-
ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI
LAPISAN DASAR PERAIRAN
ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG
RIYAN HADINAFTA
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN
ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2009
-
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
Analisis Kebutuhan Oksigen Untuk Dekomposisi Bahan Organik di
Lapisan
Perairan Estuari Sungai Cisadane, Tangerang
Adalah benar merupakan hasil karya dan belum diajukan dalam
bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi
yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka
di bagian akhir
Skripsi ini.
Bogor, Januari 2009
Riyan Hadinafta C24104023
-
Riyan Hadinafta. C24104023. Analisis Kebutuhan Oksigen Untuk
Dekomposisi Bahan Organik di Lapisan Dasar Perairan Estuari Sungai
Cisadane, Tangerang (Dibawah Bimbingan Yusli Wardiatno).
RINGKASAN
Sungai Cisadane merupakan salah satu sungai besar yang melalui
Kota Tangerang. Pesatnya kegiatan pembangunan, kegiatan domestik,
pertanian, perikanan serta kegiatan antropogenik lainnya di
sepanjang pinggiran sungai mengakibatkan peningkatan jumlah bahan
organik secara terus menerus pada aliran sungai dari limbah yang
dihasilkannya. Bahan organik yang masuk ke badan sungai dan
terakumulasi di bagian muara sungai akan berpengaruh kepada sistem
organik yang berlangsung di perairan tersebut. Sistem organik
perairan seperti proses fotosintesis, respirasi, dan dekomposisi
mengakibatkan terjadinya perubahan kandungan oksigen terlarut di
perairan tersebut. Oksigen terlarut di perairan akan cenderung
mengalami penurunan seiring dengan tingginya proses dekomposisi
bahan organik oleh dekomposer (mikroba akuatik). Penurunan oksigen
di perairan tidak hanya terjadi di kolom air, tetapi juga pada
dasar perairan yang lebih banyak disebabkan oleh proses dekomposisi
bahan organik yang membutuhkan oksigen terlarut di lapisan dekat
dasar. Besaran kebutuhan oksigen tersebut sangat erat kaitannya
dengan aktivitas dekomposer, yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah
dekomposer serta jenis dan jumlah bahan organik yang berada di
dasar perairan. Apabila penurunan oksigen di dasar perairan terus
berlangsung, bukan tidak mungkin terjadi defisit oksigen di dasar
perairan atau bahkan anoksik. Kondisi tersebut akan mempengaruhi
keseimbangan oksigen dan proses organik yang berlangsung di kolom
air. Maka dari itu, perlu diketahui berapa besar oksigen yang
diperlukan dalam dekomposisi bahan organik di sedimen muara sungai.
Penelitian dilakukan pada bulan September 2008 bertempat di
Laboratoruim Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan IPB. Contoh air dan contoh sedimen dikoleksi
dari kawasan muara Sungai Cisadane pada zona pencampuran (payau),
Desa Tanjung Burung, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten.
Bedasarkan hasil analisis pengukuran kebutuhan oksigen pada
dekomposisi bahan organik di sedimen muara Sungai Cisadane melalui
pengamatan laboratorium, menunjukkan bahwa nilai oksigen yang
terukur mencapai nilai nol (habis) dalam waktu empat hari. Nilai
kebutuhan oksigen yang terukur berkisar antara 4,267 mg/l 7,003
mg/l. Pemberian perlakuan yang berbeda pada pengamatan menujukkan
bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan antara sampel sedimen
dan air yang diaduk maupun yang tidak diaduk. Hal ini menunjukkan
bahwa kebutuhan oksigen di sedimen untuk dekomposisi bahan organik
di muara Sungai Cisadane dapat dikatakan sama, baik pada saat
terjadinya proses pengadukan maupun dalam kondisi tidak
teraduk.
-
ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI
LAPISAN DASAR PERAIRAN
ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG.
RIYAN HADINAFTA
C24104023
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN
ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2009
-
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Analisis Kebutuhan Oksigen Untuk Dekomposisi
Bahan Organik di Lapisan Dasar Perairan Estuari Sungai Cisadane,
Tangerang
Nama Mahasiswa : Riyan Hadinafta
Nomor Pokok : C24104023 Program Studi : Manajemen Sumberdaya
Perairan
Menyetujui:
Pembimbing
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP 131 956 708
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP 131 578 799
Tanggal Ujian : 16 Januari 2009
-
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
karunia
dan nikmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
Analisis
Kebutuhan Oksigen Untuk Dekomposisi Bahan Organik di Lapisan
Dasar
Perairan Estuari Sungai Cisadane, Tangerang. Skripsi ini
merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Semakin pesatnya pembangunan dan berkembangnya kegiatan yang
dilakukan masyarakat di sepanjang pinggiran sungai, memberikan
dampak yang
cukup serius terhadap kualitas perairan sungai tersebut,
termasuk kandungan
oksigen di sedimen.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
salah satu
acuan dalam upaya pengendalian pencemaran di estuari Sungai
Cisadane sebagai
bagian dari upaya pengelolaan perairan.
Bogor, Januari 2009
Penulis
-
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
:
1. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku dosen pembimbing,
atas
arahan, masukan, dan koreksi yang diberikan selama penulis
menyusun
skripsi ini.
2. Bapak Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc yang telah memberikan
kesempatan
kepada penulis untuk ikut serta dalam penelitian Muara Sungai
Cisadane.
3. Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil dan Bapak Ir. Zairion,
M.Sc selaku
dosen penguji tamu yang memberikan arahan, dan masukan yang
sangat
berarti dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Djamar T F Lumbanbatu, M.Sc selaku
dosen
pembimbing akademik, atas masukan dan saran selama penilis
menempuh
pendidikan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, IPB.
5. Seluruh dosen dan staf Departemen MSP.
6. Keluargaku (Ayahanda Damsir dan Ibunda Hernineng, kakak, dan
adik-
adikku), atas dukungan, doa dan kasih sayang tak terkira.
7. Wanitaku yang tangguh Dewi Mustika, atas uraian cerita
bahagia dan air
mata yang penuh makna. Berjuang dengan daya penuh tanpa
keluh.
8. Sahabat sekaligus saudara-saudaraku MSP angkatan 40, 41, 42,
43, atas
kebersamaan yang tak tergantikan, khususnya Dita, Irwan, Githa,
Weni,
dan Habib. Rekan rekan tim penelitian Muara Sungai Cisadane
(Dewi,
Nita, Mira. Faiz dan Hadi).
Bogor, Januari 2009
Riyan Hadinafta
-
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR
..............................................................................
UCAPAN TERIMA KASIH
....................................................................
DAFTAR ISI
.............................................................................................
DAFTAR TABEL
.....................................................................................
DAFTAR GAMBAR
................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN
............................................................................
I. PENDAHULUAN
........................................................................
1.1 Latar belakang
....................................................................
1.2 Perumusan masalah
............................................................ 1.3
Tujuan dan manfaat
............................................................
II. TINJAUAN PUSTAKA
.............................................................. 2.1
Karakteristik perairan estuari
............................................. 2.2 Oksigen terlarut
(DO) ......................................................... 2.3
Biochemical oxygen demand (BOD) ..................................
2.4 Sediment oxygen demand (SOD)
........................................ 2.5 Bahan organik di
perairan .................................................. 2.6
Meiofauna Bentik
............................................................... 2.7
Perairan estuari muara Sungai Cisadane
............................
III. METODE PENELITIAN
........................................................... 3.1
Waktu dan lokasi penelitian
............................................... 3.2 Alat dan bahan
....................................................................
3.3 Metode kerja
.......................................................................
3.3.1 Disain penelitian
........................................................ 3.3.2
Pengambilan contoh air dan sedimen ........................ 3.3.3
Pengamatan laboratorium
..........................................
3.4 Analisis data
.......................................................................
3.4.1 Nested Design
............................................................ 3.4.2
Kepadatan Meiofauna ...............................................
3.4.3 Kelimpahan Koloni Bakteri
......................................
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
....................................................
4.1 Hasil penelitian laboratorium
............................................. 4.1.1 Oksigen
terlarut (DO) ............................................ 4.1.2
Kandungan bahan organik ..................................... 4.1.3
Tekstur sedimen
..................................................... 4.1.4 Suhu
.......................................................................
4.2 Mikroorganisme bentik estuari Sungai
Cisadane................
i
ii
iii
v
vi
vii
1 1 2 3
4 4 5 6 7 7 9
10
11 11 11 11 11 13 13 15 15 17 17
18 18 18 23 26 28 29
-
4.2.1 Kepadatan total meiofauna
.................................... 4.2.2 Kelimpahan total koloni
bakteri ............................
4.3 Alternatif strategi perencanaan pengelolaan estuari Sungai
Cisadane
.................................................................
V. KESIMPULAN DAN SARAN
...................................................
5.1 Kesimpulan
.........................................................................
5.2 Saran
...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
...............................................................................
LAMPIRAN
..............................................................................................
RIWAYAT HIDUP
..................................................................................
30 32
34
35 35 35
36
39
58
-
DAFTAR TABEL
Halaman 1. 2. 3.
Analisis Sidik Ragam pada Nested design
..................................... Kebutuhan oksigen pada
perlakuan yang berbeda terhadap waktu pengamatan
...........................................................
Persentase jumlah kelompok meiofauna yang ditemukan pada stasiun
pengamatan ..............................................
16
20
31
-
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Diagram alir pendekatan studi keterkaitan limbah bahan organik
dengan kebutuhan oksigen di sedimen (SOD) ... Peta lokasi
pengambilan sampel ........... Grafik penurunan kandungan oksigen
pada perlakuan yang berbeda pada stasiun yangberbeda
...................................................................
Grafik kebutuhan oksigen harian pada perlakuan yang berbeda di
stasiun yang berbeda
.......................................................................
Kandungan bahan organik melalui analisis BOD5 pada pengamatan yang
berbeda terhadap waktu pengamatan
......................................... Persentase fraksi sedimen
pada stasiun yang berbeda ........................ Diagram Box Plot
suhu minimum-maksimum pada setiap waktu pengamatan
.........................................................................................
Kepadatan total meiofauna pada stasiun yang berbeda
...................... Kelimpahan total bakteri pada stasiun yang
berbeda .........................
3
12
19
22
25
27
29
31
33
-
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
17.
Tabel Sidik Ragam pengukuran oksigen dengan Nested Design
..............................................................................
Hasil uji-t total kelimpahan bakteri pada dua stasiun yang berbeda
.........................................................................................
Hasil uji-t kepadatan meiofauna pada dua stasiun yang berbeda
........................................................................................
Hasil uji-t kandungan bahan organik pada dua stasiun yang berbeda
................................................................................
Data nilai kandungan oksigen selama masa pengamatan ............
Data nilai BOD5 yang terukur pada awal dan akhir pengamatan
..................................................................................
Data suhu minimum dan maksimum yang diukur selama pengamatan (dalam
oCelsius) .......................................................
Data total koloni bakteri (dalam CFU/ml)
................................... Data meiofauna yang ditemukan
pada pengamatan .................... Segitiga Miller untuk
penentuan tipe sedimen pada stasiun 1
...............................................................................
Segitiga Miller untuk penentuan tipe sedimen pada stasiun 2
...............................................................................
Hasil uji t jenis sedimen pada dua stasiun yang berbeda
............ Gambar stasiun pengamatan
........................................................ Gambar
alat dan bahan yang digunakan selama penelitian ......... Tabel
pengukuran parameter kualitas air di lapangan .................
Gambar susunan akuarium selama pengamatan di laboratorium
.............................................................................
