Top Banner
ALASAN MYANMAR MENERIMA DIPLOMASI INDONESIA TERKAIT KONFLIK ROHINGYA PERIODE 2015-2017 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.SOS) Oleh: Achmad Zulfani 11151130000048 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2019 M
131

ALASAN MYANMAR MENERIMA DIPLOMASI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49439... · 2020. 1. 17. · ALASAN MYANMAR MENERIMA DIPLOMASI INDONESIA TERKAIT

Oct 21, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • ALASAN MYANMAR MENERIMA

    DIPLOMASI INDONESIA TERKAIT

    KONFLIK ROHINGYA PERIODE

    2015-2017

    Skripsi

    Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Sosial (S.SOS)

    Oleh:

    Achmad Zulfani

    11151130000048

    PROGRAM STUDI HUBUNGAN

    INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL

    DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM

    NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    1441 H/2019 M

  • I

  • II

  • III

    ABSTRAK

  • IV

    Skripsi ini menganalisis alasan dari sikap terbuka Myanmar

    kepada Indonesia dalam bentuk penerimaan diplomasi Indonesia

    terkait konflik Rohingya periode 2015-2017. Terkait dengan konflik

    Rohingya yang mengalami eskalasi pada 2015 Myanmar bersikap

    cenderung tertutup kepada dunia dengan cara salah satunya menolak

    bantuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal tersebut

    didasari oleh respons dunia internasional seperti PBB dan Malaysia

    yang merespons dengan menggunakan megaphone diplomacy dan

    pandangan Myanmar bahwa konflik Rohingya merupakan konflik

    internal sehingga tidak ada negara yang berhak untuk mencampuri

    urusan internal Myanmar. Indonesia juga merespons konflik

    Rohingya dengan menggunakan diplomasi yang inklusif dan

    konstruktif, yaitu non-megaphone dan diplomasi publik yang intensif

    pada 2015-2017 dan menjadi negara yang diizinkan oleh Myanmar

    untuk ikut membantu konflik Rohingya. Skripsi ini menggunakan

    metode kualitatif dan deskriptif serta teknik pengumpulan data

    dilakukan melalui studi pustaka beserta wawancara dengan pihak-

    pihak terkait. Untuk menganalisis, skripsi ini menggunakan kerangka

    teoritis konstruktivisme dan konsep diplomasi publik, kedua hal

    tersebut berkaitan untuk menjelaskan alasan Myanmar menerima

    diplomasi Indonesia terkait konflik Rohingya periode 2015-2017.

    Berdasarkan hasil analisis dari teori konstruktivisme dan konsep

    diplomasi dapat disimpulkan alasan Myanmar menerima diplomasi

    Indonesia. Pertama, faktor diplomasi Indonesia, yaitu menggunakan

    non-megaphone diplomacy dan diplomasi publik yang menimbulkan

    kepercayaan Myanmar terhadap Indonesia. Kedua, faktor identitas

    Myanmar yang sedang membangun identitas sebagai negara

    demokrasi dan Indonesia merupakan salah satu sahabat yang

    membantu demokratisasi Myanmar. Ketiga, adalah faktor keamanan

    dan kedaulatan Myanmar yang sedang bergejolak, tidak hanya

    persoalan Konflik Rohingya, tetapi juga dengan kelompok-kelompok

    etnis di Myanmar.

    Kata kunci: Konflik Rohingya, Indonesia, non-megaphone

    diplomacy, megaphone diplomacy, konstruktivisme, diplomasi

    publik.

  • V

    KATA PENGANTAR

    Assalamu’alaikum Wr. Wb.

    Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

    Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

    menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa juga menuturkan sholawat kepada Nabi

    Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat yang telah membawa umat manusia

    kepada zaman yang terang benderang.

    Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian skripsi ini terdapat pihak-

    pihak yang telah membantu penulis karena telah memberikan dukungan kepada

    penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin

    mengucapkan terima kasih kepada:

    1. Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karena kehendak-Nya

    penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

    2. Keluarga penulis, Ayahanda (alm.) Abu Bakar Azhari, Ibunda Masripah,

    Kak Atiyyah, Bang Ali Pasya, Ka Riri Arisyia, Bang Faiz Fadhilah, Adinda

    Dini Hanifa, Ka Dio, Ka Yeti, dan Bang Luthfi.

    3. Dosen pembimbing penulis, Bapak Dr. Badrus Sholeh, MA yang telah

    meluangkan waktu dan membimbing penulis dengan sabar beserta

    memberikan saran-saran dalam proses penyelesaian skripsi.

    4. Segenap jajaran staff dan dosen program studi Ilmu Hubungan Internasional

    UIN Jakarta yang telah memberikan ilmu kepada penulis.

  • VI

    5. Bapak Ali Yusuf dan Ibu Dewi Lestari atas kebesaran hatinya yang telah

    bersedia menjadi narasumber penulis guna mencari data terkait sehingga

    dapat menyelesaikan skripsi ini.

    6. Sahabat-sahabat penulis yang telah memberikan dukungan kepada penulis

    sampai menyelesaikan masa studi, yaitu kepada Helma Liyani, Adinda Nur

    Layla, Vivien Sevira, Ismi Azizah, Ruella Salsabila, Syahnaz Risfa, Farah

    Azizah, Ka Zahra Yusuf, Aulia Effriyanti, Halida Maulidia, Muthia Aljufri,

    Nurul Fazriah Ramadhan, Nabil Rahdiga, Gebryan Dwivandrio, Mas Bimo

    Arfino, Fahmi Fahrizal, Chivalry A. Moraza, Fadhly Nurman, Randy, Panji

    Setia, Fadli Husnurrahman, Fathi Rizki, Anugerah Madjid Harahap,

    Andhito Susanto, Farid Ramadhan, Akmal Sofiyandi, Ridwan Dicky,

    Farhan Fawwaz, Adib Fardhan, Zulfikar Fadel, Utomo WP, Ario Budi,

    Trian Febriansyah, Nurfadhilah Arini, Tiwi, dan Neng Sindy.

    7. Keluarga besar Revolutioner Class, EED dan Pejantan Sehat sebagai kelas

    Hubungan Internasional.

    8. Keluarga besar HMI KOMFISIP yang telah memberikan penulis ilmu dan

    pengalaman yang sangat berharga di luar kelas.

    9. Keluarga besar KKN 32 Kebanggaan dan HIMAHI UIN Jakarta periode

    2015 beserta seluruh kawan perjuangan HI UIN Jakarta angkatan 2015.

    Penulis berharap segala dukungan dan doa yang telah diberikan kepada penulis

    diberikan imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa

    penulisan skripsi ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran akan

    sangat membantu penulis untuk menjadi bahan perbaikan penulisan skripsi ini.

  • VII

    Harapan penulis adalah semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada

    pembaca dan sumbangsih terhadap studi Ilmu Hubungan Internasional.

    Jakarta, 8 Agustus 2019

    Achmad Zulfani

  • VIII

    DAFTAR ISI

    PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME.......................................................................

    ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.

    PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI...................................................................

    ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.

    PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI............................................................................. II

    ABSTRAK........................................................................................................................ III

    KATA PENGANTAR....................................................................................................... V

    DAFTAR ISI................................................................................................................. VIII

    DAFTAR GAMBAR......................................................................................................... X

    DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................................... XI

    DAFTAR SINGKATAN................................................................................................ XII

    BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1 A. Pernyataan Masalah................................................................................................ 1

    B. Pertanyaan Penelitian ............................................................................................. 9

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................... 9

    D. Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 10

    E. Kerangka Teori .................................................................................................... 15

    1. Konstruktivisme………………………………………………………………. 15

    2. Konsep Diplomasi Publik…………………………………………………….. 21

    F. Metode Penelitian................................................................................................. 24

    G. Sistematika Penulisan ........................................................................................... 26

    BAB II MYANMAR DAN DINAMIKA KAWASAN TERKAIT KONFLIK

    ROHINGYA..................................................................................................................... 29

    A. Profil Myanmar .................................................................................................... 30

    B. Kolonialisme dan Dampaknya terhadap Perpecahan Etnis di Myanmar............... 31

    C. Awal Konflik Rohingya ....................................................................................... 36

    D. Konflik Rohingya 2012-2017 ............................................................................... 38

    E. Hubungan Bilateral dan Regional dengan Myanmar terkait Konflik Rohingya.... 43

    1. Hubungan Bilateral Myanmar dan Bangladesh…………………………………. 44

    2. Hubungan Myanmar dengan ASEAN………………………………………….. 46

    BAB III HUBUNGAN INDONESIA DAN MYANMAR TERKAIT KONFLIK

    ROHINGYA..................................................................................................................... 50 A. Sejarah Hubungan Diplomatik Indonesia dan Myanmar ...................................... 50

    B. Hubungan Indonesia dan Myanmar dalam Aspek Ekonomi, Sosial dan Politik ... 51

  • IX

    1. Hubungan Ekonomi dan Sosial Indonesia dan Myanmar……………………….. 51

    2. Hubungan Politik Indonesia dan Myanmar………………………………………54

    C. Hubungan Myanmar dan Indonesia terkait Konflik Rohingya ............................. 58

    BAB IV ALASAN MYANMAR MENERIMA DIPLOMASI INDONESIA

    TERKAIT KONFLIK ROHINGYA PERIODE 2015-2017.........................................66 A. Diplomasi Publik .................................................................................................. 67

    B. Ideational Structure Myanmar terkait Penerimaan Diplomasi Indonesia ............. 73

    C. Material Structure Myanmar terkait Penerimaan Diplomasi Indonesia................ 81

    BAB V PENUTUP............................................................................................................ 86 A. KESIMPULAN .................................................................................................... 86

    B. Saran .................................................................................................................... 90

    DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... XCI Buku ......................................................................................................................... xci

    Berita .................................................................................................................... xcviii

    Basis Data Online .................................................................................................... cvii

    LAMPIRAN-LAMPIRAN........................................................................................ CVIII

  • X

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar III.1 Peta Persebaran Pengungsi Rohingya ……………………. 58

  • XI

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran I: Wawancara dengan Ali Yusuf ................................................ CVIII

    Lampiran II: Wawancara dengan Dewi Lestari ............................................ CXII

  • XII

    DAFTAR SINGKATAN

    AKIM Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar

    AFPFL Anti-Facist People Freedom League

    AS Amerika Serikat

    ASEAN Association of South East Asia Nation

    AIPA ASEAN Inter-Parliamentary Assembly

    AICHR ASEAN Intergovermental Commision on Human Rights

    ARSA Arakan Rohingya Salvation Army

    BUMN Badan Usaha Milik Negara

    BDF Bali Democracy Forum

    BIA Burma Independence Army

    BNA Burma National Army

    DK Dewan Keamanan

    HAM Hak Asasi Manusia

    HI Hubungan Internasional

    KADIN Kamar Dagang dan Industri

    KEMLU Kementerian Luar Negeri

    KBRI Kedutaan Besar Republik Indonesia

    KIO Kachin Independence Organisation

    KNU Karen National Union

    KTT Konferensi Tingkat Tinggi

    KTM Konferensi Tingkat Menteri

  • XIII

    SOLIDER Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Solidaritas

    Rohingya

    LCS Laut China Selatan

    LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

    Menlu Menteri Luar Negeri

    NUP National Unity Party

    NLD National League for Democracy

    OBOR One Belt One Road

    Ormas Organisasi Masyarakat

    OKI Organisasi Kerja sama Islam

    OI Organisasi Internasional

    PM Perdana Menteri

    PMI Palang Merah Indonesia

    PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

    Pemilu Pemilihan Umum

    SDA Sumber Daya Alam

    SBY Susilo Bambang Yudhoyono

    AHA Centre The ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian

    Assistance on Disaster Management

    TPF Tim Independen Pencari Fakta

    UU Undang-undang

    UNHCR United Nations High Comission of Refugees

    USDP Union Solidarity and Development Party

  • XIV

    YMCA Young Men’s Christian Association

    YMBA Young Men’s Buddhist Association

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Pernyataan Masalah

    Myanmar merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang majemuk,

    hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya etnis yang tinggal di Myanmar, bahkan

