AL-MA’AD DALAM PEMIKIRAN SAYYID HAYDAR AL-AMULI Dr. Komarudin, MA
AL-MA’AD DALAM PEMIKIRAN SAYYID HAYDAR AL-AMULI
Dr. Komarudin, MA
AL-MA’AD DALAM PEMIKIRAN SAYYID HAYDAR AL-AMULI
ISBN: 978-623-7331-14-8
Penerbit Cinta Buku Media Redaksi: Alamat : Jl. Musyawarah, Komplek Pratama A1 No.8 Kp. Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan Hotline CBMedia 0858 1413 1928 e_mail: [email protected] Cetakan: Ke-1 Februari 2020 All rights reserverd Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Penulis : Dr. Komarudin, MA
Editor : Zahrul Athriah
Desain Sampul : Soraya
Layout : Numay
iii
Kata Pengantar
Segala puji milik Allah SWT dzat Yang Memudahkan setiap
yang sulit dan Yang Menguatkan setiap yang lemah. Shalawat dan
salam untuk nabi Muhammad saw beserta keluargnya dan
sahabatnya.
Alhamdulillâh buku yang berjudul “Al-MA’ÂD DALAM
PEMIKIRAN SAYYID HAYDAR ÂL-AMULΔ dapat terselesaikan.
Buku ini merupakan disertasi penulis yang merupakan tugas akhir
dan syarat meraih gelar Doktor bidang Pemikiran Islam di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Disadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna walaupun
sejumlah pihak sudah membantu dan mengarahkannya. Oleh karena
itu, ucapan hormat dan terima kasih ditujukan kepada mereka yang
sudah membantu kelancaran penyelesaian karya ilmiah ini. Yaitu:
1. Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah
menyelenggarakan Program Beasiswa 5000 Doktor sehingga
penulis bisa mengikuti jenjang pendidikan formal tertinggi ini.
2. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A selaku Rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Prof. Dr. Jamhari, MA, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, MA dan Prof. Dr. Zainun
Kamaluddin Fakih, M.A selaku pembimbing/promotor yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing,
mengarahkan, memotivasi, dan menyampaikan gagasan-
gagasan futuristik demi selesainya disertasi ini.
5. Prof. Dr. Didin Saefuddin, MA selaku Ketua Program Studi
Doktor Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Tim penguji ujian proposal disertasi: Prof. Dr. Didin
Saefuddin, MA, Dr. Abd.Chair, MA, dan Dr. Kusmana, MA
7. Tim penguwi ujian WIP 1 disertasi: Prof. Dr. Ahmad Rodoni,
MM, Dr. Kusmana, MA, dan Suparto, M.Ed, Ph.D
iv
8. Tim penguji ujian komprehensif lisan disertasi: Prof. Dr. Didin
Saepuddin, MA, Prof. Dr. Murodi, MA, dan Dr. JM. Muslimin,
MA
9. Tim penguji ujian pendahuluan disertasi: Prof. Dr. Iik Arifin
Mansurnoor, MA, Prof. Dr. Asep Usman Ismail, M.Ag, Prof.
Dro. Abdul Hadi WM, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, MA, dan
Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA.
10. Seluruh dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
11. Petugas perpustakaan dan seluruh civitas akademika Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12. Ketua dan seluruh civitas akademika Sekolah Tinggi Agama
Islam al-Aqidah al-Hasyimiyyah Jakarta
13. Ayahanda (alm.) H. Mashur yang pada tahun terakhir hayatnya
terus berucap doa untuk kesuksesan studi ini.
14. Zawjatî al-mutîah al-jamîlah, Evi Yani, S.Pd.I, my all good
loking children: si kakak yang masih suka main hp namun
prestasi sekolahnya cukup menggembirakan, Azka Vimar Zeta,
the second daughter yang ranking ke-4 di sekolah dan rajin
bantu mama walau harus disuruh dulu, Anbata Vimar Albira, si
bontot ga jadi yang ga mau dipanggil “tiktik”, Atqiya Vimar
Yanayir, dan my batita yang sering nurunin tumpukan baju dan
buku, si Âmulî. Ups!, yang betul Azuma Vimar Amuli. Nama
akhirnya memang terinspirasi dari bintang disertasi ini.
15. Seluruh mahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya teman-teman penerima Beasiswa 5000
Doktor Kementerian Agama RI tahun 2016-2019 yang saling
selalu mengingatkan ketuntasan studi tepat waktu.
Akhir kalam, kritik dan saran terhadap disertasi ini sangat
ditunggu dan disambut baik demi mendekati kesempurnaan.
Jakarta, 03 Februari 2020
09 Jumadil Akhir 1441
v
Pedoman Transliterasi Arab Latin
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam karya
ilmiah ini adalah sebagai berikut:
A. Padanaan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam
aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
١ Tidak dilambangkan
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h ha dengan garis di bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sh es dan ha ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis di bawah ط
vi
z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap ‘ ع
kanan
gh ge dan ha غ
f ef ف
q qi ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrof , ء
y ye ي
B. Vokal
Vokal dalam bahasa arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dammah
Adapun vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
vii
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ... ى
au a dan u ... و
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad) yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ى
î i dengan topi di atas ى ي
û u dengan topi di atas ى و
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf/I/, baik diikuti
huruf syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-
rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân
E. Shaddah (Tashdîd)
Shaddah atau tashdîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda shaddah
itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima
tanda shaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
huruf-huruf shamsiyyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-
darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
viii
ix
Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................................ iii
Pedoman Transliterasi Arab-Latin ............................................... v
Daftar Isi....................................................................................... ix
Daftar Tabel & Singkatan ............................................................ xiii
BAB I :
PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................. 1
B. Permasalahan ..................................................................... 19
1. Identifikasi Masalah ........................................................... 19
2. Perumusan Masalah .......................................................... 20
3. Pembatasan Masalah ......................................................... 20
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 21
D. Manfaat Penelitian ............................................................ 21
E. PenelitianTerdahulu yang Relevan ................................... 22
F. Metode Penelitian ............................................................. 28
G. Sistematika Pembahasan .................................................. 31
BAB II:
AL-MA’ÂD DALAM PERDEBATAN ...................................... 35
A. Pengertian Eskatologi ....................................................... 35
B. Kematian ........................................................................... 37
C. Yajûj wa Majûj .................................................................. 42
D. Imam Mahdi ...................................................................... 45
E. Alam Barzakh .................................................................... 48
F. Tiupan Sangkakala ............................................................ 52
1. Pengertian Sangkakala ...................................................... 52
2. Jumlah Tiupan Sangkakala ............................................... 52
3. Makhluk Yang Tetap Hidup Saat Sangkakala Ditiup ....... 60
G. Roh .................................................................................... 66
H. Kiamat ............................................................................... 70
1. Sirât, Mîzân dan Shafâ’at ................................................ 76
x
2. Surga ................................................................................. 78
3. Neraka ............................................................................... 82
BAB III:
SAYYID HAYDAR AL-AMULI
DAN PANDANGAN PARA TOKOH 85
A. Biografi dan Perjalanan Intelektual .................................. 85
B. Karya-karya ....................................................................... 104
C. Mengenal Ajaran Imâmiyyah ............................................ 112
1. Pengertian Imâmah .......................................................... 112
2. Pengaruh Imâm dalam Kehidupan Akhirat ....................... 115
D. Pandangan Tokoh mengenai Sayyid Haydar al-Âmulî ...... 116
BAB IV:
KONSEP AL-MA’ÂD SAYYID HAYDAR AL-AMULI .......... 121
A. Usaha Memahami al-Ma’âd .............................................. 121
1. Al-Mabda dan Al-Ma’âd ................................................... 121
a. Al-Mabda ........................................................................... 121
b. Al-Ma’âd ............................................................................ 123
2. Ahl al-Sharîah, Ahl al-Tarîqah, dan Ahl al-Haqîqah ......... 125
a. Ahl al-Sharîah .................................................................... 125
b. Ahl al-Tarîqah .................................................................... 128
c. Ahl al-Haqîqah ................................................................... 130
3. Penilaian tehadap Tiga Kelompok ..................................... 132
a. Pemilik Keutamaan Agung (ûlû al-fadl al-katsîr) ............. 132
b. Kelompok yang Saling Melengkapi ................................... 133
c. Ahl al-Haqîqah sebagai Tahapan Tertinggi ....................... 141
B. Kiamat Kosmik ................................................................. 147
1. Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Sûriyyah .................................... 147
2. Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Sûriyyah ................................... 149
3. Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Sûriyyah .................................... 150
4. Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Ma’nawiyyah ............................. 152
5. Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Ma’nawiyyah ............................ 154
6. Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah ............................ 155
C. Al-Ma’âd Perspektif Âmulî .............................................. 158
1. Ma’âd Ahl al-Sharî’ah ..................................................... 159
xi
2. Ma’âd Ahl al-Tarîqah ....................................................... 161
a. Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Ma’nawiyyah .............................. 169
b. Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Ma’nawiyyah ............................ 174
c. Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah ............................ 180
3. Ma’âd Ahl al-Haqîqah ....................................................... 185
a. Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Ma’nawiyyah ............................. 185
b. Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Ma’nawiyyah ............................ 188
c. Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah ............................ 190
BAB V:
TINJAUAN MUFASSIR TERHADAP PEMIKIRAN AL-MA’ÂD
SAYYID HAYDAR AL-ÂMULÎ ...............................................
A. Argumentasi Kiamat Kosmik ........................................... 197
1. Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Sûriyyah ................................... 197
a. Tanda Hari Kiamat dalam al-Takwîr/81: 1-13 ................. 197
b. Pembangkitan Para Pendusta dalam Al-Naml/27: 83 ........ 202
2. Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Sûriyyah .................................. 205
a. Mudahnya Menggulung Langit dalam al-Anbiyâ/21: 104 . 205
b. Siksa dekat dan siksa besar dalam al-Sajadah/32: 21 ........ 206
3. Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Sûriyyah .................................... 208
a. Menyatukan Kembali Tulang-belulang
dalam al-Qiyâmah/75 : 4 ................................................... 208
4. Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Ma’nawiyyah ............................. 210
a. Jiwa Yang Tenang dalam Al-Fajr/89: 27-30 ..................... 210
b. Awal Kembangbiak Manusia dalam Al-Nisâ/4: 1 ............. 214
5. Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Ma’nawiyyah ............................ 218
a. Penciptaan yang Dimuliakan dalam al-Hijr/15: 29 ............ 218
b. Mudahnya Membangkitkan dalam Luqmân 31/28 ............ 222
c. Penciptaan Yang Lebih Besar dalam Gâfir /40: 57 .......... 224
d. Penciptaan Dua Makhluk Yang Patuh
dalam Fushshilat/41: 11 ..................................................... 226
e. Mereka Seperti Kita dalam Al-An’âm/6: 38 ..................... 228
6. Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah ............................ 231
a. Selebriti Dunia dan Akhirat dalam Âli ‘Imrân/3: 45 ...... 231
b. Tempat Mencari yang Dicari dalam al-Nisa/4: 134 ........ 238
c. Kemenangan Agung dalam al-Shaffat/37: 60-61 ............ 240
xii
d. Pengakuan Yang Tertolak dalam al-Baqarah/2: 94 ........ 242
B. Argumentasi Ahl al-Sharîah ............................................. 244
1. Yang Kekal dan yang binasa dalam al-Rahmân/55: 26-27 244
C. Argumentasi Ahl al-Tariqah .............................................. 245
1. Pengumpulan Kafilah Terhomat
dalam Surat Maryam/19: 85 .............................................. 245
2. Singkatnya Mengatur Urusan Komplek
dalam Al-Sajadah/32: 5 ...................................................... 248
3. Selesainya Semua Urusan dalam Al-Ma’ârij/70: 4 ........... 249
4. Lapisan Jauh dan Ilmu Multi Jangkau
dalam Al-Talaq/65: 12 ....................................................... 251
5. Pahitnya Kegelapan dan Manisnya Hidayah
dalam al-An’âm/6: 122 ..................................................... 253
6. Dua Surga dalam al-Rahmân/55: 46 ................................. 256
7. Tujuh Pintu Jahannam dalam al-Hijr/15: 44 ..................... 258
BAB VI
PENUTUP ................................................................................... 261
A. Kesimpulan ....................................................................... 261
B. Rekomendasi .................................................................... 264
DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 267
GLOSSARIUM ........................................................................... 287
INDEKS ...................................................................................... 291
BIODATA PENULIS................................................................... 295
xiii
Daftar Tabel & Singkatan
Daftar Tabel
Jumlah dan Nama Tiupan Sangkakala ......................................... 58
Makhluk Yang Tetap Hidup Setelah Sangkakala Ditiup ........... 65
Ilustrasi tentang Jumlah Kiamat .................................................. 159
Jenis & Simbol Kematian .......................................................... 174
Hierarki Ahli Makrifat ................................................................. 184
Macam Surga, Deskripsi, dan Penghuninya ................................. 188
Penjelasan Mufasir tentang Pengertian al-Masîh ........................ 235
Nama Neraka & Penghuninya Menurut Mufasir ......................... 259
Daftar Singkatan
AS : ‘Alaihi al-Salâm
Cet. : Cetakan
H. : Halaman
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia
No. : Nomor
SAW : Sallâ Allâhu ‘alaihî wa sallam
SWT : Subhânahu wa ta’âlâ
T.T. : Tanpa Tahun
QS : Qurân Surat
Vol. : Volume
W. : Wafat
xiv
1
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Allâh SWT menegaskan bahwa Dia adalah Maha Pencipta1 dan
akan akan mengembalikan semua ciptaan kepada-Nya. Manusia
seyogianya tidak meragukan hari kebangkitan karena Dialah yang
menghidupkan kembali tulang-tulang yang hancur2 dan Dia telah
menciptakan manusia secara berproses: dari tanah, dari setetes mani,
kemudian menjadi segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging
yang sempurna dan segumpal daging yang tidak sempurna,
selanjutnya ditetapkan di dalam rahim, setelah itu dikeluarkan dari
rahim sebagai bayi, lalu menjadi dewasa, dan seterusnya.3 Proses
tersebut dalam Al-Qurân4 dikenal dengan kejadian lain (al-Nashah al-
Ukhrâ).5
1 QS al-Hijr:15/ 86, Yâsîn:36 /81
ا أ ول م رة و ه و ب ك ل خ ل ق ع ل 2 ي ر م ي م ق ل ي ي ي ه ا الذ ي أ ت ش أ ه QS ي م ق ل م ن ي ي ا لع ظ ام و ه
Yâsîn/36: 78-79 ت م ف ر ي ب م ن ال ب ع ث ف ا ن خ ل ق نكم م ن ت ر اب ث م ن ن 3 ط ف ة ث م ن ع ل ق ة ث م ن يأيها الناس ا ن ك ن
غ ة م لق ة و غ ي م لق ة ل ن ب ي ل ك م و ن ق ر ف ال ر ح ام م ا ن شاء ا ل أ ج ل م س مى ث ر ج ك م م ض ل غ و ا أ ش دك م و م ن كم م ن ي ر د ا ل أ ر ذ ل لا ث ل ت ب ئا و ت ر ى ط ف ي ال ع م ر ل ك ي لا ي ع ل م م ن ب ع د ع ل م ش
ت زت و ر ب ت و أ ن ب ت ت م ن ك ل ز و ج ب ي ج ا ال م اء اه ة ف ا ذ ا أ ن ز ل ن اع ل ي ه -QS (al) ال ر ض ه ام د
aj/22: 5)H 4 Al-Qurân adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW yang diperintahkan membacaanya sebagai ibadah kepada Allah
SWT. Kata al-Qurân tidak mengikuti kaidah derivasi. Al-Qurân adalah nama khusus
untuk sebuah kitab Allah SWT seperti halnya Taurat dan Injil. Menurut al-Qurtubî,
kata “Al-Qurân” diambil dari kata “al-Qarâin (hubungan sejumlah kata)” karena
ayat-ayat dalam al-Qurân saling membenarkan dan saling menyerupai antara satu
hubungan dengan hubungan lainnya”Lihat, ‘Abd al-Qâdir Muhammad Shâlih, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî ‘Asr al-Hadîts, (Bairût: Dâr al-Ma’rifah, 2003 M/1424 H),
cet. ke-1,h. 17. Lihat juga, Mannâ’ al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qurân,
(Munshawirât al-‘Asr al-Hadîts, 1973 M/1393 H), h.21
أ ة ا ل خ 5 (QS An-Najm/53: 47) ر ى و أ ن ع ل ي ه النش
2 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Sesungguhnya diskursus mengenai al-ma’âd sudah ada sejak
lama. Orang Arab pra-Islam, jika seseorang di antara mereka
meninggal dunia, maka unta tunggangannya diikat di kuburnya, lalu
mata unta tersebut dicongkel, tulang keringnya diikat dengan kaki
atasnya, lalu ditinggalkan tanpa makan dan minum hingga mati. Itu
dilakukan karena mereka percaya unta yang mati itu akan bertemu
tuannya di kubur dan akan ditunggangi kembali oleh tuannya menuju
tempat perkumpulan (mahsyar) pada hari kiamat. Unta yang dikenal
dengan sebutan baliyyah6 itu merupakan petunjuk tentang eksistensi
jahiliyyah dalam mempercayai hari kebangkitan.7
Para rasul mengimani proses al-ma’âd yang di dalamnya
makhluk dibangkitkan setelah kematian sehingga pelaku kabaikan
dilimpahkan pahala dan pelaku maksiat ditimpahkan siksa. Sebagai
zat Yang Mahakuasa pasti Allah SWT kuasa mengembalikan seperti
semula jasad yang mati walaupun anggota tubuhnya berencaran
sebagian di bawah tanah, sebagian di atas gunung, sebagian di dalam
laut, dan semisalnya. Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan
yang menciptakannya kali yang pertama.8 Dan Dia Maha
Mengetahui tentang segala makhluk.”
Selain sudah dikenal sejak pra-Islam, al-ma’âd juga merupakan
nikmat khusus yang diberikan kepada para nabi, sahabat, dan orang-
orang beriman9 serta menjadi perhatian serius agama-agama besar.
6 Dalam terminologi Islam, baliyyah sering diartikan sebagai bencana atau
sering diidentikkan dengan al-dahr yang berarti perkara yang sangat tidak disukai
manusia, seperti kemalangan, musibah, dan lainn-nya. Lihat, Eko Prayetno, Kajian
Al-Qurân dan Sains tentang Kerusakan Lingkungan, in Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu
Al-Qurân dan al-hadits, volume 12, no. 1, Juni 2018, h. 122
7 Toshiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003), cet. ke-2, h. 98. Kisah
baliyyah di atas setidaknya telah mematahkan opini yang ditulis Andy Hadiyanto
yang menyatakan masyarakat Makkah Quraish tidak mengakui keberadaan hari akhir
dan berbagai unsurnya seperti pahala dan siksa. Lihat, Andy Hadiyanto, Makna Simbolik Ayat-Ayat tentang Kiamat dan Kebangkitan dalam Al-Qurân, in Hayula:
Indonesian Journal of Multidiciplinary Islamic Studies, vol. 2 no. 2, Juli 2018, h. 10
8 Fakhr al-Dîn al-Râzî , Al-Masâil al-Khamsûn fî Usûl al-Dîn, (Bairût: Dâr al-
Jail, 1990 M/1440H),cet. ke-2, h. 64
9 Abu al-Hasan ‘Ali al-Husnâ al-Nadwâ, Rijâl al-Fikr wa al-Da’wah fi al-Islâm, (Dimasyq: Dâr al-Qalam, 2002 M/1423 H), cet. ke1, juz ke-3, h. 237
Pendahuluan 3
Agama10
Budha menekankan pada nirwana11
, yaitu keadaan yang
tidak ada. Maksudnya, dikarenakan jiwa manusia terpenjara dalam
tubuh maka untuk membebaskan manusia dari keterikatan tersebut,
dia harus menyucikan diri agar tidak kembali ke alam spiritual yang
tidak bertepi. Jika tidak sanggup menyucikan diri selama hidup,
maka ia akan kembali ke alam materi melalui reinkarnasi. Lebih dari
itu, dalam ajaran Yahudi, Kristen, dan Islam, kehidupan sesudah mati
merupakan doktrin setelah kepercayaan kepada Tuhan karena salah
satu tujuan agama adalah mencari kerelaan Tuhan dan beruasaha
mendekatkan diri kepada-Nya. 12
Penyelidikan filsafat tentang hidup sesudah mati tidak
memberi hasil yang konklusif kecuali jika ditambah dengan bukti
adanya Tuhan. Dasar yang kuat tentang kehidupan sesudah mati
tidak akan ditemukan kecuali atas dasar percaya adanya Tuhan.13
10 Dalam bahasa Arab agama disebut “al-dîn” yang berarti “patuh, balasan”
Secara istilah agama adalah iman/percaya kepada pencipta alam dan manusia dan
menjalankan aturan-aturannya. Mengingat banyaknya term tentang definisi agama
dan menjalanan ajaran menjadi diskusi berulang-ulang, maka pengertian agama dapat
diklasifikasikan menjadi empat: Agama ditinjau melalui pendekatan aliran-aliran
kepercayaan yang menerima Tuhan (teisme) dan yang menolaknya (ateisme), agama
ditinjau melaluli pendekatan aliran-aliran yang meyakini keberadaan supra-insani,
agama ditinjau dari pendekatan aliran-aliran yang percaya Tuhan: Tauhid dan Non-
tahuhid, dan agama ditinjau dari pendekatan aliran-aliran kepercayaan bertauhudid
(monoteis). Lihat, Hasan Yusfian, Kalam Jadid: Pendekatan Baru dalam Isu-isu Agama, (Jakarta Selatan, Sadra International Institute, Rajab 1435 H/Mei 2014 M),
cet. ke-1, h. 2-11, lihat juga, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî, Durûs fî al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, (Al-Shirkah al-‘Âlamiyyah li al-Tabbâ’ah wa al-Nashr, t.t.), h. 25
11 Nirvana adalah tujuan tertinggi penganut agama Budha agar terlepas dari
keterbatasan eksistensi. Kata ‘nirvana’ berasal dari akar yang berarti dipadamkan
dengan cara pengurangan bahan bakar. Mengingat kelahiran kembali adalah hasil dari
keinginan, maka kebebasan dari kelahiran kembali tersebut dicapai melalui
pemadaman semua keinginan. Dengan demikian nirvana merupakan keadaan yang
bisa dicapai dalam kehidupan ini melalui aspirasi, kemurnian hidup, dan penghapusan
ego. Nirvana juga bisa dipahami sebagai puncak kesenangan dan perasaan penuh
kedamaian. Lihat, Bruno Becchio, at.al., Encyclopedia of World Religions, (Conord
Publihsing: Foreign Media Books, 2006), h. 635. Lihat juga, Douglas Biber, at.al.,
Longman: Dictionary of Contemporary English, (Pearson Education Limited, 2001),
h. 959
12 Amsal Bakhtiar, FIlsafat Agama, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, Oktober
1999), cet. ke2, h. 215-217
13 David Trueblood, Philosphy of Religion, diterjemahkan oleh H.M. Rasjidi,
Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet. ke-9, h. 177 & 188
4 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Kehidupan sesudah mati diyakini Shî’ah Imâmiyyah14
sebagai
kebangkitan jasamani/tubuh dan rohani/jiwa. Hal ini dinyatakan oleh
Mujtaba Musawi Lârî15
. Menurutnya, manusia16
terdiri dari tubuh dan
roh. Kesatuan tubuh dan roh mencerminkan manusia. Tubuh adalah
alat bagi roh. Dengan demikian, manusia memikul tanggun jawab
dengan kedua dimensinya secara bersamaan; roh dan tubuh. Maka
bagaimana mungkin roh dan tubuh yang melaksanakan kewajiban-
kewajiban hukum akan mengahadapi pembalasan amal hanya dengan
roh saja? Kenikmatan dan siksa tidak dapat dicapai tanpa adanya
tubuh. Kesempurnaan sejati manusia terealisasi dengan keberadaan
dua dimensi sekaligus.
Kepercayaan terhadap kebangkitan roh dan tubuh juga diimani
oleh Mulla Sadra17
dengan alasan sejumlah ayat dalam kitab suci
14 Shî’ah imamiyyah dinisbahkan kepada pandangan yang mengatakan bahwa
imam itu ditunjuk oleh Nabi berdasarkan wasiatnya kepada Ali bin Abi Thalib dan
anak keturunannya sampai imam ke duabelas yakni Muhammad al-Mahdi. Lihat,
Zainal Abidin, Imâmah Dan Impliksinya dalam Kehidupan Sosial: Telaah atas Pemikiran Teologi Syîah, (Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama, November
2012), cet. ke-1, h. 70. Lihat Juga Farhad Daftary, A History of Shi’i Islam,
(London: The Institute of Ismaili Studies, 2013), Series 1, h.43
15 Mujtaba Musawi al-Lari, Dirâsah fî Ushul al-Islâm, diterjemahkan oleh
Tholib Anis, Teologi Islam Shî’ah: Kajian Tekstual-Rasional Prinsip-prinsip Islam,
(Jakarta: Penerbit al-Huda, 2004), cet. ke-1, h. 201. Mujtaba Musawi al-Lari lahir
pada 1925 M/1314 H di kota Lar, tempat ia menyelesaikan pendidikan dasar dan
menengah. Pada 1953 M/1332 H ia menuju Qum untuk melanjutkan studinya.
Ayahnya adalah Ayatullah Sayyid Ali Asghar Lari yang merupakan salah satu ulama
Iran tersohor. Kakeknya bernama Ayatullah Hajj Sayyid ‘Abd al-Husain Lari yang
memperjuangkan kebebasan dalam revolusi konstitusi. Lihat, Mujtaba Musawi Lari,
God and His Attributes: Lessons on Islamic Doctrines, diakses pada 2 Juli 2019 dari
https://books.google.co.id/books?id=PFJaCAAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=M
ujtaba+Musavi+lari&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiaheesuZXjAhVEZ80KHarKBX
QQ6AEINTAC#v=onepage&q=Mujtaba%20Musavi%20lari&f=false
16 Menurut Nasarudin Umar, ada 12 istilah yang digunakan Al-Qurân untuk
menerangkan substansi kejadian manusia. Yaitu air, tanah/bumi, tanah gemuk, tanah
lempung, tanah lempung yang pekat, tanah lempung seperti tembikar, tanah lempung
dari lumpur yang dicetak, diri yang satu, sari pati lempung, mani yang ditumpahkan,
cairan mani yang bercampur, dan cairan yang hina. Lihat, Nasaruddin Umar,
Argumentasi Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qurân, (Jakarta: Paramadina, 2010),
cet. ke-II, h. 204
17 Mulla Sadra, Manifestasi-manifestasi Ilahi; Risalah Ketuhanan dan Hari Akhir sebagai Perjalanan Pengetahuan Menuju Kesempurnaan. Penerjemah: Irwan
Pendahuluan 5
samawi menjelaskan kebangkitan roh18
dan tubuh. Dalam injil
dinyatakan bahwa manusia dikumpulkan sebagai malaikat yang tidak
makan, tidak minum, tidak tidur, dan tidak beranak. Dalam Taurat
disebutkan bahwa para penghuni surga tinggal di dalam kenikmatan
selama sepuluh ribu tahun, lalu mereka menjadi malaikat.19
Para
penghuni neraka tinggal di dalamnya lalu menjadi setan. Dalam Al-
Qurân dinyatakan bahwa tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah
pada hari Kiamat dengan sendiri-sendiri. Menurutya, saat roh
seseorang meninggalkan badan maka kiamat sudah ditegakkan. Saat
itu terciptalah induk otaknya sebagai langitnya, dikuatkan
penginderaannya sebagai planet-planetnya, dijatuhkan inderanya
yang merupakan bintang-bintangnya, dipudarkan jantungnya yang
merupakan mataharinya, diguncangkan buminya yang merupakan
badannya, dirobohkan gunung-gunungnya yang merupakan tulang-
tulangnya, dan dikumpulkan binatang-binatang liarnya yang
merupakan kekuatan-kekuatan geraknya.
Kurniawan, (Jakarta: Sadra InternationalInstitute, Oktober 2011/Dzulqa’dah 1432),
cet. ke-1, h. 81, 92
18 Mulla atau molla diambil dari istilah Arab, “mawlâ” yang berarti
“pemimpin agama” Di Iran penggunaan kata “mulla” disebut untuk menyebut
cendikiawan musilim atau ulama yang menekuni bidang keagamaan. Dalam bahasa
Persia, istilah yang sama dengan “mulla” adalah “akhund” Lihat, Editorial Board,
Encycloedia of Islam and the Muslim World, (Macmillan Reference USA, Thomson,
2014), volume 2, h. 473
19 Dalam akidah ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah, percaya kepada malaikat
merupakan bagian dari rukun iman. Dalam akidah ini malaikat diyakini sebagai
hamba-hamba Allah yang mulia yang tidak pernah maksiat kepada-Nya serta selalu
siap melakukan segala yang diperintah-Nya. Keberadaan makluk yang tercipta dari
cahaya ini ditujukan semata-mata untuk ibadah kepada-Nya. Malaikat bukan anak-
anak-Nya dan bukan juga makhluk yang bekerja sama dengan-Nya sebagaimana yang
dipercayai oleh atheis/mulhidûn. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran,
ر م و ن ن و ل دا س ب حن ه ب ل ع ب اد م ك و ق ال و ا ات ذ الر ح Dan mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai)
anak.” Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba
yang dimuliakan. (QS al-Anbiyâ/21 : 26)
Lihat, Ahmad Farîd, ‘Aqîdah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah, (Maktabah Fayâd, t. t..),
h. 146.
6 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Pendapat Musawa Lârî berbeda dengan pendapat Harun
Nasution20
. Menurut Nasution, kebahagiaan manusia yang
sebenarnya bukanlah kesenangan jasmani, tetapi kesenangan rohani.
Di dunia, memperoleh kebahagiaan jasmani mudah namun
memperoleh kebahagiaan rohahni sulit. Oleh karena itu kesenangan
hakiki adalah kesenangan rohani yang hanya diperoleh di akhirat.
Seandainya yang ditunggu di akhirat adalah kebahagiaan jasmani
maka itu bukan sesuatu yang menarik karena pernah diperoleh di
dunia. Selain itu, menurut Bâqir al-Sadr21
, konsep dua dimensi pada
manusia membuat keterkaitan antara tubuh dan roh sulit ditemukan
karena ia saling mempengaruhi satu sama lain. Misalnya, seseorang
yang merasa melihat hantu di kegelapan ia akan merasa ketakutan,
seseorang yang baru berpidato di depan umum ia akan mudah
berkeringat, seseorang yang mulai berpikir maka suatu yang
menggelisahkan muncul.
Sayyid Hossen Nasr22
menyatakan ajaran eskatologi tidak
hanya menyangkut tujuan akhir manusia tetapi juga menyangkut
kehidupan manusia di dunia karena konsekuensi perbuatan manusia
tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Perbuatan di dunia
mempengaruhi jiwa abadi yang tidak terputus keberadaanya saat
kematian. Kualitas jiwa beragam satu dengan lainnya tergantung
20 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986),
cet. ke-2, h. 90-91
21 Âyatullâh Muhammad Bâqir al-Sadr, Filsafatunâ, diterjemahkan ke Bahasa
Inggris, Our Philosophy, (Islamic Republic of Iran: Ansayiyan Publicatioans, 2006),
cet. ke-1, h. 342
22 Sayyed Hossen Nasr, A Young Muslim’s Guide to the Modern World,
diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Hasti Tarekat, Menjelajah Dunia Modern; Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim, (Bandung: Mizan, Januari 1995), cet. ke-2, h.
49-54. Hossen Nasr adalah ulama kontemporer asal Iran. Ia dilahirkan pada 07 April
1933 di Teherean, Iran. Ayahnya bernama Sayyed Valiullah Nasr, seorang dokter
dan pejabat tinggi setingkat menteri dalam pendidikan pada pemerintahan Reza
Shah. Tasawuf merupakansalah satu tema penting dalam pemikiran Sayyed Hossen
Nasr. Ia menulis buku berjudul Sufi Esssays (1972). Salah satu bab buku tersebut
adalah Apa yang Dapat Diberikan Islam kepada Dunia Modern. Ia adalah orang yang
sangat serius memperkenalkan tasawuf kepada masyarakat Barat modern, sehingga
secara perlahan kekayaan Islam yang paling dalam berupa tasawuf mulai menarik
perhatian sejumlah besari pria dan wanita di Barat. Lihat, UIN Syarif Hidayatullah,
Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung, Penerbit Angkasa, 2008), cet. ke-1, jilid III (T-Z), h.
1101-1107
Pendahuluan 7
perbuatan di dunia. Manusia yang hidup dengan baik akan mati
dengan baik sehingga tingkatan kualitas jiwa tergantung bagaimana
kehidupan dunia. Tokoh neo-modernis23
ini juga mengakui bahwa
ajaran eskatologi mempunyai implikasi etika yang sangat penting.
Implikasi tersebut misalnya, manusia harus hidup secara etis di dunia
bukan karena takut pada hukum eksternal, polisi atau negara, tetapi
takut kepada Allah SWT.
Lebih lanjut Nasr menjelaskan bahwa realitas eskatologi
dengan peristiwa eskatologi harus dibedakan. Peristiwa eskatologi
berkaitan dengan segala hal seluruh kehidupan manusa yang dikenal
dengan yaum al-qiyâmah atau peristiwa eskatologi kosmik,
sedangkan realitas eskatologi berkaitan dengan individu manusia.
Menurut sumber tradisional, ditulis Nasr, dunia diciptakan dengan
batasan permulaan dan diakhiri dengan ditandai peristiwa eskatologi.
Perisitiwa tesebut menyangkut munculnya sosok yang akan muncul
saat terjadi penindasan dan kesewenang-wenangan di bumi. Adalah
Muhmmad al-Mahdi24
sosok yang menumpas penindasan,
menegakkan kembali pemerintahan Islam dan mengembalikan
keadilan serta kedamian di muka bumi yang konon pemerintahannya
berusia pendek dan akan diikuti dengan kembalinya Nabi Isa as.
Keyakinan tersebut melekat pada kaum muslim Sunni dan Shî’ah25
.
23 Sebagian orang menggolongkan Nasr sebagai neo-modernis mengingat
kepeduliannya kepada konformitas Islam dengan dunia modern. Menurut Azra, agak
sulit memasukan Nasr ke dalam berbagai tipologi mengingat pemikirannya yang
kompleks dan multi dimensi terlebih setelah mencermati tulisannya mengenai
persoalan manusia modern, sains, ilmu pengetahuan, seni sampai ke sufisme. Lihat,
Azyumardi Azra, Historiogrami Islam Kontemporer; Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, November 2002), cet. ke-1, h. 193
24 Penjelasan lengkap al-Mahdi di bab II
25 Shî’ah adalah pendukung Ali bin Abi Thalib. Mereka berpendapat bahwa
imamah merupakan hak Ali bin Abi Thalib yang telah ditetapkan berdasarkan nash
Al-Qurân maupun wasiat Nabi. Mereka meyakini bahwa imamah hanya jatuh pada
keturunan Ali bin Abi Thalib. Seandainya imamamah jatuh ke selainnya maka itu
disebabkan karena kezaliman orang tersebut. Menurut mereka, imamah bukan urusan
kemaslahatan umat yang diperoleh melalui pemilihan umum tetapi merupakan
urusan pokok agama Islam (rukn al-dîn). Kelompok syiah bukan kelompok baru
dalam Islam. Ia adalah kelompok yang lahir di awal sejarah Islam. Ia juga kelompok
terlama dalam politik Islam. Syiah terbagi menjadi tiga kelompok besar: Al-
Ghaliyyah, Imamiyah, dan Zaidiyyah. Al-Ghalliyyah terpecah menjadi dua puluh
satu kelompok, Imamiyyah terpecah menjadi dua puluh enam kelompok, dan
8 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Al-Tarâblisî26
dalam bahasan eskatologinya menjelaskan
bahwa hari kiamat dimulai dari hari pembangkitan dan berakhir
dengan masuknya penduduk surga ke dalam surga dan penduduk
neraka ke dalam neraka. Hal yang demikian wajib diimani oleh
setiap mukallaf. Segala hal yang berkaitan dengan hari kiamat juga
wajib diimani seperti pencabutan roh, keaadan alam kubur dan
selainnya yang sesuai penjelasan syariat. Menurutnya, setiap
manusia memiliki roh. Apabilah roh itu ada di dalam tubuh maka
manusia akan hidup namun apa bila roh terlepas dari tubuh maka
manusia menjadi mati. Setiap umur manusia sudah ditentukan oleh
Allah SWT, tidak kurang dan tidak lebih. Seseorang yang mati
terbunuh sesungguhnya mati sesuai ketentuan umurnya.
Selanjutnya al-Tarablisî menerangkan bahwa Allah SWT
mengembalikan roh manusia yang telah mati saat diletakan di dalam
kubur kemudian mengembalikan fungsi indra dan akalnya. Setelah itu
dua malaikat27
mendatanginya dan bertanya seputar keimannannya
agar terbukti jelas perbedaan antara mumin yang patuh dengan yang
selainnya sehingga menjadi nyata siapa yang memperoleh nimat
kubur dan siapa yang tertimpa azab kubur.28
Zaidiyyah terpecah menjadi enam kelompok. Lihat, Abdul Mun’im al-Hafni,
Ensiklopedia: Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam Seluruh Dunia. Penerjemah: Muhtarom & Tim Grafindo, (Jakarta Selatan: Grafindo
Khazanah Ilmu, 1999), cet. ke-2, h. 386-390
26 Husain bin Muhammad al-Jisr al-Tarâblisî, Al-Husûn al-Hamîdiyyah li al-Muhâfadzah ‘alâ al-‘Aqâid al-Islâmiyyah, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, 2012
M/1433 H), cet. ke-1, h. 152
27 Makna malaikat sebagai utusan Allah dibedakan menjadi dua: malaikat
yang mengatur alam raya dan malaikat yang menyampaikan hal-hal keagamaan.
Penjelasan Qurâni tentang malaikat pengatur alam raya dapat di lihat pada QS Al-
Isra/17: 95, Fathir/35: 1, Al-Mursalat/77: 1, Al-An’âm/6: 61, dan Al-Zukhruf/43: 80.
Penjelasan Qurâni tentang malaikat pengatur hal-hal keagamaan dapat di lihat pada
QS Al-Nahl/16: 2, Al-Shûrâ/42: 51,dan Al-Hajj/22: 75. Kata malaikat disebut
sebanyak 68 kali dalam Al-Qurân. lihat, Ahmad Barizi, Malaikat di antara Kita,
(Jakarta Selatan: Penerbit Hikmah, Januari 2004/Dzulhijjah 1424), cet. ke-1, h. 21
28 Al-Tarâblisî, Al-Husûn al-Hamîdiyyah…, h. 152
Pendahuluan 9
Al-Damashqî29
sedikti lebih rinci dalam menjelaskan hari
kiamat. menurutnya, setelah kematian masih ada rangkaian
persinggahan yang dilaluli. Di dalam kubur manusa akan ditanya
oleh malaikat Munkar dan Nakir30
, jika sebab pertanyaan tersebut
manusa menjadi dimurkai maka ia akan mengalami siksa kubur
hingga terdengar tiupan sangkakala. Setelah itu manusia akan
dibangkitkan lalu dipertanyakan semua yang dimiliki baik yang
sedikit ataupun yang banyak, kemudian manusia melewati sirât, dan
terakhir menanti panggilan untuk masuk ke surga atau neraka.
Namun menurut ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî, sebelum memasuki surga
atau neraka, tahapan yang dilalui adalah tidak hanya sirât tetapi juga
mîzân dan shafâ’at.31
Penjelasan Al-Damashqî tersebut sesungguhnya kepercayaan
yang dianut akidah ahl al-sunnah. Menurut akidah ini, semua itu
adalah bagian dari mempercayai rukun iman kelima. Yaitu iman
kepada hari akhir yang di dalamnya percaya adanya kematian,
pertanyaan kubur, azab & nikmat kubur, hari kiamat, tanda-tanda
kecil hari kiamat, tanda-tanda besar hari kiamat, kebangkitan, hisâb,
mîzân, shirât/jembatan, surga, dan neraka.32
Dalam akidah Shî’ah Imâmiyyah, kehidupan hari akhir
dipahami sebagai masa kembali (al-Raj’ah) dan merupakan salah satu
29 Muhammad Jamâl al-Dîn al-Qâsimî al-Damashqî, Maw’izah al-Muminîn
‘alâ Ihyâ Ulûm al-Dîn, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2005 M/1426 H), cet.
ke-1, h. 173
30 Kebanyakan pengumbar hawa nafsu menolak keberadaan kedua malaikat
ini. Menurut ‘Abd al-Samad Falimbani pertanyaan dalam kubur oleh malaikat
Munkar dan Nakir kepada mayat merupakan salah satu aqidah ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah yang wajib diimani oleh setiap mukallaf. Pertanyaan tesebut adalah, siapa
tuhanmu?, apa agamamu?, dan siapa nabimu?. Lihat, ‘Abd al-Shamad Falimbânî,
Hidâyah al-Sâlikîn, (Indonesia: Shirkah Maktabah al-Madaniyyah, t. t.), h. 23-24.
Lihat juga, Abû Hasan Ismâ’îl al-Ash’ârî, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam. Penerjemah: Rosihan Anwar & Taufik Rahman, (Bandung: CV Pustaka Setia,
Oktober 1999/Rajab 1420), buku ke-2, cet. ke-1, h. 190
31 Harapandi Dahri, Pemikiran Teologi Sufistik; Syekh Abdul Qadir Jaelani, (Jakarta Selatan: Wahyu Press, Maret 2004), cet. ke-1, h. 96-107
32 Ahmad Farîd, ‘Aqîdah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah, h. 173-198
10 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
pondasi agama (usûl al-dîn).33
Baginya, kehidupan akhirat adalah
milik imam. Ia bisa membentangkannya atau menolaknya sesuai
kehendak karena wewenang itu pemberian Allah SWT. “Seandainya
bukan karena para imam pasti tidak diciptakan surga dan neraka”
begitu ucapan mereka. Mereka meyakini surga diciptakan dari
cahaya Husain dan merupakan mahar perkawinan Fatimah dengan
‘Ali. Lebih dari itu, Allah SWT memberikan mahar Fatimah satu per
empat (¼ ) dunia sehingga ¼ dunia miliknya dan juga
memberikannya mahar surga dan neraka. Orang-orang yang
memusuhinya masuk neraka dan orang-orang yang mendukungnya
masuk surga.34
Dalam pandangan para filosof, jiwa (al-nafs) akan tetap ada
selamanya setelah kematian dalam keadaan senang atau dalam
keadaan menderita. Derita tersebut terkadang kekal namun
adakalanya pudar (yanmahî) seiring berjalannya waktu. Kemudian
kesenangan dan penderitaan manusia berada pada tingkatan berbeda-
beda pada tingkatan yang tidak terbatas. Kesenangan abadi hanya
untuk jiwa-jiwa sempurna dan suci. Sebaliknya, kesengsaraan abadi
hanya untuk jiwa-jiwa yang tidak sempurna dan ternoda.
Kebahagaian yang takterbatas hanya diperoleh dengan kesempurnaan
yang diperoleh melalui pengetahuan dan dengan kesucian yang
diperoleh melalui perbuatan.35
Berdasarkan pendapat bahwa jiwa akan tetap ada selamanya
maka para filosof memaknai kebangkitan sebagai kebangkitan jiwa
saja.36
Ibn Sina37
misalnya, ia berpendapat bahwa kebangkitan jasad
33 Ali Muhtarom, Titik Temu Suni-Syiah; Studi Pendekatan Komperatif
dalam Pemahaman Islam Mazhab Suni-Syiah, dalam Jurnal Saintifika Islamica,
volume 2 Nomor 2, Periode Juli-Desember 2015, h. 67
34 Nâsir ibn ‘Abdullâh bin ‘Alî al-Qaffârî, Usûl Madzhab al-Shî’ah al-Imâmiyyah al-Itsnâ ‘Ashariyyah, (Dâr al-Haramain li al-Tibâ’ah, t. t.), jilid ke-2, h.
630
35 Abû Hâmid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424 H/2003 M), cet. ke-2, h. 197
36 Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy,
(London and New York: Routldege, 1996), h. 141
37 Nama lengkapnya adalah Abû ‘Alî al-Husaini bin ‘Abdillâh bin al-Hasan
‘Alî bin Sînâ. Ia lahir di Afshanah, Bukhârâ pada 370 H/980 M. Lihat, Muhammad
Pendahuluan 11
adalah mustahil. Alasan Ibn Sina –menurut Harun Nasution38
- adalah
karena Ibn Sina mengklasifikasikan jiwa menjadi tiga; jiwa tumbuh-
tumbuhan (al-Nafs al-Nabâtiyyah), jiwa binatang (al-Nafs al-
Hayawâniyyah), dan jiwa manusia (al-Nafs al-Nâtiqah)39
. Jiwa
manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud
terlepas dari badan. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang yang
ada pada diri manusia yang hanya mempunyai fungsi-fungsi yang
bersifat fisik dan jasmani akan mati dengan matinya badan dan tidak
akan dihidupkan kembali di hari kiamat. Pengklasifikasian jiwa
menurut Ibn Sina mirip dengan yang dijelaskan Aristotles40
.
Menurutnya, sering kali mereka yang membahas dan mencaritahu
tentang jiwa membatasinya hanya pada jiwa manusia saja. Perlu
dicermati apakah jiwa itu terbagi-bagi atau tidak, apakah jiwa itu
merupakan satu kesatuan (homogeneous) atau tidak, apakah jiwa
berbeda pada setiap species atau genus.
Al-Juwaynî, sebagaimana dikutip oleh Tsuroyo Kiswali41
,
berpandangan bahwa kebangkitan jasmani bukan hal yang mustahil.
Akal manusia bisa mengetahuinya melalui perumpamaan pada
tumbuh-tumbuhan. Saat musim kemarau, pohon-pohon layu dan
rontok namun saat musim hujan dahan dan ranting bersemi dan segar
kembali. Pendapanya tersebut didasari dari QS Yasin/36: 78-79,
‘Abd al-Rahmân Marhabâ, Khithâb al-Falsafah al-‘Arabiyyah al-Islâmiyyah, (Bairût:
Muassasah ‘Iz al-Dîn, 1993 M/1413 H), h. 187
38 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1999), h. 32
39 Dalam Târikh al-Falsafah al-‘Ararî tidak disebut dengan al-nafs al-nâtiqah
melainkan al-nafs al-insâniyyah. و النفس عند ابن سينا ثلاث نفس نباتية و نفس حيوانيةانسانيةو نفس Lihat, Jamîl Shalaybâ, Târikh al-Falsafah al-‘Ararî, (Bairût: Dâr al-
Kutub al-Lubnani, 1973), cet. ke-2, h. 250. Lihat juga. Muhammad ‘Abd al-Karîm al-
Shahrastânî, Al-Milal wa al-nihal, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), juz ke-3,
h. 622-623
40 Aristotle, De Anima, Translated with Commentaries and Glossary by
Hippocrates G. Apostle, Aristotle’s On the Soul, (Grinnell, Lowa: The Peripatetic
Press, 1981), h. 1
41 Tsuroya Kiswali, Al-Juwaini; Peletak Teologi Rasional dalam Islam,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), cet. ke-3, h. 189
12 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
ي ر مي م )( ق ل ي ي ي ه ا الذ ي أ ن ش أ ه ا أ ول م ر ة و ٧٨ق ال م ن ي ي ال ع ظم و ه
( ٧۹ه و ب ك ل خ ل ق ع ل ي م )
“Dia berkata, siapakah yang dapat menghidupkan tulang-
belulang yang telah hancur luluh? Katakanlah (Muhammad),
yang menghidupkannya ialah yang menciptakannya pertama
kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk”
Benturan pemahaman mengenai kebangkitan jiwa dan jasad
memuncak saat Ibn Rushd42
dalam risalahnya tahâfut al-tahâfut (The
Incoherence of the Incoherence) menyanggah pemikiran al-Ghazâlî
dalam risalahnya tahâfut al-falasifah (The Incoherence of The
Philosopers). Menurut David Waines43
, dalam perspektif philosof,
jiwa adalah bersifat abadi dan kebangkitan jasad adalah mustahil.
Roh tidak akan kembali ke tubuh setelah mati sebagaimana yang
diyakini para teolog. Demikian komentar Waines ketika memaparkan
pemikiran al-Ghazâlî dan Ibn Rushd.
Badî’ al-Zamân Sa’îd al-Nûrshî44
menganalogikan hari
kebangkitan dengan sebuah kerajaan dunia yang penuh kemewahan.
42 Menurut Aksin Wijaya, Ibn Rushd sering sekali bersikap tidak konsisten.
Di satu sisi, dia mengkritik pola pikir dan pola sikap lawan. Akan tetapi, di sisi lain,
dia juga melakukan hal yang sama dengan pola pikir dan pola sikap lawan
polemiknya. Misalnya, Ibn Rushd menuduh ‘Asyariyyah telah menghukum
seseorang yang tidak mengikuti pendapatnya sebagai ‘sesat’ ‘kafir’, dan ‘bida’h
tetapi dia juga mengklaim diri sebagai aliran paling benar dan mengehukumi ‘sesat’,
‘kafir’, dan ‘bidah’ kepada orang yang tidak mengikuti jejaknya. Lihat, Aksin
Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qurân Ibn Rushd; Kritik Ideologi-Hermeneutis, (Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, Agustus 2009), cet. ke-1, h. 294-295
43 David Waines, An Introductioan to Islam, (Cambridge: University Press,
1995), cet. ke-1, h. 127
44 Badî’ al-Zamân Sa’îd al- Nûrshî, Risâlah al-Hashr, (Dâr al-Sûzlar li al-
Nashr), h. 6-7. Said Nursi lahir pada 1293 H/1877 M di desa Nurs, Biltis, Anatolia
Timur. Mulai berguru kepada kakaknya, Abdullah, lalu berpindah-pindah dari
kampong ke kampong, kota ke kota, hingga ke sejumlah guru dan madrasah. Ia
mampu menghafal hampir 90 judul buku reference dan sanggup menghafal Jam’u al-Jawami’ hanya dalam satu minggu. Pada 1894 M ia pergi ke kota Van untuk
menelaah buku-buku matematika, falak, kimia, fisika, geologi, filsafat, dan sejarah.
Pada 1908 M, ia pergi ke Istanbul. Ia mengajukan sebuah proyek kepada Sultan
Abdul Hamid II untuk membangun Universitas Islam di Anatolia timur dengan nama
Madrasah al-Zahra. Pada 1911 ia pergi ke Syam dan berpidato di Masjid Jami Umawi
mengajak umat Islam untuk bangkit selanjutnya ia kembali ke Istanbul bertemu
Pendahuluan 13
Ia mengisahkan ada dua orang yang melewati dan memasuki kerajaan
tersebut dan dijumpainya semua pintu-pintu dalam keadaan terbuka
dan semua barang mewah dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan.
Seorang diantara mereka merayu temannya mengambil dan
menikmati kenikmatan isi kerajaan tersebut dengan alasan tidak ada
penjagaan dan sekiranya pemiliknya mengetahui pastilah tidak akan
berarti apapun karena jumlahnya yang sangat banyak. Namun teman
yang diajaknya tidak mau mengiktutinya sehingga hanya ia sendiri
yang menikmatinya. Lanjut Nûrshî, kerajaan tersebut adalah ibarat
lapangan ujian. Oleh karena itu tidak mungkin seseorang yang
melakukan dan yang tidak melakukan keburukan akan diperlakukan
sama. Pastilah ada kerajaan lain yang akan mengadili pelaku
keburukan.
Lebih dari itu, Nûrshî juga menganalogikan hari kebangkitan
dengan seorang lanjut usia yang sifat dan perbuatannya seperti anak
kecil lagi. Orang yang berusia lanjut tersebut pastilah sangat kecewa
dan frustasi terhadap keadaannya. namun kekecewaan dan
kefrustasiannya lenyap karena ia yakin akan hari kebangkitan
sehingga ia tidak melakukan perbuatan buruk. Selanjutnya ia
menganalogikan hari kebangkitan dengan hidup keseharian sebuah
kerajaan yang di dalamnya dijumpai juru tulis pada setiap transaksi
dan dijumpai pula kamera-kamera pengintai yang pastilah pemilik
kerajaan itu memiliki perhitungan cermat terhadap hal sekecil
apapun.
Pandangan Nûrshî tersebut diusung kembali oleh Muhammad
Abu Zahra.45
Menurutnya, keyakinan orang mesir kuno menyatakan
kehidupan adalah pertempuran antara kebaikan dan keburukan.
Dalam pertempuran itu terkadang keburukan menang dari kebaikan
dan orang fasik menang dari orang berbudi. Jika tidak ada masa dan
waktu untuk orang baik ditempatkan di tempat baik dan orang jahat
ditempatkan di tempat buruk maka tidak ada keadilan Tuhan. Dengan
Sultan Rasyad bertukarpikiran tentang gagasan universitas Islam. Said Nursi wafat
pada 25 Ramadhan 1379 H/23 Maret 1960 M di kota Urfa. Lihat, Badiuzzaman Said
Nursi, Risalah Kebangkitan; Penalaran terhadap Realitas Akhirat, (Tangerang
Selatan, Banten: Risalan Nur Press, 2015), h. vii s.d. xii.
14 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
demikian pastilah ada hari lain yang dikhususkan untuk pelaku baik
sehingga pelaku buruk tidak boleh ada di dalamnya dan untuk orang-
orang suci sehingga orang-orang kotor tidak diperkenankan ada di
dalamnya.
Senada dengan Nûrshî, Muhammad Taqî Misbah Yazdî46
dan
Quraish Shihab47
juga menjelaskan bahwa kehidupan dunia
diciptakan sebagai tempat ujian dan lahan pembinaan kepribadaian
insani. Ketika sebagian manusia menghabiskan seluruh usianya
untuk ibadah kepada Allah SWT dan sebagian lainnya berbuat jahat
durhaka, zhalim, dan dosa demi mencapai ambisinya, maka tentulah
ada dunia lain dimana pelaku kebaikan dan pelaku keburukan
mendapatkan pelayanan yang berbeda.
Yazdi juga menggambarkan kondisi bumi, laut, gunung, langit
dan bintang-bintang pada hari kiamat berdasarkan ayat-ayat Al-
Qurân seperti keguncangan bumi yang sangat dahsyat, keluarnya isi
perut bumi secara berhamburan, meluap dan terbelahnya lautan,
bergerak dan berguncangnya gunung-gunung, bulan, matahari,
bintang-bintang hancur sehingga sinarnya menjadi pudar lalu padam,
45 Muhammad Abû Zahrah, Dirâsât fî al-Adyân, (Al-Qâhirah: Dâr al-Fikr al-
‘Arabî, t.t.), h..15
46 M.T. Misbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan.
Penerjemah: Ahmad Amin (Jakarta: Al-Huda, 2005 M/1426 H), cet. ke-1, h. 359.
M.T. Mishbah Yazdi adalah tokok yang rasional yang meyakini kebangkitan rohani
dan jasmani dengan alasan: (a) argumentasi Mulla Sadra tentang kebangkitan sebagai
rohani sekaligus jasmani, dengan didasarkan pada prinsip rohaniyat al-baqa jasmaniyat al-huduts, mampu menggabungkan metode rasional, mistik, dan tekstual.
(b) meyakini kebangkitan rohani dan jasmani tidak menegasikan inferensi rasional.
Hal itu, karena setelah melewati pembuktian rasional atas keberadaan dan keesaan
Tuhan (teologi), maka pembuktian prinsip kebangkitan (eskatologi) secara tekstual
merupakan konsekuensi yang runut dan koheren dengan kenabian yang telah
dibuktikan dalammua, yaitu keshahihan wahyu. Lihat, Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Mishbah Yazdi; Filsuf Iran Kontemporer; Studi atas Filsafat Pengetahuan, Filsafat Wujud dan Filsafat Ketuhanan, (Jakarta: Sadra International
Institute, Oktober 2011), cet. ke-1, h. 306
47 Menurutnya, banyak manusia melakukan kebaikan namun disalahpahami
bahkan dituduh sebagai pelaku kejahatan sehingga ia merasa tersiksa bahkan masuk
penjara. Sebaliknya, banyak orang melakukan kejahatan tetapi lolos dari sanksi
bahkan hidupnya senang dan bahagia. Keadaan seperti itu menuntut kepercayaan
adanya hari di mana masing-masing mendapatkan balasan dan ganjaran atas
perbuatannya. Lihat, M. Quraish Shihab, Islam yang Saya Anut: Dasar-dasar Ajaran Islam, (Ciputat, Tangeran: Penerbit Lentera Hati, Januari 2018), cet. ke-1, h. 197
Pendahuluan 15
segala gerak, tatanan dan aturannya menjadi hancur. Matahari
bertabrakan dengan bulan, langit bergoncang, terbelah, lalu hancur
yang kemudian gugusan langit luluh bagaikan barang-barang
tambang yang diluluhkan dan mencair. 48
Sachiko Murata dan William C. Chittck49
menjelaskan bahwa
hari akhir adalah bukan sekedar hari kebangkitan akan tetapi
berakhirnya alam50
, bukan hanya berakhirnya kehidupan mikrokossos
akan tetapi juga berakhirnya kehidupan makrokosmos.51
Kejadian
pada mikrokosmos52
dan makrokosmos sama dengan kejadian pada
setiap jiwa.
Menurut Sachiko dan Chittick, tidak ada kaitannya antara Nabi
Muhammad sebagai nabi terakhir dengan kedatangan hari akhir.
Sebagian Muslim dan Kristen ingin hari akhir terjadi di masa
hidupnya namun nyatanya tidak demikian. Oleh karena itu perlu
48 M.T. Mishbah Yazdi, Amuzesye Aqayid, h. 395
49 Sachiko Murata and William C. Chittck, The Vision of Islam, (St. Paul
Minnesota, Paragon House, t. t..), h. 202-203
50 Menurut Newton sebagaimana dikutip oleh Greg Sutomo, alam semesta
terdiri dari tiga realita: materi, ruang, dan waktu. Materei tersusun atas atom-atom
yang terikat selamanya sedangkan ruang dan waktu adalah absolute, artinya akan
selalu ada seandainya materi di alam raya ini musnah. Greg Soetomo, Sains & Problem Ketuhanan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 2002), cet. ke-6, h. 31
51 Makrokosmos dalam KBBI adalah alam semesta. Makrokosmos dan
mikrokosmos adalah istilah dalam filsafat yang masing-masing mengacu pada
pengertian alam secara keseluruhan dan alam tidak secara keseluruhan yang dalam
hal ini manusia sebagai model dan lambangnya. Menurut salah satu versi analogi
kuno, manusia dan alam dibentuk sesuai proporsi keharmonisan yang sama yang
masing-masing disesuaikan satu dengan lainnya. Alam, -seperti manusia, hidup dan
sadar, makhluk Tuhan,- digambarkan dengan keberadaan manusia. Animisme dan
panpsychisme juga memandang alam sebagai sebuah makhluk hidup secara
keseluruhan. Gagasan tentang mikrokosmos muncul sebelum pemikiran filsafat
Socrates tentang persoalan yang berkaitan dengan Yang Satu dan Yang Banyak.
Lihat, Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, (Macmillan Reference USA,
2006), edisi II, vol. 5, h. 369. Menurut Sachiko Murata, pasangan yang paling sering
disebut dalam Al-Qurân yang dapat ditafsirkan sebagai gambaran keseluruhan
kosmos adalah langit dan bumi. Sejumlah ayat menyatakan bahwa segala sesuatu di
alam raya dicakup oleh keduanya ini, Lihat, Sachiko Murata, The Tao of Islam,
(Bandung: Mizan, 1999), h. 167. Lihat juga KBBI, h.619
52 Dunia kecil, khususnya manusia dan sifat kemanusiaan yang merupakan
contoh dalam ukuran kecil dari alam semesta. Lihat KBBI, h. 655
16 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
disadari bahwa satu hari adalah lima puluh ribu tahun dalam
perhitungan Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qurân,
ل ع ذ اب و ل ن ي ل ف الله و ع د ه ل و ن ك ب ت ع ج و ا ن ي و ما ع ن د ر ب ك ك أ ل ف و ي س س ن ة م ا ت ع دو ن
“Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan,
padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya.
Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu
tahun menurut perhitunganmu” (Q.S. al-Hajj/22: 47)
Dalam ayat lain dinyatakan bahwa satu hari perjalanan naik
para malaikat dan al-Roh adalah lima puluh ribu tahun;
ي ا ل ف س ن ة ت ع ر ج ال م لئ ك ة و الرو ح ا ل ي ه ف ي و م ك ان م ق د ار ه خ س “Malaikat-malaikat dan Jibril
53 naik (menghadap) kepada
Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun”
(Q.S. al-Ma’ârij/70: 4)
Seandainya hanya sejam saja dari sehari yang lima puluh ribu
tahun itu untuk memastikan kedatangan hari akhir tentulah masih
sangat lama menunggunya. Oleh karena itu, dalam Al-Qurân, hanya
Tuhan yang mengetahui kedatangannya. Siapapun yang mengklaim
mengetahuinya pastilah ia sedang berdusta.
Saat menjelaskan manfaat kalimat lâ ilâha illâ Allâh,
Fakhuddîn al-Râzî54
memuat keterangan singkat perihal hari kiamat.
Menurutnya, pada hari kiamat seluruh perbuatan yang mencerminkan
ketaatan kepada Allah SWT seperti salat, puasa, haji akan lenyap
53 Kata jibrîl, menurut ahli bahasa, disebut juga jibrîn dan jibraîl yang oleh
Ibnu Jinnni sewazan dengan fi’lail, hamzah pada kata tersebut adalah
tambahan/zâidah dari kata jibrîl. Dalam pendapat lain dinyatakan bahwa kata jibrîl adalah kata majemuk dari dua kata jibr yang berarti ‘hamba’ dan îl yang berarti
‘Tuhan’. Sehingga kata jibrîl berarti ‘abd allâh (hamba Tuhan). Dari segi istilah,
jibril adalah nama malaikat yang bertugas menurunkan wahyu. Selain jibril, ia juga
disebut dengan al-rû al-amîn (roh yang dipercaya) dan roh al-quds (roh suci). Dalam
hadits ia juga dikenal dengan sebutan al-nâmûs al-akbar (malaikat terbesar). Lihat,
Tim Penyusun, Ensiklopedia Al-Qurân: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati,
2007), h. 392-393
54 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tawîl, (Bairût: Dâr al-
Jayl, 1412 H/ 1992 M), cet. ke-1, h. 50
Pendahuluan 17
sedangkan perbuatan yang mencerminkan ketaatan kepada Allah
seperti tahlîl dan tahmîd akan tetap ada. Argumentasinya tersebut
didasari kisah penduduk surga dalam Al-Qurân yang tetap bertahmid
dan bertasbih; wa qâlû al-hamd li Allâhi al-ladzî sadaqanâ wa’dahû,
da’wâhum fîhâ subhânaka Allâhumma wa tahhiyyatuhum fîhâ salâm
wa âkhiru da’wâhum ‘an al-hamd lillâhi rabb al-‘âlamîn.
Wahbah Zuhailî55
saat menafsirkan56
surat al-Tûr menjelaskan
bahwa orang-orang yang akan mengalami suasana hari kiamat57
seperti langit berguncang dan gunung berjalan adalah mereka yang
mendustakan utusan-utusan Allah, mereka yang tidak mau menghisab
diri sebelum Penghisab menghisabnya, mereka yang tidak takut
terhadap hukuman Allah, mereka yang bermain-main dalam
beragama, dan mereka yang mendustakan segala yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW. Orang-orang tersebut selanjutnya didorong
ke dalam neraka Jahannam yang saat di dunia mereka
mendustakannya. Allah SWT, Zat Yang mampu menjadikan sesuatu
yang tidak ada menjadi ada tentulah mampu membuat sesuatu yang
sebelumnya sudah ada menjadi ada kembali.
Sayyid Haydar al-Âmulî adalah figur yang mempunyai
pandangan tersendiri mengenai hari kebangkitan. Menurutnya,
kiamat merupakan perumpamaan perubahan, pergantian, dan
pengembalian alam nyata menuju alam tersembunyi sebagaimana
dunia sebagai penampakan Yang Maha Tersembunyi melalui segala
sesuatu yang nampak. Dunia dan akhirat hanyalah dua tempat
55 Wahbah Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Sharî’ah wa al-
Manhaj, (Bairût: Dâr al-Fikr, 1418 H/1998 M), Jilid ke-27, h. 58, 266-267
56 Kegiatan menafsirkan Al-Qurân sudah dikenal sejak masa Rasulullah
Muhammad saw. Setiap kali Jibril datang membawa wahyu, Nabi saw mengajarkan
dan menjelaskannya kepada para sahabat dalam bahasa Arab sebagai bahasa objek
dakwahnya agar memberi penjelasan tentang syariat yang disampaikannya. Lihat,
Hamdani Anwar, Corak Maqasidi dalam Tafsir Al-Qurân, dalam Al-Burhan: Jurnal Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qurân, Vol. 8 No. 2 November 2017, h.
976
57 Mengingat dahsyatnya kehancuran pada hari kiamat, Simon WinchesTer
mengistilahkan letusan merapi sebagai lepasnya rantai gerbang neraka yang diawali
dengan kejang-kejang sekarat, tsunami, dan ledakan kiamat. Lihat, Simon
WinchesTer, Krakatau Ketika Duna Meledak. Penerjemah: Bern Hidayat, 27
Agustus 1883, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), cet. ke-1
18 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
penampakan dari banyak tempat penampakakan sebagaimana
penampakan angka seratus dan seribu yang sebelumnya dimulai dari
angka satu. Walaupun dunia dan akhirat sebagai tempat penampakan
namun penampakan tersebut tidak terbatas hanya di dua tempat itu
karena penampakan pada dua tempat itu juga terbatas karena sifatnya
yang menyeluruh. Dengan demikian kedua tempat penampakan itu
pastilah harus kembali kepada Yang Nampak. Lebih jauh ia
menjelaskan, memahami wujud ibarat memahami sebuah kerajaan.
Jika pada sebuah kerajaan visual terdapat sultan, menteri, perdana
menteri, para tentara, dan para penjaga maka dalam kerajaan hakiki
pasti ada di dalamnya raja, menteri, perdana menteri, tentara, dan
penjaga. Sebagaimana setiap individu pada kerajaan visual
menjalankan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, maka hal
yang sama juga terjadi pada kerajaan hakiki. Saat mengungkap
tentang kiamat, Âmulî menjelaskan bahwa kiamat adalah ibarat fanâ
seorang hamba bersama Al-Haqq58 dalam bertauhid yang dihasilkan
dari ibadahnya. Kiamat yang dihasilkan dari fanâ tauhid ini
menghasilkan surga meteril yang bisa disaksikan dan merupakan
surga yang lebih tinggi dari surga wâritsah dan surga nafsiyyah.
Memperhatikan pemikiran eskatologi Âmulî tersebut membuat
sejumlah sarjana tertarik mengenal Âmulî lebih dekat. Seyyed Hossen
Nasr59
misalnya, ia menilai Âmulî adalah salah satu figur yang
mencoba mensintesiskan pemikiran para filosof dan teolog yang pada
berikutnya meletakan dasar terhadap kemunculan beberapa filosof
58 Al-Haqq adalah salah satu nama atau sifat Allah SWT, Dzat yang wujud-
Nya benar benar maujud. Dalam QS al-An’âm/6 :62, ث ر دو ا ا ل الله م له م ال ق ألآ ل هب ي س ر ع ال م و ه و أ س kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada) ال ك
Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada
hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat Perhitungan yang paling cepat.)
Lihat, Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Dâr al-Ma’ârif, t.t.), jilid ke-2, h. 940
59 Seyyed Hossein Nasr, The Islamic Intelctual Tradition in Persia, (Curzon
Press, 1996), cet. ke-1, h. 229. Lihat juga, Seyyed Hossein Nasr, al-Hikmat al-Ilâhiyyah and Kalâm, (Studia Islamica, Maisonneuve & Larose No. 34 (1971)), pp.
139-149, h. 143
Pendahuluan 19
seperti Mir Damad dan Mulla Sadra60
. Beranjak dari sini, penulis
tertarik mengangkat ide-idenya tentang hari kebangkitan yang dalam
bahasanya disebut dengan al-ma’âd. Selain dari itu masih dijumpai
peneliti yang keliru dalam mengenal dan memahami pemikiran
Âmulî. Sajjad H. Rizvi61
dan Cucu Surahman62
misalnya, Rizvi
keliru dalam menjelaskan waktu wafat Âmulî dengan menyatakan
Âmulî wafat pada kisaran tahun 1737-38 M. Sedangkan Surahman
keliru memahami konsep integrasi sharî’ah, tarîqah, dan haqîqah yang
diusung Âmulî mengingat ia membuat perumpamaan ketiga itu
dengan sebuah wadah dengan tiga pembatas ukuran; ukuran pertama
dipahami sebagai sharî’ah, kedua sebagai tarîqah, dan ketiga sebagai
haqîqah.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Memperhatikan latar belakang masalah di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa permasalahan seputar eskatologi. Di
antaranya adalah:
60 Ia adalah Sadr al-Dîn al-Shirâzî, dikenal dengan Mulla Sadrâ. Ia ad-malah
seorang filosof yang ahli metafisika. Ia menulis Al-Asfâr, sebua buku metafisika
yang sangat popular. Ia juga menulis sajak-sajak filosofis. Ia wafat pada 1060 H.
Sadra memiliki pengetahuan mendalam tentang mazhab-mazhab pemikiran filsafat
Islam sebelumnya. Ia tahu betul filsafat Peripatetik (mashâ’î), teutama pemikiran
Ibn Sina. Ia juga dikenal dengan kaum Peripatetik terkemudian, seperti Nashîr al-
Dîn Thûsî dan Atsîr al-Dîn Abhârî. Selain itu ia juga guru pemikiran ishrâqî dan
menyalin sejumlah cerita visioner Suhrawardi lalu menulis komentar penting dari
Hikmah al-Ishrâq, karya guru mazhab Iluminasi. Lihat, Hasan ul-Amine, Shorter Shi’ite Encyclopedia, (Islamic Republic of Iran, Ansariyan Publications, t. t..), h.
253. Lihat juga, Hossein Nasr & Oliver Leaman. Penerjemah: Tim Mizan,
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, Oktober 2003/Sya’ban 1424),
cet. ke-1, h. 912
61 Sajjad H. Rizvi, Hikma Muta’aliya in Qajar Iran: Locating the Life and Work of Mulla Hadi Sabzawari, Iranian Studies, volume 44, number 4, July 2011, h.
8
62 Cucu Surahman & Aceng Kosasih, The Integration of Sharîah, Tariqah, and Haqîqah: A Study of Sayyid Haydar Âmulî’s Thougt, Ulumuna: Journal of
Islamic Studies, (Islamic State Institute Mataram, 2016), Vol. 20. No.2, 2016, p.
293-318
20 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
1. Dijumpai deskripsi yang berbeda-beda perihal hari
kebangkitan. Setiap sarjana memiliki sisi lain dalam
menjelaskannya.
2. Konsep-konsep yang ada tentang al-ma’âd dirasa masih terus
berkembang ragamanya.
3. Narasi63
Al-Qurân mengenai al-ma’âd ditafsirkan secara
beragam.
4. Tirai Pemikiran Sayyid Haydar al-Âmulî, khususnya
mengenai kehidupan sesudah mati, diduga belum terungkap.
Selain itu, masih dijumpai peneliti yang keliru dalam
menejalaskan masa hidupnya.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di
atas maka masalah inti dalam penelitian ini dirumuskan menjadi:
“Bagaimana Sayyid Haydar al-Âmulî Memformulasikan Konsep al-
Ma’âd ? Dari pertanyaan tersebut terinci tiga petanyan minor:
1. Bagaimana narasi al-ma’âd perspektif Sayyid Haydar al-
Âmulî?
2. Apa pendapat mufasir mengenai sejumlah ayat Al-Qurân yang
dijadikan dasar pemikiran al-ma’âd Sayyid Haydar al-Âmulî?
3. Apakah pemikiran al-ma’âd Sayyid Haydar al-Âmulî
mencakup seluruh aspek?
4. Apa model pemikiran al-ma’âd yang diusung Sayyid Haydar
al-Âmulî?
3. Pembatasan Masalah
Setelah dipaparkan latar belakang, identifikasi dan rumusan
masalah, maka persoalan inti yang akan diteliti dibatasi pada
pemikiran al-ma’âd Sayyid Haydar al-Âmulî
63 Narasi adalah penceritaan suatu cerita atau kejadian. Dalam sastra, narasi
berarti cerita atau deskripsi dari sesuatu kejadian atau peristiwa; kisahan. Narasi
bisa juga berarti tema suatu karya seni. Lihat,. Departeme Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), cet. ke-
4, h. 683
Pendahuluan 21
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah mendapatkan deskripsi
yang jelas perihal pemikiran al-ma’âd Sayyid Haydar al-Âmulî.
Dari tujuan umum dirinci menjadi tujuan khusus sebagai berikut: a)
Menemukan konsep al-ma’âd Sayyid Haydar al-Âmulî, b)
Menemukan pendapat para mufasir tentang sejumlah ayat Al-Qurân
yang dijadikan sandaran pemikiran al-ma’âd Sayyid Haydar al-
Âmulî, c) Menganalisa pemikiran Sayyid Haydar Âmulî tentang al-
ma’âd, dan d) Menemukan model pemikiran al-ma’âd yang diusung
Sayyid Haydar al-Âmulî
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini secara akademis diharapkan menjadi
pijakan bagi peneliti berikutnya dalam mengkaji pemikiran Sayyid
Haydar al-Âmulî mengingat masih dijumpai ruang pemikirannya
yang masih belum dijamah oleh para pecinta kajian. Lebih dari itu,
penelitian Perspektif Sayyid Haydar al-Âmulî tentang al-ma’âd
diharapkan bermanfaat baik secara teoritikal ataupun secara
praktikal. Secara teoritikal, diharapkan terwujudnya pemahaman
konsep al-ma’âd yang digagas Sayyid Haydar al-Âmulî sedangkan
secara praktikal, diharapkan adanya peningkatan pemahaman
tentang al-ma’âd yang dapat menambah keimanan dan kedekatan
dengan Allah SWT, bagi penulis, khsususnya.
Penelitian ini memperkenalkan tiga cara pandang baru dalam
memahami al-ma’âd: cara pandang ahli syariat, ahli tarekat, dan ahli
hakikat. “Kebuntuan” filsafat memahami peristiwa kiamat
disebabkan filsafat memasukinya melalui pintu ahli syariat di mana
mereka memahaminya melalui informasi kitab suci yang wajib
diimani sedangkan filsafat murni melalui koridor berpikir logis. Bagi
ahli tarekat, kembali kepada-Nya (ma’âd ) sangat mungkin terjadi
melalui aplikasi segala sifat-Nya dalam kehidupan dunia sehingga
dirasakan adanya “kebersamaan” dengan-Nya. Keadaan seperti itu
ibarat satu kaki berada di dunia sedangkan satu kaki lainnya sudah
kembali kepada-Nya. Guyuran cinta kepada-Nya yang terus semakin
deras membuat mereka semakin tercebur dalam kolam penyatuan
dengan-Nya. Keadaan semacam itu dirasakan ahli hakikat sehingga
22 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
mereka mengalami ma’âd di dunia tanpa menanti rangkaian peristiwa
eskatologis.
Thesis Statement penelitian ini adalah pemikiran Sayyid
Haydar al-Âmulî tentang hari kebangkitan merupakan salah satu
argumentasi yang memperkuat konsep tauhid menurutnya.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Sesungguhnya karya ilmiah perihal al-ma’âd cukup banyak
dijumpai. Namun isi dari karya-karya tersebut lebih pada upaya
meyakinkan kedatangan hari kebangkitan dan mendiskripsikan
kejadian hari kebangkitan hanya melalui nash Al-Qurân tanpa
pendapat sejumlah mufasir. Sekalipun ada itu hanya dilakukan
dengan mengacu pada satu tafsiran mufasir saja. Kajian-kajian
pemikiran Sayyid Haydar al-Âmulî masih minim sekali walaupun
dijumpai beberapa penulis mengomentarinya.
Pada bagian penelitian terdahulu yang relevan ini penulis
membaginya menjadi dua; yang terkait dengan bahasan eskatologi
dan yang terkait dengan Sayyid Haydar al-Âmulî .
Penelitian terdahulu yang relevan dengan eskatologi adalah:
1. Badî’ al-Zamân Sa’îd al-Nûrshî menulis Risâlah al-Hashr yang
memuat argumentasi logis terhadap kedatangan hari
kebangkitan yang semuanya disajikan dalam bentuk cerita
imajiner sebanyak dua belas penyajian. Di antaranya adalah
seseorang yang mecuri dengan seseorang yang tidak mencuri
yang keduanya memiliki kesempatan dan pada situasi yang
sama maka tidaklah mungkin akan diperlakukan sama di
akhirat kelak.
2. Kholid al-Walid64
dalam desertasinya pandangan eskatologi
Mulla Sadra menyimpulkan bahwa gagasan eskatologi Ibn Sina
dan al-Ghazâlî kesemuanya terjebak dalam persoalan
reinkarnasi dan gambaran bermacam peristiwa pasca
keterpisahan jiwa dari raga umumnya bersifat metaforis.
Menurutnya, pandangan Mulla Sadra tentang peristiwa yang
64 Kholid Al Walid, Pandangan Eskatologi Mulla Sadra, (Disertasi: Sekolah
Pasca Sarjana UIN SYarif Hidayatullah Jakarta 2008)
Pendahuluan 23
dialami jiwa pasca kematian dipengarohi oleh pemikiran
Syaikh Isyrâq, al-Ghazâli dan Ibn ‘Arabî.
3. Jawadi Âmulî65
meneliti tentang hari kebangkitan dan hari
kiamat dalam Al-Qurân. Penelitan itu diberi judul, al-Ma’âd
wa al-Qiyâmaf fî al-Qurân. Ia menegaskan keharusan adanya
hari kiamat karena itu sangat berpengaroh pada pembinaan
jiwa dan pendidikan roh. Sangat berdampak buruk bagi yang
melupakan hari kiamat. Allah berfirman, “karena mereka
melupkan hari perhitungan” (Q.S. Shâd: 26). Walaupun
penelitian tersebut diberi judul Hari Kemudian dan Hari
Kiamat dalam Al-Qurân, namun dari berbagai bab hanya
sebagian kecil bab yang memuat penelitian tentang hari
kiamat, yang lainnya berkisar antara tauhid, takwa66
, kenabian
dan tujuan penciptaan.
4. Ahmad Farîd67
dalam ‘Aqîdah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah
memuat bab hari kebangkitan (al-’ba’ts) dengan pembahasan
yang sangat sederhana, yaitu hanya mengungkapkan dalil-dalil
Al-Qurân yang berkaitan dengan al’ba’ts.
5. Amirudin Syah68
memberi judul penelitiannya dengan
Nikmatnya Qiyamat. Isinya adalah penjelasan kepastian
datangnya hari kiamat, alam barzakh, ziarah kubur, Syekh Siti
Jenar, dan persiapan agar selamat menuju kiamat.
65 Jawadi Âmulî, Makna Hari Kiamat Dalam Al-Qurân, (Jakarta: Sadra
International Institute, 2012)
66 Takwa adalah berhati-hati atau waspada dengan cara menjauhi segala yang
tidak disukai Allah SWT. Takwa juga bisa berarti mengerjakan segala yang
diwajibkan Allah SWT dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Lihat, Abû
‘Abdillâh al-Hârits bin Asad al-Muhâsibî, Al-Ri’âyah li Huqûq Allâh, (Bairût: Dâr al-
Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), h. 40
67 Ahmad Farîd, ‘Aqîdah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah, (Maktabah Qiyâdl, t.
t..), h. 194-195
68 Amirudin Syah, Nikmatnya Qiyamat, (Jakarta: Institut Kajian Tasawuf,
t.t.)
24 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
6. ‘Abd al-Rahîm ibn Muhammad al-Qâdî69
menulis Daqâiq al-
Akhbâr fî Dzikr al-Jannah wa al-Nâr yang diterjemahkan
menjadi Kehidupan Sebelum & Sesudah Kematian yang isinya
adalah diskripsi penciptaan beberapa malaikat dan tugas-
tugasnya, golongan orang-orang yang akan masuk surga dan
neraka, kematian, suasana menjelang hari kiamat dan lain
sebagainya yang pada intinya adalah mengajak untuk
memperisiapkan diri dengan taqwa sebelum terlambat.
7. Anthony A. Hoekema70
menulis The Bible and The Future.
Buku tersebut menjelaskan pandangan eskatologi menurut
iman Kristen, eskatologi menurut pandangan perjanjian lama
dan eskatologi menurut perjanjian baru.
8. G R Beasley-Murray71
dalam Biblical Eschatology:
Apocalyptic Literature and The Book of Revelatioan
menganggap adanya hubungan dasar antara nubuat dan
apokaliptik72
. Muray mengutip pendapat Harnack yang
menyatakan bahwa apokaliptik merupakan warisan jahat yang
diambil orang-orang Kristen dari orang-orang Yahudi. Hal
tersebut dibantah oleh FC Porter. Menurutnya, pemahaman
apokaltiptik seperti itu tidak bisa dipertahankan namun masih
tetap diadopsi oleh mereka yang tidak menyukai eskatologi
Perjanjian Baru.
9. Safaruddin73
dalam Eskatologi menyimpulkan bahwa
eskatologi merupakan bagian dari prinsip keimanan dalam
69 Syekh Abdurrahim bin Ahmad Al-Qadhi, Kehidupan Sebelum & Sesudah
Kematian, (Jakarta: Turos, 2015)
70 Hoekema, Anthony A., The Bible and The Future, (The Paternoster Press
Carlisle, UK: William B. Eeerdsman Publishing Company Grand Rapid, 2010)
71 G R Beasley-Murray, Biblical Eschatology, The Evangelical Quarterly 20.
4 (July 1948): 272-282
72 Apokalips adalah wahyu atau penyingkapan. Jika disebut satra apokaliptik
maka itu adalah jenis tulisan mengenai penyataan Ilahi yang berasal dari masyarakat
Yahudi kurang lebih antara tahun 250 SM dan 100 M yang kemudian diambil alih
dan diteruskan oleh Gereja Kristen. Lihat,
https://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_apokaliptik. Lihat juga KBBI, h. 53
73 Lihat, Safaruddin, Eskatologi, Jurnal al-Hikmah, vol. XIV, nomor 2/2013,
h. 1.
Pendahuluan 25
Islam. Keimanan seseorang menjadi batal tanpa keyakinan
terhadap prinsip tersebut. Namun iapun menyadari bahwa
prinsip tersebut masih menjadi diskursus panjang jika dilihat
melalui pendekatan filosofis.
10. Muhammad Yasir74
dalam Al-‘Adzâb dalam Eskatologi Ibn
‘Arabî membentangkan azab perspektif Ibn ‘Arabî yang
didahulukan dengan penjelasan al-‘adzâb dalam Al-Qurân.
Dalam akhir tulisannya Yasir menyimpulkan bahwa kontek
rahmat pada azab menurut Ibn ‘Arabî terletak pada tujuan
pemberian ‘adzâb itu sendiri, yaitu sebagai bentuk penyucian
bagi diri yang menerimanya.
11. Saifudin75
dalam desertasinya menjelaskan bahwa salah satu
hadis mengenai eskatologi yang terdapat di Jâmi’ al-Turmudzî
pada Bâb Abwâb Sifat al-Qiyâmah, bâb mâ jâa fî sifat al-
Hawd, diriwayatkan oleh enam rawi: al-Turmudzî, Muhammad
bin Yahya, Bishr bin Syu’aib, Syu’ib bin Abi Hamzah, al-
Zuhri, dan Anas bin Malik. Para rawi tersebut dikritik oleh
lebih dari enam belas orang ulama kritikus hadis.
12. Andy Hadiyanto76
dalam Makna Simbolik Ayat-Ayat tentang
Kiamat dan Kebangkitan dalam Al-Qurân menyimpulkan
terdapat tujuh cara Al-Qurân dalam memastikan terjadinya
hari kebangkitan: mendiskripsikan proses pembalasan baik dan
buruk perbuatan manusia, bersumpah menggunakan kata hari
kebangkitan, memberitahukan kekuasaan Allah, menjelaskan
bahwa kebangkitan adalah perulangan penciptaan manusia,
menerangkan bahwa membangkitan adalah hal mudah bagi
Allah, mengungkapkan bahwa siksa dunia merupakan contoh
74 Lihat, Muhammad Yasir, Al-‘Adzâb dalam Eskatologi Ibn ‘Arabi, An-
Nur, Vol. 4 No. 1, 2015
75 Saifuddin, Hadis-hadis Eskatologi dalam Kitab Jami al-Turmuzi: Studi Kritis tentang Kualitas Sanad Hadis, (Program Pascasarjana Institut Agama Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997), h. 254
76 Andy Hadiyanto, Makna Simbolik Ayat-Ayat tentang Kiamat dan Kebangkitan dalam Al-Qurân, in Hayula: Indonesian Journal of Multidiciplinary
Islamic Studies, vol. 2 no. 2, Juli 2018, h. 20
26 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
siksa akhirat, dan memperlihatkan di dunia bahwa Allah telah
menghidupakan kembali sesuatu yang sudah mati.
Penelitian terdahulu yang terkait dengan Sayyid Haydar al-
Âmulî adalah:
1. Rešid Hafizovič77
dalam Journal of Muhyiddin Ibn ‘Arabî
Society menempatkan Sayyid Haydar al-Âmulî sebagai
penafsir fusûs al-Hikam. Menurutnya, komentar-komentar
Âmulî terhadap Fusûs al-Hikam sungguh luar biasa.
2. Seyyed Hosein Nasr78
berpandangan bahwa Sayyid Haydar al-
Âmulî adalah salah satu figur yang mensintesiskan ajaran al-
Hikmat al-Ilâhiyyah dan Kalâm. Nasr juga menyebut Âmulî
sebagai teolog syi’a.
3. Tobias Müller79
, mengutip pendapat Soroush, ketika
menjelaskan evolusi dan devolusi agama menyatakan bahwa
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâlî, Jalal al-Din Muhammad
Rumi, dan Sayyid Haydar Âmulî telah mengklaim bahwa
mereka menyesali adanya pengabaian terhadap esensi agama.
Tahayul misalnya, diperkenalkan oleh para penjual agama
untuk mengaburkan esensi yang benar mengenai agama.
4. Alexander Knysh80
ketika menerangkan asal-muasal dan
pendidikan Khomeini, berpandangan bahwa pemikiran
Mirdamad dan Mulla Sadra terinspirasi dari pendahulu-
pendahulunya yang handal seperti Haydar Âmulî, Ibn ‘Arabî,
dan Yahyâ al-Suhrawardî.
77 Rešid Hafizovič, A Bosnian Commentator on the Fushûs al-Hikam,
(Journal of Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society), vol. 47, 2010, h. 89
78 Seyyed Hossein Nasr, al-Hikmat al-Ilâhiyyah and Kalâm (Studia Islamica,
Maisonneuve & Larose) No. 34 (1971)), pp. 139-149
79 Tobias Müller, Contemporary Islamic Thinkers’ Understandings of Seculasim, Disertation for the Degree of MPhil in International Relations and
Politics, (University of Cambridge, 2014), h. 46
80 Alexander Knysh, “Irvan” Revisted: Khomeini and the Legacy of Islamic Mystical Philosophy, Middle East Journal: Vol. 46. No. 4 (Autumn 1992), pp 631-
635, h. 634
Pendahuluan 27
5. Hermann Landolt81
menulis dalam bahasa Persia Haydar-i
Âmulî et les deux mi’râjs.
6. Parvin Kazemzadeh82
berpandangan bahwa Sayyid Haydar al-
Âmulî adalah filosof sufi83
Shî’ah yang mengomentari futûhat
al-Makiyyah dan Fusûs al-Hikam karya Ibn ‘Arabî. Pandangan
tersebut dilontarkannya saat menjelaskan pemikiran Ibn ‘Arabî
tentang wali.
7. Cucu Surahman dan Aceng Kosasih84
mengangat konsep
intergasi sharî’ah, thariqah, dan haqîqah yang diusung Âmulî.
Menurutnya, Âmulî berhasil menyatukan ketiga kensept
tersebut dengan cara yang mudah dipahami. Namun
sayangnya, Surahman dan Kosasih tidak memuat silsilah
lengkap Âmulî.
81 Hermann Landolt, Studia Islamica, Haydar-i Âmulî et les deux mi’râjs,
Maisonneuve & Larose, No. 91 (2000), pp. 91-106
82 Parvin Kazemzadeh at.al., The Sealnes of the Wilâyah al-Mahdi and the Specification of His Ancestors accortding to Ibn ‘Arabi and some Commentators of Futûhat al-Makiyyah, Religious Inquires: Volume 3, No. 5, Winter and Spring 2014,
63-81, h. 65
83 Sufi adalah orang-orang yang menghidupkan sunah nabi Muhammad SAW,
membersihkan jiwa dari sifat dendam dan curang, menjalankan kewajiban, dan
meninggalkan duniawi karena perangsang dendam dan curang adalah cinta dunia dan
suka derajat tinggi di mata manusia. Penyucian sifat dendam dan curang ini sesuai
dengan Al-Quran,
و ان و ن ز ع ن ا م ا ف ص د و ر ه م م ن غ ل ع ل ى س ر و ر م ت قب ل ي إ خ Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang
mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan. (QS Al-
Hijr/15 :47)
Sufi juga berarti orang alim yang mengamalkan ilmunya dengan ikhlas
karena ilmu tasawuf adalah mengenal cara berbuat dengan ikhlas. Lihat, Al-
Suhrawardî, ‘Awârif al-Ma’ârif, (Al-Qâhirah, Maktabah al-Tsaqâfah al-Dîniyyah,
2013 M/1434 H), cet. ke-2, jilid 1, h. 56-57. Lihat juga, ‘Abd al-Wahhâb al-Sha’rânî,
al-Anwâr al-Qudsiyyah fî Ma’rifah Qawâ’id al-Sûfiyyah, (Bairût: al-Maktabah al-
‘Ilmiyyah, 1992 M/1412 H), cet. ke-1, juz 2, h. 20
84 Cucu Surahman & Aceng Kosasih, The Integration of Sharîah, Tariqah, and Haqîqah: A Study of Sayyid Haydar Âmulî’s Thougt, Ulumuna: Journal of
Islamic Studies, (Islamic State Institute Mataram, 2016), Vol. 20. No.2, 2016, p.
293-318
28 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
F. Metode Penelitian
Setelah memperhatikan beberapa pokok permasalahan dan
tujuan penelitian di atas, maka peneliti mempersiapkan rancangan
penelitian untuk digunakan pada disertasi ini.
Penelitian85
ini adalah penelitian kepustakaan (library research)
dengan pendekatan tasawuf dan menggunakan teori grounded
research86, sebuah teori yang tahapan penemuannya didasari data
empiri.87
Hal ini ditujukan untuk menemukan konsep pemikiran Al-
Ma’âd Sayyid Haydar al-Âmulî. Usaha tersebut dilakukan dengan
beberapa tahapan: mengungkapkan diskripsi Al-Ma’âd Sayyid
Haydar al-Âmulî, memaparkan pendapat sejumlah mufasir perihal
sejumlah ayat Al-Quran yang dijadikan dasar pemikiran Sayyid
Haydar al-Âmulî, membandingkan pemikiran Sayyid Haydar al-
Âmulî dengan penjelasan sejumlah mufasir sehingga nampak
persamaan, perbedaan, atau bahkan pertentangan antara pendapat
keduanya. Setelah itu, usaha menyintesiskannya dilakukan untuk
menuju pada kesimpulan.
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif yang di
dalamnya tercakup kegiatan mendiskripsikan (descriptive),
menjelaskan (explanative), membandingkan (comparative),
menganalisa (analytic), dan menyintesiskan (synthetic).
Teknik operasional penelitian ini diawali dengan
mengumpulkan dan mengkritisi berbagai literatur tentang topik
85 Penelitian (research) dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan,
mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan dengan
menggunakan metode-metode ilmiyyah. Lihat, Sutrisno Hadi, Metodology Research, (Yogyakarta: Andi Offet, 1993), cet. ke-25, h. 4
86 Penelitian model grounded menawarkan pendekatan yang berbeda dari
jenis penelitian kualitatif yang lain seperti: fenomenologi, etnografi, etnometodologi,
dan studi kasus. grounded research tidak berangkat dari teori untuk menghasilkan
teori baru (form a theory to generate a new theory) melainkan menemukan teori
berdasarkan data empirik, bukan membangun teori secara deduktif logis. Lihat,
Muhidjia Raharjo, Memahami (sekali lagi) Grounded Research. Makalah disajikan
pada materi kuliah Metodologi Penelitian Sekolah Pascasarjana UIN Mulana Ibrahim
Malang, (Pulau Seribu, 15 Oktober 2011), h. 3
87 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2000), edisi IV, h. 121
Pendahuluan 29
penelitian selanjutnya dikaitkan dengan diskursus tentang eskatologi
secara obyektif, kritis, dan proporsional.
