Top Banner
ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 93/PUU-X/2012 (STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA) Oleh : Abdurrahman Rahim, SH.I.,MH 1 * Abstrak Tulisan ini mengangkat tentang sejauh mana kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah umumnya dan perbankan syariah khususnya pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 mengenai Judicial Review atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Isu utama sesungguhnya adalah sejauh mana pemahaman atas putusan MK benar-benar memberikan kewenangan mutlak kepada Peradilan Agama tanpa ada lagi pilihan forum penyelesaian ke Peradilan Umum. Lalu bagaimana dengan pilihan forum lain secara Non litigasi dalam penjelasan pasal 55 ayat 2 tersebut, apakah ikut tidak berkekuatan hukum mengikat lagi? Tulisan ini bisa dikatakan bersifat deskriptif analitis dalam penyajiannya, dimulai dari penyajian kewenangan PA pasca Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan Agama, berlanjut kepada pasca Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan pada akhirnya Pasca Putusan MK sendiri. Data-data yang digunakan adalah data primer, sekunder termasuk data terkini seperti wawancara dengan Ketua Mahkamah Konstitusi pasca putusan MK yang dicoba dikomparasikan sebagai bahan analisis. Sesuai dengan analisa hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa choice of forum baik secara litigasi (Peradilan Umum) maupun non litigasi untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah yang di tentukan dalam penjelasan pasal 55 ayat 2 Undang-Undang No 21 tahun 2008 tidak lagi mempunyai hukum mengikat secara keseluruhannya tanpa terkecuali. Peradilan Agama sebagai satu-satunya lembaga litigasi yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah, namun jika para pihak sepakat untuk tidak menyelesaikan di Peradilan Agama, maka ketentuan penyelesaian dengan memilih forum di luar Peradilan Agama (non litigasi) dapat dibenarkan manakala ada kesepakatan tertulis terlebih dahulu diantara para pihak dan forum penyelesaian tersebut tidak bertentangan dengan prinsip- prinsip syariah (pasal 55 ayat 2 dan 3). Tulisan ini sangat disadari banyak kekurangan dari segala sisi baik cara penulisan hingga pemaparan analisisnya, saran dan kritik sangat membantu penulis untuk memperbaikinya di masa yang akan datang. I. PENDAHULUAN Jauh sebelum putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 mengenai judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diketok pada tanggal 29 Agustus 2013, polemik mengenai pasal yang dimohonkan oleh Pemohon untuk dijudicial review sudah sering diangkat dalam diskusi-diskusi, seminar, penelitian, jurnal bahkan sudah 1 *Hakim pada Pengadilan Agama Sambas-Kalimantan Barat 1
21

ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

May 12, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 93/PUU-X/2012 (STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA)

Oleh : Abdurrahman Rahim, SH.I.,MH 1*

Abstrak

Tulisan ini mengangkat tentang sejauh mana kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah umumnya dan perbankan syariah khususnya pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 mengenai Judicial Review atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Isu utama sesungguhnya adalah sejauh mana pemahaman atas putusan MK benar-benar memberikan kewenangan mutlak kepada Peradilan Agama tanpa ada lagi pilihan forum penyelesaian ke Peradilan Umum. Lalu bagaimana dengan pilihan forum lain secara Non litigasi dalam penjelasan pasal 55 ayat 2 tersebut, apakah ikut tidak berkekuatan hukum mengikat lagi?

Tulisan ini bisa dikatakan bersifat deskriptif analitis dalam penyajiannya, dimulai dari penyajian kewenangan PA pasca Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan Agama, berlanjut kepada pasca Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan pada akhirnya Pasca Putusan MK sendiri. Data-data yang digunakan adalah data primer, sekunder termasuk data terkini seperti wawancara dengan Ketua Mahkamah Konstitusi pasca putusan MK yang dicoba dikomparasikan sebagai bahan analisis.

Sesuai dengan analisa hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa choice of forum baik secara litigasi (Peradilan Umum) maupun non litigasi untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah yang di tentukan dalam penjelasan pasal 55 ayat 2 Undang-Undang No 21 tahun 2008 tidak lagi mempunyai hukum mengikat secara keseluruhannya tanpa terkecuali. Peradilan Agama sebagai satu-satunya lembaga litigasi yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah, namun jika para pihak sepakat untuk tidak menyelesaikan di Peradilan Agama, maka ketentuan penyelesaian dengan memilih forum di luar Peradilan Agama (non litigasi) dapat dibenarkan manakala ada kesepakatan tertulis terlebih dahulu diantara para pihak dan forum penyelesaian tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah (pasal 55 ayat 2 dan 3).

Tulisan ini sangat disadari banyak kekurangan dari segala sisi baik cara penulisan hingga pemaparan analisisnya, saran dan kritik sangat membantu penulis untuk memperbaikinya di masa yang akan datang.

I. PENDAHULUAN

Jauh sebelum putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 mengenai judicial review terhadap

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diketok pada tanggal 29

Agustus 2013, polemik mengenai pasal yang dimohonkan oleh Pemohon untuk dijudicial

review sudah sering diangkat dalam diskusi-diskusi, seminar, penelitian, jurnal bahkan sudah

1 *Hakim pada Pengadilan Agama Sambas-Kalimantan Barat

1

Page 2: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

pernah diajukan materi permohonan serupa ke MK oleh seorang dosen Universitas Islam

Indonesia bernama Dadan Muttaqien meskipun pada akhirnya dicabut (hukumonline.com).

