Page 1
i
AKSES MASYARAKAT MISKIN TERHADAP AIR MINUM
BERSIH DI PROVINSI JAWA TIMUR
SKRIPSI
Disusun Oleh :
Nania Tamana
135020100111040
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
Page 5
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama : Nania Tamana Panggabean
Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 10 Maret 1995
Alamat : Jl. Ambai no. 47 Medan
Agama : Kristen Protestan
Jenis Kelamin : Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Telepon : +62 81265733707
Email : [email protected]
Perguruan Tinggi : Universitas Brawijaya
Fakultas : Ekonomi dan Binis
Program Studi : Ekonomi Pembangunan
Konsentrasi : Perencanaan Pembangunan
PENDIDIKAN
[2001-2007] SD Methodist 3
[2007-2010] SMP Santo Thomas 1 Medan
[2010-2013] SMA Soetomo 1 Medan
[2013-2018] Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
PENGALAMAN ORGANISASI
[2014] Ketua Departemen Keilmuan Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi
[2015] Pemimpin Usaha Lembaga Pers Mahasiswa Indikator Fakultas Ekonomi
KETERAMPILAN YANG DIMILIKI
- Menguasai Ms. Word, Excell, dan Power Point - Menguasai secara aktif bahasa Indonesia dan Inggris serta bahasa Mandarin
secara pasif - Menguasai teknik public speaking
Page 6
vi
- ABSTRAKSI -
- Akses Masyarakat Miskin terhadap Akses Air Minum Bersih di Provinsi Jawa Timur
- Nania Tamana - Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
- Email: [email protected] -
- Air merupakan hak setiap orang. Negara menjamin hak setiap orang untuk
mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi
kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif (UUD No. 7 tahun 2004 pasal 5).
Data WHO menunjukkan 2,1 Milyar penduduk dunia belum dapat mengakses air
minum bersih. Sampai hari ini air minum bersih belum dapat diakses seluruh
masyarakat khususnya masyarakat miskin. Sebagai provinsi dengan tingkat
kontribusi terhadap kemiskinan tertinggi se-Indonesia sebesar 12,05% pada tahun
2016 maka Provinsi Jawa Timur dapat menjadi salah satu tolak ukur dalam
pertumbuhan kemiskinan. Data penelitian adalah hasil dari Survei Sosial dan
Ekonomi Nasional di Jawa Timur pada tahun 2016. Dalam penelitian ini akan
menjelaskan faktor yang menyebabkan sebuah Rumah Tangga mendapat akses air
minum bersih dengan metode analisis logistik biner. Dengan metode logit diharapkan
bisa menjelaskan kecenderungan Rumah Tangga mendapat akses air minum bersih
dengan beberapa faktor. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pendapatan
dan lokasi tempat tinggal Rumah Tangga berpengaruh signifikan terhadap perolehan
akses air minum bersih.
- Kata kunci: Akses air minum bersih, pendapatan, lokasi tempat tinggal, model regresi logit, Jawa Timur
-
Page 7
vii
KATA PENGANTAR
Terima kasih banyak atas kebaikan dan kemurahan Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta
langit dan bumi, sehingga penulis dapat sampai di tahap ini. Bersyukur atas penyelesaian
tugas akhir sebagai syarat kelulusan guna memperoleh Sarjana Ekonomi yang tak terlepas
dari bantuan:
1. Dr.rer.pol Wildan Syafitri, SE., ME. Selaku Dosen Pembimbing dan Ketua Jurusan
Ilmu Ekonomi FEB UB yang telah memberi banyak sekali bantuan dalam
penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas waktu, perhatian, semangat, kebaikan
dan kesabaran Bapak pada penulis
2. Putu Mahardika dan Iswan Noor selaku dosen penguji yang telah memberi banyak
saran dan masukan pada penulis
3. Para dosen yang saya hargai dan hormati khususnya Prof. Erani Yustika, serta
seluruh staff jurusan khususnya Pak Abdul atas kebaikannya bagi penulis
4. John Heart Panggabean dan Hotmaria Tampubolon yang telah menjadi orang tua
sekaligus sahabat terkasih. Terima kasih atas waktu, materi, perhatian, kesabaran,
dan doa yang tak putus pada penulis
5. Say Shio Panggabean dan Brain Dior Panggabean yang selalu memberi semangat
dan teladan pada adiknya. Terima kasih atas kebaikan, kemurahan, dan
ketulusannya pada penulis
6. Jessica Bella Natasya Situmeang, Ayu Silvia Manullang, dan Maria Nivena Possuma
atas persahabatan yang manis. Terima kasih telah hadir di dunia ini. Penulis
bersyukur Tuhan sediakan satu sahabat di setiap fase hidup ini. Kalian bertiga bagai
malaikat menyamar manusia bagiku.
7. Kawan-kawan di LPM Indikator, khususnya Indiers 2013, Muhammad Naufal, Kurnia
Wijaya, Afif Abrar, Brian Monang Sinaga, Maria Nivena Possuma, Bagus Setio W.P. ,
Page 8
viii
Niela Ardilla, Ruby Rantina F., Nuhansyah Arga, Fandy Rahmadya, Ikhsan Bachtiar
yang telah mewarnai kehidupan perkuliahan penulis
8. Rekan terkasih di Navigator Malang, khususnya Bu de Sulis dan Om Peter, Pak Billy
dan tante Lina, Mbak Amel dan Mas Selamet, Pak Danang dan Mbak Heti, Pak
Frans dan tante Ina, Pak Chuck Nicholson dan Bu Katie, Pak Darmin dan tante Arum
9. Ucup FC, Merry Nababan, Sindy Erika dan Yusuf Priambodo terima kasih atas
kehadirannya telah mewarnai masa penulisan skripsi ini. Bersyukur penulis
mendapat persahabatan manis bersama kalian hingga saat ini. Terima kasih untuk
semangat dan doanya
10. Swesti Astrina V atas kebaikannya menemani penulis di akhir perkuliahan khususnya
saat menulis skripsi. Terima kasih atas waktu, perhatian, semangat, makanan
rumahan hangat hingga tempat menginap yang selalu murah hati disediakan
11. Ariza Agung Permadi, partner yang hadir di saat yang mantap. Terima kasih sudah
berbagi waktu, perhatian, teladan, kesabaran, kasih sayang hingga cita-cita pada
penulis
12. Ariana Walker atas kehadirannya di saat penyusunan skripsi. Terima kasih sudah
bersedia menemani di saat tak ada yang menemani
13. Serta didedikasikan untuk semua pihak, teman, dan keluarga, yang namanya tak
tersebut di atas. Terima kasih atas semangat, perhatian dan hal- hal yang mungkin
tidak mereka sadari telah berkontribusi bagi lembaran skripsi ini
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk
itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi perbaikan laporan ini di masa
mendatang. Terima kasih.
Malang, 22 Agustus 2018
Penulis
Page 9
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. ii LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................................. iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................ v ABSTRAKSI ....................................................................................................... vi KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii BAB I Pendahuluan ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah .............................................................................. 7
1.3 Tujuan ................................................................................................. 7
1.4 Manfaat ............................................................................................... 7
BAB II Tinjauan Pustaka .................................................................................... 8
2.1. Kerangka Teori .................................................................................. 8
2.1.1 Kemiskinan .................................................................................... 8
2.1.2 Teori Barang Publik....................................................................20
2.1.3 Teori Pengeluaran Pemerintah ................................................... 23
2.1.4 Pendapatan Rumah Tangga ....................................................... 28
2.1.5 Lokasi Tempat Tinggal ................................................................. 30
2.2 Penelitian Terdahulu ......................................................................... 32
2.3 Kerangka Pikir .................................................................................. 34
BAB III Metode penelitian ................................................................................ 36
3.1 Pendekatan Penelitian ...................................................................... 36
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 37
3.3 Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 37
3.4 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian ................. 38
3.5 Populasi dan Penentuan Sampel ...................................................... 40
3.6 Metode Pengumpulan Data .............................................................. 40
3.7 Metode Analisis................................................................................. 41
Page 10
x
3.7.1 Regresi Logistik .......................................................................... 41
BAB IV Hasil Penelitian ................................................................................... 43
4.1 Gambaran Umum Provinsi Jawa Timur ............................................. 43
4.1.1 Kondisi Geografis ........................................................................ 43
4.1.2 Kondisi Demografis Provinsi Jawa Timur ................................... 47
4.2 Hasil Penelitian ................................................................................. 48
4.2.1 Deskriptif Akses Air Minum Bersih Provinsi Jawa Timur ........... 48
4.3 Statistik Deskriptif ............................................................................. 51
4.4 Crosstabulasi Antar Variabel ............................................................. 52
4.4.1 Pendapatan Rumah Tangga dan Akses Air Minum Bersih ....... 52
4.4.2 Lokasi Tempat Tinggal dan Akses Air Minum bersih ................. 53
4.4.3 Pendapatan, Lokasi Tempat Tinggal dan Akses Air Minum Bersih ..................................................................................................... 54
4.5 Analisis Ekonometrika ...................................................................... 55 4.6 Pembahasan ..................................................................................... 57
BAB 5 Kesimpulan ........................................................................................... 62
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 62
5.2 Saran ................................................................................................ 63
Daftar Pustaka ................................................................................................. 64
Page 11
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Komposisi Responden Berdasarkan Perolehan Akses Air Minum Bersih .............................................................................................................. ..48 Tabel 4.2 Komposisi Responden Berdasarkan Pendapatan .............................. 49
Tabel 4.3 Komposisi Responden Berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal ............. 49
Tabel 4.4 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian ............................................... 50
Tabel 4.5 Hasil Crosstabulasi Lokasi Tempat Tinggal dan Akses Air Minum bersih ................................................................................................................. 52
Tabel 4.6 Hasil Crosstabulasi Antar Variabel Pendapatan, Lokasi Tempat Tinggal dan Akses Air Minum Bersih .............................................................................. 53
Tabel 4.7 Hasil Estimasi Menggunakan Model Binary Logit ............................... 55
Tabel 4.8 Tabel Klasifikasi Variabel Signifikan ................................................... 57
Page 12
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Persentase RT Menggunakan Sumber Air Minum Bersih 2016 ........... 2
Gambar 1.2 Persentase RT Menurut Jenis Sumber Air Minum dan Tipe Daerah Tempat Tinggal ........................................................................................................ 3
Gambar 1.3 Jumlah Penduduk Miskin di 33 Provinsi di Indonesia September 2016 ........................................................................................................................ 5
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 28
Gambar 4.1 Peta Wilayah Provinsi Jawa Timur ..................................................... 35
Gambar 4.2 Grafik Crosstabulasi Antar Variabel Pendapatan dan Akses Air Minum Bersih ................................................................................................ ....... 52
Page 14
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Siapa yang tidak membutuhkan air. Semua makhluk hidup membutuhkan air, mulai
dari mikroorganisme sampai manusia. Tidak ada kehidupan seandainya di bumi ini tidak ada
air, karena air merupakan kebutuhan utama proses kehidupan (Susana, 2003). Meski
sebagian besar bumi terdiri dari air, namun kurang dari satu persen yang merupakan air
segar atau bisa dikonsumsi. Jumlah sumber daya alam yang terbatas ini pun kian tertekan
oleh pertumbuhan jumlah penduduk dan industri di dunia. Sebanyak 99% lebih jumlah air di
Bumi adalah air asin, uap air dan beku yang tak bisa digunakan untuk minum, mandi,
masak, atau menyiram tanaman (Effendi, 2003). Berdasarkan data Bank Dunia, akan ada
kekurangan hingga 40% antara proyeksi permintaan dan ketersediaan penawaran air pada
2030.
Data menarik dari Forum Ekonomi Dunia (FED) 2017 menunjukkan isu krisis air
masih berada pada tiga besar tantangan global yang akan dihadapi dalam satu dekade
kedepan, sejak tahun 2015 berada pada posisi nomor satu. Krisis air bersih sudah terjadi di
berbagai negara termasuk Indonesia. Salah satu fenomena yang terjadi di Indonesia, tahun
2017 lalu 105 kabupaten/ kota, 715 kecamatan, dan 2.726 kelurahan/ desa yang mengalami
kekeringan di Jawa dan Nusa Tenggara. Hal ini menyebabkan sekitar 3,9 juta jiwa warga
terdampak kekeringan sehingga memerlukan bantuan air bersih (Erdianto, 2017). Melihat
fenomena yang terjadi, penulis tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai isu air
bersih hari ini.
Kebutuhan paling esensial seorang manusia akan air adalah untuk minum. Tubuh
manusia (dewasa) terdiri dari 73 persen air (Gibson, 2005) dan membutuhkan minimal dua
setengah liter air per hari untuk mengoptimalkan kinerja tubuh. Sebagaimana dalam teori
ekonomi, persediaan air minum merupakan salah satu kebutuhan primer atau kebutuhan
fisik minim atau kebutuhan hidup pokok setiap warga masyarakat, termasuk lapisan
Page 15
masyarakat paling miskin (Gilarso, 2004). Negara menjamin kebutuhan akan air dalam
Undang- Undang Dasar (UUD) Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. βNegara
menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-
hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.β (UUD No. 7 Tahun
2004 Pasal 5).
Gambar 1.1 Persentase RT menggunakan Sumber Air Minum Bersih tahun 2016
Sumber: BPS, 2016
Data terbaru WHO (2017) menunjukkan 2,1 Milyar penduduk di dunia tidak memiliki
air minum yang aman di rumah. Menurut the Economist World Figures in Pocket 2016,
pencapaian 100 persen akses air bersih diraih negara Singapura dan Korea. Akses terbaik
terhadap air bersih selanjutnya ada di, berturut-turut, Malaysia (99,6 %), dan (Brazil 97,5%).
Beberapa negara tetangga seperti Thailand (95,8%), Vietnam (95%), Philipina (91,8%), juga
Page 16
sudah memiliki akses air bersih yang baik. Sedangkan dua negara besar Asia yaitu India
dan China, masing-masing, penduduknya mempunyai akses terhadap air bersih sebesar
92,6% dan 91,9%. Indonesia sendiri, menurut sumber informasi yang sama, baru 84,9%
penduduk yang mempunyai akses terhadap air bersih. Artinya masih ada gap 15,1% menuju
100% di tahun 2019 (Handojo, 2016). Data dari Survei Sosial Ekonomi (SUSENAS) yang
dilakukan BPS tahun 2016 menunjukkan air minum bersih masih belum dapat diakses
semua masyarakat Indonesia. Suatu Rumah Tangga (RT) dikatakan memperoleh akses air
minum bersih jika sumber air minum RT berasal dari air kemasan, air isi ulang, leding, dan
sumur bor/pompa, sumur terlindung serta mata air terlindung) dengan jarak ke Tempat
Penampungan Limbah/ Kotoran/ Tinja Terdekat β₯ 10 m. Pada Gambar 1.1 ditunjukkan
30,39 persen RT di Kalimantan Barat menggunakan sumber air minum bersih; 75,45 persen
RT di Jawa Timur menggunakan sumber air minum bersih dan 93,05 persen RT di DKI
Jakarta menggunakan sumber air minum bersih.
