x ABSTRAK Kerajinan industri kayu di Provinsi Bali telah ada sejak tahun 1980-an, dan mengalami puncak kejayaan tahun 2003 dengan kenaikan mencapai 20,9 persen seiring dengan berkembangnya industri pariwisata di Bali. Potensi kerajinan kayu di Bali sebagian besar merupakan usaha pribadi. Hal ini menunjukkan minat masyarakat di kabupaten/kota di Bali dalam wirausaha di bidang kerajinan kayu cukup tinggi dan membuka peluang usaha bagi masyarakat lainnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya pengembangan usaha industri kerajinan kayu di Provinsi Bali banyak ditemukan kendala seperti banyak pengusaha industri kayu tidak memiliki hak paten atas produk kerajinan, sulitnya mencari pasokan bahan baku di Bali, dan lemahnya sistem pemasaran hasil produksi. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis 1) pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; 2) untuk menganalisis pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya, dan orientasi kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; 3) untuk menganalisis pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu melalui mediasi kinerja usaha; dan 4) untuk menganalisis pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu melalui faktor kontekstual. Studi ini merupakan studi eksplanatori dengan menggunakan metode survei. Survei dilakukan kepada 164 responden kepala rumah tangga pengrajin industri kayu di Provinsi Bali dengan metode disproportional random sampling. Data dikumpulkan secara cross section dengan menggunakan daftar pertanyaan yang selanjutnya dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Model yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah Structural Equition Model (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; 2) infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; 3) infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan secara tidak langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali, sedangkan kinerja usaha secara tidak langsung juga memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; dan 4) orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali. Demikian pula faktor kontekstual juga memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa faktor kontekstual mampu memberikan efek moderasi terhadap hubungan orientasi kewirausahaan terhada kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali. Kata kunci : infrastruktur pembangunan, budaya, orientasi kewirausahaan, kinerja usaha, dan kesejahteraan rumah tangga
40
Embed
ABSTRAK - Universitas Udayana€¦ · membuka peluang usaha bagi masyarakat lainnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya pengembangan usaha industri kerajinan kayu di Provinsi Bali
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
x
ABSTRAK
Kerajinan industri kayu di Provinsi Bali telah ada sejak tahun 1980-an, dan mengalami puncak kejayaan tahun 2003 dengan kenaikan mencapai 20,9 persen seiring dengan berkembangnya industri pariwisata di Bali. Potensi kerajinan kayu di Bali sebagian besar merupakan usaha pribadi. Hal ini menunjukkan minat masyarakat di kabupaten/kota di Bali dalam wirausaha di bidang kerajinan kayu cukup tinggi dan membuka peluang usaha bagi masyarakat lainnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya pengembangan usaha industri kerajinan kayu di Provinsi Bali banyak ditemukan kendala seperti banyak pengusaha industri kayu tidak memiliki hak paten atas produk kerajinan, sulitnya mencari pasokan bahan baku di Bali, dan lemahnya sistem pemasaran hasil produksi.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis 1) pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; 2) untuk menganalisis pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya, dan orientasi kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; 3) untuk menganalisis pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu melalui mediasi kinerja usaha; dan 4) untuk menganalisis pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu melalui faktor kontekstual.
Studi ini merupakan studi eksplanatori dengan menggunakan metode survei. Survei dilakukan kepada 164 responden kepala rumah tangga pengrajin industri kayu di Provinsi Bali dengan metode disproportional random sampling. Data dikumpulkan secara cross section dengan menggunakan daftar pertanyaan yang selanjutnya dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Model yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah Structural Equition Model (SEM).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; 2) infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; 3) infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan secara tidak langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali, sedangkan kinerja usaha secara tidak langsung juga memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; dan 4) orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali. Demikian pula faktor kontekstual juga memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa faktor kontekstual mampu memberikan efek moderasi terhadap hubungan orientasi kewirausahaan terhada kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali.
Kata kunci : infrastruktur pembangunan, budaya, orientasi kewirausahaan, kinerja usaha, dan kesejahteraan rumah tangga
xi
ABSTRACT
Wood industry craft in Bali Province has existed since the 1980s, and experienced the peak of glory in 2003 with an increase of 20.9 percent as the development of tourism industry in Bali. The potential of woodcraft in Bali is largely private. This shows the interest of the community in the Regency / City in Bali in the entrepreneurship in the field of woodcraft is high enough and open business opportunities for other communities.
However, in the next development of wood craft industry in Bali Province, there are many obstacles such as many timber industry entrepreneurs do not have patent on handicraft product, difficulty in finding raw material supply in Bali, and weakness of production marketing system.
The purpose of this research is to analysis 1) the influence of development infrastructure, culture and entrepreneurial orientation on business performance of wood industry employer in Bali Province; 2) to analysis the effect of development infrastructure, culture, and entrepreneurial orientation on the household welfare of timber industry entrepreneurs in Bali Province; 3) to analysis the effect of development infrastructure, culture and entrepreneurial orientation on the prosperity of households of wood industry through mediation of business performance; and 4) to analysis the effect of entrepreneurship orientation on business performance of wood industry entrepreneurs through contextual factor.
This study is an explanatory study using survey method. The survey was conducted to 164 respondents of household heads of wood industry craftsmen in Bali Province with disproportional random sampling method. Data is collected by cross section by using questionnaire which is then analyzed quantitatively and qualitatively. The model used to test the hypothesis is Structural Equation Model.
