This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
itu masih tetap kukuh.2 Dimulainya sistem hubungan gereja-negara yang
modern di Inggris bisa ditelusuri dari asal-usul lahirnya Gereja Inggris (The
Curch of England) pada abad ke-16 di masa pemerintahan Henry VIII. Henry
memutuskan untuk mengambil alih kontrol terhadap gereja-gereja di Inggris
dari kekuasaan Paus, karena Paus menolak untuk merestui pernikahannya
dengan Catherine dari Aragon.3 Dengan mengeluarkan “Act of Supremacy”
tahun 1534, Gereja Inggris memisahkan diri dari otoritas Paus.4 Henry VIII
juga mengambil alih kontrol Paus terhadap kekayaan, tanah dan kuil milik
gereja. Karena keputusan ini, lembaga biara menjadi tidak ada dan para
biarawan tidak lagi menjadi anggota lembaga the House of Lord (satu dari 2
lembaga parlemen Inggris). Hanya sebagian kecil uskup dan beberapa
pendeta yang menjadi anggota lembaga itu.5 Setelah Henry meninggal,
penduduk Inggris terbagi menjadi simpatisan Katolik dan Protestan, sampai
akhirnya Elizabeth I memutuskan untuk menetapkan gereja Protestan
sebagai gereja resmi negara pada tahun 1959 dengan mengeluarkan “Act of
Supremacy” kedua yang sekaligus mengukuhkan posisi gereja di bawah
otoritas kerajaan.
Meskipun gereja resmi memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan
politik Inggris, namun keputusan Henry VIII untuk memisahkan gereja Inggris
dengan Roma merupakan satu proses sekularisasi kultural. Selama
kekuasaan Edward VI dan Elizabeth I, kebiasaan ummat Katolik memproduksi
benda-benda dan karya seni suci menurun. Para seniman menemukan tema-
tema non religius untuk mereka tampilkan; dan bentuk lukisan barupun
berkembang, seperti lukisan benda dan potret. Dan ketika negara mulai
mengawasi dan melarang pertunjukan drama religius, termasuk drama-
drama misteri abad pertengahan, drama Elizabethan yang sekuler pun
berkembang menggantikan posisi tradisi lama.6
2S. V. Monsma and J.C. Soper, “England: Partial Establishment.” The Challenge of Pluralism: Church and State in Five Democracies (Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 1997), hlm. 121. 3 Monsma and Soper, hlm. 1244 David McClean, “State and Church in the United Kingdom” State and Church in the European Union. Ed. Gerhard Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 310.5 C. John Sommerville, The Secularization of Early Modern England: From Religious Culture to Religious Faith (Oxford: Oxford University Press, 1992), hlm. 13-146 Sommerville, hlm. 87, 93-94
semakin menguat dan bisa dicapai melalui kepemimpinan para pendeta dan
dukungan massa terhadap adanya gereja Protestan. Tahun 1953, untuk
mengantisipasi gerakan kontra reformasi, yang juga berkompetisi untuk
mendapatkan tahta kerajaan, Majelis Gereja Lutheran pun dilantik di Uppsala.
Lebih dari 300 lembaga kependataan Lutheran hadir dan Gereja Evangelis
Lutheran ditetapkan menjadi Gereja Nasional Swedia dengan deklarasi bahwa
Swedia telah disatukan dengan Satu Raja dan Satu Tuhan.16
Abad-abad berikutnya, kebijakan penyeragaman identitas keagamaan ini
juga diberlakukan untuk menyatukan perbedaan etnik dan bahasa di Swedia
yang muncul kemudian. Tahun 1634 “the Instrument of Government”
(peraturan pemerintah) menyatakan dengan jelas bahwa Kristen Lutheran
adalah agama resmi negara sekaligus mengungkapkan prinsip kesatuan
dalam beragama bagi rakyat Swedia.17 Pada tahun 1686, ketetapan gereja
menyebutkan bahwa Swedia adalah negara Evangelis dan dengan demikian
rakyat Swedia harus menganut Agama Evangelis”, sehingga jika ada orang
Swedia meninggalkan Gereja resminya, ia kehilangan status warga
negaranya.18 Sekitar tahun 1800, sejumlah provinsi di Swedia mulai hilang
dan Swedia menjadi negara yang lebih homogen secara etnik dan budaya.
Namun, toleransi terhadap praktik agama lain tidak pernah muncul sampai
akhir abad 18. itupun hanya berlaku bagi para imigran, tidak bagi orang
Swedia asli. Perubahan mulai terjadi selama abad 19 bersamaan dengan
meningkatnya industrialisasi, urbanisasi dan tumbuhnya pengaruh gerakan
kaum sosialis dan liberal. Peraturan pemerintah tahun 1809 akhirnya
mengakui hak rakyat Swedia untuk meninggalkan gereja dan membentuk
jemaah ibadah sendiri, namun kebijakan ini baru berlaku setelah the
Dissenter Act (undang-undang tentang sekte gereja) dikeluarkan tahun 1860.
Selain itu, jemaah ibadah yang didirikan pun harus tetap berdasarkan agama
Kristen dan mendapatkan persetujuan kerajaan.19
16 Jonas Alwall, “Religious Liberty in Sweden: An Overview.” Journal of Church and State. Ed. Davis, D. 42:1 (2000), hlm. 147, 148.17 Alwall, hlm. 14818 Robert Schött, “State and Church in Sweden.” State and Church in the European Union. Ed. Gerhard Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 298.19 Alwall, hlm. 149, 151
Langkah lebih maju menuju pluralisme (untuk tidak menyebut semakin
goyahnya kekuatan Gereja Nasional) muncul pada abad 20. Religious Liberty
Act (undang-undang tentang kemerdekaan beragama) tahun 1951 yang
mengatur kebebasan praktik beragama melarang seseorang untuk
menganggu kedamaian atau menganggu ketentraman publik. Peraturan
Pemerintah tahun 1974 memasukkan kebebasan beragama dalam Undang-
Undang Dasar Swedia sedangkan Amandemen Konstitusi tahun 1974
menegaskan bahwa tidak boleh ada perbuatan yang dilarang atau dibatasi
oleh hukum hanya karena alasan-alasan keagamaan.20 Tahun 1996,
keanggotaan gereja didefinisikan ulang sehingga setiap bayi yang baru harus
dibaptis meskipun orangtuanya anggota Gereja Nasional Swedia, karena
mereka tidak bisa serta merta menjadi anggota hanya karena orangtuanya.21
Sampai akhir abad 20, sebagai gereja resmi negara, Gereja Swedia
berhubungan sangat erat dengan negara. Raja menjadi kepala Gereja Swedia
yang menunjuk Uskup Agung dan para uskup. Pajak yang dikumpulkan
negara juga digunakan untuk membayar gaji para pendeta, hingga kontribusi
rakyat secara langsung kepada gereja hampir tidak ada. Sebagai pegawai
negara, pendeta menempati statistik yang cukup vital dalam negara dan
berfungsi seperti pegawai pemerintahan yang lain. Parlemen Swedia yang
mempunyai otoritas membuat hukum, juga merumuskan dan menetapkan
hukum yang berlaku bagi Gereja Swedia. Hubungan ini memang membuat
Gereja Lutheran mempunyai pengaruh besar di Swedia, tetapi juga
membuat otonominya terbatas. tidak seperti di Itali atau Spanyol dimana
negara tunduk pada Gereja, di Swedia, gereja nampaknya lebih tunduk pada
negara.22
Berbagai usulan perubahan hubungan agama dan negara diajukan pada
tahun 1970-an, tapi tak satupun yang diadopsi. Baru pada tahun 1990-an,
perubahan besar dimulai. Pada tahun 1991, sistem registrasi nasional 20 Alwall, hlm. 152 21 Alwall, hlm. 16822 R. Stark and L. R. Iannaccone. “A Supply-Side Reinterpretation of the ‘Secularization’ of Europe.” Journal for the Scientific Study of Religion. 33:3, 1994: 238.