Hasil lain Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Maret 2016 menunjukkan
81,47 persen rumah tangga di perkotaan sumber air minumnya dari air bersih dan 36,33
persen rumah tangga menggunakan sumber air minum layak. Di perdesaan, 59,22 persen
rumah tangga sumber air minumnya enggunakan air bersih dan 47,41 persen rumah tangga
menggunakan sumber
Gambar 1.2 Persentase RT Menurut Jenis Sumber Air Minum Dan Tipe Daerah Tempat Tinggal
Sumber: BPS, 2016
Page 17
air minum layak. Sedangkan di perkotaan dan perdesaan 70,53 persen rumah tangga
sumber air minumnya menggunakan air bersih dan 41,73 persen rumah tangga
menggunakan sumber air minum layak. Sumber air minum layak sendiri terdiri dari leding,
air hujan, dan [(sumur bor/pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung) dengan jarak ke
Tempat Penampungan Limbah/Kotoran/Tinja Terdekat β₯ 10 m].
Tiadanya akses terhadap air bersih sendiri dapat mempengaruhi kesehatan,
keselamatan dan kualitas hidup sampai kemiskinan. World Health Organization (WHO)
memperkirakan empat milyar kasus diare yang tejadi di dunia, dimana 88 persennya
diakibatkan tidak adanya akses terhadap air minum bersih (Yongsi, 2010). UNICEF (2014)
memperkirakan bahwa 1.400 anak di bawah lima tahun (balita) meninggal setiap hari karena
penyakit diare terkait dengan kurangnya air bersih dan sanitasi serta kebersihan yang
memadai. Sebuah studi di Kamboja menunjukkan sanitasi yang buruk membawa kerugian
ekonomi sebesar US$ 448 juta per tahun yang diterjemahkan ke hilangnya per kapita sekitar
US$ 32. Kerugian ekonomi ini setara dengan 7,2% PDB Kamboja pada tahun 2005 dimana
sepertiganya merupakan sumbangan dari tiadanya akses air minum bersih.
Tiadanya akses air minum bersih juga menjadi penyebab kemiskinan. Amartya Sen,
seorang filosof-ekonom, mengamati tentang kemiskinan dan menghasilkan teori kapabilitas
yang tertera dalam artikel berjudul βEquality of Whatβ. Kemiskinan terjadi karena tidak
memiliki kapabilitas untuk βmenjadiβ (capabilities to functioning). Ketiadaan kapabilitas untuk
menjadi itu ditandai oleh lemahnya akses terhadap pelayanan pendidikan, air bersih,
kesehatan, serta berbagai kebutuhan dasar lainnya. Menurut Sen penyebab kemiskinan
adalah akibat ketiadaan akses yang dapat menunjang pemenuhan kehidupan manusia.
(Sen, 1999)
Kemiskinan masih menjadi persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia. Tingkat
kemiskinan Indonesia menurut data terakhir dari BPS, pada September tahun 2016,
mencapai 10,70% yang artinya 27,76 juta penduduk masih berada dibawah garis
kemiskinan. Dari Gambar 1.3 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk miskin di provinsi Jawa
Timur merupakan yang tertinggi diantara 33 provinsi di Indonesia. Pada tahun 2016, tingkat
Page 18
kemiskinan provinsi Jawa Timur mencapai 12,05% dimana total penduduk miskin sebesar
4,638 juta jiwa.
Gambar 1.3 Jumlah Penduduk Miskin di 33 Provinsi di Indonesia pada bulan September 2016 (Ribu Jiwa)
Sumber: BPS (diolah)
Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk mengidentifikasi akses
masyarakat miskin terhadap air minum bersih di Jawa Timur dengan mengunakan metode
analisis regresi logistik. Apakah air minum bersih telah dapat diakses oleh masyarakat
miskin? Maka dari itu judul penelitian ini adalah βAkses Masyarakat Miskin terhadap Air
Minum Bersih di Jawa Timurβ.
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000
KALIMANTAN UTARAKEP. BANGKA BELITUNG
MALUKU UTARAKEP. RIAU
KALIMANTAN TENGAHSULAWESI BARAT
BALIKALIMANTAN SELATAN
SULAWESI UTARAGORONTALO
KALIMANTAN TIMURPAPUA BARAT
JAMBIBENGKULU
SULAWESI TENGGARAMALUKU
SUMATERA BARATDKI JAKARTA
KALIMANTAN BARATSULAWESI TENGAH
DI YOGYAKARTARIAU
BANTENNUSA TENGGARA BARAT
SULAWESI SELATANACEH
PAPUASUMATERA SELATAN
LAMPUNGNUSA TENGGARA TIMUR
SUMATERA UTARAJAWA BARAT
JAWA TENGAHJAWA TIMUR
47,03 71,07 76,4 119,14 137,46 146,9 174,94 184,16 200,35 203,69 211,24 223,6
290,81 325,6 327,29 331,79 376,51 385,84 390,32 413,15
488,83 501,59
657,74 786,58 796,81 841,31
914,87 1096,5 1139,78 1150,08
1452,55 4168,11
4493,75 4638,53
Jumlah penduduk miskin
Page 19
1.2 Rumusan masalah
Bagaimana akses masyarakat miskin di Jawa Timur dapat mengakses air minum bersih?
1.3 Tujuan
Mengetahui akses masyarakat miskin di Jawa Timur terhadap air minum bersih
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pemangku kebijakan (stakeholder) dalam
melaksanakan program pemenuhan air minum bersih di Indonesia
Page 20
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah teori kemiskinan
Amartya Sen, teori alokasi anggaran, teori barang publik dan teori analisis regresi
logistik. Selain teori-teori tersebut, dalam Bab ini juga memuat penelitian
terdahulu yang digunakan penulis sebagai acuan dalam melakukan penelitian.
2.1.1 Kemiskinan
2.1.1.1 Definisi Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu persoalan krusial yang dialami oleh
setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Selama ini sudah
banyak studi dan kajian tentang kemiskinan, tetapi jawaban atas pertanyaan apa
itu kemiskinan dan apa pula penyebab kemiskinan masih terus menjadi
persoalan aktual dari masa ke masa. Seraca umum, kemiskinan merupakan
keadaan dimana seorang individu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar
seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Menurut Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS), kemiskinan merupakan masalah
multidimensi karena berkaitan dengan ketidakmampuan akses secara ekonomi,
sosial, budaya, politik dan partisipasi dalam masyarakat. Kemiskinan juga
memiliki arti yang lebih luas dari sekedar lebih rendahnya tingkat pendapatan
atau konsumsi seseorang dari standar kesejahteraan terukur seperti kebutuhan
kalori minimum atau garis kemiskinan. Akan tetapi kemiskinan memiliki arti yang
lebih dalam karena berkaitan juga dengan ketidakmampuan untuk mencapai
aspek diluar pendapatan (non-income factors) seperti akses kebutuhan minimum
seperti kesehatan, pendidikan, air bersih dan sanitasi. Lebih lanjut kompleksitas
Page 21
dari kemiskinan bukan saja berhubungan dengan pengertian dan dimensinya
saja tetapi juga berkaitan dengan metode pengukuran dan intervensi kebijakan
yang diperlukan dalam mengentaskan masalah ini.
Bank Dunia (dalam BPS, 2015) mendefinisikan kemiskinan sebagai
βPoverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to see
doctor. Poverty is being able to go to school and not knowing how to read.
Poverty is not having a job, is fear of the future, living one day at a time. Poverty
is losing a child to illeness brought about by unclean water. Poverty is
powerlessness, lack of representation and freedomβ. Kemiskinan berkenaan
dengan ketiadaan tempat tinggal, sakit dan tidak mampu berobat ke dokter, tidak
mampu untuk sekolah dan tidak mampu untuk baca tulis. Kemiskinan adalah bila
tidak memiliki pekerjaan sehingga takut menatap masa depan, dan tidak memiliki
akses akan sumber air bersih. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, kekurangan
representasi dan kebebasan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kemiskinan adalah
situasi dimana penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi
makanan, pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk
mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum. Sementara itu konsep dasar
kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dalam situsnya, dijelaskan
bahwa untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini,
kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.
Kemiskinan kerap kali didefinisikan sebagai fenomena ekonomi dalam arti
kurangnya pendapatan seseorang untuk memenuhi standar hidup layak. Levitan
Page 22
(1980) misalnya mendefiniskan kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang
dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang
layak. Sedangkan Schiller (1979), kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk
mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas (Ala, 1981). Namun, menurut Suyanto
(2013) menyatakan bahwa kemiskinan sesungguhnya adalah masalah sosial
yang jauh lebih kompleks dari sekedar persoalan kekurangan pendapatan.
Kemiskinan juga menyangkut kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian
sebagaimana dikemukakan oleh Chambers (1987) sebagai perangkap
kemiskinan (deprivation trap).
Dari beberapa definisi kemiskinan diatas, dapat diambil kesimpulan
bahwa kemiskinan merupakan ketidakmamupan seorang individu untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya atau ketidakmampuan seorang individu untuk
memenuhi standar hidup layak.
2.1.1.2 Kemiskinan Menurut Amartya Sen
Amartya Sen merupakan seorang pemenang penghargaan Nobel tahun
1998 atas kontribusinya terhadap perkembangan ilmu ekonomi mengenai
kelaparan, teori pengembangan manusia, ekonomi kesejahteraan, dasar
mekanisme kemiskinan, dan politik liberalisme. Menurut Sen dalam bukunya
yang berjudul Poverty and Famine : An Essay Entitlement and Deprivation, Sen
menyebutkan bahwa kemiskinan dan kelaparan bukan hanya karena bencana
alam, tetapi juga kediktatoran dalam sistem politik suatu negara. Sen
menunjukkan bahwa kemiskinan yang melanda beberapa negara Asia Afrika
adalah akibat dari kelengahan negara yang mengatasnamakan demokrasi dalam
roda perekonomianya. Sen menyebutkan bahwa kebebasan adalah salah satu
cara untuk mengentaskan kemiskinan. Bebas diartikan dalam bermacam-macam
Page 23
hal. Sen banyak membahas tentang pembangunan sebagai salah satu cara
untuk menuntaskan kemiskinan. Kebebasan merupakan sebuah tolok ukur
pembangunan dengan dua alasan :
a. Alasan evaluatif, penilaian atas keberhasilan pembangunan
dipahami berdasarkan sejauh mana kebebasan manusia
meningkat. Dengan peningkatan kebebasan, manusia semakin
mampu untuk mengungkapkan dan berusaha memenuhi
kebutuhanya.
b. Alasan efektivitas, keberhasilan pembangunan sepenuhnya
tergantung pada manusia yang bebas. Dengan kebebasan yang
dimiliki manusia mampu menentukan tujuan dan cara pemenuhan
kebutuhanya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu dilihat dari dua sudut pandang
yaitu the primary end dan the principal means. Primary end atau konstitutif
mengacu pada pentingnya membangun manusia, dan principal means atau
peran instrumental mengacu pada sarana-prasarana akses untuk kesejahteraan
masyarakat yaitu pada lima atribut menurut Amartya Sen, pertama yaitu
kebebasan politik, kedua yaitu kesempatan dalam bidang ekonomi, yang ketiga
kesempatan dalam bidang sosial (pendidikan, layanan kesehatan dan lainya),
jaminan adanya keterbukaan (transparan), serta yang terakhir adalah jaminan
keamanan. Maka mengacu dari teori diatas, dalam penelitian ini ingin
membuktikan kebebasan masyarakay miskin dalam mengakses kebutuhan
pokoknya yaitu air minum bersih. Yang selanjutnya diharapkan hal ini dapat
menuntaskan kemiskinan di Indonesia.
Page 24
2.1.1.3 Jenis Kemiskinan
Konsep kemiskinan yang berbeda akan mendasari perbedaan
pemahaman dan perlakuan mengenai kemiskinan itu sendiri. Menurut para ahli
konsep kemiskinan bersifat multidimensional, sehingga akan memunculkan jenis-
jenis kemiskinan yang berbeda-beda.
Kemiskinan dapat digolongkan kedalam beberapa kategori, yaitu
kemiskinan struktural dan kemiskinan alamiah, kemiskinan kultural, kemiskinan
absolut, dan kemiskinan relatif (Maipita, 2014: 29). Kemiskinan struktural sering
disebut sebagai kemiskinan buatan (man made poverty). Baik langsung maupun
tidak langsung kemiskinan kategori ini umumnya disebabkan oleh tatanan
kelembagaan dan sistem yang diterapkan, seperti sistem politik, ekonomi,
keamanan, dan lainnya, dan oleh karenanya kondisi sosial ekonomi masyarakat
menjadi rendah (underdevelopment trap) atau tidak mungkin sejahtera.
Kemiskinan alamiah lebih banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas
sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. Dalam kondisi demikian, peluang
untuk melakukan dan meningkatkan produksi relatif kecil dan tingkat efisiensi
produksinya relatif rendah. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang
disebabkan oleh budaya penduduk yang malas, tidak mau kerja keras, jadi etos
kerjanya sangat rendah, tidak disiplin dan sebagainya.
Kemiskinan absolut biasanya dipandang dari sisi kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar minimum. Biasanya didasarkan pada sejumlah kebutuhan
nutrisi. Kemiskinan relatif biasanya diperoleh dengan membandingkan kelompok-
kelompok masyarakat berpendapatan terendah dengan kelompok masyarakat
berpendapatan tertinggi (kelompok bawah dengan kelompok atas). Pembagian
pendapatan masyarakat ini sering dikelompokkan dalam ukuran desil dan kuantil.
Page 25
Lok-Dessallien (1999) memandang kemiskinan dari tiga perspektif, yaitu:
(1) Perspektif absolut dan relatif, (2) Perspektif objektif dan subjektif, serta (3)
Perspektif fisiologis dan sosiologi. Hagenaars dan Vos (1988) menyatakan
bahwa terdapat variasi yang luas dalam mendefinisikan kemiskinan, namun
kemiskinan tersebut dapat dikategorisasi sebagai berikut :
a. Kemiskinan berarti secara objektif memiliki lebih sedikit dari kebutuhan
minimum absolut yang harus dipenuhi.
b. Kemiskinan adalah memiliki lebih sedikit dibandingkan dengan orang
lain dalam suatu masyarakat.
c. Kemiskinan adalah perasaan bahwa tidak memiliki kecukupan untuk
dapat terus hidup.
Kemiskinan menurut kategori pertama adalah sesuatu yang absolut
sedangkan kategori kedua merupakan sesuatu yang absolut atau relatif, ataupun
diantaranya. Kategori ketiga mendefinisikan kemiskinan dalam situasi subjektif.
Pengkategorian kemiskinan berdasarkan konsep absolut dan relatif menurut
OβBoyle (1998) tidak dapat dihindari karena pada dasarnya manusia adalah
makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial.
Jika mengacu pada formula kemiskinan struktural berdasarkan beberapa
konsep ataupun pendapat yang dikemukakan diatas, Suharto (2014)
mengklasifikasi tingkatan kemiskinan antara lain:
1. Kelompok yang paling miskin (destitute) yang juga sering disebut sebagai
fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan dibawah garis
kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta
tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan dasar.
2. Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan dibawah garis
kemiskinan, namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan dasar
tertentu.
Page 26
3. Kelompok rentan (vulnerable). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari
kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang
kelompok destitute maupun poor. Namun sebenarnya kelompok yang sering
disebut near poor (agak miskin) ini masih rentan terhadap perubahan kondisi
perekonomian ataupun perubahan sosial disekitarnya
2.1.1.4 Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan sebagai masalah pokok dalam pembangunan ekonomi
disuatu negara tentunya tidak timbul secara tiba-tiba dalam masyarakat,
melainkan ada penyebabnya. Dengan mengetahui penyebab yang menimbulkan
kemiskinan, maka arah kebijakan untuk penanggulangan kemiskinan juga akan
lebih mudah terealisasi di masyarakat miskin.
Masalah kemiskinan selain dapat ditimbulkan oleh hal yang bersifat
alamiah atau kultural, kemiskinan juga dapat disebabkan oleh miskinnya strategi
dan kebijakan pembangunan yang ada, sehingga para pakar pemikir tentang
masalah-masalah kemiskinan, sebagian besar hanya memandang fenomena
kemiskinan sebagai masalah struktural. Sehingga, pada akhirnya muncul istilah
kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan
masyarakat karena struktur sosial masyarakat tersebut, sehingga mereka tidak
dapat ikut menikmati sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi
mereka. Sumardjan (dalam Arsyad 2010:301)
Spicker (dalam Maipita 2014:60), berpendapat bahwa penyebab
kemiskinan dapat dibagi dalam empat mazhab, yaitu :
1. Individual explanation, mazhab ini berpendapat bahwa kemiskinan cenderung
diakibatkan oleh karakteristik orang miskin itu sendiri. Karakteristik yang
dimaksud seperti malas dan kurang sungguh-sungguh dalam segala hal,
termasuk dalam bekerja.
Page 27
2. Familial explanation, mazhab ini berpendapat bahwa kemiskinan lebih
disebabkan oleh faktor keturunan. Tingkat pendidikan orang tua yang rendah
telah membawa mereka dalam kemiskinan. Akibatnya ia juga tidak mampu
memberikan pendidikan yang layak kepada anaknya, sehingga anaknya pun
akan jatuh dalam kemiskinan.
3. Subcultural explanation, menurut mazhab ini bahwa kemiskinan dapat
disebabkan oleh kultur, kebiasaan, adat istiadat, atau akibat karakteristik
perilaku lingkungan.
4. Structural explanations, mazhab ini menganggap bahwa kemiskinan timbul
akibat dari ketidakseimbangan, perbedaan status yang dibuat oleh adat
istiadat, kebijakan, dan aturan lain menimbulkan perbedaan hak untuk
bekerja, sekolah dan lainnya hingga menimbulkan kemiskinan di antara
mereka yang statusnya rendah dan hak terbatas.
Menurut Daerobi, et.al (2007), ada banyak penyebab kemiskinan dan tak
ada satu jawaban yang mampu menjelaskan semuanya sekaligus. Ini ditunjukkan
oleh adanya berbagai pendapat mengenai penyebab kemiskinan sesuai dengan
keadaan waktu dan tempat tertentu yang mencoba mencari penyebab
kemiskinan. Tetapi dapat disimpulkan bahwa penyebab kemiskinan antara lain:
1. Kegagalan kepemilikan, terutama tanah dan modal.
2. Terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana.
3. Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor.
4. Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem
yang kurang mendukung.
5. Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor
ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern).
6. Rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat.
Page 28
2.1.1.5 Garis Kemiskinan
Diperlukan patokan khusus yang harus digunakan untuk menentukan
seseorang dalam kategori miskin atau tidak . Dengan patokan ini maka dapat
ditentukan posisi individu atau rumah tangga, apakah berada diatas, ditengah,
maupun dibawah patokan tersebut. Patokan inilah yang disebut dengan garis
kemiskinan.
Dalam penyusunan garis kemiskinan dibutuhkan komponen-komponen
khusus didalamnya. Tentunya seiring berkembangnya zaman komponen tersebut
bisa berubah. Komponen garis kemiskinan pada zaman dulu mungkin berupa
sandang, pangan, dan papan. Namun seiring dengan perkembangan, komponen
tersebut bisa ditambah berupa kesehatan, pendidikan, maupun keamanan.
Salah satu penentuan Garis Kemiskinan di Indonesia yaitu yang
dilakukan oleh Badan Pusat Statistik(BPS). Menurut BPS, Garis Kemiskinan
(GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis
Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan
sebagai penduduk miskin. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai
pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100
kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili
oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu,
sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll) Garis
Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk
perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan
dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis
komoditi di pedesaan. Sumber data utama yang dipakai adalah data Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor.
Page 29
Rumus Penghitungan :
GK = GKM + GKNM
Dimana :
GK = Garis Kemiskinan
GKM = Garis Kemiskinan Makanan
GKNM = Garis Kemiskinan Non Makanan
Seperti yang tertera pada situs resmi BPS, metode pemilihan sampel
dalam studi ini dilakukan dalam 6 tahap. Pada tahap pertama dipilih 7 provinsi
secara purposive(sengaja) namun dapat mewakili wilayah barat dan timur
Indonesia, serta wilayah urban dan rural. Ketujuh propinsi tersebut adalah
Sumatera Selatan, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur (mewakili wilayah
barat), Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan (mewakili
wilayah timur). Tahap kedua adalah memilih 2 kabupaten/kota dari masing-
masing propinsi kecuali DKI Jakarta 3 kota secara purposive. Dari masing-
masing kabupaten/kota, dipilih sampel dua kecamatan secara purposive. Sampai
dengan tahap ketiga, pemilihan sampelnya dilakukan BPS Pusat.
Selanjutnya tahap keempat, yaitu pemilihan desa dilakukan oleh petugas
BPS Propinsi dimana pada setiap kecamatan dipilih 2 desa. Tahap kelima adalah
pemilihan 2 Rukun Tetangga (RT) pada setiap desa yang dilakukan oleh petugas
lapangan (BPS Kabupaten/Kota) dengan pertimbangan kondisi sosial ekonomi
masyarakat RT tersebut heterogen. Tahap terakhir (ke-enam) adalah pemilihan
rumah tangga dimana pada setiap RT dipilih 30 rumah tangga dengan cara
systematic sampling yang distratakan berdasarkan tingkat kesejahteraannya.
Pemilihan sampel rumah tangga didasarkan pada hasil pendaftaran rumah
tangga di masing-masing RT. Perhitungan interval sampel dan pemilihan angka
random pertama (R1) untuk pemilihan sampel rumah tangga dilakukan pada
setiap RT terpilih. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung
Page 30
(tatap muka) antara pencacah dengan responden dengan menggunakan
kuesioner. Responden dari rumah tangga terpilih adalah kepala rumah tangga,
suami/istri, atau anggota rumah tangga lain yang mengetahui secara persis
karakteristik rumah tangga bersangkutan.
2.1.1.6 Indikator Kemiskinan
Ada beberapa macam ukuran yng seringkali digunakan sebagai indikator
kemiskinan, antara lain: tingkat konsumsi beras per kapita per tahun, tingkat
pendapatan, Indeks Kesejahteraan Rakyat, dan Indeks Kemiskinan Manusia
(IKM). (Arsyad, 2010:303)
1. Tingkat Konsumsi Beras
Sajogyo (dalam Arsyad, 2010:303) menggunakan tingkat konsumsi beras per
kapita sebagai indicator kemiskinan.untuk daerah pedesaan, penduduk
dengan konsumsi beras kuarng dari 240 kg per kapita per tahun dapat
digolongkan sebagai penduduk miskin. Sedangkan untuk daerah perkotaan
adalah 360 kg per kapita per tahun.
2. Tingkat pendapatan
Adanya perbedaan yang cukup mencolok pada penetapan garis kemiskinan
antara daerah perdesaan dan perkotaan kiranya dapat dimengerti karena
dinamika kehidupan yang berbeda antara keduanya (desa dan kota).
Penduduk di daerah perkotaan mempunyai kebutuhan yang relatif sangat
beragam dibandingkan dengan daerah perdesaan, sehingga mempengaruhi
pula pola pengeluaran mereka. Hal ini merupakan pengaruh tingkat
pendapatan yang ada di desa maupun kota, tentunya wilayah perkotaan
memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi daripada pedesaan.
3. Indikator Kesejahteraan Rakyat
Selain data pendapatan dan pengeluaran, ada pula berbagai komponen
tingkat kesejahteraan lain yang sering digunakan. indikator kesejahteraan
Page 31
rakyat pada masing-masing negara tentunya berbeda-beda. Dinegara maju
indikator kesejahteraan rakyat tentunya lebih spesifik dibandingkan dinegara
miskin dan berkembang. Dinegara miskin komponen kesejahteraan mungkin
meliputi sandang, pangan, dan papan. Sedangkan di Negara Maju bisa
meliputi komponen kesehatan, jaminan sosial, konsumsi makanan dan gizi,
pendidikan, dan perumahan.
4. Indeks Kemiskinan Manusia
Indeks ini diperkenalkan oleh UNDP (United Nations Development Program)
dalam salah satu laporan tahunannya, Human Development Report (1997).
Indeks ini terlahir karena ketidakpuasan UNDP dengan indikator pendapatan
per dolar per hari yang digunakan oleh Bank Dunia sebagai tolak ukur
kemiskinan disuatu wilayah (negara). Dengan indeks ini UNDP berusaha
mengganti ukuran kemiskinan dari segi pendapatan (Bank Dunia) dengan
ukuran dari segi kualitas hidup manusia.
2.1.1.6 Pengukuran Kemiskinan
Kesejahteraan merupakan tujuan utama dari pembangunan ekonomi
yang dilakukan dalam suatu negara. Salah satu ukuran kesejahteraan adalah
rendahnya tingkat kemiskinan yang ada dalam suatu negara. Sehingga
diperlukan ukuran kemiskinan yang tepat, untuk mengetahui keberhasilan dari
pembangunan ekonomi. Ukuran kemiskinan juga penting untuk melihat
apakah kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah telah tercapai.
Sen (dalam Maipita, 2014: 116) mengusulkan pendekatan aksiomatik
(yang terdiri dari tiga aksioma) dalam pengukuran kemiskinan. Melalui
aksioma ini, Sen berpendapat bahwa ukuran kemiskinan harus peka terhadap
tingkat ketimpangan pendapatan diantara orang miskin. Ukuran kemiskinan
harus berbanding lurus dengan tingkat ketimpangan di kalangan orang miskin
Page 32
itu sendiri. Artinya ukuran kemiskinan harus meningkat ketika ketimpangan
diantara mereka yang miskin meningkat dan menurun ketika ketimpangan
menurun. Aksioma tersebut adalah :
1. Fokus, menurut aksioma ini bahwa ukuran kemiskinan harus sepenuhnya
fokus pada tingkat pendapatan orang miskin.
2. Monoton (monotonicity), bahwa ketika terjadi penurunan tingkat pendapatan
pada keluarga miskin, maka indeks kemiskinan harus mengalami
peningkatan.
3. Transfer, bahwa kemiskinan harus meningkat bila ada transfer pendapatan
yang regresif, dan menurun bila ada transfer pendapatan yang progresif.
2.1.2 Teori Barang Publik
Barang publik (public goods) merupkan barang-barang yang tidak dapat
dibatasi siapa penggunanya dan sebisa mungkin bahkan seseorang tidak perlu
mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya. Barang publik adalah barang yang
apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang
lain akan barang tersebut. Makna βgoodsβ tidak hanya menyangkut barang yang
bersifat tangible saja tetapi juga meliputi jasa atau layanan yang bersifat
intangible. Barang publik memiliki sifat non-rival dan non-eksklusif. Barang publik
murni memiliki dua sifat berikut (Hyman et.al, 2010).
1. Non-excludability (tanpa dikecualikan) : Jika kepentingan publik
diberikan, konsumen tidak dapat dikecualikan dari konsumsi.
Penggunaan satu konsumen terhadap satu barang tidak akan
mengurangi kesempatan konsumen lain untuk mengkonsumsi barang
tersebut. Setiap orang dapat mengambil manfaat dari barang tersebut
tanpa mempengaruhi manfaat yang diperoleh orang lain. Contoh,
dalam kondisi normal, apabila kita menikmati udara bersih dan sinar
Page 33
matahari, orang-orang disekitar kita pun tetap dapat memperoleh
manfaat yang sama
2. Nonrivalry (tanpa persaingan) : Konsumsi barang publik oleh salah
satu konsumen tidak mengurangi jumlah yang tersedia untuk
dikonsumsi oleh konsumen lainnya. Jika suatu barang publik tersedia,
maka tidak ada yang dapat menghalangi siapapun untuk memperoleh
manfaat dari barang tersebut. Dalam konteks pasar, maka baik
mereka yang membayar maupun tidak membayar dapat menikmati
barang tersebut. Contoh, masyarakat membayar pajak kemudian
diantaranya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan jasa
kepolisian, dapat menggunakan jasa kepolisian tersebut tidak hanya
terbatas pada yang membayar pajak saja. Mereka yang tidak
membayar pun dapat mengambil manfaat atas jasa tersebut.
Singkatnya, tidak ada yang dapat dikecualikan (excludable) dalam
mengambil manfaat atas barang publik.
Barang publik adalah barang milik pemerintah yang dibiayai oleh
pemerintah melalui belanja negara tanpa melihat siapa yang melaksanakan
pekerjaannya (Mangkoesoebroto, 2001). Contohnya adalah jalan raya,
pertahanan nasional, pekerjaan umum dan yang lainnya. Dalam
perkembangannya terdapat beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli
tentang penyediaan barang publik oleh pemerintah.
1. Teori Pigou
Pigou menjelaskan bahwa barang publik harus disediakan sampai
dimana kepuasan marginal akan barang publik sama dengan
ketidakpuasan marginal akan pajak yang dipungut untuk membiayai
program pemerintah untuk menyediakan barang publik. Namun teori
Page 34
Pigou masih memiliki kelemahan, yaitu teori ini didasarkan kepada rasa
kepuasan dan ketidakpuasan yang tidak dapat diukur secara kuantitatif.
2. Teori Bowen
Teori Bowen didasarkan pada teori penentuan harga sepertinya halnya
pada barang swasta. Bowen menjelaskan bahwa barang publik adalah
barang yang dimana pengecualian tidak dapat ditetapkan. Jadi ketika
pemerintah telah menyediakan barang publik maka tidak ada seorang
pun yang bisa dikecualikan dari barang tersebut. teori Bowen
menggunakan analisis permintaan dan penawaran merupakan sebuah
kelemahan, karena pada barang publik tidak ada pengecualian untuk
setiap masyarakat yang menyebabkan tidak adanya kurva permintaan.
3. Teori Erick Lindahl
Erick lindahl mengemukakan pendapat yang mirip dengan pendapat dari
bowen. Namun dalam teori Erick lindahl pembayaran masing-masing
konsumen tidak dalam bentuk harga absolut tetapi berupa presentase
dari total biaya penyediaan barang publik. Kelemahan teori Erick lindahl
juga sama dengan teori Bowen yaitu karena barang publik tidak dapat
dikecualikan pada setiap individu manapun maka kurva permintaan tidak
dapat terbentuk.
