Page 1
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Paradigma dan Metode Penelitian
Penelitian terhadap ketiga novel Okky ini menggunakan paradigma
konstruktivisme. Menurut Guba dan Yvonna S. Lincoln (2009:135-137),
paradigma konstruktivisme dibangun oleh dasar ontologi yang relativisme, yaitu
realitas adalah konstruksi sosial. Kebenaran realitas bersifat relatif, berlaku sesuai
konteks spesifik yang dinilai relevan oleh aktor sosial. Dasar epistemologi
konstruktivisme adalah transaksional/subjektivitas di mana pemahaman tentang
realitas, atau temuan penelitian adalah hasil interaksi peneliti dengan objek studi.
Sedangkan dasar aksiologi konstruktivisme menyangkut kepentingan ilmu
pengetahuan terhadap masyarakatnya.
Secara metodologis paradigma konstruktivisme menerapkan metode
hermeneutika dan dialektika dalam proses mencapai kebenaran. Metode pertama
dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang per
orang, sedangkan metode kedua membandingkan dan menyilangkan pendapat
orang per orang yang diperoleh melalui metode pertama, untuk memperoleh suatu
konsensus kebenaran yang disepakati bersama. Dengan demikian hasil akhir dari
suatu kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subjektif
dan spesifik mengenai hal-hal tertentu (Salim, 2006:72).
Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi
kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama
Universitas Sumatera Utara
Page 2
dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa, sebab bahasa merupakan milik
bersama, di dalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Pada gilirannya
kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat
pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Karakterisasi tokoh-tokoh dalam
novel, misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh masyarakat
yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani
tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsirannya
bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dan rekaan (Teeuw dalam
Ratna, 2011: 6).
Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi
kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama
dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa, sebab bahasa merupakan milik
bersama, di dalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Pada gilirannya
kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat
pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Karakterisasi tokoh-tokoh dalam
novel, misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh masyarakat
yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani
tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsirannya
bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dan rekaan (Teeuw dalam
Ratna, 2011: 6).
Jadi, untuk menganalisis realitas dalam novel, penelitian ini menggunakan
metode hermeunetika dan metode deskripsi. Metode hermeneutika mengutamakan
ketepatan memahami bahasa teks dalam koteks penafsir dan konteks sosial
Universitas Sumatera Utara
Page 3
pemakai bahasa tersebut. Di dalam hal ini, novel sebagai genre sastra yang
menggunakan bahasa menjadi sumber data penafsiran kehidupan dengan medium
bahasa. Ratna (2004:45) mengatakan bahwa, “Karya sastra perlu ditafsirkan sebab
di satu pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak lain, di dalam bahasa sangat
banyak makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan.”
Metode deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analitik dan metode deskriptif komparatif. Menurut Ratna (2004:35),
metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta
yang kemudian disusul dengan analisis. Sebaliknya, metode deskriptif komparatif
dilakukan dengan cara menguraikan dan membandingkan fakta-fakta kehidupan
masyarakat sebagai suatu realitas fiksi dan realitas sosial.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian ini dilaksanakan dalam
paradigma konstruktivisme dengan metode hermeneutika dan deskriptif. Metode
hermeneutika dipilih untuk menafsirkan kehidupan dan peradaban manusia
dalam novel. Sebaliknya, metode deskriptif yang dipilih adalah deskriptif analitik
dan deskriptif komparatif. Deskriptif analitik akan digunakan untuk menganalisis
realitas fiksi dan realitas sosial dalam ketiga novel Okky. Sebaliknya, metode
deskriptif komparatif akan digunakan untuk membandingkan realitas fiksi dengan
realitas sosial. Dengan demikian, tindakan dan kejadian dalam novel sumber data
penelitian tidak hanya bergantung pada teks semata-mata melainkan juga pada
konteks sosial ketiga novel Okky.
Universitas Sumatera Utara
Page 4
3.3 Sumber Data dan Data Penelitian
Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan data skunder.
Sumber data primer merupakan data yang berasal dari tiga novel karya Okky
Madasari. Ketiga novel yang menjadi data primer penelitian ini merupakan novel
yang menggunakan bahasa Indonesia. Ketiga novel tersebut adalah:
1. Judul buku : Entrok
Pengarang : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2010
Cetakan : Pertama
Ukuran buku :20 cm x 13,5 cm
Tebal buku : 282 halaman
ISBN : 878-979-22-5598-8
Warna kulit : Kuning bercampur hijau
Desain kulit : gambar belakang seorang perempuan sedang
mengenakan BH
2. Judul buku : 86
Pengarang : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2011
Universitas Sumatera Utara
Page 5
Cetakan : Pertama
Ukuran buku :20 cm x 13,5 cm
Tebal buku : 256 halaman
ISBN : 978-979-22-6769-3
Warna kulit : kuning
Desain kulit : Gambar angka 86 dengan bingkisan, mobil, rumah,
dan uang di dalamnya.
Penghargaan : Lima besar Anugerah Sastra Khatulistiwa Award
2011 yang dijadikan data dua dalam penelitian ini.
3. Judul buku : Maryam
Pengarang : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2012
Cetakan : pertama
Ukuran buku :20 cm x 13,5 cm
Tebal buku : 280 halaman
ISBN : 978-979-22-6769-3
Warna kulit : biru laut
Desain kulit : gambar seorang perempuan dengan sebuah uamh
di atas telapak tangannya.
Universitas Sumatera Utara
Page 6
Penghargaan : pemenang Anugerah Sastra Khatulistiwa Award
2011
Sumber data sekunder berupa data pendukung yang diperoleh dari buku-
buku, internet, dokumen, wawancara dan catatan lain. Juga dari diskusi-diskusi
dan seminar-seminar yang dilakukan. Adapun sumber data dalam penelitian ini
dapat dilihat pada bagan berikut:
Bagan 3.1 Sumber Data Penelitian
Data primer merupakan data yang berbentuk teks tertulis yang berasal dari novel
Entrok, 86, dan Maryam. Teks novel Entrok, 86, dan Maryam digunakan untuk
menjawab masalah struktur naratif dan perjuangan perempuan. Sedangkan data
sekunder dalam penelitian ini berupa buku, dokumen, internet, hasil-hasil
seminar, dan wawancara. Sumber tertulis berupa buku, dokumen, dan internet,
Data Sekunder Data Primer
Wawancara dengan 4
orang informan
Buku, dokumen,internet,
dan hasil-hasil diskusi
Novel Entrok, 86, dan
Maryam
Sumber Data Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Page 7
seeta hasi-hasil seminar yang berkaitan dengan latar sosial penciptaan ketiga
novel tersebut dan berkaitan dengan bidang ekonomi, keyakinan, dan hukum.
Wawancara dilakukan untuk melihat realitas yang terdapat dalam novel
dan dihubungkan dengan realitas sosial dalam kehidupan nyata. Informan dalam
penelitian ini berjumlah 4 orang yaitu, orang yang penghasilan istrinya lebih
tinggi dari suaminya, pengacara, penganut Ahmadiah, dan bekas narapidana.
Wawancara ini dilakukan pada hari Senin, 16 Maret 2015 dan hari Selasa 17
Maret 2015. Daftar wawancara disajikan dalam lampiran dan selanjutnya data
penelitian disarikan dalam bentuk bagan yang dapat dilihat di bawah ini,
Bagan 3.2 Data Penelitian
Data Sekunder Data Primer
Jawaban dari 4 informan
tentang realitas sosial dan
perjuangan perempuan
Teks berupa kalimat
tentang struktur naratif
dan perjuangan dari
sumber data tertulis
Teks berupa kalimat
tentang struktur naratif
dan perjuangan
perempuan dalam novel
ketiga novel Okky
Data Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Page 8
3.3 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara dan
penelusuran data online. Kedua metode pengumpulan data ini dilaksanakan sesuai
urutan berikut ini.
(1) Metode analisis isi. Metode ini digunakan untuk menganalisis isi atau teks
novel Entrok, 86, dan Maryam. Setiap kata, frasa, dan kalimat yang berkaitan
dengan struktur naratif dan perjuangan perempuan diberi tanda dan dijadikan
sebagai data dalam penelitian ini. Pemaknaan terhadap teks menggunakan
metode hermeneutika atau penafsiran.
(2) Metode library research. Metode ini digunakan untuk menelusuri buku-buku
dan dokumen lain yang terkait dengan pelitian ini.
(3) Metode wawancara. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
wawancara semistruktur (semistructured interview). Menurut Kriyantono
(2006:101-102), wawancara ini dikenal juga dengan nama wawancara terarah
atau wawancara bebas terpimpin. Di dalam berwawancara, pewawancara
berpedoman pada daftar pertanyaan tertulis tetapi memungkinkan mengajukan
pertanyaan secara bebas yang terkait dengan permasalahan. Oleh karena itu,
peneliti bertindak sebagai pewawancara dengan berpedoman pada daftar
pertanyaan dan situasi wawancara. Artinya, daftar pertanyaan dapat
mengalami pengembangan sesuai kelengkapan informasi yang disampaikan
oleh narasumber. Metode wawancara ini dilakukan untuk menambah
informasi tentang realitas sosial yang berkembang di masyarakat. Wawancara
dilakukan dengan 4 orang yaitu, orang yang penghasilan istrinya lebih tinggi
Universitas Sumatera Utara
Page 9
dari suaminya, pengacara, penganut Ahmadiah, dan bekas narapidana.
Wawancara ini dilakukan pada hari Senin, 16 Maret 2015 dan hari Selasa 17
Maret 2015.
(4) Metode penelusuran data online. Penelusuran secara online untuk melihat
peristiwa-peristiwa yang terjadi yang berkaitan dengan realitas yang terdapat
di dalam novel, misalnya peristiwa pengusiran jamaah Ahmadiyah di Lombok
dan tempat penampungan mereka di gedung Transito. Menurut Bungin
(2007:125), pengumpulan data secara online memerlukan pemahaman
teknologi informasi komunikasi. Hal ini disebabkan data yang akan ditemukan
harus dilacak dengan perangkat teknologi informasi komunikasi. Berdasarkan
kemampuan pengaksesan perangkat teknologi ini dilakukan pencarian dari
Google ke berbagai situs penyedia data online. Dari Google pengaksesan
diarahkan pada dua media sosial penyedia data online, yaitu
www.wikipedia.org dan Google Books. Sebaliknya, www.wikipedia.org
merupakan penyedia data yang dapat diunduh secara bebas. Meskipun
demikian, apabila data yang diperlukan dalam penelitian ini tidak ditemukan
pada wikipedia maka dilakukan penelusuran ke berbagai situs yang dapat
diakses dan diunduh secara bebas, terutama situs penyedia data sastra feminis
Pengaksesan dan pengunduhan dilakukan secara bertahap, yakni sejak bulan
Januari 2012 hingga November 2015.
Universitas Sumatera Utara
Page 10
3.4 Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pengumpulan dokumen dianalisis dengan
teknik analisis dokumen atau analisis isi. Hal ini disebabkan penelitian ini
merupakan penyelidikan untuk mengumpulkan informasi melalui pengujian
novel. Menurut Ratna (2004:49), metode analisis isi memberi perhatian pada isi
pesan. Dengan kata lain, sebagaimana diungkapkan oleh Sigit (2003:240),
“Analisis dokumen ialah mempelajari apa yang tertulis dan dapat dilihat dari
dokumen-dokumen. Dokumen-dokumen itu dapat berwujud buku pelajaran
(textbook), karangan, surat-kabar, novel, iklan, gambar, dan sebagainya.” Di
dalam penelitian ini, dokumen yang dijadikan bahan penelitian berupa novel yang
didukung oleh dokumen lain, yakni artikel jurnal/surat kabar, peta, gambar, dan
hasil penelitian yang relevan. Model anaisis dapat dilihat pada diagram berikut ini,
Universitas Sumatera Utara
Page 11
Bagan 3.3 : Kerangka Tahapan Analisis Data
Berikut ini adalah penjelasan tahapan analisis data dalam meneliti novel
Okky Madasari. Hal ini meliputi enam tahap, yaitu sebagai berikut:
NOVEL
Realitas
Sosial Teori
Feminisme
Teori
Chatman
Perjuangan
Perempuan
Struktur
Penceritaan
Perjuangan
Perempuan
dalam bidang
hukum
Perjuangan
Perempuan
dalam bidang
Keyakinan
Realitas
Fiksi
Perjuangan
Perempuan
dalam bidang
Ekonomi
Pola Perjuangan
Perempuan
Universitas Sumatera Utara
Page 12
(1) Mengklasifikasi, mendeskripsikan, dan menganalisis struktur naratif ketiga
novel Okky Madasari menurut bentuk dan substansi struktur naratif. Ketiga
novel dideskripsi dan dianalisis realitas fiksinya menurut urutan jenis struktur
naratif dan urutan tahun penerbitan pertama novel tersebut. Dengan demikian,
setiap novel dianalisis struktur plot, struktur fisik, ras, dan relasi gender,
struktur ruang dan waktu, serta struktur transmisi narasi.
(2) Mengklasifikasi, mendeskripsikan, dan menganalisis realitas sosial yang
relevan dengan realitas fiksi ketiga novel tersebut. Realitas sosial difokuskan
pada pengakuan pengarang terhadap materi cerita yang menjadi latar belakang
kehidupan tokoh cerita dalam novel tersebut.
(3) Merumuskan temuan penelitian sesuai dengan pemaparan realitas fiksi dan
realitas sosial ketiga novel tersebut. Temuan dikelompokkan pada dua aspek,
yaitu (i) struktur penceritaan dan (ii) wacana feminisme. Struktur penceritaan
berhubungan dengan cara pengarang menceritakan kehidupan tokoh-tokoh
cerita dalam novel. Sebaliknya, wacana feminisme berhubungan dengan
perjuangan para tokoh perempuan dalam bidang ekonomi, hukum, dan
keyakinan dalam novel yang terdapat pada realitas fiksi dan realitas historis
ketiga novel tersebut.
(4) Menganalisis struktur penceritaan realitas fiksi dan realitas sosial ketiga novel
karya Okky Madadsari.
(5) Menganalisis masalah perjuangan tokoh perempuan dalam novel yang
berkaitan dengan bidang hukum, ekonomi, dan keyakinan. Setiap masalah
dikonstruksikan dengan pola perjuangannya.
Universitas Sumatera Utara
Page 13
(6) Menyimpulkan hasil analisis penelitian ini dan melihat temuan dalam analisis
perjuangan. Penarikan simpulan didasarkan pada rumusan masalah yang
dideskripsikan dan dianalisis pada paparan data, temuan penelitian, dan
pembahasan temuan penelitian. Penyimpulan hasil analisis penelitian ini
dilengkapi oleh saran yang relevan dengan penelitian feminisme terhadap
ketiga novel karya Okky Madasari.
Universitas Sumatera Utara
Page 14
BAB IV
PAPARAN DATA DAN ANALISIS DATA PENELITIAN
4.1 Paparan Data
Data penelitian ini dipaparkan dari sumber data yang terdiri dari tiga buah
novel karya Okky Madasari. Ketiga novel itu adalah Entrok, 86, dan Maryam.
Ketiga novel tersebut diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh PT
Gramedia Pustaka Utama. Entrok dterbitkan tahun 2010, 86 tahun 2011, dan
Maryam tahun 2012. Ketiga novel tersebut dijadikan sumber data utama dalam
penelitian ini. Pemaparan data penelitian dilakukan dengan memasukkan semua
data yang ditemukan di dalam teknik pengumpulan dan teknik analisis data ke
dalam tabel yang berhubungan dengan masalah penelitian.
4.1.1 Paparan Data Realitas Fiksi
4.1.1.1 Paparan Data Realitas Fiksi Novel Entrok
Paparan data realitas fiksi novel Entrok terdiri dari empat unsur, yaitu
struktur plot yang terdiri dari pengenalan, keadaan mulia berkonflik, konflik mulai
meningkat, konflik memuncak, pemecahan masalah, dan penyelesaian.; struktur
fisik, ras, dan relasi gender; struktur ruang dan waktu; dan struktur transmisi
narasi. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,
No. Realitas Fiksi Unsur Teks
1. Struktur plot 1. Pengenalan Kau mengerti semuanya. Tapi kenapa kau
tak mau berkata apa-apa? kau hanya bicara
tentang sesuatu yang tak pernah kumengerti.
Aku juga sering mendengarmu berbicara
dengan orang lain yang juga tidak kuketahui.
Kenapa tidak denganku?
Universitas Sumatera Utara
Page 15
Lima tahun aku telah melakukan segala cara.
Kuhitung hari demi hari dengan keringat
yang telah kauberikan padaku. Hanya itu
yang membuatku terus bertahan. Kau
mengajariku tentang harapan. Dan aku yakin
inilah harinya. Akan kubawakan apa yang
paling kau inginkan. Aku sudah
mendapatkannya.
“Ibu, lihat ini, bu. KTP-ku baru.
Lihat...lihat...sama seperti punya ibu.”
“Apa ini?”
“Ka Te Pe, Bu! Ka Te Pe!”
“Tape? Aku mau buat tape. Mbok...
Simbok...ayo ke pasar, Mbok. Kita cari
telo!”
“Bukan tape, Bu.” Kataku sambil mengusap-
usap rambut putih perempuan yang telah
melahirkanku ini (En: 12-13).
2. Keadaan
mulai
berkonflik
Orang-orang berseragam loreng hijau
dengan pistol di pinggang dan bersenapan
tinggi datang ke rumah Marni. Komandan
tentara itu datang menagih uang setoran
keamanan. Biar usaha Marni tidak ada yang
mengganggu. Setiap dua minggu sekali
tentara ini akan datang ke rumah Marni dan
Marni harus menyediakan uang buat mereka.
Saat itu Marni sudah berprofesi sebagai
rentenir. Dia meminjamkan uang kepada
warga yang membutuhkan dengan bunga
pinjaman 10%.
3. Konflik mulai
meningkat
Ibu memang punya kebiasaan aneh, yang
berbeda dibanding dengan orang-orang lain.
Setiap hari dia selalu keluar rumah pada
tengah malam. Lalu duduk sendirian di
bangku di bawah pohon asem di depan
rumah. Ibu duduk tenang, memejamkan
mata, lalu komat-kamit.
Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang
ibu lakukan. Ibu membangunkanku, lalu
kami berdua duduk di bawah pohon asem.
Kata Ibu itu namanya berdoa, tirakat. Ibu
mengajariku untuk nyuwun. Katanya, semua
yang ada di dunia milik Mbah Ibu Bumi
Bapak Kuasa. Dialah yang punya kuasa
untuk memberikan atau tidak memberikan
yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi
orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu.
(En: 55-56)
4. Konflik Dua hari setelah pernikahan, Rahayu pergi.
Universitas Sumatera Utara
Page 16
memuncak Marni sudah tidak punya keinginan lagi
menahan mereka. Hatinya belum ikhlas
menerima pernikahan itu. Biarlah dia tidak
melihat Rahayu, agar dia tidak terus-
terusan menyesali kebodohan anaknya itu.
Anak yang selalu didoakan supaya bisa
sekolah tinggi-tinggi, bisa menjunjung
martabat orangtua, malah berbuat
seenaknya sendiri. Dia ingin anaknya
menjadi insinyur dan bekerja di pabrik
gula, justru menjadi gundik.
5. Pemecah
masalah
Rahayu pulang ke kampungnya setelah
keluar dari penjara. Dia disambut gembira
oleh ibunya. Ibunya sudah melupakan
semua pertengkaran diantara mereka.
Marni merasa seolah-olah hidupnya gairah
kembali. Rahayu juga sudah mencairkan
segala perbedaan pandangan yang terjadi
diantara mereka selama ini. Dia menurut
saja, ketika ibunya mau mengawinkan dia.
6. Penyelesaian “Aku di sini terus, Ibu. Menemani Ibu setiap
hari,” bisikku sambil mengelus-elus
punggungnya. “Lihat ini kamar Ibu. Aku
setiap hari tidur di kamar itu.”
“Kamu pulang sendiri, Nduk? Mana
suamimu yang ganteng itu, Nduk?
“Oh .... Ibu!”
Ibu.... Ibu... Ibu! Adakah yang bisa aku
lakukan untuk menebus semua kesalahanku?
“Sssst! Yuk, aku mau cerita.... Dengarkan,
Yuk! Nanti ganti kamu yang cerita ya? Ya?
Takgendong cucuku....
takgendong....kemana-mana!”
(En, 2010:13) 2. Struktur fisik,
ras, dan relasi
gender
1. Struktur fisik
dan ras
Dalam dua hari, ibu mendatangi pelanggan-
pelanggannya. Bukan pelanggan barang,
tetapi pelanggan utangan. Tidak semua orang
akan ditagih, ibu hanya mendatangi orang
yang utangnya besar-besar, 25.000-an.
Kebanyakan mereka pedagang di pasar
Ngranget. Mereka berhutang 25.000, dan
sekarang tinggal sisa 15.000 atau 20.000. ada
Yu Ningsih pedagang beras, Yu Sri penjual
pecel, dan Pak Pahing yang setiap hari
berjualan daging. (En, 2010:81)
Dari makam memandang jauh ke seberang,
kami melihat alat-alat keruk itu bergerak.
Makin mendekat. Sudah tiba saatnya. Semua
orang berdiri di depan rumah masing-masing.
Kubagikan kertas-kertas besar dengan
Universitas Sumatera Utara
Page 17
berbagai tulisan itu. Aku sudah meminta
Taufik untuk mengabarkan peristiwa hari ini
ke semua koran. Biar kematian kami
disaksikan oleh orang-orang seluruh negeri.
Tentara-tentara itu datang. Salah seorang
diantara mereka berteriak di corong pengeras
suara. Masih ada waktu sepuluh menit untuk
segera meninggal desa ini. Tak ada yang
beranjak. Semua orang berdiri mematung dan
mengacungkan tulisan “Jangan Ambil Tanah
Kami”.
...Aku masih melihat darah keluar dari
keningnya, juga tengkuknya. Aku ingat dia
berteriak kesakitan. Tapi aku tak tahu lagi
apa yang terjadi setelah itu. (En:253-254)
2.Relasi Gender. Hari itu Teja pulang ke rumah simbok.
Jadilah kami tinggal bertiga di gubuk itu.
Simbok memasang papan membagi gubuk
kami menjadi dua bagian. Bagian depan dari
pintu masuksampai cagak, menjadi tempat
untukku dan Teja, simbok menempati sisanya
yang dekat dengan pawon ....
Malam ini tidur tak sekedar rutinitas penutup
hari, melainkan saar pelepas seluruh
keinginan dan kepemilikan. Tidur kami
menjadi simbol bagaimana pencapaian
manusia dalam mendapatkan apa yang
diinginkan.
Aku kesakitan, dia kegirangan. Aku
mengerang, dia senang. Aku menangis, dia
tertawa penuh kemenangan. Aku
menerawang, dia telah pulas. (En: 48-49)
Teja tidak pernah tahu berapa keuntungan
yang kami dapat, dia juga tidak pernah
meminta. Dia juga tidak tahu apa saja
dagangan yang harus dikulak, berapa
harganya, dijual berapa. Yang dia tahu hanya
mengangkat goni di punggung. Bedanya,
dulu di pasar Ngranget, sekarang keliling
desa. Yang penting bagi Teja, bisa membeli
tembakau linting setiap hari. (En: 49)
...Dia Kyai Hasbi.
Kami meniru semua yang ada padanya.
Mengikuti semua yang dilakukannya. Tiga
istrinya tinggal di sini. Masing-masing
dengan kelebihan yangberbeda. Istri
pertamanya begitu indah membaca
kitab.ditularkannya keahlian itu pada seluruh
Universitas Sumatera Utara
Page 18
perempuan yang ada di sini. Istri keduanya
kadang mengingatkanku pada ibu. Begitu
lincah, begitu sigap, mengatur segala
kebutuhan padepokan. Istri ketiganya baru
dinikahinya tiga bulan lalu. Dia temanku
sendiri. Arini. Aku dan Amri yang
memperkenalkan mereka. arini yang sedang
sebatang kara dan butuh tempat beerlabuh.
Kyai Hasbi meminangnya. Sekarang Arini,
sebagaimana aku dan Amri, melkengkapi apa
yang perlu diketahui santri-santri. Berhitung,
berpolitik, hingga mengerti bahasa selain
yang ada di kitab dan selain yang setiap hari
mereka gunakan. (En: 213)
3. Struktur ruang
dan waktu
1.Struktur ruang Di rumah, Simbok biasa mengumbar
dadanya. Dia hanya memakai kain yang
dililitkan di perutnya, bagian atas perut
dibiarkan terbuka. Baru ketika keluar rumah,
Simbok mengangkat kainnya hingga ke dada,
menjadi kemben.
...
“Mbok aku mau punya entrok.”
“Entrok itu apa , Nduk?”
“Itu lho, Mbok. Kain buat nutup susuku, biar
kenceng seperti punya Tinah.”
Simbok malah tertawa ngakak. Lama tak
keluar jawaban yang aku tunggu. Hingga
akhirnya dia akhiri tawanya dengan mata
memerah.
“Oalah, Nduk, seumur-uur tidak pernah aku
punya entrok. Bentuknya kayak apa aku juga
tidak tahu. Tidak pakai entrok juga tidak apa-
apa. Susuku tetap bisa diperas to. Sudah,
nggak usah neko-neko. Kita bisa makan saja
syukur,” kata Simbok. (En: 16-17)
“...memasuki tahun 1980, rumah kami sudah
dua kali lipat lebar sebelumnya. Awal tahun
ini, orang-orang Singget sedang luar biasa
gembira. Tiang-tiang besi berdiri di pinggir
jalan desa. Kabel-kabel terbentang. Sudah
ada listrik di Singget. Rumah-rumah yang
hanya sebelumnya diterangi lampu teplok,
sekarang terang benderang dengan lampu
warna putih atau kuning” (En: 89-90).
2.Struktur waktu Hari masih gelap saat aku dan Simbok keluar
rumah. Tanah dan rumput teki yang kami
Universitas Sumatera Utara
Page 19
injak basah oleh embun. Ayam berkokok
sahut-menyahut, langit di sebelah timur agak
memerah.
Aku dan Simbok bukan satu-satunya orang
yang menyusuri jalanan pagi ini. Di sepan
kami, di belakang, juga di samping,
perempuan-perempuan memegang tenggok
menuju Pasar Ngranget. Kami semua seperti
kerbau yang dihela di pagi buta, menuju
sumber kehidupan. (En, 2010: 22)
4. Struktur
transmisi
narasi
Orang pertama
dengan
menggunakan
kata “aku”
Aku dan Simbok bukan satu-satunya orang
yang menyusuri jalanan pagi ini. Di sepan
kami, di belakang, juga di samping,
perempuan-perempuan memegang tenggok
menuju Pasar Ngranget. Kami semua seperti
kerbau yang dihela di pagi buta, menuju
sumber kehidupan. (En, 2010: 22)
Tabel 4.1 Data realitas fiksi novel Entrok
4.1.1.2 Paparan Data Realitas Fiksi Novel 86
Paparan data realitas fiksi novel 86 terdiri dari empat unsur, yaitu struktur
plot yang terdiri dari pengenalan, keadaan mulia berkonflik, konflik mulai
meningkat, konflik memuncak, pemecahan masalah, dan penyelesaian.; struktur
fisik, ras, dan relasi gender; struktur ruang dan waktu; dan struktur transmisi
narasi. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,
No. Realitas
Fiksi
Unsur Teks
1. Struktur plot 1. Pengenalan Setiap pukul setengah tujuh pagi, gang kecil tanpa
nama ini menjadi seperti pasar. Orang-orang
bersedakan, berjalan cepat-cepat, berbut mencari
celah agar bisa lebih ke depan. Sesekali terdengar
teriakan meminta yang berjalan lambat
mempercepat langkah.
Bau minyak wangi murahan bercampur dengan
bau got. Di tiga atau empat rumah petak, pada
jam seperti ini, selalu ada ibu-ibu yang sedang
mencatur anak mereka di depan pintu, berak
beralas koran, lalu dibuang ke dalam got.
Di gang kecil ini setiap jam setengah tujuh pagi
Universitas Sumatera Utara
Page 20
hidup Arimbi di mulai. Berjalan di antara orang-
orang yang sama tanpa mengenal nama. Dimulai
dari langkah pertamanya keluar dari rumah
kontrakan, lalu 250 langkah menuju jalan raya,
menunggu bus kecil yang pada beberapa bagian
sudah berkarat. (86, 2011: 9-10)
2. Keadaan
mulai
berkonflik
“Masih ingat Widodo, to?” tanya Narno.
Arimbi mengangguk. Dia masih mengingatnya.
Widodo teman SD mereka juga. Sekolah STM,
sama seperti Narno. Bapaknya punya sawah
sendiri, seperti bapak Arimbi. Selepas STM tak
mau cari kerja, hanya keluyuran di kampung
dengan motor yang dibeli dari panenan bapaknya.
“Jadi pamong dia sekarang. Bayar 40 juta,” jelas
Narno.
“Hah...?” Arimbi tak percaya. “Jadi pamong
bayar 40 juta?”
Narno mengangguk
“Bayar ke siapa?”
“Ya ke desa. Buat kas.”
“Aturan siapa?” Arimbi masih tak percaya.
“Ya aturaran desa.” (86, 2011: 60)
3. Konflik
mulai
meningkat
”...Arimbi merasakan sesak di dadanya. Selama
itu ia akan hidup dalam tahanan. Tapi diam-diam
ada rasa puas yang tipis bermain-main dalam
benaknya. Hakim itu tak bisa dibeli. Perempuan
itu dihukum lebih berat darinya” (86, 1011: 170).
4. Konflik
memuncak
ketika suatu hari, Arimbi mendengar kabar bahwa
ibunya masuk rumah sakit dan harus dioperasi
karena penyakit ginjal. Ayahnya sudah menjual
kebun jeruknya untuk biaya operasi, tetapi setiap
seminggu sekali ibunya harus cuci darah. Setiap
cuci darah memerlukan uang satu juta. Mereka
membutuhkan uang empat juta setiap bulannya.
Arimbi bingung dari mana mereka bisa mendapat
uang sebanyak itu. Di penjara, dia tentu tidak bisa
berbuat apa-apa.
5. Pemecah
masalah
“jadi saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak
sabar.
“Biaya semuanya bersih 15 juta.”
“Gede banget, Bu! Mana ada tahanan yang
sanggup bayar uang segitu? Paling Cuma orang-
orang elite itu saja yang bisa.”
“Ya, kitakan sudah pilih-pilih. Nggak semua
orang bisa dapat jatah. Ini kamu dapat jatah kok
masih protes.”
Bukan protes, Bu.tapi kalau sebesaritu kok ya
rasanya terlalu berat.”
“Kitakan sudah hitung semuanya. Kamu masih
punya gaji, masih punya suami. Masih sama-sama
Universitas Sumatera Utara
Page 21
muda. Duit segitu buat bebas cepat ya nggak ada
apa-apanya. Ya terserah, kalau nggak mau.
Tunggu saja dua tahun lagi.” (86, 2011: 217)
6. Penyelesaian ...Sesak. Sakit. Tapi tak tahu itu apa. Arimbi tak
mengeluarkan air mata. Ia juga tak tahu hendak
melakukan apa. Semua yang ada di sekelilingnya
hanya seperti ruang hampa yang tak memiliki
makna. Dia seperti tersesat di tempat gelap. Dia
menyerah. Tak mau bersusah-susah mencari
celah.
Suara jeritan menyadarkannya. Anaknya
terbangun. Tangisan anaknya semakin keras.
Arimbi tersadar. Ia bergegas ke kamar,
mengangkat anaknya dari tempat tidur. Ditimang-
timangnya anak itu. Tapi tangisnya malah
semakin keras. Air mata Arimbi meleleh.
“Kita ke sana ya, Nak. Ketemu ayah ya, Nak.
Kita tetap sayang ayah ya, Nak...” (86, 2011: 252)
2. Struktur
fisik, ras,
dan relasi
gender
1. Struktur
fisik dan ras
Diusianya yang sudah 45 tahun, Bu Danti selalu
segar dan cantik. Badannya subur dengan lemak
yang menggelembung di perut dan lengan. Dia
selalu terlihat modis meski menggunakan
seragam. Sepatu dan tasnya selalu berganti setiap
dua hari sekali, menyesuaikan dengan warna
seragam yang dipakainya. Mukanya putih
mengilap dengan tata rias yang lengkap. Pemulas
mata, perona pipi, lipstik hingga pulasan maskara
dan pembuat bingkai mata, semuanya terpoles
sempurna. Rambutnya yang sebahu disasak
sebagian, tepat di bagian samping dan atas. Tak
pernah ia lupa memakai kalung, giwang, dan
cincin. Ada yagn berhias intan, ada yang mutiara,
ada juga yang emas kuning polos tanpa hiasan
apa pun. (86, 2011: 26)
Masih ada satu lagi anak buah Bu Danti.
Seorang laki-laki yang sepuluh tahun lebih tua
dari Arimbi. namanya Wahendra. Dia masih
keponakan jauh Pak Syamsudin, kepala bagian
tata usaha di pengadilan ini. Pekerjaannya tak
pernah lebih baik dari apa yang dikerjakan
Arimbi dan Anisa. Bukan karena malas
mengerjakan, tapi memang otaknya tak bisa lagi
menghasilkan yang lebh baik.
Sifatnya yang rama, supel, dan pandai
menyenangkan orang membuat Anisa dan Arimbi
tak pernah berhitung saat menyelesaikan
pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung
jawab Wahendra. Bu Danti juga menyukainya.
Universitas Sumatera Utara
Page 22
Beberapa kali Bu Danti megajak Wahendra saat
ada urusan di luar kantor. Wahendra yang punya
banyak teman, juga sering membawa temannya
ke kantor, mengenalkannya pada Bu Danti. (86,
2011: 28-29)
2. Relasi
Gender.
Arimbi mulai membongkar tumpukan kertas di
mejanya. Itu semua baha-bahan yang harus
diketik ulang, di rapikan, dan di-fotocopy. Arimbi
membaca kertas-kerta itu sekilas. Memilih mana
yang lebih dahulu dikerjakan. Dia melirik jam,
sudah jam setengah dua belas. Jam satu nanti
akan ada sidang yang akan diikutinya. Sambil
menguap, Arimbi mengambil satu berkas yang
sudah ditandai dengan kata “segera” oleh Bu
Danti. (86: 27)
Mereka bercinta berkali-kali dalam sehari.
Tengah malam sebelum tidur, pagi-pagi sebelum
Ananta berangkat kerja, dan sore hari setelah
Ananta tiba di rumah. Pada hari tertentu mereka
makan siang bersama. Ananta sengaja pulang,
lalu makan di kamar. Setelah makan mereka
kembali bercinta. Lalu Ananta kembali berangkat
kalau sudah pukul 01.00, dengan baju yang
punggungnya sedikit kusut. (86: 223)
Orang tua Arimbi berpikir inilah awal dari
terwujudnya sebuah harapan dan doa-doa mereka
selama puluhan tahun. Inilah awal dari tingkat
derajat yang lebih tinggi bagi keluarga petani
yang tidak pernah tahu satu huruf pun. Arimbi
menjadi awal perubahan itu. Keturnan keluarga
ini tidak akan lagi mengurusi tanah, bekerja
dengan baju penuh kotoran setiap hari. Melalui
Arimbi, keluarganya akan memasuki golongan
baru. Golongan orang-orang terpelajar yang
terhormat. Orang-rang yang bekerja dengan
pakaian bersih, bertangan halus tanpa otot-otot
yang menonjol, berkulit bersih karena terus
berada di dalam ruangan. Arimbi menjadi orang
kantoran. Bukan lagi wong tani seperti orang
tuanya. (86: 19)
3. Struktur
ruang dan
waktu
1. Struktur
ruang
“...Bangunannya lusuh dan kusam. Cat-catnya
sudah pudar dan tak pernah diperbaharui lagi.
Kayu pintu-pintunya mulai koyak. Gang ini lebih
menyerupai gudang, tempat menyimpan barang-
barang loak yang mulai sayang untuk dibuang.
Sama sekali tidak menyisakan denyut kehidupan
dan tanda-tanda kekinian” (86: 17).
Universitas Sumatera Utara
Page 23
Bus kembali berjalan pelan-pelan menuju arah
selatan, lalu terjebak dalam barisan kenderaan
yang sedikit pun tak bisa bergerak. Di depan sana,
ada kerumunan orang membawa spanduk dan
poster dengan bermacam-macam tulisan. Ada
juga gambar raksasa orang berseragam jaksa.
Salah satu matanya ditutup dengan spidol warna
hitam. Jaksa dalam gambar itu menjadi bajak laut.
Di bawah gambar, tulisan “Jaksa Agung” dicoret,
diganti dengan “Bajak Agung”.
Arimbi meratap dalam hati. Lengkaplah sudah
hari ini menjadi hari buruk baginya. Kopaja ini
tak akan bergerak sampai demonstrasi selesai.
Dan dia akan tetap bersedak-desakan terpanggang
matahari yang sedang garang-garangnya. Minyak
wangi dan deodoran tidak akan bisa lagi
mengalahkan bau apek dan lengket badan sisa
keringat yang keluar selama di dalam kopaja. (86:
24-25)
Pintu yang mereka sandari terbuka. Orang-orang
berebut masuk kereta. Ada yang tua ada yang
masih anak-anak, laki-laki dan perempuan. Satu-
dua orang memang seperti penumpang. Berbaju
rapi dan membawa tas besar. Sisanya adalah
pedagang dan peminta-minta. Mereka berebutan
berjalan di lorong, menawarkan nasi bungkus
yang sudah dingin, minuman, rokok, dan kacang
goreng. Sebagian lainnya menyodorkan tangan ke
setiap penumpang. Berdiam lama kalau tak diberi,
hingga akhirnya orang yang dimintai merasa tak
enak dan terpaksa memberi. Ada yang sebisanya
memainkan ecek-ecek atau menyanyikan lagu
meski tak terdengar suaranya. Tak beranjak ke
kursi lain kalau belum mendapat recehan. (86:
118)
3. Struktur
waktu
“... Hari Sabtu dan Minggu semunya menjadi
sedikit berbeda. Saat semuanya begitu cair dan
bebas, tanpa ada sekat-sekat waktu yang menjadi
mesin penggerak atas semua yang dilakukannya.
Dua hari itu, jam setengah tujuh pagi tidak lagi
menjadi awal kehidupan Arimbi.” (86: 11)
“...Semuanya cukup lengkap untuk menyebut hari
ini sebagai hari buruk bagi Arimbi. Hari Senin
yang dibenci semua orang, hari Senin yang
biasanya penuh pekerjaan, dan hari Senin yang
selalu penuh kemacetan di setiap ruas jalan” (86:
21).
Universitas Sumatera Utara
Page 24
“...Arimbi mulai mengemas barang-barangnya
mulai jam empat. Diam-diam dia segera
meninggalkan mejanya, menyusul Anisa yang
selalu pulang lebih dahulu darinya. Ananta sudah
menunggu di depan pagar. Mereka tiba di rumah
saat hari masih terang. Di kamar Arimbi mereka
menonton TV berdua” (86: 90)
4. Struktur
transmisi
narasi
Orang ketiga
dengan
menggunakan
kata “dia” dan
“nama diri”
Arimbi (86: 1)
Tabel 4.2 Data realitas fiksi novel 86
4.1.1.3 Paparan Data Realitas Fiksi Novel Maryam
Paparan data realitas fiksi novel Maryam terdiri dari empat unsur, yaitu
struktur plot yang terdiri dari pengenalan, keadaan mulia berkonflik, konflik mulai
meningkat, konflik memuncak, pemecahan masalah, dan penyelesaian.; struktur
fisik, ras, dan relasi gender; struktur ruang dan waktu; dan struktur transmisi
narasi. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,
No. Realitas Fiksi Unsur Teks
1. Struktur plot
1. Pengenalan “Januari 2005 Apa yang diharapkan orang yang
terbuang pada sebuah kepulangan? Ucapan
maaf, ungkapan kerinduan, atau tangis
kebahagiaan?...Sudah lewat lima tahun sejak
terakhir kali ia menginjakkan kaki di pulau ini”
(My:13).
Orang Ahmadi lainnya, Rifki menanggung malu
saat lamaran. Ia datang bersama keluarga besar,
memenuhi janji pinangan yang telah dirancang
berbulan-bulan. Tapi di tengah acara, ayah sang
gadis berkata lantang, ia tak mau anak
perempuannya menikah dengan orang sesat.
Anaknya menangis histeris, sambil berusaha
menyuruh ayahnya diam. Ibunya terisak. Rifki
tersinggung. Betapapun besarnya cinta pada
kekasih, Rifki tak terima keluarganya
dipermalukan seperti itu. Pertengkaran hebat
Universitas Sumatera Utara
Page 25
terjadi. Keduanya saling ngotot, tak mau
mengalah. Rifki hilang kesabaran. Ditonjoknya
muka calon mertua. (My: 20)
2. Keadaan
mulai
berkonflik
...Baru kemudian, ketika Alam datang, Maryam
kembali merasakan apa yang dirasakannya saat
mulai dekat dengan Gamal. Maryam juga
sengaja membanding-bandingkan keduanya.
Wajah mereka yang hampir mirip, sifat dan
perilaku yang serupa dan nama mereka yang tak
jauh berbeda: Gamal dan Alam. Maryam jatuh
cinta. Satu-satnya yang dia pikirkan adalah
jangan sampai yang baru didapatnya itu
terlepas. Ia tak mau lagi mengulang masa-masa
kehampaan yang melelahkan ketika kehilangan
Gamal. Dengan Alam, dia tak mau berpikir apa-
apa lagi, selain ingin berdua selamanya. (My:
25)
Alam mengiba. Memohon pengertian dan
kasihan dari bunya. Ia berjanji akan membawa
Maryam ke jalan yang benar. “Bukankah justru
itu kemuliaan seorang laki-laki?”
Pertanyaan Alam membuat ibunyapenuh
keharuan. Perempuan itu luluh. Ia percaya pada
anak kesayangannya. Lagi pula dua minggu ini
ia melihat sendiri bagaimana Alam yang
dirundung kerisauan. Tak sampai hati dia
membiaarkan Alam seperti itu berkepanjangan.
Ia yakin, Alam akan membawa Maryam ke
jalan yang seharusnya. Tapi dia mengajukan
syarat. Ia ingin bertemu Maryam dan bicara
dengannya lebih dulu. Alam mengiyakan. (My:
39)
Maryam menolak keduanya.ia memilih pergi.
Masing-masing menyimpan amarah. Maryam
menikah dengan Alam tanpa memberitahu
orang tuanya lagi. Semua sudah cukup jelas,
pikirnya.
Pada akhir tahun 2000, seorang wali nikah dari
Kantor Urusan Agama menikahkan mereka.
Maryam sah menjadi isri Alam. Ia jadikan Alam
sebagai satu-satunya imam dan panutan.
Ditinggalkannya semua yang dulu ia yakini...
(My: 40)
3. Konflik
mulai
meningkat
Umar memberikan alat sholat dan Al Quran
sebagai mas kawin. Saat suara “sah” diucapkan
berkali-kali, air mata Maryam menetes.
Bayangan pernikahannya dengan Alam kembali
datang. Sangat jelas dan terasa nyata. Maryam
Universitas Sumatera Utara
Page 26
bahkan merasa semuanya hanya pengulangan.
Peristiwa yang sama. Hanya waktu dan
tempatnya yang berbeda. Namun, saat
pandangannya bertemu dengan bapak dan
ibunya, Maryam tahu ini bukanlah pernikahan
yang dahulu. ...Ia bergerak cepat untuk
membuat bayangan itu segera pergi. Mengikuti
petunjuk penghulu untuk beersalaman, minta
restu pada orang tua mereka. saat itulah air
matanya mengalir deras. Menyatu dengan air
mata bapak dan ibunya. Lalu bertemu dengan
air mata ibu Umar. (My: 163-164)
4. Konflik
memuncak
“Semuanya segera ikut kami ke tempat yang
aman. Itu sudah kami sediakan angkutan,” kata
komandan polisi itu ketika pintu sudah terbuka.
Perempuan-perempuan itu diam. Tak ada
memberi tanggapan. Semua menunggu suami-
suami mereka mengambil keputusan.
“Kami tidak akan pergi!” seseorang yang ada di
halaman kembali berteriak. “Kenapa bukan
mereka saja yang disuruh pergi?!”
“Betul! Ini rumah kami. Kenapa kami yang
harus pergi?!” sambung yang lainnya.
Komandan polisi mulai kehilangan kesabaran.
“Semua terserah kalian!” teriaknya. “Kalau
memang mau mati semua di sini, silakan! Kam
sudah menawarkan jalan keluar terbaik!
Mengungsi dulu biar semuanya selamat!” (My:
226-227)
“Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah
mendengar kata-kata Gubernur. Mulut mereka
terkunci. Tapi soeot mata mereka bicara banyak.
Kemarahan dan sakit hati” (My: 249).
Setelah menikah, Fatimah tinggal bersama
suaminya. Satu minggu setelah menikah, dia
datang ke Transito, sendiri. Orang tuanya
menyambut seperti biasa. Bertanya kabar, tetapi
mereka tidak bertanya tentang pernikahan
Fatimah. Fatimah pun mengerti. Memang itulah
yang diinginkan oleh orang tuanya. Mereka
akan menganggap Fatimah belum menikah.
Sedikit pun mereka juga tak mau tahu siapa
laki-laki yang menjadi suami Fatimah. (My:
258-259)
5. Pemecahan
masalah
“Juni 2008 Gedung Transito kian hari kian
sesak. Barang-barang bertambah: baju dan
Universitas Sumatera Utara
Page 27
aneka perkakas. Kamar sempit yang disekat
dengan kain itu kini terlihat penuh tumpukan
barang. Enam bayi telah lahir di pengungsian
ini”( My: 266).
“...Pengajian rutin selalu diadakan pada jumat
sore. Hari itulah orang-orang Ahmadi dari
berbagai tempat di Lombok datang sebagaimana
dulu saat mesjid organisasi masih bisa
digunakan” (My: 267).
“Rusuh sekali tadi di TV. Orang-orang bentrok
di Monas.” Kata Zulkhair. “Gara-garanya ada
yagn mau membela kita,” lanjutnya.
Zulkhair lalu menceritakan yang dilihatnya.
Dimulai dari sekelompok orang-orang yang
datang membawa berbagai tulisan untuk
membela Ahmadiyah. Lalu kedatangan
kelompok lain yang sejak dulu memang tak mau
ada Ahmadiyah. Lalu gambar televisi dipenuhi
pukulan, tendangan, teriakan, dan orang-orang
terluka.
“Masih ramai di TV sekarang. Semua berita
tentang itu terus,” kata Zulkhair. (My: 269)
6. Penyelesaian “Januari 2011 Saya Maryam Hayati. Ini surat
ketiga yang saya kirim ke Bapak. Semoga surat
saya kali ini bisa mendapat tanggapan. Hampir
enam tahun keluarga dan saudara-saudara kami
terpaksa tinggal di pengungsian, di Gedung
Transito, Lombok.... Kami mohon keadilan.
Sampai kapan lagi kami harus menunggu? (My:
273-275)
2. Struktur fisik,
ras, dan relasi
gender
1. Struktur fisik
dan ras
“Maryam menikah dengan Alam tanpa
memberitahu orangtuanya lagi. Semua sudah
jelas, pikirnya” (My: 40).
Maryam memiliki kecantikan khas permpuan
dari daerah timur. Kulit sawo matang yang
bersih dan segar. Mata bulat dan tajam, alis
tebal dan bibir agak tebal yang selalu
kemerahan. Rambutnya yang lurus dan hitam
sejak kecil selalu dibiarkan panjang memebihi
punggung dan selalu dibiarkan tergerai. Di luar
segala kelebihan fisiknya, Maryam gadis yang
cerdas dan ramah. (My: 24)
Ada satu pemuda yang selalu mereka sebut-
sebut akan cocok dengan Maryam. Namanya
Gamal, empat tahun lebih tua daripada Maryam.
Sedang mengerjakan skripsi di Teknik Mesin
Universitas Sumatera Utara
Page 28
ITS. Orangnya ganteng. Kulitnya putih, jauh
lebih putih dibanding Maryam yang memang
sawo matang. Mereka sudah akrab sejak
pertama kali kenalan. (My; 23)
2. Relasi
Gender.
Sesaat kemudian terdengar suara berisik dari
arah jalan. Barisan orang-orang muncul.
Memasuki jalan kecil. “Usir! Usir!” teriak
mereka.
Terdengar bunyi „brak‟ dan „klontang‟. Mereka
melempar sesuatu ke rumah yang dilewati.
Rumah orang tua Maryam nomor empat dari
ujung jalan. Itu artinya mereka akan segera
sampai.semua orang kini berdiri bersiap-siap.
Pintu rumah ditutup rapat. Ibu Maryam
mengunci dari dalam. Hanya laki-laki yang ada
di luar. (My:224-225)
Gamal benar-benar tak pulang. Bapak-ibunya
telah putus asa mencari. Datang ke kampus.
Bertemu dosen-dosen dan mahasiswa-
mahasiswa. Tak ada yang tahu soal Gamal.
Lagi pula, semua teman seangkatannya sudah
jarang berada di kampus. Semua sibuk
mengerjakan tugas akhir, bahkan banyak yang
sudah lulus. Orang tuanya juga datang ke
teman-teman SMP atau SMA, ke siapa pun
yang mereka anggap kenal dengan Gamal. Tak
ada yang tahu. (My: 29)
3. Struktur ruang
dan waktu
1. Struktur
ruang
Gerupuk hanyalah kampung kecil di sudut timur
pesisir selatan Lombok. Nyaris tak dikenal.
Peta-peta wisata hanya menggambarkan Kuta
sebagai satu-satunya nama tempat disepanjang
garis pantai itu. Baru tahun-tahun belakangan,
ketika orang-orang asing mulai mengetahui ada
ombak tinggi di kampung ini, Gerupuk mulai di
datangi. Itu pun hanya oleh mereka yang ingin
mencari kepuasan berdiri di papan selancar,
menakhlukkan ombak yang bergulung tinggi...
Tak ada keistimewaan lain yang ditawarkan
Gerupuk selain ombak tinggi itu. Ia tak punya
pantai indah beerpasir putih, sebagaimana
pantai-pantai lain yang berjajar di pesisir ini.
Gerupuk adalah deretan erahu-perahu nelayan,
Bau amis ikan, dan nelayan-nelayan yang
berkulit legam. Setiap orang hidup dari
tangkapan ikan, udang, atau teripang. (My: 41)
“Meski terpisah dari rumah-rumah penduduk
lain, tanah yang dihuni orang-orang Ahmadi itu
Universitas Sumatera Utara
Page 29
termasuk kampung Gegerung. Sekitar satu
setengah kilometer jauhnya dari perkampungan
utama Gegarung, dipisahkan oleh sawah-sawah
padi dan sungai”. (My: 83)
2. Struktur
waktu
Januari 2005. Apa yang diharapkan oleh orang
yang terbuang pada sebuah kepulangan?ucapan
maaf, uangkapan kerinduan, atau tangis
kebahagiaan?
Tidak semuanya bagi Maryam. Ia pulang tanpa
membawa harapan. Ia bahkan tak punya
bayangan apa yang akan dijumpainya di
kampung halaman. Ia tak berpikir apakah
kedatangannya amasih ada yang menantikan,
atau malah akan menghidupkan kembali sisa
kemarahan. Ia juga tidak tahu apa yang akan
dilakukannya di sana. Akankah ia hanya
singgah sesaat lalu segera kembali terbang entah
ke mana atau akankah ia tinggal selamanya?
Entahlah ... Ia hanya ingin pulang. Itu saja. (My:
13)
...Ada juga yang tak butuh waktu terlalu lama
untuk membeli. Mereka tersentuh oleh wajah
memelas anak itu. Cepat-cepat membeli artinya
juga segera bisa menikmati liburan mereka
tanpa diganggu oleh pedagang kecil itu lagi.
Karena jika tidak, anak itu akan mengikutinya
sampai dagangan itu dibeli. Semua anak yang
melihat akhinya mengikuti cara itu. Maryam
pun demikian, tak peduli apa yang dikatakan
turis-turis itu. Tak mengambil hati pada apa
yang mereka katakan, yang penting barang
harus terjual. Anak-anak senang tiap hari
mendapat uang. Jauh lebih senang lagi pemilik
toko yang memasok barang. (My, 2012:189)
4. Struktur
transmisi
narasi
Orang ketiga
yang serba
tahu
Tabel 4.3 Data Realitas Fiksi Novel Maryam
Universitas Sumatera Utara
Page 30
4.1.2 Paparan Data Realitas Sosial
4.1.2.1 Paparan Data Realitas Sosial Novel Entrok
Paparan data realitas sosial novel Entrok terdiri dari empat unsur, yaitu
kehidupan spiritual masyarakat Jawa, Kemiskinan, Buruh Perempuan, dan rezim
Orde Baru. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,
No. Realitas Sosial Uraian
1. Kehidupan
spiritual
masyarakat Jawa
Ibu memang punya kebiasaan aneh, yang berbeda dibanding
dengan orang-orang lain. Setiap hari dia selalu keluar rumah
pada tengah malam. Lalu dudk sendirian di bangku di bawah
pohon asem di depan rumah. Ibu duduk tenang, memejamkan
mata, lalu komat-kamit.
Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu
membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon
asem. Kata Ibu itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku
untuk nyuwun. Katanya, semua yang ada di dunia milik Mbah
Ibu Bumi Bapak Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk
memberikan atau tidak memberikan yang kita inginkan.
“Nyuwun supaya jadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata
Ibu. (En, 2010: 55-56)
2. Kemiskinan “...aku melihat ada beberapa yang tidur di los itu. Kata Teja,
mereka pedagang yang tiap hari tidur di pasar. Pedagang-
pedagnang itu kebanyakan perempuan seumuran Simbok.
Mereka tidak pernah memakai entrok, apalagi berniat
membelinya” (En, 2010: 22).
“...Simbok masih tidur saat aku beranjak ke pancuran
di belakang rumah. Didekatnya ada jumbleng. Siapa tahu
sakitnya karena aku mau buang kotoran” (En, 2010:30).
3. Buruh
Perempuan
Hari berganti hari, aku dan Simbok masih tetap mengupas
singkong, diupahi dengan singkong. Alih-alih membeli entrok,
uang sepeserpun belum pernah kuterima. Pernah suatu kali
kuberanikan diri meminta upah uang kepada Nyai Dimah, tapi
langsung ditolak oleh Nyai Dimah. Kata Nyai Dimah, ia tidak
mampu mengupahi uang. Lagi pula di pasar ini semua buruh
perempuan diupahi dengan bahan makanan. Dia menyuruhku
bekerja di tempat lain jika tidak percaya.Nyai Dimah memang
benar. Kepada siapa pun aku bekerja di pasar ini, aku akan
diupahi dengan bahan makanan ...(En, 2010:29- 30).
“...Berat satu jun yang berisi penuh air sama saja dengan satu
goni berisi singkong. Tidak ada laki-laki yang mengambil air,
katanya itu urusan perempuan. Ya jelas lebih enak nguli
daripada ngambil air. Nguli diupahi duit, sementara mengambil
air tidak pernah dapat apa-apa.” (En, 2010: 37).
Universitas Sumatera Utara
Page 31
“...Aku dan Simbok bukan satu-satunya orang yang
menyusuri jalanan pagi ini. Di depan kami, di belakang, juga di
samping, perempuan-perempuan menggendong tenggok
menuju Pasar Ngranget. Kami semua seperti kerbau yang
dihela di pagi buta, menuju sumber kehidupan.” (En, 2010: 22).
4. Rezim orde baru “Pak Kyai, sampeyan dengar apa kata orang ini? Mereka semua
yang ada di sini sudah jadi pembangkang. Semuanya sudah jadi
orang-orang komunis. Sampeyan ada di sini dan tidak
melakukan apa-apa?”
“Aku tidak ada urusan dengan hal seperti itu. Kami di sini
hanya mau mendidik anak-anak. Titik.”
“Mun, sekarang semuanya terserah kowe. Yang jelas, minggu
depan ini giliran desamu yang dikeruk. Mesin-mesin keruk
akan m engangkat tubuh kalian semua. Kowe akan mati
tertimbun tanah sendiri. Atau kalau untung, bisa jadi kalian
selamat. Tapi hari in seluruh pasukan akan ada di daerah ini.
Kalian semua akan tertangkap. Seumur hidup masuk penjara
bersamaorang-orang PKI itu. Kalian semua sudah jadi PKI.”
(En, 2010: 226).
Tabel 4.4: Paparan Data Realitas Sosial Novel Entrok
4.1.2.2 Paparan Data Realitas Sosial Novel 86
Paparan data realitas sosial novel 86 terdiri dari dua unsur, yaitu praktik
suap dan peredaran narkoba di penjara. Paparan data tersebut dapat dilihat pada
tabel berikut,
No. Realitas Sosial Uraian
1. Praktik suap “Masih ingat Widodo, to?” tanya Narno.
Arimbi mengangguk. Dia masih mengingatnya. Widodo teman
SD mereka juga. Sekolah STM, sama seperti Narno. Bapaknya
punya sawah sendiri, seperti bapak Arimbi. Selepas STM tak
mau cari kerja, hanya keluyuran di kampung dengan motor
yang dibeli dari panenan bapaknya.
“Jadi pamong dia sekarang. Bayar 40 juta,” jelas Narno.
“Hah...?” Arimbi tak percaya. “Jadi pamong bayar 40 juta?”
Narno mengangguk
“Bayar ke siapa?”
“Ya ke desa. Buat kas.”
“Aturan siapa?” Arimbi masih tak percaya.
“Ya aturaran desa.” (86,2010: 60)
“jadi saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar.
“Biaya semuanya bersih 15 juta.”
“Gede banget, Bu! Mana ada tahanan yang sanggup bayar
uang segitu? Paling Cuma orang-orang elite itu saja yang bisa.”
Universitas Sumatera Utara
Page 32
(86, 2011:217).
