Top Banner
onflik K A nalisa A Sektor Kehutanan Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg 1997 - 2003 onflik nalisa K di Indonesia
28

Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

Mar 04, 2019

Download

Documents

vandieu
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

onflikKAnalisaA

Sektor Kehutanan

Yuliana Cahya Wulan

Yurdi Yasmi

Christian Purba

Eva Wollenberg

1997 - 2003

onflik

nalisa

Kdi Indonesia

Page 2: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

Analisa KonflikSektor Kehutanan

di Indonesia

1997 - 2003

Yuliana Cahya Wulan

Yurdi Yasmi

Christian Purba

Eva Wollenberg

Page 3: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

Diterbitkan olehCenter for International Forestry ResearchAlamat pos: P.O. Box 6596 JKPWB, Jakarta 10065, IndonesiaAlamat kantor: Jl. CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang,Bogor Barat 16680, IndonesiaTel. : +62 (251) 622622Fax. : +62 (251) 622100E-mail: [email protected] : http://www.cifor.cgiar.org

© 2004 by Center for International Forestry ResearchHak cipta dilindungi. Diterbitkan tahun 2004Foto sampul oleh Made Sudana

ISBN 979-3361-53-0

Page 4: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

Daftar Isi

Daftar Tabel v

Daftar Kotak v

Kata Pengantar viii

Abstrak ix

I. Pendahuluan 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 2

1.3. Tujuan Penelitian 2

1.4. Batasan Konsep 3

1.4.1. Konflik 3

1.4.2. Frekuensi Konflik 3

1.4.3. Penyebab Konflik 3

1.4.4. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat 4

1.4.5. Penyelesaian Konflik 4

1.5. Metodologi Penelitian 4

1.5.1. Unit Penelitian 5

1.5.2. Data dari Media Massa 5

1.5.3. Data dari Studi Kasus 6

1.5.4. Lokakarya Multipihak 6

II. Konflik Sektor Kehutanan antara Tahun 1997 - 2003 8

2.1. Potret Konflik Secara Nasional (1997 - 2003) 8

2.2. Potret Konflik di Kalimantan Timur (1997 - 2003) 12

2.3. Diskusi 15

2.3.1. Pola Sebaran Frekuensi Konflik 15

2.3.2. Faktor Penyebab Konflik 17

III. Studi Kasus Konflik Kehutanan 19

3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19

3.1.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 19

3.1.2. Sejarah Konflik 20

3.1.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat 22

3.1.4. Solusi yang Pernah Dicoba 23

3.1.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil 23

Page 5: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

iv Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

3.2. Kasus HPH PT. Keang Nam Development Indonesia, Sumatera Utara 26

3.2.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 26

3.2.2. Sejarah Konflik 27

3.2.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat 29

3.2.4. Upaya Penanganan Konflik 31

3.2.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil 31

3.3. Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32

3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32

3.3.2. Sejarah Konflik 34

3.3.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat 35

3.3.4. Upaya Penanganan Konflik 38

3.3.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil 39

3.4. Kasus HTI Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah 42

3.4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 42

3.4.2. Sejarah Konflik 43

3.4.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat 45

3.4.4. Upaya Penanganan Konflik 48

3.4.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil 48

3.5. Kasus Hutan Lindung Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan 49

3.5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 49

3.5.2. Sejarah Konflik 49

3.5.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat 52

3.5.4. Upaya Penanganan Konflik 54

3.5.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil 54

3.6. Kasus Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur 54

3.6.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 55

3.6.2. Sejarah Konflik 56

3.6.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat 58

3.6.4. Upaya Penanganan Konflik 63

3.6.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil 63

Page 6: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

vYuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

IV. Kesimpulan dan Rekomendasi 65

4.1. Kesimpulan 65

4.2. Rekomendasi 66

Daftar Pustaka 68

Lampiran 70

Daftar TabelTabel 1. Frekuensi Konflik Berdasarkan Provinsi (1997-2003) 12

Tabel 2. Sebaran Konflik di HPH, HTI dan Kawasan Konservasi (1997-2003) 12

Tabel 3. Sebaran Konflik di HPH, HTI dan Kawasan Konservasi di Kalimantan Timur(1997-2003) 15

Tabel 4. Peta Kekuatan Pihak-Pihak Terlibat Dalam Konflik PT. KodecoTimber vs. Masyarakat Adat Dayak Meratus 25

Tabel 5. Luas Kawasan Hutan dan Luar Kawasan Hutan di Wilayah DASMuara Batang Gadis 27

Tabel 6. Pokok-Pokok Konflik PT. Keang Nam dan Masyarakat Desa Tabuyung 33

Tabel 7. Pokok-Pokok Konflik PT. RAPP vs. Masyarakat Kuntu 41

Tabel 8. Luas Hutan Negara di Desa Temulus dan Bodeh 43

Tabel 9. Kronologi Penjarahan Hutan di Temulus 44

Tabel 10. Pokok-Pokok Konflik Hutan Pegunungan Meratus 55

Tabel 11. Jumlah Penduduk di Dalam Kawasan TNK (2000-2001) 56

Tabel 12. Pokok-Pokok Konflik di Taman Nasional Kutai 64

Daftar KotakKotak 1. Pengusaha HPH di Papua Makin Terdesak 10

Kotak 2. Warga Muara Enim Menuntut Tanahnya Dikembalikan 10

Kotak 3. Kalau Ada Order, Kami Siap Terobos... 10

Kotak 4. Di Balik Lebatnya Hutan Bali 11

Kotak 5. Klaim Tanah dan Kayu Hambat Pengamanan Hutan 11

Kotak 6. Perkembangan Konflik Lahan di Wilayah Taman Nasional Kutai 14

Kotak 7. Penjarah Taman Nasional Kutai Diancam Hukuman Denda 5 M; Keterlaluan,Mantan TNI Ikut Menjarah TNK 18

Kotak 8. Pemukulan Terhadap Karyawan PT. Kodeco 21

Page 7: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

vi Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Kotak 9. Kesepakatan Bersama antara LMMD-KH dengan PT. Kodeco Timber 24

Kotak 10. Peristiwa-peristiwa Konflik antara PT. Keang Nam dan Masyarakat Tabuyungyang Dilaporkan Media Massa 29

Kotak 11. Surat Undangan Penyelesaian Klaim Lahan Masyarakat Adat Rantau 40

Kotak 12. Kongres Adat Tuntut Hormati Haknya; Desak Izin EksploitasiHutan, Dicabut 53

Kotak 13. Kejadian Perusakan Fasilitas Taman Nasional Kutai 60

Daftar GambarGambar 1. Pengelompokan waktu penelitian 5

Gambar 2. Lokasi penelitian 7

Gambar 3. Frekuensi konflik periode 1997-2003 8

Gambar 4. Persentase konflik di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi (KK)tahun 1997-2003 9

Gambar 5. Faktor penyebab konflik (1997-2003) 9

Gambar 6. Faktor penyebab konflik di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi 9

Gambar 7. Frekuensi konflik sektor kehutanan di Kalimantan Timur (1997-2003) 13

Gambar 8. Persentase konflik di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi (1997-2003)di Kalimantan Timur 13

Gambar 9. Faktor penyebab konflik di Kalimantan Timur 13

Gambar 10. Faktor penyebab konflik di HPH, HTI dan kawasan konservasi diKalimantan Timur 14

Gambar 11. Pola frekuensi konflik per tahun 15

Gambar 12. Peta lokasi penelitian di kawasan PT. Kodeco Timber 19

Gambar 13. Gedung sekolah bantuan dari PT Kodeco Timber untuk masyarakatyang dibangun di Desa Pramasan 2x9 23

Gambar 14. Peta lokasi penelitian di kawasan PT. Keang Nam Development 26

Gambar 15. Bekas base-camp PT. Keang Nam Dev. yang dibakar masyarakat 28

Gambar 16. Peta lokasi penelitian di kawasan HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper 34

Gambar 17. Gedung sekolah bantuan PT. RAPP untuk masyarakat Desa Kuntu 39

Gambar 18. Sapi bantuan PT. RAPP untuk program PPMR 39

Gambar 19. Peta lokasi penelitian di KPH Randublatung 42

Gambar 20. Sebab-akibat konflik di Perhutani 44

Gambar 21. Kawasan Perhutani pasca penjarahan 45

Gambar 22. Peta lokasi penelitian di kawasan rencana alih fungsi hutan lindungPegunungan Meratus 49

Page 8: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

viiYuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Gambar 23. Diagram perubahan fungsi kawasan Pegunungan Meratus 51

Gambar 24. Peta lokasi penelitian di kawasan Taman Nasional Kutai 56

Gambar 25. Pemukiman penduduk di dalam kawasan Taman Nasional Kutai 58

Daftar LampiranLampiran 1. Informasi yang Direkam dalam Database Konflik 70

Lampiran 2. Contoh Database 71

Lampiran 3. Pedoman Interview 73

Lampiran 4. Daftar Responden 77

Lampiran 5. Daftar Peserta Workshop 78

Lampiran 6. Agenda Workshop 79

Lampiran 7. Surat Pernyataan Pemblokiran Jalan oleh Masyarakat Desa Kuntu dan

Teluk Paman 79

Page 9: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

Kata Pengantar

Penelitian tentang Analisis Konflik Kehutanan diIndonesia 1997-2003 dilakukan bersama oleh Centerfor International Forestry Research (CIFOR), ForestWatch Indonesia (FWI) dan Wageningen UniversityBelanda dengan dukungan dana dari Ford FoundationIndonesia. Penelitian ini dilakukan selama enambulan, mulai bulan April 2003, dan bertujuan untukmemberikan gambaran kondisi konflik sektorkehutanan sebelum dan sesudah masa Reformasi.

Penelitian ini menggunakan media massa (lima mediamassa nasional dan satu media massa lokal) sebagaisumber data utama, dan enam studi kasus di lapangan.Media massa merupakan sumber data untukmelengkapi database yang sebelumnya telah dibuatoleh FWI, sedangkan studi kasus untuk melengkapisekaligus merupakan uji silang (cross check) terhadaphasil temuan pada database. Dari temuan-temuanhasil penelitian ini kami mencoba menarik beberapapelajaran dan memberikan masukan bagi penanganankonflik khususnya di sektor kehutanan di Indonesia.

Dalam rangka penyempurnaan laporan penelitian,kami telah mengadakan lokakarya pada tanggal 17November 2003 di CIFOR, Bogor. Peserta lokakaryaterdiri dari para pakar yang sudah banyakberkecimpung dalam berbagai penelitian ataupenanganan konflik-konflik kehutanan sesuai denganlatar belakang masing-masing. Lokakarya inimenghasilkan banyak sekali masukan untukperbaikan draft laporan dan juga masukan bagipengelolaan konflik di Indonesia.

