UZLAH : MANFAAT DAN KERUGIANNYA
BAB I BERGAUL MANFAAT DAN KERUGIANNYA
Mukadimah
Dikatakan manusia adalah makhluk sosial, sangat sulit untuk
dapat hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya. Oleh
karena itu kita perlu mengetahui manfaat dan kerugian bergaul.
Kapan dibenarkan untuk mengisolir diri dari manusia lainnya secara
total? Dengan siapa kita harus bargaul? Pergaulan dalam hal apa
yang dituntut oleh syariat Islam. Mana yang lebih utama bergaul
atau uzlah (mengisolir diri dari manusia)?
Dalam bab pertama ini penyusun akan meringkaskan penjelasan dari
Al Imam Ahmad bin Muhammad bin Abdrurrahman Ibnu Qudamah
rahimahullah (wafat tahun 742 H) dalam bukunya Mukhtashar Minhajil
Qashidin mengenai uzlah, manfaat dan kerugiannya.Setelah itu
dilanjutkan dengan ucapan Al Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
rahimahullah dari kitab beliau Madarijus Salikin ketika beliau
menyebutkan lima perkara yang dapat merusak hati manusia
diantarannya adalah banyak bergaul dengan manusia.Terakhir bab ini
ditutup dengan kesimpulan yang kami ambil dari penjelasan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qudamah dan Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin rahimahumullah tentang mana yang lebih utama
bergaul atau uzlah?Ucapan Al Imam Ibnu Qudamah rahimahullah tentang
bergaul, Manfaat dan Kerugiannya
Ulama berbeda pendapat tentang uzlah (mengisolasi diri dari
manusia) dan bergaul dengan manusia, manakah yang lebih utama
diantara keduanya ?
Mereka yang menganggap uzlah itu lebih utama berhujjah dengan
hadits Abi Said radhiyallahu anhu, ia berkata :
Ada orang yang bertanya, Wahai Rasulullah, manusia manakah yang
paling utama?Beliau menjawab,
Seorang yang berjihad dengan diri dan hartanya, dan seorang
mukmin yang tinggal di bukit terpencil beribadah kepada Rabbnya dan
meninggalkan manusia dari kejahatannya. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dan dalam hadits Uqbah bin Amir radhiyallahuanhu, ia berkata
:
Aku berkata , Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?
Beliau menjawab,
Kendalikanlah lidahmu, dan tetaplah tinggal di rumahmu, serta
menangislah atas kesalahanmu! (HR. Tirmidzi, Ahmad dan lain-lain,
syaikh Ali berkata ia hadits hasan)
Mereka yang menganggap bergaul dengan manusia itu lebih utama
berdalil dengan sabda Nabi Shallallahualaihi wa Sallam yang artinya
:
Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar menghadapi
gangguan mereka itu lebih besar ganjarannya dari orang mukmin yang
tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar menghadapi gangguan
mereka. (HR. Tirmidzi, Al Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad, Ahmad
dan Abu Nuaim. Hadits ini dishahihkan oleh syaikh Al Albani dalam
Ashshahihah no 939)
Manfaat Uzlah
1. Dapat berkonsentrasi dan memfokuskan diri untuk beribadah dan
bermunajat kepada Allah, dengan demikian harus memiliki waktu yang
lapang untuk itu. Waktu yang lapang untuk beribadah tidak
didapatkan jika ia banyak bergaul dengan manusia.
2. Dengan uzlah dapat menghindarkan diri dari berbagai macam
maksiat yang pada umumnya tidak dapat dihindarkan apabila ia
berkumpul dengan manusia, diantaranya adalah empat macam
kemaksiatan :
a. Ghibah (menceritakan kejelekan orang lain, jika berita itu
sampai kepadanya, tentu ia tidak akan suka);
b. Tidak mengajak orang lain melakukan yang maruf (kebaikan) dan
tidak mengingkari kemungkaran;
c. Riya (ingin dipuji oleh orang lain ) ; dan
d. Terpengaruh akhlak mereka yang buruk.
3. Terhindar dari fitnah (kekacauan) dan permusuhan, dengan ia
tidak ikut tenggelam di dalamnya, berarti ia memelihara
diennya.
4. Terhindar dari kejahatan manusia. Sesungguhnya mereka itu
menyakitimu, terkadang-kadang dengan berbuat ghibah, dengan mengadu
domba, berprasangka buruk, menuduh dengan tuduhan palsu, menzalimi
dalam rangka memperoleh ketamakan-ketamakan mereka yang penuh
dengan kepalsuan, dan barang siapa yang bergaul dengan manusia
tidak dapat bebas dari gangguan manusia, pasti ada orang yang hasad
dan memusuhinya dan berbagai macam keburukan yang diperoleh dari
orang-orang yang dikenalnya.
5. Dapat memutuskan ketamakan manusia terhadapmu dan ketamakanmu
terhadap manusia. Manusia menmginginkan banyak hal darimu, dan
sesungguhnya mencari keridhaan manusia merupakan tujuan yang tidak
pernah bisa dicapai. Adapun memutuskan ketamakanmu dari mereka,
karena sesugguhnya siapa yang melihat perhiasan dunia akan terbetik
keinginan untuk memperolehnya, semakin besar keinginan seseoramg
maka akan melahirkan ketamakan terhadap dunia, dan pada umumnya
manusia gagal mencapai sesuatu yang ia tamak kepadanya, maka
tinggallah kekecewaan dan kepedihan yang ia rasakan .
Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam bersabda:
Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian dan janganlah
melihat orang yang lebih tinggi dari kalian, karena yang demikan
itu pantas membuat kalian tidak mengentengkan nikmat Allah, yang
diberikan kepada kalian.
(H.R Muslim, Tirmidzi dan lain-lain) Allah berfirman Surat Thaha
131
6.Terhindar dari berjumpa dengan orang-orang yang bodoh dan
berakhlak buruk. Jika seseorang disakiti oleh mereka biasanya
langsung saja ia akan berbuat ghibah. Apabila ia dijelekkan, ia
akan membalasnya. Hal yang demikian dapat merusak diennya , maka
dengan beruzlah dapat menyelematkan diennya.
Kerugian Uzlah
Ketahuilah diantara tujuan-tujuan dien dan dunia, ada yang hanya
didapat dengan cara meminta bantuan orang lain. Oleh karena itu,
mau tidak mau manusia harus bergaul dengan orang lain. Dan diantara
manfaat bergaul dengan manusia adalah :
1. Belajar dan mengajar. Barangsiapa yang sudah mempelajari
ilmu-ilmu yang hukumnya fadhuain bagi dia, dan ia tidak mampu untuk
menguasai ilmu-ilmu lainnya lalu dia berpendapat untuk menyibukkan
diri dengan beribadah maka lakukanlah. Apabila ia mampu untuk
mendalami ilmu-ilmu dien lainnya, disamping yang fardhuain, maka
janganlah ia beruzlah sebelum ia berusaha untuk menguasainya agar
ia tidak mendapatkan kerugian. Oleh karen itu., Rabi bin Khutsaim
berkata, Kuasailah ilmu dien, baru setelah itu uzlahlah. Ilmu itu
pokok ajaran dien, tidak ada kebaikan dalam uzlahnya orang-orang
awam. Adapun mengajarkan ilmu kepada orang lain, maka padanya
pahala yang sangat besar apabila benar niatnya. Tetapi jika niatnya
untuk mencapai kedudukan yang tinggi di hadapan manusia dan untuk
mencari banyak pengikut, maka kebinasaanlah yang didapat ditinjau
dari segi dien. Kebanyakan di zaman sekarang ini para penuntut ilmu
mempunyai tujuan dan niat yang buruk. Hal yang demikian
mengharuskan bagi yang memiliki ilmu untuk meninggalkan mereka,
tetapi jika didapati seorang penuntut ilmu karena Allah dan berniat
dengan ilmu-ilmunya itu untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka
dia tidak boleh meninggalkannya, ia tidak boleh menyembunyikan
ilmunya.
2. Memberi dan mengambil manfaat. Mengambil manfaat dari manusia
dengan cara bekerja dan bermuamalah. Orang yang membutuhkan
pekerjaan dan bermuamalah dengan manusia terpaksa harus
meninggalkan uzlah. Adapun orang yang berkecukupan untuk memenuhi
kebutuhannya, maka uzlah lebih utama bagi dia, kecuali jika
bekerjanya dia dan bermuamalahnya dengan manusia untuk memberikan
kebaikan kepada orang lain, dengan cara bershadaqah dan lain
sebagainya, maka hal yang demikain lebih utama dibandingkan dengan
uzlah, kecuali jika uzlahnya itu lebih bermanfaat bagi dia dalam
mengenal Allah, dan mendapatkan ketentraman denganNya, dengan
pengelihatan mata hatinya dan hujjah, bukan dengan khurafat dan
khayalan yang merusak.
Adapun memberi manfaat kepada manusia, bisa dengan hartanya atau
tenaganya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia. Barangsiapa
yang mampu melakukan yang demikian itu dengan tidak keluar dari rel
syariat yang teah digariskan, maka yang demikian itu lebih utama
dari uzlah dengan cara menyibukkan dengan ibadah-ibadah yang sunnah
hukumnya.
3. Membina diri dan membina orang lain. Yang dimaksudkan dengan
membina diri adalah melatih jiwa menghadapi kekasaran manusia, dan
berupaya menahan diri terhadap gangguan mereka, mengendalikan nafsu
dan mengekang syahwat. Yang demikian itu lebih utama dari uzlah
bagi orang yang belum terlatih jiwanya dan belum terpuji
akhlaknya.
Adapun membina orang lain adalah melatih orang lain untuk
menjadi baik. Memperbaiki sifat-sifat buruknya yang tidak terlihat
sebagaimana ia memperbaiki orang lain dengan menyebarkan ilmu.
4. Menentramkan diri dari kesepian, seperti berkumpul dengan
orang yang bertaqwa sebagai penghibur hati bagi jiwa yang gersang.
Hendaklah refreshing tersebut tidak menyita waktu dan yang
dibicarakan adalah hal-hal yang berhubungan dengan dien.
5. Mendapat pahala dan menjadi sebab orang lain mendapat pahala.
Mendapat pahala dengan cara menghadiri jenazah, menengok orang
sakit, menghadiri walimah dan undangan lainnya, dengan begitu ia
ikut menyenangkan saudara seiman. Menjadi sebab orang lain mendapat
pahala dengan cara membukakan pintunya untuk orang lain bertaziah,
menengok, mengucapkan selamat, dengan sebab itu mereka mendapatkan
pahala.
Tetapi haruslah ditimbang antara pahala yang didapat dengan
bergaul dengan kerugian-kerugiannya, mana yang lebih
menguntungkannya.
6. Tawadhu (rendah hati). Dia tidak akan mempunyai sifat
tawadhu, jika tidak bersosialisasi dengan manusia
Ucapan Al Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah tentang Bergaul dengan
Manusia, Kerugian dan Batasannya.
Adapun dampak negatif akibat banyak bergaul dengan manusia
adalah penuhnya hati dengan polusi asap dari nafas-nafas Bani Adam
sehingga hati menjadi hitam. Keadaan ini mengharuskan hati dia
menjadi kacau-balau, kusut, gelisah dan gundah gulana, menanggung
beban karena memiliki teman-teman dekat yang jahat,
kepentingan-kepentingan dia menjadi terbengkalai karena sibuk
mengurusi kepentingan mereka, pikirannya terbagi untuk selalu
memenuhi keinginan-keinginan mereka, maka apa yang tersisa darinya
untuk Allah dan negeri akhirat?!
Betapa banyak bencana, kehinaan dan musibah dihasilkan akibat
bergaul dengan manusia, betapa banyak nikmat dan anugerah
terhalangi akibat bergaul dengan manusia pula!
Bukankah kerugian manusia itu disebabkan oleh manusia?!Bukankah
yang merugikan Abu Thalib menjelang wafatnya adalah teman-teman
yang jahat ?! Mereka selalu berada di sisinya menjadi penghalang
bagi Abu Thalib untuk mengucapkan kalimat tauhid yang dapat
menjamin dia mendapatkan kebahagiaan yang abadi.
Pergaulan yang seperti ini, yang dilandasi sebagian rasa cinta
di dunia dan untuk memenuhi kepuasan naluri satu terhadap yang
lainnya, berbalik menjadi permusuhan jika terungkap hakekat-hakekat
yang ada, dan dia akan menyesali sambil menggigit kedua tanggannya,
sebagaimana Allah Subhanahu wa Taala berfirman :
Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit
kedua tangannya, seraya berkata, Aduhai kiranya (dulu) aku
mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku,
kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.
Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Quran itu setelah
datang kepadaku. (Surat Al-Furqan : 27 29)
Dan Allah Subhanahu wa Taala berfirman :
Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi
sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa. (Surat
Az-Zukhruf : 67)
Dan khalil Allah Nabi Ibrahim Alaihis salam berkata kepada
kaummnya dalam firman Allah,
Dan berkata Ibrahim, Sesungguhnya berhala-hala yang kamu sembah
selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang
diantara kamu dalam kehidupan dunia ini, kemudian di hari kiamat
sebagian kamu mengingkari sebagian (yang lain) dan sebagian kamu
melaknati sebagian (yang lain), dan tempat kembalimu ialah neraka,
dan sekali-kali tidak ada bagimu para penolongpun. (Surat
Al-Ankabut : 25)
Ini merupakan perilaku setiap orang-orang yang ikut serta dakam
satu tujuan. Mereka saling menyayangi satu sama lain selama mereka
masih saling bekerja sama untuk mendapatkannya, maka apabila tujuan
itu gagal dicapai, bahkan kegagalan itu diiringi dengan penyesalan,
kesedihan dan kepedihan, lalu berbaliklah kasih sayang tersebut
menjadi kemurkaan dan lanat serta celaan sebagian terhadap sebagian
yang lain. Ketika tujuan tersebut gagal dicapai dan berbalik
menjadi kesedihan dan siksaan sebagaimana kita saksikan keadaan
orang-orang yang ikut serta dalam tujuan yang sama di dunia ini,
lalu mereka itu saling memberi hukuman satu sama lain,
kesimpulannya setiap dua orang yang bekerja sama dalam suatu
kebatilan di mana mereka berdua saling menyayangi dan mencintai
satu sama lain sebelumnya, maka haruslah suatu saat kasih sayangnya
berbalik menjadi kebencian dan permusuhan.
Dan batasan yang bermanfaat dalam pergaulan hendaklah ia bergaul
dengan manusia dalam kebaikan, seperti shalat Jumat, shalat
berjamaah, shalat ied, ibadah haji, menuntut ilmu, jihad, memberi
nasehat, dan hendaklah ia menjauhi mereka dalam keburukan dan
berlebihan dalam perkara-perkara mubah, apabila terpaksa bergaul
dengan orang-orang yang jahat dan tidak memungkinkan untuk menjauhi
mereka, maka hati-hati dan hati-hatilah jangan sampai menyetujui
mereka. Dan sabarlah terhadap gangguan mereka, karena sesungguhnya
mereka pasti akan menyakitinya apabila dia tidak memiliki kekuatan
dan penolong, tetapi gangguan itu nantinya akan diikuti dengan
kemuliaan, kecintaan, penghormatan, pujian terhadap orang tersebut
dari mereka, dari kaum muminin, dan dari Allah Rabbul Alamin,
sebaiknya menyetujui mereka akan diiringi setelah itu dengan
kehinaan, kemarahan terhadapnya, kebencian, celaan dari mereka dan
dari kaum muminin dan dari Allah Rabbul Alamin.
Maka sabar atas gangguan mereka lebih baik akibatnya dan lebih
terpuji kesudahannya, apabila terpaksa untuk bergaul dengan mereka
dalam berlebihan pada perkara-perkara yang mubah, maka
bersungguh-sungguh untuk mengubah majelis tersebut menjadi majelis
taat kepada Allah sebisa mungkin. Dan hendaklah ia memotivasi
dirinya dan menguatkan hatinya, dan jangan hiraukan bisikan setan
yang berusaha untuk mematahkan niatmu mengalihkan pembicaraan
berupa ketaatan, ia membisikan bahwa ini merupakan riya, dan
keinginan untuk menampakkan ilmumu dan keberadaanmu dan yang
semisalnya, maka perangilah bisikan setan tersebut, dan hendaklah
minta pertolongan kepada Allah, dan sebisa mungkin pengaruhilah
dalam majelis mereka itu berupa kebaikan.
Apabila tidak memungkinkan melakukan hal itu maka berilah
sedikit perhatian hatimu diantara mereka, seperti jatuhnya satu
rambut ke dalam adonan. Jadilah kamu di sisi mereka sebagai orang
yang hadir tetapi ghaib, dekat tetapi jauh, bangun tetapi tidur,
melihat mereka tetapi tidak memahaminya, karena ia telah mengambil
hatinya dari mereka, hatinya telah terbang tinggi ke langit,
berenang di sekitar Arsy bersama ruh-ruh yang suci dan berkedudukan
tinggi, betapa berat dan sulitnya hal ini bagi jiwa-jiwa manusia!
Tetapi hal itu sangat mudah bagi orang-orang yang Allah mudahkan
atasnya, hendaknya seorang hamba selalu jujur dengan Allah
Subhanahu wa Taala, selalu kembali kepadaNya, mengahamparkan diri
di depan pintuNya mengetuk, merengek dengan menghinakan diri, dam
dibantu juga dengan cinta yang sejati, dzikir yang langgeng dengan
hati dan lisan, dan hal ini bisa dicapai hanya dengan bekal amal
saleh dan kekuatan dari Allah Taala, dan tekad yang bulat serta
tidak bergantung kepada selain Allah, Wallahu Taala Alam. (Dinukil
dari buku beliau MADARIJUS SALIKIN)
Kesimpulan
Syakhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
Adapun ucapan si penanya, Manakah yang lebih utama bagi orang
yang berjalan di jalan Allah antara uzlah atau bergaul dengan
manusia?
Masalah ini meskipun ulama berselisih pendapat di dalamnya, baik
perselisihan yang menyeluruh atau perselisihan yang sifatnya
kondisional. Maka hakekat perkara ini bahwa terkadang kita
diperintahkan untuk bergaul dengan manusia dan terkadang kita
diperintahkan untuk mengisolir diri dari mereka. Kesimpulannya
bahwa bergaul dengan manusia apabila terdapat di dalamnya kerjasama
dalam kebaikan dan taqwa maka hal itu diperintahkan, dan apabila
terdapat di dalamnya kerjasama dalam dosa dan permusuhan maka hal
itu dilarang, bergaul dengan kaum muslimin dalam peribadatan
seperti shalat berjamaah yang lima waktu, shalat Jumat, shalat Idul
Fitri dan Idul Adha, shalat kusuf, shalat istisqa, dan lain
sebagainya, hal itu merupakan amalan-amalan yang diperintahkan oleh
Allah dan Rasul-Nya.
Begitu pula bergaul dengan kaum muslimin dalam ibadah haji, dan
dalam memerangi orang-orang kafir dan kaum khawarij yang telah
keluar dari rel Islam bersama penguasa dan kaum muslimin lainnya,
meskipun mereka adalah orang orang yang fajir (banyak melakukan
dosa), begitu pula pertemuan-pertemuan dengan manusia yang dapat
menambah iman, baik ia mengambil manfaat dari orang lain atauupn ia
memberi manfaat kepadanya, dan yang semisalnya.
Dan haruslah seorang hamba memiliki waktu-waktu khusus untuk
menyendiri yang ia gunakan untuk berdoa, berdzikir, mengerjakan
shalat-shalat sunnah, tafakkur (merenung), mengintrospeksi diri,
memperbaiki hatinya, dan hal-hal khusus lainnya dengan tidak
menyertakan orang lain, perkara-perkara tadi dibutuhkan dengan cara
menyendiri, bisa dilakukan di rumahnya sebagaimana ucapan Thawus :
Sebaik-baik tempat peribadatan seseorang adalah rumahnya, ia bisa
menahan mata dan lisannya., atau bisa pula dilakukan di selain
rumahnya.
Maka memilih bergaul dengan manusia (lebih utama dari beruzlah)
secara mutlak maka hal itu salah, dan memilih menyendiri (lebih
utama dari bergaul) secara mutlak maka hal itu salah juga. Adapun
kadar yang dibutuhkan oleh setiap manusia berupa uzlah dan bergaul,
dan apa yang lebih tepat baginya dalam setiap keadaan, hal tersebut
membutuhkan penelitian yang khusus sebagaimana telah disebutkan
sebelum ini. (Dinukil dari MAJMU FATAWA juz 10 hal425-426)
Al Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
Apabila engkau sudah tahu manfaat-manfaat dan kerugian-kerugian
uzlah, maka tidaklah bisa dihukumi secara mutlak bahwa uzlah itu
lebih utama atau bergaul dengan manusia itu yang lebih utama,
tetapi haruslah dilihat individu dan kondisinya, harus dilihat pula
orang yang digaulinya serta kondisi orang tersebut, juga harus
dilihat faktor apa yang mendorong untuk berhubungan dengannya? Apa
sisi positif dan negatif akibat berhubungan dengan orang lain, lalu
bandingkan antara keduanya, baru setelah itu menjadi jelas nama
yang lebih utama antara keduanya.
Imam SyafiI rahimahullah berkata,Tertutup dari manusia memicu
permusuhan dan terbuka kepada mereka mendatangkan keburukan.
Jadilah engkau ditengah-tengah antara keduanya.
Barangsiapa menyimpulkan selain dari kesimpulan ini maka tidak
lengkap, dia hanya menyimpulkan tentang keadaan dirinya sendiri
yang tidak bias diterapkan untuk orang lain yang kondisinya
berbeda. (Dinukil dari MUKHTASHAR MINHAJIL QASHIDIN hal 150)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,
Ketahuilah bahwa yang paling utama adalah seorang mukmin yang
bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka, orang yang
demikian lebih utama dari seorang mumin yang tidak bergaul dengan
manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka. Tetapi terkadang
terjadi perkara-perkara yang menjadikan uzlah itu lebih baik dari
bergaul dengan manusia, yang demikian apabila manusia takut fitnah
mengenai dirinya, seperti tinggal di negeri yang diterapkan padanya
peraturan-peraturan yang mengharuskan ia menyimpang dari diennya,
atau harus mendakwahkan bidah, atau ia melihat bahwa kemaksiatan
telah merajalela ia takut terimbas dan terjerumus ke lembah dosa
dan nista maka dengan kondisi yang ada uzlah itu lebih baik bagi
dia.
Inilah perincian, bahwa uzlah itu lebih baik jika dengan bergaul
dapat menimbulkan keburukan dan kerusakan bagi agamanya, apabila
tidak menimbulkan keburukan dan fitnah maka kembali ke hukum asal
bahwa bergaul dengan manusia itu lebih utama, ia dapat melakukan
amar maruf nahi munkar, berdakwah menyampaikan kebenaran
menjelaskan tuntunan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka hal
ini lebih baik baginya. (Dinukil dari SYARAH RIYADHUS SHALIHIN juz
6 hal 198) .
BAB II AGAR DICINTAI ALLAH KEMUDIAN DICINTAI MANUSIA
MUKADIMAH
Cita-cita tertinggi seorang muslim, ialah agar dirinya dicintai
Allah, menjadi orang bertakwa. Takwa dapat diperoleh dengan
menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Diantara tanda-tanda
seseorang dicintai Allah, yaitu jika dirinya dicintai oleh
orang-orang shalih, diterima oleh hati mereka. Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda,
Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, Ia memanggil
Jibril,Sesungguhnya Aku mencintai si Fulan, maka cintailah ia. Lalu
Jibril mencintainya dan menyeru kepada penduduk langit,Sesungguhnya
Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia. Maka mereka (penduduk
langit) mencintainya, kemudian ia menjadi orang yang diterima di
muka bumi. (Hadits Bukhari dan Muslim, dalam Shahih Jamiush Shaghir
no. 283)
Diantara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh orang-orang
shalih di muka bumi itu, diantaranya ia mencintai mereka karena
Allah, berakhlak kepada manusia dengan akhlak yang baik, memberi
manfaat, melakukan hal-hal yang disukai manusia dan menghindari
dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia.
Berikut ini beberapa dalil yang menguatkan keterangan di
atas.
Allah berfirman,
Pergaulilah mereka (isteri) dengan baik. (QS. An-Nisa 19)
Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. (QS Ali
Imran:134)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
Bertakwalah dimanapun engkau berada. Sertailah keburukan itu
dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan. Dan
berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik. (HR Tirmidzi,
ia berkata:Hadits hasan).
Seutama-utama amal shalih, ialah agar engkau memasukkan
kegembiraan kepada saudaramu yang beriman. (HR Ibnu Abi Ad Dunya
dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Jamiush Shaghir
1096).
Seorang muslim saudara muslim lainnya, ia tidak mendzaliminya
dan tidak menelantarkannya, barangsiapa memenuhi kebutuhan
saudaranya niscaya Allah akan memenuhi kebutuhannya, barangsiapa
menghilangkan kesulitan seorang muslim niscaya Allah akan
menghilangkan kesulitan-kesulitannya da hari kiamat dan barangsiapa
menutupi aib seorang muslim niscaya Allah akan menutupi aibnya di
hari kiamat (H.R.Bukhari dan Muslim)
Seorang mukmin itu lembut dan diperlakukan dengan lembut oleh
orang laini, tidak ada kebaikan pada orang yang tidak lembut dan
tidak diperlakukan dengan lembut oleh orang lain dan sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya (H.R.