Tabel sidik ragam pengukuran kebutuhan oksigen harian
...........
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
-
18. 19.
Hasil analisis uji-t untuk pengukuan BOD pada stasiun 1
........... Hasil analisis uji-t untuk pengukuran BOD pada stasiun
2 .........
56
57
-
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sungai merupakan ekosistem perairan mengalir (lotik) yang
berfungsi
sebagai wadah untuk mengalirkan air dari suatu lokasi ke lokasi
lainnya dalam
jumlah yang tidak tetap, sehingga sering disebut sebagai
perairan yang dinamis
(Wetzel, 1983). Transportasi yang terjadi di sungai sebenarnya
bukan hanya
sekedar transportasi massa air, tetapi juga transportasi
bahan-bahan (material)
yang terkandung di dalamnya, termasuk bahan organik
(Sumawidjaya, 1978).
Bahan organik dalam jumlah tertentu akan berguna bagi perairan,
tetapi
apabila jumlah yang masuk melebihi daya dukung perairan maka
akan
mengganggu perairan itu sendiri. Gangguan tersebut berupa
pendangkalan dan
penurunan mutu air. Disamping itu ketersediaan oksigen di
perairan akan menjadi
terbatas akibat penguraian bahan organik, baik yang terjadi di
kolom air maupun
di sedimen.
Sedimen memiliki peran tersendiri bagi proses kimia yang
berlangsung di
perairan. Bahan-bahan (material) serta dekomposer yang memiliki
massa lebih
besar dari air akan mengendap di sedimen. Pada sedimen terjadi
proses
dekomposisi. Proses dekomposisi bahan organik di sedimen dapat
mempengaruhi
ketersediaan oksigen terlarut di kolom air. Apabila jumlah bahan
organik yang
mengendap sangat besar, bukan tidak mungkin kondisi perairan
akan menjadi
anoksik dan dihasilkannya gas-gas beracun, berbau atau
tercemar.
Sungai Cisadane merupakan salah satu sungai besar yang melalui
Kota
Tangerang. Pesatnya kegiatan pembangunan, kegiatan domestik,
pertanian,
perikanan serta kegiatan antropogenik lainnya di sepanjang
pinggiran sungai
mengakibatkan peningkatan jumlah bahan organik secara terus
menerus pada
aliran sungai dari limbah yang dihasilkannya.
Muara sungai (estuari) merupakan bagian sungai yang menerima
dampak
paling besar akibat pencemaran bahan organik, mengingat hampir
semua bahan
yang terbawa aliran sungai akan terakumulasi di muara. Akumulasi
bahan
-
organik di bagian muara sungai akan mengancam sistem ekologi dan
penurunan
kualitas perairan di wilayah tersebut.
1.2 Perumusan masalah
Permasalahan yang terjadi di muara sungai Cisadane adalah
pencemaran
bahan organik akibat limbah buangan antropogenik di sepanjang
aliran sungai.
Bahan organik yang masuk ke badan sungai dan terakumulasi di
bagian muara
sungai akan berpengaruh kepada sistem organik yang berlangsung
di perairan
tersebut. Sistem organik perairan seperti proses fotosintesis,
respirasi, dan
dekomposisi mengakibatkan terjadinya perubahan kandungan oksigen
terlarut di
perairan tersebut. Oksigen terlarut di perairan akan cenderung
mengalami
penurunan seiring dengan tingginya proses dekomposisi bahan
organik oleh
dekomposer (mikroba akuatik).
Penurunan oksigen di perairan tidak hanya terjadi di kolom air,
tetapi juga
pada dasar perairan yang lebih banyak disebabkan oleh proses
dekomposisi bahan
organik yang membutuhkan oksigen terlarut di lapisan dekat
dasar. Besaran
kebutuhan oksigen tersebut sangat erat kaitannya dengan
aktivitas dekomposer,
yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah dekomposer serta jenis
dan jumlah bahan
organik yang berada di dasar perairan. Apabila penurunan oksigen
di dasar
perairan terus berlangsung, bukan tidak mungkin terjadi defisit
oksigen di dasar
perairan atau bahkan anoksik. Kondisi tersebut akan
mempengaruhi
keseimbangan oksigen dan proses organik yang berlangsung di
kolom air. Maka
dari itu, perlu diketahui berapa besar oksigen yang diperlukan
dalam dekomposisi
bahan organik di sedimen muara sungai.
Secara skematik, kerangka pemikiran atau pendekatan studi
disajikan
berupa diagram alir pada Gambar 1.
1.3 Tujuan dan manfaat
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kebutuhan
oksigen
dalam dekomposisi bahan organik yang berlangsung di sedimen
muara Sungai
Cisadane, Tangerang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai
salah satu acuan dalam upaya pengendalian pencemaran di muara
Sungai
Cisadane sebagai bagian dari upaya pengelolaan perairan.
-
Sedimen Perairan
Gambar 1. Diagram alir pendekatan studi keterkaitan limbah bahan
organik dengan kebutuhan oksigen di sedimen (SOD)
Beban Limbah Antropogenik
Sediment Oxygen Demand (SOD)
? Oksigen Terlarut
(DO)
Organisme Bentik
Bahan Organik (BO)
-
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik perairan estuari Secara umum, estuari
diartikan sebagai wilayah perairan tempat
pencampuran antara air laut dan air tawar, sehingga
mengakibatkan daerah ini
mempunyai air yang bersalinitas lebih rendah dari pada lautan
terbuka (Hutabarat
dan Evans, 1985). Selain itu, Millero dan Sohn (1992)
mendefinisikan estuari
sebagai daerah pasang surut di muara sungai besar. Lengkapnya,
Ward dan
Montague (1996) menjelaskan bahwa daerah estuari pada umumnya
mencakup
pengertian-pengertian perairan pantai, semi tertutup,
berhubungan bebas dengan
laut terbuka, influx air laut (mengandung salinitas air laut),
influx air tawar
(pengenceran air laut oleh air tawar), dari kecil sampai
sedang.
Pada daerah perairan estuari terjadi fluktuasi perubahan
salinitas yang
berlangsung secara tetap yang berhubungan dengan gerakan air
pasang. Massa air
yang masuk ke dalam daerah estuari pada waktu terjadi air surut
hanya bersumber
dari air tawar, akibatnya salinitas air di daerah estuari pada
saat itu umumnya
rendah. Pada waktu air pasang, massa air masuk ke dalam estuari,
sehingga
mengakibatkan salinitasnya naik (Hutabarat dan Evans, 1985).
Berdasarkan distribusi sifat-sifat perairan, estuari dapat
diklasifikasikan
sebagai estuari yang tercampur secara vertikal, sedikit
terstratifikasi, sangat
terstratifikasi, dan estuari baji garam (Millero dan Shon,
1992). Pada umumnya,
estuari yang sangat terstratifikasi relatif tidak terlalu rentan
terhadap pencemaran
sehubungan dengan laju pembilasannya yang lebih cepat. Walaupun
dari sisi lain,
aliran dasarnya dapat membalikkan limbah yang terendap, dan
massa air bagian
bawah yang bersalinitas lebih tinggi tersebut bergerak ke arah
daratan dengan
membawa sedimen yang dapat menyebabkan gundukan yang menghalangi
aliran
di muara (Clark, 1974).
Millero dan Sohn (1992) mengklasifikasikan estuari ke dalam dua
tipe:
pertama, estuari positif yaitu estuari yang memiliki salinitas
lebih rendah
dibanding salinitas laut karena curah hujan dan masukan air
tawar yang tinggi.
Kedua, estuari negatif yaitu estuari dengan salinitas yang lebih
rendah dibanding
-
salinitas laut akibat evaporasi yang tinggi dan presipitasi
serta masukan air tawar
yang sedikit.
Meskipun estuari merupakan suatu tempat yang sulit untuk di
tempati,
daerah ini memiliki tingkat produktifitas yang tinggi. Sehingga
secara ekologis
daerah estuari merupakan tempat hidup yang baik bagi populasi
ikan, tempat
berpijah dan membesarkan anak anak-anak ikan (Hutabarat dan
Evans, 1985).
2.2 Oksigen terlarut (DO) Oksigen merupakan gas yang memiliki
peranan sangat besar bagi
kehidupan akuatik (Eriksen et al., 1996 in Hauer dan Lamberti,
1996).
Keberadaan oksigen di perairan dipengaruhi oleh tekanan gas atau
atmosfer,
temperatur dan salinitas dari perairan serta pencampuran dan
pergerakan massa air
yang mengakibatkan kadar oksigen berfluktuasi secara harian
maupun musiman.
Oksigen di perairan berasal dari hasil proses fotosintesis
fitoplankton dan
tumbuhan air serta difusi langsung dari udara. Sedangkan
kehilangan oksigen
disebabkan oleh penggunaannya untuk respirasi biota, oksidasi
bahan organik
(BOD) baik di kolom perairan maupuan di sedimen (Effendi,
2003).
Keadaan perairan dengan kadar oksigen yang sangat rendah
berbahaya
bagi organisme akuatik. Semakin rendah kadar oksigen terlarut,
semakin tinggi
toksisitas (daya racun) (Effendi, 2003). Wetzel (1983)
menjelaskan bahwa
konsumsi oksigen di perairan yang paling besar adalah di sedimen
dan kolom air
dekat sedimen, dimana terjadi akumulasi bahan organik dan
metabolisme bakteri
yang intensif. Selain itu, respirasi oleh fauna bentik perairan
juga berpengaruh
terhadap berkurangnya oksigen di sedimen.
Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat
mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob).
Selain itu,
kelarutan oksigen dan gas-gas lain juga berkurang dengan
meningkatnya salinitas
sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah dari pada
kadar oksigen di
perairan tawar (Richard dan Corwin, 1956 in Weber, 1991).
Deplesi oksigen merupakan salah satu fenomena yang cukup menarik
yang
terjadi di estuari sungai tropis. Kondisi ini sebagian besar
disebabkan oleh
masukan bahan organik yang terakumulasi di mulut sungai,
sehingga berakibat
-
pada keseimbangan oksigen di perairan (Wilson dan Halcrow,
1985).
Keseimbangan oksigen merupakan parameter kualitas air yang
penting di perairan
sungai dan estuari. Meningkatnya produktifitas dari fitoplankton
akan memicu
peningkatan kandungan oksigen di perairan ini. Sebaliknya
masukan limbah
antropogenik justru meningkatkan kebutuhan akan oksigen,
sehingga kandungan
oskigen menjadi menurun. Di samping itu, sebagai kawasan
pencampuran,
keseimbangan oksigen di estuari juga dipengaruhi oleh pasang
surut, debit
masukan air sungai, kandungan bahan organik total, serta
kecepatan arus
(Novotny dan Olem, 1994).
2.3 Biochemical oxygen demand (BOD) BOD merupakan gambaran kadar
bahan organik, yaitu jumlah oksigen
yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan
organik menjadi
karbondioksida dan air (Davis dan Cornwell, 1991 in Effendi,
2003). Dengan
kata lain, BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh
proses
respirasi mikroba aerob yang terdapat dalam botol BOD yang
diinkubasi pada
suhu sekitar 20o C selama lima hari, dalam keadaan tanpa cahaya.
Nilai BOD
perairan dipengaruhi oleh suhu, densitas plankton, keberadaan
mikroba, serta jenis
dan kandungan bahan organik (Boyd, 1988).
