Top Banner
KONVERSI LAHAN (MK. LANDUSE PLANNING & LAND MANAGEMENT) Pendahuluan Tidak mengherankan, masalah penggunaan lahan biasanya muncul ketika ada perubahan penggunaan lahan yang signifikan. Konversi lahan sering bergandengan tangan dengan masalah-masalah penggusuran, hilangnya lahan pertanian, masalah ketahanan pangan dan isu- isu lainnya. Ada banyak factor pendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Ada dua macam konversi lahan yang lazim terjadi, yaitu konversi lahan pertanian menjadi permukiman, dan konversi lahan terkait dengan investasi agro-industri. Konversi lahan dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Misalnya, berubahnya peruntukan fungsi lahan persawahan beririgasi menjadi lahan industri, dan fungsi lindung menjadi lahan pemukiman. Hal ini sejalan dengan penelitian di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari dimana lahan yang dikonversi merupakan kawasan hutan lindung yang kemudian dijadikan kawasan pemukiman oleh mereka. Konversi lahan berarti alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Secara umum kasus yang tercantum pada bagian sebelumnya menjelaskan hal yang serupa 1
38

Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

May 05, 2019

Download

Documents

lykien
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

KONVERSI LAHAN(MK. LANDUSE PLANNING & LAND MANAGEMENT)

Pendahuluan

Tidak mengherankan, masalah penggunaan lahan biasanya muncul ketika ada perubahan penggunaan lahan yang signifikan. Konversi lahan sering bergandengan tangan dengan masalah-masalah penggusuran, hilangnya lahan pertanian, masalah ketahanan pangan dan isu-isu lainnya. Ada banyak factor pendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Ada dua macam konversi lahan yang lazim terjadi, yaitu konversi lahan pertanian menjadi permukiman, dan konversi lahan terkait dengan investasi agro-industri.

Konversi lahan dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Misalnya, berubahnya peruntukan fungsi lahan persawahan beririgasi menjadi lahan industri, dan fungsi lindung menjadi lahan pemukiman. Hal ini sejalan dengan penelitian di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari dimana lahan yang dikonversi merupakan kawasan hutan lindung yang kemudian dijadikan kawasan pemukiman oleh mereka.

Konversi lahan berarti alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Secara umum kasus yang tercantum pada bagian sebelumnya menjelaskan hal yang serupa seperti pengubahan fungsi sawah menjadi kawasan pemukiman.

Berdasarkan fakta empirik di lapangan, ada dua jenis proses konversi lahan sawah, yaitu konversi sawah yang langsung dilakukan oleh petani pemilik lahan dan yang dilakukan oleh bukan petani lewat proses penjualan. Sebagian besar konversi lahan sawah tidak dilakukan secara langsung oleh petani tetapi oleh pihak lain yaitu pembeli. Konversi yang dilakukan langsung oleh petani luasannya sangat kecil. Hampir 70 persen proses jual beli lahan sawah melibatkan pemerintah, yaitu ijin lokasi dan ijin pembebasan lahan.

Proses konversi yang melalui proses penjualan lahan sawah berlangsung melalui dua pola, yaitu pola dimana kedudukan petani sebagai penjual bersifat monopoli sedang pembeli bersifat monopsoni, hal ini terjadi karena pasar lahan adalah sangat tersegmentasi bahkan cenderung terjadi

1

Page 2: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

asimetrik informasi diantara keduanya. Sehingga struktur pasar yang terbentuk lebih menekankan pada kekuatan bargaining. Sedangkan tipe yang kedua adalah konversi lahan dengan bentuk monopsoni. Keterlibatan pemerintah dimungkinkan karena kedudukan pemerintah sebagai planner yang bertugas mengalokasikan lahan, dimana secara teoritis harus disesuaikan dengan data kesesuaian lahan suatu daerah lewat rencana tata ruang wilayahnya.

Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama konversi lahan, pelaku, pemanfaatan dan proses konversi, maka tipologi konversi terbagi menjadi tujuh tipologi, yaitu:

1) Konversi gradual-berpola sporadik, pola konversi yang diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang tidak/kurang produktif/bermanfaat secara ekonomi dan keterdesakan pelaku konversi.

2) Konversi sisitematik berpola enclave, pola konversi yang mencakup wilayah dalam bentuk sehamparan tanah secara serentak dalam waktu yang relatif sama.

3) Konversi adaptif demografi, pola konversi yang terjadi karena kebutuhan tempat tinggal/pemukiman akibat adanya pertumbuhan pendudukan.

4) Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial, pola konversi yang terjadi karena motivasi untuk berubah dari kondisi lama untuk keluar dari sektor pertanian utama.

5) Konversi tanpa beban, pola konversi yang dilakukan oleh pelaku untuk melakukan aktivitas menjual tanah kepada pihak pemanfaat yang selanjutnya dimanfaatkan untuk peruntukan lain.

6) Konversi adaptasi agraris, pola konversi yang terjadi karena keinginan untuk meningkatkan hasil pertanian dan membeli tanah baru ditempat tertentu.

7) Konversi multi bentuk atau tanpa pola, konversi yang diakibatkan berbagai faktor peruntukan seperti pembangunan perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, dan sebagainya.

Konversi Lahan Sawah

Perkembangan konversi lahan didisagregasi menjadi dua. Pertama, perkembangan konversi lahan menurut wilayah administratif, dalam hal ini pulau. Kedua, perkembangan konversi lahan menurut jenis irigasi, dalam hal ini irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, dan tadah hujan. Data yang digunakan dalam analisis ini bersumber dari publikasi BPS deret waktu tahun 1978 – 2001. Konversi lahan sawah didefinisikan

2

Page 3: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

sebagai konversi lahan neto. Artinya luas lahan tahun t (Lt) adalah luas lahan tahun sebelumnya (Lt-1) ditambah pencetakan sawah baru (Ct) dikurangi alih fungsi lahan sawah (At). Secara matematika, diformulasikan sebagai berikut:

(Ct – At) = Lt – Lt-1 (1)

Dengan demikian jika konversi lahan sawah bernilai positif, berarti hanya terjadi pencetakan sawah baru, atau pencetakan lahan sawah yang terjadi lebih luas dari alih fungsi lahan sawah masing-masing pada tahun t. Sebaliknya jika konversi lahan sawah bernilai negatif, berarti hanya terjadi alih fungsi lahan sawah atau, alih fungsi lahan sawah lebih luas dari pencetakan sawah masing-masing pada tahun t.

Berdasarkan WilayahDisagergasi berdasarkan wilayah pulau, mencakup wilayah

Sumatera, Jawa (tidak termasuk DKI Jakarta), Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan, dan Sulawesi. Untuk wilayah Maluku dan Papua tidak dimasukkan dalam analisis, karena pada kedua wilayah tersebut masalah konversi lahan dianggap masih belum merupakan permasalahan yang serius. Disagregasi wilayah pulau tersebut didasarkan atas adanya variasi dalam hal kualitas lahan, kondisi infrastruktur dan kelembagaan pertanian yang tersedia. Di samping itu perkembangan sektor industri dan Jasa yang diduga mempengaruhi konversi lahan relatif berbeda pada bebagai pulau di atas. Untuk analisis makro, analisis berdasarkan pulau akan lebih sederhana dibandingkan berdasarkan provinsi.