2. Peredaran
narkoba di
penjara
Tutik sudah tiga tahun di penjara. Asalnya dari Wonogiri, lebih
tua tiga tahun dari Arimbi. Karena merasa berasal dari daerah
yang berdekatan, sejak awal dia selalu ramah dan baik pada
Arimbi. Sesekali mereka berdua berbicara dalam bahasa
Jawa.... (86, 2011: 175)
Tabel 4.5 Data Realitas Sosial Novel 86
4.1.2.3 Paparan Data Realitas Sosial Novel Maryam
Paparan data realitas sosial novel Maryam terdiri dari tiga unsur, yaitu
diskriminasi dan kekerasan, kontroversi Ahmadiyah di Indonesia, dan kaum
marginal. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,
No. Realitas Sosial Uraian
1. Diskriminasi dan
kekerasan
Duabelas bulan telah membentuk kebiasaan. Dari anak-anak
sampai orang tua. Tak ada lagi yang menyebut tentang
Gegarung. Tak ada lagi tangisan kesedihan mengingat harta
benda kini telah hilang. Semua orang menahan diri, sabar, dan
berserah diri. mereka sadar tak ada yang bisa dilakukan selain
menjalani apa yang ada. Kamar-kamar tersekat kain itulah
tempat mereka kini. Tiga kompor di dekat kamar mandi dan
setumpuk piring itulah dapur mereka bersama.kamar mandi,
tempat cuci baju, dan satu ruangan di samping bangunan utama
yang digunakan untyk salat bersama. Itulah hidup mereka.
...
Cerita yang sama diulang-ulang. Rentetan peristiwa di
Gegerung hingga bagaimana mereka bertahan sampai sekarang.
Pak Khairuddin yang selalu diajak mendampingi Zulkhair. Ia
menceritakan semua peristiwa yang dialaminya, sejak di
Gerupuk, pengungsian di masjid organisasi, pindah ke
Gegerung, hingga sekarang tinggal di Transito. Zulkhair
menambahinya dengan berbagai tuntutan dan permintaan.
Tamu-tamu pulang dengan meniggalkan harapan besar di
benak semua orang. Harapan tentang perubahan, harapan untuk
segera kembali pulang ke rumah, dan hidup normal. Lagi-lagi
kabar baik itu tak pernah datang. Waktu terus berjalan, tamu-
tamu pun terus berdatangan, harapan tetap ditanam, tapi inilah
yang namanya kenyataan (My: 250-251).
2. Kontroversi
Ahmadiyah di
Indonesia
“Semuanya segera ikut kami ke tempat yang aman. Itu sudah
kami sediakan angkutan,” kata komandan polisi itu ketika pintu
sudah terbuka.
Perempuan-perempuan itu diam. Tak ada memberi tanggapan.
Semua menunggu suami-suami mereka mengambil keputusan.
Universitas Sumatera Utara
Page 33
“Kami tidak akan pergi!” seseorang yang ada di halaman
kembali berteriak. “Kenapa bukan mereka saja yang disuruh
pergi?!
“Betul! Ini rumah kami. Kenapa kami yang harus pergi?!”
sambung yang lainnya.
Komandan polisi mulai kehilangan kesabaran. “Semua terserah
kalian!” teriaknya. “Kalau memang mau mati semua di sini,
silakan! Kam sudah menawarkan jalan keluar terbaik!
Mengungsi dulu biar semuanya selamat!” (My, 2012: 226-227)
3. Kaum marginal “Rusuh sekali tadi di TV. Orang-orang bentrok di Monas.”
Kata Zulkhair. “Gara-garanya ada yagn mau membela kita,”
lanjutnya.
Zulkhair lalu menceritakan yang dilihatnya. Dimulai dari
sekelompok orang-orang yang datang membawa berbagai
tulisan untuk membela Ahmadiyah. Lalu kedatangan kelompok
lain yang sejak dulu memang tak mau ada Ahmadiyah. Lalu
gambar televisi dipenuhi pukulan, tendangan, teriakan, dan
orang-orang terluka.
“Masih ramai di TV sekarang. Semua berita tentang itu terus,”
kata Zulkhair. (My: 269)
Tabel 4.6 Data Realitas Sosial Novel Maryam
4.1.3 Paparan Data Perjuangan Perempuan
4.1.3.1 Paparan Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi
Paparan data perjuangan perempuan dalam bidang ekonomi terdiri dari
tiga unsur, yaitu perempuan sebagai pelaku bisnis, mempeetahankan hidup, dan
meningkatkan taraf hidup. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,
No. Perjuangan
Perempuan
Uraian
1. Perempuan
sebagai pelaku
bisnis
“Di sini malah aman. Lihat sendiri, kamarku jadi pabrik sabu-
sabu,” katanya sambil terbahak-bahak. “Di sini, enggak perlu
kucing-kucingan lagi. Yang penting setoran lancar, semua
aman. Delapan enaaam!”
Arimbi tertawa mendengarnya. Sekarang dia paham, dan sudah
bisa membayangkan. Dari sel inilah segala urusan sabu-sabu
dikendalikan. Berbagai serbuk obat-obatan yang jadi bahan
didatangkan dari luar. Orang-orang yang dari dulu jadi
langganan Cik Aling belanja bahan mengantar ke penjara.
Petugas-petugas yang sudah mendapat jatah bulanan,
membuka pintu lebar-lebar. Kalaupun sesekali ada
pemeriksaan, paling hanya berakhir dengan senyuman, tanpa
Universitas Sumatera Utara
Page 34
pernah ada penyitaan.
Di hari-hari tertentu ada orang-orang yang datang mengambil
sabu-sabu. Mereka inilah yang akan mengedarkan ke banyak
orang. Tugas Tutik yang menimbang, memebungkus, dan
membagikan kepada orang-orang itu. Umi dan Watik hanya
membantu di dalam kamar. Dan sekarang Arimbi dan Ananta
juga menjadi bagian dari tangan-tangan itu. Sabu-sabu Cik
Aling tidak hanya menunggu diambil orang, tapi diantar
sendiri oleh orang suruhan Cik Aling, salah satunya Ananta.
(86, 2011: 204-205)
2. Mempertahankan
hidup
Aku diam. Aku tahu Simbok benar. Bisa makan tiap hari saja
sudah harus disyukuri. Simboklah yang mencari semuanya.
Setiap hari ke pasar. Kalau pas untung ya ada pekerjaan, kalau
tidak ya mencari sisa-sisa dagangan yang akan dibuang
penjualnya. Kadang Simbok menawarkan diri untuk membantu
pedagang-pedagang itu. Pekerjaan apapun dilakukan.
Imbalannya singkong, ketan, dan pernah sekali waktu baju.
Sayangnya, tak ada satu pun yang memberi upah entrok.
Samar-samar dalam ingatanku, terbayang Bapak memukul
Simbok yang sedang sakit panas dan tidak bisa ke pasar. Kalau
Simbok tidak ke pasar, kami tidak akan punya makanan. Dan
laki-laki itu dengan seenaknya hanya menunggu makanan. Dia
seperti anjing gila yang marah saat kelaparan. Iya. Dia
memang anjing gila. Hanya anjing gila kan yang menggigit
istrinya yang sedang sakit. saat itu aku sangat ketakutan.
Menyembunyikan diri di balik pintu sambil menangis
sesenggukan. Laki-laki itu pergi setelah menghajar istrinya dan
tak pernah kembali lagi (En, 2010: 17-18).
3. Meningkatkan
taraf hidup
Bu Danti bekerja di kantor pengadilan. Dia juga
seorang pegawai negeri. Selain itu, Bu Danti memegang
jabatan struktural sebagai ketua seksi panitera persidangan. Bu
Danti adalah atasan Arimbi dan Anisa. Bu Danti
menyelewengkan jabatan yang dianugerahkan kepadanya.
Melalui jabatan ini, Bu Danti menjadi makelar kasus (86,
2011: 49.
Tabel 4.7: Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi
4.1.3.2 Paparan Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Keyakinan
Paparan data perjuangan perempuan dalam bidang keyakinan terdiri dari
dua unsur, yaitu kejawen dan Ahmadiyah. Paparan data tersebut dapat dilihat pada
tabel berikut,
Universitas Sumatera Utara
Page 35
No. Perjuangan
Perempuan
Uraian
1. Kejawen Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu
membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon
asem. Kata ibu, itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku
untuk nyuwun. Katanya semua yang ada di dunia milik Ibu
Bapa Bumi Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk
memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang
pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu.
...
Ibu juga rajin selamatan. Seminggu sekali, setiap hari
kelahirannya, dia meyembelih ayam untuk dipanggang. Tonah
membuat tumpeng kecil, menyiapkan semua ubo rampe. Ada
kulupan, jenang merah, dan jenang putih. Ibu memanggil
beberapa tetangga laki-laki. Mbah Sambong, perangkat desa
yang dipercaya punya kekuatan lebih, membacakan ujub.
Bapak dan yang lainnya membaca, “Amin....Amin...!”
...
Ibu menyimpan satu tumpeng dan panggang lengkap dengan
ubo rampenya di kamarnya. Di taruh di meja samping lemari
kaca, beralas baki, ditemani sebatang lilin. Kata ibu, tumpeng
dan panggang itu dikirim untuk Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa.
Keesokan harinya, ibu akan mengeluarkan tumpeng dan
panggang itu. Tonah akan memasaknya kembali untuk
makanan kami semua (En, 2010: 55-56).
Sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan
di samping makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang
dan ubo rampe-nya, buah-buahan, dan rokok. Selama tirakat
mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka juga
dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya
yang mereka lakukan adalah berdoa memohon berkah (En,
2010:95).
Koh Cayadi menceritakan salah satu kebiasaan keluarganya
yang diyakini terbukti membantu kelancaran usaha mereka.
Sejak bertahun-tahun lalu, tepatnya saat ia masih kanak-kanak
di Surabaya, orangtuanya rutin mengajaknya ke Gunung Kawi.
Gunung Kawi ada di Malang, kota di selatan Surabaya. Mereka
bias pergi naik bus, dengan lama perjalanan dua jam. Di
gunung itu, ada makam, yang bisa memberikan berkat bagi
orang menziarahinya.
Ibu mendengarkan semua itu dengan antusias.ia sangat percaya
upaya batin diperlukan untuk membantu seseorang mencapai
kemakmuran dan kejayaan. Selama ini ia hanya mengenal
Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Upaya batinnya baru sebatas
memohon di tengah malam, membawa panggang ke makam
penguasa desa, dan selametan setiap hari kelahiran (En,
2010:92).
Sepanjang perjalanan Koh Cahyadi telah memberitahu apa
Universitas Sumatera Utara
Page 36
yang akan mereka lakukan di Gunung Kawi. Mereka akan
tirakat di sekitar makam Eyang Sujo dan Eyang Jugo. Sesajen
dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di
samping makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan
ubo rampe-nya, buah-buahan, dan rokok. Selama tirakat
mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka juga
dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya
yang mereka lakukan adalah berdoa memohon berkah (En,
2010:95).
Masih pagi begini tak banyak orang yang datang ke rumah Pak
Kyai. Aku dan Teja langsung masuk rumah, menemuinya yang
sedang melinting tembakau. Aku minta padanya agar Rahayu
diberi doa keselamatan. Kuceritakan semua yang diceritakan
Rahayu. Kyai Noto mendengarkan sambil mengisap
tembakaunya.
Dia lalu masuk kamar. Konon, di kamar itu ia semadi dan
membuat jampi-jampi. Tak terlalu lama kemudian dia keluar
kamar sambil membawa bungkusan kecil. Bungkusan itu
isinya gula pasir. Kyai Noto sudah mengirimkan doa-doa dan
kekuatannya dalam gula pasir itu. Orang yang diberi tinggal
ngemut sewaktu-waktu (En, 2010: 132).
2. Ahmadiyah “Ini kampung saya. Lahir di sini. Bapak, ibu, sampai buyut
semua lahir dan meninggal di sini,” kata seorang perempuan
yang ditanyai.
„Tapi bagaimana kalau selamanya tak bisa pulang ke rumah?”
tanya wartawan.
Yang ditanyai diam. Semua orang yang mendengar juga diam.
...
Sudah lama tinggal di sini... apakah terpikir untuk menuruti
permintaan orang-orang itu agar bisa kembali ke rumah?”
Perempuan itu tampak bingung dengan pertanyaan wartawan.
“Maksudnya keluar dari Ahmadiyah, agar bisa pulang lagi ke
rumah,” jelas wartawan.
Perempuan itu menggeleng. “Namanya orang sudah percaya,”
jawabnya. “Semakin susah semakin yakin kalau benar,”
lanjutnya. (My, 2012: 272)
Tabel 4.8 Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Keyakinan
4.1.3.3 Paparan Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Hukum
Paparan data perjuangan perempuan dalam bidang hukum yaitu,
perjuangan perempuan dalam mencari keadilan. Paparan data tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut,
Universitas Sumatera Utara
Page 37
No. Perjuangan
Perempuan
Uraian
1. Perjuangan
perempuan dalam
mencari keadilan
Aku membalikkan tubuh. Sekarang mukaku berhadapan
dengan mukanya. Mata kami beradu. Gusti, kenapa aku selalu
Kauhadapkan dengan orang-orang seperti ini? Orang-orang
yang begitu berkuasa dengan seragam dan sepatunya. Orang-
orang yang menjadi begitu kuat dengan senapannya. Orang-
orang yang selalu benar karena bekerja untuk negara. Mereka
yang selalu mendapatkan uang dengan mudah tanpa sedikit
pun mengeluarkan keringat. Dan aku yang tak punya kuasa
dan kekuatan, yang selalu saja salah, harus tunduk pada
kemauan mereka. Menyerahkan harta yang terkumpul dengan
susah payah, dengan segala hujatan orang lain.
“Ini urusannya berat. Nggak kayak yang dulu itu.”
“Berapa?”
“Sampeyan juragan tebu, kan? Satu hektar pasti enteng.” (En,
2010:182-183)
“Ya sudah, Pak Teja, Bu Marni, kami ini aparat hanya mau
membantu masyarakat. Bikin urusan cepat beres. Kita mau
bantu supaya mobil ini bisa segera dibawah ke bengkel, bisa
dipakai lagi. Daripada nanti ketahuan atasan-atasan saya malah
panjang urusannya. Jadi ya diselesaikan di sini saja.”
“Kami ikut saja, Pak,” jawab Teja.
“Kalau kecelakaannya seperti ini, ada yang mati, dua puluh
orang luka-luka, dendanya satu juta saja. Sudah beres
semuanya.” (En, 2010:119).
Akan kukejar keadilan sampai ke mana pun. Orang paling
bodoh saja tahu harta yang kukumpulkan dengan susah payah
itu semua milikku. Lha bagaimana ceritanya, orang yang sama
sekali tidak kukenal sekarang akan mendapatkan separoh dari
hartaku ini? Dan bagaimana bisa aku yang mencari semuanya
malah tidak mendapat apa-apa? Walaupun Rahayu itu anakku,
bagaimana bis mereka membagi milikku semau mereka.
Biarkan aku sendiri yang mengatur kepada siapa aku
memberikan hartaku ini.apakah itu pada Rahayu atau orang
lain.
Aku menemui komandan Sumardi di markasnya. Siapa lagi
yang lebih berkuasa setelah lurah-lurah itu? Hanya mereka
orang-orang yang berseragam, orang-orang negara. Pada laki-
laki yang telah mengambil satu hektar tanahku ini, kucaritakan
semua yang kualami. Aku meminta padanya untuk dicarikan
jalan keadilan (En, 2010:196).
“Sudah aku hitung-hitung, nanti kamu bisa keluar Desember.
Tapi namamu sudah mesti dicatat sekarang. Soalnya mau
diajukan pas Agustusan nanti.”
Universitas Sumatera Utara
Page 38
Arimbi diam, menunggu apa yang sebenarnya hendak
dikatakan perempuan yan duduk di depannya itu.
“Ya kalau kamu bilang sanggup, nanti namamu diusulkan. Kan
siapa-siapa saja yang layak diusulin itu tergantung kita yang
ada di lapangan ini.”
”Jadi, saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar.
“Biaya semuanya bersih 15 juta.” (86, 2011: 216-217)
Gubernur menerima mereka dengan tiga orang bawahannya. Ia
menyalami Zulkhair dengan ramah seperti orang yang sudah
lama kenal. “Bawa siapa ini, Pak Zul!” tanyanya ketika melihat
Maryam dan Umar. (My, 2012:247)
Gubernur mendecak sambil menggeleng, “Sudahlah. Tak ada
ujungnya kalau bicara seperti ini,” katanya. “Pilih saja, keluar
dari Ahmadiyah lalu pulang ke Gegarung atau tetap di Transito
sampai kita temukan jalan keluarnya.”
Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata
Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata mereka
bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati (My, 2012: 249).
Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta
dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak
minta bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin
hidup normal. Agar anak-anak kami juga bisa tumbuh normal,
seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati
dengan tenang, di rumah kami sendiri.
Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang
kami sendiri. Kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah
melakukan kejahatan, tak pernah mengganggu siapa-siapa.
Adakah alasan yang diterima akal, sehingga kami, lebih dari
dua ratus orang, harus hidup di pengungsian seperti ini?
Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus
mengunggu? (My, 2012: 274-275).
Tabal 4.9 Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Hukum
4.2 Analisis Realitas Fiksi
Realitas fiksi yang dideskripsikan dan dianalisis dalam penelitian ini
didasarkan pada cerita dan wacana. Pola cerita didasarkan pada bentuk dan
substansi struktur plot; struktur fisik, ras, dan relasi gender; serta struktur ruang
dan waktu, sedangkan wacana didasarkan pada bentuk dan substansi struktur
transmisi narasi. Bentuk dan substansi dari cerita dan wacana narasi dalam
Universitas Sumatera Utara
Page 39
deskripsi dan analisis ini merupakan kondisi objektif yang ada dalam novel karya
Okky Madasari yang menjadi sumber data penelitian ini.
4.2.1 Realitas Fiksi Novel Entrok
4.2.1.1 Struktur Plot Novel Entrok
Struktur plot sebagai sebuah penceritaan pada hakikatnya terbagi atas tiga
bagian, yaitu bagian permulaan, pertengahan, dan bagian akhir suatu cerita.
Struktur plot ini akan menentukan apakah cerita beralur maju atau beralur
mundur. Oleh karena itu, sinopsis yang menggambarkan pergerakan tokoh harus
dideskripsikan dengan cermat, sehingga dapat diidentifikasi perubahan arah
berkaitan dengan karakter protagonis dalam menjalani kehidupannya. Menurut
Chatman (1980:85), ”Aristotle distinguished between fortunate and fatal plots,
according to whether the protagonist‟s situation improved or declined.”
(Aristoteles membedakan antara alur yang fatal dan keberuntungan menurut
apakah situasi protagonis meningkat atau menurun). Dengan demikian,
pendeskripsian struktur plot tersebut akan memperlihatkan protagonis yang sangat
baik, tidak begitu jahat, atau luar biasa baiknya.
Plot cerita yang digunakan dalam novel Entrok adalah beralur mundur.
Novel Entrok diceritakan dalam delapan bagian. Setiap bagian menampilkan
tindakan dan kejadian yang berkaitan satu sama lain. Karena novel ini beralur
mundur maka pada bagian pertama novel ini akan berkaitan dengan bagian
kedelapan. Bagian pertama mengambil judul Setelah Kematian. Peristiwa ini
terjadi tahun 1999. Bagian ini memperkenalkan tentang tokoh Sumarni dan
Universitas Sumatera Utara
Page 40
Rahayu yang menjadi tokoh utama dalam novel ini. Hubungan keduanya adalah
hubungan anak dan ibu dan hubungan mereka sudah membaik.
4.2.1.11 Tahap Pengenalan
Novel Entrok dibuka oleh Okky Madasari dengan memperkenalkan
Rahayu dan Sumarni atau Marni yang memiliki ikatan hubungan anak dan ibu.
Marni dan Rahayu, dua generasi yang tak pernah bisa mengerti tentang kehidupan
ini, akhirnya menyadari ada satu titik singgung dalam hidup mereka. Keduanya
sama-sama korban orang yang punya kuasa, sama-sama melawan senjata dan
akhirnya kalah. Kehidupan Marni sudah tidak punya jiwa lagi. Marni mengalami
gangguan kejiwaan sedangkan Rahayu selama lima tahun harus berjuang untuk
mendapatkan hidupnya kembali. Pola pengenalan ini sekaligus menjadi penutup
dalam cerita ini. Pola pengenalan cerita ini antara lain sebagai berikut:
Kau mengerti semuanya. Tapi Kenapa kau tak mau berkata apa-
apa? kau hanya bicara tentang sesuatu yang tak pernah kumengerti. Aku
juga sering mendengarmu berbicara dengan orang lain yang juga tidak
kuketahui. Kenapa tidak denganku?
Lima tahun aku telah melakukan segala cara. Kuhitung hari demi
hari dengan keringat yang telah kauberikan padaku. Hanya itu yang
membuatku terus bertahan. Kau mengajariku tentang harapan. Dan aku
yakin inilah harinya. Akan kubawakan apa yang paling kau inginkan. Aku
sudah mendapatkannya.
“Ibu, lihat ini, bu. KTP-ku baru. Lihat...lihat...sama seperti punya
ibu.”
“Apa ini?”
“Ka Te Pe, Bu! Ka Te Pe!”
“Tape? Aku mau buat tape. Mbok... Simbok...ayo ke pasar, Mbok.
Kita cari telo!”
“Bukan tape, Bu.” Kataku sambil mengusap-usap rambut putih
perempuan yang telah melahirkanku ini (En: 12-13).
Universitas Sumatera Utara
Page 41
Tahap pengenalan alur dalam cerita ini dipaparkan pengarang dengan
bergerak mundur ke belakang yang mengisahkan kembali tentang kehidupan
Sumarni menjelang menginjak remaja. Ini ditandai dengan klausa “Kumulai
ceritaku saat aku kenal dunia di luar Simbok”(En, 2010:15). Marni dilahirkan saat
jaman perang di desa Singget. Ini diketahuinya dari cerita Simboknya. Dia sendiri
tak pernah melihat itu semua. Yang dia tahu, tiba-tiba ada yang berbeda di
dadanya. Lama-kelamaan Marni merasa tidak nyaman dengan dadanya. Jika dia
lari kedua gumpalan yang ada di dadanya terguncang-guncang. Dia heran melihat
Tinah, anak pamannya yang dadanya terlihat kencang. Lalu Tinah menjelaskan
karena dia memakai entrok atau BH.
Marni berharap dia akan memiliki entrok tersebut. Lalu ia meminta kepada
ibunya, tetapi ibunya tidak tahu apa itu entrok. Ibunya juga tidak memilikinya.
Untuk membeli entrok ibunya juga tidak pernah mempunyai uang. Demi untuk
mendapatkan entrok akhirnya Marni ikut ibunya bekerja mengupas ubi di pasar
Ngranget. Hanya Nyai Dimah yang mau menawarkan mereka bekerja. Sebagai
upahnya mereka mendapatkan ubi. Pekerja wanita tidak mendapatkan duit sebagai
upah sedangkan pekerja pria diupah dengan uang. Akhirnya ia memutuskan
bekerja seperti yang dilakukan oleh kaum pria. Ia bekerja sebagai kuli angkat
barang. Dia membuat suatu perubahan besar dalam tatanan masyarakatnya bahwa
perempuan juga bisa mengerjakan pekerjaan kaum lelaki.
Marni bekerja sebagai kuli angkat barang. Setelah beberapa lama bekerja,
Marni memiliki uang. Dengan uang tersebut dia membeli sebuah entrok. Dia
gembira bukan kepalang karena impiannya selama ini sudah tercapai. Bahkan di
Universitas Sumatera Utara
Page 42
malam hari dia bermimpi bahwa dia memiliki entrok bermacam-macam. Peristiwa
ini dapat dilihat pada kutipan novel berikut:
Pagi itu aku terbangun dengan kecewa. Segala keindahan dan
kebahagiaan itu kenapa hanya ada dalam mimpi? Aku ingin punya entrok
berenda. Entrok sutra bertahtakan intan dan permata. Aku ingin semua
orang kagum, menatap dengan iri. Aku juga ingin ada orang yang
membuatku merasa begitu bahagia. Mengantarkanku ke kerajaan yang
indah.
Sepanjang perjalanan ke pasar, aku terus memikirkan mimpi itu.
Entrok yang baru saja kumiliki tak lagi memberi kebahagiaan. Hari ini kali
pertama aku memakai entrok ke pasar. Semuanya terasa biasa saja.
Kenapa rasanya lebih bahagia saat dalam mimpi? (En, 2010:41)
Keinginan muncul ketika Marni melihat tabungannya sudah banyak. Ia
ingin bakulan (jualan) tetapi tidak di pasar, melainkan jualan keliling kampung.
Ia membelanjakan sebagain uangnya dan dia mulai berjualan. Setiap hari dia
berangkat bersama ibunya ke Pasar Ngranget membeli barang dagangan, lalu
pulang dan mampir ke setiap rumah yang ada di sepanjang jalan dan di seluruh
desa Singget.
Teja yang bekerja sebagai kuli panggul ingin melamarnya. Marni juga
merasa dia mencintai Teja. Lalu mereka menikah. Setelah menikah Teja tidak lagi
bekerja sebagai kuli panggul di pasar Ngranget, tetapi dia setiap hari membawa
barang jualan menemani Marni. Jadi, barang jualan mereka menjadi lebih banyak
dibanding ketika Marni masih berjualan sendiri. Tempat yang mereka kelilingi
juga semakin banyak. Teja tidak pernah tahu berapa keuntungan yang diperoleh
dan juga tidak pernah meminta. Harga barang yang dijual juga dia tidak tahu,
yang dia tahu hanya mengangkat goni yang berisi barang jualan di pundak. Yang
penting bagi Teja, bisa membali tembakau linting setiap hari.
Universitas Sumatera Utara
Page 43
4.2.1.1.2 Tahap Keadaan Mulai Berkonflik
Keadaan mulai berkonflik eksternal ketika orang-orang berseragam loreng
hijau dengan pistol di pinggang dan bersenapan tinggi datang ke rumah Marni.
Komandan tentara itu datang menagih uang setoran keamanan. Biar usaha Marni
tidak ada yang mengganggu. Setiap dua minggu sekali tentara ini akan datang ke
rumah Marni dan Marni harus menyediakan uang buat mereka. Saat itu Marni
sudah berprofesi sebagai rentenir. Dia meminjamkan uang kepada warga yang
membutuhkan dengan bunga pinjaman 10%.
Hari demi hari kehidupan Marni semakin meningkat. Rahayu, anak
mereka sudah berusia sepuluh tahun ketika para tentara itu pertama kali datang ke
rumah Marni. Rahayu iri kepada para tentara itu. Setiap kali datang, ibunya selalu
memberi mereka uang. Selama dua puluh tahun Rahayu selalu mendengar ibunya
bercerita tentang sulitnya mencari uang. Tentang cerita jaman dahulu, saat dia
berjalan kaki ke pasar Ngranget, hidupnya yang melarat, sampai-sampai tidak bisa
beli BH. Ibunya selalu mengulangi cerita itu disertai keinginan agar anaknya bisa
sekolah, biar bisa jadi pegawai. Ibunya tidak peduli, dia harus mencari uang
dengan susah payah agar anaknya, Rahayu bisa sekolah yang tinggi.
4.2.1.1.3 Tahap Konflik Mulai Memuncak
Konflik mulai meningkat saat Rahayu tidak mengerti melihat ibunya
masih tekun mengurusi uang recehan yang dikumpulkannya setiap hari. Rahayu
juga tidak mengerti tentang ibunya yang tetap percaya kepada arwah leluhur dan
memberi makan leluhurnya setiap hari kelahiran ibunya. Ibunya percaya bahwa
Universitas Sumatera Utara
Page 44
Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa yang memberi mereka rezeki. Peristiwa di atas
sejalan dengan kutipan pada novel berikut ini:
Ibu memang punya kebiasaan aneh, yang berbeda dibanding
dengan orang-orang lain. Setiap hari dia selalu keluar rumah pada tengah
malam. Lalu dudk sendirian di bangku di bawah pohon asem di depan
rumah. Ibu duduk tenang, memejamkan mata, lalu komat-kamit.
Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu
membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata
Ibu itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya,
semua yang ada di dunia milik Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Dialah yang
punya kuasa untuk memberikan atau tidak memberikan yang kita
inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu.
(En, 2010: 55-56)
Marni, perempuan Jawa buta huruf yang masih memuja leluhur. Melalui
sesajen dia menemukan dewa-dewanya, memanjatkan harapannya. Tidak pernah
dia mengenal Tuhan. Dia mempertahankan hidup dengan caranya sendiri.
Menukar keringat dengan sepeser demi sepeser uang. Dia merasa tidak bersalah
karena dia tidak mencuri, menipu, atau membunuh.
Tahun 1977 akan diadakan Pemilu lagi. Pak RT datang ke rumah Marni
meminta sumbangan untuk partai pemerintah. Walaupun Marni mengatakan dia
tidak punya uang, namun Pak RT tetap memaksa. Seperti biasa, Pak RT
mengatakan bahwa ini adalah partai pemerintah, sambil menunjukkan map warna
kuning. Semua warga haus memenangkan partasi tersebut, yang tidak mendukung
partai ini berarti orang PKI. Mau tidak mau Marni harus menyumbang.
Pencoblosan dilakukan pada tanggal 2 Mei 1977. Seperti lima tahun yang lalu,
partai berwarna kuning ini menang.
Memasuki tahun 1980, listrik sudah mulai masuk ke desa Singget. Pak
Lurah membeli Televisi. Marni juga terbius dengan kotak bergambar itu. Dia
Universitas Sumatera Utara
Page 45
pergi ke Pasar Gede Madiun untuk membali TV. Hanya Koh Cayadi pemilik toko
Cahaya yang menjual TV karena Televisi dianggap barang mewah yang hanya
bisa dibeli oleh orang-orang tertentu.koh Cayadi tahu bahwa yang membeli TV
bukan orang sembarangan, maka dia melayani mereka dengan sangat ramah.
Marni dilayani Koh Cayadi dengan baik. Mereka bercerita panjang lebar tentang
keluarga, usaha, sampai kepada kepercayaan mereka kepada leluhur yang ikut
membantu kelancaran usaha. Ternyata Koh Cayadi seorang menganut leluhur
juga. Dia menawarkan kepada Marni untuk ikut berjiarah ke Gunung Kawi dan
Marni menyetujuinya.
Kepulangan Marni diantar oleh orang-orang Cina menjadi pembicaraan
orang-orang Singget. Apalagi Marni pulang setelah Jumat Legi. Sudah sejak dulu
orang-orang Tionghoa suka ke Gunung Kawi setiap Jumat Legi untuk mencari
pesugihan. Orang-orang Singget juga menuduh Marni mencari pesugihan. Di
sekolah Rahayu mendapat olok-olok baru, tidak hanya anak lintah darat tetapi
juga anak tuyul. Mereka membicarakannya di mana-mana, tetapi pada malam hari
tetap menonton TV di rumah Rahayu.
Marni membeli kenderaan roda empat. Dari hasil panen tebu dan cicilan
piutang orang, akhirnya dia bisa membeli mobil pikap bekas. Marni berniat minta
bantuan Koh Cayadi. Namun, ketika dia datang ke rumah Koh Cayadi, di sana ada
beberapa orang tentara. Mereka melarang Marni masuk. Dari Ellen, Marni
mengetahui bahwa Koh Cayadi sering pergi secara diam-diam ke Kelenteng dan
memberi sumbangan. Padahal, Kelenteng itu sudah ditutup sejak terjadi
pemberontakan PKI.
Universitas Sumatera Utara
Page 46
Pada kampanye putaran teakhir, pak Lurah datang ke rumah Marni. Dia
mau meminjam pikap Marni untuk arak-arakan ke kabupaten. Tetapi naas bagi
Marni, mobilnya tabrakan dan jatuh ke sungai. Bejo, supir Marni meninggal
dunia. Mobil Marni ditahan di kantor polisi. Untuk mengeluarkannya, dia harus
membayar denda karena mobilnya sudah mencelakakan orang lain.
Kematian Bejo dianggap sebagai tumbal pesugihan. Marni tidak berdaya
dituduh seperti itu. Seberat-berat musibah yang dialaminya Marni tetap percaya
bahwa Mbah Ibu Bumi Pabap Kuasa akan menolongnya. Dia berdoa suapaya
diberi ketenangan dan kemudahan rezeki agar bisa menyrkolahkan anaknya
setinggi-tingginya untuk menebus penyesalan dirinya yang menjadi orang bodoh
dan tidak kenal huruf.
Rahayu memilih kuliah di Jogja. Sejak kepergian Rahayu, Marni merasa
kesepian. Apalagi Teja sering tidak pulang karena selingkuh. Marni diam saja
mendengar cerita tentang Teja, yang penting Teja tidak menikah lagi. Sudah
setahun Rahayu tidak pulang ke kampungnya. Setelah kuliah dua tahun, dia tidak
tertarik lagi dengan kuliahnya. Dia sibuk berorganisasi dan pengajian kampus.
Saat candi Borobudur dibom bulan Januari 1985. Rahayu dan teman-temannya
sedang melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat. Mereka melatih guru-guru
ngaji. Para tentara yang menyelidiki kasus pemboman ini, curiga kepada Rahayu
dan teman-temannya karena mereka tidak melaporkan kegiatan mereka. Akhirnya
mereka dibawah ke markas. Setelah terbukti tidak bersalah mereka dibebaskan.
Universitas Sumatera Utara
Page 47
4.2.1.1.4 Tahap Konflik Memuncak
Konflik memuncak saat Rahayu pergi meninggalkan Marni. Dua hari
setelah pernikahan, Rahayu pergi. Marni sudah tidak punya keinginan lagi
menahan mereka. Hatinya belum ikhlas menerima pernikahan itu. Biarlah dia
tidak melihat Rahayu, agar dia tidak terus-terusan menyesali kebodohan anaknya
itu. Anak yang selalu didoakan supaya bisa sekolah tinggi-tinggi, bisa menjunjung
martabat orangtua, malah berbuat seenaknya sendiri. Dia ingin anaknya menjadi
insinyur dan bekerja di pabrik gula, justru menjadi gundik.
Kematian Teja tidak hanya menyisakan kesedihan bagi Marni tetapi juga
mendatangkan masalah baru buat Marni. Pada peringatan seratus hari wafatnya
Teja, datanglah seorang perempuan dengan seorang anak ke rumah Marni
mengaku sebagai istri Teja dan anaknya. Mereka meminta harta warisan supaya
dibagi dua. Untuk menyelesaikan masalah ini Marni minta bantuan kepada Pak
Lurah, tetapi keputusannya Marni harus membagi setengah dari hartanya. Marni
keberatan. Dia minta bantuan kepada Komandan Sumadi. Sumadi meminta
seperempat dari harta Marni. Marni menyerah, daripada dia harus kehilangan
setengah hartanya. Sekali lagi Marni menjadi korban orang-orang bersenjata.
Suatu hari datang seorang Kyai dari desa sebelah meminta bantuan kepada
Kyai Hasbi. Mereka akan diusir dari desa mereka karena akan dibangun sebuah
waduk. Kyai Hasbi menugaskan Rahayu dan Amri untuk mengatasi masalah itu.
Para penduduk tetap bertahan, namun baku hantam tidak dapat dihindarkan. Amri
gugur dalam pertempuran itu, Kyai Hasbi mengajak Rahayu pulang ke pondok
dan menawarkan diri untuk menikahi Rahayu menjadi istri keempat. Namun,
Universitas Sumatera Utara
Page 48
Rahayu menolak. Bersama beberapa warga yang lain, mereka tetap bertahan.
Akhirnya Rahayu dan orang-orang itu ditangkap dan dimasukkan ke dalam
penjara karena dianggap sebagai pemberontak.
Maret 1990, pabrik gula Purwadadi sudah bangrut. orang-orang Singget
tidak lagi mau membeli gula buatan pabrik tersebut. Mereka lebih memilih gula
dari Pasar Gede. Akibatnya, Marni tidak mendapatkan uang lagi dari kebunnya.
Penderitaan lainnya juga yang dialami Marni adalah masyarakat sudah tidak mau
lagi meminjam uang kepadanya, karena sistem perbankan sudah mulai memasuki
desa Singget. Bank tersebut meminjamkan uang dengan suku bunga delapan
persen dan dapat dicicil setiap minggu. Walaupun Marni menawarkan kepada
warga suku bunganya sama dengan bank, namun orang tidak mau juga meminjam
kepada Marni. Walhasil, Marni menyerah pada nasib dan dia mulai gulung tikar.
4.2.1.1.5 Tahap Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah dilukiskan pengarang dengan menghadirkan tokoh
Rahayu pulang ke kampungnya setelah keluar dari penjara. Dia disambut gembira
oleh ibunya. Ibunya sudah melupakan semua pertengkaran diantara mereka. Marni
merasa seolah-olah hidupnya gairah kembali. Rahayu juga sudah mencairkan
segala perbedaan pandangan yang terjadi diantara mereka selama ini. Dia menurut
saja, ketika ibunya mau mengawinkan dia.
Semua persiapan untuk pernikahan Rahayu hampir selesai. Pelaminan dan
teratak sudah berdiri di depan rumah Marni. Surat pernikahan juga sudah diurus,
tinggal menunggu siapnya saja. Tiba-tiba seseorang berteriak mengatakan bahwa
pernikahan Rahayu tidak bisa diselenggarakan karena Rahayu orang terlibat.
Universitas Sumatera Utara
Page 49
KTPnya berbeda dengan KTP ibunya. Pihak lelaki tidak mau mencari masalah
dengan menikahi Rahayu. Marni pingsan mendengar berita tersebut. Akhirnya dia
menjadi seperti orang linglung. Semua harapannya hancur. Dia hanya bisa
menyesali nasibnya. Hukum karma telah berlaku atas dirinya.
4.2.1.1.6 Tahap Penyelesaian
Penyeselaian masalah tidak digambarkan secara jelas oleh pengarang.
Rahayu harus merawat ibunya yang mengalami gangguan kejiwaan dan dia harus
memulai lagi hidupnya yang baru. Walaupun dia sudah memperoleh KTP baru,
tetapi Rahayu tidak tahu, apakah dia bisa mendapat pekerjaan. Cerita ditutup oleh
pengarang dengan menggunakan kalimat percakapan antara Rahayu dan Ibunya
sebagai berikut:
“Aku di sini terus, Ibu. Menemani Ibu setiap hari,” bisikku sambil
mengelus-elus punggungnya. “Lihat ini kamar Ibu. Aku setiap hari tidur di kamar
itu.”
“Kamu pulang sendiri, Nduk? Mana suamimu yang ganteng itu, Nduk?
“Oh .... Ibu!”
Ibu.... Ibu... Ibu! Adakah yang bisa aku lakukan untuk menebus semua
kesalahanku?
“Sssst! Yuk, aku mau cerita.... Dengarkan, Yuk! Nanti ganti kamu yang
cerita ya? Ya? Takgendong cucuku.... takgendong....kemana-mana!” (En, 2010:3)
4.2.1.2 Struktur Fisik, Ras, dan Relasi Gender Novel Entrok
4.2.1.2.1 Struktur Fisik Novel Entrok
Novel Etrok memiliki tokoh utama berjenis kelamin perempuan bernama
Sumarni atau biasa dipanggil Marni. Tokoh utama ini didampingi oleh tokoh
Universitas Sumatera Utara
Page 50
perempuan juga yaitu Rahayu. Mereka mempunyai ikatan hubungan anak dan ibu.
Rahayu dan Marni bersuku Jawa.
Marni ditampilkan pengarang sebagai seorang tokoh pekerja keras. Dia
memiliki harapan dan keinginan yang kuat dalam hidupnya. Mula-mula dia ingin
memiliki sebuah entrok yang biasa saja. Setelah itu, dia menginginkan entrok
yang terbuat dari sutra yang bertahtakan emas dan permata. keinginannya ini
membuat pemikirannya lebih maju. Dia ingin setara dengan kaum pria, bisa
mendapatkan uang, maka dia bekerja sebagai kuli angkat barang. Setelah dia
memiliki uang, dia mulai membuka usaha berjualan sayur keliling. Kemudian,
Marni mengembangkan usahanya dengan menjual semua peralatan yang
dibutuhkan oleh warga. Setelah itu, dia membungakan uangnya. Profil Marni
semakin jelas dengan petikan novel beikut,
Dalam dua hari, ibu mendatangi pelanggan-pelanggannya. Bukan
pelanggan barang, tetapi pelanggan utangan. Tidak semua orang akan
ditagih, ibu hanya mendatangi orang yang utangnya besar-besar, 25.000-
an. Kebanyakan mereka pedagang di pasar Ngranget. Mereka berhutang
25.000, dan sekarang tinggal sisa 15.000 atau 20.000. ada Yu Ningsih
pedagang beras, Yu Sri penjual pecel, dan Pak Pahing yang setiap hari
berjualan daging. (En, 2010:81)
Marni juga digambarkan sebagai sosok yang buta huruf dan pemuja
leluhur. Melalui sesajen dia menemukan dewa-dewanya. Dan memanjatkan
harapannya. Tidak pernah dia mengenal Tuhan. Kepercayaan ini diterimanya
sebagai warisan dari ibunya. Prinsip Marni yang menjalani hidup sebagai seorang
penganut leluhur terlihat dari semua perbuatannya yang selalu membuat tumpeng
di hari kelahirannya untuk dijadikan sesajen.
Universitas Sumatera Utara
Page 51
Sebagai seorang ibu, Marni dikalahkan oleh pengetahuan. Rahayu yang
sudah mengecap pendidikan agama, berseteru dengan ibunya. Dia berdiri tegak
melawan leluhur, menantang ibu kandungnya sendiri. Rahayu malu memiliki
seorang ibu seperti Marni yang suka membungakan uang. Diam-diam dia
membenci ibunya. Rahayu adalah seorang generasi muda yang dibentuk oleh
sekolah dan kesenangan hidup. Pemeluk agam Tuhan yang taat. Marni dan
Rahayu adalah dua orang yang terikat hubungan darah namun menjadi orang
asing bagi satu sama lain selama bertahun-tahun.
Marni juga berteman dengan Koh Cahaya, berkebangsaan Cina. Koh
Cahaya adalah seorang pedagang barang-barang elektronik. Dia mempunyai
kesamaan dengan Marni dalam bidang keyakinan. Dia juga seorang pemuja
leluhur. Bersama Marni dan kedua temannya yaitu Ellen dan Sanjaya yang juga
berkebangsaan Cina, mereka pergi ke Gunung Kawi untuk melakukan pemujaan.
Koh Cahaya selalu terlibat dalam urusan keagamaan mereka. Dia selalu
menyumbang dalam acara-acara tersebut. Dia dituduh menyembunyikan buronan
PKI. Supaya Marni tidak dipenjara, akhirnya dia menyogok tentara tersebut
dengan mengorbankan satu hektar perkebunan tebu miliknya.
4.2.1.2.2 Struktur Ras Novel Entrok
Dalam novel ini, struktur ras tidak terlalu menonjol. Di sini lebih banyak
membahas tentang masyarakat Jawa. Pertentangan kelas atas dan kelas bawah
terlihat dari keadaan ekonomi dan kelas sosial. Masyarakat bawah biasanya
bekerja sebagai buruh tani, kuli, tukang becak dan orang upahan. Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
Page 52
kelas menengah keatas adalah orang pemerintahan, Pak RT, Pak Lurah, Pak
Camat, dan Pak Bupati, priyayi, pedagang, guru, dan tentara.
Orang Cina biasanya tinggal di ibu kota kecamatan, dan kabupaten.
Mereka menguasai perdagangan. Koh Cayadi menjual barang-barang elektronik.
Sanjaya membuka bengkel, sedangkan Ellen berjualan barang kelontong. Juga
banyak orang Cina lainnya yang berjualan di deretan tokoh tersebut.
4.2.1.2.3 Relasi Gender Novel Entrok
Di samping menampilkan struktur fisik dan ras, novel Entrok juga
menampilkan relasi gender antartokoh cerita. Ada enam cara yang ditampilkan
pengarang tetang relasi gender dalam novel ini. Pertama, relasi antara laki-laki
dengan perempuan sebagai suami istri. Kedua, relasi antara laki-laki dengan
perempuan yang tidak terikat hubungan pernikahan resmi. Ketiga, relasi gender
dalam konteks hubungan birokrasi dan elit pemerintah. Keempat, relasi hubungan
anak dengan orangtua. Kelima, relasi gender dalam hubungan dagang. Keenam,
relasi hubungan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Relasi gender dalam konteks hubungan suami istri dapat diidentifikasi
dalam kehidupan Marni dengan Teja, Rahayu dengan Amri, serta Kyai Hasbi
dengan ketiga orang istrinya. Ada dua jenis relasi gender hubungan suami istri
antara Marni dan Teja. Pertama, dalam hubungan seksualitas, kedudukan Teja
lebih tinggi dari Marni. Teja berkuasa atas diri Marni yang dapat diidentifikasi
dari kutipan berikut:
Hari itu Teja pulang ke rumah simbok. Jadilah kami tinggal bertiga
di gubuk itu. Simbok memasang papan membagi gubuk kami menjadi dua
Universitas Sumatera Utara
Page 53
bagian. Bagian depan dari pintu masuksampai cagak, menjadi tempat
untukku dan Teja, simbok menempati sisanya yang dekat dengan pawon
....
Malam ini tidur tak sekedar rutinitas penutup hari, melainkan saar
pelepas seluruh keinginan dan kepemilikan. Tidur kami menjadi simbol
bagaimana pencapaian manusia dalam mendapatkan apa yang diinginkan.
Aku kesakitan, dia kegirangan. Aku mengerang, dia senang. Aku
menangis, dia tertawa penuh kemenangan. Aku menerawang, dia telah
pulas. (En, 2010: 48-49)
Kedua, dalam bidang ekonomi rumah tangga, kedudukan Marni lebih
tinggi dari Teja. Teja tidak lebih hanya sebagai seorang kuli yang mengangkat
barang dagangan Marni. Teja tidak pernah tahu tentang harga barang yang mereka
jual dan keuntungan yang diperoleh dari hasil jualan mereka. Teja tidak pernah
tahu tentang urusan keuangan keluarga. Teja hanya diberi uang oleh Marni untuk
membeli tembakau linting. Jadi, dalam bidang ekonomi Marni lebih berkuasa atas
diri Teja. Hal ini dapat dilihat pada deskripsi dibawah ini:
Teja tidak pernah tahu berapa keuntungan yang kami dapat, dia
juga tidak pernah meminta. Dia juga tidak tahu apa saja dagangan yang
harus dikulak, berapa harganya, dijual berapa. Yang dia tahu hanya
mengangkat goni di punggung. Bedanya, dulu di pasar Ngranget, sekarang
keliling desa. Yang penting bagi Teja, bisa membeli tembakau linting
setiap hari. (En, 2010: 49)
Relasi gender, sebagai istri kedua dapat dilihat dari hubungan suami istri
antara Rahayu dengan Amri. Rahayu menjalani hidupnya dengan keihlasan. Dia
tidak pernah menuntut lebih dari Amri. Dia juga menyadari posisinya sebagai istri
kedua. Amri harus membagi waktunya untuk kedua istrinya. Setiap hari Jumat,
Amri pergi ke Jogja menemui istri tuanya. Dia kembali menelui Rahayu hari
Senin pagi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
Tiap Jumat pagi, saat kami semua baru saja selesai salat,
Amribergegas meninggalkan tempat ini. Disandangnya ransel hitam itu.
Malam sebelumnya, aku telah memasukkan tiga baju putih panjang ke tas
Universitas Sumatera Utara
Page 54
itu. Dengan motornya, dai menuju ke selatan, menembus kabut Merapi
yang menghalangi pandangan. Dia akan menemui anaknya. Juga istrinya.
Dia pulang ke rumahnya. Di Jogja sana.
Lalu pada Senin pagi, bunyi motor yang sudah kunantikan itu
terdengar. Aku turun dari kamarku di lantai dua, berjajar dengan kamar-
kamar gur-guru lainnya. Kucium tanganya. Lalu kubawa jaket yang baru
saja dilepaskannya.kami naik bersama-sama. Dia tidur sebentar, sebelum
mulai masuk kelas. Setiap minggu, semuanya berulang dalam urusan yang
tak pernah berubah. Dalam kedamaian dan keikhlasan yang sama. Adakah
yang masih kurisaukan ketika aku telah berjalan lurus menuju
kebahagiaan abadi itu? (En, 2010: 209)
Relasi gender hubungan suami istri, yang suaminya mempunyai istri lebih
dari satu dapat dilihat dalam rumah tangga Kyai Hasbi. Walaupun memiliki istri
tiga orang, tidak pernah terdengar keributan diantara para istrinya. Mereka hidup
rukun damai. Masing-masing dari mereka memiliki kelebihan tersendiri. Hal ini
didukung oleh kutipan berikut:
...Dia Kyai Hasbi.
Kami meniru semua yang ada padanya. Mengikuti semua yang
dilakukannya. Tiga istrinya tinggal di sini. Masing-masing dengan
kelebihan yangberbeda. Istri pertamanya begitu indah membaca
kitab.ditularkannya keahlian itu pada seluruh perempuan yang ada di sini.
Istri keduanya kadang mengingatkanku pada ibu. Begitu lincah, begitu
sigap, mengatur segala kebutuhan padepokan. Istri ketiganya baru
dinikahinya tiga bulan lalu. Dia temanku sendiri. Arini. Aku dan Amri
yang memperkenalkan mereka. arini yang sedang sebatang kara dan butuh
tempat beerlabuh. Kyai Hasbi meminangnya. Sekarang Arini,
sebagaimana aku dan Amri, melkengkapi apa yang perlu diketahui santri-
santri. Berhitung, berpolitik, hingga mengerti bahasa selain yang ada di
kitab dan selain yang setiap hari mereka gunakan. (En, 2010:213)
Relasi gender dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan yang
tidak terikat pernikahan resmi terjadi dalam kehidupan di beberapa tempat.
Peristiwa ini dapat dilihat dengan pemakaian kata-kata seperti sundal dan
gendakan. Terdapat beberapa peristiwa yang berkaitan dengan perselingkuhan.
Universitas Sumatera Utara
Page 55
Relasi gender ini dapat diidentifikasi dari relasi alasan tidak punya anak, sekedar
melampiaskan nafsu seksual, suka sama suka, dan pelecehan seksual.
Relasi gender hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak terikat
pernikahan resmi karena tidak punya anak, dapat dilihat dalam hubungan antara
Pak Suyat dan Yu Nem atau Iyem. Pak Suyat menikahi Yu Nem secara diam-
diam karena dia tidak mempunyai anak dari pernikahannya dengan Yu Parti. Yu
Parti tetap saja tidak merelakan suaminya kawin lagi. Ketika ada kesempatan
bertemu, Yu Parti langsung melabrak Yu Nem. Perkelahian tidak dapat dihindari
lagi. Peristiwa ini didukung oleh kutipan berikut:
“Sedulur-sedulur, Si Iyem ini sundal. Suami orang direbut juga,”
teriak Yu Parti dengan penuh amarah.
Yu Nem yang terlihat takut, terpancing dan mulai marah. Dengan
suara tak kalah kencang, dia membalas kata-kata Yu Parti. “Enak saja,
nyebut aku sundal. Sampeyan sendiri yang tidak bisa ngeladeni suami,
bukan salahku kalau suami sampeyan mau kawin sama aku.”.
“Dasar sundal, perebut suami orang,” Yu Parti mulai kehilangan
kesabaran. Dia bergerak mendekati tempat Yu Nem berdiri. Dagangan
cabe yang ada di los disapu dengan tangannya. Cabe-cabe itu berhamburan
ke seluruh los. (En, 2010: 26)
Relasi gender hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak terikat
pernikahan resmi karena sekedar melampiaskan nafsu seksual dapat dilihat
dari hubungan antara suami Bu Jujuk dengan seorang kledek atau
peronggeng. Walaupun Bu Jujuk tahu suaminya selingkuh tapi dia tidak
mau ribut-ribut. Walaupun hatinya sakit menerima kenyataan itu, tetapi dia
tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menceritakan kesedihan ini
pada Marni. Bu Jujuk juga takut kepada suaminya.
“Suamiku itu lho, Ni. Dia gendakan sama kledek. Sudah lama, Ni.
Tapi aku diam saja. Aku nggak mau ribut. Nggak mau cari masalah. Tapi
Universitas Sumatera Utara
Page 56
aku nggak kuat, Ni. Hatiku diiris-iris.” Tangis Bu Jujuk meledak. Hanya
kami berdua yang ada di rumah itu.
...
Suatu hari, suami Bu Jujuk pulang saat Bu Jujuk untuk kesekian
kalinya menceritakan lakon Pak Jujuk dan kledek gendakan-nya. Bu Jujuk
yang tak menyadari kehadiran suaminya terus menumpahkan perasaan
sambil menagis. Semuanya langsung terhendi saat terdengar teriakan
suaminya. Bu Jujuk langsung menghapus air matanya, lalu buru-buru
masuk ke rumah. Dari luar kudengar umpatan-umpatan suami Bu Jujuk.
“Istri nggak tahu diri! Kerjaannya rasan-rasan terus!” Tak ada
jawaban dari mulut Bu Jujuk.lenyap semua umpatan yang sebelumnya
dikatakan padaku. Bu Jujuk kembali ke dunianya, dunia yan gpenuh
kepatuhan dan ketakutan. (En, 2010:46-47)
Relasi gender hubungan laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan
resmi karena suka sama suka dapat dilihat dari perselingkuhan Marni dengan
Bagong. Perselingkuhan ini terjadi setelah suami Marni meninggal dunia.
Hubungan ini tidak berlangsung lama. Setelah Pabrik Gula Sidodadi bangkrut,
Bagong juga tidak pernah datang lagi ke rumah Marni. Ilustrasi ini dapat dilihat di
bawah ini:
Malam ini semuanya menjadi lain. Dimulai dengan rasa malu saat
dia mulai membuka kain yang menutupi tubuh yang sudah kisut dan
nglambir ini, lalu aku tertawa pelan sambil melihat tubuh si Bagong tak
lagi ditutupi selembar kain pun. Lalu dadaku berdebar kencang saat tangan
berwarna coklat gosong itu menyentuh susuku yang sudah sangat kendor
dan bergelantungan seperti pepaya. Tiba-tiba saja ingatanku melayang
seandainya aku memakai entrok sejak awal, pasti saat ini susuku masih
kencang dan montok.
Relasi gender hubungan laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan
tanpa memikirkan status dapat dilihat dari hubungan Rahayu dengan Kyai Hasbi.
Saat itu yang dirasakan hanyalah kenikmatan tanpa memikirkan status antara
mereka berdua. Hali ini juga sudah pernah dilakukan pada malam sebelumnya.
Menurut Rahayu, seorang laki-laki dan perempuan dapat melakukan hubungan
seksual walaupun tanpa lembaga perkawinan. Ketika berahi sudah berada di
Universitas Sumatera Utara
Page 57
puncak, maka tidak ada lagi yang bisa menghentikan terjadinya hubungan seksual
di luar pernikahan, seperti kutipan berkut:
Dan biarkan saja aku menikmati malam ini. Mengulang apa yang
kami lakukan tadi malam. Merasakan lagi nikmat dan bahagia yang kami
cicipi dalam gelap desa ini. Kyai Hasbi bergerak lebih cepat dan tangkas
sekarang. Tidak ada ragu dan malu seperti sebelumnya. Sepertinya dia
sudah yakin aku juga menginginkannya. Dia bergerak cepat mencumbu
bibir dan dada. Gusti, aku hampir lupa kalau laki-laki ini tiga puluh
tahunlebih tua dari aku (En, 2010: 249-250).
Relasi gender hubungan laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan
karena pelecehan seksual dapat dilihat dari hubungan Ndari dengan pamannya
dan Ndari dengan tentara. Ndari duduk dikelas enam SD, usianya baru duabelas
tahun. Dia menjadi korban pelecehan seksual oleh pamannya sendiri, yaitu
Kartono. Padahal pamannya sudah mempunyai istri. Pamannya menyuruh datang
ke rumahnya dengan alasan minta dipijat. Dia mengancam Ndari agar kejadian itu
tidak diceritakan kepada orang lain. Peristiwa ini terjadi berulang kali. Peristiwa
ini dapat dilihat pada kutipan berikut
Bersama Kyai Hasbi dan Wagimun, aku mengantar Ndari pulang.
Bocah itu telah menceritakansemuanya. Kejadian ini pertama kali terjadi
sebulan yang lalu. Paklik-nya yang tinggal di belakang rumahnya
menyuruh datang. Ndari diminta mengeroki punggung paklik-nya. Paklik-
nya sedang masuk angin. Saat itulah, pelan-pelan tangan laki-laki itu
menggeranyangi selangkangan Ndari. Jarinya masuk ke lubang
kewanitaan Ndari, menembus selaput tipis itu. Ndari kesakitan. Dia
menangis. Laki-laki itu menyuruh ponakannya diam.
Dua hari kemudian, Ndari kembali disuruh datang. Kali ini dia
diminta memijit. Tapi malah laki-laki itu yang memijit dan merogoh tubuh
keponakannya sendiri. Ndari tidak menangis. Dia diam. Ketakutan.
Lalu kejadian itu terus berulang. Dua hari sekali atau kadang setiap
hari. Ndari tidak hanya dirogoh-rogoh. (En, 2010:238)
Relasi gender dalam konteks hubungan birokrasi dapat dilihat pada
perilaku tentara yang selalu datang ke rumah Marni untuk meminta uang
Universitas Sumatera Utara
Page 58
keamanan. Hal ini terjadi berulang kali. Di sini ditampilkan bahwa posisi
perempuan lebih rendah. Marni selalu tidak pernah menang jika berurusan dengan
tentara. Marni harus mengeluarkan uang untuk semua urusan itu. Dengan dalih
sebagai uang keamanan, seperti petikan berikut:
Obrolan terhenti saat ibu selesai menghitung uang. Tiga tumpuk uang
yang diikat dengan karet gelang kini sudah di atas meja. Orang yang dari tadi
berbicara paling banyak segera mengambil tumpukan uang itu. Menghitung lalu
tertawa lebar.
“Begini kok dibilang seret to Yu, seret apanya?”
Seret ya seret, Ndan. Cuma setoran buat sampeyan aja yang ngga boleh
seret, iya to?”
“Lha, ya iya. Inikan buat keamanan sampeyan dan keamanan lingkungan.
Iya to? Kalau bukan kami siapa lagi yang ngatur!” (En, 2010:51-52)
Relasi gender dalam konteks hubungan elit politik dalam novel ini juga
menampilkan posisi perempuan selalu rendah dan tidak berdaya. Marni harus
mengeluarkan uang sumbangan yang tidak sedikit untuk partai setiap kali akan
diadakan pemilu. Bukan itu saja, Marni juga harus bersedia meminjamkan
mobilnya. Mereka selalu mengatasnamakan untuk urusan negara. Hal ini dapat
dilihat pada petikan berikut:
“wah, membantu gimana ya, Pak Lurah? Kalau sumbangan,
kemarin sudah saya titipkan sama pamong.”
“iya, sumbangan sudah saya terima. Tapi ini bukan soal uang
kok,Yu. Soal uang , kita semua sudah beres. Begini, Pak Camat dan Pak
Bupati kan minta orang-orang desa kita untuk arakan keliling Kabupaten,
terus nanti siangnya dangdutan di lapangan Singget.”
