BAB IPENDAHULUAN Abses otak (abses cerebri) adalah suatu proses
pernanahan yang terlokalisir di antara jaringan otak yang dapat
disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus dan
protozoa. Biasanya tumpukan nanah ini mempunyai selubung yang
disebut sebagai kapsul. Tumpukan nanah tersebut bisa tunggal atau
terletak beberapa tempat di dalam otak. Abses otak timbul karena
ada infeksi pada otak. Infeksi ini dapat berasal dari bagian tubuh
lain, menyebar lewat jaringan secara langsung atau melalui pembuluh
darah. Infeksi juga dapat timbul karena ada benturan hebat pada
kepala, misalnya pada kecelakaan lalu lintas. Pada beberapa sumber
dikatakan bahwa abses otak dapat terjadi tanpa faktor atau dari
sumber yang tidak diketahui. Organisme penyebab abses otak yang
paling sering adalah dari golongan Streptococci. Kebanyakan bakteri
ini tidak membutuhkan oksigen dalam hidupnya (anaerobik). Bakteri
Streptococci ini seringkali berkombinasi dengan bakteri anaerobik
lainnya seperti Bacteriodes, Propinobacterium dan Proteus. Beberapa
jenis jamur yang berperan terhadap pembentukan abses otak antara
lain Candida, Mucor, dan Aspergilus. Walaupun kemajuan dalam hal
diagnostik dan antibiotika cukup pesat saat ini. Insiden abses otak
tidak terlihat menurun dan kenyataannya masih banyak dijumpai kasus
ini di dalam masyarakat. Diagnosa dan pengelolaan abses otak tetap
masih merupakan tantangan, walaupun dengan kemajuan-kemajuan dalam
hal cara diagnostik radiologis dengan memakai CT Scan kepala dan
didapatkannya berbagai antibiotika yang bekerja luas, angka
kematian masih tetap tinggi, antara 40% atau lebih. Maka pengenalan
dini dari suatu abses otak sangat memegang peranan penting di dalam
pengelolaannya. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Definisi Abses otak ( abses
serebri ) adalah infeksi pada otak yang diselubungi kapsul dan
terlokalisasi pada satu atau lebih area di dalam otak. Abses otak
terdapat pada semua usia. Terbanyak pada usia dekade kedua dari
kehidupan, antara 20-50 tahun. Perbandingan antara penderita
laki-laki dengan perempuan adalah 3 : 1 atau 3 : 2. 1.2 Faktor
Etiologi dan Predisposisi Sebagian besar abses otak timbul secara
penyebaran langsung dari infeksi telinga tengah, sinusitis, atau
mastoiditis. Sinusitis dapat berupa sinusitis paranasal, sinusitis
etmoidalis, sfenoidalis dan maksilaris. Juga dapat diakibatkan oleh
infeksi paru sistemik, endokarditis bakterial akut dan subakut,
serta sepsis mikroemboli menuju ke otak. Penyebab lain tetapi
jarang adalah osteomielitis tulang tengkorak, sellulitis,
erisipelas pada wajah, infeksi gigi, luka tembus pada tengkorak
oleh trauma. Bahkan masih banyak penulis lain yang masih belum
menemukan penyebab yang jelas. Berdasarkan sumber infeksi tersebut,
dapat ditentukan kira-kira dari lobus mana dari otak abses tersebut
bakal timbul. Infeksi pada sinus paranasal, dapat menyebar secara
retrograd tromboflebitis melalui klep vena-vena diploika menuju
frontal atau lobus temporal. Biasanya bentuk absesnya tunggal,
terletak suferfisial di otak, dekat dengan sumber infeksinya.
Sinusitis frontal dapat menyebabkan abses di bagian anterior atau
inferior dari lobus- lobus frontalis. Sinusitis sfenoidalis,
biasanya abses didapati pada lobus frontalis atau temporalis.
Sinusitis maksilaris absesnya didapati pada lobus temporalis.
Sinusitis etmoidalis absesnya didapati pada lobus frontalis.
Infeksi pada telinga tengah dapat menyebar ke lobus temporalis.
Infeksi pada mastoid dapat mebnyebar ke dalam serebelum.
Kadang-kadang kerusakan tengkorak kepala oleh karena kelainan
bawaan, seperti kerusakan tegmentum timpani atau karena kelainan
yang didapat seperti pada kerusakan tulang temporal oleh
kolesteatoma, memberi jalan untuk penyebaran infeksi ke dalam lobus
frontalis atau serebelum. Infeksi juga dapat menyebar secara
retrograd tromboflebitis pada cabang-cabang vena di temporal.
Cabangcabang vena ini bergabung menuju vana-vena kortikal atau ke
salah satu sinus venosus (lateral, inferior, atau petrosal
superior). Abses otak dapat juga timbul akibat penyebaran secara
hematogen dari infeksi yang letaknya jauh dari otak seperti pada
infeksi paru sistemik (empiema, abses paru, bronkiektasis,
pneumonia) atau pada endokarditis bakterialis akut dan subakut dan
pada penyakit-penyakit jantung lain seperti Tertalogi Fallot. Abses
yang terbentuk sering sekali multipel dan terdapat pada substansia
alba dan substansis grisea dari jaringan otak.
Dibeberapa negara, penyebaran infeksi secara sistemik ini
frekuensinya terlihat meningkat. Lokalisasi abses otak yang
penyebarannya secara hematogen ini sesuai dengan peredaran darah,
paling sering pada daerah yang didistribusi oleh arteri serebri
media, terutama pada lobus parietalis. Bisa juga pada daerah lain
seperti serebelum dan batang otak. Krayenbuhl dan Garfiels
mendapatkan endokarditis subakut bersama sama dengan penyakit
jantung bawaan ataupun penyakit jantung rematik yang amenjadi
penyebab abses otak ini. Lesi primer lainnya bisa juga akibat
pustula kulit, infeksi gigi, abses tonsil, osteomielitis dan
septikemia. Sebaga penyebab abses otak yang tidak diketahui,
persentasenya cukup tinggi, antara 20-37%. Pada penderita penyakit
jantung bawaan ataupun kelainan bentuk arteri dan vena paru
terutama yang didapati adanya aliran darah pintas dari kanan ke
kiri, sangat mudah terkena abses otak, oleh karena darahnya tidak
disaring melalui kapiler-kapiler paru. Polisitemia dapat
menyebabkan infark-infark kecil di otak yang mengakibatkan daerah
iskemik untuk perkembangan organisme. Pada keadaan bakterimia
jarang menyebabkan terbentuknya abses otak oleh karena Blood brain
barrier yang masih baik sangat resisten terhadap infeksi. Sebagai
faktor pencetus lain adalah terjadinya trauma tembus pada kepala,
terutama bila didapatkan adanya benda asing yang tertinggal di
dalam jaringan otak, umpamanya tulang. Luka tembak akibat senjata
api dapat menyebabkan abses otak setelah beberapa lama dari
kejadiannya, tetapi ini jarang di jumpai oleh karena biasanya logam
panas tersebut steril. Untuk mencegah terjadinya abses otak akibat
trauma tembus kepala, dinjurkan untuk segera melakukan debridenment
. Patah tulang dasar tengkorak yang disertai dengan kebocoran
cairan serebrospinal dapat menyebabkan meningitis yang
mengakibatkan terjadinya abses otak. Pada kraniotomi, bila terjadi
infeksi osteomielitis dari bone flap, kemungkinan dapat menyebabkan
abses otak. Demikian pula dengan pemakaian implan, bila terinfeksi
dapat menyebabkan abses otak. Akhir-akhir ini terlihat adanya
peningkatan insiden abses otak pada penderita penyakit imunologik.
