1 PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016 AGNES HINGI LELANG AYA PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DALAM PENANGANAN ANAK ASMA BRONKIAL DI PUSKESMAS BENDOSARI Abstrak Asma bronkial merupakan penyakit pernapasan kronis yang paling sering terjadi pada masa kanak-kanak. Hasil observasi dan wawancara dengan 5 ibu di wilayah kerja Puskesmas Bendosari Sukoharjo bahwa mereka tidak tahu penanganan dini saat anak merasakan sesak napas, dan 5 ibu lainya tidak mengetahui tentang hal-hal yang menyebabkan kekambuhan asma seperti kelembaban udara, debu dan apabila tidak segera diatasi dan berlangsung lama akan mengakibatkan menurunya kualitas hidup dan gangguan tumbuh kembang anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan dan sikap ibu dalam penanganan anak asma bronkiale di Puskesmas Bendosari Sukoharjo. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan desain quasi experiment. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Non Randomized Kontrol Group Pre Test and Post Test design. Sampel dalam penelitian ini 36 orang dengan teknik pengambilanConsecutive Sampling. Alat analisis data dengan analisisunivariat dan bivariat yaitu korelasichi square. Hasil penelitian menunjukkanbahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tingkat pengetahuan dan sikap sebelum dan setelah dilakukan pendidikan kesehatan pada kelompok perlakuan nilai pvalue< 0,028 (0,028<0,05) dan nilai pvalue< 0,023(0,023<0,05).Pendidikan kesehatan menggunakan demonstrasi dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu dengan anak riwayat asma bronkial karena menirukan peragaan yang diberikan sehingga lebih terampil dan percaya diri.
22
Embed
AGNES HINGI LELANG AYA PENGARUH PENDIDIKAN …digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/33/01-gdl-agneshingi... · Asma bronkial merupakan penyakit pernapasan kronis yang paling
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2016
AGNES HINGI LELANG AYA
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP
TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU
DALAM PENANGANAN ANAK ASMA
BRONKIAL DI PUSKESMAS
BENDOSARI
Abstrak
Asma bronkial merupakan penyakit pernapasan kronis yang paling sering terjadi
pada masa kanak-kanak. Hasil observasi dan wawancara dengan 5 ibu di wilayah kerja
Puskesmas Bendosari Sukoharjo bahwa mereka tidak tahu penanganan dini saat anak
merasakan sesak napas, dan 5 ibu lainya tidak mengetahui tentang hal-hal yang
menyebabkan kekambuhan asma seperti kelembaban udara, debu dan apabila tidak segera
diatasi dan berlangsung lama akan mengakibatkan menurunya kualitas hidup dan
gangguan tumbuh kembang anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan dan sikap ibu dalam
penanganan anak asma bronkiale di Puskesmas Bendosari Sukoharjo.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan desain quasi experiment.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Non Randomized Kontrol Group Pre Test
and Post Test design. Sampel dalam penelitian ini 36 orang dengan teknik
pengambilanConsecutive Sampling. Alat analisis data dengan analisisunivariat dan
bivariat yaitu korelasichi square.
Hasil penelitian menunjukkanbahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap
tingkat pengetahuan dan sikap sebelum dan setelah dilakukan pendidikan kesehatan pada
kelompok perlakuan nilai pvalue< 0,028 (0,028<0,05) dan nilai pvalue<
0,023(0,023<0,05).Pendidikan kesehatan menggunakan demonstrasi dapat meningkatkan
pengetahuan dan sikap ibu dengan anak riwayat asma bronkial karena menirukan
peragaan yang diberikan sehingga lebih terampil dan percaya diri.
2
Kata kunci: pendidikan kesehatan, tingkat pengetahuan, sikap ibu, asma bronkial
Daftar Pustaka : 32 (2004 – 2015)
3
A. PENDAHULUAN
Istilah asma berasal dari Yunani
yang artinya “terengah-engah’’ dan
berarti serangan nafas pendek. Nelson
mendefenisikan asma sebagai kumpulan
tanda dan gejala wheezing (mengi) dan
atau batuk dengan karateristik sebagai
berikut; timbul secara episodik dan atau
kronik, cenderung pada malam hari/ dini
hari (nocturnal), musiman, adanya
faktor pencetus diantaranya aktivitas
fisik dan bersifat reversibel baik secara
spontan maupun dengan penyumbatan,
serta adanya riwayat asma atau atopi
lain pada pasien/ keluarga, sedangkan
sebab-sebab lain sudah disingkirkan
(Purnomo, 2008).
Batasan asma yang lengkap
yang dikeluarkan oleh Global Initiative
forAsthma (GINA) didefenisikan
sebagai gangguan inflamasi kronik
saluran nafas dengan banyak sel yang
berperan khususnya sel mast, eosinofil,
dan limfosit T. Pada orang yang rentan
inflamasi ini menyebabkan mengi
berulang, sesak napas, rasa dada tertekan
dan batuk, khususnya pada malam atau
dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan
nafas yang luas namun bervariasi, yang
sebagian bersifat reversibel baik secara
spontan maupun dengan pengobatan,
inflamasi ini juga berhubungan dengan
hiperreaktivitas jalan napas terhadap
berbagai rangsangan (Purnomo, 2008).
Asma merupakan penyakit
pernapasan kronis yang paling sering
terjadi pada masa kanak-kanak,
bertanggung jawab atas sebagian besar
ketidakhadiran anak di sekolah,
disabilitas fisik, dan hospitalisasi anak.
