Top Banner
POTENSI PEMANFAATAN TEMPE KEDELAI DALAM PEMBUATAN BUBUR INSTAN UNTUK DIABETESI DENGAN KOMPLIKASI GANGREN KURNIAWAN PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 200 8
131

A08dku1

Jul 08, 2016

Download

Documents

bambangg

tempe
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: A08dku1

POTENSI PEMANFAATAN TEMPE KEDELAI DALAM PEMBUATAN BUBUR INSTAN UNTUK DIABETESI

DENGAN KOMPLIKASI GANGREN

KURNIAWAN

PROGRAM STUDIGIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

FAKULTAS PERTANIANINSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Page 2: A08dku1

RINGKASANKurniawan. A54104036. Potensi Pemanfaatan Tempe Kedelai dalamPembuatan Bubur Instan untuk Diabetesi dengan Komplikasi Gangren. Di bawah bimbingan Rimbawan dan Lilik Kustiyah

Diabetes melitus menjadi salah satu penyakit yang paling ditakuti oleh masyarakat belakangan ini. Jumlah penderitanya juga semakin bertambah dari tahun ke tahun. Penyakit yang tidak dapat disembuhkan ini memerlukan penanganan lebih dalam pengaturan makan, sehingga tidak menimbulkan komplikasi yang lebih parah. Tempe merupakan bahan pangan kaya asam amino yang dapat dijadikan alternatif bahan pangan untuk diabetesi (orang dengan diabetes melitus). Perkembangan zaman menuntut segala sesuatu serba cepat, termasuk didalamnya makanan yang dikonsumsi manusia.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari proses pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai sebagai alternatif menu diet diabetesi dengan komplikasi gangren, adapun tujuan khususnya adalah mempelajari proses pembuatan tempe kedelai, menentukan formula yang tepat dari bubur instan dari bahan tempe kedelai, mempelajari proses pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai, mempelajari proses pengeringan dalam pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai, menguji mutu organoleptik dari produk bubur instan dari tempe kedelai, menganalisis kandungan gizi bubur instan dari tempe kedelai, dan menganalisis kaitan antara komposisi gizi bubur instan dengan diabetes melitus.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2008 di pabrik tempe Sindangbarang II untuk pembuatan tempe kedelai, Pilot Plan Seafast Centre untuk proses pengeringan, Laboratorium Pengolahan Pangan Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor untuk pembuatan produk serta Laboratorium Analisis Zat Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, dan Laboratorium Kimia Terpadu, Institut Pertanian Bogor, Baranangsiang untuk analisis produk.

Bahan yang digunakan dalam pembuatan tempe untuk penelitian ini adalah kedelai kuning jenis Americana yang diperoleh dari Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (Balitbiogen) Cimanggu, Bogor; inokulum tempe Rhizopus oligosporus murni (yang selanjutnya disebut ragi tempe) yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, Institut Teknologi Bandung; air dan pembungkus plastik yang telah dilubangi. Sedangkan bahan yang digunakan untuk pembuatan produk bubur instan adalah tempe, tepung tapioka, maltodekstrin, CMC (carboxy methyl celulose), sukralosa, air dan essen vanilin. Bahan yang digunakan untuk analisis kandungan zat gizi terdiri atas bahan kimia untuk analisis protein, larutan multienzim (tripsin, kimotripsin dan peptidase), bahan kimia untuk analisis lemak serta bahan kimia standar HPLC untuk analisis asam amino.

Alat yang digunakan untuk pembuatan tempe meliputi adalah timbangan, panci, kompor, mesin penggiling kedelai dan ember, sedangkan alat yang digunakan untuk pembuatan produk meliputi pisau, talenan, panci, kompor, termometer, blender, brabender amilograph, freeze dryer, drum dryer dan vacuum evaporator. Analisis kandungan gizi menggunakan seperangkat alat analisis lemak, seperangkat alat ekstraksi protein, seperangkat alat standar HPLC, pH meter, penangas air dan stirer.

Page 3: A08dku1

Proses pembuatan tempe memerlukan kondisi khusus, baik kelembaban, pH maupun temperatur. Hal ini terkait dengan pertumbuhan kapang tempe. Jenis kapang yang digunakan dalam pembuatan tempe akan menentukan kandungan gizi tempe. Hasil analisis kandungan gizi menyebutkan bahwa, terjadi peningkatan kandungan lemak dan protein dan terjadi penurunan kadar abu pada saat fermentasi kedelai menjadi tempe.

Formula terbaik pada pembuatan produk bubur instan terdiri dari tempe 100 gram, maltodekstrin 2,5 persen, tapioka 2,5 persen, CMC 0,1 persen, air 350 mL, perisa 0,7 persen dan sukralosa 25 persen tingkat kemanisan gula. Produk yang dihasilkan dari penggunaan formula ini mempunyai tekstur yang halus dan kekentalan yang disukai oleh lebih dari separuh panelis.

Pembuatan bubur instan diawali dengan pencampuran bahan yang telah terpilih (tempe 100 gram, maltodekstrin 2,5 persen, tapioka 2,5 persen, CMC 0,1 persen, air 350 mL dan sukralosa 25 persen) sampai merata kemudian dilanjutkan dengan pemasakan. Pemasakan dilakukan dengan menggunakan tiga perlakuan suhu yaitu (73,5oC, 81oC dan 88,5 oC). Setelah dimasak, kemudian dilanjutkan pada proses pengeringan dengan beberapa jenis pengering. Pada beberapa jenis pengeringan baik freeze dryer, drum dryer maupun vacuum evaporator tidak memberikan pengaruh yang jauh berbeda terhadap daya terima panelis terhadap produk dari aspek rasa, warna, aroma, tekstur dan keseluruhan produk. Rasa pahit masih menjadi salah satu kelemahan produk. Hal ini mengakibatkan penerimaan secara keseluruhan produk masih rendah. Pada aspek aroma, warna, tekstur menunjukkan tingkat penerimaan yang baik dari panelis.

Pada beberapa jenis pengeringan baik freeze dryer, drum dryer maupun vacuum evaporator tidak memberikan pengaruh yang jauh berbeda terhadap mutu gizi produk yang dihasilkan. Pada penggunaan sistem pengering drum, mutu cerna yang dihasilkan paling tinggi diantara pengering freeze dryer dan vacuum evaporator meskipun kadar protein yang dihasilkan jauh lebih rendah. Pemberian suhu pemasakan yang berbeda memberikan perbedaan yang berarti pada kadar air produk, sedangkan untuk kadar protein, lemak, asam amino tidak memperlihatkan perbedaan yang terlalu jauh antar suhu pemasakan.

Berdasarkan perhitungan biaya yang diperlukan untuk pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai, drum dryer lebih efisien dan cocok digunakan dalam proses pengeringan.

Produk makanan diet dari bahan tempe kedelai dapat menyumbang sekitar10 persen dari total kebutuhan energi diabetesi dalam sehari dan menyumbang 3,1 persen kebutuhan arginin diabetesi.

Page 4: A08dku1

POTENSI PEMANFAATAN TEMPE KEDELAI DALAM PEMBUATAN BUBUR INSTAN UNTUK DIABETESI

DENGAN KOMPLIKASI GANGREN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Institut Pertanian Bogor

KURNIAWAN

A54104036

PROGRAM STUDIGIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

FAKULTAS PERTANIANINSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Page 5: A08dku1

Judul : Potensi Pemanfaatan Tempe Kedelai dalam Pembuatan BuburInstan untuk Diabetesi dengan Komplikasi Gangren

Nama : Kurniawan

NIM : A54103036

Disetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr.R i m b a w a n NIP.131 629 744

Dr. Ir. Lilik Kusti y ah, M S i NIP. 131 669 945

Diketahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr.NIP.131 124 019

Tanggal Lulus :

Page 6: A08dku1

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rembang, Jawa tengah pada tanggal 17 Juni 1986.

Penulis merupakan anak pertama dari keluarga Bapak Kusbiyanto dan Ibu

Mahmudah. Pendidikan dasar ditempuh pada tahun 1992 sampai 1998 di SD

Negeri Sumbergirang 3, kemudian penulis melanjutkan pendidikan sekolah di

SLTP Negeri 1 Lasem pada tahun 1998 sampai 2001 dan SMU Negeri 2

Rembang pada tahun 2001 sampai 2004.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan

Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2004 pada Program Studi Gizi Masyarakat dan

Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian. Selama perkuliahan penulis aktif

dalam berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Badan Eksekutif Mahasiswa

Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB) pada masa kepengurusan 2004-2005,

Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA) pada masa

kepengurusan 2005-2006. Pada tahun 2006, penulis mengikuti program

pengiriman relawan untuk penanganan trauma anak pasca gempa Jogjakarta.

Penulis juga aktif mengikuti perlombaan karya tulis seperti Program Kreativitas

Mahasiswa (PKM), Kompetisi Pemikiran Kritis Mahasiswa (KPKM) dan

Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa (KKTM).

Pada tahun 2008 penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Ilmu Bahan

Makanan untuk program S1 Gizi Masyarakat dan Metabolisme Zat Gizi pada

program Ekstensi S1 Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selain itu,

penulis juga pernah menjadi enumerator pada penelitian yang berjudul

“Pengembangan Model Kelembagaan Berbasis Komunitas Lokal yang Ramah

Terhadap Perkembangan Anak pada Masyarakat Pedesaan Di Bogor”. Bersama

dengan Dr. Rimbawan dan Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si, penulis menyajikan

makalah poster yang berjudul “Potensi Pemanfaatan Tempe Kedelai dalam

Pembuatan Bubur Instan untuk Diabetesi dengan Komplikasi Gangren” pada

acara Seminar dan Lokakarya mengenai Perkembangan Terkini tentang Tempe:

Teknologi, Standardisasi dan Potensinya dalam Perbaikan Gizi serta Kesehatan.

Page 7: A08dku1

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segenap

rahmat, karunia dan segala keindahan hidup sehingga penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Potensi Pemanfaatan Tempe Kedelai

dalam Pembuatan Bubur Instan untuk Diabetesi dengan Komplikasi Gangren”.

Shalawat serta salam senantiasa tercurah pada nabi Allah, Muhammad SAW yang

telah memberikan suri tauladan hidup kepada umatnya hingga akhir jaman.

Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Dr. Rimbawan sebagai pembimbing I yang telah memberikan

arahan, masukan, saran, motivasi, semangat dan nasihat sehingga penulis

dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini.

2. Ibu Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku pembimbing II yang telah dengan

sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian tugas

akhir.

3. Dr.Ir. Sri Anna Marliyati,M.Si selaku dosen penguji atas masukan, saran

dan perbaikan dalam penulisan karya tulis ini.

4. Ibu Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku pembimbing akademik yang telah

memberikan bimbingan.

5. Rekan rekan pembahas seminar, Alfinda, Firdaus dan Devita Kusuma.

6. Bapak (alm) dan Ibu atas semua kasih sayang, cinta, didikan dan semangat

yang tiada henti yang mungkin sampai kapanpun tiada kan terbalaskan,

serta kesabaran dan pengertiannya selama ini. Adik Joko Kusumah atas

semua keceriaan dan dukungan yang diberikan.

7. Bapak Dian S. Ghozali selaku teman sekaligus kakak yang

menyenangkan, Bapak Mashudi, Bu Rizky, Bu Titi dan Bu Nina atas

semua bantuan baik teknis maupun non teknis. Kak Sigit GMSK 35, Pak

Rolas, Pak Nurwanto, Pak Iyas dan Pak Cahyo atas semua bantuan dan

kerjasama dalam penyelesaian tugas akhir ini.

8. Rekan rekan sesama penelitian di Laboratorium (Rizka Riyana, Rika

Yulianti, Edo Ryzki, Astri Dwi, Handaru Tri, Aini Aqsa) atas semua

keceriaan, tawa dan tangis selama penelitian.

Page 8: A08dku1

9. Quantumers (Marissa, Ari, Yulia dan Nova), Teman-teman GMSK 41

(Nur Laela, Novita Nining, Eka Septiani, Febriana Ira, Ida Hildawati,

Kartika Wandini, Sri Adriyani, Aklesta), sahabat sahabatku (Fitriardi ,

Maulana, Ayudya), GMSK 40, GM 42, GM 43 atas semua kenangan dan

kebersamaan selama empat tahun ini.

10. Teman-teman Tim KKP Desa Sukamandi, Subang (Dhimas Ario, Siti

Nurul Qoriah, Srikandi Puspa, Prakarsa dan Kurnia). Terima kasih untuk

kebersamaan dan kenangan indah selama 2 bulan.

11. Bloboers (Masrochatun, Faridah Nafiati, Nurul Isnaeni, Septina, Nuraeni,

Andhika, Dian Rahmawati, Ustri Yustina, Nurwanita Putri, Isnaeni Farida,

Arum atas semua dukungan dan semangat yang tak henti.

12. Reisi Nurdiani, SP, Venny A. Mahardikawati, Sanya Andalusiana, SP,

Khaerunnisa, SP, Anita Karina SP serta praktikan Ilmu Bahan Makanan

yang mewarnai kehidupan penulis.

13. Dosen dan Staf GMSK yang telah memberikan didikan, ajaran, dukungan

dan bantuan kepada penulis selama 4 tahun masa studi.

14. Pandu Canggih Dewanata (Alm) atas semua inspirasi dan kenangan yang

tidak terlupakan.

15. Teman teman seperjuanganku “Rembang 41” Endah, Syadid, Tyas

Trianto, Tyas, Hanif, Niam, Fuad, Wiwik, Teny, Dhita, Pipin, Klori dan

Vida, terima kasih atas persaudaraan yang telah terjalin. Yogi Purno

Yudho atas nasihat dan dukungannya selama ini.

16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga karya tulis ini bermanfaat.

Bogor, 11 September 2008

Penulis

Page 9: A08dku1

PENDAHULUANLatar Belakang

Diabetes melitus menjadi salah satu penyakit yang paling ditakuti oleh

masyarakat belakangan ini. Penyakit yang menjadi ciri negatif dari kemakmuran

(Khomsan 2006) ini merupakan salah satu dari 4 jenis penyakit pembunuh

mematikan di Amerika Serikat dengan jumlah penderita yang semakin bertambah

tiap tahunnya. Perubahan konsumsi pangan yang mengarah pada tingginya lemak

dan kalori serta aktivitas fisik yang rendah menjadi pemicu awal timbulnya

penyakit ini. Penyakit yang ditandai dengan penurunan berat badan secara drastis,

rasa haus (polidipsi) dan lapar (polifagi) yang berlebih ini mengakibatkan

kerugian yang tidak sedikit pada negara maju seperti Amerika Serikat. Tidak

hanya beban ekonomi yang harus ditanggung pemerintah berkaitan dengan

perawatan dan penyembuhan, namun juga produktivitas kerja masyarakat yang

kurang optimal menjadi masalah besar karena penyakit ini.

Penyakit diabetes merupakan manifestasi dari kesalahan pola makan.

Makanan yang tinggi karbohidrat dan lemak banyak memicu naiknya kadar gula

darah. Kenaikan kadar gula darah yang tidak terkendali dalam waktu yang lama

akan mengakibatkan ketidakmampuan insulin untuk mengontrolnya.

Ketidakmampuan insulin dalam mengatur keseimbangan gula darah dalam tubuh

ini dinamakan diabetes melitus. Diabetes melitus merupakan jenis penyakit yang

tidak dapat disembuhkan sehingga dibutuhkan perawatan dan manajemen yang

baik berkaitan dengan pengaturan makan dan gaya hidup. Pengaturan konsumsi

yang buruk akan mengakibatkan pada tingginya kadar gula darah yang mengarah

pada komplikasi yang lebih serius semisal retinophati, nefropati, hipertensi,

jantung dan gangren.

Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi kronik diabetes melitus yang

paling buruk hasil pengelolaannya. Angka kematian dan angka amputasi masih

tinggi dan biaya pengelolaanya sangat mahal. Meningkatnya prevalensi DM

akibat tidak dikelola dengan baiknya diabetes akan mengakibatkan berbagai

komplikasi yang akan menjadi problem di kemudian hari (Waspadji 2000).

Pengaturan diet yang benar akan membantu diabetesi untuk menjaga kondisi agar

tidak terjadi komplikasi yang memperparah kondisi diabetesi.

Page 10: A08dku1

Berbagai penelitian membuktikan bahwa kedelai menyimpan potensi gizi

yang baik. Menurut Anderson, Blake, Turner & Smith (1998), kedelai bermanfaat

bagi penderita diabetes dengan komplikasi ginjal. Protein kedelai mempunyai sifat

yang berbeda dengan protein daging. Protein hewani merupakan salah satu

pantangan bagi penderita gagal ginjal. Beberapa penelitian juga membuktikan

bahwa, pemberian ransum kedelai pada tikus bermanfaat untuk menurunkan kadar

gula darah.

Tempe merupakan salah satu makanan fermentasi tradisional warisan nenek

moyang yang terbukti mempunyai nilai gizi tinggi dan dapat digunakan sebagai

sumber protein yang murah (Syafrina, Sibarani, Julita & Pawiroharsono 1997).

Tempe banyak digunakan sebagai sumber protein masyarakat ditengah sulitnya

kondisi perekonomian yang berakibat pada keterbatasan daya beli. Tempe juga

mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi yang bermanfaat untuk menangkal

radikal bebas sehingga dapat menghambat penuaan dan mencegah penyakit

degeneratif (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, dan lain lain).

Proses fermentasi yang diberikan pada kedelai untuk menghasilkan tempe dapat

meningkatkan kualitas gizi. Beberapa zat gizi seperti protein, lemak, vitamin B

meningkat jumlahnya karena adanya kapang yang memotong ikatan. Pemotongan

ikatan kimia kompleks menjadi lebih sederhana ini bermenfaat pada saat

penyerapan oleh tubuh. Selain beberapa potensi yang telah disebutkan, tempe

mempunyai aktivitas antimikrobial yang bermanfaat untuk pencegahan diare.

Begitu banyak potensi gizi yang dimiliki tempe, namun belum banyak

teknologi yang menyentuh aspek pengolahan, sehingga tempe hanya sebatas

menjadi lauk di meja makan. Berbagai potensi yang dimiliki tempe terkadang

tertutupi oleh image tempe sebagai makanan kelas bawah. Teknologi pangan yang

tepat disamping dapat meningkatkan image tempe sebagai super food juga

bermanfaat untuk efisiensi produk seperti pengangkutan dan penyimpanan.