4. Teori Samuelson
Samuelson menyatakan bahwa adanya barang yang mempunyai dua
karakteristik yaitu non-exclusionary dan nonrivarly, tidak berarti
perekonomian tidak bisa mencapai kondisi tingkat kesejahteraan
masyarakat yang optimal. Namun teori Samuelson juga masih memiliki
beberapa kelemahan, salah satunya yaitu pemerintah masih kesulitan
dalam menentukan biaya yang harus dibayarkan oleh masyarakat karena
penentuan biaya didasarkan rasa kepuasan dari masyarakat.
Page 35
5. Teori Anggaran
Teori ini menjelaskan bahwa pemungutan biaya atas penggunana barang
publik harus dengan jumlah yang sama, yaitu sesuai dengan penentuan
harga pada barang swasta. Kelemahan dari teori ini, yaitu digunakannya
kurva indiferens sebagai alat analisis yang baik dari segi teori akan tetapi
kurang bermanfaat untuk aplikasi penggunaannya dalam kenyataan
sehari-hari.
Sebagaimana air merupakan barang publik
2.1.3 Teori Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu variabel yang termasuk
dalam identitas pendapatan nasional yang sekaligus mencerminkan penawaran
agregat. Konsep identitas pendapatan nasional dapat ditulis dengan formula
sebagai berikut :
Y = C + I + G + (x β m)
Variabel di sisi kanan (C, I, G, x, dan m) merupakan permintaan agregat.
Pengeluaran pemerintah disini dilambangkan dengan huruf G (Goverment
expenditure), sedangkan C adalah konsumsi, kemudian I adalah investasi, dan (x
β m) adalah net ekspor. Dengan memperhatikan nilai G dan Y dari waktu ke
waktu dapat diketahu seberapa besar peran pemerintah dalam menigkatkan
pendapatan nasional. Pengeluaran pemerintah Indonesia diatur dalam UU No.
35 tahun 2000. Di dalam Undang Undang tersebut disebutkan bahwa pengeluran
pemerintah dibagi dalam 2 jenis, yaitu :
1. Pengeluaran Rutin, yang termasuk pengeluaran rutin pemerintah adalah
semua pengeluaran yang dikeluarkan oleh negara untuk biaya kegiatan
operasional pemerintah pusat (belanja pegawai, belanja barang dan berbagai
Page 36
macam subsidi), serta pembayaran bunga hutang dalam negeri dan hutang luar
negeri. Anggaran pengeluaran rutin berperan sebagai penunjang kelancaran
jalannya pemerintahan. Dalam menunjang jalannya pemerintahan, pengeluaran
rutin pemerintah memiliki peran yang sangat penting. Pengeluran rutin
pemerintah ditujukan untuk menjaga kelancaran operasional pemerintahan,
membayar beban kewajiban pihak ketiga, pemeliharaan aset negara, serta
perlindungan masyarakat miskin melalui subsidi.
2. Pengeluaran pembangunan, yang termasuk pengeluaran pembangunan
adalah semua pengeluaran Negara digunakan membiayai proyek-proyek
pembangunan fisik maupun non fisik yang dibebankan pada anggaran belanja
Pemerintah Pusat. Dana yang digunakan dalam pengluaran ini nantinya
dialokasikan ke sektor yang sesuai dengan prioritas pemerintah,
Suparmoko (2003) menjelaskan bahwa pengeluaran pemerintah dapat dinilai
dari berbagai segi sehingga dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Pengeluaran pemerintah itu merupakan investasi yang menambahkan
kekuatan dan ketahanan ekonomi di masa-masa yang akan datang.
2. Pengeluaran langsung memberikan kesejahteraan dan kegembiraan bagi
masyarakat.
3. Merupakan penghematan pengeluaran yang akan datang.
4. Menyediakan kesempatan kerja lebih banyak dan penyebaran tenaga beli
yang lebih luas.
Berdasarkan penilain tersebut dapat dibedakan menjadi bermacam-macam jenis
pengeluaran pemerintah (Suparmoko, 2003)
1. Belanja yang self liquidating sebagian atau seluruhnya yaitu belanja
pemerintah yang berupa pemberian jasa kepada masyarakat yang pada akhirnya
adanya pembayaran kembali dari masyarakat yang menerima jasa-jasa tersebut.
Page 37
misalnya pengeluaran untuk jasa-jasa negara atau untuk proyek produktif barang
ekspor.
2. Belanja pemerintah yang bersifat reproduktif, artinya mewujudkan keuntungan-
keuntungan ekonomi bagi masyarakat, dengan naiknya tingkatan penghasilan
dan sasaran pajak yang lain yang akhirnya menaikkan penerimaan pemerintah.
Misalnya pengeluaran untuk bidang pendidikan, pengairan, pertanian dan yang
lainnya
3. Belanja yang tidak self liquidating maupun yang tidak reproduktif yaitu belanja
yang langsung menambah kesejahteraan masyarakat. Misalnya belanja untuk
monumen dan taman rekreasi.
4. Belanja yang secara langsung tidak produktif dan merupakan pemborosan.
Misalnya: untuk pembiayaan pertahanan dan perang.
5. Belanja untuk penghematan di masa depan (Suparmoko, 2003)
2.1.3.1 Model perkembangan pengeluaran pemerintah
Teori tentang model perkembangan pengeluaran pemerintah
diperkenalkan oleh Rostow dan Musgrave. Teori ini menjelaskan bahwa
perkembangan pengeluaran pemerintah memiliki hubungan dengan tahap
pembangunan ekonomi yang dimulai dengan tahap awal, menengah dan tahap
lanjutan. Pada tahap pembangunan ekonomi awal, pemerintah memiliki peran
dengan presentase yang besar karena harus melakukan penyediaan fasilitas
yang masih belum ada seperti transportasi, pendidikan dan kesehatan.
Selanjutnya pada tahap menengah peran pemerintah masih tetap ada dalam
melakukan pembangunan ekonomi, namun di tahap ini pihak swasta mulai
memberikan kontribusinya dalam pelaksanaan pembangunan. Namun disini
pemerintah harus melakukan penyeimbangan peran antara pihak swasta dan
Page 38
pihak pemerintah. Jika peran swasta terlalu besar maka akan banyak
menimbulkan kegagalan pasar.
Pada tahap selanjutnya Musgrave memilki pendapat bahwa peran swasta dalam
kontribusi GNP akan semakin besar dan kontribusi pengeluaran pemerintah
terhadap GNP akan semakin kecil. Rostow menambahkan bahwa pengeluaran
pemerintah akan dialihkan pada penyediaan sarana untuk aktivitas sosial. Dalam
tahap ini peran pihak swasta akan semakin tinggi dalam memberikan kontribusi
terhadap GNP. Namun keseimbangan peran antara pihak swasta dan pihak
pemerintah harus tetap dijaga agar tidak terjadi kegagalan pasar. Ketika
konsumen dan produsen tidak lagi mau menanggung biaya atau menghasilkan
keuntungan secara penuh dari transaksi yang mereka lakukan maka dikatakan
telah terjadi kegagalan pasar.
Adolf Wegner (Mangkoesoebroto, 2001) menyebutkan bahwa campur
tangan pemerintah dalam bentuk pengeluaran yang digunakan untuk mendorong
pembangunan ekonomi semakin lama akan semakin meningkat. Wegner juga
menyebutkan bahwa semakin tinggi pendapatan perkapita masyarakat maka
pengeluaran pemerintah akan semakin meningkat. Hal ini berkaitan dengan
tugas pemerintah yang mengharuskan untuk memenuhi permintaan masyarakat
dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Hukum wegner ini sering dikenal
dengan βThe Law of Expanding State Expenditureβ Semakin besar pendapatan
perkapita masyarakat, maka semakin besar pula kebutuhan hidup yang ingin
dipenuhi.
Sementara itu Peacock dan Wiseman mengemukakan teori tentang
pengeluaran pemerintah, teori ini didasarkan pada analisis pengeluaran dan
penerimaan pemerintah. Pemerintah menaikkan pajak untuk membiayai
pengeluaran pemerintah yang semakin besar, sementara itu di pihak masyarakat
Page 39
menganggap bahwa pajak yang terlalu tinggi akan menambah pengeluaran
mereka. Masyarakat juga memiliki batas toleransi pajak, batas toleransi tersebut
adalah dimana masyarakat masih memahami besarnya pajak yang ditetapkan
pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Batas toleransi ini
merupakan suatu hambatan untuk pemerintah dalam menaikkan pajak dengan
berlebihan. Pertumbuhan ekonomi menyebabkab pemerintah menaikkan
pungutan pajak, dan peningkatan penerimaan pemerintah dari pajak tersebut
menyebabkan pengeluaran pemerintah semakin meningkat. Oleh karena itu
peningkatan GNP akan menyebabkan pengeluaran pemerintah semakin
meningkat, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar
(Mangkoesoebroto, 1998).
2.1.3.2 Pengeluaran Pemerintah dan Kemiskinan
Salah satu kebijakan yang terkait dengan distribusi pendapatan dan
kemiskinan adalah kebijakan fiscal atau kebijakan anggaran. Wujud dari
kebijakan ini dapat dilihat dari perkembangan pendapatan dan belanja negara
(APBN). Disamping itu, anggaran publik yang menegaskan prinsip pro-poor juga
memiliki landasan konstitusional yang kuat. Landasan filosofi keuangan publik
yang dianut oleh Republik Indonesia adalah kedaulatan rakyat dan bukan hanya
perwujudan pengelolaan keuangan negara. Oleh karenanya pengalokasian
anggaran harus didasarkan pada prinsip keberpihakan, yaitu keberpihakan pada
masyarakat yang terpinggirkan secara sosial, ekonomi, politik, maupun budaya.
Jika proses penganggaran negara dan daerah bervisi pro-poor, maka angaran
publik yang berpihak pada kaum miskin (pro-poor budget) menjadi instrumen
politik terpenting dalam pengurangan kemiskinan. Disinilah politik anggaran
menempati posisi penting dalam mensejahterakan rakyat.
Page 40
Dari sisi pengeluaran, penurunan kemiskinan dan redistibusi pendapatan
diimplementasikan melalui tiga instrument alokasi anggaran pemerintah, yaitu (1)
subsidi langsung atau subsidi individu yang ditargetkan pada rumah tangga
berpendapatan rendah, (2) subsidi harga, subsidi yang dialokasikan untuk
komoditi yang digunakan oleh rumah tangga menjadi lebih murah terutama untuk
kebutuhan pokok , dan (3) pengeluaran langsung pemerintah terhadap
pelayanan publik dan infrastruktur terutama dalam meningkatkan kesejahteraan,
kesehatan, dan pendidikan, yang diutamakan bagi kelompok rumahtangga yang
berpendapatan rendah.
2.1.4 Pendapatan
Berdasarkan BPS (2016) Pendapatan rumah tangga adalah pendapatan
yang diterima oleh rumah tangga bersangkutan baik yang berasal dari
pendapatan kepala rumah tangga maupun pendapatan anggota-anggota rumah
tangga. Pendapatan rumah tangga dapat berasal dari balas jasa faktor produksi
tenaga kerja (upah dan gaji, keuntungan, bonus, dan lain lain), balas jasa kapital
(bunga, bagi hasil, dan lain lain), dan pendapatan yang berasal dari pemberian
pihak lain (transfer). Sedangkan menurut Mankiw (2016) pendapatan ini dibagi
menjadi dua yaitu nominal dan riil. Secara definisi pendapatan nominal adalah
pendapatan yang dihitung dengan harga yang berlaku. Sedangkan pendapatan
riil adalah Pendapatan Riil adalah pendapatan yang dihitung dengan harga
konstan (mendasarkan pada harga tahun tertentu yang dijadikan tahun dasar).
Pendapatan merupakan faktor internal seseorang untuk melakukan kegiatan
konsumsi seperti yang disebutkan oleh Kotler (2002) bahwa tingkat pendapatan
mempengaruhi bagaimana seseorang melakukan kegiatan konsumsi.
Menurut Kotler (2002), keputusan pembelian adalah tindakan dari
konsumen untuk mau membeli atau tidak terhadap produk. Dari berbagai faktor
Page 41
yang mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian suatu produk atau
jasa, biasanya konsumen selalu mempertimbangkan kualitas, harga dan produk
sudah yang sudah dikenal oleh masyarakat Sebelum konsumen memutuskan
untuk membeli, biasanya konsumen melalui beberapa tahap terlebih dahulu
yaitu, (1) pengenalan masalah, (2) pencarian informasi. (3) evaluasi alternatif, (4)
keputusan membeli atau tidak, (5) perilaku pascapembelian. Pengertian lain
tentang Keputusan pembelian menurut Schiffman dan Kanuk (2000: 437) adalah
βthe selection of an option from two or alternative choiceβ. Dapat diartikan,
keputusan pembelian adalah suatu keputusan seseorang dimana dia memilih
salah satu dari beberapa alternatif pilihan yang ada.
Menurut konsep Millenium Development Goals (MDGs), pendapatan
merupakan parameter utama seseorang dianggap mencapai taraf hidup baik
atau tidak (BPS, 2016). Secara utuh MDGs menyebutkan bahwa Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) sebagai dasar pengukuran perbandingan
kesejahteraan masyarakat di dunia. IPM menjelaskan bagaimana penduduk
dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan,
kesehatan, pendidikan, dan sebagainya (BPS, 2016). IPM diperkenalkan oleh
United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990 dan
dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human Development
Report (HDR). Indeks IPM berusaha menyusun peringkat semua negara pada
skala nol (kinerja pembangunan manusiaterendah) hingga satu (kinerja
pembangunanmanusia tertinggi) berdasarkan tiga kriteria atau hasil akhir
pembangunan, yaitu: (1) Ketahanan hidup yang diukur berdasarkan harapan
hidup saat kelahiran; (2) Pengetahuan yang dihitung berdasarkan tingkat rata-
rata melek huruf di kalangan penduduk dewasa dan angka rata-rata masa
sekolah dan (3) Kualitas standar hidup yang diukur berdasarkan pendapatan per
Page 42
kapita riil yang disesuaikan dengan paritas dayabeli (PPP, Purchasing Power
Parity) (Rizki 2007).
2.1.5 Lokasi Tempat Tinggal
Lokasi tempat tinggal merupakan salah satu faktor dalam mendapatkan
air bersih. Konsep keputusan pembelian oleh Kotler (2002) bahwa dalam
permintaan barang faktor yang terlibat di dalamnya tidak hanya harga tapi juga
sisi dimensi lainnya, seperti jarak tempuh, bentuk daerah, kesamaan bahasa dan
lain-lain. hal tersebut juga terjadi pada permintaan air bersih.
