Top Banner
‘Menolak Kolonialisme. Menonton Film Barat di Kota Makassar Tahun 1950-an’ “Refusing Colonialism, Watching Western Films in the City of Makassar in the 1950s” Ilham Ambo Tang i GAMBARAN UMUM KOTA MAKASSAR A. Sejarah Singkat Riwayat kota Makassar tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kerajaan Gowa. Berdasarkan sumber Lontaraq, kerajaan ini bermula pada abad ke-14 diperintah seorang raja, menurut tradisi lisan lokal, yang disebut Tomanurung. Kemudian pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV kerajaan dibagi masing-masing diperintah oleh putranya yakni Batara Gowa di Kerajaan Gowa dan Karaeng Loe di Kerajaan Tallo. Kedua kerajaan tersebut kemudian dipersatukan kembali dengan nama kerajaan Gowa-Tallo atau Kesultanan Makassar. 1 Kedudukan Makassar pada masa itu sebagai bandar pelabuhan kerajaan, yang pada mulanya hanya merupakan suatu bandar kecil tempat bongkar muat muatan perahu, di samping difungsikan sebagai pangkalan armada kerajaan sebelum ditaklukkan oleh Belanda di abad ke-17. Dalam abad ke-16 dan ke-17, Makassar mengukir prestasi sangat gemilang sebagai bandar niaga internasional paling spektakuler yang pernah diukir dalam panggung sejarah Indonesia. 2 Di samping karena letaknya yang strategis di jalur utama niaga laut, juga didukung oleh kebijakan penguasa politik lokal yang menganut konsep mare liberium (laut bebas), sehingga banyak menarik hati para saudagar 1 Mukhlis Paeni. “Kesultanan Makassar” dalam Procending Seminar Antrabangsa Kesultanan Melayu Nusantara. Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia, 2005. 2 Anthony Reid. “Kebangkitan Makassar” dalam Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Diterjemahkan oleh Sory Siregar dkk). Jakarta: LP3ES, 2004, hlm. 132-133. 0
34

repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 603... · Web view repository.unhas.ac.idWahasil, peristiwa ini merupakan kejadian kedua, setelah Perang Makassar

Feb 27, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

‘Menolak Kolonialisme. Menonton Film Barat di Kota Makassar Tahun 1950-an’

“Refusing Colonialism, Watching Western Films in the City of Makassar in the 1950s”

Ilham Ambo Tang[endnoteRef:2] [2: Akan dipresentasikan di ITP International Symposium, Kyoto University Jepang, 2-6 Desember 2011]

GAMBARAN UMUM KOTA MAKASSAR

A. Sejarah Singkat

Riwayat kota Makassar tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kerajaan Gowa. Berdasarkan sumber Lontaraq, kerajaan ini bermula pada abad ke-14 diperintah seorang raja, menurut tradisi lisan lokal, yang disebut Tomanurung. Kemudian pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV kerajaan dibagi masing-masing diperintah oleh putranya yakni Batara Gowa di Kerajaan Gowa dan Karaeng Loe di Kerajaan Tallo. Kedua kerajaan tersebut kemudian dipersatukan kembali dengan nama kerajaan Gowa-Tallo atau Kesultanan Makassar.[footnoteRef:2] [2: Mukhlis Paeni. “Kesultanan Makassar” dalam Procending Seminar Antrabangsa Kesultanan Melayu Nusantara. Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia, 2005. ]

Kedudukan Makassar pada masa itu sebagai bandar pelabuhan kerajaan, yang pada mulanya hanya merupakan suatu bandar kecil tempat bongkar muat muatan perahu, di samping difungsikan sebagai pangkalan armada kerajaan sebelum ditaklukkan oleh Belanda di abad ke-17. Dalam abad ke-16 dan ke-17, Makassar mengukir prestasi sangat gemilang sebagai bandar niaga internasional paling spektakuler yang pernah diukir dalam panggung sejarah Indonesia.[footnoteRef:3] Di samping karena letaknya yang strategis di jalur utama niaga laut, juga didukung oleh kebijakan penguasa politik lokal yang menganut konsep mare liberium (laut bebas), sehingga banyak menarik hati para saudagar lokal dan mancanegara untuk berniaga di sini.[footnoteRef:4] [3: Anthony Reid. “Kebangkitan Makassar” dalam Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Diterjemahkan oleh Sory Siregar dkk). Jakarta: LP3ES, 2004, hlm. 132-133.] [4: Uraian lebih lanjut dapat dibaca pada tulisan Edward L. Poelinggomang. Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004.]

Ketika Malaka dikuasai oleh Portugis pada 1511, banyak pedagang-pedagang di Nusantara pindah dari Malaka dan mengalihkan aktivitas mereka ke bandar-bandar lain, antara lain ke Makassar. Sejak saat itu, Makassar tumbuh menjadi bandar besar di kawasan timur Nusantara. Perkembangan ini menarik perhatian organisasi Dagang Hindia Timur bernama Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang pada akhirnya tertarik untuk memonopoli semua bentuk perdagangan di wilayah ini.

Langkah politik ekonomi VOC tersebut awalnya tidak mendapat ruang untuk berkembang di tengah kebijakan politik laut bebas yang dianut oleh kerajaan Makassar. Dengan tegas para penguasa Makassar (di masa pemerintahan Sultan Alauddin, Sultan Malikussaid, dan Sultan Hasanuddin) menolak dan tidak bertolerir atas upaya itu. Walhasil, di masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (Raja Gowa XVI) terjadi kemelut politik besar yang banyak menentukan jalannya sejarah Sulawesi Selatan kemudian[footnoteRef:5], di mana VOC bersama sekutunya Raja Bugis Arung Palakka tampil sebagai pemenang dalam Perang Makassar (1666-1669) yang dikukuhkan lewat Perjanjian Bungayya 1667. Perjanjian ini, setelah diperbarui tahun 1824, kemudian menjadi referensi kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda di Sulawesi Selatan. [5: Leonard Y. Andaya. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17 (Terjemahan). Makassar: Ininnawa. ]

Setelah penadatanganan perjanjian tersebut, semua bentuk perdagangan dikuasai oleh VOC dan benteng-benteng pertahanan serta istana dihancurkan, kecuali Benteng Ujungpandang yang ditempati sebagai kediaman VOC. Nama benteng ini lalu dirubah menjadi Fort Rotterdam (Benteng Rotterdam).[footnoteRef:6] Dalam perkembangannya, pada awal abad ke-19, kedudukan Kompeni[footnoteRef:7] digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Daerah-daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kompeni berpindah tangan kepada pemerintah Hindia Belanda. Sebelumnya daerah-daerah itu direbut oleh Inggris pada 1811 hingga tahun 1816, lalu kemudian diserahkan kembali kepada Pemerintah Hindia Belanda.[footnoteRef:8] [6: Berdasarkan sumber sejarah nama benteng ini diambil dari nama tempat kelahiran Gubernur Jenderal VOC kala itu Cornelis Speelman yakni Rotterdam, sehingga disebut Fort Rotterdam, meski dalam versi masyarakat lokal disebutnya sebagai Benteng Panyyua (Benteng Penyu), yang didasarkan ada konstruksinya yang menyerupai penyu yang menghadap ke laut. Penyu dalam kontek ini mencerminkan karakter orang Makassar yang tangguh dan dapat hidup di dua tempat yakni laut dan darat, layaknya seekor Penyu. ] [7: Nama lain, yang sering digunakan, yang menunjuk pada organisasi dagang Hindia Timur yakni VOC. ] [8: Abdul Latif. “Pendudukan Inggris di Makassar 1811-1816”. Tesis Magister (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. ]

Gambar 1. Tampak Fort Rotterdam (dari udara) tahun 1932

(Sumber: Koleksi KITLV)

Untuk menata wilayah pemerintahannya, yang dinyatakan berada di bawah kekuasaannya, pada tahun 1824 pemerintah Hindia Belanda memaklumkannya dalam lembaran negara. Pemerintah Makassar dan Daerah Bawahan (Gouvernement Makassar en Onderhoorigheden) dibagi beberapa wilayah administrasi pemerintahan, dan Makassar ketika itu meliputi: kota pelabuhan Makassar, Fort Rotterdam, kota Vlaardingen, dan kampung-kampung di sekitarnya dan pulau-pulau yang terletak di depan kota pelabuhan Makassar.[footnoteRef:9] [9: Edward L. Poelinggomang. Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942. Yogyakarta: Ombak, 2004, hlm. 40-41. Uraian lanjut dapat dibaca pada Ikhtisar Politik Hindia Belanda tahun 1839-1848. Jakarta: ANRI.]

