuk suatu komuditas tersebut, negara produsen menjadi negara eksportir
atau importir. Indeks ISP yang dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran suatu
komoditas, dimana ekspor mencerminkan suplai domestik dan impor adalah
permintaan domestik, dapat disimpulkan sesuai dengan teori perdagangan
internasional net of surplus, ekpor akan terjadi terhadap negara produsen apabila
terdapat kelebihan atas barang tersebut dipasar domestik. Hubungan Indeks
ekspor dan impor dengan daya saing menurut Tambunan (2001) apabila suatu
negara mempunyai daya saing yang lebih tinggi daripada negara lain untuk jenis
komoditas atau produk yang sama, maka suatu negara cenderung menjadi
pengekspor komoditas atau produk yang bersangkutan, namun apabila suatu
negara cenderung menjadi pengimpor maka daya saingnya akan rendah.
Nilai ISP mempunyai kisaran antara -1 sampai dengan +1, jika nilainya
positif (0 sampai dengan 1) dapat diartikan bahwa komoditas tersebut mempunyai
daya saing kuat atau negara produsen komoditas tersebut cenderung sebagai
pengekspor (suplai domestik lebih besar daripada permintaan domestik).
Sebaliknya suatu komoditas dikatakan mempunyai daya saing rendah atau negara
produsen cenderung bertindak sebagai pengimpor (suplai domestik lebih kecil
dari permintaan domestik) jika nilai indeks negatif (dibawah 0 hingga -1). ISP
digunakan juga untuk mengidentifikasi perkembangan perdagangan suatu
komoditi, menurut kementrian perdagangan (2013), tahap pengenalan (-1.00
sampai -0.50), subtitusi impor (antara -0.51 sampai 0.00), pertumbuhan (antara
0.01 hingga 0.80), kematangan (antara 0.81 sampai 1.00), dan kembali
mengimpor (antara 1.00 hingga 0.00).
5.4.1. Analisis ISP Komoditas Kelapa sawit Indonesia
Kelapa sawit Indonesia berpeluang menjadi eksportir kelapa sawit di pasar
Internasional jika dilihat dari indeks spesalisasi perdagangan. Nilai indeks
spesalisasi perdagangan kelapa sawit Indonesia selama periode 2008-2013
menunjukkan nilai positif rata-rata sebesar 0,997. Nilai tersebut dapat diartikan
58
suplai domestik lebih tinggi daripada permintaan domestik sehingga Indonesia
cenderung berperan sebagai eksportir untuk komoditas kelapa sawit.
Perkembangan indeks spesalisasi perdagangan kelapa sawit indonesia
tercatat stabil, dalam periode 2008-2013 perubahan indeks spesalisasi
perdagangan kelapa sawit tidak mengalami perubahan yang jauh, nilai tertinggi
terdapat pada tahun 2012 yakni 1. kegiatan impor akan mempengaruhi nilai
indeks spesalisasi perdagangan, hubangan nilai impor barbanding terbalik dengan
nilai indeks spesalisasi perdagangan. Berikut bentu grafik perkembangan indeks
spesalisasi perdagangan kelapa sawit Indonesia periode 2008-2013 pada gambar
8.
Sumber: FAO, 2017 (Diolah)
Gambar 8. Perkembangan Nilai ISP Kelapa sawit Indonesia Tahun 2008-2013
Selama periode penelitian, nilai indeks spesalisasi perdagangan (ISP)
Indonesia hampir tidak mengalami perubahan. Perkembangan nilai ISP kelapa
sawit Indonesia selalu berada di kisaran zona nilai kematangan (antara 0.81
sampai 1.00) tiap tahunnya. Tercatat perkembangan nilai ISP Indonesia dari tahun
2008-2013 yaitu 0,9992, 0,9975, 0,9972, 0,9944, 1, dan 0,9941.Nilai ISP kelapa
sawit Indonesia mencapai angka tertinggi yaitu 1 pada tahun 2012, nilai indeks
spesalisasi perdagangan tertinggi terjadi pada tahun tersebut disebabkan nilai
impor kelapa sawit berada di titik paling kecil yaitu sebesar US$ 831.000
dibandingkan dengan nilai impor lain dalam periode 2008-2013. Pada tahun 2012
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Nila
i ISP
Tahun
Perkembangan ISP Indonesia
59
juga, nilai ekspor ekspor kelapa sawit mengalami puncak nilai ekspor tertinggi
yaitu sebesar US$ 17.602.169.000 dibandingkan dengan tahun-tahun lain dalam
periode penelitian, sedangkan nilai terendah dialami Indonesia pada tahun 2013
yakni 0,9941.
