ANALISA KERUSAKAN PADA KOMPONEN BAUT DI
ANJUNGAN LEPAS PANTAI
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun oleh:
KHASANNIM 108097000013
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013 M/ 1434 H
iii
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI, BUKAN JIPLAKAN DARI
KARYA ORANG LAIN, KECUALI BEBERAPA PENDAPAT ATAU
KUTIPAN ORANG LAIN YANG SAYA SEBUTKAN MASING-MASING
SUMBERNYA.
Jakarta, September 2013
KHASAN
iv
Abstrak
ANALISA KERUSAKAN PADA KOMONEN BAUT DI ANJUNGAN
LEPAS PANTAI. Dalam penelitian ini disajikan suatu hasil analisa kerusakan
baut di anjungan lepas pantai, analisa kerusakan ini dilakukan dengan melihat
komposisi kimia, hasil uji tarik, kekerasan, analisa permukaan patahan
(fraktografi) dan struktur mikro (metalografi). dengan mengetahui jenis dan
penyebab kerusakan pada baut tersebut, maka dapat dirumuskan langkah –
langkah penanggulangan atau pencegahan sehingga kerusakan dapat dihindari.
Hasil analisa kerusakan ini menunjukkan bahawa baut tersbut telah mengalami
patah lelah akibat beban tegangan yang berlebihan (overload) berupa pembebanan
dinamis dan penyebab kerusakan berawal dari cacat manufaktur. Berdasarkan
hasil pengujian komposisi kimia baja yang digunakan sebagai bahan baut adalah
jenis baja karbon sedang (medium carbon steel), dengan nilai kekerasan (306 :
321 HV), untuk hasil analisis struktur mikro pada baut ini memiliki struktur mikro
martensite temper akibat proses perlakuan panas.
Kata kunci: Bolt, Fraktografi, metalografi, Uji Kekerasan, kelelahan, matrensite
temper
v
ABSTRACT
FAILURE ANALYSIS OF THE BOLT AT OFFSHORE PLATFORMS. This
research provides the results of failure analysis of the bolt at offshore platforms,
the process of the failure analysis from the series of laboratory testing such as
chemical composition, tensile testing, hardness, fracture surface (fractography)
and microstructure (metallography). To failure the type and cause failure to the
bolt, it can be formulated measures – mitigation pr prevention measures so that
failure can be avoided. The results of the analysis we see this bolt have suffered
fatigue failure load stress (overload) in the from of dynamic loading and the
initiation cracking surface and manufacture defect. Based on the results of testing
the chemical composition of the steel used as the material is carbon steel bolts are
(medium carbon steel), with a hardness value (306: 321 HV), for the analysis of
the microstructure of the bolt has a tempered martenite microstructure.
Keywords : Bolt, fractography, metalography, hardness testing, fatigue, tempered
martenite
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT
karna atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi
ini dengan judul “ ANALISA KERUSAKAN PADA KOMPONEN BAUT DI
ANJUNGAN LEPAS PANTAI ”. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah
kepada baginda Nabi Muhammad SAW atas suri tauladan beliau. Dengan
selesainya skripsi ini, maka dari itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas segala bantuan dan bimbingannya, kepada :
1. Orang tua dan keluarga dari penulis yang telah memberi dukungan baik
moril maupun materil, menguatkan diriku dengan doa, yang selalu
memberikan aku semangat, kasih sayang, serta menasehatiku dan
membimbingku dalam segala hal untuk menuju keberhasilan.
2. Bapak Dr. Agus Salim, M.Si Selaku Dekan Fakultas Sains Dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Sutrisno, M.Si. selaku Ketua Prodi Fisika Universitas Islam Negeri
syarif hidayatullah Jakarta
4. Bapak Arif Tjahjono, S.T, M.Si. selaku dosen pembimbing I terimakasih
atas bimbingan, pengarahan dan diskusi dengan penuh kesabaran yang
selalu memberikan arahan, nasuehat serta masukan – masukannya kepada
penulis, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
5. Bapak Ir. Edy Sumarsono, M.T selaku dosen pembimbing II, terimakasih
atas bimbingan dan pengarahannya dengan penuh kesabaran yang selalu
vii
memberikan arahan, naesat dan masukan-masukannya kepada penulis
sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
6. Terimakasih kepada seluruh staff peneliti Balai Besar Teknologi Kekuatan
Struktur, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (B2TKS, BPPT)
PUSPITEK Serpong.
7. Teman – teman seperjuangan dan seangkatan Fisika 2008: Agus, April,
Bram, Elis, Emma, Fadhil, Fahmi, Fauzan, Hanisa, Ika, Imam, Indra,
Irmawan, Irna, Isna, Iwan, Mudin, Mut, Nailil, Niko, Putri, Ridwan,
Wahyu, dan Waskito. Terimakasih atas kebersamaannya selama ini
8. Buat temen – temen saya : Molan, Zaki, Syukron, Khusni Z.N, Mashadi,
Icha, Ahlan, Lukman dan temen seangkatan 08 yang tidak bisa saya
sebutkan. Wisnu purbaya, Arul, Eep, Muhyi, Adib. Terima kasih atas kerja
samanya dan pengertiannya.
9. Mas Diwang, Pak Nanang Anwarudin (semoga bimbel Steno nya tambah
maju) dan Pak Pak Sapto terima kasih atas kesdediaannya berbagi ilmu.
10. Terimakasih juga buat sahabat dan teman – teman IMMAN, HIMA-CITA,
dan KMSGD.
11. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
viii
Penulis minta maaf apabila dalam penyusunan Skripsi ini masih terdapat
banyak kekurangan, dan penulis mengharapkan masukkan berupa saran maupun
kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, terima kasih atas
segala bantuan, dukungan serta perhatiannya, dan penulis berharap skripsi ini
dapat bermanfaat di masa yang akan datang sebagai acuan untuk pengembangan
selanjutnya.
Jakarta, September 2013
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................... i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN ……………………………………..ii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................... iv
ABSTRACT .............................................................................................. v
KATA PENGANTAR .............................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................. ix
DAFTAR TABEL .................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xv
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 3
1.4 Batasan Masalah .......................................................................... 3
1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................... 3
1.6 Sistematika Penulisan ................................................................. 4
BAB II. DASAR TEORI .......................................................................... 6
2.1 Baut ............................................................................................. 6
x
2.1.1 Material Baut .................................................................... 6
2.1.2 Proses Pembuatan Baut ..................................................... 9
2.1.3 Sistem Sambungan Pada Baut .......................................... 10
2.2 Analisa Kerusakan (Failure Analysis) ....................................... 11
2.2.1 Definisi Kerusakan (Failure) ........................................... 14
2.2.2 Bentuk – Bentuk Perpatahan Pada Baut ........................... 15
2.3 Kelelahan (Fatigue) ..................................................................... 18
2.4 Metalografi .................................................................................. 29
2.5 Fraktografi ................................................................................... 36
2.6 Kekerasan .................................................................................... 37
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................ 43
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................... 43
3.2 Bahan dan Peralatan Penelitian .................................................. 43
3.2.1 Bahan Penelitian ................................................................ 43
3.2.2 Peralatan Penelitian .......................................................... 43
3.3 Tahapan Penelitian...................................................................... 44
3.3.1 Pengujian Komposisi Kimia ............................................ 45
3.4.4 Pengujian Metalografi ...................................................... 46
3.4.5 Pengujian Kekerasan ....................................................... 48
3.4.6 Pengujian Tarik................................................................. 54
xi
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 50
4.1 Hasil Pemeriksaan Visual atau Makro Fraktografi.................. 50
4.2 Hasil Pengujian metalografi ...................................................... 54
4.3 Hasil Pengujian komposisi kimia............................................. 58
4.4 Hasil Pengujian kekerasan ....................................................... 60
BAB V PENUTUP .................................................................................. 62
5.1 Kesimpulan .............................................................................. 62
5.2 Saran ........................................................................................ 66
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 67
LAMPIRAN .............................................................................................. 69
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Komposisi kimia untuk baut tipe 1 (baja karbon sedang, baja paduan
atau paduan boron…………………………………………………….. 7
Tabel 2.2 Penyelesaian masalah yang timbul pada pemotongan abrasive…….. 31
Tabel 2.3 Skala pada metode pengujian kekerasan Rockwell……………………42
Tabel 2.4 Cara – cara pengujian kekerasan………………………………………42
Tabel 4.1 Hasil uji komposisi kimia dengan menggunakan alat METOREX……65
Tabel 4.2 Hasil uji kekerasan dengan menggunakan alat frank finotest…………67
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Tahapan proses pembuatan baut dan mur. (a) machined bolt.
(b) headed bolt with rolled thread…………………………….. 10
Gambar 2.2 Sambungan tipe tumpu pada baut. …………………………………11
Gambar 2.3 Sambungan tipe gesek pada baut………………………………….. 11
Gambar 2.4. Mode Perpatahan. (a). Perpatahan material sangat ulet. (b)
Perpatahan material ulet. (c) Perpatahan material getas……… 16
Gambar 2.5. Tahapan terjadinya mode perpatahan ulet. (a) penyempitan awal. (b)
pembentukan rongga- rongga kecil (cavity). (c)penyatuan rongga –
rongga retakan. (d) perambatan retakan. (e) perpatahan geser akhir
pada sudut 450…………………………………………………….. 17
Gambar 2.6. Beberapa awal retak (inti retak) fatigue di tepi atas (antara A) dan
ada lagi di tepi bawah (antara B). final fracture di tunjukkan dengan
tanda panah……………………………………………………….. 22
Gambar 2.7. Tanda panah menunjukkan awal retak pada baja 4330V…………. 22
Gambar 2.8. Skematis penampilan Permukaan patah fatigue terhadap kondisi
pembebanan………………………………………………………23
Gambar 2.9 Diagram tegangan siklik…………………………………………… 27
Gambar 2.10. diagram alir persiapan sampel struktur mikro…………………… 30
Gambar 2.11. Skema prinsip Penekanan oleh harnened steel ball dengan metode
brinell…………………………………………………………….. 39
Gambar 2.12. Hasil indentasi Brinell berupa jejak berbentuk lingkaran………..40
Gambar 2.13. Skematis prinsip indentasi dengan metode Vickers………………41
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian…………………………………………….44
Gambar 3.2 Specimen ditempelkan pada pembangkit sinar x…………………...46
Gambar 3.3 hasil survey meter pada uji Metorex………………………………..46
xiv
Gambar 3.4 alat untuk melakukan polishing…………………………………….47
Gambar 3.5 Alat mikroskopis untuk pengambilan photo struktur mikro……….48
Gambar 3.6 alat pengujian dengan metode Vickers..............................................49
Gambar 4.1 Bentuk permukaan patahan baut clam pinyang dianalisis…………50
Gambar 4.2. a) photo makro permukaan patahan baut clamp pin yang mengalami
patah lelah (fatigue fracture) dan awal patah yang dimulai dari tepi
baut (awal patah). Terlihat juga alur garis pantai (beach mark) yang
menunjukkan bentuk area patah lelah hingga 90% dan yang 10%
adalah patah sisa. b) Pada daerah tengah – tengah terdapat retak
akibat beban operasi sesaat………………………………………51
Gambar 4.3 a) Pengambilan sampel metallografi potongan A – B . b) Photo makro
etsa sampel metallografi potongan memanjang (A- B )………….53
Gambar 4.4 a) Lokasi adanya secondary cracks sejajar dengan awal patah. b)
lokasi pengambilan struktur mikro. c) Bentuk struktur mikro baut
yang telah mengalami kerusakan, etsa natal 5%, dengan perbesaran
200x………………………………………………………………55
Gambar 4.5 a) Pembesaran lokasi pengambilan struktur mikro pada gambar 4.4
(a). b) Bentuk struktur mikro baut yang telah mengalami kerusakan,
etsa nital 5%, dengan perbesaran 500x……………………………57
Gambar 4.6 Lokasi uji kekerasan pada sampel potongan baut………………….61
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Posisi baut yang mengalami patah ……………………………. 69
Lampiran 2. Bentuk baut clam in yang di ukur dengan penggaris dan ulir baut
yang dianalisis………………………………………………… 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bentuk – bentuk kerusakan baik yang disengaja ataupun tidak pada
suatu komponen merupakan peristiwa yang sangat tidak diinginkan, karena
hal ini dapat menimbulkan kerugian baik secara moril maupun materil yang
tidak sedikit. Untuk itu perlu dilakukan tindakan pencegahan untuk tetap
menjamin kekuatan dari setiap komponen yang dipergunakan. Salah satu
faktor yang sering terjadi adalah kerusakan pada komponen baut, hal ini
biasanya akibat dari tidak tepat pemilihan bahan, penggunaan dan desain
komponen yang akan dipergunakan yang dapat menimbulkan kerugian yang
sangat besar.