Page 11: A08dku1

Membanjirnya produk makanan instan merupakan salah satu tuntutan di

masa yang semakin maju ini. Setiap orang menginginkan makanan yang dapat

dengan mudah dan cepat disajikan dan dinikmati, sehingga perkembangan serta

prospek makanan instan masih sangatlah tinggi. Pengolahan lebih lanjut pada

bahan pangan mempunyai dampak negatif berupa kerusakan atau penurunan

beberapa komponen gizi, namun disatu sisi manfaat kepraktisan dan kemudahan

diperoleh mengiringi proses berlanjut dari pangan. Melihat potensi yang besar

dari tempe kedelai bagi diabetesi serta tuntutan akan pangan instan, maka penulis

tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pembuatan bubur instan dari tempe

kedelai.

Tujuan Umum:Tujuan

Mempelajari proses pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai

sebagai alternatif menu diet diabetesi dengan komplikasi gangren.

Tujuan Khusus:

1. Mempelajari proses pembuatan tempe kedelai.

2. Menentukan formula yang tepat dari bubur instan dari bahan tempe

kedelai.

3. Mempelajari proses pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai.

4. Menguji mutu organoleptik dari produk bubur instan dari tempe kedelai

5. Menganalisis kandungan gizi bubur instan dari tempe kedelai.

6. Menganalisis kaitan antara komposisi gizi bubur instan dengan diabetes

melitus.

Manfaat

• Menyediakan informasi mengenai kandungan gizi bubur instan dari tempe

kedelai.

• Menyediakan informasi mengenai metode pembuatan bubur instan dari

tempe kedelai.

• Meningkatkan nilai tambah tempe dan produk olahannya.

• Menyediakan informasi mengenai kandungan arginin dan glutamat sebagai

bahan aktif yang terkandung dalam bubur instan dari tempe kedelai.

Page 12: A08dku1

TINJAUAN PUSTAKA Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan kumpulan penyakit yang ditandai dengan

tingginya kadar gula darah. Abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan

protein juga terjadi. Secara umum tubuh orang dengan diabetes tidak

memproduksi atau tidak memberikan respon terhadap insulin. Kondisi ketiadaan

insulin ini memicu hiperglikemia yang berujung pada komplikasi waktu singkat

dan komplikasi waktu lama (Mahan & Stump 2004). Menurut Rimbawan dan

Siagian (2004) diabetes melitus adalah penyakit yang dicirikan dengan

peningkatan kadar gula secara tidak terkendali (126 mg/dl untuk kadar gula darah

puasa dan 200 mg/dl untuk kadar gula darah sewaktu). Diabetes seringkali

disebabkan oleh asupan karbohidrat dan lemak yang berlebih, namun tidak

diimbangi kemampuan tubuh untuk mengaturnya.

Diabetes melitus adalah salah satu masalah kesehatan utama yang dihadapi

oleh banyak negara. Di Amerika Serikat sekitar 11 sampai 15 juta orang

terdiagnosa dan tidak terdiagnosa menderita diabetes melitus. Diabetes

menduduki 6 besar penyakit pembunuh mematikan di amerika serikat, dan jika

memperhitungkan komplikasi yang diakibatkan, estimasi kerugian negara yang

ditimbulkan oleh diabetes ini juga tidak sedikit. Setidaknya Sekitar 20 milyar

dolar per tahunnya harus dikeluarkan pemerintah Amerika Serikat berkaitan

dengan penyakit diabetes ini (Anderson & Geil 1994).

Menurut Expert Commitee on Diagnosis an Classification of Diabetes

Melitus (ECDCDM) diacu dalam Rimbawan & Siagian (2004), diabetes

diklasifikasikan menjadi 3 yaitu diabetes tipe 1, diabetes melitus tipe 2 dan

diabetes melitus gestasional. Klasifikasi baru inilah yang digunakan sekarang,

menggantikan terminologi insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) dan non

insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM).

Diabetes tipe 1 terhitung 5-10 persen dari semua kasus diagnosa diabetes.

Kerusakan sel β pankreas secara permanen memicu defisiensi insulin secara

absolut (insulinopenia) yang berujung pada hiperglikemia, poliuria, polidipsia,

kehilangan berat badan, dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit dan ketoasidosis.

Kerusakan sel β pankreas dapat disebabkan oleh infeksi virus, respon autoimun

Page 13: A08dku1

dan kemungkinan kelemahan genetis (Bender 2002). Kemampuan pankreas untuk

sekresi insulin sangat jauh dari normal, sehingga diabetesi tipe 1 membutuhkan

insulin tambahan dari luar untuk mencegah asidosis dan kematian. Meskipun

diabetes tipe 1 dapat terjadi pada tahapan usia manapun, namun pasien lebih

banyak didiagnosa pada usia kurang dari 30 tahun dengan puncak insiden antara

usia 10-12 tahun pada wanita dan 12-14 tahun pada pria (Franz dan Havas 2003).

Diabetes tipe 1 merupakan manivestasi gabungan dari kecenderungan

genetik dan kerusakan sistem imun dari sel beta pankreas. Berdasarkan diagnosis,

sekitar 85-90 persen orang dengan diabetes mempunyai lebih dari 1 sirkulasi

autoantibodi, endogenous insulin dan antibodi lain yang konstituen ke sel islet.

Antibodi yang diduga berperan dalam kerusakan sel beta pankreas adalah 1) Sel

islet autoantibody (ICAs) 2) Insulin Autoantibody (IAAs), yang mungkin terjadi

pada sesesorang yang tidak pernah menerima terapi insulin 3) auto antibody pada

asam glutamat decarboxilase (GAD), yaitu protein yang ada pada permukaan sel

beta. GAD antibodies tampak sebagai sesuatu yang harus diserang oleh T sel

(Killer T lyphosit) (Franz dan Havas 2003).

Diabetes tipe 2 disebabkan oleh kegagalan respon insulin sebagai akibat dari

penurunan sensitivitas reseptor insulin. Diabetes tipe 2 ini diderita oleh hampir 90

persen sampai 95 persen dari total populasi diabetes yang ada. Faktor risiko

diabetes tipe 2 meliputi faktor genetik dan lingkungan termasuk riwayat diabetes

keluarga, usia tua, obesitas, kegemukan daerah perut, aktivitas fisik yang rendah,

sejarah diabetes gestasional, homeostasis glukosa yang buruk seta suku atau ras.

Meskipun total lemak tubuh dan obesitas merupakan salah satu faktor risiko

diabetes tipe 2, namun diabetes tipe 2 juga ditemukan pada orang non obese

(Mahan & Stump 2004).

Diabetes gestasional didefinisikan sebagai derajat intoleransi gula yang

gejala awalnya diketahui pada saat kehamilan. Diabetes gestasional terjadi pada ±

7 persen seluruh kehamilan di dunia dengan total kasus lebih dari 200.000 per

tahunnya. Diabetes gestasional biasanya terdeteksi pada trimester kedua atau

ketiga dari usia kehamilan. Pada waktu tersebut, kadar hormon antagonis-insulin

meningkat, sehingga terjadilah resistensi insulin (Mahan & Stump 2004).

Page 14: A08dku1

Diebetes gestasional merupakan bentuk diabetes sementara selama

kehamilan dengan pencapaian kadar glukosa normal setelah kelahiran. Wanita

yang terdeteksi diabetes sebelum konsepsi tergolong sebagai diabetes

pregestasional, namun tidak dapat digolongkan sebagai diabetes gestasional

selama kehamilannya. Diabetes gestasional dapat mengakibatkan komplikasi pada

ibu dan bayi jika tidak dikontrol dengan baik (Mahan & Stump 2004).

Prevalensi Diabetes Melitus

Pada tahun 1994, diabetesi di dunia dinyatakan berjumlah 110,4 juta jiwa

dan dilaporkan meningkat pada tahun 2000 menjadi 175,4 juta jiwa. Tahun 2010

diperkirakan akan mencapai 239,3 juta penderita ( McCarty & Zimmet 1994 diacu

dalam Tjookroprawiro 2006). Di Indonesia jumlah diabetesi pada tahun 2000

adalah sekitar empat juta dan diperkirakan akan mengalami peningkatan menjadi

lima juta penderita pada tahun 2010 (Tjokroprawiro 2006).

Menurut Mokdad et al (2001) diacu dalam Mahan & Stump (2004), antara

tahun 1990 sampai 1998 prevalensi diabetes meningkat sebanyak 76 persen pada

orang yang berusia 30 tahunan. Pada anak-anak prevalensi diabetes tipe 2 juga

meningkat secara dramatis, yaitu hanya sekitar 4 persen pada tahun 1990 menjadi

45 persen pada beberapa tahun belakangan ini.

Komplikasi Diabetes Melitus

Penyakit diabetes melitus yang tidak tertangani akan mengakibatkan

berbagai komplikasi makrovasikuler dan mikrovasikuler. Komplikasi

makrovasikuler bisa berupa gagal jantung kongestif, stroke, amputasi serta dapat

mengakibatkan kematian, sedangkan komplikasi mikrovasikuler berupa

retinophaty, nephrophaty dan neurophaty (Franz & Havas 2003). Banyak

kelainan klinis yang menyerang diabetesi. Beberapa daerah yang sering terkena

komplikasi adalah pankreas, pembuluh darah, ginjal, syaraf dan mata.

Glukosa merupakan bahan bakar atau sumber energi bagi tubuh.

Homeostatis glukosa darah diatur oleh hormon insulin dan glukagon untuk

menjaga kadar normal gula darah (55-140 mg/dl). Konsentrasi minimum 40-60

mg/dl diperlukan untuk menyediakan bahan bakar yang cukup bagi syaraf utama

di otak. Pada diabetesi, glukosa tidak dapat dengan mudah diambil dan diutilisasi

oleh jaringan karena keterbatasan dan ketiadaan insulin. Ketidakmampuan tubuh

Page 15: A08dku1

membersihkan darah dari glukosa juga merupakan salah satu ciri dari diabetes

melitus. Kondisi tingginya kadar glukagon serta rendahnya kadar insulin sering

dialami oleh diabetesi untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Oleh karena itu

glikolisis dihambat dan glukoneogenesis distimulasi (Sardesai 2003).

Tingginya rasio glukagon dan insulin terkadang memicu terjadinya

pemecahan glikogen, sehingga terjadi hiperglikemia berat. Kadar glukosa darah

yang tinggi ini sering melampaui batas kemampuan ginjal untuk menyaring (180

mg/dl) sehingga glukosa dibuang bersama urin. Energi potensial bagi tubuh yang

terbuang bersama urin ini menuai konsekuensi kelaparan, penurunan berat badan

dan kelelahan yang amat. Rasa haus yang teramat merupakan hasil dari air tubuh

yang digunakan untuk ekskresi glukosa (Sardesai 2003).

Tingginya kadar glukosa darah pada diabetesi juga mempengaruhi beberapa

jaringan yang tidak memerlukan insulin seperti lensa okuler, saraf periver dan

glomerulus ginjal. Komplikasi umum yang terjadi adalah kelainan ginjal, gangren,

penyakit jantung, retinopati serta kerusakan pembuluh darah dan pembuluh

syaraf. Kelainan ginjal 17 kali lebih tinggi kemungkinannya diderita oleh

diabetesi dari pada orang normal, penyakit jantung dan stroke 2 kali lebih sering

dan kebutaan 25 kali lebih tinggi kejadiaannya pada orang diabetes dari pada

orang normal, sehingga harapan hidup diabetesi 3 kali diperkirakan lebih rendah

dari pada orang normal (Sardesai 2003).

Penatalaksanaan Diet Diabetes Melitus

Diabetes merupakan penyakit kronis, sehingga diperlukan perubahan gaya

hidup untuk seumur hidup untuk menghindari terjadinya komplikasi berkelanjutan

(Frans & Havaz 2003). Tujuan pokok panatalaksanaan diet penyakit diabetes

melitus adalah mengurangi hiperglikemia, mencegah hipoglikemia pada pasien

yang diberi terapi insulin serta mencegah komplikasi yang terjadi terutama

penyakit kardiovasikuler (Willet et al diacu dalam Rimbawan & Siagian 2005).

Pengontrolan optimum untuk diabetes membutuhkan perbaikan dari metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein.

Page 16: A08dku1

Diabetes merupakan penyakit dengan banyak komplikasi, sekitar 50 persen

kasus amputasi yang terjadi pada orang dewasa dan 25 persen kegagalan ginjal

dan penyebab utama kebutaan di Amerika Serikat disebabkan oleh diabetes

melitus. Penanganan dan manajemen pengaturan yang baik diperlukan mengingat

tidak ada yang dapat memprediksi komplikasi-komplikasi yang akan terjadi akibat

penyakit ini (Anderson & Geil 1994). Pengaturan diabetes terdiri dari terapi gizi

medis, aktivitas fisik, pemantauan glukosa darah (Mahan & Stump 2004).

Komunikasi dan edukasi menjadi bagian yang penting dalam penatalaksanaan diet

diabetes melitus karena perawatan kesehatan pribadi harus dimulai dari diri

sendiri (Anderson & Geil 1994).

Konsep indeks glikemiks yang berbasis konsep perbedaan pengaruh glukosa

darah yang akan terjadi akibat perbedaan jenis karbohidrat pada jumlah yang sama

menjadi dasar penatalaksanaan diet diabetes melitus baru (Rimbawan & Siagian

2005). Konsep indeks glikemik tidak hanya bermanfaat untuk penanganan

diabetes melitus, namun bermanfaat juga untuk mencegah komplikasi yang dapat

terjadi akibat diabetes. Konsep perbedaan respon glukosa darah akibat perbedaan

jenis karbohidrat ini tidak dijelaskan oleh panjang rantai molekul glukosa

(Schulze, Liu, Rimm, Manson, Willett & Hu 2004).

Secara umum pengaturan diabetes melitus bersifat spesifik dan berdasarkan

pada kondisi metabolik individu. Berdasarkan rekomendasi ADA (American

Diabetes Association), tujuan yang harus dicapai pada penatalaksanaan diabetes

melitus adalah sebagai berikut:

Tujuan terapi medis yang dapat diberikan pada semua orang dengan

diabetes melitus meliputi pencapaian dan pemeliharaan outcome metabolisme

yang meliputi: Kadar glukosa darah berada pada range normal (cukup aman untuk

mengurangi risiko atau komplikasi akibat diabetes), profil lipid atau lipoprotein

yang dapat mengurangi risiko penyakit jantung, kondisi tekanan darah yang dapat

mengurangi risiko penyakit vasikuler; mencegah dan merawat komplikasi kronis:

memodifikasi intik gizi yang sesuai untuk pencegahan dan treatment obesitas,

penyakit jantung, hipertensi dan nefrophaty; meningkatkan kualitas kesehatan

dengan memberikan pilihan makanan sehat dan aktivitas fisik; memenuhi

Page 17: A08dku1

kebutuhan gizi individu, mempertimbangkan preferensi budaya, pribadi dan gaya

hidup dengan menghormati kebutuhan pribadi dan keinginan untuk berubah.

Tujuan terapi gizi yang dapat diaplikasikan untuk kondisi tertentu

terbagi atas: Kaum muda dengan diabetes tipe 1 berupa menyediakan energi yang

cukup untuk masa pertumbuhan dan perkembangan, pemberian insulin

menggunakan cara yang terintegrasi dengan perilaku makan dan kebiasaan

olahraga; Kaum muda dengan diabetes tipe 2 berupa memfasilitasi perubahan

makan dan olahraga yang dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki

status metabolik; Wanita hamil dan menyusui berupa menyediakan energi dan zat

gizi yang cukup untuk kelancaran kelahiran; Orang dewasa meliputi menyediakan

energi yang cukup untuk individu yang mengalami proses penuaan; Individu yang

mendapatkan perlakuan insulin ; menyediakan informasi untuk pencegahan dan

treatment hipoglikemi dan olahraga yang terkait dengan masalah kadar glukosa

darah dan bagaimana cara untuk mengatasinya; Individu dengan risiko diabetes;

Mengurangi risiko dengan meningkatkan aktivitas fisik dan mengenalkan pilihan

makanan yang mendukung penurunan berat badan secara ringan atau paling tidak

mencegah kenaikan berat badan. American Diabetes Association (2002) diacu

dalam Mahan & Stump (2004).

Repon Imunitas

Arginin adalah asam amino non esensial bagi manusia yang dibutuhkan

untuk sintesa protein, urea, nukleotida dan ATP. Arginin juga merupakan

prekursor dari nitric oxide (pengatur imunitas yang menjadi racun bagi sel tumor

dan beberapa mikroorganisme). Arginin menjadi prekursor untuk sintesa

poliamine (bahan yang menjadi kunci pada replikasi DNA, mengatur pembelahan

dan siklus sel). Arginin berperan dalam penyembuhan luka, pertahanan terhadap

pembedahan dan luka bakar serta meningkatkan resistensi terhadap infeksi

bakteri. Pada kondisi normal, dosis 30 gram/hari menunjukkan respon yang baik

pada peningkatan proliferasi limfosit darah dan membantu proses penyembuhan

luka (Redmond dan daly 1993 diacu dalam Evoy et al 1998 diacu dalam Zempleni

dan Daniel 2003).

Page 18: A08dku1

Arginin secara aktif diserap oleh usus melalui mekanisme sodium-

dependent transport. Aktivitas yang tinggi dari arginase dalam enterocytes

mengubah 40 persen dietari arginin menjadi sitrulin yang dilepaskan dalam

peredaran darah. Dietari glutamin dan glutamat dapat juga digunakan untuk

menghasilkan sitrulin dalam enterocites. Arginin dapat disintesis dari sitrulin yang

mayoritas dihasilkan di ginjal untuk kemudian diedarkan ke seluruh tubuh.

Nitric oxide atau NO merupakan salah satu molekul yang berperan dalam

fungsi imunitas tubuh. Nitric oxide terbentuk bersama citrullin dari arginin yang

dalam prosesnya dikatalisis oleh nitric oxide synthase. Nitric oxide juga berperan

dalam pengaturan laju darah dan elastisitas pembuluh darah. Secara invitro dan

invivo penelitian menunjukkan peran nitric oxide dalam proses penyembuhan luka

(Cynober 2004).

Glutamin adalah jenis asam amino yang berlimpah jumlahnya dalam

tubuh. Otot skeletal merupakan tempat potensial untuk produksi glutamin dan

sebagai penyupli glutamin yang bertindak sebagai pembawa nitrogen dalam organ

tubuh. Respon imun tubuh tergantung salah satunya oleh kadar glutamin.

