ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PEMAKAI BAHASA INDONESIA PADA AKTIVITAS DISKUSI SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 TOMPOBULU KABUPATEN GOWA CODE SWITCHING AND CODE MIXING THE USE OF INDONESIAN IN CLASS VIII STUDENT DISCUSSION ACTIVITY OF SMP 1 TOMPOBULU PUBLIC GOWA DISTRICT c Tesis Oleh: N U R S Y A M S I Nomor Induk Mahasiswa : 105.04.09.107.14 PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR MAKASSAR 2016
141
Embed
alih kode dan campur kode pemakai bahasa - Universitas ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PEMAKAI BAHASA INDONESIA PADA AKTIVITAS DISKUSI SISWA KELAS VIII SMP
NEGERI 1 TOMPOBULU KABUPATEN GOWA
CODE SWITCHING AND CODE MIXING THE USE OF INDONESIAN IN CLASS VIII STUDENT DISCUSSION ACTIVITY
OF SMP 1 TOMPOBULU PUBLIC GOWA DISTRICT c
Tesis
Oleh:
N U R S Y A M S I Nomor Induk Mahasiswa : 105.04.09.107.14
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR 2016
i
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PEMAKAI BAHASA INDONESIA PADA AKTIVITAS DISKUSI SISWA KELAS VIII SMP
NEGERI 1 TOMPOBULU KABUPATEN GOWA
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Magister Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun dan Diajukan oleh
N U R S Y A M S I Nomor Induk Mahasiswa : 105.04.09.107.14
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR 2016
ii
TESIS
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PEMAKAI BAHASA INDONESIA PADA AKTIVITAS DISKUSI SISWA KELAS VIII SMP
NEGERI 1 TOMPOBULU KABUPATEN GOWA
yang disusun dan diajukan oleh
N U R S Y A M S I
NIM: 105.04.09.107. 14
Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Tesis
pada tanggal 15 Juli 2016
Menyetujui,
Komisi Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. H. Kamaruddin, M.A Dr. Andi Jam’an, SE., M.Si. NBM. NBM.651 567
Mengetahui,
Direktur Ketua Program Studi Magister Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Prof.Dr.H.M. Ide Said D.M., M.Pd. Dr.Abd. Rahman Rahim, M.Hum. NBM. 988 463 NBM. 922 699
iii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI
Judul : Alih Kode dan Campur Kode Pemakai Bahasa Indonesia
pada Aktivitas Diskusi Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1
Tompobulu Kabupaten Gowa
Nama : Nursyamsi
NIM : 105.04.09.107. 14
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Konsentrasi : -
Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Penguji Tesis pada
Tanggal 15 Juli 2016 dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan dan dapat
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Program Pascasarjana
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain,
saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, Juli 2016
Yang Menyatakan,
Nursyamsi
v
ABSTRAK
Nursyamsi, 2016. Alih Kode dan Campur Kode Pemakai Bahasa Indonesia pada Aktivitas Diskusi Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Tompobulu Kabupaten Gowa, dibimbing oleh Kamaruddin,dan Andi Jam’an. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan: (1) bentuk, dan (2) faktor penyebab terjadinya peristiwa alih kode dan campur kode dalam diskusi kelompok mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, dengan pendekatan studi kasus. Subjek penelitian adalah siswa kelas VIII, SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa. Objek penelitian ini adalah campur kode dan alih kode dalam proses diskusi kelompok siswa di SMP Negeri 1 Tompobulu. Sumber data diperoleh dari siswa. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data di atas meliputi observasi partisipan pasif pada kegiatan diskusi mata pelajaran bahasa Indonesia dan wawancara dengan guru bahasa Indonesia kelas VIII dan beberapa siswa dari kelas VIII. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Validitas data menggunakan triangulasi metode, triangulasi sumber data, dan review informan.
Hasil penelitian ini adalah:(1) alih kode dan campur kode yang ditemukan dalam penelitian ini adalah (a) alih kode intern dan alih kode ekstern, (b) campur kode bahasa, (c) campur kode yang menggunakan unsur penyisip yang berwujud kata dan frasa, dan (d) campur kode ragam, dan (2) faktor-faktor penyebab alih kode yaitu (a) penutur yang berusaha mengimbangi bahasa lawan tutur, (b) perubahan situasi hadirnya orang ketiga, seperti hadirnya siswa dari kelompok lain, (c) perubahan topik pembicaraan, (d) perubahan formal ke informal tau sebaliknya, dan (e) untuk membangkitkan rasa humor. Faktor penyebab terjadinya campur kode adalah (a) identifikasi peranan sosial, seperti membedakan peran seorang siswa dan guru, (b) identifikasi ragam, seperti ragam santai, baku, usaha, dan resmi, (c) keinginan untuk menafsirkan suatu kata atau istilah yang sulit untuk dijelaskan atau ditafsirkan menggunakan bahasa yang sama, (d) faktor lingkungan keluarga dan masyarakat yang menggunakan bahasa Makasar, (e) latar belakang pendidikan yang rendah , (f) belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari,
Kata Kunci:alih kode,campur kode,bentuk,faktor
vi
ABSTRACT
Nursyamsi, 2016. Code Switching and Code Mixing the Use of Indonesian in Class VIII Student Discussion Activity SMP 1 Tompobulu Public Gowa District guided by: Kamaruddin, dan Andi Jam’an.
This research aims to describe:(1) forms, code switching and code mixing in the use of Indonesian in class VIII student discussion activity SMP 1 Tompobulu country Gowa district and (2) factors causes of events over Code switching and code mixing in the use of Indonesian in class VIII student discussion activity SMP 1 Tompobulu country Gowa district
This research is a descriptive qualitative research, with the approach of
the case study. The subject of the research is that the students of class VIII SMP 1 Tompobulu, Regency of Gowa. The object of this research is to mix code and over the code in the process of discussion group students at SMP 1 Tompobulu. The source of the data obtained from the teachers and students. The techniques used to collect data on the include passive participant observation on the discussion activities in bahasa Indonesia and interview with Indonesian Language teacher class VIII and some students from grade VIII Sampling techniques used in this research is purposive sampling. The validity of the data using triangulation methods, triangulation data sources and review informers. .
The results of this research are: (1) code switching and code mixing
found in this research is (a) over the internal code and over a result code, (b) plus language code, (c) plus the code that uses the elements of interpolation which exist in words and phrases, and (d) plus various code, and (2) the factors that cause over the code (a) proficiency is attempting to compensate for the Bible versus mr, (b) the change in the situation with the presence of the third, such as the presence of students from other groups, (c) changes the topic talks, (d) formal changes to the tau informal rather, and (e) to raise up a sense of humor. The causes of factors plus the code is (a) the identification of the role of the social as distinguish the role of the students and teachers, (b) the identification of the various, such as various relaxd, frozen, business and officially, (c) desire to interpret a word or term that it is difficult to be explained or interpreted using the same language, (d) environmental factors of the family and the community that uses the Makassar language, (e) education background that low because most of the parents of the students is not from bachelor degree but only graduates from SD or SMP , (f) has not been accustomed to using bahasa Indonesia in the day to day communication.
Key Words:code switching, code mixing,form,factor
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Swt. atas segala rahmat dan
hidayah-Nya yang dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
hasil penelitian dengan judul ”Alih Kode dan Campur Kode Pemakai Bahasa
Indonesia pada Aktivitas Diskusi Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Tompobulu
Kabupaten Gowa” guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia,
Program Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Makassar. Penyusunan
hasil tesis ini tidak terlepas dari berbagai kendala dan hambatan, tetapi berkat
rahmat Allah Swt. segala sesuatu dapat diatasi dengan baik. Semuanya tidak
terlepas dari bantuan yang sangat berharga dari berbagai pihak sehingga tesis
ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa syukur,
terima kasih, serta penghargaan yang tak terhingga kepada semua pihak yang
telah membimbing dan membantu penulis.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan
kepada Prof.Dr.H.Kamaruddin,M.A. sebagai pembimbing I, serta
Dr.Andi Jam’an,S.E.,M.,Si. sebagai pembimbing II, atas segala arahan dan
bimbingannya. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis juga
sampaikan kepada Prof. Dr.H.M. Ide Said, D.M.,M.Pd. Direktur Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar dan
Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum. sebagai Ketua Program Studi Magister
viii
Bahasa dan Sastra Indonesia. Segala arahan yang diberikan sejak masa
perkuliahan sampai pada proses penyelesaian hasil tesis ini.Ucapan terima
kasih dan penghargaan yang tulus penulis juga sampaikan kepada Rektor
Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr. H. Irwan Akib, M.Pd. atas
kebijakan-kebijakan universitas pada umumnya.
Terima kasih kepada seluruh keluarga dan kerabat yang telah
membantu, khususnya kepada suami tercinta, kepada anak-anakku tercinta,
yang tidak hentinya memberi motivasi, dan mendukung penulis selama
menempuh pendidikan. Penulis menyadari bahwa meskipun hasil tesis ini
telah dibuat dengan usaha yang maksimal, tidak menutup kemungkinan
masih terdapat kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran
untuk penyempurnaan hasil tesis ini senantiasa penulis harapkan. Penulis
mengharapkan hasil tesis yang sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan pembelajaran bahasa Indonesia. Amin. Billahifisabililhaq
fastabiqul khairat
Makassar, Juli 2016
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ......................................................... HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .......................................... ABSTRAK ..................................................................................................
iii
iv
v ABSTRACT .............................................................................................. KATA PENGANTAR ...................................................................................
vi
vii DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
DAFTAR BAGAN ........................................................................................ xii DAFTAR ISTILAH ........................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN
xiii
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 8
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Hasil Penelitian yang Relevan ......................................... 10
B. Tinjauan Teori dan Konsep ............................................................... 15
1. Hakikat Bahasa ........................................................................... 15
2. Ragam Bahasa .......................................................................... 17
3. Kontak Bahasa …..………………………………………………….. 18
4. Bilingualisme ……………………………………………………....... 19
5. Pengertian Kode ……………………………………...…………….. 23
x
6. Alih Kode ………………………………………………………........
7. Campur Kode …………………………………………………………
25
33
C. Kerangka Pikir …………………………………………………………… 47
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian .................................................................. 50
B. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian………………………………. 50
C. Unit Analisis dan Penemuan Informan …………………………….…. 51
D. Teknik Pengumpulan Data …………………………………..………... 51
E. Teknik Analisis Data ……................................................................. 52
F. Pengecekan Keabsahan Temuan …………..................................... 54
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi dan Hasil Penelitian ………………………………... 56
B. Deskripsi Hasil Penelitian ............................................................... 57
1. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses
diskusi ……………………………………………………………………
57
2. Faktor penyebab pemakaian alih kode dan campur kode dalam
diskusi …………………………………………………………………….
74
C. Pembahasan ………………………………………………………….... 91
1. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses
diskusi kelompok …………………………………………………………
91
2. Faktor penyebab pemakaian alih kode dan campur kode dalam
diskusi …….……………………………………………………………...
D.Kertebatasan Masalah…………………………………………………….
93
105 BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ……………………………………………………………
B. Saran ………………………………………………………………..
107
109
xi
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 110
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……………………………………………...… 113 LAMPIRAN …………………………………………………………………… 114
xii
DAFTAR BAGAN
Bagan Teks Halaman Bagan 2.1 Hubungan antara Bahasa, Bilingulisme,
Alih Kode dan Campur Kode ........................ 24
Bagan 2.2 Kerangka Pikir ………………………………… 49
xiii
DAFTAR ISTILAH
Alih Kode : Peristiwa peralihan pemakaian bahasa dari satu bahasa
ke bahasa lain atau dari satu ragam bahasa ke ragam
bahasa lain
Langue : Abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat individu dan
setara dengan kalam
Kontak Bahasa : Terjadinya bilingualisme dan multilingualisme dengan
berbagai macam kasusnya, seperti interferensi, integrasi, alih
kode, dan campur kode.
Bilingualisme : Pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara
produktif maupun reseptif oleh seorang individu atau
masyarakat.
Kode : Varian kebahasaan yang di pakai masyarakat bahasa
sesuai dengan latar belakang penutur dengan lawan bicara
Campur Kode : Pemakaian satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain
untuk memperluas gaya bahasa termasuk di dalamnya
pemakaian kata atau sapaan.
Idiom : Kontruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan
makna anggota-anggotanya.
ABSTRACT
Nursyamsi, 2016. Code Switching and Code - Mixing in Indonesian of Students Discussion Activities Class VIII SMP 1 Tompobulu Gowa. Supervised by: Kamaruddin, dan Andi Jam’an.
This studt aimed to describe:(1) shape, and (2) the causes of the events of
code switching and code- mixing in the proces of group discussion Indonesia subjects in SMPN 1 Tompobulu,Gowa.
This research was descriptive qualitative , case study approach. The
subjects were students of class VIII-A, VIII-B, VIII-C, VIII-D, VIII-E ,SMPN 1 Tompobulu, Gowa Regency of Gowa. The object of this study was code-mixing and code switching in the process of discussion groups students in SMPN 1 Tompobulu. Source of the data obtained from teachers and students. The technique used to collect data above include observation passive participant in the discussion of subjects Indonesian and Indonesian interviews with teachers and some students in class VIII. The sampling technique used in this research was purposive sampling.The validity of the data using a triangulation method, triangulation data sources and reviews the informant. .
The results of this study were: (1) teachers think that the event of code
switching and code- mixing is the wrong attitude ,so that teachers always familiarize students to communicate with the indonesian even if the student was still difficult to implement,(2) the code switching and code – mixing found in this study werw (a) the code switching internal and code switching externally,(b) code-mixing languages,(c) code-mixing using elemental tangible words and phrases,and (d) code-mixing manner,and (3) factors cause of code that was (a) speakers were triying to keep opponents speech language,(b) changes in the situation the presence of a third person,such as the presence of students from other groups,(c) changes in the subject,(d) changes in otherwise formal to informal,and (e) to evoke a sense of humor.Causes of the mixed code was (a) the identification of social roles,such as to distinguish the role of a student and a teacher,(b) identification of varieties,such as the variety of relaxing,raw,businesses,and official,(c) the desire to interpret a word or term that is difficult to be explained or interpreted using the same language,(d) environmental factors of family and community that uses the language of Makassar,(e) educational background was low,(f) has not been accustomed tousing the Indonesian language in everday communication,and (factor economic families making less students get educatinal facilites that support the Indonesian such as the internet and television.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa memiliki peranan dalam kehidupan manusia.Manusia
selalu menggunakan bahasa dalam berkomunikasi setiap hari mulai dari
matahari terbit sampai matahari terbenam.Manusia menggunakan bahasa
sebagai alat untuk menyampaikan ide atau gagasan,pikiran,dan perasaan
,baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.Bahasa juga digunakan sebagai
perantara ketika berinteraksi dan menjalin hubungan dengan orang lain
di dalam kehidupan bermasyarakat.
Interaksi yang dilakukannya bertujuan untuk kelangsungan
hidupnya. Menurut Anwar (1990: 20) bahasa dan masyarakat tidak dapat
dipisahkan, keduanya memiliki hubungan erat, keduanya saling
mendukung, oleh karenanya keberadaan bahasa tidak dilepaskan dari
masyarakat pemakainya. Masyarakat dan bangsa Indonesia yang berbeda
suku, budaya, dan bahasa tentunya mengerti bahwa mereka adalah
masyarakat multilingual. Artinya kita layak menguasai minimal dua bahasa
yaitu: bahasa Daerah sebagai bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua
(B2) adalah bahasa Indonesia.
Kenyataan ini terlihat dimana masing-masing suku yang terdapat di
Indonesia masih menggunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi di
antara warganya, di samping bahasa Indonesia dan bahasa campuran
2
antara keduanya. Bahasa pun antara lain berfungsi sebagai alat, yaitu
secara individu merupakan proses berpikir, dan secara sosial merupakan
alat interaksi. Pada saat mengadakan interaksi, diantara pemakai bahasa
yang satu dengan yang lain akan timbul suatu kontak bahasa. Kontak
bahasa terjadi dalam diri penutur secara individual, dan individu-individu
tempat terjadinya kontak bahasa itu yang juga merupakan masyarakat
pemakai bahasa disebut dwibahasawan- dwibahasawan.
Sejak lahir manusia sudah diajarkan untuk berbahasa sebagai
sarana berkomunikasi dengan orang-orang di lingkungannya. Pelajaran
bahasa secara formal didapatkan oleh anak-anak mulai dari taman kanak-
kanak sampai perguruan tinggi. Salah satu pelajaran bahasa yang ada
yaitu pelajaran bahasa Indonesia yang diajarkan melalui sebuah proses
belajar mengajar. Dalam interaksi belajar mengajar ada dua pelaku utama
yaitu guru dan siswa. Dalam proses pembalajaran yang baik yaitu siswa
yang harus aktif dalam proses pembelajaran, tidak seperti proses
pembelajaran konvensional di mana siswa hanya menjadi pendengar saat
guru menerangkan materi, tetapi siswa yang lebih banyak bicara tentang
materi, seperti dalam proses pembelajaran, siswa diarahkan oleh guru
agar siswa mau bertukar pikiran dengan teman-teman sekelasnya. Media
yang digunakan dalam proses diskusi tersebut adalah melalui komunikasi
lisan.
Pemakaian bahasa Indonesia pada siswa dari perkotaan berbeda
dengan siswa di daerah pedesaan. Kegiatan belajar mengajar pada siswa
3
yang bersekolah di daerah perkotaan mayoritas menggunakan bahasa
Indonesia, karena bahasa Ibu yang digunakan adalah bahasa Indonesia.
Berbeda dengan siswa yang bersekolah di daerah pedesaan, mereka
lebih sering berkomunikasi lisan. Menggunakan bahasa daerah. Hal
tersebut yang menjadi masalah saat pembelajaran bahasa Indonesia
berlangsung. Di daerah pedesaan, guru harus lebih bekerja keras dalam
mendekatkan siswa pada bahasa Indonesia, bagi siswa yang terbiasa
menggunakan bahasa daerah contohnya siswa yang berasal dari daerah
Makassar-Gowa, maka saat pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung
pun siswa akan kesulitan menyesuaikan diri dengan harus berkomunikasi
lisan dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Di
sekolah menengah pertama, pelajaran bahasa Indonesia menjadi
pelajaran yang wajib. Seharusnya siswa sudah mampu menggunakan
bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam situasi formal seperti saat
kegiatan pembelajaran berlangsung atau saat siswa melakukan aktivitas
diskusi kelompok. Bagi siswa yang berasal dari daerah akan kesulitan
karena mereka tidak terbiasa menggunakan bahasa tersebut.
Salah satu sekolah menengah pertama yang terletak di Kabupaten
Gowa adalah SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa, Provinsi
Sulawesi Selatan. Siswa yang bersekolah di SMPN tersebut umumnya
berasal dari desa dan dusun di sekitar sekolah. Seperti Dusun
Bontomanai, Campagaya, Cikoro, Jangoang, Malakaji, Tappanjeng, dan
Ulugalung. Lokasi sekolah berjarak sekitar 80 Km dari Kota
4
Sungguminasa Gowa. Siswa di SMP Negeri 1 Tompobulu memunyai latar
bahasa yang berbeda-beda, namun sebagian besar mereka berasal dari
keluarga petani yang kesehariannya menggunakan bahasa Makassar
sebagai bahasa sehari-hari, bahkan beberapa di antara mereka masih ada
yang canggung menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan saat
belajar mengajar berlangsung seperti saat berdiskusi kelompok. Beberapa
fakta yang dijelaskan di atas menimbulkan masalah yang tidak ditemui
pada siswa-siswa di perkotaan yang sudah bisa menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, atau paling tidak mereka tidak
canggung berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Siswa-siswa yang bersekolah di pedesaan seperti SMP Negeri 1
Tompobulu, Kabupaten Gowa berbeda dengan siswa-siswa yang
bersekolah di perkotaan yang sudah terbiasa dengan menggunakan
bahasa Indonesia. Di sekolah ini, guru bahasa Indonesia harus dapat
menjelaskan materi dengan sebaik-baiknya, dengan semua aspek
keterampilan siswa terutama keterampilan berbicara. Kelemahan siswa
dalam penguasaan bahasa Indonesia membuat guru memunyai tugas
yang lebih yaitu mengajarkan siswa agar terbiasa berkomunikasi dengan
bahasa Indonesia. Namun, apabila guru mengharuskan siswa bertanya
atau menyampaikan ide menggunakan bahasa Indonesia, maka siswa
yang belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia akan merasa
kesulitan dalam menyampaikan ide mereka. Jadi, kegiatan atau proses
5
belajar mengajar bahasa Indonesia di sekolah tersebut tidak selalu
menggunakan bahasa Indonesia.
Sering terjadi guru menjelaskan materi menggunakan bahasa
daerah (bahasa Makassar). Begitu juga sebaliknya dengan siswa yang
bertanya tentang materi juga ada yang menggunakan bahasa daerah
(bahasa Makassar).
Penggunaan dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa
daerah yang digunakan untuk berkomunikasi dalam proses pembelajaran
sering terjadi pada sekolah yang sebagian besar siswanya tidak
berbahasa ibu bahasa Indonesia. Agar kelancaran proses belajar
mengajar bahasa Indonesia dan materi dapat tersampaikan dengan baik,
maka guru dan siswa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dan
bahasa Daerah. Begitu pula dalam pembelajaran yang sedang
berlangsung, apabila siswa diwajibkan untuk berbicara menggunakan
bahasa Indonesia secara keseluruhan, maka siswa yang masih canggung
menggunakan Bahasa Indonesia akan menjadi pasif (diam), karena
mereka kesulitan untuk mengungkapkan ide.
