BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Latar Belakang Agresi Militer Belanda I Pada bulan Oktober 1946 telah dilaksanakan perundingan- perundingan hingga disepakati suatu gencatan senjata di Jawa dan Sumatera. Pada bulan November 1946, di Linggajati (didekat Cirebon) dilaksanakan persetujuan yaitu “persetujuan Linggajati”, yang isinya adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah belanda mengakui kekuasaan de facto Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera. 2. Pemerintah Indonesia dan Belanda bersama-sama akan membentuk suatu negara demokrasi federal yang berdaulat, yaitu Republik Indonesia Serikat, terdiri dari tiga negara bagian, yaitu: Republik Indonesia (Jawa dan Sumatera), Negara Bagian Kalimantan, dan Negara Indonesia Timur (meliputi semua wilayah Indonesia lainnya, yaitu wilayah-wilayah yang dulu termasuk dalam Negara Hindia Timur Belanda, terbentang 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Latar Belakang Agresi Militer Belanda I
Pada bulan Oktober 1946 telah dilaksanakan perundingan-perundingan hingga disepakati
suatu gencatan senjata di Jawa dan Sumatera. Pada bulan November 1946, di Linggajati (didekat
Cirebon) dilaksanakan persetujuan yaitu “persetujuan Linggajati”, yang isinya adalah sebagai
berikut:
1. Pemerintah belanda mengakui kekuasaan de facto Republik Indonesia atas Jawa, Madura,
dan Sumatera.
2. Pemerintah Indonesia dan Belanda bersama-sama akan membentuk suatu negara demokrasi
federal yang berdaulat, yaitu Republik Indonesia Serikat, terdiri dari tiga negara bagian, yaitu:
Republik Indonesia (Jawa dan Sumatera), Negara Bagian Kalimantan, dan Negara Indonesia
Timur (meliputi semua wilayah Indonesia lainnya, yaitu wilayah-wilayah yang dulu termasuk
dalam Negara Hindia Timur Belanda, terbentang dari Jawa Timur sampai dengan Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Tenggara)
3. Pemerintah Indonesia dan Belanda akan bekerjasama membentuk suatu Uni Indonesia-
Belanda, terdiri dari Negeri Belanda (meliputi Negeri Belanda, Suriname, Curacao), dan
Republik Indonesia Serikat. Uni itu akan diketuai oleh Ratu Belanda.
4. Uni Indonesia-Belanda dan Republik Indonesia Serikat akan dibentuk sebelum tanggal 1
Januari 1949 dan Uni tersebut akan menentukan sendiri badan-badan perwakilannya untuk
1
mengatur masalah-masalah kepentingan bersama di negara-negara anggota, terutama masalah
luar negeri.
5. Akhirnya persetujuan itu menjamin bahwa kedua belah pihak akan mengurangi kekuatan
pasukannya masing-masing dari wilayah Indonesia, tetapi secepatnya dan konsisten dengan
menjaga hukum dan ketertiban, serta menjamin kedaulatan Republik atas semua tuntutan bangsa-
bangsa asing untuk memperoleh ganti rugi dan mengelola hak-hak serta milik mereka di dalam
wilayah-wilayah Republik. (Kahin, George McTurnan 1995:247-248)
Namun persetujuan perdamaian ini hanya berlangsung singkat. Kedua belah pihak saling tidak
mempercayai dan mengesahkan persetujuan itu sehingga menimpulkan pertikaian-pertikaian
politik yang sengit mengenai konsesi-konsesi yang telah dibuat. Setelah selesai perundingan di
Linggajati bulan November 1946, di samping terus memperkuat angkatan perangnya di seluruh
Indonesia terutama di Jawa dan Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan mereka di wilayah
Indonesia Timur, sebagai kelanjutan “Konferensi Malino” 15 – 25 Juli 1946, van Mook
menyelenggarakan pertemuan lanjutan di Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946. Kemudian
Belanda menggelar “Konferensi Besar” di Denpasar tanggal 18 – 24 Desember 1946, dimana
kemudian dibentuk negara Indonesia Timur. Tindakan Van Mook membenarkan keragu-raguan
pemerintah dan rakyat Indonesia tentang kesetiaan Belanda dalam melaksanakan persetujuan
Linggajati. Perundingan Linggarjati bagi Belanda hanya dijadikan alat untuk mendatangkan
pasukan yang lebih banyak dari negerinya.
