Referat Stevens-Johnson Syndrome
BAB IPENDAHULUANDijelaskan pertama kali pada tahun 1922, Sindrom
Stevens-Johnson merupakan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks
imun yang merupakan ekspresi berat dari eritema multiforme. Sindrom
Stevens-Johnson (SSJ) (ektodermosis erosiva pluriorifisialis,
sindrom mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema
multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan
kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang
mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mukosa kelopak mata
dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk
(Hamzah,2002).Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui
namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya SSJ seperti
obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme terjadinya sindroma pada
SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya.
SSJ muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau
diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tak
berhubungan langsung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh
reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal,
paling diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu
kadang tak disadari pasien, jika tipe alergi tipe cepat yang
seperti syok anafilaktik jika cepat ditangani pasien akan selamat
dan tak bergejala sisa, namun jika SSJ akan membutuhkan waktu
pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian seperti
syok anafilaktik.
Oleh beberapa kalangan disebut sebagai eritema multiforme mayor
tetapi terjadi ketidak setujuan dalam literatur. Sebagian besar
penulis dan ahli berpendapat bahwa sindrom Stevens-Johnson dan
nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan penyakit yang sama
dengan manifestasi yang berbeda. Dengan alasan tersebut, banyak
yang menyebutkan SSJ/NET. SSJ secara khas mengenai kulit dan
membran mukosa. Walaupun presentasi minor dapat timbul tetapi
gejala signifikan dari membran mukosa oral, nasal, mata, vaginal,
uretral, gastrointestinal dan saluran napas bawah dapat terjadi
selama perjalanan penyakit. Ikut sertanya gastrointestinal dan
respiratori dapat berlanjut menjadi nekrosis. SSJ merupakan
kelainan sistemik yang serius dengan potensi morbiditas berat dan
mungkin kematian. Kesalahan diagnosis sering terjadi pada penyakit
ini.
BAB IITINJAUAN PUSTAKAII.1. Definisi SSJSindrom Stevens-Johnson,
biasanya disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang sangat
gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit,
terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih
buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik
epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan,
disebut sebagai eritema multiforme (EM) (Adithan,2006).Sindrom
Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit
vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum
berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu,
eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa,
sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.Sindrom
Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr.
Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun
dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya (Adithan,2006).
II.2. Etiologi SSJ1. Obat-obatan dan keganasan merupakan penyebab
utama pada pasien dewasa dan usia lanjut.2. Kasus pediatrik lebih
banyak berhubungan dengan infeksi daripada keganasan atau reaksi
obat. Jarang pada anak usia 3 tahun atau dibawahnya, karena
imunitas belum berkembang sepenuhnya.3. NSAID oksikam dan
sulfonamid merupakan penyebab utama di negara-negara Barat. Di Asia
Timur allopurinol merupakan penyebab utama.4. Obat seperti sulfa,
fenitoin atau penisilin telah diresepkan kepada lebih dari dua
pertiga pasien dengan SSJ.5. Lebih dari setengah pasien dengan SSJ
melaporkan adanya infeksi saluran napas atas.6. Empat kategori
etiologi adalah infeksi, reaksi obat, keganasan dan idiopatik.II.3.
Faktor Predisposisi SSJBerdasarkan kasus yang terdaftar dan
diobservasi kejadian SSJ terjadi 1-3 kasus per satu juta penduduk
setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi
pada ras Kaukasia. Walaupun SSJ dapat mempengaruhi orang dari semua
umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit
lebih rentan daripada laki-laki (Siregar, 2004).
II.4. Patofisiologi SSJSSJ merupakan kelainan hipersensitivitas
yang dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan,
infeksi virus dan keganasan. Akhir-akhir ini kokain dimasukkan
dalam daftar obat yang dapat menyebabkan SSJ. Sampai dengan
setengah dari total kasus, tidak ada etiologi spesifik yang telah
diidentifikasi.
SSJ sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II
(sitolitik) menurut Coomb dan Gel. Gejala klinis atau gejala reaksi
bergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSJ dan
NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat
akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8, IL-5 meningkat,
juga sitokin-sitokin lain. CD4 terutama terdapat di dermis, CD8 di
epidermis. Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan
MHC-II. Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF alfa meningkat
di epidermis. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi
kerusakan kulit sehingga terjadi :1. Kegagalan fungsi kulit yang
menyebabkan kehilangan cairan.2. Stres hormonal diikuti peningkatan
resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat.3.