Analisis berdasarkan provinsi akan menjadi sangat melebar, sementara itu aktivitas konversi yang signifikan tidak terjadi sepanjang tahun pada sebagian besar provinsi.

Ada empat informasi penting dalam hal konversi lahan sawah, yaitu: (1) konversi lahan sawah tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga

terjadi di luar Jawa; (2) konversi lahan sawah di Jawa jauh lebih besar dibandingkan

wilayah lainnya dan dari periode ke periode cenderung terus meningkat;

(3) pada priode pasca krisis ekonomi (1997-2000) baik secara nasional, maupun pada beberapa wilayah, konversi lahan sawah meningkat tajam; dan

(4) secara nasional selama periode 1979-2000 konversi lahan sawah netto bernilai positif, artinya pencetakan sawah baru lebih luas dari konversi lahan sawah.

Dari empat informasi tersebut, dua informasi pertama mengindikasikan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah tidak dapat

3

Page 4: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

menghambat terjadinya konversi lahan sawah. Konversi lahan untuk tujuan pemukiman dan prasarana sosial ekonomi khususnya di wilayah urban tidak dapat dihindari baik di Jawa maupun di Luar Jawa. Bahkan di luar Jawa kecenderungannya meningkat. Di Banjarmasin banyak terjadi koversi lahan sawah di daerah urban dan semi-urban akibat perluasan pemukiman. Keadaan ini dapat memicu konversi lebih luas lagi. Karena pembangunan pemukiman tersebut akan diikuti oleh pembangunan prasarana ekonomi. Dari sisi pertanian hal tersebut akan mengganggu ekosistem sawah berupa gangguan hama, kurangnya penyinaran, dan gangguan tata air. Artinya konversi lahan sifatnya cenderung akseleratif.

Dengan mengambil kasus Banjarmasin, hal yang sama tentu terjadi pada daerah urban dan semi-urban di perkotaan lain di luar Jawa. Bahkan dengan adanya otonomi daerah banyak daerah provinsi dan kabupaten mengalami pemekaran wilayah. Konsekuensinya mebutuhkan bangunan perkantoran dan sarana serta prasana ekonomi pendukung yang tidak sedikit mengunakan lahan sawah.

Informasi ke tiga menunjukkan bahwa krisis ekonomi berakibat tingginya angka pengagguran menyebabkan menurunnya pendapatan masyarakat. Keadaan ini memicu terjadinya konversi lahan sawah. Karena sebagian masyarakat yang hanya memiliki aset berupa lahan sawah, akan menjual lahannya untuk kebutuhan hidupnya kepada pihak-pihak yang berpendapatan tinggi. Mereka dapat berupa petani kaya, investor atau bahkan para spekulan.

Informasi ke empat dapat diinterpretasikan bahwa walaupun pemerintah sulit mengendalikan konversi lahan sawah, antisipasi melalui pencetakan sawah baru dan perbaikan kualitas irigasi mampu meningkatkan luas lahan sawah secara agregat.

Walaupun kualitas lahan sawah yang baru dicetak lebih rendah dari lahan sawah yang sudah mapan berbeda, demikian juga untuk kualitas lahan sawah di Jawa relatif lebih baik dari lahan sawah di Luar Jawa. Dengan berjalannya waktu dan penerapan teknologi, diharapkan lahan baru tersebut akan meningkat kualitasnya. Saat ini banyak lahan sawah pada sentra produksi padi di Luar Jawa yang mampu menghasilkan produksi gabah sama dengan lahan sawah di Jawa.

Berdasarkan Jenis Irigasi

Berdasarkan jenis irigasinya, ada tiga kemungkinan bentuk konversi lahan sawah. Pertama, dari semua klasifikasi irigasi ke penggunaan non pertanian. Namun berdasarkan peraturan yang ada, tidak mungkin terjadi konversi lahan beririgasi. Dari sisi praktis, bagi individu petani juga kecil kemungkinan mengkonversi lahan irigasi, khususnya untuk pemukiman. Karena lahan sawah irigasi relatif lebih produktif dan dibutuhkan biaya relatif besar untuk menimbun jika digunakan untuk pemukiman. Tidak

4

Page 5: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

demikian halnya bagi investor, walaupun biaya timbun relatif tinggi, penggunaan lahan untuk kegiatan usaha akan memberikan land rent yang lebih baik. Ke dua, konversi lahan sawah dari satu jenis irgasi ke irigasi lainnya yang lebih baik. Hal ini dapat terjadi jika ada program perbaikan irigasi baik yang dilakukan secara swadaya ataupun yang didanai pemerintah. Ke tiga, kebalikan dari bentuk kedua, yaitu konversi dari lahan irigasi yang baik ke irigasi yang kurang baik. Hal ini dapat terjadi karena proses alam yang menyebabkan tidak berfungsinya sistem irigasi, atau dilakukan secara sengaja untuk menghindari peraturan yang ada. Alih fungsi lahan pertanian ke kawasan pemukiman awalnya sebagian besar berasal dari lahan sawah beririgasi.

Secara nasional, banyak sawah tadah hujan yang mengalami koversi neto, yaitu sekitar 15 ribu hektar per tahun. Namun jika dirinci berdasarkan wilayah gambarannya sebagai berikut:

(1) Di Jawa semua jenis irigasi mengalami konversi, dimana sawah tadah hujan menduduki urutan pertama, diikuti oleh sawah irigasi teknis, sawah irigasi semi teknis dan sawah irigasi sederhana; dan

(2) Wilayah Luar Jawa, konversi lahan sawah yang terjadi relatif sedikit, itupun hanya pada sawah irigasi sederhana dan tadah hujan di Bali dan Nusa Tenggara) dan sawah tadah hujan di Kalimantan dan Sulawesi.

Khusus untuk wilayah Luar Jawa, jika dirinci konversi yang terjadi dari periode ke periode adalah sebagai berikut:

(1) Secara neto, hanya di Sumatera dan Sulawesi sawah irigasi teknisnya tidak pernah terkonversi, sedangkan sawah lainnya pernah; dan

(2) Wilayah Bali dan Nusa Tenggara dan wilayah Kalimantan sawah irigasi teknisnya pernah mengalami konversi.

Peraturan yang ada belum dapat berjalan efektif untuk meniadakan terjadinya konversi lahan sawah beririgasi, khususnya di Jawa, Kalimantan, , Bali dan Nusa Tenggara. Namun dari kecenderungan yang terjadi di Jawa konversi lahan sawah irigasi cukup besar, sedangkan di wilayah Kalimantan dan Bali-Nusa Tenggara sifatnya sporadis.

FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN KONVERSI LAHAN

Biasanya, perubahan penggunaan lahan berjalan beriringan dengan sewa lahan yang lebih tinggi dan peningkatan nilai tanah. Atas dasar rumus kapitalisasi Ricardo, nilai lahan (V) dapat dihitung dengan

5

Page 6: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

sewa lahan ter-diskon: V = R / i, di mana R adalah sewa tahunan dan i adalah tingkat diskonto. Dalam penjelasan yang lebih kompleks, nilai fleksibilitas tapak yang belum diperbaiki dapat ditambahkan untuk mendapatkan “nilai kini yang diperluas”; ini merupakan pendekatan opsi-riil (Holland et al., 2000.). Sewa lahan dapat dijelaskan sebagai 'diferensial nilai sewa', yang merupakan fungsi dari lokasi (von Thunen, 1826), kualitas tanah (Ricardo, 1817/2004) dan perbedaan intensitas pemanfaatannya. Sewa lahan yang tidak digarap umumnya tidak didasarkan pada input tenaga kerja, namun pada faktor-faktor acak seperti lokasi dan kualitas lahan.

