I. PENDAHULUAN
A. Judul PercobaanPengontakkan dan Pencetusan Materi Uji Ke
Dalam Tubuh Kelinci (Orictolagus cuniculus) dan Anak Ayam (Gallus
domesticus)
B. Tujuan Percobaan1. Mahasiswa memiliki ketrampilan dalam
memasukan zat uji ke dalam tubuh kelinci dan anak ayam2. Mahasiswa
mampu mencetuskan dan mengenali efek yang ditimbulkan zat uji
terhadap hewan uji kelinci (Orictolagus cuniculus) dan anak ayam
(Gallus domesticus)
II. METODE
A. Alat dan Bahana. Alat1. Gunting 2. Hypafix (perekat) 3.
Kandang 4. Siring (alat suntik) 5. Penggerus b. Bahan1. Kain kasa
2. Veet3. Lipgloss4. Lipstik biru5. Lipstik merah kecil6. Antimo 25
mg7. Hewan kelinci (Orictolagus cuniculus)8. Hewan anak ayam
(Gallus domesticus)
B. Cara Kerja1. Cetusan IritasiHewan uji kelinci yang telah
disiapkan dipegang. Hewan uji kelinci dicukur rambutnya dengan luas
2x2 cm2 pada 4 tempat yang berbeda. Kosmetik yang telah disiapkan
dioles pada 3 tempat yang berbeda dan 1 tempat sebagai kontrol
(tidak dioleskan kosmetik). Kemudian keempat tempat tersebut
ditutup dengan kain kasa. Setelah itu, diamkan dan lakukan
pengamatan pada 1 jam dan 24 jam kemudian. Diamati pengaruh yang
muncul terdapat ruam merah atau tidak. Hasil yang diamati
dicatat.
2. Cetusan TidurHewan uji anak ayam yang telah disiapkan
dipegang. Materi uji yang telah disiapkan (1/2 dosis manusia yaitu
25 mg antimo) dicekokkan melalui oral (mulut anak ayam). Dihitung
waktu lama tidur ayam dimulai saat anak ayam onset hingga anak ayam
segar kembali). Dosis yang diberikan dapat dihitung dengan rumus
:
keterangan : V1 = Volume pelarut (10 ml) V2 = Volume pemberian
(0,5 ml) M1 = Massa terlarut M2 = Massa pemberian (25 mg)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil PercobaanTabel 1. Cetusan Iritasi Pada
KelinciNoSampelWaktu PengamatanRuam
AdaTidak
1Lipstik biru1 jam+-
24 jam+-
2Lipstik merah kecil1 jam--
24 jam--
3Lipgloss (pink)1 jam--
24 jam--
4Kontrol1 jam--
24 jam--
Tabel 2. Cetusan Lama Tidur Anak AyamSampelWaktu PasifWaktu
Tidur
Anak ayam--
Keterangan:( - ): tidak ada iritan( + ): ada sedikit
iritan(+++): ada iritan (sedang)(+++++) : ada banyak iritanB.
PembahasanPemberian obat per oral adalah memberikan obat yang
dimasukkan melalui mulut. Memberikan obat oral adalah suatu
tindakan untuk membantu proses penyembuhan dengan cara memberikan
obat-obatan melalui mulut sesuai dengan program pengobatan dari
dokter. Pemberian obat per oral merupakan cara yang paling banyak
dipakai karena ini merupakan cara yang paling mudah, murah, aman,
dan nyaman bagi pasien. Berbagai bentuk obat dapat di berikan
secara oral baik dalam bentuk tablet, sirup, kapsul atau puyer.
Untuk membantu absorbsi, maka pemberian obat per oral dapat di
sertai dengan pemberian setengah gelas air atau cairan yang lain.
Keuntungan pemberian obat rute oral diantaranya cocok dan nyaman
bagi klien, ekonomis, dapat menimbulkan efek lokal atau sistemik,
dan jarang membuat klien cemas (Uliyah, 2009).Kelemahan dari
pemberian obat per oral adalah pada aksinya yang lambat sehingga
cara ini tidak dapat di pakai pada keadaan gawat. Obat yang di
berikan per oral biasanya membutuhkan waktu 30 sampai dengan 45
menit sebelum di absorbsi dan efek puncaknya di capai setelah 1
sampai dengan 1 jam. Rasa dan bau obat yang tidak enak sering
mengganggu pasien. Cara per oral tidak dapat di pakai pada pasien
yang mengalami mual-mual, muntah, semi koma, pasien yang akan
menjalani pengisapan cairan lambung serta pada pasien yang
mempunyai gangguan menelan (Potter, 2000).Memberikan obat secara
sublingual merupakan pemberian obat dengan cara meletakkannya
dibawah lidah sampai diabsorbsi ke dalam pembuluh darah. Tujuan
pemberian obat secara sublingulal, yaitu:1. Memperoleh efek local
dan sistemik. 2. Memperoleh aksi kerja obat yang lebih cepat
dibandingkan secara oral.3. Menghindari kerusakan obat oleh hepar.
Secara umum persiapan dan langkah-langkah sama dengan pemberian
obat secara oral. Hal yang perlu diperhatikan adalah klien perlu
diberi penjelasan untuk meletakkan obat dibawah lidah, obat tidak
boleh ditelan, dan biarkan berada di bawah lidah sampai habis di
absorbsi seluruhnya, seperti pemberian obat adalah, nipedipine pada
orang yang menderita tekanan darah tinggi (Saifudin, 2010).
Kelebihan pemberian obat secara sublingual yaitu obat yang
digunakan cepat bereaksi, tidak diperlukannya kemampuan untuk
menelan dan kerusakan obat disaluran cerna dan metabolism di
dinding usus dan hati dapat dihindari (tidak lewat vena porta),
sedangkan kekurangan pemberian obat ini adalah absorbsi yang
dihasilkan tidak akurat, mencegah pasien untuk menelan (Voigt,
1995).Pemberian obat secara parental biasanya dipilih bila
diinginkan efek cepat, kuat dan lengkap atau untuk obat yang
merangsang atau dirusak getah lambung (hormon), atau tidak
diabsorbsi usus (Tjay dan Rahardja, 2007). Rute parental adalah
memberikan obat dengan menginjeksi kedalam jaringan tubuh, obat
yang cara pemberiannya tanpa melalui mulut (tanpa melalui saluran
pencernaan) tetapi langsung ke pembuluh darah. Keuntungan pemberian
obat secara parenteral ialah efeknya timbul lebih cepat dan teratur
dibandingkan dengan pemberian per oral, dapat diberikan pada
penderita yang tidak kooperatif dan tidak sadar, serta sangat
berguna dalam keadaan darurat. Kerugiannya ialah efek toksik mudah
terjadi karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan
jaringan (Surahman dkk., 2008).Subkutan diberikan dengan menusuk
area di bawah kulit yaitu pada jaringan konektif atau lemak dibawah
dermis. Setiap jaringan subkutan dapat dipakai untuk area injeksi
ini, yang lazim adalah pada lengan atas bagian luar, paha bagian
depan (Priharjo, 1995). Kelebihan pemberian obat secara subkutan
yaitu pemberian obat tidak diperlukan latihan yang rumit, absorbsi
berlangsung cepat obat dapat larut dalam air, dapat mencegah
kerusakan disekitar cernaan, sedangkan kekurangannya yaitu
pemberian obat secara subkutan memberikan rasa sakit dan dapat
merusak kulit, tidak dapat dilunakan jika volume obat yang
digunakan besar, memberikan efek yang lambat (Voigt, 1995).Injeksi
intramuskular dilakukan dengan beberapa tujuan yaitu untuk
memasukkan obat dalam jumlah yang lebih besar dibanding obat yang
diberikan subkutan. Absorbsi juga lebih cepat dibandingkan dengan
pemberian secara subkutan karena lebih banyak suplai darah di otot.