Ad Daruquthni dalam Al Afrad dan Ad Dhiya Al Maqdisi dalam Al
Mukhtarah hadits ini dihasankan oleh syaikh Al Albani dalam Shahih
Al Jamius Shaghir no 6662)
Jika kalian bertiga maka janganlah dua orang berbisik-bisik
tanpa mengikutsertakan orang yang ketiga sampai kalian berbaur
dengan orang banyak karena yang demikian itu membuat sedih orang
yang ketiga (H.R. Bukhari dan Muslim)
Sungguh saya berjalan bersama saudaraku muslim dalam suatu
keperluan lebih saya cintai daripada beritikaf di masjid ini
(masjid Nabawi) selama sebulan (H.R. Ibnu Abi Duniya dalam Qadhaul
Hawaij dan Thabrani dalam Al Mujam Al Kabir, syaikh Al Albani
menghasankan hadits ini dalam Shahih Al Jamius Shaghir no 176)
Urgensi Pembahasan Adab Bergaul
Adab bergaul dengan manusia merupakan bagian dari akhlakul
karimah (akhlak yang mulia). Akhlak yang mulia itu sendiri
merupakan bagian dari Dienul Islam. Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam diutus untuk menyempurnakan akhlak. Beliau
Shallallahu Alaihi Wasallam adalah seorang manusia yang berakhlak
mulia. Allah berfirman
Dan sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung. (QS Al
Qalam 4)
Dan kita diperintahkan untuk mengikuti beliau, taat kepadanya
dan menjadikannya sebagai teladan dalam hidup. Allah telah
menyatakankan dalam firmanNya
Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu contoh teladan yang
baik.(QS Al Ahzab 21)
Dengan mempraktekkan adab-adab dalam bergaul, maka kita akan
dapat memperoleh manfaat, yaitu berupa ukhuwah yang kuat diantara
umat Islam, ukhuwah yang kokoh, yang dilandasi iman dan keikhlasan
karena Allah semata. Allah berfirman yang artinya, Dan berpegang
teguhlah kalian dengan tali Allah bersama-sama, dan janganlah
kalian bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah yang telah Allah
berikan kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu
Allah lunakkan hati-hati kalian sehingga dengan nikmatNya, kalian
menjadi bersaudara, padahal tadinya kalian berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanyaDemikianlah
Allah menjelaskan kepada kalian ayat-ayatNya, supaya kalian
mendapat petunjuk (Surat Ali Imran 103)
Oleh karena itu, adab-adab bergaul ini sangat perlu dipelajari
untuk kita amalkan. Kita harus mengetahui, bagaimana adab terhadap
orang tua kita, adab terhadap saudara kita, adab terhadap istri
kita, adab seorang isteri terhadap suaminya, adab terhadap teman
sekerja atau terhadap atasan dan bawahan. Jika kita seorang dai
atau guru, maka harus mengetahui bagaimana adab bermuamalah dengan
dai atau guru lainnya dan dengan madu yang didakwahi atau terhadap
muridnya. Demikian juga apabila seorang guru, atau seorang murid
atau apapun jabatan dan kedudukannya, maka kita perlu untuk
mengetahui etika atau adab-adab dalam bergaul.
Kurang mempraktekkan adab bergaul, menyebabkan dakwah yang haq
dijauhi oleh manusia. Manusia menjadi lari dari kebenaran
disebabkan ahli haq atau pendukung kebenaran itu sendiri melakukan
praktek yang salah dalam bergaul dengan orang lain. Sebenarnya
memang tidaklah dibenarkan seseorang lari dari kebenaran disebabkan
kesalahan yang dilakukan orang lain. Jika inti ajaran yang dibawa
oleh seseorang itu benar, maka kita harus menerimanya dengan tidak
memperdulikan cara penyampaiannya benar atau salah, adabnya baik
atau tidak. Akan tetapi pada kenyataannya, kebanyakan orang melihat
dulu kepada adab orang itu. Oleh karena itu, mengetahui adab
bergaul penting bagi kita sebagai muslim yang punya kewajiban
saling menasihati sesama manusia, agar kita mendapatkan ridha
Allah, dicintaiNya kemudian dicintai oleh manusia yang baik.
MOTIVASI DALAM BERGAUL
Faktor yang mendorong seorang muslim bergaul dengan baik kepada
orang lain ialah semata-mata mencari ridha Allah. Ketika seorang
muslim tersenyum kepada saudaranya, maka itu semata-mata mencari
ridha Allah. Karena tersenyum merupakan perbuatan baik. Demikian
juga ketika seorang muslim membantu temannya atau ketika
mendengarkan kesulitan-kesulitan temannya, ketika menepati janji,
berlaku jujur, tidak mengucapkan kata-kata yang menyakitkan orang
lain, maka perbuatan-perbuatan itu semata-mata untuk mencari ridha
Allah. Adapun orang-orang kafir pada umumnya ketika bermuka manis
kepada orang lain, menepati janji, berbicara lemah-lembut, semua
itu dilakukan karena untuk kepentingan dunia. Tingkah laku seperti
ini yang membedakan antara muslim dan non muslim.
Bisa saja seorang muslim bermuamalah dengan sesamanya karena
tujuan keduniaan semata. Seseorang mau akrab, menjalin persahabatan
disebabkan adanya keuntungan yang didapatnya dari orang lain.
Manakala keuntungan itu tidak didapatkan lagi, maka ia berubah
menjadi tidak mau kenal akrab lagi. Atau seseorang senang ketika
orang lain memberi sesuatu kepadanya, akan tetapi ketika sudah
tidak diberi, kemudian berubah menjadi benci. Hal seperti itu bisa
terjadi pada diri seorang muslim. Akan tetapi sikap seperti
menyalahi Al Quran dan As Sunnah.
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Zaadul
Maad juz ke-4 hal. 249: Diantara kecintaan terhadap sesama manusia
ada yang disebut mahabbatun linaili gharadlin minal mahbub. Yaitu
suatu kecintaan untuk mencapai tujuan dari yang dicintainya. Bisa
jadi tujuan itu ingin ia dapatkan dari kedudukan orang tersebut,
atau dari hartanya, atau ingin mendapatkan manfaat berupa ilmu dan
bimbingan orang tersebut, atau untuk tujuan tertentu; maka yang
demikian itu disebut kecintaan karena tendensi. Atau karena ada
tujuan yang ingin dicapai, kemudian kecintaan ini akan lenyap pula
seiring dengan lenyapnya tujuan tadi. Karena sesungguhnya, siapa
saja yang mencintaimu dikarenakan adanya suatu keperluan, maka ia
akan berpaling darimu jika telah tercapai keinginannya.
Hal seperti ini sering terjadi dalam kehidupan kita. Contohnya
seorang karyawan sangat menghormati dan perhatian kepada atasannya
di tempat kerja. Tetapi apabila atasannya itu sudah pensiun atau
sudah tidak menjabat lagi, karyawan ini tidak pernah memikirkan dan
memperhatikannya lagi. Begitu juga ketika seseorang masih menjadi
murid, sangat menghormati gurunya. Namun ketika sudah lulus bahkan
sekolahnya sudah lebih tinggi dari gurunya dengan mudahnya ia
melecehkan bahkan mendzalimi gurunya. Banyak orang yang berteman
akrab hanya sebatas ketika ada kepentingannya saja. Yakni ketika
menguntungkannya, dia akrab, sering mengunjungi, berbincang-bincang
dan memperhatikannya. Namun ketika sudah tidak ada keuntungan yang
bisa didapatnya, kenal pun tidak mau.
Ada juga seseorang yang hanya hormat kepada orang kaya saja.
Adapun kepada orang miskin, ia tidak menghargainya. Hal semacam ini
bukan berasal dari aturan-aturan Islam. Menilai seseorang hanya
dikarenakan hartanya, hanya karena nasabnya, hanya karena ilmunya,
yaitu jika kepada orang yang berilmu dia hormat dan dia
menyepelekan kepada orang yang minim ilmunya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dalam
Majmu Fatawa tentang kecintaan yang bukan karena Allah. Dalam kitab
Majmu Fatawa juz 10 beliau berkata,
Jiwa manusia itu telah diberi naluri oleh Allah untuk mencintai
orang yang berbuat baik kepadanya,namun pada hakekatnya
sesungguhnya hal itu sebagai kecintaan kepada kebaikan, bukan
kepada orang yang telah berbuat baik. Apabila orang yang berbuat
baik itu memutuskan perbuatan baiknya, maka kecintaannya akan
melemah, bahkan bisa berbalik menjadi kebencian. Maka kecintaan
yang demikian itu bukan karena Allah.
Barangsiapa yang mencintai orang lain dikarenakan dia itu
memberi sesuatu kepadanya, maka dia semata-mata cinta kepada
pemberian. Dan barangsiapa yang mengatakan: Saya cinta kepadanya
karena Allah,. maka dia pendusta. Begitu pula, barangsiapa yang
mencintai orang lain dikarenakan orang itu telah menolongnya, maka
dia semata-mata mencintai pertolongan, bukan cinta kepada orang
yang menolong. Yang demikian itu, semuanya termasuk mengikuti hawa
nafsu. Karena pada hakikatnya dia mencintai orang lain untuk
mendapatkan manfaat darinya, atau agar terhindar dari bahaya.
Demikianlah umumnya manusia saling mencintai dengan sesamanya
karena kepentingan dunia, yang demikian itu tidak akan diberi
pahala di akhirat dan tidak akan memberi manfaat bagi mereka.
Bahkan bisa jadi hal demikian itu mengakibatkan terjerumus kepada
sifat kemunafikan. Di akhirat nanti, mereka akan menjadi bermusuhan
antara satu sama lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.
Ucapan Ibnu Taimiyah rahimahullah ini sesuai dengan firman Allah
dalam surat Az Zukhruf ayat 67, artinya: Teman-teman akrab pada
hari itu sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain,
kecuali orang-orang bertakwa. Adapun orang-orang bertakwa,
persahabatan mereka akan langgeng sampai di alam akhirat, karena
didasari lillah dan fillah yaitu cinta karena Allah. Sebaliknya,
bagi orang-orang yang tidak bertakwa, di akhirat nanti mereka akan
menjadi musuh satu sama lain. Persahabatan mereka hanya berdasarkan
kepentingan dunia. Diantara motto mereka ialah: Tidak ada teman
yang abadi, tidak ada musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan
yang abadi.
Bisa saja hari ini menjadi sahabat, sedangkan besok menjadi
musuh karena berbeda kepentingan.Kemudian lusa menjadi sahabat
lagi, dikarenakan ada kepentingan yang sama. Dasar persahabatan
mereka bukan karena dien, tetapi karena kepentingan dunia berupa
ambisi untuk mendapatkan kekuasaan, kedudukan, kehormatan, harta
dan sebagainya dengan tidak memperdulikan, apakah cara yang mereka
lakukan diridhai Allah, sesuai dengan aturan-aturan Islam ataukah
tidak.
SIKAP-SIKAP YANG DISUKAI MANUSIA
- Manusia suka kepada orang yang memberi perhatian kepada orang
lain.
Diantara bentuk perhatian kepada orang lain, ialah mengucapkan
salam, menanyakan kabarnya, menengoknya ketika sakit, memberi
hadiah dan sebagainya. Manusia itu membutuhkan perhatian orang
lain. Maka, selama tidak melewati batas-batas syar'i, hendaknya
kita berusaha menampakkan perhatian kepada orang lain.
Seorang anak kecil bisa berperilaku nakal, karena ingin mendapat
perhatian dari orang dewasa. Orang tua kadang lupa, bahwa anak itu
tidak cukup hanya diberi materi saja. Merekapun membutuhkan untuk
diperhatikan, ditanya dan mendapat kasih sayang dari orang tuanya.
Apabila kasih- sayang tidak didapatkan dari orang tuanya, maka anak
akan mencarinya dari orang lain.
Seorang anak perempuan misalnya- karena tidak mendapat perhatian
dari keluarganya, dia mencari perhatian dari laki-laki di luar
lingkungan keluarganya. Dia senang dengan perhatian laki-laki itu
karena sering memujinya, merayu dan sebagainya. Sehingga terjadi
perbuatan yang diharamkan. Allah wal 'iyaadzu billah. Demikian juga
anak laki-laki, suami, isteri, saudara dan selainnya, masing-masing
membutuhkan perhatian yang bentuknya bisa berbeda-beda.