Lebih jauh Effendi (2003) menjelaskan bahwa dekomposisi bahan
organik
pada dasarnya terjadi melalui dua tahap. Pada tahap pertama,
bahan organik
diuraikan menjadi bahan anorganik. Pada tahap kedua, bahan
anorganik yang
tidak stabil mengalami oksidasi menjadi bahan anorganik yang
lebih stabil. Pada
penentuan nilai BOD, hanya dekomposisi tahap pertama yang
berperan,
sedangkan oksidasi bahan anorganik dianggap sebagai
pengganggu.
Makin besar nilai BOD, menunjukkan makin besarnya aktivitas
mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik. Nilai BOD yang
besar tidak
baik bagi kehidupan organisme perairan. Perairan alami yang baik
untuk
perikanan memiliki nilai kisaran BOD antara 0,5 7,0 mg/l dan
perairan dengan
nilai BOD melebihi 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran
(Jeffries dan
Mills, 1996).
-
2.4 Sediment oxygen demand (SOD) SOD (Sediment Oxygen Demand)
dapat diartikan sebagai jumlah
kandungan oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk proses-proses
biologi,
biokimia, dan proses kimiawi yang terjadi di sedimen dan lapisan
air paling
bawah. Proses tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan
kandungan oksigen
terlarut di lapisan dasar perairan. Penurunan oksigen di sedimen
disebabkan oleh
respirasi biologis organisme bentik dan proses biokimia oleh
bakteri
(dekomposisi) terhadap masukan bahan organik yang terperangkap
di sedimen.
Selain itu, proses oksidasi seperti nitrifikasi yang mengubah
amonia menjadi
nitrat juga memberikan sumbangan terhadap penurunan kadar
oksiden di sedimen.
Namun, proses ini sangat kecil sekali pengaruhnya terhadap SOD.
Penurunan
oksigen di perairan tergantung oleh laju penurunan oksigen
(g/m/hari), tinggi
kolom air pada lapisan di atas sedimen, serta lamanya waktu
pemanfaatan oksigen
dalam proses yang berlangsung di sedimen (Web-1).
Secara umum, nilai kebutuhan oksigen di sedimen turut
dipengaruhi pula
oleh kondisi fisik perairan, seperti jenis substrat sungai dan
arus. Sungai yang
memiliki kecepatan arus yang tinggi serta jenis sedimen berbatu,
biasanya
memiliki kebutuhan oksigen sedimen yang rendah atau bahkan nol.
Proses
dekomposisi, baik aerob maupun anaerob merupakan faktor utama
yang
mempengaruhi jumlah kebutuhan oksigen di sedimen (Novotny dan
Olem, 1994).
Lebih jauh Novonty dan Olem (1994) menjelaskan bahwa
penelitian
mengenai kebutuhan oksigen di sedimen perairan perlu dilakukan
sebagai dasar
untuk mengetahui keseimbangan oksigen di perairan. Di estuari,
keseimbangan
oksigen dipengaruhi oleh besaran kebutuhan oksigen di badan
perairan dan di
sedimen, sumbangan oksigen bagi perairan dari difusi dan hasil
fotosintesis, arus,
serta pasang surut.
2.5 Bahan organik di perairan
Aktivitas antropogenik menghasilkan limbah yang biasanya dibuang
ke
sungai, hal ini dapat menjadi penyebab pencemaran. Pencemaran
adalah
masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau
komponen
lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air
turun sampai ke
-
tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi
sesuai dengan
peruntukannya (PPRI, 2001). Salah satu jenis pencemaran adalah
pencemaran
bahan organik.
Semua bahan organik mengandung karbon (C) berkombinasi dengan
satu
atau lebih elemen lainnya. Menurut Dugan (1972) in Effendi
(2003) biasanya
bahan organik tersebut tersusun atas polisakarida (karbohidrat),
polipeptida
(protein), lemak (fats), dan nucleid acid. Bahan organik disuatu
perairan lebih
banyak terdapat dalam bentuk terlarut dibandingkan dalam bentuk
tersuspensi
atau koloid (Hynes, 1972). Bahan organik berasal dari tiga
sumber utama sebagai
berikut (Sawyer dan McCarty, 1978 in Effendi, 2003) :
1. Alam, misalnya fiber, minyak nabati dan hewani, lemak
hewani,
alkaloid, selulosa, kanji, gula, dan sebagainya.
2. Sintesis, yang meliputi semua bahan organik yang diproses
oleh
manusia.
3. Fermentasi, misalnya alkohol, aseton, gliserol, antibiotik,
dan asam;
yang semuanya diperoleh melalui aktivitas mikroorganisme.
Bahan organik yang belum terolah jika dibuang ke badan air
akan
diuraikan oleh bakteri dengan menggunakan oksigen untuk proses
pembusukan
bahan-bahan organik tersebut (Sugiharto, 1987 in Jumeneng,
2007). Berdasarkan
sifatnya, bahan organik dibedakan menjadi dua macam, yaitu
(Wardoyo, 1975) :
a. Bahan organik tak mudah urai, diantaranya senyawa-senyawa
aromatik seperti minyak, deterjen, dan pestisida yang
merupakan
limbah organik beracun.
b. Bahan organik mudah urai, diantaranya sampah rumah
tangga,
kotoran hewan dan manusia, sampah, dan limbah pertanian dan
berbagai jenis limbah industri seperti makanan, tekstil, dan
sebagainya.
Kandungan bahan organik di perairan akan mengalami fluktuasi
yang
disebabkan bervariasinya jumlah masukan baik dari domestik,
pertanian, industri
maupun sumber lainnya. Kandungan bahan organik dalam perairan
akan
mengalami peningkatan yang disebabkan buangan dari rumah tangga,
pertanian,
industri, hujan, dan aliran air permukaan. Pada musim kemarau
kandungan bahan
-
organik akan meningkat sehingga akan meningkatkan pula kandungan
unsur hara
perairan dan sebaliknya pada musim hujan akan terjadi penurunan
karena adanya
proses pengenceran (Wardoyo, 1975).
Pada perairan mengalir, jumlah kandungan bahan organik
penting
diketahui untuk menentukan sumber dan peluruhan bahan organik
tersebut,
mengingat kondisi ekosistem perairan mengalir yang sangat
dinamis. Bahan
organik di perairan mengalir dapat bersumber dari lingkungan
teresterial di
sekitarnya dan akibat transportasi dari angin, air dan
pengendapan langsung
(Hauer dan Lamberti, 1996).
Estuari sungai bisa dikatakan bagian sungai yang memiliki
konsentrasi
bahan organik cukup besar, yang berasal dari masukan air tawar
dan air laut. Hal
ini disebabkan kondisi dinamis yang dimiliki oleh ekosistem ini.
Jenis dan jumlah
kandungan bahan organiknya juga beragam, tergantung lokasi dan
tipe estuari
tersebut (Reid, 1961).
2.6 Meiofauna Bentik
Meiofauna adalah salah satu dari berbagai kelompok organisme
yang
hidup di dasar perairan. Meiofauna yang hidup di dasar perairan
ini dikenal juga
dengan sebutan meiobenthos. Istilah meiofauna atau meiobenthos
diberikan
kepada organisme bentik yang memiliki ukuran atau dimensi 1 mm
(Higgins
dan Thiel, 1988).
Kennish (1990) mengelompokkan meiofauna menjadi dua kategori,
yaitu
meiobenthos temporer dan meiobenthos permanen. Meiobenthos
temporer adalah
meiofauna yang hanya menghabiskan sebagian dari daur hidupnya
sebagai
meiofauna, biasanya berupa larva makrofauna. Meiobenthos
permanen adalah
meiofauna yang seluruh daur hidupnya berupa meiofauna. Di
sedimen, meiofauna
kebanyakan hidup pada bagian atas substrat. Lebih dari 90%
meiobentos
terkonsentrasi sampai kedalaman 1 cm di sedimen.
Kennish (1990) juga menambahkan bahwa keanekaragaman jenis
meiofauna di estuari sangatlah besar. Hal tersebut disebabkan
oleh tingkat
kecocokan jenis atau tipe substrat tempat hidup meiofauna
tersebut.
-
2.7 Perairan estuari Sungai Cisadane
Sungai Cisadane merupakan salah satu sungai utama di Propinsi
Jawa
Barat dan Banten yang bersumber dari Gunung Salak dan Gunung
Pangrango
Kabupaten Bogor dan mengalir menuju Laut Jawa. Sungai ini
memiliki daerah
tangkapan seluas 1.100 km2 dan panjang sekitar 80 km. Debit
aliran Sungai
Cisadane berfluktuasi tergantung curah hujan di daerah
tangkapannya.
Berdasarkan data pemantauan di Stasiun Pengamat Serpong, debit
terendah
tercatat sebesar 2,93 m3/detik di tahun 1991 dan tertinggi
973,35 m3/detik pada
tahun 1997. Sedangkan rata-rata debit minimum antara tahun 1981
1997 pada
bulan Juli dan September berada di bawah 25 m3/detik. Pada saat
ini Sungai
Cisadane dimanfaatkan sebagai sumber air bagi kegiatan industri,
irigasi, dan air
minum (Web-2).
Bagian hilir Sungai Cisadane terletak di Kecamatan Teluk
Naga,
Kabupaten Tangerang. Aliran air dari Sungai ini bermuara ke Laut
Jawa.
Menurut Idawati (1999) kondisi Muara Sungai Cisadane banyak
dipengaruhi oleh
kegiatan penduduk yang dilakukan di sepanjang sisi sungai.
Kegiatan tersebut
berupa pertambakan udang, ikan, penambangan pasir, perkebunan
kelapa,
pertanian, peternakan, serta kegiatan indistri pembutan kapal
motor.
Menurut SK. Gubernur Jawa Barat No.38 Tahun 1991 in Anggoro
(2004)
tentang peruntukan air dan baku mutu cair pada sumber air di
Jawa Barat, Sungai
Cisadane ditetapkan bagi peruntukan air golongan B (air baku
minum), golongan
C (air untuk keperluan perikanan dan peternakan) dan golongan D
(air untuk
keperluan pertanian, usaha perkotaan, industri dan Pembangkit
Listrik Tenaga
Air).
-
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan lokasi penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan September 2008 bertempat di
Laboratorium Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen
Sumberdaya
Perairan IPB. Contoh air dan contoh sedimen dikoleksi dari
kawasan muara
Sungai Cisadane pada zona pencampuran (payau), Desa Tanjung
Burung,
Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten (Gambar 2).
Stasiun 1 merupakan lokasi pengambilan sampel yang lebih dekat
ke arah
tawar, sedangkan stasiun 2 merupakan merupakan titik pengambilan
sampel yang
berada lebih dekat ke arah laut. Selain itu, stasiun 1 merupakan
lokasi
pengambilan sampel yang menjadi tempat pembuangan langsung
limbah atau
kotoran hasil peternakan sapi. Sedangkan pada stasiun 2
merupakan lokasi
pengambilan sampel yang dekat dengan tempat pembuangan limbah
hasil
pertambangan pasir yang berlangsung di sisi sungai (Lampiran
13).
3.2 Alat dan bahan
Bahan penelitian adalah contoh air dan contoh sedimen dari
stasiun
terpilih di estuari (Gambar 2). Bahan lainnya adalah bahan kimia
untuk keperluan
peneraan kadar oksigen terlarut serta bahan untuk pengawetan
sampel bakteri dan
meiofauna. Alat yang digunakan meliputi, pengambil contoh
sedimen, pengambil
contoh air, wadah sampel yaitu jerigen dan plastik, akuarium,
thermometer
minimum-maksimum, DO meter, botol BOD, inkubator, dan peralatan
titrasi
peneraan DO, media agar penumbuh bakteri, serta mikroskop.