Bahan-bahan penelitian dikelompokkan menjadi dua bagian:
Pertama
Kedua
:
:
Kepustakaan primer/sumber data primer (primary
source) yang terdiri dari buku Asrâr al-Sharî’ah wa
Atwâr al-Tarîqah wa Anwâr Al-Haqîqah, Jâmi’ al-Asrâr
wa Manba’ al-Anwâr, dan Inner Secret of The Path
yang kesemuanya karya Sayyid Haydar al-Âmulî
Sumber sekunder (secondary source) yang digunakan
dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, dan
semisalnya yang membahas tentang eskatologi dan
yang berkaitan dengannya. Buku-buku tersebut di
antaranya adalah: Maqâlât al-Islâmiyyîn wa Ikhtilâf al-
Musalîn karya Abû Hasan bin Ismâ’îl al-Ash’ârî, Tafsîr
al-Qurân al-‘Azîm karya Abû al-Fidâ Ibn Katsîr al-
Dimashqî, Tafsîr al-Fakhr al-Râzî al-Mushtahir bi al-
Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib karya al-Râzî,
Tafsîr Nûr al-Tsaqalain karya al-Huwayzî, Al-Durr al-
Mantsûr fî Tafsîr al-Matsûr karya Jalâl al-Dîn ‘Abd al-
Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûtî, Tafsîr al-Kasshâf karya
al-Zamakhsharî, Hâshiyah al-Sâwi ‘alâ Tasfîr al-
Jalâlaini karya Ahmad al-Sâwî al-Malikî, Al-Lubab fi
‘Ulum al-Kitâb karya Abu Hafs ‘Umar bin ‘Alî bin
‘Adil al-Dimashqî al-Hanbalî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-
Qurân karya Abdullâh Muhammad bin Ahmad al-Ansarî
al-Qurtubî, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân karya
Muhammad Husain al-Tabatatbâî, Tafsîr al-Nasafî al-
Musammâ bi Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Tawîl
karya Abû al-Barkât ‘Abdullâh al-Nasafî, , Tafsîr al-
Qâsimî al-Musammâ Mahâsin al-Tawîl karya
Muhammad Jalâl al-Dîn al-Qâsimî, al-Tafsîr al-Munîr fî
al-‘Aqîdah wa al-Sharî’ah wa al-Manhaj, Mukâshafah
al-Qulûb; al-Muqarrib ilâ Hadrat ‘Allâmat al-Ghuyûb fî
‘Ilm al-Tasawwuf karya Wahbah Zuhailî, Hâshiyah al-
Sâwi ‘alâ Tafîr al-Jalâlaini karya Ahmad al-Sâwî al-
30 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Malikî, Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab,
Tahâfut al-Falâsifah, karya Abû Hâmid Muhammad bin
Muhammad al-Ghazâlî , al-Ishârât wa al-Tanbîhât karya
Abû ‘Alî bin Sînâ, , Risâlah al-Hashr karya Badî’ al-
Zamân Sa’îd al- Nûrshî, The Vision of Islam karya
Sachiko Murata and William C. Chittck dan lain-lain.
Dari sumber-sumber data tersebut, baik yang primer maupun
sekunder dihimpun, diidentifikasi dan dicatat semua informasi yang
memiliki relevansi dengan tema penelitian. Setelah data terhimpun,
selanjutnya dianalisis sebagai upaya tercapainya pemahaman yang
benar terhadap fakta dan data.
Penelitian ini diawali dengan mengumpulkan data-data dari
buku-buku tafsir, ma’âd/eskatologi, jurnal, yang terkait dengan
substansi dalam sub-sub bab yang kemudian dianalisis dan
disimpulkan. Berikutnya, data-data yang sudah disimpulkan yang
berkaitan dengan eskatologi dibandingkan dengan data-data hasil
karya Sayyid Haydar al-Âmulî tentang al-ma’âd. Selanjutnya
dilakukan teknik analisa konten/content analysis agar isi pesan pada
semua data bisa dianalisis baik secara komparatif, deduktif88
ataupun
induktif.89
Teori hermeneutika90
diikutsertakan untuk mempertajam
analisis dengan harapan membantu memahami suatu karya dan
menemukan perspektif lain pada suatu text.
88 Secara deduktif berarti dimulai dari dari hal yang umum menuju yang
khusus, dari asumsi dan hipotesis ke realita dan fakta. Lihat, J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif, e-book diakses pada 24 Juli 2019 dari
https://books.google.co.id/books?id=dSpAlXuGUCUC&printsec=frontcover&dq=me
todologi+penelitian+kualitatif+pdf&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjCoeG41czjAhUK
Ko8KHVX1B_UQ6AEILTAA#v=onepage&q=deduktif&f=false
89 Secara induktif berarti dimulai dengan observasi sasaran penelitian secara
rinci menuju generalisasi dan ide-ide yang abstrak. Dengan ungkapan lain, diawali
dengan fakta dan realita bukan dari asumsi atau hipotesis. Lihat, J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif, h. 59
90 Hermenuneutika . berasal dari kata kerja bahasa Yunani “hermeneuein”
yang berarti “menafsirkan” dan dari kata benda “hermeneia” yang berarti
“interpretasi”. Kata Yunani hermeios mengacu pada seorang pendeta bijak Delphic.
Kata hermeios, hermeneuein, dan hermeneia diasosiakan pada Dewa Hermes yang
Pendahuluan 31
Teknik penggunaan bahasa mengacu pada Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI); dan Pembentukan Istilah yang
berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudaaan Republik
Indonesia Nomor 50 tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 146/U/2004 tentang Penyempurnaan
Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang diterbitkan pada Agustus
2018 oleh Bhuana Ilmu Populer, kelompok Gramedia.
Terjemahan ayat-ayat Al-Qurân mengacu pada Al-Qurân dan
Terjemahnya yang diterbitkan oleh Departemen Agama Republik
Indonesia dan dicetak oleh PT. Syamil Cipta Media, Bandung pada
2005. Sedangkan model penulisan mengacu pada PEDOMAN
PENULISAN TESIS DAN DISERTASI PROGRAM MAGISTER
DAN DOKTOR yang diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
2018 dengan pengecualian ayat-ayat Al-Qurân, al-Hadîts, dan
terjemahannya ditulis dengan paragraf tersendiri serta menjorok 1cm
dari margin kiri walaupun kurang dari empat baris.
G. Sistematika Pembahasan
Penulisan sistematis sangat diperlukan dalam pembahasan
karya ilmiah sehingga gambaran jelas, terarah dan logis mudah
diasosiasikan dengan fungsi transmisi sesuatu yang ada di balik pemahaan manusia
ke dalam bentuk yang ditangkap intelegensia manusia. Hermeneutika bisa dipahami
sebagai hermeneuein yang berarti “mengungkapkan”, “menegaskan”, “menyatakan’,
“menjelaskan”, atau “menerjemahkan” Hermeneutika dipahami sebagai diskursus
penafsian kontemporer dalam memahami sebuah teks. Dalam perspektif
hermeunetika objektif, menafsirkan berarti memahami teks sebagaimana dipahami
pengarangnya karena teks merupakan ungkapan jiwa pengarang sehingga maksud
teks tidak didasarkan atas kesimpulan pembaca melainkan diturunkan dan bersifat
instruktif. Namun dalam perspektif hermeunetika subjektif menyatakan bahwa teks
berdiri sendiri dan mandiri, tidak bergantung pada ide awal pengarang atau penulis.
Dengan demikian teks bersifat tebuka dan dapat diinterpretasikan oleh siapapun”
Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Penerjemah: Masnur Hery & Damanhuri Muhammed, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), cet. ke-2, h. 14-36. Lihat juga, Muhammad Adlan Nawawi, Metode Hermeneutika Kesadaran (Fenomenologi) dalam Memahami Teks, dalam al-Burhan;
Jurnal Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qurân, vol. 8. No 2 November
2017, h. 999
32 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
terlihat walaupun terdiri dari beberapa bab. Penelitian disertasi ini
dibagi menjadi enam bab:
Bab pertama merupakan landasan umum penelitian yang
berupa pendaduluan. Pada bab ini dijelaskan latarbelakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian terdahulu yang relevan,
metode dan teknik penelitian, dan sistematika pembahasan. Pada
latar belakang masalah dijelaskan pendapat para peneliti sebelumnya
yang berkaitan dengan penelitian ini sehingga terasa adanya
sejumlah masalah yang masih perlu dicari titik terangnya.
Selanjutnya, dari sejumlah masalah yang ditemukan, dipilih
beberapa masalah untuk dibahas dalam penelitian ini yang
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan mayor lalu dikerucutkan
menjadi beberapa pertanyaan minor.
Bab kedua adalah penjelasan mengenai kajian teori tentang
eskatologi yang dialamnya diterangkan pengertian eskatologi dan
yang berkaitan dengannya seperti: kematian, Yajûj wa Majûj, Imam
Mahdi, alam barzakh, tiupan sangkakala, roh, azab kubur, kiamat,
surga, dan neraka.
Bab ketiga adalah penjelasan biografi Sayyid Haydar al-Âmulî.
Di sini diterangkan bagaimana keluarga Âmulî mengaplikasikan
ajaran-ajaran agama pada kehidupan sehari-hari, bagaimana cara
Âmulî memperoleh pemahamaman agama, bagaimana Âmulî
memperoleh pengetahuan tesebut dari guru-gurunya, dan juga
dijelaskan petualangannya dari pengabdi pada suatu kerajaan hingga
menajdi seorang sufi.
Bab keempat adalah penjelasan pendapat sejumlah ahli tafsir
terhadap sejumlah ayat Al-Qurân yang dijadikan Âmulî sebagai
penguat konsep eskatologi yang diusungnya. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui apakah sesungguhnya pemikiran Âmulî tentang
eskatologi terinspirasi dari penjelasan sejumlah penafsir sebelumnya
atau memang murni hasil ijtihad Âmulî sendiri dalam menafsirkan
ayat-ayat tesebut.
Bab kelima adalah penjelasan tentang al-Ma’âd dalam
perspektif Sayyid Haydar al-Âmulî. Pada bab ini dijelaskan usaha-
usaha yang dilakukan Âmulî untuk mewujudkan suatu konsep
Pendahuluan 33
tentang eskatologi yang bisa dilihat dari sejumlah latar belakang.
Misalnya, seseorang yang tergolong ahl al-sharî’ah akan berbeda
dengan mereka yang tergolong ahl al-tarîqah dalam memahami
eskatologi dan begitu juga sebaliknya.
Bab keenam adalah bagian penutup. Bab ini berisi kesimpulan
dan rekomendasi/saran. Kesimpulan penelitian merupakan jawaban
yang mengacu pada sejumlah pertanyaan pada rumusan massalah
sedangkan rekomendasi/saran adalah usaha yang direkomendasikan
untuk dilakukan peneliti berikutnya berkaitan dengan penelitian ini.
Demikianlah sistematika tulisan ini dengan harapan kemudahan
selalu datang dalam merealisasikannya.
34 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
35
Bab II
Al-Maâd dalam Perdebatan
A. Pengertian Eskatologi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, eskatologi diartikan
sebagai ajaran teologi mengenai akhir zaman seperti kematian, hari
kiamat, kebangkitan, dan pemulihan Firdaus1. Menurut Saifuddin,
2
eskatologi berasal dari bahasa Yunani “eskhaton” dan “logos”.
Istilah ini pertama kali dipopulerkan dalam rangka dogmatika Kristen
pada abad ke-19
Pada kolom eskatologi, John L Esposito3 menyatukan uraian
surga, neraka dan barzakh ke dalam satu tema. Yaitu kehidupan
setelah mati. Hari pengadilan menjadi bahasan terpisah. Selain ketiga
tema tersebut, ia juga mengatagorikan kedatangan Dajjâl4, Mahdi,
dan Isa ke dalam tema eskatologi yang selanjutnya dijelaskan
pengaruhnya terhadap sejumlah negara. Di Pakistan misalnya, Pendiri
gerakan Ahamadiyah Pakistan, Mirzâ Gulâm Ahmad, mengklaim
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 381
2 Saifuddin, Hadits-hadits Eskatologi dalam Kitab Jami al-Turmudzi: Studi Kritik tentang Kualitas Sanad hadits, (Disertasi Program Pascasarjana Institut
Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1997), h. 43
3 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, (Bandung:
Mizan, 2001), cet. ke-1, jilid ke-2, h. 19
4 Kemunculan Dajjâl menjadi salah satu tanda pasti datangnya hari akhir. Ia
muncul untuk menipu manusia dengan keajaiban yang ia miliki. Dengan keajaiban
tersebut ia menciptakan ajaran-ajaran palsu. Ia juga datang dengan makanan dan air
saat manusia kelaparan dan kehausan. Walaupun kisah Dajjâl ini tidak disebutkan
dalam Al-Qurân namun bisa dijumpai dalam al-hadits. Dajjal tidak disebutkan
dengan jelas dalam Al-Quran sebagai penghinaan kepadanya karena ia mengaku
sebagai tuhan padahal ia manusia namun menafikan keagungan Allah dan kebesaran-
Nya. Keberadaannya di sisi Allah sangat hina untuk disebutkan. Lihat. John L.
Esposito, Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), cet.
ke-1, jilid ke-2, h. 19. Lihat juga, Ibnu Katsîr, Malapetaka Akhir Zaman.
Penerjemah: Hamzah Amali & Lu’luil Lathifah, (Jakarta: Pustaka al-Sunnah,
Februari 2011), cet. ke-2, h. 227
36 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
dirinya sebagai Mahdi. Dalam Islam, eskatologi dikenal dengan
sebutan ma’âd5.
Mirip dengan penjelasan Esposito, peristiwa eskatologis dalam
Encyclopedia of the Quran6 juga diartikan sebagai doktrin mengenai
berakhirnya segala sesuatu pada akhir masa yang mencakup
kehidupan manusia dan kematian, hari kiamat, tiupan sangkakala,
kebangkitan, pengumpulan seluruh makhluk/mahsyar, perhitungan/
hisâb, surga, dan neraka.
Dalam Encyclopedia of Philosophy7, eskatologi diartikan
dengan doktrin atau teori tentang akhir kehidupan setiap manusia,
akhir kehidupan dunia, atau lebih sempit lagi akhir suatu bangsa.
Pengertian eskatologi dipahami, pertama, sebagai catatan takdir yang
menanti setiap manusia setelah kematian dan selanjutnya dipahami
secara kosmik sebagai gambaran tujuan yang akan terpenuhi. Jiwa
akan menghadapi penghakiman setelah kematian dan akan menerima
penghargaan atau hukuman sesuai kebaikan atau keburukan
kehidupan duniawinya.
Doktrin eskatologis punya andil besar dalam perkembangan
Yahudi. Para pendeta Yahudi senantiasa fokus pada sejumlah berita
tentang the kingship od God (kerajaan Tuhan), the end of days (hari
akhir), the world to come (alam yang dinantikan), the messiah and
the Messianic era (masa kebangkitan Al-Masîh ), dan the day of
judgment (hari keadilan)
Ajaran eskatologi yang demikian itu sangat dijunjung tinggi
dalam Islam. Kepercayaan terhadap hari kiamat yang merupakan
kehidupan sesudah mati merupakan ketentuan yang harus diimani.
Meragukannya berarti tidak mempercayai rukun iman dan siapapun
yang tidak mempercayainya bukanlah orang beriman.
5 Safaruddin, Eskatologi, (Jurnal al-Hikmah, vol. XIV nomor 2, 2013), h. 3.
6 Jane Dammen McAuliffe, Encyclopedia of the Qurân, (Boston: Brill,
Leiden, 2002), volume two, h. 44-53
7 Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, (Macmillan Reference
USA, 2006), vol. ke-2, h. 347
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 37
Saat manusia mati, kehidupan dunia berakhir dan kematian
datang yang selanjutnya berlanjut pada kehidupan kubur8. Kehidupan
kubur dikenal dengan istilah barzakh. Kehidupan di alam barzakh
dimulai saat memasuki kubur hingga hari kiamat datang9 dan saat itu
penghuni kubur dibangkitkan.10
Dari penjelasan di atas disimpulkan tema eskatologi menjadi
dua: pra kehidupan sesudah-kematian dan kehidupan sesudah-mati.
Tema pertama menerangkan Dajjâl, Yajûj majûj, kematian, dan
sangkakala 1 sedangkan tema kedua menerangkan alam
kubur/barzakh, sangkakala 2, surga, dan neraka.
B. Kematian
Kematian11
secara bahasa dapat diartikan sebagai keterpisahan
roh dan jasad, keadaan diam dan tidak ada gerakan, keadaan sesuatu
menjadi dingin, kehilangan, kerusakan, dan kekosongan dari
bangunan dan penduduk.12
Proses pemisahan roh dan jasad dilakukan malaikat dengan
cara menarik roh dari bagian kedua kaki paling bawah, lalu ke seluruh
badan, hingga ke bagian paling atas. Ketika roh hampir selesai
dicabut, pedihnya kematian sempurna terasa. Saat pencabutan roh,
malaikat tersebut bisa tampil dengan bentuk paling indah
8 QS al-Takâtsur/102: 2. Sesungguhnya kehidupan, kematian, dan
penguburan adalah di antara perbuatan-Nya yang jelas. ث ا م ات ه ف أ ق ب ر ه kemudian Dia
mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur. (QS ‘Abasa/80: 21)
ع ث و ن 9 Dan di hadapan mereka ada dinding sampai و م ن و ر ائ ه م ب ر ز خ ا ل ي و م ي ب
hari mereka dibangkitkan. (QS Al-Mu’minûn/23 :100)
ه ا و أ ن الله ي ب ع ث م ن ف ال ق ب و ر 10 Dan sesungguhya و أ ن الساع ة ء ات ي ة ل ر ي ب ف ي
hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah
membangkitkan semua orang di dalam kubur. (QS Al-Hajj/22: 7, QS al-‘Âdiyât/101:
9)
11 Kata “mati” sebagai kata kerja berarti “sudah hilang nyawanya, tidak
hidup lagi, atau tidak bernyawa”. Dengan demikian kata “kematian” sebagai kata
benda berarti “perihal mati”. Lihat, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008), edisi keempat, h. 888.
12 UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung, Penerbit
Angkasa, 2008), cet. ke-1, jilid 2 (I-S), h. 818
38 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
mempesona, atau sebaliknya, dengan penampilan paling buruk dan
menyeramkan. Bagi yang melihatnya dengan penampilan pertama ia
akan mendengar ucapan malaikat itu, “aku membawakanmu kabar
gembira mengenai rida Allah dan pahala-Nya” Tetapi bagi yang
melihatnya dengan penampilan kedua ia akan mendenger ucapan
malaikat itu, “Wahai musuh Allah! aku membawakanmu murka dan
azab-Nya.”13
Dalam Ilmu biologi, terdapat empat proses kematian:
Pregional, agonal, mati klinis, dan mati biologis. Pregional ditandai
dengan hilangnya keseimbangan peredaran darah, nafas turun naik
dengan cepat, terasa sesak, pandangan berkabut, dan kesadaran
menyusut. Agonal14
ditandai dengan hilangnya kesadaran, mata
terbelalak dan tidak berbinar, nafas kadang timbul kadang
menghilang, dan denyut nadi menyusut ke leher. Mati klinis15
ditandai dengan hilangnya gerak-gerik jasad seperti absensnya denyut
nadi dan pernapasan namun masih bisa ditolong dalam waktu yang
sangat singkat16
, Mati biologis ditandai dengan membusuknya semua
alat-alat tubuh. Hanya bagian tertentu yang bisa dipergunakan untuk
orang hidup seperti darah, jantung, mata, dan sebagainya.17
Tahapan
tersebut dapat disimpulkan bahwa mati adalah rusaknya jasamani,
13 Abû ‘Abd Allâh bin Asad al-Muhâsibî, Al-Wasâyâ, (Bairût: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.t.), h. 389
14 Agonal adalah fase setelah absennya denyut nadi dan sesudah apnea
terminal. Lihat, Etty Indriati, Mati: Tinjauan Klinis dan Antropologi Forensik,
dalam Berkala Ilmu Kedokteran, Vol. 35, No. 4, 2003, h. 232h.
15 Moody, dokter dan psikolog Amerika, mewawancarai lebih dari seratus
orang yang pernah mengalami mati klinis. Hasil wawancaranya menyimpulkan
orang yang mengalami mati klinis ketika mengalami “kematian” mereka bagaikan
keluar dari badan mereka dan melihat tim dokter dan juru rawat mencoba mengobati
dan “menghidupkan” mereka kembali, dan ketika dokter tidak berhasil, mereka
dinyatakan “mati”. Lihat, M. Quraish Shihab, DIA DI MANA-MANA: “Tangan” Tuhan Di Balik Setiap Fenomena, (Ciputat: Lentera Hati, 2009), cet. ke-vii, h. 199
16 Maksud dari kematian yang masih bisa ditolong adalah kematian yang
mungkin dapat kembali melauli bantuan CPR (Cardiac Pulmonary Resuscitation)
lihat, Etty Indriati, Mati: Tinjauan Klinis…, h. 232
17 Yunasril Ali, Pilar-pilar Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), cet. ke-iv,
h. 318
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 39
macetnya peredaran darah, tidak berfungsinya jantung, dan hilangnya
pernapasan.18
Dalam pandangan Al-Qurân, kematian dan kehidupan terjadi
dua kali.19
Kematian pertama adalah sebelum kelahiran atau saat
belum dihembuskan roh kehidupan sedangkan kematian kedua adalah
saat kematian di dunia. Kehidupan pertama saat menarik dan
menghembuskan nafas di dunia sedangkan kehidupan kedua saat di
alam barzakh atau akhirat.20
Dalam terminologi tasawuf, kematian didefinsikan sebagai
keterpurukan dari sinar-sinar yang dapat membawa seorang sufi pada
keadaan terbukanya pengetahuan tentang Tuhan (al-mukâshafah21)
dan terbukanya hati dengan memperoleh pengetahuan yang gaib (al-
tajalli).22 Perumpamaan fisik manusia seperti bahtera yang dilengkapi
peralatan yang di dalamnya terdapat kekuatan jiwa yang mengawasi
kapal. Bahtera tidak bergerak kecuali dengan hembusan angin yang
diarahkan Penghembusnya. Begitu juga jiwa dan raga manusia. Jika
jiwa meninggalkan raga, maka ia tidak bisa bergerak.23
Saat itu jiwa-
18 Yunasril Ali, Pilar-pilar…, h. 319
ت ن ا اث ن ت ي ف اع ت ر ف ن 19 ي ي ن و ب ن ا ف ه ل ا ل خ ر ز ج م ن س ب ي ل ق ال و ا ر بنآ أ م ت ن ا اث ن ت ي و أ ح ا ب ذ
Mereka menjawa, “Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah
menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami, Maka
adakah jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)? QS Ghâfir/40: 11
20 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qurân: Tafsir Maudlui atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, Maret 1997/Dzu al-Qa’dah 1417), cet. ke-5, h. 68
21 Mukâshafah adalah dominasi keyakinan yang menyebabkan seakan-akan
seseorang melihat-Nya dan binasa selain-Nya sebagaimana dinyatakan dalam hadits
“hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya”. Sedangkan
peyaksian dengan mata hanya di akhirat bukan di dunia. Puncak mukâshafah adalah
penyaksian satu-satunya zat dalam sifat saat mencapai tingkatan baqâ setelah fanâ
Lihat, Ahmad al-Ma’rûf Bashâh Walî Allâh bin ‘Abd al-Rahmân al-Muhaddits al-
Dahlawî al-Mukhlis, Hujjah Allâh al-Bâlighah, (Al-Qâhirah: Dâr al-Turâts, 1355 H),
cet. ke-1, juz ke-1, Lihat juga, Abd al-Razzâq al-Kâshanî, Istilâhât al-Sûfiyyah, (Dâr
al-Manâr, 1992 M/1413 H), cet. ke-1, h. 347
22 UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung, Penerbit
Angkasa, 2008), cet. ke-1, jilid 2 (I-S), h. 818
23 Mulla Sadra, Manifestasi-manifestasi Ilahi; Risalah Ketuhanan dan Hari Akhir sebagai Perjalanan Pengetahuan Menuju Kesempurnaan. Penerjemah: Irwan
Kurniawan, (Jakarta: Sadra InternationalInstitute, Oktober 2011/Dzulqa’dah 1432),
cet. ke-1, h. 94
40 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
jiwa kotor terbungukus dengan pakaian lapar dan ketakutan. Mereka,
bersama semua bebannya, naik dari tanah hina menuju ‘arsh dalam
keadaan sayap-sayap patah dan tangan terbelengu sehingga mereka
tergantung di antara bumi dan ‘arsh.24
Ada kehidupan setelah kematian. Lebih kurang tiga ratus ayat
Al-Qurân membicarakan kematian. Kematian merupakan awal
perjalanan panjang evolusi manusia. Selanjutnya manusai menuju
kehidupan penuh nikmat atau sebaliknya; penuh siksa dan nista.
Hasil seluruh amal manusia akan tampak sejak detik pertama
perpindahannya dari kehidupan dunia ke kehidupan akhirat.
Kematian orang-orang salih dan suci berbeda dengan kematian orang-
orang durhaka dan keji. Bagi orang-orang salih, kematiannya adalah
perkenalannya dengan kebahagiaan dan kesejahterahan ilahi.
Sebaliknya, kematian orang-orang durhaka adalah dimulainya
kemurkaan dan siksa akhirat.25
Begitulah ajaran Agama-agama samawi yang di dalamnya
memantapkan akidah26
serta menumbuhkembangkan semangat
pengabdian. Tanpa kematian manusia tidak memikirkan apa sesudah
mati dan tidak mempersiapkan diri menghadapinya. Kematian
diilustrasikan sebagai tangga menuju kebahagiaan abadi. Kematian
merupakan perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya.
Kematian ibarat kelahiran baru bagi manusia. Kehidupan dan
kematian manusia mirip keadaan telur dan anak ayam. Wujud anak
24 Mulla Sadra, Manifestasi…, h. 100
25 Yahya Yatsribi, Agama & Irfan; Wahdat al-Wujud dalam Ontologi dan Antropologi, serta Bahasa Agama. Penerjemah: Muhammad Syamsul Arif, (Jakarta:
Sadra International Institute, Januari 2012/Safar 1433), cet. ke-1, h. 82
26 Akidah (Ar.:aqîdah; jamak: ‘aqâid). Keyakinan keagamaan yang dianut
oleh seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan, dan
pegangan hidupnya. Istilah tersebut identik dengan iman (kepercayaan, keyakinan).
Kata akidah berasal dari ‘aqada yang berarti mengikat, membuhul, menyimpulkan,
mengokohkan, menjanjikan. Secara kebahasaan akidah berarti yang diikat, yang
dibuhul, yang disimpullkan, yang dikokokan, yang dijanjikan. Lihat, “akidah” dalam
Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Hoeve, 1977), cet. ke-1, vol
1, h. 78
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 41
ayam menjadi sempurna setelah telur menetas yang selanjutnya
menempati dunia luar sebagai tempat barunya.27
Bagi sebagian manusia, kematian bukan ketiadaan hidup secara
mutlak. Kematian adalah ketiadaan hidup di dunia saja sehingga
manusia yang meninggal pada hakikatnya masih tetap hidup di alam
lain dengan cara yang tidak dapat diketahui.28
Setiap yang bernyawa akan mengalami kematian. Ia adalah
takdir Allah yang harus diterima. Dalam riwayat diterangkan
seseorang yang terkena musibah kematian, lalu ia mengoyak-ngoyak
pakaianna atau memukul-mukul dadanya, maka ia ibarat orang yang
menghunus tombak untuk menentang Allah SWT. Dalam sebuah
hadis disebutkan seseorang yang tertimpa musibah kematian lalu ia
menghitamkan pintu atau pakaiannya, merusak-rusak tempat
jualannya, menebangi pepohonan, atau mencukur rambutnya, maka
setiap helai rambut yang terpotong itu akan dibangunkan sebuah
rumah di neraka untuknya. Allah tidak akan menerima sedekah dan
amalan kebaikannya sampai warna hitam di pintu rumah itu hilang.
Allah akan menyempitkan kuburan si mayat dan memperketat
penghitungan amalnya. Bahkan, si mayat akan dilaknat oleh seluruh
malaikat yang ada di langit dan di bumi, lalu dicatat untuknya seribu
dosa.29
27 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qurân, (Bandung: Mizan, Sya’ban
1418/ Desember 1997), cet. ke-XVI, h. 238
ال 28 ي آء ع ن د ر ب م ي ر ز ق و ن و ل ت س ب و ات ب ل أ ح ذ ي ن ق ت ل و ا ف س ب ي ل الله أ م “Janganlah
kamu menduga bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, tetapi mereka
itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki” (QS Ali ‘Imran/3: 169), و لع ر و ن يآء و لك ن ل ت ش و ات ب ل أ ح ت ل ف س ب ي ل الله أ م Janganlah kamu“ ت ق و ل و ا ل م ن ي ق
mengatakan terhadap orang-orang yang meninggal di jalan Allah bahwa mereka itu
telah mati, sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” (QS Al-
Bagarah/2: 154), Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qurân; Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, Maret 1997/Dzulqa’dah 1417), cet.
ke-v, h. 71&75
29 ‘Abd al-Rahim bin Ahmad al-Qadli, Kehidupan Sebelum & Sesudah Kematian. Penerjemah: Yodi Indrayadi &Wiyanto Suud, (Jakarta Selatan: Turos,
Maret 2005), cet. ke-5, h. 76
42 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Suasana kematian muttaqîn dan kâfirîn sangat berbeda.
Muttaqîn diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik30
dan
diucapkan kepadanya salam untuk masuk ke dalam surga31
sedangkan
kâfirîn memelas kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia supaya
mereka dipanjangkan umurnya untuk beriman dan berbuat amal saleh
yang telah ditinggalkan. 32
Sesungguhnya pada doa sebelum dan sesudah tidur tersirat
ajaran tentang kematian dan kebangkitan. Waktu tidur adalah waktu
menuju alam kematian. Saat itu, siapapun tidak mampu
mengendalikan tubuh yang seakan terpisah dengan roh. Jiwa yang
tenang menghasilkan tidur yang tenang begitu juga sebaliknya.
Sedangkan waktu bangun tidur adalah waktu kebangkitan karena saat
itu seakan waktu terlahir kembali.33
C. Yajûj wa Majûj
Yajûj wa Majûj34
adalah dua kata non-Arab/’ajamî dari Yajûj
wa Majûj. Dua kata itu ada yang membacanya yâjuj wa mâjuj dan ada
juga yang membacanya âjûj wa majûj. Namun ‘Âsim membacanya
yajûj wa majûj. Menurut Al-Kasâî, Yajûj wa Majûj adalah dua kata
Arab dari “yajûj’ dan “majûj”. Kata “yajûj” berasal dari kata
“taajjaja” yang berarti “membakar dengan cepat.” Disebut “yajûj’
30 Wafat dalam keadaan suci dari kekafiran dan kemaksiatan , atau dapat juga
berarti mereka mati dalam keadaan senang karena ada berita gembira dari malaikat
bahwa mereka akan masuk surga. Lihat, catatan kaki pada Departemen Agama RI,
Al-Qurân dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media, 2005), h. 270
31 QS al-Nahl/16: 32
32 QS al-Muminûn/23: 99-100
33 Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian: Mengubah Kekuatan Menjadi Optimisme, (Hikmah Zaman Baru), h. 3-8
34 Informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya tentang
Yajûj wa Majûj adalah berita yang menyatakan Yajûj wa Majûj tercipta dari mani
Adam as yang jatuh dan bercampur dengan abu yang kemudian menjadi makhluk
keturunan Adam bukan keturunan Hawa. Lihat. Abû al-Fidâ Ibn Katsîr al-
Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, (Bairût: Dâr al-Fikr, 1412 H/1992 M), jilid ke-3,
h. 127
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 43
karena mereka bergerak dengan cepat sedangkan kata “majûj’ diambil
dari “mauj al-bahr” yang berarti gelombang laut.35
Yajûj wa Majûj adalah keturunan Adam as. Mereka adalah
bangsa manusia yang membuat keruasakan di bumi36
yang akan
muncul dari lubang yang ada di antara dua gunung di wilayah Al-
Turk37
lalu mereka menetap disana kemudian membuat kerusakan,
menghancurkan tumbuhan, hewan dan manusia. Mereka keluar setiap
hari rabu menuju perkampungannya sambil memakan segala yang
hijau yang dilihatnya dan mengangkut segala yang kering ke
perkampungannya. Mereka berkuku hewan, bergigi geraham,
berambut menutupi tubuh, dan memiliki dua telinga besar: satu
melebar dan satu lainnya tertutup.38
Dalam hadis disebutkan Allah
SWT memanggil Adam as dan memberitahukannya bahwa Allah
SWT akan membangkitkan kebangkitan neraka; maksudnya adalah
hanya satu dari setiap seribu (1000) orang yang akan masuk surga
sedangkan sembilan ratus sembilan puluh sembilan (999) dari mereka
masuk neraka. Pada saat itu semua anak kecil beruban dan semua
wanita hamil melahirkan. Umat saat itu terbagi menjadi dua dan
kebanyakan dari keduanya adalah Yajûj wa Majuj.39
35 Muhammad al-Râzî Fakhr al-Dîn bin Diyâ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr al-Fakhr
al-Râzî al-Mushtahir bi al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, (Bairut: Dar al-Fikr,
1981 M/1401 H), cet. ke-1, juz ke-21, h. 171. Selanjutnya disebut Mafâtih al-Ghaib.
36 Lihat catatan kaki pada Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media, 2005), h. 304
37 Menurut pendapat lain, Yajûj muncul dari Al-Turk sedangkan Majûj
muncul dair Al-Jail al-Daylam atau Roma (al-Rûm) Lihat Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, h. 171, lihat juga, Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî, Hâshiyah al-Sâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlaini, (Dâr al-Fikr, t.t.), juz ke-3, h. 27
38 Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî, Hâshiyah al-Sâwî…, juz ke-3, h. 27
ان الله يقول: يا آدم فيقول لبيك و سعيديك, فيقول: ابعث بعث النار فيقول, و ما 39بعث النار فيقول: من كل ألف تسعمائة و تسعون إل الن ار و واحد إل الجن ة فحينئذ يشيب
فيكم أمتي ما كانتا ف شيئ إل كثرته يأجوج الصغي و تضع كل ذات حل حلها. فقال:إن Lihat, Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-3, h. 127 ومأجوج
44 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Dalam Al-Qurân kisah Yajûj wa Majûj tidak terlepas dari kisah
perjalanan Dzû al-Qarnain40
. Ketika Dzû al-Qarnain sampai di
tempat di antara dua bukit, ia menjumpai suatu kaum yang tidak
mengerti pembicaraan.41
Ketidakmengertian ini sebab takut dan
trauma terhadap serangan brutal tetangganya, Yajûj wa Majûj. Kaum
tersebut memohon Dzû al-Qarnain melindungi mereka dari Yajûj wa
Majûj.42
Kemudian Dzû al-Qarnain membuat dinding penghalang di
antara kedua bukit itu untuk menghindari serangan dan pembakaran
yang dilakukan Yajûj wa Majûj. Dinding penghalang itu tidak hanya
dibuat Dzu al-Qarnain sendiri melainkan bersama kaum tersebut.
Mereka bahu-membahu menyelesaikan konsturksi dinding pembatas
dengan arahan Dzû al-Qarnain. Material yang digunakan berupa besi-
besi besar yang dibakar hingga membara, lalu disiramkan dengan
tembaga mendidih sehingga tembaga itu menyatu dengan besi
40 Secara harfiah Dzû al-Qarnain berarti “pemilik dua tanduk”. Ia digelari
demikian sebab ia memiliki rambut sangat panjang yang digulung dan dililit hingga
nampak seperti dua tanduk. Ada juga pendapat yang menyatakan ia memakai perisai
tembaga di kepala yang menyerupai tanduk. Pendapat lain menjelasan ia mencetak
uang logam dengan gambar berbentuk dua tanduk yang melambangkan dirinya
serupa dengan Dewa Amoun. Sebagian lainnya menyatakan Dzû al-Qarnain adalah
Alexander the Great dari Macedonia. Pendapat lainnya menyatakan ia adalah
penguasa Himyar (Yaman) dengan alasan para penguasa Yaman menggunakan istilah
Dzu pada namanya seperti Dzû Nuwas, Dzû Yazin. Pendapat lainnya adalah ia
adalah Koresy (539-560 SM), pendiri Imperium Persia. Saat Nabi SAW ditanya
tentang Dzu al-Qarnain, beliau menjawab “Ia adalah seorang raja yang menyentuh
bumi dari bawahnya karena sejumlah alasan”. Lihat, Rukimin, Kisah Dzul Qarnain dalam Al-Qurân Surah Al-Kahfi 83-101 (Pendekatan Hermeneutik) dalam Profetika:
Jurnal Studi Islam, Vol. 15. No. 2, Desember 2014, h. 146
ي ن و ج د م ن د و ن م ا ق و ما ل ي ك اد و ن ي ف ق ه و ن ق و ل 41 Hingga ح ت ا ذ ا ب ل غ ب ي السد
ketika dia sampai diantara dua gunugn, didapatinya di belakang (kedua gunung itu)
suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan (QS Al-Kahfi/18: 93)
د و ن ف ال ر ض ف ه ل ن ع ل ل ك خ ر جا ع ل ى 42 ا ال ق ر ن ي ا ن يأ ج و ج و م أ ج و ج م ف س ق ال و ا يذ ا ن ه م س د ن ن ا و ب ي Mereka berkata, “Wahai Zulkarnain! Sungguh, Yajûj wa أ ن ت ع ل ب ي
Majûj itu (sekelompok manusia) berbuat kerusakan di bumi, maka bolehkah kami
membayarmu imbalan agar engkau membuatkan dinding penghalang antar kami dan
mereka? (QS Al-Kahfi/18 :94)
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 45
membara tersebut. Dengan demikian, sulit bagi Yajûj wa Majûj
merusaknya.43
Jika hari berbangkit (al-wa’d Al-Haq ) telah dekat maka
dinding tersebut terbuka sehingga Yajûj wa Majûj turun dengan cepat
dari tempat yang tinggi kemudian mendatangi orang-orang kafir
sehingga mata mereka terbelalak dan mereka mengakui
penyesalannya seraya berucap “Aduhai, celakalah kami,
sesungguhnya kami adalah dalam kelalian tentang ini, bahkan kami
adalah orang-orang yang zalim.44
D. Imam Mahdi
Walaupun Mahdi tidak disebut dalam Al-Qurân namun ia
berperan sangat penting dalam eskatologi Islam. Mahdi digelari
sebagai Imam Besar (al-imâm al-akbar) yang merupakan penutup
para imam.45
Mahdi bukan penyelamat dari dosa sebagaimana umat
Kristen mengatributkan nabi Isa, bukan juga juru selamat bangsa
sebagaimana diyakini sekte tertentu Yahudi, melainkan figur yang
akan membawa keadilan bagi seluruh manusia.46
Kepercayaan terhadap al-Mahdi telah berkembang saat masa
Rasulullah SAW. Dari waktu ke waktu, Nabi SAW selalu
memberitahu manusia mengenai pemerintahan al-Mahdi dan tanda-
tanda kemunculannya dan nama julukannnya. Kepercayaan terhadap
ajaran tentang Mahdi didasari dari Q.S 3: 55 dan hadis riwayat Jabir
43 Lihat, Ahmad Bahjat, Pledoi Kaum Sufi, Penerjemah: Hasan Abrori,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. ke-1, h. 262-263
ل و ن )( و اق ت ر ب ال و ع د 44 ح ت إ ذ ا ف ت ح ت يأ ج و ج و م أ ج و ج و ه م م ن ك ل ح د ب ي ن س ا ب ل ك نا ظل م ي ل ة م ن هذ ص ة أ ب صر الذ ي ن ك ف ر و ا يو ي ل ن ا ق د ك نا ف غ ف ي شخ
)(ال ق ف إذ ا ه
Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka turun dengan
cepat dari seluruh tempat yang tinggi(97) Dan telah dekatlah kedatangan janji yang
benar (hari berbangkit), dmaka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir.
(Mereka berkata): “Aduhai, celakalah kami, sesungguhnya kami adalah dalam
kelalaian tentang ini, bahkan kami adalah orang-orang yang zalim. (QS Al-Anbiyâ/21
:96-97) Lihat juga, Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-22, h. 221
45 Su’âd al-Hakîm, Al-Mu’ajam al-Sûfî: al-Hikmah fî Hudûd al-Kalimah,
(Dandarah littabâ’ah wa al-Nashr, t.t.), h.111
`46 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, (Bandung:
Mizan, 2001), cet. ke-1, jilid ke-2, h. 19
46 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
bin Abdullah Anshari yang menukilkan dari Rasul SAW:
“sekelompok dari umatku akan bangkit untuk menegakkan kebenaran
hingga berdekatan dengan hari kiamat. Saat itu Isa putra Maryam
akan turun ke bumi dan pemimpin mereka meminta Isa as
mengimami salat, tetapi Isa as menolak dan berkata, “tidak,
sesungguhnya di tengah-tengah kalian, Allah telah menempatkan
para pemimpin untuk yang lainnya agar umat ini menjadi terhormat.
Dengan demikian, Mahdi bukanlah Isa as. Sebagian penulis Inggris
memberikan julukan Mahdi dengan Messiah dengan makna Juru
Selamat. Tentu hal tersebut adalah keliru. Berdasarkan sejumlah
hadis nabi dan perkataan para ahlulbait, Mahdi adalah putra Imam
Kedua Belas, yaitu Imam Hasan Askari as yang dilahirkan pada 255
H, dan pada tahun 260 memulai masa gaibnya47
Kata Mahdi sebagai figur yang membawa keadilan mulai
mencuat pada abad ke tujuh saat kehidupan politik bergejolak. Sejak
itu kata Mahdi digunakan untuk menyebut seorang penguasa idaman
yang akan mengembalikan Islam pada kesempurnaan aslinya. Seiring
berjalannya waktu, harapan kehadiran penguasa idaman menjadi
semakin menyusut. Setelah revolusi Abbasiyyah48
(750), sosok
Mahdi menjadi lebih beraura eskatologis.49
Gagasan Mahdi ada
dalam ajaran Sunni dan Shî’ah namun peran Mahdi dalam Shî’ah jauh
lebih penting daripada dalam Sunni. Dalam Shî’ah Imâmiyyah50
,
47 Lihat, Muhammad Ali Shomali, Cakrawala Shî’ah, (Jakarta: Penerbit Nur
Al-Huda, 2012), cet. ke 1, h. 128-129, Sadrudin Sadr, Al-Mahdi (A.S.), (Tehran,
Iran: Naba Organization, 2000), Ibrahim Amini, Imam Mahdi: Penerus Kepemimpinan Ilahi; Studi Komprehensif dari Jalur Sunnah dan Syiah tentang Eksistensi Imam Mahdi, (Jakarta: Penerbit Al-Huda, Maret 2015), cet. ke-2, h. 3
48 Pemerintahan Abbasiyyah berketurunan paman Nabi SAW, Abbâs. Pendiri
pemerintahan ini adalah Abdulllah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah
bin al-Abbâs. Terbentuknya pemerintahan Abbasiyah dianggap suatu kemenangan
ide-ide yang diusung kalangan Bani Hasyim setelah wafat Rasulullah SAW. Di
antara ide tersebut adalah jabatan khalifah diserahkan kepada keluarga Rasul dan
sanak saudaranya. Pemerintahan Abbasiyyah berlangsung selama 524 tahun, mulai
132 H hingga 656 H. Lihat, A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam. Penerjemah:
Muhammad Labib Ahmad, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997), cet. ke-9, jilid 3, h.
1-2.
49 Esposito, Ensiklopedi Oxford…, ke-2, h. 19
50 Shî’ah yang meyakini Ali bin Abi Thalib sebagai imam setelah wafatnya
Nabi Saw. Menurut mereka, Ali telah ditunjuk oleh Nabi Saw untuk
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 47
peran Mahdi mengembangkan kecenderungan ke-Mahdi-an ke
tingkatan terjauh.
Pada 873, Imam kesebelas Shî’ah Imâmiyyah wafat. Konon, ia
tidak meninggalkan keturunan. Namun menurut beberapa muridnya
ia memiliki bayi putra yang disembunyikan dengan alasan keamanan.
Pada antara 873 dan 941 terdapat “wakil-wakil” imam kesebelas yang
mengklaim bahwa mereka berhubungan dengan imam muda tersebut
dengan tujuan meluruskan kekeliruan umat. Ketika waktu berlalu dan
“imam baru” belum juga muncul ke publik, “para wakil” tersebut
semakin memperoleh karakter ke-Mahdi-an yang diperoleh dari
tradisi religius yang dijalankan untuk menyempurnakan citra
eskatologis sang imam.51
Seiring bejalannya waktu, manusia mulai merasakan bahwa
imam keduabelas itu sebenarnya adalah Mahdi yang sedang gaib
secara alami dan akan kembali tampil mengisi dunia dengan keadilan.
Kegaibannya adalah ujian bagi kaum beriman.
Mahdi Shî’ah Imâmiyyah diduga tinggal di dekat Makkah. Ia
diyakini melaksanakan hajji setiap tahun namun tidak seorangpun
mengenalinya. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa ia muncul
ke publik setiap hari ‘Ashura, hari kesepuluh Muharram yang
merupakan hari kesyahidan cubu Nabi, Husain (680). Dari dasar itu
peringatan ‘Ashura Shî’ah mencerminkan tidak hanya duka cita atas
kematian Husain tetapi juga harapan berakhirnya penderitaan dan
kezaliman terhadap keturunan Husain.
Mahdi akan datang melalui Kabah, di Makkah dengan
dibarengi sejumlah tanda spektakuler seperti matahari terbit dari
barat dan muncul gerhana yang tidak lazim pada bulan Ramadhan.
Saat kejadian itu Mahdi tidak mau tinggal di Makkah melainkan ia
menggantikannya. Karena tidak mungkin Allah SWT akan mewafatkan Nabi Saw
dan membiarkan umatnya berselisih mengenai siapa yang akan menggantikannya
sehingga masing-masing orang akan memiliki pendapat yang berbeda. Sebab, Nabi
Saw diutus oleh Allah SWT untuk menghentikan perselisihan dia antara manusia
sehingga mereka akan bersatu. Lihat, h. Abdul Mun’im Al-Hafni, Ensiklopedia: Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam Seluruh Dunia.
Penerjemah: Muhtarom & Tim Grafindo, (Jakarta: Grafindo Kzhanah Ilmu, Januari
2005), cet. ke-1, 69
51 Esposito, Ensiklopedi Oxford…, ke-2, h. 20
48 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
pergi ke Madinah dan lalu ke Kufah. Di Kufah ia mendirikan
ibukotanya. Setelah itu seluruh dunia menerima Islam baik secara
suka-rela atau terpaksa. Mahdi akan meninggal beberapa saat
sebelum Kiamat dan kewafatannya disusul dengan periode singkat
yang penuh kekacauan dan ketidakpastian.
Sosok Mahdi yang sangat suci dan mengagumkan membuat
banyak manusia mengklaim mengenal sejumlah nama yang
dianggapnya sebagai Mahdi yang akhrinya tidak terbutki. Faksi al-
Yazidiyyah meyakini bahwa Yazid telah naik ke langit dan akan
kembali pada masa depan untuk menegakkan keadilan. Ismailiyyah
meyakini Mahdi yang dimasudkan dalam sejumlah hadis adalah
Muhammad bin Abullah, penguasa Mesir dan Afrika Utara. Guna
meyakinkan pendapatnya ia mengatakan bahwa pada tahun 300
matahari akan terbit di barat. Mayoritas kelompok yang mengklaim
sebagai Mahdi telah punah dan tidak tersisa selain sebutan mereka di
buku-buku sejarah.52
E. Alam Kubur/Barzakh
Barzakh adalah bahasa Arab Parsi yang berarti pemisah atau
sekat yang memisahkan dua sesuatu. Dalam geografi, barzakh adalah
bagian bumi yang kecil yang membatasi dua laut atau yang
mempertemukan satu pulau dengan pulau lainnya.53
Alam kubur
disebut barzakh karena dia adalah pembatas antara kehidupan dunia
dengan kehidupan akhirat. Barzakh juga berarti satu dari dua
keadaan; pahala dan hukuman54
, atau dunia dan akhirat. Berkaitan
dengan itu, al-Sâdiq bersumpah, “Demi Allah, aku tidak takut dengan
52 Ibrahim Amini, Imam Mahdi, h.. 32-33
53 Ja’far al-Bâqir, Al-Barzakh, (Al-Majma’ al-‘Âlamî li Ahl al-Bait, 1996
M/1416 H), cet. ke-I, h. 9. Lihat juga, ‘Abd al-Razzâq al-Kâshanî, Istilâhât al-
Sûfiyyah, (Dâr al-Manâr, 1992 M/1413 H), cet. ke-1, h. 63
54 Dorongan api neraka yang sangat kuat membuat penghuninya terangkat
menjulang tinggi dan saat itu mereka melihat kenikmatan dan kemuliaan surga
sehingga mereka menyeru penghuni surga: “limpahkanlah kepada kami sedikit air
atau makana yang telah direzekikan Allah kepadamu”. Mereka (penghuni surga)
menjawab: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang
kafir. Lihat, Zain al-Dîn bin ‘Abd al-‘Azîz bin Zain al-Dîn al-Malîbârî, Irshâd al-‘Anâm ilâ Sabîl al-Rashâd, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 2010 M/1431 H),
cet. ke-1, h. 181. Lihat juga (QS Al-A’râf/7:50)
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 49
kalian, kecuali barzakh”. Barzakh ditakuti karena barzakh bisa
berbentuk taman surga atau hamparan neraka.55
Ada tiga ayat dalam Al-Qurân yang menggunakan kata
barzakh: Dalam surat al-Rahmân/55: 19-20, al-Furqân25/ : 53, dan al-
Muminûn23/ 100.
ن ه م ا ب ر ز خ ل ي ب غ ي ان )( ر ي ن ي ل ت ق ي ان )( ب ي م ر ج ال ب ح
Dia membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya
bertemu(19) Di antara keduanya ada batas yang tidak
dilampaui oleh masing-masing (20) (QS Al-Rahman/55:19-20)
Keagungan ciptaan Allah SWT sangat menakjubkan.
Diciptakan dua lautan, satu lautan airnya tawar dan satu lainnya
airnya asin. Kedua lautan itu saling mengalir dan bertemu namun
kedua air yang yang beda rasanya tidak bercampur disebabkan adanya
barzakh sehingga laut yang asin tidak menyampur ke laut yang tawar
dan sebaliknya.
Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa maksud dari kedua
laut itu adalah ‘Alî dan Fathimah dan maksud dari barzakh adalah
nabi Muhammad SAW. Dari Ali dan Fathimah mengeluarkan
mutiara yaitu Hasan dan marjan yaitu Husain.56
ا م ل ح ا ج اج و ج ع ل ب ف ر ات و هذ ا ع ذ ر ي ن هذ و ه و الذ ى م ر ج ال ب ح ن ه م ا ب ر ز خا و ح را م ج و راب ي ج
Dan Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir
(berdampingan); yang ini tawar dan segar dan yang lain sangat
asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan
batas yang tidak tembus. (QS al-Furqân25/ : 53)
Barzakh pada ayat ini adalah pembatas yang menghalangi
bercampurnya laut tawar dan segar dengan laut asing dan pahit.
55 Abd ‘Alî bin Jum’ah al-‘Arûsî al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalain,
(Bairût, Lubnan, Muassasah al-Târîkh al-‘Arabî, 1422 H/2001 M), cet. ke3,h. 553
50 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
ت ك لا ا ن ه ا ك ل م ة ه و ق آئ ل ه ا و م ن و ر ائ ه م ب ر ز خ ل ع ل ى أ ع م ل صل حا ف ي م ا ت ر ك ع ث و ن ا ل ي و م ي ب
Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku
tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah
perkataan yang diucapkan saja. Dan dihadapan mereka ada
dinding sampai hari mereka dibangkitkan. (QS Al-Muminûn23/
100)
Sebelum mengisahkan barzakh, ayat ini menginformasikan
keadaan orang yang menyesal saat di dunia. Salah satu golongan
yang menyesal saat kematian adalah mereka yang tidak menunaikan
zakat. Mereka mengemis kepada Allah SWT agar dihidupkan kembali
untuk bisa berbuat kebaikan. Termasuk di antara kelompok itu
adalah orang-orang kafir. Dalam hadis diterangkan ketika orang kafir
mati, ia digiring oleh tujuh puluh ribu Zabaniyyah menuju kubur dan
mengemis kepadanya dengan suara menggelegar yang terdengar oleh
apapun dan siapapun kecuali manusia dan malaikat, “Tuhan,
kembalikan aku ke dunia supaya aku bisa melakukan kebaikan.” Lalu
dijawab oleh Zabaniyyah, “itu hanya ucapan kamu saja”57
Kematian adalah akhir kehidupan di dunia dan awal kehidupan
di alam kubur yang merupakan persinggahan awal di kampung
akhirat. Dalam hadis nabi disebutkan,
ب ه ف م ا ب ع د ه ا ي س ر م ر ة ف ا ن ن ا م ن ه ص اح خ ن ه و ا ن ل ا ن ال ق ب ر ا ول م ن از ل الآ ي ن ج ح م ن ه ف م ا ب ع د ه ا ش د
Sesungguhnya alam kubur adalah kampung akhirat. Jika
seseorang selamat dari sini, maka sesudahnya menejadi lebih
ringan, tetapi jika tidak selamat di sini maka sesudahnya
menjadi lebih berat.
عن سلمان الفارسى و سعيد بن جبي و سفيان الثورى أن البحرين على و فاطمة 56المرجان( السن و عليهما السلام )بينها برزخ( مم د صلى الله عليه و سلم )يرج منهما اللؤلؤ و
Lihat Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalain, juz ke-5, h. 191 السي عليهما السلام
57 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalain, juz ke-3, h. 553
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 51
Termasuk iman kepada hari akhir adalah iman kepada setiap
berita dari nabi Muhammad SAW tentang kejadian setelah mati58
. Di
antara kejadian itu adalah azab59
kubur.60
Terdapat sejumlah hadis yang menjelaskan perintah berlindung
dari azab kubur. Di antaranya adalah:
ث ن ا هر و ن ب ن م و س ى ا ب و ع ب د الله ا ل ع و ر ع ن ث ن ا م و س ى ب ن ا س اع ي ل ح د ح دش ع ي ب ع ن أ ن س ب ن م ال ك ر ض ي الله ع ن ه ا ن ر س ول الله ص لى الله ع ل ي ه و س لم
ل ع و ا ع و ذ ب ك م ن ال ب خ و ال ك س ل و ا ر ذ ل ال ع م ر و ع ذ اب ال ق ب و ك ان ي د ي ا و ال م م ات ن ة ال م ح ن ة الدج ال و ف ت 6١ف ت
Mûsâ bin Ismâ’îl menceritakan kepada kami, Hârûn bin Mûsâ
Abû ‘Abdillâh al-A’war menceritakan kepada kami, dari
Syu’aib, dari Anas bin Mâlik r.a.: “Sesungguhnya Rasulullah
SAW berdoa memohon perlindungan dari sifat kikir, malas,
perbuatan tercela, azab kubur, fitnah Dajjâl, fitnah kehidupan,
dan fitnah kematian”
58 Ibnu Taimiyyaah, Syarah Aqidah Wasithiyyah. Penerjemah: Abu Fathi
Yazid bi Abdul Qadir Jawas, (Bogor: CV Media Tarbiyah,Februari 2009/Shafar
1430), h. 176
59 Kata “azab” pada bahasa Indonesia berasal dari kata Arab, ‘adzāb. Kata
“azab” sering disamakan dengan kata “sengsara” yang dalam bahasa Sansekerta
“samsara” dan dapat dipahami sebagai: kesulitan/kesusahan dan penderitaan. Kata
“‘adzāb” dalam berbagai bentuk dan derivasinya disebutkan di + 307. Sebagai
bentukkepemilikan, misalnya, Qur’an mengungkapkannya dengan‘adzāb Allāh (azab
[milik] Allah), ‘adzāb rabbika (azab [milik]Tuhanmu), atau ‘adzāb min ‘indihi (azab
[yang datang] dari sisi-Nya). Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa azab datang dari
al-Raḥmān (Yang Maha Pengasih) seperti “‘adzāb min al-Raḥmān” (azab dari Tuhan
yangMaha Pengasih )pada Q. S. Maryam/19: 45. Muhammad Yasir, Al-‘Adzâb dalam Eskatologi Ibn ‘Arabi, (An-Nur, Vol. 4 No. 1, 2015), h. 4
60 Menurut Abd al-Qadir al-Jilani, iman terhadap siksa dan nikmat kubur
adalah wajib. Saat di kubur roh dikembalikan lalu datang malaikat Munkar dan Nakir
menanyakan dan menguji apa yang dipahami dan diikuti dalam ajaran agama. Lihat,
Harapandi Dahri, Pemikiran Teologi Sufistik; Syekh Abdul Qadir Jaelani, (Jakarta
Selatan: Wahyu Press, Maret 2004), cet. ke-1, h. 86
61 Al-Bukhârî al-Ja’fî, Sahîh al-Bukhârî, h. 223
52 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
F. Tiupan Sangkakala
1. Pengertian Sangkakala
Sangkakala adalah (seperti) tanduk yang ditiup62
yang terbuat
dari cahaya yang memiliki lubang-lubang sejumlah roh hamba-Nya63
sebagai tanda yang dijadikan oleh Allah SWT untuk manusia sebagai
akhir beban mereka di dunia.64
Bagian atas sangkakala seluas tujuh
langit dan bumi yang dikendalikan oleh malaikat Israfil dengan
keadaan penuh siaga menatap ‘arsh menunggu perintah kapan harus
ditiup.65
2. Jumlah Tiupan Sangkakala
Kedatangan hari kiamat ditandai dengan suara sangkakala yang
membuat makhluk bumi dan langit mati. Apabila sangkakala ditiup
maka tiba-tiba manusia66
keluar dengan segera dari kuburnya menuju
kepada Tuhan mereka67
. Mereka berkata: "Aduhai celakalah kami!
Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur kami
(kubur)?"68
. Suara tiupan itu adalah sekali teriakan saja69
kemudian
62 Dari Nabi SAW, al-Shûr Qarnun Yunfakhu Fîhi. Lihat, Abû Dâwûd
Sulaimân bin al-Asy’ats al-Sijistânî, Sunan Abî Dâwûd, (Bairût: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah 1416 H/ 1996 M), Juz ke-3, h. 241.
63 Nâshir Makârim al-Shairâzî, Al-Amtsal fî Tafsîr Kitâb Allâh al-Munzal, (Iran: Qum, ), Juz ke-11, h. 567.
64 Abû Ja’far Muhammad bin al-Hasan al-Tusî, Al-Tibyân fî Tafsîr al-Qurân,
(Bairût: Dâr Ihyâh al-Turâts al-‘Arabî) jilid 9, h. 46.
65 Lihat, Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazâlî, Mukâshafah al-Qulûb; al-Muqarrib ilâ Hadhrat ‘Allâmat al-Ghuyûb fî ‘Ilm al-Tasawwuf, (Bairût:
Dâr al-Fikr, 1990), cet. ke-1, h. 124
66 Tidak hanya manusia namun apaa yang ada di dalam kubur dibangkitkan.
Lihat, QS al-‘Âdiyât/100: 9
ل و ن 67 اث ا ل ر ب م ي ن س د Dan ditiuplah sangkalala و ن ف خ ف الصو ر ف إ ذ ا ه م م ن ال ج
maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan
mereka. (QS Yâsîn/36: 51)
ن و ص د ق ال م ر س ل و ن ق ال و ا يو ي ل ن ا م ن ب ع ث ن ا م ن 68 ا م ا و ع د الرح م ر ق د ن هذ Mereka
berkata: "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-
tidur kami (kubur)?". Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan
benarlah Rasul- rasul(Nya) (QS Yâsîn/36: 52)
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 53
mereka dikumpulkan kepada-Nya.70
Saat itu tidak ada lagi pertalian
keluarga dan tidak satupun yang saling bertanya71
. Tiupan pada hari
69 Satu teriakan tidak harus dipahami sebagai tiupan sangkakala tetapi juga
bisa dipahami sebagai azab atau siksa. Misalnya pada kisah seorang lelaki yang
datang bergegas-gegas dari ujung kota. Ia adalah lelaki yang sangat saleh yang
menghabiskan hari-harinya senantiasa beribadah kepada Allah SWT di sebuah gua.
Ketika ia mendengar para penduduk kota mendustakan para rasul bahkan berencana
akan membunuhnya, ia bergegas keluar gua untuk menasihatinya dan
menyerukannya agar mengikuti ajaran para rasul. Para penduduk kota merasa
sangat tersinggung dan marah terahadap ajakan lelaki itu yang teridentifikasi
bernama Habib al-Najjâr yang ternyata hanya seorang pemahat. Oleh karena itu para
penduduk kota mencekik leher Habib hingga wafat. Menurut al-Zamakhsarî, para
penduduk kota tersebut menginjak-injaknya hingga keluar usus dari duburnya. Detik-
detik ajal menjemputnya, ia melihat para nabi dan mengharap kesaksian para nabi
tersebut bahwa ia termasuk hamba Allash SWT yang beriman. Kemudian Allah
SWT memasukan Habib ke dalam surga. Saat berpisah dengan dunia, Habib teringat
kembali penduduk kota yang membangkang nasihatnya. Seandainya saja mereka
tidak seperti itu pastilah mereka mengetahui bahwa mereka akan diampuni dosa-
dosanya dan dimuliakannya seperti Habib yang sedang berada di peristirahatan
surgawi. Setelah Habib wafat –walaupun ada yang mengatakannya ia diangkat ke
langit-, Allah membalas perbuatan keji mereka. Terlalu terhormat untuk mereka bila
Allah SWT membalasnya dengan mendatangkan tentara malaikat sebagaimana
didatangkannya para malaikat sebelum-sebelumnya. Oleh karena itu perbuatan keji
mereka dibalas hanya dengan satu teriakan malaikat Jibril yang sudah pasti lebih
mudah dari mendatangkan tentara para malaikat. Namun reaksi dari teriakan
tersebut mengakibatkan mereka mati dalam sekejap. Kematian yang demikian itu
menyimbolkan bahwa kehidupan seperti nyala api dan kematian seperti abu. Lihat,
Ibn Katsîr al-Dimasyhqî, Tafsîr al-Qurân al-Karîm, jilid ke-III, h. 685, Louis Mal’uf,
al-Munjid fî al-Lugha wa al-‘ilâm, (Bairût: Dâr al-Masrtiq, 1986), cet. ke-28, h. 633,
Abû al-Qâsim Jâr Allâh Mahmûd bin ‘Umar bin Muhammad al-Zamakhsharî, Tafsîr al-Kasshâf, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah1424 H/2003 M), Jilid ke-IV, h. 10,
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid ke-11, 130-131, Muhammad Hussain al-
Taba’tabaî, Al-Mîzaân fî Tafsîr al-Qurân, (Bairût: Muassasah al-A’lamî li al-
Matbû’ât, 1411 H/ 1991 M), jilid ke-17, h. 76, A S Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (Oxford University Press, 1995), h. 113, Muhammad al-Râzî
Fakhr al-Dîn bin Diyâ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr Fakr al-Râzi al-Mushtahar bi al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, (Dâr al-Fikr, Maktabah al-Taufîq wa al-Dirâsât, 1425-
1426 H/ 2005 M), jilid ke-9, juz 26, h. 50, Shihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmûd al-Alûsî
al-Baghdâdî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm wa al-Sab’ al-Matsânî, (Bairût: Dâr al-Fikr, 1978 M/1398 H), Jilid VIII, Juz ke-11, h. 397-400
ي ن ا م ض ر و ن 70 ة ف إ ذ ا ه م ج ي ع ل د د ة و اح Tidak adalah teriakan itu ا ن ك ان ت ا ل ص ي ح
selain sekali teriakan saja, maka tiba- tiba mereka semua dikumpulkan kepada Kami.
(QS Yâsîn/36: 53) ن ه م ي و م ئ ذ و لآ ي ت س او ل و ن 71 Apabila sangkakala ف ا ذ ا ن ف خ ف الصو ر ف لآ ا ن س اب ب ي
ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada itu (hari kiamat)
dan tidak (pula) mereka saling bertanya. (QS al-Muminûn/23 : 101)
54 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
terlaksananya ancaman72
itu diinformasikan dalam Sûrah al-Naml/27:
87 dan al-Zumar/39: 68,
و ي و م ي ن ف خ ف الصو ر ف ف ز ع م ن ف السم وات و م ن ف ال ر ض ا ل م ن ش اء ر ي ن الله و ك ل أ ت و ه د اخ
Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka
terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi,
kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka
datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri].” ( al-
Naml/27: 87)
و ن ف خ ف الصو ر ف ص ع ق م ن ف السموات و م ن ف ال ر ض ا ل م ن ش اء ٧3
ر ى ف ا ذ ا ه م ق ي ام ي ن ظ ر و ن الله ث ن ف خ ف ي ه أ خ “Dan sangkakala pun ditiup maka matilah semua (makhluk)
yang di langit dan di bumi kecuali mereka yang dikehendaki
Allah. Kemudian ditiup sekali lagi (sangkakalaitu) maka
seketika itu mereka bangun (dari kuburnya) menunggu
(keputusan Allah)”( al-Zumar/39: 68,)
Ibn Katsîr
74 berpendapat kematian makhluk bumi dan langit
ditandai dengan tiupan sangkakala kedua. Ini berarti sebelum
و ن ف خ ف الصو ر ذال ك ي و م ال و ع ي د 72 Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari
terlaksananya ancaman. (QS Qâf/50: 20)
73 Sha’iqa terdiri dari shad, ‘ayn, qaf berarti bersuara sangat keras. Suara
yang sangat keras disebut Al-sha’q. Peristiwa luar biasa yang diakibatkan (suara)
petir disebut al-sha’iqa. mati yang disebabkan (suara) petir disebut sha’iqa. Lihat
Abû al-Hasan Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyyâh, Mu’jam al-Maqâyis fî al-Lughah,
(Bairût: Dâr al-Fikr, 1415 H/1994 M), cet. ke-1, h. 566
74 Ibn Katsîr al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-4, h. 78. Ibn
Katsîr memiliki nama lengkap ‘Imâd al-Dîn Ismâ’îl bin ‘Umr bin Katsîr bin Daww
bin Dar’ al-Qurashiyyi al-Basrawiyyi al-Dimashqî. Dijuluki Abû al-Fidâ. Lahir 701 H
di Desa Mujaydil, Shâm. Ayahnya adalah seorang juru dakwa. Ia bersama ayahnya
pindah ke Damaskus 706 H. Ia belajar fiqh dengan Burhân al-Dîn al-Fazârî dan ahli
fiqh lainnya. Ia belajar di Madrasah ‘Umm al-Shâlih dan di al-Madrasah al-
Tankiziyyah. Menurut al-Dzahabî, ia adalah ahli fiqh yang cerdas, ahli hadits yang
tidak diragukan, dan ahli tafsir yang kritis. Lihat Abû al-Hasan ‘Alî al-Husnî al-
Nadwâ, Rijâl al-Fikr wa al-Da’wah fî al-Islâm, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1423
H/2002 M), cet. ke-1, juz III, h. 321. Lihat juga, Ibn Katsîr al-Dimashqî, Al-Nihâyah
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 55
kematian makhluk sudah ada tiupan sangkakala pertama yang
menandai permulaan hari kiamat. Menurut Ahmad al-Shâwi75
, tiupan
pertama itu membuat bumi berguncang hebat, gunung-gunung
bertebaran, matahari digulung, bintang-bintang berjatuhan, dan
lautan ditundukan. Sungguh kegoncangan hari kiamat sangat dahsyat,
inna zalzalah al-sâ’at shaiun ‘azîm. Pendapat ini didukung Abu
Hafs76
dan dijadikan rujukan oleh Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama Republik Indonesia.77
Menurut al-Qâsimî,78
sha’iqa berarti halaka (binasa, hancur,
mati). Namun Abu Hafs mengartikannya lain. menurutnya,
‘sha’iqa’ tidak berarti ‘mati79
’ tetapi ‘pingsan’80
. Pendapat tersebut
didasari Q.S. al-A’râf: 143,
fî al-Fitan wa al-Malâhim, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007 M/1428 H), cet.
dua warna ke-1, h. 3
75 Ahmad al-Sâwî al-Malikî, Hâshyiyah al-Sâwi ‘alâ Tafsîr al-Jalâlain,
(Bairût: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid III, h. 379
76 Abû Hafs ‘Umar bin ‘Alî bin ‘Adl al-Dimasyqî al-Hanbalî, Al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, (Bairût: Dal al-Kutub al-‘Ilmiyyah), Juz ke-16, h. 547-549
77 Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qurân, et. al., TAFSIR ILMI: KIAMAT,
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qurân: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, Juni 2011), h. 27
78 Muhammad Jalâl al-Dîn al-Qâsimî, Tafsîr al-Qâsimî al-Musammâ Mahâsin al-Tawîl, (Bairût, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418 H/1997 M), Jilid VIII, h. 296
79 Mati, kematian, atau al-maut adalah keterpisahan roh dan jasad, keadaan
diam dan tidak ada gerakan, keadaan sesuatu menjadi dingin, kehilangan, kerusakan,
dan kekosongan dari bangunan dan pendudukutkan dalam Al-Qurân sebanyak kurang
lebih 160 kali yang tersebar di berbagai surat dan ayat-ayat antara lain QS 21: 34,
“tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan kematian”. Al-maut dalam tasawuf adalah
keterpsisahan roh dari jasad. Kata ini dalam berbagai bentuk dan perubahan
disebutkan dalam Al-Qurân sebanyak kurang lebih 160 kali, yang terebardi berbagai
surat dan ayat antara lain adalah firman Allah QS 21: 34, “tiap-tiap yang berjiwa
akan merasakan mati”. Lihat Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), cet. ke-1, jilid II
80 Al-faza’ berarti al-khauf (ketakutan) dan al-Dz’r (kepanikan) yang dalam
bahasa Inggris adalah alarm, fright. Lihat h. Muhammad Rawwâs Qal’ajî, at. al.,
Mu’Jam Lughat al-Fuqahâ: ‘Arabî-Inklîzî, (Bairût: Dâr al-Nafâis, 1405 H/1985 M),
cet. ke-1, h. 340
56 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
ق ات ن ا و ك لم ه ر به ق ال ر ب ا ر ن ا ن ظ ر ا ل ي ك ق ال ل ن ت رن ي و ل ما ج اء م و س ى ل م ت ق ر م ك ان ه ف س و ف ت ر ن ف ل ما ت لى ر به ل ل ج ب ل و لك ن ان ظ ر ا ل الج ب ل ف ا ن اس
ف ل م ا ا ف اق ق ال س ب حن ك ت ب ت ا ل ي ك و ا ن ا ول موسى صعقاو خر ج ع ل ه د كا ال م ؤ م ن ي
“Dan ketia Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang
telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfiman (langsung)
kepadanya, (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-
Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau, (Allah)
berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namum
lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai
sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka ketika
Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) kepada gunung itu,
gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah
Musa sadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat
kepada Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama
beriman.”
Al-Asfhahani hanya mengenal tiga kata untuk kata sa’iqa:
Pertama diartikan sebagai kematian dengan merujuk kepada QS Az-
Zumar/39: 68. Kedua diartikan sebagai azab dengan merujuk kepada
QS Fussilat/41: 13, dan ketiga diartikan sebagai api dengan merujuk
kepada QS Ar-Ra’d/13: 13.81
Tiupan tersebut menyebakan kepanikan dahsyat (al-faza’ al-
shadîd) bukan menyababkan kematian. Ini sesuai dengan Q.S. al-
Naml/27: 87,
و ي و م ي ن ف خ ف الصو ر ف ف ز ع م ن ف السم وات و م ن ف ال ر ض ا ل م ن ٨2
ش اء الله
81 Al-Râghîb al-Asfahânî, Kamus Al-Qurân: Al-Mufradat fî Gharib al-Qurân.
Penerjemah: Ahmad Zaini Dahlan, (Jawa Barat: Depok, Pustaka Khazanah Fawa’id,
Rajab 1438 H/April 2017 M), cet. ke-1, jilid ke-2, h. 471-472.
82 Dari Nabi SAW, al-Sûr Qarnun Yunfakhu Fîhi. Sangkakala adalah
(seperti) tanduk yang bisa ditiup. Lihat, Abû Dâwûd Sulaimân bin al-Ash’ats al-
Sijistânî, Sunan Abî Dâwûd, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah 1416 H/ 1996 M),
Juz ke-3, h. 241. Menurut hadits, sangkakala adalah (seperti) tanduk yang terbuat
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 57
[Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka
terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi,
kecuali siapa yang dikehendaki Allah].
Namun ia juga menerangkan adanya pendapat berbeda.
Menurutnya, al-faza’ berarti ‘keadaan hampir mati’ disebabkan
dahsyatnya suara tiupan sangkakala. Dengan demikian, tiupan
sangkakala ada tiga; nafkh al-faza’ (tiupan kepanikan dahsyat), ini
sesuai Q.S al-Naml:78, Nafkh al-Sha’iq (tiupan kematian), dan Nafkh
al-Qiyâm (tiupan kebangkitan)
Berbeda dengan Ibn Katsîr, menurut al-Qurtubî83
, al-
Mawardî84
, al-Tabatâî85
dan al-Suyûtî, tiupan sangkakala ada dua;
nafkhah li al-imâtah (tiupan kematian) dan nafkhah li al-ihyâ (tiupan
kehidupan kembali). Al-Mawardî membagi pemahaman kata sha’iqa
menjadi dua; bermakna pingsan dan bermakna mati. Pendapat
jumhur, menurut al-Mawardî, adalah sha’iqa berarti mati pada tiupan
pertama.
Al-Tabatabâî walaupun berpendapat ada dua tiupan sangkakala
namun ia tidak menafikan pendapat yang mengatakan ada tiga
tiupan; nafkhah li al-imâtah (tiupan kematian), nafkhah li al-ihyâ wa
al-ba’ts (tiupan kehidupan kembali dan kebangkitan), dan nafkhah li
al-faza’ wa al-sha’iq (tiupan kepanikan dan kematian).
dari cahaya yang memiliki lubang-lubang sejumlah roh hamba-Nya. Lihat.Nâshir
Makârim al-Syairâzî, Al-Amtsal fî Tafsîr Kitâb Allâh al-Munzal, (Iran: Qum, ), Juz
ke-11, h. 567. Menurut al-Tusî, sangkakala tersebut adalah tanda yang dijadikan
oleh Allah SWT untuk manusia sebagai akhir beban mereka di dunia. lihat, Abû
Ja’far Muhammad bin al-Hasan al-Tusî, Al-Tibyân fî Tafsîr al-Qurân, (Bairût: Dâr
Ihyâh al-Turâts al-‘Arabî) jilid 9, h. 46
83 ‘Abdullâh Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, (Qâhirah: Dâr al-Kâtib al-‘Ilmi li al-Taba’at wa al-Nashr, 1967 M), Juz ke-
15, h. 280.
84 Abû al-Hasan ‘Alî bin Muhammad bin Hubaib al-Mawardî al-Basrî, Al-Nukatu wa al-‘Uyûn Tafsîr al-Mawardî , (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah), jilid
V, h. 13
85Muhammad Husain al-Tabatabâî, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, (Bairût:
Muassasah al-‘Alamî li al-Matbû’ât,), Juz, ke-17, h. 293
58 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Sedangkan menurut al-Râzî86
ketiga tiupan sangkakala itu
dinamai dengan nafkhah al-faza’ (tiupan kepanikan), nafkhah al-
sha’iq (tiupan kematian), dan nafkhah al-qiyâm (tiupan kebangkitan).
Berikut ini adalah tabel istilah sangkakala dan jumlahnya yang
digunakan oleh sebagian mufasir,
Tabel Nomor 1: Jumlah dan Nama Tiupan Sangkakala
MUFASIR TIUPAN KE-1 TIUPAN KE-2 TIUPAN KE-3
Al-Razî dan
Abu Hafs
Nafkha al-faza’ (tiupan
kepanikan
dahsyat)
Nafkha al-Sha’iq (tiupan
kematian)
Nafkha al-Qiyâm (tiupan
kebangkitan)
Al-Tabatatbâî
Nafkhah li al-imâtah (tiupan
kematian)
Nafkhahli al-ihyâ wa al-ba’ts
(tiupan
kehidupan
kembali dan
kebangkitan)
Nafkhah li al-faza’ wa al-sha’iq (tiupan
kepanikan dan
kematian)
Al-Suyûtî
Al-Qurtubî
Al-Mawardî
Al-Tabatatbâî
Nafkhah li al-imâtah (tiupan
kematian)
Nafkhah li al-ihyâ (tiupan
kehidupan
kembali).
Dengan demikian tentu ada jedah waktu antara tiupan pertama
dengan tiupan selanjutnya. Lalu berapa lama jedah waktu tersebut?
Mengutip hadis87
Abu Daud dan Ibn Murdawaih dari Abu Hamid, As-
Suyuthi88
berpendapat bahwa jarak waktu antara tiupan pertama
dengan tiupan ke dua adalah 40 (empat puluh). Tidak dijelaskan
apakah empat puluh tahun atau empat puluh hari. Ketiadaan
penjelasan tersebut didasari dari riwayat al-Bukhari yang menyatakan
86 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-27, h. 19
87 Hadis/Hadîts secara bahasa berarti “yang baru”. Secara terminologis
“hadîts” adalah setiap sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW yang
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat. Lihat, Mahmûd al-Tahhân, Taysîr Mustalah al-Hadîts, (Surabaya: Shirkah Bunkûl Indah, t. t.), cet. ke-7, h. 15. Lihat
juga, Muhammad Fârûq al-Nabhân, Al-Madkhal li al-Tashrî al-Islâmî, (Bairût: Dâr
al-Qalam, 1981), cet. ke-2, h. 89
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 59
ketika Abû Hurairah ditanya apakah empat puluh tahun atau empat
puluh bulan, Ia menjawab “aku tidak mempedulikannya”. Berikut ini
Hadis lengkapnya: عن أبى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ما بي النفختي أربعون قالوا يا أب هريرة اربعنون يوما قال أ ب ي ت قالوا اربعون شهرا قال أ ب ي ت قالوا ابربعون سنة قال أ ب ي ت ث ي ن ز ل الله من السماء ماء فينبتون كما ينتب
ب البقل قال و ليس من النسان ل ى ال ع ظ ما واحدا وهو ع ج شيء ال ي ب ٨9الذن ب و منه ي ر كب الخلق يوم القيامة
Dari Abû Hurairah, berkata ia, Rasul SAW bersabda: di antara
dua tiupan adalah empat puluh. Mereka bertanya, Wahai Abû
Hurairah! Apakah empat puluh hari? Abû Hurairah menjawab,
aku tidak pedulikan itu. Mereka bertanya, Wahai Abû
Hurairah! Apakah empat puluh bulan? Abû Hurairah
menjawab, aku tidak pedulikan itu. Mereka betanya, Wahai
Abû Hurairah! Apakah empat puluh tahun? Abû Hurairah
menjawab, aku tidak pedulikan itu. Kemudian Allah SWT
menurunkan air dari langit maka saat itu (jasad-jasad makhluk
bangkit) seperti tanaman yang tumbuh dalam keadaan tidak
sadar berbentuk sebuah tulang. Yaitu bagian bawah rusuk
tulang ekor. Dan dari bagian itu makhluk menaikinya pada
hari kiamat. .
Namun menurut al-Huwayzî90
dan al-Ghazâlî,91
empat puluh
tersebut adalah empat puluh tahun. Pendapatnya tersebut didasari
dari riwayat al-Muqâtil saat menerangkan perihal sangkakala dengan
88 Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûtî, Al-Durr al-Mantsûr fî
Tafsîr al-Matsûr, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t. t.), Jilik II, h. 631
89 Abû al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî al-Nîsabûrî,
Al-Jâmi’ al-Shahîh, (Bairût: Dâr al-Fikr, t. t..), jilid ke-4, juz ke-8, h. 210. Lihat
juga, Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-4, h. 558
90 ‘Abdu ‘Ali bin Jam’ah al-‘Arushî al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalaîn,
(Bairût, Lubnan, Muassasah al-Târîkh al-‘Arabî, 1422 H/2001 M.), cet. ke-1, Juz VI,
h. 312
91, Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn,
(Bairût: Dâr al-Fikr, 1411 H/ 1991 M), cet. ke-3, h. 545. Lihat juga, Al-Ghazâlî,
Mukâshafah al-Qulûb…, h. 124
60 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
memuat riwayat Qatâdah yang menyatakan bahwa (waktu jeda)
antara dua tiupan sangkakala adalah empat puluh tahun.
3. Makhluk Yang Tetap Hidup Setelah Sangkakala Ditiup
Makhluk yang dikecualikan Allah (illâ man shâ allâh) menjadi
perhatian serius mufasir untuk mengetahui siapa mereka yang tetap
hidup saat sangkakala ditiup.
Menurut al-Alûsî, al-Huwayzî92
, al-Tusî93
, dan al Al-
Tabatatbâî94
, makhluk tersebut adalah Jibril, Israfil, Mikail95
,
Malaikat Maut, dan Malaikat Pemikul ‘Arsh. Pendapat itu didasari
riwayat al-Sâdî. Namun jika ditijau melalui riwayat al-Dlahhâk,
makhluk tersebut adalah malaikat Ridwan, Bidadari, dan malaikat
Zabaniyyah. Mereka tidak mati karena mereka telah mati terlebih
dahulu sebagaimana Q.S. al-Dukhhân/44: 56, lâ yadzûqûna fîhâ al-
mauta illâ al-mautata al-ûlâ, (mereka tidak akan merasakan mati di
dalamnya kecuali mati yang pertama).
92 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalain, juz ke-1,h. 312
93 Abû Ja’far Muhammad bin al-Hasan al-Tusî, Al-Tibyân fî Tafsîr al-Qurân,
(Bairût: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî) jilid 9, h. 46
94 Al-Tabatabâî, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, Juz, ke-17, h. 293.
95 Mikail bertugas menurunkan hujan dan mendermakan rezeki sesuai apa
yang telah diperintahkan Allah. Ia berada pada tempat dan kedudukan yang tinggi
dan mulia di sisi Allah, serta mempunyai banyak pembantu dalam melaksanakan
tugas-tugas yang diperintahkan oleh-Nya dalam mendatangkan angin dan awan.
Dalam sebuah hadits dinyatakan, “Tidaklah turun hujan dari langit kecuali
bersamanya seorang malaikat yang menetapkan hujan itu pada belahan bumi” (mâ min qutratin tanzilu min al-samâi illâ wa ma’ahâ malakun yuqarribuhâ fî mawdi ‘ibâ min al-ard). Allah SWT menciptakan Mikail lima ratus tahun setelah penciptaan
Israfil. Tubuh Mikail dipenuhi rambut yang terbuat dari tumbuhan harum (za’faran).
Sayapnya terbuat dari batu mulia zabarjad hijau. Setiap helai rambutnya memiliki
satu juta wajah dan setiap wajah memiliki satu juga mata. Setiap tetes air mata
tangisannya adalah rahmat untuk muminin yang terjebak dalam dosa. Setiap
wajahnya memiliki satu juta mulut. Setiap mulutnya memiliki satu juga lidah.
Setiap lidahnya mampu mengucapkan satu juta macam bahasa. Setiap lidahnya
memohon ampunan kepada Allah untuk mumin yang terperosok dalam dosa. lihat.
Barizi, Malaikat di antara Kita, h. 31. Lihat juga, ‘Abd al-Rahîm bin Ahmad al-
Qâdî, Daqâiq al-Akhbâr fî Dzikr al-Jannah wa al-Nâr, e-book diakses pada 6 April
20019 dari https://id.scribd.com/doc/19491348/ -والنار-الجنة-ذكر-ف-الخبار-دقائقالقاضي-احم-ابن-الرحيم-عبد
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 61
Menurut Ibn Katsîr96
, mereka adalah Israfil, para Penjaga ‘Arsh
dan Izrail. Setelah roh mereka tetap hidup, roh dicabut oleh malaikat
maut dan yang terakhir mati adalah malaikat maut. Maka yang yang
tetap hidup adalah Zat Yang Maha Hidup. Ia memperkenalkan
kegagahan-Nya seraya berfirman, “milik siapa kerajaan sekarang?”,
milik siapa kerajaan sekarang?”, milik siapa kerajaan sekarang?”,
tentu milik Allah SWT Yang Maha Esa dan Maha Perkasa.97
Menurut al-Qurtubî, yang tetap hidup adalah syuhada yang
mengusung pedang di sekitar ‘arsh (mutaqallidîna asyâfahum haw al-
‘arsh). Melalui riwayat Anas bin Malik, dari Nabi SAW, mengenai
firman Allah SWT, fa sha’iqa man fi al-samâwâti wa man fî al-ardl
illâ man syâ Allâh, nabi bersabda: “(mereka adalah) Jibril, Mikail,
pembawa Arsy, Malaikat Maut, dan Israfil. Terakhir mati adalah
Jibril.” Al-Qurtubî juga berpendapat yang dikecualikan tetap hidup
(illâ man shâ Allâh) adalah yang mati pada tiupan pertama yang
kemudian langsung dihidupkan kembali.
Melalui riwayat Abû Hurairah dan al-Turmudzî, Al-Qurtubî
mengisahkan seorang laki-laki Yahudi di pasar Madinah berkata:
“Demi Zat yang telah memilih Musa dari manusia lain”. Maka laki-
laki Anshar memukul tangan laki-laki Yahudi tersebut. Lalu laki-
laki Anshar berkata: “kau berkata demikian sedangkan ada rasul
bersama kita.” Kemudian saya adukan hal itu kepada rasul dan rasul
membaca “wa nufikha fî al-sûri fa sa’iqa man fî al-samâwâti wa man
fî al-ard illâ man shâ allâh tsumma nufiqa fîhi ukhrâ fa idzâ hum
qiyâmun yanzurûn, aku adalah yang pertama mengangkat kepala
(bangkit), saat itu aku berada dekat Musa yang sedang bertanggung
jawab terhadap ‘arsh. Aku tidak tahu apakah ia lebih dahulu
mengangkat kepalanya (bangkit) ataukah ia termasuk orang yang
dikecualikan oleh Allah SWT (illâ man shâ Allâh) sehingga ia tetap
96 Ibn Katsîr al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, h. 78
97 Dalam hadits riwayat ‘Abdullâh bin ‘Umar dijelaskan bahwa saat kiamat
Allah SWT menggenggam dan membentangkan langit-langit dan bumi-bumi-Nya
seraya berfirman, “Aku Maha Perkasa. Aku Raja. Dimana (para makhluk) yang
(mengaku) perkasa? Dimana (para makhluk) yang sombong?”. Lihat. Abû ‘Abdillâh
Muhammad bin Yazîd al-Qazwayinî, Sunan ibn Mâjah, (Al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts,
1419 H/1998 M), cet. ke-1, h. 527
62 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
hidup. Siapa yang berkata bahwa aku lebih baik dari Yunûs ibn Mattâ
maka ia telah dusta”.98
Lebih lanjut al-Qurtubî menjelaskan melalui riwayat Anas saat
nabi SAW membaca wa nufikha fî al-shûri fa sha’iqa man fi al-
samâwâti wa man fî al-ardl illâ man syâ Allâh, para sahabat bertanya,
wahai nabi Allah, siapa mereka yang dikecualikan Allah (untuk tidak
mati)? Rasul menjawab, meraka adalah Jibril, Mikail, Israfil, dan
Malaikat Maut. Lalu Allah berfirman kepada malaikat maut!
“Makhluk-Ku yang masih tetap hidup pasti lebih mengetahui
(keadaan ini)”. Malaikat maut berkata, “Wahai Tuhanku, Jibril,
Mikail, Israfil, dan hambamu yang lemah ini (masih hidup).” Lalu
Allah SWT memerintahnya, “Ambilah roh Israfil dan Mikail!” maka
gugurlah keduanya menjadi mayyit berbentuk seperti dua gunung
megah. Kemudian Allah SWT berfirman, “Wahai malaikat maut,
matilah engkau!” maka matilah ia.
Dalam riwayat al-Qushairî, mereka yang tetap hidup adalah
Musa dan Syhuhada. Walaupun mereka mati namun sesungguhnya
mereka tetap hidup di sisi Allah (bal ahyâ inda rabbihim yurzaqûn).
Selanjutnya diterangkan melalui hadis nabi dari Abû Hurairah,
“jangan buat saya bingung mengenai Musa. Memang manusia mati,
aku adalah orang pertama yang hidup kembali dan saat itu Musa
sedang bertanggung jawab terhadap ‘arsh. Aku tidak tau apakah dia
termasuk yang dimatikan kemudian dibangkitkan atau termasuk yang
dikecualikan oleh Allah.99
Menurut al-Nasafî,100
mereka adalah Jibril, Mikail, Israfil,
Malaikat Maut, Penanggung Jawab ‘Arsh, Malaikat Ridwan, dan
Malaikat Zabaniyyah.
Al-Huwayzî101
mengakui adanya perbedaan terhadap siapa yang
tidak mati namun ia hanya menyebut Jibril, Mikail, Israfil, dan
98 Lihat Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Yazîd al-Qazwayinî, Sunan ibn
Mâjah, (Al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 1419 H/1998 M), cet. ke-1, h. 526
99Al-Jami’ li Ahkâm al-Qurân, h. 281
100 Abû al-Barkât ‘Abdullâh al-Nasafî, Tafsîr al-Nasafî al-Musammâ bi Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Tawîl, (Bayrut: Dâr al-Fikr, t.t.), jilid ke-6, juz ke-4,
h. 66
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 63
Malaikat Maut yang didasari dari Hadis marfu’. Pendapat ini sama
dengan pendapat al-Ghazâlî.102
Menurut al-Qâsimî,103
mereka adalah para malaikat tertentu
atau sebagian dari para syhuhada. Dengan mengutip riwayat
Qatâdah, ia berbendapat bahwa Allah SWT telah mengecualikannya,
maka tentu Allah lebih mengetahui.
Al-Râzî104
menambahkan informasi bahwa selain yang telah
disebut di atas, ada juga makhluk Allah yang tetap hidup saat
sangkakalan ditiup. Mereka adalah bidadari (hûr ‘înun), penghuni
‘Arsh dan Kursî Allah.
Dalam Tafsir Ilmi tentang Kiamat yang diterbitkan hasil kerja
sama Lajnah Pentashih Al-Qurân, Badan Litbang & Diklat
Kementerian Agama dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) tidak sama sekali menyinggung siapa yang dikecualikan oleh
Allah SWT saat sangkakala ditiup walaupun diterangkan bahwa
tahap awal kiamat adalah ditiupnya sangkakala oleh malaikat
Izrail.105
Beragam pendapat mengenai siapa mereka yang tetap hidup
saat tiupan sangkakala pertama membuat Quraish Shihab106
berpendapat bahwa yang paling baik adalah tidak menentukan siapa
mereka yang tetap hidup dengan alasan tidak ada pijakan yang kuat
untuk menetapkan siapa saja mereka. Kesimpulan Quraish Shihab
nampaknya berkiblat kepada pendapat Qathada yang menyatakan
bahwa Allah telah mengecualikannya dan Allah lebih mengetahui
101 ‘Abdu ‘Ali bin Jam’ah al-‘Arusyî al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalayn,
(Bairût, Lubnan, Muassasah al-Târîkh al-‘Arabî, 1422 H/2001 M.), cet. ke-1, Juz VI,
h. 313
102 Al-Ghazâlî, Mukâshafah al-Qulûb…, h. 124
103 Al-Qâsimî, Jalâl al-Dîn, Tafsîr al-Musammâ Mahâsin al-Tawîl, h. 296
104 Al-Râzî Fakhr Mafâtih al-Ghaib, juz ke-27, h. 19
105 Lihat Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qurân, et. al., TAFSIR ILMI: KIAMAT, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qurân: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, Juni 2011), h. 27-32
106 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keseraan al-Qurân, (Ciputat: Lentera Hati, Nopember 2009), cet. ke-II, h. 544
64 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
siapa mereka. Selain itu, Al-Qurân dan al-hadîts tidak menjelaskan
siapa mereka.107
Kesimpulan Quraish bahwa tidak ada pijakan yang kuat untuk
menetapkan siapa saja yang dikecualikan sepertinya perlu ditinjau
ulang dengan alasan mungkin, sekali lagi mungkin, Quraish belum
menelisik atau tidak mengomentari sejumlah riwayat Abû Hurairah,
Turmudzî, dan Anas yang dikemukakan Qurtubî di atas.