Konsentrasi glutamin dalam tubuh menurun pada saat stres serta luka termasuk

luka bakar. Penelitian pada tikus, menyebutkan bahwa penambahan glutamin pada

diet tikus menyebabkan peningkatan proliferasi limfosit dan pembentukan IL-2

serta meningkatkan kemampuan tikus untuk bertahan dari infeksi (Wilmore dan

Shabet diacu dalam Calder dan Jaqoob 1999, diacu dalam Zempleni dan Daniel

2003). Menurut Cynober (2004), pemberian diet 30 gram/hari glutamin selama 28

hari mampu meningkatkan jumlah limfosit pada pasien kanker yang mendapatkan

kemoterapi.

KedelaiBau langu yang terdapat pada kedelai disebabkan oleh kerja enzim

lipoksigenase yang bercampur dengan lemak kedelai. Reaksi ini menghasilkan

sekitar 8 senyawa volatil. Dari hasil penelitian, senyawa etil venil ketonlah yang

paling banyak menghasilkan bau langu. Lipoksigenase mempunyai sifat labil

terhadap pemanasan, perlakuan perendaman pada suhu 80oC selama 10-15 menit

dapat menginaktivasi enzim ini (Winarno 1993).

Page 19: A08dku1

Pada kedelai mentah terdapat zat anti gizi anti tripsin dan kimotripsin,

antivitamin, goitrogen, hemaglutinin atau lektin, asam fitat, saponin serta

oligosakarida faktor flatulensi. Kandungan zat anti gizi yang ada pada kedelai

menjadi tolok ukur indikasi peringkat mutu kedelai sebagai bahan pangan,

terutama sumber protein. Penghambat tripsin dan kimotripsin mengurangi

efektivitas mencerna protein yang dilakukan enzim tripsin, sedangkan

hemaglutinin atau lektin dapat mengikat molekul gula sehingga mengurangi

efisiensi karbohidrat dalam metabolisme energi, sedangkan asam fitat dapat

membentuk senyawa kompleks dengan mineral utama yang ada dalam tubuh

seperti besi, kalsium, magnesium, seng dan beberapa protein tertentu sehingga

mineral tidak dapat terserap baik oleh tubuh (Winarno 1993).

Anderson, Blake, Turner & Smith (1998) mengatakan bahwa diabetesi

dengan komplikasi penyakit ginjal harus membatasi konsumsi protein dalam diet

hariannya. Hal ini dikarenakan konsumsi protein yang tinggi akan mengakibatkan

hiperfiltrasi dan hipertensi glomerulus. Manfaat protein kedelai telah diketahui

sejak lama. Pada diabetesi dengan komplikasi penyakit ginjal, konsumsi protein

kedelai dapat menurunkan hiperfiltration dan glomerular hipertensi.

Saponin berasal dari kata Soap yang berarti sabun. Pada saat proses

pembuatan tahu atau perebusan susu kedelai mentah, terdapat busa gelembung

yang terdeteksi sebagai komponen saponin. Pada pemasakan biasa saponin terasa

pahit, namun pada pembuatan tahu di jepang komponen ini tidak dihilangkan.

Penggunaan anti buih digunakan untuk mencegah busa yang berlebihan (Hui

2004).

Tempe kedelai

Pembuatan tempe diawali dengan pembersihan dan pengupasan kulit.

Pencucian akan membantu menghilangkan kacang yang rusak dan benda-benda

asing. Pengupasan menjadi hal yang penting, karena kapang Rhizophus tidak

dapat tumbuh pada kedelai yang masih utuh. Pengupasan kulit metode basah

dapat dilakukan dengan kaki atau tangan setelah pemasakan kedelai, sedangkan

pengupasan metode kering biasa dilakukan dengan memecah biji kedelai kering

dengan batu yang diikuti dengan pencucian di air mengalir (Hui 2004).

Page 20: A08dku1

Pengasaman dengan pH rendah biasa dilakukan normalnya antara 4,8-5,0.

Pada pH 4,8-5,0 jamur yang menguntungkan akan tumbuh, namun bakteri

pembusuk yang merugikan akan terhambat pertumbuhannya. Pada pembuatan

tempe secara tradisional, kedelai direndam pada suhu 100 derajat celcius atau

suhu kamar selama 8-22 jam agar bakteri dapat memfermentasi sehingga

menghasilkan pH asam. Pada pembuatan tempe modern, pengasaman kedelai

dapat dilakukan dengan penambahan cuka, asam laktat maupun asam asetat pada

air saat pemasakan (Hui 2004).

Ragi tempe optimum yang ditambahkan pada proses pembuatan tempe

adalah 1 sampai 3 gram/1 kg berat kedelai matang. Untuk menghasilkan tempe

dengan kualitas baik, dalam 1 gram harus terdapat sekitar 107-109 spora hidup

(Rahman 1992). Nilai pH tempe semakin meningkat seiring dengan lama waktu

fermentasi. Hal ini dikarenakan senyawa amonia yang merupakan hasil

pemecahan protein memberikan reaksi basa. Tingginya kadar amonia akibat

fermentasi yang terlalu lama juga terasa pada aroma yang dihasilkan (Hermana,

Mahmud & Karyadi 2001).

Beberapa komponen pada tempe belum dapat teridentifikasi, namun

menurut penelitian bahwa mengkonsumsi tempe dapat menurunkan kadar

kolesterol darah. Tempe juga terkenal dengan aktivitas antioksidan yang tinggi.

Kemampuan menurunkan kadar kolesterol darah pada tempe disebabkan adanya

kandungan 6,7,4 trihidroksi isoflavon yang berperan sebagai flavonoid.

Konsentrasi yang tinggi dari aglycon termasuk di dalamnya daidzein dan genistein

dapat memberikan efek perawatan kecantikan dan pencegahan osteoporosis pada

wanita ( Sugano 2005). Antioksidan bereaksi dengan radikal bebas yang ada

sehingga reaksi berantai tidak terus terjadi.

Banyak perubahan yang terjadi selama proses fermentasi tempe, seperti

aroma, rasa, tekstur dan kandungan gizi (Hermana, Mahmud, Karyadi 2001).

Fermentasi yang terjadi pada saat pembuatan tempe mengakibatkan peningkatan

daya cerna sehingga zat gizi yang ada lebih mudah terserap. Kualitas protein dan

lemak yang terkandung juga semakin baik. Dari 18-20 persen kadar asam lemak

yang ada, sekitar 85 persen merupakan asam lemak tak jenuh yang bersifat

esensial (Koswara 1992 diacu dalam Syafrina et al 1997). Vitamin B12 yang biasa

Page 21: A08dku1

terdapat pada pangan hewani juga tinggi pada produk pangan hasil fermentasi

seperti tempe. Menurut Syafrina et al 1992, kualitas gizi yang ada pada tempe

tergantung pula pada inokulum atau starter yang digunakan. Pada penggunaan

inokulum tunggal, kadar isoflavon lebih rendah jika dibandingkan dengan

penggunaan inokulum kombinasi dua kapang. Pada saat fermentasi, kandungan

isoflavon juga meningkat. Hal ini disebabkan oleh adanya enzim beta glukosidase

yang dihasilkan oleh kapang Rhizopus (Barz, papendorf dan rehm 1990 diacu

dalam Syafrina et al 1997).

Pada proses pembuatan tempe, pemanasan yang dilakukan pada kedelai

dapat mendegradasi senyawa anti gizi yang bersifat tidak tahan panas seperti anti

tripsin dan kimotripsin, saponin, hemaglutinin dan antivitamin. Asam fitat yang

bersifat larut air akan berkurang keberadaannya dengan perendaman selama sehari

semalam. Asam fitat banyak terdapat pada bagian kulit dan lapisan bawah kulit.

Penghilangan lapisan ini dapat mengurangi 30 persen keberadaan asam fitat pada

kedelai. Bakteri asam laktat yang timbul pada saat perendaman mampu

mengurangi efektivitas asam fitat (Winarno 1993). Rhizophus oligosporus yang

ditambahkan pada saat fermentasi tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang

dapat merusak kompleks asam fitat (Sudarmaji dan Makakis diacu dalam Winarno

1993).

Bahan Penyusun

Sukralosa (Trichlorogalactosucrose)

Sukralosa merupakan jenis pemanis low kalori baru yang beredar dipasaran.

Sukralosa menghasilkan 600 kali kemanisan dari pada gula biasa (sukrosa) tanpa

mengakibatkan dampak peningkatan kalori. Menurut FDA penggunaan sukralosa

aman bagi manusia baik pada anak anak maupun pada ibu hamil (American

Diabetes Association 2008). Baru baru ini Joint FAO/WHO Expert Committee on

Food Additives (JECFA) telah menaikkan batas toleransi sukralosa dari 0-3,5

miligram/kg berat badan menjadi 0-15 mg/kg berat badan. Penggunaan sukralosa

secara luas telah diijinkan mulai tahun 1988. sukralosa tidak diserap dengan baik

oleh tubuh dan dikeluarkan bersama urin hampir tanpa perubahan. Berdasarkan

penelitian terhadap 100 orang dan manusia, maka FDA (Food and Drug

Administration) menyimpulkan bahwa penggunaan sukralosa tidak menyebabkan

Page 22: A08dku1

risiko neurologik, gangguan reproduksi maupun efek karsinogenik. Adapun

keunggulan dari sukralosa adalah relatif stabil terhadap panas, sehingga tingkat

kemanisan tidak banyak berubah. Dengan tingkat kemanisan yang cukup tinggi,

maka untuk mendapatkan tingkat kemanisan yang diinginkan tidak membutuhkan

banyak sukralosa (Anonymous 2008).

Sukralosa mempunyai rumus kimia C12H19Cl3O8. berbentuk kristal putih,

tidak berbau, tidak meninggalkan after taste, mudah larut air, metanol dan alkohol

sukralosa juga telah teruji tidak mengakibatkan karies gigi dan tidak

mempengaruhi metabolisme karbohidrat, sehingga sangat bermanfaat bagi

diabetesi tipe 1 dan diabetesi tipe 2. CAC (Codex Alimentarius Committee) sendiri

mengatur batas penggunaan sukralosa pada produk adalah 120-5000 mg/ kg

produk (Anonymous 2008).

Maltodekstrin

Maltodekstrin merupakan bentuk modifikasi pati yang banyak digunakan

sebagai penstabil maupun emulsifier pada pengolahan pangan. Keunggulan dari

maltodekstrin adalah dapat larut dalam air dingin, dan merupakan jenis

oligosakarida yang tergolong probiotik sehingga baik untuk sistem pencernaan

tubuh (Shofianto 2008).

Maltodekstrin merupakan komponen yang dihasilkan dari proses modifikasi

pati melalui proses modifikasi pati melalui proses hidrolisis. Dekstrin mempunyai

rumus kimia C6H10O5 dan memiliki sifat mudah larut dalam air. Dekstrin secara

alami terbentuk dalam jagung, garut, singkong dan sebagainya. Secara umum

dekstrin dihasilkan dengan memanaskan pati kering bersama dengan sejumlah

katalis

Pati

Pati adalah jenis polisakarida yang disimpan dalam akar, umbi, dan biji dari

tanaman serta pada endosperm biji bijian. Pati dapat dihidrolisis menjadi glukosa

yang menyediakan energi serta nutrisi bagi otak dan tubuh. Pati dari biji bijian

terdiri dari cincin panjang polimer glukosa dan bersifat tidak larut air. Tidak

seperti molekul kecil dari gula atau garam, polimer pati yang lebih besar tidak

dapat membentuk larutan yang stabil, sementara granula pati membentuk suspensi

temporary ketika diaduk dalam air. Granula yang tidak dimasak dapat sedikit

Page 23: A08dku1

membengkak ketika menyerap air, namun ketika dipanaskan pembengkakan

menjadi signifikan dan granula melepaskan pati sehingga memungkinkan

digunakan sebagai pengeras tekstur (Vaclavik & Christian 2003).

Secara umum, kualitas dari produk akhir dipengaruhi oleh jenis pati,

temperatur pemasakan, konsentrasi pati yang digunakan dalam formula serta

bahan pendukung lain seperti gula dan asam. Fraksi terlarut dalam pati disebut

amilosa, sedangkan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa berbentuk

rantai lurus dengan ikatan α-(1-4)- d glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai

cabang dengan ikatan α-(1-4)- d glukosa sebanyak 4-5persen dari berat total

(Winarno 1992).

Vaclavik & Christian (2003) mengatakan bahwa granula pati mempunyai

bentuk dan ukuran yang berbeda yaitu berkisar dari 2-150 µm. Pati tersusun dari 2

molekul yaitu amilosa dan amilopektin yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik.

Molekul amilosa menyusun sekitar 1/4 dari struktur pati (meskipun terdapat jenis

pati yang tidak mempunyai amilosa). Strukturnya cincin linear yang panjang yang

tersusun dari ribuan unit glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4 glikosidik.

Amilosa membentuk jaringan 3 dimensi ketika molekul didinginkan, bertanggung

jawab terhadap gelatinisasi ketika pemasakan pasta pati yang didinginkan, oleh

karenanya pati dengan amilosa tinggi mempunyai bantuk yang padat ketika

terbentuk gel. Amilopektin menyusun sekitar ¾ bagian dari polimer granula pati.

Pati dengan perbandingan amilopektin yang tinggi akan mengentalkan campuran

namun tidak akan membentuk gel karena tidak seperti amilosa, molekul

amilopektin tidak menggabungkan dan membentuk ikatan kimia pada cara yang

sama pada saat pendinginan.

Pati akan mengalami pembengkakan jika ditambah dengan air. Jumlah air

yang terserap hanya akan mencapai 30 persen, peningkatan volume granula pati

akan terjadi pada suhu 55 sampai 65oC. Granula pati dapat dibuat membesar

dengan penambahan suhu, suhu pada saat granula pati pecah dinamakan suhu

gelatinisasi. Pati yang sudah mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan, namun

kondisi granula tidak dapat kembali lagi seperti saat sebelum tergelatinisasi. Sifat

inilah yang dimanfaatkan pada pembuatan pangan instan (Winarno 1992).

Page 24: A08dku1

Pati mempunyai kemampuan menyerap air yang tinggi. Hal ini dikarenakan

tingginya gugus hidroksil dalam molekul pati. Pati mempunyai suhu gelatinisasi

yang bervariasi tergantung salah satunya oleh konsentrasi pati, pH dan

penambahan gula. Semakin tinggi konsentrasi pati, semakin tinggi suhu yang

harus diberikan. Perubahan pH juga berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi. Bila

pH semakin tinggi, gel akan cepat terbentuk, namun akan segera turun lagi, pada

pH terlalu rendah pembentukan gel berlangsung lambat dan jika pemanasan

diteruskan viskositas akan turun. Penambahan gula berpengaruh terhadap

kekentalan gel yang terbentuk. Gula akan menurunkan tingkat kekentalan, karena

gula akan mengikat air sehingga pembengkakan air berlangsung lebih lambat

(Winarno 1992).

CMC (Carboxy Methyl Cellulose)

CMC merupakan jenis polisakarida linier dengan rantai panjang anionik

yang larut air. CMC merupakan turunan dari selulosa (Furia 1975 diacu dalam

Nurjanah 2003). Kelebihan CMC dibandingkan stabilizer lain adalah tidak

memerlukan waktu aging yang lama, mudah larut dalam adonan, mempunyai

kapasitas mengikat air yang baik dan harganya lebih rendah dibandingkan dengan

stabilizer lain (Arbuckle 1986 diacu dalam Nurjanah 2003). CMC yang sudah

dimurnikan berwarna putih sampai krem, mengalir bebas, tidak berasa dan tidak

berbau (Glicksman 1984 diacu dalam Nurjanah 2003).

CMC banyak digunakan sebagai bahan penstabil pada es krim, sherbet,

susu, roti, bahan pengoles kue, salad dressing, mayonise, jelly dan jam. selain itu,

CMC juga digunakan sebagai bahan tambahan pada industri farmasi, kertas,

tekstil, kosmetika, cat, insektisida dan deterjen (Klose & Gliksman 1975 diacu

dalam Nurjanah 2003)

CMC merupakan gum yang larut dalam air panas, air dingin, namun tidak

larut dalam pelarut organik. CMC merupakan gum yang diperoleh dari reaksi

natrium monoklor asetat dengan selulosa alkali menjadi bentuk sodium karboksil

metil selulose. CMC mengandung gugus karboksil yang menyebabkan mudahnya

larut dalam air (Whistler & Daniels 1985 diacu dalam Nurjanah 2003).

Page 25: A08dku1

Kekentalan CMC dipengaruhi oleh pH, suhu, konsentrasi, garam dan

gelatin. Larutan CMC mempunyai kekentalan maksimum pada pH 7-9. pada pH

dibawah 5 akan terjadi penutunan kekentalan, sedangkan pada pH di bawah 3

dapat terjadi penegendapan asam karboksimetil selulosa bebas (Gliksman 1969

diacu dalam Nurjanah 2003). Peningkatan suhu akan mengakibatkan penurunan

kekentalan, hal ini disebabkan oleh kenaikan energi yang mengakibatkan

pecahnya ikatan hidrogen yang berakibat pada sedikitnya kandungan air pada

rantai polimer. Sedangkan kenaikan konsentrasi CMC dalam larutan dapat

menyebabkan kenaikan kekentalan (Ganz 1977 diacu dalam Nurjanah 2003).

Alat PengeringFreeze dryer

Freeze dryer merupakan jenis pengeringan yang dapat digunakan untuk

bahan yang bersifat sensitif. Prinsip kerja freeze dryer adalah pada kondisi

tekanan penguapan yang rendah, air dapat diuapkan dari fase es tanpa membuat es

mencair. Prinsip penyubliman menjadi dasar freeze dryer ini. Air akan

tersublimasi pada suhu 0 derajat atau lebih rendah dan diletakkan pada wadah

dengan tekanan 4,7 mmHg atau kurang dari itu. Pada wadah vacuum, panas

diberikan untuk mempercepat proses sublimasi. Jika kondisi vacuum

dipertahankan pada range 0,1-2 mmhg dan panas dikontrol, bahan akan

menyublim pada laju yang maksimum. Penguapan dimulai pada permukaan

sampai pada bagian paling dalam bahan. Kelembaban akhir yang dihasilkan

adalah sekitar 5 persen. Bahan pangan yang di freeze dry harus segera dikemas

untuk menghindari penyerapan air dari atmosfir dan oksigen yang ada. Bahan

pangan hasil pengeringan freeze mempunyai kelemahan yaitu porositas yang

tinggi (Potter dan Hotchkiss 1997).

