BAB I PENDAHULUAN Indonesia dewasa ini menghadapi era globalisasi yang sangat dahsyat. Masyarakat menjadi makin urban dan modern. Kalau tiga puluh tahun yang lalu masyarakat urban baru mencapai sekitar 20 persen dari seluruh penduduk Indonesia, dewasa ini sudah mendekati 50 persen. Namun, Indonesia masih sangat terkenal dengan sebutan negara dengan tingkat kematian ibu hamil dan melahirkan paling tinggi di dunia. Salah satu sebabnya adalah karena masyarakat masih miskin dan tingkat pendidikannya rendah. Tingkah laku masyarakat umumnya dicerminkan oleh keadaan sumber daya manusia yang rendah mutunya itu.Untuk beberapa lama telah dikembangkan upaya besar untuk menurunkan angka kematian ibu hamil dan melahirkan itu. Biarpun telah dicapai hasil yang memadai, tetapi dirasakan masih kurang cepat dibandingkan dengan tuntutan masyarakat yang makin luas. Dalam suasana seperti ini kita harus mengembangkan strategi komunikasi yang jitu untuk lebih lanjut menurunkan tingkat kematian ibu mengandung dan melahirkan yang masih tinggi itu. Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia merupakan angka tertinggi dibandingkan dengan negara – negara ASEAN lainnya. Angka kematian ibu (AKI di Indonesia saat ini masih merupakan masalah nasional yang harus mendapat perhatian serius, dalam upaya mempercepat penurunan angka kematiannya sekaligus untuk mencapai target 125/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010. Salah satu upaya yang 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia dewasa ini menghadapi era globalisasi yang sangat dahsyat. Masyarakat
menjadi makin urban dan modern. Kalau tiga puluh tahun yang lalu masyarakat urban baru
mencapai sekitar 20 persen dari seluruh penduduk Indonesia, dewasa ini sudah mendekati 50
persen. Namun, Indonesia masih sangat terkenal dengan sebutan negara dengan tingkat
kematian ibu hamil dan melahirkan paling tinggi di dunia. Salah satu sebabnya adalah karena
masyarakat masih miskin dan tingkat pendidikannya rendah. Tingkah laku masyarakat
umumnya dicerminkan oleh keadaan sumber daya manusia yang rendah mutunya itu.Untuk
beberapa lama telah dikembangkan upaya besar untuk menurunkan angka kematian ibu hamil
dan melahirkan itu. Biarpun telah dicapai hasil yang memadai, tetapi dirasakan masih kurang
cepat dibandingkan dengan tuntutan masyarakat yang makin luas. Dalam suasana seperti ini
kita harus mengembangkan strategi komunikasi yang jitu untuk lebih lanjut menurunkan
tingkat kematian ibu mengandung dan melahirkan yang masih tinggi itu.
Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia merupakan
angka tertinggi dibandingkan dengan negara – negara ASEAN lainnya. Angka kematian ibu
(AKI di Indonesia saat ini masih merupakan masalah nasional yang harus mendapat perhatian
serius, dalam upaya mempercepat penurunan angka kematiannya sekaligus untuk mencapai
target 125/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
dengan metode Making Pregnancy Safer (MPS=membuat persalinan hidup) yang diprakarsai
Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan merupakan strategi sektor kesehatan yang bertujuan
mempercepat penurunan angka kematian ibu. Berbagai faktor yang terkait dengan resiko
terjadinya komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan dan cara pencegahannya telah
diketahui, namun demikian jumlah kematian ibu dan bayi masih tetap tinggi (Depkes RI,
2001). Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2006, AKI Indonesia adalah 307/100.000
kelahiran hidup pada tahun 2002, sedangkan AKB di Indonesia sebesar 35/1000 kelahiran
hidup. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia pada tahun 2007 masih tertinggi di negara –
negara ASEAN (Soejoenoes, 2007; Supari, 2007). Data hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) pada tahun 2003. AKI di Indonesia mencapai 109 per 100.000 kelahiran
hidup (Ariadi, Rahayu, & Sudarso, 2004 ; Utomo, 2007). Penyebab kematian ibu karena
komplikasi kehamilan dan persalinan di seluruh dunia adalah perdarahan sebanyak 25%,
karena penyakit yang memperberat kehamilannya sebanyak 20%, infeksi 15%, aborsi yang
tidak aman 13%, eklampsia 12%, pre – eklampsia 1.7%, sepsis 1.3%, perdarahan post partum
1
1%, persalinan lama 0.7% (WHO, 2005 dalam Adriaansz (2007). Penyebab langsung
kematian maternal yang paling umum di ndonesia adalah perdarahan 28%, eklamsi 24%, dan
infeksi 11%.
Di Indonesia permasalahan AKI dalam dasa warsa terakhir ini memang telah menurun
sekitar 25 % dari kondisi semula yaitu dari 450 per 100.000 kelahiran pada tahun 1996
menjadi 334 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 berdasarkan Survei Demografi
Kesehatan 1997. Namun angka tersebut masih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga
dan diperkirakan tidak dapat mencapai target yang ingin dicapai pada akhir tahun 2000, yaitu
225 per 100.000 kelahiran.