Pada 1870 Distrik Makassar berubah status menjadi afdeeling Makassar, wilayahnya terdiri dari: Kota Makassar, Kodingareng, Barang Cadi, Barrang Lompo, Balang Cadi, Balang Lompo, Sarappo, Karanrang, Sabutung, Salemo, Biringkanaya, dan Moncong Lowe. Sepuluh tahun kemudian (1890) wilayahnya semakin luas, dengan munculnya kampung Jawa, Renggang, Pattunuang dan Koningsplain.[footnoteRef:10] [10: Daud Limbugau. ”Perjalanan Sejarah Kota Maritim Makassar Abad 19 – 20” dalam Mukhlis. Persepsi Sejarah Kawasan Pantai Makassar. Makassar: P3MP, The Toyota Foundation, UNHAS, 1989, hlm. 23. ]

Gambar 2. Kantor Pemerintahan Makassar tahun 1900

(Sumber: Koleksi KITLV)

Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi 1903, Makassar tergolong di dalam 32 kota di Hindia Belanda yang mendapat status Gemeentelijk Resort dan sekaligus dengan Gemeenteraad-nya. Dalam tahun 1924 afdeling Makassar, di bawah pemerintahan Celebes en Onderhoridgeden, meliputi: onderafdeling Makassar, Pangkajene, dan Maros.

Gambar 3. Kantor Balai Kota (Gemeentehuis) Makassar

(Sumber: Koleksi KITLV)

Pada tahun 1940, setelah mengalami perubahan, wilayah afdeling Makassar meliputi: oderafdeling Makassar (berpusat di Makassar), Maros (di Maros), Pangkajene (di Pengkajene), Gowa (di Sungguminasa), dan Jeneponto-Takalar (di Jeneponto). Onderafdeling Makassar sendiri mencakup: distrik Makassar, Wajo, Ujung Tana, Mariso, dan adatgemenschap Galesong.

Dilihat dari penataan atau perubahan itu, tampak bahwa Makassar tetap berfungsi sebagai pusat pemerintahan propinsi, keresidenan, afdeling, dan onderafdeling.[footnoteRef:11] Salain itu, peran Makassar yang tidak kalah dalam pentingnya menciptakan citra ekonomi bagi kawasan timur Indonesia dan menjadi simbol kekuatan ekonomi luar Jawa. Pada awal abad ke-20, kota pelabuhan Makassar tampil sebagai pusat perdagangan kopra. Tercatat sekitar 90 persen kopra dari kawasan timur Indonesia diekspor dari pelabuhan Makassar. Dari studi Asba terungkap bahwa, terintegrasinya Makassar dalam perdagangan kopra antar pulau di Indonesia Timur mendorong Makassar sebagai kekuatan ekonomi Hindia Belanda dan mampu menahan laju perkembagan ekonomi Singapura. Pedagang pribumi dan Cina yang sebelumnya menempatkan Singapura sebagai pusat perdagangan kopra, beralih menjadi sistem perdagangan langsung antara Makassar dengan Eropa. Sejak saat itu (dasawarsa kedua abad ke-20), Makassar muncul sebagai pelabuhan enterport, seperti halnya Singapura.[footnoteRef:12] [11: Ibid hlm. 24-25. ] [12: Lebih lanjut baca buah karya A. Rasyid Asba. Kopra Makassar Perebutan Pusat dan Daerah: Kajian Sejarah Ekonomi Politik Regional di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ]

Pada era kemerdekaan (sejak tahun 1945), pemberian hak otonom kepada setiap daerah makin dipandang penting. Karena itu dibentuklah daerah-daerah swatantra dengan maksud lebih memberikan otonomi kepada daerah-daerah. Pembentukan daerah swatantra Makassar berdasar pada PP No. 34 Tahun 1952. Peraturan ini dikeluarkan dan disesuaikan dengan perkembangan pemerintahan di Propinsi Sulawesi pada umumnya dan pertimbangan kondisi keamanan dan perhubungan pada khususnya. Selanjutnya dikeluarkan UU No. 1 tahun 1957, yang pelaksanaannya secara kongkrit terwujud 2 tahun kemudian, yakni pada 4 Juli 1959 setelah disahkannya UU No. 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan daerah-daerah tingkat II di Sulawesi, termasuk pula pembentukan Kotapraja Makassar. Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah menyempurnakan aturan perundang-undangan dengan dikeluarkanlah UU No. 8 tahun 1965 tentang pembentukan Daerah Tingkat II Kotamadya Makassar.

B. Perkembangan Ruang dan Warga Kota

Kota Makassar terletak di pesisir pantai jazirah Pulau Sulawesi. Berada pada garis 1190 27’ Bujur Timur dan pada garis 50 06’ Lintang Selatan, dengan ketinggian rata-rata 0 – 10 meter di atas permukaan laut. Letaknya di pesisir pantai dan karena berada dalam batas jangkauan khatulistiwa menghasilkan suhu yang panas, berkisar antara 22 0C sampai 32 0C.

Ruang kota Makassar mengalami perubahan seiring dengan upaya penataan wilayah oleh pemerintah. Berdasarkan Staatblad No. 21 tahun 1947, Kota Besar Makassar terbagi atas empat distrik yaitu: Makassar, Wajo, Ujung Tana, dan Mariso. Sepuluh tahun kemudian dikeluarkan UU No. 9 tahun 1957, tentang Pokok-Pkok Pemerintahan Daerah. Atas dasar inilah, ruang kota Makassar menjadi enam kecamatan yaitu: Makassar, Ujung Pandang (berasal dari pecahan kecamatan Makassar), Wajo, Ujung Tana, Bontoala (dari pecahan Kecamatan Makassar), dan Mariso. Pada tahun 1959 betambah lagi dua kecamatan yakni Mamajang dan Tallo yang keduanya merupakan pecahan dari wilayah Kecamatan Makassar.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan dan Tenggara Nomor 1100 tanggal 16 Agustus 1960 tentang penetapan Makassar sebagai Kotapraja, wilayahnya meliputi delapan kecamatan yaitu: Ujung Tana, Talo, Wajo, Bontoala, Mariso, Mamajang, Ujung Pandang, dan Makassar. Kemudian pada tahun 1971 mengalami perluasan, setelah kesediaan beberapa daerah mengintegrasikan wilayahnya “menjadi” Makassar. Kabupaten Gowa menyerahkan wilayah Barombong, Karuwisi, Panaikkang, Tallo Baru, Atang, Tamangapa, Jongaya, Maccini Sombala, dan Mangasa. Sedangkan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan juga menyerahkan daerah Barang Caddi, Barang Lompo, dan Kodingareng. Dengan demikian, wilayah kota Makassar yang sebelumnya hanya seluas 2.100 ha menjadi 11.587 ha.

Sesudah perubahan ini, kota Makassar kemudian mengalami perubahan nama menjadi Kota Ujung Pandang, dengan sebelas kecamatan yaitu: Makassar, Ujung Pandang, Wajo, Ujung Tana, Bontoala, Tallo, Mariso, Tamalate, Mamajang, Panakukkang, dan Biringkanaya. Dari sebelas kecamatan ini, ada tujuh kecamatan yang berbatas langsung dengan pantai yakni Tamalate, Mariso, Ujung Tana, Tallo, dan Biringkanaya. Kota Makassar sendiri berdekatan dengan beberapa kabupaten. Di bagian utara dengan Kabupaten Pangkep, sebelah timur dengan Kabupaten Maros. Sedangkan di bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa, dan khusus di bagian barat dengan Selat Makassar.

