39 BAB III DEKLINASI MAGNETIK KOTA SALATIGA A. Gambaran umum Kota Salatiga Sebelum membahas permasalahan kiranya penting sekali mengenal Kota Salatiga sebagai tempat penelitian dilakukan. Mengenal tempat penelitian berarti membuat gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat, sehingga peneliti dapat menata pondasi terhadap tindakan serta keputusan dalam penelitiannya (Nazir, 1988: 27). 1. Sosio Historis Kota Salatiga Sartono Kartodirjo menyatakan bahwa studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian informatif, tetapi juga melacak pelbagai struktur masyarakat, pola kelakuan, kecenderungan proses dan lain-lain. Semuanya menuntut alat analisa tajam dan mampu mengekstrapolasikan fakta, unsur, pola, dan sebagainya. Keadaan inilah yang menyebabkan lahirnya reapproachement atau proses saling mendekati antara ilmu sejarah dengan ilmu sosial (Kartodirjo, 1993: 120). Proses saling mendekati antara ilmu sejarah dengan ilmu sosial, yang disebut dengan sejarah sosial, memiliki pembahasan yang sangat panjang. Agar pembahasan tersebut tidak lepas dari substansi penelitian ini peneliti hanya membatasi tiga pembahasan, yaitu, sejarah umum Kota Salatiga, jumlah penduduk, dan kondisi keagamaan. a. Sejarah Kota Salatiga Salatiga telah dikenal menjadi daerah pemukiman sejak sebelum ditetapkan sebagai daerah administratif oleh Belanda. Ada empat versi asal
32
Embed
A. Gambaran umum Kota Salatiga - EPrintseprints.walisongo.ac.id/1499/5/115112076_Tesis_Bab3.pdfsosial, hubungan politik agama, pendidikan dalam bentuk beasiswa, serta pembagian mie
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
39
BAB III DEKLINASI MAGNETIK KOTA SALATIGA
A. Gambaran umum Kota Salatiga
Sebelum membahas permasalahan kiranya penting sekali mengenal Kota
Salatiga sebagai tempat penelitian dilakukan. Mengenal tempat penelitian
berarti membuat gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat, sehingga
peneliti dapat menata pondasi terhadap tindakan serta keputusan dalam
penelitiannya (Nazir, 1988: 27).
1. Sosio Historis Kota Salatiga
Sartono Kartodirjo menyatakan bahwa studi sejarah tidak terbatas pada
pengkajian informatif, tetapi juga melacak pelbagai struktur masyarakat, pola
kelakuan, kecenderungan proses dan lain-lain. Semuanya menuntut alat
analisa tajam dan mampu mengekstrapolasikan fakta, unsur, pola, dan
sebagainya. Keadaan inilah yang menyebabkan lahirnya reapproachement
atau proses saling mendekati antara ilmu sejarah dengan ilmu sosial
(Kartodirjo, 1993: 120).
Proses saling mendekati antara ilmu sejarah dengan ilmu sosial, yang
disebut dengan sejarah sosial, memiliki pembahasan yang sangat panjang.
Agar pembahasan tersebut tidak lepas dari substansi penelitian ini peneliti
hanya membatasi tiga pembahasan, yaitu, sejarah umum Kota Salatiga,
jumlah penduduk, dan kondisi keagamaan.
a. Sejarah Kota Salatiga
Salatiga telah dikenal menjadi daerah pemukiman sejak sebelum
ditetapkan sebagai daerah administratif oleh Belanda. Ada empat versi asal
40
usul Kota Salatiga. Pertama, asal usul Salatiga bersumber pada cerita rakyat
tentang perjalanan Ki Ageng Pandanaran dalam mencari wahyu. Kedua, asal
usul Salatiga bersumber pada Babad Demak dalam Asmaradhana tentang
pertemuan Ki Ageng Pandanaran dengan Sunan Kalijaga. Ketiga, keputusan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 25 Juni 1917 nomor 1, staatsblads
1917 no. 266 yang berisi mengenai penjelasan tanggal 1 Juli 1917 tentang
pendirian Stads Gemeente Solotigo. Keempat, bersumber pada prasasti
plumpungan yang menjelaskan bahwa Salatiga dahulu merupakan daerah
perdikan bernama Hampra (Baehaqi, 2002: 182).
Prasasti Plumpungan menjadi dasar penetapan Kota Salatiga. Prasasti
adalah cikal bakal lahirnya Salatiga. Prasasti ini tertulis dalam batu besar
berjenis andesit berukuran panjang 170cm, lebar 160cm dengan garis lingkar
5 meter yang selanjutnya disebut Prasasti Plumpungan. Berdasarkan prasasti
ini yang ditemukan di Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan
Sidorejo, maka Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi. Pada waktu itu
Salatiga merupakan “perdikan”. Perdikan artinya suatu daerah dalam wilayah
kerajaan tertentu yang dibebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti
karena memiliki kekhususan tertentu (Supangkat, 2007: 4).
