35 BAB III KETERIKATAN TANAH TERLANTAR SEBAGAI IMPLEMENTASI PELAKSANAAN LANDREFORM A. Pengertian Landreform Secara harfiah istilah landreform berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari kata “land” yang berarti tanah dan kata “reform” yang berarti perombakan. Oleh karena itu secara sederhana landreform dapat diartikan sebagai perombakan tanah. Akan tetapi dalam konsep landreform yang sesungguhnya tidaklah sesederhana itu, artinya tidak hanya perombakan tanah atau perombakan struktur penguasaan tanah melainkan perombakan terhadap hubungan manusia dengan tanah, hubungan manusia dengan manusia yang berkenaan dengan tanah, guna meningkatkan penghasilan petani dan perombakan ini sifatnya mendasar. 20 Menurut Hj. Chadidjah Dalimunthe, landreform adalah suatu program yang memuat tuntutan terhadap ketidakadilan sosial di bidang pertanahan terutama terhadap tanah pertanian. Perbedaan tuan-tuan tanah dengan petani- petani kecil yang begitu menyolok telah menimbulkan keinginan untuk menuntut keadilan sosial dan politis guna mencapai taraf hidup yang lebih baik. Landreform diartikan sebagai perubahan dasar (perombakan) struktur pertanahan yang berarti bukan sekedar tambal sulam. 21 Pengertian landreform dalam Undang-Undang Pokok Agraria (Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960) dan Undang-Undang Nomor 5 Prp Tahun 1960 20 Hustiati, Agrarian Reform Di Philipina Dan Perbandingannya Dengan Landreform Di Indonesia, Mandar Maju, Medan, 1990, hlm. 33. 21 Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit., hlm. 39 35 Universitas Sumatera Utara
78
Embed
repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 67293... · BAB III KETERIKATAN TANAH TERLANTAR SEBAGAI …2017-08-18 · negara yang meliputi tanah dengan hak perorangan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
35
BAB III
KETERIKATAN TANAH TERLANTAR SEBAGAI IMPLEMENTASI
PELAKSANAAN LANDREFORM
A. Pengertian Landreform
Secara harfiah istilah landreform berasal dari bahasa Inggris yang terdiri
dari kata “land” yang berarti tanah dan kata “reform” yang berarti perombakan.
Oleh karena itu secara sederhana landreform dapat diartikan sebagai perombakan
tanah. Akan tetapi dalam konsep landreform yang sesungguhnya tidaklah
sesederhana itu, artinya tidak hanya perombakan tanah atau perombakan struktur
penguasaan tanah melainkan perombakan terhadap hubungan manusia dengan
tanah, hubungan manusia dengan manusia yang berkenaan dengan tanah, guna
meningkatkan penghasilan petani dan perombakan ini sifatnya mendasar.20
Menurut Hj. Chadidjah Dalimunthe, landreform adalah suatu program
yang memuat tuntutan terhadap ketidakadilan sosial di bidang pertanahan
terutama terhadap tanah pertanian. Perbedaan tuan-tuan tanah dengan petani-
petani kecil yang begitu menyolok telah menimbulkan keinginan untuk menuntut
keadilan sosial dan politis guna mencapai taraf hidup yang lebih baik.
Landreform diartikan sebagai perubahan dasar (perombakan) struktur pertanahan
yang berarti bukan sekedar tambal sulam.
21
Pengertian landreform dalam Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960) dan Undang-Undang Nomor 5 Prp Tahun 1960
20 Hustiati, Agrarian Reform Di Philipina Dan Perbandingannya Dengan Landreform Di Indonesia, Mandar Maju, Medan, 1990, hlm. 33. 21Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit., hlm. 39
35
Universitas Sumatera Utara
36
adalah pengertian dalam arti luas sesuai dengan pengertian menurut rumusan FAO
(Food and Agriculture Organization) yaitu landreform adalah dianggap meliputi
suatu program tindakan yang saling berhubungan untuk menghilangkan
penghalang-penghalang di bidang ekonomi, sosial yang timbul dari kekurangan-
kekurangan yang terdapat dalam struktur pertanahan.
Disamping istilah landreform, istilah agrarian reform tidak kalah populer
penggunaannya terutama oleh lembaga-lembaga internasional. Boedi Harsono
membagi pengertian landreform menjadi dua (2) yaitu dalam arti sempit dan arti
luas. Landreform dalam arti sempit merupakan serangkaian tindakan dalam
rangka Agrarian Reform Indonesia. Dan dalam arti luas, landreform meliputi
perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan
hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah.22
PBB memberikan pengertian landreform dan agrarian reform secara
berbeda dimana landreform dimaksudkan untuk menghilangkan penghalang-
penghalang terhadap perkembangan pembangunan ekonomi sosial dengan jalan
retribusi di bidang kekayaan, kesempatan, dan kekuasaan sebagai manifestasi dari
pemilihan dan pengawasan terhadap tanah, air dan sumber daya lainnya.
Sedangkan agrarian reform dimaksudkan untuk mengatasi semua aspek yang
berkaitan dengan pembangunan termasuk landreform. Penghasilan produksi dan
pelayanan termasuk hubungan lembaganya.
23
22 Boedi Harsono, Op Cit., hlm 364. 23Pengertian landreform dan agrarian reform oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), sebagaimana dikutip oleh Mariati Zendrato, Bahan Ajar Hukum Agraria Lanjutan (Penjabaran UUPA No. 5 Tahun 1960), Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2014, hlm. 18-19.
Universitas Sumatera Utara
37
AP Parlindungan menyatakan bahwa kalaulah kita mau konsekuen dengan
pasal 1 dan 2 UUPA, seharusnya kita mempunyai agrarian reform dimana di
dalamnya terdapat landreform, water reform dan air reform. Dengan demikian kita
mengadakan perombakan dari hubungan manusia dengan bumi, air dan ruang
angkasa sebagai akibat hukum kolonial yang sampai kini masih saja ada beberapa
hukum atas ketiga unsur itu yang masih menguasai hukum di Indonesia. Istilah
landreform sering konotasinya pada sikap politik untuk memenangkan massa
dengan adagium yang dipergunakan di negara-negara komunis “land to the tillers”
(tanah untuk petani), sedangkan di negara lain yang bukan komunis mereka
mempergunakan agrarian reform dalam artian yang sempit yang lebih bersifat
teknis untuk meningkatkan kehidupan para petaninya.24
Landreform di Taiwan menurut Tseng Hsiao merupakan tantangan secara
fundamen terhadap perjuangan kelas dan perang internasional yang telah hancur
secara perlahan-lahan oleh keberadaan sistem sosial yang telah gagal
mempertahankan keberadaan hak asasi dan keadilan sosial. Sedangkan di Filipina
dalam Pasal 3 RA
25
Disamping istilah landreform dan agrarian reform di atas, Gunawan
Wiradi mengetengahkan istilah reforma agraria. Pemakaian reforma agraria
Nomor 6657 menyebutkan bahwa agrarian reform itu
ditujukan untuk membagi-bagikan tanah-tanah, memperhatikan hasilnya kepada
petani-petani yang tidak punya tanah.
24 AP Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, 1991, hlm. 72-73, sebagaimana dikutip oleh Tampil Anshari, dalam : Tampil Anshari Siregar, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Bagan, Medan, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Cetakan kelima, 2008, hlm. 76-77 25 RA 6657 atau Republic Act No. 6657 merupakan aturan hukum agarian reform di Filipina yang biasa disebut Comprehensive Agrarian Reform Program/CARP (Program Komprehensif Reforma Agraria).
Universitas Sumatera Utara
38
digunakannya untuk mengganti istilah landreform dan agrarian reform dengan
pengertian sebagai usaha untuk melakukan perombakan struktur penguasaan
tanah.
Landreform sebagai usaha sistematis untuk memperbaiki hubungan antara
manusia dengan tanah yang dirasakan belum harmonis dan belum mencerminkan
keadilan sosial. Usaha perbaikan yang dilakukan melalui penataan kembali
struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menjadi
tatanan keagrariaan baru yang dapat menjamin keadilan, harmoni sosial,
produktivitas dan keberlanjutan, berdasarkan prinsip bahwa “tanah pertanian
harus dikerjakan dan diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri”.
Pelaksanaan landreform dengan demikian bertujuan memperbaiki keadaan
sosial ekonomi rakyat melalui pembagian yang lebih adil atas sumber
penghidupan petani berupa tanah. Namun kemudian disadari bahwa dalam banyak
kejadian, petani yang telah memperoleh tanah dari kegiatan landreform kemudian
melepaskan kembali tanahnya karena petani tidak memiliki akses kepada kegiatan
ekonomi, sumber keuangan, manajemen usaha, dan teknologi pertanian.
Akibatnya keberadaan tanah tidak membantu petani meningkatkan
kesejahteraannya.
Kondisi ini kemudian mendorong dilaksanakannya konsep reforma
agraria, yaitu landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan
tanah (reforma aset) yang didukung oleh program penunjang seperti pengairan,
perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya (reforma akses).
Universitas Sumatera Utara
39
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa reforma agraria terdiri dari 2 (dua) pilar
yaitu reforma aset dan reforma akses.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah landreform dan
agrarian reform tidak perlu dipertentangkan. Meskipun Indonesia menggunakan
istilah landreform bukan berarti pola pelaksanaan landreform tersebut mengikuti
atau mencontoh kegiatan di negara komunis yang biasanya menggunakan istilah
tersebut. Di Indonesia pelaksanaan landreform berlandaskan kepada Pancasila dan
UUD 1945 yang terwujud di dalam suatu rangkaian kegiatan dalam bidang
pertanahan yang bersifat menyeluruh, terarah, terpadu dan berkesinambungan di
dalam penataan pemilikan, penguasaan, penggunaan dan peralihannya sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi
rakyat secara adil dan merata.26
Dapat disimpulkan juga bahwa landreform dalam pengertian luas akhirnya
dapat disamakan dengan reforma agraria, yakni suatu upaya untuk mengubah
struktur agraria demi terciptanya tujuan sebagaimana disebutkan di atas. Jadi
reforma agraria dapat diartikan sebagai landreform plus.
27
B. Dasar Hukum Landreform
Dalam membicarakan masalah dasar hukum landreform berarti
membicarakan landreform baik sebagai suatu kebijakan pertanahan maupun
sebagai subsistem hukum pertanahan. Oleh karena itu dalam pembahasan ini tidak
terlepas dari politik hukum agraria nasional sebagaimana yang terdapat dalam 26 Tampil Anshari Siregar, Pendalaman Lanjutan Undang-Undang Pokok Agraria, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2008, hlm. 69. 27 Oswar Mungkasa, Loc Cit.
Universitas Sumatera Utara
40
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Pokok Agraria dan
beberapa peraturan pelaksana lainnya.
1. Pancasila
Konsep keadilan sebagaimana yang dijelaskan oleh aristoteles dan para
pemikir sesudahnya, demikian juga konsep keadilan sosial yang tercantum dalam
sila ke-5 Pancasila, memang tidak mudah untuk dipahami terlebih bila harus
dihadapkan pada kasus yang konkrit.
Bagi Indonesia sesuai dengan Falsafah Pancasila, maka paling tepat
kiranya untuk menerapkan asas keadilan sosial. Keadilan itu sendiri bersifat
universal, jauh didalam lubuk hati setiap orang, ada kesepakatan tentang sesuatu
yang dipandang sebagai adil dan tidak adil itu.
Dalam pengertian keadilan, pada umumnya diberi arti sebagai keadilan
“membagi” atau “distributive justice” yang secara sederhana menyatakan bahwa
kepada setiap orang diberikan bagian atau haknya sesuai dengan kemampuan atau
jasa dan kebutuhan masing-masing. Namun perlu dipahami bahwa keadilan itu
bukanlah hal yang statis, tetapi sesuatu proses yang dinamis dan senantiasa
bergerak diantara berbagai faktor, termasuk equality atau persamaan hak itu
sendiri.
