i AKIBAT HUKUM SUKSESI NEGARA TERHADAP PERJANJIAN INTERNASIONAL (STUDI KASUS SUKSESI NEGARA DI TIMOR LESTE) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam IlmuHukum Oleh : Dewi Pursita Audriana NIM. 135010107111113 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS HUKUM MALANG 2017
98
Embed
AKIBAT HUKUM SUKSESI NEGARA TERHADAP ...repository.ub.ac.id/5915/1/Dewi Pursita Audriana.pdfTERHADAP PERJANJIAN INTERNASIONAL(STUDI KASUS SUKSESI NEGARA DI TIMOR LESTE), Dr.Patricia
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
AKIBAT HUKUM SUKSESI NEGARA
TERHADAP PERJANJIAN INTERNASIONAL
(STUDI KASUS SUKSESI NEGARA DI TIMOR LESTE)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat
Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam IlmuHukum
Oleh :
Dewi Pursita Audriana
NIM. 135010107111113
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2017
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Judul Skripsi : AKIBAT HUKUM SUKSESI NEGARA TERHADAP
PERJANJIAN INTERNASIONAL (STUDI KASUS
SUKSESI NEGARA TIMOR LESTE)
Identitas Penulis :
a. NAMA : Dewi Pursita Audriana
b. NIM : 135010107111113
Konsentrasi : Hukum Internasional
Jangka Waktu Penelitian : 6 bulan
Disetujui pada Tanggal : 1 Juni 2017
Dosen Pembimbing Utama Dosen Pembimbing Pendamping
tersebut dibuat atas inisiatif Rusia dengan tujuan untuk mempertahankan dan
menyatukan potensi-potensi yang ada di masing-masing negara pecahan Uni
Soviet. Selain itu, Rusia juga membentuk sebuah federasi baru yang
menyatukan republik-republik bekas Uni Soviet lainnya dan menjadi suatu
federasi yang mewarisi hak Uni Soviet.
Perpecahan Uni Soviet dinilai menjadi salah satu kasus yang
signifikan dalam aspek suksesi negara karena kompleksitas akibat hukumnya.
Definisi suksesi negara setelah kasus ini dinilai lebih dari pergantian negara
atau pergantian kedaulatan. Dalam kasus perpecahan Uni Soviet ternyata tidak
semua negara diberikan peralihan secara penuh dalam akibat hukum tertentu.
Terkait kekayaan negara, seluruh bekas negara Uni Soviet beralih, utamanya
lewat persekutuan atau organisasi maupun federasi baru yang diprakarsai
Rusia. Namun lain halnya terkait dengan keanggotaan dalam PBB, Uni Soviet
secara resmi menunjuk Rusia sebagai penerusnya. Kompleksitas akibat
hukum ini berujung pada kompleksitas penggunaan istilah successor state.
Jika merujuk pada definisi successor secara umum, memang hanya Rusia
yang dapat disebut dengan successor state karena peralihan hak dan
kewajiban Uni Soviet diserahkan kepada Rusia bila dilihat dari penerus
keanggotaan Uni Soviet dalam PBB.
Jika perpecahan Uni Soviet merupakan suksesi negara universal yang
melahirkan successor yakni Russia, lain halnya dengan suksesi negara di
Yugoslavia. Awalnya, Yugoslavia merupakan bentuk negara federasi yang
terdiri dari enam republik yakni Slovenia, Bosnia, Serbia, Macedonia, Kroasia
dan Montenegro. Perpecahan Yugsolavia dimulai oleh negara Slovenia yang
memisahkan diri dengan menggelar referendum untuk membentuk negara
baru pada bulan Desember 1990. Tindakan yang sama dilakukan pula oleh
Kroasia pada tahun 1991. Hal inilah yang kemudian memicu perang dan
perpecahan-perpecahan selanjutnya di Yugoslavia. Negara-negara yang masih
menjadi bagian dari Yugoslavia pada saat itu, banyak melakukan invasi
terhadap negara-negara yang memisahkan diri dari Yugoslavia sebagai bentuk
perlawanan yang berujung pada perang yang didominasi oleh konflik etnis
dan agama. Pada tahun yang sama, Macedonia juga menyusul untuk
memisahkan diri dari Yugoslavia dan kemudian Bosnia juga melakukan hal
yang sama pada tahun 1992, pemisahan diri Bosnia ini pula yang memicu
terjadinya konflik yang lebih hebat lagi. Hingga akhirnya, tersisa dua negara
saja di Yugoslavia yakni Montenegro dan Serbia yang kemudian
memproklamasikan nama baru mereka menjadi Republik Federal Yugoslavia
pada tahun 1992. Namun setelah itu, banyak terjadi konflik-konflik dan
p;emberontakan yang dilatarbelakangi oleh isu etnis. Hingga akhirnya pada