Hasil penelitian atau seminar seakan mengerucut kepada kesimpulan bahwa Undang-Undang

Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah akan menuai pertentangan di kemudian

hari dikarenakan salah satu materi Undang-Undang tersebut, yaitu Pasal 55 ayat 2 dan 3

beserta penjelasannya berpotensi menimbulkan legaldisorder (kegaduhan hukum). (Tesis.

Abdurrahman Rahim, UGM: 2011)

Pasal 55

(1). Penyelesaian sengketa Perbankan syari'ah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;

(2). Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad.

(3). Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syariah.

Penjelasan Pasal 55

(1) Cukup jelas

(2) Yang dimaksud dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad” adalah upaya sebagai berikut;

a. Musyawarah;

b. Mediasi perbankan;

c. Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

d. Melalui pengadilan dalam lingkungan dalam Peradilan Umum.

(3) Cukup jelas.

Dalam Pasal 55 ayat 1 tersebut secara jelas menyatakan bahwa lembaga yang

berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syari'ah adalah Peradilan Agama. Hal ini

memperkuat atau sejalan dengan ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun

2006 tentang Peradilan Agama bahwa “Pengadilan Agama bertugas, berwenang memeriksa,

memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama

Islam di bidang; …(i) ekonomi syari’ah”. Secara yuridis tidak ada yang dilanggar dalam Pasal

2

Page 3: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

55 ayat 1 tersebut dikarenakan telah singkron dengan Undang-Undang yang mengatur

sebelumnya.

Dalam penjelasan Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 dinyatakan

apabila para pihak memperjanjikan maka penyelesaian dapat dilakukan sesuai akad. Manakala

dilihat pada penjelasan Pasal 55 ayat 2 tersebut, pilihan penyelesaian sesuai akad tersebut

“dibatasi” di antaranya melalui jalur non litigasi dan litigasi. Diantara pilihan melalui non

litigasi adalah jalur musyawarah, mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah

Nasional (Basyarnas), sementara jalur litigasi adalah melalui Peradilan Umum.

Hasil analisa yuridis bahwa Pasal 55 ayat 2 tersebut terjadi dualisme penyelesaian

sengketa ekonomi syariah, dimana Pasal 55 ayat 2 memberi ruang yang sama dalam hal

kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah kepada “Peradilan Umum”. Ketua

Kamar Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, DR. H. Andi Syamsu Alam, SH,.MH

menyatakan bahwa ada kesan dari pembuat Undang-Undang bahwa yang berwenang

mengadili sengketa Perbankan syari'ah adalah dua badan peradilan yaitu Peradilan Agama

dan juga Peradilan Umum.

“pada waktu Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 lahir, PA secara Absolut menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, termasuk perbankan syari'ah, adanya undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah ada pandangan pembuat Undang-Undang bahwa dua-duanya (PA-PN) berwenang mengadili, kita tidak tahu mengenai politik hukumnya kenapa sampai ini terjadi karena itu wewenang pemerintah dan DPR,” (wawancara, 29 Nopember 2010 di ruang Kerja Tuada Uldilag MARI)

Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 secara yuridis dinilai

bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

Kenapa Undang-Undang yang datang kemudian bisa bertentangan dengan Undang-Undang

yang sebelumnya sudah mengatur tentang forum penyelesaian sengketa? Disinilah mulai

perdebatan panjang mengenai produk hukum Undang-Undang tentang Perbankan Syariah

yang pertama kali lahir hingga pada lahirnya putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012.

Pertanyaan tentang kenapa dan apa faktor penyebab yang melatarbelakangi lahirnya

Pasal 55 ayat 2 “pasal banci” tersebut dapat dijawab dan dianalisa dengan berbagai disiplin

ilmu dan cabang pohon ilmu hukum. Salah satunya penelitian yang sudah pernah penulis

lakukan medio tahun 2008-2010 mengenai faktor politik hukum seperti apa yang mampu

3

Page 4: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

melahirkan Pasal 55 ayat 2 sehingga menjadi masalah dikemudian hari. Salah satu data yang

perlu dikaji untuk mengetahuinya tentu dengan menganalisa risalah persidangan pembahasan

dari awal hingga menjadi Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Dengan

mengkaji risalah sidang pembahasan pembuatan Undang-Undang, setidaknya dapat

menganalisa tarik ulur serta perdebatan apa yang berlangsung selama pembahasan sehingga

dapat ditarik kesimpulan mengenai faktor kepentingan apa yang menyusupi pikiran para

pembuat Undang-Undang serta kemana arah politik hukum saat pembuatannya. Namun pada

kesempatan kali ini penulis akan mencoba fokus kepada pembahasan mengenai kewenangan

PA pasca putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012.

II. PEMBAHASAN

A. Tarik Ulur Kewenangan Peradilan Agama Dalam Undang-Undang Nomor 3

tahun 2006

Diangkatnya point tersebut di atas bukanlah tanpa alasan, timbul pertanyaaan bukankah

tonggak kebangkitan Peradilan Agama secara yuridis telah dimulai pasca undang-undang

Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama atau setidak-tidaknya bergeser ke belakang

lebih jauh sejak dilahirkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan? Alasan

Pertama, setidaknya lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 merupakan tonggak

sejarah di era milinium dimana Peradilan Agama bangkit dari masa kelam dan menggeliat

dengan diberikannya kewenangan baru di luar kewenangan menangani masalah perdata

keluarga yang secara politik hukum merupakan suatu pergeseran yang signifikan dari

pembuatan Undang-Undang Peradilan Agama.