Menurut catatan penduduk masa Hindia Belanda, warga kota Makassar pada tahun 1930 berjumlah 84.855 jiwa. Kemudian pada tahun 1961, dari hasil sensus pendudukan Kota Makassar mencapai 384.000 jiwa. [footnoteRef:13] Jumlah ini kemudian bertambah pada tahun 1975 sehingga menjadi 586.286 jiwa.[footnoteRef:14] Melalui karya studinya, Harvey[footnoteRef:15] mengklasifikasi unsur warga kota Makassar tahun 1930 tersebut berdasarkan etnik/daerah asal ke dalam 15 kategori masing-masing: Makassar (37.389 jiwa), Bugis (15.779 jiwa), Mandar (412 jiwa), Selayar (1.808 jiwa), Toraja (377 jiwa), Buton (515 jiwa), Melayu (132 jiwa), Banjar (415 jiwa), Minahasa (844 jiwa), Ambon (1.460 jowa), Madura (4.594 jiwa), Sunda (217 jiwa), Eropa (3.447 jiwa), Cina (15.363 jiwa), dan bangsa Asia lainnya (600 jiwa). Dari data ini jelas bahwa unsur warga kota Makassar sangat beragam. Etnis Cina termasuk kategori warga kota yang paling banyak dibandingkan dengan non pribumi lainnya. [13: BPS Kota Makassar Tahun 1961. Hanok Luhukay, Makassar ke Ujung Pandang (Tanpa penerbit), 1985, lm. 42. ] [14: Patompo. Rahasia Menyingkap Tabir Kegelapan. Ujung Pandang (Tanpa Penerbit), 1976, hlm. 45. ] [15: Barbara Sillars Harvey, Permesta: Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta: Grafiti Press, 1983, hlm. 107. ]

Dalam periode 1950-1960 jumlah penduduk kota Makassar mengalami peningkatan yang cukup berarti. Dari 186.000 jiwa pada tahun 1950 bertambah dan menjadi 384.000 jiwa pada tahun 1961. Pertambahan jumlahnya meningkat pada lima tahun berturut-turut, yaitu: 1965 (415.826 jiwa), 1966 (424.143 jiwa), 1967 (432.696 jiwa), 1968 (445.678 jiwa), 1969 (450.104 jiwa). Namun jumlah ini mengalami penurunan sebanyak 17.862 pada tahun 1970 sehingga jumlahnya menjadi 432.242. Dan kemudian kembali melonjak tinggi menjadi 553.874 jiwa pada tahun 1971. Pertambahan jumlah penduduk pada tahun terakhir ini antara lain karena adanya pelaksanaan Pemilihan Umum 1971, sehingga pencatatan relatif teratur.

Gambar 4. Tampak Warga Kota Makassar dari etnik Makassar (atas) dan etnik Cina (bawah) tahun 1900 (Sumber: Koleksi KITLV)

Terkonsentrasinya penduduk di Kota Makassar pada tahun 1950-1960-an tidak terlepas dari perkembangan sosial dan politik yang terjadi dalam periode ini. Gerakan DI/TII pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar (1953-1965) merupakan peristiwa yang berdampak besar terhadap arus migrasi penduduk ke kota Makassar. Hal ini antara lain disebabkan tindakan-tindakan ”gerombolan”[footnoteRef:16] yang menggelisahkan penduduk. Ditambah lagi kebijakan politik bumi hangus yang dilancarkan oleh DI/TII sejak tahun 1955[footnoteRef:17]. Wahasil, peristiwa ini merupakan kejadian kedua, setelah Perang Makassar pada abad ke-17, yang menyebabkan terjadinya migrasi besar-besaran penduduk di Sulawesi Selatan, baik dalam wilayahnya sendiri maupun ke luar daerah lainnya di Indonesia. [16: Istilah lain yang digunakan oleh warga untuk menunjuk pada identitas pelaku gerakan DI/TII. Ada pula nyang menyebutnya dengan istilah gurilla atau juga gerilyawan. ] [17: Hal ini ditegaskan oleh Barbara Sillars Harvey dalam karyanya Pemberontakan Kahar Mudzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII (Terjemahan). Jakarta: Grafiti Pers, 1989. ]

Ragam dan jumlah warga kota (tahun 1971) seperti tersebut menempati sebelas wilayah kecamatan dengan jumlah dan tingkat kepadatan yang beragam. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Jumlah dan Sebaran warga Kota Makassar Tahun 1971

Kecamatan

Luas (ha)

Warga

Kepadatan

Makassar

Bontoala

Ujung Pandang

Ujung Tana

Wajo

Mariso

Mamajang

Tallo

Panakukang

Tamalate

Biringkanaya

275

156

236,4

240

183,6

176

215

592

2920,1

2382

40,38

82.147

66.312

52.227

35.851

54.481

48.830

59.830

41.732

36.569

53.105

23.753

297,6

245,7

261,4

141,7

291,6

274,3

276,2

70,4

17,5

22,2

5,8

Jumlah

11.420,1

554.839

8,5

Sumber: Patompo (1976: 52)

PEREBUTAN RUANG SOSIAL DAN EKONOMI

A. Perebutan Ruang Sosial

Terbentuknya Provinsi Sulawesi, disusul kemudian pembentukan badan pemerintahannya, menempatkan Makassar sebagai pusat pemerintahan dan politik. Bahkan untuk menata pemerintahan dibentuk pula Dewan Penasehat yang diketuai oleh Rahmat Mappayukki Karaeng Sigeri. Dan sebagai wakil ketua terpilih ialah Dr. Ratulangi dan anggota-anggota pengurus lainnya yakni raja-raja di Sulawesi Selatan yang cukup berpengaruh, seperti Andi Jemma Datu Luwu, Abdullah Bau Massepe Datu Suppa, Datu Suppa Tua Rahmat Makkasau, Maradia Campalagian, Maradia Balanipa Ibu Depu dan lain-lain[footnoteRef:18]. [18: Hanoc Lahukay. Makassar ke Ujungpandang, (tt/penerbit), 1985, hlm.125.]

Sulawesi merupakan salah satu dari delapan provinsi[footnoteRef:19] yang dibentuk pada rapat PPKI 19 Agustus 1945. Mengawali kegiatan pemerintahan di Makassar, dibentuklah staf pemerintahan yang terdiri atas 15 orang yang diharapkan mampu membawa Sulawesi lebih baik dari sebelumnya. Limabelas orang dimaksud yaitu Dr. Ratulangi (Gubernur), N. Hadjarati (Wakil Gubernur), Kusno Danuprojo (Sekretaris), Lanto Daeng Pasewang (Kepala Urusan Pemerintahan), Najamuddin Daeng Malewa (Kepala Urusan Perekonomian), sedang anggota-anggotanya terdiri atas Mr. Tadjuddin Noor, G. R. Pantouw, Syam, Supardi, Pondaag, M Saleh Dg Tompo, Ahmad Dg Siala, Saleh Lahade, J. Latumahina, dan Suwarno.[footnoteRef:20] [19: Delapan provinsi yang dimaksud ialah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku. Lebih lanjut baca Bibit Suprapto. Perkembangan Kabinaet dan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985. ] [20: Djawatan Penerangan. Republik Indonesia: Propinsi Sulawesi, 1953. ]

Dalam melaksanakan pemerintahan di Makassar Ratulangi menghadapi berbagai hambatan terutama dengan kehadiran tentara Sekutu dan tentara Belanda NICA. Selanjutnya terlihat Makassar menjadi pusat pemerintahan NICA, pusat Makassar Force dari pasukan Australia setelah NICA berhasil mengangkat Lion Cashat sebagai Residen Celebes Selatan, dengan terlebih dahulu Ratulangi dan beberapa tokoh politik lainnya ditangkap dan dibuang ke Serui. Usaha NICA untuk menghidupkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia mendapat tantangan rakyat Sulawesi Selatan pada umumnya. Walaupun demikian mereka berhasil menerapkan pengaruhnya, dengan membentuk negara-negara kecil dalam wilayah Indonesia yang telah diproklamirkan itu. Bekas wilayah Pemerintahan Timur Besar (Gouvernment Groote Oost) dijadikan satu negara dengan nama Negara Indonesia Timur (NIT), ibukotanya Makassar.[footnoteRef:21] [21: Pembentukan NIT berdasarkan pada hasil Konferensi Denpasar yang berlangsung pada tanggal 8 Desember sampai dengan 24 Desember 1946. Baca Ide Anak Agung Gde Agung. Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985.; Najamuddin, ”Sulawesi Selatan: Pergumulan Antara Negara Federal dan Negara Kesatuan 1946-1949”. Tesis Magister belum diterbitkan. Jakarta: Universitas Indonesia, 2000. ]

Kota Makassar sebagai ibukota NIT selanjutnya diberi kedudukan sebagai kota besar. Sebagai walikota dilantik Hamid Dg Magassing pada 15 Januari 1947, langsung oleh Presiden NIT yaitu Tjokorde Gde Raka Sokawati. Sejak saat itu, Makassar berkembang menjadi pusat pergolakan politik. Banyak organisasi politik yang didirikan, baik yang memihak pemerintah Belanda dan mendukung bentuk federasi maupun yang tetap menolak usaha tersebut. Pada periode ini (NIT), Makassar menjadi arena perjuangan politik rakyat Indonesia Timur. Dari sini dilancarkan demonstrasi menentang RIS dan memaksa pemerintah untuk kembali ke negara kesatuan.