Proses alih fungsi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu:

(i) sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, dan

(ii) sistem non-kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat.

Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan mengenai konversi lahan.

Ada tiga faktor, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah, yaitu

1. Kelangkaan sumberdaya lahan dan air, 2. dinamika pembangunan,3. peningkatan jumlah penduduk.

Secara mikro, faktor-faktor penyebab konversi lahan yang lazim terjadi adalah:

1. Faktor pertambahan penduduk yang begitu cepat berimplikasi kepada permintaan terhadap lahan pemukiman yang semakin meningkat dari tahun ke tahun;

2. Faktor ekonomi yang identik dengan masalah kemiskinan. Masyarakat pedesaan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui hasil penjualan kegiatan pertanian yang umumnya rendah, berusaha mencari bentuk usaha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk mendapatkan modal dalam memulai usahanya, petani pada umumnya menjual tanah yang dimilikinya. Masyarakat pedesaan beranggapan akan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dari penjualan lahan pertanian untuk kegiatan industri dibandingkan harga jual untuk kepentingan persawahan. Di sisi lain pengerjaan lahan pertanian memerlukan biaya tinggi. Sehingga petani lebih memilih

6

Page 7: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

sebagian tanah pertaniannya untuk dijual untuk kegiatan non-pertanian;

3. Faktor luar, yaitu pengaruh warga dari daerah perbatasan yang telah lebih dahulu menjual tanah mereka kepada pihak suasta;

4. Adanya penanaman modal swasta dengan membeli lahan-lahan produktif milik warga;

5. Proses pengalihan pemillik lahan dari warga ke suasta dan ke orang lain yang menguasai lahan dalam luasan lebih dari 10 hektar; dan

6. Intervensi pemerintah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Misalnya, berdasarkan RTRW, seluas tertentu lahan akan dialokasikan untuk pemukiman/perumahan real estate.

Menurut Badan Pertanahan Nasional, upaya-upaya pengendalian konversi lahan oleh pemerintah terasa memberikan hasil yang diharapkan. Namun penelitian, pada kenyataannya peraturan yang ada belum cukup efektif untuk mengendalikan konversi lahan pertanian ke penggunaan lain.

Proses alih fungsi lahan 59,08 persen ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian yang ada seperti halnya perubahan di dalam land tenure system dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian. Faktor luar sistem pertanian, seperti industrialisasi dan faktor-faktor perkotaan lainnya, lebih dominan pengaruhnya dibandingkan dengan faktor demografis.

Berdasarkan hal tersebut, faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi,faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada.

Faktor EkonomiSecara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik

melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non padi merupakan keputusan yang rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti, menunjukkan bahwa penggunaan lahan sawah untuk penanaman padi sangat inferior dibanding penggunaan untuk turisme, perumahan dan industri.

7

Page 8: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

Lokasi lahan sangat menentukan nilai ekonomi (harga) lahan sawah, dan harga lahan ini menjadi faktor utama pendorong konversi sawah (Sumber:

blog.giritontro.com)

Pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian adalah :

(1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya

saing usahatani meningkat.

Alih fungsi lahan sawah menjadi lahan non pertanian, menjadi pemukiman, industri, prasarana dan lainnya. Kedekatan lokasi sawah dengan pusat ekonomi sangat nyata mempengaruhi laju konversi lahan.

Konversi lahan sawah menjadi lahan pertanian non-sawah dan menjadi pemukiman dapat terjadi tanpa melalui transaksi. Namun kasus di Jawa menunjukkan bahwa kasus konversi seperti itu jauh lebih sedikit dibandingkan yang melalui transaksi. Ini menunjukkan bahwa harga lahan sawah sangat mempengaruhi konversi lahan sawah.

Di Kalimantan Selatan, alasan utama petani melakukan konversi lahan pertaniannya adalah karena kebutuhan dan harga lahan yang tinggi, skala usaha yang kurang efisien untuk diusahakan. Sedangkan di Jawa alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan, lahannya berada dalam kawasan industri, serta harga lahan yang sangat tinggi. Pajak lahan yang tinggi cenderung mendorong petani untuk melakukan konversi dan rasio pendapatan non pertanian terhadap

8

Page 9: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

pendapatan total yang tinggi cenderung menghambat petani untuk melakukan konversi. Di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, harga jual lahan yang diterima petani dalam proses alih fungsi lahan secara signifikan dipengaruhi oleh status lahan, jumlah tenaga kerja yang terserap di lahan tersebut, jarak dari saluran tersier, jarak dari jalan, dan jarak dari kawasan industri atau pemukiman. Sementara itu produktivitas lahan, jenis irigasi, dan peubah juga berpengaruh signifikan.

Produktivitas padi menjadi faktor penting dalam konversi lahan sawah (Sumber: m.kompas.com).

Indikator lingkungan makro yang juga mempengaruhi konversi lahan pertanian adalah nilai tukar petani sebagai proksi daya saing produk pertanian, khsususnya padi; PDB sektor industri, transportasi dan perdagangan, hotel dan restoran, pembangunan prasarana jalan dan pembangunan sarana pasar dan turisme; jumlah penduduk yang mempunyai kebutuhan pemukiman.

Konversi Lahan Pertanian Mengkhawatirkan

Dirjen Tanaman Pangan mengkhawatirkan kalau dalam Rencana Tata Ruang Wilayah daerah yang sedang dirancang, ada sekitar 3 juta lahan pertanian akan dikonversi menjadi penggunaan lain. Laju perubahan konversi lahan ini sangat mengkhawatirkan dan akan menghambat program revitasliasai pertanian. Di Jawa saja laju perubahan konversi lahan pertanian diduga sekitar 40.000 ha/tahun. Hal ini dapat terjadi karena insentif ekonomi bagi pemilik lahan pertanian relative rendah. Jika sektor

9

Page 10: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

pertanian tidak menguntungkan, maka para petani pemilik lahan pasti akan mengalih-gunakan lahan usahanya.Selain konversi lahan, masalah yang dihadapi adalah ketimpangan distribusi lahan. Dengan lahan yang kurang dari 0,5 ha berapapun persentase keuntungannya petani masih saja miskin. Dengan lahan 0,2 ha, petani hanya akan mendapatkan pendapatan Rp 300.000 sekali panen atau 4 bulan.

Secara makro, untuk wilayah Jawa dapat dilihat adanya hubungan antara rataan luas lahan sawah yang terkonversi setiap tahun dengan rataan pertumbuhan PDRB, khususnya PDRB total dan PDRB Transportasi dan komunikasi. Artinya makin tinggi aktivitas ekonomi akan membutuhkan lahan sebagai input kegiatan produksi yang dilakukan. Keterbatasan lahan di Jawa dan keberadaan lahan sawah yang sebagian besar pada daerah yang mudah diakses, menyebabkan banyak lahan sawah yang digunakan untuk mendukung aktivitas ekonomi tersebut.

