HIDROLOGIS LAPORAN AKHIR KEGIATAN PENELITIAN - TAHUN 2018 HIDROLOGIS LAPORAN AKHIR KEGIATAN PENELITIAN TAHUN 2018 BIDANG PENELITIAN PUSAT PENELITIAN PROMOSI DAN KERJASAMA HIDROLOGIS Bencana hidrologis diartikan sebagai kejadian yang disebabkan oleh perubahan siklus hidrologi maupun fenomena meteorologis yang berpotensi menyebabkan hilangnya nyawa, cidera atau dampak-dampak kesehatan lain, kerusakan harta benda, hilangnya penghidupan dan layanan, serta gangguan sosial ekonomi, atau kerusakan lingkungan. Buku ini adalah laporan akhir kegiatan penelitian Tahun 2018 yang dilaksanakan oleh Bidang Penelitian, Pusat Penelitian Promosi dan Kerjasama, Badan Informasi Geospasial. Buku ini merangkum hasil kegiatan penelitian dengan tema kebencanaan hidrologis dari perspektif ruang kebumian (geospasial), berikut juga disertakan hasil penelitian yang disusun dalam bentuk karya tulis ilmiah. Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan data pemodelan berdasarkan pengolahan, analisis dan simulasi terhadap simplifikasi fenomena banjir secara aktual, sementara pendekatan yang digunakan dalam analisis model yaitu pendekaatan hidrodinamika. Secara prinsip, konsep dalam penelitian ini menerapkan integrasi data geospasial yang dimodelkan melalui persamaan gelombang air dangkal untuk mendapatkan simulasi hidrodinamika banjir. Luaran data model yang dihasilkan diharapkan akan dapat digunakan sebagai salah satu referensi pembuat kebijakan, terutama yang berhubungan dengan penanganan kejadian bencana banjir, serta mampu dimanfaatkan untuk keperluan akademis maupun kepentingan praktis. LAPORAN AKHIR KEGIATAN PENELITIAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL Jl. Raya Jakarta - Bogor KM. 46 Cibinong, 16911 Bogor, Jawa Barat, Indonesia Telp: 021-8752062, Fax: 021-8752064, Surel: [email protected]
82
Embed
HIDROLOGISbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian2018/Lap Akhir... · perubahan siklus hidrologi maupun fenomena meteorologis yang ... Laporan Penelitian Kebencanaan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HIDROLOGIS
LA
PO
RA
N A
KH
IR K
EG
IATA
N P
EN
EL
ITIA
N - T
AH
UN
20
18
HIDROLOGIS
LAPORAN AKHIR KEGIATAN PENELITIAN
TAHUN 2018
BIDANG PENELITIAN
PUSAT PENELITIAN PROMOSI DAN KERJASAMA
HIDROLOGIS
Bencana hidrologis diartikan sebagai kejadian yang disebabkan oleh perubahan siklus hidrologi maupun fenomena meteorologis yang berpotensi menyebabkan hilangnya nyawa, cidera atau dampak-dampak kesehatan lain, kerusakan harta benda, hilangnya penghidupan dan layanan, serta gangguan sosial ekonomi, atau kerusakan lingkungan. Buku ini adalah laporan akhir kegiatan penelitian Tahun 2018 yang dilaksanakan oleh Bidang Penelitian, Pusat Penelitian Promosi dan Kerjasama, Badan Informasi Geospasial. Buku ini merangkum hasil kegiatan penelitian dengan tema kebencanaan hidrologis dari perspektif ruang kebumian (geospasial), berikut juga disertakan hasil penelitian yang disusun dalam bentuk karya tulis ilmiah. Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan data pemodelan berdasarkan pengolahan, analisis dan simulasi terhadap simplifikasi fenomena banjir secara aktual, sementara pendekatan yang digunakan dalam analisis model yaitu pendekaatan hidrodinamika. Secara prinsip, konsep dalam penelitian ini menerapkan integrasi data geospasial yang dimodelkan melalui persamaan gelombang air dangkal untuk mendapatkan simulasi hidrodinamika banjir. Luaran data model yang dihasilkan diharapkan akan dapat digunakan sebagai salah satu referensi pembuat kebijakan, terutama yang berhubungan dengan penanganan kejadian bencana banjir, serta mampu dimanfaatkan untuk keperluan akademis maupun kepentingan praktis.
LAPORAN AKHIR KEGIATAN PENELITIAN
BADAN INFORMASI GEOSPASIAL
Jl. Raya Jakarta - Bogor KM. 46 Cibinong, 16911 Bogor, Jawa Barat, Indonesia Telp: 021-8752062, Fax: 021-8752064, Surel: [email protected]
Laporan Akhir Kegiatan Penelitian Bidang Penelitian – Pusat Penelitian, Promosi, Kerjasama
geometri permukaan (terrain), 3) eksekusi simulasi aliran, 4) validasi dan kalibrasi
model, dan 5) presentasi dan analisis hasil. Urutan-urutan langkah ini ditampilkan
secara skematis pada Gambar 14.
Gambar 14. Langkah eksekusi model dalam penelitian
1. Penyiapan Parameter Input Aliran
Pada penelitian ini, input aliran yang dimaksud adalah volume debit
aliran permukaan (runoff) pada frekuensi waktu 1 jam. Debit aliran sangat
dipengaruhi oleh sejumlah faktor, dan yang paling utama adalah volume hujan
efektif dari intensitas hujan. Intensitas curah hujan adalah jumlah curah hujan
Mulai
Penyiapan Parameter Input
Debit Aliran
Penyusunan Geometri
Permukaan (Terrain)
Eksekusi Simulasi Aliran
Validasi dan Kalibrasi Model
Selesai
Presentasi dan Analisis Hasil
Para
mete
r Adju
sment
i. Koefisien Mannings
ii. Hujan efektif iii. Morfometri DAS
i. Mesh (structure grid)
ii. Break Lines iii. River Cross Section
i. Unsteady Flow ii. Velocity Rates
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
25 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
yang dinyatakan dalam tinggi hujan atau volume hujan tiap satuan waktu,
yang terjadi pada satu kurun waktu air hujan terkonsentrasi. Besarnya
intensitas curah hujan berbeda-beda tergantung dari lamanya curah hujan
dan frekuensi kejadiannya.
Hujan efektif merupakan hujan yang menyebabkan terjadinya aliran
permukaan (runoff). Besarnya debit hujan efektif yang terjadi pada suatu DAS
akan dipengaruhi oleh kondisi tutupan lahan setempat (landcover) dan
karakteristik dari DAS. Secara garis besar bahwa hujan efektif diperoleh dari
pengurangan curah hujan yang turun (gross rainfall) dengan besarnya
infiltrasi/ intersepsi dan evapotranspirasi.
Gambar 15. Contoh input data hujan efektif yang digunakan dalam penelitian Sumber : Hujan rancangan - BMKG, 2018
Volume dan debit puncak aliran permukaan bergantung pada
karakteristik meteorologi dan DAS, dan pendugaan aliran permukaan
memerlukan suatu indeks yang mewakili kedua faktor (indeks manning’s).
Volume curah hujan mungkin merupakan satu-satunya karakteristik
meteorologi yang penting dalam menduga volume aliran permukaan. Tipe
tanah, penggunaan lahan dan kondisi hidrologi penutup adalah faktor-faktor
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
26 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
DAS yang berpengaruh paling penting dalam pendugaan volume aliran
permukaan. Kandungan air tanah sebelumya juga akan berpengaruh penting
dalam penentuan volume aliran permukaan.
Gambar 16. Indeks Manning’s berdasar tipe penutup lahan Sumber : National Landcover Data Base (NLCD) - USGS, 2006
Debit puncak dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor hujan
dan faktor DAS. Adapun faktor hujan yang meliputi; jumlah hujan,
intensitas hujan; durasi hujan; dan distribusi hujan. Sedangkan faktor DAS
yaitu; luas DAS, bentuk DAS, jenis tanah, dan penutup lahan.
2. Penyusunan Geometri (Terrain)
File geometri dibuat dengan program HEC-RAS. Pada program tersebut
file geometri digeneralisasi dari sumber data DEM (DEM Nasional) dan data
Penutup Lahan – Kebijakan Satu Peta. File geometri yang dihasilkan berisi
informasi mengenai geometri sungai yang dimodelkan: tampang lintang,
struktur hidraulik, koefisien kekasaran (manning’s), koefisien
kontraksi/expansi, dan informasi mengenai cara pemodelan bagian-bagaian
tertentu seperti metode hitungan di struktur hidraulik. Data pada file geometri
dituliskan dalam format ASCII. File geometri utama yang digunakan dalam
penelitian ini adalah model terrain yang menggambarkan karakteristik
topografis daerah penelitian. File geometri selanjutnya batas daerah aliran
yang menjadi fokus area genangan berdasarkan interpretasi topografis dari
data terrain tersebut. Batas daerah aliran meliputi daerah simpanan air
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
27 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
(storage area), daerah aliran air (flow area), serta batas kondisional
(conditional boundary) yang terdiri dari segmen hulu dan hilir.
Gambar 17. File geometri (conditional boundary dan mesh points) yang disusun untuk simulasi model
Pada pemodelan ini, parameter geometri permukaan (terrain)
merupakan replikasi kondisi lapangan dengan ukuran yang lebih kecil daripada
ukuran sesungguhnya. Geometri permukaan (terrain) disusun menjadi entitas
poin komputasi (mesh point computation) sebelum dilakukan running model.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
28 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
Sementara itu, untuk geometri sungai direplikasi berdasar struktur hidrolika
sungai pada ukuran skala topografis yang relatif lebih detil yaitu dengan
menggunakan sumber data pada skala 1:10.000 (DEM Nasional – BIG 2018).
Data DEM sebagai input terrain digeneralisiasi pada program HEC-RAS. Terrain
yang dihasilkan Data yang dibutuhkan untuk menirukan geometri ini antara
lain adalah data situasi alur sungai (cross section), dan profil topografi sungai.
Gambar 18. Profil geometri sungai (cross section) berdasar topografis
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
29 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
3. Running Simulasi Model Aliran dan Genangan
Running simulasi aliran dan genangan pada penelitian ini adalah
simulasi kondisi berdasarkan proses komputasi parameter data penggunaan
lahan, tanah, elevasi, dan meteorologi (curah hujan). Angka kurva debit aliran
merupakan parameter empiris yang digunakan untuk memprediksi limpasan
permukaan (surface runoff) dari kelebihan curah hujan yang tidak mampu
terserap oleh permukaan. Simulasi model diterapkan pada wilayah penelitian,
yaitu DAS Beringin. Proses komputasi untuk memperoleh informasi aliran
dilakukan pada program HEC-RAS, adalah tool pemodelan untuk mengubah
data input curah hujan yang turun di DAS menjadi debit aliran (runoff) serta
potensi genangan yang terjadi pada DAS tersebut. Informasi aliran dan
genangan yang dihasilkan dalam perhitungan debit berdasarkan data hujan,
dihasilkan setelah proses running simulasi aliran pada model ini.
Pilihan karakteristik jenis aliran yang digunakan pada simulasi ini
adalah simulasi model aliran tak permanen (unsteady flow). Dalam
indentifikasi potensi banjir, simulasi jenis aliran ini merupakan pilihan yang
paling akurat. Hal tersebut berdasarkan fakta kondisi aktual bahwa fenomena
banjir terjadi bukan pada situasi hidrologis yang tetap atau permanen. Selain
itu analisis penelusuran banjir (flood routing) juga hanya dapat dilakukan pada
simulasi aliran tak permanen. Maka, proses running simulasi aliran untuk
memperoleh informasi genangan banjir pada penelitian ini hanya dilakukan
pada jenis aliran tak permanen.
