AKAR IDEOLOGIS PROBL EM KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI
INDONESIAoleh:Arif Rohman(Dosen FIP-UNY)Salah satu persoalan dasar
yang menyebabkan masih buramnya kondisi pendidikan Indonesia adalah
menyangkut problem kebijakan. Paling tidak ada tiga kelemahan
berkaitan dengan kebijakan pendidikan kita, yaitu: elitisme
perumusan kebijakan, distorsi implementasi, serta keseluruhan
prosesnya cenderung bersifat instan. Sehingga dikesankan masyarakat
terhadap seringnya perubahan kebijakan itu sebagai proses yang
involutif semata. Hal ini mengindikasikan adanya kerapuhan dalam
hal dasar -dasar ideologis terhadap kebijakan pendidikan yang
digunakan. Oleh karenanya, pilihan ideologi menuju kebijakan yang
mendorong tumbuhnya sikap kritis - partisipatoris menjadi sangat
penting.
PendahuluanKalangan ahli berpendapat bahwa potret pembangunan
pendidikan Indonesia sampai saat ini masih belum menggembirakan.
Paling tidak masih ada tiga persoalan dasar berkaitan dengan
kebijakan pendidikan: pertama, pola perumusan kebijakan pendidikan
yang masih b erpusat pada elit kekuasaan dengan sistem top-down di
satu sisi sementara partisipasi masyarakat relatif masih minimal di
sisi lain. Meskipun sekarang ini sudah memasuki era otonomi daerah,
namun praktek dengan kultur birokrasi politik lama masih tetap men
gemuka.
Kedua, banyaknya rumusan kebijakan pendidikan yang sudah
dirancang secara rumit dan mahal ternyata ketika sampai pada
tataran implementasi mengalami distorsi dan banyak penyimpangan.
Aneka distorsi pemaknaan dan penyimpangan implementasi kebijakan di
lapangan masih sering terjadi. Contoh paling nyata terhadap hal ini
antara lain berkaitan dengan paket sekolah unggul dan life skill
yang sekarang sudah menjadi bukti dari aneka bukti lain kegagalan
kebijakan pendidikan Indonesia.
Ketiga, berbagai paket kebijakan tentang inovasi pendidikan
hampir selalu dilakukan dengan serba cepat (instant) dan kurang
mempertimbangkan berbagai implikasi secara matang. Contoh paling
dekat terhadap hal ini adalah penghapusan Ebtanas untuk jenjang
Sekolah Dasar pada awal t ahun 2002. Akibatnya semua paket
kebijakan di atas menjadi sekedar proyek dan terkesan involutif
semata.
Dari tiga kondisi tersebut yakni adanya elitisme, distorsi,
serta proses yang serba instant dalam setiap perumusan dan
impelemntasi kebijakan pendidik an secara akumulatif telah
mendorong pada munculnya pandangan skeptis masyarakat. Beberapa
kalangan masyarakat mengeluhkan bahwa seringnya terjadi perubahan
kebijakan pendidikan yang belum mampu menghasilkan perbaikan secara
signifikan. Keluhan awam yang s ering muncul adalah terungkap dalam
plesetan:Ganti menteri ganti kurikulum .
Pada bagian lain, Mochtar Buchori (1994:12 -13) melihat bahwa
banyak tindakan pembanguan pendidikan yang diambil dan dilakukan
belum berupa sebuah tindakan membangun yang sebenarn ya (genuine
development act) , tetapi masih berupa tindakan membangun semu
(pseudo-development act) serta tindakan membangun hanya bersifat
nominal (nominal development act) . Hal ini menurutnya, disebabkan
belum adanya sikap dasar pembangunan yang benar di bidang
pendidikan.
Bahkan ditambahkan oleh Silberman (ONeil, 2001:8) bahwa
gagalnya
perbaikan dan praktek pendidikan selama ini lebih dikarenakan
sikap dan tindakan
tanpa pikir para pelaku pendidikan di semua tingkat. Hal ini
jelas mengindikasikan masi h belum kokohnya dasar -dasar ideologis
pendidikan di Indonesia. Aneka kebijakan yang mengarah kepada
perbaikan pendidikan masih mendasarkan pada fondasi ideologis yang
rapuh, atau dengan kata lain tidak jelas dasar-dasar
ideologisnya.
Dengan mencermati pap aran tersebut, maka pertanyaan yang muncul
adalah bagiamanakah sebuah kebijakan pendidikan bila dilihat dari
kerangka akar ideologisnya? Mengapa pilihan terhadap sebuah dasar
ideologis terhadap praktek pendidikan menjadi sangat penting?
Alternatif apa saja yang patut menjadi dasar
ideologis pendidikan serta manakah diantara itu semua yang
paling tepat dalam membangun pendidikan Indonesia masa depan?
Akar Ideologis Kebijakan Pendidikan.Pada umumnya praktek
penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat dilatarbelakangi
adanya pertimbangan -pertimbangan subyektif masing -masing
masyarakatnya berupa preferensi nilai serta suatu prinsip yang
dipilih. Aneka pertimbangan subyektif tersebut sebenarnya bisa
dimengerti, mengingat praktek pendidikan merupakan bagia n dari
bentuk aktualisasi atas keinginan -keinginan masyarakat dalam
mewujudkan kehendaknya -- Edward Stevens dan George H.Wood (1987:
149) lebih memilih dengan istilah cita -cita sosial (social
ideals).