Termasuk dalam kelompok ini yaitu penderita dengan penyakit kronis
seperti pada penderita yang menggunakan kemoterapi untuk
penyakit-penyakit malignan yang dapat menekan kekebalan tubuh,
penderita yang mendapat pengobatan dengan steroid ataupun bahan
sitotoksik, antibiotika dengan kerja luas dan penderita dengan
sindroma kegagalan sistem kekebalan tubuh (AIDS). Pernah dilaporkan
abses otak disebabkan oleh organisme parasit, seperti
Schistosomiasis atau amoeba, tetapi sangat jarang. Juga oleh jamur
seperti Aktinimikosis, okardiosis, Candida Albicans dan lain-lain .
Abses otak oleh bakteri multosida yang tumbuh saprofit pada saluran
pencernaan binatang piaraan seperti anjing dan kucing pernah juga
dilaporkan. Infeksi biasanya karena gigitan hewan tersebut. 1.3
Europatologi dan Gambaran CT Scan Perjalanan bentuk abses otak oleh
infreksi Streptococcus alfa hemolitikus secara histologis dibagi
dalam 4 fase, dan ini memerlukan waktu sampai 2 minggu untuk
terbentuknya kapsul dari abses. Keempat fase tersebut ailah : 1.
Early cerebritis ( hari ke 1 - 3 ) 2. Late cerebritis ( hari ke 4 9
) 3. Early capsule formation ( hari ke 10 13 ) 4. Late capsule
formation ( hari ke 14 atau lebih ) a. Early cerebritis Terjadi
reaksi radang lokal dengan infiltrasi polimorfonuklear leukosit,
limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi.
Dimulai pada hari pertama dan meningkat pada hari ke-tiga. Sel-sel
radang terdapat pada tunika adventisia dari pembuluh darah dan
mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskuler ini
disebut cerebritis. Pada waktu ini terjadi edema sekitar otak dan
peningkatan efek dari massa oleh karena pengembangan abses.
Gambaran CT Scan : Pada hari pertama terlihat daerah yang hipodens
dengan sebagian gambaran seperti cincin. Pada hari ketiga gambaran
cincin lebih jelas, sesuai derngan diameter cerebritisnya, didapati
mengelilingi pusat nekrosis. b. Late Cerebritis Pada wakti ini
terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat
nekrosis membesar oleh karena meningkatnya acellular debris dan
pembentukan nanah oleh karena perlepasan enzim-enzim dari sel
radang. Pada tepi-tepi pusat nekrosis didapati daerah sel-sel
radang, makrofagmafrofag besar dan gambaran fibroblas yang
terpencar-pencar. Fibroblas mulai menjadi anyaman retikulum, yang
akan membentuk kapsul kollagen, lesi menjadi sangat besar. Gambaran
CT Scan : - Gambaran cincin sempurna, 10 menit setelah pemberian
kontras perinfus. Kontras masuk ke daerah sentral dengan gambaran
lesi yang homogen. Gambaran ini menunjukkan adanya cerebritis. c.
Early Capsule Formation Pusat nekrosis mulai mengecil,
makrofag-makrofag menelan acelluler debris dan fibroblas meningkat
dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblas membentuk anyaman
retikulum, mengelilingi pusat nekrosis. Di dalam ventrikel,
pembentukan dinding sangat lambat oleh karena kurangnya
vaskularisasi di daerah substansi alba dibandingkan dengan
substansi grisea. Pembentukan kapsul yang terlambat dipermukaan
tengah memungkinkan abses membesar ke dalam substansia alba. Bila
abses cukup besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada
pembentukan kapsul, terlihat daerah anyaman retikulum yang tersebar
membentuk kapsul kollagen. Mulai meningkatnya reaksi astrosit di
sekitar otak. Gambaran CT Scan : Hampir sama dengan fase
cerebritis, tetapi pusat nekrosis terlihat lebih kecil. Kapsul
terlihat lebih tebal. d. Late Capsule Formation Terjadi
perkembangan lengkap dari abses otak dengan gambaran histologisnya
berupa : Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acelluler debris dan
sel-sel radang. Daerah tepi dari sel radang, mafrofag, dan
fibroblas. Kapsul kolagen yang tebal. Lapisan neovaskuler
sehubungan dengan cerebritis yang berlanjut. Reaksi astrosit,
gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
Gambaran CT Scan : Gambaran kapsul dari abses jelas terlihat,
sedangkan daerah nekrosis diisi oleh kontras. 1.4 Gambaran
KlinisPenderita datang dengan keluhan berupa sakit kepala,
mintah-muntah, kejang dan bisa disertai gangguan penglihatan. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan demam, kaku kuduk, papil bendung, bisa
pula dijumpai pupil anisokor, afasia, hemiparese, parastesia,
nistagmus ataupun ataksis. Gejalagejala tersebut tergantung pada
berbagai faktor seperti lokasi abses, virulensi dari bakteri
penyebab, apakah edema otak hebat dan kondisi tubuh atau daya tahan
si penderita sendiri. Tidak dijumpai tanda-tanda spesifik dan
gejala yang khas untuk suatu abses otak. Paling sering dijumpai
tanda-tanda umum peningkatan tekanan intrakranial. Bisa dijumpai
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial tanpa tanda-tanda
infeksi pada waktu penderita datang ke rumah sakit. Pada umumnya
peningkatan tekanan intrakranial oleh tumor jinak lebih pelan
daripada oleh abses otak. Pada abses yang letaknya pada silent area
dari otak seperti pada lobus frontalis atau lobus temporal non
dominan, mungkin didapati pembesaran abses sebelum adanya
gejala-gejala dan tanda-tanda. Gejala sakit kepala yang hebat pada
penderita abses otak ini sering tidak dapat diatasi hanya dngan
pengobatan simptomatis saja. Hampir seluruh penderita didapati
keluhan sakit kepala. Beberapa penulis mendapatkan gejala-gejala
dengan persentase sebagai berikut : muntah (25-50%), kejang-kejang
(30-50%). Pada penderita dengan abses serebelli, didapatkan
gejala-gejala pusing, vertigo, ataksis, dan gejalagejala serebelar
lainnya. Gejala fokal yang sering ditemukan (61%) pada kasus dengan
abses supratentorial. Pada abses temporal dapat dijumpai gangguan
bicara pada 19,6% kasus, hemianopsia pada 31% kasus, 20,5% kasus
dijumpai unilateral midriasis yang merupakan indikasi terjadinya
herniasi tentorial. 30% dari kasus tidak didapati tanda-tanda
fokal. 1.5 Pemeriksaan Penunjang Untuk mencari sumber infeksi
primer dari suatu abses otak dapat dibuat suatu foto rontgen polos
kepala, sinus ataupun mastoid. Pada foto rontgen polos kepala,