dialihkan dari gereja ke otoritas pajak.23 Komisi yang dibentuk tahun 1994
untuk mengevaluasi hubungan gereja dan negara menyimpulkan bahwa
meskipun agama mempunyai fungsi sosial yang amat berguna, namun
negara harus tetap bersikap netral terhadap seluruh sekte dengan tidak
memperlihatkan kecondongan pada salah satu diantaranya. Rekomendasi
yang dibuat oleh komisi menghasilkan perubahan besar dalam tata
hubungan gereja dan negara di Swedia, yang puncaknya terjadi pada tanggal
1 Januari 2000. 24 Secara umum rekomendasi yang diajukan oleh komite
adalah Gereja Nasional Swedia harus diberikan status independen dari
pemerintah lokal maupun nasional, dan seluruh sekte harus diperlakukan
sama. Komisi ini juga merekomendasikan agar setiap sekte mendapatkan
hak yang sama untuk mempunyai status hukum, sedangkan pajak yang
diberikan kepada keuskupan diganti dengan biaya pelayanan yang harus
dibayarkan oleh anggota sekte kepada sektenya.25
Rencana yang dirancang oleh komisi tetap mempertahankan perlakuan
khusus bagi gereja nasional Swedia, tetapi perlakukan khusus ini diberikan
dalam posisinya sebagai salah satu institusi keagamaan dalam masyarakat
yang plural. Salah satu perlakuan istimewa yang dinikmati oleh gereja
nasional Swedia adalah pemberian dana pemerintah untuk pemeliharaan
bangunan gereja yang dianggap sebagai salah satu khazanah budaya
penting di Swedia. Selain itu, Gereja Swedia masih diberikan tanggung jawab
untuk mengurus layanan pengebumian dan pemakaman umum. Meskipun
ada beberapa keberatan mengenai hal ini, namun baik Gereja maupun
negara dapat menerimanya.26
Pemisahan Gereja Swedia dari Negara secara hukum dilaksanakan melalui
dihilangkannya Hukum gereja dari Hukum Negara Swedia dan dihapuskannya
Church of Sweden Act (ketetapan Gereja Swedia) yang menetapkan struktur
23 Alwall, hlm. 16724 Lars Friedner, “Church and State in Sweden in 2000.” European Journal of Church State Research. Ed. R. Torfs. v.8 (2001), hlm. 255.25 Schött, hlm. 30126 Friedner, hlm. 257; Alwall, hlm. 168, 169
setelah perang pecah, gereja-geraja yang pernah dibuka lagi itu ditutup
kembali dan praktik-praktik keagamaan mulai menurun.30
Ketika federasi Rusia terbentuk setelah jatuhnya Uni Soviet, hubungan antara
negara dan agama ditata ulang baik melalui undang-undang dasar maupun
undang-undang. Pasal 14 Undang-Undang Dasar Federasi menyatakan Rusia
sebagai negara sekuler sehingga tidak akan ada negara yang dibangun
berdasarkan satu agama tertentu. Undang-Undang dasar juga menyebutkan
bahwa semua asosiasi keagamaan memiliki posisi setara di depan hukum.
Sementara itu, bebas dari diskriminasi atas nama agama dijamin oleh Pasal
19 dan hak untuk bebas dari wajib militer karena alasan moral atau
keagamaan untuk kemudian melakukan pelayanan publik lain sebagai
alternatif dijamin oleh pasal 59. Bahkan, pasal 28 undang-undang dasar juga
dengan jelas melindungi hak untuk tidak menganut satu agama pun.
Perubahan-perubahan undang-undang dasar ini sudah dielaborasi,
diklarifikasi bahkan mungkin dibatasi oleh undang-undang yang mengatur
hubungan antara gereja dan negara. Setelah kebijakan “Perestroika”
Gorbachev, hubungan antara negara dan sekte-sekte keagamaan
dinormalisasikan kembali oleh Undang-Undang (law) tahun 1990 tentang
“kebebasan beragama”. Pada dekade inilah, jumlah organisasi agama yang
terdaftar naik sampai 20.000. Hanya setengah diantara organisasi-organisasi
tersebut yang merupakan organisasi Kristen Ortodoks Rusia, yang berarti
bahwa jumlah agama minoritas telah berkembang selama masa itu.
Organisasi-organisasi tersebut kini diperbolehkan untuk mengorganisasi
massa, dan boleh terlibat dalam kegiatan missi keagamaan dan sosial.
Kepercayaan terhadap agama naik, dari kira-kira 20% pada tahun 1980
menjadi 48% pada akhir tahun 90-an.31
Pada tahun 1997, negara membatasi kebijakan liberal ini dengan
menetapkan Undang-Undang tentang “Kebebasan memeluk kepercayaan
30 Lev Simkin, “Church and State in Russia” dalam Law and Religion in Post-Communist Europe. Eds. Silvio Ferrari, W. C. Durham, Jr. (Leuven, Belgium: Peeters 2003), hlm. 261, 262.31 Simkin, hlm. 263
dan mendirikan asosiasi keagamaan” untuk mengatur hubungan gereja dan
negara. Di bawah ketentuan UU ini, organisasi keagamaan harus
mendaftarkan diri mereka kembali sebelum tahun 2000, namun hanya
mereka yang sudah berdiri di Rusia selama 13 tahun yang berhak
menyandang status sebagai organisasi keagamaan. Ketentuan ini dengan
demikian hanya memberikan hak-hak yang tersebut diatas kepada organisasi
keagamaan yang terdaftar dan tidak pada mereka yang tidak terdaftar.
Artikel 11, 18, dan 23 UU ini menyatakan bahwa “hanya organisasi
keagamaanlah yang bisa “mendirikan dan memelihara bangunan-bangunan
keagamaan, memiliki akses terhadap rumah sakit dan penjara,
menyelenggarakan pelajaran tambahan di sekolah-sekolah negeri,
mendirikan struktur organisasi sosial, dan terlibat dalam kegiatan bisnis”.32
Organisasi keagamaan juga dibebaskan dari kewajiban membayar pajak
penghasilan yang didapatnya dari aktivitas keagamaan atau penjualan
barang-barang keagamaan. Jika bangunan ibadah yang mereka miliki
dilindungi sebagai monumen budaya dan sejarah, maka mereka betul-betul
dibebaskan dari kewajiban membayar pajak tanah.33
Pembukaan Undang-Undang tahun 1997 mengakui pentingnya peran sejarah
Gereja Ortodoks di Rusia, namun ia tidak memberikan gereja ini status
hukum khusus. Namun demikian, motif utama pembuatan UU ini sebetulnya
adalah untuk melindungi Gereja Ortodoks. Beberapa pembuat UU
memperlihatkan keinginan mereka untuk melindungi Gereja ini dari invasi
sekte-sekte keagamaan lain. Salah satu efek penting disahkannya UU 1997
ini adalah pengalihan kepemilikan properti dan bangunan yang digunakan
untuk tujuan-tujuan keagamaan dari negara ke gereja. Pengalihan ini
merupakan usaha untuk menebus pengambilalihan yang pernah dilakukan
oleh negara pada permulaan era komunis terhadap properti milik gereja.34
32 Vsevolod Chaplin, “Law and Church-State Relations in Russia: Position of the Orthodox Church, Public Discussion and the Impact of Foreign Experience.” Law and Religion in Post-Communist Europe. Eds. Silvio Ferrari, W. C. Durham, Jr. (Leuven, Belgium: Peeters, 2003), hlm. 28233 Simkin, hlm. 278, 27934 Simkin, hlm. 261-277
memproklamirkan kebebasan untuk menganut kepercayaan, dan Bab I
Undang-Undang Dasar 1791 menjamin kebebasan untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban agama. Meskipun para pembuat dokumen itu pada
awalnya hanya bermaksud mensubordinasikan posisi gereja dari kekuasaan
sipil, kebijakan ini, terutama pada masa teror, kemudian beralih menjadi
kebijakan yang secara sistematis berusaha untuk memerangi agama
Kristen.40 Keputusan pemerintah tahun 1795 menjadi landasan bagi
pemisahan ketat antara gereja dan agama dan melarang negara membiayai
agama ataupun mengakui keberadaan kementrian agama.
