Top Banner
k a a n D i g i t a l P r o j e c t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN Diskusi Buku Zainal Abidin Bagir Review Diskusi | Edisi 005, Juni 2012
117

a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

Aug 12, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

1

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAANDiskusi Buku Zainal Abidin Bagir

Review Diskusi | Edisi 005, Juni 2012

Page 2: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

2

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy MENCARI FORMAT BARU

PENGELOLAAN PERBEDAAN

Salam,

Ketika berbicara mengenai hubungan agama-negara-masyarakat, tampaknya mazhab yang dominan di kalangan kaum ‘progresif’ baru Pasca-Reformasi adalah mazhab liberalisme politik (lama), yang memberikan penekanan utama pada hak dan otonomi individu, dan menuntut negara untuk benar-benar terpisah dari agama. Ketika pluralisme sudah menjadi kata kotor, banyak yang lalu menggunakan istilah multikulturalisme, namun sebetulnya tanpa penjelasan prinsipil tentang apa yang membedakan keduanya. Ide pemisahan agama dari negara dan sebaliknya sebetulnya adalah wishful thinking; tak pernah ada realitas dalam sejarah Indonesia (dan banyak negara

Page 3: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

3

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

lain) yang mendukungnya.

Buku yang didiskusikan kali ini menawarkan satu konsepsi yang mereka sebut sebagai pluralisme kewargaan. Menurut buku ini, pluralisme kewargaan bisa dipahami sebagai suatu teori pengelolaan masyarakat plural (spesies yang setara dengan liberalisme politik, multikulturalisme, komunitarianisme); masyarakat yang diaspirasikannya adalah suatu civic-pluralist society.

Buku yang diterbitkan oleh CRCS UGM dan Mizan ini berjudul Pluralisme Kewargaan; Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia, ditulis bersama oleh Zainal Abdin Bagir, AA GN Ari Dwipayana, Mustaghfiroh Rahayu, Trisno Sutanto, dan Farid Wajidi.

Diskusi yang diselenggarakan pada Kamis, 21 Juni 2012 ini menghadirkan salah satu penulisnya, Zainal Abidin Bagir.

Di bawah ini adalah transkripsi lengkap diskusi tersebut. Selamat menikmati.

Redaksi

Page 4: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

4

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

I.

PENGANTAR DISKUSI

Ihsan Ali Fauzi

Assalamualaikum wr. wb. Kita buka acara kita dengan basmalah.

Senang sekali malam ini kita bisa berjumpa di sini. Selamat datang Zainal. Inilah yang kita sebut Ciputat School. Ada beberapa yang baru datang juga. Salah satunya, Jamal D. Rahman, teman lama saya, penyair kita. Ada mahasiswa saya di Jurusan Falsafah Universitas Paramadina, Fatimah Zahrah. Ada juga Siswo, ketua Forum Mahasiswa Ciputat. Selamat datang semua di Ciputat School. Ada beberapa teman yang tak bisa hadir karena malam ini ada juga diskusi di Komunitas Utan Kayu.

Pendekatan kita biasanya membaca satu buku kemudian di-review. Diskusi ini sendiri akan direkam, ditranskrip dan diedit sehingga produk akhirnya

Page 5: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

5

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

bisa muncul di website Yayasan Abad Demokrasi. Yayasan Abad Demokrasi antara lain mengerjakan digitalisasi beberapa buku. Ini adalah bagian dari pekerjaan Anick dan lain-lain. Beberapa minggu terakhir sudah keluar beberapa buku dan banyak sekali respon positif terhadap penerbitan secara digital buku-buku kita.

Sekarang kita ke diskusi malam ini, dengan narasumber Zainal Abidin Bagir. Bagi teman-teman yang belum tahu, Zainal Abidin Bagir adalah direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), program pascasarjana di Universitas Gadjah Mada (UGM). Sejauh yang saya tahu selain itu ada juga Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK), tempatnya Rizal Panggabean, yang pernah jadi narasumber kita juga.

CRCS dikenal dengan laporan-laporannya tentang kebebasan beragama yang sudah keluar selama empat tahun terakhir. Saya dan teman-teman pernah membandingkan laporan CRCS dengan WI, Setara dan sebagainya. Saya impressed dan berharap laporan-laporan

Page 6: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

6

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

seperti itu akan terus berlangsung setiap tahun.

CRCS akhir-akhir ini agak “heboh” karena menjadi penyelenggara diskusi Irshad Manji yang dibatalkan rektornya. Saya tidak tahu apakah nanti Zainal akan cerita bagian itu di presentasinya. Saya ikut menjadi saksi bagaimana CRCS menjadi salah satu motor penggerak dunia intelektual dan aktivisme di Yogyakarta selain Interfidei dan sebagainya.

Selain laporan kebebasan beragama, sejak dua tahun terakhir CRCS menjadi organisator knowledge program di beberapa tempat di Indonesia untuk melakukan riset mengenai agama dan keragaman. Salah satu hasilnya adalah riset yang Husni dan Anick lakukan dengan saya mengenai kontroversi gereja di Jakarta. Itu termasuk yang pertama terbit dan tahun ini diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Inggris.

Selain hasil riset itu ada lagi riset mengenai keberagamaan di sekolah oleh teman-teman di LKiS. Hasilnya sudah terbit dan bisa diunduh gratis di website CRCS-UGM.

Page 7: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

7

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

Produk sampingannya yang lain adalah buku Pluralisme Kewargaan yang akan kita diskusikan malam ini. Ini adalah sisi konseptual yang dikembangkan teman-teman di CRCS. Tahun ini akan terbit juga hasil riset lain terkait dengan itu semua.

Jadi selain ada sayap pemantauan kebebasan beragama, ada juga sayap pendidikan kebebasan beragama. Husni nanti akan ikut summer programme CRCS selama dua minggu di Yogyakarta dan Bali. Ada juga sayap advokasi juga. Asyik, Zainal thank you for that. Mudah-mudahan kamu sehat terus. Itu sebabnya saya susah sekali mencari waktu untuk menghadirkan dia di sini.

Ini bukunya. Hanya tersedia 10 biji di Mizan jadi agak terbatas. Tapi Zainal sudah membuat paper. Yang belum punya silakan ambil di depan. Zaenal silakan bicara mengenai pluralisme kewargaan, nanti kita diskusikan.

Page 8: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

8

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

II.

PRESENTASI NARASUMBER

Zainal Abidin Bagir

Terima kasih. Saya langsung menyambung yang disampaikan Ihsan saja. Tapi pertama-tama terima kasih atas undangan ini. Saya lihat banyak tokoh di sini, dari aktivis sampai mantan aktivis.

Tadi ada beberapa buku yang disebut Ihsan. Satu lagi yang baru selesai hari ini dari Bali. Itu satu serial dengan buku Kontroversi Gereja di Jakarta, selain dari Yogyakarta, Banjarmasin. Semuanya serangkaian dengan buku Pluralisme Kewargaan. Itu salah satu upaya kita sejak 2008 untuk mencoba bicara dengan bahasa yang kita harap agak baru mengenai pluralisme.

Di paper saya mulai dengan menceritakan beberapa temuan. Pada 2008, saya dan Suhadi Cholil dari CRCS membuat riset literatur sederhana selama lima bulan untuk melihat seperti apa wacana pluralisme tampil di Indonesia sejak reformasi 1998 sampai 2008 atau 10

Page 9: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

9

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

tahun terakhir. Kita lihat majalah, koran, sebagian media online, juga bahan-bahan lain mengenai perkembangan public policy yang terkait dengan agama sejak 1998, serta polling atau survei-survei yang cukup marak sejak 1998. Dari beberapa bahan ini kita coba memotret seperti apa wacana mengenai pluralisme. Ringkasannya terbit dalam bahasa Inggris, The State of Pluralism in Indonesia 1998-2008. Laporan lengkapnya dalam bahasa Indonesia bisa diunduh di website.

Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak panjang. Beberapa hal yang kita temukan, dan saya kira bukan berita lagi tapi pada waktu itu sempat diperdebatkan, adalah misalnya hasil-hasil polling yang menunjukkan bahwa Muslim Indonesia sangat relijius. Relijius tentu ada definisinya macam-macam. Tapi yang menarik dan bisa orang perdebatkan adalah apa itu relijius.

Kalau memakai indikator-indikator yang biasa dipakai dalam polling di Indonesia dan di luar Indonesia juga, saya kira agak sulit membantah itu, baik polling LSI,

Page 10: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

10

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

PPIM, sampai Gallup Poll, dan juga Riaz Hassan. Dia (Hassan) sempat melakukan perbandingan tujuh negara Muslim. Gallup Poll yang ditulis John Esposito ringkasannya sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, judulnya, Saatnya Muslim Bicara! Semua Gambarannya konsisten: Indonesia dibanding banyak negara Muslim termasuk sangat relijius. Menurut indikator-indikator tertentu, Indonesia adalah salah satu yang paling relijius.

Yang menarik dan banyak orang tidak temukan penjelasannya yang memuaskan adalah komitmen pada demokrasi termasuk paling tinggi. Ini dibandingkan dengan misalnya, Malaysia, Mesir. Riaz Hassan membandingkan Indonesia, Malaysia, Mesir, Turki, Pakistan, Kazakstan, dan Irak kalau saya tak salah. Beberapa temuan itu muncul di situ.

Kemudian kalau dibandingkan beberapa negara lain, bukan hanya negara Muslim, Indonesia sebetulnya cukup toleran. Ada yang disebut “index of tolerance” yang instrumennya saya kira cukup established. Indeks toleransi Indonesia sebetulnya

Page 11: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

11

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

cukup dekat dengan beberapa negara maju yang tentangnya jarang kita dengar cerita yang “aneh-aneh” soal intoleransi, seperti negara-negara Eropa dan lain-lain.

Belakangan ini jadi perdebatan apakah kita toleran atau tidak dan sebagainya. Lalu ada temuannya CSIS. Temuan CSIS kalau dibandingkan survei-survei sebelumnya agak aneh, berbeda sekali. Banyak riset dengan metode dan sampling berbeda hasilnya cukup konsisten seperti yang saya sebutkan tadi. Tapi temuan CSIS agak beda. Saya tak tahu apakah itu artinya dalam 10 tahun sudah ada perubahan yang luar biasa. Saya ragu itu. Tapi yang kita temukan paling tidak pada waktu itu adalah demikian.

Jadi sebetulnya banyak sekali berita bagus setelah 1998. Dari segi kebijakan, bukan implementasinya, saya kira luar biasa progresif, tak bisa dibandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. HAM misalnya masuk ke UUD 1945, lalu ada UU HAM dan UU lain meski kemudian sekitar tahun 2005 dan 2006 mulai kelihatan ada tanda-tanda untuk “mengerem” progresivitas itu.

Page 12: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

12

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

Pada waktu judicial review UU penodaan agama, misalnya, kelihatan bagaimana Mahkamah Konstitusi tidak progresif sama sekali dalam hal itu. Itu ganjalan. UU penodaan agama kalau dari segi tren kebijakan saya kira bisa dilihat sebagai pengecualian karena tren besarnya sejak 1998 sangat progresif. Bahkan UU Administrasi dan Kependudukan yang masih dikritik banyak orang sebetulnya sudah luar biasa dalam hal pengakuan agama-agama yang non-resmi. Tentu tak sempurna, tapi ada kemajuan. Ada progres yang sangat jelas.

Saya pernah bicara dengan Pak Engkus dari Sunda Wiwitan. Dia mengakui juga sudah pasti tak sempurna, masih ada beberapa masalah, tapi masalah-masalah yang lama banyak yang sudah selesai. Masalah yang belum selesai misalnya pendidikan agama. Soal perkawinan tidak seragam tapi bisa diurus. Beberapa hari lalu saya bertemu dengan seseorang yang bercerita bahwa di e-ktp dia bisa menampilkan agamanya dengan “kepercayaan” padahal menurut aturan tak boleh. Anyway ada tren seperti itu.

Page 13: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

13

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

Hal lain yang juga terlihat dan yang cukup penting dari studi literatur kita adalah bahwa wacana mengenai pluralisme itu luar biasa. Saya kira kita bisa mengamati itu, bahkan mungkin setelah pada 2005 MUI mengeluarkan fatwa. Itu dahsyat, diskusi-diskusi teologis yang sangat dalam muncul di koran, di media online, dan lain-lain. Tapi mungkin justru dalam evaluasi kita, tren diskusinya memang sangat teologis. Ketika bicara mengenai pluralisme, arahnya memang sangat teologis.

Itu agak aneh kalau kita lihat literatur yang lebih luas dan lebih global. Ketika orang bicara pluralisme, hanya teolog yang membicarakan pluralisme agama secara teologis. Tapi istilah pluralisme sendiri dalam ilmu politik dan lain-lain itu dipakai untuk hal berbeda sama sekali. Tapi di sini yang kelihatan sangat menonjol adalah itu. Diskusi teologis itu efek polarisasinya luar biasa. Kalau perbedaan pendapat biasa, tapi kalau polarisasi seakan-akan sudah tak ada yang bisa berubah, punya jalan masing-masing tak pernah ketemu.

Page 14: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

14

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

Aspek yang tak banyak dilihat adalah pluralisme dalam artian yang lebih lazim, meski tak terlalu lazim di Indonesia, yaitu soal penghargaan keragaman, baik itu sebagaimana yang diterjemahkan ke dalam policy atau yang lebih konkrit. Soal bagaimana keragaman muncul di masyarakat dan bagaimana itu dikelola sebetulnya tak terlalu mempedulikan aspek teologisnya. Saya katakan tak terlalu peduli karena kalau mengakui pluralisme, teologi beda ya silakan beda. Justru di situlah sebetulnya kelebihan pluralisme, membiarkan orang berbeda. Ada yang teologinya konservatif, ada yang liberal, ada yang macam-macam, ada yang Sunni, Syiah, Ahmadiyah, ya sudah. Itu adalah bagian dari keragaman yang buat banyak sarjana justru itu tak diotak-atik.

Tapi itulah yang banyak dibahas di sini dan ada kesan juga yang saya kira perlu diproblematisasi, bahwa kalau mau punya masyarakat yang pluralis dalam arti menghargai keragaman dan lain-lain, teologinya harus pluralis juga. Hubungan sebab-akibat inilah yang saya kira tidak pernah ada justifikasinya yang cukup kuat. Apakah benar bahwa sebuah

Page 15: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

15

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

masyarakat yang pluralis itu harus dilandaskan pada teologi yang pluralis? Jangan-jangan tidak. Kalau betul seperti itu, di sini saya tulis, tuntutannya besar sekali. Kita bisa berharap seberapa banyak orang mengubah teologinya menjadi pluralis, mengakui misalnya bahwa semua agama benar? Bebannya besar. Selain itu, apakah itu perlu?

Kita muncul dengan ide pluralisme kewargaan, terjemahan dari civic pluralism. Harus diakui itu bukan konsep yang established. Banyak orang menggunakan istilah itu secara casual saja, tak terlalu didefinisikan secara ketat. Tapi ini cukup menarik karena seperti menampilkan bahasa baru. Sebetulnya yang kita rasakan penting pada waktu itu adalah bagaimana menemukan bahasa baru, bagaimana berbicara secara agak berbeda mengenai isu yang penting ini, yaitu pluralisme.

Salah satu penulis yang cukup kita kenal di sini, Bob Hefner, di luar tulisannya tentang Civil Islam, banyak sekali melakukan studi politik komparatif di berbagai negara. Salah satu yang penting di situ, meski dia tidak selalu

Page 16: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

16

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

menyebut dengan istilah itu, adalah civic pluralism. Yang eksplisit misalnya ketika dia menulis tentang penggunaan media oleh Laskar Jihad, dalam banyak hal Laskar Jihad bisa disebut bagian dari civil society. Paling tidak secara struktural, artinya posisinya di bawah negara dan di atas keluarga serta mempengaruhi masyarakat dan lain-lain. Tapi yang menarik itu adalah salah satu contoh civil society yang uncivil. Kemudian dia memproblematisasi istilah civil society. Kapan society menjadi civil dan kapan menjadi uncivil dan sebagainya. Salah satu ide yang penting adalah terkait civic pluralism. Saya belum bicara persisnya apa, tapi beberapa lontaran itu saja dulu.