tahun 2003, Yugoslavia mengganti namanya menjadi negara Serbia dan
Montenegro sebelum akhirnya keduanya mengakhiri persatuan negara mereka
dengan saling memisahkan diri dan masing-masing membentuk negara baru
yang merdeka pada tahun 2006. Kasus suksesi negara Yugoslavia ini memang
lebih kompleks daripada Yugoslavia. Kembali mengacu kepada definisi
successor state sebagai negara yang mewarisi hak dan kewajiban secara
penuh, tidak ada satupun bekas negara dari Yugoslavia yang masuk dalam
kategori tersebut sehingga dapat dikatakan sebagai successor state. Karena
pada akhirnya, semua negara bekas Yugoslavia membuat suatu perjanjian
khusus yang berisi ketentuan peralihan hak dan kewajiban termasuk peralihan
aset-aset seperti properti, arsip, aset keuangan dan perjanjian. Dalam
perjanjian tersebut dinyatakan pembagian hak dan kewajiban serta aset-aset
bekas Yugoslavia terhadap setiap negara bekas Yugoslavia. Hal ini berarti,
tidak ada satupun negara bekas Yugoslavia yang mewarisi secara penuh,
bahkan Serbia dan Montenegro yang sebelumnya menggantikan pun tetap
termasuk dalam pihak-pihak perjanjian tersebut. Sehingga jika mengacu
kepada definisi, successor state, tidak ada negara yang dialihkan secara penuh
seperti dalam hal menggantikan keanggotaan Yugoslavia dalam organisasi
internasional seperti yang dilakukan Rusia terhadap Uni Soviet.
Contoh lainnya adalah dari bentuk suksesi parsial, yakni suksesi yang
terjadi di sebagian wilayah suatu negara seperti kasus pemisahan Timor Leste
dari Indonesia. Pada suksesi bentuk ini, definisi successor state akan lebih
sempit lagi karena dalam pergantian kedaulatan di Timor Timur yang
memisahkan diri dari Indonesia menjadi negara Timor Leste, tidak ada hak
dan kewajiban Indonesia yang beralih secara penuh kepada Timor Leste.
Implikasi hukum yang terjadi, beberapa hak dan kewajiban yang beralih
hanyalah hal-hal yang berhubungan atau berkepentingan dengan Timor Leste.
Oleh karena itu, predikat successor state jika merujuk pada definisi successor
secara umum, tidak dapat disematkan pada Timor Leste dalam kasus suksesi
negara bentuk parsial ini.
4. Alternatif Penggunaan Kata Bagi Timor Leste dalam Suksesi
Negara
Luasnya makna successor state yang membuat kata tersebut tidak bisa
fleksibel digunakan di jenis-jenis suksesi negara tertentu mengakibatkan
urgensi untuk mempersempit makna successor state itu sendiri. Dalam
konvensi-konvensi seperti konvensi Wina 1978, kata yang digunakan
untuk merujuk negara baru atau negara pengganti memang hanya
successor state namun jika dalam penggunaan Bahasa Indonesia, kata-kata
tersebut akan menjadi luas karena ada pengartiannya banyak. Makna
successor secara umum dengan makna successor dalam suksesi negara
memang ternyata berbeda karena meski artinya sama-sama yakni
pengganti atau penerus namun dalam suksesi negara tertentu, tidak semua
hak dan kewajiban beralih bahkan ada yang tidak mendapat peralihan hak
dan kewajiban sama sekali seperti successor pada umumnya.
Penggunaan kata negara baru atau negara pengganti dirasa lebih tepat
untuk menghindari perancuan makna dengan successor pada umumnya.
Dalam kasus suksesi negara universal, kata successor state jika merujuk
pada definisi secara umum, dapat digunakan jika negara tersebut
menganut prinsip common doctrine yakni prinsip dimana hak dan
kewajiban negara lama atau predecessor state secara otomatis beralih
tetapi kata negara pengganti akan juga tepat digunakan sebagai alternatif.
Sedangkan dalam kasus suksesi negara parsial, seperti Timor Leste, kata
successor state tidak tepat digunakan karena Indonesia tidak sepenuhnya
mengalihkan hak dan kewajibannya ketika Timor Leste memutuskan
untuk membentuk negara baru oleh karena itu Timro Leste bukanlah
successor state dari Indonesia melainkan negara baru yang pecah atau
berpisah dari Indonesia. Oleh karena itu penggunaan kata negara baru
dirasa lebih tepat dalam membahas atau mengkaji suksesi negara dalam
kasus demikian.