Namun demikian, hubungan antara konversi lahan sawah dengan PDRB industri dan PDRB perdagangan, hotel dan restoran memperlihatkan perilaku yang berbeda. Pada periode krisis ekonomi kegiatan industri di Indonesia mengalami stagnan, sedangkan kegiatan perdagangan (khususnya impor) dan turisme mengalami peningkatan akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Dua kegiatan ini bersama dengan pengeluaran pemerintah dan penjualan asset berupa lahan sawah bagi sebagian masyarakat untuk menghindari tekanan ekonomi diperkirakan yang menyebabkan banyaknya lahan yang terkonversi pada saat krisis ekonomi.

Data pada tingkat nasional, konversi lahan yang positif berarti pencetakan lahan sawah lebih besar dari lahan sawah yang beralih fungsi. Sejak periode 1990-2000, terlihat ada hubungan positif antara rataan konversi lahan sawah dengan pertumbuhan PDB. Dengan meningkatnya aktivitas ekonomi, konversi lahan sawah semakin meningkat.

Secara makro aktivitas ekonomi juga membutuhkan input lahan, diantaranya lahan sawah, untuk aktivitas pembangunan ekonomi. Kondisi di Luar Jawa menunjukkan bahwa ketersediaan dana untuk mencetak sawah baru dapat mengimbangi laju konversi sawah. Namun keterbatasan dana pada saat krisis ekonomi menyebabkan faktor-faktor yang mendorong konversi semakin besar, sedangkan dana untuk pencetakan sawah baru jauh berkurang, sehingga konversi lahan sawah menjadi jauh meningkat.

Secara makro hubungan konversi lahan sawah dengan peningkatan jumlah penduduk tidak berkorelasi positif. Peningkatan jumlah konversi lahan sawah baik di Jawa maupun Indonesia pada periode 1990-2000 dari periode sebelumnya tidak diikuti oleh peningkatan kelipatan jumlah penduduk. Hasil ini berbeda dengan data mikro. Perbedaan ini dapat

10

Page 11: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

dijelaskan bahwa peningkatan pembangunan pemukiman baik yang dilakukan pengembang atau yang dibangun secara pribadi-peribadi tidak hanya akibat bertambahnya penduduk, tetapi sebagian merupakan investasi bagi masyarakat yang berpendapatan tinggi yang akhir-akhir ini merupakan trend masyarakat di sekitar perkotaan.

Rataan konversi lahan sawah berhubungan negatif dengan pertumbuhan nilai tukar petani. Usaha produksi padi di lahan sawah sudah tidak memberikan insentif yang memadai bagi petani. Daya saing produk pertanian, khususnya padi, dan harga lahan yang cenderung terus meningkat mendorong petani menjual lahan sawahnya dan beralih ke usaha lain.

Faktor SosialAda lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu:

perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Dengan asumsi pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan.

Perubahan Perilaku

Prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi yang memadai telah membuka wawasan penduduk pedesaan terhadap dunia baru di luar lingkungannnya. Mereka merasa dirinya sebagai petani ketinggalan zaman dan sama sekali belum modern. Persepsi mereka, terutama generasi mudanya, terhadap profesi petani tidak jauh berbeda dengan persepsi masyarakat perkotaan, yaitu bahwa profesi petani adalah pekerjaan yang kotor, sengsara, dan kurang bergengsi.

Akibat perubahan cara pandang tersebut, citra petani dibenak mereka semakin menurun. Dengan demikian lahan pertanian bukan lagi merupakan aset sosial semata, tetapi lebih diandalkan sebagai aset ekonomi atau modal kerja bila mereka beralih profesi di luar bidang pertanian. Mereka tidak akan keberatan melepaskan lahan pertaniannya untuk dialihfungsikan pada penggunaan non pertanian. Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan kondisi ekonomi seperti saat ini, dimana kesempatan kerja formal semakin kecil. Tidak sedikit petani menjual lahannya untuk biaya masuk kerja pada lapangan kerja formal, atau membeli kendaraan untuk angkutan umum.

Hubungan antara Pemilik dengan Lahannya

11

Page 12: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

Bagi petani yang hanya menggantungkan kehidupan dan penghidupannya pada usahatani akan sulit dipisahkan dari lahan pertanian yang dikuasainya. Mereka tidak berani menanggung risiko atas ketidakpastian penghidupannya sesudah lahan pertaniannya dilepaskan kepada orang lain. Di samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya.

Dengan memiliki lahan yang luas, petani dapat memberi pekerjaan kepada tetangganya. Hubungan antara pemilik lahan dengan buruhnya diikat dalam ikatan kekeluargaan yang saling membutuhkan, meskipun dalam status yang berbeda. Dalam hal ini, lahan pertanian merupakan aset sosial bagi pemiliknya yang dapat digunakan sebagai instrumen untuk mempertahankan kehormatan keluarganya. Lahan pertanian yang memiliki fungsi sosial seperti ini tidak mudah tergantikan dengan imbalan ganti rugi berupa uang meskipun jumlahnya memadai.

Pemecahan Lahan

Sistem waris dapat menyebabkan kepemilikan lahan yang semakin menyempit. Lahan pertanian yang sempit di samping pengelolaannya kurang efisien juga hanya memberikan sedikit kontribusi bagi pendapatan keluarga petani pemiliknya. Biasanya petani tidak lagi mengandalkan penghidupannya dari bidang pertanian, sehingga mereka beralih mencari sumber pendapatan baru di bidang non pertanian. Untuk itu mereka membutuhkan modal atau dana yang diperoleh dengan cara menjual lahan pertaniannya. Banyak juga lahan yang diwariskan petani kepada anaknya digunakan untuk pemukiman sebagai akibat pengembangan keluarga melalui perkawinan. Bentuk lain yang berhubungan dengan pemecahan lahan adalah lembaga perkawinan yang umumnya berlaku di lingkungan masyarakat petani di pedesaan. Terbentuknya keluarga baru biasanya dibekali sebidang lahan oleh masing-masing pihak orangtua suami dan isteri untuk digabungkan menjadi milik bersama. Permasalahannya letak kedua lahan tersebut cenderung terpisah., sehingga kurang efisien dalam pengelolaannya dan sulit mengendalikannya. Dua kondisi ini mendorong pemiliknya untuk menjual sebagian lahan tersebut.

Peraturan Pengendalian Konversi Lahan PertanianUntuk mengendalikan konversi lahan pertanian ke non pertanian

pemerintah mengantisipasi dengan membuat peraturan pertanahan. Pengaturan ini bertujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perkembangan perekonomian pada umumnya.

Dari peraturan yang ada tersebut sebagian besar membahas tentang larangan alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis ke penggunaan non pertanian. Peraturan lainnya membahas tentang lahan subur ,

12

Page 13: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

pemanfaatan lahan kosong dan batasan luas lahan untuk izin usaha. Secara implisit berarti peraturan ini tidak untuk lahan sawah yang tidak beririgasi teknis, yaitu sawah irigasi sederhana dan tadah hujan. Padahal khusus untuk lahan sawah beririgasi sederhana, kondisi irigasinya tidak lebih buruk dari sawah beririgasi semi teknis, sehingga produktivitasnya sebanding dengan sawah beririgasi semi teknis.

Karena peraturannya ditekankan hanya untuk sawah beririgasi teknis, maka akan memungkinkan bagi seseorang untuk melakukan alih fungsi lahan dengan cara mengkondisikan sawah beririgasi menjadi sawah dengan tidak beririgasi, sehingga dapat dialih fungsikan. Keadaan ini banyak terjadi di lapangan, terutama pada lahan sawah beririgasi di sekitar pemukiman dan perkotaan.