Benar apa yang dikatakan Ahmad S. Moussali, sebagaimana
dikutip Azyumardi Azra,108
bahwa diantara naskah suci Al-Quran
banyak ilmu pengetahuan dan aliran-aliran pemikiran yang dibentuk,
dikembangkan, disahkan, dan tidak disahkan. Hal tersebut termasuk
pada hadîts, (tradition), tafsîr, (exegesis), fiqh, (jurisprudence), kalâm
(theology), tasawuf109 (Sufism), dan akhlâq (ethics). Keadaan seperti
itu, menurut Arkoun, sebab naskah suci Al-Qurân adalah text
terbuka sehingga tidak satu pun berhak mengklaim penafsirannya
paling benar.110
107 Muhammad al-Râzî Fakhr al-Dîn bin Diyâ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr al-Fakhr
al-Râzî al-Mushtahir bi al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, (Bairût: Dâr al-Fikr,
1981 M/1401 H), cet. ke-1, juz ke-27, h. 19
108 Azyumardi Azra, Pluralism, Coexistence and Religious Harmony in Southeast Asia; Indonesia Experience in the “Middle Path”, dalam Contemporary Islam; Dynamic, not Static, (London and Newyork: Routledge, 2006),”, h. 229
109 Jika ahli hadîts dikenal dengan sebutan muhadits, ahli fiqh dikenal
dengan sebutan faqîh/fuqahâ, lalu apa sebutan untuk mereka yang menguasai
shûfiyyah/tashawwuf? Menurut Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, tasawuf/sûfiyyah tidak
bisa berdiri sendiri karena ia merupakan kumpulan semua ilmu pengetahuan. ia tidak
sama dengan ilmu pengetahuan lain atau sebutan lainnya seperti orang yang
menjalankan zuhd dikenal dengan sebutan zâhid/zuhhâd. Dalam QS al-Mâidah: 112
dijelaskan bahwa Allah SWT menyebut suatu golongan tidak dari pengetahuannya
atau perbuatannya akan tetapi dari kebiasaan hidupnya seperti orang-orang yang
biasa memakai pakaian putih disebut al-hawariyun, (إ ذ ق ال ال و ار ي و ن) Itulah mengapa
sejumlah pakar saling berbeda pendapat dalam memperkenalkan asal usul dan
pengertian tasawuf. Ada pendapat mengatakan asal tasawuf berasal dari kata sûf (wol), atau dari kata suffah, dari kata safâu. Lihat, Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, (Mesir: Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyyah, t. t.) h. 40-41
110 Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tentang Islam & Modernitas, (Jakarta:
Penerbit Paramadina, Januari 1998), cet. ke-1, h. 69
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 65
Berikut ini tabel pendapat para mufasir tentang siapa saja yang
dikecualikan Allah SWT untuk tetap hidup saat sangkakala kematian
ditiup,
Tabel Nomor 2:
Makhluk Yang Tetap Hidup Setelah Sangkakala Ditiup
YANG TETAP HIDUP SAAT SANGKAKALA KEMATIAN
MENURUT PARA MUFASIR
MUFASIR
YANG TETAP HIDUP
J
i
b
r
i
l
M
i
k
a
i
l
I
s
r
a
f
i
l
I
z
r
a
i
l
Z
a
b
a
n
i
S
y
u
h
a
d
a
Penj.
‘Arsh R
i
d
w
a
n
M
u
s
a
Al-Alûsî √ √ √ √ √
Al-Tabatabaî √ √ √ √ √
Ibn Katsîr √ √ √ √
Al-Qurtûbî √ √ √ √ √ √
Al-Huwayzî √ √ √ √
Al-Nasafî √ √ √ √ √ √ √ √
Al-Qâsimî Hanya Allah yang mengetahui siapa saja yang
dikcualikan-Nya
Quraish
Shihab
Tidak menentukan siapa saja yang dikecualikan-Nya
dengan alasan tidak ada pijakan yang kuat
Al-Râzî Semua yang disebut di atas dan ditambahkan dengan
bidadari surga111
, penghuni ‘Arsh dan penghuni Kursî Allah
111 Bidadari surga diibaratkan seperti mutiara yang masih tersimpan dalam
karangnya, belum pernah tersentuh tangan, belum pernah tersentuh sinar matahari,
bahkan belum pernah tersentuh udara sama sekali sehingga masih benar-benar suci
dan terjaga. Saat bidadari itu berjalan maka terdengar suara gelang kakinya dan
gelang tangannya yang menyucikan Allah SWT. Dia memakai kalung dari permata
yakut dan sandal serta terompah dari emas dan mutiara yang selalu bertasbih fasih.
Nor Saidah, Bidadari dalam Konstruksi Tafsir Al-Qurân: Analisis Gender atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam Penafsiran Al-Qurân, dalam Palestren, Vol.
6. No. 2, Desember 2013, h. 448
66 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
G. Roh
Al-Qurân memberi rambu tegas dalam urusan roh. Manusia
hanya diberi pengetahuan sedikit sehingga untuk mengenal hakikat
roh hampir tidak dimungkinkan. Oleh karena itu para tokoh agama
berpijak kepada wahyu dalam menjelaskan roh. Menurut mereka roh
lebih dahulu ada dibandingkan jasad. Kelanjutan dan keabadian roh
tanpa perlu mengikutsertakan argumentasi logika.112
Sikap dan alasan
seperti itu bisa jadi karena roh datang dari Tuhan sehingga cara yang
layak ditempuh untuk mengenalnya adalah melalui sabda-sabda
Tuhan.113
Menurut mereka, tersusunya manusia dari tubuh dan roh
tidak sama dengan tersusunya zat kimia yang teridiri dari dua unsur.
Contohnya air, yang terdiri dari oksigen dan hidrogen. Pada air, jika
salah satu susunannya berpisah dari yang lainnya maka wujud
susunan tersebut sirna beserta seluruh sifat susunannya. Pada
manusia, roh adalah unsur substansial dan hakikat manusia. Selama
roh ada maka kemanusiaan dan kepribadiannya tetap ada dan utuh.
Perubahan dan pergantian sel-sel tubuh tidak merusak kesatuan
pribadi mengingat standar kesatuan hakiki manusia adalah rohnya
yang satu.114
Para filosof klasik menganggap roh pada tumbuhan dan hewan
bersifat materi sedangkan roh pada manusia bersifat nonmateri.
Kaum materealis membatasi wujud hanya pada materi dan sifat-
sifatnya sehingga mereka mengingkari adanya roh yang bersifat
nonmateri. Menurut mereka, sesuatu yang tidak dapat diindera tidak
112 Ibrahim Madkour, Filsafat Islam; Metode dan Penerapan. Penerjemah:
Yudian Wahyudi Asmin dan Ahmad Mudzakkir, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
September 1996), cet. ke-4, h. 195
113 Di beberapa kalangan umat Islam masih ada rasa takut membahas lebih
jauh mengenai roh meningat roh bukan urusan manusia melainkan urusan Tuhan.
Membahasnya secara mendalam dipandang mencampuri urusan Tuhan dan dapat
berakibat fatal karena manusia melanggar batas-batas kemampuannya sendiri. Jika
dikaji lebih jauh, letak persoalnya adalah pemahaman kata perintah “amr” pada
kalimat “katakanlah: roh adalah (urusan) Tuhanku”. Sesungguhnya dalam bahasa
Arab, “amr” mengandung banyak arti. Di antaranya adalah: perintah, urusan,
pimpinan, dan arah. Lihat, Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi Dalam Berpikir, (Yogyakarta: Lesfi, 2002), cet. ke-3, h. 225
114 MT. Mishbâh Yazdî, Iman Semesta. Penerjemah: Ahmad Marzuki Amin,
(Jakarta: Al-Huda, November 2005/Syawwal 1426), cet. ke-1, h. 345
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 67
dapat dibuktikan secara ilmiah. Oleh sebab itu mereka tidak
menerima keberadaan forma yang abstrak sehingga mereka tidak
menawarkan solusi tuntas dalam standar kesatuan pada makhluk
hidup.115
Dalam filsafat, keberadaan roh bisa dipahami melalui
keberadaan gerak; baik gerak paksaan atau gerak bukan paksaan.
Gerak paksaan adalah gerak yang muncul dari unsur luar yang
mengenai suatu benda. Gerak bukan paksaan terbagi menjadi dua:
gerak yang sesuai dengan hukum alam dan gerak yang menentang
hukum alam. Jatuhnya batu dari atas ke bawah adalah contoh gerak
yang sesuai hukum alam. Burung yang mengepakkan sayapnya di
udara sehingga tidak terjatuh adalah contoh dari gerak yang
menentang hukum alam. Pada gerak yang menentang hukum alam
tentu ada penggerak tertentu di luar unsur tubuh yang digerakkan,
yaitu jiwa.116
Selain argumentasi gerak, konsep “aku” dan konsep
kontinuitas juga dikenal sebagai bukti adanya jiwa. Pada konsep
“aku”, seseorang yang mengatakan bahwa ia hendak tidur maka yang
dimaksud adalah bukan jasadnya, melainkan jiwanya karena hakikat
tidur bukan begerak menuju tempat tidur, berbaring, dan
memejamkan mata melainkan adalah seluruh hakikat pribadinya.
Kesatuan fenomena psikologis mengharuskan adanya asal dan asas
yang merupakan dasarnya.117
Konsep kontinuitas juga menguatkan adanya roh. Kontinuitas
adalah keadaan sekarang yang didalamnya termasuk keadaan masa
lampau dan keadaan akan datang. Keadaan seseorang hari ini adalah
keadaan rohnya yang bisa mengingat keadaan dua puluh tahun yang
lalu. Badan seseorang dan bagian-bagiannya selama dua puluh tahun
mengalami proses perubahan namun rohnya tidak. roh masih seperti
dahulu tetapi ingat kejadian dua puluh tahun yang lalu.118
Saat badan
mati, jiwa bisa terus hidup beserta segenap memori dan pikiran
115 Yazdî, Iman Semesta, h. 343
116 Madkour, Filsafat Islam…, h. 195-196
117 Madkour, Filsafat Islam…, h. 197-198
118 Madkour, Filsafat Islam…, h. 199
68 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
uniknya sambil tetap teringat pada raga yang menyertai kehidupan
fananya. Keadaan satu roh dengan roh lainnya saling berbeda.
Perbedaan itu tergantung pada raga yang ditempatinya dan memori
dan pikiran yang terdapat di dalam roh itu119
Jasad dan roh ibarat rebab dan suara merdu yang keluar
darinya.120
Suara merdunya yang tidak terlihat lebih tinggi dari
jasadnya. Kemerduan suaranya bukan merupakan jasad dan tidak
mempunyai sifat sempurna sedangkan rebab beserta dawai-dawainya
merupakan bahan benda yang tersusun dari beberapa bagian dan akan
rusak seperti batang-batang, namun jika senar-senarnya kendur atau
mengencang maka suara merdunya menjadi rusak dan musnah, dan
jika rebab dipecahkan maka suaranya langsung hilang walaupun
jasadnya masih ada sementara waktu.121
Mutakallimûn berbeda pendapat mengenai apakah roh itu
kehidupupan, jism122, atau bukan keduanya. Menurut al-Nazâm roh
adalah jism dan jiwa yang hidup dengan sendirinya. Keberadaan roh
dalam badan adalah untuk menghadapi kebinasaan badan dan menjadi
penentu pilihan. Jika roh lepas dari badan maka seluruh aktivitas
badan bersifat eksidental dan terpaksa. Menurut al-Juba’i roh adalah
jism tetapi bukan kehidupan. Sebab kehidupan adalah ‘ard. Menurut
119Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam; Sebuah Pendekatan Tematis.
Penerjemah: Musa Kahim & Arif Mulyadi, (Bandung: Mizan Media Utama,
September 2001/Rajab 1422), cet. ke-1, h. 42
120 Sesungguhna analogi roh-jasad dengan rebab-suara merdu adalah gagasan
Simmias yang diusung Plato yang kemudian ditolak oleh Socrates. Menurut
Socrates, Suara merdu pasif sedangkan roh aktif. Badan adalah alat/instrumen yang
digunakan roh dalam memperoleh tujuannya. Terkadang ada badan lemah tetapi
memiliki kecakapan luar biasa. Lihat, M. Rasjidi, Filsafat Agama, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1994), cet. ke-9, h. 181-182
121 Rasjidi, Filsafat Agama, h. 181-182
122 Jism adalah sesuatu yang mengandung hal-hal yang bersifat temporal
(‘ard) seperti gerak, diam, dan lainnya. Tidak ada jism kecuali ia mengandung ‘ard
dan tidak ada sesuatu yang memiliki kandungan ‘ard kecuali jism. Setiap bagian,
baik utuh ataupun tidak utuh, mengandung ‘ard. Dalam pendapat lain dinyatakan
bahwa jism adalah sesuatu yang memiliki arah kanan, kiri, punggunug, perut, atas,
dan bawah. Masing-masing dari bagian yang utuh memuat enam macam yang serupa.
Dia dapat bergerak, diam, dan menyatu dengan lainnya. Lihat, Abû Hasan Ismâ’îl al-
Ash’ârî, Maqâlât al-Islâmiyyîn wa Ikhtilâf al-Musalîn, (Misr: Matba’ah al-Sa’âdah,
1954 M/1337 H), cet. ke-1, h. 4.
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 69
al-Ashlam, adalah tidak benar pendapat yang mennyatakan bahwa
kehidupan dan roh berbeda dengan jasad. Menurutnya, jasad bisa
dilihat dan disaksikan seperti panjangnya, lebarnya, dan dalamnnya
sedangkan jiwa adalah badan itu sendiri. Namun terkadang
pernyataan-pernyataan lain dikumukakan tetapi hanya untuk
memperkuat hakikat sesuatu, bukan untuk menyatakan bahwa jiwa
berbeda dengan badan.123
Terdapat sejumlah riwayat yang mengisahkan keadaan roh
setelah terpisah dari jasad. Roh shuhadâ dan mumin berada di bawah
‘arsh menempati wadah berbentuk seperti lampu yang terbuat dari
cahaya dan saat saat sangkakala kedua ditiup seluruh roh tersebut
mendatangi jasadnya.124
Seseorang mumin yang saling kenal saat
hidup kemudian mengucapkan salam kepada sahabatnya yang
dikubur, maka Allah mengembalikan rohnya sehingga menjawab
salamnya125
bahkan mendengar suara sandal para pengantar
jenazahnya saat mereka kembali pulang.126
Jika ada seseorang yang
berziarah ke kubur saudaranya kemudian duduk di samping kuburnya,
maka si mayat merasa senang hingga ia berdiri pulang.127
Rasulullah
pernah berhenti di pemakaman para shuhadâ perang Badr128
. Lalu
123 Abû Hasan Ismâ’îl al-Ash’ârî, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi
Islam. Penerjemah: Rosihan Anwar & Taufik Rahman, (Bandung: CV Pustaka Setia,
Oktober 1999/Rajab 1420), buku ke-2, cet. ke-1, h. 69-70
124 Harapandi Dahri, Pemikiran Teologi Sufistik; Syekh Abdul Qadir Jaelani, (Jakarta Selatan: Wahyu Press, Maret 2004), cet. ke-1, h. 90
عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال: ما من مسلم يمر على قب أخيه كان يعرفه 125 Lihat, Shams al-Dîn Abî ف الدنيا فيسلم عليه إل رد الله عليه روحه حت يرد عليه السلام.
‘Abdillâh ibn Qayyim al-Jauziyyah, Al-Rûh, e(Bairût: Dâr al-Fikr, 1412 H/1992 M),
h. 7
عنه صلى الله عليه و سلم: أن الميت يسمع قرع نعال المشيعي له إذا انصرفوا عنه126
Lihat, Shams al-Dîn Abî ‘Abdillâh ibn Qayyim al-Jauziyyah, Al-Rûh, (Bairût: Dâr al-
Fikr, 1412 H/1992 M), h. 7
ما من رجل يزورقب أخيه و يجلس عنده إل قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: 127 Lihat, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Al-Rûh, h. 7 استأنس به و رد عليه حت يقوم
128 Kisah perang Badr dinyatakan dalam Al-Qurân bahwa kemenangan perang
Badr adalah berkat pertolongoan Allah SWT melalui perantara seribu malaikat yang
70 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
beliau menyeru dan bertanya kepada sejumlah nama mayat shahîd
apakah mereka telah menerima segala yang telah dijanjikan Allah
SWT. Perbuatan rasul itu membuat Umar bertanya kepadanya
mengapa rasul berbicara kepada manusia yang sudah jadi bangkai.
Kemudian rasul menerangkan bahwa Umar tidak mendengar
pembicaraan rasul dengan shuhadâ Badr tersebut karena mereka tidak
bisa menjawab129
(dengan jawaban yang didengar orang yang masih
hidup.)
H. Kiamat
Asli kata kiamat adalah al-qiyâm (berdiri) yang dilakukan oleh
seseorang dalam sekali hentakan. Kemudian diberi tambahan ta
untuk menunjukan bahwa kiamat terjadi dalam satu hentakan.130
Kata
“kiamat” biasa digandengakan dengan kata “hari” untuk menyatakan
masa atau waktu keberadaannya sehingga sering disebut “hari
kiamat/yaum al-qiyâmah”.
datang beturut-turut. Dalam ayat lain dinyatakan tiga ribu malaikat dan lima ribu
malaikat yang memakai tanda yang diturunkan dari langit. Bantuan-Nya tersebut
sebagai kabar gembira untuk orang-orang mumin serta pengingat bahwa kemenangan
itu hanya milik Allah SWT. Dengan sebab kemenangan perang Badr segolongan
orang-orang kafir menjadi binasa, hina, dan kembali tanpa memperoleh apa-apa.
Dalam pertempuran itu nabi berdoa, “Ya Allah.aku mencari janji-Mu. Jika Engkau
berkehendak (memenangkan golongan kafir) nischaya Engkau tidak (akan) disembah
(lagi). Lihat, Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhim bin al-Mughîrah bin
Bardazbah al-Bukhârî al-Ja’fî, Sahîh al-Bukhârî, (Bairût: Lubnân, Dâr Ibn
‘Ashâshah,2005 M/1426 H), jilid ke-5, h. 5, QS Al-Anfâl/8 :9-13, Âli ‘Imrân/3: 123-
127.
عنه صلى الله عليه و سلم أنه أمر بقتلى بدر فألقوا ف قليب ث جاء حت وقف 129عليهم و نداهم بأسائهم يا فلان بن فلان و يا فلان بن فلان هل وجدتم ما وعدكم ربكم حقا؟ فإنى وجدت ما وعدنى ربى حقا فقال له عمر يا رسول الله ما تاطب من أقوام جيفوا فقال و
ق ما أنتم بأسع لما أقول منهم ولكنهم ل يستطيعون جوابالذي بعثني بل Lihat, Shas al-Dîn
Abî ‘Abdillâh ibn Qayyim al-Jauziyyah, Al-Rûh, (Bairût: Dâr al-Fikr, 1412 H/1992
M), h. 7
130 Al-Raghib Al-Ashfahani, Kamus Al-Qurân. Penerjemah: Ahmad Zaini
Dahlan, ( Depok, Jawa Barat: Pustaka Khazanah Fawa’id, Rajab 1438 H/April 2017
M), cet. ke-1, h. 254
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 71
Terdapat sejumlah nama lain hari kiamat. Yaitu: al-sâ’ah131,
al-yaum al-âkhir, yaum al-ba’ts (hari kebangkian), yaum al-khurûj
(hari keluar), al-qâri’ah (yang menggelegar), yaum al-fasl (hari
keputusan), yaum al-dîn (hari perhitungan), al-sâkhah (suara yang
memekik), al-tâmmat al-kubrâ (malapetaka besar), yaum al-hasrah132
(hari penyesalan),al-gâshiyah, yaum al-khulûd (hari abadi), yaum al-
hisâb (hari perhitungan), al-wâqi’ah (yang pasti tiba),yaum al-wa’îd
(hari peringatan keras), yaum Âzifah (hari yang dekat), yaum al-jam’
(hari pengumpulan), al-hâqqah (yang pasti benar), yaum al-talaq (hari
pertemuan), yaum al-tanâd133 (hari saling memanggil), yaum al-
taghâbun134 (hari penampakan kesalahan), yaum ‘asîr135
(hari yang
sulit), yaum ‘azîm (hari yang agung), yaum mashûd (hari yang
dipersaksikan), yaum ‘abûs qamtarîr136 (hari orang-orang bermuka
masam penuh kesulitan), yaum ‘aqîm137 (hari kiamat/hari yang tidak
membawa kebaikan)138
131 Kiamat disebut al-sâ’ah (waktu) karena di dalamnya mengandung waktu
pembangkitan, pengumpulan, dan perhitungan. Lihat. Al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, juz
ke-28, h. 60
132 Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika
segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula)
beriman. (QS Maryam/19 :39)
133 Hai kaumku, sesungguhya aku khawatir terhapmu akan siksaan hari
panggil memanggil (QS Ghâfir/40 : 32)
134 (Ingatlah) hari (dimana) Allah mengumpulkan kamu pada hari
pengumpulan, itulah hari dinampakkan kesalahan-kesalahan. Dan barang siapa yang
beiman kepada Allah dan beramal saleh, niscya Allah akan menutupi kesalahan-
kesalahannya dan memasukkannya ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar (QS Al-
Taghâbun/64: 9)
135 Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari
yang sulit. (QS Al-Muddatsir/74 :8-9)
136 Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang
(di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. (QS Al-Insân/76 : 10)
137 Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam kergu-raguan
terhadap Al-Qurân, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-
tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat. (QS Al-Hajj/22 : 55)
138 Lihat, Ahsin Sakho Muhammad, Oase Al-Qurân; Pencerah Kehidupan,
(PT Qaf Media Kreativa, Maret 2018), cet. ke-1, h. 171-172
72 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Waktu peristiwa kiamat adalah salah satu perkara gaib yang
hanya diketahui oleh Allah SWT.139
Kedatangan kiamat sepatutnya
tidak ditanyakan. Mempersiapkan kedatangannya lebih mulia
dibanding menanyakan kapan datangnya. Seorang lelaki ‘Arabî
pernah bertanya kepada nabi tentang kapan kiamat namun nabi
kembali bertanya, “apa yang sudah kamu siapkan untuk menyambut
kedatangannya?” “Dengan cinta kepada Allah dan rasul-Nya” jawab
‘Arabî. Lalu nabi berucap kepadanya, “manusia bersama orang yang
dicintainya’140
Berkenaan kepastian kedatanyannya, sesungguhnya Allah
SWT telah bersumpah menggunakan ungkapan hari kiamat itu
sendiri; Lâ uqsimu bi yaum al-qiyâmah.141 Kedatangannya
142 tidak
139 Hal ini bersumber dari hadits, “Kunci-kunci perkara gaib ada lima. Tidak
ada yang mengetahuinya kecuali Allah SWT: Tidak ada yang mengetahui apa yang
dikandung dalam rahim kecuali Allah SWT, tidak ada yang mengetahui apa yang
terjadi esok kecuali Allah SWT, tidak ada yang mengetahui kapa turun hujan kecuali
Allah SWT, tidak ada yang mengetahui di bagian bumi mana seseorang mati kecuali
Allah SWT, dan tidak ada yang mengetahui kapan terjadi kiamat kecuali Allah SWT.
عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: مفابيح الغيب خس ل يعلمها ال الله. ل يعلم ما تعيض الرحام ال الله و ل يعلم ما ف غد ال الله و ل يعلم مت ي أتى المطر أحد ال الله و ل تدرى
نفس بأي أرض تموت ال الله و ل يعلم مت تقوم الساعة ال الله
Lihat, Al-Bukhârî al-Ja’fî, Sahîh al-Bukhârî ,juz ke-8, h. 166
140 Hasan Kâmil al-Multâwî, Al-Sûfiyyah fî Ilhâmihim, (Dicetak oleh:
Muhammad Taufîq ‘Uwaidah, April 1972/ Rabi’ al-Awwal 1396), cet. ke-27,juz 2, h
50. Lihat juga, Ibn Katsîr al-Dimashqî, Al-Nihâyah fî al-Fitan wa al-Malâhim,
(Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007 M/1428 H), cet. dua warna ke-1, h. 15
141 QS al-Qiyâmah/75: 1
142 Waktu kedatangan kiamat sudah ditentukan sehingga tidak bisa
diperlambat atau dipercepat namun waktu yang sudah ditentukan itu hanya Allah
SWT yang tahu. Dalam Al-Qurân dinyatakan, “Mereka menanyakan kepadamu
(Muhammad) tentang kiamat: "kapan terjadi?" Katakanlah: "Sesungguhnya
pengetahuan tentang kiamat itu ada pada Tuhanku; tidak ada (seorangpun) yang
dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia. (Kiamat) itu sangat berat (huru
haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi, tidak akan datang kepadamu
kecuali secara tiba-tiba". Mereka bertanya kepadamu seakan-akan engkau
mengetahuinya. Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya pengetahuan tentang hari
kiamat itu ada pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". (QS Al-
A’râf/7: 187 dan al-Mulk/67: 23) Diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa nabi bersabda,
“kunci kegaiban ada lima namun tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali Allah:
pengetahuan (kedatangan) hari kiamat ada pada Allah, Dia mengetahui waktu
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 73
dapat didustakan143
yaitu apabila sangkakala ditiup sekali tiup144
maka bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya145
bahkan bumi dan
gunung dibenturkan keduanya sekali benturan146
, sehingga gunung-
gunung hancur menjadi debu-debu yang berterbangan147
, matahari
digulung,148
cahaya bulan hilang, matahari dan bulan dikumpulkan149
,
bintang-bintang berjatuhan, harta kesayangan ditinggalkan begitu
saja, binatang-binatang liar dikumpulkan, lautan dipanaskan,150
langit
menjadi rapuh sehingga terbelah,151
kemudian langit dilenyapkan,152
pada hari itu manusia berkata, “kemana tempat lari?’, tidak ada
tempat berlindung, hanya kepada Tuhan tempat kembali pada hari
itu,153
para malaikat berada di berbagai penjuru langit, delapan
malaikat menjunjung ‘arsh di atas (kepala) mereka154
, Saat itu
manusia terbagi menjadi tiga golongan: golongan kanan155
, golongan
turunnya hujan, Dia mengetahui yang ada di dalam rahim, tidak seorang pun
mengetahui apa yang akan dikerjakan esok, dan tidak seorangpun mengetahui di
bumi mana ia akan meninggal. Lihat juga, Ibn Katsîr al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-4, h. 558, Sayyid Sâbiq, Aqidah Islam, (Bandung: Penerbit CV
Diponegoro, 1995), cet. ke-13, h. 44o, lihat juga, Ibn Katsîr al-Dimashqî, Al-Nihâyah fî al-Fitan wa al-Malâhim, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007 M/1428 H), cet.
dua warna ke-1, h.17
143 QS al-Wâqi’ah/56: 2
144 QS al-Wâqi’ah/56: 4
145 QS al-Wâqi’ah/56: 4
146 QS al-Hâqqah/69: 14
147 QS al-Wâqi’ah/56: 5-6
148 QS al-Takwîr/81: 1
149 QS al-Qiyâmah/75: 8-9
150 QS al-Takwîr/81: 2-6
151 QS al-Hâqqah/69:16
152 QS al-Takwîr/81: 11
153 QS al-Qiyâmah/75: 10-12
154 QS al-Hâqah/69: 17
155 Golongan kanan adalah orang-orang yang menerima buku catatan amal
mereka dengan tanga kanan. Mereka sudah yakin bahwa suatu saat ia akan
menerima perhitungan terhdapa dirinya. Maka golongan ini berada dalam kehidupan
yang diridai. (QS al-Hâqah/69: 20-21) Lihat catatan kaki pada Departemen Agama
RI, Al-Qurân dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media, 2005), h.534
74 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
kiri156
, dan golongan yang paling dahulu beriman.157
Milik-Nyalah
segala kekuasaan saat itu158
.
Bangsa-bangsa yang mendustakan kedatangan hari kiamat
terbukti binasa. Bangsa ‘Âd dan Tsamûd misalnya. Kaum Tsamûd
dibinasakan dengan suara yang sangat keras sedangkan kaum ‘Âd
dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin. Allah
menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan
hari terus-menerus sehingga mereka mati bergelimpangan seperti
batang-batang pohon kurma yang telah lapuk.159
Ilmu tentang hari kiamat itu hanya di sisi Allah dan boleh jadi
hari kiamat itu sudah dekat waktunya160
dan datang secara tiba-
tiba161
. Meskipun perihal gaib namun tanda-tanda kedatangannya162
bisa diterangkan. Di antaranya adalah jika bulan hilang cahayanya
selama-lamanya, jika matahari dan bulan bertemu dan keduanya
terbit dan terbenam di waktu yang sama sehingga alam semesta
156 Golongan kiri adalah orang-orang yang menerima buku catatan amal
mereka dengan tangan kiri. Perasann menyesal terlihat pada golongan ini. Mereka
berandai-andai: seandainya jika kitab itu tidak diterimanya maka ia tidak mengetahui
perhitugnan terhdapa dirinya, seandainya kematian menyudahi segala sesuatu (maka
tidak ada hal manakutkan ini), (QS al-Hâqah/69: 25-27) Lihat, catatan kaki pada
Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahnya, h.534
157 QS al-Wâqi’ah/56: 7-10
158 QS al-An’âm/6: 73. Dalam hadits juga disebutkan bahwa saat kiamat
Allah SWT menggenggam bumi dan melipat langit dengan “tangang” kanan-Nya
kemudian berfirman, “Akulah Raja. Mana raja-raja bumi?” Lihat, Al-Bukhârî al-
Ja’fî, Sahîh al-Bukhârî ,juz ke-8, h. 166
159 QS al-Hâqah/69: 4-7
160 QS al-Ahzâb/33: 63
161 QS Muhammad/47: 18, QS al-An’âm/6:31
162 Terdapat sebuah hadits yang menyatakan bahwa kiamat tidak akan terjadi
kecuali manusia saling bermegah-megahan dalam masjid. ( عن أنس قال قال رسول الله Bermegah-megahan (صلى الله عليه و سلم: ل تقوم الس اعة حت يتباهى الن اس ف المساجد
dapat dipahami secara fisik dan non-fisik. Secara fisik, manusia saling memperbesar
dan menghias megah-megahan bangunannya sedangkan secara non-fisi, berlomba
lomba agar jamaah masjid menjadi semakin membludak. Lihat, Junaidi Abdillah,
Studi Kritik melalui Metode Takhrij Hadits tentang Menghias Bangunan Masjid sebagai Tanda Akhir Zaman, dalam: Ijtimaiyyah: Jurnal Pengembangan Masyarakat
Islam, (Februari 2018), vol 11, no.1, h. 117-160
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 75
menjadi gelap,163
sungai Euphrates terlihat seperti gunung yang
mengakibatkan setiap manusia bertengkar dan saling membunuh
untuk merebutnya sehingga sembilan puluh sembilan (99) dari setiap
seratus (100) orang terbunuh karena masing-masing ingin menjadi
pihak yang beruntung,164
munculnya Mahdi, keluarnya Dajjâl,
munculnya hewan/dâbbah yang bicara kepada manusia, asap tebal
yang menyelimuti bumi selama empat puluh hari, orang kafir seperti
dalam keadaan mabuk, orang mumin seperti dalam keadaan flu,
kabah dihancurkan oleh Euthopia/al-Habashah setelah nabi Isa
diwafatkan, semua penduduk bumi menjadi kafir,165
api memancar
dari daerah Hijâz sampai-sampai leher unta di Bashrâ berkilau
cahaya,166
pengetahuan lenyap tetapi kebodohan nampak, perbuatan
zina menyebar, khamr diminum, lelaki berkurang namun perempuan
tetap sehingga lima puluh perempuan senilai dengan satu lelaki.167
Kiamat adalah kebangkitan manusia dari kematian atau
kuburnya lalu diadili dan diminta pertanggungjawaban atas semua
perbuatan di dunia. Kiamat juga berarti keadaan akhir zaman, akhir
alam semesta, atau akhir semua makhluk. Saat kiamat tiba, seluruh
jagat raya beserta isinya, seperti planet, bintang, langit, bumi,
manusia, dan semua yang ada, hancur binasa. Setelah itu manusia
akan dibangkitkan dari kematiannya untuk
mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di dunia. Kiamat
diawali dengan tiupan sangkakala sebagai tanda permulaan
163 Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Tafsirnya, (Departemen Agama RI,
2009/Jumadil Akhir 1430), jilid ke-10, h. 443
ر ت 164 عن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: ل تقوم الس اعة حت ي س ت ل من كل مائة تسعة وتسعون و يقول كل ال ف ر ات عن جبل من ذهب يقتتل الن اس عليه في ق Lihat, Abû al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj bin رجل منهم لعل ى اكون ان ال ذى أنو
Muslim al-Qushairî Al-Nîsabûrî, Al-Jâmi’ al-Sahîh, (Bairût: Dâr al-Fikr, t.t.), jilid
ke-4, h. 74
165 Husain bin Muhammad al-Jisr al-Tarâblisî, Al-Husûn al-Hamîdiyyah li al-Muhâfadzah ‘alâ al-‘Aqâid al-Islâmiyyah, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, 2012
M/1433 H), cet. ke-1, h. 154-155
166 Ibn Katsîr al-Dimashqî, Al-Nihâyah fî al-Fitan wa al-Malâhim, (Bairût:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007 M/1428 H), cet. dua warna ke-1, h. 13
76 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
kehancuran alam semesta lalu bumi berguncang, benda-benda
angkasa hancur, dan semua makhluk hidup mati kemudian setelah
semua hancur dan musnah, bumi, langit, dan lainnya diganti dengan
yang baru dan keadaan seperti itu adalah awal kehidupan akhirat.168
1. Sirât, Mîzân dan Shafâ’at
Sebagaimana dinyatakan pada bagian latar belakang masalah
bahwa sebelum memasuki surga atau neraka ada tiga tahapan yang
dilalui maka pada bagian ini dijelaskan ketiga tahapan tersebut: sirât,
mîzân169 dan shafâ’at
Sumber berkaitan dengan sirât, mîzân dan shafâ’at ditemukan
dalam sejumlah riwayat. Misalnya, suatu hari ‘Âishah menangis lalu
ditanya Rasulullah mengapa ia menangis. Kemudian ‘Âishah
menjawab ia menangis sebab teringat neraka. Setelah itu Rasulullah
menerangkan ada tiga tempat dimana seseorang tidak mengingat
orang lain: di mîzan hingga diketahui berat atau ringan mîzannya, di
tempat menerima catatan hidup hingga diketahui apakah catatan itu
berada di kanannya, kirinya, atau belakang punggungnya, dan di sirât
saat dibentangkan di antara dua bagian belakang Jahannam hingga
diketahui boleh atau tidak dilewati.170
Anas r.a. pernah memohon syafaat kepada Rasulullah dan
Rasulullah memastikan bahwa beliau adalah pemberi syafaat.
Kemudian Anas bertanya lebih rinci:
167 Ibn Katsîr al-Dimashqî, Al-Nihâyah fî al-Fitan wa al-Malâhim, h. 20
168 Lihat, Kementrian Agma RI, Tafsir Ilmi: Kiamat dalam Perspektif Al-
Qurân dan Sains, (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qurân, September 2011), cet. ke-
1, h. 9-10
169 Mîzân adalah alat yang digunakan bangsa Arab untuk menimbang kurma
atau lainnya dengan menyamakan berat dengan kayu atau batu. Dalam QS 21:47
dinyatakn, “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka
tidaklah dirugikan seeseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya
seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami
sebagai pembuat perhitungan” Dari sini mîzân dipahami sebagai catatan perbuatan
makhluk yang akan ditimbang pada hari kiamat. Lihat, Su’âd al-Hakîm, Al-Mu’ajam al-Sûfî …, h. 1208
170 Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazâlî, Mukâshafah al-Qulûb; al-Muqarrib ilâ Hadhrat ‘Allâmat al-Ghuyûb fî ‘Ilm al-Tasawwuf, (Bairût:
Dâr al-Fikr, 1990), cet. ke-1, h. 296-297
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 77
Anas : Dimana saya bisa mencarimu (untuk memperoleh
syafaat)?
Rasulullah : Pertama, cari saya di sirât.
Anas : Jika aku tidak menjumpaimu di sirât?
Rasulullah : Cari saya di mîzan
Anas : Jika aku tidak menjumpaimu di mîzan?
Rasulullah : Cari saya di al-Haud. Saya tidak salah berada di
tiga tempat ini.171
Sirât diletakakkan persis di atas neraka Jahanam dalam bentuk
seperti bagian tajam pedang yang sangat tipis yang mengelurkan
semburan api (mudhadatan mazillatan172) yang memiliki sejumlah
pengait terbuat dari api (kalâlîb min nâr) sehingga siapapun yang
bergelantungan dengannya pasti terjerumus ke dalam Jahanam. Ada
yang melewatinya secepat kilat sehingga tidak ada rintangan untuk
sampai, ada yang melewatinya secepat angin sehingga tidak ada
rintangan untuk sampai, ada yang melewatinya secepat kuda lari, ada
yang melewatinya seperti berjalan cepat (sa’y al-rijl), ada yang
melewatinya seperti berjalan di atas pasir (raml al-rijl), ada yang
melewatinya seperti berjalan biasa, dan terakhir ada yang berjalan
dengan salah satu kakiknya dicap sebagai penghuni Jahanam dan
berjumpa dengan keburukan namun akhirnya Allah SWT
memasukkannya ke surga sebab kebesaran-Nya, keagungan-Nya, dan
rahmat-Nya.173
Saat kiamat, lautan manusia mendatangi dan memohon kepada
nabi Adam agar Allah memberikan syafaat kepada mereka tetapi nabi
171 Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazâlî, Mukâshafah al-
Qulûb; al-Muqarrib ilâ Hadhrat ‘Allâmat al-Ghuyûb fî ‘Ilm al-Tasawwuf, (Bairût:
Dâr al-Fikr, 1990), cet. ke-1, h. 297
172 Mudhadatan mazillatan dalam bahasa Inggris adalah rolling mill dan
dalam bahasa Indonesia adalah kilang pelinyak. Jika ditonton melalui youtube, bisa
dilihat jelas bagaimana dorongan dan semburan api keluar melesat sangat cepat.
173 Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazâlî, Mukâshafah al-Qulûb; al-Muqarrib ilâ Hadhrat ‘Allâmat al-Ghuyûb fî ‘Ilm al-Tasawwuf, (Bairût:
Dâr al-Fikr, 1990), cet. ke-1, h. 297
78 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Adam tidak menyanggupi dan menyarankan agar mereka menemui
nabi Ibrahim mengingat Ibrahim adalah sosok yang dekat dengan
Allah Yang Maha Penyayang (khalîl al-Rahmân). Ketika mereka
bertemu nabi Ibrahim, iapun menyatakan ketidaksanggupannya dan
menyarankan mereka menjumpai nabi Musa mengingat ia adalah nabi
yang pernah bicara langsung dengan Allah (kalîm Allâh).
Sesampainya dengan nabi Musa, iapun menjawab sama dan
menyarankan mereka bertemu nabi Isa mengingat nabi Isa adalah rûh
allâh dan kalimatuh. Jawaban nabi Isa juga sama dengan jawaban-
jawaban sebelumnya dan menyarankan mereka menemui nabi
Muhammad SAW. Setelah bertemu, nabi Muhammad menyatakan
bahwa dialah pemberi syafaat. Ia pun memohon kepada Allah untuk
diizinkan memberi syafaat dan Allah mengabulkannya dan
mengilhamkannya pujian-pujian. Lalu nabi Muhammad memuji-Nya
dan Allah meningatkannya agar tidak mendatangi-Nya sekarang lalu
nabi memuji-Nya.174
Berkaitan dengan syafaat itu, Anas r.a. pernah mendengar nabi
bersabda bahwa saat kiamat nabi Muhammad SAW berhak
memberikan syafaat seraya memohon kepada Allah memasukan ke
dalam surga orang yang yang dalam hatinya terdapat iman walau
hanya sebesar biji sawi atau hanya sependek-pendeknya jarak.175
2. Surga
Kata “surga” berasal dri bahasa Sanksekerta ”Swarga” yang
bearti kayangan atau keindahan yang dikepalai oleh ‘Batara Indera”.
Dalam pengertian, kata itu sama dengan kata Firdaus dan Jannah.176
Secara leksikal bahasa Arab, kata jannah berarti kebun (hadîqah)
174 Lihat, Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Sharh Sahîh
al-Bukhârî, (Bairût: Dâr al-Ma’rifah, t. t.), juz ke-13, h. 473
عنه قال: سعت حدثنا أبو بكر بن عي اس عن حيد قال: سعت أنسا رضى الله 175النبى صلى الله عليه و سلم يقول:إذا كان يوم القيامة ش ف ع ت فقلت يا رب أدخل الجنة من كان ,Lihat, Al-‘Asqalânî ف قلبه خردلة فيدخلون ث أقول أدخل الجنة من كان ف قلبه أنى شيء
Fath al-Bârî… ,h. 347 176 Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, ( Jakarta: CV.
Anda Utama, 1993), jilid ke-3, h.1070-1-71
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 79
yang di dalamnya terdapat pepohonan, khsusnya kurma. Jika orang
Arab menyebut kata jannah maka yang dimaksud adalah kebun yang
banyak pohon kurma dan anggur. Jika tida demikian maka hanya
disebut hadîqah.177Jannah juga dapat berarti bustân (kebun)
178 dan dâr
al-tsawâb (tempat balasan amal).179
Surga diumpamakan dengan keberadaan sungai-sungai
mengalir.180
Sungai-sungai tersebut bukan hanya sungai air tetapi
juga sungai susu, sungai khamr, dan sungai madu. Rasa dan bau air
sungai susu tidak berubah, sungai khamr memberikan rasa lezat
peminumnya, dan sungai madu dihasilkan dari madu yang disaring.
Selain mendapat pengampunan, mereka juga memperoleh segala
macam buah-buahan.181
piring-piring emas, piala-piala yang bening
177 Wildan Taufiq, Ideologi di Balik Simbol-Simbol Surga dan
Kenikmatannya dalam Ayat-Ayat Al-Qurân, dalam Kajian Linguistik dan Sastra,
vol. 20, no. 2, Desember 2008, h. 159
178 Dalam Al-Qurân kata jannah digunakan untuk menyebut bustân, “Dan
perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridaan
Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti seubah kebun yang terletak di
dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat. Maka kebun itu menghasilkan buahnya
dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun
memadari). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat” (QS al-Baqarah/2:
265) “Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang lelaki. Kami
jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dan buah kebun anggur, dan
Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma. Dan, di antara kedua
kebun itu Kami buatkan ladang.” (QS al-Kahf/ :32)
179 Mustafâ Muhammad al-Tair, Percikan Cahaya Ilahi. Penerjemah: Subhan
Nur, (Jakarta: Qisthi Press, 2006), cet. ke-2, h. 212
180 QS al -Burûj/85: 11, al-Tahrîm/66: 8, al-Talaq/65:11, al-Taghâbun/64 : 9,
al-Saff/61 : 12, al-Mujâdilah/58 :22, al-Hadîd/57: 12, al-Fath: 17, al-Baqarah/2: 25,
Muhammad: 12, al-‘Ankabût/29: 58, al-Mâidah/5: 119, Tâhâ: 76, al-Furqân: 10, Âli
‘Imrân/3: 15, 136, 195, 198, al-Hajj: 14, al-Kahfi: 31, al-Nahl: 31, Ibrahim: 23, al-
Ra’d: 35, Yûnus: 9, al-Tawbah: 100, al-Tawbah: 72, 89, al-Nisâ/4: 13, 57, al-
Bayyinah: 8, al-Mâidah/5: 12, 85. Jika dipahami dari konteks ayat, kata jannah
bermakna tempat yang tedapat sungai-sungai mengalir sebagai balasan bagi orang-
orang beriman dan beramal saleh. Dari sejarah diketahui tidak ada sungai-sungai
mengalir di jazirah Arab pra-Islam mengingat kondisinya yang kering dan tandus.
Tetapi masyarakat di sana sangat menginginkan tanah subur seperti daerah yang
terletak sepanjang pesisir sungai Eferat, Tigris, dan Nil. Lihat, Wildan Taufiq,
Ideologi di Balik …,h. 163
181 QS Muhammad/47: 15, QS al-Zukhrûf/43: 73
80 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
laksana kaca,182
perhiasan gelang-gelang emas dan mutiara, pakaian
hijau dari sutera halus dan sutera tebal, dipan-dipan indah183
istri-istri
yang suci,184
rizki tanpa hisab,185
mereka tidak merasakan lelah dan
lesu,186
tidak mendengar perkataan sia-sia dan dusta,187
dan mereka
kekal188
di dalamnya.189
Selain diskripsi duniawi seperti di atas, surga juga diistilahkan
dengan sesuatu yang belum pernah dilihat mata, belum pernah
didengar telinga, dan belum pernah terpintas dalam hati.190
Para
penduduk surga saling melihat siapa di antara mereka yang berada di
tingkatan lebih tinggi seperti mereka melihat bintang-bintang
berkilau dari timur hingga barat. Mereka menyaksikan tingkatan
surga yang hanya dikhuskan untuk para nabi.191
182 QS al-Zukhrûf/43: 73:71, QS al-Insân/76: 15
183 QS al-Hajj/22: 23, QS al-Kahf/18: 31
184 QS al-Baqarah/2: 25, QS al-Nisâ/4: 57
185 QS al-Mumin/40: 40
186 QS Fâtir/35: 35
187 QS al-Naba/78: 35. Dari ayat ini ada yang memahami surga tempat nabi
Adam berada sebelum dikeluarkan ke dunia adalah bukan surga sebagai tempat
balasan amal mengingat di surga tempat balasan amal tidak ada perkataan sia-sia dan
dusta. Lihat, Mustafâ Muhammad al-Tair, Percikan Cahaya Ilahi. Penerjemah:
Subhan Nur, (Jakarta: Qisthi Press, 2006), cet. ke-2, h. 214
188 Semua tokoh Islam selain Jahm bin Shafwan berpendapat bahwa
kenikmatan ahli surga bersifat abadi dan tidak pernah putus. Namun Shawfan
berpendapat bahwa surga dan neraka beserta penghuninya akan punah sehingga yang
ada hanya Allah sebagaimana pada mulanya. Lihat, Abû Hasan Ismâ’îl al-Ash’ârî,
Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam. Penerjemah: Rosihan Anwar & Taufik
Rahman, (Bandung: CV Pustaka Setia, Oktober 1999/Rajab 1420), buku ke-2, cet.
ke-1,h. 191
189 QS al-Baqarah/2: 82
أخرج البخاري و مسلم عن أبي هريرة ف حديث قدسي قال رسول الله صلى الله 190عليه و سلم فيما يدث عن ربه: أعددت لعبادي الصالي ما ل عي رأت و ل أذن سعت و Lihat Wahbah Zuhailî,Usûl al-Îmân wa al-Islâm, (Dimashq: Dâr ل خطرعلى قلب بشر
al-Fikr, 2008), cet. ke-1, juz ke-2, h. 1033
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: إن أهل الجنة ليباءون أهل الغرف من 191 فوقهم كما يتراءون الكوكب الدري الغابر ف الفق من المشرق و المغرب. لتفاضل ما بينهم.
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 81
Meskipun kenikmatan yang tidak pernah terbayang
sebelumnya telah dirasakan penduduk surga namun Allah SWT masih
menawarkan kepada penghuni surga sesuatu yang lebih
menyenangkan dari semua yang ada di dalam surga. Tawaran itu
membuat mereka bertanya-tanya bukankah mereka telah memperoleh
kesenangan yang tidak diperoleh makhluk lain. Kemudian Allah
SWT berfiman kepada mereka bahwa sesuatu itu adalah ridwân-Nya
dihalalkan untuk mereka sehingga tidak ada lagi murka-Nya
selamanya.192
Di dalam surga tidak ada matahari dan tidak ada malam. Para
penghuninya tidak ada yang tidur, karena sesungguhnya tidur itu
sama halnya dengan mati. Ada tujuh pagar yang mengelilingi surga:
pagar perak, pagar emas, pagar zabarjad, pagar mutiara, pagar intan,
pagar yaqut, dan pagar cahaya. Jarak atara setiap pagar itu
panjangnya lima ratus tahun perjalanan kaki di muka bumi.193
Ada empat tingkatan surga: al-jannah al-mawâ, al-jannah al-
na’îm, al-jannah al-firdaus, dan al-jannah Al-Haqîqah wa al-qurbâ.
Tingkatan paling rendah adalah al-jannah al-mawâ yang dihuni oleh
manusia yang berat timbangan kebaikannya sehingga mereka berada
dalam kehidupan yang memuaskan.194
Mereka inilah yang disebut
dengan orang-orang yang beruntung.195
Tingkatan berikutnya adalah
al-jannah al-na’îm yang dihuni oleh manusia yang mengorbankan
فقالوا يا رسول الله تلك منازل النبياء ل يبلغها غيهم؟ قال: بلى والذي نفسي بيده رجال آمنوا Wahbah Zuhailî,Ushûl al-Îmân wa al-Islâm, juz ke-2, h. 1034 بلله و صد قوا المرسلي
ه و سلم: إن عن ابى سعيدالخذرى رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله علي 192الله يقول لهل الجنة, يا أهل الجنة, فيقولون لبيك ربنا و سعديك و الخي ف يديك فيقول هل رضيتم؟ فيقولون و ما لنا ل نرضى يا رب و قد أعطيتنا مال تعط أحدا من خلقك فيقول أل أعطيكم أفضل من ذلك؟ فيقولون يا رب و أي شيء أفضل من ذلك؟ فيقول أحل عليكم
ضوانى فلا أسخ ط عليكم بعده أبدار Lihat, Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-‘Asqalânî, Fath
al-Bârî bi Sharh Sahîh al-Bukhârî, (Bairût: Dâr al-Ma’rifah, t. t.), juz ke-13, h. 487
193 Ahmad al-Qadlî, Kehidupan Sebelum…, h. 266-267
194 QS al-Qâri’ah/101: 7-8
195 QS al-A’râf/7: 8
82 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
harta dan jiwanya di jalan Allah (shuhada). Level selanjutnya adalah
al-jannah al-firdaus yang dihuni oleh siddîqûn, yaitu orang-orang
beriman dan beramal saleh,196
khusyu’ dalam salat, menjauhkan diri
dari perbuatan dan perkataan tidak berguna, menunaikan zakat,
menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri atau budak yang
dimiliki, memelihara amanah, dan memelihara salat.197
Mereka
kekal dalam surga Firdaus dan tidak ingin pindah dari dalamnya198
Penggunaan bentuk plural jannât199 (surga-surga) tersirat pengertian
bahwa surga Firdaus memiliki sejumlah tingkatan. Tingatan ke
empat adalah al-jannah al-Haqîqah wa al-qurbâ yang dihuni oleh
manusi yang lari hanya kepada Allah (fa firrû ilâ allâh200) seperti para
nabi, para wali-Nya, dan para fakir.201
3. Neraka
Neraka memiliki empat dinding tebal yang ketebalan tiap
dindinya sejauh perjalanan empat puluh tahun.202
Di neraka, orang-
orang kafir dibuatkan pakaian-pakaian dari api dan disiramkan air
mendidih ke atas kepala mereka sehinga hancur luluh segala yang ada
dalam perut dan kulit. Mereka juga merasakan cambuk-cambuk besi.
Mereka ingin keluar dari kesengsaraan itu namun saat itu juga mereka
dikembalikan ke dalamnya bahkan dikatakan kepada mereka
“rasakanlah azab yang membakar ini.”203
196 QS al-Kahf/18: 107
197 QS al-Muminûn/23: 1-11
198 QS al-Kahf/18: 108
199 QS al-Kahf/18: 107
200 QS al-Dzâriyât/51: 50
201 Lihat, Achamad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, Oktober 2007/Ramadhan 1428),
buku 2, cet. ke-2, h. 271-279
عن أبى سعيد الخدرى عن النبى صلى الله عليه و سلم قال: لسرادق النار جدر و 202 Lihat, Al-Malîbârî, Irshâd al-‘Anâm…, h. 169 كثف كل جدار مسية أربعي سنة
203 QS Al-Hajj/22: 19-22.
Al-Ma’ad dalam Perdebatan 83
Mereka dibakar api neraka dan mereka di dalamnya dalam
keadaan cacat.204
Ketika belengu dan rantai dipasang di leher mereka,
seraya mereka diseret ke dalam air yang sangat panas kemudian
mereka dibakar dalam api.205
Mereka tidak dibinasakan sehingga
mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya.
Mereka berteriak di dalam neraka itu:”Ya Tuhan kami, keluarkanlah
kami niscahya kami akan mengerjakan amalan yang saleh berlainan
dengan yang telah kami kerjakan”206
Para pendosa makan pohon zaqqûm207; yaitu seperti kotoran
minyak yang mendidih di dalam perut, seperti mendidihnya air yang
sangat panas.208
Golongan/kelompok kiri mendapatkan siksaan angin
yang amat panas, air panas yang mendidih, dalam naungan yang
sangat hitam yang tidak sejuk dan tidak menyenangkan.209
Dia
dibelengu tangannya ke lehernya, kemudian dimasukkan ke dalam api
neraka yang menyala-nyala, dibelit dengan rantai yang panjangnya
tujuh puluh hasta sebab dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang
Mahabesar.210
Dia tidak mempunyai seorangpun teman pada hari itu
dan tidak makan sedikitpun kecuali darah dan nanah.211
Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi
kepayayahan, memasuki api yang sangat panas, diberi minum dari
sumber yang sangat panas, mereka tidak memperoleh makanan selain
dari pohon yang berduri yang tidak menggemukkan dan tidak pula
menghilangkan lapar.212
204 QS Al-Mu’minûn/23: 104
205 QS Ghâfir/40: 71-72
206 QS Fâtir/35: 36-37
207 Seandainya setetes zaqqûm dimuatkan ke dalam api dunia maka penghuni
dunia beserta kehidupannya menjadi musnah. Lihat, Zain al-Dîn bin ‘Abd al-‘Azîz
bin Zain al-Dîn al-Malîbârî, Irshâd al-‘Anâm ilâ Sabîl al-Rashâd, (Jakarta: Dâr al-
Kutub al-Islâmiyah, 2010 M/1431 H), cet. ke-1, h. 162
208 QS al-Dukhân/44: 43-46
209 QS al-Wâqi’ah/56: 41-44
210 QS al-Hâqqah/69: 30-33
211 QS al-Hâqqah/69: 35-36
212 QS al-Ghâshiyyah/88: 2-8
84 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Api yang dinyalakan manusia hanya sebagian dari tujuh puluh
bagian api neraka jahannam.213
Api neraka dinyalakan selama seribu
tahun sehingga merah membara kemudian dipanaskan selama seribu
tahun lagi lalu menjadi putih kemudian dipanaskan seribu tahun
berikutnya hingga menghitam pekat.214
Siksa api neraka paling ringan
adalah ibarat seseorang yang memakai sepatu dan talinya terbuat dari
api lalu api itu tungku yang menghanguskan otaknya.215
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: نركم هذه الت يوقدها ابن آدم جزء من 213-Lihat, Zain al-Dîn bin ‘Abd al-‘Azîz bin Zain al-Dîn al سبعي جزءا من نر جهنم
Malîbârî, Irshâd al-‘Anâm ilâ Sabîl al-Rashâd, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah,
2010 M/1431 H), cet. ke-1, h. 165
عن أبى هريرة قال, قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: أوقد على النار ألف سنة 214حت احر ت ث أوقد عليها ألف سنة حت ابيض ت ث أوقد عليها الف سنة حت اسود ت فهى Al-Malîbârî, Irshâd al-‘Anâm…, h. 167 سوداء مظلمة
215 ال رسول الله صلى الله عليه و سلم: ان أهون أهل النار عن النعمان بن يسي قال, ق عذاب من له نعلان أو شركان له من نر يغلى دماغه كما يغلى المرجل ما يرى أن أحدا أشد منه Al-Malîbârî, Irshâd al-‘Anâm…, h. 168 عذاب وانه لهونم عذاب
85
BAB III
Sayyid Haydar al-Âmulî
dan Pandangan Para Tokoh
A. Biografi dan Perjalanan Intelektual
Sayyid1 Haydar
2 al-Âmulî memiliki nama lengkap Rukn al-Dîn
bin Haydar bin Sayyid Tâj al-Dîn ‘Alî Fadasah bin Sayyid Rukn al-
Din Haydar bin Sayyid Tâj al-Din ‘Alî Fadasah bin Sayyid
Muhammad Amir bin ‘Alî Fadasah bin Abî Ja’fâr Muhammad bin
Ibrâhim bin Muhammad bin Zayd bin Abî Ja’fâr Muhammad bin
Ibrâhim bin Muhammad bin Husain al-Kusaj bin Ibrâhîm bin
Tsanâillâh bin Muhammad Hârûn bin Hamzah bin ‘Ubaidillâh al-
A’raj bin Muhammad bin al-Husain al-Asghar bin al-Imâm ‘Alî bin
al-Husain Zain al-‘Âbidîn bin al-Husain al-Shahîd bin ‘Alî bin Abî
Tâlib.3
Ia lahir pada tahun 719 H4 di kota Âmul
5, ibu kota Turkistan,
kota kelahiran ayah dan kakeknya. Khajavi memuji sosok Âmulî
1 Kata ‘sayyid’ pada Sayyid Haydar al-Âmulî dapat berarti ‘tuan’. ‘Sayyid’
juga berarti gelar kehormatan yang diberikan kepada keturunan Nabi Muhammad
melalui garis keturunan anak perempuan nabi yang bernama Fâthimah dan suaminya
‘Alî bin AbÎ Thâlib. Lihat Crrill Glasse, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1999), cet ke-II, h. 356.
2 Dalam masyarakat Arab, kata haydar dikenal sebagai salah satu nama singa.
Dinamakan demikian karena singa memiliki leher yang besar dan lengan bawah yang
kuat. Ibu Ali bin Abi Thalib menamakan putranya dengan kata haydar sebagai tanda
pengingat ayahnya. Itulah mengapa ibu Ali bin Abi Thalib dikenal dengan sebutan
Fatimah binti Asad. Lihat, Ahmad al-Shantanâwî et. al., Dâirah al-Ma’ârif al-Islâmiyyah, (Wizârah al-Ma’ârif al-Shuhûmiyyah, t. t..), jilid ke-8, h. 155
3 Penelitian Khajavi menjelaskan bahwa nama dan silsilah lengkap tersebut
ada pada karya Âmulî al-Muhît al-‘Azam jilid pertama. Lihat Sayyid Haydar al-
Âmulî, Inner Secret of The Path, Pengantar oleh Muhammad Khajavi. Penerjemah:
Assadullah ad-Dhaarkir Yate, (Zahra: 1989), cet. ke-I, h. XIV, Lihat juga ‘Ali al-
Fâdil al-Qayni al-Najfî, Mu’jam Muallif al-Shî’ah, (Matba’ah Wizarât al-Irshâd al-
Islâmî, 1405 H), cet. ke-1, h. 9-10. Lihat juga, Al-Sayyid Muhsin al-Amîn, A’yân al-Shî’ah, (Dâr al-Ta’âruf li al-Matbû’ât, 1420 H/2000M), Jilid ke-10, h. 27
4 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 14
86 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
laksana penerang dunia yang sedang kegelapan. Gurunya bernama
Fakhr al-Muhaqqiqîn. Julian Baldik6 menilai Âmulî sebagai sosok
sufi yang memadukan Shî’ah dan tasawuf7.
Semenjak kecil hingga umur 30an tahun ia menggeluti al-
ma’sumîn, ajaran agama yang dipeluk nenek moyangnya. Ia juga
mempelajari ajaran sekte imamiyah8 yang sehari-hari dipraktekan
5 Amul terletak di ujung barat daya dataran rendah Mazandaran bagian
Timur. Terbentang sepanjang tepi barat sungai Harfaz, 12 mil sebelah selatan laut
Caspian. Ibn Isfandiyar, dalam Tarîkh al-Tubristân, menyatakan bahwa Amul
didirikan oleh Amula, putri kapten Daylamit dan istri raja Firuz Balkh. Saat jayanya
Islam, Amul sempat menjadi daerah industry perdaganan yang sangat maju.
Sejarawan ternama, al-Tabarî, dan hakim tersohor, Abû Tayyib al-Tabarî dilahirkan
di kota tersebut. Penulis Hudûd al-‘âlam menjuluki Amul sebagai kota makmur dan
ibu kota Turkistan yang menghasilkan bermacam jenis buah. Amul pernah dijajah
oleh Mas’ud, putra Mahmud al-Ghaznâ pada 1035-1036 M. 350 tahun kemudian
dijajah oleh Timur. Thomas Herbert yang pernah menginjakan kaki di Amul pada
1628 M menyatakan bahwa Amul merupakan daerah makmur dengan 300 rumah
penduduk dan pernah diguncang gempa bumi dan dilanda banjir. Amul terhubung
dengan pedesaan dari tepi Timur Harbaz yang dapat dilintasi melalui sebuah
jembatan elok yang memilkiki dua belas lengkungan (a fine twelve arched bridge).
Lihat Leiden EJ. Brill, The Encyclopedia of Islam, (London: Luxaz & Co., 1971),
vol. III, h. 459. Lihat juga Muhammad Tsâbit al-Fandî, Dâirah al-Ma’arif al-Islâmiyyah, (t.p. Oktober 1993), jilid 8, h. 626-627.
6 Julian Baldick, Mystical Islam: An Introduction to Sufism, (New York:
University Press, 1992), h. 101.
7 Para ulama berbeda pendapat mengenai asal-usul perkataan ‘tasawuf’;
“para sufi dinamakan demikian hanya karena kemurnian (safâ) hati dan kebersihan
tindakan mereka (atsar)” yang lain mengatakan, “sufi adalah orang yang hatinya
tulus terhadap Tuhan dan mendapat rahmat tulus dari Tuhan”. Sebagian mereka
mengatakan, “mereka dinamakan sebagai para sufi karena berada pada bari (saff) utama di depan Tuhan, karena besarnya keinginan mereka akan Dia dan
kecenderungan hati mereka terhadapad-Nya”, yang lain mengatakan, “mereka
dinamakan sufi karena sifat-sifat mereka menyamai sifat orang-orang yang tinggal di
serambi masjid (suffah) yang hidup pada masa nabi SAW, yang lain mengatakan,
“mereka dinamakan sufi hanya karena kebiasaan mereka mengenakan baju dari bulu
domba (sûf).” Anas bin Malik berkata, “Rasul mewajibkan dakwah, menunggang
keledai, dan memakai baju bulu domba (sûf)” Lihat, Abû Bakr Muhammad al-
Kalabdzî, Al-Ta’arruf li Madzab ahl al-Tasawwuf, (Maktabah al-Kulliyah al-
Azhâriyyah, 1969), cet. ke-I, h. 28-29. Lihat juga Ibrâhîm Baisûnî, Nashat al-Tasawwuf al-Islâmî, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, t.t.), h. 1. Lihat juga, Al-Suhrawardî,
‘Awârif al-Ma’ârif, jilid 1, h. 70
8 Shî’ah Imâmiyyah membangun keilmuannya di atas lima dasar: keesaan
Tuhan, keadilan, kenabian, imâmah, dan hari akhir. Imâmah adalah mandataris ilahi
kaum muslimin. Penampakan kasih sayang Tuhan yang dianugerahkan kepada
hamba-hamba-Nya yang mendamba kesinambungan rantai kenabian. Imam diangkat
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 87
masyarakat Shî’ah. Mengingat ajaran tersebut banyak mengangkat
hakikat kebenaran (the truth and reality/haqîqah) maka ia curahkan
sepenuhnya perhatiannya kepada sejumlah sufi dan filosof.9
Ia mampu memahami ajaran tersebut yang kemudian diringkas
ke dalam risalah-risalahnya. Ia juga sibuk mempelajari sufisme dan
ma’rifah10 Allâh. Semua itu ia lakukuan di tanah kelahirannya,
Âmul. Menjelang usia 33 tahun ia berhasil merampungkan karyanya
Nas al-Nusûs (the Text of the Texts) yang merupakan komentar
terhadap karya spektakuler Ibn ‘Arabî, Fusûs al-Hikâm (the Bezels of
Wisdoms). Penyesuaian antara paripatetik (masyâ’i), illuminasi
(ishrâqi), theology (kalâm) dan gnosis (‘irfân) mulai terjadi secara
bertahap pada masa Haydar Âmulî.11
Pengaruh sufisme dan filsafat yang hadir bersamaan
membuatnya semakin teguh pendirian. Ia katakana itu bukan karena
bangga melainkan mensyukuri karunia Allah yang tidak habis-
habisnya. Terlebih saat teringat hadîts qudsî, “Aku siapkan untuk
hamba-Ku yang saleh sesuatu yang belum pernah terlihat mata,
Tuhan secara langsung melalui silsilah kenabian. Ia harus maksum dari dosa kecil dan
besar. Di setiap masa harus ada figur imam yang perkasa yang siap menegakkan
tanda-tanda keagungan Tuhan. Lihat, Amirullah Asyarie, Filsafat Isyraq: Kajian Epistemoloigs antara Isyraq Imam Ghazâlî, Suhrawardi, dan Mulla Shadra, (Jakarta
Timur, SAS Center PCI-NU Mesir, Maret 2010), cet. ke-1, h. 96
9 Sayyid Haydar Âmulî, Inner Secret of The Path, Pengantar oleh Muhammad
Khajavi, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Assadullah ad-Dhaarkir Yate, (Zahra:
1989), cet. ke-I, h. xv
10 Menurut Sa’îd al-Kharrâj, ma’rifah diperoleh melalui dua cara: melalui
pandangan luhur (‘ain al-jûd) dan melalui usaha maksimal (badzl al-majhûd).
Menurut Ahmad Ibn ‘Atâ, Ma’rifah terbagi menjadi dua: ma’rifah al-haq (mengenal
Tuhan) dan ma’rifah al-haqîqah (mengenal substansi al-Haq) Maksud mengenal
Tuhan adalah mengenal keesaan-Nya dalam semua nama dan sifat-Nya. Sedangkan
mengenal substansi-Nya adalah tidak ada caranya karena terhalang oleh kekekalan
dan keabadian-Nya sebagaimana dinyatakan “ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-
Nya” (QS Tâhâ/20:110). Berkaitan dengan itu Abû Bakr al-Siddîq berucap, “Maha
suci Allah yang tidak membuat cara untuk mengenal-Nya”. Salah satu sifat orang
yang mengenal-Nya (al-‘ârif) adalah tidak pernah dikotori apapaun dan memandang
apapun bersih. Lihat, Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, (Al-Qâhirah: Maktabah
al-Tsaqafah al-Dîniyah, t.t), h. 56-57
11 Sayyid Hossen Nasr, The Islamic Intellectual Tradition in Persia, (New
Delhi: Curzin Press, 1996), h. 299.
88 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
terdengar telinga, dan tersirat hati seseorang” 12
dan saat teringat ayat
Al-Qurân,
ف ان و اي ع م ل و ن ف لا ت ع ل م ن ف س م ا أ خ ج زاء ب ا ك ي ل م م ن ق رة أ ع ي
Maka tidak seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan
untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang
menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka
kerjakan. (QS al-Sajadah/32: 17)
Paling tidak kebenaran semacam itu adalah terungkapnya
realitas sufisme dan filsafat serta menjadi jelas antara yang salah dan
yang benar. Dalam hal ini manusia terhubung ke satu titik realitas
dan tauhid. Ibarat garis lurus yang dibuat dari lingkaran yang
terhubung ke satu titik. Selain dari itu ia merasa semakin mengerti
dan membekas terhadap sejumlah firman Allah. Seperti dinyatakan
dalam Al-Qurân,13
ي ت ه آ إ ن ر بى ذ ب ن اص إ نى ت و كل ت ع ل ى الله ر بى و ر ب ك م م ا م ن د آبة إ ل ه و ء اخ ت ق ي م ر اط م س ع ل ى ص
Sungguh aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu.
Tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) melainkan Dialah
yang memegang ubun-ubunnya (menguasainya). Sungguh
Tuhanku di jalan yang lurus (adil). (QS Hûd/11: 56)
ع ع ل ي م ه الله إ ن الله و اس ر ق و ال م غ ر ب ف أ ي ن م ا ن و لو ا ف ث م و ج و لل ال م ش Dan milik Allah timur dan barat. Ke mana pun kamu
menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh Allah Mahaluas,
Maha Mengetahui. (QS al-Baqârah/2: 115)
Lebih dari itu, ia merasa semakin paham maksud dan
kandungan ungkapan imam ‘Alî “pengetahuan tidak lebih dari satu
titik yang kemudian diperbanyak oleh kebodohan”.
أعددت لعبادي الصالي ما ل عي رأت و ل أذن سعت و ل خطر على قلب 12 Lihat, Âmulî, Inner Secret…, h. xv بشر
13 Âmulî, Inner Secret…, h. xv-xvi
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 89
Âmulî merasa semakin sadar bahwa ia seperti menjadi bentuk
baru, sebuah bentuk yang dapat menjadi apapaun, bentuk yang
menerima dan memahami hasrat percaya. Semua itu seperti tertelan
pada keberadaannya yang tidak terbatas yang dinilainya sebagai
karunia Tuhan seperti keadaan paling mulia pada seorang nabi.
Begitulah karunia Allah yang diberikan kepada hambanya
sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qurân,14
الله ذ و ال ف ض ل ال ع ظ ي م ذل ك ف ض ل الله ي ؤ ت ي ه م ن ي ش آء و
Demikianlah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang
Dia kehendaki; dan Allah memiliki karunia yang besar. (QS al-
Jumu’ah/62: 4)
Ia juga sangat mengerti maksud ungkapan Ibn ‘Arabi yang
menyatakan bahwa ia pada mulanya menolak teman yang beda agama
namun sekarang hatinya telah terisi dengan semua bentuk
kepercayaan. Hatinya sudah menjadi padang rumput untuk para rusa
bermata indah.
Setelah semakin teguh terhadap sufisme, ia merasa sejumlah
orang merasa terganggu dengan sejumlah hal yang sulit dimengerti.
Mereka menduga bahwa ia sedang menyembuhkan dirinya dari hal-
hal palsu. Namun ia tetap mendoakan orang-orang tersebut agar
mereka memahami bahwa yang demikian itu adalah tidak benar.
Sesungguhnya ia hanya menggambarkan ajaran-ajaran nenek
moyangnya, para imam.
Menurut Âmulî, Sejumlah sufi menilai bahwa tidak ada sesuatu
yang luar biasa tentang wawasan sufisme pada diri imam. Banyak
penganut Shî’ah juga percaya bahwa pengetahuan imam terbatas dan
mereka menilai pengetahuan imam adalah seperti pengetahuan
mereka biasa saja. Sebenarnya tidak dimikian. Para imam adalah
sumber pengetahuan yang bukan sebuah rahasia dan bukan juga
sebuah hikmah15 yang tersembunyi melainkan ibarat tambang yang
14 Âmulî, Inner Secret…, h. xvi
15 Al-Qurân dalam beberapa ayatnya menggunakan kata ḥikmah yang berasal
dari kata “hakama-yahkumu-hukman” yang berarti “kokoh, mengikat”, dan arti
mufradatnya adalah memperoleh suatu kebenaran dengan ilmu dan akal. Al-Ḥikmah
dari sisi Allah sebagai Al-Ḥākim artinya Allah mengetahuai segala sesuatu dan
90 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
darinya rahasia diperoleh. Mereka adalah guru sharîah, pemimpin
tarîqah, dan tongkat haqîqah; mereka adalah khalifah Allah di dunia
dan akhirat. Mereka adalah perwujûdan/manifestasi keagungan
Allah. “Demi Allah seandainya mereka tidak ada, surga tidak akan
berdiri, bumi tidak akan terhampar, dan makhluk lainnya tidak akan
menempatinya.” Begitu Ia memuji para imam.
Argumentasi tersebut didasari pada hadîts qudsî, “karena
engkau (Muhammad) Aku ciptakan kosmos” Ibn ‘Arabi juga
menyatakan hal serupa dalam Nuskhat Al-Haq bahwa Allah
mewujûdkan manusia sempurna sebagai guru para malaikat yang
telah menyebabkan planet-planet bergerak.
Setelah memahami agama dan pernik-pernik science-nya ia
mendalami sufisme di Amul, sebagaian di Khurasan, Astarabat, dan
Isfahan. Ia terus berjuang hingga sampai pada titik terdalam tentang
sufisme. Itu semua dilakukan sekitar dua puluh tahun. Kemudian dari
Khurasan dia kembali ke kota kelahirannya, Amul. Di sana ia
menerima tawaran menjadi menteri dari raja Fakhr al-Dawlah bin al-
Malik al-Marhum Syâh KatKhada16
, putra Syeikh Kay Khisraw.
Fakhr al-Dawlah memperlakukannya dengan baik dan penuh hormat
serta menempatkannya sejajar dengan para sahabat dekatnya. Sesaat
kemudian ia dijadikan orang kepercayaannya dan utusan khusus.
Bendahara Fakhr al-Dawlah memberikan pelayanan khusus
kepadanya sehingga ia seperti keturunan dari Anusharvan, Yazdagird
dan Pervis.17
Tak lama setelah itu Fakhr al-Dawlah –maharaja, pemenang
zamannya, maharajanya para raja, prajurit pemberani yang pantang
menyerah- menerima Jalal al-Dawlah Iskandar dan Sultan Gustaham
dan Tus Malik bergabung untuk melayani saudara laki-lakinya dan
Âmulî diminta agar bersama mereka. Saat itu Âmulî merasa berada
di posisi yang luar biasa dengan kekayaan melimpah yang sulit
menciptakannya dengan sangat kokoh, sedangkan dari sisi manusia ḥikmah artinya
“manusia mengetahui segala yang maujud dan dapat melakukannya kebajikan.”
16 Âmulî, Inner Secret…, h. xv
17 Âmulî, Inner Secret…, h. xviii
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 91
dibayangkan. Kehidupannya penuh dengan kemewahan. Orang-
orang, khususnya penduduk kota sangat menghormatinya.18
Keadaan seperti itu dilewati hingga pada akhirnya hasrat
mengenal kebenaran bergejolak sehingga ia sadar bahwa keburukan
dan kecurangan tumbuh pada dirinya yang membuatnya abai kepada-
Nya. Ia sadar telah berada jauh dari jalan lurus, masuk pada
bimbingan yang salah, dan dekat dengan puncak dosa. Sejak itu ia
terus berdoa agar terbebas dari yang demikian itu, dan memohon agar
mampu meninggalkan dunia dan segala kemewahannya. Sehingga ia
mendapatkan dirinya siap hanya tertuju kepada Yang Nyata.19
Dengan alasan itu ia tidak mau lagi mempertahankan
keberadaannya di lingkungan para maharaja, tidak mau lagi tinggal di
kota kelahirannya walaupun ia cinta tempat itu, dan tidak mau duduk
bersama para sahabatnya. Ia lebih memilih meninggalkan mereka
dan pindah jauh ke sebuah tempat yang ia bisa curahkan hidupnya
hanya kepada Yang Maha Nyata. Ia langsung membebaskan dirinya
dari para raja, kekayaan, anak, ibu, dan saudara laki-lakinya. Itu ia
lakukan dengan pertimbangan pemahamannya terhadap ayat Al-
Qurân,
ؤ ك م ي ر ت ك م و أ م و ال ق ل ا ن ك ان ء اب و ان ك م و أ ز و اج ك م و ع ش و أ ب ن آؤ ك م و إ خ ر ة ت ش و ن ك س اد ه ا و م سك ن ت ر ض و ن ه ا أ ح ب إ ل ي ك م م ن الله اق ت ر ف ت م و ه ا و ت
ه اد ف س ب ي ل ه ف ت ر بص و ا ح ت يأ ت الله بأ م ر ه و الله ل ي ب ال ق و م و ر س و ل ه و ج ق ي ال فس
Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-
saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang
kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan
kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu
sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta
berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak member
petunjuk kepada orang-orang fasik. (QAS al-Tawbah/9: 24)
18 Âmulî, Inner Secret…, h. xviii
19 Âmulî, Inner Secret…, h. xix
92 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Ia pergi hanya menggunakan pakaian lusuh20
(khirqah21) yang
sebelumnya terbuang di lembah belakang rumahnya dan mebawa
tidak lebih dari satu dirham. Ia menuju Ray, Qazwin, Isfahan
bermaksud menjalankan ibadah haji, mengunjungi baitullah, dan
bertemu sejumlah imam. Hal demikian itu karena sudah ada
kesepakatan antara Âmulî dengan para pemuda kota dan juga dengan
kelompok sufi sehingga Âmulî melakukan perjanjian antara dirinya
dan Nûr al-Dîn Tihrânî.22
Nûr al-Dîn Tihrânî adalah ahli ma’rifat. Semua orang mulai
kalangan biasa hingga elit menerimanya dan menjadi muridnya.
Sekitar sebulan Âmulî mengikuti pengajiannya dan kemudian Tihrani
memberikan Âmulî sebuah baju sufi untuk dipakai. Dengan banyak
20 Memakai pakaian lusuh adalah salah satu dari ajaran syaikh sufi yang
dianggap sebagai taklîf untuk dilaksanakan secara serius namun tetap patuh pada
rambu-rambu syariat. Dikisahkan, Ibrahim bin Adham datang berpakaian lusuh
kepada Abu Hanifah. Saat itu sejumlah sahabat Abu Hanifah melihat Ibrahim bin
Adham dengan pandangan hina. Namun Abu Hanifah berucap, “Tuan kita, Ibrahim
bin Adham datang” Kemudian para sahabat Abu Hanifah berkata, “itu bukan
bercanda. Bercanda seperti itu tidak mungkin keluar dari lisan pemimpin kaum
muslimin.” Lalu mereka bertanya kepada Ibrahim bin Adham, “Dengan apa
penghormatan seperti itu didapati?” Lalu dijawab, “Dengan sibuk berbakti kepada
Allah SWT secara konsekuen” Diriwayatkan pula bahwa Umar RA memiliki satu
pakaian lusuh yang sudah ditambal sebanyak tiga puluh kali. Praktik lainnya, selain
pakaian lusuh, adalah tempat ibadah khusus, tarian sufi, berkhalwat, zikir dalam
jumlah tertentu, dan lainnya. Dalam perspektif ‘urafa, selain wahyu samawi masih
terdapat sumber hukum yang boleh dipatuhi yaitu batin para syaikh dan para insan
kamil. Lihat, Abû Hasan ‘Alî bin ‘Utsmân bin Abî ‘Alî al-jalâbî al-Hujwîrî, Kashf al-Mahjûb, Ditebitkan oleh Muhammad Taufîq ‘Uwaidlah: Juni 1973/Jumadi al-Ula
1394), h. 241-243. Lihat juga, Sayyid Yahya Yatsribi, Agama & Ifan:Wahdat al-Wujûd dalam Ontologi dan Antropologi, serta Bahasa Agama. Penerjemah:
Muhammad Syamsul Arif, (Jakarta: Sadra International Insititute, Januari 2012/
Safar 1433), cet. ke-1, h. 100-101
21 Khirqah adalah pakaian panjang atau jubah kebesaran yang dipakai kaum
sufi yang melambangkan kefakiran dan kebersihan hati. Mengenakan khirqah
dipandang baik dan terpuji oleh para syaikh sufi ketika membimbing murid-murid
mereka. Memakainya adalah tanda keridaan syaikh, yang sekaligus juga
mengisyaratkan tanda keridaan Allah SWT. Ada dua macam khirqah: khirqah
keinginan dan khirqah berkah. Khirqah keinginan adalah khirqah yang diberikan
kepada murid atas dasar keinginan syaikh sebab syaikh melihat keadaan batin murid
sudah tulus dan sangat rida kepada Allah SWT. Sedangkan khirqah berkah adalah
khirqah yang diberikan kepada murid setelah memperoleh hasil laporan baik. Lihat,
Khirqah dalam Ensiklopedi Tasawuf, jilid II (I-S), h. 710
22 Âmulî, Inner Secret…, h. xix
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 93
duduk di sampingnya, Âmulî menguasai zikir-zikir dari Tihrânî.
Setelah itu ia melanjutkan wisata ruhaninya menuju Aydhaj dan
Maliamir kemudian diteruskan menuju Baghadad namun saat itu
perjalanan ke Baghdad tidak memungkinkan karena ia terserang
penyakit dahsyat. Ia pun kembali ke Isfahan. Tak lama kemudian
akhirnya ia sampai di Baghdad. Di sana ia mendapat kehormatan
untuk ziarah ke kuburan Husain, Mûsâ dan Jawwâd bersama dengan
para imam Samarra. Ia menghabiskan waktunya setahun penuh di
sana sebelum menuju Ka’bah untu haji. Saat itu ia sendiri dan dalam
keadaan miskin papa.23
Setelah itu ia kembali ke Iraq dan menetap di sana.
Kehidupannya disibukan dengan latihan-latihan spiritual dan
berkhalwat, beribadah, dan mencari ilmu laduni. Di kota bahkan di
negara itu tidak ada yang mengenal ilmu laduni. Ia bergaul dengan
seorang pria alim yang ternyata adalah seorang wali Allah yang
dikenal dengan nama Abd al-Rahman ibn Ahmad Muqaddasi.
Dengannya ia belajar Manâzil al-Sâirîn dan Fusûs al-Hikam beserta
dengan penjelasan keduanya. Pembahasan tentang tasawuf ia
perloleh dengan jelas sehingga ia mencatat sejumlah komentar dan
catatatan-catatan khusus. Ia juga mendokumentasikan secara rinci
pengalaman spiritual yang terjadi pada dirinya.24
Selanjutnya ia menetap di Isfahan. Di sana, waktunya terisi
dengan kegiatan spiritual sehinnga ia berhasrat pergi ke Baghdad
untuk ziarah ke kuburan para imam, menggunjungi sejumlah wali
Allah, dan pemuka agama setempat dan kemudian berencana
melaksanakan ibadah haji. Saat itu ia bermimpi ia sedang berdiri di
tengah sebuah pasar. Ia merasa tubuhnya seperti mati terbungkus
kafan putih lalu jatuh terbaring di atas tanah. Saat mencoba sembuh
dari keadaan seperti itu ia tiba-tiba kagum dengan dirinya karena
terbang dan terlentang di saat bersamaan25
.
Setelah sadar, ia merasa bahwa itulah awal kematian yang ia
rindukan selama ini, yang merupakan awal perjalanan spiritualnya.
23 Âmulî, Inner Secret…, h xx
24 Âmulî, Inner Secret…, h. xx-xxi
25 Âmulî, Inner Secret…, h xxii
94 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Menurut Âmulî, kematian tersebut memang telah disinggung oleh
nabi dalam sabdanya, “Matilah kamu sebelum kamu mati”. Dalam
Al-Qurân shûrat al-An’âm/6: 122 Allah berfirman,
ي ب ه ف الناس ك م ن م ث ل ه ف ن ه و ج ع ل ن ا ل ه ن و را يم ش ي ي تا ف أ ح أ و م ن ك ان م ي ال ك ز ي ن ل ل ن ه ا ك ذ ر ج م ان و ا ي ع م ل و ن الظل مت ل ي س ب كف ر ي ن م اك
“Apakah orang yang tadinnya mati kemudian Kami hidupkan,
dan Kami buat cahaya yang memungkinkan ia berjalan di
tengah-tengah manusia, sama dengan orang-orang yang
terkurung di kegelapan yang tidak bisa keluar. Begitulah orang
kafir memandang indah segala perbuatan mereka” (Q.S. al-
An’âm/6: 122)
Ia juga menjelaskan mimpinya yang dianggapnya sebagai
pengalaman batin yang luar biasa:
“Ketika aku sedang duduk di toko sahabatku, tiba-tiba di
punggungku ada sebuah wadah yang terbuat dari tembaga
berhias emas, bentuknya seperti ketel air yang ingin berjalan
menuju pasar untuk menuangkan airnya kepada orang yang
hendak minum. Tatkala aku ingin menuangkan air untuk orang
yang hendak minum, aku bingung mencari diriku, aku merasa
duduk dan berdiri pada waktu yang bersamaan, lalu tatkala aku
melanjutkan memberi minum kepada yang hendak minum,
tiba-tiba aku malah mengambil minum itu, karena itu
merupakan gambaran-gambaran aneh, akupun tak henti-
hentinya menertawakan26
diriku, hingga akhirnya aku
terbangun.”27
Pada peristiwa lain, saat di Isfahan, mimpi serupa menghampiri
Âmulî. Kisahnya,
“Aku melihat diriku sedang duduk sambil memegang sebuah
kepala yang amat keras, ketika itu pula kepalaku menjadi
keras, karena aku tidak mengerti hal tersebut, diriku sibuk
26 Tawa terkadang muncul sebab tingginnya volume ruhani. Bagi sufi,
tertawa bukan hanya dengan mulut melainkan dengan seluruh tubuh karena saat itu
ia benar-benar di luar tubuh. Lihat, Will Johnson, Rumi: Menatap Sang Kekasih. Penerjemah: Dini Dwi Utari, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, April 2005), cet.
ke-1, h. 175
27 Âmulî, Inner Secret…, h. xxii
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 95
memutarkan dan memainkan kepalaku, lalu tiba-tiba aku
menangkap suara tawa dalam bentuk gambar aneh, akhirnya
aku terbangun”.28
Mimpi tersebut diyakini Âmulî bahwa ia sampai kepada
bermacam perjalanan spiritual yang amat bermakna. Ia merasa
limpahan wawasan spiritual terungkap kepadanya seperti mengalir
dari kekuatan ilahi yang tak terlihat. Pada mimpi yang mirip, ia
mendengar ayahnya memberikan tidak lebih dan tidak kurang seribu
dinar kepada seorang yang menjelaskan arti mimpi itu. Sejumlah
uang itu dibayarkan oleh sejumlah raja tanpa menunda-nundanya.
Secara batin itu berarti bahwa seribu penjelasan dan kekayaan lebih
murni dari sebuah emas murni dan lebih terang dari permata yang
tembus pandang yang dijanjikan di sebuah taman oleh Raja Yang
Sebenarnya sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qurân,
الله ذ و ال ف ض ل ال ع ظ ي م ذل ك ف ض ل الله ي ؤ ت ي ه م ن ي ش آء و Demikianlah karunia Allah, yang diberikan kepada siapa yang
Dia kehendaki; dan Allah memiliki karunia yang besar. (QS al-
Jumu’ah/62: 4)
Ia terus menjelaskan pelajaran yang ia peroleh baik yang
berkaitan dengan dirinya ataupun dengan dengan alam semesta. Ia
lebih giat bermujâhadah29 dan berkhalwât30 kepada Allah SWT, yang
jika diterangkan –menurut Âmulî- akan membutuhkan berjilid-jilid
28 Âmulî, Inner Secret…, h xxii
29 Mujâhadah secara bahasa berarti ‘memerangi’., sedangkan secara
terminology adalah memerangi diri dari perbuatan buruk sesuai tuntunan syariat.
Lihat, h. ‘Alî bin Muhammad al-Jurjâni, Kitâb al-Ta’riîfât, (Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah,
1988), cet. ke-3, h. 204
30 Khalwat adalah melakukan pembicaraan batin dengan Allah SWT seolah-
olah tidak ada siapapun dan tidak ada apapun yang dimiliki. Lihat Al-Jurjâni, Kitâb al-Ta’riîfât, h. 101.
96 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
buku31
Ia merasa Tuhan memerintahkannya untuk meninggalkan
segala yang selain-Nya dan memusatkan pikirannya hanya kepada-
Nya. Saat itu muncul pada hatinya perasaan adanya ilham agar ia
berada di bagian bumi yang paling agung. Pada kondisinya yang
masih seperti itu, ia memutuskan untuk pergi ke Makkah, . Lisannya
selalu mengucapkan firman Allah,
را و س ع ة و م ن ي ر ج ر ف س ب ي ل الله يج د ف ال ر ض م ر اغ ما ك ث ي و م ن ي ه اح ه ال م و ت ف ق د و ق ر ك را ا ل الله و ر س و ل ه ث ي د ر ه ع ل ي الله م ن ب ي ت ه م ه اج ع ا ج
ي ما و ك ان الله غ ف و را ر ح
Dan barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan
mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki)
yang banyak. Barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan
maksud berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, kemudian
kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang
dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi
Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (Q.S.
Al-Nisâ/4: 100)
Setiba di Mekkah ia mengungkapkan perasaannya,
“Aku tinggalkan semua manusia demi ridâ-Mu”
“Aku ikhlashkan keluarga menjadi yatim agar bisa menatap-
Mu”
“Seandainya anggota tubuhku Kau potong-potong, hatiku tetap
merindukan-Mu”32
31 Ungkapan tersebut sebagai wujud syukur atas pengamalan QS 14: 34, و ا ن Dan Jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat ت ع دو ا ن ع م ت الله ل ت ص و ه آ
kamu menghinggakannya. 32 Lihat, Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 11, Âmulî, Inner Secret…, h. 24
كت الخلق طرا ف رضاك تر # و أيتمت العيال لكي أراكا
فلو قطعتنى أرب فأرب # لما حن الفؤاد ال سواكا
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 97
Di sana ia melaksanakan haji dan ibadah lainnya dengan
mengerjakan semua yang wajib dan yang sunnahnya. Peristiwa ini
terjadi pada 751 H.33
Karena merasa rindu dengan Rasulullah, maka
ia melanjutkan wisata ruhaninya menuju Madinah. Sesampainya di
Madinah ia langsung beri’tikâf di makam Rasul. Ketika beberapa
saat ia beri’tikâf ia merasa terkena ‘penyakit’ yang memerintah
kannya untuk kembali ke Irak, kota tempat berkarya.
Berikut ini adalah peta wilayah bersejarah bagi kehidupan
Sayyid Haydar al-Âmulî,
Peta sejumlah wilayah bersejarah bagi kehidupan Sayyid Haydar al-
Âmulî34
Ia pun kembali ke Irak dan menetap di Najaf tanpa halangan
apapun. Di Irak ini kehidupannya selalu disibukan dengan
berkhâlwat dan beribadah, hatinya selalu banjir dengan Dzikr Allâh.
Sepanjang periode tersebut, ia merasa sejumlah pengetahuan,
kenyataan, dan kebenaran mengalir kepadanya dari Tuhan Yang
Maha Tersembunyi.35
Ketika sedang berkhalwât, ia seperti memperoleh bisikan gaib
yang belum pernah ia dengar sebelumnya, ia merasa seolah-olah
33 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 12
34 https://www.google.com/maps/@33.4136446,47.9807246,7z
35 Sayyid Haydar Âmulî, Inner Secret of The Path, Pengantar oleh
Muhammad Khajavi, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Assadullah ad-Dhaarkir
Yate, (Zahra: 1989), cet. ke-I, h. xxiv
98 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Allah SWT memerintahkannya untuk menyampaikan pengalaman
pribadinya tersebut kepada hamba-hamba-Nya yang Khawwâs. Maka
iapun menulis Kitab Tauhid dan segala rahasinya dan selesai dalam
waktu singkat dan diberi nama Jâmi’ al-Âsrâr wa Manba’ al-Anwâr.
Lalu ia menulis Risâlah al-Wujûd fi Ma’rifah al-Ma’bûd, dan Risâlah
al-Ma’âd fî Rujû’ al-‘Ibâd. Setelah itu ia menulis 40 risâlah36 lainnya
dalam bahasa Arab dan non-Arab. Lalu ia merasa seakan-akan
diperintahkan untuk memuat sejumlah ayat Al-Qurân dalam
penjelasan-penjelasanya. Maka ia menulis Al-Muhît al-A’zam wa al-
Tawd al-Asham fî Tawîl Kitâbillâh al-‘Azîz al-Muhkam. Berkat
pertolongan Raja Yang Maha Mulia dan Maha Luhur, karyanya itu
tertulis dengan bahasa yang lebih baik dan mengesankan.37
Ia pun merasa seolah-olah Allah SWT memerintahkannya
menulis tentang keterangan Fusûs al-Hikâm karya Muhy al-Dîn Ibn
‘Arabî38
yang diyakininya sebagai pemberian Allah melalui mimpi.