(Axton & Terry,2013). Penyakit ini pada
umumnya dimulai sejak masa anak-
anak(Wong, 2008). Global Initiative for
Asthma (GINA) memperkirakan 300
juta penduduk dunia menderita asma
(GINA, 2011).World Health
Organization (WHO) memperkirakan
angka ini akan terus bertambah hingga
mencapai 180.000 orang setiap tahun.
Prevalensi total asma di dunia
4
diperkirakan 6 % pada dewasa dan 10 % pada anak
(Depkes RI, 2009). Prevalensi asma pada anak di
Amerika Serikat mencapai 9,4% (National Center for
Health Statistics,2008).Menurut Depkes (2009) angka
kejadian asma pada anak dan bayi sekitar 10-85%.
Departemen Kesehatan juga memperkirakan penyakit
asma termasuk 10 besar penyebab tingginya angka
kesakitan dan kematian di Rumah Sakit serta
diperkirakan 10% dari 25 juta penduduk Indonesia
menderita asma. Apabila tidak dilakukan pencegahan
prevalensi asma akan semakin meningkat pada masa
yang akan datang (Depkes RI, 2009). Menurut Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi
asma di Jawa Tengah mencapai 4,3 % dari total
penduduk Jawa Tengah dengan data pasien anak asma
bronkiale kurang dari 1 tahun sebesar 1,5%, usia 1-4
tahun 3,8%, usia 5-14 tahun 3,9%. Dari data dinas
kesehatan Kabupaten Sukoharjo,asma masuk dalam 5
besar penyebab kesakitan dengan jumlah total
penderita asmapada satu tahun terakir tahun 2015
sebesar 9,3 %. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat
bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.
Penatalaksanaan asma bronkiale secara
nonfarmakologis pada pasien asma pada dasarnya
dapat dibedakan secara fisik maupun psikologis.
Secara fisik pada saat serangan dapat diberikan
tindakan fisioterapi yang salah satu unsur
didalamnya terdapat message pada area
punggung, adanya kesadaran penderita asma akan
arti penting exercise (karena dengan olahraga
seperti senam, renang, joging, dan peningkatan
aktivitas secara bertahap dapat mengurangi gejala
asma), latihan pernapasan dengan cara
menghembuskan napas secara cepat, mengetahui
adanya faktor pencetus. Penanganan secara
psikologis antara lain pentingnya edukasi pada
penderita asma tentang penyakitnya dan
bagaimana menyikapinya, mengenali faktor alergi
(tungau, debu rumah, alergen dari hewan, jamur,
zat dari tepung sari, populasi udara), pemberian
dukungan untuk mengontrol emosi saat serangan
sehingga pernapasan berangsur teratur dan sesak
napas berkurang (Musliha, 2010).
Dampak negatif asma pada kehidupan anak
maupun keluarga dapat mempengaruhi kualitas
hidup anak dan keluarga. Asma tidak hanya
berpengaruh terhadap fungsi pernapasan saja,
tetapi juga berpengaruh terhadap komponen fisik,
sosial, dan emosional. Jika serangan asma tidak
segera diatasi dan berlangsung lama akan
mengakibatkan menurunya kualitas hidup dan
gangguan tumbuh kembang anak. Keluarga juga
akan mengalami beban berat baik berupa beban
psikologis dan ekonomi serta meningkatnya peran
dan tanggung jawab orang tua (Sidhartani,2007 ;
Wong 2009).Agar asma dapat terkontrol dengan
baik, maka kemandirian anak dalam menghadapi
asma perlu dikembangkankan, karena dengan
kemandirian ini akan meningkatkan rasa percaya
diri, baik pada orang tua maupun anak yang
menderita asma. Untuk menumbuhkan dan
meningkatkan kemandirian orang tua dan anak,
perlu ditingkatkan pengetahuan dan sikap
mengenai asma serta segi-segi cara
penanggulangannya (Purnomo, 2008).
Dalam meningkatkan pengetahuan dan
sikap orang tua tentang penanganan asma pada
anak, pendidikan kesehatan sangat dibutuhkan
karena berpengaruh terhadap pengetahuan
seseorang, sehingga masyarakat tidak hanya
sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan
bisamelaksanakan suatu anjuran yang ada
hubungannya dengan kesehatan. Semakin banyak
sumber informasi yang didapatkan semakin luas
pengetahuan seseorang (Ertawati, 2014).
5
Pengetahuan merupakan faktor penting yang
mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang.
Kurang pengetahuan dapat berpengaruh pada
tindakan yang dilakukan karena pengetahuan
merupakan salah satu faktor predisposisi untuk
terjadinya perilaku (Saleha, 2010). Morbiditas
penyakit dapat ditekan dengan memberikan
pengetahuan asma.Program komunikasi,
informasi dan edukasi (KIE) merupakan
komponen penting untuk kesuksesan tata laksana
asma. Guevara (2006) dalam suatu metaanalisis
tentang efektivitas program KIE untuk
manajemen asma pada anak menyimpulkan
penurunan absensi sekolah, peningkatan hari
bermain, pengurangan kunjungan ke Unit Gawat
Darurat. Ringsberg (2006) dalam penelitiannya
menyimpulkan pasien dengan gejala seperti asma
diberikan program KIE asma dapat meningkatkan
pengetahuan dan strategi menghadapi serangan
(M.Arif, 2009).
