-
ALASAN MYANMAR MENERIMA
DIPLOMASI INDONESIA TERKAIT
KONFLIK ROHINGYA PERIODE
2015-2017
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.SOS)
Oleh:
Achmad Zulfani
11151130000048
PROGRAM STUDI HUBUNGAN
INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL
DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2019 M
-
I
-
II
-
III
ABSTRAK
-
IV
Skripsi ini menganalisis alasan dari sikap terbuka Myanmar
kepada Indonesia dalam bentuk penerimaan diplomasi Indonesia
terkait konflik Rohingya periode 2015-2017. Terkait dengan
konflik
Rohingya yang mengalami eskalasi pada 2015 Myanmar bersikap
cenderung tertutup kepada dunia dengan cara salah satunya
menolak
bantuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal tersebut
didasari oleh respons dunia internasional seperti PBB dan
Malaysia
yang merespons dengan menggunakan megaphone diplomacy dan
pandangan Myanmar bahwa konflik Rohingya merupakan konflik
internal sehingga tidak ada negara yang berhak untuk
mencampuri
urusan internal Myanmar. Indonesia juga merespons konflik
Rohingya dengan menggunakan diplomasi yang inklusif dan
konstruktif, yaitu non-megaphone dan diplomasi publik yang
intensif
pada 2015-2017 dan menjadi negara yang diizinkan oleh
Myanmar
untuk ikut membantu konflik Rohingya. Skripsi ini
menggunakan
metode kualitatif dan deskriptif serta teknik pengumpulan
data
dilakukan melalui studi pustaka beserta wawancara dengan
pihak-
pihak terkait. Untuk menganalisis, skripsi ini menggunakan
kerangka
teoritis konstruktivisme dan konsep diplomasi publik, kedua
hal
tersebut berkaitan untuk menjelaskan alasan Myanmar menerima
diplomasi Indonesia terkait konflik Rohingya periode
2015-2017.
Berdasarkan hasil analisis dari teori konstruktivisme dan
konsep
diplomasi dapat disimpulkan alasan Myanmar menerima
diplomasi
Indonesia. Pertama, faktor diplomasi Indonesia, yaitu
menggunakan
non-megaphone diplomacy dan diplomasi publik yang
menimbulkan
kepercayaan Myanmar terhadap Indonesia. Kedua, faktor
identitas
Myanmar yang sedang membangun identitas sebagai negara
demokrasi dan Indonesia merupakan salah satu sahabat yang
membantu demokratisasi Myanmar. Ketiga, adalah faktor
keamanan
dan kedaulatan Myanmar yang sedang bergejolak, tidak hanya
persoalan Konflik Rohingya, tetapi juga dengan
kelompok-kelompok
etnis di Myanmar.
Kata kunci: Konflik Rohingya, Indonesia, non-megaphone
diplomacy, megaphone diplomacy, konstruktivisme, diplomasi
publik.
-
V
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, segala puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa juga menuturkan sholawat
kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat yang telah membawa
umat manusia
kepada zaman yang terang benderang.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian skripsi ini
terdapat pihak-
pihak yang telah membantu penulis karena telah memberikan
dukungan kepada
penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena
itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karena
kehendak-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Keluarga penulis, Ayahanda (alm.) Abu Bakar Azhari, Ibunda
Masripah,
Kak Atiyyah, Bang Ali Pasya, Ka Riri Arisyia, Bang Faiz
Fadhilah, Adinda
Dini Hanifa, Ka Dio, Ka Yeti, dan Bang Luthfi.
3. Dosen pembimbing penulis, Bapak Dr. Badrus Sholeh, MA yang
telah
meluangkan waktu dan membimbing penulis dengan sabar beserta
memberikan saran-saran dalam proses penyelesaian skripsi.
4. Segenap jajaran staff dan dosen program studi Ilmu Hubungan
Internasional
UIN Jakarta yang telah memberikan ilmu kepada penulis.
-
VI
5. Bapak Ali Yusuf dan Ibu Dewi Lestari atas kebesaran hatinya
yang telah
bersedia menjadi narasumber penulis guna mencari data terkait
sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Sahabat-sahabat penulis yang telah memberikan dukungan kepada
penulis
sampai menyelesaikan masa studi, yaitu kepada Helma Liyani,
Adinda Nur
Layla, Vivien Sevira, Ismi Azizah, Ruella Salsabila, Syahnaz
Risfa, Farah
Azizah, Ka Zahra Yusuf, Aulia Effriyanti, Halida Maulidia,
Muthia Aljufri,
Nurul Fazriah Ramadhan, Nabil Rahdiga, Gebryan Dwivandrio, Mas
Bimo
Arfino, Fahmi Fahrizal, Chivalry A. Moraza, Fadhly Nurman,
Randy, Panji
Setia, Fadli Husnurrahman, Fathi Rizki, Anugerah Madjid
Harahap,
Andhito Susanto, Farid Ramadhan, Akmal Sofiyandi, Ridwan
Dicky,
Farhan Fawwaz, Adib Fardhan, Zulfikar Fadel, Utomo WP, Ario
Budi,
Trian Febriansyah, Nurfadhilah Arini, Tiwi, dan Neng Sindy.
7. Keluarga besar Revolutioner Class, EED dan Pejantan Sehat
sebagai kelas
Hubungan Internasional.
8. Keluarga besar HMI KOMFISIP yang telah memberikan penulis
ilmu dan
pengalaman yang sangat berharga di luar kelas.
9. Keluarga besar KKN 32 Kebanggaan dan HIMAHI UIN Jakarta
periode
2015 beserta seluruh kawan perjuangan HI UIN Jakarta angkatan
2015.
Penulis berharap segala dukungan dan doa yang telah diberikan
kepada penulis
diberikan imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis
menyadari bahwa
penulisan skripsi ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran akan
sangat membantu penulis untuk menjadi bahan perbaikan penulisan
skripsi ini.
-
VII
Harapan penulis adalah semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat kepada
pembaca dan sumbangsih terhadap studi Ilmu Hubungan
Internasional.
Jakarta, 8 Agustus 2019
Achmad Zulfani
-
VIII
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS
PLAGIARISME.......................................................................
ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
PERSETUJUAN PEMBIMBING
SKRIPSI...................................................................
ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
PENGESAHAN PANITIA
SKRIPSI.............................................................................
II
ABSTRAK........................................................................................................................
III
KATA
PENGANTAR.......................................................................................................
V
DAFTAR
ISI.................................................................................................................
VIII
DAFTAR
GAMBAR.........................................................................................................
X
DAFTAR
LAMPIRAN....................................................................................................
XI
DAFTAR
SINGKATAN................................................................................................
XII
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................................................
1 A. Pernyataan
Masalah................................................................................................
1
B. Pertanyaan Penelitian
.............................................................................................
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
...............................................................................
9
D. Tinjauan Pustaka
..................................................................................................
10
E. Kerangka Teori
....................................................................................................
15
1. Konstruktivisme………………………………………………………………. 15
2. Konsep Diplomasi Publik…………………………………………………….. 21
F. Metode
Penelitian.................................................................................................
24
G. Sistematika Penulisan
...........................................................................................
26
BAB II MYANMAR DAN DINAMIKA KAWASAN TERKAIT KONFLIK
ROHINGYA.....................................................................................................................
29
A. Profil Myanmar
....................................................................................................
30
B. Kolonialisme dan Dampaknya terhadap Perpecahan Etnis di
Myanmar............... 31
C. Awal Konflik Rohingya
.......................................................................................
36
D. Konflik Rohingya 2012-2017
...............................................................................
38
E. Hubungan Bilateral dan Regional dengan Myanmar terkait
Konflik Rohingya.... 43
1. Hubungan Bilateral Myanmar dan Bangladesh………………………………….
44
2. Hubungan Myanmar dengan ASEAN………………………………………….. 46
BAB III HUBUNGAN INDONESIA DAN MYANMAR TERKAIT KONFLIK
ROHINGYA.....................................................................................................................
50 A. Sejarah Hubungan Diplomatik Indonesia dan Myanmar
...................................... 50
B. Hubungan Indonesia dan Myanmar dalam Aspek Ekonomi, Sosial
dan Politik ... 51
-
IX
1. Hubungan Ekonomi dan Sosial Indonesia dan Myanmar………………………..
51
2. Hubungan Politik Indonesia dan Myanmar………………………………………54
C. Hubungan Myanmar dan Indonesia terkait Konflik Rohingya
............................. 58
BAB IV ALASAN MYANMAR MENERIMA DIPLOMASI INDONESIA
TERKAIT KONFLIK ROHINGYA PERIODE
2015-2017.........................................66 A. Diplomasi
Publik
..................................................................................................
67
B. Ideational Structure Myanmar terkait Penerimaan Diplomasi
Indonesia ............. 73
C. Material Structure Myanmar terkait Penerimaan Diplomasi
Indonesia................ 81
BAB V
PENUTUP............................................................................................................
86 A. KESIMPULAN
....................................................................................................
86
B. Saran
....................................................................................................................
90
DAFTAR
PUSTAKA....................................................................................................
XCI Buku
.........................................................................................................................
xci
Berita
....................................................................................................................
xcviii
Basis Data Online
....................................................................................................
cvii
LAMPIRAN-LAMPIRAN........................................................................................
CVIII
-
X
DAFTAR GAMBAR
Gambar III.1 Peta Persebaran Pengungsi Rohingya ……………………. 58
-
XI
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I: Wawancara dengan Ali Yusuf
................................................ CVIII
Lampiran II: Wawancara dengan Dewi Lestari
............................................ CXII
-
XII
DAFTAR SINGKATAN
AKIM Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar
AFPFL Anti-Facist People Freedom League
AS Amerika Serikat
ASEAN Association of South East Asia Nation
AIPA ASEAN Inter-Parliamentary Assembly
AICHR ASEAN Intergovermental Commision on Human Rights
ARSA Arakan Rohingya Salvation Army
BUMN Badan Usaha Milik Negara
BDF Bali Democracy Forum
BIA Burma Independence Army
BNA Burma National Army
DK Dewan Keamanan
HAM Hak Asasi Manusia
HI Hubungan Internasional
KADIN Kamar Dagang dan Industri
KEMLU Kementerian Luar Negeri
KBRI Kedutaan Besar Republik Indonesia
KIO Kachin Independence Organisation
KNU Karen National Union
KTT Konferensi Tingkat Tinggi
KTM Konferensi Tingkat Menteri
-
XIII
SOLIDER Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Solidaritas
Rohingya
LCS Laut China Selatan
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
Menlu Menteri Luar Negeri
NUP National Unity Party
NLD National League for Democracy
OBOR One Belt One Road
Ormas Organisasi Masyarakat
OKI Organisasi Kerja sama Islam
OI Organisasi Internasional
PM Perdana Menteri
PMI Palang Merah Indonesia
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
Pemilu Pemilihan Umum
SDA Sumber Daya Alam
SBY Susilo Bambang Yudhoyono
AHA Centre The ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian
Assistance on Disaster Management
TPF Tim Independen Pencari Fakta
UU Undang-undang
UNHCR United Nations High Comission of Refugees
USDP Union Solidarity and Development Party
-
XIV
YMCA Young Men’s Christian Association
YMBA Young Men’s Buddhist Association
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Myanmar merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang
majemuk,
hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya etnis yang tinggal di
Myanmar, bahkan
“Burma” yang sebelumnya merupakan nama negara sebelum Myanmar
diambil
dari salah satu etnis mayoritas di sana. Tercatat Myanmar
memiliki hampir 135
etnis yang tercatat oleh undang-undang (UU) yang berisi tentang
etnis yang diakui
oleh pemerintah, di antara lain adalah: Burmanese, Kachin,
Karen, Karenni, Chin,
Mon, Arakan, Shan, dan sebagainya.1
Dari etnis-etnis yang berada di Myanmar, terdapat etnis Rohingya
yang
merupakan etnis yang berbeda dari kebanyakan etnis di Myanmar
dikarenakan etnis
Rohingya beragama Islam, penampilan fisik cenderung mirip dengan
penduduk
Asia Selatan sedangkan etnis lain di Myanmar beragama Buddha.