“lha maksudnya saya harus ikut arak-arakan atau bagaimana?
“Ndak harus ikut, Yu. Kita Cuma mau dipinjami mobil sehari itu.
Namanya buat negara, jadi ya hitungannya sumbangan. Bisa to, Yu?” (En,
2010:113)
Relasi gender hubungan anak dengan orang tua dapat dilihat dari
hubungan Marni dengan ibunya, Rahayu dengan Marni, Ndari dengan ayahnya.
Universitas Sumatera Utara
Page 59
Hubungan Marni dengan ibunya berjalan dengan baik. Marni patuh pada ibunya.
Dia tidak pernah membantah apa yang dikatakan oleh ibunya. Mereka
mempunyai kesamaan. Marni dan ibunya sama-sama buta huruf dan memuja
leluhur. Kehidupan mereka masih susah. Relasi hubungan mereka saling
menghargai satu sama lain. “Aku sudah tidak lagi membagi waktu dengan bekerja
di tempat Nyai Dimah. Simbok diam saja, tak menanyakan atau melarang. Saat
bersama, kami tidak pernah menyinggung urusan nguli. Simbok juga tidak pernah
bertanya tentang upah yang kudapatkan dari nguli. (En, 2010:39).
Hubungan Marni dengan Rahayu sangat jauh berbeda dengan hubungan
Marni dengan ibunya. Rahayu yang dibesarkan di jaman serba berkecukupan,
merasa ada yang tidak beres dengan pekerjaan yang dilakukan oleh ibunya.
Apalagi setelah dia belajar agama. Dia membenci ibunya yang sering disebut
orang sebagai lintah darat dan pemuja leluhur. Relasi hubungan yang terbangun di
antara mereka adalah hubungan pertentangan. Pemikiran Marni tidak sejalan
dengan pemikiran Rahayu. Marni ingin menguasa Rahayu, sementara Rahayu
ingin menyadarkan ibunya bahwa ibunya telah berbuat dosa. Pandangan Rahayu
terhadap ibunya dapat dilihat pada kutipan berikut
...Aku merasa waktu berhenti dan semua temanku sedang
memandangku, berbisik-bisik mengatakan aku anak lintah darat. Tiap hari
makanan yang kumakan adalah keringat orang-orang susah. Aku bisa
sekolah karena ibuku mengisap darah orang lain.
Aku malu. Aku marah pada ibu. Dia membuatku ikut berdosa. Aku
mulai membencinya.
Hari-hari berjalan sangat lambat sejak itu. Makin banyak omongan
oran gtentang ibu seiring makin banyak uang yang dikumpulkannya. (En,
2010:89)
Universitas Sumatera Utara
Page 60
Relasi hubungan antara Ndari dengan ayahnya adalah relasi kuasa.
Ayahnya berkuasa atas anaknya. Ndari tidak berani melawan perintah ayahnya
sekalipun perbuatannya tidak sesuai dengan ajaran agama. Ndari rela
menyerahkan tubuhnya sebagai tumbal pemuas nafsu para tentara karena
mengikuti kemauan ayahnya. Peristiwa ini dapat dilihat dari percakapan antara
Rahayu dengan Pak Karto atau Kartorejo, ayahnya Ndari.
“Pak Karo, maksudnya apa Ndari disuruh ke tempat kerukan?”
“Saya Cuma sedang berusaha agar kita tetap bisa tinggal di sini”.
“Lha, terus apa yang anakmu lakukan di sana?”
Kartorejo diam. Dia memandang anaknya. Ndari ketakutan menunduk
semakin dalam.
“Ya terserah dia. Apa saja yang bisa dilakukannya. Pokoknya bagaimana
caranya agar tentara-tentara yang ada disana itu itu besok tidak ke sini.”
“Ngawur! Ngawur kowe, Pak! Anak sendiri malah disuruh nglonte!” (En,
2010:251-252)
Relasi gender dalam hubungan dagang dapat dapat diidentifikasi menjadi
dua jenis jika dilihat dari kedudukan Marni sebagai rentenir, yaitu lebih tinggi
atau berkuasa dan lebih rendah. Kedudukan Marni lebih tinggi atau berkuasa,
ketika dia meminjamkan uangnya kepada orang yang kelas sosialnya lebih rendah.
Mereka patuh dengan aturan yang dibuat oleh Marni. Mereka tidak pernah ingkar
untuk membayar hutangnya.
Kedudukan Marni menjadi lebih rendah ketika dia meminjamkan uangnya
kepada Pak Wiji, guru ngaji Rahayu. Pak Wiji yang berstatus priyayi, tidak mau
membayar hutang. Apalagi Pak Wiji adalah guru anaknya. Pengalamannya
berurusan dengan para aparat membuat keberanian dan kekuasaannya menjadi
luntur saat berhadapan dengan priyayi.
“Pak guru, saya ini nagih duit saya sendiri. Nyata-nyata sampeyan
tiga bulan tak pernah bayar cicilan. Malah duit buat beli pupuk. Saya ini
Universitas Sumatera Utara
Page 61
sawah saja tidak punya.mengumpulkan uang recehan setiap hari. Saya
Cuma cari makan. Apa yang dikutuk agama? Agamanya siapa?”
“Lho... sampeyan kok malah teriak-teriak di rumahku. Ini rumah
priyayi, ndak pernah ada orang teriak-teriak. Lha kalau aku bilang
sekarang tidak ada duit, mau gimana? Ya sana, silakan digeledah. Kalau
ada duit, ambil!”
Ibu tak pernah menggeledah. Keberaniaan dan kekuasaannya atas
sesama bakul pasarbagaimanapun luntur saat berhadapan dengan priyayi.
Pengalamannya berurusan dengan Komandan Koramil membuatnya lebih
berhati-hati setiap berurusan dengan orang-oran gbayaran pemerintah, apa
lagi orang itu guru yang mengajar anaknya di sekolah. (En, 2010:84-85)
Relasi hubungan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan
digambarkan pengarang melalui tokoh utama dalam cerita ini adalah perempuan.
Marni sebagai tokoh utama mempunyai pemikiran ingin setara dengan kaum laki-
laki. Dia bekerja sebagai kuli angkat barang. Tidak ada buruh perempuan yang
berkerja sebagai kuli angkat barang. Mengangkat barang dianggap sebagai
pekerjaan berat yang membutuhkan tenaga besar. Perempuan mengerjakan
pekerjaan yang halus dan enteng-enteng saja, seperti mengupas singkong,
menumbuk padi, dan menumbuk kopi. Padahal, jika di rumah mereka harus
mengangkat air yang beratnya sama dengan segoni singkong. Tidak ada kaum
laki-laki yang mau mengerjakan mengangkar air, kata mereka itu urusan
perempuan. Dari pemikiran inilah timbul ide Marni untuk bekerja sebagai kuli
angkat barang. Peristiwa Marni menjadi kuli angkat barang, diilustrasikan oleh
pengarang sebagai berikut,
Mbah Noto tidak mencemooh keinginanku untuk ikut nguli. Aneh
juga, bukankah orang seperti Mbah Noto yang biasanya ngotot
mempertahankan pakem, mengingatkan mana yang ilok dan tidak ilok.
Mbah Noto hanya mengingatkanku tidak terlalu ngoyo dan tahu diri.
katanya sudah dari sononya tenaga perempuan itu kecil dan tidak bisa
bekerja berat. (En, 2010:37)
Universitas Sumatera Utara
Page 62
Dalam kehidupan ekonomi rumah tangga, peran Marni lebih menonjol
dibanding dengan Teja. Teja yang seharusnya menjadi kepala keluarga tidak bisa
mencari pekerjaan selain harus membawakan barang dagangan istrinya. Meskipun
demikian, Marni tidak pernah menjelek-jelekkan suaminya, walaupun semua
urusan keuangan dibawah kendali Marni, yang dapat dilihat seperti pada kutipan
berikut:
Malam itu Bapak dan Ibu bertengkar lagi. Bapak berubah menjadi
begitu bringas. Ibu melawan dengan segala kegalakannya. Aku tahu,
ibulah yang mengeluarkan keringat paling banyak atas apa yang
didapatknnya selama ini. Bapak hanya membantu, mengantar ke pasar
setiap hari, menemani Ibu menagih hutang dari satu rumah ke rumah lain.
Bapak tak ada bedanya seperti kuli-kuli dai pasar yang hanya menunggu
orang yang butuh diangkatkan barang. Kalau tidak, dia akan diam saja,
meskipun tidak makan seharian. Ibu tidak ke pasar, Bapak juga tidak ke
pasar. Ibu tidak mendapat uang, kami semua tak akan makan. (En,
2010:74)
Marni juga mempekerjakan buruh laki-laki untuk menebang tebu di
kebunnya. Menebang tebu hanya menjadi pekerjaan buruh lak-laki. Buruh
perempuan pekerjaannya menantam padi dan kacang. Ada kebanggaan tersendiri
di dalam hatinya karena dia bisa mempekerjakan laki-laki di kebunnya. Marni
menjadi juragan tebu. Kedudukannya sudah setara dengan Pak Lurah yang juga
memiliki kebun tebu yang luas.
Pekerja-pekerja itu duduk mengeliliku sambil menuang teh dari
cerek ke gelas. Aku berdiri di tengah mereka yang semuanya laki-laki.
Dan aku sekarang akan mengupahi mereka. simbok, lihatlah anakmu ini
sekarang. Kita dulu kerja memeras keringat seharian, diupahi telo, bukan
uang, hanya karena kita perempuan. Lihatlah sekarang, anakmu yang
perempuan ini, berdiri tegak di sini mengupahi para laki-laki. Setiap orang
mendapat upah tujuh ratus dari uang yang kumiliki sendiri. (En, 2010:102-
103)
Universitas Sumatera Utara
Page 63
4.2.1.3 Struktur Ruang dan Waktu Novel Entrok
4.2.1.3.1 Struktur Ruang Novel Entrok
Penggunaan ruang dan waktu cerita dalam novel Entrok terjadi dalam dua
masa, yaitu masa kini dan masa lalu. Masa kini dan masa lalu dapat diidentifikasi
dari dua pola, yakni penanda ruang dan penanda waktu. Penanda ruang dan
penanda waktu terlihat dari pencantuman nama tempat dan tahun untuk menandai
tindakan dan kejadian. Setiap bagian dalam cerita ini menampilkan nama tempat
dan nama tahun kejadian. Bagian pertama, menceritakan kejadian tahun 1995
hingga bulan Januari 1999 di Singget. Bagian kedua menceritakan peristiwa dan
tindakan di singget pada tahun 1950 sampai dengan 1970. Bagian ketiga
menceritakan tentang keadaan tahun 1970 sampai tahun 1982. Bagian keempat
menceritakan kejadian tahun 1982 dan 1983. Bagian kelima menceritakan
peristiwa pada tahun 1984 dan tahun 1985 di Jogjakarta. Bagian keenam
menceritakan tentang peristiwa pada tahun 1985 hingga tahun 1989. Bagian
ketujuh menceritakan kejadian pada tahun 1987 di Magelang. Bagian kedelapan
menceritakan kejadian tahun 1990 sampai tahun 1994.
Tokoh Marni dan Simbok juga melambangkan masa lalu. Cara pandang
dan cara berpikir mereka masih kuno. Marni dan simbok percaya kepada para
leluhur. Mereka yang menurunkan rezeki dan mengatur kehidupan manusia.
Untuk itu, mereka harus memberi sesajen dan nasi tumpeng setahun sekali saat
Marni berulang tahun. Di samping itu, mereka juga melalukan ritual setiap tengah
malam untuk memanjatkan doa.
Universitas Sumatera Utara
Page 64
Sebaliknya, tokoh Tinah dan Rahayu melambangkan kekinian. Tinah
sudah memakai Entrok disaat yang lain justru belum mengenalnya. Sedangkan
Rahayu, dari kecil Rahayu sudah mengaji dan mendengar ceramah dari ustad. Dia
seorang yang percaya atas kekuasaan Tuhan. Tuhan yang mengatur kehidupan
manusia. Setelah dewasa, dia sadar tentang yang dilakukan ibunya menyalahi
ajaran agama. Perbedaan ini menimbulkan masalah di antara mereka. Akhirnya,
Marni pergi meninggalkan rumah.
Penanda ruang masa lalu dapat dilihat dari bentuk rumah orang tua Marni
yang masih berdinding tepas, berlantai tanah dan tidak ada kamarnya. Bepergian
masih berjalan kaki karena belum ada kenderaan. Untuk membawa barang masih
menggunakan tenggok (bakul yang terbuat dari bambu). Marni masih menganut
kepercayaan kepada leluhur. Tanda tangan masih menggunakan cap jempol.
Makanan pokok sehari-hari terbuat dari singkong. Simbok masih menggunakan
kain dan belum menggunakan baju. Simbok juga tidak tahu menahu tentang BH,
seperti yang terdapat pada petikan novel berikut:
Di rumah, Simbok biasa mengumbar dadanya. Dia hanya
memakai kain yang dililitkan di perutnya, bagian atas perut dibiarkan
terbuka. Baru ketika keluar rumah, Simbok mengangkat kainnya hingga ke
dada, menjadi kemben.
Pakaianku saat itu tak berbeda dengan Simbok. Hanya saja, ketika
keluar rumah aku tutup lagi dengan baju lengan panjang yang bahannya
membuat gerah. Aku punya dua baju seperti itu. Baju itu didapat Simbok
dari juragan di Pasar Ngranget sebagai upah mengupas kulit singkong
selama enam hari. Simbok, yang tak pernah memakai baju seumur
hidupnya, tak mau memakaianya. Ia berikan itu padaku. Bikin gerah,
katanya.
...
“Mbok aku mau punya entrok.”
“Entrok itu apa , Nduk?”
“Itu lho, Mbok. Kain buat nutup susuku, biar kenceng seperti
punya Tinah.”
Universitas Sumatera Utara
Page 65
Simbok malah tertawa ngakak. Lama tak keluar jawaban yang aku
tunggu. Hingga akhirnya dia akhiri tawanya dengan mata memerah.
“Oalah, Nduk, seumur-uur tidak pernah aku punya entrok.
Bentuknya kayak apa aku juga tidak tahu. Tidak pakai entrok juga tidak
apa-apa. Susuku tetap bisa diperas to. Sudah, nggak usah neko-neko. Kita
bisa makan saja syukur,” kata Simbok. (En, 2010:16-17)
Penanda ruang masa kini dapat dilihat dari pemakaian benda-benda seperti
sepeda, motor, mobil Pikap, TV, jalan sudah diaspal, bangunan rumah Sumarni
sudah terbuat dari batu bata yang sudah memiliki kamar tidur dan ruang tamu,
dan sudah masuk listrik. “...memasuki tahun 1980, rumah kami sudah dua kali
lipat lebar sebelumnya. Awal tahun ini, orang-orang Singget sedang luar biasa
gembira. Tiang-tiang besi berdiri di pinggir jalan desa. Kabel-kabel terbentang.
Sudah ada listrik di Singget. Rumah-rumah yang hanya sebelumnya diterangi
lampu teplok, sekarang terang benderang dengan lampu warna putih atau kuning”
(En, 2010:89-90).
Struktur ruang cerita tidak dideskripsikan secara terperinci sehingga
keadaan kota maupun desa tidak dapat diidentifikasi secara konkret. Penceritaan
lebih berpusat pada pada kondisi rumah, pasar, dan jalan. Sebaliknya, struktur
waktu ditampilkan dengan konkret sehingga diperoleh informasi akurat bahwa
kejadian dalam novel dimulai tahun 1950 hingga tahun 1999. Dengan demikian,
struktur ruang dan waktu novel Entrok berpusat di Desa Singget sejak tahun 1950
dari masa kecil Marni bersama ibunya hingga bersama anaknya Rahayu dalam
rentang waktu lebih kurang selama 49 tahun.
Peristiwa kehidupan dalam novel Entrok menggunakan ruang terbuka dan
tertutup sebagai tempat berinteraksi antar tokoh. Di halaman rumah Marni, pasar,
halaman Balai Desa, lapangan, jalan, pinggir sungai Kali Manggis, padepokan,
Universitas Sumatera Utara
Page 66
kuburan, hingga di kebun tebu. Penggunaan ruang tertutup lebih banyak berperan
sebagai daerah kekuasaan masing-masing antara laki-laki dan perempuan seperti
pawon atau dapur, rumah, kelenteng, toko, penjara, ruang tamu, dan kamar.
4.2.1.3.2 Struktur Waktu Novel Entrok
Di samping penggunaan penanda tahun, novel ini juga menggunakan
penanda waktu, seperti pagi, siang, sore, dan malam. Secara keseluruhan, penanda
waktu pagi mendominasi struktur waktu cerita. Penanda waktu yang lain juga
digunakan tetapi waktu penggunaan tidak terus-menerus, bergantung pada
keperluan, misalnya waktu malam untuk menonton TV, tidur, berbincang, dan
memanjatkan doa kepada Ibu Bapak Bumi Kuasa.
Penanda waktu pagi dalam struktur waktu cerita digunakan oleh tokoh
cerita untuk memulai pekerjaan pada struktur ruang dan waktu masa lalu dan
masa kini. Penanda waktu pagi dalam struktur ruang dan waktu masa lalu
digunakan oleh Marni dan ibunya. Waktu pagi dimulai untuk bekerja yang dapat
diidentifikasi dalam kutipan berikut ini.
Hari masih gelap saat aku dan Simbok keluar rumah. Tanah dan
rumput teki yang kami injak basah oleh embun. Ayam berkokok sahut-
menyahut, langit di sebelah timur agak memerah.
Aku dan Simbok bukan satu-satunya orang yang menyusuri jalanan
pagi ini. Di sepan kami, di belakang, juga di samping, perempuan-
perempuan memegang tenggok menuju Pasar Ngranget. Kami semua
seperti kerbau yang dihela di pagi buta, menuju sumber kehidupan. (En,
2010:22)
Penanda waktu malam yang banyak digunakan untuk menonton TV, tidur,
berbincang, dan berdoa, tetapi juga pernah dipergunakan untuk bertengkar.
“Malam itu Bapak dan Ibu bertengkar lagi” (En, 2010:74).
Universitas Sumatera Utara
Page 67
Penggunaan penanda waktu tidak hanya didominasi oleh penanda waktu
kekinian. Pengarang juga memberikan penanda waktu masa lalu. Hal ini dapat
diidentifikasi dari pernyataan, “Simbok hanya berkata aku lahir waktu zaman
perang. Saat semua orang menggunakan baju goni dan ramai-ramai berburu tikus
sawahuntuk digoreng. Aku semua tidak pernah melihat itu semua”(En, 2010:15).
Deskripsi ruang cerita novel Entrok melibatkan desa Singget, Pasar
Ngranget, Glodok, Magelang, dan Yogyakarta yang dihubungkan dengan daerah-
daerah terdekat dalam struktur waktu masa kini dan masa lalu, baik dengan
penanda tahun maupun penanda waktu. Desa Singget adalah tempat Marni dan
Rahayu dibesarkan. Oleh sebab itu, penceritaan berpusat di Singget. Pasar
Ngranget adalah tempat Marni dan Simbok bekerja. Pabrik gula tempat Marni
menjual hasil panen tebu terdapat di daerah Glodok. Di sanalah diselenggarakan
pesta Temu Temanten Tebu. Yogya adalah tempat Rahayu kuliah. Magelang
adalah tempat Rahayu setelah menikah.
Pengalihan struktur waktu cerita, dari masa kini ke masa lalu terlihat dari
penceritaan kembali ke masa lalu pada bagia kedua yang berangka tahun 1950.
Padahal, cerita diawali pengarang dengan menggambarkan kehidupan Marni dan
Rahayu yang harus berjuang keras untuk menemukan hidupnya kembali pada
tahun 1999. Cerita Entrok merupakan pembayangan kembali oleh Rahayu tentang
kehidupan ibunya di masa lalu.
Universitas Sumatera Utara
Page 68
4.2.1.4 Struktur Transmisi Narasi
Struktur transmisi novel Entrok dibangun oleh sudut pandang orang
pertama “aku”. Sudut pandang orang pertama digunakan oleh dua narator, yakni
Marni dan Rahayu. Dari kedua narator ini, Marni bertindak sebagai narator utama
yang menerima pesanan dari narator kedua. Pada bagian pertama dan kelima,
pengarang memunculkan orang pertama kata ganti “aku”, sebagai pengganti
Rahayu, sedangkan pada bagian yang lain kata ganti “aku” merujuk kepada
Marni.
Kedua “aku” tersebut sama-sama memandang, mengalami,
mendeskripsikan, dan menceritakan hal dan kejadian yang sama, namun terdapat
perbedaan antara keduanya. Adanya perbedaan itu sebagai akibat dari tuntutan
objektivitas sudut pandang penceritaan yang mempunyai kelebihan dan
keterbatasan. Marni dapat menceritakan secara rinci dan teliti tentang perasaan
hatinya, namun terhadap Rahayu, dia hanya dapat menceritakan sebatas yang
diindranya. Demikian pula dengan Rahayu, mereka mempunyai keterbatasan
segala hal yang di luar dirinya.
Penggunaan sudut pandang orang pertama menempatkan pengarang
sebagai pemilik pesan yang disampaikan melalui narator kepada pembaca.
Pengarang ikut terlibat dalam cerita. Melalui tokoh “aku” pengarang mengisahkan
arus kesadaran dirinya sendiri. Mengisahkan peristiwa dan tindakan serta
sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca.
Universitas Sumatera Utara
Page 69
4.2.2 Realitas Fiksi Novel 86
4.2.2.1 Struktur Plot Novel
Novel 86 diceritakan dalam sepuluh bagian. Setiap bagian menampilkan
tindakan dan kejadian yang berkaitan satu sama lain. Tindakan dan kejadian
dalam novel ini berkaitan dengan praktik suap, baik dalam lingkungan kantor
pengadilan, di penjara, maupun di kantor tahanan KPK. Di dalam penjara, bukan
hanya kasus suap yang ditemukan tetapi juga pelihal seksualitas yang
menyimpang dan jaringan narkoba yang dikendalikan dari dalam penjara. Alur
dalam novel ini dominan menggunakan alur maju. Alur mundur hanya digunakan
untuk menceritakan keadaan masa lalu lewat pembayangan ataupun lamunan yang
dilakukan oleh tokoh utama.
4.2.2.1.1 Tahap Pengenalan
Novel ini dibuka oleh pengarang dengan menampilkan rutinitas yang
dilakukan oleh tokoh utama dalam cerita ini yaitu Arimbi. Arimbi bekerja sebagai
juru ketik di kantor pengadilan di Jakarta. Dia hidup hanya dari hasil gajinya saja
yang diterimanya setiap bulan. Dengan gaji yang pas-pasan, dia hanya bisa
mengontrak sebuah kamar kos yang terletak di daerah kumuh. Tempat Arimbi
tinggal digambarkan sebagai berikut:
Setiap pukul setengah tujuh pagi, gang kecil tanpa nama ini
menjadi seperti pasar. Orang-orang bersedakan, berjalan cepat-cepat,
berbut mencari celah agar bisa lebih ke depan. Sesekali terdengar teriakan
meminta yang berjalan lambat mempercepat langkah.
Bau minyak wangi murahan bercampur dengan bau got. Di tiga
atau empat rumah petak, pada jam seperti ini, selalu ada ibu-ibu yang
sedang mencatur anak mereka di depan pintu, berak beralas koran, lalu
dibuang ke dalam got.
Universitas Sumatera Utara
Page 70
Di gang kecil ini setiap jam setengah tujuh pagi hidup Arimbi di
mulai. Berjalan di antara orang-orang yang sama tanpa mengenal nama.
Dimulai dari langkah pertamanya keluar dari rumah kontrakan, lalu 250
langkah menuju jalan raya, menunggu bus kecil yang pada beberapa
bagian sudah berkarat. (86, 2011:9-10)
Arimbi alumni sebuah kampus swasta di Solo. Dulu ketika dia kuliah, dia
juga menyewa sebuah kamar kos yang murah. Orangtuanya hanya mempunyai
sepetak kebun jeruk yang dipanen setahun sekali. Nasib Arimbi beruntung bisa
menjadi PNS tanpa memakai uang sogok. Sudah empat tahun Arimbi bekerja di
sana. Sebagai juru ketik, dia hanya mengerjakan pekerjaan apa yang diperintahkan
oleh atasannya. Tugas Arimbi adalah mengetik putusan perkara yang dibuat oleh
hakim dan sesekali menghadiri acara persidangan. Arimbi bekerja atas perintah
Bu Danti. Tugas Arimbi tidaklah sulit, dia hanya mengetik berkas yang ditandai
dengan kata “segera” oleh Bu Danti. Dia bekerja sesuai dengan urutan yang sudah
diatur oleh Bu Danti.
4.2.2.1.1 Tahap Keadaan Mulai Berkonflik
Tahap pemunculan konflik dilukiskan pengarang dengan kehadiran
seseorang yang mengantarkan AC ke kamar kos Arimbi. Hari sabtu dan minggu
Arimbi tidak masuk kantor. Bu Danti mengatakan itu hadiah dari seseorang
karena Arimbi sudah menolongnya mengetikkan putusan hakim. Arimbi bingung,
namun dia senang menerimanya.
Arimbi pulang ke kampungnya di Ponorogo hanya sekali dalam setahun,
ketika Idul Fitri. Dia akan pulang malam lebaran karena tidak dapat tiket, padahal
dia sudah memesan sebulan yang lalu. Itu pun dengan harga yang tinggi, Arimbi
Universitas Sumatera Utara
Page 71
bertemu dengan Hari, teman sekantornya yang juga akan pulang kampung ke
Kediri.
Di hari berikutnya, Arimbi berjalan-jalan menyusuri kampungnya. Dia
berhenti di pinggir sungai dan bertemu dengan Narno, temannya waktu SMP.
Mereka bercerita banyak. Sebelumnya Narno bekerja di Surabaya, setelah di
PHK, dia kembali ke kampungnya dan sekarang bekerja mengolah sawah pak
Lurah. Mereka membicarakan Widodo, teman mereka waktu SD, dia sudah jadi
pamong desa setelah membayar empat puluh juta. Seperti yang terlihat pada
kutipan berikut:
“Masih ingat Widodo, to?” tanya Narno.
Arimbi mengangguk. Dia masih mengingatnya. Widodo teman SD
mereka juga. Sekolah STM, sama seperti Narno. Bapaknya punya sawah
sendiri, seperti bapak Arimbi. Selepas STM tak mau cari kerja, hanya
keluyuran di kampung dengan motor yang dibeli dari panenan bapaknya.
“Jadi pamong dia sekarang. Bayar 40 juta,” jelas Narno.
“Hah...?” Arimbi tak percaya. “Jadi pamong bayar 40 juta?”
Narno mengangguk
“Bayar ke siapa?”
“Ya ke desa. Buat kas.”
“Aturan siapa?” Arimbi masih tak percaya.
“Ya aturaran desa.” (86,2011:60)
Arimbi masih tidak percaya dengan yang didengarnya dari Narno. Tetapi
perkataan Narno semakin nyata, ketika Pak Lurah datang ke rumahnya. Pak Lurah
ingin supaya anaknya yang sarjana hukum bisa bekerja di kantornya Arimbi. Pak
Lurah minta tolong agar Arimbi mencarikan orang yang bisa mengurus anaknya
jadi pegawai negeri. Dia sudah menyiapkan uang seratus juta.
Arimbi menabung uang yang didapatnya dari pengacara yang memesan
putusan perkara kepadanya. Arimbi sudah punya banyak uang, Arimbi pindah dari
kamar kontrakan ke kos-kosan model apartemen. Di tempat kosnya yang baru,
Universitas Sumatera Utara
Page 72
Arimbi harus mengeluarkan biaya tujuh ratus lima puluh ribu sebulan, Arimbi
memakai uang tabungan dari hasil pemberian itu. Sekarang Arimbi tidak perlu
memikirkan bagaimana untuk memenuhi kebutuhannya sebulan dengan uang gaji
yang diterimanya.
Di tempat kosnya yang baru, Arimbi bertemu Ananta. Semula, Arimbi
hanya bersikap tidak acuh kepada Ananta. Namun, karena Ananta orangnya luwes
dan enak diajak berbicara, akhinya hubungan mereka menjadi lebih dekat. Arimbi
yang selama ini tidak pernah berpacaran, merasa tersanjung dengan kehadiran
Ananta. Ananda bekerja sebagai petugas survei di perusahaan pemberi kredit
motor. Ananta banyak berceirita tentang tingkah nasabah yang sering main
kucing-kucingan dengannya.
Arimbi juga menceritakan tentang “permainan” di kantornya. Ananta tidak
terkejut, bahkan dia mendukung Arimbi. Dikatakannya bahwa bapaknya dulu juga
sering melakukan hal sama. Dengan demikian, Ananta memandang kemakelaran
bapaknya itu sebagai sesuatu yang baik dan sudah bersifat umum. Semua orang
sudah maklum. Jadi, tidak perlu dirisaukan lagi.
Arimbi dan Ananta merasa yakin bahwa mereka pasangan yang cocok.
Mereka akan melangsungkan perkawinan. Mereka akan menikah di kampung
Arimbi. Permainan 86 juga terjadi di saat pernikahan Arimbi. Ananta lupa
membuat surat menumpang nikah. Sesaat sebelum akad, Arimbi didatangi petugas
KUA dan pamong desa. Pamong desa itu adalah Widodo, teman SD Arimbi.
Widodo meminta Arimbi menunjukkan surat menumpang nikah Ananta. Ternyata
surat tersebut tidak ada. Namun, si pamong memberi jalan keluar bahwa dengan
Universitas Sumatera Utara
Page 73
menambah biaya satu kali lipat, surat menumpang nikah sudah bisa dihadirkan.
Arimbi membayar dan urusan pun beres. Pernikahan bisa dilangsungkan. Seperti
yang terlihat pada kutipan berikut:
“Ini sebenarnya bisa dibuat gampang,” Widodo membuka mulut.
“Sesama tetangga ya saya bisa bantu. Tapi ada tambahan biayanya. Biar
nanti kami yang mengurusnya ke Kecamatan dan Kantor Urusan Agama.”
Arimbi sumbringah. Ah, dimana-mana sama saja. Delapan enam,
pikirnya dalam hati. Dia sudah paham dengan urusan seperti ini. Yang
penting sudah tidak ada masalah lagi. “Jadi saya mesti menambah berapa
ini?”
“Tiga ratus ribu saja, Mbak. Pokoknya tinggal terima beres.
Suratnya bisa jadi nanti malam pas iab,” kata Widodo.
Arimbi mengangguk. Dalam hatinya ia mengumpat. Kata
bapaknya, orang-orang biasanya hanya 150.000 untuk dapat surat nikah.
Sudah termasuk untuk bayaran buat penghulu dan ongkos ngetik surat.
Sekarang dia mesti bayar dua kali lipat. Tak apalah, yang penting bers,
pikirnya. Toh nanti, di kota, dia bakal segera mendapat gantinya. (86,
2011:133)
Setelah menikah, Arimbi dan Ananta tinggal di kamar Arimbi. Bu Danti
sebagai panitera pengadilan, menyuruh Arimbi menemui penghubung dan
pengacara terdakwa di sebuah restoran. Arimbi segera datang ke restoran tersebut,
lalu dia berbicara dengan pengacara dan penghubung, yaitu Sasmita dan Rudi.
Sasmita menyerahkan sebuah koper yang berisi uang dua milyar kepada Arimbi.
Ternyata, mereka hendak menyogok tiga hakim untuk memenangkan perkara
kliennya. Bu Danti menghubungkan dengan tiga orang hakim pemutus perkara.
Masing-masing hakim meminta lima ratus juta. Sisanya komisi untuk Bu Danti.
Setelah sampai di rumah Bu Danti, Arimbi langsung menyerahkan koper
itu kepada Bu Danti. Dia membuka koper itu dan menghitung uangnya. Kemudian
dia memberikan komisi Arimbi. Tiba-tiba, pintu diketuk, petugas KPK masuk ke
rumah Bu Danti. Bu Danti gelagapan dan menyuruh pembantu menyembunyikan
Universitas Sumatera Utara
Page 74
koper di kamarnya. Petugas KPK menggeledah seluruh ruangan rumah. Kamar
pembantu juga digeledah dan ditemukan uang sogokan milyaran itu. Bu Danti
sudah lama menjadi incaran KPK, tetapi baru kali ini mereka bisa menangkap
tangan perbuatan Bu Danti. Sial bagi Arimbi, dia terjerat dalam masalah ini.
Arimbi mengaku sebagai bawahan Bu Danti, dia ikut digeledah dan petugas
menemukan sejumlah uang di dalam tasnya. Arimbi dan Bu Danti diseret ke
tahanan.
4.2.2.1.3 Konflik Mulai Meningkat
Konflik mulai meningkat saat Arimbi dan Bu Danti ditahan di sel polisi.
Di sel ini mereka tidak banyak bicara. Keesokan harinya Bu Danti pindah ke
ruang tahanan yang ber-AC. Arimbi meminta kepada Bu Danti agar dia juga ikut
pindah. Bu Danti dengan tegas mengatakan, jika ingin pindah kamar harus punya
uang. Bu Danti mengatakan delapan enam. Arimbi harus bersesak-sesak dengan
sejumlah tahanan lain karena tidak punya uang.
Seorang pengacara yang kenal baik dengan Arimbi mengajukan diri selaku
pembela Arimbi dengan cuma-cuma. Adrian nama pengacara itu. Motifnya, ingin
tenar karena membela tersangka koruptor. Adrian berharap akan banyak koruptor-
koruptor berduit lain yang tertarik menggunakan jasanya sebagai pembela mereka
nanti.
Pengacara Bu Danti mengajak kerjasama dengan Adrian. Mereka akan
memberikan uang lima ratus juta kepada Adrian agar Arimbi mau mengubah
kesaksiannya. Adrian menyampaikan tawaran itu kepada Arimbi. Demi uang,
Universitas Sumatera Utara
Page 75
Arimbi rela untuk meniadakan keterlibatan Bu Danti dalam kasus tersebut. Arimbi
menekan kemarahannya dan menerima tawaran Bu Danti.
Hari-hari berikutnya Arimbi harus menghadapi sidang sendirian. Dia
didampingi oleh seorang pengacara dari bantuan negara. Hakim tipikor yang
menangani kasus Bu Danti dan Arimbi tidak bisa disogok, berbeda dengan hakim
yang ada di tempat kerja Arimbi. Akhirnya, Bu Danti divonis tujuh tahun, Arimbi
empat setengah tahun.”...Arimbi merasakan sesak di dadanya. Selama itu ia akan
hidup dalam tahanan. Tapi diam-diam ada rasa puas yang tipis bermain-main
dalam benaknya. Hakim itu tak bisa dibeli. Perempuan itu dihukum lebih berat
darinya” (86, 2011: 170).
Arimbi dan Bu Danti dibawa ke penjara perempuan di Jakarta Timur.
Arimbi berkenalan dengan Tutik di penjara. Tutik adalah kepala kamar yang
ditempati Arimbi. Walaupun di dalam penjara, tetapi Tutik masih bisa mengirim
uang untuk anak dan orang tuanya di kampung. Semua dikumpulkan di penjara.
Jatah dari sesama tahanan yang mendapat besukan, setoran dari tahanan yang
punya banyak uang, juga berbagai pekerjaan yang dilakukan di penjara. Tutik
juga bekerja sebagai pembantu Bu Danti untuk membersihkan kamar, menyetrika
dan mencuci. Dia mendapat upah lima ratus ribu setiap bulan dari Bu Danti.
Bu Danti tinggal di ruangan atas. Tempat tidurnya besar dan empuk. Di
kamarnya ada TV berwarna ukuran besar. Di ruangan itu juga ada dapur dengan
kompor gas dan oven listrik. Kulkasnya dua pintu yang selalu penuh dengan
makanan. Ruangan itu selalu dingin karena ada AC-nya. Kamr mandi ada di
Universitas Sumatera Utara
Page 76
dalam ruangan itu. Kamar mandi itu baru dibuat begitu Bu Danti menempati
ruangan itu. Kamar mandinya kecil tapi bagus dan serba otomatis.
4.2.2.1.4 TahapKonflik memuncak
Cerita ini sampai pada klimaksnya, ketika suatu hari, Arimbi mendengar
kabar bahwa ibunya masuk rumah sakit dan harus dioperasi karena penyakit
ginjal. Ayahnya sudah menjual kebun jeruknya untuk biaya operasi, tetapi setiap
seminggu sekali ibunya harus cuci darah. Setiap cuci darah memerlukan uang
satu juta. Mereka membutuhkan uang empat juta setiap bulannya.
Tutik melihat Arimbi sedih memikirkan hal itu. Lalu Tutik menghibur
Arimbi dengan melakukan sesuatu terhadap tubuh Arimbi. Tutik berjanji akan
meminjamkan uang kepada Arimbi. Arimbi tidak dapat menolak permintaan
Tutik, selain dia kasihan kepada Tutik, sebenarnya dia juga butuh hiburan. Setelah
kejadian ini, Arimbi dan Tutik kerap saling memuaskan diri tatkala tahanan lain
sudah lelap tertidur.
4.2.2.1.5 Tahap Pemecahan Masalah
Tahap pemecahan masalah dalam cerita ini dihadirkan pengarang melalui
tokoh Tutik yang memperkenalkan Arimbi kepada Cik Aling. Cik Aling adalah
wanita tahanan lama yang memproduksi sabu-sabu di dalam penjara. Ia
membayar sipir-sipir agar bahan-bahan tersebut bisa masuk. Dari penjara ini Cik
Aling meracik dan mengedarkannya ke luar penjara. Cik Aling punya orang-orang
yang bisa menjualnya. Tutik memanfaatkan Arimbi agar mau menerima tawaran
Universitas Sumatera Utara
Page 77
Cik Aling. Imbalan yang didapat cukup untuk membayar pengobatan ibunya
setiap bulan. Lalu Arimbi menawarkan pekerjaan ini kepada Ananta suaminya.
Ananta hanya mengantarkan pesanan saja ke hotel-hotel yang dirujuk oleh Cik
Aling.
Arimbi menyampaikan tawaran Cik Aling kepada Ananta untuk mencari
pelanggan. Perlu waktu lama bagi Ananta untuk menawarkan barang tersebut.
Sampai suatu hari dia berkenalan dengan seorang pelajar STM yang bernama
Dodi. Dari dodi, perjalanan ini dimulai sampai akhirnya Ananta mempunyai tujuh
orang pelanggan yaitu teman sekolah Dodi. Dari pesanan ini, Ananta mendapat
tambahan penghasilan sekitar lima juta enam ratus ribu tiap bulan.
Seorang sipir memanggil Arimbi pada Agustus 2007. Dia menjanjikan
kepada Arimbi untuk bebas dini dengan persayaratan Arimbi harus membayar
lima belas juta. Peristiwa ini didukung oleh percakapan antara Arimbi dengan
seorang sipir sebagai berikut:
“jadi saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar.
“Biaya semuanya bersih 15 juta.”
“Gede banget, Bu! Mana ada tahanan yang sanggup bayar uang
segitu? Paling Cuma orang-orang elite itu saja yang bisa.”
“Ya, kitakan sudah pilih-pilih. Nggak semua orang bisa dapat
jatah. Ini kamu dapat jatah kok masih protes.”
Bukan protes, Bu.tapi kalau sebesaritu kok ya rasanya terlalu
berat.”
“Kitakan sudah hitung semuanya. Kamu masih punya gaji, masih
punya suami. Masih sama-sama muda. Duit segitu buat bebas cepat ya
nggak ada apa-apanya. Ya terserah, kalau nggak mau. Tunggu saja dua
tahun lagi.” (86, 2011:217)
Hari kebebasan itu tiba. Tepat di bulan Desember. Surat kebebasan
Arimbi telah diserahkan kepala penjara. Namun, dia wajib melapor seminggu
sekali, hingga dua tahun ke depan. Ia bersalaman dan berpelukan dengan semua
Universitas Sumatera Utara
Page 78
orang yang dikenal. Tetapi tidak dengan Bu Danti. Saat berpapasan di lapangan,
mereka tidak mau saling berpandangan.
Arimbi melahirkan bayinya setelah tiga hari kepulangan Ananta.
Perempuan dengan kulit merah dan rambut tebal. Arimbi menangis tersedu-sedu
saat perawat meletakkan bayi itu di dadanya. Dia lupa pada sakit yang dilaluinya
hampir tiga jam. Hanya ada rasa haru, bahagia dan tidak percaya. Dielusnya bayi
itu, ditelusurinya setiap sudut tubuhnya.
Setelah kelahiran anaknya, Arimbi mulai takut dengan penjara. Dia tidak
mau lagi menjenguk Tutik. Tidak ada lagi rasa rindu. Arimbi ingin mendidik
anaknya dengan baik. dia menyuruh Ananta berhenti untuk menjual sabu-sabu.
Dengan modal yang sudah mereka kumpulkan, Arimbi membuka toko kecil-
kecilan di depan rumahnya.
Arimbi menerima uang lima belas juta dari Ananta sebagai uang muka,
nanti sisanya akan diberikan Cik Aling saat Ananta pulang. Arimbi selau gelisah
saat Ananta pergi. Dalam segala kekhawatirannya tiba-tiba suara telpon berbunyi.
Arimbi segera mengangkat telepon itu. Ternyata itu suara Tutik. Tutik sudah
lama menunggu kesempatan ini tiba. Di saat Ananta keluar kota. Namun, Arimbi
tidak mau menuruti kemauan Tutik untuk datang ke penjara. Dia mengatakan
anaknya masih kecil, tidak bisa ditinggal karena tidak ada yang menjaga.
Uang dari Cik Aling mereka pergunakan untuk membeli sebuah mobil
kijang model lama yang bisa digunakan untuk mengangkat belanja bahan
keperluan toko. Sisanya mereka belikan barang belanjaan, sehingga isi toko itu
penuh. Arimbi tidak lagi menuntut supaya Ananta berhenti menjual sabu-sabu
Universitas Sumatera Utara
Page 79
karena semuanya sudah berjalan dengan baik. sampai suatu hari Arimbi melihat
gambar suaminya di televisi sedang digiring polisi. Suara di televisi menyebutnya
sebagai pengedar. Arimbi merasakan seperti pukulan keras di kepalanya. Lalu
dadanya terasa sesak. Dia tidak bisa menangis. Semua ruang terasa gelap. Suara
anaknya menyadarkannya, yang dapat dilihat dari kutipan berikut:
...Sesak. Sakit. Tapi tak tahu itu apa. Arimbi tak mengeluarkan air
mata. Ia juga tak tahu hendak melakukan apa. Semua yang ada di
sekelilingnya hanya seperti ruang hampa yang tak memiliki makna. Dia
seperti tersesat di tempat gelap. Dia menyerah. Tak mau bersusah-susah
mencari celah.
Suara jeritan menyadarkannya. Anaknya terbangun. Tangisan
anaknya semakin keras. Arimbi tersadar. Ia bergegas ke kamar,
mengangkat anaknya dari tempat tidur. Ditimang-timangnya anak itu. Tapi
tangisnya malah semakin keras. Air mata Arimbi meleleh.
“Kita ke sana ya, Nak. Ketemu ayah ya, Nak. Kita tetap sayang
ayah ya, Nak...” (86, 2011:252)
4.2.2.1.6 Tahap Penyelesaian
Tahap penyelesaian alur dalam novel ini diserahkan pengarang kepada
pembaca. Novel ditutup hanya dengan menampilkan tokoh Arimbi dengan
anaknya yang akan pergi ke penjara untuk menemui suaminya. Pembaca bisa
memprediksi bahwa uang Arimbi akan habis untuk menyogok kasus Ananta
suapaya hukumannya bisa ringan. Akan terjadi lagi peristiwa di dalam penjara
seperti yang dialami oleh Arimbi. Seperti lingkaran setan yang tidak
berkesudahan.
Universitas Sumatera Utara
Page 80
4.2.2.2 Struktur Fisik, Ras, dan Relasi Gender Novel 86
4.2.2.2.1 Struktur Fisik
Struktur fisik dalam novel 86 dapat dilihat melalui tokoh utama dan tokoh
pendukung dalam cerita ini. Tokoh utama dalam cerita ini adalah Arimbi.
Sedangkan tokoh pendukung dilihat melalui penggambaran fisik Bu Danti, Anisa,
Wahendra, Ananta, Adrian,Tutik, Narno, Widodo, dan orang tua Arimbi. Arimbi
berinteraksi dengan tokoh pendukung, sehingga cerita ini terjalin dengan baik.
Arimbi adalah tokoh utama dalam cerita ini. Dia bekerja di kantor
pengadilan di Jakarta. Badannya sintal dan mukanya putih. Cara berpikirnya
sederhana. Hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ketika atasannya Bu Danti
memberi sebuah AC, pikirannya terbuka. Dari sini Arimbi memulai permainan
delapan enamnya. Permainan di kantor tempat dia bekerja menjadikan dirinya
yang semula lugu berubah menjadi sistem dalam permainan itu. Ananta, suaminya
juga mendukung hal tersebut. Ini menjadikan Arini semakin berani. Kebutuhan
hidup yang meningkat membuat Arimbi menjadi lebih nekad. Dia masuk penjara
karena kasus suap. Dia merasa dijebak oleh Bu Danti. Di penjara, dia menjadi
lesbian.
Bu Danti adalah atasan Arimbi, Anisa, dan Wahendra. Dia ketua panitera
di dalam beberapa kasus. Dia bisa membantu menyelesaikan perkara dengan
menyogok hakim dan jaksa. Dia seorang makelar kasus. Dia berusia 45 tahun.
Dia seorang yang segar dan cantik. Tubuhnya gemuk, tetapi penampilannya
menarik dan modis. Sepatu dan tas selalu disesuaikan dengan warna seragam yang
dipakainya. Mukanya putih mengkilap dengan tata rias yang lengkap. Rambutnya
Universitas Sumatera Utara
Page 81
sebahu dan disasak dibagian samping dan atas. Dai selalu memakai giwang,
kalung, dan cincin yang berhiaskan intan dan mutiara. Ada juga yang polos tanpa
hiasan apa pun seperti dapat dilihat pada kutipan berikut:
Diusianya yang sudah 45 tahun, Bu Danti selalu segar dan cantik.
Badannya subur dengan lemak yang menggelembung di perut dan lengan.
Dia selalu terlihat modis meski menggunakan seragam. Sepatu dan tasnya
selalu berganti setiap dua hari sekali, menyesuaikan dengan warna
seragam yang dipakainya. Mukanya putih mengilap dengan tata rias yang
lengkap. Pemulas mata, perona pipi, lipstik hingga pulasan maskara dan
pembuat bingkai mata, semuanya terpoles sempurna. Rambutnya yang
sebahu disasak sebagian, tepat di bagian samping dan atas. Tak pernah ia
lupa memakai kalung, giwang, dan cincin. Ada yagn berhias intan, ada
yang mutiara, ada juga yang emas kuning polos tanpa hiasan apa pun. (86,
2011:26)
Anisa adalah teman sekantor Arimbi yang sama-sama bawahan Bu Danti.
Umurnya lebig tua tiga tahun dari Arimbi, tetapi dia tampak seumuran dengan
Arimbi. dia berasal dari timur Inodnesia. Anisa adalah teman akrab Arimbi.
Anisa sudah bersuami dan mempunyai seorang anak yang berumur tiga tahun.
Suaminya juga pegawai negeri yang bekerja di Sekretariat Negara. Dalam
“bermain” di pengadilan Anisa lebih pintar dari Arimbi.
Ananta seorang yang luwes dalam bergaul. Gaya bicaranya lucu, sehingga
menyenangkan untuk diajak berbicara. Dia juga seorang yang romantis. Ananta
bekerja sebagai tukang survei kredit sepeda motor. Penghasilannya yang pas-
pasan. Dia adalah suami Arimbi. Ananta sangat sayang kepada Arimbi. Dia tidak
pernah selingkuh, meskipun Arimbi di penjara. setelah Arimbi di penjara, dia
bekerja untuk Cik Aling sebagai tukang antar sabu-sabu ke pelanggan Cik Aling.
Di samping itu, dia juga pengedar sabu-sabu.
Universitas Sumatera Utara
Page 82
Tutik adalah kepala kamar penjara yang ditempati oleh Arimbi. Dia
berasal dari Wonogiri. Umurnya lebih tua tiga tahun dari Arimbi. Badannya besar
dan tinggi. Tenaganya juga kuat, dia diisukan masuk penjara karena menghajar
orang. Padahal, dia tidak galak dan tidak pernah menghajar orang, tetapi cukup
dihormati oleh semua penghuni penjara. Pembawaan Tutik Yang ramah, mudah
membuka pembicaraan dengan orang lain. Dia selalu ramah dan baik pada
Arimbi. Sifat buruknya adalah dia punya kecendrungan lesbian. Dia masuk
penjara karena dituduh menyakiti majikannya. Seperti kutipan berikut:
Tutik adalah kepala kamar yang ditempati Arimbi. Setiap kamar
memang ada kepalanya. Biasanya orang yang paling ditakuti, yang punya
badan paling besar atau yang sudah tinggal paling lama di penjara ini.
Biasanya mereka galak, suka memerintah, dan gampang menghajar orang.
Badan Tutik memang besar, tetapi dia tak galak dan tak pernah menghajar.
Tutiklah yang banyak membantu dan memberi tahu Arimbi sejak pertama
kali datang ke sel itu.
Tutik sudah tiga tahun di penjara. Asalnya dari Wonogiri, lebih tua
tiga tahun dari Arimbi. Karena merasa berasal dari daerah yang
berdekatan, sejak awal dia selalu ramah dan baik pada Arimbi. Sesekali
mereka berdua berbicara dalam bahasa Jawa.... (86, 2011:175)
4.2.2.2.2 Struktur Ras
Struktur ras dalam novel ini mengacu kepada kehidupan masyarakat Jawa
yang terkontaminasi oleh kehidupan di Jakarta. Arimbi yang mewakili masarakat
Jawa terjebak dalam permainan kehidupan ibu kota. Arimbi gadis desa yang lugu
berubah menjadi seorang makelar pengetikan putusan hakim, masuk penjara
karena kasus suap, dan menjadi seorang biseksual. Jakarta sebagai ibu kota
negara, sudah barang tentu menampilkan ras yang multi kulturalisme. Bu Danti
beragama Nasrani, Arimbi beragama Islam. Anisa beragama Islam dan berasal
Universitas Sumatera Utara
Page 83
dari Makassar. Ada juga yang keturunan Cina, seperti Cik Aling dan beberapa
orang yang berkasus di kantor pengadilan tempat Arimbi bekerja.
4.2.2.2.3 Relasi Gender
Terdapat beberapa relasi gender dalam novel ini, yaitu relasi gender antara
atasan dengan bawahan, suami dengan istri, orang tua dengan anak, hubungan
dagang, pertentangan kelas sosial, hubungan seksual di luar pernikahan, hubungan
seksual menyimpang, dan kesetaraan gender. Berikut akan dijelaskan satu persatu.
Relasi gender antara atasan dengan bawahan dapat dilihat melalui
hubungan Bu Danti dengan Arimbi dan Bu Danti dengan Tutik, Kedua relasi ini
terikat melalui hubungan kerja. Bu Danti dan Arimbi sama-sama bekerja di
Kantor Pengadilan. Bu Danti lebih tinggi kedudukannya dari Arimbi. Bu Danti
sebagai ketua panitera dalam menangani beberapa kasus, sedangkan Arimbi
sebagai juru ketik putusan hakim. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
Arimbi mulai membongkar tumpukan kertas di mejanya. Itu semua
baha-bahan yang harus diketik ulang, di rapikan, dan di-fotocopy. Arimbi
membaca kertas-kerta itu sekilas. Memilih mana yang lebih dahulu
dikerjakan. Dia melirik jam, sudah jam setengah dua belas. Jam satu nanti
akan ada sidang yang akan diikutinya. Sambil menguap, Arimbi
mengambil satu berkas yang sudah ditandai dengan kata “segera” oleh Bu
Danti. (86, 2010:27)
Relasi gender suami dengan istri dapat diidentifikasi melalui hubungan
Arimbi dengan Ananta. Mereka pasangan suami istri yang saling mencintai.
Ananta seorang yang setia kepada istrinya. walaupun Arimbi di penjara, Ananta
setiap minggu pergi mengunjungi istrinya. Ananta juga tidak pernah selingkuh.
Kebahagian mereka semakin lengkap setelah Arimbi hamil dan melahirkan
Universitas Sumatera Utara
Page 84
seorang bayi perempuan yang mungil. Kemesraan suami istri ini dapat dilihat
pada kutipan berikut:
Mereka bercinta berkali-kali dalam sehari. Tengah malam sebelum
tidur, pagi-pagi sebelum Ananta berangkat kerja, dan sore hari setelah
Ananta tiba di rumah. Pada hari tertentu mereka makan siang bersama.
Ananta sengaja pulang, lalu makan di kamar. Setelah makan mereka
kembali bercinta. Lalu Ananta kembali berangkat kalau sudah pukul
01.00, dengan baju yang punggungnya sedikit kusut. (86, 2011:223)
Relasi gender orang tua dengan anak terjadi di dalam keluarga Ananta dan
Arimbi. Ananta dan Arimbi adalah anak yang berbakti kepada orang tua dan tahu
membalas budi. Walaupun penghasilan mereka kecil, namun mereka tetap
mengirim uang kepada orang tua mereka setiap bulan. Ketika ibunya sakit ginjal
dan harus cuci darah setiap minggu, Arimbi menanggung semua biaya tersebut.
Relasi gender hubungan dagang dapat dilihat melalui hubungan antara Cik
Aling dengan Tutik dan Cik Aling dengan Ananta. Cik Aling adalah produsen
yang meracik sabu-sabu di dalam penjara.tutik mengedarkan sabu-sabu di dalam
penjara yang diproduksi Cik Aling. Salah satu pelanggan Tutik adalah Bu Danti.
Relasi gender pertentangan kelas sosial dapat dilihat dari fenomena yang
terjadi di dalam kereta api, saat Arimbi dan Ananta pulang kampung. Masyarakat
kelas bawah pada umumnya bekerja sebagai pedangang asongan, pengemis,
pengamen, preman, buruh, bahkan ada yang pengangguran karena di PHK.
Sedangkan masyarakat kelas menengah ke atas diwakili oleh Arimbi, Ananta, Bu
Danti, pengacara, dan Hakim yang disebut sebagai orang kantoran. Pertentangan
kelas sosial dapat dilihat dari pemikiran orang tua Arimbi yang dapat dilihat dari
kutipan berikut:
Universitas Sumatera Utara
Page 85
Orang tua Arimbi berpikir inilah awal dari terwujudnya sebuah
harapan dan doa-doa mereka selama puluhan tahun. Inilah awal dari
tingkat derajat yang lebih tinggi bagi keluarga petani yang tidak pernah
tahu satu huruf pun. Arimbi menjadi awal perubahan itu. Keturnan
keluarga ini tidak akan lagi mengurusi tanah, bekerja dengan baju penuh
kotoran setiap hari. Melalui Arimbi, keluarganya akan memasuki golongan
baru. Golongan orang-orang terpelajar yang terhormat. Orang-rang yang
bekerja dengan pakaian bersih, bertangan halus tanpa otot-otot yang
menonjol, berkulit bersih karena terus berada di dalam ruangan. Arimbi
menjadi orang kantoran. Bukan lagi wong tani seperti orang tuanya. (86,
2011:19)
Relasi gender hubungan seksual di luar pernikahan dapat dilihat melalui
hubungan Tutik dengan majikannya dan Ananta dengan Arimbi sebelum menikah.
Tutik melakukan hubungan ini atas dasar suka sama suka dan saling
membutuhkan. Di awal majikannya sedikit memaksa, namun karena Tutik
seorang janda, birahinya terpancing.
Berbeda dengan Arimbi dan Ananta. Mereka melakukan atas dasar cinta
karena terbukti setelah itu mereka melangsungkan pernikahan. Mereka
melakukannya berulang kali. Arimbi tidak bisa menahan gejolak yang ada di
dalam dirinya, saat Ananta menghampirinya. Seperti yang terlihat pada kutipan
berikut:
Arimbi merasakan tangan Ananta bersusah payah meraih dadanya.
Memaksa masuk ke balik kerah kaus oblongnya yang sempit. Ananta tak
sabar lagi. Dia menarik kaus itu ke atas, dan Arimbi begitu saja
mengangkat kedua tangannya. Kaus itu melewati kepala Arimbi, lalu
dilempar begitu saja. Tiba-tiba Arimbi malu (86, 2011:89).
Relasi gender hubungan seksual menyimpang terbagi dua, yaitu sesama
jenis dan dengan lawan jenis. Relasi gender hubungan seksual menyimpang
sesama jenis terjadi antara Tutik dan Arimbi. Mereka disebut lesbian karena
Universitas Sumatera Utara
Page 86
sama-sama perempuan. Mereka melakukan atas dasar saling membutuhkan.
Selama dalam masa tahanan, Arimbi dan Tutik kerap kali melakukan hal tersebut.
Relasi gender hubungan seksual menyimpang dengan lawan jenis terjadi
antara Ananta dan Arimbi. Hal ini terjadi karena keterpaksaan. Saat Arimbi di
penjara, Ananta sering menjenguk Arimbi. Mereka saling meremas satu sama lain
di ruang besuk, seperti kutipan berikut:
...Awalnya, ketika hasrat itu begitu menggebu dan tak ada cara lain
untuk bertemu, mereka hanya ciuman di ruang besuk yang penuh orang.
Orang-orang itu tak ada yang peduli. Masing-masing sibuk dengan
pembesuknya. Arimbi dan Ananta semakin bergairah. Mereka saling
memainkan tanga, meraba dan meremas (86, 2011:186).
Relasi yang menuntut kesetaraan gender dapat dilihat dari pemeran tokoh
utama dalam cerita ini. Arimbi dan tokoh-tokoh pendamping perempuan lainnya
mendominasi cerita. Tokoh laki-laki hanya dijadikan pelengkap saja. Ananta
diciptakan untuk melengkapi kehidupan Arimbi. nasibnya tergantung kepada
Arimbi. di beberapa peristiwa peran Arimbi lebih menonjol dari Ananta. Ananta
selalu menuruti keinginan Arimbi. seolah-olah Ananta tidak memiliki keinginan
sendiri.
4.2.2.3 Struktur Ruang dan Waktu Novel 86
Novel 86 dibangun oleh struktur ruang dan waktu masa kini dan masa lalu.