Pemberian dengan cara ini dapat pula mencegah/mengurangi iritasi
obat. Pemberian secara intramuskuler dapat menyebabkan luka pada
kulit dan rasa nyeri (Priharjo, 1995).Pemberian obat intaravena
dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pada pasien yang tidak
dipasang infuse, obat diinjeksi langsung pada vena. Bila cara ini
digunakan, maka biasanya dicari vena besar yaitu vena basilika atau
vena sefalika pada lengan. Obat dapat diberikan melalui botol
infuse atau melalui karet pada selang infuse yang dibuat untuk
memasukkan obat (Priharjo, 1995). Pemberian dengan cara ini
memberiakan reaksi yang cepat untuk mencapai konsentrasi, dosis
yang digunakan tepat dan mudah menitrasi dosis. Kekurangan
pemberian obat dengan cara ini adalah obat yang sudah diberikan
tidak dapat ditarik kembali sehingga efek toksik lebih mudah
terjadi, jika penderita alergi terhadap obat reaksi alergi akan
lebih terjadi, pemberian intravena harus dilakukan perlahan-lahan
sambil mengawasi respon penderita dan memerlukan keahlian dalam
melakukannya (Voigt, 1995).Rektal adalah pemberian obat melalui
rectum (dubur) yang layak untuk obat yang merangsang atau yang
diuraikan oleh asam lambung, biasanya dalam bentuk supposittoria,
kadang-kadang sebagai cairan. Pemberian obat ini biasanya digunakan
pada pasien yang mual atau muntah-muntah atau yang terlampau sakit
untuk menelan tablet (Tjay dan Rahardja, 2007). Kelebihanrute ini
yaitu, sangat baik sekali untuk obat yang dirusak oleh asam
lambung, diberikan untuk mencapai takaran yang cepat dan tepat,
tidak dapat dipakai jika pasien tidak biasa per-oral, tidak dapat
mencegah first-pass-metabolism, pilihan terbaik untuk anak-anak,
tetapi rute ini memiliki kekurangan berupa absorbsi yang dihasilkan
tidak akurat, banyak pasien tidak nyaman dengan rute ini (Voigt,
1995).Inhalasi yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan.
Saluran nafas memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas,
dengan demikian berguna untuk pemberian obat secara local, pada
salurannya, misalnya salbutamol (ventolin), combivent, berotek
untuk asma, atau dalam keadaan darurat misalnya terapi oksigen.
Obat diberikan untuk disedot melalui hidung atau mulut atau
disemprotkan Penyerapan dapat terjadi pada selaput mulut,
tenggorokan dan pernafasan. Bentuk sediaan : Gas dan Zat padat,
tetapi bisa juga mempunyai efek sistemik. Kelebihanpemberian obat
melalui inhalasi yaitu absorpsi terjadi cepat dan homogen, kadar
obat dapat terkontrol, dan terhindar dari efek lintas pertama dan
dapat diberikan langsung kepada bronkus. Kekurangan metode ini
lebih sulit dilakukan, memerlukan alat dan metode khusus, sukar
mengatur dosis dan sering mengiritasi paru (Voigt, 1995). Kelinci
(Lepus nigricollis) termasuk kedalam kingdom animalia dan kelas
mammalia yang mempunyai berat tubuh 1,35-7 kg dengan panjang 40-70
cm. Kelinci merupakan kelompok hewan yang paling sempurna baik
morfologi ataupun anatominya karena ia mempunyai susunan organ yang
kompleks dan susunan metabolisme didalam tubuhnya yang juga
kompleks. Hewan ini banyak ditemukan dimana-dimana (Boolotion,
1979). Hal inilah yang menjadi salah satu alasan digunakannya hewan
uji berupa kelinci. Selain itu, sifat kelinci juga lebih rentan
terhadap cuaca, perlakuan, dan penyakit. Menurut Boolotion (1979),
tubuh kelinci (Lepus nigricollis) dibagi menjadi empat bagian yaitu
: caput, cervix, truncus dan cauda. Pada caput terdapat rima oris,
vibrisae, nares, organon visus. Ciri-ciri yang dimiliki kelas
mamalia seperti pada kelinci (Lepus nigricollis) adalah sebagai
berikut : Memiliki kelenjar mammae (merupakan modifikasi kelenjar
peluh) untuk menyusui anaknya. Mempunyai telinga yang panjang dan
kaki belakang yang lebih panjang dari pada kaki depan. kelinci
termasuk hewan tetrapoda yang memiliki 4 anggota gerak berupa
kaki.Menurut Brotowidjoyo (1994), telinga luar (pinnae) lebar. Mata
besar, dengan membran niktitans. Bibir lembek dan fleksibel.
Disekitar moncong ada rambut-rambut panjang (vibrisae). Kaki depan
lebih kecil dari kaki belakang. Ekor pendek. Anus dibawah ekor.
Lubang urogenital disebelah anterior anus. Menurut Hustamin (2006),
kelinci dalam klasifikasinya adalah sebagai berikut :Kingdom:
AnimaliaPhylum: ChordataSubphylum: VertebrataClassis: MammaliaOrdo:
LogomorphaFamilia: LeporidaeGenus: OrictolagusSpesies: Orictolagus
cuniculusAyam (Gallus domesticus) memiliki beberapa klasifikasi,
diantaranya adalah ayam ras (ayam negeri), ayam kampung, dan ayam
hutan. Ayam kampung menghasilkan daging yang lebih baik daripada
ayam negeri. Hal ini karena kemampuan genetis yang membedakan
antara kedua jenis ayam ini. Ayam memiliki paruh, tanduk yang
berada di kaki, bulu-bulu dengan corak warna yang bervariasi,
memiliki 2 sayap meskipun tidak dapat terbang. Ukuran tiap jenis
ayam berbeda mulai dari ayam bangkok, ayam kampung, ayam petelor,
dan ayam kate (Rasyaf, 2000). Pada saat percobaan cetusan tidur
digunakan hewan uji anak ayam dikarenakan pada hewan uji ini untuk
dapat melihat efek yang dihasilkan setelah perlakuan oral lebih
cepat. Selain itu, dipilih anak ayam karena sifatnya masih rentan
dan lebih sensitif jika terkena penyakit ataupun perlakuan yang
disengaja. Menurut Suprijiatna dkk., (2005), kedudukan ayam dalam
sistematika (taksonomi) hewan dapat dikelompokkan sebagai berikut
:Filum: ChordataSub filum: VertebrataKelas: AvesSub kelas:
NeornithesOrdo: GalliformesGenus: GallusSpesies: Gallus
domesticusMenurut Kurniasih (2008), setiap zat yang akan digunakan
pada manusia, baik obat-obatan kimia maupun herbal, harus melalui
uji toksisitas supaya dapat diketahui batas-batas keamanan dan efek
toksik yang mungkin timbul baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Uji toksisitas secara garis besar dibagi menjadi dua jenis
yaitu toksisitas umum (akut, subkronis dan kronis) dan uji
toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik). Uji
toksisitas umum adalah uji toksikologi yang dirancang untuk
mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek toksis suatu senyawa
pada berbagai jenis hewan uji. Termasuk di dalam uji toksisitas
umum yaitu :1. Uji toksisitas akutUji ini dilakukan dengan
memberikan zat kimia sebanyak satu kali kepada hewan uji dalam
jangka waktu 24 jam.2. Uji toksisitas jangka pendek (sub kronis)Uji
dilakukan dengan memberikan zat kimia berulang-ulang, biasanya
setiap hari selama jangkat waktu kurang lebih 10% dari masa hidup
hewan yaitu 3 bulan untuk tikus dan 1 atau 2 tahun untuk anjing.3.