Dengan merunut pertimbangan dari kehendak masyarakat atau cita
-cita sosial (social ideals) di atas, maka praktek penyelenggaraan
pendidikan --baik di sekolah maupun luar sekolah -- pada umumnya
mempunyai dua peran penting yang berbeda. Pada satu sisi, proses
pendidikan dapat melegitimasi bahkan melanggengkan formasi sosial
yang ada (status quo); pada sisi lain justru sebaliknya pendidikan
berperan membangun atau merubah tatanan sosial menuju yang lebih
adil.
Kedua peran yang berlawanan tersebut sebenarnya m erupakan
pantulan (reflection) dari kehendak serta cita -cita sosial yang
berbeda dari suatu masyarakat. Menurut William F. ONeil (2001:8)
perbedaan arah praktek penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya
disebabkan oleh perbedaan ideologi yang digunakan ole h
masing-masing masyarakat. Dalam hal ini, pengertian Ideologi bila
kita menengok pendapat Sargent dalam bukunya Contemporary Political
Ideologies yang dikutip William F. ONeil (2001:32 -33), diartikan
sebagai sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta
atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Ideologi berupaya
menggambarkan mengenai karakteristik -karakteristik umum tentang
alam dan masyarakat; serta keterkaitan antar hakikat dunia dengan
hakekat moral, politik, dan panduan-panduan perilaku lainny a yang
bersifat evaluatif. Oleh karenanya, ia tidak sekedar memberi
informasi tentang dunia ini sebenarnya tetapi juga merupakan
petunjuk yang bersifat imperatif bagaimana seharusnya
manusia/masyarakat bertindak.
Prinsip dan petunjuk nilai yang bersifat imperatif sekaligus
evaluatif tersebut pada akhirnya mempengaruhi bagaimana tatanan
sosial masyarakat dibangun. Dengan kata lain, ideologi sosial suatu
masyarakat mempengaruhi formasi sosial yang hendak diwujudkan oleh
masyarakat itu sendiri.
Selanjutnya formasi sosial masyarakat yang hendak dibangun di
atas pada dasarnya merupakan wadah bagi warganya untuk
mengekspresikan segala tindakannya. Biasanya wadah formasi sosial
diatur oleh adanya norma sosial (social norms) yang diciptakan
secara kolektif. Norma sosial yang mengatur wadah formasi sosial
tersebut banyak wujudnya seperti: kebiasaan (folkways), adat
istiadat (customs atau mores), norma hukum (law), serta tabu
(taboo). Kesemuanya itu dalam rangka memberikan kerangka acuan
(term of reference) bagi tindakan- tindakan yang dilakukan oleh
semua anggotanya (Soerjono Soekanto, 1982:176). Dengan harapan para
anggotanya bisa bertingkah laku dan bertindak sesuai dengan norma
sosial yang telah disepakati.
Kedudukan norma sosial di atas memiliki dua fungsi: Pertam a,
fungsi direktif yakni memberikan arah atau acuan yang benar bagi
tingkah laku anggotanya sebagaimana dikehendaki oleh kelompok.
Kedua, fungsi konstraintif yakni membatasi atau memaksa terhadap
semua tingkah laku anggota masyarakat tersebut agar tidak
menyimpang dari acuan moral (terms of reference) kelompoknya.
Dengan fungsi direktif dan konstraintif ini diharapkan muncul
tindakan -tindakan moral yang memiliki kadar moralitas sebagaimana
dikehendaki oleh mayoritas anggota masyarakat dalam semua
lapisan.
Dalam perkembangan masyarakat, aneka macam norma sosial yang
semakin mendapatkan tempat sebagai acuan formal dalam kehidupan
kelompok adalah norma hukum. Seperti perundang -undangan dan
keputusan -keputusan hasil kebijakan penyelenggara negara yang
bersifat publik, sehingga dikenal dengan istilah kebijakan
publik.
Kebijakan publik adalah semua perundang -undangan atau keputusan
- keputusan yang bersifat mengikat kepada semua warga masyarakat
atau negara. Suatu keputusan dikatakan mengikat apabila anggota
-anggota masyarakat merasa bahwa mereka harus mentaati kewenangan
yang ada (Ramlan Surbakti,1992:17).
Dalam hal ini Ramlan Surbakti secara implisit menyebut kebijakan
publik dengan keputusan politik oleh karena semua kebijakan publik
dihasilkan melalui proses politik.
Pertanyaannya, mengapa sebagian anggota masyarakat mentaati
keputusan politik, sedangkan sebagian anggota yang lain tidak
mentaatinya? Mengapa ada kelompok yang memberikan dukungan
(legitimation) sementara kelompok lain menolak (delegitimation)
terhadap keputusan-keputusan politik.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, paling tidak ada dua jawaban
terhadap mereka yang mentaati peraturan. Pertama, para warga
masyarakat merasa terikat pada kewenangan yang ada karena takut
akan paksaan fisik dari penyelengga ra negara yang memiliki
monopoli dalam penggunaan paksaan. Kedua, disamping alasan takut
paksaan, ada alasan lain yakni karena tradisi, menguntungkan, serta
kesadaran hukum.