    “Burma” yang sebelumnya merupakan nama negara sebelum Myanmar diambil

    dari salah satu etnis mayoritas di sana. Tercatat Myanmar memiliki hampir 135

    etnis yang tercatat oleh undang-undang (UU) yang berisi tentang etnis yang diakui

    oleh pemerintah, di antara lain adalah: Burmanese, Kachin, Karen, Karenni, Chin,

    Mon, Arakan, Shan, dan sebagainya.1

    Dari etnis-etnis yang berada di Myanmar, terdapat etnis Rohingya yang

    merupakan etnis yang berbeda dari kebanyakan etnis di Myanmar dikarenakan etnis

    Rohingya beragama Islam, penampilan fisik cenderung mirip dengan penduduk

    Asia Selatan sedangkan etnis lain di Myanmar beragama Buddha. Selama ini

    pemerintah Myanmar menganggap etnis Rohingya sebagai warga ilegal yang

    bertempat tinggal di Arakan (sekarang Rakhine). Hal tersebut sesuai dengan UU

    kewarganegaraan 1982 di Myanmar, di dalam UU tersebut disebutkan bahwa etnis

    yang diakui oleh negara adalah etnis yang telah lama berada di Myanmar sebelum

    pendudukan kolonial Inggris pada 1824 dan etnis Burmese Chinese, Panthay,

    Burmese Indians, Anglo-Burmese, Gurkha, dan Rohingya tidak diakui.2

    1 Susetyo Heru dan Heri Aryanto, Rohingya:Suara Etnis yang Tak Boleh Bersuara, (Indonesia: Pusat

    Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2013), 9. 2 Heru dan Aryanto, Rohingya: Suara Etnis, 9.

  • 2

    Konflik Rohingya bersifat multidimensi yang dimulai sejak awal

    kemerdekaan Myanmar dan berlanjut pada 1978 di masa Junta Militer Myanmar,

    akibatnya 200.000 orang mengungsi ke perbatasan Bangladesh. Hal tersebut juga

    berlanjut pada 1991 dan menyebabkan 250.000 etnis Rohingya mengungsi ke

    Bangladesh.3 Intimidasi dan diskriminasi tidak hanya berasal dari pemerintah

    Myanmar, namun juga dari kelompok anti Islam dari kalangan masyarakat Budha

    ekstremis. Etnis Rohingya sebagai etnis yang berbeda, beragama Islam, dan tidak

    diakui kerap mengalami diskriminasi, dan mengalami kekerasan. Oleh karena itu,

    etnis Rohingya mendapatkan predikat dari PBB sebagai the most persecuted

    minority dan mendapatkan label sebagai the Gypsies of Asia.4

    Konflik Rohingya kembali mencuat pada 2012 dan 2015 ketika etnis

    Rohingya mulai pergi dari Myanmar karena diskriminasi yang terjadi di Myanmar.

    Khususnya pada Maret 2015, Myanmar mencabut kartu identitas penduduk yang

    disebut “kartu putih” bagi orang yang tinggal di Myanmar, namun tanpa

    mendapatkan status sebagai warga negara Myanmar atau warga negara asing, hal

    ini yang membuat etnis Rohingya melarikan diri dari Myanmar.5

    Eskalasi konflik terjadi pada 2016 ketika Arakan Rohingya Salvation Army

    (ARSA) menyerang pos polisi dan menewaskan 9 orang. Sejak itu tentara Myanmar

    3 Human Rights Watch, All You Can Do is Pray: Crimes Against Humanity and Ethnic Cleansing of

    Rohingya Muslims in Burma’s Arakan State [buku on-line] (AS: HRW, 2013), 14; tersedia di

    https://www.hrw.org/report/2013/04/22/all-you-can-do-pray/crimes-against-humanity-and-ethnic-cleansing-

    rohingya-muslims;Intenert; diunduh pada 28 Oktober 2018. 4 Bilveer Singh, Tantangan Orang Rohingya Myanmar, (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press,

    2014), 12. 5 Simela Victor Muhamad, “Masalah Pengungsi Rohingya, Indonesia, dan ASEAN”, Mei 2015

    [laporan on-line], tersedia di http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VII-10-II-P3DI-

    Mei-2015-7.pdf; Internet; diakses pada 28 Oktober 2018.

    https://www.hrw.org/report/2013/04/22/all-you-can-do-pray/crimes-against-humanity-and-ethnic-cleansing-rohingya-muslims;Intenerthttps://www.hrw.org/report/2013/04/22/all-you-can-do-pray/crimes-against-humanity-and-ethnic-cleansing-rohingya-muslims;Intenerthttp://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VII-10-II-P3DI-Mei-2015-7.pdfhttp://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VII-10-II-P3DI-Mei-2015-7.pdf

  • 3

    melakukan tindakan represif terhadap “teroris Rohingya”. Semenjak itu, terjadi

    bentrokan antara militer Myanmar dengan etnis Rohingya hingga menimbulkan

    korban jiwa. Pemerintah Myanmar melaporkan bahwa korban dari bentrokan

    militer dan etnis Rohingya di Maungdaw, Rakhine telah mencapai 86 orang terdiri

    dari 17 tentara dan 69 etnis Rohingya. Namun menurut kelompok Rohingya sendiri,

    bentrokan itu sudah menelan lebih dari 400 nyawa.6

    Banyaknya korban jiwa yang tercatat oleh TPF PBB mencapai 10.000 dan

    pengungsi yang mencapai 1 juta orang yang di antaranya 741.014 etnis Rohingya

    melarikan diri ke Bangladesh7 Hal tersebut membuat konflik Rohingya menjadi

    perhatian dunia yang ditandai dengan berbagai respons dari aktor internasional

    yang meliputi negara dan organisasi internasional seperti Malaysia dan PBB.

    Malaysia dan PBB menggunakan megaphone diplomacy atau diplomasi pengeras

    suara terkait konflik Rohingya.

    Megaphone diplomacy Megaphone diplomacy merupakan cara berdialog

    dan juga mengirimkan pesan melalui media kepada pihak yang terkait dengan

    konflik. Hal ini dilakukan karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk

    membentuk negosiasi atau pun dialog secara formal.8 Menurut Sir Ivor Roberts,

    megaphone diplomacy tidak hanya berbicara di media saja, tetapi lebih spesifik

    6 Riva Dessthania Suastha, “Dubes Myanmar: Konflik Militer dan Rohingya Mereda” 1 Desember

    2016 [berita on-line] tersedia di https://www.cnnindonesia.com/internasional/20161201142739-106-

    176613/dubes-myanmar-konflik-militer-dan-rohingya-sudah-mereda; Internet; diakses pada 28 Oktober 2018. 7 UNHCR, “Refugee Response in Bangladesh”, 25 Agustus 2017 [berita on-line], tersedia di

    https://data2.unhcr.org/en/situations/myanmar_refugees#category-4; Internet; diakses pada 10 April 2019. 8 Kirsten Sparre, “Megaphone Diplomacy in the Northern Peace Process: Squaring the Circle by

    Talking to Terrorists through Journalists”, Jurnal Press/Politics, Vol.6, No.1, Januari:2001, L: 88-104;

    tersedia di https://doi.org/10.1177/1081180X01006001006; Internet; diunduh pada 10 Juli 2019.

    https://www.cnnindonesia.com/internasional/20161201142739-106-176613/dubes-myanmar-konflik-militer-dan-rohingya-sudah-meredahttps://www.cnnindonesia.com/internasional/20161201142739-106-176613/dubes-myanmar-konflik-militer-dan-rohingya-sudah-meredahttps://data2.unhcr.org/en/situations/myanmar_refugees#category-4https://doi.org/10.1177/1081180X01006001006

  • 4

    merupakan hal yang berasal dari politik domestik dan juga syarat akan kepentingan

    politik domestiknya dengan berkata-kata yang tegas dan cenderung kasar.9

    Megaphone diplomacy dilakukan oleh Perdana Menteri (PM) Najib Razak

    pada 4 Desember 2016 ketika mengikuti demonstrasi terkait konflik Rohingya dan

    mengatakan: “We want to tell Aung San Suu Kyi, enough is enough. We must and

    we will defend Muslims and Islam and UN please do something. The world cannot

    sit by and watch genocide taking place”10. Merespons pernyataan dari PM Najib

    Razak, Myanmar menyatakan keberatannya dalam pertemuan resmi dengan Duta

    Besar Malaysia untuk Myanmar dan mengeluarkan kebijakan pemberhentian

    pengiriman tenaga kerja ke Malaysia.11

    Di sisi lain, PBB melalui laporan yang telah dikeluarkan Tim Pencari Fakta

    (TPF) PBB pada September 2018 mengatakan bahwa jumlah korban tewas

    mencapai 10.000 dan terdapat indikasi genosida yang dilakukan oleh militer

    Myanmar.12 PBB dan Malaysia pada dasarnya melakukan megaphone diplomacy

    karena menyatakan tuduhan-tuduhan kepada Myanmar melalui media.

    9 Sir Ivor Roberts KCMG, “The Development of Modern Diplomacy”, [laporan on-line]; tersedia di

    https://www.files.ethz.ch/isn/109227/15066_231009roberts.pdf; Internet; diakses pada 29 September 2019. 10 Associated Press, “PM Najib leads Malaysian protest against ‘genocide’ of Rohingya Muslims in

    Myanmar” 4 Desember 2016 [berita on-line] tersedia di https://www.scmp.com/news/asia/southeast-asia/article/2051572/pm-najib-leads-malaysian-protest-against-genocide-rohingya; Internet; diakses pada 22

    Agustus 2019. 11 Ye Mon, “Govt cuts flow of migrant workers to Malaysia amid diplomatic spat”, 7 Desember 2016

    [berita on-line] tersedia di https://www.mmtimes.com/national-news/24084-govt-cuts-flow-of-migrant-workers-to-malaysia-amid-diplomatic-spat.html; Internet; diakses pada 22 Agustus 2019.

    12 OHCHR, “Statement by Mr. Marzuki Darusman”, 18 September 2018, tersedia di

    https://www.ohchr.org/EN/HRBodies/HRC/Pages/NewsDetail.aspx?NewsID=23580&LangID=E; Internet;

    diakses pada 10 April 2019.

    https://www.files.ethz.ch/isn/109227/15066_231009roberts.pdfhttps://www.scmp.com/news/asia/southeast-asia/article/2051572/pm-najib-leads-malaysian-protest-against-genocide-rohingyahttps://www.scmp.com/news/asia/southeast-asia/article/2051572/pm-najib-leads-malaysian-protest-against-genocide-rohingyahttps://www.mmtimes.com/national-news/24084-govt-cuts-flow-of-migrant-workers-to-malaysia-amid-diplomatic-spat.htmlhttps://www.mmtimes.com/national-news/24084-govt-cuts-flow-of-migrant-workers-to-malaysia-amid-diplomatic-spat.htmlhttps://www.ohchr.org/EN/HRBodies/HRC/Pages/NewsDetail.aspx?NewsID=23580&LangID=E

  • 5

    Terkait konflik Rohingya, Myanmar bersikap tertutup, hal tersebut

    tergambar dari tindakan Myanmar yang menutup akses kemanusiaan ke Rakhine,

    tidak memberikan izin TPF PBB untuk masuk ke Rakhine dan mencoba membuat

    konflik Rohingya sebagai konflik internal Myanmar sekaligus merespons

    megaphone diplomacy dari PBB seperti yang dikatakan oleh Jenderal Min Aung

    Hlaing “UN had no right to interfere in and make decisions over the sovereignty of

    a country and talks to meddle in internal affairs [cause] misunderstanding”.13

    Sikap tertutup Myanmar seperti menolak bantuan dan menutup akses ke

    Rakhine tidak dialami oleh Indonesia. Indonesia di bawah pemerintahan Presiden

    Joko Widodo mengambil peran dalam upayanya meredam konflik di Rakhine.