Kedua, Perdebatan mengenai kompetensi absolut Peradilan Agama dalam menangani

sengketa ekonomi syariah atau perbankan syariah khususnya jika ditarik benang merahnya

dimulai sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang

merupakan amandemen dari Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989. Secara politik hukum

pembuatan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 di DPR RI kala itu sangat kental indikasi

adanya upaya “pengkerdilan tersistematis” oleh pihak yang tidak “senang” dengan

diperluasnya kewenangan PA. Ada beberapa catatan penulis tentang perubahan mendasar atau

dengan meminjam istilah Dr. Jaenal Aripin sebagai “perubahan fundamental” yang diberikan

kepada PA yang sarat dengan perdebatan di legislasi;

4

Page 5: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

Pertama, dihapuskannya hak opsi dalam penyelesaian perkara waris. Hak opsi menurut

Abdullah Tri Wahyudi dalam (Anshori, 2007: 51) adalah hak untuk memilih sitem hukum

yang dikehendaki para pihak berperkara sebagai acuan hukum yang akan diterapkan dalam

penyelesaian suatu perkara. Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan umum butir kedua bahwa “Bidang

kewarisan adalah mengenai siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta

peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta

peninggalan tersebut, bilamana berdasarkan hukum Islam. Sehubungan dengan hal tersebut

para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang

dipergunakan dalam pembagian warisan”.

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dinyatakan hak opsi telah

dihapuskan. Sehingga kewenangan PA semakin kokoh dan tidak lagi seperti kerakap di atas

batu, dimana saat hak opsi diberlakukan bagi orang Islam maka terbuka peluang yang sangat

besar terhadap pengenyampingan hukum Islam oleh penganutnya sendiri. Peradilan Agama

ibaratkan punya “gigi tapi tumpul” punya kewenangan tapi tidak sepenuhnya diberikan karena

“umatnya” sendiri dapat berpaling dari Peradilan Agama yang notabene menyelesaikan

dengan sistem hukum Islam. (Basiq jalil,2006: 3)

Penghapusan hak opsi dalam menyelesaikan sengketa kewarisan dalam Undang-

Undang Nomor 3 tahun 2006 tersebut menurut Ketua Panja RUU tentang Peradilan Agama,

Akil Mukhtar, secara sosiologis sudah benar karena umat Islam punya hak untuk bisa

mengikuti hukum-hukum yang berkaitan dengan syari’ah/Agama Islam. Hukum waris Islam

merupakan wilayah Agama dan diatur dalam syari’at Islam, maka untuk menyelesaikannya

sudah tentu lembaga litigasi yang subjek hukumnya orang-orang Islam yaitu Peradilan

Agama.

“landasan sosiologisnya jelas bahwa umat Islam mempunyai hak untuk mengikuti hukum-hukum yang berkaitan dengan Islam khususnya konteks kemasyarakatan, Negara kita mengakui hal ini, kalau hak opsi diberikan tidak tepat, karena lembaga Peradilan yang subjek hukumnya orang Islam ya Peradilan Agama. Kenapa harus diberikan opsi lagi, itulah makanya dulu hak opsi dihapuskan pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama itu” (wawancara dengan Ketua Panja (panitia kerja) RUU Peradilan Agama Dr. Akil Mukhtar, tanggal 27 April 2010 di ruang kerja Mahkamah Konstitusi)

5

Page 6: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

Kedua, sengketa kepemilikian. Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 diatur

manakala terjadi sengketa hak milik atau sengketa keperdataan lainnya selama subjek

hukumnya adalah orang-orang Islam maka diselesaikan melalui Pengadilan Agama

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 50 Undang-Undang tersebut.

Pasal 50

(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

Sebelumnya dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan dalam perkara yang

menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 50

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, sengketa tersebut terlebih dahulu diselesaikan dalam

lingkungan Peradilan Umum. Hal ini menurut penulis sangat merugikan secara politik hukum

dalam hal penegakan/implementasi hukum dalam masyarakat. Di satu sisi Undang-Undang

sudah memberikan kewenangan mengadili tetapi dalam hal yang sama Undang-Undang juga

membatasinya, sehingga terkesan bahwa Undang-Undang tidak bersunguh-sungguh

memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama.

Ketiga, asas penundukan diri terhadap hukum Islam. Menurut penulis hal ini dapat

dikatakan sebagai suatu perubahan mendasar dan fundamental dari lahirnya Undang-Undang

Nomor 3 tahun 2006. Sebagaimana diketahui bahwa asas yang berlaku pada Peradilan Agama

salah satunya ialah “Asas personalitas keIslaman”. Artinya bahwa Pengadilan Agama hanya

menyelesaikan perkara-perkara perdata tertentu sebagaimana kewenangan yang diberikan

kepadanya selama subjeknya adalah orang-orang yang beragama Islam saja. Sebagaimana

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang..”

Menurut Anshori (2007:62-63) indikator untuk menentukan kewenangan Peradilan

Agama adalah Pertama, Agama yang dianut oleh kedua belah pihak saat terjadinya hukum

adalah Agama Islam, Kedua, hubungan ikatan hukum yang mereka lakukan berdasarkan

6

Page 7: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

hukum Islam, jika salah satu atau keduanya tidak terpenuhi maka terhadap kedua belah pihak

yang bersengketa tidak berlaku asas personalitas keIslaman.

Namun dalam penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang

beragama Islam" adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya

menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi

kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.