Maka ia pun menulis Syarh Fusûs al-Hikâm dan selesai
dirampungkan dalam waktu kurang lebih satu tahun, sejak tahun 781
H hingga 782, sedangkan umurnya saat itu 63 tahun.39
Setelah itu ia berperan aktif di majelis Abû Mutahhir al-Hillî.
Di sini ia menekuni sejumlah buku berkaitan dengan keluarga nabi40
36 Risâlah adalah lembaran-lembaran yang memuat beberapa problematika
yang dijadikan menjadi satu tema bahasan. Lihat Al-Jurjânî, Kitâb al-Ta’rîfât, h. 11
37 Âmulî, Inner Secret..., h. xxv
38 Nama lengkapnya adalah Abû Bakr Muhammad bin ‘AlÎ Muhy al-DÎn al-
HafânÎ al-Thâ’Î lahir di Marsi pada 27 Ramdlân 560 h/28 Juli 1165M. Ia adalah
seorang sufi yang terkenal dengan madzhab wahdât al-wujûd. Para pengikutnya
menyebutnya dengan panggilan al-Syaikh al-Akbar. Di Andalusia ia dikenal dengan
sebutan Ibu Suraqah, sedangkan di Timur dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Arabi. Ia
wafat pada 638 H/1240 M. Lihat Ahmad al-Shantanâwî, Dâirah al-Mâ’rif al-Islâmiyyah, (Dâr al-Fikr, t.t.), jilid I, h. 232.
39 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 13.
40 Keluarga nabi atau ahl al-bait merupakan gelar khusus untuk beberapa
orang dari keluarga dan sanak famili Nabi Muhammad saw yang termaktub dan
diisyaratkan dalam ayat al-Tahir dan ayat Mawaddah. Mereka yang dimaksud ahl al-
bait pada kedua ayat ini adalah Imam Ali, Fatimah al-Zahra, Hasan bin ‘Ali, Husain
bin ‘Ali dan sembilan imam maksum lainnya dari ketururnan Husain. Dalam
pandangan Syiah, ahl al-bait memiliki kedudukan yang maksum. Mereka memiliki
keunggulan lebih tinggi dari sahabat dari sisi ketakwaan dan anugerah ilahi.
Kecintaan kepada mereka merupakan hal yang wajid bagi setiap muslim. Menurut
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 99
Al-Hillî memberikan ijazah dan menjulukinya sebagai Zayn al-
‘Âbidîn kedua. Ijazah lainnya juga banyak diterima oleh Âmulî.
Ijazah tersebut diabadikannya dengan redaksi:
“Sayyid yang luar biasa, imam besar, alim yang bijak dan
paling berpengetahuan di antara manusia, penunjuk jalan
spiritual, penjaga jiwa pengetahuan, pembaharu ajaran agama
dan pemberi kehidupan menuju jalan para leluhur, guru besar
pemilik hati jernih dan tunduk kepada nabi, kebanggaan
keluarga nabi, tiang negara, Haydar ibn Sayyid al-Sa’îd Taj al-
Dîn ‘Alî telah membacakan dan mengajarkan kepada saya
dengan cermat buku-buku berikut ini: Jawâmi’al-Jami’ karya
Syeikh Tabrisi, Sharî’ah al-Islâm karya Najm al-Dîn Muhaqqaq
Hillî, Manâhij al-Yaqîn karya Ayahku sendiri, Tahdzîb al-Ahkâm karya Syeikh Tayfah Tûsî, Nahj al-Balâghah karya
imam Ali41
, dan Sharh Nahj al-Balâghah karya Ibn Maythâm.
Saya juga mohon izin kepada Abu Mutahhir al-Hillî untuk
menyebarkan semua buku tersebut.”42
Ijazah tersebut diterima pada Ramadân 761 H di Hillah.
Kemudian ia mendokumentasikannya dan menyatakan bahwa
pemberian ijazah itu sebagai bentuk homat terhadap ‘ulûm al-hadîts
dan kebiasaan orang-orang Arab. Pada Rajab 753 H ‘Abd al-Rahman
bin Ahmad al-Muqaddasî memberikan ijazah kepadanya untuk
mengajarkan Manâzil al-Sâirîn dan Fusûs al-Hikam. Cara Abd al-
Rahman bin Ahmad al-Muqaddasî dalam memberikan ijazah sama
dengan yang dilakukuan oleh Fakhr al-Muhaqqiqin. Dalam ijazah
tersebut tertulis ‘Saya telah banyak mengambil manfaat dari dia
(Âmulî) ketimbang dia mengambil manfaat dari saya”
ajaran Syiah, otoritas dan kepemimpinan kum muslimin berada di tangan ahl al-bait.
Kaum muslimin harus bertumpu kepada ahl al-bait dalam permasalahan-
permasalahan agama dan menjadikan mereka sebagai tempat rujukan. Artikel diakses
pada 20 April dari http://id.wiwishia.net/view/ahlubait_as.
41 ‘Alî bin Abî Tâlib al-Hâshimî ibn ‘Abd al-Mutallib bin Hâshim bin ‘Abd
Manâf al-Qurayshî al-Hâshimî, Abû al-Hasan. Lihat, Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-
‘Asqalânî, Al-Ishâbah fî Tamyîz al-Sahâbah, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2002 M/1433 H), cet. ke-2, Jilid ke-4, h. 464
42 Âmulî, Inner Secret of The Path, h. xxvi
100 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Âmulî juga menjelaskan cara zikir dan ijazah zikir yang
diperoleh dari Muhammad bin Abî Bakr Simnân. Ijazah tersebut
adalah:
“Al-faqîr Muhammad bin Abî Bakr Simnâni diajarkan cara
berzikir oleh Syaikh Salih al-Dîn Abi al-Khair Shams al-Dîn
Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad Isfahânî lalu mempelajari
zikir lâ ilâha illa allâh pada Idul Fitri 703 H di majelis Khanqah
di Bait al-Ahzân dekat Masjid al-Jumu’ah di Damskus dari
Syeikh Salih Muhammad bin Abî Bakr Isfaraynî Zayn al-
‘Ibâd.’
Gambaran lebih rinci tentang zikir itu disebut dalam ijazah
yang ia terima. Yaitu:
“Muhammad ibn Abî Bakr Simnânî menguatkan ijazah dengan
sebuah Hadis bahwa suatu hari Ali datang kepada rasuslullâh
sambil mengatakan, “ajarkan kepadaku apa jalan yang paling
cepat mengenal Allah, apa yang paling diterima oleh-Nya, dan
apa yang paling mudah dilakukan hamba-Nya?” Nabi
menjawab: “dzikrullâh” Lalu Ali berkata, “jika zikir begitu luar
biasa maka tentulah semua orang akan berzikir.” Lalu nabi
menjelaskan, “banyak yang berpikir demikian, hari kiamat
tidak akan datang selagi masih ada yang berucap Allâh, Allâh”
Lalu nabi berkata, “Hai ‘Alî, diamlah. Saya akan bacakan zikir
tiga kali kepadamu oleh karena itu hendaklah kamu dengarkan;
ketika saya diam kamu segera mengucapkannya sehingga aku
bisa mendengarnya.” Begitulah rasulullah mengajarkan Ali
berzikir yang kemudian diajarkan kepada Hasan al-Basrî,
Habib al-‘Ajami, Daûd al-Taî43
, Ma’rûf al-Karkhî44
, Sarî al-
43 Nama lengkapnya adalah Abû Sulaimân Dâwûd bin Nashîr al-Tâî. figur
berbudi pekerti luhur ini pernah mendapa warisan sebesar dua puluh ribu dirham
namun digunakannya selama dua puluh tahun. Suatu hari ada seorang yang minta
wasiat kepada al-Thai, lalu diberikan wasiat itu berupa ucapan ‘pasukan-pasukan
kematian sedang menunggumu’. Ia wafat pada 165 H/781 M. Lihat, Abu al-Qâsim
‘Abd al-Karîm bin Hawzân al-Qushairî, Al-Risâlah al-Qushairiyyah, (Jakarta: Dâr al-
Kutub al-Islamiyyah, 2011 M/1433 H), cet. ke-1, h. 38
44 Nama lengkapya adalah Abû Mahfûdz Ma’rûf bin Fairûz al-Karkhî. Ia lahir
pada 200 H/815 M. Ia termasuk salah satu pembesar di kalangan syeikh sufi yang
doanya sangat mustajab. Ia juga salah satu maula ‘Alî bin Mûsâ al-Ridhâ dan guru
dari Al-Sarrî al-Saqatî. Kedua orang tuannya beragama Nashrani. Sejak kecil ia
disrahkan kepada seorang pendidik. Saat pendidik itu mengajarkan Ma’ruf dengan
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 101
Saqatî45
, Junayd al-Baghdâdî, Mimshâdz Daynûrî46
, Ahmad
Aswad Daynûrî, Muhammad ibn ‘Abdillâh Bakarî Suhrawardî,
Qâdî Wajîh al-Din ‘Umar ibn Muhammad Bakarî, Abd an-
Najîb, ‘Abd al-Qâhir Suhrawardî, Shihâb al-Dîn, ‘Umar ibn
Muhammad Suhrawardî Bakarî, Mu’in al-Din, Ahmad ibn
Mas’ûd –salah satu syaikh ayah dan leluhur saya yang
kemudian Muhammad ibn Abî Bakr Simnânî mengajarkannya
kepada saya pada 731 H.47
Âmulî juga menceritakan asal-muasal perolehan pakaian lusuh
syaikh Sa’d al-Din Hamawi dan kemudian menjelaskan asal-muasal
pengetahuan ilahi Shihâb al-Dîn Suhrawardî sesuai ijazah yang dia
berikan kepada sejumlah muridnya. Ijazah yang diperoleh dari
Shihâb al-Dîn diberikan kepada murid-muridnya dengan kutipan,
“ketahuilah bahwa jalan sufi ada dua; pertemanan dan pakaian lusuh.
Berkaitan dengan segi pertemanan, ia meniru kedekatannya dengan
Muhammad ibn Hamawi yang pernah mengalami berteman dengan
Khidr. Berkaitan dengan pakaian lusuh Âmulî ketahuilah bahwa
perintah, “Ucapkanlah tri tunggal! (ثالث الثلاثة)!” Namun ia mengucapkannya
“Tidak. Dia adalah Yang Maha Esa”. Maka ia dipukul dengan keras sehingga ia lari
kabur. Dan akhirnya kedua orang tuanya berharap agar ia kembali ke pangkuan
mereka dengan agama apa saja yang ia kehendaki. Ia wafat pada kisaran tahun 200 H
atau 201. Lihat, Al-Qushairî, Al-Risâlah al-Qushairiyyah, h. 30-31
45 Nama lengkapnya Abû al-Hasan Sarî al-Mughallas al-Saqatî. Ia adalah
paman dan sekaligu sebagai guru dari al-Junaid dan murid dari Ma’ruf al-Karkhî. Al-
Saqatî merupakan figur sufi besar zamannya yang wara’, ahli hadits, dan tauhid. Al-
Junaid menilai bahwa ia tidak pernah melihat seseorang yang paling tekun ibadahnya
selian Al-Saqathî yang hingga usia 98 tahun tidak pernah tidur terlentang kecuali
menjelang wafatnya.
46 Mimshâdz al-Daynûrî wafat pada 911 M/299 H. Ia merupakan salah satu
pembesar syeikh sufi. Bersahabat dengan Yahyâ al-Jallâ. Ia pernah bekata bahwa
karakter seorang murid adalah terus menerus hormat kepada para gurunya,
membantu rekannya, keluar dari sebab-musabab, dan memelihara rambu-rambu
syariat pada dirinya. Ia juga mengatakan bahwa dirinya tidak pernah masuk salah
satu rumah gurunnya kecuali ia sudah tinggalkan apa yang ia miliki. Ia hanya
menunggu barakah yang datang kepadanya sebab melihat gurunya atau mendengar
ucapannya. Siapapun yang bertemu gurunya karena dorongan diri semata maka
keberkahan melihatnya, majelisnya, dan ucapannya menjadi hilang. Selain itu ia juga
berucap berkumpulnya ma’rifat adalah melalui rasa butuh kepada Allah. Lihat, Al-
Qushairî, Al-Risâlah al-Qushairiyyah, h.73. Lihat juga, Abû ‘Abd al-Rahmân al-
Sulamî, Tabaqât al-Sûfiyyah, (Matâbi’ al-Sha’b, 1380 H), h. 76
102 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Muhammad ibn Hamawî memperolehnya dari kakeknya Imam
Muhammad ibn Hamawî, dari Ibn ‘Alî Farmadi, dari Abu al-Qasim
Gargani, dari Ma’rûf al-Karkhî, dari ‘Alî bin Mûsâ al-Rida, dan dari
khâtam al-anbiyâ, Muhammad SAW.48
Selain baju lusuh yang diterima dari Muhammad ibn Abî Bakr
Simnânî, Âmulî juga menjelaskan baju lusuh yang diperoleh langsung
dari tangan Nûr al-Dîn Tihrânî. “Saya (Muhammad ibn Abî Bakr),
guru dari para guru Abu Hasan ibn ‘Umar ibn Abî al-Hasan,telah
diberikan baju lusuh dari ‘Imad al-Din’Umar ibn Abî al-Hasan ‘Alî
ibn Muhammad Hamawî dan telah berteman dengan kakekeknya,
Imam Muhammad ibn Hamawî (ini merupakan indikasi bahwa Âmulî
juga menerima baju lusuh langsung dari tangan Muhammad ibn Abî
Bakr Simnânî)49
‘Alî ibn Abî Tâlib
Dalam kesimpulannya, Âmulî mengakui bahwa pengenalannya
terhadap marifat bukan karena perjalanan spiritualnya tersebut
melainkan itu semua karena Allah. Ia merasa ia adalah salah seorang
yang mabuk ilahi (majdhub) di antara mereka yang juga para
penempuh jalan ruhani.
Melalui Sharh Fusûs al-Hikâm, Usman Yahya membagi
kehidupan Âmulî ke dalam dua periode; periode Parsian dan periode
Irak. Periode Parsia merupakan periode pembentukan karakter
intelektual Âmulî. Periode ini berlangsung mulai 740 H hingga 751
H. Pembentukan karakter intelektual Âmulî pada periode ini
ditempuh antara lain dengan melakukan perjalanan ilmiah ke
beberapa kota penting di Parsi, seperti Khurasan, Istabarat, dan
Isfahan.50
Pada periode kedua, antara 751-782 H, oleh Usman Yahya
disebut sebagai periode kematangan intelektual Âmulî. Mulai dari
usia 31 tahun Âmulî menghabiskan umurnya di Irak dan tempat-
tempat suci lainnya. Di Irak inilah Âmulî banyak merampungkan
karya-karyanya yang mengantarkannya menjadi sosok terkenal.
47 Âmulî, Inner Secret of The Path, h. xxvii-xxix
48 Âmulî, Inner Secret of The Path, h. xxx
49 Âmulî, Inner Secret of The Path, h. xxx
50 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 14
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 103
Yahya juga sempat memasukan informasi masa akhir hayat
Âmulî. Pada masa akhir hayatnya, Âmulî, -karena kesucian akal dan
kesufiannya- berucap:
“ketahuilah, ketika aku menuju Isfahan untuk melanjutkan
perjalananku menuju Baghdad untuk ziarah ke tempat-tempat
suci dan para wali shâlih, ketika aku beri’tikâf aku bermimpi,
pada suatu malam aku berhenti di tengah-tengah duri sambil
menyaksikan tubuhku mati terbentang menjulur di atas tanah,
terbungkus dengan kafan putih, aku heran dan binggung
bagaimana aku bisa seperti ini.51
Peninggalan Âmulî yang berupa manuskrip dan buku, oleh
Yahya dibagi ke dalam dua periode: Periode pertama dimulai tahun
751 hingga 768 H. Pada periode ini ditulis Naq al-Nuqûd fi Ma’rifah
al-Wujûd, Risâlah al-Ma’âd fi Murtaqâ al-‘Ibâd, Risâlah al-Wujûd fi
Ma’rifah al-Ma’bûd, Jâmi’ al-Asrâr wa Manba’ al-Anwâr, Muntaqâ
al-Ma’âd fi Murtaqâ al-‘Ibâd, dan Nihâyah al-Tawhîd fi Bidâyah al-
Tajrîd.52
Perioda kedua dimulai sejak akhir periode pertama hingga 782
H, di periode ini ia menyelesaikan Tafsîr al-Qurân al-Karîm dan Nash
al-Nushûs fi Sharh al-Fusûs. Kedua karyanya tersebut ditulis antara
777 hingga 781 H.
Informasi kehidupan Âmulî terekam baik hingga dalam karya
terakhirnya pada 782 H. Namun setelah itu, keterangan jejak sufi ini
tidak ditemukan. Sehingga kapan ia wafat tidak diketahui. Satu-
satunya yang mengingatkan kehidupan akhirnya adalah karyanya
Risâlah fi al-Ulum al-’Alîyyah yang selesai ditulis pada tahun 787 H
atau setelah ia menyelesaikan karyanya Muntakhab al-Tawîl.53
Dalam Mu’jam al-Falâsifah dinyatakan bahwa tahun wafat Âmulî
51 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h 14-15. Lihat juga Inner Secret, h. xxii
52 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 16
53 Sayyid Haydar Âmulî, Inner Secret of The Path, Pengantar oleh
Muhammad Khajavi, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Assadullah ad-Dhaarkir
Yate, (Zahra: 1989), cet. ke-I, h. xxxi
104 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
tidak diketahui secara pasti, namun diyakini bahwa masa akhirnya
pada 787 H/1385 M.54
B. Karya-karya
Sayyid Haydar al-Âmulî telah menulis lebih dari 30 karya.
Yaitu:
1. Majmû’ (Jâmi’) al-Asrâr wa Manba’ al-Anwâr. Karya ini
berbicara seputar tauhid, macam-macamnya, dan segala yang
berkaitan dengannya. Di sini Âmulî membagi tauhid menjadi
dua; tawhîd ulûhî dan tawhîd wujûdî. Hal yang berkaitan
dengan pelaku tauhid juga dimuat pada karya ini. Misalnya
kenabian, kerasulan, dan kewalian/wilâyah55. Karya ini ditulis
di Irak setelah ia menyelesaikan tulisannya tentang Shî’ah
yang kemudian Âmulî merasa Tuhan telah menghiasi mata
hatinya dengan cahaya petunjuk dan keberhasilan. Iran and
France Institute pertama kali mencetak karya Âmulî ini pada
1347 H. 56
2. Risâlah al-Wujûd fî Ma’rifah al-Ma’bûd. Karya ini banyak
berisi tentang pembahasan wujûd Tuhan. Di dalamnya dibahas
54 Jurh Tarâbisyî, Mu’jam al-Falâsifah, (Bairut: Dâr al-Tâliah, 1987), cet.
Ke-1, h. 249. Menurut Chittick, Âmulî wafat sekitar 786 H/1384 M sedangkan
Hossen Nasr menyatakan Âmulî wafat setelah 786 H/1384 M lihat, William C.
Chittick, Ibn ‘Arabi dan Mazhabnya, dalam Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam,
(Bandung: Mizan, April 2003/Shafar 1424), cet. ke-1, h. 70, 526
55 Wilâyah atau kekuasaan adalah prinsip bahwa garis keturunan para imam
yang dihubunkan kepada Nabi Muhammad mewarisi otoritas yang bersifat spiritual
dan temporal dalam Islam setelah wafat Nabi pada 632 M. Menurut sejarah, hanya
menantu Nabi, ‘Ali bin Abi Thalib yang hakikatnya memperoleh kekuasaan dunia
sebagai khalifah (656-661), namun Shî’ah Dua Belas Imam pecaya bahwa sebelas
keturunan langsung dari Nabi memperoleh kekuasaan spiritual atas orang-orang yang
beriman dan juga berhak memerintahmereka. Dalam kepercayaan Syiah, orang-
orang yang beriman harus memberikan kepatuhan yang absolut kepada seorang wali
atau
“penguasa” dan dikatakan bahwa orang yang mati dalam keadaan tidak mengakui
imam pada masanya dipandang sebagai orang mati yang tidak beriman. Lihat. John
L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, Januari
2001/Syawwal 1421), cet. ke-1, jilid ke-6, h. 286h. 159-160
56 Âmulî, , Jâmi’ al-Asrâr wa Manba’ al-Anwâr, (Injaman Ibrânsyanâsî
Farânsah, t. t..), h. 3. Lihat juga, Sayyid Haydar Âmulî, Inner Secret of The Path,
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 105
tentang wujûd muthlaq, wajib wujûd, penampakan wujûd,
wujûd yang banyak, dan wujûd zat. Di sini Âmulî berani
membuktikan bahwa keberadaan (wujûd/existence) Tuhan
adalah benar-benar ada (existent/maujûd) zat-Nya yang tidak
bisa dipahami dengan sesuatu yang tidak ada. Pendapatnya
tersebut dikuatkan dengan QS al-Hadîd/57: 3, ر خ ه و ال ول و ال ء ع ل ي م Dialah Yang Awal dan ,و الظ ه ر و ال ب اط ن و ه و ب ك ل ش ي
yang Akhir Yang Nyata dan Yang Tersembunyi; dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.57
3. Risâlah al-Ma’âd fi Rujû’ al-‘Ibâd. Karya ini membahas
tentang hari kebangkitan; kebangkitan awal,kebangkitan
lanjutan, dan kebangkitan akhir. Ia juga menetapkan adanya
12 (dua belas) kiamat dalam bentuk shûriyyah dan
ma’nawiyyah yang terjadi pada alam semesta dan alam anfus.
Risâlah ini dapat pula dilihat karyanya Asrâr al-Sharî’ah wa
Atwâr Al-Tarîqah wa Anwâr Al-Haqîqah.58
4. Al-Usûl wa al-Arkân fî al-Tahdzîb al-Ashâb wa al-Ikhwân.
Karya ini menerangkan lima pondasi Islam, salat, puasa, zakat,
haji, jihad, yang semuanya ditinjau dari sisi syariah, thariqah,
dan haqîqah.59
5. Risâlah al-‘Ilmi wa Tahqîqihî bi Tarîq al-Tawâif al-Tsalâts. Di
sini Âmulî membagi manusia menjadi tiga katagori: sufi, orang
bijak, dan teolog (mutakallim) serta menjelakan perbedaan
pengetahuan setiap kelompok mulai dari hal yang paling
mendasar, menengah, hingga pada pengintegrasian
pengetahuan pada ketiga kelompok tersebut.60
Pengantar oleh Muhammad Khajavi, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Assadullah
ad-Dhaarkir Yate, (Zahra: 1989), cet. ke-I, h. xxxii
57 Âmulî, , Jâmi’ al-Asrâr…, h. 3. Âmulî, Inner Secret…, h. xxxii
58 Âmulî, , Jâmi’ al-Asrâr…, h. 4. Âmulî, Inner Secret…, h.. xxxii-xxxiii
59 Âmulî, , Jâmi’ al-Asrâr…, h. 4. Âmulî, Inner Secret…, h. xxxiii
60 Âmulî, , Jâmi’ al-Asrâr…, h. 4. Âmulî, Inner Secret…,h. xxxiii
106 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
6. Risâlah al-‘Aql wa al-Nafs. Karya ini membahas perbedaan
menyeluruh dan parsial antara akal (‘aql/intellect) dan jiwa
(nafs/soul) dan segala hal yang berkaitan dengan keduanya.61
7. Risâlah al-Amânah al-Ilâhiyah fî Ta’yîn al-Khilâfah al-
Rubûbiyyah. Karya ini menjelaskan Al-Qurân surah al-
Ahzâb/33: 72, ن ا ال م ان ة ع ل ى السموات و ال ر ض و الج ب ال ف ا ب ي ا ن ع ر ض ن سن إ نه ك ان ظ ل و ما ج ه و ل ن ه ا و ح ل ه ا ال ف ق ن م ا ن ي م ل ن ه ا و أ ش (sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit,bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatirakan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusisa itu amat zalim dan amat bodoh)
Dijelaskan bahwa kebodohan manusia merupkan pujian
tetinggi untuknya bukan seperti yang banyak diduga oleh
mereka yang tidak paham bahwa kebodohan manusia
merupakan cela baginya.62
8. Risâlah al-Hujûb wa Khalâsah al-Kutub. Karya ini
menerangkan QS al-Hâqah/69: 32, “tsumma fi silsilatin
dzar’uhâ sab’ûna dzirâ’an faslukûh (kemudian belitlah ia
dengan rantai yang panjangnya 70 hasta) dan Hadis nabi inna
lillâhi sab’îna alfi hijâb min nûrin wa zulmatin (Allah SWT
memiliki tujuh puluh ribu hijab/penghalang yang terbuat dari
cahaya dan kegelapan). Mempertemukan pemahaman antara
ayat dan hadis di atas adalah sesuatu yang amat sulit baik
ditinjau secara menyeluruh/kullî ataupun parsial/juzî.63
9. Risâlah al-Faqr wa Tahqîq al-Fakhr. Karya ini berbicara
tentang kemiskinan. Di sini Âmulî menjelaskan keterkaitan
tiga Hadis nabi yaitu (1)sabda nabi “Kemiskinan adalah
61 Lihat, Haydar Âmuli, , Jâmi’ al-Asrâr…, h. 4. Lihat juga, Sayyid Haydar
Âmulî, Inner Secret of The Path, Pengantar oleh Muhammad Khajavi, diterjemahkan
dari bahasa Arab oleh Assadullah ad-Dhaarkir Yate, (Zahra: 1989), cet. ke-I, h. xxxiii
62 Lihat, Âmulî, , Jâmi’ al-Asrâr…, h. 4. Lihat juga, Âmulî, Inner Secret…, h. xxxiii
63 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 5. Âmulî, Inner Secret…, h. xxxiv
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 107
kebanggaanku. Dengan kefakiran aku menjadi bangga di
hadapan para nabi dan rasul” (2) sabda nabi, “Kefakiran adalah
hitamnya wajah di dunia dan akhirat” dan (3) sabda nabi,
“kemiskinan dapat membawa seseorang kepada kekufuran” 64
10. Risâlah al-Asmâ al-Ilâhiyyah wa al-Ta’yîn al-mazâhir lahâ min
al-ashkhâs al-Insâniyyah. Karya ini berbicara tentang nabi-
nabi mulai dari Adam hingga Muhammad SAW.65
11. Risâlah al-Nafs fi Ma’rifah al-Rab. Karya ini menjelaskan
tentang Hadis nabi: “siapa mengenal dirinya maka ia mengenal
Tuhannya”66
dan QS al-Hadîd/57: 4, “…wa huwa ma’akum
‘ainamâ kuntum…” (dan Dia bersama kamudimana saja kamu
berada), dan QS al-Dzâriyyât/51: 21, “wa fî anfusikum afalâ
tubsirûn” (dan pada dirimu sendiri apakah kamu tidak
memperhatiakan.67
12. Risâlah Asrâr al-Sharî’ah wa Anwâr Al-Haqîqah. Karya ini
menjelaskan ragam manusia dengan kelompoknya masing-
masing sebagaimana diungkapkan dalam QS al-Maidah/5: 48,
“… wa likullin ja’alnâ minkum shir’atan wa minhâjân...”
(untuk tiap-tiap umat di antara kamu kami berikan jalan yang
terang …”). Di sini juga diterangkan maksud dari sabda Nabi,
“sharî’ah adalah ucapanku, tarîqah adalah perbuatanku, dan
haqîqah adalah keadaan diriku”68
الفقر سواد الوجه ف (2) الفقر فخرى و به أفتخر على سائر النبياء و المرسلي (1) 64 ,Lihat, Âmulî, , Jâmi’ al-Asrâr…, h. 5. Âmulî كاد الفقر أن يكون كفرا (3) الدارين
Inner Secret…, h. xxxiv
65 Âmulî, , Jâmi’ al-Asrâr…, h. 5. Âmulî, Inner Secret…, h. xxxiv 66 Bisa jadi risalah ini ditujukan menjelaskan salah satu fasl dalam Fusus al-
Hikam karya Ibn ‘Arabi. Pada karya tersebut Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa manusia
agar telebih dahulu mengenal dirinya sebelum mengenal Tuhannya mengingat
mengenal Tuhan adalah hasil dari mengenal diri. Lihat, Ibn ‘Arabî, Fusûs al-Hikam,
(Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003 M/1424 H), cet. ke-1, h. 201
67 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 5. Âmulî, Inner Secret…, h. xxxv
قول النبى صلى الله عليه و سلم: الشريعة أقوال و الطريقة أفعال والقيقة أحوال 68Lihat, Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 5. Âmulî, Inner Secret…, h. xxxiv
108 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
13. Risâlah al-Jadâwal al-Mawsûmah bi Madârij al-Sâlikîn fî
Maratib al-‘Ârifîn. Karya ini menerangkan ratusan tahapan
perjalanan ruhani dan ribuan nilai kualitas ruhani yang
diilustrasikan dari sebuah lingkaran yang tersusun dari seratus
bagian yang setiap bagian memiliki sepuluh nilai kualitas
ruahni.69
14. Naqd al-Nuqûd fi Ma’rifat al-Wujûd. Pembahasan pada karya
ini dimuat di Risâlah al-Wujûd.70
15. Nihâyat al-Tawhîd fî Bidâyat al-Tajrîd. Karya ini merupakan
kumpulan dari Jami al-Asrar.71
16. Muntaqâ al-Ma’âd fî Murtaqa al-‘Ibâd. Karya ini merupakan
kumpulan dari al-ma’âd.
17. Risâlah al-Tanbîh fî al-Tanzîh. Karya ini berbicara tentang
Allah. dari judulnya jelas sekali bahwa karya ini menerangkan
tentang Allah SWT Yang Maha Suci.72
18. Amtsalât al-Tawhîd wa Abniyât al-Tajrîd. Karya ini ditulis
dengan bahasa Persia yang isinya mengomentari kitab al-
Luma’ât karya al-Iraqi. Sejumlah pembahasan yang mirip pada
karya ini juga terlihat di Jâmi’ al-Asrâr.73
19. Risâlah Kanz al-Kunûz wa Kashf al-Rûz
20. Kitâb Ta’yin al-Aqthâb wa al-Awtâd. Karya ini menerangkan
bahwa yang memperoleh derajat qutb/pemimpin adalah
sembilan belas orang, bukan tiga ratus, bukan empat puluh,
bukan tujuh, bukan tujuh, dan bukan tiga. Mereka yang
termasuk pada kelompok sembilan belas itu adalah tujuh nabi
dan dua belas imam.74
21. Al-Muhît al-‘Azam wa al-Asham fî Tawîl al-Kitûb al-‘Azîz al-
Muhkam. Karya ini berjumlah 7 jilid tebal yang diselesaikan
setelah merampungkan ke dua puluh karya di atas kurang lebih
69 Lihat, Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…h. 6, Âmulî, Inner Secret… h. xxxv
70 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…h. h 6, Âmulî, Inner Secret… h. xxxv
71 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…h. h 6, Âmulî, Inner Secret… h. xxxvi
72 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…h. h 6, Âmulî, Inner Secret… h. xxxv
73 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…h. h 6, Âmulî, Inner Secret… h. xxxvi
74 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…h. h 6, Âmulî, Inner Secret… h. xxxv
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 109
selama dua puluh tahun. Pada karya ini Âmulî lebih banyak
mengomentari buku Bidayah milik Najm al-Din Râzî yang
dikenal dengan sebutan ‘Dâyah’. Komentarnya didasari dengan
Hadis, ان للقران ظهرا و بطنا ال سبعة أبطن “sesungguhnya Al-
Qurân memiliki sisi luar dan sisi dalam hingga mencapai tujuh
kedalaman”. Menurut Âmulî, karyanya yang satu ini bukan
sebuah hasil usahanya dalam menempuh jalan spiritual
melainkan sebagai limpahan karunia Zat Yang Tidak Terlihat
Yang Maha Pengasih.75
22. Nas al-Nusûs fî Sharh al-Fusûs. Karya ini selesai ditulis pada
782 H dan dimuat dalam muqaddimah Nas al-Nusûs yang
merupakan komentar tehadap Fusûs al-Hikam karya Ibn
‘Arabi.76
23. Risâlah al-Tawîlât. Karya ini merupakan kumpulan dari Al-
Bahr al-Khadm yang dikenal dengan Muntakhab al-Tawîl.
24. Risâlah al-Âmuliyyah. Karya ini berupa fotokopi yang
berjumlah sekitar enam halaman dan dapat dijumpai di
perpustakaan pusat Universitas Taheran pada dokumen nomor
1022. Risâlah ini memuat sejumlah pertanyaan seputar hukum
Islam dan sejumlah fatwa Fakhr Al-Haq wa al-Millah wa al-
Dîn, Ibn al-‘Allamah al-Hillî. Tanya jawab berkaitan hal itu
dimulai sejak akhir bulan Rajab 759 H di kota Hillah. Terdapat
dua belas pertanyaan seputar teologi dan hukum Islam yang
ditulis oleh Âmulî sendiri dalam bahasa Arab lalu dijawab dan
juga ditulis dengan bahasa Arab oleh Fakhr al-Muhaqqiqîn al-
Hillî pada 761 H dan sebagian lainnya pada 762 H77
Terdapat dua belas pertanyaan pada risalah ini yang diajukan Âmulî
kepada Fakhr al-Muhaqqiqîn. Yaitu:1. Berkaitan dengan
marifat ilahiyyah dan segala sifat Allah78
yang boleh dan tidak
75 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…h. h 7, Âmulî, Inner Secret… h. xxxvi
76 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…h. h 7, Âmulî, Inner Secret… h. xxxvi i
77 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…h. h 7, Âmulî, Inner Secret… h. xxxvii-xxviii
78 Mutazilah menolak adanya sifat-sifat Allah yang tujuh: mampu,
berkehendak, bicara, berpengetahuan, mendengar, melihat, dan hidup. Menurutnya
Yang Kekal adalah Zat Yang Kekal itu sendiri, tidak bisa disandarkan kepadanya
110 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
boleh ada pada diri-Nya. 2. Berkaitan dengan mukallaf yang
tidak memiliki kapasitas melakukan tugas tersebut sebab
kelemahannya dan atau karena ketidaktahuannya. 3. Berkaitan
dengan perbuatan mukallaf. 4. Berkaitan dengan para pedagang
yang tidak membayarkan seperlima zakatnya. 5 dan 6.
Berkaitan dengan golongan ‘Alawi yang merupakan keturunan
nabi dari silsilah Ali dan zakat seperlima tersebut diserahkan
kepada mereka. 7 dan 8 berkaitan dengan zakat seperlima yang
diberikan kepada yang bukan keturunan nabi seperti para
pekerja. 9. Berkaitan dengan cinta seorang mukallaf kepada
nabinya dan imamnya serta dijelaskan cinta yang bagaimana
yang seharusnya dimiliki. 10. Berkaitan dengan permohonan
syafaat nabi dan waktu melakukannya; apakah dianjurkan saat
melaksanaakan salat atau di luar salat. 11. Berkaitan dengan
hukum mengucapkan “Amin” setelah dibacakan akhir surat al-
Fatihah/al-Hamd serta penjelasan apakah salat menjadi batal
atau tidak jika mengucapkannya mengingat kata itu bukan
bagian dari ayat Al-Qurân. 12. Pada halaman ini dijumpai
sobekan dan kerusakan sehingga fatwa Fakhr al-Muhaqqiqin
lenyap.
Masih terdapat dua belas risalah yang terpisah dari Risâlah Âmulîat
tersebut yang ditulis langsung oleh Âmulî. Yaitu: 1. Masâil al-
Madâniyyat karya al-Hillî. Ijazah Fakhr al-Muhaqqiqîn ditulis
di belakang manuskrip terebut. Di dalamnya juga terdapat
goresan Âmulî yang memperbaiki risalah ayahnya. 2. Risâlah fî
Hajj al-Mutamatti’ bihî wa Wajibâtihi karya Fakhr al-
Muhaqqiqin. 3. Risâlah Mi’raj al-Salamah wa Minhaj al-
Karamah karya ‘Alî bin Sulaiman al-Bahrani. 4. Kitâb Suyûn
al-Himmah. 5. Risâlah al-Hudûd karya Ibn Sina. 6. Masâil
mutafarriqah. 7. Risâlah al-Tawhîd. 8. Istilâhât Hukamâ. 9.
sesuatu yang kekal lainnya. Allah SWT Maha Mengetahui, Berkuasa, Hidup, dan
Berkehendak namun tidak boleh dipahami bahwa Dia memiliki sifat-sifat tersebut.
Dia Maha Mengetahui adalah keadaan zat-Nya, bukan sifat-Nya. Penjelasan seperti
itu ditolak al-Gazali. Menurutnya, sifat-sifat Allah itu bukan zat-Nya melainkan
tambahan yang ada pada zat-Nya yang berdiri sendiri dan tidak kekal
(baharu/hadîts). Lihat, Muhammad Abû Hâmid al-Ghazâlî, Al-Iqtisâd fî al-I’tiqâd,
(Dâr al-Qutaybah, 2003 M/1423 H), h. 99-111
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 111
Risâlah Khwajah Nasîr al-Dîn Tusî. 10. Risâlah al-‘Ilmi. 11.
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Sadr al-Din Qunawi
kepada Khwajah Nasîr al-Dîn Tusî.12. Risâlah al-Qadâ wa al-
Qadr karya Hasan Basrî.79
25. Risâlah fî ‘Ulûm al-Ilâhiyyah. Karya ini selesai ditulis pada
787 H
26. Rafî’ah al-Khilâf ‘an Wajh Sukût Amîr al-Muminîn ‘an al-
Ikhtilâf. Menurut Henry Corbin, karya ini ditulis Âmulî atas
permintaan gurunya, Fakhr al-Dîn al-Muhaqqiqîn
27. Risâlah al-Mu’tamad min al-Manqûl fî mâ Awhâ ila al-Rasûl.
28. Risâlah al-Zâd al-Mufassirîn
29. Lubb al-Istilâhât al-Sûfiyyah. Kara ini merupakan kumpulan
istilah yang ditulis oleh Kamâl al-Dîn ‘Abd al-Razzâq al-
Kashânî80
30. Kitâb al-Kashkûl fî mâ Jarâ li Âli al-Rasûl
31. Al-Bahr al-Khadm fî Tafsîr Al-Qurân al-A’zam
32. Talkhîs Istilâhât al-Sûfiyah
Khajazi nampak ragu bahwa semua karya tersebut adalah milik
Âmulî karena Âmulî tidak menyinggung semua judul Risâlah tersebut
dalam karyanyna yang terakhir, Nas al-Nusûs. Selain dari itu, Âmulî
biasa menyinggung karyanya dalam karya lainnya seperti Asrâr al-
Sharî’ah yang disebut dua kali di Jâmi al-Asrâr.
Karya Âmulî umumnya berupa sejumlah matan81
. Di antara
matan-matan tersebut ada yang lengkap dan ada yang hanya
membahas satu aspek saja. Dengan demikian sering ditemukan satu
karya Âmulî mirip dengan karya lainnya. Misalnya, karyanya yang
berjudul Ta’wîlât Al-Qurân al-Karîm yang ada di perpustakaan
Mar’ashi, Qum, mirip kandungannya dengan karyanya yang berjudul
Jâmi al-Asrâr dan Asrâr al-Sharî’ah. Ketiga karya tersebut sama-
79 Âmulî, Inner Secret… h. xxxviii
80 Âmulî, Inner Secret… h. xl
81 Matan diambil dari bahasa Arab “matn/al-matn”, artinya “sesuatu yang
jelas” jika digandengkan dengan kata kitâb, matn al-kitâb, maka maksudnya adalah
(bagian) yang bukan merupakan penjelasan. Lihat, Louis Ma’luf, al-Munjid fî al-Lughah wa al-‘Ilâm, (Bairût: Dâr al-Masrtiq, 1986), cet. ke-28, h. 746.
112 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
sama mengangkat tingkatan pemahaman seseorang dalam bentuk
pemahaman sharî’ah, tarîqah, dan haqîqah. Contoh lainnya adalah
Risâlah a-Ma’âd yang mengemukakan perihal hari kebangkitan juga
termuat dalam Asrâr al-Sharî’ah hanya saja pada Asrâr al-Sharî’ah
dijelaskan lebih komprehensif.82
C. Mengenal Ajaran Imâmiyyah
1. Pengertian Imâmah
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya bahwa sejak kecil hingga
usia 30an tahun Âmulî menggeluti ajaran imamiyyah, maka dirasa
perlu mengenal lebih dalam apa, bagaimana, dan seperti apa
sesungguhnya ajaran yang juga dipeluk nenek-moyangnya.
Dalam perspektif Shî’ah, imamah merupakan bagian tak
tepisahkan dari akidah Islam, Nabi SAW tidak menyerahkan
persoalan imamah kepada para sahabatnya namun Nabi telah
menunjuk secara langsung. Kemampuan menjaga diri dari dosa walau
sekecil apapun adalah syarat menjadi imam. Pemilik sifat tersebut
hanyalah orang yang memiliki pertalian darah dengan Nabi SAW
walaupun tidak semua yang memiliki pertalian darah dengan Nabi
SAW bersih dari dosa. Baginya, orang yang pantas menjadi imam
adalah Ali bin Abi Talib. Selain memiliki syarat keimaman, Ali juga
mendapat wasiat dari Nabi SAW supaya menjadi imam. Itulah
mengapa Ali juga disebut sebagai al-Wâsî (penerima wasiat) wasiat
untuk dirinya dan juga untuk keturunannya.83
Imamah adalah kepemimpinan yang ditunjuk Tuhan sebagai
suatu nikmat Allah kepada manusia yang dengannya agama
disempurnakan. Imamah merupakan kelembutan (lutf) yang menarik
manusia menuju ketaatan kepada Allah SWT dan menjauhkan
mereka dari durhaka kepada-Nya. Kelembutan tersebut merupakan
salah satu karakter-Nya.84
82 Âmulî, Inner Secret… h. xli
83Tim Penulis, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, t.t.), vol. 3, h.345
84 Antologi Islam: Sebuah Risalah Tematis dari Keluarga Nabi. Penerjemah:
Rofik Suhud at.al., (Jakarta: Penerbit Al-Huda, Januari 2005 M/Dzulhijjah 1425),
cet. ke-1. h. 127
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 113
Para utusan Tuhan diamanati tanggung jawab membawa
perintah-perintah baru dari Allah SWT kepada manusia. Mereka
adalah para pemberi peringatan yang di dalamnya adalah para rasul
dan para imam. Para penerus nabi Muhammad SAW –yang
merupakan utusan-Nya terakhir- bukan dari golongan nabi dan rasul.
Mereka tidak membawa risalah baru melainkan hanya berperan
sebagai pembimbing dan penjaga agama. Di anatara misi mereka
adalah menjelaskan dan mengelaborasi syariat dan menjabarkan
perkara-perkara yang dianggap membingungkan. Mereka memiliki
pengetahuan penuh mengenai Al-Quran dan sunah bahkan mereka
satu-satunya yang memiliki kualifikasi penafsiran dan penguraian
makna Al-Quran secara benar. Mereka adalah pribadi paling
bertanggung jawab dalam memelihara keadilan dan memberangus
penindasan. Mereka merupakan hujjah Allâh (bukti Allah) di muka
bumi dan sebagai pemimpin spiritual orang-orang beriman.85
Umat Shî’ah percaya seorang imam yang ditunjuk Tuhan
mengungguli manusia lain dalam kebajikan, pengetahuan, keberanian,
dan kesalehan. Jika tidak demikian maka itu bertentangan dengan
keadilan ilahi karena Tuhan menunjuk manusia yang lebih rendah
kabajikannya saat ada manusia lain yang lebih tinggi kebajikannya.
Para imam adalah maksum. Jika tidak, maka seandainya
mereka melakukan dosa, niscaya orang-orang mengikuti perbuatan
dosa itu. Situasi semacam ini tidak bisa diterima oleh
kemahalembutan Allah karena ketaatan dalam dosa merupakan
kejahatan, tidak dibolehkan, dan terlarang. Selain dari itu, akan
dipahami pemimpin harus ditaati dan didurhakai pada waktu
bersamaan; taat kepada mereka wajib namun dilarang. Hal itu adalah
kontradiksi dan tidak terpuji.86
Setiap muslim diwajibkan mencegah
muslim lainnya berbuat haram. Seandainya imam berbuat yang
haram maka setiap muslim wajib mencegahnya. Dalam keadaan
seperti ini imam akan dibenci bahkan tidak ditaati sehingga
kepemimpinannya tidak berfedah.
85 Antologi Islam. h. 128
86 Antologi Islam. h. 129-130
114 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Para imam adalah pembela hukum Tuhan. Tangan para
pendosa pasti tidak dipercayakan mengembannya. Kemaksuman
adalah syarat penting bagi imam yang merupakan penjaga atau
penafsir hukum-hukum agama. Mengikuti mereka adalah instruksi
langsung dari Allah SWT. Dalam Al-Quran dinyatakan,
ي ه ا الذ ي ن ء ام ن و ا أ ط ي ع و ا الله و أ ط ي ع و ا الرس و ل و أ و ل ال م ر م ن ك م ف ا ن ت نز ع ت م يا ر ذل ك خ لله و ال ي و م ال ت م ت ؤ م ن و ن ب ف ش ي ئ ف ر دو ه إ ل الله و الرس و ل إ ن ك ن
س ن ت و ي لا )( ر و أح ي خ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS al-
Nisâ/4: 59)
Ayat ini menitahkan kaum muslim untuk taat pada dua hal:
menaati Allah, manaati Rasul dan orang-orang yang diberi otoritas
(ulil amri)
Dalam ajaran imamiyyah, ulil amri bukanlah para penguasa
muslim karena mereka tidak maksum. Sejarah mencatat sejumlah
penguasa melakukan kezaliman dan kejahatan sehingga menodai citra
Islam. Patuh terhadap penguasa semacam itu berarti melanggar
perintah Allah SWT.87
Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran,
ا أ و ك ف و را ن ه م ء اث م ر ب ك و ل ت ط ع م ف اص ب ل ك Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan
Tuhanmu, dan janganlah kamu ikutiorang yang berdosa dan
orang yang kafir di antara mereka. (QS al-Qalam/76: 24)
Dengan demikian, maksud dari ulil amri pada al-Nisâ: 59
adalah para imam yang sezaman dengan Nabi, yaitu: Ali, Hasan, dan
Husain. Walaupun ayat tersebut tidak menyebut Ali, Hasan, dan
Husain namun maksudnya adalah mereka bertiga. Keadaan seperti
87 Antologi Islam. h. 132-133
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 115
itu sama dengan ketika Allah SWT memerintahkan salat namun tidak
menyebut tiga rakaat atau empat rakaat dan ketika memerintahkan
berhaji namun tanpa menjelaskan pelaksanaan tawaf. Penentuan
rakaat dan tata-cara haji dijabarkan oleh Rasulullah. Selain dari itu,
seandainya nama Ali disebut secara ekspisit dalam Al-Quran maka
pasti para pemikul gunung kebencian terhadap Al-Quran berusaha
mengubahnya.88
2. Pengaruh Imâm dalah Kehidupan Akhirat
Dalam akidah Shî’ah Imâmiyyah, percaya hari kebangkitan
merupakan rukum iman keenam.89
Kehidupan hari akhir dipahami
sebagai masa kembali (al-Raj’ah90). Baginya, kehidupan akhirat
adalah milik imam. Ia bisa membentangkannya atau menolaknya
sesuai kehendak karena wewenang itu pemberian Allah SWT.
Menurut mereka, seandainya bukan karena para imam pasti tidak
diciptakan surga dan neraka.91
Saat sakarat maut, diwajibkan ikrar
datangannya nabi beserta para imam dua belas tanpa harus berpikir
cara bagaimana mereka datang. Kesaksian itu mempermudah sakarat
88 Antologi Islam. h. 135.
89 Dalam shi’ah rukun iman ada enam. Yaitu iman kepada Allah, kepada para
malaikat, kepada kitab-kitab-Nya, perjumpaan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya,
dan kepada hari kebangkitan. Tim Ahlul Bait Indonesia (ABI), Buku Putih Mazhab Syiah Menurut Para Ulamanya yang Muktabar, (Jakarta Selatan, Dewan Pengurus
Pusat ABI, Desember 2012), cet. ke-iv, h. 47
90 Al-raj’ah (ع ة yang berarti kembali kepada ر ج ع berasal dari kata kerja (الرج
semula atau menetapkan permulaan sebuah tempat, perbuatan, atau perkataan dalam
wujud keseluruhan atau sebagian. Bentuk masdar dari kata itu adalah الرج و ع yang
berarti kembali. Talak yang masih bisa kembali disebut ع ة Kata “kembali” di sini الرج
bisa dipahami kembali ke dunia setelah kematian. Jika diucapkan, fulân yumin bi al-raj’ah maka artinya si fulan percaya dengan kebangkitan (kembali hidup). Lihat, Al-
Râghib al-Asfahânî, Kamus Al-Qurân: Al-Mufradat fî Gharib al-Qurân. Penerjemah:
Ahmad Zaini Dahlan, (Jawa Barat: Depok, Pustaka Khazanah Fawa’id, Rajab 1438
H/April 2017 M), cet. ke-1, jilid ke-2, h. 29-34
91 Nâsir ibn ‘Abdullâh bin ‘Alî al-Qaffârî, Usûl Madzhab al-Shî’ah al-Imâmiyyah al-Itsnâ ‘Ashariyyah, (Dâr al-Haramain li al-Tibâ’ah, t. t.), jilid ke-2, h.
630
116 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
maut seorang mumin. Tetapi sebaliknya, sangat menyakitkan bagi
para munafik dan pembenci keluarga nabi.92
Saat mengafani dan menguburkan mayat, dianjurkan
menaburkan abu yang diperoleh dari abu-abu Husain. Dengan
demikian mayat menjadi aman. Saat di kubur, mayat akan ditanya
dua malaikat. Pertanyaan pertama adalah perihal kecintaan terhadap
keluarga nabi. Kemudian keyakinan terhadap dua belas imam. Jika
tidak bisa mengenal dan meyakini salah satu imam, maka kedua
malaikat itu menghantamnya dengan tongkat api yang membakar
seluruh kuburnya hingga hari kiamat. Tetapi bagi yang saat hidupnya
meyakini dua belas imam, mereka mampu menjawab seluruh
pertanyaan dua malaikat sehingga nyaman dalam kubur hingga hari
kiamat.93
Mereka meyakini bahwa surga diciptakan dari cahaya Husain.
Surga adalah mahar perkawinan Fatimah dengan ‘Ali. Lebih dari itu,
Allah SWT memberikan mahar Fatimah satu per empat (¼ ) dunia
sehingga ¼ dunia miliknya dan memberikan mahar surga dan neraka.
Orang-orang yang memusuhinya masuk neraka dan orang-orang yang
mendukungnya masuk surga.94
D. Pandangan Tokoh tentang Sayyid Haydar al-Âmulî
Memperhatikan paparan sebelumnya, Bisa diketahui siapa
seseungguhnya putra Amul ini. Paling tidak bisa dikenal bahwa ia
adalah sosok yang tidak hanya meninggalkan kemewahan duniawi
demi kedekatannya dengan Allah SWT tetapi juga rela meninggalkan
keluarganya demi keridaan-Nya. Lalu bagaimana tokoh-tokoh
sesudahnya menilai dan memandang sâhib Jâmi al-Asrâr ini?
Rešid Hafizovič95
mengenal Sayyid Haydar al-Âmulî sebagai
penafsir Fusûs al-Hikam, sebuah kitab tasawuf karya sufi agung, Ibn
92 Al-Qaffârî, Usûl Madzhab al-Shî’ah …, jilid ke-2, h. 631
93 Al-Qaffârî, Usûl Madzhab al-Shî’ah …, jilid ke-2, h. 631
94 Al-Qaffârî, Usûl Madzhab al-Shî’ah …, jilid ke-2, h. 630
95 Rešid Hafizovič, A Bosnian Commentator on the Fushûs al-Hikam,
(Journal of Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society), vol. 47, 2010, h. 89. Rešid Hafizovič
lahir di Srebrenica pada 1956 M. Ia menamatkan sekolah dasar di Srebrenica dan
menamatkan sekolah lanjutan di Gazi Hursefbeg pada 1981. Ia lulus fakultas studi
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 117
‘Arabi. Menurutnya, komentar-komentar Âmulî terhadap Fusûs al-
Hikam sungguh luar biasa. Ia mampu melihat sisi lain yang ada pada
Fusûs al-Hikam yang tidak dijangkau oleh para penafsir lainnya.
Seyyed Hosein Nasr96
menilai Sayyid Haydar al-Âmulî
sebagai salah satu figur yang menyintesiskan ajaran al-Hikmat al-
Ilâhiyyah dan Kalâm. Walaupun usaha menyintesiskan tersebut sudah
ada sebelumnya, namun kemunculan sosok Âmulî membuat usaha
menyintesiskan ajaran al-Hikmat al-Ilâhiyyah dan Kalâm menjadi
lebih semakin tenar. Nasr menyebut Âmulî sebagai teolog syi’a.
Tobias Müller97
, mengutip pendapat Soroush, menempatkan
nama Sayyid Haydar al-Âmulî sejajar dengan Abû Hamid
Muhammad al-Ghazâlî, dan Jalal al-Din Muhammad Rumi. Menuru
Müller, ketiga tokoh sufi ini menyesali adanya pengabaian terhadap
esensi agama. Tahayul dan pengetahuan yang dilebih-lebihkan yang
diperkenalkan para penjual agama telah mengaburkan esensi yang
benar mengenai agama. Oleh sebab itu usaha dalam membimbing
masyarakat awam adalah, paling tidak, mengingatkan mereka bahwa
komoditi utama agama adalah tauhid dan fatwa-fatwa ulama.
Alexander Knysh98
ketika menerangkan silsilah dan pendidikan
Khomeini, menjeaskan bahwa Khomeini berasal dari keturunan
keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan masih
keturunan nabi. Guru-gurunya, seperti; ‘Abd al-Karim Hairi, Mirza
Muhammad ‘Alî Syahabadi, dan Mirza ‘Alî Akbar Hakim, memiliki
Islam di Sarajevo dan menyandang gelar B.A. Pada 1993 ia meraih gelar Ph.D.
Konsentrasi thesisnya adalah seputar tasawuf Ibn ‘Arabi. Sejak `1990 ia aktif mengisi
kegiatan ilmiyah di sejumlah negara seperti di Institut Chatolique, Paris, Oxford
Center for Islamic Studies, Fitz William College, Cambridge, Kyoto University,
Tokyo, beberapak kali di Taheran, dan New York State University, New York. Pada
2005 ia menjadi anggota Iranian Academy of Philosophy. Lihat,
http://www.fin.unsa.ba/bibliografije/resid-hafizovic_eng.pdf
96 Seyyed Hossein Nasr, al-Hikmat al-Ilâhiyyah and Kalâm (Studia Islamica,
Maisonneuve & Larose) No. 34 (1971)), pp. 139-149
97 Tobias Müller, Contemporary Islamic Thinkers’ Understandings of Seculasim, Disertation for the Degree of MPhil in International Relations and
Politics, (University of Cambridge, 2014), h. 46
98 Alexander Knysh, “Irvan” Revisted: Khomeini and the Legacy of Islamic Mystical Philosophy, Middle East Journal: Vol. 46. No. 4 (Autumn 1992), pp 631-
635, h. 634
118 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
mata rantai keilmuan hingga kepada Mirdamad dan Mulla Sadra99
yang pemikirannya terinspirasi dari pendahulu-pendahulunya seperti
Haydar Âmulî, Ibn ‘Arabi, dan Yahya al-Suhrawardi.
Parvin Kazemzadeh100
berpandangan bahwa Sayyid Haydar al-
Âmulî adalah filosof sufi Shî’ah yang mengomentari futûhat al-
Makiyyah dan fusûs al-hikam karya Ibn ‘Arabi. Pandangan tersebut
dilontarkannya saat menjelaskan pemikiran Ibn ‘Arabî tentang wali.
Syair-syair Ibn ‘Arabî ibarat magnet yang menarik sejumlah sarjana
turut menoleh dan mengomentarinya. Di antara komentar tersebut
adalah dalam syari-syair Ibn Arabi tersirat bahwa ia memberikan
kesaksian akan ke-Shî’ah-annya. Namun berbeda dengan Sayyid
Haydar Âmulî yang juga kagum terhadap Ibn ‘Arabî , menurutnya,
Ibn ‘Arabî bukanlah seorang Shî’ah. Banyak sajana yang keliru
dalam menagkap maksud yang digagas Ibn ‘Arabî .
Julian Baldick101
mengakui Âmulî sebagai sosok yang
mengawinkan sufisme dan Shî’ah. Kedua firqah ini, menurut Âmulî,
sebelumnya saling hujat-menghujat. Dalam hal ini, Kaum sufi
menjadi pendukung setia kaum suni. Selain dari itu, Baldick juga
mengangkat argumentasi Âmulî perihal insan kamil Ibn ‘Arabi yang
menyatakan bahwa sistematisasi ajaran sufi Ibn ‘Arabî memberikan
penekanan bahwa insan kamil adalah transisi (barzakh) antara Tuhan
dan makhluk. Shî’ah, sesungguhnya telah menunjukan siapa saja
insan kamil itu. Mereka adalah dua belas imam dari keluarga
Muhammad. Lebih jauh Baldick menguak diferensiasi pemikiran Ibn
‘Arabî dan Âmulî. Contohnya, Ibn Arabi menyimpulkan bahwa
99 Mullâ Sadrâ lahir di Syirâz. Di usianya yang masih muda ia mengunjungi
Isfahan dan belajar dengan seorang ahli teologi, Bahâ al-Dîn al-Âmilî dan dengan
seorang ahli filsafat paripatetik, Mir Fenderesi. Namun gurunya yang paling utama
adalah Muhammad yang akrab dipanggil dengan sebutan Mir Damad (1041 H/1631
M). Lihat, Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Shadr al-Dîn Shîrâzî), (Albany: State University of New York Press, 1975), edisi pertama, h. 1
100 Parvin Kazemzadeh at.al., The Sealnes of the Wilâyah al-Mahdi and the Specification of His Ancestors accortding to Ibn ‘Arabi and some Commentators of Futûhat al-Makiyyah, Religious Inquires: Volume 3, No. 5, Winter and Spring 2014,
63-81, h. 65
101 Julian Baldick, Mystical Islam: An Introduction to Sufism, diterjemahkan
ke bahasa Indonesia, Islam Mistik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, (Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2002),cet. ke-1, h. 138
Sayyid Haydar al-Âmulî dan Pandangan Para Tokoh 119
penutup siklus universal persahabatan Tuhan adalah Isa namun Âmulî
berpendapat bahwa siklus universal persahabatan Tuhan bukan Isa
melainkan ‘Alî , sebagai imam pertama.
Muhammad Khajavi menilai adanya kemiripan istilah yang
digunakan Âmulî ketika menyampaikan gagasannya. Misalnya dalam
Majallah karya ibn Abî Jamhur dan Bahr al-Ma’arif karya Mulla
‘Abd al-Shamad Hamdani. Pada dua buku ini kualitas salat
dijelaskan melalui tiga istilah; khidmah, qurbah, dan wuslah. Ketiga
istilah itu memiliki kemiripan dengan tiga istilah yang digunakan
Âmulî; sharî’ah, tariqah, dan haqîqah.102
102 Âmulî, Inner Secret… h. xli
120 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
121
BAB IV
Konsep al-Ma’âd Sayyid Haydar al-Âmulî
A. Usaha Memahami al-Ma’âd
Memahami al-ma’âd erat kaitannya dengan memahami al-
mabda mengingat adanya al-ma’âd disebabkan adanya al-mabda.
Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan penjelasan tentang
keduanya: al-mabda dan al- ma’âd.
1. Al-Mabda dan al-Ma’âd
a. Al-Mabda
Secara etimologis, al-mabda/mabda berasal dari bahasa Arab
yang berarti sumber, pertama, asal, dasar, landasan, pokok, dan
prinsip. Mabda didefiniskan sebagai titik pusat yang menjadi sumber
awal terjadi atau terbentuknya sesuatu yang lain. Dalam kajian
ontologis, mabda dipahami sebagai sebab dari segala sebab (sabâb al-
asbâb) atau sebab yang pertama (ilâh ûlâ).1 Contohnya, jika atom
adalah mabda maka materi atau sesuatu selain atom bersumber dari
atom tersebut.
Ratusan tahun sebelum masehi, para pemikir sudah tekun
mencaritahu apa sesungguhnya mabda tersebut. Thales misalnya, ia
mengemukakan bahwa mabda segala yang mujud adalah berbentuk
materi, yaitu air. Sebagai materi (mâdah) atau bentuk (sûrah), air
adalah sebab pertama dari segala yang ada. Namun ide Thales ditolak
oleh Anaximander.2 Menurutnya, mabda pastilah tunggal, tidak
terbatas, dan tidak dapat diindera. Air tidak memilki sifat-sifat
mabda sehingga tidak mugkin sesuatu terjadi dari air. Berdasarkan itu
1 Mabda’ dalam Ensiklopedi Islam, jilid 2, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994), cet. ke-2, h. 20
2 Anaximander adalah filsuf dan ilmuwan pertama Yunani yang
pemikirannya sangat dikenal. Dia lahir di Miletus pada 610 SM dan wafat setelah
546 SM. Menurut tradisi kuno, Anaximander saat itu adalah figur penerus pemikiran
Thales. Di antara prestasinya dalam bidang science adalah peta dunia Yunani, peta
bintang Yunani atau globe ruang angkasa. Lihat, Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, vol.1, (Thomson: Macmillan Reference USA, 2006), edisi ke-2, h.
184
122 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
ia mendefinisikan mabda dengan segala sesuatu adalah tunggal dan
tidak terbatas. Mabda yang demikian disebut apeiron.3 Apeiron tidak
berhingga dan tidak dapat diindra. Ide tersebut dikenal dengan
“materialisme monisme”, yaitu asal segala yang maujud adalah
bentuk materi tunggal; segala yang bersifat nonmateri tidak
merupakan sesuatu fundamental dalam alam ini; ia muncul sebagai
aktivitas dari materi atau akibat dari aktivitas materi.
Berbeda dengan dua tokoh sebelumnya, Empedocles dan Plato
mengusung ide lain tengtang mabda. Menurut Empedocles, mabda
dari segala yang maujud itu bukan satu, tetapi banyak, terdiri dari
empat anasir: udara, api, air, dan tanah. Keempat anasir itu adalah
pemilik empat sifat; udara bersifat dingin, api bersifat panas, air
bersifat basah, dan tanah bersifat kering. Segala yang maujud
berasal dari persenyawaan kesemua anasir yang disatukan oleh
“cinta” dan dipisahkan oleh “benci”. Cinta dan benci itu sendiri
berada di luar mabda. Cinta menjadi sesuatu maujud sedangkan
benci menghancurkannya dan mengembalikannya ke asal, yaitu
keempat anasir.4 Sedangkan menurut Plato, mabda alam ini adalah
bentuk alam yang ada dalam ide yang bersifat spiritual. Alam
empiris yang ada ini bukan sesuatu yang hakiki melainkan hanya
bayangan dari alam ide yang riil. Alam ide merupakan suatu realitas
dan bentuk-bentuk asli yang memunculkan bentuk-bentuk yang lebih
beraneka ragam dari alam empiris.
Kajian ontologis tentang mabda juga menjadi perhatian serius
para teolog dan filsuf Islam. Mereka sependapat bahwa mabda segala
yang maujud adalah Allah SWT tetapi mereka tidak sependapat
proses bagaimana segala yang maujud muncul dari Allah SWT
sebagai mabda. Ahlusunah waljamaah5 memandang alam semesta
3 Apeiron/Peras adalah kata sifat dalam terminologi Yunani yang berarti
tidak terbatas. Istilah ini digunakan oleh Anaximander dalam pemikirannya perihal
sumber istimewa alam semesta. Lihat, Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, vol.1, h. 225
4 Mabda’ dalam Ensiklopedi Islam, jilid 2, h. 20
5 Ahlusunah waljamaah adalah kelompok yang selamat (firqah nâjiyah).
Rasulullah saw saat ditanya siapa kelompok yang selamat ia menjawab mereka
adalah al-jamâ’ah; orang-orang yang mengikutinya dan mengikuti sahabatnya. Selain
dari itu, saat menjelaskan QS 03:106, “pada hari yang di waktu itu ada muka yang
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 123
muncul dari sumbenya melalui penciptaan dari tidak ada menjadi ada
(Lat.:creatio ex nihihilo). Pada mulanya alam ini tidak ada sehingga
alam dinyatakan sebagai makhluk baru. Namun menurut Muktazilah,
alam dijadikan Tuhan dari sesuatu yang “sudah ada”. Alam
diciptakan bukan secara langsung dari tidak ada menjadi ada
melainkan secara tidak tidak langsung dari bahan-bahan yang sudah
ada: sesuatu, zat, dan hakikat. Bahan-bahan itu disebut materi
pertama (al-mâddah al-ûlâ) atau ketiadaan (ma’dûm).
Ketiadaan/ma’dûm itu sama dengan alam empiris namun belum
mempunyai wujud.6
b. Al-Ma’âd
Secara leksikal7 kata “al-ma’âd” berasal dari kata kerja bahasa
Arab bentuk lampau “’âda” yang berarti “kembali”8 Jika diucapkan
‘âdahu maka berarti “irtadda ilaihi ba’da mâ ‘arada ‘anhu”9 (si pulan
yang berpaling dari dia sudah kembali kepadanya.) Al-ma’âd adalah
kata benda yang menerangkan tempat yang dalam bahasa Arab
dikenal dengan sebutan Ism al-Makân. Al-ma’âd sebagai Ism al-
Makân berarti “tempat kembali”, “surga”, “akhirat”, “haji”10
putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram” rasul menegaskan bahwa yang
bermuka putih berserih adalah jamâ’ah dan yang bermuka hitam muram adalah ahl al-hawâ; orang-orang yang tidak mengikuti kitabulah, menyimpang dari sunah rasul,
dan keluar dari kesepakatan umat Islam (ijma’). Lihat, Abdul Mun’im al-Hafni,
Ensiklopedia:Golongan …, h. 92
6 Mabda’ dalam Ensiklopedi Islam, jilid 2, h. 21
77 Arti leksikal adalah bersangkutan dengan kata, bersangkutan dengan
leksem, bersangkutan dengan kosakata. Lihat, ,. Departeme Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 575
8 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia,
(Pondok Pesantren “Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, 1984), h. 1055
9 Louis Mal’uf, al-Munjid fî al-Lugha wa al-‘ilâm, (Bairût: Dâr al-Mashriq,
1986), cet. ke-28, h. 536
10 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, h. 156,
Louis Mal’uf, al-Munjid fî al-Lugha wa al-‘ilâm, h.
124 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Âmulî berusaha bagaimana konsep al-ma’âd11 dapat dipahami.
Ia sadar setiap individu bebas berpersepsi yang mungkin sebagian
atau semua persepsi itu benar. Berdasarkan hal itu, baginya semua
persepsi agar bermuara pada satu titik melalui pemahaman siapa
sesungguhnya pemilik keutamaan agung, apa yang dimaksud dengan
sharî’ah, tarîqah12, dan haqîhah, serta yang mana dari ketiga tersebut
yang menjadi tingkatan teratas.
Satu titik yang dimaksud Âmulî adalah titik kebenaran ilahi
mengingat semua kembali kepada-Nya. Ungkapan tersebut
dinyatakan dalam Al-Qurân,
ي ت ه ا ذ ب ن اص ا نى ت و كل ت ع ل ى الله ر بى و ر ب ك م م ا م ن د ابة ا ل ه و ء اخ Sesungguhnya aku bertawakal
13 kepada Allah Tuhanku dan
Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan
11 Hanya ditulis al-ma’âd untuk mempermudah struktur bahasa. Ide-ide
Âmulî lainnya adalah keesaan Tuhan, keadilan Tuhan, kenabian, Imamah, wudu,
tayamum, salat, puasa, haji, zakat, dan jihad.
12 Tarikat (Bahasa Arab tarîqah) pada mulanya berarti jalan yang harus
ditempuh sufi untuk memperoleh marifat dalam usahanya mendekatkan diri kepada
Tuhan, kemudian berkembang menjadi suatu organisasi kekeluargaan pengikut sufi
yang sealiran yang mempunyai cara-cara tertentu dalam latihan pengalaman agama
di bawah pengawasan seorang mursyid. Mereka berkumpul dalam suatu tempat yang
disebut Ribat atau zawiyah (semacam asrama atau padepokan) yang berfungsi
sebagai pusat pengajaran dalam proses mencapai ilmu makrifat. Proses belajar itu
berjalan dengan satu cara yang diatur oleh syekh. Perkumpulan ini diberi nama yang
dinisbatkan kepada pendirinya, misalnya Tarikat Rifaiyyah yang didirikan oleh
Ahmad Rifa’i. Dalam tasawuf dijelaskan bahwa Sharî’ah dalam peraturan, tarikat,
merupakan pelaksanaan, hakikat sebagai gambaran kwalitas dan makrifat adalah
tujuan. Lihat. Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: CV.
Anda Utama, 1993), jilid ke-3, h.1189
13 Tawakal adalah keadaan hati yang tetap bersandar kepada Allah SWT.
Tawakal merupakan tahapan mulia. Diriwayatan, ketika Nabi Ibrahi AS dibakar,
Jibril datang menawarkan bantuan seraya berucap, “Apakah kau ada keperluan/hajat
wahai Ibrahim?” Kemudian dijawab, “Ada apa urusannya dengan mu? Tidak!
Tuhanku adalah dayaku dan Dia yang mencukupi segala permintaanku” Dengan
bertawakal semacam itu maka api menjadi dingin dan menyelamatkannya dari
terbakar. “Dan bertawakkalah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati…”
(QS: al-Furqân/25:58), “Dan bertawakkalah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi
Maha Penyayang. Yang melihat kamu ketika berdiri (untuk salat) (QS al-
Shu’arâ/26:217-218), “Dan bertawakallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai
pemelihara” (QS Al-Ahzâb/33:3) Lihat, Hasan Kâmil al-Multâwî, Al-Sûfiyyah fî Ilhâmihim, (Dicetak oleh: Muhammad Taufîq ‘Uwaidah, April 1972/ Rabi’ al-Awwal
1396), cet. ke-27,juz 2, h. 60-61
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 125
Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya
Tuhanku di atas jalan yang lurus. (QS Hûd/11: 56)
ه ة ه و م و ل ي ه ا و ل ك ل و ج Dab bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. (QS al-Baqarah/2: 148) ع ع ل ي م ه الله ا ن الله و اس ر ق و ال م غ ر ب ف أ ي ن م ا ت و لو ا ف ث م و ج و لل ال م ش
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun
kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS al-
Baqarah: 115)
2. Ahl al-Sharîah, Ahl al-Tarîqah, dan Ahl al-Haqîqah
a. Ahl al-Sharîah
Dalam bahasa Arab, frasa “ahl al-sharîah” dikenal dengan
susunan idâfî yang terdiri dari kata “ahl” dan “al-Sharîah”. “Ahl”
dapat bermakna “famili, keluarga, atau kerabat” Jika kata “Ahl”
digandengkan dengan kata “al-madar” maka bermakna “orang yang
telah menetap” jika digandengakan dengan kata “al-dâr” maka
bermakna “penghuni rumah”14
Dari sini, kata “ahl” bisa dipahami
sebagai manusia yang sudah sangat dekat dengan sesuatu sehingga
sebab kedekatan itu ia dianggap seperti kerabat, bahkan keluarga.
Kata “sharîah” diambil dari kata Arab shara’a-yashra’u-shar’an
wa shurû’an yang berarti “memperoleh air” atau “masuk ke dalam
air”. Kata bendanya adalah sharî’ah, shirâ’, atau mashra’ah yang
berarti tempat yang digunakan untuk meluncurkan sesuatu ke dalam
air atau daerah di tepi laut tempat hewan-hewan meminum air.
Sesuatu yang disyariatkan oleh Allah SWT seperti puasa, salat, haji,
nikah, dan lainnya disebut dengan syariat karena semuanya
diturunkan dari “tempat” tersebut.15
14 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, h. 50
15 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Dâr al-Ma’ârif, t.t.), jilid ke-4, h. 2238.
Syariat diartikan sebagai agama atau sumber air karena agama dapat memberi
kepuasan batin serta menjaga kesucian penganutnya dari segala perbuatan yang
merugikan dirinya dan orang lain sebagaimana air dapa memberi kepuasan bagi
seseorang yang sedang kehausan sekaligus membersihkan pemakainya dari segala
126 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Berdasarkan pengertian tersebut, kata sharîah pada mulanya
diartikan sebagai “sumber mata air yang darinya semua orang
meminum.16
Sharîah, yang dalam bahasa Indonesia disebut syariat,
didefinisikan sebagai segala yang diturunkan Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW berbentuk wahyu yang terdapat dalam Al-
Quran dan sunah. 17
Kata yang berkaitan dengah syariat dinyatakan
dalam Al-Quran:
نا ي ه م ن ال ك تب و م ه ي م ل ق م ص د قا ل م ا ب ي ي د و أ ن ز ل ن ا إ ل ي ك ال ك ت اب ب و آء ه م ع ما ج اء ك م ن ال ق ن ه م ب ا أ ن ز ل الله و ل ت تب ع أ ه ك م ب ي ع ل ي ه ف ح
ة و لك ن و شرعة ل ك ل ج ع ل ن ا م ن ك م د ن ه اجا و ل و ش اء الله لج ع ل ك م أ مة و اح م عا ف ي ن ب ئ ك م ب ا ي ع ك م ج ات إ ل الله م ر ج ت ب ق و ا الخ ي ل و ك م ف مآ ء ات ىك م ف اس ل ي ب
ت م ف يه ت ت ل ف و ن ك ن Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu
(Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang
membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan
menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti
keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, kami
berikan aturan18
dan jalan yang terang. Kalau Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Alah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah
diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah beruat
kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu
perselisihkan (QS Al-Maidah/5: 48)
kotoran yang bersifat lahiriah. Lihat, Sharî’ah dalam Ensiklopedi Al-Quran: Kajian Kosa Kata, (Jakarta: Lentera Hati, September 2007/Ramadân 1428), cet. ke-1, h. 946
16 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, jilid ke-4, h. 2238
17 “Syariat” dalam Ensiklopedi Islam, jilid 4, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994), cet. ke-2, h. 345
18 Shir’atan diartikan aturan tetapi shiratan juga berarti agama atau
permulaan jalan. Ada perbedaan antara syariat dan agama. Syariat bisa bermacam
bentuknya namun agama hanya satu. Lihat, Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, jilid ke-4,
h. 2238-2239
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 127
و ل ت تب ع أ ه و آء الذ ي ن ل ي ع ل م و ن ث ج ع ل نك ع لى ش ر ي ع ة م ن ال م ر ف اتب ع ه ا Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti
syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu)
dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak
mengetahui (QS al-Jâtsiyyah/45:18)
Syariat berbeda dengan fikih. Fikih merupakan hasil rekayasa
nalar manusia. Menurut imam Syafi’i, fikih adalah suatu ilmu
tentang hukum-hukum syariat yang berisfat amaliah yang diperoleh
dari satu persatu dalinya. Dengan demikian fikih adalah apa yang
dapat dipahami manusia dari Al-Quran dan sunah melalui ijtihad
untuk menangkap makna, sebab, dan tujuan yang hendak dicapai oleh
teks suci tersebut.
Dalam perjalanan sejarah hukum Islam, ada di antara ulama
yang memandang fikih sebagai bagian dari syariat. Mahmud Syaltut
misalnya, ia membagi Islam atas akidah dan syariat. Ibadah dan
muamalah adalah bagian dari syariat.19
Syariat yang mencakup pengertian fikih adalah pengertian
syariat dalam arti luas. Syariat dalam pengertian sempit adalah
hukum-hukum yang berdalil pasti dan tegas yang tertera dalam Al-
Quran, hadis sahih, atau ditetapkan dalam ijmak. Adanya pengertian
syariat dalam arti luas berkaitan dengan pelaksanaan syariat itu
sendiri. Di Arab Saudi misalnya, secara utuh menerapkan hukum-
hukum yang sesuai dengan pengertian syariat dalam arti sempit,
yakni hukum bersumber dari Al-Quran, sunah, dan ijmak. Fikih tidak
dilaksanakan di Arab Saudi secara utuh karena kekhawatiran negara
akan terikat pada satu mazhab. Padahal dalam satu mazhab masih
terjadi pebedaan pendapat.
Jika diteliti dari perjalanan sejarah sejak zaman Nabi
Muhammad SAW, maka syariat disimpulkan sebagai tuntunan yang
diberikan Allah SWT dan Rasul-Nya melalui perkataan, perbuatan,
dan ketetapan. Tuntunan itu mencakup akidah, hukum perseorangan,
hubungan manusia dengan pencipta, hubungan manusia dengan
manusia, atau hubungan yang berkaitan dengan etika pergaulan dan
19 Syariat” dalam Ensiklopedi Islam, jilid 4, h. 346
128 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
sikap. Syariat identik dengan agama. Maka jika disebut al-sharîah al-
islâmiyah maka maksudnya adalah setiap yang datang dari Rasulullah
Muhammad SAW yang berasal dari Allah SWT baik bekenaan
dengan akidah, pengaturan kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat,
atau akhlak.20
Dari uraian di atas maka bisa dipahami bahwa maksud dari ahl
al-Sharîah seseorang yang sudah sangat memahami dan
mengaplikasikan tuntunan Allah SWT dan rasul-Nya sebagaiman
mestinya.
b. Ahl al-Tarîqah
Kata tarîqah berasal dari kata kerja taraqa yang berarti
memukul atau memukul dengan kerikil seperti yang biasa dilakukan
oleh kebanyakan perempuan. Alat pemukul yang digunkan pandai
besi disebut mitraqah. Taraqa juga berarti menulis di tanah atau di
pasir dengan kedua jari lalu dengan satu jari.21
Kata benda tunggal
dari taraqa adalah tarîq yang berarti jalan. Bentuk jamaknya adalah
atriqah, turuq, atriqâu, tarâiq,22 dan turuqât. . Tarîqah adalah bentuk
muannats (female) dari kata tarîq.23
Tarîqah juga berarti: cara, metode/sistem, aliran, keadaan,
pohon kurma yang tinggi, tiang payung/tiang tempat berteduh, yang
mulia dari suatu kaum, atau tulisan pada sesuatu.
Dalam Al-Quran kata tarîqah bisa dijumpai pada QS Tâha/20:
63,
ه ب ا ب ط ر ي ق ت ك م ر ه ا و ي ذ ح ك م ب س ر ان ي ر ي د ان أ ن يج ر ج اك م م ن أ ر ض ق ال و إ ن هذان ل سح ال م ث ل ى
20 “Syariat” dalam Ensiklopedi Islam, jilid 4, h. 346
21 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, jilid ke-4, h. 2662
22 Kata tarâiq disebut dalam QS Jin/11, و أ ن م نا الص ل ح و ن و م نا د و ن ذل ك ك ناق د دا طرائق Dan sesungguhnya di antara kami ada yang saleh dan di antara kami ada
(pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-
beda. 23 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, jilid ke-4, h. 2663
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 129
Mereka berkata: “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-
benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu
dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu
yang utama.
Kata tarîqah pada ayat di atas berarti orang-orang mulia.
Orang Arab biasa menyebut mereka dengan tarîqah karena mereka
mulia, menjadi panutan dan dinilai sebagai figur yang dijadikan
contoh.24
Dalam tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang pengikut
tarekat (sâlik) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau
perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat
mendekati diri sedekat mungkin kepada-Nya.25
Seorang sâlik tidak
dibenarkan meninggalkan syariat sebab pelaksanaan tarekat
merupakan pelaksanaan agama. Sâlik harus dibimbing oleh mursyid
atau syeikh (guru tarekat). Mursyid bertanggung jawab terhadap
murid-muridnya. Ia mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan
lahiriah, rohaniyah, pergaualan sehari-hari, bahkan perantaa anatar
murid dan Tuhan dalam beribadah. Oleh sebab itu, seorang mursyid
harus sempurna suluknya dalam ilmu syariat dan hakikat sesuai Al-
Quran, sunah, dan ijmak.
Guru tarekat haruslah alim, ahli dalam memberikan tuntunan
kepada muridnya, mengenali segala sifat kesempurnaan hati,
memiliki rasa belas kasih terhadap muridnya dan kaum muslimin,
pandai menyimpan rahasia muridnya, tidak menyalahgunakan amanat
muridnya, hanya menyuruh muridnya melakukan sesuatu yang layak
dikerjakan, tidak banyak bergaul dan bercengkerama dengan
muridnya, senantiasa berusaha bersih dari pengaruh nafsu dan
keinginan, lapang dada, ikhlas, memerintakan berkhalwat kepada
murid yang memperlihatkan kebesaran dan ketinggian hati,
memelihara kehormatan diri dan kepercayaan murid, memberikan
petunjuk untuk memperbaiki keadaan murid, memperhatikan
terjadinya kebanggan rohani yang timbul pada murid, melarang murid
banyak bicara dengan teman kecuali sangat penting, menyediakan
24 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, jilid ke-4, h. 2665
25 “Tarekat” dalam Ensiklopedi Islam, jilid 5, h. 66
130 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
tempat berkhalwat, menjaga diri agar murid tidak melihat
keadaannya dan sikap hidupnya yang dapat mengurangi rasa hormat
mereka, mencegah murid banyak makan, melarang murid
berhubungan dengan guru tarekat lain jika membahayakan, melarang
murid berhubungan dengan para pejabat yang dapat membangkitkan
nafsu duniawi, menggunakan kata-kata lembut dan memikat dalam
khotbahnya, memenuhi undangan dengan penuh perhatian, bersikap
tenang dan sabar saat bersama murid, memperlihatkan akhlak mulia
ketika murid datang atau bertau, dan memperhatikan keadaan murid
dengan menyanyakan keadaan murid lain yang tidak hadir
pertemuan.26
Untuk melaksanakan tarekat dengan baik seorang murid harus
memperbanyak wirid, zikir27
, doa, dan mendalami syariat. Dalam
pelaksanaan aktifitas tarekat, murid dimasukkan ke sebuah tempat
belajar khusus (ribât) atau tempat ibadah khusus (zawiyat/khanqah).
Di tempa itulah dilakukan zikir, pembacaan wirid-wirid, lantunan
syair-syair yang diiringin bunyi-bunyian seperti rebana, gerakan-
gerakan menari mengiringi wirid, dan pengaturan nafas yang berisi
zikir tertentu.28
c. Ahl al-Haqîqah
Secara etimologis haqîqah adalah antonim al-bâtil. Bentuk
jamaknya adalah huqûq atau hiqâq. Haqîqah -dalam bahasa
Indonesia disebut hakikat-29
adalah sesuatu yang penggunaannya
26 ‘Tarekat” dalam Ensiklopedi Islam, jilid 5, h. 68
27 Dalam diri seorang sâlik, zikir merupakan konsumsi hati. Seseorang yang
meninggalkan zikir maka jasadnya seperti kuburan. Al-Hasan al-Basri berseru,
“carilah ketentraman (hati) di tiga keadaan: dalam salat, dalam zikir, dan saat
membaca Al-Quran. Lihat, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Tahdzîb Madâr al-Sâlikîn,
(Jiddah: Maktabah al-Mamûn, 1997 M/1417 H), h. 413
28 “Tarekat” dalam Ensiklopedi Islam, jilid 5, h. 68
29 Dalam filsafat, hakikat adalah inti dari sesuatu yang walaupun sifat-sifat
yang melekat padanya dapat berubah-ubah namun inti tersebut tetap lestari. Dalam
filsafat dikenal bahwa hakikat segala sesuatu adalah air. Air yang cair itu adalah
pangkal, pokok, dan inti segala-galanya. Semua barang meskipun mempunyai sifat
dan bentuk yang beraneka ragam, namun intinya adalah satu, yaitu air. Segala
sesuatu berasal dari air dan akan kembali pada air. Dalam ilmu balagah, hakikat
adalah lawan kata dari majaz (metafor). Dalam ilmu ini hakikat adalah lafal atau
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 131
sesuai dengan ketentuannya. Hakikat juga bermakna fana atau
beratnya perjalanan.30
Dalam tasawuf, hakikat identik dengan aspek
kerohanian dari ajaran Islam. Kajian tentang hakikat dimulai dengan
aspek moral yang dibarengi aspek ibadah. Bila kedua aspek ini
diamalkan penuh kesungguhan dan keikhlasan, maka meningkatlah
kondisi mental seseorang dari satu tingkat yang rendah ke tingkat
yang lebih tinggi. Ketika kondisi mental sampai pada tingkat
tertinggi, Tuhan akan menerangi hati sanubari orang tersebut dengan
nur-Nya, sehingga pada waktu itu ia betul-betul dekat dengan-Nya,
dapat mengenal-Nya, dan dapat melihat-Nya dengan mata hatinya.
Orang yang telah sampai ke tingkat ini di kalangan sufi dinamai ahli
hakikat.31
Jika kata hakikat dipergunakan untuk Tuhan, maka artinya
adalah sifat-sifat Tuhan. Zat Allah sendiri disebut al-Haqq. Antara
manusia dan Tuhan terdapat jarak sehingga masing-masing
mempunyai hakikat sendiri-sendiri. Tetapi antara dua hakikat itu
terdapat kesamaan dan jika kesamaan itu semakin mendekat maka
pudarlah garis pemisah antar keduanya. Ketika itulah terjadi
persatuan antara al-Haqq dengan manusia.32
Sesungguhnya sesuatu yang ada berasal dari Tuhan. Jika
wujud Tuhan tidak ada, maka segala yang ada (mawjûd) ini tidak
pula akan ada. Segala yang ada ini sebenarnya tidak mempunyai
wujud tersendiri. Ia berwujud setelah ada wujud lain yang
menyebabkannya ada. Dengan demikian, wujud sebenarnya ialah
wujud yang ada dengan sendirinya, tanpa bergantung pada wujud
lain; Itulah wujud Tuhan. Wujud Tuhan inilah wujud yang hakiki
atau hakikat dari segala-galanya yang disebut dengan Haqq al-
Haqa’iq. Adaun wujud-wujud lain hanya berupa pengejawantahan
(tajali) dari wujud al-Haqq. Wujud al-Haqq tidak dapat
ungkapan yang dipergunakan sesuai dengan pengertian asliny. Misalnya, kata
“tangan” biasanya dipakai untuk tangan yang menjadi salah satu anggota
tubuhmanusia,tetapidapat pula diartikan dengan arti “kekuasaan”, seperti “raja itu
bertangan besi” Lihat, Hakikat” dalam Ensiklopedi Islam, jilid 2, h. 69
30 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, jilid ke-2, h. 944-945
31 Hakikat” dalam Ensiklopedi Islam, jilid 2, h. 69
32 Hakikat” dalam Ensiklopedi Islam, jilid 2, h. 69
132 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
menampakkan diri-Nya pada alam empiris yang serba terbatas ini,
kecuali melaluli penampakkan sifat-sifat-Nya.33
3. Penilaian terhadap Tiga Kelompok
a. Pemilik Keutamaan Agung (ûlû al-fadl al-katsîr)
Menurut Âmulî, Seorang hamba hendaknya menghadirkan
sifat-sifat ketuhanan dalam hidupnya melalui pemahaman rohani
yang paling tinggi dan yang paling rendah. Pemahaman tersebut
dicapai melalui identifikasi yang jeli terhadap tanda-tanda yang
muncul pada kepribadiannya. Dengan demikian rambu-rambu
sebagai manusia dapat dimengerti, sifat-sifat hewani yang menjelma
dan tak terlihat dapat dikeluarkan, rantai-rantai jasmani dapat
dilepaskan, ikatan-ikatan materi dapat dibelengu, sehingga sifat-sifat
malaikat dapat dihadirkan.34
Ciri-ciri seorang hamba tersebut hanya mampu dimiliki oleh
mereka yang mempunyai banyak keutamaan agung (ûlû al-fadl al-
katsîr), memiliki pengetahuan (ahl al-‘ilm al-khathîr), berada pada
level kashf35, dan memahami Sharî’ah dengan pendekatan ketuhanan
melaui parantara kebenaran ajaran nabi Muhammad. Mereka adalah
para wali, para nabi, dan beberapa filosof. 36
Didasari pemahamannya tentang kepribadian luhur yang
dimiliki pemilik keutamaan agung, Âmulî merasa terpanggil untuk
33 Hakikat” dalam Ensiklopedi Islam, jilid 2, h. 69
34 Haydar al-Âmuli, Asrâr al-Sharî’ah wa Atwâr al-Tarîqah wa Anwâr al-Haqîqah, (Muassasah Mutâla’ât wa Tahqîqât Farbankâ, t. t.), h. 3
35 Secara etimology, arti kashf adalah mengangkat hijab atau niqâb. Secara
terminology, arti kashf adalah pengetahuan yang berada di belakang hijab.
Pengetahuan tersebut berupa sesuatu yang gaib atau kebenaran lainnya yang didapati
baik melalui penyaksian langsung atau merasakan keberadaannya.Kashf juga dapat
berarti tersingkapnya tabir yang menghalangi hati seorang hamba karena telah
bersinarnya cahaya Ilahi di dalamnya ketika hati telah dibersihkan. Kashf
merupakan sasaran akhir dari pencarian kebenaran bagi mereka yang berkeinginan
untuk meletakan keyakinan di atas kepasstian. Seseorang yang telah berhasil
mencapai kashf berarti ia telah memasuki kawasan hakikat-realitas,menyatu dengan
kemurnian tauhid sehingga dirinya terasatidada dan kemanusiaannya terasa telah
padam dan sirna sama sekalali. Haydar Âmuli, Jâmi’ al-Asrâr wa Manba’ al-Anwâr, (Injaman Ibrânsyanâsî Farânsah, t. t.), h. 462, UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung, Penerbit Angkasa, 2008), cet. ke-1, jilid I (A-H), h. 350-351.
36 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 4
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 133
menumpahkan semua isi hatinya dalam sebuah buku yang
berpedoman pada ajaran sufi dan imâmiyyah serta mengacu pada
sharî’ah, tarîqah, dan haqîhah mustafawiyyah. Oleh sebab itu
ditulislah Asrâr al-Sharî’ah wa Atwâr al-Tarîqah wa Anwâr Al-
Haqîqah (Rahasia Syariat, Tahapan Perjalanan, dan Sinar Kebenaran)
dengan harapan setiap individu mampu meraih tingkatan kepribadian
tersebut.37
b. Kelompok yang Saling Melengkapi
Menurut Âmulî, banyak orang berpendapat Sharî’ah berbeda
dengan tarîqah dan tarîqah berbeda dengan haqîhah. Mereka
memahami Sharî’ah, tarîqah, dan haqîhah sebagai suatu yang saling
berbeda. Pemahaman yang demikian adalah buah dari
ketidakpahaman mereka.38
Sharî’ah adalah salah satu dari banyak jalan menuju Tuhan.
Pada sharî’ah terdapat usûl39, furû’40, rukhsah41
, ‘azîmah42, dan
kebaikan. Mengambil semua tersebut dengan cara yang paling hati-
hati, paling baik, dan paling berdasar adalah tarîqah. Maka, tarîqah
adalah jalan paling baik dan paling hati-hati yang ditempuh manusia
baik berupa perkataan, perbuatan, sifat, atau keadaan. Sedangkan
haqîhah adalah (jalan) memutuskan sesuatu secara kashf. Dengan
demikian dikatakan bahwa sharî’ah adalah engkau menyembah-Nya,
37 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 4
38 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 344, Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 5
39 Usûl adal bentuk jamak/plural dari “asl” yang berarti sesuatu yang darinya
sesuatu yang lain terbentuk. Asl juga berarti pandapat yang kuat (al-râjih), esensi (al-haqîqah), norma atau kaidah (al-qâ’idah), pembuktian (al-dalîl), lawan kata dari
“cabang” (al-far’), dan yang menemani (al-mustashib). Lihat, Muhammad Zakariyâ
al-Bardîsî, Ushûl al-Fiqh, (Dâr al-Tsaqâfah li al-Nashr wa al-Tawzî’, 1983), h. 22-23
40 Furû’ adalah bentuk jamak/plural dari “far” yang berarti kebalikan dari
kata asl sebagimana dijelaskan pada footnote nomor 8. Lihat, Al-Bardîsî, Ushûl al-Fiqh, h. 23
41 Rukhsah hukum keringanan yang hanya dibolehkan saat darurat atau ‘udzr. Lihat, Al-Bardîsî, Ushûl al-Fiqh, h. 91
42 ‘Azîmah adalah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sejak awal
agar dilaksanakan oleh setiap mukallaf dalam kondisi apapun. . Lihat, Al-Bardîsî,
Ushûl al-Fiqh, h. 89
134 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
tarîqah adalah engkau mendatangkan-Nya, dan haqîhah adalah
engkau menyaksikan-Nya.43
Sharî’ah, tarîqah, dan haqîhah adalah sesuatu yang satu yang
diumpamakan secara berbeda. Masing-masing saling menghindari
perselisihan dengan ahl allâh44, hati mereka selalu menjauh dari
gelapnya kesesatan, tidak menyamakan khâliq dengan makhlûq.