Tim peneliti yang terdiri dari Yuliana C. Wulan(CIFOR), Yurdi Yasmi (CIFOR dan Wageningen

University Belanda), Christian Purba (FWI) dan EvaWollenberg (CIFOR), mengucapkan terima kasihkepada berbagai pihak yang telah banyak membantukami. Khususnya Bapak Ujjwal Pradhan (FordFoundation Indonesia), Ibu Moira Moeliono (CIFOR),Ibu Dina Hubudin (CIFOR), Ibu Rahayu Koesnadi(CIFOR), kawan-kawan di LPMA KalimantanSelatan, Pengurus LMMD Kecamatan Hampang,Kepala Dinas Kehutanan Provinsi KalimantanSelatan beserta jajarannya, Kepala BKSDAKalimantan Selatan beserta jajarannya, kawan-kawandi Yayasan Hakiki Riau, Dinas Kehutanan ProvinsiRiau, Direktur PPMR PT. RAPP beserta staf, BapakDatuk Khalifah dan Datuk Bendaharo Kuntu, kawan-kawan di Yayasan Leuser Lestari, Direktur PT. KeangNam Dev. Indonesia beserta staf, Dinas KehutananProvinsi Sumatera Utara dan Kabupaten MandailingNatal, kawan-kawan di ARuPA, Administratur KPHBlora dan seluruh stafnya, DPRD Blora, Sdri. Annadan kawan-kawan di NRM Kalimantan Timur, Sdr.Agus dan kawan-kawan di BIKAL Bontang, BapakAde Suharso dan seluruh staf BTNK Bontang, Sdri.Yuni di Friends of Kutai dan seluruh peserta lokakaryaAnalisis Konflik Kehutanan yang telah banyakmemberikan masukan. Ucapan terima kasih jugakami sampaikan kepada semua pihak yang tidakdapat kami sebutkan satu-persatu yang telahmemberikan masukan untuk penulisan laporan ini.

Kami menyadari bahwa hasil penelitian ini belumsempurna. Oleh sebab itu kami menghargai masukankonstruktif yang dapat menyempurnakan laporan ini.Harapan kami, penelitian singkat ini dapat bermanfaatuntuk semua pihak, khususnya bagi pembangunandunia kehutanan di Indonesia.

Hormat Kami,Tim Peneliti

Page 10: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

We provide a profile of forest-related conflict inIndonesia 1997 to June 2003, based on a survey ofnational and provincial newspaper articles and sixcase studies in Sumatera, Kalimantan and Java. Thereport shows that conflict increased most rapidly in2000 during the transition to decentralization, andhas generally stayed at higher levels than during theNew Order period. Reports of conflicts were highestin East Kalimantan, followed by Sumatera andCentral Java. The causes of conflict were primarilydifferences in perceptions about boundaries, rightsto use of forest, compensation payments anddistribution of benefits from forests. Although mediareports focus on the escalation of conflict after thereform period, the case studies demonstrated complexhistories of latent conflict and conflict resolutionthrough compensation payments that provedunsuccessful in reducing long-run conflict. The studyrecommends that (i) conflict management beconsidered an element of forest management, (ii)forest conflicts should be monitored to learn moreabout their incidence, causes and ways of managingthem and (iii) alternative methods for managingconflict should be explored.

Kami menggambarkan profil konflik kehutanan diIndonesia mulai tahun 1997 sampai dengan Juni 2003berdasarkan artikel-artikel koran nasional danprovinsi serta enam studi lapangan di Sumatera,Kalimantan dan Jawa. Penelitian ini menunjukkanbahwa konflik meningkat paling tajam pada tahun2000 selama masa transisi ke masa desentralisasi danpada umumnya tetap berada pada posisi lebih tinggidibandingkan frekuensi konflik selama masa OrdeBaru. Konflik-konflik ini dilaporkan paling banyakterjadi di Kalimantan Timur, kemudian diikuti olehSumatera dan Jawa Tengah. Penyebab utama konflikadalah adanya perbedaan sudut pandang mengenaitata batas, hak pemanfaatan hutan, pembayarankompensasi dan distribusi manfaat dari hutan.Walaupun laporan media lebih terfokus pada eskalasikonflik setelah masa reformasi, studi lapanganmenunjukkan sejarah konflik yang kompleks, dariyang bersifat laten dan penyelesaian konflik melaluipembayaran kompensasi yang tidak memuaskan danterbukti tidak berhasil dalam menyelesaikan konflikdalam jangka panjang. Penelitian inimerekomendasikan agar (i) pengelolaan konflikdipertimbangkan sebagai elemen dalam pengelolaanhutan, (ii) pemantauan konflik kehutanan terusdilakukan agar kejadian, penyebab dan cara untukmengelolanya dapat dipelajari lebih jauh, dan (iii)pilihan-pilihan metode untuk pengelolaan konflikharus digali.

Abstrak

Page 11: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

1.1. Latar Belakang

Di belahan manapun di dunia, hutan telah menjadiarena pertentangan antara berbagai pihak yangberkepentingan dengan sumber daya hutan. Seringkepentingan satu pihak berbenturan dengankepentingan pihak lainnya (Wondolleck, 1998;Daniels dan Walker, 2001; Buckles, 1999;Wollenberg,dkk. 2001). Dalam banyak kasus,pertentangan kepentingan antara perusahaan HakPengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri(HTI) dan pertambangan, misalnya, seringmenyebabkan masyarakat lokal terlantar, tersisih danaksesnya terhadap hutan menjadi terbatas yangakhirnya berujung pada pertikaian (Wenban-Smith,2001). Tidak jarang pula benturan kepentingan antaraperusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainmenimbulkan persengketaan, yang kadang-kadangsampai berlarut-larut dan tidak terselesaikan dalamjangka waktu yang lama. Antara masyarakat ataukelompok masyarakat juga terjadi benturan-benturankepentingan karena masalah batas desa atau wilayahadat yang tidak jelas atau karena perebutan sumberdaya tertentu (Anau, dkk., 2002).

Berbeda dengan sektor lain, konflik di sektorkehutanan melibatkan berbagai pihak, mulai dariskala lokal sampai skala nasional, dan bahkaninternasional. Selain itu, perbedaan status antarapihak yang “kuat” dan yang “lemah” sangat menonjol.Pihak yang lebih kuat biasanya akan dengan mudahmempertahankan posisinya karena merekamempunyai kekuatan untuk melawan pihak yanglemah. Mereka mempunyai informasi yang lebihbanyak dan kemampuan finansial yang lebih besardibandingkan dengan pihak yang lemah. Perbedaankekuatan antara kedua pihak ini menyebabkanrumitnya penyelesaian konflik di sektor kehutanan.Keunikan lainnya adalah konflik di sektor kehutanansering tidak diketahui umum atau tidak muncul kepermukaan (laten) dan sangat sulit untuk diselesaikankarena terjadi di tempat yang terpencil. Di masalalu, konflik semacam ini sering diselesaikan dengantekanan dari pihak-pihak yang lebih kuat terhadappihak yang lemah.

Setelah jatuhnya rezim Orde Baru dan berlakunyadesentralisasi, konflik yang sebelumnya laten mulaibermunculan ke permukaan dan juga memunculkanberbagai konflik baru. Hal ini terutama disebabkan“eforia reformasi” yang membuka kesempatan untukmenyalurkan kehendak dan aspirasi masyarakat yangselama ini sengaja atau tidak, ditutupi oleh rezim OrdeBaru. Eforia ini juga mendorong pihak yang lemahdan selalu dipinggirkan di masa lalu, untuk beranimenuntut hak-hak mereka yang selama ini diserobotdan dilecehkan oleh pihak yang lebih kuat.

Meningkatnya konflik di sektor kehutanan jugadisebabkan oleh krisis ekonomi sejak awal pertengahantahun 1997 dan memuncak di awal tahun 1998.Keterpurukan ekonomi menyebabkan masyarakatsemakin terdorong untuk melakukan penjarahan danatau perambahan hutan yang dianggap sebagai caratermudah untuk mendapatkan uang. Tidaklahmengherankan kalau akhir-akhir ini kita sering melihatdan mendengar dari media massa berbagai kasuskekerasan dalam pengelolaan sumber daya hutan.

Pada tahun 2002, Forest Watch Indonesia (FWI)menerbitkan laporan “Potret Keadaan HutanIndonesia” yang banyak mendapatkan perhatian dariberbagai kalangan (FWI dan GFW, 2001).Sebagaimana dipaparkan dalam laporan tersebut,konflik pengelolaan sumber daya hutan telahberlangsung lama, sejalan dengan kebijakan HPHpada tahun 1970-an. Sejak itu, berbagai konflik antaraperusahaan HPH dan masyarakat sering bermunculan.Penyebabnya antara lain karena masyarakat lokalmerasakan ketidakadilan yang terkait dengan sistempengelolaan hutan skala besar yang menyebabkanakses masyarakat terhadap sumber daya hutanmenjadi terbatas. Konflik semacam ini tidak hanyaterjadi di areal HPH, tetapi juga sering ditemukandi kawasan HTI, perkebunan dan kawasan lindungseperti taman nasional.

Dari beberapa kasus seperti yang digambarkan diatas,konflik kehutanan jelas merupakan suatu masalah dan

1Pendahuluan

Page 12: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

2 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

perlu segera ditangani. Di masa lalu, konflik seringdianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakansecara terbuka dan karena itu cenderung dilupakan(Suporahardjo, 2000). Hal ini mungkin karena latarbelakang budaya kita yang cenderung mengedepankanhubungan harmonis dan kecenderungan untukmenghindari konflik. Barangkali inilah yang menjadisebab mengapa pada masa Orde Baru belum banyakinformasi yang dapat diperoleh mengenai konflikkehutanan.

Seiring dengan perubahan jaman, pengelolaan konflikkehutanan perlu dijadikan wacana pembelajaran bagisemua pihak. Sudah saatnya pihak pemerintahmemperhatikan pengelolaan konflik sebagai salah satupersyaratan dalam pengelolaan hutan. Hanya denganketerbukaan seperti inilah penyelesaian konflik dapatdiupayakan dengan mengembangkan aspek positifdari konflik, dan dalam waktu bersamaan mencobauntuk mengurangi dampak negatifnya.