2
Latar Belakang Masalah Perjanjian Renville
Perundingan serta penandatanganan perjanjian Renville merupakan salah satu
perundingan yang dilaksanakan antara Indonesia dengan Belanda yang dilaksanakan di atas
kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”. Perundingan ini
diwakili oleh kedua delegasi, yang di mana perwakilah dari delegasi Indonesia adalah Mr. Amir
Syarifudin, sedangkan perwakilan dari delegasi Belanda adalah R. Abdulkadir Widjojoatmodjo,
seorang Indonesia yang memihak kepada Belanda.
Pada dasarnya perundingan ini dilaksanakan atas usul dewan PBB dan KTN (Komisi
Tiga Negara) yang menginginkan upaya perdamaian dan menyelesaikan sengketa antara
Indonesia dan Belanda yang seringkali mengalami pertikaian. Di mana penyebab awal
serangkaian pertikaian ini disebabkan karena Belanda enggan untuk mengakui kedaulatan
kemerdekaan Indonesia. Namun latar belakang dilaksanakannya perundingan Renville tidak akan
terlepas dari adanya penyerangan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia, di mana peristiwa
ini seringkali disebut sebagai “Agresi Militer Belanda Pertama” yang terjadi pada tanggal 21 Juli
1947 sampai dengan 4 Agustus 1947.
B. Rumusan Masalah
Agresi Militer Belanda I
1. Apa penyebab terjadinya Agresi Militer Belanda 1?
2. Apa tujuan dari Agresi Militer Belanda 1?
3. Bagaimana kronologi peristiwa Agresi Militer Belanda 1?
4. Apa dampak dari Agresi Militer Belanda 1?
5. Perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi Agresi Militer Belanda 1.
3
Perjanjian Renville
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi diadakannya Perundingan Renville?
2. Apa isi dari Perundingan Renville dan siapa saja yang berperan (turut serta) dalam
Perundingan Renville?
3.Bagaimana jalannya Perundingan Renville dan apa yang dihasilkan dari Perundingan Renville?
4.Dampak apa yang diberikan Perundingan Renville terhadap Indonesia?
C.Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar siswa-siswi mengetahui sejarah peristiwa
Agresi Militer Belanda 1 dan tentang Perjanjian Renville.
4
BAB II
PEMBAHASAN
AGRESI MILITER BELANDA I
1. Pengertian Agresi Militer I dan II
"Operatie Product (bahasa Indonesia: Operasi Produk) atau yang dikenal di Indonesia
dengan nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera
terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947.
Operasi militer ini merupakan bagian Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka
mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik
Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggajati.
Sedangkan Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak adalah operasi militer
Belanda kedua yang terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap
Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir
dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera yang dipimpin oleh Sjafrudin
Prawiranegara.
2. Penyebab Terjadinya Agresi Militer Belanda I
Agresi militer Belanda I diawali oleh perselisihan Indonesia dan Belanda akibat
perbedaan penafsiran terhadap ketentuan hasil Perundingan Linggarjati. Pihak Belanda
cenderung menempatkan Indonesia sebagai negara persekmakmuran dengan Belanda sebagai
negara induk. Sebaliknya, pihak Indonesia tetap teguh mempertahankan kedaulatannya, lepas
dari Belanda.
3. Tujuan Belanda Mengadakan Agresi Militer I
Adapun tujuan Belanda mengadakan agresi militer I yaitu sebagai berikut:
§ Tujuan politik
Mengepung ibu kota Republik Indonesia dan menghapus kedaulatan Republik Indonesia.
§ Tujuan ekonomi
5
Merebut pusat-pusat penghasil makanan dan bahan ekspor.