Bentuk kerusakan yang sering terjadi adalah patah/rusaknya
komponen pengikat atau penyambung pada alat kontruksi dilepas pantai yang
berupa baut. Sebenarnya proses perencanaan baut dilepas pantai merupakan
proses yang begitu rumit dimana harus mempertimbangkana beberapa faktor.
Terutama faktor keselamatan, namun kerusakan yang terjadi ternyata sangat
sulit dihindari, oleh karena itu dalam penelitian akan dilakukan analisa
kerusakan pada komponen baut secara lebih mendalam tertutama faktor
penyebab kerusakan pada komponen baut di anjungan lepas pantai.
2
Bahan baut yang digunakan untuk penelitian ini adalah baut tipe 1
(baut yang terbuat dari baja karbon sedang, baja paduan atau paduan boron)
dengan komposisi karbon 0.30 % - 0.60 % C, dan unsur penyusun utamanya
adalah besi (Fe) dan karbon (C), serta unsur – unsur pendukung lainnya Mn,
P, S, Si. Unsur – unsur tersebut sangat menunjang sebuah bahan yang
memiliki kekuatan dan kekerasan yang baik jika digunakan sesuai standard[5].
Baut tipe 1 merupakan baut mutu tinggi (high strenght bolt) yang
mempunyai kekuatan tarik minimum sebesar 8437 kg/cm2 (120 ksi) untuk
baut yang berdiameter 12 mm – 25 mm dan kekuatan tarik minimum 7382
kg/cm2 (105 ksi) untuk baut berdiameter 28 mm – 38 mm yang sesuai dengan
standar spesifikasi ASTM – A325.
1.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah struktur mikro dan sifat mekanik dari baut di anjungan
lepas pantai.
2. Tipe – tipe kerusakan seperti apakah yang dapat dialami oleh baut
yang terpasang seperti mengalami stress konsentrasi.
3. Faktor – faktor apa saja yang menyebabkan kerusakan dan mencegah
terjadi kerusakan yang sama pada baut.
3
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang dicapai dalam penulisan ini adalah :
1. Mengidentifikasi karakteristik material yang terjadi pada baut di
anjungan lepas pantai.
2. Mengidentifikasi tipe kerusakan pada material baut di anjungan lepas
pantai.
3. Menentukan jenis dan faktor – faktor penyebab terjadinya kerusakan
pada baut di anjungan lepas pantai.
1.4 Batasan Masalah
Penelitian ini berfokus pada permasalahan sebagai berikut :
1. Memahami kronologis kerusakan pada baut di anjungan lepas pantai.
2. Meneliti dengan seksama bentuk patahan yang terjadi dan penyebab
terjadinya kerusakan pada komponen baut di anjungan lepas pantai
sesuai dengan standar analisa.
3. Objek yang di analisis adalah kerusakan pada baut mutu tinggi di
anjungan lepas pantai.
1.5 Manfaat penelitian
Manfaat penelitian ini adalah mencegah terjadinya kerusakan pada baut
sehingga tidak terjadi kerusakan yang sama pada baut tersebut.
4
1.6 Sistematika Penelitian
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi dalam beberapa
bab. Penulis membaginya menjadi lima bab, secara singkat akan di uraikan
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan membahas tentang latar belakang permasalahan,
perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II DASAR TEORI
Pada bab ini diuraikan tentang studi literature yang berkaitan dengan
penelitian skripsi ini.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi mengenai langkah kerja, prosedur penelitian, prinsip
pengujian, serta daftar alat dan bahan yang akan digunakan dalam
penelitian.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini berisi tentang data – data hasil penelitian dan analisa yang
didapat dari pengujian dan perhitungan, serta membahas secara detail
mengenai hasil dari pengujian yang telah dilakukan.
5
BAB V KESIMPULAN
Bab ini berisi tentang kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang
telah dilakukan. Selain itu dalam bab ini juga berisikan saran – saran agar
dikembangkan penelitian – penelitian selanjutnya.
6
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Baut
Baut adalah suatu batang atau tabung dengan alur heliks pada
permukaannya. Penggunaan utamanya adalah sebagai pengikat (fastener)
untuk menahan dua obyek bersama, dan juga sebagai pesawat sederhana
untuk mengubah torka (torque) menjadi gaya linier.
Fungsi baut adalah sebagai alat penyambung atau pengikat pada
komponen yang satu dengan yang lainnya, supaya menjadi satu kesatuan
yang kokoh dan terbentuk sesuai dengan keinginan perancangnya[6].
2.1.1 Material Baut
Material dasar untuk pembuatan baut adalah baja karbon atau baja
paduan rendah yang berbentuk gulungan kawat baja batangan. Baja
merupakan paduan yang terdiri dari unsur besi (Fe), karbon (C), dan unsure
lainnya. Baja juga merupakan material yang paling banyak digunakan karena
murah dan mudah di bentuk. Secara garis besar baja dapat dikelompokan
menjadi dua, yaitu baja karbon (carbon steel) dan baja paduan (alloy steel).
Baja karbon berdasarkan komposisi kimianya (terutama pada komposisi
kimianya) di bagi menjadi tiga jenis, yaitu :
7
1. Baja karbon rendah (low carbon steel) dengan komposisi karbonya 0,05
% - 0,30 % C
2. Baja karbon menengah (medium carbon steel) dengan komposisi
karbonya 0,30 % - 0,60 % C.
3. Baja karbon tinggi (high carbon steel) dengan komposisi karbonya 0,60
% - 1,50 % C.
Tabel 2.1 Komposisi kimia untuk baut tipe 1 (baja karbon sedang,baja paduan atau paduan boron) [3].
Kandungan
Analisi Baja Karbon
Panas Produk
Karbon 0.3 – 0.52 0.28 – 0.55
Mangan,min 0.6 0.57
Phosphor,max 0.04 0.048
Sulfur,max 0.05 0.058
Silicon 0.15 – 0.3 0.13 – 0.32
Kandungan Analisis Baja Karbon Boron
Karbon 0.3 – 0.52 0.28 – 0.55
Mangan,min 0.6 0.57
Phosphor,max 0.04 0.048
Sulfur,max 0.05 0.058
Silicon 0.15 – 0.3 0.13 – 0.32
Boron 0.0005 – 0.003 0.0005 – 0.003
Kandungan Analisis Baja Alloy
Karbon 0.3 – 0.52 0.28 – 0.55
Mangan,min 0.6 0.57
Phosphor,max 0.04 0.048
8
Sulfur,max 0.05 0.058
Silicon 0.15 – 0.3 0.13 – 0.32
Bahan alloy - -
Kandungan Analisis Baja Alloy Boron
Karbon 0.3 – 0.52 0.28 – 0.55
Mangan,min 0.6 0.57
Phosphor,max 0.04 0.048
Sulfur,max 0.05 0.058
Silicon 0.15 – 0.3 0.13 – 0.32
Boron 0.0005 – 0.003 0.0005 – 0.003
Bahan alloy - -
Tabel 2.1 merupakan tabel komposisi kimia untuk baut tipe 1 (baja
karbon sedang, baja paduan atau paduan boron) sesuai standar ASTM A325.
Berdasarkan kandungan karbon dan kekuatanya, baut dapat dibagi menjadi 2
jenis, yaitu :
1. Baut Biasa (Unfinished Bolt)
Baut biasa adalah baut yang terbuat dari baja karbon rendah (low
carbon steel) serta mempunyai kekuatan tarik minimum ( minimum tensile
strenght) sebesar 4218 kg/cm2 (60 ksi). Baut biasa ini harus memenuhi
spesifikasi ASTM-A307. Pemakian baut ini terutama pada struktur yang
ringan, platform, groding, dan rusuk dinding.
2. Baut Mutu Tinggi (High Strenght Bolt)
Baut mutu tinggi ini di bagi menjadi 2 (dua), yaitu:
9
a. Baut mutu tinggi yang terbuat dari baja kandungan karbon sedang
(Medium-carbon steel) dan mempunyai kekuatan tarik minimum sebesar
8437 kg/cm2 (120 ksi) untuk baut berdiamteter 12 mm – 25 mm dan
kekuatan tarik minimum 7382 kg/cm2 (105 ksi) untuk baut berdiameter 28
mm – 38 mm. baut jenis ini umumnya digunakan untuk struktur yang
menggunakan bahan baja kandungan karbon sedang. Berdasarkan ASTM,
maka baut ini harus memenuhi spesifikasi ASTM-A325.
b. baut mutu tinggi yang terbuat dari baja alloy (alloy steel) dan
mempunyai kekuatan tarik minimum sebesar 10546 kg/cm2 (150 ksi),
baut jenis ini harus memenuhi spesifikasi ASTM-A490.
Kontruksi baut terdiri atas batang berebntuk silinder yang memiliki
kepala pada salah satu ujungnya, dan terdapat alur di sepanjang ataupun
hanya di bagian ujung batang silinder.
2.1.2 Proses Pembuatan Baut
Proses pembuatan baut dengan pekerjaan dingin (Cold Working),
dibedakan menjadi dua cara, yaitu mesin baut (Machined Bolt), Pembuatan
baut yang dikerjakan menggunakan mesin baut atau sejenisnya dan headed
bolt with rolled thread, pembuatan baut yang dikerjakan dengan
menggunakan roda ulir (thread rolled), untuk tahapan proses pembuatan
baut dapat dilihat pada gambar 2.1.
10
Gambar 2.1. Tahapan proses pembuatan baut dan mur. (a) machined bolt.(b) headed bolt with rolled thread [18].
2.1.3 Sistem Sambungan Pada Baut
Sambungan terdiri dari komponen sambungan (pelat pengisi, pelat
buhul, pelat pendukung, dan pelat penyambung) dan alat sambung (baut dan
las). Pada sambungan yang menggunakan alat sambung baut, terdapat 2
(dua) tipe sambungan yaitu:
1. Sambugan tipe tumpu (bearing type connection)
Pada sambungan tipe ini, sambungan dibuat dengan menggunakan
baut biasa yang dikencangkan dengan tangan atau baut mutu tinggi yang
dikencangkan sampai gaya tarik minimum yang telah ditentukan. Beban
rencana yag bekerja disalurkan melalui gaya geser baut atau bertumpu pada
bagian yang disambungkan.
(b)(a)
11
Gambar 2.2 Sambungan tipe tumpu pada baut[9].
2. Sambungan tipe gesek (friction type connection)
Pada sambungan tipe ini, sambungan dibuat dengan menggunakan
baut mutu tinggi yang dikencangkan sampai gaya tarik minimum yang telah
disyaratkan sedemikan rupa sehingga gaya – gaya geser rencana yang
bekerja disalurkan melalui jepitan yang bekerja dalam bidang kontak dan
gesekan yang ditimbulkan antara bidang – bidang kontak.
`
Gambar 2.3 Sambungan tipe gesek pada baut[9].
2.2 Analisa Kerusakan (Failure Analysis)
Analisa kerusakan adalah langkah – langkah pemeriksaan kerusakan
atau kegagalan pada suatu komponen yang mencakup situasi dan kondisi
12
kerusakan/kegagalan tersebut, sehingga dapat ditentukan penyebab dari
kerusakan/kegagalan. Untuk kerja suatu komponen atau sistem yang
mengalami kerusakan/kegagalan, maka analisa kerusakan dapat di gunakan
dengan pendekatan sistematis, yaitu: bagaimana kerusakan bisa terjadi,
menentukan apa yang mengalami kerusakan dan mengapa bisa terjadi
kerusakan. Analisa kerusakan mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Menemukan penyebab utama kerusakan
2. Menghindari kegagalan/kerusakan yang sama dimasa yang akan
datang yaitu dengan melakukan langkah – langkah
penanggulangan.