Maksud dari Undang-Undang tersebut seperti dijelaskan oleh Ketua Panja RUU tentang

Peradilan Agama Akil Mukhtar, bahwa yang dapat ditundukkan atau yang dapat tunduk

kepada kewenangan Pengadilan Agama bukan hanya orang-orang yang beragama Islam saja,

tetapi siapapun baik personal (perorangan) maupun badan hukum, muslim maupun Non

muslim boleh menyelesaikan perkaranya di Pengadilan Agama selama menundukkan dirinya

terhadap hukum Islam secara sukarela. Sebagaimana kutipan wawancara dengan Akil

Mukhtar;

“kalau dulu Peradilan Agama hanya boleh mengadili orang-orang yang secara formil dapat dibuktikan dia bergama Islam saja, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, namun sekarang sudah diperluas bahwa siapapun selama dirinya menundukkan diri kepada hukum Islam secara sukarela maka boleh menyelesaikan perkaranya di Peradilan Agama, hal ini seiring dengan pemberian kewenangan kepada Peradilan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, maka demikianlah politik hukumnya saat itu” (wawancara tanggal 27 April 2010 di ruangan kerja hakim Mahkamah Konstitusi).

Sudah jelas bahwa latar belakang dimasukkannya asas penundukan diri terhadap hukum

Islam adalah dikarenakan perluasan kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan

sengketa ekonomi syariah. Sebab dalam perspektif praktek bisnis syariah sangat

dimungkinkan keterlibatan Non Muslim sehingga diperbolehkan bagi dirinya untuk tunduk

terhadap hukum Islam.

Keempat, perluasan kewenangan PA dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah

atau dalam bahasa belanda berarti “compettentie”. Pasal 49 huruf (i) undang-undang Nomor 3

tahun 2006 (lihat bunyi pasal di atas) PA telah diberikan kewenangan dalam menyelesaikan

sengketa Ekonomi Syariah.

7

Page 8: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

Ada tiga kewenangan Peradilan Agama dalam UU tersebut yang terbilang masih baru,

diantaranya kewenangan menyelesaikan perkara Zakat, infaq dan sengketa ekonomi syariah.

Namun yang menjadi fokus penelitian ini adalah kewenangan Peradilan Agama dalam

menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Ekonomi syari’ah sendiri sangat luas sekali

cakupannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006

Tentang Peradilan Agama bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah

perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, meliputi; a. Bank

syari’ah, b...dst.

Siapa sangka proses lahirnya pasal 49 huruf (i) begitu alot dan penuh perjuangan,

terlebih perjuangan meyakinkan para pembuat Undang-Undang dan pemerintah akan kesiapan

PA serta mematahkan stigma negatif mereka terhadap PA. Berbagai resistensi (penolakan)

dari berbagai pihak dan meragukan kemampuan Peradilan Agama mengemban amanah baru

tersebut khususnya menyelesaikan Ekonomi Syari’ah.

Alasan ketidakmampuan hakim Peradilan Agama dalam meyelesaikan sengketa

ekonomi syari’ah diakui Akil Mukhtar mantan mantan ketua Panitia Kerja (Panja) RUU

Peradilan Agama sebagai alasan yang tidak bisa diterima dari sisi akademis, yuridis maupun

sosiologis. Hakim Peradilan Agama tentu lebih paham mengenai ekonomi syariah ketimbang

hakim dari peradilan lainnya sebab secara akademisi sebagian besar hakim PA adalah lulusan

Hukum Syariah dan secara yuridis bahwa hukum Islam diakui oleh negara untuk boleh tunduk

kepadanya dan menjadikannya hukum positif.

“Argumentasi di DPR bahwa ketidakmampuan PA dalam menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah sangat sulit diterima mengingat masyarakat Indonesia yang beragama Islam itu punya landasan hukum yang kuat yang diakui oleh negara bahwa ia bisa tunduk kepada hukum Islam sebagai hukum positif yang bisa mengikat masyarakat Indonesia,” (wawancara dengan Akil Mukhtar, Gedung MK tanggal MK, 27 April 2010).

B. Kewenangan PA Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang

Perbankan Syari’ah.

Seperti yang telah diuraikan pada pendahuluan di atas, tulisan ini tidak akan mengupas

lebih dalam bagaimana politik hukum saat RUU Perbankan Syari’ah ini dibahas di Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR-RI), bagaimana perdebatan antara pemerintah dan DPR-RI, pro

8

Page 9: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

kontra dan kompromi-kompromi apa yang terjadi dalam pembahasan. Namun Pasal yang

paling krusial dan menuai pro kontra adalah ketentuan mengenai penyelesaian sengketa

perbankan syariah dalam pasal 55 ayat 1, 2 dan 3.

Pasal 55

(1). Penyelesaian sengketa Perbankan syari'ah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;

(2). Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad.

(3). Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syariah.

Penjelasan Pasal 55

(1) Cukup jelas

(2) Yang dimaksud dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad” adalah upaya sebagai berikut;

e. Musyawarah;

f. Mediasi perbankan;

g. Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

h. Melalui pengadilan dalam lingkungan dalam Peradilan Umum.

(3) Cukup jelas.

Berdasarkan hasil analisis yuridis bahwa pasal 55 ayat 2 tersebut terjadi dualisme

lembaga litigasi penyelesaian sengketa ekonomi syariah, di satu sisi diberikan kewenangan

mutlak kepada Peradilan Agama (pasal 55 ayat 1), dan disisi lain dibuka kran penyelesaian di

pengadilan umum (Pasal 55 ayat 2). (Rahim, Abdurrahman, Tesis, UGM; 2009-2010)

Disadari betul oleh para akademisi khususnya warga Peradilan Agama bahwa ada

penyimpangan makna dari pasal 55 ayat 2 tersebut. Saat penulis melakukan penelitian (tesis)

mengenai Politik Hukum dibalik lahirnya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008, seperti

disinggung di atas, Ketua Kamar Agama MARI DR. H. Andi Syamsu Alam, SH, MH

menyatakan bahwa ada kesan dari pembuat Undang-Undang dimana PA dan PN sama-sama

diberikan kewenangan menyelesaikan perkara ekonomi syariah.

