Actus Reus 1. Elemen-Elemen dari Tindakan Kriminal Penjelasan Umum Hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan kriminal tidaklah digunakan untuk menghukum orang karena pikiran jahat mereka; tertuduh haruslah sudah terbukti kalau mereka melakukan tindakan yang dianggap melanggar hukum sebelum pertanggungjawaban bisa muncul. Akan adanya petanggungjawaban atau tidak, semuanya akan tergantung dari kondisi kejiwaan pada waktu itu; umumnya factor niat atau kenekatanlah yang diperlukan. Sebuah pepatah latin yang dinyatakan oleh Edward Coke sudah merumuskan semua ini - actus non facit reum, nisi mens sit rea – tindakan itu sendiri tidak berarti salah, kecuali dilakukan dengan rasa bersalah. Tindakan yang dianggap melanggar hukum itu adalah actus reus dan keadaan jiwa (perasaan bersalah) tertuduh yang haruslah dibuktikan dialami oleh tertuduh dikala ia melakukan tindakan tersebut (kriminal/actus reus) adalan mens rea. Perlu diingat kalau 2 istilah ini 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Actus Reus
1. Elemen-Elemen dari Tindakan Kriminal
Penjelasan Umum
Hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan kriminal tidaklah digunakan untuk
menghukum orang karena pikiran jahat mereka; tertuduh haruslah sudah terbukti
kalau mereka melakukan tindakan yang dianggap melanggar hukum sebelum
pertanggungjawaban bisa muncul. Akan adanya petanggungjawaban atau tidak,
semuanya akan tergantung dari kondisi kejiwaan pada waktu itu; umumnya factor
niat atau kenekatanlah yang diperlukan. Sebuah pepatah latin yang dinyatakan oleh
Edward Coke sudah merumuskan semua ini - actus non facit reum, nisi mens sit rea
– tindakan itu sendiri tidak berarti salah, kecuali dilakukan dengan rasa bersalah.
Tindakan yang dianggap melanggar hukum itu adalah actus reus dan keadaan jiwa
(perasaan bersalah) tertuduh yang haruslah dibuktikan dialami oleh tertuduh dikala ia
melakukan tindakan tersebut (kriminal/actus reus) adalan mens rea. Perlu diingat
kalau 2 istilah ini hanyalah label praktis yang digunakan untuk menunjukkan unsur
dari kriminalitas yang dianalisa. 2 kata tersebu tidak berarti apa-apa bila hanya
sendiri. Pengertian dan arti dari Actus Reus dan Mens Rea juga akan berbeda-beda
pada setiap tindakan kriminal yang ada.
Penting untunk diketahui saat menganalisa Mens Rea dari kejahatan bahwa
istilah ini tidak bersifat pasti dalam menentukan. Meskipun kata bijak latin ini
berguna, kata tersebut bukanlah kebenaran yang mutlak. Ada banyak sekali tindakan
pelanggaran yang pada umumnya bersifat ringan dan berkenaan dengan peraturan
1
yangtidak membutuhkan Mens Rea. Hal ini disebut strict liability offences yang
dibuat berdasarkan undang-undang (liat di bagian 4.2 post). Pada kasus-kasus seperti
ini, Mens Rea tidaklah diperlukan selama setidaknya, ada satu elemen dari Actus
Reus.
Penggunaan istilah latin Actus Reus dan Mens Rea menuai kritikan. Lord
Diplock (Miler (1983) 2 AC 161, 174) menyatakan bahwa:
“Klaritas dari analisa mengenai elemen-elemen dari suatu tindakan criminal
akan lebih kondusif apabila kita menghindari penggunaan bahasa latin yang
sembarangan. Alangkah lebih baik apabila kita berpikir dan berbicara mengenai
pemeriksaan keadaan jiwa dari pelaku tindak kejahatan pada saat ia melakukannya,
daripada berbicara mengenai actus reus dan mens rea” (parafrase)
Meskipun hampir semua kejahatan dapat dianalisa dengan menggunakan
istilah Actus Reus dan Mens Rea, ada beberapa jenis kejahatan dimana konsep
tersebut melebur. Ada juga tindak kejahatan dimana Actus Reus hanya bisa
dibuktikan dengan membuktikan Mens Rea. Contoh: seksi 1 (1) dari Prevention of
Crime Act 1953 menyatakan kalau seseorang dianggap melanggar hukum apabila ia
memiliki senjata mematikan tanpa memiliki wewenang dan alasan yang masuk akal.