Sedangkan bagi mereka yang membangkang atau menolak peraturan
kemungkinan mendasa rkan diri pada salah satu alasan berikut:
pertama, bahwa pemerintah sudah dianggap tidak lagi mempunyai
kewenangan membuat dan melaksanakan keputusan politik. Kedua,
substansi keputusan atau kebijakan politik tersebut sangat
merugikan dirinya (Ramlan Surba kti, 1992: 17-18).
Kebijakan politik yang memiliki daya ikat dan daya paksa
terhadap semua warga negara atau warga masyarakat wujudnya banyak
sekali. Ada kebijakan politik yang mengikat dalam dimensi kehidupan
sosial warga. Ada pula kebijakan politik yang membatasi dalam
dimensi kehidupan ekonomi, politik, serta kebudayaan anggota
masyarakat. Pun pula ada kebijakan politik yang mengatur khusus
pada dimensi kehidupan pendidikan masyarakat.
Dari uraian di atas akhirnya dapat digambarkan secara hirarkhis
ske ma nilai dimulai dari nilai dasar yang paling dijunjung tinggi
yaitu prinsip nilai yang mendasari lahirnya prinsip moral, prinsip
moral mendasari lahirnya kebijakan- kebijakan sosial yang dalam hal
ini menurut penulis adalah filsafat sosial, filsafat sosial
melahirkan ideologi politik, yang akhirnya sampai pada wujudnya
kebijakan pendidikan.
Secara skematis, dapat digambarkan kedudukan akar nilai,
filsafat, dan ideologi pendidikan terhadap lahirnya kebijakan
pendidikan. Dalam hal ini skema yang dipaparkan merupakan skema
yang dibuat William ONeil (2001:42) dengan
sedikit penambahan penulis sebagai berikut:PRINSIP-PRINSIP
NILAIPRINSIP MORAL (ETIKA MORAL)FILSAFAT/ IDEOLOGI SOSIALIDEOLOGI
POLITIKIDEOLOGI PENDIDIKANKEBIJAKAN-KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Apa yang ideal ?
(Apakah yang memiliki kebaikan teringgi?)
Apa pengaruh yang ideal terhadap perilaku
manusia ?
(Perilaku apakah yang paling bermoral?)
Tindakan macam apa yang disyaratakan oleh prinsip moral tersebut
b ila dilihat dalam kondisi sekarang/ riil? (Tindakan apa yang
praktis?)
Kondisi-kondisi sosial politik seperti apa, lembaga-lembaga apa,
serta hubungan antar lembaga yang seperti apakah yang perlu ada
bagi penanaman kebijakan moral di atas?)
Pengetahuan macam apakah y ang diperlukan seseorang sehingga
memiliki karakteristik sebagai warga negara yang diharapkan ?
Bagaimanakah peng etahuan-pengetahuan yang diperlukan itu
dibagikan dan diberikan kepada orang-orang lain?
Beberapa Faham Ideologi PendidikanBeberapa faham ideologi
pendidikan telah banyak dikemukakan para ahli, yang terakhir
diantaranya diungkapkan oleh William F. ONeil. Pemetaan faham
ideologi pendidikan yang disampaikan ONeil ini sebenarnya merupakan
koreksi atas pemetaan yang telah dibua t oleh Theodore Brameld
dalam bukunya Toward a Reconstructed Philosophy of Education ,
(1956). Brameld membagi ada empat
macam ideologi pendidikan yang dia sebut sendiri dengan istilah
aliran filsafat pendidikan. Keempat ideologi tersebut adalah:
Perenialisme, Esensialisme, Progresivisme, dan Rekonstruktivisme
.
Menurut Perenialisme, sasaran yang perlu dicapai dalam
pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip -prinsip tentang
kenyataan, kebenaran, dan nilai yang abadi dan tak terikat ruang
dan waktu. Ia menga jukan keberadaan pola -pola yang tak bisa
berubah dan bersifat universal sejak jaman Yunani kuno sampai, abad
pertengahan, dan abad dewasa ini atau sekarang yang melatari dan
menentukan seluruh obyek serta peristiwa yang ada dalam kenyataan.
Ia berakar dari tradisi filsafat Plato, Aristoteles, dan Thomas
Aquinas.
Aliran Esensialisme berpandangan, bahwa alam semesta beserta
segala unsurnya diatur oleh hukum yang mencakup semuanya serta
tatanan yang sudah mapan sebelumnya. Karenanya, tugas utama manusia
adalah memahami hukum dan tatanan tersebut sehingga mereka bisa
menghargai dan menyesuaikan diri dengannya. Menurut esensialisme,
sasaran utama sekolah adalah untuk mengenakan siswa kepada karakter
dasar alam semesta yang sudah tertata. Oleh karena itu, anak harus
dikenalkan kepada warisan budaya sekaligus sebagai pelestari
budaya.
Progresifisme berpendapat, tujuan utama sekolah adalah untuk
meningkatkan kecerdasan praktis, yang membuat siswa lebih efektif
dalam menghadapi dan memecahkan problem dalam kehidupan s
ehari-hari. Progresifisme menekankan pendidikan harus bersifat
duniawi, eksperimentatif, eksploratif, aktif, dan evolusioner.