Uji toksisitas jangka panjang (kronis)Percobaan jenis ini mencakup
pemberian obat secara berulang selama 3-6 bulan atau seumur hewan,
misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk tikus dan 7-10 tahun
untuk anjing.Ketoksikan akut adalah derajat efek toksik suatu
senyawa yang terjadi secara singkat (24 jam) setelah pemberian
dalam dosis tunggal. Jadi yang dimaksud dengan uji toksisitas akut
adalah uji yang dilakukan untuk mengukur derajat efek suatu senyawa
yang diberikan pada hewan coba tertentu, dan pengamatannya
dilakukan pada 24 jam pertama setelah perlakuan dan dilakukan dalam
satu kesempatan saja. Data kuantitatif uji toksisitas akut dapat
diperoleh melalui 2 cara, yaitu dosis letal tengah (LD50) dan dosis
toksik tengah (TD50). Namun yang paling sering digunakan adalah
dengan metode LD50 (Sulastry, 2009). Tujuan dilakukannya uji
toksisitas akut adalah untuk menentukan potensi ketoksikan akut
dari suatu senyawa dan untuk menentukan gejala yang timbul pada
hewan coba. Data yang dikumpulkan pada uji toksisitas akut ini
adalah data kuantitatif yang berupa kisaran dosis letal atau
toksik, dan data kualitatif yang berupa gejala klinis (Sulastry,
2009). Metode yang digunakan pada praktikum adalah metode langsung,
yaitu pemberian materi uji pada permukaan tubuh hewan uji. Menurut
Dechacare komposisi tiap tablet Antimo berisi dimenhidrinat
sebanyak 50 mg. Dimenhidrinat (dramamine) adalah senyawa yang
khusus diguanakan untuk mabuk perjalanan dan muntah karena
kehamilan. Berdasarkan mekanisme kerjanya senyawa ini dikelompokkan
sebagai antikolinergika. Obat-obatan ini efektif terhadap segala
jenis muntah, dan banyak digunakan pada mabuk darat dan mual
kehamilan (antihistaminika). Dimenhidrinat sukar larut dalam air,
mudah larut dalam etanol dan dalam kloroform, agak sukar larut
dalam eter (Kurniawati, 2009).Menurut Informasiobat (2012),
farmakologi dari dimenhidrinat yaitu efek antiemetik tercapai dalam
15-30 menit setelah dosis oral dan dalam 20-30 menit setelah dosis
IM. Lama kerja obat 3-6 jam. Obat mungkin didistribusi luas ke
dalam jaringan tubuh, melewati plasenta, dimetabolisme oleh hati,
dan dieliminasi melalui urin. Sejumlah kecil obat didistribusikan
ke dalam ASI. Efek samping dimenhidrinat secara umum yaitu
mengantuk, sakit kepala, pandangan kabur, telinga berdenging, mulut
dan saluran pernapasan kering, inkoordinasi, palpitasi, pusing,
hipotensi, sedangkan efek samping kurang umum yaitu anoreksia,
konstipasi, diare, frekuensi urin, dan disuria. Rasa sakit dapat
terjadi pada tempat injeksi. Interaksi obat yaitu meningkatkan efek
obat-obat penekan SSP, meningkatkan efek obat-obat antikolinergik
(seperti antidepresi trisiklik), menutupi gejala awal ototoksisitas
bila diberikan bersama-sama dengan obat-obat ototoksik (seperti
aminoglikosida) (Informasiobat, 2012).Kosmetik yang digunakan dalam
praktikum adalah lipstik berwarna merah dan pink serta lipgloss
berwarna pink. Akan tetapi kosmetik tersebut merknya tidak jelas,
tidak memiliki SNI serta tidak tercantum komposisinya. Sehingga
sulit untuk mengetahui senyawa yang ada di dalam kosmetik tersebut.
Kontaminasi Pb dari lipstik mungkin berasal dari Pb solder atau cat
bertimbal di peralatan produksi atau dari debu yang terkontaminasi.
Lipstik juga dapat terkontaminasi dengan Pb jika mereka dibuat
dengan bahan-bahan yang secara alami mengandung Pb atau diproduksi
di bawah kondisi yang bisa menyebabkan Pb masuk ke dalam bahan.
Pewarna dan pigmen yang digunakan sebagai bahan dalam lipstik
diatur sebagai warna aditif oleh FDA dan harus menjalani
persetujuan premarket oleh instansi sebelum mereka dapat digunakan
dalam setiap kosmetik. FDA mengontrol potensi paparan Pb dari
aditif warna dengan menetapkan membatasi cation spesifik untuk Pb,
berdasarkan peraturan saat ini, sebagian besar aditif warna
disetujui untuk digunakan kosmetik diizinkan untuk mengandung
hingga 20 ug Pb / g. Selain itu, aditif warna tertentu dituntut
untuk disertifikasi oleh FDA, dan analisis untuk Pb adalah bagian
dari proses certifi cation (Hepp dkk., 2009).Pada dasarnya lipstik
dan lipgloss hampir mirip sehingga senyawa didalamnya pun hampir
sama. Menurut Ananda (2014), terdapat beberapa kandungan yang ada
dalam lipstik dan diketahui dapat memberikan efek buruk pada
kesehatan :1. TriclosanTriclosan biasanya digunakan sebagai bahan
pengawet dalam banyak produk lipstik. Para peneliti menemukan bahwa
triclosan berkaitan dengan masalah pada otot dan jantung. Zat kimia
ini juga ditakutkan bisa membuat bakteri kebal terhadap antibiotik
dan menyebabkan masalah pada kesehatan manusia.2.
MethylparabenMethylparaben adalah bahan pengawet yang digunakan tak
hanya pada lipstik tetapi juga banyak produk kecantikan lainnya.