Permintaan air bersih dipengaruhi salah satunya adalah lokasi. Lokasi
suatu tempat menentukan bagaimana air itu diminta. Seperti yang dikatakan oleh
Raksanagara (2017) bahwa penggunaan air bersih pada masyarakat kumuh
permintaan air bersih rendah diakibatan oleh hambatan lingkungan. Sedangkan
permintaan air bersih di daerah perkotaan didorong oleh rasa pentingnya
menggunakan air bersih, dengan kata lain tingkat pendidikan. Lokasi tempat
tinggal pada dasarnya merupakan faktor utama pendorong bagaimana
seseorang berperilaku (Kotler, 2002). Dorongan dalam berperilaku tersebut yang
menyebabkan keputusan-keputusan utama dalam melakukan tindakan, termasuk
tindakan ekonomi.
2.1.6 Analisis Regresi Logistik
Model regresi logistik mulai berkembang sejak tahun 1961 dan
merupakan metode dasar untuk analisis data berskala biner (Hosmer dan
Lemeshow, 1989). Bila peubah respons Y menghasilkan dua kategori βyaβ atau
βtidakβ (Y=1 atau Y=0), maka dapat dianggap peubah Y mengikuti sebaran
Bernoulli untuk setiap observasi dengan fungsi peluang :
( ) ( ) ii yi
yiiiyf ββ= 11 ΟΟΟ
Page 43
Model peluang regresi logistik dengan p peubah penjelas X yang masing-
masing kontinu, dapat dinyatakan sebagai berikut :
P(Y = 1|xi) =
dimana 0 β€ Ο(x) β€ 1
Interpretasi: Peluang kejadian tertentu dari peubah respons kategori jika
kejadian Xi
Analisis regresi menurut Montgomery dan Peck (1992) adalah suatu
analisis statistika yang memanfaatkan hubungan antara dua variabel atau lebih.
Umumnya analisis ini digunakan untuk melihat hubungan dan pengaruh variabel
prediktor terhadap variabel respon dimana variabel responnya berupa data
kuantitatif. Namun untuk variabel respon yang bersifat kualitatif/kategori dapat
dianalisis menggunakan metode regresi logistik. Hosmer dan Lemeshow (2000)
mengatakan bahwa metode regresi logistik adalah suatu metode analisis
statistika yang mendeskripsikan hubungan antara variabel respon yang memiliki
dua kategori atau lebih dengan satu atau lebih variabel prediktor. Analisis regresi
logistik merupakan analisis yang digunakan untuk memprediksi hasil dari variabel
terikat yang bersifat kategori berdasarkan satu atau lebih variabel bebas (Liu et
al., 2013: 197). Salah satu model regresi logistik adalah regresi logistik biner.
Model regresi logistik biner merupakan metode regresi logistik yang digunakan
untuk menganalisis hubungan antara satu variabel respon dan beberapa variabel
prediktor, dengan variabel responnya berupa data kualitatif dikotomi yaitu bernilai
1 untuk menyatakan keberadaan sebuah karakteristik dan bernilai 0 untuk
menyatakan ketidakberadaan sebuah karakteristik. Model regresi logistik biner
menggunakan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) dan Newton-
Rhapson untuk menghitung koefisien model binary logistic (Nawari, 2010).
Page 44
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu digunakan oleh penulis sebagai acuan dalam
melakukan peneltian ini. Penelitian terdahulu ini berupa jurnal nasional maupun
internasional yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Bagian yang diacu
dari penelitian terdahulu adalah metode dan hasil penelitian. Tinjauan mengenai
penelitian terdahulu dilakukan sebagai upaya membedakan sebuah penelitian
dengan penelitian sebelumya, selain itu studi terdahulu juga bertujuan untuk
mengetahui bangunan keilmuan yang sudah diletakkan oleh orang lain, sehingga
penelitian yang akan dilakukan benar-benar baru dan belum diteliti oleh orang
lain (Gumilar, 2011).
Penelitian terdahulu yang digunakan sebagai referensi bagi penulis, yang
bertujuan untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut: Penelitian pertama yaitu dilakukan oleh Heru Syah Putra dan Nanang
Rianto pada tahun 2017 dengan judul Pengaruh Akses Air Bersih terhadap
Kemiskinan di Indonesia: Pengujian Data Rumah Tangga. Variabel yang
digunakan adalah Pendapatan RT, kemiskinan, karakter RT (pendidikan dan
kepemilikan aset). Hasil penelitian tersebut adalah RT yang tidak memiliki akses
terhadap fasilitas air bersih memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah
sebesar 17,17 persen dibandingkan RT yang memiliki akses air bersih.
Kemungkinan menjadi RT miskin juga lebih tinggi besar 1,29 persen pada RT
yang tidak memiliki akses air bersih.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Syamsir Nur pada tahun 2017 dengan judul
Analisis Pembiayaan Dan Penerapan Corporate Governance Yang Pro Poor
(Studi Pada Penyediaan Air Bersih Di Provinsi Sulawesi Tenggara). Variabel
yang digunakan adalah Pembiayaan infrastruktur (X1),Corporate
governance(X2), pro poor(Y2), kinerja pelayanan publi (Y1). Menggunakan
Page 45
Metode Partial Least Square (PLS) dan metode kualitatif. Desain penelitian
menggunakan metode survey dengan pengumpulan data melalui teknik
dokumentasi dan wawancara. Hasil penelitiannya sebagai berikut (1)pembiayaan
infrastruktur PDAM dalam mengelola dan menyediakan air bersih mempengaruhi
kinerja pelayanan publik (publik services); (2) pembiayaan infrastruktur tidak
mampu menghasilkan pelayanan yang pro poor; (3) corporate governance
mempengaruhi kinerja pelayanan publik PDAM dalam mengelola dan
menyediakan air bersih; (4) penerapan corporate governance tidak mampu
menghasilkan pelayanan yang pro poor; (5) kinerja pelayanan publik PDAM
dalam mengelola dan menyediakan air bersih menghasilkan pelayanan yang pro
poor; (6) strategi pembiayaan yang konvensional berupa penyertaan modal
pemerintah daerah, pembiayaan internal dan pinjaman (utang) masih menjadi
strategi pembiayaan utama yang ditempuh oleh PDAM dalam mengelola dan
menyediakan air bersih, sedangkan strategi pembiayaan lainnya berupa
kerjasama dengan pihak ketiga belum ditempuh padahal strategi ini dapat
mengisi gap pembiayaan atas terbatasnya kemampuan fiskal pemerintah daerah
dan keterbatasan pendapatan PDAM.
Penelitian selanjutnya oleh Novrian Satria Perdana pada tahun 2015
dengan judul Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Aksesibilitas
Memperoleh Pendidikan Untuk Anak-Anak Di Indonesia. Variabel yang
digunakan adalah aksesibilitas memperoleh pendidikan bagi anak-anak di
Indonesia, Jenis kelamin anak, Wilayah tempat tinggal, Latar belakang
pendidikan Ibu, Jarak ke sekolah, Usia perkawinan orang tua, Pendapatan per
kapita orangtua, Jumlah anggota rumah tangga. Menggunakan Metode an
softwaregresi logit dengre pengolah data STATA. Dengan model ini mampu
memprediksi aksesibilitas anak memperoleh pendidikan serta variabel terikatnya
Page 46
dapat dipengaruhi oleh variabel-variabel bebasnya sebesar 89,93 persen. Dapat
disimpulkan bahwa anak perempuan yang bertempat tinggal di perkotaan, latar
belakang pendidikan Ibu yang semakin tinggi, jarak ke sekolah yang dekat, orang
tua yang menikah di usia produktif, semakin besarnya pendapatan per kapita
rumah tangga, dan semakin sedikitnya jumlah anggota rumah tangga merupakan
faktorfaktor yang berpengaruh terhadap aksesibilitas memperoleh pendidikan
bagi anak-anak di Indonesia
2.3 Kerangka Pikir
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
H1: Diduga terdapat pengaruh signifikan antara pendapatan dengan akses air
minum bersih di Jawa Timur
H2: Diduga terdapat pengaruh signifikan antara lokasi tempat tinggal dengan
akses air minum bersih di Jawa Timur
Pendapatan RT Lokasi/ Daerah Tempat Tinggal
Akses air minum bersih masyarakat miskin
Page 48
35
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan tergolong penelitian deskriptif
kuantitatif. Margono dalam Darmawan (2014) menyatakan bahwa penelitian
kuantitatif adalah penelitian yang menggunakan data berupa angka sebagai alat
menemukan keterangan mengenai apa yang ingin diteliti. Sedangkan metode
deskriptif menurut Whitney dalam Moh. Nazir adalah pencarian fakta dengan
interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam
masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat, serta situasi- situasi
tertentu, termasuk tentang hubungan- hubungan, kegiatan- kegiatan, sikap-
sikap, pandangan- pandangan, serta proses- proses yang sedang berlangsung
dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena (Nazir, 2003). Metode Deskriptif
atau Survey Deskriptif, untuk menggambarkan mengapa ada fenomena itu
terjadi. Penelitian deskriptif kuantitatif merupakan penelitian yang bertujuan
menjelaskan fenomena yang ada dengan menggunakan angka-angka untuk
mencandarkan karakteristik individu atau kelompok (Syamsudin & Damiyanti:
2011). Penelitian ini menilai sifat dari kondisi-kondisi yang tampak. Tujuan dalam
penelitian ini dibatasi untuk menggambarkan karakteristik sesuatu sebagaimana
adanya.
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan analitik. Analisis deskriptif
bertujuan untuk memberikan gambaran variabel yang diteliti, sedangkan analisis
analitik digunakan dalam pengolahan data dengan melakukan analisis terhadap
sampel penelitian untuk mengetahui hubungan antar variabel dengan
menggunakan uji statistik regresi logistik biner secara univariat dan multivariat.
Page 49
36
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah pada tahun 2016,
sedangkan tempat penelitian adalah Provinsi Jawa Timur. Pengambilan periode
tersebut dikarenakan data terbaru dari Survei Sosial Ekonomi Nasional yang
tersedia. Alasan peneliti mengambil Provinsi Jawa Timur sebagai objek
penelitian, karena tingkat kemiskinan di Jawa Timur paling tinggi dan terbanyak
dibandingkan provinsi lain di Indonesia yaitu sebesar 4.700.330 jiwa penduduk
miskin.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Pada penelitian diperlukan data-data sebagai sumber informasi yang
berguna untuk menunjang hasil penelitian. Data yang diperlukan dalam
penelitian ini merupakan jenis data sekunder, yaitu data sumber air utama yang
digunakan rumah tangga untuk minum, jarak sumber air minum ke Tempat
Penampungan Limbah/Kotoran/Tinja Terdekat, rata-rata pengeluaran per kapita
sebulan RT, klasifikasi desa dan keluharan terdiri dari desa dan kota.
Untuk sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh
secara tidak langsung melalui media perantara, baik melalui publikasi data
lembaga atau instansi tertentu yang dipublikasikan melalui website lembaga
terkait (Indriantoro dan Supomo, 2002). Data dalam penilitian ini bersifat cross
section dikarenakan disusun berdasarkan satu waktu, dan penulis menggunakan
data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dari hasil Survei
Sosial dan Ekonomi (SUSENAS) 2016 di situs www.bps.go.id.
Page 50
37
3.4 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian
Menurut Kuncoro (2003), variabel adalah suatu yang dapat membedakan
atau mengubah nilai, sedangkan nilai dapat berbeda pada waktu yang berbeda
untuk objek atau orang yang sama, atau nilai dapat berbeda dalam waktu yang
sama untuk objek atau orang yang berbeda. Variabel dalam sebuah penelitian
merupakan hal yang paling mutlak, karena fungsi daripada variabel tersebut
adalah untuk menjelaskan keberadaan fokus serta topik dari penelitian tersebut.
Definisi operasional merupakan informasi ilmiah yang akan membantu
peneliti lain ketika ingin melakukan sebuah penelitian dengan menggunakan
variable yang sama, karena berdasarkan informasi yang telah tersedia, peneliti
lain dapat melakukan penelitian terhadap variabel dengan cara yang dibangun
berdasarkan konsep yang sama. Dengan demikian, peneliti dapat menentukan
arah penelitianya apakah akan menggunakan prosedur penelitian yang sama,
atau diperlukan prosedur yang baru.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Variabel Tak Bebas (Variabel Dependen)
Merupakan variabel yang besarannya dipengaruhi oleh variabel lain.
Variabel tak bebas dalam penelitian ini yaitu aksebilitas memperoleh air
minum bersih bagi Rumah Tangga (RT) di 38 kabupaten/ kota di Jawa
Timur (Y). Variabel terikat ini menggunakan variabel dummy, yaitu
variabel yang di nyatakan dalam bentuk kode binomial yaitu nol dan satu.
Dummy variabel terikat di definisikan jika sebuah RT memiliki akses
memperoleh air minum bersih, yaitu, jika sumber air utama yang
digunakan rumah tangga untuk minum adalah air kemasan, air isi ulang,
dan leding meteran, leding eceran, sumur bor/pompa, sumur terlindung
serta mata air terlindung dengan jarak ke Tempat Penampungan
Page 51
38
Limbah/Kotoran/Tinja Terdekat β₯ 10 meter maka dinyatakan dalam angka
satu (kode 1). Jika sebuah rumah tangga tidak memiliki akses
memperoleh air minum bersih dimana sumber air utama yang digunakan
RT untuk minum adalah sumur tak terlindung, mata air tak terlindung, air
permukaan seperti (sungai/danau/waduk/kolam/irigasi), air hujan, dan
lainnya maka dinyatakan dalam angka nol (kode 0).
2. Variabel Bebas (Variabel Independen)
Variabel bebas adalah variabel yang variasi nilainya tidak dipengaruhi
oleh variasi nilai variabel lain, namun akan mempengaruhi variabel
lainnya. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah:
a. Pendapatan (X1)
Variabel pendapatan adalah rata-rata pendapatan per kapita
sebulan RT. Dimana variabel pendapatan ini dikelompokkan dalam
dua jenis yaitu miskin dan tidak miskin berdasarkan garis kemiskinan
yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 yaitu
sebesar Rp 321.761,00. Jika pendapatan > Rp 321.761,00 yaitu tidak
miskin maka kode 1 dan jika pendapatan < Rp 321.761,00 yaitu
miskin maka kode 0
b. Lokasi tempat tinggal (X2)
Variabel lokasi/ wilayah tempat tinggal diambil dari datahasil
SUSENAS 2016 yaitu variabe tipe daerah. Untuk menetukan apakah
suatu desa tertentu termasuk daerah perkotaan atau pedesaan
digunakan suatu indikator komposit (indikator gabungan) yang skor atau
nilainya didasarkan pada skor atau nilai-nilai tiga buah variabel :
kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan akses ke
fasilitas umum. Variabel lokasi tempat tinggal adalah klasifikasi desa dan
Page 52
39
keluharan terdiri dari desa dan kota yang berbentuk dummy. Jika RT
tersebut tinggal di kota maka kode 1, jika RT tinggal di desa maka kode 0.
3.5 Populasi dan Penentuan Sampel
Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil dari Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sehingga
penentuan populasi dan penentuan sampel juga dilakukan oleh BPS. Penelitian
ini menggunakan data SUSENAS dengan unit analisis rumah tangga di 38
Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Timur, jumlah responden sebanyak 29.477
Rumah Tangga (RT).