Hasil eksekusi simulasi aliran pada penelitian ini menunjukkan
bagaimana model HEC mampu digunakan untuk pemodelan banjir dengan
menghitung area genangan simulasi berdasarkan data penggunaan lahan,
tanah, elevasi, dan meteorologi. Prediksi banjir dengan pemodelan HEC
mengacu pada proses transformasi curah hujan menjadi hidrograf banjir di
seluruh DAS atau sistem hidrologi lainnya. Ilustrasi terkait hasil simulasi
genangan ditampilkan pada Gambar 12 berikut.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
30 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
Gambar 19. Contoh hasil simulasi aliran dan genangan di wilayah penelitian
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
31 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
Gambar 20. Nilai ketinggian (m) genangan dari hasil simulasi di wialyah penelitian
4. Validasi dan Kalibrasi Model
Pada kegiatan penelitian ini, proses validasi pemodelan genangan
dengan HEC dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu validasi model dengan
data observasi lapangan secara intensif dan validasi menggunakan program
model hidrologis lainya. Mengingat kondisi pelaksanaan kegiatan yang sangat
terbatas pada waktu, maka validasi dengan cara observasi lapangan secaara
intensif belum dilaksanakan secara keseluruhan. Alternatif pilihan validasi
model pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan program model
hidrologis lainya, dalam penelitian ini digunakan program HEC-HMS
(Hydrology Modeling System). Prinsip dari program ini yaitu dengan
melakukan validasi data dan parameter input pada simulasi aliran.
Secara keseluruhan, proses validasi terdiri dari penyesuaian data
model (adjustment), dan kalibrasi model. Penyesuaian data model
menggunakan data meteorologi tahun 2017-2018. Sumber data yang
digunakan yaitu data hasil perhitungan presipitasi dari satelit cuaca dan
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
32 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
pengukuran lapangan (rain gauges) yang dilakukan oleh BMKG. Hal ini
dilakukan agar parameter model yang dijalankan dapat disesuaikan dengan
kondisi aktual di wilayah kajian. Selanjutnya, proses kalibrasi dilakukan untuk
memperbaiki hidrograf hasil simulasi yang memiliki perbedaan cukup besar
degan hidrograf dari hasil validasi. Pada aplikasi yang digunakan, program
HEC-HMS memiliki fasilitas kalibrasi secara otomatis berdasar perhitungan
parameter hidrologis, khususnya parameter aliran dasar (base flow).
Gambar 21. Perbandingan nilai hidrograf sebelum dan sesudah dilakukan kalibrasi dengan HEC-HMS
Hasil kalibrasi menunjukkan bahwa parameter baseflow merupakan
yang sensitif. Hasil ini sesuai dengan input data yang digunakan dalam
pemodelan ini. Parameter baseflow tidak terdapat di setiap area pada daerah
penelitian atau dalam penelitian ini yaitu DAS Beringin, sehingga merupakan
parameter yang memiliki nilai ketidakpastian (uncertainty) paling tinggi. Hasil
kalibrasi menunjukkan selisih debit simulasi model dengan debit validasi yang
diperoleh cukup kecil, yaitu 0,14%.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
33 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
Gambar 22. Kurva hasil validasi simulasi pada periode waktu 2018
Parameter yang sudah terkalibrasi selanjutnya digunakan untuk
eksekusi running model dalam kurun waktu 2018. Hasil validasi pada periode
waktu tersebut menunjukkan nilai R2 sebesar 0.56. Nilai R2 yang kurang
maksimal ini utamanya disebabkan oleh hasil model yang selalu melebihi
estimasi (overestimate) ketika terjadi hujan dengan intensitas tinggi.
5. Presentasi dan Analisis Hasil
Informasi tingkat banjir digunakan untuk penilaian kerusakan dan
manajemen risiko tidak terlepas dari tahapan presentasi (visualisasi) hasil
pemodelan. Dari hasil eksekusi model banjir pada penelitian ini, informasi
banjir divisualisasikan secara informatif pada program HEC. Selain itu, simulasi
banjir juga dapat disajikan secara realtime. Hal ini juga sangat penting untuk
merekonstruksi apa yang terjadi selama banjir dan untuk menentukan dan
memantau tingkat area yang tergenang banjir, memberikan perkiraan terukur
dari luas lahan dan infrastruktur yang terkena banjir. Prediksi banjir dan
pemodelan umumnya melibatkan deskripsi perkiraan proses transformasi
hujan-limpasan. Deskripsi ini didasarkan pada pengukuran berbasis fisik yang
didasari secara empiris, atau gabungan dari deskripsi fisik terhadap kondisi
fenomena atau kejadian.
Berdasar hasil dari eksekusi model pada penelitian ini, simulasi model
aliran dan genangan pada penelitian ini menunjukkan hampir sebagian besar
bagian timur wilayah hilir DAS Beringin terjadi genangan akibat proses aliran
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
34 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
permukaan dan ekspansi debit dari sungai utama (Sungai Beringin – Banjir
Kanal Barat). Berdasarkan hasil perhitungan model yang digunakan, sebaran
luapan banjir di daerah penelitian dapat diketahui. Secara umum dapat dilihat
bahwa range ketinggian genangan berdasar proses komputasi yaitu 0 - 15
meter (dihitung dari dasar muka air laut). Sementara di wilayah penelitian,
banyak terdapat area yang berada di bawah ketinggian muka air laut. Skenario
luapan banjir memiliki dampak terhadap karakteristik penutup lahan yang ada
di wilayah penelitian. Secara umum tampak pada skenario genangan maksimal
dari luapan banjir berdampak pada jenis penutup lahan area terbangun
(developed area) dengan intensitas bangunan menengah sampai dengan
tinggi. Mengingat sebagian besar wilayah penelitian didominasi oleh tipe
penutup lahan ini, maka potensi risiko bencana banjir yang terjadi pada
daerah ini sangat tinggi.
Berdasarkan model yang dihasilkan, dengan demikian maka,
kesimpulan dari model pada penelitian ini adalah cukup sesuai dalam praktik
identifikasi dan analisis banjir. Hal tersebut didukung dengan aplikasi program
yang secara sederhana mampu memberikan prediksi banjir yang memadai
beserta sejumlah informasi yang sangat komprehensif dalam konteks
penanganan bencana hidrologis.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
35 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
1.F Pelaksanaan Survei Lapangan
Survei lapangan dilaksanakan dalam rangka verifikasi awal hasil model
yang dibuat, sekaligus mengumpulkan data-data tambahan yang dapat digunakan
untuk melengkapi anlisis pada kegiatan penelitian ini. Metode survei dilakukan
secara purposive sampling. Sampel diambil secara terukur berdasarkan pemilihan
dan justifikasi dari model yang dihasilkan. Adapun lokasi survei yang ditentukan
yaitu wilayah DAS Beringin. Sample yang diambil mengikuti pola aliran sungai,
pertemuan percabangan sungai, kondisi tutupan lahan wilayah penelitian, dan
daerah yang terdampak kejadian banjir secara historis. Sementara itu
pelaksanaan verifikasi lapangan dilakukan oleh Tim pada bulan September 2018
di wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah.
Hasil pelaksanaan survei lapangan menunjukkan bahwa, di lokasi
pengamatan yaitu di wilayah Tawangsari, Semarang Barat terdapat indikasi
dampak luapan banjir yang cukup signifikan, hal ini dibuktikan dengan adanya
tanda-tanda alam yang mengindikasikan kondisi daratan yang tidak stabil
(subsidence). Meskipun demikian, karakter banjir yang terjadi di daerah ini
cenderung diakibatkan oleh faktor pesisir (banjir rob). Sementara itu kondisi
tutupan lahan di lapangan terdiri dari variasi kolam air payau, tambak, dan tegalan
atau kebun. Sementara kondisi tutupan lahan di daerah ini dodominasi oleh area
terbangun berupa sejumlah permukiman dengan tingkat kerapatan bangunan
yang cukup tinggi.
Berbeda dengan lokasi survei sebelumnya, pada lokasi survei kali ini
dilakukan di bagian selatan hilir DAS Beringin. Lokasi survei dilakukam di wilayah
Ngemplak, Simongan, dan Petompon - Kecamatan Gajahmungkur, Kota
Semarang. Pengamatan di wilayah Ngemplak menunjukkan bahwa terdapat
indikasi dampak fenomena hidrologis yang mengakibatkan peningkatan debit
sehingga menyebabkan banjir luapan sungai, hal ini dibuktikan dengan adanya
tanda-tanda alam yang mengindikasikan terjadinya kondisi luapan tinggi yang
pernah terjadi pada masa sebelumnya. Sementara itu kondisi tutupan lahan di
lapangan terdiri dari variasi permukiman, tegalan atau kebun, dengan dominasi
karakter penutup lahan berupa area terbangun (developed area) dengan tingkat
kerapatan bangunan yang relatif tinggi.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
36 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
a. Situasi hidrolika sungai utama di lokasi studi (Sungai Garang; Banjir Kanal Timur-Semarang)
b. Observasi karakteristik pentutup lahan di Sungai Garang; Banjir Kanal Timur- Semarang)
c. Variabel hidrolika sungai utama di lokasi studi (Sungai Garang - Semarang)
Gambar 23. Dokumentasi pelaksanaan survei lapangan di wilayah studi
Juction Levee Break
Tributary
Main Channel
Culvert / Bridge
Dam
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
37 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
1.G Pelaksanaan Evaluasi dan Pelaporan
Evaluasi pada kegiatan penelitian dilaksanakan sejak tahap disusunya
metodologi pemodelan. Evaluasi meliputi evaluasi terhadap hasil output data dan
evaluasi kegiatan secara keseluruhan. Hasil penelitian ini, akan dibuat laporan
sebagai salah satu bentuk tindak lanjut secara administratif kegiatan. Sementara
itu tahapan ini merupakan tindak lanjut kegiatan penyusunan karya tulis ilmiah
yang harus dipublikasikan. Dengan demikian luaran dari kegiatan peneltiain ini
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, akademisi maupun dari pihak internal
Badan Informasi Geospasial.
a. Koordinasi internal bidang dalam pembahasan dan evaluasi kegiatan
b. Proses pengolahan data dalam
pelaksanaan kegiatan peneliitian
c. Agenda konsinyasi penyusunan laporan
kegiatan penelitian
Gambar 24. Dokumentasi pelaksanaan evaluasi dan pelaporan kegiatan
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
38 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
1.H Luaran (Output) Kegiatan
Kegiatan penelitian pemetaan emisi karbon wilayah gambut yang
dilaksanakan ini mempunyai target luaran (output) berupa beberapa naskah dan
draft karya tulis ilmiah. Target luaran tersebut terdiri dari sejumlah judul publikasi
yang sesuai terhadap judul kegiatan penelitian kebencanaan hidrologis. Dari
beberapa judul naskah dan draft karya tulis ilmiah yang dihasilkan, terdapat
naskah yang sudah dipublikasikan dalam forum ilmiah / seminar nasional maupun
internasional. Sementara ini, judul karya tulis ilmiah yang dihasilkan dari kegiatan
ini meliputi :
1. Teknik Filtering Model Elevasi Digital (DEM) untuk Delineasi Batas Daerah
Aliran Sungai (DAS).
2. Re-assessing Rainwater Volume by CHIRPS Satellite in Semarang
Settlement Area.
3. The Relationship Between Various Land Use Categories and The
Imperviousness For Predicting The Impact of Excessive Land
Development in Urban Area at Semarang Regency, Central Java.
4. Studi Bencana Banjir dengan Menggunakan Pemodelan Hidrodinamika 2D
- Studi Kasus : DAS Beringin.
1.I Dampak (Outcome) Kegiatan
Pelaksanaan kegiatan penelitian kebencanaan hidrologis yang sudah
dilaksanakan ini diharapan memberikan dampak (outcome) yang dapat dirasakan
secara langsung maupun tidak langsung. Adapun penerima manfaat sebagai
sasaran dampak dari kegiatan pelaksanaan kegiatan ini yaitu Badan Informasi
Geospasial khususnya untuk unit (pusat) teknis yang bersinggungan terhadap
topik kegiatan ini. Selanjutnya yaitu Kementerian/Lembaga terkait serta
pemerintah yang membidangi tema yang relevan dengan tema penelitian ini,
yaitu terkait isu penanganan bencana hidrologis khususnya terkait fenomena
banjir. Sasaran outcome selanjutnya yaitu para akademisi maupun peneliti secara
umum, sehingga diharapkan luaran dari kegiatan penelitian ini dapat
memberikan dampak berupa rujukan ataupun referensi, baik secara teknis
maupun akademis.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
39 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
1.J Ringkasan dan Kesimpulan
Secara keseluruhan, pelaksanaan kegiatan penelitian kebencanaan
hidrologis – pemodelan hidrodinamika banjir telah dilaksanakan dengan lancar.