Selama ini
pemerintah Myanmar menganggap etnis Rohingya sebagai warga
ilegal yang
bertempat tinggal di Arakan (sekarang Rakhine). Hal tersebut
sesuai dengan UU
kewarganegaraan 1982 di Myanmar, di dalam UU tersebut disebutkan
bahwa etnis
yang diakui oleh negara adalah etnis yang telah lama berada di
Myanmar sebelum
pendudukan kolonial Inggris pada 1824 dan etnis Burmese Chinese,
Panthay,
Burmese Indians, Anglo-Burmese, Gurkha, dan Rohingya tidak
diakui.2
1 Susetyo Heru dan Heri Aryanto, Rohingya:Suara Etnis yang Tak
Boleh Bersuara, (Indonesia: Pusat
Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2013), 9. 2 Heru dan
Aryanto, Rohingya: Suara Etnis, 9.
-
2
Konflik Rohingya bersifat multidimensi yang dimulai sejak
awal
kemerdekaan Myanmar dan berlanjut pada 1978 di masa Junta
Militer Myanmar,
akibatnya 200.000 orang mengungsi ke perbatasan Bangladesh. Hal
tersebut juga
berlanjut pada 1991 dan menyebabkan 250.000 etnis Rohingya
mengungsi ke
Bangladesh.3 Intimidasi dan diskriminasi tidak hanya berasal
dari pemerintah
Myanmar, namun juga dari kelompok anti Islam dari kalangan
masyarakat Budha
ekstremis. Etnis Rohingya sebagai etnis yang berbeda, beragama
Islam, dan tidak
diakui kerap mengalami diskriminasi, dan mengalami kekerasan.
Oleh karena itu,
etnis Rohingya mendapatkan predikat dari PBB sebagai the most
persecuted
minority dan mendapatkan label sebagai the Gypsies of Asia.4
Konflik Rohingya kembali mencuat pada 2012 dan 2015 ketika
etnis
Rohingya mulai pergi dari Myanmar karena diskriminasi yang
terjadi di Myanmar.
Khususnya pada Maret 2015, Myanmar mencabut kartu identitas
penduduk yang
disebut “kartu putih” bagi orang yang tinggal di Myanmar, namun
tanpa
mendapatkan status sebagai warga negara Myanmar atau warga
negara asing, hal
ini yang membuat etnis Rohingya melarikan diri dari
Myanmar.5
Eskalasi konflik terjadi pada 2016 ketika Arakan Rohingya
Salvation Army
(ARSA) menyerang pos polisi dan menewaskan 9 orang. Sejak itu
tentara Myanmar
3 Human Rights Watch, All You Can Do is Pray: Crimes Against
Humanity and Ethnic Cleansing of
Rohingya Muslims in Burma’s Arakan State [buku on-line] (AS:
HRW, 2013), 14; tersedia di
https://www.hrw.org/report/2013/04/22/all-you-can-do-pray/crimes-against-humanity-and-ethnic-cleansing-
rohingya-muslims;Intenert; diunduh pada 28 Oktober 2018. 4
Bilveer Singh, Tantangan Orang Rohingya Myanmar, (Jogjakarta:
Gadjah Mada University Press,
2014), 12. 5 Simela Victor Muhamad, “Masalah Pengungsi Rohingya,
Indonesia, dan ASEAN”, Mei 2015
[laporan on-line], tersedia di
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VII-10-II-P3DI-
Mei-2015-7.pdf; Internet; diakses pada 28 Oktober 2018.
https://www.hrw.org/report/2013/04/22/all-you-can-do-pray/crimes-against-humanity-and-ethnic-cleansing-rohingya-muslims;Intenerthttps://www.hrw.org/report/2013/04/22/all-you-can-do-pray/crimes-against-humanity-and-ethnic-cleansing-rohingya-muslims;Intenerthttp://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VII-10-II-P3DI-Mei-2015-7.pdfhttp://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VII-10-II-P3DI-Mei-2015-7.pdf
-
3
melakukan tindakan represif terhadap “teroris Rohingya”.
Semenjak itu, terjadi
bentrokan antara militer Myanmar dengan etnis Rohingya hingga
menimbulkan
korban jiwa. Pemerintah Myanmar melaporkan bahwa korban dari
bentrokan
militer dan etnis Rohingya di Maungdaw, Rakhine telah mencapai
86 orang terdiri
dari 17 tentara dan 69 etnis Rohingya. Namun menurut kelompok
Rohingya sendiri,
bentrokan itu sudah menelan lebih dari 400 nyawa.6
Banyaknya korban jiwa yang tercatat oleh TPF PBB mencapai 10.000
dan
pengungsi yang mencapai 1 juta orang yang di antaranya 741.014
etnis Rohingya
melarikan diri ke Bangladesh7 Hal tersebut membuat konflik
Rohingya menjadi
perhatian dunia yang ditandai dengan berbagai respons dari aktor
internasional
yang meliputi negara dan organisasi internasional seperti
Malaysia dan PBB.
Malaysia dan PBB menggunakan megaphone diplomacy atau diplomasi
pengeras
suara terkait konflik Rohingya.
Megaphone diplomacy Megaphone diplomacy merupakan cara
berdialog
dan juga mengirimkan pesan melalui media kepada pihak yang
terkait dengan
konflik. Hal ini dilakukan karena keadaan yang tidak
memungkinkan untuk
membentuk negosiasi atau pun dialog secara formal.8 Menurut Sir
Ivor Roberts,
megaphone diplomacy tidak hanya berbicara di media saja, tetapi
lebih spesifik
6 Riva Dessthania Suastha, “Dubes Myanmar: Konflik Militer dan
Rohingya Mereda” 1 Desember
2016 [berita on-line] tersedia di
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20161201142739-106-
176613/dubes-myanmar-konflik-militer-dan-rohingya-sudah-mereda;
Internet; diakses pada 28 Oktober 2018. 7 UNHCR, “Refugee Response
in Bangladesh”, 25 Agustus 2017 [berita on-line], tersedia di
https://data2.unhcr.org/en/situations/myanmar_refugees#category-4;
Internet; diakses pada 10 April 2019. 8 Kirsten Sparre, “Megaphone
Diplomacy in the Northern Peace Process: Squaring the Circle by
Talking to Terrorists through Journalists”, Jurnal
Press/Politics, Vol.6, No.1, Januari:2001, L: 88-104;
tersedia di https://doi.org/10.1177/1081180X01006001006;
Internet; diunduh pada 10 Juli 2019.
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20161201142739-106-176613/dubes-myanmar-konflik-militer-dan-rohingya-sudah-meredahttps://www.cnnindonesia.com/internasional/20161201142739-106-176613/dubes-myanmar-konflik-militer-dan-rohingya-sudah-meredahttps://data2.unhcr.org/en/situations/myanmar_refugees#category-4https://doi.org/10.1177/1081180X01006001006
-
4
merupakan hal yang berasal dari politik domestik dan juga syarat
akan kepentingan
politik domestiknya dengan berkata-kata yang tegas dan cenderung
kasar.9
Megaphone diplomacy dilakukan oleh Perdana Menteri (PM) Najib
Razak
pada 4 Desember 2016 ketika mengikuti demonstrasi terkait
konflik Rohingya dan
mengatakan: “We want to tell Aung San Suu Kyi, enough is enough.
We must and
we will defend Muslims and Islam and UN please do something. The
world cannot
sit by and watch genocide taking place”10. Merespons pernyataan
dari PM Najib
Razak, Myanmar menyatakan keberatannya dalam pertemuan resmi
dengan Duta
Besar Malaysia untuk Myanmar dan mengeluarkan kebijakan
pemberhentian
pengiriman tenaga kerja ke Malaysia.11
Di sisi lain, PBB melalui laporan yang telah dikeluarkan Tim
Pencari Fakta
(TPF) PBB pada September 2018 mengatakan bahwa jumlah korban
tewas
mencapai 10.000 dan terdapat indikasi genosida yang dilakukan
oleh militer
Myanmar.12 PBB dan Malaysia pada dasarnya melakukan megaphone
diplomacy
karena menyatakan tuduhan-tuduhan kepada Myanmar melalui
media.
9 Sir Ivor Roberts KCMG, “The Development of Modern Diplomacy”,
[laporan on-line]; tersedia di
https://www.files.ethz.ch/isn/109227/15066_231009roberts.pdf;
Internet; diakses pada 29 September 2019. 10 Associated Press, “PM
Najib leads Malaysian protest against ‘genocide’ of Rohingya
Muslims in
Myanmar” 4 Desember 2016 [berita on-line] tersedia di
https://www.scmp.com/news/asia/southeast-asia/article/2051572/pm-najib-leads-malaysian-protest-against-genocide-rohingya;
Internet; diakses pada 22
Agustus 2019. 11 Ye Mon, “Govt cuts flow of migrant workers to
Malaysia amid diplomatic spat”, 7 Desember 2016
[berita on-line] tersedia di
https://www.mmtimes.com/national-news/24084-govt-cuts-flow-of-migrant-workers-to-malaysia-amid-diplomatic-spat.html;
Internet; diakses pada 22 Agustus 2019.
12 OHCHR, “Statement by Mr. Marzuki Darusman”, 18 September
2018, tersedia di
https://www.ohchr.org/EN/HRBodies/HRC/Pages/NewsDetail.aspx?NewsID=23580&LangID=E;
Internet;
diakses pada 10 April 2019.
https://www.files.ethz.ch/isn/109227/15066_231009roberts.pdfhttps://www.scmp.com/news/asia/southeast-asia/article/2051572/pm-najib-leads-malaysian-protest-against-genocide-rohingyahttps://www.scmp.com/news/asia/southeast-asia/article/2051572/pm-najib-leads-malaysian-protest-against-genocide-rohingyahttps://www.mmtimes.com/national-news/24084-govt-cuts-flow-of-migrant-workers-to-malaysia-amid-diplomatic-spat.htmlhttps://www.mmtimes.com/national-news/24084-govt-cuts-flow-of-migrant-workers-to-malaysia-amid-diplomatic-spat.htmlhttps://www.ohchr.org/EN/HRBodies/HRC/Pages/NewsDetail.aspx?NewsID=23580&LangID=E
-
5
Terkait konflik Rohingya, Myanmar bersikap tertutup, hal
tersebut
tergambar dari tindakan Myanmar yang menutup akses kemanusiaan
ke Rakhine,
tidak memberikan izin TPF PBB untuk masuk ke Rakhine dan mencoba
membuat
konflik Rohingya sebagai konflik internal Myanmar sekaligus
merespons
megaphone diplomacy dari PBB seperti yang dikatakan oleh
Jenderal Min Aung
Hlaing “UN had no right to interfere in and make decisions over
the sovereignty of
a country and talks to meddle in internal affairs [cause]
misunderstanding”.13
Sikap tertutup Myanmar seperti menolak bantuan dan menutup akses
ke
Rakhine tidak dialami oleh Indonesia. Indonesia di bawah
pemerintahan Presiden
Joko Widodo mengambil peran dalam upayanya meredam konflik di
Rakhine.