9

Page 10: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

Hasil analisis yuridis Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008

bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Pasal

55 ayat 2 tersebut juga berpotensi menyebabkan kekacauan hukum karena antara ayat 1

dengan ayat 2 dari Pasal 55 tersebut saling bertentangan. Ada pilihan forum (choice of forum)

dua lembaga litigasi dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari'ah.

Pertama, Ayat 1 dari Undang-Undang tersebut telah menyatakan dengan tegas lembaga

yang berwenang untuk menyelesaikan perkara sengketa perbankan syari'ah adalah Peradilan

Agama. Kedua, ayat 2 menyatakan jika telah diperjanjikan atau jika para pihak telah

melakukan akad terlebih dahulu maka boleh merujuk kepada isi akad tersebut. Makna dari

ayat 2 tersebut mengandung kebebasan berkontrak dari para pihak dalam melakukan suatu

akad. Hal ini sebenarnya sudah sesuai atau sejalan dengan asas hukum perikatan atau hukum

perjanjian Islam dan teori hukum perjanjian dan ketentuan tersebut terkait dengan asas

kebebasan berkontrak.

Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan.

Bentuk isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan

isinya, maka mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak

dan kewajibannya. Namun kebebasan ini tidak absolut, artinya sepanjang tidak bertentangan

dengan syariah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan. Menurut Faturrahman

Djamil, Syariah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad

sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah ajaran

Agama. (Djamil, 2001:249).

Demikian pula Pasal 1338 KUHPerdata ayat (1) menyebutkan, “semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata

“semua” dipahami mengandung asas kebebasan berkontrak, yaitu suatu asas yang

memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a. membuat atau tidak membuat perjanjian,

b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun, c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan

persyaratannya, dan d. menentukan bentuk perjanjian, yaitu secara tertulis atau lisan.

Salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian menurut Subekti (2001:20) adalah

sebab yang halal sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sebab yang

dimaksud dalam suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri. KUHPerdata tidak

10

Page 11: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

secara tegas memberikan pengertian mengenai sebab yang halal. Pasal 1337 KUHPerdata

menyebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang, atau

apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Dari Pasal ini dapat diambil

kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan halal adalah bahwa perjanjian tidak boleh

bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Berkaitan dengannya bahwa Pasal 55 Ayat 2 tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal

55 ayat 1 dan bertentangan dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan

Agama, oleh sebab itu apabila kontrak yang dibuat bertentangan dengan hukum maka

akibatnya batal demi hukum. Hakim Agung Abdul Gani Abdullah mengatakan bahwa ayat 1

dari Pasal 55 tersebut merupakan pasal induk yang mengatur soal kewenangan dan sesuai

menurut aturan hukum, sedangkan ayat 2 tersebut hanyalah Pasal alternatif dan Pasal

alternatif tidak boleh bertentangan dengan Pasal induknya. (wawancara, 24 April 2010,di

UMJ Jakarta dan Mimbar Hukum, edisi 70 hal 22). Pertanyaannya adalah kenapa Pasal itu

lahir sedangkan bertentangan dengan hukum.? Hal ini kembali kepada makna dan kembali

kepada politik hukum pembuatan Perundang-Undangan yang melatar belakanginya.

Bahkan Abdul Gani Abdullah mengatakan bahwa ayat (2) Pasal 55 Undang-Undang

Nomor 21 tahun 2008 terdapat ketentuan yang bersifat ketentuan menghindar dari keadaan

normal (exilled clausule) atau bisa dikatakan sebagai ketentuan khusus dari keadaan umum

(speciallis clousule), dimana ketentuan ayat (2) tersebut bukanlah Lex Specialis tetapi

ketentuan yang yang mengatur adanya akad atau kesepakatan yang harus dilakukan ataupun

yang harus tidak dilakukan. Dengan demikian berdasarkan hasil analisa bahwa jika ayat 2

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tersebut bersifat Exilled clausule maka ayat 2 tersebut

adalah norma yang seharusnya tidak ada, sebab sudah jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 1,

namun karena adanya faktor (X ) hal itu dapat “dipaksakan” muncul meskipun mengandung

pertentangan dengan Pasal induknya yaitu Pasal 1.

Dengan kata lain bahwa Pasal 55 ayat 2 tersebut adalah Contradictio Interminis

(kesepakatan yang lahir karena dipaksakan) sehingga untuk mengetahui makna dari

Contradictio Interminis tersebut harus kembali kepada proses pembuatan Undang-Undang

untuk menilai kekuatan politik hukum mana yang dominan sehingga bisa didapatkan norma

idealnya (Ideal Norm).

11

Page 12: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

Jika kembali melihat pendapat pertama di atas, bahwa Pasal 55 ayat 2 tersebut

bertentangan dengan ayat (1) maka sudah jelas tidak ada sengketa kewenangan di sana karena

pada dasarnya Pasal (2) tersebut adalah kondisi yang dipaksakan. Dengan demikian ayat 2

sesungguhnya dipahami tidak mereduksi ketentuan Pasal 1 tentang kewenangan Peradilan

Agama, karena ketentuan Pasal 55 ayat (2) mengandung makna:

(2) Yang dimaksud dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad” adalah upaya sebagai berikut;

a. Musyawarah;b. Mediasi perbankan;c. Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga

arbitrase lain; dan/ataud. Melalui pengadilan dalam lingkungan dalam Peradilan Umum

Dalam bunyi Pasal tersebut tidak terkandung adanya kewenangan baru yang diberikan

kepada Peradilan Umum, namun ayat tersebut hanya menyiratkan bahwa adanya pilihan

forum saja (Choice Of Forum) sekaligus membuat norma di atas norma induknya, jadi tidak

menambahkan kewenangan forum (Choice of Jurisdictie). Oleh sebab itu kalangan yang

masih menganggap bahwa kewenangan Peradilan Agama direduksi/diambil oleh Peradilan

Umum adalah tidak tepat karena bukan itulah yang dimaksud oleh Undang-Undang. Tidak

dapat dipungkiri bahwa hanya segelintir orang yang mengerti akan hal ini karena sekilas tanpa

melakukan pengkajian dan penelitian maka masyarakat bahkan praktisi hukum pun akan

langsung mengambil kesimpulan secara langsung bahwa telah terjadi perebutan kewenangan

PA oleh PN.