Ditambahkannya, penyebab dan latar belakang kematian ibu di Indonesia sangat
kompleks dan menyangkut bidang-bidang yang ditangani banyak sektor baik lingkungan
pemerintah maupun swasta, termasuk universitas serta organisasi profesi. Untuk itu upaya
percepatan penurunannya memerlukan penanganan menyeluruh terhadap masalah yang ada
dan melibatkan semua sektor terkait.
Namun karena keterbatasan sumber daya yang ada, tidak semua kegiatan yang
berkaitan dengan upaya penurunan angka kematian ibu dilaksanakan dengan intensitas yang
sama. Kegiatan prioritas yang cost efektif dan mempunyai dampak langsung terhadap
penurunan jumlah kematian ibu adalah MPS sebagai pilihan utama.
Pelayanan kesehatan ibu difokuskan pada upaya pencapaian ketiga pesan kunci
program MPS, yaitu persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, setiap komplikasi
obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat dan setiap wanita usia subur harus
mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan
komplikasi keguguran. Walaupun MPS memfokuskan pada tiga pesan kunci, namun
keberhasilannya memerlukan dukungan dari sektor non kesehatan, organisasi profesi, swasta
danpartisipasi luas dari keluarga dan masyarakat, selain dukungan dan kegiatan lainnya yang
dapat digali di masing-masing daerah, sehingga program penurunan angka kematian ibu bisa
tercapai sesuai target. Saat ini telah dirumuskan strategi MPS, yaitu peningkatan kualitas dan
akses pelayanan yang didukung dengan kerja sama lintas program, lintas sektor terkait dan
masyarakat termasuk swasta, pemberdayaan keluarga dan perempuan serta pemberdayaan
masyarakat.
Salah satu upaya yang dilakukan Departemen Kesehatan dalam mempercepat
penurunan AKI adalah mendekatkan pelayanan kebidanan kepada setiap ibu yang
membutuhkannya. Penempatan bidan di desa adalah upaya untuk menurunkan AKI, bayi dan
2
anak balita. Masih tingginya AKB dan AKI menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan masih
belum memadai dan belum menjangkau masyarakat banyak, khususnya dipedesaan. Namun
bidan di desa yang sudah ditempatkan belum didayagunakan secara optimal dalam upaya
menurunkan AKI dan AKB. Asuhan persalinan normal dengan paradigma baru (aktif) yaitu
dari sikap menunggu dan menangani komplikasi menjadi mencegah komplikasi yang
mungkin terjadi, terbukti dapat memberi manfaat membantu upaya penurunan AKI dan AKB.
Sebagian besar persalinan di Indonesia terjadi di desa atau di fasilitas pelayanan kesehatan
dasar. Tingkat keterampilan petugas dan sarana kesehatan sangat terbatas, maka paradigma
aktif menjadi sangat strategis bila dapat diterapkan pada tingkat tersebut. Tujuan dari asuhan
persalinan normal adalah mengupayakan kelangsungan hidup dan mencapai derajat kesehatan
yang tinggi bagi ibu dan bayinya, melalui berbagai upaya yang terintegrasi dan lengkap serta
intervensi minimal sehingga prinsip keamanan dan kualitas pelayanan dapat terjaga pada
tingkat yang optimal. Hal ini berarti bahwa upaya asuhan persalinan normal harus didukung
oleh adanya alasan yang kuat dan berbagai bukti ilmiah yang dapat menunjukkan adanya
manfaat apabila diaplikasikan pada setiap proses persalinan. Kajian kinerja petugas pelaksana
pertolongan persalinan (bidan) di jenjang pelayanan dasar, mengindikasikan adanya
kesenjangan kinerja yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan bagi ibu hamil dan
bersalin. Hal ini terbukti dari masih tingginya angka kematian ibu dan bayi.
Banyak hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu tujuan yang sudah
dirancang sedemikian rupa, dan yang paling sering disebut adalah faktor sumber daya
manusia (tenaga kerja), serta faktor sarana dan prasarana pendukung atau fasilitas kerja. Dari
kedua faktor tersebut sumber daya manusia atau tenaga kerja lebih penting daripada sarana
dan prasarana pendukung karena, secanggih dan selengkap apa pun fasilitas pendukung yang
dimiliki suatu organisasi kerja, tanpa sumber daya yang memadai, baik kuantitas (jumlah)
maupun kualitas (kemampuannya), maka niscaya organisasi tersebut dapat berhasil
mewujudkan tujuan organisasinya.
Di berbagai negara di dunia, upaya menurunkan angka kematian ibu telah
menunjukkan banyak keberhasilan. Negara-negara tersebut berhasil menekan angka kematian
ibu sedemikian rupa, karena adanya kebijakan yang dilakukan secara intensif, misalnya
menambah subsidi masyarakat untuk pencegahan penyakit, perbaikan kesejahteraan, dan
pemeriksaan kesehatan ibu. Beberapa masalah khusus, seperti tromboemboli, perdarahan,
preeklampsia dan eklampsia, dan sebab-sebab mayor lainnya mendapat prioritas utama,
karena persentase kematian ibu akibat masalah-masalah tersebut begitu tinggi. Sistem
3
administrasi klinis juga perlu dibina, yang meliputi akreditasi pelayanan, manajemen risiko,
peningkatan profesionalitas, dan pengaduan pasien.