Penanda ruang masa kini lebih mendominasi dalam novel ini. Setiap bagian dalam
cerita ini menampilkan ruang dan waktu kejadian. Ruang gerak cerita tergantung
kepada perjalanan kehidupan tokoh utama yaitu Arimbi. Cerita bergerak maju
berdasarkan urutan waktu yang dimulai dari situasi tempat Arimbi bekerja,
Universitas Sumatera Utara
Page 87
menikah, polemik pekerjaan yang menyebabkan Arimbi masuk penjara, dan
kehidupan rumah tangga Arimbi setelah keluar dari penjara.
4.2.2.3.1 Struktur Ruang
Penanda ruang masa lalu dapat dilihat dari bentuk rumah orang tua Ananta
yang diwariskan oleh kakeknya. Tempat Armbi menyewa kamar ketika dia masih
kuliah. Gang tempat Arimbi tinggal terkenal sebagai gang tua. Gang itu dihuni
oleh para janda-janda tua yang tidak mempunyai anak. Usia rumah di gang itu
lebih tua dari usia orang yang menempatinya. “...Bangunannya lusuh dan kusam.
Cat-catnya sudah pudar dan tak pernah diperbaharui lagi. Kayu pintu-pintunya
mulai koyak. Gang ini lebih menyerupai gudang, tempat menyimpan barang-
barang loak yang mulai sayang untuk dibuang. Sama sekali tidak menyisakan
denyut kehidupan dan tanda-tanda kekinian” (86, 2011:17).
Penanda ruang masa kini dapat dilihat dari pemakaian benda-benda seperti
minyak wangi, deodorant, handphone, AC, kulkas, oven, TV berwarna, banguna
rumah Bu Danti yang megah dengan barang-barang mewah di dalamnya, restoran,
motor, bus, dan mobil. Makanan seperti ayam penyet, nasi padang, dan KFC.
Pakaian seperti jas, dasi, tata rias wajah dan rambut. Kemacetan dan demonstrasi
di Jakarta juga menandai masa kekinian, seperti yang terlihat pada kutipan
berikut:
Bus kembali berjalan pelan-pelan menuju arah selatan, lalu
terjebak dalam barisan kenderaan yang sedikit pun tak bisa bergerak. Di
depan sana, ada kerumunan orang membawa spanduk dan poster dengan
bermacam-macam tulisan. Ada juga gambar raksasa orang berseragam
jaksa. Salah satu matanya ditutup dengan spidol warna hitam. Jaksa dalam
Universitas Sumatera Utara
Page 88
gambar itu menjadi bajak laut. Di bawah gambar, tulisan “Jaksa Agung”
dicoret, diganti dengan “Bajak Agung”.
Arimbi meratap dalam hati. Lengkaplah sudah hari ini menjadi hari
buruk baginya. Kopaja ini tak akan bergerak sampai demonstrasi selesai.
Dan dia akan tetap bersedak-desakan terpanggang matahari yang sedang
garang-garangnya. Minyak wangi dan deodoran tidak akan bisa lagi
mengalahkan bau apek dan lengket badan sisa keringat yang keluar selama
di dalam kopaja. (86, 2011:24-25)
Ruang cerita novel 86 mengambil tempat di kota Jarkarta dan Jawa
Tengah. Di Jakarta meliputi Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Tebet, dan Depok. Di
Jawa Tengah tengah meliputi Solo, Klaten dan Ponorogo. Jakarta Selatan adalah
tempat Arimbi dan Bu Danti bekerja di Kantor Pengadilan. Jakarta Timur adalah
tempat Arimbi dan Bu Danti ditahan. Setelah hakim memutuskan perkara Arimbi
dan Bu Danti, lalu mereka di bawah ke penjara khusus wanita di Jakarta Timur.
Rumah Bu Danti ada di Tebet, sekaligus tempat Arimbi dan Bu Danti ditangkap
KPK karena kasus suap. Setelah keluar dari penjara, Arimbi membali rumah yang
tempatnya di Perumahan Citayam yang terletak di pinggiran kota Depok.
Solo adalah tempat Arimbi menamatkan kuliahnya. Dia kuliah di salah
satu perguruan tinggi swasta di Solo. Klaten adalah tempat orang tua Ananta
tinggal. Sebelum Arimbi menikah dengan Ananta, mereka mengunjungi rumah
tersebut. Ponorogo adalah tempat Arimbi dibesarkan sebelum dia melanjutkan
pendidikannya di Solo dan bekerja di Jakarta. Sebelum menikah, Arimbi setiap
tahun pulang ke kampungnya saat lebaran tiba. Arimbi juga menikah di kota ini.
Peristiwa kehidupan dalam novel 86 menggunakan ruang terbuka dan
tertutup sebagai tempat berinteraksi antartokoh. Ruang terbuka di jalan raya, gang,
teras rumah, taman, lapangan Monas, sawah, dan pinggir sungai. Penggunaan
ruang tertutup lebih banyak berperan sebagai daerah kekuasaan masing-masing
Universitas Sumatera Utara
Page 89
antara laki-laki dan perempuan seperti kantor, ruang sidang, ruang kerja, kamar
tidur, kamar mandi, rumah, sel penjara, ruang besuk, ruang VIP restoran, kantin,
ruang tahanan Bu Danti, bengkel, bus, kereta api, stasiun,
Beberapa penanda ruang untuk berinteraksi antartokoh dalam novel ini
dideskripsikan secara jelas oleh pengarang seperti jalan yang macet akibat
demonstrasi, lingkungan Arimbi menyewa kamar, gerbong kereta api, dan
penjara. Berikut adalah salah satu cuplikan yang mendeskripsikan ruang tersebut:
Pintu yang mereka sandari terbuka. Orang-orang berebut masuk
kereta. Ada yang tua ada yang masih anak-anak, laki-laki dan perempuan.
Satu-dua orang memang seperti penumpang. Berbaju rapi dan membawa
tas besar. Sisanya adalah pedagang dan peminta-minta. Mereka berebutan
berjalan di lorong, menawarkan nasi bungkus yang sudah dingin,
minuman, rokok, dan kacang goreng. Sebagian lainnya menyodorkan
tangan ke setiap penumpang. Berdiam lama kalau tak diberi, hingga
akhirnya orang yang dimintai merasa tak enak dan terpaksa memberi. Ada
yang sebisanya memainkan ecek-ecek atau menyanyikan lagu meski tak
terdengar suaranya. Tak beranjak ke kursi lain kalau belum mendapat
recehan. (86, 2011:118)
4.2.2.3.2 Struktur Waktu
Novel ini juga menggunakan penanda waktu hari, bulan dan tahun. Hari
Sabtu dan Minggu adalah hari libur bekerja bagi Arimbi. Hari itu dipergunakan
Arimbi untuk bersantai di kamar kosnya. “... Hari Sabtu dan Minggu semunya
menjadi sedikit berbeda. Saat semuanya begitu cair dan bebas, tanpa ada sekat-
sekat waktu yang menjadi mesin penggerak atas semua yang dilakukannya. Dua
hari itu, jam setengah tujuh pagi tidak lagi menjadi awal kehidupan Arimbi.” (86,
2011: 11)
Universitas Sumatera Utara
Page 90
Senin pertama Juli adalah hari buruk bagi Arimbi. Listrik padam, air di
bak mandi kosong. Arimbi pergi ke kantor tidak mandi. Di jalan dia terjebak
macet sampai dua jam. “...Semuanya cukup lengkap untuk menyebut hari ini
sebagai hari buruk bagi Arimbi. Hari Senin yang dibenci semua orang, hari Senin
yang biasanya penuh pekerjaan, dan hari Senin yang selalu penuh kemacetan di
setiap ruas jalan” (86,2011: 21).
Penanda tahun dapat dilihat di awal cerita yang menggunakan angka tahun
2004. Pada saat itu Arimbi sudah bekerja empat tahun. Rutinitas Arimbi dimulai
sejak dia bekerja empat tahun yang lalu. Tanggal 10 Juli 2004 terjadi sebuah
kasus pemukulan sumi terhadap istrinya. istrinya menolak berhubungan badan
karena sedang sakit. Lalu suaminya menampar istrinya. Arimbi mengikuti kasus
persidangan ini di bulan Februari. Pengarang tidak mencantumkan tahun
persidangan itu dugelar. Namun, bisa diprediksi bahwa sidang itu diadakan tahun
2005.
Di samping penggunaan penanda hari dan bulan, novel ini juga
menggunakan penanda waktu, seperti pagi, siang, sore, dan malam. Secara
keseluruhan, penanda waktu pagi dan malam mendominasi struktur waktu cerita.
Penanda waktu yang lain juga digunakan tetapi waktu penggunaan tidak terus-
menerus, bergantung pada keperluan.
Penanda waktu pagi dan malam dipergunakan secara bersamaan untuk
mengawali dan menutup aktivitas Arimbi setiap hari kerja ketika dia masih
bekerja di Kantor Pengadilan. Waktu malam dihabiskan Arimbi du rumah
kontrakannya dengan menonton TV dan istirahat. Dia tidak pernah keluar rumah.
Universitas Sumatera Utara
Page 91
Waktu malam juga dipergunakan untuk berjalan-jalan, bercengkrama, makan,
dan menghabiskan malam bersama, setelah Arimbi mengenal Ananta. Hal ini
dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan Arimbi setiap hari sebagai berikut:
Di gang kecil ini setiap jam setengah tujuh pagi hidup Arimbi
dimulai. Berjalan diantara orang-orang yang sama tanpa mengenal nama.
Dimulai dari langkah pertamanya keluar dari rumah kontrakan, lalu 250
langkah menuju jalan raya, menunggu bus kecil yang pada beberapa
bagiannya mulai berkarat.
Di gang kecil ini juga, saat hari mulai gelap, hidup Arimbi
berakhir. Ia berada di antara orang-orang yang muncukl di pinggir jalan
raya. Melangkah cepat-cepat, berebut mencari celah, mengulang kembali
yang terjadi pada pagi hari. Bau minyak wangi murahan telah berganti
dengan bau kecut dan penyuk. Muka-muka yang tadi pagi berbedak dan
berlipstik merah menjadi penuh minyak. (86, 2011:10)
Penanda waktu siang dapat dilihat dari aktivitas Arimbi untuk makan siang
dan menghadiri jadwal persidangan jika ada. Jam dua belas Arimbi meninggalkan
pekerjaannya dan menuju ke kantin untuk makan siang. Jam satu siang Arimbi
memasuki ruang sidang. “... Jam menunjukkan angka satu lewat lima menit saat
tiga orang hakim muncul dari pintu di belakang Arimbi. Ruang sidang yang
tadinya penuh dengungan kini senyap” (86: 33).
Penanda waktu sore dipergunakan pengarang untuk mengakhiri pekerjaan
Arimbi di kantor setelah Arimbi mengenal Ananta. Jam tiga sore, pikiran Arimbi
sudah meloncat-loncat melewati pagar pengadilan. Dia sudah tidak konsentrasi
lagi mengerjakan pekerjaan kantornya. “...Arimbi mulai mengemas barang-
barangnya mulai jam empat. Diam-diam dia segera meninggalkan mejanya,
menyusul Anisa yang selalu pulang lebih dahulu darinya. Ananta sudah
menunggu di depan pagar. Mereka tiba di rumah saat hari masih terang. Di kamar
Arimbi mereka menonton TV berdua” (86: 90).
Universitas Sumatera Utara
Page 92
4.2.2.4 Struktur Transmisi Narasi
Struktur transmisi narasi merupakan sesuatu yang berhubungan dengan
teknik yang dpergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan
makna karya artistiknya kepada pembaca. Dengan teknik ini, pembaca dapat
menerima dan menghayati gagasan pengarang. Struktur transmisi narasi secara
garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam, yaitu persona pertama dengan
gaya “aku” dan persona ketiga dengan gaya “dia” dengan berbaghai variasinya.
Novel 86 dibangun oleh struktur transmisi narasi orang ketiga. Pengarang
memilih Arimbi, untuk melukiskan panasnya permainan kasus suap yang tidak
hanya di tempat dia bekerja yaitu di kantor pengadilan tetapi di berbagai tempat di
sekitar kehidupan Arimbi. Pengarang memilih tokoh yang lugu, khususnya
Arimbi yang berasal dari kampung yang masih polos. Dia menrima komisi karena
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setiap bulan. Gaji PNS tidak mencukupi.
Pelukisan dari sudut pandang orang yang buta politik, justru memberikan efek
yang lain, walaupun pelukisannya sederhana seperti yang ada di dalam pemikiran
Arimbi.
Pengarang menggunakan struktur transmisi narasi orang ketiga “dia”
sebagai pengamat. Pengarang menumpahkan perhatian hanya pada tokoh Arimbi
tentang yang dilihat, di dengar, dirasakan, dan dialami Arimbi. Arimbi merupakan
fokus dan pusat kesadaran cerita. Tokoh cerita yang lainnya seperti Bu Danti,
Ananta, dan Tutik, tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya
seperti halnya tokoh Arimbi. Berbagai peristiwa dan tindakan yang diceritakan
Universitas Sumatera Utara
Page 93
disajikan lewat pandangan Arimbi yang sekaligus berfungsi sebagai filter bagi
pembaca.
Struktur transmisi narasi yang dipilih oleh Okky dalam novel ini,
menyebabkan pengarang menjadi objektif. Narator bahkan hanya menceritakan
segala sesuatu yang dapat dilihat dan didengar atau yang hanya dapat dijangkau
oleh indra saja. Narator seolah-olah berlaku sebagai kamera yang berfungsi untuk
merekam dan mengabadikan suatu objek yang dalam cerita ini diwakili oleh
kehidupan Arimbi. Narator telah memaparkan seluruh yang dilihatnya melalui
kehidupan Arimbi, namun untuk sampai kepada hal-hal yang kadar ketelitiannya
harus diperhitungkan, diserahkan pengarang kepada pembaca.
Narator tidak memberikan komentar yang bersifat subjektif terhadap
persitiwa dan tindakan Arimbi dan tokoh-tokoh lainnya. Narator hanya berlaku
sebagai pengamat, melaporkan sesuatu yang dialami atau dijalani oleh Arimbi
yang menjadi fokus atau pusat arus kesadaran cerita. Narator sama kedudukannya
dengan pembaca, dia berada di luar cerita.
4.2.3 Realita Fiksi Novel Maryam
4.2.3.1 Struktur Plot Novel Maryam
Alur yang digunakan pada novel Maryam ini adalah alur campuran.
Percampuran antara alur maju dan alur mundur. Awalnya adalah kisah Maryam
menuju kampung halamannya dengan keinginan kelauarganya mau menerima
kehadirannya kembali. Kemudian, kembali ke masa lalu ( alur mundur ) sebelum
ia meninggalkan rumah, suami, dan keluarganya. Lalu alur berganti maju saat
Universitas Sumatera Utara
Page 94
narator menceritakan kehidupan Maryam setelah kembali di tengah keluarganya
dan menjalani hidup yang tidak mudah. Penuh dengan liku-liku dan perjuangan
yang keras untuk mempertahankan akidahnya.
4.2.3.1.1 Tahap Pengenalan
Cerita dimulai dengan memunculkan masalah yang dihadapi oleh Maryam.
Maryam ingin pulang ke kampung halamannya, setelah lima tahun dia tidak
pernah menginjakkan kakinya di kampung itu lagi. Keinginan ini tiba-tiba saja
muncul dibenaknya. Setelah bercerai dengan Alam, Maryam tidak tahu harus
pergi kemana, kecuali pulang ke kampungnya dan meminta maaf kepada kebua
orang tuanya. Dia berharap orang tuanya mau menerimanya kembali, setelah
menyakiti hati mereka karena menikah dengan orang yang tidak sefaham dengan
ajaran mereka. “Januari 2005 Apa yang diharapkan orang yang terbuang pada
sebuah kepulangan? Ucapan maaf, ungkapan kerinduan, atau tangis
kebahagiaan?...Sudah lewat lima tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di
pulau ini” (My, 2012:13).
Ingatan-ingatan masa lalu muncul dalam benak Maryam, mulai dari saat ia
bersekolah SMA dan akhirnya melanjutkan pendidikan ke Universitas Airlangga,
Surabaya. Pertemuannya dengan Gamal dan perceraiannya dengan Alam. Semua
itu tersaji dalam ingatan Maryam dengan utuh. Maryam yang terlahir sebagai
seorang Ahmadi, sejak remaja telah memelihara ketakutan. Dia tdak mau
mengalami kejadian seperti teman-temannya yang harus menanggung malu dan
Universitas Sumatera Utara
Page 95
kesedihan karena menikah dengan orang yang berbeda keyakinan. Hal ini dapat
diidentifikasi dari kutipan berikut:
Orang Ahmadi lainnya, Rifki menanggung malu saat lamaran. Ia
datang bersama keluarga besar, memenuhi janji pinangan yang telah
dirancang berbulan-bulan. Tapi di tengah acara, ayah sang gadis berkata
lantang, ia tak mau anak perempuannya menikah dengan orang sesat.
Anaknya menangis histeris, sambil berusaha menyuruh ayahnya diam.
Ibunya terisak. Rifki tersinggung. Betapapun besarnya cinta pada kekasih,
Rifki tak terima keluarganya dipermalukan seperti itu. Pertengkaran hebat
terjadi. Keduanya saling ngotot, tak mau mengalah. Rifki hilang
kesabaran. Ditonjoknya muka calon mertua. (My, 2012: 20)
Itulah sebabnya Maryam tidak berani pacaran. Sampai lulus SMA tahun
1993, dia berangkat ke Surabaya. Dia diterima di Universitas Airlangga, Fakultas
Ekonomi jurusan Akutansi. Maryam tinggal di rumah Pak dan Bu Zul. Mereka
penganut Ahmadi juga. Pak Zul adalah teman ayah Maryam sampai SMP. Pak
Zul merantau ke Surabaya dan bersekolah di sana.
4.2.3.1.2 Tahap Keadaan Mulai Berkonflik
Tahap pemunculan konflik digambarkan pengarang dengan menggunakan
alur mundur. Konflik muncul, saat Maryam kuliah dan tinggal jauh dari orang
tuanya. Ia tinggal di Surabaya bersama Pak Zul dan Bu Zul. Perkenalan dengan
pemuda Ahmadi bernama Gamal membuat Maryam gembira, tetapi hal itu tidak
berlangsung lama. Sikap Gamal mulai berubah sejak Gamal pulang dari penelitian
di Banten untuk menyelesaikan skripsinya. Gamal yang selama ini sangat patuh
kepada orangtuanya, mulai berdebat. Gamal menuduh orangtuanya sesat. Gamal
tentu juga meninggalkan Maryam.
...Baru kemudian, ketika Alam datang, Maryam kembali
merasakan apa yang dirasakannya saat mulai dekat dengan Gamal.
Universitas Sumatera Utara
Page 96
Maryam juga sengaja membanding-bandingkan keduanya. Wajah mereka
yang hampir mirip, sifat dan perilaku yang serupa dan nama mereka yang
tak jauh berbeda: Gamal dan Alam. Maryam jatuh cinta. Satu-satnya yang
dia pikirkan adalah jangan sampai yang baru didapatnya itu terlepas. Ia tak
mau lagi mengulang masa-masa kehampaan yang melelahkan ketika
kehilangan Gamal. Dengan Alam, dia tak mau berpikir apa-apa lagi, selain
ingin berdua selamanya. (My, 2012: 25)
Alam memberanikan diri menceritakan tentang latar belakang Maryam.
Ibunya berteriak histeris, saat Alam mengatakan Marya seorang Ahmadi. Ibunya
kecewa dan marah. Kedua orang tuanya menyuruh untuk meninggalkan Maryam.
Setiap tidakan Alam selalu diperhatikan ibunya. Dia mau memastikan Alam sudah
berpisah dengan Maryam. Alam kembali memujuk ibunya. Dia mengatakan
bahwa Maryam tidak seperti penganut Ahmadi lainnya. Maryam selalu sholat
bersamanya dan tidak menolak sholat di mesjid mana pun. Dia juga tidak pernah
mengikuti pengajian-pengajian Ahmadi. Maryam hanya kebetulan saja terlahir
dari keluarga Ahmadi. Alam mengatakan Maryam juga bersedia meninggalkan
keyakinannya, jika mereka sudah menikah nanti.
Alam mengiba. Memohon pengertian dan kasihan dari bunya. Ia
berjanji akan membawa Maryam ke jalan yang benar. “Bukankah justru itu
kemuliaan seorang laki-laki?”
Pertanyaan Alam membuat ibunyapenuh keharuan. Perempuan itu
luluh. Ia percaya pada anak kesayangannya. Lagi pula dua minggu ini ia
melihat sendiri bagaimana Alam yang dirundung kerisauan. Tak sampai
hati dia membiaarkan Alam seperti itu berkepanjangan. Ia yakin, Alam
akan membawa Maryam ke jalan yang seharusnya. Tapi dia mengajukan
syarat. Ia ingin bertemu Maryam dan bicara dengannya lebih dulu. Alam
mengiyakan. (My, 2012: 39)
4.2.3.1.3 Tahap Konflik Mulai Meningkat
Konflik mulai meningkat ketika Maryam akhirnya menikah dengan Alam
melalui seorang wali nikah. Pernikahan itu tidak direstui orang tua Maryam,
Universitas Sumatera Utara
Page 97
karena Maryam memutuskan untuk keluar dari ajaran Ahmadi dan mengikuti
keyakinan Alam. Maryam meninggalkan semua keluarga dan saudaranya. Dia
tidak pernah pulang ke Lombok. Dia tidak pernah menelepon dan mengirim surat.
Orang tuanya pun demikian juga. Mereka menganggap anak perempuannya telah
hilang. Mereka kecewa dan menyayangkan keputusan Maryam.
Pernikahan itu akhirnya kandas. Belum genap lima tahun menikah, mereka
tidak dikaruniai anak. Maryam tidak tahan atas perlakuan mertuanya kepadanya.
Maryam juga kecewa terhadap suaminya. Dia menganggap suaminya tidak tulus
mencintainya. Maryam memilih bercerai dan dia kembali menyusuri kampung
halamannya, menemui orang tuanya.
Dia mengetuk pintu rumah tersebut. Pak Jamil, orang yang dulu bekerja
pada ayahnya keluar menemui Maryam. Pak Jamil bercerita, hingga ia
mengetahui kejadian buruk yang menimpa keluarganya saat ia meninggalkan
mereka. orangtuanya diusir karena dianggap mereka sebagai orang-orang sesat.
Ayahnya memilih pergi meninggalkan desa, daripada mereka dibakar hidup-
hidup. Rasa bersalah menggelayuti hati Maryam. Ia lalu mencari keberadaan
orang tuanya. Melalui ketua organisasi mereka, Zulkhair, Maryam mengetahui
bahwa ayahnya tinggal di Gegarung. Zulakhir menceritakan bagaimana orang tua
Maryam terusir dari kampungnya dan orang-orang Ahmadi lainnya yang berada di
luar kampung Gerupuk.
Maryam menangis saat bertemu dengan ibunya. Ibunya juga terharu
melihat Maryam. Mereka berdua menangis sambil berpelukan. Adiknya, Fatimah
juga meneteskan air mata. Mereka sekeluarga larut dalam duka nestapa. Lalu
Universitas Sumatera Utara
Page 98
Maryam menceritakan semua yang menimpa dirinya. Orang tua Maryam tidak
marah kepadanya, bahkan mereka mererima Maryam kembali dengan tangan
terbuka. Maryam sangat bersyukur, ternyata keluarganya menerimanya dengan
baik.
4.2.3.1.4 Tahap Konflik Memuncak
Tahap Klimaks digambarkan oleh pengarang dengan menghadirkan
pernikahan Maryam dan Umar. Pak Khairuddin membuat persiapan untuk upacara
pernikahan Maryam dan Umar. Meski yang diundang hanya sesama anggota
Ahmadi yang sudah biasa bertemu setiap bulan, namun Pak Khairuddin tetap
ingin memberikan yang terbaik. Ini adalah pernikahan pertama yang mereka gelar.
Apalagi Bu Ali termasuk orang terpandang di sesama anggota Ahmadi.
Pernikahan Maryam digelar pada sore hari. Seluruh penghuni keluarga
Ahmadi di komplek itu, berkumpul di rumah Maryam. Beberapa orang membawa
hantaran. Rombongan pihak laki-laki terlihat memasuki rumah Maryam.
Rombongan Perempuan di dalam rumah, sedangkan laki-laki di luar. Sebelum
akad nikah dilangsungkan, mereka mengadakan pengajian terlebih dahulu, baru
dilanjutkan dengan ijab kabul. Umar memberikan alat sholat dan Al Quran
sebagai mas kawin. Usai akad nikah Maryam meneteskan air mata, seperti yang
terlihat pada kutipan berikut:
Umar memberikan alat sholat dan Al Quran sebagai mas kawin.
Saat suara “sah” diucapkan berkali-kali, air mata Maryam menetes.
Bayangan pernikahannya dengan Alam kembali datang. Sangat jelas dan
terasa nyata. Maryam bahkan merasa semuanya hanya pengulangan.
Peristiwa yang sama. Hanya waktu dan tempatnya yang berbeda. Namun,
saat pandangannya bertemu dengan bapak dan ibunya, Maryam tahu ini
Universitas Sumatera Utara
Page 99
bukanlah pernikahan yang dahulu. ...Ia bergerak cepat untuk membuat
bayangan itu segera pergi. Mengikuti petunjuk penghulu untuk
beersalaman, minta restu pada orang tua mereka. saat itulah air matanya
mengalir deras. Menyatu dengan air mata bapak dan ibunya. Lalu bertemu
dengan air mata ibu Umar. (My, 2012: 163-164)
Umar bersikap lembut pada Maryam. Hal ini membuat Maryam
tersanjung. Untuk mencairkan hubungan di antara mereka, Umar mengajak
Maryam ke Sumbawa untuk beberapa hari. Maryam tidak menolak, tetapi di
tengah perjalanan tiba-tiba keinginannya untuk kembali ke Gerupuk muncul. Lalu
dia mengutarakannya kepada Umar. Umar menyambut ajakan Maryam. Dia juga
ingin berkeliling di pulau ini.
Maryam mengajak Umar ke pantai. mereka menikmati pantai yang indah.
Di situ, Maryam bertemu dengan Nuraini tetangganya di Gerupuk dan teman
lamanya. Teman Maryam sejak sejak SD sampai SMA. Nur berjualan sarung khas
Lombok menawarkan kepada para turis. Mereka bercerita penuh tawa
sebagaimana layaknya dua teman yang sudah lama tidak berjumpa. Nur juga
bercerita bahwa dia baru pulang dari Arab Saudi sebagai TKI. Selama di Arab,
suaminya Wahid, menikah lagi dan sekarang mereka tinggal dalam satu rumah.
Sampai akhirnya mereka bercerita tentang pengusiran keluarga Maryam sekitar
empat tahun yang lalu.
Nurani bersama dengan Maryam dan suaminya berangkat ke Gerupuk.
Maryam langsung menuju ke rumah Nuraini. Maryam bertemu dengan ibu
Nuraini dan istri Wahid yang kedua. Maryam disambut dengan hangat oleh ibu
Nuraini. Namun, tiba-tiba datang Pak RT dan seorang ustaz ke rumah Nuraini dan
mengusir Maryam untuk segera meninggalkan kampung tersebut. Mereka tidak
Universitas Sumatera Utara
Page 100
mau ada orang yang beraliran sesat mengganggu di kampung mereka. Maryam
mengatakan dia hanya ingin bersilaturrahmi, namun Pak RT dengan tegas
menolak Maryam. Maryam akhirnya meninggalkan Gerupuk dengan perasaan
kesal.
Semula Maryam berniat pernikahan ini hanya untuk membahagiakan
membahagiakan orang tua mereka. namun, pernikahan ini berubah menjadi
pernikahan yang penuh cinta. Hingga Maryam mengandung buah cintanya
dengan Umar. Maryam hamil satu bulan. Ibu Umar dan orang tua Maryam tidak
henti-hentinya mengucapkan syukur dengan mata yang berbinar. Maryam
menjalani pernikahan dengan Umar tanpa beban, tanpa harapan, tanpa kewajiban,
tanpa ketakutan. Orang tua mereka telah berlepas tangan. Melihat Maryam dan
Umar bisa hidup berdua dengan tenang sudah menjadi kebahagiaan.
Untuk mengungkapkan rasa syukur atas kehamilan Maryam, orang tuanya
bermaksud untuk mengelar pengajian empat bulanan kehamilan. Memasuki bulan
Oktober, kehamilan Maryam berusia empat bulan. Ramadhan jatuh pada bulan ini.
Orang tua Maryam memilih hari pada pertengahan Ramadhan untuk
melaksanakan pengajiannya. Pengajian akan diakhiri dengan berbuka puasa
bersama.
Jam empat sore semua orang sudah duduk di tempat yang disediakan.
Bapak Maryam membuka acara. Lalu dilanjutkan dengan pengajian dan ceramah
oleh ustaz hingga tiba waktu berbuka puasa. Tiba-tiba rumah mereka diserbu oleh
warga yang melempar batu dari kejauhan. Ada beberapa orang yang terkena. Dua
puluh menit saling melawan, sampai kemudian pasukan polisi datang. Semua
Universitas Sumatera Utara
Page 101
menahan diri, tidak ada lemparan batu dan adu fisik. Semua diam, hanya suara
polisi dengan pengeras suaranya yang terdengar menyuruh semua pengikut
Ahmadi mengungsi, seperti kutipan berikut:
“Semuanya segera ikut kami ke tempat yang aman. Itu sudah kami
sediakan angkutan,” kata komandan polisi itu ketika pintu sudah terbuka.
Perempuan-perempuan itu diam. Tak ada memberi tanggapan.
Semua menunggu suami-suami mereka mengambil keputusan.
“Kami tidak akan pergi!” seseorang yang ada di halaman kembali
berteriak. “Kenapa bukan mereka saja yang disuruh pergi?!”
“Betul! Ini rumah kami. Kenapa kami yang harus pergi?!”
sambung yang lainnya.
Komandan polisi mulai kehilangan kesabaran. “Semua terserah
kalian!” teriaknya. “Kalau memang mau mati semua di sini, silakan! Kam
sudah menawarkan jalan keluar terbaik! Mengungsi dulu biar semuanya
selamat!” (My, 2012: 226-227)
Umar tidak langsung pulang menuju rumahnya. Mereka singgah ke rumah
Pak Zulkhair, pemimpin organisasi mereka. ketika peristiwa semalam terjadi, Pak
Zul tidak di tempat karena sakit. Di tengah pembicaraan, mobil polisi datang.
Semua orang menjadi tegang. Dua polisi menuju ke arah mereka dan
mengucapkan salam dengan ramah. Pak Zul mempersilakan duduk. Pak Zul
mengatakan bahwa kaqntor dan mesjid mereka disegel. Tidak boleh digunakan
lagi, agar tidak ada lagi kerusuhan. Umar dan Maryam terdiam.
Nasib mereka di pengungsian sangat tragis. Ada empat puluh lima kepala
keluarga yang mengungsi, lebih kurang dua ratus tiga puluh orang. Sebulan sekali
ada petugas Dinas Sosial datang. Mereka membawa beras, mi instan, minyak
goreng, dan minyak tanah. Mereka masak di dapur umum yang sempit dengan alat
masak seadanya. Mandi bergantian di kamar mandi yang kumuh. Setiap keluarga
menyekat ruangan tersebut dengan kain. Anak-anak untuk sementara tidak lagi
Universitas Sumatera Utara
Page 102
bisa meneruskan sekolahnya. Sebagian mereka yang mempunyai saudara di luar
kota mengirim anaknya bersekolah di sana.
Anak Umar dan Maryam lahir dalam duka. Seorang bayi perempuan yang
sehat dan sempurna. Mereka memberi nama Mandalika, seperti nama seorang
putri cantik yang ada di dalam dongeng masyarakat Lombok. Syukuran kelahiran
Mandalika diadakan di Gedung Transito. Maryam menyiapkan tumpeng dan
aneka masakan. Hari-hari berikutnya, Maryam sering datang ke Gedung Transito
bersama putrinya untuk mengunjungi keluarganya dan menghibur para pengungsi
lainnya.
Maryam mengusulkan untuk mencoba lagi mendatangi pak Gubernur.
Melihat niat Maryam yang beersungguh-sungguh ingin memperjuangkan nasib
pengungsi, Pak Zul kembali bersemangat. Zulkhair, Maryam, dan Umar datang
menemui Pak Gubernur. Mereka disambut dengan baik dan dipersilahkan duduk.
Gubernur banyak berbicara tentang Dinas Sosial, membantu orang-orang susah
dan pembangunan yang dilakukan sejak dia memerintah. Maryam tidak sabar,
ingin menanyakan tentang nasib pengungsi, kapan mereka boleh pulang ke rumah
mereka. Pak Gubernur tidak bisa memberi jawaban pasti. Demi keamanan, dia
menganjurkan untuk keluar dari Ahmadiyah dan kembali ke Gegarung, atau tetap
di Transito sampai ditemukan jalan keluarnya. “Wajah ketiga tamu Gubernur itu
merah mendengar kata-kata Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata
mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati” (My, 2012: 249).
Gedung Transito sekarang menjadi pusat kegiatan keagamaan mereka.
menggantikan Mesjid Organisasi yang sampai kini tidak bisa digunakan. Usai
Universitas Sumatera Utara
Page 103
sholat Jumat, Zulkhair memaparkan semua rencananya. Katanya ada tawaran dari
London lewat pengurus organisasi di Jakarta. Mereka akan diberikan pinjaman
untuk memulai usaha baru. Mereka tidak bisa hanya tinggal diam saja di sini.
Mereka harus berusaha bangkit sendiri. Apalagi pasokan bantuan dari Dinas sosial
semakin berkurang. Mereka menyambut baik rencana tersebut. Pak Khairuddin
memilih akan berjualan kembali.
Minggu pertama di bulan November, Fatimah sudah berada di Transito
bersama ibunya. Tidak lama kemudian, Maryam datang bersama anaknya.
Beberapa saat kemudian, Maryam dan seluruh pengikut Ahmadi menerima kabar
Pak Khairuddin kecelakaan. Motornya menabrak truk. Maryam merinding,
mereka segera menuju ke rumah sakit. Sepanjang jalan mereka memanjatkan doa.
Sesampai di rumah sakit, mereka menumpahkan tangis, melihat Pak Khairuddin
sudah tidak bernyawa lagi. Kabar kematian Pak Khairuddin bergerak cepat ke
orang-orang di Transito dan seluruh orang Ahmadi di Lombok.
Maryam tergagap ketika ditanya tentang pemakaman ayahnya. Ibunya
mengatakan akan dimakamkan di Gerupuk. Rohmat, ketua RT menolak
pemakaman Pak Khairuddin. Mereka tidak mau orang sesat dimakamkan di situ.
Umar marah, lalu memukul muka Rohmat. Orang-orang Gerupuk langsung
mengeroyok Umar. Zulkhair berteriak agar semua berhenti berkelahi. Zulkhair
mengambil sikap, mengajak Umar pergi dan memakamkan Pak Khairuddin di
Mataram.
Universitas Sumatera Utara
Page 104
4.2.3.1.5 Tahap Pemecahan Masalah
Tahap Pemecahan Masalah digambarkan oleh pengarang melalui suasana
pengungsian yang semakin penuh sesak. Setelah Pak Khairuddin meninggal
dunia, Maryam membawa ibunya ke rumah dengan alasan kondisi Gedung
Transito yang semakin sempit. “Juni 2008 Gedung Transito kian hari kian sesak.
Barang-barang bertambah: baju dan aneka perkakas. Kamar sempit yang disekat
dengan kain itu kini terlihat penuh tumpukan barang. Enam bayi telah lahir di
pengungsian ini”( My, 2012: 266).
Sudah ada beberapa wartawan di dalam ruangan, menanyai orang-orang
tentang kata-kata Gubernur yang ada di koran. Semua orang menjawab tidak mau
pindah ke Australia.
“Ini kampung saya. Lahir di sini. Bapak, ibu, sampai buyut semua
lahir dan meninggal di sini,” kata seorang perempuan yang ditanyai.
„Tapi bagaimana kalau selamanya tak bisa pulang ke rumah?”
tanya wartawan.
Yang ditanyai diam. Semua orang yang mendengar juga diam.
...
Sudah lama tinggal di sini... apakah terpikir untuk menuruti
permintaan orang-orang itu agar bisa kembali ke rumah?”
Perempuan itu tampak bingung dengan pertanyaan wartawan.
“Maksudnya keluar dari Ahmadiyah, agar bisa pulang lagi ke
rumah,” jelas wartawan.
Perempuan itu menggeleng. “Namanya orang sudah percaya,”
jawabnya. “Semakin susah semakin yakin kalau benar,” lanjutnya.
(My,2012: 272)
4.2.3.1.6 Tahap Penyelesaian
Novel ini ditutup dengan epilog yang dinaratori oleh Maryam. Maryam
yang mengirimkan sebuah surat sebagai kritik atas sikap acuh tak acuh Gubernur
dan pemerintah kepada pengikut Ahmadi selama ini. Kehidupan pengikut Ahmadi
di Gedung Transito masih tetap seperti sebelumnya. Harapan Maryam adalah
Universitas Sumatera Utara
Page 105
keadilan dapat ditegakkan. “Januari 2011 Saya Maryam Hayati. Ini surat ketiga
yang saya kirim ke Bapak. Semoga surat saya kali ini bisa mendapat tanggapan.
Hampir enam tahun keluarga dan saudara-saudara kami terpaksa tinggal di
pengungsian, di Gedung Transito, Lombok.... Kami mohon keadilan. Sampai
kapan lagi kami harus menunggu? (My, 2012: 273-275)
Tahap penyelesaian alur dalam novel ini tidak dituliskan pengarang secara
jelas. Maryam masih harus memperjuangkan lagi nasib dari para pengungsi kaum
Ahmadi. Novel ditutup dengan sebuah surat permohonan dari Maryam kepada
Bapak Gubernur yang baru terpilih. Pengarang menyerahkan kepada pembaca
untuk menentukan berhasil atau tidak perjuangan yang dilakukan Maryam.
4.2.3.2 Struktur Fisik, Ras, dan Relasi Gender Novel Maryam
4.2.3.2.1 Struktur Fisik
Keberadaan tokoh cerita dalam novel Maryam dapat diidentifikasi dari
deskripsi fisik, ras, dan relasi gender. Novel Maryam digerakkan oleh tokoh
Maryam. Tokoh Maryam dikonotasikan sebagai penggerak alur utama dalam teks.
Pengarang memberikan kapasitas ruang lebih sehingga tokoh ini mampu
mengeksplorasi peranannya secara maksimal. Tokoh Maryam memiliki
kapabilitas dalam menghadapi lingkungan sosialnya dengan kreasi sehingga
mempermudah langkah dalam mengambil posisi di tengah-tengah
lingkungannya.
Maryam adalah tokoh utama wanita dalam novel ini yang namanya juga
dijadikan sebagai judul. Maryam adalah sosok wanita yang cerdas, tegar, kuat,
Universitas Sumatera Utara
Page 106
keras kepala, namun ia juga seorang wanita biasa yang ramah, penyayang, lembut
dan perasa. Maryam awalnya adalah seorang Ahmadi yang baik, hingga akhirnya
ia keluar dari Ahmadi saat menikah dengan Alam secara diam-diam. Setelah
menyadari kekeliruannya menikah dengan Alam, dia kembali lagi menjadi
keluarga Ahmadi dan menikah dengan Umar. “Maryam menikah dengan Alam
tanpa memberitahu orangtuanya lagi. Semua sudah jelas, pikirnya” (My, 2012:40).
Alam adalah penyebab konflik dalam cerita ini. Konflik cerita mulai
bergerak dengan memunculkan tokoh Alam secara flashback dalam kehidupan
Maryam. Pertemuannya dengan Maryam sampai kepada kandasnya pernikahan
Maryam dengan Alam. Alam digambarkan sebagai seorang laki-laki yang tidak
tegas dalam mengambil keputusan. Semua keputusan bergantung pada ibunya.
Dia bekerja sebagai karyawan di perusahaan konstruksi. Dia bukan orang
Ahmadi. Sebenarnya, Alam juga sosok yang penyayang dan perhatian.
Pak Khairuddin juga ikut membangun alur cerita. Pak Khairuddin adalah
sosok ayah yang sangat luar biasa. Dengan sikapnya yang tegas dan cukup keras,
namun ia juga seorang ayah yang penyayang. Ia juga peduli terhadap orang lain
dan pribadi yang mandiri. Dia generasi kedua dalam keluarganya yang memeluk
Ahmadi. “Maryam ingat bapaknya selalu menyumbang banyak. Sudah sepatutnya
bagi orang yang punya usaha sendiri hingga bisa membeli pikap…Bapak dan ibu
Maryam memberikan dengan penuh keikhlasan, katanya untuk tabungan akhirat”
(My, 2012:64).
Umar adalah anak Pak Ali dan Bu Ali. Umar terlahir dalam keluarga
Ahmadi. Umar adalah seorang anak yang penurut, pekerja keras, dan penyayang.
Universitas Sumatera Utara
Page 107
Hal ini dapat dilihat saat ayahnya meninggal dunia, Umar menemani ibunya di
rumah dan meneruskan usaha ayahnya yang akhirnya semakin maju. Umar aktif
memperjuangkan nasib pengikut Ahmadi yang terusir dari kampungnya sendiri.
Umar sempat berkuliah di Udayani Jurusan Sastra Inggris. Dia tidak sempat
menyelesaikan skripsinya karena ayahnya meniggal dunia. Dia menikah dengan
Maryam, semula dia menikah hanya untuk membahagiakan ibunya, namun
pernikahan itu berubah menjadi pernikahan yang penuh cinta. “Bersama
seseorang yang awalnya dinikahi hanya untuk membahagiakan ibunya” (My,
2012:180) .
4.2.3.2.2 Struktur Ras
Struktur ras tokoh cerita dalam novel Maryam adalah orang Lombok yang
bersuku Sasak. Ini dapat diidentifikasi dengan menggunakan beberapa bahasa
daerah yang digunakan di dalam novel ini. Juga setelan sarung Sasak yang
dipergunakan Maryam ketika dia menikah dengan Umar. Misalnya dalam
percakapan Maryam dan Nur di bawah ini:
“Sai aran side?” tanya salah saru perempuan itu pada Maryam (My,
2012:191).
“Berembe kabar, Nur?” tanya Maryam. Sengaja ia gunakan bahasa Sasak
agar mereka cepat akrab kembali sebagaimana dulu saat masih bertetangga.
“Solah,” jawab Nur (My, 2012:192).
Dalam upacara perkawinan Maryam dan Umar ditampilkan menu
makanan khas Lombok yaitu pelecing. Juga menjadi menu utama di restoran yang
mereka kunjungi di Praya. Pelecing adalah makanan khas Lombok, berupa
kangkung dan sambal, disajikan bersama ayam bakar yang dikenal sebagai ayam
Universitas Sumatera Utara
Page 108
taliwung. Ini semua merujuk kepada ras masyarakat Lombok. Lokasi yang
terdapat dalam novel ini juga merujuk kepada keberadaan masyarakat Lombok.
Maryam tidak menamakan anaknya dengan nama-nama agama,
menunjukkan bahwa dia mencintai tanah kelahirannya. Dia memberi nama
anaknya Mandalika, nama yang berasal dari Lombok. Nama itu diambil dari cerita
Mandalika. Cerita yang sering didengarnya di Gerupuk. Tentang seorang putri
cantik yang diperebutkan dua raja dari dua kerajaan besar. Perang besar akan
terjadi. Tapi Mandalika memilih pergi. Mengorbankan diri agar perang tidak
terjadi. Tragedi ini diabadikan dengan upacara Nyale. Nyale adalah upacara di
pantai selatan Lombok yang lahir dari legenda Putri Mandalika. Digelar setahun
sekali, biasanya pada bulan Februari atau Maret. Saat itu cacing laut muncul di
permukaan dan masyarakat memburunya.
4.2.3.2.3 Relasi Gender
Prinsip relasi gender yang menimbulkan pro dan kontra adalah tingkatan
kedudukan kaum minoritas dan mayoritas. Secara global, kaum minoritas (di
dalam novel ini diwakili oleh pengikut Ahmadiyah), lebih rendah kedudukannya
dari kaum mayoritas (di dalam novel ini diwakili oleh umat Islam keseluruhan).
Ajaran Ahmadi dianggap sesat dan mereka diusir dari rumahnya sendiri. Bahkan
mayatnya pun tidak boleh dikuburkan di pemakaman umum. Posisi prinsip relasi
gender tersebut dapat diidentifikasi dari kutipan berikut ini.
Sesaat kemudian terdengar suara berisik dari arah jalan. Barisan orang-
orang muncul. Memasuki jalan kecil. “Usir! Usir!” teriak mereka.
Terdengar bunyi „brak‟ dan „klontang‟. Mereka melempar sesuatu ke
rumah yang dilewati. Rumah orang tua Maryam nomor empat dari ujung
Universitas Sumatera Utara
Page 109
jalan. Itu artinya mereka akan segera sampai.semua orang kini berdiri
bersiap-siap. Pintu rumah ditutup rapat. Ibu Maryam mengunci dari dalam.
Hanya laki-laki yang ada di luar. (My:224-225)
Relasi gender antara anak dan orang tua terlihat dalam dua pola, yaitu anak
yang patuh kepada orang tuanya dan anak yang melawan kepada orang tuanya.
Anak yang patuh kepada orang tuanya dapat dilihat dari hubungan relasi gender
antara Umar dengan ibunya. Dia mau menikahi Maryam yang sudah janda demi
untuk membahagiakan ibunya. Dia juga memilih berhenti kuliah setelah ayahnya
meniggal, demi menemani ibunya dan melanjutkan usaha yang telah dirintis
ayahnya. Contoh lain adalah Maryam yang setelah bercerai dari Alam. Dia
memenuhi keinginan orang tuanya untuk menikah dengan pemuda sesama
Ahmadi, yaitu Umar.
Relasi gender anak yang melawan kepada orang tuanya dapat dilihat
dalam kehidupan Gamal. Setelah dia pulang dari Banten untuk menyelesaikan
penelitian skripsinya, Gamal kehilangan kepercayaannya terhadap ajaran Ahmadi.
Setiap kali diajak oleh ibunya untuk pengajian, dia tidak mau. Katanya karena
banyak tugas yang harus diselesaikannya. Dia juga sering tidak pulang ke rumah.
Dia sering menginap di rumah kawannya. Sampai akhirnya, dia pergi
meninggalkan rumah dan tidak pernah kembali lagi. Seperti pada kutipan berikut:
Gamal benar-benar tak pulang. Bapak-ibunya telah putus asa mencari.
Datang ke kampus. Bertemu dosen-dosen dan mahasiswa-mahasiswa. Tak ada
yang tahu soal Gamal. Lagi pula, semua teman seangkatannya sudah jarang
berada di kampus. Semua sibuk mengerjakan tugas akhir, bahkan banyak yang
sudah lulus. Orang tuanya juga datang ke teman-teman SMP atau SMA, ke siapa
pun yang mereka anggap kenal dengan Gamal. Tak ada yang tahu. (My: 29)
Universitas Sumatera Utara
Page 110
Secara keseluruhan, relasi gender dalam novel Maryam terjadi antara
suami dengan istri, baik dalam keluarga sesama Ahmadi maupun keluarga yang
berbeda keyakinan. Di dalam keluarga Ahmadi, konflik suami-istri tidak pernah
terjadi. Pernikahan berjalan langgeng dan bahagia. Sebaliknya, dalam keluarga
yang menikah berbeda keyakinan, konflik suami-istri tidak dapat diredam yang
selalu diakhiri perceraian.
4.2.3.3 Struktur Ruang dan Waktu Novel Maryam
4.2.3.3.1 Struktur Ruang
Penggunaan ruang tempat dalam novel ini meliputi Bandara Selaparang,
tempat pesawat Maryam mendarat; Surabaya, tempat Maryam kuliah; Jakarta,
tempat Maryam bekerja dan bertemu dengan Alam hingga akhirnya menikah;
Gerupuk, kampung halaman Maryam; Gegarung, tempat keluarga Maryam tinggal
setelah diusir dari Gerupuk; Sumbawa tempat keluarga Umar sebelum pindah ke
Mataram; Bali, tempat Maryam berbulan madu; dan Lombok, di Gedung Transito
tempat pengungsian kaum Ahmadi.
Gerupuk, merupakan salah satu latar tempat dalam novel ini. Gerupuk
digambarkan berada di pinggir pantai, dengan ombak tinggi. wisatawan
berkunjung ke sana karena tertarik dengan ombak tersebut untuk berselancar.
Gerupuk tidak mempunyai pantai yang berpasir putih seperti umumnya pantai-
paitai lain yang berjajar di pesisir pulau Lombok. Di sana hanya ada dermaga
tempat para nelayan menjual hasil tangkapannya. Tokoh Maryam banyak
menghabiskan hidupnya tinggal di sini, mulai dari lahir sampai dia tamat SMA.
Universitas Sumatera Utara
Page 111
Gerupuk hanyalah kampung kecil di sudut timur pesisir selatan
Lombok. Nyaris tak dikenal. Peta-peta wisata hanya menggambarkan Kuta
sebagai satu-satunya nama tempat disepanjang garis pantai itu. Baru
tahun-tahun belakangan, ketika orang-orang asing mulai mengetahui ada
ombak tinggi di kampung ini, Gerupuk mulai di datangi. Itu pun hanya
oleh mereka yang ingin mencari kepuasan berdiri di papan selancar,
menakhlukkan ombak yang bergulung tinggi...
Tak ada keistimewaan lain yang ditawarkan Gerupuk selain ombak
tinggi itu. Ia tak punya pantai indah beerpasir putih, sebagaimana pantai-
pantai lain yang berjajar di pesisir ini. Gerupuk adalah deretan erahu-
perahu nelayan, Bau amis ikan, dan nelayan-nelayan yang berkulit legam.
Setiap orang hidup dari tangkapan ikan, udang, atau teripang. (My,
2012:41)
Gegerung, merupakan latar yang juga banyak muncul di dalam novel.
Gegerung adalah tempat tinggal kebanyakan orang Ahmadi, termasuk keluarga
Maryam setelah mereka mengalami pengusiran di Gerupuk. Perumahan di
Gegarung ini khusus dibangun oleh orang-orang Ahmadi yang terusir dari
kampung mereka. Rumah ini dibangun dari hasil sumbangan yang dikumpulkan
oleh organisasi. “Meski terpisah dari rumah-rumah penduduk lain, tanah yang
dihuni orang-orang Ahmadi itu termasuk kampung Gegerung. Sekitar satu
setengah kilometer jauhnya dari perkampungan utama Gegarung, dipisahkan oleh
sawah-sawah padi dan sungai”. (My, 2012:83)
Latar Gedung Transito muncul setelah keluarga Ahmadi diusir dari
Gegarung dan mesjid organisasi dilarang untuk dipergunakan. Latar cerita
terpusat di Gedung transito. Mulai dari Maryam yang bolak-balik ke gedung
tersebut, kehidupan para pengungsi, sampai seluruh kegiatan keagamaan kaum
Ahmadi yang terpusat di sana, sejak mesjid organisasi tidak boleh dipergunakan
lagi. Mereka mengadakan pengajian, dan sholat bersama di gedung tersebut.
Keadaan gedung tersebut juga dipaparkan secara jelas.
Universitas Sumatera Utara
Page 112
Gedung Transito kian hari terasa kian sesak. Barang-barang
bertambah: baju dan aneka perkakas. Kamar sempit yang disekat dengan
kain itu, kini terlihat penuh tumpukan barang. Enam bayi telah lahir di
pengungsian ini...(My, 2012:266)
Lalu wartawan-wartawan itu minta izin untuk berkelilng ke seluruh
ruangan. Mengambil gambar ruangan besar yang disekat- sekat untuk
menjadi kamar, mewawancarai orang-orang yang bertemu di dalam. Lalu
mereka keluar ke arah dapur. Melihat orang-orang memasak di dapur yang
digunakan bersama-sama, juga mengintip kamar mandi dan tempat
mencuci. (My, 2012:269)
Penggunaan ruang cerita dalam novel Maryam terjadi dalam dua masa,
yaitu masa kini dan masa lalu. Masa kini dan masa lalu dapat diidentifikasi dari
dua pola, yakni penanda tahun dan penanda waktu.
4.2.3.3.2 Struktur Waktu
Penanda tahun terlihat dari pencantuman nama bulan yang diikuti tahun
untuk menandai tindakan dan kejadian. Misalnya, cerita dimulai dari Januari
2005 dengan ditandai oleh kepulangan Maryam ke kampung halamannya karena
bercerai dengan Alam. Hal ini dapat diidentifikasi pada pengalihan struktur waktu
cerita, dari masa kini ke masa lalu dalam proses pernikahan Alam dengan Maryam
yang diceritakan secara mundur pada akhir tahun 2000. sebagaimana terlihat
dalam kutipan berikut ini.
Januari 2005. Apa yang diharapkan oleh orang yang terbuang pada
sebuah kepulangan?ucapan maaf, uangkapan kerinduan, atau tangis
kebahagiaan?
Tidak semuanya bagi Maryam. Ia pulang tanpa membawa harapan.
Ia bahkan tak punya bayangan apa yang akan dijumpainya di kampung
halaman. Ia tak berpikir apakah kedatangannya amasih ada yang
menantikan, atau malah akan menghidupkan kembali sisa kemarahan. Ia
juga tidak tahu apa yang akan dilakukannya di sana. Akankah ia hanya
singgah sesaat lalu segera kembali terbang entah ke mana atau akankah ia
tinggal selamanya? Entahlah ... Ia hanya ingin pulang. Itu saja. (My,
2012:13)
Universitas Sumatera Utara
Page 113
Di samping penggunaan penanda tahun, novel Maryam juga menggunakan
penanda waktu, seperti pagi, siang, sore, dan malam. Secara keseluruhan, penanda
waktu siang mendominasi struktur waktu cerita. Penanda waktu yang lain juga
digunakan tetapi waktu penggunaan tidak terus-menerus, bergantung pada
keperluan, misalnya waktu malam untuk pengajian, istirahat, dan memberi
nasehat kepada anak. Waktu sore digunakan untuk beribadah, pengajian, dan
pelaksaaan pernikahan. Waktu pagi digunakan untuk berangkat bekerja, jalan-
jalan, dan memulai aktifitas.
Penggunaan penanda waktu tidak hanya didominasi oleh penanda waktu
kekinian. Novel Maryam memiliki penanda waktu masa lalu. Hal ini dapat
diidentifikasi dari penghubungan keadaan Maryam masa kini dengan keadaan
Maryam masa lalu. Hal ini terlihat dari karakter Maryam yang mengenang masa
kecilnya saat ia bersama teman-temannya menjajakan gelang dan kalung untuk
sekedar menambah uang jajan. Hal ini terlihat dari kutipan sebagai-berikut:
...Ada juga yang tak butuh waktu terlalu lama untuk membeli. Mereka
tersentuh oleh wajah memelas anak itu. Cepat-cepat membeli artinya juga
segera bisa menikmati liburan mereka tanpa diganggu oleh pedagang kecil
itu lagi. Karena jika tidak, anak itu akan mengikutinya sampai dagangan
itu dibeli. Semua anak yang melihat akhinya mengikuti cara itu. Maryam
pun demikian, tak peduli apa yang dikatakan turis-turis itu. Tak
mengambil hati pada apa yang mereka katakan, yang penting barang harus
terjual. Anak-anak senang tiap hari mendapat uang. Jauh lebih senang lagi
pemilik toko yang memasok barang. (My, 2012:189)
Berdasarkan penjelasan di atas, deskripsi ruang cerita novel Maryam
melibatkan kota-kota utama di Pulau Lombok dalam struktur waktu masa kini dan
masa lalu, baik dengan penanda tahun maupun penanda waktu. Struktur ruang
Universitas Sumatera Utara
Page 114
cerita tidak dideskripsikan secara terperinci sehingga keadaan kota tidak dapat
diidentifikasi secara konkret. Hal ini disebabkan penceritaan lebih berpusat pada
pemunculan dan pemecahan masalah sehingga pendeskripsian ruang cerita hanya
terbatas pada kondisi rumah, pemandangan alam sekitar pantai, Gedung Transito,
dan halamannya.
Sebaliknya, struktur waktu ditampilkan dengan konkret sehingga diperoleh
informasi akurat bahwa kejadian dalam novel dimulai tahun cerita dimulai dari
tahun 1993, bulan terakhir tahun 1995, Oktober 1997, awal tahun 2000, Januari
2005, Juni 2008, hingga Januari 2011. Perjalanan hidup Maryam juga disebutkan,
misalnya tahun ia lulus sekolah, kuliah, pernikahan sengan Alam, perceraiannya
dengan Alam, pernikahanya dengan Umar, penyerbuan terhadap pengikut
Ahmadi, hingga saat berada di pengungsian. Perakhir, pengiriman surat
permohonan Maryam yang ketiga kepada Bapak Gubernur untuk meminta
keadilan atas apa yang telah menimpa pengikut Ahmadi.
4.2.3.4 Struktur Transmisi Narasi Novel Maryam
Struktur transmisi novel Maryam dibangun oleh sudut pandang orang
ketiga yang serba tahu. Orang ketiga ini dimunculkan pengarang dalam diri
Maryam, Umar, Alam, dan lain-lain. Maryam sebagai tokoh utama mendominasi
cerita. Kedudukan Maryam sebagai pengikut Ahmadi yang pernah berpaling,
menunjukkan bahwa keimanan Maryam lemah. Kegagalannya membina rumah
tangga dengan Alam, membuat Maryam tersadar. Dia menikah untuk yang kedua
kalinya dengan Umar, seorang Ahmadi. Maryam tersentuh melihat penderitaan
Universitas Sumatera Utara
Page 115
yang dialami oleh kaum Ahmadi. Mereka dihina, diserang, dan diusir. Maryam
membela mereka untuk meminta keadilan kepada pemerintah. Maryam
melakukan berbagai cara.
Penggunaan sudut pandang orang ketiga yang serba tahu dalam novel
Maryam, menjadikan pengarang sebagai pemilik pesan. pengarang
mengomunikasikan pada pembaca melalui narator dan penarasi. Narator utama
adalah Maryam. Di samping narator, muncul penarasi yang menjelaskan keadaan
tokoh lain dan lingkungan hidupnya. Penarasi ini menjadi jalan masuk pengarang
untuk memberi komentar dan deskripsi tertentu untuk memperkuat karakteristik
tokoh cerita.