Lalu satu arah lain yang juga memunculkan perbedaan civic pluralism adalah bahwa ini bisa dianggap semacam alternatif dari liberalisme politik model Rawls dan sebagainya. Ini adalah sebuah tawaran mengenai pluralisme yang tidak sepenuhnya liberal dalam artian penghargaan utama pada otonomi dan hak individu sebagai salah satu pusatnya yang dalam banyak literatur, kita bisa setuju atau tidak, diakui merupakan

Page 17: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

17

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

ide yang cukup Barat. Dalam banyak masyarakat yang nilai komunalnya sangat tinggi, apakah ide politik liberal semacam itu bisa diterima atau tidak?

Saya sebut contoh Bob Hefner lagi, dia punya artikel yang mungkin tak banyak dibaca di sini. Itu survei literatur dalam ilmu politik yang judulnya kurang lebih Multiple Modernities. Istilah itu bukan dia yang buat, melainkan Shmuel Eisenstadt, yang menunjukkan bahwa ada banyak bentuk modernitas. Artinya, modernitas tak harus liberal, misalnya. Lalu dia mati-matian menunjukkan bahwa ide mengenai civility, keadaban, demokrasi, dan sebagainya itu tidak Barat juga. Dia menulis tak lama setelah Huntington menulis mengenai Clash of Civilization yang betul-betul membagi ini Barat dan ini yang lain. Yang lain tak bisa menjadi Barat, kurang lebih begitu. Demokrasi adalah Barat.

Bob Hefner juga punya satu buku yang saya kira juga tak populer tapi sangat menarik, judulnya Democratic Civility: The History and Cross-Cultural Possibility of a Modern Political Ideal. Buku ini berisi kumpulan tulisan yang menunjukkan

Page 18: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

18

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

bagaimana ide demokrasi dan keadaban ada di banyak negara yang sekali lagi tak selalu liberal.

Saya sebut Bob Hefner karena kita kenal dia. Tapi ada juga pemikir lain, Diana Eck, misalnya, yang juga memakai istilah civic pluralism. Dia membedakan itu dari theological pluralism. Meski demikian, civic pluralism-nya Eck agak berbeda dengan ide Bob Hefner tadi karena kembali meletakkan hal-hal teologis di ruang privat. Artinya, diversity dimasukkan ke ruang privat. Ruang publik tidak ada diversity. Di ruang publik kita bicara dengan satu bahasa yang sama.

Kurang lebih itulah idenya Rawls ketika dia bicara mengenai public reason. Di ruang publik kita bicara dengan satu bahasa yaitu nalar publik. Saya tak ganggu gugat Anda punya agama dan lain-lain, itu masuk ke ruang privat. Kalau Anda mau masuk ke ruang publik membawa ide-ide agama Anda oke tapi kurang lebih terjemahkan itu ke dalam nalar publik.

Diana Eck saya kira masih seperti itu. Persoalannya dengan itu adalah ternyata

Page 19: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

19

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

ruang publik dengan teologi dan agama yang beragam itu efektif juga. Dan fakta itu ada di mana-mana. Ide bahwa agama bisa masuk ke ruang privat saya kira merupakan ide atau aspirasi yang mungkin ada kenyataannya di beberapa negara. Tapi kalau kita lihat, misalnya, studi Peter Berger tentang secularization of the world, itu pengecualian. Dulu orang berpikir arah utama sejarah seperti itu; semua menjadi sekular, sementara yang beragam masuk ke ruang privat dan makin lama makin termarjinalkan. Tapi ternyata di buku itu Peter Berger menunjukkan bahwa hal itu sebetulnya hanya terjadi di beberapa tempat. Itu pengecualian, bukan aturan umumnya.

Ide seperti ini saya kira menarik jika dipakai untuk melihat atau menjelaskan fakta, misalnya, temuan beberapa polling tadi bahwa Muslim Indonesia sangat relijius tapi komitmennya pada demokrasi sangat tinggi. Komitmennya pada syariah termasuk tinggi juga. Bahkan ketika syariah sudah didefinisikan lebih spesifik, komitmennya masih tinggi. Ide itu menarik dan lebih cocok untuk menjelaskan situasi kita.

Page 20: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

20

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

Jadi sebetulnya apa yang digagas pluralisme kewargaan itu? Di sini saya memberi beberapa ciri. Di antaranya pertama, pluralisme kewargaan lebih berminat pada keragaman atau perbedaan ketimbang mencari persamaan. Kalau orang bicara pluralisme teologis itu kan tujuannya mencari kesamaan. Contohnya seperti Firhtjof Schuon atau Budhy Munawar-Rachman yang melihat bahwa agama berbeda-beda tapi menuju ke satu titik konvergensi. Atau yang menggambarkan bahwa kebenaran itu seperti gunung, orang mendaki dari mana-mana tapi sampai di satu puncak yang sama. Yang dicari sebetulnya itu karena ada anggapan bahwa kalau kita mau damai, perlu ada common ground.

Pertanyaannya, sejauh mana common ground itu diperlukan dan sejauh mana upaya mencari common ground itu justru menghilangkan perbedaan? Padahal kita kan ceritanya mau menghargai perbedaan tapi kenapa kok kemudian justru direduksi? Pluralisme kewargaan sampai tingkat tertentu sebetulnya tak terlalu peduli dengan upaya

Page 21: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

21

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

mencari kesamaan itu tapi berangkat dari pengakuan bahwa memang ada perbedaan dan kita terima saja. Bahwa saya mau berdakwah untuk mengubah orang Kristen menjadi orang Islam atau apa ya terserah. Tapi fakta bahwa ada Islam, Kristen, Ahmadiyah, NU, Syiah dan lain-lain adalah fakta yang tak bisa kita tolak.

Lebih jauh dari itu, dan ini bisa kita perdebatkan kalau mau ambil isu yang agak eksplosif, misalnya pandangan mengenai homoseksualitas. Ada orang yang setuju dan tidak setuju. Apakah semua orang harus menyetujui homoseksualitas agar masyarakat damai dan memberikan respect terhadap homoseks dan sebagainya? Misalnya seperti itu. Sejauh mana common ground itu diperlukan? Kalau itu diperlukan, sejauh mana kita mau mereduksi perbedaan itu? Apakah harus melakukan itu?

Ini tidak hanya bicara soal agama, tapi kalau bicara mengenai agama, kita tidak bicara mengenai klaim normatif agama, melainkan bagaimana agama efektif

Page 22: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

22

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

di ruang publik? Itu lebih pada agama sebagai identitas. Kalau saya bicara agama sebagai identitas saya seringkali dikritik bahwa agama bukan hanya identitas. Kalau agama sebagai identitas itu seakan-akan merendahkan karena agama itu din dan sebagainya. Tapi ini kan cara pandang saja. Kalau kita lihat agama di ruang publik, efektifitasnya adalah sebagai identitas, sebagai dasar untuk membuat klaim dan sebagainya. Salah satu titik berangkat yang lain adalah pengakuan bahwa ada kebangkitan agama di ruang publik yang tidak bisa kita abaikan. Bahwa agama hadir di ruang publik itu diterima. Itulah kenyataan kita. Persoalannya kalau sudah seperti itu, bagaimana kita mengelola itu?

Konteks paling penting untuk membicarakan masalah ini, yang mau tak mau harus diterima juga, adalah bahwa kita ini negara bangsa yang demokratis atau setidanya punya aspirasi ke arah sana. Salah satu prinsip utamanya adalah kewarganegaraan yang setara yang mau tak mau harus diterima juga. Dalam konteks ini dengan segala macam fakta yang saya sebut tadi, lokus pluralisme itu ya ruang publik di mana ada keragaman

Page 23: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

23

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

dan ada ketegangan antara pengakuan atas keragaman dan kesetaraan. Di satu sisi, kalau kita mengakui keragaman, berarti kita mengakui juga klaim yang berbeda, misalnya sebagian orang Islam menuntut syariah. Kalau kamu menghargai perbedaan, berarti akui bahwa saya berbeda dan saya punya kebutuhan berbeda, misalnya seperti itu. Tuntutan akomodasi itu ada. Tapi di sisi lain ada juga tuntutan untuk memperlakukan setiap warga negara secara setara. Ketegangan itulah yang mau diselesaikan dengan tetap mencoba mempertahankan keduanya. Jadi pasti sulit.

Salah satu isu yang muncul ketika kita mau mengelola perbedaan itu adalah prinsip-prinsip utamanya apa? Salah satu prinsip yang sering diajukan dan paling jelas misalnya adalah HAM. Kalau betul itu universal dan diakui, bahkan di Indonesia sudah masuk undang-undang sehingga menjadi konsep legal yang jelas, itu jadi satu cara. Artinya kita berikan hak kepada setiap orang. Negara punya kewajiban mengakui, menghargai, memenuhi dan melindungi. “Memenuhi” itu menjadi hak saya. Tapi

Page 24: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

24

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

apakah bisa HAM menyelesaikan semua itu?

Dalam debat multikulturalisme, yang saya singgung juga di bab kedua buku ini, sebagian pemikir multikulturalisme ragu terhadap HAM. Bukan meragukan apakah HAM itu baik atau tidak tapi itu terlalu tipis, tak cukup. Itu persyaratan minimal saja. Kita ini yang minimal saja belum dapat. Kalau kita bicara lebih jauh soal akomodasi dan lain-lain itu tak cukup. Kita harus bicara lebih dalam lagi.

Yang saya maksud tipis, dengan menggunakan standar yang sama, HAM, masih ada kemungkinan muncul berbagai persoalan yang tidak bisa diatasi oleh HAM. Contoh terbaik terkait persoalan akomodasi, misalnya, adalah bab ketiga soal perempuan. Kasusnya bukan Indonesia melainkan di India tapi bisa kita tarik dengan mudah contoh-contohnya. Kasus terkenal adalah Shah Bano. Dia mau keluar dari komunitasnya, lalu ditahan, dibawa ke pengadilan. Kata pengadilan, oke saya kasih hak kamu, tapi kemudian dia merasa seperti terisolasi dari komunitasnya dan akhirnya

Page 25: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

25

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

memilih untuk tidak mengambil hak itu. Dia kembali ke komunitasnya dengan mengorbankan itu. Saya agak lupa persisnya tapi itu kasus perceraian. Ada soal apakah suaminya harus menjamin dia sampai berapa lama dan sebagainya. Kalau dia mau terima keputusan pengadilan dia bisa dapat haknya. Tapi itu tak menyelesaikan masalah dia. Akhirnya dia memilih untuk tak mengambilnya karena menurut dia lebih penting dia menjadi bagian dari komunitas itu.

Kasus-kasus semacam itu cukup banyak. Ada bukunya Ram Chandra yang menunjukkan kasus-kasus semacam itu di India di mana pendekatan HAM tak selalu menyelesaikan masalah. Sekali lagi saya tak mengatakan bahwa kita lupakan saja pendekatan HAM. Yang saya ingin katakan adalah bahwa itu sifatnya minimal, tak cukup menyelesaikan semua masalah.

Bhikhu Parekh yang sering bicara soal multikulturalisme misalnya mengatakan bagaimana kalau kita menggunakan HAM, atau sekedar menggunakan the principle of no harm, tapi apa itu

Page 26: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

26

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

harm? Harm bisa didefinisikan secara berbeda di kultur berbeda. Akhirnya yang universal ini tak ketemu. Buat dia pada akhirnya ya dialog, mekanismenya dialog. Dialog memang merupakan mekanisme yang sulit, tak jelas hasilnya apakah memuaskan atau tidak tapi mungkin itu yang terbaik.

Bhikhu Parekh banyak memberikan contoh di Inggris, seperti debat mengenai poligami dan sunat perempuan. Bagaimana kamu mau melakukan poligami di Inggris? Tapi kalau Inggris mau multikultural betul, misalnya, dan ada sebuah kultur atau agama yang mengakui praktik ini oke atau bahkan baik, mau bagaimana? Bukankah kalau mau pluralis dan multikulturalis Anda harus menghargai kultur yang berbeda? Kesulitannya di situ.

Lalu dia kasih contoh, bagaimana dialog bisa berjalan. Ya sudah, dengan menggunakan segala macam argumen, tak harus dibatasi pada apa yang disebut Rawls sebagai nalar publik tapi gunakanlah apa adanya. Pakailah semua identitasmu, ngomong saja

Page 27: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

27

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

toh lama-lama orang nanti mengerti juga. Tak berarti pasti diterima, tapi ada kepercayaan yang tinggi pada komunikasi. Orang bolak-balik ngomong dan berdialog dengan sabar lalu mengerti. Kalaupun sudah mengerti tapi masih tetap ditolak ya sudah. Tapi ada proses itu.

Saya akan akhiri segera. Tapi sebelum itu ada satu hal lain yang penting dan coba diidentifikasi di sini juga. Kalau kita bicara pluralisme kewargaan, ada dua wilayah utama di sana. Yang pertama adalah negara, yang kedua adalah apa yang disebut di sini sebagai budaya kewargaan. Kalau kita bicara HAM, arahnya kan lebih banyak ke negara yang punya kewajiban. Tapi kita lihat juga bahwa kalau pun HAM terlaksana, dan di sini jelas masih tidak, perlu ada dukungan kultural yang kuat juga. Tanpa itu sulit.

An-Naim sering bicara soal “indigenousasi” human rights, bagaimana human rights menjadi bukan seperti barang luar tapi tumbuh dari dalam. Itu merupakan salah satu fungsi budaya kewargaan. Tapi ada fungsi lain

Page 28: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

28

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

yaitu dialog-dialog tadi yang dilakukan di masyarakat di mana di situ negara bisa jadi tak harus campur tangan. Tentu negara bisa punya suara tapi itu dialog dari dalam untuk mencapai konsensus dan sebagainya yang bisa jadi tidak mengikuti HAM.

Ketika terbit buku Kontroversi Gereja di Jakarta itu kita pernah berdebat dan berdiskusi di Paramadina dengan Firliana dan lain-lain. Kadang-kadang kalau kita bicara soal upaya mencari konsensus di luar wilayah hukum, jadinya seperti viktimisasi korban. Menurut HAM itu jelas keliru. Ada cerita tentang seorang pendeta yang memberi nugget dan akhirnya bisa berkomunikasi dengan baik. Padahal dia tak perlu memberi nugget, itu hak dia kok. Tapi soalnya kan bukan cuma kita mau membela hak. Kita juga ingin masalah selesai. Kalau kita lihat cerita-cerita lain di buku Kontroversi Gereja itu, banyak sekali atau bahkan tidak ada satu pun gereja yang selesai melalui jalur hukum. Itu mungkin bisa kita lihat sebagai cerminan negara kita yang tidak beres dalam soal hukum, tapi saya kira itu pelajaran penting juga

Page 29: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

29

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

bahwa bisa jadi hukum tak bisa selalu diandalkan.

Saya tak tahu apakah di sini ada orang hukum atau tidak tapi saya sempat diskusi juga dengan beberapa teman dari LBH soal ini, beberapa waktu lalu dengan Asfin dan terakhir dengan Haris Azhar dari KontraS. Mereka makin sadar juga akan pentingnya memunculkan pendekatan non-hukum untuk menyelesaikan masalah. Orang suka bilang bahwa fungsi hukum itu untuk mengubah masyarakat atau cerminan masyarakat. Fungsi itu tak selalu berjalan sempurna.

Jadi ada dua hal itu. Ada tugas pemerintah untuk memastikan bahwa ruang publik terjaga. Saya kira itu tugas minimal. Ruang publik itu adalah lokus di mana pluralisme dan keragaman ada. Kalau itu tak bisa dijaga, ya habis. Saya kira itulah satu-satunya, kalau kita mau kritik pemerintah kita, itu yang paling berat, yaitu tak bisa menjaga ruang publik tetap aman. Mungkin itu kesalahan yang paling besar. Bagaimana mau menyelesaikan masalah Ahmadiyah, misalnya, kalau tidak ada ruang publik yang aman di

Page 30: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

30

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

mana orang bisa diskusi dan debat?