3. Sebagai bahan pengaduan teknis terhadap pembuat komponen
4. Sebagai langkah awal untuk perbaikan kualitas komponen tersebut
5. Sebagai penentuan kapan waktu perawatan (maintenance)
dilakukan.
Dalam mempelajari setiap kerusakan/kegagalan, analis harus
mempertimbangkan kemungkinan – kemungkinan atau alasan – alasan atas
suatu kejadian. Mungkin saja sejumlah faktor berhubungan satu dengan yang
lainnya harus dimengerti untuk menentukan penyebab utama
kerusakan/kegagalan. Adapun tahapan atau langkah – langkah utama dalam
melakukan analisa kerusakan adalah sebagai berikut:
1. Melakukan investigasi lapangan, yang meliputi:
Melakukan observasi lapangan
13
Melakukan wawancara/interview terhadap pihak yang terkait
Mendokumentasikan temuan lapangan(fotografi)
2. Melakukan uji tidak merusak dilapangan
Menentukan panjang retak actual
Menentukan derajat kerusakan (damage level determination)
dengan cara: uji kekerasan, uji metalografi in-situ,uji komposisi
kimia (dengan portabel spectrometry).
3. Melakukan uji aspek metalurgis di laboratoruim
Pengukuran dimensi dari objek yang diteliti
Dokumentasi fraktografi (makro – optik, dan mikro -SEM)
Analisis komposisi kimia dari paduan dan/atau produk
Korosi
Inspeksi metalografi (sampling, cutting, molding, polishing,
etching).
Uji sifat mekanik
4. Melakukan analisa beban dan tegangan
Perhitungan beban dan tegangan kritis
Perhitungan mekanika retak
5. Mempelajari aspek desain, operasi dan inspeksi terkini
6. Melakukan analisa mendalam dan komprehensif terhadap informasi/data
yang telah diperoleh
7. Mempersiapkan laporan dan presentasi
8. Mempersiapkan saran untuk perbaikan
14
2.2.1 Definisi Kerusakan (Failure)
Kerusakan adalah ketidakmampuan suatu komponen untuk dapat
berfungsi sebagaimana mestinya, tanpa harus terjadi perpatahan (fracture).
Hal ini ditandai oleh kondisi umum (suatu komponen) sebagai berikut:
- Bila peralatan atau kontruksi secara keseluruhanya tidak dapat
dijalankan lagi.
- Bila komponen, peralatan atau kontruksi Masih dapat beroperasi, tetapi
tidak berjalan sebagaimana mestinya.
- Bila komponen, peralatan atau kontruksi mengalami Kerusakan serius
atau sangat buruk atau tidak aman digunakan/dioperasikan, sehingga
harus diperbaiki atau diganti.
Material disebut gagal/rusak apabila material itu tidak mampu lagi
memenuhi tujuan pemakaian yang diinginkan[15]. Di dalam kerusakan
terdapat Faktor – faktor yang menyebabkan kerusakan sebagai berikut :
- Kesalahan dalam memilih desain dan material seperti kesalahan dalam
proses peleburan, pengecoran dan penempaan, pengerjaan akhir
(finishing), control kualitas yang kurang baik diluar
spesifikasi/standard yang berlaku.
- Material yang tidak sempurna atau miliki cacat.
- Kesalahan dalam proses pembuatan seperti
- Kesalahan ketika proses assembly/perakitan.
- Kondisi pengoperasian yang tidak tepat seperti kecepatan (speed) yang
terlalu tinggi, temperature yang terlalu tinggi, adanya kandungan kimia
15
yang bersifat merusak, sumber daya manusia yang kurang kompeten di
bidangnya.
- Kesalahan dalam proses perawatan.
2.2.2 Bentuk – Bentuk Perpatahan Pada Baut
Perpatahan secara bahasa, adalah proses pemisahan atau pemecahan
sebuah material menjadi dua bagian atau lebih sebagai akibat adanya
tegangan yang diterima. Tegangan itu berupa tegangan tarik (tensile),
tegangan tekan (compressive), tegangan geser (shear), atau tegangan punter
(torsion). Proses perpatahan karena pembelahan akibat tarik uniaxial secara
bertahap dimulai dari deformasi plastis untuk menghasilkan tumpukan
dislokasi, permukaan retak, penjalaran retak dan akhirnya mengalami
perpatahan.
Pada dasarnya jenis jejak perpatahan (farcture path) pada baut di bagi
menjadi 2 (dua), yaitu perpatahan ulet (ductile), perpatahan getas (brittle).
Setiap jenis perpatahan memilki ciri dan karakteristik tersendiri sehingga
setiap material bisa dibedakan berdasarkan karakteristik patahannya.
Perpatahan ulet memberikan karakteristik berserabut (fibrous) dan
gelap (dull), sementara perpatahan getas ditandai dengan permukaan patahan
yang berbutir (granular) dan terang. Perbedaan antara perpatahan ulet dengan
getas adalah patah ulet jika diamati dengan SEM (Scanning Electron
Microscop) akan terdapat dimple. Sedangkan patah getas, pada polifase
16
terdapat dimple dan garis serta bentuk butirnya lebih kasar. Beberapa
tampilan perpatahan seperti diilustrasikan oleh gambar 2.4 di bawah ini.
Gambar 2.4. Mode Perpatahan. (a). Perpatahan material sangat ulet. (b)Perpatahan material ulet. (c) Perpatahan material getas[4].
A. Perpatahan Ulet (ductile fracture )
Perpatahan yang disebabkan karena adanya kemampuan untuk
mengalami deformasi plastis yang cukup besar dengan penyerapan energi
yang tinggi sebelum dan selama proses penjalaran retak. Pada permukaan
patahan ulet ini, memiliki deformasi plastis yang cukup tinggi. Patah ulet
memilki ciri – ciri antara lain:
- Permukaan patah yang rata seperti kasar/kusam dan berserat.
- Bibir geser (shear lip) yang membentuk sudut 450 terhadap permukaan
patahan.
- Diawali dengan proses pengecilan penampang setempat (necking) bila
mendapat beban tarik.
- Didominasi oleh adanya tegangan geser.
17
Secara umum perpatahan ulet akan mengalami beberapa tahapan,
yaitu penyempitan awal, terbentuknya rongga – rongga kecil (cavity),
rongga– rongga itu langsung menyatu dan berkumpul dan menimbulkan
keretakan (crack), penjalaran retak dan akhirnya menalami perpatahan.
Tahapannya bisa dilihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.5. Tahapan terjadinya mode perpatahan ulet. (a)penyempitan awal. (b) pembentukan rongga- rongga kecil (cavity).(c) penyatuan rongga – rongga retakan. (d) perambatan retakan.
(e) perpatahan geser akhir pada sudut 450[4].
Perpatahan ulet umumnya lebih disukai dikarenakan 2 (dua) alasan.
bahan ulet itu umumnya lebih tangguh dan memberikan peringatan lebih
dahulu sebelum terjadinya kerusakan.
B. Perpatahan Getas (brittle fracture)
Perpatahan getas perambatan retakanya sangat cepat. Perpatahan ini
memilki tidak terjadi deformasi plastis, bentuk permukaan patahannya rata
dan terang, dan tidak didahului dengan pengecilan penampang. Penyebab
18
utama dari perpatahan getas adalah adanya stress yang terlokasisasi, tegangan
tarik dan temperature kerja yang terlalu rendah.
Material lunak dengan butir kasar (coorse grain) dapat dilihat pola –
pola permukaan belah atau pola sungai (river pattern) yang dinamakan
chevrons mark atau fan-like pattern yang berkembang keluar dari Sedangkan
pada material keras dengan butir halus (fine grain) tidak memilki pola – pola
yang mudah dibedakan. Material amorphous seperti gelas dan keramik
memiliki permukaan patahan yang mulus dan bercahaya.
2.3 Kelelahan (Fatigue)
Fatigue atau kelelahan adalah bentuk dari kerusakan/kegagalan yang
terjadi pada struktur karena beban dinamik yang berfluktuasi dibawah yield
strength dan berulang-ulang. Fatik menduduki 90% penyebab utama
kegagalan/kerusakan pemakaian. Patah lelah (fatigue fracture) terjadi pada
komponen kontruksi dengan pembebanan yang berubah – ubah, meskipun harga
tegangan nominalnya masih dibawah kekuatan luluh material. Patah lelah ini
berawal dari lokasi yang mengalami pemusatan tegangan (strees concentration)
yang mana apabila tegangan itu tinggi bahkan melampui batas lulu material, maka
akibatnya di tempat tersebut akan terjadi deformasi plastis dalam skala
makroskopik. Terdapat 3 fase dalam perpatahan fatik : permulaan retak,
penyebaran retak, dan patah.
19
Permulaan retak (crack initiation)
Mekanisme dari permulaan retak umumnya dimulai dari crack
initiation yang terjadi di permukaan material yang lemah atau daerah
dimana terjadi konsentrasi tegangan di permukaan (seperti goresan,
notch, lubang-pits dll) akibat adanya pembebanan berulang.
Ciri – ciri awal retak adalah sebagai berikut:
- Arah retak awal selalu berlawanan dengan cabang – cabang retak.
- Jika retakan saling bertemu dan membuat sudut 900, retakan tegak
lurus sehingga tidak akan memotong dan merupakan retakan yang
terjadi kemudian (sekunder). Maka dari itu awal retakan ada di
penjalaran retak (crack propagation) yang pertama.
Penyebaran retak (crack propagation)
Daerah penyeberan retak ditunjukkan oleh pola berbentuk garis yang
berbeda, yaitu garis kasar dan halus. Daerah tersebut di bagi menjadi
dua bagian, yaitu daerah fatigue kasar yang terletak di awal retak dan
fatigue halus yang terletak di akhir retak. Selanjutnya, adalah
penyebaran retak ini berkembang menjadi microcracks. Perambatan
atau perpaduan microcracks ini kemudian membentuk macrocracks
yang akan berujung pada failure.
Patah akhir (final fracture)
Maka setelah itu, material akan mengalami apa yang dinamakan
perpatahan. Perpatahan terjadi ketika material telah mengalami siklus
tegangan dan regangan, yaitu pada saat sisa penampang tidak mampu
20
lagi menahan beban dan menghasilkan kerusakan yang permanen.
Patah fatigue bisa dikenali dari permukaanya, yaitu dengan adanya
daerah yang halus (smooth) karena adanya efek gesekan ketika retakan
menjalar, dan sisa permukaan yang kasar sebagai daerah patah akhir
akibat beban yang berlebihan (overload). Modus patahan pada tahap
final fracture adalah patah statik, yaitu dikarenakan tegangan yang
bekerja pada penampang yang tersisa sudah melampui kekuatan tarik
material.
Suatu bagian dari benda dapat dikenakan berbagai macam kondisi
pembebanan termasuk tegangan berfluktuasi, regangan berfluktuasi, temperatur
berfluktuasi (fatigue termal), atau dalam kondisi lingkungan korosif atau
temperatur tinggi. Kebanyakan kegagalan pemakaian terjadi sebagai akibat dari
tegangan-tegangan tarik.
Awal proses terjadinya kelelahan (Fatigue) adalah jika suatu benda
menerima beban yang berulang maka akan terjadi slip. Ketika slip terjadi dan
benda berada di permukaan bebas maka sebagai salah satu langkah yang
disebabkan oleh perpindahan logam sepanjang bidang slip. Ketika tegangan
berbalik, slip yang terjadi dapat menjadi negatif (berlawanan) dari slip awal,
secara sempurna dapat mengesampingkan setiap efek deformasi. Deformasi ini
ditekankan oleh pembebanan yang berulang, sampai suatu retak yang dapat
terlihat akhirnya muncul retak mula-mula terbentuk sepanjang bidang slip.
