Top Banner
LAPORAN KASUS 1.1 Identifikasi Nama : An. R Umur : 4 bulan Jenis Kelamin : Laki-laki Berat badan : 3 kg Panjang badan : 54 cm Agama : Islam Bangsa : Indonesia Alamat : Desa Penyandingan, Semende Muara Enim MRS : 13 Oktober 2009 (pukul 16.30 wib) 1.2 Anamnesis (Alloanamnesis dengan ibu kandung penderita, tanggal 14 Oktober 2009) Keluhan utama : Sesak napas Keluhan tambahan: Berat badan semakin turun 1.2.1 Riwayat Perjalanan Penyakit ± 3 bulan sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh sesak napas. Saat sesak bibir biru tidak ada, bunyi mengi tidak ada. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca, posisi dan aktfitas. Penderita juga mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi, naik turun, dan tidak disertai 1
80

999

Apr 13, 2016

Download

Documents

Pervinder Singh

IMPORTANT
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 999

LAPORAN KASUS

1.1 Identifikasi

Nama : An. R

Umur : 4 bulan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Berat badan : 3 kg

Panjang badan : 54 cm

Agama : Islam

Bangsa : Indonesia

Alamat : Desa Penyandingan, Semende Muara Enim

MRS : 13 Oktober 2009 (pukul 16.30 wib)

1.2 Anamnesis

(Alloanamnesis dengan ibu kandung penderita, tanggal 14 Oktober 2009)

Keluhan utama : Sesak napas

Keluhan tambahan : Berat badan semakin turun

1.2.1 Riwayat Perjalanan Penyakit

± 3 bulan sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh sesak napas. Saat

sesak bibir biru tidak ada, bunyi mengi tidak ada. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca,

posisi dan aktfitas. Penderita juga mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi, naik

turun, dan tidak disertai kejang. Penderita mengalami batuk, tidak berdahak, pilek

ada, mual tidak ada, muntah tidak ada. Penderita juga mengeluh sering kali tidak

dapat minum susu dalam waktu lama karena sering tersedak. Buang air besar biasa,

frekuensi 2 kali sehari, konsistensi lunak, ampas lebih banyak dari air. Buang air kecil

biasa, warna kuning jernih. Kemudian, penderita dibawa berobat ke bidan dan diberi

obat dua macam jenis sirup (ibu penderita tidak tahu nama obatnya), keluhan

penderita berkurang.

1

Page 2: 999

± 1 bulan sebelum masuk rumah sakit penderita kembali mengeluh sesak

nafas yang semakin berat. Saat sesak wajah pucat tidak ada, bibir biru tidak ada,

bunyi mengi tidak ada. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca posisi, dan akifitas.

Penderita juga mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, naik turun, dan tidak

disertai kejang. Keluhan batuk ada, tidak berdahak, pilek ada, mual tidak ada, muntah

tidak ada. Penderita juga mengeluh berat badan semakin menurun, berat badan

tertinggi saat lahir 3200 gram dan sekarang berat badannya menjadi 2500 gram saat

ditimbang di puskesmas. Penderita juga tidak dapat minum susu dalam waktu lama

karena sering tersedak. Buang air besar biasa, frekuensi 2 kali sehari, konsistensi

lunak, ampas lebih banyak dari air. Buang air kecil biasa, warna kuning jernih.

Kemudian penderita dibawa ke puskesmas, dan dianjurkan untuk dibawa ke RSUD.

Penderita pun dibawa ke RSUD oleh pihak keluarga. Oleh dokter, penderita

dikatakan menderita paru-paru basah dan dirawat selama 4 hari. Selama dirawat

penderita mendapat 3 macam obat jenis sirup (ibu penderita tidak tahu nama

obatnya). Karena kondisi penderita yang semakin menurun, penderita dirujuk ke

RSMH.

1.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit sesak nafas sebelumnya disangkal

Riwayat sering gatal dan sering pilek disangkal

Riwayat kontak dengan penderita TB disangkal

Riwayat biru saat lahir dan menangis disangkal

Riwayat sakit campak disangkal

1.2.3 Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal

1.2.4 Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

GPA : P 7 A 0

2

Page 3: 999

Penyakit/komplikasi kehamilan : Tidak ada

Masa kehamilan : 9 bulan 10 hari

Partus : Spontan

Ditolong oleh : Bidan

KPSW : Tidak ada

Riwayat demam dalam persalinan : Tidak ada

Riwayat ketuban kental, hijau, bau busuk : Tidak ada

Berat badan : 3200 gram

Panjang badan : 48 cm

Keadaan saat lahir : Langsung menangis

1.2. 5 Riwayat Makanan

0 – 4 hari : ASI

4 hari – 3,5 bulan : Susu SGM 1, satu sendok takar susu dilarutkan dalam air 45

cc, frekuensi sehari 4-5 kali.

1.2.6 Riwayat Imunisasi

BCG : (-)

DPT : (-)

Polio : Polio I

Hepatitis B : (-)

Campak : (-)

Vitamin A : (-)

Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap

1.2.7 Riwayat Perkembangan Fisik

Tengkurap : Belum bisa

Duduk : Belum bisa

Merangkak : Belum bisa

Berdiri : Belum bisa

Berjalan : Belum bisa

3

Page 4: 999

Belum bisa bicara, cuma bisa mengerang saja, penderita menangis bila

lapar/ingin makan.

1.2.8 Riwayat Sosial Ekonomi

Penderita merupakan anak ketujuh dari 7 bersaudara. Ayah penderita berumur

44 tahun, pendidikan SD dengan pekerjaan petani. Ibu penderita berumur 41 tahun,

pendidikan SD dan tidak bekerja. Secara ekonomi, keluarga penderita tergolong

kurang mampu.

8bulan

1.3 Pemeriksaan Fisik

1.3.1 Keadaan Umum

Kesadaran : Compos mentis

Nadi : 128 x/menit, isi dan tegangan cukup

Pernapasan : 68 x/menit

Suhu : 37,10C

Berat badan : 3000 gram

Tinggi badan : 54 cm

Lingkar kepala : 34 cm, microcephali

Lingkar lengan atas : 8 cm

Anemis : tidak ada

Sianosis : tidak ada

Ikterus : tidak ada

Edema umum : tidak ada

4

Ayah/44th/SD/petani

Ibu/41th/SD/IRT

+ Umur 1,5 bulan os+4 tahun

+12 tahun

Page 5: 999

Keadaan gizi : BB/U = 3/6,5 x 100% = 44,11%

TB/U = 54/63 x 100% = 85,71%

BB/TB = 3/44 x 100% = 68,18%

Berdasarkan WHO tahun 2000, berat

badan/panjang badan -3SD - <-2SD

Kesan : KEP derajat III

1.3.2 Keadaan Spesifik

Kulit

Tidak ada dermatosis

Kepala

Bentuk : Mikrocephali, wajah dismorfik, hipertelorisme

UUB : Menutup

Rambut : Agak kuning, lurus, tidak mudah dicabut

Mata : mata cekung tidak ada, kelopak mata normal, konjungtiva

anemis tidak ada, sklera tidak ikterik, refleks cahaya

normal, pupil bulat, isokor 3 mm, bitot spot tidak ada,

xeroptalmia tidak ada

Hidung : Sekret tidak ada, epistaksis tidak ada, nafas cuping hidung

ada

Telinga : Sekret tidak ada

Mulut : Sianosis sirkumoral tidak ada, mukosa mulut kering dan

bibir kering tidak ada, stomatitis angularis tidak ada

Tenggorokan : Dinding faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1 tidak

hiperemis

Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tekanan

vena jugularis tidak meningkat.

5

Page 6: 999

Thorax

Paru-paru

Inspeksi : Statis, dinamis simetris, retraksi ada (IC, SC, epigastrium)

Palpasi : Stemfremitus kiri sama dengan kanan

Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler normal, ronki basah halus nyaring di kedua basal

paru, wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : Pulsasi (-), iktus kordis (-), voussur cardiaque (-)

Palpasi : thrill tidak teraba

Perkusi : Jantung dalam batas normal

Auskultasi : HR= 128x/menit, bunyi jantung I dan II normal, bising

sistolik grade III/6 di ICS III-IV Linea midclavicularis

sinistra, gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar

Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, cubitan perut kembali

cepat

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Lipat paha dan genitalia

Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada, baggy pants (+)

Ekstremitas

Akral dingin tidak ada, edema tidak ada, sianosis tidak ada, simian crease (+),

Capillary refil<2 detik

6

Page 7: 999

Pemeriksaan neurologisPemeriksaan Tungkai Lengan

Kanan Kiri Kanan Kiri

Gerakan Luas Luas Luas Luas

Kekuatan 5 5 5 5

Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni

Klonus - -

Refeleks

fisiologis + normal + normal + normal + normal

Refleks

patologis - - - -

Fungsi sensorik : Dalam batas normal

Fungsi otonom : Dalam batas normal

Fungsi nervi craniales : Dalam batas normal

Gejala Rangsang Meningeal : Kaku kuduk tidak ada

1.4 Pemeriksaan Laboratorium

14 Oktober 2009

Darah rutin

Hb : 10,3 g/dl

Ht : 31 vol%

Leukosit : 7200/mm3

LED : 13 mm/jam

Trombosit : 280.000/mm3

Hitung jenis : 0/0/0/41/59/0

1.5 Diagnosis Kerja

Bronkopneumonia + CHD asianotik ec. susp. VSD + Sindrom Down + KEP

derajat III

7

Page 8: 999

1.6 Rencana Pemeriksaan

Kimia klinik (Na, K, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT), urin rutin, feses rutin

Rontgen thoraks

EKG

Echocardiography

Konsul bagian gizi

Konsul bagian endokrinologi

1.6 Penatalaksanaan O2 intranasal 1-2 liter/menit

IVFD D10% 300 cc gtt xii/menit (mikro)

1.7 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad malam

8

Page 9: 999

1.8 Follow up

Tanggal Keterangan

15/10/2009 S : Keluhan: sesak

O : Sense: Compos mentis

Nadi: 126 x/menit RR: 62 x/menit T: 37,1 oC

BB: 3000 gr

Kulit : turgor normal

Kepala : UUB cekung (-), mata cekung (-), air mata +/+,

mukosa bibir kering (-), wajah dismorfik (+),

nafas cuping hidung(+).