Dengan cara mendengarkan, melihat dan
mencoba melakukan keterampilanmelalui
demonstrasi, pengetahuan dan sikap dapat
diperoleh. Seseorang yang belum terpapar
keterampilan tertentu akan melakukan
keterampilan tersebut sesuai dengan pengetahuan
yang dimilikinya atau cara mencoba-coba (trial
and error) (Notoatmodjo, 2007). Dalam
pemberian pendidikan kesehatan metode yang
paling efektif adalah demonstrasi karena yang
bisa kita ingat 90% dari yang kita ucapkan dan
lakukan, selain itu keuntungan teknik demonstrasi
yaitu konsentrasi meningkat/ maksimal, kesalahan
minimal dibandingkan dengan ceramah atau baca
dan merupakan metode untuk mengasah
keterampilan psikomotor (Susilo, 2011).
Studi pendahuluan yang dilakukan di
Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo tanggal 15
Februari 2015 diketahui bahwa jumlah total
penderita asma mencapai 2666 penderita dan
khusus pada wilayah kerja Puskesmas Bendosari
Sukoharjo didapatkan data pasien anak yang
menderita asma mencapai 150 orang (5,6 %).
Hasil observasi dan wawancara dengan 5 ibu di
wilayah kerja Puskesmas Bendosari Sukoharjo
bahwa mereka tidak tahu penanganan dini saat
anak merasakan sesak napas, dan 5 ibu lainya
tidak mengetahui tentang hal-hal yang
menyebabkan kekambuhan asma seperti
kelembaban udara, debu dan kecapekan. Ibu
mengatakan perawat telah memberikan informasi
secara lisan bagaimana cara mengatasi saat terjadi
serangan asma yaitu meninggikan tempat tidur,
memberikan minum air hangat sedikit demi
sedikit, menggosokan minyak kayu putih di dada
anaknya dan jika sesak napas anak tidak dapat
ditangani maka ibu dan keluarga langsung
membawa ke pusat pelayanan kesehatan terdekat,
tetapi saat panik ibu lupa bagaimana cara yang
tepat dan benar dalam menangani serangan asma
pada anaknya.
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti
ingin mengajarkan tentang bagaimana seorang ibu
menangani serangan asma pada anaknya dengan
mendemonstrasikan/memperagakan penanganan
tersebut karena dengan pengetahuan dan sikap
dapat diperoleh dengan cara mendengarkan,
melihat, dan mencoba melakukan keterampilan
itu melalui demonstrasi. Maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul
“Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap
Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu dalam
Penanganan Anak Asma Bronkiale di Puskesmas
Bendosari Sukoharjo”.
B. METODE PENELITIAN
6
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif, desain quasi
experiment . Rancangan penelitian yang digunakan
adalah Non Randomized Kontrol Group Pre Test and
Post Test design.Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh ibu yang mempunyai anak riwayat asma
bronkial di wilayah kerja Puskesmas Bendosari
Sukoharjo.Sampel pada penelitian ini adalah para ibu
yang mempunyai anak dengan asma bronkial yaitu
sebanyak 40 responden menggunakan Consecutive
Sampling . Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa
Jombor Kecamatan Bendosari Kabupaten
Sukoharjo.Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan
April-Juli 2016. Analisis data menggunakan uji Chi
Square.
C. HASIL PENELITIAN
4.1 Karakteristik responden
4.1.1 karakteristik responden pada kelompok
Kontrol
4.1.1.1 Karakteristik berdasarkan umur responden
Tabel 4.1
Distribusi responden ditampilkan berdasarkan
umur
Variabel Kontrol
(n=18)
Perlakuan
(n=18)
Usia F % F %
20-30 6 33,3 7 38,9
31 – 40 9 50,0 8 44,4
41 – 45 3 16,7 3 16,7
Total 18 100,0 18 100,0
Responden pada penelitian ini
sebagian besar berusia 31-40 tahun yaitu
sebanyak 17 responden dari total responden.
4.1.1.2 Karakteristik berdasarkan pekerjaan
responden
Table 4.2
Distribusi responden berdasarkan pekerjaan
Variabel Kontrol
(n=18)
Pekerjaan F %
PNS 5 27,8
Swasta 5 27,8
IRT 8 44,4
Total 18 100
Responden pada penelitian ini paling
banyak memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah
tangga sebanyak 15 responden.
4.1.1.3 Karakteristik berdasarkan pendidikan
responden
tabel 4.3
Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan
Variabel Kontrol
(n=18)
Tingkat pendidikan F
SD 2 11,1
SLTP 5 27,8
SMA 6 33,3
Pend.Tinggi 5 27,8
Total 18 100,0
Responden dalam penelitian ini
sebagian besar berpendidikan SMA yaitu
sebanyak 13 responden.
4.2 Analisa Univariat
4.2.1 Karakteristik pengetahuan pada kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan
7
Data pengetahuan ibu yang
memiiliki anak asma bronkial
diperoleh dari hasil jawaban
responden atas 10 item pertanyaan
yang diajukan. Jawaban responden
kemudian dikategorikan menjadi 3
yaitu baik jika nilai jawaban ≥76%,
pengetahuan cukup antara 56-75 %
dan kurang dengan nilai ≤56%.
Distribusi responden berdasarkan
pengetahuan ibu yang memiliki anak
asma ditampilkan dalam table.
tabel 4.4
Distribusi responden berdasarkan pengetahuan
ibu pada kelompok Kontrol pre dan post
Kontrol
Kategori/ pengetahuan Pre Post
F (%) F (%)
Kurang
Cukup
Baik
8
8
2
44,4
44,4
11,1
2
9
7
11,1
50,0
38,9
Total 18 100.0 18 100,0
Dari tabel diatas diketahui bahwa
paling banyak responden pada kelompok
kontrol pre dengan kategori kurang 8
responden (44,4%) dan cukup 8 responden
(44,4%) sedangkan post paling banyak
kategori cukup 9 responden (50,0) baik dalam
merawat anak dengan asma bronkial.