Sehingga ia sering disebut faham eksperimentalisme . Faham ini
ditopang oleh filsafat Pragmatisme Amerika.
Sedangkan faham Rekonstruktivisme menekankan bahwa sekolah
semestinya diabdikan kepada pencapaian tatanan sosial yang
demokratis. Orientasi utama sekolah haruslah pembangunan
masyarakat.
Namun, akibat dari adanya beberapa kejanggalan atas pembagian
ideologi pendidikan yang dilakukan oleh Brameld, terutama berkaitan
dengan dasar penggolongan. Maka William F. ONeil mengajukan secara
berbeda. Dalam hal ini ONeil (2001:24 -25) mengkritik teori
penggolongan ideologi pendidikan dari
pendahulunya itu memiliki empat kelemahan uta ma: pertama, bahwa
penggolongan yang telah dibuatnya hanya tepat untuk menggambarkan
fenomena ideologi pendidikan tahun limapuluhan.
Kedua, Brameld terlalu menyederhanakan kekayaan dan keragaman di
dalam wilayah filsafat/ ideologi pendidikan kontemporer. Ketiga,
dasar penggolongan yang dipakai Brameld tidak sejajar. Perbedaan
perenialisme, esensialisme, dan progresifisme didasarkan atas apa
tujuan pendidikan? dan apa yang musti diajarkan?. Sedangkan
rekonstruksionisme menekankan dasar penggolongannya pada apa
hubungan yang tepat antara sekolah dengan masyarakat?Adapun
kelemahan keempat pada teori penggolongan Brameld adalah belum
adanya penjelasan kuat tentang keterkaitan antara aliran filsafat
pendidikan dengan aliran filsafat. Misalnya tidak semua pragmatis
pasti eksperimentalis dan tidak semua konservatis selalu
esensialis.
Oleh karena itu ONeil (2001: 99 -129) membuat penggolongan baru
yang lebih longgar yang meliputi tiga macam ideologi pendidikan,
yaitu: konservatisme, liberalisme, dan kritis-radikal.
Ideologi KonservatifFaham ideologi ini memandang, bahwa
ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan
alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan
ketentuan sejarah. Perubahan sosial bagi penganut faham ini
bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya
akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang
paling klasik, kaum konservatif berkeyakinan bahwa masyarakat pada
dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau paling tidak m
empengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan
keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna dibalik semua itu.
Dengan demikian, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat
memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Dalam pandangan kaum ini, mereka yang menderita --seperti mereka
yang termasuk kelompok miskin, buta huruf, tertindas, dipenjara --
menjadi demikian disebabkan kesalahan mereka sendiri. Karena toh
banyak orang lain yang ternyata
bisa bekerja keras akhirny a mampu meraih sesuatu. Banyak orang
ke sekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh karenanya
tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk
menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak
semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Sehingga dalam
hal ini, kaum konservatif sangat menjunjung tinggi adanya harmoni
serta menghindari konflik.
Ideologi LiberalPenganut ideologi ini berangkat dari keyakinan
bahwa dalam masyarakat terjadi banyak masalah termasuk ur usan
pendidikan, namun masalah dalam pendidikan tidak ada kaitannya
dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Sehingga tugas
pendidikan tidak ada sangkut pautnya persoalan politik dan ekonomi.
Namun demikian, proses pendidikan tidak boleh lepas sama sekali
dengan kondisi-kondisi eksternal, dalam hal ini ekonomi dan
politik. Pendidikan harus bisa menyesuaikan diri terhadap kondisi
-kondisi ekternal tersebut, dengan cara memecahkan berbagai masalah
internal melalui mereformasi diri secara kosmetik.
Seperti: pengadaan sarana prasarana yang memadai (ketercukupan
ruang kelas, perpustakaan, laboratorium yang canggih, dan peralatan
komputer yang komplit), menyeimbangkan rasio murid -guru,
penciptaan metode pembelajaran baru (CBSA, modul, remedial
learning, learning by doing, experiental learning, dll), penataan
manajemen sekolah (MPMBS, competency based leadership, dll).
Penganut ideologi konservatif dan liberal, memandang sama bahwa
pendidikan adalah apolitik dan excellent haruslah merupakan target
utama pendidikan. Kaum liberal terutama tidak melihat kaitan
pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi politik, budaya, serta
gender. Bahkan pendidikan --menurut fungsionalisme struktural
(salah satu aliran dalam ideologi liberal) -- justru dimaksud
sebagai sara na untuk menstabilkan nilai dan norma masyarakat.
Pendidikan merupakan media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi
nilai tata susila dan keyakinan agar masyarakat luas sebagai sistem
berfungsi secara baik.
Ideologi liberalisme ini berakar pada cita -cita individualisme
Barat. Menurut cita-cita ini gambara manusia ideal adalah manasia
rasionalis liberal . Yakni,
semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual; baik
tatanan alam maupun sosial dapat ditangkap oleh akal; serta
individu -individu di duni a adalah atomistik dan otonom. Ideologi
liberalisme ini juga dipengaruhi oleh positivisme. Seperti
pendewaan terhadap metode scientific serta adanya pemisahan antara
fakta dengan nilai menuju pemahaman obyektif.