Dalam hadits Anas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
beliau memuji Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai orang yang
paling baik akhlaknya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam suka
berkunjung ke rumah ibunya yaitu Ummu Sulaim yang masih mahram
beliau ini salah satu perhatian beliau kepada manusia. Tidak sampai
disitu ketika beliau melihat adik Anas yang biasa dipanggil Abu
Umair sedang murung beliau bertanya kepada keluarganya, Ada apa
gerangan dengan Abu Umair saya lihat ia sedih dan tidak bergairah?
Allahu akbar, beliau orang yang sangat sibuk dengan dakwah dan
ibadah kepada Allah serta jihad di jalan Allah tapi beliau tetap
penuh perhatian kepada orang lain terlebih-lebih kepada
keluarganya- meskipun kepada anak kecil. Setelah itu segera Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam menghiburnya.
Termasuk memberikan perhatian kepada orang lain adalah dengan
melakukan taziyah menghibur orang yang ditinggal mati keluarganya
dan mendoakan orang yang meninggal. Kalau kita tidak sempat bertemu
dengan keluarganya karena adanya udzur bisa dengan telephon, surat,
sms atau lainnya. Hal tersebut akan sangat berkesan dan dapat
menambah kokohnya persaudaraan diantara kita. Bukan berarti jika
ada teman kita tidak memberikan taziyah kepada kita lalu
cepat-cepat kita memvonis buruk kepadanya kita harus berhusnudzan
kepada teman atau saudara.
- Manusia suka kepada orang yang mau mendengar ucapan
mereka.
Dalam berbicara dengan orang lain hendaklah beri kesempatan
kepadanya untuk berbicara pula. Termasuk adab Islam jika orang lain
sedang bicara kepada kita hendaklah didengar dan diperhatikan
dengan baik-baik.
Seorang suami misalnya- ketika pulang ke rumah dan bertemu
isterinya, walaupun masih merasa lelah, harus mencoba menyediakan
waktu untuk mendengar isterinya bercerita. Isterinya yang ditinggal
sendiri di rumah tentu tak bisa berbicara dengan orang lain.
Sehingga ketika sang suami pulang, ia merasa senang karena ada
teman untuk berbincang-bincang. Oleh karena itu, suami hendaklah
mau mendengarkan perkataan isteri janganlah selalu dipotong atau
diminta berhenti berbicara.. Jika kita belum siap untuk
mendengarkannya, jelaskanlah dengan baik kepadanya, bahwa dia perlu
istirahat dulu dan nanti ceritanya dilanjutkan lagi.
Pernah terjadi seorang ibu dan anaknya yang masih dalam usia
balita bercakap-cakap. Si anak dengan lucunya banyak berbicara dan
bertanya kepada ibunya, bukannya dijawab dengan penuh kelembutan
dan kesabaran tapi malah dibentaknya ia merasa risih dengan
pertanyaan-pertanyaan anak kandungnya yang masih kecil padahal
orang lain yang mendengarnya merasa terhibur.
Ada seorang ikhwah yang sangat sibuk dengan aktifitas-aktifitas
perbaikan masyarakat meskipun ia bukan penceramah dan tidak dikenal
orang semoga Allah mencatat amal-amalnya dalam timbangan
kebaikannya di hari akhir- diantara aktifitasnya setiap hari antara
maghrib dan isya berkunjung ke rumah orang tuanya bercengkerama
dengan keduanya kecuali kalau beliau keluar kota. Ini dilakukannya
bertahun-tahun padahal dia adalah orang yang sangat sibuk. Semoga
Allah memberkahi waktu-waktu kami, hindarkanlah kami dari
menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, tidak ada
daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Bagi anda yang
masih memiliki orang tua bahagiakanlah mereka berdua. Harta yang
engkau berikan kepada orang tuamu belum tentu membahagiakannya.
Sikapmu yang baik kepada keduanya akan membahagiakannya. Diantara
sikap yang baik adalah meluangkan waktu untuk mendengarkan segala
apa yang ingin dibicarakan kepadamu dan memberikan respon yang
positif, bicaralah kepada orang tua mengenai hal-hal yang
disukainya seperti pengalamannya ketika muda atau tentang
tanaman-tanaman yang dirawata ibu. Jika anda terpaksa harus
memotongnya untuk shalat di masjid atau ada keperluan yang tidak
bisa ditangguhkan lagi maka tunggulah sampai koma lalu segera
sampaikan alasanmu dengan baik dan berilah janji untuk melanjutkan
pembicaraan diwaktu yang lain. Jika yang dibicarakan hal yang tidak
baik untuk didengarkan seperti ghibah misalnya maka alihkanlah ke
pembicaraan yang bermanfaat tanpa menyinggung perasaannya dan
sampaikanlah kepadanya keharaman berghibah melalui buku atau kaset
atau menyampaikan nasehat sorang ustadz yang ia dengar.
Contoh lain, yaitu ketika teman kita berbicara hendaklah kita
tidak memotongnya meskipun apa yang ia ucapkan salah, apalagi
membantahnya dengan kasar. Kita dengarkan dahulu pembicaraannya
hingga selesai, kemudian kita jelaskan kesalahannya secara
baik.
Mungkin orang lain kurang memperhatikan ucapan kita tidak lain
disebabkan kita sendiri. Ada beberapa saran agar ucapan kita
didengarkan secara baik-baik oleh orang lain:
Hendaklah yang akan kita bicarakan hal-hal yang bermanfaat.
Perlu dipilih waktu yang tepat dan situasi yang kondusif
Hendaklah ucapan kita singkat dan tidak bertele-tele
Jika kita bermajelis dengan orang yang lebih tua dari kita
hendaklah kita lebih banyak mendengar daripada berbicara
- Manusia suka kepada orang yang menjauhi debat kusir
Seringkali ketika menemukan kebenaran yang kita yakini, timbul
keinginan untuk berdebat dengan orang lain yang masih berpemahaman
keliru. Bahkan berusaha memancing orang untuk berdebat ketika
mengetahui pemahamannya berbeda dengan kita. Padahal manusia tidak
suka kepada orang yang senang berdebat. Walaupun memang ada
perdebatan yang dibolehkan dalam Islam, yaitu debat dengan cara
yang baik.
Allah berfirman, artinya:
Serulah kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk (Surat An Nahl 125)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dalam
kasetnya, menerangkan tentang ayat: Serulah kepada jalan Rabbmu
dengan hikmah Beliau berkata,"Manusia tidak suka orang yang
berdiskusi dengan hararah (dengan panas). Karena umumnya orang
hidup dengan latar belakang dan pemahaman yang berbeda dengan kita
dan itu sudah mendarah daging Sehingga para penuntut ilmu, jika
akan berdiskusi dengan orang yang fanatik terhadap madzhabnya,
(maka) sebelum berdiskusi dia harus mengadakan pendahuluan untuk
menciptakan suasana kondusif antara dia dengan dirinya. Target
pertama yang kita inginkan ialah supaya orang itu mengikuti apa
yang kita yakini kebenarannya. Tetapi hal ini tidaklah mudah.
Umumnya disebabkan fanatik madzhab, mereka tidak siap mengikuti
kebenaran. Target kedua, minimalnya dia tidak menjadi musuh bagi
kita karena sebelumnya sudah tercipta suasana yang kondusif antara
kita dengan dirinya. Hal ini mudah untuk kita lakukan.
- Manusia suka kepada orang yang memberikan penghargaan dan
penghormatan kepada orang lain.
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan,
Bukan dari golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih
muda dan orang yang tidak menghormati yang lebih tua (H.R.Tirmidzi
dishahihkan oleh syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jamius Shaghir no
5445)
Ketika kita shalat sunnah di masjid membelakangi seorang berusia
lanjut yang lebih dahulu duduk sebelum kita datang. Ia tersinggung
karena selama ini tidak pernah disapa atau disalamin tiba-tiba
datang membelakanginya. Akan berbeda sikapnya mungkin- jika orang
yang membelakanginya bersikap ramah dan hormat kepadanya selama
ini. Kesalahan seperti ini kadang tidak sengaja kita lakukan. Oleh
karena itu kita harus mengambil pelajaran dari pengalaman diri kita
dan orang lain. Sehingga bisa memperbaiki diri dalam hal
menghormati orang lain. Hal-hal yang membuat diri kita tersinggung,
jangan kita lakukan kepada orang lain. Bentuk-bentuk sikap tidak
hormat dan pelecehan, harus kita kenali untuk dihindari.
Misalnya, ketika berjabat tangan tidak melihat wajah orang yang
kita salami Hal itu menyinggung perasaan orang lain. Apabila kita
diperlakukan kurang hormat, maka kita sebisa mungkin memakluminya.
Karena mungkin- orang lain belum mengerti atau tidak menyadarinya.
Ketika kita memberi salam kepada orang lain, namun orang tersebut
tidak menjawab, maka kita jangan langsung menuduh orang itu
menganggap kita ahli bid'ah atau kafir. Bisa jadi, ketika itu dia
sedang menghadapi banyak persoalan sehingga tidak sadar ada yang
memberikan salam kepadanya, dan ada kemungkinan-kemungkinan
lainnya. Kalau perlu didatangi dengan baik dan ditanyakan, agar
persoalannya menjadi jelas. Dalam hal ini kita dianjurkannya untuk
banyak memaafkan orang lain.
Allah berfirman, artinya: Terimalah apa yang mudah dari akhlaq
mereka dan perintahkanlah orang lain untuk mengerjakan yang ma'ruf
serta berpalinglah dari orang- yang bodoh. (QS Al A'raf 199)
Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat khudzil
afwa. Ada tiga pendapat yang berbeda dalam masalah ini.
Diantara mereka ada yang berpendapat, bahwa maksudnya: ambillah
yang mudah dari harta mereka. Ketika itu belum turun ayat yang
mewajibkan zakat dan perincian orang-orang yang berhak menerimanya.
Pendapat yang kedua, bahwa Allah memerintahkan rasulNya untuk
memberi maaf dan bersikap lunak terhadap orang musyrikin selama
sepuluh tahun. Kemudian setelah itu, Allah memerintahkan Rasul
Shallallahu Alaihi Wasallam untuk bersikap keras terhadap mereka.
Pendapat ini dipegang oleh Al Imam At Thabari rahimahullah .
Pendapat yang ketiga, adalah pendapat yang lebih masyhur dan lebih
kuat. Yaitu ambillah apa yang mudah dari akhlaq mereka. Al Imam
Ibnu Katsir menjelaskan tafsir ayat ini, bahwa pendapat yang ketiga
ini dipegang oleh Mujahid, seorang tabi'in, kemudian Abdullah bin
Jubair, bapaknya yaitu Jubair, Abdullah bin Umar dan 'Aisyah
radhiallahu anhum. .
Ibnu Katsir mengatakan, inilah pendapat yang paling masyhur.
Bahwa khudzil afwa, artinya ambillah olehmu apa yang mudah dari
akhlak mereka. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
dalam kitab Syarah Riyadlus Shalihin mengatakan, -Dalam ayat ini-
yang dimaksud al 'afwa, yaitu apa yang mudah dari manusia. Karena
manusia satu sama lain saling bermu'amalah. Maka barangsiapa
diantara manusia yang ingin agar manusia lainnya memperlakukan dia
menurut apa yang dia sukai dan secara sempurna, maka hal itu akan
menyusahkan dan memberatkan dirinya.
Sedangkan orang yang mengambil pelajaran dari ayat ini, dan
mengambil apa yang mudah dari manusia, apa yang datang dari mereka
akan diterimanya, sedangkan hak dirinya yang disia-siakan mereka
tidak dipermasalahkannya, kecuali jika perbuatan mereka itu telah
menodai dienullah yang terhormat.
Ini adalah bimbingan Allah, agar kita mengambil yang mudah dari
akhlak dan muamalah manusia, sedangkan sikap tidak baik mereka,
apabila kita tidak ambil pusing dan meninggalkannya, maka keutamaan
tetap milik kita.
Jadi, jika kita menginginkan orang lain tidak menyakiti kita,
bahkan memperlakukan kita menurut apa yang kita sukai dan kita
tidak siap untuk menerima yang sebaliknya, maka kita akan merasa
susah dan banyak mengalami kekecewaan.
Dalam kehidupan ini, tidak semua hal berjalan mulus seperti apa
yang kita harapkan. Kita akan menemui orang yang mengghibah kita,
menuduh, menipu dan berbuat jahat terhadap kita. Ada hal-hal yang
tidak perlu kita pedulikan terhadapnya. Hal ini bukan berarti kita
menerima saja jika diperlakukan seenaknya oleh orang lain.