mungkin terlihat pergeseran letak glandula pinealis yang mengalami
kalsifikasi. Didapatkan pneumosefali kalau penyebarannya bakteri
anaerob. Pada anak-anak kemungkinan sutura melebar oleh karena
peninggian tekanan intrakranial. Kalau ada indikasi, kemungkinan
dapat dibuat foto rontgen toraks untuk mencari apakah ada infeksi
dari paru. Dengan ultrasonografi didapatkan gambaran lateralisasi
pada 34,5% kasus. Dengan angiografi dapat ditentukan lokalisasi
abses secara tepat pada 34% kasus. Pemeriksaan dengan Computerized
Tomography Scanning(CT Scan) dapat terlihat lokasi yang tepat dari
abses dan juga fase dari abses tersebut, apakah pada fase
cerebritis atau pada fase sudah terbentuknya kapsul. Dengan adanya
CT Scan ini, pengelolaan abses otak dapat dilakukan secara cepat
dan tepat. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan jumlah leukosit dan
laju endap darah hasilnya selalu abnormal. Pada 60-70% kasus
dijumpai jumlah leukosit antara 10.000-20.000/cm3. Sampai 40% kasus
dijumpai normal atau sedikit meningkat. Laju endap darah meningkat
pada 75-90% kasus, rata-rata 45 mm/jam. Cairan serebrospinal tidak
dianjurkan untuk diperiksa. Abnormalnya hasil LP tidak spesifik
untuk abses otak. Penderita abses otak dengan peninggian tekanan
intrakranial, terlalu riskan untuk dilakukan LP ( lumbal pungsi ).
Yang S.Y melaporkan beberapa kasus yang dilakukan lumbal pungsi
dengan cepat menunjukkan tanda-tanda herniasi otak, oleh karena itu
pada penderita dengan sangkaan meningitis dan dijumpai tanda-tanda
neurologis abnormal, sebaiknya lebih dulu dilakukan pemeriksaan CT
Scan untuk menyingkirkan diagnosa abses otak. Bila ditemkan abses
dengan efek massa yang jelas, maka tidak dianjurkan untuk melakukan
LP. 1.6 Diagnosa Banding Dari gejala-gejala dan keluhan yang umum
pada penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial serta
kemungkinan didapatkan tanda-tanda infeksi, maka abses otak ini
didiagnosis banding antra lain dengan tumor, terutama tumor ganas
yang tumbuh dengan cepat, tromboflebitis intra serebral, empiema
subdural, abses ektra dural dan ensefalitis. 1.7 Komplikasi Sebagai
komplikasi didapati robeknya kapsul abses kedalam ventrikel atau
keruangan subarakhnoidal, penyumbatan cairan serebrospinalis
mengakibatakan hidrosefalus, edema otak dan terjadinya herniasi
tentorial oleh massa abses otak tersebut.1.8 Pengobatan Abses Otak
Pengobatan abses otak ditujukan kepada menghilangkan proses infeksi
dan mengurangkan atau menghilangkan efek massa pada otak dan oleh
edema otak, sebagian besar infeksi ini diobati dengan antibiotika
yang tepat dan dihilangkan dengan tindakan pembedahan, baik dengan
aspirasi maupun dengan eksisi. Williams-Maurice RS melaporkan bahwa
tindakan bedah yang memuaskan hasilnya adalah evakuasi, eksisi
total beserta kapsul abses, mereka melakukan pembedahan semua kasus
dengan pembiusan umum. Pendekatan dengan osteoplastik
supratentorial dan intratentorial, ataupun suboksipital
osteoklastik luas dengan membuang arkus dari atlas untuk
dekompresi. Pengobatan medikamentosa disesuaikan dengan hasil
kultur dari abses otak, kultur darah ataupun sekret nasofaring.
Beberapa peneliti melaporkan hasil pengobatan hanya dengan
medikamentosa saja pada beberapa kasus berhasil, tetapi ini banyak
yang menentang. Heineman et al (1971) memperkenalkan cara
pengobatan hanya dengan antibiotika tanpa tindakan pembedahan.
Dilaporkan, pada abses otak dengan fase cerebritis pengobatan hanya
dengan antibiotika. Diperiksa kultur darah, cairan serebrospinal,
sesuai dengan kultur luka apabila ditemukan. Tidak diperiksa
bakteriologis dari nanah abses intrakranial. Untuk mengurangi edema
otak, digunakan kortikosteroid. Rosenblum dkk menemukan pengobatan
medikamentosa pada abses yang kecil dengan diameter rata-rata 1,7
cm ( 0,8 2,5 cm ). Kalau diameter lebih besar antara 2 6 cm (
rata-rata 4,2 cm ) dianjurkan untuk dilakukan tindakan bedah.
Sebagai tambahan bahwa ada beberapa abses otak yang kecil yang
tidak berhasil dengan pengobatan antibiotika, bahkan absesnya
bertambah besar, pada pengobatan dengan hanya antibiotika ini
diperlukan pemeriksaan CT Scan secara serial. Kalau dari hasil CT
Scan memperlihatkan keadaan bertambah buruk, maka ini merupakan
indikasi untuk dilakukan pembedahan. Penderita dengan abses otak
yang multipel, kemungkinan hanya abses yang besar saja yang dapat
dilakukan aspirasi atau eksisi dan ini sangat riskan. Maka selain
tindakan pembedahan, untuk abses yang dalam dan riskan diperlukan
pemberian antibiotika. Adapun antibiotika yang dianjurkan diantara
nya : Kombinasi penisilin dan metronidazol/kloramfenikol adalah
pilihan pertama. Kombinasi alternatif adalah sefalosporin generasi
III seperti seftriakson/sefotaksim dan metronidazol. Penisilin G
atau sefalosporin generasi III ( sefotaksim, seftriakson ) dapat
digunakan untuk Streptococci sp. Dosis penisilin G 20-24 juta unit,
dan juga 4-6 juta unit. Kloramfenikol atau metronidazol dapat
dierikan secara intravena dengan loading dose 15 mg/kg diikuti 7,5
mg/kg setiap 6 jam. Golongan penisilin resisten beta laktam (
oksasilin, metisilin, nafilin ) dengan dosis 1,5 g setiap 4 jam IV
atau vankomisin dosis 1 g setiap 12 jam IV, diberikan untuk
Staphylococcus aureus, paska operasi saraf, trauma, atau
endokarditis bakterialis. Metronidazol dosis 500 mg setiap 6 jam
dapat menembus sawar darah otak dan tidak dipengaruhi oleh
kortikosteroid, tetapi hanya aktif untuk bakteri Streptococcus
anaerob, aerob, dan mikroaerofilik, Sefalosporin generasi III (
sefotaksim, seftriakson ) umumnya adekuat untuk organisme gram
negatif aerob. Jika terdapat Pseudomonas, sefalosporin parenteral
pilihan adalah seftazidim atau sefepim. Trimetoprim-sulfametoksazol
dosis tinggi 15 mg/kg/hari dari komponen trimetoprim dibagi 3 - 5
dosis untuk abses otak dengan penyebab ikardia sp. Dosis dapat
diturunkan 1/2 selama 3-6 bulan pada pasien tanpa penekanan imun
dan selama 1 tahun pada pasien dengan penekanan imun.