The results showed that 1) development infrastructure, culture and entrepreneurial orientation directly have a positive and significant influence on business performance of wood industry employer in Bali Province; 2) development infrastructure, culture and entrepreneurial orientation directly have a positive and significant influence on the welfare of the household of wood industry employers in Bali Province; 3) development infrastructure, culture and entrepreneurial orientation indirectly have a positive and significant impact on the welfare of the households of wood industry employers in Bali Province, while the indirect business performance also has a positive and significant influence on the welfare of the wood industry employers in Bali Province; and 4) direct entrepreneurial orientation has a positive and significant influence on business performance of timber industry entrepreneurs in Bali Province. Similarly, contextual factor also have a positive and significant impact on business performance of timber industry entrepreneurs in Bali Province. Thus it can be argued that contextual factor are able to give moderation effect to entrepreneurship orientation relationship to business performance of wood industry employer in Bali Province.
Keywords: development infrastructure, culture, entrepreneurship orientation, business performance, and household welfare.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ..................................................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................... iii SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.........................................................v UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................. vi ABSTRACT ............................................................................................................. xi DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xviii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah Penelitian .........................................................23 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................30 1.4 Manfaat Penelitian ..........................................................................31
BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................................32 2.1 Ketersediaan Infrastruktur Pembangunan Ekonomi .......................32
2.1.1 Peran infrastruktur dalam pembangunan ..............................38 2.1.2 Pengaruh infrastruktur terhadap kemajuan ekonomi ............41
2.2 Budaya ............................................................................................52 2.2.1 Kebiasaan ..............................................................................55 2.2.2 Keterbukaan ..........................................................................61 2.2.3 Kerjasama..............................................................................63 2.2.4 Kearifan lokal ........................................................................64 2.2.5 Pola pikir ...............................................................................69
2.4 Kinerja Usaha .................................................................................84 2.4.1 Pengertian kinerja usaha .......................................................84 2.4.2 Aspek-aspek kinerja usaha ....................................................85
2.5 Kesejahteraan Rumah Tangga ........................................................92 2.5.1 Kesehatan dan gizi ................................................................93 2.5.2 Pendidikan .............................................................................94 2.5.3 Ketenagakerjaan ....................................................................96 2.5.4 Taraf dan pola konsumsi .......................................................97 2.5.5 Perumahan dan lingkungan ...................................................98
2.6 Faktor Kontekstual .........................................................................99 2.6.1 Pemasaran produk .................................................................99
xiii
2.6.2 Akses permodalan .................................................................99 2.6.3 Pemanfaatan teknologi informasi ........................................100 2.6.4 Adanya perencanaan bisnis .................................................100 2.6.5 Bantuan pemerintah ............................................................100
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN .....102 3.1 Kerangka Berpikir ........................................................................102 3.2 Kerangka Konsep .........................................................................133 3.3 Hipotesis Penelitian ......................................................................137
BAB IV METODE PENELITIAN ......................................................................139 4.1 Rancangan Penelitian ...................................................................139 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .....................................................139 4.3 Obyek Penelitian .........................................................................140 4.4 Indentifikasi dan Definisi Operasional Variabel .....................140
4.4.1 Variabel penelitian ............................................................140 4.4.2 Definisi operasional .............................................................142
4.5 Jenis, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ....................147 4.6 Populasi dan Sampel .....................................................................148 4.7 Metode Analisis Data ...................................................................153
BAB V HASIL PENELITIAN............................................................................175 5.1 Gambaran Umum Provinsi Bali ...................................................175
5.1.1 Letak geografis dan luas wilayah ........................................175 5.1.2 Kependudukan .....................................................................178 5.1.3 Kondisi ekonomi dan sosial .................................................179
5.2 Profil Umum Usaha Kerajinan Kayu di Provinsi Bali .................185 5.3 Karakteristik Demografi Responden ............................................190 5.4 Deskripsi Variabel Penelitian .......................................................196
5.4.1 Persepsi responden terhadap infrastruktur pembangunan ...197 5.4.2 Persepsi responden terhadap budaya ...................................199 5.4.3 Persepsi responden terhadap variabel orientasi
kewirausahaan .....................................................................201 5.4.4 Persepsi responden terhadap variabel kinerja usaha ...........203 5.4.5 Persepsi responden terhadap variabel kesejahteraan
rumah tangga .......................................................................205 5.4.6 Persepsi responden terhadap faktor kontekstual ..................207
5.5 Analisis Data ................................................................................208 5.5.1 Uji validitas instrumen penelitian ........................................208 5.5.2 Uji reliabilitas instrumen penelitian ....................................211 5.5.3 Analisis model persamaan struktural ..................................212 5.5.4 Uji outer model ....................................................................214 5.5.5 Uji inner model ....................................................................218
5.6 Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung dan Pengaruh Total Antar Variabel .....................................................................221 5.6.1 Pengaruh langsung ...............................................................221
xiv
5.6.2 Pengaruh tidak langsung ......................................................223 5.6.3 Pengaruh total ......................................................................225
5.7 Pengujian Hipotesis Penelitian .....................................................225 5.7.1 Infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi
kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali ........................................................................226
5.7.2 Infrastruktur pembangunan, budaya, orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali ................228
5.7.3 Infrastruktur pembangunan, budaya, orientasi kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali melalui mediasi kinerja usaha....................................................................................230
5.7.4 Orientasi kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali melalui mediasi faktor kontekstual ..........................................................................233