Atas kesimpulan tersebut dapat dikatakan bahwa tidak semua suksesi
negara yang terjadi melahirkan dua subjek sekaligus yang selama ini
dikenal. Sebuah successor state pada prinsipnya harus merupakan negara
yang diwariskan hak dan kewajiban secara penuh sedangkan pada kasus-
kasus tertentu seperti Timor Leste, tidak ada peralihan hak dan kewajiban
karena Timor Leste memisahkan diri dari negara yang notabene masih
memiliki kedaulatan dan yurisdiksi sehingga kedaulatan dan yurisdiksi
tersebut hanya beralih sebagian, tidak seluruhnya. Sebutan successor state
dapat muncul di suksesi negara universal yang biasanya menyebabkan
hilangnya negara lama atau predecessor state sehingga kedaulatan dan
yurisdiksinya, termasuk didalamnya hak dan kewajiban juga beralih ke
negara baru selanjutnya, kecuali jika negara baru tersebut menganut teori
clean state dimana hak dan kewajiban dari negara otomatis hilang tanpa
perjanjian khusus sebelumnya
B. Konsekuensi Hukum Terhadap Timor Leste Atas Perjanjian
Internasional antara Indonesia dengan Negara Lain Setelah Terjadinya
Suksesi.
1. Status Hukum Perjanjian Internasional Setelah Terjadinya
Suksesi Negara Berdasarkan Konvensi Wina 1978
a. Status Hukum Perjanjian Internasional Bagi Negara Baru
Merdeka
Hukum internasional sangat mengistimewakan keberadaan
negara baru merdeka, terutama pada perkembangan hukum
internasional, banyak negara-negara yang pecah dan membentuk
negara baru, ataupun negara baru yang terbentuk karena telah lepas
dari wilayah penjajahan. Negar-negara baru ini dibuktikan
keistimewaannya dalam Konvensi Wina 1978. Banyak hak yang diatur
secara tegas dan detail di beberapa pasal di Konvensi Wina 1978
antara lain:
Kebebasan Untuk Tidak Terikat Pada Perjanjian
Internasional yang Masih Berlaku
Dalam pasal 16 Konvensi Wina 1978 disebutkan bahwa:
A newly independent state is not bound to maintain in
force,or to become a party to, any treaty by reason only
of the fact that at the date of the succession of states the
treaty was in force in respect of the territory to which the
succession of states relates.6
6 Pasal 16 Konvensi Wina 1978
Ketentuan ini sudah jelas menerangkan bahwa negara baru
merdeka dijamin kebabasannya untuk tidak terikat pada perjanjian
meskipun perjanjian tersebut masih berlaku pada saat suksesi negara
tersebut terjadi. Adanya pasal ini sebenarnya berkaitan dengan adanya
teori clean state yakni suatu negara baru merdeka akan dianggap
negara baru lahir dengan lembaran baru sehingga bebas dari segala
bentuk hak dan kewajiban di periode sebelum suksesi terjadi, termasuk
dalam hal perjanjian internasional. Tetapi baik pasal 16 maupun
prinsip clean state ini tidak bisa sepenuhnya berlaku terhadap
perjanjian internasional mengenai batas wilayah dan perjanjian
multilateral.
Hak Untuk Mengubah Reservasi dalam Perjanjian
Internasional
Pada dasarnya, dalam pembuatan suatu perjanjian
internasional, negra memiliki hak untuk membuat pernyataan sepihak
mengenai pengecualian dalam ketentuan-ketentuan yang ada dalam
perjanjian tersebut. Hal ini diatur dalam Konvensi Wina 1969.
Ketentuan ini dipertegas lagi bagi negara baru merdeka setelah
terjadinya suksesi negara. Dalam pasal 20 ayat (1) Konvensi Wina
1978, dinyatakan bahwa suatu negara baru merdeka bisa mengubah
reservasi dalam perjanjian internasional multilateral yang sebelumnya
dibuat oleh predecessor state jika negara baru tersebut menghendaki
untuk memberlakukan perjanjian multilateral tersebut melalui sebuah
surat pernyataan.
Selain mengubah reservasi dalam perjanjian multilateral,
negara baru merdeka juga memiliki hak untuk terikat pada sebagian isi
perjanjian bahkan mengubah peretujuan dalam perjanjian tersebut. Hal
ini diatur dalam pasal 21 Konvensi Wina 1978 dengan catatan harus
memenuhi beberapa ketentuan antara lain hak tersebut harus sudah
disetujui oleh perjanjian yang bersangkutan
b. Status Hukum Perjanjian Internasional Bagi Negara Suksesi
Parsial
Berdasarkan pasal 15 Konvensi Wina 1978, suksesi negara
parsial diartikan sebagai succession in respect of part of territory.