Seksi 1 (4) mendefinisikan “senjata mematikan” sebagai alat apapun yang dapat
menyebabkan kerusakan/kematian terhadap manusia ; atau yang digunakan oleh
orang yang membawanya untuk tujuan tersebut. Contoh: apabila tertuduh membawa
gagang kampak ke area umum, isu mengenai apakah tindakan tersebut dapat
dianggap sebagai Actus Reus tergantung dari niat sang tertuduh saat itu karena alat
tersebut tidak memenuhi 2 kriteria yang ada (dibuat/digunakan untuk tujuan
melukai). Apabila tidak ada tujuan untuk melukai, alat tersebut ini tidak bisa
2
dikategorikan sebagai senjata mematikan dan maka dari itu tidak dapat dikategorikan
sebagai Actus Reus. Pada contoh lain, Actus Reus merujuk ke elemen kejiwaan.
Contoh, apabila tertuduh didakwa memiliki obat terlarang seperti heroin atau kanabis
yang berlawanan dengan seksi 5 dari Misuse of Drugs Act 1971, membuktikan
bahwa tertuduh tahu ia memiliki narkoba tersebut adalah suatu keharusan, meskiun
ia mungkin tidak tahu sifat dasar dari narkoba tersebut (lihat DPP vs. Brooks (1974)
AC 862; Boyese (1982) AC 768); memiliki sesuatu tanpa mengetahui
adanya/eksisnya barang tersebut adalah suatu hal yang tidak mungkin, maka tidak
adanya elemen kejiwaan tersebut (yaitu “mengetahui”) berarti tidak ada Actus Reus.
Pembelaan
Sejauh ini, kita mengetahui bahwa penuntutan dapat membuktikan tertuduh
melakukan tindak kriminal apabila kita dapat membuktikan adanya Actus Reus dari
sang tertuduh disertai dengan Mens Rea yang tepat. Hal ini mengabaikan fakta
bahwa tertuduh dapat menghindari hukuman dengan mengandalkan
pembenaran/justifikasi atau alasan tertentu. Apakah pembenaran dan alasan tersebut
yang lebih dikenal sebagai Pembelaan dapat membentuk jadi suatu definisi tindakan
criminal ataukah malah berada di luar definisi tersebut? Glanville Williams
menyatakan di Criminal Law: The General Part (2nd Edition, 1961) mengexpresikan
pendapatnya bahwa semua elemen dari tindakan kriminalitas adalah antara Actus
Reus atau Mens Rea dengan menyatakan:
“Actus Reus merangkum bukan saja hanya situasi objektif yang harus
dibuktikan dalam penuntutan, tetapi juga meliput absennya suatu pembenaran dan
alasan, entah pembenaran atau alasan tersebut dinyatakan di undang-undang yang
3
menyebabkan tindakan criminal attau diimplikasikan oleh pengadilan sesuai dengan
prinsip-prinsip umum”
Pandangan lain telah dinyatakan oleh D.J. Lanham di Larsonneur Revisited
(1976) Crim LR 276, bahwa tindakan criminal terdiri dari 3 elemen, yaitu: Actus
Reus, Mens Rea, dan (elemen negatif) absennya pembelaan diri yang valid.