Peran Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi dapat dilihat pada
20 Mei 2015 di
Kuala Lumpur, Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia, Malaysia,
dan Thailand
mengadakan pertemuan untuk membahas solusi bersama dalam
menyelesaikan
konflik Rohingya. Pertemuan ini akhirnya menghasilkan
kesepakatan langkah-
langkah yang diambil berupa fokus kepada membantu pengungsi,
merekatkan kerja
sama patroli laut, dan meningkatkan kerja sama dan koordinasi
dengan United
Nations High Comission of Refugees (UNHCR).14
Indonesia merespons dengan menggunakan strategi
non-megaphone
diplomacy, yaitu merupakan diplomasi yang inklusif dengan
mengedepankan
13Thompson Chau, “Senior General Min Aung Hlaing slams UN
Report”, 25 September
2018 [berita on-line] tersedia di
https://www.mmtimes.com/news/senior-general-min-aung-hlaing-slams-un-report.html;
Internet; diakses pada 23 Agustus 2019.
14KEMLU, “Masyarakat ASEAN: Aman dan Stabil, Keniscayaan bagi
ASEAN”, 8 Juni 2015
[laporan on-line] tersedia di
https://www.kemlu.go.id/Majalah/ASEAN%20Edisi8-All.pdf; Internet;
diunduh
pada 9 November 2018.
https://www.mmtimes.com/news/senior-general-min-aung-hlaing-slams-un-report.htmlhttps://www.mmtimes.com/news/senior-general-min-aung-hlaing-slams-un-report.html
-
6
pendekatan konstruktif serta berusaha menjadi teman bagi Myanmar
yang terus-
menerus ditekan oleh banyak pihak.15 Diplomasi inklusif dan
konstruktif Indonesia
juga dilakukan melalui diplomasi publik yang merupakan proses
komunikasi yang
ditujukan kepada pemerintahan negara yang dituju dan juga
masyarakatnya yang
bertujuan untuk memberikan pemahaman atas negara, sikap, budaya,
kepentingan
nasional, beserta kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
negaranya.16 Ada pun
tujuan yang dimiliki oleh diplomasi publik adalah meningkatkan
mutu komunikasi
antar negara dan masyarakat serta salah satu cara untuk
mendapatkan kepentingan
nasional suatu negara dengan mempengaruhi masyarakat asing
melalui informasi-
informasi yang tersedia.17
Peran Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Terdapat
dorongan dari masyarakat Indonesia yang merasa khawatir dan
menunjukkan
solidaritasnya terhadap etnis Rohingya melalui Koalisi
Masyarakat Sipil Indonesia
untuk Solidaritas Rohingya (SOLIDER). Mereka menggelar demo pada
24
November 2016 menuntut Presiden Joko Widodo untuk melakukan
serangkaian
kegiatan yang bisa meredam konflik di Rakhine. Selain itu,
tuntutan juga datang
dari salah satu Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam besar di
Indonesia,
Muhammadiyah. Muhammadiyah menuntut PBB, OKI, Indonesia, dan
Myanmar
15 Chidzoie Felix, dkk. “Nigeria’s Megaphone Diplomacy and South
Africa’s Quiet Diplomacy: A
Tale of Two Eras”, Covenant University, Jornal of Politics and
Internasional Affairs (CUJPIA), Vol.1, No.2,
TB:2013, L:235-255 [jurnal on-line]; tersedia di
http://eprints.covenantuniversity.edu.ng/3827/#.XUfTyOgza00;
Internet; diunduh pada 9 November 2018.
16 Rachmawati, “Pendekatan Konstruktivis”, 116 17 Mohammad
Shoelhi, Diplomasi Praktik Komunikasi Internasional,
(Bandung:Simbiosa
Rekatama Media,2011), 157.
http://eprints.covenantuniversity.edu.ng/3827/#.XUfTyOgza00
-
7
untuk segera menghentikan konflik di Rakhine dan menghentikan
penyiksaan serta
penderitaan bagi Muslim Rohingya.18
Selain adanya faktor internal Indonesia, terdapat juga adanya
faktor
eksternal yang membuat Indonesia melakukan upaya terus menerus
untuk meredam
konflik Rohingya. Faktor eksternal tersebut antara lain
merupakan kegagalan
ASEAN dalam menghasilkan konsensus terkait konflik Rohingya
dikarenakan
adanya prinsip non-intervensi yang dianut. Hal ini terlihat
dalam forum ASEAN
Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) ke-39 ketika delegasi
Myanmar menolak
untuk membahas konflik Rohingya dengan alasan isu tersebut
merupakan isu
domestik yang tidak bisa dicampuri negara lain.19
Peran Indonesia dalam konflik Rohingya telah diakui oleh dunia,
setidaknya
oleh Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
Antonio Gutteres yang
dipaparkannya pada pertemuan Dewan Keamanan (DK) PBB yang telah
memuji
karena Indonesia berhasil membujuk Myanmar membuka jalur
bantuan
kemanusiaan.20 Hal ini menunjukkan sikap Myanmar kepada
Indonesia berbeda,
Indonesia dipercaya menjadi satu-satunya negara ASEAN yang
diizinkan untuk
memasuki Rakhine guna melihat langsung kondisi di Rakhine,
diterimanya bantuan
18 Oki Budhi, “Unjuk Rasa Solidaritas Rohingya di Bandung dan
Jakarta”, 26 November 2016 [berita
on-line] tersedia di
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38088925; Internet; diakses
pada 9 November
2018. 19Rachmat Hidayat, “Myanmar Tolak Resolusi Rohingya”, 6
September 2018 [berita on-line] tersedia
di
http://www.tribunnews.com/internasional/2018/09/06/fadli-zon-myanmar-tolar-reslousi-rohingya-indonesia-dukung-cabut-resolusi-politi-aipa;
Internet; diakses pada 9 November 2018.
20 Edigius Patnisik, “Sekjen PBB Puji Peran Penting Indonesia di
Myanmar”, 30 September 2017
[berita on-line] tersedia di
https://internasional.kompas.com/read/2017/09/30/10345051/sekjen-pbb-puji-
peran-penting-indonesia-di-myamar; Internet; diakses pada 13
Oktober 2018.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38088925http://www.tribunnews.com/internasional/2018/09/06/fadli-zon-myanmar-tolar-reslousi-rohingya-indonesia-dukung-cabut-resolusi-politi-aipahttp://www.tribunnews.com/internasional/2018/09/06/fadli-zon-myanmar-tolar-reslousi-rohingya-indonesia-dukung-cabut-resolusi-politi-aipahttps://internasional.kompas.com/read/2017/09/30/10345051/sekjen-pbb-puji-peran-penting-indonesia-di-myamarhttps://internasional.kompas.com/read/2017/09/30/10345051/sekjen-pbb-puji-peran-penting-indonesia-di-myamar
-
8
dari Indonesia serta pertemuan dengan Aung San Suu Kyi.21 Selain
itu, Menlu
Indonesia juga memberikan formula 4+1 yang diterima baik oleh
Aung San Suu
Kyi pada 2017 serta membentuk Aliansi Kemanusiaan Indonesia
untuk Myanmar
(AKIM).22
Jika dilihat kembali bagaimana sikap Myanmar yang tertutup
terkait konflik
Rohingya, seharusnya Myanmar tidak menerima diplomasi Indonesia.
Namun,
Myanmar bersikap sebaliknya kepada Indonesia dengan menerima
diplomasi.
Penerimaan diplomasi Indonesia tersebut terdiri dari beberapa
indikator, yaitu
terjadinya dialog formal antara Myanmar dan Indonesia,
penerimaan bantuan
kemanusiaan oleh Myanmar dari Indonesia, dan Myanmar menerima
baik saran-
saran yang diberikan oleh Indonesia meskipun belum dapat
mengimplementasikan
seluruhnya. Berangkat dari pemikiran tersebut maka peneliti
berasumsi bahwa
Myanmar memiliki alasan terkait penerimaan diplomasi Indonesia
pada periode
2015-2017 yang merupakan periode yang menjadi fokus penelitian
ini dikarenakan
intensitas dari konflik Rohingya mulai meningkat kembali, selain
itu pada periode
tersebut merupakan periode intensif diplomasi Indonesia dan
Myanmar. Oleh
karena itu peneliti ingin melihat alasan-alasan yang menjadi
pertimbangan bagi
Myanmar untuk menerima diplomasi Indonesia periode
2015-2017.
21 KEMLU, “Bantuan Kemanusiaan Indonesia untuk Rohingya/Rakhine
State”, 29 Desember 2016
[berita on-line] tersedia di
https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/bantuan-kemanusiaan-indonesia-untuk-
rohingya.aspx; Internet; diakses pada 10 Oktober 2018. 22 KEMLU,
”Menlu RI Serahkan Usulan Formula 4+1 untuk Rakhine State kepada
State Counsellor
Myanmar”, 4 September 2017 [berita on-line] tersedia di
https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Menlu-RI-
Serahkan-usulan-Formula-41-untuk-Rakhine-State-kepada-State-Counsellor-Myanmar.aspx;
Internet; diakses
pada 4 Desember 2018.
https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/bantuan-kemanusiaan-indonesia-untuk-rohingya.aspxhttps://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/bantuan-kemanusiaan-indonesia-untuk-rohingya.aspxhttps://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Menlu-RI-Serahkan-usulan-Formula-41-untuk-Rakhine-State-kepada-State-Counsellor-Myanmar.aspxhttps://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Menlu-RI-Serahkan-usulan-Formula-41-untuk-Rakhine-State-kepada-State-Counsellor-Myanmar.aspx
-
9
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pernyataan masalah yang telah dijelaskan serta agar
tidak
terlalu luas dari permasalahan yang dikaji, maka penelitian ini
akan menjawab
pertanyaan penelitian berupa Mengapa Myanmar Menerima Diplomasi
Indonesia
terkait Konflik Rohingya Periode 2015-2017?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi berjudul
Alasan
Myanmar Menerima Diplomasi Indonesia terkait Konflik Rohingya
Periode
2015-2017 adalah:
1. Menganalisis alasan Myanmar menerima diplomasi Indonesia
terkait
konflik Rohingya periode 2015-2017.
2. Mengaplikasikan teori serta konsep dalam studi ilmu
Hubungan
Internasional sebagai alat analisis terhadap pertanyaan
penelitian di skripsi
ini.
Kemudian, hasil penelitian ini diharapkan akan membawa manfaat
berupa:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam
perkembangan studi ilmu Hubungan Internasional, khususnya
terkait
konflik di Rohingya.
2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan analisis terkait
konflik di
Rohingya, khususnya terkait kepentingan nasional Myanmar
menerima
diplomasi Indonesia terkait konflik Rohingya periode
2015-2017.
-
10
3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi yang
komprehensif bagi
penelitian yang relevan.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka yang pertama, Penulis akan mengulas
skripsi yang
ditulis oleh Andry Febriansyah yang berjudul “Kebijakan Thailand
Terhadap
Pengungsi Rohingya Periode 2013-2015” yang diperuntukkan sebagai
tugas akhir
untuk mendapat gelar sarjana di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
Jakarta yang dipublikasikan pada 2017. Skripsi yang dibahas oleh
Febriansyah
menggambarkan secara garis besar kebijakan Thailand terhadap
pengungsi
Rohingya dari 2013 sampai 2015.