Stabil dan tingginya nilai Indeks spesialisasi perdagangan kelapa sawit
Indonesia disebabkan karena posisinya sebagai eksportir terbesar dunia dan
jumlah impor kelapa sawit Indonesia yang hanya sedikit tiap tahunnya, Indonesia
tidak banyak mengimpor kelapa sawit karena sudah melimpahnya jumlah kelapa
sawit untuk konsumsi dalam negeri (excess supply). Rata-rata jumlah ekspor
kelapa sawit Indonesia pada tahun 2008-2013 sebesar US$ 14.485.737.000 dan
rata-rata impor sebesar US$ 21.457.000.
5.4.2. Perbandingan ISP Kelapa sawit Indonesia, Malaysia, Belanda, Papua
Nugini dan Thailand
Hasil analisis ISP dari masing-masing negara produsen kelapa sawit
selama periode 2008-2013 menunjukkan perbedaan yang signifikan. Nilai
perbandingan Indeks Spesialisasi Perdagangan lima negara produsen kelapa sawit
dapat dilihat pada Tabel 12. Indonesia mempunyai rata-rata nilai ISP bernilai
positif sebesar 0,998 selama periode 2008-2013 (tabel 12). Nilai tersebut
menunjukkan bahwa penawaran domestik lebih besar dari permintaan domestik
sehingga Indonesia cenderung sebagai eksportir kelapa sawit. Negara produsen
kelapa sawit lainya seperti Malaysia, Belanda, Papaua Nugini, dan Thailand nilai
indeks spesalisasi perdagangan kelapa sawit dapat dilihat pada tabel 12.
Negara eksportir kelapa sawit pada periode 2008-2013 dengan nilai rata-
rata indeks spesalisasi perdagangan tertinggi ialah Indonesia dengan nilai 0,997.
Nilai tersebut dalam kategori tahap pematangan, dimana permintaan domestik
lebih kecil dari penawaran sehingga Indonesia untuk komuditas kelapa sawit
bertindak sebagai eksportir. Nilai Indeks spesalisasi perdagangan kelapa sawit
Indonesia nilainya seluruhnya positif dengan nilai 1 untuk tahun 2008-2013. Nilai
tersebut terjadi karena kegiatan impor yang hanya sedikit menjadikan Indonesia
hanya bertindak sebagai eksportir. Meskipun tren impor kelapa sawit Indonesia
cenderung naik, namun rata-rata nilai indeks spesialisasi perdagangan Indonesia
60
tetap bernilai 1, hal ini dikarenakan tingginya nilai ekspor kelapa sawit Indonesia
sehingga yang melampaui tingkat impor kelapa sawit Indonesia.
Jika dibandingkan nilai rata-rata ISP Indonesia menempati posisi pertama
jika dibandingkan dengan Malaysia, Belanda, Papua Nugini dan Thailand yang
rata-rata nilai RCA dalam periode 2008-2013 yaitu masing-masing sebesar 0,86,
-0,12, 0,96 dan 0,86. Hal tersebut disebabkan oleh perbandingan nilai ekspor
dengan impor kelapa sawit negara Malaysia, Belanda, Papua Nugini dan Thailand
lebih rendah dari perbadingan nilai eskpor dengan impor kelapa sawit Indonesia
Tabel 12. Nilai ISP Indonesia, Malaysia, Belanda, Papua Nugini dan Thailand
Tahun 2008-2013
Sumber: FAO, 2017 (Diolah)
Papua Nugini merupkan produsen kelapa sawit yang mempunyai nilai
rata-rata tertinngi kedua yakni 0,96. Nilai tersebut masuk kedalam katagori
pematangan, dan berarti penawaran domestik kelapa sawit Papua Nugini lebih
besar dari permintaan domestik sehingga Papua Nugini untuk komuditas kelapa
sawit bertindak sebagai eksportir. Nilai indeks spesalisai perdagangan kelapa
sawit Papua Nugini stabil dikarenakan sedikitnya impor kelapa sawit dengan nilai
ekspor yang tinggi. Nilai tertinggi impor kelapa sawit Papua Nugini pada tahun
2012 hanya bernilai US$ 18.500.000 dengan rata-rata periode 2008-2013 US$
8.462.000 pertahunya.