Dulu tahun 2007-2008 ada upaya dialog soal Ahmadiyah yang kemudian keluar 12 pernyataan. Awalnya itu dialog serial. Itu tak terlalu buruk menurut saya. Saya kira itu satu cara yang penting dan perlu lebih sering dicoba. Tapi kelemahan pada waktu itu adalah sambil orang dialog, di luar orang Ahmadiyah yang disiksa dan diancam didiamkan. Sehingga trust orang kepada proses dialog ini menjadi hilang.

Kesalahan yang lebih fatal, kalau kita lihat peristiwa mulai Januari 2008 sampai peristiwa Monas, yang paling keras itu sebetulnya bukan Kemenag melainkan Bakorpakem. Setelah keluar 12 butir pernyataan itu Kemenag menurunkan peneliti ke seluruh Indonesia dengan cara penelitian yang bisa dipertanyakan tentunya. Tapi kurang lebih mereka mengecek setiap butir pernyataan apakah benar atau tidak. Itu saya lihat laporannya. Sangat menarik. Sebagian ada yang pakai sms. Kalau kita lihat laporan itu, tak ada alasan untuk melarang atau membatasi Ahmadiyah,

Page 31: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

31

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

dan ini laporan resmi Kemenag. Saya kira mungkin tak banyak orang baca atau tahu.

Ketika tahun lalu saya diminta presentasi di Kemenag sehabis peristiwa Cikeusik, saya pakai hasil penelitiannya Kemenag. Saya tabelkan rapi, di setiap provinsi bagaimana. Di situ kelihatan sebetulnya tidak cukup alasan untuk keluar SKB. Tapi ketika hasil pemantauan itu dikirim ke Bakorpakem, terus dia bikin surat, saya lihat juga suratnya, berdasarkan hasil pemantauan ini Bakorpakem mengatakan bahwa sudah jelas bahwa Ahmadiyah menyimpang dan lain-lain dan patut dilarang. Bunyinya jelas begitu kata Bakorpakem. Itu sekitar sebulan sebelum peristiwa Monas. Saya ambil ilustrasi di atas untuk menunjukkan seperti apa sebetulnya dialog bisa dilakukan. Sekali lagi itu tidak sempurna, konteksnya juga tidak mendukung, tapi sebetulnya kalau mau bisa dilakukan.

Oke, terakhir judul saya di sini untuk apa pluralisme kewargaan? Lalu untuk apa mengangkat ide semacam ini? Ada dua hal tentang bagaimana menggunakan

Page 32: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

32

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

ini. Pertama bisa dipakai sebagai kerangka advokasi, kedua bisa dipakai sebagai kerangka riset. Keinginan kita yang sebagian terpenuhi dan sebagian tidak seperti misalnya adalah laporan tahunan yang ingin menggunakan ini sebagai kerangka riset. Pertanyaan-pertanyaannya misalnya mengarah pada soal yang paling penting soal ruang publik, bagaimana itu dijaga dan sebagainya. Ihsan selalu keliru menyebut laporan kita laporan kebebasan beragama.

Sebelum itu terbit kita mengundang Ihsan, Samsu Rizal dan lain-lain. Sejak awal kita sepakat tak menyebut ini laporan kebebasan beragama karena kita ingin masuk ke wilayah yang lebih luas, misalnya wilayah budaya kewargaan, melihat bagaimana konsensus di luar hukum dicapai. Itu jauh lebih sulit ketimbang laporan kebebasan beragama yang indikatornya jauh lebih jelas. Di mana-mana orang sudah pakai itu sementara ini belum ada. Saya bisa katakan bahwa setelah tiga tahun mungkin kita baru agak lebih jelas arahnya ke mana, bagaimana menggunakan ini untuk analisis dan

Page 33: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

33

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

sebagainya.

Sebetulnya kalau mau melakukan itu, penelitiannya memang harus kualitatif, agak mendalam, karena kita mau melihat bagaimana masyarakat melakukan konsensus dan sebagainya seperti di buku Kontroversi Gereja. Kalau yang di Banjarmasin itu kita melihat misalnya bagaimana isu agama dan etnisitas bertemu di satu tempat di Loksado. Bagaimana orang menegosiasikan identitas etnis dan keagamaan, melihat praktik-praktik pluralisme. Karena itu, judulnya di sini monograf praktik pluralisme. Kita melihat praktiknya bagaimana dari segi policing-nya dan juga segi lain pada tingkat masyarakat seperti apa.

Kalau sebagai kerangka advokasi, saya sudah singgung tadi, yang diperjuangkan bukan hanya penegakan hukum, HAM dan lain-lain tapi juga memberdayakan masyarakat agar memliki kemampuan sivik. Ada istilah civic competence, kompetensi sivik, kompetensi sebagai waganegara, bagaimana warganegara menyelesaikan masalah dan sebagainya.

Page 34: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

34

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

Itu saya kira satu hal yang penting juga.

Terakhir saya mengajukan pertanyaan. Tadi saya katakan salah satu ciri pluralisme kewargaan adalah tidak mau terlalu teologis. Tapi sejauh mana teologi itu bisa dihindari? Atau kalau pun betul tidak perlu full-pledged theology menjadi dasar pluralisme, apakah setidanya ada teologi minimal atau seluruh teologi apa pun bisa kita terima? Saya tadi ambil contoh bukan hanya bagaimana orang memandang agama lain tapi juga bagaimana misalnya orang memandang isu homoseksualitas. Ada orang yang menganggap homoseks itu bejat moralnya, masuk neraka dan sebagainya. Apakah anggapan-anggapan seperti itu boleh diterima dan tetap bisa menjadi dasar untuk pluralisme dan menghargai orang atau tidak? Sampai sejauh mana sebetulnya itu diperlukan? Inginnya tuntutan itu tak terlalu besar supaya tak memberikan beban terlalu besar. Kalau bebannya terlalu besar kita repot, akan sulit untuk punya masyarakat yang pluralis. Kalau kita mau mengubah teologi, itu bisa. Tapi itu akan lama sekali, tidak realistis lagipula kok usil-usil amat

Page 35: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

35

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

sampai masuk sejauh itu.

Yang kedua, dan ini salah satu kelemahan yang masih ada di sini, adalah bahwa kita tak bisa bicara masalah pluralisme seperti rekognisi dan representasi tanpa bicara mengenai redistribusi, soal keadilan, soal ekonomi. Orang sering ngomong bagaimana menghubungkan hak-hak sipil politik dengan hak-hak ekosob? Banyak orang sudah membicarakan itu. Di sini juga disebut. Itu juga kritik terhadap multikulturalisme. Pembicaraan mengenai multikulturalisme, soal rekognisi dan sebagainya, seringkali mengalihkan orang dari isu yang sesungguhnya yaitu redistribusi, misalnya. Bagaimana mengaitkan kedua hal itu. hal-hal seperti itu muncul tapi terus terang belum banyak tergali. Baik saya berhenti di sini.

Page 36: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

36

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

III.

SESSI TANYA JAWAB DAN KOMENTAR

Ihsan Ali Fauzi

Saya kira kita memperoleh banyak wawasan. Saya pernah bikin paper buat Zainal sekitar empat bulan yang lalu. Beberapa hal yang saya kemukakan di situ, misalnya adalah bahwa salah satu aspek dari modal kita untuk melakukan advokasi kebebasan beragama adalah bahwa ada wawasan-wawasan baru yang membuat kita lebih kaya dan lebih memungkinkan advokasi kita. Salah satu wawasan itu adalah civic pluralism.

Selain itu ada wawasan-wawasan lain. Kalau boleh saya tambahkan misalnya Veit Bader itu tak bicara civic pluralism atau sekularisasi, dia bilang sudah demokrasi saja, selesai. Bukan sekularisasi karena salah satu masalah yang akan diatasi oleh demokrasi adalah sekularisasi atau sekularisme. Orang tak perlu menjadi sekular untuk bisa berdamai dengan

Page 37: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

37

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

paham-paham berbeda di dalam satu payung yang namanya demokrasi. Alfred Stepan juga mengajukan satu wawasan lain, namanya twin-tower toleration yang tentangnya pernah saya tulis beberapa kali.

Nah, wawasan lainnya, salah satunya adalah civic pluralism. Saya tak tahu apakah Zainal lebih banyak dipengaruhi Bob Hefner atau Diana Eck, atau dia sendiri dan teman-temannya. Ini adalah salah satu model dan tadi Zainal sudah memperlihatkan konsekuensinya. Antara lain kalau kita mau memakai wawasan ini dalam rangka advokasi, misalnya, kita akan berpikir berkali-kali untuk mengajukan pendekatan legal. Kita akan menggunakan pendekatan yang lebih dialogis. Dalam istilah IR-nya itu disebut alternative dispute resolution. Jadi tak usah mengundang advokat, undang kiyai saja kita musyawarah. Jalur hukum membuat orang harus berada dalam situasi lawan satu sama lain. Dalam kosakata hukum, orang harus A atau B, tak dimungkinkan untuk bermain futsal bersama-sama. Kita lebih baik main futsal ketimbang memakai pendekatan

Page 38: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

38

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

hukum. Salah satu implikasi untuk advokasi seperti itu.

Bentuk lain dalam rangka riset seperti yang Zainal katakan adalah lebih banyak studi mendalam daripada sekedar mencatat pelanggaran HAM. Karena pelanggaran HAM lagi-lagi lebih pada aspek hukumnya ketimbang mencari solusinya bagaimana. Riset gereja kita kemarin mengakui memang ada masalah tapi bagaimana masalah dipecahkan juga penting untuk kita lihat.

Ini menarik. Saya ingin memberi beberapa komentar tapi nanti saja. Silakan Zuhairi.

Zuhairi Misrawi

Soal pendasaran teologis, itu perlu dan Cak Nur relevan berbicara itu karena memang, seperti disebutkan tadi dalam pengantar, di masyarakat Indonesia, agama menjadi faktor determinan. Pengalaman sejak di P3M dan MMS, saya tak bisa menjelaskan pluralisme tanpa menggunakan kitab kuning. Isu-isu yang lain seperti hak asasi manusia dan demokrasi pun harus kita “terjemahkan”.

Page 39: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

39

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

Ada fikih demokrasi, toleransi kita pakai fikih tasamuh dan sebagainya. Pendasaran teologis itu menjadi penting karena konteks sosial masyarakat kita adalah masyarakat teologis.

Yang kedua, pendasaran teologis itu penting karena ada serangan kelompok anti-pluralisme dengan menggunakan teologi yang sama. Saya misalnya beberapa kali berdebat dengan Anis Malik, lulusan Pakistan, dan mereka selalu menggunakan pendekatan teologis untuk menolak pluralisme.

Zainal Abidin Bagir

Kalau saya boleh potong sedikit, tadi pertanyaan saya, pluralisme apa? Pluralisme teologis?

Zuhairi Misrawi

Pluralisme kewargaan. Untuk menjelaskan pluralisme kewargaan itu sebenarnya pendasaran teologis masih diperlukan karena semua umat tak seperti Trisno.

Page 40: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

40

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

Ihsan Ali Fauzi

Mungkin perlu kita pertajam langsung. Yang kamu maksud mungkin adalah menggunakan bahasa mereka dengan ayat dan tradisi Islam?

Zuhairi Islam

Betul

Ihsan Ali Fauzi

Itu tak selamanya pendekatannya teologis kan?

Anick HT

Tapi kan ada konsekuensinya, yaitu yang teologis masuk ke ruang publik untuk menjelaskan pluralisme.

Zuhairi Misrawi

Kita paham bahwa pluralisme kewargaan murni sekular dalam konteks negara bangsa, soal konsep kewargaan yang setara, soal ruang publik dan sebagainya. Apakah pendasaran teologis penting? Menurut saya masih relevan karena dari pengalaman saya, tanpa pendasaran

Page 41: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

41

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

teologis sulit sekali untuk menjelaskan betapa pentingnya pluralisme atau Bhineka Tunggal Ika.

Yang kedua, soal istilah pluralisme. Fatwa MUI tahun 2005 bahwa pluralisme, liberalisme dan sekularisme haram itu mempunyai dampak. Dalam banyak perdebatan dengan para kiyai dan aktivis seperti Adian Husaini, kita sampai pada kesimpulan oke konsep itu tak apa-apa tapi jangan pakai istilah pluralisme. Jadi istilah pluralisme itu sendiri bagi mereka termasuk crime.

Kalau kita mau coba cari istilah lain dari pluralisme, mungkin perlu ada semacam ijtihad linguistik kreatif untuk tidak menggunakan istilah itu. Karena bagaimana pun setelah dijelaskan, kata mereka tidak apa-apa. Kata Anis Malik, oke kalau begitu cari istilah baru pokoknya jangan pluralisme. Mereka khawatir pluralisme itu identik dengan John Hick, menyamakan semua agama.

Yang ketiga dan terakhir, saya lihat menurut monitoring kami, sebab dari masalah pelanggaran terhadap pluralisme di Indonesia itu secara hukum

Page 42: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

42

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

ada di PNPS. PNPS itu adalah sumber masalah dan banyak sekali korbannya. Syiah menjadi korban penodaan agama. Kelompok-kelompok minoritas lain juga jadi korban peenodaan agama. Menurut saya PNPS tidak bisa dibiarkan. Harus ada suatu terobosan. Kalau PNPS tidak bisa dipecahkan maka pluralisme kewargaan akan menjadi hancur dan kita tak punya harapan di masa yang akan datang.

Fatimah Zahrah

Saya berusaha menggunakan logika berpikir civic pluralism ini. Civic pluralism berusaha mendorong sebuah peran budaya atau masyarakat, tidak hanya state, untuk membangun pluralisme. Dengan logika berpikir ini maka agama tidak bisa diprivatkan sedemikian rupa tetapi dipersilakan di ruang publik. Masalahnya, seperti kasus Irshad Manji, secara doktrin mereka menganggap homoseksualitas tidak boleh. Ada doktrin lain seperti amar ma’ruf nahi munkar, mencegah kemunkaran dengan tangan dan lain-lain.

Yang seperti itu bagaimana kalau kita tak kembali ke aspek hukum? Itu sebabnya

Page 43: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

43

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

orang-orang HAM menonjolkan aspek negara dan hukum karena ketika ingin menyentuh ke situ, itu adalah pekerjaan berat. Tapi menurut logika berpikir civic pluralism yang saya pahami di sini, dia ingin menyentuh budaya itu. Ini terasa agak ambigu bagi saya.

Anick HT

Pertama, lontaran Zuhairi sebenarnya adalah wilayah diskusi yang berbeda. Bukan soal pluralisme teologis atau pluralisme kewargaan tetapi penggunaan teologi sebagai alat. Menurut saya, kita sama sekali tak bisa menghindari pluralisme teologis. Ketika Hasyim Muzadi bicara bahwa yang boleh itu pluralisme sosiologis, pluralisme teologis jangan, yang seperti itu sama sekali tak bisa karena watak agama, baik Islam, Kristen dan sebagainya, tidak bisa diprivatisasi sedemikian rupa, tidak bisa dikungkung. Mereka juga punya misi publik, masuk ke ruang publik, berkontestasi dan mengatur sesuatu di ruang publik itu. Jadi saya kira agak berat.

Page 44: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

44

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

Ihsan Ali Fauzi

Jadi asumsinya orang akan toleran kalau teologinya pluralis.

Zuhairi Misrawi

Bukan, itu menjadi realitas diskursif sehingga kita tak bisa meninggalkan itu.

Anick HT

Dalam hal tertentu masuk ke sana, bahwa orang harus berteologi pluralis. Tetapi definisi pluralismenya bukan berarti mengakui bahwa homoseksualitas itu tidak berdosa. Tidak sampai ke situ. Teologi pluralis adalah mengakui bahwa ada orang yang orientasinya homoseksual dan dia diakui keberadaannya. Kebebasan kita berteologi bahwa homoseksualitas adalah haram itu juga berbarengan dengan sikap kita bahwa ada orang yang berpandangan berbeda tentang homoseksual.

Soal menyebarluaskan gagasan itu soal pengaturan publik, wilayah negara. Perdebatan panjang tentang

Page 45: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

45

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

proseliterasi itu masuk ke wilayah sana. Apakah orang boleh berdakwah atau tidak, itu panjang sekali perdebatannya. Lalu Orde Baru bilang bahwa orang hanya boleh berdakwah ke orang yang belum beragama. Ini kan lucu juga. Harusnya boleh. Itu ruang kontestasi. Tapi diatur karena ini sudah masuk ke ranah publik.