21
Fatigue menyerupai brittle farcture yaitu ditandai dengan deformasi
plastis yang sangat sedikit. Proses terjadinya fatigue ditandai dengan crack awal,
crack propagatin dan fracture akhir. Permukaan fracture biasanya tegak lurus
terhadap beban yang diberikan. Dua sifat makro dari kegagalan fatigue adalah
tidak adanya deformasi plastis yang besar dan farcture yang menunjukkan tanda-
tanda berupa ‘beach mark’ atau ‘camshell’ (disebut beach marks karena
menyerupai riak – riak yang tertinggal di pasir laut akibat mundurnya gelombang
laut) adalah garis yang menunjukan hubungan siklus selama pembebanan. Lokasi
dan bentuk beach mark bervariasi terhadap kondisi pembebanan. Beach marks
terjadi akibat proses permulaan dan berakhirnya pertumbuhan retak (crack) dan
beach marks tersebut menelilingi atau melingkupi suatu daerah yang menjadi
awal mula terjadinya crack yang biasanya menyerupai notch atau internal stress-
riser. Retak (crack) selalu dimulai dari daerah yang mempunyai konsentrasi
tegangan seperti fillet dan alur pasak pada poros. Retak awal dapat berawal dari
beberapa tempat dengan bergantung pada kondisi pembebanan, seperti yang
ditunjukkan pada gambar. 2.6 dan 2.7.
22
Gambar 2.6. Beberapa awal retak (inti retak) fatigue di tepi atas (antara A)dan ada lagi di tepi bawah (antara B). Final fracture di tunjukkan dengan
tanda panah[1]
Pengaruh kondisi pembebanan fatigue akan mempengaruhi karakteristik
permukaan patahnya, seperti pada gambar.2.8. Tanda-tanda makro dari fatigue
adalah tanda garis garis pada pemukaan yang hanya bisa dilihat oleh mikroskop
elektron.
Gambar 2.7. Tanda panah menunjukkan awal retak pada baja 4330V[1].
22
Gambar 2.6. Beberapa awal retak (inti retak) fatigue di tepi atas (antara A)dan ada lagi di tepi bawah (antara B). Final fracture di tunjukkan dengan
tanda panah[1]
Pengaruh kondisi pembebanan fatigue akan mempengaruhi karakteristik
permukaan patahnya, seperti pada gambar.2.8. Tanda-tanda makro dari fatigue
adalah tanda garis garis pada pemukaan yang hanya bisa dilihat oleh mikroskop
elektron.
Gambar 2.7. Tanda panah menunjukkan awal retak pada baja 4330V[1].
22
Gambar 2.6. Beberapa awal retak (inti retak) fatigue di tepi atas (antara A)dan ada lagi di tepi bawah (antara B). Final fracture di tunjukkan dengan
tanda panah[1]
Pengaruh kondisi pembebanan fatigue akan mempengaruhi karakteristik
permukaan patahnya, seperti pada gambar.2.8. Tanda-tanda makro dari fatigue
adalah tanda garis garis pada pemukaan yang hanya bisa dilihat oleh mikroskop
elektron.
Gambar 2.7. Tanda panah menunjukkan awal retak pada baja 4330V[1].
23
Karakteristik fatigue pada logam dapat dibedakan menjadi 2, yaitu makro
dan mikro. Karakteristik makro merupakan ciri – citi fatigue yang dapat diamati
secara visual (dengan mata atau kaca pembesar), sedangkan karakteristik mikro
hanya dapat diamati dengan mikroskop.
1. Karakteristik makroskopis
Karakteristik makroskopis dari kelelahan logam ini sebagai berikut:
Tidak adanya deformasi plastis secara makro
Terdapat tanda ‘garis – garis pantai’ (beach marks) atau clam shell
atau stop/arrest marks.
Gambar 2.8. Skematis penampilan Permukaan patahfatigue terhadap kondisi pembebanan[1].
24
Terdapat ‘rathet marks’
Ratchet marks menjalar kearah radial dan merupakan tanda
penjalaran retakan yang terjadi bila terdapat lebih dari satu lokasi awal
retak, ratchet marks ini merupakan pertemuan beach marks dari satu
lokasi awal retak dengan beach marks dari lokasi lainnya. Tanda garis-
garis pantai (beach marks) yang merupakan tanda penjalaran retakan,
mengarah tegak lurus dengan tegangan tarik dan setelah menjalar
sedemikian hingga penampang yang tersisa tidak mampu lagi menahan
beban yang bekerja, maka akhirnya terjadilah patah akhir atau patah statik.
Luas daerah antara tahap penjalaran retakan dan tahap patah akhir secara
kuantitatif dapat menunjukkan besarnya tegangan yang bekerja. Jika luas
daerah tahap penjalaran retakan lebih besar daripada luas daerah patah
akhir, maka tegangan yang bekerja relatif rendah, demikian sebaliknya.
Tahap I terjadinya kelelahan logam yaitu tahap pembentukan awal retak,
lebih mudah terjadi pada logam yang bersifat lunak dan ulet tetapi akan
lebih sukar dalam tahap penjalaran retakannya (tahap II), artinya logam-
logam ulet akan lebih tahan terhadap penjalaran retakan. Demikian
sebaliknya, logam yang keras dan getas, akan lebih tahan terhadap
pembentukkan awal retak tetapi kurang tahan terhadap penjalaran retakan.
Tahapan pembentukan awal retak dan penjalaran retakan dalam
mekanisme kelelahan logam, membutuhkan waktu sehingga umur lelah
dari komponen atau logam, ditentukan dari ke-2 tahap tersebut (total
fatigue life, NT = Fatigue Initiation, Ni + fatigue propagation, Np).
25
2. Karakteristik mikroskopis
Karakteristik mikroskopis dari kelelahan logam adalah sebagai berikut:
Pada permukaan terdapat striasi (striations)
Permukaan patahan memperlihatkan jenis transganular (memotong
butir) tidak seperti patah intergranular (melalui butir) seperti yang
terjadi pada kasus SCC (Stress Corrosion Cracking) atau mulur
(creep).
Persamaan striasi dengan beach marks adalah sebagai berikut:
Ke – 2 nya menunjukkan posisi ujung retak yang terjadi saat sebagai
fungsi dari waktu siklik
Keduanya berasal dari lokasi awal retak yang sama
Keduanya memiliki arah yang sama (parallel ridges)
Keduanya tidak hadir pada logam – logam yang terlalu keras atau
terlalu lunak.
Perbedaan striasi dengan beach marks adalah sebagai berikut
Ukuran striasi adalah mikroskopis (1 ÷ 100 μ) dan hanya dapat dilihat
dengan menggunakan mikroskop electron. Sedangkan ukuran beach
marks adalah makroskopis (> 1000 μ atau 1 mm) dan dapat dilihat
dengan mata.
Striasi mewakili majunya ujung retakan yang bergerak setiap satu
siklus pembebanan dan merupakan karakteristik utama fatik pada
26
tahap kedua dimana retak merambat dan meninggalkan tonjolan (ridge,
striasi) pada permukaan. Sedangkan beach marks mewakili posisi daru
ujung retak ketika beban siklik berhenti untuk satu periode tertentu
(satu beach marks terdiri dari ribuan buah striasi).
Faktor – faktor yang mempengaruhi Fatigue adalah:
1. Tegangan siklik
Besarnya tegangan siklik yang tergantung pada kompleksitas
geometri dan pembebanan. Parameter pembebanan yang berpengaruh
terhadap keleahan adalah tegangan rata – rata ( ) dan tegangan
amplitude ( ) serta frekuensi pembebanan yang ditunjukkan pada gambar
2.9 dibawah ini.
- Tegangn amplitudo:= = ( )(2.1)
- Tegangan rata – rata := = ( )(2.2)
- Dan jarak, ∆ , adalah∆ = ( − ) = 2 (2.3)
- Rasio tegangan = (2.4)
27
Gambar 2.9 Diagram tegangan siklik[7].
Besarnya tegangan rata-rata yang bekerja akan menentukan terhadap
besarnya tegangan amplitudo yang diijinkan untuk mencapai suatu umur lelah
tertentu. Bila tegangan rata-rata sama dengan 0 atau rasio tegangan sama dengan -
1, maka besarnya tegangan amplitudo yang diijinkan adalah nilai batas lelahnya
(Se). Dengan demikian jika tegangan rata-ratanya semakin besar maka tegangan
amplitudonya harus diturunkan.
Perbandingan dari tegangan amplitudo terhadap tegangan rata-rata disebut
rasio amplitudo (A=Sa/Sm), sehingga hubungan antara nilai R dan A yaitu
sebagai berikut: jika R=-1, maka A=~ (kondisi fully reversed), jika R=0, maka
A=1 (kondisi zero to maximum), jika R=~, maka A=-1 (kondisi zero to
minimum).
2. Pengaruh kondisi material.
Awal retak lelah terjadi dengan adanya deformasi plastis mikro
setempat, dengan demikian komposisi kimia dan struktur mikro material
28
akan sangat mempengaruhi kekuatan untuk menahan terjadinya deformasi
plastis sehingga akan sangat berpengaruh pula terhadap kekuatan lelahnya.
3. Tegangan sisa
Proses manufaktur seperti pengelasan, pemotongan, casting dan
proses lainnya yang melibatkan panas atau deformasi dapat membentuk
tegangan sisa yang dapat menurunkan ketahanan fatigue material.
4. Besar dan penyebaran internal defects
Cacat yang timbul akibat proses casting seperti gas porosity, non-
metallic inclusions dan shrinkage voids dapat nenurunkan ketahanan
fatigue.
5. Arah beban
Untuk non-isotropic material, ketahanan fatigue dipengaruhi oleh
arah tegangan utama.
6. Besar butir
Pada umumnya semakin kecil ukuran butir akan memperpanjang fatigue.
7. Lingkungan
Kondisi lingkungan yang dapat menyebabkan erosi, korosi dapat
mempengaruhi fatigue life.
8. Temperatur
Temperatur tinggi menurunkan ketahanan fatigue material.
Fatigue dapat ditingkatkan dengan cara :
1. Mengontrol tegangan
- Peningkatan tegangan menurunkan umur lelah.
29
- Pemicunya dapat secara mekanis (fillet atau alur pasak) maupun
metalurgi (porositas atau inklusi).
- Kegagalan fatigue selalu dimulai pada peningkatan tegangan.
2. Mengontrol struktur mikro
- Meningkatnya ukuran benda uji, umur lelah kadang-kadang
menurun
- Kegagalan fatigue biasanya dimulai pada permukaan
- Penambahan luas permukaan dari benda uji besar meningkatkan
kemungkinan dimana terdapat suatu aliran, yang akan memulai
kegagalan dan menurunkan waktu untuk memulai retak
3. Mengontrol penyelesaian permukaan
- Dalam banyak pengujian dan aplikasi pemakaian, tegangan
maksimum terjadi pada permukaan
- Umur lelah sensitif terhadap kondisi permukaan
2.4 Metalografi
Tujuan pengujian metalografi yaitu untuk memberikan informasi
tentang tingkat mutu material mengenai keberadaan cacat pada material yang
digunakan, serta mengetahui struktur daerah yang mengalami perpatahan
sesuai dengan yang dikehendaki. Pengujian metalografi ini dilakukan untuk
menganalisa struktur mikro pada sempel. Seperti pada gambar 2.10 diagram
di bawah ini.
30
Gambar 2.10. Diagram alir persiapan sampel struktur mikro
Adapun prinsip dasar langkah – langkah untuk melakukan pengujian
metalografi ini sebagai berikut :
2.4.1 Pemotongan (Cutting)
Secara garis besar, pengambilan sampel dilakukan pada daerah yang
akan diamati mikrostruktur maupun makrostrukturnya. Sebagai contoh, untuk
pengamatan mikrostruktur material yang mengalami kerusakan, maka sampel
diambil sedekat mungkin pada daerah kerusakan (pada daerah kritis dengan
kondisi terparah), untuk kemudian dibandingkan dengan sampel yang diambil
dari daerah yang jauh dari daerah gagal. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam
proses memotong, harus dicegah kemungkinan deformasi dan panas yang
berlebihan. Oleh karena itu, setiap proses pemotongan harus diberi
pendinginan yang memadai.