Thoraks : simetris, retraksi (+)

Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (+), wheezing (-)

Cor : HR = 126x/menit, BJ I dan II normal, bising

sistolik (+) di ICS III-IV LMC sinistra

Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal, hepar tidak teraba,

lien tidak teraba

Ekstremitas : akral dingin tidak ada, simian crease (+), Baggy

pants (+)

A : Bronkopneumonia + CHD asianotik ec susp. VSD +

Sindroma down +KEP III

P :

O2 intranasal 2-3 liter/ menit

IVFD D10% 300 cc gtt xii/menit

Ampicilin 3x300 mg

Gentamisin 2x6 mg

Captopril 3x3 mg

Furosemid 2x3 mg

9

Page 10: 999

Rencana foto thoraks

Rencana echocardiografi

Rencana EKG

Konsul gizi

Konsul endokrin

17/10/2009 S : Keluhan: sesak

O : Sense: Compos mentis

Nadi: 128 x/menit RR: 65 x/menit T: 37,2 oC

BB: 3010 gr

Kulit : turgor normal

Kepala : UUB cekung (-), mata cekung (-), air mata +/+,

mukosa bibir kering (-), wajah dismorfik (+),

nafas cuping hidung(+).

Thoraks : simetris, retraksi (+)

Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (+), wheezing (-)

Cor : HR = 126x/menit, BJ I dan II normal, bising

sistolik (+) di ICS III-IV LMC sinistra

Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal, hepar tidak teraba,

lien tidak teraba

Ekstremitas : akral dingin tidak ada, simian crease (+), Baggy

pants (+)

A : Bronkopneumonia + CHD asianotik ec VSD + Sindroma

down +KEP III

P :

O2 intranasal 2-3 liter/menit

IVFD D 10% 300 cc gtt xii/menit

Ampicilin 3x300 mg

Gentamisin 2x6 mg

Captopril 3x3 mg

10

Page 11: 999

Furosemid 2x3 mg

Rencana echocardiografi

Hasil konsul gizi (16/10/2009) :

Kesan : Gizi kurang

Saran : Pemberian kalori 450 kal+4,5 gram : F75 12x35 cc

(bahan dasar SGM)

Follow up berat badan tiap hari

Hasil konsul endokrin (16/10/2009) :

Periksa T3, T4, TSH

Hasil pemeriksaan EKG (16/10/2009):

Sinus rithm, HR=115x/menit, axis 90o, PR interval tak

memanjang

Hasil foto thoraks (16/10/2009):

Kesan: Bronkopneumonia dekstra

Tanda VSD (+)

19/10/2009 S : Keluhan: Sesak

O : Sense: Compos mentis

Nadi: 136 x/menit RR: 62 x/menit T: 37,3 oC

BB: 3050 gr

Kulit : turgor normal

Kepala : UUB cekung (-), mata cekung (-), air mata +/+,

mukosa bibir kering (-), wajah dismorfik (+),

nafas cuping hidung(+).

Thoraks : simetris, retraksi (+) IC, SC

Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (+), wheezing (-)

Cor : HR = 136x/menit, BJ I dan II normal, bising

sistolik (+) di ICS III-IV LMC sinistra

Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal, hepar tidak teraba,

11

Page 12: 999

lien tidak teraba

Ekstremitas : akral dingin tidak ada, simian crease (+), Baggy

pants (+)

A : Bronkopneumonia+ CHD asianotik ec VSD + Sindroma down

+KEP III

P :

O2 intranasal 2-3 liter/menit

IVFD D 10% 300 cc gtt xii/menit

Ampicilin 3x300 mg

Gentamisin 2x6 mg

Captopril 3x3 mg

Furosemid 2x3

F75 12x35cc

Rencana echocardiografi

Hasil pemeriksaan laboratorium :

T3 : 1,24 mmol/l

T4 : 1,20 ng/dl

TSH : 2,07 ul/ml

Kesan : eutiroid

20/10/2009 S : Keluhan: Sesak

O : Sense: Compos mentis

Nadi: 150 x/menit RR: 58 x/menit T: 36,8 oC

BB: 3120 gr

Kulit : turgor normal

Kepala : UUB cekung (-), mata cekung (-), air mata +/+,

mukosa bibir kering (-), wajah dismorfik (+),

nafas cuping hidung(+).

Thoraks : simetris, retraksi (+) IC, SC

Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (+), wheezing (-)

Cor : HR = 160x/menit, BJ I dan II normal, bising

12

Page 13: 999

sistolik (+) di ICS III-IV LMC sinistra

Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal, hepar tidak teraba,

lien tidak teraba

Ekstremitas : akral dingin tidak ada, simian crease (+), Baggy

pants (+)

A : Bronkpneumonia +CHD asianotik ec VSD + Sindroma down

+KEP III

P :

O2 intranasal 2-3 liter/menit

IVFD D 10% 300 cc gtt xii/menit

F75 8x50 cc

Ampicilin 3x300 mg

Gentamisin 2x6 mg

Captopril 3x3 mg

Furosemid 2x3 mg

Rencana echocardiografi

21/10/2009 S : Keluhan: -

O : Sense: Compos mentis

Nadi: 156 x/menit RR: 48 x/menit T: 36,8 oC

BB: 3150 gr

Kulit : turgor normal

Kepala : UUB cekung (-), mata cekung (-), air mata +/+,

mukosa bibir kering (-), wajah dismorfik (+),

nafas cuping hidung(-)

Thoraks : simetris, retraksi (-)

Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)

Cor : HR = 156x/menit, BJ I dan II normal, bising

sistolik (+) di ICS III-IV LMC sinistra

Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal, hepar tidak teraba,

13

Page 14: 999

lien tidak teraba

Ekstremitas : akral dingin tidak ada, simian crease (+), Baggy

pants (+)

A : Bronkopneumonia (perbaikan)+CHD asianotik ec VSD +

Sindroma down +KEP III

P :

IVFD D 10% 300 cc gtt xii/menit

F75 8 x50 cc

Ampicilin 3x300 mg

Gentamisin 2x6 mg

Captopril 3x3 mg

Furosemid 2x3 mg

Rencana echocardiografi

14

Page 15: 999

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kurang Energi Protein

2.1.1 Pendahuluan

Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi utama di

Indonesia. KEP disebabkan karena defisiensi macro nutrient (zat gizi makro).

Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi macro

nutrient kepada defisiensi micro nutrient, namun beberapa daerah di Indonesia

prevalensi KEP masih tinggi (> 30%) sehingga memerlukan penanganan intensif

dalam upaya penurunan prevalensi KEP.1

KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya

konsumsi zat energi dan zat protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak

memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Orang yang mengidap gejala klinis

KEP ringan dan sedang pada pemeriksaan anak hanya nampak kurus karena

ukuran berat badan anak tidak sesuai dengan berat badan anak yang sehat. Anak

dikatakan KEP apabila berat badannya kurang dari 80% indeks berat badan

menurut umur (BB/U) baku World Health Organization-National Center for

Health Statistics (WHO-NCHS) ,1983. KEP ringan apabila BB/U 70% sampai

79,9% dan KEP sedang apabila BB/U 60% sampai 69,9%.2

Penyakit Kurang Energi Protein (KEP) merupakan bentuk malnutrisi yang

terdapat terutama pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dan kebanyakan di

negara-negara sedang berkembang. Bentuk KEP berat memberi gambaran klinis

yang khas, misalnya bentuk kwashiorkor, bentuk marasmus atau bentuk

campuran kwashiorkor marasmus. Pada kenyataannya sebagian besar penyakit

KEP terdapat dalam bentuk ringan. Gejala penyakit KEP ringan ini tidak jelas,

hanya terlihat bahwa berat badan anak lebih rendah jika dibandingkan dengan

anak seumurnya.2

15

Page 16: 999

Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang masih

menghadapi masalah kekurangan gizi yang cukup besar. Kurang gizi pada balita

terjadi karena pada usia tersebut kebutuhan gizi lebih besar dan balita merupakan

tahapan usia yang gizi. Masalah gizi sampai pada saat ini masih menjadi masalah

ditimgkat nasional adalah gizi kurang pada balita, anemia, gangguan akibat

kekurangan yodium (GAKY) dan kurang vitamin A. Masalah tersebut masih

terdapat disebagian besar kabupaten/kota dengan faktor penyebab yang berbeda

Menurut data direkam medik RSU Dr. Soetomo surabaya, kejadian KEP

pada balita(usia 1-5 tahun) pada tahun 2004 sebanyak 1445 anak balita(19,45%),

dengan gizi kurang sebanyak 1235 anak balita (19,35%) dan gizi buruk sebanyak

210 anak balita(0,1%).2

2.1.2 Etiologi

Penyebab KEP sangat banyak dan bervariasi. Beberapa faktor bisa berdiri

sendiri atau terjadi bersama-sama. Faktor tersebut adalah faktor ekonomi, sosial,

budaya, pendidikan, gangguan metabolisme, penyakit jantung bawaan atau

penyakit bawaan lainnya. Pada daerah pedesaan biasanya faktor sosial, ekonomi

dan pendidikan yang sering berpengaruh, KEP timbul pada anggota keluarga

rumah tangga miskin oleh karena kelaparan akibat gagal panen atau hilangnya

mata pencaharian sehingga mempengaruhi pemberian asupan gizi pada anak. Di

daerah perkotaan tampaknya yang sering terjadi karena adanya gangguan sistem

saluran cerna dan gangguan metabolisme sejak lahir, atau malnutrisi sekunder.

Gangguan ini bisa karena penyakit usus, intoleransi makanan, alergi makanan,

atau penyakit metabolisme lainnya.3,4

Selain itu, ketidaktahuan karena tabu, tradisi atau kebiasaan makan

makanan tertentu, cara pengolahan makanan dan penyajian menu makanan di

masyarkat serta pengetahuan ibu juga merupakan salah satu faktor terjadinya

kurang gizi termasuk protein pada balita, karena masih banyak yang beranggapan

bila anaknya sudah merasa kenyang bearti kebutuhan gizi mereka telah

terpenuhi.1

16

Page 17: 999

2.1.3 Patofisiologi

Malnutrisi merupakan suatu sindrom yang disebabkan banyak faktor.

Faktor-faktor ini dapat digolongkan menjadi tiga faktor penting yaitu: tubuh

sendiri (host), kuman penyebab (agent), dan lingkungan (environment). Faktor

diet memegang peranan penting, tetapi faktor lain juga ikut menentukan.5

Tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi

kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk menggunakan

karbohidrat, protein, dan lemak merupakan hal yang sangat penting untuk

mempertahankan kehidupan. Karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh

jaringan tubuh sebagai bahan bakar, tetapi kemampuan tubuh untuk menyimpan

karbohidrat sangat terbatas. Akibatnya, katabolisme protein terjadi dengan

menghasilkan asam amino yang segera diubah menjadi karbohidrat. Selama

puasa, jaringan lemak dipecah menjadi asam lemak, gliserol, dan keton bodies.

Otot dapat menggunakan asam lemak dan keton bodies sebagai sumber energi

kalau terjadi kekurangan makanan yang kronis. Tubuh akan mempertahankan diri

untuk tidak memecah protein lagi setelah kira-kira kehilangan separuh dari

tubuh.5

2.1.4 Klasifikasi

Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya

KEP. Tingkat KEP I dan KEP II disebut tingkat KEP ringan dan sedang dan KEP

III disebut KEP berat. KEP berat ini terdiri dari marasmus, kwashiorkor dan

gabungan keduanya. Maksud utama penggolongan ini adalah untuk keperluan

perawatan dan pengobatan. Untuk menentukan klasifikasi diperlukan batasan-

batasan yang disebut dengan ambang batas. Batasan ini di setiap negara relatif

berbeda, hal ini tergantung dari kesepakatan para ahli gizi di negara tersebut,

berdasarkan hasil penelitian empiris dan keadaan klinis.2

17

Page 18: 999

Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI

Tahun 1999 dapat diklasifikasikan menjadi 5 kategori, yaitu Overweight, normal,

KEP I(ringan), KEP II (sedang) dan KEP III (berat). Baku rujukan yang

digunakan adalah WHO-NCHS, dengan indeks berat badan menurut umur.2

Klasifikasi KEP menurut Depkes RI :

Kategori Status BB/U (%Baku WHO-NCHS, 1983)

Overweight Gizi lebih > 120 % Median BB/U

Normal Gizi Baik 80 % - 120 % Median BB/U

KEP I Gizi Sedang 70 % – 79,9 % Median BB/U

KEP II Gizi Kurang 60 % - 69,9 % Median BB/U

KEP III Gizi Buruk < 60 % Median BB/U

Sumber: Depkes RI(1999:26)

Sedangkan klasifikasi kurang Energi Protein menurut standar WHO:

Klasifikasi

Malnutrisi sedang Malnutrisi Berat

edema Tanpa edema Dengan edema

BB/TB -3SD s/d -2 SD < -3 SD

TB/U -3SD s/d -2 SD < -3 SD

2.1.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis KEP berbeda-beda tergantung derajat dan lama deplesi

protein, energi, dan umur penderita juga tergantung oleh hal lain seperti adanya

kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. Pada KEP ringan dan

sedang yang ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang, seperti berat badan

yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat.2

18

Page 19: 999

KEP ringan dan sedang sering ditemukan pada anak–anak dari 9 bulan sampai

usia 2 tahun, tetapi dapat dijumpai pula pada anak yang lebih besar.

Berikut tanda–tanda KEP ringan dan sedang dilihat dari pertumbuhan yang

terganggu dapat diketahui melalui :

1. Pertumbuhan linier berkurang atau berhenti,

2. Kenaikan berat badan berkurang, terhenti, ada kalanya berat badan kadang

menurun,

3. Ukuran lingkar lengan atas menurun,

4. Maturasi tulang terlambat,

5. Rasio berat terhadap tinggi normal atau menurun,

6. Tebal lipat kulit normal atau mengurang,

7. Anemia ringan, diet yang menyebabkan KEP sering tidak mengandung

cukup zat besi dan vitamin–vitamin lainnya,

8. Aktivitas dan perhatian mereka berkurang jika dibandingkan dengan anak

sehat,

9. Kelainan kulit maupun rambut jarang ditemukan pada KEP ringan dan

sedang,akan tetapi adakalanya dapat ditemukan.2

Pada KEP Berat gejala klinisnya khas sesuai dengan defisiensi zat

tersebut. KEP berat ini terdiri dari marasmus, kwashiorkor dan gabungan

keduanya marasmic kwasiokor.

Secara klinis terdapat dalam 3 tipe KEP berat yaitu :

1. Kwashiorkor, ditandai dengan : edema, yang dapat terjadi di seluruh tubuh,

wajah sembab dan membulat, mata sayu, rambut tipis, kemerahan seperti

rambut jagung, mudah dicabut dan rontok, cengeng, rewel dan apatis,

pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), bercak merah ke coklatan di

kulit dan mudah terkelupas (crazy pavement dermatosis), sering disertai

penyakit infeksi terutama akut, diare dan anemia.

19

Page 20: 999

2. Marasmus, ditandai dengan : sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit,

wajah seperti orang tua, cengeng dan rewel, kulit keriput, jaringan lemak

sumkutan minimal/tidak ada, perut cekung, iga gambang, sering disertai

penyakit infeksi dan diare.

3.Marasmus kwashiorkor, campuran gejala klinis kwashiorkor dan marasmus.

2.1.6 Komplikasi

Pada penderita gangguan gizi sering terjadi gangguan asupan vitamin dan

mineral. Karena begitu banyaknya asupan jenis vitamin dan mineral yang

terganggu dan begitu luasnya fungsi dan organ tubuh yang terganggu maka jenis

gangguannya sangat banyak. Pengaruh marasmus bisa terjadi pada semua organ

sistem tubuh. Beberapa organ tubuh yang sering terganggu adalah saluran cerna,

otot dan tulang, hati, pankreas, ginjal, jantung, dan gangguan hormonal.3

Marasmus dapat berpengaruh terhadap perkembangan mental dan

kecerdasan anak. Stuart dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kekurangan zat

gizi berupa vitamin, mineral dan zat gizi lainnya mempengaruhi metabolisme di

otak sehingga mengganggu pembentukan DNA di susunan saraf. Hal itu berakibat

terganggunya pertumbuhan sel-sel otak baru atau mielinasi sel otak terutama usia

di bawah tiga tahun, sehingga sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental

dan kecerdasan anak. Walter tahun 2003 melakukan penelitian terhadap 825 anak

dengan malnutrisi berat ternyata mempunyai kemampuan intelektual lebih rendah

dibandingkan anak yang mempunyai gizi baik.3

Sel otak terbentuk sejak trimester pertama kehamilan, dan berkembang

pesat sejak dalam rahim ibu. Perkembangan ini berlanjut saat setelah lahir hingga

usia 2-3 tahun, periode tercepat usia enam bulan pertama. Setelah usia tersebut

praktis tidak ada pertumbuhan lagi, kecuali pembentukan sel neuron baru untuk

mengganti sel otak yang rusak. Dengan demikian diferensiasi dan pertumbuhan

otak berlangsung hanya sampai usia tiga tahun.3

20

Page 21: 999

Kekurangan gizi pada masa kehamilan akan menghambat multiplikasi sel

janin, sehingga jumlah sel neuron di otak dapat berkurang secara permanen.

Sedangkan kekurangan gizi pada usia anak sejak lahir hingga tiga tahun akan

sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel glia dan proses

mielinisasi otak. Sehingga kekurangan gizi saat usia kehamilan dan usia anak

sangat berpengaruh terhadap kualitas otaknya.3

Gizi kurang pada usia di bawah dua tahun akan menyebabkan sel otak

berkurang 15-20%, sehingga anak yang demikian kelak kemudian hari akan

menjadi manusia dengan kualitas otak sekitar 80-85%. Anak yang demikian

tentunya bila harus bersaing dengan anak lain yang berkualitas otak 100% akan

menemui banyak hambatan.3

Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita marasmus,

yaitu sekitar 55%. Kematian ini seringkali terjadi karena penyakit infeksi (seperti

tuberkulosis, radang paru, infeksi saluran cerna) atau karena gangguan jantung

mendadak. Infeksi berat sering terjadi karena pada marasmus sering mengalami

gangguan mekanisme pertahanan tubuh. Sehingga mudah terjadi infeksi atau bila

terkena infeksi beresiko terjadi komplikasi yang lebih berat hingga mengancam

jiwa.3

Kematian mendadak karena gangguan jantung, disebabkan karena

gangguan otot jantung yang sering terjadi pada penderita marasmus. Tampilan

klinis yang tampak adalah atrofi ringan pada otot jantung. Hal tersebut dapat

mengakibatkan cardiac output menurun, gangguan sirkulasi, hipotensi, gangguan

irama jantung (bradikardi), sehingga tangan dan kaki terasa dingin dan pucat.3

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis KEP dibuat berdasarkan gambaran klinis, tetapi untuk

mengetahui penyebabnya harus dilakukan anamnesis makanan dan kebiasaan

makan serta riwayat penyakit yang lalu.5

Dasar diagnosis7 :

21

Page 22: 999

1. BB/TB < 70%

2. Klasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis

Langkah diagnosis:

1. Tetapkan KEP berat

2. Tetapkan klasifikasi

3. Tetapkan tahapan:

Stabilisasi

Pastikan apakah ada gangguan fungsi vital (penurunan kesadaran,

presyok, gangguan kardiovaskuler dan pernafasan)/tanda bahaya yang

mengancam kehidupan penderita seperti hipoglikemia, hipotermia, infeksi

berat (sepsis) dan dehidrasi/ gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan

asam basa

Transisi

Pastikan tidak ada gejala pada stadium stabilisasi, mulai pemberian

makanan peroral dengan menilai keadaan diare dan memperhatikan

kemampuan makan, digesti, dan absorpsi dari saluran cerna.

Rehabilitasi

Pastikan tidak ada gejala pada stadium stabilisasi/ transisi,

kemampuan makan baik

4. Tetapkan penyakit yang menyertai (mendasari dan penyerta), secara rutin:

o TBC : standar profesi TBC

o ISK : standar profesi ISK

o Infeksi Telinga Kronis/ mastoiditis : standar profesi THT

5. Cari Penyebab Lain (metabolik/endokrin, penyakit jantung bawaan).9

22

Page 23: 999

2.1.7 Pencegahan

Tindakan pencegahan terhadap marasmus dapat dilakukan dengan baik bila

penyebabnya diketahui. Usaha-usaha tersebut memerlukan sarana dan prasarana

yang baik untuk pelayanan kesehatan dan penyuluhan gizi8.

Pemberian ASI sampai umur dua tahun merupakan sumber energi yang paling

baik untuk bayi.

Ditambah dengan pemberian makanan tambahan yang bergizi pada umur

enam bulan ke atas.

Pencegahan penyakit infeksi, dengan meningkatkan kebersihan lingkungan

dan kebersihan perorangan.

Pemberian imunisasi.

Mengikuti program KB untuk mencegah kehamilan yang terlalu sering.

Penyuluhan/pendidikan gizi tentang pemberian makanan yang adekuat,

merupakan upaya pencegahan jangka panjang.

Pemantauan (surveillance) yang teratur pada anak balita di daerah yang

endemis kurang gizi, dengan cara penimbangan berat badan tiap bulan.5

2.1.8 Penatalaksanaan

A. Sepuluh Langkah dalam tiga fase7,9:

23

Page 24: 999

No Tindakan Stabilisasi H1-2 H3-7

Transisi H8-14

Rehabilitasi Mg 3-6

Tindak Lanjut Mg 7-26

1. Atasi/Cegah hipoglikemia

2. Atasi/cegah Hipotermi

3. Atasi/cegah dehidrasi

4. Perbaiki gangguan elektrolit

5. Obati infeksi

6. Perbaiki defesiensi nutrien mikro ---------- ---------- ---------------

7. Makanan stab. Trans

8. Makanan tumbuh kejar

9. Stimulasi

10. Siapkan tindak lanjut

Semua pasien dengan KEP berat dirawat ada tiga tahapan penatalaksanaan

pasien dengan KEP berat yaitu7,8 :

1. Tahapan Stabilisasi (Penyelamatan)

Mencegah/ mengobati hipoglikemia

Secara klinis anak sadar tetapi pada pemeriksaan kadar gula darah

<3 mmol/l atau <54 mg/dl, berikan bolus larutan 10% glukosa 50

ml atau 10% larutan sukrose (1 sdt/5gr gula pasir dalam 50ml air)

secara oral atau melalui pipa nasogastrik. Segera berikan

ASI/susu/makanan cair rendah laktosa, kalau perlu personde bila

tidak ada kontraindikasi (meteorismus berat, muntah profuse,

24

Page 25: 999

sesak nafas berat). Berikan setiap 30 menit dalam dua jam

pertama, selanjutnya makanan diberikan setiap dua jam.

Kesadaran menurun, letargi atau kejang, berikan 10% larutan

glukosa 5 ml/kgbb IV diikuti dengan 50 ml larutan glukosa 10%

atau 10% sukrosa personde. Dilanjutkan dengan pemberian

makanan seperti diatas.

Bila setelah dua jam kadar glukosa darah tetap rendah (<3 mmol/l

atau <54 mg/dl) tetap diteruskan pemberian bolus 50 ml glukosa

10% atau larutan sukrosa 10% personde. Bila dua jam kemudian

masih tetap rendah, diberikan glukosa 10% IV 1 tetes/kgbb/menit

(5 mg glukosa/kgbb/menit).

Cari penyebab lain, bila disertai hipotermia kemungkinan sepsis,

berikan antibiotika.

Mengobati/ mencegah hipotermia

Jika suhu rektal <35,5‘C, hangatkan anak dengan cara membungkus

menggunakan pakaian sampai ke kepala, tutupi dengan selimut hangat,

bila perlu letakkan lampu di dekatnya. Ukur temperatur rektal tiap dua

jam, bila menggunakan lampu penghangat ukur tiap 30 menit, atau

menggunakan selimut elektrik/inkubator (bila tersedia). Segera beri

makanan, selanjutnya diberi makan setiap dua jam. Periksa kadar gula

darah, bila hipoglikemia kemungkinan sepsis, berikan antibiotika.

Terapi Cairan

Tidak syok

Berikan ReSoMal 5 ml/kgbb/30 menit selama dua jam per oral atau

sonde, dilanjutkan 5-10ml/kgbb/jam selama 4-10 jam berikutnya.

Lanjutkan pemberian makanan.

25

Page 26: 999

Tabel 2. Larutan ReSoMal (rehidration solution for malnutrition)

Bubuk oralit WHO untuk 1 liter 1 pak (5 sachet)

Gula pasir 50 gram

Larutan elektrolit/mineral (elekmin) 40 ml

Tambahan air s/d 2000 ml (2 liter)

Tabel 3. Kandungan Larutan Elekmin

KCL 224 gram

Tripotasium Citrat 81 gram

Magnesium Chlorida (MgCl2.6H2O) 76 gram

Zinc Acetate (Zn asetat 2H2O) 8,2 gram

Copper Sulphate (CuSO4.5H2O) 1,4 gram

Tambahan air s/d 2500 ml (2,5 liter)

Syok

Beri O2, D 10% 5 ml/kgbb bolus IV, dilanjutkan 15 ml/kgbb/1 jam

cairan RL + D5% atau NaCl 0,5% + D5% atau ½ DG. Bila semua tidak

ada berikan RL.

Ada perbaikan (denyut nadi dan pernafasan menurun), ulangi

satu jam lagi, dilanjutkan dengan ReSoMal 10 ml/kgbb/jam

selama 10 jam per oral atau sonde.

Tidak ada perbaikan syok endotoksik

Sementara menunggu darah berikan larutan seperti di atas IVFD

4 ml/kgbb/jam dilanjutkan darah segar 10 ml/kgbb selama tiga

jam bila PICU tersedia, dirujuk ke PICU. Berikan makanan

dan antibiotika.

26

Page 27: 999

Koreksi gangguan/kekurangan cairan, elektrolit/asam basa dan

mikronutrien

Berikan K 3-4 mmol/kgbb/hari, Mg 0,4-0,6 mg/kgbb/hari, Zn 2

mg/kgbb/hr, Cu 0,3 mg/kgbb/hr (larutan elekmin). Bila sudah rehidrasi

pencegahan rehidrasi dengan ReSoMal yang sudah ditambah larutan

elekmin.

Vitamin A

Tidak ada gejala defisiensi vitamin A pada mata:

Usia >1 th 200.000 iu, 6 -12 bl 100.000 iu, <6 bl 50.000 iu

peroral hanya satu kali.

Gejala defisiensi vitamin A pada mata: berikan hari 1, 2 dan ke

15.

Multivitamin, asam folat 5 mg hari 1, dilanjutkan 1 mg/hr, Fe 3

mg/kgbb/hari

Mengobati/ mencegah infeksi

Semua penderita diberi antibiotika kotrimoksazol dosis 8-10

mg/kgbb/hari peroral dibagi dua dosis selama lima hari.

Bila anak sakit berat/ ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia,

infeksi berat, ISK) beri:

Ampisilin dosis 200 mg/kgbb/hari per IV dibagi empat dosis

selama dua hari, kemudian dilanjutkan amoksisilin 30-50

mg/kgbb/hari peroral dibagi tiga dosis selama lima hari

dikombinasi dengan gentamisin dosis 3-5 mg/kgbb/hr per IV

dibagi dua dosis selama tujuh hari.

Bila selama 48 jam tidak ada perbaikan tambahkan

kloramfenikol 100 mg/kgbb/hr per IV dibagi empat dosis selama

lima hari. Bila ditemukan infeksi spesifik beri terapi yang

sesuai. Bila tidak ada perbaikan setelah tujuh hari ganti

antibiotika dengan golongan sefalosporin generasi III.

27

Page 28: 999

2. Tahapan Transisi (Penyesuaian)

Dinilai respon anak terhadap pemberian makanan pada stadium stabilisasi.

Berdasarkan gejala diare, meteorismus dan muntah, makanan oral dapat

dikurangi atau ditingkatkan jumlah, bentuk, jenis dan kandungan nutriennya

secara bertahap. Fase ini bertujuan untuk menentukan jenis dan cara

pemberikan makanan yang disesuaikan dengan kemampuan digesti dan

absorbsi penderita. Jumlah formula atau makanan yang telah ditentukan

diberikan dalam porsi kecil dan sering (6-12 kali pemberian sehari),

osmolaritas rendah dan rendah laktosa, seperti formula F 75, F 100 atau F 135

bila rumah sakit dapat menyediakan makanan tersebut. Bahan dan bentuk

makanan disesuaikan dengan kemampuan penderita, sebagai patokan usia <1

tahun makanan cair, usia >1 tahun makanan semisolid–solid. Kalori yang

diberikan 50-100 Kkal/kgbb/hari dengan protein 1-1,5 gr/kgbb/hari.

Pada anak yang minum susu formula, berikan susu formula rendah

laktosa. Dievaluasi kemungkinan munculnya diare atau diare bertambah,

muntah atau meteorismus. Bila ini terjadi kemungkinan intoleran laktosa,

diatasi dengan:

Mengurangi jumlah formula sampai kalori yang diberikan 50

Kkal/kgbb/hr sehingga kandungan laktosa lebih rendah.

Sebagai contoh setiap 100 Kcal LLM mengandung 1,46 gr

laktosa.

Bila dengan cara tersebut diatas masih juga diare, diperkirakan

menderita intoleran laktosa berat, diatasi dengan mengganti

susu formula yang bebas laktosa dan masih mengandung

protein susu sapi.

Bila dengan cara tersebut diatas masih juga diare, diperkirakan

anak menderita CMPSE, diatasi dengan memberikan susu

formula bebas protein susu sapi (susu formula yang berasal dari

28

Page 29: 999

kacang kedelai). Untuk kepastian diagnosa secara klinis, uji

coba formula sebaiknya dilakukan dua kali terhadap formula

sebelumnya. Susu formula kacang kedelai ini dapat diberikan

selama 3-6 bulan, dan selanjutnya diberikan dengan susu

formula sebelumnya secara bertahap. Apabila selama observasi

menderita diare kembali, mungkin anak alergi terhadap protein

yang berasal dari kacang kedelai, diatasi dengan susu formula

yang proteinnya sudah terhidrolisa.

Pada anak di rumah yang tidak minum susu formula diberikan makanan

yang tidak mengandung protein susu sapi dan bebas laktosa (formula

kacang kedelai, bubur ayam atau bubur tempe).

Bila dengan cara di atas diare tidak berhenti diperkirakan menderita

malabsorbsi berat, makanan tidak dapat lagi diberikan secara oral,

dipertimbangkan makanan parenteral gabungan dari lipid, asam amino

kristaloid dan glukosa.

Tabel 4. Formula Susu menurut WHO untuk KKP

Bahan (per 1000 ml) F 75 F 100 F 135

Susu Skim bubuk (g) 25 85 90

Gula pasir (g) 100 50 65

Minyak sayur (g) 30 60 75

Elekmin (ml) 20 20 27

Tambahan air s.d. (ml) 1000 1000 1000

3. Tahapan Rehabilitasi (Penyembuhan dan Pembinaan)

Pemberian kalori ditingkatkan secara bertahap dapat mencapai 175

kkal/kgbb/hari. Bentuk, jenis dan cara pemberian disesuaikan dengan makin

29

Page 30: 999

meningkatnya kemampuan digesti dan absorbsi. Jenis makanan diupayakan

disesuaikan dengan apa yang mungkin disediakan di rumah. Bimbingan pada

orang tua untuk memberikan makanan sesuai dengan kebutuhan dapat dimulai

setiap tahap, agar ibu dapat merawat dan menghindari berulangnya KKP.

Sesuai dengan pencapaian tumbuh kembang (BB/TB >90%) secara bertahap

intake yang direkomendasikan berkurang menjadi 100–120 Kcal/kgbb/hari

dengan protein 2-3 gr/kgbb/hari.

Tindakan khusus

Transfusi darah (whole blood) diberikan jika albumin <1,5gr% atau Hb

kurang 4gr% atau Hb 4-6gr% bila dijumpai gejala distres pernafasan.

Berikan furosemide 1 mg/kgbb IV saat mulai transfusi. Bila anemia berat

disertai tanda gagal jantung berikan transfusi packed cells 5-7 ml/kgbb.

Bila kadar Hb masih 4gr% atau 4-6gr% dan masih tetap ada distress

pernafasan, jangan diulangi transfusi sebelum empat hari.

Mendidik ibu dalam merawat anaknya, memilih, menyediakan dan

memberikan makanan yang sesuai, serta mengatasi penyakit yang

mempermudah terjadinya KKP (diare, ISPA dsb). Membina ikatan ibu

anak melalui peningkatan kepedulian dan perawatan penuh kasih sayang.

Membimbing ibu menuntaskan pengelolaan penyakit yang menyertai

Anjuran imunisasi campak usia >9 bulan bila belum imunisasi

Tindak lanjut

Pada fase stabilisasi awasi hipoglikemi, hipotermia, gangguan

keseimbangan elektrolit/ asam basa. Nilai toleransi terhadap makanan

berdasarkan munculnya gejala diare, muntah dan meteorismus. Dalam

memperhitungkan volume dan frekuensi pemberian makanan

perhitungkan kemampuan pengosongan lambung, dengan melakukan

aspirasi sebelum pemberian porsi makanan berikutnya. Setelah pemberian

makanan, kalau timbul muntah segera dilakukan penghisapan dan

30

Page 31: 999

tindakan pencegahan aspirasi lainnya. Pemantauan penderita dapat

dilakukan dengan cara penimbangan berat badan, pengukuran tinggi

badan, serta tebal lemak subkutan, kemajuan gejala klinis serta

kemampuan makan anak. Pada minggu-minggu pertama sering belum

dijumpai penambahan berat badan.

Indikasi pulang penderita gizi buruk antara lain:

Indikasi anak:

Selera makan sudah bagus, makanan yang diberikan dapat dihabiskan

Ada perbaikan kondisi mental

Anak sudah dapat tersenyum, duduk, merangkak, berdiri, atau berjalan

sesuai dengan umurnya

Suhu tubuh berkisar antara 36,5 – 37,50C

Tidak ada muntah atau diare

Tidak ada edema

Terdapat kenaikan berat badan 5g/kgBB/hari selama 3 hari berturut-

turut atau kenaikan sekitar 50g/kgBB/minggu selama 2 minggu berturut-

turut

Sudah berada di kondisi gizi kurang (BB/TB > -3 SD) dan tidak ada gejala

klinis gizi buruk

Indikasi ibu/ pengasuh:

Sudah dapat membuat makanan yang diperlukan untuk tumbuh kejar di

rumah

Sudah mampu merawat serta memberikan makan dengan benar kepada

anak

Indikasi institusi lapangan: Puskesmas/ pos pemulihan gizi telah siap untuk

menerima rujukan pasca perawatan

2.1.9 Prognosis

31

Page 32: 999

KEP yang dirawat, kematian 20-30% akan meningkat bilakadar albumin

<1,5gr%, glukosa darah < 3mmol atau <50mg/dl, suhu rektal <35,5 derajat dan

adanya infeksi berat.7

Gejala sisa : pencapaian tumbuh kembang terhambat termasuk penurunan

intelegensia, terutama jika KEP terjadi pada usia kurang dari dua tahun.7

2.2 Pneumonia

2.2.1 Pendahuluan

Pneumonia adalah radang paru-paru yang dapat disebabkan oleh

bermacam-macam penyebab seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.

Pneumonia adalah salah satu penyakit yang menyerang saluran nafas bagian

bawah yang terbanyak kasusnya di dapatkan di praktek-praktek dokter atau

rumah sakit dan sering menyebabkan kematian terbesar bagi penyakit saluran

nafas bawah yang menyerang anak-anak dan balita hampir di seluruh dunia.

Diperkirakan pneumonia banyak terjadi pada bayi kurang dari 2 bulan, oleh

karena itu pengobatan penderita pneumonia dapat menurunkan angka

kematian anak.

Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi

ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan.

Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai

keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi

primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa.

2.2.2 Definisi

Bronkopneumonia atau disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu

peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai

bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa

anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti

bakteri, virus, jamur dan benda asing. Bronkopneumonia merupakan

32

Page 33: 999

peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang

berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution).

2.2.3 Epidemiologi

Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di

bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika

pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di

bawah umur 2 tahun. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh

mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu

dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder

terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga

sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa.

Di seluruh dunia setiap tahun diperkirakan terjadi lebih 2 juta kematian balita

karena pneumonia. Di Indonesia menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun

2001 kematian balita akibat pneumonia 5 per 1000 balita per tahun. Ini berarti bahwa

pneumonia menyebabkan kematian lebih dari 100.000 balita setiap tahun, atau

hampir 300 balita setiap hari, atau 1 balita setiap 5 menit

2.2.4 Etiologi

Bronkopneumonia terjadi secara umum dapat disebabkan oleh faktor infeksi

dan noninfeksi.

Faktor Infeksi

- Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).

- Pada bayi :

o Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,

Cytomegalovirus.

Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.

Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza,

Mycobacterium tuberculosa, B. pertusis.

- Pada anak-anak :

33

Page 34: 999

o Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP

o Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia

o Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa.

- Pada anak besar – dewasa muda :

o Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis

o Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.

Faktor Non Infeksi.

Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :

- Bronkopneumonia hidrokarbon :

o Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde

lambung ( zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).

Bronkopneumonia lipoid :

o Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara

intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu

mekanisme menelan seperti palatoskizis,pemberian makanan dengan

posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak

ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung

pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang

mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya

seperti susu dan minyak ikan .

Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya

Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang

berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak

merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

2.2.5 Klasifikasi

Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan

pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah

34

Page 35: 999

membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara

klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan. Klasifikasinya :

Anatomis

Pneumonialobaris

yaitu radang paru yang mengenai satu atau lebih dari satu lobus.

Pneumonialobularis (bronkopneumonia)

yaitu radang yang mengenai lobules-lobulus dan tersebar di dalam paru.

Pneumonia interstisialis (bronkiolitis)

yaitu radang yang mengenai jaringan interstisial paru dan bronchitis.

Etiologi

- Bakteri : Pneumococcus pneumonia, Streptococcus pneumonia, Staphylococcus

pneumonia, Haemofilus influenzae.

- Virus : Respiratory Synctitial virus, Parainfluenzae virus, Adenovirus

- Jamur : Candida, Aspergillus, Mucor, Histoplasmosis, Coccidiomycosis,

Blastomycosis, Cryptoccosis.

- Corpus alienum

- Aspirasi : Makanan, kerosene (benzene,minyak tanah) cairan amnion, benda asing

- Pneumoniahipostatik

- Sindroma loeffler

2.2.6 Patogenesis

Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan

mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.

Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan

tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya

infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat

melalui berbagai cara, antara lain :

Inhalasi langsung dari udara

Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring

Perluasan langsung dari tempat-tempat lain

35

Page 36: 999

Penyebaran secara hematogen

Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk

mencegah infeksi yang terdiri dari :

Susunan anatomis rongga hidung

Jaringan limfoid di nasofaring

Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret

lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.

Refleks batuk.

Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.

Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.

Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.

Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja

sebagai antimikroba yang non spesifik.

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan

nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan

jaringan sekitarnya.

Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses

peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :

1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang

berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan

peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.

Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan

dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.

Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.

Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk

melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas

kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke

dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema

36

Page 37: 999

antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan

alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan

karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen

hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah

merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai

bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga

warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada

stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak

akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu

selama 48 jam.

3. Stadium III (3 – 8 hari)

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih

mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan

fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi

fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai

diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,

warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi

mengalami kongesti.

4. Stadium IV (7 – 11 hari)

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan

peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi

oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

2.2.7 Diagnosis

Gambaran Klinis

37

Page 38: 999

Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas

bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai

39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat

gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping

hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak

dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari,

di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan

Dinding thorak terlihat retraksi intercostali dan kalau berat disertai

retraksi epigastrium. Stemfremitus teraba mengeras bila beberapa kelainan

kecil menyatu. Pada perkusi sering tidak ditemukan kelainan, tetapi kalau

sarang bronkopneumonia menjadi satu, pada perkusi terdengar redup. Pada

auskultasi terdengar vesikuler mengeras, ronkhi basah halus dan sedang

nyaring yang terdengar pada stadium permulaan dan stadium resolusi

sedangkan pada stadium hepatisasi ronkhi tidak terdengar.

Pemeriksaan Laboratorium

1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/

mm3 dengan pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat

berhubungan dengan infeksi virus atau mycoplasma.

2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun.

3. Peningkatan LED.

4. Kultur dahak dapat positif pada 20 – 50% penderita yang tidak diobati.

Selain kultur dahak , biakan juga dapat diambil dengan cara hapusan

tenggorok (throat swab).

5. Analisa gas darah (AGDA) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia.Pada

stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.

Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi,

karena pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan

kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO mengajukan

38

Page 39: 999

pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman

tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan:

1. Bronkopneumonia sangat berat : Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak

sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi

antibiotika.

2. Bronkopneumonia berat : Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan

masih sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi

antibiotika.

3. Bronkopneumonia: Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang

cepat :

a. 60 x/menit pada anak usia < 2 bulan

b. 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun

c. 40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun.

4. Bukan bronkopenumonia : Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti

diatas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika.

Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab:

1. kultur sputum atau bilasan cairan lambung

2. kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus

3. deteksi antigen bakteri

2.2.8 Penatalaksanaan

Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan hasil resistensi dari

kuman, akan tetapi mengingat hal ini sulit dilakukan, maka di bagia IKA pengobatan

langsung diberikan

1. Antibiotika pada penderita secara polifragmasi selama 10-15 hari:

Ampisilin 100 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis

kloramfenikol dengan dosis:

o umur < 6 bulan : 25-50 mg/KgBB/hari.

o Umur >6 bulan :50-75 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis

39

Page 40: 999

Atau gentamisin dengan dosis 3-5 mg/KgBB/hari dalam 2 dosis

2. Suportif

IVFD, oksigen, pembersih jalan nafas

2.2.9 Diagnosis Banding

Secara klinis pneumonia yang disebabkan oleh kuman (bakteri), virus tidak

dapat dibedakan. Keadaan yang menyerupai pneumonia secara klinik:

Bronkhiolitis

Payah jantung

Aspirasi benda asing

2.2.10 Komplikasi

Otitis media

Bronkiektasis

Abses paru

Empiema

2.2.11 Prognosis

Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi

didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang

terlambat untuk pengobatan.

Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi

berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan

hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan

pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja

sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif

yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi

apabila berdiri sendiri.

40

Page 41: 999

2.1.12 Pencegahan

Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan

penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan

terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah

dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran

nafas seperti: cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga

kebersihan, beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dan lain-lain

Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan

terinfeksi antara lain:

Vaksinasi Pneumokokus

Vaksinasi H. influenza

Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh

rendah

Vaksin influenza yang diberikan

2.3 Penyakit Jantung Bawaan

2.3.1 Pendahuluan

Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah kelainan susunan jantung yang

mungkin sudah terdapat sejak lahir.

2.3.2 Epidemiologi

Penyakit jantung bawaan (PJB) pada bayi dan anak cukup banyak ditemukan di

Indonesia. Laporan dari berbagai penelitian di luar negeri menunjukkan 6-10 dari

1000 bayi lahir hidup menyandang panyakit jantung bawaan. Terjadinya penyakit

jantung bawaan masih belum jelas namun dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Terdapat kecenderungan timbulnya beberapa PJB dalam satu keluarga. Ductus

arteriosus persisten (DAP) dan defek septum atrium (DSA) lebih sering dijumpai

pada anak perempuan, sedangkan stenosis aorta lebih sering dijumpai pada anak

41

Page 42: 999

laki-laki. Pembentukan jantung janin yang lengkap terjadi pada akhir semester

pertama potensial dapat menimbulkan gangguan pembentukan jantung.

2.3.3 Etiologi

Penyakit jantung bawaan merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan

perkembangan sisitem kardiovaskular pada masa embrio. Faktor penyebabnya

antara lain:

1. Faktor Eksogen

Faktor penyebab PJB terutama terdapat selama dua bulan pertama kehamilan

adalah Rubella pada ibu dan penyakit virus lainnya, talidomid, obat-obatan

dan radiasi.

2. Faktor Endogen

Meliputi faktor genetik dan adanya sindrom tertentu. Faktor genetik mungkin

hanya memegang peranan kecil dan biasanya kelainan kromosom jarang

didapat. Walaupun demikian beberapa keluarga mempunyai insiden PJB

tinggi, jenis PJB yang sama terdapat pada anggota keluarganya.

2.3.4 Klasifikasi

Penyakit jantung bawaan diklasifikasikan menjadi :

a. Penyakit jantung bawaan sianotik

Penyakit jantung sianotik ditandai oleh adanya sianosis sentral akibat adanya

pirau kanan ke kiri diantaranya tetralogi fallot, transposisi arteri besar, double

outlet right ventricle (DORV).

b. Penyakit jantung bawaan nonsianotik

Dari PJB nonsianotik, dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu; (1)

kelompok dengan pirau kiri ke kanan seperti ductus arteriosus persisten (DAP),

defek septum atrium (DSA), defek septum ventrikel (DSV); (2) kelompok dengan

obstruksi jantung kanan seperti sianosis katup pulmonal, (3) kelompok dengan

42

Page 43: 999

obstruksi jantung kiri seperti stenosis katup aorta, koartaksio aorta, dan stenosis

mitral.

2.3.5 Tahapan Diagnosis PJB

Evaluasi awal untuk menegakkan diagnosis PJB meliputi 4 tahap yakni; (1)

evaluasi klinis yang meliputi riwayat penyakit/anamnesis dan pemeriksaan fisik,

(2) pemeriksaan penunjang sederhana termasuk EKG, dan foto toraks, (3)

ekhokardiografi, (4) kateterisasi jantung yang meliputi penghitungan

hemodinamik dan angiografi.

2.3.6 Defek septum ventrikel (DSV)

Defek septum ventrikel merupakan PJB yang paling sering ditemukan,

yaitu 30% dari semua jenis PJB. Pada sebagian besar kasus, diagnosis kelainan ini

ditegakkan setelah melewati masa neonatus, karena pada minggu-minggu pertama

bising yang bermakna biasanya belum terdengar oleh karena resistensi vaskular

paru yang masih tinggi dan akan menurun setelah 8-10 minggu.

Secara anatomis DSV dapat diklasifikasikan sesuai letak defeknya.

Klasifikasi menurut Forum ilmiah kardiologi anak indonesia yang membuat

klasifikasi DSV berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Soto dkk, yaitu: (1)

DSV perimembran outlet, inlet, trabekular, konfluens; (2) DSV muskular

posterior, trabekular, infundibular dan (3) DSV subatrial (doubly commited

subatrial) yang disebut juga tipe oriental karena lebih banyak ditemukan pada

orang asia daripada orang kulit putih.

Berdasarkan fisiologisnya, DSV dapat diklasifikasikan menjadi (1) DSV

defek kecil dengan resistensi vaskular paru normal, (2) DSV defek sedang dengan

resistensi vaskular paru bervariasi, (3) DSV defek besar dengan peningkatan

resistensi vaskular paru dari ringan hingga sedang, (4) DSV defek besar dengan

resistensi vaskular paru yang tinggi.

43

Page 44: 999

2.3.6.1 Manifestasi klinis

a. DSV defek kecil; biasanya anak tampak sehat dan pada pemeriksaan

fisik didapatkan holosistolik bising grade IV/VI dan thrill dapat teraba di

sepanjang sternum kiri bawah dan dapat meluas ke sepanjang tepi kiri

sternum.

b. DSV defek sedang; terdapat gangguan pertumbuhan yaitu berat badan

yang kurang. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan bunyi jantung 3 yang

disertai middiastolic rumble yang terdengar di apeks.

c. DSV dengan defek besar; dengan peningkatan tahanan vaskular paru,

penderita tampak takipnea denga retraksi otot-otot pernapasan. Bunyi

jantung ke 2 atau komponen pulmonal terdengar mengeras.

2.3.6.2 Pemeriksaan Penunjang

Gambaran Elektrokardiografi

Pada DSV defek kecil EKG biasanya normal. Pada defek sedang sering

didapatkan hipertrofi ventrikel kiri, akibat pirau kiri ke kanan yang akan

menyebabkan beban tekanan pada ventrikel kiri. Sering tidak didapatkan hipertrofi

ventrikel kanan. Pada bayi gambaran EKG sering tidak menunjukkan kelainan.

Pada penderita DSV besar dengan tekanan ventrikel kiri dan kanan yang

sama selain tampak gambaran hipertrofi ventrikel kiri juga didapatkan hipertrofi

ventrikel kanan. Bila terjadi hipertensi pulmonal maka hipertrofi ventrikel kanan

tampak makin menonjol, bahkan hipertrofi ventrikel kiri dapat menghilang.

Radiologis

44

Page 45: 999

Pada defek kecil gambaran radiologis menunujkkan ukuran jantung

normal dan vaskularisasi normal. Pada defek sedang tampak pembesaran jantung

dan peningkatan vaskular paru. Pada foto PA tampak bayangan jantung melebar

ke arah bawah dan kiri, akibat pembesaran ventrikel kiri yang dsiertai peningkatan

vaskularisasi paru.

2.3.6. 3 Perjalanan Alamiah

Menutup spontan

Sebagian besar penderita DSV kecil menutup spontan pada 2 tahun

pertama kehidupan. Penutupan lebih sering terjadi pada tipe muskular dan

perimembran.

Prolaps katup aorta

Sering ditemukan pada tipe DSV doubly commited subatrial. Prolaps

katup aorta adalah deformitas tepi katup aorta bagian anterior dan inferior

yang menonjol sehingga gerakan katup akan berkurang dan menyebabkan

penutupan DSV. Jika deformitas katup telah terjadi, keadaan ini

berkembang menjadi regurgitasi katup aorta. Sehingga walaupun defek kecil

tetapi jika terdapat prolaps katup aorta tetapi belum terdapat vregurgitasi

aorta maka harus segera harus dilakukan penutupan defek. Penelitian

menunjukkan bahwa penutupan defek pada penderita yang telah mengalami

regurgitasi aorta pascaoperasi masih didapatkan regurgitasi aorta.

Aneurisma septum membranacea

Adalah jaringan yang berasal dari katup trikuspid yang menyebabkan

penutupan spontan atau pengurangan ukuran defek. Lebih sering didapatkan

penderita DSV tipe perimembran.

Stenosis Infundibulum

Terjadi akibat reaksi hipertrofi otot infundibulum ventrikel kanan,

sehingga akan menghambat aliran darah ke paru dan menyebabkna pirau

45

Page 46: 999

dari kiri ke kanan dan DSV berkurang sehingga penderita menunjukkan

perbaikan.

Hipertensi pulmonal

Terjadi pada DSV besar dan bila hal ini terjadi akan meningkatkan

resiko operasi.

Penyakit vaskular paru

Sebagian kecil penderita DSV berkembang menjadi penyakit vaskular

paru obstruksi sehingga terjadi pirau dari kanan ke kiri dan jika hal ini

terjadi maka penderita tidak dapat dioperasi.

2.3.6.4 Komplikasi

a. Gagal jantung

b. Endokarditis

2.3.6.5 Tata Laksana

a. Terapi medikamentosa

Penderita DSV dengan defek kecil tidak memerlukan terapi. Penderita

dengan defek besar dapat mengalami gagal jantung dan pada penderita ini

diberikan terapi untuk gagal jantungnya.

b. Terapi intervensi

Intervensi bedah penutupan defek dengan operasi.10

2.4 Sindrom Down

2.4.1 Pendahuluan

46

Page 47: 999

Down syndrome merupakan kelainan kromosom yang dapat dikenal dengan

melihat manifestasi klinis yang cukup khas. Kelainan yang berdampak pada

keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak ini pertama kali dikenal pada

tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down. Karena ciri-ciri yang tampak seperti tinggi

badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang

Mongolia maka sering juga dikenal dengan Mongoloid. Pada tahun 1970an para ahli

dari Amerika dan Eropa merevisi nama dari kelainan yang terjadi pada anak tersebut

dengan merujuk penemu pertama kali syndrome ini dengan istilah Down Syndrome

dan hingga kini penyakit ini dikenal dengan istilah yang sama.

2.4.2 Manifestasi Klinis

Gejala atau tanda-tanda yang muncul akibat Down syndrome dapat bervariasi

mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda

yang khas. Tanda yang paling khas pada anak yang menderita Down Syndrome

adalah adanya keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak (Olds,

London, & Ladewing, 1996). Penderita sangat sangat mudah dikenali dengan adanya

penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal

(microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian wajah

biasanya tampak sela hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang

menonjol keluar (macroglossia). Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian

tengah membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya

berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama

dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar. Sementara itu lapisan kulit

biasanya tampak keriput (dermatoglyphics).Kelainan kromosom ini juga bisa

menyebakan gangguan atau bahkan kerusakan pada sistim organ yang lain. Pada bayi

baru lahir kelainan dapat berupa Congenital Heart Disease. kelainan ini yang

biasanya berakibat fatal di mana bayi dapat meninggal dengan cepat.

2.4.3 Diagnostik

47

Page 48: 999

Pemeriksaan diagnostik Untuk mendeteksi adanya kelainan pada kromosom,

ada beberapa pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosa ini, antara

lain:

Pemeriksaan fisik penderita

Pemeriksaan kromosom

Ultrasonograpgy

ECG

Echocardiogram

Pemeriksaan darah (Percutaneus Umbilical Blood Sampling).

2.4.4 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang

paling efektif untuk mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita

sindrom down juga dapat mengalami kemunduran dari sistim penglihatan,

pendengaran maupun kemampuan fisiknya mengingat tonus otot-otot yang lemah.

Dengan demikian penderita harus mendapatkan support maupun informasi yang

cukup serta kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai

berkaitan dengan kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya.

Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada

jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat

adanya kelainan pada jantung tersebut. Dengan adanya Leukemia akut menyebabkan

penderita semakin rentan terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan

monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat.

2.4.5 Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan

kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan

awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan

Down syndrome atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-

hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki resiko

48

Page 49: 999

melahirkan anak dengan Down syndrome lebih tinggi. Down Syndrome gak bisa

dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah

kromosom. Jumlsh kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya

masih tidak diketahui pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah

makin tua usia ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya DS. Diagnosis dalam

kandungan bisa dilakukan, diagnosis pasti dengan analisis kromosom dengan

cara pengambilan CVS (mengambil sedikit bagian janin pada plasenta) pada

kehamilan 10-12 minggu) atau amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada

kehamilan 14-16 minggu.11

49

Page 50: 999

BAB III

ANALISIS KASUS

Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun 10 bulan dengan berat badan 21 kg

dan tinggi badan 130 cm datang dengan keluhan utama pucat dan keluhan tambahan

biru-biru pada kulit. Dari wawancara langsung dengan orang tua penderita dan

penderita sendiri didapatkan sejak satu bulan sebelum masuk rumah sakit penderita

mulai terlihat pucat terutama pada wajah dan telapak tangan penderita. Pada kulit

penderita juga sering timbul bercak biru. Penderita juga terlihat lesu. Demam (+)

tidak terlalu tinggi, mual dan muntah (-). Nafsu makan biasa, BAB dan BAK biasa.

Gusi mudah berdarah (+) terutama ketika penderita menggosok gigi. Keluar darah

dari hidung (-). Penderita tidak berobat untuk keluhannya tersebut.

Sejak ± 4 hari SMRS, hidung penderita tiba-tiba mengeluarkan darah, terus-

menerus, tidak berhenti meskipun sudah disumbat, jumlahnya ± 1 gelas belimbing.

Demam (+), mual dan muntah (-), BAB dan BAK biasa. Penderita lalu dibawa ke

Puskesmas dan diberi obat melalui infus (orang tua penderita tidak tahu nama

obatnya) tetapi hidung penderita masih mengeluarkan darah. Kemudian penderita

mulai mengalami penurunan kesadaran. Penderita lalu dibawa ke RS Baturaja, dan

dilakukan pemeriksaan Hb, didapatkan hasil 3 g/dl, kemudian penderita mendapatkan

2 kolf whole blood, Hb penderita meningkat menjadi 7 g/dl. Setelah keadaan

penderita stabil, penderita kemudian dirujuk ke RSMH Palembang.

Dari riwayat penyakit dahulu, riwayat terpapar racun rumput ada, hal ini dapat

menjadi petunjuk penyebab anemia aplastik pada pendeita ini bisa disebabkan oleh

terpapr zat kimia.

Dari riwayat kelahiran didapatkan bahwa Penderita lahir dari ibu G4P3A0, lahir

cukup bulan, spontan, ditolong oleh bidan, lahir langsung menangis, A/S tidak tahu,

BBL 3700 gram. Riwayat ibu demam tidak ada, riwayat KPSW tidak ada , riwayat

ketuban hijau kental bau tidak ada. Pada penderita ini tidak ditemukan tanda-tanda

adanya kelainan bawaan yang bisa menjadi etiologi anemianya.

50

Page 51: 999

Riwayat imunisasi penderita lengkap, sehingga faktor resiko terjadinya infeksi

pada penderita ini rendah. Seperti diketahui, bahwa salh satu penyebab terjadinya

anemia aplstik adalah faktor infeksi, seperti hepatitis dan tubekulosis.

Pada pemeriksaan fisik generalis didapatkan kesadaran penderita compos

mentis, tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 90x/menit, frekuensi pernafasan 24x/menit

, dan temperatur tubuh 36,70C, dan didapatkan anemis.

Dari anamnesis terutama mengenai riwayat makan, dapat dinilai bahwa asupan

gizi pada pasien ini kurang. Dan dari pemeriksaan fisik yang didapat, dengan berat

badan 3000 gram dan panjang badan 54 cm, didapat kesan bahwa status gizi anak ini

berada dalam rentang KEP III (68,18%) atau -3SD-< -2 SD (gizi kurang).

Pada pemeriksaan fisik khusus, didapatkan pada mata yaitu konjungtiva yang

anemis, hal ini menunjukkan tanda-tanda rendahnya nilai hemoglobin. Sklera ikterik

tidak ditemukan , karena sifat anemia pada paien ini yaitu aplastik bukan hemolitik.

Pada pemeriksaan abdomen, tidak didapatkan adanya pembesaran limpa dan

hepar. Hal ini juga menunjukkan kemungkinan anemia hemolitik dapat disingkirkan.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil, Hb 6,2 g/dl, Ht 18 vol%, Leukosit

2.100/mm3, Trombosit 27.000/mm3 . Hasil ini memenuhi kriteria dari The

International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study (IAAS) sebagai anemia

aplastik.Menurut IAAS kriteria anemia aplastik harus memenuhi kadar hemoglobin

kurang dari 10 mg/dl, atau hematokrit kurang dari 30%, trombosit kurang dari

50.000/mm3, leukosit kurang dari 3.500/mm3 . Dari gambaran darah tepi didapatkan

hasil eritrosit berupa normositik normokrom, leukosit jumlahnya menurun, bentuk

normal, trombosit jumlahnya juga menurun, bentuk normal. Kesannya yaitu

pansitopenia e.c anemia aplastik. Berdasarkan hasil BMP yang dilakukan didapatkan

kesan bahwa penderita ini menderita anemia aplastik.

Penatalaksanaan pada penderita ini yaitu diberikan transfusi PRC 2x150 cc,

indikasi pemberian transfusi ini yaitu untuk meningkatkan kadar Hb, mengingat pada

penderita ini sebelumnya didapatkan keadaan perdarahan masif. Vit K injeksi

diberikan untuk membantu dalam proses pembekuan darah. Penderita ini juga

51

Page 52: 999

diberikan prednison 2mg/kgBB perhari dibagi 3 dosis. Pemberian steroid pada

penderita ini ditujukan untuk merangsang pertumbuhan sumsum tulang.

Tata laksana gizi untuk pasien dengan KEP II, dengan pemberian Formula 75

(F75). Untuk berat badan 3000 gram, F75 sebanyak 35 cc yang diberikan tiap 2 jam

(12x35 cc). Selama 1-2 hari dimonitoring dimana bila anak dapat menghabiskan susu,

tanpa ada muntah, ataupun BAB cair pemberian dapat dinaikkan frekuensi menjadi 3

jam sekali sebanyak 50cc atau 8x50cc dan seterusnya (sesuai dengan tabel petunjuk

pem berian F75 untuk anak gizi buruk tanpa edema).

Sebab kematian pada pasien anemia aplastik yaitu adanya faktor penyulit

seperti infeksi, biasanya bronkopneumonia atau sepsis, serta perdarahan otak,

sehingga prognosis pada Quo ad vitamnya dubia ad bonam karena diharapkan dengan

terapi yang tepat maka faktor-faktor penyulit tersebut tidak teradi. Quo ad

functionamnya dubia ad bonamm, karena dengan terapi yang diberikan berupa steroid

diharapkan terjadi remisi sehingga terlihat perbaikan pada sistem eritopoetik,

kemudian sistem granulopoetik dan sistem trombopoetik.

52

Page 53: 999

DAFTAR PUSTAKA

1. Aritonang, Evawany. Kurang Energi Protein(Protein Energy Malnutrition). 2004. Available from: http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkmgizi-evawany.pdf, diunduh tanggal 22 Oktober 2009 pukul 10.00 wib.

2. Adi, Moh Usini. Hubungan Antara Kurang Gizi dengan Kurang Energi Protein Ringan dan Sedang di wilayah Gunung Pati Semarang. 2005 Available from : http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi.1/import/1264.pdf. diunduh tanggal 22 Oktober 2009 pukul 10.00 wib.

3. Judarwanto, Widodo. Tampilan Klinis Dan Komplikasi KEP. 2005. Available from: http://www.pdpersi.co.id/ diunduh tanggal 22 Oktober 2009 pukul 10.00 wib.

4. Nelson, Waldo E (ed). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.2000.

5. Lubis, Nuchsan Umar, Arlina Yunita Marsida. Penatalaksanaan Busung Lapar pada Balita. Cermin Dunia Kedokteran. 2002. diunduh tanggal 22 Oktober 2009 pukul 10.00 wib.

6. Rusepno, Hassan, Husein Alatas (ed). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika. 2005

7. Kurang Energi dan Protein Berat (KEP) dalam Standar Profesi Ilmu Kesehatan Anak. Palembang : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI/RSMH. 2005.

8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Gizi Masyarakat. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Edisi Revisi. Jakarta;2006.

9. Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH. Kurang Enenrgi Protein. Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak. Palembang. 2007.

53

Page 54: 999

10. Madiyono, Bambang, Sri Endah Rahayudiningsih, Rubiana sukardi. Penanganan

Penyakit Jantung pada Bayi dan Anak. Jakarta; FK UI. 2005.

11. Sindrom Down. Available from; http://id.wikipedia.org/wiki/Sindrom_Down.

Diunduh tanggal 20 oktober 2209 pukul 11.00 wib.

54