Ideologi Kritis-RadikalPendidikan bagi ka um kritis ini
merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi kaum konservatif,
pendidikan diarahkan untuk menjaga status quo, sedang kaum liberal
pendidikan diorientasikan untuk perubahan moderat; maka ideologi
kritis ini menghendaki pendidikan sebagai sara na perubahan
struktur secara fundamental dalam politik, ekonomi, serta gender.
Bagi kaum kritis, diskriminasi kelas serta gender dalam masyarakat
tercermin pula dalam dunia pendidikan. Sehingga kaum kritis
-radikal ini sangat bertentangan dengan kaum liberal dimana
pendidikan dianggap terlepas dari persoalan kelas dan gender dalam
masyarakat.
Pandangan kritis -radikal melihat, perhati an utama pendidikan
adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology ke
arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan
ruang berfikir serta bertindak untuk selalu kritis terhadap keadaan
sistem serta struktur yang tida k adil dan menindas. Pendidikan
tidak mungkin bisa bersikap netral, obyektif, dan mengambil jarak
dengan masyarakat (sebagaimana dianjurkan positivisme). Maka visi
pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan beserta
kelas dominan yang ada sebagai perwujudan atas pemihakan terhadap
rakyat kecil, kelompok miskin, atau kelas tertindas umumnya dalam
rangka mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih adil.
Dilihat dari ketiga ideologi pendidikan di atas, nampaknya para
penentu kebijakan pendidikan di Indonesia masih terkesan samar
-samar dalam memilih dan mendasarkan diri sebagai basis ideologis
dalam setiap kebijakannya. Apologi yang muncul dari mereka biasanya
mengatakan telah mendasarkan diri atas ideologi Pancasila. Padahal
ideologi Pancasila belum terderifasi secara mantap menjadi ideologi
pendidikan Pancasila. Ataupun juga, pemakaian ideologi
pendidikan
Pancasila hanya sebatas simbolik namun substansinya masih
dipertanyakan Akibatnya, basis ideologis yang digunakannya lagi
-lagi menjadi kabur. sehi ngga sering terjadi konstruksi dan
formulasi paradigma kebijakan yang dibangun juga menjadi tidak
jelas serta kering akan argumentasi (lihat Suryadi dan Tilaar,
1994:
63-66).
Oleh karenanya, sangat wajar bahwa terhadap keseluruhan
kebijakan pendidikan yang sering dibuat pemerintah cenderung
bersifat involutif bahkan terkesan mengulang -ulang atau blunder.
Bahkan yang paling menyedihkan adalah banyak kebijakan pendidikan
yang dibuat oleh mereka demi memuaskan kelompok kepentingan
tertentu bukan kepada pemberd ayaan bangsa secara keseluruhan.
Kebijakan Pendidikan: Suatu Pendekatan DilematisSecara teoritis,
suatu kebijakan pendidikan dirancang dan dirumuskan untuk
selanjutnya dapat diimplementasikan, sebenarnya tidak begitu saja
dibuat. Kebijakan pendidikan yang dirumuskan secara hati -hati
lebih-lebih yang menyangkut persoalan krusial atau pe rsoalan
makro, maka hampir pasti perumusan kebijakan pendidikan tersebut
dilandasi oleh suatu faham teori tertentu. Dalam proses
perumusannya, para pemegang kewenangan dalam pengambilan kebijakan
(decision maker) terlebih dahulu mempertimbangkan secara mas
ak-masak (rasionalitas, proses, hasil, serta efek samping yang
ada).
Menurut pandangan Hodgkinson, dalam semua jenis perumusan
kebijakan selalu berkaitan dengan aspek metapolicy, karena akan
menyangkut hakekat (substance), sudut pandang (perspective), sikap
(attitude), dan perilaku (behaviour) yang tersembunyi maupun yang
nyata dari aktor -aktor yang bertanggung jawab (Solichin Abdul
Wahab, 1997:45). Metapolicy mempersoalkan mengapa dan bagaimana
sebuah kebijakan (termasuk pendidikan) dipikirkan dan dirumusk an.
Bahkan kajian metapolicy ini bisa mengarah kepada kajian yang
bersifat filosofik.
Dalam bahasan ini, penulis tidak akan terlalu menelusuri dan
mengupas lebih jauh sampai kepada kajian filosofik yang mendetail
dari sebuah kebijakan, namun dalam hal ini catatan penting yang
perlu diketengahkan dalam tulisan ini adalah
semua kebijakan termasuk dalam kebijakan pendidikan selalu
dirumuskan dengan pertimbangan-pertimbangan filosifis dan teoritis
tertentu.
Secara teoritik, suatu kebijakan pendidikan dirumusk an dengan
mendasarkan diri pada landasan pemikiran yang lebih ilmiah empirik.
Kajian ini menggunakan pola pendekatan yang beragam sesuai dengan
faham teori yang dianut oleh masing - masing penentu kebijakan.
Dalam kajian ini, paling tidak ada dua pendekatan yang dapat
direkomendasikan kepada para penentu/ berwenang dalam merumuskan
suatu kebijakan pendidikan. Dua pendekatan dalam perumusan
kebijakan pendidikan tersebut adalah: (1) Social demand approach ,
dan (2) Man-power approach.