Concordat tahun 1801, keputusan unilateral yang dibuat oleh Perancis
namun tidak diterima oleh Vatican, dibuat untuk meredakan ketegangan dan
mengklarifikasi hubungan antara negara dan agama di Perancis. Dokumen ini
memungkinkan otoritas sipil untuk mengontrol kementrian agama dan
kehidupan keagamaan di sana. Beberapa waktu kemudian, instrumen
hukum yang sama diberlakukan untuk memberikan kekuasaan kepada
negara untuk mengontrol Gereja Protestan Lutheran, Gereja Reformasi dan
Agama Yahudi. Namun demikian, empat lembaga keagamaan yang diakui ini
bisa mempertahankan status istimewa seperti jaminan hukum atas posisi
menteri agama, gaji dan status hukum properti, selama abad 19. Tetapi,
selama abad ini pula, banyak perdebatan mengenai hubungan antara agama
dan negara yang muncul. Ada pihak yang berusaha menghidupkan kembali
“rezim lama” dan mendukung kekuasaan pemuka agama, tetapi ada pula
pihak yang mendukung perubahan yang telah dibuat sejak tahun 1789 dan
menentang gereja Katolik.41 Dalam konteks antagonisme politik seperti
itulah, dua pandangan mengenai laicite lazim berlaku, yang satu anti pemuka
agama sementara yang lain mendukung adanya pemisahan antara agama
dan negara yang menguntungkan kedua belah pihak dan menghormati
semua kepercayaan agama. pada akhir abad 19, pemahaman yang pertama
dan radikal memenangkan perdebatan.
40 Brigitte Basdevant-Gaudemet, “State and Church in France.” State and Church in the European Union. Ed. G. Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 120 Concordat adalah kesepakatan yang dibuat oleh Vatikan dan salah satu Negara sekuler (catatan dari pen.)41 Basdevant-Gaudemet, hlm. 121-122
berkaitan dengan lembaga-lembaga pendidikan dan kesejahteraan sosial
yang dimilikinya. Namun, UU ini juga memberikan batasan tertentu pada
mereka.
Kesepakatan tahun 1929 menegaskan Kristen Katolik Roma sebagai satu-
satunya agama yang diakui di Italia, sebuah posisi yang secara prinsipil
bertentangan dengan, namun tak pernah dihapus oleh, Undang-Undang
Dasar tahun 1948 yang berisi prinsip-prinsip negara sekuler, kesetaraan
warga negara di hadapan hukum, dan kebebasan memeluk agama dan
kepercayaan.50 Beberapa aturan hukum gereja yang, ternyata, ditemukan
dalam Undang-Undang Dasar dimaksudkan sebaga upaya untuk
menyeimbangkan perlindungan kebebasan dan persamaan hak individu dan
jaminan sistem kerjasama negara dan sekte-sekte keagamaan. Undang-
Undang Dasar juga menjamin kesamaan status sekte-sekte tersebut di
hadapan hukum. Tapi, Pasal 7 Undang-Undang Dasar tahun 1948
memberikan ketentuan khusus pada Gereja Katolik Roma dengan
menegaskan “Negara dan Gereja Katolik Roma adalah dua institusi yang
independen dan berdaulat. Hubungan mereka diatur oleh Perjanjian Lateran.
Amandemen apapun yang dilakukan atas perjanjian itu harus disepakati oleh
kedua belah pihak dan tidak harus mengikuti prosedur yang harus dilalui oleh
lazimnya amendemen konstitusi yang lain”.51
Pada tahun 1984, pemerintah Itali dan Vatikan menandatangani revisi
kesepakatan tahun 1929 yang kemudian menjadi undang-undang Itali
setelah diratifikasi oleh parlemen Itali pada Maret 1985. Amandemen
undang-undang tahun 1985 meneguhkan prinsip pemisahan negara dan
agama (gereja yang bebas di negara yang bebas pula) dan memberikan
preseden akan kemungkinan penandatanganan kesepakatan istimewa antara
negara dengan, tidak hanya dengan Gereja Katolik Roma, tetapi juga dengan
komunitas keagamaan apapun di Itali. Sejak saat itu, negara telah
menandatangani sejumlah kesepakatan dengan berbagai komunitas agama
50 Mauro Giovannelli, “The 1984 Covenant between the Republic of Italy and the Vatican: A Retrospective Analysis after Fifteen Years.” Journal of Church and State (2000), hlm. 531.51 Silvio Ferrari, “State and Church in Italy.” State and Church in the European Union. Ed. G. Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 172.
Kerajaan mengembangkan dan menggunakan teknik-teknik intervensi untuk
memperlihatkan pengaruhnya pada urusan-urusan Gereja Katolik di sana.62
Hubungan intim antara negara dan kerajaan serta meluasnya asumsi bahwa
Spanyol adalah negara Katolik akhirnya berakhir pada masa dikeluarkannya
Undang-Undang Dasar Republik Kedua tahun 1931 yang menyatakan bahwa
Spanyol tidak memiliki agama resmi. Namun setelah Perang Sipil (1936-
1939), fusi gereja dan negara ini dipulihkan kembali oleh Franco dan
berpuncak pada kesepakatan tahun 1953.
Di tahun meningalnya Franco (1975), Gereja Katolik mendapatkan fasilitas
hukum dan keuangan yang luar biasa. Gereja mendapatkan dana dari negara
untuk menggaji pastor, memberikan pengajaran agama di sekolah-sekolah
negeri dan menerima dana dari sekolah yang dikelolanya. Selain itu,
perundang-undangan yang berkaitan dengan moralitas publik merefleksikan
pengaruh gereja.63 Namun, pandangan ini semakin sulit untuk dipertahankan
karena dukungan massa terhadapnya semakin menurun ketika pesatnya
perkembangan ekonomi di tahun 60-an mempromosikan masyarakat sekuler
yang tidak lagi rela untuk menerima ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam kesepakatan tahun 1953 antara negara dan Gereja Katolik.64
Kebutuhan akan reformasi ini juga disadari oleh para petinggi gereja Katolik
Spanyol. Kardinal Tarancon, Uskup Agung Madrid dan Ketua Konferensi
Keuskupan Spanyol, dalam pentahbisan Raja Juan Carlos I pada November
1975, misalnya menyatakan bahwa Gereja Katolik mendukung perubahan
politik yang akan memberikan kesempatan kepada warga negara untuk
berpartisipasi secara bebas dan aktif dalam kehidupan negara. Ia juga
mengatakan bahwa Gereja hanya ingin mempertahankan haknya untuk
menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Sikap kompromis gereja ini bukan
merupakan persetujuan atas pemisahan ketat antara negara dan gereja,
62 Ivan C. Ibán, “State and Church in Spain.” State and Church in the European Union. Ed. G. Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 94.63 William J. Callahan, “Church and State in Spain, 1976-1991.” Journal of Church and State 34.3 (1992): 504.64 Ibán 96
Keputusan untuk memisahkan agama dari negara, dengan demikian, disertai
dengan penghargaan yang sama kepada agama sebagai sumber yang
penting bagi kehidupan etis yang mendukung bentuk pemerintahan
republik.74 Agama jelas berperan besar dalam Revolusi Amerika, karena
bahasa dan simbol keagamaan digunakan oleh para patriot revolusi untuk
memperoleh dukungan dari masyarakat dalam meraih kemerdekaan. Selain
Puritanisme yang lazim dianut oleh koloni Amerika awal, kebangkitan
kesadaran keagamaan yang dikenal sebagai “Great Awakening” dan doktrin
agama rasional ikut berperan besar dalam membangun alasan keagamaan
Revolusi dan kemudian mempengaruhi perkembangan politik pada masa
berikutnya.75 De Tocqueville, pengamat masa pembentukan Amerika Serikat
dari Perancis, mengatakan bahwa “Kristen di Amerika adalah sebuah institusi
politik yang benar-benar berperan besar dalam mempertahankan bentuk
pemerintahan republik di Amerika” dengan menyediakan konsensus moral
yang kuat di tengah perubahan politik yang terus menerus terjadi.76
Tidak adanya gereja resmi dan kesamaan status semua agama melahirkan
konsekuensi penting bagi kehidupan politik dan keagamaan di negara ini.