Malaysia menempati urutan ketiga setelah Papua Nugini, nilai indeks
spesalisasi perdagangan kelapa sawit tanzania rata-rata dalam periode kurun
waktu 2008-2013 yaitu 0,86. Nilai tersebut masuk ke kategori pematangan, hal
tersebut terjadi karena penawaran domestik kelapa sawit Malaysia lebih besar
daripada permintaan domestik sehingga Malaysia untuk komuditas kelapa sawit
Tahun
Nilai ISP
Indonesia Malaysia Belanda Papua
Nugini Thailand
2008 0,99 0,91 -0,02 0,98 0,83
2009 0,99 0,86 -0,06 0,97 0,98
2010 0,99 0,84 -0,12 0,99 0,98
2011 0,99 0,80 -0,08 0,98 0,65
2012 1 0,80 -0,26 0,91 0,75
2013 0,99 0,95 -0,21 0,96 1
Rata-Rata 0,99 0,86 -0,12 0,96 0,86
61
bertindak sebagai eksportir. Nilai indeks spesalisasi perdagangan kelapa sawit
Malaysia berada di titik terrendah pada tahun 2011 dan 2012 sebesar 0,80, hal
tersebut terjadi karena pada tahun tersebut Malaysia melakukan impor kelapa
sawit senilai US$ 1.938.524.000 dan US$ 1.701.803.000 yang merupakan nilai
impor tertinggi selama periode 2008-2013.
Negara eksportir kelapa sawit selanjutnya ialah Thailand, walaupun dalam
segi nilai ekspor kelapa sawit Thailand menempati posisi terakhir dalam 5 negara
eksportir kelapa sawit setelah Papua Nugini, namun nilai rata-rata indeks
spesalisasi perdagangan kelapa sawit Thailand berada pada urutan ke empat yakni
0,86, hanya berbeda tipis dengan Malaysia. Nilai tersebut masuk ke kategori
pematangan, hal tersebut terjadi karena penawaran domestik kelapa sawit
Thailand lebih besar daripada permintaan domestik, sehingga Thailand untuk
komoditas kelapa sawit bertindak sebagai eksportir. Fluktuasi nilai indeks
spesalisasi perdagangan kelapa sawit Thailand disebabkan kegiatan impor kelapa
sawit yang cukup tinggi dengan rata-rata US$ 27.197.000 dalam periode 2008-
2013. Nilai terendah indeks spesalisasi perdagangan kelapa sawit India terdapat
pada tahun 2011 yakni 0,65, hal tersebut terjadi karena pada tahun tersebut
Thailand melakukan impor kelapa sawit senilai US$ 84.338.000 merupakan nilai
impor tertinggi selama periode 2008-2013.
Belanda meskipun merupakan salah satu negara eksportir kelapa sawit
tertinggi, namun nilai rata-rata indeks spesalisasi perdagangan Belanda tercatat
negatif sebesar -0,12. Nilai negatif dalam indeks spesalisasi perdagangan berarti
peran Belanda untuk komoditas kelapa sawit sebagai importir, dikarenakan
permintaan domestik kelapa sawit lebih besar daripada penawaran domestik.
Belanda merupakan produsen kelapa sawit, namun keberadaan kelapa sawit
Belanda masih lebih banyak berasal dari kegiatan impor yang dilakukan.