Etsa Elektrolitik
Pemilihan Sampel
Pemotongan Sampel
Mounting
Gerinda
Pemolesan
Etsa
Pengamatan dengan Mikroskop
Poles EleketrolitikFracture
31
Tabel 2.2 Penyelesaian masalah yang timbul pada pemotongan abrasive[19].
Masalah kemungkinan penyebab Penyelesaian
Terbakar Cuplikan terlalu panas Laju pendingin ditingkatkan; bebandikurangi; dipilih wheelyang lunak.
Wheels mudah aus Perekat abrasive rapuh Pilih wheel yang lebihkeras; beban dikurangi.
Wheel sering patah Pendingin tak merata;pemegang cuplikan rendah;revolusi terlalu besar.
Periksa pendingin; periksapemegang sampel; revolusidikurangi
Ketahananpemotongan
Kemacetan/kerusakan Wheelyang lambat
Memilih wheel yang lebihlunak; menggunakan modeloscillating
Pemotong stalls Pemotong telalu bercahayabagi pekerjaan
Menggunakan pemotongyang lebih berat; ukuransample terbatas.
Ada beberapa sistem pemotongan sampel berdasarkan media
pemotong yang digunakan, yaitu meliputi proses pematahan, pengguntingan,
penggergajian, pemotongan abrasi (abrasive cutter), gergaji kawat, dan EDM
(Electric Discharge Machining). Berdasarkan tingkat deformasi yang
dihasilkan, teknik pemotongan terbagi menjadi dua, yaitu :
a) Teknik pemotongan dengan deformasi yang besar, menggunakan gerinda
b) Teknik pemotongan dengan deformasi kecil, menggunakan low speed
diamond saw.
32
2.4.2 Mounting
Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak
beraturan akan sulit untuk ditangani khususnya ketika dilakukan
pengamplasan dan pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang
berupa kawat, specimen lembaran metal tipis, potongan yang tipis, dll. Untuk
memudahkan penanganannya, maka spesimen-spesimen tersebut harus
ditempatkan pada suatu media (media mounting). Secara umum syarat-syarat
yang harus dimiliki bahan mounting adalah :
1. Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa)
2. Sifat eksoterimis rendah
3. Viskositas rendah
4. Penyusutan linier rendah
5. Sifat adhesi baik
6. Memiliki kekerasan yang sama dengan sampel
7. Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah dan bentuk ketidakteraturan
yang terdapat pada sampel
8. Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM, bahan mounting harus
Kondusif.
Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan material dan
jenis reagen etsa yang akan digunakan. Pada umumnya mounting
menggunakan material plastik sintetik. Materialnya dapat berupa resin
(castable resin) yang dicampur dengan hardener, atau bakelit. Penggunaan
castable resin lebih mudah dan alat yang digunakan lebih sederhana
33
dibandingkan bakelit, karena tidak diperlukan aplikasi panas dan tekanan.
Namun bahan castable resin ini tidak memiliki sifat mekanis yang baik
(lunak) sehingga kurang cocok untuk material yang keras. Teknik mounting
yang paling baik adalah menggunakan thermosetting resin dengan
menggunakan material bakelit. Material ini berupa bubuk yang tersedia
dengan warna yang beragam. Thermosetting mounting membutuhkan alat
khusus, karena dibutuhkan aplikasi tekanan (4200 lb/in2) dan panas (1490C)
pada mold saat mounting.
2.4.3 Grinding
Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang telah terkorosi
memiliki permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar ini harus diratakan
agar pengamatan struktur mudah untuk dilakukan. Pengamplasan dilakukan
dengan menggunakan kertas amplas silicon karbit (SiC) dengan berbagai
tingkat kekasaran yang ukuran butir abrasifnya dinyatakan dengan mesh,
yaitu kombinasi dari 220, 330, 500, 600, 800, dan 1000. Ukuran grit pertama
yang dipakai tergantung pada kekasaran permukaan dan kedalaman
kerusakan yang ditimbulkan oleh pemotongan. Seperti perubahan struktur
akibat panas yang timbul pada saat proses pemotongan dan perubahan bentuk
sample akibat beban alat potong.
Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah
pemberian air. Air berfungsi sebagai pemidah geram, memperkecil kerusakan
akibat panas yang timbul yang dapat merubah struktur mikro sampel dan
memperpanjang masa pemakaian kertas amplas. Hal lain yang harus
34
diperhatikan adalah ketika melakukan perubahan arah pengamplasan, maka
arah yang baru adalah 450 atau 900 terhadap arah sebelumnya.
2.4.4 Polishing
Setelah diamplas sampai halus, sampel harus dilakukan pemolesan.
Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel yang halus bebas
goresan dan mengkilap seperti cermin dan menghilangkan ketidakteraturan
sampel hingga orde 0.01 μm. Permukaan sampel yang akan diamati di bawah
mikroskop harus benar-benar rata. Apabila permukaan sampel kasar atau
bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan sulit untuk dilakukan
karena cahaya yang datang dari mikroskop dipantulkan secara acak oleh
permukaan sampel.
Tujuan polishing adalah :
a. Bebas dari goresan akibat grinding
b. Bebas dari flek-flek yang timbul selama grinding
c. Tidak ada perubahan logam, khususnya pada permukaan logam
preparat yang akan diselidiki.
Hal yang harus diperhatikan selama polishing adalah:
a. Media poles tidak boleh terlalu kering dan tidak boleh terlalu basah,
hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya gesekan yang
berlebihan.
b. Setiap penggantian tingkat kekasaran telebih dahulu harus dicuci.
Setiap polishing tidak boleh terlalu lama untuk menghindari
timbulnya relief-relief.
35
Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu
kemudian dilanjutkan dengan pemolesan halus. Ada 3 metode pemolesan
antara lain yaitu sebagai berikut :
a. Pemolesan Elektrolit Kimia
Hubungan rapat arus & tegangan bervariasi untuk larutan elektrolit
dan material yang berbeda dimana untuk tegangan, terbentuk lapisan tipis
pada permukaan, dan hampir tidak ada arus yang lewat, maka terjadi proses
etsa. Sedangkan pada tegangan tinggi terjadi proses pemolesan.
b. Pemolesan Kimia Mekanis
Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis yang
dilakukan serentak di atas piringan halus. Partikel pemoles abrasif dicampur
dengan larutan pengetsa yang umum digunakan.
c. Pemolesan Elektro Mekanis (Metode Reinacher)
Merupakan kombinasi antara pemolesan elektrolit dan mekanis pada
piring pemoles. Metode ini sangat baik untuk logam mulia, tembaga,
kuningan, dan perunggu.
2.4.5 Etching
Etsa merupakan proses penyerangan atau pengikisan batas butir secara
selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik
menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan sampel sehingga detil
struktur yang akan diamati akan terlihat dengan jelas dan tajam. Untuk
beberapa material, mikrostruktur baru muncul jika diberikan zat etsa.
Sehingga perlu pengetahuan yang tepat untuk memilih zat etsa yang tepat.
36
a. Etsa Kimia
Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia
dimana zat etsa yang digunakan ini memiliki karakteristik tersendiri
sehingga pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan diamati.
Contohnya antara lain: nitrid acid / nital (asam nitrit + alkohol 90%), picral
(asam picric + alkohol), ferric chloride, hydroflouric acid, dll. Perlu diingat
bahwa waktu etsa jangan terlalu lam (umumnya sekitar 4 – 30 detik), dan
setelah dietsa, segera dicuci dengan air mengalir lalu dengan alkohol
kemudian dikeringkan dengan alat pengering.
b. Elektro Etsa (Etsa Elektrolitik)
Merupakan proses etsa dengan menggunakan reaksi elektoetsa.
Cara ini dilakukan dengan pengaturan tegangan dan kuat arus listrik serta
waktu pengetsaan. Etsa jenis ini biasanya khusus untuk stainless steel
karena dengan etsa kimia susah untuk medapatkan detil strukturnya.
2.5 Fraktografi
Fraktografi merupakan ilmu yang mempelajari tentang perpatahan,
yang mana ilmu tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana benda
tersebut mengalami suatu perpatahan dan juga bagaimana pengaruh
lingkungan sekitar terhadap perpatahan tersebut. Alat –alat (Tools) yang
digunakan pada fraktografi yaitu : mikroskop optic, SEM (Scenning
Electron Mikroscopy), TEM (Transmision Electron Microscopy), dan lain
– lain.
37
Pada penelitian ini, alat yang digunakan adalah Mikroskop Optik
(MO) yang berfungsi untuk mengetahui keadaan permukaan dan cacat
pada logam yang rusak. Pemotretan struktur mikro dari spesimen baut
(bolt) yang telah melalui tahapan metalografi, dilakukan dengan
menggunakan alat mikroskop optik dengan cara mengatur intensitas
cahaya, fokus dan pembesaran dari lensa objekti dan lensa okuler. Dari
hasil foto struktur mikro maka akan diketahui korelasi antara komposisi
kimia, sifat mekanik, dan fenomena kerusakan yang terjadi.
2.6 Kekerasan (Hardness)
Prinsip pengujian kekerasan ini yaitu melakukan penekanan pada
permukaan material dengan material lain yang lebih keras yang
dikonsentrasikan pada suatu daerah tertentu pada sampel. Prinsipnya ialah
mengukur ketahanan suatu material terhadap deformasi berupa indentasi
permanen. Mekanisme penekanan tersebut dapat berupa mekanisme
penggoresan (scratching), pantulan (re-bouncing), ataupun indentasi dengan
indentor yang sesuai dengan parameter (diameter, beban dan waktu).
Berdasarkan mekanisme penekanannya, dikenal 3 (tiga) metode
pengujian kekerasan :
2.6.1 Metode gores
Metode ini tidak banyak lagi digunakan dalam metalurgi dan material
lanjut, tetapi masih sering sering digunakan dalam dunia mineralogy. Metode ini
38
dikenalkan oleh Friedrich Mohs yang membagi kekerasan material di dunia ini
berdasarkan skala (yang kemudian dikenal sebagai skala Mohs). Skala ini
bervariasi dari nilai 1 untuk kekerasan yang paling rendah, sebagaimana dimiliki
oleh material talk, hingga skala 10 sebagai nilai kekerasan tertinggi, sebagaimana
dimiliki oleh intan.
2.6.2 Metode Elastic/Pantul (Rebound)
Dengan metode ini, kekerasan suatu material ditentukan oleh alat
Scleroscope yang mengukur tinggi pantulan suatu pemukul (hammer) dengan
berat tertentu yang dijatuhkan dari suatu ketinggian terhadap permukaan benda
uji. Tinggi pantulan (rebound) yang dihasilkan mewakili kekerasan benda uji.
Semakin tinggi pantulan tersebut, yang ditunjukkan oleh dial pada alat pengukur,
maka kekerasan benda uji dinilai semakin tinggi.
2.6.3 Metode Indentasi
Pengujian dengan metode ini dilakukan dengan penekanan benda uji
dengan indentor dengan gaya tekan dan waktu indentasi yang ditentukan.
Kekerasan suatu material ditentukan oleh dalam ataupun luas area indentasi yang
dihasilkan (tergantung jenis indentor dan jenis pengujian). Berdasarkan prinsip
bekerjanya metode uji kekerasan dengan cara indentasi dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
A. Pengujian Brinell
Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh J.A. Brinell pada tahun 1900.
Pengujian kekerasan dilakukan dengan memakai bola baja yang diperkeras
39
(hardenedsteel ball) dengan beban dan waktu indentasi tertentu, sebagaimana
ditunjukkan oleh Gambar 2.11. Pengukuran nilai kekerasan suatu material
diberikan oleh rumus: = ( ) √ (2.5)
Dimana P adalah beban (kg), D diameter indentor (mm) dan d diameter jejak
(mm). Hasil penekanan adalah jejak berbentuk lingkaran bulat, yang harus
dihitung diameternya di bawah mikroskop khusus pengukur jejak.