Tabel 4.5
Distribusi responden berdasarkan pengetahuan
ibu pada kelompok perlakuan pre dan post
Perlakuan
Kategori/ pengetahuan Pre Post
F (%)
Kurang
Cukup
Baik
7
9
2
38,9
50,0
11,1
Total 18
Dari tabel diatas dapat diketahui
bahwa responden pada kelompok perlakuan
pre paling banyak kategori cukup 9 responden
(50,0) dan post paling banyak kategori baik 13
responden (72,2%).
4.2.2 Karakteristik sikap pada kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan
Data sikap ibu yang memiiliki anak
asma bronkial diperoleh dari hasil jawaban
responden atas 10 item pertanyaan yang
diajukan. Jawaban responden kemudian
dikategorikan menjadi 3 yaitu baik jika nilai
jawaban 76-100%, pengetahuan cukup antara
56-75 % dan kurang dengan nilai ≤55%.
Distribusi responden berdasarkan pengetahuan
ibu yang memiliki anak asma ditampilkan
dalam table.
Tabel 4.6
Distribusi responden berdasarkan sikap ibu
pada kelompok kontrol
pre dan post
Kontrol
Kategori/ sikap Pre
F (%)
kurang
Cukup
Baik
8
8
2
44,4
44,4
11,1
Total 18 100.0
8
Dari tabel diatas diketahui bahwa
paling banyak responden pada kelompok
kontrol pre kategori kurang 8 responden
(44,4%) dan cukup 8 respoden
(44,4%)sedangkan post paling banyak kategori
cukup10 responden (55,6%).
Tabel 4.7
Distribusi responden berdasarkan sikap ibu
pada kelompok
perlakuan pre dan post
Perlakuan
Kategori/ sikap Pre Post
F (%) F (%)
kurang
Cukup
Baik
9
7
2
50,0
38,9
11,1
1
5
12
5,6
27,8
66,7
Total 18 100.0 18 100,0
Dari tabel diatas dapat diketahui
bahwa paling banyak responden pada
kelompok perlakuan pre dan post bersikap
cukup dalam merawat anak dengan asma
bronkial.
4.3 Analisis bivariate
4.3.2 uji analisa data
Tabel 4.8
Beda tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah pada
kelompok kontrol
Pengetahuan
sesudah
pendidikan
kesehatan
Tot
al
P
Kur Cuk Ba
ang up ik
Pengeta
huan
sebelum
pendidi
kan
kesehat
an
Kur
ang
0 7 1 8 0,0
33
Cuk
up
1 2 5 8
Baik 1 0 1 2
Total 2 9 7 18
Hasil tabel di atas dapat diketahui
bahwa rata-rata responden sebelum diberikan
pendidikan kesehatan adalah kurang dan
cukup sedangkan rerata setelah dilakukan
pendidikan kesehatan adalah cukup. Hasil uji
statistik menggunakan uji Chi square
didapatkan p =0,033(p<0,05) yang berarti
terdapat perbedaan tingkat pengetahuan
kelompok kontrol sebelum dan sesudah
diberikan pendidikan kesehatan.
Table 4.9
Beda tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah pada
kelompok perlakuan
Pengetahuan
sesudah
pendidikan
kesehatan
Tot
al
P
Kur
ang
Cuk
up
Ba
ik
Pengeta
huan
sebelum
pendidi
kan
kesehat
an
Kur
ang
1 4 2 7 0,0
28
Cuk
up
0 0 9 9
Baik 0 0 2 2
Total 1 4 13 18
9
Hasil tabel di atas dapat diketahui
bahwa rata-rata responden sebelum diberikan
pendidikan kesehatan adalah cukup sedangkan
rerata setelah dilakukan pendidikan kesehatan
adalah baik. Hasil uji statistic menggunakan
uji Chi square didapatkan p =0,028(p<0,05)
yang berarti terdapat perbedaan tingkat
pengetahuan kelompok perlakuan sebelum dan
sesudah diberikan pendidikan kesehatan.
Table 4.10
Beda sikap sebelum dan sesudah pada kelompok
kontrol
Sikap sesudah
pendidikan
kesehatan
Tot
al
P
Kura
ng
Cuk
up
Ba
ik
Sikap
sebelu
m
pendidi
kan
kesehat
an
Kura
ng
5 2 1 8 0,0
48
Cuk
up
0 6 2 8
Baik 0 2 0 2
Total 5 10 3 18
Hasil tabel di atas dapat diketahui
bahwa rata-rata responden sebelum diberikan
pendidikan kesehatan adalah kurang dan
cukup sedangkan rerata setelah dilakukan
pendidikan kesehatan adalah cukup. Hasil uji
statistic menggunakan uji Chi square
didapatkan p =0,048(p<0,05) yang berarti
terdapat perbedaan sikap kelompok kontrol
sebelum dan sesudah diberikan pendidikan
kesehatan.