Sharî’ah –sama halnya dengan kerasulan- adalah perumpamaan
sesuatu yang sampai kepada nabi berupa hukum-hukum, politik,
moral, dan ajaran falsafi. Tarîqah –seperti halnya dengan kenabian45
-
adalah penampakan sesuatu yang sampai dari wali melalui
pengetahuan bagaimana mengenal Tuhan, sejumlah nama-Nya, sifat-
Nya, dan perbuatan-Nya. Haqîhah adalah perumpamaan penampakan
zat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya yang terjadi setelah fanâ.
Mereka inilah yang disebut ûlûl al-bâb yang dipuji oleh Allah SWT
dan akan mendapatkan kabar gembira. Sebagaimana dinyatakan
dalam Al-Qurân,
ر ب و ا ا ل الله ل م ال ب ش ر ى ف ب ش ت ن ب و ا الطغ و ت أن ي ع ب د و ه ا و أ ن و ال ذ ي ن اج ع ب اد
س ن ه أ ولئ ١٧)46 ت م ع و ن ال ق و ل ف ي تب ع و ن أ ح ى ه م ( الذ ي ن ي س ك الذ ي ن ه د ل و ال ل بب ) (١٨الله و أ ولئ ك ه م أ و
43 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 344
44 Ahl allâh dan muwahhidun adalah ungkapan lain yang ditujukan kepada
kaum sufi. lihat, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 5, Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 343
45 Menurut Âmulî, kenabian adalah berita mengenai hakikat tuhan atau
mengenal zat al-Haq beserta semua nama-Nya, sifat-Nya, dan ketetapan hukum-Nya.
Kenabian terbagi menjadi dua; kenabian dipahami sebagai definisi (nubuwwah al-ta’rîf) dan kenabian dipahami sebagai penyampai shariat (nubuyyah al-tashrî’) Nubuwwah al-ta’rîf adalah berita-berita mengenai zat, nama, dan sifat-Nya
sedangkan nubuyyah al-tashrî’ adalah berita-berita mengenai zat, nama, sifat-Nya
bersamaan dengan penyampaian hukum-hukumnya, penertibannya, dan
pengajarannya. Kesemuanya itu jika ditambahkan dengan melaksanakan tugas
politik (al-qiyâm bi al-siyâsah) maka disebut dengan kerasulan. Kenabian juga
dipahmi sebagai menerimanya jiwa suci terhadap semua yang diketahui dan
dipikirkan dari esensi akal pertama sedangkan kerasulan menyampaikan itu kepada
yang mengambil manfaat darinya dan kepada pengikutnya. Lihat, Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…,h.379 dan 450
46 Âmulî tidak menulis lengkap ayat 17 namun hanya memulainya dengan
ر ع ب اد .Lihat, Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 344 ف ب ش
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 135
Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak
menyembahnya dan kembali kepada Allah, mereka pantas
mendapat berita gembira;sebab itu sampaikanlah kabar
gembira itu kepada hamba-hamba-Ku (17) (yaitu ) mereka
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling
baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi
petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang
mempunyai akal sehat. (QS al-Zumar/39: 17-18)
Ketiga hal itu bermuara ke satu tempat, yaitu Rasul. Oleh
karena itu, Sharî’ah nabi dan ketetapan ilahi adalah satu yang
mencakup tiga tahapan; Sharî’ah, tarîqah, dah haqîhah. 47
Sharî’ah adalah nama sejumlah jalan yang sama-sama menuju
Tuhan. Tarîqah adalah menentukan jalan yang paling baik dan paling
hati-hati untuk menuju Tuhan. Tarîqah adalah menetapkan sesuatu
secara kashf. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sharî’ah
adalah menyembah-Nya, tarîqah adalah menghadirkan-Nya, dan
haqîqah adalah menyaksikan-Nya.48
Berkaitan dengan itu, nabi
pernah bertanya kepada Haritsah,
Nabi : “ Haritsah, bagaimana kabarmu pagi ini?”
Haritsah : “Pagi ini aku masih benar-benar mu’min.”
Nabi “Setiap kebenaran ada hakikatnya. Lalu apa hakikat
imanmu?”
Haritsah : “Aku lihat penduduk surga saling berkunjung,
penduduk neraka saling berteriak sedih dan aku lihat
jelas ‘arsh tuhanku.”
Nabi : “Kau telah meraihnya. Peliharalah!” 49
47 Âmuli, Asrâr al-Sharî’ah…,h. 6. Lihat juga Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h.
343-344
48 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 344
قول النبي صلى الله عليه و سلم لارثةز و هو انه قال: يا حارثة, كيف أصبحب؟ 49ؤمنا حقا. فقال عليه السلام: لكل حق حقيقة, فما حقيقة ايمانك؟ قال رأيت قال: أصبحت م
أهل الجنة يتزاورون و أهل النار يتعاوون و رأبت عرش ريى برزا. قال عليه السلام: أصبحت. Lihat Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 344-345 فالزم!
136 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Sharî’ah adalah ibarat pengakuan kebenaran secara hati
terhadap perbuatan para nabi yang dikuti dengan perbuatan. Tarîqah
adalah ibarat penguatan kebenaran terhadap perbuatan dan akhlaq
para nabi yang diikuti dengan perbuatan. Haqîhah adalah ibarat
menyaksikan secara spiritual perbuatan para nabi yang diikuti dengan
perbuatan. Perangai baik/uswatun hasanah pada diri nabi hanya bisa
dipahami dengan memelihara tiga tahapan ini.50
Sebagaimana sabda
nabi,
“Sharî’ah adalah ucapanku. Tarîqah adalah perbuatanku.
Haqîhah adalah keadaanku. Ma’rifat adalah modalku. Akal
adalah pusat agamaku. Cinta adalah fondasiku. Rindu adalah
kendaraanku. Takut adalah pendampingku. Kemurahan hati
adalah senjataku. Pengetahuan adalah temanku. Berserahdiri
kepada Allah adalah selendangku. Kepuasan adalah hartaku.
Kejujuran adalah rumahku. Keyakinan adalah tempat
singgahku. Kafakiran adalah kebanggaanku. Aku banggakan
kefakiran itu kepada para nabi dan rasul.51
”
Sharî’ah ibarat sungai sedangakan haqîqah ibarat lautan. Ahli
fiqih berkeliling di wilayah sungai, filosof mengarungi lautan,
sedangkan sufi berlabuh di atas perahu keselamatan.52
Analogi lain
bisa dipahami melalui kisah nabi Ibrahim ketika mengingkari53
50 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 345
51 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 346
52 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 359
53 Sejumlah mufasir tidak menyatakan “mengingkari” tetapi “mempercayai”.
Âmulî menolak keras pendapat semacam itu terlebih mereka menyatakan kisah
tersebut merupakan proses awal nabi Ibrahim dalam “menyaksikan” Tuhan sehingga
diyakini bintang, bulan dan matahari sebagai Tuhannya sehingga ibrahim dituduh
sebagai penyembah matahari (sâbi) Menurut Âmulî, pendapat semacam itu tidak
benar karena Ibrahim adalah ma’sûm. Seorang ma’sûm wajib ma’sûm sejak kecil.
Selain itu, sebagian umat nabi Ibrahim saat itu adalah penyembah bintang, bulan,
matahari, dan berhala-berhala lainnya lalu Allah memberikan hidayah secara jelas
sehingga mengenal wujûd Tuhan yang esa, pencipta semua yang mawjûd. Kalimat
“ini Tuhanku’ (hâdzâ rabbî) bukan pengakuan melainkan pernyataan pengingkaran
dan ejekan yang bisa dipahami “ini adalah sesuatu yang diciptakan.” Pantaskah ini
menjadi Tuhanku dan Tuhan semua sesuatu? Demi Allah, tidak! Ini bukan Tuhanku
dan bukan Tuhan semua sesuatu. Ini hanya salah satu ciptaan-Nya. Nabi bersabda,
“aku kenal Tuhanku melalui Tuhanku dan kau lihat Tuhanku melalui Tuhanku.
Lihat, Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 359-362
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 137
bintang, bulan, dan matahari sebagai Tuhan54
. Tahapan petunjuk
pertama berupa bintang ditujukan untuk ‘awwâm, petunjuk kedua
berupa bulan ditujukan untuk khâs, dan petunjuk ketiga berupa
matahari ditujukan untuk khâs al-khâs. Bintang ibarat cahaya indera
dalam pencarian Al-Haq. Menurut Ahl sharî’ah dan ahl al-zâhir, bulan
ibarat cahaya akal dalam pencarian Al-Haq. Ahl tarîqah atau ahl al-
bâtin berpendapat, matahari ibarat sinar suci atau cahaya Al-Haqq
dalam pencarian-Nya oleh ahl al-haqiqah, ahl bâtin al-bâtin dan khâs
al-khâs.55
Seseorang yang tidak diberi cahaya oleh Allah maka dia
tidak mempunyai cahaya sedikitpun. Dalam Al-Qurân dinyatakan,
و م ن ل يج ع ل الله ل ه ن و را ف م ا ل ه م ن ن و ر Barang siapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka
dia tidak mempunyai cahaya sedikitpun. (QS al-Nûr/24: 40)
م ف ه و ع ل ى ن و ر م ن رب ه لا ر ه ل لا س أ ف م ن ش ر ح الله ص د Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah
untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari
Tuhannya (sama dengan) orang yag hatinya membatu? (QS al-
Zumar/39: 22)
Sharî’ah ilahi dan ajaran nabi adalah satu substansi yang
mengandung sharî’ah, tarîqah, dah haqîqah. Nama-nama tersebut
dapat diumpamakan dengan berbagai macam istilah. Akal, alam, dan
cahaya adalah satu substansi yang ada pada manusia besar.
Sebagaimana hadis,
أو ل ما خلق الله نورى. أو ل ما خلق الله القلم. أو ل ما خلق الله العقل. أو ل ما خلق الله روحي
Yang pertama diciptakan oleh Allah SWT dalah akal. Yang
pertama diciptakan oleh Allah SWT adalah cahayaku. Yang
pertama diciptakan oleh Allah SWT adalah pena. Yang
pertama diciptakan oleh Allah SWT adalah rohku.
54 Lihat QS al-An’âm/6: 76-78
55 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 359-360
138 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Sedangkan fuâd, qalb, dan sadr56 adalah satu substansi yang
ada pada manusia kecil.57
Dalam Al-Qurân dinyatakan:
م ا ك ذ ب ال ف ؤ اد م ا ر أ ىHatinya tidak mendustakaan apa yang telah dilihatnya. (QS al-
Najm/ 53:11)
5٨ال م ي ع ل ى ق ل ب ك ل ت كو ن م ن ال م ن ذ ر ي ن ن ز ل ب ه الرو ح Dia dibawa turun oleh ar-Roh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara
orang-orang yang member peringatan. (QS Al-Shu’arâ/26 :
193-194)
ر ك و و ض ع ن ا ع ن ك و ز ر ك ر ح ل ك ص د أ ل ن ش
Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?, dan
Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu. (QS al-
Sharh/94: 1-2)
Dengan demikian maka Sharî’ah, tarîqah, dan haqîhah adalah
jalan lurus yang harus diikuti. Dalam Al-Qurân dinyatakan, ت ق ي ما ف اتب ع و ه و ل ت تب ع وا السب ل ف ت ف رق ع ن س ب ي ل ه ذ ال ك ر اط ى م س ه ذ ا ص
و صاب ك م ب ه ل ع لك م ت ت ق و ن
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) dalah jalan-Ku yang
lurus, maka iktuitlah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-
56 Sadr sebagai kata benda tunggal berarti “dada”. Bentuk jamaknya adalah
Sûdûr. Mengingat dada salah satu bagian depan tubuh, maka kata sadr juga
diartikan dengan “bagian depan” atau “muka”. Contohnya, sadr al-fatâh (payudara
seorang gadis) sadr al-majlis (bagian depan majlis), sadr al-kitâb (bagian awal buku),
dan sadr al-kalâm (permulaan ucapan). Dalam QS Tâhâ/20: 25 dinyatakan qâla rabbi ishrah lî sadrî (Dia ‘Musa’ berkata, Ya Rabbku, lapangkanlah dadaku) Dalam QS al-
‘Âdiyât/100: 10 dinyatakan “wa hussila mâ fî al-sudûr” (Dan apa yang tersimpan di
dalam dada dilahirkan?)Dalam QS al-Hajj/22:46, wa lâkin ta’ma’mâ al-qulûb al-tî fî
al-sudûr (Tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada). Lihat, Al-Râghîb al-
Asfahânî, Kamus Al-Qurân …, jilid ke-2, h. 446.
57 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 346. Ibn ‘Arabi secara khusus menjelaskan
manusia sebagai alam kecil dalam karyanya al-Tadbîrât al-Ilâhiyyah fî Islâh al-Mamlakah al-Insâniyyah. Lihat, Muhyî al-Dîn Ibn ‘Arabî,’Unafâ Mugrib fî Ma’rifah Khatm al-Awliyâ wa Shams al-Magrib, (Shirkah al-Quds, 2016 M/1437 H), cet. ke-1,
h. 55
58 Hanya ditulis نزل به الروح المي على قلبك
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 139
jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan
kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
agar kamu bertakwa. (QS al-An’âm/6: 153)
Jalan lurus adalah jalan yang yang dipakai para nabi. Namun
banyak orang tidak mengerti tentang jalan lurus tersebut karena
ketidaktahuan dan keawaman mereka. Ini sesuai dengan Al-Qurân, فا ف ط ر ت الله الت ف ط ر الناس ع ل ي ه ا ل ت ب د ي ل لخ ل ق ه ك ل لد ي ن ح ن ي ف أ ق م و ج
ث ر الناس ل ي ع ل م ون الله ذل ك الد ي ن ال ق ي م و ل ك ن أ ك Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. (QS al-Rûm/30: 30)
Menurut Âmulî, maksud firman Allah ‘kebanyakan mereka
tidak mengetahui’ adalah ‘mereka tidak mengetahui sharî’ah,
tarîqah, dan haqîhah, tidak mengetahui agama yang lurus (al-dîn al-
qayyim), dan tidak mengetahui jalan yang lurus (al-sirât al-
mustaqîm).59
Manusia, baik yang khawwâs, ‘awâm, dan khawwâs al-
khawwâs pastilah menjalani tahapan awal, pertengahan, dan akhir.
Tahapan awal adalah syariat Tuhan dan ajaran nabi yang dialami
oleh ‘awâm. Tahapan pertengahan adalah tarîqah yang dialami oleh
khawwah, dan tahapan akhir adalah haqîhah yang dialami oleh
khawwâsh al-khawwâs . Namun demikian, ketiga proses tersebut
sesungguhnya adalah satu substansi;60
Hal ini sesuai dengan isyarat
Al-Qurân,
ة و ل ك ن د ن ه اجا و ل و ش اء الله لج ع ل ك م أ مة و اح ر ع ة و م ل ك ل ج ع ل ن ا م ن ك م ش عا ف ي ن ب ؤ ك م ب ا ي ع ك م ج ي ر ات ا ل الله م ر ج ت ب ق وا الخ ل و ك م ف م ا ء اتىك م ف اس ل ي ي
ف ي ه ت ت ل ف و ن Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan
jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu
59 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 348
60 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 350-351
140 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji
kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu
terhdapa apa yang dahulu kamu perselisihkan. (QS al-
Mâidah/5: 48)
Lebih dari itu, rahasia wujud ada pada tiga tahapan tersebut.
Seperti sesuatu yang dilipat tiga atau seperti sesuatu yang satu yang
mengharuskan adanya sesuatu yang banyak. Seperti pengetahuan (al-
‘ilm), yang mengetahui (al-‘âlim), dan yang diketahui (al-ma’lûm).
Atau seperti satu yang mengandung tiga unsur. Contohnya ungkapan
eksistensi satu zat, eksistensi satu tuhan, dan eksistensi satu tuhan
pencipta; ungkapan kepemilikan (malak), kerajaan (malakût), dan
keperkasaan (jabarût); ungkapan alam akal (‘âlam al-‘uqûl), alam
jiwa (‘âlam al-nufûs), dan alam indra (‘âlam al-hiss), dan lainnya.61
Tidak boleh mengingkari perkataan, keadaan, dan perbuatan
nabi dan tidak boleh pula mengingkari Sharî’ah, tarîqah, dan haqîhah
karena semua itu tahapan yang dilalui para nabi.62
. Menurut Âmulî,
para ahli tahqiq menilai seorang syaikh63
adalah manusia sempurna
yang paham sharî’ah, tarîqah, dan haqîhah secara sempurna sehingga
mengetahui penyakit dan obat yang ada pada setiapnya.64
Sharî’ah
ibarat kulit (qishr) yang menjaga ilmu bathin dari kerusakan, tarîqah
ibarat isi (lubb), dan haqîhah ibarat isinya isi (lub al-lubb). Isi/lubb
adalah akal yang disinari cahaya ilahi yang bersih dari hayalan dan
imajinasi. Isinya isi/lub al-lubb adalah materi cahaya ilahi yang
61 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 352
62 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 352
63 Istilah syaikh dalam bahasa Arab adalah gelar kehormatan yang sejak
zaman pra-Islam hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki kualitas
istimewa. Makna yang terkadang dalam konsep tersebut mencakup beberapa
ungkapan dan ekspresi, dalam bahasa Inggris digunakan untuk menunjuk pengertian
“pemimpin”, “kepala kaum”, “yang terhormat”, “yang dituakan”, “pemuka
masyarakat”, dan juga “penasihat”. Lihat, John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, Januari 2001/Syawwal 1421), cet. ke-1, jilid
ke-5, h. 286
64 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr...., h. 353
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 141
dengannya akal menjadi kuat dan bersih dari hayalan dan imaginasi
sehingga mencapai pengetahuan tinggi tentang bagaimana hati
tertutup dengan pengetahuan visual. Mereka yang sampai pada posisi
ini adalah mereka sejak awal ditetapkan sebagai orang-orang baik.65
Dan ini sesuai dengan Al-Qurân,
ا ن الذ ي ن س ب ق ت ل م م نا ال س نى أ ولئ ك ع ن ه ا م ب ع د و ن Sungguh, sejak dahulu bagi orang-orang yang telah ada
(ketetapan) yang baik dari Kami, mereka itu akan dijauhkan
(dari neraka) (QS al-Anbiyâ/21: 11)
c. Ahl al-Haqîqah sebagai Tahapan Tertinggi
Walaupun dijelaksan bahwa sharî’ah, tarîqah, dan haqîhah
adalah suatu yang sama, namun sesunggguhnya haqîhah adalah
tahapan yang paling tinggi dan mulia.66
Karena Sharî’ah adalah
tahapan awal, tarîqah tahapan pertengahan, dan haqîhah tahapan
akhir. Pertengahan tidak akan terpenuhi tanpa kesempurnaan awal
dan akhir tidak akan terpenuhi tanpa tahapan pertengahan. Tidak
benar jika tahapan tertinggi dicapai tanpa melalui tahapan awal dan
pertengahan. Oleh karena itu sharî’ah tetap benar walaupun belum
mencapai tarîqah namun tarîqah tidak benar sebelum mencapai
sharî’ah, dan seterusnya. Namun yang sempurna dan
menyempurnakan adalah semua tahapan tersebut.67
Kesemua tahapan
itu hanya dimiliki oleh umat pilihan nabi Muhammad yaitu ahl Al-
Haqiqah.68
65 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 353
66 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 354. Menurut al-Râzî, ashâb al-haqîhah adalah bagian dari sejumlah tahapan tasawuf. Ashâb al-haqîhah adalah mereka yang
tidak menyibukkan diri dengan ibadah sunah ketika sesuatu yang wajib dilakukan
tidak ada melainkan melakukan pembebasan diri dari segala yang berkaitan dengan
fisik serta bersungguh-sungguh agar jiwanya tidak sunyi dari menyebut Allah SWT.
Mereka adalah sebaik-baik kelompok manusia. Lihat, Fakhr al-Dîn al-Râzî, I’tiqâdât Firaq al-Muslimîn wa al-Mushrikîn, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1972
M/1402 H), h .73
67 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 354
68 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 354
142 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Para teolog, filosof, dan penganut tarikat bukan termasuk
golongan sempurna yang dapat menyempurnakan karena mereka
mereka hanya khusus pada satu tahapan saja. Mereka hanya berjalan
pada jalan-Nya. Dalam Al-Qurân dinyatakan:
ل ق س ط ل ا له ا ل ش ه د الله أ نه ل ا له ا ل ه و و ال م ل ئ ك ة و أ و ل و ا ال ع ل م قئ ما ب ه و ال ع ز ي ز ال ك ي م
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan lelainkan Dia
(yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para
Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang
demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Âli
‘Imrân/3: 18)
خ ون ف ال ع ل م ي ق و ل و ن ء ام نا ب ه ك ل م ن ع ن د و م ا ي ع ل م ت و ي ل ه ا ل الله و الر س ر ب ن ا و م ا ي ذكر ا ل أ و ل و ا ال ل بب
Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah.
Dan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata: “Kami
beiman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS Âli
‘Imrân/3: 7)
Orang-orang yang berakal/ûlûl al-albâb adalah para hamba
Allah yang teguh dan stabil dalam mengenal hakikat. Hanya
merekalah yang bisa mengambil pelajaran dari kebesaran-Nya,
lainnya tidak. 69
Ahl al-haqîhah menjadi kelompok teratas dan termulia karena
mereka ada di kiblat nabi Muhammad yang berada di antara timur
dan barat70
. Secara zahir kiblat nabi Muhammad ada di tengah antara
kiblat nabi Musa dan nabi Isa sedangkan secara batin, timur ibarat
69 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 355
,Lihat, 70 Âmulî قؤل النبى صلى الله عليه و سلم: قبلت ما بي المشرق و المغرب 70
Jâmi’ al-Asrâr…, h. 355
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 143
alam rohani dan barat ibarat alam jasmani. Di antara keduanya
adalah barzakh/pemisah, yaitu maqam nabi Muhammad SAW.71
Kesempurnaan kedatangan nabi Musa beserta pengikutnya
ibarat hakikat alam jasmani, kesempurnaan kedatangan nabi Isa
beserta pengikutnya ibarat hakikat alam rohani, dan kesempurnaan
kedatangan nabi Muhammad beserta pengikutnya ibarat hakikat
keduanya72
atau gabungan keduanya.73
Istilah “gabungan” sama
dengan kata “Al-Quran” mengingat “Al-Quran” secara bahasa berarti
“gabungan/al-jam’” Itulah mengapa nabi Muhammad diberikan
jawâmi’ al-kalim, diistilahkan dengan bukan timur dan bukan barat74
,
dan digelari sebagai umat pertengahan untuk menjadi saksi bagi
manusia.75
Pemahaman jasmani, timur adalah tempat matahari terbit yang
menyebarkan sinar (ketimuran)nya melalui alam materi agar menjadi
nampak dan terang. Alam rohani ibarat tempat terbit “matahari
sesungguhnya” yang menyinari roh pada alam materi yang kotor
dengan dosa. Hal ini dinyatakan dalam Al-Qurân,
ر ق ت ال ر ض ب ن و ر ر ب ا و ا ش Dan bumi (padang mahsyar) menjadi terang benderang dengan
cahaya (keadilan) Tuhannya…” (QS al-Zumar/39: 69)
71 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 356
72 Dalam ungkapan lain, nabi Musa datang menyempurnakan semua alam
zahir dan sebagian alam batin sebagaimana diatur dalam Taurat. Nabi Isa datang
menyempurnakan semua alam zahir dan sebagian alam batin sebagaimana diatur
dalam Injil. Sedangkan nabi Muhammad SAW datang menyempurnakan kedua
ujungnya dan menggabungkan keduanya. Sebagaimana sabdanya, “kiblatku adalah
antara timur dan barat. Lihat, Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 357
73 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 357
74 Ungkapan bukan timur bukan barat bersumber dari firman-Nya, …lâ sharqiyyata wa lâ gharbiyyah… (QS Al-Nûr/24:35). Maksudnya adalah Engkau
Muhammad bukan dari alam nyata atau alam materi yang dikenal dengan barat dan
bukan juga dari alam roh atau immateri yang dikenal dengan timur melainkan dari
alam gabungan keduanya. Sesungguhnya Al-Qurân juga disebut gabungan karena
secara bahasa al-quru berarti al-jam’u. Atas dasar itulah Rasul bersabda, “aku adalah
Al-Qurân yang berbicara“, ”kiblatku antara timur dan barat” Lihat, Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 357
75 Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat
pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu …” (QS Al-Baqarah/2: 143)
144 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Sebagai tempat terbenamnya matahari, Barat diibaratkan
sebagai tempat bersembunyi dosa-dosa karena sinar-sinar roh
terbenam di alam materi sebagimana terbenamnya matahari. Itulah
sebabnya Allah SWT menciptakan pergantian malam dan siang untuk
diketahui oleh ûlûl al-bâb.76
Dalam Al-Qurân dinyatakan,
يت ل و ل ال ل ب اب ف الي ل و الن ه ار ل ت لا ا ن ف خ ل ق السموت و ال ر ض و اخ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi orang yang berakal. (QS Âli ‘Imrân/3: 190)
Perumpamaan ahl sharî’ah yang mengenal al-Haq
menggunakan kekuatan cahaya indra ibarat seseorang yang mencari
sesuatu di malam gelap-gulita berbekal kekuatan cahaya bintang;
pasti tidak ditemukan. Perumpamaan ahl tarîqah yang mengenal al-
Haq menggunakan kekuatan cahaya akal ibarat seseorang yang
mencari sesuatu di malam gelap-gulita berbekal kekuatan cahaya
bulan; pasti tidak ditemukan. Perumpamaan ahl al-haqîhah yang
mengenal al-Haq menggunakan kekuatan cahaya kesucian (nûr al-
quds) ibarat seseorang yang menyaksikan matahari berbekal sinar
matahari; maka dia tidak menyaksikan selain matahari itu sendiri
tidak juga menyaksikan sinarnya yang menyebar ke seluruh jagat
raya.77
Perumpamaan semacam ini dinyatakan dalam Al-Qurân,
و ت ل ك ال م ثل ن ض ر ب ه ا ل لناس و م ا ي ع ق ل ه ا ا ل ال عل م و ن Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk
manusia; dan tidak ada yang memahaminya kecuali mereka
yang berilmu. (QS al-‘Ankabût/29: 43)
Perumpamaan yang dibuat untuk manusia yang hanya
dipahami orang berilmu dinyatakan dalam Al-Quran,
76 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 356-357
77 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 362
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 145
ت و ى ع ل ى ال ع ر ش و س خر ن ه ا ث اس الله الذ ي ر ف ع السموات ب غ ي ع م د ت ر و ل ب ر ال م ر ي ف ص يت ل ع لك م الشم س و ال ق م ر ك ل يج ر ى ل ج ل مس مى ي د ال
ب ل ق اء ر ب ك م ت و ق ن و ن )(Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang
kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia
menundukkan matahari dan bulan; masing-masing beredar
menurut waktu yang telah ditentukan. Dia mengatur urusan
(makhluk-Nya), dan menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya)
agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu. (QS al-
Ra’d/13: 2)
Menurut Âmulî, maksud pertemuan dengan Tuhan pada ayat
tersebut adalah penampakkan-Nya dalam kosmos dan jiwa (al-
afâqiyyah wa al-anfusiyyah) sebagaimana dinyatakan dalam Al-
Quran,
ه م ح ت ي ت ب ي ل م أ نه ال ق أ و ل ي ك ف س ن ر ي ه م ء ايت ن ا ف ال ف اق و ف أ ن ف س ب ر ب ك أ نه ع ل ى ك ل ش ي ئ ش ه ي د )(
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka
sendiri, sehigga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu
adalah benar. Cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu
menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS Fussilat/41: 53)
ء م ي ط )( ا ل ا ن ه م ف م ر ي ة م ن ل ق اء ر ب م ا ل ا نه ب ك ل ش ي Ingatlah, sesungguhnya mereka dalam keraguan tentang
pertemuan dengan Tuham mereka. Ingatlah, sesungguhnya Dia
Maha Meliputi segala sesuatu. (QS Fussilat/41: 54)
Tidak ada alasan ragu terhadap pertemuan denga-Nya karena
Dia adalah Maha Meliputi segala sesuatu. Menurut Âmulî,
pertemuan dan penyaksian terhadap Al-Muhît (Maha Meliputi)
pastilah terjadi sebab ada yang diliputi-Nya (al-muhât). Yang
Meliputi dengan yang diliputi tidak mungkit terpisahkan.78
78 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 363
146 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Hendaklah kita berakhlak dengan akhlak-Nya dan mencintai-Nya
untuk bisa “seperti-Nya”. sebagaimana dijelaskan dalam hadis dan
hadis qudsi,
٧9تلقوا بأخلاق الله تعالBerakhlaklah dengan akhlak Allah SWT
٨0يا عبدى أحببنى أجعلك مثلىWahai hamaba-Ku, cintailah Aku maka Aku jadikan kamu
seperti-Ku
Jika sudah pada tahapan semacam ini maka siapapun yang
melihat dirinya maka dia seperti melihat-Nya. Siapapun yang
melakukan sesuatu maka sesungguhnya bukanlah dia yang
melakukannya melainkan Dia Yang Maha Melakukan yang
malakukannya. Sebagaimna dijelaskan dalam hadis dan Al-Quran,
٨١من رآنى فقد رأى القSiapa yang melihatku maka dia telah melihat Al-Haq
و م ا ر مي ت ا ذ ر م ي ت و لك ن الله ر م ىDan kamu tidak melempar saat kamu melempar akan tetapi
Allah SWT yang melempar.
Keadaan semacam itu disebut dengan tahapan satu atau
tahapan fanâ: yaitu fanâ yang mengetahui pada Yang Diketahui (fanâ
al-‘ârif fî al-ma’rûf), fanâ yang menyaksikan pada Yang Disaksikan,
(fanâ al-Shâhid fî al-mashûd) atau fanâ hamba dengan Tuhan (fanâ
al’abd fî al-rabb). Fanâ semacam ini hanya diraih dengan minadakan
ungkapan keduaan (raf’ al-itsnayniyyah al-i’tibâriyyah) atau
menghilangkan yang banyak pada makhluk (izâlah al-katsrah al-
khalqiyyah) sehingga menjadi sangat jelas firman-Nya, “semua
sesuatu binasa kecuali wajah-Ku” dan “kemana saja kamu
menghadapkan pandanganmu maka nampak wajah Allah”. Tahapan
semacam ini dicapai oleh al-Hallâj dengan ucapannya, “aku adalah
79 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 363
80 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 363
81 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 364
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 147
Al-Haq” dan oleh Abû Yazîd al-Bistâmî, “maha suci aku; alangkah
agungnya keadaanku”82
Tahapan tersebut sebagai tahapan tertinggi sebab tidak semua
yang menempuh perjalanan akan sampai, tidak semua yang sampai
akan berhasil, tidak semua yang berhasil akan menyampaikan
keberhasilannya, tidak semua yang menyampaikan keberhasilannya
akan merincinya, tidak semua yang merincinya akan
menyampaikannya, dan tidak semua yang menyampaikan rinciannya
akan membuat yang lain menyampaikannya kembali.
B. Kiamat Kosmik
1. Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Sûriyyah
Pengertian al-qiyâmah al-sugrâ al-sûriyyah (kiamat visual
kecil) di sini adalah hancurnya alam semesta dan isinya. Kehancuran
tersebut sebagai proses kembalinya alam semesta menuju materi
semula.83
Pemahaman seperti ini sesuai dengan firman Allah SWT,
ر ت )(و ا ذ ا و ا ذ ا الج ب ال س ي ت )(و ا ذ ا ل ع ش ار ع ط ل ت )(و ا ذ ا ال و ح و ش ح ش ر ت )( و ا ذ ا الن ف و س ز و ج ت )( ال ب ح ار س ج
Dan apabila gunung-gunung dihacurkan (3) Dan apabila unta-
unta yang bunting ditinggalkan (tidak terurus) (4) Dan apabila
binatang-binatang liar dikumpulkan (5) Dan apabila lautan
dipanaskan (6) Dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan
tubuh) (7) (QS al-Takwîr/81: 3-7)
Selain sebagai proses kembalinya alam semesta menuju materi
semula, Âmulî juga mengutip pendapat lain yang menyatakan ayat
tersebut sebagai periode kemunculan Imam Mahdi. Menurutnya,
Mahdi muncul pada tahapan ini sebagai tanda selesainya periode
kehidupan84
duniawi. Mahdi adalah khalifatullah yang dengan
82 Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 364-365
83 Âmulî, Asrâr al-Sharîah…, h. 130
84 Dalam menguraikan kehidupan, Âmulî sering menukil pendapat ahl al-tahqîq yang menjelaskan kehidupan diistilahkan dengan “mata Allâh” dan “mata
alam”. “Mata Allah” adalah manusia sempurna yang dibenarkan dengan adanya
kehidupan pembatas besar (al-barzakhiyyah al-kubrâ) karena Allah SWT melihat
alam dengan “mata-Nya”.Dalam hadits qudsi dinyatakan, “seandainya bukan karena
148 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
keberadaanya wilayah, ketetapan hukum dan pelaksanaan ajaran
semua agama menjadi selesai. Dengan demikian, alam kembali
seperti saat belum ada.85
Dalam Al-Qurân dinyatakan,
ي و ز ع و ن م ن ي ك ذ ب ب ئ ايت ن ا ف ه م و ي و م ن ش ر م ن ك ل أ مة ف و جاDan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami mengumpulkan dari
setiap umat segolongan orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalam kelompok-kelompok)
(QS Al-Naml/27: 83)
Âmulî memahami ayat tersebut bukan sebagai kebangkitan
menyeluruh. Menurutnya, jika dipahami sebagai kebangkitan
menyeluruh tentulah tidak digunakan kata faujân yang berarti
sekelompok tetapi digunakan istilah lain sebagaimana dinyatakan
dalam Al-Qurân,
ن ه م أ ح داو ي و م ن س ي الج ب ال و ت ر ز ة و ح ش ر ن م ف ل م ن غ اد ر م ر ى ال ر ض ب Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami perjalankan gunung-
gunung dan engkau akan melihat bumi itu rata dan Kami
kumpulkan mereka (seluruh) manusia, dan tidak Kami
tinggalkan seorangpun dari mereka. (QS, Al-Kahf/18: 47)
Mengacu pada ayat di atas, peristiwa seperti itu dinamakan
kebangkitan parsial bukan kebangkitan global karena kata man
(siapa) menjelaskan arti sebagian (li al-tab’îd). Kiamat parsial
kamu (Muhammad) tentu Aku tidak menciptakan alam (al-aflâk). Dalam QS al-
Anbiyâ 21: 107 dinyatakan, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad)
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” Dalam istilah lain dijelaskan
mata kehidupan adalah bagian dalam nama kehidupan. Seseorang yang dalam
kehidupannya meyakini itu maka ia akan minum dari sumber mata air kehidupan
sehingga ia “tidak mati” selamanya karena ia hidup bersama kehidupan al-Haq.
Semua yang hidup di alam. Semua yang hidup di alam adalah hidup bersama
manusia sempurna ini karena kehidupan dia bersama kehidupan al-Haq. Dalam QS
al-Anbiyâ/21: 30 dinyatakan, “Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal
dari air” Dalam QS 11:7, “’Arsh-Nya di atas air” Dalam QS 76: 6, “(yaitu) mata air
(dalam surga) yang diminum oleh hamba-hamba Allah dan mereka dapat
memancarkannya dengan sebai-baiknya”. Lihat, Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 381
85 Âmulî, Asrâr al-Sharîah…, h. 130
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 149
tersebut oleh sebagian Shî’ah Imâmiyyah disebut dengan masa
kembali (raj’ah).86
Dari paparan Âmulî perihal al-qiyâmah al-sugrâ al-sûriyyah
terlihat bahwa QS al-Takwîr/81: 3-7 dipahami sebagai proses kiamat
parsial, bukan kiamat global. Selain itu, ia juga belum berani
berpendapat sendiri bahwa Mahdi datang saat proses kiamat parsial.
2. Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Sûriyyah
Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Sûriyyah (Kiamat Visual Menengah)
adalah kembalinya alam kepada bentuk semula. Alam materi seperti
orbit, semua yang berbentuk, semua yang terlahirkan dan lain
sebagainya akan kembali ke bentuk semula.
Âmulî menguatkan pendapat tersebut dengan menerangkan
ayat yang sama pada saat menjelaskan al-qiyâmah al-sugrâ al-
sûriyyah, yaitu QS Al-Takwîr87
dan menambahkannya dengan QS al-
Anbiyâ/21: 104,
ج ل ل ل ك ت ب ك م ا ب د أن أ ول خ ل ق ن ع ي د ه و ع دا ي و م ن ط و ى السم اء ك ط ي الس ن ا ان ك نا ف اع ل ي ع ل ي
(Ingatlah) pada ari langit Kami gulung seperti menggulung
lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai
penciptaan pertama, begitulan Kami akan mengulanginya lagi.
(Suatu) janji yang pasti Kami tepati; sungguh, Kami akan
melaksanakannya. (QS al-Anbiyâ/21: 104)
Âmulî juga membenarkan pendapat bahwa kiamat kecil adalah
pergantian alam visual material menjadi alam barzakh tempat semua
86 Âmulî, Asrâr al-Sharîah…, h. 130-131
87 Apabila matahari digulung(1) Dan apabila bitang-bintang berjatuhan (2)
Dan apabila gunung-gunung dihacurkan(3) Dan apabila unta-unta yang bunting
ditinggalkan (tidak terurus)(4) Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan(5)
Dan apabila lautan dipanaskan(6) Dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan
tubuh)(7) Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya(8)
Karena dosa apakah dia dibunuh(9) Dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan
manusia dibuka)(10) Dan apabila langit dilenyapkan(11) Dan apabila neraka jahim
dinyalakan(12) Dan apabila surga didekatkan(13) (QS Al-Takwîr/81: 1-13)
150 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
orang menerima nikmat atau siska yang biasa dikenal dengan azab
kubur88
dan nikmat kubur.89
Sebagaimana disabdakan oleh nabi,
القب اما روضة من رياض الجنة او حفرة من حفر النيان
Kubur bisa berbentuk taman surga atau hamparan neraka.
Dalam Al-Qurân dinyatakan,
ب ل ع له م ي ر ج ع و ن و ل ن ذ ي ق ن ه م م ن ال ع ذ اب ال د نى د و ن ال ع ذ اب ال ك
Dan pasti Kami timpahkan kepada mereka sebagian siksa yang
dekat90
(di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat);
agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS al-Sajadah/32
:21)
ا ف ي م ا ت ر ك ت ك لا ا ن ه ا ك ل م ة ه و ق ائ ل ه ا و م ن و ر ائ ه م ب ر ز خ ل ع ل ى أ ع م ل ص ال
ع ث و ن ا ل ي و م ي ب Agar aku dapat berbuat kebajikan yang telah aku tinggalkan.
Sekali-kali tidak! Sungguh itu adalah dalih yang diucapkannya
saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai pada hari
mereka dibangkitkan. (QS Al-Mu’minûn/23: 100)
3. Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Sûriyyah
Kiamat besar diumpamakan sebagai kembalinya alam-alam
rohani dari sejumlah akal dan sejumlah jiwa menuju esensi pertama.
Sebagaimana sabda nabi,
88 Keberadaan azab kubur adalah benar. Menurut Abu Sa’îd al-Khudzrî dan
‘Abdullâh bin Mas’ûd ma’îshatan dankan (kehidupan sempit) adalah azab kubur.
Dalam hadits riwayat Abu Hurairah, ma’îsyatan dlankan adalah azab orang kafir di
dalam kubur yang berupa sembilan puluh sembilan naga yang setiap naga terdapat
sembilan puluh sembilan ular dan setiap ular memiliki sembilan kepala yang
senantiasa menyengatnya hingga hari kiamat dan dibangkitkan dalam keadaan buta.
Ibrâhim Muhammad al-Jamal, Al-hayât ba’d al-Maut, (Bairût: Dâr al-Kitâb al-
‘Arabî, t.t.), h. 111
89 Âmulî, Asrâr al-Sharîah…, h. 131
90 Menurut Al-Zamakhsharî, azab yang dekat ( al-‘adzâb al-adnâ) adalah
siksa di dunia dan siksa kubur. Al-‘adzâb al-akbar (siksa yang lebih besar) adalah
siksa akhirat. Lihat, Al-Zamakhsharî, Tafsîr al-Kasshâf, jilid 3, h. 497
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 151
تعال جوهرة فنظر اليها فذابت من هيبته فصارت نصفها اول ما خلق الله 9١ماء و نصفها نرا فخلق الله تعال من الماء الرواح و من النار الجساد
Pertama yang diciptakan Allah adalah esensi (jauhar92)
kemudian Allah SWT menatap esensi maka karena keagungan-
Nya esensi itu melumer menjadi dua, setengah menjadi air dan
setengah lainnya menjadi api. Lalu dari air Allah SWT
menciptakan sejumlah roh dan dari api Allah SWT
menciptakan jasad.
Para ahli kashf dan dzauq mengumpamakan kiamat ini dengan
isi alam materi (mâddah) yang dibuka/diperlihatkan oleh Allah SWT.
Mereka terkadang menyebutnya partikel abu (habâ) dan terkadang
menyebutnya elemen besar (al-‘unshûr al-a’zam). Dalam Al-Qurân
dinyatakan,
أ ن ا ول خ ل ق ن ع ي د ه و ع دا ل لل ك ت ب ك م ا ب د ج ي و م ن ط و ى السم اء ك ط ي الس ن ا ا ن ك نا فع ل ي ع ل ي
Kemudian dari esensi dan materi tersebut terwujud
gambaran akhirat dalam bentuk yang tidak parsial yang
tidak akan habis dan tidak akan berubah selamanya. (QS
Al-Anbiyâ/21: 104)
Selanjutnya adalah mewujudkan visualisasi akhirat dari materi
tersebut dalam bentuk visual utuh yang tidak akan beruba selamanya;
91 Âmulî, Asrâr al-Sharîah…, h. 131
92 Mutakalim berbeda pendapat dalam mendefinisikan jauhar. Al-Nashara
berpendapat jauhar adalah sesuatu yang dapat berdiri sendiri. Dengan demikian
setiap yang berdiri sendiri diseubt jauhar dan setiap jauhar itu berdiri sendiri.
Pendapat lain menjelaskan jauhar adalah segala sesuatu yang eksistensinya
mengandung ‘arad (hal-hal yang berisfat temporal). Dengan demikian jauhar adalah jauhar itu sendiri dan dia belum bisa dikatakan sebagai jauhar sebelum
keberadaannya. Pendapat ini dilontarkan oleh al-Juba’i. Menurut al-Shalihi, jauhar adalah sesuatu yang mengandung ‘aradl dan bisa eksis tanpa Allah harus
menciptakan ‘aradl di dalamnya dan tidak harus menjadi tempat ‘aradl, meskipun ia
dapan mengandung ‘arad. Lihat. Abû Hasan ‘Isma’il al-As’arî, Prinsip-prinsip Dasan Aliran Theologi Islam. Penerjemah: Rosihon Anwar & Taufik Rahman, (Bandung:
CV Pustaka Setia, Oktober 1999/Rajab 1420), jilid ke2, h. 49-50
152 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
khâlidîna fîhâ abadâ. Itu diibaratkan seperti wax93 (bahan pembuat
lilin) yang nampak dalam bentuk berbeda-beda dan bermacam-macam
seperti batu batu dan lain sebagainya. Pada sisi lain adalah itu ibarat
Al-Haq, malaikat, atau seluruh energy alam yang kemudian semuanya
dihilangkan lalu dikembalikan kepada keadaan saat sebelum ada lalu
dinampakan dalam bentuk alam akhirat berupa surga-surga dan
neraka-neraka. Terdapat sejumlah ayat Al-Qurân yang menjelaskan
hal itu. Misalnya kebangkitan manusia dengan bentuk sebelum
kematiannya.94
Sebagaimana QS al-Qiyâmah/75: 4,
ب لى ق اد ر ي ن ع ل ى ا ن ن س و ي ب ن ان ه
(Bahkan) Kami mampu menyusun (kembali) jari jemarinya
dengan sempurna
Argumen logika menyatakan bahwa yang ada tidak bisa
menjadi tidak ada dan yang tidak pernah ada tidak akan menjadi ada.
Semua yang ada kembali ke bentuk sebelumnya sesuai pengetahuan
dan perbuatan yang semuanya abadi di surga atau di neraka. Wa
allâhu a’lam.
4. Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Ma’nawiyyah
Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Ma’nawiyyah (Kiamat Abstrak Kecil)
adalah ibarat kembalinya seluruh jiwa yang terpencar keberadaannya
menuju satu jiwa yang utuh. Dalam Al-Qurân dinyatakan,
ية )۲۷) يا ا ي ت ه ا الن ف س ال م ط م ئ نة ي ة م ر ض ع ى ا ل ر ب ك ر اض ( ۲۸( ا ر ج (۳۰(و ا خ ل ى ج نت )۲۹ف اد خ ل ى ف ع ب اد ى )
Wahai jiwa yang tenang (27) kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang rida dan diridai -Nya (28) Maka masuklah ke
dalam golongan hamba-hamba-Ku (29) dan masuklah ke dalam
surga-Ku (30 ) QS al-Fajr/89: 27-30)
93 Wax adalah materi lembut dan lengket yang berwarna kuning yang
dihasilkan dari lebah untuk membuat sel sarangnya. Setelah menjalani suatu proses,
materi itu bisa dibuat menjadi lilin, bentuk, atau lainnya. Lihat AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford university Press, 1995),
edisi ke-1, h 1346
94 Âmulî, Asrâr al-Sharîah…, h. 132
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 153
و ا ذا الن ف و س ز و ج ت Dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh) (QS al-Takwîr/81: 7)
Penyatuan jiwa adalah menghubungkan kembali jiwa-jiwa
parsial menjadi satu jiwa yang utuh seperti jiwa siti Hawa yang
berasal dari jiwa Adam as. Dalam Al-Qurân dinyatakan,
ن ه ا ة و خ ل ق م د يا ا ي ه ا الناس ات ق و ا ر بك م الذ ى خ ل ق ك م م ن ن ف س و اح را و ن س اء ز و ج ه ن ه م ا ر ج ال ك ث ي ... ا و ب ث م
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) dan (Allah)
menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya dan dari
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak… (QS al-Nisâ/4: 1)
Dengan mengutip syair95
yang ditulis Ibn ‘Arabi, Âmulî
mengilustrasikan Adam dan Hawa sebagai esensi dari ibu dan bapak.
Adam diibaratkan alam atas sedangkan Hawa alam bawah.
Maksud dari seluruh jiwa adalah jiwa langit, jiwa malaikat,
jiwa surga, jiwa barang tambang, jiwa hewan, dan jiwa manusia yang
merupakan jiwa paling mulia. Setiap jiwa tersebut terbagi menjadi
beberapa bagian. Jiwa manusia bervariasi. Ada jiwa yang bersifat
mengatur (imârah), jiwa yang bersifat mencela (lawwâmah), jiwa
yang bersifat memiliki inspirasi (mulhammah), dan jiwa yang bersifat
tenang (mutma’innah). Jiwa alam dan penghuninya bersifat terbebani
hukum Tuhan (mukallaf). Yang demikian itu dapat dipahami dari
segala sesuatu –kecuali roh dan jiwa- yang bertasbih memuji Allah.
Dengan demikian semuanya mukallaf karena diperintahkan bertasbih.
بء ارواح مطهرة # و امهات نفوس عنصرياتآان ابن 95 (aku adalah putra dari
para bapak yang suci rohnya (di atas) # dan dari para ibu seluruh jiwa pada semua
elemen (di bawah). Lihat, Asrar al-Sharî’ah, h. 133
154 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
5. Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Ma’nawiyyah
Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Ma’nawiyyah (Kiamat Abstrak
Menengah) diibaratkan dengan kembalinya semua roh yang
terpencar menuju satu roh besar. Semua roh yang kembali adalah
roh-roh yang memiliki ikatan dengan tubuh. Roh besar adalah roh
yang pertama diciptakan Allah SWT. Sebagaimana sabda nabi,
“pertama kali yang diciptakan Allah SWT adalah roh”96
Roh itulah
yang dimaksud dalam Al-Qurân,
د ي ن ى ف ق ع و ا ل ه سج ف إ ذ ا س وي ت ه و ن ف خ ت ف ي ه م ن ر و ح Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya dan
Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku97
ke dalamnya, maka
tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (QS al-Hijr/15:
29)
Kata “roh-Ku” berarti kepemilikan. Itu sama dengan ungkapan
lainnya; “hamba-Ku, rumah-Ku, bumi-Ku, dan langit-Ku”. Riwayat
lain menyatakan Allah SWT menciptakan roh-roh selama sekian
tahun. Penciptaan itu terjadi sebelum pencipataan jasad. Dalam satu
riwayat dinyatakan Allah SWT menciptakan roh nabi Muhammad
dan roh ‘Alî ibn Abî Tâlib ribuan tahun lamanya sebelum
menciptakan sesuatu. Roh adalah seperti pasukan yang direkrut.
Roh yang saling mengenal akan menyatu dan roh yang saling
mengingkari akan berselisih. 98
Keseluruhan alam adalah ibarat satu orang. Alam ibarat
manusia besar. Semua yang ada di dalamnya ibarat semua anggota
tubuh pada manusia. Oleh karena itu manusia disebut dengan alam
kecil yang semua anggota tubuhnya dan dayanya mendapat beban
syariat (mukallaf). Hal ini dinyatakan dalam Al-Qurân,
ي ر م ا ة ا ن الله س ي ع ب ص د خ ل ق ك م و ل ب ع ث ك م ا ل ك ن ف س و اح
96 Âmulî, Asrâr al-Sharîah…, h. 134
97 Dengan ditiupkan roh maka menjadi hidup. Kata roh disandarkan kepada
Allah SWT (roh-Ku) sebagai bentuk memuliakan Adam AS. Lihat. Wahbah al-
Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah…, jilid ke-14, h. 29
98 Âmulî, Asrâr al-Sharîah…, h. 134
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 155
Menciptakan dan membangkitkan kamu (bagi Allah) hanyalah
seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja
(mudah). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha
Melihat. (QS Luqmân/31: 28)
ث ر الناس ل ي ع ل م و ن ب ر م ن خ ل ق الناس و لك ن أ ك لخ ل ق السموت و ال ر ض أ ك
Sungguh, penciptaan langit dan bumi itu lebi besar daripada
penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. (QS Ghâfir/40:57)
Allah memerintahan kepada langit dan bumi i’tiyâ tau’an aw
karhan qalatâ ataynâ tâi’în99 (datanglah kamu berdua menurut
perintahu-Ku dengan patuh atau terpakasa Keduanya menjawab,
“kami datang dengan patuh”). Ini berarti langit dan bumi juga
terkena beban syariat.100
Dalam Al-Qurân dinyatakan,
ث ال ك م م ا ف ر ط ن ا ف و م ا م ن د اب ة ف ال ر ض و ل طئ ر ي ط ي ر ب ن ح ي ه ا ل ا م م ا م ال ك تب م ن ش ي ئ ث ا ل ر ب م ي ش ر و ن
Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-
burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan
semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada
sesuatu pun yang Kami luputan di dalam kitab, kemudian kepada
Tuhan mereka dikumpulkan. (QS al-An’âm/6: 38)
6. Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah
Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah (Kiamat Abstrak Besar)
diibaratkan dengan kembalinya seluruh akal kepada akal yang satu.
Sebagaimana diisyaratkan nabi,
أول ما خلق الله العقل فقال له اقبل فأقبل ث قال ادبر قأدبر فقال و عزتى و جلال ما خلقت خلقا أكرم على منك. بك اعطى و بك آخذ و بك
اثيب و بك اعاقب
99 QS Fussilat/41: 11
100 Âmulî, Asrâr al-Sharîah…, h. 134
156 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
"yang pertama diciptakan Allah adalah akal. Allah berfirman
kepada akal, “mendekatlah” lalu akal mendekat,
“aturlah!”kemudian akal mengaturnya selanjutnya Allah
berfirman “Demi kemulian dan keagungan-Ku, tidak Aku
ciptakan makhluk yang lebih mulia darimu. Sebab kamulah
Aku memberi dan mengambil; sebab kamulah aku mengganjar
dan menghukum.
Kembalinya atau naiknya seluruh akal kepada akal yang satu
dipahami dalam arti penjelasan ilmu pengetahuan (‘irfâniyyan)
karena itu terjadi pada kiamat kosmik visual. Maksudnya adalah akal
itu bermacam-macam. Kebanyakan filosof berpendapat Allah SWT
adalah Satu dari seluruh arah dan dari yang satu arah itu muncul satu
lainnya yaitu akal. Dari akal tersebut muncul akal lainnya dan jiwa
lainnya, dan gugusan bintang-bintang yang setiap bintang memiliki
satu akal dan satu jiwa. Yang demikian itu juga terjadi pada para
malaikat, jin, dan manusia. Dalam hal ini Âmulî lebih cenderung
mengikuti pendapat para ahli tahqiq yang menjelaskan bahwa semua
yang ada dipahami sesuai kemampuan akal yang boleh dinamakan
menggunakan pendekatan ilham, firasat, fitrah, wahyu, ilmu
pengetahuan, atau lainnya.101
Dengan demikian ada empat akal: akal sebagai esensi (‘aql
hayûlânî/essential intellect), akal sebagai sesuatu yang dibutuhkan
(‘aql bi al-malakah/acquired intellect), akal sebagai sesuatu yang
berbuat (‘aql bi al-fi’l/potential intellect), dan akal sebagai sesuatu
yang menyimpulkan (‘aql mustafâd/inferring intellect). Tingkatan
semacam itu adalah syarat antara kosmos dan jiwa yang semuanya
dipahami secara visual dan abstrak. Oleh karena itu harus ditetapkan
adanya visualisasi dan abstraksi kosmos. Dengan dasar ini, maka
segala yang tercermin pada manusia kecil hedaklah muncul pada diri
setiap manusia. Sebagaimana dibenarkan adanya kematian,
kehidupan, dan kebangkitan maka dibenarkan pada manusia besar
adanya kematian, kehidupan, dan kebangkita.102
Kematian ibarat
101 Âmulî, Asrâr al-Sharîah…, h. 135
102 Âmulî, Asrâr al-Sharîah…, h. 135. Lihat juga Âmulî ,Inner Secret…, h.
162
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 157
kehancuran, kehidupan ibarat konsturksi bangunan akhirat sedangkan
kebangkitan ibarat pertanggungjawaban/hisab. Nabi bersabda, “setiap
kalian adalah penjaga dan setiap penjaga bertanggungjawab terhadap
yang dijaga”103
. Dari sini dipahami kematian visual dan abstrak
wajib ada demi wujudnya kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam Al-
Qurân dinyatakan,
ر ك ب ك ل م ة م ن ه اس ي ح ع ي س ى اب ن ا ذ ق ال ت ال م لئ ك ة يا م ر ي ا ن الله ي ب ش ه ال م س ر ة خ ن ي ا و الآ ها ف الد ي و م ن ال م ق رب ي م ر ي و ج
(Ingatlah!) ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam!
Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu
tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya (yaitu seorang
putra), namanya Al-Masîh Isa Putra Maryam, seorang
terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang
yang didekatkan (kepada Allah) (QS Âli ‘Imrân/3: 45)
ن ي ا ف ع ن د الله ث و عا م ن ك ان ي ر ي د ث و اب الد ر ة و ك ان الله س ي خ اب الدني ا و ال را ي ب ص
Barang siapa yang menghendaki pahala di dunia saja
(maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia
dan akhirat. Dan Allah Mahamendengar Mahamelihat
(QS Al-Nisa/4: 134)
103 Hadits tersebut diriwayatan oleh Abullah Ibn ‘Umar. Lengkapnya adalah:
“setiap kalian adalah penjaga dan setiap penjaga bertanggungjawab terhadap yang
dijaga. Pemimpin adalah penjaga dan ia bertanggung jawab terhadap yang dijaga.
Suami adalah penjaga dalam keluarganya dan ia bertanggung jawab terhadap yang
dijaga. Dan istri adalah penjaga di rumah suaminya dan ia bertanggung jawab
terhadap yang dijaga. Pembantu adalah penjaga harta tuannya dan ia bertanggung
jawab terhadap yang dijaga. Dan anak lelaki adalah penjaga harta bapaknya dan ia
bertanggung jawab terhadap yang dijaga” Berikut ini matan haditsnya,
رضى الله عنهما, قال: سعت رسو ل الله صلى الله عليه و سلم عن عبد الله ابن عمريقول: كلكم راع و كلكم مسؤول عن رعيته. و الرجل راع ف أهله و هو مسؤول عن راعيته. و المرأة راعية ف بيت زوجها و هي مسؤولة عن راعيتها. و الادم راع ف مال سيده و هو مسؤول
أبيه و هو مسؤول عن راعيته فكلكم راع و مسؤول عن راعيتهعن راعيته. و الرجل راع ف مال Lihat, Kâmil Salâmah al-Daqs, Nafahât min al-Sunnah, (Jiddah: Dâr al-
Shurûq, .t.t.), cet. ke-3, h. 60
158 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Demikian pula dengan manusia besar, kematian dan
kehancurannya menjadi sebab kebahagiaannya dan kekekalannya
karena kematian macam ini adalah keluar dari alam temporal menuju
alam abadi, dari alam kegelapan hina menuju alam terang bersinar.104
Hendaklah setiap individu mencapainya. Dalam Al-Qurân
dinyatakan,
ل م ث ل هذا ف ل ي ع م ل ال ع ام ل و ن )الصفا ا ن هذا ل و ال ف و ز ال ع ظ ي م )(
(6١-60:/37ت
Sungguh, ini benar-benar kemenangan yang agung (60)
Untuk (kemenangan) serupa ini, hendaklah beramal
orang-orang yang mampu beramal (61)
Kemenangan itu tidak bisa dicapai kecuali melalui tahapan kematian.
Seseorang yang akan meraihnya senantiasa siap dengan kematian
bahkan menanti-nantinya. Dalam Al-Qurân dinyatakan,
ر ة ع ن د الله خ ال ص ة خ ن و ق ل ا ن ك ان ت ل ك م الدار ا ل م ن د و ن الناس ف ت م ت م صد ق ي ال م و ت ا ن ك ن
Katakanlah (Muhammad), “jika negeri akhirat di sisi Allah,
khusnya untukmu saja bukan untuk orang lain, maka mintalah
kematian jika kamu orang yang benar” (QS Al-Baqarah/2: 94)
C. Al-Ma’âd Perspektif Âmulî
Secara bahasa al-ma’âd berasal dari kata ‘âda-ya’ûdu-‘awdan
yang berarti “kembali” sehingga al-ma’âd berarti “tempat kembali”105
Dinamakan demikian karena semua sesuatu akan kembali kepada
Allah SWT. Menurutnya, Al-Ma’âd adalah perumpamaan kembalinya
alam dan segala isinya kepada sumbernya melalui beragam peristiwa
secara visual ataupun abstrak yang masing-masing terjadi melauli
tiga fase; kecil, menengah, dan besar.106
Kiamat yang terjadi melalui beragam peristiwa, baik secara
visual ataupun abstrak, terjadi sebanyak tiga kali. Kiamat yang
104 Âmulî, Asrâr al-Sharîah…, h. 136
105 Louis Ma’luf, Al-Munjid…, h. 536
106 Âmulî, Asrâr al-Sharîah…, h. 103
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 159
terjadi pada jiwa, baik secara visual ataupun abstrak, juga terjadi
sebanyak tiga kali. Dengan demikian ada dua belas kiamat yang pasti
terjadi.
Berikut ini tabel ilustrasi yang digambarkan Âmulî tentang
kiamat
Tabel Nomor 3: Ilustrasi tentang Jumlah Kiamat
KIAMAT JUMLAH
Visual Abstrak
Kiamat Kosmik 3 3
Kiamat Jiwa 3 3
Kesemua jenis kiamat itu dapat dipahami melalui tiga
pendekatan; pendekatan ahl al-sharî’ah, ahl al-tarîqat, dan ahl Al-
Haqîqah.
1. Ma’âd Ahl al-Sharî’ah
Al-Ma’âd menurut ahl al-sharî’ah adalah berkumpulnya seluruh
anggota tubuh mayat dan mengembalikan seluruh anggota tubuh dan
rohnya seperti awal. Kiamat ini dikenal dengan sebutan kebangkitan
jasad. Kebangkitan semacam itu sangat mungkin terjadi karena sifat
jasad tidak menolak sifat pembentukan ulang. Lebih dari itu, Allah
SWT Maha Kuasa sehingga tidak ada yang tidak mungkin bagi-
Nya.107
Allah SWT menciptakan manusia lalu memberikan manusia
kemampuan, keinginan, dan kekuatan yang berbeda-beda, menjadikan
kuasa dalam mengendalikan pilihannya, memberikan beban berat, dan
memberikanya sifat-sifat lembut baik yang terlihat atau yang tidak
terlihat. Manusia hidup di dunia dengan waktu cukup
panjang sehingga bisa melaksanakan syariat setelah itu manusia
pindah menuju tempat pembalasan yang disebut akhirat yang di
dalamnya terdapat pembangikitan jasad sebagaimana telah
diberitahukan oleh para nabi.
Banyak yang meyakini kebangkitan jasad tidak mungkin
dengan alasan seandainya kebangkitan jasad benar ada maka tentulah
seluruh bagian tubuh dan roh tidak lenyap, melainkan bertransformasi
107 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah …, h. 104
160 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
dalam bentuk baru. Semua yang sudah lenyap dan menyerap menjadi
satu, pada hakikatnya yang satu itu adalah dua.
Manusia bukan esensi. Seandainya manusia esensi maka ia
butuh tempat yang memiliki sifat yang juga bukan esensi. Faktanya,
manusia memiliki sifat seperti sifat esensi sehingga disebut sebagai
esensi. Jika esensi itu dipahami sebagai badan atau seluruh organ
maka tentulah kesemua itu bukan objek yang mengidentifikasi
sesuatu. Namun faktanya semua itu berfungsi mengidentifikasi
sesuatu sehingga disebut sebagai esensi identifikator.
Dalam ajaran syariat, tubuh dan seluruh organ adalah sarana
berbuat yang disebut sebagai roh. Kelompok Dahriyyah mengingkari
kebangkitan jasad karena jasad akan punah dan menjadi tidak ada
setelah kematian sehingga tidak ada istilah wujud manusia kembali
lagi. Pendapat lain meyakini bahwa ketidakadaan yang disebabkan
kematian adalah sesuatu juga yang saat itu dalam kondisi terkasihi
atau tersiksa.108
Mereka yang meyakini setiap sesuatu binasa telah dinyatakan
dalam Al-Qurân,
ر ام 26) ك ل م ن ع ل ه ا ف ان ل و ال ك ه ر ب ك ذ و الج لا ( و ي ب ق ى و ج Semua yang ada di bumi itu akan binasa (26) dan tetap kekal
Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (QS
Al-Rahmân/55: 26-27)
Dalam Al-Qurân terdapat sejumlah penjelasan adanya sesuatu
dalam kondisi terkasihi atau tersiksa. Ahl al-sharî’ah memahami
maksud binasa dan hancur adalah hancur dan lenyapnya seluruh
anggota badan dan bagian-bagian tubuh yang hancur dan lenyap akan
dikembalikan dan dibaharukan. Para nabi juga menerangkan surga
dan neraka yang memiliki sifat dapat menjadi punah. Kebangkitan
jasad secara global mengandung manfaat untuk manusia, seperti
mencegah mereka dari perbuatan dusta.
108 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 105
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 161
2. Ma’âd Ahl al-Tarîqah
Menurut ahl al-tarîqah, hari kebangkitan ibarat penampakan
sebagian sifat-sifat Tuhan109
. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-
Qurân,
ن و ف دا ي و م ن ش ر ال م تق ي ي ا ل الرح (Ingatlah) pada hari (ketika) Kami mengumpulkan orang-orang
yang bertakwa kepada (Allah) Yang Maha Pengasih, bagaikan
kafilah yang terhormat. (QS Maryam/19: 85)
Pada ayat tesebut dinyatakan bahwa salah satu sifat-Nya
adalah Yang Mengumpulkan dan Yang Mahapengasih. Kiamat dan
kebangkitan adalah ibarat penampakan Tuhan melalui sifat-sifat-Nya
seperti Yang Maha Tersembunyi,110
Yang Maha Adil, Yang Maha
Benar, Yang Maha Menghidupkan, dan Yang Maha Mematikan.
Yang demikian itu juga berlaku pada kehidupan sebelumnya, dunia,
yang di dalamnya sifat-sifat Tuhan teraktulalisasi seperti Yang Maha
Nyata, Yang Pertama, Maha Pemberi Rizki, dan lainnya.
Penampakan semua sifat-sifat itu adalah bukti kebenaran nama-
nama-Nya yang tidak terbatas. Penampakan-Nya melalui nama-
nama-Nya ada pada ciptaan-Nya sesuai dengan ucapan-Nya:” Aku
adalah tempat menimbut yang tersembunyi. Aku senang jika dikenal.
Oleh karena itu Aku ciptakan makhluk.”111
109 Referensi mutlak memahami sifat-sifat Tuhan adalah Al-Qurân mengingat
di dalamnya terdapat petunjuk dan pemahaman mengenai hakikat Tuhan dan
hubungan Tuan dengan alam. Lihat, Muhammad Natsir Siola, Menyapa Kearifan Tuhan LewatTeropong Filsafat dan Al-Qurân, (Jurnal PILAR, vol. 2, Juli-Desember
2013), h. 132. Lihat juga, Solahudin, Sifat-sifat Allah dalam Perspektif Ahlussunnah dan Mu’tazilah: Studi Komparatif Tafsir Karya al-Tabari dan al-Zamakhshari, (Jawa Barat: Nusa Litera Insprirasi, Desember 2018), cet. ke-1, h. 85
110 Yang Maha Tersembunyi (al-Bâtin) adalah Dia yang tersembunyi hakikat
zat dan sifat-Nya, bukan karena tidak nampak, tetapi justru karena Dia sedemikian
jelas, sehingga mata dan pikiran silau bahkan tumpul sehingga tidak mampu
memandang-Nya. Ketersembunyian-Nya disebabkan oleh kejelasan-Nya yang luar
biasa dan kejelasan-Nya disebabkan oleh ketersembunyian-Nya. Cahaya-Nya adalah
tirai cahaya-Nya. Lihat, M.Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, (Jakarta:
Lentera Hati, Muharram 1420/April 1999), cet. ke-2, h. 333-334
111 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h 104
162 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Ahli makrifat menetapkan bahwa nama-nama Allah SWT
menjadi terbatas jika dipahamai secara parsial dan menjadi tidak
terbatas jika dipahami secara holistik. Nama-nama Allah harus
dipahami sebagai manifestasi-Nya di dunia dan akhirat yang
merupakan dua tempat penamapakan-Nya dari sejumlah tempat
penampakan lainnya. Tempat-tempat tersebut terus berlangsung
tanpa batasan waktu.
Maksud demikian itu adalah kiamat merupakan perumpamaan
perubahan, pergantian, dan pengembalian alam nyata menuju alam
tersembunyi sebagaimana dunia sebagai penampakan Yang Maha
Tersembunyi melalui segala sesuatu yang nampak. Walaupun
terdapat banyak nama namun pasti substansinya hanya pada empat
nama; Yang Maha Awal, Yang Maha Akhir, Yang Maha Nyata,112
dan Yang Maha Tersembunyi. Yang Maha Awal, Yang Maha Nyata,
dan sejumlah nama yang berdekatan dengan dua nama tersebut
merupakan menifsetasi-Nya di dunia yang merupakan tahapan awal.
Sedangkan Yang Maha Akhir, Yang Maha Tesembunyi, dan sejumlah
nama yang berdekatan dengan dua nama tersebut merupakan
manifestasi-Nya di akhirat yang merupakan tahapan akhir.
Pandangan seperti ini terkadang diterima pada satu sisi namun tidak
diterima pada sisi lain.113
Sesungguhnya setiap nama Allah SWT mengandung ketetapan
hukum. Ketetapan hukum di akhirat tercermin pada nama-Nya; Yang
Maha Perkasa, Yang Maha Esa, Tempat Bergantung, Yang Maha
Mengembalikan, Yang Maha Menghidupkan, Yang Maha
Mematikan, dan lainnya. Ketetapan hukum di dunia tercermin pada
nama-Nya; Yang Maha Memulai, Yang Maha Awal, Yang Maha
112 Yang Maha Nampak (Al-Zâhir) merupakan sifat Allah yang dipahami
sebagai Dia yang nampak dengan jelas bukti-bukti wujud dan keesaan-Nya di pentas
alam raya ini. Nalar tidak dapat membayangkan betapa alam raya dengan serba
keindahan, keserasian dan keharmonisan dapat wujud tanpa kehadiran-Nya. Dia Al-Zâhir yang menunjukan kepada kita kerajaan dan kekuasaan-Nya dan menyadarkan
kita bahwa dalil-dalil wujud-Nya terbentang di alam luas ini. Dalam meneladani Al-Zâhir hendaklah kita nyata dengan karya-karya kita yang indah, serasi, baik, dan
benar karena cipataan-Nya selalu baik, serasi, dan harmonis. Lihat, Shihab,
Menyingkap Tabir…, h. 333-334
113 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 105
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 163
Menemukan, dan lainnya. Adanya perubahan hanya ada pada nama-
Nya saja bukan pada zat-Nya. Nama-nama tersebut tertuang dalam
sejumlah ayat Al-Qurân, yaitu: ي ب ر ال م ر م ن السم اء ا ل ال ر ض ث ي ع ر ج ا ل ي ه ف ي و م ك ان م ق د ار ه ج س ي د
ا ل ف س ن ة م ا ت ع دو ن Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, kemudian
(urusan) itu naik kepada-Nya114
dalam satu hari yang kadarnya
(lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu. (QS
Al-Sajadah/32: 5) ي ا ل ف س ن ة ئ ك ة و الرو ح ا ل ي ه ف ي و م ك ان م ق د ار ه خ س ت ع ر ج ال م لا
Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan
dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun.115
(QS Al-
Ma’ârij/70: 4)
Perjalanan planet yang tujuh116
sebagian dilakukan secara
bersamaan dan sebagian secara sendiri-sendiri. Perjalanan secara
sendiri-sendiri atau setiap planet menghabiskan waktu selama seribu
tahun dan perjalanan secara bersama-sama menghabiskan waktu
selama tujuh ribu tahun. Yang demikian ini sesuai hitungan
matematis yaitu tujuh dikali tujuh sama dengan empat puluh
sembilan (7x7 =49) lalu dibulatkan menjadi lima puluh (50).117
Perumpamaan demikian itu adalah upaya memahami
perbuatan-Nya seperti; mendaki, turun, menampakan,
menyembunyikan, mengawali, mengembalikan, dan lainnya
sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qurân:
114 Beritanya yang dibawa oleh malaikat, Ayat ini suatu tamsil bagi
kebesaran Allah dan keagungan-Nya. Lihat, Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media 2005), h. 415
115 Para malaikat dan Jibril menghadap Tuhan memakan waktu satu hari,
Apabila dilakukan oleh manusia, memakan waktu lima puluh ribu tahun. Lihat,
Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta
Media 2005), h. 569
116Al-kawâkib al-sab’ah yang dimaksud Âmulî adalah al-samâwât (langit-
langit). Ini bisa dipahami melaui penjelasannya tentang langit dan ayat-ayat Al-
Qurân yang dikutipnya.
117 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 107
164 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
ث ل ه ن ل ت ع ل م و ا ا ن الله ع ل ك ل الله الذ ى خ ل ق س ب ع س و ات و م ن ال ر ض م ش ي ئ ق د ي ر و ا ن الله ق د ا ح اط ب ك ل ش ي ئ ع ل ما
Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan)
bumi juga serupa. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu
mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan
ilmu Allah benar-benar meliputi seala sesuatu.( QS Al-
Talâq/65: 12)
ت و ى ع ل ى ال ع ر ش و س خر ن ه ا ث اس الله الذ ى ر ف ع السموات ب غ ي ع م د ت ر و ت ل ع لك م الشم س و ال ق م ر ك ل يج ر ى ل ج ل م يا ل ال ب ر ال م ر ي ف ص س مى ي د
ب ل ق اء ر ب ك م ت و ق ن و ن
Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang
kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsh118. Dia
menundukkan matahari dan bulan; masing-masing beredar
menurut waktu yang telah ditentukan. Dia mengatur urusan
(makhluk-Nya), dan menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya),
agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu. (QS al-
Ra’d/13:02)
Dunia dan akhirat adalah dua tempat penampakan dari banyak
tempat penampakakan sebagaimana penampakan angka seratus dan
seribu yang sebelumnya dimulai dari angka satu. Walaupun dunia dan
akhirat sebagai tempat penampakan namun penampakan tersebut
tidak terbatas hanya di dua tempat itu karena penampakan pada dua
tempat itu juga terbatas karena sifatnya yang menyeluruh. Dengan
demikian kedua tempat penampakan itu pastilah harus kembali
kepada yang nampak. Seperti itulah hakikat pengembalian (al-
118 ‘Arsy/’Arsh adalah bentuk masdar dari kata kerja ‘arasha-ya’rishu-‘arshan
yang berarti: ‘bangunan’, ‘singgasana’, ‘istana’ atau ‘tahta’. Dalam Al-Qurân kata
‘arsy dan kata yang seasal dengan itu disebut 33 kali, tetapi pada umumnya yang
dimaksud adalah ‘singgasana’ atau ‘tahta Tuhan’. Terdapat penjelasan yang berbeda-
beda mengenai ‘arsy. Menurut Rashid Ridâ, ‘arsy adalah pusat pengendalian segala
persoalan makhluk Allah SWT di alam semesta. Menurut Jalaluddîn Al-Suyûtî,
Allah SWT menciptakan ‘arsy dan kursî dari cahaya-Nya. ‘Arsy melekat dengan
kursî. Para malaikat berada di tengah-tengah kursî. ‘Arsh dikelilingi empat buah
sungai: sungai berisi cahaya berkilauan, sungai berisi salju berkilauan, sungai berisi
air, dan sungai berisi api yang menyala kemerahan. Lihat, Tim Penyusun,
Ensiklopedia Al-Qurân: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 31-32
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 165
ma’âd), yaitu kembalinya tempat penampakan kepada yang nampak.
Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qurân bahwa semua dalam
ketetapan-Nya dan Ia dalam kesibukan.119
ت ق ر ل ا ذل ك ت ق د ي ر ال ع ز ي ز ال ع ل ي م و الشم س ت ر ي ل م س Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah
ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui (QS
Yasin/36: 38) ئ ل ه م ن ف السموت و ال ر ض ك ل ي و م ه و ف ش أ ن ي س
Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-
Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan (QS al-Rahman/55:29)
Setiap waktu dapat berarti waktu menurut ketetapan-Nya; lima
puluh ribu tahun, atau waktu dunia; tujuh ribu tahun untuk salah satu
urusan-Nya. Hal demikian itu ibarat penerimaan ketentuan di antara
sifat-sifat-Nya, penampakan di antara penampakan-penampakan-Nya,
tahapan di antara tahapan-tahapan-Nya seperti turun, naik,
menampakan, menyembunyikan, dan lainnya. Semua keadaan adalah
penampakan perbuatan. Semua perbuatan adalah penampakan sifat,
Seluruh sifat adalah penampakan nama, seluruh nama adalah
penampakan zat, dan kesempurnaan zat adalah tidak terbatas.120
Semua perbuatan, sifat, nama, dan kesempurnaan adalah tidak
terbatas. Keadaan kembali secara pasrisial hanya akan terjadi secara
terbatas juga karena yang parsial mungkin untuk kembali menuju
yang global namun tidak sebaliknya. Pengembalian tersebut terjadi
tanpa imajinasi bentuk sebelumnya namun tidak mengurangi
substansinya. Sebagian nama yang mencakup sebagian lainnya bukan
penyebab terjadinya pengembalian. Yang Kekal pasti kekal dan yang
binasa pasti binasa. Pemahaman seperti itu diperuntukan untuk
mereka yang memiliki hati dan pendengaran.121
Dalam Al-Qurân
dinyatakan,
119 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 108
120 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 109
121 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 109
166 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
ر ة ذل ك ي و م م م و ع ل ه الناس و خ ي ة ل من خ اف ع ذ اب ال ا ن ف ذل ك ل ر ه إ ل ل ج ل م ع د و د )( ي و م يأ ت ل ت ك لم ه ود )( و م ا ن ؤ خ ذل ك ي و م م ش
ن ه م ش ق ي و س ع ي د )( ف ا ما الذ ي ن ش ق و ا ف ف ى النار ل م ف ي ه ا ن ف س إ ل ب ذ ن ه ف م ر و ش ه ي ق )( خل د ي ن ف ي ه ا م ا د ام ت السموات و ال ر ض إ ل م ا ش اء ز ف ي
ر بك إ ن ر بك ف عال ل م ا ي ر ي د )(Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. Itulah hari
ketika semua manusia dikumpulkan (untuk dihisab) dan itulah
hari yang disaksikan (oleh semua makhluk) (103) Dan Kami
tidak akan menunda, kecuali sampai waktu yang sudah
ditentukan (104) Ketika hari itu datang, tidak seorang pun
yang berbicara, kecuali dengan izin-Nya; maka di antara
mereka ada yang sengsara dan ada ang berbahagia (105) Maka
adapun orang-orang yang sengsara, maka (tempatnya) di dalam
neraka, di sana mereka mengeluarkan dan menarik nafas
dengan merintih (106) Mereka kekal di dalamnya selama ada
langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang
lain). Sungguh, Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa saja
yang dia Kehendaki. (107) (QS Hûd/11: 103-107)
Nama-nama Tuhan mengandung ketetapan hukum. Pada nama
Yang Pertama mengandung adanya perputaran dari pertama hingga
akhir. Keberadaan dunia dan semua hukum di dalamnya mengandung
ketetapan keberadaan akhirat dan hukum di dalamnya. Dunia sebagai
aktualisai nama-Nya Yang Awal dan Yang Nampak dan akhirat
sebagai aktualisasi nama-Nya Yang Akhir dan Yang Tersembunyi.
Begitu juga dengan nama-nama-Nya yang lain yang saling
berlawanan.122
Memahami wujud ibarat memahami sebuah kerajaan. Jika
pada sebuah kerajaan visual terdapat sultan, menteri, perdana
menteri, para tentara, dan para penjaga maka dalam kerajaan hakiki
pasti ada di dalamnya raja, menteri, perdana mentri, tentara, dan
penjaga. Sebagaimana setiap individu pada kerajaan visual
122 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 110
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 167
menjalankan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, maka hal
yang sama juga terjadi pada kerajaan hakiki. Seseorang yang datang
ke raja meminta agar kebutuhan bahan pokoknya dipenuhi maka ia
dilayani oleh staf yang membidanginya. Bagi yang datang memohon
keadilan dari peraturan kota, maka ia dilayani oleh menteri yang
membidanginya, begitu seterusnya karena urusan kerajaan tidak
berjalan efektif tanpa para pembantu raja. Pada kerajaan hakiki, saat
si fakir memelas agar Allah memberikan kecukupan harta, maka yang
dituju adalah Yang Maha Kaya (al-Ghanî), saat si sakit merintih
memohon kesehatan maka yang dituju adalah Yang Maha
Menyembuhkan (al-Shâfî), saat si sesat memohon untuk diberikan
petunjuk, maka yang ditujunya adalah Yang Memberi Petunjuk (al-
Hâdî). Dengan demikian semua yang maujûd (yang ada) adalah
penampakan Yang Satu yang kepada-Nya semua maujûd kembali.123
Dalam Al-Qurân dinyatakan,
ت ه ى و ا ن ا ل ر ب ك ال م ن Dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya (segala
sesuatu) (QS Al-Najm/53: 42)
Ada rahasia pada semua yang terkait dengan pengaturan
(rubûbiyyah124). Seandainya rahasia itu terungkap maka rubûbiyyah
menjadi tertololak karena rubûbiyyah adalah urusan yang hanya bisa
dipahami dengan mengaitkan segala yang berhubungan dengannya.
Salah satu yang berkaitan dengan pengaturan adalah sesuatu yang
diatur (marbûb). Pengaturan/rubûbiyyah tergantung pada sesuatu
yang diatur/marbûb dan sesuatu yang diatur tergantung pada yang
123 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 110-111
124 rubûbiyyah merupakan suatu hal yang bersifat perennial dan primordial.
Artinya bahwa sejak zaman azali, ketika masih di alam arwah semua manusia
mengakui dan meyakini bahwa Allah sebagai Pencipta, Penguasa, Pengatur, dan
Pemelihara (Rabb) alam semesta. Pengingkaran manusia pada rubûbiyyah (keyakinan adanya Tuhan sebagai pencipta, penguasa, pengatur, dan pemeliharaan
alam semesta) atau ketidakberagamaan merupakan suatu hal yang menyalahi fitrah
(tabiah) dirinya, sedangkan segala sikap dan perbuatan yang menyalahi fitrah akan
mengakibatkan kehancuran. Lihat, UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung, Penerbit Angkasa, 2008), cet. ke-1, jilid II (I-S), h. 1035
168 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
mengatu/rabb. Seandainya yang diatur tidak ada maka tidak ada
pengaturan, namun pengatur tetap ada. 125
Akal126
sehat menghukumi bahwa pada ketetapan hukum Yang
Memberi Derita bukanlah ketetapan hukum pada Yang Memberi
Manfaat, Yang Menghidupkan bukanlah Yang Mematikan, Yang
Memberi Petunjuk bukanlah Yang Menyesatkan, Yang Pertama
bukanlah Yang Terakhir dan nama-nama lain-Nya yang saling
berlawanan.
Sesungguhnya berdasakan ketetapan hukum, ada beberapa
nama perbuatan. Yaitu:
Nama yang ketetapan hukumnya tidak terputus dan bekasnya
tidak berakhir; seperti nama “penguasa” pada roh suci, roh
malaikat, dan semua yang tidak ada dalam sauatu masa (dunia)
namun ada dalam periode waktu tertentu.
Nama yang ketetapan hukumnya dan bekasnya tidak terputus
selamanya; seperti nama “penguasa” di akhirat karena
pemutus ketetapan hukum itu abadi maka nama itu juga
abadi/tidak terputus selamanya.
Nama yang hanya ketetapan hukumnya terputus namun
bekasnya tidak terputus; seperti nama-nama pada kehidupan
125 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 111
126 Menurut Âmulî, akal tidak bisa memberikan petunjuk tanpa syariat begitu
juga sebaliknya. Tanpa akal, sharîah tidak bisa dipahami. Akal ibarat pondasi dan
syariat adalah bangunannya. Pondasi tidak berarti apa-apa tanpa adanya bangunan.
Akal juga dapat diibaratkan dengan penglihatan dan syariat diibaratkan dengan
tanda. Mata menjadi tidak berarti apa-apa tanpa adanya tanda dari luar dan begitu
juga sebaliknya. Akal ibarat pelita dan syariat ibarat minyak. Tanpa minyak pelita
tidak menyala begitu juga sebaliknya. Dalam QS al-Nûr/24: 35 dinyatakan, “Allah
(pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya seperti
sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di
dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yag diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),
Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan
Allah membuat perumpaaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. Lihat, Âmulî, Jâmi’ al-Asrâr…, h. 373.
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 169
dunia yang bekasnya masuk dalam kegaiban ilahi seperti nama
“penguasa” di kehidupan dunia127
a. Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Ma’nawiyyah
Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Ma’nawiyyah (Kiamat Abstrak Kecil)
adalah kewaspadaan terhadap keadaan setelah kematian yang
diharapkan sebagaimana sabda nabi, موتوا قبل ان تموتوا
Matilah sebelum kalian mati من مات فقد قامت قيامته
Seseorang yang sudah mati maka kiamatnya sudah tiba
Berkaitan dengan ini, seorang bijak menyatakan,
مت بلرادة تي بلط بيعة
Matilah karena keinginanmu maka hidupmu berkualitas
Kematian seperti ini terbagi menjadi empat jenis; merah, putih,
hijau, dan hitam. Kematian mutlak adalah ibarat terkendalinya hawa
nafsu. Sesungguhnya hawa nafsu juga mengalami kematian. Ia tidak
cenderung kepada zatnya, hasratnya, kebutuhan fisiknya, kecuali
dengan kematian. Jika nafsu cenderung ke arah bawah maka ia akan
menarik hati ke pusatnya sehingga hakikat kehidupan hati menjadi
mati yang berupa ketidaktahuan. Jika nafsu mati dari hawanya karena
dikendalikan, maka nafsu meninggalkan hati menuju alamnya; alam
kesucian yang penuh cahaya selanjutnya menuju alam zatnya yang
tidak lagi mengalami kematian selamanya.128
Kematian seperti ini
telah disinggung dalam Al-Qurân,
ى ب ه ف الناس ك م ن م ث ل ه ف ن اه و ج ع ل ن ا ل ه ن و را يم ش ي ي ا و م ن ك ان م ي تا ف ا ح ان و ا ي ع م ل و ن ن ه اك ذل ك ز ي ن ل ل كف ر ي ن م اك الظل م ات ل ي س ب ار ج م
Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan
Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di
127 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 112-113
128 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 114
170 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
tengah-tengah orang banyak sama dengan orang yang berada
dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana?
Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan. (al-An’âm/6: 122)
Maksudnya, seseorang yang mati dalam kebodohan lalu
dihidupkan dengan penuh pengetahuan dan dibuatkan cahaya
untuknya agar bisa berjalan di hadapan manusia dalam keadaan penuh
pengetahuan dan kesempurnaan adalah tidak sama dengan orang yang
sedang dalam kegelapan dan kebodohan.
Menurut Ja’far bin Muhammad al-Sâdiq, “kematian adalah
tobat129
. Oleh karena itu bertobatlah. Seseorang yang bertobat
berarti ia telah membunuh jiwanya (nafs).” Dalam Al-Qurân
disebutkan,
ل ف ت و ب و ا ت اذ ك م ال ع ج ت م أ ن ف س ك م ب و ا ذ ق ال م و س ى ل ق و م ه يق و م ا نك م ظ ل م ر ئ ك م ف ت اب ع ل ي ك م إ نه ر ل ك م ع ن د ب ي ر ئ ك م ف اق ت ل و ا أ ن ف س ك م ذل ك م خ إ ل ب
ي م ه و الت ؤاب الرح Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai
kaumku! Kamu benar-benar telah menzalimi dirimu sendiri
dengan menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sembahan),
karena itu bertobatlah pada penciptamu dan bunuhlah dirimu.
Itu lebih baik bagimu di sisi Penciptamu, Dia akan menerima
129 Tobat adalah tahapan/maqâm pertama dalam tasawuf atau dalam jalan
menuju Tuhan yang bisa dilakukan setiap orang. Tobat berarti membalikkan
punggung seseorang dari kesia-siaan dunia, menyadari bahwa dunia adalah bangkai
busuk dan tempat bersandar yang rapuh sehingga bergerak maju mendekatki Allah.
Dalam Al-Qurân hukuman hanya diberikan kepada orang yang berbuat dosa, “kecuali
bagi mereka yang bertobat (setelah pelanggarannya) dan merasa yakin bahwa Allah
akan memaafkan, Allah Maha Pengampun, “Bagi mereka yang tidak beriman setelah
keimanan mereka, dan bertambah pula pengingkarannya, maka tobat mereka tidak
akan diterima dan mereka akan sia-sia.” Tobat (yang berarti kembali) adalah bagi
orang berdosa, berarti kembali kepada Allah, ketaatan kepada Allah, dan Allah juga
menampakkan melalui takdir-Nya menerima pertobatan itu. Tobat juga ditemukan
dalam doktrin ortodoks Muslim. Cyprian Rice, Berdialog Dengan Sufi-Sufi Persia. Penerjemah: Nuruddin Hidayat, (Jakarta: CV Pustaka Setia, Agustus 2002/Jumadil
Ula 1423), cet. ke-1, h. 55. Lihat juga, Margareth Smith, Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan. Penerjemah: Jamilah Baraja, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000),
cet. ke-3, h. 61
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 171
tobatmu, sungguh, Dia-lah yang Maha Penerima Tobat, Maha
Penyayang” (QS al-Baqarah/2: 54) ي آء ع ن د ر ب م ي ر ز ق و ن و ات ب ل أ ح الذ ي ن ق ت ل و ا ف س ب ي ل الله أ م و ل ت س ب
ي ب ا آت ه م الله م ن ف ض له فر ح Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang
gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup, di
sisi Tuhannya mendapat rezeki (QS Âli ‘Imrân/3: 169)
Setelah selesai berperang dengan orang-orang kafir, Rasul
menemui para sahabatnya seraya berkata “kita baru saja selesai jihad
dan akan menuju jihad yang lebih besar”. Ucapan rasul tersebut
membua para sahabat seperti tidak paham mengingat asumsi mereka
memerangi orang-orang kafir adalah jihad besar. oleh karena itu para
sahabat langsung menanyakannya, “Wahai rasul, apa jihad yang lebih
besar?” rasul menjawab, “jihad yang lebih besar adalah jihad nafsu.
Pejihad adalah orang yang memerangi nafsunya.” Seseroang yang
mati dari nafsunya maka ia hidup dengan petunjuk Allah sehingga
terbebas dari kesesatan dan kebodohan. Kematian seperti itu disebut
dengan kematian merah130
yang merupakan satu totalitas kematian
menuju seluruh kematian.131
Berkaitan dengan itu sering terucap
ungkapan:
Bunuhlah aku wahai kepercayaanku karena dalam kematianku
terdapat kehidupanku, kematianku ada dalam kehidupanku dan
kehidupanku ada dalam kematianku
Terdapat dua penjelasan mengapa yang demikian itu
dinamakan kematian merah. Pertama, merah adalah warna darah
yang sering menetes dalam peperangan sehingga kematian seperti itu
dinamakan kematian merah. Kedua, merah adalah warna wajah yang
kemerahan sebab cahaya ilahi saat mati dalam peperangan.
130 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 114. Lihat juga, Muhammad ‘Abd al-Raûf
al-Munâwî, Al-Tawqîf ‘alâ Muhimmât al-Ta’ârîf: Mu’jam Lughawî Mustalahî, (Bairut: Dâr al-Fikr al-Mu’âsir,1990 M/1410 H), cet. ke-1, h. 684
131 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 114
172 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Kematian putih adalah ungkapan rasa lapar yang menyinari
batin dan memutihkan hati. Selama seorang sâlik tidak kenyang
selama itu pula ia mati putih yang kemudian menghidupkan
ketajaman firasatnya. Seseorang yang kenyang perutnya maka mati
ketajaman firasatnya.132
Kematian hijau diumpamakan dengan memakai pakaian lusuh
yang tidak ternilai harganya. Seseorang yang dalam berpakaian
tidak mempertimbangkan pakaian mewah melainkan
mempertimbangkan pakaian itu bisa menutup aurat agar salatnya sah,
maka ia telah mati hijau karena hidupnya sudah nyaman dengan
kesegaran wajahnya yang menatap keindahan zat. Dalam syair
dinyatakan,
Jika kemuliaan seseorang tidak ternodai
maka pakaian apapun yang dipakai terlihat indah133
Kematian hitam adalah kematian hati. Seseorang yang tidak
menemukan dosa dalam hatinya maka ia bukan termasuk pecinta
sejati. Sebaliknya, itu dapat membuatnya senang dengan dosa karena
yang dilihat hanyalah sesuatu yang menyenangkannya tanpa
memikirkan apakah itu sesuatu yang baik atau buruk. Sebagaimana
untaian syair,
Aku temukan dosa terasa indah dalam kesenanganmu
Aku senang menyebut dosa sehingga keburukan
menghancukanku
Aku seperti musuh-musuhku yang aku cintai
Keberuntunganku darimu berarti juga keberuntungan darinya
Saat ia menyakitiku maka sengaja aku menyakiti diriku
Tidak ada darinya yang memuliakanku134
Keadaan seperti ini adalah mati hitam yaitu fanâ135 pada Allah
karena ia menyaksikan kehancuran dirinya melalui terungkapnya
132 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 115
133 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 115
134 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 115
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 173
semua perbuatan yang dicintai. Dirinya mati dari semua yang dicintai
yang kemudian hidup dengan bantuan kehadiran al-wujûd al-mutlaq.