Dengan mengenali berbagai masalah utama terkait angka kematian ibu dan upaya-
upaya potensial yang efektif dalam menurunkannya, maka secara keseluruhan tidak hanya
mengurangi jumlah kematian, tetapi juga menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan
bayi. Meskipun intervensi kesehatan yang dilakukan hanya meliputi aspek yang terbatas,
seperti pengadaan tenaga terampil dalam pertolongan persalinan, tatalaksana gawat darurat
obstetri yang memadai, dan keluarga berencana. Namun, keberhasilan dalam upaya perbaikan
kesehatan maternal ini secara tidak langsung akan meningkatkan derajat kesehatan bangsa.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Kematian Ibu
Kematian ibu menurut International Classification of Diseases (ICD) adalah kematian
wanita dalam kehamilan atau 42 hari pasca terminasi kehamilan, tanpa memandang usia
kehamilan dan kelainan kehamilan, yang disebabkan baik oleh kehamilannya maupun
tatalaksana, namun bukan akibat kecelakaan. Kematian ini terbagi dua, yaitu kematian
langsung dan tidak langsung. Kematian yang bersifat koinsidental, terjadi selama masa
kehamilan atau 42 hari pascaterminasi kehamilan, namun tidak terkait dengan kehamilannya.
Saat ini, WHO telah menetapkan sistem klasifikasi kematian ibu. Sistem klasifikasi
kematian ibu bertujuan:
Mengembangkan sistem klasifikasi standar guna identifikasi kausa kematian ibu
yang akurat, diperlukan perbandingan berbagai studi penelitian
Menjamin sistem tersebut dapat diterapkan secara luas
Mengembangkan sistem klasifikasi paralel terhadap morbiditas maternal berat.
Hal-hal yang mendasari sebab kematian ibu, dapat diklasifikasikan berdasarkan
sejumlah variabel, yaitu sebab/kondisi yang secara langsung mendasari kematian,
gejala/tanda dari penyakit yang menyebabkan kematian, misalnya perdarahan pascapartum,
dan kondisi lain yang memperberat sebab kematian, misalnya HIV dan Anemia. Prinsip
sistem klasifikasi kematian ibu menurut WHO, yaitu:
Harus dapat diterapkan dan dipahami dalam penggunaannya, baik oleh dokter, ahli
epidemiologi, dan pihak-pihak lain yang terkait.
Kondisi/penyakit spesifik dengan sebab yang belum jelas harus dipisah dari kondisi
lainnya.
Sistem klasifikasi baru harus sesuai dengan International Classification of Diseases
(ICD).
Penyebab kematian ibu di berbagai belahan dunia dapat dilihat pada gambar berikut:
5
II. Angka Kematian Ibu Melahirkan (AKI)
Angka kematian ibu merupakan angka yang didapat dari jumlah kematian ibu untuk
setiap 100.000 kelahiran hidup, sehingga berkaitan langsung dengan kematian ibu. Penyebab
kematian tersebut dapat berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kehamilan,
dan umumnya terdapat sebab utama yang mendasari. Dalam upaya memudahkan identifikasi
kematian ibu, WHO telah menetapkan sejumlah sistem klasifikasi kematian ibu. Dengan
adanya sistem ini, diharapkan akan meningkatkan kewaspadaan, perencanaan tindakan, dan
pada akhirnya akan menurunkan angka kematian ibu.
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat
kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah
ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5 yaitu meningkatkan
kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai
¾ resiko jumlah kematian ibu. Dari hasil survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan
penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan
pembangunan millenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus
menerus.
6
Pencapaian dan Proyeksi Angka Kematian Ibu (AKI) Tahun 1994-2015
(Dalam 100.000 Kelahiran Hidup)
Gambar diatas menunjukkan trend AKI Indonesia secara Nasional dari tahun 1994
sampai dengan tahun 2007, dimana menunjukkan penurunan yang signifikan dari tahun ke
tahun. Berdasarkan SDKI survei terakhir tahun 2007 AKI Indonesia sebesar 228 per 100.000
Kelahiran Hidup, meskipun demikian angka tersebut masih tertinggi di Asia. Sementara
target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ada sebesar 226 per
100.000 Kelahiran Hidup.
III. Penyebab Kematian Ibu Melahirkan
Sejumlah kondisi mayor terkait dengan angka mortalitas maternal. Penyebab mayor
dari kematian ibu ternyata berkontribusi besar terhadap kematian bayi.
7
Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil menjadi faktor penentu
angka kematian, meskipun masih banyak faktor yang harus diperhatikan untuk menangani
masalah ini. Persoalan kematian yang terjadi lantaran indikasi yang lazim muncul. Yakni
pendarahan, keracunan kehamilan yang disertai kejang, aborsi, dan infeksi. Namun, ternyata
masih ada faktor lain yang juga cukup penting. Misalnya, pemberdayaan perempuan yang tak
begitu baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan
politik, kebijakan juga berpengaruh. Kaum lelaki pun dituntut harus berupaya ikut aktif
dalam segala permasalahan bidang reproduksi secara lebih bertanggung jawab. Selain
masalah medis, tingginya kematian ibu juga karena masalah ketidaksetaraan gender, nilai
budaya, perekonomian serta rendahnya perhatian laki-laki terhadap ibu hamil dan
melahirkan. Oleh karena itu, pandangan yang menganggap kehamilan adalah peristiwa
alamiah perlu diubah secara sosiokultural agar perempuan dapat perhatian dari masyarakat.