Definisi dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Succession in respect of part of territory is when any part of
the territory of a state, or when any territory for the
international relations of which any state is responsible, not
being part of the territory of another state7
Suksesi negara parsial bisa berupa suatu wilayah yang bergabung
dengan negara lain maupun wilayah suatu negara yang memisahkan diri dan
7 Pasal 15 Konvensi Wina 1978
membentuk negara baru. Status hukumnya diatur dalam pasal 15 (a) dan (b)
yakni:
(a) Treaties of the predecessors state cease to be in force form
the date of the succession of states
(b) Treaties of the successor state are in force in respect of the
territory to which the succession of states relates from the date
of the succession of states, unless it appears from the treaty or
is otherwise established that the application of the treaty to
that territory would be incompatible with the object and
purpose of the treaty or would radically change the conditions
for its operation.8
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa perjanjian internasional yang
dibuat oleh predecessor state tidak akan berlaku setelah suksesi negara terjadi.
Namun, perjanjian internasional yang berkaitan dengan wilayah dari negara
baru akan tetap berlaku sejak dilakukannya suksesi negara itu sendiri kecuali
bila ditentukan dalam perjanjian lain atau jika ditetapkan bahwa peralihan
perjanjian wilayah tersebut tidak sesuai dengan kondisi dan tujuan awal dari
perjanjian.
2. Teori-Teori Mengenai Peralihan Hak dan Kewajiban dalam
Suksesi Negara
a. Teori Common Doctrine
8 Pasal 15 (a) dan (b) Konvensi Wina 1978
Teori common doctrine biasanya dapat diterapkan di suksesi negara
universal karena berdasarkan teori ini, hak dan kewajiban negara
predecessor akan lenyap dan sepenuhnya beralih kepada negara baru yang
menggantikan. Meski begitu, dalam praktiknya tidak semua hak dan
kewajiban beralih karena biasanya ada perjanjian tertentu antara negara
pengganti atau negara baru dengan negara yang diganti.9
b.Teori Clean State
Berdasarkan teori ini, negara yang baru melakukan suksesi negara
akan dianggap sebagai negara yang baru lahir dengan hak dan kewajiban
yang baru pula. Artinya, tidak ada hak dan kewajiban yang beralih dari
negara lama ke negara baru karena akan secara otomatis hilang atau tidak
berlaku lagi dengan sendirinya. Teori clean state ini mirip dengan teori
awal mengenai suksesi negara yang berkembang di era hukum Roman
yang dikenal dengan teori suksesi universal dimana hak dan kewajiban
negara lama tidak beralih atau hilang ketika muncul negara baru.10
3. Ketentuan Konvensi Wina 1978 Mengenai Peralihan Perjanjian
Internasional dalam Suksesi Negara
a. Ketentuan Mengenai Perjanjian yang Dapat Beralih
(Perjanjian Perbatasan Wilayah & Perjanjian Multilateral)
9 fl.unud.ac.id/block-book/HI/.../SUKSESI%20NEGARA.doc diakses pada tanggal 20 Mei 2017
10 fl.unud.ac.id/block-book/HI/.../SUKSESI%20NEGARA.doc diakses pada tanggal 20 Mei 2017
Ketentuan mengenai perjanjian perbatasan wilayah secara khusus
diatur dalam pasal 11 dan pasal 12 Konvensi Wina 1978. Perjanjian
mengenai batas wilayah suatu negara tentu menjadi hal yang vital dalam
hal terjadinya suksesi negara apalagi bersinggungan dengan pihak ketiga
yakni pihak negara tetangga yang berbatasan. Namun, perjanjian
perbatasan wilayah ternyata secara mutlak beralih ke negara baru. Artinya,
terjadinya suksesi negara pun tidak akan mempengaruhi apapun bagi
perjanjian perbatasan wilayah. Hal itu secara jelas tertulis dalam pasal 11
Konvensi Wina 1978 yang berbunyi:
A succession of states doesn’t such affect:
(a) a boundary established by a treaty; or
(b) obligations and rights established by a treaty and relating to the
regime of boundary11
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa suksesi negara tidak
mempengaruhi perjanjian perbatasan wilayah bersama dengan hak dan
kewajiban dari perjanjian tersebut. JG Starke juga menjelaskan bahwa
selain suksesi negara tidak memberi pengaruh apapun bagi perjanjian
perbatasan wilayah, namun kecuali bagi perjanjian dalam hal pengadaan
pangkalan basis militer di perbatasan wilayah tersebut. Predecessor state
tidak dapat mengklaim atau membuat perjanjian tersebut berlaku pula bagi
negara baru. Sama halnya dengan perjanjian perbatasan wilayah,
perjanjian multilateral juga tidak berpengaruh oleh terjadinya suatu
11
Pasal 11 Konvensi Wina 1978
suksesi negara. Perjanjian-perjanjian multilateral tersebut dapat meliputi
perjanjian yang berkaitan dengan kesehatan, narkotika maupun hak-hak
asasi manusia.