2. Undang-Undang Dasar 1945
Secara konstitusional pengaturan masalah perekonomian didalamnya
termasuk ekonomi sumber daya alam (SDA) di Indonesia telah diatur dalam UUD
1945. Hal tersebut dapat kita lihat Pasal 33 UUD 1945 yang selengkapnya
berbunyi :
Universitas Sumatera Utara
41
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.28
Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 33 tersebut dijelaskan bahwa :
“Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi produksi dikerjakan oleh semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-perseorangan. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi.”
Pada alinea berikutnya disebutkan :
“Perekonomian berdasarkan atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Kalau tidak tampuk produksi akan jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 33 tersebut nampak jelas bahwa dalam
rangka meningkatkan kemakmuran rakyat peranan negara sangat diperlukan. Ikut
campurnya negara dalam urusan kesejahteraan rakyat sebagaimana ketentuan
dimaksud mengindikasikan bahwa dalam konstitusi kita dianut sistem negara
welfarestate. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa masalah ekonomi, bukan
hanya monopoli ekonomi yang didasarkan pada mekanisme pasar semata-mata
28 Pasal 33 Undang-Undang Dasar RI 1945
Universitas Sumatera Utara
42
tetapi juga diperlukan peranan negara, terutama yang berkaitan dengan bidang-
bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Khusus mengenai pembangunan hukum agraria dalam UUD 1945 diatur
dalam Pasal 33 ayat 3 yang menyebutkan :
“Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Lebih lanjut pengaturan masalah agraria yang didalamnya termasuk dalam
pertanahan diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Dengan demikian
secara historis dapat dijelaskan bahwa sebenarnya upaya pengaturan pertanahan
(yang didalamnya terdapat program landreform) di Indonesia telah dimulai sejak
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
3. Undang-Undang Pokok Agraria
Pasal 2 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA)
menjelaskan pengertian “dikuasai negara” yaitu memberi wewenang kepada
negara untuk :
a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.29
Wewenang tersebut harus digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
29 Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA)
Universitas Sumatera Utara
43
Payung bagi pelaksanaan landreform di Indonesia adalah UUPA (Undang-
Undang Pokok Agraria/UU No. 5 Tahun 1960) dan UUPBH (Undang-Undang
Perjanjian Bagi Hasil/UU No. 2 Tahun 1960). Diperlukan waktu 12 tahun, sejak
tahun 1948 ketika panitia persiapan dibentuk, untuk menghasilkan kedua undang-
undang tersebut. Dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria atau yang kita
kenal dengan sebutan UUPA, maka UUPA menempati posisi yang strategis dalam
sistem hukum nasional Indonesia, karena UUPA mengandung nilai-nilai
kerakyatan dan amanat untuk menyelenggarakan hidup dan kehidupan yang
berprikemanusiaan dan berkeadilan sosial. Nilai-nilai tersebut dicerminkan oleh :
1) Tanah dalam tataran paling tinggi dikuasai oleh negara dan digunakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat
2) Pemilikan/penguasaan tanah yang berlebihan tidak dibenarkan
3) Tanah bukanlah komoditas ekonomi biasa oleh karena itu tanah tidak
boleh diperdagangkan semata-mata untuk mencari keuntungan
4) Setiap warga negara yang memiliki/menguasai tanah diwajibkan
mengerjakan sendiri tanahnya, menjaga dan memelihara sesuai dengan
asas kelestarian kualitas lingkungan hidup dan produktivitas sumber daya
alam
5) Hukum adat atas tanah diakui sepanjang memenuhi persyaratan yang
ditetapkan.
Wewenang yang bersumber dari hak menguasai negara meliputi tanah
yang sudah sudah dilekati oleh suatu hak atau bekas hak perorangan, tanah yang
masih ada hak ulayat dan tanah negara. Menurut Imam Soetiknjo, hak menguasai
Universitas Sumatera Utara
44
negara yang meliputi tanah dengan hak perorangan adalah bersifat pasif, dan
menjadi aktif apabila tanah tersebut dibiarkan tidak terurus atau ditelantarkan.
Terhadap tanah yang tidak dipunyai oleh seseorang/badan hukum dengan hak
apapun dan belum dibuka maka hak menguasai negara bersifat aktif.
Dalam lingkupnya dengan masalah landreform ketentuan tersebut diatas
mengisyaratkan meskipun UUPA mengakui adanya tanah kepemilikan tanah
secara perorangan, tetapi perlakuan terhadap hak-hak tersebut harus
memperhatikan kepentingan masyarakat, dan ini merupakan kewajiban bagi
pemegang hak tersebut. Hal ini tentunya sesuai dengan prinsip-prinsip landreform
sebagaimana yang tercantum antara lain dalam Pasal 7, 10 dan 17 UUPA.
Pasal 7 UUPA menyatakan :
“Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”
Pasal 17 UUPA menyatakan :
1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dalam peraturan perundang-undangan di dalam waktu yang singkat.
3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah.
4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.
Pasal 10 menyatakan :
Universitas Sumatera Utara
45
1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
2) Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.
3) Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.
Dalam penjelasan Umum UUPA (II.7) disebutkan pada asasnya tanah
pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri.
Ketentuan tersebut merupakan suatu asas umum yang menjadi dasar dari
perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan yang hampir berlaku diseluruh
negara yang telah ataupun sedang melakukan landreform ataupun agrarian reform.
Agar supaya ketentuan tersebut dapat dilaksanakan perlu dilakukan
ketentuan-ketentuan batas maksimum (ceilling) penguasaan tanah pertanian oleh
suatu keluarga petani. Adanya pembatasan maksimum itu adalah untuk
menghindari terjadinya penguasaan tanah yang sangat luas, sementara orang lain
hanya menguasai tanah yang sangat sempit, bahkan tidak mempunyai tanah sama
sekali. Oleh karena itu pengaturan mengenai penguasaan tanah yang melampaui
batas adalah merupakan suatu hal yang sangat logis. Dalam UUPA hal tersebut
diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 17 sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Dalam hubungannya dengan penguasaan tanah tersebut Notonegoro antara
lain menyebutkan bahwa perlunya diadakan batas maksimum penguasaan tanah
didasarkan pada alasan-alasan. Pertama, terjadinya akumulasi penguasaan tanah
pada sekelompok kecil orang, sementara banyak orang petani yang tidak
mempunyai tanah. Kedua, adanya pengelompokan tanah yang luas pada
sekelompok orang dapat berpengaruh terhadap orang-orang yang mempunyai
Universitas Sumatera Utara
46
tanah yang sempit (dikesampingkan) baik secara ekonomi maupun psikologis.
Ketiga, akibat penguasaan tanah yang sangat luas, kemungkinan penelantaran
tanah juga lebih besar. Keempat, kemungkinan beralihnya tanah tersebut kepada
orang yang tidak berminat terhadap tanah pertanian juga lebih besar (khususnya
dalam hal peralihan karena warisan).
Lebih lanjut dikatakan bahwa secara ekonomi penguasaan tanah yang luas
akan sangat menguntungkan, yaitu dapat meningkatkan kesejahteraan bagi
pemiliknya, juga merupakan sumber penghasilan bagi masyarakat dan negara
dibandingkan apabila tanah tersebut dikuasai oleh orang banyak dengan luasan
yang sangat sempit. Demikian juga dalam hal pengelolaannya dapat dilakukan
dengan efisien dengan menggunakan teknologi modern, karena biasanya para
pemilik tanah yang luas kemungkinan memperoleh fasilitas kredit, dan
penguasaan modal cukup baik, sehingga yang diuntungkan terhadap penguasaan
tanah yang besar tersebut hanya sekelompok-sekelompok orang yang mempunyai
tanah yang luas, sedangkan bagi petani kecil justru sebaliknya, bahkan bagi petani
yang mempunyai lahan yang sempit dalam pengelolaan tanah tersebut ada
kecenderungan minus.
Keuntungan dan kelemahan penguasaan tanah yang luas dan sempit
tersebut di Indonesia telah diantisipasi dengan adanya ketentuan batas minimum
penguasaan tanah oleh rumah tangga petani yaitu minimum 2 (dua) hektar
berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 56 Prp 1960, demikian
Universitas Sumatera Utara
47
juga dengan adanya larangan fragmentasi lahan pertanian.30
4. Beberapa Ketentuan Pelaksanaan Landreform
Adanya batas
minimum dan larangan fragmentasi tanah pertanian tersebut tidak lain adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga petani, dengan harapan bahwa dengan
luasan tanah pertanian tersebut secara ekonomis dapat meningkatkan taraf hidup
para petani.
Jika menelusuri beberapa ketentuan lain pelaksanaan dari UUPA, maka
akan dijumpai beberapa peraturan yang jika dipelajari secara mendalam
sesungguhnya adalah ketentuan landreform.
a. Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 yaitu tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian. Undang-undang ini merupakan tindak lanjut dari
ketentuan Pasal 7 dan 17 UUPA. Undang-undang ini mengatur tiga
masalah pokok yaitu penetapan luas maksimum penguasaan tanah,
masalah gadai tanah dan luas minimum tanah pertanian. Berdasarkan
penjelasan umum undang-undang tersebut dinyatakan bahwa perlunya
penetapan luas tanah pertanian tersebut didasarkan pada kenyataan.
Pertama, pada saat ini lebih kurang 60% dari petani Indonesia adalah
petani tidak bertanah, sebagian dari mereka adalah buruh tani dan sebagian
lagi adalah mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau sebagai
penggarap dalam hubungan bagi hasil. Sedangkan petani yang mempunyai
tanah hanya menguasai tanah hanya rata-rata 0,6 hektar sawah atau 0,5
30 Fragmentasi lahan pertanian ialah penyusutan kepemilikan tanah pertanian atau terpencarnya tanah pertanian milik seseorang atau badan hukum. Fragmentasi lahan pertanian terjadi melalui proses peralihan hak yaitu pewarisan, jual beli dan hibah sebagian tanah pertanian. Fragmentasi tanah pertanian menyebabkan berkurangnya tanah pertanian, sehingga berdampak terhadap efisiensi teknis dan pendapatan petani.
Universitas Sumatera Utara
48
hektar tanah kering. Disamping pada petani-petani yang tidak mempunyai
tanah pada sisi yang kontradiktif terdapat sebagian kecil petani yang
menguasai tanah yang luasnya berpuluh-puluh hektar atau sampai ribuan
hektar. Perlu diketahui tanah-tanah itu tidak semuanya dipunyai mereka
dengan hak milik, tetapi dikuasai dengan hak gadai atau sewa. Kedua,
bahwa ada orang yang mempunyai tanah yang berlebih-lebihan,
sedangkan yang sebagian besar lainnya tidak mempunyai atau tidak cukup
tanahnya adalah terang bertentangan dengan asas sosialisme Indonesia,
yang menghendaki pembagian yang merata atas sumber penghidupan
rakyat tani yang berupa tanah itu, agar ada pembagian yang adil pula atas
hasil tanah-tanah tersebut. Oleh sebab itu perlu dilakukan penetapan batas
maksimum dan minimum tanah pertanian. Ketiga, banyak gadai yang telah
berlangsung bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun bahkan sampai pada
ahli warisnya karena penggadai tidak mampu untuk menebus tanahnya.31
b. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pembagian Ganti Kerugian. Pasal 1 PP 24 Tahun
1961 antara lain mengatur tentang tanah-tanah yang menjadi objek
program landreform yang meliputi, tanah-tanah yang melebihi batas
maksimum sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
56 Prp 1960, tanah-tanah guntai yang diambil oleh pemerintah, tanah-
tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara, dan
31 Ira Sumaya, Tesis : “Analisis Hukum Landreform Sebagai Upaya Meningkatkan Pendapatan Ekonomi Masyarakat (Studi Pada Kegiatan Redistribusi Tanah Di Kota Medan Periode 2007-2008)” (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm 55.