Namun demikian terdapat sedikit kendala pada teknis kegiatan, sehingga untuk
mengatasi kendala tersebut diperlukan langkah antisipatif agar pelaksanaan
pemodelan tetap berjalan. Sebagai contoh yaitu keterbatasan sumber data
meteorologis pada skala temporal, maka diperlukan metode perhitungan data
hujan rancangan sebagai data input yang digunakan dalam pemodelan.
Sejalan dengan tujuan dilaksanakan kegiatan penelitian ini, dapat
disimpulkan bahwa kajian kebencanaan hidrologis dapat dilakukan dengan studi
model hidrodinamika. Dengan studi hidrodinamika tersebut mampu
mengakomodir penyediaan informasi geospasial yang cukup komprehensif
terkait fenomena bencana banjir. Studi pada kegiatan ini dilakukan dengan
membuat model aliran dan genangan banjir secara 2 dimensi (2D), artinya model
disusun terhadap variabel ruang dan waktu (spatio-temporal). Uji coba penelitian
ini dilakukan di wilayah DAS Beringin, Semarang – Jawa Tengah, dengan kondisi
skenario aliran tak-permanen (unsteady flow). Dari uji coba tersebut, mampu
memodelkan aliran dan simulasi genangan berikut informasi kedalaman,
kecepatan air di sepanjang jalur banjir di wilayah DAS Beringin, beserta informasi
secara keruangan (spasial) daerah yang terdampak terkena luapan genangan
tersebut.
Pembuatan model aliran dan genangan banjir menggunakan teknik
integrasi model HEC (Hydrologic Engineering Center) V.5.0 dan program GIS.
Secara teknis, studi model tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pemodelan aliran dan genangan dengan menggunakan metode integrasi
model HEC (Hydrologic Engineering Center) V.5.0 dan program GIS sangat
efektif untuk mengakomodir kebutuhan analisis banjir. Analisis perkiraan
tingkat banjir dapat dengan mudah dilakukan dengan menggunakan program
aplikasi tersebut.
2. Secara kapabilitas, model HEC mampu digunakan untuk memperkirakan
puncak debit aliran yang dikembangkan dari kejadian curah hujan tinggi pada
suatu wilayah. Selain itu, HEC mampu menyajikan analisis informasi aliran,
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
40 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
simulasi genangan, durasi banjir (flood duration), informasi kedalaman (water
depth), kecepatan aliran (velocity rates), dan profil muka aliran (water surface
profile).
3. Hasil simulasi menunjukkan kinerja yang baik, karena model HEC mampu
melakukan kalibrasi nilai input paramater hidrologis (HEC-HMS) sehingga
dapat meminimalisir nilai kesalahan.
Pembuatan simulasi aliran dan genangan banjir menggunakan model HEC
pada penelitian ini memilki sejumlah keterbatasan yang dijelaskan dalam asumsi-
asumsi sebagai berikut.
1. Pada analisis hidrologi, tidak ada data pengukuran lapangan secara empiris.
Sebagai contoh, data pengukuran hujan di lapangan, data bankfull capacity
dari sungai.
2. Asumsi dari perhitungan debit banjir dengan menggunakan data hujan
rancangan, bahwa hujan terjadi pada seluruh wilayah DAS (merata).
Sementara fakta kejadian di lapangan, jarang terjadi hujan yang seragam dan
bersamaan dalam suatu DAS (khususnya DAS dengan wilayah besar).
3. Dari asumsi bahwa hujan terjadi pada seluruh DAS, berpotensi menghasilkan
debit yang melebihi nilai (over-estimated).
4. Terdapat kemungkinan ketidakstabilan model secara matematis (numerik)
pada analisis aliran tak-permanen (unsteady flow), terutama di sungai dan
aliran yang memilki gradient topografis curam.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
41 BAB I - LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
1.K Daftar Referensi
Ackerman, C. T. (2012). “HEC-GeoRAS: GIS Tools for Support of HEC-RAS using ArcGIS 10 User’s Manual” U.S. Army Corps of Engineers, Hydrologic Engineering Center, report number CPD-83.
Alemseged, T. ., & Rientjes, T. H. (2007). Uncertainty issues in hydrodynamic flood modeling. The 5th International Symposium on Spatial Data Quality SDQ, c43, Vol. 36, No.2. Retrieved from https://ezproxy.utwente.nl:2315/library/2007/conf/rientjes_unc.pdf
Asdak, C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, (2018). Data Bencana Indonesia Menurut Jenisnya. Diakses melalui : http://dibi.bnpb.go.id/dibi/
Brunner, G.W. (2010). “HEC-RAS Hydraulic Reference Manual, Version 4.1.” U.S. Army Corps of Engineers - Hydrologic Engineering Center, report number CPD69.Pender, G., Néelz, S. (2007). “Use of computer models of flood inundation to facilitate communication in flood risk management”. Environ. Hazards 7 (2), 106–114.
Farhan, Yahaya and Anaba, Omar. 2016. Watershed Prioritization Based on Morphometric Analysis and Soil Loss Modeling in Wadi Kerak (Southern Jordan) Using GIS Techniques. nternational Journal of Plant & Soil Science 10(6): 1-18, 2016; Article no.IJPSS.25321 ISSN: 2320-7035.
Harto,S. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hicks, Faye & Peacock, T. (2005). Suitability of HEC-RAS for flood forecasting. Canadian Water Resources Journal - Can Water Resource J. 30. 159-174. 10.4296/cwrj3002159.
Julien, P. (2018). River Mechanics. Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/9781316107072.
Rahaman, S.A., Ajeez S.A., Aruchamy, S., Jegankumar, R., 2015. Prioritization of Sub Watershed Based on Morphometric Characteristic Using Fuzzy Analytical Hierarchy Process and Geographical Information System – a Study of Kallar Watershed, Tamil Nadu. International Conference on Water Resources, Coastal and Ocean Engineering (ICWRCOE 2015). Aquatic Procedia 4 (2015) 1322-1330.
Seyhan, E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Yang, Z., Wang, T., Khangaonkar, T., Breithaupt, S. (2011). “Integrated modeling offlood flows and tidal hydrodynamics over a coastal floodplain”. Environ. Fluid Mech. 12 (1) 63–80.
United Nations Office for Disaster Risk Reduction. (2015). Global Assesment Report on Disaster Risk Reduction. Diakses dari: https://www.unisdr.org/we/inform/gar
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
42 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
2.A Ringkasan
Hasil penelitian merupakan salah satu hal penting yang ada dalam sebuah
penelitian. Pada bagian ini, tim peneliti harus menampakkan objektifitasnya
dalam melakukan analisis terhadap penelitian yang telah dilakukan. Pembahasan
dalam bagian ini berisi tentang perbandingan antara hasil penelitian dengan teori
teori yang ada dan juga dengan hasil penelitian sebelumnya. Pembahasan hasil
penelitian dapat diistilahkan dengan hasil dari pemikiran atau usaha peneliti
untuk memberikan penjelasan dan interpretasi atas hasil penelitian yang telah
dianalisis guna menjawab pertanyaan penelitiannya. Di lain sisi, fakta yang
dilaporkan berdasarkan keadaan obyektif yang diperoleh melalui kegiatan
penelitian. Fakta yang diperoleh dari pelaksanaan kegiatan penelitian
diinformasikan sesuai dengan tanggung jawab yang ditugaskan kepada tim
pelaksana kegiatan.
Pada bagian ini (Bab II – Luaran Karya Tulis Ilmiah Hasil Kegiatan) adalah
proses pengaturan dan pengelompokkan secara sistematis tentang informasi
suatu kegiatan berdasarkan fakta melalui usaha pikiran peneliti dalam mengolah
dan menganalisa objek atau topik penelitian secara sistematis dan objektif untuk
memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis sehingga
menghasilkan sebuah prinsip-prinsip umum atau temuan baru tentang suatu
fakta. Pada kegiatan ini secara garis besar merupakan penelitian kuantitatif, di
mana bagian pembahasan mengenai hasil penelitian beserta kesimpulan atas
hasil penelitian, baru dapat disusun setelah tahap pengolahan dan analisis data
selesai dikerjakan. Dengan demikian informasi yang dilaporkan adalah hasil
pengolahan dan analisis data itu sendiri.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
43 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
Gambar 2.1 Diagram rangkaian tahapan pelaksanaan kegiatan penelitian
Pada BAB II ini, laporan ilmiah hasil penelitian disusun melalui beberapa
tahapan sesuai dengan sistematika penulisan Karya Tulis Ilmiah. Diawali dengan
latar belakang, rumusan masalah, tujuan, tinjauan pustakaan, batasan konsep
(jika ada), hasil dan pembahasan, kesimpulan, serta referensi atau pustaka.
Sesuai dengan topik kegiatan penelitian yang dilaksanakan yaitu Pemetaan Emisi
Karbon pada Lokasi Gambut, maka dikemukakan beberapa judul beserta naskah
sebagai hasil dari pelaksanaan kegiatan penelitian yang sudah dilaksanakan.
Adapun hasil dari pelaksaaan kegiatan tersebut diuraikan dalam sekumpulan
karya tulis ilmiah (KTI) yang telah, siap, ataupun akan dipublikasikan
sebagaimana beberapa naskah tersebut diuraikan pada halaman selanjutnya.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
44 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
2.B Luaran Karya Tulis Ilmiah – 1
Judul :
TEKNIK FILTERING MODEL ELEVASI DIGITAL (DEM) UNTUK DELINEASI
BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Abstrak :
Delineasi batas Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah proses penentuan sebuah area
yang berkontribusi mengalirkan curah hujan (input) menjadi aliran permukaan pada satu
titik luaran (outlet). Model Elevasi Digital (DEM) digunakan sebagai sumber data pada
proses delineasi batas DAS secara otomatis. Teknik delineasi otomatis dibuat dengan
prinsip ekstraksi data topografis untuk memperoleh nilai masukan pada penentuan
parameter hidrologi DAS (flow direction – flow accumulation – stream order –
basin/watershed). Sementara itu ekstraksi data topografis umumnya kurang
memperhatikan proses koreksi terhadap data DEM yang digunakan, sehingga hal
demikian akan berdampak pada output parameter hidrologi sebagai dasar delineasi
batas DAS. Proses koreksi data DEM tersebut akan sangat berpengaruh pada relevansi
dan akurasi informasi DAS yang dihasilkan. Penelitian ini mencoba mendeskripsikan
teknik filtering untuk data DEM sebagai input proses delineasi. Metode filtering yang
diterapkan yaitu high pass filter dengan didukung teknik resampling melalui metode
bicubic convolution. Lokasi sampel penelitian ini yaitu wilayah Pulau Rangsang -
Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Data DEM yang digunakan bersumber dari data
IFSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar), dengan ukuran grid atau resolusi
spasial rerata 2,5 meter. Komparasi dilakukan pada kedua data hasil ekstraksi DEM
(non-filtering) dan data hasil filtering. Dari kedua data tersebut diperoleh sejumlah
parameter hidrologis yang digunakan untuk menilai keakurasian informasi DAS yang
dihasilkan. Jumlah batas DAS yang dihasilkan dari data DEM dengan perlakuan filtering
cenderung menghasilkan informasi DAS yang lebih efektif dan relevan terhadap kondisi
lapangan dibandingkan dengan hasil dari data DEM tanpa perlakuan filtering. Dengan
demikian maka, data DEM dengan perlakuan teknik filtering pada input proses delineasi
otomatis mampu menghasilkan batas dan informasi DAS yang lebih akurat sesuai
karakteristik hidrologi DAS dibandingkan hasil delineasi tanpa teknik filtering.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
DAS (daerah aliran sungai) merupakan salah satu komponen hidrologi yang berperan sebagai wilayah yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan hingga danau atau laut melalui sungai. DAS tersusun atas kesatuan wilayah daratan dan sungai, termasuk anak-anak sungainya, sehingga DAS dapat tersusun atas beberapa sub-DAS maupun sub-sub DAS. Kesatuan wilayah DAS digambarkan dalam sebuah unit yang disebut batas DAS. Batas DAS tergambar pada visualisasi peta yang pada kenyataannya tidak tampak di lapangan. Secara prinsip batas ini merupakan sebuah unit yang membatasi jumlah air hujan yang jatuh pada suatu permukaan. Dengan demikian maka, delineasi batas DAS adalah proses penentuan sebuah area yang berkontribusi mengalirkan curah hujan (input) menjadi aliran permukaan pada satu titik luaran (outlet).