b. Ketentuan Mengenai Perjanjian Peralihan
a) Devolution Agreement
Devolution agreement diartikan sebagai perjanjian penyerahan
kedaulatan yang memuat kesepakatan antara predecessor state dan negara
baru mengenai perjanjian-perjanjian apa saja yang masih diberlakukan
untuk successo state sehingga pealihan hak dan kewajibannya menjadi
jelas. Meski telah jelas peralihan perjanjiannya namun perjanjian-
perjanjian tesebut tidak dapat mengikat negara pihak ketiga terutama
terkait dengan perjanjian perbatasan. Hal ini sesuai dengan salah satu
prinsip hukum internasional yakni pacta tertiis nec nocent nec prosunt12
dan ditegaskan pula dalam pasal 34 Konvensi Wina 1969 yang berbunyi a
treaty doesn’t create either obligations or rights for a third state without
its consent. 13
Ketentuan mengenai devolution agreement diatur dalam pasal 8
Konvensi Wina 1978 yakni:
1.The obligations or rights of a predecessor state under treaties in
force in respect of a territory at the date of a successor of states do not
become the obligation or rights of the successor stae toward other
states parties to those treaties by reason only of the fact that the
12
Hak dan kewajiban dalam suatu perjanjian tidak mengikat pihak ketiga 13
Pasal 34 Konvensi Wina 1978
successor state have concluded an agreement providing that such
obligations or rights shall devolve upon the successor state.
2. Notwithstanding the conclusion of such an agreement, the effects of
a succession of states on treaties at the date of that succession of
states, were in force in respect of the territory in questions are
governed by the present Convention. 14
Dalam konvensi tersebut secara jelas dinyatakan bahwa hak dan
kewajiban dalam suatu perjanjian internasional tidak secara otomatis
beralih ke negara baru kecuali jika pihak-pihak terkait membuat suatu
perjanjian yang merupakan kesepakatan antara pihak-pihak tersebut
yang tidak lain adalah devolution agreement itu sendiri. Atas hal
tersebut, baik predecessor state maupun negara baru terikat secara
hukum dengan devolution agreement
b) Unilateral Declaration.
Unilateral declaration daartikan sebagai deklarasi atau pernyataan
sepihak dari negara baru tentang sejauh mana negara baru terikat dalam
perjanjian - perjanjian internasional yang sebelumnya dibuat oleh
predecessor state. Dari segi pihak yang terlibat, unilateral declaration ini
memang berbeda dengan devolution agreement . Namun, akibat hukum
yang ditimbulkan sama dengan akibat hukum yang ditimbulkan oleh
devolution agreement.
Unilateral declaration sendiri diatur dalam pasal 9 Konvensi Wina
1978 yakni:
14
Pasal 8 Konvensi Wina 1978
1. Obligations or rights under treaties in force in respect of a territory
at the date of a succession of states do not becme the obligations or
rights of successor state or of other state parties to those treaties by
reason only the fact that successor state has made an unilateral
declaration providing of the continuance in force of the treaties in
respect of its territory.
2. In such a case, the effects of the succession of states on treaties
which, at the date of that succession of states, were in force in respect
of the territory in question are governed by the present Convention.15
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa hak dan kewajiban dari
sebuah perjanjian internasional yang terkait dengan batas wilayah tidak
akan menjadi wewenang negara baru atau negara pihak ketiga dari
perjanjian tersebut kecuali jika ada deklarasi, yang disebut unilateral
declaration yang menyatakan bahwa perjanjian batas wilayah yang
menyangkut negara baru tersebut masih berlaku atau berlanjut bagi negara
baru.
4. Studi Kasus Akibat Hukum Suksesi Negara Timor Leste
Terhadap Perjanjian Internasional antara Indonesia dengan
Negara Lain
a. Perjanjian Internasional yang tidak mengikat Timor Leste
Jika dikatakan bahwa negara baru tidak terikat dengan perjanjian-
perjanjian yang dibuat oleh predeccessor state maka sebaiknya doktrin
suksesi negara tersebut harus dimufakatkan dengan hukum perjanjian. Selain
itu, perlu juga diteliti sampai sejauh manakah perjanjian-perjanjian yang
15
Pasal 9 Konvensi Wina 1978
beralih kepada negara baru dan perjanjian-perjanjian mana yang tidak beralih
kepada negara baru. Dalam teori yang diungkapkan oleh Wilkinson, terdapat
perbedaan antar perjanjian yang tidak beralih dan perjanjian yang beralih.