Universitas Sumatera Utara
49
tanah-tanah lain yang dikuasai secara langsung oleh negara untuk
selanjutnya tanah tersebut akan dibagikan kepada petani. Disamping
mengatur masalah objek landreform dan subjek program landreform
peraturan ini juga mengatur tentang lembaga-lembaga pendukung
landreform seperti koperasi pertanian. Keberadaan koperasi ini ditujukan
untuk mengatur tentang pengusahaan tanahnya, membantu
penggarapannya, mengusahakan kredit dan memberikan pembinaan dalam
mengelola tanah pertanian.
c. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Keluarnya undang-undang ini dimaksudkan untuk melindungi golongan
yang ekonominya lemah terhadap praktek-praktek yang merugikan mereka
dari golongan yang kuat secara ekonomis dalam perjanjian bagi hasil.
Peraturan ini pada prinsipnya menghendaki adanya keadilan serta jaminan
hukum antara para pihak, khususnya penggarap. Meskipun pada
kenyataannya undang-undang ini dalam praktek perjanjian bagi hasil
sangat jarang dilaksanakan.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Dalam hubungannya dengan landreform pendaftaran tanah pada
hakikatnya bukan saja bertujuan memberikan kepastian hak bagi
pemiliknya akan tetapi juga merupakan sebagai alat untuk mengontrol,
mengenai luas pemilikan dan penguasaan tanah yang dimiliki oleh
seseorang atau badan hukum.
Universitas Sumatera Utara
50
Selain dari beberapa ketentuan diatas sebagai tindak lanjut dari ketentuan
tersebut, terdapat beberapa peraturan landreform yang lain seperti : Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut
Pelaksanaan Landreform. Dalam ketentuan Pasal 2 peraturan tersebut antara lain
disebutkan bahwa penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum dan belum
dikuasai oleh pemerintah wajib dilaporkan oleh yang menguasainya dalam waktu
6 (enam) bulan terhitung sejak berlakunya peraturan ini kepala Bupati/Walikota
cq.Kepala Sub Direktorat Agraria setempat.
Selanjutnya kepada pihak yang menguasai tanah yang melebihi batas
maksimum tersebut diatas selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun sejak
berlakunya peraturan ini diharuskan mengakhiri penguasaan tanah kelebihan
tersebut. Ketentuan ini juga berlaku terhadap tanah-tanah yang dimiliki secara
guntai.
Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pengaturan
Penguasaan Tanah Objek Landreform Secara Swadaya. Pengaturan penguasaan
tanah objek landreform secara swadaya adalah pembagian/redistribusi tanah objek
landreform oleh pemerintah yang ditunjang partisipasi aktif dan dibiayai oleh
petani penerima pembagian tanah tersebut. Tujuan program ini adalah untuk
meningkatkan pembagian tanah kepada para petani penggarap yang sanggup
berperan serta dalam pelaksanaannya dan pembiayaannya untuk meningkatkan
kesejahteraannya. Sasarannya adalah untuk tertatanya penggunaan tanah objek
landreform, terselenggaranya pembagian tanah yang merata dengan tidak
menimbulkan perbedaan pemilikan tanah yang besar, dan tersedianya tanah yang
Universitas Sumatera Utara
51
dapat dimanfaatkan dan dapat menjadi modal kehidupan petani yang dikelola
secara koperatif.
Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 2 Tahun 1995 tentang Inventarisasi Atas Tanah Terlantar, Tanah
Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee Baru. Instruksi ini ditujukan kepada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya
seluruh Indonesia untuk melakukan inventarisasi subjek dan objek serta
pemanfaatan atas tanah-tanah terlantar baik sebagian maupun seluruhnya yang
dengan sengaja tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuannya, tanah perkebunan/HGU yang tidak diusahakan, dan tanah kelebihan
maksimum dan absentee baru.
Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 11 Tahun 1997 tentang Penertiban Tanah Objek Redistribusi Landreform.
Keputusan ini mengatur antara lain, pertama, penertiban tanah objek landreform
yang telah diredistribusikan kepada petani yang setelah lima belas tahun tidak
memenuhi kewajibannya sesuai dengan surat keputusan pemberian hak milik atas
tanah tersebut dinyatakan batal. Kedua, menyatakan tanah tersebut sebagai tanah
negara objek pengaturan penguasaan tanahnya didata kembali sesuai dengan
peruntukan dan pemanfaatannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Kemudian pada tahun 1998, MPR mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP
MPR) Nomor 16/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi
Ekonomi. Pada pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan
Universitas Sumatera Utara
52
tanah dan sumberdaya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan
menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka
pengembangan kemampuan usaha ekonomi kecil, menengah, koperasi dan
masyarakat luas. Tidak banyak yang menyadari bahwa TAP MPR ini yang
mengawali komitmen kita menjalankan reforma agraria, yang ditindaklanjuti oleh
Pemerintah dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1999
tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-Undangan
dalam Rangka Pelaksanaan Landreform.
Pada tahun 2001, MPR mengeluarkan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang
mencantumkan prinsip dan arah kebijakan pembaharuan agraria Indonesia. TAP
MPR ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Presiden
Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, yang
secara jelas mencantumkan langkah-langkah percepatan reforma agraria berupa
penyempurnaan UUPA No 5/1960 dan regulasi lainnya, serta pembangunan
sistem informasi dan manajemen pertanahan.
Pada tahun 2006, pelaksanaan reforma agraria dinyatakan secara tegas
sebagai program pemerintah dengan menetapkannya sebagai salah satu fungsi
Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dari 21 fungsi yang diemban
BPN, secara jelas dicantumkan salah satunya adalah reformasi agraria. Selain itu
BPN bertanggungjawab langsung kepada presiden. Dengan demikian, Perpres ini
Universitas Sumatera Utara
53
merupakan upaya memperkuat aspek kelembagaan dari pelaksanaan reforma
agraria.
Untuk lebih memudahkan dalam memperoleh tanah sumber redistribusi
kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang memberi peluang bagi
penetapan tanah terlantar jika tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan
atau sifat dan tujuan haknya.
C. Tujuan dan Prinsip Landreform
Tujuan umum dari pelaksanaan landreform di masing-masing negara di
dunia adalah untuk meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan dan kemakmuran
rakyatnya khususnya petani melalui penetapan pemilikan/penguasaan tanah secara
adil dan merata. Secara khusus tujuan pelaksanaan landreform di Indonesia dapat
dikemukakan antara lain :
a. Usul yang dikemukakan oleh Dewan Pertimbangan Agung Sementara
sehubungan dengan diajukannya undang-undang tentang landreform
tersebut pada tahun 1960 yaitu :
“... bahwa landreform bertujuan : “agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara dan khususnya taraf hidup meninggi dan taraf hidup seluruh rakyat jelata meningkat”. Selanjutnya landreform bertujuan untuk : memperkuat rakyat Indonesia, terutama kaum tani”.32
b. Pendapat yang lebih terperinci yang dikemukakan Menteri Agraria
Sadjarwo dalam pidato Pengantar Penyerahan Rancangan UUPA di depan
sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong tanggal 12
32 Boedi Harsono, Log Cit.
Universitas Sumatera Utara
54
September 1960 mengatakan bahwa tujuan pelaksanaan landreform di
Indonesia adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan
rakyat tani yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian
hasil yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama
sekali secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial.
2) Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk tani, agar tidak terjadi
lagi tanah sebagai obyek spekulasi dan obyek pemerasan.
3) Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi
setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, yang
berfungsi sosial, suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privat
bezit yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat, bersifat perorangan
dan turun temurun tetapi yang berfungsi sosial.
4) Untuk mengakhiri sistem tuan-tuan tanah dan menghapuskan
pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan hak
terbatas dengan menyelenggarakan batas maksimum dan batas
minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga bisa
seorang laki-laki ataupun wanita. Dengan demikian menyingkirkan
sistem liberalisme dan kapitalisme atas tanah dan memberikan
perlindungan terhadap golongan ekonomis lemah.
5) Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong
terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong
dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya, untuk
Universitas Sumatera Utara
55
mencapai kesejahteraan yang merata dan adil, dibarengi dengan
suatu sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan
tani.33
c. Dilihat dari berbagai aspek, pelaksanaan landreform Indonesia meliputi :
Tujuan Sosial Ekonomi :
1) Memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat
hak milik serta memberi isi fungsi sosial pada hak milik.
2) Memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian guna
mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.
Tujuan Sosial Politik :
1) Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan yang
luas.
2) Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber
penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar ada
pembagian hasil yang adil pula.
Tujuan Mental Psikologis
1) Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan
jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah.
2) Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dan
penggarapnya.34
33 Sudargo Gautama, 1986 : 22 sebagaimana dikutip oleh Tampil Anshari Siregar, Op Cit, hlm 71-72. 34 Departemen Penerangan Republik Indonesia, Pertanahan Dalam Era Pembangunan Nasional, Jakarta, 1982, hlm 43.
Universitas Sumatera Utara
56
Undang-Undang Pokok Agraria merupakan induk landreform Indonesia,
hal ini dapat dilihat dari tujuan UUPA yang juga merupakan tujuan landreform,
yaitu :
1) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional yang
akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan
keadilan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka
masyarakat adil dan makmur.
2) Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan.
3) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.35
Jelaslah kiranya, bahwa tujuan landreform yang diselenggarakan di
Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani
terutama petani kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat
untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila.
36
35 Zaidar, SH., M.Hum, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2010, hlm. 81. 36 Boedi Harsono, Op Cit, hlm 367.
Di Indonesia prinsip dan landasan landreform beralaskan pada prinsip hak
menguasai negara. Landreform diatur oleh siapa yang berhak mempunyai hak
milik, pembatasan luas minimal dan maksimal luas tanah, pencegahan tanah
menjadi terlantar, dan tanda bukti kepemilikan atas tanah. Adapun
prinsip/landasan dari landreform adalah :
Universitas Sumatera Utara
57
1) Adanya hak negara untuk menguasai seluruh kekayaan alam Indonesia
yang bersumber pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Hak menguasai dari
negara bukan hak kepemilikan dari negara (kolonial) seperti asas domain
tetapi sama dengan hak ulayat dalam hukum adat.
2) Memberikan kewenangan kepada negara dalam membuat tanda bukti atas
kepemilikan tanah yang memiliki hak milik atau hanya warga negara
Indonesia tanpa membedakan jenis kelamin, ras, dan agama. Sedangkan
warga negara asing tidak diberikan hak yang demikian itu.
3) Luas tanah dengan status hak dibatasi haknya. Pertimbangannya adalah
luas maksimal pemilikan tanah dibatasi agar tidak tumbuh lagi tuan tanah
yang menghisap tenaga kerja petani melalui sistem persewaan tanah atau
gadai tanah.
4) Pemilikan yang berhak atas tanah haruslah menggarap sendiri tanahnya
secara aktif sehingga membawa manfaat bagi dirinya, keluarganya,
maupun masyarakat banyak. UUPA melarang pemilikan tanah yang tidak
mengerjakan sendiri oleh pemiliknya karena akan menyebabkan tanahnya
akan terlantar (tanah guntai/absentee) atau meluasnya hubungan buruh tani
dan pemilik tanah yang mempunyai kecenderungan yang memeras.
5) Panitia landrefrom mendaftarkan mereka yang ingin mendapatkan bukti
atas kepemilikan tanah atau memulai hak atas tanah yang selanjutnya
memberikan tanda bukti pemilikan hak atas tanah untuk menjamin
kepastian hukum atas tanahnya.