Peluang munculnya alih kode dan campur kode dapat terjadi atau
muncul apabila dalam satu situasi berupa sekolah pada saat proses
pembelajaran berlangsung. Alih kode dan campur kode akan dapat
muncul pada saat proses pembelajaran siswa di SMP Negeri 1
Tompobulu, Studi kasus ini dilakukan untuk memperoleh data empirik
yang terkait dengan pemunculan alih kode dan campur kode dalam proses
6
diskusi kelompok bahasa Indonesia di kelas VIII SMP Negeri 1
Tompobulu, seperti persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan
campur kode, dan faktor penyebab munculnya alih kode dan campur kode.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang muncul
pada pembelajaran bahasa Indonesia , pada sekolah menengah pertama
di daerah dusun agar menjadi perhatian khusus bagi guru-guru yang
mengajar di daerah tersebut.
Alih kode dan campur kode akan terjadi atau muncul apabila dalam
suatu situasi peserta komunikasi menggunakan dua bahasa. Pemunculan
alih kode dan campur kode tersebut memunyai fungsi dan tujuan tertentu.
Begitu pula dengan pemunculan atau penggunaan alih kode dan campur
kode dalam proses belajar mengajar juga harus memunyai fungsi dan
tujuan tertentu.
Melihat sasarannya adalah siswa, maka salah satu program
pembinaan pemakaian bahasa Indonesia yang paling sesuai adalah
pengajaran bahasa Indonesia yang berada di lembaga- lembaga
pendidikan formal atau sekolah- sekolah. Oleh karena itu, berkaitan
dengan pembinaan pemakai bahasa Indonesia, pengajaran bahasa
Indonesia di sekolah- sekolah perlu mendapat penanganan yang sunguh-
sungguh. Salah satu cara adalah apa yang akan dilakukan oleh peneliti
yakni meneliti bagaimana kemampuan berbahasa Indonesia lisan siswa
dalam proses komunikasi di luar kelas dengan melihat ‘ kesalahan’ dalam
percakapan atau pembicaraan yang mereka lakukan, seberapa banyak
7
masuknya unsur-unsur bahasa daerah, bahasa asing, ke dalam bahasa
Indonesia sebagai fenomena campur kode dalam bahasa Indonesia lisan
Dalam penelitian ini peneliti memilih tingkat sekolah SMP dan kelas
VIII, karena dari segi psikologi pada tingkat ini mereka masuk pada masa
remaja, dimana mereka suka menjelajah, ingin mencoba-coba, bebas
melanggar aturan - aturan berbahasa, termasuk dengan bahasa Indonesia
yang mereka gunakan sehari-hari Selain itu kelas VIII SMP Negeri 1
Tompobulu adalah siswa yang hiterogen berdatangan dari berbagai
sekolah dasar yang ada di Tompobulu dan memiliki dialek bahasa yang
berbeda-beda dengan yang lainnya. Dalam kondisi yang beraneka ragam
ini, di mana mereka ada yang berasal dari dusun dan desa tingkat bahasa
Indonesianya belum diketahui. Semuanya itu boleh jadi memengaruhi
tingkat penggunaan bahasa Indonesia yang berbeda-beda dalam sehari-
hari dengan kemampuan yang berbeda-beda pula,
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi
dalam proses diskusi ,pada pelajaran bahasa Indonesia di kelas VIII
SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa?
8
2. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur
kode dalam proses diskusi.pada pelajaran bahasa Indonesia di
kelas VIII SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mendeskripsikan dan
menjelaskan hal-hal di bawah ini:
1. Mengetahui bentuk-bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi
dalam proses diskusi pada pelajaran bahasa Indonesia di kelas VIII
SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa.
2. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur
kode dalam proses diskusi,pada pelajaran bahasa Indonesia di kelas
VIII SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti,penelitian ini memberikan pengetahuan baru bagi
masyarakat, khususnya bagi mahasiswa program studi pendidikan
bahasa agar semakin berminat menggali kembali peristiwa
kebahasaan yang terjadi di sekitar kita,
2. Bagi guru, penelitian ini dapat menjadi masukan untuk memakai
bahasa yang tepat dalam mengajarkan materi sehingga materi dapat
tersampaikan kepada peserta didik (siswa) dengan jelas dan peserta
didik dapat menangkap materi dengan baik.
9
3. Bagi siswa, dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan
benar.
4. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam upaya
mengadakan inovasi pembelajaran bagi para guru bahasa Indonesia
yang lain, dan meninggalkan strategi pembelajaran yang monoton
(konvensional), selain itu sekolah akan mendapatkan siswa yang
memunyai kemampuan bahasa yang baik.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Wulandari, yang berjudul “Campur Kode dalam Tuturan
Latihan Kepramukaan di SMU Negeri 1 Sentolo”. Ada perbedaan masalah
yang diteliti dalam penelitian di atas dengan penelitian ini yaitu dalam
penelitian Wulandari masalah yang diteliti adalah masalah campur
kode, sedangkan masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah
masalah alih kode dan campur kode. Selain itu, ada hal yang juga
membedakan antara penelitian ini dan penelitian Wulandari yaitu
subjek dan objek penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi
subjek penelitian adalah siswa, objek penelitian adalah semua
pembicaraan yang terjadi dalam proses diskusi siswa, pendapat guru
hanya digunakan untuk mendapatkan jawaban tentang persepsi guru
mengenai peristiwa alih kode dan campur kode bahasa dalam diskusi
siswa. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Wulandari
subjek penelitiannya adalah pembina dan peserta pramuka, objek
penelitiannya adalah semua pembicaraan yang terjadi dalam proses
latihan kepramukaan
Hasil penelitian Wulandari, yang berjudul “Campur Kode dalam
Tuturan Latihan Kepramukaan di SMU Negeri 1 Sentolo” sebagai berikut:
(1) adanya variasi campur kode dalam penelitian tersebut yaitu
11
campur kode bahasa (bahasa Indonesia dengan bahasa Makassar dan
bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris), campur kode ragam (ragam
baku dengan ragam resmi, ragam baku dengan ragam santai, dan ragam
resmi dengan ragam santai), (2) campur kode wujud unsur kebahasaan
dalam latihan kepramukaan yaitu campur kode wujud kata dan
campur kode wujud frasa, dan (3) fungsi pemakaian campur kode
adalah untuk mempertegas, meminta ketegasan, memberi semangat,
dan mengungkapkan makna yang tepat.
Penelitian yang relevan kedua adalah penelitian yang dilakukan
oleh Sari, dengan judul penelitian “Alih Kode dan Campur Kode
dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas II SD Negeri Selopukang
Kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri.” Dalam penelitian Sari yang
menjadi subjek penelitian adalah guru dan siswa, objek penelitian
adalah semua pembicaraan yang terjadi dalam proses belajar
mengajar.
Hasil penelitian Sari, yang berjudul “Alih Kode dan Campur Kode
dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas II SD Negeri Selopukang
Kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri” sebagai berikut.
a. Bentuk alih kode yang terjadi dalam pembelajaran bahasa
Indonesia kelas II SD Negeri Selopukang berupa alih kode
intern , yaitu peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa
Makassar; bentuk campur kode yang terjadi berupa campur kode
12
kata, campur kode frasa, campur kode klausa , dan campur kode
pengulangan kata.
b. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode yang terjadi
yaitu untuk mengimbangi kemampuan berbahasa siswa,
kebiasaan guru dengan mengunakan bahasa Makassar, untuk
menarik perhatian siswa, faktor penyebab terjadinya campur kode
yaitu rendahnya penguasaan kosakata bahasa Indonesia siswa, dan
adanya unsur tanpa disadari oleh guru.
Penelitian relevan yang ketiga adalah hasi penelitian Fatimah,
yang berjudul “Kajian Penggunaan Bahasa dalam Proses Belajar
Mengajar Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Magelang” dalam penelitian
Rima Fatimah yang menjadi subjek penelitian adalah guru dan siswa
sedangkan objek penelitiannya adalah semua pembicaraan siswa dan
guru selama pelajaran berlangsung. dalam penelitian tersebut ada
sembilan kelas yang menjadi subjek penelitian yaitu dari kelas Xa
sampai Xi. Hasil dari penelitian tersebut antara lain.
Macam-macam alih kode yang terjadi dalam proses belajar
mengajar bahasa Indonesia di kelas X SMA Negeri 1 Magelang
adalah alih kode intern dan ekstern. Faktor penyebab alih kode yang
terjadi dalam proses belajar mengajar bahasa Indonesia di kelas X
SMA Negeri 1 Magelang sebagai berikut: (1) penutur dan lawan tutur; (2)
perubahan situasi hadirnya orang ketiga; (3) perubahan topik
13
pembicaraan; (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya; dan
(5) untuk membangkitkan rasa humor.
Penelitian yang relevan yang keempat adalah tesis yang ditulis
oleh Gulzar,(2010) berjudul “Code-switching: Awareness about Its
Utility in Bilingual Classrooms” yang dalam bahasa Indonesia berarti
“alih kode: kesadaran tentang penggunaan alih kode dalam kelas
bilingual (dwi bahasa)”. Hasil penelitian dalam thesis ini adalah sebagai
berikut.
Penelitian tersebut telah memberikan hasil yang signifikan untuk
menggarisbawahi bahwa para guru tidak tahu tentang batas-batas
penggunaan alih kode dan fungsi yang mereka bisa/ harus alih kode
untuk memenuhi kebutuhan siswa. Peneliti menemukan hasil yang
sedikit berbeda dengan penelitian ini, dimana guru tidak menganggap
bahwa peristiwa alih kode yang digunakan siswa selama pelajaran
berlangsung adalah sebuah kesalahan, guru memaklumi keterbatasan
siswa-siswanya. Hasil wawancara dengan guru mata pelajaran
bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Tompobulu, guru menganggap
peristiwa alih kode yang dilakukan siswa adalah sikap yang salah dan
harus dibenahi.
Penelitian yang relevan kelima adalah tesis yang ditulis oleh
Mutmainnah, mahasiswa S-2 Universitas Diponegoro Semarang yang
berjudul “Pemilihan Kode dalam Masyarakat Dwibahasa: Kajian
Sosiolinguistik pada Masyarakat Makassar di Kota Bontang Kalimantan
14
Timur”. Objek penelitian dalam tesis tersebut berbeda dengan penelitian
ini, dalam tesis tersebut objeknya adalah masyarakat Makassar yang
berada di Kota Bontang Kalimantan Timur, sedangkan dalam penelitian
ini objek penelitiannya adalah siswa yang berdiskusi di dalam kelas,
namun memunyai persamaan yaitu menganalisis alih kode yang
digunakan atau dipilih dalam komunikasi. Hasil dari tesis ini adalah
sebagai berikut. Kode yang ditemukan pada masyarakat tutur
Makassar di kota Makassar adalah kode berupa Bahasa Indonesia (BI),
Bahasa Makassar (BM), Bahasa daerah lain (BL), dan Bahasa asing (BA),
dengan faktor-faktor penentu berupa (1) ranah, (2) peserta tutur, dan (3)
norma.
Pada alih kode dengan kode dasar BI, muncul variasi alih kode BJ
dan BA. Pada alih kode dengan kode dasar BJ, muncul variasi alih kode
BI. Campur kode pada masyarakat tutur Makassar memunculkan campur
kode dengan kode BI, BM, BA dan BL. Didasarkan pada jenis
situational code-switching, perubahan bahasa terjadi karena (1)
perubahan situasi tutur, (2) kehadiran orang ketiga, dan (3) peralihan
pokok pembicaraan, sedangkan pada metaphorical code switching
perubahan bahasa terjadi karena penutur ingin menekankan apa
yang diinginkannya. Campur kode terjadi karena (1) keterbatasan
penggunaan kode, dan (2) penggunaan istilah yang lebih populer.
Penelitian relevan yang keenam adalah penelitian yang
dilakukan oleh Muharam, dengan judul “Alih Kode, Campur Kode, dan
15
interferensi yang terjadi dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu
Ternate (Tinjauan Deskriptif terhadap Anak-anak Multikultural Usia 6-8
Tahun di Kelas II SD Negeri Kenari Tinggi 1 Kota Madia Ternate)”. Dalam
penelitian ini objek penelitiannya adalah percakapan siswa dan
subjeknya adalah siswa kelas II SD Negeri Kenari Tinggi 1 Kota Madia
Ternate.Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa siswa-siswa kelas II
SD Negeri Kenari Tinggi kebanyakan menggunakan bahasa atau kosa
kata Melayu Ternate.
Dalam penelitian ini, hal tersebut dialami juga oleh SMP Negeri 1
Tompobulu, Kabupaten Gowa yaitu menggunakan kosakata dari bahasa
daerah (Makassar). Siswa-siswa di sekolah tersebut juga sering menjawab
pertanyaan yang menggunakan kode dasar bahasa Indonesia dengan
bahasa Makassar dari pertanyaan guru yang menggunakan Bahasa
Indonesia.
B. Tinjauan Teori dan Konsep
1. Hakikat Bahasa
Bahasa menurut teori struktural dapat didefinisikan sebagai suatu
sistem tanda arbitrer yang konvensional (Soeparno, 2002: 1). Anderson
(dalam Tarigan 1989: 4) mengemukakan adanya delapan prinsip dasar
mengenai hakikat bahasa yaitu sebagai berikut: (1) bahasa adalah suatu
sistem; (2) bahasa adalah vokal (bunyi ujaran); (3) bahasa tersusun dari
lambang-lambang arbitrer; (4) setiap bahasa bersifat unik (khas); (5)
16
bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan; (6) bahasa adalah alat
komunikasi; (7) bahasa berhubungan erat dengan budaya tempat berada;
dan (8) bahasa selalu berubah-ubah.
Douglas (dalam Tarigan 1989: 5-6) setelah menelaah batasan
bahasa dari enam sumber, membuat rangkuman sebagai berikut:
a. Bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barangkali juga oleh
sistem generatif.
b. Bahasa adalah seperangkat lambang-lambang manasuka atau simbol-
simbol arbitrer.
c. Lambang tersebut terutama sekali bersifat vokal tetapi mungkin juga
bersifat visual.
d. Lambang-lambang dan simbol-simbol tersebut mengandung makna
konvensional.
e. Bahasa diperlukan sebagai alat komunikasi atau sarana pergaulan
sesama insan manusia.
f. Bahasa beroperasi dalam suatu masyarakat bahasa (a speech
community) atau budaya.
g. Bahasa pada hakikatnya bersifat manusiawi, walaupun mungkin tidak
terbatas pada manusia saja.
h. Bahasa diperoleh semua orang atau bangsa dengan cara yang hampir
atau banyak bersamaan; bahasa dan pembelajaran bahasa memunyai
ciri-ciri kemestaan.
17
Berdasarkan beberapa pengertian bahasa, dapat disimpulkan
bahwa bahasa diartikan sebagai suatu sistem dan sarana komunikasi
manusia dalam pembiasaannya yang digunakan dalam kehidupan sehari-
hari untuk menyampaikan informasi kepada orang lain.
2. Ragam Bahasa
Bahasa memunyai beberapa ragam, Joos (dalam Nababan, 1993:
22) membagi gaya atau ragam bahasa menjadi lima, yaitu sebagai berikut:
a. Ragam beku
Ragam beku ialah ragam bahasa yang paling resmi yang
dipergunakan dalam situasi-situasi yang khidmat dan upacara resmi.
Dalam bentuk tertulis ragam beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen
bersejarah seperti undang-undang dasar dan dokumen penting lainnya.
b. Ragam resmi
Ragam resmi ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato
resmi, rapat dinas, atau rapat resmi pimpinan suatu badan.
c. Ragam usaha
Ragam usaha ialah ragam bahasa yang sesuai dengan
pembicaraan-pembicaraan bisa di sekolah, perusahaan, dan rapat-rapat
usaha yang berorientasi kepada hasil atau produksi; dengan kata lain raga
mini berada pada tingkat yang paling operasional.
d. Ragam santai
Ragam bahasa santai antarteman dalam berbincang-bincang,
rekreasi, berolahraga, dan sebagainya.
18
e. Ragam akrab
Ragam akrab adalah ragam bahasa antaranggota yang akrab
dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara
lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan ucapan yang
pendek. Hal ini disebabkan oleh adanya saling pengertian dan
pengetahuan satu sama lain. Dalam tingkat inilah banyak dipergunakan
bentuk-bentuk dan istilah-istilah (kata-kata) khas bagi suatu keluarga atau
kelompok.
3. Kontak Bahasa
Bahasa tidak akan pernah lepas dari manusia dan kehidupan
manusia. Bahasa tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dalam
masyarakat yang terbuka di mana tiap-tiap individu dapat menerima
kehadiran individu lain maka akan terjadi kontak bahasa. Menurut Chaer
(1994: 65) bahasa masyarakat yang akan memengaruhi bahasa
masyarakat yang dimasuki. Hal yang sangat menonjol yang bisa terjadi
dari adanya kontak bahasa ini adalah terjadinya bilingualisme dan
multilingualisme dengan berbagai macam kasusnya, seperti interferensi,
integrasi, alih kode, dan campur kode.
Mackey (dalam Rusyana 1989: 4) menyatakan bahwa kontak
bahasa adalah pengaruh suatu bahasa kepada bahasa lainnya yang
menimbulkan perubahan dalam langue, dan menjadi milik tetap bukan
saja dwibahasawan, melainkan juga ekabahasawan. Kontak bahasa itu
berlangsung bukan hanya dalam perorangan melainkan diri dalam situasi
19
kemasyarakatan, yaitu tempat seseorang mempelajari bahasa kedua itu.
Oleh karena itu, kontak bahasa dianggap merupakan bagian dari kontak
yang lebih luas, yaitu kontak bahasa terjadi pada titik kontak budaya.
Kontak bahasa terjadi dalam diri penutur secara individual. Kontak bahasa
itu terjadi dalam situasi konteks sosial, yaitu situasi saat seseorang belajar
bahasa kedua di dalam masyarakatnya (Suwito, 1985: 39).
Dari pendapat pakar bahasa tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kontak bahasa manusia itu dipengaruhi oleh norma-norma dan nilai-nilai
sosial. Jadi dalam sosiolinguistik pengkajian bahasa harus disesuaikan
dengan kehidupan manusia dan sekitarnya, baik sosial maupun budaya.
4. Bilingualisme
Bilingualisme dalam bahasa sering disamakan dengan
kedwibahasaan. Bilingualisme menurut Mackey dan Fishman (dalam
Chaer, 1995: 112) diartikan penggunaan dua bahasa oleh penutur dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Senada dengan pendapat Mackey dan Fishman, Kridalaksana
(1974: 25) menyatakan bahwa bilingualisme ialah penggunaan dua
bahasa secara berganti-ganti oleh satu orang atau satu kelompok. Ketika
seseorang menggunakan dua bahasa dalam pergaulannya dengan orang
lain, ia berdwibahasa dalam arti ia melaksanakan kedwibahasaan yang
atau kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih
umum maka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa
secara bergantian baik secara produktif maupun reseptif oleh seorang
individu atau masyarakat. Kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa,
cukup mengetahui dua bahasa secara pasif dan aktif.
Nababan (1993: 32) menyebutkan bilingulisme dengan bilingualitas
yang berarti kemampuan dalam dua bahasa. Menurut Nababan,
bilingualitas dapat dibagi menjadi dua seperti berikut.
a. Bilingualisme sejajar yaitu hubungan antar kemampuan dalam kedua
bahasa pada orang yang berdwibahasa secara penuh dan seimbang,
kemampuan dan tingkah laku kedua bahasa itu adalah terpisah dan
bekerja sendiri-sendiri.
b. Bilingualitas majemuk terjadi ketika dalam keadaan belajar bahasa
kedua setelah menguasai satu bahasa (bahasa pertama atau utama)
dengan baik, khususnya dalam belajar bahasa kedua atau asing di
sekolah.
Rahardi (2001: 15) menegaskan kedwibahasaan adalah
penguasaan atas paling tidak dua bahasa yakni bahasa pertama dan
bahasa kedua. Ahli lain Nababan berpendapat kedwibahasaan adalah
kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain.
Menurut Mackey (dalam Kunjana Rahardi, 2001: 14) memberikan
gambaran tentang kedwibahasaan sebagai gejala tuturan. Kedwibahasaan
21
dianggap sebagai karakteristik pemakai bahasa, yakni praktik pemakaian
bahasa secara bergantian yang dilakukan oleh penutur. Pergantian dalam
pemakaian bahasa tersebut dilatarbelakangi dan ditentukan oleh situasi
dan kondisi yang dihadapi oleh penutur itu dalam tindakan bertutur.
Kridalaksana (dalam Paul Ohoiwutun, 2002: 67) membagi
kedwibahasaan menjadi tiga kategori:
a. Bilingualisme koordinat, dalam gejala ini penggunaan bahasa dengan
dua atau lebih sistem bahasa yang terpisah. Seorang bilingual
koordinat, ketika menggunakan satu bahasa tidak menampakkan
unsur-unsur bahasa dari bahasa lain. Pada waktu beralih ke bahasa
lainnya tidak terjadi pencampuran sistem.
b. Bilingualisme majemuk seiring “mengacaukan” unsur-unsur dari kedua
bahasa yang dikuasainya. Kadang-kadang kita menyaksikan orang
Indonesia yang bekerja sebagai buruh Malaysia melakukan
“kekacauan” dimaksud (linguistic Interference).
c. Kedwibahasaan sub-ordinat. Fenomena ini terjadi pada seseorang
atau masyarakat yang menggunakan dua sistem bahasa atau lebih
secara terpisah. Biasanya masih terdapat proses penerjemahan.