Setelah dianalisa dan dicermati secara seksama, bagaimanapun Pasal 55 Ayat 2 ini

mengandung kalimat bersayap dan multi interpretasi. Sehingga sudah pasti yang sangat

dirugikan secara kewenangan adalah Peradilan Agama. karena seyogyanya PA semakin

diperkuat pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama,

namun faktanya berbeda bahwa seolah-olah Peradilan Agama kembali mundur, ibarat punya

senjata tetapi tumpul kembali.

C. Kewenangan PA Pasca Lahirnya Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012

Setelah hampir satu tahun bergulir permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945 di Mahkamah Konstitusi akhirnya selesai. Tepat pada Tanggal 29

12

Page 13: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

Agustus 2013 Mahkamah Konstitusi melahirkan putusan Nomor 93/PUU-X/2012. Materi

yang diuji tidak lain adalah pasal 55 ayat 2 dan 3 dari Undang-Undang tersebut. Adapun amar

putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 sebagai berikut;

MENGADILI,

Menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

1.1 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1.2 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Setelah membaca dengan seksama, bagaimana sesungguhnya Putusan MK tersebut dan

kalaupun tidak mau disebut istimewa tapi apakah putusan tersebut mampu menjawab dari

segala bentuk sengkarut dari Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang dualisme

penyelesaian sengketa perbankan syariah? Ada beberapa pertanyaan mendasar pasca putusan

tersebut;

1. Kenapa MK menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat 2 yang bertentangan dengan

Undang-Undang dasar 1945? Bukankah yang diminta pemohon adalah Pasal 55

ayat 2 dan 3?

2. Apakah penyelesaian sengketa perbankan syariah secara non litigasi yang tertera

dalam penjelasan pasal 55 ayat 2 juga ikut dinyatakan tidak berkekuatan hukum

tetap semuanya, sebab amar putusan mahkamah menunjuk secara keseluruhan?

13

Page 14: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

3. Dan apakah putusan ini betul-betul menyatakan PA satu-satunya lembaga

penyelesaian sengketa perbankan syariah?

Jika kita baca dan fahami dengan seksama pertimbangan Mahkamah Konstitusi, dari

sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, semuanya sepakat menyatakan bahwa pasal 55 ayat 2

dan 3 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 yang merupakan norma induk (ideal norm)

tidak mengandung permasalahan konstitusional. Sebaliknya semua hakim Mahkamah

Konstitusi satu suara bahwa yang mempunyai masalah konstitusional ketika penjelasan pasal

55 ayat 2 Undang-Undang tersebut muncul.

Pasal 55

(1). Penyelesaian sengketa Perbankan syari'ah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;

(2). Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad.

(3). Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syariah.

Penjelasan Pasal 55

(1) Cukup jelas

(2) Yang dimaksud dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad” adalah upaya sebagai berikut;

i. Musyawarah;

j. Mediasi perbankan;

k. Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

l. Melalui pengadilan dalam lingkungan dalam Peradilan Umum.

(3) Cukup jelas

8 orang hakim dari total 9 orang hakim MK sepakat menyatakan bahwa penjelasan

pasal 55 ayat 2 di atas bertentangan dengan konstitusi secara keseluruhannya (lihat bunyi

penjelasan pasal di atas), sehingga penjelasan tersebut tidak lagi berkekuatan hukum tetap

sejak putusan dijatuhkan. Artinya proses penyelesaian sengketa perbankan syariah secara non

litigasi (Musyawarah, mediasi perbankan dan Arbitrase Syariah) dan Litigasi (Peradilan

Umum) semuanya.

14

Page 15: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

Sementara itu hanya 1 orang hakim MK (Muhammad Alim) yang mempunyai Pendapat

berbeda (disetting opinion) dari 8 orang hakim MK lainnya. Muhammad Alim justeru

berpendapat bahwa hanya penjelasan Pasal 55 ayat 2 huruf (d) (Peradilan Umum) yang

mempunyai masalah konstitusi dan dianggap bertentangan dengan Undang-Undang dasar

1945, sedangkan penjelasan Pasal 55 ayat 2 huruf a, b, dan c (Musyawarah, mediasi

perbankan dan Arbitrase Syariah) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan

penjelasan tersebut dapat dibenarkan oleh Undang-Undang dan prinsip syariah.

Penulis berasumsi pemahaman amar putusan MK berpotensi dipahami oleh pembaca

secara bias, dimana penyelesaian sengketa secara non litigasi (di luar peradilan) sudah

ditiadakan sehingga dipahami hanya Peradilan Agama satu-satunya lembaga penyelesaian

sengketa perbankan syariah? Tetapi jika ada, asumsi demikian adalah keliru sebab tidak

demikian maksud putusan MK.