    Peran Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi dapat dilihat pada 20 Mei 2015 di

    Kuala Lumpur, Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia, Malaysia, dan Thailand

    mengadakan pertemuan untuk membahas solusi bersama dalam menyelesaikan

    konflik Rohingya. Pertemuan ini akhirnya menghasilkan kesepakatan langkah-

    langkah yang diambil berupa fokus kepada membantu pengungsi, merekatkan kerja

    sama patroli laut, dan meningkatkan kerja sama dan koordinasi dengan United

    Nations High Comission of Refugees (UNHCR).14

    Indonesia merespons dengan menggunakan strategi non-megaphone

    diplomacy, yaitu merupakan diplomasi yang inklusif dengan mengedepankan

    13Thompson Chau, “Senior General Min Aung Hlaing slams UN Report”, 25 September

    2018 [berita on-line] tersedia di https://www.mmtimes.com/news/senior-general-min-aung-hlaing-slams-un-report.html; Internet; diakses pada 23 Agustus 2019.

    14KEMLU, “Masyarakat ASEAN: Aman dan Stabil, Keniscayaan bagi ASEAN”, 8 Juni 2015

    [laporan on-line] tersedia di https://www.kemlu.go.id/Majalah/ASEAN%20Edisi8-All.pdf; Internet; diunduh

    pada 9 November 2018.

    https://www.mmtimes.com/news/senior-general-min-aung-hlaing-slams-un-report.htmlhttps://www.mmtimes.com/news/senior-general-min-aung-hlaing-slams-un-report.html

  • 6

    pendekatan konstruktif serta berusaha menjadi teman bagi Myanmar yang terus-

    menerus ditekan oleh banyak pihak.15 Diplomasi inklusif dan konstruktif Indonesia

    juga dilakukan melalui diplomasi publik yang merupakan proses komunikasi yang

    ditujukan kepada pemerintahan negara yang dituju dan juga masyarakatnya yang

    bertujuan untuk memberikan pemahaman atas negara, sikap, budaya, kepentingan

    nasional, beserta kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negaranya.16 Ada pun

    tujuan yang dimiliki oleh diplomasi publik adalah meningkatkan mutu komunikasi

    antar negara dan masyarakat serta salah satu cara untuk mendapatkan kepentingan

    nasional suatu negara dengan mempengaruhi masyarakat asing melalui informasi-

    informasi yang tersedia.17

    Peran Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Terdapat

    dorongan dari masyarakat Indonesia yang merasa khawatir dan menunjukkan

    solidaritasnya terhadap etnis Rohingya melalui Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia

    untuk Solidaritas Rohingya (SOLIDER). Mereka menggelar demo pada 24

    November 2016 menuntut Presiden Joko Widodo untuk melakukan serangkaian

    kegiatan yang bisa meredam konflik di Rakhine. Selain itu, tuntutan juga datang

    dari salah satu Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam besar di Indonesia,

    Muhammadiyah. Muhammadiyah menuntut PBB, OKI, Indonesia, dan Myanmar

    15 Chidzoie Felix, dkk. “Nigeria’s Megaphone Diplomacy and South Africa’s Quiet Diplomacy: A

    Tale of Two Eras”, Covenant University, Jornal of Politics and Internasional Affairs (CUJPIA), Vol.1, No.2,

    TB:2013, L:235-255 [jurnal on-line]; tersedia di http://eprints.covenantuniversity.edu.ng/3827/#.XUfTyOgza00; Internet; diunduh pada 9 November 2018.

    16 Rachmawati, “Pendekatan Konstruktivis”, 116 17 Mohammad Shoelhi, Diplomasi Praktik Komunikasi Internasional, (Bandung:Simbiosa

    Rekatama Media,2011), 157.

    http://eprints.covenantuniversity.edu.ng/3827/#.XUfTyOgza00

  • 7

    untuk segera menghentikan konflik di Rakhine dan menghentikan penyiksaan serta

    penderitaan bagi Muslim Rohingya.18

    Selain adanya faktor internal Indonesia, terdapat juga adanya faktor

    eksternal yang membuat Indonesia melakukan upaya terus menerus untuk meredam

    konflik Rohingya. Faktor eksternal tersebut antara lain merupakan kegagalan

    ASEAN dalam menghasilkan konsensus terkait konflik Rohingya dikarenakan

    adanya prinsip non-intervensi yang dianut. Hal ini terlihat dalam forum ASEAN

    Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) ke-39 ketika delegasi Myanmar menolak

    untuk membahas konflik Rohingya dengan alasan isu tersebut merupakan isu

    domestik yang tidak bisa dicampuri negara lain.19

    Peran Indonesia dalam konflik Rohingya telah diakui oleh dunia, setidaknya

    oleh Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Gutteres yang

    dipaparkannya pada pertemuan Dewan Keamanan (DK) PBB yang telah memuji

    karena Indonesia berhasil membujuk Myanmar membuka jalur bantuan

    kemanusiaan.20 Hal ini menunjukkan sikap Myanmar kepada Indonesia berbeda,

    Indonesia dipercaya menjadi satu-satunya negara ASEAN yang diizinkan untuk

    memasuki Rakhine guna melihat langsung kondisi di Rakhine, diterimanya bantuan

    18 Oki Budhi, “Unjuk Rasa Solidaritas Rohingya di Bandung dan Jakarta”, 26 November 2016 [berita

    on-line] tersedia di https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38088925; Internet; diakses pada 9 November

    2018. 19Rachmat Hidayat, “Myanmar Tolak Resolusi Rohingya”, 6 September 2018 [berita on-line] tersedia

    di http://www.tribunnews.com/internasional/2018/09/06/fadli-zon-myanmar-tolar-reslousi-rohingya-indonesia-dukung-cabut-resolusi-politi-aipa; Internet; diakses pada 9 November 2018.

    20 Edigius Patnisik, “Sekjen PBB Puji Peran Penting Indonesia di Myanmar”, 30 September 2017

    [berita on-line] tersedia di https://internasional.kompas.com/read/2017/09/30/10345051/sekjen-pbb-puji-

    peran-penting-indonesia-di-myamar; Internet; diakses pada 13 Oktober 2018.

    https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38088925http://www.tribunnews.com/internasional/2018/09/06/fadli-zon-myanmar-tolar-reslousi-rohingya-indonesia-dukung-cabut-resolusi-politi-aipahttp://www.tribunnews.com/internasional/2018/09/06/fadli-zon-myanmar-tolar-reslousi-rohingya-indonesia-dukung-cabut-resolusi-politi-aipahttps://internasional.kompas.com/read/2017/09/30/10345051/sekjen-pbb-puji-peran-penting-indonesia-di-myamarhttps://internasional.kompas.com/read/2017/09/30/10345051/sekjen-pbb-puji-peran-penting-indonesia-di-myamar

  • 8

    dari Indonesia serta pertemuan dengan Aung San Suu Kyi.21 Selain itu, Menlu

    Indonesia juga memberikan formula 4+1 yang diterima baik oleh Aung San Suu

    Kyi pada 2017 serta membentuk Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar

    (AKIM).22

    Jika dilihat kembali bagaimana sikap Myanmar yang tertutup terkait konflik

    Rohingya, seharusnya Myanmar tidak menerima diplomasi Indonesia. Namun,

    Myanmar bersikap sebaliknya kepada Indonesia dengan menerima diplomasi.

    Penerimaan diplomasi Indonesia tersebut terdiri dari beberapa indikator, yaitu

    terjadinya dialog formal antara Myanmar dan Indonesia, penerimaan bantuan

    kemanusiaan oleh Myanmar dari Indonesia, dan Myanmar menerima baik saran-

    saran yang diberikan oleh Indonesia meskipun belum dapat mengimplementasikan

    seluruhnya. Berangkat dari pemikiran tersebut maka peneliti berasumsi bahwa

    Myanmar memiliki alasan terkait penerimaan diplomasi Indonesia pada periode

    2015-2017 yang merupakan periode yang menjadi fokus penelitian ini dikarenakan

    intensitas dari konflik Rohingya mulai meningkat kembali, selain itu pada periode

    tersebut merupakan periode intensif diplomasi Indonesia dan Myanmar. Oleh

    karena itu peneliti ingin melihat alasan-alasan yang menjadi pertimbangan bagi

    Myanmar untuk menerima diplomasi Indonesia periode 2015-2017.

    21 KEMLU, “Bantuan Kemanusiaan Indonesia untuk Rohingya/Rakhine State”, 29 Desember 2016

    [berita on-line] tersedia di https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/bantuan-kemanusiaan-indonesia-untuk-

    rohingya.aspx; Internet; diakses pada 10 Oktober 2018. 22 KEMLU, ”Menlu RI Serahkan Usulan Formula 4+1 untuk Rakhine State kepada State Counsellor

    Myanmar”, 4 September 2017 [berita on-line] tersedia di https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Menlu-RI-

    Serahkan-usulan-Formula-41-untuk-Rakhine-State-kepada-State-Counsellor-Myanmar.aspx; Internet; diakses

    pada 4 Desember 2018.

    https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/bantuan-kemanusiaan-indonesia-untuk-rohingya.aspxhttps://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/bantuan-kemanusiaan-indonesia-untuk-rohingya.aspxhttps://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Menlu-RI-Serahkan-usulan-Formula-41-untuk-Rakhine-State-kepada-State-Counsellor-Myanmar.aspxhttps://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Menlu-RI-Serahkan-usulan-Formula-41-untuk-Rakhine-State-kepada-State-Counsellor-Myanmar.aspx

  • 9

    B. Pertanyaan Penelitian

    Berdasarkan pernyataan masalah yang telah dijelaskan serta agar tidak

    terlalu luas dari permasalahan yang dikaji, maka penelitian ini akan menjawab

    pertanyaan penelitian berupa Mengapa Myanmar Menerima Diplomasi Indonesia

    terkait Konflik Rohingya Periode 2015-2017?

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi berjudul Alasan

    Myanmar Menerima Diplomasi Indonesia terkait Konflik Rohingya Periode

    2015-2017 adalah:

    1. Menganalisis alasan Myanmar menerima diplomasi Indonesia terkait

    konflik Rohingya periode 2015-2017.

    2. Mengaplikasikan teori serta konsep dalam studi ilmu Hubungan

    Internasional sebagai alat analisis terhadap pertanyaan penelitian di skripsi

    ini.

    Kemudian, hasil penelitian ini diharapkan akan membawa manfaat berupa:

    1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam

    perkembangan studi ilmu Hubungan Internasional, khususnya terkait

    konflik di Rohingya.

    2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan analisis terkait konflik di

    Rohingya, khususnya terkait kepentingan nasional Myanmar menerima

    diplomasi Indonesia terkait konflik Rohingya periode 2015-2017.

  • 10

    3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi yang komprehensif bagi

    penelitian yang relevan.