BAB VI PEMBAHASAN ...................................................................................235 6.1 Infrastruktur Pembangunan Berpengaruh Positif dan
Signifikan Terhadap Kinerja Usaha Pengusaha Industri Kayu di Provinsi Bali .............................................................................235
6.2 Budaya Berpengaruh Positif dan Signifikan Terhadap Kinerja Usaha Pengusaha Industri Kayu di Provinsi Bali .........................238
6.3 Orientasi Kewirausahaan Berpengaruh Positif dan Signifikan Terhadap Kinerja Usaha Pengusaha Industri Kayu di Provinsi Bali ...............................................................................................240
6.4 Infrastruktur Pembangunan Berpengaruh Positif dan Signifikan Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Pengusaha Industri Kayu di Provinsi Bali ....................................242
6.5 Budaya Berpengaruh Positif dan Signifikan Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Pengusaha Industri Kayu di Provinsi Bali .................................................................................245
6.6 Orientasi Kewirausahaan Berpengaruh Positif dan Signifikan Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Pengusaha Industri Kayu di Provinsi Bali ...................................................................247
6.7 Infrastruktur Pembangunan Berpengaruh Positif dan Signifikan Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Pengusaha Industri Kayu di Provinsi Bali Melalui Mediasi Kinerja Usaha ...............................................................................249
6.8 Budaya Berpengaruh Positif dan Signifikan Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Pengusaha Industri Kayu di Provinsi Bali Melalui Mediasi Kinerja Usaha ..............................251
xv
6.9 Orientasi Kewirausahaan Berpengaruh Positif dan Signifikan Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Pengusaha Industri Kayu di Provinsi Bali Melalui Mediasi Kinerja Usaha ................254
6.10 Orientasi Kewirausahaan Berpengaruh Positif dan Signifikan Terhadap Kinerja Usaha Pengusaha Industri Kayu di Provinsi Bali Melalui Mediasi Faktor Kontekstual ....................................256
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ................................................................262 7.1 Simpulan .......................................................................................262 7.2 Saran .............................................................................................265
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................268 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................................278
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. 1 Pertumbuhan Pengrajin Industri Kayu di Provinsi Bali Tahun 2013-2017 ......................................................................................... 15
Tabel 1. 2 Jumlah Produksi Pengrajin Industri Kayu di Provinsi Bali Tahun 2013-2017 .............................................................................. 17
Tabel 1. 3 Jumlah Industri Kerajinan Kayu, Tenaga Kerja dan Nilai Produksi Menurut Kabupaten atau Kota Tahun 2017 ...................... 18
Tabel 2. 1 Nilai Tambah dari Beberapa Jenis Infrastruktur Berdasarkan .......... 40Tabel 4. 1 Jenis Konstruk dan Indikator Penelitian ......................................... 141 Tabel 4. 2 Indikator demografi pengusaha industri kayu tahun 2017 .............. 149Tabel 4. 3 Distribusi Populasi dan Sample Penelitian ..................................... 152Tabel 4. 4 Indeks Kesesuaian (Goodnes Of-Fit Index) .................................... 171Tabel 5. 1 Luas Wilayah Menurut Kabupaten/Kota, Jumlah Kecamatan,
Jumlah Desa/Kelurahan di Provinsi Bali Tahun 2015. ................... 177Tabel 5. 2 Luas Wilayah dan Jumlah Kepadatan Penduduk Hasil Sensus
Penduduk 1961 - 2010 Menurut Kabupaten/Kota di Bali .............. 178Tabel 5. 3 Karakteristik Responden di Kabupaten/Kota Provinsi Bali ............ 190Tabel 5. 4 Persepsi Responden terhadap Variabel Infrastruktur
Pembangunan .................................................................................. 199Tabel 5. 5 Persepsi Responden terhadap Variabel Budaya .............................. 200Tabel 5. 6 Persepsi Respoinden terhadap Variabel Orientasi
Kewirausahaan ................................................................................ 203Tabel 5. 7 Persepsi Responden terhadap Variabel Kinerja Usaha ................... 204Tabel 5. 8 Persepsi Responden terhadap Variabel Kesejahteraan Rumah
Konstruknya .................................................................................... 215Tabel 5. 13 Cross Loading Indikator Terhadap Masing-masing
(CR), dan Cronbach’s Alpha pada Masing-masing Variabel Penelitian ........................................................................................ 218
Tabel 5. 15 Nilai R-Square ................................................................................ 220Tabel 5. 16 Path Coefficients (Pengaruh Langsung Antar Variabel
Penelitian) ....................................................................................... 221Tabel 5. 17 Nilai Indirect Effects (Pengaruh Tidak Langsung Antar
Variabel Penelitian) ........................................................................ 224Tabel 5. 18 Ringkasan Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung,
dan Pengaruh Total Antar Variabel ............................................... 225Tabel 5. 19 Ringkasan Pengujian Hipotesis Pertama ........................................ 226Tabel 5. 20 Ringkasan Pengujian Hipotesis Kedua ........................................... 227Tabel 5. 21 Ringkasan Pengujian Hipotesis Ketiga ........................................... 227
Gambar 3. 1 Kerangka Berpikir ........................................................................133Gambar 3. 2 Kerangka Konsep ......................................................................... 137Gambar 4. 1 Diagram Jalur Kesejahteraan Masyarakat .................................... 158Gambar 4. 2 Model Pengukuran Variabel Infrastruktur .................................... 160Gambar 4. 3 Model Pengukuran Variabel Budaya ............................................ 161Gambar 4. 4 Model Pengukuran Variabel Orientasi Kewirausahaan ............... 162Gambar 4. 5 Model Pengukuran Variabel Kinerja Usaha ................................. 164Gambar 4. 6 Model Pengukuran Variabel Kesejahteraan Rumah Tangga ........ 165Gambar 4. 7 Model Pengukuran Variabel Faktor Kontekstual ......................... 166Gambar 5. 1 Peta dan Letak Geografis Provinsi Bali ........................................ 176Gambar 5. 2 Karakteristik Responden Pengusaha Industri Kayu di
Provinsi Bali Berdasarkan Jenis Kelamin (Pengolahan data 2017) ............................................................................................. 192
Gambar 5. 3 Karakteristik Responden Pengusaha Industri Kayu di Provinsi Bali Berdasarkan Tempat Asal (Pengolahan data 2017) ............................................................................................. 192
Gambar 5. 4 Kelompok Umur Responden Pengusaha Industri Kayu di Provinsi Bali (Pengolahan data 2017) .......................................... 193
Gambar 5. 5 Tingkat Pendidikan Responden Pengusaha Industri Kayu di Provinsi Bali (Pengolahan data 2017) .......................................... 194
Gambar 5. 6 Tingkat Pengalaman Sebagai Pengusaha Responden Pengusaha Industri Kayu di Provinsi Bali (Pengolahan data 2017) ............................................................................................. 194
Gambar 5. 7 Tingkat Jumlah Tenaga Kerja Responden Pengusaha Industri Kayu di Provinsi Bali (Pengolahan data 2017) ............................ 195
Gambar 5. 8 Sistem Pengupahan Responden Pengusaha Industri Kayu di Provinsi Bali (Pengolahan data 2017) .......................................... 196
Gambar 5. 9 Model Persamaan Struktural ........................................................ 213Gambar 5. 10 Hubungan Antar Variabel Penelitian ............................................ 222
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam paradigma pembangunan ekonomi, perubahan kesejahteraan
masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Hal ini dikarenakan
pembangunan ekonomi dikatakan berhasil jika tingkat kesejahteraan masyarakat
semakin baik. Keberhasilan pembangunan ekonomi tanpa menyertakan
peningkatan kesejahteraan masyarakat akan mengakibatkan kesenjangan dan
ketimpangan dalam kehidupan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat adalah
suatu kondisi yang memperlihatkan tentang keadaan kehidupan masyarakat yang
dapat dilihat dari standar kehidupan masyarakat (Badrudin, 2012).