Konflik Rohingya merupakan konflik yang berkelanjutan,
terutama
mencuat semenjak 2012. Dalam skripsi tersebut dijelaskan
dinamika yang terjadi
ketika terjadinya konflik Rohingya dan tibanya pengungsi
Rohingya di Thailand.
Febriyansyah menggunakan teori kebijakan luar negeri dalam
menganalisis
kebijakan luar negeri Thailand dalam menghadapi pengungsi
Rohingya.
Dalam skripsinya, Febriyansyah berfokus kepada kebijakan luar
negeri
Thailand dalam menghadapi pengungsi yang berasal dari Rohingya.
Kebijakan
tersebut mengarah kepada bantuan-bantuan terhadap pengungsi
etnis Rohingya
serta mekanisme dalam penanganan pengungsi. Oleh karena itu,
Penulis
berpendapat skripsi ini relevan topik penelitian yang akan
dikaji, namun masih
banyak yang dapat dikembangkan kembali terkait krisis konflik
Rohingya dari
berbagai aspek yang tidak hanya mengenai pengungsi saja
melainkan juga strategi-
-
11
strategi yang digunakan negara-negara dalam membantu
penyelesaian konflik di
Rohingya.
Selanjutnya adalah tinjauan pustaka yang ditulis oleh F.A Arya
Ardani
dengan jurnal yang berjudul “Kebijakan Indonesia dalam
Membantu
Penyelesaian Konflik Antara Etnis Rohingya dan Etnis Rakhine di
Myanmar
(Studi Karakter Kepribadian Susilo Bambang Yudhoyono)”. Dalam
jurnal
tersebut dijelaskan bahwa konflik Rohingya merupakan konflik
yang berimbas
kepada Indonesia. Jurnal tersebut berfokus kepada kebijakan luar
negeri Indonesia
dalam meredakan konflik antara etnis Rohigya dan Rakhine pada
era Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Terlebih lagi, jurnal tersebut
menekankan kepada
karakter idiosinkratik SBY dalam pengaruhnya di dalam kebijakan
luar negeri
Indonesia terkait perannya dalam penyelesaian konflik di
Rakhine.
Dalam jurnal tersebut, pembahasan ditekankan kepada faktor
idiosinkratik
SBY, menurut Ardani, SBY merupakan pemimpin yang sering
menggunakan
istilah-istilah yang sulit dimengerti, namun sisi positifnya
adalah SBY mampu
membuat alternatif kebijakan. SBY merupakan pemimpin yang
bersifat halus dan
mengedepankan soft power dalam kebijakannya. Terdapat adagium
yang terkenal
dari SBY yaitu thousand friend zero enemy yang menjadi arah
kebijakan luar negeri
Indonesia saat itu di samping politik bebas aktif. Dari
idiosinkratik SBY tersebut,
dalam konflik Rohingya mempercayai bahwa pemerintah Myanmar
terdapat
menyelesaikan konflik internal tersebut dengan baik sehingga
disimpulkan bahwa
-
12
SBY merupakan pemimpin yang berkarakter konsiliatif yang membuat
Indonesia
lebih aktif dan responsif dalam hubungan internasional.
Ardani juga memaparkan beberapa kebijakan-kebijakan Indonesia di
era
SBY terkait konflik Rohingya yang mana lebih berperan di ASEAN.
Namun, hal
tersebut Penulis berpendapat masih kurang karena data yang
dipaparkan tidak
terlalu memadai dan tidak menghasilkan hasil yang signifikan.
Oleh karena itu,
Penulis berpendapat masih banyak yang dapat dikembangkan kembali
dalam
kaitannya peran Indonesia, terlebih ketika konflik Rohingya
kembali mencuri
perhatian dunia pada akhir 2015 dan menganalisis peranan
Indonesia dalam konflik
Rohingya pada era kepemimpinan Jokowi Dodo ketika Konflik
Rohingya.
Tinjauan pustaka berikutnya merupakan jurnal yang ditulis oleh
Irawan Jati
dengan judul “Comparative Study of the Role of ASEAN and the
Organization
of Islamic Cooperation in Responding to the Rohingya Crisis”.
Dalam jurnal
tersebut Irawan memberikan gambaran terkait respons yang
diberikan oleh ASEAN
dan OKI terkait konflik Rohingya. Irawan menegaskan bahwa ASEAN
sebagai
organisasi regional di Asia Tenggara memberikan respons yang
kurang efektif. Hal
tersebut terlihat dari peran AICHR yang sangat minim dan juga
ASEAN itu sendiri
yang terkendala prinsip non-intervensi.
Setelah menjelaskan respons ASEAN, Irawan membandingkan
dengan
respons OKI yang menurutnya lebih responsif terhadap konflik
Rohingya. Hal
tersebut terlihat dari negara-negara anggota OKI yang memberikan
bantuan dan
membicarakan konflik Rohingya di forum-forum OKI. Perbedaan
mendasar antara
-
13
OKI dan ASEAN adalah bagaimana mekanisme keputusan diambil.
Dalam
ASEAN, prinsip non-intervensi sangat dijaga sehingga sangat
mempengaruhi
pengambilan keputusan, sedangkan di dalam OKI hanya membutuhkan
suara
mayoritas untuk mengambil kebijakan.
Tinjauan pustaka selanjutnya merupakan laporan penelitian yang
ditulis
oleh Anna Yulia Hartati yang berjudul “Konflik Etnis Myanmar
(Studi
Eksistensi Etnis Rohingya Ditengah Tekanan Pemerintah)” yang
diperuntukkan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
kenaikan jenjang
fungsional akademik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di
Universitas Wahid
Hasyim Semarang. Pada laporan penelitian ini mendeskripsikan
sejarah konflik
etnis di Myanmar beserta dampak dari konflik tersebut, khususnya
konflik antara
etnis Rohingya dan etnis Buddha Rakhine.
Secara gamblang dideskripsikan bahwa konflik tersebut
menyebabkan
ribuan orang berupaya melarikan diri setiap tahunnya ke
negara-negara sekitar
Myanmar. Penelitian ini menganalisis konflik pada level
sistemik, domestik, dan
level persepsi yang menjadi asal muasal konflik. Menurut
Hartati, pada level
sistemik adalah adanya konspirasi dengan pihak asing; di level
domestik
dikarenakan kondisi pemerintahan Myanmar yang dipimpin oleh
Junta Militer, dan
level persepsi yang menyatakan bahwa etnis Rohingya mirip dengan
orang Bengali
atau Bangladesh.
Dalam laporan penelitian ini diperlihatkan dengan jelas dari
akar konflik,
dampak konflik, dan tingkat analisis di tiga level yang berbeda.
Penulis berpendapat
-
14
data-data yang terdapat dalam penelitian tersebut cukup valid
dikarenakan diambil
dari dokumentasi-dokumentasi yang menggunakan teknik pengambilan
data
Library research yang mengumpulkan dokumen-dokumen akademik
terkait isu
Rohingya. Penulis berpendapat, teknik analisis yang dilakukan
cukup baik dengan
melihat kepada tiga level yang berarti terdapat perspektif yang
luas terkait asal-
muasal konflik serta dilengkapi dengan peran pemerintah Myanmar
dalam
menyelesaikan konflik serta dampak internal dan eksternal dari
konflik Rohingya.
Tinjauan Pustaka berikutnya ditulis oleh Arry Bainus yang
berjudul
“Debating “National Interest” Vis-a-Vis Refugees: Indonesia’s
Rohingya
Case” merupakan sebuah artikel jurnal yang ditulis dalam
konferensi internasional
terkait tantangan sosial politik yang dilakukan oleh Universitas
Muhammadiyah
Yogyakarta. Jurnal ini membahas kepentingan nasional Indonesia
terkait konflik
Rohingya.
Dalam jurnal tersebut, Arry menjelaskan bahwa kepentingan
nasional
Indonesia sebagai negara dengan identitas muslim terkait konflik
Rohingya kurang
terlihat. Meskipun, respons masyarakat Indonesia terkait konflik
Rohingya
diwarnai sentimen agama. Hal tersebut dikarenakan dalam praktik
diplomasi
kepada Myanmar, Indonesia tidak pernah membawa embel-embel Islam
dengan
tujuan menjaga stabilitas dan menggantinya dengan kemanusiaan
sebagai jalan
untuk membantu konflik Rohingya.
Penulis berpendapat jurnal yang ditulis oleh Arry relevan dengan
topik
penelitian yang akan dikaji. Namun, karena hanya terfokus kepada
perdebatan
-
15
kepentingan nasional Indonesia yang berdasarkan kepada identitas
sehingga tidak
ada perbandingan bagaimana konflik Rohingya menjadi kepentingan
nasional
Indonesia dalam aspek lain seperti pencitraan kepada dunia
karena pada masa 2015
di bawah pemerintahan Jokowi Dodo, Indonesia mengincar posisi
sebagai DK tidak
tetap PBB.
Tinjauan pustaka tersebut merupakan referensi yang relevan
terkait dengan
judul yang akan penulis bahas dikarenakan memberikan gambaran
mengenai
konflik Rohingya secara komprehensif dan memberikan gambaran
yang berbeda
mengenai pemerintahan Myanmar, namun pada penelitian tersebut
sebagian besar
hanya berfokus kepada internal Myanmar saja seperti penyelesaian
konflik dan
perjanjian damai di Rakhine yang sudah tidak relevan lagi karena
sampai saat ini
konflik masih terus berlanjut.
Penulis telah menelusuri beberapa literatur dengan tema yang
terkait dengan
Rohingya, tetapi belum terdapat literatur yang memfokuskan
kepada kepentingan
nasional Myanmar menerima diplomasi suatu negara, khususnya
Indonesia terkait
konflik Rohingya. Oleh karena itu, Penulis berpendapat
penelitian ini akan menjadi
berarti dengan berkontribusi dalam melengkapi
penelitian-penelitian dengan tema
terkait yang lebih dahulu ada.
E. Kerangka Teori
1. Konstruktivisme
Perkembangan teori ilmu Hubungan Internasional (HI) pada
1980-an
memasuki fase great debate ke IV. Perdebatan tersebut terjadi
antara teori-teori
-
16
rasionalis HI seperti realisme, liberalisme, marxisme,
neorealisme, dan sebagainya
dengan teori-teori yang mencoba memperluas kajian dalam HI
seperti
posmodernisme, postrukturalis, feminisme, green theory.
Perdebatan tersebut juga
sering disebut sebagai positivisme vs pos-positivisme. Namun,
menurut Christian
Reus-smit setelah berakhirnya perang dingin pada 1989 arah
perdebatan bergeser
ke arah konstruktivisme dan teori-teori rasionalis dikarenakan
neorealisme dan
neoliberalisme gagal untuk menjelaskan terkait runtuhnya Uni
Soviet.23
Hadirnya konstruktivisme dalam great debates ke-IV dalam HI
untuk
mencoba memberikan perspektif baru dan menantang asumsi-asumsi
dasar dari
teori-teori mainstream HI khususnya neoliberalisme dan
neorealisme.