Prasasti Plumpungan memuat ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan
status tanah perdikan atau swantantra bagi Desa Hampra. Penetapan
ketentuan Prasasti Plumpungan ini merupakan peristiwa yang sangat penting,
khususnya bagi masyarakat di daerah Hampra. Penetapan prasasti merupakan
titik tolak berdirinya daerah Hampra yang secara resmi sebagai daerah
perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat prasasti itu berada, kini
41
masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian daerah Hampra
yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada zaman
pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini (Supangkat, 2007:
4).
Pada masa kolonial, Salatiga tercatat sebagai tempat ditandatanganinya
perjanjian antara Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said, yang kelak
menjadi KGPAA Mangkunegara I, dengan VOC. Perjanjian tersebut terkenal
dengan sebutan perjanjian Salatiga. Isi perjanjian ini adalah membagi Keraton
Surakarta ke dalam dua bagian. Pertama, daerah Kasunan yang diperintah
Pakubuwono III. Kedua, daerah Mangkunegaran, yang diberikan kepada
Raden Mas Said (Swantoro, 2002: 300).
Pada zaman penjajahan, Belanda telah cukup jelas memberi batas dan
status Kota Salatiga. Berdasarkan Staatsblad 1917 No. 266 Mulai 1 Juli 1917
didirikan Stadsgemeente Salatiga yang daerahnya terdiri dari 8 desa. Karena
dukungan faktor geografik, udara sejuk dan letak yang sangat strategis, maka
Salatiga cukup dikenal keindahannya di masa penjajahan Belanda. Belanda
bahkan memberi julukan Solotigo Schoonste Stad Van Mindden Java, yang
artinya Kota Salatiga yang terindah di Jawa Tengah (Baehaqi, 2002: 177).
Penetapan suatu daerah menjadi gemeente, yang salah satu faktornya
adalah terdapat minimal 10% orang kulit putih yang bertempat tinggal di
daerah tersebut, menyebabkan jumlah kaum kulit putih termasuk banyak.
Orang kulit putih bukan semata-mata orang Belanda, orang-orang Eropa non
Belanda dan bangsa lain, termasuk etnis Cina juga disejajarkan dengan orang
Belanda. Pada tahun 1905 menjelang ditetapkannya Salatiga sebagai
42
gemeente dari 12.000 orang penduduk Salatiga, jumlah orang kulit putih di
Salatiga meningkat menjadi 2.681 jiwa. Jika diprosentase, jumlah ini lebih
dari 17% dari jumlah populasi sehingga memperbolehkan Salatiga dijadikan
gemeente (Supangkat, 2007: 5).
Untuk melihat pertumbuhan Salatiga secara global dapat digunakan
periodesasi perkembangan masyarakat Salatiga dalam empat fase. Pertama,
masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Kedua, masa awal
Kemerdekaan, melewati peristiwa 1965, dan berpuncak pada tahun 1971.
Ketiga, masa antara tahun 1971 sampai kira-kira tahun 1990. Keempat, masa
di antara tahun 1990 sampai tahun 2000 (Baehaqi, 2002: 177).
Keempat fase pertumbuhan tersebut ditandai oleh peristiwa dan
kecenderungan umum yang berkembang di dalam kemasyarakatan beserta
implikasi kemasyarakatannya. Pada masa pertama ditandai oleh kebijakan
Hindia Belanda yang menetapkan Salatiga menjadi kota peristirahatan dengan
sektor pertanian dan perkebunan sebagai aktifitas ekonomi utama. Masa
kedua ditandai oleh proses nasionalisasi aset Hindia Belanda dan swasta
asing, terutama diperuntukkan bagi pengadaan tangsi-tangsi militer dan
perkantoran daerah, termasuk aset perkebunan dan pertanian yang ada
(Baehaqi, 2002: 189).
Masa ketiga ditandai oleh suasana semakin mencairnya ketegangan
antara agama dan negara, munculnya kaukus-kaukus dialog antar tokoh
masyarakat secara mandiri bersamaan dengan semangat reorientasi hubungan
politik, agama, dan pendidikan, juga penemuan penguatan identitas bersama.
Penemuan penguatan identitas bersama yang diwujudkan dengan Kota,
43
disebabkan situasi internal maupun eksternal berupa konflik horizontal di
banyak tempat yang mampu menjadi pengalaman anti klimaks bagi kalangan
elit tokoh masyarakat Salatiga (Baehaqi, 2002: 189).