§ Tujuan militer
Menghancurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
4. Kronologis Terjadinya Agresi Militer I
Sesudah penandatanganan Persetujuan Linggarjati, Belanda berusaha keras memaksakan
interpretasi mereka sendiri dan berjalan sendiri untuk membentuk negara-negara bagian yang
akan menjadi bagian dari negara Indonesia Serikat, sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini
diawali dengan konferensi yang diselenggarakannya di Malino, Sulawesi Selatan, dan kemudian
di Denpasar, Bali. Di sana mereka berhasil membentuk negara boneka Indonesia Timur dengan
dibantu oleh orang-orang yang pro Belanda seperti Sukawati dan Anak Agung Gde Agung. Anak
Agung Gde memang sejak awal sudah memusuhi pemuda-pemuda pro Republik di daerahnya,
serta mengejar-ngejar dan menangkapinya.
Memang tujuan utama Belanda penandatanganan Persetujuan Linggarjati ialah
menjadikan negara Republik Indonesia yang sudah mendaptkan pengakuan de facto dan juga de
jure oleh beberapa negara, kembali menjadi satu negara bagian saja seperti juga negara-negara
boneka yang didirikannya, yang akan diikutsertakan dalam pembentukan suatu negara Indonesia
Serikat. Langkah Belanda selanjutnya ialah memajukan bermacam-macam tuntutan yang pada
dasarnya hendak menghilangkan sifat negara berdaulat Republik dan menjadikannya hanya
negara bagian seperti negara boneka yang diciptakannya di Denpasar. Yang menjadi sasaran
uatamanya ialah menghapus TNI dan perwakilan-perwakilan Republik di luar negeri, karena
keduanya merupakan atribut negara berdaulat.
Semua tuntutan Belanda ditolak. Sementara itu keadaan keuangan Belanda sudah gawat,
dan kalau masalah Indonesia tidak cepat diselesaikan maka besar kemungkinan Belanda akan
bangkrut. Agresi militer pertama dilakukan Belanda berlatar dua pokok di atas, yaitu
melenyapkan Republik Indonesia sebagai negara merdeka dengan menghilangkan semua atribut
kemerdekaannya, dan keadaan keuangan Belanda yang sangat gawat.
Dalam serangan Belanda yang pertama itu mereka bermaksud hendak menduduki
Yogyakarta yang telah menjadi ibu kota perjuangan Republik Indonesia, dan menduduki daerah-
daerah yang penting bagi perekonomian Belanda, yaitu daerah-daerah perkebunan, ladang
minyak dan batu baik di Sumatera maupun di Jawa. Usaha ini untuk sebagian berhasil; mereka
6
berhasil menduduki daerah-daerah perkebunan yang cukup luas, di Sumatera Timur, Palembang,
Jawa Barat dan Jawa Timur. Dari hasil penjualan produksi perkebunan-perkebunan yang masih
terkumpul, mereka mengharapkan mendapatkan uang sejumlah US$ 300 juta, sedangkan biaya
agresi militer diperhitungkan akan memakan US$ 200 juta, jadi masih ada ”untung” US$ 100
juta. Sasaran yang satu lagi, yaitu menduduki Yogyakarta tidak tercapai, karena pada tanggal 4
Agustus 1947 Dewan Keamanan memerintahkan penghentian tembak menembak. Selanjutnya
PBB membentuk Komisi PBB yang terdiri atas tiga negara: satu dipilih oleh Indonesia, satu oleh
Belanda dan yang satu lagi dipilih bersama. Komisi Tiga Negara ini terdiri atas Amreika Serikat,
Australia dan Belgia. Sjahrir memilih Australia, dan bukan India, karena India sudah dianggap
oleh dunia sebagai pro Indonesia, sedangkan Australia adalah negara bangsa kulit putih, yang
dianggap lebih obyektif pendiriannya dalam mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa
Indonesia.