Menurut Todaro dan Smith, (2006), kesejahteraan masyarakat menunjukkan
ukuran hasil pembangunan masyarakat dalam mencapai kehidupan yang lebih
baik yang meliputi: pertama, peningkatan kemampuan dan pemerataan distribusi
kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan, kesehatan, dan perlindungan;
kedua, peningkatan tingkat kehidupan, tingkat pendapatan, pendidikan yang lebih
baik, dan peningkatan atensi terhadap budaya dan nilai – nilai kemanusiaan; dan
ketiga, memperluas skala ekonomi dan ketersediaan pilihan sosial dari individu
dan bangsa. Kesejahteraan masyarakat adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan
dasar yang tercermin dari rumah yang layak, tercukupinya kebutuhan sandang dan
pangan, biaya pendidikan dan kesehatan yang murah dan berkualitas atau kondisi
2
dimana setiap individu mampu memaksimalkan utilitasnya pada tingkat batas
anggaran tertentu dan kondisi dimana tercukupinya kebutuhan jasmani dan rohani.
Secara umum teori kesejahteraan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu
classical utilitarium, neoclassical welfare theory, dan new contraction approach
(Badrudin, 2012). Classical utilitarian menekankan bahwa kepuasan atau
kesenangan seseorang dapat diukur dan bertambah. Tingkat kepuasan setiap
individu dapat dibandingkan secara kuantitatif. Neoclassical welfare menekankan
pada prinsip pareto optimality. Pareto optimum didefenisikan sebagai sebuah
posisi dimana tidak memungkinkan suatu realokasi input atau output untuk
membuat seseorang menjadi lebih baik tanpa menyebabkan sedikitnya satu orang
atau lebih buruk. New contraction approach menekankan pada konsep dimana
setiap individu memiliki kebebasan maksimum dalam hidupnya. Ketiga
pandangan tersebut menekankan bahwa tingkat kesejahteraan seseorang sangat
tergantung pada tingkat kepuasan kesenangan yang diraih dalam kehidupannya.
Menurut Sukirno (2001) dikatakan bahwa pertumbuhan pendapatan per
kapita dari waktu ke waktu umumnya membawa perubahan terhadap
kesejahteraan masyarakat dengan arah yang sama. Pertimbangan menggunakan
pendapatan per kapita sebagai indikator kesejahteraan masyarakat karena data
tersebut umumnya mudah diperoleh di kantor-kantor statistik. Sebaliknya, data
indikator kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat yang lebih kompleks,
seperti persentase penduduk yang memiliki rumah, menikmati fasilitas air bersih,
fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, pemilikan alat hiburan seperti televisi dan
radio, jarang tersedia. Meskipun demikian, pengukuran kesejahteraan masyarakat
3
yang hanya menggunakan pendapatan per kapita banyak ditentang oleh berbagai
pihak. Hal ini terjadi karena kesejahteraan sifatnya normatif sehingga diperlukan
pengukuran yang lebih komprehensif yang dapat menggambarkan kemajuan
kualitas hidup masyarakat. Todaro (1977) mengatakan bahwa angka kenaikan
GNP per kapita mengandung kelemahan yang sangat fatal, yakni menyamarkan
kenyataan fundamental yang sebenarnya, yaitu sama sekali belum membaiknya
kondisi kesejahteraan kelompok penduduk yang relatif paling miskin.
United Nations Research Institute for Social Development menyusun
delapan belas indikator yang apabila digunakan sebagai indikator kesejahteraan
masyarakat maka perbedaan tingkat pembangunan antara negara maju dan negara
sedang berkembang tidak terlampau besar. Delapan belas indikator tersebut,
antara lain: 1) tingkat harapan hidup; 2) konsumsi protein hewani per kapita; 3)
persentase anak-anak yang belajar di sekolah dasar dan menengah; 4) persentase
anak-anak yang belajar di sekolah kejuruan; 5) jumlah surat kabar; 6) jumlah
telepon; 7) jumlah radio; 8) jumlah penduduk di kota-kota yang mempunyai
20.000 penduduk atau lebih; 9) persentase laki-laki dewasa di sektor pertanian;
10) persentase tenaga kerja yang bekerja di sektor listrik, gas, air, kesehatan,
pengakutan, pergudangan, dan transportasi; 11) persentase tenaga kerja yang
memperoleh gaji; 12) persentase PDB yang berasal dari industri pengolahan; 13)
konsumsi energi per kapita; 14) konsumsi listrik per kapita; 15) konsumsi baja per
kapita; 16) nilai per kapita perdagangan luar negeri; 17) produk pertanian rata-rata
dari pekerja laki-laki di sektor pertanian; dan 18) pendapatan per kapita Produk
Nasional Bruto.