Drum Dryer

Pada alat pengering drum, bahan makanan cair, pure ataupun pasta

diaplikasikan pada bentuk yang tipis pada permukaan pemanas drum. Drum

secara umum memperoleh energi panas dari uap atau steam. Pengering bisa

mempunyai single atau sepasang drum (roller). Bahan makanan diaplikasikan

antara sela sela drum yang sedang beroperasi. Bahan pangan diaplikasikan secara

kontinu pada drum sehingga bahan pangan kehilangan kelembabannya. Pada satu

titik di drum dryer, dipasang pisau tajam untuk mengikis lapisan kering bahan

Page 26: A08dku1

pangan dari drum. Kecepatan putaran drum dapat diatur sehingga permukaan

bahan pangan menjadi kering ketika mendekati pisau pengikis. Dengan

menggunakan uap panas tekanan rendah, suhu di permukaan drum diperkirakan

dapat mencapai lebih dari 100oC, bahkan pada beberapa aplikasi produk dapat

mencapai 150oC. Dengan ketebalan bahan pangan kurang dari 2 mm, maka proses

pengeringan hanya memakan waktu kurang lebih satu menit, bahkan bisa kurang

tergantung pada jenis bahan (Potter dan Hotchkiss 1997).

Jenis pengering Drum mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya, untuk

melakukan pengeringan yang cepat dibutuhkan suhu lebih dari 120 derajat,

kondisi ini membuat produk mempunyai rasa dan warna lebih matang dari pada

produk yang dikeringkan dengan suhu lebih rendah. Suhu pengeringan dapat

diatur dengan merubah konstruksi mesin. Hal ini akan meningkatkan biaya

produksi. Kelemahan yang kedua adalah sulit untuk menentukan zona atau

perbedaan daerah panas (Potter dan Hotchkiss 1997). Bahan dengan kadar air

sebesar 80 persen, dapat dikurangi kadar airnya menjadi ± 5 persen hanya dalam

waktu 20 detik. Udara disekitar drum terdiri dari banyak uap air, biasanya

bergerak ke bagian pembuangan dengan ventilasi normal, namun kadang kadang

dibuang secara otomatis sehingga kelembaban pada titik ini dapat diatur sesuai

dengan kebutuhan (Copley & Arsdel 1963).

Vacuum evaporator

Metode pengeringan vacuum dapat menghasilkan produk kering dengan

kualitas tinggi, namun hal ini juga berimbas pada biaya yang dikeluarkan. Pada

metode ini suhu atau panas pada makanan dan laju penguapan air dari bahan

pangan dapat diatur. Panas merambat pada bahan pangan melalui proses radiasi

dan konduksi. Setiap alat yang bekerja dengan prinsip vacuum mepunyai 4 bagian

alat yang penting yaitu: wadah vacuum dengan konstruksi berat untuk menahan

tekanan air dari luar yang mungkin melabihi tekanan di dalam, penyuply panas,

sebuah alat untuk menghasilkan dan menjaga kondisi vacuum dan sebuah

komponen untuk mengumpulkan uap air yang diuapkan dari bahan pangan (Potter

dan Hotchkiss 1997).

Page 27: A08dku1

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Pendahuluan

Pembuatan Tempe Kedelai

Pembuatan tempe kedelai dilakukan dengan menggunakan metode

tradisional. Metode ini dipilih karena banyak digunakan di masyarakat dan lebih

mudah untuk dilakukan. Kedelai yang digunakan berasal dari varietas Americana

karena merupakan varietas yang mudah didapatkan di pasaran serta banyak

digunakan oleh para pengrajin tempe. Kedelai Americana berwarna kuning dan

mempunyai ukuran biji yang relatif lebih besar daripada kedelai varietas lokal.

Kedelai Americana yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari dari Balai

Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (Balitbiogen),

Cimanggu, Bogor. Hal ini bertujuan menjamin kemurnian varietas kedelai yang

digunakan.

Pembuatan tempe diawali dengan pencucian kedelai hingga bersih,

kemudian pemasakan sampai matang dan tekstur menjadi lunak. Pemasakan dan

pengupasan kulit bertujuan untuk mempermudah proses fermentasi, karena

kapang Rhizophus tidak dapat tumbuh pada kedelai yang masih utuh, sehingga

pemasakan dan pengupasan kulit menjadi suatu hal yang penting pada proses

pembuatan tempe (Hui 2004). Setelah dimasak sampai lunak, kedelai direndam

dengan air dengan suhu ruang selama 1 malam (24 jam). Menurut Hui (2004)

perendaman kedelai selama semalam hingga mencapai pH 4,8-5,0 pada proses

pembuatan tempe bermanfaat untuk membantu proses fermentasi, menghambat

pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan, serta mendukung pertumbuhan

bakteri yang menguntungkan. Berdasarkan hasil pengukuran, pH air rendaman

kedelai setelah diasamkan selama 24 jam adalah 3,8. Perendaman juga bertujuan

untuk meningkatkan kemampuan kapang Rhizophus dalam membentuk miselium.

Kondisi asam juga akan menetralisir amonia yang terbentuk saat fermentasi.

Kondisi pH di atas 7 (basa) akan menghambat pertumbuhan kapang Rhizophus.

Hasil pengukuran pH pada proses pembuatan tempe lebih rendah (3,8)

daripada yang disampaikan Hui (2004) (4,8-5,0), namun pada kondisi tersebut

syarat tumbuh bakteri asam laktat tetap tercapai. Perbedaan pH yang dihasilkan

akibat perendaman ini diduga karena perbedaan varietas yang digunakan serta

Page 28: A08dku1

kondisi lingkungan tempat pembuatan seperti kelembaban dan temperatur.

Kondisi asam hasil fermentasi ini juga menguntungkan pertumbuhan kapang

Rhizophus oligosporus sebagai kultur yang ditambahkan untuk memfermentasi

kedelai.

Pembuatan tempe pada penelitian ini menggunakan kultur murni Rhizophus

oligosporus yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, Institut Teknologi

Bandung. Hal ini dilakukan untuk menjamin kemurnian kultur yang digunakan.

Ragi yang ditambahkan adalah sebanyak satu gram per satu kilogram kedelai

matang (Rahman 1992). Rhizophus oligosporus merupakan jenis kapang yang

menghasilkan enzim protease yang tinggi, sehingga kualitas tempe yang

dihasilkan diharapkan mempunyai kandungan dan mutu protein yang tinggi.

Kedelai yang sudah ditambahkan ragi, kemudian difermentasi selama 2 x 24

jam dengan menggunakan pembungkus plastik yang telah dilubangi. Penggunaan

plastik yang telah dilubangi bertujuan untuk menghindari kelembaban yang

berlebih karena produksi H2O selama proses fermentasi. Jumlah H2O akan

mengakibatkan kualitas tempe yang cepat menurun yang ditandai dengan

cepatnya proses pembusukan.

Fermentasi selama 2 X 24 jam merupakan kondisi ideal untuk fermentasi

tempe karena pada tahapan ini zat gizi yang dihasilkan lebih mudah dicerna dan

diserap oleh tubuh (Hermana, Karmini & Karyadi 1996 diacu dalam Amaliah

2002). Fermentasi dilakukan pada temperatur kamar (25oC). Menurut Hui (2004)

temperatur optimal untuk melakukan fermentasi adalah 25-37oC dengan

kelembaban relatif terbaik pada 70-80 persen. Pada temperatur sedang (31oC) dan

temperatur tinggi (37oC) lebih dianjurkan untuk proses fermentasi, karena pada

temperatur tersebut, kadar vitamin B12 lebih tinggi daripada fermentasi pada

temperatur rendah (25oC). Kontrol suhu yang baik diperlukan apabila fermentasi

dilakukan pada temperatur sedang dan tinggi, karena pada temperatur tersebut

masa hidup kapang lebih pendek (Hui 2004). Tempe mengalami peningkatan pH

seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi. Hal ini dikarenakan, terbentuknya

senyawa amonia yang memberikan sifat basa (Subranti 1996). Hasil dari

fermentasi selama 2 X 24 jam ditandai dengan tertutupinya permukaan kedelai

Page 29: A08dku1

oleh hifa atau miselium kapang. Perubahan penampakan kedelai sebelum dan

sesudah fermentasi dapat dilihat pada Gambar 4:

Kedelai mentah Kedelai sesudah ditambah ragi

Tempe

Gambar 4 Perubahan penampakan kedelai sebelum dan sesudah menjadi tempe

Tempe yang dihasilkan kemudian dianalisis kandungan gizinya yang

meliputi kandungan protein, air, abu, lemak dan karbohidrat. Berdasarkan hasil

analisis proksimat diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 2 Kandungan gizi kedelai mentah dan tempe segarZat Gizi Kandungan Gizi

Kedelai mentah(%)1

Tempe segar(%)

Basis basahProtein 36,42 15,17Lemak 11,5 6,67

Abu 5 0,82Air 10,4 65,48

Karbohidrat 36,68 11,86Basis kering

Protein 40,65 43,94Lemak 12,83 19,33

Abu 5,58 2,39Air 0 0

Karbohidrat 40,94 34,34Sumber: 1 : Ghozali (2007)

Hasil analisis basis kering menunjukkan bahwa kadar protein tempe segar

adalah sebesar 43,94 persen, kadar lemak sebesar 19,33 persen, kadar air adalah

65,48 persen dan kadar abu sebesar 0,824 persen. Tabel 2 menunjukkan bahwa

komponen protein dan lemak tempe mengalami peningkatan jika dibandingkan

dengan kedelai mentah. Menurut Koswara (1992) diacu dalam Syafrina et al.

(1997), fermentasi yang terjadi pada tempe mengakibatkan peningkatan daya

cerna sehingga zat gizi yang ada lebih mudah terserap. Kualitas protein dan lemak

yang terkandung juga semakin baik. Liu (1997), mengatakan bahwa, fermentasi

yang terjadi pada saat pembuatan tempe meningkatkan jumlah nitrogen larut air.

Page 30: A08dku1

Jumlah nitrogen larut air yang semakin meningkat ini, identik dengan peningkatan

kadar protein bebas pada bahan pangan.

Komponen abu dan karbohidrat mengalami penurunan akibat fermentasi.

Karbohidrat yang menurun jumlahnya ini diduga karena adanya pemotongan

ikatan kimia menjadi beberapa komponen yang lebih sederhana. Komponen

oligosakarida seperti rafinosa, stakiosa yang mengakibatkan flatulensi juga

menurun jumlahnya akibat adanya proses fermentasi (Hui 2004).

Pemilihan Formula

Suatu produk dapat disebut instan apabila memenuhi persyaratan mudah

larut dan mudah terdispersi dalam media cair (Susanto & Saneto, 1994 diacu

dalam Fadilah, 2003). Proses instan sempurna tampak pada urutan kejadian yaitu

butiran yang terkena air menjadi basah kemudian tenggelam dalam beberapa saat.

Produk pangan instan merupakan produk yang cepat dan mudah dikonsumsi.

Salah satu syarat produk dapat dikonsumsi adalah matang, sehingga pemasakan

merupakan hal yang penting pada produk instan.

Pemilihan formula terdiri atas penentuan jenis dan proporsi bahan,

penentuan kadar sukralosa dan penentuan kadar perisa yang akan digunakan.

Penentuan jenis dan proporsi bahan dilakukan dengan trial and error.

Penentuan Jenis dan Proporsi Bahan. Produk bubur yang dibuat adalah

jenis pangan instan, sehingga prinsip kematangan produk menjadi hal yang

penting. Formula produk terdiri atas tempe, tapioka, maltodekstrin dan air.

Tapioka dipilih karena mempunyai kemampuan yang baik untuk membentuk gel,

sedangkan maltodekstrin dipilih karena mempunyai sifat dapat mengisi yang baik.

Bahan bahan seperti tapioka dan maltodekstrin tidak dipertimbangkan efek

glikemiksnya karena jumlah yang digunakan sangat sedikit dan hanya berfungsi

sebagai bahan tambahan saja.

Bahan-bahan yang akan digunakan sebagai campuran bubur instan adalah

tempe, CMC, tapioka, maltodekstrin dan sukralosa. Trial and error digunakan

untuk penentuan proporsi bahan pengisi dan penstabil yang sesuai. Tapioka

dipilih sebagai bahan pengisi karena mempunyai sifat fisik dapat membentuk gel

dengan tingkat kekentalan yang baik. CMC dipilih sebagai bahan penstabil karena

sering digunakan pada produk bubur instan. Kestabilan CMC tidak berubah akibat

Page 31: A08dku1

pemasakan maupun pengeringan. Bahan yang sudah membentuk bubur encer

kemudian diuji kemampuan membentuk gel (gelatinisasi) dengan menggunakan

brabender amilopraph. Terdapat 8 Formula yang diujikan. Berdasarkan hasil

pengujian, diperoleh 4 formula yang dapat membentuk gel. Hasil pengujian

formula berguna untuk menentukan formula yang akan digunakan dan suhu

pemasakan yang digunakan sebagai perlakuan. Data hasil pengujian brabender

amilopraph, terlihat pada Tabel 3 berikut:

Tabel 3 Komposisi bahan penyusun produk dan kemampuan membentuk gel produk

Formula Jenis bahan KetTempe (g) CMC (%) Maltodekstrin (%) Tapioka (%) Air (ml)A 100 0,1 5 - 350 TTGB 100 0,1 - 5 350 TGC 100 0,1 2,5 2,5 350 TGD 100 0,1 - - 350 TTGE 100 - - - 350 TTGF 100 - 5 - 350 TTGG 100 - - 5 350 TGH 100 - 2,5 2,5 350 TG

Keterangan TTG: Tidak terbentuk gelTG : Terbentuk gel

Pemilihan formula dilakukan dengan menggunakan brabender amilopraph,

yaitu formula yang dapat membentuk gel akan dilanjutkan pada tahap pengeringan.

Dari delapan formula yang diujikan dengan brabender amilograph, hanya empat

formula yang dapat membentuk gel, yaitu formula B, C, G dan H. Hasil pengujian

terhadap empat formula secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Suhu gelatinisasi dan tingkat kekentalan formula produkFormula t awal (oC) t tengah (oC) t puncak (oC) Kekentalan max (BU)

B 70,5 80,2 90 290C 73,5 81 88,5 80G 71,2 79,8 88,5 480H 74,7 81,1 87,5 79

Keterangan BU: Brabender Unit

Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah (Winarno 1992).

Berdasarkan hasil pengujian dengan brabender amilopraph diperoleh data bahwa

formula G yang terdiri dari tempe, tapioka 5% dan air 350 ml menunjukkan

tingkat kekekentalan paling tinggi (480 BU) diantara formula yang ada,

sedangkan kekentalan paling rendah diperoleh dari formula H yang terdiri dari

tempe 50 gram, maltodekstrin 2,5 %, tapioka 2,5 % dan air 350 ml (79 BU).

Tapioka mempunyai kemampuan dalam membentuk struktur gel yang kuat. Dari

Page 32: A08dku1

beberapa formula yang diujikan, formula yang dapat membentuk gel adalah

formula yang mengandung tapioka. Berdasarkan hasil pengujian, formula

membentuk gel pada suhu yang bervariasi, dengan suhu awal, tengah dan puncak

yang bervariasi pula. Menurut Winarno (1992), suhu gelatinisasi bagi pati berbeda

menurut jenisnya, tapioka mengalami gelatinisasi pada suhu 52-64oC. Hasil

pengujian menunjukkan, terjadi kenaikan suhu awal gelatinisasi pada tapioka, hal

ini diduga karena penambahan bahan pendukung lain seperti CMC, maltodekstrin

dan tempe. Menurut Glicksman (1984) diacu dalam Nurjanah (2003), CMC

mempunyai kapasitas mengikat air yang baik, sehingga penambahan CMC pada

suatu formula atau produk pangan dapat membantu mengikat air dan

mengentalkan tekstur.

Pada saat penelitian, tidak terdapat standar baku yang digunakan untuk

menetapkan suhu gelatinisasi, karena pengujian dilakukan pada formula, dan

bukan pada bahan pangan tunggal. Tempe diduga tidak berpengaruh pada suhu

gelatinisasi, karena tempe merupakan bahan pangan yang berasal dari kedelai

yang sudah mengalami pemasakan, sehingga pati yang ada pada kedelai sudah

tergelatinisasi. Menurut Winarno (1992), pati yang telah tergelatinisasi tidak akan

kembali ke bentuk semula (irreversible). Gelatinisasi formula diduga karena

pengaruh penambahan tapioka. Penambahan tapioka sebanyak lima persen

menghasilkan tekstur yang sangat kental dan kaku, sedangkan formula yang tidak

dapat membentuk gel (A,D,E,F) tidak terdapat tapioka. Penambahan tapioka

sebanyak 2,5 persen menghasilkan kekentalan yang lebih baik dari pada

penambahan lima persen tapioka. Penambahan CMC dapat menurunkan

kekentalan bubur. Hal ini terlihat pada formula B dan G, yaitu kekentalan formula

dengan CMC (290 BU) lebih rendah daripada formula tanpa CMC (480 BU).

CMC dapat mempengaruhi suhu gelatinisasi formula karena CMC merupakan

jenis polisakarida linier dengan rantai panjang yang bersifat larut air. Adanya

gugus karboksil menyebabkan CMC mudah larut dalam air (Nurjanah 2003).

CMC banyak digunakan pada produk ice cream ataupun produk instan.

Page 33: A08dku1

o

Pers

en

Formula yang dapat membentuk gel, dilanjutkan ke proses pengeringan

dengan menggunakan alat pengeringan drum. Pengeringan drum merupakan alat

pengering dengan menggunakan uap panas tekanan rendah. Suhu di permukaan

drum diperkirakan dapat mencapai lebih dari 100oC, bahkan pada beberapa

aplikasi produk dapat mencapai 150oC. Dengan ketebalan bahan pangan kurang

dari 2 mm, maka proses pengeringan hanya memerlukan waktu sekitar 1 menit,

bahkan bisa kurang tergantung pada jenis bahan (Potter & Hotchkiss 1997). Suhu

pemasakan yang digunakan adalah suhu tengah gelatinisasi pada tiap hasil

perlakuan. Penggunaan suhu tengah gelatinisasi bertujuan untuk efektivitas biaya

dan proses yang dilakukan..