Bagi mereka disediakan surga yang bernama jannah nafsâniyyah. Di
dalamnya, Jiwa-jiwa menemukan segala yang dirindukan dan segala
yang menyejukan pandangan karena surga bisa disentuh yang di
dalamnya terdapat makanan dan minuman yang tidak ada habisnya
yang juga bisa disentuh. Dalam Al-Qurân dinyatakan,
ي ۶0ق ام ر ب ه و ن ه ى الن ف س ع ن ال و ى )و ا ما م ن خ اف م ( ف ا ن الج نة ه
(۶١ال م أ و ى )Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya,
(40) maka sungguh surgalah tempat tinggal(nya)(41) (QS Al-
Nâzi’at/79: 40-41)
Berikut ini tabel macam kematian dan simbolnya menurut Âmulî,
135 Fanâ adalah mengetahui, merasakan, dan meyakini kehancuran dan
kepunahan diri sehingga yang diketahui dan dirasakan hanya Allah SWT, tidak ada
yang benar-benar ada kecuali hanya Allah SWT. Dalam QS Al-Rahman/55: 26-27
dinyatakan ( 2٧( و يبق وجه ربك ذو الجلل و الكرام )26كل من عليها فان ) semua
yang ada di bumi akan binasa (26) Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan. Dalam ensiklopedi tawawuf, fanâ diartikan dengan lenyap,
hancur, sirna, atau hilang. Istilah ini muncul dalam kajian tasawuf setelah beberapa
sufi di abad III hijriyyah mengalami pengalaman spiritual sedemikian rupa, sehingga
mereka disebut mengalami fanâ. Sufi yang pertama kali berbicara kefanâan adalah
Abû Yazîd al-Bistâmî (w. di Bistam 261 H/875 M). Namun istilah fanâ bukan
muncul hanya karena adanaya fanâ dalam ucapan Abû Yazîd, melainkan juga karena
adanya shatahât (ungkapan-ungkapan aneh) yang muncul dari sejumlah sufi, atau
karena adanya tingkah laku dan keadaan yang diperlihatkan oleh mereka. Lihat,
Abû Ismâ’il ‘Abdullâh al-Ansârî, Manâzil al-Sâirîn, (Intishârât bîdâr, t. t..), h. 574.
Lihat juga, ‘Afîf al-Dîn al-Tilmisânî, Sharh Manâzil al-Sâirîn, (Tûnis: Markaz al-
Dirâsât wa Al-Ibhâts al-Iqtisâdiyyah wa al-Ijtimâ’iyyah) , h. 569-573. Lihat juga,
Ahmad Mahmûd al-Jazâr, Al-Fanâ wa al-Hub al-Ilâhî ‘inda Ibn ‘Arabî, (Jâmi’ah al-
Qâhirah: Maktabah Nahdah al-Sharaq 1991), UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung, Penerbit Angkasa, 2008), cet. ke-1, jilid I (A-H), h. 356
174 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Tabel nomor 4: Jenis & Simbol Kematian
NO JENIS KEMATIAN SIMBOL
1 Kematian merah Darah shuhadâ dan warna wajahnya
yang tersinari cahaya ilahi.
2 Kematian putih Rasa lapar yang menyinari batin dan
memutihkan hati.
3 Kematian hijau Pakaian lusuh
4 Kematian hitam Kematian mencintai selain-Nya
b. Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Ma’nawiyyah
Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Ma’nawiyyah (Kiamat Abstrak
Menengah) adalah perupamaan matinya seseorang dari akhlak tercela
dan dari sifat-sifat buruk kemudian hidup dengan akhlak terpuji dan
berperangai mulia yang merupakan tujuan pengutusan rasul.
Sebagaimana sabdanya,
اوتيت جوامع الكلمAku diberikan jawâmi’ al-kalim١36
م الخلاقو بعثت لتمم مكار Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak
تلقوا بخلاق الله
Berakhlaklah dengan akhlak Allâh Perangai luhur merupakan salah satu nikmat agung yang
dinyatakan oleh-Nya,
و ا نك ل ع لى خ ل ق ع ظ ي م
Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang
luhur. (QS al-Qalam/68: 4)
Berbudi pekerti luhur dengan meneladani sifat-sifat-Nya
adalah keharusan untuk sampai kepada kebahagiaan abadi dan sampai
136 Jawami’ al-Kalim adalah kalimat ringkas, mudah diingat, tetapi
mengandung makna luas yang merupakan salah satu keutamaan Rasulullah saw.
Lihat, Ferdiansyah Aryanto, Aljawâmi’ al-Kalim, Artikel diakses pada 14 Maret
2019 dari http://mahadilmi.id/2013/12/22/al-jawaamiul-kalim/
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 175
kepada-Nya yang semua itu tidak mungkin tercapai kecuali melalui
budi pekerti luhur. Itulah mengapa kita diperintahkan bersifat dengan
sifat-sifat-Nya dan berakhlak dengan akhlak-Nya.137
Dari sini Âmulî menilai bahwa jika sesorang kosong dari
perangai buruk tetapi penuh dengan akhlak Allah maka ia
sesungguhnya sedang mengalami ma’âd. Pencapaian akhlak Allah
semacam itu hanya hanya bisa dilakukan orang mumin. Dalam
Hadis qudsi dinyatakan,
ل يسعنى ارضى و ل سائى و لكن يسعنى قلب عبدى المؤمن
Bumi dan langit tidak membuat-Ku lapang. Yang membuat-
Ku lapang adalah hati hamaba-Ku yang mumin.
Dalam Hadis dinyatakan, قلب المؤمن عرش الله و قلب المؤمن وكر الله و قلب المؤمن بي اصبعي من
اصابع الرحن
Hati seorang mumin adalah ‘arsh Allah. Hati seorang mumin
adalah singasana (wakr) Allah. Hati seorang mumin ada di
antara dua jari dari jari-jari Al-Rahmân.
Semua itu adalah isyarat untuk berakhlak dengan akhlak-Nya
dan bersifat dengan sifat-sifat-Nya. Manusia adalah untuk hatinya
sebagaimana manusia di dalam alam untuk alam.138
Dalam Al-Qurân
dinyatakan,
ن ا ال م ان ة ع ل ى الس موات و ال ر ض ا ن و الج ب ال ف ا ب ي ا ن ي م ل ن ه ا و ع ر ض ن ه ا و ح ل ه ا ال ن س ان ا نه ك ان ظ ل و ما ج ه و ل ف ق ن م ا ش
Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit,
bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan
melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat
bodoh. (QS al-Ahzâb/33: 72)
137 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 116
138 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 117
176 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Manusia yang berada pada tahapan ini memperoleh warisan
berupa surga yang disebut Jannah Rûhaniyyah. Sebagaimana
dinyatakan dalam Al-Qurân, ع و ن )( و الذ ي ن ه م ع ن ق د ا ف ل ح ال م ؤ م ن و ن )( الذ ي ن ه م ف ص لت ه م خ اش ه م اللغ و م ع ر ض و ن )( و الذ ي ن ه م للزك وة ف اعل و ن )( و الذ ي ن ه م ل ف ر و ج
ه م ا و م ا م ع ل ى ا ز و اج ل ك ت ا يم ان ه م ف ا ن ه م غ ي ر م ل و م ي )( ف م ن حف ظ و ن )( ا لد ه م اب ت غى و ر اء ذل ك ف ا ولئ ك ه م ال عد و ن )( و الذ ي ن ه م ل منت ه م و ع ه
( ا لذ ي ن ر اع و ن )( و الذ ي ن ه م ع لى ص لوت م ي اف ظ و ن )( ا ولئ ك ه م ال و ار ث و ن )س ه م ف ي ه ا خل د و ن )( ي ر ث و ن ال ف ر د و
Sungguh beruntuh orang-orang yang beriman (1) (yaitu) orang
yang khusuk dalam salatnya, (2) dan orang yang menjauhkan
diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, (3) dan
orang yang menunaikan zakat, (4) dan orang-orang yang
memelihara kemaluannya, (5) kecuali terhadap istri-istri
mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka tidak tercela, (6) tetapi baang siapa
mencari di balik itu (zina, dan sebagainya), maka mereka itulah
orang-orang yang melampau batas. (7) dan (sungguh
beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan
janjinya, (8) serta orang yang memelihara salatnya, (9) mereka
itulah orang-orang yang akan mewarisi, (10) (yakni) yang akan
mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.(11) (QS
Al-Muninûn/23: 1-11)
Apabila manusia merubah akhlaknya dari yang tercela menjadi
terpuji, jiwanya keluar dari kegelapan akhak paling rendah,
prilakunya buruk dibinasakan, lalu menggantikannya dengan budi
pekerti luhur, mengaplikasikan sifat-sifat dan prilaku ilahi, dan
menegakkan ajaran agamanya, maka ia masuk surga abstrak sebelum
masuk ke surga visual. Surga semacam itu disebut dengan Jannah
Nafsâniyyah dan penduduknya disebut dengan penghuni dua surga.139
Sebagaiman dinyatakan dalam Al-Qurân,
139 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 117
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 177
و ل م ن خ اف م ق ام ر ب ه ج نت Dan bagi siapa yang takut akan saat menghadap Tuhannya
ada dua surga. (QS al-Rahmân/55: 46)
Apabila jiwa puas dengan perbuatan benar, bersih dari sifat-
sifat keji, terbebas dari induk keburukan yang tujuh; sombong,
angkuh, kikir, dengki, pelit, napsu, dan pemarah, serta terpenuhi
induk kebaikan yang tujuh; berpengetahuan, bijaksana, toleran,
rendah hati, dermawan, bijak, dan pemberani, maka jiwa tersebut
telah berprilaku baik dan adil yang merupakan puncak kesempurnaan
prilaku terpuji.140
Pembagian tujuh induk sifat baik dan buruk itu
telah dinyatakan dalam Al-Qurân, ن ه م ج ز ؤ م ق س و م ع ة ا ب و اب ل ك ل م ب ل ا س
(Jahannam) itu mempunyai tujuh pintu. Setiap pintu (telah
ditetapkan) untuk golongan tertentu dari mereka (QS al-
Hijr/15: 44)
Ketujuh pintu tesebut adalah Jahananm, Lazâ, Hutamah, Saqar,
Jahîm, Sa’îr, dan Hâwiyah. ‘Alî ibn Abî Tâlib pernah menanyakan
para sahabatnya tentang ketujuh pintu tersebut,
Ali : “Apakah kalian tahu bagaimana pintu-pintu neraka?”
Sahabat : “Seperti pintu-pintu ini.”
Ali : “Bukan. Pintu-pintu neraka adalah seperti ini” (seraya
meletakan satu tangannya di atas tangan lainnya dan
seterusnya141
Gambaran keberadaan neraka adalah berjenjang dari bawah ke
atas. Paling bawah adalah Jahannam untuk para munafik, lalu di
atasnya ada Lazâ untuk para musyrik Arab, lalu di atas Lazâ ada
Hutamah untuk para Majusi, kemudian di atas Hutamah ada Saqar
untuk sâbiîn, selanjutnya di atas Saqar ada Jahîm untuk para Nasrani,
di atasnya lagi ada Sa’îr untuk para Yahudi, kemudian di atas Sa’îr
ada Hâwiyah untuk para muslim yang berdosa.
140 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 117-118
141 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h.118
178 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Berikut ini adalah tabel nama neraka dan penghuninya,
Tabel Nomor 5: Neraka dan Penghuninya Menurut Âmulî
NO. NAMA NERAKA PENGHUNI
1. Hâwiyah Muslim pendosa
2. Sa’îr Yahudi
3. Jahîm Nasrani
4. Saqar Sâbiûn142
5. Hutamah Majusi
6. Laza Musrik Arab
7. Jahannam Munafik
Tidak seperti neraka, Allah SWT meletakkan surga secara
membentang luas sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qurân,
ض أ ع دت و س ار ع و ا إ ل م غ ف ر ة م ن ر ب ك م و ج نة ع ر ض ه ا السموت و ال ر ل ل م تق ي
Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan
mendapat surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (Ali ‘Imrân/3: 133)
Surga tersebut terdiri dari delapan macam; al-Na’îm, al-
Firdaus, al-Khuld, al-Ma’wâ, ‘Adn, Dâr al-Salâm, dan Dâr al-Qarar.
Apabila ketujuh akhlak buruk berganti menjadi tujuh akhlak terpuji,
maka keadaan seperti itu membentuk surga-surga maknawi dan
rohani yang merupakan gabungan dari surga-surga tujuh sehingga
membentuk surga ke delapan.143
Surga ma’nawi dan segala isinya
diterangakan dalam hadis qudsi,
اعدت لعبادي الصالي ما ل عي رأت و ل أذن سعت و ل خطر على قلب بشر
142 Sâbiûn adalah pengikut para nabi dari golongan antara Yahudi dan
Nasrani. Lihat, Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-23, h. 19
143 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 118
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 179
Disediakan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih sesuatu yang
belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga,
dan belum pernah terpikir dalam hati manusia.
Dalam Hadis nabi, ان لله جنة ليس فيها حور و ل قصور و ل عسل و ل لب بل يتجلى ربنا
ضاحكاSesungghuhnya di sisi Allah terdapat surga yang di dalamnya
tidak ada pepohonan, tidak ada madu, tidak ada susu,
melainkan hanya ada Tuhan kami “sedang tertawa”. (Maha
suci Allah dari sifat-sifat makhluk-Nya.)
Pepohonan dan semua yang disebut di atas adalah jasmani
sedangkan surga adalah bersifat rohani. Perbedaan antara keduanya
sangat jelas. Dalam Hadis nabi disebutkan,
ى نفس مم د بيده ان الجنة و النار اقرب ال احدكم من شراك نعلهو ال ذDemi jiwa Muhammad yang ada dalam kekuasaan-Nya,
sesungguhnya surga dan neraka lebih dekat dari suara sendal
kalian
Maksud surga di sini adalah surga abstrak atau surga yang
tidak berbentuk materi. Berkaitan dengan ini ‘Alî ibn Abî Tâlib
menyatakan, “Akalnya hidup tetapi jiwanya mati sehingga
keagungannya hancur dan kebengisannya melembut, lalu limpahan
cahaya meneranginya sehingga jalan keluhuran nampak jelas, seluruh
pintu mengarahkannya menuju satu pintu keselamatan, dan kedua
kakinya berpijak pada keluhuran karena hatinya dipergunakan
semestinya sehingga Tuhannya ridâ kepadanya.”
Maksud dari menuju satu pintu keselamatan adalah menuju
surga yang berbentuk materi sebagaimana dijelaskan sebelumnya
bahwa ketika akhlak-akhlak buruk berganti menejadi akhlak-akhlak
mulia, maka pintu-pintu neraka yang abstrak menjadi pintu-pintu
surga kemudian semua pintu-pintu surga tersebut menuju ke satu
pintu paling agung yaitu pintu keridaan Allah SWT. ‘Alî ibn Abî
180 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Tâlib menyatakan, rida adalah pintu pintu Allah yang paling mulia
yang sifatnya dan sifat penghuninya ditetapkan dalam Al-Qurân,144
لئ ك ه م خ ي ال ب ية ج ز اؤ ه م ع ن د ر ب م ا ن الذ ي ن آم ن و ا و ع م ل و ا الصل حت ا و ي الله ع ن ه م و ر ض و ا ع ن ه ج ن ت ت ر ى م ن ت ت ه ا ال ن ه ار خ ال د ي ن ف ي ه ا ا ب دا ر ض
ي ر به ذل ك ل م ن خ ش
Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.(7) balasan
mereka di sisi tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-
lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida
kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang
yang takut kepada Tuhan-Nya (Al-Bayyinah/98: 7-8)
را )( عل ي ه م ث ي اب س ن د س خ ض ر و و ا ذ ا ر أ ي ت ث ر أ ي ت ن ع ي ما و م ل كا ك ب ي ت ب ر ق و ح لو ا ا س او ر م ن ف ضة و س قه م ر ب ه م ش ر اب ط ه و را )( ا ن هذا ك ان ا س
ك و ر ا ل ك م ج ز اء و ك ان س ع ي ك م م ش
Dan apabila engkau melihat (keadaan) di sana (surga), niscaya
engkau akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan
yang besar (20) Mereka berpakaian sutera halus yang hijau dan
sutera tebal dan memakai gelang terbuat dari perak, dan Tuhan
memberikan kepada mereka minuman yang bersih (dan suci)
(21) Inilah balasan untukmu, dan segala usahamu diterima dan
diakui(Allah)(22) (QS al-Insân/76: 20-22)
Ayat-ayat ini mengisyaratkan adanya surga yang bisa
disaksikan substansinya dan segala nikmat di dalamnya.
c. Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah
Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah )Kiamat Abstrak Besar)
diumpamakan dengan fanâ tauhid seorang hamba bersama Al-Haq145
144 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 119
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 181
sebagai hasil dari ibadah sunah yang ia kerjakan. Dalam Hadis qudsi
dinyatakan,
ل يزال العبد يتقرب ال بلنوافل حت احبه فاذا احببته كنت سعه و بصره ولسانه و يده و رجله فبى يسمع و بى يبصر و بى ينطق و بى يبطش وبى
يمشى Seorang hamba yang mendekatkan diri kepada-Ku melalui
ibadah sunah maka Aku mencintainya. Apabila Aku sudah
mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya,
penglihatannya, ucapannya, tangannya, dan lidahnya.
Sehingga bersama-Ku ia mendengar, bersama-Ku ia melihat,
bersama-Ku ia bicara, bersama-Ku ia menggores (memegang),
dan bersama-Ku ia berjalan.
Kiamat yang dihasilkan dari fanâ tauhid ini menghasilkan
surga meteril yang bisa disaksikan dan merupakan surga yang lebih
tinggi dari surga wâritsah dan surga nafsiyyah.
Pembagian surga semacam itu telah disinggung oleh Ibn
‘Arabî146
. Menurutnya, surga ada tiga: pertama Jannah Ikhtisâs Ilâhî,
145 Dalam ilmu kalam, al-Haq diyakini sebagai Allah SWT, zat yang
wujudnya pasti, azali, dan abadi. Hanya Allah yang haqq secara mutlak yang tidak
terikat pada situasi dan kondisi. Dalam Al-Qurân disebutkan,
ر ن ه ال ب اط ل و ا ن الله ه و ال ع ل ي ال ك ب ي ع و ن م ن د و ذل ك بأ ن الله ه و ال ق و ا ن م ا ي د
Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah al-Haq dan sesungguhnya
apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil; dan sesungguhya Allah
Dialah Yang Maha Tinggi, Maha Besar. (QS Luqman/31:30)
ر ف و ن ف ذل ك م الله ر بك م ال ق ف م اذ ا ب ع د ال ق ا ل الضلا ت ص ل ف أ ن Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka
tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu
dipalingkan (dari kebenaran)? (QS Yunus/10 :32)
Penjelasan lebih luas tentang Al-Haq, lihat, Ahamd Shafwan, Makna Al-Haq dalam Al-Qurân, (Disertasi Sekolah Pascasarjan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta: 1429 H/2008 M)
146 Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn ‘Alî ibn Muhammad ibn Ahmad
ibn ‘Abdillâh al-Hâtimî. Ia adalah putra dari ‘Abdullâh ibn Hâtim yang berasal dari
Qabilah Tayy. Ibn ‘Arabî biasa dipanggil dengan sebutan Abû Bakr dan dijuluki
dengan penghidup agama (muhyi al-dîn). Orang timur menyebutnya dengan al-
182 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
surga ini untuk orang-orang tertentu. Mereka adalah bayi mulai saat
lahir hingga enam tahun, orang-orang yang tidak waras/gila, penganut
tawhîd al-‘ilmi, dan mereka yang belum tersentuh ajakan dakwah
nabi. Kedua Jannah Mîrâts. Surga ini untuk semua kriteria yang ada
pada penghuni surga pertama bisa masuk pada surga ke dua, orang-
orang mumin, dan orang-orang yang sebelumnya memasuki neraka.
Ketiga Jannah al-A’mâl. Surga ini adalah untuk orang-orang yang
masuk surga karena amal perbuatannya. Di sini mereka merasakan
tingkatan kenikmatan yang berbeda. Mereka yang lebih utama amal
perbuatannya memperoleh kenikmatan surga lebih banyak.147
Ibn ‘Arabî juga menjelaskan terdapat empat golongan
penduduk surga. Pertama, para rasul yang di dalamnya termasuk
para nabi. Kedua, para wali yang menyaksikan kehidupan para nabi
dan mengkituti ajaran-ajrannya dan Sharî’ah Tuhan-nya. Ketiga,
orang-orang mumin yang membenarkan dakwah para nabi. Keempat,
para ulama yang teguh dalam bertauhid serta mampu menjelaskan
keteguhannya secara logis.148
Dalam Al-Qurân dinyatakan,
اله ا ل ش ه د الله ا نه ل ا له ا ل ل ق س ط ل ل وا ال ع ل م قآئ ما ب ه و و ال م لائك ة و ا و ه و ال ع ز ي ز ال ك ي م
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia;
(demikian pula para malaikat dan orang-orang berilmu yang
menegakkan keadilan, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha
Perkasa, Maha Bijaksana. (QS Âli ‘Imrân/3: 18)
ت و ا ال ع ل م د ر جت و الله ب ا ت ع م ل و ن ... ي ر ف ع الله الذ ي ن آم ن و ا م ن ك م و الذ ي ن ا و ر خ ب ي
Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
Hâtimî atau Ibn ‘Arabî untuk membedakan dengan al-Qâdî Abû Bakr ibn al-‘Arabî.
Ia lahir hari Senin, 17 Ramadân 650 H/28 Juli 1165 M di kota Mursiyah, Andalusia.
Lihat, Muhyi al-Dîn Muhammad ibn ‘Alî ibn Muhammad Ibn ‘Arabî al-Hâtimî,
Fusûs al-Hikam, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003 M/1424 H), cet. ke-1, h.
12
147 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h.120
148 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 120
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 183
beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu
kerjakan. (Al-Mujâdilah/58: 11)
Hanya ada dua cara untuk mengantarkan kepada ma’rifat allah.
Pertama adalah al-kashf, yaitu terbukanya tabir ilahi sehingga segala
sifat makhluk yang disandarkan kepada-Nya lenyap dan argumentasi
logika menjadi tidak dibutuhkan. Kedua adalah al-fikr, yaitu
menggunkan potensi kekuatan berpikir dan argumentasi rasional.
Sangat berbeda dengan cara pertama, pengguna cara ke dua ini
tekadang mengikutsertakan sifat-sifat makhluk dalam menjelaskan
ma’rifat allah sehingga rasa terbukanya tabir ilahi seolah dipaksakan.
Orang yang tidak menggunakan salah satu atau keduanya dari ilmu
ini dalam bertauhid maka ia hanyalah seorang muqallid.
Namun demikian, ada orang-orang yang sampai kepada
ma’rifat allah tanpa melalui kedua cara tersebut. Contohnya, orang-
orang berilmu yang menyaksikan kesaan Allah melalui tanda-tanda
atau penglihatan langsung karena mereka pada tingkat peng-esa-an
secara zat yang bisa dijelaskan menggunakan penjelasan Sharî’ah
yang rinci. Yang seperti ini terkadang diberikan juga kepada ahli al-
kashf.
Saat menyaksikan Al-Haq di surga ‘adn, orang-orang yang
tergolong ahl ma’rifat allâh dibedakan menjadi empat tingkatan.
Pertama, tingkatan untuk para nabi dan rasul yang disebut dengan
ashâb al-manâbir yang merupakan tingkatan paling tinggi. Kedua
adalah para wali dan pewaris nabi yang mencontoh perkataan,
perbuatan, dan keadaan para rasul. Mereka adalah sahabat penduduk
‘arsh dan berada di sisi Tuhannya. Ketiga adalah orang-orang yang
mengenal Allah melalui identifikasi logika. Mereka adalah sahabat
penghuni kursî. Keempat adalah orang-orang mumin pengikut ahl
ma’rifat allâh.149
149 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 121
184 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Tabel Nomor 6: Hierarki Ahli Makrifat
Âmulî memuji penjelasan Ibn ‘Arabî tentang surga dan
penghuninya. Namun demikian, Âmulî juga mengangkat pendapat
ahlillâh yang meringkas bahwa:
Manusia hanya digolongkan menjadi dua; kafir dan muslim.
Kafir terbagi menjadi tiga; musyrik, kafir aslî seperti
penyembah patung dan berhala, dan ahl al- kitâb yang yang
meyamakan Allah dengan sifat dan nama makhluk-Nya
seperti Majusi, Yahudi dan Nasrani.
Ada tiga tingkatan neraka; neraka paling atas, neraka paling
bawah, dan neraka di antara paling atas dan paling bawah.
Ada tiga tingkatan orang muslim; para nabi, para rasul, dan
para wali mulai dari nabi Syits hingga imam Mahdi.
Ahl al-‘ilmi bi Allâh yang mencapai makrifat melalui kashf
dan yang melalui ilmu pengetahuan terbagi menjadi tiga; para
sufi, para ulama penegak syariat, dan orang-orang yang
beriman yang bertaklid dan yakin. Mereka ini terbagi menjadi
tiga juga; kelompok awam, khâs, dan khâs al-khâs yang
keberadaanya di surga sesuai dengan amal perbuatannya.150
Segala puji milik Allah yang telah memberikan kita petunjuk
mengenai hal ini. Tanpa petunjuk-Nya, pastilah kita tidak mengenal
yang demikian ini.
150 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 121
Ashâb al-Manâbir
Wali & Pewaris Nabi
Filosof
Mumin Pengikut Ahli Makrifat
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 185
3. Ma’âd Ahl Haqîhah
a. Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Ma’nawiyyah
Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Ma’nawiyyah (Kiamat Abstrak Kecil)
adalah fanâ dalam bertauhid yang terlepas dari perbuatan-Nya, sifat-
Nya, dan zat-Nya sehingga sampai kepada penyaksian Satu Pelaku.
Hal yang demikian itu karena tirai perbuatan yang terbuka sebab
tajamnya penglihatan kalbu menjadi semakin naik lalu membuka
semua tirai sehingga semua perbuatan menjadi tidak tersaksikan,
yang terlihat hanya Satu Pelaku yang sedang menguasai segalanya,
berjaga di sisi kekuasaan dan otoritas-Nya, melindungi di sisi
penaungan dengan penuh pertimbangan. Pada keadaan seperti ini,
seseorang tidak lagi menyaksikan yang bukan Dia, yang dilihat hanya
banyaknya perbuatan yang berasal dari Satu Pelaku, Al-Haq SWT
Yang Maha Penting untuk terus diucap. Begitulah kiamat kecil,
ibarat mayat yang sedang dimandikan, ia pasrah, tawakal, dan
berserah diri sepenuhnya yang kesemuanya terlihat melalui perbuatan
bukan perkataan sehingga dirasakan bahwa pelaku sesungguhnya
adalah hanya Allah SWT.
Namun demikian, Ada perbedaan keadaan antara mayat dan
yang memandikan seperti ada perbedaan antara salat dan pelaku
salat. Walaupun bentuk salat satu namun pelaku salat tidak dalam
satu status. Seseorang yang memiliki pengetahuan salat, khusyu
dalam salat, serta merasakan kehadiran-Nya, pasti salatnya berbeda
dengan salat seseorang yang tidak memiliki pengetahuan salat, was-
was dalam salat, dan penuh kelengahan.
Pelaku salat khusyu dalam Al-Qurân dinyatakan,
ع و ن )( و الذ ي ن ه م ع ن ق د ا ف ل ح ال م ؤ م ن و ن )( الذ ي ن ه م ف ص لت ه م خ اش ال ل غ و م ع ر ض و ن )(
Sungguh beruntung orang-orang yang beriman (1) (Yaitu)
orang yang khusyuk dalam salatnya (2) dan orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak
berguna. (QS al-Muminûn/23: 1-3)
186 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
و الذ ي ن ه م ع ل ى ص لوت م ي اف ظ و ن )( ا ولئ ك ه م ال و ار ث و ن )( الذ ي ن ي ر ث و ن س ه م ف ي ه ا خل د و ن )( ال ف ر د و
Serta orang yang memelihara salatnya (9) Mereka itulah orang-
orang yang akan mewarisi (10) (Yakni) yang akan mewarisi
(surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. (QS al-
Muminûn/23: 9-10)
Pelaku salat tidak khusyu dalam Al-Qurân dinyatakan: ت م و م ا ك ان ص لوت ه م ع ن د ال ب ي ق و ا ال ع ذ اب ب ا ك ن ت ا ل م ك اء و ت ص د ي ة ف ذ و
ف ر و ن ت ك Dan salat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah
siulan dan tepuk tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan
kekafiranmu itu. (QS al-Anfâl/8: 35)
Begitulah maksud dari kiamat abstrak kecil yang dialami
pelaku tawhîd al-af’âl yang tidak lagi melihat perbuaatan selain
perbuatan-Nya. Setelah fanâ dari semua perbuatan visual maka
hasilnya adalah surga al-af’âl beserta isi dan nikmatnya yang
sesungguhnya, yaitu, menyaksikan Satu Pelaku. Dalam hal ini, ada
tiga surga yang dikhusukan untuk mereka yang fanâ dalam perbuatan
jasmani atau perbuatan rohani. Yaitu:, Jannah al-Af’âl, Jannah al-
Sifât, dan, Jannah al-Dzât.
Jannah al-Af’âl adalah surga visual seperti makanan lezat,
minuman nikmat, dan pasangan cantik atau tampan sebagai ganjaran
perbuatan mulia. Namun substansi dari surga visual itu adalah
penghuninya senang, gembira, dan merasa lezat dan nikmat saat
menyaksikan beragam perbuatan yang terpancar dari Satu Pelaku.
Keadaan seperti itu ibarat satu roh yang melekat pada semua objek
alam. Pelaku tawhid al-af’âl menyaksikan dirinya sebagai hakikat
insan yang sesungguhnya setelah menyadari jasad dan pergerakan
seluruh anggota tubuhnya. Para nabi, wali, dan ‘ârif merasakan
kehadiran Al-Haq dalam alam seperti merasakan roh pada jasad.
Dalam sabda nabi SAW disebutkan,
من عرف نفسه فقد عرف رب ه
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 187
Seseorang yang mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya.
Dalam Al-Qurân,
ك م ح ت ي ت ب ي ل م ا نه ال ق ا و ل ي ك ف فق و ف ا ن ف س س ن ر ي ه م اي ت ن ا ف ال ب ر ب ك ا نه ع ل ى ك ل ش ي ئ ش ه ي د
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka
sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qurân itu
adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu
menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS Fussilat/41: 53)
Dalam syair,
فرده لكن حججبه الكنةب و كل الذى شاهدته فعل واحد و ل يبقى بلشكال اشكال رتبة اذا مازال الستر ل ترغيه
Semua yang aku saksikan hanya Satu Perbuatan
Dengan kesendirian-Nya yang tertutup hijab
Jika hijab itu tetap ada maka kamu hanya melihat selain-Nya
(Penglihatan) semua yang tidak kekal dalam bentuk-bentuk
tingkatanya
Jannah al-sifat adalah surga nonmateriil. Surga macam ini
adalah kemunculan atau manifestasi sifat-sifat ilahi yang timbul
akibat hati yang lembut yang penuh dengan akhlak dan sifat rabani.
Jannah al-dzât adalah menyaksikan Satu-satunya Zat Yang
Maha Indah di saat segala sesuatu menampakan wajahnya. Surga
macam ini juga disebut dengan jannah al-rûh, yaitu surga hasil dari
menjalankan tauhid zat dan mata roh telah dibubuhi hakikat celak
sehingga tidak bisa melihat selamanya kecuali hanya Yang Dicintai.
Singkatnya, maksud dari fanâ pelaku al-tawhîd al-fi’lî dan
kiamat kecil abstrak adalah jannah al-af’âl yang tingkatan materi dan
immaterinya sesuai tingkatan dan derajat pelakunya.
Berikut ini macam surga beserta deskripsi dan penghuninya:
188 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Tabe Nomor 7 : Macam Surga, Deskripsi, dan Penghuninya
MACAM
SURGA DESKRIPSI PENGHUNI
Jannah al-Af’âl Surga materiil seperti hidangan
lezat & nikmat, pasangan cantik
atau tampan, dan semisalnya.
Pelaku Tauhid
Af’âl
Jannah al-Sifat Surga nonmateriil seperti
hadirnya manifestasi sifat-sifat
ilahi akibat lembutnya hati dan
akhlak rabani.
Pelaku Tauhid
Sifat
Jannah al-Dzât/
Jannah al-Rûh
Penyaksian Satu-satunya Zat di
saat selain-Nya menampakan
wajahnya.
Pelaku Tauhid
Zat
b. Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Ma’nawiyyah
Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Ma’nawiyyah (Kiamat Abstrak
Menengah) adalah keadaan fanâ dalam mengesakan sifat-sifat-Nya
sehingga sampai kepada penyaksian Satu Sifat. Yang demikian
adalah sebab terbukanya semua tirai sifat sehingga tirai penyaksian
selain-Nya pudar. Dengan demikian semua yang ada dan terlihat
hanyalah Satu Sifat yang memancar ke semua makhluk-Nya ibarat
kehidupan dalam tubuh manusia atau ibarat kemampuan berbuat pada
manusia dan hewan. Kemampuan berbuat pada manusia dan hewan
terlihat satu namun sesungguhnya yang satu itu adalah tersusun dari
kemampuan berbuat tiap anggota tubuh. Jika sudah seperti itu,
seseorang telah sampai pada al-qiyâmah al-wustâ al-ma’nawiyyah
dan terbebas dari sempitnya melihat yang bukan perbuatan-Nya,
yaitu kematian sebenarnya.
Dalam Al-Qurân dinyatakan,
ن ا ع ن ك غ طاء ك ا ف ك ش ف ل ة م ن هذ ف ب ص ر ك ال ي و م ح د ي د ل ق د ك ن ت ف غ ف Sungguh, kamu dahulu lalai tentang (peristiwa) ini, maka
Kami singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga
penglihatanmu pada hari ini sangat tajam. (QS Qâf/50: 22) Dalam syair sering diucapkan,
وذاك سر لهل العلم ينكشف تلفة العي واحدة و الش كل م
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 189
Mata adalah satu namun bentuknya saling berbeda.
Bagi ahl al-‘ilmi itu (bisa) menyingkap tabir rahasia.
Abû Yazîd al-Bustâmî151
saat ditanya kabarnya di pagi hari ia
menjawab tidak ada pagi dan tidak ada siang. Pagi dan siang hanya
untuk mereka yang menyematkan sifat sedangkan aku, Abû Yazîd ,
tidak punya sifat. Nampak sekali bahwa tirai sifat bagi Abû Yazîd
telah tersingkap sehingga ia merasakan keadaanya.
Zat terhalangi oleh sifat dan sifat terhalangi oleh perbuatan.
Seseorang yang belum terbebas dari tirai perbuatan ia belum
bertauhid fi’lî, yang belum terbebas dari tirai sifat ia belum bertauhid
wasfî, yang belum terbebas dari tirai zat ia belum bertauhid dzâtî, dan
yang belum bertauhid pada ketiga tauhid ini maka islam dan imannya
belum sesuai tuntunan. Ia hanya berbentuk manusia namun
sesungguhnya ia bukanlah maunusia.
Dalam Al-Qurân dinyatakan,
م الذ ي ن ل ي ع ق ل و ن ا ن ش ر الدو اب ع ن د الله الص م و ال ب ك Sesungguhnya makhluk bergerak yang bernyawa yang paling
buruk dalam pandangan Allah ialah mereka yang tuli dan bisu
(tidak mendengar dan memahami kebenaran) yaitu orang-orang
yang tidak mengerti (QS Al-Anfâl/8: 22) را م ن الج ن و ال ن س ل م ق ل و ب ل ي ف ق ه و ن ب ا و ل م و ل ق د ذ ر أ ن لج ه نم ك ث ي
م ع و ن ب ا ا ولئ ك ك ال ن ع ام ب ل ه م ا ض ل ر و ن ب ا و ل م اذ ان ل ي س ا ع ي ل ي ب ص ا ولئ ك ه م ال غف ل و ن
Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari
kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan
mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
151 Nama lengkapnya adalah Abû Yazîd al-Bustâmî Tayfûr bin ‘Îsa al-
Bustâmî. Ayahnya adalah seorang Majusi yang kemudian masuk Islam. Ia adalah
salah satu dari tiga bersaudara: Adam, Tayfûr, dan ‘Alî. Mereka semua ahli zuhud
dan ahli ibadah namun yang paling agung prilakunya adalah Abû Yazîd. Ia wafat
pada 261 H namun ada juga yang mengatakan ia wafat pada 234 H. Abû Yazîd
pernah ditanya bagaimana ia bisa sampai kepada makrifat Allah seperti itu lalu
dijawab bahwa ia mencapainya dengan perut lapar dan tubuh telanjang. Lihat, Abû
al-Qâsim ‘Abd al-Karîm bin Hawzân al-Qushairî, Al-Risâlah al-Qushairiyyah,
(Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, 2011 M/1433 H), cet. ke-1, h. 41
190 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan
ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang
yang lengah. (QS al-A’râf/7: 179)
Hasil penyaksian saat kiamat kecil ini adalah jannah al-shifat
yang segala isi kenikmatan dan keindahannya berupa penyaksian Satu
Sifat Yang Maha Mencintai secara jasmani dan atau rohani. Dalam
syair disebutkan,
تلى المحبوب ف كل وجهة
فشاهدته ف كل معنى و صورة
Muncul yang kucintai dari setiap arah
Aku saksikan dia pada tiap abstraknya dan bentuknya
c. Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah
Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah (Kiamat Abstrak Besar)
adalah ibarat fanâ dari penyaksian semua yang kekal menuju
penyaksian Zat Al-Haq. Dalam Al-Qurân dinyatakan,
ر ام )( ه ر ب ك ذ و الج لل و ال ك ك ل م ن ع ل ي ه ا ف ان )( و ي ب ق ى و ج Semua yang ada di bumi akan binasa (26) Tetapi wajah
Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal
(27) (QS al-Rahmân/55: 26-27)
م و ل ت د ع م ع الله ا ه ه ل ه ال ك لا اخ ر ل اله ا ل ه و ك ل ش ي ئ ه ال ك ا ل و ج و ال ي ه ت ر ج ع و ن
Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah.
Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala
sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi
wewenang-Nya. Dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan
(QS Al-Qasas/28: 88)
Keadaan seperti itu karena tirai zat Al-Haq terbuka,
penghalang keindahan dan keluhurun wujud-Nya musnah, dan
pembatas melihat selain-Nya pudar, sehingga yang tersaksikan
hanyalah zat-Nya Yang Maha Esa. Dalam syair dilantunkan,
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 191
جالك ف كل القائق ساير و ليس له ال جلالك ساتر
Keindahan-Mu beradaptasi dengan semua realitas
(Keindahan) yang memiliki Keluhuran-Mu yang menabir semua
Ahli ma’rifah152 mengucapkan tidak ada yang ada kecuali Allah
SWT beserta nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-
perbuatan-Nya. Semua adalah Dia, dengan Dia, dari Dia, dan kepada
Dia. Dengan demikian sampai kepada tauhid zat dan berada di arena
kiamat besar yang di dalamnya menyaksikan maksud dari firman-
Nya,
د ي و م ه م بر ز و ن ن ه م ش ي ئ ل م ن ال م ل ك ال ي و م لل ال و اح ي ف ى ع لى الله م ل ال ق هار
(Yaitu) pada hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tidak
sesuatu pun keadaan mereka yang tersembunyi di sisi Allah.
(Lalu Allah berfrman): “Milik siapakah kerajaan pada hari ini?”
Milik Allah Yang Maha Esa, Maha Mengalahkan. (QS al-
Ghâfir/40 : 16)
Penyaksian maksud firman Allah di atas disebakan pandangan
tauhid yang menguasai semua zat dalam satu pemahaman bahwa
yang ada hanya Allah SWT. Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang
152 Menurut Ibn ‘Atâ Illâh, ma’rifah adalah memahami sesuatu (ada) pada zat
dan sifat Allah SWT. Ma’rifat dibedakan menjadi dua; ma’rifat umum dan ma’rifat
khusus. Maksud dari ma’rifat umum adalah menetapkan dan menyucikan wujud
Allah SWT dari semua yang tidak layak untuk disandarkan kepada-Nya. Makrifat
khusus adalah menyaksikan Allah SWT (ada) pada zat-Nya, sifat-sifat-Nya, nama-
nama-Nya, dan segala perbuatann-Nya. Menurut Ibn ‘Arabi, tingkatan ma’rifat ada
tiga: pertama, penyaksian/musyahadah. Kedua, melihat segala sesuatu melalui
argumentasi tauhid. Ketiga melihat Al-Haq pada setiap sesuatu. Ada tiga tingkatan
penyaksian. Yaitu: penyaksian makhluk pada Al-Haq, penyaksian Al-Haq pada
makhluk, dan penyaksian hanya Al-Haq. Lihat, Abû al-Wafâ al-Ganîmî al-
Taftâzânî, Ibn ‘Atâ Illâh al-Sakandarî wa Tasawwufuhû, (Al-Qâhirah: Maktabah al-
Anjalû al-Misriyyah, 1389 H/ 1969), cet. ke-2, h. 269. Lihat juga, Ahmad Mahmûd
al-Jazâr, Al-Fanâ wa al-Hub al-Ilâhî ‘inda Ibn ‘Arabî, (Jâmi’ah al-Qâhirah: Maktabah
Nahdah al-Sharaq 1991), h. 160
192 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Zahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Megetahui segala sesuatu.153
Keawalan-Nya tidak merubah sifat dan zat keakhiran-Nya, kezahiran-
Nya tidak merubah sifat dan zat kebatinan-Nya, dan seterusnya.
Dalam Al-Qurân disebutkan,
ف ه م ح ت ي ت ب ي ل م ا نه ال ق ا و ل ي ك ف اق و ف ا ن ف س س ن ر ي ه م ايت ن ا ف ال ب ر ب ك ا نه ع ل ى ك ل ش ي ئ ش ه ي د )( ا ل ا ن ه م ف م ر ي ة م ن ل ق آء ر ب م ا لآ ا نه ب ك ل
ش ي ئ م ي ط Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka
sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qurân itu
adalah benar. Tidak cukupkan (bagi kamu) bahwa Tuhanmu
menjadi saksi atas segala sesuatu? (53) Ingatlah, sesungguhnya
mereka dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan
mereka, ingatlah, sesungguhnya Dia Maha meliputi segala
sesuatu. (QS Fussilat/41: 53-54)
Itulah yang dinamakan penyaksian atau tauhid zat. Tidak ada
tauhid yang lebih tinggi dari tauhid macam ini. Tauhid ini adalah
tauhid khusus untuk orang khusus.154
Tauhid ini ditandai dengan adanya ketetapan, keteguhan dan
kestabilan dalam menjalankan perintah-Nya sebagaimana
difirmankan,155
و آء ت ق م ك م ا ا م ر ت و ل ت تب ع ا ه ه م و اس
Dan tetaplah (beriman dan berdakwah) sebagaimana
diperintahkan kepaamu (Muhammad) dan janganlah mengikuti
keinginan mereka. )QS al-Shûrâ/42:15)
Ketetapan atau istiqamah dalam bertauhid semacam itu adalah
jalan lurus/sirât al-mustaqîm yang diibaratkan seperti dua titik yang
membentuk garis. Satu dari titik itu adalah al-shirk al-jallî dan satu
ر و الظ ه ر و ال ب اط ن و ه و ب ك ل ش ي ئ ع ل ي م 153 خ (QSAl-Hadîd/57:3) ه و ال ول و الآ
154 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 127
155 QS Al-Shûrâ/42: 15
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 193
titik lainnya adalah al-shirk al-khaffî sedangkan sirât al-mustaqîm
ada di tengah-tengahnya. Penyaksian yang sangat dekat156
kepada
sirât al-mustaqîm dialami nabi Muhammad saat malam Mi’raj. Dalam
Al-Qurân diterangkan,
م ا ز اغ ال ب ص ر و م ا ط غ ى )( ل ق د ر أ ى م ن ء ايت ر ب ه ال ك ب ر ى )(Penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang
dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya (17) Sungguh,
dia telah melihat sebagian tanda-tada (kebesaran) Tuhannya
yang paling besar (18) (QS Al-Najm/53: 17-18)
Seseorang yang memalingkan pendangannya ke batasan
pandangan hakiki maka ia telah keluar dari sirât al-mustaqîm157 dan
masuk dalam kumpulan orang-orang musyrik dan sesat. Hendaklah
seseorang tidak menoleh ke kanan yang merupakan simbol dunia atau
al-jam’u dan tidak juga menoleh ke kiri yang merupakan simbol
akhirat atau al-taffarruq. Hendaklah ia menyaksikan antara keduanya.
Penyaksian semacam itu adalah penyaksian para nabi, rasul, dan wali
khusunya nabi Ibrahim AS dan anak-anaknya. Salah seroang ‘ârif
mengatakan “jauhilah berkumpul/al-jam’u dan berselisih/ al-taffarruq
karena perkumpulan mewarisi ketidakpercayaan/atheism dan
perselisihan menafikan Pelaku Mutlak. Oleh karena itu, gunakan
keduanya karena keduanya Penyatu Hakiki
Sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah ف ك ان ق اب ق و س ي أ و أ د نى 156
atau lebih dekat (QS al-Najm/53: 9). Dekatnya penyaksian itu menghasilkan
himbauan untuk tidak mengeraskan dan juga tidak merendahkan suara dalam salat
namun mencari jalan tengah di antara keduanya. ت ك ت اف ت ب ا و اب ت غ و ل ت ه ر ب ص لا dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam salat dan …“ ب ي ذل ك س ب ي لا
janganlah (pula) merendahkannya dan usahakanlah jalan tengah di antara kedua itu”
(QS al-Isrâ/17: 110)
157 Menurut Harun Nasution, sirât al-mustaqîm adalah ibarat jalan raya yang
memiliki berbagai jalur. Jalur-jalur tersebut adalah teologi, ibadah, hukum, politik,
falsafah, tasawuf, pembaharuan, dan lain-lain. Siapapun yang memilih jalur tersebut
selagi tidak keluar dari ketentuan Al-Qurân dan Hadis maka ia masih berada dalam sirât al-mustaqîm . Lihat, Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta:
UI-Press, 1986), cet. ke-2, h. 36-37
194 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Surga pada kiamat ini adalah jannah al-dzât yang merupakan
puncak surga tertinggi yang dikhususkan untuk mereka yang dalam
bertauhid tidak lagi menyaksikan selain-Nya. Dalam Al-Qurân
dinyatakan,
ق ع ن د م ل ي ك م ق ت د ر )( د ا ن ال م تق ي ف ج ن ت و ع ي و ن )( ف م ل ك ص Sungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di taman-
taman dan sungai-sungai (54) di tempat yang disenangi di sisi
Tuhan Yang Mahakuasa (55) (QS Al-Qamar/54: 54-55)
Seseorang yang menyaksikan keberadaan selain-Nya maka ia
tidak bertauhid dan tidak bertakwa. Orang bertauhid adalah mereka
yang bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa, yaitu
dengan tidak menyaksikan selain-Nya. Hal ini harus terus dilakukan
sampai mati hakiki. Dalam Al-Qurân dinyatakan158
ل م و ن يا ي ه ا الذ ي ن ام ن و ا ات ق و ا لله ح ق ت قت ه و ل تم و ت ن ا ل و ا ن ت م م س Wahai orang-orang yanb beriman! Bertakwalah kepada Allah
sebenar-benarnya takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati
kecuali dalam keadaam muslim. (QS Âli ‘Imrân/3: 102)
Maksud dalam keadaan muslim adalah dalam keadaan
bertauhid zat bukan tauhid sifat atau tauhid perbuatan serta
meneladani Amîr al-Muminîn, ‘Alî ibn Abî Tâlib yang paham sekali
mengenai rahasia islam dan tauhid. Dalam satu ungkapannya
dinyatakan, “Aku ikat Islam dengan ikatan yang belum pernah diikat
oleh orang sebelumku. Islam adalah berserah diri, berserah diri
artinya yakin, yakin artinya membenarkan, membenarkan artinya
menetapkan, dan menetapkan artinya menjalankan, menjalankan
artinya perbuatan mulia” Firman Allah,
ل ق س ط ل ال ه ا ل ه و ل وا ال ع ل م قائ ما ب ش ه د الله ا نه ل ال ه ا ل ه و و ال م لئ ك ة و ا و م ()ال ع ز ي ز ال ك ي م لا ا ن الد ي ن ع ن د الله ال س
Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian
pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan
keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa,
158 Âmulî, Asrâr al-Sharî’ah…, h. 138
Konsep al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 195
Mahabijaksana. Sungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam
(QS Âli ‘Imrân/3: 18)
Dalam hal ini, cukup Allah SWT, para malaikat, dan orang
berilmu dari hamba-Nya yang menyaksikan. Sebagaiman dinyatakan
dalam Al-Qurân, ن ك م و م ن ع ن د ه لله ش ه ي دا ب ي نى و ب ي و ي ق و ل الذ ي ن ك ف ر و ا ل س ت م ر س لا ق ل ك ف ى ب
ع ل م ال ك ت اب Dan orang-orang kafir berkata, “Engkau (Muhammad)
bukanlah seorang rasul.” Katakanlah, “Cukuplah Allah dan
orang yang menguasai ilmu Al-Kitab menjadi saksi antara aku
dan kamu. (QS al-Ra’d/13: 43)
Berikut ini adalah tabel diskripsi al-ma’âd perspketi Sayyid Haydar
al-Âmulî,
Tabel nomor 7: Diskripsi al-ma’âd menurut Âmulî
No KIAMAT KOSMIK
1 Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Sûriyyah
Kiamat adalah kehancuran alam
semesta dan isinya
2 Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Sûriyyah
Kiamat adalah kembalinya alam
kepada bentuk semula.
3 Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Sûriyyah
Kiamat adalah kembalinya semua alam
rohani dari sejumlah akal dan sejumlah
jiwa menuju esensi pertama
4 Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Ma’nawiyyah
Kiamat adalah kembalinya seluruh jiwa
yang berpencaran menuju satu jiwa.
5 Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Ma’nawiyyah
Kiamat adalah kembalinya semua roh
yang memiliki ikatan dengan jasad
kepada satu roh besar.
6 Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah
Kiamat adalah kembalinya seluruh akal
kepada akal yang satu
KIAMAT AHL –TARÎQAH
7 Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Ma’nawiyyah
Kiamat adalah keadaan waspada
terhadap kehidupan setelah mati.
Kewasadaan itu berbentuk kematian
merah, kematian putih, kematian hijau,
dan kematian hitam.
196 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
8 Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Ma’nawiyyah
Kiamat adalah matinya seseorang dari
akhlak tercela kemudian hidup dengan
akhlak terpuji dan berperangai mulia.
9 Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah
Kiamat adalah keadaan fanâ dalam
bertauhid bersama Al-Haq
KIAMAT AHL AL-HAQÎHAH
10 Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Ma’nawiyyah
Kiamat adalah fanâ dalam bertauhid
yang terlepas dari perbuatan-Nya, sifat-
Nya, dan zat-Nya sehingga sampai
kepada penyaksian Satu Pelaku.
11 Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Ma’nawiyyah
Kiamat adalah keadaan fanâ dalam
mengesakan sifat-sifat-Nya sehingga
semua tirai sifat terbuka dan
penyaksian selain-Nya pudar.
12 Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah
Kiamat adalah fanâ dari penyaksian
semua yang kekal menuju penyaksian
zat Al-Haq
197
BAB V
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran
al-Ma’âd Sayyid Haydar al-Âmulî
Sayyid Haydar al-Âmulî biasa menguatkan pemikiran
eskatologinya dengan ayat-ayat Al-Qurân. Namun tidak setiap ayat
dijelaskan secara luas. Untuk memahami ayat-ayat Al-Qurân yang
digunakan sebagai penguat pemikiran eskatologinya maka perlu
penyelidikan makna dan kandungannnya melalui pendapat sejumlah
ahli tafsir.
Berikut ini adalah ayat-ayat Al-Qurân yang dijadikan penguat
dan peneguh penjelasan al-ma’âd Sayyid Haydar al-Âmulî yang
kemudian ditinjau dari pemahaman beberapa ahli tafsir:
A. Argumentasi Kiamat Kosmik
1. Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Sûriyyah
a. Tanda Hari Kiamat dalam al-Takwîr/81: 1-13
(و ا ذ ا الج ب ال س ي ت 2( و ا ذ ا النج و م ان ك د ر ت )١) ا ذ ا الشم س ك و ر ت ر ت )۶( و ا ذ ا ل ع ش ار ع ط ل ت )۳) ( و ا ذ ا ال ب ح ار ۵( و ا ذ ا ال و ح و ش ح ش
ر ت )( و ا ذ ا الن ف و س ز و ج ت ) ( بأ ي ذ ن ب ۸ء و د ة س ئ ل ت )( و ا ذ ا ال م و ۷س ج ر ت )۹ق ت ل ت ) ط ت )١۰( و ا ذ ا الصح ف ن ش ( و ا ذ ا ١١( و ا ذ ا السم اء ك ش
ي م س ع ر ت ) )١۳ (( و ا ذ ا الج نة أ ز ل ف ت ١2الج ح
“Dan apabila matahari digulung (1) Dan apabila bitang-bintang
berjatuhan (2) Dan apabila gunung-gunung dihacurkan (3 )
Dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak
terurus) (4) Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan
(5) Dan apabila lautan dipanaskan (6) Dan apabila ruh-ruh
dipertemukan (dengan tubuh) (7) Dan apabila bayi-bayi
perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya (8) Karena dosa
apakah dia dibunuh (9) Dan apabila catatan-catatan (amal
perbuatan manusia) dibuka (10) Dan apabila langit dilenyapkan
(11) Dan apabila neraka Jahim dinyalakan (12) Dan apabila
surga didekatkan (13)
198 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Ayat ini menjelaskan hari kiamat dengan menyebut sejumlah
tanda-tandanya, menjelaskan peristiwa yang terjadi saat kejadiannya,
serta mengungkapkan segala yang telah dilakukan manusia. Selain
dari itu ayat ini juga menguatkan bahwa semua yang disampaikan
nabi saat itu adalah benar-benar nabi dan rasul ‘langit’ yang diterima
dari malaikat wahyu bukan dari shaitân dan menjadi jelas bahwa
sang nabi bukanlah seorang yang gila.1 Saat kejadian ini seluruh jiwa
mengetahui jelas semua perbuatan baik dan buruk yang pernah
dilakukan dan melihat jelas ganjaran yang akan diterima sehingga
semua berangan-angan memperoleh yang terbaik.2
Saat kiamat, matahari digulung3 seperti digulungnya surban
sebelum dipakai di kepala sehingga sinarnya menjadi tidak ada. Nabi
SAW bersabda, “sesungguhnya matahari dan bumi digulung pada hari
kiamat.” Matahari adalah pesuruh yang diperintahkan menyebarkan
cahayaanya di malam hari dan membungkus cahayanya di waktu
petang. Seperti pekerja yang mengumpulkan perlengkapannya dan
melipat buku kerjanya, maka pasti ada satu waktu yang
membebastugaskan pekerjaannya, sekalipun tanpa sebab.4
Ada enam peristiwa terjadi sebelum kiamat: Saat manusia
sibuk di pasar,
1. Tiba-tiba sinar matahari tidak ada.
2. Bintang-bintang berjatuhan.5
1 Muhammad Husain al-Tabâtabâî , Al-Mîzan fî Tafsîr al-Qurân fî Tafsîr al-
Qurân, (Bairût: Muassasah al-A’lamî li al-Matbû’ât, 1411 H/1991 M), jilid ke-10, H.
235
2 Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Bairût: DârIhya wa al-
Turats al-‘Arabi, 1973 M/1394 H), cet. ke-3, jus ke30, h. 53
3 Menurut Ibn ‘Abbâs, matahari dimasukan ke dalam ‘arsh. Lihat, Al-
Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, Jilid ke-10, Juz 19, h. 148
4 Badî’ al-Zamân Sa’îd al- Nûrshî, Risâlah al-Hashr, (Dâr al-Sûzlar li al-
Nashr), h. 155
5 Al-Dahhâk meriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs, bintang-bintang bergelantungan
pada sejumlah rantai dibawah kendali para malaikat. Saat tiupan sangkakala
pertama ditiup maka mati seluruh makhluk bumi dan langit sehingga rantai-ranati
tersebut terlepas dari kontrol malaikat lalu saling berjatuhan. Saling berjatuahan
bintang-bintang ini disebut oleh sebagaian pendapat dengan hujan bintang sehingga
bintang yang di langit tidak tersisa karena semuanya jatuh menimpa bumi. Lihat,
Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ahmad al-Ansharî al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 199
3. Gunung-gunung terguncang, kacau, dan berbenturan hingga
menjadi satu.
4. Jin-jin merasa takut kepada manusia dan manusia takut kepada
jin.
5. Binatang-binatang darat dan burung-burung berbaur menyatu.
6. Unta-unta bunting diterlantarkan tuan-tuannya.6
Saat hewan-hewan liar dibangkitkan maka hewan-hewan
tersebut saling mengetahui bahwa sebagian dari mereka pernah
menjadi makanan unutuk sebagian lainnya. Sebagai makhluk yang
tidak terbeban syariat, hewan-hewan itu bisa saja melakukan protes,
bertikai dan saling membantah. Namun tidak satupun yang berbuat
demikian dikarenakan suasana yang sangat mencekam.7
Saat itu Jin berseru: kami datang membawa berita, bergegaslah
menuju laut-laut! Seketika laut-laut menjadi lautan api8, bumi dalam
sekejap beranjak turun ke permukan dasar ke tujuh paling bawah dan
Qurân, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413 H/1993 M), Jilid ke-10, Juz 19, h.
149. Lihat juga, Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-31, h. 68
6 Abû al-Fidâ Ibn Katsîr al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-iv, h.
575. Unta-unta bunting yang ditelantarkan tuannya adalah ibarat harta yang sangat
berharga yang tidak dipedulikan pemiliknya karena pemiliknya sibuk dengan dirinya
sendiri. Unta, terlebih yang bunting, merupakan harta istimewa pada masyarakat
Arab saat itu dan saat kiamat unta-unta itu diterlantarkan begitu saja karena sibuk
oleh pemiliknya karena sibuk dengan dirinya sendiri. Ini sesuai dengan QS Al-
Shu’arâ 26: 88, S ي و م ل ي ن ف ع م ال و ل ب ن و ن إل م ن أت ى الله ب ق ل ب س ل ي م , yaitu di hari
harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna kecuali orang-orang yang menghadap
Allah dengan hati yang bersih. Juga dalam QS ‘Abasa/80: 37, ئذ لكل امرىء منهم يوم setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup شأن يغنيه
menyibukannya. Lihat, Al-Tabâtabâî, Al-Mîzan fî Tafsîr al-Qurân fî Tafsîr al-Qurân, jilid ke-10, H. 236
7 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-31, h. 69
8 Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî al-Musammâ Jâmi al-Bayân fî Tawîl al-Qurân, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420 H/1999
M), jilid ke-12, h. 460. Menurut al-Marâghî, proses lautan menjadi panas dapat
diibaratkan cairan panas yang terus keluar dari mulut gunung merapi sehingga semua
daratan menjadi lautan cairan panas. Hal semacam itu pernah terjadi di Itali pada
1909 M dan tidak lama setelah itu terjadi lagi di Jepang. Lihat, Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, juz ke-30, h. 55.
200 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
melesat naik ke langit ketujuh paling atas, lalu angin datang dan
mematikan semua manusia.9
Peristiwa laut menjadi api dikuatkan dengan Hadis dalam
sunan Abû Daûd, “Tidak ada yang mengarungi lautan kecuali mereka
yang akan menunaikan ibadah haji, ibadah umrah, dan perompak
karena di bawah laut ada api dan di bawah api ada laut.
Ada tiga kelompok jiwa yang saling berbeda yang akan
disatukan saat kiamat. Ketiga kelompok jiwa itu adalah:
1. Jiwa yang keluar dari belahan kanan Adam AS. Catatan
kehidupan kelompok ini deserahkan ke tangan kanannya.
Mereka adalah penghuni surga.
2. Jiwa yang keluar dari belahan kiri Adam AS. Catatan
kehidupan kelompok ini deserahkan ke tangan kirinya. Mereka
adalah penghuni neraka.
3. Jiwa penghuni surga yang paling sedikit jumlahnya. Yaitu jiwa
para rasul, para nabi, al-siddîqûn, dan para shahîd.10
Menurut Ibn ‘Abbas, sebagaimana dikuti al-Qurtubî,11
Pada
hari kiamat semua jiwa dikelompokan menjadi tiga; jiwa para nabi
(al-sâbiqûn12), jiwa para penerima catatan hidup dengan tangan kanan
(ashâb al-yamîn), dan jiwa para penerima catatan hidup dengan
tangan kiri (ashâb al-shimâl). Semua jiwa tersebut membentuk ciri
penduduk surga dan penduduk neraka.
Pada zaman jahiliyyah, membunuh bayi perempuan dengan
cara mengubur hidup-hidup adalah hal biasa dengan alasan
kehormatan karena melahirkan bayi perempuan dianggap sebagai aib
dan cela. Saat kiamat bayi-bayi tersebut akan ditanya mengapa
9 Ibn Katsîr al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, jilid ke-iv, h. 575
10 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-iv, h. 341
11 Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, Juz 19, h. 231
12 Al-Sâbiqûn bisa berarti para nabi, orang-orang yang memperoleh derajat
surga paling tinggi, orang-orang yang mengalami salat dengan menghadap dua qiblat,
atau orang-orang yang bersegera memohon ampun dan bersegera melakukan
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 201
mereka dibunuh hidup-hidup agar diketahui dan ditimpakan balasan
setimpal kepada pelaku pembunuhnya. Jika teraniaya memberikan
penjelasan tentang mengapa ia dianiaya maka tentulah pelaku
penganiayaan tidak bisa menghindar dari penjelasannya.13
Seseorang bertanya kepada nabi tentang ibunya yang rajin
bersilatul rahim dan selalu memuliakan tamu namun pernah
terjerumus ke dalam perbuatan jahiliyyah apakah ibunya masuk surga
atau tidak. Nabi menjelaskan bahwa ibunya tidak masuk surga
kecuali jika ia memperkenalkan ajaran Islam. Nabi memerintahkan
Qays bin ‘Ashim yang mengaku membunuh hidup-hidup sejumlah
putrinya untuk memerdekakan budak sebanyak anak yang dibunuh.
Lalu Qays menceritakan kepada nabi bahwa ia memiliki banyak unta.
Maka nabi menyuruhnya menyebelih unta gemuk untuk setiap anak
yang dibunuh. Setahun berikutnya, Qays menyerahkan seratus unta
betina kepada nabi sebagai shadaqah. Nabi menyebut peristiwa itu
dengan al-Qayshiyyah. Ketika nabi ditanya siapa saja yang masuk
surga, ia menjelaskan bahwa bayi permpuan yang dikubur hidup-
hidup masuk surga.14
Keterangan yang demikian menggugurkan pemahaan bahwa
Allah SWT akan menyiksa bayi-bayi musyrikin. Mereka tidak akan
disiksa karena mereka tidak berdosa. Bagaimana mungikin para bayi
disiksa selama-lamanya sedangkan kekejian ada pada para
penguburnya? Itulah mengapa yang disiksa adalah para pengubur
bukan yang dikubur.15
Kembali ke peristiwa kiamat. Saat lembaran-lembaran catatan
perbuatan duniawi diserahkan, Langit dihilangkan, neraka jahannam
menyala sebab dosa dan murka Allah, surga didekatkan kepada
penghuninya, maka saat itu setiap jiwa sadar terhadap apa yang telah
diperbuat.
kebaikan sebagaimana firman Allah س اب ق و ا ل م غ ف ر ة م ن ر ب ك م و ج نة ع ر ض ه ا السمو ات و .Lihat, Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm…, jilid ke-iv, h. 342 .ال ر ض
13Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm…, jilid ke-iv, h. 576
14 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm…, jilid ke-iv, h. 577-578
15 ‘Abd al-Jabbâr ibn Ahmad al-Hamdzânî, Mutashâbah al-Qurân, (Qâhirah:
Maktabah Dar al-Turtats, t. t.), jilid 1-2, h. 684
202 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Bagaimana mungkin setiap jiwa tidak sadar dengan potret
hidupnya di dunia sedangakan saat itu langit dilenyapkan yang
berarti segala yang ada di atasnya; surga dan ‘arsh Allah lenyap ibarat
hewan sembelihan yang kulitnya sudah disayati dan terpisah dari
badan dan ibarat wadah-wadah yang tutup-tutupnya terlepas.16
b. Pembangkitan Para Pendusta dalam Al-Naml/27: 83,
ف و جا و ي و م ن ش ر م ن ك ل أ مة ت ن ا ف ه م ي و ز ع و ن يا م ن ي ك ذ ب ب “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami mengumpulkan dari
setiap umat segolongan orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalam kelompok-kelompok)”
Ayat ini mengisahkan peristiwa hari kiamat dan kebangkitan
yang di dalamnya terdapat perkumpulan besar dalam satu kelompok.
Ada kaitan erat antara ayat ini dengan ayat sebelumnya17
yang
mengisahkan kemunculan sejenis hewan melata dari dalam bumi
sebagai tanda hari kiamat.
Hewan tersebut memiliki panjang 60 (enam puluh) hasta,
tingginya hingga menyentuh awan, dan jarak antara satu tanduk
dengan tanduk lainnya mencapai satu farsakh, yaitu 5 hingga 8 kilo
meter yang difungsikan untuk penunggannya. Hewan ini memiliki
empat kaki, dua sayap, bulu halus, dan jambul. Kepalanya seperti
kepala banteng, matanya seperti mata babi, telingannya seperti
telinga gajah, tanduknya seperti tanduk unta, dadanya seperti dada
singa, warnanya seperti warna macan tutul, pinggangnya seperti
pinggang sapi, ekornya seperti ekor unta, dan sepatunya seperti
sepatu unta.18
16 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-31, h. 71
17 Ayat sebelumnya adalah Al-Naml/27: 82 ,
ن ا ل م د ابة م ن ال ر ض ت ك ل م ه م أ ن الناس ك ان و ا ب ئ ايت ر ج ن ا ل ي و ق ن و ن و إ ذ ا و ق ع ال ق و ل ع ل ي ه م أ خ “Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan sejenis
binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa
sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat kami.
18 Al-Râzî, Tafsîr Fakr al-Râzi…, juz ke-24, h. 217
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 203
Menurut Ibn Katsîr19
, ayat ini berkisah hari kiamat tentang
orang-orang kafir20
, zhalim dan para pendusta tanda-tanda kebesaran
Allah SWT. Mereka dan teman sejawatnya (alladzîna zalamû wa
azwâjahum) akan ditanya dalam keadaan hina tentang perbuatannya
selama di dunia. Golongan mereka yang berbeda-beda waktu masa
hidupnya akan dikumpulkan secara bersamaan.
Al-Zamakhsharî dan al-Râzî21
memahami kata ف ه م sebagai (mereka dibagi-bagi dalam kelompok-kelompok)ي و ز ع و ن
jumlah yang begitu banyak yang saling berpencar satu dengan lainnya
seperti halnya pasukan/junûd nabi Sulaiman. Dengan alasan itu pula
ia mengartikan kata faujan/sekelompok sebagai suatu perkumpulan
besar dan banyak sebagaiman dinyatakan dalam al-Qurân,22
خ ل و ن ف د ي ن الله أ ف و اجا ي د Manusia masuk agama Allah dengan berbodong-bondong (QS
al-Nasr/110:2)
19 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm…, jilid ke-3, h. 457
20 Al-Tabâtabâî , Al-Mîzan fî Tafsîr al-Qurân fî Tafsîr al-Qurân, jilid ke-24,
h. 218
21 Nama lengkapnya adalah Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin ‘Umar bin al-
Husaini bin ‘Alî. Ia dilahirkan di Rayy pada 543 H/1149 M. Ia adalah ahli dalam
sejumlah ilmu pengetahuan seperti tafsir, ilmu kalam, fiqh, filsafat, dan kedokteran.
Karya-karyanya adalah al-Arba’în fî Usûl al-Dîn, al-Muhassal, dan Mafâtih al-Ghaib.
Ia juga mengulas kitab Isyârât dan ‘Uyûn al-Hikmah karya Ibn Sîna. Berbeda dengan
al-Ghazâlî, al-Râzî mengakui adanya pertentangan antara filsafat dan teologi dan ia
menjembatani keduanya. Walaupun terlihat bergantung pada Ibn Sina, namun al-
Razi menolak pandangan emanasionis Ibn Sina. Al-Razi wafat pada hari pertama
‘Idul Fitri 606 H/1210 M. Lihat, Ahmad Mahmûd Subhî, Fî ‘Ilm al-Kalâm, (Bairût:
Dâr al-Nahdah al-‘Arâbiyyah, 1985 M/1405 H), cet. ke-5, h. 277-278. Lihat juga,
Majid Fakhry, Sejarah Fislafat isalm:Sebuah Peta Kronologis. Penerjemah: Zaimul
Am, (Bandung: Mizan Media Ilmu, Januari 2002/Syawwal 1412), cet. ke-2, h. 121.
Lihat juga, Al-Râzî, Tafsîr Fakr al-Râzi…, Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-24, h.
218
22 Abû al-Qâsim Jâr Allâh Mahmûd bin ‘Umar bin Muhammad Al-
Zamakhsharî, Tafsîr al-Kassyâf, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah1424 H/2003 M),
jilid ke-3, h. 372
204 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Al-Tabatabaî memahami kebangkitan pada ayat tesebut adalah
kebangkitan sebagian umat dari semua umat yang ada karena kata
min (dari) menjelaskan arti sebagian. Sebagian umat tersebut adalah
mereka yang mendustakan hari kebangkitan, mendustakan para nabi,
mendustakan para imam23
, dan mendustakan kitab-kitab Allah.
Adapaun mereka yang mendustakan hari kiamat dan ayat-ayat Quran
saja bukan termasuk golongan yang dibangkitkan pada ayat ini
dengan alasan bahwa kebangkitan bukan hanya ditujukan pada satu
kaum saja namun ditujukan kepada semua kaum yang ada.24
Al-Huwayzî memiliki pandangan yang sedikit berbeda.
Menurutnya, pengumpulan setiap umat dari golongan tertentu
bukan sifat hari kiamat karena pada hari kimat Allah SWT akan
mengumpulkan seluruh manusian dan tidak ada yang tertinggal
seorangpun. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qurân,
ر ز ة و ح ش ر ن ه م ف ل م ن غ اد ر م ن ه م أ ح دا و ي و م ن س ي الج ب ال و ت ر ى ال ر ض ب
Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan
gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar
dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak kami
tinggalkan seorangpun dari mereka. (QS al-Kahfi18: 47)
Maksud dari pengumpulan itu adalah bahwa saat hadir imam
Mahdi, Allah SWT akan menghidupkan dua jenis kelompok orang;
orang-orang yang zalim, yang mendustakan ajaran-Nya, dan orang-
orang yang iklash, yang selalu patuh dengan ajaran-Nya. Kedua
23 Menurut syiah itsnâ ‘ashariyyah, imam adalah orang-orang yang benar-
benar memiliki komptensi kepemimpinan serta dijadikan sebagai referensi dalam
memahami hukum syariat. Orang-orang tersebut berjumlah dua belas. Mereka
adalah: (1) Abû Hasan ‘Alî bin Abî Thâlib (al-Murtadlâ). Lahir 23 tahun sebelum
hijrah nabi dan terbunuh pada tahun 40 H. (2) Abû Muhammad al-Hasan bin ‘Alî. (3)
Abû’ ‘Abdillâh al-Husain bin ‘Alî. (4) Abû Muhammad ‘Alî bin al-Husain. (5) Abû
Ja’far Muhammad bin ‘Alî (al-Bâqir). (6) Abû ‘Abdillah Ja’far bin Muhammad (al-
Sâdiq).(7) Abû Ibrâhîm Mûsâ bin Ja’far (al-Kazim). (8) Abû al-Hasan ‘Alî bin Mûsâ
(al-Ridâ). (9) Abû Ja’far Muhammad bin ‘Alî (al-Jawwâ). (10) Abû al-Hasan ‘Alî bin
Muhammad (al-Hâdî). (11)Abû Muhammad al-Hasan bin ‘Alî (al-‘Askarî). (12) Abû
al-Qâsim Muhammad bin al-Hasan (al-Mahdî) yang menghilang dan yang ditunggu.
Lihat. Muhammad Ridâ al-Muzfir, ‘Aqâid al-Imâmiyyah, (Bairût: Dâr al-Irshâd al-
Islâmî, 1409 H/1988 M), cet. ke-8, h. 100
24 Al-Tabâtabâî , Al-Mîzan fî Tafsîr al-Qurân fî Tafsîr al-Qurân, jilid ke-15,
h. 399.
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 205
kelompok tersebut akan melakukan kebiasan sebelumnya sehingga di
antara mereka ada yang memperoleh pahala dan ada yang tertimpa
azab.25
2. Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Sûriyyah
a. Mudahnya Menggulung Langit dalam al-Anbiyâ/21: 104
ل ل ل ك ت ب ك م ا ب د أن أ ول خ ل ق ن ع ي د ه و ع دا ج ي و م ن ط و ى السم اء ك ط ي الس ن ا ان ك نا ف اع ل ي ع ل ي
(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung
lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai
penciptaan pertama, begitulan Kami akan mengulanginya lagi.
(Suatu) janji yang pasti Kami tepati; sungguh, Kami akan
melaksanakannya. (QS Al-Anbiyâ/21: 104)
Ketakutan besar terjadi saat langit digulung seperti
digulungnya lembaran-lembaran26
buku. Bagi-Nya, melakukan itu
adalah semudah melakukan penciptaan pertama. Lembaran-lembaran
itu ibarat catatan amal manusia yang telah selesai ditulis oleh
malaikat penulis yang kemudian dilipat. Apabila lembaran tertutup,
tidak terlihat lagi segala yang tertulis meskipun tulisannya tidak
hilang atau terhapus. Demikian pula halnya langit bila ditutup atas
kuasa Allah SWT, “bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada
hari kiamat dan langit digulung dengan tangan tangan kanana-Nya”27
.
Dalam Hadis dinyatakan, “Sesungguhnya Allah menggenggam bumi
25 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalain, juz ke-4, h. 101
26 Menurut riwayat Abu Ja’far, Sijjil bukan berarti lembaran-lembaran
melainkan malaikat. Malaikat itu menurut al-Sadî adalah malaikat yang
bertanggungjawab terhadap lembaran-lembaran catatan manusia, jika seseorang
wafat maka lembaran catatan tersebut diantar ke al-Sijjil lalu dia melipat dan
meletakkannya di atas hingga hari kiamat. Menurut penjelasan Ibn ‘Abbâs, al-Sijjil
adalah nama laki-laki penulis wahyu nabi Muhammad saw. Dengan demikian dapat
dianalogikan perbuatan melipat langit semudah al-Sijjil melipat lembaran-lembaran
wahyu. Namun Abu Ja’far bin Jarir menyatakan di kalanan sahabat tidak dikenal ada
laki-laki bernama al-Sijjil. Semua penulis wahyu nabi dapat dikenali semua dan
tidak ada yang bernama al-Sijjil. Lihat. Tafsir Al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-3,h. 244
27 QS Al-Zumar/39: 67
206 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
pada hari kiamat dan langit-langit dengan tangan kanan-Nya.28
Ini
artinya semua langit hilang dari pandangan dan pengetahuan
siapapun kecuali yang dikehendaki oleh-Nya.29
Selesainya catatan amal yang sudah digenggam sang Pencatat
sungguh menakutkan setiap individu. Ketakutan itu menjadi semakin
mengerikan karena rekaman itu diperlihatkan bersamaan dengan
bukti pengembalian setiap ciptaan-Nya sejak awal ada. Dengan
demikian pelakunya tidak bisa mengelak. Bagi-Nya sangat mudah
melakukan itu.
b. Siksa dekat dan siksa besar dalam al-Sajadah/32 :21
ع و ن ب ل ع له م ي ر ج و ل ن ذ ي ق ن ه م م ن ال ع ذ اب ال د نى د و ن ال ع ذ اب ال ك
“Dan pasti Kami timpakan kepada mereka sebagian siksa
yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di
akhirat); agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Ayat ini menyatakan bahwa orang-orang fasik akan
didatangkan siksa yang dekat (al-‘adzâb al-adnâ) dengan harapan
mereka kembali ke jalan yang benar. Tujuan siksa yang dekat adalah
terhindarnya dari siksa yang besar (al-‘adzâb akbar) karena mungkin
saja seseorang yang tertimpa musibah ia akan sadar dan kembali ke
jalan yang benar sehingga selamat dari siksa besar. Namun Allah
SWT telah menyatakan bahwa mereka akan merasakan siksa yang
dekat sebelum merasakan siksa yang besar. Siksa yang dekat adalah
siksa di dunia sedangkan siksa yang lebih besar adalah siksa di
akhirat.30
Siksa akhirat31
sangat lama dan sangat pedih. Siksa dunia
hanya sebentar dan tidak sepedih siksa akhirat. Siksa di dunia
28 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm…, jilid ke-3,h. 244
29 Quraish Shihab, Tafsir al.-Misbah, vol. 8, h. 128. Lihat juga Al-
Zamakhsharî, Tafsîr al-Kashaf, . Jilid ke-3, h. 134
30 Al-Râzî, Tafsîr Fakr al-Râzi…, juz ke-25, h. 184
31 Dalam Al-Qurân tedapat sejumlah ayat yang menerangkan siksa akhirat.
Di antaranya adalah: Barang siapa yang membawa kejahatan, maka disungkurkanlah
muka mereka ke dalam neraka. Tiadalah kamu dibalasi, melainkan setimpal dengan
apa yang dahulu kamu kerjakan. (QS Al-Naml/: 90) Dan barang siapa yang
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 207
mengakibatkan tersiksa mati sehingga tersiksa tidak lagi merasakan
pedih. Siksa dunia disebut sebagai siksa yang dekat karena langsung
dirasakan oleh pendosa. Siksa dunia tidak dinamakan siksa kecil agar
tidak memandang remeh perbuatan dosa32
. Lebih dari itu, siksa
dunia tidak hanya berbentuk hilangnya nyawa tetapi juga peristiwa
lainnya yang membuat sengsara seperti bermacam penyakit,
pembunuhan, kemelaratan yang berkepanjangan, dan lain
sebagainya.33
Menurut Al-Tabatabâî , ayat ini berkaitan dengan ayat
sebelumnya yang berkisah tentang orang-orang fasik yang mengikari
hari kebangkitan. Mereka dimasukan ke neraka karena di dunia
mengolok-olok keberadaan hari kebangkitan yang diyakini orang-
orang mumin.34
Az-Zamakhsharî menjelaskan orang-orang fasik tertimpa azab
dunia35
sebelum dirasakan azab akhirat. Namun demikian, walaupun
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam,
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya (QS Al-Jin/72: 23) Sedang mereka saling
melihat. Orang-kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus dirinya dari azab hari
itu dengan anak-anakny, dan isterinya, dan saudaranya, dan kaum familinya yang
melindunginya (di dunia), dan orang-orang di atas bumi seluruhnya, kemudian
mengharapkan tebusan itu dapat menyelematkannya. Sekali-kali tidak dapat.
Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak. Yang mengelupaskan kulit
kepala (QS Al-Ma’ârij/70: 11-16) Lihat, Muhsin Qirâatî, Dosa; Salah Siapa?. Penerjemah: Najib Husain al-Idrus, (Pesona Khayangan Estate: Penerbit Qarina, Juli
2003/Jumaddil Awwal 1424), cet. ke-1, h. 171
32 Al-Râzî, Tafsîr Fakr al-Râzi…, jilid ke-9, juz 25, h. 163
33 Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr Al-Tabarî , Tafsîr al-Tabarî al-Musammâ Jâmi al-Bayân fî Tawîl al-Qurân, (Shirkah Maktabah wa matbaba’ah Mustafâ al-Bâbî
al-Sijlî wa Awlâduhû bi Mishrâ, 1388 H/ 1968 M), Juz ke-21, h., 109. Lihat juga Al-
Tabâtabâî , Al-Mîzan fî Tafsîr al-Qurân fî Tafsîr al-Qurân, jilid ke-16, h. 270.
34 Al-Tabatabâî, Al-Mîzan fî Tafsîr al-Qurân, jilid ke-16, h. 270.
35 Dalam Al-Qurân, banyak ayat-ayat yang berbicara tentang azab dunia
sebagai akibat dari perbuatan dosa. Di antaranya: Lalu orang-oang yang zalim
mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka.
Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu siksa dari langit, karena
mereka berbuat fasik (QS Al-Baqarah/2: 59), Jika mereka berpaling (dari hukum
yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa
mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik. (QS al-
Mâidah/54 9), Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya generasi-
generasi yang telah kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu), telah
Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum
208 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
ia memahami siksa yang dekat sebagai siksa dunia namun ia juga
mengakui riwayat Mujahid yang menyatakan azab yang dekat
sebagai azab kubur.36
3. Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Sûriyyah
a. Menyatukan Kembali Tulang-belulang dalam al-Qiyâmah/75 :
4,
ب لى ق اد ر ي ن ع ل ى ا ن ن س و ى ب ن ان ه
(Bahkan) Kami mampu menyusun (kembali) jari jemarinya
dengan sempurna
Ayat ini meyakinkan mereka37
yang mengingkari hari
kebangkitan. Di sini ditegaskan bahwa Allah SWT mampu dan
pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yan lebat atas mereka dan
Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka. Kemudian Kami binasakan
mereka karena dosa-dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka
generasi yang lain. (QS Al-An’âm/6: 6) Maka itulah rumah-rumah mereka dalam
keadaan runtuh disebabkan kezaliman mereka. (QS Al-Naml/27: 52)Lihat, Muhsin
Qirâatî, Dosa; Salah Siapa?. Penerjemah: Najib Husain al-Idrus, (Pesona Khayangan
Estate: Penerbit Qarina, Juli 2003/Jumaddil Awwal 1424), cet. ke-1, h. 170
36 Abû al-Qâsim Jâr Allâh Mahmûd bin ‘Umar bin Muhammad Al-
Zamakhsharî, Tafsîr al-Kasshâf, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah1424 H/2003 M),
jilid ke-3, h. 498. Al-Baidlawi juga menafsirkan azab yang dekat/azab dunia
ditimpahkan sebelum datang azab besar/azab akhirat. Lihat Nâshir al-Dîn Abî al-
Khair ‘Abdullâh bin ‘Umar al-Baidâwî, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, (Shirkah Maktabah wa Mutbi’ah Mustafâ al-Bâbî al-Hablî wa Awlâduhu, 1968
M/1388 H), cet. ke-2, h. 236
37 Menurut Ibn ‘Abbâs, ن س ان أ ن ل ن ن م ع ع ظ ام ه -yang dimaksud al أ ي س ب ال
insân (manusia) pada ayat ini adalah Abû Jahl karena ia adalah orang yang
menginkari kebangkita setelah kematian. Lihat, Muhammad Nawawî al-Jâwî, Al-Tafsîr al-Munîr li Ma’âlim al-Tanzîl, (Bairût: Dâr al-Fikr, 1994 M/1414 H), juz ke-2,
h. 477. Riwayat Ibn ‘Abbâs tersebut juga dinukil oleh al-Razi namun al-Razi
menambahkan pendapat mayoritas ulama ushûl bahwa manusia pada ayat tersebut
adalah mereka yang inkar terhadap hari kebangkitan. Lihat, Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-30, h. 217. Surat Al-Qiyâmah/75 : 3 ini diturunkan ketika ‘Umar ibn
Rabi’ah bertanya kepada nabi Muhammad SAW tentang kapan dan seperti apa hari
kiamat yang kemudian dijawab oleh Nabi ‘seandainya aku tentukan (waktu) hari
kiamat niscahya kamu tidak membenarkan jawabanku dan tidak percaya kepadaku,
atau kamu akan bertanya (juga) mungkinkah Allah SWT mengumpulkan kembali
tulang-tulang? Saat itulah ayat ini diturunkan. Lihat, Abû Hasan ‘Alî bin Ahmad al-
Wâhidî al-Nîsâbûrî, Asbâb al-Nuzûl, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2010
M/1431 H), cet. ke-1, h. 275
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 209
berkuasa mengumpulkan dan menyatukan kembali tulang belulang
bahkan jari jemari tangan dan kaki yang sudah terpisah menjadi
seperti bentuk semula tanpa kurang sedikitpun38
. Tidak seperti yang
diyakini orang kafir bahwa tulang-tulang setelah terlepas dari tubuh
ia lambat laut akan menjadi abu lalu berpencaran satu dengan lainnya
kemudian bercampur dengan materi lain yang selanjutnya tertiup
angin sehingga mustahil kembali ke bentuk awal.39
Sesungguhnya
bagi Allah itu adalah mudah bahkan seperti itu bisa terjadi di dunia.40
Penggunaan kata jari-jemari (banân41) mengandung makna
keagungan penciptaan anggota tubuh itu yang berfungsi memegang,
mengepal, memijat, meremas, menusuk, mencengkram dan lain
sebagainya yang tidak bisa dilakukan makhluk lain, hewan
misalnya.42
Selain dari itu, sidik jari manusia diciptakan beda satu
dengan lainnya sehingga dengan satu sidik jari bisa diketahui siapa
pemilik jari.
Berkaitan dengan keistimewaan sidik jari, Al-Marâghî43
memahami kata ن س و ي dengan “mengumpulkan dan lalu
mempersatukan” sehingga dipahami bahwa jari jemari yang terpisah
dikumpulkan menjadi satu sehigga seperti kaki dan tangan unta atau
keledai yang tidak mampu melakukan yang bisa dilakkukan jari.
38 Shihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmûd al-Alûsî al-Baghdâdî, Rûh al-Ma’ânî, fî
Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm wa al-Sab’ al-Matsânî, (Bairût: Dâr al-Fikr, 1978 M/1398
H), Juz ke-29, h. 173
39 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, cet. ke-1, juz ke-30, h. 217
40 Lihat, Ibn Katsîr Al-Dimashqî, jilid ke-4, h. 539. Lihat juga, Al-Tabatabâî,
Muhammad Husain, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, (Bairût: Muassasah al-A’lami li al-
Mathbu’at, 1991 M/1411 H), juz ke-20, h. 114
41 Banân adalah tulang-tulang kecil yang terdapat pada ujung jari-jari kaki
dan tangan. Dalam al-Mu’jam, Banân adalah bentuk banyak/jama’/plural dari
banana yang berarti ujung-ujung jari Lihat, Ibrâhîm Musthafâ, at. all., Al-Mu’jam al-Wasîth, (Istanbul: Al-Maktabah al-Islâmiyyah li Al-Thaba’ât wa al-Nashr wa al-
Tawzî’, t. t.), h. 72 Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Tafsirnya, (Jakarta:
Lembaga Percetakan Al-Qurân Departemen Agama, Mei 2009), cet. ke-3, jilid ke-10,
h. 439
42 Al-Tabatabâî, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, juz ke-20, h. 114
43 Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz ke-29, h. 146-147
210 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Quraish Shihab kurang sepakat jika kata ن س و ي diartikan dengan
“mempersamakan” sehingga dipahami bahwa jemari yang memiliki
sidik jari yang saling berbeda akan disamakan pada hari kebangkitan.
Lebih lanjut ia menjelaskan,
“Sementara ulama memahami kata nusawwi dalam arti
mempersamakan. Sebagian yang menganut pendapat ini
menyatakan bahwa ayat tersebut mengingatkan manusia
tentang kuasa Allah yang dapat menjadikan jari-jari tangan
dan kaki manusia sama tanpa berbeda, seperti kaki dan
tangan unta atau keledai, sehingga tidak memiliki
keistimewaan seperti keadaanya sekarang ini. Walaupun
harus diakui kenyataan berbedanya sidik jari manusia dan
harus diakui pula kuasa Allah mempersamakannya,
memahami ayat di atas dalam makna tersebut sangat jauh
dari konteksnya yang pada dasarnya adalah bantahan kepada
kaum musyrikin yang mengingkari kuasa Allah
membangkitakan tulang-belulang manusia yang telah mati.”44
4. Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Ma’nawiyyah
a. Jiwa Yang Tenang dalam Al-Fajr/89: 27-30 ية )2۷ط م ئ نة )يأ ي ت ه ا الن ف س ال م ية م ر ض ع ى ا ل ر ب ك ر اض ( ف اد خ ل ى 2۸( ا ر ج
( ۳۰( و اد خ ل ى ج نت )2۹ف ع ب اد ى )“Wahai jiwa yang tenang! (27) Kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang rida dan diridai-Nya (28) dan masuklah
kedalam golongan hamba-hamba-Ku (29) dan masuklah ke
dalam surga-Ku (30)”
Menurut al-Qurtubî, seruan jiwa yang tenang bersumber dari
ucapan para malaikat saat kiamat yang ditujukan kepada para wali
Allah karena mereka telah yakin terhadap segala yang dijanjikan-
Nya. Al-Qurtubî mengakui adanya perbedaan pendapat tentang jiwa
yang tenang. Qatadah misalnya, ia berpendapat jiwa yang tenang
adalah jiwa orang muslim yang tenang terhadap janji-janji Allah
SWT sedangkan Mujahid berkeyakinan jiwa yang tenang adalah jiwa
44 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qurân, (Penerbit Lentera Hati Januari 2009 M/ 1430 H), cet. ke-1, volume 14, h. 531
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 211
yang yakin dan mengimani bahwa Allah SWT adalah tuhannya.
Pendapat lain menyatakan jiwa yang tenang adalah jiwa yang
selamat dari siksa Allah dan jiwa yang terus menyebut Allah
sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qurân,
ر الله ت ط م ئن ال ق ل و ب ال ر الله . أ ل ب ذ ك ذ ي ن آم ن و ا و ت ط م ئ ن ق ل و ب ه م ب ذ ك (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteam dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah hati menjadi tenteram. (QS al-Ra’d/13: 28)
Pendapat lain menyatakan jiwa yang tenang adalah jiwa yang
telah mendapat berita gembira saat kematian, saat dikumpulkan di
mahsyar, dan saat dibangkitkan. Berita gembira tersebut adalah
surga.45
Mengenai kronologis turunnya46
ayat tersebut, Ibn Katsîr,
mengutip riwayat Ibn ‘Abbâs yang menerangkan bahwa ayat
tersebut47
turun saat Abu Bakr48
sedang duduk dekat nabi lalu Abû
45 Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qurân, juz ke-20, h. 57
46 Turun berarti bergerak dari atas ke bawah. Turunnya Al-Qurân berarti
menempatkannya pada suatu tempat. Namun Al-Qurân bukan sesuatu yang
berbentuk (jismiyyân) yang tidak bisa disamakan dengan benda yang bisa turun atau
diturunkan dari atas ke bawah. Dengan demikian yang dimaksud diturunkan adalah
diberitahukan secara mutlak. Lihat, Muhammad ‘Abd al-‘Azîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003 M/1424 H), cet.
ke-1, H. 29
47 Ayat ke 27-28 ( ية )2۷يأ ي ت ه ا الن ف س ال م ط م ئ نة ) ية م ر ض ع ى ا ل ر ب ك ر اض 2۸( ا ر ج
48 Ia adalah’Abdullah bin Abi Quhâfah ‘Utsman al-Qurayshî al-Taymî,
seorang khalifah rasul yang menemani nabi Muhammad SAW di gua, terkenal
dengan kehati-hatiannya dalam menyampaikan hadits. Contohnya, saat seorang
nenek menanyakan bagian warisannya kepada Abu Bakar, Ia menjawabnya bahwa ia
belum menemukan penjelasan bagian warisan tersebut dalam Al-Qurân dan belum
juga mengetahui bahwa rasul pernah menyebutkan hal semacam itu. Mendengar
penjelasan Abû Bakr tersebut, al-Mughîrah berdiri dan menginformasikan kepada
Abû Bakr bahwa ia pernah mendengar hal itu di hadapan Nabi SAW dan Nabi SAW
memberikannya sebanyak seperenam. Namun demikian, Abû Bakr tidak langsung
percaya terhadap penjelasan al-Mughirah tersebut melainkan menanyakannya
kembali kepadanya apakah ada saksi mengenai hal itu yang kemudian Muhammad
bin Musallamah menjadi saksinya sehingga akhirnya Abû Bakr memberlakukan hal
itu kepada si nenek tersebut. Lihat, Shams al-Dîn Muhammad bin Ahmad bin
‘Utsmân al-Dzahabî, Kitâb Tadzkirah al-Huffâdz, (Bairût: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1998 M/1419 H), cet. ke-1, h. 9
212 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Bakr berkata ‘alangkah indahnya itu.’ Lalu nabi berucap kepada Abû
Bakr bahwa malaikat akan membacakan itu saat kematian Abu
Bakr.49
Namun Ibn Katsîr, sebagaimana al-Qurtubî50
, menyatakan
adanya hadîts mursal hasan yang diwayatatkan oleh Sa’îd ibn Jabîr
yang menerangkan bahwa ayat tersebut bukan diturunkan tetapi
pernah dibacakan saat Abu Bakar51
duduk bersama nabi. Pendapat
ini dikuatkan dengan riwayat al-Dahhâk yang menyatakan bahwa
ayat ini turun saat Utsman bin ‘Affan berada di Bir Rûmah,
Madinah. Ada juga pendapat yang menerangkan ayat ini turun saat
Khubaib ibn ‘Adî52
disalib oleh penduduk Mekah. Mereka
menghadapkan wajah Khubaib ke arah Madinah namun Allah
membalikkannya ke arah kiblat. Abû Sâlih berpendapat lain lagi. Ia
menyatakan bahwa seruan jiwa yang tenang terjadi saat kematian
sedangkan perintah masuk kedalam hamba Allah terjadi saat hari
kiamat.