Universitas Sumatera Utara
58
Prinsip-prinsip landreform ini dibuat untuk mencegah beralihnya
keuntungan sumber daya alam Indonesia seperti tanah partikelir yang
menyebabkan rakyat Indonesia harus menjadi buruh tani ditanah milik warga
negara asing. Pemilik adalah penguasa yang mengambil hasil kerja buruh tani dan
pengaturan batas minimal ditujukan agar keluarga petani tidak hidup dari luas
tanah yang kecil. Korelasi yang saling menguat antara kecilnya produktivitas
dengan kecilnya kepemilikan atas tanah.
Pemilik tanah yang terlalu kecil tidak hanya berakibat kecilnya pendapatan
pemiliknya tetapi juga secara makro merugikan, karena rendahnya produktivitas.
Kepemilikan tanah yang tidak terbatas terbatas akan membuka peluang bagi
sekelompok kecil orang untuk menguasai tanah yang sangat besar dan
sekelompok orang lain akan menguasai tanah yang sangat kecil dan terpaksa
hanya mengandalkan tenaga untuk menjadi buruh.
Dalam berbagai kesempatan, istilah Pembaruan Agraria dan landreform
seringkali digunakan secara bergantian. Namun demikian, seyogianya disepakati
bahwa landreform sebagai restrukturisasi pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah merupakan salah satu program pembaruan agraria, dan dengan
demikian maka pembaruan agraria mempunyai dimensi yang lebih luas dari
landreform.37
Kemiskinan dan terpinggirkannya hak-hak masyarakat, termasuk
masyarakat adat, karena ketidakadilan dalam akses untuk memperoleh dan
memanfaatkan tanah sumber-sumber agraria lainnya mengarahkan pembaruan
Dengan kata lain dapat diartikan sebagai landreform plus.
37 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, Januari 2008, hlm 80.
Universitas Sumatera Utara
59
agraria pada dua hal pokok, yakni keadilan dan pemberdayaan masyarakat,
khususnya masyarakat petani di pedesaan.38
1) Menjunjung tinggi hak asasi manusia, karena hak atas sumber-sumber
agraria atau sumber daya alam merupakan hak ekonomi setiap orang.
Ketika ketimpangan dalam struktur pemilikan dan penguasaan tanah dan
sumber-sumber agraria lainnya masih terjadi, dan diperlukan upaya untuk
merestrukturisasi hubungan yang tidak adil antara manusia dengan tanah dan
sumber-sumber agraria lainnya, maka diperlukan pembaruan agraria.
Pembaruan agraria merupakan upaya untuk memberdayakan masyarakat,
yang operasionalisasinya dapat dijumpai dalam beberapa prinsip. Prinsip-prinsip
dasar pembaruan agraria tersebut adalah sebagai berikut :
2) Unifikasi hukum yang mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum
setempat (pluralisme).
3) Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria atau
sumber daya alam (keadilan gender, keadilan dalam satu generasi dan
antargenerasi, serta pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap
sumber-sumber agraria/sumber daya alam yang menjadi ruang hidupnya).
4) Fungsi sosial dan ekologi tanah dan sumber-sumber agraria/sumber daya
alam lainnya; bahwa hak yang dipunyai seseorang menimbulkan
kewajiban sosial bagi yang bersangkutan karena haknya dibatasi oleh
orang lain dan hak masyarakat yang lebih luas.
5) Penyelesaian konflik pertanahan.
38 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
60
6) Pembagian tanggung jawab kepada daerah berkenaan dengan alokasi dan
manajemen sumber-sumber agraria/sumber daya alam.
7) Transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan.
8) Landreform/restrukturisasi dalam pemilikan, penguasaan, pemanfaatan
perumahan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Disamping
itu tanah negara bekas tanah terlantar digunakan juga untuk cadangan negara guna
memenuhi kebutuhan tanah bagi kepentingan pemerintah, pertanahan dan
keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan pemukiman
kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum.
Disebutkan diatas bahwa tanah-tanah yang telah ditetapkan menjadi tanah
terlantar menjadi tanah cadangan umum negara yang dapat digunakan untuk
kepentingan masyarakat dan negara antara lain untuk reforma agraria. Reforma
agraria sesungguhnya adalah penyelenggaraan landreform yang dilanjutkan
dengan pembangunan akses (access reform) terhadap berbagai keperluan untuk
berbudidaya dengan tanah yang telah didistribusikan kepada masyarakat.
Sehingga formula Reforma Agraria (RA) = Landreform (LR) + Akses Reform
(AR). Reforma agraria didahului dengan penataan sistem politik dan hukum
pertanahan berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan UUPA yang kemudian
dilanjutkan dengan penyelenggaraan landreform dan access reform secara
simultan.42
Sehubungan dengan itu maka pelaksanaan reforma agraria tidak cukup
dengan membagikan tanah negara kepada masyarakat yang dilanjutkan dengan
pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah, namun kegiatan ini harus
dilanjutkan dengan pembangunan akses berbagai keperluan masyarakat untuk
membudidayakan tanahnnya. Akses yang umumnya diperlukan masyarakat adalah
akses teknologi dan kelembagaan, akses terhadap permodalan, akses terhadap
42 Tanah Terlantar : Penertiban dan Pendayagunaannya Untuk Landreform, oleh Budi Mulyanto, ,http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/files/journals/27/articles/538/submission/review/538-1435-1-RV.doc diakses pada tanggal 18 April 2017
perbankan, akses terhadap pasar atas hasil-hasil budidaya yang dilakukan
masyarakat dengan menggunakan tanahnya. Menghubungkan landreform dengan
access reform diperlukan upaya pendampingan dalam bentuk pemberdayaan
masyarakat. Pelaksanaan reforma agraria yang demikian diproyeksikan dapat
menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini secara
fundamental.
Landreform telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 60-
an sebagai salah satu bentuk pelaksanaan UUPA, namun proses pendistribusi atau
redistribusi tanah ini berjalan kurang optimal. Sumber tanah untuk pelaksanaan
landreform selain tanah negara bekas tanah terlantar yang ditegaskan menjadi
objek landreform, juga tanah-tanah yang terkena ketentuan landreform (berasal
dari kelebihan maksimum, absentee, dan bekas swapraja), tanah-tanah yang telah
ditegaskan menjadi objek landreform serta tanah-tanah yang dikuasai langsung
oleh negara.
Universitas Sumatera Utara
64
BAB IV
PENGATURAN KEWENANGAN PENERTIBAN DAN
PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM PELAKSANAAN
LANDREFORM
A. Kewenangan Dalam Penertiban Tanah Terlantar
1. Pengertian Kewenangan
Kewenangan (authority) berasal dari kata “wenang” yang artinya adalah
kuasa atau berhak.43
Menurut H.D Stout, kewenangan adalah pengertian yang berasal dari
hukum pemerintah, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang
berkenaan dengan perolehan-perolehan dan penggunaan kewenangan dari
pemerintah oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.
Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak
sehingga kewenangan berarti kekuasaan untuk membuat atau melakukan sesuatu.
44
43 Kamus Besar Bahasa Indonesia, opcit. 44 Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta 2013. hal 71.
Sedangkan P. Nicholai disebutkan bahwa kewenangan adalah kemampuan untuk
melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan
untuk menimbulkan akibat hukum dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya
akibat hukum tertentu. Hak berisi kebebasan untuk atau tidak melakukan tindakan
tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan
kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan
tertentu.
64
Universitas Sumatera Utara
65
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan, kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut kewenangan
adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara
negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.45
Bedanya antara kekuasaan dan wewenang ialah bahwa setiap kemampuan
untuk mempengaruhi pihak lain dinamakan kekuasaan, sedang wewenang adalah
kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang dengan mendapat
pengakuan dari masyarakat. Karena memerlukan pengakuan dari masyarakat itu
maka di dalam suatu masyarakat yang sudah kompleks susunannya dan sudah
mengenal pembagian tugas yang terperinci wewenang itu biasanya terbatas
mengenai hal-hal yang diliputinya, waktunya dan caranya menggunakan
kekuasaan itu.
Kewenangan adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang
lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu.
Kadangkala istilah wewenang dikaitkan dengan suatu kekuasaan hukum. Terkait
dengan kekuasaan hukum maka ada hal yang perlu dicermati yaitu berkaitan
dengan keabsahan suatu tindak pemerintahan dan kekuasaan hukum. Suatu tindak
pemerintahan dianggap sah jika dapat diterima sebagai suatu bagian dari
ketertiban hukum dan suatu tindak pemerintah mempunyai kekuasaan hukum jika
dapat mempengaruhi pergaulan hukum.
46
Berdasarkan sumbernya wewenang dibedakan menjadi dua yaitu
wewenang personal dan wewenang ofisial. Wewenang personal bersumber pada
45 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 46 Jusmadi Sikumbang, Mengenal Sosiologi Dan Sosiologi Hukum, Cetakan Ketiga, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2013, hlm. 77.
Universitas Sumatera Utara
66
intelegensi, pengalaman, nilai atau norma, dan kesanggupan untuk memimpin.
Sedangkan wewenang ofisial merupakan wewenang resmi yang diterima dari
wewenang yang berada diatasnya.
Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui tiga (3) cara yaitu dengan
atribusi, delegasi dan mandat.
a) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-
undang kepada organ pemerintahan.47
b) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
Artibusi dikatakan sebagai cara
normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Juga dikatakan
bahwa atribusi juga merupakan wewenang untuk membuat keputusan
(besluit). Rumusan lain mengatakan bahwa atribusi merupakan
pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu.
Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pembentukan wewenang dan
distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar.
Pembentukan wewenang pemerintahan didasarkan pada wewenang yang
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
48
47
Delegasi diartikan
sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat “besluit”) oleh pejabat
pemerintahan (pejabat tun) kepada pihak lain dan wewenang tersebut
menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5816ab6ea74a7/pengertian-atribusi--delegasi-dan-mandat. Diakses pada tanggal 22 April 2017. 48 Ibid.
c) Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangan
dijalannya oleh organ lain atas namanya.49
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi),
sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan
demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber
kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat
diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi,
delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu
kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan
mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan
yuridis yang benar.
Mandat merupakan suatu
pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud
memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n
pejabat tun yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan
pejabat tun yang memberi mandat. Dengan demikian tanggung gugat dan
tanggung jawab tetap pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak perlu ada
ketentuan perundang-undangan.
50
2. Pengertian Penertiban
Penertiban yaitu proses, cara, dan perbuatan menertibkan.51
49 Ibid. 50 A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 219.
Dalam Hukum
Tata Ruang, penertiban adalah usaha atau kegiatan untuk mengambil tindakan
agar pemanfaatan ruang sesuai rencana dapat terwujud. Kegiatan penertiban dapat
51 https://id.m.wiktionary.org/wiki/penertiban diakses pada tanggal 22 April 2017
Indonesia. Ketentuan ini tersirat dalam pasal 17 PP No. 11 Tahun 2010 yang
menyatakan bahwa :53
1) “identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilaksanakan oleh Panitia.
“pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar dilakukan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan berkala kepada Presiden”.
Dalam pelaksanaan penertiban tanah terlantar dibentuk sebuah panitia. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 5 PP No. 11 Tahun 2010 yaitu :
2) Susunan keanggotaan Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait yang diatur oleh Kepala”.54
Pasal 14 menyatakan :
“ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penertiban tanah terlantar diatur dalam Peraturan Kepala”.55
a. Ketua : Kepala Kantor Wilayah
Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 14 PP No. 11 Tahun 2010,
dikeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010
tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Dalam Peraturan Kepala BPN No.