Dari masing masing formula yang ada kemudian diuji kemampuannya

dalam membentuk gel dengan menggunakan Brabender amilograph. Dari delapan

formula yang diujicobakan (Tabel 2), ternyata hanya empat formula (B, C, G dan

H) saja yang mampu membentuk gel. Kekentalan dan tekstur beberapa formula

yang dapat membentuk gel (B, C, G dan H) kemudian diuji secara organoleptik

untuk menentukan produk yang paling disukai. Adapun hasil pengujian

organoleptik tersaji pada Gambar 5 berikut:

Formula Bubur

Gambar 5 Hasil pengujian organoleptik terhadap tekstur dan kekentalan produk

Gambar 5 menunjukkan bahwa formula C yang tersusun atas tempe (100 g),

CMC (0,1%), maltodekstrin (2,5%), tapioka (2,5%) dan air (250 g) mendapatkan

penerimaan terbaik dari panelis berdasarkan aspek kekentalan dan tekstur. Kriteria

Page 34: A08dku1

penerimaan terbaik ditentukan dari pengambilan persentase panelis terbanyak

pada tingkat suka dan sangat suka. Berdasarkan perhitungan pemilihan panelis

pada aspek suka dan sangat suka terlihat bahwa sebanyak lebih dari separuh

panelis (66,6% dan 57,14%) menyatakan tingkat kesukaannya pada aspek tekstur

dan kekentalan produk. Sedangkan produk yang mempunyai penerimaan terendah

adalah formula H yaitu 4,76% untuk tekstur dan 0% untuk kekentalan. Menurut

Furia (1975) diacu dalam Nurjanah (2003), CMC mempunyai kemampuan

mengikat air yang baik. Kemampuan mengikat air inilah yang diduga dapat

memperbaiki tekstur dan kekentalan produk. Tapioka juga merupakan bahan

penting dalam pembentukan tekstur produk. Kemampuan membentuk gel yang

baik dimiliki oleh tapioka merupakan hal yang diduga dapat memperbaiki tekstur

produk. Perbandingan tapioka sebesar 2,5% dirasakan sesuai untuk panelis pada

aspek kekentalan dan tekstur jika dibandingkan dengan jumlah yang lebih besar

(5%). Adapun perbedaan kekentalan dan tekstur pada beberapa formula yang

berbeda dapat dilihat pada Gambar 6 berikut:

Gambar 6 Perbedaan tingkat kekentalan dan tekstur beberapa formula bubur

Gambar 6 menunjukkan bahwa formula C mempunyai tekstur yang halus,

mudah diambil dengan sendok dengan tingkat kekentalan yang baik. Formula

dengan penambahan tapioka sebanyak 5 persen mempunyai kekentalan yang lebih

tinggi jika dibandingkan dengan produk dengan penambahan 2,5 persen tapioka.

CMC yang ditambahkan pada formula memberi pengaruh terhadap penurunan

Page 35: A08dku1

tingkat kekentalan dan perbaikan tekstur produk. Formula G mempunyai tingkat

kekentalan paling tinggi dibandingkan produk lain. Kekentalan yang tinggi ini

mengakibatkan bubur agak sukar untuk disendok dan terasa liat. Penambahan

maltodekstrin juga dapat memperbaiki tektur dan kekentalan. Formula H

mempunyai kekentalan yang lebih rendah dengan tektur yang lebih baik jika

dibandingkan dengan formula G.

Penentuan Jumlah Perisa. Perisa yang digunakan adalah vanilin yang

diperoleh dari PT Halim Sakti Pratama. Perisa vanilin dipilih karena aksen manis

yang dimiliki produk. Pada beberapa jenis perisa, aroma akan berkurang seiring

dengan penambahan suhu yang diberikan. Menurut Winarno (1992), vanilin

mempunyai titik didih sebesar 81,5oC sehingga pemberian perlakuan panas yang

melebihi suhu 81,5oC diduga akan menurunkan tingkat aroma perisa. Suhu

pemasakan dan pengeringan yang akan diberikan kepada produk dikhawatirkan

akan mengurangi tingkat aroma perisa, sehingga penggunaan perisa jenis powder

lebih dipilih dari pada jenis cair. Penggunaan perisa cair tidak dilakukan karena

sebagian besar produk perisa yang ada di pasaran menggunakan pewarna. Warna

merupakan visual faktor yang menentukan pada penerimaan suatu produk

(Winarno 1992). Dengan menggunakan formula terpilih dari tahap pemilihan

formula yaitu formula C, penentuan jumlah perisa yang akan digunakan dilakukan

melalui trial and error. Berdasarkan spesifikasi produk perisa yang ada, 1 persen

perisa per berat bahan merupakan batasan aman penggunaan, sehingga pengujian

produk dilakukan dengan taraf 0,1 persen sampai 1 persen per berat produk

dengan selang 0,1 persen.

Penerimaan dari produk diambil dari persentase terbanyak panelis pada taraf

suka dan sangat suka. A merupakan kode yang menunjukkan taraf terendah perisa

atau (0,1%), sedangkan J menunjukkan taraf tertinggi perisa (1%). Hasil

pengujian organoleptik jumlah perisa oleh panelis dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 menunjukkan bahwa taraf perisa 0,7%, 0,8% dan 1% mendapatkan

penerimaan terbaik (skala 1-4) dari panelis yaitu sekitar 82,35 %. Berdasarkan

taraf terendah dengan penerimaan yang sama, maka taraf perisa 0,7% yang akan

digunakan pada penelitian selanjutnya. Perisa ditambahkan pada produk dengan

metode dry mixing untuk menjaga intensitas terbaik dari perisa.

Page 36: A08dku1

f

Pers

en p

anel

is

Taraf Perisa

Gambar 7 Hasil pengujian tingkat kesukaan panelis terhadap perisaPenentuan Jumlah Pemanis. Rasa manis merupakan sensasi rasa yang

penting bagi manusia. Komponen rasa manis hampir secara umum mempengaruhi

penerimaan positif dari pengujian hedonik (Branen, Davidson, Salminen,

Thorngate, 2002). Sukralosa dipilih sebagai jenis pemanis yang digunakan dalam

penelitian karena menurut BPOM (2002), penggunaan sukralosa tidak

mempengaruhi metabolisme karbohidrat sehingga aman untuk diabetesi.

Penggunaan sukralosa juga tidak menyebabkan resiko neurologik, gangguan

reproduksi maupun efek karsinogenik. Menurut Branen et al (2004) rasa manis

yang ada pada produk pangan seringkali dipengaruhi oleh faktor lain seperti

tekstur dan aroma sehingga pemilihan jenis pemanis yang tepat menjadi salah satu

faktor yang penting dalam pengolahan bahan pangan. Sukralosa merupakan jenis

pemanis non nutritif turunan sukrosa, berasa seperti gula dengan 600 kali tingkat

kemanisan gula biasa.

Dari segi pengolahan pangan, sukralosa adalah relatif stabil terhadap panas,

sehingga tingkat kemanisan tidak banyak berubah. Dengan tingkat kemanisan

yang cukup tinggi, maka untuk mendapatkan tingkat kemanisan yang diinginkan

tidak membutuhkan banyak sukralosa (Anonymous 2008). Retensi terhadap panas

yang tinggi merupakan salah satu pertimbangan penggunaan metode wet mixing

menjadi pilihan dalam pencampuran pemanis ke dalam produk. Homogenitas

produk akhir yang akan didapat juga menjadi salah satu pertimbangan

penggunaan wet mixing untuk mencampurkan sukralosa. Pengujian tingkat

Page 37: A08dku1

T

Pers

en P

anel

is

kemanisan yang paling diterima oleh panelis dilakukan dengan menggunakan

konversi kemanisan gula (sukrosa) sebesar 20%, 25% 30% dan 35%.

Penghitungan konversi sukrosa dengan jumlah sukralosa yang dibutuhkan

mengikuti pertimbangan bahwa 1 mg sukralosa mempunyai tingkat kemanisan

sebesar 600 kali kemanisan sukrosa.

Taraf sukralosa diujikan kepada panelis secara terbatas untuk mengetahui

taraf atau penerimaan terbaik. Penerimaan terbaik dari panelis diperoleh dari

gabungan antara penerimaan suka dan sangat suka dari panelis. Adapun hasil

pengujian tingkat kemanisan sukralosa pada panelis terlihat pada Gambar 8

berikut berikut:

Taraf Sukralosa

Gambar 8 Hasil pengujian tingkat kesukaan panelis terhadap kadar sukralosaBerdasarkan Gambar 8, terlihat bahwa tingkat kemanisan 25 persen

mendapatkan penerimaan terbaik dari panelis (80%), sedangkan taraf 30 persen

sama sekali tidak menadapatkan penerimaan dari panelis (0%). Jumlah sukralosa

yang digunakan berdasarkan pada berat bahan yang digunakan dengan konversi

perhitungan sebagai berikut:

Misal : jumlah bubur instan: 20 gramTingkat kemanisan : 25 persen

ݔ 20 25ݎ 1 ݔ 100 ݏݑݑݑݑݑݑݑݑݑݑݑݑݑݑݏ ൌ�� 0,0083 600

Tingkat kemanisan 25 persen mendapatkan penerimaan terbaik. Hal ini

diduga karena pada taraf kemanisan 25 persen rasa manis dirasakan sesuai, tidak

terlalu manis maupun kurang manis. Pada tingkat kemanisan 20 %, rasa manis

Page 38: A08dku1

kurang terasa, namun pada taraf 30 dan 35 persen, rasa manis dirasakan terlalu

berlebih. Sukralosa merupakan jenis pemanis yang tidak meninggalkan after taste

produk karena terbuat dari turunan sukrosa. Sukralosa tidak mempengaruhi

metabolisme karbohidrat serta tidak menimbulkan kenaikan gula darah.

Penelitian Utama

Penelitian utama terdiri dari proses pembuatan bubur instan, penggunaan 3

jenis alat pengeringan (Drum dryer, vacuum evaporator dan freeze dryer) pada

produk bubur instan dan analisis kandungan gizi produk untuk mengetahui

pengaruh alat pengering terhadap perubahan kandungan zat gizi yang ada pada

bubur instan. Pada penelitian pendahuluan telah dicoba untuk menerapkan jenis

pengeringan drum dryer kepada produk bubur instan. Menurut Potter dan

Hotchkiss (1997), drum dryer mempunyai suhu di permukaan mencapai lebih dari

100oC, bahkan pada beberapa aplikasi produk dapat mencapai 150oC. Seperti

yang kita tahu, bahwa kondisi panas tinggi akan merusak beberapa komponen gizi

pada bahan pangan, sehingga penulis ingin mencoba untuk melihat penggunaan

alat yang berbeda terhadap kualitas gizi yang dihasilkan pada produk bubur

instan.

Proses Pembuatan Bubur Instan dari Bahan Tempe Kedelai

Proses pembuatan bubur instan diawali dengan pemotongan dan

penimbangan tempe. Tempe yang sudah dipotong dan ditimbang kemudian

dicampur dengan bahan lain yang sudah ditentukan beratnya sesuai dengan

proporsi bahan pada penelitian pendahuluan. Bahan yang ada kemudian dicampur

sampai rata dengan menggunakan blender. Tujuan dari proses ini adalah agar

semua bahan tercampur rata dan menjadi homogen. Sukralosa dicampurkan ke

dalam air yang digunakan untuk mencampurkan bahan. Hal ini bertujuan agar

homogenisasi produk dapat tercapai. Sesudah semua bahan tercampur dan

menjadi bubur encer, proses pemasakan dilakukan. Pemasakan bubur sebelum

pengeringan dilakukan agar bubur instan menjadi bahan makanan yang cepat

untuk dikonsumsi setelah proses pengeringan.

Bubur encer dimasak dengan api kecil sambil terus diaduk untuk

menghindari gosong. Suhu yang digunakan pada pemasakan bervariasi menurut

hasil pengukuran suhu gelatinisasi dengan metode brabender amilograph. Suhu

Page 39: A08dku1

awal, tengah dan akhir gelatinisasi diujikan untuk melihat pengaruhnya terhadap

daya terima dan nilai gizi produk. Setelah mencapai suhu gelatinisasi, baik awal,

tengah maupun akhir, kekentalan bubur bertambah. Bertambahnya kekentalan

bubur ini dikarenakan proses masuknya air pada granula pati yang mengakibatkan

struktur pati pecah (gelatinisasi).

Setelah bubur mengental, bubur didiamkan untuk beberapa saat sampai

suhunya turun. Penurunan suhu mengakibatkan kekentalan bubur bertambah.

Kondisi ini diduga karena pengaruh penambahan CMC yang bersifat stabil pada

panas sehingga dapat mempertahankan tekstur dan kekentalan bubur. Proses

pengeringan dilakukan di Pilot Project, Seafast Centre, Institut Pertanian Bogor.

Aplikasi Alat Pengering

Jenis pengeringan yang digunakan adalah drum dryer, vacuum evaporator

dan freeze dryer. Penerapan alat pengeringan ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh jenis pengering yang berbeda terhadap kualitas gizi dan penerimaan

panelis. Pada penelitian pendahuluan telah dicoba jenis pengering drum dryer

kepada produk. Seperti yang telah diketahui, suhu yang tinggi pada permukaan

drum diduga dapat mengurangi kandungan gizi pada bahan pangan, sehingga

penulis ingin mengetahui pengaruh perbedaan alat pengering terhadap kualitas

gizi dan penerimaan produk. Setelah didiamkan beberapa saat sampai suhu turun,

bubur yang sudah dimasak kemudian dikeringkan dengan freeze dryer, drum

dryer dan vacuum evaporator.

Drum Dryer. Drum dryer merupakan metode pengeringan dengan

memanfaatkan teknologi uap sebagai sumber energi panas (Potter dan Hotchkiss

1997). Metode pengering drum dryer dipilih untuk mewakili jenis pengeringan

sederhana. Bahan-bahan yang sudah di homogenisasi dan diberi perlakuan

pemasakan dengan berbagai suhu kemudian dikeringkan. Metode pengeringan

drum dryer merupakan metode sederhana namun masih memungkinkan banyak

kehilangan zat gizi. Bahan makanan dipipihkan diantara dua buah drum suhu

tinggi hingga bahan pangan kering. Bahan pangan kering yang menempel pada

permukaan drum kemudian dikikis dengan pisau serut yang ada di ujung drum.

Suhu permukaan drum yang mencapai lebih dari 100oC memungkinkan proses

oksidasi terjadi pada produk pangan yang dikeringkan. Zat gizi yang rentan

Page 40: A08dku1

seperti vitamin C, vitamin B, asam amino, protein dan isoflavon akan mudah

rusak dengan pemberian panas yang tinggi dengan metode ini.

Vacuum Evaporator. Vacuum evaporator dipilih untuk mewakili teknologi

menengah pengeringan. Prinsip dari alat ini adalah menghilangkan kadar air yang

ada di permukaan bahan dengan suhu rendah (di bawah 60oC) dan dalam kondisi

vacuum. Kondisi vacuum diperlukan untuk mencegah terjadinya oksidasi

komponen gizi terutama lemak dan komponen yang mudah teroksidasi oleh

oksigen. Seperti halnya hasil pengeringan drum dryer, hasil pengeringan vacuum

evaporator diblender untuk menyeragamkan partikel dan diujikan tingkat

kesukaan dan mutunya oleh panelis semi terlatih.

Freeze Dryer. Freeze dryer merupakan jenis alat pengering yang biasa

digunakan untuk produk produk yang bersifat sensitif (Potter dan Hotchkiss

1997). Metode pengeringan ini menggunakan prinsip penyubliman, yaitu

menguapkan kandungan air bahan dengan mengubah fase zat dari beku menjadi

uap tanpa melewati fase cairnya didalam kondisi vacuum. Penggunaan freeze

dryer ini dipilih untuk menyelamatkan kandungan asam anmino terutama arginin

dan glutamin pada tempe yang bermanfaat untuk menyembuhkan luka gangren

diabetesi.

Pengujian Organoleptik

Beberapa produk yang telah mengalami proses pengeringan kemudian

diujikan tingkat penerimaannya dengan pengujian organoleptik oleh panelis semi

terlatih. Pengujian tingkat penerimaan panelis dilakukan dengan menguji tingkat

kesukaan produk pada aspek warna, rasa, aroma, tekstur dan keseluruhan produk,

sedangkan pengujian kualitas produk dilakukan untuk menguji mutu hedonik.

Berdasarkan hasil pengujian organoleptik, penerimaan dan kualitas produk adalah

sebagai berikut:

Warna. Warna, rasa, aroma dan tekstur merupakan aspek penting dalam

penilaian terhadap sebuah produk. Secara umum produk bubur instan hasil

pengeringan drum dryer lebih gelap dibandingkan dengan hasil pengeringan

vacuum evaporator dan freeze dryer. Berdasarkan perhitungan persentase panelis

terbanyak (Penjumlahan dari poin agak suka, suka dan sangat suka) yang terlihat

pada Gambar 9, produk freeze dryer mempunyai tingkat penerimaan warna

Page 41: A08dku1

Pers

en P

anel

is

sebesar 78,6 persen, vacuum evaporator sebesar 80,3 persen, sedangkan drum

dryer mempunyai tingkat penerimaan produk terhadap warna sebesar 65,0 persen.

Tingkat penerimaan panelis terhadap produk hasil pengeringan drum dryer lebih

rendah jika dibandingkan dengan produk hasil pengeringan vacuum evaporator

dan freeze dryer. Hal ini diduga karena pengaruh pemberian panas yang tinggi

pada permukaan drum yang mengakibatkan reaksi maillard (Winarno 1992).

Reaksi maillard ini menimbulkan warna coklat yang kurang disukai oleh panelis.

Warna produk bubur instan yang cerah lebih disukai panelis dari pada warna yang

gelap. Gambar 9 menunjukkan bahwa, produk dengan suhu pemasakan 88,5oC

pada jenis pengeringan freeze dryer dan vacuum evaporator menunjukkan

kecenderungan mendapatkan penerimaan yang lebih tinggi jika dibandingkan

produk pada suhu pemasakan 73,3oC dan 81oC, namun hal ini tidak terjadi pada

produk hasil pengeringan drum dryer.

60

5040

30

20

10

0

73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC

sangat tidak suka

tidak suka

agak tidak suka

agak suka

suka

sangat suka

Drum dryer Vacuum evaporator Freeze dryer

Gambar 9

Jenis pengeringan

Tingkat penerimaan panelis terhadap warna produk bubur instan pada beberapa jenis pengeringan dan suhu pemasakan

Berdasarkan hasil pengujian mutu hedonik (Tabel 5) terlihat bahwa produk

hasil pengeringan drum dryer mempunyai warna yang dinilai kurang menarik oleh

panelis, sedangkan produk hasil pengeringan vacuum evaporator dan freeze dryer

mempunyai penilaian terbanyak pada range menarik. Tabel 5 menunjukkan

bahwa persentase penilaian panelis pada range tidak menarik pada produk hasil

Page 42: A08dku1

pengeringan drum dryer lebih tinggi jika dibanding dengan produk hasil

pengeringan vacuum evaporator dan freeze dryer. Hal ini tidak terjadi pada

produk hasil pengeringan vacuum evaporator dan freeze dryer, karena lebih dari

separuh panelis menilai produk pada range menarik dan agak menarik. Perlakuan

panas tinggi yang mengakibatkan reaksi Maillard diduga sebagai penyebab

rendahnya penerimaan panelis terhadap produk hasil pengeringan drum dryer.