Konstruktivisme bukan merupakan teori murni yang berasal dari
HI, namun
merupakan teori yang berasal dari sosiologi. Teori ini diadopsi
ke dalam HI oleh
Nicholas Onuf dan Alexander Wendt karena memiliki asumsi-asumsi
yang dapat
menjelaskan fenomena dalam HI seperti perilaku negara yang tidak
hanya melihat
kepada untung rugi saja, tetapi juga aspek-aspek yang melekat
seperti budaya,
norma, pengetahuan, dan sebagainya.24
Asumsi-asumsi tersebut dapat terlihat dalam perdebatan
konstruktivisme
yang menantang asumsi-asumsi dari neorealisme dan neoliberalisme
mengenai
struktur internasional yang anarki. Konstruktivisme menolak cara
analisis dari
23 Scott Burchil, Theories of Internasional Relations 3rd ed,
(New York: Palgrave Macmillan, 2005)
[buku on-line], 188; tersedia di
lib.jnu.ac.in/sites/default/files/RefrenceFile/Theories-of-IR.pdf;
Internet; diunduh pada 7 Agustus 2016.
24 Alexander Wendt, Social Theory of Internasional Politics
[buku on-line] (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 52; tersedia di
https://doi.org/10.1017/CBO9780511612183; Internet; diunduh pada
8
Mei 2017.
-
17
neorealisme yang menggunakan struktur internasional dalam
melihat perilaku suatu
negara. Namun, konstruktivisme juga mengakui adanya struktur
internasional
anarki tetapi hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang given
(diberikan).25
Konstruktivisme bukan merupakan teori yang dapat memprediksi
seperti
neorealisme dan neoliberalisme, namun terbatas hanya menjelaskan
fenomena yang
terjadi. Dalam proses analisisnya berkaitan dengan struktur yang
dijelaskan dalam
konstruktivisme yang terbagi menjadi dua, yaitu struktur
material dan ideasional.
Adanya dua struktur tersebut menjelaskan bahwa konstruktivisme
dalam
menjelaskan sebuah fenomena menekankan kepada peran-peran yang
terkait
dengan ide, norma, budaya, dan pengetahuan, akan tetapi tidak
menyampingkan
pentingnya bentuk material.26
Konstruktivisme menolak asumsi dari neorealisme dan
neoliberalisme
bahwa struktur internasional menjadi satu-satunya hal yang
mempengaruhi perilaku
suatu negara. Konstruktivisme menjelaskan bahwa struktur dan
agen saling
mempengaruhi satu sama lain. Unit analisis dari konstruktivisme
tidak ditekankan
kepada struktur internasional saja, tetapi juga mengakui peran
dari individu atau
elite di suatu negara yang disebut dengan istilah agen. Hal ini
berarti
konstruktivisme mengakui bahwa agen dapat menghasilkan sebuah
wacana yang
25 Alexander Wendt, “Anarchy is what States Make of it: The
Social Construction of Power Politics”,
Jurnal Internasional Organization, Vol.46, No.2, TB:1992,
L:391-425 [jurnal on-line]; tersedia di DOI:
10.1017/S0020818300027764; Internet; diunduh pada 8 Mei 2017. 26
Wendt, Social Theory of Internasional Politics,1.
-
18
mengalami proses sehingga pada akhirnya membentuk struktur dan
juga struktur
tersebut dapat mempengaruhi perilaku agen.27
Peristiwa runtuhnya Uni Soviet merupakan salah satu kejadian
penting yang
menjelaskan mengapa konstruktivisme menekankan kepada struktur
ideasional dan
material.28 Berawal dari terpilihnya Mikhail Gorbachev sebagai
Presiden Uni
Soviet sekaligus sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai
Komunis Uni Soviet
pada 1985-1991. Pada umumnya, pergantian kepemimpinan tidak
terlalu memiliki
pengaruh kepada perubahan kebijakan. Namun, Gorbachev merupakan
seorang
pemimpin yang menginginkan perubahan bagi Uni Soviet yang
mengalami stagnasi
berkepanjangan sejak masa Brezhnev.
Gorbachev mengajukan gagasan bernama perestroika yang
mencangkup
reformasi atau akselerasi kebijakan di bidang ekonomi, politik,
dan sosial budaya.
Dalam perestroika terkandung konsep glasnost (keterbukaan) dan
demokratiya
(demokrasi). Dalam implikasinya, Gorbachev di bidang ekonomi
melakukan
percepatan pembangunan ekonomi atau uskorenie dan melakukan
kerja sama
dengan Barat serta di bidang ketatanegaraan, Gorbachev mengubah
sistem partai
tunggal menjadi sistem multipartai dan menghapuskan monopoli
kekuasaan partai
Komunis Uni Soviet.29
27 Wendt, Social Theory of Internasional Politics,1. 28 Stephen
M. Walt, “Internasional Relations: One World, Many Theories”,
Jurnal Foreign Policy,
TV, No.110, TB:1998, L: 29-46; tersedia di DOI: 10.2307/1149275;
Internet; diunduh pada 7 Juli 2017. 29 Zeffry Alkatiri, Transisi
Demokrasi di Eropa Timur: Baltik, Jerman Timur, Rumania &
Balkan,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2016), 5-6.
-
19
Pada dasarnya, kebijakan perestroika menurut Gorbachev
merupakan
sebuah upaya untuk membenahi keadaan Uni Soviet yang stagnan dan
juga sebagai
bentuk pemurnian kembali sosialisme sesuai dengan tuntutan
zaman. Namun,
dengan adanya keterbukaan membuat hal-hal negatif dapat
dikonsumsi oleh
masyarakat dan menggerus kepercayaan terhadap kepemimpinan
pemerintah dan
partai komunis sehingga pada akhirnya terjadi keruntuhan Uni
Soviet.30
Keruntuhan Uni Soviet berimplikasi luas kepada negara-negara
lain,
khususnya Eropa Timur yang juga dipimpin oleh rezim sosialis
komunis seperti
Polandia, Hungaria, Chekoslovakia, dan sebagainya untuk
meruntuhkan rezim
sosialis komunis dan berganti kepada demokrasi.31 Selain itu,
pada tataran
internasional, keruntuhan Uni Soviet juga berarti berakhirnya
perang dingin dan
menjadikan Amerika Serikat (AS) sebagai satu-satunya negara
adidaya di dunia
(unipolar).
Tidak seperti neorealisme dan neoliberalisme yang tidak dapat
menjelaskan
runtuhnya Uni Soviet, konstruktivisme dapat menjelaskan fenomena
ini
dikarenakan unit analisisnya berada pada elite, yaitu Gorbachev
yang membuat
kebijakan perestroika yang dipengaruhi oleh struktur ideasional
akan glasnost dan
struktur material, yaitu perekonomian Uni Soviet yang stagnan
dan akhirnya
berdampak pada runtuhnya Uni Soviet dan kebijakan luar negeri
Uni Soviet di
30 Alkatiri, Transisi Demokrasi, 7-8. 31 Alkatiri, Transisi
Demokrasi, 8-13.
-
20
bawah kepemimpinan Gorbachev yang mendekat ke Barat untuk
melakukan kerja
sama ekonomi.
Konstruktivisme telah memberikan cara pandang baru dalam
fenomena HI
yang menekankan kepada struktur ideasional, struktur material,
serta peran agen di
dalamnya. Seperti yang telah dijelaskan bahwa struktur dan peran
agen memiliki
sifat resiprokal dan terdapat proses yang menjadikan sebuah
gagasan terbentuk
menjadi struktur ideasional. Proses ini sering disebut dengan
share ideas yang
berawal dari ide-ide yang dimiliki oleh agen dan diperlukan
adanya intersubjective
meaning atau pemahaman bersama.32
Dalam proses terbentuknya shared ideas juga terdapat faktor
yang
mempengaruhi, yaitu identitas. Wendt menjelaskan bahwa identitas
merupakan
pemahaman subjektif terkait pandangan negara memahami dirinya
dan bagaimana
negara lain memahaminya. Sebagai contoh adalah pasca kejadian
runtuhnya
gedung World Trade Center atau 9/11, George W. Bush melakukan
share idea
mengenai terorisme adalah musuh bersama sehingga mendeklarasikan
perang
terhadap terorisme dan diterima oleh negara-negara lain. Dalam
konteks War on
Terrorism, AS dengan identitas sebagai negara adidaya adalah
faktor yang
menentukan keberhasilan share ideas.33
Seperti identitas teman dan musuh merupakan hal yang
mempengaruhi
perilaku negara menurut konstruktivisme, hal ini terlihat dengan
kekhawatiran AS
32 Wendt, Social Theory of Internasional Politics, 24. 33 Wendt,
Social Theory of Internasional Politics, 25-26.
-
21
terhadap nuklir Korea Utara dibandingkan dengan nuklir yang
dimiliki oleh
Perancis dan Inggris dikarenakan AS menganggap Perancis dan
Inggris adalah
teman yang berarti tidak menimbulkan ancaman. Sehingga hal ini
mempengaruhi
kebijakan luar negeri AS terhadap Korea Utara, seperti yang
dikatakan oleh Wendt
bahwa identitas merupakan dasar dari kepentingan.34
Dalam penelitian ini, struktur material dan struktur ideasional
merupakan
hal yang mempengaruhi perilaku Myanmar. Konflik Rohingya
merupakan konflik
yang menjadi masalah bagi Myanmar sehingga mendapat tekanan dari
negara-
negara lain. Hal ini membuat Myanmar menutup diri dari dunia
internasional terkait
dengan konflik yang terjadi di negara bagian Rakhine. Namun,
Myanmar tidak
bersikap demikian kepada Indonesia. Oleh karena itu,
konstruktivisme menjadi
pendekatan yang menganalisis bagaimana struktur material dan
struktur ideasional
mempengaruhi kepentingan nasional Myanmar dalam menerima
diplomasi
Indonesia terkait Konflik Rohingya.
2. Konsep Diplomasi Publik
Kata “Diplomasi” berasal dari bahasa Yunani, yaitu diploum yang
berarti
melipat. Diplomasi dan HI berkaitan sangat erat. Diplomasi
bagaikan mesin bagi
HI karena merupakan salah satu cara untuk mencapai kepentingan
nasional negara-
negara. Menurut Adam Watson, diplomasi merupakan hal alami yang
harus
dilakukan oleh negara-negara. Hal ini mengingat bentuk negara
bangsa yang
terpisah-pisah. Setiap negara memiliki kepentingan dan
kebutuhannya masing-
34 Wendt, “Anarchy”, 391-425.
-
22
masing, karena hal tersebut setiap negara pasti melakukan
diplomasi karena
keterbatasan yang masing-masing dimiliki.35
Diplomasi sebagai salah satu hal penting dalam HI mengalami
perkembangan dan terbagi menjadi dua era, yaitu era tradisional
dan era baru.
Diplomasi tradisional berkaitan erat dengan banyaknya keganjilan
seperti
diplomasi diam-diam. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Woodrow
Wilson dalam
salah satu pasal dari 14 pasal perdamaian, yaitu tidak ada lagi
diplomasi rahasia.
Sedangkan, dalam diplomasi baru yang juga berbanding lurus
dengan
perkembangan teknologi informasi telah membuang sifat rahasia
dan memasukkan
kepentingan umum di dalamnya.36
Diplomasi pada perkembangannya telah menciptakan istilah (terms)
atau
jenis-jenis terhadap diplomasi itu sendiri, seperti diplomasi
budaya, diplomasi
ekonomi, diplomasi publik dan sebagainya. Istilah tersebut
mengandung tujuan dan
cara yang berbeda namun tetap mengandung mekanisme yang sama,
yaitu dialog.
