Oleh : Muhammad Furqani (Copas dari blog org minang) CAPENG 2014 B32/2 Adat Istiadat Minangkabau BAGIAN 1 : MENGENAL ADAT MINANG KABAU Oleh : Afrijon Ponggok Katik Basa Batuah Minang Kabau yang terkenal dengan adatnya yang kuat dari zama dahulu samapai sekarang dengan semboyan adat “Adaik Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah” dengan pengertian yang lebi dalam adalah : 1. Pengertian menurut bahasa dalam dialektika Minang Kabau adalah : Adaik yang berarti adat, Kultur/budaya, Sandi yang berati asas/landasan, Syara’ yang berarti Agama Islam, dan Kitabullah yang berarti Al-quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. 2. Pengertian dalam implementasi keseharian adalah : Bagi masyarakat Minang dalam melaksanakan Adaik Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah disimpulkan lagi dengan Kalimat “Syara’ mangato Adaik mamakai” yang artinya Islam mengajarkan, memerintahkan menganjurkan sedangkan Adat melaksanakannya, dalam arti yang sesungguhnya bahwa Islam di Minag Kabau diamalkan dengan gaya adat Minang dan adat Minang dilaksanakan menurut ajaran Islam dengan landasan dan acuan dari Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. yang intinya bahwa “ADAT MINANG KABAU ITU ADALAH AGAMA ISLAM”. 3. Pengertian yang sesungguhnya adalah : Bahwa adat Minang Kabau harus sesuai dengan ajaran Agama Islam secara sempurna (Kaffah), tidak boleh ada praktek adat yang bertentangan dengan ajaran Islam, karean apa bila ada praktek adat oleh masyarakat Minang yang bertentangan dengan ajaran Islam maka
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Oleh : Muhammad Furqani (Copas dari blog org minang) CAPENG 2014
B32/2
Adat Istiadat Minangkabau
BAGIAN 1 :
MENGENAL ADAT MINANG KABAU
Oleh : Afrijon Ponggok Katik Basa Batuah
Minang Kabau yang terkenal dengan adatnya yang kuat dari zama dahulu samapai sekarang
dengan semboyan adat “Adaik Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah” dengan pengertian
yang lebi dalam adalah :
1. Pengertian menurut bahasa dalam dialektika Minang Kabau adalah :
Adaik yang berarti adat, Kultur/budaya,
Sandi yang berati asas/landasan,
Syara’ yang berarti Agama Islam, dan
Kitabullah yang berarti Al-quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.
2. Pengertian dalam implementasi keseharian adalah :
Bagi masyarakat Minang dalam melaksanakan Adaik Basandi Syara’ – Syara’ Basandi
Kitabullah disimpulkan lagi dengan Kalimat “Syara’ mangato Adaik mamakai” yang artinya
Islam mengajarkan, memerintahkan menganjurkan sedangkan Adat melaksanakannya,
dalam arti yang sesungguhnya bahwa Islam di Minag Kabau diamalkan dengan gaya adat
Minang dan adat Minang dilaksanakan menurut ajaran Islam dengan landasan dan acuan
dari Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. yang intinya bahwa “ADAT MINANG
KABAU ITU ADALAH AGAMA ISLAM”.
3. Pengertian yang sesungguhnya adalah :
Bahwa adat Minang Kabau harus sesuai dengan ajaran Agama Islam secara sempurna
(Kaffah), tidak boleh ada praktek adat yang bertentangan dengan ajaran Islam, karean apa
bila ada praktek adat oleh masyarakat Minang yang bertentangan dengan ajaran Islam maka
itu bukanlah adat Minang, dan apa bila ada orang minang yang melanggar ajaran Islam
maka dia beleh disebut orang yan tidak beradat (dalam lingkup Adat Miang Kabau).
Adat Minang terbagi kepada 4 bagian desebut “Adaik nan ampek” (adat yang empat) yaitu :
1. Adaik nan sabana Adaik (Adat yang sebenarnya adat)
Adat ini merupakan adat yang paling utama yang tidak dapat dirubah sampai kapanpun dia
merupakan harga mati bagi seluruh masyarakat Minang Kabau, tidaklah bisa dikatakan dia
orang MInang apabila tidak melak sanakan Adat ini dan akan dikeluarkan dia dari orang
Minang apabila meninggalkan adat ini, adat ini yang palin perinsip adalah bahwa seorang
Minag wajib beragama Islam dan akan hilang Minangnya kalau keluar dari agama Islam.