Adanya kecenderungan terjadinya pengalihan lahan sawah beririgasi menjadi lahan sawah tidak beririgasi dengan cara tidak memfungsikan sistem irigasinya diantisipasi dengan pertaturan No.4, antara lain tentang larangan untuk memberikan persetujuan izin pengeringan sawah beririgasi teknis. Namun demikian hal ini sulit untuk dikontrol, terutama untuk penggunaan pemukiman individual yang tidak tidak memerlukan izin yang terlalu rumit layaknya jika diperuntukkan untuk usaha. Bagi badan usaha sendiri masih memungkinkan melakukan hal ini untuk tujuan utama untuk usaha non pertanian. Harga tanah yang terus cenderung meningkat memungkinkan hal tersebut terjadi, karena ada kompensasi dana yang diinvestasikan dalam bentuk tanah tersebut

Dari peraturan yang ada, sebagian besar berisi larangan. Namun masih ada celah bagi pengejar rente untuk melakukan negosiasi dan lobi dengan memanfaatkan peraturan. Dalam peraturan tersebut penggunaaan tanah sawah beririgasi masih dapat dilakukan asalkan sesedikit mungkin dan dalam keadaan terpaksa. Dua keadaan ini sifatnya sangat relatif, sehingga berpotensi untuk memicu terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis ke non pertanian. Di samping itu tidak ada kejelasan ganjaran atau sanksi yang akan diberikan bagi yang melanggar aturan yang ada tersebut.

DAMPAK KONVERSI LAHAN

Konversi lahan berimplikasi pada perubahan struktur agraria, beberapa perubahan yang terjadi, yaitu:

1) Perubahan pola penguasaan lahan. Pola penguasaan tanah dapat diketahui dari pemilikan tanah dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain. Perubahan yang terjadi akibat adanya konversi yaitu terjadinya perubahan jumlah penguasaan tanah. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa

13

Page 14: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

petani pemilik berubah menjadi penggarap dan petani penggarap berubah menjadi buruh tani. Implikasi dari perubaha ini yaitu buruh tani sulit mendapatkan lahan dan terjadinya prose marginalisasi.

2) Perubahan pola penggunaan tanah. Pola penggunaan tanah dapat dari bagaimana masyarakat dan pihak-pihak lain memanfaatkan sumber daya agraria tersebut. Konversi lahan menyebabkan pergeseran tenaga kerja dalam pemanfaatan sumber agraria, khususnya tenaga kerja wanita. Konversi lahan mempengaruhi berkurangnya kesempatan kerja di sektor pertanian. Selain itu, konversi lahan menyebabkan perubahan pada pemanfaatan tanah dengan intensitas pertanian yang makin tinggi. Implikasi dari berlangsungnya perubahan ini adalah dimanfaatkannya lahan tanpa mengenal sistem “bera”, khususnya untuk tanah sawah.

3) Perubahan pola hubungan agraria. Tanah yang makin terbatas menyebabkan memudarnya sistem bagi hasil tanah “maro” menjadi “mertelu”. Demikian juga dengan munculnya sistem tanah baru yaitu sistem sewa dan sistem jual gadai. Perubahan terjadi karena meningkatnya nilai tanah dan makin terbatasnya tanah.

4) Perubahan pola nafkah agraria. Pola nafkah dikaji berdasarkan sistem mata pencaharian masyarakat dari hasil-hasil produksi pertanian dibandingkan dengan hasil non pertanian. Keterbatasan lahan dan keterdesakan ekonomi rumah tangga menyebabkan pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.

5) Perubahan sosial dan komunitas. Konversi lahan dapat menyebabkan kemunduran kemampuan ekonomi (pendapatan yang semakin menurun).

Dampak Konversi Lahan Sawah

Dampak konversi lahan sawah dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari fungsinya, lahan sawah diperuntukan untuk memproduksi padi. Dengan demikian adanya konversi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan produksi padi nasional.

Ke dua, dari bentuknya perubahan lahan sawah ke pemukiman, perkantoran, prasarana jalan dan lainnya berimplikasi besarnya kerugian akibat sudah diinvestasikannya dana untuk mencetak sawah, membangun waduk dan sistem irigasi. Volume produksi yang hilang akibat konversi lahan sawah ditentukan oleh: pola tanam yang diterapkan di lahan sawah yang belum dikonversi; produktivitas usahatani dari masing-masing

14

Page 15: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

komoditi dari pola tanam yang diterapkan; dan luas lahan sawah yang terkonversi.

Rumus dasar untuk menghitung kehilangan produksi akibat konversi pada tahun t di wilayah tertentu sebagai berikut:

Qti = Lti · Iti · Yti

dimana:

Qti = produksi padi pada tahun t di wilayah iLti = luas baku sawah pada tahun t di wilayah iIti = intensitas panen padi per tahun pada tahun t di wilayah iYti = Produktivitas padi per musim per hektar pada tahun t di wilayah I.

Rumus akan lebih kompleks namun lebih akurat apabila dilakukan setiap musim tanam padi. Perhitungan berdasarkan musim tanam akan menghasilkan perkiraan yang lebih akurat. Dengan demikian dapat dihitung berapa ton produksi padi potensial yang hilang akibat adanya konversi lahan sawah. Rata-rata produksi padi yang hilang akibat konversi lahan sawah di Jawa tak kurang dari 8 ton/Ha/tahun. Penelitian terbaru Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor menyatakan bahwa dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Jawa selama 18 tahun (1981-1999) diperkirakan secara akumulasi mencapai 50,9 juta ton atau sekitar 2,82 juta ton per tahun.

Kehilangan produksi tersebut tidak mampu ditutup oleh pencetakan lahan sawah yang dilakukan di luar Jawa. Ketidakmampuan sawah baru menggantikan sawah yang terkonversi di Jawa disebabkan rata-rata sawah di Jawa tingkat produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan produktivitas lahan sawah di Luar Jawa, apalagi sawah-sawah yang baru dicetak.

Pengaruh Konversi Lahan Pertanian Terhadap Produksi Padi Di Kabupaten Asahan (Studi Kasus : Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara) (Fajar Akbar Addhitama)

Kabupaten Asahan adalah salah satu Kabupaten yang dalam 5 (lima) tahun terakhir terus mengalami konversi lahan, khususnya lahan pertanian. Konversi lahan ini mengakibatkan luas lahan pertanian di Kabupaten Asahan terus mengalami penurunan. Lahan yang paling banyak terkonversi adalah jenis lahan sawah, yang beralih fungsi menjadi lahan kering, dan menjadi lahan non pertanian, seperti digunakan untuk bangunan, dan hal-hal lain sebagainya. Luas lahan pertanian, khususnya lahan sawah berhubungan dengan tingkat produksi padi.