Adanya istilah-istilah tersebut mengartikan bahwa diplomasi
digunakan sesuai
dengan kepentingan nasional suatu negara.37
Adapun diplomasi publik menurut Rasmussen merupakan hal baru
dan
masih jarang dilakukan. Hal ini berkaitan dengan anggapan bahwa
negara-negara
35 Adam Watson, Diplomacy: The Dialogue between States [buku
on-line], (Prancis: Routledge,
2005), 1; tersedia di
https://doi.org/10.1177/004711788200700408; Internet; diunduh pada
10 Mei 2019. 36 Dr. Ayoeb Muchsin, Diplomasi: Teori dan Praktek
serta Kasus-kasus, (Jakarta: UIN Jakarta,
2013), 33. 37 Muchsin, Diplomasi, 36.
https://doi.org/10.1177/004711788200700408
-
23
yang melakukan diplomasi publik merupakan negara-negara dunia
pertama.38
Selain itu, merujuk kepada pengertian diplomasi publik menurut
Joseph Nye yang
mengatakan bahwa diplomasi publik sangat berkaitan dengan power.
Dalam hal ini
power yang dikatakan oleh Nye adalah soft power yang juga
pertama kalinya istilah
ini digunakan.39
Nye mengatakan negara-negara seperti AS harus meningkatkan
investasinya di dalam soft power. Menurutnya, soft power lebih
efektif digunakan
setelah berakhirnya perang dingin di samping biaya yang
dikeluarkan lebih murah
dibandingkan dengan hard power yang berkaitan dengan
persenjataan, militer, dan
perang.40 Pendapat Nye mengenai soft power telah banyak
mempengaruhi negara-
negara besar untuk mengurangi konsentrasi dalam hard power dan
menjadi
alternatif yang lebih “murah” bagi negara-negara untuk tetap
mencapai kepentingan
nasionalnya.
Menurut Iva Rachmawati, diplomasi publik adalah proses
komunikasi yang
ditujukan kepada pemerintahan negara yang dituju dan juga
masyarakatnya yang
bertujuan untuk memberikan pemahaman atas negara, sikap, budaya,
kepentingan
nasional, beserta kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
negaranya.41 Ada pun
tujuan yang dimiliki oleh diplomasi publik adalah meningkatkan
mutu komunikasi
antar negara dan masyarakat serta salah satu cara untuk
mendapatkan kepentingan
38 Iva Rachmawati, “Pendekatan Konstruktivis dalam Kajian
Diplomasi Publik Indonesia”, Jurnal
Ilmu Hubungan Internasional, Vol.5, No.2, (TB:2017), 113. 39
Nancy Snow, Routledge Handbook of Public Diplomacy,[buku on-line]
(Inggris:
Routledge,2009), 3; tersedia di
https://www.routledgehandbooks.com/pdf/doi/10.4324/9780203891520.ch3;
Internet; diunduh pada 12 Mei 2019. 40 Snow, Public Diplomacy,
1. 41 Rachmawati, “Pendekatan Konstruktivis”, 116
https://www.routledgehandbooks.com/pdf/doi/10.4324/9780203891520.ch3
-
24
nasional suatu negara dengan mempengaruhi masyarakat asing
melalui informasi-
informasi yang tersedia.42
Indonesia melakukan non-megaphone diplomacy terkait konflik
Rohingya.
Dalam praktiknya, non-megaphone diplomacy yang berkaitan dengan
diplomasi
publik. Indonesia tidak hanya melakukan diplomasi kepada
pemerintah Myanmar,
tetapi juga kepada masyarakat melalui AKIM dalam implementasi
program-
program dan penyebaran nilai-nilai seperti toleransi, HAM, dan
demokrasi
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa metode
kualitatif.
Penelitian kualitatif pada dasarnya berfokus kepada penjelasan
dalam kata-kata.
John Creswell mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah
proses penelitian
untuk memahami masalah sosial berdasarkan pada gambaran holistik
terkait isu
yang spesifik dan dibentuk dengan kata-kata dalam sebuah latar
ilmiah.43
Tipe penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini
merupakan
deskriptif yang bertujuan untuk memberi gambaran proses dari
waktu ke waktu dan
menafsirkan serta menganalisis data yang berkaitan dengan isu
terkait.44 Dalam
penelitian ini akan mencoba menjelaskan alasan Myanmar menerima
diplomasi
42 Mohammad Shoelhi, Diplomasi Praktik Komunikasi Internasional,
(Bandung:Simbiosa
Rekatama Media,2011), 157. 43 John Creswell, Qualitative and
Quantitative Approaches,[buku on-line] (London:Sage
Publications,2014), 232; tersedia di DOI:
10.13140/RG.2.1.1262.4886; Internet; diunduh pada 14 Juni 2017. 44
Farida Nugrahani, Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian
Pendidikan Bahasa, (Solo:
Chakra Books, 2014), 96.
-
25
Indonesia terkait konflik Rohingya periode 2015-2017 dengan
menjelaskan faktor-
faktor yang berkaitan.
Salah satu karakteristik dari penelitian kualitatif menurut
Craswell adalah
memiliki sumber data yang banyak yang berupa primer dan
sekunder.45 Data primer
merupakan data yang didapatkan dengan wawancara narasumber yang
relevan
dengan isu yang sedang diteliti, sedangkan data sekunder
merupakan data yang
didapat melalui studi pustaka (library research) yang berasal
dari buku, jurnal
terakreditasi, dan laporan penelitian dengan pembahasan yang
relevan.46
Untuk mendapatkan data primer, penelitian ini tidak menggunakan
metode
observasi dikarenakan adanya kendala berupa jarak antara negara
penulis
(Indonesia) dengan negara tempat terjadinya konflik (Myanmar).
Oleh karena itu,
untuk mendapatkan data primer akan menggunakan metode wawancara
dengan
beberapa narasumber, yaitu:
1. Muhammad Ali Yusuf sebagai ketua AKIM
2. Dewi Lestari sebagai wakil direktur Direktorat Kementerian
Luar
Negeri RI.
Data primer yang didapatkan dari hasil wawancara akan dianalisis
serta
menjadi tambahan data bagi penulis untuk memperkuat analisis
terkait topik
penelitian sehingga mendapatkan data-data yang konkret untuk
dianalisis dengan
teori konstruktivisme.
45 Creswell, Qualitative and Quantitative, 234. 46 Sugiyono,
Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung:
Alfabeta, 2009), 137.
-
26
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulis berupa penjelasan mengenai alur pembahasan
dalam
penelitian ini, sehingga dapat dipahami dengan mudah. Dalam
penelitian ini,
sistematika penulisan terdiri dari lima bab, yang mana akan
dijelaskan sebagai
berikut:
BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini, Penulis membahas mengenai latar belakang yang
menjelaskan Myanmar menerima diplomasi Indonesia. Diawali
dengan
mendeskripsikan masalah yang dibahas secara umum ke khusus dalam
pernyataan
masalah. Terdapat juga bagian-bagian lain seperti: pertama,
pertanyaan penelitian
yang berisikan pertanyaan penelitian yang akan dibahas serta
dianalisis pada bab
empat. Kedua, tujuan dan manfaat penelitian yang diharapkan
berkontribusi dalam
ilmu Hubungan Internasional dan memberikan manfaat kepada
pembaca yang
memiliki konsentrasi dalam kawasan Asia Tenggara.
Ketiga, adalah tinjauan pustaka yang berupa referensi ilmiah
yang terlebih
dahulu membahas terkait isu yang relevan dan diperuntukkan untuk
menjadi
referensi, selain itu Penulis juga menjabarkan perbedaan dengan
penelitian yang
Penulis lakukan. Keempat, dijelaskan mengenai kerangka pemikiran
yang terdiri
dari teori dan konsep-konsep yang akan digunakan untuk
menganalisis topik
penelitian. Kelima adalah sistematika penulisan yang berupa
penjabaran alur dalam
penelitian ini.
-
27
BAB II Myanmar dan Dinamika Kawasan Terkait Konflik Rohingya
Pada bab ini akan dibahas mengenai profil Myanmar, dimulai dari
deskriptif
mengenai wilayah dan kultur beserta sejarahnya. Selain itu,
berawal dari sifat yang
umum menuju yang lebih khusus kepada konflik Rohingya di mana
akan dibahas
mengenai sejarah dan kompleksitas etnis di Myanmar yang
sejatinya tidak hanya
terjadi antara etnis Rohingya dan etnis Buddha di Rakhine,
tetapi akan lebih khusus
untuk meliput masalah konflik di negara bagian Rakhine yang
berkaitan dengan
etnis Rohingya, selain itu juga dibahas mengenai respons
internasional terhadap
Myanmar terkait konflik Rohingya dan sebaliknya beserta hubungan
Myanmar
dengan Bangladesh dan ASEAN.
BAB III Hubungan Indonesia dan Myanmar Terkait Konflik
Rohingya
Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai hubungan Indonesia
dengan
Myanmar dalam konteks bilateral. Hubungan yang dimaksud tidak
hanya
mencangkup mengenai penyelesaian konflik, tetapi juga mencangkup
kepada kerja
sama ekonomi, sosial dan politik. Bab ini bertujuan untuk
mencari asal muasal dan
titik terang bagaimana Myanmar melihat Indonesia sehingga
memiliki peran besar
dalam konflik Rohingya di antara negara-negara Asia Tenggara
lain.
BAB IV Alasan Myanmar Menerima Diplomasi Indonesia terkait
konflik Rohingya periode 2015-2017
Pada bab ini akan dilakukan analisis terkait dari bab II dan bab
III.
Lanjutnya, pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana Indonesia
melakukan
-
28
diplomasi dan sudut pandang Myanmar terhadap diplomasi Indonesia
serta akan
mengelaborasi terkait dengan struktur ideasional dan material
dari teori
konstruktivisme.
BAB V Penutup
Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil dari penelitian atau
kesimpulan
yang menjawab atas pertanyaan penelitian berdasarkan pendekatan
pada kerangka
pemikiran dan metode penelitian yang digunakan. Dalam bab ini
juga tersedia
ringkasan dari materi-materi yang berada di bab-bab
sebelumnya.
-
29
BAB II
Myanmar dan Dinamika Kawasan Terkait Konflik Rohingya
Pada bab ini akan menggambarkan kondisi Myanmar yang terkait
dengan
konflik Rohingya. Pada sub bab pertama akan dibahas kolonialisme
yang menimpa
Myanmar dan dampaknya pada perpecahan etnis. Sub bab ini akan
memberikan
penjabaran terkait sejarah kondisi Myanmar pada masa
kolonialisme untuk
memahami sejarah etnis Myanmar dan dampaknya terhadap konflik
etnis di
Myanmar.
Sub bab kedua akan membahas mengenai awal konflik Rohingya
terjadi.
Sub bab ini terkait dengan sub bab pertama yang menjelaskan
dampak kolonialisme
dalam perpecahan etnis di Myanmar, namun spesifik membahas
konflik etnis
Rohingya sebelum tahun 1980-an. Sub bab ketiga akan membahas
mengenai
Konflik Rohingya dari 2012-2017, hal ini bertujuan untuk
memberikan gambaran
konflik Rohingya di bawah Junta Militer Myanmar dan kepemimpinan
Aung San
Suu Kyi.
Sub bab keempat akan membahas terkait hubungan bilateral
Myanmar
dengan Bangladesh sebagai negara tujuan pengungsi Rohingya
terbanyak beserta
ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara. Hal ini
ditujukan untuk
menggambarkan upaya atau pun sikap Myanmar dan pihak-pihak
tersebut terkait
konflik Rohingya.