3.3 Metode kerja
3.3.1 Disain penelitian
Penelitian berupa pengamatan terhadap kandungan oksigen terlarut
pada media
akuarium dengan tiga perlakuan yang berbeda, yang terdiri dari
:
-
Gambar 2. Peta lokasi pengambilan sampel
Stasiun 1
Stasiun 2
-
(1) akuarium dengan contoh air saja, (2) akuarium dengan contoh
air dan sedimen,
tanpa pencampuran, (3) akuarium dengan contoh air dan sedimen
dengan
pencampuran. Masing-masing perlakuan mewakili dua stasiun
pengambilan
sampel dengan tiga ulangan. Selain itu dilakukan pula pengamatan
terhadap
jumlah total bakteri dan meiofauna yang terdapat di sedimen pada
setiap stasiun
pengambilan sampel.
Variabel yang ditera pada setiap akuarium adalah DO dan BOD
serta
temperatur, sedangkan variabel kerja yang diamati adalah besaran
kebutuhan
oksigen untuk dekomposisi hingga bahan organik mudah urai di
sedimen habis
(mendekati nol). Disain penelitian ini adalah Nested design
(rancangan acak
bersarang) .
3.3.2 Pengambilan contoh air dan sedimen
Pengambilan contoh air dan sedimen dilakukan pada dua stasiun
yang
telah ditentukan di bagian estuari Sungai Cisadane. Jumlah
contoh sedimen dan
air yang diambil disesuaikan dengan perlakuan yang ada, yaitu
sebanyak 100 liter
contoh air dan 40.500 cm3 contoh sedimen di setiap stasiun.
Contoh air dikoleksi
dengan menggunakan alat pengambil contoh air pada kedalaman
sekitar 20 cm
dekat dasar, yaitu seperangkat pompa yang dilengkapi dengan
selang.
Selanjutnya, contoh air yang telah diambil kemudian dimasukkan
ke dalam
jerigen plastik berukuran 20 liter yang telah diberi label.
Contoh sedimen diambil
dengan Van Veen Grab berukuran 26 cm x13 cm. Contoh sedimen
yang
diperoleh dimasukkan ke dalam plastik yang telah diberi label,
kemudian
dibungkus dengan plastik berwarna gelap dan disimpan ke dalam
kotak pendingin
(cool box) yang telah diberi es batu untuk segera diangkut ke
laboratorium.
Contoh sedimen yang diperlukan dalam analisis kelimpahan
meiofauna, terlebih
dahulu diawetkan dengan formalin 5%. Selain itu, di lapangan
dilakukan juga
pengukuran suhu, salinitas, pH, serta DO.
3.3.3 Pengamatan laboratorium Pengamatan contoh air dan sedimen
di laboratorium dilakukan dengan
menggunakan media akuarium yang telah diberi label sesuai dengan
stasiun, jenis
-
perlakuan dan ulangan. Sebelum pengamatan dilakukan, contoh air
terlebih
dahulu dipanaskan sampai suhu 100o C dan kemudian didiamkan
selama 5 menit.
Contoh sedimen yang telah dikeluarkan dari cool box terlebih
dahulu
diaklimatisasi pada suhu ruangan.
Untuk perlakuan (1), akuarium hanya diisi dengan contoh air
saja. Contoh
air dimasukkan ke dalam akuarium setinggi 20 cm. Untuk perlakuan
(2),
akuarium terlebih dahulu diisi dengan sedimen setinggi 5 cm
kemudian
dimasukkan contoh air secara perlahan setinggi 15 cm, kemudian
diaduk. Untuk
perlakuan (3), akuarium terlebih dahulu diisi dengan sedimen
setinggi 5 cm
kemudian dimasukkan contoh air setelah sebelumnya sedimen
dilapisi dengan
plastik. Plastik kemudian diangkat secara perlahan dan
diupayakan sedimen dan
air tidak tercampur. Untuk menghindari terjadinya penambahan
oksigen akibat
proses fotosintesis, pengamatan dilakukan di ruang gelap dan
semua akuarium
pengamatan dilapisi dengan plastik berwarna hitam (Lampiran
16).
Penelitian laboratorium dilakukan untuk melihat besaran
penggunaan
oksigen disetiap akuarium sampai habis atau mendekati nol akibat
proses
dekomposisi. Nilai penggunaan tersebut diukur dengan menggunakan
metode
titrasi Winkler dan DO meter. Pengukuran DO pada setiap
perlakuan dilakukan
setiap hari pada jam yang sama. Frekuensi pengukuran akan
ditambah pada hari
dimana jumlah oksigen akan habis atau mendekati nol, yaitu tiga
kali pengamatan
pada pagi, siang, dan sore hari. Selain DO, dilakukan juga
pengukuran nilai BOD pada hari ke- 5 (BOD5). Suhu pada akuarium
disetiap perlakuan diukur dengan
menggunakan termometer minimum-maksimum setiap harinya.
Pengukuran suhu
minimum-maksimum dilakukan secara acak untuk ulangan yang
berbeda pada
perlakuan yang sama.
Penelitian penunjang bertujuan untuk mengetahui kepadatan
total
meiofauna dan kelimpahan total bakteri pada setiap stasiun.
Dalam perhitungan
jumlah total meiofauna, metode yang digunakan adalah metode
sensus, yaitu
dengan menghitung jumlah total meiofauna yang tampak pada luas
pandang
mikroskop per volume botol sampel pada perbesaran 10 kali
(Higgins, 1988).
Perhitungan bakteri diukur dengan menghitung jumlah koloni
bakteri dengan
metode hitungan cawan. Metode ini dilakukan dengan cara metode
tuang.
-
Caranya adalah dengan mengencerkan sampel menggunakan pengencer
buffer
(larutan fisiologis 0,85%) sampai pengenceran yang diinginkan
(10-1, 10-2, 10-3,
10-4, 10-5, 10-6, 10-7, 10-8, 10-9). Untuk menumbuhkan total
bakteri, digunakan
media agar TSA (Tryptic Soy Agar). Dari pengencer 10-5, pipet
0,1 ml lalu tanam
pada media TSA. Setelah itu, cawan petri tersebut diberi nama
dan diinkubasi
pada suhu 36,5 C selama 24-48 jam (Fardiaz, 1989 in Muchtar,
2007).
3.4 Analisis data 3.4.1 Nested design
Data yang diperoleh akan diuji secara statistik dengan model
Nested
design (Rancangan Acak Bersarang). Rancangan ini dicirikan oleh
adanya
perlakuan induk yang di dalamnya juga diberikan
perlakuan-perlakuan pada setiap
kelompok pengamatan. Melalui pengelompokkan yang tepat dan
efektif, maka
rancangan ini dapat mengurangi galat percobaan (Krebs, 1990)
:
Yijk = + i + j(i)+ ijk
Keterangan :
Yijk = respon DO pada perlakuan ke-i, hari ke-j; i = perlakuan
induk ke-i (i = 1, 2); j(i) = anak perlakuan ke-j dalam perlakuan
induk ke-i (j = 1, 2, 3); ijk = sisa.
Hipotesis yang diuji dari Nested design adalah pengaruh
perlakuan induk
dan pengaruh anak perlakuan. Bentuk hipotesisnya dapat ditulis
sebagai berikut :
Pengaruh perlakuan induk terhadap penurunan oksigen :
Ho : tidak ada i (perlakuan induk ) yang memberikan pengaruh
terhadap
respon Y.
H1 : minimal ada satu i (perlakuan induk) yang memberikan
terhadap
respon Y.
Pengaruh anak perlakuan terhadap penurunan oksigen:
Ho : tidak ada j (kelompok waktu pengamatan) yang memberikan
hasil
yang berbeda nyata dari kontrol.
H1 : minimal ada satu j (kelompok waktu pengamatan) yang
memberikan
hasil yang berbeda nyata dari kontrol.
-
Tabel 1. Analisis Sidik Ragam pada Nested design
Sumber Keragaman DB JK KT F Hit F Tab
Perlakuan Induk
I-1 JKP KTP KTP/KTS F(0.05;dbp;dbs)
Anak Perlakuan
J-1 JKK KTK KTP/KTS
Sisa (ij-1)-(i-1)-(j-1) JKS KTS Total Ij-1 JKT
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hipotesis di atas
adalah :
Jika F Hit < F Tab, maka gagal tolak Ho, yang berarti tidak
ada perbedaan yang
nyata antara nilai penurunan oksigen yang terukur pada perlakuan
dengan yang
terukur pada kontrol. Jika, F Hit > F Tab, maka tolak Ho,
yang berarti ada
perbedaan yang nyata antara nilai penurunan oksigen yang terukur
pada perlakuan
dengan yang terukur pada kontrol.
Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) digunakan untuk menguji
perlakuan
secara berpasang-pasangan, setiap pasangan memiliki galat jenis
I sebesar . Hal
ini berarti semakin besar jumlah perlakuan yang akan
dibandingkan akan
mengakibatkan kesalahannya juga semakin besar.
Jika masing-masing perlakuan memiliki ulangan yang sama, maka
untuk
semua pasangan perlakuan hanya memerlukan satu nilai BNT
sebagai
pembanding. Kriteria pengambilan keputusan adalah : jika beda
absolut dari dua
perlakuan lebih besar dari BNT (|YI-YI| > BNT) maka dapat
disimpulkan bahwa
kedua perlakuan tersebut berbeda nyata pada taraf . Formula
untuk uji BNT
adalah:
(t/2,dbs) . ( nkts2 )
dimana n adalah jumlah ulangan dan t/2 adalah tabel BNT,
sedangkan KTS
adalah kuadrat tengah sisa (Fowler dan Cohen, 1990).
Steel dan Torrie (1980) menjelaskan bahwa dalam analisis
statistik,
pengujian terhadap dua sebaran data dilakukan untuk mengetahui
apakah terdapat
-
perbedaan yang signifikan antara kedua sebaran data tersebut.
Uji ini dilakukan
dengan membagi selisih nilai tengah antara kedua sebaran data
dengan standar
eror dari selisih kedua sebaran data tersebut (uji-t). Hipotesis
yang dapat
diberikan adalah sebagai berikut :
Ho : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua
sebaran
data.
H1 : Terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua sebaran
data.
Berdasarkan hipotesis di atas, kaidah keputusan yang diambil
adalah:
thitung > ttabel : tolak hipotesa Ho
thitung < ttabel : gagal tolak hipotesis Ho
3.4.2 Kepadatan meiofauna Kepadatan total meiofauna ditentukan
dengan menghitung jumlah total
meiofauna yang tampak pada mikroskop pada setiap sampel
pengamatan. Dengan
mengetahui besar luasan pengambilan sampel (lingkaran core),
maka total
kepadatan meiofauna dapat diestimasi dengan rumus sebagai
berikut (Higgins dan
Thiel, 1988) :
bxaK 1000
Keterangan : K = kepadatan meiofauna (individu/m2) b = luas
lingkaran core (cm2) a = jumlah meiofauna yang dihitung (individu)
1000 = nilai konversi
3.4.3 Kelimpahan koloni bakteri Perhitungan jumlah koloni
bakteri dilakukan dengan menghitung jumlah
unit bakteri yang tumbuh pada media agar setelah masa inkubasi.
Collins et al.
(1995) menjelaskan bahwa bakteri terpisah dalam koloni-koloni,
satu koloni dapat
berisi satu jenis organisme atau bahkan ribuan organisme
bakteri. Setiap koloni
yang tumbuh dibentuk oleh satu unit. Satu unit koloni bakteri
ini dinyatakan
dalam satuan colony-forming units (cfu). Jumlah total koloni
bakteri dapat
diestimasi dengan membagi jumlah koloni yang terdapat pada media
agar dengan
nilai pengenceran yang digunakan.