Misalnya, jika seseorang memiliki hutang kepada kita, tidak mesti
kita bebaskan begitu saja. Kita boleh menuntut agar hutang itu
dilunasi. Karena hal itu merupakan hak kita, apalagi jika kita
membutuhkannya. Namun jika kita bebaskan, maka itu lebih baik.
Misalnya, jika sudah berusaha semaksimal mungkin menagihnya, namun
orang itu tidak membayar juga, maka hal itu jangan membuat kita
pusing. Insya Allah, kita akan diberi ganti yang lebih baik,
seperti dihapuskan dosa dan lain sebagainya. Selain itu kita bisa
memfokuskan ke hal-hal lain yang lebih bermanfaat, daripada
berkutat dengan sesuatu yang membuat kita sibuk dan stres.
Kadang-kadang kita sering tidak sabar menerima perlakuan yang
tidak mengenakkan dari orang lain. Kadang tanpa sadar, kita
terjerumus ke dalam perbuatan yang merusak hubungan antar sesama
manusia. Seperti dengan melakukan namimah atau mengadu domba,
karena kejahilan kita. Misalnya dengan mengatakan kepada ustadz A,
bahwa ustadz B berlainan pendapat dalam satu masalah dengannya di
depan forum kajian. Atau dengan mengatakan, bahwa ustadz B
menjelek-jelekannya.Mungkin kita melakukan hal itu karena mencintai
ustadz A. Padahal bisa membuat kedua orang itu bermusuhan.
Seharusnya kita melakukan hal-hal yang membuat keadaan menjadi
lebih baik. Tidak ada kebaikan pada kebanyakan perbincangan,
kecuali orang yang memerintahkan manusia untuk bershadaqah, berbuat
baik, dan mengadakan perbaikan (ishlah) antar manusia. Termasuk
diantara baiknya keislaman seseorang, yaitu meninggalkan perbuatan
yang tidak bermanfaat bagi dirinya.
Al Imam Ibnul Qayim menjelaskan dalam kitabnya Al Fawaid,
Berkumpulnya manusia dengan temannya itu ada dua macam. Yang
pertama, berkumpulnya sebagai hiburan, untuk menghabiskan waktu
saja. Maka hal ini mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya.
Minimal menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga, bahkan bisa
mengotori hati. Kita perlu melatih diri untuk mengisi waktu dengan
perbuatan bermanfaat. Kalau jiwa kita tidak terlatih, maka hal ini
akan sangat berat. Yang kedua, berkumpul dalam rangka
nasihat-menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Yaitu berkumpul
dalam rangka untuk meniti jalan keselamatan. Majelis seperti ini
merupakan jenis yang baik. Walaupun begitu, masih terdapat di
dalamnya hal-hal yang bisa membahayakan. Pertama, jika terjadi
saling memuji sebagian kita terhadap lainnya dalam bentuk
basa-basi. Dalam hal ini bisa membahayakan orang yang dipuji. Jika
yang dipuji itu tidak bisa menjaga diri, bisa jadi dia akan
terjerumus ke dalam ujub atau sombong. Bahaya selanjutnya, yaitu
jika pertemuan tersebut semata-mata hanya merupakan adat kebiasaan
saja. Tujuan diadakannya majelis tersebut sudah tidak lagi dalam
rangka saling-menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Atau
justeru menjadi majelis yang tidak bermanfaat, bahkan bisa
mengotori hati orang yang duduk di dalamnya. Hal ini bukan berarti
kita harus menghindari majelis yang kedua ini sama sekali, akan
tetapi hendaklah di dalamnya dibicarakan hal-hal yang baik dan
bermanfaat. Apabila muncul pembicaraan yang tidak baik dalam
majelis tersebut, kita coba alihkan ke pembicaraan lain yang
bermanfaat, sehingga majelis tersebut diberkahi.
Termasuk menghargai orang lain dengan menganggapnya penting bagi
kita dan dibutuhkan oleh kita meskipun tidak ada keuntungan duniawi
yang bisa kita raih darinya tetapi yang paling pokok agar kita
dicintai Allah keuntungan lain yang bisa kita raih doa mereka untuk
kita, mereka akan menghargai kita dan lain-lain mungkin anda lebih
tahu.
- Manusia suka kepada orang yang memberi kesempatan orang lain
untuk maju.
Sebagai seorang muslim, seharusnya senang jika saudara kita
maju, berhasil atau mendapatkan kenikmatan, walaupun secara naluri
manusia itu tidak suka, jika ada orang lain yang melebihi dirinya.
Naluri seperti ini harus kita kekang dan dikikis habis sedikit demi
sedikit. Misalnya, bagi mahasiswa jika di kampus ada teman muslim
yang lebih pandai daripada kita, maka kita harus senang. Jika kita
ingin seperti dia, maka harus berikhtiar dengan rajin belajar dan
tidak malas. Berbeda dengan orang yang dengki, tidak suka jika
temannya lebih pandai dari dirinya. Malahan karena dengkinya dia
mencuri buku catatan pelajaran milik temannya.
Contoh lain, misalnya jika kita adalah seorang guru atau
pengajar, maka harus senang jika murid kita maju, lebih pandai dan
lebih berhasil daripada kita. Sehingga tidak dibolehkan
menginginkan murid cukup memiliki kepandaian di bawah kita terus.
Hal ini biasanya terjadi pada guru ilmu bela diri. Walaupun dia
mengajarkan banyak jurus kepada murid-muridnya, akan tetapi
biasanya ada jurus pamungkas yang disimpannya, agar tidak
dikalahkan oleh muridnya. Adapun dalam mendidik ilmu dien,
terlarang untuk melakukan seperti demikian. Kita harus mengajarkan
semua ilmu yang kita miliki. Dan jika suatu saat murid kita
memiliki ilmu yang lebih dari kita, maka kita tidak merasa gengsi
untuk belajar kepadanya.
Apapun kedudukan anda apakah sebagai kepala rumah tangga, kepala
instansi, direktur perusahaan, direktur sebuah lembaga, kepala
sekolah dan lain sebagainya akan disukai oleh manusia jika dia
tidak bersifat egois dan menginginkan kemajuan bawahannya.
- Manusia suka kepada orang yang tahu berterimakasih atau suka
membalas kebaikan.
Hal ini bukan berarti dibolehkan mengharap ucapan terimakasih
atau balasan dari manusia jika kita berbuat kebaikan terhadap
mereka. Akan tetapi hendaklah tidak segan-segan untuk mengucapkan
terimakasih dan membalas kebaikan yang diberikan orang lain kepada
kita. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
Barangsiapa tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia
maka ia tidak bersyukur kepada Allah (H.R. Ahmad, Tirmidzi dan
dishahihkan oleh syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jamius Shaghir no
6541)
Siapa yang telah berbuat baik kepada kalian, maka balaslah
kebaikannya. Apabila kalian tidak mendapatkan sesuatu untuk
membalas budi kepadanya, maka doakanlah(memohon kebaikan) untuknya
sehingga kalian berpendapat telah membalas budinya.(HR.Ahmad
2/68,Abu Daud 1672,Nasa`I 5/82,Bukhari dalam buku Al-Adab Al-Mufrad
216, Ibnu Hibban 3408, Al Hakim 1/412 dan 2/13, At-Thayalisi 1895
dan selain mereka dari hadits Abdullah bin Umar bin Khattab
radhiallahu `anhuma.Derajat hadits itu shahih (Syaikh ali
Hasan)
Pernahkah kita mengingat-ingat orang-orang yang telah berjasa
kepada kita selama ini?, orang tua kita yang telah membesarkan dan
mendidik kita sejak kecil dengan penuh kasih sayang, guru-guru kita
yang dengan ikhlasnya menginginkan kita menjadi orang yang baik,
teman-teman yang dengan tulus memberikan motivasi dan selalu
memberikan nasehat yang bermanfaat, orang-orang yang telah
membiayai kita sekolah atau belajar menuntut ilmu dien dengan tanpa
pamrih termasuk mereka yang menjadi perantaranya. Pernahkah kita
mendoakan memohon kepada Allah agar memberikan kebaikan kepada
mereka? Sudahkah kita berusaha membalas kebaikan mereka dengan
melakukan hal-hal yang menyenangkan mereka selama tidak menyalahi
syariat? Apabila diantara mereka ada yang memiliki pemahaman islam
yang bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah -dengan pemahaman
salafus shalih-, sudahkah kita berusaha semaksimal mungkin untuk
meluruskannya dengan penuh optimisme tanpa putus asa? Lebih-lebih
lagi mereka yang secara ushul memiliki aqidah dan manhaj yang sama
yaitu aqidah ahlus sunnah waljamaah, aqidah salafiyah, mengikuti
jejak Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya
radhiallahu anhum lalu ada kerancuan dalam sebagian pemahaman
mereka sedangkan mereka cinta kepada kebenaran dan mencintai
ulamanya. Apakah termasuk membalas kebaikan mereka dengan cara
bermuka masam dan membuang muka? Apakah termasuk membalas kebaikan
mereka dengan cara melarang manusia untuk belajar Islam kepada
mereka? Apakah termasuk membalas kebaikan mereka dengan cara
membuat fitnah dan tuduhan yang keji? Menyampaikan berita-berita
yang telah usang dan kadaluwarsa serta berita-berita bohong.
Sesungguhnya Allah sangat cepat pembalasannya, doa orang yang
teraniaya itu mustajab dan akibat yang baik untuk orang-orang yang
bertakwa. Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-hambaNya yang
bertakwa dan memberikan kita rasa takut akan adzab dan murkaNya dan
takut untuk mendzalimi orang lain, ya Allah jadikanlah kami
bersifat adil dalam bertindak, ya Allah janganlah jadikan
orang-orang yang telah berjasa kepada kami sebagai penghalang untuk
meraih keridhaanMu, ya Allah karuniakanlah keikhlasan kepada kami
dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang tidak mengharapkan
dari orang lain balasan ataupun ucapan terima kasih.
- Manusia suka kepada orang yang menjaga perasaan orang lain
Kita perlu melatih diri untuk menyampaikan ungkapan kata-kata
yang tidak menyakiti perasaan orang lain dan tetap sampai kepada
tujuan yang dinginkan. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
melarang dua orang berbisik-bisik jika mereka bertiga dikarenakan
membuat sedih orang yang ketiga. Sungguh agama Islam sangat
memperhatikan perasaan manusia.
Orang tua menyuruh anaknya mencuci piring dan gelas di dapur.
Ternyata cuciannya kurang bersih. Ibu yang bijak dia akan memuji
jerih payah anaknya baru setelah itu diajarkan bagaimana cara
mencuci yang baik. Pujian dan cara yang baik ini akan memotivasi
anak untuk giat melaksanakan perintah ibu dan memperbaiki
kekurangannya. Lain halnya jika si ibu marah-marah dan
mengumpatnya,Dasar anak malas, tahunya hanya minta uang dan main
saja, mencuci piring saja tidak becus kalah sama adiknya. Ungkapan
seperti ini dapat membuat si anak menjadi malas dan kurang hormat
terhadap ibunya.
Seorang ibu meminta anaknya untuk sarapan terlebih dahulu
sebelum berangkat ke sekolah atau ke kantor lalu dengan entengnya
dijawab bahwa tidak ada waktu karena dirinya hampir terlambat
sambil keloyong keluar rumah. Padahal ada cara lain untuk tidak
mengecewakan orang tua seperti bergegas-gegas sejak pagi sehingga
ada waktu luang untuk sarapan, seandainya sempit waktunya pun masih
ada cara untuk menyenangkan ibu dengan menuruti kemauannya dan
mengambil sedikit nasi serta lauk tidak sampai lima menit kita bisa
segera keluar rumah dengan perut berisi tanpa membuat ibu cemberut
bahkan memancarkan wajah berseri-seri.
Seorang anak tk yang jelek tulisannya hendaknya tidak dipatahkan
semangatnya dengan mencela dan memarahi anak tersebut.
Seorang guru ditanya oleh siswanya tentang suatu masalah lalu
dijawabnya, Pertanyaan ini tidak pantas ditanyakan, anak sd saja
tahu jawabannya! Ini bukan jawaban yang baik karena dapatkan
mematahkan semangat belajar anak dan mungkin siswa tersebut tidak
akan bertanya kepada guru tadi seterusnya. Seorang guru harus
menyadari jawaban tadi atau yang sejenisnya tidak sepantasnya
dilontarkan karena tugas guru bukan hanya mentransfer ilmu tapi ia
juga bertugas sebagai pendidik.
Dalam sebuah buku diceritakan, ada seorang suami yang memberikan
ceramah dalam suatu majelis dengan bahasa yang terlalu tinggi,
sehingga tidak bisa dipahami oleh orang-orang yang hadir. Ketika
pulang, dia menanyakan pendapat isterinya tentang ceramah tadi.