15

Page 16: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

Konversi lahan sawah mempengaruhi produksi padi di Kabupaten Asahan. Jika luas lahan sawah terus berkurang karena adanya konversi, maka sudah tentu produksi padi juga akan ikut berkurang Pemanfaatan lahan di Kabupaten Asahan dapat dibagi menjadi 4 (empat) jenis, yaitu tanah sawah, tanah kering, bangunan/pemukiman dan lain-lain dimana pemanfaatan lahan yang terbesar jika dilihat dari rata-rata penggunaannya terdapat pada tanah kering dengan rataan 328.314,07 ha, rataan untuk penggunaan bangunan sebesar 51.795,96 ha, rataan untuk penggunaan tanah sawah sebesar 45.870,81 ha, dan rataan penggunaan untuk lain-lain sebesar 36.878,16 ha. Luas lahan pertanian pada tahun 2020 diramalkan sebesar 334351.64 ha, dimana lahan pertanian pada tahun 2020 mengalami penurunan luas lahan sebesar 27,928.42 ha dibandingkan luas lahan tahun 2006. Sedangkan produksi padi pada tahun 2020 diramalkan sebesar 149.989,10 ton, dimana produksi padi pada tahun 2020 akan mengalami penurunan sebesar 108.990 ton dibandingkan produksi padi pada tahun 2006.

Namun demikian jika tidak ada upaya pencetakan lahan sawah di Luar Jawa tentunya impor yang dibutuhkan akan lebih besar lagi. Di samping itu hendaknya perbaikan teknologi budidaya padi lahan sawah dan lahan kering serta upaya-upaya penyuluhan yang akhir-akhir ini menurun, sebaiknya ditingkatkan lagi secara terus menerus. Di sisi permintaan, upaya diversifikasi pangan pokok dengan bahan lokal yang masih tersendat perlu diupayakan terus. Jika dikaji secara fisik, alih fungsi lahan sawah ke non pertanian merupakan suatu proses yang mahal. Biaya investasi untuk pencetakan dan pengembangan sistem pertanian sawah sangat besar, baik kaitannya dengan pembangunan waduk, sistem irigasi, maupun pemantapan ekosistem sawah yang umumnya butuh waktu lebih dari 10 tahun.

Dampak lain dari alih fungsi lahan pertanian adalah: kesempatan kerja pertanian menurun sejalan dengan menurunnya lahan pertanian yang tersedia, kesempatan kerja yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan produksi padi, dan degradasi lingkungan. Di samping itu biaya investasi pengembangan struktur sosial terutama dalam bentuk pengembangan sistem kelembagaan pertanian, yang menjadi soko guru sistem produksi beras di Indonesia sangat mahal.

Upaya Pengendalian Konversi Lahan Sawah

16

Page 17: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

Berdasarkan fakta, upaya pencegahan konversi lahan sawah sulit dilakukan, karena lahan sawah merupakan private good yang legal untuk ditransaksikan. Oleh karena itu upaya yang dapat dilakukan hanya bersifat pengendalian. Pengendalian yang dilakukan sebaiknya bertitik tolak dari faktor-faktor penyebab terjadinya konversi lahan sawah, yaitu faktor ekonomi, sosial, dan perangkat hukum. Namun hal tersebut hendaknya didukung oleh keakuratan pemetaan dan pendataan penggunaan lahan yang dilengkapi dengan teknologi yang memadai.

Beberapa konsep pengendalian telah direkomendasikan oleh beberapa peneliti. Namun karena belum adanya pemberdayaan hukum yang konsisten dan dibutuhkan prasyarat yang ketat maka, pengendalian konversi lahan cenderung tidak efektif. Pengendalian dengan instrumen ekonomi dapat dilakukan melalui mekanisme kompensasi dan kebijakan pajak progressif. Kebijakan pajak progresif relatif mudah diaplikasikan dan sudah dirintis oleh pemerintah. Namun dua peneliti tersebut mengkhawatirkan penggunaan pendekatan kompensasi dan pajak progerssif akan mengarah kepada kondisi kapitalis dimana sumberdaya lahan akan dikuasai dan dimiliki oleh orang yang modalnya kuat.

Dengan pendataan yang akurat dan penegakan hukum yang konsisten, sebenarnya pengenaan pajak progresif cenderung lebih aplikatif. Kekhawatiran mengarah pada kapitalis dapat dihambat dengan penegakan hukum. Implikasi ekonomi dari penerapan pajak ini akan menggeser kurva penawaran lahan sawah ke kiri. Kalaupun terjadi transaksi dengan harga yang relatif mahal. Untuk kebutuhan konsumtif (perumahan) sebenarnya hal tersebut tidak menjadi masalah, karena dibebankan pada konsumen yang umumnya berpendapatan menegah ke atas. Jika konsumennya untuk kegiatan industri, akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Namun dengan kondisi pasar yang makin mengglobal, ekonomi biaya tinggi akan menjadi tidak efisen dan kalah bersaing. Hal tersebut seharusnya menyebabkan investor mengalihkan ke lahan yang sesuai dengan peruntukkannya. Apalagi pemerintah menyediakan fasilitas industri, perkantoran dan perdagangan yang dilengkapi dengan sarana penunjang lainnya.

Hingga saat ini kekhawatiran juga terjadi dalam hal penerapan hukum yang berkaitan dengan pengendalian konversi lahan sawah. Data menunjukkan konversi lahan sawah terus terjadi. Sebagian permasalahan konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dan terjadi akumulasi penguasaan lahan pada pihak tertentu dapat dijawab dengan reformasi agraria. Namun kegiatan ini membutuhkan tenaga pelaksana yang jujur, tersedianya data penguasaan dan pemilikan lahan yang lengkap, dan dukungan dana yang terus menerus. Prasyarat tersebut menyebabkan banyak negara gagal melaksanakannya.

17

Page 18: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

Mentan: Awasi Izin Konversi Lahan. (REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA)Menteri Pertanian, menghimbau kepada seluruh pihak untuk mengawasi pemberian izin konversi lahan yang dilakukan bupati atau walikota. Banyaknya incumbent bupati atau wali kota yang maju kembali dalam pencalonan pemilihan kepala daerah, ditenggarai turut memicu mudahnya pemberian izin konversi lahan, khususnya lahan pertanian produktif.Selama ini laju alih fungsi lahan pertanian sudah sangat mengkhawatirkan dengan angka mencapai 100 ribu hektare per tahun. Konversi lahan paling parah terjadi di Pulau Jawa. Umumnya, lahan-lahan pertanian berubah fungsi menjadi kawasan perumahan, pertokoan modern, dan wahana rekreasi.Dengan fakta seperti ini, salah satu cara yang paling efektif untuk mencapai target swasembada sejumlah komoditas pangan adalah pembukaan lahan baru. Untuk tanaman pangan seperti padi, pembukaan sawah-sawah baru harus dapat dilakukan dengan cepat. Setiap pengurangan lahan pertanian banyak akan berpengaruh pada produktivitas tanaman pangan. Padahal produktivitas harus dapat ditingkatkan untuk swasembada pangan.Untuk mengejar peningkatan lahan-lahan pertanian baru, pemerintah menargetkan ada penambahan lahan sampai 50 ribu hektare setiap tahunnya. Anggaran untuk pembukaan lahan sawah tahun ini hanya cukup untuk kapasitas 30 ribu hektare sawah. Tahun depan anggarannya harus tersedia di atas 50 ribu hektare. Kalau tidak produktivitas pangan dikhawatiekan akan terancam.Selain mengandalkan anggaran negara, saat ini pemerintah juga memfokuskan diri pada keterlibatan peran swasta untuk pembukaan lahan baru. Melalui program usaha pertanian skala luas (food estate), diharapkan defisit lahan akan teratasi dan produktivitas juga meningkat. Potensi lahan yang idle masih sangat luas. Lahan seperti ini dapat dimanfaatkan investor untuk berperan dalam usaha pertanian industrial.Moratorium hutan antara pemerintah dan Norwegia yang membatasi adanya alih fungsi hutan untuk penggunaan lain, tak perlu dikhawatirkan terlalu jauh. Moratorium, hanya membatasi alih fungsi hutan alam primer dan lahan gambut. Sementara lahan idle tidak termasuk dalam hutan alam primer dan lahan gambut. Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, pemerintah tidak akan memberikan izin pembukaan lahan baru untuk usaha perkebunan sawit. Pada saat ini luas areal tanam sawit yang mencapai 7,9 juta hektare sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sawit, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.