Table 4.11
Beda sikap sebelum dan sesudah pada kelompok
perlakuan
Sikap sesudah
pendidikan
kesehatan
Tot
al
P
Kura
ng
Cuk
up
Ba
ik
Sikap
sebelu
m
pendid
ikan
keseha
tan
Kura
ng
1 0 8 9 0,0
23
Cuk
up
0 5 2 7
Baik 0 0 2 2
Total 1 5 15 18
Hasil tabel di atas dapat diketahui
bahwa rata-rata responden sebelum diberikan
pendidikan kesehatan adalah kurang
sedangkan rerata setelah dilakukan pendidikan
kesehatan adalah baik. Hasil uji statistic
menggunakan uji Chi square didapatkan p
=0,023(p<0,05) yang berarti terdapat
perbedaan sikap kelompok perlakuan sebelum
dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan.
D. PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Responden
5.1.1 Umur
Berdasarkan hasil penelitian di desa
Jombor Kecamatan Bendosari Sukoharjo
didapatkan hasil bahwa persentase umur
kelompok kontrol dan perlakuan yang paling
banyak adalah 31-40 tahun.
10
Menurut Kusumawardi (2010)
disebutkan bahwa semakin cukup umur,
tingkat kekuatan dan kematangan seseorang
akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja.
Hal ini senada disebutkan oleh Hidayat (2006),
bahwa perubahan perilaku atau peran dapat
disebabkan oleh proses pendewasaan melalui
pengalaman umur, individu yang beradaptasi
telah beradaptasi terhadap lingkungan.
Atmoko, dkk (2011) menyatakan bahwa
tingkat pengetahuan tentang asma pada
keluarga pasien membuat keluarga pasien
mampu memberikan informasi kepada pasien
untuk tingkat kontrol yang lebih baik pada
asma pasien, dimana dengan umur yang dalam
rentang usia produktif membuat pengalaman
seseorang juga sudah mengalami peningkatan
sehingga mampu memperoleh informasi
khususnya pengetahuan tentang asma.
Peneliti berasumsi bahwa semakin
dewasa umur seorang, makin tinggi tingkat
pengalamannya sehingga akan mempengaruhi
responden dalam merawat anak asma bronkial.
5.1.2 Tingkat Pendidikan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
di desa Jombor Kecamatan Bendosari
Sukoharjo dengan 36 responden didapatkan
hasil bahwa persentase tingkat pendidikan
pada kelompok kontrol dan perlakuan paling
banyak adalah pendidikan SMA.
Menurut Notoatmodjo (2007),
disebutkan bahwa tingkat pendidikan
mempengaruhi pengetahuan seseorang.
Pendidikan merupakan upaya untuk
memberikan pengetahuan sehingga terjadi
perubahan. Semakin tinggi tingkat
pendidikanya, semakin tinggi pula tingkat
pengetahuannya (Kurniawan, 2010). Hal ini
sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2010)
yang mengatakan perilaku seseorang atau
masyarakat tentang kesehatan ditentukan atau
terbentuk dari 3 faktor yang salah satu faktor
predisposisinya yaitu pengetahuan.
Pengetahuan sebenarnya tidak dibentuk hanya
satu sub saja yaitu pendidikan tetapi ada sub
bidang lain yang akan juga mempengaruhi
pengetahuan seseorang misalnya pengalaman,
informasi, kepribadian dan lainya.
Ningrum (2012) menyatakan bahwa
berdasarkan pendidikan yang dimiliki
responden maka dapat mempengaruhi
pengetahuan responden dimana pengetahuan
yang diperoleh tentang penyakit asma bronkial
menyebabkan keluarga pasien memahami
tindakan-tindakan yang baik dalam
pencegahan penyakit asma, maka pasien
tersebut akan berperilaku benar dalam
pencegahan penyakit asma, sehingga upaya
yang dilakukan dalam pencegahan asma
semakin baik.
Peneliti berasumsi bahwa tingkat
pendidikan responden yang cukup baik
menyebabkan responden memiliki
kemampuan untuk menyerap informasi-
informasi tentang penyakit asma dan cara
pencegahannya. Informasi-informasi tentang
penyakit asma tersebut diperoleh dari media
massa, informasi orang yang dipercaya
(keluarga, saudara, dan lain-lain) serta petugas
kesehatan sehingga dengan pengetahuanya
tersebut dapat digunakan untuk memberikan
informasi kepada keluarganya selaku penderita
asma sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan asma.
5.1.3 Pekerjaan
11
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
di desa Jombor kecamatan Bendosari dengan
36 responden didapatkan hasil bahwa
persentase jenis pekerjaan paling banyak pada
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
adalah ibu rumah tangga dan pada swasta.
Dari penelitian diketahui bahwa
sebagian responden adalah seorang ibu rumah
tangga, sehingga ibu memiliki waktu yang
cukup untuk merawat anaknya. Secara naluri
keinginan untuk merawat anak sangat tinggi,
dimana ibu sebagai tokoh utama bagi anak.
Keingintahuan cara merawat anak merupakan
proses orangtua untuk mencari tahu melalui
media seperti majalah, radio, televisi, dan
Koran (Gupta et al, 2005). Cara mendapatkan
pengetahuan juga dapat dilakukan dari tempat
mereka bekerja misalnya dari teman yang
sudah pengalaman merawat balita maupun
mendapatkan berbagai infomasi kesehatan
melalui media sosial di lingkungan tempat
mereka bekerja (Dewi, 2010).
Peneliti berasumsi bahwa hal tersebut
bisa diperoleh dari tempat mereka bekerja dan
media sosial tentang asma bronkial, dimana
mampu mengubah pola pikir seseorang yang
akan mempengaruhi pengetahuan dan sikap
dalam menangani anak asma bronkial.