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
45 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
Penentuan batas DAS memiliki beberapa tujuan seperti mengetahui bentuk hidrograf aliran untuk memprediksi debit puncak, digunakan dalam analisa banjir, dan perencanaan manajemen sumber daya air, serta aplikasi lain terkait hidrologi DAS.
Dewasa ini proses delineasi batas DAS sering dilakukan secara otomatis menggunakan perangkat Geographic Information System (GIS) melalui beberapa langkah prosedur teknis yang tersusun pada suatu algoritma. Alasan penggunaan proses delineasi secara otomatis dianggap lebih praktis dibanding proses delineasi secara manual (interpretasi visual peta topografi). Di lain sisi, delineasi secara manual cenderung masih bersifat subyektif khususnya terkait penentuan hilir suatu DAS. Sementara delineasi secara otomatis dinilai relatif lebih akurat, cepat dan mampu mengakomodir kebutuhan penyusunan parameter DAS serta komponen-komponen hidrologis secara lebih luas. Proses delineasi secara otomatis sangat bergantung pada algoritma serta input data topografis sebagai sumber data utama. Pada proses ini, data topografis direpresentasikan oleh model permukaan digital atau Digital Elevation Model (DEM). Namun demikian faktor perbedaan input data DEM yang digunakan akan mempegaruhi luaran (output) batas DAS yang dihasilkan.
Pada proses delineasi secara otomatis, ekstraksi topografis terhadap data DEM umumnya kurang memperhatikan nilai akurasinya. Sementara itu, hal tersebut akan berdampak pada nilai karakteristik hidrologi DAS yang dihasilkan. Sebagai contoh yaitu, pembuatan batas DAS dengan metode delineasi otomotatis tanpa memperhatikan akurasi data DEM akan menghasilkan nilai konfigurasi jaringan aliran (drainase) yang cenderung kurang akurat. Dengan demikian maka, diperlukan suatu metode atau teknik khusus terhadap data DEM sebagai masukan atau input data pada proses delineasi batas DAS secara otomatis. Dengan memperhatikan nilai akurasi topografis terhadap data DEM, teknik ini diharapkan dapat menghasilkan data yang lebih akurat. Data DEM yang lebih akurat akan memberikan luaran proses delineasi secara otomatis berupa informasi komponen hidrologi suatu DAS secara lebih akurat dan relevan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan uji coba teknik filtering pada data model elevasi digital atau DEM, dimana data DEM digunakan sebagai data input pada proses delineasi DAS secara otomatis. Tujuan berikutnya yaitu untuk menguji hasil delineasi batas DAS dari input data DEM tanpa teknik filtering terhadap data dengan teknik filtering.
Studi Pustaka
Karakteristik Hidrologi dan Morfometri DAS Karakteristik topografis suatu DAS sangat erat kaitanya terhadap morfometri.
Morfometri DAS adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan keadaan serta ukuran atau parameter fisik suatu permukaan DAS, khususnya terkait jaringan atau alur sungai secara kuantitatif (Moore, Grayson and Ladson, 1991; Supangat, 2012). Sementara itu morfomeri DAS merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan keadaan jaringan alur sungai secara kuantitatif. Morfometri suatu DAS meliputi beberapa komponen, antar lain : panjang, lebar, dan luas DAS; kemiringan atau gradien sungai; orde dan tingkat percabangan sungai; kerapatan dan pola pengaliran sungai; serta bentuk DAS itu sendiri.
Orde sungai adalah posisi percabangan alur sungai di dalam urutannya terhadap induk sungai pada suatu DAS. Ada beberapa metode penentuan orde sungai diantaranya yaitu Horton, Strahler, Shreve, dan Scheidegger. Pada penelitian ini metode yang digunakan yaitu Strahler (Strahler, 1952). Berdasarkan metode Strahler, alur sungai paling hulu yang tidak mempunyai cabang disebut dengan orde pertama (orde 1), pertemuan antara orde pertama disebut orde kedua (orde 2), demikian seterusnya
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
46 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
sampai pada sungai utama ditandai dengan nomor orde yang paling besar sebagaimana ditunjukkan pada diagram berikut (gambar 1).
Gambar 1. Diagram orde jaringan sungai Strahler
Jumlah alur sungai suatu orde dapat ditentukan dari angka indeks percabangan sungai atau bifurcation ratio (Rb). Perhitungan Rb biasanya dilakukan dalam unit Sub DAS atau Sub DAS. Untuk memperoleh nilai Rb dari keseluruhan DAS, maka digunakan tingkat percabangan sungai rerata tertimbang atau weighted mean bifurcation (WRb). Kerapatan sungai adalah suatu angka indeks yang menunjukkan banyaknya anak sungai di dalam suatu DAS. Kerapatan alur mencerminkan panjang sungai rerata dalam satu satuan luas tertentu. Kerapatan alur dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Seyhan, 1977).
Tabel 1. Klasifikasi kerapatan alur sungai
No Dd
(km/Km2)
Kelas
Kerapatan Keterangan
1 <0,25 Rendah Alur sungai melewati batuan dengan resistensi keras, maka angkutan sedimen yang terangkut aliran sungai lebih kecil.
0,25-10 Sedang Alur sungai melewati batuan dengan resistensi yang lebih lunak sehingga angkutan sedimen yang terangkut akan lebih besar
3 10-25 Tinggi Alur sungai melewati batuan dengan resistensi yang lunak, sehingga angkutan sedimen yang terangkut aliran akan lebih bensar
4 <25 Sangat
Tinggi Alur sungai melewati batuan yang kedap air. Keadaan ini akan menunjukkan bahwa air hujan yang menjadi aliran akan lebih besar.
Sumber : (Seyhan, 1977)
Pola sungai menentukan bentuk suatu DAS. Bentuk DAS mempunyai arti penting dalam hubungannya dengan aliran sungai, yaitu berpengaruh terhadap kecepatan terpusat aliran. Bentuk DAS sulit untuk dinyatakan dalam bentuk kuantitatif. Bentuk DAS dapat didekati dengan indeks kebulatan atau circularity ratio (Rc) yang diklasifikasikan sebagai berikut.
Tabel 2. Klasifikasi indeks kebulatan bentuk DAS
No Rc Keterangan
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
47 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
1 >0,5 Bentuk daerah aliran sungai membulat, debit pucak datanya lama, begitu juga
penurunannya
2 <0,5 Bentuk daerah aliran sungai memanjang, debit puncakl datangya cepat, begitu juga
penurunannya.
Semua sungai di dalam DAS mengikuti suatu aturan yaitu bahwa aliran sungai dihubungkan oleh suatu jaringan satu arah, dimana cabang dan anak sungai mengalir ke dalam sungai induk yang lebih besar dan membentuk suatu pola tertentu. Pola ini disebut pola pengaliran atau pola drainase (Howard, 1967). Pola itu tergantungan dari pada kondisi topografi, geologi, iklim, vegetasi yang terdapat di dalam DAS bersangkutan (Nadia, Fatiha, Manyuk Fauzi, 2015). Sebagai contoh dari pola-pola pengaliran antara lain pola dendritik, pola rectanguler, pola trelis, pola radial, dan pola paralel.
Gambar 2. Ilustrasi pola pengaliran (drainase) DAS
Sumber : (Howard, 1967)
Delineasi Batas DAS
Delineasi batas DAS adalah proses penentuan batas DAS atau Sub-DAS berdasar karakteristik hidrologi suatu bentang alam (Amir et al., 2014). Delineasi batas DAS memiliki beberapa kegunaan seperti mengetahui bentuk hidrograf debit puncak, digunakan dalam analisa banjir, dan perencanaan manajemen sumber daya air (Nadia, Fatiha, Manyuk Fauzi, 2015). Seiring dengan perkembangan teknologi, delineasi batas DAS bisa dilakukan secara otomatis dengan menggunakan data digital elevation model (DEM). Prinsip penggunaan data DEM yaitu untuk mengetahui kondisi topografis permukaan bumi sehingga dapat diperoleh karakterisitk hidrologis yang merupakan dasar dari proses delineasi batas DAS.
Delineasi batas DAS secara otomatis tersusun atas algoritma dengan prinsip ekstraksi data topografis untuk memperoleh paramater-parameter hidrologi suatu DAS (Lin et al., 2006). Parameter-parameter tersebut terdiri dari arah aliran (flow direction), akumulasi aliran (flow accumulation), orde sungai (stream order), serta batas aliran (watershed) yang secara keseluruhan sangat tergantung dari karakteristik topografi DAS (ESRI, 2010).
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
48 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
Gambar 3. Algortima delineasi DAS secara otomatis
Digital Elevation Model (DEM) DEM data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi
atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan himpunan koordinat (Moore, Grayson and Ladson, 1991). DEM merupakan suatu sistem, model, metode, dan alat dalam mengumpulkan, prosessing, dan penyajian informasi medan. Susunan nilai-nilai digital yang mewakili distribusi spasial dari karakteristik medan, distribusi spasial di wakili oleh nilai sistem koordinat X, Y dan karakteristik ketinggian medan diwakili dalam sistem koordinat Z (Zhang and Montgomery, 1994).
Gambar 4. Contoh visualisasi data DEM
Sumber : (Buakhao and Kangrang, 2016)
Dalam proses analisis bentang lahan, data DEM perlu divisualisasikan agar memudahkan proses interpretasi. Visualisasi DEM memungkinkan pengguna untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi topografi di lokasi yang dimaksud. Sementara untuk analisis hidrologi, data turunan DEM yang digunakan yaitu data digital surface model (DSM). Data DSM atau dapat diartikan sebagai model permukaan digital merupakan model elevasi yang menampilkan ketinggian permukaan di atas tanah (ground), jika data terrain hanya menampilkan ground maka DSM menampilkan bentuk permukaan apapun seperti ketinggian pohon, bangunan dan objek apapun yang ada diatas tanah (Zhang and Montgomery, 1994).
Filtering DEM
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
49 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
Teknik filtering DEM adalah proses manipulasi khusus terhadap data DEM agar diperoleh turunan data sesuai dengan tujuan penggunaan (Zhang and Montgomery, 1994). Filtering DEM juga digunakan untuk melakukan koreksi nilai elevasi dari suatu data DEM. Prinsip filtering DEM menghitung nilai-z baru untuk piksel dalam DEM dengan menggunakan perhitungan terhadap rata-rata nilai dari piksel di sekitarnya (ESRI, 2010; Zhang et al., 2010). Filtering merupakan proses perubahan nilai piksel dalam dataset sesuai dengan nilai piksel disekelilingnya. Filtering merupakan operasi lokal dalam pengolahan citra yang dilakukan guna memudahkan interpretasi visual. Secara konsep pengolahan data raster, teknik filtering yang umumnya digunakan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu (Gonzalez and Woods, 2002):
• Filter lolos rendah (low pass filter) adalah filter yang digunakan untuk memperhalus kenampakan (smoothing and averaging) dengan meratakan noise dan menghilangkan spike pada data raster.
• Filter lolos tinggi (high pass filter) adalah filter yang digunakan untuk menajamkan kenampakan obyek pada data raster dengan menekan frekuensi tinggi tanpa mempengaruhi bagian dari frekuensi rendah pada nilai raster.