1.2. Perumusan Masalah

FWI dan GFW (2001) telah memetakan sebarankonflik kehutanan di Indonesia berdasarkan hasilsurvei terbatas tentang konflik sumber daya hutan1 .Beberapa penyebab umum konflik di sektorkehutanan berdasarkan laporan tersebut antara lainadalah: kegiatan HPH, aktivitas penebangan liar(illegal logging), penetapan kawasan lindung danpenetapan kawasan taman nasional, pembangunanHTI dan perkebunan kelapa sawit. Konflik ini terjadikarena perbedaan pandangan mengenai hak ataslahan, pelanggaran perjanjian oleh pihak-pihak yangterkait, maupun ketidakjelasan batas kawasan.

Anau dkk.(2002) menggambarkan konflik yangterjadi di antara desa-desa di kawasan hutan di huluSungai Malinau, Kalimantan Timur, karenaperbedaan penafsiran atas batas desa2 . SelanjutnyaSuporahardjo dan Wodicka (2003) melaporkankonflik yang terjadi di dalam pengelolaan kawasan“repong damar” di Krui Lampung. LaporanSuprohardjo dan Wodicka tersebut mengungkapkan

bahwa penyebab konflik antara masyarakat denganproyek pengembangan kelapa sawit adalah karenaadanya tumpang tindih lahan. Di samping itu, konflikjuga terjadi antara masyarakat dengan DepartemenKehutanan, dalam hal batas wilayah hutan produksiterbatas yang juga mencakup kebun damarmasyarakat. Konflik juga bisa dipicu karena persoalankompensasi (ganti rugi) yang tidak layak diterimamasyarakat karena beroperasinya perusahaan-perusahaan seperti HPH dan pertambangan yangmengakibatkan kerusakan lingkungan mereka (Rhee,2000; Yasmi 2002, 2003).

Faktor lainnya yang sering memicu konflik berkaitandengan akses, hak dan tata guna lahan terutama yangberhubungan dengan kawasan konservasi sepertitaman nasional. Studi yang dilakukan Moeliono danFisher (2003), misalnya, melaporkan bahwa konflikdi kawasan konservasi di daerah Riung, NusaTenggara Timur disebabkan karena penetapankawasan tersebut sebagai kawasan lindung, sehinggamembatasi akses masyarakat terhadap sumber dayahutan dan laut. Pemerintah Daerah di sanamenerapkan berbagai cara untuk membatasimasyarakat masuk ke dalam kawasan lindung denganmenggunakan bantuan polisi dan militer.

Lebih jauh konflik kehutanan telah membawamalapetaka bagi pihak yang terlibat atau pihak lainyang tidak terlibat langsung. Individu-individutertentu mendapat ancaman dan sumber daya alammenjadi rusak (Yasmi, 2003). Lebih menyedihkanlagi, konflik juga bisa menelan korban fisik bahkankematian3 . Pengelolaan konflik bertujuan untukmengantisipasi konflik dan menghindari ataumenguranginya serta meningkatkan keterbukaandalam menyikapi perbedaan penilaian.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan sumber dan akibat berbagai konfliktersebut CIFOR dan FWI bekerja sama untukmelakukan penelitian tentang konflik di sektorkehutanan di Indonesia. Penelitian ini tidak terbatas

1 Lihat peta No. 13 dalam laporan FWI dan GFW.2 Penelitian yang dilakukan oleh Anua dkk. meliputi 27 desa di sepanjang Sungai Malinau yang terletak di dalam kawasan

wanariset CIFOR, Bulungan Research Forest (BRF). Karena batas desa tidak begitu penting di masa lalu dan dengan meningkatnyapersaingan akses terhadap sumber daya hutan dewasa ini, maka konflik batas desa belakangan hari semakin mencuat.

3 Wenban-Smith (2001) mengupas berbagai macam konflik di seputar kehutanan dan berbagai konsekuensinya.

Page 13: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

3Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

pada identifikasi konflik yang pernah terjadi saja,akan tetapi lebih jauh untuk melihat faktor-faktorpenyebabnya, pihak yang terlibat, sejarahnya, prosespenyelesaian dan hasilnya di berbagai arena konflikkehutanan. Secara khusus, penelitian ini mempunyaidua tujuan utama, yaitu:1. Menyajikan profil konflik kehutanan, khususnya

yang terjadi di areal HPH, HTI, dan kawasanlindung untuk melihat sebarannya secara geografis(per provinsi).

2. Membandingkan konflik yang terjadi sebelumdan sesudah masa Reformasi dan mencoba untukmenarik beberapa pelajaran dari kejadiantersebut.

1.4. Batasan konsep

Seperti yang telah disampaikan pada bagian pertama,konflik bisa melibatkan perusahaan dan masyarakat,antara anggota - masyarakat, antara perusahaan satudengan perusahaan yang lain dan juga antaramasyarakat dengan pemerintah. Dalam penelitianini, konflik-konflik yang terjadi di areal HPH, HTIdan kawasan konservasi merupakan tiga contohtempat terjadinya konflik, dengan isu dan pemainnyayang beragam. Di ketiga kawasan tersebut ditelusuridan dianalisis konflik apa saja yang terjadi, siapayang terlibat, kapan terjadinya, apa faktorpenyebabnya, bagaimana tingkat eskalasi danpenyelesaian yang pernah diupayakan.

Beberapa konsep yang dipakai sebagai acuan dalampenelitian ini adalah sebagai berikut.

1.4.1. KonflikKonflik merupakan suatu perbedaan cara pandang.Bentuknya bisa berupa keluhan saja sampai padatingkat kekerasan dan perang. Walker dan Danielsmengupas dengan seksama berbagai definisi konflikyang memperlihatkan bahwa konflik ternyatamerupakan suatu wacana yang dikonstruksikansecara sosial dan bisa dipandang dari berbagai sudut(Walker dan Daniels, 1997).

Dalam penelitian ini konflik didefinisikan sebagaisuatu “perwujudan perbedaan cara pandang” antaraberbagai pihak terhadap obyek yang sama. Sorotandan titik berat dalam penelitian ini adalah konflik-konflik kehutanan yang telah muncul ke arena publik,seperti aksi demonstrasi, gugatan, dan berbagai protes

kepada pemerintah. Dengan demikian , wujud konflikyang berupa wacana argumentasi dan perbedaanpendapat, tidak dikategorikan sebagai suatu konflik.

Sebagai contoh, peristiwa konflik yang sama bisaberupa perselisihan antara masyarakat A dengan HPHA di mana terjadi aksi-aksi kekerasan yang dilakukanbaik oleh pihak HPH A terhadap masyarakat A,maupun sebaliknya. Namun apabila kemudianperistiwa ini memicu konflik antara HPH A denganmasyarakat B, maka hal ini dianggap sebagai peristiwakonflik yang berbeda. Peristiwa konflik tersebutdihitung sebagai dua peristiwa konflik (konflik antaraHPH A dengan masyarakat A dan konflik antara HPHA dengan masyarakat B).

1.4.2. Frekuensi konflikMenghitung frekuensi konflik sangat dilematis karenaada kemungkinan konflik dengan isu yang samamuncul ke permukaan beberapa kali dan dimuat olehbeberapa media massa yang berbeda. Oleh karenaitu peristiwa konflik yang dilaporkan oleh dua ataulebih media massa di tempat dan waktu yang relatifbersamaan dihitung sebagai satu peristiwa konflik.Hal ini dilakukan untuk menghindari penghitunganganda dari satu peristiwa konflik yang sama. Namununtuk konflik yang sama, tetapi terjadi dalam waktuyang berbeda (misalnya tahun 1998 dan terjadikembali tahun 1999), maka konflik tersebut dihitungdua kali peristiwa konflik.

1.4.3. Penyebab konflikPenyebab konflik dalam penelitian ini dibagi menjadilima kategori berdasarkan berita yang dilaporkan dimedia massa dan informasi di lapangan. Penentuankategori didasarkan pada perbedaan jenis kegiatanyang memicu terjadinya konflik, yang diamati dariartikel koran, yaitu sebagai berikut:• Perambahan hutan, yakni kegiatan pembukaan

lahan pada kawasan hutan yang bermasalah karenaadanya perbedaan penafsiran mengenaikewenangan dalam pengelolaannya;

• Pencurian kayu, adalah penebangan kayu secarailegal yang dilakukan oleh masyarakat/perusahaandi lokasi yang bukan miliknya, sehinggamenimbulkan konflik dengan pihak lain yangmerasa dirugikan;

• Batas, adalah perbedaan penafsiran mengenaibatas-batas pengelolaan/ kepemilikan lahan antarapihak-pihak yang terlibat dalam konflik;

Page 14: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

4 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

• Perusakan lingkungan, adalah kegiatan eksploitasiyang menyebabkan terjadinya degradasi manfaatsuatu SDA dan kerusakan mutu lingkungan disuatu daerah;

• Alih fungsi, yaitu perubahan status kawasan hutan(misalnya dari hutan lindung menjadi hutanproduksi) yang menimbulkan berbagaipermasalahan antara pihak-pihak yangberkepentingan.

1.4.4 Persepsi Pihak-pihak yang TerlibatPihak-pihak yang terlibat adalah pihak yang mempunyaikepentingan dan/atau terkait dengan konflik baik secaralangsung ataupun tidak langsung. Pihak yang terlibatlangsung adalah mereka yang bersengketa karenamasalah tata batas, akses dan sebagainya. Sedangkanpihak yang tidak terlibat langsung misalnya LSM yangmempunyai kepedulian terhadap konflik, atauorganisasi lain seperti Dinas Kehutanan, perguruantinggi, maupun lembaga penelitian.

Pihak-pihak ini teridentifikasi dari informasi yang kamikumpulkan dari lembaga-lembaga yang terlibat dalamupaya penyelesaian konflik. Dalam penelitian ini,terutama untuk studi kasus, persepsi para pihak yangterlibat langsung maupun tidak langsung dalam suatukonflik tertentu dicoba untuk digali dan dianalisis.

1.4.5. Penyelesaian konflikPenyelesaian konflik merupakan suatu upaya atauinisiatif yang dilakukan untuk mengatasi dan mencarijalan keluar dari suatu peristiwa konflik. Inisiatif inibisa datang dari para pihak yang terlibat dalam konflikatau dari pihak ketiga yang tidak terlibat dalam konflik.Bentuk upaya yang ditempuh bisa bermacam-macam,mulai dari yang sangat sederhana sampai ke tingkatpengadilan dengan menempuh jalur hukum (Fisher,dkk., 2001). Proses negosiasi secara spontan antaradua pihak yang terlibat dalam konflik dianggapsebagai suatu proses penyelesaian yang sederhana danmempunyai potensi keberhasilan yang cukup tinggi,karena adanya kemauan kedua belah pihak untukbernegosiasi. Namun proses spontan kadang tidakberhasil dan penyelesaian konflik harus difasilitasioleh pihak ketiga. Tidak jarang pula prosespenyelesaian konflik harus melalui jalur hukumsebagai alternatif terakhir apabila semua cara lain

sudah buntu. Namun demikian, di Indonesia jalurhukum belum sepenuhnya dapat dipercayai olehsemua pihak yang terlibat, sehingga cara penyelesaiankonflik seperti ini jarang digunakan.