2. Adaik nan diadaikkan (adat yang di adatkan)
Adat ini adalah sebuah aturan yang telah disepakati dan diundangkan dalam tatanan Adat
Minang Kabau dari zaman dulu melalui sebuah pengkajian dan penelitian yang amat dalam
dan sempurna oleh para nenek moyang orang Minang dizaman dulu, contohnya yang paling
perinsip dalam adat ini adalah adalah orang minang wajib memakai kekerabatan
“Matrilineal” mengambil pesukuan dari garis ibu dan nasab keturunan dari ayah, makanya
ada “Dunsanak” (persaudaraan dari keluarga ibu) dan adanya “Bako” (persaudaraan dari
keluarga ayah), Memilih dan atau menetapkan Penguhulu suku dan Ninik mamak dari garis
persaudaraan badunsanak berdasarkan dari ampek suku asal (empat suku asal) “Koto
Piliang, Bodi, Caniago” atau berdasarkan pecahan suku nan ampek tsb, menetapkan dan
memlihara harta pusaka tinggi yang tidak bisa diwariskan kepada siapapun kecuali diambil
manfaatnya untuk anak kemenakan, seperti sawah, ladang, hutan, pandam pakuburan,
rumah gadang dll.
Kedua adat diatas disebut “Adaik nan babuhua mati” (Adat yang diikat mati) dan inilah
disebut “Adat”, adat yang sudah menjadi sebuah ketetapan dan keputusan berdasarkan
kajian dan musyawarah yang menjadi kesepakatan bersama antara tokoh Agama, tokoh
Adat dan cadiak pandai diranah Minang, adat ini tidak boleh dirubah-rubah lagi oleh
siapapun, sampai kapanpun, sehingga ia disebut “Nan inadak lakang dek paneh nan indak
lapuak dek hujan, dibubuik indaknyo layua dianjak indaknyo mati” (Yang tidak lekang kena
panas dan tidak lapuk kena hujan, dipindah tidak layu dicabut tidak mati).
Kedua adat ini juga sama diseluruh daerah dalam wilayah Adat Minang Kabau tidak boleh
ada perbedaan karena inilah yang mendasari adat Minang Kabau itu sendiri yang membuat
keistimewaan dan perbedaannya dari adat-adat lain di dunia.
Anak sicerek didalam padi
Babuah batangkai-tangkai
Salamaik buah nan mudo
Kabek nan arek buhua mati
Indaklah sia kamaungkai
Antah kok kiamaik nan katibo
3. Adaik nan Taradaik (adat yang teradat)
Adat ini adanya kareana sudah teradat dari zaman dahulu dia adalah ragam budaya di
beberapa daerah di Minang Kabau yang tidak sama masing masing daerah, adat ini juga
disebu dalam istilah “Adaik salingka nagari” (adat selinkar daerah).
Adat ini mengatur tatanan hidup bermasyarakat dalam suatu Nagari dan iteraksi antara satu
suku dan suku lainnya dalam nagari itu yang disesuaikan dengan kultur didaerah itu sendiri,
namun tetap harus mengacu kepada ajaran agama Islam.
Adat ini merupakan kesepakatan bersama antara Penguhulu Ninik mamak, Alim ulama,
cerdik pandai, Bundo Kanduang dan pemuda dalam suatu nagari di Mianag Kabau, yang
disesuaikan dengan perkembangan zaman memakai etika-etika dasar adat Minang namun
tetap dilandasi ajaran Agama Islam.
4. Adaik Istiadaik (Adat istiadat)
Adat ini adalah merupakan ragam adat dalam pelaksanaan silaturrahim, berkomunikasi,
berintegrasi, bersosialisasi dalam masyarakat suatu nagari di Minang Kabau seperti acara
pinang meminag, pesta perkawinan dll, adat inipun tidak sama dalam wilayah Minang
Kabau, disetiap daerah ada saja perbedaannya namun tetap harus mengacu kepada ajaran
Agama Islam.