Kedua, tadi Mas Zainal bilang ruang publik harus merumuskan semacam public reason. Kalimatun sawa yang dimaksud dalam pluralisme sivik itu adalah public reason ini. Padahal itu juga dilematis. Kenapa kita harus merumuskan public reason yang sama kalau kita menghormati keragaman orang mendefinisikan public reason ini juga. Saya agak berbeda misalnya dengan teman-teman di AKKBB soal RUU produk halal. RUU produk halal itu harus diposisikan sebagai kewajiban negara untuk melakukan perlindungan (to protect). Karena itu saya mendukung RUU produk halal dikelola oleh negara. Tapi teman-teman menolak itu, alasannya bias agama. Menurut saya, masyarakat harus dilindungi. Salah satu upaya untuk melindungi masyarakat adalah menjamin bahwa mereka mengkonsumsi produk

Page 46: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

46

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

yang menurut mereka aman.

Terjadi perdebatan soal hukum adat misalnya. Bagaimana memposisikan hukum adat dalam konteks negara, HAM dan sebagainya? Apakah hukum adat yang bagi sebagian orang uncivil itu dibiarkan atas dasar penghormatan kepada adat atau komunitas tertentu? Saya agak khawatir pluralisme sivik masuk ke wilayah itu. Apa yang dimaksud dengan demokrasi deliberatif dan sebagainya terjerumus lagi ke wilayah itu sehingga apa yang kita asumsikan sebagai civility mundur lagi karena terlalu akomodasionis terhadap sesuatu yang seperti itu.

Zaenal Abidin Bagir

Pertama tadi soal pendasaran teologis. Perlu saya tekankan bahwa, pertama, ide pluralisme kewargaan ini bukan alternatif dari pluralisme teologis. Artinya, kalau orang mau mendakwahkan pluralismenya Cak Nur atau Frithjof Schuon dan sebagainya oke, itu membantu. Tapi jangan sampai dipikir bahwa itu harus dilakukan supaya kita menjadi pluralis. Itu yang menurut

Page 47: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

47

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

saya memberi beban terlalu besar.

Soal kalau lawan kita pakai argumen teologis lalu kita harus pakai argumen teologis juga, pertanyaan saya, itu argumen teologis untuk apa? Kalau untuk menyadarkan orang bahwa setiap warganegara setara itu memang diperlukan argumen teologis, oke. Tapi maksud saya, bukan pluralisme teologisnya yang dibela. Bahwa menggunakan argumen teologis untuk itu, itu masih oke. Tapi ide yang perlu diajukan bukan ide yang reduktif dan mencari kesamaan tadi, melainkan misalnya soal bahwa warganegara itu setara dan sebagainya. Anda mau mendukung itu dengan mencari pembenaran dari Qur’an dan sebagainya seperti ketika An-Naim menyarankan agar mendasarkan HAM pada ajaran Islam, saya kira itu penting. Tapi itu adalah tugas internal setiap komunitas agama. Orang Kristen juga mungkin mencoba menanamkan itu. Orang Islam mencoba mendakwahkan itu, oke. Bahkan mau lebih jauh dari itu pun oke.

Satu hal, ini mengomentari Fatimah dan Anick juga, soal Hasyim Muzadi. Saya

Page 48: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

48

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

pernah diwawancara sehabis diskusi buku ini. Saya ditanya, berarti pluralisme kewargaan ini sama dengan Hasyim Muzadi? Saya bilang tidak. Perbedaan utamanya adalah Hasyim Muzadi tetap berbicara pada level individu, pluralis itu adalah individu yang pluralis. Di sini kita bicara pada level tata pengaturan masyarakat, pada politik, pada cara organisasi pengelolaan keragaman dan sebagainya, tidak bicara mengenai sikap individu. Sikap individu tidak terlalu relevan. Itu bisa membantu. Kalau kita bicara teologi itu sudah pasti individu. Teologi tak bisa komunal. Pada akhirnya itu adalah individu.

Zuhairi Misrawi

Bisa kalau menyangkut satu paham kelompok. Wahabi, misalnya, jadi komunal.

Ihsan Ali Fauzi

Tapi ketika Wahabisme diterima atau ditolak Gaus, itu urusan Gaus. Maksudnya seperti itu.

Page 49: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

49

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

Zainal Abidin Bagir

Ya. Saya kasarnya, meskipun tak sejauh itu, tak mau mengurusi sikap individual kamu seperti apa, terserah. Saya tidak bicara soal yang individual. Saya bicara kalau mau sebuah masyarakat yang demokratis dan civic pluralist, apa yang harus dilakukan? Untuk itu tak perlu berargumen mengubah teologinya dan sebagainya. Jadi level pembicaraannya sama sekali tidak berada pada level individual dan saya kira itu yang membedakan pluralisme sivik dengan Hasyim Muzadi yang bicara bahwa pluralisme sosiologis oke dan pluralisme teologis tidak oke. Dia tetap bicara soal individu.

Ihsan Ali Fauzi

Yang dia maksud pluralisme sosiologis oke itu apa sih?

Zainal Abidin Bagir

Maksudnya ya kita baik-baik lah sama orang Kristen, jangan menyerang. Kalau pluralisme teologis kan mengakui bahwa orang Kristen itu nanti selamat

Page 50: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

50

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

juga. Kurang lebih seperti itu. Itu kan berpikirnya masih pada level individu. Sedangkan kita bicara pada level pengelolaan masyarakat.

Waktu Fatimah menyebut contoh Irshad Manji tadi mungkin saya tak menangkap sepenuhnya. Tapi intinya dalam kasus seperti Irshad Manji, Anda boleh tidak setuju pada Irshad Manji, Anda boleh menganggap Ahmadiyah sesat, Anda boleh menganggap Sunni atau Syiah sesat dan seterusnya, itu sikap individu. Bahkan mau diekspresikan pun menurut saya boleh. Itu hak saya dong kalau saya menganggap itu keliru.

Tapi itu satu hal yang berbeda ketika kita bicara bahwa Ahmadiyah ini warganegara. Dia ini mungkin keliru atau masuk neraka dan sebagainya tapi dia warganegara. Yang lesbian dan gay juga begitu.

Kalau soal ini saya ingat Tariq Ramadan, dia pernah menulis dan sangat kontroversial. Kata dia, jangan paksa kami, Muslim Eropa, untuk mengatakan bahwa homoseksualitas itu oke. Menurut saya tidak apa-apa.

Page 51: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

51

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

Saya setuju dengan Tariq dalam hal ini meski di artikel itu ada beberapa yang keliru. Dia menyebut macam-macam soal homoseksualitas yang saya kira didasarkan pada pandangan yang keliru. Tapi dia terus menyebutkan bahwa mereka ini manusia, kita hargai, mereka warganegara, punya haknya, saya tak boleh mengganggu dia dan sebagainya.

Kalau tidak begitu, soal Ahmadiyah menurut saya akan susah. Kalau Ahmadiyah baru selamat setelah seluruh orang Islam Indonesia mengatakan bahwa Ahmadiyah itu tidak keliru atau Ahmadiyah Islam juga, itu repot. Saya tak tahu butuh berapa abad.

Ihsan Ali Fauzi

Kepercayaan bahwa Ahmadiyah itu salah itu kan belief. Ada freedom of beliefs, itu bagaimana? Kita tak bisa paksakan seseorang berubah pandangannya soal Ahmadiyah. Melarang orang berpandangan seperti itu terhadap Ahmadiyah, itu kan sama dengan melanggar belief orang itu. Tapi masalahnya, meski punya belief begitu, dia tidak boleh memukuli Ahmadiyah.

Page 52: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

52

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

Zainal Abidin Bagir

Itu yang harus dipisahkan. Tadi kamu bicara soal belief itu implikasinya ke sini kan?

Fatimah Zahrah

Ada belief seperti itu. Tapi ada juga doktrin seperti amar ma’ruf nahi munkar, mencegah dengan tangan itu juga bagian dari belief. Dalam kasus Irshad Manji, beberapa orang tak mau dia datang, tapi ada juga orang yang mau. Makanya pengaturan-pengaturan itu basisnya HAM, karena sudah bicara hukum saja. Dia punya hak untuk datang dan berbicara.

Zainal Abidin Bagir

Tanpa harus mengatakan atau berpandangan bahwa itu oke kan. Artinya bisa dipisahkan antara belief dan apa yang saya lakukan. Itulah saya kira sebagian dari yang saya sebut sebagai civic competence tadi. Kalau kita mau memberdayakan masyarakat, berdayakan civic competence. Civic competence itu adalah bahwa saya sebagai warganegara

Page 53: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

53

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

boleh tidak suka terhadap orang tertentu tapi saya tak boleh melemparinya atau membakar rumahnya.

Anick HT

Tapi konfliknya adalah ketika saya believe bahwa saya boleh memukuli orang.

Zainal Abidin Bagir

Itu tidak saya terima.

Nurun Nisa

Saya ingin menanyakan bagaimana kemungkinan praktik pluralisme kewargaan. Dalam kasus Irshad Manji, misalnya, oke kalau kita di sini misalnya tak setuju homoseksualitas tapi tak mencacimaki atau memukul Irshad Manji. Tapi kenyataannya UGM menolak Irshad Manji. Lingkungan akademis saja sudah seperti itu. Itu agak aneh, memperjuangkan kebebasan berekspresi tapi di saat yang sama menolak orang lain. Kalau prospek pluralisme kewargaan dipraktekkan dalam konteks Ahmadiyah, apakah pluralisme kewargaan bisa mencegah peristiwa seperti Cikeusik

Page 54: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

54

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

terjadi?

Zainal Abidin Bagir

Saya kira masalah Cikeusik itu masalah yang sangat mudah. Sebetulnya tidak ada kontroversi. Kesalahannya sangat jelas. Itu salahnya polisi. Tak perlu teori macam-macam. Masalah Cikeusik itu masalah paling simpel. Kalau sudah ada kekerasan saya kira menjadi sangat simpel apa yang harus dilakukan. Bahwa itu tidak terjadi saya tentu tidak mengatakan bahwa Indonesia sudah civic pluralist, tentu tidak. Justru ini dalam rangka melihat bagaimana.

Ihsan Ali Fauzi

Nisa, kita sedang menyusun wawasan yang diperlukan agar kalau nanti kamu menjadi Menteri, ini yang digunakan.

Zainal Abidin Bagir

Sebetulnya kalau bicara prospek, kata Husni tadi, berapa ratus tahun lagi kalau kita mau mengubah teologinya? Masih banyak yang akan mati lagi. Tak usah sampai ke situ. Sebetulnya

Page 55: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

55

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

perjuangannya lebih ke civic competence.

Ihsan Ali Fauzi

Jadi kita mau melihat secara konseptual cukup clear atau tidak? Kita sedang mendiskusikan bahan itu secara konseptual dulu. Bahwa nanti konsepnya setelah clear dijalankan ya sama saja. Tapi bisa kita pisahkan. Kita sedang menguji gagasannya Zainal ini dari berbagai segi. Yang terakhir apa komentarmu terhadap Fatimah atau Anick yang menanyakan bagaimana kita mengatur ajaran-ajaran yang mengharuskan orang untuk terlibat langsung dalam aksi-aksi kekerasan di negara yang plural?

Zainal Abidin Bagir

Saya kira pada akhirnya ada batasnya. Yang paling liberal seperti John Rawls pun misalnya menyebut ada unreasonable comprehensive doctrine yang tak bisa diterima. Teologinya Nazi, misalnya, tak bisa. Ada beberapa yang memang sudah tak bisa. Kalau itu nanti kita bisa bicara soal hate speech dan sebagainya. Tapi bisa dibedakan antara pernyataan ketidaksetujuan dengan hate speech,

Page 56: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

56

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

hasutan atau kebencian. Saya kira bisa.

Ihsan Ali Fauzi

Saya kira masalah ini sudah cukup clear. Ada hal-hal tertentu yang disepakati bersama oleh kalangan agamawan. Misalnya, ya sudah kita bersepakat untuk tidak lagi menyebarkan agama. Itu bisa. Banyak juga ajaran agama yang sudah diedit. Perbudakan, misalnya, sudah diedit. Jadi jangan cari-cari alasan.

Evi Rahmawati

Tadi dikatakan bahwa HAM kadang tak bisa mengakomodir semua, hukum juga tak bisa. Lalu pluralisme kewargaan menawarkan jalan dialog. Dalam konteks Indonesia, jalan seperti itu bagaimana bisa mungkin? Kita bisa lihat bagaimana dialog dibawa ke publik melalui media seperti kita lihat di TV One. Yang terjadi bukan dialog. Ada yang sama sekali tidak mengeluarkan argumentasi, hanya mengeluarkan cemoohan-cemoohan saja. Bahkan ruang-ruang diskusi seperti contoh Irshad Manji kemarin pun sudah ada indikasi dilemahkan. Polisi dengan mudahnya membubarkan itu dengan

Page 57: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

57

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

alasan untuk mengamankan kita. Padahal kan mereka takut saja. Apakah yang ditawarkan pluralisme kewargaan ini mungkin dalam konteks Indonesia? Kita lihat sendiri kemampuan pemerintah untuk memungkinkan ruang publik ini aman agak sulit. Apalagi sekarang kita lihat orang-orang dengan jumlah yang sebetulnya minoritas seperti FPI tetapi suaranya lebih didengar pemerintah.

Saya setuju bahwa kita tak harus fokus pada kalimatun sawa, misalnya semua orang harus setuju bahwa homoseksual itu benar atau baik. Kalimatun sawa seperti itu memang tak perlu. Tapi bagaimana kita bisa mengkontekstualisasikannya ke Indonesia? Kita harus menghormati perbedaan yang ada, kita fokus pada perbedaan, bagaimana perbedaan itu bisa hidup dan harmonis? Apakah itu berarti kita membiarkan begitu saja ketika misalnya ada satu kelompok yang merespon homoseksual secara frontal, tak pakai kekerasan tapi cara dia mengungkapkan ketidaksetujuannya itu seolah-olah menjadikan kaum homoseksual itu bukan manusia. Kita tahu sangat sensitif ketika seorang

Page 58: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

58

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

manusia dianggap dari kalangan yang tidak selamat dan seterusnya. Bagaimana mengatasi itu? Apa yang ditawarkan pluralisme kewargaan?

Ihsan Ali Fauzi

Itu bukan hanya orang Islam. Di Amerika juga sadis sekali. Sama, orang atheis ketika menjelek-jelekkan agama juga sadis begitu.

Ahmad Gaus

Saya pernah dengar Romo Magnis Suseno bilang, wawasan orang Katolik sebelum Konsili Vatikan II adalah Perang Salib karena extra ecclesiam nulla salus, “di luar gereja Katolik tidak ada keselamatan.” Ke mana-mana orang Katolik itu pasti maunya perang. Tapi setelah Konsili Vatikan II, itu dianulir. Mulai ada pernyataan bahwa di luar gereja Katolik Roma juga ada keselematan. Meski kami mengakui bahwa Katolik Roma adalah keselamatan, tapi di luar gereja Katolik juga ada keselamatan. Kata Romo Magnis, wawasan orang Katolik setelah Konsili Vatikan II tahun 1963 itu berubah. Mereka lebih rileks

Page 59: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

59

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

menempatkan dirinya di antara agama-agama. Menurut saya ini soal akidah.

Jadi saya bisa memahami mengapa Cak Nur menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk menjelaskan ini kepada umat. Saya pernah ketemu dengan Ahmad Sumargono. Dia bilang sebetulnya perbedaan Cak Nur dengan orang-orang Masyumi itu bukan pada pembaruan. Orang Masyumi juga melakukan pembaruan karena mereka modernis. Yang membedakan adalah Cak Nur membawa persoalan toleransi jadi masalah akidah. Sementara orang Masyumi berkiblat kepada Natsir, masalah toleransi adalah masalah sosial politik, tak bisa soal akidah.

Ihsan Ali Fauzi

Kamu setuju terhadap pendapat Sumargono tentang Cak Nur?