Social demand approach adalah suatu pendekatan dalam perumusan
kebijakan pendidikan yang mendasarkan diri pada aspirasi, tuntutan,
serta aneka kepentingan yang didesakkan oleh masyarakat. Pada
pendekatan jenis ini para pengambil kebijakan akan terlebih dahulu
menyelami dan mendeteks i terhadap aspirasi yang berkembang di
masyarakat sebelum mereka merumuskan kebijakan pendidikan yang
ditanganinya. Bahkan kalau perlu mereka melakukan hearing dan
menangkap semua aspirasi dari bawah secara langsung.
Pada masyarakat yang sudah maju, proses penjaringan aspirasi
dari masyarakat lapisan bawah (grass-root) bisa dilakukan melalui
banyak cara, misalnya: melalui jajak pendapat, arus wacana yang
berkembang, penelitian, atau dengan cara pemilihan umum. Sedangkan
yang berlaku pada masyarakat yang masih belum maju, proses
penjaringan aspirasi dari bawah biasanya melalui rembug deso,
jagong, sarasehan, dan sebaginya.
Pendekatan social demand sebenarnya tidak semata -mata merespon
aspirasi masyarakat sebelum dirumuskannya kebijakan pendidikan,
akan tetap i juga merespon tuntutan masyarakat setelah kebijakan
pendidikan diimplementasikan. Partisipasi warga dari seluruh
lapisan masyarakat diharapkan terjadi baik pada masa perumusan
maupun implementasi kebijakan pendidikan.
Dengan mencermati uraian tersebut, social demand approach dalam
perumusan kebijakan dapat digolongkan ke dalam tipe perumusan
kebijakan yang bersifat pasif. Artinya, suatu kebijakan baru dapat
dirumuskan apabila ada tuntutan
dari masyarakat terlebih dahulu. Dengan demikian, para pejabat
berw enang hanya bersifat menunggu dan hanya selalu menunggu. Namun
dari sisi positif, model pendekatan ini lebih demokratis sesuai
dengan aspirasi dan tuntutan masyakat, sehingga pada saat kebijakan
tersebut diimplementasikan dimungkinkan akan mendapat dukunga n
mayoritas dari masyarakat. Oleh sebab itu, dengan pendekatan jenis
ini tingkat ketercapaian dari implementasi kebijakan relatif tinggi
dan resiko kegagalannya akan rendah.
Pendekatan kedua adalah man-power approach, yakni sebuah
pendekatan yang lebih menitik-beratkan kepada pertimbangan
-pertimbangan rasional dalam rangka menciptakan ketersediaan
sumberdaya manusia (human resources) yang memadai di masyarakat.
Pendekatan man-power ini tidak melihat apakah ada permintaan dari
masyarakat atau tidak, apakah masyarakat menuntut untuk dibuatkan
suatu kebijakan pendidikan tertentu atau tidak; tetapi yang
terpenting adalah menurut pertimbangan -pertimbangan rasioal dan
visioner dari sudut pandang pengambil kebijakan.
Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yan g mampu
menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya dan juga sebagai seorang
visioner. Ia tidak hanya sekedar menjalankan tugas -tugas rutin dan
ritual dalam memimpin masyarakatnya; akan tetapi ia juga bisa
melihat jauh ke depan cita -cita yang akan dicapai masyarakatnya
serta cara -cara untuk mencapainya.
Dengan kemampuan visoner dari sang pemimpin yang mampu melihat
jauh ke depan cita-cita yang akan menjadi tujuan masyarakatnya,
maka sang pemimpin tersebut bisa membuat langkah -langkah
antisipasi dan adaptasi dalam mengarahkan masyarakatnya sesuai
dengan arah yang benar, tanpa harus terlebih dahulu menunggu adanya
tuntutan dari anggota -anggota masyarakatnya.
Dalam pendekatan man-power, pemerintah sebagai pemimpin suatu
bangsa pada umumnya melihat bahwa suatu ba ngsa akan bisa maju
manakala memiliki banyak warga yang mempunyai kapasitas dan
kapabilitas yang memadai. Dengan kata lain, memiliki kualitas
sumberdaya manusia (human resources) yang dapat diandalkan. Salah
satu indikator empirik dari penguasaan kualitas dari masing- masing
warga bangsa adalah tingkat pendidikan formal para anggotanya.
Oleh
karena itu pemerintah sebagai pemimpin yang berwenang merumuskan
suatu kebijakan memiliki legitimasi kuat untuk merumuskan kebijakan
pendidikan dengan alasan-alasan sebagaimana di atas.
Beberapa catatan yang dapat dipetik dari man-power approach di
atas adalah bahwa pendekatan ini secara umum lebih bersifat
otoriter. Man-power approach pada umumnya kurang menghargai proses
demokratis dalam perumusan kebijakan pendidikan, terbukti perumusan
kebijakannya tidak diawali dari adanya aspirasi dan tuntutan
masyarakat, akan tetapi langsung saja dirumuskan sesuai dengan
tuntutan masa depan sebagaimana dilihat oleh sang pemimpin
visioner. Sehingga terkesan adanya cara-cara otoriter dalam
pendekatan jenis kedua ini. Namun dari sisi positifnya, pendekatan
man-power lebih efisien dalam proses perumusannya serta lebih
berdimensi jangka panjang.