Zat kimia ini telah lama dikaitkan dengan kanker dan diketahui bisa
mengganggu sistem endokrin pada tubuh. Selain itu, zat kimia ini
juga diketahui beracun.3. PropylparabenSama dengan methylparaben,
propylparaben juga ditemukan dalam banyak produk kosmetik. Zat
kimia ini bisa menyebabkan iritasi pada kulit dan mata, terutama
jika memiliki kulit sensitif. Selain itu, zat kimia ini juga
diketahui memiliki efek racun dan mampu memicu kanker.4. Retinyl
palmitateRetinyl palmitate sebenarnya merupakan salah satu bentuk
dari vitamin A. Namun zat ini berbahaya dan beracun jika digunakan
oleh wanita hamil. Berdasarkan data dari Cosmetic, zat ini
berkaitan dengan berbagai macam masalah kesehatan mulai dari kanker
hingga masalah reproduksi.5. Tocopheryl acetateTocopheryl acetate
atau disebut juga vitamin E asetat ditemukan dalam banyak produk
kecantikan termasuk lipstik. Meski namanya mengandung kata vitamin
E namun zat kimia ini dapat menyebabkan masalah pada kulit yaitu
membuat iritasi, sensasi terbakar, gatal-gatal, dan lecet.6.
ParafinBiasanya dalam lipstik terdapat sedikit parafin. Meskipun
begitu, penggunaan lipstik yang berlebihan juga dapat membuat kita
terkena paparan parafin yang cukup banyak. Zat kimia ini dapat
menyebabkan kerusakan pada enamel gigi dan menyebabkan karies
gigi.Menurut Antidendruf (2013), terdapat 3 jenis kandungan pada
lipstik yang berbahaya yaitu :
1. Tretinoin atau Retinoic AcidIni merupakan zat yang bersifat
aktif dan mengandung asam retinol yang masuk dalam kategori zat
berbahaya. Zat ini sangat berbahaya bagi tubuh karena dapat menjadi
penyebab terganggunya pigmen melanin yang dibutuhkan kulit. Setelah
itu akan muncul iritasi pada kulit. Jika kosmetik yang mengandung
bahan berbahaya ini digunakan oleh wanita yang sedang hamil, akan
menyebabkan kelahiran bayi cacat karena terhambatnya pertumbuhan
serta perkembangan pada janin yang sedang dikandung.2.
Triethanolamine atau TEAPada umumnya zat ini terdapat pada kosmetik
untuk pembersih wajah. Jika pemakaian dilakukan terus menerus akan
menyebabkan munculnyaalergi pada kulit. Tubuh akan menyerap
kandungan racun zat ini sehingga tubuh pun akan terkontaminasi.
Tidak hanya pada pembersih khusus wajah, zat yang berbahaya ini
juga ditemukan di sejumlah lipstik yang banyak dijual di pasaran.3.
Diazolidinylurea dan ImidazolidinylureaZat ini merupakan zat yang
terkandung pada bahan pengawet untuk mayat. Zat ini berfungsi
seperti formalin dan jika diserap ke dalam tubuh melalui kulit akan
menjadi penyebab munculnya berbagai jenis penyakit pada tubuh, dan
salah satunya adalah kanker.Pemaparan kosmetik pada kulit haruslah
melihat jenis kulit pemakai dan melihat kandungan yang terdapat
pada kosmetik itu. Penggunaan kosmetik harus disesuaikan dengan
aturan pakainya. Menurut Djajadisastra (2005), misalnya harus
sesuai jenis kulit, warna kulit, iklim, cuaca, waktu penggunaan,
umur, dan jumlah pemakaiannya sehingga tidak menimbulkan efek yang
tidak diinginkan. Sebelum mempergunakan kosmetik, sangatlah penting
untuk mengetahui lebih dulu apa yang dimaksud dengan kosmetik,
manfaat dan pemakaian yang benar. Maka dari itu perlu penjelasan
lebih detail mengenai kosmetik. Beberapa efek samping kosmetik yang
menyebabkan timbulnya berbagai reaksi negatif yang disebabkan oleh
kosmetik yang tidak aman pada kulit maupun system tubuh, menurut
Tranggono dan Latifah (2007), yaitu antara lain: a. Iritasi, reaksi
langsung timbul pada pemakaian pertama kosmetik karena salah satu
atau lebih bahan yang dikandungnya bersifat iritan. Sejumlah
deodorant, kosmetik pemutih kulit (misalnya kosmetik impor Pearl
Creamyang mengandung merkuri) dapat langsung menimbulkan reaksi
iritasi.b. Alergi, reaksi negatif pada kulit muncul setelah dipakai
beberapa kali, kadang-kadang setelah bertahun-tahun, karena
kosmetik itu mengandung bahan yang bersifat alergenik bagi
seseorang meskipun tidak bagi yang lain.c. Fotosensitisasi, reaksi
negative muncul setelah kulit yang ditempeli kosmetik terkena sinar
matahari karena salah satu atau lebih dari bahan, zat pewarna, zat
pewangi yang dikandung oleh zat kosmetik itu bersifat
photosensitizer.d. Jerawat (acne), beberapa kosmetik pelembap kulit
yang sangat berminyak dan lengket pada kulit, seperti yang
diperuntukkan bagi kulit kering di iklim dingin, dapat menimbulkan
jerawat bila digunakan pada kulit yang berminyak. Terutama di
negara-negara tropis seperti di Indonesia karena kosmetik demikian
cenderung menyumbat pori-pori kulit bersama kotoran dan bakteri. e.
Intoksikasi, keracunan dapat terjadi secara local maupun sistemik
melalui penghirupan lewat melalui hidung dan hidung, atau
penyerapan lewat kulit. Terutama jika salah satu atau lebih bahan
yang dikandung kosmetik itu bersifat toksik. f. Penyumbatan fisik,
penyumbatan oleh bahan-bahan berminyak dan lengket yang ada dalam
kosmetik tertentu, seperti pelembab atau dasar bedak terhadap
pori-pori kulit atau pori-pori kecil pada bagian tubuh yang lain.
Ada dua efek atau pengaruh kosmetik terhadap kulit, yaitu efek
positif dan efek negatif. Tentu saja yang diharapkan adalah efek
positifnya, sedangkan efek negatifnya tidak diinginkan karena dapat
menyebabkan kelainan-kelainan kulit.Faktor eksternal berupa paparan
zat kimia dapat menimbulkan pola respons inflamasi pada kulit yang
disebut iritasi/dermatitis kontak (Lachapelle, 2006). Secara garis
besar, dermatitis kontak ini diklasifikasikan menjadi dua macam,
yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi.
Singkatnya, dermatitis kontak iritan merupakan reaksi inflamasi
non-imunologi, sedangkan dermatitis kontak alergi merupakan reaksi
inflamasi yang berkaitan dengan proses-proses imunologi (Sularsito
dan Djuanda, 2005).Dermatitis kontak iritan adalah suatu dermatitis
kontak yang disebabkan oleh bahan-bahan yang bersifat iritan yang
dapat menimbulkan kerusakan jaringan (Sularsito dan Djuanda, 2005).
Dermatitis kontak iritan (DKI) bisa dianggap sebagai efek
sitotoksik lokal langsung dari bahan iritan baik fisika maupun
kimia yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel epidermis dengan
respon peradangan pada dermis dalam waktu dan konsentrasi yang
cukup. Reaksinya dapat berupa kulit menjadi merah atau coklat.