Apabila didapatkan sinusitis, mastoiditis, dilakukan drainase.
Pada kasus-kasus abses otak yang dilakukan tindakan pembedahan
digunakan dua cara yaitu aspirasi melalui pengeboran tulang
tengkorak dan eksisi melalui kraniotomi.
Tindakan Pembedahan Aspirasi
Lebih dahulu dilakukan desinfeksi dan penentuan lokasi yang akan
diaspirasi. Dengan hasil CT Scan yang ada, dapat ditentukan secara
pasti. Dilakukan pembuisan lokal dengan memakai prokain 1 %,
diinfiltrasikan ke kulit di daerah yang akan dilakukan pengbeboran.
Kemudian dibuat insisi kulit kulit kepala sebesar 3-5 cm lapis demi
lapis sampai pada periosteum. Setelah tulang tampak jelas, daerah
operasi tersebut dengan alat dibuka selebar-lebarnya. Dengan alat
dilakukan pengeboran tulang sampai terlihat duramater. Duramater
dibersihkan, kalau ada perdarahan dirawat sampai benar-benar
bersih. Dengan pisau runcing perlahan-lahan duramater diiiris
sampai lapisan arakniod. Setelah korteks serebri terlihat jelas,
daerah yang akan dilakukan pungsi atau aspirasi dibakar dengan alat
elektris. Dengan jarum pungsi khusus, dilakukan aspirasi nanah pada
abses. Jarum pungsi tetap di dalam kapsul abses, dengan semprit 10
cc dilakukan aspirasi berulangulang kemudian diirigasi dengan
larutan garam fisiologis sampai bersih. Akhirnya ke dalam rongga
abses dimasukkan larutan 3 cc Garamicin 10 mg. Dipasang drain, dan
setiap hari drain diawasi dan dilakuan irigasi dengan larutan
Garamicin 20 mg. Kalau sampai 3-5 hari hail dari irigasi terlihat
jernih, tidak terbentuk pernanahan baru maka drain dapat
dilepaskan. Drain dapat dipertahankan sampai gari ke-7 -10 dengan
dijaga kesterilannya. Disamping itu sejak sebelum pembedahan
penderita telah mulai diberi antibiotika dengan dosis tinggi
seperti ampicillin 6x1 g, kloramfenikol 4 x 500 mg, metronidazol 2
x 500 mg. Sampai menunggu hasil kultur, obat-obat tersebut terus
diteruskan. Pemberian antibiotika yang sesuai diberikan sampai
dengan 6 minggu setelah tindakan pembedahan. Pemberian deksametason
4 x 5 mg diturunkan perlahan-lahan setelah pembedahan Kraniotomi
Osteoplastik Penderita dipersiapkan dengan persiapan bedah
selengkap-lengkapnya. pembedahan dilakukan dengan pembiusan umum.
Tergantung dari lokasi absesnya, kita melakukan kraniotomi
osteoplastik dan flap kulit dipersiapkan. untuk abses fosa
posterior/serebellum dilakukan suboksipital kraniotomi yang luas,
sampai membuang arkus dari tulang atlas bila diperlukan. Setelah
insisi kulit sesuai dengan lokasi absesnya, dilakukan pengeboran
dibeberapa tempat untuk kraniotomi tersebut. Tulang dilepaskan,
duramater dibuka lebar. Dengan jarum fungsi khusus dilakukan
penusukan pada absesnya. Dilakukan aspirasi, disediakan untuk
dikultur. Kemudian melalui bekas pungsi, diikuti dengan spatel
sampai dinding abses tersebut terlihat. Korteks serebri diinsisi
sepanjang 2-4 cm sampai dinding abses yang paling permukaan
ditemukan. Secara perlahan-lahan dinding abses dibebaskan dari
jaringan otak yang normal sampai terlepas keseluruhannya. Daerah
bekas abses dicuci dengan larutan antibiotika seperti Garamycin.
Setalah perdarahan dihentikan dan luka pembedahan bersih, duramater
ditutup rapat kembali, dijahit dengan cara interupted suture dengan
benang sutura 03. Tulang dikembalikan, periosteum dijahit. Kulit
dijahit lapis demi lapis. Dipasang drain subkutan. Pemberian
antibiotika diteruskan sambil menunggu hasil kultur dan
sensitivitas test. Sebagai pencegahan, diberi anti konvulsan
Dilantin 5 mg/kgBB. Setelah satu minggu kemudian, dibuat CT Scan
sebagai kontrol. ABSES OTAK OTOGENIK ( KOMPLIKASI OTITIS MEDIA
SUPURATIF )Abses otak otogenik sebagai komplikasi otitis media dan
mastoiditis dapat ditemukan di serebelum, fosa cranial posterior
atau di lobus temporal, di fosa cranial media. Keadaan ini sering
berhubungan dengan tromboflebitis sinus lateralis, petrositis, atau
meningitis. Abses otak biasanya merupakan perluasan langsung dari
infeksi telinga dan mastoiditis atau tromboflebitis. Umumnya
didahului oleh suatu abses ekstradural.Komplikasi otitis media
biasanya didapatkan pada pasien OMSK tipe bahaya, tetapi OMSK tipe
aman pun dapat menyebabkan suatu komplikasi, bila terinfeksi kuman
yang virulen. Hal ini terjadi apabila sawar pertahanan telinga
tengah yang normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar
ke struktur disekitarnya. Pertahanan pertama ialah mukosa kavum
timpani yang mempu melokalisasi infeksi. Bila sawar ini runtuh, ada
dinding tulang kavum timpani dan sel mastoid. Bila sawar ini runtuh
maka jaringan lunak disekitarnya akan terkena. Runtuhnya periostium
akan menyebabkan abses subperiosteal; apabila infeksi mengarah ke
dalam yaitu tulang temporal, akan menyebabkan paresis n.fasialis
atau labirinitis. Bila kearah cranial, akan menyebabkan abses
ekstradural, tromboflebitis sinus lateralis, meningitis dan abses
otak.Bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding pertahanan ketiga
yaitu jaringan granulasi akan terbentuk. Pada OMSA penyebaran
biasanya melalui osteotromboflebitis ( hematogen ). Sedangkan pada
kasus yang kronis, terjadi melalui erosi tulang. Cara lainnya ialah
toksin masuk melalui fenestra rotundum, meatus akustikus internus,
duktus perilimfatik dan duktus endolimfatik.Penyebaran Hematogen.1.