Karena tidak ada dukungan resmi dari negara, gereja-gereja harus
tergantung pada keanggotaan dan dukungan keuangan yang bersifat
sukarela. Namun kondisi seperti ini membuat gereja-gereja di Amerika tidak
terlalu formal dalam menjalankan peribadatan, lebih demokratis, bersifat
lokal dan lebih praktis dalam menetapkan tujuan-tujuan organisasinya. Para
komentator masalah Agama Amerika selalu menggarisbawahi tendensi
pragmatisme politik dan ekonomi yang cenderung bersifat duniawi sejak awal
abad 19, “…lebih aktif, moralis, dan sosial daripada kontemplatif, teologis
dan spiritual”.77
Beragamnya sekte keagamaan di Amerika dan adanya prinsip konstitusional
tentang pemisahan agama dan negara menjadikan pluralisme agama
74 Corbett, M. and J. Mitchell. Politics and Religion in the United States. New York: Garland Publishing, Inc., 1999, hlm. 83 – 8475 Corbett and Mitchell, hlm. 4876 Robert N. Bellah, “Civil Religion in America.” Daedalus 96 (1967), hlm. 1277 Bellah, hlm. 12
sebagai nilai politik dan budaya yang dianut luas disana dan membuka
kemungkinan bagi berkembangnya gereja-gereja yang independen.78
Pandangan terhadap agama Kristen yang inklusif seperti ini dan patriotisme
yang menyertai perkembangan gereja-gereja independen pasca periode
Revolusi telah membukakan jalan bagi lahirnya apa yang disebut sebagai
“Agama Sipil Amerika” (American Civil Religion). Tidak seperti Revolusi
Perancis yang berusaha membangun agama sipil untuk menggantikan posisi
gereja, agama sipil Amerika tidak pernah bersikap keras kepada pemuka
agama atau pada pendukung sekularisme. Malah, agama sipil Amerika
meminjam berbagai tradisi agama dengan cara tertentu hingga rata-rata
orang Amerika tidak melihat adanya konflik antara agama dan negara.
Bentuk agama sipil Amerika “mampu membangun solidaritas nasional, tanpa
perlu bersaing keras dengan simbol gereja, dan memobilisasi motivasi
personal yang kuat untuk meraih tujuan-tujuan nasional”.79 Bentuk ini
direfleksikan dengan memasukkan referensi keagaman dalam dokumen-
dokumen negara, lagu kebangsaan, deklarasi dan proses pelantikan presiden
serta pengakuan negara terhadap hari libur keagamaan.
Kesatuan agama dan nasionalisme, yang tetap menjadi kekuatan potensial
dalam kehidupan politik dan sipil Amerika hingga hari ini, menyebabkan
terbangunnya hegemoni agama Kristen Protestan di negara itu. Kemampuan
pengadilan-pengadilan untuk menentang pembentukan agama resmi di
Amerika, sebagiannya, karena kehadiran hegemoni informal satu agama.
Gereja-gereja besar hanya membutuhkan sedikit dukungan karena mereka
memiliki telah kekuasaan dan pengaruh informal.80 Selain terbentuknya
agama sipil Amerika, Protestan Evangelis tetap menjadi kekuatan inspiratif
dalam kehidupan politik Amerika. Ia telah menjadi faktor yang signifikan
untuk menumbuhkan semangat anti perbudakan di bagian utara Amerika
menjelang pecahnya perang Sipil, namun ironisnya juga memperkuat
komitmen penduduk di bagian selatan untuk mempertahankan ekonomi
78 Corbett and Mitchell, hlm. 106 – 10779 Bellah, hlm. 1380 N. J Demerath and R. H. Williams. “A Mythical Past and Uncertain Future.” Society 21.4 (1984), hlm. 5.
perbudakan.81 Para periode antara Perang Sipil dan Perang Dunia I, Protestan
Evangelis memberikan dukungan yang berarti kepada sejumlah gerakan
yang menginginkan adanya purifikasi moral dan budaya dalam kehidupan
sipil dan politik di Amerika, termasuk larangan mengkonsumsi alkohol dan
memberikan hak politik pada perempuan.82 Gereja-gereja juga telah menjadi
partisipan aktif dalam pembuatan kebijakan publik mengenai isu-isu yang
lebih luas seperti reformasi mata uang, kompensasi dari pelanggaran
perusahaan, arbitrasi konflik internasional, dan berpartisipasi dalam proses
demokrasi langsung melalui proses pemilihan inisiatif, referendum dan
pemilihan ulang.
Kekuasaan informal agama resmi ini mulai terancam setelah Perang Dunia I
ketika materialisme, ilmu pengetahuan dan sejumlah doktrin sekuler lain
mulai melemahkan peran agama Kristen, khususnya protestan Evangelis,
sebagai “prinsip nasional de facto”.83 Dalam debat-debat yang muncul
seperti dalam pengajaran teori evolusi di sekolah, tradisi berfikir bebas yang
sudah ada pada mayoritas penganut Protestan menemukan kembali
kebaruannya. Meskipun terdapat sejumlah pandangan politik yang berbeda,
“ada satu pandangan politik yang menyatukan semua pemikir bebas itu yaitu
dukungan mereka pada pemisahan absolut negara dan agama yang
diterjemahkan ke dalam tindakan menentang pemberian dukungan
keuangan untuk lembaga-lembaga keagamaan khususnya sekolah-sekolah
paroki”.84
Sejak Perang Dunia II, hubungan agama dan negara terus diwarnai
ketidaksepakatan mengenai peran dan wilayah agama dalam kehidupan
publik dan politik. Dalam banyak hal, keputusan Mahkamah Agung selama
paruh kedua abad 20 telah memperdalam pemisahan antara agama dan
gereja dengan tidak memasukkan aktivitas agama dalam ruang, waktu dan
anggaran publik terutama dalam masalah pendidikan dan sekolah negeri,
81 Kenneth Wald, Religion and Politics in the United States. (New York: St. Martin’s Press, 1987), hlm. 183.82 Wald, hlm. 14283 Demerath and Williams, hlm. 484 Jacoby, hlm. 153
melibatkan kelompok-kelompok seperti Gereja Scientology, International
Society untuk Krishna, dan Gereja Unifikasi yang menuntut kesamaan status
di hadapan hukum. Larangan konstitusi untuk memihak pada salah satu
komunitas agama diperkuat lagi oleh Mahkamah Agung sebagai prinsip yang
penting untuk menjaga vitalitas konsep kebebasan beragama.88 Namun isu-
isu tertentu masih terus berdatangan ke pengadilan seperti isu yang
berkaitan dengan bahasa agama yang digunakan dalam sumpah kesetiaan,
dan keberadaan monumen-monumen keagamaan di ruang-ruang publik.
Bagaimana lembaga ini menyelesaikan isu-isu tersebut secara legal maupun
politik, akan kita lihat nanti. Dengan demikian, jelas bahwa pemisahan
hukum antara agama dan negara tidak bisa menyelesaikan masalah status
agama dalam kehidupan politik dan publik negara ini secara permanen
melalui formula yang sederhana dan ketat.89
Sebagai kesimpulan atas review ini, jelaslah bahwa konsepsi dan
pengalaman sekularisme Barat itu tidak mengidentikkan ataupun menarik
agama dari ruang kebijakan publik dan undang-undang. Perkembangan
kontekstual sejarah sekularisme dan kontroversi mengenai makna dan
implikasinya dalam praktik terus bergulir sampai hari ini di semua negara
Barat. Kesimpulan ini juga muncul ketika kita mereview pengalaman negara
lain yang relevan seperti Jerman90 dan Belanda91. Namun yang terpenting
bagi bagi saya adalah bagaimana review pengalaman ini relevan untuk
kondisi masyarakat Islam saat ini. Selain itu, pengalaman sekularisme
masyarakat Barat dan implikasinya juga sangat berguna untuk memahami
proses-proses yang terjadi berikutnya di tengah-tengah masyarakat mereka.