Isterinya menjawab dengan mengatakan, bahwa jika ceramah tersebut
disampaikan di hadapan para dosen, maka tentunya akan tepat sekali.
Ucapan itu merupakan sindiran halus, bahwa ceramah itu tidak tepat
disampaikan di hadapan hadirin saat itu. Hal ini bukan berarti kita
harus banyak berbasa-basi atau bahkan membohongi orang lain. Namun
hal ini agar tidak melukai perasaan orang, tanpa kehilangan maksud
untuk memperbaikinya.
Contoh lain, yaitu isteri yang memasak, akan merasa sakit hati
jika kita cela hasil masakannya. Padahal dengan bahasa yang lebih
baik, kita bisa membuat dia tidak tersinggung jika dikritik.
Misalnya saja, jika masakannya terlalu asin, kita mengatakan bahwa
masakannya enak, namun jika dikurangi sedikit garamnya, pasti akan
lebih enak. Dia akan paham, bahwa masakannya kebanyakan garam.
Contoh lainnya lagi, yaitu terhadap teman kita yang menyatakan
keinginannya untuk sekolah di Madinah. Janganlah kita mengatakan,
bahwa orang seperti dia tidak pantas untuk sekolah di Madinah.
Kalau kita menilai, bahwa dia kurang mampu untuk mendalami dien,
maka kita bisa mengatakan kepadanya, jika dia belajar di sekolah
lain tentu akan lebih bermanfaat. Jangan sampai membuat dia merasa
terhina dengan ungkapan kata-kata kita.
Seorang kenalan yang baru memiliki hp terkadang menanyakan
kepada anda Apakah anda perlu mencatat nomer hp saya? Seandainya
anda tidak butuh sekalipun padahal mungkin suatu waktu butuh- apa
salahnya untuk menyenangkan orang lain dan tidak menimbulkan
kekecewaannya kita jawab,Berapa no hp kamu? Sambil kita catat.
Harun bin Abdullah rahimahullah meriwayatkan, Ahmad bin Hanbal
mendatangiku di malam hari dengan mengetuk pintu, saya tanya,Siapa?
Beliau menjawab,Saya Ahmad Segera saya keluar menemuinya, beliau
mengucapkan salam dan saya menjawabnya. Saya bertanya,Apa gerangan
keperluan anda wahai Abu Abdillah? Beliau menjawab,Hatiku resah
hari ini memikirkanmu. Mengapa wahai Abu Abdillah? Beliau
menjelaskan,Saya melewatimu hari ini, anda duduk menyampaikan
pelajaran kepada manusia di tempat yang teduh sedangkan manusia
dibawah terik matahari memegang buku dan pena, jangan anda lakukan
sekali lagi, jika anda duduk duduklah bersama manusia Imam Ahmad
rahimahullah tidak menegurnya seketika tapi menundanya sampai malam
hari dan menegurnya secara empat mata dengan penuh kelembutan dan
perhatian dengan ucapannya Hatiku resah hari ini memikirkanmu.
Pernah Syaikh Masyhur Hasan Al Salman salah seorang murid
terkemuka dari syaikh Al Albani menulis surat pribadi kepada salah
seorang ustadz di Indonesia memberikan motivasi dan taushiyah.
Mendengar berita tersebut saya meminta copiannya untuk dijadikan
bahan renungan. Diantara manfaat yang didapat dari surat tersebut
kita tahu betapa lembutnya beliau dalam memberikan nasehat
diantaranya beliau berkata, Saudaraku yang saya cintai
Taufik Allah seluruhnya dapat diperoleh dengan (ilmu) disertai
(tahan emosi), Saya dapatkan pada dirimu sifat tahan emosi dan
perhatian yang pantas diinginkan oleh orang lain, maka berilah
perhatian dengan sepenuhnya dalam hal (ilmu) dan upaya untuk
menambahnya
Hendaknya jika kita tidak setuju dengan salah satu pendapat
teman kita, mulailah dengan menyebutkan pendapat-pendapatnya yang
kita setujui setelah itu disebutkan pendapat yang kita kurang
setuju.
Saya mendapat pelajaran dari salah seorang ustadz di Jakarta
semoga Allah memberkahi ilmunya- ketika memberikan teguran kepada
khatib jumat jika ada yang salah atau membawakan hadits-hadits
lemah dan maudhu beliau tunggu suasana sepi dan setelah itu
mendatanginya sendirian lalu berbicara berdua dengan berbisik-bisik
setelah itu saya lihat khatib dari kejauhan tersenyum dan menjabat
tangan ustadz dengan hangatnya. Kejadian seperti ini saya lihat
sendiri tidak satu dua kali di tahun delapan puluhan. Karena ingin
mendapatkan ilmu dari beliau saya penasaran dan bertanya kepada
beliau apa yang dilakukannya berduaan dengan khatib. Beliau
menjawab sedang memberikan masukan atas kesalahan khatib dengan
cara pertama berterimakasih atas isi khutbah yang disampaikannya,
banyak manfaat yang bisa didapat. Setelah itu menanyakan kedudukan
satu atau dua hadits yang dibawakan khatib tadi beserta sumbernya.
Terakhir menyampaikan apa yang beliau tahu tentang kedudukan hadits
tersebut berdasarkan keterangan- keterangan pakar hadits.
Termasuk menjaga perasaan orang lain jika kita bertemu di jalan
atau di kantor atau dimana saja dengan dua orang atau lebih satu
diantaranya adalah teman kita hendaklah kita salami semuanya,
terkadang kita tidak sadar hal itu dapat menyinggung perasaan orang
lain. Saya pernah diajak oleh teman di Jeddah berkunjung ke famili
mereka setelah bertemu dalam satu majelis yang berjumlah sekitar
lima belas orang tidak semua dikenal oleh teman ini, apa yang
dilakukannya setelah mengucapkan salam dan menyalami mereka satu
persatu? Dia menanyakan keadaan dan keluarga mereka satu persatu
tidak ada seorangpun yang luput dari pertanyaannya.
Jadi kita perlu melatih untuk mengungkapkan kata-kata yang tidak
melukai perasaan orang lain. Manusia punya perasaan, termasuk kita.
Kita tidak suka jika perasaan kita dilukai orang lain. Oleh karena
itu, kita berusaha untuk tidak melukai perasaan orang lain.
SIKAP-SIKAP YANG TIDAK DISUKAI MANUSIAKita mempelajari
sikap-sikap yang tidak disukai manusia agar dapat menghindarinya.
Maksud dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia, ialah sikap
yang menyelisihi syariat baik berdasarkan nash-nash yang khusus
maupun umum. Berkaitan dengan sikap-sikap yang tidak disukai
manusia, tetapi Allah ridha, maka harus kita utamakan keridhaan
Allah. Dan sebaliknya, terhadap sikap-sikap yang dibenci Allah
-walaupun manusia menyukainya- maka, tetap harus kita jauhi. Kita
harus mencintai Allah dan RasulNya melebihi cinta kita kepada yang
lain. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda,
Ada tiga perkara, yang apabila terdapat pada diri seseorang
perkara-perkara tersebut, maka ia akan merasakan manisnya iman.
(Yaitu) menjadikan Allah dan RasulNya lebih dicintai daripada yang
lain, mencintai orang lain semata-mata karena Allah, benci kembali
kepada kekufuran -setelah Allah menyelamatkannya- sebagaimana ia
benci bila dimasukkan ke dalam neraka.
Dalam kolom Tanya jawab di salah satu majalah Islam pernah
seorang perempuan bertanya bagaimana sikap yang harus ia lakukan
terhadap teman laki-laki di sekolah yang jatuh cinta kepadanya dan
mengajaknya untuk berpacaran sementara dia tidak ingin menyakitinya
jika ditolak? Menolak ajakan untuk bermaksiat dicintai Allah
sementara menerima ajakannya untuk berjalan berduaan dan
bersentuhan dengannya dimurkai Allah. Manakah yang harus kita
utamakan? Tentu mengutamakan ridha Allah lah yang seharusnya kita
pilih meskipun beresiko orang lain akan sakit hati atau
tersinggung.
Jika ada lawan jenis yang bukan mahram kita seperti sespupu,
isteri paman, isteri kakak atau adik mengulurkan tangannya dan
mengajak kita berjabat tangan padahal kita tahu hukumnya haram
bersasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, Tindakan yang
benar adalah kita tolak secara halus dan tidak menjabatnya meskipun
orang itu tersinggung. Untuk mengurangi ketersinggungan orang lain,
bisa jadi dia tidak tahu hadits diatas sehingga perlu disampaikan
kepadanya dan fatwa ulama yang menyatakan haram perbuatan tersebut.
Kedua kita bisa mencairkan suasana dengan berbasa-basi kepadanya
menanyakan sekedarnya keadaan dirinya, suaminya, anak-anaknya atau
lainnya.
Begitu pula kita tidak boleh ikut hadir dalam acara-acara bidah
seperti tahlilan, peringatan maulid Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam, nisfu syaban, haul dan lain sebagainya karena kehadiran
kita di sana berarti menyetujui perbuatan bidah. Kita tetap
diperintahkan untuk berbuat baik kepada kaum muslimin pada umumnya
seperti mengucapkan salam, menengok orang sakit, membantu kesulitan
mereka, menghargai mereka, memberi nasehat dan lain sebagainya.
Kalaupun kita sudah berbuat baik lalu mereka tetap saja memusuhi
kita karena kita tidak ikut acara bidah mereka hendaklah kita sabar
dan tetap teguh pada pendirian serta berdoalah kepada Allah agar
Allah melunakkan hati mereka, memberi hidayah untuk kita dan
mereka. Ya Allah Yang membolak balikkan hati manusia teguhkanlah
hatiku agar selalu berada diatas agamaMu. Ya Rabb kami janganlah
engkau palingkan hati-hati kami setelah engkau beri hidayah kepada
kami dan berilah untuk kami rahmat dari sisiMu sesungguhnya Engkau
Maha Pemberi.
Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak disukai manusia ialah
sebagai berikut.
Pertama. Memberi nasihat kepadanya di hadapan orang lain.
Hal ini telah banyak dibahas oleh para ulama, diantaranya oleh
Al Imam Ibnu Hibban dalam kitab Raudhatul Uqala Wa Nuzhatul
Fudhala; dalam penjelasan mengenai cara memberi nasihat. Yaitu,
hendaklah tidak di depan orang lain. Hendaklah memberi nasihat
secara empat mata atau secara rahasia.
Begitu pula Al Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitab Al
Akhlaqu Wa Siar Fi Mudawatin Nufus. Beliau juga menjelaskan,
bahwasanya kita harus memberi nasihat kepada manusia, baik manusia
itu suka ataupun tidak. Akan tetapi, jika kita ingin memberi
nasihat kepada orang lain, janganlah di hadapan orang banyak.
Hendaklah nasihat itu diberikan secara rahasia.
Begitu pula Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan hal ini
dalam kitab yang berjudul Al Farqu Baina Nashihati Wa Tayir, yang
intinya sama, bahwa memberi nasihat itu harus dilakukan secara
rahasia. Demikian juga Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
rahimahullah juga menjelaskan hal ini dalam kitab Syarh Riyadlus
Shalihin.
Al Imam Asy Syafii rahimahullah telah menjelaskan hal ini dalam
puisinya,
Sengajalah engkau memberi nasihat kepadaku ketika aku
sendirian
Jauhkanlah memberi nasihat kepadaku di hadapan orang banyak
Karena sesungguhnya nasihat yang dilakukan di hadapan
manusia
adalah salah satu bentuk menjelek-jelekkan,
aku tidak ridha mendengarnya
Apabila engkau menyelisihiku dan tidak mengikuti ucapanku,
maka janganlah jengkel apabila nasihatmu tidak ditaati
Hal ini menunjukkan, bahwa Al Imam Asy Syafii rahimahullah
mengetahui kejiwaan manusia. Bahwa, umumnya manusia akan menolak
kebenaran, bila diberi nasihat di hadapan orang banyak. Maka Imam
Syafii mengatakan: janganlah engkau jengkel apabila nasihatmu tidak
ditaati.
Beliau juga mengatakan: sengajalah engkau memberi nasihat
kepadaku ketika aku sendirian. Bukan berarti jika beliau diberi
nasihat di hadapan orang banyak dan isi nasihat itu benar akan
beliau tolak kebenaran itu. Akan tetapi, beliau ingin mengajarkan
kepada kita, bagaimana metoda yang benar dalam memberi nasihat dan
pengajaran kepada orang lain. Karena umumnya manusia tidak mau
menerima nasihat, jika nasihat itu disampaikan di hadapan orang
banyak.
Namun apakah perkataan ulama-ulama tadi menunjukkan secara
mutlak, bahwa nasihat itu harus disampaikan secara empat mata atau
secara rahasia saja? Tentunya sama sekali tidak demikian. Yang
demikian itu hanya menunjukkan keumuman saja.