Perkiraan Belanda dengan mengadakan agresi militernya yang pertama meleset sama
sekali; karena tanpa diperhitungkan sejak semula, bahwa Dewan Keamanan PBB akan bertindak
atas usul India dan Australia. India dan Australia sangat aktif mendukung Republik di dalam
PBB, di mana Uni Soviet juga memberika dukungannta. Akan tetapi, peranan yang paling
penting akhirnya dimainkan oleh Amerika Serikat. Mereka yang menentukan kebijakan Belanda,
bahkan yang lebih progresif di antara mereka, merasa yakin bahwa sejarah dan pikiran sehat
memberi mereka hak untuk menetukan perkembangan Indonesia, tetapi hak ini hanya dapat
dijalankan dengan menghancurkan Republik terdahulu. Sekutu-sekutu utama negeri Belanda
terutama Inggris, Australia, dan Amerika (negara yang paling diandalkan Belanda untuk
memberi bantuan pembangunan kembali di masa sesudah perang) tidak mengakui hak semacam
itu kecuali jika rakyat Indonesia mengakuinya, yang jelas tidak demikian apabila pihak Belanda
harus menyandarkan diri pada penaklukan militer. Mereka mulai mendesak negeri Belanda
supaya mengambil sikap yang tidak begitu kaku, dan PBB menjadi forum umum untuk
memeriksa tindakan-tindakan Belanda.
Untuk pertama kali sejak PBB didirikan pada tahun 1945, badan ini mengambil tindakan
mengentikan penyerangan militer di dunia dan memaksa agresor agar menghentikan
serangannya. Belanda yang menginginkan supaya masalah Indonesia dianggap sebagai suatu
persoalan dalam negeri antara Belanda dan jajahannya, telah gagal, dan masalah Indonesia-
7
Belanda menjadi menjadi masalah internasional. Kedudukan Republik Indonesia menjadi sejajar
dengan kedudukan negara Belanda dalam pandangan dunia umumnya.
5. Dampak Agresi Militer I bagi Bangsa Indonesia.
Dampak yang diperoleh bangsa Indonesia akibat adanya agresi militer I oleh pihak
Belanda yaitu sempat dikuasainya beberapa daerah-daerah perkebunan yang cukup luas, di
Sumatera Timur, Palembang, Jawa Barat dan Jawa Timur. Meski PBB telah turut membantu
mengatasi agresi militer yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia dengan diadakan
penghentian tembak menembak, tidak berarti bahwa tindakan militer Belanda langsung terhenti.
Mereka terus-menerus mengadakan gerakan pembersihan untuk mengamankan dareah-dareah
yang telah didudukinya. Dalam gerakan pembersihan ini sering pula terjadi tindakan kejam oleh
pasukan Belanda, terutama di dareah-daerah yang sudah mereka duduki namun tidak dapat
dikuasai, umpamanya dareah sekitar Krawang-Bekasi
Di sekitar Bekasi beroperasi pasukan kita yang dipimpin oleh Lukas Kustrayo. Setelah
pembentukan BKR ia langsung bergabung, dan pasukan yang dibentuknya beroperasi di sekitar
Bekasi. Setelah Belanda meyerang pada bulan Juli 1947 Lukas tetap beroperasi di sana dan tetap
menganggu kehadiran Belanda di daerah itu, juga setelah diadakan pengehentian tembak-
menembak. Kegiatan Lukas sangat menjengkelkan Belanda, sehingga Lukas diberi julukan
”Tijger van West Jawa” (Harimau Jawa Barat). Belanda terus-menerus berusaha mengejar Lukas
dan pasukannya, tetapi selalu tidak berhasil. Setelah mereka mengetahui bahwa Lukas bermarkas
di desa Rawagede, mereka menyerbu desa itu pada tanggal 9 Desember 1947, dan lagi-lagi
Lukas dan pasukannya lolos. dalam kemarahan dan frustasi karena usaha mereka tidak berhasil,
pasukan Belanda menembaki rakyat desa Rawagede secara membabi buta dan membunuh 491
orang dewasa dan anak-anak. Kekejaman Belanda ini tidak pernah kita ungkapkan ke dunia luar,
karena pada waktu itu memang kita tidak mempunyai aparat untuk melakukanya.
Kekejaman Belanda lain yang dapat disebut adalah pembantaian rakyat Sulawesi Selatan
pada bulan Januari 1948 oleh pasukan Kapten Wasterling, yang juga tidak pernah dihukum. Juga
peristiwa kapten api maut di Jawa Timur, ketika prajurit-prajurit Republik Indonesia yang
tertawan oleh Belanda diamsukkan dalam gerbong kereta api yang kemudian ditutup rapat tanpa
ventilasi, sehingga semua tawanan mati lemas karena kepanasan dan kehabisan udara.