-
Hasil perhitungan ini dinyatakan dalam colony-forming units
(cfu)/ml atau
sebagai viable count/ml bukan sebagai bacteria/gr atau
bacteria/ml. Jika koloni
dalam cawan petri lebih dari 300 koloni maka perhitungan dapat
menggunakan
pembagian kuadran, misalnya seperempat atau seperdelapan
pembagian area
perhintungan (Collins et al., 1995).
-
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil penelitian laboratorium
4.1.1 Oksigen terlarut (DO)
Pengamatan terhadap kandungan oksigen dalam akuarium pada
masing-
masing perlakuan, memperlihatkan adanya penurunan kandungan
oksigen dengan
waktu pengamatan yang berbeda. Penurunan tertinggi diperlihatkan
oleh
perlakuan (2) dan perlakuan (3). Sementara untuk perlakuan (1)
mengalami
penurunan lebih rendah. Penurunan oksigen ini dikarenakan
penggunaannya
untuk dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme di sedimen.
Pada
perlakuan yang diberi sedimen, kadar oksigen mencapai nilai 0
pada hari ke empat
(setelah 96 jam masa pengamatan) (Gambar 3).
Bahan organik yang terdapat di sedimen diuraikan oleh
mikroorganisme
dengan memanfaatkan oksigen yang terdapat pada lapisan air di
atasnya (bottom
layer water). Nilai penurunan oksigen tersebut menggambarkan
jumlah oksigen
yang dibutuhkan oleh dekomposer dalam mendekomposisi bahan
organik yang
ada. Nilai kebutuhan oksigen tersebut, disajikan pada Tabel
2.
Substrat sungai yang lebih halus memiliki kecenderungan
untuk
menangkap bahan organik lebih banyak (Reid, 1961). Hal ini juga
diperlihatkan
oleh jenis sedimen dasar yang ditemukan pada kedua stasiun yang
didominasi
oleh liat dan debu (Gambar 6). Tingginya bahan organik yang
terjebak di
sedimen sungai menyebabkan proses dekomposisi oleh
mikroorganisme akuatik
juga menjadi tinggi. Sehingga, kondisi anoksik pada pengamatan
diperoleh pada
hari ke empat pengamatan.
Tebbut (1992) in Effendi (2003) menjelaskan bahwa proses
dekomposisi
bahan organik akan terus berlangsung meskipun tanpa oksigen.
Kondisi ini
disebut dekomposisi anaerob. Dekomposisi anaerob sangat
merugikan karena
manghasilkan produk zat beracun dan berbahaya seperti alkohol
dan asam, yang
dapat berupa CH4, H2S, NH3, CO2, dan H2O.
-
Waktu pengamatan (jam ke-)
Oks
igen
(mg/
l)
0
2
4
6
8
Perlakuan (1)Perlakuan (2)Perlakuan (3)
24 48 72 960
Stasiun 1
Waktu pengamatan (Jam ke-)
Oks
igen
(mg/
l)
0
2
4
6
8Perlakuan (1)Perlakuan (2)Perlakuan (3)
24 48 72 960
Stasiun 2
Keterangan : (1) = Akuarium berisi air sampel saja (2) =
Akuarium berisi air sampel dan sedimen tanpa diaduk (3) = Akuarium
berisi air sampel dan sedimen yang diaduk
Gambar 3. Grafik penurunan kandungan oksigen pada perlakuan
yang berbeda pada stasiun yang berbeda
-
Tabel 2. Kebutuhan oksigen pada perlakuan yang berbeda terhadap
waktu pengamatan.
Perlakuan
Stasiun 1 Stasiun 2
Jam ke-
24 48 72 96 24 48 72 96
(1) 0,867 1,533 2,600 4,533 1,033 1,600 2,533 4,267
(2) 3,467 5,133 5,833 7,000 2,733 4,433 5,600 6,733
(3) 3,133 4,233 5,400 7,033 2,867 4,133 5,433 6,800
Keterangan : (1) = Akuarium berisi air sampel saja (2) =
Akuarium berisi air sampel dan sedimen tanpa diaduk (3) = Akuarium
berisi air sampel dan sedimen yang diaduk
Pada stasiun 1, nilai kebutuhan oksigen yang diperoleh selama
masa
pengamatan bisa dikatakan hampir sama pada perlakuan (2) dan
(3), yaitu masing-
masing sebesar 7,000 dan 7,033. Demikian juga dengan nilai
kebutuhan oksigen
pada stasiun 2, yaitu sebesar 6,733 dan 6,800 masing-masing
untuk perlakuan (2)
dan (3). Secara umum, nilai kebutuhan oksigen pada stasiun 1
bisa dikatakan
lebih besar dibandingkan dengan stasiun 2 (Tabel 2). Hal ini
menunjukkan
jumlah bahan organik yang terdapat di sedimen pada stasiun 1
lebih besar
dibanding stasiun 2. Perbedaan jumlah bahan organik itu diduga
terjadi karena
adanya perbedaan masukan bahan organik di antara kedua stasiun
pengamatan.
Stasiun 1 merupakan bagian sungai yang menjadi tempat pembuangan
limbah
hasil perternakan sapi yang berada di sisi sungai. Sedangkan
stasiun 2 adalah
kawasan estuari yang terletak lebih dekat dengan muara
sungai.
Dari Tabel 3 terlihat bahwa pada kedua stasiun, untuk perlakuan
(1) saja
membutuhan oksigen sebanyak 4,533 mg/l untuk stasiun 1 dan 4,267
mg/l untuk
stasiun 2. Sedangkan untuk perlakuan (2) dan (3) membutuhkan
oksigen lebih
banyak, masing-masing 7,000 mg/l dan 7,033 mg/l untuk stasiun 1
dan 6,733 mg/l
dan 6,800 mg/l untuk stasiun 2. Tingginya oksigen yang
dibutuhkan pada
perlakuan (2) dan (3) menunjukkan aktifitas dekomposisi oleh
mikroba yang
cukup tinggi pula di sedimen.
-
Analisis statistik dengan menggunakan Nested design
menunjukkan
adanya pengaruh nyata yang diberikan oleh setiap anak perlakuan
terhadap
penurunan kadar oksigen pada waktu pengamatan yang berbeda
disetiap stasiun
dengan nilai P < 1,0. Akan tetapi, pada perlakuan induk
diperoleh pengaruh yang
tidak nyata yang diperlihatkan oleh kedua stasiun dengan nilai P
> 0,1 (Lampiran
1). Ini memunjukkan bahwa kebutuhan oksigen di lapisan dasar
perairan estuari
Sungai Cisadane dapat dikatakan hampir sama, baik di stasiun 1
maupun di
stasiun 2.
Uji lanjut dengan menggunakan BNT (Beda Nilai Terkecil) terhadap
anak
perlakuan pada selang kepercayaan 90% , menunjukkan adanya
perbedaan yang
signifikan antara perlakuan yang diperlihatkan oleh kontrol
(perlakuan 1) dengan
perlakuan 2 dan 3. Sedangkan untuk masing-masing perlakuan 2 dan
3
menunjukkan respon yang tidak berbeda nyata antar perlakuan
(Lampiran 1). Hal
ini menunjukkan bahwa konsumsi oksigen yang berlangsung di
sedimen baik
dengan kondisi teraduk maupun tidak teraduk, bisa dikatakan
hampir sama.
Kondisi tersebut diduga karena tingginya proses dekomposisi yang
berlangsung di
lapisan air dekat dasar akibat kelimpahan bakteri serta
kandungan bahan organik
yang cukup besar. Selain itu, pengadukan yang hanya dilakuakan
pada awal
pengamatan juga diduga menyebabkan nilai kebutuhan antara
perlakuan 2 dan 3
menjadi tidak berbeda nyata.
Jika dibandingkan dengan nilai oksigen terlarut di lapangan,
nilai
kebutuhan oksigen di sedimen selama masa pengamatan
laboratorium
menunjukkan angka yang sangat besar. Pada stasiun 1, nilai
kandungan oksigen
yang terukur di lapisan dasar perairan hanya sebesar 0,09 mg/l
dan pada stasiun 2
0,07 mg/l (Lampiran 15). Hal tersebut menunjukkan bahwa
kandungan oksigen
yang tersedia perairan tidak mencukupi kebutuhan yang ada. Hal
ini dapat
berakibat pada gangguan keseimbangan oksigen di perairan,
khususnya di dasar
perairan.
Nilai kebutuhan oksigen harian menujukkan besaran kebutuhan
oksigen
yang digunakan untuk dekomposisi bahan organik pada setiap
harinya. Di kedua
stasiun, untuk perlakuan 2 dan 3 nilai kebutuhan optimum
diperlihatkan pada 24
jam pertama pengamatan, sedangkan untuk perlakuan 1 nilai
kebutuhan optimum
-
diperlihatkan pada jam ke 96 pengamatan (Gambar 4). Hal ini
dipengaruhi oleh
jumlah bakteri yang sangat tinggi dalam melakukan proses
dekomposisi bahan
organik yang ada.
Waktu pengamatan (Jam ke-)
Oks
igen
(mg/
l)
0
1
2
3
4Perlakuan 1Perlakuan 2Perlakuan 3
24 48 72 96
Stasiun 1
Waktu Pengamatan (jam ke-)
Oks
igen
(mg/
l)
0
1
2
3
4
Perlakuan (1)Perlakuan (2)Perlakuan (3)
24 48 72 96
Stasiun 2
Keterangan : (1) = Akuarium berisi air sampel saja (2) =
Akuarium berisi air sampel dan sedimen tanpa diaduk (3) = Akuarium
berisi air sampel dan sedimen yang diaduk
Gambar 4. Grafik kebutuhan oksigen harian pada perlakuan yang
berbeda di stasiun yang berbeda
-
Atlas (1984) menjelaskan bahwa, mikroorganisme memiliki pola
pertumbuhan logaritmik di awal fase pertumbuhan selnya.
Pembelahan sel yang
sangat besar ini membutuhkan oksigen yang besar pula sebagai
sumber energi
dalam proses metabolismenya.
Pada Gambar 4, terlihat adanya kesamaan kebutuhan oksigen harian
yang
diperlihatkan oleh kedua stasiun. Hasil analisis statistik
dengan menggunakan
Nested design menunjukkan tidak adanya perbedaan nilai kebutuhan
oksigen
harian yang cukup signifikan antara kedua stasiun, pada nilai P
< 0,1. Akan tetapi
untuk perlakuan di masing-masing stasiun, analisis BNT
memperlihatkan adanya
perbedaan nilai kebutuhan oksigen harian yang signifikan antara
perlakuan 1
dengan perlakuan lainnya pada nilai P < 0,1. Perbedaan yang
tidak nyata hanya
diperlihatkan oleh perlakuan 2 dan 3 dengan nilai P > 0,1
(Lampiran 17).
Novotny dan Olem (1994) menyatakan bahwa keseimbangan oksigen
di
perairan, selain dipengaruhi oleh masukan bahan organik dan
besaran kebutuhan
oksigen, juga dipengaruhi oleh kondisi fisik estuari seperti
arus dan pasang surut.
Faktor ini merupakan dua hal yang dapat mepengaruhi terjadi
proses mixing atau
pencampuran di estuari. Proses mixing secara langsung akan
membuat partikel
dan zat terlarut di perairan menjadi homogen. Hal ini dapat
mempengaruhi
keseimbangan oksigen di badan air dan di sedimen.