Dari faktor sosial, perilaku dan norma-norma yang berlaku di masyarakat cenderung mendorong terjadinya konversi lahan. Lahan sebagai private goods berbeda dengan common goods yang dapat

18

Page 19: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

dikendalikan pemanfaatannya berdasarkan kesepakatan sosial, seperti layaknya pada kawasan hutan dan perairan masih dapat dilindungi pemanfaatannya dengan kesepakatan masyarakat setempat.

Dari tiga faktor di atas, faktor ekonomi dan perangkat hukum secara simultan diharapkan dapat mengendalikan konversi lahan sawah. Dana yang diperoleh dari penerimaan pajak progresif tersebut digunakan untuk pencetakan sawah baru dan perbaikan irigasi. Sejalan dengan upaya peningkatan keakuratan data dan perangkat hukum yang tegas, upaya yang realistis untuk dilakukan adalah mencetak sawah baru dan meningkatkan kualitas irigasi.

Ekosistem lahan sawah mempunyai fungsi ekologis yang belum dapat dievaluasi secara ekonomi (Sumber: mazdavantrend.blogspot.com).

Konversi lahan sawah di Jawa jauh lebih besar dibandingkan wilayah lain di Indonesia, dan kecenderungannya terus meningkat. Kondisi ini mengindikasikan upaya pengendalian konversi lahan sawah yang dilakukan pemerintah tidak efektif. Di Luar Jawa konversi lahan sawah bersifat fluktuatif. Hal ini disebabkan adanya upaya pemerintah mencetak sawah baru untuk mengantisipasi tingginya konversi yang terjadi di Jawa.

Tekanan ekonomi pada saat krisis ekonomi menyebabkan banyak petani menjual asetnya berupa sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dampaknya secara umum meningkatkan konversi lahan sawah dan makin meningkatkan penguasaan lahan pada pihak-pihak pemilik modal.

Secara nasional sawah tadah hujan paling banyak mengalami konversi. Di Jawa lahan sawah dengan berbagai jenis irigasi mengalami konversi, yaitu sawah tadah hujan, sawah irigasi teknis, sawah irigasi semi

19

Page 20: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

teknis dan sawah irigasi sederhana. Sementara itu di Luar Jawa konversi hanya terjadi pada sawah beririgasi sederhana dan tadah hujan. Tingginya konversi lahan sawah beririgasi di Jawa makin menguatkan indikasi bahwa peraturan pengendalian konversi lahan sawah yang ada tidak efektif.

Beberapa penelitian lingkup mikro menunjukkan bahwa harga lahan, aktivitas ekonomi suatu wilayah, pengembangan pemukiman, dan daya saing produk pertanian merupakan faktor-faktor ekonomi yang menentukan konversi lahan sawah. Sementara itu dalam lingkup makro: konversi lahan sawah berkorelasi positif dengan pertumbuhan PDB/PDB; konversi lahan sawah berkorelasi negatip dengan nilai tukar petani. Kedua hal ini sejalan dengan temuan pada lingkup mikro.

Secara mikro, berkembangnya pemukiman mempengaruhi konversi lahan sawah, namun secara makro pengembangan pemukiman yang diproksi dengan peningkatan jumlah penduduk tidak menunjukkan hubungan yang positif. Hal ini mengindikasikan adanya trend pemilikan rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal tetapi sebagai investasi.

Faktor sosial yang berlaku di masyarakat kecenderungannya justru memicu terjadinya konversi lahan sawah. Sementara itu perangkat peraturan pertanahan yang berlaku belum mampu mengendalikan laju konversi lahan sawah. Kerugian ekonomi akibat adanya konversi lahan sawah, berupa hilangnya produksi padi, tidak berfungsinya sistem irigasi, dan tidak berfungsinya kelembagaan pertanian. Jika diperkirakan secara ekonomi nilai kerugian itu sangat besar. Bahkan upaya pencetakan sawah baru belum mampu menutupi kehilangan pruduksi, sehingga Indonesia harus mengimpor beras.

Upaya pencegahan konversi lahan sawah sulit dilakukan, upaya yang dapat dilakukan hanya bersifat pengendalian. Prasyarat yang diperlukan untuk itu adalah perangkat peraturan yang tegas dan harus didukung oleh keakuratan pemetaan dan pendataan penggunaan lahan yang dilengkapi dengan teknologi yang memadai. Dengan pendataan yang akurat dan penegakan hukum yang konsisten, pengenaan pajak progresif pada pembelian lahan sawah lebih aplikatif. Dana penerimaan pajak tersebut digunakan untuk pencetakan sawah baru dan perbaikan irigasi.

20

Page 21: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

Konversi lahan pertanian saat ini sudah sangat mengkhawatirkan terutama dalam rangka memperkuat ketahanan pangan (sumber: kabarbisnis.com).

Sumber: ekonomi.tvone.co.id)

Kementerian Pertanian mengungkapkan, saat ini kemampuan pemerintah dalam melakukan pencetakan areal pertanian baru hanya sekitar 50 ribu hektar (ha) per tahun. Kemampuan cetak sawah baru tersebut jauh lebih rendah dari tingkat alih fungsi atau konversi lahan pertanian ke non pertanian yang mencapai 100 ribu hektar/tahun. Banyak infrastruktur pertanian yang sengaja dirusak agar ada alasan untuk melakukan alih fungsi lahan pertanian.

Konversi Lahan Ancam Produksi beras04 Desember 2010 06:27 WIB.

21

Page 22: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

JAKARTA--MICOM: Menteri Pertanian Suswono menyatakan bahwa konversi atau alih fungsi lahan pertanian mengganggu produksi beras. Setiap tahun tidak kurang dari 100 ribu hektare lahan pertanian yang mengalami alih fungsi. Sebagian besar untuk membangun pemukiman atau pabrik. Padahal, kemampuan mencetak sawah saat ini baru 30 ribu hektare setiap tahun. Memang sekarang ini ancamannya adalah konversi lahan.Pada saat ini, rata-rata kebutuhan beras mencapai 2,7 juta ton setiap bulannya. Adapun secara kumulatif kebutuhan dalam setahun sekitar 33 juta ton. Di sisi lain, tingkat produksi beras rata-rata mencapai 38 juta ton per tahun. Tetapi produksi itu belum memadai memenuhi kebutuhan beras setiap bulannya. Sebab hanya selisih 5 juta ton saja dengan tingkat kebutuhan atau rata-rata hanya cukup untuk kurang dari 2 bulan saja.Pemerintah terus berupaya meningkatkan produktivitas. Selain itu, pemerintah juga akan menggalakkan kampanye mengurangi konsumsi beras. Sebab, masih banyak sumber karbohidrat selain beras, ditargetkan sekitar 1,5% pengurangan konsumsi beras per tahun.Infrastruktur untuk meningkatkan produksi beras juga terus diprioritaskan. Mulai tahun depan akan dibangun 5.200 embung atau penahan air di seluruh Indonesia. Oleh karena itu kalau membangun bendungan jelas memerlukan biaya cukup besar dan dalam waktu dekat tidak mungkin.