Seseorang yang bilingual sub-ordinat masih cenderung mencampur-
adukan konsep-konsep bahasa pertama ke dalam bahasa ke dua atau
bahasa asing yang dipelajari.
Menurut Ponulele (1994: 25) di dalam bilingualisme terdapat para
penutur yang menguasai dua bahasa atau lebih dan mereka disebut
22
bilingual. Istilah ini bersifat relatif sekali, dalam arti belum diperoleh
kesatuan pendapat dari para ahli bahasa tentang batas-batas kemampuan
penguasaan bahasa seseorang untuk dapat dikatakan sebagai bilingual.
Bloomfield (dalam Ponulele, 1994: 24) merumuskan bilingual sebagai
native like of two language), dengan pengertian bahwa bilingual adalah
seorang penutur yang mampu menggunakan dua bahasa yang sama
baiknya. Jadi, menurut Bloomfield seseorang baru dapat menyandang
gelar bilingual apabila ia mampu menggunakan secara aktif kedua bahasa
sebagaimana kemampuan saat ia menggunakan bahasa ibunya.
Crystal (dalam Ponulele, 1994: 24) berpendapat yang mendukung
pendapat Bloomfield dengan mengatakan bahwa seseorang dikatakan
bilingual bilamana dia mampu menguasai beberapa bahasa dengan fasih
dan lancar, akan tetapi dijelaskan lagi bahwa rumusan ini mengacu pada
kriteria yang terlalu ekstrim, orang yang menguasai dua bahasa secara
sempurna memang ada, namun hal ini merupakan kekecualian bukan
merupakan keharusan. Sebagian besar bilingual sebenarnya tidak mampu
menguasai dua bahasa dengan kadar kualitas yang sama. Biasanya
penguasaan bahasa ibu lebih fasih daripada penguasaan bahasa kedua.
Sebagai contoh saat seseorang dilahirkan di Sulawesi Selatan, dan
setelah dewasa ia bekerja dan menetap di Jakarta, walaupun ia masih
berkomunikasi dengan bahasa Indonesia karena saat ia bersekolah di
Sulawesi Selatan ia pun mendapat pelajaran bahasa Indonesia, namun ia
akan lebih menguasai bahasa daerahnya, dan saat ia bertemu dengan
23
orang dari asal daerahnya dia akan lebih berkomunikasi dengan bahasa
daerah .
Bilingualisme yang sering terjadi di Indonesia adalah bilingualsme
bahasa daerah dengan bahasa Indonesia.berdasarkan pendapat para ahli
tersebut dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan adalah penguasaan
dua bahasa yang dilakukan secara bergantian dan berdasarkan situasi
yang ada. Jadi, seseorang secara bergantian menggunakan dua bahasa
yang berbeda berdasarkan situasi dan kondisi dimana penutur melakukan
tindak tutur.
5. Pengertian Kode
Kode merupakan suatu sistem tutur yang penerapkan unsur
bahasanya merupakan ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur
dengan lawan tutur dalam situasi tutur yang ada .Kode biasanya
berbentuk variasi-variasi bahasa secara riil dipakai berkomunikasi oleh
anggota masyarakat bahasa. (Poedjosoedarmo, 1976:3)
Suwito (1985: 67) menyatakan bahwa kode adalah salah satu
variasi di dalam hierarki kebahasaan yang dipakai dalam komunikasi.
Suwito juga mengatakan bahwa alat komunikasi yang merupakan varian
dan bahasa dikenal dengan istilah kode. Dengan demikian, maka dalam
bahasa terkandung beberapa macam kode. Menurut Richards (dalam
Ponulele, 1994: 26) menyatakan bahwa kode adalah istilah yang
digunakan sebagai pengganti bahasa, ragam tutur atau dialek.
24
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kode
adalah varian kebahasaan yang di pakai masyarakat bahasa sesuai
dengan latar belakang penutur dengan lawan bicara.Variasi tersebut juga
disesuaikan dengan situasi penutur yang ada,dengan kode-kode tersebut
maka penutur dan lawan bicara dapat berkomunikasi denganlancar.
Ponulele (1994: 21) merumuskan hubungan hierarki antara kontak
bahasa, bilingualisme, alih kode dan campur kode dapat digambarkan
sebagai berikut:
Bagan 2.1. Hubungan antara Bahasa, Bilingulisme, Alih Kode,
dan Campur Kode
Jadi dengan adanya bilingualisme disebabkan terjadinya kontak
bahasa dan akan mengakibatkan munculnya gejala kebahasaan yaitu alih
kode dan campur kode.
Kontak bahasa
Bilingualisme
Alih kode Campur kode
25
6. Alih Kode
a. Pengertian alih kode
Dalam keadaan kedwibahasaan (bilingualisme), akan sering
terdapat orang mengganti bahasa atau ragam bahasa, hal ini tergantung
pada keadaan atau keperluan berbahasa itu. Kejadian itu diisebut alih
kode. Konsep alih kode ini mencakup juga kejadian beralihnya satu ragam
fungsiolek (umpamanya ragam santai) ke ragam lain (umpamanya ragam
formal), atau dari satu dialek ke dialek lain dan sebagainya. (Nababan,
1993: 31-32).
Appel (dalam Chaer, 1994: 141) mendefinisikan alih kode sebagai
“gejala peralihan pemakaian bahasa kerena berubahnya situasi”. Gumperz
(dalam Gulzar 2010: 26) code switching is: the juxtaposition within the
same speech exchange pf passages of speech belongin to two different
grammatical system or sub-systems”, yaitu, alih kode adalah penjajaran
dalam pertukaran bahasa yang sama dari bagian-bagian bahasa yang
termasuk dua sistem tata bahasa yang berada atau sub- sistem.
Hymes (dalam Chaer 1995: 142) menyatakan alih kode itu bukan
hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam
atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Menurut Wardaugh
(dalam Dako, 2004: 271) ada dua jenis alih kode, yaitu alih kode
situasional dan metaforis. Alih kode situasional terjadi pada saat
perubahan bahasa menurut kebutuhan situasi yang dikenal oleh penutur
itu sendiri, di mana dalam sebuah bahasa dan pada situasi lain mereka
26
berbicara dengan bahasa lain. Alih kode metaforis memiliki dimensi efektif
saat penutur menegaskan kembali kode dengan perubahan, baik dari
situasi formal ke situasi informal, resmi ke keadaan santai, serius ke
keadaan humor, dan lain sebagainya.
Alih kode yaitu beralih dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain
pada waktu ia bicara atau menulis (Rusyana, 1989: 24). Menurut Suwito
(1985: 68) alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke
kode yang lain. Namun di dalam sutu kode terdapat berbagai
kemungkinan varian (baik varian regional, varian kelas, sosial, ragam,
gaya, ataupun register) sehingga peristiwa alih kode mungkin berwujud
alih varian, alih ragam, dan alih gaya atau alih register. Peralihan demikian
dapat diamati lewat tingkat tata ibunya, tata kata, tata kalimat, maupun
wacananya.
Crystal (dalam Skiba, 1997) berpendapat suggests that code, or
language, switching occurs when an individual who is bilingual alternates
between two languages during his/her speech with another bilingual
person. A person who is bilingual may be said to be one who is able to
communicate, to varying extents, in a second language. Poedjosoedarmo
(1976: 20) mengemukakan bahwa peristiwa alih kode melibatkan
peralihan kalimat.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas alih kode dapat
didefinisikan sebagai peristiwa peralihan pemakaian bahasa dari satu
bahasa ke bahasa lain atau dari satu ragam bahasa ke ragam bahasa lain.
27
Dalam gejala kebahasaan (campur kode) ini faktor paling menentukan
adalah penutur, saat seorang penutur sedang melakukan campur
kode, maka harus diketahui identitasnya, seperti tingkat pendidikannya,
agama, ras, latar belakang sosial, dan lainnya. Setelah itu baru unsur
kebahasaan yang menentukan terjadinya alih kode. dengan makin
banyak bahasa yang dikuasai oleh seorang penutur dari latar belakang
pendidikannya, makin luas kemungkinan untuk bercampur kode. dari
penjabaran tersebut, ada dua tipe yang menjadi latar belakang
terjadinya alih kode, yaitu; latar belakang sikap dan latar belakang
kebahasaan.
b. Ciri- ciri Alih Kode
Ciri-ciri alih kode menurut Suwito (1985: 69) adalah sebagai berikut.
a. Masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri
sesuai dengan konteksnya.
b. Fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang
relevan dengan perubahan konteks.
c. Bentuk-bentuk Alih Kode
Suwito (1985: 69) membedakan adanya dua macam alih kode,
yaitu sebagai berikut.
1) Alih kode intern
Alih kode intern adalah pergantian atau peralihan pemakaian
bahasa yang terjadi antardialek, antarragam, atau antargaya dalam
lingkup satu bahasa.
28
2) Alih kode ekstern
Alih kode ekstern adalah perpindahan pemakaian bahasa dari
satu bahasa ke bahasa lain yang berbeda. Perpindahan tersebut
dapat berupa perpindahan dari satu bahasa daerah ke bahasa
daerah lain, perpindahan dari bahasa daerah ke bahasa nasional,
perpindahan dari bahasa daerah ke bahasa asing, dan perpindahan
dari bahasa nasional ke bahasa asing.
Alih kode intern yang biasanya terjadi dalam pembelajaran di
sekolah yaitu alih kode ragam resmi dan ragam santai, alih kode ragam
resmi dan ragam usaha, alih kode ragam resmi dan ragam baku, serta
alih kode ragam santai dan ragam usaha. Sedangkan alih kode ekstern
yang sering terjadi yaitu alih kode bahasa Indonesia dan bahasa
Makassar, serta alih kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Poedjosoedarmo (1976: 14-20) membagi alih kode menjadi dua macam
yaitu sebagai berikut.
1) Alih kode sementara
Alih kode sementara yaitu pergantian kode bahasa yang
dipakai oleh seorang penutur berlangsung sebentar. Pergantian itu
bisa hanya berlangsung pada satu kalimat lalu pembicaraan kembali
lagi ke kode biasanya.
2) Alih kode permanen
Alih kode permanen adalah alih kode yang sifatnya permanen.
Alih kode permanen terjadi apabila penutur secara tetap mengganti
29
kode bicaranya lawan tutur. Tidak mudah bagi seseorang untuk
mengganti kode bicaranya terhadap seseorang lawan bicara secara
permanen, sebab pergantian ini biasanya berarti adanya pergantian
sikap relasi terhadap lawan bicara secara sadar.
d. Faktor Penyebab Alih Kode
Chaer (1995: 143) menyebutkan yang menjadi penyebab alih
kode yaitu: (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan
tutur, (3) perubahan situasi hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari
formal ke informal atau sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan.
Beberapa faktor penyebab alih kode menurut Suwito (1985: 72-
74) sebagai berikut.
1) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan
maksud tertentu. Seorang penutur atau pembicara terkadang
melakukan alih kode terhadap mitra tuturnya karena ada maksud
dan tujuan tertentu.Misalnya, seorang mahasiswa setelah
beberapa saat berbicara dengan dosennya mengenai nilai mata
kuliahnya yang belum tuntas dan dia baru tahu bahwa dosennya
itu berasal dari daerah yang sama dan juga memunyai bahasa
ibu yang sama pula. Agar urusannya cepat selesai, maka
mahasiswa tersebut melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke
bahasa daerahnya agar semuanya bisa berjalan lancar dalam
mengurus nilainya.
30
2) Lawan tutur. Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan
terjadinya alih kode karena sipenutur ingin mengimbangi kemampuan
berbahasa lawan bicaranya. Misalnya, penutur bugis berusaha
mengimbangi lawan bicaranya yang kebetulan orang mandar
dengan menggunakan bahasa mandar pula.
3) Hadirnya penutur ketiga, misalnya alih kode tersebut dilakukan
untuk menetralisasi situasi dan sekaligus menghormati. Perubahan
situasi karena hadirnya orang ketiga Kehadiran orang ketiga yang
tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan yang di
gunakan oleh penutur dan lawan bicara yang sedang berbicara.
Misalnya, si A dan si B sementara bercakap bugis, kemudian si C tiba-
tiba datang dan tidak menguasai bahasa bugis. Dengan demikian
si A dan si B beralih kode dari bahasa bugis ke bahasa Indonesia.
4) Pokok pembicaraan (topik). Topik pembicaraan merupakan hal
dominan yang menentukan terjadinya alih kode. Pokok
pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapakan dengan
ragam baku dengan gaya netral dan serius. Sedangkan pokok
pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa
tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
5) Untuk membangkitkan rasa humor, untuk menyegarkan suasana.
Dalam sebuah pembicaraan biasanya orang akan melakukan alih
kode guna membangkitkan rasa humor dalam pembicaraan, agar
31
suasana yang tadinya serius dan tegang dapat mencair dan lebih
santai.
6) Untuk sekedar bergengsi. Walaupun faktor situasi, lawan bicara,
topik, dan faktor situasional tidak mengharapkan adanya alih
kode, terjadinya alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan dan
cenderung tidak komunikatif.
Beberapa alasan beralih kode yang dikemukakan oleh
Kamaruddin (1989: 60-62) seperti berikut.
1) Karena sulit membicarakan topik tertentu pada bahasa tertentu.
2) Guna dasar pengalihan bahasa ke bahasa lain.
3) Untuk menegaskan sesuatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan
yang sedang terjadi di kalangan pembicara.
4) Untuk mengeksklusifkan seseorang dari suatu situasi percakapan.
5) Mengutip ucapan orang lain.
6) Menekankan solidaritas kelompok.
7) Mengistimewakan yang disapa.
8) Menjelaskan hal yang telah disebutkan.
9) Membicarakan peristiwa yang telah lalu.
10) Untuk meningkatkan status atau gengsi atau kekuasaan atau
keahlian seseorang.
Dari ketiga pendapat tentang faktor penyebab alih kode yang
telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan faktor-faktor penyebab alih
kode adalah sebagai berikut.
32
1) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan
maksud tertentu.
2) Lawan tutur, alasan lawan tutur seperti untuk mengimbangi bahasa
yang digunakan oleh lawan tuturnya.
3) Perubahan situasi hadirnya orang ketiga.
4) Perubahan topik pembicaraan.
5) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya.
6) Untuk membangkitkan rasa humor, untuk menyegarkan suasana.
7) Untuk sekedar bergengsi.
8) Untuk menegaskan sesuatu hal atau untuk mengakhiri
pertentangan yang sedang terjadi di kalangan pembicara.
9) Mengutip ucapan orang lain.
10) Menekankan solidaritas kelompok.
11) Membicarakan peristiwa yang telah lalu.
12) Guna dasar pengalihan bahasa ke bahasa lain.
e. Fungsi Alih Kode
Fungsi alih kode merujuk pada apa yang hendak dicapai oleh
penutur dengan peralihan kode tersebut. Fungsi alih kode dan fungsi
campur kode hampir sama. Di bawah ini adalah fungsi alih kode
yang dikemukakan oleh Kamaruddin (1989: 67).
1) Untuk menegaskan suatu hal atau untuk mengakhiri
pertentangan yang sedang terjadi antara penuturnya.
2) Untuk mengakrabkan atau menekankan solidaritas kelompok.
33
3) Untuk mengutamakan yang disapa atau untuk menghormati.
4) Untuk meningkatkan status, gengsi, kekuasaan, atau keahlian
berbahasa.
5) Untuk mengutip ucapan orang lain, misalnya ingin mengutip
ucapan orang lain dengan bahasa lain.
Jadi, alih kode yang dilakukan oleh seorang penutur pasti
memunyai fungsi tertentu sesuai dengan alasan penutur tersebut beralih
kode. Dari faktor penyebab atau alasan penutur beralih kode, dapat
disimpulkan bahwa fungsi alih kode antara lain untuk menyantaikan,
menegaskan, membujuk, menghormati, menyegarkan, dan menerangkan.
Alih kode berguna sebagai strategi komunikasi untuk menyampaikan
informasi.
7. Campur Kode
a. Pengertian Campur Kode
Di antara sesama penutur yang bilingual atau multi lingual,
sering dijumpai sebagai suatu kekacauan atau interferensi bahasa
(performance interference). Fanomena ini berbentuk penggunaan unsur-
unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu kalimat atau wacana
bahasa lain. Gejala tersebut dinamai campur kode (code mixing) (Paul
Ohoiwutun, 2002: 69). Menurut Nababan (1993: 32) campur kode
adalah suatu tindak bahasa bilamana orang yang mencampur dua
(lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa
(speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi
34
berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa. Nababan (dalam
Paul Ohoiwutun, 2002: 69) juga menyatakan bahwa campur kode
adalah “penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu
wacana menurut pola-pola yang masih belum jelas”. Di Indonesia gejala
campur kode tersebut sering disebut dengan “ gado-gado”yang diibaratkan
dengan sajian gado-gado, yakni campuran dari bermacam-macam
sayuran. Realita yang terjadi di Indonesia yaitu pencampuran
penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah tertentu.
Weinreich (dalam Paul Ohoiwutun, 2002: 69) menamai campur
kode sebagai “mixed grammer”. Campur kode didefinisikan sebagai
pemakaian satuan bahasa dari bahasa satu ke bahasa lain untuk
memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di dalamnya
pemakaian kata atau sapaan.
b. Ciri-ciri Campur Kode
Suwito (1985: 75-76) mengemukakan dalam campur kode
terdapat ciri-ciri khusus antara lain sebagai berikut.
1) Unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam
bahasa lain tidak lagi memunyai fungsi tersendiri, unsur-unsur itu telah
menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan
hanya mendukung satu fungsi.
2) Dalam kondisi yang maksimal, campur kode merupakan
konvergensi kebahasaan, unsur-unsurnya berasal dari beberapa
35
bahasa yang masing-masing telah meninggalkan fungsi-fungsi
dan mendukung bahasa yang disisipinya.
3) Unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam campur kode terbatas pada
tingkat frasa saja.
Selain itu, juga masih ada ciri lain campur kode yaitu hubungan
timbal balik antar peran dengan fungsi kebahasaan. Peran adalah
siapa yang bercampur kode, fungsi kebahasaan adalah apa yang
hendak dicapai oleh penutur dalam tuturannya.
c. Macam-macam Campur Kode
Suwito (1985: 78-79) menyebutkan beberapa macam campur
kode yang berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di
dalamnya yaitu sebagai berikut.
1) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata.
Kata-kata sebagai sebuah kode yang disisipkan di dalam kode
utama atau kode dasar dari bahasa lain merupakan unsur yang
menyebabkan terjadinya campur kode dalam peristiwa berbahasa.
Menurut Oka dan Suparno (1994: 25), kata adalah serapan satuan
bahasa yang terbentuk dari satu morfem atau lebih. Contoh : seorang
pemimpin harus mengayomi rakyat lahir dan batin “seorang pemimpin
harus dapat melindungi rakyat lahir batin.”
36
2) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa.
Frasa dari bahasa lain yang disisipkan oleh penutur dwibahasawan
ke dalam kode dasar menimbulkan adanya campur kode dalam
tindak tutur masyarakat. Chaer (1995: 301) berpendapat bahwa frasa
merupakan gabungan dua buah kata atau lebih yang merupakan satu
kesatuan, dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat (subjek,
predikat, objek, keterangan). Contoh : anak korban tabrak lari itu sudah
dibawa ke rumah sakit. “anak korban tabrak lari itu sudah dibawa ke balai
pengobatan.
3) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster.
Bentuk baster yaitu suatu bentuk bahasa akibat adanya
penggabungan kata dasar (asal bahasa Indonesia) dengan kata
tambahan (asal bahasa Inggris) misalnya kata dasar hutan + imbuhan
isasi menjadi hutanisasi. Bentuk ini juga mengakibatkan adanya
campur kode dalam masyarakat bilingual. Menurut Thelender (dalam
Suwito, 1985: 75), baster merupakan klausa-klausa yang berisi
campuran dari beberapa variasi yang berbeda. Contoh : semua data
yang ada di komputer itu jangan lupa dibackup sebelum diinstal ulang.
“semua data yang ada di komputer itu jangan lupa disimpan ulang di
folder yang berbeda sebelum komputer diinstal ulang.
37
4) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata.
Unsur berupa pengulangan kata yang diambil dari bahasa lain
yang disisipkan ke dalam kode dasar menyebabkan campur kode dalam
interaksi sosial. Pengulangan tersebut dapat berupa pengulangan
seluruh kata dasar, pengulangan sebagian dari dasar, dan
pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks.
Contoh : dana itu turun bebarengan dengan kenaikan harga sembako.
“dana itu turun bersamaan dengan kenaikan harga sembako.”
5) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom.
Unsur-unsur ungkapan dari bahasa lain dimasukkan ke dalam
kode dasar akan membentuk campur kode dalam peristiwa tutur.
Menurut Kridalaksana, 1985: 80) ungkapan atau idiom adalah kontruksi
yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-
anggotanya.
6) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.
Klausa dijelaskan sebagai satuan gramatikal yang terdiri dari
subjek dan predikat, baik disertai objek, pelengkap, keterangan atau tidak.
Klausa dari bahasa lain yang dimasukkan ke dalam kode dasar
akan menyebabkan campur kode dalam peristiwa tutur. Oka dan
Suparno, (1994: 26) klausa merupakan satuan gramatikal unsur
pembentuk kalimat yang bersifat predikatif. Contoh : pemimpin yang
bijaksana akan selalu bertindak ing ngarso sung tuladha, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani. “pemimpin yang bijaksana akan selalu
38
bertindak di depan memberi teladan, di tengah mendorong semangat,
di belakang mengawasi.”
d. Faktor Penyebab Campur Kode
Suwito (1985: 77) mengemukakan latar belakang terjadinya campur
kode pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu tipe
yang berlatar belakang pada sikap dan tipe yang berlatar belakang
kebahasaan. Alasan atau penyebab lain yang mendorong terjadinya
campur kode adalah sebagai berikut.