3.6 Metode Pengumpulan Data
Penlitian ini menggunakan data sekunder, yaitu sumber data penelitian
didapatkan oleh peneliti secara tidak langsung, atau data yang diperoleh dari
sumber kedua yang memiliki informasi atau data yang digunakan (Idrus, 2007).
Keunggulan dari menggunakan data sekunder adalah lebih praktis dan tidak
memakan waktu yang terlalu lama dibandingkan dengan data primer, dan juga
pengumpulan data sekunder sudah pasti sangat terperinci karena
diselenggarakan dengan undang-undang dan sudah pasti keabsahanya (Cooper
dan Emory, 1996). Data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya
diperoleh dari pihak BPS. Peneliti menggunakan data dari Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS), yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
Indonesia pada tahun 2016. Berikut adalah identitas survei oleh BPS yang
digunakan sebagai data penelitian:
1. Nama Survei : Survei Sosial Ekonomi Nasional 2016 Maret (KOR)
2. Nomor ID Survei : 00-SUSENAS-2016-MARET-M1-KOR
Page 53
40
3.7 Metode Analisis
Berdasarkan tujuan dari penelitian ini, maka metode analisis data yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Ekonometrik Regresi Logit.
Penelitian ini menggunakan variabel dependen yang bersifat dikotomus yaitu
angka 1 dan 0. variabel terikat dalam penelitian ini adalah biner atau dikotomi ,
sedangkan variabel independen bersifat kontinyu atau kategori. Pada regresi
logistik biner, data variabel respon Y dan variabel prediktor / independen
dinotasikan dengan X. Apabila variabel respons Y terdiri dari dua kategori, yaitu
1 jika sukses dan 0 jika gagal, maka variabel respon Y mengikuti distribusi
Bernoulli, dengan fungsi probabilitas (Febriawan,2014).
3.7.1 Regresi Logistik
Menurut Stanislaus (2006), analisis regresi logistik digunakan untuk melihat
pengaruh sejumlah variabel independen x1,x2,...,xk terhadap variabel dependen
y yang berupa variabel kategorik (binomial, multinomial atau ordinal) atau untuk
memprediksi nilai suatu variabel dependen y (yang berupa variabel kategorik)
berdasarkan nilai variabelvariabel independen x1,x2,...,xk. Regresi Logistik Biner
(binary logistic regression), adalah regresi logistik dimana variabel dependennya
berupa variabel dikotomi atau variabel biner.
Regresi binary logistic sangat tepat digunakan untuk melakukan
pemodelan suatu kemungkinan kejadian dengan variabel respons bertipe
categorical dua pilihan. Nilai kemungkinan kejadian berada pada rentang 0-1. Hal
ini sangat berbeda dengan regresi linier biasa dimana nilai variabel dependen
(variabel respons) bisa bernilai < 0 atau > 1. Trihendradi ( dalam Aldilarachma,
2008). Penggunaan regresi logistik tidak mensyaratkan adanya multivariate
normal distribution karena tidak perlu asumsi normalitas data pada variabel
bebasnya (Ghozali, 2005)
Page 54
41
Dalam penelitian ini akan menggunakan model binary logit untuk
menganalisis akses air minum bersih masyarakat miskin di Provinsi Jawa Timur.
Penelitian ini menggunakan beberapa variabel dugaan yang menyebabkan
memperoleh akses air minum bersih seperti pengeluaran rata- rata sebulan RT
dan wilayah tempat tinggal. Berdasarkan variabel tersebut dibentuk model
ekonometrika regresi logistik biner sebagai berikut
π = π·π + π·ππΏπ + π·ππΏπ + π
Keterangan :
Y = Akses Air Minum Bersih
π½0= Konstanta
π½1,π½2= Koefisien
X1 = Pendapatan
X2 = Lokasi/ Wilayah Tempat Tinggal
Dimana jika Y = 1 berarti, RT memperoleh akses terhadap air minum bersih dan
Y = 0 berarti, RT tidak memperoleh akses terhadap air minum bersih
Page 55
42
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Provinsi Jawa Timur
4.1.1 Kondisi Geografis
Provinsi Jawa Timur merupakan satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa
selain Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi Jawa
Timur terletak pada 111,00 hingga 114,40 Bujur Timur dan 7,120 hingga 8,480
Lintang Selatan. Batas daerah, di sebelah utara berbatasan dengan Pulau
Kalimantan atau tepatnya dengan Provinsi Kalimantan Selatan. Di sebelah timur
berbatasan dengan Pulau Bali. Di sebelah selatan berbatasan dengan perairan
terbuka yaitu Samudera Hindia. Sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan
Provinsi Jawa Tengah. Secara umum, wilayah Provinsi Jawa Timur dibagi
menjadi 2 bagian besar yaitu Jawa Timur daratan dan Pulau Madura. Luas
wilayah Jawa Timur mencakup 90 persen dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa
Timur, sedangkan luas Pulau Madura hanya sekitar 10 persen. Luas wilayah
Provinsi Jawa Timur yang mencapai 47.799,75 km2 habis terbagi menjadi 38
Kabupaten/Kota, 29 Kabupaten dan 9 Kota. Peta pembagian administratif
kabupaten/ kota Provinsi Jawa Timur dapat di lihat pada gambar 4.1
Secara administratif Jawa Timur terbagi menjadi 29 kabupaten dan 9
kota, dengan Kota Surabaya sebagai ibukota provinsi. Ini menjadikan Jawa
Timur sebagai provinsi yang memiliki jumlah kabupaten/kota terbanyak di
Indonesia. Jawa Timur terbagi dalam 4 Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil ),
sebagai berikut Bakorwil I Madiun meliputi Kota Madiun, Kab. Madiun, Kab.
Magetan, Kab. Ponorogo, Kab. Ngawi, Kab. Trenggalek, Kab. Tulungagung, Kota
Page 56
43
Blitar, Kab. Blitar, dan Kab. Nganjuk. Bakorwil II Bojonegoro meliputi Kab.
Bojonegoro, Kab. Tuban, Kota Mojokerto, Kota Kediri, kab. Kediri, Kab.
Jombang, dan Kab. Lamongan. Bakorwil III Malang, meliputi Kota Malang, Kab.
Malang, Kota Batu, Kota Pasuruan, Kab. Pasuruan, Kota Probolinggo, kab.
Probolinggo, kab.Lumajang, kab. Jember, Kab. Bondowoso, Kab. Situbondo, dan
Gambar 4.1 Peta Wilayah Provinsi Jawa Timur
Sumber: BPS, 2016
Kab. Banyuwangi. Bakorwil IV Pamekasan meliputi, Kota Surabaya, Kab.
Sidoarajo, kab. Gresik, kab. Bangkalan, Kab. Sampang, Kab. Pamekasan, dan
kab Sumenep. 38 Kabupaten dan Kota diatas, semua daerah akan digunakan
sebagai sampel dalam perhitungan regresi.
Secara umum wilayah Jawa Timur terbagi dalam dua bagian besar, yaitu
Jawa Timur daratan hampir mencakup 90% dari seluruh luas wilayah Provinsi
Jawa Timur atau mencapai 47.157,72 kilometer persegi, dan wilayah Kepulauan
Madura yang sekitar 10% dari luas wilayah Jawa Timur. Di sebelah utara,
Provinsi Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa. Di sebelah timur berbatasan
dengan Selat Bali. Sebelah selatan berbatasan dengan perairan terbuka,
Page 57
44
Samudera Indonesia, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi
Jawa Tengah.
Panjang bentangan Barat-Timur Provinsi Jawa Timur sekitar 400
kilometer dan lebar bentangan utara-selatan sekitar 200 kilometer. Jawa Timur
memiliki wilayah kepulauan yang terdiri dari pulau bernama sebanyak 232 pulau,
pulau tanpa nama sebanyak 55 sehingga total keseluruhan pulau kecil yang
dimiliki Provinsi Jawa Timur sebanyak 287 pulau (Sumber : Departemen Dalam
Negeri Republik Indonesia, 2004). Pulau Madura adalah pulau terbesar di Jawa
Timur, di sebelah timur Pulau Madura terdapat gugusan pulau, paling timur
adalah Kepulauan Kangean, dan paling utara adalah Kepulauan Masalembu.
Pulau Bawean berada sekitar 150 kilometer sebelah utara pulau Jawa,
sedangkanbagian selatan meliputi pulau Nusa Barung, Sempu, Sekel dan
Panehan.
Kawasan pesisir dan laut Jawa Timur secara umum dapat dikelompokkan
menjadi kawasan pesisir utara, pesisir timur dan pesisir selatan. Kawasan pesisir
utara dan timur umumnya dimanfaatkan untuk transportasi laut, pelestarian
alam, budidaya laut, pariwisata dan pemukiman nelayan. Sedangkan
kawasan pesisir selatan, umumnya merupakan pantai terjal dan berhadapan
langsung dengan Samudera Hindia yang kondisi gelombang dan ombaknya
besar. Wilayah yang termasuk zona pesisir utara Jawa Timur adalah Kabupaten
Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo,
Situbondo, Pamekasan, Sampang, Bangkalan, Sumenep, dan Kota Pasuruan,
Probolinggo.
Wilayah yang masuk dalam zona pesisir timur adalah kabupaten
Banyuwangi. Sedangkan wilayah yang masuk dalam zona pesisir selatan adalah
Kabupaten Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, dan
Jember
Page 58
45
Berdasarkan struktur fisik dan kondisi geografis, Jawa Timur
dapatdikelompokkan sebagai berikut : (1) Bagian Utara dan Madura merupakan
daerah yang relatif kurang subur yang berupa pantai, dataran rendah dan
pegunungan; (2) Bagian Tengah merupakan daerah yang relatif subur; (3)
Bagian SelatanBarat merupakan pegunungan yang memiliki potensi tambang
cukup besar; (4) Bagian Timur pegunungan dan perbukitan yang memiliki potensi
perkebunan, hutan dan tambang.
Secara hidrologi wilayah Provinsi Jawa Timur terdiri dari air permukaan
dan air tanah. Air permukaan meliputi wilayah Sungai (WS), dan Waduk,
sedangkan air tanah berupa mata air. Pembagian WS di meliputi tujuh WS yaitu
WS Bengawan Solo, WS Brantas, WS Welang β Rejoso, WS Pekalen β
Sampean, WS Baru β Bajulmati, WS Bondoyudo β Bedadung, dan WS Madura.
Provinsi Jawa Timur memiliki 686 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
tercakup dalam wilayah sungai, WS Bengawan Solo memiliki 94 DAS, WS
Brantas memiliki 220 DAS, WS Welang β Rejoso memiliki 36 DAS, WS Pekalenβ
Sampean memiliki 56 DAS, WS Baru β Bajulmati memiliki 60 DAS, WS
Bondoyudo β Bedadung memiliki 47 DAS, dan WS Madura memiliki 173 DAS.
Selain Sungai, sumber daya air yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
air adalah waduk-waduk tersebar hampir di seluruh Jawa Timur. Jumlah Waduk
yang ada di Jawa Timur berjumlah 89 buah waduk.
Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah mata air yang cukup banyak dan
tersebar di seluruh Wilayah sungai. Berdasarkan data Pengairan dalam angka
dari tahun 2008, 2009, 2010, 2011, 2012,2013 jumlah mata air yang ada masih
tetap tidak mengalami perubahan yaitu sebanyak 4.389 mata air, yang memiliki
debit rerata tahunan yang sama yaitu 73,20 m3 /detik, serta memiliki volume
tahunan 2.308,57 m3.
Page 59
46
4.1.2 Kondisi Demografis Provinsi Jawa Timur
Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar kedua
di Indonesia, pada 2015 mencapai 38.847.561 jiwa, dengan laju pertumbuhan
0,61% (51% di antaranya adalah perempuan), dengan kepadatan 814 jiwa/km2)
dan pada tahun 2016 diproyeksikan mencapai 39.103.446 jiwa. Kepadatan
penduduk di kota umumnya lebih tinggi dibanding di kabupaten. Pada tahun
2015, Kota Surabaya memiliki kepadatan penduduk tertinggi, yakni 8.335
jiwa/km2, sekaligus mempunyai jumlah penduduk terbesar, yaitu 2.848.583 jiwa,
diikuti Kabupaten Malang yakni sejumlah 2.544.315 jiwa, dan Kabupaten Jember
sejumlah 2.407.115 jiwa (BPS Jatim, 2015).
Dalam kurun 2012-2016, rata-rata laju pertumbuhan penduduk mencapai
0,64% per tahun. Selama kurun waktu 2012-2016, laju pertumbuhan penduduk di
Jawa Timur terus mengalami penurunan. Pada tahun 2012, laju pertumbuhan
Jawa Timur mencapai 0,70% dan diproyeksikan akan terus menurun pada tahun
2016 yaitu hanya sebesar 0,59%. Kabupaten dengan laju pertumbuhan
penduduk tertinggi (di atas satu persen) pada periode 2012-2016 adalah
Kabupaten Sidoarjo, yaitu sebesar 1,63%, disusul Kabupaten Gresik (1,21%),
Kabupaten Sampang (1,21);dan Kabupaten Pamekasan (1,12%). Sedangkan
daerah dengan laju pertumbuhan penduduk terendah adalah Kabupaten
Lamongan (0,09%); Kabupaten Magetan (0,17%); dan Kabupaten Ngawi
(0,21%).
Etnisitas di Jawa Timur relatif heterogen, mayoritas penduduk adalah
suku Jawa. Suku Madura mendiami Pulau Madura dan daerah bagian timur,
terutama di daerah pesisir utara dan selatan. Di sejumlah kawasan timur, suku
Madura, termasuk Pendalungan (campuran Jawa dan Madura), merupakan
mayoritas. Suku Madura tersebar hampir di seluruh kota di Jawa Timur,
Page 60
47
umumnya mereka bekerja di sektor informal. Suku Tengger,yang konon
keturunan pelarian Kerajaan Majapahit, tersebar di Pegunungan Tengger dan
sekitarnya. Suku Osing tinggal di sebagian wilayah Kabupaten Banyuwangi.
Suku Bali juga bermukim di sejumlah desa di Kabupaten Banyuwangi. Orang
Samin tinggal di sebagian pedalaman Kabupaten Bojonegoro. Selain itu,
penduduk keturunan Tionghoa dan Arab juga tersebar di hampir semua wilayah
kabupaten/kota Jawa Timur. Juga warga ekspatriat, terutama tinggal di Kota
Surabaya, dan sejumlah kawasan industri lainnya.
4.2 Hasil Penelitian
Penelitian ini menggunakan data dari kuesioner SUSENAS Maret 2016.
Dimana kuesioner tersebut berisi data mengenai keterangan pokok rumah
tangga dan anggota rumah tangga. Penelitian ini akan menjelaskan mengenai
analisis statistik deskriptif dari variabel-variabel penelitian. Dalam penelitian ini,
variabel independen yang digunakan adalah pendapatan dan lokasi tempat
tinggal. Sedangkan variabel independen yang digunakan adalah akses air minum
bersih penduduk di Jawa Timur pada tahun 2016. Hal tersebut akan dijelaskan
pada masing-masing sub bab berikutnya.