5.2 Gambaran Tingkat Pengetahuan responden
pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
sebelum dilakukan pendidikan kesehatan
Hasil penelitian menunjukan tingkat
pengetahuan pada kelompok kontrol kategori
kurang 8 responden (44,4%) dan cukup 8
responden (44,4%), baik 2 responden (11,1%)
sedangkan kelompok perlakuan kurang 7
(38,9%), cukup 9 (50,0%), baik 2 (11,1%).
Mayoritas pengetahuan ibu yang
memiliki anak riwayat asma bronkial sebelum
diberikan pendidikan kesehatan
berpengetahuan cukup ini dipengaruhi oleh
faktor-faktor internal seperti pendidikan
responden yaitu paling banyak adalah SMA,
semakin tinggi pendidikan seseorang maka
semakin mudah menerima informasi. Usia
responden dimana paling banyak berusia 31-
40 tahun, semakin cukup umur, tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan
lebih matang dalam berfikir dan pekerjaan
responden paling banyak adalah ibu rumah
tangga dan swasta. sehingga ibu memiliki
waktu yang cukup untuk merawat anaknya.
Secara naluri keinginan untuk merawat anak
sangat tinggi, dimana ibu sebagai tokoh utama
bagi anak. Keingintahuan cara merawat anak
merupakan proses orangtua untuk mencari
tahu melalui media seperti majalah, radio,
televisi, dan Koran (Gupta et al, 2005). Cara
mendapatkan pengetahuan juga dapat
dilakukan dari tempat mereka bekerja
misalnya dari teman yang sudah pengalaman
merawat balita maupun mendapatkan berbagai
infomasi kesehatan melalui media sosial di
lingkungan tempat mereka bekerja (Dewi,
2010).
Pada penelitian ini pendidikan
kesehatan diberikan secara kelompok besar
sebanyak 18 orang dengan metode ceramah
dengan media demonstrasi, menggunakan alat
peraga boneka percobaan, leaflet dan lembar
balik dimana berguna menjelaskan idea atau
pesan yang disampaikan juga dapat membantu
mengingat kembali apa yang telah diajarkan
sehingga pendidikan kesehatan akan
mendapatkan hasil yang bermakna.
12
Pengetahuan merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentukya tindakan seseorang.
Menurut teori Notoatmodjo (2007)
pengetahuan akan terbentuk setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek
atau informasi yang didapat dari sumber
informasi.
Menurut Monalisa (2012),
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
pada penanganan pasien asma, massage dada
dengan minyak kayu putih akan memberikan
efek anti spasmodic sehingga mengurangi
obstruksi jalan napas. Responden yang
berpengetahuan cukup memutuskan untuk
melakukan perawatan anak asma bronkial
karena dipengaruhi usia, pendidikan,
pekerjaan, dan lingkungan.
Ismiyatun (2014), pengetahuan
responden dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu umur, paritas, pendidikan, pekerjaan dan
sumber informasi, dan didapatkan hasil
tersebut responden sebagian besar sudah
mengetahui tentang perawatan anak dengan
riwayat asma bronkial oleh karena itu
pengetahuan responden dipengaruhi oleh
pendidikan dan sumber informasi.
Diperkuat dengan teori Notoatmodjo
(2007), media informasi tentang penanganan
terhadap anak riwayat asma bronkial bisa
didapat melalui internet, majalah, brosur,
ataupun media massa lainya. Dapat pula
mendapat informasi dari lingkungan seperti
para orang tua khususnya seorang ibu yang
sudah berpengalaman dalam mengasuh anak
ataupun informasi dari petugas kesehatan.
Seseorang akan melakukan sesuatu
berdasarkan dari pengetahuan yang mereka
terima terutama dari pengalaman yang disusun
secara sistematis oleh otak ( Notoatmodjo,
2007). Sesuatu yang diterima oleh seseorang
akan menambah sesuatu yang bersifat
informasi, terbukti dengan frekuensi yang
menunjukan kategori paling banyak adalah
berpengetahuan cukup banyak dalam merawat
anak riwayat asma bronkial.
5.3 Gambaran Tingkat Pengetahuan responden
pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
setelah dilakukan pendidikan kesehatan
Hasil penelitian menunjukan rerata
pengetahuan setelah dilakukan pendidikan
kesehatan kelompok kontrol adalah kategori
kurang 2 (11,1%), cukup 9 (50,0%),baik
7(38,9%) dan pada kelompok perlakuan
kategori kurang 1(5,6%), cukup 4(22,2%),
baik 13(72,2%) responden. Mayoritas
pengetahuan ibu yang memiliki anak riwayat
asma bronkial setelah diberikan pendidikan
kesehatan paling banyak adalah
berpengetahuan baik karena selain dipengaruhi
oleh usia, tingkat pendidikan dan pekerjaan
responden, tetapi juga dilakukan
penyuluhan/pendidikan kesehatan dimana
tujuan pendidikan kesehatan adalah upaya
mempengaruhi dan mengajak orang lain baik
individu, keluarga dan masyarakat agar
melaksanakan perilaku sehat ini dilihat dari
peningkatan persentase dengan diperkuat oleh
teori Notoatmodjo (2007) menyebutkan bahwa
tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi
oleh pendidikan, pengalaman, sumber
informasi, lingkungan budaya dan sosial
ekonomi.