4 Tahun 2010 ini dijelaskan panitia yang dimaksud dalam Pasal 5 PP No. 11
Tahun 2010. Panitia tersebut adalah Panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN,
Pemerintah Daerah, dan instansi yang berkaitan dengan peruntukkan tanah yang
mempunyai wewenang untuk melakukan identifikasi dan penelitian tanah
terindikasi terlantar. Berdasarkan pasal 10 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun
2010, susunan keanggotaan panitia C terdiri atas :
b. Sekretaris : Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan dan 53 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. 54 Ibid. 55 Ibid
Universitas Sumatera Utara
70
Pemberdayaan Masyarakat merangkap anggota
c. Anggota : 1. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota
2. Dinas/Instansi Provinsi yang berkaitan dengan
peruntukan tanahnya
3. Dinas/Instansi Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan
peruntukan tanahnya
4. Kepala Kantor Pertanahan.56
1) Kegiatan identifikasi dan penelitian yang meliputi :
Dengan demikian maka organ yang berwenang dalam penertiban tanah
terlantar adalah panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Kantor Pertanahan,
Pemerintah Daerah dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang
bersangkutan berwenang dalam melakukan identifikasi dan penelitian terhadap
tanah yang terindikasi terlantar. Sedangkan penetapan tanah terlantar merupakan
kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Berdasarkan pasal 7 PP No. 11 Tahun 2010 dan pasal 11 Peraturan Kepala
BPN No. 4 Tahun 2010, panitia C memiliki wewenang untuk melakukan :
57
a. Melakukan verifikasi data fisik dan data yuridis
b. Mengecek buku tanah dan/ atau warkah dan dokumen lainnya untuk
penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak
c. Meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait,
dan pemegang hak dan pihak lain yang terkait tersebut harus memberi
keterangan atau menyampaikan data yang diperlukan 56 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. 57 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
71
d. Melaksanakan pemeriksaan fisik
e. Melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada
peta pertanahan
f. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar
g. Menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian
h. Melaksanakan sidang panitia
i. Membuat berita acara.
2) Menyampaikan laporan hasil identifikasi, penelitian dan berita acara
kepada Kepala Kantor Wilayah.
Adapun kewenangan dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional yaitu :
1) Memberikan peringatan kepada pemegang hak yang telah menelantarkan
tanahnya berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian yang telah dilakukan
oleh panitia C. Berdasarkan pasal 8 PP No 11 Tahun 2010 dan pasal 14
Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 dinyatakan :
1) Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) disimpulkan terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama kepada pemegang hak, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai izin/ keputusan/ surat sebagai dasar penguasaannya.
2) Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan pertama.
3) Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Wilayah
Universitas Sumatera Utara
72
memberikan peringatan ketiga dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan kedua.58
2) Mengusulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah
terlantar. Ketentuan ini diatur dalam pasal 8 ayat (6) yang menyatakan
bahwa, apabia pemegang hak tetap tidak melaksanakan peringatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), kepala kantor wilayah
mengusulkan kepada kepala untuk menetapkan tanah yang bersangkutan
sebagai tanah terlantar.
Sedangkan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
berwenang untuk membuat keputusan penetapan tanah terlantar terhadap tanah
yang diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN. Ketentuan ini diatur dalam
pasal 9 PP No. 11 Tahun 2010 dan pasal 19 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun
2010. Pasal 19 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 menyatakan bahwa :
1) Kepala menetapkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar atas usulan Kepala Kantor Wilayah
2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat hapusnya hak atas tanah, pemutusan hubungan hukumnya, dan sekaligus menegaskan bahwa tanah yang dimaksud dikuasai langsung oleh negara.59
4. Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar
Penertiban tanah terlantar akan dilakukan secara sistematis, teliti, adil, dan
transparan. Oleh sebab itu, penertiban tanah terlantar akan mengikuti tahapan-
tahapan yang jelas dan mudah diikuti oleh semua pihak. Berdasarkan PP No. 11
Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang
58 Lihat pasal 8 PP Nomor 11 Tahun 2010. 59 Peraturan Kepala BPN, opcit.
Universitas Sumatera Utara
73
ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4
Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, penertiban tanah
terlantar dilakukan dengan 4 (empat) tahap yaitu :
1. Tahapan Inventarisasi Tanah Terindikasi Terlantar
Tahap inventarisasi ini dimaksudkan untuk mengendalikan penggunaan
dan pemanfaatan tanah hak dan dasar penguasaan atas tanah oleh pemegang hak.
Dengan demikian dapat diketahui pemegang hak telah menggunakan dan
memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian
hak atau dasar penguasaan atas tanahnya, atau sebaliknya masih terdapat tanah
yang tidak diusahakan atau diterlantarkan.
Informasi tanah hak sekala besar terindikasi terlantar (HGU, HGB induk,
Hak Pakai berjangka waktu), Hak Pengelolaan, dan dasar penguasaan atas tanah
(Ijin Lokasi) diperoleh dari hasil pemantauan lapangan oleh Kanwil Badan
Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan, atau dari laporan dinas/instansi lainnya,
laporan tertulis dari masyarakat atau dari laporan pemegang hak.
Pemegang hak atas tanah dan pemegang dasar penguasaan atas tanah
wajib mengusahakan, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan
keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak dan dasar penguasaan atas tanahnya.
Oleh karena itu pemegang hak berkewajiban melaporkan penggunaan dan
pemanfaatan tanahnya secara berkala setiap triwulan kepada Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional, dengan tembusan kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
Universitas Sumatera Utara
74
Hasil inventarisasi tanah terindikasi terlantar, meliputi data tekstual dan
spasial. Data tekstual diantaranya adalah nama dan alamat pemegang hak, nomor,
dan tanggal keputusan pemberian hak, nomor, tanggal, dan berakhirnya sertipikat,
letak tanah, luas tanah, penggunaan tanah, luas tanah terindikasi terlantar, dan data
spasial merupakan data grafis berupa peta yang dilengkapi dengan koordinat
posisi bidang tanah terindikasi terlantar. Hasil inventarisasi tanah terindikasi
terlantar selanjutnya dilakukan rekapitulasi oleh Kanwil Badan Pertanahan
Nasional menjadi basis data tanah terindikasi terlantar.
2. Tahapan Identifikasi dan Penelitian.
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional menetapkan target
tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi terlantar untuk
dilakukan identifikasi dan penelitian, dengan mempertimbangkan lamanya tanah
hak tersebut diterlantarkan dan/atau luas bidang tanah yang terindikasi terlantar.
Untuk mempercepat proses identifikasi dan penelitian, Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional menyiapkan data dan informasi tanah terindikasi
terlantar, meliputi:
a. Verifikasi terhadap data fisik dan data yuridis meliputi jenis hak dan letak
tanah
b. Mengecek buku tanah, warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui
keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan
pemanfaatan tanah saat pengajuan hak
c. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberitahukan secara
tertulis kepada pemegang hak bahwa dalam waktu yang telah ditentukan akan
Universitas Sumatera Utara
75
dilaksanakan identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar. Apabila
pemegang hak tidak diketahui alamat dan domisilinya, maka pemberitahuan
dilakukan melalui pengumuman di Kantor Pertanahan dan di lokasi, bahwa
tanah tersebut sedang dilaksanakan identifikasi dan penelitian oleh Kanwil
Badan Pertanahan Nasional
d. meminta keterangan pemegang hak dan pihak lain yang terkait
e. melaksanakan pemeriksanaan fisik lapangan untuk menentukan letak batas
penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan GPS hand-held
f. melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah
g. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar antara lain menyangkut
permasalahan-permasalahan penyebab terjadinya tanah terlantar, kesesuaian
dengan hak yang diberikan, dan kesesuaian dengan tata ruang
h. menyusun konsep (draft) laporan hasil identifikasi dan penelitian
i. menyusun konsep (draft) Berita Acara Panitia C.
Setelah proses tersebut dilaksanakan, Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional membentuk Panitia C, dan Sekretariat Panitia C. Panitia C
melaksanakan sidang panitia dengan menggunakan bahan konsep (draft) laporan
hasil identifikasi dan penelitian yang telah dilaksanakan Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional, dan apabila diperlukan Panitia C dapat melakukan
pengecekan lapang. Panitia C menyampaikan laporan akhir hasil identifikasi dan
penelitian serta Berita Acara kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional.
3. Tahapan Peringatan
Universitas Sumatera Utara
76
Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian dan saran
pertimbangan Panitia C (Berita Acara Panitia C), disimpulkan terdapat tanah
tersebut diterlantarkan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama, agar
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan pemegang hak telah mengusahakan,
menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan atau sifat dan
tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Jika pemegang hak tidak
melaksanakan peringatan pertama, setelah memperhatikan kemajuan penggunaan
dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan pertama, Kepala Kantor Wilayan
Badan Pertanahan Nasional memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka
waktu sama dengan peringatan pertama. Apabila pemegang hak tidak
melaksanakan peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan penggunaan
dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan kedua, Kepala Kantor Wilayan
Badan Pertanahan Nasional memberikan peringatan tertulis ketiga yang
merupakan peringatan terakhir dengan jangka waktu sama dengan peringatan
kedua. Pada setiap peringatan disebutkan tindakan konkret yang harus dilakukan
pemegang hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila pemegang tidak
melaksanakannya.
Dalam masa peringatan (pertama, kedua, dan ketiga) pemegang hak wajib
melaporkan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah secara berkala setiap 2
(dua) mingguan kepada Kepala Kantor Wilayan Badan Pertanahan Nasional
dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dan
Universitas Sumatera Utara
77
dilakukan pemantauan dan evaluasi lapangan oleh Kantor Wilayan Badan
Pertanahan Nasional pada setiap akhir peringatan.
4. Tahap Penetapan Tanah Terlantar
Apabila pada akhir peringatan ketiga, setelah dilakukan pemantauan dan
evaluasi, masih terdapat tanah yang diterlantarkan (berarti pemegang hak tidak
mematuhi peringatan tersebut), maka Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional mengusulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional RI agar bidang
tanah tersebut ditetapkan sebagai tanah terlantar. Yang dimaksud tidak mematuhi
peringatan, adalah apabila :
a. seluruh bidang tanah hak tidak digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan
pemberian hak;
b. sebagian tanah belum diusahakan sesuai dengan SK hak atau dasar
penguasaan tanah;
c. sebagian tanah digunakan tidak sesuai dengan SK hak atau dasar
penguasaan tanah;
d. seluruh tanah telah digunakan tetapi tidak sesuai dengan SK hak atau dasar
penguasaan tanah;
e. tanah yang telah diberikan dasar panguasaan dan sebagian atau seluruhnya
telah digunakan sesuai dengan peruntukkannya, tetapi belum mengajukan
permohonan hak; dan/atau
f. tidak ada tindak-lanjut penyelesaian pembangunan.
Universitas Sumatera Utara
78
Sebagai bahan pertimbangan penetapan tanah terlantar dengan
memperhatikan luas tanah terlantar terhadap tanah hak/dasar penguasaan,
dilakukan pengelompokan berdasarkan persentasenya sebagai berikut:
a. seluruh hamparan tanah hak/dasar penguasaan terlantar atau 100%
diterlantarkan;
b. sebagian besar terlantar, dengan kisaran > 25% - < 100% diterlantarkan;
c. sebagian kecil terlantar, dengan kisaran ≤ 25 % diterlantarkan.
Tanah yang telah diusulkan sebagai tanah terlantar dinyatakan dalam
kondisi status quo sampai terbitnya penetapan tanah terlantar.
Atas usulan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kepala
Badan Pertanahan Nasional RI menerbitkan Keputusan Penetapan Tanah
Terlantar, sekaligus memuat hapusnya hak atas tanah, pemutusan hubungan
hukum dan menegaskan tanahnya dikuasai langsung oleh negara. Keputusan
Kepala Badan Pertanahan Nasional RI tersebut disampaikan kepada pemegang
hak atau bekas pemegang hak, dengan tembusan kepada Gubernur, Kepala Kantor
Wilayah, Bupati/Walikota, Kepala Kantor Pertanahan, instansi terkait serta
kepada pemegang Hak Tanggungan apabila terdapat Hak Tanggungan. Tanah
yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
wajib dikosongkan oleh bekas pemegang hak.