Kata nasihat sendiri berasal dari kata nashaha, yang mempunyai
arti khalasha, yaitu murni. Maksudnya, hendaklah yang memberi
nasihat itu memurnikan niatnya semata-mata karena Allah. Selain
itu, kata nasihat juga berasal dari kata khaththa, yang artinya
menjahit. Maksudnya, ingin memperbaiki kekurangan orang lain. Maka
secara istilah, nasihat itu artinya keinginan seseorang yang
memberi nasihat agar orang yang diberi nasihat itu menjadi baik.
Tentu saja cara yang dilakukan harus sedemikian rupa, sehingga
orang yang diberi nasihat mau menerima petuah itu; tidak dengan
cara-cara yang membuat orang lari meninggalkannya.
Akan tetapi, dalam keadaan-keadaan tertentu, seseorang harus
memberi nasihat di hadapan orang banyak. Ini tidak bertentangan
dengan perkataan ulama-ulama tadi.
Nasihat terkadang harus disampaikan di hadapan orang banyak.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, ketika Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam sedang memberikan khutbah Jumat, ada seseorang masuk ke
dalam masjid dan langsung duduk. Orang itu bernama Sulaik Al
Ghathafani. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam langsung
bertanya:,Sudahkah engkau shalat dua rakaat? Orang itu
menjawab,Belum, selanjutnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
berkata,Bangunlah. Shalatlah dua rakaat.
Teguran ini langsung beliau sampaikan di hadapan orang banyak,
bukan dengan maksud menjelek-jelekkan orang tersebut. Hal itu
dilakukan karena tidak mungkin orang itu diberi nasihat untuk
melakukan shalat tahiyatul masjid setelah selesai shalat Jumat.
Oleh karena itu, apabila nasihat tidak mungkin untuk ditunda,
walaupun di hadapan orang banyak, tetap harus disampaikan.
Batasannya ialah mempertimbangkan maslahat dan mafsadahnya.
Pernah suatu ketika Nabi n melihat ada yang makan dengan tangan
kirinya. Nabi n langsung menegurnya,Makanlah dengan tangan kananmu.
Orang itu menolak dan mengatakan,Saya tidak bisa, lantas Nabi n
berkata,Semoga engkau tidak bisa. Akhirnya Allah k menimpakan
hukuman kepada orang itu, dengan membuat tangannya lumpuh karena
angkuh dan membangkang perintah Nabi n untuk makan dengan tangan
kanan.
Dari hadits ini, Syaikh Salim Al Hilali dalam kitab Bahjatun
Nadzirin mengambil faidah, bahwa dibolehkan untuk menasihati
seseorang di hadapan orang banyak -apabila terdapat maslahat untuk
melakukan hal itu. Jadi memberi nasihat secara empat mata atau
rahasia itu tidak mutlak.
Kalau kita perhatikan, seandainya nasihat tadi mesti disampaikan
secara rahasia saja, maka akan ada mafsadat, berupa tidak tahunya
orang lain pada waktu itu, yang ikut duduk bersama Nabi n . bahwa
makan dengan tangan kiri itu terlarang. Disamping itu, faktor siapa
yang menyampaikan nasihat juga perlu diperhatikan. Artinya, jika
nasihat itu diberikan oleh orang yang lebih memiliki wibawa,
seperti: seorang guru kepada muridnya, orang tua kepada anaknya,
kakak kepada adiknya, atau suami kepada isterinya; maka nasihat itu
mungkin lebih bisa diterima.
Sebagian orang tua masih kurang menyadari bahayanya menyampaikan
nasihat untuk anak dihadapan orang lain. Ada juga orang tua
mengeluhkan atau menjelek-jelekkan anaknya sendiri kepada orang
lain dihadapan si anak. Hal ini akan membuat malu anak dan merasa
dijatuhkan harga dirinya terlepas isi keluhan itu benar atau tidak
dan dimaksudkan untuk mencari solusi misalnya. Hendaknya jangan
disampaikan dihadapan anak dan tidak disampaikan kepada setiap
orang. Karena sebagian orang yang kurang peka terhadap perasaan
anak dia akan menyampaikan aibnya di hadapan anak tersebut dan
dihadapan banyak orang dengan maksud untuk memperolok-oloknya atau
bermaksud menasihatinya tetapi belum tahu metode yang lebih
tepat.
Hendaknya suami tidak menyalahkan isteri di hadapan anak-anak
mereka agar isteri lebih mudah untuk menerima nasihat dan agar
anak-anak mereka tetap hormat terhadap ibunya. Begitupula
sebaliknya agar isteri tidak menegur suaminya dihadapan anak-anak
atau orang tua mereka.
Kedua. Manusia tidak suka diberi nasihat secara langsung.
Bila memungkinkan seseorang memberi nasihat secara sindiran,
maka hendaklah berbuat demikian. Hal ini dijelaskan oleh Al Imam
Ibnu Hazm t dalam kitab Al Akhlaq Was Syiar Fi Mudawatin Nufus.
Hendaklah nasihat yang kita berikan itu disampaikan secara tidak
langsung. Tetapi, jika orang yang diberi nasihat itu tidak mengerti
juga, maka dapatlah diberikan secara langsung. Jika tujuan nasihat
sudah tercapai, maka nasihat secara langsung tidak diperlukan
lagi.
Bagi orang-orang tertentu, nasihat secara sindiran itu bisa
sangat membekas. Bahkan tidak perlu dengan kata-kata. Misalnya,
seseorang yang ingin menegur seorang petugas kebersihan karena
pekerjaannya kurang beres, banyak tempat-tempat yang masih kotor.
Tidak langsung mengatakan: Kenapa kamu tidak membersihkan tempat
ini? Disini masih kotor, dan sebagainya , tetapi dia langsung
membersihkan sendiri, menyapu tempat yang masih kotor tadi dan
membuang sampahnya di hadapan sang petugas kebersihan. Demikian ini
sudah merupakan bentuk teguran yang keras bagi pegawai tersebut,
yang membuatnya malu. Tetapi kadang-kadang ada orang yang tidak
paham dengan cara seperti ini. Maka orang seperti itu harus ditegur
secara langsung. Hanya saja, jika secara sindiran sudah cukup, maka
tidak perlu ditegur secara langsung. Mengapa? Karena manusia pada
umumnya tidak suka disalahkan, meskipun sudah jelas ia
bersalah.
Ada suatu metoda dalam pendidikan, yang dinamakan metoda
bimbingan secara tidak langsung. Semisal sebuah buku yang ditulis
Syaikh Shalih bin Humaid, imam Masjidil Haram, berjudul At Taujihu
Ghairul Mubasyir (Bimbingan secara tidak langsung).
Metoda ini perlu dipraktekkan, walaupun tidak mutlak. Misalnya,
ketika melihat banyak kebidahan yang dilakukan oleh seorang ustadz
di suatu majelis pengajian, maka kita tanyakan pendapatnya dengan
menyodorkan buku yang menerangkan kebidahan-kebidahan yang
dilakukannya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam pun kadang
mempraktekkan metoda ini. Diantaranya ketika hendak menegur, beliau
Shallallahu Alaihi Wasallam tidak menyebutkan orangnya langsung,
tetapi hanya mengatakan: Ada suatu kaum Hal ini kita praktekkan
meskipun tidak mutlak.
Pada kasus tertentu, mungkin harus menyebutkan orangnya. Akan
tetapi, jika cukup dengan cara tidak langsung, maka kita lakukan
yang seperti itu.Dalam shahih Muslim Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallamn pernah mengatakan,Seseorang telah bershadaqah dengan
dinarnya, seseorang telah bershadaqah dengan dirhamnya. Kata-kata
yang dipakai menggunakan gaya bahasa bentuk lampau, padahal
maksudnya perintah sebagaimana disebutkan oleh As Sindi
rahimahullah dalam penjelasannya atas sunan An Nasai. Para shahabat
langsung memahami maksudnya yaitu perintah untuk bershadaqah.
Sehingga salah seorang shahabat pulang untuk mengambil hartanya,
dan yang lain pun mengikutinya.
Jika seorang kakak menyuruh kepada adiknya dengan
perintah-perintah,Dik, bawakan ini, ambilkan itu !, dan lain
sebagainya, maka itu bisa membuat sang adik jengkel, walaupun yang
memerintahnya ialah kakaknya. Sang adik bisa beranggapan, bahwa
seolah-olah dirinya sebagai bawahan yang harus selalu menuruti
perintah bosnya, yaitu kakaknya tadi. Jika saja sang kakak
mengatakan,Dik, kakak tidak kuat mengangkat barang ini sendirian,
atau, Dik, kakak sedang banyak tugas dan ibu tidak ada yang
mengantar belanja, maka mungkin sang adik bisa dengan senang hati
membantu. Karena permintaannya menggunakan bahasa tidak langsung
yang halus. Hal itu boleh kita lakukan, selama tidak bertentangan
dengan syariat. Bisa membuat hubungan yang akrab tetap terjaga.
Demikian juga dalam berteman. Diusahakan jangan ada bahasa-bahasa
yang berkesan memaksa, sehingga hubungan dapat tetap terjaga
baik.
Ketiga. Manusia tidak suka kepada orang yang selalu
memojokkannya dengan kesalahan-kesalahannya.
Yang dimaksud dengan kesalahan-kesalahan disini, yaitu kesalahan
yang tidak fatal; bukan kesalahan yang besar semisal penyimpangan
dalam aqidah. Karena manusia adalah makhluk yang banyak memiliki
kekurangan-kekurangan pada dirinya.
Dalam menilai seseorang, kita dituntut untuk bersikap adil.
Tidak boleh hanya melihat sisi negatifnya, dan melupakan sisi
positifnya, tetapi harus secara keseluruhan; baik kepada isteri,
atasan, orang tua kita, teman dan sebagainya.
Pada kenyataannya, kadang-kadang penilaian kita terhadap
seseorang hanya terfokus pada kesalahannya saja, tidak memandang
sisi positifnya. Penilaian seperti itu membuat kita susah sendiri,
karena tidak ada manusia yang bebas dari kekurangan. Dalam berteman
pun kita akan mengalami kesulitan, jika mengharapkan teman yang
sempurna. Hal ini pun merupakan fenomena yang bisa mengotori dakwah
kita.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alus Syaikh menjelaskan dalam
ceramahnya, bahwa ada empat fenomena yang mengotori dakwah Ahlu
Sunnah Wal Jamaah. Pertama, memandang sesuatu hanya dari satu sisi.
Yang dimaksud oleh beliau, yaitu dalam perkara-perkara ijtihadiyah.
Dalam perkara ini ada keluasan bagi seseorang untuk mengambil
pendapat yang diyakininya. Kita tidak bisa memaksakan pendapat atau
pandangan kita terhadap orang lain, meskipun hal itu kita yakini
pendapat yang benar. Selama itu merupakan perkara ijtihadiyah dan
kita yakin, bahwa orang yang berbeda pendapat itu memiliki dalil
-tidak berdasarkan hawa nafsu saja- maka kita harus menghormati.
Biasanya orang yang jahil terhadap ilmu -yang berpendapat
berdasarkan doktrin dari gurunya- tidak mau ada pendapat yang lain
dari pendapatnya. Bahkan akan memusuhi orang yang berbeda pendapat
dengannya dalam masalah ijtihadiyah. Kedua, istijal atau
terburu-buru. Ketiga, taashub atau fanatik. Taashub ini bisa kepada
madzhabnya, gurunya, maupun kelompoknya; sehingga menganggap
kebenaran itu hanya datang dari golongannya saja, dan tidak mau
menerima pendapat orang lain. Keempat, thalabul kamal atau menuntut
kesempurnaan. Seseorang menuntut kesempurnaan dari orang lain, atau
dari lembaga lain, sehingga dia tidak bisa menerima jika ada
kekurangan pada orang lain atau lembaga lain. Jika ada kekurangan
pada orang lain, maka akan dianggapnya sebagai musuh, atau
menyimpang dari dakwah yang haq, bahkan memusuhinya.
Syaikh Shalih menjelaskan, bahwa selama seseorang atau suatu
kaum berada di atas aqidah yang benar, atau masih dalam asas Ahlus
Sunnah Wal Jamaaah, maka kita seharusnya saling nasihat-menasihati,
saling mengingatkan antara satu sama lain. Bukan saling memusuhi.
Begitu juga dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam memberi petunjuk tentang hal ini, dengan sabdanya,
artinya: Janganlah seorang mukmin membenci isterinya, karena jika
dia tidak suka dengan satu akhlaqnya yang buruk, dia akan suka
akhlaqnya lainnya yang baik.