II. Upaya Kontekstual untuk Memediasi Ketegangan
Karena setiap masyarakat perlu menegosiasikan hubungan antara agama
dan negara dalam konteksnya sendiri, maka tidaklah mungkin dan tidak pula
88 James Wood, “Abridging the Free Exercise Clause.” Journal of Church & State 32 (1990), hlm. 74289 Corbett and Mitchell, hlm. 2390 Richard Puza “The Development of the Relationship between the Church and State in Germany in 2001.” European Journal for Church and State Research 2002 (9): 11.91 Sohpie Van Bijsterveld, “State and Church in the Netherlands.” State and Church in the European Union, Ed. G. Robbers. Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996, hlm. 209.
diperlukan untuk memprediksi hasil kebijakan berdasarkan sebuah pra-
konsepsi tentang hubungan ini. Malah, kita harus mencoba untuk
mengidentifikasi faktor dan aktor yang relevan dalam proses ini dan
mengatur proses interaksi mereka untuk meningkatkan prospek netralitas
negara yang genuine dan berkelanjutan. “Netralitas negara tidak boleh
dilihat sebagai cara yang abstrak, melainkan sebuah proses dialog yang
berkelanjutan dengan identitas dan kebebasan beragama individu”.92 Di
Amerika misalnya debat politik dan tuntutan hukum seputar peran agama
dan kebijakan publik terjadi dalam konteks debat politik dan budaya yang
lebih luas mengenai masalah-masalah seperti makna nilai-nilai tradisional
dan nilai-nilai keluarga, kebebasan beragama, otonomi personal dan
kebebasan untuk memilih. Dengan demikian, dalam kontroversi mengenai
aborsi, contohnya, mereka yang setuju bisa mengklaim bahwa aborsi adalah
persoalan otonomi perempuan, namun mereka yang tidak setuju juga bisa
menyatakan bahwa negara harus melindungi kehidupan sebuah janin.
Keduanya bisa menggunakan justifikasi keagamaan untuk memperkuat
posisinya, baik argumen itu diungkapkan dengan jelas atau tidak. Negara
harus menyelesaikan kontroversi ini dengan mengambil salah satu pendapat
sebagai kebijakan atau undang-undang resmi. Tapi, pilihan apapun yang
diambil, pilihan tersebut pasti ditentang oleh pilihan lain yang tidak diadopsi
oleh negara. Saya akan mendiskusikan proses ini lebih lanjut dalam bagian
lain, namun berikut beberapa refleksi mengenai bagaimana memahami
sesuatu di balik ketegangan permanen ini.
Ketegangan yang mendasari negosisasi itu adalah mengenai bagaimana dan
seberapa besar otonomi otoritas keagamaan dari otoritas hukum dan politik
negara. Di satu sisi, negara harus mengontrol institusi kegamaan untuk
memenuhi kewajibannya dalam menjaga perdamaian, mempertahankan
stabilitas politik, dan mencapai perkembangan ekonomi dan sosial. Seperti
yang sudah dicatat tadi, negara harus bisa memiliki kontrol atas teritori dan
warga negaranya agar bisa memediasi dan menyelesaikan pilihan-pilihan
92 Rik Torfs, “New Liberties and Church-State Relationships: Synthesis.” “New Liberties” and Church and State Relationships in Europe (European Consortium for Church-State Research, Milan: Dott A Giuffre Editore, 1998), hlm. 10.
Realitas pemisahan agama dan negara di Perancis ternyata tidak seketat
dalam teori, karena negara sering memberikan dukungan kepada gereja.
Sejak 1959, pemerintah Perancis selalu membayar gaji guru-guru yang
mengajar di sekolah swasta, yang kebanyakan adalah sekolah-sekolah
agama, dan memberikan ketentuan-ketentuan tertentu kepada mereka.
Gereja, kuil dan sinagog yang dibangun di Perancis sebelum 1905 adalah
milik negara dan diurus oleh negara, tetapi digunakan gratis oleh para
pemuka agama.95 Kebijakan negara untuk membiayai Masjid Paris
nampaknya merefleksikan fleksibilitas pemerintah Perancis dalam
menginterpretasikan konsep pemisahan antara agama dan negara. Beberapa
peristiwa dalam sejarah Perancis yang memperlihatkan baik penolakan dan
kerelaan negara untuk mendukung pendidikan dan institusi agama telah
diterima sebagai sebuah penafsiran yang cocok dengan konsep laicite.96
Pandangan terhadap sekularisme yang pragmatis itu baru-baru ini telah diuji
kelayakannya dalam kasus ‘jilbab”. Pemerintah Perancis melarang siswi
muslim menggunakan jilbab di sekolah-sekolah negeri, bahkan sebagian dari
mereka dikeluarkan dari sekolah karenanya. Setelah debat publik yang intens
terjadi selama berminggu-minggu, parlemen memutuskan untuk melarang
penggunaan semua simbol keagamaan yang mudah dikenali di sekolah-
sekolah negeri. Aturan ini harus diterapkan pada semua agama, seperti
kopiah Yahudi dan turban penganut Sikh, hingga memenuhi aturan
kesetaraan formal yang dianut konstitusi Perancis. Tah peduli apapun yang
orang fikirkan tentang hal itu. Penentang kebijakan ini berargumen bahwa
mentolerir ekspresi keagamaan para siswa tidak bertentangan dengan laicite,
malah merupakan satu hal yang harus dipenuhi oleh negara sebagai tanda
komitmennya terhadap netralitas dan kebebasan beragama.97 Tapi
sebaliknya, pemerintah menyatakan bahwa tanggung jawabnya untuk
menjaga netralitas agama dalam ruang publik harus diperlihatkan dengan
menjaga pemisahan yang ketat antara agama dan negara.98 Namun ada juga
pendapat yang menyatakan bahwa kontroversi mengenai jilbab sebetulnya 95 Dominique Decherf, “French Views of Religious Freedom.” US-France Analysis. (http://www.brookings.edu/fp/cuse/analysis/relfreedom.htm), 2.96 Troper, hlm. 127797 Troper, hlm. 1280
lebih mewakili persoalan integrasi imigran pada budaya dan
kewarganegaraan Perancis yang menekankan loyalitas individu terhadap
negara daripada persoalan pemisahan antara agama dan negara. Namun,
negara Perancis terus mempertahankan dukungan pragmatisnya terhadap
agama seperti dalam pendidikan dan masalah keuangan, meskipun tetap
mempertahankan pemisahan yang ketat dalam masalah lain.
Pembuatan klausul dalam Amandemen Pertama Konstitusi Amerika bisa
dipahami dalam kerangka pemisahan antara negara dan agama yang
independen. Namun, meski posisi ini yang diambil, ketegangan antara
keduanya masih tetap ada karena pilihan untuk menghapus agama dari
pemerintahan dianggap penting “meskipun ada keyakinan yang luas bahwa
ajaran dan praktik agama merupakan komponen yang krusial dalam ruang
publik”.99 Ide pemisahan negara dan agama biasanya diekspresikan dalam
makna dan implikasi yang disebut oleh Thomas Jefferson sebagai “wall of
separation”. Dari pandangan ini, wilayah agama dan negara dipisahkan
sehingga masing-masing tidak dapat mencampuri urusan yang lainnya,
karena prinsip otonomi negara dan otonomi gereja mengharuskan adanya
independensi masing-masing dari yang lain.100
Pengaruh dan ketegangan yang muncul dari sikap independen ini bisa dilihat
dari sejumlah keputusan pengadilan berkaitan dengan hubungan agama dan
negara. Contohnya, perbedaan pendapat mengenai pemasangan monumen
keagamaan di ruang publik seperti di ruang pengadilan mencerminkan
interpretasi yang berbeda terhadap Amendemen Pertama Konstitusi Amerika.
Ketegangan tercermin dari dua kelompok yang memiliki pendapat berbeda
mengenai masalah tersebut. Kelompok yang disebut sebagai “kelompok
Steven” (Hakim Steven, Souter dan Ginsberg) yang mendukung ide
pemisahan menganggap pemasangan itu sebagai inkonstitusional. “Bagi
mereka, pemerintah harus tetap jauh dari pesan-pesan apapun yang akan
98 Jonathan Laurence, “Islam in France: A Contest between the Wind and the Sun.” New Europe Review (2004), 13.99 Kent Greenawalt, “Comment: Separation and Schools.” Cardozo Law Review 21 (1999), 1289.100 Scharffs 1234-1235
mendorongnya untuk menganut satu agama”.101 Dari sudut pandang ini,
kegagalan untuk melaksanakan pemisahan yang ketat antara negara dan
agama merupakan hal berbahaya bagi pemerintah dan agama. Sebaliknya,
kelompok Rehnquist (hakim Rehnquist, Kennedy, Scalia, dan Thomas)
berpendapat bahwa pengakuan pentingnya agama dalam kehidupan Amerika
tetap sah secara konstitusional. Bagi kelompok ini, batas pelanggaran
aparatur pemerintah adalah “ketika mereka menekan individu untuk
menerima atau menolak satu agama atau memberikan dukungan berlebih
pada agama tertentu sehingga pemerintah bisa dituduh mempromosikan
kepercayaan agama ini”.102
Perbedaan pendapat juga terlihat dalam keputusan Mahkamah Agung
Amerika Serikat baru-baru ini mengenai dua kasus yaitu Van Orden v. Perry
dan McCreary v. American Civil Liberties Union of Kentucky, yang
mempermasalahkan pameran “Ten Commandements” yang disponsori oleh
pemerintah. Mereka yang menentang pameran itu berpendapat bahwa
pemerintah mengakui pesan-pesan keagamaan Ten Commandement, yang
berarti melanggar Klausul Amendemen Pertama. Sebaliknya mereka yang
mendukung pameran Ten Commendement berpendapat bahwa penayangan
itu merupakan bukti pengakuan resmi pemerintah terhadap signifikannya
peran Ten Commandement dalam pengembangan hukum dan pemerintahan
di Amerika.