Sangat diperlukan upaya peningkatan pelayanan perawatan ibu baik oleh pemerintah, swasta,
maupun masyarakat terutama suami.
Penyebab kematian ibu adalah perdarahan, eklampsia atau gangguan akibat tekanan
darah tinggi saat kehamilan, partus lama, komplikasi aborsi, dan infeksi. Perdarahan, yang
biasanya tidak bisa diperkirakan dan terjadi secara mendadak, bertanggung jawab atas 28
persen kematian ibu. Sebagian besar kasus perdarahan dalam masa nifas terjadi karena
retensio plasenta dan atonia uteri. Hal ini mengindikasikan kurang baiknya manajemen tahap
ketiga proses kelahiran dan pelayanan emergensi obstetrik dan perawatan neonatal yang tepat
waktu. Eklampsia merupakan penyebab utama kedua kematian ibu, yaitu 24 persen kematian
ibu di Indonesia (rata-rata dunia adalah 12 persen). Pemantauan kehamilan secara teratur
sebenarnya dapat menjamin akses terhadap perawatan yang sederhana dan murah yang dapat
mencegah kematian ibu karena eklampsia.
8
Distribusi Persentase Penyebab Kematian Ibu Melahirkan
Aborsi yang tidak aman. Bertanggung jawab ter hadap 11 persen kematian ibu di
Indonesia (ratarata dunia 13 persen). Kematian ini sebenarnya dapat dicegah jika perempuan
mempunyai akses terhadap informasi dan pelayanan kontrasepsi serta perawatan terhadap
komplikasi aborsi. Data dari SDKI 2002–2003 menunjukkan bahwa 7,2 persen kelahiran
tidak diinginkan.
Prevalensi pemakai alat kontrasepsi. Kontrasepsi modern memainkan peran
penting untuk menurunkan kehamilan yang tidak diinginkan. SDKI 2002–2003 menunjukkan
bahwa kebutuhan yang tak terpenuhi (unmet need) dalam pemakaian kontrasepsi masih
tinggi, yaitu sembilan persen dan tidak mengalami banyak perubahan sejak 1997. Angka
pemakaian kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate) di Indonesia naik dari 50,5 persen
pada 1992 menjadi 54,2 persen pada 20026 (Gambar 2 dan Tabel 1). Untuk indikator yang
sama, SDKI 2002–2003 menunjukkan angka 60.3 persen.
Pertolongan persalinan oleh petugas kesehatan terlatih. Pola penyebab kematian
di atas menunjukkan bahwa pelayanan obstetrik dan neonatal darurat serta pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih menjadi sangat penting dalam upaya penurunan
kematian ibu. Walaupun sebagian besar perempuan bersalin di rumah, tenaga terlatih dapat
membantu mengenali kegawatan medis dan membantu keluarga untuk mencari perawatan
darurat. Proporsi persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih terus meningkat dari
9
40,7 persen pada 1992 menjadi 68,4 persen pada 2002. Akan tetapi, proporsi ini bervariasi
antarprovinsi dengan Sulawesi Tenggara sebagai yang terendah, yaitu 35 persen, dan DKI
Jakarta yang tertinggi, yaitu 96 persen, pada 20028 (Tabel 2 dan 3). Proporsi ini juga berbeda
cukup jauh mengikuti tingkat pendapatan. Pada ibu dengan dengan pendapatan lebih tinggi,
89,2 persen kelahiran ditolong oleh tenaga kesehatan, sementara pada golongan
berpendapatan rendah hanya 21,39 persen. Hal ini menunjukkan tidak meratanya akses
finansial terhadap pelayanan kesehatan dan tidak meratanya distribusi tenaga terlatih
terutama bidan.
Penyebab tidak langsung. Risiko kematian ibu dapat diperparah oleh adanya anemia
dan penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis (TB), hepatitis, dan HIV/AIDS. Pada
1995, misalnya, prevalensi anemia pada ibu hamil masih sangat tinggi, yaitu 51 persen, dan
pada ibu nifas 45 persen.10 Anemia pada ibu hamil mempuyai dampak kesehatan terhadap ibu
dan anak dalam kandungan, meningkatkan risiko keguguran, kelahiran prematur, bayi dengan
berat lahir rendah, serta sering menyebabkan kematian ibu dan bayi baru lahir. Faktor lain
yang berkontribusi adalah kekurangan energi kronik (KEK). Pada 2002, 17,6 persen wanita
usia subur (WUS) men derita KEK. Tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, faktor
budaya, dan akses terhadap sarana kesehatan dan transportasi juga berkontribusi secara tidak
langsung terhadap kematian dan kesakitan ibu. Situasi ini diidentifikasi sebagai “3 T”
(terlambat). Yang pertama adalah terlambat deteksi bahaya dini selama kehamilan,
persalinan, dan nifas, serta dalam mengambil keputusan untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan ibu dan neonatal. Kedua, terlambat merujuk ke fasilitas kesehatan karena kondisi
geografis dan sulitnya transportasi. Ketiga, terlambat mendapat pelayanan kesehatan yang
memadai di tempat rujukan.