Dalam beberapa tahun terakhir terjadiperkembangan pesat berupa inisiatif yang mendorongpenyelesaian konflik diluar jalur hukum, yang dikenalsebagai Alternative Dispute Resolution (ADR). Konflik-konflik di sektor kehutanan juga telah banyak yangdiupayakan dengan skema ADR ini (Suporahardjo,2002; Buckles, 1999). Dalam penelitian ini,khususnya untuk studi kasus, semua inisiatif dalamupaya penyelesaian konflik dianalisis. Namunberdasarkan hasil observasi, upaya penyelesaian inijarang sekali diungkap secara rinci di dalam artikelkoran. Oleh sebab itu, informasi semacam ini lebihbanyak diperoleh melalui studi kasus (lihat laporanstudi kasus di Bab III).

1.5. Metodologi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua tingkat yang berbeda.Pertama, di level nasional untuk melihat profil konflikyang terjadi di seluruh wilayah Indonesia mulai dariSumatera sampai ke Papua. Kedua, dilakukan ditingkat provinsi untuk membandingkan antarakonflik yang terjadi di daerah dengan konflikkehutanan skala nasional. Kalimantan Timur dipilihsebagai lokasi penelitian untuk tingkat provinsikarena kegiatan kehutanan di sini dianggap cukupdominan, dan akses terhadap informasi lebih mudah.

Sumber informasi untuk kedua tingkat studi inidiambil dari media massa. Untuk tingkat nasional,enam media massa4 dipilih untuk mengobservasiartikel koran yang memuat konflik kehutanan. Periodepenerbitan yang diobservasi adalah dari bulan Januari1997 sampai dengan bulan Juni 2003. Hal yang samadilakukan terhadap media massa lokal5 untukmengetahui konflik kehutanan yang terjadi di tingkatprovinsi.

Di samping itu, untuk melakukan verifikasi danmemperkaya data sekunder dari media massa, telahdilakukan studi kasus di enam lokasi yang berbeda.Data dan informasi dari studi lapangan merupakan

4 Kompas, Tempo, Business Indonesia, Media Indonesia, Antara, dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).5 Kaltim Post.

Page 15: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

5Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

1997 1998 2000 2003ORBA TRANSISI DESENTRALISASI

data empiris yang dikumpulkan selama kunjunganke lokasi kejadian konflik.

1.5.1. Unit PenelitianPenelitian ini menggunakan dua unit penelitian.Pertama adalah “peristiwa konflik”, yaitu kejadiansuatu konflik yang telah muncul ke permukaan, dandimuat dalam artikel koran. Sebagaimana diketahuikonflik di sektor kehutanan bervariasi mulai darikonflik dengan intensitas yang rendah, seperti keluhan-keluhan, sampai kepada konflik dengan tekanan yangtinggi seperti aksi-aksi destruktif. Unit kedua adalahstudi kasus di lapangan, yaitu perusahaan-perusahaanyang bergerak dibidang kehutanan, yaitu HPH danHTI, serta unit pengelolaan kawasan lindung (sepertitaman nasional).

1.5.2. Data dari Media MassaMedia massa merupakan salah satu dari dua sumberdata utama dalam penelitian ini. Media massa dipilihsebagai sumber data karena bisa diperoleh denganmudah dan cepat; bahkan beberapa di antaranya bisadiakses melalui internet. Selain itu, banyak klipingyang telah dibuat oleh berbagai lembaga penelitianseperti CIFOR, GTZ-Kaltim, dan NRM-Kaltim yangbisa dimanfaatkan. Keuntungan lainnya adalah bahwainformasi yang didapatkan dari media massa dapatdengan mudah diarsip.

Namun demikian, kami juga menyadari bahwa mediamassa tidak bebas dari bias (value free) dan memilikipertimbangan tersendiri dalam memunculkan berita.Pada masa Orde Baru media massa tidak dapatdengan mudah memuat berita-berita sensitif. Mediamassa dikekang dan dijadikan alat untukmempertahankan kekuasaan pada waktu itu. Di masaReformasi terjadi perubahan yang menggembirakan.

Walaupun demikian, disadari bahwa media massahanya melaporkan sebagian saja dari informasilengkap di lapangan, dan media massa mana puntidak terlepas dari kepentingan golongan tertentu.

Penelusuran informasi dari media massa dilakukanmelalui majalah dan surat kabar yang terbit antarabulan Januari 1997 sampai dengan Juni 2003, denganurutan pembagian waktu sebagaimana terlihat dalamGambar 16 .

Periode 1997 – 1998 dianggap sebagai periode ketikakekuasaan Orde Baru masih ada tetapi sudah mulaimenunjukkan tanda-tanda melemah. Periode inidianggap penting karena terjadi berbagai perubahankebijakan politik. Dalam periode yang sama, krisisekonomi yang parah mulai melanda Indonesia danmemuncak pada periode ini, sehingga diasumsikanberdampak penting bagi sektor kehutanan.

Periode 1999, dianggap sebagai masa Transisi daripemerintahan Orde Baru ke masa Desentralisasi,dan sektor kehutanan diasumsikan mengalamitransisi pula. Walaupun pada tahun 1999 telahdikeluarkan Undang-undang No. 22 dan No. 25 yangmengatur tentang otonomi daerah, pelaksanaannyabaru mulai berdampak pada tahun 2000, dan baruefektif pada awal tahun 2001.

Periode 2000 – 2003 merupakan periodeDesentralisasi di mana pengurusan sumber daya hutansemakin banyak diberikan kepada pemerintahdaerah. Pembagian waktu ini dipilih untukmembandingkan perubahan konflik kehutanan yangterjadi pada masa Orde Baru dan masaDesentralisasi.

6 Perlu disampaikan disini bahwa pembagian waktu analisis seperti yang diuraikan di atas semata-mata untuk mengaitkannyadengan perubahan politik yang terjadi.

Gambar 1. Pengelompokan waktu penelitian

Page 16: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

6 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

1.5.3. Data dari Studi KasusUntuk studi kasus, dipilih kasus-kasus konflikkehutanan yang terjadi di perusahaan-perusahaanHPH, HTI atau kawasan lindung. Kasus-kasus inidipilih sebagai unit penelitian untuk memberikangambaran profil keanekaragaman konflik di berbagaiaktivitas kehutanan secara lebih mendalam (termasuksejarah konflik).

Studi kasus dilakukan dari bulan Mei sampai denganAgustus 2003. Pengumpulan data untuk satu lokasistudi kasus dilakukan selama sepuluh hari. Data daninformasi lapangan dikumpulkan denganmenggunakan metode wawancara semi terstruktur(semi-structured interview) yang dilakukan terhadaptujuh sampai dengan 21 orang responden kunci (lihatLampiran 3 untuk pedoman wawancara danLampiran 4 untuk daftar responden kunci).Keuntungan menggunakan metode ini adalahkebebasan untuk mengembangkan diskusi sesuaidengan kondisi yang ada untuk menggali informasisecara lebih mendalam. Informasi yang dikumpulkantermasuk sejarah konflik, pihak-pihak yang terlibat,eskalasi konflik dan langkah penyelesaian yang pernahditempuh serta hasilnya.

Sejauh mungkin, wawancara dengan responden kuncidilakukan dengan melibatkan semua pihak yangberkepentingan sehingga informasi yang didapatkandiharapkan akan lebih seimbang. Pihak-pihak yangdilibatkan meliputi, antara lain, wakil perusahaanHPH atau HTI, masyarakat setempat, PemerintahDaerah, pengelola taman nasional, LSM danperguruan tinggi. Namun tidak semua respondenkunci bersedia untuk diwawancarai. Hasil wawancaradicatat untuk selanjutnya dianalisis.

Enam lokasi studi kasus yang dipilih untuk penelitianini adalah sebagai berikut:1. HPH Kodeco, Kalimantan Selatan2. HPH Keang Nam, Sumatera Utara

3. Perhutani Blora, Jawa Tengah4. HTI PT Riau Andalan Pulp and Paper, Riau5. Kawasan Lindung Meratus, Kalimantan Selatan6. Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur

Untuk melengkapi hasil wawancara, dilakukan studipustaka untuk setiap studi kasus. Pustaka didapatkandari buku-buku yang berhubungan dengan lokasistudi, laporan-laporan yang dibuat oleh pemerintahdan instansi terkait, laporan dari HPH atau HTI, sertalaporan dari LSM. Beberapa keputusan hukum sepertiKeputusan Menteri, Keputusan Bupati, dankeputusan-keputusan lainnya yang terkait jugadikumpulkan dari berbagai instansi untuk melihataspek legal dari kasus yang sedang diteliti.

1.5.4. Lokakarya MultipihakHasil kegiatan yang telah dilakukan dituangkan dalamdraft laporan dan disajikan dalam sebuah lokakaryauntuk mendapatkan tanggapan dan masukan. Parapeserta lokakarya7 adalah mereka yang telahberpengalaman dalam hal penelitian/kegiatanpenanganan konflik dari latar belakang yang berbeda-beda, seperti universitas, APHI, lembaga penelitiandan LSM. Lokakarya ini dilaksanakan pada tanggal17 November 2003 di CIFOR, Bogor.

Agenda utama lokakarya8 adalah membahas draftlaporan agar menjadi laporan yang baik dandiharapkan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan danterutama untuk pembangunan sektor kehutanan.Selain itu, pendapat para peserta lokakarya jugamembahas berbagai rekomendasi untuk pengelolaankonflik di Indonesia. Bagi para peserta, lokakaryaini merupakan sarana untuk saling berinteraksi danmembuka jaringan antara lembaga-lembaga yangnantinya diharapkan bisa menjadi mediator dalampenyelesaian konflik kehutanan. Lokakarya ini jugabermanfaat sebagai sarana pembelajaran bagi seluruhpeserta dalam menyelesaikan konflik-konflikkehutanan yang dihadapinya (studi banding).

7 Daftar peserta acara Lokakarya Konflik Kehutanan di Indonesia, 17 November 2003 dapat dilihat pada Lampiran 5.8 Agenda Lokakarya Konflik Kehutanan di Indonesia, 17 November 2003 dapat dilihat pada Lampiran 6.