Antara narator dan penarasi dalam novel Maryam memiliki kesamaan
sudut pandang, yakni menggunakan sudut pandang orang ketiga: dia atau ia atau
menyebut nama diri. Berikut ini pemunculan narator utama yang menggunakan
monolog dengan bantuan penarasi dalam satu jenis sudut pandang, “Maryam
mulai menebak-nebak apa yang sebenarnya ingin disampaikan ibunya. Pikiran itu
kemudian muncul begitu saja: ibunya akan mengajaknya untuk kembali
sepenuhnya untuk menjadi Ahmadi. Memintanya untuk mau kembali dibaiat,
disumpah untuk setia dan selamanya tak akan pernah ingkar. Maryam mulai
gentar.” (My, 2012:148-149)
4.3 Analisis Realitas Sosial
Realitas sosial adalah kenyataan hidup yang terjadi dalam masyarakat.
Karya sastra secara keseluruhan mengambil bahan melalui kehidupan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Page 116
Dengan ciri keatifitas dan imajinasinya, sastra memiliki kemungkinan yang paling
luas dalam mengalihkan keberagaman kejadian alam sdemesta dari kualitas
kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional. Realitas sosial dapat
diidentifikasi dari peristiwa, waktu, tempat, dan pelaku yang terdapat dalam karya
sastra yang berkorelasi dengan peristiwa, waktu, tempat, dan pelaku dalam realitas
faktual. Di dalam deskripsi dan analisis realitas sosial novel-novel karya Okky
Madasari, penelitian ini dipusatkan pada kajian riwayat hidup pengarang yang
berkorelasi dengan realitas fiksi dalam novel yang ditulisnya. Oleh karena itu,
pendeskripsian dan penganalisisan didasarkan pada isi cerita yang diurutkan
sesuai dengan penomoran sumber data penelitian ini.
4.3.1 Realitas Sosial Novel Entrok
4.3.1.1 Kehidupan Spiritual Masyarakat Jawa
Keberadaan tokoh Sumarni dan Rahayu dalam teks yang terus melakukan
proses interaksi dengan tokoh-tokoh lain dan latar sosialnya secara bertahap
mampu memberikan pengaruh dalam terbentuknya pandangan hidup tokoh utama.
Mengingat tokoh Sumarni dan Rahayu hidup di lingkungan sosial budaya Jawa
yang sarat dengan nilai, norma, konvensi, serta tata aturan baik yang tertulis
maupun tidak tertulis, maka pandangan hidup yang ada pada diri Sumarni dan
Rahayu adalah pandangan hidup Jawa.
Pandangan hidup Jawa bukanlah suatu agama, tetapi suatu pandangan
hidup dalam arti yang luas, yang meliputi pandangan terhadap Tuhan dan alam
semesta beserta posisi dan peranan manusia di dalamnya. Hal ini meliputi pula
Universitas Sumatera Utara
Page 117
pandangan terhadap segala aspek kehidupan manusia, termasuk pula pandangan
terhadap kebudayaan manusia beserta agama-agama yang ada.
Adapun posisi tokoh Sumarni dan Rahayu dalam novel Entrok
digambarkan sebagai wanita yang hidup di lingkungan keluarga Jawa yang
diinternalisasi dengan nilai kewanitaan, bahwa wanita itu harus mampu
menempatkan (memposisikan) diri di bawah laki-laki; pasrah, nrimo, sabar dan
ikhlas. Hal itu seperti yang dikemukakan Christina (2004: 24) bahwa kata
“wanita” berasal dari kata wani (berani) dan ditata (diatur). Artinya, seorang
wanita adalah sosok yang berani ditata atau diatur. Dalam kehidupan praktis
masyarakat Jawa, wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaan tertata
hingga untuk itu pula dia harus menjadi sosok yang mau diatur.
Dalam makna yang lain, yaitu “perempuan”, tampaknya tidak cukup bisa
menggambarkan kenyataan praktis sehari-hari wanita Jawa. Akar kata
“perempuan” adalah empu yang berarti guru. Makna kata ini lebih
menggambarkan kenyataan normatif daripada kenyataan praktis sehari-hari.
Bahkan, dalam penggunaannya kita lebih sering mendengar kata perempuan
dipakai untuk ungkapan hal yang kurang sedap seperti “main perempuan‟, dan
lain-lain.
Yana (2012: 15-16) mengatakan bahwa, sebagian orang Jawa masih belum
dapat memisahkan mitos dari kehidupan mereka. Yang dimaksud orang Jawa
adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa dan merupakan penduduk
asli bagian tengah dan timur pulau Jawa. Berdasarkan golongan sosial, orang Jawa
dibedakan menjadi :
Universitas Sumatera Utara
Page 118
1. Wong cilik (orang kecil), terdiri dari petani dan mereka yang berpendapatan
rendah.
2. Kaum priyayi, terdiri dari pegawai dan orang-orang intelektual.
3. Kaum ningrat, gaya hidupnya tidak jauh dari kaum priyayi.
Selain dibedakan golongan sosial, orang Jawa juga dibedakan atas dasar
keagamaan dalam dua kelompok yaitu :
1. Jawa kejawen, yang sering disebut juga abangan yang dalam kesadaran dan
cara hidupnya ditentukan oleh tradisi Jawa pra-Islam. Kaum priyayi
tradisional hampir seluruhnya dianggap Jawa Kejawen, walaupun mereka
secara resmi mengaku Islam.
2. Santri, yang memahami dirinya sebagai orang Islam atau orientasinya yang
kuat terhadap agama Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam.
Masyarakat Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan
pusat segala kehidupan, karena sebelumnya sebelumnya semua terjadi di dunia
ini, Tuhanlah yang pertama kali ada. Yang dimaksud pusat yang dalam pengertian
ini adalah yang dapat memberikan penghidupan, keseimbangan, dan kestabilan,
yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubungan dengan dunia atas.
Pandangan orang Jawa tentang hal tersebut biasa disebut dengan Kawula Ian
Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah
mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah
manusia menyerahkan diri sebagai kawula terhadap gustinya (Yana, 2012: 16).
Sikap penyerahan diri sebagai kawula terhadap gustinya dialami oleh
tokoh Teja. Teja tidak mau berusaha mengubah nasibnya. Dia seorang kuli
Universitas Sumatera Utara
Page 119
angkat barang. Ayahnya Mbah Noto juga bekerja sebagai kuli angkat barang.
Pekerjaan itu seolah-olah merupakan pekerjaan yang diwariskan dari orang tua ke
anak. Setelah menikah Teja juga bekerja sebagai pengangkat barang, hanya saja
dia mengangkat barang dagangan Sumarni, istrinya. Teja tidak pernah tahu berapa
keuntungan yang didapat oleh Marni. Dia juga tidak tahu berapa harga barang
yang dibeli dan dijual. Teja hanya tahu mengangkat barang dagangannya saja.
Yang penting bagi Teja, dia bisa membeli tembakau linting setiap hari. Teja tidak
pernah berusaha untuk mengetahui tentang cara berdagang. Dia menerima
nasibnya sebagai buruh kuli angkat barang yang dianggapnya sebagai suratan
yang sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta untuknya.
Sebagian besar orang Jawa juga termasuk dalam golongan bukan muslim
santri yaitu yang telah mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir Islam
dengan pandangan asli mengenai alam kodrati dan alam adikodrati. Pandangan
hidup merupakan pengalaman hidup. Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan
mental dari pengalaman hidup yang kemudian dapat mengembangkan suatu sikap
terhadap hidup. Ciri khas dari pandangan hidup orang Jawa adalah realitas yang
mengarah kepada pembentukan kesatuan antara alam nyata, masyarakat dan alam
adikodrati yang dianggap keramat. Orang Jawa percaya bahwa kehidupan mereka
telah ada garisnya, mereka hanya menjalankan saja (Yana, 2012:16).
Dasar kepercayaan Jawa (Kejawen, Javanisme) adalah keyakinan bahwa
segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakikatnya adalah satu atau merupakan
kesatuan hidup. Javanisme memandang kehidupan manusia selalu berpaut erat
Universitas Sumatera Utara
Page 120
dalam kosmos alam raya. Dengan demikian maka kehidupan manusia merupakan
suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius.
Tokoh Sumarni memiliki pandangan hidup Jawa yang kuat pada ritual
nyuwun (berdoa) kepada ruh leluhur, memegang pakem ilok ora ilok, serta sabar
dan nrima yang didapat dari tokoh Simbok ibunya. Kaitannya dengan pandangan
dunia Jawa yang erat dengan kebatinan, Niels Mulder (1999: 62-64)
mengungkapkan bahwa inti penting dari kejawen adalah kebatinan, yaitu
pengembangan kehidupan batin dan diri yang terdalam seseorang. Diri terdalam
itulah yang sebenarnya menyusun mikrokosmos dari kehidupan yang meliputi
segala-galanya. Dalam pandangan kejawen, gerakan diri ini harus mengalir dari
luar ke bagian dalam, dari penguasaan yang lahir ke pengembangan yang batin,
dari menjadi sungguh-sungguh sadar terhadap situasi sosial sampai menjadi peka
terhadap kehadiran “Kehidupan” dan perwujudan “Kehidupan” itu di dalam batin.
Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan manusia berada dalam
dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam
pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta
yang mengandung kekuatan supranatural dan penuh dengan hal-hal yang bersifat
misterius.
Sedangkan mikrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan
pandangan hidup terhadap duniaa nyata. Tujuan utama dalam hidup adalahh
mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan
makrokosmos dan mikrokosmos.
Universitas Sumatera Utara
Page 121
Dalam alam makrokosmos, maka pusat dari alam semesta adalah Tuhan.
Alam semesta memiliki tingkatan yang ditujukan dengan adanya jenjang alam
kehidupan orang Jawa dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna. Alam
semesta terdiri dari empat arah utama ditambah satu pusat yaitu Tuhan yang
mempersatukan dan memberi keseimbangan.
Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata (mikrokosmos) dapat tercermin
pada kehidupan manusia dengan lingkungan, susunan manusia dalam masyarakat,
tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang dapat terlihat oleh
mata. Dalam menghadapi kehidupan, manusia yang baik dan benar di dunia ini
tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya.
Bagi orang Jawa pusat di dunia ada pada raja dan keraton. Tuhan adalah
pusat makrokosmos sedangkan raja adalah perwujudan Tuhan didunia sehingga
dalam dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam. Jadi raja
merupakan pusat komunitas didunia seperti halnya raja menjadi mikrokosmos dari
Tuhan dengan keraton sebagai kediaman raja. Keraton merupakan pusat keramat
kerajaan dan bersemayamnya raja karena raja merupakan sumber kekuatan alam
yang mengalir ke daerah dan membawa ketentraman , keadilan dan kesuburan.
Sementara itu, pakem ilok ora ilok bukan hanya terbatas pada pengertian
„pantas tidak pantas‟, melainkan memiliki kandungan makna filosofi, yaitu berisi
tentang nilai luhur berkaitan dengan batasan moral mana yang baik untuk
dilakukan dan mana pula batasan moral yang tidak pantas untuk dilakukan.
Adapun sifat nrima, pasrah, dan ikhlas di sini oleh tokoh Simbok dipandang
bukan sebagai kelemahan atau kekalahan, tetapi lebih pada menjaga keselarasan
Universitas Sumatera Utara
Page 122
hidup dengan cara menjalankan perannya masing-masing. Ratnawati (dalam
“Perempuan dan Ajaran Perenialis dalam Serat Wulang Putri”, 2008)
mengutarakan pendapat bahwa sabar, legawa dan lila adalah sebuah permainan
emosi dalam usaha mengatasi konflik. Penyabar bukanlah bawaan lahir atau
kodrat melainkan harus dipelajari terus menerus sepanjang hayat.
Sikap nrimo dapat dilihat juga melalui perlakuan Pak Suyat yang menikahi
dua orang perempuan, yaitu Yu Parti dan Yu Yem. Suatu hari, Yu Parti baru saja
bertengkar dengan Yu Yem. Yu Parti bekerja sebagai pedagang pecal pincuk
menuding Yu Yem yang bekerja sebagai pedangang cabe di pasar Ngranget, telah
merebut suaminya. Cabe yang ada di los Yu Yem disapunya dengan tangannya
sehingga berserakan. Mereka saling jambak dan adu mulut. Tidak ada orang yang
berani memisahkan. Melihat Pak Suyat datang, kedua perempuan yang bertengkar
itu lalu terdiam. Pak Suyat menarik tangan Yu Parti untuk mengajaknya pulang.
Yu Parti menurut dan mereka pun pulang.
Hal yang sama juga dialami oleh Sumarni, ketika dia menghadapi Teja
yang tidak mau mengubah hidupnya sebagai kuli angkat barang. Marni nrimo
sikap Teja yang demikian, walaupun dia harus bekerja membanting tulang untuk
menghidupi keluarganya. Di samping itu, Teja juga menikah sirih dengan
perempuan lain atau gendakan dengan sinden. Marni tidak peduli dengan
perbuatan Teja kepadanya. Marni menganggap gendakan sebagai hal yang wajar
dalam kehidupan kaum laki-laki.
Pandangan hidup Jawa dalam teks berangkat dari realitas yang ada pada
masyarakat Jawa. Walau begitu, pandangan hidup Jawa dalam teks bukanlah
Universitas Sumatera Utara
Page 123
realitas pandangan hidup Jawa, tetapi hanya refleksi, citraan, atau imaji. Adapun
tentang pandangan hidup Jawa dalam teks bertolak dari pembedaan antara dua
segi yang fundamental, yaitu segi lahir dan segi batin. Sebagai makhluk alam,
manusia merupakan makhluk jasmani, ia memiliki dimensi lahir. Kita mengerti
orang lain pertama-tama melalui dimensi lahirnya. Akan tetapi di belakang
dimensi lahirnya itu terselubunglah segi batinnya (Franz Magnis-Suseno, 2001:
117-118).
Sedangkan tokoh Rahayu dalam novel Entrok diposisikan sebagai wanita
Jawa yang hidup di dalam keluarga yang sudah mengalami kemajuan dalam
pendangan tentang pendidikan, tapi masih memegang teguh tradisi kejawen.
Tokoh Rahayu dihadirkan sebagai anak dari tokoh Sumarni yang memiliki peran
sangat besar dalam memberi landasan pendidikan kepada tokoh Rahayu tentang
hormat dan memohon kepada ruh leluhur. Sebagai anak yang berpendidikan
(lebih-lebih agama Islam), Rahayu kemudian tumbuh menjadi wanita Jawa
modern.
Adanya interaksi dengan tokoh lain seperti tokoh Pak Wiji dan Amri
Hasan membuat dia memiliki pandangan dan keyakinan yang berbeda dengan
ibunya. Tokoh Rahayu menjadi wanita yang memiliki karakter keras memegang
keyakinan dan cenderung tertutup terhadap perbedaan. Hal itu membuatnya sering
bersitegang dengan ibunya. Perkenalan Rahayu dengan tokoh Amri Hasan
membuat ia terinspirasi untuk memberontak dari kesewenang-wenangan dan itu
bertentangan dengan laku hidup Jawa yang diajarkan oleh ibunya untuk nrima dan
pasrah. Tokoh Rahayu menjadi wanita Jawa yang hilang kejawaannya. Dia tidak
Universitas Sumatera Utara
Page 124
berusaha untuk menghindari konflik demi memperoleh ketenangan dan
ketenteraman hidup. Akan tetapi, dia justru lebih memilih menghadapinya
daripada harus diam dan pasrah.
4.3.1.2 Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat
pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Gambaran kekurangan materi,
yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan
pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi
kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. Gambaran tentang kebutuhan
sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk
berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi.
Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
Gambaran lain tentang kemiskinan adalah kurangnya penghasilan dan kekayaan
yang memadai.
Sebagaimana kondisi masyarakat di awal-awal kemerdekan yang masih
miskin, kondisi keluarga tokoh Simbok dan Sumarni pun tidak jauh berbeda.
Dalam kondisi kemiskinan seperti itu kebutuhan yang paling utama adalah makan.
Universitas Sumatera Utara
Page 125
“...Aku diam. Aku tahu Simbok benar. Bisa makan tiap hari saja sudah harus
disyukuri. Simboklah yang mencari semuanya. Setiap hari ke pasar. Kalau pas
untung ya ada pekerjaan. Kalau tidak ya mencaqri sisa-sisa dagangan yang akan
dibuang penualnya. Kadang Simbok menawarkan diri untuk membantu pedagang-
pedagang itu (En, 2010:17-18).
Hal itu dipertegas oleh Dhika Harbi (2009:64), bahwa pada masa Orde
Lama, mayoritas masyarakat Indonesia pribumi masih tetap bekerja sebagai
petani. Elit politik berperan sebagai birokrat negara tanpa basis ekonomi, tak ada
pengusaha pribumi yang berarti dan tak ada borjuis yang berperan dalam
ekonomi, bahkan yang menguasai perdagangan Indonesia. Hal tersebut membuat
kondisi masyarakat Indonesia dalam hal ekonomi menjadi semakin terpuruk.
Di samping sebagai petani, masyarakat bekerja sebagai kuli bangunan, kuli
angkat barang dan menarik andong, seperti yang dilakukan oleh ayah Tinah,
pamannya Sumarni, Mbah Noto, dan Teja. Sedangkan para janda yang tidak
mempunyai suami lagi, mereka bekerja sebagai buruh kupas ubi, menanam padi,
atau menumbuk kopi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagian pedagang
perempuan juga banyak yang tidak memilik rumah, mereka tidur di los tempat
mereka berjualan. “...aku melihat ada beberapa yang tidur di los itu. Kata Teja,
mereka pedagang yang tiap hari tidur di pasar. Pedagang-pedagnang itu
kebanyakan perempuan seumuran Simbok. Mereka tidak pernah memakai entrok,
apalagi berniat membelinya” (En, 2010: 22).
Keadaan rumah masyarakat pedesaan waktu itu juga masih banyak yang
terbuat dari bambu atau gubuk yang masih berlantai tanah yang dialas dengan
Universitas Sumatera Utara
Page 126
tikar pandan. Peralatan rumah masih sangat sederhana. Alat masak tradisional dan
pawon (tungku tradisional yang terbuat dari batu bata dengan bahan bakar kayu).
Masyarakat menggunakan air pancuran untuk air minum, mandi, dan mencuci.
mereka membangun WC umum yang masih tradisional yang disebut jumleng,
yaitu WC yang dibangun di tempat terbuka, kotoran langsung masuk ke tanah
tanpa disiram air. “...Simbok masih tidur saat aku beranjak ke pancuran di
belakang rumah. Didekatnya ada jumbleng. Siapa tahu sakitnya karena aku mau
buang kotoran” (En, 2010:30).
4.3.1.3 Buruh Perempuan
Terjadinya perbedaan pembagian upah ini tidak saja dimaklumi oleh buruh
perempuan itu sendiri, tetapi juga tetap dipertahankan oleh Nyai Dimah dan
beberapa pengusaha yang mempekerjakan buruh perempuan. Nyai Dimah adalah
seorang perempuan yang memperkerjakan Simbok dan Sumarni sebagai buruh
pengupas singkong ditempatnya. Nyai Dimah ikut mewariskan budaya patriarki
yang memang sudah tertanam di dalam suatu budaya dan telah menjadi kebiasaan.
Seperti kutipan yang tampak di bawah ini.
Hari berganti hari, aku dan Simbok masih tetap mengupas
singkong, diupahi dengan singkong. Alih-alih membeli entrok, uang
sepeserpun belum pernah kuterima. Pernah suatu kali kuberanikan diri
meminta upah uang kepada Nyai Dimah, tapi langsung ditolak oleh Nyai
Dimah. Kata Nyai Dimah, ia tidak mampu mengupahi uang. Lagi pula di
pasar ini semua buruh perempuan diupahi dengan bahan makanan. Dia
menyuruhku bekerja di tempat lain jika tidak percaya.Nyai Dimah
memang benar. Kepada siapa pun aku bekerja di pasar ini, aku akan
diupahi dengan bahan makanan ...(En, 2010:29- 30).
Universitas Sumatera Utara
Page 127
Masyarakat patriarki adalah masyarakat yang menganut sistem
berdasarkan pada kesepakatan laki-laki. Dalam suatu masyarakat tertentu
perempuan termarginalisasikan dan dipinggirkan melalui pekerjaan domestik.
Dalam pembagian upah pun perempuan selalu dipinggirkan seperti yang terjadi
pada kutipan di atas bahwa perempuan selalu mendapatkan opresi yang dilakukan
oleh kuasa patriarki tanpa memedulikan beban yang harus diterima oleh
perempuan. Kuasa patriarki telah membedakan pembagian upah antara laki-laki
dan perempuan membuat para perempuan, dalam hal ini Sumarni, mengalami
pemiskinan ekonomi yang menyebabkan keterbatasan untuk mengembangkan
kesejahteraannya sebagai manusia. Menurut Sunarijati hal tersebut terjadi karena
dalam konsep patriaki, perempuan bukanlah pencari nafkah utama, melainkan
pencari nafkah tambahan (2007: 31).
Ketika ada perempuan yang bekerja, mereka tidak dibayar dengan uang
karena adanya konsep patriarki tersebut. Sunarijati (2007: 31) menjelaskan bahwa
perempuan merupakan manusia yang pasrah pada konsep patriarki, tidak ada
perlawanan yang dilakukan oleh perempuan. Perempuan pada umumnya selalu
menurut dan menerima apa yang terjadi dengan dirinya begitu saja tanpa
menuntut haknya sebagai perempuan.
Penjelasan Sunarijati dikuatkan dengan pendapat Suseno (2001: 142-143)
yang mengatakan adanya konstruksi budaya Jawa yang mengatakan bahwa
perempuan Jawa hendaknya bersikap sabar dan nrima. Sabar berarti mempunyai
nafas panjang dalam kesadaran bahwa pada waktunya nasib baik pun akan tiba,
sedangkan nrima memiliki arti bahwa orang dalam keadaan kecewa dan dalam
Universitas Sumatera Utara
Page 128
kesulitan apapun bereaksi dengan rasional, tidak ambruk, dan juga tidak
menentang secara percuma. Dengan kata lain, perempuan digambarkan sebagai
makhluk yang lemah, yang hanya bisa bergantung di bawah kekuasaan laki-laki.
Keadaan tersebut yang mengakibatkan munculnya ketidakadilan yang dialami
oleh perempuan.
Ketidakdilan gender terjadi karena adanya anggapan yang salah terhadap
jenis kelamin dan gender. Di masyarakat luas selama ini terjadi pengukuhan
pemahaman yang kurang tepat mengenai konsep gender. Yang disebut gender
adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksikan secara sosial maupun kultural (Fakih, 2010: 8). Konsep gender
yang melekat pada masyarakat. Entrok adalah adanya anggapan bahwa pekerjaan
mengurus rumah tangga dan mengurus anak adalah pekerjaan perempuan. Secara
tidak langsung perempuan dalam budaya patriarki diposisikan pada tugas-tugas
domestik tersebut. Laki-laki, baik suami maupun anak tidak diperbolehkan ikut
campur dalam pekerjaan domestik karena mereka memiliki tempat bekerja
sendiri, yaitu tugas publik.
Pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki merupakan suatu
pemahaman yang salah kaprah sebab perempuan juga dapat mengerjakan
pekerjaan publik dan laki-laki pun dapat mengerjakan pekerjaan rumah tangga
atau domestik. Bagi Sumarni, pekerjaan publik ternyata lebih menguntungkan
daripada pekerjaan domestik dan hal inilah yang menyebabkan perempuan
menjadi inferior dan laki-laki menjadi superior.
Universitas Sumatera Utara
Page 129
Memang benar, di pasar tidak ada perempuan yang nguli, pekerjaan berat
mengunakan tenaga besar. Buruh perempuan mengerjakan pekerjaan yang halus
dan enteng, seperti mengupas singkong,menumbuk padi, atau menumbuk kopi.
Tetapi jika ditelusuri lebih jauh, begitu buruh-buruh perempuan itu sampai di
rumah, mereka harus mengerjakan semua pekerjaan yang ada, mengambil air dari
sumbernya dengan menempuh perjalanan naik-turun. “...Berat satu jun yang berisi
penuh air sama saja dengan satu goni berisi singkong. Tidak ada laki-laki yang
mengambil air, katanya itu urusan perempuan. Ya jelas lebih enak nguli daripada
ngambil air. Nguli diupahi duit, sementara mengambil air tidak pernah dapat apa-
apa.” (En, 2010: 37).
Pembagian kerja itu terjadi karena adanya konstruksi budaya patriarki
yang menciptakan pembagian kelas antara laki-laki dan perempuan. Perempuan
dianggap hanya mampu mengerjakan pekerjaan domestik. Jika ada perempuan
yang melakukan pekerjaan publik, ia akan menerima penolakan dari masyarakat.
Pembagian kerja sebenarnya bukanlah kodrat dari Tuhan, melainkan
konstruksi budaya patriarki yang telah mendarah daging. Lebih dari itu,
masyarakat beranggapan bahwa jenis kelamin perempuan memiliki semacam
kelas tersendiri dalam pelapisan sosial. Lebih tegas, Worsley (Sugihastuti-
Suharto, 2010: 208) menjelaskan tentang adanya pembagian kelas antara laki-laki
dan perempuan. Perempuan di masyarakat patriarki merupakan kelas yang lebih
rendah dari pada laki-laki. Adanya anggapan itu, membuat perempuan tidak dapat
bekerja di luar dari pekerjaan domestik. Kalaupun ada perempuan yang bekerja di
Universitas Sumatera Utara
Page 130
luar pekerjaan domestik, hanya pekerjaan publik yang ringan dan mudah saja
yang dapat dilakukan oleh perempuan.
Ketidakadilan yang muncul dalam Entrok terjadi dalam berbagai aspek
kehidupan. Karena distereotipekan sebagai makhluk yang lemah, perempuan
dikontrol sedemikian rupa oleh anggota keluarganya. Hal ini dapat dilihat ketika
tokoh Sumarni yang memiliki pemikiran bahwa bekerja di ranah domestik
tidaklah seenak bekerja di ranah publik. Kalau dilihat dalam porsi pembagian
kerja, seharusnya perempuan mendapatkan upah yang lebih besar daripada laki-
laki. Karena sebenarnya perempuan dapat mengerjakan kedua pekerjaan tersebut,
baik pekerjaan di ranah domestik ataupun di ranah publik. Namun, karena adanya
konstruksi yang menjadikan perempuan hanya sebagai pelengkap dari laki-laki,
maka perempuan tidak dapat berbuat banyak hal selain menerima konstruksi
tersebut. “...Aku dan Simbok bukan satu-satunya orang yang menyusuri jalanan
pagi ini. Di depan kami, di belakang, juga di samping, perempuan-perempuan
menggendong tenggok menuju Pasar Ngranget. Kami semua seperti kerbau yang
dihela di pagi buta, menuju sumber kehidupan.” (En, 2010: 22)
4.3.1.4 Rezim Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto yang
menggantikan Orde Lama atau masa pemerintahan Presiden Soekarno. Orde Baru
berlangsung dari tahun 1966–1998. Dalam jangka waktu tersebut banyak
peristiwa yang terjadi mengisi lembar-lembar sejarah Orde Baru. Pada masa Orde
Baru kekuasaan sering digunakan sebagai senjata untuk mendapatkan uang. Tidak
Universitas Sumatera Utara
Page 131
hanya Presiden dan pejabat tinggi negara, orang-orang yang mempunyai jabatan
di daerah pun memanfaatkan kedudukan mereka untuk memperkaya diri sehingga
terjadi praktik penyalahgunaan kekuasaan yang berujung dengan korupsi. Bahkan
aparat keamanan yang seharusnya bertugas untuk melindungi, ikut melakukan
praktik penyalahgunaan kekuasaan dengan cara memeras uang rakyat dengan
dalih sebagai uang keamanan.
Realitas sosial termuat dalam novel Entrok karya Okky Madasari.
Pengarang mengambil fakta sejarah pada zaman Orde Baru di Indonesa pada era
tahun 1950–1999 sebagai latar dalam novelnya. Dalam novel ini, pengarang
menggambarkan kejadian-kejadian yang terjadi pada masa Orde Baru dengan
teknik penceritaan tertentu yang menyebabkan pembaca dapat merasakan kejadian
yang terjadi pada masa Orde Baru.
Isi novelnya mempunyai kedekatan dengan fakta sejarah, yaitu masa Orde
Baru. Banyak peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru diangkat dalam novel
Entrok, misalnya peristiwa pemboman stupa di Borobudur, kemenangan partai
kuning (Golkar) pada pemilu awal di Indonesia, dan praktik-praktik pemerasan
oleh tentara terhadap rakyat kecil yang tidak mempunyai kekuasaan.
Novel ini memang memiliki nilai dokumenter khususnya dalam ranah
politik. Dengan mudah ketika membaca Entrok kita akan menemukan kronik dari
berbagai peristiwa politik yang terjadi di tahun 1950-1999. Misalnya soal Pemilu
yang mengharuskan pemilih untuk memilih lambang tertentu, peristiwa peledakan
candi Borobudur, petrus (pembunuhan misterius), polemik waduk kedungombo,
Universitas Sumatera Utara
Page 132
dan lain-lain. Ini mengingatkan akan sejarah dan peristiwa sosial dan politik
masa lampau yang mungkin nyaris dilupakan.
Salah satu contoh adalah kisah penggusuran sebuah kampung untuk
dijadikan proyek bendungan. Walau tak disebutkan secara jelas kisah ini akan
mengingatkan kita akan waduk Kedungombo. Di kisah ini akan terlihat dengan
jelas bagaimana lagi-lagi tentara dikerahkan untuk menekan penduduk desa yang
hendak mempertahankan tanahnya agar mau pindah. Cap sebagai kampung PKI
kembali menjadi senjata ampuh untuk menakut-nakuti masyarakat agar mau
pindah”. Hal ini tergambar dalam novel seperti kutipan berikut:
“Pak Kyai, sampeyan dengar apa kata orang ini? Mereka semua
yang ada di sini sudah jadi pembangkang. Semuanya sudah jadi orang-
orang komunis. Sampeyan ada di sini dan tidak melakukan apa-apa?”
“Aku tidak ada urusan dengan hal seperti itu. Kami di sini hanya
mau mendidik anak-anak. Titik.”
“Mun, sekarang semuanya terserah kowe. Yang jelas, minggu
depan ini giliran desamu yang dikeruk. Mesin-mesin keruk akan m
engangkat tubuh kalian semua. Kowe akan mati tertimbun tanah sendiri.
Atau kalau untung, bisa jadi kalian selamat. Tapi hari in seluruh pasukan
akan ada di daerah ini. Kalian semua akan tertangkap. Seumur hidup
masuk penjara bersamaorang-orang PKI itu. Kalian semua sudah jadi
PKI.” (En, 2010: 226)
Pemboman candi Borobudur yang dilakukan seorang habib yang buta yag
kemudian ditangkap dalam bus di Probolinggo (laporan utamanya ada di Tempo
edisi Maret 1985). Juga Kedung Ombo (Kyai yag dimaksud di sini kemungkinan
besar adalah mengambil ego Romo Mangun yang menyusup tengah malam ke
Kedung dengan beberapa aktivis dan menyamar sebagai guru sekolah membawa
peralatan tulis, baca di bunga rampai 70 tahun Romo Mangun terbitan Pustaka
Pelajar, 1995). Juga beberapa preman yang mati, adalah latar peristiwa Petrus
(penembakan misterius).
Universitas Sumatera Utara
Page 133
Selain latar tempat dan sosial budaya, latar politik menjadi keadaan sosial
yang secara langsung maupun tidak langsung mampu mempengaruhi pola pikir
tokoh utama dalam bentuk pandangan hidup. Latar politik dalam teks dapat dibagi
ke dalam tiga zaman pemerintahan yang berbeda, yaitu zaman Orde Lama (1950–
1959), zaman Orde Baru (1966–1989), dan awal-awal Reformasi (1999).
Peristiwa dalam novel ini tidak terlalu vulgar menceritakan tentang bentuk
pemerintahan Orde Lama itu sendiri, tetapi hanya bermain di wilayah efek yang
ditimbulkan.
Memasuki tahun 1970-an, ditandai pula dengan pergantian bentuk
pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada zaman peralihan ini
kemiskinan tetap menjadi kondisi yang sulit diatasi. Selain itu, efek yang
ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah sangat dirasakan oleh Sumarni dan
Rahayu. Pada masa ini, kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh oknum
penguasa terhadap rakyat biasa menjadi gambaran yang sering ditonjolkan dalam
beberapa peristiwa. Kondisi lain yang menyaran pada kondisi zaman Orde Baru
adalah kesewenang-wenangan dalam hal hukum. Hukum tidak ditegakkan secara
benar. Seseorang bisa dihukum hanya karena ia adalah seorang Tionghoa yang
masih rajin ke kelenteng, seperti yang dialami oleh Koh Cahyadi.
Walaupun kebencian terhadap keturunan Tionghoa oleh keturunan pribumi
di Indonesia berawal di era Hindia Belanda, Orde Baru menghasut terciptanya
undang-undang anti-China menyusul usahanya menghapuskan total faham
komunisme (karena negara China menganut faham komunisme). Walaupun
stereotip negatif bahwa orang "Tjina" (istilah untuk Tionghoa-Indonesia kala itu)
Universitas Sumatera Utara
Page 134
adalah kaya dan serakah adalah umum di saat itu, adanya histeria anti-komunisme
setelah peristiwa G30S dan hubungan orang Tionghoa-Indonesia dengan Republik
Rakyat Tiongkok memperparah keadaan dengan menyebabkan adanya pandangan
bahwa orang Tionghoa juga termasuk kolom kelima (simpatisan rahasia)
komunis.
Hubungan diplomatik Indonesia dengan China diputus dan Kedutaan
Besar China di Jakarta dibakar oleh massa. Undang-undang baru yang
mendiskriminasi etnis Tionghoa-Indonesia dalam masa Orde Baru ini termasuk
pelarangan tanda-tanda Aksara Tionghoa pada toko-toko dan bangunan lain,
penutupan sekolah bahasa Cina, pengadopsian nama yang terdengar "Indonesia",
termasuk pembatasan pembangunan wihara Buddha. Masa pemerintahan Orde
Baru selanjutnya terus diwarnai dengan kerusuhan yang diwarnai sentimen-
sentimen serupa.
Kesewenang-wewenangan oknum penguasa dapat dilihat dari beberapa
peristiwa seperti sekelompok orang yang sedang main kartu ditangkat oleh
petugas. Saat mereka diinterogasi di kantor Koramil, salah seorang dari mereka
buang angin, kemudian mereka dihukum dengan direndam dan disiksa di kali
Manggis. Dengan dalih uang keamanan, Sumarni harus menyetor sebagain
keuntungan dari hasil jualannya kepada para tentara setiap dua minggu sekali.
Koh Cahyadi yang dicap sebagai PKI bersembunyi di rumah Sumarni, ketika
tertangkap, Sumarni juga ikut terseret dalam kasus tersebut. Sumarni dituduh telah
menyembunyikan tawanan politik. Karena tidak ingin masuk penjara, Sumarni
harus merelakan satu hektar sawahnya untuk para tentara tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Page 135
Peristiwa lain adalah ketika Marni berseteru dengan istri simpanan Teja.
Pada peringatan seratus hari wafatnya Teja, datang seorang perempuan dengan
seorang anak ke rumah Marni mengaku sebagai istri Teja dan anaknya. Mereka
meminta harta warisan supaya dibagi dua. Dia minta bantuan kepada Komandan
Sumadi. Sumadi meminta seperempat dari harta Marni. Marni menyerah, daripada
dia harus kehilangan setengah hartanya. Seperti kutipan berikut, “...Masalah
Endang Sulastri telah selesai. Sesuai janjiku, seperempat hartaku menjadi milik
Sumadi.Ya, komandan itu menjadi kaya mendadak. Setelah mendapat satu hektar
sawahku, sekarang dia mendapat lagi tanah dan setumpuk kayu jati, yang nilainya
sama dengan seperempat dari yang kupunyai” (En, 2010:199).
Firdaus (2005:27) mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru terlihat
lebih mementingkan kelompok atau golongan tertentu tanpa memperhatikan nasib
rakyat. Undang-undang yang responsive dibuat menjadi konservatif. Dengan
demikian dalam pelaksanaannya sering terjadi permasalahan dan pertikaian,
terutama dalam masalah pembebasan tanah yang nyata-nyata tidak proporsional
dan merugikan rakyat.
Likuidasi dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (dan organisasi
terkaitnya) telah menghilangkan salah satu partai politik terbesar di Indonesia.
PKI juga merupakan salah satu Partai Komunis terbesar di Komintern, dengan
sekitar 3 juta anggota. Seiring dengan upaya berikutnya oleh Soeharto untuk
merebut kekuasaan dari Soekarno dengan membersihkan para loyalis Soekarno
dari parlemen, pemerintahan sipil di Indonesia secara efektif telah berakhir.
Universitas Sumatera Utara
Page 136
Faham anti-komunisme kemudian menjadi ciri khas rezim Orde Baru Soeharto
dalam 32 tahun selanjutnya.
Sejumlah kursi di parlemen Indonesia disisihkan untuk personil militer
sebagai bagian dari doktrin "dwifungsi" (fungsi ganda). Di bawah sistem ini,
militer mengambil peran sebagai administrator di semua tingkat pemerintahan.
Partai-partai politik yang tersisa setelah pembersihan politik kemudian
dikonsolidasikan menjadi sebuah partai tunggal, Partai Golongan Karya
("Golkar"). Walaupun Soeharto mengizinkan pembentukan dua partai non-Golkar,
(PDI dan PPP) kedua partai ini dibuat supaya tetap lemah selama rezimnya
berkuasa.
Selain zaman Orde Lama dan Orde Baru, novel ini juga mengambil latar
pada awal-awal Reformasi. Kondisi yang mencolok pada zaman ini adalah adanya
perubahan perlakuan pemerintah terhadap orang-orang yang dulu (pada zaman
Orde Baru) menyandang gelar PKI atau mantan tahanan politik (tapol). Kondisi
itu memberikan perubahan pula pada tokoh Rahayu sebagai mantan tahanan
politik dengan cap PKI. Sebagai mantan tahanan politik, ia menjadi terkucilkan
dari pergaulan masyarakat. Puncaknya adalah ketika ia gagal menikah hanya gara-
gara cap ET (Eks Tahanan Politik) yang tertera di KTP-nya dan Rahayu lansung
dicap PKI. Hal itulah yang membuat tokoh Sumarni terguncang jiwanya dan
akhirnya menjadi gila.
Berikut ini peristiwa-peristiwa realitas sosial yang terlibat langsung dalam
perceritaan novel Entrok.
Universitas Sumatera Utara
Page 137
No. Peristiwa Sejarah Tempat Terjadi Tahun
Terjadi
1. Pemboman Candi Borobudur Jawa Tengah 1985
2. Pemilihan Umum yang
dimenangkan oleh partai
Golkar
Seluruh Indonesia 1970-1995
3. Pemutusan hubungan
diplomatik dengan Cina
Seluruh Indonesia 1970
4. Pengucilan terhadap PKI Seluruh Indonesia 1970-1999
5. Pembunuhan misterius Seluruh Indonesia 1983
6. Polemik waduk Kedung
Ombo
Magelang 1987
Tabel 4.10 Peristiwa Sejarah yang Terjadi pada Masa Orde Baru dalam
Novel Entrok
4.3.2 Realitas Sosial Novel 86
4.3.2.1 Praktik Suap
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, suap diartikan sebagai pemberian
dalam bentuk uang atau uang sogok kepada pegawai negeri. Suap adalah suatu
tindakan dengan memberikan sejumlah uang atau barang atau perjanjian khusus
kepada seseorang yang mempunyai otoritas atau yang dipercaya. Suap dalam
berbagai bentuk, banyak dilakukan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Bentuk suap antara lain dapat berupa pemberian barang, uang sogok dan lain
Universitas Sumatera Utara
Page 138
sebagainya. Adapun tujuan suap adalah untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan dari orang atau pegawai atau pejabat yang disuap.
Suap adalah pemberian yang diharamkan syariat, dan ia termasuk
pemasukan yang haram dan kotor. Suap ketika memberinya tentu dengan syarat
yang tidak sesuai dengan hukum atau syariat, baik syarat tersebut disampaikan
secara langsung maupun secara tidak langsung. Suap diberikan untuk mencari
muka dan mempermudah dalam hal yang batil. Suap pemberiannya dilakukan
secara sembunyi, dibangun berdasarkan saling tuntut-menuntut, biasanya
diberikan dengan berat hati. Suap biasanya diberikan sebelum pekerjaan.
Adapun pemberian suap ini dilakukan melalui tiga cara, yaitu :
a) Uang dibayar setelah selesai keperluan dengan sempurna, dengan hati
senang, tanpa penundaan pemalsuan, penambahan atau pengurangan, atau
pengutamaan seseorang atas yang lainnya.
b) Uang dibayar melalui permintaan, baik langsung maupun dengan isyarat
atau dengan berbagai macam cara lainnya yang dapat dipahami bahwa si
pemberi menginginkan sesuatu.
c) Uang dibayar sebagai hasil dari selesainya pekerjaan resmi yang
ditentukan si pemberi uang.
Penguasa, pegawai negeri, atau pejabat negara yang memberikan uang
kepada rakyat atau tokoh masyarakat untuk memutuskan menentukan pilihan
dalam Pilkada, Pilgub dan Pilpres yang sering disebut money politics juga
termasuk kategori suap. Selain itu, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara juga dianggap sebagai pemberian suap, apabila
Universitas Sumatera Utara
Page 139
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan
tugasnya.
Penyuap adalah orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai
negeri dengan mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan
atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan tersebut. Selain itu seseorang dianggap sebagai pemberi
suap apabila memberi atau menjajikan sesuatu kepada hakim dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
Setiap orang yang menerima hadiah atau janji dengan maksud untuk
melakukan sesuatu bagi si pemberi suap yang bertentangan dengan kewajibannya,
baik permintaan itu dilaksanakan ataupun tidak dilaksanakan, atau menyukseskan
perkaranya dengan mengalahkan lawannya sesuai dengan yang diinginkan atau
memberikan peluang kepadanya (seperti tender) atau menyingkirkan musuhnya
adalah penerima suap. Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang
menerima suap adalah orang yang memberikan rekomendasi bagi orang lain
setelah orang itu memberikan sesuatu kepadanya. Baik orang yang memberi
ataupun yang menerima suap, sama-sama mendapatkan hukuman karena dengan
melakukan suap tersebut kedua belah pihak telah merugikan pihak lain.
Definisi suap di dalam Undang-undang No. 11 tahun 1980 tentang Tindak
Pidana Suap
Pasal (2) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang
dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan
kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum,
Pasal (3) Menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut
dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan
Universitas Sumatera Utara
Page 140
supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang
berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut
kepentingan umum.
Dalam arti yang lebih luas suap tidak hanya dalam uang saja, tetapi dapat
berupa pemberian barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma dan
fasilitas lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri atau pejabat negara yang
pemberian tersebut dianggap ada hubungan dengan jabatanya dan berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya sebagai pegawai negeri atau pejabat negara.
Perbuatan suap dilakukan oleh seorang kepada pihak lain baik pegawai
negeri, pejabat negara maupun kepada pihak lain yang mempunyai
kewenangan/pengaruh. Pemberi suap memperoleh hak-hak, kemudahan atau
fasilitas tertentu. Perbuatan suap pada hakekatnya bertentangan dengan norma
sosial, agama dan moral. Selain itu juga bertentangan dengan kepentingan umum
serta menimbulkan kerugian masyarakat dan membahayakan keselamatan negara.
Akan tetapi, kenyataanya banyak perbuatan yang mengandung unsur suap belum
ditetapkan sebagai perbuatan pidana, misalnya pemilihan perangkat desa,
penyuapan dalam pertandingan olahraga, dan lain sebagainya.
Batasan untuk kepentingan umum ditegaskan dalam pasal 2, pasal 3 serta
paragraf ke 3 Undang-Undang No 11 tahun 1980 tentang suap, termasuk untuk
kepentingan umum kewenangan dan kewajiban yang ditentukan oleh kode etik
profesi atau yang ditentukan oleh organisasi masing-masing. Aturan yang
menunjuk adanya kekhususan, sebagaimana terdapat dalam perumusan ancaman
pidana yang menggunkan perumusan kumulatif ancaman pidana penjara dan
Universitas Sumatera Utara
Page 141
denda. Ex: ps 2 UU No 11 thn 1980 ( diperuntukan bagi pesuap aktif ), ps 3
undang-undang No 11 tahun 1980 (diperuntukan bagi pesuap fasif)
Penyogokan atau praktik suap terekam dengan jelas dalam novel 86. Judul
86 memang teramat singkat, namun di kalangan aparat, sandi 86 sudah begitu
populer. Artinya kurang lebihnya adalah "tahu sama tahu". Dalam novel itu, Okky
mengisahkan gambaran suap kepada panitera, hakim, petugas Rumah Tahanan
Negara (Rutan) ataupun Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), pengacara, juga
berbagai korupsi-korupsi kecil-kecilan dalam keseharian.
Menurut Okky, novel ini memang novel fiksi, tapi berdasarkan riset. Bisa
dikatakan sebagai perekam potret kenyataan, tetapi juga tidak bisa dikatakan
sepenuhnya sebagai kisah nyata. Riset dilakukan Okky saat masih menekuni
profesi sebagai jurnalis hukum pada sebuah media cetak di Jakarta. Dari
pengamatannya di lapangan yang digelutinya setiap hari itulah lahir ide awal
novel 86. Dalam novel tersebut, Okky menggambarkan praktik-praktik korupsi di
dalam pelayanan publik, sistem peradilan, dan lembaga pemasyarakatan. Riset
dan bahan-bahan penulisan novel ini, dikumpulkannya selama dua tahun meliput
di bidang hukum.
Praktik suap dapat dilihat dari beberapa peristiwa seperti peristiwa
sebelum tertangkapnya Bu Danti dan Arimbi. Bu Danti sebagai ketua panitera
pengadilan, menyuruh Arimbi menemui Rudi dan Sasmita, pengacara terdakwa
kasus korupsi di sebuah restoran. Sasmita memberikan sebuah koper kepada
Arimbi yang berisi uang dua milyar hendak menyogok tiga orang hakim untuk
memenangkan perkara kliennya. Bu Danti menghubungkan dengan tiga orang
Universitas Sumatera Utara
Page 142
hakim pemutus perkara. Masing-masing hakim meminta lima ratus juta. Sisanya
komisi buat Bu Danti. Bu Danti akan memberi Arimbi lima puluh juta.
Widodo menyogok saat menjadi pegawai negeri, juga merupakan kasus
suap. Hal ini diketahui melalui pembicaraan antara Arimbi dengan sahabat
lamanya yaitu Narno. Mereka membicarakan Widodo, teman mereka waktu SD.
Widodo sudah menjadi pamong desa dengan membayar empat puluh juta. Hal ini
juga senada dengan perkataan Pak Lurah yang menginginkan anaknya menjadi
pegawai negeri di kantor Arimbi. pak Lurah sudah menyiapkan uang seratus juta
untuk menyogok agar anaknyayang sarjana hukum bisa bekerja di kantor
pengadilan. Anak Pak Lurah yang nomor satu, lulusan SMA, juga menyogok
untuk bekerja di Pemda sebesar lima puluh juta.
Bu Danti mendapat perlakuan yang istimewa di sel tahanan dan di dalam
penjara karena dia menyuap para petugas lapas. Bu Danti memesan kamar di
lantai atas lengkap dengan dapur, kamar mandi, televisi, dan AC. Kamar mandi
itu dibuat setelah Bu Danti menempati ruangan itu.
Cik Aling dapat melakukan transaksi jual beli narkoba di dalam penjara
juga karena dia menyuap para sipir dan kepala lapas. Cik Aling bisa dengan bebas
memasukkan bahan baku pembuatan narkoba dan meraciknya di penjara. Setelah
dikemas, barang tersebut siap diedarkan baik di dalam penjara maupun di luar
penjara dengan bantuan para sipir yang memberi kemudahan kepada Cik Aling.
Setelah dua tahun Arimbi di penjara, dia mendapat keringanan hukuman.
Seorang sipir penjara menjanjikan kebebasan Arimbi, jika mau membayar lima
Universitas Sumatera Utara
Page 143
belas juta. Arimbi menyanggupi. Dia memberikan uang suap tersebut kepada sipir
penjara dan Arimbi bisa keluar dari penjara sekitar bulan Desember.
Praktik suap kecil-kecilan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari yang
dilakukan oleh Bu Danti, Arimbi, dan Anisa. Para pengacara memberikan uang
sebagai upah kepada Bu Danti karena telah mengeluarkan amar putusan hakim.
Arimbi dan Anisa sebagai juru ketik, mendapat bagian dari Bu Danti sebagai upah
ketik. Arimbi pernah mendapat AC sebagai upahnya. Sejak itu, Arimbi sering
mendapat tambahan uang saku dari para pengacara yang mengurus amar putusan
hakim kepadanya. Begitu juga dengan Anisa, bahkan Anisa bisa membeli mobil
dan rumah yang mewah dari hasil suap yang diterimanya dari para pengacara.
Sebelum menikah, Ananta mengajak Arimbi ke kampungnya. Mereka naik
kereta api. Ananta sengaja tidak membeli karcis. Saat petugas pemeriksa karcis
datang, Ananta segera menyodorkan beberapa lembar uang puluhan ribu. Ananta
hanya membayar setengah dari harga karcis yang sesungguhnya. Karena sudah
membayar, Ananta dan Arimbi aman di kereta itu. Mereka tidak diturunkan di
stasiun terdekat. Peristiwa ini termasuk juga perbuatan menyuap petugas. Ketika
sepasang suami istri yang membawa seorang bayi yang tidak mempunyai uang
untuk membayar, mereka akan diturunkan di stasiun terdekat. Ananta merasa
kasihan dengan orang tersebut, lalu dia memberikan beberapa lembar uang
puluhan ribu kepada petugas sebagai uang sogok, sehingga mereka tidak jadi
diturunkan.
Peristiwa lain adalah peristiwa perkawinan Arimbi dengan Ananta. Ananta
tidak membawa surat keterangan dari kepala desanya untuk menumpang nikah di
Universitas Sumatera Utara
Page 144
desa Arimbi. Dengan memberikan uang sebesar tiga ratus ribu rupiah kepada
pamong desa dan petugas KUA, pernikahan Arimbi dapat dilaksanakan dengan
baik. Padahal, biasanya biayanya hanya seratus lima puluh ribu rupiah. Dengan
membayar dua kali lipat surat numpang nikah bisa dihadirkan. Jadi, Arimbi
memberi suap kepada pamong desa sebesar seratus lima puluh ribu rupiah.
Suap kecil-kecilan juga dapat dilihat dari peristiwa Ananta berjunjung ke
penjara. Setiap kali melewati pintu penjaga, Ananta harus mengeluarkan uang
sebagai sogokan kepada penjaga. Jika tidak diberi uang, maka Ananta tidak
diperkenankan masuk menemui Arimbi. hal ini juga berlaku pada pengunjung
lainnya yang akan memasuki ruang besuk penjara.
Novel 86 pernah dibedah di Universitas Paramadina, Jakarta. Hakim PN
Jaksel Albertina Ho yang namanya mencuat ketika menyidangkan kasus Gayus
Tambunan, ikut hadir sebagai pembahas. Menurutnya, tokoh utama dalam novel
karya Okky itu menjadi semacam pesan khususnya bagi orang-orang di PN Jaksel.
”Novel ini justru memberi tahu kami orang-orang di dalam, yang justru malah
seringkali tidak tahu apa-apa karena saling merasa tak enak satu sama lain.” kata
Albertina.
Menurutnya, novel itu mempermudah orang memahami gambaran tentang
praktik kotor di lembaga peradilan. Namun Albertina tetap menyodorkan
keraguan. ”Yang menjadi pertanyaan kita semua sekarang, benarkah seburuk itu
sistem peradilan kita?” tanyanya. Sebab menurut Albertina, yang harus dikritisi
tidak hanya hakim dan orang-orang yang berada dalam sistem, tapi juga orang
Universitas Sumatera Utara
Page 145
yang mau menyuap. ”Dalam novel ini kita lihat sendiri, bagaimana pengacara dan
orang-orang berperkara yang mencari-cari cara menyuap.”
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah yang juga
hadir sebagai pembahas novel mengatakan, tulisan Okky merupakan catatan
penting dalam pemberantasan korupsi. ”Ada korupsi sehari-hari yang sederhana,
hingga korupsi-korupsi besar berupa suap hakim," ujar Febri. ”Di sini terlihat
sekali bagaimana orang yang susah payah ditangkap dan dihukum KPK masih
mendapat pelayanan enak di LP,” imbuhnya. Dikatakannya pula, novel
merupakan cara alternatif untuk mendidik dan mencegah orang korupsi. ”Banyak
buku-buku penelitian dan teks tentang korupsi. Tapi itu akan sulit dibaca orang.
Novel bisa lebih mudah dipahami,” ulasnya.
4.3.2.2 Peredaran Narkoba di Penjara
Peredaran narkoba tidak hanya dilakukan di lingkungan masyarakat, tetapi
juga dari balik penjara. Tidak sedikit pengedar yang masih beroperasi kendati
sedang menjalani hukuman di balik penjara. Badan Narkotika Nasional (BNN)
mendeteksi, sekitar 60 persen peredaran narkoba di Indonesia ternyata
dikendalikan dari balik “hotel prodeo”. Sesuai data BNN, setiap tahun hampir
pasti ada pengungkapan peredaran narkotika dari balik penjara. Misalnya, pada
2012 ada tujuh narapidana Nusakambangan yang terbukti menjadi otak peredaran
narkotika 3,9 kg di Depok.
Hal yang sama dilakukan oleh Cik Aling melalui novel 86. Cik Aling
mengendalikan peredaran narkoba dari dalam penjara dengan dibantu oleh para
Universitas Sumatera Utara
Page 146
sipir dan orang-orang kepercayaan Cik Aling. Penggambaran yang ada di dalam
novel itu pada sesungguhnya adalah relaitas sosial yang ada di alam nyata, seperti
beberapa peristiwa berikut.
Pada 2013 seorang terpidana berinisial FI alias JF yang mendekam di
Lapas Kembang Kuning, Nusakambangan, juga terbukti menyuruh seorang kurir
berinisial BL untuk mendistribusikan sabu-sabu dan heroin di DKI Jakarta.
Barang bukti yang diambil dari BL adalah 190 gram sabu-sabu dan 0,4 gram
heroin.
Tahun lalu atau 2014 terungkap pengendalian peredaran narkotika dari
penjara yang lebih besar. Dua terpidana dari Lapas Pontianak bernama Jacky
Chandra dan Koei Yiong alias Memey terbukti menyuruh kurir bernama Nuraini
untuk menyelundupkan 5 kg sabu- sabu dari Malaysia ke Indonesia. Humas BNN
AKBP Slamet Pribadi menjelaskan, yang paling baru adalah kasus Sylvester
Obiekwe yang menyuruh kurir bernama Dewi yang ke dapatan membawa 7.622
gram sabu-sabu. Namun, semua pengungkapan itu belum seberapa. Pasalnya,
BNN mendapati angka 60 persen peredaran narkotika dikendalikan dari penjara
itu karena memang sekarang sedang memantau. Menurut Slamet Pribadi, cara
pengendalian penjualan narkoba setiap pengedar hampir sama. Dengan
menggunakan alat komunikasi, pengedar menghubungi setiap jaringannya. Mulai
kurir hingga bos narkoba. Mereka berupaya mengungkap peredaran narkotik dari
hulu hingga hilir.
Yang lebih mengkhawatirkan, sebenarnya penjara juga menjadi tempat
perekrutan bagi pengedar baru narkoba. Salah satu modusnya, pengedar lama
Universitas Sumatera Utara
Page 147
menjerat para pengguna narkoba yang lagi meringkuk di tahanan. Pengedar
tersebut memberikan bantuan uang kepada pengguna itu. Lalu, setelah bebas,
pengguna tersebut menjadi kaki tangan pengedar yang masih berada di dalam
penjara. Mereka menjerat dengan hutang.
Modus yang sama yang dilakukan oleh Tuti terhadap Arimbi dalam novel
86. Tuti menjerat Arimbi dengan minjamkan uang. Arimbi membutuhkan uang
untuk biaya ibunya yang menderita penyakit ginjal. Setiap dua minggu sekali
ibunya harus cuci darah. Mula-mula Tuti meminjamkan uangnya kepada Arimbi.
Tuti memahami benar bahwa Arimbi membutuhkan uang setiap bulan untuk biaya
cuci darah ibunya, akhirnya Tuti memperkenalkan Arimbi kepada Cik Aling. Cik
Aling adalah bandar narkoba yang berada di dalam penjara. Dia mengedarkan
narkoba dari balik penjara dengan bantuan aparat dan kurir.
Arimbi yang terikat dengan kebutuhan untuk pengobatan ibunya, akhirnya
menyetujui untuk mengedarkan narkoba melalui sumainya, Ananta. Awalnya,
Ananta menolak. Namun, karena dibujuk oleh Arimbi, tuntutan kebutuhan hidup
yang meningkat, dan bakti kepada orang tua, akhirnya Ananta bersedia. Anata
menjadi kurir dalam peredaran narkoba. Pertama-tama, dia hanya mengantar
pesanan di kawasan kota Jakarta saja, namun kemudian dia juga mengantar
pesanan sampai ke Surabaya dan Bali. Dengan modus untuk memenuhi
kebutuhan, mereka terjerat dalam jaringan pengedaran narkotika.
Ada juga cara lain yang baru terungkap. Yaitu, pengedar yang memiliki
alat komunikasi (HP) berkenalan dengan orang lain melalui media sosial. Kenalan
Universitas Sumatera Utara
Page 148
tersebut dimintai bantuan untuk mengedarkan narkoba. ”Semua ini harus
dihentikan,” tegasnya.
Pengedar yang masih mengendalikan peredaran narkoba itu menyebar
hampir di semua penjara Indonesia. BNN belum bisa mengungkapkan penjara
mana saja yang terpidananya masih menjalankan bisnis haram tersebut. Kalau
penjaranya diungkap, tentu para pengedar di balik penjara lebih waspada dan bisa
menghilangkan bukti-bukti yang sudah diketahui BNN. Jumlah penjara se-
Indonesia sekitar 365. BNN berjanji akan mengungkap semuanya satu per satu.
BNN tidak sendirian dalam mengungkap pengedar narkoba dari balik penjara.
Banyak sipir yang membantu dengan memberikan informasi. Tentunya para sipir
ini yang benar-benar mengetahui kondisi di dalam penjara.