    D. Tinjauan Pustaka

    Dalam tinjauan pustaka yang pertama, Penulis akan mengulas skripsi yang

    ditulis oleh Andry Febriansyah yang berjudul “Kebijakan Thailand Terhadap

    Pengungsi Rohingya Periode 2013-2015” yang diperuntukkan sebagai tugas akhir

    untuk mendapat gelar sarjana di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

    Jakarta yang dipublikasikan pada 2017. Skripsi yang dibahas oleh Febriansyah

    menggambarkan secara garis besar kebijakan Thailand terhadap pengungsi

    Rohingya dari 2013 sampai 2015.

    Konflik Rohingya merupakan konflik yang berkelanjutan, terutama

    mencuat semenjak 2012. Dalam skripsi tersebut dijelaskan dinamika yang terjadi

    ketika terjadinya konflik Rohingya dan tibanya pengungsi Rohingya di Thailand.

    Febriyansyah menggunakan teori kebijakan luar negeri dalam menganalisis

    kebijakan luar negeri Thailand dalam menghadapi pengungsi Rohingya.

    Dalam skripsinya, Febriyansyah berfokus kepada kebijakan luar negeri

    Thailand dalam menghadapi pengungsi yang berasal dari Rohingya. Kebijakan

    tersebut mengarah kepada bantuan-bantuan terhadap pengungsi etnis Rohingya

    serta mekanisme dalam penanganan pengungsi. Oleh karena itu, Penulis

    berpendapat skripsi ini relevan topik penelitian yang akan dikaji, namun masih

    banyak yang dapat dikembangkan kembali terkait krisis konflik Rohingya dari

    berbagai aspek yang tidak hanya mengenai pengungsi saja melainkan juga strategi-

  • 11

    strategi yang digunakan negara-negara dalam membantu penyelesaian konflik di

    Rohingya.

    Selanjutnya adalah tinjauan pustaka yang ditulis oleh F.A Arya Ardani

    dengan jurnal yang berjudul “Kebijakan Indonesia dalam Membantu

    Penyelesaian Konflik Antara Etnis Rohingya dan Etnis Rakhine di Myanmar

    (Studi Karakter Kepribadian Susilo Bambang Yudhoyono)”. Dalam jurnal

    tersebut dijelaskan bahwa konflik Rohingya merupakan konflik yang berimbas

    kepada Indonesia. Jurnal tersebut berfokus kepada kebijakan luar negeri Indonesia

    dalam meredakan konflik antara etnis Rohigya dan Rakhine pada era Susilo

    Bambang Yudhoyono (SBY). Terlebih lagi, jurnal tersebut menekankan kepada

    karakter idiosinkratik SBY dalam pengaruhnya di dalam kebijakan luar negeri

    Indonesia terkait perannya dalam penyelesaian konflik di Rakhine.

    Dalam jurnal tersebut, pembahasan ditekankan kepada faktor idiosinkratik

    SBY, menurut Ardani, SBY merupakan pemimpin yang sering menggunakan

    istilah-istilah yang sulit dimengerti, namun sisi positifnya adalah SBY mampu

    membuat alternatif kebijakan. SBY merupakan pemimpin yang bersifat halus dan

    mengedepankan soft power dalam kebijakannya. Terdapat adagium yang terkenal

    dari SBY yaitu thousand friend zero enemy yang menjadi arah kebijakan luar negeri

    Indonesia saat itu di samping politik bebas aktif. Dari idiosinkratik SBY tersebut,

    dalam konflik Rohingya mempercayai bahwa pemerintah Myanmar terdapat

    menyelesaikan konflik internal tersebut dengan baik sehingga disimpulkan bahwa

  • 12

    SBY merupakan pemimpin yang berkarakter konsiliatif yang membuat Indonesia

    lebih aktif dan responsif dalam hubungan internasional.

    Ardani juga memaparkan beberapa kebijakan-kebijakan Indonesia di era

    SBY terkait konflik Rohingya yang mana lebih berperan di ASEAN. Namun, hal

    tersebut Penulis berpendapat masih kurang karena data yang dipaparkan tidak

    terlalu memadai dan tidak menghasilkan hasil yang signifikan. Oleh karena itu,

    Penulis berpendapat masih banyak yang dapat dikembangkan kembali dalam

    kaitannya peran Indonesia, terlebih ketika konflik Rohingya kembali mencuri

    perhatian dunia pada akhir 2015 dan menganalisis peranan Indonesia dalam konflik

    Rohingya pada era kepemimpinan Jokowi Dodo ketika Konflik Rohingya.

    Tinjauan pustaka berikutnya merupakan jurnal yang ditulis oleh Irawan Jati

    dengan judul “Comparative Study of the Role of ASEAN and the Organization

    of Islamic Cooperation in Responding to the Rohingya Crisis”. Dalam jurnal

    tersebut Irawan memberikan gambaran terkait respons yang diberikan oleh ASEAN

    dan OKI terkait konflik Rohingya. Irawan menegaskan bahwa ASEAN sebagai

    organisasi regional di Asia Tenggara memberikan respons yang kurang efektif. Hal

    tersebut terlihat dari peran AICHR yang sangat minim dan juga ASEAN itu sendiri

    yang terkendala prinsip non-intervensi.

    Setelah menjelaskan respons ASEAN, Irawan membandingkan dengan

    respons OKI yang menurutnya lebih responsif terhadap konflik Rohingya. Hal

    tersebut terlihat dari negara-negara anggota OKI yang memberikan bantuan dan

    membicarakan konflik Rohingya di forum-forum OKI. Perbedaan mendasar antara

  • 13

    OKI dan ASEAN adalah bagaimana mekanisme keputusan diambil. Dalam

    ASEAN, prinsip non-intervensi sangat dijaga sehingga sangat mempengaruhi

    pengambilan keputusan, sedangkan di dalam OKI hanya membutuhkan suara

    mayoritas untuk mengambil kebijakan.

    Tinjauan pustaka selanjutnya merupakan laporan penelitian yang ditulis

    oleh Anna Yulia Hartati yang berjudul “Konflik Etnis Myanmar (Studi

    Eksistensi Etnis Rohingya Ditengah Tekanan Pemerintah)” yang

    diperuntukkan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kenaikan jenjang

    fungsional akademik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Wahid

    Hasyim Semarang. Pada laporan penelitian ini mendeskripsikan sejarah konflik

    etnis di Myanmar beserta dampak dari konflik tersebut, khususnya konflik antara

    etnis Rohingya dan etnis Buddha Rakhine.

    Secara gamblang dideskripsikan bahwa konflik tersebut menyebabkan

    ribuan orang berupaya melarikan diri setiap tahunnya ke negara-negara sekitar

    Myanmar. Penelitian ini menganalisis konflik pada level sistemik, domestik, dan

    level persepsi yang menjadi asal muasal konflik. Menurut Hartati, pada level

    sistemik adalah adanya konspirasi dengan pihak asing; di level domestik

    dikarenakan kondisi pemerintahan Myanmar yang dipimpin oleh Junta Militer, dan

    level persepsi yang menyatakan bahwa etnis Rohingya mirip dengan orang Bengali

    atau Bangladesh.

    Dalam laporan penelitian ini diperlihatkan dengan jelas dari akar konflik,

    dampak konflik, dan tingkat analisis di tiga level yang berbeda. Penulis berpendapat

  • 14

    data-data yang terdapat dalam penelitian tersebut cukup valid dikarenakan diambil

    dari dokumentasi-dokumentasi yang menggunakan teknik pengambilan data

    Library research yang mengumpulkan dokumen-dokumen akademik terkait isu

    Rohingya. Penulis berpendapat, teknik analisis yang dilakukan cukup baik dengan

    melihat kepada tiga level yang berarti terdapat perspektif yang luas terkait asal-

    muasal konflik serta dilengkapi dengan peran pemerintah Myanmar dalam

    menyelesaikan konflik serta dampak internal dan eksternal dari konflik Rohingya.

    Tinjauan Pustaka berikutnya ditulis oleh Arry Bainus yang berjudul

    “Debating “National Interest” Vis-a-Vis Refugees: Indonesia’s Rohingya

    Case” merupakan sebuah artikel jurnal yang ditulis dalam konferensi internasional

    terkait tantangan sosial politik yang dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah

    Yogyakarta. Jurnal ini membahas kepentingan nasional Indonesia terkait konflik

    Rohingya.

    Dalam jurnal tersebut, Arry menjelaskan bahwa kepentingan nasional

    Indonesia sebagai negara dengan identitas muslim terkait konflik Rohingya kurang

    terlihat. Meskipun, respons masyarakat Indonesia terkait konflik Rohingya

    diwarnai sentimen agama. Hal tersebut dikarenakan dalam praktik diplomasi

    kepada Myanmar, Indonesia tidak pernah membawa embel-embel Islam dengan

    tujuan menjaga stabilitas dan menggantinya dengan kemanusiaan sebagai jalan

    untuk membantu konflik Rohingya.

    Penulis berpendapat jurnal yang ditulis oleh Arry relevan dengan topik

    penelitian yang akan dikaji. Namun, karena hanya terfokus kepada perdebatan

  • 15

    kepentingan nasional Indonesia yang berdasarkan kepada identitas sehingga tidak

    ada perbandingan bagaimana konflik Rohingya menjadi kepentingan nasional

    Indonesia dalam aspek lain seperti pencitraan kepada dunia karena pada masa 2015

    di bawah pemerintahan Jokowi Dodo, Indonesia mengincar posisi sebagai DK tidak

    tetap PBB.

    Tinjauan pustaka tersebut merupakan referensi yang relevan terkait dengan

    judul yang akan penulis bahas dikarenakan memberikan gambaran mengenai

    konflik Rohingya secara komprehensif dan memberikan gambaran yang berbeda

    mengenai pemerintahan Myanmar, namun pada penelitian tersebut sebagian besar

    hanya berfokus kepada internal Myanmar saja seperti penyelesaian konflik dan

    perjanjian damai di Rakhine yang sudah tidak relevan lagi karena sampai saat ini

    konflik masih terus berlanjut.

    Penulis telah menelusuri beberapa literatur dengan tema yang terkait dengan

    Rohingya, tetapi belum terdapat literatur yang memfokuskan kepada kepentingan

    nasional Myanmar menerima diplomasi suatu negara, khususnya Indonesia terkait

    konflik Rohingya. Oleh karena itu, Penulis berpendapat penelitian ini akan menjadi

    berarti dengan berkontribusi dalam melengkapi penelitian-penelitian dengan tema

    terkait yang lebih dahulu ada.

    E. Kerangka Teori

    1. Konstruktivisme

    Perkembangan teori ilmu Hubungan Internasional (HI) pada 1980-an

    memasuki fase great debate ke IV. Perdebatan tersebut terjadi antara teori-teori

  • 16

    rasionalis HI seperti realisme, liberalisme, marxisme, neorealisme, dan sebagainya

    dengan teori-teori yang mencoba memperluas kajian dalam HI seperti

    posmodernisme, postrukturalis, feminisme, green theory. Perdebatan tersebut juga

    sering disebut sebagai positivisme vs pos-positivisme. Namun, menurut Christian

    Reus-smit setelah berakhirnya perang dingin pada 1989 arah perdebatan bergeser

    ke arah konstruktivisme dan teori-teori rasionalis dikarenakan neorealisme dan

    neoliberalisme gagal untuk menjelaskan terkait runtuhnya Uni Soviet.23

    Hadirnya konstruktivisme dalam great debates ke-IV dalam HI untuk

    mencoba memberikan perspektif baru dan menantang asumsi-asumsi dasar dari

    teori-teori mainstream HI khususnya neoliberalisme dan neorealisme.