Menurut al-Zamakhsharî53
, ayat ini turun saat terjadi
perbincangan antara ‘Alî ibn Abî Tâlib dengan al-Walib ibn ‘Uqbah
bin Abî Mu’it:
49 Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-iv, h. 621
50 ‘Abdullâh Muhammad bin Ahmad al-Ansârî Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qurân, (Qâhirah: Dâr al-Katib al-‘Ilmi li al-Taba’at wa al-Nashr, 1387
H/1967 M), juz ke-20, h. 57
51 Ia adalah ‘Abdullâh –sering dipanggil ‘Atîq- bin Abî Quhâfah ‘Utsmân bin
‘Âmir bin ‘Amr bin Ka’b bin Sa’d ibn Taym ibn Murrah ibn Ka’b ibn Luay al-
Qurasyî al-Taymî. Rasul saw bersabda, “seorang mumin tidak membenci Abu Bakar
dan dan ‘Umar. Sebaliknya, Orang munafik tidak menyukai mereka”. ‘Umar bin al-
‘Âsh pernah bertanya kepada nabi, “wahai Rasulullah, Siapa lelaki yang paling kamu
cintai?” Rasul menjawa, “Abu Bakr”. Lihat. Syams al-Dîn Muhammad bin Ahmad
bin ‘Utsmân al-Dzahabî, Siyar A’lâm al-Nubalâ, (Qâhirah: Dâr al-hadîts, 2006
M/1427 H), jilid ke-2, h. 355-356
52 Nama lengkapnya adalah Khubaib ibn ‘Adî bin Malik bin ‘Âmir bin
Mujda’ah bin Jahjabay bin ‘Auf bin Kulfah bin ‘Auf bin ‘Umar bin ‘Auf bin Malik
bin al-‘Aus al-Ansârî al-Awsiyyî. Ia turut mengalami peristiwa perang Badr. Lihat
Ahmad bin ‘Alî bin Hajar Al-‘Asqalânî, Al-Isâbah fi Tamyîz al-Sahâbah, (Bairût:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002 M/1423 H), jilid ke-2, h. 225.
53 Abû al-Qâsim Jâr Allâh Mahmûd bin ‘Umar bin Muhammad Al-
Zamakhsharî, Tafsîr al-Kasshâf, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah1424 H/2003 M),
jilid ke-3, h. 499.
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 213
Al-Walid : “ Diam kau Ali! Aku lebih muda dari yang paling
muda, lisanku lebih fasih dari lisanmu, gigiku lebih
tajam dari gigimu, aku lebih berani darimu, dan aku
lebih tangguh darimu dalam pasukan.”
‘Alî : “ Diam kau al-Walid! Kau adalah orang fasik.”
Dari percekcokan itulah ayat ini turun secara umum baik
kepada orang mumin ataupun orang fasik. Atas dasar perselisihan
dialog itu pula Hasan54
bin ‘Alî bertanya-tanya kepada al-Walid
mengapa ia sampai berkata seperti itu kepada Ali padahal Allah SWT
telah menyebut ‘Alî sepuluh kali dalam ayat Al-Qurân dan menjuluki
al-Walid sebagai seorang fasik.
Masih berkaitan dengan ayat tersebut, Sa’îd ibn Jabîr
mengangkat peristiwa yang terjadi saat saat Ibn ‘Abbâs wafat. Ada
seekor burung yang belum pernah terlihat sebelumnya masuk ke
dalam keranda Ibn ‘Abbâs dan tidak diketahui burung tersebut keluar
dari keranda. Saat jenazah dikuburkan terdengar dari sisi kubur
lantunan suara yâ ayyatuhâ al-nasf al-muthm’innah irji’î ilâ rabbiki
râdliyatan mardlhiyyatan fa udkhulî fî ‘îbadî wa udkhulî jannatî
namun tidak diketahui siapa pembacanya.55
Mengingat betapa luar
biasanya jiwa yang tenang, rasul memerintahkan seseorang untuk
berdoa “ya Allah! aku minta kepada-Mu jiwa yang tenang, jiwa yang
yakin adanya pertemuan dengan-Mu, jiwa yang ‘Alî ibn Abî Tâlib
54 Ia adalah Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib bin ‘Abd al-Muthallib bin Hasyim
bin ‘Abd Manaf, lahir pada bulan Syaban tahun ke 3 Hijriyyah dan kakeknya
mengaqiqahkannya dengan seekor domba. Abu Hawra pernah bertanya kepada
Hasan seputar kehidupannya dengan Rasulullah. Lalu Hasan mengisahkan bahwa ia
pernah memakan sebutir kurma shadaqah lalu Rasulullah mengeluarkan kurma
tersebut dari mulut Hasan sambil bercanda dan mengingatkan kepada Hasan bahwa
Keluarga Muhammad tidak halal memakan hasil shadaqah. Lihat, Shams al-Dîn
Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsmân al-Dzahabî, Siyar A’lâm al-Nubalâ, (Qâhirah:
Dâr al-hadîts, 2006 M/1427 H), jilid ke-4, h. 327
55 Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-iv, h. 621.
Lihat juga, Abdullâh Muhammad bin Ahmad al-Ansârî Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qurân, (Qâhirah: Dâr al-Katib al-‘Ilmi li al-Taba’at wa al-Nashr, 1387
H/1967 M), juz ke-20, h. 57
214 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
terhdapa apa yang Kau telah takdirkan, jiwa yang puas terhadap
segala pemberian-Mu.”56
b. Awal Kembangbiak Manusia dalam al-Nisâ/4: 1,
ن ه ا ز و ج ه ا ة و خ ل ق م د يا أ ي ه ا الناس ات ق و ا ر بك م الذ ى خ ل ق ك م م ن ن ف س و اح را و ن س آء ن ه م ا ر ج ال ك ث ي و ب ث م
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu dan (Allah) menciptakan
pasangannya dari (diri) nya, dan dari keduanya Allah
memperkembangkanbiakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak.
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia dan proses
perkembangbiakannya diciptakan oleh Allah SWT. Penciptaan dan
perkembangbiakan adalah salah satu bentuk nikmat yang diberikan
Allah SWT karena asal mula manusia tidak ada kemudian menjadi
ada, mati kemudian menjadi hidup, lemah kemudian menjadi kuat,
bodoh kemudian menjadi pintar, lapar kemudian menjadi kenyang,
dan seterusnya. Inilah yang di ucapakan nabi Ibrahim AS. Dalam Al-
Qurân dinyatakan,57
د ي ن ) ق ي )۷۸الذ ي خ ل ق ني ف ه و ي ه (۷۹( و الذ ي ه و ي ط ع م ني و ي س
)Yaitu) Yang telah menciptakan aku, maka Dia yang member
petunjuk kepadaku (78) Dan yang memberi makan dan minum
kepadaku (79) (Al-Shu’arâ/26: 78-79)
Dengan nikmat itulah manusia diseru bertakwa58
kepada Allah
SWT tanpa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, antara
anak-anak dan dewasa, dan antara yang kuat dan yang lemah
sehingga laki-laki tidak menganiaya perempuan, dewasa tidak
56 Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-iv, h. 621
57 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-09, h. 164-165
58 Maksud dari takut kepada Allah SWT adalah takut terhadap azab-Nya
serta terus-menerus taat kepada perintah dan larangan-Nya. Lihat, Jalâl al-Dîn
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al-Mahallî, et. al., Tafsîr al-Jalâlaini, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2011 M/1432 H), cet. ke-1, h. 128
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 215
menzalimi anak-anak, dan seterusnya sehingga setiap individu
merasakan kebahagiaan dalam menjalankan kehidupannya.59
Selain
itu, proses perkembangiakan itu tersirat kekuasaan-Nya terhadap
segala sesuatu: kuasa mendatangkan nikmat dan kuasa menimpakan
azab. Oleh karena itu bertakwalah kepada-Nya agar tetap
memperoleh nikmat dan terhindar dari siksa.60
Seruan takwa ini
adalah perintah menyembah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-
Nya. Penciptaan manusai dari diri yang satu hedaklah menjadi
perhatian terhadap kekuasaan-Nya.61
Maksud dari diri yang satu adalah Adam AS dan maksud dari
pasangannya adalah pasangan Adam AS yaitu Hawa.62
Dari Adam
yang berjenis kelamin laki-laki dan Hawa yang berjenis kelamin
perempuan berkembang biak menjadi laki-laki dan perempuan63
lainnya dalam jumlah banyak hingga hingga bentuk banyak suku dan
banyak bangsa mulai saat kelahiran pertama hingga detik ini.
Keberadan seluruh manusia sesungguhnya sudah ada pada
tulang belakang Adam namun masih dalam bentuk Atom. Allah
SWT menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam sehinngga semua
manusia yang masih berbentuk atom keluar menjadi bentuk
sempurna. Pendapat yang demikian ini ditolak oleh mereka yang
memahami kembang biak manusia melalui pendekatan bahasa.
Mereka memahami kata dari keduanya secara methapor yang
diartikan dengan dari anak-anak keduanya. Dengan demikian
kembang biak manusia dimulai dari anak-anak Adam dan Hawa.64
Adam AS diciptakan setelah waktu asar hari Jumat hingga
malam hari sebagaimana dinyatakan dalam hadis,
عن أبى هريرة قال أخذ رسول الله صلى الله عليه و سلم بيدى فقال خلق الله عز و جل التربة يوم السبت و خلق فيها الجبال يوم الحد وخلق
59 Al-Tabatabâî , Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, juz ke-4, h. 139
60 Al-Al-Zamakhsharî, Tafsîr al-Kashâf, jilid ke1, h. 452
61 Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-i, h. 553
62 Wahbah al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah…, , jilid ke-3, h. 223
63 Al-Al-Zamakhsharî, Tafsîr al-Kashâf, jilid ke1, h. 451
64 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-09, h. 169.
216 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
يوم الربعاء و الشجر يوم الثني و خلق المكروه يوم الثلاثاء و خلق النورد العصر من يوم بث فيها الدو اب يوم الخميس و خلق آدم عليه السلام بع
الجمعة ف آخر الخلق ف آخر ساعة من ساعات الجمعة فيما بي العصر ال 65الليل
Dari Abû Hurairah, ia berkata Nabi memegang tangan saya lalu
mengatakan “Allah SWT menciptakan tanah pada hari Sabtu
lalu di dalam tanah tersebut diciptakan gununug-gunung pada
hari Minggu, pohon-pohon diciptakan pada hari Senin, sesuatu
yang dimakruhkan diciptakan pada hari Selasa, cahaya
diciptakan pada hari Rabu, hewan-hewan dikembangbiakkan
pada hari Kamis, dan Adam AS diciptakan setelah waktu ashar
hari Jumat hingga malam”
Dari tulang rusuk Adam diciptakan pasangannya, Hawa
sebagaimana dinyatakan dalam Hadis,
66أن الله خلق زوجة آدم من ضلع من أضلاعهSesungguhnya Allah SWT menciptakan pasangan Adam dari
salah satu tulang rusuknya67
.
إن المرأة خلقت من ضلع و إن أعوج شيء ف الضلع أعلاه فإن ذهبت 6٨تقيمه كسرته
Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk dan
sesungguhya tulang rusuk paling bengkok adalah bagian
atasnya. Maka, jika kamu hendak meluruskannya (bisa jadi)
kamu mematahkannya.
Tulang rusuk yang dijadikan sebagai penciptaan Hawa AS
adalah tulang rusuk kiri. Allah SWT menciptakannya dari tulang
65 Abû al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj bin Muslim al-Qushairî al-Nîsabûrî,
Al-Jâmi’ al-Sahîh, (Bairût: Dâr al-Fikr, t. t..), jilid ke-4, juz ke-8, h. 127
66 Al-Tabatabâî , Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, juz ke-4, h. 139
67 Nashîr al-Dîn Abi al-Khair ‘Abdullâh bin ‘Umar al-Baidâwî, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Tawîl, (Shirkah Maktabah wa Mutbi’ah Mustafâ al-Bâbî al-Hublâ
wa Awlâduhu, 1968 M/ 1388 H), cet. ke-2, h. 201
68 Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-i, h. 554
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 217
rusuk kiri Adam AS saat ia tidur. Ketika Adam AS bangun dari
tidurnya ia terperanjat melihat Hawa AS namun ia bersifat lemah
lembut kepada Hawa AS dan begitu juga sebaliknya.69
Kemudian dari keduanya berkembang biak laki-laki dan
perempuan. Ini menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan yang
telah, sedang, dan akan berkembang biak berasal dari jenis yang
sama. Hal itu merupakan tanda kebesaran Allah SWT. Sebagaimana
dinyatakan dalam Al-Qurân,
ك م ا ز و اجا ل ت س ن ك م و م ن ايت ه ا ن خ ل ق ل ك م م ن ا ن ف س ك ن و ا ا ل ي ه ا و ج ع ل ب ي يت ل ق و م ي ت ف كر و ن م و دة و ر ح ة ا ن ف ذل ك ل
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia
menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri,
agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia
menjadikan di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sungguh,
yang demikian itu benar terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS al-Rum/30: 21)
Sebagian mufasir menguatkan tafsirannya tentang penciptaan
manusia dari nafs wâhidah (diri yang satu) dan zawjahâ
(pasangannya) dengan surat al-Hujurât/49: 13,
يا أ ي ه ا الناس إ ن خ ل ق نك م م ن ذ ك ر و أ ن ث ى و ج ع ل نك م ش ع و ب و ق ب آئ ل ر م ك م ع ن د الله أ ت قك م إ ن الله ع ل ي م خ ب ي ر ل ت ع ار ف و ا إ ن أ ك
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah
Maha Mengetahui, Mahateliti. (al-Hujurât/49: 13)
Menurut Al-Tabatabâî,
70 yang demikian itu adalah keliru.
Terdapat perbedaan jelas antara kandungan al-Nisâ/4: 1 dan QS al-
Hujurât/49: 13. Surat al-Hujurât menerangkan bagaian seluruh
69 Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-i, h. 553
70 Lihat, Al-Tabatatbâî , Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, juz ke-4, h. 140
218 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
manusia disatukan dalam sebuah bangsa dan sebuah suku yang pada
mulanya berawal dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
sebagaimana terjadi dalam kehidupan manusia. Tidak boleh sesama
manusia merasa dirinya paling mulia karena bangsanya, sukunya,
atau lainnya. Karena manusia paling mulia di sisi Allah adalah
manusia yang paling bertakwa. Sedangkan Surat al-Nisâ menjelaskan
bagaimana manusia diciptakan dari diri yang satu sehingga menjadi
laki-laki dan perempuan yang banyak yang kemudian membentuk
banyak suku yang berawal dari suku yang satu.
5. Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Ma’nawiyyah a. Penciptaan yang Dimuliakan dalam Al-Hijr/15: 29,
د ي ن ى ف ق ع و ا ل ه سج ف إ ذ ا س وي ت ه و ن ف خ ت ف ي ه م ن ر و ح Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya dan
Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku71
ke dalamnya, maka
tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud
Menurut Abu Ja’ar, kata rûh dekat artinya dengan rîh (angin).
Ruh bergerak seperti bergeraknya angin. Rûh identik dengan rîh.
Kata rûh disandarkan kepada-Nya karena Dia telah memilih ruh nabi
Adam dari semua ruh sebagaiman telah memilih bayt (bangunan) dari
buyût (semua bangunan). Maksud dari Ruh-Ku adalah kekuasaan-Ku.
Ruh yang ada pada nabi Adam dan yang ada pada nabi Isa adalah ruh
yang diciptakan.72
Ibn Katsîr tidak banyak menjelaskan ayat ini. Ia hanya
menjelaskan keterkaitan ayat ini dengan ayat sebelumnya pada surat
yang sama yang mengisahkan penciptaan manusia (Adam AS73
) dari
71 Dengan ditiupkan ruh maka menjadi hidup. Kata ruh disandarkan kepada
Allah SWT (ruh-Ku) sebagai bentuk memuliakan Adam AS. Lihat. Wahbah al-
Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah…, jilid ke-14, h. 29
72 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalain, Juz ke-3, h. 11-12
73 Pada ayat ini al-Baidâwî tidak memahaminya sebagai penciptaan Adam
AS melainkan penciptaan keturunannya. Namun pada ayat berikutnya, ketika Allah
memerintahkan malaikat tunduk sujud kepada manusia ia memahaminya sebagai
Adam AS. Ini dipahami ketika ia menafsirkan wa nafakhtu fîhi min rûhî (dan Aku
telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya) ia menjelaskan bahwa ruh adalah
(seperti) energy yang dipancarkan dari hati (qalb) pada rongga-rongga minum hingga
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 219
tanah kering, dari lumpur hitam yang diberi bentuk, penciptaan jin-jin
dari api yang panas, dan perintah kepada malaikat agar tunduk
kepada Adam AS.
Menurutnya, Para malaikat tidak serta-merta langsung tunduk
sujud kepada Adam AS. Saat Allah SWT memerintahkannya tunduk
kepada Adam AS, para malaikat tidak mau melakukannya maka
Allah SWT menimpahkan api kepadanya sehingga terbakar. Lalu
Allah SWT menciptakan para malaikat lain dan diperintahkan untuk
tunduk kepada Adam AS namun mereka masih tidak mau
melakukannya maka Allah SWT menimpahkan api kepadanya
sehingga terbakar . Untuk ketiga kalinya Allah SWT menciptakan
para malaikat lain dan diperintahkan tunduk kepada Adam AS namun
tetap saja para malaikat tersebut enggan melakukannya sehingga
Allah SWT menimpahkan api kepadanya yang membuatnya terbakar.
Setelah itu Allah SWT menciptakan para malaikat lain dan
diperintahkan untuk sujud kepada Adam AS dan para malaikat ini
menjawab, “kami dengar perintahMu dan kami patuhi” Namun
Iblis74
tetap tidak mau tunduk sujud sehingga ia adalah makhluk
pertama yang kafir75
. Keterangan ini bersumber dari Hadis yang
diriwayatkan Ibn ‘Abbâs.76
ke bagian tubuh paling dalam. Pancaran energi tersebut membentuk sifat-sifat
kemanusiaan yang menjadikannya hamil (hâmil). Lihat, Nâshir al-Dîn Abû
Sa’îd’Abdullâh bin ‘Umar bin Muhammad al-Shayrâzî al-Baidâwî, Tafsîr al-Baidâwî al-Musammâ Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Tawîl, (Bairût: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2003 M/1424 H), cet. ke-1, jilid ke-1, h. 529
74 Alasan Iblis enggan tunduk sujud kepada Adam AS adalah karena Iblis
merasa lebih baik dari Adam AS dengan Iblis tercipta dari api yang berarti simbol
tinggi melangit sedangkan Adam AS tercipta dari tanah yang berarti simbol rendah
membumi. Jelas api lebih mulia dari tanah sehingga yang lebih mulia tidak harus
menghormati yang rendah. Menuurt al-Syafi’i, Iblis bukan termasuk golongan
malaikat akan tetapi temasuk golongan jin dengan dalil QS al-Kahfi/18: 50, إبليس-Lihat, Wahbah al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah…,cet. ke كان من الجن
14, h. 32
75 Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-2, h. 670
حدثنى جعفر بن مكرم, قال: ثنا أبو عاصم, قال: ثنا شبيب بن بشر, عن اكرمة عن 76الملائكة قال: إنى خالق بشرا من طي, فإذا أن خلقته فاسجدوا له, ابن عب اس قال: لما خلق الله
220 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Menurut al-Zamakhsharî, Ayat ini adalah penjelasan Allah
SWT mengenai proses menghidupkan dan menyempurnakan
makhluk-Nya. Keadaan hidup makhluk bukanlah karena hembusan
roh. Sesungguhnya yang demikian itu hanyalah perumpamaan
bagaimana sesuatu menjadi hidup dan perumpamaan bagaimana
dalam sesuatu itu ada kehidupan.77
Al-Thabathabaî sedikit lebih luas menjelaskan ayat ini.
Menurunya, kata taswiyyah (penyempurnaan) berarti menjadikan
sesuatu sama persis dengan sesuatu itu sendiri. Kesamaan tersebut
tidak hanya pada bentuk utuh tetapi juga pada bagian-bagiannya.
Maka taswiyyah al-insân (penyempurnaan manusia) berarti
menjadikan seluruh anggota tubuh manusia ada sesuai tubuh masing-
masing. Dengan demikian ungkapan khâliqun78 basharan (pencipta
manusia) pada ayat sebelumnya dan ungkapan fa idzâ sawwaytuhû
فقالوا: ل نفعل, فارسل عليهم نرا فأحرقتهم, وخلق ملائكة أخرى فقال: : إنى خالق بشرا من فأبوا, قال: فارسل عليهم نرا فأحرقتهم, ث خلق ملائكة ’ طي, فإذا أن خلقته فاسجدوا له
فأبوا, قال: فارسل عليهم ’ الق بشرا من طي, فإذا أن خلقته فاسجدوا لهأخرى فقال: : إنى خنرا فأحرقتهم, ث خلق ملائكة أخرى فقال: : إنى خالق بشرا من طي, فإذا أن خلقته فاسجدوا له, فقالوا: سعنا و أطعنا, إل إبليس كان من الكافرين الولي
Lihat, Abû Ja’far Muhammad Jarîr Al-Tabarî, Jâmi’ al-bayân ‘an Tawîl al-Qurân, (Shirkah wa Maktabah wa Mutbi’ah Mustafâ al-Bâbi al –Hablî, 1968 M/1388
H), cet. ke-3, juz ke ١4, h. 31
77 Abû al-Qâsim Jâr Allâh Mahmûd bin ‘Umar bin Muhammad al-
Zamakhsharî, Tafsîr al-Kassyâf, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah1424 H/2003 M),
jilid ke-2, h.555
78Menurut Ibn ‘Arabi, Khâliq (Pencipta) adalah Zat yang membuat setiap
sesuatu menjadi mampu sebelum sesuatu tersebut ada yang kemudian dijadikan
menjadi ada. Asma al-Husna dipahami oleh seorang hamba bisa sebagai sesuatu
yang berkaitan dengan-Nya (ta’alluq), sebagai pengenalan nama-nama-Nya
(tahaqquq), dan sebagai representasi wujud-Nya (takhalluq). Saat seorang hamba
tidak memiliki pengetahuan cukup mengentai Zat Allah SWT maka asma al-husna
pada tahapan ini disebut dengan ta’alluq. Saat seorang hamba memahami arti dari
nama-nama-Nya kemudian dikaitkan dengan perbuatannya, maka asma al-husna
disebut dengan tahaqquq. Sedangkan jika seorang hamba berbuat dan perbuatannya
dikarenakan perbutan tersebut adalah “perbutan” Allah SWT, maka asma al-husna
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 221
(maka apabila Aku telah menyempurnakannya) sangat dekat
maksudnya karena penciptaan manusia melalui proses yang diawali
dengan penyatuan seluruh anggota tubuh lalu penataan tiap-tiap
anggota tubuh sesuai fungsi agar siap menerima hembusan roh.79
Walaupun roh sudah dihembuskan ke jasad namun eksistensi
dan bentuk jasad tidak berubah. Penyatuan roh dan jasad adalah
penjelasan bagaimana bentuk baru (khalqan âkhar) tercipta. Itulah
mengapa jasad akan tetap seperti apa adanya walaupun roh telah
berpisah.80
Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qurân, ي ع ر و ن و ل ت ق و ل و ا ل م ن ي ق ت ل ف سب ي ل الله أ م و ات ب ل أ ح آء و لك ن ل ت ش
Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di
jalan Allah,81
(mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka)
hidup,82
tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS Al-Baqarah/2:
154)
Tujuan perintah Allah SWT kepada para malaikat untuk
tunduk sujud kepada Adam AS adalah sebagai bentuk penghormatan
kepada Adam AS, bukan sebagai bentuk ibadah kepadanya karena
Allah SWT Memuliakan siapa yang Ia kehendaki.83
Menurut al-Qaffâl, sebagai makhluk paling mulia, para
malaikat diuji Allah SWT dengan perintah tunduk sujud kepada
Adam AS. Ujian tersebut adalah sebagai bentuk pengungkapan
kekuasaan-Nya dan sebagai pemberian pahala yang sangat besar.84
disebut dengan takhalluq. Lihat, Muhyi al-Dîn Ibn ‘Arabî, Kasاf al-Ma’nâ ‘an Sirr
Asmâ al-Husnâ, (Shirkah al-Quds, 2016 M/1437 H), cet. ke-1, h. 51 dan 69
79 Al-Tabatabâî , Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, juz ke-12, h. 152
80 Al-Tabatabâî , Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, juz ke-12, h. 153
81 Orang-orang yang terbunuh di jalan Allah adalah para syahid saat
peperangan Badr. Mereka berjumlah empat belas (14) Lihat, Al-Zamakhsharî, Tafsîr al-Kashâf, Jilid ke-1, h. 205
82 Mereka hidup. Bahkan disajikan rezeki untuk ruh mereka berupa buah-
buahan surga sehingga ruh mereka senang gembira. Keadaan sebaliknya terjadi pada
Firaun. Ruh Firaun disajikan api siang dan malam sehingga terasa perih dan pedih. ,
Al-Zamakhsharî, Tafsir al-Kashaf, . Jilid ke-1, h. 205
83 Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qurân, juz ke-10, h. 24
84 Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qurân, juz ke-10, h. 24
222 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
b. Mudahnya Membangkitkan dalam Luqmân 31/28,
ي ر ة ا ن الله س ي ع ب ص د ن ف س و اح م ا خ ل ق ك م و ل ب ع ث ك م ا ل ك
Menciptakan dan membangkitkan kamu (bagi Allah) hanyalah
seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja
(mudah). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha
Melihat.
Ayat ini diturunkan ketika Ubay ibn Khalaf, Ubay al-Aswadin,
Munabbih85
, Naîh Ibnay al-Hajjâj bin al-Sabbâq hendak
menkonfrimasikan pemahamannya tentang ayat Al-Qurân terhadap
penjelasan nabi perihal kebangkitan. Dalam Al-Qurân dijelaskan
bahwa manusia tercipta melalui sejumlah tahapan; mulai dari air
mani, lalu segumpal darah, kemudian segumpal daging, dan
berikutnya menjadi tulang-belulang sedangkan nabi menjelaskan
bahwa Allah SWT akan membangkitkan makhluk dalam keadaan
baru seluruhnya dalam waktu yang sama.86
Itulah mengapa mereka
minta penjelasan mendalam mengenai pemahaman mereka yang
seolah-olah ayat Al-Qurân dan ucapan nabi bertentangan namun pada
akhirnya terjawab dengan diturunkannya ayat tersebut.
Quraish Shihab menilai mereka yang mengkonfirmasi
kebenaran tersebut sebagai orang-orang yang membantah dan
termasuk golongan musyrikin yang menolak keniscayaan hari
kiamat.87
Sesungguhnya Allah SWT Maha Kuasa dalam menciptakan
dan membangkitkan. Kata penciptaan (khalq) dibarengi dengan kata
kebangkitan (ba’ts) tersirat makna kemudahan memulai dan
85 Munabbbih turut meriwayatkan hadits dari Nabi saat nabi berpakaian
ihram menjalankan ibadah umrah. Namanya disebut dalam kitab Shahihain karangan
Ya’la ibn Umayyah. Lihat, Ahmad bin ‘Alî bin Hajar Al-‘Asqalânî,, Al-Isâbah fi Tamyîz al-Sahâbah, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002 M/1423 H), cet. ke-2,
juz ke-7, h. 301
86 ‘Abdullâh Muhammad bin Ahmad al-Ansârî Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qurân, (Qâhirah: Dâr al-Katib al-‘Ilmi li al-Taba’ât wa al-Nashr, 1387
H/1967 M), juz ke-14, h. 78. Lihat juga, Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalain, juz
ke-4, h. 216
87 Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserian Al-Qurân, (Ciputat: Lentera Hati, Nopember 2009), volume ke-10, h. 331
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 223
kemudahan mengembalikan seperti semula. Kemudian kedua kata
tersebut (khalq dan ba’ts) digandengakan dengan kata ganti jamak
kum (kalian semua wahai manusia) lalu dipertemukan dengan kata
tunggal nafs wâhidah (jiwa yang satu) tersirat makna bahwa yang
tunggal lebih hebat dari yang banyak.?88
Argumentasi tersebut sesuai denga uraian Al-Kindi.
Menurutnya, sebagaiana dikutip Quraish Shihab, keberadaan sesuatu
setelah kepunahan adalah bisa atau mungkin. Menghimpun sesuatu
yang terpisah-pisah lebih mudah dari mewujudkannya pertama kali.
Menciptakan manusia dan menghidupkannya setelah kematiannya
lebih mudah dari menciptakan alam raya yang sebelumnya tidak
pernah ada. Namun demikian, bagi Allah tidak ada istilah lebih
mudah atau lebih sulit.89
Kekuasaan-Nya, tidak ada pengaruh apakah Dia hendak
menciptakan yang sedikit atau yang banyak. Dia Yang Maha Melihat
dan Maha Mendengar tidak boleh dipahami penglihatan-Nya
terpengaruh saat Dia mendengar dan begitu juga sebaliknya90
. Begitu
pula, menciptakan dan membangkitkan seluruh manusia bagi-Nya
semudah menciptakan dan membangkitkan satu jiwa. Kesukaran
yang dirasa oleh makhluk tidak patut melekat pada Khâliq yang
menciptakan jagat raya semudah menciptakan satu jiwa. Kemudahan
itu ibarat seorang petugas yang menyalakan ratusan ribu lampu listrik
pada malam festival hanya dengan menekan satu tombol sentral. Jika
lampu listrik yang merupakan salah satu makhluk dan pelayan
penerangan Allah memiliki keistimewaan dan kehebatan mengerjakan
tugasnya, maka pasti kebangkitan makhluk bisa terjadi hanya sekejap
mata.91
Jika Dia menghendaki sesuatu maka saat itu juga sesuatu itu
mengikuti kehendak-Nya.92
Oleh karena itu, al-Thabarî93
menukil
88 Al-Tabatabâî , Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, juz ke-16, h. 238
89 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qurân; Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, Maret 1997/Dzulqa’dah 1417), cet. ke-v, h.77-78
90 Al-Zamakhsharî, Tafsîr al-Kasshâf, jilid ke-3, h. 486
91 Badî’ al-Zamân Sa’îd al- Nûrshî, Risâlah al-Hashr, (Dâr al-Sûzlar li al-
Nashr), h. 145
92 Ibn Katsîr al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-3, h. 546
224 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
pendapat Mujahid bahwa maksud dari seperti membangkitkan satu
jiwa adalah hanya berucap jadilah maka jadilah ia. Sebagaimana
dinyatakan dalam Al-Qurân,
ئا أ ن ي ق و ل ل ه ك ن ف ي ك و ن آ أ م ر ه إ ذ ا أ ر اد ش ي إ نSesungguhna urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu
Dia hanya berkata kepadanya, ‘jadilah!’ maka jdialah sesuatu
itu. (QS Yâsîn/36: 82)
ح ب ة ك ل م د ل ب ص ر و م ا أ م ر ن إ ل و اح
Dan perintah Kami hanyalah (dengan) satu perkataan seperti
kejapan mata. (QS Al-Qamar/54:50,)
c. Penciptaan Yang Lebih Besar dalam Surat Ghâfir /40: 57, ث ر الناس ب ر م ن خ ل ق الناس و لك ن ا ك ل ي ع ل م و ن لخ ل ق السموت و ال ر ض ا ك
Sungguh, penciptaan langit dan bumi itu lebih besar daripada
penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui
Banyak orang saling berselisih dan saling-bantah terhadap
kekuasaan Allah dalam membangkitan. Perselisihan dan bantahan itu
disampaikan tanpa menggunakan nalar dan alasan yang argumentatif.
Selain dari itu, alasan penolakan kebangkitan yang mereka dengung-
dengungkan sebenarnya sekedar alasan-alasan yang hanya mengarah
kepada penolakan kebangkitan94
. Allah SWT telah memberikan
peringatan agar berlidung kepada-Nya dari golongan manusia
semacam itu. Karena Dia Maha Mendengar apa yang mereka
katakana dan Maha melihat apa yang mereka perbuat.
93 Al-Tabarî , Jâmi’ al-Bayân…, juz ke-21, h. 82. Al-Tabarî memiliki nama
lengkap Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Gâlib al-Tabarî. Ia
dilahirkan pada 224 H dan wafat apda 310 H. Selain ahli tafsir, ia juga ahli hadits,
fiqih, dan tarikh. Sumber penafsiran tafsir Jami’ al-Bayan yang dikutip di sini adalah
bi al-ma’tsur, yaitu penfasiran yang bersumber dari ayat-ayat Al-Qurân dan riwayat
yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, pendapat para sahabat, dan tabi’in.
lihat, Asep Abdurrohman, Metodologi Al-Thabari dalam Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tawil Al-Qurân, dalam Kordinat: Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agama
Islam Swasta, Vol. XVII No 1 April 2018, h. 73-75
94 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-27, h. 80
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 225
Sesungguhnya Allah SWT kuasa membangiktkan seluruh
manusia pada hari kiamat karena penciptaan seluruh alam lebih besar
dari penciptaan manusia.95
Walaupun ungkapan yang digunakan
adalah langit dan bumi untuk membandingkan penciptaan manusia,
namun maksudnya adalah tidak hanya langit dan bumi saja tetapi
juga orbit-orbit, bintang-bintang, bahkan seluruh alam.96
. Dengan
demikian, Zat Yang Mampu membangkitkan yang lebih besar tentu
mudah membangkitkan yang selainnya.97
Ungkapan yang demikian
itu benar-benar meruntuhkan alasan dan perselisihan para pendusta
kebangkitan. Oleh karena itu, hedaklah manusia tidak terlepas dari
mengingat kekuasaan Allah SWT sebagaimana dinyatakan dalam
ayat-ayat berikut ini:
ث ل ه م و ا و ل ي ر و ا ن الله الذ ى خ ل ق السموت و ال ر ض ق اد ر ع لى ا ن ي ل ق م ل م ا ج لا ل ر ي ب ف ي ه ف ابى الظل م و ن ا ل ك ف و راج ع ل
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Allah yang
menciptakan langi dan bumi adalah Mahakuasa (pula)
menciptakan yang serupa dengan mereka, dan Dia telah
menetapkan waktu tertentu (mati atau dibangkitkan) bagi
mereka yang tidak diragukan lagi? Maka orang zalim itu tidak
menolaknya kecualai dengan kekafiran. (QS Al-Isrâ/17: 99)
ث ل ه م ب لى و ه و أو ل ي س الذ ي خ ل ق السمو ات و ال ر ض ب ق اد رع ل ى أ ن ي ل ق م الخ ل ق ال ع ل ي م
Dan bukankan (Allah) yang menciptakan langit dan bumi,
mampu menciptakan kembali yang serupa itu (jasad mereka
yang sudah hancur uitu? Benar, dan Dia Maha Pencipta, Maha
Mengetahui (QS Yasin/36:81)
95 Menukil pendapat Abu al-‘Aliyah, Al-Qurthubi menjelaskan bahwa
maksud dari lebih besar dari penciptaan manusia adalah lebih besar dari penciptaan
Dajjâl saat diagungkan orang-orang Yahudi. Lihat, Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qurân, juz ke-15, h. 234
96 Al-Tabatabâî , Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, juz ke-27, h. 341. Lihat juga,
Wahbah al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah…,juz ke-24, 149
97 Ibn Katsîr al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-4, h. 103
226 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
ي خ ل ق السمو ات و ال ر ض و ل ي ع ي ب ل ق ه ن ب ق اد ر ع ل ى أ و ل ي ر و ا أ ن الله الذ ء ق د ي ر أ ن ي ي ي ال م و ت ى ب لى إ نه ع ل ى ك ل ش ي
Dan tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya
Allah yang menciptakan langit dan bumi, dan Dia tidak merasa
payah karena menciptakannya, dan Dia kuasa menhidupkan
yang mati?Begitulah, sungguh, Dia Mahakuasa atas segala
sesuatu. (QS Al-Ahqaf/46: 33)
d. Penciptaan Dua Makhluk Yang Patuh dalam Fushshilat/41: 11
ي د خ ان ف ت وى ا ل السمآء و ه ق ال ل ا و لل ر ض ائ ت ي ا ط و عا ا و ك ر ها ث اس
ن ا طآئ ع ي ق ال ت ا ا ت ي Kemudian Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa
asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi,
“Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh
atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “kami datang dengan
patuh”
‘Arsh Allah SWT ada di atas air sebelum diciptakan langit dan
bumi. Lalu, air tersebut dibuat menjadi panas sehingga menghasilkan
buih dan asap. Pergerakan buih dan asap tidak sama. Buih tetap
berada pada permukaan air sedangkan asap bergerak naik dan
semakin naik. Dari buih itu dijadikan bumi dan dari asap dijadikan
langit. Pendapat yang tidak ada dalam Al-Qurân itu diungkapakan al-
Râzî98
setelah mengutip pendapat sâhib al-Atsar.
Pendapat yang diklaim kebenarannya oleh umat Yahudi perihal
penciptaan langit adalah pendapat yang dinyatakan dalam Taurat.
Dalam kitab suci yang diturunkan kepada nabi Musa itu diterangkan
bahwa langit diciptakan dari partikel-partikel kegelapan. Pendapat
semacam ini bisa diterima akal karena kegelapan bukan proses
sesuatu menjadi ada. Misalnya, jika seseorang duduk di bawah sinar
dan lainnya duduk di kegelapan, maka yang duduk di bawah sinar
tidak melihat yang duduk di kegelapan, yang dilihat hanya kegelapan.
Sebaliknya, yang duduk di kegelapan melihat yang duduk di bawah
98 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-27, h. 105. Lihat juga, Al-Huwayzî,
Tafsîr Nûr al-Tsaqalain, juz ke-4, h. 541
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 227
sinar dan melihat sinar tersebut. Jelaskah, seandainya kegelapan
menjadi sifat yang melekat pada udara maka pastilah keberadaan
sesuatu menjadi tergantung kepada siapa yang melihatnya.99
Kegelapan adalah ketidakadaan cahaya. Dari kegelapan
tercipta langit-langit, matahari dan bulan. Lalu kegelapan disinari
cahaya sehingga menjadi terang. Itulah mengapa partikel-partikel
yang dimaksud sebagai penciptaan langit-langit, matahari, dan bulan
saat itu masih dalam bentuk kegelapan. Kegelapan itulah yang
dimaksud dengan asap. Karena asap adalah partikel-partikel yang
saling terpisah yang yang belum terekena cahaya.
Lebih lanjut al-Râzî menjelaskan, terdapat korelasi penyebutan
langit dan bumi dengan perintah dalam keadaan patuh atau dalam
keadaan terpaksa. Langit disebut lebih awal dan perintah datang
dalam keadaan patuh juga disebut lebih awal. Bumi disebut
belakangan dan perintah datang dalam keadaan terpaksa juga disebut
belakangan. Ini mengandung makna bahwa sifat langit adalah patuh
sebagaimana sifat penghuninya seperti para malaikat yang selalu
takut kepada Allah dan siap melakukan segala yang diperintahkan-
Nya.100
Sebaliknya, sifat datang dalam keadaan terpaksa adalah sifat
yang melekat pada bumi dan penghuninya seperti manusia yang
dalam taat kepada Allah sering merasa terpaksa.101
Setelah langit dan bumi diciptakan102
, Allah SWT
memerintahkan kepada keduanya untuk memenuhi perintah-Nya baik
dalam keadaan patuh atau terpaksa. Langit diperintahkan
menampakkan matahari, bumi, dan bintang-bintang sedangkan bumi
99 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-27, h. 105
ع ل و ن م ا ي و م ر و ن 100 ي اف و ن ر ب ه م م ن ر ب م و ي ف 101Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-27, h. h. 107
102 Dalam hadits yang diriwayatkan Ibn ‘Abbâs dijelaskan bahwa Allah SWT
menciptakan bumi pada hari Minggu dan Senin, menciptakan gunung pada hari
Selasa, menciptakan pohon, air, peradaban, dan kehancuran pada hari Rabu, sehingga
semuanya menjadi empat hari. Lalu Allah mencipatakn langit pada hari Kamis, dan
menciptakan matahari, bulan, bintang, malaikat, dan nabi Adam pada hari Jumat.
Lihat Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalain, juz ke-4, h. 539
228 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
diminta membentangkan lautan dan mengeluarkan pepohonan.
Keduanya memenuhi perintah Allah SWT dalam keadaan patuh.103
Walaupun penjelasan Al-Qurân begitu jelas dan benar namun
masih saja banyak manusia yang sebab kejahhilannya tidak
memperhatikan dan menghayatinya sehingga mereka tetap
meragukan kebangkitan
e. Mereka Seperti Kita dalam al-An’âm/6: 38,
ث ال ك م م ا ف ر ط ن ا و م ا م ن د ابة ف ال ر ض و ل طئ ر ي ط ي ر ب ن اح ي ه ا ل أ م م أ م ث ا ل ر ب م ي ش ر و ن ف ال ك تب م ن ش ي ئ
Dan tidak ada seekor binatangpun yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya,
melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti
kamu. Tidak ada sesuatupun yang Kami luputkan di dalam
kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.
Sesungguhnya hewan darat, burung, dan jin adalah sama
seperti umat manusia. Dalam hadis dikatakan seandainya anjing-
anjing bukan termasuk umat, pastilah sudah aku perintahkan untuk
membunuhnya104
. Semua hewan tersebut mengenal Allah, memuji-
Nya, mengesakan-Nya, dan menyucikan-Nya dan semuanya tidak
luput dari pengawasan dan pemeliharan Allah SWT. Zat Yang Maha
Pemberi Rizki sudah menentukan setiap rizki makhluk-Nya.
Ketentuan itu sudah termaktub di Lawh al-Mahfûz. Di situ juga
segala yang akan terjadi sudah ditetapkan. Ketetapan-ketetapan itu
sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Al-Qurân, kitab penjelas
segala sesuatu.(wa nazzalnâ ‘alaika al-kitâba tibyânan li kulli
shayin)105
, Sebagaimana dinyatakan dalam ayat-ayat Al-Qurân
berikuti ini:
103 Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-4, h. 114
-Lihat, Al-Râzî, Mafâtih al لو ل ان الكلاب أمة من المم لمرت بقتلها 104
Ghaib, juz ke-١2, h. 223
105 Lihat, Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qurân, juz ke-6, h. 420
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 229
ت و د ع ه ا و م ا ت ق ره ا و م س م ن د ابة ف ال ر ض ا ل ع ل ى الله ر ز ق ه ا و ي ع ل م م س ك ل ف ك ت اب م ب ي
Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi
melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui
tempat kediamannya106
dan tempat penyimpanannya. Semua
(tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz). (QS Hûd/11:
6)
ك م و ه و السم ي ع ال ع ل ي م و ك أ ي ن م ن د ابة ل ت م ل ر ز ق ه ا الله ي ر ز ق ه ا و إ ياDan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang
tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-
lah yang member rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha
Mendengar, Maha Mengetahui. (QS al-‘Ankabût/29: 60)
ر ض و م ن ف ي ه ن و ا ن م ن ش ي ئ إ ل ي س ب ح ت س ب ح ل ه السموات السب ع و ال ب ي ح ه م إ نه ك ان ح ل ي ما غ ف و را د ه و لك ن ل ت ف ق ه و ن ت س حج م
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya
bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatupun melainkan
bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti
tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha
Pengampun. (QS al-Isra/17: 44)
Dalam riwayat Abû Dardâ dijelaskan bahwa akal binatang
selalu samar dalam mengenal apapun kecuali pada empat hal; dalam
mengenal tuhannya, dalam mencari rizki, dalam mengenal jenis
kelamin sesama mereka, dan dalam mempersilahkan sesuatu sesama
mereka.107
Dalam hadis dinyatakan bahwa barang siapa yang membunuh
seekor burung secara sia-sia maka burung itu akan mengadu kepada
106 Menurut sebagian mufasir, yang dimaksud “tempat kediamannya” di sini
ialah dunia, dan “tempat penyimpanan” ialah akhirat. Dan menurut sebagian mufasir
lain, maksud “tempat kediaman” ialah tulang sulbi dan ‘tempat penyimpanan” ialah
rahim. Lihat,. Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahnya, (Bandung: PT.
Syamil Cipta Media, 2005), h. 222.
107Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-١2, h. h. 224
230 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Allah pada hari kiamat “Ya Allah, orang ini telah membunuhku
secara sia-sia. Dia telah membuat aku menjadi tidak berguna, dia
juga tidak memberikan bangkaiku kepada para pemangsa bumi”.108
Selain tidak luput dari pengawasan Allah, hewan-hewan
tersebut juga akan dibangkitkan seperti halnya manusia.
Penyebutan binatang yang ada di bumi dan burung-burung
yang terbang dengan kedua sayapnya tidak menafikan hewan-hewan
air karena sesungguhnya hewan-hewan air juga ‘terbang’ di dalam air
seperti halnya burung-burung yang ‘berenang’ di udara.
Penyebutan burung yang terbang dengan kedua sayapnya,
sesunggunya bisa hanya disebut dengan kata burung saja tanpa
menyebut yang tebang dengan kedua sayapnya karena memang
burung terbang dengan kedua sayap. Hal yang demikian itu adalah
sebagai penguat dan penegas dalam penggunaan bahasa sebagaimana
orang sering menyebut na’jah (domba betina) dengan menambahkan
kata untsâ (yang betina). Selain dari itu tersirat makna bahwa ada
burung yang terbang tidak dengan kedua sayapnya dan ada pula yang
terbang dengan kedua sayap tetapi itu bukan burung. Yang terbang
tidak dengan kedua sayap adalah hewan yang mampu bergerak cepat
sehingga bergeraknya terlihat seperti terbang. Sedangkan yang
memiliki sayap namun ia bukan burung adalah para malaikat Allah
SWT109
sebagaimana dinyatakan dalam ayat-ayat Al-Qurân berikuti
ini:
ن ح ة م ث نى ر ض ج اع ل ال م لئ ك ة ر س لا أ و ل أ ج د لله ف اط ر السموات و ال ا ل م و ث لث ى و ر بع ي ز ي د ف الخ ل ق م ا ي ش اء إ ن الله ع لى ك ل ش ي ئ ق د ي را
Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang
menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus
berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-
masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. Allah menambahkan
روي عن النبي أنه قال: من قتل عصفورا عبثا جاء يوم القيامة يعج ال الله يقول يا 108 ,Lihat, Al-Râzî رب إن هذا قتلنى عبثا ل ينتفع بى و ل يدعنى آكل من حش اش الرض
Mafâtih al-Ghaib, juz ke-١2, h. 224
109 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-١2, h. h. 223
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 231
pada ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguh, Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Fâtir/35:1)
ي س ب ح ل ه م ن ف السمو ات و ال ر ض و الطي ر ص ف ت ك ل ق د الله أ ل ت ر أ ن ع ل و ن ب ي ح ه و ا لله ع ل ي م ب ا ي ف ع ل م ص لت ه و ت س
Tidakkah engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allah-lah
bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan juga burung yang
mengembangkan sayapnya. Masing-masing sungguh telah
mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS al-Nûr/24: 41)
6. Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah
a. Selebriti Dunia dan Akhirat dalam QS Âli ‘Imrân/3: 45,
ي ح ع ي س ى اب ن ر ك ب ك ل م ة م ن ه اس ه ال م س ا ذ ق ال ت ال م لئ ك ة يا م ر ي ا ن الله ي ب ش ر ة خ ن ي ا و الآ ها ف الد ي و م ن ال م ق رب ي م ر ي و ج
(Ingatlah!) ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam!
Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu
tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya (yaitu seorang
putra), namanya Al-Masîh Isa Putra Maryam, seorang
terkemuka di dunia dan di akhirat110
, dan termasuk orang-orang
yang didekatkan (kepada Allah)
Sebelum mengungkapkan kandungan ayat tersebut, al-
Qurtubî111
mengawalinya dengan bacaan Abû al-Sammân tentang
kata kalimatin112. Abu al-Samman tidak membacanya kalimatin
melainkan kilmatin. Arti kalimatin atau kilmatin adalah anak laki-
laki (walad).
Qurtubî melanjutkan bahwa kata al-masîh yang berarti “yang
benar” adalah gelar yang disematkan kepada nabi Isa. Ibn ‘Abbâs
110 Terkemuka di dunia karena ia manjadi nabi dan terkemuka di akhirat
karena ia memperoleh syafaat dan menempati derajat surga paling tinggi. Lihat al-
Zamakhsarî, Tafsîr al-Kashâf, Jilid ke-1, h. 357 111 Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qurân, juz ke-4, h. 89
112 Menurut Al-Tabatabaî , Melalui pendekatan bahsasa, kata kalimatin dan
kata kalim seperti kata tamarah dengan tamar, maksud dari setiap keduanya adalah
sama. Lihat, Al-Tabâtabâî , Al-Mîzan fî Tafsîr al-Qurân, jilid ke-3, h. 222.
232 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
menjelaskan Isa disebut al-masîh (pengusap) karena setiap orang
cacat yang diusap olehnya maka akan pulih cacatnya113
. Dalam
pendapat lain dijelaskan bahwa disebut al-masîh karena Isa pernah
diusap menggunakan minyak wangi yang diberkati. Keadaan seperti
ini juga terjadi pada para nabi. Oleh karena itu usapan yang demikian
membuat Isa menjadi nabi. 114
Menurut al-Zamakhsari115
, kata al-
masîh diambil dari bahasa Ibrani mashîh yang berarti al-mubârak116
(yang diberkati) dan al-masîh adalah salah satu julukan mulia seperti
al-siddîq dan al-fâruq.
Abu al-Haytsam, Ibn al-A’rabî, dan Abû ‘Ubaid berpendapat
beda lagi. Abû al-Haytsam menyatakan kata al-masîh adalah
antonim al-masîkh. Al-masîh digunakan untuk penciptaan makhluk
yang baik, luhur, dan penuh berkah sedangkan al-masîkh digunakan
untuk penciptaan makhluk buruk yang terlaknat. Ibn al-A’rabi
menyatakan Al-Masîh berarti yang benar sedangkan al-masîkh
berarti yang buta sebelah. Gelar al-masîkh disematkan kepada dajjâl
karena salah satu matanya buta.117
Sedangkan Abû ‘Ubaid
meyakinkan kata al-masîh berasal dari bahasa Ibrani yaitu mashîh,
dengan huruf shin yang kemudian diarabkan menjdi al-masîh
sebagaimana mereka mengarabkan kata mûsâ yang sebelumnya
mûshâ.118
Menurut Ibn Katsîr, maksud dari sebuah kalimat dari-Nya
adalah seorang anak yang tercipta melalui firman-Nya, kun fayakûn.
Ada empat alasan mengapa Isa putra Maryam digelari al-Masîh.
Pertama, dinamakan al-Masîh karena ia akan menjadi manusia
masyhur di kalangan orang-orang mumin. Kedua, disebut “al-Masîh”
113 Al-Tabatabaî menambahkan bahwa Isa pernah menyembuhkan mata buta
menjadi melihat dengan cara mengusapnya. Lihat, Al-Mîzan fî Tafsîr al-Qurân, h.
224.
114 Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qurân, juz ke-4, h. 89
115 Al-Zamakhsharî, Tafsîr al-Kashâf, . Jilid ke-1, h. 356
Dan Dia menjadikan akau seorang yang“ و ج ع ل نى م ب ار كا ا ي ن م ا ك ن ت 116
diberkati di mana saja aku berada…” QS Maryam/19 :31
117 Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qurân, juz ke-4, h. 89
118 Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qurân, juz ke-4, h. 89
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 233
karena kata “al-masîh” dekat maknanya dengan kata “siyâhah”
(perjalanan). Dengan demikian disebut al-Masîh karena Isa sering
melakukan perjalanan. Ketiga, disebut al-masîh karena kata “al-
masîh” mengandung arti “yang diusap”. Disebut demikian karena Isa
adalah sosok yang diusap kedua kakinya yang tidak bertelapak.
Keempat, adalah sama dengan yang dijelaskan al-Qurtubî dengan
menukil pendapat Ibn ‘Abbâs bahwa disebut al-Masîh karena arti
“al-masîh” adalah “pengusap” dan Isa putra Maryam biasa mengusap
cacat setiap orang lalu dengan usapannya tersebut cacatnya menjadi
pulih.119
Pendapat Abu ‘Ubaid yand dikutp al-Qurtubî perihal
pengaraban bahasa Ibrani tidak dibenarkan al-Râzî karena tidak
sesuai dengan kaidah derivasi120
. Namun al-Râzî banyak juga
menurunkan penjelasan al-Qurtubî. Menurut al-Râzî, yang juga
mengutip pendapat Ibn ‘Abbâs, nabi Isa disebut Al-Masîh
(pengusap) karena ia biasa mengusap orang yang sakit yang
kemudian menjadi sembuh. Menurut Yahya, disebut Al-Masîh
(Pengusap) karena nabi Isa sering membelah bumi dengan
mengusapnya. Pendapat lain menjelaskan bahwa disebut al-masîh
(Pengusap) karena nabi Isa sering mengusap kepala anak-anak yatim
karena Allah SWT. Ada juga yang berpendapat disebut Al-Masîh
(pengusap) karena ia mengusap dosa sehingga dosa tersebut menjadi
hilang. Pendapat lain adalah karena ia diusap oleh para nabi dengan
minyak wangi suci yang diberkati dan tidak ada selainnya yang
diusap dengan cara seperti itu. Minyak wangi tersebut bisa jadi
sebagai tanda dari Allah SWT agar para malaikat mudah
mendeteksinya dan mengetahui setiap yang diusap dengan cara
seperti itu akan menjadi seorang nabi. Pendapat lainnya menjelaskan
nabi Isa disebut al-masîh (yang diusap) karena ia diusap malaikat
119 Lihat, Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-1, h.
447. Lihat juga, Wahbah Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah…,Jilid ke-3, h.
229
120 Proses pengimbuhan afiks yang tidak bersifat infleksi pada bentuk dasar
untuk membentuk kata. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), cet. ke-4, h. 226. Dalam
Cambridge Learners Dictionary derivasi diartikan dengan asal-muasal sesuatu,
misalnya kata, yang dari kata tersebut kata baru terbentuk.
234 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Jibril mengusapnya saat lahir agar terpelihara dari ganguan
setan121
sehingga ia menjadi terkemuka di dunia dan di akhirat: di
dunia dengan cara menjadi nabi sedangkan di akhirat dengan menjadi
pemberi syafaat.122
Berbeda dengan al-Qurtubî, Ibn Katsîr, dan al-Râzî, Penjelasan
al-Huwayzi tentang ayat ini banyak mengangkat sisi lain dari Isa
putra Maryam. Menurutnya, Ali’ bin Abi Thalib pernah ditanya
seseorang tentang enam hal yang tidak ada di dalam rahim
sebelumnnya. Ali menjelaskan bahwa keenam tersebut adalah nabi
Adam, Hawa, Kambing nabi Ismail, tongkat nabi Musa, unta nabi
Shaleh, dan kalelawar/kalong yang dibuat nabi Isa bin Maryam yang
dapat terbang dengan izin Allah.123
Selain dari itu, Abu Hasan al-Ridâ pernah ditanya oleh Ibu al-
Sakît mengenai alasan mengapa Allah SWT mengutus nabi Musa bin
‘Imran dengan memiliki tangan yang putih, tongkat, dan alat sihir,
mengutus nabi Isa dengan pengobatan, dan mengutus nabi
Muhammad SAW dengan perkataan yang memiliki nilai bahasa
tinggi. Kemudian Abu Hasan menjelaskan bahwa Allah SWT
mengutus nabi Isa dengan pengobatan karena saat itu kemampuan
mengobati sangat dibutuhkan. Maka nabi Isa mendatangi manusia
dengan kemampuan yang tidak dimiliki oleh selaiannya seperti
menyembuhkan buta dan lepra bahkan menghidupkan yang sudah
mati.124
Berikut ini adalah tabel penjelasan mufasir mengenai al-Masîh,
Isa putra Maryam,
121 Lihat, Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-8, h. 54. Syaitan atau dalam
bahasa Arab, “shaitân” terambil dari kata “shatana” berarti “jauh”. Dinamakan
“shaitân” karena ia jauh dari rahmat Allah. Namun ada juga yang berpendapat
“syaithân” diambil dari kata “shâta” yang berarti “terbakar” namun pendapat kedua
ini dinilai lemah. Lihat, h. Wahbah Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah…,Jilid
ke-3, h.62
122 Al-Al-Zamakhsharî, Tafsîr al-Kashâf, Juz ke-1, h. 357
123 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalain, juz ke-1, h. 343.
124 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalain, juz ke-1, h. 342.
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 235
Tabel Nomor 8 : Penjelasan Mufasir tentang Pengertian al-Masîh
MUFASIR PENGERTIAN AL-MASÎH
Qurtubî 1. Al-sadiq/yang benar
2. Gelar yang disematkan kepada nabi Isa.
3. “Pengusap” karena setiap orang cacat yang
diusap olehnya menjadi pulih
4. Isa pernah diusap menggunakan minyak wangi
yang diberkati sehingga ia menjadi nabi.
5. Antonim al-masîkh. Al-masîh digunakan untuk
penciptaan makhluk baik, luhur, dan penuh
berkat sedangkan al-masîkh digunakan untuk
penciptaan makhluk buruk yang terlaknat.
6. Al-masîh berarti “yang benar” sedangkan “al-masîkh” berarti yang buta sebelah
7. Bahasa Ibrani, mashîh, kemudian diarabkan
menjadi al-masîh sebagaimana mereka
mengarabkan kata mûsâ yang sebelumnya mûshâ
Zamakhsarî 1. Dari bahasa Ibrani, “mashîh” berarti “al-mubârak” (yang diberkati)
2. Julukan mulia seperti al-siddîq dan al-fâruq
3. Al-Masîh berarti “yang diusap” Saat lahir, Isa
AS diusap malaikat Jibril agar terpelihara dari
ganguan setan sehingga ia menjadi terkemuka di
dunia dan di akhirat: di dunia dengan cara
menjadi nabi sedangkan di akhirat dengan
menjadi pemberi syafaat.
Ibn Katsîr 1. Isa AS digelari al-masîh karena ia akan menjadi
manusia masyhur di kalangan orang-orang
mumin.
2. Disebut al-Masîh karena kata “al-masîh” dekat
maknanya dengan kata “siyâhah” (perjalanan)
dan Isa AS sering melakukan perjalanan.
3. Al-masîh berarti “yang diusap”. Disebut
demikian karena Isa AS adalah sosok yang
diusap kedua kakinya yang tidak bertelapak.
4. Al-masîh berarti “pengusap” Isa putra Maryam
biasa mengusap cacat setiap orang lalu sebab
usapannya cacat itu menjadi pulih
Al-Râzî 1. Pengaraban bahasa Ibrani tidak benar karena
tidak sesuai dengan kaidah derivasi
2. Al-Masîh berarti “pengusap” Isa AS biasa
236 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
mengusap orang sakit yang kemudian menjadi
sembuh.
3. Al-Masîh berarti ‘Pengusap” Isa AS sering
membelah bumi dengan cara mengusapnya.
4. Al-Masîh berarti “Pengusap” Isa AS sering
mengusap kepala anak-anak yatim karena Allah
SWT.
5. Al-Masîh berarti “pengusap” Isa AS mengusap
dosa sehingga dosa tersebut menjadi hilang.
6. Al-Maîh berarti “yang diusap” Isa AS diusap
oleh para nabi dengan minyak wangi suci yang
diberkati dan tidak ada selainnya yang diusap
dengan cara seperti itu. Minyak wangi tersebut
tanda dari Allah SWT agar para malaikat mudah
mendeteksinya.
Al-Huwayzî 1. Kata “al-Masîh” tidak dijelaskan.
2. Allah SWT mengutus nabi Isa AS dengan
keahlian mengobati karena waktu itu
pengobatan sangat dibutuhkan. Nabi Isa AS
mendatangi manusia dengan kemampuan yang
tidak dimiliki oleh selaiannya seperti
menyembuhkan buta, lepra, bahkan
menghidupkan yang sudah mati
Penjelasan yang tidak kalah pentingnya perihal Isa ibn Maryam
adalah keterangan al-Tabatabâî yang menyatakan bahwa tujuan
wujud Isa adalah memberi penjelasan terhadap informasi yang
terkandung dalam Taurat serta menepis pemutarbalikan fakta yang
dilakukan orang-orang Yahudi yang selalu berselisih dalam urusan
agama. Pendapat yang demikian ini sesuai dengan ayat Al-Qurân, 125
م ة ل ب ي ل ك م ب ع ض الذ ي ل ك ت ك م ب ئ ل ب ي نت ق ال ق د ج و ل ماج آء ع ي س ى ب ت ت ل ف و ن ف ي ه ف ات ق و ا الله و أ ط ي ع و ن
125 Al-Tabâtabâî , Al-Mîzan fî Tafsîr al-Qurân fî Tafsîr al-Qurânjilid ke-3, h.
223
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 237
Dan ketika Isa datang membawa keterangan, dia berkata:
“Sungguh, aku datang kepadamu dengan membawa hikmah126
dan untuk menjelaskan kepadamu sebagaian dari apa yang
kamu perselisihkan, maka bertakwalah kepada Allah dan
taatlah (kepada) ku” (QS al-Zukhruf/43 :63)
Orang-orang Yahudi meyakini Isa ibn Maryam telah dibunuh
dan Nasrani mengimani Isa sudah disalib. Namun Islam meluruskan
keyakinan Yahudi dan Nasrani bahwa Isa tida dibunuh dan tidak pula
disalib. Sebagaiman dinyatakan dalam Al-Qurân,
ي ح ع ي س ى اب ن م ر ي ر س و ل الله و م ا ق ت ل و ه و م ا ص ل ب و ه س و ق و ل م إ ن ق ت ل ن ا الم
ت ل ف و ا ف ي ه ل ف ى ش ك م ن ه م ا ل م ب ه م ن ع ل م إ ل و لك ن ش ب ه ل م و إ ن الذ ي ن اخ نا )(ات ب اع الظن و م ا ق ت ل و ه ي ق ي
Dan (Kami hukum juga) karena ucapan mereka, “Sesungguhna
kami telah membunuh Al-Masîh , Isa putra Maryam, Rasul
Allah padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula)
menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang
diserupakan dengan Isa. Sesungguhnya mereka yang berselisih
pendapat tentang (pembunuhan Isa), selalu dalam keragu-
raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka benar-benar tidak
tahu (siapa sebenarnya yang dibunuh itu), melainkan mengikuti
persangkaan belaka, jadi mereka tidak yakit telah
membunuhnya. (QS al-Nisâ/4: 157)
Menurut Ibn ‘Abbâs, Di kalangan suku Yahudi ada seseorang
dan ibunya yang mirip dengan Isa. Mereka biasa membuat patung-
patung kera dan babi. Di antara patung-patung tersebut ada yang
mirip dengan kepala orang-orang Yahudi sehingga orang-orang
Yahudi berkumpul dan sepakat untuk membunuhnya. Saat mereka
mencari pembuat patung mereka menjumpai Isa dan diduganya Isa
sebagai sosok pembuat patung. Oleh karena itu malaikat Jibril
memasukan Isa ke dalam sebuah rumah lalu mengangkatnya ke langit
126 Kenabian, injil, dan hukum. Lihat, Departemen Agama RI, Al-Qurân dan
Terjemahnya, ?(Bandung: PT. Syamil Cipta Media, 2005), h. 494
238 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
dan hal itu tidak disadari oleh orang-orang Yahudi. Saat Thaytanus,
seorang dari mereka, masuk ke dalam rumah, ia tidak menjumpai Isa.
Sebaliknya, Allah SWT memperlihatkan mereka kepada seorang yang
mirip Isa sehingga mereka langsung membunuh dan menyalibnya.127
Wahab ibn Munbih menerangkan perihal tersebut dalam Hadis
yang panjang yang diriwayatkan Ibn Munzir bahwa ketika Isa
bersama tujuh belas Hawariyyun di dalam suatu rumah, orang-orang
Yahudi mengelilingi rumah tersebut lalu masuk. Saat mereka sudah
di dalam, Allah SWT menjadikan semua bentuk mereka sama seperti
bentuk Isa. Lalu mereka berkata, “Kalian telah menyihir kami.
Tunjukan kepada kami mana yang bernama Isa atau akan kami bunuh
kalian semua!” Lalu Isa bertanya kepada mereka yang
menyerupainya, “siapa di antara kalian yang akan menjual dirinya
hari ini untuk membeli surga?” kemudian salah satu dari mereka
menjawab, “saya”. Setelah itu ia keluar dan menemui orang-orang
Yahudi seraya berkata, “aku adalah Isa”. Maka ia dibunuh dan disalib
dan di saat yang sama Allah SWT mengangat Isa ke langit.128
b. Tempat Mencari yang Dicari dalam QS al-Nisâ/4: 134, عا ر ة و ك ان الله س ي ن ي ا و ال خ ن ي ا ف ع ن د الله ث و اب الد م ن ك ان ي ر ي د ث و اب الد
را ي ب ص Barang siapa menghendaki pahala di dunia maka ketahuilah
bahwa di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah
Maha Mendengar, Maha Melihat.
Ayat ini memberikan peringatan kepada mereka129
yang dalam
hidupnya hanya mementingkan kesenangan dunia saja. Peringatan
tersebut sebagai pemberitahuan bahwa Allah SWT menyediakan
pahala dunia dan akhirat. Orang-orang yang hanya memohon
127Al -Alûsî al-Baghdâdî, Rûh al-Ma’ânî …, Juz ke-6, h. 10
128 Al-Alûsî al-Baghdâdî, Rûh al-Ma’ânî …,Juz ke-6, h. 10
129 Menurut al-Tabarî sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsîr, mereka adalah
orang-orang munafik yang menampakkan keimanannya hanya untuk meraih
kesenangan dunia. Lihat, Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-
1, h. 697
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 239
kebaikan dunia maka mereka tidak memperoleh bagian di akhirat.
Sebagaimana dinyatakan dalam ayat-ayat Al-Qurân berikut ini: ر ة م ن خ لق ن ي ا و م ا ل ه ف ال خ ف م ن الناس م ن ي ق و ل ر ب ن ا ء ات ن ا ف الد
Maka di antara manusia ada orang yang berdoa “ Ya Tuhan
kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan di akhirat dia
tidak memperoleh bagian apa pun. (QS al-Baqarah/2: 200)
ر ة ح س ن ة و ق ن ا ع ذ اب ن ي ا ح س ن ة و ف ال خ ن ه م م ن ي ق و ل ر ب ن ا ء ات ن ا ف الد و م
النار Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami,
berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan
lindungilah kami dari azab neraka” (QS al-Baqara/2: 201)
ي ب م ا ك س ب و ا و الله س ر ي ع ال س اب لئ ك ل م ن ص أ و
Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah
mereka kerjakan, dan Allah Mahacepat perhitungan-Nya. (QS
al-Baqarah/2: 202)
Seseorang yang dalam berjihad hanya mengharapkan harta
rampasan perang adalah salah besar karena Allah akan memberikan
tidak hanya pahala dunia tetapi juga pahala akhirat.130
Penggunaan
huruf “fa” (maka) adalah sebagai penjelasan bahwa pahala akhirat
diperoleh dengan syarat. Demikian penjelasan al-Râzî.131
Saat menerangkan ayat tersebut, al-Huwayzî banyak
mengangkat riwayat-riwayat seputar pengertian dunia. Misalnya
penjelasan Amîr al-Muminîn dan Ja’far bin Muhamad. Menurut
Amir al-Muminin, disebut dunia karena ia adalah sesuatu yang paling
dekat dan disebut akhirat karena di dalamnya terdapat balasan,
ganjaran, dan pahala.132
Sedangkan Ja’far bin Muhammad
menyatakan bahwa dunia adalah ibarat pencari dan yang dicari.
130 Al-Zamakhsharî, Tafsir al-Kashâf, . Jilid ke-1, h. 562
131 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-11, h. 72
240 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Seseorang yang mencari dunia maka ia akan dicari oleh kematian
hingga ia keluar dari dunia dan seseorang yang mencari kematian
maka dunia akan terus mencarinya hingga rizkinya terpenuhi.133
Dalam riwayat ‘Abdullâh bin Yazîd bin Salâm disebutkan
bahwa ia pernah bertanya kepada nabi seputar dunia dan akhirat
sehingga dijelaskan bahwa disebut dunia karena ia adalah sesuatu
yang paling dekat yang diciptakan berbeda dengan akhirat.
Seandainya dunia diciptakan berbarengan dengan akhirat maka
penghuni dunia akan kekal seperti kekalnya penduduk akhirat. Lebih
lanjut diterangkan bahwa disebut akhirat karena ia datang
belakangan, masanya tidak dijelaskan, hari-harinya tidak terbatas,
dan penghuninya tidak mati.
Dalam riwayat Ibn Abî Ya’fûr dijelaskan bahwa ia mendengar
ayah ‘Abdullâh SAW bersabda: Barang siapa yang menggantungkan
hatinya pada dunia maka ia akan mengalami tiga hal; kekhawatiran
yang terus-menerus, harapan yang tidak akan tercapai, dan keinginan
yang tidak akan diperoleh.134
c. Kemenangan Agung dalam al-Saffât/37: 60-61,
ل م ث ل هذا ف ل ي ع م ل ال ع ام ل و ن )الصفا ا ن هذا ل و ال ف و ز ال ع ظ ي م )(
(6١-60:/37ت
Sungguh, ini benar-benar kemenangan yang agung (60) Untuk
(kemenangan) serupa ini, hendaklah beramal orang-orang yang
mampu beramal (61)
Al-Huwayzî tidak sama sekali menafsirkan dua ayat tersebut
namun ia mengangkat kisah penduk surga dan penduduk neraka
sebagai penafsiran ayat sebelumnya.135
Dalam hal ini ia menukil
132 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalain, juz ke-1, h. 560
133 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalain, juz ke-1, h. 561
134 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalain, juz ke-1, h. 560
أ ف م ا ن ن ب ي ت ي )( ا ل م و ت ت ن ا ال و ل و م ا ن ن ب عذ ب ي )( 135
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 241
pendapat Abu Jafar yang menyatakan apabila semua penduduk surga
sudah masuk surga dan penduduk neraka sudah masuk neraka maka
seekor hewan mirip domba didatangkan di antara surga dan neraka
lalu disembelih136
kemudian dikatakan kepada penduduk surga dan
neraka “kekallah kalian di dalamnya”. Dalam hal ini penduduk surga
saling bertanya “Apakah kita tidak akan mati? Melainkan hanya
kematian kita pertama saja (di dunia) dan tidak akan (disiksa di
akhirat) ini?’137
Perasaan yang demikian itu adalah pengaruh jaminan
bebas dari siksa dan perolehan nikmat yang tidak surut-surut yang
diterima para penduduk surga.138
Penjelasan itu mirip dengan yang dikemukakan al-Râzî.
Menurutnya, penghuni surga awal mulanya tidak tahu apakah mereka
tidak akan mati di dalamnya. Kemudian setelah hewan mirip domba
disembelih lalu mati, baru mereka menyadari bahwa dirinya tidak
akan mati. Namun al-Râzî juga menjelaskan adanya pemahaman lain
berkaitan dengan itu. Yaitu, diketahui bahwa surga dan segala isinya
adalah kenikmatan mengagumgkan sehingga ketika penghuninya
masuk pertama kali, mereka kagum sekagum-kagumnya sambil
berkata apakah ini hanya sementara saja ataukah abadi.139
Hal
demikian itu bagi mereka adalah kemenangan agung (al-fauz al-
‘azhîm) yaitu kesenagan surgawi yang kekal. Oleh sebab itu
“hendaklah beramal orang-orang orang yang mampu beramal”.
Menurut al-Tabatabâî, kalimat tersebut diucapkan oleh Allah
SWT. Namun ia juga menyatakan adanya pendapat yang
Maka apakah kita tidak akan mati (58) melainkan hanya kematian kita yang
pertama saja (di dunia), dan kita tidak akan disiksa (di akhirat ini)? (QS, al-
Saffât/37: 58-59)
136 Bisa jadi yang dimaksud Abu Jafar di sini adalah simbol kematian akhir
karena setelah itu tidak ada lagi kematian.
137 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalain, juz ke-4, h. 403. Lihat juga, Al-
Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-26, h. 139
138 Al-Baidâwî, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, jilid ke-2, h. 295
139 Al-Râzî ,Mafâtih al-Ghaib, juz ke-26, h. 139
242 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
menjelaskan bahwa kalimat tersebut dilontarkan oleh para penduduk
surga.140
d. Pengakuan Yang Tertolak dalam al-Baqarah/2: 94, ن و ال م و ت ر ة ع ن د الله خ ال ص ة م ن د و ن الناس ف ت م ق ل إ ن ك ن ت ل ك م الدار ال خ
ت م صد ق ي إ ن ك ن
Katakanlah (Muhammad), “jika negeri akhirat di sisi Allah,
khusus untukmu saja bukan untuk orang lain, maka mintalah
kematian jika kamu orang yang benar”
Ayat ini mengisahkah salah satu cela orang-orang Yahudi dan
Nasrani. Mereka mengklaim bahwa kehidupan akhirat khusus hanya
untuk mereka saja141
. Dalam benak mereka, surga hanya untuk
mereka karena mereka mengaku sebagai anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya142
. Selain dari itu mereka juga merasa bahwa
mereka tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali hanya beberapa
hari saja143
. Mereka dengan percaya diri mengatakan sebagai
golongan paling berhak memperoleh kehidupan akhirat karena dalam
ajaran mereka tidak mengenal istilah pembaharuan ajaran agama.
Semua agama selain agama mereka adalah tertolak dan tidak sah.
Mereka merasa sebagai keturunan pembesar para nabi: Yakub, Ishak,
dan Ibrahim sehingga akan terbebas dari siksa Tuhan bahkan
sebaliknya akan meraih pahala. Itulah sebabnya mereka saling
140 Al-Tabâtabâî , Al-Mîzan fî Tafsîr al-Qurân fî Tafsîr al-Qurân, jilid ke-17,
h. 141
خ ل الج نة إ ل م ن ك ان ه و دا أ و ن ص ار ى 141 Dan mereka (Yahudi dan و ق ال و ا ل ن ي د
Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang
beragama) Yahudi dan Nasrani” ب ؤ ه 142 Orang-orang Yahudi dan و ق ال ت ال ي ه و د و النصرى ن ن أ ب نؤ ا الله و أ ح
Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasi-kekasih-Nya”
(QS Al-Maidah/5: 18)
ما م ع د 143 د ة و ق ال و ا ل ن تم سن ا النار إ ل أ يا و Dan mereka berkata “Kami sekali-kali
tidak akan disentuh api neraka kecuali selama beberapa hari saja” (QSAl-Baqarah/2:
80)
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 243
membanggakan sebagai keturunan Arab bahkan merasa sebagai
keturunan Arab yang sebenarnya. Dengan keyakinannya semacam
itu, mereka menilai bahwa nabi yang diberitakan dalam Taurat,
sebagai nabi yang ditunggu-tunggu dan pemberi kabar gembira,
adalah bukan keturunan Arab. Mereka memalingkan yang demikian
itu agar tidak mengikuti nabi Muhammad SAW.144
Selain dari itu, ayat ini mengandung pengertian bahwa nikmat
dunia sangat sedikit dan hina jika dibandingkan dengan nikmat
akhirat. Dalam pandangan orang Yahudi dan Nasrani, nikmat dunia
yang sedikit itu menjadi semakin menyakitkan buat mereka karena
keberadaan nabi Muhammad SAW yang senantiasa mendakwahkan
akan adanya kehidupan akhirat yang diklaim hanya untuk mereka
saja.145
Klaim mereka terhadap kehidupan akhirat menjadi runtuh
setelah diserukan kepada mereka agar berangan dan mengharap
kematian supaya mereka sampai pada kehidupan akhirat mengingat
akhirat tidak akan tercapai tanpa didahului kematian. Namun
mereka sungguh tidak mau berangan kepada kematian146
. Mereka
meyakini kenikmatan akhirat hanya untuk mereka saja namun mereka
menolak harapan kematian yang merupakan jembatan menuju
kenikmatan tersebut. Ini berbeda dengan yang dicontohkan ‘Alî ibn
Abî Tâlib. Ia mengatakan, “Aku tidak peduli apakah aku
menghampiri kematian atau kematian menghampiriku”147
Ibn Katsîr menguti pendapat Ibn Jarîr yang menukil hadis nabi
“seandainya orang Yahudi berangan-angan terhadap kematian maka
pastilah mereka mati dan melihat neraka sebagai tempat mereka.148
144 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-3, h. 203
145 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-3, h. 204
ن 146 لظل م ي و ل ن ي ت م و ه أ ب دا ب ا ق دم ت أ ي د ي ه م و الله ع ل ي م ب Dan sekali-kali mereka
tidak akan menginini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang
telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), dan Allah Maha Mengetahui siapa
orang-orang yang aniaya.
147 Al-Baidâwî, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, jilid ke-1, h. 76
148 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, h. 160
244 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
B. Argumentasi ahl al-Sharî’ah
1. Yang Kekal dan yang binasa dalam al-Rahmân/55: 26-27
Selain zat Allah SWT akan hancur dan binasa. Muslim percaya
manusia akan mendapat pahala atau siksa setelah kehancurannya.
Apakah manusia dikatakan hancur saat kematian di dunia? jika iya,
berarti kehidupan manusia selesai saat itu dan tidak ada pahala atau
siksa. Namun jika kehancuran manusia tidak saat kematian di dunia
melainkan dibangkitkan kembali setelah kemataian, maka apakah
manusia juga disebut kekal?
Perdebatan seputar hal di atas berawal dari bagaimana
memahami firman Allah SWT,
ر ام ) ك ل م ن ع ل ه ا ف ان ل و ال ك ه ر ب ك ذ و الج لا ( ) ( و ي ب ق ى و ج Semua yang ada di bumi itu akan binasa (26) dan tetap kekal
Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (27)
(QS Al-Rahmân/55: 26-27)
Jelas sekali bahwa semua yang ada di bumi akan hancur dan
yang kekal adalah zat Allah SWT. Bagaimana para mufasir
menangkap pesan yang ada pada kedua ayat tersebut?
Dari penjelasan al-Zamakhsharî, ada tiga poin yang dipahami
terkait ayat di atas. Pertama, ia lebih memfokuskan pada sifat-sifat
yang menyerupai Allah ketimbang kekelan zat-Nya. Kedua, ia
menjelaskan –sebagimana juga dijelskan oleh al-Âlûsî149
- adanya
perbedaan bacaan pada kata ‘dzü’. Ia menukil bahwa ‘Abdullah
membacanya ‘dzî’, tidak ‘dzü’. Kata ‘dzî’ adalah sifat dari kata
‘rabbika’ (tuhanmu). Dengan demikian maksudnya adalah Dia adalah
tuhanmu yang disucikan dari sifat-sifat yang menyerupai-Nya oleh
ahli tauhid. Ketiga, dzû al-Jalâli wa al-ikrâm adalah adalah satu sifat
agung Allah SWT yang disarankan oleh nabi Muhammad SAW untuk
dilazimkan. Diriwayatkan, suatu hari ada seseorang sedang berdoa
menyebut-nyebut yâ dzâ al-Jalâli wa al-ikrâm150, kemudian rasul
lewat dan berucap ‘doa itu sudah dikabulkan untukmu’151
149 Al-Alûsî al-Baghdâdî, Rûh al-Ma’ânî …, Jilid IX, Juz ke-16, h. 110
150 Doa tersebut tidak ditulis lengkap oleh al-Al-Zamakhsharî. Ia lebih
memuat keterangan perawi dan kualitas hadits tersebut. Namun ditulis oleh al- Alûsî.
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 245
Al-Alûsî memuat keterangan lebih lengkap. Menurutnya,
lawan bicara/khitâb pada kata “tuhanmu” adalah ditujukan kepada
nabi Muhammad SAW. penggunaan kata wajh adalah menunjukan
bahwa nabi Muhammad SAW mendapat kemuliaan khusus. Bisa jadi
al-Âlûsî menafsirkan demikian karena ia berpendapat nabi memang
sedang ‘menyaksikan’ zat Allah yang akan mewahyukan sesuatu
yang luar biasa. Walaupun demikian, al-Âlûsî juga menjelaskan
adanya keterangan lain berkaitan dengan penafsiran wajh rabbika.
Ada tafsiran kata wajh berarti tujuan atau maksud. Jelasnya adalah
segala perbuatan yang sesuai dengan tujuan dan maksud Allah SWT
yang senantiasa mengarah dan mendekat kepada-Nya.
Dengan demikian wa yabqâ wajhu rabbika berarti kekal
perbuatan baik yang sesuai dengan tujuan dan maksud Allah SWT.
C. Argumentasi Ahl al-Tarîqah
1. Pengumpulan Kafilah Terhomat dalam Surat Maryam/19: 85,
ن و ف دا ي و م ن ش ر ال م تق ي ي ا ل الرح (Ingatlah) pada hari (ketika) Kami mengumpulkan orang-orang
yang bertakwa kepada (Allah) Yang Maha Pengasih, bagaikan
kafilah yang terhormat
Perbuatan para pendosa yang sudah sangat keterlaluan
terkadang membuat muttaqîn152 lelah sehingga berharap kepada Allah
SWT agar para pendosa itu musnah dari muka bumi secepatnya agar
muttaqîn bisa istirahat dari perilaku mereka yang menjengkelkan.
Doa tersebut adalah اللهم أنى أسألك بأن لك المد ل اله ال أنب المنان بديع السموات و الرض ذو الجلال و الكرام يا حي يا قيوم
151 Abû al-Qâsim Jâr Allâh Mahmûd bin ‘Umar bin Muhammad al-
Zamakhsharî, Tafsîr al-Kasshâf, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah1424 H/2003 M),
Jilid ke-IV, h. 436
152 Muttaqîn adalah para wali Allah yang takut kepada-Nya saat di dunia.
Mereka mengikuti para rasul-Nya dan mengimani segala yang dikabarkannya.
Mereka mengikuti segala yang diperintahkan para rasul Allah dan menjauhkan
segala yang dilarangnya. Lihat. Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm,
jilid ke-3, h. 168
246 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Namun Allah SWT melarang muttaqîn melakukan itu. Muttaqîn
dilarang memohon agar Allah SWT mempercepat azab kepada para
pendosa karena realisasi kenikmatan muttaqîn dan kesengsaraan
pendosa hanya menunggu waktu saja.153
Hal ini dinyatakan dalam Al-
Qurân,
ا ن ه م ي و م ي ر و ن م ا ل ل م ك ت ع ج ل و ا ال ع ز م م ن الرس ل و ل ت س ف اص ب ك م ا ص ب ر أ و ق و ن ل ك إ ل ال ق و م ال فس ي و ع د و ن ل م ل ي ل ب ث و ا إ ل س اع ة م ن ن ه ار ب لغ ف ه ل ي ه Maka bersabarlah
154 engkau (Muhammad) sebagaimana
kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati, dan
janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk
mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan,
mereka merasa seolah-olah tinggal (di dunia) hanya sesaat saja
pada siang hari. Tugasmu hanya menyampaikan. Maka tidak
ada yang dibinasakan, kecuali kaum yang fasik (tidak taat
kepada Allah) (QS Al-Ahqâf/46:35)
Pada saatnya nanti muttaqîn dan pendosa diperlakukan
berbeda. Muttaqîn dikumpulkan secara terhormat sedangkan pendosa
digiring ke neraka dalam keadaan dahaga. Suasana mencekam dan
mengerikan hanya dialami oleh para pendosa sedangkan muttaqîn
memperoleh guyuran kemuliaan dan terbebas dari rasa takut dan
menakutkan. Mereka dikumpulkan di tempat yang penuh dengan
keluhuran dan kasih sayang al-Rahmân.155
Saat keluar dari kuburnya,
mereka muncul dalam bentuk sangat indah dan sangat harum.
Keindahan dan keharuman itu adalah amal mulia mereka di dunia.156
Dalam hadis disebutkan, ketika dibangkitkan, muttaqîn
menghadap ke seekor burung putih yang membawa tumpukan emas
153 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-21, h. 253
154 Sabar terdiri atas beberapa macam: sabar terhadap yang dilarang, sabar
terhadap yang wajib, dan sabar terhadap pengaturan dan pilihan-Nya. Dengan
ungkapan lain, sabar dari sejumlah keinginan sebagai manusia dan sabar terhadap
pelbagai konsekuensi seorang hamba. Lihat, Ibn ‘Atâillâh, Mengapa Harus Bersejarah: Panduan Menyenangi Setiap Kenyataan. Penerjemah: Fauzi Faial
Bahreisy, (Jakarta PT. Serambi Ilmu Semesta, Oktober 2006), cet. ke-2, h. 45-45
155 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalaîn, Juz III, h. 359
156 Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-3, h. 168
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 247
di atas sayap-sayapnya.157
Burung yang bermahkota mutiara dan
sapphire itu menerbangkan mereka158
menuju mahshar diirinigi
seribu malaikat yang mengawal dari belakang, kanan, dan kiri.
Kemudian melesatkannya menuju pintu surga. Di dekat pintu itu ada
sebuah pohon yang sehelai daunnya bisa diteduhi oleh lima ratus ribu
manusia. Di sebelah kanan pohon itu terdapat mata air suci. Setelah
ditegukkan air dari mata air itu maka Allah SWT menampakkan
hasud dari dalam hatinya lalu rontok rambut-rambutnya. 159
Hal ini
dinyatakan dalam Al-Qurân,
ت ب ر ق و ح لو ا أ س او ر م ن ف ضة و س ق اه م عل ي ه م ث ي اب س ن د س خ ض ر و ا س ر ب ه م ش ر اب ط ه و را
Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera
tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak,
dan Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih.
(QS Al-Insân/76 :21)
Kemudian kembali menuju kiri pohon yang di dekatnya
terdapat mata air kehidupan lalu dimandikan sehingga ia hidup
selama-lamanya.
Keberadaan burung yang menyambut muttaqîn saat
dibangkitkan dikuatkan dengan hadis. Suatu hari nabi ditanya
tentang ayat Al-Qurân wa yawma nahshuru al-muttaqîn ila al-
rahmâni wafdâ. Lalu nabi menjelaskan kepada Ali seraya bersabda,
“wahai Ali, sesunggunya utusan-utusan terhormat adalah dengan
berkendaraan.160
’
عن علي عليه السلام قال. قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: و ال ذى نفسى 157يها رحال الذهب بيده ان المتقي اذا خرجوا من قبورهم استقبلوا بنوق ابيض لا أجنحة عل
Lihat, Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-21, h. 253
158 Mereka memakai sepatu seperti cahaya yang berkilau terang saat
bergerak. Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-3, h. 168
159 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalaîn, Juz III, h. 359
160 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalaîn, Juz III, h. 360
248 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
2. Singkatnya Mengatur Urusan Komplek dalam Al-Sajadah/32: 5 ب ر ال م ر م ن السم اء ا ل ال ر ض ث ي ع ر ج ا ل ي ه ف ي و م ك ان م ق د ار ه ا ل ف ي د
س ن ة م ا ت ع دو ن Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, kemudian
(urusan) itu naik kepada-Nya161
dalam satu hari yang kadarnya
(lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu. (QS
Al-Sajadah/32: 5)
Kebesaran Allah SWT bisa dipahami dari bagaimana Dia
menciptakan dan mengatur makhluk-Nya. Ibarat seseorang yang
memiliki banyak kerajaan agung dan megah, ia akan menjadi besar
dan agung jika efektif mengurus semua kerajaannya. Sebaliknya,
kebesaran dan keagungannya menyusut jika terdapat ketimpangan
atau kekeliruan dalam mengurusnya. Urusan itu turun dari langit
menuju para hamba-Nya lalu hasil dari urusan itu yang berbentuk
perbuatan mulia naik kepada-Nya selama seribu tahun perjalanan
manusia.162
Perjalanan seribu tahun itu adalah perjalan dari langit ke bumi
kemudian dari bumi ke langit. Dari bumi ke langit menghabiskan
waktu lima ratus tahun dan sebaliknya juga lima ratus tahun.
Perjalanan yang seribu tahun menurut perhitungan manusia namun
sehari163
menurut perhitungan-Nya, tersirat makna keluarbiasaan
dalam mengurus beragam hal yang komplek. Mengurus hal komplek
yang tidak tuntas dalam sehari sehingga dilanjutkan pada hari kedua
adalah tidak sama dengan mengurus hal komplek yang tuntas namun
dilakukan selama bertahun-tahun. Namun bagi-Nya, tidak ada
161 Beritanya yang dibawa oleh malaikat, Ayat ini suatu tamsil bagi
kebesaran Allah dan keagungan-Nya. Lihat, Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media 2005), h. 415
162 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-25, h. 173
163 Urusan yang berawal dan berakhir dalam sehari ini mengandung
pemahaman bahwa urusan itu bersifat hâdits (diciptakan/baharu) bukan qadîm
(kekal) karena hari adalah bagian dari banyak waktu yang diciptakan. Lihat, Al-
Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-25, h. 173
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 249
waktu terputus dan tidak butuh waktu lama dalam mengurus segala
hal yang rumit dan komplek.164
Pengurusan itu adalah pengurusan yang bersifat materi dan
non-materi. Kata “amr”/(urusan) digunakan karena di dalamnya
tersirat makna non materi. Ruh yang merupakan non-materi adalah
bagian dari urusan-urusan-Nya. Dalam Al-Qurân dinyatakan,
ت م م ن ال ع ل م ا ل ق ل ي لا أ ل و ن ك ع ن الر و ح ق ل الو ح م ن أم ر ر بى و م ا أ ت ي و ي س Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh,
Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, sedangkan
kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.(QS Al-Isrâ/17: 85)
3. Selesainya Semua Urusan dalam al-Ma’ârij/70: 4
ي ا ل ف س ن ة ئ ك ة و الرو ح ا ل ي ه ف ي و م ك ان م ق د ار ه خ س ت ع ر ج ال م لا
Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan
dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun.165
(QS Al-
Ma’ârij/70: 4)
Naiknya para malaikat dan “al-rûh” kepada Tuhan berarti
selesainya segala urusan dengan kembali kepada Tuhannya.166
. Ini
terjadi saat kiamat167
karena kiamat adalah hari penampakan
selesainya segala perantara urusan alam. Malaikat dan al-rûh168 yang
164 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-25, h. 173
165 Para malaikat dan Jibril menghadap Tuhan memakan waktu satu hari,
Apabila dilakukan oleh manusia, memakan waktu lima puluh ribu tahun. Lihat,
Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta
Media 2005), h. 569
166 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-30, h. ١23 167 Ini terjadi saat kiamat. Bilangan lima puluh ribu tahun sebagai warning
menakutkan bagi orang-orang kafir karena pada masa yang lama itu mereka
menjalani hisab hingga akhirnya diceburkan ke neraka. Lihat. Wahbah Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah…, Jilid ke-29, h. 114
168 Al-Rûh adalah malaikat yang lebih agung dari Jibril dan Mikail. Lihat,
Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalaîn, Juz V, h. 496. Menurut Ali karrama allâh wajhahu, Al-Rûh adalah malaikat paling berkuasa dan paling gagah. Ia memiliki
tujuh puluh ribu wajah yang setiap wajahnya terdapat tujuh puluh ribu lidah lidah,
tiap lidahnya terdapat tujuh puluh ribu bahasa dan dengan semua bahasa tersebut ia
senantiasa bertasbih kepada Allah SWT dan dari setiap tasbihnya Allah ciptakan satu
250 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
merupakan perantara-Nya dalam mengurus alam kembali kepada-Nya
karena segala perantara lainnya sudah tiada.169
Dalam Al-Qurân
dinyatakan و ا ل ي ه ي ر ج ع ال م ر ك له (dan kepada-Nya segala urusan
dikembalikan). Dengan demikian, kata “naik” bukan berarti berarti
Tuhan ada di atas.