Kadang-kadang terjadi edema dan rasa panas, atau ada papula,
vesikula, pustula, kadang-kadang terbentuk bula yang purulen dengan
kulit disekitarnya normal (Harahap, 2000). Penyebab munculnya DKI
adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut,
deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif,
enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul
rendah atau bahan kimia higroskopik. Kelainan kulit yang muncul
bergantung pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu
sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita (Djuanda
dan Sri, 2003). Faktor lain yang dapat menyebabkan dermatitis
kontak iritan antara lain lama kontak, kekerapan (terus-menerus
atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel,
demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban
lingkungan juga berperan (Fregert, 1998). Faktor lingkungan juga
berpengaruh pada dermatitis kontak iritan, misalnya perbedaan
ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan
permeabilitas; usia (anak dibawah umur 8 tahun lebih muda
teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih),
jenis kelamin (insidensi dermatitis kontak alergi lebih tinggi pada
wanita), penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang
rangsang terhadap bahan iritan turun) (Beltrani, 2006).
Gambar 1. Mekanisme DKI (Sumber: http://www.nature.com)Terdapat
empat mekanisme utama yang saling berinteraksi dalam kejadian DKI,
yaitu hilangnya lapisan lipid di superfisial dan substansi yang
mengikat air, terjadinya kerusakan dari membran sel, denaturasi
keratin pada epidermis, dan timbulnya efek sitotoksik secara
langsung (Amado dkk., 2008). Rentetan kejadian tersebut menimbulkan
gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit
tergantung pada bahan iritannya. Ada dua jenis bahan iritan, yaitu:
iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan
kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang dan menimbulkan
gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri. Sedangkan iritan
lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak
berulang-ulang, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh
karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi
sawar, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan.
Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan, dan
oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut (Djuanda
dan Sri, 2003).Dermatitis kontak selain DKI adalah dermatitis
kontak alergen (DKA). DKA adalah dermatitis yang disebabkan oleh
reaksi hipersensitivitas tipe IV (lambat) dari bahan-bahan kimia
yang bersifat sensitizer (alergen) terhadap kulit dan dapat
mengaktivasi reaksi alergi. Pada umumnya penderita mengeluh gatal.
Kelainan kulit yang timbul bergantung pada keparahan dermatitis dan
lokalisasinya. Gejala yang terjadi dibedakan menjadi dua fase,
yaitu fase akut dan kronis. Pada fase akut, gejala dimulai dengan
bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula ini dapat pecah
sehingga menjadi erosi dan terdapat eksudasi (basah), bila menjadi
kering akan timbul krusta. Sementara itu, pada fase kronis, gejala
dimulai ketika kulit terlihat kering, berskuama, papul,
likenifikasi dan mungkin terbentuk fisur, batasannya tidak jelas,
dapat pula terjadi hiperpigmentasi (Sularsito dan Djuanda,
2005).Sebagai contoh bahan yang dapat memicu DKA antara lain adalah
beberapa jenis pewangi, pewarna, nikel, obat-obatan, dan
sebagainya. Penyebab dermatitis kontak alergi adalah bahan kimia
sederhana dengan berat molekul umumnya rendah (< 1.000 dalton),
merupakan alergen yang belum diproses, disebut hapten, bersifat
lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga
mencapai sel epidermis dibawahnya (sel hidup) (Harahap, 2000). Ada
lebih dari 3.700 jenis bahan kimia eksogen yang diketahui dapat
memicu terjadinya reaksi hipersensitifitas tipe IV ini pada
dermatitis kontak alergi. Pada tahun 1940, dapat dibuktikan bahwa
kemampuan sensitisasi agen spesifik berhubungan dengan komponen
genetik. Saat ini penelitian dapat menghubungkan adanya alel
antigen leukosit yang spesifik pada manusia untuk alergi pada
nikel, kromium, dan kobalt (Cohen dan Jacob, 2008).Secara umum, ada
dua faktor yang mempengaruhi DKA, yaitu faktor eksogen dan endogen.
Faktor eksogen merupakan faktor dari luar yang terdiri dari pH
(semakin asam atau semakin basa suatu bahan kimia maka reaksi
alergi yang ditimbulkan semakin cepat), suhu (kelembapan udara yang
rendah serta suhu yang dingin dapat menurunkan komposisi air pada
stratum korneum yang membuat kulit lebih permeable terhadap bahan
kimia), dan gesekan/tekanan/lecet dapat meningkatkan permeabilitas
kulit terhadap bahan kimia yang bersifat alergen. Sementara itu,
faktor endogen merupakan faktor dari dalam yang terdiri dari
genetik (orangtua dengan riwayat alergi tertentu memiliki
kemungkinan besar mewarisi alerginya ke keturunannya), jenis
kelamin (perempuan lebih mudah terpapar dibanding laki-laki karena
memiliki kulit yang lebih rentan dan sering melakukan pekerjaan
yang lembab), usia (semakin muda maka semakin mudah terpapar bahan
iritan), ras (orang berkulit hitam lebih resisten terhadap iritasi
alergen), dan lokasi kulit (ada perbedaan yang signifikan pada
fungsi barier kulit pada lokasi yang berbeda. Wajah, leher,
skrotum, dan punggung tangan lebih rentan dermatitis) (Beltrani,
2006).
Gambar 2. Mekanisme DKA (Sumber: http://www.nature.com/)Menurut
Sularsito dan Djuanda (2005), mekanisme DKA melalui dua fase, yaitu
fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah
mengalami sensitisasi yang dapat mengalami dermatitis kontak
alergi.1. Fase sensitisasi: terjadi penetrasi bahan yang mempunyai
berat molekul kecil (hapten) ke kulit, kemudian akan berikatan
dengan karier protein di epidermis. Komponen tersebut akan ditankap
oleh sel langerhans dengan cara pinositosis dan diproses secara
kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada
molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Setelah antigen lengkap ini
terbentuk, akan menstimulasi sel T untuk mensekresi IL-2 dan
mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi
proliferasi sel T spesifik, turunan sel ini yaitu sel T memori akan
meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh.
Pada saat tersebut individu menjadi tersensitisasi. Fase ini
rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.2. Fase elisitasi: pajanan
hapten pada individu yang telah tersensitisasi, sehingga antigen
disajikan lagi oleh sel langerhans ke sel T memori di kulit dan
limfe regional. Kemudian terjadi reaksi imun yang menghasilkan
limfokin. Terjadi reaksi inflamasi dengan perantara sel T, karena
lepasnya bahan-bahan limfokin dan sitokin. Terjadinya reaksi ini
maksimal 24-48 jam.Gejala yang timbul akibat iritasi kontak iritan
dan alergen dapat dibedakan melalui pola penyebarannya. Iritasi
kontak iritan ditandai dengan pola penyebaran iritasi yang terbatas
hanya pada kulit yang terkena kontak langsung dengan zat, berbeda
dengan iritasi kontak alergen yang memiliki pola penyebaran iritasi
tidak terbatas meski yang terkena langsung dengan zat ada pada
bagian tertentu saja. Selain itu, iritasi kontak iritan biasanya
ditandai dengan penurunan gejala iritasi atau cenderung tetap dalam
kurun waktu 24-48 jam. Hal tersebut tentu berbeda dengan iritasi
kontak alergen yang biasanya mengalami peningkatan iritasi dalam
kurun waktu 24-48 jam (Djuanda dan Sri, 2003). Perbedaan dari
keduanya dapat dilihat melalui gambar berikut ini.