    Konstruktivisme bukan merupakan teori murni yang berasal dari HI, namun

    merupakan teori yang berasal dari sosiologi. Teori ini diadopsi ke dalam HI oleh

    Nicholas Onuf dan Alexander Wendt karena memiliki asumsi-asumsi yang dapat

    menjelaskan fenomena dalam HI seperti perilaku negara yang tidak hanya melihat

    kepada untung rugi saja, tetapi juga aspek-aspek yang melekat seperti budaya,

    norma, pengetahuan, dan sebagainya.24

    Asumsi-asumsi tersebut dapat terlihat dalam perdebatan konstruktivisme

    yang menantang asumsi-asumsi dari neorealisme dan neoliberalisme mengenai

    struktur internasional yang anarki. Konstruktivisme menolak cara analisis dari

    23 Scott Burchil, Theories of Internasional Relations 3rd ed, (New York: Palgrave Macmillan, 2005)

    [buku on-line], 188; tersedia di lib.jnu.ac.in/sites/default/files/RefrenceFile/Theories-of-IR.pdf; Internet; diunduh pada 7 Agustus 2016.

    24 Alexander Wendt, Social Theory of Internasional Politics [buku on-line] (Cambridge: Cambridge

    University Press, 1999), 52; tersedia di https://doi.org/10.1017/CBO9780511612183; Internet; diunduh pada 8

    Mei 2017.

  • 17

    neorealisme yang menggunakan struktur internasional dalam melihat perilaku suatu

    negara. Namun, konstruktivisme juga mengakui adanya struktur internasional

    anarki tetapi hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang given (diberikan).25

    Konstruktivisme bukan merupakan teori yang dapat memprediksi seperti

    neorealisme dan neoliberalisme, namun terbatas hanya menjelaskan fenomena yang

    terjadi. Dalam proses analisisnya berkaitan dengan struktur yang dijelaskan dalam

    konstruktivisme yang terbagi menjadi dua, yaitu struktur material dan ideasional.

    Adanya dua struktur tersebut menjelaskan bahwa konstruktivisme dalam

    menjelaskan sebuah fenomena menekankan kepada peran-peran yang terkait

    dengan ide, norma, budaya, dan pengetahuan, akan tetapi tidak menyampingkan

    pentingnya bentuk material.26

    Konstruktivisme menolak asumsi dari neorealisme dan neoliberalisme

    bahwa struktur internasional menjadi satu-satunya hal yang mempengaruhi perilaku

    suatu negara. Konstruktivisme menjelaskan bahwa struktur dan agen saling

    mempengaruhi satu sama lain. Unit analisis dari konstruktivisme tidak ditekankan

    kepada struktur internasional saja, tetapi juga mengakui peran dari individu atau

    elite di suatu negara yang disebut dengan istilah agen. Hal ini berarti

    konstruktivisme mengakui bahwa agen dapat menghasilkan sebuah wacana yang

    25 Alexander Wendt, “Anarchy is what States Make of it: The Social Construction of Power Politics”,

    Jurnal Internasional Organization, Vol.46, No.2, TB:1992, L:391-425 [jurnal on-line]; tersedia di DOI:

    10.1017/S0020818300027764; Internet; diunduh pada 8 Mei 2017. 26 Wendt, Social Theory of Internasional Politics,1.

  • 18

    mengalami proses sehingga pada akhirnya membentuk struktur dan juga struktur

    tersebut dapat mempengaruhi perilaku agen.27

    Peristiwa runtuhnya Uni Soviet merupakan salah satu kejadian penting yang

    menjelaskan mengapa konstruktivisme menekankan kepada struktur ideasional dan

    material.28 Berawal dari terpilihnya Mikhail Gorbachev sebagai Presiden Uni

    Soviet sekaligus sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Komunis Uni Soviet

    pada 1985-1991. Pada umumnya, pergantian kepemimpinan tidak terlalu memiliki

    pengaruh kepada perubahan kebijakan. Namun, Gorbachev merupakan seorang

    pemimpin yang menginginkan perubahan bagi Uni Soviet yang mengalami stagnasi

    berkepanjangan sejak masa Brezhnev.

    Gorbachev mengajukan gagasan bernama perestroika yang mencangkup

    reformasi atau akselerasi kebijakan di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya.

    Dalam perestroika terkandung konsep glasnost (keterbukaan) dan demokratiya

    (demokrasi). Dalam implikasinya, Gorbachev di bidang ekonomi melakukan

    percepatan pembangunan ekonomi atau uskorenie dan melakukan kerja sama

    dengan Barat serta di bidang ketatanegaraan, Gorbachev mengubah sistem partai

    tunggal menjadi sistem multipartai dan menghapuskan monopoli kekuasaan partai

    Komunis Uni Soviet.29

    27 Wendt, Social Theory of Internasional Politics,1. 28 Stephen M. Walt, “Internasional Relations: One World, Many Theories”, Jurnal Foreign Policy,

    TV, No.110, TB:1998, L: 29-46; tersedia di DOI: 10.2307/1149275; Internet; diunduh pada 7 Juli 2017. 29 Zeffry Alkatiri, Transisi Demokrasi di Eropa Timur: Baltik, Jerman Timur, Rumania & Balkan,

    (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2016), 5-6.

  • 19

    Pada dasarnya, kebijakan perestroika menurut Gorbachev merupakan

    sebuah upaya untuk membenahi keadaan Uni Soviet yang stagnan dan juga sebagai

    bentuk pemurnian kembali sosialisme sesuai dengan tuntutan zaman. Namun,

    dengan adanya keterbukaan membuat hal-hal negatif dapat dikonsumsi oleh

    masyarakat dan menggerus kepercayaan terhadap kepemimpinan pemerintah dan

    partai komunis sehingga pada akhirnya terjadi keruntuhan Uni Soviet.30

    Keruntuhan Uni Soviet berimplikasi luas kepada negara-negara lain,

    khususnya Eropa Timur yang juga dipimpin oleh rezim sosialis komunis seperti

    Polandia, Hungaria, Chekoslovakia, dan sebagainya untuk meruntuhkan rezim

    sosialis komunis dan berganti kepada demokrasi.31 Selain itu, pada tataran

    internasional, keruntuhan Uni Soviet juga berarti berakhirnya perang dingin dan

    menjadikan Amerika Serikat (AS) sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia

    (unipolar).

    Tidak seperti neorealisme dan neoliberalisme yang tidak dapat menjelaskan

    runtuhnya Uni Soviet, konstruktivisme dapat menjelaskan fenomena ini

    dikarenakan unit analisisnya berada pada elite, yaitu Gorbachev yang membuat

    kebijakan perestroika yang dipengaruhi oleh struktur ideasional akan glasnost dan

    struktur material, yaitu perekonomian Uni Soviet yang stagnan dan akhirnya

    berdampak pada runtuhnya Uni Soviet dan kebijakan luar negeri Uni Soviet di

    30 Alkatiri, Transisi Demokrasi, 7-8. 31 Alkatiri, Transisi Demokrasi, 8-13.

  • 20

    bawah kepemimpinan Gorbachev yang mendekat ke Barat untuk melakukan kerja

    sama ekonomi.

    Konstruktivisme telah memberikan cara pandang baru dalam fenomena HI

    yang menekankan kepada struktur ideasional, struktur material, serta peran agen di

    dalamnya. Seperti yang telah dijelaskan bahwa struktur dan peran agen memiliki

    sifat resiprokal dan terdapat proses yang menjadikan sebuah gagasan terbentuk

    menjadi struktur ideasional. Proses ini sering disebut dengan share ideas yang

    berawal dari ide-ide yang dimiliki oleh agen dan diperlukan adanya intersubjective

    meaning atau pemahaman bersama.32

    Dalam proses terbentuknya shared ideas juga terdapat faktor yang

    mempengaruhi, yaitu identitas. Wendt menjelaskan bahwa identitas merupakan

    pemahaman subjektif terkait pandangan negara memahami dirinya dan bagaimana

    negara lain memahaminya. Sebagai contoh adalah pasca kejadian runtuhnya

    gedung World Trade Center atau 9/11, George W. Bush melakukan share idea

    mengenai terorisme adalah musuh bersama sehingga mendeklarasikan perang

    terhadap terorisme dan diterima oleh negara-negara lain. Dalam konteks War on

    Terrorism, AS dengan identitas sebagai negara adidaya adalah faktor yang

    menentukan keberhasilan share ideas.33

    Seperti identitas teman dan musuh merupakan hal yang mempengaruhi

    perilaku negara menurut konstruktivisme, hal ini terlihat dengan kekhawatiran AS

    32 Wendt, Social Theory of Internasional Politics, 24. 33 Wendt, Social Theory of Internasional Politics, 25-26.

  • 21

    terhadap nuklir Korea Utara dibandingkan dengan nuklir yang dimiliki oleh

    Perancis dan Inggris dikarenakan AS menganggap Perancis dan Inggris adalah

    teman yang berarti tidak menimbulkan ancaman. Sehingga hal ini mempengaruhi

    kebijakan luar negeri AS terhadap Korea Utara, seperti yang dikatakan oleh Wendt

    bahwa identitas merupakan dasar dari kepentingan.34

    Dalam penelitian ini, struktur material dan struktur ideasional merupakan

    hal yang mempengaruhi perilaku Myanmar. Konflik Rohingya merupakan konflik

    yang menjadi masalah bagi Myanmar sehingga mendapat tekanan dari negara-

    negara lain. Hal ini membuat Myanmar menutup diri dari dunia internasional terkait

    dengan konflik yang terjadi di negara bagian Rakhine. Namun, Myanmar tidak

    bersikap demikian kepada Indonesia. Oleh karena itu, konstruktivisme menjadi

    pendekatan yang menganalisis bagaimana struktur material dan struktur ideasional

    mempengaruhi kepentingan nasional Myanmar dalam menerima diplomasi

    Indonesia terkait Konflik Rohingya.

    2. Konsep Diplomasi Publik

    Kata “Diplomasi” berasal dari bahasa Yunani, yaitu diploum yang berarti

    melipat. Diplomasi dan HI berkaitan sangat erat. Diplomasi bagaikan mesin bagi

    HI karena merupakan salah satu cara untuk mencapai kepentingan nasional negara-

    negara. Menurut Adam Watson, diplomasi merupakan hal alami yang harus

    dilakukan oleh negara-negara. Hal ini mengingat bentuk negara bangsa yang

    terpisah-pisah. Setiap negara memiliki kepentingan dan kebutuhannya masing-

    34 Wendt, “Anarchy”, 391-425.

  • 22

    masing, karena hal tersebut setiap negara pasti melakukan diplomasi karena

    keterbatasan yang masing-masing dimiliki.35

    Diplomasi sebagai salah satu hal penting dalam HI mengalami

    perkembangan dan terbagi menjadi dua era, yaitu era tradisional dan era baru.

    Diplomasi tradisional berkaitan erat dengan banyaknya keganjilan seperti

    diplomasi diam-diam. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Woodrow Wilson dalam

    salah satu pasal dari 14 pasal perdamaian, yaitu tidak ada lagi diplomasi rahasia.

    Sedangkan, dalam diplomasi baru yang juga berbanding lurus dengan

    perkembangan teknologi informasi telah membuang sifat rahasia dan memasukkan

    kepentingan umum di dalamnya.36

    Diplomasi pada perkembangannya telah menciptakan istilah (terms) atau

    jenis-jenis terhadap diplomasi itu sendiri, seperti diplomasi budaya, diplomasi

    ekonomi, diplomasi publik dan sebagainya. Istilah tersebut mengandung tujuan dan

    cara yang berbeda namun tetap mengandung mekanisme yang sama, yaitu dialog.