22

Page 23: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, M. 2003. Dinamika Konsumsi Beras Rumah Tangga dan Kaitannya dengan Diversifikasi Konsumsi Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Peluang Indonesia untuk Mencukupi Kebutuhan Beras” tanggal 2 Oktober 2003 di Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Departemen Pertaniab, Bogor.

BPS. 1991-2001. Neraca Bahan Makanan Indonesia. Badan Pusat Statistik Jakarta.

____. 1989 - 2001. Statistik Nilai Tukar Petani di Indonesia 1997 – 2000. Badan Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.

____. 1999 dan 2001. Pendapatan Domestik Regional Bruto Provinsi-Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha. Badan Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.

____. 1996. Pendapatan Domestik Regional Bruto Provinsi-Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha. Biro Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.

____. 1999 dan 2001. Pendapatan Nasional Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.

____. 1984, 1986, 1991, 1993, dan 1997. Pendapatan Nasional Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.

____. 1985, 1986, 1989, dan 1992. Pendapatan Regional Provinsi-Provinsi di Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.

____. 2001. Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 Seri: L2.2. Badan Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.

____. 1991. Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk 1990. Biro Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.

____. 1978 – 2000. Survei Pertanian: Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.

FAO. 2003. Food Balance Sheet. Dikutip dari internet: http://apps.fao.org/page/call.

Irawan, B., A. Purwoto, C. Saleh, A. Supriatna, dan N.A. Kirom. 2000. Pengembangan Model Kelembagaan Reservasi Lahan Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.

Irawan, B. dan S. Friyatno. 2002. Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa Terhadap Produksi Beras dan Kebijakan Pengendaliannya. Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA: Vol.2 No.2 : 79 – 95. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar.

Jamal, E. 2001. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Harga Lahan Sawah pada Proses Alih Fungsi Lahan ke Penggunaan Non

23

Page 24: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

Pertanian: Studi Kasus di Beberapa Desa, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 19 Nomor 1:45-63. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.

_______. 2000. Beberapa Permasalahan dalam Pelaksanaan Reformasi Agraria di Indonesia. Forum Agro Ekonomi. Volume 18. No. 1 dan 2.: 16 – 24. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.

Nasoetion, L. dan J. Winoto. 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Dalam Prosiding Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 64 - 82. Hasil Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor.

Rusastra, I W. dan G.S. Budhi. 1997. Konversi Lahan Pertanian dan Strategi Antisipatif dalam Penanggulangannya. Julnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Volume XVI, Nomor 4 : 107 – 113. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.

Rusatra, I.W., G.S. Budhi, S. Bahri, K.M. Noekman, M.S.M. Tambunan, Sunarsih dan T. Sudaryanto. 1997. Perubahan Struktur Ekonomi Pedesaan: Analisis Sensus Pertanian 1983 dan 1993. Laporan Hasil Penelitian. . Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.

Sumaryanto, Hermanto, dan E. Pasandaran. 1996. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Pelestarian Swasembada Beras dan Sosial Ekonomi Petani. Dalam Prosiding Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 92 - 112. Hasil Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor.

Syafa’at, N., W. Sudana, N. Ilham, H. Supriyadi dan R. Hendayana. 2001. Kajian Penyebab Penurunan Produksi Padi Tahun 2001 di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian: Analisis Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Respon terhadap Issu Aktual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.

Syafa’at, N., H.P. Saliem dan Saktyanu, K.D. 1995. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Sawah di Tingkat Petani. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian “Profil Kelembagaan Pemanfaatan

24

Page 25: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

Sumberdaya Pertanian, dan Prospek Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Buku 1: 42 – 56. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.

Syam, A., M. Syukur, N. Ilham dan Sumedi. 2000. Baseline Survey Program Pemberdayaan Petani Untuk Mencapai Ketahanan Pangan. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.

Suwarno, P.S. 1996. Alih Fungsi Tanah Pertanian dan Langkah-Langkah Penanggulangannya. Dalam Prosiding Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 121 - 134. Hasil Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor.

Syaukat, Y. 2003. Ekonomi Sumberdaya & Lingkungan Lanjutan: Ekonomi Sumberdaya Lahan. Bahan Kuliah. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 33 p.

Witjaksono, R. 1996. Alih Fungsi Lahan: Suatu Tinjauan Sosiologis. Dalam Prosiding Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 113 - 120. Hasil Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor.

Hidayat, Hamid. 1991. Masalah Struktur Agraria dan Kedudukan Sosial Ekonomi Masyarakat di Desa Pujon Kidul (Wilayah Daerah Aliran Sungai Konto, Kabupaten Malang). Tesis. Program Pasca Sarjana IPB.

Hidayat , Kliwon. 1984. Struktur Penguasaan Tanah dan Hubungan Kerja Agraris di Desa Jatisari, Lumjang, Jawa Timur. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB.

Irawan, Bambang. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 23 No. 1, Juli 2005: 1-18.

Kustiawan, Iwan. 1997. Permasalahan Konversi Lahan pertanian dan Implikasinya terhadap Penataan Ruang Wilayah Studi Kasus : Wilayah Pantai Utara Jawa. Jurnal PWK Vol.8. No 1/Januari 1997.

Mahodo, Riptono Sri. 1991. Struktur Pemilikan Penguasaan Lahan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan di Kabupaten Tangerang. Tesis. Program Pasca Sajana. IPB.

Martua Sihaloho. 2004. Konversi Lahan pertanian dan Perubahan Struktur Agraria (Kasus di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat). Tesis. .Sekolah Pasca Sarjana IPB.

25

Page 26: Alternatif Pembiayaan Konservasi DAS · Web viewDi samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang

Nasoetion, Lutfi Ibrahim. 2006. Konversi Lahan Pertanian: Aspek Hukum dan Implementasinya. Jakarta: Badan Pertanahan Nasional Disampaikan pada Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian.

Pasandaran, Effendi. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia dalam Jurnal Litbang pertanian 25(4) 2006.

Purtomo Somaji, Rafael. 1994. Perubahan Tata Guna Lahan dan Dampaknya terhadap Masyarakat petani di Jawa Timur. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB.

Sajogjo, Pudjiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan. Jakarta : PT Esata Dinamika.

Sitorus, MT. F. 2002: Lingkup Agraria dalam Menuju keadilan Agraria : 70 Tahun Gunawan Wiradi, Penyunting Endang, Suhendar et al. Yayasan AKATIGA, Bandung.

Sitorus, MT. F. dan Gunawan Wiradi. 1999. Sosiologi Agraria : Kumpulan Tulisan Terpilih. Bogor : Labolatorium Sosio, antropologi, dan Kependudukan Faperta IPB.

Sitorus, M. T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor

Syahyuti..Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggir Hutan : Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecamatan palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB.

Utomo, Muhajir, Eddy Rifai, Abdumuthalib Thahar. 1992. Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung. Badar Lampung.

Wahyuni, Ekawati sri dan Pudji Mulyono. 2006. Modul Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial. Diterbitkan di Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB.

Wiradi, G 1984: Pola Penguasaan tanah dan reforma agraria dalam Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, penyunting Sediono M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi , PT Gramedia, Jakarta.

PerangkumProf Dr Soemarno

PPSUB – Nopember 2013

26