• Filter deteksi sisi (edge detection filter) adalah filter yang digunakan untuk menampakkan sisi di sekitar (edge) suatu obyek untuk memudahkan interpretasi dan analisis.
Gambar 5. Contoh operasi filtering pada data DEM menggunakan high pass filter
Sumber : (ESRI, 2010)
Raster Resampling Teknik resampling merupakan sebuah proses transformasi dari nilai input raster
(grid masukan) menuju nilai output raster (grid luaran). Sebagai contoh hasil resampling pada pengolahan data raster, karena piksel-piksel dalam data raster awal tidak menyerupai nilai raster referensi maka piksel-piksel asal diubah sedemikian sehingga nilai data baru dalam raster keluaran dapat dikalkulasikan (Gonzalez and Woods, 2002).
Terdapat tiga teknik resampling yang umum digunakan yaitu tetangga terdekat (nearest neighbour), interpolasi bilinear (bilinear interpolation) dan konvolusi kubik (cubic convolution). Ketiga teknik ini sering digunakan perangkat lunak pengolahan data raster secara digital. Untuk resampling dengan metode tetangga terdekat tidak mengubah nilai piksel asli dari input raster tetapi hasilnya menjadi jaggy (kotak-kotak). Sedangkan untuk teknik resampling bilinear dan konvolusi kubik menghasilkan citra lebih halus tetapi membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan tetangga terdekat (Gumelar, 2015).
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
50 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
Gambar 5. Contoh teknik filtering menggunakan menggunakan cubic convolution
Sumber : (Hell and Jakobsson, 2011)
METODE
Instrumen, Data, dan Lokasi Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan meliputi perangkat geographic
information system (GIS) yang terdiri dari perangkat komputer dan perangkat lunak (software) GIS. Perangkat lunak yang digunakan adalah ArcGIS dan Global Mapper, sementara perangkat analisis yang digunakan yaitu Spatial Anlysis dan ArcHydro (ESRI, 2010; Zhang et al., 2010). Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data DEM yang bersumber dari data IFSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar), dengan resolusi grid 2,5 meter. Data topografi sebagai pembanding yaitu data topografi Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 yang bersumber dari Badan Informasi Geospasial. Untuk lokasi sampel penelitian ini yaitu wilayah Pulau Tebing Tinggi - Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Wilayah Pulau Tebing Tinggi dipilih berdasar pertimbangan kondisi DAS yang cukup unik, yaitu berada pada wilayah dataran dengan kondisi topografis yang tidak terlalu menonjol, sedangkan kondisi geografis wilayah tersebut merupakan wilayah yang didominasi tanah gambut (peat land).
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
51 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
Gambar 6. Lokasi Sampel Penelitian
Alur Penelitian
Alur penelitian dimulai dari tahap pre-processing, main processing, sampai dengan analisis hidrologi menggunakan tool spatial analysis. Pada tahap pre-processing, diawali dengan input data dasar DEM berupa data surface atau DSM. Data DSM bersumber dari data (Interferometric Synthetic Aperture Radar) IFSAR. Selanjutnya input data DSM dilakukan proses raster filtering menggunakann metode high pass filter. Data hasil filtering kemudian diinterpolasi untuk memperoleh koreksi nilai grid (raster) dengan teknik raster resampling. Metode raster resampling yang digunakan yaitu metode konvolusi kubik (cubic convolution). Dari keseluruhan tahap pre-processing ini dilanjutkan dengan tahap pemrosesan utama atau main processing. Pada tahap main processing, diaplikasikan proses delineasi batas DAS secara otomatis yang merujuk pada skema delineasi batas DAS pada Gambar 8.
Penjelasan megenai teknik filtering data DEM pada penelitian ini adalah sebagai berikut. Teknik filtering adalah proses manipulasi khusus terhadap data DEM agar diperoleh turunan data sesuai dengan tujuan penggunaan (Zhang and Montgomery, 1994). Filtering DEM juga digunakan untuk melakukan koreksi nilai elevasi dari suatu data DEM. Prinsip filtering DEM menghitung nilai-z baru untuk piksel dalam DEM dengan menggunakan perhitungan terhadap rata-rata nilai dari piksel di sekitarnya (ESRI, 2010; Zhang et al., 2010).
Teknik filtering DEM pada dasarnya menciptakan nilai output berdasar kalkulasi (moving window), serta perhitungan tumpang susun (overlapping) sel ukuran 3x3 dari nilai raster masukan. Masing-masing input nilai sel (pusat) dan 8 sel tetangga terdekatnya digunakan untuk menghitung nilai output. Pada penelitian ini digunakan operasi High Pass Filtering, merupakan proses penghalusan (smoothing) data dengan mengurangi nilai variasi lokal dan menghapus noise. Perhitungan (rata-rata) nilai setiap cell 3 x 3. Bahwa nilai tinggi dan rendah dalam setiap sel berdekatan akan dirata-ratakan, mengurangi nilai ekstrim secara keseluruhan. Di lain sisi, operasi high pass filtering merupakan proses yang lebih menonjolkan perbedaan komparatif antara nilai-nilai dalam sel dan sel tetangga sehingga mempermudah visualisasi objek pada DEM (Gonzalez and Woods, 2002).
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
52 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
Gambar 7. Alur metode pada tahapan pre-processing
Gambar 8. Alur proses pada tahapan main-processing delineasi batas DAS
Sumber : (ESRI, 2010)
HASIL
Pre-pocessing
• High Pass Filter Tahapan pre-processing diawalai dengan proses filtering data DEM. Data DEM
yang merupakan data grid atau raster diolah menggunakan fungsi high pass pada operasi filtering. Seperti telah dijelaskan pada bagian studi pustaka bahwa high pass filter adalah proses filter yang mengambil nilai piksel dengan gradiasi intensitas yang tinggi dan perbedaan intensitas yang rendah akan dikurangi atau dibuang. Masing-masing nilai piksel pada data DEM adalah mewakili nilai elevasi permukaan (surface) di lokasi penelitian. Pada penelitian ini hasil high pass filter ditunjukkan pada gambar 9. sebagai berikut.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
53 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
Raster DEM asli (non-fliter) Raster DEM hasil filter (high pass fliter)
Gambar 9. Kenampakan hasil proses Filtering data DEM
• Raster Resampling Melalui metode konvolusi kubik (cubic convolution) diperoleh hasil resampling
data DEM seperti pada gambar 10. Secara visual nampak perbedaan resolusi spasial antara data DEM asli dengan data DEM hasil resampling. Metode konvolusimkubik merupakan teknik interpolasi yang menggunakan enam belas tetangga terdekat dari sebuah titik (nilai sebuah piksel) kemudian merubahnya menjadi nilai piksel baru. Secara proses, metode ini menghasilkan data raster yang lebih halus tetapi membutuhkan waktu lebih lama untuk proses komputasi dibandingkan dengan metode resampling yang lain (misal : nearest neighbour).
Raster DEM asli (non-resampling) Raster DEM hasil resampling
Gambar 10. Kenampakan hasil proses Resampling data DEM
Main Processing Pada tahap pengolahan data utama (main processing) proses yang dilakukan
adalah proses delineasi batas DAS. Proses delineasi batas DAS dilakukan secara otomatis menggunakan perangkat GIS, sementara untuk analisis hidrologi digunakan perangkat (tool) Spatial Analyst dan ArcHydro pada perangkat ArcGIS. Proses delineasi ini dibuat dengan prinsip ekstraksi data topografis untuk memperoleh nilai masukan pada penentuan karakteristik hidrologi DAS (flow direction – flow accumulation – stream order – basin/watershed). Berdasar hasil delineasi batas DAS secara otomatis didapatkan sejumlah hasil data luaran (output) berupa beberapa paramater hidrologis DAS. Parameter yang dihasilkan berdasar skema proses delineasi batas DAS seperti pada gambar 8. Parameter tersebut terdiri dari sejumlah luaran data sebagai berikut.
• Arah aliran air (Flow Direction) Luaran data hasil dari fungsi ini yaitu berupa data arah aliran air. Secara prinsip,
data araha aliran diperoleh dari manifestasi kondisi topografis yang digambarkan oleh
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
54 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
kenampakan morfometri (slope). Sebagai hasil dari proses ini, terdapat perbedaan informasi yang ditunjukkan antara input data DEM dengan perlakuan khusus (filtering) dan data DEM asli. Data luaran tersebut menunjukkan informasi arah aliran air pada setiap piksel yang mewakili karakteristik topografis masing-masing data DEM. Visualisasi data arah aliran ditunjukkan pada gambar 11.
Flow direction DEM asli (non-filtering) Flow direction DEM hasil filtering
Gambar 11. Visualisasi parameter flow direction dari masing-masing data DEM
• Akumulasi aliran air (Flow Accumulation) Luaran dari proses pembentukkan flow accumulation berupa data raster yang
merepresentasikan jumlah akumulasi aliran air yang terjadi pada suatu liputan lahan. Akumulasi aliran air diperoleh dari kallkulasi nilai elevasi permukaan, dimana semakin tinggi nilai elevasi berikut gradien kemiringanya maka akan semakin rendah akumulasi aliran air. Sebagai hasil akhir dari parameter ini, terdapat nilai akumulasi air yang biasanya juga identik dengan jaringan sungai yang relevan dengan kondisi di lapangan. Visualisai dari parameter flow accumulation ditunjukkan pada gambar 12.
Flow accumulation DEM asli (non-filtering) Flow accumulation DEM hasil filtering
Gambar 12. Visualisasi parameter flow accumulation dari masing-masing data DEM
• Jaringan Sungai (Stream Order and Stream Network) Jaringan sungai (stream network) diperoleh dari hasil pehitungan paramater
hidrologis yaitu flow accumulation. Secara teoritis, proses ekstraksi jaringan sungai dilakukan dengan proses pengumpulan piksel-piksel yang mempunnyai nilai kecenderungan arah aliran dan akumulasi yang sama, dengan nilai lokasi berdekatan secara spasial. Parameter ini membuat klasifikasi mengenai orde (tingkatan) jaringan sungai. Informasi yang direpresentasikan dari parameter ini adalah drainage network. Sementara klasifikasi orde jaringan sungai yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode Strahler (Strahler, 1957).
Resampling-Filtering
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
55 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
Orde Strahler data DEM asli (non-filtering) Orde Strahler data DEM filtering
Gambar 13. Parameter stream network dari masing-masing data DEM
• Delineasi Batas DAS (Watershed Delineation) Hasil luaran delineasi batas DAS yang tergambar padaa dasarnya adalah batas
imaginer yang berada pada suatu sistem jaringan sungai. Batas DAS menjadi parameter akhir yang dihasilkan dari penelitian ini, dimana parameter ini merupakan hasil dari dari proses integrasi proses dari parameter-parameter data yang dihasilkan sebelumnya yaitu arah aliran (flow direction), akumulasi aliran (flow accumulation), orde sungai (stream order). Batas DAS yang dihasilkan tersebut merupakan representasi batas jumlah air hujan yang jatuh di atasnya. Batas DAS utama tersusun atas beberapa sub DAS. Sub DAS adalah bagian dari DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS utama terbagi habis ke dalam Sub DAS - Sub DAS, sehingga secara menyeluruh parameter batas DAS mewakili kondisi hidrologis pada suatu bentang lahan. Hasil delineasi batas DAS untuk lokasi penelitian dicontohkan seperti pada ilustrasi dalam gambar 14.