Dukungan dan peran serta warga kota Makassar dan daerah sekitarnya terhadap pembentukan negara kesatuan nampak pada tahun 1950. Pada tanggal 17 Maret terjadi demonstrasi massa, mendatangi gedung parlemen NIT, mengajukan mosi mendukung RI kepada ketua parlemen Husain Puang Limboro dengan harapan supaya diteruskan kepada pemerintah RIS di Jakarta untuk segera membubarkan NIT.[footnoteRef:22] [22: Mayor Bardosono, 1955, Peristiwa di Sulawesi Selatan 1950, Jakarta: Yayasan Pustaka Militer, 1955, hlm. 14.]

Kendatipun demikian, sebagian besar warga kota Makassar dan daerah sekitarnya mengharapkan pembubaran NIT, namun terdapat pula pihak yang ingin mempertahankannya. Mereka ini didukung oleh bekas tentara KNIL, yang dilebur kedalam APRIS, dibawa pimpinan Kapten Andi Azis. Karena itulah, kedatangan tentara APRIS dari Jawa yang pertama kali dikirim ke Makassar yakni Batalyon Worang yang diberangkatkan akhir Maret 1950 dengan kapal Waikelo ditolak oleh Andi Azis, sehingga kapal itu berlabuh di daerah Jeneponto.[footnoteRef:23] Mereka menangkapi perwira-perwira APRIS, termasuk Letkol Ahmad Yunus Mokoginta yang pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Tentara Tentorium Indonesia Timur. Pada hari itu juga seluruh kota Makassar diduduki oleh pasukan Andi Azis. [23: Lahukay, op. cit. hlm. 201. Baca juga Disjar, Penumpasan Pemberontakan Separatisme di Indonesia. Jakarta: Dinas Sejarah TNI AD, 1978.]

Oleh karena tindakan tersebut dianggap melawan hukum maka pemerintah kemudian melakukan penumpasan hingga berakhirnya gerakan ini. Meskipun demikian atmosfir ruang kota belum kondusif bagi keberlangsungan sosial. Di sana-sini dan terutama daerah-daerah pinggiran masih sering terjadi insiden antara KNIL dengan APRIS, yang tak jarang berakibat pada jatuhnya korban jiwa di kedua pihak.

Pada tanggal 8 Agustus 1950 bertempat di lapangan terbang Mandai diadakan persetujuan antara Kolonel Kawilarang mewakili APRIS dan Mayor Jendeal Scheffelaar sebagai wakil Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia. Kedua pihak sepakat agar seluruh anggota pasukan KNIL meninggalkan Makassar dan menyerahkan seluruh perlengkapannya kepada APRIS. KNIL dan warga negara Belanda berangsur-angsur meninggalkan Makassar menggunakan Kapal Zuiderkruis, Out Hoorn, Waterman, dan Kota Intan. Walhasil, mulai September 1950 kasus Makassar dianggap berakhir dan Brigade Mataram ditarik dan kembali ke Jawa.

Perebutan ruang-ruang sosial antara pihak yang pro dan kontra terhadap NIT turut mewarnai arena publik pemberitaan pers di Makassar. Ruang publik ketika itu terpola menjadi dua yaitu ”pers federal” dan ”pers unitaris”. Dalam pemberitaannya, yang pertama mendukung pembentukan NIT dan pro kepada Belanda. Sedangkan yang kedua anti federalisme, atau lebih dikenal dengan suratkabar nasional atau republiken. Para komunikator kedua pers tersebut ”bertarung” di ruang publik dengan visinya masing.[footnoteRef:24] [24: Anwar Arifin. ”Pers dan Dinamika Politik di Makassar (1945-1966)”. Desertasi Doktor tidak diterbitkan. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin, 1990; Sulaeman, “Dinamika Politik Pers di Makassar1945-1950”, Tesis Magister tidak diterbitkan. Makassar: Universitas Hasanuddin. ]

Suratkabar yang Terbit di Makassar Masa NIT

Tahun

Suratkabar

Pimpinan

Frekuensi

1945

1945

1946

1947

1948

1948

1948

1948

1948

1948

1948

1948

1948

1948

1948

1948

1948

1949

1949

Soeara Indonesia

Kebenaran

Negara Baru (IT)

Pedoman

Dinihari

Nusantara

Wirawan

Dinamik

Sinar

Suasana

Gelora

Soeara Pedalaman

Soeara Kita

Wartawan Baru

Berjuang

Wanita

Pedoman Harian

Pedoman Nusantara

Pedoman Wirawan

Manai Sophian

I.S.D. Tompo

J.Wewengkang

Soegardo

H.M.Radjaloa

A.N.Hardjarati

B.Korompis

Harjono

A.Rivai

A.M.Nurdin

A. Anwar

Andi Sommeng

Abbas D.Mallawa

M.Said

H.M.Radjaloa

Ny.Salawati D

L.E.Manuhua

Henk Rondonuwu

Henk Rondonuwu

Harian

-

Harian

Bulanan

Mingguan

Mingguan

Bulanan

Bulanan

Bulanan

Bulanan

Bulanan

Bulanan

Bulanan

Bulanan

Bulanan

Mingguan

Harian

Mingguan

Mingguan

Sumber: Republik Indonesia Propinsi Sulawesi, hlm. 541-547.

Diterbitkannya Pedoman (majalah tengah bulanan) merupakan refleksi sikap politisi di Makassar dalam menentang dominasi Belanda. Majalah ini terbit pertama kali pada hari Sabtu, 1 Maret 1947. Pemimpin redaksinya adalah Soegardo Pondaag, salah seorang bekas pengasuh suratkabar Kebenaran yang dibrendel Belanda. Pedoman terbit pada awalnya semata-mata sebagai pers perjuangan yang berfungsi menyampaikan informasi kepada kaum pergerakan waktu itu.

Gambar 5. Suratkabar (Pedoman Nusantara) yang pro republik

Beberapa tokoh yang bergabung seperti Soegardo, Henk Rondonuwu, L.E. Manuhua, Henny Katili tidak pernah berfikir kalau nanti akan menjadi seorang wartawan. Para pengasuh media ini, selain bekerja tanpa gaji dan bahkan harus mencari dana buat penerbitan, juga selalu dicari dan dipanggil oleh Dinas Rahasia Polisi Belanda dengan maksud mematikan semangatnya. Soegardo misalnya, dituduh menghasut dan dipaksa untuk meninggalkan Makassar ke Jakarta (Oktober 1947). Demikian pula Henk Rondonuwu, yang menggatikan Soegardo memimpin Pedoman, dalam tahun 1948 selain dituduh menghasut yang menimbulkan kekacauan, juga dituduh menghina Ratu Belanda, sehingga ia diperiksa dan diadili serta dijatuhi hukuman penjara tiga bulan. Selain Henk Rondonuwu tokoh lainnya yang juga kenal imbasnya ialah A. N. Harjati (Nusantara) dan B. Korompis (Wirawan). Keduanya dipenjara selama dua bulan dengan tuduhan menghasut masyarakat. Setelah keluar dari penjara, ketiganya sepakat bergabung (1949) dan berhasil mendirikan Pedoman Nusantara dan Pedoman Wirawan. Sebelum Rondonuwu dipenjara, ia bersama Manuhua telah menerbitkan Pedoman Harian pada 17 Agustus 1948, yang terbit pagi dengan oplah 1.000-1.500 lembar, dipimpin oleh Manuhua. Koran ini banyak memberitakan kegiatan RI dan berita-berita dari Yogyakarta, sehingga Belanda mengeluarkan larangan membacanya.

Selain itu, terbit pula beberapa suratkabar republiken lainnya seperti harian Proletar – kemudian berubah nama menjadi Dinihari dipimpin M. Hasan Radjaloa), mingguan Nusantara pimpinan A. N. Hajerati, tengah bulanan Wirawan untuk pemuda dipimpin oleh Berty Korompis dan S.I. Harjo, tengah bulanan Dinamik pimpinan Harjono, tengah bulanan Sinar (stensilan) pimpinan A. Rivai, tengah bulanan Suasana dipimpinan oleh A. M. Nurdin, tengah bulanan Berdjoeng, dipimpin H. M. Radjaloa dan mingguan Wanita (cetak) pimpinan Ny. Salawati Daud.