Pada tanggal 27 juni 2005, suara Mahkamah Agung yang terpecah ini
akhirnya mengeluarkan dua keputusan mengenai legalitas pameran Ten
Commandements di bangunan atau benda-benda publik. Mahkamah Agung
menganggap pemasangan monumen Ten Commandements di halaman
gedung pemerintah di Texas sebagai konstitusional, tetapi tidak di dua ruang
sidang di Kentucky. Dua keputusan itu nampaknya membenarkan strategi
Mahkamah Agung untuk membuat keputusan mengenai isu ini berdasarkan
kasus per kasus. Yang penting untuk pembicaraan kita saat ini adalah bahwa
101 The Pew Forum on Religion & Public Life, A Monumental Decision: Supreme Court Considers Constitutionality of Ten Commandments Display on Public Property, www.pewforum.org (2005), 6.102 Pew Forum, 7
Ujung lain dari rangkaian posisi hubungan negara dan agama yang umum
berlaku di negara-negara Eropa adalah otonomi yang berdasarkan
interdependensi atau kooperasi.104 Pada posisi ini, berarti ada kerjasama dan
interaksi tertentu antara negara dan agama, walaupun agama tidak menjadi
bagian resmi dari negara. Contoh posisi interdependen ini termasuk
pembiayaan negara terhadap asosiasi-asosiasi keagamaan baik secara
langsung atau tidak langsung, kerjasama dalam pendidikan agama, negara
yang bertindak atas nama gereja, atau campur tangan negara terhadap
urusan-urusan gereja. Kenyataan bahwa negara menyetujui, mendukung dan
memberikan perlakuan khusus kepada gereja tertentu nampaknya tidak
konsisten atau mendukung prinsip otonomi negara dan gereja.105 Karena
itulah logika untuk memahaminya adalah kita tidak harus menyetujui atau
menolak model seperti itu karena merupakan proses negosiasi yang terjadi
terus menerus dalam sebuah masyarakat.
Menjelang revolusi periode modern yang demokratis, hubungan antara gereja
dan negara di beberapa negara Eropa merefleksikan adanya hubungan yang
intim antara kerajaan dan agama mayoritas. Pada masa pra-Revolusi
Perancis dan pasca-Reformasi Spanyol, misalnya, kerajaan dan gereja Katolik
bekerja sama untuk melegitimasi kekuasaan negara dan menjaga agama
Katolik dari serangan Kristen Protestan. Model kerjasama seperti ini
menyebabkan hubungan antara keduanya stabil dan saling menguntungkan
dalam konteks historis saat itu, sampai kemudian lambat-laun terus berubah.
Hubungan dekat semacam itu juga terjadi di negara-negara Kristen Protestan
seperti Inggris dan Swedia, yang pada tingkat tertentu masih berlanjut
sampai sekarang.
Contohnya, di bawah Act of Supremacy tahun 1558, yang masih menjadi
bagian undang-undang Inggris, penguasa kerajaan adalah “supreme
governor” bagi Gereja Anglikan dan mengucapkan janji suci untuk
104 Roland Minnerath, “Church Autonomy in Europe.” Church Autonomy: A Comparative Survey. Ed. Gerhard Robbers (Frankfurt: Peter Lang, 2001), hlm. 381.105 Scharffs, hlm. 1260
mempertahankannya.106 Seperti yang dicatat di bagian lalu, kerajaan
menunjuk Uskup Agung dan pejabat gereja lain dan memberikan kursi
kepada Lords of Spiritual di House of Lords. Selain itu, hukum gereja juga
masih menjadi bagian dari Common Law Inggris, dan aturan-aturan yang
dibuat gereja harus diproses, disetujui dan diberikan status hukum resmi oleh
Parlemen. Kontekstualitas proses ini terlihat dari “tetap dipertahankannya
bentuk lahiriah konstitusi Inggris, namun pelaksanaannya terus berkembang
sesuai dengan konvensi—dalam kasus ini berarti menuju gereja yang benar-
benar lebih independen”.107 Dengan demikian, pengakuan negara atas Gereja
Anglikan sebagai gereja resmi terus berlangsung meskipun keduanya
memiliki tingkat independensi tertentu dari yang lain dan masih bekerja
sama dan saling mendukung dalam hal-hal yang menguntungkan kedua
belah pihak. Fleksibitas seperti ini bertujuan untuk memperkuat penerimaan
sosial dan legal terhadap sekularisme dan pluralisme agama dengan tetap
mempertahankan peran tradisional Gereja Anglikan sebagai rekan spiritual
dan moral pemerintah.
Rancangan interdependen ini juga dapat ditemukan di negara-negara Eropa
lain, tapi saya akan mengulang secara singkat pengalaman negara-negara
yang sudah saya kemukakan tadi. Model interdependen lebih jelas terlihat
dari pengalaman-pengalaman negara yang berbasis Katolik seperti Spanyol
dan Itali. Pada beberapa penggal sejarah mereka, hubungan negara dan
gereja di kedua negara itu mengalami fluktuasi antara pemisahan yang kuat
dan hubungan interdependen antara gereja dan negara. Sistem kesepakatan
yang dibuat oleh negara dan gereja mengakui keberadaan keduanya sebagai
pihak yang otonom, meskipun kesepakatan itu tetap memberikan
kesempatan kepada gereja untuk mencampuri urusan-urusan negara, dan
memberikan gereja fasilitas-fasilitas istimewa. Secara umum di Eropa, baik di
negara-negara Katolik maupun Protestan, keberadaan gereja resmi telah
direkonsiliasikan dengan pengakuan terhadap keragaman agama dan hadir
106 Vernon Bogdanor, The Monarchy and the Constitution (Oxford, Oxford University Press, 1995), hlm. 216.107 Cheryl Saunders, “Comment: Religion and the State.” Cardozo Law Review 21 (1999).