Tabel 5 Penilaian produk bubur instan pada beberapa jenis pengeringan dan suhu pemasakan terhadap aspek warna produk

JenisPengeringan

SuhuPemasakan

STM(%)

TM(%)

ATM(%)

AM(%)

M (%) SM(%)

Drum dryer73,5oC 2,5 15,0 27,5 20,0 30,0 5,081oC 2,5 22,5 25,0 20,0 25,0 5,088,5oC 0,0 32,5 27,5 17,5 20,0 2,5

Vacuum evaporator

o73,5 C 0,0 4,3 17,4 34,8 43,5 0,0o81 C 0,0 6,5 28,3 28,3 32,6 4,3

88,5oC 0,0 4,3 17,4 37,0 39,1 2,2

Freeze dryer

o73,5 C 0,0 8,3 12,5 31,3 43,8 4,2o81 C 0,0 8,3 10,4 25,0 47,9 8,3

88,5oC 0,0 4,2 10,4 33,3 45,8 6,3Keterangan: STM : Sangat tidak menarik TM : Tidak menarik

: ATM : Agak tidak menarik AM : Agak menarik: M : Menarik SM : Sangat menarik

Aroma. Aroma merupakan salah satu aspek penting dalam penilaian

terhadap makanan. Berdasarkan hasil pengujian penerimaan panelis terhadap

aspek aroma (Gambar 10) yaitu dengan menjumlahkan penilaian dari poin agak

suka, suka dan sangat suka terlihat bahwa, baik produk bubur instan hasil

pengeringan vacuum evaporator, freeze dryer maupun drum dryer mempunyai

penerimaan yang baik pada aspek aroma yaitu sebesar 73 persen, 65 persen dan

68 persen. Komponen lain pada produk bubur instan diduga tidak terlalu berperan

terhadap pembentukan aroma produk sehingga pemberian kadar perisa yang sama

akan mengakibatkan penerimaan yang sama pada produk bubur instan.

Page 43: A08dku1

n

a

g

g

u

a

u

Pers

en P

anel

is

70

6050

40

30

20

10

0 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC

sangat tidak suka

tidak suka

agak tidak suka

agak suka

suka

sangat suka

Drum dryer Vacuum evaporator

Jenis pengeringan

Freeze dryer

Gambar 10 Tingkat penerimaan panelis terhadap aroma produk bubur instan pada beberapa jenis pengeringan dan suhu pemasakan

Hasil pengujian mutu produk bubur instan yang terlihat pada Tabel 6

menunjukkan bahwa aroma produk berada pada kisaran agak berbau vanila. Perisa

yang ditambahkan diduga belum mampu menutupi aroma khas tempe. Amonia

yang terbentuk seiring dengan proses fermentasi (Hui 2004) juga diduga sebagai

faktor yang mempengaruhi pembentukan aroma pada produk. Enzim

lipoksigenase yang bercampur dengan lemak juga diduga sebagai faktor yang

menyumbang bau langu pada produk bubur instan. Suhu pemasakan yang berbeda

diduga tidak memberikan pengaruh yang terlalu jauh terhadap aspek aroma.

Tabel 6 Penilaian produk bubur instan pada beberapa jenis pengeringan dan suhu pemasakan terhadap aspek aroma produk

JenisPengeringan

SuhuPemasakan

SBL (%)

BL(%)

ABL(%)

ABV(%)

BV (%)

SBV (%)

Drum dryer73,5oC 0,0 2,5 30,0 32,5 30,0 5,081oC 0,0 7,5 25,0 32,5 30,0 5,088,5oC 0,0 5,0 32,5 37,5 15,0 10,0

Vacuum evaporator

o73,5 C 0,0 6,5 23,9 45,7 17,4 6,5o81 C 2,2 13,0 30,4 30,4 15,2 8,7

88,5oC 2,2 6,5 19,6 43,5 26,1 2,2

Freeze dryer

o73,5 C 0,0 10,4 29,2 33,3 25,0 2,1o81 C 2,1 4,2 12,5 37,5 31,3 12,5

88,5oC 2,1 8,3 14,6 45,8 27,1 2,1Keterangan: SBL : Sangat berbau langu ABV : Agak berbau vanila

BL : Berbau langu BV : Berbau vanilaABL : Agak berbau langu SBV : Sangat berbau vanila

Page 44: A08dku1

D c

p

r

a

a

Pers

en P

anel

is

Rasa. Hampir semua hasil pengujian organoleptik menunjukkan bahwa

rasa manis pada produk bubur instan meninggalkan after taste pahit. Penentuan

penerimaan terbaik dilakukan dengan menjumlahkan poin penerimaan agak suka,

suka dan sangat suka. Berdasarkan perhitungan persentase penerimaan (Gambar

11) panelis terbanyak, produk hasil pengeringan vacuum evaporator mendapatkan

penerimaan rasa terbaik, yaitu 56 persen. Produk hasil pengeringan drum dryer

diterima sekitar 36,5 persen pada aspek rasa, sedangkan produk hasil pengeringan

freeze dryer mendapat penerimaan sebanyak 26,8 persen. Rendahnya penerimaan

panelis ini diduga karena adanya after taste pahit pada produk. Pada beberapa

suhu pemasakan yang digunakan, tidak memberikan pengaruh yang terlalu jauh

terhadap penerimaan panelis terhadap aspek rasa. Hal ini diduga karena tidak

terdegradasi dengan baiknya senyawa pahit (saponin) yang ada pada kedelai,

meskipun dengan pemasakan pada suhu yang berbeda.504540353025201510

50

73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC

sangat tidak suka

tidak suka

agak tidak suka

agak suka

suka

sangat suka

Drum dryer Vacuum evaporator

Freeze d yer

Jenis engeringan

Gambar 11 Tingkat penerimaan panelis terhadap rasa produk bubur instan pada beberapa jenis pengeringan dan suhu pemasakan

Penilaian terhadap mutu produk menunjukkan bahwa produk mempunyai

rasa manis agak pahit. Hampir separuh responden menilai manis agak pahit pada

seluruh produk dengan berbagai jenis pengeringan dan suhu pemasakan.

Berdasarkan hasil pengujian komponen penyusun produk secara terpisah yaitu

sukralosa, perisa dan bubur instan tanpa penambahan sukralosa dan perisa

Page 45: A08dku1

Keterangan: MPS : Manis pahit sekali M : ManisMP : Manis pahit AM : Agak manisMAP : Manis agak pahit MS : Manis sekali

diperoleh hasil bahwa rasa pahit berasal dari produk bubur instan. Rasa pahit ini

diduga karena keberadaan senyawa saponin yang ada pada tempe. Senyawa ini

tidak hilang, meskipun sudah diberi perlakuan pemanasan (Hui 2004). Menurut

BPOM (2002), sukralosa tidak meninggalkan after taste pahit ketika dikonsumsi.

Tabel 7 Penilaian produk bubur instan pada beberapa jenis pengeringan dan suhu pemasakan terhadap aspek rasa produk

JenisPengeringan

SuhuPemasakan

MPS(%)

MP(%)

MAP(%)

M(%)

AM(%)

MS(%)

Drum dryer73,5oC 15,0 27,5 40,0 10,0 0,0 7,581oC 10,0 30,0 42,5 12,5 0,0 5,088,5oC 7,5 20,0 37,5 20,0 10,0 5,0

Vacuum evaporator

o73,5 C 8,7 30,4 39,1 10,9 6,5 4,3o81 C 10,9 28,3 43,5 6,5 8,7 2,2

88,5oC 4,3 26,1 43,5 15,2 6,5 4,3

Freeze dryer

o73,5 C 16,7 20,8 33,3 8,3 14,6 6,3o81 C 12,5 18,8 35,4 14,6 10,4 8,3

88,5oC 12,5 18,8 39,6 4,2 22,9 2,1

Tekstur. Tekstur didefinisikan sebagai kondisi kasar atau halus produk.

Berdasarkan hasil pengujian tingkat penerimaan panelis (perhitungan penilaian

agak suka, suka dan sangat suka) terhadap tekstur diperoleh data bahwa produk

hasil pengeringan drum dryer (73,0 %) mendapatkan penerimaan terbaik jika

dibandingkan produk hasil pengeringan vacuum evaporator (69,7 %) dan freeze

dryer (66,7%). Gambar 12 memperlihatkan bahwa produk bubur instan hasil

pengeringan vacuum evaporator dengan suhu pemasakan sebesar 73oC

memperoleh penerimaan terbaik dari panelis (86,4%), sedangkan produk hasil

pengeringan vacuum evaporator dengan suhu pemasakan sebesar 81oC

mempunyai penerimaan terendah dari penelis (54,5%). Produk hasil pengeringan

drum dryer tingkat penerimaan panelis terhadap tekstur tidak berbeda jauh.

Page 46: A08dku1

r

C

a

i

u

a

Pers

en P

anel

is

60

5040

30

20

10

073,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC

sangat tidak suka

tidak suka

agak tidak suka

agak suka

suka

sangat suka

Drum dryer Vacuum evaporator

Jenis pengeringan

Freeze dryer

Gambar 12 Tingkat penerimaan panelis terhadap tekstur produk bubur instan pada beberapa jenis pengeringan dan suhu pemasakan

Berdasarkan hasil pengujian mutu produk yang terlihat pada Tabel 8,

diperoleh bahwa lebih dari separuh panelis menilai halus pada produk hasil

pengeringan drum dryer (55%, 52,5% dan 50%), sedangkan produk hasil

pengeringan vacuum evaporator dan freeze dryer dinilai halus oleh hampir

separuh panelis. Perbedaan yang ada antar produk hasil pengeringan drum dryer,

vacuum evaporator dan freeze dryer. Tidaklah terlalu jauh. Hal ini diduga karena

penggunaan formula yang sama antar produk dan proses homogenisasi yang

seragam pula. Pada produk hasil pengeringan drum dryer dan vacuum evaporator

penambahan suhu pemasakan menunjukkan kecenderungan peningkatan

penerimaan panelis terhadap tekstur produk, namun hal ini tidak berlaku pada

produk hasil pengeringan freeze dryer. Produk hasil pengeringan freeze dryer

cenderung menunjukkan penurunan penerimaan terhadap tekstur dengan adanya

penambahan suhu pemasakan.

Page 47: A08dku1

Keterangan: KS : Kasar sekali AH : Agak kasarK : Kasar H : HalusAK : Agak kasar HS : Halus sekali

Tabel 8 Penilaian produk bubur instan pada beberapa jenis pengeringan dan suhu pemasakan terhadap aspek tekstur produk

JenisPengeringan

SuhuPemasakan

KS(%)

K(%)

AK(%)

AH(%)

H(%)

HS(%)

Drum dryer73,5oC 0,0 5,0 5,0 20,0 55,0 12,581oC 0,0 5,0 0,0 25,0 52,5 15,088,5oC 0,0 2,5 5,0 12,5 50,0 30,0

Vacuum evaporator

o73,5 C 0,0 2,2 17,4 34,8 37,0 8,7o81 C 0,0 6,5 21,7 30,4 34,8 4,3

88,5oC 0,0 2,2 23,9 32,6 28,3 10,9

Freeze dryer

o73,5 C 0,0 22,9 31,3 18,8 16,7 10,4o81 C 0,0 14,6 29,2 18,8 35,4 2,1

88,5oC 0,0 2,1 29,8 19,1 38,3 10,6

Berdasarkan hasil pengujian tingkat kesukaan dan mutu produk bahwa

produk dengan suhu pemasakan 88,5oC pada masing-masing alat pengering

mendapatkan penerimaan terbaik dari panelis. Produk dengan suhu pemasakan

pada puncak gelatinisasi ini (88,5oC) akan digunakan pada tahap penelitian

selanjutnya yaitu analisis kandungan gizi. Adapun penampakan produk bubur

instan dari beberapa jenis pengeringan dengan suhu pemasakan yang berbeda

dapat dilihat pada Gambar 13.

Produk hasil pengeringan drum dryer

73,5oC 81 oC 88,5oC

Produk hasil pengeringan vacuum evaporator

73,5oC 81 oC 88,5oC

Page 48: A08dku1

73,5oC 81 oC 88,5oC

Gambar 13 Produk bubur instan dari bahan tempe kedelai dari beberapa jenis pengeringan dan suhu pemasakan

Hasil Analisis Densitas kamba dan Kandungan Gizi

Berdasarkan hasil pengujian organoleptik, produk dengan suhu pemasakan

88,5oC (suhu gelatinisasi puncak) terpilih sebagai produk yang paling disukai dari

tiap jenis pengeringan (drum dryer, vacuum evaporator dan freeze dryer). Produk

dengan suhu pemasakan 88,5oC inilah yang akan dilanjutkan pada tahap akhir

penelitian yaitu analisis produk. Produk yang telah terpilih akan dianalisis

densitas kamba dan kandungan gizi (air, abu, protein, lemak, mutu cerna dan asam

amino).

Densitas Kamba. Pada industri pangan, komponen densitas kamba

berfungsi sebagai salah satu indikator mudah atau tidaknya bahan pangan instan

untuk dikemas secara otomatis dan indikator besar atau kecilnya kemasan yang

diperlukan untuk membungkus produk pangan. Pada produk makanan bayi

densitas kamba penting untuk diketahui berkaitan dengan volume bahan pangan

setelah masuk perut. Densitas kamba yang besar akan memberikan rasa cepat

kenyang dari pada bahan makanan dengan densitas kamba yang rendah. Hasil

pengukuran densitas kamba pada produk bubur instan dari bahan tempe kedelai

terlihat pada Tabel 9:

Tabel 9 Densitas kamba produk bubur instan

Jenis pengeringan Densitas kambaDrum dryer 0,62802Vacuum evaporator 0,49912Freeze dryer 0,566805

Page 49: A08dku1

Dari hasil pengukuran densitas kamba diperoleh hasil bahwa produk bubur

instan hasil pengeringan drum dryer mempunyai densitas kamba terbesar

(0,62802) jika dibandingkan dengan produk hasil pengeringan vacuum evaporator

( 0,49912) dan freeze dryer (0,566805), sedangkan densitas kamba terkecil

dipunyai oleh produk hasil pengeringan vacuum evaporator. Dari segi pengolahan

dan teknologi pangan, semakin besar nilai densitas kamba, maka kemasan yang

dibutuhkan untuk membungkus produk akan semakin besar. Nilai densitas kamba

dikatakan besar apabila mendekati nilai 1. Densitas kamba yang besar merupakan

salah satu indikator kemampuan bahan pangan untuk menyerap air yang besar.

Kemampuan menyerap air yang besar ini akan membuat rasa cepat kenyang pada

saat mengkonsumsi produk, sehingga intik yang masuk akan berkurang.

Kadar Air. Pengukuran kadar air produk dilakukan dengan metode Direct

Heating (Lampiran 3b). Pengukuran kadar air dilakukan pada seluruh produk

dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh suhu pemasakan terhadap kadar air.

Hasil pengukuran kadar air produk dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Kadar air produk pada beberapa jenis pengeringan dan suhu pemasakan

Jenis Pengeringan Suhu pemasakan(oC) Kadar air (%) Kadar air rata rata (%)

Drum dryer73,5 5,17

3,9481 3,3888,5 3,29

Vacuum evaporator73,5 6,91

5,0881 4,6488,5 3,69

Freeze dryer73,5 9,50

7,2281 7,0388,5 5,15

Dari hasil pengujian diperoleh data bahwa kadar air tertinggi adalah 9,50

(hasil pengeringan freeze dengan suhu pemasakan sebesar 73,5oC) dan kadar air

terendah adalah 3,29 (hasil pengeringan drum dengan suhu pemasakan sebesar

88,5oC). Pada suhu pemasakan yang sama, perlakuan jenis pengeringan drum

dryer menghasilkan kadar air yang paling rendah diantara jenis pengeringan

vacuum evaporator dan freeze dryer . Hal ini dikarenakan penggunaan suhu yang

tinggi pada pengeringan drum dryer yang tidak digunakan pada jenis pengeringan

lain seperti vacuum evaporator dan freeze dryer . Pada jenis pengeringan yang

Page 50: A08dku1

berbeda, semakin tinggi suhu pemasakan yang digunakan akan menghasilkan

kadar air yang semakin rendah. Hal ini dikarenakan panas yang diberikan pada

produk pangan akan menguapkan air yang digunakan untuk proses pemasakan,

sehingga semakin tinggi suhu yang diberikan, maka akan semakin banyak pula air

yang teruapkan. Kadar air merupakan komponen penting dalam menentukan mutu

suatu produk pangan. Hal ini terkait dengan daya tahan bahan makanan terhadap

serangan mikroba (Winarno 1992). Bahan pangan dengan kadar air tinggi akan

lebih mudah mengalami kerusakan dibanding dengan bahan pangan dengan kadar

air rendah.

Berkurangnya kadar air pada bahan pangan memiliki beberapa keunggulan,

seperti bahan pangan lebih awet, lebih mudah dikemas dari pada kondisi kadar air

tinggi, namun pada beberapa jenis zat gizi yang larut air seperti vitamin B dan

Vitamin C, pemberian perlakuan panas akan menurunkan jumlah maupun

efektivitas dari zat gizi ini.

Kadar Abu. Pengukuran kadar abu dilakukan dengan menggunakan metode

yang terlampir pada bagian Lampiran 3e. Pengukuran kadar abu hanya dilakukan

pada produk terbaik saja. Adapun hasil dari pengukuran kadar abu dapat dilihat

pada Tabel 11 berikut ini:

Tabel 11 Kadar abu produk bubur instanAlat pengeringan Suhu pemasakan

(oC)Kadar abu

( % basis basah)Kadar abu

(% basis kering)Drum dryer 88,5 1,49 1,54Vacuum evaporator 88,5 1,99 2,06Freeze dryer 88,5 1,78 1,87

Berdasarkan konversi produk ke dalam basis kering, hasil pengukuran

menunjukkan bahwa jenis pengeringan vacuum evaporator menghasilkan kadar

abu paling tinggi (2,06%) dibandingkan dengan jenis pengeringan drum dryer

(1,54) dan freeze dryer (1,87), namun perbedaan yang terjadi tidaklah terlalu jauh.