Ahmad Gaus

Saya kira pendapatnya tentang Cak Nur mungkin benar. Tapi persoalan substansinya saya tidak setuju. Saya lebih setuju Cak Nur. Artinya, wawasan

Page 60: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

60

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

teologis itu harus dihidupkan karena rawan sekali. Begitu ada yang provokasi sedikit mereka bisa melebar. Kalau keyakinan sudah kuat tidak akan terjadi. Itu sebabnya Cak Nur mengutip surat Al-Baqoroh ayat 62, kita debat di mana-mana selalu dibantah dengan ayat ini.

Ihsan Ali Fauzi

Cak Nur merasa keselamatan akan jauh lebih mudah kalau Islam memberi pendasaran teologis bahwa selain orang-orang Islam bisa masuk surga.

Ahmad Gaus

Saya kira Cak Nur seperti itu. Itu sebabnya Cak Nur menganggap semua agama sama dan benar. Di situ jelas semua agama sama, As-Syuaro ayat 14. Menurut saya, pluralisme kalau mau dibawa ke perbedaan oke saja, itu memang menjadi salah satu pendekatan. Tapi kalau kita fokus pada perbedaan, itu rawan pada friksi. Pendekatan sufisme atau teologinya Cak Nur itu justru pada persamaan-persamaan. Qur’an pun menyerukan fas’au ila kalimatin sawa.

Page 61: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

61

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

Ihsan Ali Fauzi

Tapi Qur’an juga mengatakan inna kholaknakum min dzakarin wa unsa wa ja alnakum suuban wa qabaila li taarofu, untuk saling berinteraksi, bukan untuk sama.

Ahmad Gaus

Tapi interaksi lebih mudah kalau kita melihat sisi persamaannya daripada perbedaannya. Perbedaan itu rawan untuk masyarakat yang awam.

Ihsan Ali Fauzi

Kita tak bisa tahu persamaan tanpa pada saat yang sama mengenai perbedan.

Daniel Awigra

Tadi Habermas dikutip dalam kaitannya dengan pluralisme kewargaan. Habermas barangkali melihat situasi ini sebagai post-secularism di mana sekularisme sudah lewat. Di satu sisi, orang-orang yang ingin ruang publik ditata dengan agama harus belajar mengartikulasikan keyakinan-keyakinan agamanya supaya

Page 62: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

62

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

diterima di ruang publik. Di sisi lain, orang-orang sekular juga harus belajar bagaimana dia tahan kuping mendengar adagium-adagium keagamaan masuk ke domain publik.

Saya lihat yang kita diskusikan ini ada perebutan tentang tafsir kebebasan di ruang publik. Di Indonesia yang demokratis, orang bebas mengemukakan pendapatnya. Dia bahkan bebas meyakini suatu keyakinan, termasuk ada kelompok yang merasa bebas memaksakan keyakinan itu kepada orang lain. Bagaimana pluralisme kewargaan memandang esensi kebebasan ini karena titik tekannya pada mencari keragaman?

Tantowi Anwari

Saya ingin mempertajam pertanyaan soal bagaimana pluralisme sivik bisa menyentuh advokasi. Kak Ihsan sering menekankan bahwa demokrasi kita adalah demokrasi asimetris. Karena itu advokasinya seperti apa? Kalau konsensus, bentuknya seperti apa? Overlapping consensus modelnya Rawls

Page 63: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

63

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

itu ketika situasinya tidak seimbang bagaimana?

Perdebatan yang dimunculkan di buku ini sama dengan tulisannya Richard Bellamy ketika dia memperkarakan political liberalism modelnya Hayek dan Rawls dan memperlawankannya dengan Komunitarianisme-nya Walzer atau dengan Multikulturalismenya Kymlicka. Di sisi lain, klaim universal yang selalu digaungkan Hayek dan Rawls memang bermasalah.

Di sini juga dikatakan bahwa hal-hal yang sifatnya embedded di masyarakat, nilai-nilai yang sudah melekat dalam kultur, lalu dinegosiasikan di ruang publik, tak bisa direduksi atau dihilangkan begitu saja dengan bahasa “reasonable”. Kata Walzer, itu sama saja tidak menghargai nilai-nilai yang lama melekat di masyarakat. Richard Bellamy memperkarakan itu dan menawarkan bentuk politiknya dengan kompromi. Itu nampaknya sophisticated karena semua pandangan dipersilakan berada di ruang publik dan model overlapping consensusnya dipercanggih lagi, tak harus reasonable yang penting

Page 64: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

64

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

komprominya bisa menawarkan solusi. Itulah yang dicari dalam pengelolaan masyarakat yang tadi jadi obsesi civic pluralism itu.

Model pengelolaan masyarakat dengan bahasa negosiasi, kompromi dan sebagainya dalam demokrasi yang asimetris, seperti dalam kasus di Singkil, minoritas sudah sampai pada kompromi. Katanya undung-undung atau gereja kecil tak usah pakai salib, tak usah mencolok. Mereka sudah mengalah tapi sekarang masih diperkarakan dan disegel juga. Sebagai minoritas apa boleh buat kecuali hak-haknya terus dirampas. Dulu simbol-simbolnya tak boleh, sekarang beribadah pun susah. Minggu kemarin ada yang ditangkap dua orang. Kasusnya memang Injili, evangelical, tapi di kota Banda Aceh selain di Singkil ada juga yang disegel.

Ihsan Ali Fauzi

Aceh ini memang agak khusus ya. Ada contoh lain di Jawa atau non-Aceh?

Page 65: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

65

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

Tantowi Anwari

HKBP Filadelfia misalnya, bentuk advokasinya seperti apa? Masyarakatnya mengklaim bahwa mereka Batak, pendatang, Kristen pula. Mereka harus menurut pada kultur Betawi atau Muslim. Karena itu ketika dibawa ke kecamatan untuk rembukan dan mendapatkan konsensus, konsensus seperti apa? Tetap saja mereka minoritas tak punya bargaining. Kalau bicara civic competence, kompetensi seperti apa? Apakah ketika kumpul di kecamatan itu harus dikasih seminar filsafat atau apa biar mereka mengerti?

Soal Ahmadiyah yang tadi tahun 2008 ada negosiasi, omong kosong. Saya juga ada di Mabes Polri ketika itu. Ada Agus Miftah. Mungkin pendekatan HAM tak bisa selalu disalahkan juga karena itu mungkin bisa dikombinasikan. Ini sudah asimetris memang. Ahmadiyah ada di sana lalu dihakimi sama Bakorpakem dan Depag. Katanya, “sudahlah kalian sedikit, mengalah saja, tak usah beribadah dulu.” Apakah itu bagian dari kompromi yang menurut kita masuk akal? Apa yang

Page 66: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

66

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

disebut Rawls doktrin komprehensif itu sudah dipaksakan di ruang publik. Di Mabes Polri, misalnya, semua diwakili tapi yang mewakili, baik polisi maupun Bakorpakemnya kebanyakan konservatif. Mereka sudah menyudutkan Ahmadiyah untuk menurut sama mayoritas. Katanya, “kalian yang memprovokasi masyarakat yang mengancam”. Bagaimana?

Husni Mubarak

Paper dan presentasi Mas Zainal tidak banyak mengelaborasi soal state capacity. Mas Zainal cerita bahwa wilayah pluralisme kewargaan adalah negara. Ketika tadi bicara soal Ahmadiyah, yang kita lihat selalu insidennya. Sebetulnya ada dialog dan proses panjang sampai ke terjadi peristiwa Cikeusik. Fungsi pluralisme kewargaan ada di situ, untuk warga. Tapi pluralisme kewargaan ini saya kira harus masuk juga ke state capacity.

Kasus Irshad Manji di Salihara tadi kan seperti kasus-kasus yang lain. Yang sering kita sesalkan adalah polisi bukan menahan penyerang tapi malah mengamankan calon korban. Calon

Page 67: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

67

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

korban disuruh diam dan mengalah seperti kata Thowik tadi untuk mengikuti saja apa yang diinginkan penyerang. Jadi soalnya ada di state capacity.

Kita harus juga mengakui bahwa di dalam beberapa kasus polisi mau bertindak tegas. Saya pernah nanya adakah kasus polisi yang benar. Mas Zainal cerita yang di Manislor tahun 2010 dan kemarin saya dapat datanya dari Polda. Kutipan kata-katanya dari KontraS, “awas kalau kamu mau menyerang lagi, saya tangkapi dengan pasal sekian dan sekian”. Polda sudah mengerahkan Brimob dan sebagainya. Pada 2010 insiden itu memang tidak terjadi. Ada penyerang dan orang Ahmadiyah bilang kalau polisi tak mampu mereka sudah siap perang saja. Polda keluar dan insiden itu berhasil dicegah setelah Ahmadiyah di sana dikerjai terus sejak 2003.

Saya menyebut state capacity dalam arti pemerintah perlu memiliki kapasitas yang bagus, termasuk pengetahuan tentang pluralisme kewargaan. Mereka harus tahu bahwa yang dibutuhkan bukan menyamakan masyarakat, bukan menyuruh Ahmadiyah melebur saja

Page 68: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

68

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

ke NU atau Muhammadiyah misalnya. Itu kan wawasan pluralisme yang awal tadi yang ingin mencari kesamaan. Pemerintah, dalam hal ini aparatur-aparaturnya, perlu sadar bahwa ya sudah fakta bahwa Ahmadiyah dan yang lain-lain ini memang ada itu harus diterima dulu. Ini yang saya kira tidak muncul.

Dari pengalaman saya beberapa kali bertemu dengan polisi dan tokoh masyarakat dalam program polisi di Paramadina, jelas bahwa ada banyak persoalan, antara lain, polisi berusaha menjadi ustadz. Dalam satu kesempatan di Cirebon, polisi mengeluarkan ayat. Sampai kiyai Maman bilang, “ya sudah Pak kita tukar saja, senjatanya kasih ke saya, Bapak jadi kiyai saja, biar saya yang kerjakan.” Baru mereka sadar.

Pak Wakapolri bilang bahwa masalah mereka adalah keberanian para pemimpin polisi, dari Polsek, Polres, Polda, untuk mengambil apa yang disebut dengan diskresi. Dalam banyak situasi, mereka jarang mengambil diskresi untuk menahan penyerang. Tapi mereka lebih memilih mengamankan saja, menyegel

Page 69: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

69

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

gereja, mengamankan orangnya biar tak ada yang mati. Ini adalah soal kemampuan dia dalam mengelola ini, kemampuan dia mengambil keputusan dan dalam memahami situasi masyarakat.

Untuk itu semua, seperti yang ditulis Mas Zainal waktu merespon dilarangnya Irshad Manji di UGM itu, kalau kekerasan dibiarkan terus menerus, mereka akan menganggap bahwa ini adalah strategi paling ampuh untuk menekan orang. Itu menjadi tradisi dan seterusnya. Kak Ihsan selalu membedakan antara mau dan mampu. Sebenarnya tadi yang disebut Fatimah dan Anick soal bagaimana kalau dia punya keyakinan bahwa memukul itu adalah dibenarkan oleh agama? Menurut saya, sebagai keyakinan itu sah. Keyakinan bahwa dia mau membunuh Ahmadiyah sah, tapi dia mampu atau tidak. Di sini negara membiarkan kemauannya itu untuk menjadi mampu. Di Banten itu kelihatan karena polisinya tidak ada, kemampuannya jadi lebih besar.

Saya ada pada posisi yang sama dengan Mas Zainal. Misalnya di Facebook ada FPI yang berkata, kalau kamu pluralis terima

Page 70: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

70

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

dong keyakinan saya. Saya sebagai pluralis mengakui. Soalnya tinggal bagaimana membuat mereka meski berpikir, berteologi atau berkeyakinan boleh membunuh, tapi kemauan dan kemampuan personalnya untuk membunuh itu tak bisa dilakukan karena ada peran aparatur negara yang mencegahnya. Yang pertama adalah polisi. Yang kedua adalah non-polisi seperti Bakorpakem dan seterusnya.

Pertanyaan Thowik soal dialog asimetris tadi menurut saya kita memang tak bisa berharap menghasilkan sesuatu secara cepat. Ada ruang untuk berdiskusi saja itu sudah sesuatu yang berharga, meski di luar dialog masih tetap ada diskriminasi. Fatimah mungkin tak merasakannya tapi anak cucunya bisa merasakan. Tinggal bagaimana ketika di luar dialog itu orang tak bisa macam-macam.

Siswo Mulyartono

Yang ingin disasar pluralisme kewargaan kan level negara dan level masyarakat. Tadi Husni lebih banyak berbicara di level negara, bagaimana kapasitas negara mampu menjaga ruang publik supaya

Page 71: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

71

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

tidak ditekan oleh kelompok-kelompok tertentu sehingga ruang publik itu netral.

Kalau saya menekankan, selain kapasitas negara dalam menetralisir ruang publik, ada juga kapasitas masyarakat. Tadi sudah disinggung tentang redistribusi yang dikaitkan dengan penguatan kapasitas masyarakat. Masalah pendidikan misalnya, banyak kurikulur-kurikulum yang justru menjustifikasi intoleransi. Banyak program-program pemerintah maupun pemberitaan media yang jauh dari penguatan kapasitas masyarakat.

Ketika kapasitas masyarakat itu bisa dipenuhi secara optimal, dialog-dialog di ruang publik tak mungkin ada komunikasi yang terdistorsi. Saya lihat dialog yang sudah dilakukan di lingkup masyarakat banyak yang terdistorsi baik oleh media maupun oleh pemerintahan. Penguatan kapasitas negara bukan hanya penegakan hukum, tapi juga kinerja rezim. Kinerja rezim ini menentukan bagaimana justifikasi masyarakat terhadap kinerja demokrasi. Bagaimana umat Islam melihat orang-orang yang non-Islam.

Soal penguatan kapasitas masyarakat,

Page 72: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

72

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

saya percaya bahwa orang misalnya tak melulu identitasnya sebagai NU. Tindakan saya tak selalu mencerminkan ke-NU-an. Ketika kapasitas saya semakin meningkat, identitas-identitas saya semakin banyak, misalnya sebagai mahasiswa, sebagai warga sipil dan seterusnya. Di situlah nanti peran negara dalam penyediaan barang publik, keamanan dan jaminan hukum.

Chaider Bamualim

Saya ingin menekankan pentingnya peran negara. Kata Naim, state neutrality of religion. Pengandaian negara itu netral hanya bisa dijamin konstitusi. Konstitusi kemudian memberi tekanan pada human rights. Human rights prinsipnya hak minoritas apa pun harus dijamin walau pun merugikan mayoritas. Mayoritas harus mengalah kalau memang ada hak-hak minoritas yang harus diekspresikan. Di sini berarti butuh civic competence atau saya lebih suka menyebutnya civic culture.

Pengalaman saya melakukan riset tentang HKBP di Ciketing itu sebenarnya memperlihatkan kelemahan di level itu.

Page 73: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

73

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

Peristiwa ini sudah terjadi lama sejak 2008. Dalam rentang waktu yang lama mereka bisa bertahan. Ada dialog dan sebagainya. Tapi ketika masalah itu mulai dibawa ke ranah politik dan hukum, masalahnya mulai ruwet. Di sini civic culture dan civic competence diperlukan.

Ihsan Ali Fauzi

Civic culture itu dibuat, ada dengan sendirinya atau bagaimana? Siapa yang menyediakan?

Chaider Bamualim

Negara punya konsitusi dan negara punya kewajiban untuk menumbuhkan civic culture itu lewat pendidikan. Media massa, civil society dan agamawan juga punya peran untuk menumbuhkan civic culture itu.

Tapi ada dua mazhab yang sering berkontestasi dari dulu sejak awal Orde Baru, kelompok liberal dan kelompok konservatif. Kelompok liberal menghendaki hak-hak individu atau kelompok agama tertentu harus dijamin dalam bentuk apa pun, tidak perlu

Page 74: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

74

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

restrictions. Sementara kelompok konservatif selalu menginginkan agar negara melindungi identitas kelompok mayoritas. Ini harus direkonsiliasikan. Saya tak tahu bagaimana caranya.

Natsir, umpamanya, mengatakan, kami kalau mau berkompetisi dengan kelompok misionaris, sama saja Anda mengandaikan andong berkompetisi dengan express train. Umat Islam menghendaki agar interest identity, kepentingan teologi dan kulturnya dibela dan dilindungi negara. Sementara orang Kristen merasa mereka harus menyampaikan kepentingannya menyebarkan agamanya dan tidak boleh dibatasi hanya kepada orang yang belum beragama. Saya tak tahu merekonsiliasikannya.