8
6. Perjuangan Bangsa Indonesia Terhadap Agresi Militer Belanda
a. Keampuhan Strategi Diplomasi
Harus daikui, TNI mengalami pukulan berat berat saat agresi militer Belanda I itu. Akan
tetapi, kekalahan itu tidak menyurutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia.Ketika itulah perjuangan diplomasi memegang peranan penting. Tanpa kenal lelah,
para tokoh Indonesia di luar negeri membela kepentingan Indonesia. Mereka berusaha
menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia layak dan mampu merdeka dan
berdaulat.
Keberhasilan perjuangan diplomasi terbukti dari munculnya reaksi keras terhadap
tindakan agresi militer Belanda. India dan Australia mengajukan resolusi kepada Dewan
Keamanan PBB.Amerika Serikat menyerukan agar Indonesia dan Belanda menghentikan
permusuhan Polandia dan Uni Soviet mendesak agar pasukan Belanda ditarik dari wilayah RI. Di
tengah reaksi dunia internasional, pada tanggal 3 Agustus 1947, Belanda menerima resolusi
Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan tembak-menembak.
b. Perundingan Renville
Pada tanggal 18 September 1947, Dewan Keamanan PBB membentuk Commite of Good
Offices (Komite Jasa-jasa Baik). Komite itu kemudian terkenal dengan sebutan Komisi Tiga
Negara(KTN). Anggota KTN terdiri atas wakil Australia, Richard Kiby, wakil Belgia, Paul van
Zeeland, dan wakil Amerika Serikat, Frank Graham. Terpilihnya Australia dalam KTN
merupakan permintaan pihak Indonesia, sedangkan terpilihnya Belgia merupakan permintaan
pihak Belanda. Kemudian Australia dan Belgia menentukan anggota KTN ketiga, yaitu Amerika
Serikat.
Tugas pokok KTN adalah mecari penyelesaian damai terhadap masalah perselisihan
antara Indonesia dan Belanda. Untuk itu, KTN menawarkan perundingan kepada kedua negara.
Amerika Serikat mengusulkan tempat pelaksanaan perundingan yang di luar wilayah
pendudukan Belanda maupun wilayah Republik Indonesia. Tempat yang dimaksud adalah
sebuah kapal AS bernama Renville, yang sedang berlabuh di Tanjung Priok. Perundingan itu
terkenal dengan sebutanPerundingan Renville.
9
Dalam perundingan itu, delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir Syarifuddin, sedangkan
delegasi Belanda dipimpin oleh Abdullah Wijoyoatmojo. Perundingan berlangsung alot karena
baik Indonesia maupun Belanda cenderung berpegang teguh pada pendirian masing-masing.
Akhirnya, pada tanggal 17 Januari 1948, hasil Perundingan Renville disepakati dan
ditandatangani.
Hasil Perundingan Renville
· Penghentian tembak-menembak.
· Daerah-daerah di belakang garis van Mook harus dikosongkan dari pasukan RI.
· Belanda bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya
dengan melalui plebisit terlebih dahulu.
· Dalam Uni Indonesia-Belanda, Negara Indonesia Serikat akan sederajat dengan Kerajaan
Belanda.
Akibat Perundingan Renville, wilayah Indonesia yang diakui menjadi semakin sempit.
Itulah sebabnya, hasil Perundingan Renville mengundang reaksi keras dari kalangan partai
politik, hasil perundingan itu memperlihatkan kekalahan perjuangan diplomasi. Bagi TNI, hasil
prundingan itu mengakibatkan harus ditinggalkannya sejumalh wilayah pertahanan yang telah
susah payah dibangun. Ketidakpuasan yang semakin memuncak terhadap hasil Perundingan
Renville mengakibatkan Kabinet Amir Starifuddin jatuh.