1). Identifikasi peranan.
Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan
edukasional.
2). Identifikasi ragam.
Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa di mana seorang
penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di
dalam hierarki status sosialnya.
3) Keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan tampak karena
campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap
orang lain dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya.
Suwito (1985: 78) juga menyatakan campur kode terjadi karena
ada timbal balik antara peranan atau siapa yang memakai bahasa
itu dan fungsi kebahasaan atau apa yang ingin dicapai penutur
39
dalam tuturannya. Artinya, penutur memunyai latar belakang sosial
tertentu cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk
mendukung fungsi-fungsi tertentu.
Campur kode dilakukan oleh penutur baik secara sadar maupun
tidak sadar. Campur kode yang dilakukan secara sadar apabila
penutur memunyai tujuan tertentu, menunjukkan ke suatu hal yang
tidak dapat diungkapkan dengan bahasa utama yang digunakannya.
Nababan (1993: 32) menyatakan campur kode terjadi karena tidak
adanya ungkapan yang tepat dalam bahasa yang dipakai penutur.
Faktor-faktor yang memengaruhi campur kode adalah penutur,
petutur, dan topik pembicaraan.
Penutur yang multibahasawan memunyai banyak kesempatan untuk
melakukan campur kode. Keheterogenan latar belakang petutur
seperti usia, status sosial, dan tingkat pendidikan menuntut
kepandaian penutur dalam memilih bahasa yang tepat. Namun
demikian, dalam hal ini yang paling penting adalah penutur harus
mengetahui bahwa petuturnya juga merupakan multibahasawan. Topik
pembicaraan memungkinkan terjadinya campur kode, karena ada
beberapa topik yang cenderung menuntut pemakaian kode bahasa
tersendiri.
e. Tujuan Pemakaian Campur Kode
Menurut Suwito (1985: 78) tujuan-tujuan yang hendak dicapai
oleh penutur dalam tuturannya sangat menentukan pilihan
40
bahasanya. Suwito juga mengemukakan tujuan pemakaian campur kode
ada beberapa macam, antara lain penutur ingin mengungkapkan
keterpelajarannya, ketaatan dalam beribadah, dan kekhasan
daerahnya.
Menurut Nababan (1993: 32) campur kode dipakai penutur untuk
memamerkan keterpelajarannya atau kedudukannya, selain itu untuk
mencapai ketepatan makna ungkapan.
f. Fungsi Campur Kode
Fungsi campur kode hampir sama dengan fungsi alih kode
sebagai berikut ini.
1) Untuk menegaskan suatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan
yang sedang terjadi antara penuturnya.
2) Untuk mengakrabkan atau menekankan solidaritas kelompok.
3) Untuk mengutamakan yang disapa atau untuk menghormati.
4) Untuk meningkatkan status, gengsi, kekuasaan, atau keahlian
berbahasa.
5) Untuk mengutip ucapan orang lain, misalnya ingin mengutip
ucapan orang lain dengan bahasa lain.
g. Persamaan Alih Kode dan Campur Kode
Menurut Chaer (2004: 114) persamaannya adalah digunakannya dua
atau lebih varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur.
Dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan
masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar,
41
dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Dalam campur kode ada
sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki
fungsi dan keotonomiannya sedangkan kode-kode lain yang terlibat
dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan, tanpa
fungsi keotonomian sebagai sebuah kode. Berdasarkan pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa persamaan alih kode dan campur kode adalah
sama-sama digunakannya dua bahasa atau lebih dalam masyarakat
tutur yang dilakukan dengan sadar dan disengaja karena sebab-sebab
tertentu.
8. Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Alih kode dan campur kode adalah dua hal yang berbeda. Hal
pokok yang membedakan antara alih kode dan campur kode yang
dikemukakan oleh Thelander (dalam Suwito, 1985: 76) sebagai berikut.
1) Di dalam alih kode, terjadi peralihan dari klausa bahasa yang satu ke
klausa bahasa yang lain dalam suatu tuturan dan masing-masing
klausa masih mendukung fungsi tersendiri.
2) Di dalam campur kode, klausa maupun frasa-frasanya terdiri dari
klausa dan frasa baster dan masing-masing klausa maupun
frasanya tidak lagi mendukung fungsi tersendiri.
9. Diskusi Sebagai Ragam Tuturan dalam Proses Belajar Mengajar
Interaksi belajar mengajar merupakan peristiwa komunikasi yang
berlangsung dalam situasi formal (Zamzani, 2007: 1). Peristiwa tutur di
42
dalam proses belajar mengajar seperti proses belajar mengajar
Bahasa Indonesia merupakan peristiwa tutur formal, sehingga ragam
bahasa yang digunakan adalah ragam formal.
Selain ragam bahasa formal, dalam proses belajar mengajar
Bahasa Indonesia juga menggunakan ragam bahasa usaha
(consultative). Tempat berlangsungnya proses belajar mengajar Bahasa
Indonesia yang pada umumnya dilakukan di dalam ruangan, walaupun
tidak menutup kemungkinan dilakukan di luar ruangan juga memengaruhi
penggunaan ragam bahasanya.
Ditinjau dari etimoligis , kata diskusi berasal dari kata kerja “to
discus yang berarti berunding atau membincangkan. Menurut
pendapat Suharyanti, (2011: 39) diskusi adalah suatu bentuk kegiatan
yang terdiri dari beberapa orang (yang bertatap muka secara langsung)
dalam bertukar pikiran atau pendapat dan pandangan terhadap masalah
untuk mencari pemahaman.
Aktivitas berdiskusi memunyai tujuan yaitu memperoleh hasil
musyawarah dari anggota-anggota kelompok agar dapat memecahkan
masalah yang akan diselesaikan. Suharyanti (2011: 39-40)
menjelaskan bahwa diskusi memunyai tujuan umum dan khusus,
yang dijelaskan sebagai berikut.
a. Tujuan umum
1) Melatih siswa atau peserta diskusi untuk berpikir secara praktis
43
2) Melatih mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang
lain.
3) Menumbuhkan dan mengembangkan sifat senang bekerja sama
dengan orang lain.
4) Melatih siswa atau mahasiswa untuk berperan serta secara aktif dan
berperan kostruktif terhadap suatu masalah.
5) Untuk mengembangkan ide siswa/mahasiswa dalam memecahkan
masalah yang memerlukan musyawarah.
b. Tujuan khusus
1) Untuk mengatasi masalah yang dihadapi individu atau kelompok yang
berhubungan dengan mata pelajaran atau kurikulum.
2) Untuk menyelesaikan masalah yang bersifat sosial dan yang ada
hubungannya dengan tingkah laku baik dari diri siswa/mahasiswa
atau masyarakat.
3) Untuk menentukan atau menemukan kesatuan pendapat dan sikap
dalam memecahkan masalah.
Jenis-jenis diskusi juga ada beberapa macam salah satunya
adalah diskusi kelompok yang merupakan suatu pembicaraaan yang
terdiri dari sekelompok peserta guna memecahkan suatu masalah
secara bersama-sama dengan mempertimbangkan baik dan buruk, dan
sekaligus menetapkan cara melaksanakan pemecahan yang baik
(Suharyanti, 2011: 41).
44
Menurut Vygotsky (dalam Huda, 2011: 24) salah satu landasan
teoritis tentang belajar kelompok ini berasal dari pandangan
konstruktivis sosial. Menurut Vygotsky mental siswa pertama kali
berkembang pada level interpersonal dan mereka belajar
menginternalisasikan dan mentrasformasikan interaksi interpersonal
mereka dengan orang lain, lalu pada level intrapersonal dimana
mereka mulai memperoleh pemahaman dan keterampilan baru dari
hasil interaksi ini. Dengan demikian sangat baik bagi siswa sejak
dini diajarkan untuk belajar berinteraksi dengan sekitarnya baik itu
dengan teman sebaya atau yang lebih dewasa, agar mereka bisa
mendapatkan informasi-informasi yang belum mereka ketahui atau
bertukar pikiran agar mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas yang tidak
mampu mereka selesaikan sendiri, dengan musyawarah bersama
teman-teman yang memunyai pemikiran yang berbeda-beda mereka
akan lebih mudah menyelesaikan masalah mereka.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan diskusi kelompok
adalah suatu percakapan ilmiah oleh beberapa orang yang tergabung
dalam suatu kelompok untuk saling bertukar pendapat suatu masalah
atau bersama-sama mencari pemecahan mendapatkan Jawaban atau
kebenaran atas suatu masalah.
Proses diskusi kelompok ini dapat dilakukan melalui forum
diskusi diikuti oleh semua siswa di dalam kelas dapat pula dibentuk
kelompok-kelompok lebih kecil.
45
Dalam diskusi kelompok yang perlu diperhatikan ialah para
siswa dapat melibatkan dirinya untuk ikut berpartisipasi secara aktif di
dalam forum diskusi kelompok, jadi metode diskusi kelompok adalah suatu
cara penyajian bahan pelajaran dimana seorang guru memberi
kesempatan kepada siswa (kelompok siswa) untuk mengadakan
percakapan guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan
atau menyusun berbagai alternatif pemecahan atas masalah.
Teknik metode diskusi kelompok sebagai proses belajar
mengajar lebih cocok dilakukan jika guru memiliki tujuan antara lain.
1) Memanfaatkan berbagai kemampuan yang ada atau yang dimiliki
oleh para siswa.
2) Memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menyalurkan
pendapatnya masing-masing.
3) Memperoleh umpan balik dari para siswa tentang tujuan yang
telah dirumuskan telah tercapai.
4) Membantu para siswa menyadari dan mampu merumuskan berbagai
masalah yang dilihat baik dari pengalaman sendiri maupun dari
pelajaran sekolah.
5) Mengembangkan motivasi untuk belajar lebih lanjut.
Untuk dapat mengoperasikan metode diskusi kelompok ini ada
beberapa langkah yang perlu diperhatikan bagi guru antar lain.
1) Guru menggunakan masalah yang ada didiskusikan dan
memberikan pengarahan seperlunya mengenai cara-cara
46
pemecahannya, hal terpenting adalah permasalahan yang
dirumuskan sejelas-jelasnya agar dapat dipahami baik-baik oleh setiap
siswa.
2) Para siswa berdiskusi di dalam kelompok dan setiap anggota
kelompok ikut berpartisipasi secara aktif.
3) Setiap kelompok melaporkan hasil diskusinya, hasil-hasil yang
dilaporkan itu ditanggapi oleh semua siswa (kelompok lain).
4) Akhir diskusi para siswa mencatat hasil-hasil diskusinya dan guru
mengumpulkan hasil diskusi dari tiap-tiap kelompok.
Diskusi kelompok merupakan salah satu pengalaman belajar
yang diterapkan di semua bidang studi dalam batasan-batasan tertentu,
pengalaman diskusi kelompok memberikan keuntungan bagi para
siswa sebagai berikut : (1) siswa dapat berbagi berbagai informasi
dalam menjalani gagasan baru atau memecahkan masalah, (2) dapat
meningkatkan pemahaman atas masalah-masalah penting, (3) dapat
mengembangkan kemampuan untuk berfikir dan berkomunikasi, (4)
dapat meningkatkan ketertiban dalam perencanaan dan pengambilan
keputusan dan (5) dapat membina semangat kerjasama dan
bertanggung Jawab.
Diskusi kelompok memiliki kelemahan-kelemahan yang dapat
menimbulkan kegagalan dalam arti tidak tercapai tujuan yang
diinginkan.
47
Wardani (dalam Puger, 1997: 9) menyatakan bahwa kelemahan-
kelemahan dalam diskusi kelompok antara lain: (1) diskusi kelompok
memerlukan waktu yang lebih banyak daripada cara belajar yang
biasa, (2) dapat memboroskan waktu terutama bila terjadi hal-hal
yang negatif seperti pengarahan yang kurang tepat, (3) anggota yang
kurang agresif (pendiam, pemalu) sering tidak mendapatkan kesempatan
untuk mengemukakan pendapat atau ide-idenya sehingga terjadi
frustasi atau penarikan diri, dan (4) adakala hanya didominasi oleh orang-
orang tertentu saja.
C. Kerangka Pikir
Dalam kegiatan belajar mengajar bahasa adalah satu-satunya alat
komunikasi yang menghubungkan satu orang dengan orang lain, baik
itu antara guru dengan siswa atau siswa dengan siswa lainnya saat
berkomunikasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa sangat berperan
penting bagi dunia pendidikan, begitu pula dalam pelajaran bahasa
Indonesia, bahasa tidak akan terlepas dari kegiatan tersebut.
Seharusnya dalam pelajaran bahasa Indonesia siswa dan guru harus
menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, namun
terkadang sekolah kawasan pedesaan seperti SMP Negeri 1
Tompobulu, Kabupaten Gowa hal tersebut sulit dijalankan dengan baik,
karena siswa-siswa belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia
dalam keseharian mereka, terlebih saat diskusi kelompok
48
berlangsung, percakapan diskusi yang seharusnya menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar berubah menjadi percakapan yang
menggunakan dwibahasa yaitu bahasa Indonesia bercampur dengan
bahasa Makassar.
Keterbatasan siswa dalam menguasai bahasa Indonesia
membuat guru tidak bisa memaksakan siswa untuk memakai bahasa
Indonesia dengan baik dan benar saat kegiatan belajar mengajar
berlangsung, kalau siswa dipaksa menggunakan bahasa Indonesia
secara keseluruhan maka akan menyulitkan siswa terlebih saat
diskusi kelompok. Siswa akan terhambat dalam menyampaikan ide
yang mereka punya, maka dari itu guru memperbolehkan siswa
menggunakan alih kode dan campur kode dalam kegiatan diskusi
tersebut. Dengan penggunaan alih kode dan campur kode bahasa
Indonesia dengan bahasa Makassar maka siswa akan lebih mudah
mengungkapkan ide yang mereka miliki, juga lebih mudah menerima ilmu
dari guru maupun siswa yang lain.
Untuk mengetahui wujud dan macam, faktor penyebab
terjadinya campur kode dan alih kode dalam aktivitas diskusi
kelompok pelajaran bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Tompobulu,
Kabupaten Gowa peneliti melakukan penelitian studi kasus dengan bagan
kerangka pikir sebagai berikut ini.
49
Bahasa siswa di SMP Negeri 1 Tompobulu
Aktivitas diskusi siswa pada pelajaran bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia Bahasa Makassar
Alih kode Campur kode
1. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi siswa 2. Faktor penyebab pemakaian alih kode dan campur kode dalam proses diskusi siswa
Gambar 2.1. Bagan Kerangka Pikir
50
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Penelitian
kualitatif deskriptif menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2001:3)
bahwa :”Metode kualitatif ini adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati”.Lebih lanjut Sutopo (1991:35)
menjelaskan data yang dikumpulkan berupa kata-kata,kalimat atau
gambar yang memiliki arti lebih dari sekadar angka atau frekuensi.
Penelitian menekankan catatan yang menggambarkan situasi yang
sebenarnya guna mendukung penyajian data.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian akan dilakukan di SMP Negeri 1 Tompobulu,
Kabupaten Gowa, yang terletak di Jln. Pendidikan No. 140, kecamatan
Tompobulu, kabupaten Gowa. Waktu pelaksanaan penelitian dan
penyusunan laporan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari
sampai dengan bulan April 2016. Penelitian ini dilakukan pada saat
proses pembelajaran siswa SMP Negeri 1 Tompobulu di kelas VIII
berlangsung.
51
Peneliti memilih lokasi di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten
Gowa, yang terletak di Jln. Pendidikan No. 140, kecamatan Tompobulu,
kabupaten Gowa, mengingat dilokasi tersebutlah data akan diperoleh baik
data primer maupun sekunder yang akan dilaporkan.
C. Unit Analisis dan Penentuan Informan
Sumber data dalam penelitian ini adalah peristiwa penggunaan
Bahasa Indonesia dan unit analisis dalam penelitian ini siswa kelas VIII
SMP Negeri 1 Tompobulu , Kabupaten Gowa dalam proses diskusi
kelompok. Objek penelitian ini adalah alih kode dan campur kode
dalam pemakaian bahasa Indonesia pada proses diskusi siswa kelas VIII
di SMP Negeri 1 Tompobulu. Selain itu sumber data juga diperoleh dari
informan, yaitu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan
kualifikasi pendidikan sarjana stara satu dan siswa.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
a) Observasi
Teknik observasi atau pengamatan dilakukan dengan penelti
sebagai observator partisipan pasif terhadap peristiwa atau kegiatan
diskusi kelompok mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk memperoleh
data tentang pemakaian alih kode dan campur kode yang dilakukan siswa
saat berdiskusi.
52
b) Wawancara
Teknik wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan guru
mata pelajaran bahasa Indonesia kelas VIII dan beberapa siswa kelas
VIII. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi lebih dari
pengamatan atau observasi yang dilakukan, setelah melakukan
observasi langsung ke siswa saat pembelajaran Bahasa Indonesia,
peneliti melakukan wawancara untuk mengetahui persepsi guru
terhadap penggunaan bahasa Indonesia dalam situasi pembelajaran dan
situasi santai, alih kode dan campur kode bahasa yang dilakukan siswa
saat berbicara dan mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya alih
kode dan campur kode.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah model analisis interaktif. Analisis model interaktif ini
merupakan interaksi dari empat komponen, yaitu: pengumpulan data,
reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan. Pada saat
melakukan tahap pengumpulan data sekaligus sesuai dengan
kemunculan data yang diperlukan. Adapun langkah-langkah analisis
interaktif adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah
dengan cara observasi, dan wawancara. peneliti mengumpulkan data
53
sebanyak-banyaknya yang berkaitan dengan segala sesuatu yang
berhubungan dengan penggunaan bahasa yang gunakan siswa
dalam pembelajaran dan luar pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP
Negeri 1 Tompobulu.
b. Reduksi Data
Teknik ini mengambil langkah yang berupa pencatatan data
yang diperoleh dari hasil observasi. Dalam pencatatan tersebut
dilakukan seleksi, pemfokusan dan penyederhanaan data, data mana
yang akan diambil. Hal tersebut bertujuan untuk lebih memudahkan
dalam mengambil data-data yang dianggap penting, yakni tentang
penggunaan bahasa yang gunakan siswa dalam pelaksanaan diskusi
Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Tompobulu. Proses reduksi terus
berlangsung sampai laporan akhir penelitian selesai ditulis.
c. Displai Data
Melalui sajian data, data yang telah terkumpul dikelompokkan
dalam beberapa bagian dengan jenis permasalahannya supaya
mudah dilihat dan dimengerti, sehingga mudah untuk dianalisis.
Penyajian data penelitian yang diperoleh melalui analisis dokumen
ataupun pada saat proses diskusi berlangsung di kelas maupun
diperoleh melalui wawancara dengan informan. Hal tersebut meliputi:
data hasil observasi yang diperoleh peneliti pada saat penelitian
berlangsung
54
d. Penarikan Simpulan
Berdasarkan dari hasil analisis terhadap ujaran dan
pembicaraan antara guru dengan peserta didik yang terjadi pada
proses pembelajaran dan pada saat diwawancarai, kemudian ditarik
simpulan. Simpulan-simpulan tersebut diverifikasi selama penelitian
berlangsung. Pada penelitian ini data yang diverifikasi meliputi: (1)
bentuk-bentuk alih, dan (2)faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode
dan campur kode dalam diskusi siswa.
F. Pengecekan Keabsahan Temuan
Menurut Denzim (dalam Mahsun, 2005: 237) menyatakan
bahwa ada empat triangulasi untuk menguji keabsahan temuan yaitu: (1)
triangulasi data, (2) triangulasi peneliti, (3) triangulasi teori, dan (4)
triangulasi metode. Uji validitas data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah:
1. Triangulasi metode
Triangulasi metode dilakukan dengan cara mengumpulkan data
sejenis dengan metode yang berbeda, yaitu observasi dan
wawancara. Metode ini dilakukan untuk mengecek alasan terjadinya
alih kode dan campur kode yang dilakukan siswa saat berdiskusi
kelompok.
55
2. Triangulsi sumber data
Triangulasi sumber data, yakni dengan membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
melalui waktu dan alat yang berbeda. Dalam hal ini membandingkan
data tentang alih kode dan campur kode bahasa yang dilakukan
siswa melalui data yang diperoleh dari guru dicek pada siswa atau siswa
satu dicek pada siswa yang lain.
3. Review informan
Review informan dilakukan untuk mengecek kembali data dan
informasi. Data diperoleh dari guru dan siswa.
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi dan Hasil Penelitian
Penelitian tentang alih kode dan campur kode dalam pemakaian
bahasa Indonesia pada aktivitas diskusi siswa dilakukan di SMP Negeri 1
Tompobulu, Kabupaten Gowa tepatnya di desa yang terletak di Jl.