Beberapa media tersebut dikenal pada masa itu sebagai ruang publik republikein, untuk membedakan diri dengan suratkabar pro NIT, yang juga terbit pada masa itu seperti Nusantara atau Negara Baru. Selain itu, media yang jelas-jelas anti republiken yang terbit tahun 1947 ialah Oost Indonesie Bode – kemudian berubah (1950) menjadi Makassaarse Courant dipimpinan oleh De Haas. Sementara itu, Negara Baru dalam tahun 1947 berubah menjadi Indonesia Timur, dan terakhir (1950) Nusantara, dan tetap dipimpin oleh J. Mawengkang.

Gambar 6. Suratkabar (Negara Baru) yang pro NIT

Setelah perubahan tata pemerintah (menjadi negara kesatuan kembali), tampaknya arena kota Makassar belum juga memberikan ruang-ruang sosial yang memungkinkan berlangsungnya interaksi warga kota secara kondusif. Hal itu ditengarai oleh timbulnya gejolak baru dari mereka yang dahulu menjadi pendukung utama republik atau disebut pula ”kaum patriot”. Akibat dari tindakan mereka itu kemudian disematkan predikat oleh pemerintah sebagai ”kaum pemberontak”.[footnoteRef:25] Mereka yang dimaksud itu ialah para gerilayawan yang dipimpin oleh Abdul Qahhar Mudzakkar. Awalnya mereka mengorganisir diri dalam kesatuan Gerilyawan Sulawesi Selatan (KGSS), lalu berubah menjadi Corps Tjadangan Nasional (CTN) kemudian Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan pada akhirnya menjadi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).[footnoteRef:26] [25: Pelabelan tentang “patriot” dan “pemberontak” dipopulerkan oleh Anhar Gonggong lewat karya tulis besarnya berjudul Abdul Qahhar Mudzakka: dari Patriot hingga Pemberontak. Jakarta: Grasindo, 1992. Edisi kedua buku ini diterbitkan oleh Penerbit Ombak Yogyakarta (2004) dengan judul yang sama. ] [26: Dua karya pertama yang menfokus pada persoalan ini ditulis oleh Barbara Sillars Harvey, Pemberontakan Kahar Mudzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII (Terjemahan). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989; dan Cornelis van Dick, Darul Islam Sebuah Pemberontakan (Terjemahan). Jakarta: Grafiti Press, 1982. ]

Pada era ini (1953-1965) pasukan DI/TII berkeliaran di kampung-kampung. Mereka melakukan perekrutan tenaga guna memperkuat posisinya. Ini terkait dengan strategi pertahanan total, mobilisasi umum, dan perang gerilya yang dijalankan oleh gerombolan selama masa kekacauan. Untuk mendapat dukungan dari masyarakat, mereka melakukan berbagai propaganda perjuangan dengan dalih emosi keagamaan, di bawah panji-panji Islam. Guna memperlancar dan memperluas pengaruhnya, mereka juga mempengaruhi tokoh-tokoh masyarakat, seperti kepala kampung, imam, dan guru-guru. Tokoh-tokoh masyarakat ini diharapkan nantinya sebagai propagandis dan sekaligus kaki tangan mereka selama perjuangan.

Meski demikian, tidak jarang upaya tersebut menghadapi berbagai persoalan yang mengarah pada pola hubungan yang saling bertentangan dan mempengaruhi kelangsungan gerakan. Ada tiga pola hubungan yang terbentuk open relation (hubungan terbuka), close relation (hubungan tertutup), dan vailed relation (hubungan terselubung).[footnoteRef:27] Ketiga jenis hubungan ini pada hakekatnya dibedakan atas hubungan yang menguntungkan bagi DI/TII dan sebaliknya menyululitkan bagi pemerintah dalam membasmi gerakan ini. Terhadap masyarakat yang tidak mendukung/menerima kehdiran mereka, maka tidak ada ampun baginya. Hal itu terutama ketika dimaklumkannya “politik bumi hangus” (meminjam istilah Barbara Sillars Harvey), sebagian besar daerah-daerah di Sulawesi Selatan terutama yang jauh dari jangkauan militer (TNI) menjadi ruang yang paling kondusif bagi berbagai aksi pasukan DI/TII. [27: Lebih lanjut baca buah karya Anhar Gonggong, 1992. op. cit.; Abd. Rahman Hamid, Qahhar Mudzakkar di Persimpangan Jalan. Makassar: Pustaka Refleksi, 2008. ]

Ditengah situasi yang serba chaos itu, maka kota Makassar menjadi pilihan kebanyak orang (masyarakat) yang mengharapkan ruang-ruang sosial bagi kelangsunganya, selain mengungsi ke daerah lain di luar Sulawesi Selatan seperti ke Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Sumbawa.[footnoteRef:28] Alhasil Makassar seketika menjadi ruang bersama yang tampak makin “sempit”. Namun kondisi itu tidak mengurutkan langkah bagi masyarakat untuk kemudian menjatuhkan pilihannya sebagai ruang kehidupan sosal mereka. Tentu hal ini memerlukan perhatian dari pemerintah yang bertanggungjawab atas kelangsungan ruang-ruang sosial yang kondusif bagi masyarakatnya. [28: Keterangan lanjut ihwal pengungsian masyarakat Sulawesi Selatan akibat gerakan DI/TII dapat dibaca dalam beberapa lembaran dokumen arsip yang tersimpan di Kantor Arsip Makassar. Informasi tentang itu dapat diakses lewat pembacaan pada inventaris arsip Muhammad Saleh Lahade (1937-1973); Arsip Pemerintah Propinsi Sulawesi 1946-1960 dan 1950-1960. ]

Untuk mengatasi masalah pengungsian tersebut, Pemerintah membentuk Panitia Penampungan Korban Kekacauan berdasarkan Kepres No. 54 tahun 1955. Bagi pelajar/mahasiswa yang melanjutkan pendidikan di luar daerahnya dan terputus hubungannya dengan orang tua/keluarga, pemerintah membantu melalui program bantuan kepada pelajar/mahasiswa daerah kacau.

Dalam situasi sulit dan kacau saat itu, Lanto Daeng Pasewang diangkat menjadi Gubernur Propinsi Sulawesi pada 9 November 1953. Karena beliau dalam kondisi sakit, maka Winarno Danuatmaja diangkat sebagai acting Gubernur berdasarkan Kepres Nomor 198/M, 199/M, 200/Makassar tanggal 9 November 1953. Suatu peristiwa penting dalam masa ini ialah Pemilihan Umum I 1955. Awal tahun 1956, Lanto Daeng Pasewang diberhentikan dan diganti oleh Burhanuddin sebagai acting Gubernur Sulawesi. Pada tahun ini juga, Andi Pangerang Pettarani diangkat sebagai Gubernur Sulawesi yang definitif hingga tahun 1960.[footnoteRef:29] [29: Djawatan Penerangan, 1953, op. cit. ]

Pada 17 Januari 1957 pemerintah mengeluarkan UU No. 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. Undang-undang ini mencabut peraturan perundangan sebelumnya mengenai pemerintahan daerah otonom. Sesaat setelah keluarnya undang-undang ini, seiring pula meningkatnya teror oleh gerombolan, lahir gerakan Permesta pada 2 Maret 1957. Gerakan ini semakin menambah gawatnya situasi di Propinsi Sulawesi (Makassar) dan negara Indonesia pada umumnya.[footnoteRef:30] [30: Barbara Sillars Harvey, PERMESTA: Pemberontakan Setengah Hati. (Terj.) Jakarta: Grafiti Press, 1984; R. Z. Leirissa, PRRI/Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis. Jakarta: Grafiti, 1997. ]

Pada 17 Desember 1957 keluar Kepres No. 225, tentang pernyataan negara dalam keadaan darurat perang (Staad Oorlog van Beleg; SOB), kemudian dituangkan dalam UU No. 79 tahun 1957. Sebelum pernyataan SOB, Gubernur Sulawesi Andi Pangerang Pettarani pada tanggal 8 Juni 1957 diangkat menjadi Gubernur Militer Sulawesi Selatan Tenggara. Pada tahun itu juga pemerintah membekukan Dewan Tertinggi Permesta dan seluruh organnya. Permesta secara fisik dapat dilumpuhkan kegiatannya pada bulan Agustus 1958.