Komplikasi terjadi pada awal suatu infeksi atau eksaserbasi akut,
dapat terjadi pada hari pertama atau kedua sampai hari kesepuluh.2.
Gejala prodromal tidak jelas seperti didapatkan pada meningitis
lokal.3. Pada operasi, didapatkan dinding tulang telinga tengah
utuh, tulang serta lapisan mukoperiosteal meradang dan mudah
berdarah, sehingga disebut juga mastoiditis hemoragika.Penyebaran
melalui Erosi Tulang.1. Komplikasi terjadi beberapa minggu atau
lebih setelah awal penyakit.2. Gejala prodromal infeksi lokal
biasanya mendahului gejala infeksi yang lebih luas.3. Pada iperasi
dapat ditemukan lapisan tulang yang rusak diantara focus supurasi
dengan struktur sekitarnya. Struktur jaringan lunak yang terbuka
biasanya dilapisi oleh jaringan granulasi.Penyebaran melalui Jalan
yang Sudah Ada.1. Komplikasi pada awal penyakit.2. Ada serangan
labirinitis atau meningitis berulang, mungkin ditemukan fraktur
tengkorak, riwayat operasi tulang atau riwayat otitis media yang
sudah sembuh.3. Pada operasi dapat ditemukan jalan penjalaran
melalui sawar tulang yang bukan oleh karena erosi.EPIDEMIOLOGI.Pada
era sebelum antibiotika, angka kejadian ASO sekitar 2.3% dari
seluruh komplikasi otits media kronik, namun pada era antibiotik
dan perkembangan tehnik operasi yang baik, kejadian komplikasi ASO
ini berkurang manjadi 0.15 0.04%.Angka kejadian ASO diperkirakan 1
per 10000 komplikasi intrakranial akibat otitis media, dan
rata-rata ditemukan 4-5 kasus pertahun dari laporan bagian bedah
saraf di negara-negara maju. Kejadian ASO didominasi oleh pria
dengan perbandingan 2:1, dan terbanyak dijumpai pada usia 30-45
tahun.
ETIOLOGI.
Streptococcus faecalis, Proteus spp, and Bacteroides fragilis
adalah kuman-kuman yang sering ditemukan pada abses serebri.
Penelitian yang dilakukan di rumah sakit Greek pada 21 pasien
dengan abses serebri menunjukkan kuman pathogen yang sering
ditemukan adalah kuman gram negative anaerob seperti Bacteroides
and Fusobacterlum and aerobic Streptococcus yang diduga kuman ini
bergantung dari dari mana asal abses tersebut.Pada kolesteatoma
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman jenis Proteus dan
Pseudomonas aeruginosa.GEJALA KLINIS.Gejala klinis ASO meliputi
gejala lokal di lobus temporalis dan gejala serebritis. Gejala
klinis dini yang patut dicurigai ASO antara lain : riwayat OMKS
disertaidemam. Gejala umum akibat tokiskasi : nyeri kepala, mual
dan muntah. Tanda nyata suatu abses otak ialah nadi yang lambat
serta adanya serangan kejang Gejala akibat lesi di lobus temporalis
; aphasia, kesulitan dalam memahami kata-kata (kelainan bicara
umumnya sensoris dan tak pernah motorik), gangguan pendengaran
sentral yang umumnya dapat identifikasi, halusinasi akustik,
gangguan penciuman, gangguan penglihatan seperti hemianopsia,
neuropati saraf-saraf kranial mulai dari N.III s/d N.VII, lesi
silang pada traktus piramidalis. Gejala-gejala serebritis, atau
adanya abses serebelum yang dapat ditemukan antara lain ; gangguan
okulomotor, sistem postural, adanya nistagmus spontan pada sisi
lesi, ataksia, tremor, dismetria, hipotonia, lesi yang menunjukkan
perluasan ke regio sekitarnya seperti paralisis N. III, V, VI, VII,
IX dan X.
Pada stadium akut, naiknya suhu tubuh, nyeri kepala atau adanya
tanda toksisitas seperti malaise, perasaan mengantuk, somnolen atau
gelisah yang menetap. Timbulnya nyeri kepala di daerah parietal
atau oksipital dan adanya keluhan mual, muntah yang proyektil serta
kenaikan suhu tubuh yang menetap selama terapi diberikan merupakan
tanda komplikasi intracranial.
Pembagian gejala klinis berdasarkan stadium :1. stadium
awaldengan tanda-tanda meningismus, nause, nyeri kepala, perubahan
psikologi, demam.2. Stadium dua/latenjika ditemukan serangan
epileptikal, tanda defisit neurologis.3. Stadium
tiga/manifestasidapat ditemukan papil edema, perubahan-perubahan
psikis, tanda-tanda kelainan fokal seperti aphasia, alexia,
agraphia, hemiplegia, serangan epilepsi dan ataksia pada abses yang
meluas ke sereberal, dapat juga ditemukan gejala-gejala penyebaran
ke organ-organ sekitar seperti paralisis nervi kraniales, gangguan
lapang pandang, gangguan sistem okulomotor danposture.4. Stadium
empat/terminaldapat ditemukan tanda-tanda stupor, koma, bradikardia
dan pernafasancheyne stokes (pernafasan yang lambat dan semakin
cepat tanpa adanya pola apneu).
Gejala abses serebelum biasanya lebih jelas daripada abses lobus
temporal. Abses serebelum dapat ditandai dengan ataksia,
diddiadokokinetis, tremor intensif dan tidak tepat menunjuk suatu
objek.Afasia dapat terjadi pada abses lobus temporal. Gejala lain
yang menunjukkan adanya toksisitas, berupa nyeri kepala, demam,
muntah serta keadaan letargik. Selain itu sebagai tanda yang nyata
suatu abses otak ialah nadi yang lambat serta serangan kejang.
PEMERIKSAAN PENUNJANG.Pemeriksaan penunjang untuk mendeteksi
adanya abses otak ialah CT Scan, MRI, Angiografi, radiologi.
Pemeriksaan LCS mungkin akan memperlihatkan kadar protein yang
meninggi serta tekanan yang meningkat. Pemeriksaan paling akurat
adalah melalui CT scan.Pada stadium-stadium awal, gambarannya
mungkin hampir sama dengan meningitis, dimana tidak
ditemukanenhancment pada pemberian kontras.Pada stadium awal
terbentuknya abses, mulai terdeteksi adanyaireguler enhancmentpada
tepi abses.Pada abses yang nyata akan ditemukan enhancment berupa
cincin yang merupakan gambaran kapsul kolagen yang mengelilingi
abses. Namun perlu pula di pikirkan kemungkinan lain
adanyaenhancmentcincin ini selain abses yaitu metastasis tumor
otak, tumor-rumor otak primer (utamanya adalah astrositoma drajat
4), granuloma, hematom serebri yang mulai mengalami resolusi.