4.1.2 Kandungan bahan organik
Kandungan bahan organik di perairan dapat diestimasi dengan
mengukur
jumlah oksigen yang terpakai pada dekomposisi mikroba perairan
dalam botol
BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20o C selama lima hari,
dalam keadaan
tanpa cahaya (Boyd, 1988). Nilai BOD yang terukur menunjukkan
jumlah bahan
organik yang terdapat di perairan tersebut. Meski bukan jumlah
bahan organik
secara keseluruhan (Wetzel, 1983). Nilai BOD yang terukur selama
masa
pengamatan memperlihatkan adanya perbedaan nilai bahan organik
yang terdapat
di kolom air pada saat awal pengamatan dan pada akhir
pengamatan. Nilai BOD
yang terukur pada awal pengamatan lebih besar dibandingkan
dengan saat akhir
pengamatan (Gambar 5). Hal ini dikarenakan sebagian bahan
organik telah
terdekomposisi selama masa pengamatan (inkubasi).
-
Pada stasiun 1, nilai BOD pada awal pengamatan hampir merata di
semua
perlakuan, dimana nilai BOD tertinggi diperlihatkan oleh
perlakuan (3) yaitu 4,23
mg/l dan yang terendah 3,89 mg/l pada perlakuan (2). Sedangkan
pada akhir
pengamatan nilai BOD berkisar antara 0,21 mg/l dan 0,87 mg/l.
Pada stasiun 2,
nilai BOD pada awal pengamatan terlihat lebih bervariasi pada
setiap pengamatan.
Nilai BOD tertinggi diperlihatkan oleh perlakuan (3) yaitu 4,95
mg/l dan yang
terendah yaitu 2,62 mg/l pada perlakuan (2). Sedangkan pada
akhir pengamatan
nilai BOD yang diperoleh berada pada kisaran 0,19 mg/l dan 0,87
mg/l.
Tingginya nilai BOD pada perlakuan (3) di kedua stasiun diduga
karena tingginya
kandungan bahan organik akibat proses pengadukan yang diberikan
terhadap
perlakuan (3). Proses pengadukan ini menyebabkan bercampurnya
kandungan
bahan organik yang terdapat di sedimen dan bahan organik yang
terlarut di air.
Secara umum, nilai kandungan bahan organik yang diperlihatkan
oleh nilai
BOD di stasiun 1 lebih besar dibandingkan dengan stasiun 2.
Analisis stastistik
dengan menggunakan uji-t, menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan
terhadap kandungan bahan organik antara kedua stasiun tersebut
pada nilai P <
0,1 (Lampiran 4).
Hasil analisis statistik dengan uji-t di kedua stasiun
menunjukkan tidak
adanya perbedaan yang signifikan yang diperlihatkan oleh
perlakuan 2 dan 3, baik
pada saat awal pengamatan maupun pada akhir pengamatan pada
nilai P < 0,1. Ini
menunjukkan bahwa jumlah bahan organik yang digunakan oleh
mikroorganisme
selama proses dekomposisi berlangsung juga hampir sama.
Perbedaan nilai BOD
yang nyata diperlihatkan oleh perlakuan 1 dengan perlakuan 2 dan
3. Dimana nilai
BOD yang tersisa untuk perlakuan 1 di akhir pengamatan masih
lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Lampiran 18 dan 19). Hal
ini
menunjukkan bahwa peran sedimen dalam proses dekomposisi di
dasar perairan
sangat kuat.
-
BO
D (m
g/l)
0
1
2
3
4
5
6
Awal Akhir Awal AwalAkhir AkhirPerlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan
3
Stasiun 1
BOD
(mg/
l)
0
1
2
3
4
5
6
Awal Awal AwalAkhir AkhirAkhirPerlakuan 1 Perlakuan 3Perlakuan
2
Stasiun 2
Keterangan : (1) = Akuarium berisi air sampel saja
(2) = Akuarium berisi air sampel dan sedimen tanpa diaduk (3) =
Akuarium berisi air sampel dan sedimen yang diaduk
Gambar 5. Kandungan bahan organik melalui analisis BOD5 pada
pengamatan yang berbeda terhadap waktu pengamatan
-
Bervariasinya nilai kandungan bahan organik di satasiun 2, dan
perbedaan
jumlah bahan organik di kedua stasiun, diduga disebabkan oleh
jenis bahan
organik yang terdapat di stasiun 2 lebih bervariasi dibanding
dengan stasiun 1.
Nilai BOD menggambarkan jumlah bahan organik yang dapat
didekomposisi oleh
mikroorganisme. Hal ini diduga karena pada stasiun 2 juga
terdapat jenis bahan
organik yang sulit didekomposisi oleh mikroorganisme. Stasiun 1
merupakan
tempat pembuangan langsung limbah sisa hasil kegiatan peternakan
sapi. Hal ini
memungkinkan jenis bahan organik yang dominan terdapat di
stasiun 1 adalah
jenis bahan organik yang mudah diuraikan oleh mikroorganisme.
Berbeda dengan
satasiun 2 yang terletak lebih dekat dengan muara, dimana
akumulasi bahan
organik dari berbagai kegiatan di sepanjang bantaran sungai
lebih besar terjadi di
tempat ini.
Penumpukan bahan organik di sedimen sungai disebabkan oleh
rendahnya
kecepatan arus di sungai tersebut. Sungai yang memiliki arus
yang rendah akan
mempercepat proses penumpukan bahan organik dan partikel lainnya
di dasar
sungai (Novotny dan Olem, 1994).
4.1.3 Tekstur sedimen
Berdasarkan hasil analisis fraksi sedimen, diperoleh adanya
perbedaan
persentase tekstur sedimen pada kedua stasiun. Dimana pada
stasiun 1 persentase
tekstur sedimen yang terbesar adalah liat, yakni 53,07%.
Sedangkan pada stasiun
2 persentase tekstur sedimen yang terbesar adalah debu yaitu
47,71%. Jika dilihat
persentase pasir yang ada di kedua stasiun, stasiun 1 memiliki
persentase pasir
lebih besar dibanding stasiun2, yaitu 12,33% (Gambar 6).
Penentuan jenis sedimen dengan menggunakan segitiga Miller
menunjukkan bahwa jenis sedimen pada stasiun 1 adalah liat dan
pada stasiun 2
adalah liat berdebu (Lampiran 10 dan 11). Akan tetapi nilai
uji-t yang dilakukan
terhadap persentase fraksi sedimen antara kedua stasiun
menunjukkan tidak
adanya perbedaan yang signifikan dengan nilai P > 0,1
(Lampiran 12).
-
Stasiun 1
Stasiun 2
Gambar 6. Persentase fraksi sedimen pada stasiun yang
berbeda
Miller (1992) menyatakan bahwa perbedaan jenis sedimen dasar
sungai
mempengaruhi karakteristik kimia air sungai, pergerakan air, dan
porositas dasar
sungai. Secara umum, berdasarkan gradien ekosistem perairan
mengalir dari hulu
ke hilir, akan mengalami penurunan ukuran partikel. Dengan kata
lain, semakin
ke arah hilir (muara), ukuran partikel sedimen dasar sungai akan
semakin kecil.
Menurut Nybakken (1988) kebanyakan estuaria didominasi oleh
substrat
berlumpur, yang sering kali sangat lunak. Substrat berlumpur ini
berasal dari
sedimen yang dibawa ke dalam estuaria baik oleh air laut maupun
air tawar.
Sverdrup et al. (1960) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
kandungan
bahan organik dengan ukuran partikel sedimen. Pada sedimen
halus, persentase
-
bahan organik lebih tinggi daripada sedimen kasar. Hal ini
berhubungan dengan
kondisi lingkungan yang tenang sehingga memungkinkan pengendapan
sedimen
lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar
perairan.
Arus berperan penting dalam proses transportasi sedimen. Semakin
cepat
arus di suatu perairan mengalir, semakin cepat pula proses
transportasi sedimen
yang berlangsung. Sebaliknya, jika arus di suatu perairan
semakin lambat maka
akan memperbesar kemungkinan proses pengendapan sedimen di dasar
sungai
(Novotny dan Olem, 1994).
4.1.4 Suhu
Suhu di perairan mempengaruhi kelarutan gas dalam air, termasuk
O2.
Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan organisme akuatik adalah
20o 30o C
(Effendi, 2003). Suhu di estuari dipengaruhi oleh kedalaman,
masukan air sungai,
serta pasang surut (Reids, 1961). Perubahan suhu harian selama
pengamatan bisa
dikatakan tidak terlalu signifikan. Hal itu dapat dilihat dari
nilai kisaran suhu
maksimum harian pada akuarium adalah sebesar 30o 31o C, dan suhu
minimum
harian sebesar 25o 26o C. Sedangkan rataan suhu harian selama
masa
pengamatan adalah 28o C (Gambar 7).
Nilai suhu maksimum yang mencapai 31o C dapat menyebabkan
penurunan kelarutan oksigen dalam air. Peningkatan suhu di
perairan juga dapat
menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi
organisme
akuatik, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi
oksigen.
Peningkatan suhu perairan sebesar 10o C menyebabkan terjadinya
peningkatan
konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2 3 kali lipat
(Effendi, 2003).
Moriber (1974) menambahkan bahwa peningkatan suhu di perairan
akan
meningkatkan daya racun polutan terhadap organisme perairan.
-
Waktu Pengamatan (jam)
Suhu
(oC
)
26
28
30
32
24 48 72 960
Keterangan : rataan nilai tengah
Gambar 7. Diagram Box Plot suhu minimum-maksimum pada setiap
waktu pengamatan
Odum (1993) menjelaskan bahwa suhu perairan di daerah tropis
cenderung
lebih stabil sepanjang tahun. Nilai suhu perairan tropis
berkisar antara 20 35 oC.
Dinamika hidrologis menyebabkan perubahan stastifikasi suhu
secaara vertikal di
estuari, seperti proses mixing dan pengaruh pasang surut
(Millero dan Shon,
1992).
4.2 Mikroorganisme bentik estuari Sungai Cisadane
Organisme bentik memainkan peranan yang vital dalam jejaring
makanan
serta daur mineral di ekosistem estuari. Di samping itu,
keberadaan
mikroorganisme bentik estuari juga menggambarkan sumber nitrogen
(nutrien)
bagi ekosistem. Keberadaan mikroorganisme ini dipengaruhi oleh
kekayaan
bahan organik yang tersedia pada ekosistem tempet mereka berada
(Kennish,
1990). Di bagian estuari, peran mikroorganisme bentik menjadi
begitu penting
mengingat kekhasan yang dimiliki oleh ekosistem ini. Pencemaran
serta proses
-
pencampuran antara air laut dan air tawar di bagian estuari
menjadi bagian yang
tidak terlepaskan dari organisme pengurai ini (Schlegel,
1994).
4.2.1 Kepadatan total meiofauna.
Kepadatan total meiofauna memperlihatkan nilai yang berbeda pada
masing-
masing stasiun pengamatan. Akan tetapi, perbedaan nilai tersebut
bisa dikatakan
tidak terlalu jauh, dimana pada stasiun satu memiliki kepadatan
sebesar 1.867
inividu/m2 sedangkan pada stasiun dua yaitu sebesar 1.933
individu/m2 (Gambar
8). Hasil analisis stastistik dengan menggunakan uji-t
memperlihatkan bahwa
nilai kepadatan antara kedua stasiun menjukkan tidak adanya
perbedaan yang
cukup signifikan dengan nilai P > 0,05 (Lampiran 3).