Pada tahun 1987 konflik di Salatiga datang dan terjadi dengan diiringi
latar hubungan antara agama, terutama Islam, dan Negara, terutama sistem
politik orde baru yang bersifat menguasai. Hubungan antara Islam-Kristen
sedang diwarnai gencarnya isu kristenisasi, kecenderungan pola kegiatan
sosial, hubungan politik agama, pendidikan dalam bentuk beasiswa, serta
pembagian mie dan beras (Baehaqi, 2002: 195).
b. Jumlah penduduk
Pada akhir tahun 2012 jumlah penduduk di Kota Salatiga berjumlah
186.143 orang sebagaimana tercantum dalam laporan Sistem Informasi Profil
Daerah semester II (Bappeda Salatiga, 2013: 3). Jumlah penduduk penting
untuk diketahui, karena dengan mengetahui jumlah penduduk maka akan
diketahui pula asumsi pertumbuhan sekaligus penyebaran ke lahan-lahan
baru. Penyebaran ke lahan-lahan baru menuntut pembangunan masjid, surau,
gereja, dan tempat peribadatan lain.
c. Kondisi keagamaan
Jumlah penduduk agama Islam sampai denagn akhir tahun 2012 adalah
146.308 orang, jumlah penduduk beragama Katolik 9.865 orang, jumlah
penduduk beragama Kristen 28.963 orang, jumlah penduduk beragama Budha
898 orang, jumlah penduduk beragama Hindu 100 orang, dan jumlah
penganut kepercayaan yang lain 9 orang (Bappeda Salatiga, 2013: 3). Pada
tahun 2012 jumlah masjid 200, jumlah surau 293 (Bappeda Salatiga, 2013: 3).
44
Pembangunan masjid-masjid baru menuntut pengukuran arah kiblat secara
akurat. Pada bagian inilah penggunaan kompas sebagai penunjuk arah perlu
dipahami dengan baik.
2. Geografis Astronomis Kota Salatiga
Geografi merupakan ilmu pengetahuan yang mencitrakan, menerangkan
sifat-sifat Bumi, menganalisis gejala-gejala alam dan penduduk, serta
mempelajari corak yang khas mengenai kehidupan dan berusaha mencari
fungsi dari unsur-unsur Bumi dalam ruang dan waktu (Utoyo, 2007: 3). Bisa
dilihat bahwa obyek kajian geografi tidak hanya terbatas pada sifat-sifat
Bumi, tetapi juga mencakup gejala alam maupun penduduk.
Adapun astronomi adalah bidang ilmu yang mempelajari secara ilmiah
tentang angkasa dan isinya. Astronomi sangat berbeda dengan astrologi yang
sama sekali tidak memiliki dasar ilmiah dan menganjurkan kepercayaan
bahwa benda-benda langit dapat mempengaruhi kehidupan manusia (Kerrod,
2005: 7).
Agar penelitian ini tidak keluar dari ruang lingkup kajian maka harus ada
pembatasan. Pembatasan tersebut adalah pembahasan mengenai geografik
astronomis disini meliputi tiga hal, yaitu: letak Salatiga secara geografik
astronomis, penggunaan lahan, dan keadaan iklim.
a. Letak geografik astronomis
Sisi astronomi disini akan membahas letak Kota Salatiga dari Bujur
Timur (BT) dan Lintang Selatan (LS). Kota Salatiga terletak di antara 07° 17’
dan 07° 23’ Lintang Selatan dan di antara 110° 27’56,81” dan 110° 32’4,64”
45
Bujur Timur (Bappeda Salatiga, 2012: 1). Secara Geomorfologi, Salatiga
berada pada cekungan, kaki gunung Merbabu di antara gunung-gunung kecil
antara lain Gajah Mungkur, telomoyo dan Payung Rong yang membuat hawa
Kota Salatiga cukup sejuk (Bappeda Salatiga, 2012: 4). Dengan kondisi
seperti ini kota Salatiga sangat strategis untuk pariwisata dan berpotensi
sebagai kota transit (Bappeda Salatiga, 2009: 2).
Pada awalnya Kotamadya Salatiga hanya terdiri dari satu kecamatan saja,
yaitu Kecamatan Salatiga. Seiring dengan adanya pemekaran wilayah, Kota
Salatiga mendapatkan beberapa tambahan daerah yang berasal dari
Kabupaten Semarang. Hingga sekarang, secara administratif Kota Salatiga
terdiri dari 4 Kecamatan dan 22 Kelurahan. Kecamatan dan Kelurahan
tersebut meliputi:
1. Kecamatan Sidorejo, terdiri dari 6 kelurahan:
Blotongan, Sidorejo Lor, Salatiga, Bugel, Kauman Kidul, dan Pulutan.
2. Kecamatan Tingkir, terdiri dari 6 kelurahan:
Kutowinangun, Gendongan, Sidorejo Kidul, Kalibening, Tingkir Lor, dan
Tingkir Tengah.