Apabila tanah terlantar tersebut dibebani hak tanggungan, maka hak
tanggungan tersebut juga menjadi hapus dengan hapusnya hak atas tanah yang
telah ditetapkan sebagai tanah terlantar. Akan tetapi hapusnya hak tanggungan
Universitas Sumatera Utara
79
tersebut tidak menghapus perjanjian kredit atau utang piutang yang terjadi antara
kreditur dengan debitur, karena hubungan hukum tersebut bersifat keperdataan.
Terhadap pemegang hak yang hanya menterlantarkan tanahnya sebagian,
dan pemegang hak mengajukan permohonan hak baru atau revisi atas luas bidang
tanah yang benar-benar diusahakan, dipergunakan dan dimanfaatkan, maka
setelah hak atas tanahnya yang baru terbit, pemegang hak dapat melakukan
pembebanan hak tanggungan sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah.
Penertiban tanah terlantar sebagai implementasi Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010, hanya diberlakukan terhadap
pemegang hak atas tanah atau dasar penguasaan atas tanah yang menelantarkan
tanahnya sebagai bentuk sanksi terhadap penyimpangan yang dilakukan para
pemegang hak. Sedangkan bagi pemegang hak yang melaksanakan kewajibannya
sesuai dengan Surat Keputusan Pemberian Hak atau dasar penguasaan atas tanah,
tidak terkena Peraturan Pemerintah ini.
B. Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Pelaksanaan Landreform
1. Pengertian Pendayagunaan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendayagunaan memiliki arti
pengusahaan agar mampu mendatangkan hasil dan manfaat; pengusahaan (tenaga
dsb) agar mampu menjalankan tugas dengan baik; efisien.60
60
Kemudian menurut
https://www.kamusbesar.com/pendayagunaan diakses pada tanggal 24 April 2017
Nurhattati Fuad, pendayagunaan sering juga diartikan sebagai pengusahaan agar
mampu mendatangkan hasil dan manfaat.61
Penelantaran tanah merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus
dipenuhi para pemegang hak atau pihak yang memperoleh dasar penguasaan
tanah, sehingga dampak lainnya yakni terhambatnya pencapaian berbagai program
pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional,
tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah, serta
Maka dapat disimpulkan bahwa
pendayagunaan adalah suatu usaha untuk mendatangkan hasil atau manfaat yang
lebih besar dan lebih baik dengan mamanfaatkan segala sumber daya dan potensi
yang dimiliki. Pendayagunaan ditujukan untuk memanfaatkan segala potensi yang
melekat pada sumber daya yang dimiliki secara optimal.
Pendayagunaan tanah sebagai sumber daya tidak hanya sebatas tanah
dalam batas yang sempit, tetapi lebih luas berupa lahan. Lahan mempunyai
peranan penting dalam kehidupan manusia, tumbuhan, dan makhluk lainnya.
Manusia selalu berusaha memiliki dan menguasai lahan, yang ikut menentukan
status sosialnya. Kebutuhan hidup manusia yang beragam, penguasaan teknologi,
kondisi sosial budaya, dan ekonomi masyarakat yang berbeda merupakan faktor
yang menentukan dalam penggunaan lahan. Pengelolaan lahan merupakan upaya
yang dilakukan manusia dalam pemanfaatan lahan sehingga produktivitas lahan
tetap tinggi secara berkelanjutan (jangka panjang).
61 Nurhattati fuad, Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat, Jakarta: FIP PRESS, 2012, hlm. 82 sebagaimana dikutip oleh Wening Yuni, Hakikat Pendayagunaan Sumber, http://www.kompasiana.com/weyea/hakikat-pendayagunaansumber_553107c86ea8347a558b4574 diakses pada tanggal 24 April 2017.
6) Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dan
Hak Pakai atas tanah Negara, yang pemegang haknya tidak lagi memenuhi
syarat sebagai subjek hak atas tanah.
7) Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dan Hak Pakai
atas tanah Negara yang telah berakhir jangka waktunya dan tidak diajukan
permohonan perpanjangan jangka waktu oleh pemegang haknya.
8) Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dan Hak Pakai
atas Tanah Negara yang telah berakhir perpanjangan jangka waktunya dan
tidak diajukan permohonan pembaruan hak oleh pemegang haknya.
9) Hak Pengelolaan yang dilepaskan oleh pemegang haknya.
10) Kawasan hutan yang dikeluarkan statusnya sebagai kawasan hutan.
11) Tanah yang berasal dari hasil konsolidasi tanah.
12) Tanah yang berasal dari reklamasi pantai.
13) Tanah absente/ guntai.
14) Tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimal tanah pertanian
yang dapat dimiliki atau dikuasai.
15) Bekas tanah partikelir.
Pendayagunaan tanah terlantar lebih lanjut diatur di dalam Peraturan
Kepala BPN No. 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pendayagunaan Tanah Negara
Bekas Tanah Terlantar. Dalam peraturan tersebut, tanah negara yang dimaksud
adalah tanah negara bekas tanah terlantar. Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala BPN
No. 5 Tahun 2011 menyatakan bahwa tanah negara bekas tanah terlantar adalah
tanah yang sudah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dihapuskan haknya, diputus
Universitas Sumatera Utara
84
hubungan hukumnya, dan ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
negara merupakan Tanah Cadangan Umum Negara, yang selanjutnya disebut
TCUN.
Istilah “tanah negara bekas tanah terlantar” merupakan penegasan bahwa
status tanah yang dilakukan tindakan pendayagunaan adalah tanah negara setelah
sebelumnya telah dilakukan penertiban dan penetapan sebagai tanah terlantar yang
kemudia dihapuskan haknya, diputus hubungan hukumnya, dan ditegaskan
menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Tanah negara bekas tanah
terlantar yang akan didayagunakan ini selanjutnya secara yuridis berdasarkan
ketentuan pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala BPN No. 5 Tahun 2011 disebut
sebagai Tanah Cadangan Umum Negara (TCUN).
3. Pelaksanaan Pendayagunaan Tanah Terlantar
Tanah- tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar akan menjadi
tanah negara. Sebagai langkah selanjutnya tanah- tanah terlantar tersebut akan
didayagunakan untuk kepentingan masyarakat . Berdasarkan Pasal 15 PP No. 11
Tahun 2010, dinyatakan bahwa Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan untuk
kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan
untuk cadangan Negara lainnya. Dengan demikian pendayagunaan tanah negara
bekas tanah terlantar adalah pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar
melalui peruntukan dan pengaturan peruntukan penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan masyarakat melalui
reforma agraria, program strategis negara, dan untuk cadangan negara lainnya.
Universitas Sumatera Utara
85
1) Reforma Agraria
Praktek reforma agraria sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD
1945, diantaranya bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat melalui
pemerataan pendapatan, meningkatkan keadilan sosial melalui distribusi/retribusi
tanah bagi kepentingan rakyat, kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum agraria
melalui kodefikasi aturan hukum agraria yang bersifat nasional untuk mengakhiri
politik hukum agraria kolonial yang bersifat dualistis dan rumit. Tujuan dimaksud
harus pula didukung dengan prinsip nasionalitas, hak menguasai dari negara,
tanah mengandung fungsi sosial, dan perencanaan agraria.
Tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar, peruntukan penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar
tersebut didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui
reforma agraria dam program strategis negara untuk cadangan negara lainnya.
Reforma Agraria merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup penataan
sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan aset masyarakat dan penataan
akses masyarakat terhadap tanah sesuai dengan jiwa Pasal 2 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Penataan aset
masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah dapat melalui distribusi
dan redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar.
Redistribusi tanah menurut Boedi Harsono yaitu tanah-tanah yang
selebihnya dari maksimum diambil oleh pemerintah untuk kemudian dibagi-
Universitas Sumatera Utara
86
bagikan kepada rakyat yang membutuhkan.64 Menurut Arie Sukanti, redistribusi
tanah adalah pembagian tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan telah
ditegaskan menjadi objek landreform yang diberikan kepada para petani
penggarap yang telah memenuhi syarat ketentuan PP Nomor 224 Tahun 1961
tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah-Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.65
Redistribusi tanah dilatarbelakangi oleh suatu keadaan dimana terdapat
sebagian besar tanah pertanian dipunyai oleh beberapa orang saja, di lain pihak
adanya bagian-bagian tanah yang sangat kecil yang dipunyai oleh sebagian besar
rakyat. Ini terjadi terutama di negara-negara berkembang yang tekanan
penduduknya pada umumnya sangat tinggi dan fasilitas industri untuk
menampung kelebihan penduduk pedesaan terbatas.
66
64 Boedi Harsono, opcit, hlm. 378. 65 Arie Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia, Suatu Sarana ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan dan Pemilikan Tanah, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, hlm.57. 66 Ibid, hlm. 58.
Kebijakan pemerintah dalam pendayagunaan tanah negara bekas tanah
terlantar melalui pendistribusian tanah negara merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan keadilan terhadap tanah untuk semua orang Indonesia. Melalui
reforma agraria tanah-tanah negara bekas tanah terlantar dalam
pendayagunaannya dapat dibagikan kepada masyarakat. Pendayagunaan tanah
negara bekas tanah terlantar memberikan kesempatan kepada masyarakat
khususnya para petani penggarap untuk memanfaatkan tanah negara bekas tanah
terlantar tersebut.
Universitas Sumatera Utara
87
Pendayagunaan tanah terlantar yang dilakukan dengan cara redistribusi
tanah, dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008
tentang Objek Redistribusi Tanah.
2) Program Strategis Negara
Menurut PP No. 11 Tahun 2010, Pendayagunaan tanah terlantar melalui
Program Strategis Negara adalah untuk pengembangan sektor pangan, energi, dan
perumahan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
a. Sektor Pangan
Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa :
(1) Perkonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandiriaan serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pangan merupakan hak yang paling mendasar dari warga negara serta
salah satu unsur dari kekuatan nasional dalam politik antar bangsa. Untuk itu
sangat diperlukan perlindungan negara kepada produksi pangan bagi rakyat dan
kedaulatan negara. Sebagai hak dasar, pangan merupakan hak asasi manusia
dimana Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak atas pangan masyarakat. Pasal 45 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996
tentang Pangan menyatakan bahwa “Pemerintah bersama masyarakat bertanggung
jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan.
Universitas Sumatera Utara
88
Jika peranan negara ini dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945, maka
produksi pangan adalah cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak, di dalam penjelasan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 disebutkan
sebagai “Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau
pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang
diutamakan, bukan kemakmuran orang perorang. Sebab itu, perekonomian
disusun bersama berdasar asas kekeluargaan “.
Penguasaan Negara dalam Pasal 33 UUD 1945, mengandung pengertian
bahwa hak menguasai negara bukan dalam makna Negara memiliki, tetapi dalam
pengertian bahwa Negara merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan,
melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan.
Pemerintah bersama masyarakat bertanggungjawab untuk mewujudkan
ketahanan pangan sebagai bagian program strategis negara. Untuk mewujudkan
ketahanan pangan, program yang perlu diperkuat adalah pembangunan sektor
pertanian. Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional
adalah pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan diarahkan
pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien, dan tangguh, serta bertujuan
untuk meningkatkan hasil dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan taraf
hidup petani.