PENGOBATAN.Pengobatan abses otak ialah dengan antibiotika
parenteral dosis tinggi ( protocol terapi komplikasi intrakanial ),
dengan tanpa operasi untuk melakukan drainase dari lesi. Selain
itu, pengobatan dengan antibiotika harus intensif. Mastoidektomi
dilakukan untuk membuang sumber infeksi, pada waktu keadaan umum
lebih baik. Singkatnya, pengobatan terdiri dari pemberian
antibiotic dosis tinggi secepatnya, penatalaksanaan operasi infeksi
primer di mastoid pada saat yang optimum, bedah saraf bila
perlu.
1. Antibiotik.Pasien harus dirawat dan diberi Ab dosis secara
IV. Dimullai dari ampisilin 4 x 200-400 mg/kgBB/hari, Kloramfenikol
4 x 0,5-1 g/hari untuk orang dewasa atau 60-100 mg/kgBB/hari untuk
anak. Pemberian metronidazol 3 x 400-600 mg/hari juga
dipertimbangkan. ( 7-15 hari )Ab diberikan disesuaikan dengan
kemjuan klinis dan hasil biakan dari secret telinga ataupun LCS.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan lab, foto mastoid, dan CT
Scan.
Jika CT Scan ada terlihat tanda abses, pasien segera dikonsul ke
Bedah Saraf untuk drainase otak segera. Mastoidektomi dapat
dilakukan bersama-sama atau kemudian. Bila bedah saraf tak segera
melakukan operasi, pengobatan medikamentosa dilanjutkan sampai 2
minggu, lalu dikonsul lagi ke bedah saraf. Mastoidektomi dilakukan
sebelum atau sesudah bedah saraf melakukan operasi otak. Bila saat
itu KU pasien buruk atau suhu tinggi, maka dilakukan analgesia
lokal. Jika CT Scan tak terlihat ada abses dan KU pasien baik, maka
segera dilakukan mastoidektomi dengan anesthesia umum atau
analgesia lokal. Bila KU pasien buruk atau suhu tinggi, maka
pengobatan medikamentosa dilanjutkan sampai 2 minggu, lalu segera
dilakukan mastoidektomi dengan analgesia lokal. Jika CT Scan tak
dapat dibuat, pengobatan medikamentosa diteruskan sampai 2 minggu
untuk kemudian dilakukan mastoidektomi. Bila KU tetap buruk atau
suhu tetap tinggi, dilakukan mastoidektomi dengan analgesia
lokal.
BAB IILAPORAN KASUS
2.1 Identitas PasienNama:Tn. REPJenis Kelamin:Laki-LakiUsia:24
tahunNo. MR: 86.45.78Suku: MinangAlamat:Jl. Piai atas cubadak
tangah, PauhMasuk RS Tanggal:2 Agustus 2014
2.2 Anamnesis (Autoanamnesis) Telah dirawat seorang pasien
laki-laki berusia 24 tahun di Bangsal Neurologi RSUP Dr. M. Djamil
Padang sejak tanggal 2 Agustus 2014 dengan:
Keluhan Utama:Nyeri kepalaRiwayat Penyakit Sekarang: Nyeri
kepala yang bertambah berat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
Nyeri kepala sudah dirasakan sejak 2 minggu yang lalu, nyeri
terutama dirasakan di telinga bagian kanan yang menyebar ke seluruh
bagian kepala, nyeri terasa berdenyut-denyut seperti ditekan, terus
menerus, dan kadang disertai rasa mual, muntah tidak ada, aura
tidak ada, penglihatan ganda tidak ada. Keluar cairan berwarna
merah dari telingan sebelah kanan sejak 2 hari yang lalu. Penurunan
kesadaran dan kejang saat onset tidak ada Kelemahan anggota gerak
tidak ada BAB dan BAK biasa Pasien sebelumnya dirawat dibagian THT
dengan diagnosis OMSK tipe bahaya dan telah dilakukan operasi
mastoidektomi radikal 2 minggu yang lalu
Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat nyeri kepala pertama kali
dirasakan sejak 4 bulan yang lalu, sebelumnya pasien pernah berobat
ke RSUP Dr M Djamil dan didiagnosis menderita abses cerebri,
kemudian dilakukan pembedahan oleh bedah syaraf. Riwayat keluar
cairan dari telinga ada sejak 8 tahun yang lalu, cairan berwarna
kuning kehijauan dan berbau. Riwayat menderita hipertensi, DM,
penyakit jantung sebelumnya tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang
menderita keluhan nyeri kepala seperti pasien. Tidak ada anggota
keluarga yang menderita DM, stroke, penyakit jantung, dan
hipertensi.
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan:
Pasien adalah seorang freelance, tamatan SMA Riwayat merokok tidak
ada Minum kopi (-), minum Alkohol (-)
2.3 Pemeriksaan FisikPemeriksaan Umum Keadaan Umum: Tampak sakit
sedang Kesadaran: CMC, GCS 15 (E4M6V5) Tekanan Darah: 120/80 mmHg
Frekuensi Nadi: 74 kali/menit, teratur Frekuensi Nafas: 21
kali/menit Suhu: 37,4o CStatus InternusKulit: Turgor kulit
normalKelenjar getah bening:Tidak ada pembesaran pada KGB leher,
aksila, dan inguinalKepala: NormocephalRambut: Hitam, tidak mudah
dicabut Mata: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterikTelinga: tampak luka bekas operasi pada daerah mastoid
kanan, cairan (-). Darah (-)Hidung: Tidak ada kelainanTenggorokan:
Tidak ada kelainanLeher: JVP 5-2 cmH2O, bruit karotis
(-)Thoraks:NormothoraksPulmo:Inspeksi: Simetris kiri dan kanan
dalam keadaan statis dan dinamisPalpasi: Fremitus normal, kiri =
kananPerkusi: Sonor di seluruh lapangan paruAuskultasi:Vesikuler,
rhonki (-/-), wheezing (-/-)Cor:Inspeksi: Ictus cordis tidak
terlihatPalpasi: Ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC
VPerkusi: Batas jantung dalam batas normalAuskultasi: Irama
reguler, bising (-), gallop (-)Abdomen:Inspeksi:Perut tidak tampak
membuncitAuskultasi:Bising usus (+) normalPalpasi:Supel, hepar dan
lien tidak terabaPerkusi:TimpaniCorpus
Vertebrae:Inspeksi:Deformitas (-)Palpasi:Massa (-), deformitas
(-)
Status NeurologikusKesadaran: GCS 15 (E4M6V5)Tanda Rangsangan
Meningeal : Kaku kuduk: - Brudzinski I: - Brudzinski II: - Kernig:
-Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial :Pupil: Isokor, 3mm/3mm,
refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+Nyeri
kepala progresif (+)Muntah Proyektil (-)Pemeriksaan Nn.