PERJANJIAN RENVILLE
Latar Belakang diadakannya Perundingan Renville
Pada dasarnya perundingan Renville merupakan perundingan yang dilaksanakan antara
pihak delegasi Indonesia dengan pihak delegasi Belanda. Yang di mana tujuan awal diadakannya
perundingan ini adalah guna menyelesaikan segala pertikaian dan sengketa yang terjadi antara
Indonesia dengan Belanda.
10
Pada tanggal 21 Juli 1947 telah terjadi suatu peristiwa berupa penyerangan yang tengah
dilakukan Belanda terhadap Indonesia, yang di mana penyerangan tersebut terkenal dengan
Agresi Militer Belanda Pertama, yang berlangsung dari tanggal 21 Juli 1947 sampai dengan 4
Agustus 1947.
Mengetahui peristiwa (penyerangan yang tengah dilakukan Belanda terhadap Indonesia),
di luar negeri, agresi Belanda ini mendatangkan reaksi keras. Wakil-wakil India dan Australia di
PBB mengajukan usul agar soal Indonesia dibahas dalam Dewan Keamanan. Akhirnya Dewan
Keamanan PBB pada tanggal 1 Agustus 1947 memerintahkan kedua belah pihak untuk
menghentikan tembak-menembak. Dalam persidangan tersebut, Indonesia mengutus Sutan
Sjahrir dan Haji Agus Salim. Pada tanggal 4 Agustus, Republik Indonesia dan Belanda
mengumumkan penghentian tembak-menembak. Dengan pengumuman gencatan senjata pada
tanggal 4 Agustus, secara resmi berakhirlah Agresi Militer Belanda yang pertama. (Sudharmono,
1981: 145)
Dewasanya, jika kita melihat kembali penyebab adanya Agresi Militer Belanda Pertama
ini, tidak lain disebabkan karena terdapat suatu perselisihan pendapat sebagai akibat perbedaan
penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati. Di mana Belanda tetap
mendasarkan tafsirannya pada pidato Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember 1942 bahwa
Indonesia akan dijadikan anggota Commonwealth dan akan berbentuk federasi, sedangkan
hubungan luar negerinya diurus Belanda. Belanda juga menuntut agar segera diadakan gendar-
merie bersama. (Sudharmono, 1981: 144). Karena keinginan Belanda yang dinilai sangat
merugikan pihak Indonesia, ada sebagian hal yang tidak Indonesia setuju terkait dengan
keinginan Belanda tersebut, yaitu “menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama,
termasuk daerah-daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama).”
11
Mengetahui penolakaan yang tengah diberikan Indonesia terhadap keinginan Belanda, maka
sehari sebelum dilaksanakannya Agresi Belanda Pertama pada tanggal 21 Juli 1947, pada tanggal
20 Juli 1947 (tepat satu hari sebelumnya) Belanda menyatakan bahwa Belanda telah tidak terikat
dengan perjanjian Linggajati yang tengah disepakatinya pada tanggal 25 Maret 1947. Maka
sehari setelah menyatakan perihal ketidak terikatan atas perjanjian Linggajati, maka keesokan
harinya tepat pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan serentak terhadap
daerah-daerah Republik, dan serangan militer ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda
Pertama.
Untuk mengawasi pelaksanaan penghentian tembak menembak dan mencari penyelesaian
sengketa secara damai, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah Komisi Jasa Baik, yang
kemudian dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN). (Sudharmono, 1981: 152). Di mana tugas
utama KTN ini adalah membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi antara Indonesia dengan
Belanda guna mencapai suatu kedamaian. Adapun negara-negara yang termasuk ke dalam
anggota KTN diantaranya adalah Belgia, Australia, dan Amerika Serikat. Wakil Belgia dalam
KTN adalah Paul Van Zeeland, Wakil Australia dalam KTN adalah Richard Kirby, dan Wakil
Amerika Serikat dalam KTN adalah Dr. Frank Graham.
Pada awalnya masalah yang timbul dalam menghadapi persoalan yang terjadi antara Indonesia
dengan Belanda adalah mengenai tempat dilaksanakannya kembali suatu perundingan baru.
Belanda mengusulkan tempat perundingan di Jakarta, namun ditolak oleh Republik Indonesia
yang menginginkan suatu tempat yang berada di luar daerah kependudukan. Lalu atas usul KTN,
perundingan dilakukan di atas sebuah kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat
“USS Renville”.