4T (Terlambat)
1. Terlambat deteksi dini adanya resiko tinggi pada ibu hamil di tingkat keluarga
2. Terlambat untuk memutuskan mencari pertolongan pada tenaga kesehatan
3. Terlabat untuk datang di fasilitas pelayanan kesehatan
4. Terlambat untuk mendapatkan pertolongan pelayanan kesehatan yang cepat dan
berkualitas di fasilitas pelayanan kesehatan
4T (Terlalu), yang mempunyai resiko tinggi:
1. Terlalu muda
2. Terlalu tua
10
3. Terlalu sering
4. Terlalu banyak
IV. Cakupan Pertolongan Persalinan Oleh Bidan atau Tenaga Kesehatan
Salah satu faktor tingginya AKI di Indonesia adalah disebabkan karena relatif masih
rendahnya cakupan pertolongan oleh tenaga kesehatan. Departemen Kesehatan menetapkan
target 90 persen persalinan ditolong oleh tenaga medis pada tahun 2010. Perbandingan
dengan hasil survei SDKI bahwa persalinan yang ditolong oleh tenaga medis profesional
meningkat dari 66 persen dalam SDKI 2002-2003 menjadi 73 persen dalam SDKI 2007.
Angka ini relatif rendah apabila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura,
Malaysia, Thailand di mana angka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan hampir
mencapai 90%. Apabila dilihat dari proyeksi angka pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan nampak bahwa ada pelencengan dari tahun 2004 dimana angka pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan dibawah dari angka proyeksi, apabila hal ini tidak menjadi
perhatian kita semua maka diperkirakan angka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
sebesar 90 % pada tahun 2010 tidak akan tercapai, konsekuensi lebih lanjut bisa berimbas
pada resiko angka kematian ibu meningkat. Kondisi geografis, persebaran penduduk dan
sosial budaya merupakan beberapa faktor penyebab rendahnya aksesibilitas terhadap tenaga
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, dan tentunya disparitas antar daerah akan
berbeda satu sama lain.
Tempat Persalinan dan Penolong Persalinan dengan Kualifikasi Terendah
11
Distribusi Persentase Anak Lahir Hidup Terakhir Dalam Lima Tahun
Sementara dilihat dari latar belakang pendidikan, ibu dengan status tidak sekolah
lebih banyak ditolong oleh Dukun bayi.
12
Apabila dilihat dari tren pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan dari
tahun 2000-2007 menunjukkan bahwa pertolongan persalinan oleh dokter dari tahun trendnya
meningkat baik di desa maupun di kota. Bahkan di daerah perkotaan angka pertolongan
persalinan oleh dokter pada tahun 2007 telah lebih dari 20%. Sedangkan cakupan pertolongan
persalinan oleh bidan relatif tidak banyak bergerak bahkan apabila dibandingkan antara tahun
2007 dan 2004 secara total pertolongan persalinan oleh bidan kecenderunganya menjadi
turun.
V. Upaya Menurunkan AKI
1. Peningkatan pelayanan kesehatan primer menurunkan AKI 20%
2. Sistem rujukan yang efektif menurunkan sampai 80%
Upaya safe motherhood
Tahuin 1988 diadakan Lokakarya Kesejahteraan Ibu, yang merupakan kelanjutan
konferensi tentang kematian ibu di Nairobi setahuin sebelumnya. Lokakarya bertujuan
mengemukakan betapa kompleksnya masalah kematian ibu, sehingga penanganannya perlu
dilaksanakan berbagai sector dan pihak terkait. Pada waktu itu ditandatangani kesepakatam
oleh sejumlah 17 sektor. Sebagai koordinator dalam upaya itu ditetapkan Kantor Menteri
Negara Urusan Peranan Wanita ( sekarang : Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan ).
13
Tahun 1990-1991, Departemen Kesehatan dibantu WHO, UNICEF, dan UNDP
melaksanakan Assessment Safe Motherhood. Suatu hasil dari kegiatan ini adalah rekomendasi
Rencana Kegiatan Lima Tahun. Departemen Kesehatan menerapkan rekomendasi tersebut
dalam bentuk strategi operasional untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu
( AKI ). Sasarannya adalah menurunkan AKI dari 450 per 100.000 kelahiran hidup pada
1986, menjadi 225 pada tahun 2000.
Awal tahun 1996, Departemen Kesehatan mengadakan Lokakarya Kesehatan
Reproduksi, yang menunjukkan komitmen Indonesia untuk melaksanakan upaya kesehatan
resproduksi sebagaimana dinyatakan dalam ICPD di Kairo. Pada pertengahan tahun itu juga,
Menperta meluncurkan Gerakan Sayang Ibu, yaitu upaya advokasi dan mobilisasi social
untuk mendukung upaya percepatan penurunan AKI.