Cranialis:N. I: Penciuman normal kiri dan kananN. II: Tajam
penglihatan, lapangan pandang dan melihat warna dalam batas
normal.N. III, IV, VI: - bola mata posisi ortho, Pupil bulat,
isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tidak langsung (+/+)-Gerakan oculi dekstra dan sinistra
bebas ke segala arah-Diplopia (-), ptosis (-), strabismus (-),
nistagmus (-)N. V:Membuka mulut (+), menggerakkan rahang (+),
menggigit (+), mengunyah (+), sensorik dalam batas normal, refleks
kornea (+/+)N. VII:Raut muka simetris, plika nasolabialis kiri sama
dengan kanan, mengerutkan dahi (+), menutup mata (+), bersiul (+),
memperlihatkan gigi (+), sekresi air mata (+), sensasi lidah 2/3
depan (+). N. VIII:suara berbisik (+), detik arloji (+), test
rinne, weber, scwabach tidak dilakukan.N. IX:Refleks muntah (+),
sensasi lidah 1/3 belakang (+)N. X: Arkus faring simetris kiri dan
kanan, uvula di tengah, menelan (+), disfagia (-), disfonia (-)N.
XI:menoleh ke kanan dan kiri (+), mengangkat bahu (+)N.
XII:Kedudukan lidah di dalam ditengah, kedudukan lidah saat
dijulurkan ditengah. Tremor (-), fasikulasi (-), atropi (-).
Pemeriksaan Koordinasi :Cara berjalanNormalDisartria(-)
Romberg tes(-)Disgrafia (-)
Ataksia (-)Supinasi-pronasi-
Rebound phenomen(-)Tes jari hidung-
Test tumit lutut-Tes hidung jari-
Pemeriksaan Motorik: 555 555, eutonus, eutrofi. 555 555
Pemeriksaan Sensorik: Eksteroseptif dan propioseptif dalam batas
normalPemeriksaan Otonom: Miksi : neurogenic bladder (-) Defekasi :
baik Sekresi keringat : baikRefleks Fisiologis Biceps : ++/++
Triceps: ++/++ APR: ++/++ KPR: ++/++
Refleks Patologis Babinski : -/- Chaddok: -/- Oppenheim : -/-
Gordon: -/- Schaeffer: -/- Hoffman Tromner: -/-2.4 Pemeriksaan
RutinLaboratorium
28
Hemoglobin:13,2 gr/dLHematokrit:40%Leukosit:8.300/mm3Trombosit:
274.000/mmHasil konsul bagian THT : A/ Cephalgia post drainase
absesPost mastoidektomi AD ec OMSK tipe bahaya 2.5 Diagnosis
KerjaDiagnosis klinis:Cephalgia ( traction headache)Diagnosis
topik:Lobus temporoparietal dekstraDiagnosis etiologi:Recurent
brain abses Diagnosis sekunder:post mastoidektomi a.i OMSK tipe
bahayaPemeriksaan penunjangCT Scan Mastoid
Brain CT Scan
2.6 TatalaksanaUmum: IVFD RL 12 jam/kolf Diet MB 1800 KkalKhusus
: Drip Tramadol 1 ampul dalam 500 cc Rl habis dalam 8 jam Ofloxacin
2 x gtt 5 AD Paracetamol 3 x 500 mg (po) Tramadol 2 x 50 mg (po)
Lansoprazol 2 x 40 mg (po)
2.7 Anjuran Pemeriksaan Rontgen Mastoid posisi schuller Brain CT
Scan dengan kontras
2.8 Follow Up3 agustus 2014S/ Nyeri kepala (+) Mual (+)Muntah
(-)Demam (-)Kejang (-)Keluar darah dari telinga kanan (+)O/
KUKesTDNadiNafasSuhu
SedangCMC120/8075x/menit20x/menit36,5o C
SI: Cor dan pulmo dalam batas normalSN: GCS 15 E4M6V5, TRM (-),
Peningkatan TIK (-)Nn. Cranialis: Pupil isokor, diameter 3 mm/ 3mm,
RC +/+, nistagmus (-) Gerakan bola mata bebas ke segala arah Plika
nasolabialis kiri sama dengan kanan Deviasi lidah tidak
adaMotorik:555 555, eutonus, eutrofi555 555Sensorik : Eksteroseptif
dan propioseptif baikOtonom : Neurogenik bladder (-)A/- Traction
headache ec susp recurent abses cerebri- Post radikal mastoidektomi
ai OMSK tipe bahayaP/ Brain CT Scan dengan kontrasTh/Umum: IVFD
Nacl 0,9 % 24 jam/kolf Diet MB 1800 KkalKhusus: Ofloxacin 2 x gtt 5
AD Paracetamol 4 x 500 mg (po) Tramadol 2 x 50 mg (po) Lansoprazol
2 x 30 mg (po)4 Agustus 2014S/ Nyeri kepala (+)Mual muntah (-)Demam
(-)Nyeri perut (-)O/ KUKesTDNadiNafasSuhu
SedangCMC120/8076x/menit21x/menit36,8o C
SI: Cor dan pulmo dalam batas normalSN: GCS 15 E4M6V5, TRM (-),
Peningkatan TIK (-)Nn. Cranialis: Pupil isokor, diameter 3 mm/ 3mm,
RC +/+, nistagmus (-) Gerakan bola mata bebas ke segala arah Plika
nasolabialis kiri lebih datar dibandingkan kanan Deviasi lidah ke
kiri saat dijulurkanMotorik:555 555, eutonus, eutrofi555
555Sensorik : Eksteroseptif dan propioseptif baikOtonom :
Neurogenik bladder (-)Rf fisiologis : ++ / ++Rf patologis : - / -
A/- Traction headache ec susp recurent abses cerebri - Post radikal
mastoidektomi ai OMSK tipe bahaya P/ Brain CT Scan dengan
kontrasTh/Umum: IVFD Nacl 0,9 % 12 jam/kolf Diet MB 1800
KkalKhusus: Paracetamol 4 x 500 mg (po) Codein 3 x 30 mg (po)
Ranitidine 2 x 150 mg (po)
BAB IIIDISKUSI
Telah dirawat seorang pasien laki-laki berusia 24 tahun di
Bangsal Neurologi RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 2 Agustus
2014 dengan keluhan utama nyeri kepalaRiwayat Penyakit Sekarang,
nyeri kepala yang bertambah berat sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit, Nyeri kepala sudah dirasakan sejak 2 minggu yang lalu, nyeri
terutama dirasakan di telinga bagian kanan yang menyebar ke seluruh
bagian kepala, nyeri terasa berdenyut-denyut seperti ditekan, terus
menerus, dan kadang disertai rasa mual, muntah tidak ada, aura
tidak ada, penglihatan ganda tidak ada, Keluar cairan berwarna
merah dari telingan sebelah kanan sejak 2 hari yang lalu, penurunan
kesadaran dan kejang saat onset tidak ada, Kelemahan anggota gerak
tidak ada, BAB dan BAK biasa. Pasien sebelumnya dirawat dibagian
THT dengan diagnosis OMSK tipe bahaya dan telah dilakukan operasi
mastoidektomi radikal 2 minggu yang laluRiwayat Penyakit Dahulu,
riwayat nyeri kepala pertama kali dirasakan sejak 4 bulan yang
lalu, sebelumnya pasien pernah berobat ke RSUP Dr M Djamil dan
didiagnosis menderita abses cerebri, kemudian dilakukan pembedahan
oleh bedah syaraf. Riwayat keluar cairan dari telinga ada sejak 8
tahun yang lalu, cairan berwarna kuning kehijauan dan berbau.