4.2.1 Deskriptif Akses Air Minum Bersih Provinsi Jawa Timur
Analisis pertama yang dilakukan adalah dengan menganalisis data
menggunakan statistik deskriptif. Analisis statistik deskriptif dilakukan dengan
membandingkan nilai minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata dan nilai standar
deviasi dari sampel. Terdapat tiga variabel dalam penelitian ini yaitu akses air
minum bersih (Y), tingkat pendapatan (X1), loksai tempat tinggal (X2). Deskripsi
tiap variabel penelitian disajikan dalam analisis deskriptif yang menampilkan
persentase tiap kategori dari masing-masing variabel penelitian.
Page 61
48
4.2.1.1 Akses Air Minum Bersih di Provinsi Jawa Timur
Variabel Akes Air Minum Bersih(Y) terdiri dari dua kategori dengan 1
sebagai kategori responden yang memiliki akses memperoleh air minum bersih,
yaitu, jika sumber air utama yang digunakan rumah tangga untuk minum adalah
air kemasan, air isi ulang, dan leding meteran, leding eceran, sumur bor/pompa,
sumur terlindung serta mata air terlindung dengan jarak ke Tempat
Penampungan Limbah/Kotoran/Tinja Terdekat β₯ 10 meter; dan o kategori
responden yang tidak memiliki akses memperoleh air minum bersih dimana
sumber air utama yang digunakan RT untuk minum adalah sumur tak terlindung,
mata air tak terlindung, air permukaan seperti (sungai/danau/waduk/
kolam/irigasi), air hujan, dan lainnya. Kategori tersebut bersumber dari Badan
Pusat Statistik (BPS). Tabel 4.1 berikut menyajikan deskripsi variabel akses air
minum bersih (Y)
Tabel 4.1 Komposisi Responden Berdasarkan Perolehan Akses Air Minum
Bersih (Y)
No. Kategori N Prosentase
1. Ada akses air minum bersih 23345 79%
2. Tidak ada akses air minum bersih 6132 21%
Jumlah 29477 100%
Sumber: SUSENAS, 2016 (diolah)
Pada Tabel 4.1 hasil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)
2016 menunjukkan responden Rumah Tangga yang memiliki akses air minum
bersih lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak memiliki
akses air minum bersih, yaitu terdapat 6132 Rumah Tangga (RT) yang tidak
memperoleh akses air minum bersih atau 21% dari total sampel dan 23.345 RT
yang memperoleh akses air minum bersih atau 79% dari total sampel.
Page 62
49
4.2.1.2 Pendapatan (X1)
Variabel Pendapatan (X1) terdiri dari dua kategori berdasarkan Garis
Kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS yaitu Rp. 321.761. Dimana 1 sebagai
kategori RT tidak miskin yaitu Pendapatan > Rp.321.761 dan 0 kategori RT
miskin yaitu Pendapatan < Rp 321.761. Tabel 4.2 berikut menyajikan deskripsi
variabel pendapatan (X2).
Tabel 4.2 Komposisi Responden Berdasarkan Pendapatan (X1)
No. Kategori N Prosentase
1. Miskin 3069 10,41%
2. Tidak Miskin 26408 89,59%
Jumlah 29477 100%
Sumber: SUSENAS, 2016 (diolah)
Pada tabel 4.2 dijelaskan bahwa prosentase responden tidak miskin
jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan RT miskin. Jika diklasifikasikan lebih
rinci, responden dengan Tidak Miskin terdiri dari penduduk dengan pendapatan
menengah sebesar Rp 321.761 β Rp 844.360 yaitu sebanyak 14.616 RT
(49,58%) sedangkan sisanya, 40% yaitu sebanyak 11.792 adalah penduduk
dengan pendapatan kaya sebesar >Rp 844.360
4.2.1.3 Lokasi Tempat Tinggal (X2)
Variabel Lokasi Tempat Tinggal (X2) terdiri dari dua kategori dengan 1 sebagai
kategori RT yang tinggal di perkotaan dan 0 kategori RT yang tinggal di
pedesaan.
Tabel 4.3 Komposisi RT Berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal (X2)
No. Kategori N Prosentase
1. Pedesaan 14053 47,67%
2. Perkotaan 15424 52,33%
Jumlah 29477 100%
Sumber: SUSENAS, 2016 (diolah)
Page 63
50
Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa dari total responde yang
berjumlah 29477 RT, prosentase tinggal di lokasi pedesaan sebesar 47,67% dan
di perkotaan sebesar 52,33%. Berdasarkan komposisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa responden yang tinggal di perkotaan lebih banyak
dibandingkan responden yang tinggal di lokasi pedesaan.
4.3 Statistik Deskriptif
Penelitian ini menggunakan analisis berupa statistik deskriptif yang
dilakukan terhadap 29477 responden yang memenuhi kriteria untuk diolah lebih
lanjut. Pengukuran statistik sampel ini berguna untuk tujuan penarikan
kesimpulan. Pengukuran ini pada umumnya dibutuhkan karena mampu
menggambarkan pemusatan nilai-nilai observasi sampel sehingga
mempermudah pengamatan. Berdasarkan perhitungan nilai-nilai tendensi sentral
tersebut, maka diperoleh gambaran mengenai sampel secara garis besar
sehingga dapat mendekati kebenaran populasi (Anto, 1974). Penelitian ini
menggunakan pengukuran dengan program STATA
Tabel 4.4 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian
N Min
Max Mean Std. Deviasi
Akses Air Minum Bersih 29477 0 1 0.7919734 0.4059028
Pendapatan 29477 0 1 0.8958849 0.3054149
Lokasi Tempat Tinggal 29477 0 1 0.5232554 0.4994674
Sumber: Data SUSENAS, 2016 (diolah)
Dari data tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah responden (n) pada penelitian
ini adalah sebanyak 29477 responden. Nilai minimum dan maksimum yang
masing-masing bernilai 0 dan 1 tersebut memberikan gambaran bahwa terdapat
Page 64
51
dua kategori pada masing-masing variabel. Namun yang membedakan adalah
nilai rata-rata dari setiap variabel.
Nilai rata-rata yang diperoleh dari tabel 4.4 tersebut menunjukkan bahwa dari
semua variabel, nilai rata-ratanya kurang dari 1,00. Nilai standard deviasi pada
tabel 4.4 menunjukkan suatu ukuran penyimpangan. Jika mempunyai nilai kecil
maka data yang digunakan mengelompok disekitar rata-rata. Apabila standard
deviasi besarnya tidak melebihi rata-rata, hasil tersebut tidak terdapat outlier
(Suharyadi, 2009).
4.4 Crosstabulasi Antar Variabel
Analisis tabulasi silang (crosstab) merupakan salah satu analisis korelasional
yang digunakan utnuk melihat hubungan antar variable. Sehingga analisa
tabulasi silang ini dapat digunakan untuk menganalisa lebih dari dua variable.
Berikut ini perhitungan yang menggunakan analisis tabulasi silang atau crosstab
antar variabel akses air minum bersih, pendapatan dan lokasi tempat tinggal
4.4.1 Pendapatan Rumah Tangga dan Akses Air Minum Bersih
Pada Gambar 4.2 dijelaskan responden yang masuk dalam kategori pendapatan
sangat kaya paling banyak memperoleh akses air minum bersih. Pada Gambar
4.2 terlihat bahwa jika pendapatan sebuah Rumah Tangga semakin tinggi maka
akses untuk memperoleh air minum bersih akan semakin besar pula. Sebaliknya,
semakin rendah pendapatan sebuah Rumah Tangga maka akses untuk
memperoleh air minum bersih semakin kecil. Hal ini sesuai dengan dugaan
penelitian terkait hubungan pengaruh pendapatan terhadap akses air minum
bersih.
Page 65
52
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
Tidak Ada
Ada
Gambar 4.2 Grafik Crosstabulasi Pendapatan Rumah Tangga dan Akses Air
Minum Bersih
Sumber: SUSENAS, 2016(diolah)
4.4.2 Lokasi Tempat Tinggal dan Akses Air Minum bersih
Tabel 4.5 Hasil Crosstabulasi Lokasi Tempat Tinggal dan Akses Air Minum
Bersih
Lokasi Tempat
Tinggal
RT yang Tidak
Memperoleh Akses
Air Minum Bersih
RT yang
Memperoleh Akses
Air Minum Bersih
Total
Desa 10.5% 37.2% 47.7%
Kota 10.3% 42.0% 52.3%
20.8% 79.2% 100.0%
Pada Tabel 4.5 ditunjukkan 10,5% RT di Desa dan 10,3% RT di Kota
yang Tidak memperoleh akses air minum bersih. Hal ini menunjukkan lebih
banyak Masyarakat Desa yang tidak memperoleh air minum bersih dibandingkan
dengan masyarakat kota. Terdapat pula sebanyak 37,2% Masyarakat Desa dan
42% Masyarakat Kota yang memperoleh akses air minum bersih. Hal ini
Page 66
53
menunjukkan masyarakat kota lebih mudah mengakses air minum bersih
dibandingkan dengan masyarakat di desa.
4.4.3 Pendapatan, Lokasi Tempat Tinggal dan Akses Air Minum Bersih
Tabel 4.6 Hasil Crosstabulasi Antar Variabel Pendapatan, Lokasi Tempat Tinggal dan Akses Air Minum Bersih
Sumber: SUSENAS 2016 (diolah)
Pada Tabel 4.5 di atas dijelaskan responden yang paling banyak memperoleh
akses air minum bersih yaitu sebesar 13,63% (5320 RT) adalah responden
dalam kategori pendapatan sangat kaya dan tinggal di kota. Selanjutnya akses
air minum bersih paling banyak diperoleh RT kaya yang tinggal di kota. Tetapi
untuk responden kategori pendapatan menengah, miskin dan sangat miskin
justru yang tinggal di desa lebih banyak memperoleh akses air minum bersih
dibanding di kota. Hal ini menunjukkan bahwa variabel pendapatan berpengaruh
terhadap akses air minum bersih masyarakat kota tetapi tidak pada masyarakat
desa.
Pendapatan Lokasi Akses Air Minum Bersih
Total Tidak Ada Ada
Sangat Miskin Desa 3,12% 9,05% 12,17%
Kota 2,51% 5,32% 7,83%
Miskin Desa 2,53% 8,25% 10,78%
Kota 2,48% 6,74% 9,22%
Menengah Desa 2,62% 9,85% 12,46%
Kota 1,87% 5,67% 7,54%
Kaya Desa 1,48% 5,65% 7,12%
Kota 2,25% 10,63% 12,88%
Sangat Kaya Desa 0,73% 4,42% 5,14%
Kota 1,23% 13,63% 14,86%
21% 79% 100%
Page 67
54
Pendapatan sangat kaya dan sangat miskin yang dapat mengakses air
minum bersih jauh intervalnya menunjukkan pendapatan berpengaruh terhadap
akses air minum bersih. Pendapatan sangat kaya di kota lebih besar
persentasenya dibanding sangat kaya di desa disebabkan oleh faktor-faktor lain.
Salah satu faktor yang mungkin terdapat adalah tingkat pendidikan. Dimana
menurut penelitian Larson, et al (2007) pendidikan yang tinggi atau rumah
tangga yang memiliki rata-rata pendidikan yang tinggi akan cenderung
memanfaatkan perusahaan swasta sebagai penyuplai air bersih dibandingkan
rumah tangga dengan pendidikan yang lebih rendah. Jumlah RT di desa dan
kota juga mempengaruhi dimana RT dengan pendapatan lebih tinggi cenderung
berada di kota dibanding di desa.
Ditemukan pula dari tabel diatas, kelompok pendapatan kaya dan sangat
kaya masih terdapat RT yang tidak dapat mengakses air minum bersih. Menurut
BPS, jika sumber air utama yang digunakan rumah tangga untuk minum adalah
air kemasan, air isi ulang, dan leding meteran, leding eceran, sumur bor/pompa,
sumur terlindung serta mata air terlindung dengan jarak ke Tempat
Penampungan Limbah/Kotoran/Tinja Terdekat β₯ 10 meter. RT kaya dan sangat
kaya di kota mendapat masalah kurangnya jarak standar sumber air minum
dengan tempat penampungan limbah/ kotoran/ tinja terdekat. Hal ini merujuk dari
UNICEF Indonesia (2012) menjelaskan bahwa Badan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta menunjukkan bahwa 41 persen sumur gali yang
digunakan oleh rumah tangga berjarak kurang dari 10 meter dari septik tank.
Septik tank jarang disedot dan kotoran merembes ke tanah dan air tanah
sekitarnya. Laporan Bank Dunia tahun 2007 menyebutkan bahwa hanya 1,3
persen penduduk memiliki sistem pembuangan kotoran. Sistem pipa rentan
terhadap kontaminasi akibat kebocoran dan tekanan negatif yang disebabkan
oleh pasokan yang tidak teratur. Ini merupakan masalah khusus dimana
Page 68
55
konsumen menggunakan pompa hisap untuk mendapatkan air bersih dari sistem
perariran kota.
4.5 Analisis Ekonometrika
Analisis ekonometrika adalah analisis menggunakan model statistik yang
bertujuan untuk menjelaskan perilaku suatu variabel ekonomi. Untuk menjawab
faktor-faktor yang mempengaruhi akses air minum bersih di Jawa Timur pada
tahun 2016, maka penelitian ini menggunakan metode regresi logistik. Regresi
logistik digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel
terkait dengan syarat bahwa nilai pada variabel terikat adalah 0 dan 1. Pengujian
regresi logistik ini menggunakan distribusi binominal karena karakterteristik data
yang diamati tersebut. Hasil estimasi disajikan sebagai berikut:
Tabel 4.7 Hasil Estimasi Menggunakan Model Binary Logit
No Kabupaten/
Kota
Variabel
n Pendapatan (X1) Lokasi (X2)
Koef. SE Prob. Koef. SE Prob.