Terkait pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar melalui program
strategis Negara di sektor pangan, pemerintah menetapkan wilayah
Universitas Sumatera Utara
89
pengembangan budidaya tanaman untuk memperkuat pembangunan sektor
pertanian dalam mewujudkan ketahanan pangan.
b. Sektor Energi
Sumber daya energi sebagai kekayaan alam merupakan anugerah Tuhan
Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Selain itu, sumber daya
energi merupakan sumber daya alam yang strategis dan sangat penting bagi hajat
hidup rakyat banyak terutama dalam peningkatan kegiatan ekonomi, kesempatan
kerja, dan ketahanan nasional maka sumber daya energi harus dikuasai negara dan
dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pengelolaan energi yang meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan
pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional,
optimal, dan terpadu guna memberikzn nilai tambah bagi perekonomian bangsa
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaan energi yang dilakukan secara
terus menerus guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam pelaksanaannya
harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Mengingat
arti penting sumber daya energi, Pemerintah perlu menyusun rencana pengelolaan
energi untuk memenuhi kebutuhan energy nasional yang berdasarkan kebijakan
pengelolaan energi jangka panjang.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi mendefinisikan
Pengelolaan energi adalah penyelenggaraan kegiatan penyediaan, pengusahaan,
Universitas Sumatera Utara
90
dan pemanfaatan energi serta penyediaan caclangan strategis dan konservasi
sumber daya energi.67
Dan dalam hal itu, masyarakat, baik secara perseorangan maupun
kelompok, dapat berperan dalam hal penyusunan rencana umum energi nasional
dan rencana umum energi daerah serta pengembangan energi untuk kepentingan
umum.
68
c. Perumahan Rakyat
Selain Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, terdapat
pula sejumlah peraturan perundangan sektoral yang terkait dengannya yaitu,
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997
tentang Ketenaganukliran, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan
Batubara.
Pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar bagi program strategis
Negara sektor energi dapat dilakukan dengan menetapkannya sebagai wilayah
pertambangan rakyat yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat dilakukannya
kegiatan usaha pertambangan rakyat.
Untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam
Undang-Undang Dasar 1945, dilaksanakan pembangunan nasional, yang pada
hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan
67 Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. 68 Pasal 19 ayat (2), Ibid.
Universitas Sumatera Utara
91
pembangunan kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu
masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila.
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan
mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta
kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan
peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik
perkotaan maupun pedesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana dan
utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Sedangkan
permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari
satu-satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta
mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan.
Dengan demikian penyediaan rumah saja tidak cukup, karena bila hanya sampai
pada penyediaan rumah, maka bisa saja dibangun di atas tanah yang tidak ada
daya dukung untuk membentuk suatu lingkungan tempat hunian.69
Sistem penyediaan tanah untuk perumahan dan permukiman harus
ditangani secara nasional karena tanah merupakan sumberdaya alam yang tidak
dapat bertambah akan tetapi harus digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya
Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan
kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia
dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan
menampakkan jati dirinya.
69 Muhammad Yamin Lubis - Abdul Rahim Lubis, Kepemilikan Properti Di Indonesia, Termasuk Kepemilikan Rumah Oleh Orang Asing, Bandung, Penerbit Mandar Maju, 2013, hlm. 41.
Universitas Sumatera Utara
92
bagi kesejahteraan masyarakat. Proses penyediaannya harus dikelola dan
dikendalikan oleh pemerintah agar supaya penggunaan dan pemanfaatannya dapat
menjangkau masyarakat secara adil dan merata tanpa menimbulkan kesenjangan
ekonomi dan sosial dalam proses bermukimnya masyarakat.
Untuk mewujudkan perumahan dan permukiman dalam rangka memenuhi
kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang dan sedang dengan rencana tata
ruang, suatu wilayah permukiman ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang
dilengkapi jaringan prasarana primer dan sekunder lingkungan.
Terhadap pengadaan, pembangunan atau penyelenggaraan rumah dan
perumahan tersebut sesuai ketentuan pasal 19 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan
dan pemerataan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan oleh pemerintah,
pemerintah daerah dan/atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara
untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam
lingkungan yang sehat, aman dan teratur.70
70 Ibid, hlm. 42.
Pembangunan perumahan oleh pemerintah dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan khusus antara lain transmigrasi, pemukiman kembali korban bencana
dan pemukiman yang terpencar-pencar dan pembangunan rumah dinas.
Sedangkan pembangunan perumahan oleh badan-badan sosial atau keagamaan
antara lain untuk menampung orang lanjut usia (jompo) dan yatim piatu.
Universitas Sumatera Utara
93
Obyek dari pembangunan perumahan dan pemukiman berdasarkan Pasal
32 UU No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman juncto UU No. 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, antara lain :
1. Tanah yang langsung dikuasai Negara;
2. Konsolidasi tanah oleh pemilik tanah;
3. Pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah yang dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Dengan keluarnya kebijakan pemerintah tentang pendayagunaan tanah
terlantar yang diatur dalam PP No.11 Tahun 2010, maka tanah-tanah negara bekas
tanah terlantar dapat didayagunakan dalam pembangunan sektor perumahan dan
pemukiman rakyat yang merupakan program strategis negara. Penyediaan tanah
untuk perumahan dan pemukiman melalui penggunaan tanah negara, selain
ditujukan untuk penyediaan kaveling tanah dengan penerapan subsidi silang, juga
ditujukan sebagai modal untuk cadangan tanah negara secara berkelanjutan.
Penerimaan hasil pengusahaan tanah negara tersebut digunakan untuk penyediaan
tanah di lokasi lain sehingga selalu tersedia cadangan tanah negara dalam jumlah
yang memadai untuk pembangunan perumahan dan pemukiman pada waktu yang
akan datang.
3) Cadangan Negara
Berdasarkan PP No.11 Tahun 2010, Pendayagunaan tanah Negara Bekas
tanah terlantar sebagai cadangan Negara diperuntukkan untuk memenuhi
kebutuhan tanah untuk kepentingan pemerintah, pertahanan dan keamanan,
Universitas Sumatera Utara
94
kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan pemukiman kembali
masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum.
Pasal 33 UUD 1945, mengamanatkan kekayaan alam dan cabang produksi
yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai Negara dengan tujuan untuk
kemakmuran rakyat. Untuk mengimplementasikan Pasal 33 UUD 1945 di
lapangan agraria (kekayaan alam), UUPA menegaskan bahwa setiap hak atas
tanah memiliki fungsi sosial. Artinya pemanfaatan tidak hanya memberi manfaat
bagi pemiliknya, tetapi juga masyarakat sekelilingnya dan tidak boleh merugikan
kepentingan umum.
Pasal 7 UUPA menegaskan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan
umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan. Kemudian dalam Pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan mengganti kerugian
yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Artinya dengan
alasan kepentingan umum Negara dapat mengambil alih tanah-tanah masyarakat
maupun swasta.
Tanah-tanah negara bekas tanah terlantar sebagai cadangan negara selain
dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk kepentingan
pemerintah, dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk
pertahanan dan keamanan.
UUPA juga memberikan kewajiban kepada negara untuk melaksanakan
pembaruan agraria atau landreform melalui pembaruan struktur penguasaan dan
Universitas Sumatera Utara
95
pengusahaan sumber-sumber agraria yang merdeka dari penjajahan, demokratis,
berkeadilan sosial dan berwawasan lingkungan serta menjadi basis pembangunan
nasional. Untuk itu, fungsi sosial tanah kemudian haruslah dikontekskan dengan
pembaruan agraria, di mana UUPA 1960 telah memberikan kewajiban kepada
negara dan hak kepada warga negara. Pertama, pemerintah membuat rencana
semesta penggunaan sumber-sumber agraria; mengelola sumber-sumber agraria
agar mempertinggi produksi dan kemakmuran rakyat serta menjamin bagi setiap
warga negara derajat hidupnya sesuai dengan martabat manusia; dalam lapangan
agraria mencegah adanya monopoli swasta; memajukan kepastian dan jaminan
sosial sosial termasuk di bidang perburuhan dalam usaha-usaha di lapangan
agraria dan dalam rangka mengatur untuk tidak merugikan kepentingan umum
maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan. Kedua, perlindungan negara atas hak-hah masyarakat antara lain,
hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya
dengan bumi, air dan ruang angkasa; tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-
laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu
hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya baik bagi diri
sendiri maupun keluarganya; setiap orang dan badan hukum yang mempunyai
suatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan;
perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi yang lemah; usaha
bersama dalam lapangan agraria dalam bentuk koperasi dan gotong royong.
Universitas Sumatera Utara
96
Menurut Pasal 1 UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara,
disebutkan bahwa sistem pertahanan Negara adalah sistem pertahanan yang
bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya
nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan
diselenggarakan secara total, terpadu, terarah dan berlanjut untuk menegakkan
kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala
ancaman. Yang dimaksud sumber daya nasional termasuk di dalamnya adalah
sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan. Sumber daya
alam adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang dalam
wujud asalnya dapat didayagunakan untuk kepentingan pertahanan Negara.
Dengan demikian sumber daya nasional yang berupa sumber daya
manusia, sumber daya alam dan buatan, dapat didayagunakan untuk
meningkatkan kemampuan pertahanan negara termasuk tanah-tanah negara bekas
tanah terlantar dapat dialokasikan untuk kebutuhan pertahanan dan keamanan.
Tanah negara bekas tanah terlantar yang diperuntukkan sebagai tanah
cadangan negara dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tanah akibat
adanya bencana alam. Negara kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah
yang luas dan terletak digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan
dua samudra dengan kondisi alam yang memiliki berbagai keunggulan, namun
dipihak lain posisinya berada dalam wilayah yang memiliki kondisi geografis,
geologis, hgidrologis, dan demografis yang rawan terhadap terjadinya bencana
dengan frekwensi yang cukup tinggi, sehingga memerlukan penanganan yang
sistematis, terpadu, dan terkoordinasi.
Universitas Sumatera Utara
97
Dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
menyebutkan, Penanggulangan Bencana merupakan salah satu bagian dari
pembangunan nasional yaitu serangkaian kegiatan penanggulangan bencana
sebelum, pada saat maupun sesudah terjadinya bencana. Untuk melaksanakan
penanggulangan bencana, pemerintah (Badan Penanggulangan Bencana)
mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi prabencana, saat tanggap
darurat, dan pasca bencana (Pasal 16 UU No.24 Tahun 2007 ).
Proses penanggulangan bencana memiliki keterkaitan erat dengan
pemanfaatan tanah. Pasal 32 UU No.24 Tahun 2007 menyatakan bahwa dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, pemerintah dapat menetapkan daerah
rawan bencana menjadi daerah terlarang untuk pemukiman dan/atau mencabut
atau mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan setiap orang atas suatu
benda.
Keterkaitan kebijakan penanggulangan bencana dengan pemanfaatan dan
penggunaan tanah adalah dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam tahap
rehabilitasi, akan dilakukan perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana
dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua
aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
Dalam tahap rekonstruksi, akan dilakukan pembangunan kembali semua
prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan
Universitas Sumatera Utara
98
ketertiban dan bangkitnya peranserta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pascabencana. Berdasarkan hal tersebut, maka tanah
negara bekas tanah terlantar memungkinkan untuk dialokasikan atau
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutahan tanah untuk penanggulangan bencana
khususnya dalam hal relokasi.
Walaupun melalui kebijakan pendayagunaan tanah negara bekas tanah
terlantar, pemerintah dapat memanfaatkan tanah terlantar untuk kebutuhannya
namun dalam prosesnya harus tetap merujuk pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. Dalam Pasal 4 ayat (1) Perpres Nomor 65 Tahun 2006
disebutkan bahwa Pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang
diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat
dilakukan apabila berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah
ditetapkan lebih dahulu.