pemerintah Swedia (1990). Pengadilan bependapat bahwa gereja resmi boleh
saja berdiri, tetapi ia tidak bisa memaksa orang untuk menjadi anggotanya
atau menghalangi mereka meninggalkan gereja. Pengadilan juga
menyatakan bahwa negara boleh-boleh saja bekerjasama, mendukung atau
memberi perlakuan istimewa pada gereja tertentu. Di samping itu,
pengadilan juga berkeyakinan bahwa negara boleh menarik pajak secara
langsung untuk kepentingan gereja resmi, dan mereka yang bukan penganut
kristen bisa diminta untuk membayar pajak gereja, jika gereja itu melakukan
fungsi-fungsi sekular seperti memberikan layanan pernikahan, menyediakan
TK, dan lain sebagainya (kegiatan-kegiatan yang lazim dilakukan gereja-
gereja di Eropa).114 Dalam kasus Kustannus, misalnya, pengadilan
berkeyakinan bahwa perusahaan ateis yang menentang keberadaan gereja
resmi, juga bisa diminta untuk membayar pajak gereja. Pengadilan juga
menyetujui pajak yang hanya memberikan keuntungan pada satu atau
beberapa gereja saja. Dalam kasus Iglesia Bautista El salvador dan Ortega
Mortilla melawan Pemerintah Spanyol, Komisi Eropa (yang biasanya memiliki
otoritas untuk menyelesaikan perselisihan di bawah wewenang Konvensi
HAM Eropa) berkeyakinan bahwa praktik negara menarik pajak atas nama
satu gereja tertentu dan tidak atas nama gereja lain tidak melanggar
konvensi. 115
Berkenaan dengan masalah pendidikan, Pengadilan HAM Eropa secara umum
berpendapat bahwa orang tua bisa meminta negara untuk tidak mendidik
anak-anaknya dengan cara tertentu, dan negara tidak mempunyai tugas atau
kewajiban untuk membiayai pendidikan moral atau agama dalam bentuk
apapun.116 Bila kurikulum pendidikan agama dari negara memperhatikan hal-
hal semacam itu, pengadilan memutuskan bahwa negara tidak perlu
menghindari penyajian bahan-bahan agama atau filsafat, tetapi harus
menjamin konteks penyajiannya tetap objektif, kritis dan pluralis”.117 Dalam
kasus Angelini melawan Pemerintah Swedia, penuntut, yang kebetulan
114 Scharffs, hlm. 1261, 1262115 Carolyn Evans, Freedom of Religion under the European Convention on Human Rights (Oxford University Press, 2001), hlm. 82.116 Carolyn Evans 88117 Carolyn Evans 92
seorang ateis, mengklaim bahwa negara telah melanggar kebebasan
beragama dengan memaksa anaknya untuk mengikuti pelajaran agama yang
hanya berfokus pada pengajaran agama Kristen. Pengadilan memutuskan
bahwa pengajaran agama di sekolah hanya berusaha memberikan informasi
bukan mendoktrinasi satu ajaran agama, dan memberikan informasi bukan
merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama. lagipula pendidikan
agama dilakukan dengan cara yang umum dan netral.118 Instruksi-instruksi
Uni Eropa memiliki pengaruh signifikan terhadap administrasi beberapa
gereja. Dalam kasus Serif melawan Pemerintah Yunani, pengadilan
menekankan independensi gereja, terutama gereja atau lembaga agama
yang bukan merupakan agama resmi, dari campur tangan negara, namun
pengadilan juga tetap mempertahankan hak negara untuk membuat
beberapa peraturan tentang perilaku aktivis gereja.119
Dari pembahasan mengenai hubungan agama dan negara di atas, jika kita
melihat secara lebih detail pada perbedaan pola-pola lokal hubungan
tersebut, serta status badan-badan keagamaan, organisasi internal gereja
dan keuangannya jelaslah bahwa variasi model hubungan itu terus
meningkat.120 Namun tujuan kita yang paling penting adalah hanya ingin
menekankan bahwa keragaman itu adalah produk sebuah proses negosiasi
makna dan implikasi sekularisme dalam berbagai kondisi yang berbeda. Tiga
model independen, interdependen dan intermediate yang kita bicarakan
diatas akan berguna karena mereka merepresentasikan point yang berbeda
dalam spektrum yang sama, daripada berusaha untuk mencocokkan satu
negara pada satu atau lain kategori yang terpisah. Bentuk dan substansi
hubungan antara agama dan negara bisa berbeda tergantung waktu dan
situasi yang dihadapinya, bisa jadi hubungan itu berupa pemisahan ketat
maupun peleburan. Sebuah negara mungkin bisa berusaha mengambil jarak
dengan institusi-institusi dan praktik-praktik keagamaan pada satu waktu,
118 Malcolm Evans, “Religion, Law and Human Rights: Locating the Debate” Law and Religion in Contemporary Society: Communities, Individualism and the State. Eds. Peter Edge, Graham Harvey (England: Ashgate, 2000).119 Carolyn Evans, hlm. 130120 Grace Davie, Religion in Modern Europe: A Memory Mutates (Oxford: Oxford University Press 2000), hlm. 15.
agama seseorang. Keharusan adanya public reason yang diperdebatkan
secara umum menjadi sangat penting karena orang yang akan
mengontrol negara tidak bisa dipastikan akan selalu netral. Malah
sebaliknya, keharusan adanya public reason ini harus menjadi tujuan kerja
negara, karena orang akan terus bertindak berdasarkan kepercayaan dan
justifikasinya sendiri. Keharusan ini juga diinginkan karena mendorong
dan memfasilitasi pengembangan konsensus yang lebih luas di kalangan
rakyat secara umum, untuk mengatasai sempitnya pandangan
keagamaan individu dan kelompok.
Karena istilah public reason telah digunakan oleh sarjana-sarjana Barat, saya
akan mengulang kembali diskusi kita pada Bab 3 mengenai bagaimana cara
saya menggunakan istilah ini. Ide Jhon Rawls mengenai public reason bisa
difahami sebagai argumen bagi pentingnya memberikan kerangka nilai-nilai
fundamental politik masyarakat bagi tindakan dan kebijakan pemerintah,
untuk membedakannya dari doktrin komprehensif atau pandangan dunia
warga negara yang berdasarkan agama, moral atau filsafat.126 Perintah
untuk tunduk pada public reason diterapkan sangat ketat pada lembaga
kehakiman, pemerintah, penyelenggara negara dan partai politik.127 Tetapi,
bagi Rawls, civil society secara keseluruhan tidak tunduk pada public
reason.128 Ia juga membatasi jangkauan public reason pada masalah-masalah
yang berkaitan dengan esensi konstitusi seperti masalah kemerdekaan
fundamental, dan masalah keadilan dasar.129 Berbeda dengan Rawls yang
membatasi public reason pada aktor dan isu tertentu saja, Habermas
memiliki pandangan yang lebih luas tentang prosedur debat dalam public
reason dan pentingnya pengakuan terhadap pluralisme dan pandangan dari
pihak luar.130 Bagi Habermas, ruang yang independen dan non-pemerintah
seperti asosiasi-asosiasi sukarela, gerakan-gerakan sosial, serta jaringan dan
126 John Rawls, Political Liberalism, (expanded edition, New York: Columbia University Press, 2003), hlm. 441.127 Rawls, hlm. 442128 Rawls, hlm. 443-444129 Rawls, hlm. 442130 Jurgen Habermas, “Reconciliation Through the Public Use of Reason: Remarks on John Rawls’ Political Liberalism.” The Journal of Philosophy, 92 (March 1995), hlm. 118-119.
dalam ruang public reason untuk mempengaruhi sebuah kebijakan. Dalam
perkembangan dan perubahan sosial dan kebudayaan di negara-negara
Barat dalam beberapa dekade terakhir ini, perhatian individu terhadap isu-isu
kualitas hidup, kebijakan pendidikan, aborsi dan kebijakan lain mengenai
keluarga, kebebasan beragama, imigrasi, dan kebijakan naturalisasi, sama
besarnya dengan perhatian mereka terhadap kebijakan publik.132 Dengan
kata lain, public reason sebagai logika dan proses semakin meniadakan
dikotomi antara ruang eksistensi sosial yang publik dan privat, sehingga
pemisahan agama dan politik pun semakin sulit. Namun peran agama dalam
ruang public reason yang kompetitif tidak bisa dilihat sebagai sudah
ditentukan dan tetap, karena hasil kebijakan seperti ini tergantung pada
berbagai faktor.
Kemampuan aktor keagamaan untuk mempengaruhi kebijakan publik
dipengaruhi oleh hubungan historis antara negara dan agama serta kondisi
aktual seperti urbanisasi, perubahan demografis, tingkat religiusitas dalam
masyarakat serta hubungan antara komunitas keagamaan. Lagipula, karena
faktor-faktor tersebut cenderung untuk beralih dan berubah terus, akibat dan
pengaruh agama terhadap kebijakan publik cenderung beradaptasi dengan
perubahan-perubahan tersebut. Contohnya, pada paruh kedua abad ke-20,
Gereja Katolik Perancis tidak menolak reformasi inovatif kebijakan mengenai
keluarga walaupun ia memiliki pandangan yang lebih tradisional terhadap
nilai-nilai sosial dan peran gender daripada kelompok masyarakat lain yang
memiliki tingkat religiusitas yang lebih rendah. Komitmen kuat negara
tersebut terhadap konsep laicite cenderung menghambat kemampuan Gereja
Katolik untuk melakukan manuver sebagai sebuah kelompok kepentingan.