Jelas, bahwa MK dalam amarnya menyatakan semua penjelasan pasal 55 ayat 2 secara

keseluruhan bertentangan dengan konstitusi kita. Ada beberapa alasan kenapa MK

menjatuhkan putusan demikian, Pertama, seperti telah disinggung di atas bahwa norma utama

(ideal Norm) adalah pasal 55 ayat 1, pasal 55 ayat 2 pasal 55 ayat 3 dan secara konstitusi

dibenarkan dalam Undang-Undang. Alasan yuridisnya bahwa perbankan syariah adalah

wilayah muamalat/perdata/private dimana sangat bersinggungan dengan perikatan atau

perjanjian diantara 2 atau lebih para pihak dan padanya melekat asas kebebasan berkontrak,

termasuk kekebasan para pihak memilih forum untuk menyelesaikan sengketa. Sehingga pasal

55 ayat 2 dan 3 tetap berlaku. Kedua, pasal 55 ayat 1, pasal 55 ayat 2 pasal 55 ayat 3 adalah

norma utama atau Norma induk, sedangkan penjelasan pasal 55 ayat 2 dan 3 hanyalah

penjabaran makna dari pasal induknya (yaitu pasal 55 ayat 2). Ketika penjelasan atau

penjabaran makna dari suatu pasal induk dianggap bertentangan dengan konstitusi, maka

sesungguhnya tidak serta merta pasal yang dijelaskannya ikut menjadi bertentangan, sebab

dalam teori pembuatan peraturan Perundang-undangan penjelasan pasal hanya berfungsi

menjelaskan maksud pasal induknya dan tidak boleh membuat norma diatas norma induknya.

Dalam kasus ini sesungguhnya tanpa penjelasan, pasal 55 ayat 2 dan 3 tersebut sudah bisa

mengakomodir maksud dari pembuat Undang-Undang dan tentunya tidak bertentangan

dengan konstitusi.

15

Page 16: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

Jika dianalisis kembali, sudah terang bahwa penjelasan pasal 55 ayat 2 membuat norma

baru, yaitu adanya opsi Peradilan Umum dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah.

Padahal dalam pasal induknya pasal 55 ayat 1 (selain pasal 55 ayat 2 dan 3) sudah jelas

ditentukan sebuah norma bahwa Peradilan Agama adalah lembaga penyelesaian secara

litigasi. Hal ini jelas bertentangan baik secara teori pembuatan peraturan perundang-undangan

maupun asas kepastian hukum yang wajib dalam sebuah produk peraturan-perundang-

undangan.

Dengan demikian, ada beberapa ketentuan yang dapat dipahami dari analisis putusan

MK tersebut;

1. Keputusan MK mengakibatkan secara yuridis bahwa semua “pembatasan”

pilihan forum (choice of forum) penyelesaian sengketa yang tertera dalam

penjelasan pasal 55 ayat 2 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik

penyelesaian secara litigasi maupun non litigasi.

2. Segala ketentuan dari penyelesaian sengketa ekonomi syariah harus kembali

kepada pasal induk yaitu pasal 55 ayat 1, 2, dan 3 sehingga choice of forum tetap

berlaku;

Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mukhtar menjelaskan bahwa setelah penjelasan pasal

55 ayat 2 tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak mengikat, maka

pengguna (user) Undang-Undang harus kembali kepada ketentuan dasarnya yaitu pasal 55

ayat 1, 2 dan 3.

“Semua penjelasan pasal 55 ayat 2 tersebut batal, maka untuk menyelesaikan sengketa

perbankan harus kembali kepada ketentuan dasar yang mengikat, yaitu pasal 55 ayat 1,

2 dan 3” (wawancara dengan Ketua MK Akil Mukhtar, 4 September 2013, pukul 19.57

WIB).

Dengan demikian, sudah terjawab bagaimana menyelesaikan sengketa ekonomi syariah

dan lembaga litigasi mana berwenang secara mutlak, maka dari analisa di atas dapat ditarik

untuk menjawab hal tersebut;

16

Page 17: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

1. Pasal 55 ayat 1 secara tegas memberikan kewenangan kepada PA sebagai satu-

satunya lembaga peradilan (litigasi) yang berwenang “menyelesaikan” sengketa

perbankan syariah;

2. Pasal 55 ayat 2 secara tegas menentukan norma bahwa para pihak yang bersengketa

diberikan peluang untuk memilih penyelesaian (choice of forum) sengketa diluar

Peradilan Agama (litigasi), manakala para pihak memperjanjikan maka penyelesaian

sengketa dilakukan sesuai akad (non Litigasi).

Barangkali akan timbul pertanyaan, bagaimana mungkin choice of forum penyelesaian

diluar peradilan Agama tetap dibenarkan/diperbolehkan, sedangkan penjelasan pasal 55 ayat 2

sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Lebih lanjutnya apakah

penyelesaian sengketa perbankan secara non litigasi (musyawarah, mediasi perbankan,

arbitrase syariah) tetap berlaku?

Jawabannya choice of forum di luar PA tetap berlaku dengan ketentuan;

1. Pilihan forum (chice of forum) tetap dibenarkan selama tidak bertentangan dengan

sesuai prinsip-prinsip syariah;

Pasal 55 ayat 3

“Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syariah.

Akil Mukhtar menjelaskan bahwa choice of forum yang dimaksud tersebut tetap

dalam koridor selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan prinsip

syariah.

“di dalam ekonomi syariah terdapat bentuk-bentuk penyelesaian di luar peradilan yang dibenarkan menurut prinsip-prinsip syariah sehingga koridor choice forum diluar PA itu harus tunduk kepada prinsip-prinsip syariah” (wawancara dengan Ketua MK Akil Mukhtar, 4 September 2013, pukul 20.03 WIB).