4
World Bank tahun 2000 merumuskan indikator kesejahteraan masyarakat sebagai
indikator pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan manusia dan kemiskinan.
Rumusan indikator pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan manusia dan
kemiskinan. Rumusan indikator pembangunan itu disebut sebagai Millenium
Development Goals (MDGs). MDGs terdiri dari delapan indikator capaian
pembangunan, yaitu penghapusan kemiskinan, pendidikan untuk semua, persamaan
gender, perlawanan terhadap penyakit menular, penurunan angka kematian anak,
peningkatan kesehatan ibu, pelestarian lingkungan hidup, dan kerja sama global.
Keberhasilan pembangunan manusia diukur dalam beberapa dimensi utama tersebut.
Menurut World Bank, tingkat pencapaian pembangunan manusia dapat diamati melalui
dimensi pengurangan kemiskinan (decrease in proverty), peningkatan kemampuan
baca tulis (increasein literacy), penurunan tingkat kematian bayi (decrease in infant
mortality), peningkatan harapan hidup (life expectancy), dan penurunan dalam
ketimpangan pendapatan (decrease income inequality).
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan suatu ukuran standar
pembangunan manusia, yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau
Human Development Index (HDI). Indeks ini dibentuk berdasarkan empat
indikator, yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah,
dan kemampuan daya beli. Indikator angka harapan hidup merepresentasikan
dimensi umur panjang dan sehat. Selanjutnya, angka melek huruf dan rata-rata
lama sekolah mencerminkan output dari dimensi pengetahuan. Adapun indikator
kemampuan daya beli digunakan untuk mengukur dimensi hidup layak.
5
Badan Pusat Statistik menggunakan IPM untuk mengukur capaian pembangunan
manusia dengan menggunakan tiga dimensi dasar, yaitu mencakup umur panjang dan
sehat, pengetahuan serta kehidupan yang layak. Ketiga dimensi dasar tersebut
menggambarkan empat komponen dasar kualitas hidup yakni angka harapan hidup
yang mewakili bidang kesehatan; angka melek huruf dan rata-rata lama bersekolah
untuk mengukur capaian pembangunan di bidang pendidikan; dan kemampuan daya
beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok hidup masyarakat yang dapat
dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan
yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup yang layak.
Kajian-kajian pada ranah ilmu ekonomi pembangunan menyatakan bahwa
upaya-upaya untuk menciptakan dan menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi di
suatu wilayah sangat membutuhkan ketersediaan sarana infrastruktur yang memadai,
ditinjau dari sisi kualitas dan kuantitasnya. Dalam kerangka mempercepat pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah yang bersifat berkelanjutan, maka pembangunan infrastruktur
seyogyanya dilakukan dengan menyeimbangkan sisi permintaan (demand side) dan sisi
penawaran (supply side) (BAPPENAS, 2004).
Keterkaitan hubungan antara pembangunan infrastruktur dengan pertumbuhan
ekonomi di suatu wilayah telah lama menjadi bahan kajian. Apparacio et al. (2007)
meneliti hubungan antara aksesibilitas sebuah wilayah dengan pertumbuhan
kesempatan kerja di Canada. Salah satu temuan dari riset yang dilakukannya
menunjukkan bahwa terbangunnya sebuah moda transportasi (sebagai misal pelabuhan
atau lapangan udara) tidak secara otomatis meningkatkan aksesibilitas wilayah yang
6
diteliti. Interaksi antar moda merupakan kondisi awal yang dibutuhkan agar terjadi
peningkatan aksesibilitas.
Hasil lain dari penelitian yang dilakukan Apparicio & Jolie (2007)
memverifikasi bahwa infrastruktur transportasi yang dibangun dengan mensinergikan
kedua sisi pandang (sisi permintaan dan penawaran) memang mampu menciptakan
peningkatan peluang pasar bagi produk yang dihasilkan wilayah yang sebelumnya
memiliki tingkat aksesibilitas rendah. Hal ini selanjutnya akan bermuara pada
peningkatan lapangan kerja bagi komunitas lokal. Analisis statistika menunjukkan
bahwa pada dekade 1971 – 2001, pembangunan moda-moda transportasi di Canada
ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan lapangan kerja bagi komunitas lokal
antara 4,6 persen hingga 8,0 persen.
Selain kajian mengenai hubungan antara infrastruktur moda transportasi dengan
pertumbuhan ekonomi seperti yang dilakukan oleh Apparicio & Jolie (2007) hubungan
antara pembangunan infrastruktur komunikasi, listrik, dan air, dengan pertumbuhan
ekonomi juga telah diteliti dengan kesimpulan yang diperoleh bervariasi antar
penelitian sesuai dengan jenis hubungan dan wilayah yang dijadikan pusat kajian.
Meskipun demikian, seperti yang diutarakan oleh Hull (1999), terdapat sebuah
kesamaan yaitu pembangunan infrastruktur bukan merupakan syarat cukup melainkan
lebih bersifat syarat perlu agar terjadi pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah.
Stone dalam (Kodoatie, 2003: 100) mengemukakan bahwa infrastruktur
sebagai bentuk fasilitas-fasilitas fisik yang diarahkan untuk melayani masyarakat pada
dasarnya untuk memfasilitasi tujuan-tujuan ekonomi dan sosial. Sistem infrastruktur
merupakan sistem pendukung utama dari sistem-sistem ekonomi dan sosial yang ada di
7
suatu wilayah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh World Bank (1994) sistem
infrastruktur memiliki peranan yang sangat erat pada pertumbuhan ekonomi suatu
negara, di mana dengan adanya kenaikan ketersediaan infrastruktur mengakibatkan
Pendapatan Domestik Bruto per kapita juga meningkat dengan besaran yang variatif
antara 0,07 dengan 0,44 (World Bank, 1994).