Gambar 2.11. Skema prinsip Penekanan oleh harnened steel ball denganmetode brinell [21].
Prosedur standar pengujian mensyaratkan bola baja dengan diameter 10
mm dan beban 3000 kg untuk pengujian logam-logam ferrous, atau 500 kg untuk
logam-logam non-ferrous. Untuk logam-logam ferrous, waktu indentasi biasanya
sekitar 10 detik sementara untuk logam non-ferrous sekitar 30 detik. Walaupun
demikian pengaturan beban dan waktu indentasi untuk setiap material dapat pula
ditentukan oleh karakteristik alat penguji. Nilai kekerasan suatu material yang
40
dinotasikan dengan ‘HB’ tanpa tambahan angka di belakangnya menyatakan
kondisi pengujian standar dengan indentor bola baja 10 mm, beban 3000 kg
selama waktu 1—15 detik. Untuk kondisi yang lain, nilai kekerasan HB diikuti
angka-angka yang menyatakan kondisi pengujian. Contoh: 75 HB 10/500/30
menyatakan nilai kekerasan Brinell sebesar 75 dihasilkan oleh suatu pengujian
dengan indentor 10 mm, pembebanan 500 kg selama 30 detik.
Gambar 2.12. Hasil indentasi Brinell berupa jejak berbentuk lingkaran[21].
B. Metode Vickers
Pada metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan
sudut 1360, seperti diperlihatkan oleh Gambar 2.13. Prinsip pengujian adalah
sama dengan metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan berbentuk bujur
sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop
pengujur jejak. Nilai kekerasan suatu material diberikan oleh:= .(2.6)
Dimana d adalah panjang diagonal rata – rata dari jejak berbentuk bujur sangkar.
41
Gambar 2.13. Skematis prinsip indentasi dengan metode Vickers[21].
C. Metode Rockwell
Berbeda dengan metode Brinell dan Vickers dimana kekerasan suatu
bahan dinilai dari diameter/diagonal jejak yang dihasilkan maka metode Rockwell
merupakan uji kekerasan dengan pembacaan langsung (direct-reading). Metode
ini banyak dipakai dalam industry karena pertimbangan praktis. Variasi dalam
beban dan indetor yang digunakan membuat metode ini memiliki banyak
macamnya. Metode yang paling umum dipakai adalah Rockwell B (dengan
indentor bola baja berdiameter 1/6 inci dan beban 100 kg) dan Rockwell C
(dengan indentor intan dengan beban 150 kg). Walaupun demikian metode
Rockwell lainnya juga biasa dipakai. Oleh karenanya skala kekerasan Rockwell
suatu material harus dispesifikasikan dengan jelas. Contohnya 82 HRB, yang
menyatakan material diukur dengan skala B: indentor 1/6 inci dan beban 100 kg.
Berikut ini diberikan Tabel 2.3 yang memperlihatkan perbedaan skala dan range
uji dalam skala Rockwell.
42
Tabel 2.3 skala pada metode pengujian kekerasan Rockwell[21].
Tabel 2.4 cara – cara pengujian kekerasan[4].
43
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan dari Maret 2013
sampai September 2013 di Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (B2TKS, BPPT) PUSPITEK Serpong
Tangerang selatan.
3.2 Bahan dan Peralatan Penelitian
Adapun bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian,
sebagai berikut di bawah ini.
3.2.1 Bahan Penelitian
Bahan Penelitian yang digunakan adalah komponen baut di Anjungan
lepas pantai jenis Baut Mutu Tinggi (High Strenght Bolt).
3.2.2 Peralatan Penelitian
1. Pada pengamatan visual, alat yang digunakan adalah digital camera
2. Pada pengujian analisa komposisi kimia, alat yang digunakan adalah
METOREX.
3. Pada Pengujian Metalografi, alat yang digunakan, yaitu:
Alat Pemotong
44
Cetakan mounting
Mesin amplas
Mesin poles
4. Pada pengujian kekerasan, alat yang digunakan Vickers Test Machine
3.3 Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian untuk mencari penyebab kerusakan yang terjadi
pada komponen baut yang dilakukan dengan metode failure analysisi,
meliputi:
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian.
Penjelasan dari diagram alir diatas adalah kerusakan pada baut sampel
yang digunakan pada penelitian ini adalah Baut Mutu Tinggi (High Strenght
Kerusakan Pada Baut
Fotografi pada bagian yang rusak
Pengujian
Uji KekerasanFraktografiMetalografikomposisi kimia
Analisis Hasil
Kesimpulan
45
Bolt) yang terbuat dari baja karbon sedang (medium carbon steel). Uraian
tentang prosedur penelitian secara garis besar di awali dengan mengumpulkan
historical data dan memilih sampel. Setelah melakukan pengamatan visual
(Fotografi) bagian yang mengalami kerusakan dan mencacatnya.
Pengamatan visual (fotografi) yang bertujuan untuk mengetahui jenis
kerusakan dan bagian permukaan yang mengalami perpatahan (fracture).
Mencatat ukuran dan kondisi kerusakan (failure), menggambar sketsa
kerusakan dan sejauh mana hubungannya terhadap patahan. Fotografi ini
dilakukan pada berbagai perbesaran sudut dan bagian – bagian yang utama
pada kerusakan tersebut.
Prosedur pengujian dilakukan sesuai dengan prosedur pengujian
masing- masing yaitu berupa metalografi dan fraktografi, yang disertai
pengujian tak merusak (non destructive testing) dan pengujian mekanis
(destructive testing).
3.3.1 Pengujian Komposisi Kimia
Pengujian komposisi bertujuan untuk menentukan prosentase
kandungan unsur yang terdapat pada baut dan untuk menjamin bahwa material
yang mengalami kegagalan sesuai dengan yang di spesifikasikan. dilakukan
dengan menggunakan alat METOREX di Balai Besar Teknologi Kekuatan
Struktur, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (B2TKS, BPPT)
PUSPITEK Serpong. Sebelum dilakukan pengujian, spesimen ditembakan
menggunakan sinar x terlebih dahulu digrinda.
46
Setelah di grindra, maka dilanjutkan dengan menempelkan spesimen
pada alat pembangkit sinar x seperti pada gambar 3.2 dan hasilnya bisa dilihat
pada survey meter seperti pada gambar 3.3.
3.3.2 Pengujian Metalografi
Pengujian metalografi ini bertujuan untuk mengetahui struktur
mikro yang terjadi pada Baut yang mengalami kerusakan. Pengambilan
sampel untuk pemeriksaan struktur mikro ini, yaitu diambil pada bagian
di sekitar patahan (fracture) dan pada bagian yang jauh dari patahan.
Tahapan – tahapan pengujian metalografi, yaitu sebagai berikut:
Pemotongan spesimen dilakukan dengan alat wirecutting dimana dalam
proses memotong harus dicegah kemungkinan deformasi dan panas yang
berlebih-lebihan. Untuk itu pada setiap pemotongan harus diberikan
pendinginan yang memadai.
Dilanjutkan dengan mencetak sampel diperlukan untuk
memudahkan pemegangan pada proses preparasi, tahapan ini dilakukan
dengan menggunakan resin yang dikeraskan dengan hardener, samoel
dicetak dengan menggunakan cara dingin, yaitu dengan mengoleskan
Gambar 3.3 hasil survey meter padauji metorex
Gambar 3.2 Specimen ditempelkanpada pembangkit sinar x
47
bahan pasta khusus ke dalam bagian cetakan. Setelah dilakukan
pencetakan sampel, langkah selanjutnya pengampelasan (grinding) yaitu
dimaksudkan untuk memperkecil kerusakan permukaan. Selama proses
grinding harus dilakukan pendinginan dengan air secukupnya.
Pemolesan dilakukan setelah proses grinding, media yang
digunakan untuk pemolesan adalah chrome oxide dan setiap proses
pemolesan, specimen harus dicuci dan dibersihkan dengan menggunakan
alkohol dan dikeringkan menggunakan udara.
Pada proses pengetsaan dilakukan dengan cara melihat
keburaman dari permukaan sampel yang dietsa. Bila keburaman telah
tercapai, maka segera mungkin specimen dicuci dengan air dan alkohol
kemudian dikeringkan menggunakan udara panas atau pengering. bahan
etsa yang digunakan disesuaikan dengan medium etsa, misalnya baja
menggunakan medium nital campuran HNO3 dengan alkoho.
Gambar 3.4 alat untuk melakukan polishing
48
Analisa struktur mikro yang dilakukan adalah dengan Pemotretan
struktur mikro dari specimen baut (bolt) yang telah melalui tahap
metalografi, dilakukan dengan menggunakan alat mikroskop optic
dengan cara mengatur intensitas cahaya, fokus. Dari hasil foto struktur
mikro ini, maka akan diketahui korelasi antara komposisi kimia, sifat
mekanik, dan fenomena kerusakan (failure) yang terjadi.
3.3.3 Pengujian Kekerasan
Pengujian kekerasan ini menggunakan metode Vickers, dimana
prinsip dasar yang digunakan sebagai ukuran kekerasan adalah ketahanan
bahan terhadap deformasi plastis dan harga kekerasan ini didapat dari
beban penekanan dalam Kgf di bagi luas permukaan bekas penekanan
indentor. Uji kekerasan ini dilakukan dengan memakai indentor intan
berbentuk piramida dengan sudut 1360, hasil jejaknya adalah berbentuk
bujur sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan dengan skala
pada mikroskop pengukur jejak. Untuk pengujian pada kekerasan vikers
Gambar 3.5 Alat mikroskopis untuk pengambilan photo struktur mikro
49
pada baut dimulai dari lokasi patahan hingga ke bagian kepala baut,
menggunakan mesin uji Frank Finotest.
Gambar 3.6. alat pengujian dengan metode Vickers
50
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pemeriksaan Visual atau Makro Fraktografi
Pemeriksaan visual atau makro fraktografi ini dilakukan untuk melihat
bentuk permukaan patahan pada baut clam pin. Hasil analisa ini menunjukkan
bahwa baut clam pin yang patah seperti pada gambar 4.1 dibawah ini, merupakan
karakteristik patahan karena lelah, akibat beban dinamis (beban yang berulang -
ulang).
Gambar 4.1 Bentuk permukaan patahan baut clam pin yang dianalisis
Bila ditinjau dari bentuk permukaan patah lelah seperti yang ditunjukkan
pada gambar 4.2 dibawah ini, sebagaimana tanda panah warna merah menjelaskan
lokasi atau daerah awal terjadinya perpatahan lelah. Retak awal (crack initiation)
terjadi pada dua bagian terluar dari specimen yang ditunjukkan pada tepi bawah
baut (tanda panah A) dan di tepi atas baut (tanda panah B). Retak awal (crack
initiation) ini menyebabkan terjadinya konsentrasi tegangan tinggi yang dimulai
pada tepi baut yang ditandai dengan adanya notch berupa pitting marks, sehingga
retak akan merambat seiring dengan bertambahnya siklus pembebanan.
51
Gambar 4.2. a) photo makro permukaan patahan baut clamp pin yangmengalami patah lelah (fatigue fracture) dan awal patah yang dimulai daritepi baut (awal patah). Terlihat juga alur garis pantai (beach mark) yangmenunjukkan bentuk area patah lelah hingga 90% dan yang 10% adalahpatah sisa. b) Pada daerah tengah – tengah terdapat retak akibat beban
operasi sesaat.