    Adanya istilah-istilah tersebut mengartikan bahwa diplomasi digunakan sesuai

    dengan kepentingan nasional suatu negara.37

    Adapun diplomasi publik menurut Rasmussen merupakan hal baru dan

    masih jarang dilakukan. Hal ini berkaitan dengan anggapan bahwa negara-negara

    35 Adam Watson, Diplomacy: The Dialogue between States [buku on-line], (Prancis: Routledge,

    2005), 1; tersedia di https://doi.org/10.1177/004711788200700408; Internet; diunduh pada 10 Mei 2019. 36 Dr. Ayoeb Muchsin, Diplomasi: Teori dan Praktek serta Kasus-kasus, (Jakarta: UIN Jakarta,

    2013), 33. 37 Muchsin, Diplomasi, 36.

    https://doi.org/10.1177/004711788200700408

  • 23

    yang melakukan diplomasi publik merupakan negara-negara dunia pertama.38

    Selain itu, merujuk kepada pengertian diplomasi publik menurut Joseph Nye yang

    mengatakan bahwa diplomasi publik sangat berkaitan dengan power. Dalam hal ini

    power yang dikatakan oleh Nye adalah soft power yang juga pertama kalinya istilah

    ini digunakan.39

    Nye mengatakan negara-negara seperti AS harus meningkatkan

    investasinya di dalam soft power. Menurutnya, soft power lebih efektif digunakan

    setelah berakhirnya perang dingin di samping biaya yang dikeluarkan lebih murah

    dibandingkan dengan hard power yang berkaitan dengan persenjataan, militer, dan

    perang.40 Pendapat Nye mengenai soft power telah banyak mempengaruhi negara-

    negara besar untuk mengurangi konsentrasi dalam hard power dan menjadi

    alternatif yang lebih “murah” bagi negara-negara untuk tetap mencapai kepentingan

    nasionalnya.

    Menurut Iva Rachmawati, diplomasi publik adalah proses komunikasi yang

    ditujukan kepada pemerintahan negara yang dituju dan juga masyarakatnya yang

    bertujuan untuk memberikan pemahaman atas negara, sikap, budaya, kepentingan

    nasional, beserta kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negaranya.41 Ada pun

    tujuan yang dimiliki oleh diplomasi publik adalah meningkatkan mutu komunikasi

    antar negara dan masyarakat serta salah satu cara untuk mendapatkan kepentingan

    38 Iva Rachmawati, “Pendekatan Konstruktivis dalam Kajian Diplomasi Publik Indonesia”, Jurnal

    Ilmu Hubungan Internasional, Vol.5, No.2, (TB:2017), 113. 39 Nancy Snow, Routledge Handbook of Public Diplomacy,[buku on-line] (Inggris:

    Routledge,2009), 3; tersedia di https://www.routledgehandbooks.com/pdf/doi/10.4324/9780203891520.ch3;

    Internet; diunduh pada 12 Mei 2019. 40 Snow, Public Diplomacy, 1. 41 Rachmawati, “Pendekatan Konstruktivis”, 116

    https://www.routledgehandbooks.com/pdf/doi/10.4324/9780203891520.ch3

  • 24

    nasional suatu negara dengan mempengaruhi masyarakat asing melalui informasi-

    informasi yang tersedia.42

    Indonesia melakukan non-megaphone diplomacy terkait konflik Rohingya.

    Dalam praktiknya, non-megaphone diplomacy yang berkaitan dengan diplomasi

    publik. Indonesia tidak hanya melakukan diplomasi kepada pemerintah Myanmar,

    tetapi juga kepada masyarakat melalui AKIM dalam implementasi program-

    program dan penyebaran nilai-nilai seperti toleransi, HAM, dan demokrasi

    F. Metode Penelitian

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa metode kualitatif.

    Penelitian kualitatif pada dasarnya berfokus kepada penjelasan dalam kata-kata.

    John Creswell mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah proses penelitian

    untuk memahami masalah sosial berdasarkan pada gambaran holistik terkait isu

    yang spesifik dan dibentuk dengan kata-kata dalam sebuah latar ilmiah.43

    Tipe penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan

    deskriptif yang bertujuan untuk memberi gambaran proses dari waktu ke waktu dan

    menafsirkan serta menganalisis data yang berkaitan dengan isu terkait.44 Dalam

    penelitian ini akan mencoba menjelaskan alasan Myanmar menerima diplomasi

    42 Mohammad Shoelhi, Diplomasi Praktik Komunikasi Internasional, (Bandung:Simbiosa

    Rekatama Media,2011), 157. 43 John Creswell, Qualitative and Quantitative Approaches,[buku on-line] (London:Sage

    Publications,2014), 232; tersedia di DOI: 10.13140/RG.2.1.1262.4886; Internet; diunduh pada 14 Juni 2017. 44 Farida Nugrahani, Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Pendidikan Bahasa, (Solo:

    Chakra Books, 2014), 96.

  • 25

    Indonesia terkait konflik Rohingya periode 2015-2017 dengan menjelaskan faktor-

    faktor yang berkaitan.

    Salah satu karakteristik dari penelitian kualitatif menurut Craswell adalah

    memiliki sumber data yang banyak yang berupa primer dan sekunder.45 Data primer

    merupakan data yang didapatkan dengan wawancara narasumber yang relevan

    dengan isu yang sedang diteliti, sedangkan data sekunder merupakan data yang

    didapat melalui studi pustaka (library research) yang berasal dari buku, jurnal

    terakreditasi, dan laporan penelitian dengan pembahasan yang relevan.46

    Untuk mendapatkan data primer, penelitian ini tidak menggunakan metode

    observasi dikarenakan adanya kendala berupa jarak antara negara penulis

    (Indonesia) dengan negara tempat terjadinya konflik (Myanmar). Oleh karena itu,

    untuk mendapatkan data primer akan menggunakan metode wawancara dengan

    beberapa narasumber, yaitu:

    1. Muhammad Ali Yusuf sebagai ketua AKIM

    2. Dewi Lestari sebagai wakil direktur Direktorat Kementerian Luar

    Negeri RI.

    Data primer yang didapatkan dari hasil wawancara akan dianalisis serta

    menjadi tambahan data bagi penulis untuk memperkuat analisis terkait topik

    penelitian sehingga mendapatkan data-data yang konkret untuk dianalisis dengan

    teori konstruktivisme.

    45 Creswell, Qualitative and Quantitative, 234. 46 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009), 137.

  • 26

    G. Sistematika Penulisan

    Sistematika penulis berupa penjelasan mengenai alur pembahasan dalam

    penelitian ini, sehingga dapat dipahami dengan mudah. Dalam penelitian ini,

    sistematika penulisan terdiri dari lima bab, yang mana akan dijelaskan sebagai

    berikut:

    BAB I Pendahuluan

    Dalam bab ini, Penulis membahas mengenai latar belakang yang

    menjelaskan Myanmar menerima diplomasi Indonesia. Diawali dengan

    mendeskripsikan masalah yang dibahas secara umum ke khusus dalam pernyataan

    masalah. Terdapat juga bagian-bagian lain seperti: pertama, pertanyaan penelitian

    yang berisikan pertanyaan penelitian yang akan dibahas serta dianalisis pada bab

    empat. Kedua, tujuan dan manfaat penelitian yang diharapkan berkontribusi dalam

    ilmu Hubungan Internasional dan memberikan manfaat kepada pembaca yang

    memiliki konsentrasi dalam kawasan Asia Tenggara.

    Ketiga, adalah tinjauan pustaka yang berupa referensi ilmiah yang terlebih

    dahulu membahas terkait isu yang relevan dan diperuntukkan untuk menjadi

    referensi, selain itu Penulis juga menjabarkan perbedaan dengan penelitian yang

    Penulis lakukan. Keempat, dijelaskan mengenai kerangka pemikiran yang terdiri

    dari teori dan konsep-konsep yang akan digunakan untuk menganalisis topik

    penelitian. Kelima adalah sistematika penulisan yang berupa penjabaran alur dalam

    penelitian ini.

  • 27

    BAB II Myanmar dan Dinamika Kawasan Terkait Konflik Rohingya

    Pada bab ini akan dibahas mengenai profil Myanmar, dimulai dari deskriptif

    mengenai wilayah dan kultur beserta sejarahnya. Selain itu, berawal dari sifat yang

    umum menuju yang lebih khusus kepada konflik Rohingya di mana akan dibahas

    mengenai sejarah dan kompleksitas etnis di Myanmar yang sejatinya tidak hanya

    terjadi antara etnis Rohingya dan etnis Buddha di Rakhine, tetapi akan lebih khusus

    untuk meliput masalah konflik di negara bagian Rakhine yang berkaitan dengan

    etnis Rohingya, selain itu juga dibahas mengenai respons internasional terhadap

    Myanmar terkait konflik Rohingya dan sebaliknya beserta hubungan Myanmar

    dengan Bangladesh dan ASEAN.

    BAB III Hubungan Indonesia dan Myanmar Terkait Konflik Rohingya

    Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai hubungan Indonesia dengan

    Myanmar dalam konteks bilateral. Hubungan yang dimaksud tidak hanya

    mencangkup mengenai penyelesaian konflik, tetapi juga mencangkup kepada kerja

    sama ekonomi, sosial dan politik. Bab ini bertujuan untuk mencari asal muasal dan

    titik terang bagaimana Myanmar melihat Indonesia sehingga memiliki peran besar

    dalam konflik Rohingya di antara negara-negara Asia Tenggara lain.

    BAB IV Alasan Myanmar Menerima Diplomasi Indonesia terkait

    konflik Rohingya periode 2015-2017

    Pada bab ini akan dilakukan analisis terkait dari bab II dan bab III.

    Lanjutnya, pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana Indonesia melakukan

  • 28

    diplomasi dan sudut pandang Myanmar terhadap diplomasi Indonesia serta akan

    mengelaborasi terkait dengan struktur ideasional dan material dari teori

    konstruktivisme.

    BAB V Penutup

    Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil dari penelitian atau kesimpulan

    yang menjawab atas pertanyaan penelitian berdasarkan pendekatan pada kerangka

    pemikiran dan metode penelitian yang digunakan. Dalam bab ini juga tersedia

    ringkasan dari materi-materi yang berada di bab-bab sebelumnya.

  • 29

    BAB II

    Myanmar dan Dinamika Kawasan Terkait Konflik Rohingya

    Pada bab ini akan menggambarkan kondisi Myanmar yang terkait dengan

    konflik Rohingya. Pada sub bab pertama akan dibahas kolonialisme yang menimpa

    Myanmar dan dampaknya pada perpecahan etnis. Sub bab ini akan memberikan

    penjabaran terkait sejarah kondisi Myanmar pada masa kolonialisme untuk

    memahami sejarah etnis Myanmar dan dampaknya terhadap konflik etnis di

    Myanmar.

    Sub bab kedua akan membahas mengenai awal konflik Rohingya terjadi.

    Sub bab ini terkait dengan sub bab pertama yang menjelaskan dampak kolonialisme

    dalam perpecahan etnis di Myanmar, namun spesifik membahas konflik etnis

    Rohingya sebelum tahun 1980-an. Sub bab ketiga akan membahas mengenai

    Konflik Rohingya dari 2012-2017, hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran

    konflik Rohingya di bawah Junta Militer Myanmar dan kepemimpinan Aung San

    Suu Kyi.

    Sub bab keempat akan membahas terkait hubungan bilateral Myanmar

    dengan Bangladesh sebagai negara tujuan pengungsi Rohingya terbanyak beserta

    ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara. Hal ini ditujukan untuk

    menggambarkan upaya atau pun sikap Myanmar dan pihak-pihak tersebut terkait

    konflik Rohingya.