Gambar 3. DKA akibat pewarna pada jam kulit (kanan) dan DKI
akibat mengonsumsi seafood (Sumber: Harahap, 2000)Pada praktikum
kali ini, dilakukan beberapa hal yang masing-masing memiliki tujuan
tertentu. Untuk melihat efek suatu senyawa kimia atau obat yang
menyebabkan iritasi, dilakukan cetusan iritasi menggunakan kelinci
sebagai hewan percobaan. Pertama-tama hewan uji kelinci dipegang
dengan lembut dan kuat agar kelinci tidak stres dan tidak
bergerak-gerak. Setelah itu rambut kelinci dicukur seluas 2 x 2
cm2. Pencukuran bulu kelinci ini bertujuan agar obat kosmetik yang
akan diaplikasikan secara topikal dapat menyerap dengan cepat dan
baik, tanpa terhalangi rambut kelinci. Setelah dicukur, obat dan
kosmetik diolesi pada permukaan kulit kelinci yang telah diukur,
lalu ditutup dengan perban. Pengolesan dengan obat atau kosmetik
bertujuan untuk melihat efek ruam pada kulit kelinci akibat olesan
obat atau kosmetik tersebut. Setelah itu lakukan pengamatan pada
kelinci selama 24 jam, apakah ada ruam merah atau tidak. Kontrol
juga dibuat yakni dengan mencukur sesuai dengan ketentuan luasan,
tetapi tidak dioleskan obat ataupun kosmetik. Bagian yang telah
dicukur tersebut kemudian ditutupi/ditempeli dengan kain kasa yang
bertujuan untuk menghindari adanya kontaminasi dari luar dan
mempercepat adanya reaksi iritasi yang terjadi. Pada percobaan
cetusan tidur, hewan uji yang digunakan adalah anak ayam. Anak ayam
diambil dari kandang dan dipegang dengan lembut dan kuat agar tidak
stres. Mulut anak ayam tersebut lalu dibuka dengan hati-hati lalu
materi uji, dalam hal ini antimo sebagai obat penenang, dicekokkann
melalui mulut anak ayam. Dosis yang digunakan adalah setengah dari
dosis manusia yakni 25 gr atau 0,5 cc. Waktu ayam mulai tertidur
kemudian dihitung dan bangun kembali, untuk melihat apakah anak
ayam tersebut memiliki waktu pasif dan waktu tidur atau
tidak.Segera setelah kontak maka akan muncul efek. Efek inilah yang
harus diperhatikan untuk melihat seberapa jauh suatu obat atau
senyawa bekerja pada suatu hewan uji. Pemberian obat penenang
seperti antimo diharapkan akan menghasilkan efek berupa tidur pada
ayam. Kecepatan dan intensitas efek yang muncul dapat berbeda-beda
tergantung fungsi dan tujuan, komposisi, jenis zat, dosis, dan
kondisi hewan uji itu sendiri. Kondisi hewan uji yang lebih
sensitif akan memudahkan hewan tersebut lebih cepat tidur ketika
diberi obat penenang, berapapun dosisnya. Jenis spesies juga
mempengaruhi efektivitas suatu senyawa. Misalnya percobaan efek
androgenik dengan cara mengukur pertumbuhan cengger anak ayam
jantan dapat dilakukan pada anak ayam jenis White Leghorn, Rhode
Island Red atau Barred Rock, namun demikian jenis White Leghorn
adalah paling sensitif dibandingkan lainnya (Bambang dkk, 2004).
Senyawa aktif dalam obat penenang itu juga dapat berpengaruh pada
kerja obat dalam tubuh hewan uji. Misalnya senyawa dimenhydrinate
pada antimo sebagai senyawa aktif yang memberi efek tidur pada
hewan uji. Obat-obat sedatif-hipnotik dan anti anxietas banyak
digunakan di dunia. Diperkirakan 10-15% masyarakat yang mengalami
insomnia menggunakan pengobatan farmakologi untuk menormalkan
tidur. Insomnia sendiri diartikan sebagai keadaan susahnya memulai
tidur, tidak bisa tidur atau durasi tidur yang tidak kuat. Beberapa
obat yang digunakan untuk insomnia merupakan agonis GABA dan
mempunyai efek sedasi langsung, yang terdiri dari relaksasi otot,
melemahnya ingatan, ataxia dan hilangnya keterampilan kerja,
seperti mengemudi. Durasi kerja obat untuk insomnia yang panjang,
dapat menyebabkan gangguan psikomotor, konsentrasi dan ingatan
(Anto, 2007)Pada praktikum ini menggunakan obat antimo yang di
dalamnya mengandung senyawa yang di sebut Dimenhidrinat
(Dramamine). Sifat fisiko kimia dimenhidrinat, yaitu serbuk
kristalin putih tak berbau, sukar larut dalam air, mudah larut
dalam alkohol dan dalam kloroform, agak sukar larut dalam eter.
Inkompatibilitas dimenhidrinat kemungkinan besar inkompatibel dalam
larutan yang mengandung aminofilin, glikopironium bromida,
hidrokortison sodium suksinat, hidroksizin hidroklorida, beberapa
fenotiazin, dan beberapa barbiturat terlarut (Ari kunto, 2006).
Dimenhidrinat (Dramamine) adalah senyawa klorteofilinat dari
dimenhidramin yang khusus digunakan terhadap mabuk jalan dan mutah.
Rumus kimia dimenhidrinat yaitu 8-kloroteofilina, senyawa dengan
2-(difenilmetoksi)-N-N-dimetilamina (1:1) (C17H21NO.C7H7CIN4O2).
Dimenhidrinat mengandung tidak kurang dari 53,0 dan tidak lebih
dari 55,5 % C17H21NO, dan tidak kurang dari 44,0% dan tidak lebih
dari 47,0% C7H7CIN4O2. Masing-masing dihitung terhadap zat yang
telah dikeringkan. Dosis oral 4 dd 50-100 mg (Ari kunto, 2006).
Dosis maksimal Dimenhidrinat pada manusia adalah 200 mg.
Dimenhidrinat dan jika melebihi itu dapat mengakibatkan mengantuk,
sakit kepala, pandangan kabur, telinga berdenging, mulut dan
saluran pernapasan kering, inkoordinasi, palpitasi, pusing,
hipotensi, anoreksia, konstipasi, diare, frekuensi urin, dan
disuria. Rasa sakit dapat terjadi pada tempat injeksi. Dosis
maksimal untuk hewan adalah sekitar 100 mg dimenhidrinat. Pada
praktikum ini dimenhidrinat yang di berikan pada hewan uji adalah
sebanyak 25 mg dimenhidrinat, dan jika kebanyakan diberi
dimenhidrinat maka hewan akan mati karena menurut Anne dan John
(2002), dosis maksimal hewan sekitar 100 mg dimenhidrinat. Pada
praktikum kali ini dilakukan percobaan cetusan iritasi terhadap
hewan uji kelinci dengan menggunakan beberapa kosmetik yaitu
diantaranya lipstik biru, lipstik merah kecil, lipgloss (pink), dan
perlakuan kontrol. Pemberian beberapa sampel kosmetik dan kontrol
diberikan pada 4 tempat yang berbeda diantaranya bagian atas badan
kelinci sebelah kanan (nomor 2 untuk lipstik merah kecil) dan kiri
(nomor 1 untuk lipstik biru), bagian bawah badan kelinci sebelah
kanan (nomor 4 untuk kontrol) dan kiri (nomor 3 untuk lipgloss).