Pandangan mana yang benar tidaklah penting; boleh dibilang kedua pandangan benar
sebagian apabila suatu garis yang membedakan antara pembelaan diri dan alasan
dapat ditarik. A.T.H. Smith, “On Actus Reus and Mens Rea” yang terdapat di
Reshaping the Criminal Law (ed. Glazebrook, 1978) menyatakan pada halaman 99
bahwa:
“yang membedakan adalah kita memberikan ampun kepada sang pelaku
karena ia memiliki “alasan”, sehingga ia tidak sepenuhnya berdosa atau bersalah
dalam tindakannya, sedangkan kita mempertimbangkan suatu tindakan yang
“dibenarkan” (pembenaran) apabilakita menganggap tindakan tersebut pantas untuk
dilakukan pada situasi tertentu meskipun tindakan tersebut dapat membahayakan,
sehingga tanpa pembenaran yang tepat, dapat dianggap sebagai tindakan kriminal”
Contoh dari Pembenaran adalah pembelaan diri sendiri. Apabila, sebagai
contoh, D dituduh melukai V yang berlawanan dengan seksi 20 dari Offences
Against the Person Act 1861, D bisa mengakui bahwa ia memang melukai V dan
memang berniat untuk melakukan itu, tetapi D tidak akan dihukum apabila ia
melukai V untuk membela dirinya ketika ia diserang dengan niat membunuh oleh V.
Hal ini akan dianggap tidak melanggar hukum dan dibenarkan sebagai “bela diri”.
Karena tindakan melukai tersebut tidak dianggap melanggar hukum, dapat dibilang
bahwa tidak ada Actus Reus pada kasus ini; D hanya melukai V dikarenakan situasi
4
tersebut membenarkan tindakan D (lihat 6.5.3.2 post). Lain halnya apabila D melukai
V karena diinstruksikan oleh X yang menyandera istri D dan mengancam D kalau ia
akan membunuh istrinya kalu ia tidak melukai V. Dalam situasi ini, D tidak memiliki
pembenaran dalam aksinya melukai V, namun D dapat membela dirinya karena ia
diancam, dan dengan itu, ia dapat diampuni dari hukuman.
2. Kelakuan (conduct) haruslah dengan Sengaja
D sedang berkendara dan tiba-tiba ia mengalami sakit jantung sehingga ia
tidak bisa mengontrol mobilnya. Ia hanya bisa terhenyak dan kakinya terus
menginjak gas dan menembus lampu merah sehingga ia menabrak mobil E yang
berhenti di tengah zebra cross. Mobil E terdorong sehingga menabrak V dan
mencederainya. D dituduh tidak mengindahkan lampu merah, menyetir dengan
berbahaya dan menyebabkan kerusakan pada mobil E. E dituduh tidak
mengindahkan pejalan kaki dan mencederai V. Namun bisakah mereka dihukum dan
apakah mereka memiliki Actus Reus dalam kasus ini?
Meskipun Actus Reus dari suatu tindakan criminal membutuhkan kelakuan
atau tindakan dari si pelaku, bila hal ini tidak dilakukan dengan sengaja, tertuduh
tidak dapat dikenakan sangsi. Mereka hanya bisa dihukum apabila tindakan mereka
dilakukan dengan sengaja; tidak cukup dari apa yang mereka lakukan secara fisik
saja. Bratty v A-G for Northern Ireland (1963) AC 386 (at p. 409) Lord Denning
menyatakan: “tindakan yang disengaja sangatlah penting dalam segala macam
tindakan criminal, tidak hanya pembunuhan saja”. Pada tindakan criminal yang
membutuhkan Mens Rea, apabila tidak disengaja, maka tertuduh tidak akan memiliki
Mens Rea. Sekalipun tindakan criminal yang ada sangatlah terlarang dan tidak
5
membutuhkan Mens Rea, factor sengaja atau tidak dari tertuduh tetaplah penting.
Menghukum orang yang tidak melakukan tindakan criminal dengan sengaja
bukanlah hal yang adil.