Pembangunan infrastruktur dalam bentuk prasarana transportasi (jalan,
pelabuhan laut, pelabuhan udara), jaringan listrik dan komunikasi (telepon),
instalasi dan jaringan air minum, serta pendidikan dan kesehatan yang merupakan
infrastruktur sosial sangatlah penting dalam meningkatkan perekonomian di suatu
wilayah. Infrastruktur dibutuhkan tidak saja oleh rumah tangga namun juga oleh
industri. Oleh sebab itu peningkatan prasarana infrastruktur diharapkan dapat
membawa kesejahteraan dan mempercepat pembanguan ekonomi.
Penelitian Herranz-Loncen (2008: 69) mengenai peran infrastruktur terhadap
pertumbuhan ekonomi Spanyol dengan menggunakan data 1850-1935 menunjukkan
bahwa infrastruktur dengan lingkup lokal, yaitu transportasi kota, distribusi listrik, dan
infrastruktur air memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
Spanyol. Ketersediaan listrik secara nyata tidak hanya diperlukan oleh pembangkit
listrik untuk operasionalnya namun juga digunakan sebagai input dalam proses
produksi, terutama kebutuhan yang besar atas listrik oleh perusahaan-perusahaan
manufaktur (Wang, 2002: 75).
Penelitian Agenor dan Moreno-Dodson (2009: 59) juga membuktikan
bahwa kaitan antara infrastruktur publik dan pertumbuhan ekonomi antara lain
dapat dijelaskan melalui peran infrastruktur dalam meningkatkan produktivitas
8
para pekerja, dimana pekerja-pekerja tersebut secara nyata digunakan sebagai
input dalam proses produksi. Dengan demikian dapat dikatakan, infrastruktur
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Secara khusus, dengan
terpenuhinya kebutuhan akan air, listrik, dan jalan akan memberikan fasilitas
dalam mentransformasi nontradable goods menjadi tradable goods dan atau dari
sektor pertanian menjadi jasa dan manufaktur.
Abdullah (2014), mengungkapkan bahwa investasi infrastruktur
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap meningkatnya aksesibilitas dan
mobilitas penduduk dalam pengembangan kawasan pertanian. Disamping itu,
adanya infrastruktur yang baik dapat memberikan akses yang lebih besar dalam
berinteraksi dengan wilayah lainnya, sehingga dapat memanfaatkan lahan yang
kurang produktif dapat dijadikan sebagai potensi untuk menghasilkan
komoditi yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa, peningkatan kualitas jalan
lingkar kawasan barat Enrekang ternyata sangat berpengaruh terhadap
peningkatan kuantitas dan kualitas produksi komoditi pertanian. Adanya kualitas
infrastruktur yang baik, diharapkan dapat menarik investor dalam
mengembangkan investasinya pada kawasan tersebut. Oleh karena itu, investasi
infrastruktur yang berkualitas, akan dapat memberikan pengaruh yang baik
terhadap tingkat kesejahteraan bagi masyarakat, hal ini terbukti adanya
peningkatan terhadap penghasilan penduduk masyarakat barat Enrekang.
Penelitian Chandra Darma Permana (2010: 4) menunjukkan bahwa
infrastruktur memiliki keterkaitan ke belakang yang lebih tinggi
dari pada keterkaitan ke depannya. Artinya bahwa, infrastruktur mempunyai peran
9
penting dalam meningkatkan output sektor lain untuk digunakan sebagai input
dibandingkan meningkatkan outputnya itu sendiri. Infrastruktur lebih mampu
meningkatkan pertumbuhan sektor hulu dari pada hilirnya. Dampak
dari infrastruktur mempunyai signifikansi yang besar terhadap multiplier dalam
bidang ekonomi. Pun demikian, pertumbuhan investasi pada sektor lainnya
juga berdampak secara total terhadap pengentasan kemiskinan dan memberikan
pendapatan yang lebih baik serta penguatan terhadap kualitas modal manusia.
Mengacu kepada bukti-bukti empiris tersebut, tidaklah berlebihan bila pada
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 -2019
untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional, pembangunan infrastruktur
diarahkan untuk : (a) menyediakan infrastruktur transportasi untuk pelayanan distribusi
komoditi perdagangan dan industri serta pergerakan penumpang dan barang, baik
dalam lingkup nasional maupun internasional; (b) menghilangkan kesenjangan antara
pasokan dan kebutuhan serta efektivitas dan efisiensi penggunaan energi termasuk
tenaga listrik; (c) meningkatkan teledensitas pelayanan telematika masyarakat
pengguna jasa; (d) memenuhi kebutuhan hunian layak bagi masyarakat dan
mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh; serta (e) mewujudkan peningkatan
keandalan dan keberlanjutan layanan sumber daya air baik untuk pemenuhan air
minum, sanitasi, dan irigasi guna menunjang ketahanan air dan pangan.
Pada dasarnya, pembangunan infrastruktur yang memadai dan berkualitas
akan memberikan kemudahan bagi para penggunanya untuk lebih produktif lagi
dalam melakukan kegiatannya. Oleh karena itu, pemerintah berupaya melakukan
percepatan pembangunan infrastruktur yang dilakukan dengan mengedepankan
10
prinsip kemitraan secara adil, terbuka transparan, kompetitif, dan saling
menguntungkan. Dalam rangka memperkuat otonomi daerah, diperlukan kerangka
kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui mekanisme
desentralisasi dan dekonsentrasi. Dalam kerangka kerja sama tersebut, dilakukan
peningkatan peran serta masyarakat, sebagai wujud kerja sama pemerintah dan
masyarakat/ komunitas dalam pembangunan infrastruktur (BAPPENAS, 2004).