Menuju Formulasi Kebijakan Pendidikan Kritis -PartisipatifDengan
mendasarkan diri pada filsafat sosial yang berlanjut kepada
filsafat dan ideologi politik sebagaimana dijelaskan di muka, maka
terdapat implikasi beragamnya teori berkenaan dengan formulasi
kebijakan pendidikan. Sebagaimana dikemukakan Hudson (Arif Rohman,
2002: 78 -81) yang telah mengelompokkan teori perumusan kebijakan
pendidikan menjadi lima teori. Kelima teori tersebut menurut Hudson
adalah: (a) teori radikal, (b) teori advokasi, (c) toeri
transaktif, (d) teori sinoptik, dan (e) teori incremental.
Teori radikal (radical theory) menekankan kebebasan lembaga
lokal dalam menyusun sebuah kebijakan pendidikan. Semua kebijakan
pendidikan yang menyangkut penyelenggaraan dan perbaikan
penyelenggaraan pendidikan di tingkat daerah diserahkan kepada
daerah. Sehingga negara atau pemerintah pusat tidak perlu
repot-repot menyusun sebuah rencana kebijakan pendidikan bila pada
akhirnya kurang sesuai dengan kondisi lokal. Lebih -lebih kondisi
masing -masing daerah memiliki tingkat keragaman dan kekhasan
sendiri -sendiri yang tidak bisa disamakan satu sama lain.
Teori ini berasumsi bahwa tidak ada lembaga atau organ
pendidikan lokal yang persis sama satu sama lain . Sehingga untuk
menyusun kebijakan pendidikan
yang dianggap terbaik adalah diserahkan sepenuhnya kepada l
embaga-lembaga lokal yang secara hakiki memiliki karakteristik yang
relatif plural, serta yang mengetahui persoalan untuk dirinya
sendiri. Hal ini amat relevan dengan semangat otonomi daerah yang
sekarang sedamg bergulir. Dari sini nampak jelas bahwa teori
radikal ini sangat menghargai desentralisasi dalam perumusan
kebijakan pendidikan.
Teori advokasi (advocacy theory) agak berbeda dengan teori
radikal di atas. Teori advokasi ini tidak menghiraukan perbedaan
-perbedaan seperti karakteristik lembaga, lingkungan sosial dan
kultural, lingkungan geografis, serta kondisi lokal lainnya.
Kesemua macam corak karakteristik dan perbedaan lingkungan tersebut
menurut teori ini hanyalah perbedaan yang didasarkan pada
pengamatan empirik semata. Sebaliknya, teori advok asi ini lebih
mendasarkan pada argumentasi yang rasional, logis, dan bernilai.
Sehingga dalam hal ini pemerintah pusat sangat perlu menyusun
kebijakan pendidikan yang bersifat nasional demi kepentingan umum,
serta demi melindungi lembaga -lembaga dan organ -organ pendidikan
yang relatif masih marginal dibanding lembaga atau organ pendidikan
lain yang sudah maju.
Teori advokasi bersumber dari akar teori konflik yang
merekomendasikan pemberian kewenangan n egara atau pemerintah pusat
untuk membatasi kelas atau kelompok-kelompok dominan yang bisa
merugikan kelas marginal. Dalam hal ini pemerintah pusat harus
mampu menyeimbangkan kemajuan pendidikan antar daerah. Dengan
demikian ketimpangan pendidikan antar da erah bisa dieliminir.
Teori transaktif (transactive theory) menekankan bahwa perumusan
kebijakan sangat perlu didiskusikan secara bersama terlebih dahulu
dengan semua pihak. Proses pendiskusian ini perlu melibatkan
sebanyak mungkin pihak -pihak terkait, termasuk dalam hal ini
adalah dengan personalia lembaga pendidikan di tingkat lokal. Hasil
dari proses diskusi tersebut kemudian dievolusikan atau
digelindingkan terlebih dahulu secara perlahan -lahan.
Pada dasarnya, teori transaktif ini sangat menekankan har kat
individu serta menjunjung tinggi kepentingan masing -masing
pribadi. Keinginan, kebutuhan, dan nilai-nilai individu diteliti
satu persatu dan diajak bersama dalam perumusan kebijakan
pendidikan.
Teori sinoptik (synoptic theory) lebih menekankan bahwa d alam
menyusun sebuah kebijakan supaya menggunakan metode berfikir
sistem. Obyek yang dirancang dan terkena kebijakan, dipandang
sebagai satu kesatuan yang bulat dengan tujuan yang sering disebut
dengan misi. Oleh karena itu, teori ini sering juga disebut teori
sistem, atau teori pendekatan sistem rasional , atau teori rasional
komprehensif.
Teori inkremental (incremental theory) adalah teori yang
menekankan pada perumusan kebijakan pendidikan yang berjangka
pendek serta berusaha menghindari perencanaan ke bijakan yang
berjangka panjang. Penekanan semacam ini diambil disebabkan karena
masalah -masalah yang dihadapi serta performa dari para personalia
pelaksana kebijakan dan kelompok yang terkena kebijakan sulit
diprediksi. Setiap saat, setiap tahun, dan setia p periode waktu
mengalami perubahan yang sangat kompleks.