Pendidikan No. 140, kecamatan Tompobulu, kabupaten Gowa. Sekolah
ini termasuk sekolah yang berada di kawasan pedesaan karena jaraknya
cukup jauh dengan kota Kabupaten Gowa yaitu 33 km. Walaupun sekolah
ini termasuk di kawasan pedesaan, namun berada di samping jalan
alternatif. Dengan demikian siswa bisa menggunakan sarana angkutan
umum (pete-pete) walaupun hanya sedikit yang melewati sekolah tersebut
saat berangkat dan pulang sekolah, namun masih banyak juga siswa yang
harus berjalan kaki karena tempat tinggal mereka yang berada di pelosok-
pelosok desa atau dusun dan jauh dari jalan umum. Sekolah ini memiliki
15 kelas dari kelas VII sampai IX. Setiap angkatan terdiri dari lima kelas
yaitu A-E. Kelas dalam sekolah ini termasuk kelas kecil karena hanya rata-
rata 24 siswa per kelas.
Siswa yang bersekolah di SMP Negeri 1 Tompobulu ini tidak hanya
siswa yang berasal dari daerah Kabupaten Gowa, namun juga dari daerah
Takalar wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Gowa, seperti Dusun
Kayumalle, Dusun Pajagalung, Dusun Badieng, Dusun Tompo Luang, dan
beberapa daerah lain di sekitar sekolah tersebut.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih sekolah tersebut karena dari
hasil observasi sebelum penelitian saat pembelajaran bahasa Indonesia
berlangsung, siswa masih kesulitan menggunakan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar, contohnya saat diskusi kelompok dan presentasi
hasil kerja kelompok. Siswa masih sering menggunakan bahasa daerah
(bahasa Makassar) meskipun guru sudah memberi instruksi agar
menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini tentu bertolak belakang dengan
siswa yang bersekolah di kawasan perkotaan mereka sudah terbiasa
menggunakan bahasa Indonesia. Berbeda dengan siswa ,di kawasan
pedesaan atau dusun seperti SMP Negeri 1 Tompobulu, mereka masih
sulit membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia saat berdiskusi
dengan teman mereka. Dari lima kelas yang di teliti yaitu VIII-A, VIII-D,
VIII-E, VIII-D, dan VIII-E masih banyak siswa yang melakukan alih kode
dan campur kode pada saat proses diskusi kelompok berlangsung.
B. Deskripsi Hasil Penelitian
1. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses
diskusi.
Dalam dialog diskusi kelompok siswa SMP Negeri 1 Tompobulu,
Kabupaten Gowa, masih banyak ditemukan peristiwa alih kode dan
58
campur kode. Alih kode dan campur kode tersebut muncul beberapa kali
dalam beberapa macam, memunyai faktor penyebab kemunculan, serta
fungsi dan tujuan tertentu.
a. Alih Kode
Bentuk – Bentuk Alih Kode
1) Alih Kode Intern
Alih kode intern adalah pergantian atau peralihan pemakaian
bahasa yang terjadi antardialek, antarragam, antargaya dalam lingkup
satu bahasa. Apabila alih kode itu menjadi antar bahasa-bahasa daerah
dalam satu bahasa nasional atau dialek-dialek dalam satu daerah, atau
antar beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek alih kode
seperti ini disebut bersifat intern (Suwito, 1985: 68). Alih kode intern yang
terjadi dalam proses diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia siswa
kelas VIII, SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa sebagai berikut.
2) Alih kode ragam resmi dan ragam santai
Alih kode dari ragam resmi ke ragam santai atau sebaliknya yang
muncul dalam proses diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia kelas
dapat dilihat dalam kalimat berikut:
Siswa 3 : “Bagaimana cara-cara mengatasi menyontek pada diri siswa,berikan saranmu supaya menyontek tidak menjadikan kebiasaan? Jawabki bede’!”
Siswa 2 : “Karena siswa tidak bisa menjawab dan sudah menyerah untuk menjawabnya.”
Siswa 1 : “Sebab-sebabnya itu, anui bela? Sulit.” Siswa 5 : “Soalnya terlalu sulit, jadi siswa harus belajar dengan tekun,
dan siswa diberi sanksi.” (kel . 2, VIII-D)
59
Dalam contoh di atas terjadi alih kode dari ragam resmi ke ragam
santai. Ragam resmi yang ada dalam contoh di atas ditandai oleh
pemakaian afiks mem-kan secara eksplisit dan konsisten yaitu pada kata
menjadikan. Kalimat ragam resmi tersebut memakai bentuk lengkap dan
tidak disingkat. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata baku. Ragam
santai dalam contoh di atas ditandai oleh penggunaan kata-kata yang
tidak baku seperti Jawabki bede’. Selain itu juga ditandai oleh kalimatnya
yang tidak lengkap.
Contoh lain alih kode dari ragam resmi ke ragam santai juga terlihat
dalam dialog berikut.
Siswa 1 : ”Kita akan terus semangat walaupun badai kemiskinan menerpa kita, tak kan meratapi rumahku yang di kolong jembatan, dan sampah lantai rumahku, hidupku terlunta-lunta, matahari menemaniku setiap hari. Sudahmi to?”
Pada kalimat pertama penutur menggunakan bahasa Makassar dan
untuk kalimat kedua penutur menggunakan bahasa Indonesia.
64
Contoh lain yaitu.
Siswa 3 : “Bagaimana cara-cara mengatasi menyontek pada diri siswa,berikan saranmu supaya menyontek tidak menjadikan kebiasaan? Jawabmi!”
Siswa 2 : “Karena siswa tidak bisa menjawab dan sudah menyerah untuk mejawabnya.”
Siswa 1 : “Sebab-sebabnya itu anui bela? Sulitki.” Siswa 5 : Soalnya terlalu sulit, jadi siswa harus belajar dengan tekun,
dan siswa diberi sanksi. (kel . 2, VIII-D) Siswa 3 : “Trus, tadi siapa yang bilang harus pakai saya?” Siswa 1 : “Sudahmi pakai aku mi saja! Siswa 2 ; “Itu lanjutannya. O, iya maaf saya lupa. Lalu Fatimah tanya
lagi, memangnya bagaimana caranya?”. Siswa 1 : “Lalu jawabnya, mudah ji itu caranya.”. Siswa 3 : “Mudah, begitu saja! Terus, awalnya kamu harus memilih benih
yang bagus, membajak sawah, jangan sampai tanahnya kering, selanjutnya kamu harus membajak sawah dan mengairi, jangan sampai tanahnya kering!”
Siswa 4 : “Bagaimanami ini?” Siswa 1 : “Lalu Fatimah tanya lagi, bagaimana cara memilih benih padi yang bagus? Nampa jawabnya antekammami di’?” Siswa 3 : “Nanti bilang saja disuruh lihat di bungkusnya begitumi saja.
Bagaimana?” Siswa 1 : “Oh Iyyo mengertima, jadi acara memilihnya itu saiya kurang
tahu, bagaimana kalau kamu bicara sama kakaku saja?” Siswa 2 : “Itu ditambah beni, na! Disuruh tanya sama kakak terus bilang,
sebentar aku panggilkan” (kel.1, VIII-B)
Pada kalimat pertama penutur menggunakan bahasa
Indonesia dan untuk kalimat kedua penutur menggunakan bahasa
Makassar.
3) Campur Kode
Campur kode yang muncul berdasarkan macam-macam dan unsur-
65
unsur bahasa dalam proses diskusi kelompok di SMP Negeri 1
Tompobulu, Kabupaten Gowa.
a) Campur kode berdasarkan macam-macam bahasa
Campur kode bahasa yang muncul dalam proses diskusi kelompok
di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa.
(1) Campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Makassar
Campur kode jenis atau macam ini yang muncul dalam proses
diskusi kelompok di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa,
Siswa 1 : “Si kelompok jaki to?” Siswa 2 : “Iyo. buat apa kah ini?” Siswa 3 : “Bahas tentang telefon?” Siswa 4 : “Punna jai terus percakapanna bagaimana?” Siswa 2 : “Gimana ji?” Siswa 1 :”Begini saja ceritanya, bukumu saya bawa to, trus kau telefon ka’ terus suruh sambungmi ke Arini.” Siswa 2 :”Ibu, nanti dipraktekkanki kah? (siswa bertanya kepada guru bahasa Indonesia)” Guru : “Iya, nanti dipraktikan. (guru menjawab dengan suara lantang agar semua siswa mendengar)”. (kel 1, VIII-B)
Dalam dialog tersebut terdapat beberapa kata bantu yang
berasal dari bahasa Makassar yaitu “Si‟ yang berarti satu, “to‟ yang
berfungsi menegaskan kalimat yang sedang dibicarakan seperti „kan ,
“punna‟ yang berarti kalau. Penutur menyisipkan kata dan kata bantu yang
berasal dari bahasa Makassar ke dalam kode dasar yang berbahasa
Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia dan bahasa
66
Makassar.
Siswa 6 : “Sebentar, kan minimal lima bait? ini kita buat 6 bait saja, ini kan kata ada enam orang.” Siswa 1 : “Iya sebentar bacana satu-satu.” Siswa 6 : “Disalin sekalian ya!” Siswa 2 : “ Ini bagian yang nyalin, kita yang mikir bait berikutnya.” Siswa 6 : “Yel-yelnya gimana? Emm, metafora,,metafora.” Siswa 3 : “Haha, iya.” (kel.1, VIII-D)
Dalam dialog tersebut terdapat dua kata yang berasal dari bahasa
Makassar yaitu bacana yang berasal dari kata baca mendapat
akhiran “a‟, akhiran a dalam bahasa Makassar adalah imbuhan (lesan)
kalau dalam bahasa Indonesia berarti membacanya. Penutur
menyisipkan kata bacana ke dalam kode dasar yang berbahasa
Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia dan bahasa
Makassar.
Siswa 2 : “Terus Husnul bilang ,iya, ada apa Yusmar? Terus dijawabnya , oh ya Husnul kau tauji carana meningkatkan hasil pertanian?” Siswa 1 : “Terus nu jawabmi, maaf Yus , kalau masalah itu aku tidak tahu, coba kamu tanya saja sama Candra!”. Siswa 2 : “Iya, begitumi saja. Ditambahi, siapa tahu Candra bisa menjelaskan tentang cara untuk meningkatkan mutu pertanian, terus akhirnya Yusmar bilang, ya kalau begitu makasih ya atas informasinya. Kammaji anjo.” Siswa 3 : “O, Iyyo, apa diganti mi ini adam saja, nanti Yusmar tidak bisa najawab terus di kasih ke fani, begitumi saja bagimana? Biar lebih panjang to?” Siswa 1 : “Tidak usahmi begitu, nanti saya sama Yusmar jawabnya setengah-setengah. Bagimana?” (kel.2 : VIII C)
Dalam kalimat tersebut penutur menggunakan kata bantu O,iyyo
yang ternasuk dialek Makassar yang biasanya dipakai pada saat
67
menemukan ide baru atau kaget, campur kode tersebut sulit
dihilangkan oleh siswa karena mereka terbiasa menggunakan kata bantu
tersebut dalam percakapan sehari-hari. Kemudian penutur juga
menggunakan kata “to” yang berarti penegasan. dari hasil wawancara
dengan siswa dapat dieroleh kesimpulan bahwa siswa masih sering
menggunakan campur kode bahasa Makassar karena mereka masih
merasa kesulitan untuk menghilangkan kebiasaan mereka berbicara
menggunakan bahasa Makassar, kata bantu seperti iyyo, ji, mi, bede’, to,
dan lain sebagainya. Terkadang spontan mereka ucapkan saat
berbicara menggunakan bahasa Indonesia.
(2) Campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
Campur kode jenis atau macam ini yang muncul dalam proses
diskusi kelompok di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa,
Siswa 3 : “Pegang pundakku jangan pernah lepaskan, bila ku ingin terbang, terbang meninggalkan mu.”
Siswa 2 : “Yes, you pintar.” Siswa 3 : “O. jelas.” Siswa 2 : “Sahabat adalah harta yang berharga bagiku.”
(kel. 4, VIII-D)
Kata yes yang berarti iya pelajaran dan you yang berarti kamu
merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris. Penutur
menyisipkan kata-kata tersebut ke dalam kode dasar yang berbahasa
Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris.
68
Contoh lain campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
adalah.
Siswa 3 : “Tapi memang kita kompetisi?” Siswa 4 : “Iyyo tawwa.” Siswa 2 : “Yang terpenting belajar menjadi lebih baik.” Siswa 5 : “Oh no, kesuksesan berasal dari kemauan yang kuat.” Siswa 4 : “Kemiskinan dalam kolong jembatan.” (kel. 1, VIII-D) Siswa 1 : “Biasanya itu siswa menyontek karena takut remedi dan mendapat image buruk kalau mendapat nilai baik dan hanya
dia yang mendapatkan nilai buruk. Trus apa lagi bede’?” Siswa 2 : “Alasanna lagi apa, bede’?” Siswa 1 : “Karena siswa tidak tidak belajar pada malam harinya.” Siswa 2 : “Sudah selesaimi to?” Siswa 1 : “Iya.” (kel.1, VIII-D)
Pada dialog kelas VIII-D kelomopok 1 terdapat kata no dalam
kalimat “oh no, kesuksesan berasal dari kemauan yang kuat.” Berasal dari
bahasa inggris yang berarti „tidak . Begitu pula pada dialog kelas VIII-D,
kelompok satu terdapat kata image yang dalam konteks kalimat tersebut
berarti gambaran atau potret diri sesorang. Penutur menyisipkan kata-kata
tersebut ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi
campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
(3) Campur kode bahasa Indonesia, bahasa Makassar, dan bahasa
Indonesia dialek Jakarta
Campur kode jenis atau macam ini yang muncul dalam proses
diskusi kelompok di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa,
Siswa 1 : “Ayo tuliski nama kelompoknya.” Siswa 2 : “Iya, sebentar.” Siswa 3 : “Ini tentang apa, sih?”
69
Siswa 4 : “Tentang gagasan kalimat, masa’ kau tidak tahu?” Siswa 1 : “Sebutkan gagasan utama paragraf dua sampai delapan?” Siswa 3 : “jawablah pertanyaan berikut, Sebutkan gagasan utama
paragraf dua sampai delapan!”
Dalam dialog tersebut siswa 4 mengatakan masa’ merupakan kata
yang berasal dari bahasa Makassar yang berarti apakah dan sih
merupakan kata bantu yang berasal dari bahasa Indonesia dialek
Jakarta. Penutur menyisipkan kata-kata itu kedalam kode dasar yang
berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia,
bahasa Makassar, dan bahasa Indonesia dialek Jakarta.
(4) Campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia dialek Jakarta
Campur kode jenis atau macam ini yang muncul dalam proses
diskusi kelompok di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa.
Siswa 2 : “Ditulis semua?” Siswa 1 : “Iya.” Siswa 2 : “Trus yang nomor satu mana?” Siswa 1 : “Ini.” Siswa 2 : “Sedikitnya, di’?” Siswa 3 : “Masa’sih ini kau tidak tahu?” (kel.3, VIII-A)
Dialog dalam diskusi kelompok 3, kelas VIII-A terdapat tuturan
yang berbunyi “Masa’ sih ini kau tidak tahu”, kalimat tersebut
menggunakan kata dan kata bantu yang berasal dari bahasa Indonesia
dialek Jakarta. Penutur menyisipkan kata-kata itu ke dalam kode dasar
yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa
Indonesia, bahasa Makassar, dan bahasa Indonesia dialek Jakarta.
70
b) Campur kode berdasarkan unsur-unsur kebahasaan
Campur kode wujud unsur kebahasaan yang muncul dalam
proses diskusi kelompok di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten
Gowa.
(1) Campur kode dengan unsur penyisip yang berwujud kata
Kata merupakan dua macam satuan, ialah satuan fonologik dan
satuan gramatik. Sebagai satuan fonologik terdiri dari satu atau beberapa
suku, dan suku itu terdiri dari satu atau beberapa fonem (Ramlan, 1987:
33). Campur kode dengan unsur penyisip yang berwujud kata merupakan
macam atau jenis campur kode berdasarkan unsur-unsur kebahasaan
yang paling sering muncul.
Campur kode jenis atau macam ini contohnya terdapat dalam data-
data berikut ini.
Siswa 1 : “Guru-guru harus lebih aktif dalam mengamati para siswa-siswa di kelas pada setiap pelajaran dan guru juga memberikan pemeriksaan pada siswa dari laci, baju, sepatu dan lain-lain.”
Siswa 3 :”Iyo, para guru harus memeriksa setiap hari.” Siswa 2 : “Addeh , kenapa setiap hari.” Siswa 1 : “Iya karena biasanya diletakkan di bawah pantat dan di laci.” (kel.2, VIII-D) Siswa 3 : “Bagaimana ini?” Siswa 2 : „Seperti terik matahari yang….” Siswa 5 : “Nonono, bukan bukan bukan.” Siswa 1 : “Setiap hari tubuhku…” Siswa 2 : “Kata-kata yang tadi janganmi, yang inimo karena tidak sulitji.” Siswa 6 : “ Kan seharusnya air hijan mengguyur rumahku.” (kel. 3, VIII-D)
71
Siswa 2 : “Ini Sebutkan gagasan utama paragraf dua sampai delapan.” Siswa 1 : “Paragraf dua kemaeki anggappa?” Siswa 2 : “Anne’ e.” Siswa 3 : “Yang ini aja, Kan bersifat umum ji.” Siswa 4 : “Paragraf kedua to ini?” Siswa 1 : “Tulis dulu, nomor 1.a.” Siswa 2 : “1.a?” Siswa 1 : “Iya.” (kel.3, VIII-C)
Dialog-dialog di atas termasuk ke dalam dialog campur kode wujud
unsur kebahasaan kata. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur yang
menyisip ke dalam kode dasar berupa atau berwujud kata, penutur
menyisipkan kata-kata yang berasal dari bahasa lain. Pada dialog siswa
kelas VIII-D, kelompok 2 penutur 2 menggunakan kata Iyyo dalam tuturan
“Iyyo para guru harus memeriksa setiap hari” berarti „iya para guru harus
memeriksa setiap hari yang berasal dari bahasa Makassar dan penutur
(siswa 3) menggunakan kata Addeh dalam tuturan „Addeh kok setiap
hari‟kata Addeh dalam bahasa Makassar memunyai arti yang bermacam-
macam tergantung konteks kalimatnya, dalam kalimat „Addeh kenapa
setiap hari‟ kata „Addeh‟ berarti penyangkalan atas pendapat yang
dikemukakan oleh lawan tuturnya, dalam bahasa Indonesia berarti „bukan
demikian . Pada dialog siswa kelas VIII-D, kelompok tiga menggunakan
kata „nonono‟ pada tuturan “nonono, bukan bukan bukan” yang berasal
dari bahasa Inggris yang berarti „tidak . Pada dialog siswa kelas VIII-C
kelompok tiga, seorang penutur (siswa 3) penyisipkan kata “aja” pada
tuturan “orang ini aja bersifat umum‟ yang berasal dari bahasa Indonesia
dialek Jakarta ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia yang
72
berarti „saja sehingga terjadi campur kode wujud unsur kebahasaan
kata.
b) Campur kode dengan unsur penyisip yang berwujud frasa.
Frasa ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih
yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 1987: 151).
Campur kode jenis atau macam ini dapat dilihat dalam data-data berikut
ini.
Siswa 1 : “Kita akan membahas tentang apa kah? Siswa 2 : ” Tentang percakapan telefon lah, Addeh, bagaimanami itu? Siswa 1 : “Iya, tanya apa? Siswa 3 :”Nanti kita akan membuat percakapan tentang peningkatan hasil pertanian padi. (kel.2, VIII-B)
Siswa 1 : “Kamma anjo, getah tanaman mete diabaikan orang.” Siswa 2 : “He?” Siswa 1 : “Getahnya sering diabaikan oleh orang. Kamma anjo?” Siswa 3 : “Yo.” Siswa 4 : “Getahnya sering diabaikan orang. Titik.” Siswa 3 : “Getah tanaman mete memunyai manfaat yang cukup besar.” Siswa 3 : “Getah tanaman mete sering diabaikan.” (Kel.2, VIII-C)
Dialog-dialog di atas termasuk ke dalam dialog campur kode wujud
unsur kebahasaan frasa. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur yang
menyisip ke dalam kode dasar berwujud frasa. Dalam dialog di atas
penutur meyisipkan frasa yang berasal dari bahasa Makassar “Addeh
bagaimanami itu (kel.2, VIII-B), Kamma anjo? (kel.2, VIII-C)” ke dalam
73
kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode
wujud unsur kebahasaan frasa.
b. Campur kode ragam
Campur kode ragam yang muncul dalam proses diskusi kelompok
di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Gowa.
Campur Kode Ragam Resmi dan Ragam Santai
Campur kode ragam resmi dan ragam santai ini muncul beberapa
kali. Campur kode jenis ini dapat dilihat dalam dialog berikut
Guru : “Kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan campuran. Yang membedakan itu adalah letak dari gagasan utamanya.”
Siswa-siswa : “Iyye, ibu.” Guru : “ Ya (ayo) kalian menganalisis paragraf dua sampai delapan
itu dulu yang kalian kerjakan.” Siswa 1 : ”Ibu, induktif itu yang depan apa yang belakang ibu?” Guru : “Induktif itu yang akhir, deduktif yang awal. Itu gagasan
utamanya.” Siswa 1 ; “Iyye, ibu.” (kel.3, VIII-C)
Dalam dialog tersebut penutur mencampur ragam resmi dan ragam
santai dalam satu kalimat. Ragam resmi dalam kalimat itu ditandai oleh
kata-kata dalam kalimat pertama menggunakan bahasa baku tidak
bercampur dengan dialek Makassar maupun Jakarta. Sedangkan ragam
santai dalam kalimat itu ditandai oleh penggunaan kata bantu penegas
yang tidak baku yaitu lho yang menyantaikan pembicaraan.
Dialog lain yang juga merupakan campur kode ragam resmi dan
ragam santai yaitu dialog berikut.