Menurut Notoatmodjo (2007),
disebutkan bahwa faktor-faktor yang
13
mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang
terdapat 5 faktor yaitu pendidikan merupakan
upaya untuk memberikan pengetahuan
sehingga terjadi perubahan. Pengalaman
adalah sesuatu yang pernah dialami seseorang
akan menambah pengetahuan tentang sesuatu
yang bersifat non formal. Orang yang
memiliki sumber informasi yang lebih banyak
akan memiliki pengetahuan yang lebih luas
pula. Salah satu sumber informasi yang
berperan penting bagi pengetahuan adalah
media masa. Lingkungan budaya misalnya hal
ini faktor keturunan dan bagaimana orang tua
mendidik sejak kecil mendasari pengetahuan
yang dimiliki oleh remaja dalam berpikir
selama jenjang hidup.
Vika Wulandari (2012) pendidikan
kesehatan merupakan proses belajar dari
individu dimana seseorang yang tidak tahu
menjadi tahu sehingga meningkatkan
kemampuan pengetahuan untuk mencapai
hidup sehat secara optimal.
Diperkuat dengan teori menurut
Notoatmodjo (2007) prinsip pokok pendidikan
kesehatan adalah proses belajar, dimana
kegiatan belajar terdapat 3 pesoalan pokok
keluaran (output). Pada penelitian ini
mayoritas responden dapat menerima
informasi yang peneliti berikan dan sudah
lebih memahami tentang apa maksud dan
tujuan dari penanganan dini pada anak asma
bronkial dengan lieflet dan demonstrasi yang
peneliti berikan.
Menurut penelitian Ismiyatun (2014)
selain dipengaruhi oleh pendidikan,
pengetahuan responden dipengaruhi oleh
pengalaman seseorang dari penanganan asma
bronkial yang lalu. Pengalaman sebagai
sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan dengan
cara mengulang kembali yang diperoleh dalam
memecahkan masalah yang dihadapi pada
masa lalu.
1.4 Gambaran Sikap responden pada
kelompok kontrol dan perlakuan sebelum
pendidikan kesehatan
Hasil penelitian diketahui bahwa nilai
sikap sebelum diberikan pendidikan
kesehatan pada kelompok kontrol kategori
kurang 8 responden (44,4%), cukup 8
responden (44,4%), baik 2 (11,1%) responden
dan pada kelompok perlakuan kategori
kurang 9(50,0%), cukup 7(38,9%), baik 2
responden (11,1%). Mayoritas ibu yang
memiliki anak riwayat asma bronkial adalah
kategori sikap yang kurang dalam merawat
anak riwayat asma bronkial, hal ini
disebabkan oleh kurang juga pengetahuan ibu
dalam menangani anak dengan asma
bronkial. Pengetahuan tentang asma bronkial
yang baik mendukung ibu dalam merawat
anak dengan asma bronkial dengan baik pula.
Sikap adalah suatu reaksi atau respon
seseorang yang masih tertutup terhadap suatu
stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2007).
Terbentuknya sikap seseorang
didasarkan pada pengetahuan seseorang
menerima informasi, semakin tinggi
pengetahuan yang dimiliki akan memberikan
kontribusi terhadap terbentuknya sikap yang
baik (Djannah, Suryani & Purwati, 2009).
Sikap dapat dipengaruhi oleh
pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang
dianggap penting, pengaruh kebudayaan,
14
media massa, lembaga pendidikan dan agama,
dan faktor emosional. (Wawan & Dewi, 2011).
Pengalaman pribadi merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi sikap
seseorang. Teori menyebutkan bahwa untuk
dapat menjadi dasar pembentukan sikap,
pengalaman pribadi haruslah meninggalkan
kesan yang kuat. Media massa juga
berpengaruh terhadap sikap seseorang karena
berita yang seharusnya factual disampaikan
secara obyektif cenderung dipengaruhi oleh
sikap penulisannya, akibat akan berpengaruh
terhadap sikap konsumenya (Wawan & Dewi,
2011). Selain faktor pengalaman pribadi dan
media massa, ada tahap motivasi yang
merubah seseorang setelah mengikuti
pendiidkan kesehatan benar-benar mengubah
perilaku sehari-hari ( Susilo, 2011)
Sikap yang didasari oleh pengetahuan
yang kuat akan lebih langgeng daripada sikap
tanpa didasari pengetahuan yang cukup, dilihat
dari hasil penelitian yang menunjukan bahwa
sikap sebelum pendidikan kesehatan adalah
kategori kurang.
5.5 Gambaran Sikap responden pada kelompok
kontrol dan perlakuan setelah dilakukan
pendidikan kesehatan
Hasil penelitian diketahui bahwa nilai
sikap setelah diberikan pendidikan kesehatan
pada kelompok kontrol kategori kurang 5
(27,8%) responden, cukup 10 (55,6%), baik 3
responden (16,7%) dan pada kelompok
perlakuan kategori cukup 5 (27,8%), baik 12
(66,7%), kurang 1 responden (5,6%).
Mayoritas sikap ibu yang memiliki anak
riwayat asma bronkial adalah kategori sikap
yang baik dalam merawat anak riwayat asma
bronkial setelah diberikan pendidikan
kesehatan. Dalam hal ini pendidikan
kesehatan sebagai proses yang mencakup
dimensi dan kegiatan intelektual, psikologi,
dan social dapat meningkatkan kemampuan
individu dalam mengambil keputusan secara
sadar dan yang mempengaruhi kesejahteraan
diri, keluarga dan masyarakat. Dimana
seseorang dari tidak tahu tetang penanganan
anak asma bronkial menjadi tahu dalam
menangani anak dengan asma bronkial, dilihat
dari hasil persentase bahwa tertinggi adalah
kategori sikap baik.