Page 17: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

7Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Gam

bar

2. L

okas

i Pen

eliti

an

Lo

kasi

Stu

di K

on

flik

Sek

tor

Keh

uta

nan

di I

nd

on

esia fo

rest

wat

ch in

done

sia-

outr

each

-200

3

Ket

eran

gan

:1.

Kab

upat

en M

anda

iling

Nat

al, P

ropi

nsi S

umat

era

Uta

ra2.

Kab

upat

en K

ampa

r, P

ropi

nsi R

iau

3. K

abup

aten

Blo

ra, P

ropi

nsi J

awa

Teng

ah4.

Kab

upat

en K

otab

aru,

Pro

pins

i Kal

iman

tan

Sel

atan

5. K

abup

aten

Kut

ai T

imur

, Pro

pins

i Kal

iman

tan

Tim

ur

Page 18: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

2.1. Potret Konflik SecaraNasional (1997 – 2003)

Berdasarkan hasil observasi terhadap artikel mediamassa nasional, 359 peristiwa konflik di sektorkehutanan telah terjadi dari Januari 1997 sampaidengan Juni 2003. Gambar 3 menampilkan frekuensikonflik yang terjadi setiap tahunnya9 .

Dari tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 konflikdi sektor kehutanan cenderung meningkat cukuptajam. Jumlah konflik meningkat hampir empat kalilipat pada tahun 1999 dibandingkan dengan tahun1997. Pada tahun 2000 jumlah konflik melonjakdrastis sampai 153 kejadian. Angka ini mengalamipenurunan kembali pada tahun 2001 dan 2002.Namun berdasarkan data sampai dengan bulan Juni2003, jumlah konflik cenderung meningkat kembali.

Temuan lain yang juga tidak kalah menariknya adalahbahwa dari 359 kasus konflik yang berhasil dicatat,39% diantaranya terjadi di areal HTI, 34% di kawasankonservasi (termasuk hutan lindung dan tamannasional), dan 27% di areal HPH (lihat Gambar 4).

Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa konflikyang terjadi di areal HTI dan kawasan konservasimempunyai porsi yang signifikan, dibandingkandengan yang terjadi di areal HPH. Frekuensi konfliktertinggi (hampir 40%) terjadi di areal HTI.

Diketahui pula bahwa frekuensi konflik meningkatdrastis pada awal pelaksanaan desentralisasi (tahun2000). Di masa Orde Baru dan masa Transisi, konflikdi areal HTI lebih sering terjadi dibandingkan dengankonflik di HPH dan kawasan konservasi. Sedangkandi masa Desentralisasi, konflik di kawasan konservasidan areal HTI lebih banyak dibandingkan dengankonflik di areal HPH.

Berdasarkan hasil analisis artikel di media massa,sekurang-kurangnya terdapat lima penyebab utamakonflik yang terjadi di areal HPH, HTI dan kawasankonservasi, yaitu perambahan hutan, pencurian kayu,perusakan lingkungan, tata batas kawasan atau aksesdan alih fungsi kawasan10 , seperti yang ditampilkandalam Gambar 5. Faktor penyebab konflik yangpaling sering terjadi di berbagai kawasan (36%)adalah ketidakjelasan tata batas hutan bagi masyarakatdi sekitarnya.

Sementara itu, faktor yang paling seringmenyebabkan terjadinya konflik di setiap kawasanberbeda-beda. Hal ini secara jelas dapat dilihat dalamGambar 6.

Di areal HPH, konflik sering terjadi karena adanyatumpang tindih areal HPH dengan lahan yang

Konflik Sektor Kehutananantara Tahun 1997 – 20032

Gambar 3. Frekuensi konflik periode 1997-2003

9 Perlu diingat bahwa untuk tahun 2003 hanya dicatat sampai dengan bulan Juni saja. Dengan demikian frekuensi tahun 2003tidak mencerminkan frekuensi konflik keseluruhan tahun 2003.

1 0 Lihat 1.4.3. Penyebab konflik halaman 3.

1429

52

153

4531 35

1997 1998 1999 2000 2001 2002 Juni 2003

Page 19: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

9Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

dikelola oleh masyarakat, seperti ladang atau tanahadat, karena ketidakjelasan tata batas. Pada dasarnya,secara legal pemegang HPH mengklaim berhak atasareal tersebut karena telah memperoleh izin konsesidari pemerintah, sementara masyarakat secaratradisional telah lama mengolah lahan di arealtersebut. Akibatnya, akses masyarakat terhadapsumber daya hutan menjadi terbatas, seperti contohkasus yang ditunjukkan pada Kotak 1.

Lain halnya yang terjadi di areal HTI. Penyebab utamakonflik adalah tata batas kawasan dan pencurian kayu.Perbedaan penafsiran tata batas antara areal HTI danlahan masyarakat merupakan penyebab yang seringmemicu konflik. Hal ini banyak terjadi baik di hutantanaman di Jawa (Perhutani) maupun di areal HTI diluar Jawa. Kotak 2 memperlihatkan contoh kasuskarena tumpang tindih batas areal HTI dengan lahanyang dikelola oleh masyarakat.

Di samping itu, maraknya pencurian kayu di arealHTI yang dilakukan oleh masyarakat maupun oknumyang melibatkan militer telah menimbulkan

HTI39%

KK34%

HPH27%

Gambar 4. Persentase konflik di areal HPH,HTI dan kawasan konservasi (KK) tahun1997-2003

pertikaian-pertikaian antara anggota masyarakat danantara pengelola HTI dengan para pencuri kayu.Perhutani merupakan perusahaan HTI di Jawa yangakhir-akhir ini banyak sekali terlibat dalam konflikdengan para pencuri kayu, seperti yang ditunjukkandalam Kotak 3.

Sementara itu, faktor utama penyebab konflik dikawasan konservasi seperti hutan lindung dan tamannasional adalah perambahan hutan dan pencuriankayu. Hal ini terjadi karena penetapan suatu kawasankonservasi biasanya dilakukan secara sepihak olehpemerintah tanpa melibatkan masyarakat.Akibatnya timbul berbagai kesalahpahaman darimasyarakat dan pihak-pihak terkait itu. Dalambeberapa kasus, penetapan hutan lindung atau tamannasional sering memaksa masyarakat untuk pindahke tempat lain. Perambahan menjadi isu utamakarena masyarakat masih menganggap bahwa lahanyang mereka buka untuk ladang adalah hak merekawalaupun telah ditetapkan menjadi kawasan lindung.Contoh kasus perambahan hutan lindung dapatdilihat pada Kotak 4 dan kotak 5.

Gambar 5. Faktor penyebab konflik (1997-2003)

Tata batas/pembatasan akses

36%

Alih fungsi3% Perambahan hutan

26%

Pencurian kayu23%

Kerusakanlingkungan/hutan

12%

Gambar 6. Faktor penyebab konflik di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi

0

10

20

30

40

50

60

70

80

HPH HTI KK

Perambahan hutanKerusakan lingkunganAlih fungsi

Pencurian kayuTata batas/pembatasan akses

Page 20: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

10 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Kotak 1. Pengusaha HPH di Papua Makin Terdesak

Nasib 21 perusahaan pemegang 53 Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Papua sangat memprihatinkan.Mereka telah membayar ratusan miliar rupiah kepada pemerintah, tetapi kini dihadapkan pada sejumlahtuntutan masyarakat mengenai hak ulayat. Dari 53 HPH, hanya 35 yang masih aktif, namun dalam waktudekat juga terancam mundur.

Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Papua, Bosco Fernandez di Jayapura, Sabtu (29/01)mengatakan, APHI sangat menyesalkan tindakan pemerintah terhadap pemegang HPH yang dianggapsebagai sapi perahan, sementara nasib pengusahanya tidak diperhatikan.

Menurut Fernandez, setelah reformasi dan tuntutan kemerdekaan Papua digulirkan, masyarakat jugamenuntut hak ulayat. Pekan lalu masyarakat sekitar hutan di Jayapura menuntut PT. You Lim Sari Rp. 450milyar sebagai ganti rugi hak ulayat.

Sumber: Kutipan Kompas, 1 Februari 2000.

Kotak 2. Warga Muara Enim Menuntut Tanahnya Dikembalikan

Sejumlah warga Rambang Lubai, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan,menuntut PT. Musi HutanPersada (MHP) mengembalikan tanah seluas 12.050 hektare yang pernah mereka kuasai.

Selain itu, mereka juga menuntut PT. MHP sebesar Rp. 2,5 miliar sebagai ganti rugi atas kebun karet,karet campuran, dan tegalan atau ladang yang telah ditumbuhi tanaman tetapi dimusnahkan oleh pihakMHP. Bahkan akibat dari penguasaan tanah tersebut, warga juga menuntut ganti rugi sebesar Rp. 25 jutauntuk setiap hektar dan Rp.301,25 juta sebagai ganti rugi atas hilangnya kesempatan berusaha di ataslahan tersebut.

Tuntutan yang dibacakan oleh seorang wakil warga Rambang Lubai, Junial Komar, merupakan perjuanganpanjang yang telah dilakukan selama sembilan tahun. Sejak tahun 1991, mereka telah melakukan 16 kalidemonstrasi. Bahkan katanya, demonstrasi yang pernah dilakukan warga Rambang Lubai ini adalahdemonstrasi yang terbesar di Sumatera Selatan. Demonstrasi yang belakangan ini, dilakukan di kantorGubernur Sumsel selama sembilan hari, terhitung sejak 16 Februari 2000 lalu dan di Dephutbun.

Sumber: Kutipan Kompas, 4 Maret 2000.

Kotak 3. Kalau Ada Order, Kami Siap Terobos...

Meski aparat keamanan sudah diterjunkan ke lapangan dan perintah tembak di tempat belum dicabut, aksipenjarahan dan pencurian kayu hutan, khususnya kayu jati (Tectona grandis) di wilayah Perhutani Unit IJawa Tengah hingga kini masih berlangsung. Dari 20 kesatuan pemangkuan hutan (KPH) yang ada di PerhutaniUnit I Jateng, yang dikategorikan paling parah terkena jarah adalah KPH Pati, Mantingan, Kebonharjo,Blora, Cepu, dan Rembang. Semua KPH itu sebagian besar berada di wilayah Karesidenan Pati yangterdiri dari Kabupaten Pati, Kudus, Jepara, Rembang, Blora, ditambah sebagian kecil Kabupaten Bojonegorodan Ngawi (Jatim).

Dalam menjalankan aksinya, sebagian besar di antara mereka sudah dibekali peralatan mesin penebang,truk pengangkut (termasuk truk jenis tronton), peralatan komunikasi termasuk telepon genggam dari oknumyang terlibat dalam bisnis jual beli kayu jati. Di luar ”sektor” hutan jati yang dijarah, upah yang mereka terimapaling tinggi Rp 20.000 per hari. Itu pun harus bekerja keras sepanjang hari. Meski tindakan menjarah itudisadari melanggar hukum, hal itu tetap mereka lakukan. ”Banyak teman yang terlibat, namun kami tetaptenang-tenang saja,” tutur pemuda itu. Penampilan dan gaya kelompok pemuda seperti di Dukuhseti, jugadapat dijumpai di kawasan hutan wilayah KPH Pati, Rembang, Mantingan, Cepu dan Blora.

Hutan produksi Perhutani Unit I Jateng, tercatat seluas 604.519,47 hektare, yang berupa kayu jati, pinus,agatis, sonokeling, mahoni, mangrove, dan kayu putih. Khusus areal kayu jati mencapai luas 312.216,47hektar, yang sebagian besar berada di wilayah Karesidenan Pati dan mutunya amat baik. Bahkan beberaparatus pohon di antaranya termasuk langka dan sekarang masih tumbuh dengan subur di hutan lindung KPHCepu maupun Randublatung.

Sumber: Kutipan Kompas, 12 Juni 2000.

Page 21: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

11Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Berdasarkan frekuensi sebaran konflik secaranasional, 30% dari kasus konflik yang dilaporkanterjadi di Provinsi Kalimantan Timur (lihat Tabel 1).Konflik juga sering terjadi di Jawa Tengah (kasushutan jati di Perhutani) dan Sumatera Utara (kasusHPH).

Selanjutnya, Tabel 2 menggambarkan frekuensikonflik yang terjadi di sepuluh areal HPH, HTI dankawasan konservasi yang sering dimuat dalam mediamassa nasional.

Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah adalahperusahaan kehutanan yang paling sering dilaporkan

terlibat dalam konflik dengan masyarakat. Dikawasan ini, konflik yang paling banyak terjadiadalah pencurian kayu. Namun demikian, urutanfrekuensi yang menempatkan Perhutani Unit I sebagaikawasan yang paling sering mengalami konflik masihdipertanyakan. Ada banyak hal yang dapatdiperdebatkan dalam urutan peringkat frekuensikonflik ini. Utamanya karena sumber data yangdiperoleh berasal dari media massa yang relatif lebihmudah memperoleh akses karena Perum Perhutaniberada di Jawa. Terlepas dari hal ini, urutan peringkatfrekuensi konflik bermanfaat untuk memberikangambaran betapa pentingnya memperhatikan konfliksektor kehutanan dengan lebih serius.

Kotak 4. Di Balik Lebatnya Hutan Bali

Menikmati perjalanan dari Gilimanuk menuju Denpasar, mata kita disuguhi rimbun dan lebatnya pepohonanyang berada di sepanjang pinggiran jalan raya Gilimanuk itu. Namun, siapa mengira bahwa lebat danrimbunnya pepohonan itu adalah “tirai” yang menutupi sebagian lahan hutan yang mulai gundul.

Lapangnya lahan yang seharusnya menjadi kawasan hutan akan semakin jelas terlihat saat kita melewatijalur Taman Nasional Bali Barat (TNBB) dari Gilimanuk menuju Buleleng, melalui jalur Cekik-Seririt. Kondisiserupa juga terlihat di tempat lain yang memiliki kawasan hutan, seperti Kabupaten Bangli, KabupatenBadung dan beberapa kabupaten lainnya.

Hal itu diakui Kepala Sub Dinas Pembinaan dan Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan (Dishut) ProvinsiBali Nyoman Silanawa. Bahkan, diperkirakan sekitar 31.817, 75 hektare atau 25% dari luas keseluruhanhutan daratan di Bali, telah mengalami konversi lahan.

Perubahan fungsi tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain perambahan kawasan hutan olehkelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di dekat hutan dan penggunaan kawasan hutan untukpembangunan di luar sektor kehutanan dan penebangan liar.

Kunjungan kerja komisi B DPRD Bali pada awal April lalu, menemukan beberapa jenis gangguan terhadapfungsi hutan lindung, terutama di Kabupaten Jembrana, antara lain pengolahan hutan lindung menjadi lahanproduksi dan pencurian kayu. Diperkirakan, dari sekitar 31.000 hektare luas hutan lindung di kabupatenJembrana, sekitar 3.100 hektare atau 10 persennya rusak akibat dirambah penduduk.

Menurut Kepala Dishut Kabupaten Jembrana, kerusakan hutan tersebut karena masyarakat di sekitarhutan lindung mengolah lahan hutan dengan menanam tanaman produksi, antara lain kopi, cokelat danpisang, Namun, ia menolak pendapat bahwa hutan lindung di wilayahnya sudah berubah fungsi.

Sumber: Kutipan Kompas, Rabu, 29 Mei 2002.

Kotak 5. Klaim Tanah dan Kayu Hambat Pengamanan Hutan

Klaim atas tanah dan kayu sering menjadi penghambat upaya penanganan keamanan hutan di LombokBarat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Akibatnya, terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap isi hutan yangmengarah ke terjadinya degradasi hutan. Hal itu dikatakan Kepala Dinas Kehutanan Lombok BaratSuhajatman Sutamin kepada pers di obyek wisata Suranadi, Lombok Barat, sekitar 13 km timur Mataram,Sabtu (20/4). Dia ditanya soal pengamanan hutan, keberadaan perusahaan penggergajian kayu danpemilikan gergaji mesin (chain saw), termasuk usulan masyarakat mensertifikatkan tanah yang tercatatsebagai areal hutan di Lombok Barat. Juga terdapat klaim atas kawasan hutan yang diusulkan menjadimilik publik, seperti kuburan dan sarana ibadah. Padahal, lokasi fasilitas itu puluhan tahun lalu hinggasekarang tercatat sebagai kawasan hutan, seperti di kawasan Hutan Lindung Sesaot (5.000 ha lebih). ”Ada147 lokasi yang diusulkan sertifikatnya,” kata Suhajatman.

Sumber: Kompas, 22 April 2002

Page 22: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

12 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Dari Tabel 2 juga dapat dipelajari bahwa konflikkehutanan di areal HTI dan kawasan taman nasionallebih banyak mendapat perhatian media massanasional kita. Dari sepuluh kawasan yang terbanyakmenjadi arena konflik, hanya satu HPH saja yangtermasuk ke dalamnya.

2.2. Potret konflik di KalimantanTimur (1997-2003)

Di Provinsi Kalimantan Timur tercatat 97 kasuskonflik yang dilaporkan oleh Kaltim Post selamaperiode penelitian. Sebaran frekuensi konflik pertahun di Kalimantan Timur dapat dilihat padaGambar 7.

Dari gambar tersebut terlihat kecenderungan

peningkatan frekuensi konflik dari tahun 1997sampai dengan tahun 2000. Pada tahun 2001,frekuensi konflik menurun sebesar 40%dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namundemikian pada tahun 2002 meningkat lagi dan bahkanlebih tinggi 20% dibandingkan dengan tahun 2000.Selanjutnya, frekuensi konflik cenderung meningkatkembali di tahun berikutnya11 .

Apabila dicermati dari beberapa uraian di atas, dapatdisimpulkan bahwa pola frekuensi konflik diKalimantan Timur hampir mirip dengan pola frekuensikonflik nasional per periode analisis. Frekuensi konflikmengalami peningkatan sangat nyata pada masaDesentralisasi (tahun 2000-2003). Di masa itu,konflik yang terjadi di areal HPH dan HTI palingbanyak dilaporkan di Kalimantan Timur. Sedangkan

Tabel 1. Frekuensi sebaran konflik berdasarkan provinsi (1997-2003)

Tabel 2. Sebaran konflik di HPH, HTI dan kawasan konservasi (1997-2003)

No. Nama HPH/HTI/ Jumlah Kategorikawasan lindung frekuensi kawasan

1. Perum Perhutani Unit I 41 HTI2. Perum Perhutani Unit III 20 HTI3. PT Inti Indorayon Utama 15 HTI4. PT Oceannias Timber Products 13 HPH5. PT Surya Hutani Jaya 12 HTI6. Perum Perhutani Unit II 12 HTI7. Taman Nasional Kutai 9 Kawasan konservasi8. Taman Nasional Kerinci Seblat 8 Kawasan konservasi9. PT Tanjung Redep Hutani 7 HTI

10. Taman Nasional Gunung Leuser 7 Kawasan konservasi

1 1 Data yang dicatat untuk tahun 2003 hanya sampai dengan bulan Juni, jadi angka total peristiwa konflik untuk tahun 2003belum lengkap.

No. Provinsi Frekuensi Persentase

1. Kalimantan Timur 109 302. Jawa Tengah 47 133. Sumatera Utara 36 104. Jawa Barat 25 75. Riau 19 56. Jambi 16 47. Jawa Timur 14 48. Sumatera Selatan 12 39. Nangroe Aceh Darussalam 10 3

10. Kalimantan Tengah 10 311. Provinsi lainnya 61 17

Total 359 100

Page 23: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

13Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

pada masa Orde Baru dan masa Transisi, konflik diareal HPH tidak sebanyak yang terjadi di areal HTIdan kawasan konservasi. Proporsi konflik kehutanandi Kalimantan Timur yang terjadi di areal HPH, HTIdan kawasan konservasi dari tahun 1997 – 2003 dapatdilihat pada Gambar 8.

Berbeda dengan kasus konflik di tingkat nasional,di Kalimantan Timur frekuensi konflik di areal HTImerupakan yang terendah dibandingkan denganHPH dan kawasan konservasi. Frekuensi konflik diareal HTI hanya sekitar seperlimanya saja darikeseluruhan konflik kehutanan yang terjadi diKalimantan Timur. Sementara itu, areal HPH dankawasan konservasi menjadi arena yangmendominasi konflik kehutanan, dengan frekuensimasing-masing lebih kurang 40%.

Dari sisi penyebab konflik, seperti halnya yangterjadi di tingkat nasional, paling sedikit ada limafaktor utama penyebab konflik kehutanan di

Kalimantan Timur, yaitu: tata batas, perambahanhutan, pencurian kayu, perusakan lingkungan(termasuk pencemaran)12 , dan alih fungsi atauperubahan status kawasan.

Dari kelima faktor tersebut, lebih dari separuh jumlah(68%) konflik yang sering terjadi di Kalimantan Timurdisebabkan karena masalah tata batas. Tumpangtindih penggunaan lahan akibat ketidakjelasan tatabatas merupakan pemicu konflik sebagaimana yangjuga ditunjukkan di tingkat nasional. Masalah tatabatas juga telah menjadi penyebab konflik di setiapkawasan, sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 10.

Sementara itu, di kawasan konservasi perambahanmerupakan salah satu penyebab utama konflik, seperticontoh kasus yang ditunjukkan pada Kotak 6.

Pencurian kayu tidak dilaporkan terjadi di areal HTIdi Kalimantan Timur, namun cukup bermasalah untukHPH dan kawasan konservasi. Sementara itu,

1 2 Lihat 1.4. Batasan konsep (1.4.3. Penyebab konflik) halaman 3.

Gambar 7. Frekuensi konflik sektor kehutanan di Kalimantan Timur (1997-2003)

74

14

20

12

24

16

1997 1998 1999 2000 2001 2002Juni2003

KK40%

HPH42%

HTI18%

Gambar 8. Persentase konflik di areal HPH, HTIdan kawasan konservasi (1997-2003) diKalimantan Timur

Gambar 9. Faktor penyebab konflik diKalimantan Timur

Pencuriankayu8%

Pengrusakanlingkungan

3%

Perambahanhutan20%

Tata batas68%

Alih fungsi1%

Page 24: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

14 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

perusakan lingkungan seperti pencemaran dankerusakan lahan pertanian masyarakat walaupunporsinya kecil, merupakan salah satu penyebabterjadinya konflik di areal HPH. Tidak ada artikelyang memberitakan adanya perusakan lingkungan diareal HTI dan kawasan konservasi yang kemudianmenjadi faktor penyebab konflik.

Tabel 3 mendeskripsikan sepuluh kawasan denganfrekuensi konflik terbanyak yang terjadi di arealHPH, HTI dan kawasan konservasi di KalimantanTimur. Sangat mengejutkan bahwa ternyata TamanNasional Kutai menempati urutan teratas. Selain itu,

konflik di kawasan HPH juga sangat dominan; duadi antaranya terjadi di PT Inhutani I dan IntracaWood.

Taman Nasional Kutai merupakan kawasan yangpaling sering diberitakan terlibat konflik oleh koranlokal. Kejadian konflik yang paling sering dilaporkandari lokasi ini adalah perambahan hutan yangdilakukan oleh masyarakat. Penyebabnya antara lainadalah pembatasan akses masyarakat dalampemanfaatan sumber daya hutan, sementaramasyarakat sendiri telah bertempat tinggal lama dikawasan ini. Selain itu, tidak bisa dipungkiri bahwa

Gambar 10. Faktor penyebab konflik di HPH, HTI dan kawasan lindung di Kalimantan Timur

0

5

10

15

20

25

30

35

40

HPH HTI KK

Tata batasPencurian KayuAlih fungsi

Perambahan HutanPerusakan Lingkungan

Kotak 6. Perkembangan Konflik Lahan di wilayah Taman Nasional Kutai

Ratusan atau bahkan mungkin ribuan hektare hutan di sepanjang jalan Bontang-Sangatta ditebangi dandibakar oleh warga dari Sangatta Lama. Hal ini sebagai reaksi atas pernyataan dari Kantor KecamatanSangatta bahwa area tersebut akan dikeluarkan dari wilayah pengelolaan Taman Nasional Kutai (TNK).Kepala Balai TNK, Warsito, menyatakan bahwa perkembangan ini membahayakan negosiasi antara pihakpengelola taman nasional dengan Pemerintah Daerah mengenai status dan batas-batas desa di dalamwilayah TNK.

Sumber: Manuntung, 12 Oktober 1996

Proyek pemerintah 1996/1997 untuk pemindahan 1750 orang (350 KK) dari areal TNK ke Talisayan diKabupaten Berau terhenti pada 150 KK petani lokal yang tidak mau dipindahkan.

Sumber: Manuntung, 4 Juli 1997

Wilayah TNK yang sudah dienclave untuk Desa Sangatta Selatan dan Teluk Pandan meningkat menjadi24.000 hektare. Pada awalnya luas enclave ini hanya 15.000 hektare. Hal ini disebabkan oleh meningkatnyapopulasi dan kurangnya daya dukung lahan untuk menampung populasi ini. Tim enclave yang terdiri dariinstansi pemerintah terkait, perwakilan desa, LSM dan pihak ketiga ini memulai pembuatan enclave untukdesa-desa tersebut pada bulan Maret 2000.

Sumber: Manuntung, 20 Juni 2001

Page 25: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

15Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

pendatang baru yang kemudian bermukim juga ikutmerambah hutan di sekitar kawasan ini.

2.3. Diskusi

2.3.1. Pola Sebaran Frekuensi KonflikFrekuensi konflik kehutanan yang terjadi sejak tahun1997 sampai dengan bulan Juni 2003 di tingkatnasional dan provinsi (Kalimantan Timur) dapatdicermati dari Gambar 11.

Terdapat perbedaan yang menonjol dari kedua polatersebut. Di tingkat nasional, konflik mencapaipuncaknya pada tahun 2000; sementara di provinsi(Kalimantan Timur) konflik mengalami dua puncakyaitu pada tahun 2000 dan 2002. Perlu diingat bahwapada tahun 2003, data yang tercatat hanya sampaidengan bulan Juni 2003. Masih terdapat

kemungkinan bahwa konflik yang terjadi pada tahun2003 lebih banyak daripada yang disajikan dalamgrafik di atas.

Khusus untuk konflik di tingkat nasional, timbulpertanyaan mengapa pada tahun 2000 jumlah konflikmengalami loncatan yang sangat tajam? Berdasarkaninformasi dari kumpulan artikel media massa, padatahun 2000 berbagai tuntutan ganti rugi bermunculandari masyarakat terhadap perusahaan HPH. Selainitu, berdasarkan asumsi tahun 2000 merupakanpuncak masa Transisi dan munculnya “eforiareformasi”, yang mendorong beberapa kelompokmasyarakat untuk mengambil kesempatan atasketidakjelasan peraturan dan kewenangan yang ada.

Seperti telah dijelaskan, paling sedikit ada limapenyebab konflik di tingkat nasional (lihat Gambar`5).

Tabel 3.Sebaran konflik di HPH, HTI dan kawasan konservasi diKalimantan Timur (1997-2003)

Gambar 11. Pola frekuensi konflik per tahun

0

30

60

90

120

150

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

Jum

lah

Ko

nfl

ik

Provinsi Nasional

Sumber: Database CIFOR-FWI

No. Nama HPH/HTI/ Frekuensi Kategorikawasan lindung konflik kawasan

1. Taman Nasional Kutai 25 Kawasan konservasi2. PT Inhutani I 9 HPH3. Taman Hutan Rakyat Bukit

Soeharto 5 Kawasan konservasi4. Intracawood 4 HPH5. PT Tunggal Yudi Hutani 3 HTI6. PT ITCI Kartika Utama 3 HPH7. PT Inhutani II 3 HPH8. Cagar Alam Teluk Apar 3 Kawasan konservasi9. Hutan Lindung Sungai Wain 3 Kawasan konservasi

10. PT Sumalindo 2 HPH

Page 26: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

16 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Isu kompensasi sering muncul antara lain karenamasyarakat menuntut ganti rugi atau kompensasi ataslahan pertanian, tanah adat, kerusakan lingkungan(pencemaran), dan karena pembatasan aksesmasyarakat oleh perusahaan HPH. Pada tahun 2000,masyarakat mulai berani menuntut hak merekakepada perusahaan-perusahaan HPH dan HTI yangsering berujung pada pertikaian. Apabila tuntutanganti rugi ini tidak dipenuhi oleh perusahaan, makamasyarakat akan memberikan perlawanan terhadappihak perusahaan. Dalam beberapa kasus,masyarakat secara paksa menutup kegiatanperusahaan dengan memblokir jalan atau jembatan.Tidak jarang mereka menyurati Menteri Kehutanandan instansi terkait untuk menuntut pencabutanHPH tersebut. Hal ini sangat mirip dengan apa yangdilaporkan oleh Rhee (2000), Yasmi (2002; 2003),Anau (2002) dalam studi mereka mengenai tuntutanganti rugi atau kompensasi yang semakin seringbermunculan dari pihak masyarakat. Penelitian inijuga memperkuat temuan mereka dan dapatdikatakan bahwa isu ganti rugi dan kompensasisangat sering ditemukan dalam konflik kehutanan.

Tuntutan ganti rugi ini tidak bisa dilepaskan darifaktor sejarah. Di masa lampau banyak perusahaanHPH atau perusahaan kayu yang mengabaikankepentingan masyarakat (Wenban-Smith, 2001).Perusahaan sering menggunakan tindak kekerasandalam menghadapi masyarakat lokal dan tidak jarangpula dengan melibatkan kekuatan militer (Anau,2001). Hal-hal seperti ini telah menimbulkankebencian masyarakat dan menumpuk selamabertahun-tahun. Kebebasan yang tersedia dalam masareformasi memberi mereka kesempatan untukmengajukan tuntutan-tuntutan atas hak mereka yangtelah hilang selama bertahun-tahun.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapakonflik kehutanan di masa Desentralisasi cenderungmeningkat tajam? Ada beberapa faktor yang dapatdikemukakan untuk menjelaskan hal ini. Salah satufaktor utama adalah bahwa Desentralisasi telahmembuka peluang bagi banyak pihak untuk terlibatdalam pengelolaan hutan. Kemudian, PemerintahDaerah yang kini menjadi salah satu pemangkukepentingan (stakeholder) kunci dalam pengelolaanhutan belum siap dan mampu untuk mengelolahutannya dengan baik. Sementara itu, munculkesadaran dari stakeholder untuk mendapatkan hak-

hak mereka. Misalnya, masyarakat lokal yang selamaini telah dikesampingkan oleh pemerintah tiba-tibasadar akan hak-haknya. Di masa Desentralisasi, LSMjuga semakin aktif memberdayakan masyarakat lokaldan menuntut keadilan bagi mereka. Sudah tentuperbedaan kepentingan dari berbagai pihak itu ikutmenjadi faktor yang memicu timbulnya konflikkehutanan.

Pertanyaan lainnya adalah apakah mungkinpeningkatan frekuensi konflik secara drastis yangterjadi pada tahun 2000 ini ada kaitannya denganperkembangan atau perubahan politik yang terjadipada masa itu? Jawabannya bisa “ya” tetapi juga bisa“tidak”, bergantung dari sudut mana kita melihatpermasalahan ini. Dari perubahan politik yangterjadi, tidak dapat disangkal bahwa sebelum tahun1998 terdapat tekanan-tekanan terhadap media massanasional, sehingga isu-isu sensitif seperti konfliksemacam ini tidak dapat dilaporkan secara terbuka.Pada saat itu, pemerintahan Soeharto secarasistematis mengendalikan berita untuk kepentingankelompoknya. Karena perusahaan besar seperti HPHdan HTI sebagian besar dimiliki oleh kroni-kroni(baca: orang dekat) Soeharto, maka kemungkinanberita-berita mengenai konflik kehutanan akandisaring terlebih dahulu. Kemungkinan lain konflikyang terjadi pada masa itu belum terlalu banyak yangmuncul ke permukaan karena masyarakat masihtakut. Selain itu, penanganan konflik lebih banyakdiselesaikan dengan menggunakan pendekatankeamanan atau militer.

Reformasi yang bergulir sejak jatuhnya Soeharto padabulan Mei 1998 belum banyak mengubah wajahmedia massa nasional. Pada masa pemerintahanHabibie (1998-1999), masyarakat pers Indonesia jugabelum melaporkan berita-berita konflik kehutanansecara bebas dan terbuka. Tekanan-tekanan dari pihakpemerintah dan kekuatan militer masih dirasakandominan pada masa itu. Walaupun tahun 1999terjadi loncatan frekuensi konflik sebanyak empatkali lipat, jumlahnya masih jauh lebih rendahdibandingkan dengan yang diberitakan pada tahunberikutnya (tahun 2000). Ada kemungkinan jugabahwa konflik laten yang selama ini terpendam belumsemuanya muncul ke permukaan. Barulah pada masapemerintahan Abdurrahman Wahid (2000-2001) persIndonesia mulai merasakan kebebasan untukmemberitakan hal-hal yang dulu dianggap tabu.

Page 27: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

17Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Kembali kepada pertanyaan awal mengapa lonjakankonflik di tahun 2000 terjadi dengan sangat tajam?Apakah mungkin ada hubungannya dengankebebasan pers yang selalu dikemukakan olehAbdurrahman Wahid, atau memang pada tahun 2000konflik kehutanan merupakan berita sensasionalyang laku dijual? Asumsi yang pertama mungkin adabenarnya, karena terbukti pada tahun tersebutjumlah konflik yang dilaporkan sangat banyak.Asumsi itu mungkin juga benar karena denganjatuhnya Abdurrahman Wahid, artikel media massatentang konflik juga mengalami penurunan secaradrastis. Pada tahun 2001 jumlah konflik yang tercatatdi media nasional hanya 45 kasus. Kemudian munculpertanyaan, apakah penurunan ini merupakansebuah kebetulan saja atau justru karena kebebasanpers yang kembali mengalami tekanan di masapemerintahan Megawati? Suatu pertanyaan yang sulituntuk dijawab!

Mengaitkan frekuensi konflik dengan kebebasan persdapat dikatakan terlalu menyederhanakanpermasalahan. Ungkapan ini mungkin benar. Namundemikian, karena sumber utama data penelitian iniadalah artikel media massa, maka hubungankebebasan pers dengan frekuensi konflik mungkinjuga ada kaitannya.

Apabila diperhatikan lebih jauh, ternyata adakemiripan antara pola frekuensi konflik tingkatnasional dengan tingkat provinsi (Kalimantan Timur).Yang paling jelas adalah kecenderungan peningkatanfrekuensi konflik di masa Desentralisasi. Hanya saja,loncatan frekuensi konflik untuk tingkat nasional jauhlebih besar dibandingkan dengan yang terjadi diKalimantan Timur. Hal ini sangat dipengaruhi olehsebaran konflik per tahun seperti yang telahdisinggung sebelumnya.

2.3.2. Faktor Penyebab KonflikSebab-sebab atau faktor dan latar belakang yangmemicu terjadinya konflik sangat penting untukdipahami guna menyiapkan langkah-langkah yangbisa diambil untuk menyelesaikannya. Dari databaseyang dikembangkan untuk tingkat provinsi, adaempat penyebab utama terjadinya konflik, yaitu tatabatas/akses, perambahan hutan, pencurian kayu danperusakan lingkungan. Sedangkan untuk tingkatnasional ada lima penyebab utama konflik. Empatdi antaranya sama dengan penyebab konflik di

tingkat provinsi (Kalimantan Timur); dan yangkelima adalah masalah alih fungsi suatu kawasanhutan.

Ketidakjelasan tata batas antara areal perusahaanHPH dan HTI atau kawasan hutan lindung denganlahan masyarakat yang hidup di sekitar hutan perlumendapatkan perhatian serius, terutama dari pihakpemerintah. Permasalahan tata batas dan aksesbukanlah hal yang baru di dunia kehutanan. Hal initelah banyak diungkapkan oleh para penelititerdahulu (lihat Anau, 2002; Orstom, 1999;Moeliono dan Fisher, 2003; Suporahardjo danWodicka, 2003).

Pertanyaan selanjutnya yang cukup relevan adalahbatas yang mana yang perlu dipatuhi? Apakah batasyang ditetapkan oleh pihak pemerintah atau batas-batas yang diakui oleh masyarakat lokal, yang seringtumpang tindih dengan klaim pemerintah? Masalahtata batas ini akan terus mengemuka apabila tidakada solusi yang tepat. Untuk mencapai kesepakatantentang tata batas memang tidak mudah, tetapi perludipikirkan jalan keluar untuk menyelesaikan konfliktata batas di kawasan kehutanan. Ketidakjelasan tatabatas tanah adat ini sering dimanfaatkan olehsebagian masyarakat untuk mengklaim lahan denganluas yang tidak masuk akal.

Implementasi desentralisasi ternyata telah ikut sertamenambah rumit permasalahan dan memicu konflikbaru, karena pengaruh pimpinan pemerintah daerah,seperti Bupati, semakin kuat. Dalam banyak kasus,Bupati sering membuat kebijakan-kebijakan yangbertentangan dengan kebijakan yang telah dibuatoleh Pemerintah Pusat, seperti pemberian izin-izinpemungutan dan pemanfaatan hasil hutan kayu(IPPH). Akibatnya areal perusahaan HPH atau HTIyang sudah tumpang tindih dengan lahan milikmasyarakat atau tanah adat harus tumpang tindihpula dengan areal IPPH.

Konflik lainnya berkaitan dengan masalahperambahan dan pencurian kayu akibat cara pandangyang berbeda mengenai tata batas kawasan. Pihakpemerintah berpegang pada tata batas yang menurutmasyarakat lokal ditetapkan secara sepihak.Sementara masyarakat lokal berpegang pada tatabatas mereka sendiri berdasarkan adat dan sejarah.Akibatnya arti perambahan dan pencurian kayu

Page 28: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32 3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32 3.3.2. Sejarah Konflik

18 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

ditafsirkan secara berlainan oleh kedua belah pihak.Karena itulah masyarakat lokal tidak merasamerambah taman nasional. Mereka juga tidak pernahmerasa mencuri kayu karena dari sudut pandangmereka wilayah yang mereka buka atau kayu yangmereka ambil berada di dalam wilayah adat atauwilayah pengelolaannya. Perbedaan persepsi inilahyang sering menimbulkan konflik.

Namun demikian, perlu diakui bahwa terdapatoknum atau kelompok yang secara terorganisirmelakukan pencurian kayu secara besar-besaran dihutan lindung dan taman nasional. Hal ini sudahbanyak diungkapkan dan bukan menjadi rahasia lagi.Dalam beberapa kasus, pencurian ini dilindungi olehoknum militer atau bahkan oleh oknum pengelolataman nasional sendiri. Pemberantasan pencuriankayu memerlukan penegakan aturan hukum yang

menyeluruh, kemauan politis yang kuat, dantindakan yang tegas dari para pejabat pemerintah.

Sebagaimana telah banyak dikemukakan oleh parapeneliti lain, tidak ada satu pun resep mujarab yangbisa menyelesaikan semua konflik kehutanan. Salahsatu upaya yang bisa dilakukan adalah membukaruang-ruang dialog antara berbagai pihak yangberkepentingan sehingga konflik bisa dijadikansebagai wacana pembelajaran bersama. Isu-isukepemilikan lahan sudah sepatutnya diangkat sebagaipokok dialog, dan tidak perlu dihindari atau ditakuti.Dalam hal ini, Pemerintah Pusat maupun PemerintahDaerah dituntut untuk dapat berperan sebagaifasilitator dan membuka diri dalam menanggulangiberbagai konflik. Upaya-upaya persuasif perlu terus-menerus ditempuh dan kehadiran mediator mungkindiperlukan, sesuai dengan tingkat konflik yang ada.

Kotak 7. Penjarah Taman Nasional Kutai Diancam Hukuman Denda 5 M; Keterlaluan, Mantan TNI IkutMenjarah TNK

Sangatta – Delapan tersangka, dua diantaranya sebagai penadah kayu curian di Taman Nasional Kutai(TNK) bakal dijerat UU no. 41 tahun 1999 yang mengancam perusak hutan lindung itu dengan denda Rp. 5miliar dan kurungan badan maksimal 10 tahun penjara.

Hal itu ditegaskan Kapolsektif Sangatta AKP Yustan SIK kepada Kaltim Pos. Menurut Yustan, operasibersama Polsektif Sangatta dengan Polsus BTNK ini merupakan upaya mengamankan TNK dari tangan-tangan jahil yang mengobok-obok TNK. “Kami akan terus mangadakan operasi secara mendadak, danmereka yang tertangkap akan kita proses sampai tuntas tanpa ada ampunan,” tegas Yustan yang mengakujengkel dengan terus dijarahnya TNK itu.

Keenam tersangka dan dua penadah, yakni Suriansyah dan Ardiansyah, warga Gang Beringin, TelukLingga, Sangatta Utara yang mengaku disuruh Cambang Habi diamankan bersama barang bukti berupasebuah chainsaw dan kayu bantalan yang belum berhasil diangkat dari TKP.

Tersangka lainnya, Ramang dan Oca, warga kilometer 5 Sangatta-Bontang yang mengaku disuruhLamanda, warga Masabang dengan barang bukti satu chainsaw. Dan yang lainnya adalah Ahmad Santosoyang disebut-sebut sebagai mantan anggota TNI diduga sebagai penadah kayu haram tersebut. Daritangannya disita truk sewaan berikut 4 potong kayu bantalan.

Sumber: Kaltim Post, 3 Juli 2002