Dari gambar 4.2 diatas ini, Penjalaran retak (Crack propogation) yang
terjadi tergantung pada beban tegangan yang digunakan, maka baut ini menerima
beban tegangan yang besar sehingga penjalaran retaknya menjadi cepat dan luasan
area retaknya (final fracture) akan mengecil. Pada daerah penjalaran retak (crack
Awal patah B
awal patah A
Radial Fan like
Beach mark
Micro crack
Sisa patahan
Patah lelahII
Patah lelah Ibeach mark
a)
Micro crack
b)
52
propagation) ditunjukkan oleh pola beban berbentuk garis yang berbeda dan
saling bergantian, yaitu garis yang halus dan yang kasar. Pola garis yang halus
ditandai dengan adanya garis pantai (beach marks) yang terjadi akibat proses
permulaan dan pertumbuhan retak yang menunjukkan bentuk area patah lelah
hingga 90%, sedangkan pola garis yang kasar ditandai dengan adanya tanda radial
(radial fanlike) yang arahnya datar tegak lurus terhadap ujung retakan seperti pada
gambar 4.2.a di atas yang ditandai dengan garis panah. Pada daerah ini terdapat
retakan yang terletak di tengah yang diakibatkan beban pada saat operasi (gambar
4.2.b). Dilihat dari bentuk permukaan patahannya (gambar 4.2), maka termasuk
patah getas yang terlihat kasar dan tidak mengkilap ditandai dengan adanya radial
fanlike dan tidak terjadi deformasi plastis.
Daerah patah akhir (final fracture) atau sisa patahan (residual fracture)
(gambar 4.2) terjadi pada akhir siklus tegangan, yaitu pada saat sisa penampang
baut tidak mampu lagi menahan beban, Patah ini bergerak cepat dan berada di
daerah yang kecil yaitu 10% dari keseluruhan seperti yang ditunjukkan dengan
tanda panah pada gambar 4.2 bagian a. Perpatahan ini terjadi secara tiba – tiba
dikarenakan sumber patah lelah yang terjadi berupa retak mikro atau micro crack
yang tidak bisa dilihat oleh mata. Pada daerah patah akhir ini terlihat pada sisa
patah permukaan yang halus.
53
Gambar 4.3 a) Pengambilan sampel metallografi potongan A – B . b) Photomakro etsa sampel metallografi potongan memanjang (A- B )
Pada permukaan patahan baut (gambar 4.3), bentuk permukaan
patahannya shear fracture yang menunjukan bahwa baut ini mengalami beban
atau gaya tarik uni-axial murni normal, sehingga bentuk permukaan patahannya
membentuk patahan geser. Yang mencirikan sisa patahan akibat beban statik ini
adalah membentuk sudut 450 terhadap arah gaya dan menunjukkan bahwa baut
yang patah merupakan karakteristik pataha karena lelah (fatigue), yang
diakibatkan pembebanan dinamis (beban fluktuasi), bentuk sampel permukaan
patahan baut, berupa potongan memanjang disajikan pada gambar 4.3 bagian b.
A
B
Retak mikro Patah awal A
Patah sisa
Patah awal B
54
Untuk analisa keadaan pembebanan bisa dikaitkan dengan bentuk
permukaan patahan yang terjadi yaitu dengan melihat referensi penampang
patahan akibat lelah, sebagaimana terlihat pada gambar 2.8. Hasil perbandingan
antara gambar 4.2 dengan gambar 2.8 sebagai referensi, maka yang mirip dengan
kerusakan pada komponen baut dianjungan lepas pantai adalah kerusakan yang
disebabkan pembebanan dinamis (bolak-balik). Pembebanan dinamis ini adalah
gabungan antara reversed bending dan beban geser. Pada pembebanan reversed
bending termasuk tingkat pembebanan low nominal stress yang ditandai dengan
adanya beach mark pada tahap penjalaran retak (crakc propagation). Sedangkan
pada beban geser di tandai dengan adanya radial fanlike seperti pada gambar 4.2
diatas.
4.2 Hasil Pengujian Metalografi
Pemeriksaan struktur mikro hasil potongan memanjang terhadap baut
menggunakan etsa nital 5 % dengan mikroskop optik dengan perbesaran 200x.
Pengujian ini bertujuan untuk melihat bentuk struktur baut yang mengalami
perpatahan. Berikut hasil pengujian metalografi yang dilakukan pada baut, seperti
pada gambar 4.4 di bawah ini. Bentuk struktur mikro pada bagian kepala ulir baut
ini nampak menunjukkan adanya cacat yang berbentuk lipatan. Cacat ini
merupakan salah satu akibat proses manufaktur pada baut yang kurang sempurna.
Proses manufaktur ini terjadi ketika proses pengerolan ulir (thread rolling).
55
Gambar 4.4 a) lokasi adanya secondary cracks sejajar dengan awal patah. b)lokasi pengambilan struktur mikro. c) Bentuk struktur mikro baut yang
telah mengalami kerusakan, etsa natal 5%, dengan perbesaran 200x
Berdasarkan gambar 4.5 dibawah, hasil analisa struktur mikro atau
metalografi pada baut ini menunjukkan bahwa bentuk struktur mikro pada baut
tersebut berupa martensite temper dan pada lokasi tertentu di temukan adanya
inklusi berupa Manganese Sulfide (MnS) berwarna hitam, yang diakibatkan
adanya gaya yang dialami baut tersebut. Inklusi adalah suatu impuritas (kotoran)
yang membentuk pola garis lurus (stringer) baik berupa inklusi logam (metalic)
1
2
3
4
a
c
a
1
2
3
4
55
Gambar 4.4 a) lokasi adanya secondary cracks sejajar dengan awal patah. b)lokasi pengambilan struktur mikro. c) Bentuk struktur mikro baut yang
telah mengalami kerusakan, etsa natal 5%, dengan perbesaran 200x
Berdasarkan gambar 4.5 dibawah, hasil analisa struktur mikro atau
metalografi pada baut ini menunjukkan bahwa bentuk struktur mikro pada baut
tersebut berupa martensite temper dan pada lokasi tertentu di temukan adanya
inklusi berupa Manganese Sulfide (MnS) berwarna hitam, yang diakibatkan
adanya gaya yang dialami baut tersebut. Inklusi adalah suatu impuritas (kotoran)
yang membentuk pola garis lurus (stringer) baik berupa inklusi logam (metalic)
1
2
3
4
a
c
a
1
2
3
4
55
Gambar 4.4 a) lokasi adanya secondary cracks sejajar dengan awal patah. b)lokasi pengambilan struktur mikro. c) Bentuk struktur mikro baut yang
telah mengalami kerusakan, etsa natal 5%, dengan perbesaran 200x
Berdasarkan gambar 4.5 dibawah, hasil analisa struktur mikro atau
metalografi pada baut ini menunjukkan bahwa bentuk struktur mikro pada baut
tersebut berupa martensite temper dan pada lokasi tertentu di temukan adanya
inklusi berupa Manganese Sulfide (MnS) berwarna hitam, yang diakibatkan
adanya gaya yang dialami baut tersebut. Inklusi adalah suatu impuritas (kotoran)
yang membentuk pola garis lurus (stringer) baik berupa inklusi logam (metalic)
1
2
3
4
a
c
a
1
2
3
4
56
atau inklusi non-logam (non metalic) yang terperangkap dalam ingot dan
membentuk lonjongan (elongated) searah dengan arah giling (rolling
direction)[13]. Inklusi ini terjadi pada saat proses manufaktur dan bisa juga
dikarenakan proses perlakuan panas. Unsur sulfide atau belerang yang terdapat
dalam baja martensit temper harus diusahakan ditekan serendah mungkin
dikarenakan nantinya akan berikatan dengan mangan (Mn) membentuk mangan
sulfide (MnS) yang tidak diinginkan, karena MnS ini akan membentuk inklusi.
Unsur mangan (Mn) merupakan unsure yang slalu harus ada didalam baja dengan
jumlah yang kecil dean sebagai pencegah oksida penambahan unsure mangan
(Mn) didalam baja dapat menambah kekuatan dan ketahanan panas baja tersebut.
Sedangkan sulfide (S) adalah suatu unsur yang membentuk inklusi dan tidak
memberikan banyak pengaruh terhadap temperature transisi tetapi menurunkan
keuletan pada arah tegak lurus terhadap arah gaya sebab inklusi tersebut
memanjang pada arah datangnya gaya[12].
Sifat mekanis baja dapat dikontrol salah satunya dengan ukuran inklusi,
semakin besar ukuran inklusi maka akan menurunkan sifat mekanis pada baja,
seperti keuletan (ductility), umur fatigue, dan kegetasan (fracture toughness).
57
Gambar 4.5 a) pembesaran lokasi pengambilan struktur mikro pada gambar4.4 (a). b) Bentuk struktur mikro baut yang telah mengalami kerusakan,
etsa nital 5%, dengan perbesaran 500x
Bentuk struktur martensit temper ini biasanya dicapai melalui proses
perlakuan panas, yaitu proses pengerasan (hardening) yang kemudian diikuti oleh
proses temper. Proses pengerasan dilakukan dengan memanaskan baut tersebut
hingga mencapai suhu austenite dan kemudian dicelupkan kedalam media
pendingin, seperti air, oli atau lainnya. Setelah dicelupkan beberapa saat hingga
•2
•1
1)
2)
MnS
500 x
500 x
57
Gambar 4.5 a) pembesaran lokasi pengambilan struktur mikro pada gambar4.4 (a). b) Bentuk struktur mikro baut yang telah mengalami kerusakan,
etsa nital 5%, dengan perbesaran 500x
Bentuk struktur martensit temper ini biasanya dicapai melalui proses
perlakuan panas, yaitu proses pengerasan (hardening) yang kemudian diikuti oleh
proses temper. Proses pengerasan dilakukan dengan memanaskan baut tersebut
hingga mencapai suhu austenite dan kemudian dicelupkan kedalam media
pendingin, seperti air, oli atau lainnya. Setelah dicelupkan beberapa saat hingga
•2
•1
1)
2)
MnS
500 x
500 x
57
Gambar 4.5 a) pembesaran lokasi pengambilan struktur mikro pada gambar4.4 (a). b) Bentuk struktur mikro baut yang telah mengalami kerusakan,
etsa nital 5%, dengan perbesaran 500x
Bentuk struktur martensit temper ini biasanya dicapai melalui proses
perlakuan panas, yaitu proses pengerasan (hardening) yang kemudian diikuti oleh
proses temper. Proses pengerasan dilakukan dengan memanaskan baut tersebut
hingga mencapai suhu austenite dan kemudian dicelupkan kedalam media
pendingin, seperti air, oli atau lainnya. Setelah dicelupkan beberapa saat hingga
•2
•1
1)
2)
MnS
500 x
500 x
58
kondisi baut tersebut kembali ke suhu ruang dan selanjutnya baut tersebut
dipanaskan pada suhu temper sehingga menghasilkan struktur temper.
Pada daerah patahan kelihatan bentuk patahannya berupa patahan yang
membelah butir (transgranular fracture), hal ini menunjukkan bahwa material
baut cukup getas. Patahan transgranular ini di tandai dengan pola radial.
4.3 Hasil Pengujian Komposisi Kimia
Pengujian komposisi kimia yang dilakukan pada baut di Balai Besar
Teknologi Kekuatan Struktur (B2TKS) BPPT PUSPITEK Serpong Tangerang
Selatan. Pengujian komposisi kimia pada baut dengan menggunakan alat
METOREX yang berfungsi untuk mengetahui unsur – unsur kimia yang
terkandung dalam bahan baku baut.
Dari hasil pengujian ini bahwa baut clam in merupakan baut yang terbuat
dari bahan atau material baja karbon sedang denagan nilai karbon (0.41% C) dan
sesuai dengan standar ASTM A325 Structural Bolts, Steel, Heat Treated, 120/105
ksi Minimum Tensile Strength, dan disertai unsure paduannya meliputi : unsure
0.24% Si, 0.74% Mn, 0.90% Cr, 0.069% Ni, 0,12% Mo, 0.14% Cu, 0.028% Al,
0.068% W, 0.020% S, 0.018% P. Komposisi kimia yang terkandung dalam bahan
sampel baut tersebut masih masuk dalam standard dan tidak menunjukkan
adanyan perbedaan.