Batas DAS dari data DEM (non-filtering) Batas DAS dari data DEM dengan filtering
Gambar 14. Delineasi batas DAS hasil pengolahan parameter
PEMBAHASAN
Pokok pembahasan pada penelitian ini yaitu terletak pada perlakuan data input berupa data DEM. Perlakuan khusus yang dimaksud adalah teknik filtering serta didukung dengan proses resampling terhadap data DEM itu sendiri. Proses raster filtering menggunakann metode high pass filter menghasilkan data sebagaimana ditunjukkan pada gambar 8. Dari hasil visualisasi (gambar 8.) dapat diketahui bahwa high pass filter menyebabkan perbedaan kenampakan serta peningkatan nilai piksel pada obyek yang berbeda, misalkan antara obyek vegetasi dan tanah terbuka. Perbedaan yang muncul pada obyek tidak begitu jelas pada data DEM asli (tanpa filtering) karena nilai pada raster tersebut mempunyai gradiasi yang relatif rendah (halus). Sedangkan kenampakan pada raster DEM hasil filter nampak jelas perbedaan
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
56 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
pada masing-masing obyek, karena teknik ini menekan frekuensi tinggi tanpa mempengaruhi bagian dari frekuensi rendah pada nilai data tersebut. Sehingga, dengan demikian proses filtering dengan teknik ini cukup optimal untuk menonjolkan nilai raster DEM untuk ekstraksi nilai topografis (elevasi) sebagai dasar analisis pembentukkan batas DAS.
Selanjutnya pada proses raster resampling diketahui perbedaan hasil resolusi spasial antara data DEM asli dengan data DEM hasil resampling. Hasil resampling menunjukkan bahwa proses interpolasi nilai-nilai sel (piksel) merubah nilai dataset raster masukan (input). Melalui metode konvolusi kubik (cubic convolution) proses raster reampling sangat sesuai digunakan untuk data yang bersifat kontinu dengan meminimalkan kelengkungan kuadrat secara total. Hasil interpolasi cenderung halus, meskipun kendala kelengkungan minimum dapat menghasilkan nilai ekstrim lokal tertinggi atau terendah. Sementara itu, secara mekanisme proses dari metode ini menghasilkan data raster yang lebih halus (smooth), namun di lain sisi metode ini membutuhkan waktu lebih lama untuk proses komputasi data dibandingkan dengan metode resampling yang lain (misal : nearest neighbour).
Data DEM hasil filtering ditambah proses resampling menunjukkaan perbedaan yang signifikan dibanding data DEM tanpa perlakuan tersebut. Hal ini dibuktikan pada hasil proses delineasi batas DAS secara otomatis. Pada lokasi studi kasus penelitian ini, yaitu wilayah Pulau Rangsang, Kepulauan Meranti Provinsi Riau, diperoleh perbendaan hasil yang cukup signifikan. Perbedaan tersbut ditunjukkan pada luaran (output) karakteristik hidrologi yang menjadi dasar pembentukan batas DAS. Sementara pembentukan batas DAS sangat terkait dengan parameter morfometri sungai yang dihasilkan dari masing-masing input data DEM. Berikut perbedaan parameter morfometri yang dihasilkan tersaji pada tabel 2, tabel 3, dan tabel 4 pada halaman selanjutnya.
Tabel 2. Karakteristik orde sungai (segmen) hasil masing-masing data DEM
Orde Sungai
Jumlah Segmen orde sungai
Non Filtering Resampling-Filtering 1 666 497
2 300 251
3 158 110
4 81 51
5 82 72
6 40 9
7 - -
1327 990
Jumlah Segmen *Strahler Order
Tabel 3. Karakteristik sungai (morfometri) hasil masing-masing data DEM
Komparasi
Luas Keliling
Panjang
Lebar
Gradien
(Km2) (Km) (Km) (Km) Non- Filtering
1.666,18
317,14 55,45
32,21
0,005462
Filtering-Resampling
1.785,98
301,56 56,77
29,35 0,00532
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
57 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
Tabel 4. Karakteristik alur sungai hasil masing-masing data DEM
Pembentukan parameter morfometri dari ekstraksi data DEM sangat dipengaruhi oleh adanya sink atau peak. Dalam terminologi data raster, sink atau peak yaitu kondisi dimana terdapat perbedaan nilai elevasi yang mencolok dengan cakupan yang sangat kecil. Setiap data raster mempunyai jumlah sink yang berbeda-beda, namun untuk data DEM yang mengalami perlakuan teknik filtering dan proses resampling akan cenderung meniadakan adanya sink dibanding dengan data DEM tanpa perlakuan tersebut. Hal tersebut diakarenakan proses filtering dan proses resampling akan mengisi seluruh data di masing-masing piksel berdasar algoritma yang digunakan. Dengan demikian maka, kebutuhan fungsi filled (koreksi sink) pada data DEM tidak perlu dilakukan, karena hasil data DEM melalui proses filtering dan proses resampling sudah mengakomodir kebutuhan fungsi filled tersebut.
Bagian akhir pembentukan batas DAS (watershed delineation) juga diperoleh perbedaan hasil yang cukup signifikan antara input data DEM yang mengalami perlakuan teknik filtering dibanding dengan data DEM tanpa perlakuan tersebut. Perbedaan tersebut nampak pada jumlah Sub-DAS yang dihasilkan. Jumlah batas DAS yang dihasilkan dari data DEM dengan perlakuan resampling cenderung lebih efektif diabnding dengan hasil dari data DEM tanpa perlakuan resampling. Proses delineasi batas DAS dari input data DEM dengan perlakuan resampling cenderung meniadakan Sub-Das atau Sub-sub DAS yang sangat kecil. Hal tersebut dilakukan dengan menggabungkan keberadaan Sub-Das atau Sub-sub DAS yang sangat kecil ke dalam Sub-DAS atu DAS yang lebih besar.
KESIMPULAN
Garis batas antar DAS adalah representasi kondisi topografi berupa punggungan permukaan bumi yang dapat memisahkan dan membagi air hujan ke masing-masing DAS. Batas-batas DAS ditunjukan dengan adanya garis imaginer yang merupakan gambaran dari setiap punggungan permukaan. Batas wilayah DAS diukur dengan cara menghubungkan titik-titik tertinggi di antara wilayah aliran sungai yang satu dengan yang lain. Sementara proses delineasi dilakukan secara otomatis melalui algoritma dengan prinsip ekstraksi data topografis untuk memperoleh paramater-parameter hidrologi suatu DAS. Parameter-parameter tersebut terdiri dari arah aliran (flow direction), akumulasi aliran (flow accumulation), orde sungai (stream order), serta batas aliran (basin).
Secara logis, input data DEM dengan perlakuan resampling akan menghasilkan batas DAS yang lebih relevan terhadap kondisi lapangan dibandingkan dengan proses delineasi batas DAS dari input data DEM tanpa perlakuan resampling. Berdasar karakteristik hidrologis suatu wilayah, dengan demikian maka hasil proses delineasi batas DAS dari input data DEM dengan perlakuan resampling dinilai dapat menghasilkan informasi yang lebih akurat.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
58 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
DAFTAR PUSTAKA
Amir, M. S. I. I. et al. (2014) ‘Watershed Delineation and Cross-section Extraction from DEM for Flood Modelling’, 19 th Australasian Fluid Mechanics Conference.
Buakhao, W. and Kangrang, A. (2016) ‘DEM Resolution Impact on the Estimation of the Physical Characteristics of Watersheds by Using SWAT’, Advances in Civil Engineering. doi: 10.1155/2016/8180158.
ESRI (2010) GIS Best Practices: Environmental Management, Environmental Management.
Gonzalez, R. and Woods, R. (2002) Digital image processing, Prentice Hall. doi: 10.1016/0734-189X(90)90171-Q.
Gumelar, O. (2015) ‘Teknik Resampling Citra Satelit’, pp. 650–663.
Hell, B. and Jakobsson, M. (2011) ‘Gridding heterogeneous bathymetric data sets with stacked continuous curvature splines in tension’, pp. 493–501. doi: 10.1007/s11001-011-9141-1.
Howard, A. D. (1967) ‘Drainage Analysis in Geologic Interpretation: A Summation’, AAPG Bulletin. doi: 10.1306/5D25C26D-16C1-11D7-8645000102C1865D.
Lin, W. T. et al. (2006) ‘Automated suitable drainage network extraction from digital elevation models in Taiwan’s upstream watersheds’, Hydrological Processes, 20(2), pp. 289–306. doi: 10.1002/hyp.5911.
Moore, I. D., Grayson, R. B. and Ladson, a R. (1991) ‘Digital Terrain Modeling : A Review of Hydrological Geomorphological and Biological Applications’, Hydrological Processes, 5(1), pp. 3–30. doi: DOI: 10.1002/hyp.3360050103.
Nadia, Fatiha, Manyuk Fauzi, A. S. (2015) ‘Ekstraksi Morfometri Daerah Aliran Sungai (Das) Di Wilayah Kota Pekanbaruuntuk Analisis Hidrograf Satuan Sintetik’, Annual Civil Engineering Seminar 2015, (November 2015), pp. 978–979.
Seyhan, E. (1977) Dasar-dasar hidrologi / Ersin Seyhan ; penerjemah Sentot Subagyo ; editor Soenardi Prawirohatmodjo. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Tahun 1990.
Strahler, A. N. (1952) ‘Hypsometric (area-altitude) analysis of erosional topography’, Bulletin of the Geological Society of America. doi: 10.1130/0016-7606(1952)63[1117:HAAOET]2.0.CO;2.
Strahler, A. N. (1957) ‘Quantitative analysis of watershed geomorphology’, Eos, Transactions American Geophysical Union. doi: 10.1029/TR038i006p00913.
Supangat, A. B. (2012) ‘Karakteristik hidrologi berdasarkan parameter morfometri das di kawasan taman nasional meru betiri (’, Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, pp. 275–283.
Zhang, J. et al. (2010) ‘Hydrologie information extraction based on ARC hydro tool and DEM’, in International Conference on Challenges in Environmental Science and
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
59 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
Zhang, W. and Montgomery, D. R. (1994) ‘Digital elevation model grid size, landscape representation, and hydrologic simulations’, Water Resources Research. doi: 10.1029/93WR03553.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
60 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
2.C Luaran Karya Tulis Ilmiah – 2
Judul :
RE-ASSESSING RAINWATER VOLUME BY CHIRPS SATELLITE IN SEMARANG
SETTLEMENT AREA
Abstract :
Semarang City is one of the most influential coastal cities in Java Island. The city is
facing increasingly-high water demand due to its development and water problems due
to climate change. The spatial physiography and landscape of Semarang City are also
exposed the city to water security problem. Hence, rainwater harvesting treatment is an
urgent effort to meet the city’s water needs. However, planning, implementation and
management of rainwater harvesting are highly depended on multitemporal rainfall data.
It has not yet been fully compiled due to limited rain stations. This study aims to examine
the extent to which CHIRPS satellite data can be utilized in estimating volume of
rainwater harvesting 16 sub-districts in Semarang and determine the water security
status. This study uses descriptive statistical method based on spatial analyses. Such
method was developed through spatial modeling for rainfall using isohyetal model. The
parameters used are rainfall, residential rooftop area, administrative area, population,
physiographic and altitude units. Validation is carried out by using monthly 10 rain
stations data. The results show level of validity by utilizing CHIRPS Satellite data and
mapping rainfall distribution. This study also produces a potential map of distribution
rainfall volume that can be harvested in 16 sub-districts of Semarang.
1. Introduction
City of Semarang is one of the most influential coastal cities in Java Island. The city is facing increasingly high-water demand due to its vast development and also water problems due to climate change. The spatial physiography and landscape of Semarang City shown in this paper shows that the city have water security problem. Therefore, rainwater harvesting treatment is suggested as an urgent effort to meet the city's water needs.
UN-Water has formulated an understanding in water security. Water security is defined as capacity of the population to safeguard sustainable access to adequate quantities of acceptable quality of water that can be used to sustain livelihoods, human well-being, and socio-economic development, as well as for ensuring protection against water-borne pollution and water-related disasters, and for preserving ecosystems in a climate of peace and political stability [1]. Basically, water security problem is very complex. It not only deals with physical and technological aspects in meeting the water needs, but it also concerns the impact on the environment and social, political, and economic conditions on a group of people, often associated with other community groups. Conflict of interest between groups of people also affects social and political stability that determine the water security itself. Semarang now faces water security problem. One of the answers for this problem is to apply rainwater harvesting.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
61 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
Many researches and studies on rainwater harvesting have been done in various places in the world [2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9]. Each of them concluded in benefits and advantages of this method. The studies undertaken include developing methods to choose suitable sites for application of rainwater harvesting [10], calculating potential volumes [2, 3, 4, 6], planning water catchment sizes [11], assessing feasibility and economic efficiency [9, 12], management aspects [7, 9, 13] even aspects of the sustainability of this method [14]. Utilization of remote sensing and geographic information system (GIS) technologies is also widely used in the development of method for identification location and the potential measurement of rainwater harvesting applications [8, 10, 15].