Meskipun Belanda merupakan tujuan impor bagi produsen kelapa sawit, pasokan
kelapa sawit Belanda sangat cukup dengan nilai ekspor rata-rata dalam periode
2008-2013 yakni US$1.493.014.000 dan rata-rata impor kelapa sawit sebesar US$
1.965.783.000.
63
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dihasilkan dari hasil penelitian daya saing kelapa
sawit Indonesia di pasar Internasional sebagai berikut :
1. Kelapa sawit Indonesia dalam perdagangan Internasional mempunyai daya
saing, hal tersebut ditunjukkan oleh hasil analisis RCA kelapa sawit
Indonesia menunjukkan rata-rata RCA > 1 yakni 45,08. Jika dibandingkan
negara pesaing nilai rata-rata RCA Indonesia menempati posisi teratas, diikuti
Papua Nugini, Malaysia, Belanda dan Thailand yang rata-rata nilai RCA
dalam periode 2008-2013 yaitu masing-masing sebesar 44,02, 32,48, 1,46 dan
0,69.
2. Perhitungan pangsa pasar (Market Share) menunjukkan pertumbuhan trend
kemampuan daya saing yang dihadapi suatu Negara terhadap komoditas
kelapa sawit. Indonesia memiliki nilai rata-rata pangsa pasar yang sangat
tinggi, yaitu 44,26 dari total pasar ekspor kelapa sawit dunia dan berperan
sebagai pemimpin pasar. Dapat dikatakan rata-rata dalam enam tahun
kemampuan daya saing kelapa sawit Indonesia di pasar Internasional
megalami trend kemampuan daya saing yang kuat. Jika dibandingkan dangan
nilai rata-rata pangsa pasar negara pesaing Malaysia sama-sama memiliki
posisi sebagai pemimpin pasar. Namun untuk kelapa sawit Belanda, Papua
Nugini dan Thailand mengalami trend daya saing yang rendah dan hanya
berperan sebagai penggarap relung pasar
3. Indonesia dalam spesalisasi perdagangan kelapa sawit internasional
cenderung memiliki peran eksportir. Hal tersebut berdasarkan analisis ISP
selama periode 2008-2013 yang menunjukkan nilai positif rata-rata sebesar
0,997. Nilai positif ISP juga terjadi pada kelapa sawit Papua Nugini, Malaysia
dan Thailand yaitu masing-masing sebesar 0,96, 0,86 dan 0,86 Hal berbeda
terjadi pada kelapa sawit Belanda, nilai ISP rata-rata periode 2008-2013
bernilai negatif yakni -0,12, atau peran Belanda untuk komoditas kelapa sawit
cenderung menjadi importir.
64
6.2. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan dari hasil analisis daya saing kelapa
sawit Indonesia di pasar internasional yaitu
1. Pemerintah diharapkan menjalin kerjasama dengan pihak perbankan untuk
menggeliatkan program pengolahan kelapa sawit beserta bantuan modal
dikarenakan komoditas kelapa sawit termasuk perkebunan rakyat dalam
wilayah marginal. Nilai tambah dari kegiatan pengolahan harus ditunjang
pemerintah dari segi teknologi, modal dan infrastruktur.
2. Untuk meningkatkan daya saing, pelaku bisnis kelapa sawit hendaknya
meningkatkan secara kualitas dan kuantitas produksi tanaman kelapa sawit.
Tanaman kelapa sawit yang awalnya sebagai tanaman perbaikan lahan kritis
harus ditingkatkan produksinya berdasarkan teknologi untuk mengoptimalkan
hasil panen dan produksi, yang berpengaruh langsung pada tingkat daya saing
kelapa sawit Indonesia di pasar internasional.
3. Penelitian ini hanya membahas tentang posisi daya saing kelapa sawit
Indonesia di pasar internasional berdasarkan keunggulan kompetitif dan
komparatif, tanpa adanya saran dan tindak lanjut untuk mempertahankan atau
meningkatkan keungulan-keunggulan tersebut, oleh karena itu untuk
penelitian selanjutnya diharapkan agar bisa merumuskan strategi-strategi
pengembangan ekspor kelapa sawit Indonesia di pasar internasional
berdasarkan data-data yang telah diolah dan diteliti sebelumnya, karena
tingginya keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki komoditas ini.