Yang dimaksud dengan forum penyelesaian tidak bertentangan dengan prinsip

syariah tersebut jika kembali kepada teori perbankan pada umumnya ada beberapa

penyelesaian sengketa di luar peradilan (litigasi) yang lazim dilakukan dan

sepanjang pengertian Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tidak bertentangan,

diantaranya;

17

Page 18: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

a. Musyawarah Internal;

Diantaranya dengan jalan merevitalisasi proses yaitu dengan evaluasi ulang

pembiayaan dengan jalan Rescheduling atau perubahan menyangkut jadwal

pembayaran, Restructuring yaitu dengan perubahan sebagian atau seluruh

ketentuan-ketentuan pembiayaan, Reconditioning yaitu perubahan sebagian

atau seluruh ketentuan-ketentuan pembiayaan termasuk perubahan jangka

waktudan persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut saldo, Bantuan

Management yaitu penempatan sumber daya insani pada posisi manajemen

oleh bank.

b. Alternative Dispuste Resolution (ADR)

Yaitu Alternatif penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur

yang disepakati para pihak di luar pengadilan, diantaranya dengan jalan

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian para ahli.

c. Arbitrase Syariah (Basyarnas)

Basyarnas adalah satu penyelesaian sengekta di luar pengadilan (non litigasi)

setelah kata mufakat dari hasil musyawarah tidak tercapai. Namun

penyelesaian melalui Basyarnas dapat dilakukan apabila terjadi kesepakatan

dan dicantumkan dalam akta akad sejak awal sebelum sengketa (pactum de

Comprimittendo)

2. Pilihan penyelesaian sesuai akad (choice of forum) adalah second choice (pilihan

kedua) bilamana para pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui PA

3. Pilihan Forum (choice of forum) penyelesaian sengketa perbankan syariah atau

ekonomi syariah harus “diwajibkan” untuk membuat kesepakatan tersebut secara

tertulis dan di dalam akta tersebut lengkap termuat mengenai hak dan kewajiban

masing-masing pihak.

Lihat pertimbangan MK hal 36-37

“[3.20] Menimbang bahwa secara sistematis, pilihan forum hukum untuk penyelesaian sengketa sesuai dengan akad adalah pilihan kedua bilamana para pihak tidak bersepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan Agama.

18

Page 19: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

Dengan demikian pilihan forum hukum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah harus tertera secara jelas dalam akad (perjanjian). Para pihak harus bersepakat untuk memilih salah satu forum hukum dalam penyelesaian sengketa bilamana para pihak tidak ingin menyelesaikannya melalui pengadilan Agama.

III. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dan uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan yang terkait dengan masalah yang diangkat;

1. MK hanya menyatakan semua penjelasan pasal 55 ayat 2 yang bertentangan dengan

konstitusi dan dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sedangkan Pasal

55 ayat 2 sebagai pasal dasar induk) tetap mengikat;

2. Pembatasan pilihan forum (choice of forum) dalam penjelesan pasal 55 ayat 2, baik

melalui non litigasi (Musyawarah, mediasi perbankan, Arbitrase syariah) dan pilihan

litigasi (Peradilan Umum) semuanya dinyatakan melanggar konstitusi dan tidak

mengikat lagi ;

3. Peradilan Agama adalah satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang

menyelesaikan sengketa Perbankan syariah dan ekonomi syariah umunya serta tidak

ada lagi dualisme kewenangan absolut lembaga peradilan antara PA dan PN;

4. Penyelesaian sengketa sesuai akad diperkenankan oleh Undang-Undang untuk

memilih forum penyelesaian di luar Peradilan Agama bilamana para pihak

menyepakati dalam akad secara tertulis dan jelas.

5. Ketentuan pemilihan penyelesaian sesuai akad diluar pengadilan Agama

diperbolehkan oleh Undang-Undang selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip

syariah.

19

Page 20: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

Daftar Pustaka

A. Buku

Anshori, Abdul Ghofur, 2007,Peradilan Agama Di indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006, Sejarah Kedudukan dan Kewenangan, UII Press, Yogyakarta

Antonio, M. Syafe’I, 1994, Prinsip Dasar Operasi Bank Muamalat Dan BPRS Dalam Arbitrase Islam Di Indonesia, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, Jakarta.

Aripin, Jenal, 2008, Peradilan Agama dalam Bingkai reformasi Hukum di Indonesia, Prenada Media, Jakarta.

Djamil, Faturrahman, 2001, Hukum Perjanjian Syariah, Dalam Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung

Indrati, Maria Farida, 2007, Ilmu PerUndang-undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta.

_______________, 2007, Ilmu PerUndang-undangan : Proses dan Teknik Pembentukannya , Kanisius, Yogyakarta.

Jalil, Basiq., 2006, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Isam, Hukum Barat dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surutnya Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam di Aceh), Kencana, Jakarta.

Lev, Daniel., 1979, Peradilan Agama Di iIndonesia, Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, PT. Intermasa, Jakarta.

Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.

B. Undang-Undang

Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara tahun 1980 nomor 49.

Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara tahun 2006 nomor 22.

Undang-undang No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Peraturan PerUndang-undangan, Lembaran Negara tahun 2004 nomor 53.

Undang-undang No. 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Lembaran Negara tahun 2008 nomor 94.

Undang-undang No. 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara nomor 2009 nomor 159.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijke Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Cet. 8, Pradya paramitha, 1976

20

Page 21: ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X-/2012(STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

C. Website

www.mahkamahagung.go.id

www.mahkamahkonstitusi.go.id

www.badilag.net

www.hukumonline.com

21