Kuznets (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara
dipengaruhi oleh akumulasi modal (investasi pada tanah,peralatan, prasarana dan
sarana dan sumber daya manusia), sumber daya alam, sumber daya munusia (human
resources) baik jumlah maupun tingkat kualitas penduduknya, kemajuan teknologi, akses
terhadap informasi, keinginan untuk melakukan inovasi dan mengembangkan diri serta bu-
daya kerja (Todaro, Economic Development in the Third World. An Introduction to
Problems and Policies in a Global Perspective, 1977).
Mengacu kepada teori dari Simon Kuznets, maka budaya kerja merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Budaya merupakan sekumpulan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
adat dan kebiasaan yang diperoleh sebagai anggota sebuah perkumpulan atau
komunitas tertentu (Susanto, et al., 2008). Kumpulan budaya-budaya inilah yang
secara agregatif akan membangun sebuah budaya nasional yang membedakan
suatu bangsa dengan bangsa lainnya, suatu ras dengan ras lainnya, bahkan suatu
kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam menetapkan tujuan
pembangunannya. Terkait dengan budaya, persamaan atau perbedaan nilai-nilai
11
kebudayaan setiap masyarakat tumbuh dari pengalaman hidupnya, sejarahnya, dan
sistem kepercayaannya serta lingkungan alam dan sosial yang dihadapinya.
Menurut Hofstede & Minkov (2010) dikatakan bahwa budaya merupakan
perangkat lunak pikiran yang mengatur tentang pola pikir, pola tindak dan sikap
mempersepsikan diri dalam interaksi sosial dengan orang lain. Mengacu kepada
pendapat ini, maka tersirat makna bahwa budaya bukanlah sifat dari pembawaan
individu (genetis), tetapi merupakan suatu bentuk perilaku yang akan dipengaruhi oleh
faktor internal dan faktor eksternal dari seorang individu atau masyarakat (Schein,
2004).
Seperti halnya dengan infrastruktur pembangunan, budaya masyarakat
tidak secara otomatis mampu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Terdapat suatu mekanisme yang harus dilalui untuk mentransformasi pengaruh
dari berbagai sumber daya pembangunan – termasuk infrastruktur di dalamnya –
dan budaya masyarakat agar mampu memberikan pengaruh yang positif terhadap
peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat (Kotter & Heskett, 1996). Pun
perbedaan jenis-jenis infrastruktur yang dibangun di suatu kawasan akan
memberikan pengaruh yang berbeda pula.
Terkait dengan kewirausahaan, sejauh ini studi yang dilakukan terfokus
hanya kepada faktor-faktor yang berperan sebagai katalisator kewirausahaan
masyarakat. Sebagai misal, adanya perubahan radikal pada teknologi proses
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kewirausahaan masyarakat
(Tushman & Anderson, 1990). Selain faktor teknologi, faktor-faktor lain yang
mempengaruhi orientasi kewirausahaan masyarakat yang telah diteliti adalah
12
ideologi (Hiatt, W., & Tolbert, 2009), regulasi (Russo, 2001), dan fundamental
pasar (Tushman & Anderson, 1990). Satu kesamaan dari riset-riset ini adalah
kajian mengenai orientasi kewirausahaan dilakukan dengan mengamati
kecenderungan terjadinya perubahan lingkungan eksternal. Meskipun perubahan
lingkungan menyebabkan munculnya peluang usaha, perubahan ini tidak secara
otomatis menyediakan sumber daya yang dibutuhkan oleh perusahaan yang telah
ada untuk bertahan dan kesempatan untuk membuka usaha baru. Selain itu,
sangat dibutuhkan adanya dukungan infrastruktur yang mampu untuk
memperbesar skala perusahaan yang telah ada dan menciptakan usaha-usaha baru
(Forbes & Kirsch, 2011).
Pertumbuhan ekonomi menurut Abdullah (2014) adalah adanya
peningkatan terhadap PDB nasional yang diikuti oleh peningkatan terhadap modal
manusia sebagai subyek produksi untuk menghasilkan output yang lebih baik dan
berkualitas. Peningkatan modal manusia, tentunya diikuti oleh pembangunan
infrastruktur yang lebih baik dan perbaikan terahadap sarana prasarana publik
sebagai aksesibilitas, penunjang pergerakan ekonomi, dan penopang
ekonomi kerakyatan dengan pengelolaan dan pengembangan ekonomi lokal
sebagai unggulan usaha serta peningkatan penghasilan per kapita keluarga.
Berdasarkan Undang – undang No. 23 Tahun 2014 mengenai Otonomi
Daerah, Pemerintah pusat memberikan keleluasaan kepada daerah untuk
mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di daerahnya dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan memperhatikan prinsip-
prinsip potensi yang dimiliki daerah. Dalam rangka menghadapi pelaksanaan
13
kebijakan otonomi daerah tersebut, Pemerintah Daerah Provinsi Bali dituntut
untuk mempersiapkan berbagai kebijakan pembangunan daerah yang sesuai
dengan kondisi potensi ekonomis daerah. Penyusunan kebijakan pembangunan
dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berbasis pada potensi
ekonomis desa harus ditempatkan pada skala prioritas dalam pelaksanaan otonomi
daerah. Salah satu potensi ekonomi daerah yang bisa menjadi garapan pemerintah
daerah adalah industri kecil dan industri rumah tangga. Industri kecil dan rumah
tangga sangat berperan dalam pengentasan kemiskinan karena sifatnya padat
karya, memerlukan modal relatif kecil dengan tingkat teknologi sederhana
sehingga memungkinkan untuk dikerjakan oleh masyarakat golongan bawah baik
di perkotaan maupun di pedesaan.