Kegagalan termoregulasi.4. Kegagalan fungsi imun.5.
InfeksiPerjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan
tambahan yang dapat berupa didahului panas tinggi, dan nyeri yang
berkelanjutan. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di mukosa
mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata,
genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan
uretritis). Gejala prodromal tidak spesifik, dapat berlangsung
hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa
sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen.
Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan.
Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak
dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik
(Ilyas, 2004).
Walaupun tidak sepenuhnya relevan dengan praktek keadaan gawat
darurat, penelitian terhadap patofisiologi SSJ/NET dapat memberikan
kesempatan pemeriksaan untuk membantu diagnosis selain untuk
membantu pasien yang memiliki resiko.
II.5. Epidemiologi SSJInsidens SSJ dan NET diperkirakan 2-3% per
juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya
terdapat pada dewasa.
Predominansi kasus pada ras Kaukasia telah dilaporkan dan rasio
pria:wanita adalah 2:1. Kebanyakan pasien berusia antara 20-40
tahun, akan tetapi pernah dilaporkan terjadi kasus pada bayi
berusia 3 bulan.
II.6. Gejala Klinis SSJSSJ dan TEN biasanya mulai dengan gejala
prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk,
korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia
yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala
tersebut. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada
muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh
dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas,
sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar,
dan mudah dilepas bila digosok. Secara khas, proses penyakit
dimulai dengan infeksi nonspesifik saluran napas atas.
Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yang
berkembang akan bertahan dari 2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat
nonpruritik. Riwayat demam atau perburukan lokal harus dipikirkan
ke arah superinfeksi, demam dilaporkan terjadi sampai 85% dari
seluruh kasus.
Gejala pada membran mukosa oral dapat cukup berat sehingga
pasien tidak dapat makan dan minum. Pasien dengan gejala
genitourinari dapat memberi keluhan disuria. Riwayat penyakit SSJ
atau eritema multiforme dapat ditemukan. Rekurensi dapat terjadi
apabila agen yang menyebabkan tidak tereliminasi atau pasien
mengalami pajanan kembali.
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan
sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan
tubuh hilang. Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien
merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada beberapa
orang, kuku dan rambut rontok (Adithan, 2006).
Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat
dan sama-sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang
sangat besar dapat merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah
tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab
kematian utama akibat TEN.Pada SSJ akan terlihat trias kelainan
berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan
kelainan mata.1. Kelainan pada kulita. Kemerahan pada kulit bermula
sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikel, bula, plak
urtikaria atau eritema konfluen.
b. Pusat dari lesi ini mungkin berupa vesikular, purpura atau
nekrotik.c. Lesi dapat menjadi bula dan kemudian pecah, menyebabkan
erosi dan ekskoriasi pada kulit. Kulit menjadi rentan terhadap
infeksi sekunder.
d. Lesi urtikaria biasanya tidak bersifat pruritik.e. Infeksi
merupakan penyebab scar yang berhubungan dengan morbiditas.f.
Walaupun lesi dapat terjadi dimana saja tetapi telapak tangan,
dorsal dari tangan dan permukaan ekstensor merupakan tempat yang
paling umum.g. Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh
tetapi yang paling umum di batang tubuh.
2. Kelainan selaput lendir di orifisiuma. Kelainan sering
terjadi pada mukosa mulut (100%), disusul pada lubang alat
genitalia (50%), jarang pada lubang hidung dan anus (masing-masing
8% dan 4%).b. Gejala pada mukosa mulut berupa eritema, edema,
vesikel / bula yang gampang pecah sehingga timbul erosi, ekskoriasi
dan krusta kehitaman, terutama pada bibir. Juga dapat timbul
pseudomembran. Lesi terdapat pada traktus respiratorius bagian
atas, faring dan esofagus.
c. Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit
menelan.
d. Pseudomembran pada faring menyebabkan pasien sukar
bernapas.e. Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan
SSJ tanpa lesi pada kulit tetapi sebagian besar percaya bahwa lesi
mukosa saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. Beberapa ahli
menyebut kasus yang tanpa lesi kulit sebagai atipikal atau
inkomplit.