Kedua adat yang terakhir ini disebut “Adaik nan babuhua sintak” (adat yang tidak diikat
mati) dan inilah yang namakan ”Istiadat”, karena ia tidak diikat mati maka ia boleh dirubah
kapan saja diperlukan melalui kesepakatan Penghulu Ninik mamak, Alaim Ulama, Cerdik
pandai, Bundo kanduang dan pemuda yang disesuaikan dengan perkembangan zaman
namun acuannya adalah sepanjang tidak melanggar ajaran Adat dan ajaran Agama Islam,
sehingga disebut dalam pepatah adat “maso batuka musim baganti, sakali aie gadang sakali
tapian baranjak”
Masaklah padi rang singkarak
Masaknyo batangkai-tangkai
Dibaok urang ka malalo
Kabek sabalik buhua sintak
Jaranglah urang kamaungkai
Tibo nan punyo rarak sajo
Kesimpulan :
1. Yang dimaksut adat di Minang Kabau adalah Ragam budaya dan prilaku kehidupan masyarakat Minang kabau yang dilandasi asas minkin dan patut sesuai syari’at Islam.
2. Yang dikatakan Adat Istiadat di Minang Kabau adalah : Adat adalah Adaik nan babuhua mati sebagai anggaran dasar yang tidak boleh
dirubah.Istiadat adalah adaik nan babuhua sintak sebagai anggaran rumah tangga yang dapat dirubah melalui mufakat.
BAGIAN KE 2 :
PENGHULU NINIK MAMAK DI MINANG KABAU Oleh : Afrijon Ponggok Katik Basa Batuah
Penghulu (dalam bahasa Minang disebut Pangulu) dan ninik mamak di Minang Kabau mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan dalam kekuatan kekerabatan adat Minang itu sendiri, tanpa penghulu dan ninik mamak suatu nagari di Minang Kabau diibaratkan seperti kampung atau negeri yang tidak bertuan karena tidak akan jalan tatanan adat yang dibuat, “Elok nagari dek Pangulu sumarak nagari dek nan mudo”
Pengertian Pangulu (Penghulu)
Pangulu berasal dari kata Pangka dan Hulu (pangkal dan hulu) Pangkal artinya tampuk atau
tangkai yang akan jadi pegangan, sedangkan hulu artinya asal atau tempat awal keluar atau terbitnya sesuatu, maka pangulu di Minang Kabau artinya yang memegang tampuk tangkai
yang akan menjadi pengendali pengarah pengawas pelindung terhadap anak kemenakan serta tempat keluarnya sebuah aturan dan keputusan yang dibutuhkan oleh masyarakat anak kemenakan yang dipimpin pangulu, “Tampuak tangkai didalam suku nan mahitam mamutiahkan tibo dibiang kamancabiak tibo digantaiang kamamutuih”
Pengertian Ninik Mamak
Ninik mamak adalah merupakan satu kesatuan dalam sebuah lembaga perhimpunan
Pangulu dalam suatu kanagarian di Minang Kabau yang terdiri dari beberapa Datuk-datuk kepala suku atau pangulu suku / kaum yang mana mereka berhimpun dalam satu
kelembagaan yang disebut Kerapatan Adat Nagari (KAN). Diantara para datuk_datuk atau ninik mamak itu dipilih salah satu untuk menjadi ketuanya itulah yang dinamakan Ketua
KAN. Orang-orang yang tergabung dalam KAN inilah yang disebut ninik mamak, “Niniak mamak dalam nagari pai tampek batanyo pulang tampek babarito”
Pengertian Datuak (Datuk)
Datuak (Datuk) adalah gelar pusako adat dalam suatu suku atau kaum yang diberikan kepada seseorang dalam suku atau kaum itu sendiri dengan dipilih atau ditunjuk dan diangkat oleh anak kemenakan suatu suku atau kaum yang bersangkutan melalui upacara adat dengan syarat-sayarat tertentu menurut adat Minang.
Seorang Datuak dia adalah pangulu dalam suku atau kaumnya dan sekaligus menjadi ninik mamak dalam nagarinya, dengan pengertian yang lebih rinci lagi : Datuak gelarnya, Pangulu Jabatannya dan Ninik mamak lembaganya dalam nagari.
Sebagai Datauak dia harus menjaga martabatnya karena gelar datuak yang disandangnya
adalah gelar kebesaran pusaka adat dalam suku atau kaumnya, banyak pantangan dan larangan yang tidak boleh dilanggar oleh seseorang yang bergelar datuak dan tidak sedikit
pula sifat-sifat positif yang wajib dimilikinya.