Intervensi Strategis Dalam Upaya Safe Motherhood
Empat pilar Safe Motherhood
14
SAFE MOTHERHOOD
KB
ASUHAN
ANTENATAL
PELAYANAN KEBIDANAN DASAR
PELAYANAN OBSTETRI ESENSIAL
PERSALINAN BERSIH DAN AMAN
PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
PEMBERDAYAAN WANITA
Intervensi strategis dalam upaya safe motherhood dinyatakan sebagai empat pilar safe
motherhood, yaitu :
a. Keluarga berencana, yang memastikan bahwa setiap orang/pasangan mempunyai
akses ke informasi dan pelayanan KB agar dapat merencanakan waktu yang tepat
untuk kehamilan, jarak kehamilan dan jumlah anak. Dengan demikian diharapkan
tidak ada kehamilan yang tak diinginkan. Kehamilan yang masuk dala, kategori “4
terlalu”, yaitu terlalu muda atau terlalu tua untuk kehamilan, terlalu sering hamil dan
terlalu banyak anak.
b. Pelayanan antenatal, untuk mencegah adanya komplikasi obstetrik bila mungkin dan
memastikan bahwa komplikasi dideteksi sedini mungkin serta ditangani secara
memadai.
c. Persalinan yang aman, memastikan bahwa semua penolong persalinan mempunyai
pengetahuan, keterampilan dan alat untuk memberikan pertolongan yang aman dan
bersih, serta memberikan pelayanan nifas kepada ibu dan bayi
d. Pelayanan obstetrik esensial, memastikan bahwa pelayanan obstetrik untuk resiko
tinggi dan komplikasi tersedia bagi ibu hamil yang membutuhkannya.
Keempat intervensi strategis diatas perlu dilaksanakan lewat pelayanan kesehatan
dasar, dan bersendikan kesetaraan hak dan status bagi wanita.
Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam penurunan AKI
Tingginya AKI di Indonesia yaitu 390 per 100.000 kelahiran hidup ( SDKI, 1994 )
tertinggi di ASEAN, menempatkan upaya penurunan AKI sebagai program prioritas.
Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia, seperti halnya di negara lain adalah
pendarahan, infeksi, dan eklampsia. Ke dalam pendarahan dan infeksi sebagai penyebab
kematian, sebenarnya tercakup pula kematian akibat abortus terinfeksi dan partus lama.
Hanya sekitar 5% kematian ibu disebabkan oleh penyakit yang memburuk akibat kehamilan,
misalnya penyakit jantung dan infeksi yang kronis.
Selain itu, keadaan ibu sejak pra-hamil dapat berpengaruh terhadap kehamilannya.
Penyebab tak langsung kematian ibu ini antara lain adalah anemia, kurang energi kronis
( KEK ) dan keadaan “4 terlalu” ( terlalu muda/tua, terlalu sering, dan terlalu banyak ). Tahun
1995, kejadian anemia ibu hamil sekitar 51%, dan kejadian resiko KEK pada ibu hamil
( lingkar / lengan atas kurang dari 23,5 cm ) sekitar 30%.
Lagipula, seperti dikemukakan diatas, kematian ibu diwarnai oleh hal-hal nonteknis
yang masuk kategori penyebab mendasar, seperti rendahnya status wanita,
ketidakberdayaannya dan tarif pendidikan yang rendah. Hal nonteknis ini ditangani oleh
15
sektor terkait diluar sektor kesehatan, sedangkan sector kesehatan lebih memfokuskan
intervensinya untuk mengatasi penyebab langsung dan tidak langsung dari kematian ibu.
Dalam menjalankan fokus intervensinya itu Departemen Kesehatan tetap memerlukan
dukungan dari sektor dan pihak terkait lainnya. Kebijakan Departemen Kesehatan tersebut
dalam upaya mempercepat penurunan AKI pada dasarnya mengacu kepada inventarisasi
strategis “ Empat pilar Safe Mothehood “. Dewasa ini, program keluarga berencana – sebagai
pilar pertama – telah dianggap berhasil. Namun, untuk mendukung upaya mempercepat
penurunan AKI, diperlukan penajaman sasaran agar kejadian “ 4 terlalu “ dan kehamilan
yang tak diinginkan dapat ditekan serendah mungkin. Akses terhadap pelayanan antenatal –
sebagai pilar kedua – cukup baik, yaitu 87% pada tahun 1997; namun mutunya masih perlu
ditingkatkan terus.. persalinan yang aman – sebagai pilar ketiga - yang dikategorikan sebagai
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, pada tahun 1997 baru mempunyai 60%.
Untuk mencapai AKI sekitar 200 per 100.000 kelahiran hidup diperlukan cakupan
persalinan oleh tenaga kesehatan sekitar angka 80%. Cakupan pelayanan obstetrik esensial –
sebagai pilar keempat – masih sangat rendah, dan mutunya belum optimal. Mengingat kira-
kira 90% kematian ibu terjadi di saat sekitar persalinan dan kira-kira 95% penyebab kematian
ibu adalah komplikasi obstetrik yang sering tak dapat diperkirakan sebelumnya, maka
kebijaksanaan Departemen Kesehatan untuk mempercepat penurunan AKI adalah
mengupayakan agar setiap persalinan ditolong atau minimal didampingi oleh bidan, dan
pelayanan obstetrik sedekat mungkin kepada semua ibu hamil.