3. Kelainan MataYang paling sering adalah konjungtivitis
kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis.
konjungtivitis
simblefaronII.7. Diagnosa SSJDiagnosa ditujukan terhadap
manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata,
serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis
terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada
mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara
lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman
serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan
histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat
dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi,
terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi,
C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya
kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik
tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus
atipik (Siregar, 2004; Adithan, 2006).II.8. Diagnosis Banding
SSJAda 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson
:1) Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat
dekat dengan TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.2)
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada
penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada
kulit. Biasanya mukosa terkena (Siregar, 2004).
II.9. Pemeriksaan Penunjang SSJ
a. Pemeriksaan Laboratorium :Tidak ada pemeriksaan laboratorium
selain biopsi yang dapat menegakkan diagnosis SSJ.1) Pemeriksaan
darah lengkap dapat menunjukkan jumlah leukosit yang normal atau
leukositosis yang nonspesifik. Leukositosis yang nyata
mengindikasikan kemungkinan infeksi bakteri berat. Kalau terdapat
eosinofilia kemungkinan karena alergi.
2) Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena
insidensi infeksi bakteri yang serius pada aliran darah dan sepsis
yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
3) Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven
Johnson dengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.4)
Kultur darah, urin dan jaringan pada luka diindikasikan ketika
dicurigai adanya infeksi.b. Pemeriksaan Radiologi:Foto rontgen
thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai secara
klinis. Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak
diindikasikan.
c. Pemeriksaan Histopatologi:Gambaran histopatologik sesuai
dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang
ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyuluruh. Kelainan berupa
:
1) Infiltrate sel mononuclear di sekitar pembuluh-pembuluh darah
dermis superficial.
2) Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papiler.3)
Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel
subepidermal.
4) Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.5)
Spongiosis dan edema intrasel epidermis.
II.10. Penatalaksanaan SSJObat yang tersangka sebagai kausanya
segera dihentikan, termasuk jamu dan zat aditif lainnya. Jika
keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak menyeluruh cukup
diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umunya
buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat dan
pasien harus dirawat-inap. Pengggunaan obat kortikosteroid
merupakan tindakan life-saving, dapat digunakan deksametason secara
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya
masa krisis dapat diatasi dalam beberapa hari. Agar lebih jelas,
maka berikut ini diberikan contoh. Seorang pasien SSJ yang berat,
harus segera di rawat-inap dan diberikan deksametason 6 x 5 mg iv.
Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah
teratasi, keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan
lesi lama tampak mengalami involusi. Dosisnya segera diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5
mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya
prednisone, yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg
sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat
tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.Selain
deksametason dapat digunakan pula metilprednisolon dengan dosis
setara. Kelebihan metilprednisolon ialah efek sampingnya lebih
sedikit dibandingkan dengan deksametason karena termasuk golongan
kerja sedang, sedangkan deksametason termasuk golongan kerja lama,
namun harganya lebih mahal. Karena pengobatan dengan kortikosteroid
dalam waktu singkat pemakaian kedua obat tersebut tidak banyak
perbedaan mengenai efek sampingnya. Tapering off hendaknya
dilakukan cepat karena umumnya penyebab SSJ ialah eksogen (alergi),
jadi berbeda dengan penyakit autoimun (endogen), misalnya
pemfigus.Bila tapering off tidak lancar hendaknya dipikirkan faktor
lain. Mungkin antibiotik yang sekarang diberikan menyebabkan alergi
sehingga masih timbul lesi baru. Kalau demikian harus diganti
dengan antibiotik lain. Kemungkinan lain kausanya bukan alergi
obat, tetapi infeksi (pada sebagian kecil kasus). Jadi kultur darah
hendaknya dikerjakan. Cara pengambilan sampel yang terbaik ialah
kulit tempat akan diambil darah dikompres dengan spiritus dengan
kasa steril selama jam untuk menghindari kontaminasi.
Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul
miliaria kristalina yang sering disangka sebagai lesi baru dan
dosis kortikosteroid dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap
diturunkan.
Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien
akan berkurang, karena itu harus diberikan antibiotic untuk
mencegah terjadinya infeksi, misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian. Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang
jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal,
dan tidak atau sedikit nefrotoksik. Hendaknya antibiotik yang akan
diberikan jangan yang segolongan atau yang rumusnya mirip dengan
antibiotik yang diduga menyebabkan alergi untuk mencegah
sensitisasi silang. Obat yang memenuhi syarat tersebut, misalnya
siprofloksasin 2 x 400 mg iv. Klindamisin, meskipun tidak
berspektrum luas sering digunakan karena juga efektif bagi kuman
anaerob, dosisnya 2 x 600 mg iv sehari. Obat lain juga dapat
digunakan misalnya seftriakson dengan dosis 2 gram iv sehari 1 x 1.
Hendaknya diingat obat tersebut akan memberikan sensitisasi silang
dengan amoksisilin karena keduanya termasuk antibiotik beta laktam.
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang
miskin garam dan tinggi protein, karena kortikosteroid bersifat
katabolik. Setelah seminggu diperiksa pula kadar elektrolit dalam
darah. Bila terdapat penurunan K dapat diberikan KCl 3 x 500 mg per
os.Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan
cairan/elektrolit dan nutrisi, terlebih-lebih karena pasien sukar
atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan
dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus,
misalnya dekstrose 5%, NaCl 9% dan laktat ringer berbanding 1 : 1
:1 dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali.
Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari,
maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari
berturut-turut. Efek transfusi darah (whole blood) ialah sebagai
imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi
buruk, setelah diberi transfusi leukosit cepat menjadi normal.
Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit,
jadi meninggikan daya tahan.
Jadi indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan TEN yang
dilakukan ialah :
1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat
setelah 2 hari belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg
deksametason sehari dan TEN 40 mg sehari.
2. Bila terdapat purpura generalisata.
3. Jika terdapat leukopenia.
Tentang kemungkinan terjadinya polisitemia tidak perlu
dikhawatirkan karena pemberian darah untuk transfusi hanya selama 2
hari. Hb dapat naik sedikit, namun cepat turun.
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan
vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari iv.Terapi topikal tidak
sepenting terapi sistemik. Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat
diberikan krim sulfodiazin-perak. Untuk lesi di mulut dapat
diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle. Untuk bibir yang
biasanya kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan
emolien misalnya krim urea 10%.
II.11. Komplikasi SSJSindrom Steven Johnson sering menimbulkan
komplikasi, antara lain sebagai berikut: Oftalmologi : ulserasi
kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
Gastroenterologi : Esophageal strictures Genitourinaria : nekrosis
tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina
Pulmonari : bronkopneumonia Kutaneus : timbulnya jaringan parut dan
kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder Infeksi sitemik :
sepsis Kehilangan cairan tubuh : shock (Mansjoer, 2002).
II.12. Prognosis SSJKalau bertindak cepat dan tepat, maka
prognosis cukup memuaskan. Bila terdapat purpura yang luas dan
leucopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk
dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat mendatangkan
kematian. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.
Persentase kematian di berbagai kota di Indonesia bervariasi.
Dalam publikasi Sri Lestari dan Adhi Djuanda pada tahun 1994
dicantumkan angka kematian di berbagai kota di Indonesia. Angka
kematian di RS Dr, Kariadi Semarang 14,6%, RS Dr. Soetomo Surabaya
5,1%, RS Dr. Sardjito Yogyakarta 7,0%, RS Wangaya Denpasar 9%, dan
RS Denpasar 20%, sedangkan di RS Cipto Mangunkusumo 4%.
BAB IIIKESIMPULANSindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu
kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias
kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata
disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan
pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya
sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.Patogenesis SJS
sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) dan reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions,
tipe IV). Manifestasi SJS pada mata dapat berupa konjungtivitis,
konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka,
pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat
menyebabkan kebutaan.Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson
ada 2 yaitu Toxic Epidermolysis Necroticans, Staphylococcal Scalded
Skin Syndrome (Ritter disease) dan konjungtivitis membranosa atau
pseudomembranosa.Penanganan Sindrom Steven Johnson dapat dilakukan
dengan memberi terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan
protein secara parenteral pada penderita dengan keadaan umum berat.
Pemberian antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil
biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap
bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada
juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan
nyawa.
DAFTAR PUSTAKADjuanda, Adhi. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Ed. Kelima. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal 163-165.
Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit.
Jakarta. EGC. Hal 141-142.REFERAT STEVENS-JOHNSON SYNDROMEPage
18