Dalam rangkaian stabilitas politik di wilayah provinsi Sulawesi, maka penataan-penataan baru yang mengacu kepada Penetapan Presiden RI No. 7 tahun 1959, sekaligus mencabut Maklumat Pemerintah 3 November 1945, tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian. Partai-partai harus menerima dan mempertahankan azas dan tujuan negara kesatuan RI menurut UUD 1945. Kemudian disusul Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partai. Pada tahun 1960 di Makassar dilakukan pembentukan Front Nasional berdasarkan Penetapan Presiden RI No. 13 tahun 1959. Front ini dimaksudkan sebagai salah satu wadah penggalangan kekuatan rakyat yang bersendikan Demokrasi Terpimpin menuju tercapainya cita-cita nasional, termasuk usaha pengembalian Irian Barat ke dalam wilayah RI. Dalam upaya merebut kembali Irian Barat kota Makassar dijadikan sebagai pusat/basis Komando Operasi Militer yang disebut Mandala.

Tampaknya, dari beberapa peristiwa politik tersebut, terjadi perebutan ruang sosial oleh aktor-aktor yang berbeda-beda latar kepentingannya. Mulai dari perseteruan antara pihak kolonial dan antek-anteknya dengan pihak republik, dan antara sesama anak republik yang berbeda visi dalam menata ruang kemerdekaan.

B. Perkembangan Ekonomi

Perkembangan ekonomi masyarakat Kota Makassar dapat dilihat dari lapangan usaha yang ada. Kondisi ini berkembang sejak masa lampau hingga kini. Sejak dahulu mata pencaharian mereka di Kota Makassar umumnya meliputi: petani, nelayan, pelayaran, dan perdagangan. Pada masa Hindia Belanda (abad ke-19), orang-orang Makassar sudah dapat bekerja di perusahaan Belanda sebagai kontraktor perkebunan dan pedagang industri.

Usaha pemerintah Hindia Belanda untuk membangun Makassar sebagai kota Industri di Asia Pasifik pada fase kedua abad ke-20, tampaknya bukan hanya dilatari oleh kepentingan ekonomi semata, tetapi lebih bersifat politik global, yaitu munculnya persaingan ekonomi antara pemerintah Hindia Belanda dengan Inggis untuk menanamkan pengaruhnya di Hindia Timur. Hal ini ditunjukkan ketika Makassar ditetapkan sebagai pelabuhan bebas pada 1847. Awal pertarungan kedua bangsa kulit putih itu tampaknya tidak hanya pada masalah kebijakan penataan pelabuhan di daerah jajahan masing-masing, tetapi juga sampai pada perebutan berbagai komoditas perdagangan di wilayah Timur Besar.

Dalam mengimbangi Singapura Pemerintah Belanda tidak hanya membangun Makassar sebagai pelabuhan enterpot yang penting di luar Jawa, tetapi juga mendirikan Oliefabrieken Insulinde Makassar, sehingga melalui kebijakan itu Pemerintah Belanda berharap kopra tidak lagi diekspor ke Singapura, tetapi cukup hanya diolah di Makassar kemudian dikirim secara langsung ke Eropa dan Amerika.[footnoteRef:31] [31: Rasyid Asba, ”Potret Makassar Dari Bandar Niaga Ke Kota Industri di Masa Kolonial” Makalah seminar sehari Perhimpunan Pencinta Bandar Lama Nusantara Pusaka Bangsa, 11 Juni 2005 di Makassar, hlm. 4; baca juga tulisannya Kopra Makassar Perebutan Pusat dan Daerah, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. ]

Ekspor minyak kelapa melalui Kota Makassar merupakan komoditas yang sangat mengunrungkan Pemerintah Hindia Belanda. Kendati pemerintah lebih menfokuskan pada pengelolaan kopra di Makassar sebagai bahan baku minyak. Pengusaha Belanda selain mengelolah kopra menjadi minyak, juga membeli dan memasarkan kopra. Hal ini dibuktikan pada 1917 gudang penampungan kopra diperluas sampai di luar pelabuhan, yaitu di kampung Maroanging dekat Paotere sekitar dua kilometer dari pelabuhan Makassar.

Olie Fabrieken Insulinde (OFI) Makassar merupakan perusahaan pemerintah Hindia Belanda yang bergerak dalam bidang perdagangan minyak kelapa dan kopra. Selain minyak kelapa yang dihasilkan oleh perusahaan ini, juga beredar dalam masyarakat Sulawesi Selatan minyak kelapa yang dibuat secara khusus oleh penduduk lokal. Di pedalaman Sulawesi Selatan penduduk lebih senang memakai minyak kelapa tradisional karena baunya harum bila dibandingkan dengan minyak kelapa buatan pabrik.

Selain minyak kelapa buatan penduduk juga beredar minyak impor dari Eropa, namun jumlahnya kecil. Minyak tersebut terbuat dari kelapa sawit yang pada umumnya dikelola oleh perusahaan-perusahaan perkebunan. Kelebihan jenis tanaman ini adalah cepat berbuah bila dibandingkan dengan kelapa yaitu waktunya relatif pendek untuk mendapatkan hasil. Namun kelapa juga mempunyai keistimewaan bagi masyarakat Sulawesi Selatan karena tanaman ini telah lama dikenal oleh para petani sehingga pengelolaannya tidak asing lagi. Selain itu juga pasarannya tidak sulit karena sudah bertahun-tahun telah mempunyai pasaran tetap di Eropa dan Amerika. Mengenai keadaan ekspor minyak kelapa Makassar ke Amerika dapat dilihat pada grafik 1.

Dari grafik ini tampak bahwa ekspor minyak kelapa ke Amerika selama tiga tahun terus meningkat (1915-1917), kecuali pada tahun 1918. Penurunan ini dalam pandangan Asba[footnoteRef:32] lebih disebabkan oleh gangguan perang yang berdampak semakin sulitnya pengapalan. Penurunan yang terus terjadi pada 1921 hingga 1924 lebih disebabkan karena mesin-mesin OFI Makassar kurang produktif lagi. Hal itu antara lain karena mesin-mesinnya sudah tua, selain itu tingkat konsumsi lokal bertambah, sehingga konsentrasi ekspor semakin berkurang. [32: Rasyid Asba, 2005, hlm. 6.]

Grafik 3.1 Ekspor Minyak Makassar ke Amerika Pada Tahun 1915 — 1924

Sumber: NAD, NHM Makassar Tahun 1915-1924 dalam Asba (2005: 6)

Secara politis kahadiran OFI Makassar adalah sangat strategis, karena selain misinya sebagai lembaga bisnis juga diharapkan dapat mengimbangi laju pertumbuhan ekonomi Singapura, sehingga pedagang-pedagang Cina Makassar dapat memutuskan krediturnya di Singapura. Dengan demikian mereka bisa diatur bahkan menjalin hubungan dagang dengan OFI Makassar. Itulah sebabnya OFI Makassar bukan saja menghasilkan minyak kelapa tetapi ia juga muncul sebagai induk berbagai perusahaan eksportir yang ada di Makassar.

Para pedagang yang di bawah naungan OFI Makassar dapat mengekspor kopra, asalkan memakai merek "Kopra OFI Makassar". Untuk menampung beberapa ton kopra, pihak OFI Makassar menyediakan sarana penggudangan yang memadai. OFI Makassar didukung oleh modal keuangan, yang dibekap oleh Jacasche Bank. Hal itu merupakan keunggulan OFI Makassar bila dibbandingkan dengan eksportir lainnya di Makassar. Selain itu kopra yang diekspor harus mendapat rekomendir dari OFI Makassar.

Selain misinya untuk mengimbangi laju pertumbuhan ekonomi Singapura, OFI Makassar diharapkan juga dapat menanggulangi kelangkaan penjualan minyak di pasaran Amerika dan Eropa Utara, yang selama ini didominasi oleh gabungan perusahaan minyak Jerman dan Australia, yang sejak tahun 1900 telah menguasai penjualan minyak di Eropa Utara.

Faktas tersebut menunjukkan bahwa kota Makassar pada masa itu telah menjadi kota pelabuhan terkemuka di dunia. La telah menjadi jaringan perdagangan penting dalam perekonomian dunia. Hal itu juga memberi kontribusi bagi penduduk pedalaman Sulawesi Selatan karena kopra bisa dijual di setiap tempat. Pada agen pembeli kopra adalah agen penduduk pribumi dan Cina membuka gudang-gudang kopra di setiap tempat atau bahkan di bawah kolom rumah kopra digudangkan. Kebanyakan petani menjual kelapa tidak dalam bentuk kopra sehingga para pedagang perantara membutuhkan waktu pengelolaan kelapa menjadi kopra. Di daerah Mandar hampir semua gudang-gudang kopra berada di sepanjang pantai yang memudahkan pengangkutan melalui perahu kapal-kapal KPM.