Kadar abu mencerminkan jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan

yang jumlahnya relatif stabil. Kadar abu dapat digunakan untuk mendeteksi

pamalsuan mineral yang ada dalam bahan pangan (Nielsen 2003).

Page 51: A08dku1

Kadar Protein. Pengukuran kadar protein produk menggunakan metode

Titrimetri Kjedahl yang terlampir pada bagian Lampiran 3d, sedangkan analisis

mutu cerna menggunakan metode Hsu (Larutan multi enzim) yang terpapar pada

Lampiran 3g. Analisis dilakukan pada produk terbaik dari masing masing jenis

pengeringan. Kadar protein yang ada di bandingkan dengan hasil analisis mutu

cerna untuk mengertahui seberapa besar protein yang dapat diserap oleh tubuh.

Adapun hasil analisis kadar protein terlihat pada Tabel 12:

Tabel 12 Kadar protein dan mutu cerna produk bubur instanAlat pengeringan Suhu pemasakan

(oC)Kadar protein

(% basis basah)Kadar protein

(% basis kering )Mutu cerna

( %)Drum dryer 88,5 29,63 30,64 79,03

Vacuum evaporator 88,5 31,36 32,56 77,95Freeze dryer 88,5 30,13 31,77 75,11

Tabel 12 menunjukkan bahwa produk hasil pengeringan drum dryer,

mempunyai kadar protein sebesar 30,64 persen berat kering dengan mutu cerna

sebesar 79,03 persen. Produk hasil pengeringan drum dryer menghasilkan kadar

protein paling rendah jika dibandingkan dengan produk hasil pengeringan freeze

dryer (75,11 %) dan vacuum evaporator (77,95 %), namun mempunyai mutu

cerna yang paling tinggi diantara jenis pengeringan lain. Kadar protein hasil

pengeringan vacuum evaporator paling tinggi dibandingkan kadar protein produk

hasil pengeringan drum dryer dan freeze dryer. Kondisi vacuum dapat

menyelamatkan zat gizi yang rentan terhadap proses oksidasi. Pada pengeringan

vacuum evaporator suhu yang digunakan adalah 60oC, hal ini didasari oleh

pertimbangan bahwa protein secara umum akan mengalami denaturasi pada suhu

60oC (Lehninger 1982). Denaturasi protein pada tahap awal akan mengakibatkan

protein kehilangan kemampuannya sebagai enzim maupun emulsifier, namun

denaturasi protein tidak selalu identik dengan kerusakan protein yang tidak dapat

dimanfaatkan (Lehninger 1982).

Menurut Hui (2004), pemberian panas dan pengawetan pangan

mengakibatkan denaturasi pada protein dan biasanya denaturasi protein sejalan

dengan peningkatan suhu. Hui (2004) juga mengatakan bahwa stabilitas protein

berbeda, bergantung pada jenis dan struktur, untuk protein kedelai sendri

mempunyai kestabilan terhadap panas mencapai 70-80oC. Pada penelitian

Page 52: A08dku1

pendahuluan, kadar protein tempe yang dihasilkan adalah 43,94% sedangkan hasil

analisis produk hasil pengeringan drum dryer, vacuum evaporator dan freeze

dryer berturut turut adalah 30,64 %, 32,56 % dan 31,77%. Proses pengeringan

ternyata tidak terlalu mempengaruhi kadar protein yang ada dalam bahan pangan.

Secara umum produk hasil pengeringan drum dryer, vacuum evaporator maupun

freeze dryer mempunyai kadar protein yang hampir sama yang berarti bahwa

perbedaan proses pengeringan tidak berpengaruh banyak terhadap kadar protein

bahan.

Mutu cerna merupakan salah satu pendekatan biologis yang digunakan

untuk mengetahui seberapa banyak protein dapat dimanfaatkan oleh tubuh.

Berdasarkan pengukuran, produk hasil pengeringan drum dryer mempunyai mutu

cerna paling tinggi diantara produk hasil pengeringan vacuum evaporator dan

freeze dryer . Mutu cerna yang tinggi dari hasil pengeringan drum dryer diduga

karena penggunaan suhu yang tinggi pada saat pengeringan. Penggunaan suhu

yang tinggi ini mengakibatkan terpotongnya ikatan protein. Terpotongnya struktur

protein ini mengakibatkan protein lebih mudah dicerna dan diserap oleh tubuh.

Secara umum menurut Heldman & Lund (2007), kerusakan protein akibat proses

pengeringan bukanlah menjadi masalah gizi utama.

Kadar Lemak. Lemak merupakan salah satu komponen makro penting dari

bahan pangan. Analisis lemak dilakukan dengan metode Soxhlet dengan

modifikasi Weibull (Lampiran 3c). Adapun hasil analisis lemak pada beberapa

produk bubur instan dapat dilihat pada Tabel 13

Tabel 13 Kadar lemak bubur instan dari bahan tempe kedelaiAlat pengeringan Suhu pemasakan

(oC)Kadar lemak

(% basis basah )Kadar lemak

(% basis kering )Drum dryer 88,5 10,73 11,10

Vacuum evaporator 88,5 10,65 11,06Freeze dryer 88,5 9,27 9,27

Lemak dan minyak termasuk dalam golongan trigliserida (komponen utama

penyusun lipida). Lemak dan minyak bersifat tidak larut dalam air. Dalam

pengolahan pangan, lemak memegang peranan penting dalam menetukan tekstur,

rasa, aroma dan palatabilitas (Vaclavik & Christian 2003). Lemak juga merupakan

komponen penting zat gizi. Tabel 13 menunjukkan bahwa produk hasil

pengeringan drum dryer mempunyai kadar lemak paling tinggi jika dibandingkan

Page 53: A08dku1

produk hasil pengeringan vacuum evaporator dan freeze dryer. Kadar lemak hasil

pengeringan drum dryer adalah 10,73%, sedangkan produk hasil pengeringan

vacuum evaporator adalah 10,63% dan produk hasil pengeringan freeze dryer

adalah 9,27%.

Jenis pengeringan dengan sistem vacuum diharapkan dapat menyelamatkan

komponen penting bahan pangan. Beberapa senyawa yang rentan terhadap

pemanasan dan oksidasi seperti lemak dapat diselamatkan. Produk hasil

pengeringan freeze dryer mempunyai porositas yang tinggi. Kondisi porositas

tinggi memicu masuknya oksigen pada bahan pangan. Oksigen adalah faktor

penting yang mempengaruhi tingkat oksidasi lemak (Heldman & Lund 2007).

Oksidasi yang terjadi pada lemak memicu rusaknya komponen lemak, sehingga

tidak dapat dimanfaatkan tubuh.

Kadar air dalam produk merupakan hal penting dalam pengolahan pangan.

Kadar air yang tinggi akan meningkatkan oksidasi lemak. Dari hasil pengujian

kadar air, metode pengeringan freeze dryer menghasilkan kadar air yang paling

tinggi (5,15%) diantara pengeringan vacuum evaporator (3,69%) dan drum dryer

(3,295). Kondisi kadar air yang tinggi inilah yang diduga memicu tingginya

oksidasi lemak. Heldman & Lund (2007) mengatakan bahwa beberapa faktor

yang mempengaruhi oksidasi lemak adalah kelembaban, tipe atau jenis lemak,

lama reaksi, keberadaan oksigen, suhu, keberadaan logam, keberadaan

antioksidan alami, aktivitas enzim, sinar matahari, protein, asam amino dan bahan

kimia lain.

Hasil pengujian kadar lemak pada produk tempe segar menunjukkan bahwa

pada kondisi kadar air 0% (basis kering) secara umum kadar lemak produk bubur

instan mengalami penurunan, baik jika dibandingkan dengan kedelai mentah

(12,83%) maupun jika dibandingkan dengan tempe segar (19,33%). Proses

pengolahan pangan berupa pemberian panas merupakan salah satu hal yang

diduga menjadi penyebab penurunan kadar lemak pada bahan.

Page 54: A08dku1

Kadar Asam Amino. Pengujian asam amino produk bubur instan dilakukan

dengan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography) yang dapat

dilihat pada Lampiran 3f. Asam amino merupakan unit penyusun komponen

protein yang penting. Asam amino inilah merupakan salah satu komponen

penyusun profil imunitas tubuh. Data hasil pengujian asam amino dengan HPLC

dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Kadar asam amino bubur instan pada beberapa jenis pengeringan

Parameter

HasilFreeze dryer

(%b/b)

Vacuum evaporator

(%b/b)Drum dryer

(%b/b)Asam

aspartat 3,24 3,32 3,33Asam

glutamat 4,53 4,65 4,69Serin 1,33 1,36 1,36

Histidin 0,66 0,68 0,66Glisin 1,07 1,12 1,11

Treonin 1,05 1,07 1,07Arginin 2,09 2,08 2,06Alanin 1,33 1,40 1,39Tirosin 1,40 1,36 1,45

Metionin 0,42 0,56 0,40Valin 1,37 1,42 1,41

Fenilalanin 1,66 1,71 1,70Iso leusin 1,41 1,46 1,44

Leusin 2,36 2,43 2,42Lisin 1,50 1,63 1,50

Berdasarkan Tabel 14, terlihat bahwa dalam 100 gram produk terdapat

kadar arginin sebesar 2,09 gram, 2,08 gram dan 2,06 gram masing-masing untuk

jenis pengeringan freeze dryer, vacuum evaporator dan drum dryer. Sedangkan

untuk kadar asam glutamat adalah sebesar 4,53 gram untuk produk hasil

pengeringan freeze dryer, 4,65 gram untuk produk hasil pengeringan vacuum

evaporator dan 4,69 gram untuk produk hasil pengeringan drum dryer. Secara

umum pengeringan vacuum evaporator menghasilkan produk dengan kadar asam

amino paling tinggi meskipun perbedaannya tidak terlalu besar. Pada jenis asam

amino arginin terlihat bahwa produk hasil pengeringan freeze dryer mempunyai

kadar asam amino paling tinggi, sedangkan untuk komponen tertinggi asam

Page 55: A08dku1

aspartat, asam glutamat dan tirosin terdapat pada produk hasil pengeringan drum

dryer.

Data hasil analisis kedelai mentah dan tempe pada Tabel 15 menunjukkan

bahwa secara umum kadar asam amino tempe adalah lebih tinggi jika

dibandingkan dengan kedelai mentah. Tingginya kadar asam amino tempe ini

karena proses fermentasi yang terjadi pada kedelai telah meningkatkan kadar

amino bebas. Proses fermentasi juga memotong rantai protein sehingga protein

lebih mudah dicerna oleh tubuh. Data asam amino kedelai mentah dan tempe

segar ini diperoleh dari penelitian sebelumnya (Ghozali 2007).

Secara umum produk bubur instan mempunyai kadar asam amino yang

lebih rendah jika dibanding dengan kedelai mentah dan tempe segar. Kondisi ini

karena proses pengolahan yang diberikan kepada tempe seperti pemasakan dan

pengeringan menyebabkan hilangnya beberapa komponen gizi seperti asam

amino. Selain itu adanya penambahan bahan lain (selain tempe) dalam pembuatan

bubur instan dapat mengurangi proporsi tempe dan lebih lanjut akan mengurangi

proporsi asam aminonya. Bahan lain yang ditambahkan pada pembuatan bubur

tersebut, bukanlah sumber protein yang potensial. Adapun bahan yang

ditambahkan adalah tepung tapioka, maltodekstrin, CMC, sukralosa dan perisa

vanilin.

Page 56: A08dku1

Tabel 15 Kadar asam amino kedelai mentah dan tempe segar

Parameter HasilKedelai (%b/b) Tempe (%b/b)

Asam aspartat 4,73 5,43Asam

glutamat 7,21 7,78Serin 1,60 2,30

Histidin 1,05 1,18Glisin 1,84 2,17

Treonin 1,43 1,86Arginin 2,78 4,96Alanin 1,62 1,62Tirosin 1,32 1,71

Metionin 0,17 0,30Valin 2,00 2,43

Fenilalanin 1,96 2,27Iso leusin 1,95 2,41

Leusin 2,94 3,59Lisin 2,56 2,66

Sumber: Ghozali (2007)

Kandungan Energi Produk. Pengaturan jumlah energi yang masuk ke

tubuh merupakan salah satu hal yang penting bagi penatalaksanaan diet diabetes

melitus disamping jenis bahan pangan yang dikonsumsi dan kandungan gizi lain.

Berdasarkan hasil analisis proksimat pada produk bubur instan, maka dapat

diperkirakan kandungan energinya seperti yang disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Kandungan energi produk bubur instanJenis pengering Protein (% b/b) Lemak (% b/b) Karbohidrat (% b/b) Energi (Kal)

Drum dryer 29,63 10,73 54,86 434,53Vacuum evaporator 31,36 10,63 52,59 430,45

Freeze dryer 30,13 9,27 54,84 423,31

Berdasarkan Tabel 16, terlihat bahwa jumlah energi yang dihasilkan produk

bubur instan dari beberapa pengeringan tidak berbeda banyak. Produk dari hasil

pengeringan drum dryer mempunyai energi yang lebih tinggi jika dibandingkan

dengan produk hasil pengeringan vacuum evaporator dan freeze dryer.

Kaitan antara Komposisi Gizi Bubur Instan dengan Diabetes Melitus

Produk bubur instan dari bahan tempe kedelai dapat digunakan sebagai

makanan tambahan bagi diabetesi. Pada pagi hari, seseorang cenderung

membutuhkan makanan yang cepat dan mudah disiapkan sehingga bubur instan

dari bahan tempe kedelai dapat dijadikan sebagai alternatif.

Page 57: A08dku1

Berdasarkan hasil analisis zat gizi pada produk, dalam satu kali penyajian

atau serving size (45 gram), produk bubur instan dari bahan tempe kedelai

mengandung zat gizi seperti yang disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Perhitungan kandungan gizi produk per serving sizeJenis pengering Protein

(g)Lemak

(g)Karbohidrat

(g)Energi(Kal)

Arginin(g)

Glutamat(g)

Drum dryer 13,33 4,82 24,68 195,42 0,94 2,11Vacuum evaporator 14,11 4,78 23,66 194,10 0,93 2,09Freeze dryer 13,55 4,17 24,67 190,41 0,92 2,03

Berdasarkan Tabel 17, dapat dilihat bahwa dalam satu kali penyajian (45

gram) dengan penambahan air sebanyak 1:3, maka bubur tersebut dapat

menyumbang sekitar 10 persen kebutuhan energi diabetesi dengan IMT normal

(kebutuhan sehari 1900 Kal). Jumlah energi yang dapat disumbang oleh produk

bubur instan ini tidak jauh berbeda dengan beberapa produk makanan instan

sarapan yang beredar di pasaran yaitu sekitar 130 sampai 133 Kalori per serving

size nya. Sedangkan untuk kebutuhan asam amino arginin yang dapat membantu

proses penyembuhan luka diabetesi dengan komplikasi gangren adalah sekitar 30

gram/hari. Jumlah arginin sebesar 30 gram/hari ini dapat mempercepat proliferasi

sel limfosit dalam darah. Dalam satu kali penyajian (45 gram), produk bubur

instan dari bahan tempe kedelai dapat menyumbang sekitar 3,1% kebutuhan

arginin diabetesi dalam sehari. Dengan demikian, kekurangannya dapat diperoleh

dari konsumsi pangan lain.

Kadar glutamat atau glutamin dalam satu kali penyajian atau serving size

adalah 2,11 gram untuk produk hasil pengeringan drum dryer, 2,09 gram untuk

produk hasil pengeringan vacuum evaporator dan 2,03 gram untuk produk hasil

pengeringan freeze dryer. Menurut Cynober (2004), pemberian diet glutamin

sebesar 30 gram per hari selama 20 hari dapat meningkatkan jumlah limfosit

dalam darah yang berarti dapat meningkatkan respon imunitas tubuh. Dalam satu

kali penyajian atau serving size, produk bubur instan dari bahan tempe kedelai ini

dapat menyumbang sekitar 7 persen kebutuhan glutamat dalam sehari. Kadar

glutamin dalam plasma darah cenderung mengalami penurunan saat terjadi infeksi

atau sepsis sehingga ketersediaan dari makanan merupakan hal yang penting

untuk menjaga kadar plasma dalam keadaan normal.

Page 58: A08dku1

Perhitungan biaya pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai

Biaya merupakan faktor penting dalam produksi suatu produk. Perhitungan

biaya juga berfungsi untuk menentukan keuntungan yang ingin diperoleh dari

produksi suatu produk pangan. Berdasarkan Tabel 18 terlihat bahwa produk hasil

pengeringan drum dryer memerlukan biaya pembuatan yang paling rendah jika

dibandingkan dengan produk hasil pengeringan vacuum evaporator dan freeze

dryer. Tabel 18 memperlihatkan bahwa perhitungan dilakukan dengan

menggunakan konversi 100 gram tempe segar. Berdasarkan perhitungan

rendemen rata rata dari alat pengeringan adalah sekitar 11,58 % dari berat basah

total, sehingga dari 500 gram formula basah akan menghasilkan sekitar 59,25

gram produk bubur instan kering. Hal ini yang digunakan sebagai dasar dalam

perhitungan biaya per serving size ( 1 kali penyajian).

Produk hasil pengeringan drum dryer ,vacuum evaporator maupun freeze

dryer mempunyai nilai gizi yang tidak jauh berbeda. Sehingga efisiensi biayalah

yang menjadi salah satu pertimbangan pemilihan sistem pengeringan terbaik dari

produk. Drum dryer terpilih sebagai sistem yang paling efisien jika dibandingkan

dengan vacuum evaporator dan freeze dryer dengan nilai gizi yang tidak jauh

berbeda.

Page 59: A08dku1

Tabel 18 Perhitungan biaya dalam pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai dengan beberapa alat pengeringan

Bahan Jumlah harga satuan satuan harga per gram perhitungan per 100 gram tempe (formula)Essens 0,7 persen 750000 1000 750 311,0625Kedelai 50 gram 10000 1000 10 500CMC 0,1 persen 8000 1000 8 4Tapioka 12,5 persen 4000 1000 4 250Sukralosa 25 persen 3000000 1000 3000 625Air 350 ml 10000 19000 0,526315789 184,2105263Maltodekstrin 12,5 persen 15000 1000 15 937,5Upah satu bulan 873231 22 39692,31818 1240,384943Bahan bakar 12 kilo gas 70000 12000 5,833333333 5,555555556

PengeringanDrum dryer 50000 50000 2000 25 1481,25Freeze dryer 48 jam 5000 2000 120 7110Vacuum evaporator 24 jam 5000 2000 60 3555

Total Harga per 100 gram tempe basahdrum dryer 5538,963525freeze dryer 11167,71353vacuum 7612,713525

Harga per serving sizedrum dryer 4206,807741freeze dryer 8481,807741vacuum 5781,807741

Page 60: A08dku1

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan

Proses pembuatan tempe memerlukan kondisi khusus, baik kelembaban,

pH maupun temperatur. Hal ini terkait dengan pertumbuhan kapang tempe. Jenis

kapang yang digunakan dalam pembuatan tempe akan menentukan kandungan

gizi tempe. Hasil analisis kandungan gizi menyebutkan bahwa, terjadi

peningkatan kandungan lemak dan protein dan terjadi penurunan kadar abu pada

saat fermentasi kedelai menjadi tempe.