Riwayat menderita hipertensi, DM, penyakit jantung sebelumnya tidak
ada.Riwayat Penyakit Keluarga, Tidak ada anggota keluarga yang
menderita keluhan nyeri kepala seperti pasien. Tidak ada anggota
keluarga yang menderita DM, stroke, penyakit jantung, dan
hipertensi.
Pada kasus ini diketahui seorang laki-laki, usia 24 tahun
mengeluhkan Sakit kepala yang telah dirasakan selama 2 minggu ini
dan dirasakan semakin memberat. Sakit kepala terkadang dirasakan
berdenyut dan terasa seperti kepala sedang ditekan. Sakit kepala
dirasakan di semua bagian kepala terutama pada kepala bagian
belakang telinga. Apabila sakit kepalanya timbul, Os terkadang
sampai menelungkupkan kepalanya dan memegangi kepalanya dengan
kedua tangannya. Sakit kepalanya timbul terus-menerus dan menetap
serta lebih sering terasa semakin memberat pada pagi hari dan
menjelang malam hari sehingga membuat Os tidak dapat beristirahat.
Untuk mengurangi sakit kepalanya, Os lebih senang berbaring pada
sisi sebelah kiri. Os juga muntah hebat pada saat pertama kali
merasakan sakit kepala tersebut. Dan keluhan tersebut berlanjut
sampai Os di rawat di rumah sakit, terkadang didahului oleh rasa
mual sebelum akhirnya Os muntah. Dari keterangan di atas, dapat
diketahui bahwa telah terjadi peningkatan TIK pada pasien ini.
Gejala peningkatan tekanan intrakranial diantaranya berupa nyeri
kepala, mual dan muntah. Nyeri kepala yang terjadi dikarenakan
terjadinya peregangan duramater akibat terjadinya penambahan massa
di dalam otak. Duramater merupakan salah satu dari bangunan yang
peka nyeri di dalam otak. Os lebih senang berbaring pada sisi
sebelah kiri untuk mengurangi sakit kepala, pada penderita yang
mengalami sakit kepala dikarenakan oleh massa atau tumor di otak,
penderita lebih suka berbaring pada posisi tertentu dan menghindari
perubahan-perubahan posisi terutama bangkit dari tempat tidur. Dari
hasil pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya kelainan neurologis
pada pasien, hanya didapatkan adanya kaku kuduk. Dari hasil
penelitian Adril pada pengamatan pengelolaan abses otak di RSUD dr.
Soetomo Surabaya didapatkan tanda-tanda klinis kaku kuduk sebanyak
9%. Dari hasil pemeriksaan CT Scan kepala didapatkan midline shift
ke kiri, juga tampak gambaran hipodens di temporofrontalis dekstra
dan temporooksipitalis sinistra yang pada pemberian larutan kontras
tampak gambaran enhancement di frontalis dekstra dengan ukuran 3,5
x 2,8 cm. Kesimpulan terdapat abses otak multipel pada pasien ini.
Pada gambaran CT Scan tersebut, tampak gambaran abses otak tersebut
telah membentuk cincin dan terlihat kapsul serta terjadi edema di
luar dari kapsul tersebut. Berdasarkan gambaran ini maka dapat
dikatakan abses otak tersebut berada pada fase late capsule
formation. Late capsule formation dapat terbentuk pada hari ke-14
atau lebih. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang dengan CT Scan yang merupakan golden standar,
dapat disimpulkan bahwa pasien menderita Abses Otak Multiple yang
berada pada fase late capsule formation. Terapi medikamentosa yang
diberikan berupa kombinasi antara sefaloporin generasi III yaitu
ceftriakson dengan metronidazol yang merupakan pilihan kombinasi
alternatif pada penderita abses otak. Diberikan juga kortikosteroid
yang berupa deksametason yang berguna untuk mengurangi edema
serebri yang terjadi. Walaupun pemberian kortikosteroid masih
kontroversional. Dosisnya adalah 16 mg/hari pada orang dewasa dan
0,5 mg/kg/hari pada anak. Pada edema serebri oleh karena abses otak
deksametason dapat diberikan 10 mg IV, dilanjutkan 4-6 mg setiap 6
jam. Kerugian dari pemberian kortikosteroid adalah berkurangnya
kemampuan penetrasi antibiotik, berkurangnya pembentukan kapsul,
dan meningkatkan nekrosis, penggunaan kortikosteroid sebaiknya
berdurasi singkat dan dosisnya perlu dikurangi secara bertahap (
tapering off ). Diberikan juga Phenitoin yang digunakan untuk
pencegahan terjadinya kejang. diberikan secara parenteral dengan
dosis loading pada dewasa 18 mg/kgBB secara perlahan-lahan untuk
menghindari atau mengurangi resiko terjadinya aritmia dan
hipotensi. Dosis maintenance 200-500 mg perhari dalam dosis
terbagi. Sebagian besar penderita dewasa cukup dengan 100 mg dua
atau tiga kali sehari. Pada pasien ini, terdapat indikasi untuk
dilakukan pembedahan. Indikasi untuk dilakukan pembedahan pada
abses serebri adalah apabila ditemukan abses dengan diameter >
2,5 cm dan telah terbentuk kapsul definitif yang tampak pada
pencitraan. Kedua hal in telah terdapat pada pasien ini. tindakan
pembedahan yang dilakukan dapat dengan aspirasi atau eksisi atau
kedua-duanya. Tindakan terapi ini bermanfaat untuk mengisolasi
organisme dan menurunkan TIK. Prognosis pada pasien ini kemungkinan
baik. Karena dengan penatalaksanaan yang baik, mayoritas pasien
abses serebri dapat disembuhkan. Prognosis akan lebih baik lagi
pada usia muda, pada kasus yang tidak disertai defisit neurologis
yang berat, tidak terjadi perburukan gejala pada awal terapi, dan
tidak ada faktor komorbid.
BAB IVKESIMPULAN