Nalar publik-nya Rawls juga punya kelemahan. Dia mengandaikan orang Islam bisa menjaga kepentingannya. Contoh sederhananya untuk melarang alkohol atau homoseksual dia harus menjelaskan nalar publiknya, tak bisa hanya karena dia haram atau bertentangan dengan kultur orang Islam saja. Dia harus menyebutkan

Page 75: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

75

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

bahwa alkohol terbukti mengakibatkan kekerasan atau kejahatan di masyarakat dengan statistik, misalnya, supaya semua bisa berdebat. Seperti orang yang memperjuangkan bank syariah yang diam-diam diterima publik, bahkan orang Kristen banyak yang menjadi nasabah karena ada public reason di sana.

Itulah kelemahan nalar publik ketika masing-masing bisa saja menggunakan alasan publik sekali pun untuk memperjuangkan kepentingannya. Tapi itu cukup bagus menurut saya. Masing-masing bisa berkontestasi. Orang Kristen juga umpanya berhak berdakwah di Jawa Timur karena ada banyak orang tak beragama yang mengganggu kepentingan publik misalnya. Itu berarti kepentingan orang beragama seperti FPI atau HTI bisa diakomodasi. Saya pernah advise mereka, kenapa Anda tak gunakan saja argumen Naim untuk memperjuangkan kepentingan Anda.

Menurut saya yang harus dipikirkan adalah approach merekonsiliasi kepentingan berbagai mazhab di masyarakat. Yang dikembangkan mungkin nalar publik atau civic culture. Tapi masalahnya ada di

Page 76: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

76

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

situ. Orang Islam merasa terancam oleh Ahmadiyah. Bahkan respon pimpinan NU seperti Said Agil terhadap laporan kebebasan beragama itu keras sekali.

Zainal Abidin Bagir

Saya mulai pendek-pendek saja dari beberapa pertanyaan yang belum saya jawab sebelum ke pertanyaan gelombang kedua. Yang pertama tadi soal istilah pluralisme. Kita sempat berpikir lama apakah mau pakai itu atau tidak. Akhirnya kita putuskan pakai itu. Salah satu alasannya sebetulnya adalah persaingan pemaknaan. Pluralisme kelebihannya sudah dipakai di mana-mana, ada teorinya dan lain sebagainya. Ini bukan soal ideologi. Sejumlah kata mungkin tak kita pakai lagi karena sudah jelek dan sebagainya, tapi lama-lama kalau kita tak bisa bicara dengan ini, tak bisa bicara dengan itu, lama-lama kita tak bisa bicara.

Jangankan pluralisme, sekarang HAM pun tidak dipandang sebagai sesuatu yang positif bagi banyak orang. Orang tak mau bicara pluralisme karena haram, lalu pakailah multikulturalisme. Tapi

Page 77: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

77

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

sekarang multikulturalisme pun sudah dianggap buruk. Lalu kita pakai Bhineka Tunggal Ika atau Kebhinekaan, “oh itu berarti AKKBB atau ANBTI yang orang liberal itu.” Lama-lama kita tak bisa bicara. Menurut saya ya sudah ambil resiko ini. Ini tak bisa dihindari sampai tingkat tertentu. Mengkhawatirkan kalau kita bahkan sudah tak bisa bicara soal HAM. Padahal itu konsep yang sangat bermanfaat, diakui internasional, diakui negara, punya implikasi legal dan sebagainya.

Soal kendala utama PNPS saya setuju. Tapi itu sudah masuk ke MK dan gagal dicabut. Lalu mau apa? Saya kira ya sudah dimanfaatkan seadanya. Menurut saya ini bukan cerita akhir. Dengan adanya undang-undang penodaan agama selama puluhan tahun itu kan tak ada kasus-kasus yang muncul seperti sekarang. Artinya kasus-kasus yang muncul belakangan ini muncul bukan hanya karena undang-undang itu. Tentu tanpa undang-undang itu hidup kita akan jauh lebih nyaman. Tapi adanya undang-undang itu tak berarti end of the story.

Page 78: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

78

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

Ada tulisannya Melissa yang baru, Mei 2012, yang membahas peristiwa di MK dan mendaftar kasus-kasus penodaan agama. Kelihatan betul, dari 1965 sampai 2000 ada 10 kasus yang menggunakan undang-undang penodaan agama di pengadilan. Dari 2000 sampai 2009 ada 37 kasus, tiga kali lipat. Padahal periodenya hanya sepertiga dari periode yang panjang itu. Kalau mau dilihat lagi, dari 2000 sampai 2005 kalau tak salah hanya 10 kasus. Berita yang 27 kasus itu dari 2005 sampai 2009, hanya empat tahun. Berarti ada something wrong di sini. Ini bukan hanya soal undang-undang meski sekali lagi kalau tak ada undang-undang ini akan lebih baik.

Tapi saya akan bicara juga, kalau kita mau lompat sedikit, soal RUU KUB. Buat saya lebih baik tak ada. Membuat undang-undang ini repot, belum nanti dagang sapinya di DPR. Sesudah orang riset bikin naskah akademik segala macam jadinya lain. Sebagian besar undang-undang yang dikeluarkan DPR kan terus masuk MK tak lama setelah itu. Kalau ada pilihan lain lebih baik tak masuk ke situ. Kalau undang-undang KUB sudah dibicarakan di DPR ya tak ada jalan lain kita harus

Page 79: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

79

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

masuk ke situ. Tapi kalau bisa memilih, itu sebaiknya tidak didorong karena kalau kita masuk ke situ repot.

Saya akan bicara lebih banyak soal itu tapi saya cuma sekedar menyebut komentar Anick tadi soal RUU produk halal, bank syariah, lalu terakhir RUU zakat. Saya sejalan dengan Anda dan sebetulnya di laporan tahunan terakhir kita membahasnya agak panjang juga. PGI sempat menolak RUU zakat, “kok ada hukum nasional yang hanya untuk satu kelompok tertentu?” Tapi kalau kita melihat sejarah, sudah berapa banyak undang-undang untuk kelompok tertentu.

Lalu Anda bilang tadi soal kemungkinan hukum adat yang tidak civil. Di bab ketiga buku ini yang soal perempuan itu beranjak dari situ. Apakah multikulturalisme buruk buat perempuan? Orang berjuang untuk multikulturalisme jangan-jangan kultur yang diperjuangkan adalah kultur patriarkal yang merugikan perempuan. Ada satu tawaran di situ yang disebut accomodative transformation, mengakomodasi sambil mentransformasi. Saya tak usah cerita

Page 80: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

80

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

karena bukan saya yang menulis.

Saya cuma ingin menegaskan saja bahwa, pertama, pluralisme kewargaan tidak sedang mencoba masuk ke level teologis. Saya tidak mengatakan bahwa plluralisme kewargaan adalah alternatif dari pluralisme teologis. Yang menurut saya sangat bagus meski kurang populer misalnya adalah dokumen common words yang ditandatangani oleh sekitar 100 tokoh dunia, termasuk di antaranya yang sangat konservatif, yang menulis surat kepada tokoh-tokoh Kristen dan menunjukkan bagaimana Islam itu sama agama cintanya dengan agama Kristen.

Upaya seperti itu sangat menarik dan menurut saya perlu didorong. Tapi yang ingin saya katakan adalah, seperti saya ceritakan di awal dalam riset terbatas kita tahun 2008, kesannya energi terlalu banyak masuk ke situ sehingga ada isu-isu penting lain yang dari tadi sebetulnya kita bicarakan, seperti soal bagaimana menghadapi Ahmadiyah dan homoseksualitas, yang tak tersentuh. Kalau kita mau Ahmadiyah selamat hanya dengan memberikan argumen teologis yang kuat atau mencari kalimatun sawa

Page 81: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

81

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

seperti Anda bilang bahwa semua aliran dan agama benar dan masuk surga, saya kira repot. Sebagian adalah persoalan strategis.

Tapi sekali lagi pluralisme kewargaan bukan alternatif dari itu. Artinya, itu akan sangat mendukung. Kalau saja semua manusia punya pikiran yang sama, kita tak akan punya masalah yang kita hadapi sekarang. Tapi justru persoalannya adalah karena kita berbeda. Kalau mau mengatasi perbedaan dengan menyamakan, berarti bukan mengatasi persoalan tapi menghilangkan persoalan itu. Kalau perbedaannya terlalu besar dan mau dikurangi saya kira oke. Itu akan membantu. Saya yakin tidak akan tiba masanya ketika semua orang menerima Cak Nur, tanpa mengurangi rasa hormat maupun penghargaan terhadap Cak Nur. Cak Nur sudah melakukan banyak hal.

Satu lagi soal Konsili Vatikan yang dikatakan ada perbedaan besar setelah itu. Konsili Vatikan ini terjadi hampir 2000 tahun sampai ke situ. Dan ketika itu terjadi, peristiwanya beberapa tahun. Saya pernah berbincang dengan Paul Knitter, teolog dari New York, dia ada

Page 82: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

82

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

di Vatikan ketika ini dibicarakan. Ketika itu dia mahasiswa. Dia cerita bahwa prosesnya luar biasa menyakitkan. Bahwa pada akhirnya keluar seperti itu sebagian adalah kebetulan. Tapi karena Katolik sudah punya struktur seperti itu kemudian bisa. Kalau kita bisa punya itu, oke. Menurut saya bagus.

Satu hal lagi, saya katakan ini bukan juga alternatif pendekatan hukum atau HAM. Artinya, bukan kita harus memilih mau ini atau tidak. Tadi saya bilang bahwa hukum itu hal minimal yang memang harus. Dan kalau kita bicara kasus seperti HKBP Filadelfia, Taman Yasmin dan sebagainya, memang repot. Di satu sisi itu justru menunjukkan bagaimana hukum sudah ditempuh sampai tingkat tertinggi dan tidak menyelesaikan masalah. Di mana salahnya? Saya tidak kemudian mengatakan makanya kita jangan pakai pendekatan hukum.

Saya tak tahu seperti apa HKBP Filadelfia sebelumnya tapi kalau sudah sampai titik ini susah. Kita tak tahu lagi mau apa. Kalau mau ditarik-tarik kesalahannya ya sudah SBY. Mau apa lagi tak tahu. Tapi kalau kita

Page 83: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

83

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

mau menyelesaikan masalah sejak awal dan menyadari ada banyak faktor dan lain-lain, bahwa ada beberapa hal yang bisa ditempuh, mungkin ceritanya lain, tapi tak tahu juga. Agak sulit memang kalau kita bicara kasus-kasus seperti itu. Kita bisa menganalisis apa yang keliru dan sebagainya tapi kalau ditanya bagaimana kemudian menyelesaikannya, kita repot.

Tadi juga dibilang HAM tak jalan, hukum tak jalan, bagaimana dialog mau jalan? Misalnya kita mau memberi tahu pemerintah kalau mau mengurus soal Ahmadiyah atau yang lainnya, tak perlu mengurus yang macam-macam dulu, yang penting ruang publiknya dijaga dulu biar kita bisa bebas dan lain sebagainya. Ini yang paling inti. Tapi kalau itu pun tak dijaga, memang tak bisa dialog. Itu memang butuh satu persyaratan minimal.

Saya kebetulan kemarin baru bertemu Pastor Neles Tebay dari Jaringan Papua Damai. Dia sudah beberapa tahun ini habis-habisan memperjuangkan dialog damai untuk Papua. Ceritanya tentang dialog luar biasa inspiring. Dia berdialog

Page 84: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

84

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

dalam konteks ruang publik yang sama sekali tidak aman. Kadang ada senjata diarahkan ke dia, seminarinya diserang dan sebagainya. Tapi dia tak bergeming dari situ. Sampai sekarang konsisten. Dia kemarin berkeliling untuk promosi bukunya, “Angkat Pena Demi Dialog Papua.” Dia sendiri cerita baru sadar bahwa dia konsisten menyuarakan dialog karena ternyata buku itu mengumpulkan tulisan-tulisan selama 10 tahun. Dia sudah selama 10 tahun bicara soal dialog setiap saat. Cerita dia menunjukkan bahwa dalam situasi seperti itu pun dialog bisa ditempuh. Salah satunya dia pernah jalan tiga hari sampai menyeberangi perbatasan Papua Nugini untuk menemui para gerilyawan separatis. Bahwa dia datang ke situ saja sudah mengubah si gerilyawan itu. Mereka merasa dihormati karena dikunjungi dan gagasannya kemudian lebih mudah diterima.

Dialog mungkin perlu syarat ruang publik, itulah tugas pemerintah. Kita tak akan membiarkan pemerintah lepas dari melaksanakan tugas itu. Negara jelas harus menjaga ruang publik. Tapi dalam situasi sekarang, bagaimana kalau kita tak punya harapan lagi karena hukum tak

Page 85: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

85

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

jalan, SBY diam, FPI berbuat semena-mena menyerang Salihara bahkan sampai ke UGM dan sebagainya? Banyak sekali yang salah dan pluralisme kewargaan tidak akan menyelesaikan semuanya. Tapi pluralisme kewargaan mencoba membantu bagaimana kita melihat situasi yang rumit ini. Kondisinya memang agak parah. Tapi ada beberapa hal yang bisa dicoba.

Perlu saya tegaskan ini bukan alternatif pendekatan hukum dan HAM. Kelebihan pendekatan HAM itu besar sekali karena ada implikasi legal, punya kekuatan memaksa dan sebagainya, termasuk yang kemarin ramai dari Dewan HAM PBB. Minggu lalu tulisan saya dimuat di Republika, judulnya “Muslim, HAM, dan Negara”. Di situ saya membela HAM habis-habisan. Kalau misalnya Hasyim Muzadi mau serius membela Muslim yang terdiskriminasi di mana-mana, cara terbaik adalah dengan memakai HAM. Itu adalah bahasa yang paling universal, bukan menyalah-nyalahkan orang lain, kurang lebih seperti itu. Saya terus terang agak heran Republika memuat itu. Setelah itu Hasyim Muzadi diwawancara Gatra dan dia lebih keras

Page 86: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

86

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

lagi, katanya jangan gunakan pisau asing untuk tusuk bangsa sendiri.

Tadi saya katakan kalau bicara kasus-kasus itu agak susah. Salah satu masalah kita kenapa kita susah sekali menghadapi masalah Ahmadiyah, masalah gereja dan sebagainya, pada akhirnya yang paling susah karena ada kekerasan. Kalau tak ada kekerasan, kita jauh lebih mudah menyelesaikannya. Artinya kita bisa diskusi dan lain-lain. Tapi ketika ada orang mengancam dan dibiarkan, kita terus terang agak panik. Yang bikin panik sebetulnya bukan perbedaan, bukan bahwa orang tak setuju gereja dibangun, tapi ada kekerasan yang membuat kita terdesak. Kalau ada satu saja yang tak ada kekerasan, menurut saya itu jadi prioritas pertama. Saya kira siapa pun di seluruh dunia tak ada yang bilang boleh melakukan kekerasan terhadap orang lain yang berbeda. Maksud saya, FPI saja misalnya, dia menolak bahwa dia disebut melakukan kekerasan. Dia berusaha menjustifikasi itu. Artinya buat FPI sendiri melakukan kekerasan itu juga bukan hal yang normal.

Page 87: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

87

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

Ihsan Ali Fauzi

Akhir bulan ini kita mau diskusi tentang kekerasan di Jakarta, ada soal violence specialist, soal institutionalized riot system. Kekerasan ada di setiap masyarakat. Masalahnya dia di swasta atau di negara. Yang di swasta akan terus-menerus berusaha agar dia semakin banyak bekerja di dalam negara, kalau perlu menjadi negara itu sendiri seperti di Somalia. Violence specialist itu selalu ada. Civic pluralism ingin melihat bahwa kekerasan itu harus dimonopoli oleh negara sesuai dengan definisi Weber.

Zainal Abidin Bagir

Kalau saya boleh promosi, bagi yang belum lihat, menurut saya ini buku yang bagus sekali, dari KontraS, “Pemolisian dan Hak Berkeyakinan, Beragama dan Beribadah”. Di sini disebutkan contoh komunikasi konsultif polisi, salah satu kasusnya Manislor. Itu disebut sebagai salah satu kasus yang berhasil meski itu sempat melibatkan penyegelan masjid Ahmadiyah. Tapi itu pun dianggap berhasil karena menjauhkan dari yang

Page 88: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

88

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

lebih besar.