Formula terbaik pada pembuatan produk bubur instan terdiri dari tempe

100 gram, maltodekstrin 2,5 persen, tapioka 2,5 persen, CMC 0,1 persen, air 350

mL, perisa 0,7 persen dan sukralosa 25 persen tingkat kemanisan gula. Produk

yang dihasilkan dari penggunaan formula ini mempunyai tekstur yang halus dan

kekentalan yang disukai oleh lebih dari separuh panelis.

Pembuatan bubur instan diawali dengan pencampuran bahan yang telah

terpilih (tempe 100 gram, maltodekstrin 2,5 persen, tapioka 2,5 persen, CMC 0,1

persen, air 350 mL dan sukralosa 25 persen) sampai merata kemudian dilanjutkan

dengan pemasakan. Pemasakan dilakukan dengan menggunakan tiga perlakuan

suhu yaitu (73,5oC, 81oC dan 88,5 oC). Setelah dimasak, kemudian dilanjutkan

pada proses pengeringan dengan beberapa jenis pengering. Pada beberapa jenis

pengeringan baik freeze dryer, drum dryer maupun vacuum evaporator tidak

memberikan pengaruh yang jauh berbeda terhadap daya terima panelis terhadap

produk dari aspek rasa, warna, aroma, tekstur dan keseluruhan produk. Rasa pahit

masih menjadi salah satu kelemahan produk. Hal ini mengakibatkan penerimaan

secara keseluruhan produk masih rendah. Pada aspek aroma, warna, tekstur

menunjukkan tingkat penerimaan yang baik dari panelis.

Pada beberapa jenis pengeringan baik freeze dryer, drum dryer maupun

vacuum evaporator tidak memberikan pengaruh yang jauh berbeda terhadap mutu

gizi produk yang dihasilkan. Pada penggunaan sistem pengering drum dryer, mutu

cerna yang dihasilkan paling tinggi diantara pengering freeze dryer dan vacuum

evaporator meskipun kadar protein yang dihasilkan jauh lebih rendah. Pemberian

suhu pemasakan yang berbeda memberikan perbedaan yang berarti pada kadar air

Page 61: A08dku1

produk, sedangkan untuk kadar protein, lemak, asam amino tidak memperlihatkan

perbedaan yang terlalu jauh antar suhu pemasakan.

Berdasarkan perhitungan biaya yang diperlukan untuk pembuatan bubur

instan dari bahan tempe kedelai, drum dryer lebih efisien dan cocok digunakan

dalam proses pengeringan.

Produk bubur instan dari bahan tempe kedelai dapat menyumbang sekitar

10 persen dari total kebutuhan energi diabetesi dalam sehari dan menyumbang 3,1

persen kebutuhan arginin diabetesi serta menyumbang sekitar 7 persen kebutuhan

glutamat pada diabetesi dengan komplikasi gangren untuk satu kali penyajiannya

(serving size).

Saran

Jenis pengeringan drum dryer sebaiknya digunakan dalam pembuatan

bubur instan dari bahan tempe kedelai.

Rasa pahit yang ditinggalkan produk (aftertaste) akibat adanya senyawa

saponin masih terasa. Perlunya perlakuan tambahan untuk menghilangkan

senyawa tersebut, sehingga produk dapat lebih diterima.

Penyajian bubur instan dengan garnish dapat dilakukan untuk menambah

selera bagi diabetesi.

Perlu adanya penelitian lanjutan untuk melihat aspek gizi lain (asam

lemak, mineral seng, vitamin B6, vitamin B12) yang bermanfaat bagi

penatalaksanaan makanan diabetesi yang mengalami komplikasi gangren. Selain

itu perlu alternatif pengolahan lain, seperti bubur ayam yang mempunyai kesan

rasa gurih, sehingga dalam penyajiannya dapat ditambahkan bawang goreng,

kerupuk, dll yang diharapkan dapat mengurangi after taste.

Data hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk

melakukan penelitian terapan lainnya.

Page 62: A08dku1

64

Lampiran 1 Formulir pengujian tingkat kesukaan (hedonik) produk bubur instan dari tempe kedelai

:Jenis Kelamin : Asal Daerah : Program Studi/angkt : No Hp :

Instruksi:Dihadapan saudara disajikan beberapa contoh makanan diet dari bahan tempe kedelai.Berikan penilaian saudara dengan penuliskan angka sesuai dengan keterangan yang ada di bawah tabel terhadap warna, aroma, tekstur dan rasa dari masing- masing produk makanan diet. Saudara diharapkan untuk tidak membandingkan diantara 3 produk yang disajikan. Minumlah terlebih dahulu setiap memulai menilai contoh.

Kode Warna Aroma Rasa Tekstur Keseluruhan673774843

Komentar/Saran: ...................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................

Keterangan Tingkat Kesukaan:1. Sangat Tidak Suka2. Tidak Suka3. Agak Tidak Suka4. Agak Suka5. Suka6. Sangat Suka

Terimakasih

Page 63: A08dku1

65

Lampiran 2 Formulir pengujian mutu hedonik produk bubur instan dari tempe kedelai

PENGUJIAN MUTU HEDONIK PRODUK BUBUR INSTANNama : Instruksi:Dihadapan saudara disajikan beberapa contoh makanan diet dari bahan tempe kedelai. Berikan penilaian saudara terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur dengan memberikan tanda cek (V) pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian saudara. Lakukan penilaian secara bertahap (satu per satu untuk semua faktor penilaian, baru dilanjutkan ke contoh berikutnya).Saudara diharapkan tidak membandingkan antar contoh yang disajikan. Minumlah terlebih dahulu setiap memulai penilaian.

Penilaian Warna Kode Makanan Diet Tempe

Sangat MenarikMenarikAgak MenarikAgak Tidak MenarikTidak MenarikSangat Tidak Menarik

743 613 353

Penilaian Rasa Kode Makanan Diet Tempe

Manis Sekali Agak Manis ManisManis Agak pahitManis PahitManis Pahit Sekali

743 613 353

Penilaian Tekstur Kode Makanan Diet Tempe

Halus sekali Agak halus HalusAgak KasarKasarKasar Sekali

743 613 353

Penilaian Aroma Kode Makanan Diet Tempe

Sangat Berbau vanila Agak Berbau vanila Berbau vanilaAgak Berbau languBerbau languSangat Berbau langu

Komentar/saran:

743 613 353

Page 64: A08dku1

66

Lampiran 3 Prosedur analisis kandungan gizia. Kadar Karbohidrat by different (Winarno 1992)

Analisis kadar karbohidrat dilakukan dengan cara perhitungan kasar

(proximate analysis) atau disebut juga Carbohydrate by Different. Kadar

karbohidrat termasuk serat kasar ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

% karbohidrat = 100% - % (air + protein + lemak + abu)

b. Analisis Kadar Air, metode Oven Biasa (Sulaeman, Anwar, Rimbawan &

Marliyati 1995)

Pada metode ini bahan dipanaskan pada suhu tertentu sehingga semua

air menguap yang ditunjukkan oleh berat bahan yang konstan setelah periode

pemanasan tertentu. Prosedurnya yaitu : sebanyak 2 gram sampel yang telah

dihomogenkan ditimbang dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah

dikeringkan dan diketahui beratnya. Contoh dikeringkan dalam oven pada

suhu 100-1050C sampai tercapai berat tetap yaitu sekitar 3-4 jam, kemudian

dinginkan dalam desikator (sekitar 30 menit) dan segera ditimbang.

Perhitungannya adalah sebagai berikut :

% Kadar air (bb) = B1 – B2 x 100% B

Keterangan : B = berat contoh (gram)B1 = berat (contoh+cawan) sebelum dikeringkanB2 = berat (contoh+cawan) setelah dikeringkan

c. Analisis Kadar Lemak, Metode Soxhlet dengan modifikasi Weibull(AOAC 1990 diacu dalam Nielsen 2003)

Pada metode ini sebanyak 5 gram contoh yang telah dihilangkan kadar

airnya (S), dibungkus dengan kertas saring. Masukkan pelarut lemak ke dalam

labu lemak yang telah diketahui beratnya (A). Kemudian masukkan timbel ke

dalam alat ekstraksi soxhlet dan panaskan selama 3-4 jam. Setelah selesai

pelarutnya disuling kembali dan labu lemak diangkat dan dikeringkan dalam oven

pada suhu 1050C sampai beratnya konstan. Kemudian didinginkan dalam

desikator selama 20-30 menit dan timbang (B). Perhitungannya adalah sebagai

berikut :

% kadar lemak = B – A x 100% S

Page 65: A08dku1

67

d. Analisis Kadar Protein, Metode Semi Mikro Kjedahl (AOAC 1990 diacu dalam Nielsen 2003)

Pada metode ini sebanyak 0,2 gram contoh yang telah dihomogenkan,

dimasukkan ke dalam labu Kjedahl 150 ml, lalu ditambahkan selenium mix, serta

7 ml H2SO4 pekat. Kemudian dilakukan destruksi sampai berwarna jernih. Setelah

itu labu didiamkan sampai dingin. Ditambahkan 110-120 ml aquades ke dalam

labu. Sebanyak 5 ml larutan tersebut ditambahkan 10 ml NaOH dan didestilasi.

Selanjutnya destilat ditampung di dalam erlenmeyer yang berisi 10 ml asam borat

dan metil merah sebagai indikator. Selanjutnya dititrasi dengan 0,01 N HCl.

Perhitungannya adalah sebagai berikut :

% total nitrogen = ( m l contoh) x N HCl x 14 x 100%mg berat contoh

% protein = % total N x faktor konversi

e. Kadar abu (AOAC 1990 diacu dalam Nielsen 2003)

Pada metode ini sebanyak 5 gram contoh yang telah dihomogenkan

dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya. Contoh

kemudian dibakar di atas api bunsen. Setelah tidak berasap dimasukkan ke dalam

tanur sampai didapatkan abu putih. Pengabuan dilakukan sampai berat cawan

konstan, umumnya selama 12 jam. Sebelum ditimbang, cawan didinginkan di

dalam desikator selama 30 menit.

% kadar abu = berat abu (g) X 100%berat contoh (g)

f. Kadar asam amino (Metode High Performance Chromathography)Alat dan bahan (untuk 10 sampel) Alat:

- Membran milipore 0,45 mikron (10 buah)- Perangkat HPLC (HPLC Type ICI dan Column ODS)- Syringe 100 µL (2 buah)- Vial (1 mL)- Neraca analitik (1 buah)- Pipet 1 mL (2 buah)- Labu takar 100mL (4 buah)- Ampul

Page 66: A08dku1

68

Bahan:- Produk bubur instan- Asam Borat (10 g)- Ortoftaladehida (50 mg)- Natrium hidroksida (10 g)- Larutan brij-30 30% (1 mL)- 2-merkatoetanol (1mL)- Larutan standar asam amino 0,5 µmol/mL (1 mL)- Na-EDTA (5 g)- Metanol (200 mL)- Tetrahidofuran (THF) (10 mL)- Na-asetat (5 g)- Air destilata bebas ion (2 L)

Prosedur Analisis1. Preparasi sampelSampel yang ada, dianalisis kadar proteinnya dengan metode Kjedahl.

Sampel yang mengandung 3 mg protein dimasukkan ke dalam ampul kemudian

ditambahkan 1 ml HCl 6N. Setelah ditambahkan HCl, campuran tersebut

dibekukan dalam es kering aseton. Gunakan freeze dryer yang dihubungkan

dengan pompa vacuum untuk mengeringbekukan sampel

Setelah sampel dikeringbekukan, udara dikeluarkan dari dalam sampel,

kemudian divacuum kembali bersama ampul selama 20 menit. Tutup bagian

tengah tabung dengan memanaskannya diatas api. Masukkan ampul yang telah

ditutup ke dalam oven (suhu 110oC) selama 24 jam kemudian dinginkan sampel

yang telah dihidrolisis pada suhu kamar. Setelah dihidrolisis pindahkan isinya ke

dalam labu evaporator 50 mL kemudian bilas dengan 2 mL HCl 0,01 N.

Masukkan cairan bilasan dalam labu evaporator. Ulangi 2-3 kali. Keringkan

sampel dalam freeze dryer, kemudian tambahkan 10-20 mL air ke dalam sampel

untuk mengubah sistein menjadi sistin. Keringkan dengan freeze dryer. Ulangi

pengeringan 2-3 kali. Tambahkan 5 mL HCl 0,01 N ke dalam sampel yang telah

dikeringkan. Larutan sampel siap untuk dianalis

Page 67: A08dku1

69

2. Pembuatan Pereaksi OPA Bahan

- OPA (50 mL)- Metanol (4 mL)- Merkaptoetanol (0,025 mL)- Brij-30 30% (0,050 mL)- Buffer Borat 1 M, pH = 10,4- Kalium Borat pH 10,4

Larutan stok pereaksi OPA Prosedur percobaan

Sebanyak 50 mg OPA dilarutkan dalam 4 mL metanol kemudian

ditambahkan merkaptoetanol. Kocok dengan hati hati. Tambahkan brij-30 30%

dan buffer borat. Simpan larutan dalam botol berwarna gelap pada suhu 4oC

Catatan: Pereaksi derivatisasi, diperoleh dari pencampuran satu bagian

larutan stok dengan dua bagian larutan buffer kalium borat pH 10,4. Larutan

buffer ini harus dibuat segar.

3. Fase MobilBuffer A : Na-asetat pH 6,5 (0,025 M)

Na-EDTA (0,05%)Metanol (9%) THF (1%)

Buffer A terdiri dari komposisi di atas yang dilarutkan dalam 1 liter air HP.

Buffer ini harus disaring dengan kertas milipore 0,45 µm dan akan stabil selama 5

hari pada suhu kamar bila disimpan dalam botol berwarna gelap yang diisi dengan

He atau Nitrogen.

Buffer B terdiri atas metanol 95% dan air HP. Lakukan penyaringan dengan

kertas saring milipore 0,45 mikron. Larutan ini akan stabil dalam waktu tak

terbatas.

Page 68: A08dku1

70

4. Kondisi alatAtur kondisi alat HPLC seperti berikut: Kolom : Ultra Techspere Laju aliran fase mobil : 1 mL/menit Detektor : FluoresensiFase mobil : Buffer A dan Buffer B dengan gradien sebagaiberikut:

Waktu (menit) Laju aliran fase mobil (mL/menit) % Buffer B0 1 01 1 02 1 155 1 1513 1 4215 1 4220 1 7022 1 10026 1 10028 1 038 1 0

Buatlah grafik hubungan antara waktu (menit0 sebagai absis dan % Bsebagai ordinat

5. Analisis asam amino

Sampel yang telah dihidrolisis (B-9) dilarutkan dalam 5 mL HCl 0,01N,

kemudian saring dengan kertas milipore. Tambahkan buffer kalium borat pH 10,4

dengan perbandingan 1:1 kemudian masukkan 10 µL sampel ke dalam vial

kosong. Tambahkan 25 µL pereaksi OPA dan biarkan selama 1 menit agar

derivatisasi berlangsung sempurna. Lakukan injeksi 5 µL campuran ke dalam

kolom HPLC kemudian tunggu sampai terjadi pemisahan semua asam amino.

Hitung konsentrasi asam aminonya.

6. PerhitunganKonsentrasi asam amino

Luas Puncak sampelൌ��

Luas Puncak standar ൈ� Konsentrasi Standar

0,5μmolmL

ൈ� 5mL

% asam amino dalam sampel:

µmol Asam amino ൈ� Mr Asam amino ൈ� 100µg sampel

Page 69: A08dku1

71

g. Mutu Cerna protein (metode Invitro)

Pada metode ini sampel disuspensikan dalam larutan hingga mencapai

konsentrasi protein sebesar 6,25 mg/mL air. Larutan kemudian diambil sebanyak

50 mL dan diatur pHnya pada kondisi normal dengan penambahan NaOH 0,1N

dan HCl. Larutan terus diaduk dengan magnetic stirer untuk memastikan bahan

yang ditambahkan tercampur dengan sempurna sambil diatur suhunya sebesar

37oC. Ditambahkan 5 mL larutan multi enzim (campuran 1,6 mg tripsin, 3,1 mg

kimotripsin dan 1,3 mg peptidase) sambil terus diaduk. Dicatat pH larutan pada

menit ke-10. Dihitung mutu cerna proteinnya.

ൌ�� 210,464 ൌ� 18,103 ݕy = Daya cerna protein (dalam %)x = pH suspensi sampel pada menit ke 10

Lampiran 4 Prosedur pengujian Brabender Amilograph

Tempe, CMC, maltodekstrin, tapioka dan air dihomogenisasi basah dengan

menggunakan blender. Kemudian bahan dimasukkan dalam Brabender

Amilograph dan diatur suhunya pada 30oC. Pena indikator diletakkan pada garis

yang tepat kemudian bersihkan indikator kaca dengan lap basah. Dinyalakan alat

dengan menekan tombol on kemudian diamati grafik yang terbentuk karena

kenaikan suhu.

Page 70: A08dku1

72

Lampiran 5Rendemen Produk Bubur Instan dari Bahan Tempe Kedelai

Jenis pengeringanSuhu pengeringan Berat padatan

Berat padatan+air

Berat hasil pengeringan

Rendemen padatan

Rendemen padatan dan air

Drum dryer73,5 735,25 2639,25 370 50,32 14,02

81 735,25 2639,25 354 48,15 13,4188,5 1011,53 3832,53 391 38,65 10,20

Vacuum evaporator

73,5 690,25 2615,25 316 45,78 12,0881 690,25 2615,25 281 40,71 10,74

88,5 690,25 2615,25 332 48,10 12,69

Freeze dryer73,5 878,5 3328,5 396 45,08 11,90

81 878,5 3328,5 386 43,94 11,6088,5 878,5 3328,5 333 37,91 10,00