65
DAFTAR PUSTAKA
Anindita, Ratya. dan R. Reed, Michael. 2008. Bisnis dan Perdagangan
Internasional. Andi Publisher. Jakarta.
Anggit R.Y, Suyartiri Made dan Suprihanti A. 2012. Analisis daya saing CPO di
Pasar Internasional. Journal. Fakultas Pertanian UPN. Yogjakarta.
Apridar. 2009. Ekonomi Internasional Sejarah, Teori, konsep, dan Permasalahan
Dalam Aplikasinya. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Budiman, A. F. S. 2004. The Global NR Industry: Corrent Development and
Future Prospects. Jakarta.
Charles W. Lamb, Joseph F. Hair, Carl Mcdaniel. 2001. Pemasaran. Edisi
Pertama, Salemba Empat. Jakarta.
Dewan Minyak Sawit Indonesia. 2010. Fakta Kelapa Sawit Indonesia. DMSI.
Jakarta.
Febritanthi, Sri Ana. 2014. Analisis Daya Saing Ekspor Teh Hitam Indonesia di
Pasar Internasional. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Malang.
Firmansyah, Lukman. 2008. Posisi Daya Saing dan Spesalisasi Perdagangan Teh
Indonesia Dalam Menghadapi Globalisasi. Skripsi. Fakultas pertanian
Universitas Brawijaya. Malang.
Food Agricultural Organization Statistic. 2017. Ekspor Impor Negara di Dunia.
Available at. http://www.fao.org/faostat/en/#data/TP/visualize. Diakses
tanggal 17 Juli 2017.
Halwani, H. 2005. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi (Edisi
Kedua). Ghalia Indonesia. Bogor.
Hady, H. 2004. Ekonomi Internasional: Teori Kebijakan Perdagangan
Internasional. Jilid Satu. Edisi Revisi. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Hariyadi, Purwiyanto dkk. 2003. Kumpulan Abstrak Hasil Riset Industri Hilir
Kelapa Sawit. Menristek dan Maksi. Jakarta.
Kementrian Perdagangan. 2012. Informasi Khusus Produk Kelapa Sawit.
Available at http://inatrims.kemendag.go.id/id/product/detail/palmoil-
andcpo-preparations. Diakses tanggal 17 Juli 2017.
66
Kementerian Perdagangan. 2012. Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor atas Barang Ekspor
yang Dikenakan Bea Keluar. Kemendag. Jakarta.
Meryana, Ester. 2007. Analisis Daya Saing Kopi Robusta Indonesia di Pasar
Internaional. Skripsi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.
Muslim. C. 2006. Analisis Daya Saing Produk Ekspor Agroindustri Komoditas
Berbasis Kelapa di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. Jakarta.
Pahan I. 2011. Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Porter, Micheal E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. Free Press. New
York.
Pusat Data dan Informasi Pertanian (Pusdatin). 2014. Buku Statistik Makro
Pertanian. Kementrian Pertanian. Jakarta.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2006. Potensi dan Peluang Investasi Industri
Kelapa Sawit Indonesia. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Robbins, S.P. dan M. Coulter. 1999. Manajemen. T. Hermaya [penerjemah]. Jilid
Satu. Edisi ke-enam. PT. Prenhalindo. Jakarta.
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Erlangga. Jakarta.
Sunarko. 2008. Petunjuk Praktis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit.
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Sutawi. 2002. Manajemen Agribisnis. Bayumedia. Malang.
Tambunan, Tulus. 2001. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran.
PT. Pustaka LP3S. Jakarta.
Tambunan, Tulus. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia: Beberapa
Isu Penting. Ghalia. Jakarta.
Tambunan, Tulus. 2004. Globalisasi dan Perdagangan Internasional. PT. Pustaka
LP3S. Jakarta.
UN Comtrade. 2017. Ekspor Impor Negara di Dunia. Available at.
http://comtrade.un.org. Diakses tanggal 17 Juli 2017.
William J. Stanton. 1984. Prinsip Pemasaran. Erlangga. Jakarta.