Akan tetapi kondisi ini terpaksa menurun karena Pemerintah Hindia Belanda lebih berkonsentrasi pada akan menggejalanya perang Asia Timur Raya. Apalagi terjadi depresi ekonomi pada tahun 1929. Dalam skala nasional, perekonomian kolonial mengalami polarisasi yang tajam antara Jawa dan Luar Jawa.

Adanya polarisasi obyektif antara Jawa dan luar Jawa. Ini sudah ada sejak zaman penjajahan. Secara ekologis, Jawa dan sebagian daerah lain luar Jawa berbeda. Persawahan dengan sistem irigasi yang luas dan kompleks merupakan dasar sistem agraris di Jawa, sedangkan sebagian besar wilayah luar Jawa didasarkan pada sistem perladangan atau sawah tadah hujan.[footnoteRef:33] [33: Leirissa, 1997, op. cit. hlm. 11.]

Depresi ekonomi tahun 1929 mengakibatkan perubahan kebijakan politik ekonomi kolonial. Perubahan tersebut tampak pada program sekonomi secara makro. Kebijakan ekonomi kolonial kemudian mengusahakan agar pulau Jawa dapat memproduksi bahan makanan, sedangkan daerah luar Jawa meningkatkan bahan ekspor. Hal ini dimaksudkan agar tercapai keseimbangan ekonomi, dan Jawa tidak perlu senantiasa tergantung pada impor saja. Dengan cara ini diharapkan muncul sistem ekonomi yang meski masih dualistis tetapi tetap saling menguntungkan.

Kondisi perekonomian tersebut mulai surut ketika pemerintah Belanda terlibat dalam Perang Pasifik, sehingga ekspor minyak dan kopra terhambat. Di tengah kondisi ini, ekonomi Kota Makassar sedikit mengalami kemajuan menjelang akhir pemerintahan Hindia Belanda yakni pada tahun 1940. Beberapa perkumpulan dagang terbentuk dan dikelola oleh orang-orang Bugis-Makassar. Akan tetapi pada masa pendudukan Jepang kondisi perekonomian Makassar mengalami kemunduran. Ini disebabkan karena kebijakan Jepang yang terfokus pada kepentingan perang Asia Timur Raya. Dalam konteks itu, Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan Angkatan Laut Jepang.

Keadaan ekonomi Makassar pada era pendudukan Jepang ditandai dengan munculnya kembali sistem eksploitasi, antara lain hasil pertanian dan ternak rakyat harus didaftar dan diserahkan kepada Jepang. Industri-industri kecil yang diusahakan harus berjalan terus ke bawah pengawasan tentara Jepang. Dalam bidang perdagangan, terdapat perusahaan-perusahaan Jepang yang memegang monopoli perdagangan dan menetapkan harga barang dagangan secara sepihak. Kebijakan ini mengakibatkan tidak berjalannya sistem perekonomian yang selama ini berkembang. Hasil-hasil bumi dimonopoli oleh pemerintah Jepang, perdagangan kopra tidak dapat berkembang karena susahnya usaha perkapalan. Akhirnya Kota Makassar secara ekonomi mengalami kemorosotan yang cukup drastis.

Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, keadaan ekonomi diupayakan ke arah perubahan. Akan tetapi berbagai kendala dihadapi bangsa Indonesia yang mengakibatkan semakin merosotnya perekonomian nasional. Diantaranya, konflik politik-ideologi, beban hutang luar negeri pasca KMB, serta deskrepansi sektoral ekonomi sebagai warisan perekonomian kolonial. Keadaan ini diperparah lagi saat krisis moneter tahun 1952, dengan defisit anggaran belanja sebesar 3 milyar rupiah, ditarnbah defisit anggaran tahun sebelumnya sekitar 1,7 milyar rupiah.

Meskipun mengalami krisis moneter pemerintah Indonesia masih melakukan kebijakan ekonomi dengan memberikan bantuan pinjaman uang kepada pengusaha pribumi yang dikenal dengan nama program benteng. Dengan pemberian bantuan ini diharapkan para pengusaha yang merupakan produsen dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.

Di Makassar pada tahun 1952 telah berdiri pula perusahaan dagang yang dimiliki orang Bugis, yakni NV. Hadji Kalla. Perusahaan ini bergerak dalam bidang perdagangan barang-barang dan kebutuhan sehari-hari dan hasil bumi. Selain NV. Hadji Kalla, telah berkembang pula sebuah perusahaan keluarga yang bernama PT Abd Rahman Aslam. Perusahaan ini berkembang pesat setelah mendapat bantuan modal dari pemerintah. Perusahaan ini adalah perusahaan terbesar di Makassar pada saat itu, dan mengalami kejayaan menjelang berakhirnya pemerintahan Sukarno. Pada masa Orde Bam saham dari P.T Abd Rahman Aslam diambil alih oleh pemerintah.[footnoteRef:34] [34: Intan Densi Kamar,”Kota Ujungpandang: Kajian Tentang Kota dan Perdagangan Pada Paruh Ke dua Abad ke 20”. Tesis magister tidak diterbitkan. Makassar: UNM, 2000, hlm. 48. Baca juga Christian Pelras, Manusia Bugis. Jakarta: Nalar, 2006. ]

Selain itu, perekonomian Kota Makassar terutama di sektor perdagangan pada 1950-an ditandai maraknya penyelundupan perdagangan kopra. Penyelundupan ini dilakukan oleh para perwira militer. Hal ini terkait dengan kekecewaan sebagian perwira militer terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Pada periode ini militer memiliki peranan besar dalam bidang ekonomi, apalagi setelah meletusnya gerakan Permesta mengakibatkan keterlibatan militer semakin kuat dalam bidang ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari dibentuknya Opsir Pekerja Istimewa X TT-VII (OPI X TT-VII), dikepalai oleh Mayor. M. Saleh Lahade yang bertujuan mengawasi perdagangan kopra.

Dari hasil kegiatan tersebut kemudian digunakan untuk membiayai operasi militer, dan kegiatan sosial ekonomi, seperti membangun asrama Bintara, sumbangan untuk kegiatan persitr, pembiayaan awal pembangunan stadion Mattoanging, menyumbang Universitas Hasanuddin, membantu keluarga korban pembantaian Westerling, dan para veteran lainnya. Selain itu kegiatan yang dilakukan adalah bekerjasama dengan pemerintah untuk mengatasi perekonomian rakyat, mengatasi kekurangan bahan makanan pokok serta mengendalikan harga pasar.

Tampaknya pada tahun 1950-an militer memiliki peranan penting dalam perekonomian Kota Makassar. Hal ini disebabkan karena pada masa itu situasi politik belum stabil, di Sulawesi Selatan telah eksis gerakan DI/TII, kemudian pada tahun 1957 muncul gerakan Permesta, serta pada tahun itu pula diberlakukan SOB bagi Indonesia Timur, sehingga secara otomatis Pemerintahan Militer memiliki peranan dalam mengendalikan perekonomian.[footnoteRef:35] [35: Asba, 2007, op. cit. ]

Bila dicermati perkembangan ekonomi Kota Makassar mengalami berbagai perubahan-perubahan. Makassar sebagai bandar niaga di Masa kolonial tidak hanya berfungsi sebagai tempat transit dan bongkar barang, tetapi lebih jauh mendorong munculnya sebagai kota Industri dan tempat tumbuhnya berbagai pengusaha. Kemorosotan ekonomi Makassar hingga lahirnya Orde Baru tidak lepas dari diskontinutias kebijakan pengembangan kota Makassar, seperti dominasi politik dalam mengontrol kebijakan. Makassar di akhir pemerintahan Sukarno mengalami kemunduran dibandingkan posisi dan perannya pada era sebelumnya.

Pada pertengahan 1960-an, Kota Makassar secara politik dan ekonomi mulai melemah. Perkembangan politik yang tidak kondussif dengan adanya gerakan DT/TII dan Permesta mengakibatkan mandeknya berbagai sektor pembangunan. Di bidang ekonomi rakyat, juga mengalami penurunan. Menurut Patompo[footnoteRef:36] masalah ekonomi erat hubungannya dengan perkembangan politik. Oleh karena itu ketidak stabilan politik di Sulawesi Selatan sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi. [36: Patompo, 1976, op. cit., hlm. 17.]