Meiofauna hidup di substrat dasar perairan sebagai deposit
feeder dengan
memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Perairan yang
kaya akan
bahan organik merupakan tempat yang kaya akan makanan bagi
meiofauna. Total
kepadatan meiofauna dapat mencapai 106 individu/m2 (Day et al.,
1987). Jika
dibandingkan dengan pernyataan Day et al. (1987) di atas, total
kelimpahan
meiofauna yang ditemukan pada kedua stasiun pengamatan dapat
dikatakan
sangat rendah. Hal tersebut diduga karena rendahnya kandungan
oksigen di
lapisan sedimen sungai. Kandungan oksigen terlarut dan arus
merupakan faktor
abiotik yang paling penting bagi populasi meiofauna. Sebagian
besar kelompok
meiofauna yang hidup di perairan mengalir membutuhkan oksigen
untuk respirasi,
beberapa studi menyebutkan bahwa terdapat suatu hubungan yang
nyata antara
kandungan oksigen terlarut dengan populasi meiofauna (Rouch,
1991; Boulton et
al., 1991 in Hauer dan Lamberti, 1996).
Keberadaan meiofauna pada ekosistem sungai dipengaruhi oleh
faktor fisik
lingkungan tempat hidupnya, seperti tipe substrat, suhu, dan
salinitas. Di kawasan
estuari yang sebagian besar memiliki jenis substrat berlumpur
dan berpasir, serta
dengan salinitas yang cukup tinggi memungkinkan ekosistem ini
hanya dihuni
oleh beberapa jenis meiofauna tertentu saja (Kennish, 1990).
-
Stasiun 1
Kep
adat
an to
tal (
ind/
ml)
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Stasiun 2 Gambar 8. Kepadatan total meiofauna pada stasiun yang
berbeda
Komposisi jenis meiofauna yang ditemukan pada kedua stasiun
didominasi
oleh kelas Nematoda, yaitu 96% dan 94% masing masing untuk
stasiun 1 dan 2.
Disamping itu, pada stasiun 1, ditemukan pula meiofauna dari
kelas Nemertina
dengan persentase 1%. Pada stasiun 2, meiofauna dari kelas
Chiliopora dan
Tubellaria ditemukan dengan persentase masing-masing sebesar 3%
(Tabel 4).
Tabel 4. Persentase jumlah kelompok meiofauna yang ditemukan
pada stasiun pengamatan.
Stasiun Chiliopora Nematoda Nemertina Tubellaria
1 0 11 0 0 0 10 0 0 0 6 1 0
Rataan 0 9 0,333 0 Persentase 0% 96% 4% 0%
2 0 10 0 0 0 6 0 1 1 11 0 0
Rataan 0,333 9 0 0,333 Persentase 3% 94% 0% 3%
-
Jenis meiofauna yang ditemukan pada kedua stasiun pengamatan
merupakan
jenis meiofauna dari kelompok cacing. Menurut Bortone (1995),
meiofauna
kelompok cacing, adalah kelompok meiofauna yang mampu hidup pada
kondisi
lingkungan yang tercemar sekalipun. Di samping itu, kelompok
meiofauna ini
hidup meliang pada substrat yang halus seperti lumpur atau liat,
seperti yang
ditemukan pada stasiun pengamatan 1 dan 2.
Higgins dan Thiel (1988) memberikan penjelasan bahwa meiofauna
dari
kelompok Nematoda merupakan meiofauna yang dapat hidup pada
berbagai jenis
substrat. Kemampuannya untuk mampu hidup pada salinitas yang
sangat tinggi
membuat Nematoda menjadi kelompok meiofauna yang kosmopolit.
Disamping
itu meiofauna kelompok ini juga mampu hidup pada perairan dengan
rentang suhu
yang sangat lebar. Nematoda juga dapat hidup pada kondisi
oksigen yang rendah
sekalipun, bahkan pada kondisi anoksik.
4.2.2 Kelimpahan total koloni bakteri
Mikroorganisme akuatik, khususnya di sedimen perairan
berpengaruh
penting terhadap kandungan oksigen yang ada di lapisan atas
sedimen. Sebagai
dekomposer, bakteri membutuhkan oksigen dalam proses penguraian
bahan
organik di sedimen (Wetzel, 1983). Jumlah total koloni bakteri
yang ditemukan
pada kedua stasiun tidak terlalu memperlihatkan perbedaan yang
cukup
signifikan. Jumlah total koloni bakteri yang ditemukan pada
stasiun 1 adalah
5,15x1010 CFU/ml. Sedangkan pada stasiun 2 adalah 3,0x1010
CFU/ml (Gambar
9). Nilai tersebut sesuai dengan pernyataan Kennish (1990) yang
mengatakan
bahwa konsentrasi bakteri di estuari bisa mencapai 106 sampai
107 cell/ml bahkan
lebih. Kennish (1990) juga menjelaskan bahwa tingginya jumlah
bakteri di
perairan memiliki korelasi positif dengan kandungan bahan
organik yang terdapat
di perairan tersebut.
Hauer dan Lamberti (1996) menjelaskan bahwa meningkatnya
jumlah
bahan organik di perairan akan berpengaruh pula pada
meningkatnya oksigen
yang dibutuhkan untuk mendekomposisi bahan organik tersebut.
Akan tetapi,
jumlah total mikroorganisme yang menguraikannya juga berpengaruh
terhadap
-
penurunan kandungan oksigen terlarut di bagian dasar perairan,
karena semakin
banyak jumlah bakteri yang menguraikan bahan organik di sedimen
perairan,
maka akan semakin banyak pula oksigen yang dibutuhkan untuk
proses
dekomposisi. Hal itu pula yang mempercepat proses penurunan
oksigen di
lapisan dasar perairan.
Stasiun 1 Stasiun 2
Kol
oni b
akte
ri (C
FU /
ml)
0
1e+10
2e+10
3e+10
4e+10
5e+10
6e+10
7e+10
Gambar 9. Kelimpahan total bakteri pada stasiun yang berbeda
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji-t menunjukkan
adanya
perbedaan yang nyata antara jumlah koloni bakteri yang ditemukan
di kedua
stasiun dengan nilai P < 0,05 (Lampiran 2). Tingginya total
kelimpahan bakteri di
stasiun 1 diduga karena kandungan bahan organik di stasiun 1
juga lebih besar
dibanding stasiun 2. Menurut Kennish (1990) kelimpahan total
bakteri di perairan
memiliki korelasi positif terhadap kandungan bahan organik di
perairan tersebut.
Selain itu, perbedaan tekstur di kedua stasiun juga diduga
menyebabkan
perbedaan kelimpahan bakteri yang ditemukan pada stasiun
pengamatan.
Menurut Rublee (1985) in Kennish (1990), perbedaan ukuran
partikel sedimen
memiliki korelasi yang kuat dengan kelimpahan bakteri. Dimana
sedimen dengan
partikel yang lebih halus akan memiliki kelimpahan bakteri yang
lebih besar
dibanding sedimen yang lebih kasar.
-
4.3 Alternatif strategi perencanaan pengelolaan estuari Sungai
Cisadane
Sebagai salah satu sungai yang melewati Kota Tangerang,
Sungai
Cisadane dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan. Selain sebagai
jalur transportasi
dan sumber air baku bagi berbagai kegiatan industri dan
domestik, Sungai
Cisadane juga digunakan sebagai tempat pembuangan limbah hasil
dari kegiatan
tersebut. Kondisi tersebut, di lain pihak memberikan dampak
negatif terhadap
proses ekologis yang berlangsung di estuari Sungai Cisadane.
Berdasarkan data yang diperoleh mengenai kebutuhan oksigen di
sedimen
estuari Sungai Cisadane, nilai yang didapatkan dapat dikatakan
cukup tinggi
dibandingkan dengan kandungan oksigen yang tersedia di dasar
perairan. Dengan
kata lain, jumlah oksigen yang tersedia di dasar sungai tidak
mencukupi untuk
mendekomposisi bahan organik yang berada di dasar sungai. Hal
ini akan
memicu terjadinya kondisi anoksik serta proses dekomposisi
anaerob yang
menghasilkan zat-zat berbahaya dan beracun. Selain itu,
terganggunya
keseimbangan oksigen di kolom perairan juga akan dapat
mengganggu kehidupan
organisme akuatik yang membutuhkan oksigen untuk respirasi.
Upaya perencanaan dilakukan sebagai bagian dari penetapan
strategi
pengelolaan, yaitu dengan menetapkan langkah-langkah strategis
dan terkontrol
untuk menguragi masukan limbah bahan organik ke badan sungai.
Disamping itu,
pengkajian menyeluruh dan berkala mengenai ketersediaan oksigen
di kolom air
juga perlu dikaji untuk dibadingkan dengan kebutuhan oksigen di
sedimen yang
ada, sehingga dapat diketahui dinamika dan keseimbangan oksigen
di estuari
Sungai Cisadane.
-
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Bedasarkan hasil analisis pengukuran kebutuhan oksigen pada
dekomposisi bahan organik di sedimen muara Sungai Cisadane
melalui
pengamatan laboratorium, menunjukkan bahwa nilai oksigen yang
terukur
mencapai nilai nol (habis) dalam waktu empat hari. Nilai
kebutuhan oksigen yang
terukur berkisar antara 4,267 mg/l 7,033 mg/l.
Pemberian perlakuan yang berbeda pada pengamatan menunjukkan
bahwa
tidak adanya perbedaan yang signifikan antara sampel sedimen dan
air yang
diaduk maupun yang tidak diaduk. Hal ini menunjukkan bahwa
kebutuhan
oksigen di sedimen untuk dekomposisi bahan organik di muara
Sungai Cisadane
dapat dikatakan sama, baik pada saat terjadinya proses
pengadukan maupun dalam
kondisi tidak teraduk.
5.2 Saran
Perlu dilakuakan penelitian serupa dengan penyempurnaan
terhadap
metode penelitian, seperti pengadukan secara kontinyu terhadap
perlakuan
sampel sedimen dan air selama masa pengamatan. Proses pengadukan
diupayakan
dengan memperkecil kemungkinan terjadinya difusi oksigen secara
langsung dari
udara.
Selain itu, perlu adanya penelitian serupa melalui pengamatan
secara
insitu, agar diperoleh data yang dapat mewakili keadaan
sebenarnya. Di samping
itu, perlu dilakukan pengamatan terhadap parameter oseanografis
yang
mempengaruhi besaran kebutuhan oksigen di sedimen muara Sungai
Cisadane,
seperti pasang surut dan arus.