Perjanjian yang tidak beralih yaitu meliputi perjanjian-perjanjian yang bersifat
politis, seperti perjanjian persekutuan, perjanjian jaminan dan perjanjian-
perjanjian yang menyatakan suatu kebijaksanaan internasional yang bersifat
pribadi yang diadakan oleh negara guna perlindungan, keamanan dan
eksistensi negara itu sendiri. Pada pendapat tersebut, ketentuan perjanjian
yang tidak beralih dalam bagian “treaties which express a particular personal
international policy” atau lebih dikenal dengan perjanjian-perjanjian personal,
berlaku suatu prinsip bahwa negara baru atau negara baru memulai hidupnya
dengan lembaran bersih. Di dalam masalah kewajiban-kewajiban perjanjian
dalam rangka suksesi negara, prinsip ini dikenal dengan doktrin clean state.
Sehubungan dengan doktrin tersebut, muncullah suatu ketentuan mengenai
non devolution terhadap perjanjian internasional yang artinya
perjanjian0oerjanjian itu tidak beralih ke negara pengganti. Oleh karena itu
sebenarnya terdapat kesamaan arti antara doktrin clean state dengan ketentuan
umum mengenai non devolution terhadap perjanjian-perjanjian
internasional.16
Berdasarkan teori hukum internasional tradisional. perjanjian internasional
dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah personal treaties dan
16
Budi Lazuarusli SH,Syahmin A.K SH Suksesi Negara; Dalam Hubungannya dengan Perjanjian
Internasional. Remadja Karya: Bandung, 1986
perjanjian dispositive. Klasifikasi perjanjian internasional juga dituangkan di
Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional berdasarkan sifat
pelaksaannya yakni executory treaties yakni perjanjian yang pelaksanaannya
bersifat berlanjut sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan,
contohnya adalah perjanjian dagang. Sedangkan yang kedua adalah
dispositive treaties yakni perjanjian yang sifatnya langsung selesai ketika
perjanjian tersebut dilaksanakan.
Teori hukum internasional juga menjelaskan beberapa hal mengenai
perjanjian internasional yang tidak beralih. Perjanjian yang dijelaskan tidak
beralih adalah perjanjian personal treaties. Perjanjian tersebut dapat
berbentuk bilateral maupun multilateral, contohnya perjanjian-perjanjian
mengenai persekutuan,penyelesaian perselisihan secara damai, netralitas, atau
bisa menyangkut segi ekonomi dari suatu negara, misalnya perjanjian-
perjanjian subsidi internaisonal, perjanjian perdagangan,, tarif dagang; dapat
pula bersifat administratif seperti perjanjian pos dan telegraf, pengawasan
obat bius, navigasi dapat bersifat perjanjian peradilan seperti perjanjian
tentang ekstradisi ataupun pelaksanaan keputusan pengadilan asing. Menurut
teori hukum internasional tradisional, perjanjian-perjanjian tersebut diatas
tidak beralih dari predecessor state ke negara baru meskipun teori ini sudah
tidak banyak berlaku karena sudah tidak sesuai dengan kenyataan dan
praktek-praktek negara baru seteah Perang Dunia II.
Dalam kasus suksesi negara Timor Leste yang berpisah dari Indonesia,
sesuai dengan teori pada umumnya, perjanjian-perjanjian internasional yang
dibuat oleh Indonesia secara otomatis tidak berlaku lagi terhadap Timor Leste
setelah terjadinya suksesi. Bentuk- bentuk perjanjian yang tidak berlaku
tersebut adalah perjanjian-perjanjian bilateral antar predecessor state dengan
suatu negara, termasuk juga perjanjian-perjanjian mengenai perdagangan,
persekutuan, perjanjian-perjanjian jaminan dan perjanjian-perjanjian yang
menyatakan suatu kebijaksanaan internasional yang bersifat pribadi dalam
rangka perlindungan keamanan negara Indonesia seperti yang dijelaskan
dalam teori diatas.