Sebagai Pangulu dia harus tau tugas dan tanggung jawabnya terhadap saudara dan kemenakannya dalam membina, mengayomi, melindungi dan mengatur pemanfaatan harta pusaka tinggi dan tanah ulayat untuk kemakmuran saudara dan kemenakannya, namun dia juag harus tetap menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga di rumah tangganya terhadap anak dan istrinya, “Anak dipangku jo pancarian, kamanakan dibimbiang jo pusako”
Sebagai anggota ninik mamak dia adalah perwakilan dari suku atau kaumnya layaknya seperti anggota DPRD (dalam istilah MInang disebut Andiko) dalam pemerintahan nagari yang mewakili konstituennya untuk menyampaikan dan memperjuangakan aspirasi kaum
yang dipimpinnya serta untuk membantu menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul pada anak kemenakannya dalam nagari, “Andiko didalam kampuang kusuak nan
kamanyalasai karuah nan kamampajaniah”
Berbagai permasalahan anak kemenakan yang berhubungan dengan hidup bernagari dan berkorong kampung dibahas oleh ninik mamak dari berbagai pengulu kepala suku atau atau
datuk – datuk kaum bersama alim ulama cerdik pandai serta pemerintahan nagari di Balai Adat yang disebut balerong dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN), “Balerong ditanah Minang
tampek duduk nak samo randah, tampek tagak nak samo tinggi, tampek duduak bajalan baiyo, tampek tagak bakato bamolah, tampek manjari bana nan saukua nak tibo kato
dimufakat, tampek mahukum nak samo adia, tampek mambagi nak samo banyak”
Hasil musyawarah mufakat inilah yang dijadikan pedoman dalam menata kehidupan bermasyarakat di dalam suatu kenagarian dan disinilah dirumuskan Adat nan diadatkan beserta Adat Istiadat yang disesuaikan dengan kebutuhan situasi kondisi serta perkembangan masyarakat dan kemajuan zaman yang tentunya tetap mengacu kepada landasan Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah.
Dalam melaksanakan tugasnya Pangulu dipanggil dengan sebutan “Urang nan gadang basa batuah” dia gadang pada kaumnya dia basa pada sukunya dan dia batuah dalam nagari,
gadang dalam kaumnya artinya seorang pengulu dia dibesarkan atau dituakan selangkah dalam kaumnya, dan basa pada sukunya artinya dia menjadi panutan, pemimpin pengatur
dalam sukunya, sedangkan batuah dalam nagari artinya seorang pangulu karena dia ninik mamak maka apa-apa yang dikatakan dan diperbuatnya juga menjadi acuan sehingga dia
disegani dan dihormati dalam nagari.
Seorang pangulu adalah pucuk pimpinan dalam kaumnya pada suatu unit pemerintahan dalam nagari, pangulu dibantu oleh tiga unsur perangkat adat yaitu :
1. Malin yang membidangi persoalan agama 2. Manti sebagai pelaksana kebijakan
3. Dubalang ysng brtsnggung jswab terhadap keamanan
Inilah yang disebut urang nan ampek jinih yaitu Pangulu, Malin, Manti dan Dubalang.
Memilih dan mengukuhkan seorang Pangulu atau datuak.