Salah satu upaya terobosan yang cukup mencolok untuk mencapai keadaan tersebut
adalah pendidikan sejumlah 54.120 bidan ditempatkan di desa selama 1989/1990 sampai
1996/1997. Dalam pelaksanaan operasional, sejak tahun 1994 diterapkan strategi berikut :
a. Penggerakan Tim Dati II ( Dinas Kesehatan dan seluruh jajarannya sampai ke tingkat
kecamatan dan desa, RS Dati II dan pihak terkait ) dalam upaya mempercepat penurunan
AKI sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing.
b. Pembinaan daerah yang intensif di setiap Dati II, sehingga pada akhir Pelita VII :
- Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan mencapai 80% atau lebih.
- Cakupan penanganan kasus obstetrik ( resiko tinggi dan komplikasi obstetrik )
minimal meliputi 10% seluruh persalinan.
- Bidan mampu memberikan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan obstetrik
neonatal dan puskesmas sanggup memberikan pelayanan obstetrik-neonatal esensial
dasar ( PONED ), yang didukung oleh RS Dati II sebagai fasilitas rujukan utama
yang mampu menyediakan pelayanan obstetrik-neonatal esensial komprehensif
16
( PONEK ) 24 jam; sehingga tercipta jaringan pelayanan obstetrik yang mantap
dengan bidan desa sebagai ujung tombaknya.
c. Penerapan kendali mutu layanan kesehatan ibu, antara lain melalui penerapan standar
pelayanan, prosedur tetap, penilaian kerja, pelatihan klinis dan kegiatan audit maternal-
perinatal.
d. Meingkatkan komunikasi, informasi, dan esukasi ( KIE ) untuk mendukung upaya
percepatan penurunan AKI
e. Pemantapan keikutsertaan masyrakat dalam berbagai kegiatan pendukung untuk
mempercepat penurunan AKI.
Keterlibatan Lintas Sektor
Dalam mempercepat penurunan AKI, keterlibatan sector lain disamping kesehatan
sangat diperlukan. Berbagai bentuk keterlibatan lintas sector dalam upaya penurunan AKI
adalah sebagai berikut :
a. Gerakan Sayang Ibu ( GSI )
GSI dirintis oleh kantor Menperta pada tahun 1996 di 8 kabupaten perintis di 8
propinsi. Ruang lingkup kegiatan GSI meliputi advokasi dan mobilisasi social. Dalam
pelaksanaannya, GSI mempromosikan kegiatan yang berkaitan dengan Kecamatan
Sayang Ibu dan Rumah Sakit Sayang Ibu, unruk mencegah tiga macam keterlambatan,
yaitu :
- Keterlambatan di tingkat keluarga dalam mengenali tanda bahaya dan membuat
keputusan untuk segera mencari pertolongan.
- Keterlambatan dalam mencapai fasilitas pelayanan kesehatan
- Keterlambatan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapat pertolongan yang
dibutuhkan.
Kegiatan yang terkait dengan Kecamatan Sayang Ibu berusaha mencegah
keterlambatan pertama dan kedua, sedangkan kegiatan yang terkait dengan Rumah Sakit
Sayang Ibu adalah mencegah keterlambatan ketiga.
Pada tahun 1997 diadakan Rakornas GSI yang diadakan bersamaan dengan
Rakerkesnas. Pada saat itu pengalaman di 8 kabupaten perintis diinformasikan ke wakil-
eakil semua propinsi dan selanjutnya mereka diharapkan akan melaksanakan kegiatan
GSI. Sampai pertengahan 1998 upaya perluasan kegiatan GSI masih terus dilaksanakan.
b. Kelangsungan hidup, perkembangan dan perlindungan ibu dan anak
Upaya yang dirintis sejak 1990 oleh Dirjen Pembangunan Daerah, Depdagri,
dengan bantuan UNICEF yang lebih dikenal sebagai upaya KHPPIA ini bertujuan
17
menghimpun koordinasi lintas sector dalam penentuan kegiatan dan pembiayaan dari
berbagai sumber dana, antara lain untuk menurunkan AKI dan AKB. Kegiatan utamanya
adalah koordinasi perencanaan kegiatan dari sector terkait dalam upaya itu. Propinsi yang
dilibatkan adalah mereka yang mendapat bantuan UNICEF, namun pola ini akan
diperluas oleh Depdagri ke semua propinsi.
c. Gerakan Reproduksi keluarga Sehat ( GRKS )
GRKS dimulai oleh BKKBN sebagai kelanjutan dari Gerakan Sayang Ibu Sehat
Sejahtera. Gerakan ini intinya merupakan upaya promosi mendukung terciptanya
keluarga yang sadar akan pentingnya mengupayakan kegiatan reproduksi. Di antara
masalah yang dikemukakan adalah masalah kematian ibu. Karena itu, promosi yang
dilakukan melalui GRKS juga termasuk promosi untuk kesejahteraan ibu.