Ihsan Ali Fauzi

Kemarin Kikue Hamayotsu dari NIU ke kantor karena disarankan Melissa untuk bicara dengan kita. Dia sekarang sedang riset, pertanyaan besar dia, insentif apa yang membuat orang bisa melakukan sesuatu yang di tengah-tengah itu orang diam saja sekarang? PDI-P diam, NU diam. Pertannyaan dia, insentifnya apa sehingga Din Syamsuddin dan Hasyim Muzadi harus berbicara keras mengenai itu? Pahala politik apa yang mereka dapatkan kalau mereka bicara keras mengenai Ahmadiyah, mengecam Cikeusik, mengecam FPI. Siapa yang bisa bicara keras mengenai itu?

Kalau saya SBY, saya akan ajak Din Syamsuddin, para peneliti, civil society, ketua partai politik, dan lain-lain, bicara di depan forum, undang semua wartawan. Saya bicara, tolong FPI jangan lakukan itu. Mengapa SBY tidak melakukan itu? Itu kan sederhana dan tugasnya memang itu. Dia bisa dan mestinya mau karena

Page 89: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

89

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

itu baik buat partainya yang hari-hari ini terus dihajar dengan kasus korupsi. Din wajar kalau plin-plan. Pertanyaan saya ekonomi politik, apa insentifnya sehingga orang mau membela yang tak ada duit politiknya, yang kalau membela kamu menjadi kurang populer?

Yang kedua yang kita bicarakan itu mengenai toleransi, satu sikap yang meski kamu tak suka tapi kamu tak boleh berbuat macam-macam. Dalam riset-riset ilmu politik, orang tidak toleran dalam pikiran, otomatis dia tidak toleran, kecuali dia harus toleran. Jadi pada dasarnya, by default, orang tak perlu mengakui, menghargai atau menghormati orang lain. Yang masuk akal, manusia itu Hobbesian. Tak penting dia percaya apa-apa. Yang penting adalah ketika dia bertetangga dia tak mengurusi macam-macam.

Saya percaya tentang pentingnya teologi plural. Saya tentu percaya Cak Nur, tapi orang tak perlu Nurcholisian untuk toleran dalam pengertian yang tak usil. Orang biasanya tak terlalu

Page 90: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

90

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

peduli. Biasanya kalau orang usil itu ada yang memobilisasi. Itu sudah industri kekerasan lagi. Mobilisasi. Ada duitnya di sana.

Irsyad Rhafsadi

Tadi Mas Zainal menyebut bahwa pluralisme kewargaan itu adalah teori pengelolan keragaman yang bisa dikatakan setara dengan teori-teori pengelolaan keragaman yang lain seperti liberalisme, multikulturalisme dan lain-lain. Menurut saya, akan lebih kuat lagi kalau pluralisme kewargaan punya semacam justifikasi atau argumen bahwa ya memang itulah prinsip pengelolaan masyarakat yang terbaik. Pertanyaan kak Ihsan yang pertama tadi, agar orang bisa hidup bersama dan saling menghormati harus ditunjukkan bahwa itu adalah cara hidup yang paling rasional, paling menguntungkan. Sama ketika Rawls mengemukakan prinsip keadilannya, dia menunjukkan bahwa prinsipnya itulah yang paling rasional. Kalau kita hidup dengan cara itu, orang akan tahu bahwa itu adalah yang paling rasional dan efisien

Page 91: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

91

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

dan harus disepakati bersama yang dia andaikan di original position. Tanpanya, orang akan rugi. Mungkin itu yang perlu diperjelas, apa justifikasi yang membuat orang harus mengakui prinsip pluralisme kewargaan, atau apa yang membuat negara itu tergerak untuk menjaga ruang publik supaya menjadi tempat yang kondusif?

Alex Junaidi

Tadi ada yang menyebut soal media yang justru tidak menumbuhkan suasana dialog. Di dunia jurnalistik ada konsep peace journalism, menurut saya itu bisa nyambung dengan pluralisme kewargaan. Di dalam peace journalism, cover both-side antara FPI dan seterunya saja tidak cukup, polisi dan lain-lainnya harus diajak bicara juga. Lalu prinsip yang lain adalah pembelaan terhadap korban, mempertanyakan otoritas negara, dan pada ujungnya mengutamakan peace dan resolusi konflik, tak hanya sebatas orang sudah berdamai tapi bagaimana kelanjutannya. Indonesia banyak contoh yang bagus. Studi kasus di Poso banyak

Page 92: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

92

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

masuk ke situ. Contoh jelek justru banyak di luar seperti di Rwanda media justru mengobarkan perang. Di Indonesia banyak contoh yang baik. Itu bisa nyambung dengan pluralisme kewargaan dan kompetensi kewargaan.

Anick HT

Seringkali teman-teman di lapangan punya dilema sendiri dalam konteks hukum dan peace, sebagai peace activist dan sebagai advokat. Susah sekali kita mendamaikan dua hal itu. Kalau peace memang harus ada yang mengalah. Kompromilah yang kemudian ada. Tapi keadilan memang harus mengalahkan salah satu pihak. Misalnya ketika membela orang Kristen, orang mempertanyakan, kenapa kamu orang Islam kok membela orang Kristen? Sisi Islam kamu di mana ketika dalam konteks hukum ini orang Islam pasti kemudian dikalahkan? Pemihakan terhadap korban atas dasar hukum dan HAM pasti mengorbankan orang Islam. Sementara pendekatan peace movement tidak begitu. Harus ada titik-temu antara kedua kutub ini. Ini

Page 93: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

93

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

yang agak rumit mengkompromikannya.

Zainal Abidin Bagir

Yang pertama mungkin tak ada pertanyaan khusus atau bagaimana?

Irsyad Rhafsadi

Pertanyaannya menyambung pertanyaan kak Ihsan soal insentif tadi. Bagaimana pluralisme kewargaan bisa meyakinkan sebagaimana argumen teologis meyakinkan argumennya berdasarkan landasan teologis. Pluralisme kewargaan ingin mendorong masyarakat supaya mengakui dan mengelola keragaman dan mendorong negara supaya bisa mengelola ruang publik itu bagaimana pendasaran dan rasionalisasinya? Bahwa itu memang menguntungkan atau harus dilakukan sebagaimana Rawls menjustifikasi teori keadilannya sebagai yang paling rasional itu bagaimana?

Zainal Abidin Bagir

Saya kira pada tingkat itu mungkin tak akan beda jauh dengan Rawls. Tapi

Page 94: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

94

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

satu hal lain, kita tentu tak bisa mulai dari nol atau vakum sama sekali, toh kita di Indonesia sudah ada nilai-nilai tertentu, ada Pancasila, UUD 1945 dan sebagainya. Itu sesuatu yang disebut Bhikhu Parekh sebagai operational basic values yang mungkin tak dirumuskan secara sistematis tapi kita tahu di dalam masyarakat kita punya kesepakatan-kesepakatan tertentu. Saya kira mulai dari situ, untuk menjaga kesepakatan itu. Saya kira Rawls juga begitu. Ada optimisme bahwa setiap masyarakat punya nilai-nilai yang bisa dikembangkan atau bisa menjadi alasan kenapa saya milih atau tak memilih ini. Kalau di Indonesia mungkin Pancasila.

Tadi ketika saya menyinggung soal kekerasan, siapa sih orang yang mau menerima atau melakukan kekerasan, sebetulnya idenya ke situ. Ada satu prinsip dari An-Naim yang dipakai di mana-mana juga, prinsip resiprokal. Saya tak melakukan kekerasan tak harus karena saya cinta damai atau apa tapi karena saya tak mau orang lain melakukan hal itu kepada saya. Jadi kenapa pemerintah

Page 95: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

95

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

harus menjaga ruang publik, ya karena bahkan kepentingan pragmatis pemerintah sekali pun membutuhkan itu. Argumen untuk itu sebetulnya tak sulit. Tapi seringkali kasusnya, saya menyebut SBY lagi, berpikirnya dua tahun ke depan. Kalau partai politik lebih lagi.

Ihsan Ali Fauzi

Tidak juga, bahkan soal yang kecil dan jangka pendek sekali pun. Saya ngobrol dengan Saiful cukup lama. Survei menyatakan bahwa tidak ada dukungan serius kepada negara Islam. Mereka tak akan menang di Indonesia. Kedua, dukungan kepada FPI dan sebagainya kecil. Itu kekerasan, bukan toleransi. Orang yang tidak toleran banyak itu biasa. Di Amerika juga seperti itu. Tetapi jangan gara-gara intoleransi maka orang memukul Ahmadiyah. Yang memberi dukungan untuk memukul Ahmadiyah itu sedikit. Sedikit itu cukup mengerikan tapi maksud saya kalau hanya 10 persen ya kamu bisa tegas terhadap mereka. Itu pun bentuknya dukungan, bukan orang melakukan kekerasan langsung terhadap

Page 96: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

96

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

Ahmadiyah. Dia sendiri belum tentu mau melakukan hal seperti itu. Jumlahnya di bawah 10 persen dan itu hampir semua survei.

Kalau kamu mau berpikir mengenai legacy, sekarang saatnya dua tahun lagi. Karena kalau tidak begitu, kamu akan dicatat sebagai presiden yang paling gagal seperti halnya Bush dicatat sebagai presiden yang gagal membela itu. Apalagi yang diperlukan? Semuanya sudah mendukung. Kita tak mengerti orang ini maunya apa?

Apalagi misalnya kalau mau meningkatkan kinerja Partai Demokrat, itu kan sangat teknis dan jangka pendek. LSI-nya Denny bilang bahwa dukungan kepada Demokrat turun antara lain karena kasus Irshad Manji yang dibiarkan. Saya tak terlalu yakin bahwa publik seserius itu tapi ya pakai saja itu. Amandemen dari 2000 sampai 2003 itu sudah terjadi dan itu makin memperkuat posisi pluralisme Indonesia. Mungkin harus shalat berjamaah bersama.

Page 97: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

97

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

Elza Taher

Saya nonton film pidato kampanye presiden di Prancis dan yang bicara salah satu tokoh rasis. Saya perhatikan pidatonya di beberapa tempat, semacam dokumentasi pidato-pidatonya Le Pen. Setelah saya perhatikan, terus terang saya kaget luar biasa. Tokoh ini dengan dukungan, kalau tak salah, 13 persen suara dalam pilpres tahun lalu, radikalnya luar biasa. Kalau kita perhatikan ceramah Rizieq Shihab misalnya, Le Pen jauh lebih sadis. Kampanyenya usir semua imigran. Bahkan dia mengutuk banyak pemain bola yang dianggap pahlawan di Prancis untuk angkat kaki di wilayahnya dan itulah yang dijanjikan dalam kampanye seandainya dia terpilih.

Tapi dia melakukan itu hanya sebatas kampanye, tak lebih dari itu karena dia hidup dalam koridor hukum. Keyakinan seperti itu tetap tumbuh bahkan di negara maju seperti Prancis. Saya juga ingat ada beberapa video di Amerika di mana kelompok-kelompok fundamentalis di sana juga luar biasa. Pandangannya

Page 98: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

98

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

tentang orang asing itu kejam sekali, lebih kejam dari FPI. Tapi mereka tak bisa bertindak memaksakan kehendaknya kepada masyarakat lewat cara-cara kekerasan. Ketika mereka melakukan kekerasan maka hukum bertindak.

Saya kira pandangan keagamaan dari A sampai Z yang sekarang ada di sini, dari orang seperti Zuhairi sampai ke Rizieq Shihab, akan tetap tumbuh. Dari awal seperti ini spektrumnya.

Persoalannya negara lemah ketika hukum dilanggar. Persoalannya kita buat simpel saja. Kalau hukum ditegakkan, orang FPI tidak akan bisa berbuat semena-mena. Tapi keyakinan mereka bahwa orang lain sesat itu tetap sah diyakininya, sebagaimana saya menganggap FPI bukan Islam. Itu sah-sah saja. Yang tidak dibenarkan adalah ketika terjadi pemaksaan keyakinan dia kepada yang lain dan itu lewat cara-cara kekerasan. Persoalannya adalah adanya payung hukum yaitu negara. Saya kira itulah problem kita di zaman SBY ini.

Page 99: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

99

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

Husni Mubarak

Saya tambahkan sedikit. Ada dua prinsip dalam penegakan hukum. Pertama, zero tolerance dan yang kedua community policing. Di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa Barat, mereka memang pakai zero tolerance, masyarakat sudah menyerahkan sepenuhnya ke polisi. Kalau ada kekerasan, saya serahkan kepada polisi karena saya yakin polisi tidak akan terjerumus pada otoritarianisme lama.

Cynthia Lum pernah mengkaji 20 negara transisional, dia bertanya kepada polisi-polisi di sana. Pilihan mereka daripada zero tolernace mending community policing karena mereka kalau bertindak tegas takut kembali ke zaman seperti Suharto dulu. Itu yang paling sulit. Di zaman Suharto kalau tidak ABRI ya polisi, baik itu karena perintah atasan atau mencari uang. Reformasi pertama-tama ingin memisahkan itu dan bagaimana polisi tidak semena-mena menggunakan senjata. Desakan-desakan itu yang akhirnya membuat mereka memilih community policing.

Page 100: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

100

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

Pluralisme kewargaan harus memikirkan bagaimana agar mulai melibatkan apa yang saya sebut tadi sebagai kapasitas negara supaya lebih baik lagi. Pluralisme kewargaan melibatkannya dalam semua proses dialog supaya mereka tahu bahwa yang kita maksud bukan ingin menyamakan semua pandangan melainkan bagaimana polisi memastikan tak ada kekerasan biar kami bisa berdialog dan sebagainya.

Karena pilihannya community policing, maka bukan hanya polisi, tapi juga Kemenag, Menkumham, dan lainnya akan mempertimbangkan respon masyarakat karena mereka takut dianggap melanggar HAM. HAM bisa kita pakai tapi bisa dipakai FPI juga ketika mereka jadi korban. Saya kira meski ranah pluralisme kewargaan itu negara dan masyarakat tapi itu bukan dua wilayah yang berjauhan, harus dikombinasikan.

Khairil Azhar

Pertanyaan saya sederhana, bagaimana pluralisme kewargaan mungkin dilaksanakan? Apakah ada contoh kasus

Page 101: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

101

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

di negara lain yang mungkin mirip dengan Indonesia sehingga kemungkinannya menjadi lebih besar. Itu akan membantu kita untuk memperkuat asumsi-asumsi kita.

Zainal Abidin Bagir

Saya setuju apa yang disampaikan Mas Elza tadi. Kita sekarang bicara pluralisme teologis, bicara bagaimana caranya menyebarkan kesadaran dan seterusnya, itu karena keresahan atas kasus-kasus itu. Padahal kalau kasus-kasus itu ditangani dengan baik, kita tak akan seresah sekarang. Kalau ada orang anti Ahmadiyah tapi orang Ahmadiyah tak diapa-apakan, saya kira saya tak akan terlalu resah. Saya resah karena ada yang dibunuh, diganggu, dilempari dan sebagainya.

Contoh tadi, Amerika juga sampai sekarang tak kurang intoleran masyarakatnya. Tapi hukum jalan. Obama waktu Islamic Centre mau dibangun di Ground Zero pemihakannya jelas. Orang merasa aman. Itulah yang saya kira sekarang kita tak punya.

Page 102: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

102

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

Ihsan Ali Fauzi

Ketika ada seorang pastor di Florida yang mau membakar Qur’an, kamu tak bisa berbuat apa-apa. Di negara demokratis orang boleh menyatakan pendapatnya dan sebagainya. Tapi Obama bilang, si pastor itu, dia tak sebut namanya, kita tak bisa melarangnya dan sebagainya, tapi dia menyatakan tak setuju sama sekali. Dan rencana itu tidak jadi, kan?

Anick HT

Saya khawatir kalau kita terlalu menyederhanakan masalah pada kekerasan saja. Kalau harus memilih antara Indonesia dengan segala kekerasannya dibanding Arab Saudi yang aman-aman saja, kita tetap memilih Indonesia. Targetnya jangan terlalu disederhanakan bahwa kalau tak ada kekerasan kita tak resah.