Pada contoh diatas, melanggar lampu merah adalah tindakan criminal yang
jelas, tidak perlu dibuktikan lagi bahwa D melihat lampu merah menyala dan
memutuskan untuk tetap jalan, cukup dibuktikan bahwa D mengendarai mobil
tersebut. Namun ia tidak melakukannya dengan sengaja karena ia sedang terkena
serangan jatung dan tidak dapat berbuat apapun, sehingga tidak ada Actus Reus.
Tuduhan menyetir sembarangan juga akan lepas. Apabila D sadar akan gejala-gejala
saat terkena serangan jantung namun tetap menyetir, ia mungkin bisa dihukum,
apalagi apabila ia sudah tahu karena pernah terkena sebelumnya. Pada kasus Kay vs.
Butterworth (1945) 173 LT 191 (lihat juga kasus Hil vs Baxter (1958) 1 QB 277), D
sedang menyetir pulang setelah jam kerja malamnya berakhir ketika ia mengantuk
luar biasa sehingga ia menyetir ke arah pasukan tentara. Ia dituntut karena menyetis
dengan sembarangan dan menyebabkan bahaya. Sudah tahu ia sedang mengantuk,
seharusnya ia berhenti. Humphreys J menyatakan:
“Seseorang yang mendadak kehilangan kesadaran saat menyetir yang bukan
karena salahnya sendiri seperti kena timpuk batu atau sakit seharusnya tidak bersalah
secara hukum”
Dalam Bell (1984) 3 all ER 842, diberikan lagi contoh situasi dimana
seseorang seharusnya tidak akan dihukum karena tidak sengaja dalam berbuat,
seperti yang dinyatakan oleh Goff LJ (pada halaman 846):
“Pengendara kendaraan bermotor yang diserang ketika sedang mengemudi,
semisalnya ia sedang dikerumuni oleh tawon nakal atau penumpang jahat nan
6
sinting, atau ia kehilangan kesadaran karena pingsan, atau mungkin mobilnya
mendadak mengalami kerusakan seperti ban bledos atau rem blong”
Pada contoh yang di atas, E tidak akan dihukum karena ia tidak
mengindahkan pejalan kaki dengan sengaja, karena terdapat dorongan eksternal
terhadap mobilnya yang berada di luar control E (lihat Leicester vs Pearson (1952)
QB 668). Miripnya, ia juga tidak akan dihukum karena mencederai V.
Contoh yang melibatkan D dan Eberbeda dalam satu hal dimana tindakan E
terjadi karena dorongan/campur tangan eksternal. Sebagai contoh lain, A sedang
mengukir ketika Bmeraih tangan A yang sdang memegang pisau dan
menusukkannya ke C sehingga ia tewas. A tidak akan dihukum karena ia tidak
dengan sengaja menusuk C. Di contoh kita sebelumnya D melakukan tindakan secara
fisik ketika ia sedang kehilangan kesadaran. Hal ini disebut sebagai Automatism.
Sebagai contoh, seseorang dapat melakukan tindakan fisik selagi ia sedang gegar
otak atau tidur sambil berjalan, atau ketika sedang kejang-kejang.
3. Tindakan Kriminal berdasarkan keadaan (State of Affairs
offences)
Walau hamper semua tindakan criminal membutuhkan tindakan sengaja dari
tertuduh untuk membuat Actus Reus, terdapat tindakan-tindakan criminal yang
melarang adanya suatu keadaan (state of affairs). Contoh yang diberikan di atas
(seksi 4(2)dari Road Traffic Act1988) dimana dilarang berkemudi apabila tidak
layak karena sedang dibawah pengaruh alcohol dan narkoba. Actus Reus akan ada
7
apabila tertuduh sedang mengemudikan kendaraan saat dalam kondisi tersebut.
Meskipun tertuduh tidak bertanggung jawab atas ketidaklayakannya berkemudi,
semisal minuman ringannya dicampur dengan alcohol tanpa sepengetahuannya, ia
tetap bersalah, meskipun ini bisa menjadi alas an khusus untuk tetap dapat berkemudi