-
30
A. Profil Myanmar
Myanmar atau yang dahulu dikenal sebagai Burma merupakan salah
satu
negara di Asia Tenggara yang termasuk sebagai jajahan Inggris
dan merdeka pada
tahun 1948.47 Selain itu, Myanmar juga termasuk negara yang
majemuk bersamaan
dengan Indonesia dan Malaysia. Nama “Burma” sendiri diambil dari
salah satu etnis
mayoritas di Myanmar, yaitu Burman (Bamar). Namun, nama Burma
sendiri
diganti oleh rezim militer Myanmar pada 1989 untuk mengurangi
permasalahan
etnis.48
Myanmar adalah negara yang memiliki banyak etnis, tercatat
terdapat 135
etnis yang diakui secara resmi oleh pemerintahan Myanmar. Etnis
di Myanmar
terdiri dari 69% etnis Bamar, 8.9% etnis Shan, 6.6% etnis Karen,
4.4% etnis
Arakan, dan 12.1% adalah gabungan dari etnis-etnis lain.49 Etnis
mayoritas di
Myanmar menganut agama Buddha, diperkirakan mencapai 75%, selain
itu juga
terdapat minoritas Muslim dan Kristen yang diperkirakan mencapai
angka 20% dan
sisanya menganut agama animisme.50
Myanmar pada saat ini sedang berada di fase menuju demokrasi.
Awalnya,
pada pemerintahan PM U Nu, Myanmar telah mencoba menjalankan
demokrasi
namun hal tersebut gagal karena beberapa hal, seperti: kegagalan
pemerintah
47 David I.Steinberg, Burma/Myanmar: What Everyone needs to
Know, [buku on-line] (Inggris:
Oxford University Press, 2010), 40; tersedia di
http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=BF26BB221C4682544DD1E313E67FED6A;
Internet; diunduh
pada 1 April 2019. 48 Steinberg, Burma/Myanmar, xxi. 49 Bertil
Lintner, Ethnicity in Asia, [buku on-line] (USA: Routledge Zurzon,
2003), 188; tersedia di
https://doi.org/10.4324/9780203380468; Internet; diunduh pada 3
April 2019. 50 Singh, Tantangan Orang Rohingya Myanmar, xvii.
http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=BF26BB221C4682544DD1E313E67FED6Ahttps://doi.org/10.4324/9780203380468
-
31
menciptakan stabilitas domestik, adanya pemberontakan dari
beberapa etnis seperti
Kachin, Karen, Shan, dan etnis-etnis minoritas lainnya serta
adanya Junta Militer
yang berhasil menggulingkan pemerintahan U Nu.51
Semenjak Junta Militer berhasil, pemerintahan dikuasai oleh
Jenderal Ne
Win dan membawa doktrin Burmese Way to Socialism. Dampaknya
adalah
Myanmar menjadi negara sosialis di bawah pemerintahan militer.52
Namun, pada
2015 partai yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi National League
for Democracy
(NLD) memenangi pemilu. Meskipun, Aung San Suu Kyi hanya dapat
menjadi
pemimpin de facto Myanmar dan militer masih memiliki peran
penting di sektor
kementerian dalam negeri, perbatasan, dan pertahanan, tetapi
Myanmar telah
mencoba untuk mengubah sistem sosialisme menjadi demokrasi
dengan cara-cara
seperti mengikuti Bali Democracy Forum (BDF).
B. Kolonialisme dan Dampaknya terhadap Perpecahan Etnis di
Myanmar
Permasalahan etnis di Myanmar sudah mulai terasa semenjak
zaman
penjajahan oleh Inggris. Hal itu dikarenakan Inggris menjadikan
Myanmar di
bawah pemerintahan India yang mengakibatkan banyaknya warga
negara India
yang dipindahkan ke Myanmar. Posisi Myanmar yang di bawah
administrasi India
berlangsung sampai 1937, hal tersebut dikarenakan Inggris
melihat timbulnya
51 Ita M. Dewi, “Pengalaman Militer Burma: Sebuah Analisis
Historis-Politis”, Jurnal ISTORIA,
Vol.1, No.1, TB:2005, L:1-17, [jurnal on-line]; tersedia di
staffnew.uny.ac.id/upload/132306803/penelitian/burma-istoria.pdf;
Internet; diunduh pada 5 April 2019.
52 David Brenner, “Inside the Karen Insurgency: Explaining
Conflict and Conciliation in
Myanmar’s Changing Borderlands”, Jurnal Asian Security, Vol.14,
No.2, TB:2018, L: 83-99 [jurnal on-line];
tersedia di DOI: 10.1080/14799855.2017.1293657; Internet;
diunduh pada 5 April 2019.
-
32
konflik horizontal yang terjadi antara pribumi Myanmar dengan
India di Myanmar
karena perbedaan budaya.53
Tingginya sifat etnonasionalisme di Myanmar yang menyebabkan
timbulnya konflik antar etnis. Hal ini juga tidak terlepas dari
pengaruh kolonialisme
Inggris pada saat masa penjajahan. Selain dari pengaruh Myanmar
yang berada di
bawah administrasi India, Inggris juga menerapkan politik divide
et impera atau
pecah belah. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan keuntungan
kepada etnis-
etnis minoritas seperti Shan, Mon, dan Arakan sehingga
etnis-etnis tersebut relatif
puas dengan pemerintahan Inggris dengan cara membiarkan etnis
setempat
mendapatkan posisi strategis di pemerintahan daerah.54
Penerapan politik pecah belah oleh Inggris menjadi warisan yang
dirasakan
pada saat ini. Namun, pada saat zaman perjuangan kemerdekaan
Myanmar, konflik
etnis tidak begitu terasa dikarenakan adanya rasa nasionalisme
yang timbul. Awal
rasa nasionalisme timbul oleh pemuka agama Buddha yang memiliki
kesempatan
untuk mendirikan organisasi keagamaan dikarenakan
organisasi-organisasi politik
dilarang oleh Inggris.55
Perjuangan kemerdekaan Myanmar dimulai ketika para
biksu-biksu
berusaha menolak kristenisasi yang dilakukan oleh Inggris. Gold,
Glory, Gospel
merupakan slogan yang dimiliki oleh para penjajah dari Eropa,
tidak hanya untuk
53Steinberg, Burma/Myanmar, 28. 54 Lauren Durand, Conflicts in
Myanmar: A systemic approach to conflict analysis and
transformation, [buku on-line] (Swedia: Lund University, 2013),
26; tersedia di https://lup.lub.lu.se/student-
papers/search/publication/3809452; Internet; diunduh pada 5
April 2019. 55 Steinberg, Burma/Myanmar, 34-35.
https://lup.lub.lu.se/student-papers/search/publication/3809452https://lup.lub.lu.se/student-papers/search/publication/3809452
-
33
mencari kekayaan dan juga kejayaan, tetapi juga turut
menyebarkan kepercayaan.
Para misionaris di Myanmar membentuk Young Men’s Christian
Association
(YMCA). Untuk mencegah penyebaran kristenisasi tersebut, para
biksu Buddha
juga membentuk Young Men’s Buddhist Association (YMBA) pada 1906
yang
dipimpin oleh U May Oung dan berubah menjadi General Council of
Buddhist
(Burmese) pada 1920 yang memiliki tujuan politis.56
Selain perjuangan kemerdekaan dari biksu-biksu, terdapat juga
perjuangan
dari tokoh-tokoh nasional seperti U Aung San, DR Ba Maw, U Ba
Pe, Thankin Nu.
Titik perjuangan kemerdekaan Myanmar sampai pada ketika Aung San
mendatangi
Jepang pada 1939 dan bekerja sama untuk menyingkirikan Inggris
dari Myanmar
dengan membentuk Burma Independence Army (BIA). Pada 1942,
Myanmar dan
Jepang berhasil mengusir Inggris dari Myanmar yang kemudian
menjadikan Jepang
berkuasa di Myanmar.57
Myanmar yang tertipu oleh niat baik Jepang harus mengalami
kemerdekaan
yang palsu setelah kalahnya Inggris oleh Myanmar dan Jepang.
Menyadari akan
tertipunya Myanmar oleh Jepang, maka tokoh-tokoh di Myanmar
membentuk Anti-
Facist People Freedom League (AFPFL) yang merupakan sebuah
organisasi
perlawanan yang menentang kekuasaan Jepang pada 1945.58 Pada
tahun yang sama,
Jepang mengalami kekalahan perang dunia kedua setelah
dijatuhkannya bom atom
di Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika Serikat. Hal ini membuat
Jepang harus
56 Aye Saung, Catatan dari Bawah Tanah, (Jakarta: LP3ES,1991),
87. 57 Dewi, “Pengalaman Militer”, 3. 58 Myrna Anggraini,
Perjuangan anti Kolonialisme Birma (Jakarta: UI, 2008), 30.
-
34
menyerahkan seluruh tanah jajahannya, termasuk Myanmar kepada
sekutu. Dengan
kesempatan tersebut, Inggris berupaya untuk mengambil kembali
Myanmar dengan
juga bekerja sama dengan Burma National Army (BNA) yang
sebelumnya
merupakan BIA.59
Akhirnya pada 2 Mei 1945, Inggris kembali berkuasa di Myanmar
karena
kalahnya Jepang pada perang dunia ke-dua. Sebelum terusirnya
Jepang dari
Myanmar, Jepang menghadiahkan “kemerdekaan” bagi Myanmar yang
dibungkus
dengan kemerdekaan di dalam Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya
yang
berasal dari slogan Jepang, yaitu “Jepang, pelindung, pemimpin,
dan cahaya Asia”.
Oleh karena itu, sebenarnya Myanmar telah memiliki pemerintahan
bentukan
Jepang ketika Inggris kembali berkuasa.60
Kembalinya Inggris berkuasa di Myanmar tidak berlangsung lama,
pada
1948 akhirnya Myanmar benar-benar mendapatkan kemerdekaannya.
Selama
kembalinya Inggris berkuasa, Inggris tetap menerapkan politik
pecah belah untuk
melemahkan perjuangan Myanmar. Salah satunya adalah Inggris
menjanjikan
kemerdekaan kepada etnis-etnis minoritas seperti etnis Karen dan
Rohingya.
Namun, Aung San pada 1947 di Konferensi Panglong kedua berhasil
menekan
Inggris untuk tidak memisahkan daerah-daerah minoritas dari
negara Burma.61
59 Mandy Sadan, “Ethnic Armies and Ethnic Conflict in Burma:
Reconsidering the history of colonial
militarization in the Kachin Region of Burma during the Second
World War”, South East Asia Research, Vol.21, No.4, Oktober,2018,
L:601-624 [jurnal on-line]; tersedia di
https://doi.org/10.5367/sear.2013.0173;
Internet; diunduh pada 10 April 2019. 60 Anggraini, Perjuangan
anti Kolonialisme Birma, 46. 61 Steinberg, Burma/Myanmar, 41.
https://doi.org/10.5367/sear.2013.0173
-
35
Inggris menjanjikan wilayah di Arakan Barat Laut (Rakhine) untuk
etnis
Rohingya pada 1945 dikarenakan loyalitas yang ditunjukkan oleh
etnis Rohingya,
namun hal tersebut tidak dapat direalisasikan. Faktor kegagalan
janji tersebut selain
dikarenakan terdesaknya Inggris, terdapat juga kematian Aung San
karena janji dari
Aung San kepada etnis minoritas di Myanmar jika dalam kurun
waktu 10 tahun
tidak mendapatkan keuntungan bergabung dengan Myanmar maka
diizinkan untuk
memiliki kedaulatan wilayah, hal tersebut secara khusus
dijanjikan sebagai janji
politiknya dan di perjanjian Panglong disebutkan bahwa
etnis-etnis di daerahnya
dapat memiliki otonominya sendiri.62
Faktor janji Aung San yang mengizinkan kemerdekaan setelah 10
tahun
bagi etnis minoritas yang merasa tidak mendapatkan keuntungan
dalam bergabung
dengan Myanmar dan Inggris yang memberikan janji-janji politik
untuk
mendapatkan simpati dari etnis-etnis minoritas di Myanmar
dikarenakan Inggris
terpojok dengan Aung San dan BNA, salah satu bentuk untuk
mendapatkan simpati
adalah dengan menjanjikan kemerdekaan dan memiliki wilayah
tersendiri bagi etnis
minoritas tidak terkecuali etnis Rohingya, tetapi janji Aung San
tidak dapat
terealisasikan karena dirinya yang dibunuh oleh U Saw yang
merupakan musuh
politiknya pada 19 Juli 1947.63
Perpecahan etnis di Myanmar menjadi konflik yang
berkepanjangan.