  • 30

    A. Profil Myanmar

    Myanmar atau yang dahulu dikenal sebagai Burma merupakan salah satu

    negara di Asia Tenggara yang termasuk sebagai jajahan Inggris dan merdeka pada

    tahun 1948.47 Selain itu, Myanmar juga termasuk negara yang majemuk bersamaan

    dengan Indonesia dan Malaysia. Nama “Burma” sendiri diambil dari salah satu etnis

    mayoritas di Myanmar, yaitu Burman (Bamar). Namun, nama Burma sendiri

    diganti oleh rezim militer Myanmar pada 1989 untuk mengurangi permasalahan

    etnis.48

    Myanmar adalah negara yang memiliki banyak etnis, tercatat terdapat 135

    etnis yang diakui secara resmi oleh pemerintahan Myanmar. Etnis di Myanmar

    terdiri dari 69% etnis Bamar, 8.9% etnis Shan, 6.6% etnis Karen, 4.4% etnis

    Arakan, dan 12.1% adalah gabungan dari etnis-etnis lain.49 Etnis mayoritas di

    Myanmar menganut agama Buddha, diperkirakan mencapai 75%, selain itu juga

    terdapat minoritas Muslim dan Kristen yang diperkirakan mencapai angka 20% dan

    sisanya menganut agama animisme.50

    Myanmar pada saat ini sedang berada di fase menuju demokrasi. Awalnya,

    pada pemerintahan PM U Nu, Myanmar telah mencoba menjalankan demokrasi

    namun hal tersebut gagal karena beberapa hal, seperti: kegagalan pemerintah

    47 David I.Steinberg, Burma/Myanmar: What Everyone needs to Know, [buku on-line] (Inggris:

    Oxford University Press, 2010), 40; tersedia di

    http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=BF26BB221C4682544DD1E313E67FED6A; Internet; diunduh

    pada 1 April 2019. 48 Steinberg, Burma/Myanmar, xxi. 49 Bertil Lintner, Ethnicity in Asia, [buku on-line] (USA: Routledge Zurzon, 2003), 188; tersedia di

    https://doi.org/10.4324/9780203380468; Internet; diunduh pada 3 April 2019. 50 Singh, Tantangan Orang Rohingya Myanmar, xvii.

    http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=BF26BB221C4682544DD1E313E67FED6Ahttps://doi.org/10.4324/9780203380468

  • 31

    menciptakan stabilitas domestik, adanya pemberontakan dari beberapa etnis seperti

    Kachin, Karen, Shan, dan etnis-etnis minoritas lainnya serta adanya Junta Militer

    yang berhasil menggulingkan pemerintahan U Nu.51

    Semenjak Junta Militer berhasil, pemerintahan dikuasai oleh Jenderal Ne

    Win dan membawa doktrin Burmese Way to Socialism. Dampaknya adalah

    Myanmar menjadi negara sosialis di bawah pemerintahan militer.52 Namun, pada

    2015 partai yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi National League for Democracy

    (NLD) memenangi pemilu. Meskipun, Aung San Suu Kyi hanya dapat menjadi

    pemimpin de facto Myanmar dan militer masih memiliki peran penting di sektor

    kementerian dalam negeri, perbatasan, dan pertahanan, tetapi Myanmar telah

    mencoba untuk mengubah sistem sosialisme menjadi demokrasi dengan cara-cara

    seperti mengikuti Bali Democracy Forum (BDF).

    B. Kolonialisme dan Dampaknya terhadap Perpecahan Etnis di Myanmar

    Permasalahan etnis di Myanmar sudah mulai terasa semenjak zaman

    penjajahan oleh Inggris. Hal itu dikarenakan Inggris menjadikan Myanmar di

    bawah pemerintahan India yang mengakibatkan banyaknya warga negara India

    yang dipindahkan ke Myanmar. Posisi Myanmar yang di bawah administrasi India

    berlangsung sampai 1937, hal tersebut dikarenakan Inggris melihat timbulnya

    51 Ita M. Dewi, “Pengalaman Militer Burma: Sebuah Analisis Historis-Politis”, Jurnal ISTORIA,

    Vol.1, No.1, TB:2005, L:1-17, [jurnal on-line]; tersedia di staffnew.uny.ac.id/upload/132306803/penelitian/burma-istoria.pdf; Internet; diunduh pada 5 April 2019.

    52 David Brenner, “Inside the Karen Insurgency: Explaining Conflict and Conciliation in

    Myanmar’s Changing Borderlands”, Jurnal Asian Security, Vol.14, No.2, TB:2018, L: 83-99 [jurnal on-line];

    tersedia di DOI: 10.1080/14799855.2017.1293657; Internet; diunduh pada 5 April 2019.

  • 32

    konflik horizontal yang terjadi antara pribumi Myanmar dengan India di Myanmar

    karena perbedaan budaya.53

    Tingginya sifat etnonasionalisme di Myanmar yang menyebabkan

    timbulnya konflik antar etnis. Hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh kolonialisme

    Inggris pada saat masa penjajahan. Selain dari pengaruh Myanmar yang berada di

    bawah administrasi India, Inggris juga menerapkan politik divide et impera atau

    pecah belah. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan keuntungan kepada etnis-

    etnis minoritas seperti Shan, Mon, dan Arakan sehingga etnis-etnis tersebut relatif

    puas dengan pemerintahan Inggris dengan cara membiarkan etnis setempat

    mendapatkan posisi strategis di pemerintahan daerah.54

    Penerapan politik pecah belah oleh Inggris menjadi warisan yang dirasakan

    pada saat ini. Namun, pada saat zaman perjuangan kemerdekaan Myanmar, konflik

    etnis tidak begitu terasa dikarenakan adanya rasa nasionalisme yang timbul. Awal

    rasa nasionalisme timbul oleh pemuka agama Buddha yang memiliki kesempatan

    untuk mendirikan organisasi keagamaan dikarenakan organisasi-organisasi politik

    dilarang oleh Inggris.55

    Perjuangan kemerdekaan Myanmar dimulai ketika para biksu-biksu

    berusaha menolak kristenisasi yang dilakukan oleh Inggris. Gold, Glory, Gospel

    merupakan slogan yang dimiliki oleh para penjajah dari Eropa, tidak hanya untuk

    53Steinberg, Burma/Myanmar, 28. 54 Lauren Durand, Conflicts in Myanmar: A systemic approach to conflict analysis and

    transformation, [buku on-line] (Swedia: Lund University, 2013), 26; tersedia di https://lup.lub.lu.se/student-

    papers/search/publication/3809452; Internet; diunduh pada 5 April 2019. 55 Steinberg, Burma/Myanmar, 34-35.

    https://lup.lub.lu.se/student-papers/search/publication/3809452https://lup.lub.lu.se/student-papers/search/publication/3809452

  • 33

    mencari kekayaan dan juga kejayaan, tetapi juga turut menyebarkan kepercayaan.

    Para misionaris di Myanmar membentuk Young Men’s Christian Association

    (YMCA). Untuk mencegah penyebaran kristenisasi tersebut, para biksu Buddha

    juga membentuk Young Men’s Buddhist Association (YMBA) pada 1906 yang

    dipimpin oleh U May Oung dan berubah menjadi General Council of Buddhist

    (Burmese) pada 1920 yang memiliki tujuan politis.56

    Selain perjuangan kemerdekaan dari biksu-biksu, terdapat juga perjuangan

    dari tokoh-tokoh nasional seperti U Aung San, DR Ba Maw, U Ba Pe, Thankin Nu.

    Titik perjuangan kemerdekaan Myanmar sampai pada ketika Aung San mendatangi

    Jepang pada 1939 dan bekerja sama untuk menyingkirikan Inggris dari Myanmar

    dengan membentuk Burma Independence Army (BIA). Pada 1942, Myanmar dan

    Jepang berhasil mengusir Inggris dari Myanmar yang kemudian menjadikan Jepang

    berkuasa di Myanmar.57

    Myanmar yang tertipu oleh niat baik Jepang harus mengalami kemerdekaan

    yang palsu setelah kalahnya Inggris oleh Myanmar dan Jepang. Menyadari akan

    tertipunya Myanmar oleh Jepang, maka tokoh-tokoh di Myanmar membentuk Anti-

    Facist People Freedom League (AFPFL) yang merupakan sebuah organisasi

    perlawanan yang menentang kekuasaan Jepang pada 1945.58 Pada tahun yang sama,

    Jepang mengalami kekalahan perang dunia kedua setelah dijatuhkannya bom atom

    di Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika Serikat. Hal ini membuat Jepang harus

    56 Aye Saung, Catatan dari Bawah Tanah, (Jakarta: LP3ES,1991), 87. 57 Dewi, “Pengalaman Militer”, 3. 58 Myrna Anggraini, Perjuangan anti Kolonialisme Birma (Jakarta: UI, 2008), 30.

  • 34

    menyerahkan seluruh tanah jajahannya, termasuk Myanmar kepada sekutu. Dengan

    kesempatan tersebut, Inggris berupaya untuk mengambil kembali Myanmar dengan

    juga bekerja sama dengan Burma National Army (BNA) yang sebelumnya

    merupakan BIA.59

    Akhirnya pada 2 Mei 1945, Inggris kembali berkuasa di Myanmar karena

    kalahnya Jepang pada perang dunia ke-dua. Sebelum terusirnya Jepang dari

    Myanmar, Jepang menghadiahkan “kemerdekaan” bagi Myanmar yang dibungkus

    dengan kemerdekaan di dalam Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya yang

    berasal dari slogan Jepang, yaitu “Jepang, pelindung, pemimpin, dan cahaya Asia”.

    Oleh karena itu, sebenarnya Myanmar telah memiliki pemerintahan bentukan

    Jepang ketika Inggris kembali berkuasa.60

    Kembalinya Inggris berkuasa di Myanmar tidak berlangsung lama, pada

    1948 akhirnya Myanmar benar-benar mendapatkan kemerdekaannya. Selama

    kembalinya Inggris berkuasa, Inggris tetap menerapkan politik pecah belah untuk

    melemahkan perjuangan Myanmar. Salah satunya adalah Inggris menjanjikan

    kemerdekaan kepada etnis-etnis minoritas seperti etnis Karen dan Rohingya.

    Namun, Aung San pada 1947 di Konferensi Panglong kedua berhasil menekan

    Inggris untuk tidak memisahkan daerah-daerah minoritas dari negara Burma.61

    59 Mandy Sadan, “Ethnic Armies and Ethnic Conflict in Burma: Reconsidering the history of colonial

    militarization in the Kachin Region of Burma during the Second World War”, South East Asia Research, Vol.21, No.4, Oktober,2018, L:601-624 [jurnal on-line]; tersedia di https://doi.org/10.5367/sear.2013.0173;

    Internet; diunduh pada 10 April 2019. 60 Anggraini, Perjuangan anti Kolonialisme Birma, 46. 61 Steinberg, Burma/Myanmar, 41.

    https://doi.org/10.5367/sear.2013.0173

  • 35

    Inggris menjanjikan wilayah di Arakan Barat Laut (Rakhine) untuk etnis

    Rohingya pada 1945 dikarenakan loyalitas yang ditunjukkan oleh etnis Rohingya,

    namun hal tersebut tidak dapat direalisasikan. Faktor kegagalan janji tersebut selain

    dikarenakan terdesaknya Inggris, terdapat juga kematian Aung San karena janji dari

    Aung San kepada etnis minoritas di Myanmar jika dalam kurun waktu 10 tahun

    tidak mendapatkan keuntungan bergabung dengan Myanmar maka diizinkan untuk

    memiliki kedaulatan wilayah, hal tersebut secara khusus dijanjikan sebagai janji

    politiknya dan di perjanjian Panglong disebutkan bahwa etnis-etnis di daerahnya

    dapat memiliki otonominya sendiri.62

    Faktor janji Aung San yang mengizinkan kemerdekaan setelah 10 tahun

    bagi etnis minoritas yang merasa tidak mendapatkan keuntungan dalam bergabung

    dengan Myanmar dan Inggris yang memberikan janji-janji politik untuk

    mendapatkan simpati dari etnis-etnis minoritas di Myanmar dikarenakan Inggris

    terpojok dengan Aung San dan BNA, salah satu bentuk untuk mendapatkan simpati

    adalah dengan menjanjikan kemerdekaan dan memiliki wilayah tersendiri bagi etnis

    minoritas tidak terkecuali etnis Rohingya, tetapi janji Aung San tidak dapat

    terealisasikan karena dirinya yang dibunuh oleh U Saw yang merupakan musuh

    politiknya pada 19 Juli 1947.63

    Perpecahan etnis di Myanmar menjadi konflik yang berkepanjangan.