Selain ketiga upaya lintas sector tersebut, masih ada perbagai kegiatan lain yang
dilaksanakan pihak terkait, seperti organisasi profesi, yaitu POGI, IBI, Perinasia, PKK,
dan pihak lain sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing
Pemantauan dan Evaluasi
Dalam memantau program kesehatan ibu, dewasa ini digunakan indicator cakupan,
yaitu : cakupan antenatal ( K1 untuk askes dan K4 untuk kelengkapan layanan antenatal ),
cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dan cakupan kunjungan neonatal/nifas. Untuk itu,
sejak awal tahun 1990-an telah digunakan alat pantau berupa Pemantauan Wilayah Setempat
– Kesehatan Ibu dan Anak ( PWS-KIA ), yang mengikuti jejak program imunisasi. Dengan
adanya PWS-KIA, data cakupan layanan program kesehatan ibu dapat diperoleh setiap
tahunnya dari semua propinsi.
Walau demikian, disadari bahwa indikator cakupan tersebut cukup memberikan gambaran
untuk menilai kemajuan upaya menurunkan AKI. Mengingat bahwa mengukur AKI, sebagai
indicator dampak, secara berkala dalam waktu kurang dari 5-10 trahun tidak realistis, maka
para pakar dunia menganjurkan pemakaian indikator praktis atau indikator outcome. Indicator
tersebut antara lain :
a. Cakupan penanganan kasus obstetrik
b. Case fatality rate kasus obstetric yang ditangani.
c. Jumlah kematian absolute
d. Penyebaran fasilitas pelayanan obstetric yang mampu PONEK dan PONED
e. Persentase bedah sesar terhadap seluruh persalinan di suatu wilayah
Indikator gabungan tersebut akan lebih banyak digunakan dalam Repelita VII, agar
pemantauan dan evaluasi terhadap upaya penurunan AKI lebih tajam.
18
Antenatal Care
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan untuk ibu
selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang
ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan (SPK). Pelayanan antenatal sesuai standar
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium
rutin dan khusus, serta intervensi umum dan khusus (sesuai risiko yang ditemukan dalam
pemeriksaan). Dalam penerapannya terdiri atas:
1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan.
2. Ukur tekanan darah.
3. Nilai Status Gizi (ukur lingkar lengan atas).
4. Ukur tinggi fundus uteri.
5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ).
6. Skrining status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bila
diperlukan.
7. Pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan.
8. Test laboratorium (rutin dan khusus).
9. Tatalaksana kasus
10. Temu wicara (konseling), termasuk Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi (P4K) serta KB pasca persalinan.
Pemeriksaan laboratorium rutin mencakup pemeriksaan golongan darah, hemoglobin,
protein urine dan gula darah puasa. Pemeriksaan khusus dilakukan di daerah prevalensi tinggi
dan atau kelompok berrisiko, pemeriksaan yang dilakukan adalah hepatitis B, HIV, Sifilis,
malaria, tuberkulosis, kecacingan dan thalasemia.
Dengan demikian maka secara operasional, pelayanan antenatal disebut lengkap
apabila dilakukan oleh tenaga kesehatan serta memenuhi standar tersebut. Ditetapkan
pula bahwa frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama kehamilan,
dengan ketentuan waktu pemberian pelayanan yang dianjurkan sebagai berikut :
- Minimal 1 kali pada triwulan pertama.
- Minimal 1 kali pada triwulan kedua.
- Minimal 2 kali pada triwulan ketiga.
Standar waktu pelayanan antenatal tersebut dianjurkan untuk menjamin
perlindungan kepada ibu hamil, berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan dan
penanganan komplikasi.
19
Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan antenatal
kepada Ibu hamil adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan dan perawat.
Pertolongan Persalinan
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pelayanan persalinan yang
aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten. Pada kenyataan di lapangan,
masih terdapat penolong persalinan yang bukan tenaga kesehatan dan dilakukan di luar
fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu secara bertahap seluruh persalinan akan
ditolong oleh tenaga kesehatan kompeten dan diarahkan ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Pada prinsipnya, penolong persalinan harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
1. Pencegahan infeksi
2. Metode pertolongan persalinan yang sesuai standar.
3. Manajemen aktif kala III
4. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi.
5. Melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
6. Memberikan Injeksi Vit K 1 dan salep mata pada bayi baru lahir.
Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan pertolongan
persalinan adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter dan bidan.
VI. Mempercepat Penurunan AKI
1. Peningkatan deteksi dan penanganan RISTI
2. Peningkatan cakupan pertolongan/pendampingan
3. Peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan maternal
4. Peningkatan pembinaan teknis bidan
5. Pemantapan kerja Dinkes dan RS
6. Pemantapan kemampuan pengelolaan KIA
7. Peningkatan peran serta lintas program
VII. Indikator Keberhasilan
1. Jumlah kematian maternal menurun
2. Cakupan akses dan pelayanan ANC
3. Cakupan persalinan yang ditolong/didampingi
4. Adanya fasilitas POED dan POEK
5. Proporsi RISTI yang ditangani adekuat
20
6. Case fatality rate RISTI per tahun dibagi jumlah RISTI yang ditangani kali 100%
7. Presentasi bedah sesar terhadap seluruh persalinan