Syaikh Utsaimin menjelaskan, walaupun dari hadits tersebut
disebutkan kepada isteri, namun pada prakteknya bisa kepada
selainnya; kepada teman atau orang lain.
Kita dituntut untuk tidak menilai seseorang dari sisi negatifnya
saja; bahkan sisi positifnya harus kita pandang dan kita nilai
juga. Misalnya kepada seorang ustadz -sebagai manusia biasa yang
tidak lepas dari kekurangan. Jangan sampai ketika ustadz itu
melakukan suatu kesalahan, kemudian menyebabkan kita meninggalkan
halaqahnya, enggan mengambil manfaat dari ilmunya. Tidak mungkin
kita mendapatkan seorang ustadz yang masum di dunia ini. Jika kita
mengetahui sisi positifnya, maka ambil manfaatnya. Sebaliknya, jika
ada sisi negatifnya atau kesalahan, maka kita bisa menegur dengan
cara yang baik.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya
pendapatnya, tentang apa yang harus dilakukan seseorang jika
mendapatkan gurunya salah dalam suatu pembahasan dalam masalah dien
di kelas. Orang itu merasa yakin, bahwa gurunya keliru, dan
pendapat dirinyalah yang benar.
Maka Syaikh menjawab, bahwa seorang guru itu seharusnya tidak
marah jika dikritik oleh muridnya. Bahkan seharusnya berterima
kasih, karena ada yang mengoreksi kesalahannya. Guru adalah manusia
biasa, tidak lepas dari kesalahan. Akan tetapi perlu diperhatikan,
bahwa seharusnya seorang murid memiliki kecerdasan dalam metoda
mengkritik gurunya itu. Dia tidak boleh secara langsung menegur
atau menyalahkan gurunya di depan kelas. Akan tetapi hendaklah
mendatangi gurunya tersebut, dan menyampaikan kritik atau
koreksinya secara empat mata dengan cara yang baik. Apabila sang
guru menerima kritiknya maka, maka ia harus meralat kesalahannya di
kelas, pada pertemuan berikutnya, walaupun tanpa menyebutkan bahwa
si fulan telah memberikan koreksi. Apabila sang guru bersikeras
dengan pendapatnya, sedangkan sang murid meyakini bahwa pendapat
gurunya itu salah, barulah dia menyampikan kritiknya di hadapan
murid-murid yang lain, di depan kelas.
Sering terjadi di kampus-kampus atau di sekolah-sekolah, seorang
murid langsung mengkritik gurunya di depan kelas, sehingga
mengakibatkan gurunya itu merasa tersinggung atau muncul egonya.
Karena khawatir dianggap tidak menguasai materi yang diajarkannya,
sehingga tidak menerima kritik muridnya itu dan tetap
mempertahankan kesalahannya, walaupun dia mengetahui dirinya salah.
Hal ini disebabkan metoda yang salah dalam mengkritik atau menegur.
Oleh karena itu kita harus memperbaiki metoda dalam menegur orang
lain, supaya kita tidak menjadi orang yang membantu syetan dalam
menjerumuskan manusia kepada kesalahan, hanya karena metoda yang
salah.
Dalam satu pepatah dikatakan,Saya menangis disebabkan Amr.
Ketika saya meninggalkannya dan mencoba bergaul dengan orang lain,
saya menangisi Amr. Maksudnya, seseorang mempunyai teman bernama
Amr yang mengecewakan dia dalam suatu masalah. Lalu dia memutuskan
hubungan dengannya dan tidak mau berteman lagi dengan Amr. Dia
meninggalkannya untuk kemudian bergaul dengan orang lain. Tetapi ia
menjadi menyesal, karena telah meninggalkan Amr. Penyebabnya,
karena teman-temannya yang sekarang itu, ternyata jauh lebih jahat
daripada Amr. Dia telah terburu-buru memutuskan hubungan dengan Amr
-temannya itu- disebabkan satu kesalahan yang dilakukan olehnya,
tanpa menilai dengan adil.
Dalam kehidupan ini, kita membutuhkan orang lain. Janganlah
merasa, bahwa orang lainlah yang membutuhkan kita. Ingatlah, karena
jika sendirian, kita akan lemah. Sebaliknya, kita akan kuat jika
ada teman untuk saling menasihati dalam kebenaran. Tetapi bukan
berarti kita boleh berteman dengan sembarang orang. Al Imam Ibnu
Qudamah rahimahullah menjelaskan dalam kitab Mukhtashar Minhajul
Qashidin, bahwa ada beberapa kriteria yang patut menjadi pedoman
dalam memilih teman. Pertama,
aqidahnya benar. Kedua, akhlaqnya baik. Ketiga, bukan dengan
orang yang tolol atau bodoh dalam hal berperilaku. Karena dapat
menimpakan banyak mudharat. Tolol disini bukan dalam hal IQ-nya,
tetapi dalam hal perilaku. Bisa saja seseorang itu cerdas, tetapi
tolol dalam berperilaku dan merugikan orang lain. Keempat, bukan
orang yang ambisius terhadap dunia atau bukan orang yang
materialistis. Karena ambisi terhadap dunia merupakan sikap yang
dapat merusak agama seseorang. Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam menjelaskan, bahwa dua ekor serigala lapar yang dilepaskan
kepada seekor kambing tidaklah lebih besar kerusakannya,
dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkan akibat ambisi
seseorang terhadap harta dan kemuliaan dunia atas agamanya. Al Imam
Ibnu Rajab rahimahullah telah menulis sebuah buku yang khusus
membahas hadits di atas.
Keempat. Manusia tidak suka kepada orang yang tidak pernah
melupakan kesalahan orang lain.
Sebagai seorang muslim, kita harus bisa memaafkan dan melupakan
kesalahan orang lain atas diri kita. Tidak secara terus-menerus
mengungkit-ungkit, apalagi menyebut-nyebutnya di depan orang itu.
Siapa pun orangnya, apakah isteri, anak kita atau yang lainnya,
pasti merasa tidak senang jika diungkit-ungkit atau diingat-ingat
terus kesalahannya.
Banyak kitab yang membahas tentang sikap memaafkan orang lain;
diantaranya dalam kitab Adabul Ishrah Wa Dzikris Shuhbah Wal
Ukhuwah. Buku ini membahas tentang adab pergaulan, persahabatan dan
persaudaraan. Juga bagaimana caranya, supaya mudah memaafkan orang
lain yang telah berbuat salah terhadap kita.
Allah l berfirman dalam Al Quran, menyebutkan tentang keutamaan
memaafkan orang lain. Diantaranya surat As Syura ayat 39-43,
artinya: Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan
dengan dhalim, mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan
adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa yang memaafkan dan
berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya
Dia tidak menyukai orang-orang yang dhalim. Dan sesungguhnya
orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu
dosa pun atas mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang
berbuat dhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi
tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab yang pedih. Tetapi orang yang
bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diutamakan.
Ayat tersebut menunjukkan, bahwa memaafkan itu lebih utama.
Walaupun membalas kejahatan itu dibolehkan asal dengan yang
setimpal dan tidak melampaui batas, tetapi perbuatan memaafkan ini
lebih utama. Memang terasa berat untuk mempraktekkannya.
Terkadang pada kondisi tertentu, membalas kejahatan itu bisa
menjadi suatu keharusan atau lebih utama. Syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin dalam Syarh Riyadhus Shalihin menjelaskan, bahwa
memaafkan dilakukan bila terjadi perbaikan atau ishlah dengan
pemberian maaf itu. Jika tidak demikian, maka tidak memberi maaf
dan membalas kejahatannya itu akan lebih baik.
Seseorang yang berbuat dhalim bukan hanya kepada diri kita saja,
tetapi bahkan juga kepada masyarakat umum, jika diberi maaf, bisa
jadi tidak membuatnya jera dari perilaku dhalimnya itu. Maka orang
seperti itu, tidak diberi maaf, namun diberi balasan oleh orang
yang mampu untuk membalasnya itu lebih baik. Maksudnya, agar orang
tersebut mendapat pelajaran dan jera dari perbuatan dhalimnya.
Misalnya kepada orang yang suka suka ugal-ugalan di jalan. Jika
menabrak orang, maka orang yang ugal-ugalan tersebut seharusnya
tidak dimaafkan. Sebab jika dimaafkan, orang tersebut akan terus
bersikap ugal-ugalan. Dalam kasus ini -dengan tidak dimaafkan-
misalnya dengan menuntutnya atau meminta pertanggung-jawaban ganti
rugi, diharapkan orang tersebut menjadi jera, tidak mengulangi
perbuatannya lagi.
Jadi, walaupun pada asalnya memberi maaf itu lebih utama, namun
bila hal itu menghasilkan mafsadat yang besar, maka yang paling
baik ialah membalas dengan tidak berlebih-lebihan.
Syaikh Al Albani t menjelaskan dalam muqadimah Silsilah Al
Hadits Al Dhaifah, bahwa terkadang beliau n berlaku keras terhadap
yang membantahnya. Hal itu bukan berarti beliau n tidak suka
dibantah atau dikritik. Malahan beliau n senang dikritik, bila
orang yang mengkritiknya dirasa ikhlas dalam mengkritik. Akan
tetapi, jika orang yang mengkritiknya itu mempunyai tendensi lain
yang buruk, yang beliau n ketahui dari adanya indikasi-indikasi ke
arah itu, maka beliau n membalas bantahan orang itu dengan keras.
Jadi, walaupun secara umum hendaklah kita mudah memaafkan dan
melupakan kesalahan orang lain, namun hal itu tetap dilihat dari
kondisi yang ada. Melihatnya secara kasus per kasus.
Kelima. Manusia tidak suka kepada orang yang sombong.
Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda,
"Tidak akan masuk surga, barangsiapa yang di dalam hatinya ada
sifat sombong, walau sedikit saja
Seseorang bertanya,Bagaimana dengan seorang yang suka pakaiannya
baik dan sandalnya baik pula? Beliau menjawab,
Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan, sombong
itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain." (H.R.Muslim)
Bagi seorang muslim, seharusnya tidak ada sifat sombong. Tetapi
sebaliknya, yang ada yaitu sifat tawadhu dan rendah hati. Seseorang
yang sombong, dalam pergaulan tidak akan disenangi orang lain.
Bahkan lebih dari itu, orang yang sombong tidak akan disukai oleh
Allah l .
Oleh karena itu, kita harus berusaha menjadi orang yang tawadhu
atau rendah hati. Karena orang yang demikian akan ditinggikan
derajatnya oleh Allah l . Sebaliknya, bagi orang yang sombong, ia
diancam akan menempati neraka, dibenci Allah l , dan juga dibenci
manusia.
Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan manusia menjadi
sombong. Pertama, harta atau uang bisa menyebabkan kesombongan bagi
pemiliknya. Yaitu dapat menyebabkan manusia memandang sebelah mata
kepada orang yang tidak berpunya. Mereka juga akan menilai
seseorang dari kacamata materi. Tentunya, pandangan seperti ini
tidak dibenarkan oleh dien. Kedua, ilmu, baik berupa ilmu dien
ataupun ilmu umum. Terkadang seseorang yang mempelajari ilmu dien
menjadi sombong, karena merasa memiliki kelebihan dibanding orang
lain. Misalnya, seseorang yang aktif mengikuti ta'lim (kajian)
memandang remeh terhadap orang yang tidak mengaji, dengan tidak mau
memberi salam kepadanya, dan hanya menyalami teman satu
pengajiannya saja. Padahal mungkin saja, orang itu lebih baik dari
dia. Oleh karena itu, sikap merasa lebih pintar dari orang lain
harus dibuang jauh-jauh dari diri kita. Ketiga, nasab atau
keturunan. Manusia bisa menjadi sombong karena merasa dirinya lebih
tinggi derajatnya atau lebih mulia daripada orang lain. Dia
membangga-banggakan keturunannya dan merendahkan keturunan atau
nasab orang lain. Hal ini termasuk perbuatan jahiliyah yang telah
diperingatkan Nabi n .
Sifat sombong merupakan penyakit hati. Bisa menimpa siapa saja.
Kita harus menyadari, bahwa tidak layak seseorang itu berlaku
sombong.
Harta seseorang tidak akan bermanfaat di hadapan Allah l . Dalam
Al Quran dijelaskan, bahwa di akhirat nanti, harta seseorang
sedikitpun tidak bisa bermanfaat untuk menolak azab Allah k . Oleh
karena itu, tidak layak kita sombong dengan sesuatu yang tidak bisa
mengangkat derajat kita di hadapan Allah k .
Demikian pula ilmu yang dipelajari, ibadah dan da'wah kita;
bukanlah sesuatu yang menyebabkan kita layak untuk sombong. Apabila
seseorang mempelajari ilmu bukan dengan ikhlas karena Allah -