Menurut teori Djannah, Suryani &
Purwati, 2009, faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap adalah pengalaman
pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap
penting, informasi/media massa, serta faktor
emosional dari individu. Responden yang
berpengetahuan baik memutuskan untuk
merawat anak riwayat asma bronkial karena
dipengaruhi oleh infomasi yang didapat. Sikap
individu biasanya akan berubah setelah
mendapatkan informasi dari orang lain.
Informasi yang bersifat persuasive, akan
menumbuhkan dan mengembangkan sikap
positif terhadap individu (Simamora, 2009).
Pendidikan kesehatan tentang
penanganan anak riwayat asma bronkial sangat
mempengaruhi sikap ibu. Pendidikan
kesehatan merupakan suatu kegiatan yang
dapat meningkatkan sikap dalam memelihara
dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri
(Adnani, 2011). Pengetahuan akan
berpengaruh terhadap sikap seseorang karena
pengetahuan akan terus bertambah sesuia
dengan proses pengalaman yang dialami
(Mubarak, 2012). Proses kognitif dapat terjadi
15
melalui pengalaman langsung, media assa,
pengaruh orang lain yang dianggap penting,
lembaga pendidikan (Wawan & Dewi, 2011).
Sikap merupakan reaksi atau respons
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek
(Mubarak et.al 2007). Alas an erjadinya
peningkatan skor sikap pada remaja putri
disini adalah karena terjadi peningkatan aspek
afektif (sikap) yang diberikan pendidikan
kesehatan menggunakan metode demonstrasi.
Metode demonstrasi lebih mudah untuk
menunjukan pengertian, ide, dan prosedur
tentang suatu hal yang pernah dipersiapkan
dengan teliti untuk memperlihatkan
bagaimana cara melaksanakan suatu tindakan
adegan dengan menggunakan alat peraga
(Mubarak, 2012). Keutungan dari metode
demonstrasi yaitu dapat membuat proses
pembelajaran menjadi lebih jelas dan lebih
konkret, lebih mudah memahami sesuatu,
lebih menarik, peserta didik dirangsang untuk
mengamati, meyesuaikan teori dengan
kenyataan dan dapat melakukan sendiri
(Suliha, dkk 2012).
5.6 Beda Tingkat Pengetahuan sebelum dan
sesudah pendidikan kesehatan pada kelompok
Kontrol dan perlakuan
Hasil analisis pada penelitian yang diuji
menggunakan chi square menunjukan nilai
tingkat pengetahuan kelompok kontrol adalah
nilai pvalue < 0,033 (0,033<0,05) dan kelompok
perlakuan nilai pvalue< 0,028 (0,028<0,05)
sehingga ada perbedaan tingkat pengetahuan
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
setelah dilakukan pendidikan kesehatan terhadap
pengetahuan ibu dalam penanganan anak asma
bronkial di Puskesmas Bendosari. Dalam hal ini
pendidikan kesehatan sebagai proses yang
mencakup dimensi dan kegiatan intelektual,
psikologi, dan social dapat meningkatkan
kemampuan individu dalam mengambil
keputusan secara sadar dan yang mempengaruhi
kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakat.
Dimana seseorang dari tidak tahu tetang
penanganan anak asma bronkial menjadi tahu
dalam menangani anak dengan asma bronkial.
Tujuan dari pemberian pendidikan
kesehatan adalah mengubah pengetahuan, sikap
dan keterampilan individu atau masyarakat di
bidang kesehatan yang dapat dirinci sebagai
berikut: menjadikan kesehatan sebagai sesuatu
yang bernilai di masyarakat, menolong individu
agar mampu secara mandiri atau berkelompok
mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan
hidup sehat dan mendorong pengembangan dan
penggunaan secara tepat sarana pelayanan
kesehatan yang ada (Maulana,2009).
Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ismanto (2014)
yang menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang
positif pendidikan kesehatan terhadap
pengetahuan dan sikap orang tua terhadap
Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) dan
merekomendasikan bagi petugas kesehatan untuk
terus menggalakan pendidikan kesehatan dalam
hal ini tentang KIPI, agar para ibu yang
mengimunisasi bayinya tidak perlu cemas dan
secara mandiri dapat melakukan penatalaksanaan
KIPI mandiri di rumah. Pemberian pendidikan
kesehatan bagi ibu dengan anak menderita asma
sangat dibutuhkan, karena ibu merupakan orang
yang paling dekat dan paling sering berhubungan
dengan anak. Ibu yang merawat anak penderita
asma bronkial 24 jam di rumah. Dari sini dapat
16
dilihat betapa penting peran perawat sebagai
edukator agar dapat mendukung pengontrolan
anak asma bronkial. Hal ini sesuai dengan peran
perawat dalam menjalankan tugas sebagai
penyuluh dan konselor bagi klien. Perawat
berwenang melakukan pengkajian keperawatan
secara holistik ditingkat individu, keluarga serta
ditingkat kelompok masyarakat, melakukan
pemberdayaan masyarakat, melaksanakan
advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat,
menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan
masyarakat, dan melakukan penyuluhan
kesehatan dan konseling (UU No 38 tahun 2014).
Peneliti berpendapat kelebihan dan
keunggulan pendidikan kesehatan yang peneliti
lakukan antara lain menggunakan metode
demonstrasi sehingga memperjelas ide atau pesan
yang disampaikan dan membantu ibu mengingat
karena mengulang kembali apa yang di ajarkan
oleh peneliti. Selain itu, peneliti juga memberikan
leaflet tentang asma bronkial sehingga apabila ibu