Seorang Datuak atau pangulu dipilih dan dinobatkan apabila terjadi beberapa hal dalam suatu suku atau kaum :
1. Apa bila Datuk atau Pangulu yang terdahulu tealah meninggal dunia (Patah tumbuah
hulang baganti)
2. Apa bila Datauk atau Pangulu yang saat ini sedang menyandang gelar datuak telah berusia lanjut atau dalam keadaan sakit berat dan tidak mungkin atau sanggup lagi untuk
menjalankan tugas-tugasnya sebagai Datauak atau Pangulu. (Hilang dicari lapuak diganti)
3. Apa bila Datauak yang sedang menyandang gelar Datuak atau Pangulu saai ini mengundurkan diri minta diganti, (Malatak-an gala)
4. Apa bila terjadi pelanggaran moral, adat dan agama serta hukum yang berlaku lainnya oleg orang yang menyandang gelar Datuak atau Pangulu saat ini dan anak kemenakan sepakat untuk menggantinya, (Mambuek cabuah jo sumbang salah)
5. Kalau ada Datauk atau pangulu yang sudah lama tidak di angkat karena sesuatu hal dan
saat ini sudah memnuhi syarat untuk dianggkat (Mambangkik Batang Tarandam)
Dalam tatanan adat Minang Kabau ada 2 cara memilih seorang pangulu atau datuak :
1. Menurut adat Suku Bodi Chaniago dan pecahannya (banyak lagi nama suku suku yang lain pecahan dari suku asal Bodi dan Chaniago ata Koto Piliang) seorang pangulu atau datuak dipilih secara musyawarah mufakat oleh anak kemenakan suku tersebut berdasarkan syarat-
syarat tertentu dengan mempertimbangkan mungkin dan patut, dalam istilah adat disebut “Hilang dicari lapuak diganti, duduak samo randah tagak samo tinggi, duduak saamparan tagak sapamatang”
2. Menurut adat suku Koto Piliang dan pecahannya seorang pangulu atau datauak dipilih berdasarkan keturunan dan pergiliran gelar pengulu tersebut dalam suku atau kaum itu berdasarkan syarat-syarat tertentu dengan mempertimbangkan mungkin dan patut, dalam istilah adat disebut “ramo ramo sikumbang jati katik endah pulang bakudo, patah tumbuah
Syarat-syarat seseorang dipilih menjadi seorang pangulu atau datuak :
1. Memenuhi 4 sifat nabi Sidik, Tablihk, Amanah, dan Fthanah 2. Loyalitas yang tinggi terhadap kaum, suku, anak kemenakan dan nagari 3. Berilmu pengetahuan tentang adat dan agama dll
4. Adil dalam memimpin anak kemenakan dan keluarga 5. Berani dalam menegakkan kebenaran dan mencegah kebathilan
6. Taat menjalankan ajaran agama dan adat 7. Tidak cacat moral dimata masyarakat dalam nagari
8. Mungkin dan patut, ini yang paling dipertimbangkan, karena ada orang yang mungkin tapi tidak patut, dan ada yang patut tapi tidak mungkin, contohnya adalah ada orang yang
memenuhi syarat-syarat diatas tetapi di hidup di rantau yang jauh, di mungkin menjadi pangulu tetapi tidak patut karena dia jauh dirantau sedangkan dia akan mengayomi dan mengurus anak kemenakannya dikampung, atau ada yang tinggal dikampung namun tidak memenuhi syarat jadi pangulu, dia patut jadi pangulu tapi tidak mungkin karena kurang persyaratan, yang masuk menurut logika, “batamu mungkin jo patuik sasuai ukua jo jangko takanak barih jo balabeh lah tibo wakatu jo musimnyo disitu alek dibuek”
Pengukuhan dan penobatan pangulu
Setelah pangulu dipilih dengan musyawarah mufakat melalui demokrasi moril secara adat
antara anak kemenakan dalam suatu suku atau kaum maka segenap anak kemenakan atau kaum tersebut mempersiapkan acar pengukuhan pada sebuah upacara adat perjamuan
Baralek gadang dalam nagari dan ini disebut “malewakan kanan rami, bia basuluah mato hari bagalanggang mato rang banyak”.
Dalam perjamuan baralek gadang pengukuhan seorang pangulu terdapat beberapa symbol-
simbol adat diantaranya adalah :
1. Mambantai Kabau, “Kabau didabiah tanduak dibanam darah dikacau dagiang dilapah” (menyembelih kerbau, kerbau disembelih, tanduk ditanam, darah dikacau daging dimakan) pengertian menyembelih kerbau adalah membunuk sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri seoerang pangulu, tanduk ditanam artinya membuang sifat-sifat hewani yang cendrung melukai dan membinasakan dari jiwa seorang pangulu pemimpin adat, sedangkan pengertian darah dikacau adalah mendinginkan darah yang panas dalam hati seorang pemimpin, karean seorang pangulu harus bejiwa teduh mengayomi dia harus tau kalau dia adalah pemimpin tidak boleh berhati dan berdarah panas dalam menghadapi orang yang dipimpinnya, dan dan pengertian daging dilapah adalah bahwa seorang ninik mamak dia adalah tempat mengadu anak kemenakannya dikala susah dan kelaparan, harta pusaka tinggi dan ulayat yang diaturnya adalah untuk kemakmuran anak kemenakannya, “Kok pangulu lai dinan bana bumi sanang padi manjadi taranak bakambang biak anak kamanakan basanang hati urang kampuang sato manyukoi”
2. Marawa dipancangkan (mengibarkan umbul-umbul) dimedan perhelatan. Marawa 3 warna : kuning, merah dan hitam berdiri kokoh menjulang tinggi keudara namun ujungnya
menjulai tunduk kebawah dengan pengertian :
Warna kuning melambangkan kekuasaan seorang pangulu (mahukum adia bakato bana)
Warna merah melambangkan keberanian (barani karano bana, takuaik karano salah)
Warna hitam melambangkan kesabaran dan ketabahan seorang pangulu dalam mengahadapi anak kemenakannya.