Oleh karena itu menurut teori inkremental ini, amatlah sulit dan
amatlah kurang cermat manakala sebuah kebijakan pendidikan yang
berdimensi jangka panjang akan diterapkan pada suatu keadaan yang
se lalu berubah. Kebijakan pendidikan yang paling tepat adalah
kebijakan yang berjangka pendek yang relevan dengan masalah pada
saat itu juga.
Demikianlah beberapa teori perumusan kebijakan pendidikan yang
telah dideskripsikan panjang lebar. Tentu saja masing -masing teori
yang ada tersebut memiliki kekhasan dan implikasi positif dan
negatifnya sendiri -sendiri bila diterapkan. Ia hanya akan tepat
atau memiliki banyak nilai positif manakala diterapkan pada konteks
masalah yang relevan.
Namun tidak tertutup kemun gkinan bahwa satu masalah akan bisa
dipecahkan dengan menggunakan beberapa teori secara
eklektis-sinergis. Misalnya dalam mengatasi persoalan ketimpangan
antar daerah soal mutu pendidikan yang menjadi problem bangsa
Indonesia sejak tahun 1970 -an sampai sekarang, maka pemecahan
kebijakan yang relevan adalah dengan menggunakan teori radikal,
advokasi, dan sinoptik secara eklektis-sinergis. Aspek-aspek yang
bisa ditangani dan diselesaikan oleh lembaga lokal hendaknya
diserahkan kepada kreatifitas lokal,
sedangkan hal-hal yang mestinya ditangani pemerintah pusat
supaya diupayakan pusat. Terhadap keseluruhan upaya tersebut
dilakukan dalam kerangka sistem.
Dengan menggunakan teori secara eklektis -sinergis maka
partisipasi lokal dan masyarakat pada umumnya diharapk an bisa
meningkat secara signifikan serta daya kritis mereka dalam
mempertimbangkan antara tuntutan dengan kemampuan juga akan semakin
berkembang.
PenutupBerdasar paparan di muka maka dapat dipetik beberapa
intisari sebagai kesimpulannya, diantaranya a dalah bahwa salah
satu persoalan dasar yang menyebabkan masih buramnya kondisi
pendidikan Indonesia adalah menyangkut problem kebijakan. Kebijakan
yang semula diarahkan untuk menyelesaikan aneka problem pendidikan
yang ada ternyata dalam dirinya terdapat p roblem tersendiri,
sehingga pada gilirannya aneka problem pendidikan yang ada bukannya
semakin terselesaikan tetapi justru semakin kompleks.
Paling tidak ada tiga kelemahan berkaitan dengan kebijakan
pendidikan kita, yaitu: elitisme perumusan kebijakan yan g
cenderung bersifat top-down meskipun di era otonomi daerah,
distorsi implementasi, serta keseluruhan prosesnya cenderung
bersifat instan. Sehingga dikesankan oleh masyarakat terhadap
seringnya perubahan kebijakan itu sebagai proses yang involutif
semata.
Salah satu penyebab terhadap hal tersebut adalah adanya
kerapuhan dalam dasar-dasar ideologisnya. Bahkan landasan ideologis
yang dipakai cenderung berganti-ganti dan tidak jelas. Akibatnya
kebijakan pendidikan yang diambil menjadi kehilangan daya grege t
dan konsistensinya. Oleh karenanya, pilihan ideologi menuju
kebijakan yang mendorong tumbuhnya sikap kritis -partisipatoris
menjadi sangat penting.
Secara teoritik, ada tiga kelompok faham ideologi pendidikan
yang bersumber dari ideologi politik, yaitu: konservatisme,
liberalisme, dan kritis- radikal. Ketiganya memiliki kelemahan dan
kelebihan beserta segenap implikasi yang ditimbulkannya. Termasuk
pula implikasi pendekatan yang akan digunakan
dalam formulasi kebijakan apakah menggunakan man-power approach
atau social demand approach . Untuk itu, dengan mempertimbangkan
terhadap aneka ideologi, teori, dan pendekatan kebijakan yang ada
secara kritis, kreatif dan konsisten dengan disertai semangat
nasionalisme membangun pendidikan bangsa secara menyeluruh dan
bukan untuk kepentingan tentatif apalagi sekedar proyek, maka
diharapkan akan terwujud secara pelan tapi pasti berupa perbaikan
kualitas pendidikan.
DAFTAR PUSTAKABuchori, Mochtar. 1994. Pendidikan dan Pembangunan
. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
ONeil, William F. 2001. Ideologi-Ideologi Pendidikan .
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rohman, Arif. 2002. Kebijakan Pendidikan: Ideologi, Proses
Politik, dan Peran Birokrasi dalam Formulasi dan Implementasi
Kebijakan Pendidikan. (Naskah buku yang sekarang sedang proses
editing untuk penerbitan di Pustaka Pelajar Yogyakarta).
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar . Jakarta:
Rajawali Press. Stevens, Edward and Wood, George H. 1987. Justice,
Ideology, and Education .
New York: Random House.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik . Jakarta:
Gramedia
Widiasarana.
Suryadi, Ace dan Tilaar, H AR. 1994. Analisis Kebijakan
Pendidikan: SuatuPengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.Wahab,
Solichin Abdul. 1997. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi
KeImplementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.