Zainal Abidin Bagir

Kekerasan di negara demokratis. Ada masalah tapi kita bisa atasi.

Page 103: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

103

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

Zuhairi Misrawi

Tapi di Prancis tak ada yang seperti FPI.

Zainal Abidin Bagir

Siapa bilang tidak ada. Perbedaannya “FPI” sana tak bisa melakukan seperti FPI di sini.

Ihsan Ali Fauzi

Menyambut komentar Elza tadi: itu istrinya Le Pen. Dulu Le Pen kalah. Dia ultranasionalis, sekarang istrinya yang maju. Di antara ketiga calon yang lain, dia yang paling ultrakonservatif. Yang di tengah itu Sarkozy. Yang tengah saja sudah membuat kita benci kalau kita dengar omongannya. Ketiga adalah Hollande yang Sosialis. Le Pen berbicara seperti itu memang tak terjadi karena dia tak berkuasa.

Fakta bahwa dia bicara keras banyak sekali di negara Skandinavia karena kekhawatiran akan imigran. Ketika terjadi krisis ekonomi, yang pertama disalahkan

Page 104: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

104

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

adalah siapa orang asing yang bisa dengan mudah dianggap biang keladi. Itu biasanya imigran. Di Indonesia, etnis Cina. Mengapa tidak terjadi karena dia tak terpilih. Ada arus utama yang masih menggunakan akal sehat bahwa orang gila seperti dia jangan dipilih. Jualan anti-imigrannya Sarkozy agar terpilih sangat menjijikan tapi toh dia masih kalah.

Waktu saya di Denmark, ada salah satu instruktur kami yang bilangL: kami tak bisa berbuat apa-apa soal kartun Jyllands Posten yang anti-Muhammad karena itulah kebebasan berekspresi. Tapi sesudah kartun itu keluar, muncul dukungan terhadap orang Islam, ada kebencian terhadap model ekspresi keagamaan seperti Jyllands Posten itu, dan itu ditunjukkan di publik. Orang demonstrasi di mana-mana mengecam kartun itu.

Ada dua prinsip yang dalam kasus ini bertubrukan. Pertama adalah kebebasan berkekspresi yang salah satu bentuknya adalah penghinaan kepada Muhammad. Tapi orang Islam di sana juga menyadari

Page 105: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

105

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

bahwa ini adalah kebebasan berekspresi dan mereka berdemo. Mereka berdemo dibantu orang-orang Denmark yang tidak setuju terhadap kartun itu. Di situlah civic capacity bermain. Jadi orang sudah sadar bahwa oke kamu boleh bicara seperti itu, tapi saya boleh mengajukan protes tandingan. Dua prinsip itu diselamatkan dengan tanpa ada kekerasan sama sekali karena negara bekerja.

Satu lagi, bulan lalu saya ikut workshop mengenai HAM di Denmark. Kalau bicara HAM, yang kita tahu ada duty barriers dan ada rights holders, manusia. Manusia adalah rights holders yang berhak untuk memperoleh hak-hak tertentu seperti beragama dan sebagainya. Kalau kamu berada di Denmark, tak peduli kamu orang Islam, orang Indonesia atau apa, kamu di Denmark, human rights kamu akan dilindungi dan dipenuhi. Karena itu human rights bukan citizen rights.

Yang kedua adalah tugas pemerintah melakukan itu sebagai duty barriers. Karena ada dua ujung tombak seperti itu maka dalam semua hal, dalam

Page 106: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

106

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

perencanaan, training dan sebagainya, kedua hal ini harus dilibatkan. Jadi bukan hanya orang Ahmadiyahnya yang di-training, tapi orang Depagnya harus ada di situ, polisinya harus ada di situ. Itu sudah jadi prinsip buat mereka. Suruh polisi dan pemimpin agama ngobrol. Tak bisa hanya salah satu dan saling menyalahkan karena masing-masing punya masalahnya sendiri.

Yang membuat saya agak gembira karena ini perkembangan-perkembangan baru. Kita tak suka kerjasama dengan polisi, menjengkelkan. Diundang sudah oke lalu membatalkan sembarangan. Tapi ya harus sabar menghadapi mereka dan menghadapi teman-teman kita yang sinis terhadap polisi. Intinya rights holders dan duty barriers itu harus duduk bareng di meja yang sama melakukan perencanaan. Itulah equality, partnership.

Zainal Abidin Bagir

Saya mau kasih beberapa contoh, ada yang menarik, misalnya di Inggris. Belum lama ini, tahun 2009, ada rencana

Page 107: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

107

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

jauh-jauh hari untuk demonstrasi anti-Muslim. Polisi tahu dan yang dilakukan polisi adalah tidak melarang itu. Ini bagian dari kebebasan. Tapi polisi mencoba menurunkan tensi di wilayah itu, bicara dengan orang-orang di sekitar situ. Kekhawatirannya kan orang nanti diprovokasi lalu balas. Polisi berhasil menurunkan tensi itu sampai tiba waktunya tanggal 23 Januari 2010 berdemo dan terjadi kekerasan karena ada yang melempari toko-toko Asia Selatan dan sebagainya. 21 pelaku ditangkap dan ditahan 16 bulan. Kasus seperti ini terjadi dan buruk tapi ini diatasi dengan baik dan jadi pelajaran juga buat orang lain. Kamu melempari, kamu masuk penjara 16 bulan.

Yang menarik juga di sini ada bandingan contoh kasus hate crime. Yang pertama kasus pembakaran masjid di Seattle Amerika Serikat dua hari setelah peristiwa 11/9, satu lagi kasus penyerangan jamaah Ahmadiyah di Cikeusik. Pelaku pembakaran Masjid Seattle ini bawa mobil, dia marah, WTC masih berkobar, naik mobil 25 mil ke salah satu masjid

Page 108: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

108

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

yang dia tahu di Seattle. Dia taruh mobilnya di situ lalu bawa mobil satu lagi dan dibakar dengan harapan kena ke masjidnya. Akhirnya masjidnya tak rusak, hanya kena sedikit-sedikit. Lalu orang-orang keluar, dia keluarkan pistol dan menembaki mereka tapi itu pun tak ada yang kena juga. Meski begitu dia ditangkap dan ditahan 6,5 tahun. Itu penahanan yang paling besar karena di antaranya dia pakai senjata dan jelas berbasiskan pada diskriminasi agama. Bandingkan dengan Cikeusik yang hanya dihukum tiga bulan sementara yang mati tiga orang. Di Amerika, bagaimana pun terdiskriminasinya orang Islam, mereka tahu bahwa mereka tak bisa diganggu. Kalau mereka diganggu mereka lapor, diurus. Iutlah saya kira yang tak ada di sini. Tentu sama sekali bukan berarti di Amerika orangnya toleran semua. Orang yang gila banyak tapi tak ada kesempatan.

Tantowi Anwari

Di buku itu Nanan Sukarna menulis tentang hate peech bagus sekali. Kalau mendengar polisi membicarakan HAM

Page 109: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

109

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

miris juga. Dia pernah bilang bahwa HAM tidak universal. Apa yang terjadi di Indonesia harus memakai hukum-hukum yang ada di Indonesia. Itu sama ketika saya berbincang dengan Boy Rafli Amar di JakTV. Kata dia kebebasan itu tidak berarti semuanya diperbolehkan. Ada batasnya. Tentu saja. Tapi poin dia HAM itu tidak universal. Kita harus melihat konteks Indonesianya. Ketika polisi banyak diserang karena melanggar HAM, dia bilang jangan pakai senjata HAM, itu tidak absah. Di Indonesia pakailah hukum sendiri. Hampir semua seperti itu. Mereka mau bersembunyi dari kesalahan-kesalahan mereka.

Zainal Abidin Bagir

Di sini menarik. Sudah buang saja HAM, pakai peraturan Kapolri. Saya terus terang agak terkejut. Ini peraturan Kapolri tahun 2009, “Instrumen perlindungan HAM yang perlu diperhatikan oleh setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas berdasarkan pasal sekian dan sekian meliputi hak khusus kelompok minoritas seperti etnis, agama, penyandang cacat,

Page 110: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

110

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

orientasi seksual.” Ini peraturan Kapolri.

Ihsan Ali Fauzi

Saya juga kaget lihat program polisi akan sangat baik. Standar-standar HAM itu hanya menjadi standar norma untuk melihat kasus, adakah kasus pelecehan dan sebagainya. Kita diminta oleh petunjuk pelaksanaan evaluasi HAM itu untuk pertama-tama melihat undang-undang dan konstitusi. Kita punya argumentasi yang kuat dari segi itu dari instrumen yang kita punya sendiri.

Tapi masalahnya kadang kita tak paham betul definisinya. Yang dimaksud diskriminasi itu apa? Awareness mengenai hak anti-diskriminasi di Uni Eropa itu baru. Ini lho yang disebut diskriminasi dan saya sedang melakukan kampanye anti-diskriminasi dengan memberi tahu bahwa kamu punya hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif. Orang-orang yang bisa membantu dikontak. Polisi baru bisa bikin yang seperti ini, dia tak hapal, apa yang dimaksud anti-diskriminasi tak tahu.

Page 111: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

111

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

Alex Junaidi

Untuk kasus Indonesia memang tak cukup kalau cuma mencegah kekerasan. Kasus Indonesia yang disasar masyarakat sipil bukan hanya kekerasan karena jumlah presentase masyarakat yang intoleran bisa mengarah pada kekerasan kalau dibiarkan. Proyeknya tak hanya menghentikan kekerasan tapi membatasi dan mencegahnya.

Ihsan Ali Fauzi

Lagi-lagi dalam hal ini media penting sekali. Besok kita akan lihat film Julia Bacha tentang peristiwa perlawanan tanpa senjata terhadap pendudukan Israel di satu desa di Palestina, Budrus. Itu tahun 2003 dan berhasil karena berhasil meyakinkan partai politik supaya gabung bersama dan tanpa pakai senjata. Mereka berhasil juga karena didukung aktivis perdamaian yang adalah rakyat Israel yang datang ke sana, dan ada perempuan juga.

Julia Bacha baru berhasil memfilmkannya tahun 2007 dan dia memberi pidato bagus

Page 112: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

112

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

sekali di TED. Kata dia, kalau media tak perhatian dan saya tak memfilmkannya, sejarah Budrus akan hilang. Dia bilang where is Palestinian Gandhi? Itu ada di sana dan berhasil, beberapa kali masuk ke TV Israel dan sebagainya tapi tak ada yang memberitakan. Bacha meminta media, tolong lihat film seperti ini dan tulis. Penting sekali kita memiliki kesadaran bahwa masalah bisa dipecahkan secara baik, tanpa kekerasan. Justru kata dia masalah itu selesai karena tak pakai kekerasan.

Jamal D. Rahman

Dari tadi saya bertanya-tanya apa pentingnya pluralisme dan multikulturalisme sebagai landasan teoritis untuk tata kelola kebersamaan sebagai warganegara dan bukan Bhineka Tunggal Ika. Kita berlelah-lelah menggali pluralisme, multikulturalisme dan sebagainya. Tadi diskusi sudah panjang lebar, bagaimana keragaman mengandaikan kesetaraan, bagaimana keragaman tak terhindarkan. Lalu kalau dulu untuk membangun kebersamaan

Page 113: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

113

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

kita mencari kesamaan, pluralisme dan multikulturalisme punya pandangan beda. Membangun kebersamaan atas dasar kesamaan itu jadul, kuno. Kalau sama sudah pasti satu. Tak usah dikatakan bahwa untuk bersatu kita mencari kesamaan. Kalau sama sudah pasti bersatu. Bukan karena sama kita harus bersatu tetapi justru karena kita berbeda kita harus bersatu. Itu dasarnya.

Tapi rumusan itu semua, pluralisme dan multikulturalisme, dibangun dari pengalaman-pengalaman empiris. Dan pengalaman-pengalaman empiris itulah yang menjadikan pluralisme dan multikulturalisme relevan untuk kita dan punya peluang dan kemungkinan operasional, bahkan lebih operasional ketimbang Bhineka Tunggal Ika. Kenapa Bhineka Tunggal Ika tidak operasional?

Kita tahu Bhineka Tunggal Ika diambil dari Sutasoma, Mpu Tantular abad ke-14. Kalau kita baca Sutasoma atau konteks Bhineka Tunggal Ika dalam Sutasoma, itu kan konsep metafisis yang menegaskan bahwa Budha dan Siwa itu beda tapi

Page 114: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

114

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

satu. Jadi konsep metafisis yang sangat abstrak tiba-tiba sekarang dijadikan dasar untuk kebersamaan dalam pengalaman-pengalaman konkrit. Ada kesulitan yang sangat serius bagi operasionalisasi Bhineka Tunggal Ika sebagai konsep abstrak yang harus dikonkretkan.

Pluralisme dan multikulturalisme itu pada hemat saya lebih operasional meski tadi masih ada kesulitan di sana-sini. Tapi karena ini berangkat dari pengalaman-pengalaman konkrit dan akan terus dipermatang, pluralisme dan multikulturalisme memberi harapan.

Tapi meski yang lama dan yang baru beda, yang lama mencari kesamaan, yang lain mengakui perbedaan, tapi jalan keluarnya sama, yaitu dialog. Yang pertama kan juga dialog agama dan sebagainya. Yang ini juga dialog. Kenapa dasarnya beda jalan keluarnya sama? Untuk membangun kebersamaan itu, baik atas dasar kesamaan maupun perbedaan, sama-sama dialog. Artinya jalan keluarnya sama saja.

Page 115: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

115

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t

Zainal Abidin Bagir

Pertanyaannya mungkin dialognya untuk apa, untuk mencari kesamaan atau mengakui perbedaan?

Ihsan Ali Fauzi

Saudara-saudara bagus sekali diskusi kita, dari jam 7.30 sampai jam 11. Zainal Mungkin mau memberi penutup.

Zainal Abidin Bagir

Saya yang terakhir saja, soal operasionalisasi itu memang penting. Salah satu persoalan kita mungkin adalah pengetahuan kita belum cukup banyak soal bagaimana itu dioperasionalkan, mau Bhineka Tunggal Ika, pluralisme, atau multikulturalisme.

Itu salah satu tugas penting di mana kita sedikit banyak, seperti di buku ini dan buku yang lain, ingin melihat bagaimana pada praktiknya ini berjalan di masyarakat. Saya kira akarnya bisa ditemukan di situ.

Page 116: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

116

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

Pe rpus t a

De

moc

racy

Ihsan Ali Fauzi

Ya memang setan itu ada dalam detail, kita harus masuk ke dalam diskusi yang lebih teknis. Ada beberapa level yang harus kita dalami. Penelitiannya Husni mungkin menarik untuk kita baca. Kalau sudah ke detail mungkin tak bisa kita diskusikan kecuali kita baca bersama-sama, misalnya state and illegality di Indonesia. Itu sangat menarik dan sangat teknis mengenai korupsi di PU dan sebagainya. Mudah-mudahan kita bisa sampai di sana, membaca yang kecil-kecil tetapi ada sesuatu di sana daripada kita bicara yang besar-besar.

Oke terima kasih banyak atas kehadirannya. Bulan depan kita berdoa semoga Mbak Lies sudah sembuh. Saya masih ingin kita membaca isu jender. Nanti saya umumkan segera. Teman-teman terima kasih semuanya. Mohon maaf. Assalamu’alikum wr. wb.

Page 117: a t MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PERBEDAAN...Sebetulnya itulah awal mula kenapa kita menggagas baik buku ini maupun yang lain-lain. Itu menjadi awal dari program yang berjalan agak

117

Review Diskusi

Edisi 005, Juni 2012

k a an Di g

i ta

l

Pro j ec t© 2012

Review diskusi ini diterbitkan oleh Democracy Project, Yayasan Abad Demokrasi.Untuk berlangganan, kunjungiwww.abad-demokrasi.com

Jika anda berminat mendapatkan makalah yang dipresentasikan pada diskusi ini, silakan klik form permintaan pada website kami. Kode naskah: ZAB001

Transkripsi: M. Irsyad RhafsadiRedaksi: Anick HT