74
Siswa 2 : “Apa mau?” Siswa 3 :“Bisa menjadi lalapan dan rasanya yang khas membuat selera makan menjadi bertambah, tidakji na salah?” Siswa 2 : “Catat dimana?” Siswa 4 : “Di sini, lah.” Siswa 2 : “Ditulis semua?” Siswa 1 : “Ya, iyya lah.” (kel.1, VIII-C)
Dalam dialog itu penutur mencampur antara ragam resmi dan
ragam santai. Ragam resmi dalam dialog itu ditandai oleh bentuk kalimat
yang lengkap dan kosa kata baku. Sedangkan ragam resmi dalam dialog
itu ditandai oleh penggunaan kata tidak baku tidakji nai yang merupakan
bentuk tidak baku dari tidak.
2. Faktor penyebab pemakaian alih kode dan campur kode dalam
diskusi.
a. Faktor Penyebab Alih Kode
1) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan maksud
mengimbangi bahasa lawan tutur. Faktor penyebab alih kode ini dapat
dilihat dalam dialog berikut ini.
Siswa 3 : “Halo, saya Fatimah, temannya Wahyu, bisa bicara dengan Wahyu? Saya teman sekelasnya Wahyu.” Siswa 2 : “Oh iya sebentar tak panggilkan Wahyu. Gitu.”
Siswa 1 : “Oh iya kita pakeknya saya saja tidak usahmi aku!” Siswa 2 : “Iya, ini terjadinya pagi saja begitu di’?” Siswa 1 : “Iyo. Nanti alasannnya I wahyu sedang bermain.” Siswa 3 : “Tidak usahmi, sedang membaca buku saja, tidak apa-apaji, to?”
75
Siswa 1 : “Sedang membaca buku di halaman, begitu saja tidak apa-papa?” Siswa 2 : “Iya tidak papaji, terus Fatimahnya jawab sebelumnya minta
maaf dululah.” (kel. 1, VIII-B)
Dalam dialog tersebut terjadi alih kode dari bahasa Makassar ke
bahasa Indonesia yaitu saat penutur (siswa 1) menuturkan “Iyo. Nanti
alasannnya I wahyu sedang bermain.”. Dalam alih kode tersebut dapat
dilihat bahwa penutur melakukan alih kode disebabkan oleh adanya
maksud mengimbangi lawan tutur. Pada saat penutur berbahasa
Makassar, penutur sedang mengomentari jawaban lawan tutur “iya, ini
terjadinya pagi saja begitu di’?”. Kemudian penutur beralih berbahasa
Indonesia dengan maksud untuk melanjutkan menjelaskan materi.
2) Lawan tutur, alasan lawan tutur seperti untuk mengimbangi bahasa
yang digunakan oleh lawan tuturnya.
Dalam dialog di bawah ini dapat dilihat adanya faktor penyebab alih
kode yang berupa lawan tutur.
Siswa 1 : “Paragraf ke lima.” Siswa 3 : “Kacang ini memiliki nilai ekonomi tinggi.” Siswa 4 : “Kan haruspi dirincikan to?” Siswa 1 : “Iyo.” Siswa 3 : “Kacang ini menghasilkan minyak CNSL”. Siswa 1 : “Paragraf ke enam.” Siswa 2 : “Yang manayya? Tidak kudapatpi.” Siswa 1 : “Kulit batang dari kacang ini, dimanfaatkan untung pengobatan sariawan dan penyakit gula-gula.” (kel. 1, VIII-A)
76
Dalam dialog di atas penutur (siswa 1) beralih kode dari bahasa
Indonesia ke bahasa Makassar disebabkan oleh lawan tutur (siswa 4)
yang sebaya dengan penutur dan berbahasa Makassar. Untuk
mengimbangi lawan tutur yang berbahasa Makassar maka penutur
beralih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Makassar.
3) Perubahan situasi hadirnya orang ketiga.
Dalam dialog di bawah ini dapat dilihat adanya faktor penyebab alih
kode yang berupa perubahan situasi hadirnya orang ketiga.
Siswa 2 : “Saya Yeni, teman sekelas fani dan juga candra.” Siswa 3 : “Kok sekelas? Dongo’?” Siswa 2 : “Ya iya lah, teman sekelas.” (kel.2, VIII-B)
Dalam dialog tersebut terlihat bahwa penutur pada awalnya
berbahasa Indonesia saat membahas materi diskusi dengan teman
sekelompoknya, kemudian beralih berbahasa Makassar karena ada
orang ketiga yang hadir. Setelah orang ketiga hadir, saat orang
ketiga mengatakan kok dan dongo’ (bodoh), maka lawan tutur akan
mengikuti berbicara dengan bahasa daerah (Makassar) dialek yang
mereka mengerti.
4) Perubahan topik pembicaraan.
Dalam dialog di bawah ini dapat dilihat adanya faktor penyebab alih
kode yang berupa perubahan topik pembicaraan.
77
Siswa 2 :”Sebutkan gagasan paragraf dua sampai delapan!” Siswa 4 : “Soalnya ditulis! Addeh” Siswa 1 : „Ini yang pertama ini” Siswa 2 : “Tuliskan rincian dari setiap gagasan utama tersebut. Jangan
Dalam dialog tersebut penutur beralih kode dari ragam resmi ke
ragam santai karena terjadi perubahan topik pembicaraan. Pada saat
penutur (siswa 2) menggunakan ragam resmi penutur sedang
membicarakan tentang perintah dari soal yaitu menuliskan rincian dari
gagasan utama. Kemudian topik pembicaraan berubah menjadi tentang
kalimat penutur yang mengingatkan agar lawan tutur saat menulis
menggunakan tanda baca yaitu tanda tanya. Pada saat topik pembicaraan
berubah itulah penutur juga melakukan beralih kode ke ragam santai,
ragam santai dapat dilihat juga dari kalimat yang kedua penutur
menggunakan bahasa yang tindak baku yaitu “pake” dan “lho”.
5) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya.
Dalam dialog di bawah ini dapat dilihat adanya faktor penyebab alih
kode yang berupa perubahan formal ke informal.
Siswa 1 : ”Kita akan terus semangat walau pun badai kemiskinan menerpa kita, tak kan meratapi rumahku yang di kolong jembatan, dan sampah lantai rumahku, hidupku terlunta-lunta, matahari menemaniku setiap hari. Sudahmi to?”
Dalam dialog tersebut penutur melakukan alih kode dari ragam
santai ke ragam resmi karena adanya perubahan dari formal ke informal.
Dalam situsi formal yaitu pada saat penutur memberikan ide untuk syair
puisi kelompok mereka. Setelah itu situasi berubah menjadi informal,
ditandai dengan penggunaan bahasa Makassar ”sudahmi to?” yang berarti
„sudah kan? oleh penutur (siswa 1).
6) Untuk membangkitkan rasa humor.
Dalam dialog di bawah ini dapat dilihat adanya faktor penyebab alih
kode yaitu untuk membangkitkan rasa humor.
Siswa 1 : “Sungguh berat hidup ini seperti pohon yang diterpa angin.” Siswa 2 : “Diterpa kan ringanji to?” Siswa 3 : “Sudahmi padeng diterpa angin puting beliung mo.” (kel.2, VIII-E)
Dalam dialog tersebut penutur beralih kode dari bahasa Indonesia
ke bahasa Makassar karena penutur ingin membangkitkan rasa humor.
penutur bertanya “diterpa kan ringanji to?” maksudnya menyanggah
pendapat lawan tuturnya yang membuat kalimat “sungguh berat hidup ini
seperti pohon yang diterpa angin”. Penutur kedua menyanggah
bagaimana bisa pohon bisa tumbang jika hanya diterpa angin, kemudian
penutur pertama menjawab “Sudahmi padeng, diterpa angin puting
beliung mo.” Kalimat tersebut berarti ya sudah kalau begitu diterpa angin
79
puting beliung saja, namun penutur menggunakan kata “padeng” dan “mo”
agar membangkitkan rasa dan suasana humor (mencairkan suasana).
Contoh lain alih kode yang membangkitkan rasa humor, adalah.
Siswa 4 : “Hidupku bagai bunga yang tidak disiram.” Siswa 1 : “Antekammaji maksudna itu?” Siswa 2 : “Layu.” Siswa 4 : “Cocokmi, layu disetiap langkahku.” Siswa 5 : “Ada kapang kakinya itu kembangka? Hahaha.” Siswa 4 : “Layu terasa di dalam hati.” Siswa 2 dan 5 `: “Sotta’.” (kel.2, VIII-D)
Dalam dialog di atas siswa 2 memberikan ide kata “layu” untuk
membuat puisi, kemudian siswa 4 melanjutkan kata “layu” (bunga yang
layu)menjadi kalimat “layu disetiap langkahku”, namun kalimat tersebut
tidak sesuai dengan ketentuan, karena tidak kesesuaian itu maka
menimbulkan suasana humor, terlihat dari tanggapan siswa 5 yang
menertawakan, ide kalimat dari siswa 4 dengan kalimat “Ada kapang
kakinya itu kembangkan? Hahahaha”.
b. Faktor penyebab terjadinya campur kode
1) Identifikasi peranan sosial
Dialog campur kode yang disebabkan oleh faktor penyebab
identifikasi peranan sosial antara lain:
Siswa 1 : ”Ibu, induktif itu yang depan apa yang belakang ibu?” Guru :“Induktif itu yang akhir, deduktif yang awal. Itu gagasan
utamanya.” Siswa 1 ; “Iya, ibu.” Guru : “Dijawab! Siapa bisa jawabki?” Siswa 2 : “Sudahmi kutulis ibu.”
80
Siswa 4 : “Buah dari jambu mete, eh beberapa dari buah jambu mete.” Guru : “Ini yang dikerjakan yang dari paragraf dua sampai
delapan saja to.” (kel.3, VIII-C)
Dalam dialog di atas penutur (guru) mencampur bahasa
Indonesia dengan bahasa Makassar disebabkan oleh kedudukan penutur
yang lebih tinggi daripada lawan tutur. Karena kedudukannya dalam sosial
lebih tinggi daripada lawan tutur maka penutur menggunakan kata siapa
bisa jawabki yang berarti siapa dan merupakan kata jawabki yang
merupakan tataran terendah dalam bahasa Makassar kepada lawan tutur.
2) Keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan
Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan nampak karena
campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain
dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya (suwito, 1985: 77).
Dialog campur kode yang disebabkan oleh faktor penyebab keinginan
untuk menjelaskan atau menafsirkan antara lain.
Siswa 4 : “Maaf ini siapa? Pake tanda tanya!” Siswa 3 : “Ini Rita kakaknya Wahyu. Begitumo saja!” Siswa 4 : “Klo sudah begitu, nanti Fatimah bilang, oh ya bisa panggilkan Irwandi sebentar kak? gitu to?” Siswa 3 : “Masak oh ya, kan tidak lucu?” Siswa 4 : “Tidak apa-apaji.” Siswa 2 :” Itu pakai tanda tanya kan? Siswa 4 : “Iyyo” (kel.1, VIII-A)
Dalam dialog di atas, penutur (siswa 3) mencampur bahasa
Makassar dan bahasa Indonesia disebabkan oleh keinginan penutur untuk
menafsirkan ketidak setujuannya dengan pendapat temannya (siswa 4)
81
dan pendapat „oh ya‟ tidak sesuai karena terkesan lucu.
3) Karena keterbiasaan penutur.
Dialog campur kode yang disebabkan oleh keterbiasaan
penutur menggunakan bahasa Ibu, antara lain.
Siswa 1 : “Anne nomor satu, dua, dan tiga to yang dikerjakan?” Siswa 2 : “Nomor satu apa?” Siswa 1 : “Daun mete yang yang masih muda dapat dijadikan lalapan?” Siswa 2 : “Apa?” Siswa 1 : “Daun mete yang masih muda bisa dijadikan lalapan.” Siswa 2 : “Lalapan?” Siswa 1 : “Iyo.” (kel. 1, VIII-C)
Pada dialog di atas penutur (siswa 1) menggunakan kata bantu „to‟
yang berasal dari bahasa Makassar pada kalimat “anne nomor satu, dua,
dan tiga to yang dikerjakan?”. Penggunaan kata bantu „to yang dalam
konteks kalimat tersebut memunyai fungsi menegaskan kalimat yang
sedang penutur tanyakan kepada lawan tutur. Penutur menggunakan
campur kode tersebut karena terbiasa menggunakan bahasa ibu yaitu
bahasa Makassar, keterbiasaan tersebut memengaruhi kode dasar
saat penutur berbahasa Indonesia.
Siswa 1 : “Manfaat daun jambu mete?” Siswa 3 : “Iya.” Siswa 2 : “Manfaat daun jambu mete yang masih muda.” Siswa 1 : “Terus?” Siswa 3 : “Kulit mete memiliki….” Siswa 1 : “Tena, nilai ekonomi yang sangat tinggi, kammamo anne?” Siswa 3 : “Iyo, antu meniru, menambahi, kan anne niruro menyingkat?” Siswa 1 : “Berarti?” Siswa 3 : “Nilai ekonomi kulit mete.” (kel.2, VIII-C)
82
Penutur (siswa 1) menggunakan campur kode bahasa
Indonesia dengan bahasa Makassar pada tuturan, “tena, nilai ekonomi
yang sangat tinggi, kammamo anne?”, campur kode terjadi karena penutur
menggunakan kata tena yang berasal dari bahasa Makassar yang berarti
“tidak dan frasa „kammamo anne‟ yang berarti „seperti ini saja . Penutur
(siswa 2) juga menggunakan campur kode bahasa Indonesia dengan
bahasa Makassar pada tuturan, “Iyo, antu meniru, menambahi, kan anne
niruro menyingkat?”, penggunaan kata „Iyo, antu‟ yang berarti „iya, itu
dan „anne nisuro‟ yang berarti „ini disuruh membuktikan bahwa penutur
(siswa 3) menggunakan campur kode. Penutur menggunakan campur
kode tersebut karena terbiasa menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa
Makassar, keterbiasaan tersebut memengaruhi kode dasar saat penutur
Penutur (siswa 2 dan 3) menggukanan campur kode karena bahasa
Indonesia dengan bahasa Makassar karena penutur menggunakan kata
Iyyo yang berasal dari bahasa Makassar pada konteks pembicaraan yang
menggunakan kode dasar bahasa bahasa Indonesia. Penutur (siswa 2)
juga menggunakan campur kode pada tuturan “kemiskinan mo.”,
83
penggunaan kata „mo‟ yang berasal dari bahasa Makassar membuktikan
bahwa penutur (siswa 2) melakukan campur kode bahasa Makassar
dalam konteks pembicaraan yang menggunakan kode dasar bahasa
Indonesia. Siswa masih melakukan campur kode karena siswa masih
terbiasa menggunakan bahasa Makassar, yang dalam kehidupan sehari-
hari mereka gunakan.
Siswa 3 : “Eh punya ka ide. Tulismi saja di buku coret-coretan!” Siswa 1 : “Iyye, terus?” Siswa 4 : “Gini, Fatimah telefon kamu, tapi yang jawab dini lalu dikasih
ke Husnul , lalu kamu tanya “halo ada apa ya? Lalu saya bilang, itu si Fatimah tanya bagaimana cara peningkatan pertanian?”
Siswa 3 : “Lalu?” Siswa 1 : “Nanti bilang lagi, oh iya, sebentar saya tanyakan Dini” Siswa 2 : “Iya ini ceritanya terjadi pagi-pagi ato siang?” Siswa 3 : “Selamat pagi aja?” Siswa 1 : “Tanda petiknya lho! Saya Fatimah. Gitu!” (kel.1, VIII-B)
Dalam dialog tersebut penutur (siswa 1) menggunakan campur
kode bahasa Makassar dan bahasa Indonesia pada tuturan, “Iyye”, terus?”
penggunaan kata „iyye‟ yang berasal dari bahasa Makassar yang berarti
„iya , membuktikan bahwa penutur menggunakan campur kode bahasa
Makassar ke dalam konteks percakapan yang menggunakan kode dasar
sannang.” Siswa 3 : “Bagaimana ini?” Siswa 2 : „Seperti terik matahari yang….” Siswa 5 : “No,no,no, bukan bukan bukan.”
84
Siswa 1 : “Setiap hari tubuhku…” Siswa 2 : “Jadi yang janganmi ka ini tidak sulitji.” (kel.3, VIII-D)
Dalam dialog tersebut penutur (siswa 2) menggunakan campur
kode bahasa Makassar dan bahasa Indonesia pada tuturan, “Jammoko
berteriak-teriak, singkammami tau sannang.”, kalimat tersebut dalam
bahasa Indonesia berarti “jangan berteriak-terak, seperti orang yang
sedang gembira/senang”. Penggunaan kata „jammoko‟ yang berasal dari
bahasa Makassar yang berarti „jangan ,dan frasa „singkammami tau
sannang‟ yang berarti „seperti orang yang senang membuktikan bahwa
penutur menggunakan campur kode bahasa Makassar ke dalam
konteks percakapan yang menggunakan kode dasar bahasa Indonesia.
Siswa 5 : “Gagasan utama paragraf ke empat.” Siswa 2 : “Jambu mete yang masih muda dapat dimanfaatkan sebagai
lalapan.” Siswa 5 : “Gagasan utama paragraf lima.” Siswa 3 : “Kulit mete memiliki nilai ekonomi tinggi.” Siswa 4 : “Eh gantianmaki, nanti capek ki.” Siswa 1 : “gak kok, gak papa, paragraf ke enam?” Siswa 2 : “Kulit batang dari tanaman mete dimanfaatkan untuk
pengobatan.”(kel.2, VIII-A)
Dalam dialog di atas penutur (siswa 4) menggunakan campur kode
bahasa Makassar dan bahasa Indonesia pada tuturan, “eh gantian maki,
nanti capekki.”. fungsi ki’ dalam kalimat tersebut untuk menegaskan
kalimat yang diungkapkan penutur kepada lawan tutur. Penggunaan kata
bantu ‟ki’‟ membuktikan bahwa penutur menggunakan campur kode
bahasa Makassar ke dalam konteks percakapan yang menggunakan kode
85
dasar bahasa Indonesia.
Siswa 4 : “Anne niak pertanyaan lagi, begaimana cara mengatasi
menyontek pada diri sendiri, berarti kan dari pribadi to?” Siswa 2 : “Nampa apa bedanya sama yang di atas?” Siswa 5 : “Ya yang di tulis itu yang buat diri sendiri saja.” Siswa 2 : “Yang harus lebih percaya sama kemampuan diri, belajar lebih
giat menganggap kalau menyontek itu dosa.” (kel.1, VIII-D)
Dalam dialog tersebut, penutur (siswa 2) menggunakanan kata
“Nampa” berarti „terus (dialek daerah Gowa) dalam tuturan “Nampa apa
bedanya sama yang di atas?”. Dari beberapa contoh dialog di atas alasan
penutur menggunakan campur kode tersebut karena terbiasa
menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa Makassar, keterbiasaan tersebut
memengaruhi kode dasar saat penutur berbahasa Indonesia.
4) Karena faktor lingkungan
Hal tersebut juga dipertegas dari hasil wawancara dengan guru
dan siswa yang mengungkapkan bahwa faktor utama terjadinya alih kode
dan campur kode adalah faktor lingkungan siswa yang menggunakan
bahasa Makassar sebagai bahasa ibu, jadi mereka masih canggung
dalam berbicara menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar,
mereka masih sering melakukan campur kode bahasa Indonesia dengan
bahasa daerah mereka
5) Karena latar belakang pendidikan
Pengajaran keterampilan berbicara bahasa Indonesia saat siswa
duduk di bangku SD juga masih kurang, karena guru SD kawasan
pedesaan biasanya lebih sering menjelaskan pelajaran dengan bahasa
86
daerah (Makassar) dengan alasan agar siswa bisa lebih mudah
menangkap materi yang diajarkan, saat berkomunikasi dengan guru siswa
juga lebih sering menggunakan bahasa Makassar, jadi siswa tidak
terbiasa jika harus berkomunikasi dengan teman atau guru menggunakan
bahasa Indonesia.
6) Karena belum terbiasa
Siswa juga mengungkapkan bahwa mereka masih merasa malu
jika harus berbicara dengan teman sebaya menggunakan bahasa
Indonesia, alasannya juga karena tidak terbiasa dan dianggap congkak
apabila menggunakan bahasa Indonesia.
7) Karena faktor ekonomi keluarga
Faktor ekonomi keluarga dari siswa juga berpengaruh,
kebanyakan siswa yang bersekolah di SMP Negeri 1 Tompobulu,
Kabupaten Gowa berasal dari keluarga yang kelas ekonominya
menengah ke bawah, yaitu dari keluarga petani. Dengan kondisi yang
demikian tentunya beda dengan siswa yang bersekolah di perkotaan,
mereka masih jarang yang bisa menonton televisi saat pulang sekolah,
karena mereka harus membantu kedua orang tuanya di sawah, sebagian
besar dari mereka juga belum mengenal internet, jadi mereka hanya
belajar bahasa Indonesia saat jam pelajaran berlangsung saja.
c. Fungsi Alih Kode
1) Menyantaikan
Alih kode yang memunyai fungsi menyantaikan terdapat dalam
87
dialog berikut.
Siswa 3 : “Terus nanti kakaknya bilang begini, “eh, bagimana dek? Apa ada yang bisa kakak bantu?” begitu to?
Siswa 1 : Iyyo, terus bilang “saya mau tanya bagaimana cara memilih benih yang berkualitas?” begitu to?