The use of remote sensing in various rainwater-harvesting studies is commonly used for the identification of land use, roof area, flow density and other physical aspects [8, 10, 15]. The use of GIS plays a larger role in modeling and calculating the potential volume of rainwater harvesting. Generally modeling and volume calculations are performed on relatively limited study areas and use only average rainfall values in micro coverage [8, 10, 15]. Whereas planning, implementation and management of rainwater harvesting highly depend on multitemporal rainfall data. In the case of Semarang City, this data has not been fully compiled due to limited rain stations. Based on that condition, this study utilizes CHIRPS satellite data to estimate the volume of rainwater harvesting in Semarang City’s 16 sub-districts and then determine water security status for the city.
2. Method 2.1. Location of the study
The study was conducted in the City of Semarang. It covers 16 sub-districts and 177 urban villages (kelurahan). Semarang is a city on the north coast of Java Island that has unique spatial physiography and landscape. The description of the location and administrative boundaries of Semarang city is presented in Figure 1. The city can be use to represent the condition in many big cities in Indonesia whereas there are continues growth and followed by challenges in water provision.
Figure 1. Location of study.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
62 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
2.2. Secondary data
This research uses land-use data obtained from BIG (Geospatial Information Agency). The data is the result of visual interpretation of high-resolution satellite image of recording in 2012. Data of interpretation result have been validated through field test survey in 2013 and 2016. Land-use unit as observation priority is settlement and non-settlement. Population data uses data published by BPS (Central Bureau of Statistics) Semarang City in 2012 and 2015. Population data used are the population and the number of head of household. Average monthly rainfall data from 10 weather stations in Semarang uses data from 2012. CHIRPS dataset of Semarang City and surroundings using recording data for 10 years (2007-2016).
Climate Hazards Group InfraRed Precipitation with Stations (CHIRPS) is the name of a rain satellite developed for global interests. CHIRPS developed by U.S. Geological Survey (USGS) and Climate Hazards Group at University of California, Santa Barbara. Quasi-global gridded products are available from 1981 to near present at 0.05° spatial resolution (~5.3 km). New products are released approximately mid-month of the month following the observation [16].
2.3. Method of determining the virtual weather station point
The isohyetal method in this study was established by determining virtual weather station points. These points are considered to be the location of weather stations whose rainfall data values will be taken into account in model calculations. The nets of those points are set uniformly distributed and covering up to areas outside administrative boundaries of City of Semarang. This study calculates that 35 spatial spots that have a distance of 3 minutes north south and 3 minutes east west can represent study area. The upper left point starts at the coordinates 110013'30'E and 6055'30'S while the bottom right point at the coordinates 110031'30'E and 707'30'S. Establishing nets with wider coverage than study area has aim to obtain a better spatial distribution modeling result.
2.4. Calculation of the average monthly rainfall value
Monthly rainfall calculation is obtained monthly based on monthly CHIRPS recording data of 10 years, 2007-2016. The monthly rainfall rate in one year at each virtual weather station is tabulated for 10 years. Monthly rainfall figures in the 10-year range tabulated based on the virtual weather station points are then sequenced on the basis of the value, from the lowest to the highest value. The value of the 8th order or the value that is considered to have an 80% probability, is the value chosen as average value of rainfall for corresponding virtual weather station point. By the result of this processing then can be found the average monthly rainfall value for each virtual weather station point.
2.5. Preparation of monthly rainfall maps by isohyetal method using GIS software
The result of calculation of the average monthly rainfall value then becomes input data to make isohyetal map using GIS software. Monthly average rainfall data processing from 35 virtual weather station points using the ArcGIS 10.3 application. The module facility used is Spatial Analysis Tools that is Interpolation with Spline method option. The Spline tool uses an interpolation method that estimates the value of a mathematical function that minimizes overall survival curvature, resulting in a smooth surface that passes exactly through the input points. The classification of interpolation results by using 7 rainfall classes each then has a difference of 100 mm wide range. This isohyetal modeling is simulated for every month of the year.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
63 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
2.6. Model validation
Model validation of the utilization of CHIRPS recording data uses monthly average rainfall data from 10 stations in Semarang city in 2012 record. This validation is only monthly recaptured from one period January to December on the basis of 10 years record. This validation is trying to see and to know how far value deviations occur when this modeling method is used to utilize CHIRPS data.
2.7. Estimation the addition area rooftop of the settlement
Estimated addition of roof area of settlement is done by approach of population, average number of family member, number of head household and average of roof area every head count for family. This estimate is conducted due to unavailability of spatial data of the latest 2017 residential roof area. The calculation of the 2017 roof area is based on data of the roof data in 2012, the population in 2012 data, and the number of head household in 2012 and 2015. The calculation of estimated population of Semarang City in 2017 is based on population data of each urban village. Growth rates are calculated based on the average population growth of each urban village in the last 10 years of observation (2006-2015). Calculation of 2017 population in 2017 can be estimated by using equation (1):
Pn = Po (1+r)n
(1)
Remarks:
Pn = number of population in year n
Po = number of population in year 0 or base year
n = number of years between 0 and n
r = population growth rate per year (in %)
2.8. Estimation of rainwater that can be harvested
Estimation of rainwater volume that can be harvested is done by multiplying monthly average rainfall of the modeling results (P, in mm/month), the width of the roof or the catchment area (A, in m2), and the runoff coefficient (RC, nondimensional) [17] as shown in equation (2). Roof area is the result of the estimation of the roof area in each urban village area in 2017. Rainfall value is the value of the average rainfall of the proportion of isohyetal calculations and the distribution based on the width of the urban village. The runoff coefficient is set to 0.7 with the consideration that there is no detailed information about the type of roof and its slope. Another consideration in determining the value of runoff coefficient is the average type of residential roof in the study area is still dominated by roof tile [17]. The calculation of the population's water needs, using the reference set by the Ministry of Public Works Indonesian, 120 liters/day/person.
RWH potential = P.A.RC (2)
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
64 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
3. Result and Discussion
This section presents results of studies and discussions on results obtained. It consists of 6 sections, and each step of study activity will be described.
3.1. Determining virtual weather station point
The result of the determination of 35 virtual weather station points (P1-P35) visually distributed is shown in Figure 2. The virtual weather station points form a 7x5 matrix and spread evenly across the entire study area. The coordinates of each virtual weather station point of reference are to record the monthly precipitation value of CHIRPS data within the 10-year recording range. The rainfall number is used as input to the next processing.
3.2. Calculation monthly rainfall and monthly rainfall maps by isohyetal method
The result of rainfall data processing obtained from CHIRPS dataset is further processed using Spatial Analysis Tools facility module that is Interpolation with Spline method option. This processing produces an isohyetal map as illustrated in Figure 3. It only presents visually the results of isohyetal modeling for 6 months only. In this study isohyetal modeling is still done for 12 months in one year. Distribution and differences in rainfall over time can be seen in Figure 3. In July-September it can be observed that the study area's rainfall tends to be at a low value. In December-January actually shows the opposite condition, namely the value of rainfall area tend to be high.
Source: Data processing by outhor.
Figure 2. Virtual weather station points.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
65 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
The rainfall distribution sample illustrated in Figure 3 shows the potential volume of rainwater that can be harvested. The quantity is varied in volume each month. Differences of volume each month must be taken into consideration in rain harvest management in Semarang City.
Source: Data processing and modeling by outhor.
Figure 3. Monthly rainfall maps by isohyetal method.
3.3. Validation model
The result of modeling that has been done on CHIRPS data is then validated. Validation is done by comparing precipitation values obtained from the modeling at the existing weather station points. The spatial distribution of the weather station location referred to in Figure 4. In terms of distribution and quantity, these weather stations can be rated very limited.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
66 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
Source: Data processing by outhor.
Figure 4. Distribution of 10 weather stations in City of Semarang.
Monthly average rainfall data from each weather station is shown in Table 1. Based on this table, it can be seen that wet months occur in January, February, March, October, November, and December. While dry months occur in April, May, June, July, August, and September. Very dry months occur in July, August, and September. Very wet months occur in January and December. Based on the table observation can also be seen some stations have record values of very high rainfall in wet season are station of Gunung Pati and Boja Mijen.
Table 1. Average monthly rainfall value weather stations in Semarang area.
No. Station Jan
uary
Fe
bru
ary
Marc
h
April
May
Jun
e
July
August
Septe
mb
er
Octo
be
r
Nove
mb
er
Dece
mb
er
Avera
ge
(unit in mm)
1 Ahmad Yani 490 340 190 176 68 78 1 0 4 214 255 318 178
2 Tanjung Mas 440 308 266 109 173 63 1 0 29 187 256 283 176
The mean rainfall value of CHIRPS data modeling in reference to station reference coordinate point is presented in Table 2. In general, distribution of the pattern is similar to the average monthly rainfall value distribution pattern with the reference of weather stations. What is apparent in Table 2 is the average value of monthly rainfall in the dry month that tends to have a higher value than the average monthly reference rainfall value. While in the group of average values of monthly rainfall in wet months, generally the model results show lower value than the average monthly reference rainfall value.
Table 3. Value of difference between reference rainfalls compared to model.
No Station January
Fe
bru
ary
Ma
rch
April
Ma
y
June
July
August
Septe
mb
er
Octo
ber
Novem
ber
Decem
ber
Avera
ge
(unit in mm)
1 Ahmad Yani -48 -57 88 -16 17 -4 13 23 28 -82 17 34 1
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
68 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
2 Tanjung Mas 22 -20 20 49 -80 9 12 21 1 -49 20 64 6
Source: Calculation processing of weather station data and CHIRPS data.
The results in Tables 1 and 2 subsequently become the basis to calculate the value of difference between the average monthly rainfall values of the model-making product with the average monthly reference rainfall value. Based on the calculation data presented in Table 3, there is a difference in yield for wet and dry months. For wet months, the precipitation value of the modeling results has a lower value trend than the reference data. For dry months the value of the rainfall model tends to be higher than the reference value. In Table 3, a positive number indicates the higher excess value while the lower one is denoted by a negative value.
Table 4. Percentage monthly rainfall error.
No Weather station
Error (%)
1 Ahmad Yani 0,56
2 Tanjung Mas 3,41
3 Tlogosari -11,22
4 Semarang Barat
-3,24
5 Beringin -6,60
6 Ngaliyan -16,34
-50.00
-40.00
-30.00
-20.00
-10.00
0.00
10.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
69 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
7 Candi -2,19
8 Klipang 7,19
9 Gunung Pati -32,63
10 Boja Mijen -45,40
Figure 5. Percentage distribution of monthly rainfall error in weather station.
Figure and table source: Processing and calculation by outhor.
The result from calculating the difference in value of precipitation further becomes a reference to calculate value of error or deviation. The calculation result of deviation can be seen in Figure 5 and Table 4. The calculation result shows that the validation value of the model for each weather station varies in value. In general, the number of deviations on 8 stations is below 30%, but 2 stations have deviations of more than 30%, namely the station of Mount Pati and Boja Mijen. These two stations are located at an altitude above 200 m above sea level. Based on the direction of deviation, generally the modeling data is below the reference value; this is indicated by a negative error value.
3.4. Land-use of Semarang City and distribution roof top area of the settlement
Figure 6. Landscape physiography
of Semarang City.
Figure 7. Land-use of Semarang City.
Figure source: Processing data from BIG by outhor.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
70 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
The land-use classification used in this study is reclassified and simplified into 9 classes of land-use. The land-use unit used is; regular settlements, irregular settlements, public and social facilities, industrial estates, trade and service areas, agricultural cultivation areas, green areas, water bodies, others/unidentified. The results of land use GIS processing are shown in Figure 7. Figure 7 shows the general distribution of settlements that follow pattern of landscape transportation and physiography of City of Semarang. Figure 6 presents height surface and physiographic of Semarang City.