12
Perundingan ini akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada tangal 8 Desember 1947 di atas
Kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr.
Amir Sjarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjoojoatmodjo,
seorang Indonesia yang memihak Belanda. (Sudharmono, 1981: 155)
Meskipun sudah tercapai persetujuan di atas Kapal Renville, tembak-menembak belum juga
berhenti sementara KTN praktis tidak berdaya. Pada tanggal 9 Januari 1948, Belanda
menyampaikan ultimatum kepada Republik Indonesia untuk segera mengosongkan sejumlah
daerah yang luas dan menarik TNI dari daerah-daerah gerilya ke Yogyakarta. Dan di dalam
suasana seperti itu, perjanjian Renville akhirnya ditandatangani tepat pada tanggal 17 Januari
1948, disusul dengan instruksi penghentian tembak-menembak pada tanggal 19 Januari 1948.
Jadi, jikalau kita melihat kembali segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi sebelum
diadakannya perundingan Renville, maka penyebab awal dilaksanakannya perundingan “baru”
ini tidak lain disebabkan karena terdapat suatu perselisihan pendapat sebagai akibat perbedaan
penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati. Yang mana pada akhirnya hal ini
menyebabkan timbulnya penyerangan Belanda terhadap Indonesia (Agresi Militer Belanda
Pertama). Dan melihat agresi yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia, Dewan Keamanan
PBB memutuskan untuk membuat suatu komisi jasa yang baik bagi keduanya, yang diberi nama
KTN (Komisi Tiga Negara). KTN ini sendiri juga memiliki tujuan untuk menyelesaikan
sengketa dan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.
2.2 Isi Perundingan Renville dan Orang-orang yang Berperan di dalamnya
2.2.1 Isi Perundingan Renville
13
Perundingan antara Belanda dengan Indonesia akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada tanggal 8
Desember1947 diatas kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi dari Indonesia
dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin (lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 –
meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun) adalah seorang
tokoh Indonesia, mantan menteri dan perdana menteri pada awal berdirinya negara Indonesia.
Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia
yang memihak kepada Belanda.
Setelah diadakan serangkaian pendekatan lagi, perundingan akhirnya menerima saran-saran
KTN, yang pokok-pokoknya adalah:
1. Segera dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak di sepanjang “Garis van Mook”.
2. Penghentian tembak-menembak segera diikuti dengan perjanjian perletakan senjata dan
pembentukan daerah-daerah kosong militer (demiliterized zones).
Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan
gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus terjadi
antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit
pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara
Karawang dan Bekasi (http://arpusda.jatengprov.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=692:perjan..)
Perundingan-perundingan terus dilakukan sehingga sampai akhirnya tercapai suatu
persetujuan yang dikenal sebagai “Perjanjian Renville”. Namun meskipun sudah tercapai
persetujuan diatas kapal Renville, tembak-menembak belum juga berhenti sementara KTN
praktis tidak berdaya. Jadi disini dapat dikatakan bahwa Belanda tetap menyerang Indonesia
14
walaupun dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak. Pada akhirnya tanggal 9 Januari
1948, Belanda menyampaikan ultimatum kepada Republik Indonesia untuk segera
mengosongkan sejumlah daerah yang luas dan menarik TNI dari daerah-daerah geriliya ke
Yogyakarta.
Didalam suasana seperti itu perjanjian Renville akhirnya ditandatangani pada tanggal 17
Januari 1948, disusul dengan intruksi penghentian tembak-menembak pada tanggal 19 Januari
1948.
Perjanjian Renville terdiri dari:
- 10 pasal persetujuan gencatan senjata
- 12 pasal prinsip politik
- 6 pasal prinsip tambahan dari KTN
Isi Perjanjian Renville:
1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah
Republik Indonesia.
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah
pendudukan Belanda
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa
Timur Indonesia di Yogyakarta
Berdasarkan persetujuan Renville Wilayah Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian
akhir dicapai, bahkan lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati yaitu hanya meliputi
15
sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa –