‘Menolak Kolonialisme. Menonton Film Barat di Kota Makassar
Tahun 1950-an’
“Refusing Colonialism, Watching Western Films in the City of
Makassar in the 1950s”
Ilham Ambo Tang[endnoteRef:2] [2: Akan dipresentasikan di ITP
International Symposium, Kyoto University Jepang, 2-6 Desember
2011]
GAMBARAN UMUM KOTA MAKASSAR
A. Sejarah Singkat
Riwayat kota Makassar tidak dapat dipisahkan dari sejarah
Kerajaan Gowa. Berdasarkan sumber Lontaraq, kerajaan ini bermula
pada abad ke-14 diperintah seorang raja, menurut tradisi lisan
lokal, yang disebut Tomanurung. Kemudian pada masa pemerintahan
Raja Gowa XIV kerajaan dibagi masing-masing diperintah oleh
putranya yakni Batara Gowa di Kerajaan Gowa dan Karaeng Loe di
Kerajaan Tallo. Kedua kerajaan tersebut kemudian dipersatukan
kembali dengan nama kerajaan Gowa-Tallo atau Kesultanan
Makassar.[footnoteRef:2] [2: Mukhlis Paeni. “Kesultanan Makassar”
dalam Procending Seminar Antrabangsa Kesultanan Melayu Nusantara.
Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia, 2005. ]
Kedudukan Makassar pada masa itu sebagai bandar pelabuhan
kerajaan, yang pada mulanya hanya merupakan suatu bandar kecil
tempat bongkar muat muatan perahu, di samping difungsikan sebagai
pangkalan armada kerajaan sebelum ditaklukkan oleh Belanda di abad
ke-17. Dalam abad ke-16 dan ke-17, Makassar mengukir prestasi
sangat gemilang sebagai bandar niaga internasional paling
spektakuler yang pernah diukir dalam panggung sejarah
Indonesia.[footnoteRef:3] Di samping karena letaknya yang strategis
di jalur utama niaga laut, juga didukung oleh kebijakan penguasa
politik lokal yang menganut konsep mare liberium (laut bebas),
sehingga banyak menarik hati para saudagar lokal dan mancanegara
untuk berniaga di sini.[footnoteRef:4] [3: Anthony Reid.
“Kebangkitan Makassar” dalam Sejarah Modern Awal Asia Tenggara
(Diterjemahkan oleh Sory Siregar dkk). Jakarta: LP3ES, 2004, hlm.
132-133.] [4: Uraian lebih lanjut dapat dibaca pada tulisan Edward
L. Poelinggomang. Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan
Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
2004.]
Ketika Malaka dikuasai oleh Portugis pada 1511, banyak
pedagang-pedagang di Nusantara pindah dari Malaka dan mengalihkan
aktivitas mereka ke bandar-bandar lain, antara lain ke Makassar.
Sejak saat itu, Makassar tumbuh menjadi bandar besar di kawasan
timur Nusantara. Perkembangan ini menarik perhatian organisasi
Dagang Hindia Timur bernama Verenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC), yang pada akhirnya tertarik untuk memonopoli semua bentuk
perdagangan di wilayah ini.
Langkah politik ekonomi VOC tersebut awalnya tidak mendapat
ruang untuk berkembang di tengah kebijakan politik laut bebas yang
dianut oleh kerajaan Makassar. Dengan tegas para penguasa Makassar
(di masa pemerintahan Sultan Alauddin, Sultan Malikussaid, dan
Sultan Hasanuddin) menolak dan tidak bertolerir atas upaya itu.
Walhasil, di masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (Raja Gowa XVI)
terjadi kemelut politik besar yang banyak menentukan jalannya
sejarah Sulawesi Selatan kemudian[footnoteRef:5], di mana VOC
bersama sekutunya Raja Bugis Arung Palakka tampil sebagai pemenang
dalam Perang Makassar (1666-1669) yang dikukuhkan lewat Perjanjian
Bungayya 1667. Perjanjian ini, setelah diperbarui tahun 1824,
kemudian menjadi referensi kebijakan politik pemerintah Hindia
Belanda di Sulawesi Selatan. [5: Leonard Y. Andaya. Warisan Arung
Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17 (Terjemahan).
Makassar: Ininnawa. ]
Setelah penadatanganan perjanjian tersebut, semua bentuk
perdagangan dikuasai oleh VOC dan benteng-benteng pertahanan serta
istana dihancurkan, kecuali Benteng Ujungpandang yang ditempati
sebagai kediaman VOC. Nama benteng ini lalu dirubah menjadi Fort
Rotterdam (Benteng Rotterdam).[footnoteRef:6] Dalam
perkembangannya, pada awal abad ke-19, kedudukan
Kompeni[footnoteRef:7] digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Daerah-daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kompeni
berpindah tangan kepada pemerintah Hindia Belanda. Sebelumnya
daerah-daerah itu direbut oleh Inggris pada 1811 hingga tahun 1816,
lalu kemudian diserahkan kembali kepada Pemerintah Hindia
Belanda.[footnoteRef:8] [6: Berdasarkan sumber sejarah nama benteng
ini diambil dari nama tempat kelahiran Gubernur Jenderal VOC kala
itu Cornelis Speelman yakni Rotterdam, sehingga disebut Fort
Rotterdam, meski dalam versi masyarakat lokal disebutnya sebagai
Benteng Panyyua (Benteng Penyu), yang didasarkan ada konstruksinya
yang menyerupai penyu yang menghadap ke laut. Penyu dalam kontek
ini mencerminkan karakter orang Makassar yang tangguh dan dapat
hidup di dua tempat yakni laut dan darat, layaknya seekor Penyu. ]
[7: Nama lain, yang sering digunakan, yang menunjuk pada organisasi
dagang Hindia Timur yakni VOC. ] [8: Abdul Latif. “Pendudukan
Inggris di Makassar 1811-1816”. Tesis Magister (tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. ]
Gambar 1. Tampak Fort Rotterdam (dari udara) tahun 1932
(Sumber: Koleksi KITLV)
Untuk menata wilayah pemerintahannya, yang dinyatakan berada di
bawah kekuasaannya, pada tahun 1824 pemerintah Hindia Belanda
memaklumkannya dalam lembaran negara. Pemerintah Makassar dan
Daerah Bawahan (Gouvernement Makassar en Onderhoorigheden) dibagi
beberapa wilayah administrasi pemerintahan, dan Makassar ketika itu
meliputi: kota pelabuhan Makassar, Fort Rotterdam, kota
Vlaardingen, dan kampung-kampung di sekitarnya dan pulau-pulau yang
terletak di depan kota pelabuhan Makassar.[footnoteRef:9] [9:
Edward L. Poelinggomang. Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan
Makassar 1906-1942. Yogyakarta: Ombak, 2004, hlm. 40-41. Uraian
lanjut dapat dibaca pada Ikhtisar Politik Hindia Belanda tahun
1839-1848. Jakarta: ANRI.]
Pada 1870 Distrik Makassar berubah status menjadi afdeeling
Makassar, wilayahnya terdiri dari: Kota Makassar, Kodingareng,
Barang Cadi, Barrang Lompo, Balang Cadi, Balang Lompo, Sarappo,
Karanrang, Sabutung, Salemo, Biringkanaya, dan Moncong Lowe.
Sepuluh tahun kemudian (1890) wilayahnya semakin luas, dengan
munculnya kampung Jawa, Renggang, Pattunuang dan
Koningsplain.[footnoteRef:10] [10: Daud Limbugau. ”Perjalanan
Sejarah Kota Maritim Makassar Abad 19 – 20” dalam Mukhlis. Persepsi
Sejarah Kawasan Pantai Makassar. Makassar: P3MP, The Toyota
Foundation, UNHAS, 1989, hlm. 23. ]
Gambar 2. Kantor Pemerintahan Makassar tahun 1900
(Sumber: Koleksi KITLV)
Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi 1903, Makassar
tergolong di dalam 32 kota di Hindia Belanda yang mendapat status
Gemeentelijk Resort dan sekaligus dengan Gemeenteraad-nya. Dalam
tahun 1924 afdeling Makassar, di bawah pemerintahan Celebes en
Onderhoridgeden, meliputi: onderafdeling Makassar, Pangkajene, dan
Maros.
Gambar 3. Kantor Balai Kota (Gemeentehuis) Makassar
(Sumber: Koleksi KITLV)
Pada tahun 1940, setelah mengalami perubahan, wilayah afdeling
Makassar meliputi: oderafdeling Makassar (berpusat di Makassar),
Maros (di Maros), Pangkajene (di Pengkajene), Gowa (di
Sungguminasa), dan Jeneponto-Takalar (di Jeneponto). Onderafdeling
Makassar sendiri mencakup: distrik Makassar, Wajo, Ujung Tana,
Mariso, dan adatgemenschap Galesong.
Dilihat dari penataan atau perubahan itu, tampak bahwa Makassar
tetap berfungsi sebagai pusat pemerintahan propinsi, keresidenan,
afdeling, dan onderafdeling.[footnoteRef:11] Salain itu, peran
Makassar yang tidak kalah dalam pentingnya menciptakan citra
ekonomi bagi kawasan timur Indonesia dan menjadi simbol kekuatan
ekonomi luar Jawa. Pada awal abad ke-20, kota pelabuhan Makassar
tampil sebagai pusat perdagangan kopra. Tercatat sekitar 90 persen
kopra dari kawasan timur Indonesia diekspor dari pelabuhan
Makassar. Dari studi Asba terungkap bahwa, terintegrasinya Makassar
dalam perdagangan kopra antar pulau di Indonesia Timur mendorong
Makassar sebagai kekuatan ekonomi Hindia Belanda dan mampu menahan
laju perkembagan ekonomi Singapura. Pedagang pribumi dan Cina yang
sebelumnya menempatkan Singapura sebagai pusat perdagangan kopra,
beralih menjadi sistem perdagangan langsung antara Makassar dengan
Eropa. Sejak saat itu (dasawarsa kedua abad ke-20), Makassar muncul
sebagai pelabuhan enterport, seperti halnya
Singapura.[footnoteRef:12] [11: Ibid hlm. 24-25. ] [12: Lebih
lanjut baca buah karya A. Rasyid Asba. Kopra Makassar Perebutan
Pusat dan Daerah: Kajian Sejarah Ekonomi Politik Regional di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ]
Pada era kemerdekaan (sejak tahun 1945), pemberian hak otonom
kepada setiap daerah makin dipandang penting. Karena itu
dibentuklah daerah-daerah swatantra dengan maksud lebih memberikan
otonomi kepada daerah-daerah. Pembentukan daerah swatantra Makassar
berdasar pada PP No. 34 Tahun 1952. Peraturan ini dikeluarkan dan
disesuaikan dengan perkembangan pemerintahan di Propinsi Sulawesi
pada umumnya dan pertimbangan kondisi keamanan dan perhubungan pada
khususnya. Selanjutnya dikeluarkan UU No. 1 tahun 1957, yang
pelaksanaannya secara kongkrit terwujud 2 tahun kemudian, yakni
pada 4 Juli 1959 setelah disahkannya UU No. 29 Tahun 1959 tentang
Pembentukan daerah-daerah tingkat II di Sulawesi, termasuk pula
pembentukan Kotapraja Makassar. Dalam perkembangan selanjutnya,
pemerintah menyempurnakan aturan perundang-undangan dengan
dikeluarkanlah UU No. 8 tahun 1965 tentang pembentukan Daerah
Tingkat II Kotamadya Makassar.
B. Perkembangan Ruang dan Warga Kota
Kota Makassar terletak di pesisir pantai jazirah Pulau Sulawesi.
Berada pada garis 1190 27’ Bujur Timur dan pada garis 50 06’
Lintang Selatan, dengan ketinggian rata-rata 0 – 10 meter di atas
permukaan laut. Letaknya di pesisir pantai dan karena berada dalam
batas jangkauan khatulistiwa menghasilkan suhu yang panas, berkisar
antara 22 0C sampai 32 0C.
Ruang kota Makassar mengalami perubahan seiring dengan upaya
penataan wilayah oleh pemerintah. Berdasarkan Staatblad No. 21
tahun 1947, Kota Besar Makassar terbagi atas empat distrik yaitu:
Makassar, Wajo, Ujung Tana, dan Mariso. Sepuluh tahun kemudian
dikeluarkan UU No. 9 tahun 1957, tentang Pokok-Pkok Pemerintahan
Daerah. Atas dasar inilah, ruang kota Makassar menjadi enam
kecamatan yaitu: Makassar, Ujung Pandang (berasal dari pecahan
kecamatan Makassar), Wajo, Ujung Tana, Bontoala (dari pecahan
Kecamatan Makassar), dan Mariso. Pada tahun 1959 betambah lagi dua
kecamatan yakni Mamajang dan Tallo yang keduanya merupakan pecahan
dari wilayah Kecamatan Makassar.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan dan
Tenggara Nomor 1100 tanggal 16 Agustus 1960 tentang penetapan
Makassar sebagai Kotapraja, wilayahnya meliputi delapan kecamatan
yaitu: Ujung Tana, Talo, Wajo, Bontoala, Mariso, Mamajang, Ujung
Pandang, dan Makassar. Kemudian pada tahun 1971 mengalami
perluasan, setelah kesediaan beberapa daerah mengintegrasikan
wilayahnya “menjadi” Makassar. Kabupaten Gowa menyerahkan wilayah
Barombong, Karuwisi, Panaikkang, Tallo Baru, Atang, Tamangapa,
Jongaya, Maccini Sombala, dan Mangasa. Sedangkan Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan juga menyerahkan daerah Barang Caddi,
Barang Lompo, dan Kodingareng. Dengan demikian, wilayah kota
Makassar yang sebelumnya hanya seluas 2.100 ha menjadi 11.587
ha.
Sesudah perubahan ini, kota Makassar kemudian mengalami
perubahan nama menjadi Kota Ujung Pandang, dengan sebelas kecamatan
yaitu: Makassar, Ujung Pandang, Wajo, Ujung Tana, Bontoala, Tallo,
Mariso, Tamalate, Mamajang, Panakukkang, dan Biringkanaya. Dari
sebelas kecamatan ini, ada tujuh kecamatan yang berbatas langsung
dengan pantai yakni Tamalate, Mariso, Ujung Tana, Tallo, dan
Biringkanaya. Kota Makassar sendiri berdekatan dengan beberapa
kabupaten. Di bagian utara dengan Kabupaten Pangkep, sebelah timur
dengan Kabupaten Maros. Sedangkan di bagian selatan berbatasan
dengan Kabupaten Gowa, dan khusus di bagian barat dengan Selat
Makassar.
Menurut catatan penduduk masa Hindia Belanda, warga kota
Makassar pada tahun 1930 berjumlah 84.855 jiwa. Kemudian pada tahun
1961, dari hasil sensus pendudukan Kota Makassar mencapai 384.000
jiwa. [footnoteRef:13] Jumlah ini kemudian bertambah pada tahun
1975 sehingga menjadi 586.286 jiwa.[footnoteRef:14] Melalui karya
studinya, Harvey[footnoteRef:15] mengklasifikasi unsur warga kota
Makassar tahun 1930 tersebut berdasarkan etnik/daerah asal ke dalam
15 kategori masing-masing: Makassar (37.389 jiwa), Bugis (15.779
jiwa), Mandar (412 jiwa), Selayar (1.808 jiwa), Toraja (377 jiwa),
Buton (515 jiwa), Melayu (132 jiwa), Banjar (415 jiwa), Minahasa
(844 jiwa), Ambon (1.460 jowa), Madura (4.594 jiwa), Sunda (217
jiwa), Eropa (3.447 jiwa), Cina (15.363 jiwa), dan bangsa Asia
lainnya (600 jiwa). Dari data ini jelas bahwa unsur warga kota
Makassar sangat beragam. Etnis Cina termasuk kategori warga kota
yang paling banyak dibandingkan dengan non pribumi lainnya. [13:
BPS Kota Makassar Tahun 1961. Hanok Luhukay, Makassar ke Ujung
Pandang (Tanpa penerbit), 1985, lm. 42. ] [14: Patompo. Rahasia
Menyingkap Tabir Kegelapan. Ujung Pandang (Tanpa Penerbit), 1976,
hlm. 45. ] [15: Barbara Sillars Harvey, Permesta: Pemberontakan
Setengah Hati, Jakarta: Grafiti Press, 1983, hlm. 107. ]
Dalam periode 1950-1960 jumlah penduduk kota Makassar mengalami
peningkatan yang cukup berarti. Dari 186.000 jiwa pada tahun 1950
bertambah dan menjadi 384.000 jiwa pada tahun 1961. Pertambahan
jumlahnya meningkat pada lima tahun berturut-turut, yaitu: 1965
(415.826 jiwa), 1966 (424.143 jiwa), 1967 (432.696 jiwa), 1968
(445.678 jiwa), 1969 (450.104 jiwa). Namun jumlah ini mengalami
penurunan sebanyak 17.862 pada tahun 1970 sehingga jumlahnya
menjadi 432.242. Dan kemudian kembali melonjak tinggi menjadi
553.874 jiwa pada tahun 1971. Pertambahan jumlah penduduk pada
tahun terakhir ini antara lain karena adanya pelaksanaan Pemilihan
Umum 1971, sehingga pencatatan relatif teratur.
Gambar 4. Tampak Warga Kota Makassar dari etnik Makassar (atas)
dan etnik Cina (bawah) tahun 1900 (Sumber: Koleksi KITLV)
Terkonsentrasinya penduduk di Kota Makassar pada tahun
1950-1960-an tidak terlepas dari perkembangan sosial dan politik
yang terjadi dalam periode ini. Gerakan DI/TII pimpinan Abdul
Qahhar Mudzakkar (1953-1965) merupakan peristiwa yang berdampak
besar terhadap arus migrasi penduduk ke kota Makassar. Hal ini
antara lain disebabkan tindakan-tindakan
”gerombolan”[footnoteRef:16] yang menggelisahkan penduduk. Ditambah
lagi kebijakan politik bumi hangus yang dilancarkan oleh DI/TII
sejak tahun 1955[footnoteRef:17]. Wahasil, peristiwa ini merupakan
kejadian kedua, setelah Perang Makassar pada abad ke-17, yang
menyebabkan terjadinya migrasi besar-besaran penduduk di Sulawesi
Selatan, baik dalam wilayahnya sendiri maupun ke luar daerah
lainnya di Indonesia. [16: Istilah lain yang digunakan oleh warga
untuk menunjuk pada identitas pelaku gerakan DI/TII. Ada pula nyang
menyebutnya dengan istilah gurilla atau juga gerilyawan. ] [17: Hal
ini ditegaskan oleh Barbara Sillars Harvey dalam karyanya
Pemberontakan Kahar Mudzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII (Terjemahan).
Jakarta: Grafiti Pers, 1989. ]
Ragam dan jumlah warga kota (tahun 1971) seperti tersebut
menempati sebelas wilayah kecamatan dengan jumlah dan tingkat
kepadatan yang beragam. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 1. Jumlah dan Sebaran warga Kota Makassar Tahun 1971
Kecamatan
Luas (ha)
Warga
Kepadatan
Makassar
Bontoala
Ujung Pandang
Ujung Tana
Wajo
Mariso
Mamajang
Tallo
Panakukang
Tamalate
Biringkanaya
275
156
236,4
240
183,6
176
215
592
2920,1
2382
40,38
82.147
66.312
52.227
35.851
54.481
48.830
59.830
41.732
36.569
53.105
23.753
297,6
245,7
261,4
141,7
291,6
274,3
276,2
70,4
17,5
22,2
5,8
Jumlah
11.420,1
554.839
8,5
Sumber: Patompo (1976: 52)
PEREBUTAN RUANG SOSIAL DAN EKONOMI
A. Perebutan Ruang Sosial
Terbentuknya Provinsi Sulawesi, disusul kemudian pembentukan
badan pemerintahannya, menempatkan Makassar sebagai pusat
pemerintahan dan politik. Bahkan untuk menata pemerintahan dibentuk
pula Dewan Penasehat yang diketuai oleh Rahmat Mappayukki Karaeng
Sigeri. Dan sebagai wakil ketua terpilih ialah Dr. Ratulangi dan
anggota-anggota pengurus lainnya yakni raja-raja di Sulawesi
Selatan yang cukup berpengaruh, seperti Andi Jemma Datu Luwu,
Abdullah Bau Massepe Datu Suppa, Datu Suppa Tua Rahmat Makkasau,
Maradia Campalagian, Maradia Balanipa Ibu Depu dan
lain-lain[footnoteRef:18]. [18: Hanoc Lahukay. Makassar ke
Ujungpandang, (tt/penerbit), 1985, hlm.125.]
Sulawesi merupakan salah satu dari delapan
provinsi[footnoteRef:19] yang dibentuk pada rapat PPKI 19 Agustus
1945. Mengawali kegiatan pemerintahan di Makassar, dibentuklah staf
pemerintahan yang terdiri atas 15 orang yang diharapkan mampu
membawa Sulawesi lebih baik dari sebelumnya. Limabelas orang
dimaksud yaitu Dr. Ratulangi (Gubernur), N. Hadjarati (Wakil
Gubernur), Kusno Danuprojo (Sekretaris), Lanto Daeng Pasewang
(Kepala Urusan Pemerintahan), Najamuddin Daeng Malewa (Kepala
Urusan Perekonomian), sedang anggota-anggotanya terdiri atas Mr.
Tadjuddin Noor, G. R. Pantouw, Syam, Supardi, Pondaag, M Saleh Dg
Tompo, Ahmad Dg Siala, Saleh Lahade, J. Latumahina, dan
Suwarno.[footnoteRef:20] [19: Delapan provinsi yang dimaksud ialah
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi,
Sunda Kecil, dan Maluku. Lebih lanjut baca Bibit Suprapto.
Perkembangan Kabinaet dan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985. ] [20: Djawatan Penerangan. Republik
Indonesia: Propinsi Sulawesi, 1953. ]
Dalam melaksanakan pemerintahan di Makassar Ratulangi menghadapi
berbagai hambatan terutama dengan kehadiran tentara Sekutu dan
tentara Belanda NICA. Selanjutnya terlihat Makassar menjadi pusat
pemerintahan NICA, pusat Makassar Force dari pasukan Australia
setelah NICA berhasil mengangkat Lion Cashat sebagai Residen
Celebes Selatan, dengan terlebih dahulu Ratulangi dan beberapa
tokoh politik lainnya ditangkap dan dibuang ke Serui. Usaha NICA
untuk menghidupkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia mendapat
tantangan rakyat Sulawesi Selatan pada umumnya. Walaupun demikian
mereka berhasil menerapkan pengaruhnya, dengan membentuk
negara-negara kecil dalam wilayah Indonesia yang telah
diproklamirkan itu. Bekas wilayah Pemerintahan Timur Besar
(Gouvernment Groote Oost) dijadikan satu negara dengan nama Negara
Indonesia Timur (NIT), ibukotanya Makassar.[footnoteRef:21] [21:
Pembentukan NIT berdasarkan pada hasil Konferensi Denpasar yang
berlangsung pada tanggal 8 Desember sampai dengan 24 Desember 1946.
Baca Ide Anak Agung Gde Agung. Dari Negara Indonesia Timur ke
Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1985.; Najamuddin, ”Sulawesi Selatan: Pergumulan Antara
Negara Federal dan Negara Kesatuan 1946-1949”. Tesis Magister belum
diterbitkan. Jakarta: Universitas Indonesia, 2000. ]
Kota Makassar sebagai ibukota NIT selanjutnya diberi kedudukan
sebagai kota besar. Sebagai walikota dilantik Hamid Dg Magassing
pada 15 Januari 1947, langsung oleh Presiden NIT yaitu Tjokorde Gde
Raka Sokawati. Sejak saat itu, Makassar berkembang menjadi pusat
pergolakan politik. Banyak organisasi politik yang didirikan, baik
yang memihak pemerintah Belanda dan mendukung bentuk federasi
maupun yang tetap menolak usaha tersebut. Pada periode ini (NIT),
Makassar menjadi arena perjuangan politik rakyat Indonesia Timur.
Dari sini dilancarkan demonstrasi menentang RIS dan memaksa
pemerintah untuk kembali ke negara kesatuan.
Dukungan dan peran serta warga kota Makassar dan daerah
sekitarnya terhadap pembentukan negara kesatuan nampak pada tahun
1950. Pada tanggal 17 Maret terjadi demonstrasi massa, mendatangi
gedung parlemen NIT, mengajukan mosi mendukung RI kepada ketua
parlemen Husain Puang Limboro dengan harapan supaya diteruskan
kepada pemerintah RIS di Jakarta untuk segera membubarkan
NIT.[footnoteRef:22] [22: Mayor Bardosono, 1955, Peristiwa di
Sulawesi Selatan 1950, Jakarta: Yayasan Pustaka Militer, 1955, hlm.
14.]
Kendatipun demikian, sebagian besar warga kota Makassar dan
daerah sekitarnya mengharapkan pembubaran NIT, namun terdapat pula
pihak yang ingin mempertahankannya. Mereka ini didukung oleh bekas
tentara KNIL, yang dilebur kedalam APRIS, dibawa pimpinan Kapten
Andi Azis. Karena itulah, kedatangan tentara APRIS dari Jawa yang
pertama kali dikirim ke Makassar yakni Batalyon Worang yang
diberangkatkan akhir Maret 1950 dengan kapal Waikelo ditolak oleh
Andi Azis, sehingga kapal itu berlabuh di daerah
Jeneponto.[footnoteRef:23] Mereka menangkapi perwira-perwira APRIS,
termasuk Letkol Ahmad Yunus Mokoginta yang pada waktu itu menjabat
sebagai Komandan Tentara Tentorium Indonesia Timur. Pada hari itu
juga seluruh kota Makassar diduduki oleh pasukan Andi Azis. [23:
Lahukay, op. cit. hlm. 201. Baca juga Disjar, Penumpasan
Pemberontakan Separatisme di Indonesia. Jakarta: Dinas Sejarah TNI
AD, 1978.]
Oleh karena tindakan tersebut dianggap melawan hukum maka
pemerintah kemudian melakukan penumpasan hingga berakhirnya gerakan
ini. Meskipun demikian atmosfir ruang kota belum kondusif bagi
keberlangsungan sosial. Di sana-sini dan terutama daerah-daerah
pinggiran masih sering terjadi insiden antara KNIL dengan APRIS,
yang tak jarang berakibat pada jatuhnya korban jiwa di kedua
pihak.
Pada tanggal 8 Agustus 1950 bertempat di lapangan terbang Mandai
diadakan persetujuan antara Kolonel Kawilarang mewakili APRIS dan
Mayor Jendeal Scheffelaar sebagai wakil Komisaris Tinggi Kerajaan
Belanda di Indonesia. Kedua pihak sepakat agar seluruh anggota
pasukan KNIL meninggalkan Makassar dan menyerahkan seluruh
perlengkapannya kepada APRIS. KNIL dan warga negara Belanda
berangsur-angsur meninggalkan Makassar menggunakan Kapal
Zuiderkruis, Out Hoorn, Waterman, dan Kota Intan. Walhasil, mulai
September 1950 kasus Makassar dianggap berakhir dan Brigade Mataram
ditarik dan kembali ke Jawa.
Perebutan ruang-ruang sosial antara pihak yang pro dan kontra
terhadap NIT turut mewarnai arena publik pemberitaan pers di
Makassar. Ruang publik ketika itu terpola menjadi dua yaitu ”pers
federal” dan ”pers unitaris”. Dalam pemberitaannya, yang pertama
mendukung pembentukan NIT dan pro kepada Belanda. Sedangkan yang
kedua anti federalisme, atau lebih dikenal dengan suratkabar
nasional atau republiken. Para komunikator kedua pers tersebut
”bertarung” di ruang publik dengan visinya masing.[footnoteRef:24]
[24: Anwar Arifin. ”Pers dan Dinamika Politik di Makassar
(1945-1966)”. Desertasi Doktor tidak diterbitkan. Ujung Pandang:
Universitas Hasanuddin, 1990; Sulaeman, “Dinamika Politik Pers di
Makassar1945-1950”, Tesis Magister tidak diterbitkan. Makassar:
Universitas Hasanuddin. ]
Suratkabar yang Terbit di Makassar Masa NIT
Tahun
Suratkabar
Pimpinan
Frekuensi
1945
1945
1946
1947
1948
1948
1948
1948
1948
1948
1948
1948
1948
1948
1948
1948
1948
1949
1949
Soeara Indonesia
Kebenaran
Negara Baru (IT)
Pedoman
Dinihari
Nusantara
Wirawan
Dinamik
Sinar
Suasana
Gelora
Soeara Pedalaman
Soeara Kita
Wartawan Baru
Berjuang
Wanita
Pedoman Harian
Pedoman Nusantara
Pedoman Wirawan
Manai Sophian
I.S.D. Tompo
J.Wewengkang
Soegardo
H.M.Radjaloa
A.N.Hardjarati
B.Korompis
Harjono
A.Rivai
A.M.Nurdin
A. Anwar
Andi Sommeng
Abbas D.Mallawa
M.Said
H.M.Radjaloa
Ny.Salawati D
L.E.Manuhua
Henk Rondonuwu
Henk Rondonuwu
Harian
-
Harian
Bulanan
Mingguan
Mingguan
Bulanan
Bulanan
Bulanan
Bulanan
Bulanan
Bulanan
Bulanan
Bulanan
Bulanan
Mingguan
Harian
Mingguan
Mingguan
Sumber: Republik Indonesia Propinsi Sulawesi, hlm. 541-547.
Diterbitkannya Pedoman (majalah tengah bulanan) merupakan
refleksi sikap politisi di Makassar dalam menentang dominasi
Belanda. Majalah ini terbit pertama kali pada hari Sabtu, 1 Maret
1947. Pemimpin redaksinya adalah Soegardo Pondaag, salah seorang
bekas pengasuh suratkabar Kebenaran yang dibrendel Belanda. Pedoman
terbit pada awalnya semata-mata sebagai pers perjuangan yang
berfungsi menyampaikan informasi kepada kaum pergerakan waktu
itu.
Gambar 5. Suratkabar (Pedoman Nusantara) yang pro republik
Beberapa tokoh yang bergabung seperti Soegardo, Henk Rondonuwu,
L.E. Manuhua, Henny Katili tidak pernah berfikir kalau nanti akan
menjadi seorang wartawan. Para pengasuh media ini, selain bekerja
tanpa gaji dan bahkan harus mencari dana buat penerbitan, juga
selalu dicari dan dipanggil oleh Dinas Rahasia Polisi Belanda
dengan maksud mematikan semangatnya. Soegardo misalnya, dituduh
menghasut dan dipaksa untuk meninggalkan Makassar ke Jakarta
(Oktober 1947). Demikian pula Henk Rondonuwu, yang menggatikan
Soegardo memimpin Pedoman, dalam tahun 1948 selain dituduh
menghasut yang menimbulkan kekacauan, juga dituduh menghina Ratu
Belanda, sehingga ia diperiksa dan diadili serta dijatuhi hukuman
penjara tiga bulan. Selain Henk Rondonuwu tokoh lainnya yang juga
kenal imbasnya ialah A. N. Harjati (Nusantara) dan B. Korompis
(Wirawan). Keduanya dipenjara selama dua bulan dengan tuduhan
menghasut masyarakat. Setelah keluar dari penjara, ketiganya
sepakat bergabung (1949) dan berhasil mendirikan Pedoman Nusantara
dan Pedoman Wirawan. Sebelum Rondonuwu dipenjara, ia bersama
Manuhua telah menerbitkan Pedoman Harian pada 17 Agustus 1948, yang
terbit pagi dengan oplah 1.000-1.500 lembar, dipimpin oleh Manuhua.
Koran ini banyak memberitakan kegiatan RI dan berita-berita dari
Yogyakarta, sehingga Belanda mengeluarkan larangan membacanya.
Selain itu, terbit pula beberapa suratkabar republiken lainnya
seperti harian Proletar – kemudian berubah nama menjadi Dinihari
dipimpin M. Hasan Radjaloa), mingguan Nusantara pimpinan A. N.
Hajerati, tengah bulanan Wirawan untuk pemuda dipimpin oleh Berty
Korompis dan S.I. Harjo, tengah bulanan Dinamik pimpinan Harjono,
tengah bulanan Sinar (stensilan) pimpinan A. Rivai, tengah bulanan
Suasana dipimpinan oleh A. M. Nurdin, tengah bulanan Berdjoeng,
dipimpin H. M. Radjaloa dan mingguan Wanita (cetak) pimpinan Ny.
Salawati Daud.
Beberapa media tersebut dikenal pada masa itu sebagai ruang
publik republikein, untuk membedakan diri dengan suratkabar pro
NIT, yang juga terbit pada masa itu seperti Nusantara atau Negara
Baru. Selain itu, media yang jelas-jelas anti republiken yang
terbit tahun 1947 ialah Oost Indonesie Bode – kemudian berubah
(1950) menjadi Makassaarse Courant dipimpinan oleh De Haas.
Sementara itu, Negara Baru dalam tahun 1947 berubah menjadi
Indonesia Timur, dan terakhir (1950) Nusantara, dan tetap dipimpin
oleh J. Mawengkang.
Gambar 6. Suratkabar (Negara Baru) yang pro NIT
Setelah perubahan tata pemerintah (menjadi negara kesatuan
kembali), tampaknya arena kota Makassar belum juga memberikan
ruang-ruang sosial yang memungkinkan berlangsungnya interaksi warga
kota secara kondusif. Hal itu ditengarai oleh timbulnya gejolak
baru dari mereka yang dahulu menjadi pendukung utama republik atau
disebut pula ”kaum patriot”. Akibat dari tindakan mereka itu
kemudian disematkan predikat oleh pemerintah sebagai ”kaum
pemberontak”.[footnoteRef:25] Mereka yang dimaksud itu ialah para
gerilayawan yang dipimpin oleh Abdul Qahhar Mudzakkar. Awalnya
mereka mengorganisir diri dalam kesatuan Gerilyawan Sulawesi
Selatan (KGSS), lalu berubah menjadi Corps Tjadangan Nasional (CTN)
kemudian Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan pada akhirnya menjadi
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).[footnoteRef:26] [25:
Pelabelan tentang “patriot” dan “pemberontak” dipopulerkan oleh
Anhar Gonggong lewat karya tulis besarnya berjudul Abdul Qahhar
Mudzakka: dari Patriot hingga Pemberontak. Jakarta: Grasindo, 1992.
Edisi kedua buku ini diterbitkan oleh Penerbit Ombak Yogyakarta
(2004) dengan judul yang sama. ] [26: Dua karya pertama yang
menfokus pada persoalan ini ditulis oleh Barbara Sillars Harvey,
Pemberontakan Kahar Mudzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII (Terjemahan).
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989; dan Cornelis van Dick, Darul
Islam Sebuah Pemberontakan (Terjemahan). Jakarta: Grafiti Press,
1982. ]
Pada era ini (1953-1965) pasukan DI/TII berkeliaran di
kampung-kampung. Mereka melakukan perekrutan tenaga guna memperkuat
posisinya. Ini terkait dengan strategi pertahanan total, mobilisasi
umum, dan perang gerilya yang dijalankan oleh gerombolan selama
masa kekacauan. Untuk mendapat dukungan dari masyarakat, mereka
melakukan berbagai propaganda perjuangan dengan dalih emosi
keagamaan, di bawah panji-panji Islam. Guna memperlancar dan
memperluas pengaruhnya, mereka juga mempengaruhi tokoh-tokoh
masyarakat, seperti kepala kampung, imam, dan guru-guru.
Tokoh-tokoh masyarakat ini diharapkan nantinya sebagai propagandis
dan sekaligus kaki tangan mereka selama perjuangan.
Meski demikian, tidak jarang upaya tersebut menghadapi berbagai
persoalan yang mengarah pada pola hubungan yang saling bertentangan
dan mempengaruhi kelangsungan gerakan. Ada tiga pola hubungan yang
terbentuk open relation (hubungan terbuka), close relation
(hubungan tertutup), dan vailed relation (hubungan
terselubung).[footnoteRef:27] Ketiga jenis hubungan ini pada
hakekatnya dibedakan atas hubungan yang menguntungkan bagi DI/TII
dan sebaliknya menyululitkan bagi pemerintah dalam membasmi gerakan
ini. Terhadap masyarakat yang tidak mendukung/menerima kehdiran
mereka, maka tidak ada ampun baginya. Hal itu terutama ketika
dimaklumkannya “politik bumi hangus” (meminjam istilah Barbara
Sillars Harvey), sebagian besar daerah-daerah di Sulawesi Selatan
terutama yang jauh dari jangkauan militer (TNI) menjadi ruang yang
paling kondusif bagi berbagai aksi pasukan DI/TII. [27: Lebih
lanjut baca buah karya Anhar Gonggong, 1992. op. cit.; Abd. Rahman
Hamid, Qahhar Mudzakkar di Persimpangan Jalan. Makassar: Pustaka
Refleksi, 2008. ]
Ditengah situasi yang serba chaos itu, maka kota Makassar
menjadi pilihan kebanyak orang (masyarakat) yang mengharapkan
ruang-ruang sosial bagi kelangsunganya, selain mengungsi ke daerah
lain di luar Sulawesi Selatan seperti ke Kalimantan, Nusa Tenggara,
dan Sumbawa.[footnoteRef:28] Alhasil Makassar seketika menjadi
ruang bersama yang tampak makin “sempit”. Namun kondisi itu tidak
mengurutkan langkah bagi masyarakat untuk kemudian menjatuhkan
pilihannya sebagai ruang kehidupan sosal mereka. Tentu hal ini
memerlukan perhatian dari pemerintah yang bertanggungjawab atas
kelangsungan ruang-ruang sosial yang kondusif bagi masyarakatnya.
[28: Keterangan lanjut ihwal pengungsian masyarakat Sulawesi
Selatan akibat gerakan DI/TII dapat dibaca dalam beberapa lembaran
dokumen arsip yang tersimpan di Kantor Arsip Makassar. Informasi
tentang itu dapat diakses lewat pembacaan pada inventaris arsip
Muhammad Saleh Lahade (1937-1973); Arsip Pemerintah Propinsi
Sulawesi 1946-1960 dan 1950-1960. ]
Untuk mengatasi masalah pengungsian tersebut, Pemerintah
membentuk Panitia Penampungan Korban Kekacauan berdasarkan Kepres
No. 54 tahun 1955. Bagi pelajar/mahasiswa yang melanjutkan
pendidikan di luar daerahnya dan terputus hubungannya dengan orang
tua/keluarga, pemerintah membantu melalui program bantuan kepada
pelajar/mahasiswa daerah kacau.
Dalam situasi sulit dan kacau saat itu, Lanto Daeng Pasewang
diangkat menjadi Gubernur Propinsi Sulawesi pada 9 November 1953.
Karena beliau dalam kondisi sakit, maka Winarno Danuatmaja diangkat
sebagai acting Gubernur berdasarkan Kepres Nomor 198/M, 199/M,
200/Makassar tanggal 9 November 1953. Suatu peristiwa penting dalam
masa ini ialah Pemilihan Umum I 1955. Awal tahun 1956, Lanto Daeng
Pasewang diberhentikan dan diganti oleh Burhanuddin sebagai acting
Gubernur Sulawesi. Pada tahun ini juga, Andi Pangerang Pettarani
diangkat sebagai Gubernur Sulawesi yang definitif hingga tahun
1960.[footnoteRef:29] [29: Djawatan Penerangan, 1953, op. cit.
]
Pada 17 Januari 1957 pemerintah mengeluarkan UU No. 1 tahun 1957
tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. Undang-undang ini mencabut
peraturan perundangan sebelumnya mengenai pemerintahan daerah
otonom. Sesaat setelah keluarnya undang-undang ini, seiring pula
meningkatnya teror oleh gerombolan, lahir gerakan Permesta pada 2
Maret 1957. Gerakan ini semakin menambah gawatnya situasi di
Propinsi Sulawesi (Makassar) dan negara Indonesia pada
umumnya.[footnoteRef:30] [30: Barbara Sillars Harvey, PERMESTA:
Pemberontakan Setengah Hati. (Terj.) Jakarta: Grafiti Press, 1984;
R. Z. Leirissa, PRRI/Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa
Komunis. Jakarta: Grafiti, 1997. ]
Pada 17 Desember 1957 keluar Kepres No. 225, tentang pernyataan
negara dalam keadaan darurat perang (Staad Oorlog van Beleg; SOB),
kemudian dituangkan dalam UU No. 79 tahun 1957. Sebelum pernyataan
SOB, Gubernur Sulawesi Andi Pangerang Pettarani pada tanggal 8 Juni
1957 diangkat menjadi Gubernur Militer Sulawesi Selatan Tenggara.
Pada tahun itu juga pemerintah membekukan Dewan Tertinggi Permesta
dan seluruh organnya. Permesta secara fisik dapat dilumpuhkan
kegiatannya pada bulan Agustus 1958.
Dalam rangkaian stabilitas politik di wilayah provinsi Sulawesi,
maka penataan-penataan baru yang mengacu kepada Penetapan Presiden
RI No. 7 tahun 1959, sekaligus mencabut Maklumat Pemerintah 3
November 1945, tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian.
Partai-partai harus menerima dan mempertahankan azas dan tujuan
negara kesatuan RI menurut UUD 1945. Kemudian disusul Peraturan
Presiden No. 13 tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan, dan
pembubaran partai. Pada tahun 1960 di Makassar dilakukan
pembentukan Front Nasional berdasarkan Penetapan Presiden RI No. 13
tahun 1959. Front ini dimaksudkan sebagai salah satu wadah
penggalangan kekuatan rakyat yang bersendikan Demokrasi Terpimpin
menuju tercapainya cita-cita nasional, termasuk usaha pengembalian
Irian Barat ke dalam wilayah RI. Dalam upaya merebut kembali Irian
Barat kota Makassar dijadikan sebagai pusat/basis Komando Operasi
Militer yang disebut Mandala.
Tampaknya, dari beberapa peristiwa politik tersebut, terjadi
perebutan ruang sosial oleh aktor-aktor yang berbeda-beda latar
kepentingannya. Mulai dari perseteruan antara pihak kolonial dan
antek-anteknya dengan pihak republik, dan antara sesama anak
republik yang berbeda visi dalam menata ruang kemerdekaan.
B. Perkembangan Ekonomi
Perkembangan ekonomi masyarakat Kota Makassar dapat dilihat dari
lapangan usaha yang ada. Kondisi ini berkembang sejak masa lampau
hingga kini. Sejak dahulu mata pencaharian mereka di Kota Makassar
umumnya meliputi: petani, nelayan, pelayaran, dan perdagangan. Pada
masa Hindia Belanda (abad ke-19), orang-orang Makassar sudah dapat
bekerja di perusahaan Belanda sebagai kontraktor perkebunan dan
pedagang industri.
Usaha pemerintah Hindia Belanda untuk membangun Makassar sebagai
kota Industri di Asia Pasifik pada fase kedua abad ke-20, tampaknya
bukan hanya dilatari oleh kepentingan ekonomi semata, tetapi lebih
bersifat politik global, yaitu munculnya persaingan ekonomi antara
pemerintah Hindia Belanda dengan Inggis untuk menanamkan
pengaruhnya di Hindia Timur. Hal ini ditunjukkan ketika Makassar
ditetapkan sebagai pelabuhan bebas pada 1847. Awal pertarungan
kedua bangsa kulit putih itu tampaknya tidak hanya pada masalah
kebijakan penataan pelabuhan di daerah jajahan masing-masing,
tetapi juga sampai pada perebutan berbagai komoditas perdagangan di
wilayah Timur Besar.
Dalam mengimbangi Singapura Pemerintah Belanda tidak hanya
membangun Makassar sebagai pelabuhan enterpot yang penting di luar
Jawa, tetapi juga mendirikan Oliefabrieken Insulinde Makassar,
sehingga melalui kebijakan itu Pemerintah Belanda berharap kopra
tidak lagi diekspor ke Singapura, tetapi cukup hanya diolah di
Makassar kemudian dikirim secara langsung ke Eropa dan
Amerika.[footnoteRef:31] [31: Rasyid Asba, ”Potret Makassar Dari
Bandar Niaga Ke Kota Industri di Masa Kolonial” Makalah seminar
sehari Perhimpunan Pencinta Bandar Lama Nusantara Pusaka Bangsa, 11
Juni 2005 di Makassar, hlm. 4; baca juga tulisannya Kopra Makassar
Perebutan Pusat dan Daerah, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
]
Ekspor minyak kelapa melalui Kota Makassar merupakan komoditas
yang sangat mengunrungkan Pemerintah Hindia Belanda. Kendati
pemerintah lebih menfokuskan pada pengelolaan kopra di Makassar
sebagai bahan baku minyak. Pengusaha Belanda selain mengelolah
kopra menjadi minyak, juga membeli dan memasarkan kopra. Hal ini
dibuktikan pada 1917 gudang penampungan kopra diperluas sampai di
luar pelabuhan, yaitu di kampung Maroanging dekat Paotere sekitar
dua kilometer dari pelabuhan Makassar.
Olie Fabrieken Insulinde (OFI) Makassar merupakan perusahaan
pemerintah Hindia Belanda yang bergerak dalam bidang perdagangan
minyak kelapa dan kopra. Selain minyak kelapa yang dihasilkan oleh
perusahaan ini, juga beredar dalam masyarakat Sulawesi Selatan
minyak kelapa yang dibuat secara khusus oleh penduduk lokal. Di
pedalaman Sulawesi Selatan penduduk lebih senang memakai minyak
kelapa tradisional karena baunya harum bila dibandingkan dengan
minyak kelapa buatan pabrik.
Selain minyak kelapa buatan penduduk juga beredar minyak impor
dari Eropa, namun jumlahnya kecil. Minyak tersebut terbuat dari
kelapa sawit yang pada umumnya dikelola oleh perusahaan-perusahaan
perkebunan. Kelebihan jenis tanaman ini adalah cepat berbuah bila
dibandingkan dengan kelapa yaitu waktunya relatif pendek untuk
mendapatkan hasil. Namun kelapa juga mempunyai keistimewaan bagi
masyarakat Sulawesi Selatan karena tanaman ini telah lama dikenal
oleh para petani sehingga pengelolaannya tidak asing lagi. Selain
itu juga pasarannya tidak sulit karena sudah bertahun-tahun telah
mempunyai pasaran tetap di Eropa dan Amerika. Mengenai keadaan
ekspor minyak kelapa Makassar ke Amerika dapat dilihat pada grafik
1.
Dari grafik ini tampak bahwa ekspor minyak kelapa ke Amerika
selama tiga tahun terus meningkat (1915-1917), kecuali pada tahun
1918. Penurunan ini dalam pandangan Asba[footnoteRef:32] lebih
disebabkan oleh gangguan perang yang berdampak semakin sulitnya
pengapalan. Penurunan yang terus terjadi pada 1921 hingga 1924
lebih disebabkan karena mesin-mesin OFI Makassar kurang produktif
lagi. Hal itu antara lain karena mesin-mesinnya sudah tua, selain
itu tingkat konsumsi lokal bertambah, sehingga konsentrasi ekspor
semakin berkurang. [32: Rasyid Asba, 2005, hlm. 6.]
Grafik 3.1 Ekspor Minyak Makassar ke Amerika Pada Tahun 1915 —
1924
Sumber: NAD, NHM Makassar Tahun 1915-1924 dalam Asba (2005:
6)
Secara politis kahadiran OFI Makassar adalah sangat strategis,
karena selain misinya sebagai lembaga bisnis juga diharapkan dapat
mengimbangi laju pertumbuhan ekonomi Singapura, sehingga
pedagang-pedagang Cina Makassar dapat memutuskan krediturnya di
Singapura. Dengan demikian mereka bisa diatur bahkan menjalin
hubungan dagang dengan OFI Makassar. Itulah sebabnya OFI Makassar
bukan saja menghasilkan minyak kelapa tetapi ia juga muncul sebagai
induk berbagai perusahaan eksportir yang ada di Makassar.
Para pedagang yang di bawah naungan OFI Makassar dapat
mengekspor kopra, asalkan memakai merek "Kopra OFI Makassar". Untuk
menampung beberapa ton kopra, pihak OFI Makassar menyediakan sarana
penggudangan yang memadai. OFI Makassar didukung oleh modal
keuangan, yang dibekap oleh Jacasche Bank. Hal itu merupakan
keunggulan OFI Makassar bila dibbandingkan dengan eksportir lainnya
di Makassar. Selain itu kopra yang diekspor harus mendapat
rekomendir dari OFI Makassar.
Selain misinya untuk mengimbangi laju pertumbuhan ekonomi
Singapura, OFI Makassar diharapkan juga dapat menanggulangi
kelangkaan penjualan minyak di pasaran Amerika dan Eropa Utara,
yang selama ini didominasi oleh gabungan perusahaan minyak Jerman
dan Australia, yang sejak tahun 1900 telah menguasai penjualan
minyak di Eropa Utara.
Faktas tersebut menunjukkan bahwa kota Makassar pada masa itu
telah menjadi kota pelabuhan terkemuka di dunia. La telah menjadi
jaringan perdagangan penting dalam perekonomian dunia. Hal itu juga
memberi kontribusi bagi penduduk pedalaman Sulawesi Selatan karena
kopra bisa dijual di setiap tempat. Pada agen pembeli kopra adalah
agen penduduk pribumi dan Cina membuka gudang-gudang kopra di
setiap tempat atau bahkan di bawah kolom rumah kopra digudangkan.
Kebanyakan petani menjual kelapa tidak dalam bentuk kopra sehingga
para pedagang perantara membutuhkan waktu pengelolaan kelapa
menjadi kopra. Di daerah Mandar hampir semua gudang-gudang kopra
berada di sepanjang pantai yang memudahkan pengangkutan melalui
perahu kapal-kapal KPM.
Akan tetapi kondisi ini terpaksa menurun karena Pemerintah
Hindia Belanda lebih berkonsentrasi pada akan menggejalanya perang
Asia Timur Raya. Apalagi terjadi depresi ekonomi pada tahun 1929.
Dalam skala nasional, perekonomian kolonial mengalami polarisasi
yang tajam antara Jawa dan Luar Jawa.
Adanya polarisasi obyektif antara Jawa dan luar Jawa. Ini sudah
ada sejak zaman penjajahan. Secara ekologis, Jawa dan sebagian
daerah lain luar Jawa berbeda. Persawahan dengan sistem irigasi
yang luas dan kompleks merupakan dasar sistem agraris di Jawa,
sedangkan sebagian besar wilayah luar Jawa didasarkan pada sistem
perladangan atau sawah tadah hujan.[footnoteRef:33] [33: Leirissa,
1997, op. cit. hlm. 11.]
Depresi ekonomi tahun 1929 mengakibatkan perubahan kebijakan
politik ekonomi kolonial. Perubahan tersebut tampak pada program
sekonomi secara makro. Kebijakan ekonomi kolonial kemudian
mengusahakan agar pulau Jawa dapat memproduksi bahan makanan,
sedangkan daerah luar Jawa meningkatkan bahan ekspor. Hal ini
dimaksudkan agar tercapai keseimbangan ekonomi, dan Jawa tidak
perlu senantiasa tergantung pada impor saja. Dengan cara ini
diharapkan muncul sistem ekonomi yang meski masih dualistis tetapi
tetap saling menguntungkan.
Kondisi perekonomian tersebut mulai surut ketika pemerintah
Belanda terlibat dalam Perang Pasifik, sehingga ekspor minyak dan
kopra terhambat. Di tengah kondisi ini, ekonomi Kota Makassar
sedikit mengalami kemajuan menjelang akhir pemerintahan Hindia
Belanda yakni pada tahun 1940. Beberapa perkumpulan dagang
terbentuk dan dikelola oleh orang-orang Bugis-Makassar. Akan tetapi
pada masa pendudukan Jepang kondisi perekonomian Makassar mengalami
kemunduran. Ini disebabkan karena kebijakan Jepang yang terfokus
pada kepentingan perang Asia Timur Raya. Dalam konteks itu,
Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan Angkatan Laut
Jepang.
Keadaan ekonomi Makassar pada era pendudukan Jepang ditandai
dengan munculnya kembali sistem eksploitasi, antara lain hasil
pertanian dan ternak rakyat harus didaftar dan diserahkan kepada
Jepang. Industri-industri kecil yang diusahakan harus berjalan
terus ke bawah pengawasan tentara Jepang. Dalam bidang perdagangan,
terdapat perusahaan-perusahaan Jepang yang memegang monopoli
perdagangan dan menetapkan harga barang dagangan secara sepihak.
Kebijakan ini mengakibatkan tidak berjalannya sistem perekonomian
yang selama ini berkembang. Hasil-hasil bumi dimonopoli oleh
pemerintah Jepang, perdagangan kopra tidak dapat berkembang karena
susahnya usaha perkapalan. Akhirnya Kota Makassar secara ekonomi
mengalami kemorosotan yang cukup drastis.
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, keadaan ekonomi diupayakan
ke arah perubahan. Akan tetapi berbagai kendala dihadapi bangsa
Indonesia yang mengakibatkan semakin merosotnya perekonomian
nasional. Diantaranya, konflik politik-ideologi, beban hutang luar
negeri pasca KMB, serta deskrepansi sektoral ekonomi sebagai
warisan perekonomian kolonial. Keadaan ini diperparah lagi saat
krisis moneter tahun 1952, dengan defisit anggaran belanja sebesar
3 milyar rupiah, ditarnbah defisit anggaran tahun sebelumnya
sekitar 1,7 milyar rupiah.
Meskipun mengalami krisis moneter pemerintah Indonesia masih
melakukan kebijakan ekonomi dengan memberikan bantuan pinjaman uang
kepada pengusaha pribumi yang dikenal dengan nama program benteng.
Dengan pemberian bantuan ini diharapkan para pengusaha yang
merupakan produsen dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume
impor.
Di Makassar pada tahun 1952 telah berdiri pula perusahaan dagang
yang dimiliki orang Bugis, yakni NV. Hadji Kalla. Perusahaan ini
bergerak dalam bidang perdagangan barang-barang dan kebutuhan
sehari-hari dan hasil bumi. Selain NV. Hadji Kalla, telah
berkembang pula sebuah perusahaan keluarga yang bernama PT Abd
Rahman Aslam. Perusahaan ini berkembang pesat setelah mendapat
bantuan modal dari pemerintah. Perusahaan ini adalah perusahaan
terbesar di Makassar pada saat itu, dan mengalami kejayaan
menjelang berakhirnya pemerintahan Sukarno. Pada masa Orde Bam
saham dari P.T Abd Rahman Aslam diambil alih oleh
pemerintah.[footnoteRef:34] [34: Intan Densi Kamar,”Kota
Ujungpandang: Kajian Tentang Kota dan Perdagangan Pada Paruh Ke dua
Abad ke 20”. Tesis magister tidak diterbitkan. Makassar: UNM, 2000,
hlm. 48. Baca juga Christian Pelras, Manusia Bugis. Jakarta: Nalar,
2006. ]
Selain itu, perekonomian Kota Makassar terutama di sektor
perdagangan pada 1950-an ditandai maraknya penyelundupan
perdagangan kopra. Penyelundupan ini dilakukan oleh para perwira
militer. Hal ini terkait dengan kekecewaan sebagian perwira militer
terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Pada periode ini militer
memiliki peranan besar dalam bidang ekonomi, apalagi setelah
meletusnya gerakan Permesta mengakibatkan keterlibatan militer
semakin kuat dalam bidang ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari
dibentuknya Opsir Pekerja Istimewa X TT-VII (OPI X TT-VII),
dikepalai oleh Mayor. M. Saleh Lahade yang bertujuan mengawasi
perdagangan kopra.
Dari hasil kegiatan tersebut kemudian digunakan untuk membiayai
operasi militer, dan kegiatan sosial ekonomi, seperti membangun
asrama Bintara, sumbangan untuk kegiatan persitr, pembiayaan awal
pembangunan stadion Mattoanging, menyumbang Universitas Hasanuddin,
membantu keluarga korban pembantaian Westerling, dan para veteran
lainnya. Selain itu kegiatan yang dilakukan adalah bekerjasama
dengan pemerintah untuk mengatasi perekonomian rakyat, mengatasi
kekurangan bahan makanan pokok serta mengendalikan harga pasar.
Tampaknya pada tahun 1950-an militer memiliki peranan penting
dalam perekonomian Kota Makassar. Hal ini disebabkan karena pada
masa itu situasi politik belum stabil, di Sulawesi Selatan telah
eksis gerakan DI/TII, kemudian pada tahun 1957 muncul gerakan
Permesta, serta pada tahun itu pula diberlakukan SOB bagi Indonesia
Timur, sehingga secara otomatis Pemerintahan Militer memiliki
peranan dalam mengendalikan perekonomian.[footnoteRef:35] [35:
Asba, 2007, op. cit. ]
Bila dicermati perkembangan ekonomi Kota Makassar mengalami
berbagai perubahan-perubahan. Makassar sebagai bandar niaga di Masa
kolonial tidak hanya berfungsi sebagai tempat transit dan bongkar
barang, tetapi lebih jauh mendorong munculnya sebagai kota Industri
dan tempat tumbuhnya berbagai pengusaha. Kemorosotan ekonomi
Makassar hingga lahirnya Orde Baru tidak lepas dari diskontinutias
kebijakan pengembangan kota Makassar, seperti dominasi politik
dalam mengontrol kebijakan. Makassar di akhir pemerintahan Sukarno
mengalami kemunduran dibandingkan posisi dan perannya pada era
sebelumnya.
Pada pertengahan 1960-an, Kota Makassar secara politik dan
ekonomi mulai melemah. Perkembangan politik yang tidak kondussif
dengan adanya gerakan DT/TII dan Permesta mengakibatkan mandeknya
berbagai sektor pembangunan. Di bidang ekonomi rakyat, juga
mengalami penurunan. Menurut Patompo[footnoteRef:36] masalah
ekonomi erat hubungannya dengan perkembangan politik. Oleh karena
itu ketidak stabilan politik di Sulawesi Selatan sangat
mempengaruhi kehidupan ekonomi. [36: Patompo, 1976, op. cit., hlm.
17.]
Pada masa DI/TII, masyarakat pedalaman Sulawesi Selatan dan
Tenggara tidak dapat beraktivitas dengan balk. Mereka meninggalkan
sawah, ladang dan ternak mereka untuk mencari tempat yang aman,
sehingga secara otomatis, perekonomian Makassar juga mengalami
kemorosotan. Makassar ketika itu dipadati oleh penduduk yang
berasal dari pedalaman atau migran akibat perang. Pemandangan umum
kota memperlihatkan lingkungan kumuh, serta penataan kota yang
tidak teratur. Kondisi ini berlanjut hingga akhir pemerintahan Orde
Lama dan awal masa Orde Baru.
DAFTAR PUSTAKA
ARSIP
Arsip Kota Makassar, 2004.
Arsip Negara Indonesia Timur (NIT)
Arsip Pribadi Muh. Daeng Patompo
Arsip Pemerintah Provinsi Sulawesi 1946-1960
Arsip Pemerintah Provinsi Sulawesi 1950-1960
Arsip Koleksi Pribadi Muhammad Saleh Lahde 1937-1973
Ikhtisar Politik Hindia Belanda tahun 1839-1848. Jakarta:
ANRI.
BPS Kota Makassar Tahun 1961.
BUKU DAN HASIL PENELITIAN
Abdullah, Taufik (et al), Dari Samudera Pasai Ke Yogyakarta;
Persembahan Kepada Teuku Ibrahim Alfian, Jakarta: Yayasan
Masyarakat Sejarawan Indonesia dan Sinergi Press, 2002
Agung, Ide Anak Agung Gde. Dari Negara Indonesia Timur ke
Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1985
Alfian, T. Ibrahim, Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah
Kritis; Kumpulan karangan dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono
Kartodirdjo, Yogyakarta: Gadjah Masa University Press, 1992
Andaya, Leonard Y. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi
Selatan Abad ke-17 (Terjemahan). Makassar: Ininnawa.
Rasyid Asba, ”Potret Makassar Dari Bandar Niaga Ke Kota Industri
di Masa Kolonial” Makalah seminar sehari Perhimpunan Pencinta
Bandar Lama Nusantara Pusaka Bangsa, 11 Juni 2005 di Makassar
Asba, A. Rasyid Kopra Makassar Perebutan Pusat dan Daerah:
Kajian Sejarah Ekonomi Politik Regional di Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Arifin, Anwar. ”Pers dan Dinamika Politik di Makassar
(1945-1966)”. Desertasi Doktor tidak diterbitkan. Ujung Pandang:
Universitas Hasanuddin, 1990
Mayor Bardosono, Peristiwa di Sulawesi Selatan 1950, Jakarta:
Yayasan Pustaka Militer, 1955
Bintarto, R., Pengantar Geografi Kota, Yogyakarta: U.P. Spring,
1977
Bintarto, R., Interaksi Desa dan Kota Dalam Permasalahannya,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
Burke, Peter, Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2001
Colombijn, Freek, Sejarah Kota Padang dalam Abad ke-20 dan
Penggunaan Ruang, Jakarta: Majalah Sejarah; Pemikiran,
Rekonstruksi, Persepsi, MSI dan Gramedia, 1996
Daldjoeni, Geografi Kota dan Desa, Bandung: Penerbit Alumni,
1998
Cornelis van Dick, Darul Islam Sebuah Pemberontakan
(Terjemahan). Jakarta: Grafiti Press, 1982.
Damayanti, ”Kota Makassar Pada Masa Pemerintahan H. Muh. Daeng
Patompo”. Hasil Penelitian tidak diterbitkan. Makassar: UNM.
Departemen Dalam Negeri, Provinsi Sulawesi Selatan, 1991.
Disjar, Penumpasan Pemberontakan Separatisme di Indonesia.
Jakarta: Dinas Sejarah TNI AD, 1978.
Djawatan Penerangan, Republik Indonesia: Propinsi Sulawesi,
1953.
Evers, Hans-Dieter, Simbolisme Perkotaan di Indonesia; kasus
Padang “kota tercinta”, Prisma No. 4 th XXII, 1993
Gonggong, Anhar, Abdul Qahhar Mudzakka: dari Patriot hingga
Pemberontak. Jakarta: Grasindo, 1992. (Edisi kedua diterbitkan
Ombak Yogyakarta (2004).
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI-Press, 1975
Hamid, Abd. Rahman, Qahhar Mudzakkar di Persimpangan Jalan.
Makassar: Pustaka Refleksi, 2008.
Harvey, Barbara Sillars, Permesta: Pemberontakan Setengah Hati,
Jakarta: Grafiti Press, 1983.
Harvey, Barbara Sillars, Pemberontakan Kahar Mudzakkar: Dari
Tradisi ke DI/TII (Terjemahan). Jakarta: Grafiti Pers, 1989.
Kamar, Intan Densi, ”Kota Ujungpandang: Kajian Tentang Kota dan
Perdagangan Pada Paruh Ke dua Abad ke 20”. Tesis magister tidak
diterbitkan. Makassar: UNM, 2000
Kuntowijoyo, “Kota sebagai bidang Kajian Sejarah” paper
disampaikan dalam seminar sejarah lokal (Proyek IDSN) di Denpasar;
1-5 September 1982
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 2001
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2003
Latif, Abdul. “Pendudukan Inggris di Makassar 1811-1816”. Tesis
Magister (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
R. Z. Leirissa, PRRI/Permesta: Strategi Membangun Indonesia
Tanpa Komunis. Jakarta: Grafiti, 1997
Limbugau, Daud, Perjalanan Sejarah Kota Maritim Makassar, dalam
Mukhlis (ed) Persepsi Sejarah Kawasan Pantai, Makassar:
P3MP/Universitas Hasanuddin, 1989
Lahukay, Hanoc, Makassar ke Ujungpandang, (tt/penerbit),
1985
Mattalioe, Bahar, Pemberontakan Meniti Jalur Kanan. Jakarta:
Grasindo, 1994
Mattulada, Menyusuri Jejak Makassar dalam Sejarah, Makassar:
Hasanuddin University Press, 1991
Mattulada, Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan,
Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1998
Milone, Pauline D., Urban Areas in Indonesia; Administratif and
Census Concepts, Berkeley: University of California, 1966
Naas, P.J.M., Indonesian Cities 1985-1995; A Bibliography, dalam
P.J.M. Naas (ed.), Issues in Urban Development: Case Studies from
Indonesia, Leiden: CNWS Publicatio, 1995
Najamuddin, ”Sulawesi Selatan: Pergumulan Antara Negara Federal
dan Negara Kesatuan 1946-1949”. Tesis Magister belum diterbitkan.
Jakarta: Universitas Indonesia, 2000.
Nas, P.J.M., Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi, bagian
pertama, Terjemahan Sukanti Suryochondro, Jakarta: Bharata Karya
Aksara, 1979.
Paeni, Mukhlis. “Kesultanan Makassar” dalam Procending Seminar
Antrabangsa Kesultanan Melayu Nusantara. Kuala Lumpur: Universiti
Kebangsaan Malaysia, 2005.
Patompo. Rahasia Menyingkap Tabir Kegelapan. Ujung Pandang
(Tanpa Penerbit), 1976
Pelras, Christian, Manusia Bugis. (Terjemahan) Jakarta: Nalar,
2006.
Poelinggomang, Edward, L., Makassar Abad XIX; Studi Tentang
Kebijakan Perdagangan Maritim, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2002
Poelinggomang, Edward, L., Perubahan Politik dan Hubungan
kekuasaan; Makassar 1906-1942, Yogyakarta, 2004
Anthony Reid. “Kebangkitan Makassar” dalam Sejarah Modern Awal
Asia Tenggara (Diterjemahkan oleh Sory Siregar dkk). Jakarta:
LP3ES, 2004.
Reiner, G.J., Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997
Sartono Kartodirdjo, Kata Pengantar dalam Sartono Kartodirdjo
(ed.), Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial, Jakarta:
Bharata Karya Aksara, 1977
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi
Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993
Suprapto, Bibit. Perkembangan Kabinaet dan Pemerintahan di
Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Sulaeman, “Dinamika Politik Pers di Makassar1945-1950”, Tesis
Magister tidak diterbitkan. Makassar: Universitas Hasanuddin
Suryo, Djoko, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang
1830-1900, Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Studi Sosial
Universitas Gadjah Mada, 1989
Sutjipto, F.A., Kota-kota Pantai di sekitar Selat Madura (Abad
XVII sampai Medio Abad XIX), ‘Disertasi’ tidak diterbitkan,
Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 1983
Soepangat, Sejarah Perkembangan Sistem Perencanaan Tata Ruang
Pembangunan Indonesia, dalam Majalah Kotapraja No. 4 tahun
VII/1979
Sumalyo, Yulianto, Ujungpandang: “Perkembangan Kota dan
Arsitektur pada Akhir Abad 17 Hingga Awal Abad 20”, dalam Henri
Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (ed.) Panggung Sejarah;
Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Jakarta: Ecole
Francaise d’Exreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional,
Yayasan Obor Indonesia, 1999
Tamburaka, Rustam E., Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat
Sejarah, Sejarah Filsafat dan Iptek, Jakarta: Rineka Cipta,
1999
Wiryomartono, A. Bagoes P., Seni Bangunan dan Seni Binakota di
Indonesia; kajian mengenai konsep, struktur, dan elemen fisik kota
sejak peradaban Hindu-Buddha, Islam hingga sekarang, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1995
Yunus, Hadi Sabari, Struktur Tata Ruang Kota, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999
M.Kelapa1915191619171918191919201921192219231924280560570190270337187163140135
Volume (dalam ribuan liter
9