b. Perjanjian internasional yang dapat mengikat Timor Leste
a) Analisa Perjanjian Timor Gap
Secara umum dan teori, perjanjian internasional yang tidak beralih
biasanya menyangkut tentang perjanjian perbatasan wilayah. Dalam teori
hukum internasional tradisional, perjanjian yang menyangkut perbatasan
wilayah atau territorial disebut dengan perjanjian dispositive. Perjanjian
tersebut meliputi perjanjian pangkalan militer, perjanjian perbatasan negara
dan lain-lain. Perjanjian dispositive sehubungan dengan adanya suksesi
negara, secara yuridis dengan adanya ketentuan rebus sic stantibus yakni
perubahan yang fundamental dari keadaan yang menguasai perjanjian, dapat
menjadikan perjanjian dispositive tersebut tidak berlaku. Dalam kasus negara
baru yang terbentuk dari wilayah bekas jajahan, dapat saja dianggap, bahwa
perjanjian mengenai pangkalan militer tidak lagiberlaku karena situasinya
telah berubah secara fundamental.Namun dalam perkembangannya perjanjian
perbatasan sebagai suatu perjanjian dispositive harus tetap beralih dan diakui
oleh negara baru. Bahkan perubahan keadaan secara fundamental tidak
diperkenankan menjadi alasan untuk membatalkan perjanjian. Ketentuan
tersebut diatur dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian
Internasional yang berbunyi:
Suatu perubahan mendasar keadaan-keadaan tidak boleh
dikemukakan sebagai dasar untuk mengakhiri atau menarik diri dari
perjanjian:
(a) Jika perjanjian itu menetapkan perbatasan; atau
(b) Jika perubahan itu sebagai hasil dari pelanggaran oleh pihak
yang mengemukakannya, baik atas suatu kewajiban di bawah
perjanjian itu, atau setiap kewajiban internasional lainnya yang
dimilikinya terhadap pihak lainnya pada perjanjian tersebut.
Dalam hal ini jelas bahwa perjanjian-perjanjian yang menguntungkan
negara seperti perjanjian pangkalan militer, tetap berlaku dan mengikat negara
baru. Namun pada praktiknya, negara baru ternyata menentukan sendiri
sikapnya terhadap perjanjian-perjanjian mengenai wilayah. Sehubungan
dengan hal ini, bahwa negara baru yang menentukan sikapnya terhadap
perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh predeccessor state, biasanya dibuat
sendiri suatu deklrasi yang menyatakan sikap tersebut.
Hal yang serupa terjadi dalam kasus Timor Leste dengan Indonesia.
Pemisahan diri yang dilakukan oleh Timor Leste meninggakan permasalahan
batas wilayah antara Indonesia-Timor Leste dan Australia yang dikenal
dengan Timor Gap. Sebelum terjadinya suksesi, Indonesia mempunyai
perjanjian dengan Australia yang disebut dengan Perjanjian Timor Gap.
Perjanjian ini disetujui pada tanggal 11 Desember 1989 dan berisi tentang
aturan terkait pembagian daerah dan hasil di wilayah kerjasama Indonesia-
Australia, aturan mengenai eksplorasi dan ekslpoitasi hasil di wilayah
kerjasama, jangka waktu berlakunya perjanjian dan penyelesaian sengketa..
Ketika Timor Leste melakukan pemisahan diri dengan Indonesia, secara
langsung memberikan akibat hukum terhadap perjanjian ini baik bagi
Indonesia maupun Australia bahkan dengan Timor Leste. Dengan berpisahnya
Timor Leste dengan Indonesia maka berakhir pula perjanjian Timor Gap bagi
Indonesia secara hukum karena kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia atas
Timor Leste pun berakhir. Pihak dalam perjanjian itu pun berpindah tangan ke
Timor Leste. Hal tersebut dinyatakan secara tertulis oleh Indonesia dan
Australia dalam Pertukaran Nota Diplomatik yang dilakukan pada tanggal 1
Juni 2000. Selain karena telah kehilangan kedaulatan dan yurisdiksi atas
Timor Leste, perjanjian Timor Gap juga berakhir secara hukum bagi
Indonesia karena adanya alasan geografis dan geologis. Indonesia bisa saja
mengklaim wilayah Timor Gap merupakan wilayah Indonesia seperti yang
sempat dipermasalahkan oleh warga Nusa Tenggara Timur. Namun secara
geografis wilayah Timor Gap lebih condong sejajar dengan Timor Leste dari
arah Utara ke Selatan, daripada kea rah Timor Barat. Sisanya, dari arah
Selatan ke Utara wilayah Timor Gap sejajar dengan pantai Australia Utara.
Melihat kondisi ini, maka jelas secara geografis wilayah Timor Gap
merupakan wilayah kedaulatan bagi Timor Leste dan Australia.
Bagi Australia, berpisahnya Timor Leste dengan Indonesia tetap
membuat perjanjian Timor Gap berlaku bagi mereka hanya saja substansi dan
kesepakatannya berubah sesuai dengan hasil perundingan yang dilakukan
dengan Timor Leste. Perundingan yang dilakukan oleh Australia dengan
Timor Leste ini merupakan bentuk dari prinsip free choice yang disebutkan
dalam Konvensi Wina 1978 sebagai hak keistimewaan dari negara baru.