    Diperbolehkannya etnis resmi untuk memiliki tentara sendiri menjadi salah satu

    62 Kyaw Yin Hlaing, Myanmar/Burma: Inside Challenges, Outside Interest, [buku on-line]

    (Washington DC: Brooking Institution Press, 2010), 43-44; tersedia di 10.1355/cs34-2f; Internet; diunduh pada

    3 Januari 2018. 63 Robert H. Taylor, Myanmar: State, Society, and Ethnicity [buku on-line] (Singapura: ISEAS

    Publishing, 2007), 78; tersedia di DOI: 10.1355/sj33-3o; Internet; diunduh pada 11 Januari 2019.

    http://dx.doi.org/10.1355/cs34-2f

  • 36

    faktor di samping ketidakpuasannya terhadap pemerintahan Myanmar untuk

    melakukan pemberontakan. Salah satunya adalah etnis Kachin yang memiliki

    tantara Kachin Independence Organisation (KIO) yang telah melakukan

    pemberontakan semenjak 1961 namun pada 1994 antara KIO dan pemerintah

    Myanmar telah menyepakati gencatan senjata sampai pada 2011 konflik kembali

    terjadi dan terus berlanjut sampai saat ini.64

    Selain etnis Kachin, juga terdapat konflik antara pemerintah Myanmar

    dengan etnis Karen. Etnis Karen melalui Karen National Union (KNU)

    menginginkan kemerdekaan dari Myanmar semenjak 1949. Namun, pada

    prosesnya antara KNU dan pemerintah Myanmar telah melakukan gencatan senjata

    pada 2012.65 Etnis Karen dan Kachin adalah contoh dari konflik etnis di Myanmar,

    meskipun kedua etnis tersebut merupakan etnis yang diakui secara resmi oleh

    pemerintah Myanmar, tidak seperti etnis Rohingya.

    C. Awal Konflik Rohingya

    Semenjak kemerdekaan Myanmar, telah terjadi pemberontakan di Rakhine

    yang dilakukan oleh para Mujahidin Rohingya. Hal ini dikarenakan adanya

    diskriminasi dan juga kurangnya perwakilan politik Muslim pada 1940 sampai

    1950-an. Pemerintahan AFPFL di bawah U Nu pada akhirnya berhasil melakukan

    negosiasi dan gencatan senjata dengan para Mujahidin Rohingya dengan cara

    membuat Wilayah Perbatasan Mayu pada 1960 yang masih di dalam negara bagian

    64 Durand, Conflicts in Myanmar, 33. 65 Brenner, “Inside the Karen Insurgency”, 93.

  • 37

    Rakhine, hal ini dianggap oleh etnis Rohingya sebagai salah satu langkah untuk

    mendapatkan status sebagai negara bagian dan meminimalisasi diskriminasi.66

    Namun, setelah terjadinya kudeta militer pada 1962 dan kekuasan Myanmar

    direbut oleh Jenderal Ne Win pada 1978 dilakukan Na-ga-min Sit-sin-yae atau

    Operasi Raja, yaitu operasi sensus penduduk yang berakhir dengan kerusuhan.67

    Hal ini akhirnya terjadinya bentrokan antara militer dan Mujahidin Rohingya yang

    menurut data Amnesti Internasional tahun 1991-1992 menyebabkan pengungsi

    sebanyak 250.000 dan di antaranya 30.000 orang mengungsi di Bangladesh

    menurut UNHCR.68

    Keadaan etnis Rohingya di bawah kepemimpinan Junta Militer semakin

    memburuk. Pada 1982 Myanmar membentuk UU tentang kewarganegaraan yang

    mana pemerintah menyertakan 135 etnis yang resmi (taingyintha) diakui di

    Myanmar. Dalam 135 etnis tersebut, etnis Rohingya tidak ikut serta di dalamnya

    yang berakibat etnis Rohingya memiliki status stateless sehingga diskriminasi

    terhadap etnis Rohingya seperti dalam bidang ekonomi dan politik memiliki legal

    standing.69

    Pertimbangan pemerintah dalam UU tersebut untuk mendapatkan status

    etnis yang diakui secara resmi adalah telah berada setidaknya semenjak tahun 1824,

    66 Singh, Tantangan Orang Rohingya Myanmar, 30. 67 Steinberg, Burma/Myanmar, 22. 68 Fasha Nabila Yasyid, “Dampak Pengusiran Etnis Rohingya oleh Myanmar Terhadap Keamanan

    Bangladesh”, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Vol. 5, No. 4, TB:2017, L:1-14 [jurnal on-line]; tersedia

    di https://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/?p=2486; Internet; diunduh pada 11 April 2019. 69 Heru dan Aryanto, Rohingya: Suara Etnis, 9.

    https://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/?p=2486

  • 38

    ketika Inggris pertama kali menginjakkan kaki di Myanmar.70 Menurut sejarah,

    etnis Rohingya telah menetap di Arakan sejak zaman kerajaan Buddha, Mrauk U.

    Kerajaan Mrauk U mendapatkan bantuan dari Sultan Bengal dan membawa orang-

    orang Bengali ke Arakan sehingga terhitung semenjak dibawanya orang-orang

    Bengali, etnis Rohingya telah menetap di Arakan.71

    D. Konflik Rohingya 2012-2017

    Pada 2012, konflik etnis di Rakhine kembali terjadi antara etnis Rohingya

    dan etnis Rakhine. Hal ini disebabkan adanya pemerkosaan dan pembunuhan

    terhadap perempuan dari etnis Rakhine yang disangka dilakukan oleh laki-laki dari

    etnis Rohingya. Atas kejadian ini akibatnya adalah meningkatnya tensi dari kedua

    etnis sehingga menimbulkan kekacauan.72

    Kekacauan yang ditimbulkan karena tingginya tensi di antara dua etnis ini

    menimbulkan peperangan di antara dua belah pihak serta etnis Rakhine

    beranggapan perlunya untuk memberikan balasan kepada etnis Rohingya atas

    kejadian yang telah menimpa salah satu dari etnisnya. Dalam kurun waktu dari Juni

    70 Burmese Rohingya Organisation UK, “Myanmar’s 1982 Citizenship Law and Rohingya”, A

    Briefing, Desember 2014, tersedia di https://burmacampaign.org.uk/media/Myanmar%E2%80%99s-1982-

    Citizenship-Law-and-Rohingya.pdf; Internet; diunduh pada 8 April 2019. 71 Jacques Leider, Rohingya: “The History of a Muslim Identity in Myanmar”, Jurnal Asian

    History: L 1-35, Agustus 2019 [jurnal on-line] tersedia di 10.1093/acrefore/9780190277727.013.115; Internet; diunduh pada 9 April 2019.

    72 Lisa Brooten dan Yola Verbruggen, “Producing the News: Reporting on Myanmar’s Rohingya

    Crisis”, Journal of Contemporary Asia, Vol. 47, No. 3, TB: 2017, L: 106-125 [jurnal on-line]; tersedia di

    DOI: 10.4324/9781315146263-6; Internet; diunduh pada 22 April 2019.

    https://burmacampaign.org.uk/media/Myanmar%E2%80%99s-1982-Citizenship-Law-and-Rohingya.pdfhttps://burmacampaign.org.uk/media/Myanmar%E2%80%99s-1982-Citizenship-Law-and-Rohingya.pdf

  • 39

    2012 sampai Agustus 2013 tercatat 200 orang meninggal dan 140.000 harus

    mengungsi.73

    Dalam negara bagian Rakhine yang merupakan daerah termiskin kedua di

    Myanmar74, terdapat dua etnis besar yang memiliki agama yang berbeda. Etnis

    Rohingya merupakan etnis minoritas dengan populasi sekitar 30% yang beragama

    Islam sedangkan etnis Rakhine adalah etnis mayoritas dengan populasi sekitar 60%

    yang beragama Buddha. Oleh karena itu, konflik Rohingya tidak hanya dikaitkan

    dengan konflik etnis, melainkan juga konflik agama.75

    Konflik etnis yang menjadi konflik agama terlihat setelah adanya aktor-

    aktor yang melakukan kekerasan dengan membawa nama agama dan mengincar

    rumah-rumah peribadahan. Hal ini dibuktikan dengan adanya perusakan masjid-

    masjid dan madrasah yang dilakukan oleh komunitas Buddha. Tensi agama yang

    semakin meningkat menyebabkan timbulnya sentimen anti-muslim di Myanmar.76

    Akibat dari hal di atas adalah penyerangan yang dilakukan oleh etnis

    Rakhine dengan menghadang bis yang berisi 10 penumpang Muslim. Sekitar 300

    orang dari etnis Rakhine membajak bis tersebut dan membunuh seluruh Muslim

    yang ada di dalam bis tersebut. Padahal, Muslim yang berada di bis tersebut

    73 Sandy Nur Ikfal Raharjo, “Peran Identitas Agama dalam Konflik di Rakhine Myanmar tahun 2012-

    2013”, Jurnal Kajian Wilayah, Vol.6, No.1, Juni: 2015, L:35-51; tersedia di DOI: http://dx.doi.org/10.14203/jkw.v6i1.68; Internet; diunduh pada 23 April 2019.

    74 Wawancara dengan Ali Yusuf pada 11 Juli 2019 75 Brooten dan Verbruggen, “Pruducing the News: Rohingya Crisis”, 446. 76 Singh, Tantangan Orang Rohingya Myanmar, 1.

    http://dx.doi.org/10.14203/jkw.v6i1.68

  • 40

    bukanlah berasal dari etnis Rohingya. Kejahatan ini dilakukan dengan motif balas

    dendam kepada Muslim, terlepas dari etnisnya.77

    Peran agama semakin meningkat dalam konflik ini ketika pada 18 Oktober

    2012 para biksu Arakan menggelar konferensi solidaritas dan menyebut etnis

    Rohingya dan pendukungnya sebagai pengkhianat bangsa. Selain itu, pada 14 Juni

    2013 digelar Konferensi Pemimpin Buddha di Yangon yang mengusulkan

    pelarangan pernikahan perempuan Buddha dengan laki-laki Muslim, serta

    diperlukannya izin dari pemerintah bagi Muslim yang ingin berpindah agama

    menjadi Buddha.78

    Pada Juli 2013, status darurat dicabut oleh Presiden Thein Sein, namun

    konflik antara etnis Rakhine dan Rohingya tidak selesai. Pada 25 Agustus 2013,

    kelompok Buddha melakukan perusakan di pemukiman Muslim dan menjarah

    toko-toko yang dimiliki oleh Muslim di Kanbalu, Sagaing. Konflik ini telah mereda

    namun tidak hilang karena meskipun intensitas kekerasan tidak lagi tinggi, etnis

    Rohingya tetap merasakan diskriminasi seper