Pada proses penyiapan hewan uji sebelum diperlakukan kelinci harus
diaklimatisasi dengan lingkungan tempat penelitian selama 5 hari
dengan maksud agar hewan uji tersebut terbiasa dengan lingkungan
dan perlakuan yang baru. Hewan uji di tempatkan dalam kandang dan
diberi makan yang cukup untuk setiap harinya. Hewan uji kelinci
yang sudah diaklimatisasi dicukur bulu di daerah punggung sebelah
kanan, sebelah kiri dan pada bagian punggung belakang sampai
licin/terlihat kulitnya. Pada saat dibuka, punggung dibersihkan
dulu dengan alkohol 70% (Paputungan dkk., 2014). Kemudian dapat
diberikan perlakukan sesuai pada saat praktikum misalnya yaitu
dengan dioleskannya kosmetik pada topikal kelinci untuk melihat
efek iritan sampel kosmetik tehadap topikal kelinci. Berdasarkan
hasil percobaan yang telah didapat menunjukkan bahwa pada percobaan
cetusan iritasi terhadap hewan uji kelinci menggunakan kosmetik
lipstik merah kecil, lipgloss (pink), dan kontrol tidak memberikan
pengaruh ruam merah pada kulit kelinci baik pada waktu 1 jam maupun
24 jam. Sedangkan pada kosmetik lipstik biru menunjukkan pengaruh
adanya ruam merah pada waktu 1 jam dan 24 jam, namun tidak terlalu
merah (+). Pada perlakuan dengan menggunakan lipstik merah kecil,
lipgloss (pink), belum menunjukan pengaruh yang berarti. Hal ini
dimungkinkan karena kandungan bahan pada lipstik merah dan lipgloss
tidak terlalu bahaya jika dibandingkan dengan lipstik biru. Pada
perlakuan kontrol juga tidak menunjukan iritasi ruam merah yang
berarti baik dalam waktu 1 jam dan 24 jam. Melihat hal ini dapat
disimpulkan jika penggunaan veet tidak berpengaruh menimbulkan
iritasi pada kulit kelinci. Sesuai teori yang dijelaskan oleh
Ananda (2014), terdapat beberapa kandungan yang ada dalam lipstik
dan diketahui dapat memberikan efek buruk pada kesehatan
diantaranya triclosan, methylparaben, propylparaben, retinyl
palmitate, tocopheryl acetate, dan parafin. Dimungkinkan pada
lipstik biru yang digunakan mengandung bahan-bahan tersebut
sehingga efek yang dihasilkan ketika dilakukan uji pada kelinci
menimbulkan ruam merah atau iritasi pada kulit kelinci. Sehingga
tidak jarang perlakuan ini menimbulkan dermatitis kontak iritan.
Menurut Sulistyani dkk., (2010), dermatitis kontak iritan adalah
suatu dermatitis kontak yang disebabkan oleh bahan-bahan yang
bersifat iritan yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan.
Reaksinya dapat berupa kulit menjadi merah dan coklat. Terkadang
terjadi edema dan rasa panas, atau terdapat papula, vesikula,
pustula, dan terkadang juga terbentuk purulen dengan kuliat
disekitarnya normal. Gejala yang timbul pada kelinci termasuk
iritasi kontak iritan dilihat dari pola penyebarannya. Iritasi
kontak iritan ditandai dengan pola penyebaran iritasi yang terbatas
hanya pada kulit yang terkena kontak langsung dengan zat, berbeda
dengan iritasi kontak alergen yang memiliki pola penyebaran iritasi
tidak terbatas meski yang terkena langsung dengan zat ada pada
bagian tertentu saja. Selain itu, iritasi kontak iritan biasanya
ditandai dengan penurunan gejala iritasi atau cenderung tetap dalam
kurun waktu 24-48 jam, persis seperti yang tampak pada iritasi yang
dialami kelinci, yaitu tidak mengalami peningkatan iritasi dalam
waktu 24-48 jam. Hal tersebut tentu berbeda dengan iritasi kontak
allergen yang biasanya mengalami peningkatan iritasi dalam kurun
waktu 24-48 jam (Djuanda, 2003).Pada praktikum kali ini dilakukan
percobaan cetusan lama tidur terhadap hewan uji anak ayam dengan
menggunakan obat antimo dengan dosis sebanyak 25 mg (1/2 dari dosis
manusia). Obat antimo digerus dan dihitung massa terlarutnya
kemudian diambil sebanyak 0,5 cc menggunakan siring. Dosis antimo
sebanyak 25 mg dicekokkan ke ayam melalui oral/mulut. Berdasarkan
percobaan yang dilakukan didapatkan hasil yaitu tidak adanya waktu
pasif dan waktu tidur pada hewan uji anak ayam. Setelah pemberian
materi uji anak ayam tetap memberikan respon (aktif terus) ketika
diberikan rangsangan oleh praktikan. Waktu pasif sendiri merupakan
waktu ketika hewan uji diberi rangsangan hewan uji tersebut tidak
memberikan merespon. Berdasarkan hasil percobaan ini dapat
disimpulkan bahwa pada hewan uji anak ayam yang digunakan obat
antimo dengan dosis 25 mg tidak menghasilkan pengaruh apapun, anak
ayam tetap aktif. Hal ini dapat dikarenakan dari kondisi individu
ayamnya sedang sehat, dalam pemberian materi uji praktikan
memberikan dengan cara perlahan-lahan melalui oral sehingga hewan
uji anak ayam tetap aktif tidak mengalami waktu pasif dan waktu
tidur.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang dilakukan pada praktikum kali ini
dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya :1. Pemasukan materi
uji pada hewan uji kelinci yaitu secara topikal/kulit dengan
mencukur bulu kelinci (4 tempat berbeda), mengolesi materi uji pada
kulit yang telah dicukur, dan menutupnya dengan kain kasa. Pada
hewan uji anak ayam yaitu secara oral dengan mencekokkan materi uji
melalui mulut anak ayam dengan dosis tertentu (25 mg).2. Percobaan
cetusan iritasi pada hewan uji kelinci hanya menunjukkan efek ruam
merah (+) pada sampel kosmetik lipstik biru pada posisi nomor 1.
Percobaan cetusan tidur pada hewan uji anak ayam tidak menghasilkan
waktu pasif dan waktu tidur dengan dosis 25 mg.
DAFTAR PUSTAKA
Amado, A., Taylor, J.S., dan Sood, A. 2008. Fitzpatricks
Dermatologic in General Medicine: Irritant Contact Dermatitis 7th
Edition. McGraw Hill Medical. New York. Ananda, S. K. 2014. Awas,
Kandungan Dalam Lipstik Ini Bahayakan Kesehatan.
http://www.merdeka.com/sehat/awas-kandungan-dalam-lipstikinibahayakan
-kesehatan.html. 28 Oktober 2014.Anne dan John Scudder. 2002.