Table 5. Distribution of population, number of head household and the projected.
Semarang City 1.559.198 1.595.267 1.636.594 435.184 471.327 4 3 483.779
Source: Processing and calculation by outhor.
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
71 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
Table 6. Average roof every head household and wide roof of the settlement.
No
Sub-district
(Kecamatan)
Average roof every head household
Wide roof of the settlement
2012 (m2) 2012 (ha) 2017 (ha)
1 Mijen 83,48 139,15 168,99
2 Gunung Pati 86,16 185,25 205,62
3 Banyumanik 79,74 283,32 368,33
4 Gajahmungkur 85,76 127,65 129,49
5 Semarang Selatan 43,65 108,02 96,97
6 Candisari 73,43 146,19 155,93
7 Tembalang 76,51 330,50 373,13
8 Pedurungan 61,73 280,94 293,52
9 Genuk 59,19 146,31 188,30
10 Gayamsari 32,49 88,28 65,69
11 Semarang Timur 51,52 112,54 110,11
12 Semarang Utara 55,42 177,93 183,00
13 Semarang Tengah 39,72 82,80 81,06
14 Semarang Barat 75,34 333,78 435,90
15 Tugu 58,07 49,96 54,91
16 Ngaliyan 142,22 478,52 632,41
in Semarang City 70,57 3.071,13 3.543,37
Source: Processing and calculation by outhor.
3.5. Addition area rooftop of the settlement
The results of population data processing are presented in Table 5 and Table 6. Those tables show estimated population in 2017. Based on that estimation, it can be calculated the number of heads of households by 2017. The number of heads of households is used to estimate the roof area in 2017. The estimation of existing residential roof area in City of Semarang up to 2007 is estimated to reach 3,543.37 ha.
3.6. Potential volume of rainwater that can be harvested
Based on average monthly rainfall data, estimation data of roof area and runoff coefficient can be calculated the estimation of rainfall volume that can be harvested in residential area. The calculation of potential volume of rainwater that can be harvested
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
72 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
every month in residential area of Semarang can be seen in Table 7. The visualization of volume distribution per month can be seen in Figure 8. Based on those tables and figures, it appears that there are fluctuations in potential volume of rainfall affected by season. That condition has been identified at the time of making the isohyetal model. Hence, that condition requires the management of potential rainwater that can be harvested during wet months to cover shortfall in dry months.
Table 7. Monthly availability of rainwater harvesting in one year.
The calculation of value of urban water needs in urban settlements refers to value of water demand set 120 liters/day/person. The results show volume of water demand in residential area of each sub-district within a year. A comparison of water demand scores with potential value of rainwater harvesting volume in one year will result in water resilience status of the area.
Table 8. Water needs and availability of rainwater harvesting in one year.
No Sub-district
A year water needs
One year
rainwater harvest
Difference
Status
x 106 liter x 106 liter x 106 liter
1 Mijen 2.878 3.837 958 Surplus
2 Gunung Pati 3.612 4.512 900 Surplus
3 Banyumanik 6.006 8.299 2.293 Surplus
4 Gajahmungkur 2.820 2.632 -188 Deficit
5 Semarang Selatan 3.437 2.103 -1.333 Deficit
6 Candisari 3.458 3.207 -251 Deficit
7 Tembalang 7.301 7.982 682 Surplus
8 Pedurungan 8.145 6.087 -2.058 Deficit
9 Genuk 4.538 4.009 -529 Deficit
10 Gayamsari 3.320 1.659 -1.661 Deficit
11 Semarang Timur 3.334 2.266 -1.069 Deficit
12 Semarang Utara 5.622 3.757 -1.866 Deficit
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
73 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
13 Semarang Tengah 3.020 1.681 -1.338 Deficit
14 Semarang Barat 6.951 9.445 2.494 Surplus
15 Tugu 1.464 1.160 -304 Deficit
16 Ngaliyan 5.777 13.247 7.471 Surplus
Total Semarang City 71.683 75.883 4.201 Surplus
Source: Processing and calculation by outhor.
The water security status of each sub-district within the administrative area of Semarang City is presented in Table 8. Comparison between amount of community water demand and potential volume of water that can be harvested in settlement areas of each urban village is presented in Figure 9. The results of analysis and calculation of water security status presented in Table 8 indicate that 9 sub-districts are in deficit status if their water sources are only using rainwater harvesting. On the other hand, the other 7 districts are in surplus status only if they utilize rain water as the sole source of water disregarding other water sources. Mostly, districts with deficit status are located in the urban areas with higher population density. Areas with surpluses are generally on the edge with lower population densities and average per-head household roof area is also wider. Figure 9 also illustrates importance of inter-regional water management in addition to time-based rainwater management, as has been mentioned in relation to the potential for monthly rainwater availability in one year (Figure 8).
Figure 8. Total potential volume of
rainwater harvesting monthly a year.
Figure 9. Total potential volume of
rainwater harvesting and water needs
per sub-district a year.
Figure source: Processing and calculation by outhor.
4. Conclusions
Generally, it can be concluded that CHIRPS data can be used to construct rainfall isohyetal model for rainwater harvesting planning. This consideration was obtained based on validation results indicating that average error value of rainfall generated by the model is below 30% (8 weather stations). Only 2 stations have a deviation value
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
74 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
exceeding 30%. This needs to be studied further related to the physiographic condition of the area where the weather station is located, which is above 200m height and is an area with hilly physiography. Another consideration that supports the CHIRPS data can be used for rainwater harvesting planning is the estimated value of rainfall generally lower than the reference value. This condition is considered much better as it avoids overly optimistic volume planning.
Water security status of Semarang City assessed based on the potential volume of rainwater harvesting generally shows a surplus. If Semarang City only relies on rainwater as the only source of water, the city is actually able to meet its water needs. However, the surplus condition should consider water management factor in terms of time and distribution of the region. The average monthly rainfall that changes within season and the condition of residential area as well as the extent of roof available in each region makes the potential distribution of rainwater harvesting volume becomes uneven. Based on the results of this study, it can be stated that rainwater harvesting in City of Semarang based on its potential volume can be used as an alternative source of water to meet water needs of the city’s population.
Acknowledgments
Acknowledgments to the Geospatial Information Agency (BIG) for the support of data and software used in this study. Acknowledgments are also conveyed to the Universitas Indonesia (UI), especially the School of Environmental Sciences for support in publication activities and Universitas Diponegoro, especially Urban Planning Studies Program for all supports during fieldwork process. Authors thanks to Sylvia Prisca Delima for her helpful comment on the first draft of this paper.
References
[1] UN University 2013 Water Security & the A Global Water Agenda UN-Water Analytical Brief Canada.
[2] Zaizen M, Urakawa T, Matsumoto Y, Takai H 2000 The collection of rainwater from dome stadiums in Japan Urban Water Journal 1 (4) 355–359
[3] Villarreal E L and Dixon A 2005 Analysis of a rainwater collection system for domestic water supply in Ringdansen Norrköping Sweden Building and Environment Journal 40 (9) 1174–1184
[4] Ghisi E 2006 Potential for potable water savings by using rainwater in the residential sector of Brazil Building and Environment Journal 41 (11) 1544–1550
[5] Nolde E 2007 Possibilities of rainwater utilisation in densely populated areas including precipitation runoffs from traffic surfaces Desalination Journal 215 (1–3) 1–11
[6] Abdulla F A and Al-Shareef A W 2009 Roof rainwater harvesting systems for household water supply in Jordan Journal of Desalination 243 (1-3) 195-207
[7] Zhang D, Gersberg R M, Wilhelm C, Voigt M 2009 Decentralized water management rainwater harvesting and greywater reuse in an urban area of Beijing China Urban Water Journal 6 (5) 375–385
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
75 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
[8] Akter A and Shoukat A 2015 Potentiality of rainwater harvesting for an urban community in Bangladesh Journal of Hydrology 528 84-93
[9] Jeremy G, Sam T and Diveshkumar M 2012 Mandatory urban rainwater harvesting: learning from experience Water Science & Technology 65 (7) 1200-1207
[10] Rida A, Abdullah D, Ghada S 2010 Combining GIS with multicriteria decision making for siting water harvesting ponds in Northern Jordan Journal of Arid Environments 74 1471-1477
[11] Guebaili A, Djebbar Y, Guedri A, Boukhari S 2011 Rainwater harvesting in North Africa: A novel method for reservoir sizing Journal of Materials and Environmental Science 2 (S1) 469-472
[12] Farrenya R, Gabarrella X, Rieradevall J 2011 Cost-efficiency of rainwater harvesting strategies in dense Mediterranean neighbourhoods Resources, Conservation and Recycling 55 686–694
[13] Zeng B, Tan H, Wu L 2007 A New Approach to Urban Rainwater Management Journal of China University of Mining & Technology 17 (1) 82-84.
[14] Jaemin S, Mooyoung H, Tschung-il K, Jee-eun S 2009 Rainwater harvesting as a sustainable water supply option in Banda Aceh Desalination 248 233–240
[15] Winnaar G, Jewitt G P W, Horan M 2007 A GIS-based approach for identifying potential runoff harvesting sites in the Thukela River basin, South Africa Physics and Chemistry of the Earth 32 1058–1067
[16] Funk C, Peterson P, Landsfeld M, Pedreros D, Verdin J, Rowland J, Romero B, Husak G, Michaelsen J, Verdin A, Pedreros P 2014 A Quasi-Global Precipitation Time Series for Drought Monitoring U.S. Geological Survey Data Series 832 Available online: pubs.usgs.gov/ds/832/ (accessed on 8 August 2014).
[17] Ramon F, Tito M P, Albert G, Carlota T, Joan R, Xavier G 2011 Roof selection for rainwater harvesting: Quantity and quality assessments in Spain Water Research 45 3245-3254
2018| LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN KEBENCANAAN HIDROLOGIS – PEMODELAN HIDRODINAMIKA BANJIR
76 BAB II – LUARAN KARYA TULIS ILMIAH HASIL KEGIATAN
2.D Luaran Karya Tulis Ilmiah – 3
Judul :
THE RELATIONSHIP BETWEEN VARIOUS LAND USE CATEGORIES AND
THE IMPERVIOUSNESS FOR PREDICTING THE IMPACT OF EXCESSIVE
LAND DEVELOPMENT IN URBAN AREA AT SEMARANG REGENCY,
CENTRAL JAVA
Abstract :
The strong relationship between imperviousness and stream quality as claimed
by numerous researchers, underlining the difficulty in maintaining urban stream
quality in facing the development in the watersheds. Imperviousness has been
agreed as the key predictive variable in most simulation and empirical models
used to estimate the stream quality as response variable. As the imprint of land
development, imperviousness is composed of two primary components, namely
the rooftops and the transport system. Traditional zoning has strongly
emphasized and regulated the rooftops and largely neglected the transport
component, whereas based on actual measurement in 1994 at City of Olympia,
Washington transport-related imperviousness consisted of 63 to 70% of total
impervious cover at the site in 11 residential, multifamily and commercial areas.
In most of the studies the definition and determination of imperviousness is not
well described. An imperviousness estimation methodology should have three
basic attributes, in order to be useful: it is relatively accurate, easy to do, and
the required information is easily derived and already available. There are three
methods commonly used in the watershed, namely: direct measurement, based
on specific land use categories, and based on road density. The decision on
selected methodology should consider the following: the available time, skilled
and funding; the accuracy needed; and the ability to predict future
imperviousness. The study aimed to determine the relationship between various
land use categories and the imperviousness consisting of rooftops and transport-
related components at Semarang Regency, Central Java. Once the relationship
has been determined, then the imperviousness practically can be determined by
the proportion of land use categories. There are nine land use categories (water
body, industrial area, public & social facilities, business & services area, open
space, agricultural area, townhouse residential, mixed-urban residential, and
others) are applied on 16 Districts at Semarang Regency (Banyumanik, Candisari,