Perundingan antara Timor Leste dengan Australia saat itu diwakli oleh
UNTAET (United Nations Transitional Adminsitration of East Timor) yang
merupakan Pemerintah Transisi Timor Leste. Perundingan atas substansi dan
kelanjutan Perjanjian Timor Gap antara Australia dengan Timor Leste
dilakukan pada tanggal 25 Oktober 1999 dan menghasilkan dua perjanjian
setelahnya yakni Pertukaran Nota Kesepahaman mengenai Kelanjutan
Perjanjian Timor Gap yang disahkan pada tanggal 20 Februari 2000 dan
Perjanjian Laut Timor yang disahkan pada tanggal 20 Mei 2000. Beberapa
substansi dari Perjanjian Timor Gap juga mengalami perubahan penting
antara lain:
1) Perubahan nama wilayah zona A Celah Timor. Zona A wilayah Celah
Timor dalam Perjanjian Celah Timor, 1989 antara Indonesia den\gan
Australia diberi nama “Daerah Garapan Bersama”. Namun dalam
Perjanjian Laut Timor antara Australia dengan Timor Leste, 20 Mei 2002
dirubah namanya menjadi “Daerah Pengeksplorasian Minyak Bersama
(Joint Petroleum Development Area/JPDA)” .
2) Perluasan wilayah zona A Celah Timor. Zona A Celah Timor atau Daerah
Pengeksplorasian Minyak Bersama (JPDA) diperluas sehingga mencakup
20,5% dari wilayah ladang minyak Sunrise-Troubador (Greater Sunrise)
sedangkan 79,5% dari kedua ladang minyak tersebut tetap berada di
bawah yurisdiksi Australia. Perluasan wilayah zona A Celah Timor ini
dilakukan oleh kedua negara berdasarkan kesepakatan unitisasi yaitu suatu
kesepakatan antara Australia dan Timor Leste yang memandang Zona A
Celah Timor dan 20% dari ladang minyak Greater Sunrise sebagai satu
kesatuan.
3) Pembagian wilayah zona kerja sama dan hasil produksi di Celah Timor.
Perubahan pembagian wilayah zona kerja sama dan hasil produksi minyak
yang disepakati oleh Australia dan Timor Leste, yaitu zona A yang dalam
Perjanjian Celah Timor, 1989 sebagai Daerah Garapan Bersama dengan
pembagian hasil 50%:50% untuk Indonesia dan Australia mengalami
perubahan menjadi Daerah Pengeksplorasian Minyak Bersama (JPDA)
dengan pembagian hasil produksi 90% untuk Timor Leste dan 10% untuk
Australia. Sebaliknya Zona B yang sebelumnya digarap oleh Australia
dengan pembagian hasil 90% untuk Australia dan 10% untuk Indonesia,
dalam Perjanjian Laut Timor dimiliki sepenuhnya oleh Australia,
demikian pula Zona C yang sebelumnya digarap oleh Indonesia dengan
pembagian hasil 90% untuk Indonesia dan 10% untuk Australia, dalam
Perjanjian Laut Timor dimiliki sepenuhnya oleh Timor Leste.
4) Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian. Jangka waktu berlakunya Perjanjian
Celah Timor sebelumnya ditetapkan selama 40 tahun, namun dalam
Perjanjian Laut Timor 2002, Australia dan Timor Leste menetapkan
jangka waktu berlakunya Perjanjian Laut Timor adalah selama 30 tahun,
terhitung sejak kedua negara meratifikasinya. Selain itu ditetapkan pula
bahwa perjanjian ini dapat diperbaharui atas dasar kesepakatan kedua
negara dan bahkan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan kondisi di
Daerah Pengembangan Minyak Bersama17
b) Analisa Perjanjian Hutang Indonesia-USA untuk Timor Malaria
Project 1980
Sebelum membahas studi kasus perjanjian ini, perlu dijelaskan lebih
dahulu mengenai teori tentang perjanjian hutang ketika terjadi suksesi negara.
Analisa bagi perjanjian hutang ini juga mengakibatkan implikasi hukum bagi
pihak ketiga sebagai kreditor dan termasuk sebagai perjanjian yang menurut
penulis dapat beralih ke negara baru ketika terjadi suksesi negara.. Konvensi
Wina 1978 sendiri tidak mengatur mengenai perjanjian hutang namun hal ini
diatur di Konvensi Wina 1983. Pengertian dari hutang negara dalam lingkup
suksesi negara dijelaskan dalam pasal 33 yakni:
17
Pemisahan Timor Timur dan Akibatnya Terhadap Timor Gap Treaty oleh Yanto M.P Ekon. S.H.M.Hum http://ekonyanto.blogspot.co.id/2013/11/pemisahan-timor-timur-dari-indonesia.html diakses 4 April 2017