3. Kecamatan Argomulyo, terdiri dari 6 kelurahan:
Noborejo, Ledok, Tegalrejo, Kumpulrejo, Randuacir, dan Cebongan.
4. Kecamatan Sidomukti, terdiri dari 4 kelurahan:
Kecandran, Dukuh, Mangunsari, dan Kalicacing (Bappeda Salatiga,
2012: 3)
46
Wilayah Kota Salatiga dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Semarang.
Batas-batas Kota Salatiga adalah sebagai berikut (Bappeda Salatiga,
2012: 4):
Sebelah utara:
Kecamatan Pabelan: Desa Pabelan dan Desa Pejaten.
Kecamatan Tuntang: Desa Kesongo dan Desa Watuagung.
Sebelah Selatan:
Kecamatan Getasan: Desa Sumogawe, Desa Samirono dan Desa Jetak.
Kecamatan Tengaran: Desa Pateman dan Desa Karang Duren.
Sebelah Timur:
Kecamatan Pabelan: Desa Ujung-ujung, Desa Sukaharjo dan Desa Glawan.
Kecamatan Tengaran: Desa Bener, Desa Tegal Waton dan Desa Nyamat.
Sebelah Barat:
Kecamatan Tuntang: Desa Candirejo, Desa Jombor, Desa Sraten dan Desa
Gendongan.
Kecamatan Getasan: Desa Polobogo.
Berjarak 53 km dari Solo dan 100 km dari Yogyakarta, serta dilalui oleh
jalan Arteri Primer (jalan nasional) Semarang-Solo, Salatiga menjadi
perlintasan dua kota besar di Jawa Tengah (Semarang dan Solo) serta
perlintasan dari Jawa Timur (jalur tengah) ke Semarang dan Jawa Barat
sehingga transportasi darat melalui Salatiga cukup ramai (Bappeda Salatiga,
2009: 2).
47
b. Penggunaan lahan.
Pada tahun 2012 luas wilayah kota Salatiga tercatat sebesar 5.678,110
hektar atau 56.781 km². Luas yang ada, terdiri dari 798,932 hektar (14, 07 %)
lahan sawah; 4.680,195 hektar atau (82,43 %) merupakan lahan kering dan
198,983 hektar (3,50 %) adalah lahan lainnya (Bappeda Salatiga, 2013: 1).
Menurut pemanfaatannya, sebagian besar lahan sawah digunakan sebagai
lahan sawah berpengairan teknis (44,26 %), lainnya berpengairan setengah
teknis, sederhana, tadah hujan, dan lain-lain. Lahan kering yang dipakai untuk
tegal/kebun sebesar 95,92 % dari total bukan lahan sawah (Bappeda Salatiga,
2012: 1).
c. Keadaan iklim.
Keadaan iklim di suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan
topografi, dan perputaran / pertemuan arus udara. Jumlah curah hujan yang
beragam sangat bergantung pada bulan dan letak stasiun pengamatan.
Berdasarkan letak geografik wilayah, maka Kota Salatiga beriklim tropis.
Suhu udara Kota Salatiga terendah pada bulan Juli sekitar 23.89°C dan
tertinggi pada bulan Oktober 31.80°C, sedangkan suhu udara tahunan rata-
rata 26.25°C (Bappeda Salatiga, 2012: 2).
B. Deklinasi Magnetik Kota Salatiga
Pada Bab I telah disampaikan bahwa untuk mengetahui deklinasi
magnetik Kota Salatiga, penulis akan mengambil beberapa sumber data.
Sumber data yang dimaksud adalah software kalkulator deklinasi magnetik
dan medan magnet Bumi model WMM dan IGRF. Dua software ini yang
menjadi sumber data deklinasi magnetik harian maupun tahunan untuk Kota
48
Salatiga. Disamping itu, penulis juga akan mencantumkan data deklinasi
magnetik yang dikeluarkan magnetic-declination.com sebagai perbandingan
data.
1. Data deklinasi magnetik Kota Salatiga
a. World Magnetic Model (WMM)
Sebagaimana telah djelaskan pada Bab II, World Magnetic Model
(WMM) merupakan produk gabungan yang dikembangkan bersama oleh
National Geophysical Data Center (NGDC) dan British Geological Survey
(BGS). WMM diperbarui setiap 5 tahun sekali. Saat ini versi terbaru
kalkulator dari WMM adalah WMM2010 yang berlaku hingga 31 Desember
2014.
Untuk mendapatkan angka deklinasi magnetik di suatu lokasi
menggunakan kalkulator WMM2010, ada dua website yang bisa dipilih.
Pertama, melalui website milik BGS dengan alamat
http://www.geomag.bgs.ac.uk/, Kedua, melalui website milik NGDC dengan