Pada masa DI/TII, masyarakat pedalaman Sulawesi Selatan dan Tenggara tidak dapat beraktivitas dengan balk. Mereka meninggalkan sawah, ladang dan ternak mereka untuk mencari tempat yang aman, sehingga secara otomatis, perekonomian Makassar juga mengalami kemorosotan. Makassar ketika itu dipadati oleh penduduk yang berasal dari pedalaman atau migran akibat perang. Pemandangan umum kota memperlihatkan lingkungan kumuh, serta penataan kota yang tidak teratur. Kondisi ini berlanjut hingga akhir pemerintahan Orde Lama dan awal masa Orde Baru.

DAFTAR PUSTAKA

ARSIP

Arsip Kota Makassar, 2004.

Arsip Negara Indonesia Timur (NIT)

Arsip Pribadi Muh. Daeng Patompo

Arsip Pemerintah Provinsi Sulawesi 1946-1960

Arsip Pemerintah Provinsi Sulawesi 1950-1960

Arsip Koleksi Pribadi Muhammad Saleh Lahde 1937-1973

Ikhtisar Politik Hindia Belanda tahun 1839-1848. Jakarta: ANRI.

BPS Kota Makassar Tahun 1961.

BUKU DAN HASIL PENELITIAN

Abdullah, Taufik (et al), Dari Samudera Pasai Ke Yogyakarta; Persembahan Kepada Teuku Ibrahim Alfian, Jakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia dan Sinergi Press, 2002

Agung, Ide Anak Agung Gde. Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985

Alfian, T. Ibrahim, Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis; Kumpulan karangan dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, Yogyakarta: Gadjah Masa University Press, 1992

Andaya, Leonard Y. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17 (Terjemahan). Makassar: Ininnawa.

Rasyid Asba, ”Potret Makassar Dari Bandar Niaga Ke Kota Industri di Masa Kolonial” Makalah seminar sehari Perhimpunan Pencinta Bandar Lama Nusantara Pusaka Bangsa, 11 Juni 2005 di Makassar

Asba, A. Rasyid Kopra Makassar Perebutan Pusat dan Daerah: Kajian Sejarah Ekonomi Politik Regional di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Arifin, Anwar. ”Pers dan Dinamika Politik di Makassar (1945-1966)”. Desertasi Doktor tidak diterbitkan. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin, 1990

Mayor Bardosono, Peristiwa di Sulawesi Selatan 1950, Jakarta: Yayasan Pustaka Militer, 1955

Bintarto, R., Pengantar Geografi Kota, Yogyakarta: U.P. Spring, 1977

Bintarto, R., Interaksi Desa dan Kota Dalam Permasalahannya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984

Burke, Peter, Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001

Colombijn, Freek, Sejarah Kota Padang dalam Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang, Jakarta: Majalah Sejarah; Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, MSI dan Gramedia, 1996

Daldjoeni, Geografi Kota dan Desa, Bandung: Penerbit Alumni, 1998

Cornelis van Dick, Darul Islam Sebuah Pemberontakan (Terjemahan). Jakarta: Grafiti Press, 1982.

Damayanti, ”Kota Makassar Pada Masa Pemerintahan H. Muh. Daeng Patompo”. Hasil Penelitian tidak diterbitkan. Makassar: UNM.

Departemen Dalam Negeri, Provinsi Sulawesi Selatan, 1991.

Disjar, Penumpasan Pemberontakan Separatisme di Indonesia. Jakarta: Dinas Sejarah TNI AD, 1978.

Djawatan Penerangan, Republik Indonesia: Propinsi Sulawesi, 1953.

Evers, Hans-Dieter, Simbolisme Perkotaan di Indonesia; kasus Padang “kota tercinta”, Prisma No. 4 th XXII, 1993

Gonggong, Anhar, Abdul Qahhar Mudzakka: dari Patriot hingga Pemberontak. Jakarta: Grasindo, 1992. (Edisi kedua diterbitkan Ombak Yogyakarta (2004).

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI-Press, 1975

Hamid, Abd. Rahman, Qahhar Mudzakkar di Persimpangan Jalan. Makassar: Pustaka Refleksi, 2008.

Harvey, Barbara Sillars, Permesta: Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta: Grafiti Press, 1983.

Harvey, Barbara Sillars, Pemberontakan Kahar Mudzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII (Terjemahan). Jakarta: Grafiti Pers, 1989.

Kamar, Intan Densi, ”Kota Ujungpandang: Kajian Tentang Kota dan Perdagangan Pada Paruh Ke dua Abad ke 20”. Tesis magister tidak diterbitkan. Makassar: UNM, 2000

Kuntowijoyo, “Kota sebagai bidang Kajian Sejarah” paper disampaikan dalam seminar sejarah lokal (Proyek IDSN) di Denpasar; 1-5 September 1982

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003

Latif, Abdul. “Pendudukan Inggris di Makassar 1811-1816”. Tesis Magister (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

R. Z. Leirissa, PRRI/Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis. Jakarta: Grafiti, 1997

Limbugau, Daud, Perjalanan Sejarah Kota Maritim Makassar, dalam Mukhlis (ed) Persepsi Sejarah Kawasan Pantai, Makassar: P3MP/Universitas Hasanuddin, 1989

Lahukay, Hanoc, Makassar ke Ujungpandang, (tt/penerbit), 1985

Mattalioe, Bahar, Pemberontakan Meniti Jalur Kanan. Jakarta: Grasindo, 1994

Mattulada, Menyusuri Jejak Makassar dalam Sejarah, Makassar: Hasanuddin University Press, 1991

Mattulada, Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1998

Milone, Pauline D., Urban Areas in Indonesia; Administratif and Census Concepts, Berkeley: University of California, 1966

Naas, P.J.M., Indonesian Cities 1985-1995; A Bibliography, dalam P.J.M. Naas (ed.), Issues in Urban Development: Case Studies from Indonesia, Leiden: CNWS Publicatio, 1995

Najamuddin, ”Sulawesi Selatan: Pergumulan Antara Negara Federal dan Negara Kesatuan 1946-1949”. Tesis Magister belum diterbitkan. Jakarta: Universitas Indonesia, 2000.

Nas, P.J.M., Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi, bagian pertama, Terjemahan Sukanti Suryochondro, Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1979.

Paeni, Mukhlis. “Kesultanan Makassar” dalam Procending Seminar Antrabangsa Kesultanan Melayu Nusantara. Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia, 2005.

Patompo. Rahasia Menyingkap Tabir Kegelapan. Ujung Pandang (Tanpa Penerbit), 1976

Pelras, Christian, Manusia Bugis. (Terjemahan) Jakarta: Nalar, 2006.

Poelinggomang, Edward, L., Makassar Abad XIX; Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002

Poelinggomang, Edward, L., Perubahan Politik dan Hubungan kekuasaan; Makassar 1906-1942, Yogyakarta, 2004

Anthony Reid. “Kebangkitan Makassar” dalam Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Diterjemahkan oleh Sory Siregar dkk). Jakarta: LP3ES, 2004.

Reiner, G.J., Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997

Sartono Kartodirdjo, Kata Pengantar dalam Sartono Kartodirdjo (ed.), Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial, Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1977

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993

Suprapto, Bibit. Perkembangan Kabinaet dan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Sulaeman, “Dinamika Politik Pers di Makassar1945-1950”, Tesis Magister tidak diterbitkan. Makassar: Universitas Hasanuddin

Suryo, Djoko, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900, Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Studi Sosial Universitas Gadjah Mada, 1989

Sutjipto, F.A., Kota-kota Pantai di sekitar Selat Madura (Abad XVII sampai Medio Abad XIX), ‘Disertasi’ tidak diterbitkan, Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 1983

Soepangat, Sejarah Perkembangan Sistem Perencanaan Tata Ruang Pembangunan Indonesia, dalam Majalah Kotapraja No. 4 tahun VII/1979

Sumalyo, Yulianto, Ujungpandang: “Perkembangan Kota dan Arsitektur pada Akhir Abad 17 Hingga Awal Abad 20”, dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (ed.) Panggung Sejarah; Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Jakarta: Ecole Francaise d’Exreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Yayasan Obor Indonesia, 1999

Tamburaka, Rustam E., Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan Iptek, Jakarta: Rineka Cipta, 1999

Wiryomartono, A. Bagoes P., Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia; kajian mengenai konsep, struktur, dan elemen fisik kota sejak peradaban Hindu-Buddha, Islam hingga sekarang, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995

Yunus, Hadi Sabari, Struktur Tata Ruang Kota, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999

M.Kelapa1915191619171918191919201921192219231924280560570190270337187163140135

Volume (dalam ribuan liter

9