Berdiri kokoh menjulang tinggi artinya seorang pangulu harus mempunyai wibawa dan kharismatik ditengah-tengah kaum dan masyarakat dalam nagari.
Ujung marawa menjulai tunduk kebawah melambangkan walau pangulu orang yang ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah namun dia tetap harus melihat kebawah memperhatikan dan mengayomi orang yang dipimpinnya dengan rendah hati memakai ilmu padi semakin berisi semakin tunduk.
3. Malatuihan badia sadantam (meletuskan bedil sedantam) nan gaganyo karonggo bimi dantangnyo sampai kalangik (gegrnya kerongga bumi gaumnya sampai ke langit) itulah ikrar seorang pengulu kepada manusia dan janjinya kepada Allah sebagai sumpah jabatan yang mesti dipertanggung jawabkan.
Kedaulatan seorang Datuak atau Pangulu
Kedaulatan seorang Datuak atau Pangulu di Minang Kabau tidak lebih seperti powernya seorang ketua sebuah oprganisasi dia ada karena dipilih dan diangakat oleh kaumnya “nan
diamba gadang dianjuang tinggi” gadangnyo karano diamba tinggunyo karano dianjuang, apa bila anak kemenakan meninggikan dia maka tinggilah dia, tinggi dimata anak
kemenakan dan tinggi dimata urang nagari tapi kalau anak kemenakan sudah tidak menghormatinya lagi maka dengan sendirinya hilang pulalah kehormatan seorang datauak
atau pangulu.
Pemberhentian seorang Datauak atau pangulu tidaklah harus menunggu satu priode masa
jabatan karena tidak ada batasan masa jabatan seorang Pangulu atau datuak di Ranah Minang, kalau seorang datuak atau pangulu telah berbuat sumbang salah menurut adat dan agama maka gelar datauak atau pengulunya sudah bisa dilucuti atau diberhentikan jadi datauak atau pangulu dan menggantinya dengan yang lain “Kalau punco mararak ulu kalau pasak mambaok guyah kalau tungkek mambaok rabah mohon datuak baganjua suruik banyak nan lain kapangganti”
Batasan antara Datauk atau Pangulu dengan anak kemenakan yang dipimpinnya hanyalah sebatas kejujuran dalam mungkin dan patuik, oleh sebab itu maka seorang pangulu haruslah
adil dan bijak sana dalam memimpin anak kemenakannya, “Jikoklah tagak dinan cupiang manampuah jalan baliku, bakato indak dinan bana, mahukum indak dinan adia mambagi
bak kato surang disinan baju balipeknyo mamak diganti jonan lain”.
Kekuasaan Ninik mamak dalam adat Minang kabau hanyalah “tinggi sarantiang jumbo-jomboan sarangguik runtuah badaram, didahulukan cuman salangkah bajarak tungkai -tungkaian sahambua lompeklah tibo sadatiak wakatu nampak satitiak salah basuo baitu ukua jo jangko di dalam alam Minang Kabau”.
Namun demikian ditangan pangulu berhimpun kekuasaan yang besar dalam menjalankan tugas membimbing dan mengatur anak kemenakannya, ninik mamak mampunyai fungsi Eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan, fungsi Legislatif sebagai pembuat aturan dan funsi
yudikatif sebagai pengambik keadilan, funsi ini dilakukan oleh ninik mamak yang disebut “uarang nan ampek jinih” (pangulu, malin, manti dan dubalang) yang mana pangulu sebagai
koordinatornya.