Sementara itu, Kepala BNN Komjen Anang Iskandar menuturkan, para
pengedar juga memandang bahwa penjara merupakan tempat bisnis yang
menggiurkan. Sebab, para pengguna sudah jelas ada di sana, makanya, penjara itu
juga disasar untuk bisnis mereka. Pernah suatu kali di salah satu penjara di Jakarta
terdapat kepala lapas yang sangat protektif dan tegas. Narkoba tidak bisa beredar
di lapas tersebut. Hasilnya, suatu kali ada 150 napi kasus narkoba yang sakau atau
ketagihan. Hal ini tentu membuat penjara itu menjadi sangat gaduh. Sedemikian
beratnya upaya menghentikan peredaran narkotik ini.
Vonis mati Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada 11 September 2004
tidak membuat Silvester Obiekwe alias Mustofa, 50, tobat. Meski berada di dalam
sel di Lapas Nusakambangan, warga negara Nigeria itu tetap bisa mengendalikan
peredaran narkoba dari balik jeruji besi. Rekam jejak kejahatan Mustofa di dunia
Universitas Sumatera Utara
Page 149
narkoba cukup mencengangkan. Dia kali pertama ditangkap pada 2004 karena
menyelundupkan 1,2 kilogram (kg) heroin ke Indonesia. Dia pun divonis
hukuman mati. Selama menunggu eksekusi, dia dikirim ke LP Pasir Putih,
Nusakambangan, Jawa Tengah. Bukannya memperbaiki diri, dia malah semakin
menjadi-jadi.
Pada 2012, aparat Badan Narkotika Nasional (BNN) membongkar
penyelundupan 2,4 kg sabu-sabu (SS) dari Papua Nugini. Kurir tersebut
ditangkap. Di antaranya, Imam dan Mulyadi. Ternyata, mereka adalah kaki tangan
Mustofa. Pada 2014, Mustofa kembali dijemput aparat BNN karena disebut
sebagai otak penyelundupan 6,5 kg sabu-sabu di Tanjung Perak, Surabaya. Dua
kurirnya, Alex dan Niko, dibekuk. BNN menangkap kurir jaringan Mustofa, yakni
perempuan bernama Dewi, dengan barang bukti 7.622 gram sabu-sabu.
Kepala BNN Komjen Pol Anang Iskandar menyatakan, meski terdakwa
sudah divonis mati, tiga kasus terakhir tetap diproses. Misalnya, kasus pada 2012
dan 2014, berkas Silvester sudah P-21 alias lengkap. Namun, sampai saat ini, dua
kasus tersebut belum disidangkan, mungkin karena terdakwa sudah divonis
maksimal pada 2004.
Petugas BNN menjemput Andi dan Silvester yang mendekam di blok A1
16. Mereka kemudian dibawa ke BNN pusat Jumat (30/1). Dari sel tahanan, aparat
menyita sebuah ponsel dan peranti penguat sinyal. Dua alat itu digunakan
tersangka untuk berkomunikasi dengan kurir di luar penjara. Sementara itu,
Kasubdit Komunikasi Dirjen Pemasyarakatan Akbar Hadi menuturkan, pihaknya
mendukung upaya BNN dalam menindak bandar yang masih bermain meski
Universitas Sumatera Utara
Page 150
dalam masa tahanan. Dia menjelaskan masih ada kelemahan di rumah tahanan
(rutan) atau lembaga pemasyarakatan di Nusakambangan. Terutama terkait
dengan teknologi, yakni tidak mempunyai alat penyadap.
4.3.3 Realitas Sosial Novel Maryam
4.3. 3.1 Diskriminasi dan Kekerasan
Diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh warga pengikut Ahmadi di
Gegarung yang dalam novel Maryam adalah realitas sosial yang terdapat pada
kehidupan nyata. Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos
mengatakan, gambaran diskriminasi ini sengaja dibuka ke permukaan untuk
menyegarkan kembali ingatan pemerintah akan hak-hak jamaah Ahmadiyah
sebagai warga negara. Letak asrama Transito tak jauh dari pusat kota Mataram,
eks gedung transmigrasi. Terutama terhadap jamaah Ahmadiyah yang mengungsi
di Asrama Transito Mataram. Sudah tujuh tahun sejak terjadinya penyerangan
serius dan pengusiran paksa dari Ketapang, Lingsar, Lombok Barat pada 4
Februari 2006, sebanyak 35 (tiga puluh lima) Kepala Keluarga (KK) atau sekitar
100 (seratus) jiwa kelompok ini hidup dalam ketidakpastian. Selama tujuh tahun,
pemerintah hanya memberikan bantuan tidak lebih dari satu tahun. Secara resmi
pemerintah menghentikan bantuan pada Januari 2007. Selama itu jamaah
Ahmadiyah mengalami pembiaran dan penelentaran sistemik oleh Negara.
Hal ini sejalan dengan yang dituliskan Okky dalam novelnya,
Duabelas bulan telah membentuk kebiasaan. Dari anak-anak
sampai orang tua. Tak ada lagi yang menyebut tentang Gegarung. Tak ada
lagi tangisan kesedihan mengingat harta benda kini telah hilang. Semua
orang menahan diri, sabar, dan berserah diri. mereka sadar tak ada yang
Universitas Sumatera Utara
Page 151
bisa dilakukan selain menjalani apa yang ada. Kamar-kamar tersekat kain
itulah tempat mereka kini. Tiga kompor di dekat kamar mandi dan
setumpuk piring itulah dapur mereka bersama.kamar mandi, tempat cuci
baju, dan satu ruangan di samping bangunan utama yang digunakan untyk
salat bersama. Itulah hidup mereka.
...
Cerita yang sama diulang-ulang. Rentetan peristiwa di Gegerung
hingga bagaimana mereka bertahan sampai sekarang. Pak Khairuddin yang
selalu diajak mendampingi Zulkhair. Ia menceritakan semua peristiwa
yang dialaminya, sejak di Gerupuk, pengungsian di masjid organisasi,
pindah ke Gegerung, hingga sekarang tinggal di Transito. Zulkhair
menambahinya dengan berbagai tuntutan dan permintaan. Tamu-tamu
pulang dengan meniggalkan harapan besar di benak semua orang. Harapan
tentang perubahan, harapan untuk segera kembali pulang ke rumah, dan
hidup normal. Lagi-lagi kabar baik itu tak pernah datang. Waktu terus
berjalan, tamu-tamu pun terus berdatangan, harapan tetap ditanam, tapi
inilah yang namanya kenyataan (My, 2012: 250-251).
Baik Pemerintah Kota Mataram, Pemerintah Provinsi NTB maupun
Pemerintah Pusat, sama sekali tidak memiliki prakarsa dan usaha menuntaskan
kekerasan dan pengungsian ini. Sepanjang tujuh tahun pula, bahkan sejak 1999,
diskriminasi dan kekerasan terus dialami oleh jamaah Ahmadiyah Lombok.
Bukan hanya jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan terenggut, tetapi juga
hak-hak dasar sebagai warga negara, seperti hak untuk hidup layak, pendidikan,
kesehatan, layanan publik lainnya. Pengungsi di Asrama Transito mengetuk hati
setiap orang yang mengunjungi mereka, tetapi gagal menembus hati para
penyelenggara negara untuk sekadar berdialog mencari solusi bersama. Sampai
sekarang belum ada realisasi konkret dari pemerintah, baru berupa tawaran-
tawaran. Misalnya ditawarkan untuk relokasi ke tempat lain, tetapi ketika jamaah
ini merespons, malah tidak ada tindakan nyata.
Harapan untuk hidup normal telah terenggut. Para pengungsi harus tinggal
di gedung pengungsian dengan beralaskan tikar dan kamar yang disekat dengan
Universitas Sumatera Utara
Page 152
kain untuk membedakan satu keluarga dengan keluarga yang lain. Sehari-hari
mereka menetap di dalam ruangan yang hanya dibatasi kain-kain bekas spanduk
sebagai tanda pemisah antara satu keluarga dengan keluarga lain. Tiap keluarga –
ayah-ibu serta anak-anaknya – tinggal di ruang petak berukuran 3×3 meter
berbatas kain itu. Mereka berbagi tidur, anak-anak belajar, dan memasak di ruang
yang sama.
Sejak mesjid organisasi mereka di segel dan tidak boleh dipergunakan lagi,
mereka menjadikan gedung Transito sebagai pusat kegiatan keagamaan. Setiap
Jumat, orang-orang Ahmadi sholat bersama. Seminggu sekali mereka juga
mengadakan pengajian yang dihadiri oleh orang-orang Ahmadi di daerah lain.
Ustaz muda didatangkan dari Jawa yang ditugaskan oleh organisasi Ahmadiyah
untuk memberikan bimbingan khusus di Gedung Transto.
Hak-hak korban sebetulnya sudah secara jelas dan tegas diatur dalam
berbagai peraturan, seperti UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, PP 3/2002
tentang Kompensasi, Restitusi, Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM
Yang Berat, UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta UU 7/2012
tentang Penanganan Konflik Sosial. Tetapi belum ada petunjuk teknis-nya,
sehingga pelaksanaan peraturan ini tidak jalan di tingkat lapangan. Parahnya,
korban Ahmadiyah lebih banyak dianggap sebagai korban konflik horizontal
sehingga pemerintah merasa tidak punya tanggung jawab. Selain itu dianggap
sebagai bencana sosial, sehingga bantuan pemerintah cenderung terbatas dan
temporer.
Universitas Sumatera Utara
Page 153
Para pengungsi harus mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarga
mereka. ada yang kembali berdagang, dan bekerja sebagai kuli bangunan. Ada
juga narik ojek dan buruh di perkebunan. Mereka tidak bisa menghandalkan
bantuan dari pemerintah. Hasil mereka yang pas-pasan dapat menutupi biaya
kebutuhan hidup yang selalu cukup untuk makan.
Fatimah Azzahra, mahasiswa Universitas Paramadina, menulis di Jurnal
“Tempo Institute” dengan judul Pesan Keteguhan dari Pulau Lombok,
menjelaskan Esai ini bercerita tentang warga Ahmadiyah Lombok yang sudah
mengungsi di Transito sejak 2006 yang belum ada kejelasan nasibnya hingga kini.
Mereka mengalami hambatan ekonomi dan sosial, tak bisa pulang ke rumah
asalnya. Namun, para pengungsi teguh dalam hadapi segala tekanan dan
pengacuhan.
Pada 1999, Ahmadiyah Lombok kali pertama mengalami serangan oleh
orang-orang yang menginginkan mereka keluar dari keyakinannya. Saat itu masjid
Ahmadiyah di Bayan, Lombok Barat dibakar. Satu orang meninggal, dan semua
orang Ahmadi di Bayan diusir. Pada 2001, menyusul Ahmadiyah Pancor,
Lombok Timur disasar; mereka juga terpaksa pergi dari kampungnya dan
mengungsi. Sejak saat itu setidaknya delapan kali warga Ahmadi berpindah
tempat mencari penghidupan ke sekitar Lombok-Sumbawa. Ada yang mengungsi
ke sanak saudara, ada pula yang kembali berusaha membangun rumah di tempat
lain. Namun, tak kurang dari delapan kali itu pula mereka terus-menerus diserang
dan diusir. Tahun 2010 beberapa belas kepala keluarga beli tanah dan bangun
rumah dari hasil keringat sendiri di daerah Ketapang, tapi lagi-lagi rumah mereka
Universitas Sumatera Utara
Page 154
disasar dan dibakar. Mengenai hal ini, laporan sementara Komnas HAM
mengindikasikan adanya sebuah pola yang “sistematis dan meluas”, dua unsur
yang menunjukkan adanya pelanggaran berat atas kemanusiaan. Intensitas
kekerasan atas nama keyakinan naik drastis pasca-Suharto, lebih-lebih di bawah
pemerintahan Yudhoyono setelah mengeluarkan SKB 2008 anti-Ahmadiyah.
Sejak 2006, warga Ahmadiyah Lombok tinggal di Transito. Ada pasangan
yang menikah di pengungsian, ada perempuan-perempuan mengandung, ada
anak-anak yang lahir dan tumbuh besar juga di sana. Lahirlah generasi-generasi
Ahmadi. Beberapa anak remaja yang sudah duduk di bangku SMP dikirim ke
Surabaya dan Kuningan. Ada yang masih betah dan ada juga yang minta pulang.
Dipengungsian ini juga ada yang sudah meninggal dunia. Ada yang lahir, ada
yang pergi. Para pengungsi tersebut mengalami begitu banyak hambatan sosial
dan ekonomi.
Yang paling menyakitkan adalah bahwa jika mereka berterus terang
tinggal di Transito, pembuatan KTP mereka tidak diproses. Malah sebagian besar
pengungsi tak punya kartu penduduk. Imbasnya, pasangan yang menikah tak bisa
memiliki akta nikah, lalu anak-anak pun tak punya akta lahir, yang gilirannya
akan kesulitan saat daftar sekolah. Pengungsi yang tak punya KTP tak bisa
mendapat akses layanan publik seperti jaminan kesehatan. Status kependudukan
yang diabaikan di tempat asal maupun di Transito membuat anak-anak sekolah
kesulitan mendaftar beasiswa karena pejabat kelurahan enggan memberikan
dokumen pengantar.
Universitas Sumatera Utara
Page 155
Surat terakhir yang dikirim Maryam kepada Bapak Bupati, juga tidak
berhasil memecahkan masalah diskriminasi dan kekerasan yang diterima oleh para
pengikut Ahmadiyah. Dalam suratnya, Maryam hanya mohon keadilan, ingin
pulang ke rumah dan hidup aman, seperti pada kutipan berikut:
Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta
dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tdak minta
bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hdup normal. Agar
anak-anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar
kelak kami juga bisa mati dengan tenang, d rumah kami sendiri.
Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami
sendiri, kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan
kejahatan, tak pernah mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang
diterima akal, sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hdup di
pengungsian seperti in?
Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu?
(My, 2012: 274-275)
4.3.3.2 Kontroversi Ahmadiyah di Indonesia
Munawar Ahmad (Wahyudi, 2015: 64) menjelaskan bahwa puncak
penentangan terhadap Ahmadiyah terjadi semenjak negara-negara Islam
melakukan penolakan secara masif melalui Rabita al-Alam al-Islami (Liga
Muslim Dunia/ MWL). Pada bulan April 1974, Rabita al-Alam al-Islami merilis
fatwa yang menyatakan Ahmadiyah sebagai non-muslim. Kebijakan tersebut
diakui oleh Majles-e Sura Pakistan (Majelis Nasional Pakistan). Oleh karenanya,
para ulama Indonesia pun turut melakukan hal yang sama. Sejak saat itu JAI
(Jemaat Ahmadiyah Indonesia) menghadapi berbagai hambatan dan halangan
dalam perkembangannya, baik di bidang penyiaran agama maupun pendidikan.
Kaum Ahmadiyah meyakini hal tersebut sebagai penggenapan wahyu
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, bahwa pengikut Imam Mahdi
Universitas Sumatera Utara
Page 156
(pemimpin umat Islam di akhir zaman) akan menghadapi keadaan yang sama
seperti para sahabat Rasulullah di masa lalu. Sejak saat itu banyak halangan dan
hambatan yang dialami oleh JAI, tetapi tidak mengurangi semangat dan
keberanian kaum Ahmadi Indonesia untuk mempertahankan keyakinannya.
Di Indonesia, periode 1980-an menjadi masa perjuangan JAI dalam
menghadapi tekanan dari pemerintah dan para ulama. Mengikuti keputusan Rabita
al-Alam al-Islami, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa nomor
05/kep/Munas/MUI/1980, yang menyatakan bahwa Ahmadiyah sebagai “jemaah
di luar Islam, sesat, dan menyesatkan”. Keputusan tersebut diikuti oleh
pemerintah dengan melarang kegiatan Jalsah Salanah untuk Khuddam-Athfal dan
Lajnah Imaillah yang menjadi kegiatan rutin tahunan JAI. Selain itu kelompok
ulama tradisional banyak yang memimpin aksi perusakan masjid-masjid
Ahmadiyah. Situasi ini membuat MUI merekomendasikan kepada pemerintah
agar menyatakan Ahmadiyah sebagai non-muslim (Wahyudi, 2015: 65).
Terlepas dari berbagai tekanan yang dialami, dekade 90-an menjadi
periode perkembangan yang cukup pesat bagi jemaah Ahmadiyah di seluruh
dunia. Perkembangan tersebut idak lepas dari keputusan Hadhrat Khalifah al-
Masih IV, Mirza Tahir Ahmad, yang mencanangkan program baiat internasional
yang didirikan Muslim Television Ahmadiyya (MTA). Melalui MTA, komunikasi
searah yang dilakukan oleh pemimpnnya dapat diterima dengan jernih melalui
teknologi yang cukup murah. Tidak tanggung-tanggung, siaran berlangsung dua
puluh empat jam penuh tanpa iklan. Mereka menyewa tujuh satelit di luar
angkasa. Hal ini dilakukan agar semua anggota dapat melihat perkembangan
Universitas Sumatera Utara
Page 157
komunitas ini, sekaligus membangun citra mereka sebagai organisasi Islam yang
sejuk, damai, dan indah (Wahyudi, 2015: 65).
Meskipun demikian, JAI tidak mampu mengikuti laju perkembangan
Jemaah Ahmadiyah di dunia Internasional. Namun, masa transisi dari orde baru ke
era reformasi mejadi catatan tersendiri badi JAI. Momen ini memberi kesempatan
bagi JAI untuk mengabdi kepada masyarakat. Hingga kini, jemaah Ahmadiyah
telah tersebar hampir di dua ratus negara, termasuk Indonesia.
Mencermati mengenai aksi- aksi kekerasan yang terjadi di Indonesia
pascareformasi, selama 14 tahun ini setidaknya terdapat 2.398 kasus kekerasan
dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Yayasan Denny JA mencatat, dari
jumbah itu paling banyak kekerasan terjadi karena berlatar agama/paham agama.
Di antara banyak kasus tersebut, setidaknya terdapat lima kasus diskriminasi
terburuk empat belas tahun era reformasi, dengan kasus pengungsian Ahmadiyah
di Mataram menempati peringkat ke-4. Konflik Ahmadiyah di Mataram telah
menyebabkan 9 orang meninggal dunia, 8 orang luka-luka, 9 orang mengalami
gangguan jiwa, 379 orang terusir dari rumahnya, 9 pasangan suami-istri dipaksa
cerai, 3 oramg perempuan keguguran,61 anak-anak harus putus sekolah,45 warga
dipersult dalam mengurus adiministrasi KTP ,dan 322 dipaksa keluar dari jemaah
Ahmadiyah. Meski tidak menimbulkan korban jiwa yang begitu besar, konflik ini
mendapat sorotan tajam dari media. Setelah konflik usai, selama 8 tahun nasib
pengungsi belum mendapat kejelasan.
Universitas Sumatera Utara
Page 158
4.3.3.3 Kaum Marginal
Kendati memiliki ribuan penganut dan tersebar di penjuru Indonesia,
namun jemaat Ahmadiyah tetap menjadi minoritas. Pemerintah secara jelas
mengekang kebebasan kaum Ahmadi untuk bersyiar. Sikap terbaru pemerintah
terhadap eksistensi JAI direpresentasikan melalui Surat Ketutusan Bersama (SKB)
menteri Agama, Jaksa Agung dan menteri Dalam Negeri RI, No. 3 Tahun 2008,
KEP-033/A/JA/6/2008, dan No. 99 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah
kepada Penganut Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah (JAI)
dan Warga Masyarakat.
Dalam sambutan tertulis Prof. H. Abdurrahmad Mas‟ud, Ph.D, kepala
Puslitbang Kehidupan Beragama, Kementrian Agama RI, menjelaskan bahwa dua
putusan tersebut ditetapkan pada 9 Juni 2008, yang pada intinya memberikan
perintah kepada JAI untuk menghentikan penyebaran atas tafsir Ahmadiyah,
sekaligus kegiatan yang dianggap menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam.
Bila mana JAI tidak mematuhinya, maka akan diberikan sanksi menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Di sisi lain, melalui SKB tersebut, pemerintah
meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang
anarkis kepada JAI. Tidak bisa dipungkiri bahwa keputusan ini menuai pro dan
kontra di tengah masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa terbitnya
SKB adalah bentuk pemberangusan atau kebebasan beragama dan menjalankan
keyakinan. Di sisi lain, ada juga masyarakat yang beranggapan bahwa persoalan
JAI bukan semata-mata terkait dengan penyikapan kebebasan beragama, melaikan
perlakuan penodaan agama. Penodaan yang dimaksud adalah paham Ahmadiyah
Universitas Sumatera Utara
Page 159
yang telah salah dalam melakukan penafsiran ajaran Agama Islam (Wahyudi ,
2015: 128). Sementara bagi kaum Ahmadi, jelas SKB telah membatasi mereka
dalam melakukan dakwa secara terang-terangan.
Prof. H. Abdurrahmad melanjutkan, bagi pemerintah penerbitan SKB
sepatutnya dapat diapresiasi oleh semua pihak. Dalam hal ini pemerintah memiliki
beberapa alasan, antara lain: pertama, kebijakan ini sedikit banyak membantu
pengikut Ahmadiyah untuk memahami dirinya sendiri dari kaca mata orang luar,
sehingga tidak merasa benar sendiri dan menganggap kelompok lainnya salah.
Kedua, mengarahkan masyarakat agar lebih membuka diri terhadap perbedaan
pendapat dan tidak melakukan main hakim sendiri bilamana menemukan
sekelompok masyarakat yang punya paham keagamaan yang berbeda dengan
umat Islam pada umumnya. Ketiga, belajar untuk menyelesaikan semua persoalan
umat dengan kerangka penegakan hukum dan penghargaan terhadap hak-hak asasi
manusia (Wahyudi, 2015: 128-129). Menyikapi maksud pemerintah, JAI selaku
institusi mengambil sikap kompromi untuk memilih solusi alternatif.
Alasan kuat pemerintah melakukan pelarangan terhadap JAI lebih
didasarkan pada penafsirannya yang tidak lazim menurut keyakinan umat Islam
pada umumnya. Khususnya terkait dengan persoalan kenabian Mirza Ghulam
Ahmad. Sementara itu, menurut Muhammad Siddik Ji‟an (wakil Amir bidang
Tarbiyah PB JAI), soal kenabian dan Al-Mahdi, ilmiah, ayat, dan hadis
dipadukan, dimana khataman nabiyyin dipahami oleh JAI dari akar ikatannya.
Maka, sebagai muslim wajib meyakini kehadiran nabi Isa yang kedua kalinya di
jaman akhir sebagai nabi dan rasul.
Universitas Sumatera Utara
Page 160
Respon terbaru dari pemerintahan telah menjadikan kesadaran baru di
kalangan JAI bahwa sudah saatnya dialog dilakukan dengan pendekatan publikasi
tertulis (menggiatkan penulisan ilmiah) yang lebih terbuka dan obyektif,
sementara untuk kegiatan peribadatan sebagai muslim dijalankan secara individu
per individu dan berjamaah pada masjid-masjid yang masih ada pengelolannya.
Fakta adanya perbedaan pandangan, bahkan nyaris terpolarisasi sekalipun,
maka pilihan sosial terbaik adalah musyawarah atau dialog. Akan tetapi, acap
manusia memilih solusi berupa jalan kekerasan, padahal langkah tersebut tidak
pernah dapat menyelesaikan persoalan. Sebaliknya, dalam dialog ada proses
diskursif yang berujung pada penemuan suatu solusi-solusi dan kesepahaman.
Ahmadiyah sejak kelahirannya telah menimbulkan perbedaan teologis di kalangan
umat Islam, demikian juga halnya saat kedatangannya ke Nusantara. Perbedaan
suda menjadi konsekuensi logis dari kehadirannya, mengingat dasar keyakinan
mereka berkaitan erat dengan persoalan aqidah yang dipandang berbeda oleh umat
Islam pada umumnya.
Menurut Hans Kung (Wahyudi, 2015: 203), dialog harus dilakukan secara
demonstratif, yakni mengemukan pendapat sepanjang-panjangnya sesuai kadar
kebenaran yang dimiliki dan dipahami seseorang. Oleh karena itu, dialog
semestinya tidak mencari kebenaran, melainkan mencari pemufakatan masing-
masing pihak yang berselisih paham. Nilai-nilai fundamental dari suatu gerakan
kelompok masyarakat pada komunitas marginal adalah menjunjung tinggi dialogis
permusyawaratan utnuk menggali kebenaran atau titik temu.
Universitas Sumatera Utara
Page 161
Pada era reformasi, berbagai macam komunitas bermunculan. Simon
pilphott (Qodir, 2011: 2) menyebutnya sebagai berkah demokrasi, sehingga secara
otomatis juga menjadi berkah bagi tumbuhnya kelompok-kelompok mayarakat di
Indonesia. Wahyuni (2015: 205) menanggapi
Bagi anggota JAI, bisa jadi reformasi bukan merupakan berkah,
namun menjadi bencana yang menghimpit ruang geraknya. Menyikapi
berbagai tekanan dan intoleransi, maka respon JAI yang cenderung
ditonjolkan adalah: 1). Jika menyangkut perbuatan hukum, maka yang
ditempuh adalah mekanisme hukum; 2). Jika bentuknya teror, ancaman,
atau sindiran maka yang dipilih adalah kesabaran dan tidak memancing
emosi pihak lain; 3). Jika wujudnya merupakan pengembangan opini
publik, maka yang ditempuh adalah jalan klarifikasi, termasuk dengan
menerbitkan buku; 4). Jika yang ditekan adalah JAI selaku institusi, maka
yang dilakukan adalah memanfaatkan kekuatan jaringannya, baik dalam
skala nasional maupun internasional di dalam sitem kekhalifahan
Ahmadiyah.
Universitas Sumatera Utara
Page 162
BAB V
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
5.1 Struktur Penceritaan Novel Okky Madasari
Penelitian ini memusatkan perhatian pada tiga novel Okky Madasari, yaitu
Entrok, 86, dan Maryam. Berdasarkan paparan data dan temuan penelitian, ketiga
novel tersebut memiliki realitas fiksi dan realitas sosial yang melekat dalam
pengalaman hidup pengarangnya. Oleh karena itu, pembahasan struktur
penceritaan novel-novel ini terintegrasi dengan pengungkapan peristiwa
kehidupan dalam novel dan peristiwa kehidupan yang dialami sendiri oleh
pengarangnya.
Struktur penceritaan novel yang didasarkan pada pengalaman pengarang
novel ini, berfungsi sebagai kerangka cerita. Hal ini disebabkan terdapat peristiwa
yang tidak sesuai dengan realitas sosial. Bahkan, terdapat realitas sosial yang
disamarkan, seperti penggunaan nama tempat. Penyamaran realitas sosial dalam
realitas fiksi didukung oleh pengalaman estetik dan riset yang dilakukan oleh
pengarang. Pengarang terlibat langsung dalam kehidupan masyarakat pendukung
cerita.
Secara umum, struktur penceritaan ketiga novel Okky menggunakan plot
flash back dengan latar kejadian di tempat kelahiran dan tempat pengarang
bekerja. Akan tetapi, novel-novel tersebut menggunakan struktur transmisi narasi
yang bervariatif tetapi menceritakan hal yang relatif sama, yakni perjuangan
perempuan dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hidup dan mempertahankan
Universitas Sumatera Utara
Page 163
keyakinan. Oleh karena itu, pengarang novel menggunakan realitas sosial dan
menggabungkan dengan realitas fiksi untuk menyamarkan atau tidak berterus
terang sedang menghadirkan berbagai kejadian yang pernah dialami dan
dilihatnya. Apalagi, pengarang novel berada di lingkungan tempat novel
diciptakan dan sebelum menulis novelnya pengarang terlebih dahulu mengadakan
riset kurang lebih dua tahun untuk setiap penulisan novelnya. Dengan demikian,
pengarang memiliki pemahaman yang mendalam tentang problematika kehidupan
masyarakat dalam struktur ruang dan waktu penceritaan.
5.1.1 Novel Entrok
Novel Entrok yang dijadikan data penelitian ini dibangun oleh struktur
penceritaan yang didasarkan pada realitas sosial kehidupan masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa yang dijadikan realitas fiksi adalah masyarakat Jawa yang
tradisional dan modern. Penggunaan struktur ruang dan waktu terjadi dalam dua
masa yaitu, masa kini dan masa lalu. Struktur penceritaan menggunakan alur maju
dan alur mundur, dengan kata lain, pada saat cerita berpindah dari masa kini ke
masa lalu terjadi juga penceritaan masa lalu dalam kehidupan tokoh cerita Marni
dan Rahayu.
Flashback novel Enrtrok terjadi pada ruang dan waktu antara tahun 1950-
1994. Struktur penceritaan ruang dan waktu kejadian berada pada desa Sinnget
yang dih8ubungkan dengan daerah-daerah terdekat dalam struktur masa kini dan
masa lalu. Penceritaan berpusat di Pasar Ngranget tempat Marni dan Simbok
bekerja. Kota-kota yang dijadikan latar dalam novel ini sesuai dengan kota tempat
Universitas Sumatera Utara
Page 164
pengarang pernah tinggal dan kuliah, seperti Magetan, Glodok, Magelang,
Madiun, dan Yogyakarta.
Realitas fiksi dalam novel Entrok memiliki memiliki realitas sosial dalam
tiga aspek, yakni spiritual masyarakat Jawa, buruh perempuan, dan kemiskinan.
Realitas spiritual kehidupan masyarakat Jawa, menjadikan Sumarni terikat kepada
kepercayaan terhadap memuja leluhur. Marni tidak mengenal Tuhan seperti yang
disembah oleh umat Islam. Di KTP tertera bahwa Marni beragama Islam, tetapi
dia tetap menjalankan ritual keagamaannya dengan nyuwun kepada roh para
leluhurnya. Ritual yang dilakukan Marni sejalan dengan realitas sosial yang
dilakukan para pengikut Islam abangan.
Realitas sosial dimulai dari kehancuran hidup Sumarni yang dikalahkan
oleh orang-orang yang berkuasa. Kemudian, pengisahan beralih pada flashback
masa kecil Sumarni hingga masa perkawinannya yang mengalami hidup miskin.
Kemiskinan ini menyebabkan Sumarni tidak bisa membeli sebuah entrok atau
BH. Keinginannya untuk membeli sebuah entrok menyebabkan Marni berusaha
untuk bekerja keras. Dia harus menjadi kuli angkat barang, yang pekerjaan ini
bukan diperuntukkan bagi kaum perempuan. Akibat kemiskinan ini juga
menyebabkan banyak perempuan lain yang bekerja, walaupun hanya sekedar
untuk memenuhi kebutuhan hidup, yakni pangan.
Pengisahan realitas sosial juga terlihat pada masa pemerintahan orde baru,
beberapa kali pemilu dimenangkan oleh partai Golkar. Masyarakat dipaksa untuk
memenangkan partai tersebut. Realitas sosial lain juga bermunculan, seperti
pembunuhan misterius, kesewenang-wenangan oleh penguasa, dan kisah Waduk
Universitas Sumatera Utara
Page 165
Kedungomboh. Mereka harus meninggalkan kampungnya, jika tidak, mereka akan
dicap sebagai PKI.
Struktur relasi gender dalam novel ini memperlihatkan bahwa status
perempuan selalu lebih rendah dari laki-laki. Perempuan dijadikan sebagai istri
simpanan dan dijadikan sebagai alat pemuas nafsu birahi. Relasi gender dalam elit
birokrasi juga memperlihatkan bahwa kaum perempuan selalu rendah dan tidak
berdaya. Marni harus mengeluarkan uang sumbangan untuk partai politik dan
Marni selalu harus memberi setoran kepada tentara setiap bulan, dengan dalih
sebagai uang keamanan. Kesetaraan gender dapat dilihat melalui tokoh Marni
ketika dia bekerja sebagai kuli angkat barang dan ketika dia menjadi juragan tebu.
Marni mempekerjakan baruh laki-laki di ladangnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, novel Entrok karya Okky Madasari
dibangun oleh realitas fiksi yang didasarkan oleh realitas sosial kehidupan
masyarakat di sekitar pengarang. Dalam realitas fiksi berakhir pada waktu
kekinian di mana Rahayu kembali lagi ke desanya, sebagai ruang pengisahan awal
dan akhir penceritaan. Dengan demikian, struktur penceritaan novel Entrok
bermula dan berakhir pada realitas sosial yang ditata sedemikian rupa dalam
bentuk realitas fiksi.
5.1.2 Novel 86
Realitas fiksi dalam novel 86 memiliki latar belakang realitas sosial dalam
dua aspek, yakni kasus suap dan peredaran narkoba dari balik penjara. Profesi
Arimbi sebagai juru ketik di kantor pengadilan membuat dirinya terjebak dalam
Universitas Sumatera Utara
Page 166
kasus suap. Semula Arimbi yang polos dan lugu tidak peduli dengan keadaan
sekitar. Bu Danti sebagai atasannya, melibatkan Arimbi dalam sebuah permainan.
Lambat laun Arimbi terikut dalam permainan tersebut dan terbiasa menerima
uang yang dianggap sebagai balas jasa karena dia telah melakukan pekerjaan
mengetik putusan pengadilan.
Berdasarkan pengakuan Okky sebagai pengarang novel ini, dia
mengatakan bahwa novel ini dituliskan berdasarkan riset yang dilakukannya
selama dia bekerja sebagai wartawan dalam bidang hukum dan korupsi. Novel ini
lahir dari segala keprihatinan pada praktik-praktik korupsi di negara ini. Okky
membingkai realitas sosial dalam realitas fiksi dengan baik, sehingga novel ini
tidak bersifat menggurui.
Alur yang digunakan dalam novel ini dominan menggunakan alur maju.
Alu mundur hanya digunakan untuk menceriakan keadaan masa lalu lewat
pembayangan ataupun lamunan yang dilakukan oleh Arimbi. Relasi yang
menuntut kesetaraan gender dapat dilihat dari pemeran tokoh utama adalah
perempuan. Peran laki-laki dalam novel ini hanya dijadikan sebagai pelengkap
saja. Struktur ruang dan waktu masa kini lebih mendominasi dalam novel ini.
Struktur ruang mengambil tempat di Jakartaa. Di halaman tujuh dan
delapan novel, pengarang membuat peta tentang perjalanan Arimbi dari tempat
kos menuju kantornya, yaitu kantor Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Rutan
Pondok Bambu. Rutinitas di Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan dan kehidupan di
rutan Pondok Bambu menjadi latar tempat yang mendominasi cerita ini. Realitas
sosial terjadi di dua lokasi ini. Pelayanan yang buruk juga terjadi di stasiun kereta
Universitas Sumatera Utara
Page 167
api yang merupakan bagia dari realitas sosial. Berdasarkan penjelasan di atas,
novel 86 dibangun oleh realitas fiksi yang didasarkan oleh realitas sosial
kehidupan pengarangnya.
5.1.3 Novel Maryam
Struktur penceritaan novel Maryam dibangun oleh realitas sosial yang
dikemas dalam realitas fiksi. Pengemasan cerita tersebut menjadikan observasi
pengarang terhadap kehidupan pengikut Ahmadiyah di Lombok sebagai materi
utama penceritaan. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai seorang wartawan,
sudah barang tentu Okky banyak mengetahui kejadian yang menimpa pangikut
Ahmadiyah di Lombok. Menurut pengakuannya, dua tahun dia berada di Lombok
untuk menyelesaikan penulisan novel ini.
Realitas fiksi yang memiliki latar belakang realitas sosial juga dapat
dilacak dari pengakuan Sigit Purnomo Wartawan BBC di Jakarta. Di dalam
artikelnya yang berjudul “Nasib Ahmadiyah, Terlantar di Negeri Sendiri”, yang
dilansir pada tanggal 3 Agustus 2013 mengakui terdapat beberapa peristiwa yang
berkaitan dengan pengikut Ahmadiyah di Lombok. Realitas sosial inilah yang
menjadi sumber inspirasi Okky dalam menulis novelnya, baik secara totalitas
maupun sebagian kenyataan hidup yang dipindahkan dalam ruang dan waktu.
Realitas itu antara lain:
1. Pada 1999, Ahmadiyah Lombok kali pertama mengalami serangan oleh
orang-orang yang menginginkan mereka keluar dari keyakinannya. Saat itu
masjid Ahmadiyah di Bayan, Lombok Barat dibakar. Satu orang meninggal,
Universitas Sumatera Utara
Page 168
dan semua orang Ahmadi di Bayan diusir. Pada 2001, menyusul Ahmadiyah
Pancor, Lombok Timur disasar; mereka juga terpaksa pergi dari kampungnya
dan mengungsi.
2. Pengusiran paksa yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pengikut
Ahmadiyah merupakan kenyataan yang terjadi di desa Ketapang, Lombok
Barat pada tanggal 4 Februari 2006.
3. Di Wisma Transito sehari-hari mereka hidup di dalam ruangan yang hanya
dibatasi kain bekas spanduk, kardus atau karung sebagai tanda pemisah antara
satu keluarga dengan keluarga lain.Di petak yang sempit dan pengap itu
mereka berbagi tidur, memasak dan melakukan aktifitas keluarga lainnya di
ruang yang sama penuh dengan keterbatasan. "Kami berada di lingkungan
istilah kami Pakumis, padat kumuh dan miskin, karena tujuh tahun mengungsi
tinggal di barak-barak dengan ruangan ukuran 3x3 meter bahkan 2x3 meter
disekat kain bekas, karung dan kain sisa spanduk" kata Nashirudin Ahmadi,
seorang mubaligh Ahmadiyah.
4. Selama tinggal di penampungan, kebutuhan hidup mereka sempat ditopang
sembako bantuan pemerintah daerah, tetapi sejak 2007 tidak ada lagi bantuan
yang mengalir.
5. Agar tetap bertahan hidup, mereka kerja serabutan, menjadi kuli, mengasong,
atau tukang ojek dijalani demi sesuap nasi.
Baik lokasi maupun orang-orang yang ditampilkan pengarang dalam
penceritaan tersebut adalah orang-orang yang dikenal oleh pengarang yang
Universitas Sumatera Utara
Page 169
berprofesi sebagai wartawan. Okky mengakui bahwa dalam menulisan novel ini,
dia mengadakan riset selama dua tahun.
Berdasarkan pemaparan di atas, sistem penceritaan novel Maryam tetap
menggunakan realitas sosial dalam penataan realitas fiksinya. Realitas sosial yang
dimasukkan pada realitas fiksi merupakan pengalaman hidup pengikut
Ahmadiyah di Lombok. Pengalaman hidup tersebut diceritakan dengan teknik
perpaduan antara alur maju dengan alur mundur. Hal ini menyejajarkan perpaduan
penceritaan realitas sosial dalam realitas fiksi yang terjadi dalam novel-novel
Okky yang lain, seperti novel Entrok dan 86.
5.2 Analisis Semiotik Perjuangan Perempuan dalam Ketiga Novel Okky
Madasari
Untuk menganalisa unsur semiotik dalam ketiga novel Okky Madasari
dengan menggunakan teori semiotik Roland Barthes, maka perlu adanya
penafsiran dari setiap kata atau dikenal dengan istilah heuristik, atau disebut
dengan semiotik tingkat pertama, dan juga penafsiran secara totalitas yakni
dikenal dengan istilah hermeunitik, atau disebut juga dengan istilah semiotik
tingkat kedua. Adapun analisis kedua unsur semiotik terhadap perjuangan
perempuan dalam ketiga novel Okky tersebut adalah sebagai berikut,
Universitas Sumatera Utara
Page 170
5.2.1 Analisis Semiotik Perjuangan Perempuan dalam bidang Ekonomi
1. Pemaknaan Tingkat Pertama
1. Sabu-sabu Cik Aling tidak hanya menunggu
diambil orang, tapi diantar sendiri oleh orang suruhan Cik Aling, salah
satunya Ananta (86: 204-205).
Secara heuristik (semiotik tingkat pertama) kalimat di atas dapat
diinterpretasikan sebagai petanda (signified) bahwa Cik Aling adalah
berprofesi sebagai orang yang mengendalikan peredaran narkoba dalam
penjara. Sebagai penandanya (signifier) adalah sabu-sabu dan Ananta yang
menjadi kurir pengedar narkoba tersebut.
2. Bapak memukul Simbok yang sedang sakit panas
dan tidak bisa ke pasar. Kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak akan punya
makanan. Dan laki-laki itu dengan seenaknya hanya menunggu makanan. Dia
seperti anjing gila yang marah saat kelaparan (En, 2010: 17-18).
Secara heuristik kalimat di atas dapat ditafsirkan bahwa Simbok adalah tulang
punggung keluarga. Sebagai penandanya adalah Bapak memukul Simbok
karena tidak pergi ke pasar. Petandanya adalah kalau Simbok tidak ke pasar,
maka mereka tidak akan bisa makan.
3. Bu Danti bekerja di kantor pengadilan. Dia juga
seorang pegawai negeri. Selain itu, Bu Danti memegang jabatan struktural
sebagai ketua seksi panitera persidangan. Bu Danti adalah atasan Arimbi dan
Anisa. Bu Danti menyelewengkan jabatan yang dianugerahkan kepadanya.
Melalui jabatan ini, Bu Danti menjadi makelar kasus (86, 2011: 49).
Secara heuristik kalimat di atas dapat ditafsirkan bahwa Bu Danti adalah
seorang pegawai negeri yang bekerja di kantor pengadilan sebagai Kepala
Bagian Panitera Persidangan. Sebagai penandanya adalah Bu Danti bekerja di
kantor pengadilan. Dia juga seorang pegawai negeri. Selain itu, Bu Danti
memegang jabatan struktural sebagai ketua seksi panitera persidangan.
Universitas Sumatera Utara
Page 171
Petandanya adalah Bu Danti dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari
penghasilannya sebagai pegawai negeri.
2. Pemaknaan Tingkat Kedua
1. Sabu-sabu Cik Aling tidak hanya menunggu diambil orang, tapi diantar
sendiri oleh orang suruhan Cik Aling, salah satunya Ananta (86, 2011: 204-
205).
Secara hermeunitik (semiotik tingkat kedua) dapat ditafsirkan keberadaan
Cik Aling sebagai perempuan pelaku bisnis dengan mengontrol peredaran
narkoba dari balik penjara. Cik Aling bukan hanya mengedarkan sabu-sabu di
dalam penjara tetapi juga di luar penjara dengan merekrut Ananta sebagai
kurir sabu-sabu tersebut.
2. Bapak memukul Simbok yang sedang sakit panas dan tidak bisa ke pasar.
Kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak akan punya makanan. Dan laki-laki
itu dengan seenaknya hanya menunggu makanan. Dia seperti anjing gila yang
marah saat kelaparan (En, 2010: 17-18).
Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Simbok harus bekerja untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kemiskinan yang membelit
keluarganya, menyebabkan Simbok harus bekerja setiap hari. Jika satu hari
saja dia tidak bekerja, maka mereka tidak bias makan. Penandanya adalah
kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak akan punya makanan. Suami Simbok
juga tidak punya pekerjaan. Dia seorang yang tidak mempunyai perasaan.
Menyuruh istrinya bekerja dan dia akan marah-marah jika tidak ada makanan.
Itulah sebabnya, Simbok harus bekerja di pasar, walaupun dia sedang sakit.
Makna totalitasnya adalah Simbok bekerja untuk mempertahankan hidup.
Universitas Sumatera Utara
Page 172
3. Bu Danti bekerja di kantor pengadilan. Dia juga
seorang pegawai negeri. Selain itu, Bu Danti memegang jabatan struktural
sebagai ketua seksi panitera persidangan. Bu Danti adalah atasan Arimbi dan
Anisa. Bu Danti menyelewengkan jabatan yang dianugerahkan kepadanya.
Melalui jabatan ini, Bu Danti menjadi makelar kasus (86, 2011: 49).
Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa sebagai seorang pegawai negeri,
dia sudah dapat memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder. Tetapi untuk
memenuhi kebutuhan tersier, Bu Danti menambah penghasilannya dengan
menjadi makelar kasus. Sehingga penghasilannya sebagai makelar kasus lebih
besar jika dibandingkan dengan gajinya sebagai pegawai negeri. Jadi makna
totalitasnya adalah Bu Danti bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya tetapi juga untuk meningkatkan taraf hidupnya ke arah yang lebih
tinggi.
5.2.2 Analisis Semiotik Perjuangan Perempuan dalam bidang Keyakinan
1. Pemaknaan Tingkat Pertama
1. Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu
membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata ibu,
itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya semua
yang ada di dunia milik Ibu Bapa Bumi Kuasa. Dialah yang punya kuasa
untuk memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang pintar.
Bisa jadi pegawai,” kata Ibu (En, 2010: 55-56).
Secara heuristik pragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa Ibu adalah seorang
yang taat kepada keyakinannya. Penandanya adalah kami berdua duduk di
bawah pohon asem. Kata ibu, itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku
untuk nyuwun. Katanya semua yang ada di dunia milik Ibu Bapa Bumi
Kuasa. Ibu melakukan nyuwun kepada Ibu Bapak Bumi Kuasa. Ibu selalu
Universitas Sumatera Utara
Page 173
bangun tengah malam untuk berdoa dan tirakat. Petandanya adalah ibu
seorang yang teguh kepada keyakinannya.
2. Ibu juga rajin selamatan. Seminggu sekali, setiap hari kelahirannya, dia
meyembelih ayam untuk dipanggang. Tonah membuat tumpeng kecil,
menyiapkan semua ubo rampe. Ada kulupan, jenang merah, dan jenang putih.
Ibu memanggil beberapa tetangga laki-laki. Mbah Sambong, perangkat desa
yang dipercaya punya kekuatan lebih, membacakan ujub. Bapak dan yang
lainnya membaca, “Amin....Amin...!” (En, 2010: 55-56).
Secara heuristik kalimat di atas dapat ditafsirkan bahwa Ibu juga rajin
membuat selamatan pada setiap hari kelahirannya. Dalam kepercayaan orang
Jawa disebut neptu. Penandanya adalah membuat tumpeng kecil, menyiapkan
semua ubo rampe. Ada kulupan, jenang merah, dan jenang putih. Seminggu
sekali Ibu menyuruh Tonah membuat tumpeng kecil lengkap dengan lauk-
pauknya.
3. Ibu menyimpan satu tumpeng dan panggang lengkap dengan ubo rampenya di
kamarnya. Di taruh di meja samping lemari kaca, beralas baki, ditemani
sebatang lilin. Kata ibu, tumpeng dan panggang itu dikirim untuk Mbah Ibu
Bumi Bapak Kuasa. Keesokan harinya, ibu akan mengeluarkan tumpeng dan
panggang itu. Tonah akan memasaknya kembali untuk makanan kami semua
(En, 2010: 55-56).
Secara heuristik paragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa Ibu membuat dua
tumpeng. Satu untuk dimakan dimakan saat diadakan selamatan dan yang
satunya lagi dimasukkan ke dalam kamar sebagai persembahan untuk Mbah
Ibu Bumi Bapak Kuasa. Sebagai penandanya adalah ibu menyimpan satu
tumpeng dan panggang lengkap dengan ubo rampenya di kamarnya. Penanda
lain adalah kata ibu, tumpeng dan panggang itu dikirim untuk Mbah Ibu Bumi
Bapak Kuasa.
Universitas Sumatera Utara
Page 174
4. Sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di samping
makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan ubo rampe-nya, buah-
buahan, dan rokok (En, 2010:95).
Secara heuristik paragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa mereka membawa
persembahan untuk orang yang diziarahi. Persembahan itu berupa sesajen dan
dupa yang diletakkan di samping makam. Sesajen itu berupa tumpeng yang
lengkap dengan lauk-pauknya, buah-buahan dan rokok. Penandanya adalah
Sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di samping
makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan ubo rampe-nya, buah-
buahan, dan rokok.
5. Koh Cayadi menceritakan salah satu kebiasaan keluarganya yang diyakini
terbukti membantu kelancaran usaha mereka. Sejak bertahun-tahun lalu,
tepatnya saat ia masih kanak-kanak di Surabaya, orangtuanya rutin
mengajaknya ke Gunung Kawi. Gunung Kawi ada di Malang, kota di selatan
Surabaya. Mereka bias pergi naik bus, dengan lama perjalanan dua jam. Di
gunung itu, ada makam, yang bisa memberikan berkat bagi orang
menziarahinya (En, 2010:92).
Secara heuristik pragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa mereka akan pergi
berziarah ke Gunung Kawi. Gunung ini dianggap keramat karena di sana ada
kuburan orang suci. Penandanya adalah Gunung Kawi ada di Malang, kota
di selatan Surabaya. Mereka bias pergi naik bus, dengan lama perjalanan
dua jam. Di gunung itu, ada makam, yang bisa memberikan berkat bagi
orang menziarahinya.
6. Selama tirakat mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka juga
dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya yang mereka
lakukan adalah berdoa memohon berkah (En, 2010:95).
Secara heuristik pragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa Mereka akan
bersemedi atau tirakat di kuburan tersebut. Selama bersemedi mereka tidak
Universitas Sumatera Utara
Page 175
oleh makan dan minum. Mereka harus membersihkan pikiran dari hal-hal
yang buruk, lalu berdoa untuk memohon berkah. Penandanya adalah selama
tirakat mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka juga
dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya yang mereka
lakukan adalah berdoa memohon berkah.
7. Dia lalu masuk kamar. Konon, di kamar itu ia semedi dan membuat jampi-
jampi. Tak terlalu lama kemudian dia keluar kamar sambil membawa
bungkusan kecil. Bungkusan itu isinya gula pasir. Kyai Noto sudah
mengirimkan doa-doa dan kekuatannya dalam gula pasir itu. Orang yang
diberi tinggal ngemut sewaktu-waktu (En, 2010: 132).
Secara heuristik pragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa Kyai Noto adalah
seorang dukun yang sakti. Dia bias mengirimkan kekuatan kepada seseorang
melalui gula pasir yang telah diberinya jampi-jampi. Orang yang mengulum
gula tersebut akan mempunyai kekuatan. Penandanya adalah Kyai Noto sudah
mengirimkan doa-doa dan kekuatannya dalam gula pasir itu. Orang yang
diberi tinggal ngemut sewaktu-waktu.
8. Sudah lama tinggal di sini... apakah terpikir untuk menuruti permintaan
orang-orang itu agar bisa kembali ke rumah?”
Perempuan itu tampak bingung dengan pertanyaan wartawan.
“Maksudnya keluar dari Ahmadiyah, agar bisa pulang lagi ke rumah,” jelas
wartawan.
Perempuan itu menggeleng. “Namanya orang sudah percaya,” jawabnya.
“Semakin susah semakin yakin kalau benar,” lanjutnya. (My, 2012: 272)
Secara heuristik kalimat di atas dapat ditafsirkan bahwa keyakinan seeorang
terhadap kepercayaan yang dianutnya yaitu Ahmadiyah. Ahmadiyah
merupakan gerakan Islam yang berpusat di India. Gerakan ini menekankan
aspek-aspek ideologis dengan keyakinan bahwa al-Mahdi dipandang sebagai
“Hakim peng-islah” atau sebagai “Juru Damai” dan Mirza Ghulam Ahmad
Universitas Sumatera Utara
Page 176
mengaku telah diangkat Tuhan sebagai al-Mahdi. Penandanya adalah
“Maksudnya keluar dari Ahmadiyah, agar bisa pulang lagi ke rumah,” jelas
wartawan.Perempuan itu menggeleng. “Namanya orang sudah percaya,”
jawabnya. “Semakin susah semakin yakin kalau benar,” Dia yakin, semakin
susah untuk mendapatkannya, maka semakin jelas kebenaran dari ajaran
tersebut.
2. Pemaknaan Tingkat Kedua
1. Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu
membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata ibu,
itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya semua
yang ada di dunia milik Ibu Bapa Bumi Kuasa. Dialah yang punya kuasa
untuk memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang pintar.
Bisa jadi pegawai,” kata Ibu.
Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa ibu melakukan meditasi di bawah
pohon asem pada malam hari. Ini adalah dasar dari ajaran Kejawen. Kegiatan
orang Jawa Kejawen lainnya adalah meditasi atau semedi. Meditasi atau
semedi biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata (bertapa) dan
dilakukan ditempat tempat yang dianggap keramat.
2. Ibu juga rajin selamatan. Seminggu sekali, setiap hari kelahirannya, dia
meyembelih ayam untuk dipanggang. Tonah membuat tumpeng kecil,
menyiapkan semua ubo rampe. Ada kulupan, jenang merah, dan jenang putih.
Ibu memanggil beberapa tetangga laki-laki. Mbah Sambong, perangkat desa
yang dipercaya punya kekuatan lebih, membacakan ujub. Bapak dan yang
lainnya membaca, “Amin....Amin...!”
Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Upacara pokok dalam agama
Jawa tradisional adalah slametan atau selamatan, kenduri. Ini merupakan
upacara agama yang paling umum di atara para abangan, dan melambangkan
persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam slametan
Universitas Sumatera Utara
Page 177
itu. Slametan dan lambang-lambang yang mengiringinya memberikan
gambaran yang jelas tentang cara pemaduan antara kepercayaan abangan yang
animis dan Budhais-Hindu dengan unsur Islam serta membentuk nilai pokok
masyarakat pedesaan.
3. Ibu menyimpan satu tumpeng dan panggang lengkap dengan ubo rampenya di
kamarnya. Di taruh di meja samping lemari kaca, beralas baki, ditemani
sebatang lilin. Kata ibu, tumpeng dan panggang itu dikirim untuk Mbah Ibu
Bumi Bapak Kuasa. Keesokan harinya, ibu akan mengeluarkan tumpeng dan
panggang itu. Tonah akan memasaknya kembali untuk makanan kami semua
(En, 2010: 55-56).
Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa ibu percaya tumpeng tersebut
akan dimakan oleh ruh Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Walapun secara fisik
tumpeng tersebut masih utuh, namun sari makanan tersebut sudah dihisap oleh
ruh tersebut, sehingga jika tumpeng itu jika dimakan akan terasa hambar.
4. Sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di samping
makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan ubo rampe-nya, buah-
buahan, dan rokok. (En, 2010:95).
Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa salah satu persyaratan agar doa
diterima adalah dengan memberi sesajen dan dupa. Sesajen tersebut yang
berupa tumpeng, buah-buahan dan rokok. Mereka percaya bahwa arwa yang
ada dikuburan tersebut akan memakan sesajen yang mereka persembahkan.
5. Koh Cayadi menceritakan salah satu kebiasaan keluarganya yang diyakini
terbukti membantu kelancaran usaha mereka. Sejak bertahun-tahun lalu,
tepatnya saat ia masih kanak-kanak di Surabaya, orangtuanya rutin
mengajaknya ke Gunung Kawi. Gunung Kawi ada di Malang, kota di selatan
Surabaya. Mereka bisa pergi naik bus, dengan lama perjalanan dua jam. Di
gunung itu, ada makam, yang bisa memberikan berkat bagi orang
menziarahinya (En, 2010:92).
Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa kuburan orang yang dianggap
keramat dapat memberikan berkah bagi mereka. Penghormatan kepada orang
Universitas Sumatera Utara
Page 178
mati diungkapkan dengan jalan membersihkan kuburan yang dipandang
sebagai sajian kepada orang yang meninggal itu.
6. Selama tirakat mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka juga
dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya yang mereka
lakukan adalah berdoa memohon berkah (En, 2010:95).
Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa mereka percaya dengan berdoa di
kuburan akan mendatangkan berkah. Banyak kuburan orang suci di Jawa
diaggap keramat, seperti makam para wali. Ribuan orang dari segala pelosok
pulau Jawa berjiarah ke makam-makam tersebut untuk mendapat berkah.
7. Dia lalu masuk kamar. Konon, di kamar itu ia semedi dan membuat jampi-
jampi. Tak terlalu lama kemudian dia keluar kamar sambil membawa
bungkusan kecil. Bungkusan itu isinya gula pasir. Kyai Noto sudah
mengirimkan doa-doa dan kekuatannya dalam gula pasir itu. Orang yang
diberi tinggal ngemut sewaktu-waktu (En, 2010: 132).
Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa mereka percaya kepada dukun.
Jampi-jampi yang diberikan oleh Mbah Dukun dapat menghindarkan mereka
dari gangguan roh-roh jahat.
8. Sudah lama tinggal di sini... apakah terpikir untuk menuruti permintaan orang-
orang itu agar bisa kembali ke rumah?”
Perempuan itu tampak bingung dengan pertanyaan wartawan.
“Maksudnya keluar dari Ahmadiyah, agar bisa pulang lagi ke rumah,” jelas
wartawan.
Perempuan itu menggeleng. “Namanya orang sudah percaya,” jawabnya.
“Semakin susah semakin yakin kalau benar,” lanjutnya. (My, 2012: 272)
Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa semakin banyak tantangan yang
dihadapi untuk mempertahankan keyakinan tersebut, maka dia semakin yakin
akan kebenaran ajaran tersebut. Dia juga tidak mau keluar dari keyakinannya
walaupun MUI sudah memutuskan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat.
Bahkan dia siap akan kehilangan keluarga dan hartanya. Secara totalitas
Universitas Sumatera Utara
Page 179
makna kalimat di atas mengacu kepada keyakinan yang teguh kepada
Ahmadiyah.
4.2.3 Analisis Semiotik Perjuangan Perempuan dalam bidang Hukum
1. Pemaknaan Semiotik Tingkat Pertama
1. “Sudah aku hitung-hitung, nanti kamu bisa keluar Desember. Tapi namamu
sudah mesti dicatat sekarang. Soalnya mau diajukan pas Agustusan nanti.”
Arimbi diam, menunggu apa yang sebenarnya hendak dikatakan perempuan
yan duduk di depannya itu.
“Ya kalau kamu bilang sanggup, nanti namamu diusulkan. Kan siapa-siapa saja
yang layak diusulin itu tergantung kita yang ada di lapangan ini.”
”Jadi, saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar.
“Biaya semuanya bersih 15 juta.” (86, 2011: 216-217)
Secara heuristik kalimat di atas dapat ditafsirkan bahwa heuristik kalimat di
atas dapat ditafsirkan bahwa Arimbi akan bebas dari penjara bulan Desember
jika Arimbi mau membayar Rp. 15.000.000,-. Jika Arimbi menyanggupi maka
namanya akan diusulkan pada bulan Agustus dan akan bebas pada bulan
Desember. Hal ini ditandai dengan kalimat “Ya kalau kamu bilang sanggup,
nanti namamu diusulkan. Kan siapa-siapa saja yang layak diusulin itu
tergantung kita yang ada di lapangan ini.” Juga kalimat “Biaya semuanya
bersih 15 juta.”
2. Aku membalikkan tubuh. Sekarang mukaku berhadapan dengan mukanya.
Mata kami beradu. Gusti, kenapa aku selalu Kauhadapkan dengan orang-
orang seperti ini? Orang-orang yang begitu berkuasa dengan seragam dan
sepatunya. Orang-orang yang menjadi begitu kuat dengan senapannya. Orang-
orang yang selalu benar karena bekerja untuk negara. Mereka yang selalu
mendapatkan uang dengan mudah tanpa sedikit pun mengeluarkan keringat.