Diperbolehkannya etnis resmi untuk memiliki tentara sendiri
menjadi salah satu
62 Kyaw Yin Hlaing, Myanmar/Burma: Inside Challenges, Outside
Interest, [buku on-line]
(Washington DC: Brooking Institution Press, 2010), 43-44;
tersedia di 10.1355/cs34-2f; Internet; diunduh pada
3 Januari 2018. 63 Robert H. Taylor, Myanmar: State, Society,
and Ethnicity [buku on-line] (Singapura: ISEAS
Publishing, 2007), 78; tersedia di DOI: 10.1355/sj33-3o;
Internet; diunduh pada 11 Januari 2019.
http://dx.doi.org/10.1355/cs34-2f
-
36
faktor di samping ketidakpuasannya terhadap pemerintahan Myanmar
untuk
melakukan pemberontakan. Salah satunya adalah etnis Kachin yang
memiliki
tantara Kachin Independence Organisation (KIO) yang telah
melakukan
pemberontakan semenjak 1961 namun pada 1994 antara KIO dan
pemerintah
Myanmar telah menyepakati gencatan senjata sampai pada 2011
konflik kembali
terjadi dan terus berlanjut sampai saat ini.64
Selain etnis Kachin, juga terdapat konflik antara pemerintah
Myanmar
dengan etnis Karen. Etnis Karen melalui Karen National Union
(KNU)
menginginkan kemerdekaan dari Myanmar semenjak 1949. Namun,
pada
prosesnya antara KNU dan pemerintah Myanmar telah melakukan
gencatan senjata
pada 2012.65 Etnis Karen dan Kachin adalah contoh dari konflik
etnis di Myanmar,
meskipun kedua etnis tersebut merupakan etnis yang diakui secara
resmi oleh
pemerintah Myanmar, tidak seperti etnis Rohingya.
C. Awal Konflik Rohingya
Semenjak kemerdekaan Myanmar, telah terjadi pemberontakan di
Rakhine
yang dilakukan oleh para Mujahidin Rohingya. Hal ini dikarenakan
adanya
diskriminasi dan juga kurangnya perwakilan politik Muslim pada
1940 sampai
1950-an. Pemerintahan AFPFL di bawah U Nu pada akhirnya berhasil
melakukan
negosiasi dan gencatan senjata dengan para Mujahidin Rohingya
dengan cara
membuat Wilayah Perbatasan Mayu pada 1960 yang masih di dalam
negara bagian
64 Durand, Conflicts in Myanmar, 33. 65 Brenner, “Inside the
Karen Insurgency”, 93.
-
37
Rakhine, hal ini dianggap oleh etnis Rohingya sebagai salah satu
langkah untuk
mendapatkan status sebagai negara bagian dan meminimalisasi
diskriminasi.66
Namun, setelah terjadinya kudeta militer pada 1962 dan kekuasan
Myanmar
direbut oleh Jenderal Ne Win pada 1978 dilakukan Na-ga-min
Sit-sin-yae atau
Operasi Raja, yaitu operasi sensus penduduk yang berakhir dengan
kerusuhan.67
Hal ini akhirnya terjadinya bentrokan antara militer dan
Mujahidin Rohingya yang
menurut data Amnesti Internasional tahun 1991-1992 menyebabkan
pengungsi
sebanyak 250.000 dan di antaranya 30.000 orang mengungsi di
Bangladesh
menurut UNHCR.68
Keadaan etnis Rohingya di bawah kepemimpinan Junta Militer
semakin
memburuk. Pada 1982 Myanmar membentuk UU tentang kewarganegaraan
yang
mana pemerintah menyertakan 135 etnis yang resmi (taingyintha)
diakui di
Myanmar. Dalam 135 etnis tersebut, etnis Rohingya tidak ikut
serta di dalamnya
yang berakibat etnis Rohingya memiliki status stateless sehingga
diskriminasi
terhadap etnis Rohingya seperti dalam bidang ekonomi dan politik
memiliki legal
standing.69
Pertimbangan pemerintah dalam UU tersebut untuk mendapatkan
status
etnis yang diakui secara resmi adalah telah berada setidaknya
semenjak tahun 1824,
66 Singh, Tantangan Orang Rohingya Myanmar, 30. 67 Steinberg,
Burma/Myanmar, 22. 68 Fasha Nabila Yasyid, “Dampak Pengusiran Etnis
Rohingya oleh Myanmar Terhadap Keamanan
Bangladesh”, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Vol. 5, No.
4, TB:2017, L:1-14 [jurnal on-line]; tersedia
di https://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/?p=2486; Internet;
diunduh pada 11 April 2019. 69 Heru dan Aryanto, Rohingya: Suara
Etnis, 9.
https://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/?p=2486
-
38
ketika Inggris pertama kali menginjakkan kaki di Myanmar.70
Menurut sejarah,
etnis Rohingya telah menetap di Arakan sejak zaman kerajaan
Buddha, Mrauk U.
Kerajaan Mrauk U mendapatkan bantuan dari Sultan Bengal dan
membawa orang-
orang Bengali ke Arakan sehingga terhitung semenjak dibawanya
orang-orang
Bengali, etnis Rohingya telah menetap di Arakan.71
D. Konflik Rohingya 2012-2017
Pada 2012, konflik etnis di Rakhine kembali terjadi antara etnis
Rohingya
dan etnis Rakhine. Hal ini disebabkan adanya pemerkosaan dan
pembunuhan
terhadap perempuan dari etnis Rakhine yang disangka dilakukan
oleh laki-laki dari
etnis Rohingya. Atas kejadian ini akibatnya adalah meningkatnya
tensi dari kedua
etnis sehingga menimbulkan kekacauan.72
Kekacauan yang ditimbulkan karena tingginya tensi di antara dua
etnis ini
menimbulkan peperangan di antara dua belah pihak serta etnis
Rakhine
beranggapan perlunya untuk memberikan balasan kepada etnis
Rohingya atas
kejadian yang telah menimpa salah satu dari etnisnya. Dalam
kurun waktu dari Juni
70 Burmese Rohingya Organisation UK, “Myanmar’s 1982 Citizenship
Law and Rohingya”, A
Briefing, Desember 2014, tersedia di
https://burmacampaign.org.uk/media/Myanmar%E2%80%99s-1982-
Citizenship-Law-and-Rohingya.pdf; Internet; diunduh pada 8 April
2019. 71 Jacques Leider, Rohingya: “The History of a Muslim
Identity in Myanmar”, Jurnal Asian
History: L 1-35, Agustus 2019 [jurnal on-line] tersedia di
10.1093/acrefore/9780190277727.013.115; Internet; diunduh pada 9
April 2019.
72 Lisa Brooten dan Yola Verbruggen, “Producing the News:
Reporting on Myanmar’s Rohingya
Crisis”, Journal of Contemporary Asia, Vol. 47, No. 3, TB: 2017,
L: 106-125 [jurnal on-line]; tersedia di
DOI: 10.4324/9781315146263-6; Internet; diunduh pada 22 April
2019.
https://burmacampaign.org.uk/media/Myanmar%E2%80%99s-1982-Citizenship-Law-and-Rohingya.pdfhttps://burmacampaign.org.uk/media/Myanmar%E2%80%99s-1982-Citizenship-Law-and-Rohingya.pdf
-
39
2012 sampai Agustus 2013 tercatat 200 orang meninggal dan
140.000 harus
mengungsi.73
Dalam negara bagian Rakhine yang merupakan daerah termiskin
kedua di
Myanmar74, terdapat dua etnis besar yang memiliki agama yang
berbeda. Etnis
Rohingya merupakan etnis minoritas dengan populasi sekitar 30%
yang beragama
Islam sedangkan etnis Rakhine adalah etnis mayoritas dengan
populasi sekitar 60%
yang beragama Buddha. Oleh karena itu, konflik Rohingya tidak
hanya dikaitkan
dengan konflik etnis, melainkan juga konflik agama.75
Konflik etnis yang menjadi konflik agama terlihat setelah adanya
aktor-
aktor yang melakukan kekerasan dengan membawa nama agama dan
mengincar
rumah-rumah peribadahan. Hal ini dibuktikan dengan adanya
perusakan masjid-
masjid dan madrasah yang dilakukan oleh komunitas Buddha. Tensi
agama yang
semakin meningkat menyebabkan timbulnya sentimen anti-muslim di
Myanmar.76
Akibat dari hal di atas adalah penyerangan yang dilakukan oleh
etnis
Rakhine dengan menghadang bis yang berisi 10 penumpang Muslim.
Sekitar 300
orang dari etnis Rakhine membajak bis tersebut dan membunuh
seluruh Muslim
yang ada di dalam bis tersebut. Padahal, Muslim yang berada di
bis tersebut
73 Sandy Nur Ikfal Raharjo, “Peran Identitas Agama dalam Konflik
di Rakhine Myanmar tahun 2012-
2013”, Jurnal Kajian Wilayah, Vol.6, No.1, Juni: 2015, L:35-51;
tersedia di DOI: http://dx.doi.org/10.14203/jkw.v6i1.68; Internet;
diunduh pada 23 April 2019.
74 Wawancara dengan Ali Yusuf pada 11 Juli 2019 75 Brooten dan
Verbruggen, “Pruducing the News: Rohingya Crisis”, 446. 76 Singh,
Tantangan Orang Rohingya Myanmar, 1.
http://dx.doi.org/10.14203/jkw.v6i1.68
-
40
bukanlah berasal dari etnis Rohingya. Kejahatan ini dilakukan
dengan motif balas
dendam kepada Muslim, terlepas dari etnisnya.77
Peran agama semakin meningkat dalam konflik ini ketika pada 18
Oktober
2012 para biksu Arakan menggelar konferensi solidaritas dan
menyebut etnis
Rohingya dan pendukungnya sebagai pengkhianat bangsa. Selain
itu, pada 14 Juni
2013 digelar Konferensi Pemimpin Buddha di Yangon yang
mengusulkan
pelarangan pernikahan perempuan Buddha dengan laki-laki Muslim,
serta
diperlukannya izin dari pemerintah bagi Muslim yang ingin
berpindah agama
menjadi Buddha.78
Pada Juli 2013, status darurat dicabut oleh Presiden Thein Sein,
namun
konflik antara etnis Rakhine dan Rohingya tidak selesai. Pada 25
Agustus 2013,
kelompok Buddha melakukan perusakan di pemukiman Muslim dan
menjarah
toko-toko yang dimiliki oleh Muslim di Kanbalu, Sagaing. Konflik
ini telah mereda
namun tidak hilang karena meskipun intensitas kekerasan tidak
lagi tinggi, etnis
Rohingya tetap merasakan diskriminasi seper