-
Lampiran 1. Tabel Sidik Ragam pengukuran oksigen dengan Nested
design
JKA 0,282 JKB 37,261 JKT 83,488 JKS 45,946
SK db JK KT F hitung F tabel
A 1 0,500 0,500 0,0495 2,927 B dlm A 4 40,393 10,098 2,615 2,035
Sisa 18 69,516 3,862 Total 23 110,408
Stasiun 1 PERLAKUAN 1 2 3
1 0 2 2,975 0 3 2,567 0,408 0
Stasiun 2 PERLAKUAN 1 2 3
1 0 2 2,517 0 3 2,45 0,067 0
BNT 2,341
-
Lampiran 2. Hasil uji-t total kelimpahan bakteri pada dua
stasiun yang berbeda t-Test: Paired Two Sample for Means
Variable 1 Variable 2 Mean 51,500 30,333 Variance 132,300
330,667 Observations 6 6 Pearson Correlation 0,535 Hypothesized
Mean Difference 0 df 5 t Stat 3,351 P(T
-
Lampiran 3. Hasil uji-t kepadatan meiofauna pada dua stasiun
yang berbeda t-Test: Paired Two Sample for Means
Variable 1 Variable 2 Mean 9,333 9,667 Variance 4,333 6,333
Observations 3 3 Pearson Correlation -0,636 Hypothesized Mean
Difference 0 df 2 t Stat -0,139 P(T
-
Lampiran 4. Hasil uji-t kandungan bahan organik pada dua stasiun
yang berbeda t-Test: Paired Two Sample for Means
Variable 1 Variable 2 Mean 4,0358 3,414 Variance 0,0430 1,293
Observations 12 12 Pearson Correlation 0,385 Hypothesized Mean
Difference 0 df 11 t Stat 2,004 P(T
-
Lampiran 5. Data nilai kandungan oksigen selama masa pengamatan
Nilai DO stasiun perlakuan ulangan jam ke-
0 24 48 54 60 66 72 75 78 81 84 87 90 93 96
1 1 1 7,5 6,5 5,8 5,1 5 4,8 4,7 4,5 4,2 3,7 3,4 3,4 3 3 2,7
2 7 6,4 6 5,1 5 4,9 4,7 4,3 4,3 3,7 3,4 3,4 3 2,9 2,7 3 7 6 5,1
4,6 4,5 4,5 4,3 4,4 3,9 3,6 3,2 3,2 3 2,9 2,5 2 1 6,4 3,1 1,3 0,9
0,9 1 0,9 0,8 0,7 0,9 0,6 0,5 0,3 0,3 0 2 7,4 4,4 2,8 2,6 1,9 1,5
1,6 1,3 1,1 1 0,7 0,7 0,2 0 0 3 7,2 3,1 1,5 1,4 1,2 0,9 1 0,8 0,8
0,6 0,4 0,5 0,2 0 0 3 1 7,1 3,8 2,9 2,5 2,1 1,7 1,8 1,5 1,3 1,5 0,8
0,7 0,4 0,2 0 2 7 3,9 2,8 2,2 1,7 1,5 1,7 1,3 1,2 1,1 0,7 0,7 0,5
0,1 0 3 7 4 2,7 2,5 2,3 2,3 1,4 1,3 1,3 1,4 0,8 0,7 0,4 0,2 0 4 1 7
4,2 3,2 2,8 1,7 0,9 1 0,7 0,8 0,8 0,5 0,2 0,2 0 0 2 7 3,6 2,4 2,4
1,6 1,2 1,5 0,9 1 0,8 0,5 0,4 0,2 0,1 0 3 7,1 4,4 2,8 2,3 1,4 0,9
1,1 0,7 0,9 0,7 0,4 0,3 0,2 0,2 0
2 1 1 7 6,1 5,7 5,5 5,1 4,9 4,6 4,5 4,2 4 3,6 3,4 3,1 2,9 2,6 2
7,3 6,1 5,7 5,5 5 4,9 4,6 4,3 3,9 3,9 3,6 3,2 3,2 3,2 3 3 7,1 6,1
5,2 5,2 5 4,8 4,6 4,4 4 3,9 3,7 3,2 3 3,2 3 2 1 6,8 3,9 2,2 2,2 1,6
1,3 1,2 0,9 0,9 0,7 0,5 0,5 0,4 0,2 0 2 6,7 4,2 2,5 2,4 1,7 1,4 1,2
1 0,9 0,7 0,5 0,5 0,5 0,3 0 3 6,7 3,9 2,2 2 1,3 1,1 1 0,8 0,8 0,7
0,4 0,5 0,4 0,3 0 3 1 6,7 4,1 2,7 2,3 1,8 1,6 1,5 1,2 1,1 0,9 0,7
0,7 0,5 0,2 0 2 6,8 3,4 2,3 2,2 1,6 1,3 1,3 1 0,9 0,7 0,7 0,6 0,5
0,1 0 3 6,9 4,3 3 2,4 1,7 1,5 1,3 1,1 1 0,7 0,7 0,6 0,4 0,1 0 4 1 7
4,9 2,5 2,1 1,5 1,3 1,2 1,1 0,9 0,8 0,6 0,5 0,3 0,1 0 2 7,2 5,1 3,4
3 1,4 1,1 0,9 0,8 0,9 0,6 0,4 0,4 0,3 0 0 3 6,5 4,5 3,4 2,8 1,6 1,2
0,9 0,7 0,9 0,5 0,4 0,4 0,2 0 0
-
Lampiran 6. Data nilai BOD5 yang terukur pada awal dan akhir
pengamatan Stasiun 1
Perlakuan 1 2 3 4
awal akhir awal akhir awal akhir awal akhir 3,85 0,88 3,86 0,5
4,18 0,09 3,99 0,14 3,95 0,81 4,03 0,13 4,55 0,3 4,25 0,41 3,96
0,92 3,8 0,25 3,96 0,24 4,05 0,15
Stasiun 2 Perlakuan
1 2 3 4 awal akhir awal akhir awal akhir awal akhir 3,95 0,7
2,93 0,06 4,89 0,38 2,01 0,09 3,87 0,46 2,41 0,2 5,12 0,11 2,63
0,08 3,77 0,57 2,51 0,36 4,83 0,08 2,05 0,44
-
Lampiran 7. Data suhu minimum dan maksimum yang diukur selama
pengamatan (dalam oCelsius)
suhu Pengamatan pada jam ke- 0 24 48 72 96
Minimum
27 27 26,5 27 26 25 26 25,5 25,5 25,5 26 26 25,5 26 25,5 26 25
26 26 26
Maksimum
30 31 31 31 31 31 31 31 31,5 31,5 31 31 31,5 31,5 31,5 31 33 32
33 33
-
Lampiran 8. Data total koloni bakteri (dalam CFU/ml) stasiun 1
(x1010) stasiun 2 (x1010)
61 36 65 49 32 20 49 31 52 46 50 0
-
Lampiran 9. Data meiofauna yang ditemukan pada pengamatan
Stasiun 1 Ulangan Kelompok Jumlah
1 nematoda 11 2 nematoda 10 2 nematoda 6 nemertina 1
Stasiun 2 Ulangan Kelompok Jumlah
1 nematoda 10 2 tubelaria 1 nematoda 6 3 chiliopora 1 nematoda
11
-
Lampiran 10. Segitiga Miller untuk penentuan tipe sedimen pada
stasiun 1.
-
Lampiran 11. Segitiga Miller untuk penentuan tipe sedimen pada
stasiun 2.
-
Lampiran 12. Hasil uji-t jenis sedimen pada dua stasiun yang
berbeda t-Test: Paired Two Sample for Means
Variable 1 Variable 2 Mean 43,835 46,64 Variance 170,571 2,290
Observations 2 2 Pearson Correlation -1 Hypothesized Mean
Difference 0 df 1 t Stat -0,272 P(T
-
Lampiran 13. Gambar stasiun pengamatan
Stasiun 1
Stasiun 2
-
Lampiran 14. Gambar alat yang digunakan selama penelitian
-
Lampiran 15. Tabel pengukuran parameter kualitas air di
lapangan
Stasiun 1 Stasiun 2 Kedalaman
(m) Suhu
(oCelcius) Salinitas
() DO
(mg/l) pH Kedalaman
(m) Suhu
(oCelcius) Salinitas
() DO
(mg/l) pH 0 29 0 0 29 4
0,5 29 0 0,5 28,5 4 1 30 0 1 28,5 4,1
1,5 30 1 1,5 28,5 8,9 2 30 2 2 29 20
2,5 2,5 28 26 3 29 25 3 28 28
3,5 3,5 28 28,2 4 28 25 4 28 29 5 27 24 5 28 26 0,065 6 - 6,65 6
28 24 0,097 6-6,5
-
Lmapiran 16. Gambar susunan akuarium selama pengamatan di
laboratorium.
Lampiran 17. Tabel Sidik ragam pengukuran kebutuhan oksigen
harian. JKA 0,025 JKB 2,070
-
JKT 14,320 JKS 12,225
SK db JK KT F hitung F tabel
A 1 0,5 0,5 0,0495 2,927 B dlm A 4 40,393 10,098 2,615 2,035
Sisa 18 69,516 3,862 Total 23 110,409
Stasiun 1 PERLAKUAN 1 2 3
1 0 2 0,617 0 3 0,625 -0,008 0
Stasiun 2 PERLAKUAN 1 2 3
1 0 2 0,617 0 3 0,633 -0,0167 0
BNT
2,341
-
Lampiran 18. Hasil analisis uji-t untuk pengukuran BOD pada
stasiun 1.
1 2 3 awal akhir awal akhir awal akhir 3,85 0,88 3,86 0,5 4,18
0,09 3,95 0,81 4,03 0,13 4,55 0,3 3,96 0,92 3,8 0,25 3,96 0,24
1-2 (awal) 1-2(akhir) t-Test: Paired Two Sample for Means
t-Test: Paired Two Sample for Means
Variable
1 Variable
2 Variable
1 Variable
2 Mean 3,92 3,897 Mean 0,87 0,293 Variance 0,004 0,014 Variance
0,003 0,036 Observations 3 3 Observations 3 3 Pearson Correlation
0,186 Pearson Correlation 0,462 Hypothesized Mean Difference 0
Hypothesized Mean Difference 0
df 2 df 2 t Stat 0,327 t Stat 5,862 P(T
-
Lampiran 19. Hasil analisis uji-t untuk pengukuran BOD pada
stasiun 2.
1 2 3 awal akhir awal akhir awal akhir 3,95 0,7 2,93 0,06 4,89
0,38 3,87 0,46 2,41 0,2 5,12 0,11 3,77 0,57 2,51 0,36 4,83 0,08
1-2(awal) 1-2(akhir) t-Test: Paired Two Sample for Means t-Test:
Paired Two Sample for Means
Variable
1 Variable
2 Variable
1 Variable
2 Mean 3,863 2,616667 Mean 0,207 0,576667 Variance 0,008
0,076133 Variance 0,023 0,014433 Observations 3 3 Observations 3 3
Pearson Correlation 0,718 Pearson Correlation -0,508 Hypothesized
Mean Difference 0
Hypothesized Mean Difference 0
df 2 df 2 t Stat 9,802 t Stat -2,725 P(T
-
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang, pada tanggal 3 April
1986 yang merupakan anak kedua dari empat bersaudara, dari
pasangan Damsir dan Hernineng.
Pendidikan penulis diawali dari SD 01 Tan Malaka,
Padang (1992 1998), MTsN Model Gunung Pangilun,
Padang (1998 2001), SMU Negeri 3, Padang (2001
2004). Kemudian pada tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan
di Institut
Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Depertemen Manajemen
Sumberdaya Perairan, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan
Perairan melalui jalur USMI .
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam Himpunan
Mahasiswa
Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) sebagai Kepala sub
divisi minat
dan bakat periode 2006/2007. Selain itu, penulis juga menjabat
sebagai Ketua
Lembaga Pers Mahasiswa Islam Cabang Bogor periode 2007/2008.
Penulis juga
menjadi asisten luarbiasa pada mata kuliah Iktiologi periode
2006/2007 dan
2007/2008, Planktonologi periode 2007/2008, dan Anatomi dan
Biologi Ikan
periode 2007/2008.
Untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Perikanan dan
Ilmu
Kelautan, penulis melaksanakan penelitian dengan judul Ananlisis
Kebutuhan
Oksigen Pada Dekomposisi Bahan Organik di Lapisan Dasar
Perairan
Estuari Sungai Cisadane, Tangerang.