Dan aku yang tak punya kuasa dan kekuatan, yang selalu saja salah, harus
tunduk pada kemauan mereka. Menyerahkan harta yang terkumpul dengan
susah payah, dengan segala hujatan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Page 180
“Ini urusannya berat. Nggak kayak yang dulu itu.”
“Berapa?”
“Sampeyan juragan tebu, kan? Satu hektar pasti enteng.” (En, 2010:182-183)
Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Sumarni berhadapan dengan
orang-orang yang mempunyai kuasaan dan senjata. Marni harus mengorbankan
satu hektar kebun tebunya jika dia mau dibantu. Jika tidak Marni akan
dipenjara. Penandanya adalah “Ini urusannya berat. Nggak kayak yang dulu
itu.”
“Berapa?”
“Sampeyan juragan tebu, kan? Satu hektar pasti enteng.”
3. “Ya sudah, Pak Teja, Bu Marni, kami ini aparat hanya mau membantu
masyarakat. Bikin urusan cepat beres. Kita mau bantu supaya mobil ini bisa
segera dibawah ke bengkel, bisa dipakai lagi. Daripada nanti ketahuan atasan-
atasan saya malah panjang urusannya. Jadi ya diselesaikan di sini saja.”
“Kami ikut saja, Pak,” jawab Teja.
“Kalau kecelakaannya seperti ini, ada yang mati, dua puluh orang luka-luka,
dendanya satu juta saja. Sudah beres semuanya.” (En, 2010:119).
Secara heuristik paragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa aparat meminta uang
tebusan sebesar satu juta rupiah. Uang tebusan itu dipergunakan untuk
menebus mobil Sumarni yang ditahan di kantor polisi karena kecelakaan yang
mengakibatkan kematian Bejo dan korban lainya yang luka-luka dan patah
tulang. Penandanya adalah kalau kecelakaannya seperti ini, ada yang mati, dua
puluh orang luka-luka, dendanya satu juta saja. Sudah beres semuanya.
4. Gubernur menerima mereka dengan tiga orang bawahannya. Ia menyalami
Zulkhair dengan ramah seperti orang yang sudah lama kenal. “Bawa siapa ini,
Pak Zul!” tanyanya ketika melihat Maryam dan Umar. (My, 2012:247)
Gubernur mendecak sambil menggeleng, “Sudahlah. Tak ada ujungnya kalau
bicara Bapak Gubernu seperti ini,” katanya. “Pilih saja, keluar dari Ahmadiyah
lalu pulang ke Gegarung atau tetap di Transito sampai kita temukan jalan
keluarnya.”Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata
Universitas Sumatera Utara
Page 181
Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata mereka bicara banyak.
Kemarahan dan sakit hati (My, 2012: 249).
Secara heuristik pragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa Bapak Gubernur
menganjurkan para pengikut Ahmadiyah untuk meninggalkan keyakinan
mereka. Hal ini membuat wajah Maryam, Umar, dan Pak Zul memerah
menahan amarah. Penandanya adalah “Pilih saja, keluar dari Ahmadiyah lalu
pulang ke Gegarung atau tetap di Transito sampai kita temukan jalan
keluarnya.”Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata
Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata mereka bicara banyak.
Kemarahan dan sakit hati.
5. Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar
bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan uang atau
macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anak-anak kami juga
bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati
dengan tenang, di rumah kami sendiri.
Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri. Kami
punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak pernah
mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang diterima akal, sehingga kami,
lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian seperti ini?
Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus mengunggu? (My, 2012:
274-275) .
Secara heuristik pragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa melalui surat yang
dikirimnya kepada Bapak Gubernur, Maryam meminta bantuan agar mereka
bisa kembali pulang ke rumah mereka. Mereka tidak meinta apa-apa. Mereka
hanya ingin membesarkan anak-anak mereka di rumah sendiri dan hidup
normal. Penandanya adalah Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih.
Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak
minta bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal.
Universitas Sumatera Utara
Page 182
Agar anak-anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya.
Agar kelak kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri.
2. Pemaknaan Semiotik Tingkat Kedua
1. Sudah aku hitung-hitung, nanti kamu bisa keluar Desember. Tapi namamu
sudah mesti dicatat sekarang. Soalnya mau diajukan pas Agustusan nanti.”
Arimbi diam, menunggu apa yang sebenarnya hendak dikatakan perempuan
yan duduk di depannya itu.
“Ya kalau kamu bilang sanggup, nanti namamu diusulkan. Kan siapa-siapa saja
yang layak diusulin itu tergantung kita yang ada di lapangan ini.”
”Jadi, saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar.
“Biaya semuanya bersih 15 juta.” (86, 2011: 216-217)
Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Arimbi memberikan uang sogok
agar dia bisa mendapat keringanan hukuman. Aparat keamanan bisa disogok
untuk melancarkan semua urusan.
2. Aku membalikkan tubuh. Sekarang mukaku berhadapan dengan mukanya.
Mata kami beradu. Gusti, kenapa aku selalu Kauhadapkan dengan orang-
orang seperti ini? Orang-orang yang begitu berkuasa dengan seragam dan
sepatunya. Orang-orang yang menjadi begitu kuat dengan senapannya. Orang-
orang yang selalu benar karena bekerja untuk negara. Mereka yang selalu
mendapatkan uang dengan mudah tanpa sedikit pun mengeluarkan keringat.
Dan aku yang tak punya kuasa dan kekuatan, yang selalu saja salah, harus
tunduk pada kemauan mereka. Menyerahkan harta yang terkumpul dengan
susah payah, dengan segala hujatan orang lain.
“Ini urusannya berat. Nggak kayak yang dulu itu.”
“Berapa?”
“Sampeyan juragan tebu, kan? Satu hektar pasti enteng.” (En, 2010:182-183)
Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Marni berhadapan dengan orang-
orang yang memiliki kekuasaan. Secara konotatif “orang-orang yang memiliki
kekuasaan” mengandung makna “pejabat pemerintahan”. Sudah menjadi rumor
yang beredar di masyarakat bahwa jika berurusan dengan pejabat
pemerintahan, apalagi aparat keamanan, semua masalah bisa diatasi dengan
Universitas Sumatera Utara
Page 183
uang. Dengan mengatasnamakan mengayomi masyarakat, mereka justru
memeras dibandingkan menolong.
3. “Ya sudah, Pak Teja, Bu Marni, kami ini aparat hanya mau membantu
masyarakat. Bikin urusan cepat beres. Kita mau bantu supaya mobil ini bisa
segera dibawah ke bengkel, bisa dipakai lagi. Daripada nanti ketahuan atasan-
atasan saya malah panjang urusannya. Jadi ya diselesaikan di sini saja.”
“Kami ikut saja, Pak,” jawab Teja.
“Kalau kecelakaannya seperti ini, ada yang mati, dua puluh orang luka-luka,
dendanya satu juta saja. Sudah beres semuanya.” (En, 2010:119).
Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa jika ada uang segala urusan akan
beres. Marni menuntut keadilan. Namun, dia tidak berdaya sehingga dia harus
masuk dalam lingkaran permainan aparat tersebut.
4. Gubernur mendecak sambil menggeleng, “Sudahlah. Tak ada ujungnya kalau
bicara seperti ini,” katanya. “Pilih saja, keluar dari Ahmadiyah lalu pulang ke
Gegarung atau tetap di Transito sampai kita temukan jalan keluarnya.”Wajah
ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata Gubernur. Mulut mereka
terkunci. Tapi sorot mata mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati (My,
2012: 249).
Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Bapak Gubernur tidak berani
mengambil keputusan untuk mengembalikan pengungsi pengikut Ahmadiyah
ke rumah mereka. Mereka hanya memendam kemarahan itu, tetapi mereka
sangat sakit hati mendengar perkataan Bapak Gubernur. Maryam nenuntut
keadilan sesuai dengan UUD 1945 pasal 29, bahwa setiap warga negara berhak
untuk melaksanakan keyakinan dan kepercayaan sesuai dengan agamanya
masing-masing.
5. Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar
bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan uang atau
macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anak-anak kami juga
bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati
dengan tenang, di rumah kami sendiri.
Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri. Kami
punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak pernah
Universitas Sumatera Utara
Page 184
mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang diterima akal, sehingga kami,
lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian seperti ini?
Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus mengunggu? (My, 2012:
274-275).
Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Maryam menuntut keadilan
kepada Bapak Gubernur terpilih dari segi sisi kemanusiaan. Dari sisi
kemanusiaan, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan penghidupan
yang layak.
5.3 Perjuangan Perempuan dalam Ketiga Novel Okky Madasari
Perjuangan perempuan yang tergambar dalam ketiga novel Okky Madasari
meliputi perjuangan dalam bidang ekonomi, perjuangan dalam bidang keyakinan,
dan perjuangan dalam bidang hukum yang akan dijelaskan satu persatu. Berikut
ini adalah tabel perjuangan perempuan dalam novel Okky Madasari.
No. Bidang Perjuangan Bentuk Perjuangan
1.
Ekonomi
Perempuan sebagai Pelaku Bisnis
Perjuangan dalam Mempertahankan
Hidup
Perjuangan dalam Meningkatkan
Taraf Hidup
2. Keyakinan Kejawen
Ahmadiyah
3. Hukum Perjuangan Perempuan dalam
Mencari Keadilan
Tabel 5.1 Perjuangan Perempuan dalam Ketiga Novel Okky Madasari
5.3.1 Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi
Pasca tahun 1960-an, terjadi perubahan dari kondisi masyarakat
sebelumnya. Perempuan tidak lagi duduk manis dan rumah dan mengerjakan
tugas-tugas domestik yang rutin dan diwariskan sejak turun-temurun. Realitas
Universitas Sumatera Utara
Page 185
sosial masyarakat yang berubah itu ditandai dengan banyaknya kaum perempuan
yang menempuh pendidikan sekolah menengah umum atau yang sederajat.
Bahkan tidak sedikit yang terus belajar sampai ke perguruan tinggi. Dengan
persentasi tamatan pendidikan minimal SMP yang makin meningkat, kini
perempuan bisa mengerjakan hal-hal produktif yang dapat membantu ekonomi
keluarganya. Tidak ada hambatan yang signifikan di masyarakat bagi perempuan
yang hendak bekerja, bahkan saat ini masyarakat justru menginginkan anak
perempuan mereka bisa bekerja.
Merebaknya kaum perempuan bekerja, juga dirasakan di dalam ketiga
novel Okky Madasari. Mereka bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan
primer saja, tetapi mereka juga berjuang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan
tersier. Dengan bekerja mereka berjuang untuk mengubah nasib. Adapun bentuk
Perjuangan perempuan di bidang ekonomi dalam ketiga novel Okky adalah
perempuan sebagai pelaku bisnis, perjuangan dalam mempertahan hidup, dan
perjuangan dalam meningkatkan taraf hidup. Hal ini dapat dilihat pada bagn
berikut ini,
Bagan 5.1 Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi
Perjuangan Perempuan
dalam Bidang Ekonomi
Perempuan sebagai
Pelaku Bisnis
Perjuangan dakam
Meningkatkan Taraf
Hidup
Perjuangan dalam
Mempertahankan
Hidup
Universitas Sumatera Utara
Page 186
5.3.1.1 Perempuan sebagai Pelaku Bisnis
Perjuangan perempuan sebagai pelaku bisnis dapat dilihat dalam novel
Entrok melalui tokoh Sumarni dan Nyai Dimah. Sedangkan dalam novel 86
melalui tokoh Arimbi, Bu Danti, dan Cik Aling. Kemudian dalam novel Maryam
melalui tokoh Maryam, Fatimah, Bu Umar, dan Nuraini. Dengan penggambaran
tokoh para perempuan yang terjun ke dunia usaha, Okky ingin
memperlihatkankan para perempuan yang dapat berperan di dua arena yang
berbeda, di rumah sebagai makhluk domistik dan di luar rumah sebagai pengusaha
atau pekerja. Di rumah, mereka harus menjalankan peran-peran domistiknya
mengurus rumah tangga, melayani suami, dan mengurus dan mendidik anak,
tetapi ketika di luar rumah mereka memiliki kemampuan yang luar biasa dalam
menjalankan perannya perannya sebagai pengusaha.
Sumarni dalam novel Enrok, memperjuangkan hidupnya sebagai pelaku
bisnis. Marni yang buta huruf mempunyai pemikiran maju. Impiannya akan
memiliki entrok telah membawa perubahan dalam hidupnya. Marni mulai mencari
kehidupan di luar dari ranah domistik. Setelah Marni menikah dengan Teja, yaitu
seorang kuli angkat barang, Marni mulai berpikir untuk menjadi seorang pebisnis.
Dia berjualan dari rumah ke rumah, membawa barang dagangan yang dipesan
oleh pelanggannya. Dia memulai usahanya dari bawah hingga akhirnya dia
menjadi seorang pengusaha yang turut diperhitungkan di kampungnya. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan di bawah ini,
“Laris dagangannya, Mbakyu?” tanyanya pada Ibu.
“Ya, syukur, Pak. Namanya juga rezeki.”
“Rezeki itu nggak dating sendiri to, Mbakyu… rezeki harus dicari.”
“Iya, Pak.” (En, 2010:62).
Universitas Sumatera Utara
Page 187
Sebelumnya Marni berjualan sebagi pedagang sayuran keliling. Dia
memulai pekerjaan ini sebelum menikah dengan Teja. Dia mendapatkan modal
dari hasil tabungannya selama dia bekerja sebagai kuli angkat barang di Pasar
Ngranget. Awalnya dia menjual sayuran sepanjang jalan yag dilewatinya dari
Singget ke Pasar Ngranget dan seluruh desa Singget, seperti yang dapat dilihat
pada kutipan berikut,
Begitulah yang kulakukan setiap hari. Berangkat dari rumah bersama
Simbok ke Pasar Ngranget. Membeli barang dagangan, lalu pulang lagi. Mampir
ke setiap rumah yang ada di sepanjang jalan dan di seluruh Singget.
Tak butuh waktu lama aku sudah punya langganan-langganan tetap. Ada
Bu Jujuk, istri pesuruh kantor kecamatan, Bu Ningsih yang suaminya juragan
bata, tiga istri guru, juga semua istri pejabat kelurahan. Meski masih banyak
pembeli lainnya, mereka inilah yang selalu belanja tiap hari. Mereka juga sering
menitip dibawakan belanja sesuai kemauan mereka (En, 2010:45).
Sumarni juga berprofesi sebagai rentenir. Di kampung Singget belum ada
orang yang berpikir seperti Marni. Ide ini muncul ketika Yu Minah meminjam
uang kepada Ibu untuk membeli obat buat anaknya yang sedang sakit sebesar lima
ribu rupiah. Karena Yu Minah tidak mempunyai uang, maka hutang tersebut
dicicil setiap hari sebesar seratus rupiah selama tujuh puluh lima hari. Sejak itu,
banyak orang yang meminjam uang kepada Marni yang dapat dilihat pada kutipan
berikut,
Ibu menyerahkan uang lima ribu pada Yu Minah. Yu Minah harus
mengembalikan 7.500 yang akan dicicil selama 75 hari. Setiap hari, Yu
Minah membayar seratus pada Ibu.
Hari berganti hari, entah bagaimana awalnya, makin banyak orang
yang meminjam uang pada Ibu. Ibu yang niatnya mendapat untung dari
jualan barang, kini mengambil keuntungan dari uang yang dipinjam orang-
orang. Toh tak berbeda jauh. Mereka sedang butuh uang, bukan barang.
Sementara Ibu bakulan, yang mencari keuntungan dengan memutar
uangnya. Entah dengan memakainya untuk kulakan barang atau
meminjamkannya pada orang begitu saja (En, 2010:68-69).
Universitas Sumatera Utara
Page 188
Nyai Dimah juga dalam novel Entrok, memperjuang hidupnya sebagai
pelaku bisnis. Untuk menghidupi keluarganya, Nyai Dimah berjualan gaplek di
pasar Ngranget. Pemikiran Nyai Dimah lebih maju dari penjual singkong lainnya.
Kebanyakan pedangang lain, masih menjual singkong-singkong itu apa adanya,
tanpa diolah. Harganya tidak jauh berbeda dengan harga yang dibeli dari petani,
sehingga keuntungan yang mereka peroleh sedikit. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut,
Jualan singkong sudah bertahun-tahun menjadi pekerjaan Nyai Dimah,
perempuan yang mempekerjakan kami. Dia membeli singkong dari petani-petani
yang mengantar ke pasar. Nyai Dimah yang sudah menunggu di losnya tinggal
membayar, lalu menunggu orang-orang seperti Simbok mengupas dan mengolah
menjadi gaplek. Orang-orang datang membeli gaplek yang sudah jadi. Gaplek
dicampur sambal dan daun singkong adalah makanan yang luar biasa enak. Kulit
singkong bias dijual lagi untuk makanan sapi atau kambing (En, 2010:24).
Nyai Dimah mengolah singkong tersebut menjadi gaplek. Singkong
dikupas, lalu dibelah-belah menjadi bagian yang kecil, lalu dijemur supaya kering.
Singkong yang sudah kering ini disebut gaplek. Orang-orang datang membeli
gaplek yang sudah jadi. Nyai Dimah membeli singkong dari pedagang, lalu
singkong tersebut diolah menjadi gaplek. Nyai Dimah mempekerjakan Simbok
sebagai pengupas singkong. Sebagai upahnya, Simbok diberi singkong. Hal ini
didukung oleh kutipan di bawah ini,
Tidak semua penjual singkong di pasar ini sepintar Nyai Dimah,
bisa mengolah singkong menjadi gaplek sebelum dijual. Kebanyakan
pedagang masih menjual singkong-singkong itu apa adanya. Harganya tak
berbeda jauh dengan harga beli dengan petani, sehingga keuntungan yang
didapat ala kadarnya (En, 2010: 24).
Dari hasil menjual gaplek, Nyai Dimah bisa membangun rumah yang
terbuat dari batu bata dan genteng dari tanah liat. Sesuatu yang luar biasa, jika
Universitas Sumatera Utara
Page 189
dibandingkan dengan rumah lain, yang masih berdinding gedek dan beratap daun
pohon kelapa. Kedua anak Nyai Dimah juga berjualan gaplek. Kios mereka
berjauhan. Kios Nyai Dimah berada di depan, sedangkan kios anaknya berada di
tengah dan di belakang yang dapat dilihat dari petikan novel berikut ini,
Dari duit gaplek, Nyai Dimah bias membangun rumah bata dan
bergening tanah liat. Sesuatu yang luar biasa dibandingkan rumah kami
yang berdinding gedek dan beratap daun pohon kelapa.
Dua anak Nyai Dimah juga berjualan gaplek di pasar ini. Lapak
mereka berjauhan. Kalau orang masuk dari pintu depan pasar, lapak Nyai
Dimah yang akan dijumpai. Sementara kalau masuk dari belakang, yang
berbatas langsung dengan sungai, akan langsung bertemu penjual gaplek
yang laki-laki yang tak lain anak pertama Nyai Dimah. Anak
perempuannya berjualan di tengah pasar, bersebelahan dengan penjual
dawet dan ampyang (En, 2010:24-25).
Sosok perempuan pelaku bisnis lainnya adalah Arimbi. Dalam novel
tersebut, Arimbi berperan sebagai pedagang di rumahnya setelah dia keluar dari
penjara. Mulanya Arimbi berdagang kecil-kecilan hingga akhirnya barang
dagangannya menjadi banyak. Dia menjual segala barang kebutuhan harian rumah
tangga. Dari hasil jualannya tersebut, Arimbi bisa membayar angsuran rumah dan
memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Penghasilan suaminya
dipergunakan untuk membayar hutang dan biaya pengobatan ibunya yang
mengidap penyakit ginjal. Setiap minggu ibunya harus cuci darah. Penghasilan
suaminya habis untuk orangtuanya, sehingga Arimbi mencari alternatif lain
menjadi pelaku bisnis. Hal ini didukung oleh kutipan novel berikut,
Awalnya hanya tetangga sebelah rumah yang belanja ke tokoh
Arimbi. Lalu dari mulut ke mulut menyebar, dan pembeli tip hari terus
bertambah. Dua hari sekali Arimbi belanja. Selain membeli dagangan yang
sudah habis, ia juga membeli barang yang dicari orang tapi belum ada
ditokonya.
Setiap keuntungan disimpan Arimbi di laci khusus. Uang pokok
disimpan di tempat lain…(86, 2011:234).
Universitas Sumatera Utara
Page 190
Bu Danti menjadi pelaku bisnis bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya, tetapi untuk mencari status dan prestise. Bu Danti sebagai ketua
panitera di kantor pengadilan, mempunyai peluang yang besar sebagai pelaku
bisnis dalam menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapi para terdakwa, sehingga
dia disebut sebagai makelar kasus. Dari makelar kasus ini, Bu Danti dapat
membeli sebuah rumah mewah, mobil mewah, dan hampir setiap bulan berlibur
dengan anak-anaknya. Setiap pergantian tahun, mereka pergi berlibur ke luar
negeri yang dapat dilihat pada kutipan berikut,
“Dari Bu Danti ya?” Tanya Pak Made.
Iya, Pak. Ibu minta ditandatangani.”
Pak Made mengulurkan tangan meminta kertas-kertas yang
dipegang Arimbi. Arimbi menyerahkan dan berkata, “Maaf, Pak, belum
dijilid. Baru selesai diketik.”
Pak Made tak berkata apa-apa. Dia menandatangani cepat-cepat.
Lalu mengulurkannya lagi pada Arimbi dan berkata,” Bu Danti dimana?”
“Masih di Bali, Pak. Ada seminar.”
Pak Made menjawab, “Jalan-jalan terus dia ya.” (86, 2011:101-
102).
Cik Aling menjadi pelaku bisnis sebagai pengedar narkoba sejenis sabu-
sabu dari balik penjara. Cik Aling dibantu oleh beberapa nara pidana lainnya
meracik narkoba di dalam penjara. Dia mendatangkan bahannya dari luar dengan
bantuan kepala penjara dan sipir penjara. Mereka meracik, menimbang, dan
mengemas bahan tersebut. Setelah dikemas, sabu-sabu siap untuk diedarkan.
Sebelum masuk penjara, Cik Aling juga berjualan sabu-sabu. Dia berhati-
hati, dalam setiap gerak langkahnya selalu diawasi oleh polisi. Cik Aling tidak
takut pada polisi. Asalkan setoran lancar, dia tetap aman. Hingga suatu hari dia
Universitas Sumatera Utara
Page 191
dipergoki oleh wartawan dan akhirnya masuk penjara. Di dalam penjara, justru
Cik Aling lebih leluasa mengedarkan sabu-sabu tersebut, seperti kutipan berikut,
“Di sini malah aman. Lihat sendiri, kamarku jadi pabrik sabu-
sabu,” katanya sambil terbahak-bahak. “Di sini, enggak perlu kucing-
kucingan lagi. Yang penting setoran lancar, semua aman. Delapan
enaaam!”
Arimbi tertawa mendengarnya. Sekarang dia paham, dan sudah
bisa membayangkan. Dari sel inilah segala urusan sabu-sabu dikendalikan.
Berbagai serbuk obat-obatan yang jadi bahan didatangkan dari luar.
Orang-orang yang dari dulu jadi langganan Cik Aling belanja bahan
mengantar ke penjara. Petugas-petugas yang sudah mendapat jatah
bulanan, membuka pintu lebar-lebar. Kalaupun sesekali ada pemeriksaan,
paling hanya berakhir dengan senyuman, tanpa pernah ada penyitaan (86,
2011: 204).
Cik Aling mempunyai beberapa orang kurir yang siap mengedarkan
narkoba tersebut di luar penjara. Dia merekrut anggota baru dengan menjerat
mereka dengan meminjamkan uang terlebih dahulu. Setelah mereka terikat
hutang, mau tidak mau mereka harus melakukan yang diperintahkan Cik Aling.
Salah satu contoh adalah Ananta, suami Arimbi. Arimbi yang membutuhkan uang
untuk keperluan berobat ibunya, terpaksa harus menyuruh Ananta untuk
membantu Cik Aling. Dari hasil berjualan sabu-sabu ini, Cik Aling bisa hidup
tenang dan nyaman di penjara, juga bisa membiayai kebutuhan hidup
keluarganya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut,
Di hari-hari tertentu ada orang-orang yang datang mengambil sabu-
sabu. Mereka inilah yang akan mengedarkan ke banyak orang. Tugas
Tutik yang menimbang, membungkus, dan membagikan kepada orang-
orang itu. Umi dan Watik hanya membantu di dalam kamar. Dan sekarang
Arimbi dan Ananta juga menjadi bagian dari tangan-tangan itu.sabu-sabu
Cik Aling tidak hanya menunggu diambil orang, tapi diantar sendiri oleh
orang suruhan Cik Aling, salah satunya Ananta (86, 2011:205).
Setelah Pak Ali meninggal dunia, Bu Ali melanjutkan usaha suaminya
mengurus madu dan susu kuda Sumbawa. Bu Ali adalah ibunya Umar. Mereka
Universitas Sumatera Utara
Page 192
mempunyai peternakan kuda dan lebah. Dalam menjalankan bisnisnya Bu Ali
dibantu oleh Umar. Untuk mengurus peternakan diserahkan kepada Umar,
sedangkan untuk pemasaran dilakukan oleh Bu Ali. setelah Umar menikah dengan
Maryam, Bu Ali tidak lagi mengurus penjualan madu dan susu. Semua
diserahkannya kepada Umar dan Maryam. Hal ini dapat dilihat dari percakapan
antara Bu Ali dan Umar sebagai berikut,
“Lumayan juga usaha seperti ini ya, Bu?”
Bu Ali mengangguk, “Ya. Lumayan, tapi mana ngerti kita, ke
Moyo saja kita malah tak pernah.”
Bu Ali dan Umar tertawa bersama. (My, 2012:138)
Maryam terjun ke dunia bisnis setelah menikah dengan Umar. Dia
membantu pekerjaan suaminya. Dalam keseharian, Maryam dan Umar berbagi
peran. Maryam mencatat semua uang masuk dan uang keluar dan membuat
pembukuan. Maryam membuat nama merek dagang mereka. setiap kemasan
madu diberi nama Em‟s Sumbawa Honey dan Em‟s Sumbawa Horse Milk untuk
susu. Maryam mengirimkan contoh ke supermarket-supermarket dan restoran-
restoran yang ada di Lombok, Bali, dan Jawa. Ada yang menanggapi dan minta
dikirimkan seratus kemasan untuk dijual. Dengan bantuan Maryam, usaha mereka
semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari penggalan novel berikut,
Dalam keseharian, Maryam dan Umar berbagi peran. Maryam ikut
membantu usaha Umar. Mencatat semua uang masuk dan uang keluar,
membuat pembukuan modern yang sebelumnya hanya mengandalkan
ingatan. Ia juga berkelana di internet, mencari-cri peluang untuk
memperluas pengiriman susu dan madu. Maryam juga yang mengusulkan
agar mereka membuat merek dagang. Menempelkannya pada setiap
kemasan agar semakin dikenal (My, 2012:214).
Nuraini sebagai pelaku bisnis karena untuk membantu suaminya
memenuhi kebutuhan hidup. Pekerjaan suaminya tidak menentu, terkadang pergi
Universitas Sumatera Utara
Page 193
ke laut. Mereka mempunyai enam orang anak. Suaminya bukan orang yang
tinggal di pinggir laut, oleh karena itu dia menjadi nelayan sebisanya saja. Hasil
yang diperoleh juga tidak banyak sehingga dia tidak bisa memenuhi kebutuhan
keluarganya.
Untuk membantu suaminya, Nur berjualan kain sarung khas Lombok. Dia
menawarkan dagangannya kepada para turis sampai ke Kuta. Kadang-kadang dia
mendapat hasil yang banyak, terkadang juga tidak mendapat apa-apa. Nur
menjalani kehidupan ini dengan ikhlas. Dari hasil berjualan kain tersebut dia tidak
berharap banyak yang penting bisa menyekolahkan anaknya yang dapat dilihat
pada kutipan berikut ini,
Maryam terkejut mendengarnya. Jarang ada pedagang yang
menanyakan nama pembelinya. Jangan-jangan orang ini kukenal, pikir
Maryam. Maryam memperhatikan perempuan itu lekat-lekat. Rambutnya
digelung sembarangan. Kausnya yang putih terlihat dekil. Sarung yang
dikenakan, motif bunga-bunga merah, sudah terlihat pudar. Maryam
tersenyum saat menyadari ia memang kenal dengan perempuan itu.
Walaupun usia sudah banyak mengubah wajah itu, dan waktu telah banyak
menghapus ingatan, masih ada yang dikenali Maryam dari perempuan itu.
“Nur…” sapa Maryam. Perempuan itu Nuraini. Tetangganya di
Gerupuk. Mereka seumuran. Teman sejak kecil (My, 2012:191).
5.3.1.2 Perjuangan Perempuan dalam Mempertahankan Hidup
Dalam mempertahankan hidup, manusia harus memenuhi kebutuhan
primer. Perjuangan perempuan dalam mempertahankan hidup di jaman orde baru
dapat dilihat dalam novel Enrok melalui tokoh Simbok, sedangkan perjuangan
perempuan dalam mempertahankan hidup di jaman reformasi melalui tokoh
Arimbi dan Tutik yang dapat dilihat dalam novel 86, dan Nurani dalam novel
Maryam.
Universitas Sumatera Utara
Page 194
Keadaan Simbok yang miskin menyebabkan dia harus bekerja keras.
Suaminya tidak pernah memberi uang. Untuk mempertahankan hidup Simbok
melakukan pekerjaan apa saja. Setiap hari Simbok ke pasar. Simbok menawarkan
diri untuk membantu pedagang-pedagang di pasar. Dari hasil pekerjaannya,
Simbok memperoleh upah berupa singkong, ketan, atau baju. Jika tidak ada
pekerjaan, Simbok mencari sisa-sisa dagangan yang akan dibuang oleh
pemiliknya. Kehidupan Simbok sangat memprihatinkan yang dapat dilihat dari
kutipan berikut ini,
Aku diam. Aku tahu Simbok benar. Bisa makan tiap hari saja
sudah harus disyukuri. Simboklah yang mencari semuanya. Setiap hari ke
pasar. Kalau pas untung ya ada pekerjaan, kalau tidak ya mencari sisa-sisa
dagangan yang akan dibuang penjualnya. Kadang Simbok menawarkan
diri untuk membantu pedagang-pedagang itu. Pekerjaan apapun dilakukan.
Imbalannya singkong, ketan, dan pernah sekali waktu baju. Sayangnya, tak
ada satu pun yang memberi upah entrok
Entrok memang terlalu mewah untuk aku dan Simbok. Apa yang
masih dipikirkan seorang perempuan kere buta huruf dengan tanggungan
seorang anak selain hanya makan? Suaminya, yang konon adalah bapakku,
minggat entah kemana. Sejak kapan dia pergi aku juga tak ingat. Samar-
samar aku hanya mengingat Bapak meninggalkan kami waktu aku pertama
kali bisa mengangkat panci yang airnya mendidih dari pawon. (En,
2010:17).
Sebenarnya Simbok memiliki suami, namun suaminya tidak pernah
memberinya uang. Suaminya tidak mau bekerja. Suaminya hanya menunggu
makanan yang disajikan oleh Simbok. Ketika Simbok demam panas dan tidak bisa
ke pasar untuk bekerja, suaminya memukulinya. Dia seperti orang yang kesurupan
karena tidak ada makanan. Jika Simbok tidak bekerja, berarti mereka tidak bisa
makan. Sejak peristiwa itu suaminya pergi dan tidak pernah kembali lagi.
Simbok pasrah menjalani hidupnya. Sebagai seorang wanita Jawa, Simbok hanya
bisa nrimo. Setelah suaminya pergi, Simbok harus bekerja lagi untuk memenuhi
Universitas Sumatera Utara
Page 195
kebutuhan hidup dirinya dan anaknya, Marni. Hal ini dapat dilihat pada kutipan
novel berikut,
Samar-samar dalam ingatanku, terbayang Bapak memukul Simbok
yang sedang sakit panas dan tidak bisa ke pasar. Kalau Simbok tidak ke
pasar, kami tidak akan punya makanan. Dan laki-laki itu dengan
seenaknya hanya menunggu makanan. Dia seperti anjing gila yang marah
saat kelaparan. Iya. Dia memang anjing gila. Hanya anjing gila kan yang
menggigit istrinya yang sedang sakit. saat itu aku sangat ketakutan.
Menyembunyikan diri di balik pintu sambil menangis sesenggukan. Laki-
laki itu pergi setelah menghajar istrinya dan tak pernah kembali lagi (En,
2010: 7-18).
Arimbi bekerja sebagai PNS untuk mempertahankan hidup di Jakarta.
Dengan gaji yang pas-pasan Arimbi hanya bisa mengontrak sebuah kamar di
daerah kumuh. Gajinya setiap bulan habis untuk membayar listrik, ongkos ke
kantor, biaya makan sehari-hari, sewa kamar, dan mengirimkan sedikit uang
belanja untuk orang tuanya di kampung. Arimbi menyisakan sedikit uangnya
untuk ditabung dan tabungan itu akan habis setiap tahunnya untuk keperluan
pulang ke kampung di saat lebaran. Hal ini dapat dilihat dari kutipan novel
berikut,
Bapak dan ibu Arimbi di kampung bangga setengah mati pada
anaknya yang sekarang tinggal di Jakarta ini. Kepada setiap orang dia
mengatakan anak perempuannya sekarang jadi pegawai kantor pengadilan
di Jakarta. Satu kantor bersama jaksa dan hakim. Padahal kenyataannya
Cuma menjadi juru ketik dan tukang fotocopy. (86, 2011:12)
Tutik bekerja kepada Cik Aling dan Bu Danti sebagai pembantu di dalam
penjara. Selain itu, sebagai kepala kamar, Tuti juga sering mendapat uang
tambahan dari teman sekamarnya. Tuti berasal dari Ponorogo. Kemiskinan yang
menimpa keluarganya, membuat dia nekat bekerja sebagai wanita penghibur,
hingga dia memiliki seorang anak tanpa ayah. Kemudian, Tuti berangkat ke
Universitas Sumatera Utara
Page 196
Jakarta dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Setiap bulan Tutik mengirim
uang ke kampung untuk biaya orang tua dan anaknya. Sampai akhirnya dia masuk
penjara, Tuti berusaha bekerja apa saja, asalkan dia bisa mengirim uang untuk
keluarganya yang dapat dilihat pada kutipan berikut,
… Empat tahun lalu dia berangkat ke Jakarta, jadi pembantu dari anak
seorang tetangga yang tinggal di Ibukota. Digaji 300.000 sebulan, tiga kali lipat
dari upahnya saat dia jadi pembantu di desa. Demi uang yang berlipat, dia
tinggalkan anaknya yang saat itu baru umur sepuluh bulan bersama ibunya.
Suaminya sudah tak jelas ada dimana. Memang sebenarnya mereka tak pernah
menikah. Hanya ketemu beberapa kali saat Tutik disuruh majikannya belanja ke
pasar. Laki-laki itu kenek bus yang biasa ia tumpangi. “Pancen dasar tukang
ngerayu, siang-siang diajak nyoblos ning mburi pasar.” Katanya pada Arimbi. (86,
2011:175).
Nuraini bekerja sebagai penjual sarung di pantai Kuta untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya. Nuraini mempunyai enam orang anak. Dia juga
terlahir dari keluarga miskin. Dia pernah bekerja sebagai TKI ke Arab Saudi,
namun kehidupannya tetap juga tidak berubah. Ketika dia berangkat ke luar
negeri, justru suaminya kawin lagi dan mempunyai anak dari istrinya yang baru.
Nuraini tidak bisa hanya mengharapkan uang dari suaminya, apalagi tanggungan
suaminya sudah semakin banyak. Berikut ini adalah kutipan yang mendukung
peristiwa tersebut,
“Majikanku baik. Alhamdulillah. Tidak seperti yang di berita-berita itu,”
jelas Nur. Setiap bulan Nur mengirimkan semua gajinya ke rumah. Sebelumnya,
suaminya sudah membuka rekening di BRI kecamatan. Suaminya yang setiap
bulan mengambil uang kirimannya. Dengan uang itu seluruh keperluan
keluarganya dibiayai. Makan dan sekolah anak-anaknya. Dengan uang itu juga,
rumah ibu Nur bias sedikit diperbaiki. Punya penghasilan tetap setiap bulan dari
pekerjaan istrinya membuat suami Nur yang memang tak akrab dengan laut
semakin malas untuk melaut (My, 2012:200-201).
Fatimah bekerja di sebuah restoran di bagian menyiapkan hidangan untuk
tamu-tamu hotel. Pekerjaan ini baru saja didapatkannya sekitar tiga bulan lalu.
Universitas Sumatera Utara
Page 197
Sebelumnya, dia sudah banyak memasukkan lamaran ke tempat lain, tetapi tidak
ada yang menerimanya dengan bekal hanya ijazah SMA dan pengalaman apa-apa.
Dia bekerja delapan jam sehari. Kadang dari pagi sampai sore, terkadang dari
siang sampai malam, bergantian dengan pegawai lainnya. Libur satu kali setiap
minggu pada hari Rabu dengan gaji Rp. 600.000,- per bulan. Penghasilan ini
cukup untuk kebutuhan hidupnya dan sedikit-sedikit ikut menyumbang keperluan
rumah, yang dapat dilihat pada petikan novel berikut ini,
Maryam paham. Ia pun akan demikian kalau menjadi bapaknya.
Hanya Fatimah yang ikut mereka pulang. Fatimah harus bekerja hari ini.
Ia akan memakai baju Maryam lalu menuju tempat kerjanya. Aku harus
tetap bekerja untuk mempertahakan hidup, juga agar bisa membantu
keluarga dan tetangga-tetangga, pikir Fatimah (My, 2012:232).
5.3.1.3 Meningkatkan Taraf Hidup
Manusia dalam kehidupannya senantiasa menginginkan kesejahteraan.
Manusia menginginkan agar seluruh kebutuhan hidupnya terpenuhi. Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut, manusia melakukan suatu kegiatan
dalam bentuk usaha. Banyak usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
taraf hidup manusia. Mulai dari meningkatkan tingkat pendidikan, harta, tahta
atau jabatan dan status sosial serta masih banyak faktor lain yang menjadikan
manusia selalu berlomba-lomba meningkatkan taraf hidupnya demi mencapai
kesempurnaan hidup.
Melalui tingkat pendidikan yang biasanya sekolah hanya sampai lulus
SMP dan SMA lalu kerja atau nikah, kini berusaha meningkatkan pendidikan
hingga kuliah dan mendapatkan gelar sarjana atau bahkan hingga sampai ke
Universitas Sumatera Utara
Page 198
jenjang S2 dan S3. Hal ini dapat meningkatkan taraf hidup manusia tentunya,
banyak orang percaya bahwa kalau pendidikan yang didapatkan semakin tinggi
maka semakin besar pula kesempatan hidupnya untuk meningkat. Hal ini terutama
terjadi pada mereka yang bergelar PNS (Pegawai Negeri Sipil), karena tingkat
pendidikan merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam peningkatan golongan
jabatan seorang PNS, dan bila golongan jabatan meningkat maka itu berarti
menandakan sebuah peningkatan taraf hidupnya, apalagi bagi PNS Guru atau
Dosen yang telah mendapatkan sertifikasi.
Meningkatkan taraf hidup dengan harta, harta bisa didapatkan dengan cara
bekerja, bekerja apa saja terutama dengan cara yang halal dapat meningkatkan
taraf hidup manusia, mulai dari kerja yang bersifat individu/kelompok atau
wiraswasta hingga bekerja kepada institusi pemerintahan yang berbasis negeri
atau PNS. Bekerja merupakan salah satu cara agar manusia dapat mencukupi
kebutuhan hidup, dengan bekerja bisa mendapatkan uang untuk membeli makanan
guna menghilangkan rasa lapar, uang bisa digunakan untuk membeli sandang
guna menutupi tubuh dan juga dengan uang seseorang bisa mendapatkan papan
(tempat tinggal) atau bisa disebut dengan rumah. Itulah tiga hal yang merupakan
kebutuhan primer manusia yaitu, pangan, sandang dan papan.
Perjuangan perempuan dalam meningkatkan taraf hidup dapat dalam novel
Entrok melalui tokoh Sumarni dan 86 melalui tokoh Anisa, Bu Danti, dan Cik
Aling. Entrok dalam teks bisa diartikan sebagai simbol wanita sekaligus sebagai
simbol perubahan. Hal itu didasarkan pada pembacaan atas teks secara mendalam.
Entrok tersebut merupakan simbol wanita memiliki makna ganda, baik ketika ia
Universitas Sumatera Utara
Page 199
berdiri sebagai simbol yang utuh dan independent tanpa dikaitkan dengan teks,
maupun ketika dikaitkan dengan teks secara keseluruhan. Jika dikaitkan dengan
teks, entrok tersebut adalah simbol peran wanita yang terbatas hanya di ruang
domestik (privat). Simbol entrok dalam teks juga dapat dimaknai sebagai simbol
perubahan peran wanita dari ruang domestik ke ruang publik dan dari wanita
tradisional menjadi wanita modern.
Benda bernama entrok yang ada dihadirkan lewat tokoh Tinah dalam teks
menjadi sebuah motif yang selanjutnya mampu merubah pandangan tokoh
Sumarni tentang kerja keras. Keinginan yang kuat untuk memiliki entrok
membuat tokoh Sumarni menjadi pekerja keras dengan mendobrak pakem ilok
ora ilok sekaligus perlahan-lahan bisa lepas dari kemiskinan yang dapat dilihat
pada kutipan novel berikut,
Pagi itu kami berangkat ke pasar, tanpa menyinggung rencanaku
nguli. Simbok sudah yakin aku tak akan melakukan hal yang ra ilok.
Padahal dalam hati aku tetapbertekad akan nguli. Akan kutinggalkan
Simbok saat dia sibuk mengupas singkong-singkong Nyai Dimah. Aku
akan pergi sebentar-sebentar. Setiap selesai ngangkat barang, aku akan
kembali sebentar mengupas singkong. Imbok akan mengira aku kebelet
atau bermain dengan anak-anak pasar (En, 2010:35).
Dalam perkembangan selanjutnya, tokoh Sumarni memiliki kapabilitas
dalam menghadapi lingkungan sosial di sekitarnya dengan penuh kreasi. Pada
akhirnya dia tumbuh menjadi wanita dengan pribadi yang ulet dan memiliki
keinginan yang kuat untuk terus maju. Meskipun begitu, dia tetap tidak bisa
sepenuhnya lepas dari sikap pasrah, nrima, ikhlas, dan sabar dalam menghadapi
situasi tertentu sebagai laku wanita Jawa.
Universitas Sumatera Utara
Page 200
Dilihat dari status ibu bekerja, tampak bahwa ibu bekerja lebih berani
daripada ibu rumah tangga dalam mengemukakan pendapat. Hal ini dipahami
barangkali karena ibu bekerja terbiasa dala posisi dituntut untuk lebih mandiri
dalam mengambil keputusan terkait hal-hal yang dihadapi di tempat kerja. Selain
itu, ibu bekerja lebih berani berjuang untuk mencapai kesejahteraan. Dengan kata
lain, ibu bekerja mendapatkan wawasan berkenaan dengan hal-hal berkaitan
dengan perbaikan kesejahteraan.
Anisa bekerja di kantor pengadilan sebagai juru ketik, sama dengan
Arimbi. Anisa adalah pegawai negeri yang menerima gaji setiap bulannya.
Suaminya juga adalah seorang pegawai negeri. Gaji mereka berdua sudah cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Anisa mendapatkan uang sampingan
untuk meningkatkan taraf hidupnya. Dari hasil sampingan tersebut Anisa bisa
membeli sebuah rumah mewah, mobil, dan berlibur bersama keluarganya setiap
tahun, seperti pada penggalan novel berikut ini,
Sepanjang malam Arimbi memikirkan kata-kata Anisa. Pantas saja
dia punya semuanya, kata Arimbi dalam hati. Arimbi menyebutnya satu
per satu. Rumah, mobil… bahkan ada dua mobil di rumahnya, handphone
bagus, jam tangan bagus, tas dan sepatu yang macam-macam bentuknya,
bisa jalan-jalan, bisa naik pesawat. Arimbi ingat Bu Danti dan segala yang
dia punyai. Mobil Bu Danti lebih bagus daripada Anisa. Honda jazz warna
merah. Pasti rumahnya juga lebih bagus daripada rumah Anisa. Bu Danti
tidak berlibur ke Bandung, tetapi ke Singapura. Jangan-jangan itu juga
jatah dari pengacara, pikir Arimbi (86, 2011:71).
Bu Danti bekerja di kantor pengadilan. Dia juga seorang pegawai negeri.
Selain itu, Bu Danti memegang jabatan struktural sebagai ketua seksi panitera
persidangan. Bu Danti adalah atasan Arimbi dan Anisa. Bu Danti
menyelewengkan jabatan yang dianugerahkan kepadanya. Melalui jabatan ini, Bu
Universitas Sumatera Utara
Page 201
Danti menjadi makelar kasus. Pengacara terdakwa banyak yang minta tolong
kepadanya. Tentu saja dengan imbalan yang sangat memadai. Dari hasil makelar
kasus ini, Bu Danti mendapatkan penghidupan yang layak dan harta yang
berlimpah. Hampir setiap bulan Bu Danti berlibur bersama keluarganya. Di akhir
tahun mereka berlibur ke luar negeri. Hal ini didukung oleh ilustrasi novel berikut
ini,
“ini nanti urusannya sama Pak Dewabrata, Mbi. Aku sudah omong,
beres semua. Sudah sering urusan begini sama beliau. Orangnya enak,
nggak kebanyakan minta. Kalau yang lain-lain suka bikin repot,” Bu Danti
bercerita tanpa ditanya.
“Tapi kan hakimnya ada tiga, Bu?”
“Iya, yang lain nurut ketuanya. Ini nanti seorang dapat lima ratus,”
kata Bu Danti sambil mengambil beberapa bundle uang seratus ribu.
Diserahkan uang itu ke Arimbi. “Jatahmu, lumayan kan, buat pengantin
baru, bias nyicil buat beli rumah.” (86, 2011:142-143)
Cik Aling adalah pengusaha narkoba di dalam penjara. Sebelum masuk
penjara, Cik Aling juga berjualan narkoba. Cik Aling bisa hidup nyaman di
penjara, dengan ruangan yang luas dan fasilitas kamar yang lengkap. Dari hasil
penjualan narkoba ini, Cik Aling dapat menghidupi keluarganya yang dapat
dilihat pada kutipan novel berikut ini,
“Judulnya dihukum masuk penjara., tapi ternyata usahaku malah
makin lancar di sini,” Aling melanjutkan kalimatnya sambil tersenyum.
“Kok bias begitu, Cik?” Tanya Arimbi. Ia benar-benar ingin tahu.
“Ya iya, di luar dulu aku mesti kucing-kucingan sama polisi. Kalau
polisinya gampang, ya kita tinggal kasi duit. Sialnya ya kayak terakhir itu.
Ada grebekan bawa wartawan, ya sudah, habis aku di penjara.”
Aling berdiri lagi. Berjalan menuju kulkas, mengambil satu kaleng
bir. Setelah minum satu tegukan, ia kembali duduk di samping Arimbi
dengan memegang kaleng minumannya (86, 2011:204).
Universitas Sumatera Utara
Page 202
5.3.2 Perjuangan Perempuan dalam Bidang Keyakinan
Perjungan perempuan dalam bidang keyakinan meliputi dua jenis yaitu
kejawen dan Ahmadiyah. Mereka berjuang untuk mempertahankan keyakinan
mereka akan kebenaran yang dianut. Berikut akan dijelaskan satu persatu. Jenis
perjuangan ini dapat dilihat pada bagan dibawah ini,
Bagan 5.2 Perjuangan Perempuan dalam Bidang Keyakinan
5.3.2.1 Kejawen
Kejawen dapat diungkapkan dengan baik oleh mereka yang mengerti
tentang rahasia kebudayaan Jawa. Kejawen ini sering sekali diwakili dengan baik
oleh golongan elite priyayi lama dan keturunannya yang menegaskan bahwa
kesadaran akan budaya sendiri merupakan gejala yang tersebar luas dikalangan
orang Jawa.
Kesadaran akan budaya ini sering kali menjadi sumber kebanggaan dan
identitas kultural. Orang-orang inilah yang memelihara warisan budaya Jawa
secara mendalam sebagai Kejawen. Keagamaan orang Jawa Kejawen ditentukan
Ahmadiyah
(Maryam, Fatimah, Bu Zul,
Bu Khairuddin, Bu Ali)
Kejawen
(Simbok, Sumarni)
Perjuangan Perempuan
dalam bidang Keyakinan
Universitas Sumatera Utara
Page 203
oleh kepercayaan mereka pada berbagai macam roh-roh yang tidak kelihatan yang
dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau penyakit apabla mereka dibuat
marah atau penganutnya tidak berhati-hati dalam bertindak. Untuk melindungi
semua itu, orang Jawa Kejawen memberi sesajen atau caos dahar yang dipercaya
dapat mengelakkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan mempertahankan
batin dalam keadaan tenang. Sesajen yang digunakan biasanya terdiri dari nasi
dan aneka makanan lain, daun-daun, bunga serta kemenyan. Sesajen ini dapat
dilihat pada kutipan berikut,
Sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di
samping makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan ubo rampe-
nya, buah-buahan, dan rokok. Selama tirakat mereka tidak akan berbicara
dan makan-minum. Mereka juga dilarang memikirkan hal-hal yang tidak
baik. Satu-satunya yang mereka lakukan adalah berdoa memohon berkah
(En, 2010:95).
Contoh kegiatan religius dalam masyarakat Jawa, khususnya orang Jawa
Kejawen adalah puasa. Orang Jawa Kejawen mempunyai kebiasaan berpuasa
pada hari-hari tertentu misalnya Senin-Kamis atau pada hari lahir, semuanya itu
merupakan asal mula dari tirakat. Dengan melakukan tirakat, orang dapat menjadi
lebih tekun dan kelak akan mendapat pahala seperti pada kutipan berikut,
Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu
membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata
ibu, itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya
semua yang ada di dunia milik Ibu Bapa Bumi Kuasa. Dialah yang punya
kuasa untuk memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang
pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu (En, 2010: 55-56).
Orang Jawa Kejawen menganggap bertapa adalah suatu hal yang sangat
penting dalam hidup. Dan orang yang berabad-abad bertapa dianggap sebagai
orang keramat karena dengan bertapa, orang dapat menjalankan kehidupan yang
Universitas Sumatera Utara
Page 204
ketat dan disiplin tinggi serta mampu menahan hawa nafsu sehingga tujuan-tujuan
yang penting dapat tercapai.
Kegiatan orang Jawa Kejawen lainnya adalah meditasi atau semedi.
Meditasi atau semedi biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata
(bertapa) dan dilakukan ditempat tempat yang dianggap keramat, misalnya di
gunung, kuburan, ruang yang dikeramatkan dan sebagainya. Pada umumnya orang
melakukan meditasi untuk mendekatkan atau menyatukan diri dengan Tuhan.
Marni pergi ke Gunung Kawi untuk melakukan meditasi atau semedi. Hal ini
dilakukannya untuk berdoa kepada sang Pencipta yaitu Mbah Ibu Bapak Bumi
Eyang Kuasa, seperti yang dapat dilihat pada kutipan berikut,
Koh Cayadi menceritakan salah satu kebiasaan keluarganya yang
diyakini terbukti membantu kelancaran usaha mereka. Sejak bertahun-
tahun lalu, tepatnya saat ia masih kanak-kanak di Surabaya, orangtuanya
rutin mengajaknya ke Gunung Kawi. Gunung Kawi ada di Malang, kota di
selatan Surabaya. Mereka bias pergi naik bus, dengan lama perjalanan dua
jam. Di gunung itu, ada makam, yang bisa memberikan berkat bagi orang
menziarahinya.
Ibu mendengarkan semua itu dengan antusias.ia sangat percaya
upaya batin diperlukan untuk membantu seseorang mencapai kemakmuran
dan kejayaan. Selama ini ia hanya mengenal Mbah Ibu Bumi Bapak
Kuasa. Upaya batinnya baru sebatas memohon di tengah malam,
membawa panggang ke makam penguasa desa, dan selametan setiap hari
kelahiran (En, 2010:92).
Upacara pokok dalam agama Jawa tradisional adalah slametan atau
selamatan, kenduri. Ini merupakan upacara agama yang paling umum diatara para
abangan, dan melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang
ikut serta dalam slametan itu. Slametan dan lambang-lambang yang
mengiringinya memberikan gambaran yang jelas tentang cara pemaduan antara
Universitas Sumatera Utara
Page 205
kepercayaan abangan yang animis dan Budhais-Hindu dengan unsur Islam serta
membentuk nilai pokok masyarakat pedesaan.
Jika seorang ingin merayakan atau mengeramatkan peristiwa apapun yang
berhubungan dengan upacara perseorangan atau jika ia hendak memperoleh
berkah atau minta perlindungan dari bencana, maka slametan harus diadakan.
Tujuan utama slametan ialah mencari keselamatan dalam arti tidak terganggu oleh
kesulitan alamiah atau ganjalan gaib.
Setaiap hari kelahirannya Marni selalu membuat selametan dengan
membuat tumpeng kecil lengkap dengan lauk-pauknya. Marni menyuruh Tonah
untuk membuat dua buah tumpeng, satu untuk dimakan pada acara selametan
tersebut dan satu lagi diletakkan di kamar yang dipersembahkan untuk Mbah Ibu
Bapak yang Kuasa seperti kutipan berikut,
Ibu juga rajin selamatan. Seminggu sekali, setiap hari kelahirannya,
dia meyembelih ayam untuk dipanggang. Tonah membuat tumpeng kecil,
menyiapkan semua ubo rampe. Ada kulupan, jenang merah, dan jenang
putih. Ibu memanggil beberapa tetangga laki-laki. Mbah Sambong,
perangkat desa yang dipercaya punya kekuatan lebih, membacakan ujub.
Bapak dan yang lainnya membaca, “Amin....Amin...!” (En, 2010: 56).
Kebiasaan menyembah arwah orang mati terutama arwah para leluhur atau
apa yang disebut cikal bakal, pendiri desa semula, memainkan peranan yang
penting secara religius diatara kaum abangan. Yang sama pentingnya adalah
penghormatan kepada kuburan-kuburan suci yang disebut keramat. Kata ini
berasal dari bahasa Arab „karamah‟ yang berati mulia. Hal ini dilakukan oleh
Sumarni dengan mendatangi kuburan yang di gunung, seperti yang terdapat pada
kutipan berikut,
Universitas Sumatera Utara
Page 206
Sepanjang perjalanan Koh Cahyadi telah memberitahu apa yang
akan mereka lakukan di Gunung Kawi. Mereka akan tirakat di sekitar
makam Eyang Sujo dan Eyang Jugo. Sesajen dan dupa yang sudah
disiapkan dari Madiun diletakkan di samping makam. Ada tumpeng
lengkap dengan panggang dan ubo rampe-nya, buah-buahan, dan rokok.
Selama tirakat mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka
juga dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya yang
mereka lakukan adalah berdoa memohon berkah (En, 2010:95).
Banyak kuburan orang suci di Jawa diaggap keramat, seperti makam para
wali. Ribuan orang dari segala pelosok pulau Jawa berjiarah ke makam-makam
tersebut untuk mendapat berkah. Penghormatan kepada orang mati diungkapkan
dengan jalan membersihkan kuburan dan sebagian dengan mengadakan kenduri
yang orang Jawa dipandang sajian kepada orang yang meninggal itu.
Orang Jawa khususnya abangan percaya kepada kemampuan dukun, yaitu
seorang mampu mengendalikan roh-roh melalui ngelmu-ngelmunya. Dengan
ngelmu tersebut diharapkan akan mendapat kekuasaan, kekayaan, dan keagungan.
Ngelmu tersebut digunakan juga untuk menjamin penyelamatannya di akhirat.
Marni melakukan hal ini, ketika Rahayu akan berangkat ke Yogya untuk
melanjutkan pendidikan. Marni meminta sesajen kepada dan mengadakan acara
kenduri agar Rahayu terhindar dari malapetaka dan mendapat perlindungan dari
arwah leluhurnya seperti pada kutipan berikut,
Masih pagi begini tak banyak orang yang datang ke rumah Pak
Kyai. Aku dan Teja langsung masuk rumah, menemuinya yang sedang
melinting tembakau. Aku minta padanya agar Rahayu diberi doa
keselamatan. Kuceritakan semua yang diceritakan Rahayu. Kyai Noto
mendengarkan sambil mengisap tembakaunya.
Dia lalu masuk kamar. Konon, di kamar itu ia semadi dan
membuat jampi-jampi. Tak terlalu lama kemudian dia keluar kamar sambil
membawa bungkusan kecil. Bungkusan itu isinya gula pasir. Kyai Noto
sudah mengirimkan doa-doa dan kekuatannya dalam gula pasir itu. Orang
yang diberi tinggal ngemut sewaktu-waktu (En, 2010: 132).
Universitas Sumatera Utara
Page 207
Perjuangan dalam mempertahankan keyakinan kejawen ini dapat dilihat
melalui tokoh Marni dan Simbok dalam novel Entrok. Simbok yang hidup di
masa lampau (masyarakat tradisional), tidak mendapat hambatan dalam
melakukan ritual kejawennya. Marni yang hidup dalam masa kekinian
(masyarakat sudah mengenal agama Islam), dalam mempertahankan keyakinan
ini, banyak mendapat hambatan dan pertentangan dari orang lain, bahkan anaknya
sendiri. Rahayu, anak satu-satunya ikut memusuhinya. Marni selalu mendapat
hinaan dari Pak Waji, guru ngaji di desa itu. Orang-orang desa juga selalu cemooh
dirinya. Mereka menganggap dirinya melakukan pesugihan. Namun, Marni tetap
pada pendiriannya, dia tetap percaya pada kekuatan Roh Leluhurnya.
Marni mendapat pertentangan dari Rahayu. Rahayu yang sudah mengenyam
pendidikan agama mengatakan bahwa ibunya pendosa. Ibunya seorang
penyembah leluhur yang termasuk dalam perbuatan syirik. Dia bilang hanya Gusti
Allah yang boleh disembah. Marni yang tidak pernah duduk di bangku sekolah,
sejak kecil diajari orangtuanya nyembah leluhur. Perbedaan pandangan antara
Rahayu dan Sumarni menyebabkan jarak mereka makin menjauh. Setelah dewasa,
Rahayu pergi meninggalkan ibunya. Walaupun Rahayu pergi meninggalkannya,
Marni tetap kepada keyakinannya bahwa dia tidak bersalah jika menyembah
leluhur dan keyakinan itu tetap dipertahankannya. Pertentangan antara Marni dan
Rahayu dapat dilihat pada cuplikan novel berikut,
Aku membenci Ibu. Dia orang berdosa.