Keterlibatan Gereja dalam persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
keluarga juga dibatasi di Jerman dan Inggris karena adanya kombinasi antara
otoritas tak penuh (partial establishment)agama resmi dan tingkat
religiusitas masyarakatnya yang moderat. Sehingga, gereja cenderung
bertindak sebagai institusi daripada sebagai sebuah kelompok kepentingan
dalam persoalan-persoalan yang menyangkut keluarga. Tetapi, meskipun
132 Michael Minkenberg, “The Policy Impact of Church-State Relations: Family Policy and Abortion in Britain, France and Germany.” West European Politics, 26: 3 (2003), 205.
gereja tidak dianggap sebagai agama resmi negara, aktor-aktor keagamaan
mempunyai lebih banyak ruang untuk melakukan manuver dalam politik
sehingga kemampuan mereka untuk mempengaruhi kebijakan publik
semakin meningkat seperti yang terlihat dalam kasus Amerika Serikat.133
Peristiwa-peristiwa baru yang terjadi di Amerika juga mengindikasikan peran
orientasi ideologis pemerintahan Amerika saat ini dalam mengalihkan atau
bahkan mentransformasikan istilah dan dinamika peran agama dalam public
reason.
Sebagai contoh, kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden George W. Bush
mengenai “inisiatif sosial berbasis keagamaan” bisa dilihat sebagai
rekonfigurasi ruang public reason dengan mengizinkan agama, atau lebih
tepatnya, kelompok agama tertentu untuk memberikan pengaruh yang lebih
besar dalam kehidupan publik dengan mendapatkan kesempatan yang lebih
besar untuk mendapatkan pendanaan dari negara. Segara setelah menjabat
presiden untuk pertama kalinya, George W. Bush mengeluarkan beberapa
kebijakan eksekutif untuk mendirikan Kantor Negara khusus (White House
Office) yang menangani “inisiatif sosial berbasis agama dan komunitas”
sebagai salah satu usaha untuk menghilangkan hambatan-hambatan
pendanaan berbasis agama. Tapi inisiatif-inisiatif tersebut mendapatkan
respon serius dari komunitas masyarakat asli Amerika yang mempertanyakan
apakah mereka akan mendapatkan manfaat dari kebijakan-kebijakan
tersebut.134 Ini jelas mengindikasikan bahwa istilah “agama” dalam kebijakan
itu juga didefinsikan dalam pengertian yang terbatas, dan merefleksikan
pemahaman dan kepercayaan personal sang presiden terhadap agama.
Daftar agama yang dimiliki oleh pemerintahan Bush hanya terbatas pada
agama-agama monotheis yang cukup familiar keberadaannya dalam budaya
sekuler dan Agama Kristen di Amerika. Kelompok-kelompok tertentu seperti
The Nation of Islam tidak termasuk dalam daftar.135 Meskipun faktor-faktor
tersebut cenderung untuk menegaskan domain public reason dan partisipasi
133 Minkenberg 209-210134 Mary C. Churchill, “In Bad Faith? Possibilities and Perils in the Age of Faith- Based Initiatives.” Journal of the American Academy of Religion, 70:4 (2002), 844, 845.135 Rita Nakashima Brock, “The Fiction of Church and State Separation: A Proposal for Greater Freedom of Religion”, Journal of the American Academy of Religion, 70: 4 (December 2002), 856.
bagi terciptanya pengertian lintas agama, pluralisme dan mendukung ruang
public reason, maka ia harus mengurangi kapasitasnya untuk melegitimasi
dirinya sendiri sebagai prinsip universal yang bisa berlaku tanpa merujuk
pada sumber moral apapun.
Sekularisme bisa menghalangi pemberlakukan langsung pemahaman doktrin
agama sebagai kebijakan negara, namun ia tidak memadai untuk memenuhi
kebutuhan umat beragama dalam mengekspresikan implikasi moral
kepercayaannya dalam ruang publik. Karena itulah, kenapa saya
menekankan bahwa sekularisme sebagai pemisahan negara dan agama
tetap diperlukan, namun tidak memadai jika tidak mengakui dan mengatur
peran politik agama. Kedua elemen besar dalam definisi sekularisme ini bisa
ditingkatkan dengan mengakui adanya pemahaman kontekstual terhadap
tujuan dan fungsi pemerintahan sekuler di setiap tempat. Disinilah agama
dapat memainkan peranan yang amat penting. Sekularisme bisa hanya
dianggap sebagai sesuatu yang berlaku temporer oleh umat beragama
kecuali jika mereka juga bisa meyakini bahwa sekularisme itu konsisten
dengan (atau paling tidak diungkapkan secara implisit dan ditetapkan dalam)
doktrin-doktrin agama.
Persyaratan ini tidak sesulit yang terlihat, dikotomi untuk memilih salah satu
di antara agama dan sekularisme sudah gagal, karena konsep sekuler tidak
bisa berfungsi tanpa adanya ide agama.138 Politik dan agama tidak bisa
beroperasi dalam realitas yang berbeda, salah satunya akan terus
memberikan informasi atau diberikan informasi oleh yang lain. Kekuatan
konsep sekuler untuk memotivasi ummat beragama secara langsung amat
terbatas karena mereka dipenuhi oleh dalam konsep agama yang memiliki
kekuatan untuk melakukan proses cek and balance. Seperti yang
diungkapkan oleh Harold Berman bahwa “orang tidak akan memberikan
dukungan mereka pada sistem politik dan ekonomi atau bahkan pada filsafat,
kecuali jika sistem-sistem itu mencerminkan kebenaran yang lebih tinggi dan
suci. Orang akan mengabaikan institusi yang tampak tidak berkaitan dengan
138 Talal Asad, “Religion, Nation-State, Secularism,” in Nation and Religion, ed. Peter van der Veer and Hartmut Lehmann (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1999), 192.
realitas transenden yang mereka percayai berhubungan dengan seluruh
keberadaan mereka, bukan hanya apa yang mereka percayai dalam benak
mereka.”139 Sebagai analisis final, saya nyatakan bahwa sekularisme tidak
bisa memotivasi umat beragama untuk memegang salah satu prinsipnya
tanpa melibatkan ajaran agamanya. Namun agama juga membutuhkan
sekularisme untuk menjamin keberadaan ruang yang aman dan valid bagi
praktik dan kepercayaannya. Sebagaimana yang sudah saya coba jelaskan,
hubungan antara agama dan sekularisme dengan demikian harus sinergis
dan saling mendukung, bukan saling bermusuhan dan konfrontatif.140
Penutup
Kilas balik pengalaman sekularisme Barat yang dikemukakan dalam bab ini
ditujukan untuk menghalau persepsi umum bahwa sekularisme berarti
peminggiran agama dari kehidupan publik dan politik. Baik negara maupun
otoritas atau lembaga keagamaan bisa mengambil pendekatan ekslusif yang
pasti pada yang lain. padahal, keduanya saling membutuhkan dalam
menghadapi berbagai isu yang sama dalam konteks sosial yang sama pula.
Nikki Kaddie menyimpulkan relevansi pengalaman Barat ini untuk
masyarakat Islam saat ini, “sekularisme di wilayah Barat manapun adalah
sesuatu yang sederhana dan sudah demikian adanya. Merebaknya praktik
dan kepercayaan sekular di Eropa dan Amerika Serikat telah menimbulkan
perubahan yang lambat dan debat yang kadang tajam namun berkelanjutan.
Akibatnya, merupakan sebuah kecerobohan untuk mengharapkan bahwa
reformasi kalangan sekuler bisa dilaksanakan lebih mudah di Timur Tengah
atau Asia Selatan.”141 Meskipun pengalaman setiap negara dan masyarakat
pasti sangat kontekstual, bahkan terlihat ambigu dan berubah-ubah di
negara-negara Barat dan di tempat-tempat lain, namun refleksi komparatif
tetap relevan dan berguna untuk masyarakat Islam saat ini untuk berjuang
menghadapi isu yang sama.
139 Harold Berman, The Interaction of Law and Religion (Nashville, TN: Abingdon, 1974), 73.140 Abdullahi Ahmed An-Na`im, “The Interdependence of Religion, Secularism, and Human Rights,” Common Knowledge, 11:1 (Winter 2005).141 Nikki Keddie, “Secularism and its discontents.” Daedalus 2003 (3), 20.