Siswa 4 : “Terus gimana lagi?” Siswa 3 : “Bagaimana kalau yang beli sama kakak saja nanti kakak
pilihkan.” begitu ya? Trus jawabnya “ apa tidak merepotkan kakak?” begitu kah?
Siswa 1 : “Iya.” (kel. 1, VIII-B)
Alih kode yang dilakukan oleh penutur dari ragam resmi ke santai
memunyai fungsi untuk menciptakan suasana santai antara penutur dan
lawan tutur. Hal ini ditandai oleh oleh penggunaan ragam santai yang
menciptakan suasana santai pada saat peristiwa interaksi dan hubungan
antara penutur dan lawan tutur semakin akrab.
2) Menegaskan
Alih kode yang berfungsi untuk menegaskan terdapat dalam dialog
berikut.
Siswa 1 : “Iya karena biasanya diletakkan di bawah pantat dan di laci.” Siswa 4 : “Eh, tena na cocok antu.” Siswa 3 : “Bagaimana cara-cara mengatasi menyontek pada diri siswa, berikan saranmu supaya menyontek tidak menjadikan kebiasaan? Jawabki!” Siswa 2 : “Karena siswa tidak bisa menjawab dan sudah menyerah untuk menjawabnya.” Siswa 1 : “Sebab-sebanya itu anui bela? Sulit.” Siswa 5 : “Soalnya terlalu sulit, jadi siswa harus belajar dengan tekun, dan siswa diberi sanksi.” (kel. 2, VIII-D)
Alih kode dari ragam resmi ke ragam santai yang dilakukan penutur
berfungsi untuk menegaskan hal yang telah disebutkan oleh penutur.
88
Fungsi menegaskan ini ditandai oleh setelah penutur (siswa ke3)
membacakan soal yang harus dikerjakan, kemudian penutur beralih
dengan kalimat menggunakan kode dasar bahasa Makassar pada tuturan
“jawabki’!” memunyai tujuan untuk menegaskan pada teman-temannya
bahwa perjalanan tersebut harus dijawab.
3) Menyegarkan
Alih kode yang berfungsi untuk menyegarkan terdapat dalam dialog
berikut.
Siswa 1 : “Sahabat adalah harta yang berharga bagiku.” Siswa 2 : “Kamma tong uang saja, berharga.” Siswa 1 : “Lebih dari uang,” Siswa 3 : “Sotta.” (kel.4, VIII-D)
Alih kode yang dilakukan oleh penutur satu dan dua dari
bahasa Indonesia ke bahasa Makassar ini berfungsi untuk menyegarkan
suasana. Pada saat penutur (siswa 1) mengunakan bahasa Indonesia,
penutur sedang memberikan ide tentang puisi yang sedang dibuat oleh
kelompok mereka, kata-kata yang dibuat oleh penutur memunyai arti yang
dalam. Hal ini meembuat suasana di kelompok mereka menjadi hening,
kemudian lawan tutur mulai merespon dengan menjawab
menggunakan bahasa Makassar dengan nada bercanda “Kamma tong
uang saja, berharga” yang berarti seperti uang saja berharga, dengan
kata-kata dalam bahasa Makassar, sehingga suasana menjadi lebih
segar.
89
4) Menghormati
Alih kode yang berfungsi untuk menghormati terdapat dalam dialog
berikut.
Guru : “Kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan campuran. Yang membedakan itu adalah letak dari gagasan utamanya.”
Siswa : “Iyye bu.” Guru : “ Ya kalian menganalisis paragraf dua sampai delapan itu dulu
yang kalian kerjakan.” (kel. 3, VIII E
Alih kode yang dilakukan oleh penutur (G) dari bahasa
Indonesia ke bahasa Makassar berfungsi untuk menghormati orang ketiga
(O1) yang masuk ke dalam lingkungan penutur yang pada saat itu sedang
berkomunikasi dengan lawan tutur. Sebelum orang ketiga (O1) masuk,
penutur (G) menggunakan bahasa Indonesia, kemudian ada orang ketiga
(O1) masuk dan berbahasa Makassar. Dengan demikian penutur (G)
menggunakan bahasa Makassar halus untuk menghormati orang
ketiga (O1) tersebut.
5) Menerangkan
Alih kode yang berfungsi untuk menerangkan terdapat dalam dialog
berikut:
Guru : “Kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan campuran. Yang membedakan itu adalah letak dari gagasan utamanya.”
Siswa-siswa : “Iyye bu.” Guru : “ Ya kalian menganalisis paragraf dua sampai delapan itu
dulu yang kalian kerjakan.” Siswa 1 : ”Ibu, induktif itu yang depan apa yang belakang ibu?” Guru : “Induktif itu yang akhir, deduktif yang awal. Itu gagasan
90
utamanya na.” Siswa 1 ; “Iya, ibu.” Guru : “Dijawab! Sapa yang bisa jawabki?” Siswa 2 : “Sudahmi kutulis bu.” Siswa 4 : “Buah dari jambu mete, eh beberapa dari buah jambu
mete.” Guru : “Ini yang dikerjakan yang dari paragraf dua sampai delapan
saja ya.” Siswa 3 : “Ditulisiki penjelasanna anne paragraf induktif atau deduktif
kah bu?” Guru : “O, tidak usah. Tidak usah menjelaskan paragraf deduktif
atau indukif, cukup ditulis gagasan utamanya saja.” (kel.4, VIII-C)
Dalam dialog di atas (bercetak tebal) penutur (guru) menggunakan
alih kode, pada tuturan “kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan
menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan campuran. Yang
membedakan itu adalah letak dari gagasan utamanya.” dan “o, tidak
usah. Tidak usah menjelaskan paragraf deduktif atau indukif, cukup
ditulis gagasan utamanya saja.” yang dilakukan oleh penutur dari ragam
santai ke ragam resmi berfungsi untuk menerangkan hal yang telah
disebutkan. Dalam hal ini penutur sedang membahas apa yang dimaksud
dengan jenis paragraf. Fungsi alih kode untuk menegaskan dalam dialog
tersebut ditandai oleh munculnya ragam resmi yang yang bentuknya
panjang dan lengkap, sehingga hal yang dimaksudkan menjadi lebih jelas.
91
C. Pembahasan
1. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses
diskusi kelompok.
Dari hasil penelitian diperoleh data yang mengungkapkan bahwa
siswa masih sering menggunakan alih kode dan campur kode bahasa
dalam diskusi kelompok, meski guru sudah mengatakan bahwa mereka
menganggap kegiatan alih kode dan campur kode adalah sikap yang
salah dan guru secara perlahan sudah membiasakan siswa agar bisa
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar namun karena
faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode seperti
penggunaan bahasa Makassar dalam kehidupan sehari-hari siswa
membuat siswa kesulitan untuk berkomunikasi dengan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar.
Bentuk alih kode yang ditemukan dalam aktivitas diskusi siswa
adalah alih kode intern: (1) alih kode ragam resmi ke ragam santai, (2) alih
kode ragam santai ke ragam resmi, (3) alih kode ragam resmi ke ragam
usaha, (4) alih kode ragam baku ke ragam santai, dan (5) alih kode ragam
santai ke ragam usaha dan alih kode ekstern yaitu alih kode bahasa
Indonesia ke bahasa Makassar dan alih kode bahasa Makassar ke bahasa
Indonesia. Temuan ini didukung oleh penelitian relevan Sari (2009: 71)
hasil penelitian bahwa bentuk alih kode yang terjadi dalam pembelajaran
bahasa Indonesia kelas II SD Negeri Paccinongang berupa alih kode
intern, yaitu peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Makassar.
92
Diperkuat dengan tepri dari Suwito (1985: 69) membedakan adanya dua
macam alih kode, yaitu sebagai berikut.
1. Alih kode intern adalah pergantian atau peralihan pemakaian
bahasa yang terjadi antardialek, antarragam, atau antargaya dalam
lingkup satu bahasa.
2. Alih kode ekstern adalah perpindahan pemakaian bahasa dari satu
bahasa ke bahasa lain yang berbeda.
Campur kode yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: (1) alih kode
berdasarkan macam-macam bahasa seperti campur kode bahasa
Indonesia dan bahasa Makassar, campur kode bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris, campur kode bahasa Indonesia, bahasa Makassar, dan
bahasa Indonesia dialek Jakarta, dan campur kode bahasa Indonesia dan
bahasa Indonesia dialek Jakarta, (2) campur kode wujud unsur
kebahasaan yang terjadi yaitu campur kode wujud unsur kebahasaan kata
dan campur kode wujud unsur kebahasaan frasa, dan (3) campur kode
ragam yang terjadi yaitu campur kode ragam baku dan ragam santai, serta
campur kode ragam resmi dan ragam santai. Temuan tersebut diperkuat
dari hasil penelitian oleh Wulandari (2002: 79) hasil penelitian “Campur
Kode dalam Tuturan Latihan Kepramukaan di SMA Negeri 1 Takalar
membuktikan bahwa (1) adanya variasi campur kode bahasa Indonesia
dengan bahasa Makassar dan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris,
(2) campur kode ragam baku dan ragam resmi, ragam baku dan ragam
santai, serta ragam resmi dan ragam santai, dan (3) campur kode wujud
93
unsur kebahasaan, yaitu campur kode wujud kata dan campur kode wujud
frasa.
2. Faktor penyebab pemakaian alih kode dan campur kode dalam
diskusi.
a. Dari hasil observasi dan wawancara dengan siswa membuktikan
bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode adalah: (1) penutur,
alasan penutur yang melakukan alih kode dengan alasan mengimbangi
lawan tutur, perubahan situasi orang ketiga, (3) perubahan topik
pembicaraan, (4) perubahan topik pembicaraan, (4) perubahan dari
formal ke informal atau sebaliknya, dan (6) untuk membangkitkan rasa
humor. Hal ini diperkuat dengan teori dari Chaer (1995: 143)
menyebutkan yang menjadi penyebab alih kode yaitu: (1) pembicara
atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, perubahan situasi
hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau
sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan.
Data yang menunjukkan peristiwa tindak tutur yang temui terjadi
campur kode yang dilakukan oleh penutur siswa SMP Negeri 1
Tompobulu, faktor penyebab terjadinya campur kode dalam bahasa
aktivitas diskusi siswa adalah: (1) identitas peranan sosial, (2)
identifikasi ragam, (3) keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan,
(4) karena faktor lingkungan, karena latar belakang pendidikan , (6)
karena belum terbiasa, dan (7) karena faktor ekonomi keluarga.
94
Dibawah ini diuraikan satu persatu terjadinya campur kode pada siswa
kelas VIII SMP Negeri 1 Tompobulu .
1). Identifikasi peranan sosial
Dialog campur kode yang disebabkan oleh faktor penyebab
identifikasi peranan sosial antara lain:
Siswa 1 : ”Ibu, induktif itu yang depan apa yang belakang ibu?” Guru :“Induktif itu yang akhir, deduktif yang awal. Itu gagasan
utamanya.” Siswa 1 ; “Iya, ibu.” Guru : “Dijawab! Siapa bisa jawabki?” Siswa 2 : “Sudahmi kutulis ibu.” Siswa 4 : “Buah dari jambu mete, eh beberapa dari buah jambu mete.” Guru : “Ini yang dikerjakan yang dari paragraf dua sampai
delapan saja to.” (kel.3, VIII-C)
Dalam dialog di atas penutur (guru) mencampur bahasa
Indonesia dengan bahasa Makassar disebabkan oleh kedudukan penutur
yang lebih tinggi daripada lawan tutur. Karena kedudukannya dalam sosial
lebih tinggi daripada lawan tutur maka penutur menggunakan kata siapa
bisa jawabki yang berarti siapa dan merupakan kata jawabki yang
merupakan tataran terendah dalam bahasa Makassar kepada lawan tutur.
5) Keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan
Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan nampak karena
campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain
dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya (Suwito, 1985: 77).
Dialog campur kode yang disebabkan oleh faktor penyebab keinginan
untuk menjelaskan atau menafsirkan antara lain.
95
Siswa 4 : “Maaf ini siapa? Pake tanda tanya!” Siswa 3 : “Ini Rita kakaknya Wahyu. Begitumo saja!” Siswa 4 : “Klo sudah begitu, nanti Fatimah bilang, oh ya bisa panggilkan Irwandi sebentar kak? gitu to?” Siswa 3 : “Masak oh ya, kan tidak lucu?” Siswa 4 : “Tidak apa-apaji.” Siswa 2 :” Itu pakai tanda tanya kan? Siswa 4 : “Iyyo” (kel.1, VIII-A)
Dalam dialog di atas, penutur (siswa 3) mencampur bahasa
Makassar dan bahasa Indonesia disebabkan oleh keinginan penutur untuk
menafsirkan ketidak setujuannya dengan pendapat temannya (siswa 4)
dan pendapat „oh ya‟ tidak sesuai karena terkesan lucu.
6) Karena keterbiasaan penutur.
Dialog campur kode yang disebabkan oleh keterbiasaan
penutur menggunakan bahasa Ibu, antara lain.
Siswa 1 : “Anne nomor satu, dua, dan tiga to yang dikerjakan?” Siswa 2 : “Nomor satu apa?” Siswa 1 : “Daun mete yang yang masih muda dapat dijadikan lalapan?” Siswa 2 : “Apa?” Siswa 1 : “Daun mete yang masih muda bisa dijadikan lalapan.” Siswa 2 : “Lalapan?” Siswa 1 : “Iyo.” (kel. 1, VIII-C)
Pada dialog di atas penutur (siswa 1) menggunakan kata bantu „to‟
yang berasal dari bahasa Makassar pada kalimat “anne nomor satu, dua,
dan tiga to yang dikerjakan?”. Penggunaan kata bantu „to yang dalam
konteks kalimat tersebut memunyai fungsi menegaskan kalimat yang
sedang penutur tanyakan kepada lawan tutur. Penutur menggunakan
campur kode tersebut karena terbiasa menggunakan bahasa ibu yaitu
96
bahasa Makassar, keterbiasaan tersebut memengaruhi kode dasar
saat penutur berbahasa Indonesia.
Siswa 1 : “Manfaat daun jambu mete?” Siswa 3 : “Iya.” Siswa 2 : “Manfaat daun jambu mete yang masih muda.” Siswa 1 : “Terus?” Siswa 3 : “Kulit mete memiliki….” Siswa 1 : “Tena, nilai ekonomi yang sangat tinggi, kammamo anne?” Siswa 3 : “Iyo, antu meniru, menambahi, kan anne niruro menyingkat?” Siswa 1 : “Berarti?” Siswa 3 : “Nilai ekonomi kulit mete.” (kel.2, VIII-C)
Penutur (siswa 1) menggunakan campur kode bahasa
Indonesia dengan bahasa Makassar pada tuturan, “tena, nilai ekonomi
yang sangat tinggi, kammamo anne?”, campur kode terjadi karena penutur
menggunakan kata tena yang berasal dari bahasa Makassar yang berarti
“tidak dan frasa „kammamo anne‟ yang berarti „seperti ini saja . Penutur
(siswa 2) juga menggunakan campur kode bahasa Indonesia dengan
bahasa Makassar pada tuturan, “Iyo, antu meniru, menambahi, kan anne
niruro menyingkat?”, penggunaan kata „Iyo, antu‟ yang berarti „iya, itu
dan „anne nisuro‟ yang berarti „ini disuruh membuktikan bahwa penutur
(siswa 3) menggunakan campur kode. Penutur menggunakan campur
kode tersebut karena terbiasa menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa
Makassar, keterbiasaan tersebut memengaruhi kode dasar saat penutur
Penutur (siswa 2 dan 3) menggukanan campur kode karena bahasa
Indonesia dengan bahasa Makassar karena penutur menggunakan kata
Iyyo yang berasal dari bahasa Makassar pada konteks pembicaraan yang
menggunakan kode dasar bahasa bahasa Indonesia. Penutur (siswa 2)
juga menggunakan campur kode pada tuturan “kemiskinan mo.”,
penggunaan kata „mo‟ yang berasal dari bahasa Makassar membuktikan
bahwa penutur (siswa 2) melakukan campur kode bahasa Makassar
dalam konteks pembicaraan yang menggunakan kode dasar bahasa
Indonesia. Siswa masih melakukan campur kode karena siswa masih
terbiasa menggunakan bahasa Makassar, yang dalam kehidupan sehari-
hari mereka gunakan.
Siswa 3 : “Eh punya ka ide. Tulismi saja di buku coret-coretan!” Siswa 1 : “Iyye, terus?” Siswa 4 : “Gini, Fatimah telefon kamu, tapi yang jawab dini lalu dikasih ke Husnul , lalu kamu tanya “halo ada apa ya? Lalu saya
bilang, itu si Fatimah tanya bagaimana cara peningkatan pertanian?”
Siswa 3 : “Lalu?” Siswa 1 : “Nanti bilang lagi, oh iya, sebentar saya tanyakan Dini” Siswa 2 : “Iya ini ceritanya terjadi pagi-pagi ato siang?” Siswa 3 : “Selamat pagi aja?” Siswa 1 : “Tanda petiknya lho! Saya Fatimah. Gitu!” (kel.1, VIII-B)
Dalam dialog tersebut penutur (siswa 1) menggunakan campur
kode bahasa Makassar dan bahasa Indonesia pada tuturan, “Iyye”, terus?”
98
penggunaan kata „iyye‟ yang berasal dari bahasa Makassar yang berarti
„iya , membuktikan bahwa penutur menggunakan campur kode bahasa
Makassar ke dalam konteks percakapan yang menggunakan kode dasar
sannang.” Siswa 3 : “Bagaimana ini?” Siswa 2 : „Seperti terik matahari yang….” Siswa 5 : “No,no,no, bukan bukan bukan.” Siswa 1 : “Setiap hari tubuhku…” Siswa 2 : “Jadi yang janganmi ka ini tidak sulitji.” (kel.3, VIII-D)
Dalam dialog tersebut penutur (siswa 2) menggunakan campur
kode bahasa Makassar dan bahasa Indonesia pada tuturan, “Jammoko
berteriak-teriak, singkammami tau sannang.”, kalimat tersebut dalam
bahasa Indonesia berarti “jangan berteriak - terak, seperti orang yang
sedang gembira/senang”. Penggunaan kata „jammoko‟ yang berasal dari
bahasa Makassar yang berarti „jangan ,dan frasa „singkammami tau
sannang‟ yang berarti „seperti orang yang senang membuktikan bahwa
penutur menggunakan campur kode bahasa Makassar ke dalam
konteks percakapan yang menggunakan kode dasar bahasa Indonesia.
Siswa 5 : “Gagasan utama paragraf ke empat.” Siswa 2 : “Jambu mete yang masih muda dapat dimanfaatkan sebagai
lalapan.” Siswa 5 : “Gagasan utama paragraf lima.” Siswa 3 : “Kulit mete memiliki nilai ekonomi tinggi.” Siswa 4 : “Eh gantianmaki, nanti capek ki.” Siswa 1 : “gak kok, gak papa, paragraf ke enam?” Siswa 2 : “Kulit batang dari tanaman mete dimanfaatkan untuk
99
pengobatan.”(kel.2, VIII-A)
Dalam dialog di atas penutur (siswa 4) menggunakan campur kode
bahasa Makassar dan bahasa Indonesia pada tuturan, “eh gantian maki,
nanti capekki.”. fungsi ki’ dalam kalimat tersebut untuk menegaskan
kalimat yang diungkapkan penutur kepada lawan tutur. Penggunaan kata
bantu ‟ki’‟ membuktikan bahwa penutur menggunakan campur kode
bahasa Makassar ke dalam konteks percakapan yang menggunakan kode
dasar bahasa Indonesia.
Siswa 4 : “Anne niak pertanyaan lagi, begaimana cara mengatasi
menyontek pada diri sendiri, berarti kan dari pribadi to?” Siswa 2 : “Nampa apa bedanya sama yang di atas?” Siswa 5 : “Ya yang di tulis itu yang buat diri sendiri saja.” Siswa 2 : “Yang harus lebih percaya sama kemampuan diri, belajar lebih
giat menganggap kalau menyontek itu dosa.” (kel.1, VIII-D)
Dalam dialog tersebut, penutur (siswa 2) menggunakanan kata
“Nampa” berarti „terus (dialek daerah Gowa) dalam tuturan “Nampa apa
bedanya sama yang di atas?”. Dari beberapa contoh dialog di atas alasan
penutur menggunakan campur kode tersebut karena terbiasa
menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa Makassar, keterbiasaan tersebut
memengaruhi kode dasar saat penutur berbahasa Indonesia.
7) Karena faktor lingkungan
Hal tersebut juga dipertegas dari hasil wawancara dengan guru
dan siswa yang mengungkapkan bahwa faktor utama terjadinya alih kode
dan campur kode adalah faktor lingkungan siswa yang menggunakan
100
bahasa Makassar sebagai bahasa ibu, jadi mereka masih canggung
dalam berbicara menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar,
mereka masih sering melakukan campur kode bahasa Indonesia dengan
bahasa daerah mereka.
8) Karena latar belakang pendidikan
Pengajaran keterampilan berbicara bahasa Indonesia saat siswa
duduk di bangku SD juga masih kurang, karena guru SD kawasan
pedesaan biasanya lebih sering menjelaskan pelajaran dengan bahasa
daerah (Makassar) dengan alasan agar siswa bisa lebih mudah
menangkap materi yang diajarkan, saat berkomunikasi dengan guru siswa
juga lebih sering menggunakan bahasa Makassar, jadi siswa tidak
terbiasa jika harus berkomunikasi dengan teman atau guru menggunakan
bahasa Indonesia.