4. Organ Yang Berwenang Dalam Pendayagunaan Tanah Terlantar
Kewenangan pendayagunaan tanah terlantar yang diatur dalam PP No. 11
Tahun 2010 merupakan kewenangan delegasi dimana Presiden mendelegasikan
kewenangannya kepada Badan Pertanahan Nasional untuk melaksanakan
pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar untuk kepentingan
masyarakat.Ketentuan ini diatur dalam Pasal 17 PP No.11 tahun 2010 yang
menyatakan bahwa pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan
tanah negara bekas tanah terlantar dilaksanakan oleh Kepala dan hasilnya
dilaporkan kepada Presiden. Selanjutnya berdasarkan Pasal 15 ayat (2) PP No.11
Tahun 2010 dinyatakan bahwa “Peruntukan dan pengaturan peruntukan
Universitas Sumatera Utara
99
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah Negara bekas tanah
terlantar dilaksanakan oleh Kepala. Berdasarkan ketentuan tersebut maka yang
berwenang dalam pendayagunaan tanah terlantar adalah Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UUPA hak menguasai dari negara tersebut
diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Dengan
ketentuan pasal ini daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus
bidang pertanahan. Kemudian diterbitkan Kepres Nomor 34 Tahun 2003 tentang
Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yang menentukan bahwa penyerahan
sebagian kewenangan pemerintah dibidang pertanahan kepada pemerintah daerah
Kabupaten//Kota. Selanjutnya dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, ditentukan bahwa daerah berwenang untuk mengarur dan
mengurus bidang pertanahan sebagai urusan pemerintahan yang bersifat wajib.
Dalam Pasal 2 Kepres No.34 tahun 2003, dinyatakan bahwa sebagian
kewenangan Pemerintah Pusat di bidang Pertanahan dilimpahkan kepada daerah.
Pemerintah melalui Kepres No.34 Tahun 2003 telah menentukan pembagian
kewenangan BPN (Pemerintah) beserta ruang lingkup tugasnya dengan
Pemerintah Daerah dalam bidang pertanahan yaitu :
1) Wewenang BPN Pusat meliputi : a. Pengaturan penyelenggaraan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan tanah. b. Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan tanah.
Universitas Sumatera Utara
100
c. Pengurusan hak atas tanah. d. Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan tanah.
2) Wewenang Kantor Wilayah BPN Provinsi meliputi : a. Perencanaan tata guna tanah dan tata ruang provinsi. b. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan tata guna tanah dan tat
ruang c. Pengawasan, pengendalian, dan penetapan pedoman pelaksanaan
landreform. d. Penetapan dan pengurusan hak atas tanah. e. Pengukuran dan pendaftaran tanah.
3) Wewenang Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota meliputi : a. Penyelenggaraan tata guna tanah dan tata ruang. b. Penyelenggaraan pengaturan penguasaan tanah (landreform) c. Penyelenggaraan pengurusan hak atas tanah d. Penyelenggaraan pendaftaran tanah. e. Penyelenggaraan pengukuran tanah.
4) Wewenang Pemerintah Daerah dibidang pertanahan meliputi : a. Pengaturan penguasaan tanah dan tata ruang b. Hal-hal yang berkaitan dengan tanah. c. Hal-hal yang berkaitan dengan keuangan.
Kemudian dalam Pasal 3 Perpres No. 10 Tahun 2006 disebutkan bahwa
dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan
Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi :
a. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan; b. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan; c. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; d. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan; e. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di
bidang pertanahan; f. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian
hukum; g. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah; h. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan
wilayah-wilayah khusus;
Universitas Sumatera Utara
101
i. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerjasama dengan Departemen Keuangan;
j. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; k. Kerjasama dengan lembaga-lembaga lain; l. Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan,dan di
bidang pertanahan; m. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan; n. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di
bidang pertanahan; o. Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan; p. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; q. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di
bidang pertanahan; r. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan; s. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang
pertanahan; t. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang dan/atau
badan hukum dengan tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
u. Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya ruang lingkup kewenangan Pemerintah Daerah dalam
mengurus bidang pertanahan sebagaimana disebutkan dalam Kepres No. 34
Tahun 2003 dapat dijabarkan sebagai berikut :
1) Pengaturan, penguasaan tanah dan tata ruang, meliputi : a. Ijin lokasi, pengaturan persediaan dan peruntukan; b. Penyelesaian tanah garapan; c. Wide occupatie, penguasaan pendudukan tanah oleh yang tidak
berhak; d. Penyelesaian ganti rugi dalam pengadaan tanah; e. Penyelesaian dan penetapan hak ulayat masyarakat hukum adat; f. Penyelesaian tanah terlantar; g. Pemanfaatan lahan tidur; h. Pengaturan reklamasi; i. Penetapan obyek, subyek redistribusi landreform tanah kelebihan
absentee; j. Penetapan harga dasar tanah;
Universitas Sumatera Utara
102
k. Penetapan penyelenggaraan perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
2) Hal-hal lain yang berkaitan dengan tanah, meliputi : a. Penetapan nilai obyek pajak bumi dan bangunan; b. Ijin mendirikan bangunan; c. Ijin usaha; d. Undang-undang gangguan yang berkaitan dengan penanaman
modal; e. Penetapan koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai bangunan; f. Lingkungan siap bangun dan kawasan siap bangun.
3) Hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan, meliputi : a. Mendapatkan bagian dari uang pemasukan ddari pemberian hak
atas tanah sebesar 80% dari total pemasukan; b. Mendapatkan bagian dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) serta Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 80% untuk daerah dimana BPHTB serta PPh diperoleh, sedangkan sebesar 20% didistribusikan/dibagikan kembali kepada daerah-daerah lain sebagai subsidi silang secara merata.
Berdasarkan pada Kepres No. 34 Tahun 2003, dikaitkan dengan kebijakan
pemerintah dalam pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar yang diatur
dalam PP No. 11 Tahun 2010, maka organ yang berwenang dalam pendayagunaan
tanah Negara bekas tanah terlantar adalah Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia dalam hal penetapan kebijakan pendayagunaan tanah terlantar.
Sedangkan pemerintah daerah berwenang dalam inventarisasi dan identifikasi
tanah terlantar yang akan didayagunakan atau dimanfaatkan untuk reforma
agraria, program strategis Negara, dan cadangan Negara lainnya.
C. Hambatan Yang Ada Dalam Mengatasi Tanah Terlantar
Penelantaran tanah merupakan tindakan yang tidak berkeadilan, yang
dapat menyebabkan hilangnya peluang untuk mewujudnyatakan potensi ekonomi
tanah. Selain itu, penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya
Universitas Sumatera Utara
103
pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan
dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat
khususnya petani, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial. Penelantaran
tanah merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para
pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah.
Negara memberikan hak atas tanah atau hak pengelolaan kepada
pemegang hak untuk diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta dipelihara
dengan baik selain untuk kesejahteraan bagi pemegang haknya juga harus
ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara.
Untuk itu, lahirlah PP no. 11 tahun 2010 mengenai penertiban dan pendayagunaan
tanah terlantar sebagai pelaksanaan amanat UUPA tahun 1960, untuk
menyelesaikan persoalan kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesejahtaraan rakyat
serta penurunan kualitas lingkungan. PP ini juga lahir sebagai pengganti Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar, yang dipandang tidak dapat lagi dijadikan acuan penyelesaian
penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Aturan pelaksanaan untuk
penertiban tanah terlantar juga sudah dikeluarkan melalui Peraturan Kepala BPN
no. 4 tahun 2010 mengenai tata cara penertiban tanah terlantar.
Meskipun telah dikeluarkan peraturan-peraturan yang terkait dengan
pelaksanaan penertiban tanah terlantar, tetap saja masih ada kendala atau
hambatan dalam mengatasi permasalahan mengenai tanah terlantar tersebut. Hal
yang paling terpenting dalam melaksanakan penanggulangan atau penertiban
tanah-tanah terlantar adalah Law Enforcement atau penegakan hukum dalam
Universitas Sumatera Utara
104
bidang pertanahan. Peraturan perundang-undangan telah melandasi kegiatan
tersebut, namun apabila tidak ada penegakannya dari instansi pemerintah yang
terkait atau tidak ada goodwill, penanggulangan dan penertiban tanah-tanah
terlantar tidak akan berjalan dengan baik, sehingga sampai saat ini pun masih
banyak tanah-tanah terlantar yang tidak tersentuh atau tidak ditanggulangi dan
ditertibkan.
Adanya ulah pedagang atau spekulan tanah yang umumnya memiliki tanah
lebih dari satu bidang dan dibiarkan begitu saja tanpa dikelola atau difungsikan
berpeluang besar menyebabkan tanah menjadi terlantar. Diberbagai daerah di
Indonesia, nilai guna tanah begitu tinggi sekali. Hal ini disebabkan oleh iklim
pariwisata yang kini sudah tidak bisa dikatakan sekedar meningkat tetapi terus
berkembang. Investor membeli tanah berhektar-hektar karena diperkirakan akan
mempunyai potensi positif di masa depan, tetapi tanah itu justru dibiarkan atau
tidak dimanfaatkan atau diusahakan. Ada ratusan hak atas tanah yang dikuasai
investor yang ditelantarkan dan mesti diambil langkah-langkah oleh Pemerintah
agar segera dapat dimanfaatkan sesuai dengan permohonan peruntukannya.71
Biasanya kendala yang ditemukan berasal dari dalam, seperti adanya
kesepakatan tidak resmi antara pemegang hak dengan pegawai instansi
pertanahan, sehingga tanah-tanah terlantar tersebut tidak pernah teridentifikasi.
Kesepakatan tidak resmi ini dapat pula terjadi dalam pemberian izin lokasi atau
71 Arion Euodia Saragih, Kewaspadaan Nasional terhadap Pemanfaatan Lahan Terlantar Dapat Mewujudkan Ketahanan Pangan, http://www.kompasiana.com/arioneuodia/kewaspadaan-nasional-terhadap-pemanfaatan-lahan-terlantar-dapat-mewujudkan-ketahanan-pangan_552c70fb6ea834860b8b4650 diakses pada tanggal 29 April 2017
izin penguasaan tanah untuk kegiatan usaha tertentu yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang.72
D. Upaya Yang Dilakukan Dalam Mengatasi Tanah Terlantar
Permasalahan lainnya adalah kurangnya kesadaran hukum dan kepekaan
pemilik hak atas tanah atas pentingnya pemanfaatan dan penggunaan tanah sesuai
dengan fungsi dan tujuan pemberian haknya dan rencana tata ruang serta
ketidaktahuan masyarakat atau para pemilik tanah terhadap keberadaan peraturan
perundang-undangan yang melarang penelantaran tanah.
Sebelum dikeluarkannya PP No 36 Tahun 1998 juncto PP No 11 Tahun
2010, pemerintah telah mengambil langkah-langkah dalam mengantisipasi tanah
terlantar melalui inventarisasi tanah-tanah terlantar terutama yang dikuasai oleh
Badan Hukum yang telah memperoleh izin lokasi, hak guna bangunan dan hak
guna usaha. Disamping itu pemerintah melakukan usaha-usaha pencegahan
terjadinya tanah terlantar melalui :
a. Penertiban tanah perkebunan seperti yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 1956 tentang Peraturan-Peraturan dan tindakan-tindakan
mengenai tanah. Tanah perkebunan, yang telah diubah dan disesuaikan
dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 167/KPTS/KB.110/3/90,
Tahun 1982 tentang Pembinaan dan Penertiban Perkebunan Besar Swasta,
khususnya kelas IV dan V. 72 Joni Harianto, Penyelesaian Masalah Tanah Terlantar dan Konsekuensi Hukumnya serta Perlindungan Hukum yang dapat Diberikan kepada Pemagang Hak atas Tanah Terlantar, https://joeharry-serihukumbisnis.blogspot.co.id/2009/06/penyelesaian-masalah-tanah-terlantar.html diakses pada tanggal 29 April 2017