Al-rûh dipahami sebagai malaikat Jibril mengingat Al-Qurân
menyebut Jibril dengan ungkapan al-rûh al-amîn170 sebagaimana
dinyatakan dalam surat al-Shu’arâ,
ن ز ل ب ه الر و ح ال م ي ع ل ى ق ل ب ك Yang dibawa Turun oleh Al-rûh al-Amîn (Jibril) (QS Al-
Shu’arâ/26: 193)
ل ق ل ي ث ب ت الذ ي ر ى ق ل ن زل ه ر و ح ال ق د س م ن ر ب ك ب ن ء ام ن و ا و ه دى و ب ش ل م ي ل ل م س
Katakanlah: “Rohulkudus (Jibril) menurunkan Al-Qurân itu
dari Tuhanmu dengan kebenaran, untuk meneguhkan (hati)
orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta
kabar gembira bagi –orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah) (QS Al-Nahl/16:102)
Kembalinya semua urusan kepada-Nya hanya membutuhkan
waktu satu hari namun lamanya sama dengan lima puluh ribu tahun
perhitungan waktu dunia. Urusan satu species hewan saja sejak dunia
tercipta hingga berakhir tidak bisa dibayangkan rumitnya apalagi
urusan seluruh ciptaan-Nya. Itulah mengapa ada lima puluh tempat
persinggahan pada hari kiamat. Setiap tempat persinggahan lamanya
malaikat yang langsung terbang bersama para malaikat lainnya hingga hari kiamat.
Lihat, Bihâr al-Anwâr, juz 23, h. 629
169 Al-Tabâtabâî , Al-Mîzan fî Tafsîr al-Qurân fî Tafsîr al-Qurân, jilid ke-20,
h. 8
170 Al-Tabâtabâî, Al-Mîzan fî Tafsîr al-Qurân fî Tafsîr al-Qurân, jilid ke-20,
h. 9
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 251
seribu tahun sehingga waktu kelimapuluh tempat persinggahan
tersebut menjadi lima puluh ribu tahun.171
4. Lapisan Jauh dan Ilmu Multi Jangkau dalam al-Talaq/65: 12
ن ه ن ث ل ه ن ي ت ن زل ال م ر ب ي الله الذ ى خ ل ق س ب ع س و ات و م ن ال ر ض م ر و ا ن الله ق د ا ح اط ب ك ل ش ي ئ ع ل ما ل ت ع ل م و ا ا ن الله ع ل ك ل ش ي ئ ق د ي
Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan)
bumi juga serupa. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu
mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan
ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.( QS Al-
Thalaq/65: 12)
Keberadaan tujuh langit dan tujuh bumi adalah salah satu
contoh kemahakuasaan-Nya. Tidak ada yang tidak sependapat
bahwa jumlah langit adalah tujuh. Kisah Isra Nabi Muhammad
hingga ke langit ke tujuh bagian dari yang membenarkannya. Seperti
halnya dengan langit, ada tujuh bumi yang saling berlapis.172
Jarak
antara satu lapisan dengan lapisan lainnya sejauh jarak antara satu
langit dengan langit lainnya. Keberadaan tujuh bumi sering diucap
Nabi Muhammad SAW setiap beliau memasuki suatu desa dan saat ia
mengingatkan siapapun untuk tidak mengambil tanah yang bukan
miliknya. Sebagaimana dalam sabdanya,
اللهم رب السموات السبع و ما اظللن و رب الرضي السبع و ما اقللن و ين إن نسالك خي هذه رب الشياطي و ما اضللن و رب الرياح و ما أذ ر
١٧3القرية و خي أهلها و نعوذ من شرها و شر أهلها و شر ما فيها
171 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalaîn, Juz III, h. 509
172 Terdapat sejumlah pendapat yang saling berbeda mengenai tujuh lapis
bumi. Misalnya: maksud tujuh lapis bumi adalah satu bumi memiliki tujuh lapis
seperti bawang, Satu bumi memiliki tujuh musim dan memiliki tujuh benua.
Pendapat lain menyatakan maksud tujuh lapis bumi adalah tujuh bumi dan setiap
bumi terdapat seorang nabi dan setiap penduduk bumi-bumi itu dapat melihat langit
dari dataran masing-masing serta bertopang pada sinar dari langit. Lihat, Mustafâ
Muhammad al-Tair, Percikan Cahaya Ilahi. Penerjemah: Subhan Nur, (Jakarta: Qisthi
Press, 2006), cet. ke-2, h. 192
173 Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, Jilid ke-17, Juz ke-17, h. 174
252 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Ya Allah, Tuhan langit tujuh, apa yang mereka naungi? Tuhan
bumi tujuh, apa yang mereka bawa, Tuhan para shaitân, apa
yang mereka sesatkan?, Tuhan angin, apa yang mereka
hembuskan? Sungguh kami memohon kepadamu kebaikan desa
ini dan kebaikan penduduknya dan (kami memohon
perlindungan) kepada-Mu dari keburukannya, keburukan
penduduknya, dan keburukan segala yang ada di dalamnya.
١٧4القيامة من سبع أرضي شبا من الرض ظلما فإن ه ي ط وق ه يوم من أخذ
Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah secara zalim
maka di lehernya digantungkan tujuh bumi pada hari kiamat
Langit, sebagaimana terlihat, ia tidak memiliki tiang-
tiang175
namun langit mempunyai jalan-jalan.176
Bumi kedua dan
seterusnya adalah ibarat jalan-jalan langit. Bumi dunia adalah bumi
pertama dan di atas langit bumi terdapat permukaan. Bumi kedua
ada di atas langit dunia177
dan di atas langit kedua terdapat
permukaan. Bumi ketiga ada di atas langit kedua dan di atas langit
ketiga ada permukaan. Bumi keempat ada di atas langit ketiga dan di
atas langit keempat terdapat permukaan. Bumi kelima ada di atas
langit keempat dan di atas langit kelima terdapat permukaan. Bumi
174 Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, Jilid ke-17, Juz ke-18, h. 174
ت و ى ع ل ى ال ع ر ش و س خر الشمس و 175 ن ه ا ث اس الله الذ ى ر ف ع ال سموات بغ ي ع م د ت ر و يت ل ع لك م ب ل ق آء ر ب ك م ت و ق ن و ن ل ال ر ي ف ص ب ر ال م Allah yang ال ق م ر ك ل يج ر ى ل ج ل م س مى ي د
meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia
bersemayam di ‘Arsy. Dia menundukkan matahari dan bulan; masing-masing beredar
menurut waktu yang telah ditentukan. Dia mengatur urusan (makhluk-Nya) dan
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan
Tuhanmu. (QS Al-Ra’d/13: 2)
-Demi langit yang mempunyai jalan-jalan. (QS Al و السم اء ذات ال ب ك 176
Dzariyat/51: 7) 177 Langit kedua adalah langit pertama yang bermaterikan ombak yang
tertutupi/terhalangi, langit kedua bermaterikan bebatuan keras, langit ketiga
bermaterikan besi, langit keempat bermaterikan tembaga, langit kelima bermaterikan
perak, langit keenam bermaterikan emas, dan langit ketujuh bermaterikan batu
permata. Lihat, Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-30, h. 40
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 253
keenam ada di atas langit kelima dan di atas langit keenam terdapat
permukaan. Bumi ketujuh ada di atas langit keenam dan di atas
langit ketujuh ada permukaan. ‘Arsh al-Rahmân ada di atas langit
ketujuh. 178
Dalam Al-Qurân dinyatakan,
وات ط ب اقا ما ت ر ى ف خ ل ع الذ ي خ ل ق س ب ع س ن م ن ت فو ت ف ار ج ق الر ح ال ب ص ر ه ل ت ر ى م ن ف ط و ر
Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan
kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan
Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu
lihat sesuatu yang cacat? (QS Al-Mulk/67:3)
Semua urusan terkendali dan termonitor mulai dari langit
tertinggi hingga bumi terendah. Wahyu turun dari langit tertinggi
menuju bumi terendah, urusan mati, hidup, selamat, celaka, dan
lainnya melintas melalui rute-rute langit dan bumi yang semuanya
terpantau oleh ilmu-Nya.179
Kekuasaan dan ilmu-Nya benar-benar
meliputi segala sesuatu.
5. Pahitnya Kegelapan dan Manisnya Hidayah dalam al-An’âm/6:
122
ى ب ه ف الناس ك م ن مث ل ه ف ن اه و ج ع ل ن ا ل ه ن و را يم ش ي ي ا و م ن ك ان م ي تا ف ا ح ان و ا ي ع م ل و ن ن ه اك ذل ك ز ي ن ل ل كف ر ي ن م اك الظل م ات ل ي س ب ار ج م
Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan
Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di
tengah-tengah orang banyak sama dengan orang yang berada
dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana?
Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir
terhadap apa yang mereka kerjakan. (al-An’âm/6: 122)
Perumpamaan manusia yang diberikan hidayah dan taufik
sehingga ia kuasa membedakan kebenaran dan kesesatan adalah
seperti manusia yang mati lalu dihidupkan kembali kemudian ia
178 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalaîn, Juz ke-5, h. 366
179 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-30, h. 40
254 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
berjalan di tengah-tengah khalayak ramai. Manusia yang pernah mati
kemudian dihidupkan kembali maka ia kuasa membedakan orang-
orang di sekelilingnya yang berada dalam kebenaran, yang berada
dalam kesesatan, dan yang berada dalam kesesatan tetapi ingin
kembali kepada kebenaran namun ia tidak kuasa.180
Manusia sebelum tersentuh hidayah ilahi seperti bangkai yang
diharamkan dari nikmat hidup; tidak merasakan apapun dan tidak
bergerak. Namun jika terisi hidayah sehingga beriman kepada
Tuhannya maka ia seperti bangkai yang dihidupkan kembali yang
diberikan cahaya yang dengan cahaya itu ia ‘melihat’ yang baik, yang
buruk, yang bermanfaat, dan yang membahayakan. Yang demikian
itu diumpamakan dalam Al-Qurân “Dia mengeluarkan yang hidup
dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup”181
Maksud dari yang hidup adalah mumin yang materi tanah
penciptaanyanya bersumber dari tanah kâfir. Maksud dari yang yang
keluar dari yang hidup adalah kâfir yang materi tanah penciptaannya
bersumber dari mumin. “Kematian” mumin disebabkan materi tanah
penciptaannya bercampur dengan kâfir.182
Orang kafir seperti orang yang berada dalam ruang gelap yang
tidak berpintu sehingga tidak bisa keluar dari dalamnya. Ruang
gelap itu ibarat ketidaktahuan membedakan antara yang baik dengan
yang buruk, antara yang bermanfaat dengan yang membahayakan,
dan antara petunjuk/hidâyah dengan kesesatan/dalalâh sehingga ia
tidak bisa mendengar dan menjawab seruan ilahi.183
Dalam Al-Qurân
dinyatakan,
180 Al-Zamakhsharî, Tafsîr al-Kasshâf, , jilid ke-2, h. 60. ‘Umar bin Khattâb
atau ‘Âmir bin Yâsir adalah contoh dua manusia yang sebelumnya dalam kesesatan
kemudian dianugrahkan keteguhan iman. Namun demikian, manusia yang
sebelumnya ‘mati’ lalu’dihidupkan’ bukan hanya mereka berdua saja karena ayat
tersebut mengandung pemahaman umum. Lihat, Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-2, h. 210
181 ... QS Al-Rûm/30 : 19 يج ر ج ال ي م ن ال م ي ت و ي ر ج ال م ي ت م ن ال ي
182 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalaîn, Juz ke-1, h. 763 183 Al-Tabâtabâî, Al-Mîzan fî Tafsîr al-Qurân, jilid ke-7, h. 348. Abû Jahl
‘Amr bin Hishâm adalah contoh manusia yang berada dalam kesesatan dan tidak bisa
keluar dari kesesatan itu. Lihat, Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm,
jilid ke-2, h. 210
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 255
ع و ن ع ث ه م الله ث إ ل ي ه ي ر ج م ع و ن و ال م و ت ى ي ب ي ب الذ ي ن ي س ت ج إ ن ا ي س Hanya orang-orang yang mendengar sajalah yang mematuhi
(seruan Allah), dan orang-orang yang mati, kelak akan
dibangkitkan oleh Allah, kemudian kepada-Nya mereka
dikembalikan. (QS Al-An’âm/6: 36)
Dalam hadis disebutkan,
عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه قال: إن الله خلق خلقه ف ظلمة ث ١٨4رش عليهم من نوره فمن أصابه ذلك النور اهتدى و من أخطأه ضل
Dari Rasulullah SAW, ia bersabda: sesungguhnya Allah SWT
menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan. Kemudia Dia
memercikkan sebagian cahaya-Nya kepada mereka. Orang
yang terkena cahaya-Nya memperoleh petunjuk sedangkan
yang menyalahkan cahaya-Nya memperoleh kesesatan.
Perumpamaan orang yang memperoleh hidayah dengan orang
yang dalam kegelapan adalah seperti orang yang berjalan di atas jalan
yang lurus dan orang yang berjalan terjungkal;185
seperti orang buta
serta tuli dengan orang yang dapat melihat serta dapat
mendengar;186
seperti gelap gulita dengan cahaya;187
seperti yang
teduh dengan yang panas;188
seperti orang yang hidup dengan orang
yang mati.189
Namun substansi di sini adalah bukan pemahaman umum
seperti di atas karena Allah SWT menetapkan adanya kehidupan
abadi yang tidak terputus dengan kematian dunia. Ada manusia
senantiasa dalam lindungan-Nya sehingga tidak pernah merasa lelah
dan letih, yang dilihatnya hanya kebaikan, yang dituju hanya
kebahagiaan, dan ia selalu dalam keadaan aman tanpa takut
184 Hadis ini dikutip Ibn Katsîr dari Musnad imam Ahmad. Lihat, Ibn Katsîr
Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-2, h. 210
185 QS al-Mulk/67 :22
186 QS Hûd/11 :24
187 QS Fâtir/35 :20
188 QS Fâtir/35 :21
189 QS Fâtir/35 :21
256 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
sedikitpun. Jika keadaan manusia seperti ini maka ia bisa melihat
yang tidak bisa dilihat orang lain, bisa mendengar yang tidak
didengar orang lain, bisa memikirkan yang tidak dipikirkan orang
lain, dan menginginkan yang tidak diinginkan orang lain.190
6. Dua Surga dalam al-Rahmân/55: 46
ام ر ب ه ج نت و ل م ن خ اف م ق Dan bagi siapa yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada
dua surga. (QS Al-Rahmân/55: 46)
Imbalan dua surga menanti orang-orang yang takut kepada
Allah. Rasa takut itu disebabkan keagungan dan keluhuran-Nya
sangat dirasakan sehingga mereka merasa sebagai makhluk terhina di
hadapan-Nya. Kedahsyatan rasa takut itu dapat membuat gunung
yang menjulang tinggi dan kokoh menjadi tunduk dan hancur
terpecah belah. Perasaan takut itu membuat mereka merasa seolah
azab jahannam dan siksa pedih lainnya muncul di hadapannya.191
Mereka takut sesat cepat atau lambat sehingga siang dan malamnya
disibukkan dengan taubat.192
Orang-orang yang memiliki perasaan
takut seperti itu adalah para ulama.193
Mereka takut kepada-Nya saat
terlihat dan tidak terlihat makhluk-Nya (fi al-sirri wa al-
‘alâniyyah).194
Mereka yang takut kepada-Nya memperoleh dua surga;195
surga
sebab sudah melakukan kebaikan dan surga sebab sudah
190 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-7, h. 348-349
191 Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Qurân ini kepada sebuah gunung, pasti
kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada
Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya
mereka berfikir (QS: Al-Hashr/59: 21)
192 Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-4, h. 333
(QS Fâtir/35: 28) ا ن ا ي ش ى الله م ن ع ب اد ه ال ع ل م اء 193
194 Al-Huwayzî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalaîn, Juz ke-5, h. 197
195 Dalam hadis riwayat Ibn ‘Abbâs dinyatakan bahwa maksud dari dua surga
adalah dua taman yang berada di dalam hamparan surga. Luas setiap taman tersebut
adalah sejauh perjalanan seratus tahun. Di tengah tamannya ada sebuah bangunan
terbuat dari cahaya. Liha, Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, juz ke-27, h. 177,
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 257
meninggalkan keburukan. Surga sebagai ganjaran perbuatan baik
berupa surga kenikmatan jasmani sedangakan surga sebagai ganjaran
meninggalkan perbuatan buruk adalah suga rohani.196
Mereka
mendapat keduanya: nikmat surga dan ridwân197-Nya sebagaimana
kisah penduduk surga yang ditawarkan Allah SWT sesuatu yang lebih
utama dari kesenangan surga itu sendiri.
Orang-orang yang menahan diri dari keinginan nafsunya juga
surga tempat tinggalnya. Bisa jadi mereka juga memperoleh dua
surga sebab mereka digandengkan dengan orang-orang yang takut
kepada kebesaran Tuhannya. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-
Quran,
ي ال م أ و ى و أ ما م ن خ اف م ق ام ر ب ه و ن ه ى الن ف س ع ن ال و ى )( ف إ ن الج نة ه
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya
(40) maka sesungguh, surgalah tempat tinggal(nya)(41) (QS al-
Nâzi’ât/79: 40-41)
Sesungguhnya selain dua surga tersebut masih ada dua surga lagi: dua
surga dari emas untuk hamba-Nya yang senantiasa dekat kepada-Nya
dan dua surga dari dedaunan untuk ashab al-yamîn sebagaimana
dinyayakan dalam Al-Quran,
ن ت ان و م ن د و ن م ا ج Dan selain dari dua surga itu ada dua surga lagi (QS al-
Rahmân/55 :62)
dalam hadis riwayat al-Bukhârî dinyatakan bejana dan segala isi dua surga ada yang
terbuat dari perak dan ada yang terbuat dari emas. Tatkala penghuninya melihat
Tuhannya, mereka hanya melihat “selendang kebesaran-Nya” pada “wajah-Nya”.
Lihat, Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-4, h. 333
196 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz ke-29, h. 124, Lihat juga, Ahmad Mustafa
al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî, (Bairût: Dâr Ihyâ al-Turats al-‘Arabî, 1973/1394 ), juz
ke-27, h. 123
197 Ridwân Allah adalah lebih besar (dari surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai). Ridwân Allah adalah keberuntungan yang besar. QS :Al-Tawbah/9:
72
258 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
7. Tujuh Pintu Jahannam dalam al-Hijr/15: 44)
ن ه م ج ز ؤ م ق س و م ع ة ا ب و اب ل ك ل م ب ل ا س (Jahannam) itu mempunyai tujuh pintu. Setiap pintu (telah
ditetapkan) untuk golongan tertentu dari mereka (Al-Hijr/15:
44)
Neraka memiliki tujuh tingkatan. Siksa pada tiap tingkatan
beragam dan berbeda198
. Ketujuh tingkatan itu adalah Jahannam,
Laza, Hutamah, Sa’îr, Saqar, Jahîm, dan Hawiyah. Orang munafik
ada di neraka tingkatan paling bawah199
. Tingkatan pertama untuk
ahli tauhid yang sebab perbuatannya mereka ditempatkan di neraka
namun selanjutnya dikeluarkan. Tingkatan kedua untuk Yahudi,
tingkatan ketiga untuk Nashrani, tingkatan keempat untuk Sâbiîn,
tingkatan kelima untuk Majusi, tingkatan keenam untuk musyrik
Arab, dan tingkatan ketujuh untuk munafik.200
Salah satu contoh
munafik adalah mereka yang menghianati Nabi dalam urusan
keluarganya (ahl al-bait) dan menumpahkan darah terhadap
keluarganya setelah Nabi wafat.201
Selain dari itu, siapapun yang menghunuskan pedang ke umat
nabi Muhammad maka ia menempati salah satu neraka yang tujuh.
Sebagaimana sabda nabi,
عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: لجهنم سبعة أبواب بب 202منها لمن سل السيف على أمتي
198 Al-Tabatabâî , Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, juz ke-12, h. 169
199 Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan
yang paling bawah dari neraka. (QS Al-Nisa/4 :145)
200 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 19, h. 195
ه ال عن أبى ذرقال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لجهنم بب ل يدخل من 201 Lihat, al-Tabatabâî , Al-Mîzân fî Tafsîr من أخفرنى ف أهل بيتي و أراق دماءهم من بعدي
al-Qurân, juz ke-12, h. 1٧5 202 Ibn Katsîr Al-Dimashqî, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, jilid ke-, h. 672
Tinjauan Mufasir Terhadap Pemikiran al-Ma’ad Sayyid Haydar al-Âmulî 259
Dari Ibn ‘Umar, dari Nabi SAW, bersabda ia: Jahannam
memiliki tujuh pintu. Satu dari pintu-pintu tesebut untuk
orang yang menghunuskan pedang ke umatku.
Berikut ini tabel nama-nama neraka dan penghuninya
menurut sejumlah mufasir,
Tabel nomor 9 : Nama Neraka & Penghuninya Menurut Mufasir
NO. NAMA NERAKA PENGHUNI
1. Hawiyah Muslim pendosa
2. Jahîm Yahudi
3. Saqar Nasrani
4. Sa’îr Sâbiûn
5. Hutamah Majusi
6. Lazâ Musyrik
7. Jahannam Munafik
Jumlah tujuh tersebut bisa jadi merujuk pada tujuh anggota
tubuh manusia yang merupakan sumber kedurhakaan. Yaitu: mata,
telinga, lidah, perut, kemaluan, kaki, dan tangan. Ketujuh anggota
tubuh itu juga dapat menjadi sumber ketaatan jika diniatkan tulus
untuk Allah SWT sehingga mengantarkannya ke surga yang
memiliki delapan pintu. Jumlah delapan merujuk pada ketujuh
anggota tubuh tersebut ditambah dengan niat tulus untuk Allah
SWT203
.
203 Quraish Shihab, Tafsir al.-Misbah, vol. 6, h. 468
260 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
261
BAB VI
Penutup
A. Kesimpulan
Setelah diuraikan berbagai konsep al-ma’âd, tinjauan mufasir
tentang ayat-ayat al-ma’âd, dan pemikiran Sayyid Haydar al-Âmulî
tentang al-ma’âd, maka disimpulkan sebagai berikut:
1. Narasi qurani yang mengungkapkan kehancuran alam semesta1
dipahami Âmulî sebagai kiamat kosmik yang merupakan fase
selesainya periode kehidupan dunia dan fase kehadiran imam
Mahdi yang menandakan berakhirnya ketetapan sharî’ah. Al-
ma’âd dipahami sebagai berkumpulnya seluruh bagian jasad
dan kembalinya semua roh kepada jasad seperti semula.
Kejadian itu sangat memungkinkan karena sifat jasad tidak
menolak sifat pembentukan ulang. Selain dari itu, hikmah
kebangkitan jasad mengandung manfaat agar manusia
mencegah perbuatan dosa.
Kiamat dan kebangkitan ibarat penampakan Tuhan melalui
sifat-sifat-Nya. Seluruh nama-Nya dipahami sebagai
manifestasi-Nya di dunia dan akhirat yang merupakan dua
tempat penamapakan-Nya. Kiamat ibarat perubahan,
pergantian, dan pengembalian alam nyata menuju alam
tersembunyi sebagaimana dunia sebagai penampakan Yang
Maha Tersembunyi melalui semua yang nampak.
Kiamat besar ibarat kembalinya seluruh alam rohani dari
seluruh akal dan jiwa menuju esensi pertama yang merupakan
elemen besar yang ditampakkan Allah SWT. Lalu dari elemen
1 “Dan apabila matahari digulung (1) Dan apabila bitang-bintang berjatuhan
(2) Dan apabila gunung-gunung dihacurkan (3 ) Dan apabila unta-unta yang bunting
ditinggalkan (tidak terurus) (4) Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan (5)
Dan apabila lautan dipanaskan (6) Dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh)
(7) Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya (8) Karena
dosa apakah dia dibunuh (9) Dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia)
dibuka (10) Dan apabila langit dilenyapkan (11) Dan apabila neraka jahim
dinyalakan (12) Dan apabila surga didekatkan(13) al-Takwîr/81: 1-13
262 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
besar itu diwujudkan visualisasi akhirat dalam bentuk utuh
yang tidak berubah selamanya.
2. Pendapat sejumlah mufasir kiamat banyak berseberangan
dengan pemikiran Âmulî. Saat menafsirkan QS 27: 832
misalnya, Ibnu Katsîr, al-Zamakhsharî, al-Râzî, dan Tabâtabâî
berpendapat ayat itu mengisahkan hari kiamat dan berkaitan
erat dengan kemunculan sejenis hewan melata dari dalam bumi
sebagai salah satu tanda kiamat. Namun menurut Âmulî tidak
demikian. Berdasarkan QS 18: 473, Âmulî membantah pedapat
seperti itu dengan alasan sifat kebangkitan kiamat adalah
menyeluruh, bukan sebagian.
Selanjutnya, perihal ketakutan besar saat langit digulung4
menurut Âmulî adalah proses pergantian alam materi menjadi
alam barzakh dalam bentuk azab besar5. Pendapat ini tidak
dinyatakan sejumlah mufasir. Kebanyakan mereka hanya
menafsirkannya dengan kemudahan menggulung langit
semudah menggulung lembaran kertas yang dianalogikan
sebagai catatan kehidupan.
Lebih dari itu, Âmulî melihat adanya sisi lain yang tidak
dilihat sejumlah mufasir. Dalam kontek figur terkemuka di
dunia dan akhirat6 contohnya, sejumlah mufasir konsentrasi
hanya pada pengenalan figur Al-Masîh Isa Putra Maryam dan
peristiwa pengangkatannya ke langit. Namun Âmulî melihat
2 Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami mengumpulkan dari setiap umat
segolongan orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalam
kelompok-kelompok) (QS Al-Naml/27: 83)
3 Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami perjalankan gunung-gunung dan
engkau akan melihat bumi itu rata dan Kami kumpulkan mereka (seluruh) manusia,
dan tidak Kami tinggalkan seorangpun dari mereka. QS, Al-Kahf/18: 47
4 (Ingatlah) pada ari langit Kami gulung seperti menggulung
lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama,
begitulan Kami akan mengulanginya lagi. (Suatu) janji yang pasti Kami tepati;
sungguh, Kami akan melaksanakannya. (QS Al-Anbiyâ/21: 104)
5 Dan pasti Kami timpahkan kepada mereka sebagian siksa yang
dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); agar mereka kembali (ke
jalan yang benar) (QS al-Sajadah/32 :21)
Penutup 263
sisi lain; yaitu kematian visual dan kematian abstrak.
Kematian visual dan abstrak adalah sarana menjadi figur
terkemuka di dunia dan akhirat mengingat kematian ibarat
kehancuran, kehidupan ibarat konsturksi bangunan akhirat, dan
kebangkitan ibarat pertanggungjawaban/hisâb.
Dalam memahami QS/6: 1227, Âmulî membagi kematian
menjadi empat: Kematian merah, kematian putih, kematian
hijau, dan kematian hitam. Kematian merah adalah simbol
warna darah shuhadâ dan warna wajah yang kemerahan sebab
cahaya ilahi saat mati dalam peperangan. Walaupun demikian,
Âmulî menilai shuhadâ bukan satu-sutunya pejihad. Kematian
putih simbol rasa lapar yang menyinari batin dan memutihkan
hati. Selama seorang sâlik tidak kenyang selama itu pula ia
mati putih yang kemudian menghidupkan ketajaman
firasatnya. Orang yang kenyang perutnya maka mati ketajaman
firasatnya. Kematian hijau adalah simbol memakai pakaian
lusuh. Seseorang yang berpakaian hanya mempertimbangkan
sebagai penutup aurat agar salatnya sah, maka ia telah mati
hijau karena hidupnya sudah nyaman dengan kesegaran
wajahnya yang menatap keindahan zat. Kematian hitam adalah
simbol kematian hati dari segala yang dicintai sehingga fanâ
pada Allah sebab dirinya mati dari semua yang dicintai yang
kemudian hidup dengan bantuan kehadiran al-wujûd al-mutlaq.
Empat kematian yang dilontarkan Âmulî tidak disinggung
sejumlah mufasir. Dalam menafsikan ayat yang sama, mufasir
terlihat hanya mempertegas perbedaan mumin dan kafir.
Penjelasan sedikit lebih luas hanya saat membandingkannya
dengan ayat “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup.”8 Dari sini mufasir
6 Wajîhan fî al-dunyâ wa al-âkhirah (QS Âli ‘Imrân/3: 45)
7 Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia
cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak sama
dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari
sana? Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafirterhadap apa yang
mereka kerjakan. (QS al-An’âm/6: 122)
8 ... QS Al-Rûm/30 : 19 يج ر ج ال ي م ن ال م ي ت و ي ر ج ال م ي ت م ن ال ي
264 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
memperluas penjelasasanya bahwa maksud dari “yang hidup”
adalah” mumin yang materi tanah penciptaanyanya bersumber
dari tanah kâfir” dan maksud dari “yang yang keluar dari
yang hidup” adalah “kâfir yang materi tanah penciptaannya
bersumber dari mumin”. “Kematian” mumin disebabkan
materi tanah penciptaannya bercampur dengan kâfir.
3. Konsep al-ma’âd Sayyid Haydar al-Âmulî tidak mengandung
semua aspeknya. Hal ini terlihat saat menjelaskan pra
kehidupan akhirat Âmulî hanya menerangkan kedatangan
imam Mahdi tidak menerangkan tiupan sangkakala dan Dajjâl.
Penjelasannya tentang barzakh, surga dan neraka sebatas
menguatkan pendapatnya pada tema tertentu.
4. Sayyid Haydar al-Âmulî selalu mengklasifikasikan manusia ke
dalam tiga kelompok untuk memahami pemikirannya tentang
suatu hal. Ketiga kelompok itu adalah ahl al-sharî’ah, ahl al-
tarîqah, dan ahl Al-Haqîqah. Hal ini juga terjadi pada
pemikirannya tentang al-ma’âd. Dengan demikian, pemikiran
al-ma’âdnya di-homonim-kan dengan ma’âd Shatahat9 (Ma’âd
Sharî’ah, Tarîqah, dan Haqîqah)
B. Rekomendasi
Selaku sosok abad ke-14 masehi, sejarah dan pemikiran Âmulî
terasa masih sunyi dari kegemerlapan akademik sehingga usaha
membuka tabir keberadaan dan pemikirannya perlu dilebarkan.
Walaupun gagasannya tentang al-ma’âd sudah tertuang di sini namun
disadari bahwa ini adalah penelitian pustaka yang memungkinkan
munculnya pemikiran, ide, dan interpretasi lain. Oleh sebab itu
direkomendasikan sebagai berikut:
1. Pemikiran Âmulî tidak hanya sebatas al-ma’âd. Banyak
pemikiran lainnya yang belum terangkat secara menyeluruh
9 Shatahat dalam tradisi sufisme adalah perkataan Tuhan yang diucapkan
melalui perantara lisan sufi. lihat, Hamdani Anwar, Ittihad Abu Yazid dan Hulul Al-
Hallaj: Studi Perbandingan Tentang Tauhid dalam Sufisme.) Disertasi Program
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta, 1994, h. 125,
Penutup 265
terlebih jika dibandingkan dengan disiplin ilmu tertentu. Pada
sejumlah artikel, ide-ide Âmulî hanya disinggung tema-tema
besar dengan menggunakan bahasa penulisnya sehingga terasa
jauh dari pemahaman substantif yang dimaksud Âmulî.
2. Kajian kehidupan setelah mati sesungguhnya tidak pernah
mati. Sejumlah pemikiran baru atau yang nampak baru hasil
dari pendalaman kajian eskatologi masih terus bermunculan.
Selain dari itu, informasi kedatangan Yâjuj wa Majûj dan
Dajjâl masih berkiblat pada ”teori” menurut si A dan menurut
si B.
266 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
267
Daftar Pustaka
Abû Zahrah, Muhammad, Dirâsât fî al-Adyân, Al-Qâhirah: Dâr al-
Fikr al-‘Arabî, t.t.
Abidin, Zainal, Imâmah Dan Impliksinya dalam Kehidupan Sosial:
Telaah atas Pemikiran Teologi Syîah, Badan Litbang &
Diklat Kementerian Agama, November 2012
Al-Alûsî al-Baghdâdî, Shihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmûd, Rûh al-
Ma’ânî, fî Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm wa al-Sab’ al-
Matsânî, Bairût: Dâr al-Fikr, 1978 M/1398 H
Al-Âmuli, Haydar, Jâmi’ al-Asrâr wa Manba’ al-Anwâr, Injaman
Ibrânsyanâsî Farânsah, t.t..
______________, Asrâr al-Sharî’ah wa Atwâr al-Tarîqah wa Anwâr
al-Haqîqah, Muassasah Mutâla’ât wa Tahqîqât Farbankâ,
t.t..
______________, Inner Secret of The Path, Zahra Trust, 1989
Al-Ansârî, Abû Ismâ’il ‘Abdullâh, Manâzil al-Sâirîn, (Ntisyârât bîdâr,
t.t.
Al-Ash’ârî Abû Hasan bin Ismâ’îl, Maqâlât al-Islâmiyyîn wa Ikhtilâf
al-Musalîn, Misr: Matba’ah al-Sa’âdah, 1954 M/1337 H
______________, Prinsip-prinsip Dasan Aliran Theologi Islam.
Penerjemah: Rosihon Anwar & Taufik
Rahman,Bandung: CV Pustaka Setia, Oktober
1999/Rajab 1420
Al-Asfahânî, Al-Raghîb, Kamus Al-Quran. Penerjemah Ahmad
Zaini Dahlan, Depok, Jawa Barat: Pustaka Khazanah
Fawa’id, Rajab 1438 /April 2017
Al-‘Asqalânî, Ahmad bin ‘Alî bin Hajar, Al-Isâbah fi Tamyîz al-
Sahâbah, Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002
M/1423 H
______________, Fath al-Bârî bi Sharh Sahîh al-Bukhârî, (Bairût:
Dâr al-Ma’rifah, t. t.), juz ke-13,
268 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Al-Baidâwî, Nâsir al-Dîn Abî al-Khair ‘Abdullâh bin ‘Umar, Anwâr
al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, Shirkah Maktabah wa
Mutbi’ah Mustafâ al-Bâbî al-Hablî wa Awlâduhu, 1968
M/1388 H
Al-Baidâwî, Nâsir al-Dîn Abû Sa’îd’Abdullâh bin ‘Umar bin
Muhammad al-Shayrâzî, Tafsîr al-Baidâwî al-Musammâ
Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Tawîl, Bairût: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2003 M/1424 H
Al-Bardîsî Muhammad Zakariyâ, Usûl al-Fiqh, Dâr al-Tsaqâfah li al-
Nashr wa al-Tawzî’, 1983
Al-Bâqir, Ja’far, Al-Barzakh, Al-Majma’ al-‘Âlamî li Ahl al-Bait,
1996 /1416
Al-Bukhârî al-Ja’fî, Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl bin
Ibrâhim bin al-Mughîrah bin Bardazbah, Sahîh al-
Bukhârî, Bairût: Lubnân, Dâr Ibn ‘Ashâshah,2005
M/1426 H
Al-Dimashqî, Muhammad Jamâl al-Dîn al-Qâsimî, Mau’izah al-
Muminîn ‘alâ Ihyâ Ulûm al-Dîn, Jakarta: Dâr al-Kutub
al-Islâmiyyah, 2005 M/1426 H
Al-Daqs, Kâmil Salâmah, Nafahât min al-Sunnah, (Jiddah: Dâr al-
Shurûq, .t.t.
Al-Dimashqî, Abû al-Fidâ Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm,
Bairût: Dar al-Fikr, 1412 H/1992 M
______________, Al-Nihâyah fî al-Fitan wa al-Malâhim, (Bairût:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007 M/1428 H
Al-Dzahabî, Shams al-Dîn Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsmân,
Kitâb Tadzkirah al-Huffâdz, Bairût: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1998 M/1419 H
______________, Siyar A’lâm al-Nubalâ, (Qâhirah: Dâr al-Hadîts,
2006 M/1427 H)
Al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad, Mukâshafah al-
Qulûb; al-Muqarrib ilâ Hadrat ‘Allâmat al-Ghuyûb fî
‘Ilm al-Tasawwuf, Bairût: Dar al-Fikr, 1990
Daftar Pustaka 269
______________, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Bairût: Dâr al-Fikr, 1411 H/
1991 M
______________, Tahâfut al-Falâsifah, Bairût: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1424 H/2003 M
______________, Al-Iqtisâd fî al-I’tiqâd, (Dâr al-Qutaybah, 2003
M/1423 H
Al-Hafni, Abdul Mun’im, Ensiklopedia: Golongan, Kelompok,
Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam Seluruh
Dunia. Penerjemah: Muhtarom & Tim Grafindo, Jakarta:
Grafindo Kzhanah Ilmu, Januari 2005
Al-Hakîm, Su’âd, Al-Mu’ajam al-Sûfî: al-Hikmah fî Hudûd al-
Kalimah, Dandarah littabâ’ah wa al-Nashr, t.t.
Al-Hamdzânî, ‘Abd al-Jabbâr ibn Ahmad, Mutashâbah al-Qurân,
Qâhirah: Maktabah Dar al-Turtats, t.t.
Al-Hakîm, Su’âd, Al-Mu’ajam al-Sûfî: al-Hikmah fî Hudûd al-
Kalimah, Dandarah littabâ’ah wa al-Nashr, t.t.
Al-Hanbalî, Abû Hafs ‘Umar bin ‘Alî bin ‘Âdil al-Dimashqî, Al-
Lubab fi ‘Ulûm al-Kitâb, Bairût: Dal al-Kutub al-
‘Ilmiyyah
Al-Hujwîrî, Abû Hasan ‘Alî bin ‘Utsmân bin Abî ‘Alî al-Jalâbî, Kashf
al-Mahjûb, Ditebitkan oleh Muhammad Taufîq
‘Uwaidlah: Juni 1973/Jumâd al-ûlâ 1394
Al-Huwayzî, ‘Abd ‘Alî bin Jum’ah al-‘Arûsî, Tafsîr Nûr al-Tsaqalain,
Bairût, Lubnân, Muassasah al-Târîkh al-‘Arabî, 1422
H/2001 M
Al-Jâwî, Muhammad Nawawî, Al-Tafsîr al-Munîr li Ma’âlim al-
Tanzîl, Bairût: Dâr al-Fikr, 1994 M/1414 H
Al-Jawziyyah, Ibn Qayyim, Tahdzîb Madâr al-Sâlikîn, Jiddah:
Maktabah al-Mamûn, 1997 M/1417 H
Al-Jawziyyah Shas al-Dîn Abî ‘Abdillâh ibn Qayyim, Al-Rûh, Bairût:
Dâr al-Fikr, 1412 H/1992 M
270 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Al-Jazâr Ahmad Mahmûd, Al-Fanâ wa al-Hub al-Ilâhî ‘inda Ibn
‘Arabî, Jâmi’ah al-Qâhirah: Maktabah Nahdah al-Sharaq
1991
Al-Kâshanî, Abd al-Razzâq, Istilâhât al-Sûfiyyah, Dâr al-Manâr,
1992/1413
Al-Lârî, Mujtaba Musawi , Dirâsah fî Usul al-Islâm, diterjemahkan
oleh Tholib Anis, Teologi Islam Syi’ah: Kajian Tekstual-
Rasional Prinsip-prinsip Islam, Jakarta: Penerbit al-
Huda, 2004
Al-Mahallî, Jalâl al-Dîn Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, et.
al., Tafsîr al-Jalâlaini, Jakarta: Dâr al-Kutub al-
Islamiyyah, 2011 M/1432 H)
Al-Malîbârî Zain al-Dîn bin ‘Abd al-‘Azîz bin Zain al-Dîn, Irshâd al-
‘Anâm ilâ Sabîl al-Rashâd, Jakarta: Dâr al-Kutub al-
Islâmiyah, 2010 M/1431 H
Al-Malikî, Ahmad al-Sâwî, Hâshiyah al-Sâwi ‘alâ Tafîr al-Jalâlaini,
Bairût: Dâr al-Fikr, t.t.
Al-Marâghî, Ahmad Mustafâ, Tafsîr al-Marâghî, Bairût: Dar Ihyâ wa
al-Turats al-‘Arabî, 1973 M/1394 H
Al-Mawardî al-Basrî, Abû al-Hasan ‘Alî bin Muhammad bin Hubaib,
al-Nukatu wa al-‘Uyûnu Tafsîr al-Mawardî , Bairût: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Al-Mukhlis, Ahmad al-Ma’rûf Bashâh Walî Allâh bin ‘Abd al-
Rahmân al-Muhaddits al-Dahlawî, Hujjah Allah al-
Bâlighah, Al-Qâhirah: Dâr al-Turâts, 1355 H)
Al-Multâwî, Hasan Kâmil, Al-Sûfiyyah fî Ilhâmihim, Dicetak oleh:
Muhammad Taufîq ‘Uwaidah, April 1972/ Rabi’ al-
Awwal 1396
Al-Muhâsibî, Abû ‘Abdillâh al-Hârits bin Asad, Al-Ri’âyah li Huqûq
Allâh, Bairût: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.
______________, Al-Wasâyâ, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.t.),
Daftar Pustaka 271
Al-Munâwî, Muhammad ‘Abd al-Raûf, Al-Tawqîf ‘alâ Muhimmât al-
Ta’ârîf: Mu’jam Lughawî Mustalahî, (Bairut: Dâr al-Fikr
al-Mu’âsir,1990 /1410
Al-Muzfir, Muhammad Ridâ, ‘Aqâid al-Imâmiyyah, (Bairût: Dâr al-
Irsyâd al-Islamî, 1409 H/1988 M),
Al-Nabhân, Muhammad Fârûq, Al-Madkhal li al-Tasyrî al-Islâmî,
Bairût: Dar al-Qalam, 1981
Al-Nadwâ, Abû al-Hasan ‘Alî al-Husnî, Rijâl al-Fikr wa al-Da’wah fî
al-Islâm, Damaskus: Dâr al-Qalam, 1423 H/2002 M
Al-Nasafî, Abû al-Barkât ‘Abdullâh, Tafsîr al-Nasafî al-Musammâ bi
Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Tawîl, Bayrut: Dâr al-
Fikr, t.t.
Al-Nîsabûrî, Abû al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj bin Muslim al-
Qushairî, Al-Jâmi’ al-Sahîh, Bairût: Dâr al-Fikr, t.t.
Al-Nîsâbûrî Abû Hasan ‘Alî bin Ahmad al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl,
Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2010 M/1431 H
Al- Nûrshî, Badî’ al-Zamân Sa’îd, Risâlah al-Hashr, Dâr al-Sûzlar li
al-Nashr
Al-Qâsimî, Jalâl al-Dîn, Tafsîr al-Musammâ Mahâsin al-Tawîl,
Bairût, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418 H/1997 M
Al-Qushairî, Abû al-Qâsim ‘Abd al-Karîm bin Hawzân, Al-Risâlah
al-Qushairiyyah, Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah,
2011 M/1433 H
Al-Qurtubî, ‘Abdullâh Muhammad bin Ahmad al-Ansârî, Al-Jami’ li
Ahkam al-Qurân, Qâhirah: Dâr al-Kâtib al-‘Ilmî li al-
Taba’at wa al-Nashr, 1967
Al-Râzî, Fakhr al-Dîn, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tawîl, Bairût:
Dâr al-Jayl, 1412 H/ 1992 M
______________, Tafsîr al-Fakhr al-Râzî al-Mushtahir bi al-Tafsîr al-
Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, (Bairût: Dar al-Fikr, 1981
M/1401 H
______________, Al-Masâil al-Khamsûn fî Usûl al-Dîn, (Bairût: Dâr
al-Jail, 1990 M/1440H)
272 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
______________, I’tiqâdât Firaq al-Muslimîn wa al-Mushrikîn,
(Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1972 M/1402 H
Al-Shahrastânî Muhammad ‘Abd al-Karîm, Al-Milal wa al-Nihal,
Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
Al-Sha’rânî, ‘Abd al-Wahhâb, al-Anwâr al-Qudsiyyah fî Ma’rifah
Qawâ’id al-Sûfiyyah, (Bairût: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah,
1992 M/1412 H
Al-Sijistânî, Abû Dâwûd Sulaimân bin al-Asy’ats, Sunan Abî Dâwûd,
Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah 1416 H/ 1996 M
Al-Suhrawardî, ‘Awârif al-Ma’ârif, Al-Qâhirah, Maktabah al-
Tsaqâfah al-Dîniyyah, 2013 M/1434 H
Al-Suyûtî , Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr, Al-Durr al-
Mantsûr fî Tafsîr al-Matsûr, Bairût: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, t.t.
Al-Tair, Mustafâ Muhammad, Percikan Cahaya Ilahi. Penerjemah:
Subhan Nur, Jakarta: Qisthi Press, 2006
Al-Taftâzânî, Abû al-Wafâ al-Ganîmî, Ibn ‘Atâ Illâh al-Sakandarî wa
Tasawwufuhû, Al-Qâhiah: Maktabah al-Anjalû al-
Mishriyyah, 1389 H/ 1969
Al-Tabarî , Abû Ja’far Muhammad Jarîr, Jâmi’ al-bayân ‘an Tawîl al-
Qurân, Syirkah wa Maktabah wa Mutbi’ah Mustafâ al-
Bâbi al–Hablî, 1968 M/1388 H
Al-Tabarî, Abû Ja’far Muhammad Jarîr, Tafsîr al-Tabarî al-
Musamma Jâmi’ al-Bayân fî Tawîl al-Qurân, Bairût:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999 M/1420 H
Al-Tabatabâî, Muhammad Husain, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân,
Bairût: Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1991
M/1411 H
Al-Tahhân, Mahmûd Taysîr Mustalah al-Hadîts, Surabaya: Shirkah
Bunkûl Indah, t.t..
Al-Tarâblisî, Husain bin Muhammad al-Jisr, Al-Husûn al-
Hamîdiyyah li al-Muhâfazah ‘alâ al-‘Aqâid al-
Islâmiyyah, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2012
M/1433 H
Daftar Pustaka 273
Al-Tusî, Abû Ja’far Muhammad bin al-Hasan, Al-Tibyân fî Tafsîr al-
Qurân, Bairût: Dâr Ihyâh al-Turâts al-‘Arabî
Al-Tûsî Abû Nasr al-Sarrâj, Al-Luma’, Mesir: Maktabah al-Tsaqafah
al-Diniyyah, t.t.
Al-Tilmisânî, ‘Afîf al-Dîn, Sharh Manâzil al-Sâirîn, (Tûnis: Markaz
al-Dirâsât wa Al-Ibhâts al-Iqtisâdiyyah wa al-
Ijtimâ’iyyah
Al-Zamakhsharî , Abû al-Qâsim Jâr Allâh Mahmûd bin ‘Umar bin
Muhammad, Tafsîr al-Kashshâf, Bairût: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah1424 H/2003 M
Al-Qadî, ‘Abd al-Rahîm bin Ahmad, Kehidupan Sebelum & Sesudah
Kematian. Penerjemah: Yodi Indrayadi &Wiyanto Suud,
Jakarta: Turos, 2015
Al-Qattân, Mannâ’, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qurân, Munshawirât al-
‘Asr al-Hadîts, 1973 M/1393 H
Al-Qazwainî, Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Yazîd, Sunan ibn
Mâjah, Al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 1419 H/1998 M
Al-Qurtubî, Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ahmad al-Ansarî, Al-
Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, Bairût: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1413 H/1993 M
Al-Sadr, Âyatullâh Muhammad Bâqir , Filsafatunâ, diterjemahkan ke
Bahasa Inggris, Our Philosophy, Islamic Republic of
Iran: Ansayiyan Publicatioans, 2006
Al-Sirriyyi, al-Zujjâj abû Ishâq Ibrâhîm bin, Ma’ânî al-Qurâan wa
I’râbuhu, al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 1424 H/2004 M
Al-Sulamî, Abû ‘Abd al-Rahmân, Tabaqât al-Sûfiyyah, (Matâbi’ al-
Sha’b, 1380 H
Al-Shairâzî, Nâsir Makârim, Al-Amtsal fî Tafsîr Kitâb Allâh al-
Munzal, Iran: Qum
Al-Shantanâwî, Ahmad, et. al., Dâirah al-Ma’ârif al-Islâmiyyah,
Wizârah al-Ma’ârif al-Shuhûmiyyah, t.t..
Al-Tabarî , Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr, Tafsîr al-Thabarî al-
Musammâ Jâmi al-Bayân fî Tawîl al-Qurân, Syirkah
274 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Maktabah wa mathaba’ah Mushtafâ al-Bâbî al-Sijlî wa
Awlâduhû bi Mishrâ, 1388 H/ 1968 M
Al-Tabarî , Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr, Tafsîr al-Thabarî al-
Musammâ Jâmi al-Bayân fî Tawîl al-Qurân, Bairût: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420 H/1999 M
Al-Tabatabâî, Muhammad Hussain, Al-Mîzaân fî Tafsîr al-Qurân,
Bairût: Muassasah al-A’lamî li al-Mathbû’ât, 1411 H/
1991 M
Al-Zarqânî, Abd al-‘Azîm, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân,
Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003 M/1424 H
Al-Zuhailî, Wahbah, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Sharî’ah
wa al-Manhaj, Bairût: Dar al-FIkr al-Mu’ashir, 1991
Amini, Ibrahim, Imam Mahdi: Penerus Kepemimpinan Ilahi; Studi
Komprehensif dari Jalur Sunnah dan Syiah tentang
Eksistensi Imam Mahdi, Jakarta: Penerbit Al-Huda,
Maret 2015
Amuli, Jawadi, Makna Hari Kiamat Dalam Al-Quran, Jakarta: Sadra
International Institute, 2012
Antologi Islam: Sebuah Risalah Tematis dari Keluarga Nabi.
Penerjemah: Rofik Suhud at.al., Jakarta: Penerbit Al-
Huda, Januari 2005 M/Dzulhijjah 1425
Aristole, De Anima, Translated with Commentaries and Glossary by
Hippocrates G. Apostle, Aristotle’s On the Soul,
Grinnell, Lowa: The Peripatetic Press, 1981
Asy’arie, Musa, Filsafat Islam: Sunnah Nabi Dalam Berpikir,
Yogyakarta: Lesfi, 2002
‘Atâillâh, Ibn, Mengapa Harus Bersejarah: Panduan Menyenangi
Setiap Kenyataan. Penerjemah: Fauzi Faial Bahreisy,
Jakarta PT. Serambi Ilmu Semesta, Oktober 2006
Azra, Azyumardi, Historiogrami Islam Kontemporer; Wacana,
Aktualitas, dan Aktor Sejarah, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, November 2002
_____________, Pluralism, Coexistence and Religious Harmony in
Southeast Asia; Indonesia Experience in the “Middle
Daftar Pustaka 275
Path”, dalam, Contemporary Islam; Dynamic, not Static,
London and Newyork: Routledge, 2006
Bahjat, Ahmad, Pledoi Kaum Sufi, Penerjemah: Hasan Abrori,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
Bakhtiar, Amsal, FIlsafat Agama, Ciputat: Logos Wacana Ilmu,
Oktober 1999
Baldick, Julian, Mystical Islam: An Introduction to Sufism,
diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Islam Mistik:
Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, (Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2002
Barizi, Ahmad, Malaikat di antara Kita, Jakarta Selatan: Penerbit
Hikmah, Januari 2004/Dzulhijjah 1424
Biber, Douglas, at.al., Longman: Dictionary of Contemporary
English, Pearson Education Limited, 2001
Becchio, Bruno, at.al., Encyclopedia of World Religions, (Conord
Publihsing: Foreign Media Books, 2006)
Board, Editorial, Encycloedia of Islam and the Muslim World,
Macmillan Reference USA, Thomson, 2014
Borcher, Donald M. t, Encyclopedia of Philosophy, Macmillan
Reference USA, 2006
Chodjim, Achamad, Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna
Kehidupan, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, Oktober
2007/Ramadhan 1428
Copleston, S.J., Frederick, A History of Philosoply; Medeval
Philosophy from Augustine to Duns Scotus, USA:
Doubleday, April 1993
Daftary, Farhad, A History of Shi’I Islam, (London: The Institute of
Ismaili Studies, 2013
Dahri, Harapandi, Pemikiran Teologi Sufistik; Syekh Abdul Qadir
Jaelani, (Jakarta Selatan: Wahyu Press, Maret 2004
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: CV.
Anda Utama, 1993
276 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
______________, Al-Quran dan Terjemahnya, Bandung: PT. Syamil
Cipta Media, 2005
______________, Al-Quran dan Tafsirnya, Jakarta: Lembaga
Percetakan Al-Quran Departemen Agama, Mei 2009
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995
Espesito, John L. Ensiklopede Oxford: Duna Islam Modern, Bandung:
Mizan 2001
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
Falimbânî, Abd al-Shamad, Hidâyah al-Sâlikîn, Indonesia: Syirkah
Maktabah al-Madaniyyah, t.t..
Farîd, Ahmad, ‘Aqîdah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah, Maktabah
Qiyâdl, t.t..
Fakhry, Majid, Sejarah Fislafat isalm:Sebuah Peta Kronologis.
Penerjemah: Zaimul Am, Bandung: Mizan Media Ilmu,
Januari 2002/Syawwal 1412
Fakhr al-Dîn, Muhammad al-Râzî bin Diyâ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr Fakr
al-Râzi al-Musytahar bi al-Tafsîr al-Kabîr wa mafâtih al-
Ghaib, Dâr al-Fikr, Maktabah al-Taufîq wa al-Dirâsât,
1425-1426 H/ 2005 M
Gadamer, Hans-Georg, Philosophical Hermeneutics, London:
University of California Press, 1976
______________, The Philosophy of Hans-George Gadamer, Edited
by Lewis Edwin Hahn, Chicago and La Salle, Illinois,
The Library of Living Philosphers Volume XXI, 1997
Hadi, Sutrisno, Metodology Research, Yogyakarta: Andi Offet, 1993
Hidayat, Komaruddin, Psikologi Kematian: Mengubah Kekuatan
Menjadi Optimisme, Hikmah Zaman Baru
Hoekema, Anthony A., The Bible and The Future, The Paternoster
Press Carlisle, UK: William B. Eeerdsman Publishing
Company Grand Rapid, 2010
Hornby, A S, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford
University Press, 1995
Daftar Pustaka 277
Ibn ‘Arabî al-Hâtimî, Muhyi al-Dîn Muhammad ibn ‘Alî ibn
Muhammad, Fusûs al-Hikam, Bairût: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2003 M/1424 H
Ibn Sînâ, Abû ‘Alî, al-Ishârât wa al-Tanbîhât, ma’â Syarh Nasîr al-
Dîn al-Tûsî, Dâr al-Ma’ârif bi al-Matar, t.t..
Ibn Zakariyyâh, Abû al-Hasan Ahmad ibn Fâris, Mu’jam al-Maqâyis
fî al-Lughah, Bairût: Dâr al-Fikr, 1415 H/1994 M
Izutsu, Toshiko, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik
terhadap Al-Qura’an, Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Yogya, 2003
Johnson, Will, Rumi: Menatap Sang Kekasih. Penerjemah: Dini Dwi
Utari, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, April 2005
Kementerian Agama RI,, Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran, et.
al., TAFSIR ILMI: KIAMAT, (Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Quran: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, Juni 2011
Kiswali, Tsuroyai, Al-Juwaini; Peletak Teologi Rasional dalam
Islam, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007
Labib, Muhsin, Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Mishbah Yazdi;
Filsuf Iran Kontemporer; Studi atas Filsafat
Pengetahuan, Filsafat Wujud dan Filsafat Ketuhanan,
(Jakarta: Sadra International Institute, Oktober 2011
Leaman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam; Sebuah Pendekatan
Tematis. Penerjemah: Musa Kahim & Arif Mulyadi,
Bandung: Mizan Media Utama, September 2001/Rajab
1422
Madkour, Ibrahim, Filsafat Islam; Metode dan Penerapan.
Penerjemah: Yudian Wahyudi Asmin dan Ahmad
Mudzakkir, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
September 1996
Manzûr, Ibn, Lisân al-‘Arab, Dâr al-Ma’ârif, t.t.
Ma’luf, Louis, al-Munjid fî al-Lugha wa al-‘ilâm, Bairût: Dâr al-
Masrtiq, 1986
278 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Marhabâ, Muhammad ‘Abd al-Rahmân, Khitâb al-Falsafah al-
‘Arabiyyah al-Islâmiyyah, Bairût: Muassasah ‘Iz al-Dîn,
1993 M/1413 H
McAuliffe, Jane Dammen, Encyclopedia of the Quran, Boston: Brill,
Leiden, 2002
Makaryk, Irena R., Encyclopedia of Contemporary Literary Theory:
Approaches, Scholar, Terms, London: University of
Toronto Press, 1995
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta:
Rake Sarasin, 2000
Muhammad, Ahsin Sakho, Oase Al-Quran; Pencerah Kehidupan, PT
Qaf Media Kreativa, Maret 2018
Murata, Sachiko, The Tao of Islam, Bandung: Mizan, 1999
Mustafâ, Ibrâhîm, at. al., Al-Mu’jam al-Wasîth, Istanbul: Al-
Maktabah al-Islâmiyyah li Al-Thaba’ât wa al-Nasyr wa
al-Tawzî’, t.t.
Murata, Sachiko & William C. Chittck, The Vision of Islam, St. Paul
Minnesota, Paragon House, t.t..
Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1999
______________, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI-Press,
1986
Nasr, Seyyed Hossein, A Young Muslim’s Guide to the Modern
World, diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Hasti
Tarekat, Menjelajah Dunia Modern; Bimbingan untuk
Kaum Muda Muslim, Bandung: Mizan, Januari 1995
______________, The Islamic Intelctual Tradition in Persia, Curzon
Press, 1996
_______________and Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy,
London and New York: Routldege, 1996
Nursi, Badiuzzaman Said , Risalah Kebangkitan; Penalaran terhadap
Realitas Akhirat, Tangerang Selatan, Banten: Risalan
Nur Press, 2015
Daftar Pustaka 279
Penyusun, Tim, Ensiklopedia Al-Quran: Kajian Kosakata, Jakarta:
Lentera Hati, 2007
Putro, Suadi, Mohammed Arkoun Tentang Islam & Modernitas,
Jakarta: Penerbit Paramadina, Januari 1998
Qal’ajî, Muhammad Rawwâs, et. al., Mu’Jam Lughat al-Fuqahâ:
‘Arabî-Inklîzî, Bairût: Dâr al-Nafâis, 1405 H/1985 M
Qirâatî, Muhsin, Dosa; Salah Siapa?. Penerjemah: Najib Husain al-
Idrus, Pesona Khayangan Estate: Penerbit Qarina, Juli
2003/Jumaddil Awwal 1424
Rahman, Fazlur, The Philosophy of Mulla Sadra (Shadr al-Dîn
Shîrâzî), Albany: State University of New York Press,
1975
Rasjidi, M., Filsafat Agama, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994
Rice, Cyprian, Berdialog Dengan Sufi-Sufi Persia. Penerjemah:
Nuruddin Hidayat, Jakarta: CV Pustaka Setia, Agustus
2002/Jumadil Ula 1423
Sadr, Sayyed Sadrudin, Al-Mahdi (A.S.), Tehran, Iran: Naba
Organization, 2000
Sadra, Mulla, Manifestasi-manifestasi Ilahi; Risalah Ketuhanan dan
Hari Akhir sebagai Perjalanan Pengetahuan Menuju
Kesempurnaan. Penerjemah: Irwan Kurniawan, Jakarta:
Sadra InternationalInstitute, Oktober 2011/Dzulqa’dah
1432
Sekolah Pascasarjan UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan
Tesis dan Disertasi Program Magister dan Doktor,
Ciputat, 2018
Shihab, M. Quraish, Menyingkap Tabir Ilahi, Jakarta: Lentera Hati,
Muharram 1420/April 1999
______________, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserian al-
Quran, Ciputat: Lentera Hati, Nopember 2009
______________, Islam yang Saya Anut: Dasar-dasar Ajaran Islam,
Ciputat, Tangeran: Penerbit Lentera Hati, Januari 2018
280 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
______________, DIA DI MANA-MANA: “Tangan” Tuhan Di Balik
Setiap Fenomena, Ciputat: Lentera Hati, 2009
______________, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung: Mizan, Maret
1997/Dzulqa’dah 1417
______________, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan,
Sya’ban 1418/ Desember 1997
Siola, Muhammad Natsir, Menyapa Kearifan Tuhan LewatTeropong
Filsafat dan Al-Quran, Jurnal PILAR, vol. 2, Juli-
Desember 2013
Shomali, Muhammad Ali, Cakrawala Syi’ah, Jakarta: Penerbit Nur
Al-Huda, 2012
Smith, Margareth, Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan.
Penerjemah: Jamilah Baraja, Surabaya: Risalah Gusti,
2000
Soetomo, Greg, Sains & Problem Ketuhanan, Yogyakarta: Penerbit
Kanisisus, 2002
Solahudin, Sifat-sifat Allah dalam Perspektif Ahlussunnah dan
Mu’tazilah: Studi Komparatif Tafsir Karya al-Tabari
dan al-Zamakhshari, Jawa Barat: Nusa Litera Insprirasi,
Desember 2018
Subhî, Ahmad Mahmûd, Fî ‘Ilm al-Kalâm, (Bairût: Dâr al-Nahdah al-
‘Arâbiyyah, 1985 M/1405 H
Syah, Amirudin, Nikmatnya Qiyamat, Jakarta: Institut Kajian
Tasawuf, t.t.
Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam. Penerjemah: Muhammad
Labib Ahmad, Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997
Tim Penulis, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, t.t.
Tim Redaksi BIP, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI)
dan Pembentukan Istilah, Jakarta: Penerbit Buhana Ilmu
Populer, Agustus 2018
Daftar Pustaka 281
Trueblood, David, Philosophy of Religion, diterjemahkan oleh H.M.
Rasjidi, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1994
UIN Syarif Hidayatullah, Tim Penulis, Ensiklopedi Tasawuf,
Bandung: Angkasa, 2008
Ul-Amine, Hasan, Shorter Shi’ite Encyclopedia, Islamic Republic of
Iran, Ansariyan Publications, t.t..
Umar, Nasaruddin, Argumentasi Kesetaraan Jender Perspektif Al-
Quran, Jakarta: Paramadina, 2010
Waines, David, An Introductioan to Islam, Cambridge: University
Press, 1995
Wijaya, Aksin, Teori Interpretasi Al-Quran Ibn Rusyd; Kritik
Ideologi-Hermeneutis, Yogyakarta: PT. LKiS Printing
Cemerlang, Agustus 2009
WinchesTer, Simon, The Day the World Exploded: August 27, 1883,
diterjemahkan oleh Bern Hidayat menjadi Krakatau
Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883, Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2006
Muhammad Taqî Misbâh Yazdî, Durûs fî al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah,
Al-Shirkah al-‘Âlamiyyah li al-Tabbâ’ah wa al-Nashr,
t.t.
______________, Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan.
Penerjemah: Ahmad Marzuki Amin, Jakarta: Al-Huda,
2005 M/1426 H
Yatsribi, Sayyid Yahya, Agama & Ifan:Wahdat al-Wujud dalam
Ontologi dan Antropologi, serba Bahasa Agama.
Penerjemah: Muhammad Syamsul Arif, (Jakrta: Sadra
International Insititute, Januari 2012/ Safar 1433
Yusfian, Hasan, Kalam Jadid: Pendekatan Baru dalam Isu-isu
Agama, Jakarta Selatan, Sadra International Institute,
Rajab 1435 H/Mei 2014 M
Zuhailî, Wahbah, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Sharî’ah wa
al-Manhaj, Bairût: Dâr al-Fikr, 1418 H/1998 M
282 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Sumber dari jurnal, disertasi, dan artikel yang dipublikasikan:
Abdillah, Junaidi, Studi Kritik melalui Metode Takhrij Hadits
tentang Menghias Bangunan Masjid sebagai Tanda
Akhir Zaman, dalam: Ijtimaiyyah: Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam, (Februari 2018), vol. 11, no.1
Abdurrohman, Asep, Metodologi Al-Thabari dalam Tafsir Jami’ al-
Bayan fi Tawil al-Quran, dalam Kordinat: Jurnal
Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agama Islam
Swasta, Vol. XVII No 1 April 2018
Anwar, Hamdani, Corak Maqasidi dalam Tafsir Al-Quran, dalam Al-
Burhan: Jurnal Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya
Al-Quran, Vol. 8 No. 2 November 2017
______________, Ittihad Abû Yazîd dan Hulul Al-Hallaj: Studi
Perbandingan Tentang Tauhid dalam Sufisme.) Disertasi
Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Jakarta, 1994
Hafizovič, Rešid, A Bosnian Commentator on the Fushûs al-Hikam,
Journal of Muhyiddin Ibn ‘Arabî Society, vol. 47, 2010
Hadiyanto, Andy, Makna Simbolik Ayat-Ayat tentang Kiamat dan
Kebangkitan dalam Al-Quran, in Hayula: Indonesian
Journal of Multidiciplinary Islamic Studies, vol. 2 no. 2,
Juli 2018
Indriati, Etty, Mati: Tinjauan Klinis dan Antropologi Forensik, dalam
Berkala Ilmu Kedokteran, Vol. 35, No. 4, 2003
Kazemzadeh, Parvin, et.al., The Sealnes of the Wilâyah al-Mahdi and
the Specification of His Ancestors accortding to Ibn
‘Arabî and some Commentators of Futûhat al-
Makiyyah, Religious Inquires: Volume 3, No. 5, Winter
and Spring 2014, 63-81
Knysh, Alexander, “Irvan” Revisted: Khomeini and the Legacy of
Islamic Mystical Philosophy, Middle East Journal: Vol.
46. No. 4 (Autumn 1992), pp 631-635
Landolt, Hermann, Studia Islamica, Haydar-i Âmulî et les deux
mi’râjs, Maisonneuve & Larose, No. 91 (2000)
Daftar Pustaka 283
Muhtarom, Ali, Titik Temu Suni-Syiah; Studi Pendekatan
Komperatif dalam Pemahaman Islam Mazhab Suni-
Syiah, dalam Jurnal Saintifika Islamica, volume 2
Nomor 2, Periode Juli-Desember 2015
Müller, Tobias, Contemporary Islamic Thinkers’ Understandings of
Seculasim, Disertation for the Degree of MPhil in
International Relations and Politics, University of
Cambridge, 2014
Murray, G R Beasley-, Biblical Eschatology, The Evangelical
Quarterly 20. 4 (July 1948): 272-282
Nawawi, Muhammad Adlan, Metode Hermeneutika Kesadaran
(Fenomenologi) dalam Memahami Teks, dalam al-
Burhan; Jurnal Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya
Al-Quran, vol. 8. No 2 November 2017
Prayetno, Eko, Kajian Al-Quran dan Sains tentang Kerusakan
Lingkungan, in Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Quran
dan al-hadits, volume 12, no. 1, Juni 2018
Raharjo, Muhidjia Memahami (sekali lagi) Grounded Research.
Makalah disajikan pada materi kuliah Metodologi
Penelitian Sekolah Pascasarjana UIN Mulana Ibrahim
Malang, Pulau Seribu, 15 Oktober 2011
Rukimin, Kisah Dzul Qarnain dalam Al-Quran Surah Al-Kahfi 83-
101 (Pendekatan Hermeneutik) dalam Profetika: Jurnal
Studi Islam, Vol. 15. No. 2, Desember 2014
Safaruddin, Eskatologi, Jurnal al-Hikmah, vol. XIV nomor 2, 2013
Saidah, Nor, Bidadari dalam Konstruksi Tafsir Al-Quran: Analisis
Gender atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam
Penafsiran Al-Quran, dalam Palestren, Vol. 6. No. 2,
Desember 2013
Shafwan, Ahamd, Makna Al-Haq dalam Al-Quran, Disertasi Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta: 1429 H/2008 M
284 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Rizvi, Sajjad H., Hikma Muta’aliya in Qajar Iran: Locating the Life
and Work of Mulla Hadi Sabzawari, Iranian Studies,
volume 44, number 4, July 2011
Safaruddin, Eskatologi, Jurnal al-Hikmah, vol. XIV, nomor 2/2013
Saifuddin, Hadis-hadis Eskatologi dalam Kitab Jami al-Turmuzi:
Studi Kritis tentang Kualitas Sanad Hadis, Program
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1997
Seyyed Hosein Nasr, al-Hikmat al-Ilâhiyyah and Kalâm, Studia
Islamica, Maisonneuve & Larose No. 34 (1971)), pp.
139-149
Surahman, Cucu & Aceng Kosasih, The Integration of Shariah,
Tariqah, and Haqiqah: A Study of Sayyid Haydar
Âmulî’s Thougt, Ulumuna: Journal of Islamic Studies,
Islamic State Institute Mataram, 2016, Vol. 20. No.2,
2016,
Shalaybâ, Jamîl, Târikh al-Falsafah al-‘Ararî, Bairût: Dar al-Kutub al-
Lubnani, 1973
Taimiyyaah, Ibn, Syarah Aqidah Wasithiyyah. Penerjemah: Abu
Fathi Yazid bi Abdul Qadir Jawas, Bogor: CV Media
Tarbiyah,Februari 2009/Shafar 1430
Taufiq, Wildan, Ideologi di Balik Simbol-Simbol Surga dan
Kenikmatannya dalam Ayat-Ayat Al-Quran, dalam
Kajian Linguistik dan Sastra, vol. 20, no. 2, Desember
2008
UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung, Penerbit
Angkasa, 2008), cet. ke-1, jilid I (A-H)
Walid, Kholid , Pandangan Eskatologi Mulla Sadra, Disertasi.
Jakarta. Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008
Yasir, Muhammad, Al-‘Adzab dalam Eskatologi Ibn ‘Arabî , An-
Nur, Vol. 4 No. 1, 2015
Yatsribi, Yahya, Agama & Irfan; Wahdat al-Wujud dalam Ontologi
dan Antropologi, serta Bahasa Agama. Penerjemah:
Daftar Pustaka 285
Muhammad Syamsul Arif, (Jakarta: Sadra International
Institute, Januari 2012/Safar 1433
Yazdî, MT. Mishbâh, Iman Semesta. Penerjemah: Ahmad Marzuki
Amin, Jakarta: Al-Huda, November 2005/Syawwal 1426
Sumber dari internet:
Abd al-Rahîm bin Ahmad al-Qâdlî, Daqâia al-Akhbâr fî Dzikr al-
Jannah wa al-Nâr, e-book diakses pada 6 April 20019
dari https://id.scribd.com/doc/19491348/ -الخبار-دقائقالقاضي-احم-ابن-الرحيم-عبد-والنار-الجنة-ذكر-ف
Ferdiansyah Aryanto, Aljawâmi’ al-Kalim, Artikel diakses pada 14
Maret 2019 dari http://mahadilmi.id/2013/12/22/al-
jawaamiul-kalim
Mujtaba Musawi Lari, God and His Attributes: Lessons on Islamic
Doctrines, e-book diakses pada 2 Juli 2019 dari
https://books.google.co.id/books?id=PFJaCAAAQBAJ&
printsec=frontcover&dq=Mujtaba+Musavi+lari&hl=en&
sa=X&ved=0ahUKEwiaheesuZXjAhVEZ80KHarKBXQ
Q6AEINTAC#v=onepage&q=Mujtaba%20Musavi%20lar
i&f=false
https://books.google.co.id/books?id=dSpAlXuGUCUC&printsec=fro
ntcover&dq=metodologi+penelitian+kualitatif+pdf&hl=
en&sa=X&ved=0ahUKEwjCoeG41czjAhUKKo8KHVX
1B_UQ6AEILTAA#v=onepage&q=deduktif&f=false
http://www.fin.unsa.ba/bibliografije/resid-hafizovic_eng.pdf
286 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
287
Glossarium
Abstrak : Tidak terwujud, tidak berbentuk, mujarrad,
niskala.
Ahl allâh : Salah satu istilah lain yang ditujukan kepada
kaum sufi.
Ahl al-bait : Gelar khusus untuk beberapa orang dari
keluarga dan sanak famili Nabi Muhammad
saw
Akidah : Keyakinan keagamaan yang dianut oleh
seseorang dan menjadi landasan segala bentuk
aktivitas, sikap, pandangan, dan pegangan
hidup.
Al-Haq : Allah SWT, zat yang wujud-Nya pasti, azali,
dan abadi.
Âmul : Daerah yang terletak di ujung barat daya
dataran rendah Mazandaran bagian Timur,
terbentang sepanjang tepi barat sungai Harfaz,
12 mil sebelah selatan laut Caspian
Apokalips : Wahyu atau penyingkapan
’Arsh : Bangunan, Singgasana, istana, atau tahta
Al-Sâbiqûn : Orang-orang yang mengalami salat dengan
menghadap dua qiblat dan selalu bersegera
dalam memohon ampunan dan kebaikan
‘Azîmah : Hukum yang telah ditetapkan agar
dilaksanakan oleh setiap mukallaf dalam
kondisi apapun
Banân : Tulang-tulang kecil yang terdapat pada ujung
jari-jari kaki dan tangan.
Barzakh : Alam pembatas antara kehidupan dunia
dengan kehidupan akhirat
Dajjal : Figur akhir zaman yang memiliki keajaiban
namun digunakan menciptakan ajaran-ajaran
288 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
palsu. Ia muncul dengan makanan dan
minuman saat manusia lapar dan haus.
Derivasi : Proses pengimbuhan afiks yang tidak bersifat
infleksi pada bentuk dasar untuk membentuk
kata
Eskatologi : Ajaran teologi mengenai akhir zaman dan
kehidupan sesudah kematian
Fanâ : Mengetahui, merasakan, dan meyakini
kehancuran dan kepunahan diri sehingga yang
diketahui dan dirasakan hanya Allah swt
Kashf : Tersingkapnya tabir yang menghalangi hati
seorang hamba karena telah bersinarnya cahaya
Ilahi di dalamnya ketika hati telah dibersihkan
Khâliq : Zat yang membuat setiap sesuatu menjadi
mampu sebelum sesuatu tersebut ada yang
kemudian dijadikan menjadi ada.
Khalwat : Melakukan pembicaraan bathin dengan Allah
SWT seolah-olah tidak ada siapapun dan tidak
ada apapun yang dimiliki
Hermenuneutika : Interpretasi
Homonim : Dua istilah atau lebih yang sama ejaan dan
lafalnya tetapi maknanya berbeda
Imâm : Orang yang memiliki komptensi kepemimpinan
serta dijadikan sebagai referensi dalam
memahami hukum syariat.
Jawami’ al-Kalim : Kalimat ringkas, mudah diingat, tetapi
mengandung makna luas yang merupakan salah
satu keutamaan Rasulullah saw
Mahdi : Figur akhir zaman yang menciptakan keadilan,
menjadikan seluruh manusia menerima Islam,
dan wafat sesaat menjelang kiamat
Mati : Sudah hilang nyawanya, tidak hidup lagi, atau
tidak bernyawa
Mulla : Sebutan kehormatan untuk cendikiawan
muslim atau ulama yang menekuni bidang
keagamaan.
Glossarium 289
Makrokosmos : Alam semesta
Mujâhadah : Memerangi diri dari perbuatan buruk sesuai
tuntunan sharî’ah
Matan/Matn : Bagian yang bukan merupakan penjelasan
Mikrokosmos : Dunia kecil, khususnya manusia dan sifat
kemanusiaan yang merupakan contoh dalam
ukuran kecil dari alam semesta
Mukâshafah : Dominasi keyakinan yang menyebabkan
seakan-akan seseorang melihat Tuhan sehingga
selain-Nya binasa.
Muttaqîn : Orang-orang yang saat di dunia takut kepada
Allah swt, mengikuti para rasul-Nya,
mengimani segala yang dikabarkan, mengikuti
segala yang diperintahkan, dan menjauhkan
segala yang dilarang
Narasi : Penceritaan suatu cerita atau kejadian,
deskripsi dari sesuatu peristiwa, atau tema
suatu karya seni
Nirvana : Tujuan tertinggi penganut agama Budha agar
terlepas dari keterbatasan eksistensi
Rubûbiyyah : Keyakinan adanya Tuhan sebagai pencipta,
penguasa, pengatur, dan pemeliharaan alam
semesta
Ruh : Unsur substansial dan hakikat manusia yang
tidak berubah walaupun sel-sel tubuh berubah.
Rukhsah : Hukum keringanan yang hanya dibolehkan saat
darurat atau ‘udzr.
Sangkakala : Benda seperti tanduk yang bisa ditiup, terbuat
dari cahaya, memiliki lubang sebanyak jumlah
ruh makhluk, dan dibunyikan sebagai tanda
kedatangan kiamat.
Sayyid : Gelar kehormatan yang diberikan kepada
keturunan Nabi Muhammad melalui garis
keturunan anak perempuan nabi yang bernama
Fâthimah dan suaminya ‘Alî bin AbÎ Thâlib
Shaitân : Makhluk yang jauh dari rahmat Allah.
290 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
Sufi : Orang yang hatinya tulus terhadap Tuhan dan
mendapat rahmat tulus dari-Nya
Syaikh : Istilah dalam bahasa Arab yang berarti gelar
kehormatan yang sejak zaman pra-Islam hanya
diberikan kepada orang-orang yang memiliki
kualitas istimewa
Syi’ah : Kelompok Islam yang mempercayai imamah
merupakan hak ‘Alî ibn Abî Tâlib yang telah
ditetapkan berdasarkan nash Al-Quran maupun
wasiat Nabi
Tarikat/Tarîqah : Jalan yang ditempuh sufi untuk memperoleh
marifat dalam usahanya mendekatkan diri
kepada Tuhan
Visual : Dapat dilihat dengan indera penglihat
Wax : Materi lembut dan lengket, berwarna kuning,
dihasilkan dari lebah untuk membuat sel
sarangnya yang setelah menjalani suatu proses,
materi itu bisa dibuat menjadi lilin, bentuk,
atau lainnya.
Wilâyah : Prinsip bahwa garis keturunan para imam yang
dihubungkan kepada Nabi Muhammad
mewarisi otoritas yang bersifat spiritual dan
temporal dalam Islam setelah wafat Nabi pada
632 M
Yajûj wa Majûj : Bangsa manusia yang membuat keruasakan di
bumi, akan muncul menjelang hari kiamat
sebab dinding yang membatasinya terbuka
Zaqqûm : Benda seperti kotoran minyak yang mendidih
di dalam perut.
291
Daftar Indeks
‘ ‘Abbâs 198, 208, 211, 213, 219, 231,
233, 237
‘Alî 10, 29, 49, 54, 57, 78, 81, 85, 88,
95, 99, 100, 102, 110, 117, 119,
182, 189, 203, 204, 208, 212,
213, 222, See
‘Arabî 14, 23, 25, 26, 27, 49, 52, 55, 57,
59, 60, 63, 98, 107, 138, 150,
173, 182, 191, 221, 257, 267,
269, 270, 272, 276, 277
‘arsh 40, 69, 135, 198, 202
‘Atâillâh 246, 274
A al-‘Asqalânî 78, 81, 99
Al-Haq 18, 29, 45, 81, 90, 107, 109, 133,
137, 141, 152, 159, 180, 181,
183, 185, 186, 190, 191, 196
Allâh 1, 16, 39, 52, 53, 57, 61, 62, 78,
87, 97, 100, 147, 174, 184, 203,
208, 212, 220, 245
Al-Masîh 36, 157, 231, 232, 233, 235,
237, 262
Alûsî 53, 60, 65, 209, 238, 244
Âlûsî 244
Âmulî 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 26, 27,
28, 29, 30, 32, 85, 87, 88, 89, 90,
91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99,
100, 101, 102, 103, 104, 105,
106, 107, 108, 109, 110, 111,
112, 116, 117, 118, 119, 124,
132, 133, 134, 135, 136, 137,
138, 139, 140, 141, 142, 143,
144, 145, 146, 147, 148, 149,
150, 151, 152, 153, 154, 155,
156, 158, 159, 160, 161, 162,
163, 165, 166, 167, 168, 169,
171, 172, 175, 176, 177, 178,
180, 182, 183, 184, 192, 194,
195, 197, 261, 262, 263, 264
Anas 25, 51, 61, 62, 78
Aristotles 11
Asrâr 16, 29, 85, 96, 97, 98, 102, 103,
104, 105, 106, 107, 108, 109,
116, 132, 133, 134, 135, 136,
137, 138, 139, 140, 141, 142,
143, 144, 145, 146, 147, 148,
149, 150, 151, 152, 154, 155,
156, 158, 159, 160, 161, 162,
163, 165, 166, 167, 168, 169,
171, 172, 175, 176, 177, 178,
180, 182, 183, 184, 192, 194,
208, 216, 219, 241, 243
Azyumardi 7, 64
B Bakhtiar 3
Baldik 86
Bâqir 6, 48, 204, 268, 272
barzakh 23, 32, 35, 37, 39, 48, 49, 50,
118, 143, 149, 150, 262, 264
Bukhârî 51, 70, 78, 81, 267, 268
C Chittck 15, 29
D Dajjâl 35, 265
Damasyqî 9
Dzahabî 54, 211, 212, 213, 268
292 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
E eskatologi6, 7, 14, 18, 20, 21, 22, 24, 25,
28, 29, 30, 32, 35, 36, 37, 45,
261, 262, 264, 265
Esposito 35, 36, 45, 46, 47, 104, 140
F Falimbânî 9, 275
fanâ 18, 39, 172, 173, 180, 181, 185,
186, 187, 188, 190, 196, 263
Fazlur 118, 278
filosof 10, 18, 19, 27, 66, 87, 118, 132,
136, 142, 156
G Gadamer 275
Ghazâlî 10, 12, 22, 26, 29, 52, 59, 63, 76,
77, 110, 268
H Hadîts 1, 25, 31, 41, 43, 45, 48, 50, 51,
58, 61, 62, 63, 64, 87, 90, 99,
100, 106, 107, 109, 137, 175,
178, 179, 181, 200, 205, 215,
216, 219, 228, 229, 238, 243,
246, 247
Hamdani 17, 119, 264, 280
Hamdzânî 201, 269
haqîqah 19, 27, 87, 90, 105, 107, 112,
119, 133, 136
Harun 6, 11, 193
Haydar 17, 18, 19, 20, 21, 22, 26, 27, 28,
29, 30, 32, 85, 87, 97, 99, 103,
104, 106, 107, 116, 117, 118,
132, 195, 197, 261, 264,
hermeneutika 30
Hidayat 42, 170, 275, 278, 279
Huwayzî29, 49, 50, 59, 60, 62, 63, 204,
205, 218, 222, 226, 227, 234,
239, 240, 241, 246, 247, 251,
253, 254, 256
I Ibn 10, 12, 19, 22, 25, 26, 27, 29, 42,
43, 51, 54, 57, 58, 59, 61, 65, 69,
70, 72, 86, 87, 89, 90, 98, 99,
102, 104, 107, 109, 110, 116,
118, 138, 153, 173, 181, 182,
184, 191, 198, 199, 200, 201,
203, 205, 206, 208, 209, 211,
212, 213, 214, 215, 216, 217,
218, 219, 220, 223, 225, 227,
228, 231, 232, 233, 234, 235,
237, 238, 240, 243, 245, 247,
256
J Jalâl 29, 55, 59, 63, 214
Jauziyyah 69, 70, 269
Jîlanî 9, 76
Juwaynî 11
K Kâshanî 39, 48, 269
Katsîr 29, 42, 43, 53, 54, 57, 59, 61, 73,
199, 200, 201, 203, 206, 209,
212, 213, 214, 215, 216, 217,
219, 223, 224, 225, 228, 233,
238, 243, 245, 246, 247, 254,
255, 256, 257, 258, See
kematian6, 9, 10, 23, 24, 32, 35, 36, 37,
38, 39, 40, 41, 42, 47, 50, 51, 53,
54, 55, 56, 57, 58, 65, 74, 75, 93,
96, 100, 156, 158, 160, 169, 170,
171, 172, 188, 195, 208, 211,
212, 240, 241, 242, 243, 244,
255, 263
kiamat 2, 5, 8, 9, 11, 14, 16, 17, 23, 24,
32, 35, 36, 37, 46, 52, 53, 55, 59,
Glossarium 293
61, 63, 70, 71, 72, 74, 75, 77, 78,
100, 105, 147, 148, 149, 150,
151, 156, 159, 162, 185, 186,
187, 188, 190, 191, 194, 198,
199, 200, 201, 202, 203, 204,
205, 208, 210, 212, 225, 230,
249, 250, 252, 261, 262
kubur 2, 8, 9, 23, 32, 37, 48, 50, 51, 52,
69, 150, 191, 208, 213
M ma’âd 19, 21, 36, 124, 158, 195, 197,
261, 264
Mahdi 4, 7, 27, 32, 35, 45, 46, 47, 48,
75, 118, 147, 184, 204, 261, 264
Marâghî 198, 199, 209
Margareth 170, 279
Mawardî 57, 58, 270
mufassir20, 21, 22, 58, 60, 65, 136, 217,
229, 244, 261, 262, 263
N Nadwâ 2, 54, 270
Nasafî 29, 62
Nasr 6, 7, 10, 18, 19, 26, 87, 104, 117
neraka 5, 8, 9, 17, 24, 32, 35, 36, 37, 39,
41, 43, 48, 49, 80, 82, 83, 84,
135, 141, 149, 150, 152, 160,
166, 177, 179, 182, 184, 189,
197, 200, 201, 206, 207, 239,
240, 242, 243, 246, 249, 258,
261, 264
Nûrshî 12, 13, 14, 22, 198
O Oliver 10, 19, 68, 276, 277
Q Qarnain 44
Qâsimî 9, 29, 55, 63, 65
Qattân 272
Quraish2, 14, 29, 38, 39, 41, 53, 63, 65,
161, 206, 210, 222, 223, 259
Qurtubî 29, 210, 212, 231, 233, 234
R Râzî 16, 29, 43, 45, 53, 58, 63, 64, 65,
109, 202, 203, 206, 207, 226,
227, 228, 233, 234, 239, 241,
262
roh 4, 6, 8, 16, 23, 32, 37, 39, 42, 51,
52, 55, 57, 61, 62, 66, 67, 68, 69,
143, 144, 147, 149, 151, 153,
154, 159, 160, 168, 186, 187,
195, 218, 261
Rushd 12
S Sachiko 15, 29
Sadra 3, 4, 14, 19, 22, 23, 26, 39, 40,
92, 118
sangkakala9, 32, 36, 37, 52, 53, 54, 56,
57, 58, 59, 60, 63, 65, 71, 73, 75,
198, 264
Sayyid 4, 6, 17, 19, 20, 21, 22, 26, 27,
28, 29, 30, 32, 53, 73, 85, 87, 92,
97, 99, 103, 104, 106, 107, 116,
117, 118, 195, 197, 209, 261,
264
Shahrastânî 11, 271
Shantanâwî 85, 273
sharî’ah19, 27, 32, 119, 124, 133, 137,
141, 144, 159, 261, 264
Shâwî 29, 43, 55
Shi’ah 4, 7, 27, 46, 47, 104
Sina 10, 19, 22, 110, 203
surga 5, 8, 9, 17, 18, 24, 32, 35, 36, 37,
42, 43, 48, 49, 53, 65, 78, 80, 81,
90, 135, 148, 149, 150, 152, 153,
294 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
160, 173, 176, 177, 178, 179,
180, 181, 182, 183, 184, 186,
187, 188, 194, 197, 200, 201,
202, 210, 211, 221, 231, 238,
240, 241, 242, 247, 256, 257,
259, 261, 264
Suyûthî 29, 57, 59
Suyûtî 271
T Taba’tabaî 273
Tabarî 199, 207, 220, 224, 273
Tabâtabâî198, 199, 203, 204, 207, 231,
236, 242, 250, 254, 262
Tafsîr 1, 17, 29, 42, 43, 49, 50, 52, 53,
54, 55, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 64,
73, 103, 154, 198, 199, 200, 201,
202, 203, 204, 205, 206, 207,
208, 209, 212, 213, 214, 215,
216, 217, 218, 219, 220, 221,
222, 223, 225, 227, 228, 232,
233, 234, 236, 238, 240, 241,
242, 243, 245, 246, 247, 249,
250, 251, 253, 254, 255, 256,
257, 258
Tahhân 58, 272
Tarîqah 132, 133, 134, 135, 136, 161,
245, 264
Tharâblisî 8
Tusî 57, 60, 272
W Wahbah 17, 29, 80, 81, 154, 215, 218,
219, 225, 233, 234, 249, 273,
280
Y Yajûj 32, 37, 42, 43, 44, 45
Yazdî 14, 280
Z Zabaniyyah 50, 60, 62
Zahrah 14, 267
Zamakhsharî29, 203, 206, 207, 212, 215,
220, 221, 232, 234, 239, 244,
262
Zuhailî 17
295
Biodata Penulis
KOMARUDIN lahir 08 September 1975 di
Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur,
anak ketujuh dari sembilan bersaudara, ibu
bernama Hj. Yuhanah (w.2015), bapak
H.Mashur (w.2017), tamat SDN 08 Pagi Duren
Sawit, Jakarta Timur (1987), Tsanawiyyah dan
Aliyah (1994) Pondok Pesantren Daarul
Rahman, Jl. Senopati Dalam II Kebayoran Baru
Jakarta Selatan dan Leuwiliang, Sibanteng, Bogor, Jawa Barat, kuliah
di Institut Islam Daarul Rahman Jakarta (IID) (1995-1998).
Sarjana S1 diperoleh dari fakultas Syariah Institut Agama Islam
Al-Aqidah (IAIA) Jakarta (1999) dengan gelar Sarjana Agama
(S.Ag.), gelar Magister Agama (MA) diraih di Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (2003)
Konsentrasi Pemikiran Islam. 2016-sekarang sebagai mahasiswa
semester tujuh program Doktor di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Saat kuliah S1 tekun memperdalam bahasa
Inggris di Intensive English Course (IEC) dan Lembaga Bahasa
Inggris Indonesia-Amerika (LB LIA) hingga memperoleh sertifikat
Advanced Level. Pada 2007-2010 aktif memberikan pelatihan
pengajaran bahasa Inggris model Communicative Language Teaching
(CLT) di sejumlah lembaga kursus bahasa Inggris di Jakarta, Bekasi,
dan Bogor. Pada 2009-2011 diamanatkan sebagai Pelaksana Tugas
Kepala Sekolah SD Muhammadiyah 09 Plus Pondok Bambu, Jakarta
Timur, sempat menjadi interviewer calon karyawan PT Aneka
Tambang (ANTAM), guru SMK Muhammadiyah 6 Jakarta Timur.
Sejak 2010-sekarang berstatus sebagai dosen tidak tetap Universitas
Mercu Buana, Meruya Jakarta Barat dan Menteng, Jakarta Pusat.
2011-sekarang sebagai dosen tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Al-
Aqidah al-Hasyimiyyah Jakarta dengan tugas tambahan Sekretaris
Program Studi (SEKPRODI) Hukum Keluarga/Ahwâl Syakhshiyyah
296 al-Ma’ad dalam Pemikiran Sayyid Haydar al-Amuli
dan ketua Pusat Penelitian dan Pengmbangan Sumber Daya Manusia
(P3SDM) periode 2019-2021.
Aktif mengikuti berbagai seminar, workshop, Training of
Trainer, pelatihan-pelatiahan baik sebagai peserta, panitia, ataupun
nara sumber di dalam kampus tempat mengajar atau di kampus lain.
Sejumlah makalah yang pernah dihasilkan adalah: Mulla Hadi
Sabziwari : Mengenal Filsafat Pasca Ibn Rusyd, Tuhan Perspektif
Science dan Agama, Perbandingan Tafsir Jalâl al-Dîn al-Suyûtî dan
Ibn Jarîr al-Tabarî dalam al-Mâidah: 51, Nikah Perspektif Hukum
Islam dan Kompilasi Hukum Islam, Hukum Keluarga di Tunisia dan
Indonesia (Studi Syariat dalam Konteks Negara-negara Modern di
Dunia Islam), Tinjauan Mukhtalaf al-Hadîts terhadap Hadits-hadits
Menangisi Mayit, Pandangan Goode Hat tentang Elemen Dasar
Pengetahuan Ilmiah, dll.