Aku membenci Ibu. Kata orang, dia memelihara tuyul.
Aku membenci Ibu, karena dia menyembah leluhur.
Aku malu, Ibu (En, 2010:58).
Universitas Sumatera Utara
Page 208
Duh, Gusti, apa salah kalau aku mau cari rezeki, punya harta, biar
tidak dihina-hina orang? Akukan tidak membunuh orang, tidak mencuri,
tidak merampok. Aku hanya bakulan, menyediakan apa yang dibutuhkan
orang, mengambil upah buat tenaga dan modalku. Lha kok malah semua
orang ngrasani. Malah anakku sendiri, anakku satu-satunya, ikut-ikutan
menyalahkanku.
Dia bilang aku ini dosa. Dia bilang aku ini sirik. Dia bilang aku
penyembah leluhur. Lho… lha wong aku sejak kecil diajari orangtuaku
nyembah leluhur kok tidak boleh. Lha buktinya kan setiap aku minta ke
leluhur, lewat tumpeng dan panggang yang harganya tak seberapa itu,
semua yang kuminta kudapatkan. Dia bilang hanya Gusti Allah yang boleh
disembah. Lha iya, tapi wong aku tahu Gusti Allah ya baru-baru ini saja.
Lha gimana mau nyuwun kalau kenal saja belum (En, 2010: 100-101).
Marni selalu mendapat hinaan dari Pak Waji, guru ngaji di desa itu.
Walaupun Pak Waji sudah menasehati dan mengajarkan kepada ibu bahwa apa
yang dilakukannya adalah perbuatan dosa, namun ibu tetap bertahan pada
pendiriannya. Ibu mengatakan bahwa dia hanya kenal kepada leluhurnya yang
sudah diwariskan oleh ibunya. Sedangkan Gusti Allah, dia baru mengetahuinya
sekarang. Dia juga belum mengenal Allah, jadi dia tidak tahu cara
menyembahnya. Akhirnya, dia tetap teguh kepada keyakinannya. Berikut ini
adalah kutipan dari novel yang mendukung hal tersebut,
Kata Pak Waji, guru agamaku di SD, Ibu berdosa. Di depan kelas
dia berkata, ibuku tak beragama. Ibuku sirik, masih menyembah leluhur,
member makan setan setiap hari. Pak Waji juga bilang ibuku punya tuyul.
( En, 2010:57).
Ibu menyerah. Dia keluar dari kamarku, menuju halaman belakang,
melakukan apa yang telah sejak dulu dilakukannya. Melanjutkan apa yang
telah bertahun-tahun dijalaninya. Ia sama sekali tak mau meninggalkan
apa yang dia percaya. Sementara aku, hari demi hari mendengar apa yang
dikatakan Pak Waji tentang dosa dan neraka. Tentang cara berdoa yang tak
pernah dikenal ibu sepanjang umurnya. Aku dan ibu seperti berada di
dunia yang berbeda. Tentu saja duniaku yang benar. Aku mendapatkannya
di sekolah, yang kata Ibu sendiri tempat kumpulnya orang pintar. Siapa
yang lebih benar, Pak Waji yang guru terpelajar atau ibu yang tidak
mengenal satu huruf pun? (En, 2010:58).
Universitas Sumatera Utara
Page 209
Orang-orang desa juga selalu cemooh dirinya. Mereka menganggap dirinya
melakukan pesugihan. Kematian Teja suaminya dan Bejo supirnya, dianggap
sebagai tumbal pesugihannya seperti pada kutipan berikut,
Yu Tini menurut. Dia tidak lagi berteriak, tapi berkata lirih. Tapi
aku ikut mendengarnya dengan jelas.
“Bejo jadi sajen. Sajen pesugihan.”
Duh, Gusti. Dia bilang Bejo jadi sajen. Sajen pesugihan-ku.
Pesugihan apa, Gusti? Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa, kesusahan apalagi
yang mampir kepadaku? (En, 2010:121).
Marni juga percaya akan kekuatan roh orang yang sudah meninggal.
Bersama Koh Cayadi dan orang-orang Cina lainnya, Marni pergi berziarah ke
makam Eyang Sujo dan Eyang Jugo di Gunung Kawi pada Jumat Legi. Marni
percaya bahwa roh yang ada di Gunung Kawi ini bisa memberi kemakmuran bagi
orang yang datang berziarah ke situ. Mereka meletakkan sesajen dan dupa di
samping makam, lengkap dengan panggang ayam, buah-buahan, dan rokok.
Selama tirakat, mereka dilarang makan dan minum, juga berbicara. Mereka juga
tidak dibenarkan memikirkan hal yang tidak baik. mereka hanya melakukan doa
untuk memohon berkah.
Pada hari-hari tertentu, seperti pada hari kelahirannya, Marni membuat
tumpeng untuk membuat selamatan. Tumpeng itu dibuat dua buah. Satu tumpeng
yang agak kecil, dimakan pada saat Mbah Sambong (Mbah Dukun) selesai
membaca doa. Sedangkan satu tumpeng lagi, disimpan di kamar Marni, lengkap
dengan panggang ayam dan kue-kue. Di samping tumpeng diletakkan dupa dan
sebuah lilin yang menyala. Tumpeng ini dipersembahkan untuk roh leluhurnya.
Marni juga nyuwun ke Roh Leluhurnya dengan bangun di tengah malam dan
Universitas Sumatera Utara
Page 210
bersemedi di bawah pohon asam di belakang rumahnya, seperti pada kutipan
novel berikut:
Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu
membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata
ibu, itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya
semua yang ada di dunia milik Ibu Bapa Bumi Kuasa. Dialah yang punya
kuasa untuk memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang
pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu.
...
Ibu juga rajin selamatan. Seminggu sekali, setiap hari kelahirannya,
dia meyembelih ayam untuk dipanggang. Tonah membuat tumpeng kecil,
menyiapkan semua ubo rampe. Ada kulupan, jenang merah, dan jenang
putih. Ibu memanggil beberapa tetangga laki-laki. Mbah Sambong,
perangkat desa yang dipercaya punya kekuatan lebih, membacakan ujub.
Bapak dan yang lainnya membaca, “Amin....Amin...!”
...
Ibu menyimpan satu tumpeng dan panggang lengkap dengan ubo
rampenya di kamarnya. Di taruh di meja samping lemari kaca, beralas
baki, ditemani sebatang lilin. Kata ibu, tumpeng dan panggang itu dikirim
untuk Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Keesokan harinya, ibu akan
mengeluarkan tumpeng dan panggang itu. Tonah akan memasaknya
kembali untuk makanan kami semua (En, 2010: 55-56).
5.3.2.2 Ahmadiyah
Perjuangan perempuan dalam Novel Maryam dapat dilihat dari keteguhan
tokoh-tokoh Maryam, Bu Ali, Bu Khairuddin, Fatimah, dan Bu Zul. Para tokoh
perempuan ini tetap pada keyakinan mereka, walaupun banyak mendapat
cemoohan dari masyarakat setempat. Bahkan tidak jarang mereka mendapat
penyerangan dan pengusiran seperti yang terlihat pada kutipan berikut,
Sesaat kemudian tersengar suara berisik dari arah jalan. Barisan
orang-orang muncul. Memasuki jalan kecil. “Usir! Usir!” teriak mereka.
Terdengar bunyi “brak” dan “klontang”. Mereka melempar sesuatu
ke rumah yang dilewati. Rumah orang tua Maryam nomor empat dari
ujung jalan. Itu artinya mereka akan segera sampai. Semua orang kini
berdiri bersiap-siap. Pintu rumah ditutup rapat. Ibu Maryam mengunci dari
dalam. Hanya laki-laki yang berada di luar (My, 2012: 224-225).
Universitas Sumatera Utara
Page 211
Terakhir, mereka harus diungsikan di gedung Transito, karena rumah
mereka dibakar, sehingga mereka tidak memiliki tempat tinggal lagi. Namun,
mereka tetap pada pendirian mereka. Di Transito mereka tetap mengadakan
pengajian sebulan sekali dengan mendatangkan ustad dari Lombok. Mereka juga
melaksanakan sholat berjamaah. Setiap hari Jumat, mereka melaksanakan Sholat
Jumat. Mereka mengubah gedung transito menjadi tempat peribadatan mereka.
Jadi, walaupun mereka sudah dikucilkan, dicemooh, bahkan diusir dari rumahnya
mereka tetap mempertahankan keyakinan mereka akan kebenaran ajaran mereka,
yaitu Ahmadiyah. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut,
Gedung Transito kian hari terasa kian sesak. Barang-barang
bertambah: baju dan aneka perkakas. Kamar sempit yang disekat dengan
kain itu, kini terlihat penuh tumpukan barang. Enam bayi telah lahir di
pengungsian ini...(My, 2012:266)
Lalu wartawan-wartawan itu minta izin untuk berkeliling ke
seluruh ruangan. Mengambil gambar ruangan besar yang disekat- sekat
untuk menjadi kamar, mewawancarai orang-orang yang bertemu di dalam.
Lalu mereka keluar ke arah dapur. Melihat orang-orang memasak di dapur
yang digunakan bersama-sama, juga mengintip kamar mandi dan tempat
mencuci. (My, 2012:269)
Maryam yang pernah berpaling dari Ahmadiyah, akhirnya sadar ketika
perkawinannya dengan Alam kandas. Maryam kembali ke Lombok dan menikah
dengan Umar. Pada mulanya Maryam menikah dengan Umar karena ingin
membahagiakan kedua orang tuanya saja. Namun, karena Umar adalah suami
yang pengertian dan tidak menuntut banyak kepada maryam, akhirnya maryam
menyadari bahwa Umar adalah suami yang cocok untuk dirinya. Pernikahan itu
berubah menjadi pernikahan yang penuh cinta. Hingga Maryam mengandung
buah cintanya dengan Umar. Maryam hamil satu bulan. Maryam menjalani
pernikahan dengan Umar tanpa beban, tanpa harapan, tanpa kewajiban, tanpa
Universitas Sumatera Utara
Page 212
ketakutan. Orang tua mereka telah berlepas tangan. Melihat Maryam dan Umar
bisa hidup berdua dengan tenang sudah menjadi kebahagiaan. Bersama Umar, dia
hidup tenang dan dapat mejalankan ibadah dengan tenang, seperti pada kutipan
berikut,
Sabtu siang, orang tua Maryam datang menjenguk. Mereka
membawa berbagai buah dan sayur. Ibu Umar memasak banyak lauk dan
mengajak mereka makan bersama. Hubungan orang tua Umar dengan
orang tua maryam sudah seperti saudara. Meski jarang berkunjung ke
rumah masing-masing, mereka selalu bertemu seminggu sekali di
pengajian. Kadang di mesjid organisasi, kadang di rumah anggota yang
mendapat giliran. Umar dan Maryam juga kerap ikut pengajian. Sekadanr
untuk menemani dan mengantar ibu Umar, sekaligus agar bias bertemu
dengan orang tua Maryam ( My, 2012: 217-218).
Setelah menikah dengan Umar, keyakinan Maryam semakin teguh kepada
Ahmadiyah. Hal ini dapat dilihat pada perdebatan antara Maryam dengan tokoh
agama yang ada di kampungnya di Gerupuk, saat Maryam kembali mengunjungi
kampong halamannya setelah orangtuanya di usir dari kampungnya tersebut.
“Bagaimana kalian semua tahu kami mengingkari agama kami?”
Maryam makin tak memperhatikan kesopanan. Ia sengaja menyebut dua
orang itu dengan “kalian” untuk menunjukkan kemarahan.
“Siapa yang tidak tahu kalian orang Ahmadiyah?” balas Rohmat.
“Itu bukan berarti kami ingkar…”
“Sudahlah, Nak… tak ada gunanya meributkan hal yang sudah
jelas. Masih banyak kesempatan ubtuk bertobat,” potong Pak Haji. Masih
dengan nada lembut (My, 2012:208).
Bu Zul adalah istri dari Pak Zuzali. Mereka adalah keluarga Ahmadiyah
yang tinggal di Surabaya. Pak Zul adalah teman ayah Maryam yang berasal dari
Praha. Mereka satu sekolah sampai SMP. Pak Zul melanjutkan sekolah di
Surabaya dan menjadi guru SD. Ketika Maryam melanjutkan kuliah di Surabaya,
Maryam dititipkan orang tuanya pada keluarga ini. Bu Zul sangat menyayangi
Maryam. Dia mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Bu
Universitas Sumatera Utara
Page 213
Zul selalu aktif dalam pengajian dan sering ada pengajian di rumah mereka. Bu
Zul telah mejadikan ini sebagai kewajiban dan semuanya sudah seperti menempel
dalam alam bawah sadar. Ibadah dan pengajian tidak lagi sekadar kebiasaan dan
kewajiban, tetapi sudah menjadi kebutuhan yang dapat dilihat pada kutipan novel
berikut,
Sering ada pengajian di rumah Pak Zul. Pengajian sesama Ahmadi.
Setidaknya dua bulan sekali, pada hari Jumat malam. Kalau tidak ada
pengajian di rumah itu, berarti pengajiannya ada di rumah keluarga
Ahmadi yang lain. Itu berarti Maryam dan dua anak Pak dan Bu Zul harus
ikut datang ke rumah keluarga itu. Menyisihkan waktu dari jam 17.00
sampai 20.00. Pengajian-pengajian ini seperti aturan baku yang tak boleh
dilanggar. Maryam yang menumpang tahu diri dan merasa tak keberatan.
Toh di rumah dulu ia juga selalu harus ikut pengajian. Dua anak Pak dan
Bu Zul juga telah mejadikan ini kewajiaban, sebagaimana mereka sejak
kecil dididik untuk salat lima waktu. Dua anak Pak Zul, perempuan dan
laki-laki, besar di kota besar dan menikmati segala kemajuan tanpa kendor
dalam beribadah. Semuanya sudah seperti menempel dalam alam bawah
sadar. Ibadah dan pengajian tidak lagi sekadar kebiasaan dan kewajiban,
tetapi juga kebutuhan (My, 2012: 22).
Bu Ali adalah mertua Maryam. Dia sudah lama menjadi penganut Ahmadi.
Bersama Pak Ali, suami dan anaknya Umar. Mereka hidup damai. Setiap
seminggu sekali mereka mengikuti pengajian. Mereka tidak mengalami
pengusiran. Berikut ini adalah kutipan novel yang mendukung peristiwa tersebut,
Dua pasangan yang seumuran itu saling menceritakan diri mereka
masing-masing. Pak Ali dan Bu Ali, begitu bapak dan ibu Maryam
menyapa tamunya. Mereka pindah ke Lombok karena ingin
mengembangkan usaha. Lebih dekat dengan Bali, transportasi lebih
gampang, dank arena di sini lebih banyak sesama orang Ahmadi. Lagi pula
mereka juga asli orang Lombok. Hanya karena orangtua mereka pindah ke
Sumbawa saat muda, mereka seolah lahir sebagai seorang Sumbawa (My,
2012:93).
Bu Khairuddin adalah ibu Maryam. Bersama suami dan kedua anaknya
mereka meyakini bahwa ajaran Ahmadi adalah benar. Mereka sudah lama menjadi
Universitas Sumatera Utara
Page 214
pengikut Ahmadi, sejak dari kakek mereka. jadi, mereka terlahir sudah menjadi
Ahmadi, walaupun akhirnya keluarga mereka di usir dari Ketapang. Bu
Khairuddin beserta yang lainnya ikut mengungsi di Gedung Transito. Demi
keyakinan mereka, mereka rela hidup miskin dan menderita. Hal tersebut dapat
dilihat pada kutipan berikut,
“Memang dulu kenapa bisa diusir dari rumah, Bu?” maryam masih
berusaha mendapat jawaban, walaupun tahu ibunya juga tak akan bias
menjawab pertanyaannya. Sebagaimana Jamil dan Zulkhair.
Ibu Maryam mengangkat bahu. “Sampai sekarang kita juga masih
bingung. Sebelumnya tidak pernah ada masalah apa-apa. Sama-sama baik.
Tiba-tiba bias beringas seperti itu.”
“Ibu tahu siapa saja yang mengusir?”
“Ya tahu jelas. Masih hafal sampai sekarang. Semua tetangga kita
ikut mengusir.” (My, 2012:105).
Begitu juga dengan Fatimah, adik Maryam. Fatimah juga tetap
mempertahankan keyakinannya walaupun di sekolah dia dituduh sesat oleh guru
agamanya. Nilai agamanya diberi angka lima sebagai peringatan bagi Fatimah.
Agar gurunya selalu ingat, bahwa Fatimah tidak sama dengan murid-murid
lainnya. Guru agamanya tidak akan meluluskannya sebelum Fatimah dan
keluarganya insyaf dan bertobat. Namun, Fatimah tetap pada keyakinannya. Dia
berusaha tetap bersekolah di situ, walaupun teman-teman dan gurunya selalu
mencemooh dirinya. Sampai akhirnya dia menamatkan sekolah tingkat
pertamanya dengan nilai agama angka enam. Kata gurunya biar Fatimah cepat-
cepat keluar dari sekolah itu dan tidak menjadi beban lagi di sekolah tersebut. Hal
ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini,
Maka sekarang mereka hanya bias menggugat nilai agama
Fatimah. Bagaimana mungkin anaknya yang selalu masuk sepuluh besar di
kelas, mendapat nilai 5 dalam pelajaran agama? Satu-satunya nilai 5 di
Universitas Sumatera Utara
Page 215
antara pelajaran-pelajaran lain. Bahkan pertama kalinya nilai 5 sejak ia
masuk sekolah (My, 2012:75).
Setelah digusur dari rumah mereka, Fatimah tidak tinggal di Transito. Ini
atas permintaan Maryam. Jadi, dia tinggal di rumah Maryam. Sepulang dari
bekerja Fatimah tetap datang ke Gedung Transito untuk melihat kedua orang
tuanya. Seminggu sekali dia mengikuti pengajian. Kemudian dia menikah dengan
orang yang bukan pengikut Ahmadi, tetapi dia bisa menyesuaikan diri dengan
keluarga suaminya dan dia masih diperbolehkan menjadi pengikut Ahmadi seperti
kutipan berikut,
“Polisi-polisi itu bohong. Kita bukan disuruh pergi sementara agar
selamat. Kita diusir. Rumah ini bukan milik kita lagi,” kata Fatimah.
Suaranya tidak tinggi. Tapi ada penekanan dan getaran yang siapapun akan
tahu ia sedang marah.
“Mudah-mudahan tidak seperti itu…” kata Ibu Umar. Ia berusaha
membuat semua orang tenang.
“Tidak, Bu. Semua sudah jelas. Polisi itu bohong. Kita semua sdah
diusir. Sama seperti dulu kita diusir dari Gerupuk, “ kata Fatimah lagi.
Tak ada lagi yang bersuara. Dalam hati masing-masing mereka
membenarkan kata-kata Fatimah. Tapi untuk mengungkapkannya mereka
tak memiliki keberanian. Mereka berusaha membohongi diri mereka
sendiri dengan menanamkan harapan bahwa yang dikatakan Fatimah tidak
benar. Bahwa polisi memang sedang menjalankan tugasnya. Bahwa orang-
orang itu sudah ditanfkap dan akan diberikan hukuman. Lalu rumah
Gegarung akan bias ditempatii oleh pemiliknya (My, 2012:233).
Walaupun menurut pemerintah aliran ini dianggap sesat, namun bagi para
penganut Ahmadi mereka tetap yakin akan kebenaran ajaran yang mereka anut.
Mereka tidak akan berpaling dari keyakinan tersebut, walau harus mati sekali pun.
“Kalau diusir dan dikucilkan itu sudah biasa, kami tidak akan gentar. Iman orang-
orang Ahmadi tidak bias dikalahkan hanya sekadar oleh penderitaan.” Tutur salah
satu pengikut jamaah Ahmadiyah di Medan (hasil wawancara pada tanggal 17
Maret 2015).
Universitas Sumatera Utara
Page 216
5.3.3 Perjuangan Perempuan dalam Mencari Keadilan di Bidang Hukum
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu
hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan
memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat
yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa
"Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana
halnya kebenaran pada sistem pemikiran". Tapi, menurut kebanyakan teori juga,
keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang adil" . Kebanyakan
orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak
gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan.
Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa
tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena
definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan
segala sesuatunya pada tempatnya (http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum).
Di Indonesia, keadilan merupakan hal yang begitu memprihatinkan.
Keadilan di indonesia sering kali tidak ditegakan oleh para oknum yang tidak
bertanggung jawab. Itu semua terbukti pada berita yang sering dilihat di televisi,
para oknum tersebut sering membebaskan orang-orang yang bersalah ataupun
menunda-nunda setiap sidang yang telah terjadwal yang mengakibatkan suatu
masalah atau kasus tidak terselesaikan. Orang-orang yang bersalah tersebut bisa
koruptor, dari kalangan pejabat, mentri-mentri, sampai petinggi negera. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
Page 217
pasti disebabkan oleh uang yang menyebabkan lemahnya keadilan di Indonesia di
bidang hukum. Hukum dan peraturan dapat dibeli dengan uang.
Penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan
belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhimya adalah
keadilan. Pernyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup di
masyarakat tidak mungkin seragam. Akan tetapi jika yang dipersoalkan adalah
bidang kehidupan spiritual atau hal yang sensitif, maka yang disebut adil berada
lebih dekat dengan hukum. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa hanya
melalui suatu tata hukum yang adil orang-orang dapat hidup dengan damai
menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.
Sumarni berjuang untuk mencari keadilan saat mobilnya yang mengalami
masuk jurang ditahan di kantor polisi. Mereka minta uang tebusan sebesar satu
juta rupiah. Marni menuntut keadilan dan meminta mobilnya untuk dikembalikan
kepadanya. Marni yang buta huruf tidak tahu sama sekali tentang hukum. Dia
meminjamkan kenderaannya kepada Pak Lurah tanpa mendapat uang sedikit pun
untuk urusan kampanye partai Golkar. Sekarang mobilnya remuk dan rusak parah,
dia harus mengeluarkan uang untuk polisi dan memperbaiki mobil tersebut. Marni
merasa diperas oleh aparat. Marni berusaha memperjuangkan haknya, namun
polisi tersebut mengancam akan memasukkan dia ke dalam perjara. Perdebatn
sengit terjadi, namun Teja (suami Marni) menghentikan semuanya dengan
menyetujui kemauan polisi yang dapat dilihat pada kutipan berikut,
“Ya sudah, Pak Teja, Bu Marni, kami ini aparat hanya mau
membantu masyarakat. Bikin urusan cepat beres. Kita mau bantu supaya
mobil ini bisa segera dibawah ke bengkel, bisa dipakai lagi. Daripada nanti
Universitas Sumatera Utara
Page 218
ketahuan atasan-atasan saya malah panjang urusannya. Jadi ya
diselesaikan di sini saja.”
“Kami ikut saja, Pak,” jawab Teja.
“Kalau kecelakaannya seperti ini, ada yang mati, dua puluh orang
luka-luka, dendanya satu juta saja. Sudah beres semuanya.” (En,
2010:119).
Marni juga berjuang untuk menyelamatkan dirinya dari jeratan hukum
karena dia menyembunyikan Koh Cahyadi di rumahnya. Pada saat itu Koh
Cahyadi menjadi buronan karena dia dianggap sebagai orang PKI yang ikut
menyumbang untuk Kelenteng. Marni ditahan di kantor polisi karena dituduh
telah menyembunyikan Koh Cahyadi. Marni berusaha menyelamatkan diri dari
tuduhan tersebut dengan bantuan Sumadi. Sebagai konvensasinya Marni harus
kehilangan sepetak kebun tebunya yang dapat dilihat pada kutipan berikut,
Aku membalikkan tubuh. Sekarang mukaku berhadapan dengan
mukanya. Mata kami beradu. Gusti, kenapa aku selalu Kauhadapkan
dengan orang-orang seperti ini? Orang-orang yang begitu berkuasa dengan
seragam dan sepatunya. Orang-orang yang menjadi begitu kuat dengan
senapannya. Orang-orang yang selalu benar karena bekerja untuk negara.
Mereka yang selalu mendapatkan uang dengan mudah tanpa sedikit pun
mengeluarkan keringat. Dan aku yang tak punya kuasa dan kekuatan,
yang selalu saja salah, harus tunduk pada kemauan mereka. Menyerahkan
harta yang terkumpul dengan susah payah, dengan segala hujatan orang
lain.
“Ini urusannya berat. Nggak kayak yang dulu itu.”
“Berapa?”
“Sampeyan juragan tebu, kan? Satu hektar pasti enteng.” (En,
2010:182-183)
Sumarni juga berjuang untuk mencari keadilan saat Endang Sulastri
mengaku sebagai istri Teja setelah tujuh ratus hari sejak kematian Teja. Endang
menuntut setengah dari harta yang ditinggalkan oleh Teja. Marni tidak mau
memberikannya karena tidak ada bukti sah. Endang membawa seorang anak dan
mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya dengan Teja. Endang juga mengadu
Universitas Sumatera Utara
Page 219
ke kantor polisi. Marni berjuang untuk mencari keadilan. Dia meminta bantuan
kepada Sumadi, kepala tentara. Sumadi mau membantunya dengan imbalan Marni
harus menyerahkan seperempat dari hartanya. Hal ini dapat dilihat pada penggalan
novel berikut,
Akan kukejar keadilan sampai ke mana pun. Orang paling bodoh
saja tahu harta yang kukumpulkan dengan susah payah itu semua milikku.
Lha bagaimana ceritanya, orang yang sama sekali tidak kukenal sekarang
akan mendapatkan separoh dari hartaku ini? Dan bagaimana bisa aku yang
mencari semuanya malah tidak mendapat apa-apa? Walaupun Rahayu itu
anakku, bagaimana bis mereka membagi milikku semau mereka. Biarkan
aku sendiri yang mengatur kepada siapa aku memberikan hartaku
ini.apakah itu pada Rahayu atau orang lain.
Aku menemui komandan Sumardi di markasnya. Siapa lagi yang
lebih berkuasa setelah lurah-lurah itu? Hanya mereka orang-orang yang
berseragam, orang-orang negara. Pada laki-laki yang telah mengambil satu
hektar tanahku ini, kucaritakan semua yang kualami. Aku meminta
padanya untuk dicarikan jalan keadilan (En, 2010:196).
Arimbi menuntut keadilan saat dia ditangkap untuk memperingan
hukuman. Selama masa tahanan, Arimbi tidak pernah berbuat kejahatan, sehingga
setiap tahun dia mendapat remisi. Kepala sipir menawarkan kepadanya untuk
membayar lima belas juta agar dia bisa bebas lebih awal. Arimbi yang dari awal
merasa dia tidak bersalah karena dia dijebak oleh Bu Danti menganggap ini
adalah kewajaran. Dia menyiapkan uang tersebut dan dia bebas setelah bulan
Desember, seperti pada kutipan novel berikut,
“Sudah aku hitung-hitung, nanti kamu bisa keluar Desember. Tapi
namamu sudah mesti dicatat sekarang. Soalnya mau diajukan pas
Agustusan nanti.”
Arimbi diam, menunggu apa yang sebenarnya hendak dikatakan
perempuan yan duduk di depannya itu.
“Ya kalau kamu bilang sanggup, nanti namamu diusulkan. Kan
siapa-siapa saja yang layak diusulin itu tergantung kita yang ada di
lapangan ini.”
”Jadi, saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar.
“Biaya semuanya bersih 15 juta.” (86:216-2017)
Universitas Sumatera Utara
Page 220
Mariam berjuang menuntut keadilan dalam bidang hukum dengan
mendatangi Bapak Gubernur. Sebelumnya mereka juga sudah beberapa kali
datang ke kantor gubernur. Gubernur menerima mereka dengan baik, namun tidak
dapat memberikan jawaban yang pasti kapan mereka bisa kembali ke rumah
masing-masing. Maryam mempertanyakan nasib mereka, seperti pada kutipan
berikut,
Gubernur menerima mereka dengan tiga orang bawahannya. Ia
menyalami Zulkhair dengan ramah seperti orang yang sudah lama kenal.
“Bawa siapa ini, Pak Zul!” tanyanya ketika melihat Maryam dan Umar.
(My, 2012:247)
Maaf, Pak Gub, jadi bagaimana nasib kami yan di Transito ini?
Kapan bias kembali ke rumah kami?” Tanya Maryam. Ia memotong cerita
Gubernur (My, 2012: 248).
Gubernur mendecak sambil menggeleng, “Sudahlah. Tak ada
ujungnya kalau bicara seperti ini,” katanya. “Pilih saja, keluar dari
Ahmadiyah lalu pulang ke Gegarung atau tetap di Transito sampai kita
temukan jalan keluarnya.”
Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata
Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata mereka bicara banyak.
Kemarahan dan sakit hati (My, 2012: 249).
Melalui tokoh Maryam, penganut Ahmadi menuntut keadilan kepada
pemerintah. Berdasarkan realitas sosial yang ada di novel ini, nasib kaum Ahmadi
di pengungsian tidak kunjung membaik. Mereka mengalami penderitaan yang
bertubi-tubi. Mereka harus hidup di ruang 3 x 4 yang hanya disekat dengan kain
atau kardus untuk pembatas keluarga yang satu dengan keluarga yang lainnya.
Bantuan bahan makanan juga sudah dihentikan, sehingga mereka harus kerja
serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Anak-anak yang lahir
juga terancam tidak mendapat akte kelahiran, jika diketahui mereka adalah
penganut Ahmadi. Untuk mendapatkan KTP sulit.
Universitas Sumatera Utara
Page 221
Maryam menuntut keadilan dalam bidang hukum, bukan karena dia
seorang pengikut Ahmadi, tetapi dia menuntut keadilan atas perlakuan terhadap
hak asasi manusia. Walaupun berbeda keyakinan, mereka tetap manusia dan harus
diperlakukan layaknya sebagai manusia. Mereka adalah warga negara yang
tinggal dalam negara hukum. Jadi, negara harus tegas dalam menentukan nasib
mereka. mereka juga memiliki hak untuk hidup layak dan mendapatkan hak hidup
yang sama dengan masyarakat lain. Jangan karena mereka memiliki keyakinan
yang berbeda, lantas mereka harus didiskriminasikan.
Di mata hukum, setiap warga neraga mempunyai hak dan kedudukan yang
sama, sesuai dengan UUD 1945 pasal 29, ayat 2 yaitu, “setiap warga negara bebas
untuk memilih agam dan keyakinannya dan beribadat sesuai dengan keyakinannya
tersebut”. Hal sejalan juga ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 1, “setiap
warga negara berhak atas penghidupan yang layak”. Berdasarkan undang-undang
tersebut, Maryam mencari keadilan dengan menulis surat kepada Gubernur yang
baru terpilih dengan harapan mau memperhatikan nasib mereka. Sudah tiga kali
Maryam mengirim surat, namun dia tidak putus asa, dia terus berjuang untuk
mencari keadilan. Berikut ini adalah penggalan surat Maryam yang ketiga yang
dikirimkan untuk Bapak Gubernur yang baru terpilih, seperti pada kutipan berikut:
Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta
dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta
bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar
anak-anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar
kelak kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Page 222
Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami
sendiri. Kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan
kejahatan, tak pernah mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang
diterima akal, sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hidup di
pengungsian seperti ini?
Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus mengunggu?
(My, 2012: 274-275).
Universitas Sumatera Utara
Page 223
BAB VI
TEMUAN HASIL PENELITIAN
Pada bab ini diuraikan tentang temuan yang peneliti dapat setelah
menganalisis ketiga novel karya Okky Madasari. Temuan itu berupa struktur
penceritaan ketiga novel Okky dan perjuangan perempuan. Dari perjuangan
perempuan yang digambarkan dalam novel Okky lalu peneliti menemukan pola
perjuangannya yang meliputi empat hal yaitu, pola perjuangan perempuan dalam
bidang ekonomi, pola perjuangan perempuan dalam bidang keyakinan, dan pola
peran perempuan dalam bidang hukum dan sosial politik. Berikut ini adalah
penjelasannya yang diuraikan satu per satu.
6.1 Struktur Penceritaan Novel Okky Madasari
Struktur penceritaan novel Okky Madasari didasarkan pada realitas
kehidupan masyarakat tempat pengarang novel bersosialisasi. Pengarang
menjadikan pengalamannya di daerah Yogyakarta dan sekitarnya sebagai
kerangka cerita novel Entrok. Magetan adalah tempat pengarang dilahirkan dan
dibesarkan hingga menamatkan SMA. Setelah itu, pengarang melanjutkan
pendidikannya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pengarang
memanfaatkan pengalaman hidup dari masyarakat yang tinggal di Magetan. Pada
novel 86 dan Maryam, pengarang menggunakan pengalamannya saat bekerja
sebagai wartawan dalam bidang hukum. Sebagai wartawan, pengarang berkali-
kali mengikuti kasus persidangan di Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan. Bersarkan
pengalaman inilah mengarang menulis novel 86. Dalam penulisan novel Maryam,
Universitas Sumatera Utara
Page 224
penulis mengadakan riset selama dua tahun di Lombok. Riset ini dijadikannya
materi cerita dalam pembuatan novelnya.
Secara umum, struktur penceritaan novel Okky Madasari menggunakan
plot flash back dengan latar kejadian di Jawa Tengah, Jakarta, dan Lombok.
Novel-novel tersebut menggunakan struktur transmisi narasi yang bervariatif
tetapi menceritakan hal yang relatif sama, yakni tentang perjuangan kaum
perempuan. Pengarang dalam ketiga novelnya menggunakan tokoh perempuan.
Perjuangan perempuan yang dominan adalah perjuangan dalam bidang ekonomi,
keyakinan, dan hukum. Oleh karena itu, pengarang novel menggunakan realitas
sosial dan menggabungkan dengan realitas fiksi untuk menyamarkan atau tidak
berterus terang sedang menghadirkan berbagai kejadian yang terjadi di
masyarakat. Struktur penceritaan ketiga novel Okky Madasari dapat dilihat pada
bagan berikut ini,
Universitas Sumatera Utara
Page 225
6.1 Bagan Struktur Penceritaan Tiga Novel Okky Madasari
6.2 Wacana Perjuangan Perempuan Novel Okky Madasari
Tema perjuangan perempuan menjadi tema sentral dalam novel-novel
Okky Madasdari yang menjadi fokus penelitian ini. Hal itu dapat diidentifikasi
dari tindakan dan kejadian yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan dalam
realitas fiksi, yang berjuang untuk mempertahankan hidup mereka, baik dalam
bidang ekonomi, keyakinan, dan hukum.
Realitas Sosial Realitas Fiksi
Pengalaman Okky Madasari
Latar Tempat, Jawa
Tengah, Jakarta, dan NTB
Perpaduan Alur Mundur dan
Alur Maju
Novel Entrok, 86, dan
Maryam
Universitas Sumatera Utara
Page 226
Berdasarkan penjelasan di atas, wacana perjuangan perempuan yang
tereduksi dalam realitas fiksi novel Okky Madasari terpusat pada bidang ekonomi,
kepercayaan, hukum, sosial dan politik. Wacana perjuangan dalam bidang
ekonomi memunculkan bentuk-bentuk perjuangan perempuan sebagai pelaku
bisnis, perjuangan untuk mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf hidup.
Perjuangan dalam bidang ekonomi disebabkan karena kemiskinan, tuntutan
kehidupan dan tuntutan pekerjaan.
Perjuangan dalam bidang kepercayaan lahir karena atas keyakinan para
tokoh cerita terhadap kebenaran yang mereka anut. Kepercayaan ini meliputi
kepercayaan terhadap roh leluhur atau yang disebut dengan kejawen dan
kepercayaan terhadap ajaran Ahmadi. Kepercayaan ini terus mereka pertahankan,
walaupun mereka dianggap sesat. Atas keyakinan ini mereka mengalami
pengusiran dan harus tinggal di pengungsian dengan batas waktu yang tidak
dapat ditentukan.
Perjuangan dalam legitimasi hukum berdasarkan Undang-undang Dasar
1945, kebebasan untuk memeluk agama berdasarkan keyakinan masing-masing.
Kaum Ahmadi melalui tokoh Maryam, berusaha bernegosiasi dengan pemerintah
dan mereka menuntut keadilan. Mereka ingin diperlakukan seperti manusia yang
tinggal di negara hukum. Mereka mencari keadilan dalam bidang hukum. Dari
perjuangan yang dilakukan dalam ketiga novel tersebut, maka peneleti
menemukan pola perjuangannya yang akan dijelaskan satu persatu. Adapun pola
perjuangannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini,
Universitas Sumatera Utara
Page 227
No. Bidang Perjuangan Pola Perjuangan
1.
Ekonomi
Memenuhi Kebutuhan Primer:
makan, minum, pakaian, dan tempat
tinggal
Memenuhi Kebutuhan Sekunder:
faktor lingkungan hidup, tradisi
masyarakat, dan faktor psikologis
Memenuhi Kebutuhan Tersier:
mempertinggi status sosial
2. Keyakinan Bersandar kepada Keyakinan akan
Kebenaran Sebuah Ajaran
3.
Hukum
Positif: memperjuangkan hak-hak
kaum marginal
Negatif: perjuangan mempercepat
proses hukum dan membebaskan diri
dari tuntutan hukum dengan cara
menyogok
Tabel 6.1 Pola Perjuangan Perempuan
6.2.1 Pola Perjuangan Perempuan dalam Ekonomi
Perjuangan perempuan di bidang ekonomi dalam realitas fiksi ke tiga
novel Okky didasarkan pada pola dasar pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
Pola pemenuhan kebutuhan tersebut dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis.
Pertama, memenuhi kebutuhan primer (pokok) adalah kebutuhan minimal yang
mutlak harus dipenuhi untuk hidup sebagai layaknya manusia. Kebutuhan primer
Universitas Sumatera Utara
Page 228
meliputi makanan dan minuman, pakaian, serta tempat tinggal. Kedua, memenuhi
kebutuhan sekunder. Kebutuhan sekunder terkait erat dengan faktor lingkungan
hidup dan tradisi masyarakat serta faktor psikologis. Orang yang mempunyai
kedudukan di masyarakat sering merasa harus mempunyai kebutuhan supaya
dipandang layak. Ketiga, memenuhi kebutuhan tersier. Kebutuhan tersier lebih
terarah pada tujuan untuk mempertinggi status sosial (prestise) seseorang atau
terkait dengan hobi dan kegemaran tertentu. Pola perjuangan tersebut dapat dilihat
pada bagan di bawah ini,
Bagan 6.2 Pola Perjuangan Perempuan dalam Ekonomi
Kebutuhan Tersier Kebutuhan Primer
Pemenuhan Kebutuhan
Hidup
Kebutuhan Sekunder
Faktor Lingkungan
Hidup, Tradisi
Masyarakat, dan
Faktor Psikologis
Mempertinggi Status
Sosial
Makan, Minum,
Pakaian, Tempat
Tinggal,
Pola Perjuangan Perempuan
dalam Bidang Ekonomi
Universitas Sumatera Utara
Page 229
6.2.2 Pola Perjuangan Perempuan dalam Bidang Keyakinan
Pola perjuangan dalam bidang keyakinan yang dilakukan oleh tokoh
perempuan dalam novel Okky memiliki pola yang sama, yakni bersandarkan
pada keyakinan akan kebenaran terhadap sebuah ajaran. Baik Kejawen maupun
Ahmadiyah mendapat posisi di tengah persaingan moralitas Islam. Sikap pasrah
dan berserah diri pada Yang Maha Kuasa menjadi sikap hidup yang ampuh untuk
menghadapi kecaman dan tantangan dari berbagai pihak. Pola perjuangan
perempuan dalam bidang keyakinan dapat dilihat pada bagan di bawah ini,
6.3 Bagan Pola Perjuangan Perempuan dalam Bidang Hukum
Keyakinan Akan Kebenaran
Pola Perjuangan Perempuan
dalam Bidang Keyakinan
Kejawen
Ahmadiyah
Sikap pasrah dan berserah diri
Universitas Sumatera Utara
Page 230
6.2.3 Pola Perjuangan Perempuan Bidang Hukum
Pola perjuangan perempuan dalam mencari keadilan di bidang hukum
memiliki pola yang positif dan negatif. Pola positif dapat dilihat dari perjuangan
Maryam untuk memperjuangkan hak-hak kaum marginal. Sedangkan pola
perjuangan negatif dapat dilihat dari perjuangan Sumarni untuk menuntut keadilan
ketika Endang meminta setengah dari hartanya setelah kematian Teja. Marni
melakukan hal-hal diluar dari jalur hukum. Begitu juga dengan Arimbi, untuk
mempercepat kebebasannya dari penjara. Arimbi memberikan uang sogok kepada
kepala sipir penjara sebesar 15 juta rupiah. Hal ini juga sering dijumpai dalam
kehidupan nyata. Semua urusan akan cepat selesai jika dibarengi dengan
memberian uang, sehingga wajarlah Indonesia menjadi negara terkorup di dunia.
Pola Perjuangan perempuan dalam ketiga novel Okky dapat dilihat pada bagan
berikut ini,
6.3 Bagan Pola Perjuangan Perempuan dalam Bidang Hukum
Negatif Positif
Pola Perjuangan Perempuan
dalam Bidang Hukum
Memperjuangkan
Hak-hak Kaum
Marginal
Perjuangan Mempercepat Proses
Hukum dan membebaskan diri
dari tuntutan hukum dengan Cara
Menyogok
Universitas Sumatera Utara
Page 231
6.3 Peran Perempuan dalam Kehidupan Sosial Masyarakat
Penggunaan sosok perempuan sebagai tokoh utama dalam novel bukan
merupakan suatu kesalahan. Selalu menjadi masalah adalah pencitraan terhadap
tokoh tersebut sering kali didasari dugaan gender yang menuntut oposisi biner
yang senantiasa dimenangkan oleh pihak laki-laki, sedangkan perempuan sebagai
yang tersubordinasi.
Perempuan sebagai salah satu kelompok minoritas sampai saat ini masih
berada dalam posisi subordinat dibanding laki-laki. Meskipun secara kuantitatif
jumlah perempuan Indonesia lebih banyak dibanding laki-laki, tetapi
kenyataannya tidak ada jaminan bagi hak-hak mereka. Faktor budaya merupakan
salah satu penghambat bagi perempuan untuk tampil dalam forum publik.
Kuatnya peran laki-laki dalam kehidupan publik sangat menentukan setiap
keputusan yang diambil, termasuk keputusan yang menyangkut kehidupan
perempuan. Hal ini menempatkan posisi perempuan semakin termarjinalkan,
terutama dalam partisipasi politik semata-mata karena mereka adalah perempuan.
Peran perempuan dalam mencari posisi dan peran dalam kehidupan sosial
masyarakat dapat dilihat dari tokoh Marni, Bu Danti, Rahayu, Maryam, Arimbi.
Pendidikan yang diperoleh para perempuan telah mendorong kaum perempuan
untuk memasuki lapangan kerja di arena publik. Hal ini menggambarkan bahwa
perempuan mulai mencari posisi dan perannya bukan hanya di arena domestik
tetapi juga di kehidupan sosial masyarakat.
Marni menjadi juragan tebu menunjukkan bahwa perempuan juga layak
menjadi pemimpin. Marni mempekerjakan para kaum laki-laki. Marni mencari
Universitas Sumatera Utara
Page 232
posisi di ranah publik. Walaupun dia seorang perempuan yang buta huruf yang
tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah, namun dia mempunyai
pemikiran yang cemerlang. Dengan bermodalkan keinginan untuk memiliki
sesuatu, Marni mengubah pola pikir masyarakat tradisi. Dia mengerjakan
pekerjaan yang selama ini tidak pernah dikerjakan oleh kaum perempuan.
Nyai Dimah menjadi juragan singkong menempatkan dirinya menjadi
perempuan yang eksis di ranah publik. Setiap hari dia berhubungan dengan
masyarakat yang membutuhkan hasil jualannya. Dia tidak seperti perempuan
lainnya yang hanya berdiam diri di rumah dan mengharapkan uang dari suami
mereka. Nyai Dimah mencari posisi di masyarakat dengan berjualan. Dengan
demikian, Nyai Dimah ikut berperan dalam kehidupan masyarakat.
Rahayu menjadi aktivis kampus ikut memperjuangkan nasib orang yang
tertindas. Dia kuliah di Fakultas Pertanian di salah satu universitas negeri di
Yogyakarta. Dia meninggalkan kampusnya dan ikut bergabung dengan teman-
temannya di sebuah organisasi. Dia aktif di pengajian-pengajian dan ikut
mengajarkan pengetahuan agama di masyarakat.
Maryam ikut berperan di dalam masyarakat dengan memperjuangan hak-
hak kaum marginal. Bersama suaminya dan ketua organisasi ikut menghadap Pak
Gubernur untuk memperjuang nasib mereka. Maryam yang sudah tamat dari
pendidikan tinggi merasa ikut bertanggung jawab untuk membantu orang-orang
yang tertindas. Walaupun tidak ada realisasi dari bapak gubernur, namun Maryam
terus berusaha. Terkahir dia menulis surat kepada bapak gubernur yang baru
terpilih agar mau memperhatikan nasib mereka.
Universitas Sumatera Utara
Page 233
Keunggulan perempuan dalam hal memimpin tidak perlu disangsikan.
Banyak perempuan justru lebih mampu memimpin dibandingkan dengan laki-laki.
Misalnya perempuan memiliki kelebihan untuk perpikir dan bernalar jauh ke
depan. Perempuan pun memimpin dengan hati karena tidak dapat dipungkiri
intuisi perempuan lebih peka dan lebih bisa diandalkan dibandingkan dengan laki-
laki sehingga hasilnya lebih optimal. Perempuan pun memiliki daya tahan untuk
merasakan penderitaan lebih tinggi daripada laki-laki.
Peran perempuan dalam mencari posisi dan peran dalam kehidupan sosial
masyarakat terjadi dalam dua pola yaitu pertama, eksis dalam dunia perdagangan.
Kedua, eksis dalam memperjuangankan nasib kaum tertindas. Dari pola peran di
atas, dalam realitas fiksi dan realitas sosial novel Okky Madasari ditentukan oleh
tingkat pendidikan. Hal ini didasarkan pada realitas sosial pelaku yang berjuang
dalam kehidupan sosial masyarakat yang tidak berpendidikan, mereka hanya bisa
eksis dalam dunia perdagangan. Sedangkan Orang-orang yang berpendidikan
mereka bisa eksis dalam memperjuangkan nasib kaum tertindas seperti Maryam
dan Rahayu.
6.4 Peranan Perempuan dalam Bidang Politik
Dalam beberapa tahun terakhir ini, peran wanita dalam ranah politik
semakin diperhitungkan. Hal ini memang wajar untuk dilakukan karena peran
seorang perempuan bukan hanya menjadi sebuah paradigma yang stagnan, tetapi
dengan jiwa semangat progresivitasnya dalam berbagai aktifitas baik itu dalam
Universitas Sumatera Utara
Page 234
wilayah rumah tangga ataupun profesionalitas suatu pekerjaan. Bahkan, bisa
dikatakan ahli atau spesialis dalam bidang tertentu.
Hartini (2009: 55) menanggapi bahwa dalam perkembangan kultur
pembangunan sumber daya manusia, sebenarnya negara tidak memandang dari
segi gender untuk pemerataan dan segala bentuk fasilitas pembangunan untuk
membentuk sumber daya manusia yang sempurna dengan tujuan pembangunan
bangsa itu sendiri. Hanya saja, dalam kenyataan pelaksanaannya yang justru
kelihatan dominan hanya laki-laki. Hal ini disebabkan karena selain adanya kultur
budaya Jawa tentang perempuan, juga atas akses publik bagi perempuan terbatas,
baik itu oleh norma adat, susila, kesopanan, bahkan norma hukum.
Dilihat dari fakta akan peran perempuan sendiri dalam dunia politik
sekarang dan dahulu memberikan warna yang berbeda dan mengalami
peningkatan yang sangat tajam, sehingga memerlukan suatu aturan yang mengikat
atas perubahan paradigma fungsi perempuan itu sendiri. Sejarah perjuangan kaum
wanita Indonesia telah mencatat nama-nama wanita yang turut andil dalam
aktifitas politik. Perjuangan fisik melawan penjajah telah mengambikan nama-
nama seperti Cut Nyak Dien, Christina Martha Tiahahu, Yolanda maramis, dan
lain sebagainya. Dalam pergerakan nasional muncul nama Rasuna Said, dan
Trimurti. Sedangkan nama-nama Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika, telah
terpahat sebagai orang yang memperjuangkan hak-hak wanita untuk memperoleh
pendidikan yang setara dengan pria (Hartini, 2009: 55).
Di dalam novel-novel Okky dapat dilihat perjuangan perempuan untuk
mengangkat harkat dan martabatnya dan memperjuangkan perempuan sebagai
Universitas Sumatera Utara
Page 235
mitra sejajar dengan laki-laki. Marni mendobrak kebiasaan masyarakat Jawa yang
berterikat dengan pakem ilok ora ilok. Dia mengangkat harkat dan martabatnya
dari masyarakat miskin menjadi masyarakat yang setaraf dengan kaum priyayi.
Marni juga menjadi orang yang diperitungkan di desanya. Walaupun dia tidak
menjadi pengurus anggota partai politik, tetapi Marni setiap saat aktif dan ikut
berpartisipasi dalam kegiatan partai politik.
Marni juga menjadi juragan tebu dan mempekerjakan kaum laki-laki
sebagai buruhnya. Marni menunjukkan eksistensi dirinya bahwa kaum perempuan
bisa sederajat dengan kaum laki-laki. “...Simbok lihatlah anakmu ini sekarang.
Kita dulu kerja memeras keringat seharian, diupahi telo, bukan uang, hanya
karena kita perempuan. Lihatlah sekarang, anakmu yang perempuan ini, berdiri
tegak di sini mengupahi para laki-laki. Setiap orang mendapat upah tujuh ratus
dari uang yang kumiliki sendiri” (En, 102-103).
Peran Bu Danti sebagai ketua panitera pengadilan di tempatnya bekerja
menunjukkan bahwa kaum perempuan sebagai mitra sejajar dengan laki-laki.
Kedudukan Bu Danti sejajar dengan para hakim dan jaksa penuntut yang diduduki
oleh kaum laki-laki. Bu Danti bisa bekerja sama dengan para hakim dan jaksa
penuntut tersebut dengan baik.
Dalam era reformasi ini, ada harapan baru bagi Indonesia untuk
mewujudkan kehidupan demokrasi sejati yang impikan dan terus diperjuangkan
oleh banyak kalangan. Dalam proses demokrasi, persoalan partisipasi politik
perempuan yang lebih besar, representasi dan persoalan akuntabilitas menjadi
prasarat mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Page 236
Tuntutan bagi partisipasi perempuan yang lebih adil, sebenarnya bukan hanya
tuntutan demokratisasi, tetapi juga prakondisi untuk menciptakan pemerintahan
yang lebih transparan dan akuntabel. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi
yang memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk
Indonesia yang terdiri dari perempuan. Termasuk juga memperbaiki kehidupan
kaum perempuan untuk lepas dari kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan,
serta memperlakukan perempuan sebagai mitra sejajar dengan laki-laki.
Peran perempuan dalam bidang politik terjadi dalam dua pola yaitu
pertama, kaum perempuan sederajat dengan laki-laki. Kedua, kaum perempuan
menjadi mitra sejajar dengan kaum laki-laki. Pola peran ini ditentukan oleh
keaktifan seseorang di lingkungan tempat dia bekerja. Marni yang aktif di dalam
lingkungan masyarakat di desanya sedangkan bu Danti aktif di lingkungan tempat
dia bekerja yaitu lingkungan pemerintahan. Marni mampu membuktikan bahwa
dia bisa sederajat dengan kaum laki-laki, sedangkan Bu Danti membuktikan
bahwa dia bisa menjadi mitra sejajar dengan laki-laki. Pola Peran tersebut dapat
dilihat dari bagan berikut ini,
Universitas Sumatera Utara
Page 237
Bagan 6.4 Pola Peran Perempuan dalam Bidang Sosial Politik
Pola Peran Perempuan
dalam Bidang Politik
Pola Peran Perempuan dalam
Bidang Sosial
Eksis dalam Dunia
Perdagangan dan Eksis dalam
Memeperjuangkan Nasib
Kaum Tertinggal
Kaum Perempuan Sederajat
dengan Kaum Laki-laki dan
Kaum Perempuan Menjadi Mitra
Sejajar dengan Kaum Laki-laki
Pola Peran Perempuan dalam
Bidang Sosial Politik
Universitas Sumatera Utara
Page 238
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Dari uraian penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut:
1. Struktur penceritaan ketiga novel karya Okky Madasari, seperti struktur alur,
struktur ruang dan waktu, struktur fisik, ras, dan relasi gender, serta struktur
transmisi narasi menggabungkan realitas fiksi dan realitas sosial kehidupan
masyarakat pendukung karya tersebut. Struktur penceritaan novel yang
didasarkan pada pengalaman pengarang novel ini, berfungsi sebagai kerangka
cerita. Hal ini disebabkan terdapat peristiwa yang tidak sesuai dengan realitas
sosial. Bahkan, terdapat realitas sosial yang disamarkan, seperti penggunaan
nama tempat. Penyamaran realitas sosial dalam realitas fiksi didukung oleh
pengalaman estetik dan riset yang dilakukan oleh pengarang. Pengarang
terlibat langsung dalam kehidupan masyarakat pendukung cerita.
2. Analisis semiotik terhadap perjuangan perempuan dalam ketiga novel Okky
Madasari menunjukkan bahwa Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of
signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan
konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal).
Pemaknaan tingkat pertama mengarah kepada makna yang dedotatif, makna
sebenarnya, atau makna yang terkandung di dalam teks tersebut. Sedangkan
pemknaan tingkat kedua merupakan makna konotasi atau makna tidak
sebenarnya, atau makna menurut konteks kalimat dan konteks budaya dimana
Universitas Sumatera Utara
Page 239
teks tersebut dilahirkan. Menurut Roland Barthes pemaknaan tingkat kedua
mengarah kepada mitos, dimana mitos tersebut adalah sumber pengetahuan
baru. Pemaknaan tingkat pertama dalam menafsirkan perjuangan perempuan
dalam ketiga novel Okky Madasari merujuk kepada makna teks yang
terkandung dalam novel tersebut. Sedangkan pemaknaan tingkat kedua
merupakan interpretasi dari peneliti dalam menafsirkan pemaknaan tingkat
pertama dikaitkan dengan realitas sosial yang hidup di masyarakat untuk
melihat perjuangan perempuan dalam ketiga novel Okky Madasari.
3. Terdapat tiga jenis perjuangan perempuan dalam ketiga novel Okky Madasari,
yaitu perjuangan perempuan dalam bidang ekonomi, perjuangan perempuan
keyakinan, dan perjuangan perempuan dalam bidang hukum.
a. Perjuangan perempuan dalam bidang ekonomi meliputi, perjuangan
perempuan sebagai pelaku bisnis, perjuangan perempuan dalam
mempertahankan hidup, dan perjuangan merempuan dalam meningkatkan
taraf hidup. Perempuan sebagai pelopor dan agen bagi tercapainya
perubahan sosial dari masyarakat yang patriarki menuju masyarakat yang
senantiasa mempertanyakan adanya ketidakadilan gender yang terjadi di
sektor domistik ataupun publik khususnya di bidang ekonomi. Perempuan
telah berjuang untuk mengkritisi dan mengatasi diskriminatif di bidang
ekonomi yang diakibatkan oleh ketidakadilan gender. Perempuan telah
menunjukkan eksistensi dirinya yaitu mampu menyamakan derajatnya
dengan kaum laki-laki dengan menjadi pelaku bisnis. Perempuan juga
Universitas Sumatera Utara
Page 240
berperan dalam mengatasi masalah ekonomi dalam keluarga, terutama untuk
mempertahan hidup dan untuk meningkat kesejahteraan hidup.
b. Perjuangan perempuan dalam mempertahankan keyakinan meliputi,
Kejawen dan Ahmadiyah. Kejawen adalah sumarni telah berjuang untuk
mempertahankan keyakinan tersebut walaupun harus mendapat cemoohan
dari guru ngaji dan masyarakat setempat. Bahkan dia juga ditentang oleh
Rahayu, anaknya sendiri. Namun, dia tetap melaksanakan keyakinannya
tersebut walaupun dia harus berpisah dari anaknya. Perjuangan perempuan
dalam mempertahankan ajaran Ahmadiyah diwakili oleh tokoh-tokoh
perempuan yang mengalami kekerasan, penyerangan, dan pengusiran yang
menyebankan mereka harus berada di penggungsian dalam waktu yang
cukup lama. Namun, mereka tetap teguh pada pendiriannya. Penderitaan
tidak menyurutkan langkah mereka untuk berjuang.
c. Perjuang perempuan dalam bidang hukum yaitu perjuangan perempuan
dalam mencari keadilan. Dalam hal mencari keadilan, perempuan sudah
berjuang dengan mengikuti prosedur yang ditentukan. Mereka mencari
keadilan walaupun harapan mereka kandas di tengah jalan oleh permainan
uang sogok dan keyakinan yang dianggap aliran sesat. Namun, mereka tetap
berjuang.
Universitas Sumatera Utara
Page 241
7.2 Saran
Dengan penggambaran perjuangan tokoh-tokoh perempuan dalam ketiga
novel Okky Madasari, peneliti mencoba membuka mata para pembaca agar ikut
berperan dan memikirkan nasib kaum perempuan. Oleh karena itu, peneliti
berharap agar pembaca menyadari akan pentingnya perjuangan perempuan untuk
mengangkat harkat dan martabatnya sebagai manusia merdeka.
Perempuan harus menyadari perlunya pemberdayaan perempuan di arena
politik dengan mulai lantang dan vokal menyuarakan dan memperjuangkan hak-
hak perempuan, pemunculkan isu-isu perempuan dan melawan penindasan dan
diskriminasi perempuan. Perempuan harus keluar dari kotak jebakan politik untuk
kepentingan sesaat dan harus segera melenggang menuju dunia politik yang
berwawasan lebih luas dan integral semata-mata demi pemberdayaan perempuan
dan pengakomodasian aspirasi perempuan. Gaung suara perempuan di kancah
politik selalu diharapkan, asalkan suara tersebut berasal dari hati nurani yang tidak
tercemar oleh kepentingan pribadi dan golongan.
Universitas Sumatera Utara