59
Tabel 4.1 Hasil uji komposisi kimia dengan menggunakan alat METOREX
Unsur Kandungan unsur(%) patahan baut
Kandungan unsur(%) standar ASTMA325
Fe Rem -C 0.41 0.28 – 0.55Si 0.24 0.13 – 0.32
Mn (min) 0.74 0.57Cr 0.90 -Ni 0.069 -Mo 0.12 -Cu 0.14 -Al 0.028 -W 0.068 -
S (max) 0.020 0.058P (max) 0.018 0.048
Unsur mangan (Mn) mempunyai fungsi mengurangi karbida dan
menurunkan temperature transformasi, yang membuat perlit dan ferit menjadi
butir yang lebih halus, Mn juga memperbaiki keuletan. Unsur Mn ini dapat
mengikat sulfur (S) dengan membentuk mangan sulfide (MnS). Unsure phosphor
(P) dan sulfur mempunyai dampak negatif dalam pembuatan baut, karena dapat
mengurangi kekuatan, bila kandungan presentasenya melebihi batas yang telah
ditentukan dan juga akan menyebabkan sumber keretakan pada proses rolling.
Oleh sebab itu, kadar phosphor dan sulfur dalam pembuatan baut sangat rendah.
Silicon (Si), unsur ini sebagai penyetabil yang dapat menaikkan kekuatan tanpa
harus menurunkan keuletannya.
60
Dalam pembuatan baut, bahan atau material yang digunakan tidak hanya
unsure – unsure yang penting saja, tetapi juga juga ada unsure – unsure
pendukung lainnya. Meliputi unsure Cr (chrom), Cu, Mo dan Al yang terdapat
pada baut ini yang walaupun presentasinya sangat sedikit, namun berguna untuk
meningkatkan meningkatkan ketahanan terhadap korosi unsure Nb, Sn dan W
berguna untuk menghaluskan butiran struktur mikro dan meningkatkan kekerasan
baut. Pada tabel 4.1 diatas, nilai sensitive retak menunjukkan nilai yang rendah
dan masuj dalam rentan standar, hal ini dikarenakan jumlah kandungan unsure
sulfur dan phosphor yang rendah sehingga akan menurunkan nilai sensitive retak.
Maka semakin rendah nilai sensitive retaknya, semakin baik pula kualitas baut
tersebut.
4.5 Hasil Pengujian Kekerasan
Hasil uji kekerasan dilakukan pada bolt yang sudah putus atau patah pada
lokasi disekitar patahan hasil potongan memanjang dengan menggunakan nilai
kekerasan vickera (HV), hasil penyajian data yang diperoleh dalam bentuk angka.
Pada pengujian kekerasan ini dilakukan satu kali pengujian dengan tujuh kali
penekanan disetiap titik kemudian dihitung rata – ratanya sehingga nilai
kekeasannya lebih akurat. Hasil uji kekerasan pada baut tersebut disajikan pada
tabel 4.2.
61
Tabel 4.2 Hasil uji kekerasan dengan menggunakan alat frank finotest
No Baut yang patah (HV)1 3172 3093 3214 3065 3216 3217 321
Rata – rata 316,5
Adapun hasil uji kekerasan pada baut ini disajikan pada tabel 4.2,
menunjukkan bahwa nilai kekerasan terendah adalah 306 HV terletak sebelum
menuju final fracture (no 4 tabel 4.2) sedangkan nilai kekerasan tertinggi
mencapai 321 HV terletak, setelah dirata – rata dari 7 titik hasil pengujian ini,
maka di dapat nilai kekerasan rata – rata pada baut ini adalaha 316.5 HV.
•6•4•5
•7
•3•2 •1
Gambar 4.6 Lokasi uji kekerasan.
62
Dari baut clim pin ini terlihat bahwa kekerasan pada bagian (no 4 tabel
4.2) sedikit lebih lunak dibandingkan pada bagian yang lain dari bagian tepi
sebelum final fracture yang lain, maka dari itu dapat terjadi karena pengaruh
pengerasan permukaan dengan heat treatment maupun mechanical treatment,
maka efeknya nilai kekerasan berkurang pada bagian itu.
63
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian analisa kerusakan pada komponen baut di anjungan lepas
pantai, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Hasil dari pengujian metalografi menunjukkan bahwa bentuk struktur
mikro adalah martensit temper yang terdapat pada bagian kepala ulir baut
ini nampak menunjukkan adanya cacat yang berbentuk lipatan. Cacat ini
merupakan salah satu akibat proses manufaktur pada baut yang kurang
sempurna. Proses manufaktur ini terjadi ketika proses pengerolan ulir
(thread rolling). Cacat tersebut berupa inklusi yaitu manganese sulfide
(MnS). Sifat mekanis baja dapat dikontrol salah satunya dengan ukuran
inklusi, semakin besar ukuran inklusi maka akan menurunkan sifat
mekanis pada baja, seperti keuletan (ductility), umur fatigue, dan
kegetasan (fracture toughness). Berdasarkan hasil pengujian komposisi
kimia baja yang digunakan sebagai bahan baut adalah jenis baja karbon
sedang (medium carbon steel) yang memiliki kadar karbon 0.41%.
2. Kerusakan yang menyebabkan patahnya baut di anjungan lepas pantai
disebabkan oleh kelelahan (fatigue) dari material baut yang diakibatkan
beban dinamis (beban berualang - ulang). Pembebanan dinamis ini adalah
gabungan antara reversed bending dan beban geser. Pada pembebanan
reversed bending termasuk tingkat pembebanan low nominal stress yang
64
ditandai dengan adanya beach mark pada tahap penjalaran retak (crakc
propagation). Sedangkan pada beban geser di tandai dengan adanya radial
fanlike. Jenis kelelahan yang tejadi pada baut tersebut adalah jenis
kelelahan siklus rendah (low cycle fatigue). Kelelahan jenis ini diakibatkan
kelelahan yang disebabkan oleh konsentrasi tegangan yang tinggi. Hal ini
ditunjukkan oleh bentuk permukaan patahan baut yang menunjukkan
kondisi overload yaitu suatu kondisi dimana perambatan retak (crack
propogation) yang terjadi dalam waktu singkat dan diakhiri dengan cepat,
diikuti patah getas dan tidak adanya deformasi plastis.
3. Bahan baut yang digunakan dianjungan lepasn pantai tersebut mempunyai
kekerasan terendah 306 HV dan kekerasan tertinggi 321 HV (306 : 321
HV) sehingga mempunyai ketangguhannya (toughness) menjadi rendah
dan karena itu sangat sensitive terhadap bentuk tekikan (notch) yang
memudahkan menimbulkan retak getas.
4. Di dalam kerusakan terdapat beberapa Faktor yang menyebabkan
kerusakan, diantaranya sebagai berikut :
- Kesalahan dalam memilih desain dan material seperti kesalahan dalam
proses peleburan, pengecoran dan penempaan, pengerjaan akhir
(finishing), control kualitas yang kurang baik diluar
spesifikasi/standard yang berlaku.
- Material yang tidak sempurna atau miliki cacat.
- Kesalahan dalam proses pembuatan seperti
- Kesalahan ketika proses assembly/perakitan.
65
- Kondisi pengoperasian yang tidak tepat seperti kecepatan (speed) yang
terlalu tinggi, temperature yang terlalu tinggi, adanya kandungan kimia
yang bersifat merusak, sumber daya manusia yang kurang kompeten di
bidangnya.
- Kesalahan dalam proses perawatan.
66
5.2 Saran
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk melihat kerusakan yang
diakibatkan oleh fatigue yaitu menggunakan alat mikro fraktografi seperti
SEM (Scanning Electron Microscopy) atau TEM (Transmision Electron
Microscopy) yang mempunyai resolusi optik yang lebih tinggi
dibandingkan mikroskop optik.
2. Pada penelitian ini dibatasi, hal lain yang perlu diperdalam analisa adalah
pengetahuan tentang korosi, adanya pengujian tentang korosi yang
terdapat pada baut yang mengalami perpatahan.
67
DAFTAR PUSTAKA
[1] ASM Handbook Committee. 1987. ” Fractography ”, ASM Handbook
Volume 12. By ASM Handbook Committee. Ohio
[2] ASM Handbook committee. 1996.”Fatigue and Fracture”, ASM Handbook
Volume 19. By ASM Handbook Committee. Ohio
[3] ASTM A 325. “Standard Specification for Structural Bolts, Steel. Heat
Treated, 120/105 ksi Minimum Tensile Strength”.
[4] Callister, William D. 1985. “Material Science and Engineering, An
Introduction “. John Wiley and Sons, Inc. Canada.
[5] Devi Chandra, Gunawarman, M. Fadil. 2010. “Analisis Tegangan Buat
Pengunci Girth-Gear Kiln”. No.33 Vol.1 XVII.
[6] Hatta Ilham. 2010. Mikroskopi dan Mikroanalisi. “analisa kerusakan baut
pengikat meja putar pada sistem transportasi alat angkat”.Vol. 3.
No1.
[7] Hosford William F. 2005. “Mechanical Behavior of Material”.Cambridge
University Press. New York.
[8] http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/523/jbptunikompp-gdl-dadangnugr-26103-
3-unikom_d-2.pdf 03 Maret 2013 Pukul 11.33
[9] http://dodybrahmantyo.dosen.narotama.ac.id/files/2012/05/KONSTRUKSI-
BAJA-3_SAMBUNGAN-BAUT.pdf 03 Maret 2013 pukul 09.00 am
[10] http://www.scribd.com/doc/96174078/Pengertian-SEM 18 Maret 2013 Pukul
07.27
[11] http://ftkceria.wordpress.com/2012/04/21/fatigue-kelelahan 20 Maret 2013
Pukul 07.09
[12]http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_teknologi_baja/bab1_b
esi_dan_baja.pdf 30 Agustus 2013 pukul 13.08
[13]http://xa.yimg.com/kq/groups/3862917/480176839/name/18908_PENGKAJI
AN.pdf 30 Agustus 2013 pukul 13.15
68
[14] Juliaptini Devinta. 2010. “Analisis Sifat Mekanik Dan Metalografi Baja
Karbon Rendah Untuk Aplikasi Tabung Gas 3 Kg”. Skripsi, Fisika
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayaullah, Jakarta.
Hal 18 – 23.
[15] L. H. Van Vlack. 1989. “Elements Of Material Science And Engineering, 6TH
Ed”. Addison – Wesley. Reading, Mass.
[16] Michael F Ashby, David r H Jones.1996.”Engineering Materials 1, An
Introduction to their Properties and Applications”. Second edition.
Butterworth Heinemann.
[17] Ricky L, Tawekal. “Perhitungan SCF Untuk Analisa Fatigue Pada
Sambungan Struktur Anjungan Lepas Pantai”. Volume 13, No. 2,
Edisi XXXII Juni 2005.
[18] Sutarjo, Ilham Hatta. 2010. Prosiding PPI Standardisasi 2010.”Aplikasi
Standar untuk Analisis Kerusakan Stud Bolt pada Suction Valve
Compressor”.
[19] Vander Voort, George F. 2004. ” Metallography and Microstructures ”,
ASM Handbook Volume 9. By ASM Handbook Committee. Ohio
[20] William T. Becker and Roch J. Shipley. 2002.” Failure Analysis and
Prevention”, ASM Handbook Volume 11. By ASM Handbook
Committee. Ohio
[21] Yuwono Akhmad Herman. 2009. “Buku Panduan Praktikum Karakteristik
Material 1 Pengujian Merusak (Destructive Testing)”. Departemen
Metalurgi Dan Material, Fakultas Teknik UI. Depok.
69
LAMPIRAN 1
Posisi baut yang mengalami perpatahan
Posisi Baut Patah
69
LAMPIRAN 1
Posisi baut yang mengalami perpatahan
Posisi Baut Patah
69
LAMPIRAN 1
Posisi baut yang mengalami perpatahan
Posisi Baut Patah
70
LAMPIRAN 2
Bentuk baut yang diukur dengan penggaris dan ulir baut yang dianalisis
70
LAMPIRAN 2
Bentuk baut yang diukur dengan penggaris dan ulir baut yang dianalisis
70
LAMPIRAN 2
Bentuk baut yang diukur dengan penggaris dan ulir baut yang dianalisis