1 Pacitan -0,032 0,333 0,923 -0,247 0,338 0,464 673
2 Ponorogo -0,009 0,276 0,973 -0,076 0,228 0,739 757
3 Trenggalek 0,374 0,213 0,079 -0,509 0,179 0,005 755
4 Tulungagung -0,173 0,283 0,542 -0,629 0,155 0,000 799
5 Blitar -0,069 0,275 0,801 -0,602 0,169 0,000 826
6 Kediri 0,198 0,204 0,333 -0,138 0,142 0,331 939
7 Malang 0,106 0,194 0,584 0,150 0,136 0,270 1059
8 Lumajang 0,396 0,254 0,119 0,396 0,165 0,001 797
9 Jember 0,450 0,179 0,012 0,379 0,133 0,004 1111
10 Banyuwangi -0,257 0,254 0,312 0,362 0,142 0,011 981
11 Bondowoso 0,281 0,184 0,127 -0,477 0,157 0,002 754
12 Situbondo 0,491 0,193 0,011 -0,085 0,151 0,576 795
13 Probolinggo 0,041 0,186 0,825 -0,058 0,157 0,714 828
14 Pasuruan 0,608 0,263 0,021 0,284 0,144 0,049 932
Page 69
56
15 Sidoarjo -0,128 0,775 0,869 0,693 0,378 0,067 960
16 Mojokerto 0,266 0,381 0,485 0,013 0,153 0,931 792
17 Jombang 0,644 0,235 0,006 0,630 0,165 0,000 838
18 Nganjuk 0,424 0,198 0,032 0,505 0,166 0,002 796
19 Madiun 0,508 0,357 0,155 0,311 0,227 0,171 755
20 Magetan -0,134 0,454 0,768 -1,229 0,340 0,000 719
21 Ngawi 0,257 0,215 0,231 0,422 0,242 0,082 785
22 Bojonegoro 0,367 0,282 0,193 0,164 0,249 0,510 871
23 Tuban 0,669 0,262 0,011 0,463 0,219 0,035 837
24 Lamongan 0,315 0,551 0,568 0,518 0,282 0,067 835
25 Gresik 0,657 1,143 0,565 1,917 0,310 0,000 825
26 Bangkalan 0,608 0,253 0,016 0,418 0,215 0,052 746
27 Sampang 0,441 0,340 0,194 0,345 0,391 0,378 758
28 Pamekasan -0,402 0,299 0,180 0,447 0,314 0,154 757
29 Sumenep 1,009 0,341 0,003 1,121 0,305 0,000 836
30 Kota Kediri 0,933 0,495 0,059 - - - 571
31 Kota Blitar 0,781 0,527 0,138 - - - 475
32 Kota Malang 0,096 0,765 0,900 - - - 730
33 Kota
Probolinggo 0,162 0,810 0,842 0,403 0,313 0,198 560
34 Kota Pasuruan 0,484 0,448 0,280 - - - 497
35 Kota Mojokerto 1,384 0,618 0,025 - - - 480
36 Kota Madiun 1,828 0,628 0,004 - - - 493
37 Kota Surabaya 0,641 0,519 0,218 - - - 1041
38 Kota Batu 0,955 1,165 0,412 -0,878 0,535 0,101 514
39 Jawa Timur 0,361 0,044 0,000 0,106 0,029 0,000 29477
Sumber: Output STATA, 2018
Tabel 4.7 merupakan hasil estimasi dari model binary logit menggunakan
aplikasi statistik STATA. Tabel tersebut terdiri dari 39 model per kabupaten/kota
yaitu 29 kabupaten, 9 kota dan Provinsi Jawa Timur. Pada estimasi model
Provinsi Jawa Timur, kedua variabel signifikan dimana variabel pendapatan
dengan prob value 0,000 dan koefisien 0,361 dan variabel lokasi dengan prob
Page 70
57
value 0,000 dan keofisien 0,106. Pada tingkat kabupaten hasil estimasi cukup
beragam. Kedua variabel signifikan pada kabupaten Jember, Pasuruan,
Jombang, Nganjuk, Tuban, dan Sumenep. Sedangkan pada tingkat kota,
variabel lokasi tempat tinggal tidak berpengaruh karena data yang sejenis atau
homogen. Untuk memudahkan dapat dilihat pada Tabel 4.8 di bawah
Tabel 4.8 Tabel Klasifikasi Variabel Signifikan
Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Timur
Hanya Variabel Pendapatan Signifikan Hanya Variabel Lokasi Signifikan
1. Kab. Jember
2. Kab. Situbondo
2. Kab. Pasuruan
3. Kab. Jombang
4. Kab. Nganjuk
5. Kab. Tuban
6. Kab. Bangkalan
7. Kab. Sumenep
8. Kota Mojokerto
9. Kota Madiun
1. Kab. Trenggalek
2. Kab. Tulungagung
3. Kab. Blitar
4. Kab. Jember
5. Kab. Pasuruan
6. Kab. Jombang
7. Kab. Nganjuk
8. Kab. Magetan
9. Kab. Tuban
10. Kab. Gresik
11. Kab. Sumenep
Untuk memudahkan interpretasi hasil regresi, peneliti menggunakan
tabel klasifikasi sebagaimana dapat dilihat di atas. Terdapat delapan
kota/Kabupaten yang menunjukkan variabel pengeluaran dan wilayah tempat
tinggal signifikan. Dan terdapat 22 Kota/ Kabupaten yang menunjukkan hanya
salah satu variabel signifikan. Terakhir terdapat delapan kota/ kabupaten yang
kedua variabelnya tidak berpengaruh.
1.6 Pembahasan Menurut analisis ekonometrik, pendapatan dan lokasi tempat tinggal
berpengaruh signifikan terhadap akses air minum bersih di tingkat Provinsi Jawa
Page 71
58
Timur. Sebagaimana teori Indeks Pembangunan Manusia yang menyatakan
pendapatan mempengaruhi standar hidup layak seseorang, menurut analisis
ekonometrik dapat dibuktikan. Namun ada tingkat kabupaten dan kota, terdapat
pula beberapa daerah yang variabel pendapatannya signifikan dan tidak.
Contohnya pada kabupaten Jember probabilitas pendapatan berpengaruh
terhadap akses air minum bersih sedangkan di kab. Trenggalek variabel
pendapatan tidak berpengaruh signifikan. Artinya di daerah Trenggalek orang
miskin dan tidak miskin tidak ada diskriminasi fasilitas air minum bersih. Variabel
pendapatan yang signifikan pada sepuluh daerah tidak memiliki kofisien bertanda
negatif, artinya jika pendapatan semakin tinggi maka akses air minum bersih
semakin bagus dan sebaliknya jika pendapatan semakin rendah maka akses
terhadap air minum bersih semakin sulit. Sehingga masyarakat miskin di sepuluh
daerah tersebut akses terhadap air minum bersihnya jelas berkurang. Selain itu,
terdapat permasalahan variabel pendapatan pada tingkat kabupaten dan kota
dimana kurang dari separuhnya signifikan terhadap akses air bersih karena tidak
meratanya cakupan pelayanan air bersih di Provinsi Jawa Timur (Bappeda Jatim,
2015). Menurut data Susenas 2013, di Jawa Timur terdapat beberapa
kabupaten/kota yang seluruh penduduknya sudah mengkonsumsi air bersih.
Masing-masing, Kota Kediri, Kota Batu, Kota Surabaya, Kota Pasuruan, Kota
Probolinggo, Kota Malang, Kota Madiun dan Kabupaten Madiun. Secara umum,
rasio pelayanan infrastruktur air minum sampai dengan tahun 2013, mencapai
62,74%. Selain itu juga terjadi karena adanya perbedaan karakteristik tiap wilayah
dimana telah dijelaskan pada gambaran geografis Jawa Timur.
Lokasi tempat tinggal mempengaruhi akses air minum bersih.
Sebagaimana terdapat pada analisis tabel silang antara lokasi tempat tinggal dan
akses air minum bersih. Orang yang tinggal di kota cenderung memiliki akses air
bersih lebih baik dibandingkan masyarakat desa. Hal ini dapat terjadi karena
Page 72
59
adanya ketimpangan pembangunan desa dan kota. Menurut hasil estimasi
menggunakan model logit binomial, di Tulungagung masyarakat di kota cenderung
mempunyai masalah air minum bersih sedangkan di Pasuruan masyarakat di desa
cenderung bermasalah mengakses air minum bersih. Di Nganjuk orang yang
tinggal di kota cenderung tidak punya banyak masalah memperoleh akses air
bersih, sebaliknya masyarakat yang tinggal di desa cenderung punya masalah
memperoleh akses air bersih. Begitu pula di daerah Jember, Pasuruan, Jombang,
Nganjuk, Tuban, Gresik, Sumenep yang memiliki koefisien positif. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat kota tidak sepenuhnya lebih mudah mendapat
akses air minum bersih.
Beberapa daerah yan signifikan variabel lokasinya terdapat yang
bertanda negatif, artinya justru mereka yang di pedesaan aksesnya lebih bagus.
Daerah- daerah ini dapat menjadi percontohan dalam penyediaan air minum
bersih seperti Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Bondowoso, dan Magetan karena
terdapat pemerataan pelayanan air bersih.
Menurut teori ketersediaan air, dimana masyarakat desa memiliki sumber
daya air yang lebih besar dibandingkan masyarakat kota. Sebagaimana terdapat
pada hasil analisis tabel silang antar ketiga variabel, bahwa tingkat pendapatan
tidak mempengaruhi akses air minum bersih saat masyarakat tersebut berada di
desa dikarenakan jumlah masyarakat pendapatan semakin kaya cenderung
berada di perkotaan dan pendidikan masyarakat.
Menurut Bappeda Jawa Timur masih rendahnya cakupan layanan air
bersih di Jawa Timur disebabkan rendahnya peningkatan pelayanan air bersih di
perkotaan dan perdesaan. Khususnya untuk penduduk miskin dan daerah
kekeringan. Juga stagnasi dalam penurunan tingkat kebocoran air, serta
masalah tarif air minum yang tidak mampu mengimbangi biaya produksi,
sehingga tidak dapat mencapai kondisi pemulihan biaya. Pada beberapa daerah
Page 73
60
juga kerap terjadi konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumber air baku. Hal
ini disebabkan adanya kepentingan peruntukan sumber air untuk non air bersih,
maupun karena kendala batas administrasi wilayah. Permasalahan lain,
pelayanan air bersih non perpipaan yang sebagian besar di perdesaan yang
dikonsumsi secara mandiri.
Page 74
61
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian serta analisis data yang telah dilakukan tentang akses
masyarakat miskin di provinsi Jawa Timur, beberapa kesimpulan dapat diambil sebagai
rangkuman hasil dari analisis penelitian ini. Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari
penelitian ini antara lain:
1. Terdapat pengaruh pendapatan terhadap akses air minum bersih masyarakat
di tingkat Provinsi Jawa Timur. Terdapat diskriminasi fasilitas air minum bersih
di beberapa daerah. Daerah - daerah yang perlu diperhatikan adalah
Kabupaten Jember, Kab. Situbondo, Kab. Pasuruan, Kab. Jombang, Kab.
Nganjuk, Kab. Tuban, Kab. Bangkalan, Kab. Sumenep, Kota Mojokerto, dan
Kota Madiun. Akses air minum bersih masyarakat miskin di sepuluh daerah
tersebut cenderung lebih kurang dibandingkan masyarakat tidak miskin.
2. Terdapat pengaruh lokasi tempat tinggal masyarakat dalam memperoleh air
minum bersih di Provinsi Jawa Timur yaitu di desa dan kota. Di Nganjuk,
Jember,Pasuruan, Jombang, Nganjuk, Tuban, Gresik, dan Sumenep, orang
yang tinggal di kota cenderung tidak punya banyak masalah memperoleh
akses air bersih, sebaliknya masyarakat yang tinggal di desa cenderung punya
masalah memperoleh akses air bersih.
1.2 Saran
Dari kesimpulan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis akan dapat
menyajikan saran sebagai masukan, yaitu pemerintah sebagai penjamin kebutuhan akan air
setiap lapisan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Masyarakat yang tinggal di desa
juga masih membutuhkan perhatian pemerintah agar tidak terjadi diskriminasi akses air
Page 75
62
minum bersih antara masyarakat desa dan kota. Permasalahan yang dihadapi dalam
penyediaan air minum bersih saat ini antara lain masih rendahnya cakupan pelayanan air
minum. Rendahnya cakupan pelayanan tersebut secara operasional merupakan refleksi dari
pengelolaan yang kurang efisien maupun kurangnya pendanaan untuk pengembangan
sistem. Beberapa daerah dapat menjadi contoh dalam menyediakan air minum bersih yaitu
Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Bondowoso, dan Magetan karena terdapat pemerataan
pelayanan air bersih.
Page 76
DAFTAR PUSTAKA
Aldilarachma, Nurlia. 2008. Analisis Rasio Keuangan Perusahaan yang Melakukan Merger dan Akuisisi Dengan Metode Regerisi Logistik. Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Syarif Hidayatullah.
Handojo, Rudianto.2016.Air Bersih. Engineering Weekly: Mengelola Air Bersih No.02 W1 Maret 2016
Badan Pusat Statistik. 2016. Kemiskinan dan Ketimpangan. http://bps.go.id. Diakses 18, Maret, 2016.
Dajan Anto. 1974. Pengantar Metode Statistik Jilid II. Jakarta : PT Pustaka LP3ES Indonesia
Effendi, Hefni.2003.Telaah Kualitas Air, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Erdianto, Kristian.2017. BNPB: Ribuan Desa di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara Krisis Air. Kompas
Ghozali, Imam. 2005.Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gibson, Rosalind S.2005.Principles of Nutritional Assessment.New York: Oxford University Press
Gilarso, T.2004.Pengantar Ilmu Ekonomi Makro, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hyman, D. 2005. Publik Finance A Contemporary Application of Theory to Policy, Eight Edition. Thomson. South-Western. North Carolina State University.
Kuncoro, M.(2003). Metode riset untuk bisnis dan ekonomi: Bagaimana Meneliti & Menyusun Tesis.Jakarta: Erlangga.
Larson, B., Bart, M., & Ramy R,. 2007. Unravelling the linkages between the
millennium development goals for poverty, education, access to water and household water use in developing countries: Evidence from Madagascar. The Journal of Development Studies 42:22-40, DOI: 10.1080/00220380500356258
Liu, D., Li, T., and Liang, D. 2013. Incorporating Logistic Regression to Decision-
Theoretic Rough Sets for Classifications. International Journal of Approximate Reasoning, 55(2014), 197-210.
Putra, H.S dan Nanang Rianto. 2017.Pengaruh Akses Air Bersih Terhadap Kemiskinan Di Indonesia: Pengujian Data Rumah Tangga. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum, Vol.9, No.1
Nawari. 2010. Analisis Regresi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Raksanagara, Ardini S, et all.2017.Faktor yang Memengaruhi Perilaku Penggunaan Air Bersih pada Masyarakat Kumuh Perkotaan berdasar atas Integrated Behavior Model.MKB, Volume 49 No. 2, Juni 2017
Page 77
Rizki, Bhimo, Samsubar Saleh.2007.Keterkaitan Akses Sanitasidan Tingkat
Kemiskinan:Studi Kasus Di Propinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 3, Desember 2007 Hal: 223 β 233.
Sen, Amartya. 1999. Development as Freedom. New York: Anchor Books.
Chicago Stanislaus S. 2006. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta :Graha
Ilmu Susana, Tjutju.2003.Air Sebagai Sumber Kehidupan. Oseana, Volume XXVIII,
Nomor 3, 2003: 17-25. Suharyadi, dan S. K. Purwanto.2009. Statistika: Untuk Ekonomi dan Keuangan
Modern, Edisi 2, Buku 1. Jakarta : Penerbit Salemba Empat. Syamsuddin, A.R & Damiyanti, Vismaia S. 2011. Metode Penelitian Pendidikan
Bahasa. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Wahyunindyawati, Wahyunindyawati and Sari, Dyana, Ekonomi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Economics of Natural Resources and the Environment) (March 26, 2016). Available at SSRN:https://ssrn.com/abstract=2916841 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2916841
Yongsi, H H. Blaise Nguendo.2010. Suffering for Water, Suffering from Water: Access to Drinking water and Associated Health Risks in Cameroon. Journal of Health, Population and Nutrition, 2010 Oct; 28(5): 424β435.