Praktik Asuhan Holistik. Adikarya, Jakarta. Antidendruf. 2013.
Kandungan Lipstik Yang Berbahaya Bagi Kulit.
http://artikelkesehatanwanita.com/kandungan-lipstik-yang-berbahaya-bagi-kulit.html.
28 Oktober 2014.Anton. 2007. Ruang Lingkup Materi Pendidikan
Kesehatan. http//www.depkes.go.id/. Diakses pada tanggal 19 April
2012.Arikunto S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Rineka Cipta, Jakarta. Bambang, W., Pudjiastuti, A., Budi,
A., Yun, A. 2004. Efek Androgenik Ekstrak Ethanol Cabe Jawa (Piper
retrofractum Vahl) Pada Anak Ayam. Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN
1412-2855 Vol 3:2.Beltrani, V.S. 2006. Contact Dermatitis: A
Practice Parameter. Ann Allergic Asthma Immunol 97 (1):
1-38.Boolotion, richard A. 1979. Zoology An Introduction to the
Study Of Animals. Macmillan Publishing, London.Brotowidjoyo, D.
1994. Zoologi Dasar. Erlangga, Jakarta. Cohen, D.E. dan Jacob, S.E.
Dermatology In General Medicine: Allergic Contact Dermatitis.
McGraw Hill Medical. New York.Dechacare. 2012. Antimo.
http://www.dechacare.com/Antimo-P74.html. 28 Oktober 2014.Dhingra,
N., Gulati, N., dan Guttman-Yassky, E. 2010. Mechanisms of Contact
Sensitization Offer Insights into the Role of Barrier Defects vs.
Intrinsic Immune Abnormalities as Drivers of Atopic Dermatitis.
http://www.nature.com/jid/journal/v133/n10/fig_tab/jid
2013239f1.html. Diakses tanggal 25 Oktober 2014.Djajadisastra,
2009. Tekhnologi Kosmetik. Departemen Farmasi FMIPA Universitas
Indonesia, Tangerang.Djuanda, S. dan Sri, A.S. 2003. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.Fregret, S. 1998.
Kontak Dermatitis. Yayasan Essentia Medica. Jakarta.Harahap, M.
2000. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates. Jakarta.Hepp, M. N., Mindak,
R. W. dan Cheng, J. 2009. Determination Of Total Lead In Lipstick:
Development and Validation Of A Microwave-assisted Digestion,
Inductively Coupled Plasma-mass Spectrometric Method. Journal Of
Cosmetic Science. 60:406.Hustamin, R., 2007. Paduan Memelihara
Kelinci Hias. Agro Media Pustaka, Jakarta. Kurniasih, S. 2008. Uji
Toksisitas Akut Tepung Kulit Lidah Buaya (Aloe chinensis Baker)
Ditinjau Dari Kadar Kreatinin Dan Urea Plasma Serta Histologi
Ginjal Pada Mencit Putih. Naskah Skripsi S-1. Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok.Kurniawati,
S. 2009. Pengaruh Penambahan Poliosorbat 80 Terhadap Waktu Hancur
dan Disolusi Tablet Dimenhidrinat Dibuat Secara Granulasi Basah.
Naskah Skripsi S-1. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara,
Medan.Lachapelle, J.M. 2006. Historical Aspects: Contact Dermatitis
4thEd. Springer Publisher. New York.Paputungan, F., Paulina,
Yamlean, P., dan Citraningtyas, G. 2014. Uji Efektivitas Salep
Ekstrak Etanol Daun Bakau Hitam (Rhizophora mucronata Lamk) Dan
Pengujian Terhadap Proses Penyembuhan Luka Punggung Kelinci Yang
Diinfeksi Bakteri Staphylococcus aureus. Jurnal Ilmiah Farmasi
UNSRAT, Vol. 3 No. 1. Potter, P. 2000. Guide to Basic Skill and
Prosedur Dasar, Edisi III. Buku Kedokteran EGC, JakartaPriharjo, R.
1995. Teknik Dasar Pemberian Obat Bagi Perawat. EGC,
Jakarta.Saifudi, A. B. 2010. Ilmu Kebidanan. Bina pustaka, Jakarta.
Sularsito, S.A. dan Djuanda, S. 2005. Dermatitis. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta.Sulastry, F. 2009. Uji Toksisitas Akut Yang Diukur
Dengan Penentuan LD50 Ekstrak Daun Pegagan (Centella asiatica L.)
Terhadap Mencit Balb/C. Naskah Skripsi S-1. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro, Semarang.Sulistyani, Indiriani, F., dan
Kariosentono, H. 2010. Pengaruh Riwayat Atopik terhadap Timbulnya
Dermatitis Kontak Iritan di Perusahaan Batik Putra Laweyan
Surakarta. Jurnal Biomedika Vol. 2 No. 2. Surahman, E., Mandalas,
E., dan Kardinah, E. I. 2008. Evaluasi Penggunaan Sediaan Farmasi
Intravenna untuk Penyakit Infeksi Pada Salah Satu Rumah Sakit
Swasta Di Kota Bandung. Majalah Ilmi Kefarmasian. Vol 5(1): 21-39
Tjay, T. H., dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam. Gramedia,
Jakarta.Tranggono, R. I., dan Latifah, F. 2007. Buku Pegangan Ilmu
Kosmetik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Uliyah, Musrfatul. 2009.
Ktrampilan Dasar Praktik Klinik. Salemba Medika, Jakarta.Voigt, R.
1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.
LAMPIRAN
A. PerhitunganPerhitungan dosis yang diberikan : 250 = 0,5 x M1
M1 = M1 = 500 mg
B. Dokumentasi Praktikum
Gambar 4. Hewan Uji Kelinci (Sumber: Dokumentasi Praktikum)
Gambar 5. Bahan Dalam Praktikum: Hewan Uji Kelinci dan Anak Ayam
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Gambar 6. Alat dan Bahan Praktikum: Materi Uji Kosmetik dan Veet
yang Digunakan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Gambar 7. Materi Uji Antimo (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Gambar 8. Bagian Keempat : Kontrol (H-0) (Sumber : Dokumentasi
Pribadi).
Gambar 9. Bagian Ketiga : Lipgloss Pink (H-0) (Sumber :
Dokumentasi Pribadi).
Gambar 10. Bagian Kedua : Lipstik Merah (H-0) (Sumber :
Dokumentasi Pribadi).
Gambar 11. Bagian Pertama : Lipstik Biru (H-0) (Sumber :
Dokumentasi Pribadi).
Gambar 12. Bagian Keempat : Kontrol (H+1) (Sumber : Dokumentasi
Pribadi).
Gambar 13. Bagian Ketiga : Lipgloss Pink (H+1) (Sumber :
Dokumentasi Pribadi).
Gambar 14. Bagian Kedua : Lipstik Merah (H+1) (Sumber :
Dokumentasi Pribadi).
Gambar 15. Bagian Pertama : Lipstik Biru (H+1) (Sumber :
Dokumentasi Pribadi).