Sektor industri mempunyai variasi produk yang beragam
dibandingkan dengan produk sektor lainnya. Di samping itu sektor industri
tidak tergantung pada keadaan alam seperti musim dan curah hujan, maka
pelaku bisnis lebih memanfaatkan sektor industri. Sektor ini lebih
menjanjikan dan dapat mengatasi permasalahan ekonomi seperti
pengangguran. Apalagi pembangunan industri kerajinan di Bali saat ini sudah
berkembang dengan pesat, dalam hal ini untuk mengembangkan industri
kerajinan yang ada di provinsi Bali dipandang sebagai upaya yang strategis
dan mengingat usaha ini sangat beranekaragam yang sesuai dengan potensi
daerah. Jumlah industri dan kerajinan rumah tangga sangat banyak dan
beranekaragam, salah satunya komoditi kerajinan kayu.
14
Menurut Iman Suryanto dalam artikel Tribun Bali (2014) mengatakan
jumlah industri dan kerajinan rumah tangga di Indonesia sangat banyak salah
satunya kerajinan kayu mampu menopang sekitar 80 persen dari total ekspor
non migas setiap tahunnya. Kegiatan industri ini mampu menyerap tenaga
kerja yang banyak dan menjadi prioritas pembangunan dengan harapan
mampu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat. Provinsi Bali
merupakan salah satu daerah tujuan wisatawan, juga memiliki potensi yang
sangat besar terhadap ekspor.
Kerajinan kayu merupakan suatu karya dari ukiran kayu, keberadaan
kerajinan kayu di Bali saat ini tidak terlepas dari pengaruh modernisasi salah
satunya ditransformasi pariwisata. Perkembangan kerajinan kayu di Bali
dilihat dari aspek bentuk, jenis, maupun maknanya bagi masyarakat.
Kerajinan ini memperlihatkan bentuk dan jenisnya yang sangat beragam
dengan makna ekonomis, sosial dan budaya. Adapun jenis-jenis kerajinan
kayu adalah patung animal, patung budha, patung manusia, patung barong,
patung siwa, meja, kursi, pintu, miror, frame dan masih banyak lagi.
Menurut Disperindag Provinsi Bali (2016) dilihat dari perkembangan
ekspor kerajinan kayu di Bali dari tahun 2012 hingga 2016 menjadi ekspor
unggulan di setiap tahunnya, karena kerajinan kayu sendiri telah memberikan
sumbangan dalam penyediaan lapangan pekerjaan yang lebih banyak. Hal ini
menunjukkan bahwa sektor industri kerajinan lebih potensial untuk
dikembangkan guna menunjang sektor pariwisata, meningkatkan ekspor non
migas dan meningkatkan pendapatan pengrajin tersebut. Industri kerajinan
15
kayu hingga saat ini masih menjadi komoditi unggulan yang dikembangkan
baik itu dari segi desain maupun mutunya.
Kerajian industri kayu di Provinsi Bali selama ini memang berada di
peringkat pertama dan dilanjutkan dengan ekspor kerajinan furniture dan
perak. Dibandingkan dengan industri kerajinan lainnya, industri ukiran kayu
dipandang cukup prospektif jika ditinjau dari banyaknya industri maupun
kemampuan dalam penyerapan tenaga kerja. Berbagai jenis produk kerajinan
ukiran kayu yang dihasilkan para pengrajin diproduksi oleh masyarakat
setempat yang masih bertautan erat dengan tradisi dan mengandung nilai-
nilai sakral, magis, dan simbolis.
Tabel 1. 1 Pertumbuhan Pengrajin Industri Kayu di Provinsi Bali
Tahun 2013-2017
Tahun Jumlah Industri Kayu (unit)
Pertumbuhan ( % )
2013 1.986 -
2014 1.568 -26,66
2015 2.092 25,05
2016 2.074 -0,87
2017 2.037 -1,82
Sumber : Disperindag Provinsi Bali, 2017
Data dalam Tabel 1.1 memperlihatkan bahwa, partumbuhan pengrajin
industri kayu di provinsi Bali justru mengalami kenaikan dan penurunan
secara fluktuatif selama 5 tahun. Penurunan terlihat dari tahun 2013 ke tahun
2014 sebesar 26,66 persen, kemudian pada tahun 2015 mengalami
peningkatan sebesar 25,05 persen. Selanjutnya pada tahun 2016 kembali
16
mengalami penurunan sebesar 0,87 persen dan berlanjut hingga pada tahun
2017 sebesar 1,82 persen.
Kenaikan dan penurunan pertumbuhan pengrajin industri kayu tersebut
tidak terlepas dari adanya ketentuan bahwa setiap pengrajin industri yang
berbahan dari kayu terutama untuk keperluan barang ekspor harus memiliki
sertifikat SVLK (Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu) seperti yang
disebutkan oleh Wiranata dalam Tribune Bali, 2017.
Penurunan pertumbuhan pengrajin industri kayu di Provinsi Bali
dewasa ini juga dipicu adanya kenyataan bahwa setiap bangunan perumahan,
hotel, dan villa telah menggunakan konstruksi atap dan dinding dari baja
lapis ringan (Blue Scope).
Kenyataan empiris ini, justru menunjukkan bahwa apa yang menjadi
harapan pemerintah terhadap program pemberdayaan yang dilakukan selama
ini belum memberi hasil yang sesuai dengan apa yang diharapkan. Fenomena
kinerja IKM di Indonesia, dari perspektif pertumbuhan jumlah unit usaha,
penyerapan tenaga kerja, nilai ekspor, nilai investasi dan kontribusinya pada
pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) belum memberi hasil yang
menggembirakan. Walaupun pertumbuhannya menunjukkan kenaikan, tetapi
pangsanya sangat kecil. Hal ini mengindikasikan, bahwa untuk seluruh
indikator makro, kinerja IKM belum menunjukkan pertumbuhan kuantitas
dan kualitas yang maksimal.
17
Tabel 1. 2 Jumlah Produksi Pengrajin Industri Kayu di Provinsi Bali