Itulah sebabnya Pangulu dan urang nan ampek jinih disebut “Bak kayu gadang ditangah koto ureknyo tampek baselo batangnyo tampek basanda dahannyo tampek bagantuang daun
rimbunnyo tampek bataduah, tampek bahimpun hambo rakyat, pai tampek batanyo pulang tampek babarito, sasek nan kamanyapo tadorong nan kamanyintak, tibo dikusuik
Pangulu dan ninik mamak adalah Ulil amri yang wajib ditaati dan dipatuhi karena dia adalah pemimpin yang dipilih oleh anak kemenakannya sendiri “Tutua sakapa digunuangkan kakok satitiak dilauikkan” dia dimulyakan dihormati dan dijaga martabatnya oleh anak kemenakannya karena Pangulu di Minang Kabau adalah lambang kebesaran suatu suku atau kaum yang wajib dijaga dan dimulyakan.
Namun Pangulu dan ninik mamak bukanlah seperti raja-raja yang harus disembah dan dipuja setinggi langit dan dia tidak boleh dikultuskan seperti dewa-dewa bangsa lain, di
Minang Kabau tidak ada istilah bangsawan walaupun dia seoerang datuk apalagi hanya keturunan datuk, di Minang Kabau semua derajat manusia sama tidak ada bedanya,
pemimpin adat hanyalah ditinggikan seranting didahulukan selangkah dan dituakan dalam kaum.
Dalam Pakaian Pangulu mulai dari Salauk (Tutup kepala) baju, salempang, celana, keris, ikat
pinggang dan sandal semuanya mempunyai arti dan makna yang sangat luas untuk dipahami oleh seorang yang bergelar Datuak atau pengulu.
Tatanan masyarakat Mianag kabau memakai palsapaf “Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo kapangulu, pangulu barajo kamufakat, mufakat barajo kanan bana, bana badiri sandirinyo, itulah inyo hokum Allah”.
BAGIAN KE 3 :
HARTA PUSAKA TINGGI DAN TANAH ULAYAT DI MINANG KABAU
Oleh : H. Afrijon Ponggok Katik Basa Batuah
Salah satu keistimewaan dan yang menjadi kekuatan Adat Minang Kabau adalah karena
adanya Harta Pusaka Tinggi dan diakuinya Tanah Ulayat sebagai satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan dari kesatuan suku atau kaum dalam kekerabatan Materinial yang
mengikat satu sama lainnya.
Bagi masyarakat Minang Kabau harta pusaka tinggi atau tanah ulayat merupakan marwah
dalam suku atau kaumnya, ada pusaka tinggi dan tanah ulayat berarti ada suku atau kaum,
karena cirri cirri adanya suatu suku atau kaum dalam kekerabatan Metrinial adalah dengan
adanya :
1. Rumah Gadang (Rumah gadang tempat berhimpunnya kaum atau saudara sesuku)
2. Sasok Jarami (Sawah atau ladang tempat menhidupi keluarga atau kaum)
3. Pandam pakuburan (Tanah pekuburan kaum atau suku)
4. Lantak supadan (batas-batas kebun dan hutan ulayat untuk pengembangan usaha).
Pengertian Harta Pusaka Tinggi atau tanah ulayat
Harat pusaka tinggi dan tanah ulayat bukanlah harta yang diperoleh melalui usaha, kerja
dan pencarian seorang ayah yang dapat dibagikan dan diwariskan kepada anak dan istrinya.
Harta pusaka tinggi adalh harta yang diperoleh dari hasil kerjasama, gatong royong antara
mamak dan kemenakan dalam suatu suku atau kaum pada masa lalu yang diperuntukkan
manfaatnya bagi saudara dan kemenakan perempuan menurut suku atau kaum dari garis
ibu sesuai konsep meterinial, sedangkan tanah ulayat adalah didapat dari pembagian
wilayah kekuasaan antara penghulu dalam suatu nagari menurut sesuai jumlah masing -
masing suku yang ada dalam nagari itu pada zaman dulunya.
Status kepemilikan
Harta pusaka tinggi dan tanah ulayat bukanlah milik pribadi yang dapat diperjual belikan
atau dipindah tangankan oleh seseorang kepada orang lain, harta pusaka tinggi adalah milik
suku atau kaum yang terdiri dari kesatuan kekrabatan keluarga besar dalam suatu suku atau
kaum yang diatur pemanfaatannya oleh ninik mamak penghulu suku untuk saudara
perempuan dan kemenakan, inilah yang disebut dalam aturan adat bahwa “Mamak