9) Karena belum terbiasa
Siswa juga mengungkapkan bahwa mereka masih merasa malu
jika harus berbicara dengan teman sebaya menggunakan bahasa
Indonesia, alasannya juga karena tidak terbiasa dan dianggap congkak
apabila menggunakan bahasa Indonesia.
10) Karena faktor ekonomi keluarga
Faktor ekonomi keluarga dari siswa juga berpengaruh,
kebanyakan siswa yang bersekolah di SMP Negeri 1 Tompobulu,
Kabupaten Gowa berasal dari keluarga yang kelas ekonominya
menengah ke bawah, yaitu dari keluarga petani. Dengan kondisi yang
101
demikian tentunya beda dengan siswa yang bersekolah di perkotaan,
mereka masih jarang yang bisa menonton televisi saat pulang sekolah,
karena mereka harus membantu kedua orang tuanya di sawah, sebagian
besar dari mereka juga belum mengenal internet, jadi mereka hanya
belajar bahasa Indonesia saat jam pelajaran berlangsung saja.
Faktor-faktor yang ditemukan dalam penelitian ini juga diperkuat oleh
penelitian yang dilakukan oleh Rima Fatimah dengan judul “Kajian
Penggunaan Bahasa dalam Proses Belajar Mengajar Bahasa Indonesia
di SMA Negeri 1 Magelang”, yang menyatakan bahwa faktor penyebab
terjadinya alih kode adalah sebagai berikut: (1) penutur dan lawan tutur;
(2) perubahan situasi hadirnya orang ketiga; (3) perubahan topik
pembicaraan; (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya; dan
(5) untuk membangkitkan rasa humor.
Dari hasil penelitian diperoleh data yang mengungkapkan bahwa
siswa masih sering menggunakan alih kode dan campur kode bahasa
dalam diskusi kelompok mata pelajaran bahasa Indonesia ini adalah
menghormati, dan (5) menerangkan. Temuan ini diperkuat oleh teori dari
Suwito (1985: 79)
1) Menyantaikan
Alih kode yang memunyai fungsi menyantaikan terdapat dalam dialog
berikut.
Siswa 1 : Iyyo, terus bilang “saya mau tanya bagaimana cara memilih benih yang berkualitas?” begitu to?
102
Siswa 4 : “Terus gimana lagi?” Siswa 3 : “Bagaimana kalau yang beli sama kakak saja nanti kakak pilihkan.” begitu ya? Trus jawabnya “ apa tidak merepotkan kakak?” begitu kah? Siswa 1 : “Iya.” (kel. 1, VIII-B)
Alih kode yang dilakukan oleh penutur dari ragam resmi ke
santai memunyai fungsi untuk menciptakan suasana santai antara
penutur dan lawan tutur. Hal ini ditandai oleh oleh penggunaan ragam
santai yang menciptakan suasana santai pada saat peristiwa interaksi
dan hubungan antara penutur dan lawan tutur semakin akrab.
2) Menegaskan
Alih kode yang berfungsi untuk menegaskan terdapat dalam dialog
berikut.
Siswa 1 : “Iya karena biasanya diletakkan di bawah pantat dan di laci.” Siswa 4 : “Eh, tena na cocok antu.” Siswa 3 : “Bagaimana cara-cara mengatasi menyontek pada diri siswa, berikan saranmu supaya menyontek tidak menjadikan kebiasaan? Jawabki!” Siswa 2 : “Karena siswa tidak bisa menjawab dan sudah menyerah untuk menjawabnya.” Siswa 1 : “Sebab-sebanya itu anui bela? Sulit.” Siswa 5 : “Soalnya terlalu sulit, jadi siswa harus belajar dengan tekun, dan siswa diberi sanksi.” (kel. 2, VIII-D)
Alih kode dari ragam resmi ke ragam santai yang dilakukan
penutur berfungsi untuk menegaskan hal yang telah disebutkan oleh
penutur. Fungsi menegaskan ini ditandai oleh setelah penutur (siswa
ke3) membacakan soal yang harus dikerjakan, kemudian penutur
103
beralih dengan kalimat menggunakan kode dasar bahasa Makassar
pada tuturan “jawabki’!” memunyai tujuan untuk menegaskan pada
teman-temannya bahwa perjalanan tersebut harus dijawab.
3) Menyegarkan
Alih kode yang berfungsi untuk menyegarkan terdapat dalam
dialog berikut.
Siswa 1 : “Sahabat adalah harta yang berharga bagiku.” Siswa 2 : “Kamma tong uang saja, berharga.” Siswa 1 : “Lebih dari uang,” Siswa 3 : “Sotta.” (kel.4, VIII-D)
Alih kode yang dilakukan oleh penutur satu dan dua dari
bahasa Indonesia ke bahasa Makassar ini berfungsi untuk
menyegarkan suasana. Pada saat penutur (siswa 1) mengunakan
bahasa Indonesia, penutur sedang memberikan ide tentang puisi
yang sedang dibuat oleh kelompok mereka, kata-kata yang dibuat
oleh penutur memunyai arti yang dalam. Hal ini meembuat suasana
di kelompok mereka menjadi hening, kemudian lawan tutur mulai
merespon dengan menjawab menggunakan bahasa Makassar
dengan nada bercanda “Kamma tong uang saja, berharga” yang
berarti seperti uang saja berharga, dengan kata-kata dalam bahasa
Makassar, sehingga suasana menjadi lebih segar.
4) Menghormati
Alih kode yang berfungsi untuk menghormati terdapat dalam dialog
berikut.
104
Guru : “Kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan campuran. Yang membedakan itu adalah letak dari gagasan utamanya.”
Siswa : “Iyye bu.” Guru : “ Ya kalian menganalisis paragraf dua sampai delapan itu dulu yang kalian kerjakan.” (kel. 3, VIII E)
Alih kode yang dilakukan oleh penutur (G) dari bahasa
Indonesia ke bahasa Makassar berfungsi untuk menghormati orang
ketiga (O1) yang masuk ke dalam lingkungan penutur yang pada saat
itu sedang berkomunikasi dengan lawan tutur. Sebelum orang ketiga
(O1) masuk, penutur (G) menggunakan bahasa Indonesia, kemudian
ada orang ketiga (O1) masuk dan berbahasa Makassar. Dengan
demikian penutur (G) menggunakan bahasa Makassar halus untuk
menghormati orang ketiga (O1) tersebut.
5) Menerangkan
Alih kode yang berfungsi untuk menerangkan terdapat dalam
dialog berikut:
Guru : “Kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan campuran. Yang membedakan itu adalah letak dari gagasan utamanya.”
Siswa-siswa : “Iyye bu.” Guru : “ Ya kalian menganalisis paragraf dua sampai delapan itu dulu yang kalian kerjakan.” Siswa 1 : ”Ibu, induktif itu yang depan apa yang belakang ibu?” Guru : “Induktif itu yang akhir, deduktif yang awal. Itu gagasan utamanya na.”
Siswa 1 : “Iya, ibu.” Guru : “Dijawab! Sapa yang bisa jawabki?” Siswa 2 : “Sudahmi kutulis bu.” Siswa 4 : “Buah dari jambu mete, eh beberapa dari buah jambu
105
mete.” Guru : “Ini yang dikerjakan yang dari paragraf dua sampai delapan saja ya.” Siswa 3 : “Ditulisiki penjelasanna anne paragraf induktif atau deduktif kah bu?” Guru : “O, tidak usah. Tidak usah menjelaskan paragraf deduktif atau indukif, cukup ditulis gagasan utamanya saja.” (kel.4, VIII-C)
Dalam dialog di atas (bercetak tebal) penutur (guru)
menggunakan alih kode, pada tuturan “kalian mengerti ya? Jenis
paragraf dibedakan menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif,
dan campuran. Yang membedakan itu adalah letak dari gagasan
utamanya.” dan “o, tidak usah. Tidak usah menjelaskan paragraf
deduktif atau indukif, cukup ditulis gagasan utamanya saja.” yang
dilakukan oleh penutur dari ragam santai ke ragam resmi berfungsi
untuk menerangkan hal yang telah disebutkan. Dalam hal ini
penutur sedang membahas apa yang dimaksud dengan jenis
paragraf. Fungsi alih kode untuk menegaskan dalam dialog tersebut
ditandai oleh munculnya ragam resmi yang yang bentuknya
panjang dan lengkap, sehingga hal yang dimaksudkan menjadi lebih
jelas.
D.Keterbatasan Masalah
Dari identifikasi masalah yang dipaparkan diatas diperoleh gambaran
dimensi permasalahan yang begitu luas.Namun menyadari waktu dan
106
kemampuan ,maka penulis memandang perlumemberi batasan
masalahsecara jelas dan terfokus.
Selanjutnya masalah yang menjadi objek penelitian dibatasi pada
Alih Kode dan Campur Kode Pemakai Bahasa Indonesia pada Aktivitas
Diskusi Siswa Kelas VIII SMP Negeri Tompobulu Kabupaten
Gowa.Pembatasan masalah ini konsep pemahaman sebagai berikut:
Alih Kode adalah peristiwa peralihan pemakaian bahasa dari
satu bahasa ke bahasa lain atau dari satu ragam bahasa ke ragam
bahasa lain. Dalam gejala kebahasaan (campur kode) ini faktor paling
menentukan adalah penutur, saat seorang penutur sedang melakukan
campur kode, maka harus diketahui identitasnya, seperti tingkat
pendidikannya, agama, ras, latar belakang sosial, dan lainnya. Setelah
itu baru unsur kebahasaan yang menentukan terjadinya alih kode.
dengan makin banyak bahasa yang dikuasai oleh seorang penutur
dari latar belakang pendidikannya, makin luas kemungkinan untuk
bercampur kode. dari penjabaran tersebut, ada dua tipe yang
menjadi latar belakang terjadinya alih kode, yaitu; latar belakang
sikap dan latar belakang kebahasaan.
Campur kode yaitu hubungan timbal balik antar peran dengan
fungsi kebahasaan. Peran adalah siapa yang bercampur kode, fungsi
kebahasaan adalah apa yang hendak dicapai oleh penutur dalam
tuturannya.
107
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Hasil penelitian yang telah dilakukan sebagai berikut.
1. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi
pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten
Gowa, sebagai berikut:
a. Alih Kode
1) Alih kode intern yang terjadi yaitu alih kode yang berlangsung antar
bahasa sendiri seperti: ragam resmi ke ragam santai, alih kode ragam
resmi dan ragam usaha, alih kode ragam resmi dan ragam baku, serta
alih kode ragam santai dan ragam usaha.
2) Alih kode ekstern yang terjadi yaitu alih kode bahasa Indonesia ke
bahasa Makassar.
b. Campur Kode
Campur kode bahasa yang terjadi yaitu campur kode bahasa
Indonesia dan bahasa Makassar, campur kode bahasa Indonesia dan
bahasa Indonesia dialek Jakarta, campur kode bahasa Indonesia,
bahasa Makassar, dan dialek Jakarta.
1) Campur kode wujud unsur kebahasaan yang terjadi yaitu campur kode
wujud unsur kebahasaan kata dan campur kode wujud unsur
kebahasaan frasa.
2) Campur kode ragam yang terjadi yaitu campur kode ragam baku dan
108
ragam santai, serta campur kode ragam resmi dan ragam santai.
3. Faktor penyebab pemakaian alih kode dan campur kode dalam proses
diskusi kelompok Bahasa Indonesia di kelas SMP Negeri 1
Tompobulu, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Gowa.
a. Faktor penyebab terjadinya alih kode, adalah sebagai berikut.
1) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan maksud
mengimbangi lawan tutur.
2) Lawan tutur, alasan lawan tutur seperti untuk mengimbangi bahasa
yang digunakan oleh lawan tuturnya.
3) Perubahan situasi hadirnya orang ketiga.
4) Perubahan topik pembicaraan.
1) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya.
Dako, Rahman Taufiqrianto.2004.Alih dan Campur Kode dalam Surat
Kabar.Gorontalo. Fatimah.2011. Kajian Penggunaan Bahasa dalam Proses Belajar
Mengajar Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Magelang. Gulzar, M. A. 2010. Code-switching: Awareness about its utility in bilingual
classrooms. Bulletin of Education and Research, 32 (2), 33-44. [Online] Retrieved April 24, 2011, fromhttp://pu.edu.pk/images/journal/ier/PDF-FILES/2 Malik%20Ajmal%20Gulzar.pdf .
Huda. 2011. Cooperative Learning Metode, Teknik, Struktur dan Penerapan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Kamaruddin. 1989. Kedwibahasaan dan Pendidikan Dwibahasa
(Pengantar). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kridalaksana, Harimurti . 1984. Kamus Linguistik. Jakarta : PT.Gramedia. Kridalaksana, Harimurti . 1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia:
Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kridalaksana, Harimurti 1974. Fungsi dan Sikap Bahasa. Jakarta: Nusa Indah (Universitas Indonesia). Departemen Pendidikan Nasional. 2007
Mahsun.2005.Metode Penelitian Bahasa.Jakarta:PT.Gramedia. Moleong, Lexy J. 2001 . Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Muharam, Rijal. 2011. Alih Kode, Campur Kode, dan Interferensi yang
Terjadi dalam Pembicaraan Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu Ternate (Tinjauan Deskriptif Terhadap Anak-Anak Multikultural Usia 6-8 Tahun di Kelas II SD Negeri Kenari Tinggi 1 Kota Media Ternate). Jurnal Nasional.Universitas Pendidikan Indonesia.
Mutmainnah.2011. Pemilihan Kode dalam Masyarakat Dwibahasa. Semarang :Universitas Diponegoro Semarang. Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik : Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia. Ohoiwutun, Paul. 2002. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam Konteks
Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Kesain Blance. Oka dan Suparno, 1994. Linguistik umum. Jakarta: Proyek Pembinaan
dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan. Dikti. Poedjosoedarmo, Soepomo. 1976. Kode dan Alih Kode. Yogyakarta :
Balai Penelitian Bahasa. Ponulele, 1994. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Depdikbud .Jakarta :Pustaka Pelajar. Puger, I Gusti Ngurah. 1997. Belajar Kooperatif. Diktat Perkuliahan
Mahasiswa Unipas. Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode, dan Alih Kode.
Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
112
Sari.2009. Alih Kode dan Campur Kode dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas II SD Negeri Selopukang Kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri.Universitas Sebelas Maret.
Skiba, Richard. 1997. Code switching as a countenance of language
interference. Retrieved at: http://iteslj.org. Soeparno.2002.Dasar-dasar Linguistik.Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Sani. Suwito. 1985. Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema.
Surakarta: Henary Cipta. Tarigan, Henry Guntur. 1989. Pengajaran Kosakata: Bandung : Angkasa. Wulandari.2002 .Campur Kode dalam Tuturan Latihan Kepramukaan di
Nursyamsi,lahir di Malakaji Gowa,Sulawesi Selatan pada
tanggal 19 April 1975, anak pertama dari enam bersaudara
pasangan H.Syamsul Rasyid dan Hj.Nurhayati.Penulis
mulai menempuh Pendidikan Sekolah Dasar (1983-1989),Sekolah
Menengah Pertama (1989-1990),Madrasah Aliyah Negeri 1 Ujung
Pandang(1991-1994).Pada tahun 1994 penulis SPMB pada jurusan (S-1)
Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar
sampai pada tahun 1998.Pada tahun 2014 penulis melanjutkan pendidikan
ke jenjang (S-2) dengan memilih program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Makassar.
Penulis mengabdi di SMP Negeri 1 Tompobulu Kecamatan
Tompobulu Kabupaten Gowa mulai tahun 2000. Untuk memperoleh gelar
Magister Pendidikan(M.Pd) dan Menulis tesis dengan judul Alih Kode dan
Campur Kode Pemakai Bahasa Indonesia pada Aktivitas Diskusi Siswa
Kelas VIII SMP Negeri 1 Tompobulu Kabupaten Gowa.
114
Transkrip kelas VIII D Siswa 1 : ”Kita akan terus semangat walaupun badai kemiskinan
menerpa kita, tak kan meratapi rumahku yang di kolong jembatan, dan sampah lantai rumahku, hidupku terlunta-lunta, matahari menemaniku setiap hari. Sudahmi to?”
Kata kalotoro anjo yang berarti kering itu,sedangkan to,dialek Jakarta
Kata Iyo berarti ya
115
Transkrip kelas VIII B
Contoh alih kode dari ragam santai ke ragam resmi terdapat dalam
kalimat di bawah ini.
Siswa 1 : “Nanti bilang lagi, oh, iya. sebentar saya tanya Dini” Siswa 2 : “Iya ini, ceritanya pagi-pagi ato siang?” Siswa 3 : “Selamat pagi saja?” Siswa 1 : “Tanda petiknya ces! Saya Fatimah. anjo!” Siswa 4 : “Tidak langsung tena ngapa, bertele-tele dulu kammanjo.
Halo selamat sore, saya Fatimah, bisa bicara dengan wahyu? gitu.” (kel 1, VIII-B)
Kata ces yang bersifat keakraban ,sedangkan Anjo yang berarti itu
Kata tena ngapa berarti tidak apa-apa,kata kammanjo berarti seperti itu
116
Catatan Lapangan
Dalam kegiatan belajar mengajar bahasa adalah satu-satunya alat
komunikasi yang menghubungkan satu orang dengan orang lain, baik
itu antara guru dengan siswa atau siswa dengan siswa lainnya saat
berkomunikasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa sangat berperan
penting bagi dunia pendidikan, begitu pula dalam pelajaran bahasa
Indonesia, bahasa tidak akan terlepas dari kegiatan tersebut.
Seharusnya dalam pelajaran bahasa Indonesia siswa dan guru harus
menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, namun
terkadang sekolah kawasan pedesaan seperti SMP Negeri 1
Tompobulu, Kabupaten Gowa hal tersebut sulit dijalankan dengan baik,
karena siswa-siswa belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia
dalam keseharian mereka, terlebih saat diskusi kelompok
berlangsung, percakapan diskusi yang seharusnya menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar berubah menjadi percakapan yang
menggunakan dwibahasa yaitu bahasa Indonesia bercampur dengan
bahasa Makassar.
Keterbatasan siswa dalam menguasai bahasa Indonesia
membuat guru tidak bisa memaksakan siswa untuk memakai bahasa
Indonesia dengan baik dan benar saat kegiatan belajar mengajar
berlangsung, kalau siswa dipaksa menggunakan bahasa Indonesia
secara keseluruhan maka akan menyulitkan siswa terlebih saat
diskusi kelompok. Siswa akan terhambat dalam menyampaikan ide
117
yang mereka punya, maka dari itu guru memperbolehkan siswa
menggunakan alih kode dan campur kode dalam kegiatan diskusi
tersebut. Dengan penggunaan alih kode dan campur kode bahasa
Indonesia dengan bahasa Makassar maka siswa akan lebih mudah
mengungkapkan ide yang mereka miliki, juga lebih mudah menerima ilmu
dari guru maupun siswa yang lain.
118
Daftar Nama Siswa Kelas VIII B
No. Nama JK NIS NISN Rombel Tempat Lahir Tanggal Lahir Alamat
1 Fatimah Az Zahra P 6364 0022533415 VII B Bontobiraeng 2002-08-05 Bontobiraeng 2 Febrianto L 6365 0025646992 VII B Malakaji 1999-07-01 Malakaji 3 Fitria Ningsih AK. Ratu P 6366 0038961891 VII B Jangoang 2003-01-14 Jangoang 4 Gilang Ramadhan L 6367 0022334826 VII B Jangoang 2002-11-03 Jangoang 5 Hasanuddin L 6368 9984863737 VII B Pajagalung 1998-10-30 Pajagalung 6 Hasmaul Husna P 6369 0021376917 VII B Pattinrukang 2002-08-03 Pattinrukang 7 Hastuti Anggreni P 6387 0023253855 VII B Malakaji 2002-02-27 Cikoro 8 Herlinda P 6371 0020272131 VII B Pa'lipungan 2002-07-01 Pa'lipungan 9 Husniar Yusuf P 0021454585 VII B Kayumalle 2002-10-10 Sapaya 10 Husnul Hatimah P 6383 0022385719 VII B Malakaji 2002-11-03 Malakaji 11 Indah Sari P 6373 0029458678 VII B Cikoro 2002-03-02 Cikoro 12 Indrahayu L 6374 0022676036 VII B Bontoloe 2002-10-19 Bontobuddung 13 Ira Syam P 0021454577 VII B Kayumalle 2002-10-19 Kayumalle 14 Irmawati P 6376 0022350247 VII B Bongkina 2002-12-10 Daulu 15 Irmawati S P 6459 0021277414 VII B Bongkialla 2004-02-25 Bongkialla 16 Irsandi L 6377 0022334803 VII B Malakaji 2002-05-10 Jangoang 17 Irsang L 6378 0033881676 VII B Pa'lipungan 2003-01-21 Pa'lipungan 18 Irwandi Parawansyah L 6379 0022334828 VII B Jangoang 2002-06-22 Jangoang 19 Irwansyah L 6380 0021016859 VII B Malakaji 2002-02-02 Malakaji 20 Iskar L 6381 0029893805 VII B Bontoloe 2002-05-09 Bontobuddung 21 Kasmawati P 6382 0021016871 VII B Bongkina 2002-07-17 Bongkina 22 Kiki P 6384 0021376923 VII B Pa'lipungan 2002-10-31 Pa'lipungan 23 M. Fauzan Daifullah L 6361 0023495857 VII B Bontobuddung 2002-04-23 Manggunturu 24 Yusmart Dwi Putra RF. L 6385 0020993151 VII B Malakaji 2002-03-26 Badieng 25 Yusran L 6386 0020993158 VII B Badieng 2003-09-10 Badieng